Dr. Prudensius Maring, MA -...

133
olaborasi merupakan proses di mana dua orang atau lebih, kelompok, organisasi, komunitas, atau masyarakat yang terlibat akf memikirkan, merencanakan, memutuskan, dan bekerjasama mewujudkannya sebagai bentuk proses kreasi bersama dan saling pengeran untuk mewujudkan tujuan bersama yang dikonstruksi bersama. Itu berar kolaborasi merupakan sebuah realitas sosial dinamik yang ada dan terus berkembang dalam kehidupan masyarakat. Kolaborasi dak hanya hadir sebagai instrumen manajemen dari luar untuk sekadar menata dan mengatur. Sebagai sebuah realitas sosial, kolaborasi perlu dianalisis sebagaimana halnya analisis ilmiah-akademik atas fenomena atau gejala sosial lainnya, seper konflik dan perlawanan. Proses kolaborasi mengandung kesamaan dengan proses konstruksi kebudayaan yang mensyaratkan adanya proses adaptasi, berlangsung melalui proses belajar, yang dilakukan secara kolekf, terjadi proses saling berbagi, dan keseluruhan hasilnya demi menopang kehidupan masyarakat yang harmonis dengan lingkungannya. Keseluruhan proses kolaborasi yang dijalankan masyarakat dan perusahaan dalam konteks penguasaan sumberdaya alam merupakan respon adaptaf terhadap realitas sosial, dilakukan bersama-sama, menjadi arena dan proses belajar untuk semua pihak, dan hasilnya mengarah kepada pencapaian tujuan kelestarian alam dan kehidupan bersama yang lebih baik. Instute for Anthropology of Power - Lembaga Pengkajian Antropologi Kekuasaan Indonesia (LPAKI): Didirikan 17 Desember 2008 untuk melakukan kajian dan pengembangan tentang gejala-gejala sosial dalam perspekf antropologi kekuasaan. Email : [email protected]. Alamat : Jl. Raya Kebagusan Raya Kelapa Peon Rt. 02/04 No. 2B Pasar Minggu - Jakarta Selatan Telp. / Fax : (021)93432123 Email: orchidpustaka_grafi[email protected] Dr. Prudensius Maring, MA Orchid Pustaka Grafindo PENGUTAMAAN KOLABORASI DI BALIK KONFLIK SUMBERDAYA ALAM Dr. Prudensius Maring, MA Orchid Pustaka Grafindo LPAKI

Transcript of Dr. Prudensius Maring, MA -...

olaborasi merupakan proses di mana dua orang atau lebih, kelompok, organisasi, komunitas, atau masyarakat yang terlibat aktif memikirkan, merencanakan, memutuskan, dan bekerjasama

mewujudkannya sebagai bentuk proses kreasi bersama dan saling pengertian untuk mewujudkan tujuan bersama yang dikonstruksi bersama. Itu berarti kolaborasi merupakan sebuah realitas sosial dinamik yang ada dan terus berkembang dalam kehidupan masyarakat. Kolaborasi tidak hanya hadir sebagai instrumen manajemen dari luar untuk sekadar menata dan mengatur. Sebagai sebuah realitas sosial, kolaborasi perlu dianalisis sebagaimana halnya analisis ilmiah-akademik atas fenomena atau gejala sosial lainnya, seperti konflik dan perlawanan. Proses kolaborasi mengandung kesamaan dengan proses konstruksi kebudayaan yang mensyaratkan adanya proses adaptasi, berlangsung melalui proses belajar, yang dilakukan secara kolektif, terjadi proses saling berbagi, dan keseluruhan hasilnya demi menopang kehidupan masyarakat yang harmonis dengan lingkungannya. Keseluruhan proses kolaborasi yang dijalankan masyarakat dan perusahaan dalam konteks penguasaan sumberdaya alam merupakan respon adaptatif terhadap realitas sosial, dilakukan bersama-sama, menjadi arena dan proses belajar untuk semua pihak, dan hasilnya mengarah kepada pencapaian tujuan kelestarian alam dan kehidupan bersama yang lebih baik.

Institute for Anthropology of Power - Lembaga Pengkajian Antropologi Kekuasaan Indonesia (LPAKI): Didirikan 17 Desember 2008 untuk

melakukan kajian dan pengembangan tentang gejala-gejala sosial dalam perspektif antropologi kekuasaan. Email : [email protected].

Alamat :Jl. Raya Kebagusan RayaKelapa Peon Rt. 02/04 No. 2BPasar Minggu - Jakarta SelatanTelp. / Fax : (021)93432123Email: [email protected]

Orchid

Dr. Prudensius Maring, MA

Orchid Pustaka Grafindo

Peng

utamaan

Kolabo

rasi Di baliK Ko

nfliK sum

berDaya alamDr. Prudensius M

aring, MA

Orchid Pustaka Grafindo LPAKI

Dr. Prudensius Maring, MA

PENGUTAMAAN

KOLABORASIDI BALIK KONFLIK SUMBERDAYA ALAM

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maringii

PENGUTAMAAN KOLABORASI DI BALIK KONFLIK SUMBERDAYA ALAM

Dr. Prudensius Maring, MA

Editor : Dr. Keron A. Petrus

Desain Sampul: S. RiyantoTata Letak:

Orchid Creative

x, 122 hal.; 15 cm x 23 cm

ISBN 978-602-97851-1-1

Cetakan Pertama Juli 2015

Penerbit Kerjasama Penerbit Orchid Pustaka Grafindo dengan

Institute for Anthropology of Power - Lembaga Pengkajian Antropologi Kekuasaan Indonesia (LPAKI)

Alamat: Jl.Kebagusan Raya, Kelapa Peon Rt. 02/04 No. 2B

Telp. (021)93432123, Email: [email protected]

Hak Cipta dilindungi Undang-undang: Dilarang menerjemahkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apapun, termasuk penggunaan mesin foto copy, tanpa izin

tertulis yang sah dari penerbit.

Prudensius Maring iii

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Untuk: Istriku Eni, kedua putri kami Puput dan Dhea

yang selalu mendukung meski berkurang waktu rileks bersama karena buku ini

Ibuku Yustina Bura yang selalu setia mendukung dalam doa

hingga kini memasuki usianya yang ke 90 tahun

Prudensius Maringiv

PENGUTAMAAN

KOLABORASI(Proses, Cara, Perbuatan Mengutamakan Kolaborasi )

Prudensius Maring v

KATA PENGANTAR

Analisis buku ini merupakan perpaduan antara kajian teoritis-konseptual dengan realitas empiris tentang

hubungan sosial dalam penguasaan sumberdaya alam. Secara teoritis-konseptual ada tiga konsep kunci yang dibahas yaitu konflik, perlawanan, dan kolaborasi. Dalam pembahasan ini tidak dipisahkan secara tegas antara konflik dan perlawanan meski dalam pendekatan analisis hubungan kekuasaan kedua aspek tersebut memberi ciri yang berbeda. Aspek yang mendapat penekanan dalam pembahasan ini secara keseluruhan adalah kolaborasi. Hal ini karena secara teoritis-konseptual, terutama dalam paradigma konflik marxian, pembahasan tentang konsensus dan kerjasama sebagai kerangka teoritis-konseptual yang sejalan dengan kolaborasi dipandang sebagai bagian subordinat dari konflik. Konsensus, kerjasama, dan kolaborasi hanya dilihat sebagai aspek yang menyertai konflik. Dengan demikian, penting untuk melakukan analisis dan kajian untuk memperlihatkan kolaborasi sebagai fenomena sosial yang pantas dikaji dan analisis sebagaimana halnya konflik dan perlawanan.

Secara teoritis-konseptual, kolaborasi seharusnya tidak hanya dimaknai sebagai subordinat dari konflik. Secara praktis pun kolaborasi seharusnya tidak lebih dimaknai sebagai manajemen sumberdaya material tetapi juga sumberdaya non material dalam konteks penguasaan sumberdaya alam. Bukti empiris memperkuat bahwa secara teoritis-konseptual fenomena kolaborasi mesti mendapat perhatian analisis secara ilmiah-akademik seperti kajian konflik dan perlawanan. Dalam perspektif perubahan sosial

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maringvi

secara berkelanjutan dengan melibatkan semua stakeholders secara setara maka aspek kolaborasi perlu mendapat perhatian serius. Dalam konteks mendorong pengelolaan sumberdaya alam berkelanjutan maka fenomena kolaborasi perlu memperoleh dukungan analisis ilmiah-akademik agar kolaborasi tidak sekadar dilihat sebagai isu manajemen sumberdaya material semata. Ini penting dilakukan untuk mengimbangi kuatnya perspektif konflik marxian yang turut mendasari praktek penguasaan sumberdaya alam dan tata kelola kehidupan sosial masyarakat. Dalam banyak kasus, pilihan strategi dan metode dengan berkonfrontasi dan berkonflik antarstakeholders berpengaruh buruk terhadap pencapaian kelestarian sumberdaya alam dan kualitas tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat - dua hal yang semestinya menjadi tujuan perubahan sosial.

Analisis ini dikonstruksi dari dukungan sumber pemikiran bernuansa teoritis-konseptual dan dukungan fakta empiris. Dukungan fakta empiris diperoleh dari prakarsa kolaborasi pembangunan hutan tanaman di balik realitas konflik yang sudah berlangsung lama dan melibatkan banyak pihak. Prakarsa tersebut merupakan kerjasama Kementerian Kehutanan RI dengan International Tropical Timber Organi-zation (ITTO) melalui proyek “Strategy for Developing Plantation Forest: A Conflict Resolution Approach in Indonesia”. Proyek ini berlangsung selama tahun 2009-2012 di Jambi dan Kalimantan Selatan. Strategi mendorong kolaborasi di balik realitas konflik penguasaan hutan ini penting dilakukan karena berbagai upaya resolusi konflik tanpa dilandasi alternatif pendekatan yang kuat terbukti belum berhasil secara berkelanjutan. Strategi penyelamatan sumberdaya alam yang dilandasi perspektif dan pendekatan kolaborasi dimulai dengan memahami nilai yang memengaruhi pola hubungan antara stakeholders berkepentingan, mengidentifikasi

Prudensius Maring vii

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

benih kolaborasi, mengidentifikasi peluang alternatif kerjasama antarstakeholders, dan memformulasi kerjasama berkelanjutan.

Secara umum analisis ini dipengaruhi perspektif antropologi yang mengutamakan pendekatan kualitatif dengan alur kerja induktif dan emik. Buku ini dikemas dalam 4 bagian. Pertama, membahas latar substansi dan inspirasi konseptual serta pendekatan dan metodologi kajian. Bagian ini memperlihatkan implikasi maraknya pola hubungan konflik dan perlawanan penguasaan sumberdaya alam dalam skala dan intensitas yang tinggi sebagai implikasi penerapan paradigma dan kerangka kerja dalam pengelolaan sumber-daya alam. Dalam situasi demikian penting dimunculkan alternatif perspektif dan kerangka kerja baru yang memungkinkan tercapai tujuan memelihara sumberdaya alam dan kehidupan sosial secara berkelanjutan. Kedua, membahas realitas sosial-ekonomi, bagaimana kompleksitas kepentingan stakeholders dan strategi penguasaan yang dijalankan serta implikasinya pada pola hubungan konflik dan perlawanan. Ketiga, membahas benih-benih dan peluang membangun kolaborasi di balik pola hubungan konflik dan perlawanan yang melibatkan stakeholders penguasaan hutan. Bagian ini juga membahas pengalaman empiris bagaimana para pihak membangun kolaborasi yang dimulai dari proses konstruksi sosial, proses konstruksi teknis, dan merancang mekanisme memelihara keberlanjutan kolaborasi. Keempat, membahas implikasi konseptual dan implikasi praktis dalam tata kelola sumberdaya alam. Keseluruhan analisis menegaskan pentingnya kolaborasi sebagai alternatif perspektif dan metodologi yang perlu diinspirasi dalam mewujudkan keberlanjutan pengelolaan alam dan manusia.

Saya ucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi hingga terbitnya buku ini. Secara khusus

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maringviii

saya sampaikan terima kasih kepada masyarakat desa Praha, aparatur perusahaan, aparatur pemerintah pusat/daerah, dan ITTO yang memungkinkan penelitian ini dilakukan. Karya ini tentu belum sempurna, untuk itu saya menanti kritik kon-struktif dari pembaca. Semoga karya ini memberi inspirasi untuk pengembangan hubungan kekuasaan bernuansa ko-laborasi!

Jakarta, Juli 2015

Prudensius Maring

Prudensius Maring ix

v ix

1 19

25

S3333

46 n

55

71 71788189

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ………………………………............ DAFTAR ISI …………………………………………...........

BAB I PENDAHULUAN …………………..………………….......

1.1. Latar Belakang ............................................................1.2. Inspirasi Konseptual: Konflik dan Kolaborasi ....... 1.3. Pendekatan dan Metode Penelitian .........................

BAB II REALITAS SOSIAL-EKONOMI DAN KOMPLEKSITAS KEPENTINGAN STAKEHOLDERS ………......................

2.1. Realitas Sosial-Ekonomi Masyarakat …………...... 2.2. Strategi Penguasaan Lahan: Perusahaan Versus

Masyarakat …............................................................. 2.3. Kompleksitas Kepentingan Masyarakat dan Peru-

sahaan ..........................................................................

BAB III KONSTRUKSI KOLABORASI DI BALIK KONFLIK ......

3.1. Benih Kolaborasi di Balik Konflik-Resistensi …....3.2. Proses Bersama Membangun Kolaborasi ………...

Proses Konstruksi Mental dan Teknis …………....Abstraksi Proses Membangun Kolaborasi ….........

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maringx

BAB IV PENUTUP: IMPLIKASI TEORITIS DAN PRAKTIS ........

4.1. Konstruksi Realitas Empirik ……..……………… 4.2. Implikasi Teoritis: Pengarusutamaan Kolaborasi ...4.3. Implikasi Praktis: Revitalisasi Makna Manajemen

Kolaborasi …….........................................................

DAFTAR PUSTAKA .............................................................INDEKS ..................................................................................TENTANG PENULIS ...........................................................

9798

103

111

115119122

Prudensius Maring 1

1.1. Latar Belakang Diskusi pada ruang akademik tentang konflik, dan

kolaborasi kalah cepat dari maraknya konflik penguasaan sumberdaya alam. Peningkatan konflik makin marak baik dari segi kuantitas, eskalasi, dan intensitas. Analisis Center for International Forestry Research mengungkap bahwa selama tahun 1997-2003 terjadi 359 peristiwa konflik di bidang kehutanan yang melibatkan masyarakat dengan perusahaan atau pemerintah pusat atau pemerintah daerah (Wulan dkk, 2004). Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa) mencatat 384 konflik tenurial yang melibatkan sektor bisnis berbasis lahan di mana negara berhadapan dengan komunitas lokal dan adat. Angka yang lebih besar tercatat dalam laporan Oxfam Novib yang menyebutkan bahwa terdapat lebih dari 7.000 konflik berbasis lahan. Tumpang tindih klaim atas lahan akibat legislasi yang tidak terformulasi dengan jelas, pemberian izin yang tidak terkoordinasi, dan pengabaian terhadap hak-hak masyarakat adat dan masyarakat lokal dianggap sebagai pemicu terjadinya konflik (dokumen kerja Centre of Social Excellence, 30 Juli 2015). Peningkatan konflik dalam jumlah signifikan tersebut disertai intensitas konflik yang makin tinggi. Konflik yang semula dituding berlangsung secara horizontal kini melibatkan berbagai stakekolders dengan

Bab 1PENDAHULUAN

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring2

dampak kerusakan sumberdaya alam dan rusaknya tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat.

Konflik yang merebak di mana-mana mengekspresikan kerakusan, ketamakan, persaingan, perebutan, dan kekerasan antarmanusia. Orang dengan mudah menghunus senjata, berkelahi, dan menyakiti orang lain. Sebuah situasi yang bisa menggambarkan tesis Hobbes bahwa perang adalah semua melawan semua. Jika setiap orang berhak atas sesuatu maka setiap orang berhak memperoleh sesuatu itu dari orang lain (Saifuddin, 2010). Konflik penguasaan sumberdaya alam selalu berdampak buruk pada kerusakan sumberdaya alam. Ibarat berperang dalam kapal di tengah lautan, makin bergelora mengalahkan lawan dengan senjata tercanggih untuk merebut dan mengambil sumberdaya kapal makin masif terjadi proses penghancuran kapal tumpangan bersama. Para pelaku perang baru tersadar ketika mereka ikut tenggelam bersama kapal. Situasi ini mengingatkan tesis tragedy of the commons yang menggambarkan kehancuran sumberdaya milik bersama disertai kehancuran tatanan sosial kemanusiaan. Tesis tragedy of the commons meski menuai kritik namun telah memengaruhi sistem penguasaan sumberdaya alam di berbagai negara (Arifin, 1999). Penerapan budaya kontrol yang sekaligus mengandung kelemahan law-enforcement, privatisasi penguasaan sumberdaya alam, dan pembatasan hak akses masyarakat belum mampu mengatasi masalah penguasaan sumberdaya alam. Di balik pengetatan aturan main dan pembatasan hak akses atas sumberdaya alam lahir varian baru strategi, metode, dan taktik berkonflik, melakukan perlawanan, melancarkan kekerasan, dan perusakan yang mengancam keselamatan manusia dan kelestarian alam. Pengetatan aturan dan budaya kontrol memperkuat polarisasi basis penguasaan sumberdaya alam dengan argumentasi pemenuhan kebutuhan subsistensi bagi masyarakat, profit ekonomi bagi perusahaan, dan

Prudensius Maring 3

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

otoritas-kekuasaan bagi negara/pemerintah. Situasi ini ditopang berbagai cara pandang dalam memahami konflik penguasaan sumberdaya alam. Di satu sisi berkembang cara pandang bahwa faktor pertambahan jumlah penduduk versus keterbatasan sumberdaya alam merupakan pokok masalah yang melahirkan konflik perebutan sumberdaya alam. Cara pandang ini membenarkan upaya represif dan kontrol terhadap tindakan masyarakat. Pada sisi lain, berkembang cara pandang yang melihat konflik penguasaan sumberdaya yang berdampak pada kerusahan sumberdaya alam merupakan akibat dari faktor salah urus yang dijalankan pemegang otoritas dalam hal ini negara/pemerintah (Bryant and Bailey; 1997; Fairhead, 2001; Maring, 2010).

Kajian-kajian konflik penguasaan sumberdaya alam dalam banyak hal dipengaruhi kedua perspektif di atas. Kajian dengan pendekatan akademik bisa dijumpai dalam model yang secara khusus membahas konflik dan model perlawanan (resistance) sebagai isu teoritis. Selain itu, kajian-kajian konflik juga banyak dipengaruhi perspektif political ecology (Maring, 2015). Secara akademik, pendekatan analisis masalah penguasaan sumberdaya alam sering dilakukan secara partial dengan memisahkan isu konflik, perlawanan, dan kolaborasi. Secara teoritis, terjadi subordinasi terhadap kolaborasi dan konsensus, meskipun kolaborasi merupakan peristiwa yang berlangsung bersamaan dengan konflik dan perlawanan. Konflik, perlawanan, dan kolaborasi merupakan peristiwa yang kerap melibatkan orang-orang yang sama, terjadi pada tempat yang sama, berlangsung dalam kurun waktu yang sama pula, dan dalam konteks perebutan sumberdaya yang sama. Melalui analisis dengan perspektif kekuasaan, fenomena-fenomena tersebut bisa dianalisis dalam satu kesatuan (Maring, 2010a).

Dalam kerangka teoritis, kekuatan paradigma yang men-

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring4

gagungkan konflik sebagai instrumen perubahan meman-dang remeh kolaborasi. Kolaborasi dan konsensus dipandang sebagai bagian subordinat dan bentuk kontribusi terhadap konflik. Kolaborasi dan gagasan persuasif dianggap sebagai gagasan ”lemah” karena pada akhirnya kolaborasi berkontri-busi terhadap konflik (Maring, 2010). Secara teoritis konsep kolaborasi kurang mendapat tempat diskusi, padahal teori konsensus dan model integrasi memberi basis analisis yang kuat untuk membangun kerjasama dan kolaborasi. Fakta-fakta empiris sebagai bukti bahwa kolaborasi diperagakan, dijalankan, dan dipraktekkan berdampingan dengan konflik dan perlawanan, kurang mendapat analisis secara akademis (Maring, 2010). Dalam standing position demikian maka anali-sis buku ini menekankan pembahasan tentang kolaborasi, baik dalam proses konstruksi fakta-data empiris maupun dalam pembahasan teoritis-konseptual. Secara konseptual, kolaborasi dimaknai sebagai proses di mana dua orang atau lebih terlibat aktif dalam memikirkan, merencanakan, me-mutuskan, dan bekerjasama, sebagai wujud proses kreasi bersama dan saling pengertian untuk mewujudkan tujuan bersama yang dikonstruksi bersama. Dalam konteks pen-guasaan hutan, kolaborasi dimaknai sebagai proses di mana para pemangku kepentingan aktif dan sengaja mengartikula-si kepentingan, mendiskusikan perbedaan, mengkonstruksi kepentingan bersama, merumuskan tujuan dan strategi ber-sama, dan menetapkan mekanisme kontrol untuk mencapai tujuan bersama (Maring, 2010a). Pandangan lain menyatakan bahwa kolaborasi merupakan sebuah hubungan yang meli-batkan proses pembagian kekuasaan, kerja, dukungan dan atau informasi satu sama lain untuk pencapaian tujuan ber-sama dan atau manfaat satu sama lain (Kernaghan dalam Suporahardjo, 2005).

Dalam keseharian, konsep kolaborasi digunakan secara bergantian dengan beberapa konsep lain seperti kerjasama,

Prudensius Maring 5

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

gotong-royong, dan berbagi. Penggunaan konsep kolaborasi untuk menggambarkan kegiatan, aktivitas, proses, tujuan yang dilakukan bersama-sama, secara terbuka, dan berhubungan dengan kepentingan bersama. Kolaborasi digunakan secara luas oleh berbagai kalangan pada berbagai bidang baik dunia perusahaan (korporasi), seni, sektor pembangunan, dan dunia akademik. Penggunaan konsep kolaborasi dalam bidang-bidang tersebut memberi ciri yang berbeda dan khas. Terlihat, misalnya, dunia perusahaan menggambarkan kolaborasi sebagai kerjasama untuk mengelola persaingan. Dunia seni menggambarkan kolaborasi sebagai kontribusi yang dibangun untuk melahirkan suguhan seni yang sempurna. Dunia kehutanan menggambarkan kolaborasi sebagai kerjasama atau kemitraan antarstakeholders. Dunia akademik menggambarkan kolaborasi sebagai mekanisme share of power dalam interaksi hubungan sosial, atau melihat kolaborasi dalam kesepadanan makna dengan konsensus dan integrasi (Maring, 2010; Suporahardjo, 2005).

Kolaborasi lebih banyak dibahas dan diterapkan sebagai konsep manajemen. Kolaborasi diadopsi dalam strategi, pendekatan dan implementasi program pembangunan tetapi kurang diperlihatkan landasan teoritis yang mendasarinya. Banyak sektor pembangunan, termasuk kehutanan, mengadopsi konsep kolaborasi dan lebih memaknainya sebagai urusan manajemen dan teknis. Bagaimana manajemen dan teknik saling berbagi sumberdaya dan bagaimana mengatur pembagian kerja dan manajemen berbagi hasil akhir. Lebih tegasnya, kolaborasi dalam konteks implementasi program dan proyek pembangunan diarahkan pada bagaimana dan seberapa besar proporsi pembagian sumberdaya yang layak. Keterbatasan pemaknaan tersebut diperkuat dengan indikator penilaian akhir tentang kolaborasi yang berorientasi teknis dan kuantitatif. Akibatnya analisis efisiensi, efektivitas, alur input-output mewarnai analisis dan konseptualisasi

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring6

kolaborasi. Praktek kolaborasi beserta gejala dan fenomena yang menyertainya kurang dianalisis secara mendalam dalam perspektif ilmu sosial (Maring, 2010). Dalam konteks gerakan masyarakat sipil untuk mendorong pengakuan hak-hak masyarakat dalam community forestry maka kolaborasi mangalami penguatan makna. Dalam konteks community forestry, makna kolaborasi mengandung sejumlah elemen kunci, antara lain: 1) Analisis bersama terhadap situasi; 2) Negosiasi dan kesepakatan stakeholder; 3) Membangun kapasitas perubahan; 4) Kemitraan dan aliansi untuk pelaksanaan; 5) Membuat dan memelihara proses pembelajaran; 6) Membuat dan mendorong mekanisme untuk melakukan transformasi konflik (Tadjudin, 2000; Suporahardjo, 2005).

Gambaran di atas memperlihatkan bahwa urusan pembangunan kehutanan tidak bisa dilihat sekadar masalah teknis belaka. Di balik domain teknis, urusan pembangunan kehutaman bertali-temali dengan masalah sosial. Pembangunan kehutanan pasti bersentuhan dengan nilai, norma, dan pranata yang berlaku dalam masyarakat. Dalam banyak kasus, konflik yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan dan antara masyarakat dengan pemerintah terutama dipicu oleh perbedaan titik acuan tentang hukum. Masyarakat sebagai stakeholders utama yang mempunyai kepentingan langsung atas sumberdaya hutan mempunyai acuan hukum berbasis kearifan, kebiasaan, dan adat yang berlaku dalam masyarakat. Posisi ini kerap bertolak belakang dengan acuan hukum yang dibawa oleh pemerintah dan perusahaan yang lebih mengandalkan formulasi hukum berbasis legal-formal. Acuan yang terlampau kuat pada basis aturan legal-formal secara tidak lansung mengabaikan kearifan, kebiasaan, adat istiadat yang biasa dijalankan masyarakat dalam menyelesaikan berbagai masalah dalam pengelolaan sumberdaya alam. Dalam situasi demikian, proses negosiasi yang dilakukan secara terbuka untuk

Prudensius Maring 7

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

membuka peluang reformulasi dan penerapan aturan baru yang bisa diterima secara bersama oleh masyarakat dan pemerintah merupakan alternatif yang bisa dibagun bersama (lihat analisis Siradjuddin, 2013).

Berbagai upaya resolusi konflik dilakukan pada kasus-kasus konflik penguasaan sumberdaya alam. Upaya tersebut diintegrasikan dalam program pembangunan kehutanan yang menekankan pencapaian kelestarian hutan dan memberikan manfaat ekonomi untuk masyarakat di sekitar hutan. Program kolaborasi pembangunan hutan tanaman industri merupakan salah satu usaha menanggulangi degradasi sumberdaya ekologi dan memberi akses bagi masyarakat di sekitar hutan. Sebagian besar program tersebut dilaksanakan di lokasi-lokasi yang sebelumnya sudah berlangsung konflik sosial antarpihak. Sejak tahun 1980, program ini menjadi titik mulai dikembangkan program yang memberi hak kelola dan akses lebih besar bagi masyarakat sekitar hutan. Meski demikian, hasilnya belum maksimal. Pembelajaran yang dipetik dari implementasi program tersebut menunjukkan masih ada titik lemah pada beberapa hal, seperti perencanaan partisipatif, kapasitas tata kelola, kelembagaan masyarakat, kepastian hak kelola, dan instrumen kebijakan responsif.

Pembangunan hutan tanaman industri merupakan salah satu usaha menanggulangi degradasi kawasan hutan sekaligus memberi manfaat secara ekonomi bagi masyarakat di sekitarnya. Sebagian besar program hutan tanaman industri dilaksanakan di lokasi yang sebelumnya sudah berlangsung konflik sosial antarpihak. Situasi ini menyulitkan implemen-tasi program hutan tanaman industri. Terlihat, misalnya, hingga Juli 2007, keputusan perijinan untuk pengusahaan hutan tanaman industri yang telah dikeluarkan Departemen Kehutanan seluas 10,12 juta Ha baru terealisasi seluas 3,22 juta Ha atau 32%. Program kehutanan yang memberi akses

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring8

bagi masyarakat, seperti program hutan tanaman industri dan hutan kemasyarakatan telah dijalankan sejak tahun 1980-an. Meski demikian, hasilnya belum maksimal. Pembelajaran yang dipetik dari implementasi program tersebut menunjukkan masih ada titik lemah dalam hal perencanaan partisipatif, kapasitas tata kelola tanaman, kelembagaan masyarakat, kepastian hak kelola bagi masyarakat, dan instrumen kebijakan yang responsif. Keputusan Kementerian Kehutanan untuk memulai program pembangunan hutan tanaman kolaboratif pada areal konflik dengan judul “Strategy for Developing Plantation Forest: A Conflict Resolution Approach in Indonesia” memperlihatkan pengakuan bahwa pembangunan kehutanan bukan hanya sekadar urusan fisik belaka. Pembangunan kehutanan harus bersentuhan dengan masalah sosial dalam hal ini konflik. Dengan setting wilayah berbasis konflik maka dengan sendirinya menegaskan pentingnya proses fasilitasi penyelesaian konflik mendahului proses kolaborasi. Dalam makna yang lain, esensi program ini adalah transformasi konflik, yaitu program yang berusaha mendorong dan melibatkan para pihak yang berkonflik untuk melakukan proses negosiasi penyelesaian konflik. Prgogram ini merupakan sebuah upaya untuk pengarusutamaan kolaborasi di balik konflik penguasaan sumberdaya alam.

Gambaran realitas empiris di atas sejalan dengan prinsip teori-model konsensus yang menyatakan bahwa konflik dan kolaborasi adalah dua sisi realitas yang tidak bisa dipisahkan (Saifuddin, 2005). Prinsip demikian memberi inspirasi untuk: 1) Memosisikan konflik sebagai latar di mana kita terlibat dan mengambil pelajaran. 2) Memosisikan kolaborasi sebagai pendekatan menuju tujuan masa depan melalui proses transformasi konflik. Transformasi konflik dimaknai sebagai proses yang memosisikan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik aktif menempuh pembelajaran bersama dan menciptakan cara-cara kreatif dalam menyelesaikan

Prudensius Maring 9

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

konflik secara berkelanjutan (Manembu dan Alamsyah, 2006). Transformasi konflik dimaknai sebagai kesempatan menciptakan perubahan sosial yang konstruktif agar dapat mengurangi kekerasan dan meningkatkan keadilan dalam interaksi sosial atau dalam hubungan kemanusiaan. Transformasi konflik tidak sekadar mengabdi kepada teknik-teknik yang spesifik, tetapi suatu cara untuk melihat konflik secara utuh dalam relasi-relasi kemanusiaan. Pemaknaan transformasi konflik memberi ruang dan basis argumentasi untuk dibangunnya kolaborasi di balik realitas konflik sosial.

1.2. Inspirasi Konseptual: Konflik dan KolaborasiUntuk mendiskusikan inspirasi konseptual maka uraian

ini dimulai dengan mengemukakan suatu cara pandang yang dikritik banyak pihak karena memberi basis argumentasi hak penguasaan negara atas sumberdaya alam. Cara pandang ini makin dikritisi karena justru membenarkan negara untuk melakukan privatisasi pengurusan sumberdaya alam kepada perusahaan negara dan perusahaan swasta. Hutan adalah sumberdaya alam yang bersifat terbatas, memiliki sifat cepat rusak (furgitive resources) dan diperebutkan banyak pihak untuk dapat memanfaatkannya (Ostrom, 1994; Arifin, 1999). Sifat dasar sumberdaya hutan tersebut bersinergi dengan kerangka pikir Garret Hardin yang menghubungkannya dengan hasrat manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam secara tidak terkendali. Penggunaan sumberdaya milik umum secara berlebihan dan melampau daya dukung bisa mendatangkan “tragedy of the commons”.

Proses terjadinya tragedy of the commons bisa dilukiskan secara sederhana dalam analogi pemanfaatan sumberdaya berupa sebidang lahan padang rumput yang diakses secara terbuka oleh semua orang (pihak/stakeholders). Semula

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring10

seseorang akan terinspirasi menggembalakan seekor ternaknya dalam areal tersebut. Hal itu dilihat orang-orang lain yang kemudian menginspirasi mereka juga untuk menggembalakan dua ekor ternak di padang rumput tersebut. Ketika mengetahui ada orang-orang yang menggembalakan dua ekor maka orang-orang berikutnya terinspirasi menggembalakan tiga ekor ternak di padang rumput ter-sebut. Situasi itu terus berlanjut yang intinya semua orang secara bebas berlomba-lomba untuk memperbesar jumlah ternaknya hingga melampaui daya dukung padang rumput tersebut. Situasi ini yang memungkinkan terjadinya tragedy of the commons yang tidak hanya berdampak pada keringkihan dan kerusakan daya dukung fisik, tetapi juga muncul masalah sosial berupa persaingan, perebutan, dan konflik sosial.

Upaya mencegah terjadinya tragedy of the commons yaitu dengan memperketat pengaturan penguasaan sumberdaya yang diperebutkan banyak orang menjadi penguasaan bersifat privat. Implementasi pengetatan pengaturan penguasaan yaitu menerapkan dan menegakkan aturan yang bersifat mengikat dan memaksa semua pihak. Pandangan Hardin mengundang kritik banyak pihak sekitar tahun 1970-an. Meskipun menuai banyak kritik, pandangan ini telah memengaruhi regim pengaturan penguasaan sumberdaya alam di banyak tempat (Hardin dalam Arifin, 1999). Berbagai kritik terhadap pandangan Hardin terutama berhubungan dengan penyamarataan konsep sumberdaya milik bersama (common-pool resources) dengan sumberdaya alam tidak bertuan (open access). Padahal, dalam kedua koneks tersebut tesis Hardin tidak bisa diterapkan secara serampangan tanpa menyesuaikan dengan reaalitas konteks. Sistem penguasaan sumberdaya milik bersama tidak dengan serta merta memberi peluang kepada setiap orang untuk mewujudkan ambisinya masing-masing karena ada sistem yang dianut masyarakat. Kecuali dalan sumberdaya alam tidak bertuan, semua orang

Prudensius Maring 11

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

bisa berlomba-lomba memanfaatkan sumberdaya. Namun, dalam realitas sulit dijumpai sumberdaya alam tidak bertuan.

Kritik lain yang diarahkan pada pandangan Hardin adalah pemosisian jumlah penduduk sebagai faktor penentu kerusakan sumberdaya alam. Padahal, faktor jumlah penduduk ini berlaku juga pada semua jenis penguasaan lainnya, yaitu sumberdaya milik bersama, milik pribadi, dan areal tidak bertuan. Karenya, jika jumlah penduduk dipandang sebagai penyebab kerusakan sumberdaya alam, maka seharusnya yang akan mengalami kerusakan bukan saja sumberdaya alam milik bersama tetapi juga sumberdaya alam milik negara, sumberdaya alam milik pribadi dan sumberdaya alam tidak bertuan. Di sini jelas terlihat bahwa pokok masalah bukan karena pertambahan jumlah penduduk, tetapi pada penyempurnaan aturan main dan koreksi terhadap kebijakan pengawasan dan enforcement terhadap pelaksanaan aturan tersebut (Maring, 2013). Kegagalan implementasi kebijakan dan penegakan aturan main telah menimbulkan kelonggaran dan kehilangan wibawa penegakan sistem penguasaan dan pemilikan sumberdaya. Kritik terhadap pemosisian faktor jumlah penduduk juga belakangan dilancarkan aliran pemikiran political ecology yang melihat argumentasi faktor jumlah penduduk sebagai alasan bersifat a-politik (Maring, 2010; Bryant and Bailey; 1997).

Diakui banyak pihak bahwa meski mendapat kritik namun pemikiran Hardin memengaruhi konsep pemilikan dan hak penguasaan atas sumberdaya alam di Indonesia (Arifin, 1999). Banyak kritik menyatakan bahwa Negara mengambil peran ganda sebagai penguasa juga sebagai pengelola sumberdaya hutan. Hal ini tercermin dalam Udang-Undang Dasar 1945, kebijakan, peraturan dan birokrasi pengelolaan hutan di Indonesia. Dominasi pemerintah terlihat dalam

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring12

peran yang dimainkan pemerintah. Di satu sisi pemerintah menempatkan hutan sebagai milik negara dan di sisi lain pemerintah mengambil peran sebagai penguasa dan pengaturnya. Klaim tersebut menunjuk peran negara sebagai pemilik dan sekaligus sebagai penguasa atas hutan. Negara memegang otoritas sebagai pemegang hak menguasai negara atas hutan berdasarkan Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945. Selain itu negara membentuk badan usaha milik negara dan memberikan konsesi pengusahaan hutan kepada perusahaan swasta atau pemegang hak pengusahaan hutan baik hutan alam maupun hutan tanaman industri. Ironisnya, di balik pengetatan pengaturan penguasaan hutan oleh negara dan perusahaan (negara dan swasta) justru merebak perlawanan dan konflik penguasaan hutan di berbagai tempat. Rehabilitasi hutan alam yang rusak sebagian besar harus dilakukan di atas areal yang memiliki sejarah konflik yang luas dan telah berlangsung lama.

Dalam perkembangannya, awal tahun 1980-an analisis Hardin terlihat dalam varian baru perspektif kelangkaan sumberdaya (environmental scarcity) yang dalam analisisnya melihat aspek jumlah penduduk sebagai salah satu faktor penyebab kerusahan sumberdaya alam, terutama sumberdaya alam yang dapat diperbaharui. Akibat tekanan jumlah penduduk maka tekanan terhadap sumberdaya alam semakin besar yang kemudian melahirkan perebutan dan konflik sumberdaya alam. Jika Hardin kemudian mengusulkan diterapkan aturan dengan menggunakan cara paksa atau memaksa (coerce/coercion) maka perspektif kelangkaan sumberdaya membenarkan negara melakukan pengontrolan atas sumberdaya alam. Negara diperingatkan untuk memperkuat kekuasaannya atas lingkungan untuk menghadapi dan mencegah terjadinya polarisasi sosial, konflik, pemberontakan, dan perebutan kekuasaan. Sama seperti kritik terhadap Hardin, kemunculan kerangka

Prudensius Maring 13

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

analisis konflik dan kekerasan dalam perspektif kelangkaan sumberdaya mendapat kritik dari perspektif political ecology. Para penganut perspektif political ecology menyatakan bahwa maraknya konflik penguasaan sumberdaya alam bersumber dari kegagalan cara mengurus sumberdaya alam yang dijalankan oleh negara/pemerintah. Konflik justru terjadi pada wilayah di mana tersedia sumberdaya alam secara berkelimpahan. Akibat kegagalan cara mengurus dan mengatur yang seharusnya terwujud dalam kebijakan dan penegakan kebijakan maka semua pihak berlomba-lomba memperebutkan sumberdaya alam. Dalam situasi demikialah terjadi konflik. Konflik tidak terjadi karena alasan terjadi kelangkaan sumberdaya alam. Di sini jelas terlihat posisi perspektif political ecology bahwa konflik itu terjadi karena faktor kekayaan (kelimpahan) sumberdaya yang salah urus, bukan karena kelangkaan. Lebih lanjut, ditegaskan bahwa konflik dalam penguasaan sumber daya alam tidak bisa dihubungkan dengan sumberdaya alam semata, tetapi terutama karena cara-cara yang dilakukan dalam mengeksploitasi sumber daya alam (Fairhead, 2001: 214).

Pertanyaan kritisnya adalah bagaimana hubungan antara paradigma konflik dengan pola yang berkembang dalam analisis konflik sumberdaya alam? Meski tidak secara tegas terlihat sebagai sebuah garis linear, namun cara pandang terhadap konflik dari Hardin dan perspektif kelangkaan sumberdaya mengingatkan model konflik non marxian yang terpengaruh dengan kerangka pikir struktural-fungsionalisme. Model konflik non marxian melihat konflik selalu harus berada dalam kerangka sistem untuk menopang fungsi equilibrium. Konflik tidak boleh bergerak terlampau dinamis dan keluar dari sistem karena dikhawatirkan merusak sistem atau tatanan sosial yang ada. Konflik dilihat sebagai urusan antarunsur atau komponen dalam sistem, dan

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring14

negara/pemerintah menempatkan diri sebagai bagian yang ada di luar sistem dengan tugas sebagai pengontrol sistem. Model konflik non marxian memberi inspirasi upaya kontrol untuk meredam konflik agar tidak mengganggu sistem sosial. Di sini terlihat kesamaan model konflik non marxian dengan orientasi dari pemikiran Hardin dan perspektif kelangkaan sumberdaya yang membenarkan dan memberi justifikasi kepada negara/pemerintah untuk mengontrol dan meredam konflik sumberdaya alam. Urusan konflik sumberdaya alam dilihat sebagai urusan horizontal antarmasyarakat dan negara/pemerintah mengambil posisi sebagai pengontrol atas sumberdaya, sebagai pengontrol atas masyarakat, dan sebagai pengontrol atas konflik.

Perspektif political ecology melihat konflik bersumber dari kegagalan negara/pemerintah dalam menerapkan cara pengelolaan atau cara pengaturan sumberdaya alam. Negara/pemerintah gagal melahirkan kebijakan atau aturan efektif dan gagal menerapkan serta menegakkan kebijakan atau aturan tersebut. Jadi cara mengatasi konflik tidak dengan mengontrol konflik dan masyarakat, tetapi memperbaiki cara pengelolaan dan menegakkan aturan yang bersumber dari negara/pemerintah. Secara luas, perspektif political ecology membangun penjelasan degradasi sumberdaya alam dan konflik penguasaan sumberdaya alam dengan memperhitungkan: (1) Aspek politik ekonomi, termasuk di dalamnya adalah kebijakan-kebijakan distribusi sumber daya alam dan akses masyarakat. (2) Interaksi proses-proses yang berlangsung di tingkat lokal, nasional dan global. (3) Analisis kekuasaan dan kewenangan. (4) Aspek ketidakadilan dis-tribusi akses dan kontrol atas sumberdaya. (5) Hubungan-hubungan kelas, gender, ethnik dan hubungan sosial lainnya. (6) Analisis aktor untuk mengetahui legitimasi dan kewenangan masing-masing. (7) Analisis kesejarahan. (8)

Prudensius Maring 15

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Kesadaran tentang posisi politik dari para aktor, termasuk posisi sebagai peneliti (Fairhead, 2001; Peluso & Watts, 2001).

Cara pandang di atas memberi pengaruh pada pemaknaan konflik, baik dalam konteks pragmatis-praksis maupun pada kerangka analisis konflik. Perspektif Hardin dan perspektif kelangkaan sumberdaya lebih berpengaruh pada ranah pragmatis-praksis. Pengaruh itu secara langsung terlihat dalam cara-cara negara/pemerintah menghadapi masyarakat berkonflik, cara negara/pemerintah mengontrol sumberdaya alam, dan cara negara/pemerintah menyelesaikan konflik. Sumberdaya alam ada dalam kontrol negara/pemerintah, hanya negara/pemerintah yang boleh menetapkan siapa yang boleh dan siapa yang tidak boleh menguasai sumberdaya alam. Negara/pemerintah mendapat legitimasi konseptual menerapkan pengontrolan melalui cara-cara represif, mengusir masyarakat, menangkap pelaku konflik, dan memenjarakan orang yang dipandang berkontribusi terhadap konflik. Penerapan cara-cara demikian melahirkan berbagai implikasi sosial yang secara langsung berpengaruh buruk terhadap sumberdaya alam dan merusak tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat. Di tengah kompleksitas realitas baru tersebut lahirlah berbagai analisis sebagai respon sekaligus kritik yang dimotori kelompok penganut perspektif political ecology. Respon tersebut melahirkan analisis konflik disertai rekomendasi advokasi mendorong perbaikan dan perubahan tata kelola sumberdaya alam dan cara-cara penyelesaian konflik (Maring, 2015).

Meski demikian, terlihat pula kesamaan pola dari kedua cara pandang di atas yaitu melihat konflik sebagai sebuah hubungan bersifat bi-polar antara msyarakat dengan negara/pemerintah. Masyarakat berada di satu sisi dan negara/pemerintah berada pada sisi lainnya. Kedua belah pihak saling berhadap-hadapan (Malarangeng, 2000; Maring,

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring16

2010a). Negara/pemerintah berdalih bahwa tindakan-tindakan represif dan budaya kontrol yang diterapkannnya sebagai respon terhadap perilaku masyarakat. Sebaliknya, masyarakat dan kelompok pendukung berdalih bahwa tindakan yang dilakukan merupakan respon terhadap budaya kontrol yang dijalankan negara/pemerintah melalui kebijakan dan aparaturnya. Kedua pihak/kelompok saling melihat konflik yang terjadi sebagai sebuah peristiwa yang berjalan secara linear, ada aksi ada reaksi. Model ini menyulitkan upaya mendorong proses-proses kolaborasi pengurusan sumberdaya alam yang melibatkan semua stakeholders berkepentingan. Proses-proses negosiasi membangun kesepahaman berjalan alot dan memakan waktu lebih panjang dan lama.

Analisis konflik sumberdaya alam dalam banyak kasus dipengaruhi perspektif konflik marxian yang secara tegas melihat penyelesaian konflik harus dilakukan dengan pengambil-alihan sumberdaya alam. Negara/pemerintah harus membagi dan mengurangi kontrol dan kewenangannya dalam pengurusan sumberdaya alam dan menyerahkannya kepada masyarakat. Rekomendasi advokasi menegaskan skema-skema pangalihan kewenangan. Tawaran-tawaran alternatif berupa perbaikan pada sistem dan mekanisme kontrol dalam pengurusan atas sumberdaya alam dicurigai sebagai pelemahan terhadap agenda perjuangan kelompok yang kuat dipengaruhi perspektif konflik marxian. Dalam situasi demikian, gagasan-gagasan untuk membangun kerjasama dan kolaborasi antarstakeholders dalam peng-urusan sumbedaya alam dilihat sebagai bentuk isu-isu subordinat dari konflik (bandingkan pandangan Saifuddin, 2005). Awal tahun 2000-an, gagasan kehutanan multipihak untuk mendorong demokratisasi pengelolaan hutan sumberdaya alam di Indonesia diterima dengan penuh

Prudensius Maring 17

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

kewaspadaan, bahkan ada kalangan tidak mau mengadopsi pendekatan ini karena dianggap melemahkan agenda perjuangan mereka (Maring, 2010a).

Dalam konteks penguasaan sumberdaya alam, model analisis konflik seperti diuraikan di atas juga memengaruhi analisis perlawanan (resistance). Awal kemunculannya, analisis kasus-kasus perlawanan lebih banyak memberi tekanan pada kasus perlawanan yang dilakukan secara konfrontatif antara masyarakat dengan negara/pemerintah. Baru setelah tahun 1980-an, Scott (1985) mengkritik pola analisis perlawanan yang lebih banyak memberi perhatian pada perlawanan konfrontatif. Menurut Scott, dengan memberi perhatian hanya pada aksi-aksi konfrontatif berarti meremehkan dan memandang tidak berartinya bentuk perlawanan sehari-hari yang dilakukan petani sebagai bagian dari subkultur mereka. Cara demikian dikhawatirkan hanya mengindikasikan gambaran yang salah mengenai dasar perjuangan ekonomi-politik yang diprakarsai petani (Scott, 1985: 306). Scott kemudian memunculkan analisis perlawanan bernuansa kultural yang dalam analisisnya lebih memberi tekanan pada aksi-aksi terselubung yang dijalankan masyarakat, ketimbang aksi-aksi berciri konfrontatif. Kedua bentuk perlawanan tersebut muncul sebagai satu kesatuan integral tergantung kondisi yang dihadapi petani yang memengaruhi dinamika konflik penguasaan dan akses hutan. Melalui inspirasi perspektif kekuasaan Foucault, Maring (2010a; 2010b) melihat perlawanan sebagai sebuah relasi kekuasaan yang dinamis yang dijalankan oleh masyarakat dan negara/pemerintah. Dalam realitas hubungan kekuasaan bernuansa perlawanan tersedia peluang untuk mendorong kerjasama antara pihak-pihak yang terlibat. Dalam hubungan perlawanan kedua pihak tidak bermaksud menghancurkan tujuan pihak lawan, sebaliknya dalam pola hubungan konflik kedua pihak berusahan saling menghancurkan tujuan masing-

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring18

masing. Dibandingkan dengan pola hubungan konflik maka terlihat bahwa pola perlawanan lebih maju untuk didorong menuju kerjasama dan kolaborasi.

Secara konseptual, konflik sosial kerap dipandang sebagai instrumen untuk mendorong perubahan sosial. Pihak yang yakin dengan cara pandang tersebut mengandalkan cara konflik dan kekerasan untuk mewujudkan tujuan mereka dalam menguasai sumberdaya. Meski demikian, secara empiris kerangka pikir demikian mulai dibantah. Perubahan sosial tidak selalu tepat ditempuh melalui jalan konflik karena bukti-bukti kehancuran fisik dan sosial terjadi di balik konflik. Bukti-bukti demikian memperlihatkan kontradiksi karena pilihan cara mewujudkan tujuan justru mengancam tujuan yang hendak diperjuangkan. Pertanyaannya, adakah jalan lain yang lebih nyaman? Jalan lain itu ada, namanya kolaborasi. Sayangnya, kekuatan paradigma yang mengagungkan konflik sebagai instrumen perubahan kerap memandang remeh kolaborasi. Kolaborasi dan konsensus dipandang sebagai bagian subordinat dari konflik. Menghadirkan dan mendiskusikan kolaborasi dilihat sebagai gagasan bersifat subordinat karena pandangan bahwa pada akhirnya kolaborasi berkontribusi terhadap koflik (lihat pandangan kritis Saifuddin, 2005). Secara teoritis pun konsep kolaborasi dan konsensus kurang mendapat tempat diskusi. Fakta-fakta empiris sebagai bukti bahwa kolaborasi diperagakan, dijalankan, dan dipraktekkan manusia, kurang mendapat analisis secara akademis (Maring, 2010a).

Analisis konflik dan perlawanan tidak secara eksplisit memperlihatkan posisi kolaborasi. Padahal hubungan bersifat konflik dan resistensi selalu berhubungan dengan konsensus dan kolaborasi yang dibangun antarpihak yang terlibat. Perspektif teori konflik lebih menaruh minat pada perbenturan kepentingan dari pada konsensus nilai-nilai

Prudensius Maring 19

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

dan kerja sama. Konsensus nilai yang melibatkan banyak pihak dipandang sebagai ilusi yang dipertahankan oleh ideologi yang menanggulangi perbedaan-perbedaan nyata di kalangan individu dan kelompok konflik. Posisi konsensus dan kolaborasi hanya dipandang sebagai subordinat dan ditempatkan sebagai bentuk partisipasi terhadap konflik (Saifuddin, 2005: 341-342). Dalam perspektif perlawanan pun aspek kolaborasi tidak secara khusus dibahas. Meski demikian, untuk menjelaskan realitas lapangan yang selalu menghadirkan nuansa hubungan bersifat konflik, per-lawanan, dan kolaborasi antarpihak maka perlu dikemukakan kerangka pikir kolaborasi. Kajian Maring (2010a; Maring, 2010b) tentang penguasaan hutan memperlihatkan, dalam situasi konflik dan resistensi, para pihak saling mengkomunikasikan tujuan masing-masing dan melakukan negosiasi untuk melahirkan tujuan bersama. Diskursus kepentingan dan tujuan menjadi kebutuhan karena para pihak harus bisa merumuskan strategi dan taktik untuk kemenangan bersama, bukan untuk saling mengalahkan atau menundukkan. Usaha para pihak untuk membangun kolaborasi di tengah situasi konflik dan resistensi merupakan arena yang memperlihatkan bagaimana para pihak berusaha saling mengkomunikasikan kepentingan pada tahap awal sebelum kolaborasi dilakukan.

Secara konseptual, gagasan konflik yang mendekati model kolaborasi terlihat dalam konsep transformasi konflik. Gagasan transformasi konflik memutus cara pandang bersifat bi-polar dan posisi saling berhadapan dalam konflik maupun perlawanan. Gagasan transformasi konflik berusaha mendorong penyatuan tujuan bersama antarpihak-pihak yang berkonflik dan saling berlawanan. Transformasi konflik dimaknai sebagai proses yang memosisikan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik aktif menempuh pembelajaran bersama dan cara-cara kreatif dalam menyelesaikan konflik

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring20

secara berkelanjutan (Manembu dan Alamsyah, 2006). Lebih jauh transformasi konflik dimaknai sebagai kesempatan yang diberikan kepada semua pihak untuk menciptakan perubahan proses sosial yang konstruktif agar dapat mengurangi kekerasan, meningkatkan keadilan, dalam interaksi langsung dengan struktur sosial, dan merespon masalah manusia dalam hubungan kemanusiaan. Transformasi konflik tidak sekadar mengabdi kepada teknik-teknik yang spesifik penyelesaian konflik, tetapi suatu cara untuk melihat konflik secara utuh dalam relasi-relasi kemanusiaan.

Pemaknaan transformasi konflik tersebut memberi ruang untuk dibangunnya kolaborasi di balik realitas konflik sosial. Kolaborasi dimaknai sebagai alternatif jalan atau alternatif pendekatan mewujudkan tujuan perubahan secara berkelanjutan. Kolaborasi harus dikonstruksi dalam suatu tujuan bersama di mana semua pihak berkontribusi serta memberi makna dan warna yang khas agar hasil akhir gemilang dan memuaskan semua pihak. Kolaborasi tidak diposisikan sebagai sebuah paket jadi yang diusung pihak yang kuat dan pihak yang lemah berada pada posisi menjalankan atau menyetujui. Kolaborasi yang diperagakan masyarakat dan perusahaan di desa Praha Jambi adalah kolaborasi yang dibangun di atas benih pengalaman yang sudah dilaksanakan masyarakat dan perusahaan. Kolaborasi yang dijalankan mulai ditulis di atas kertas kosong oleh kedua belah pihak, kedua pihak turut menggambar kolaborasi macam apa yang mau dikonstruksi atau dibangun bersama. Inilah kolaborasi yang dikonstruksi. Kolaborasi yang dikontsruksi bersama melahirkan rasa memiliki dan tangggung jawab untuk merawatnya (Maring, 2010a). Pandangan lain melihat kolaborasi sebagai varian dari kemitraan. Kolaborasi merupakan hubungan yang melibatkan pembagian power, kerja, dukungan dan atau informasi satu sama lain untuk pencapaian tujuan bersama dan atau manfaat satu sama

Prudensius Maring 21

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

lain (Kernaghan dalam Suporahardjo, 2005). Sebagai sebuah proses, perencanaan dan pengelolaan hutan secara kolaboratif mengandung sejumlah elemen kunci yang perlu mendapat perhatian yaitu: (1) Analisis bersama terhadap situasi; (2) Negosiasi dan kesepakatan stakeholder; (3) Membangun kapasitas perubahan; (4) Kemitraan dan aliansi untuk pelaksanaan; (5) Membuat dan memelihara proses pembelajaran; dan (6) Membuat dan mendorong mekanisme untuk melakukan transformasi konflik (Worah dan Ongleo dalam Suporahardjo, 2005).

Pemaknaan kolaborasi demikian membawa konsekuensi pada transformasi pemaknaan terhadap konflik. Konflik sekalipun melahirkan perubahan namun perubahan yang dicapai tidak berkelanjutan karena tidak dikonstruksi secara bersama. Dalam perspektif kekuasaan, konflik penguasaan hutan dipandang sebagai ”hasil-dari” hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antarpihak yang berkepentingan dalam penguasaan hutan (Maring, 2010a). Hubungan kekuasaan yang tidak seimbang itu bermula dari suara masing-masing pihak yang tidak terartikulasikan, akibat komunikasi yang tidak jalan, akibat sikap keras hati untuk tetap pada posisi masing-masing, akibat ketiadaan tujuan bersama, akibat mekanisme dan metode kerja yang bertentangan, akibat mekanisme kontrol yang tidak aktif dan tertutup. Dalam proses membangun kolaborasi, masing-masing pihak tetap berusaha memenangkan agendanya dan mengalahkan agenda pihak lain melalui berbagai argumentasi berdasarkan pengalaman praktis, basis aturan hukum, dan memobilisasi dukungan pihak lain. Kolaborasi sekalipun memakan waktu dan energi, namun keseluruhan dinamika itu menggambar-kan berlangsungnya sebuah diskursus kepentingan dan tujuan bersama untuk diterjemahkan dalam strategi dan aksi di lapangan. Kolaborasi yang sengaja dikonstruksi tidak selalu tanpa konflik kepentingan, namun ia mampu

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring22

memberi ruang untuk menegosiasikan kepentingan, tujuan, dan strategi bersama. Dengan demikian, kolaborasi yang dikonstruksi bersama perlu ditempatkan dalam analisis konflik dan resistensi.

Kolaborasi kerap diadopsi dalam strategi, pendekatan dan implementasi program pembangunan tetapi gagal diperlihatkan landasan konseptual yang mendasarinya. Banyak sektor pembangunan, termasuk kehutanan, mengadopsi konsep kolaborasi dan lebih memaknainya sebatas perihal manajemen dan urusan teknis. Bagaimana manajemen dan teknik saling berbagi sumberdaya dan bagaimana mengatur pembagian kerja dan manajemen berbagi hasil akhir. Lebih tegasnya, kolaborasi dalam konteks implementasi program pembangunan diarahkan pada bagaimana dan seberapa besar proporsi pembagian sumberdaya selayaknya. Dalam urusan kehutanan, hal ini lebih jelas terlihat dalam formulasi: Berapa hektar lahan untuk pengusaha dan berapa hektar lahan untuk masyarakat? Berapa persen tanaman kehutanan dan berapa persen tanaman non kehutanan? Berapa persen bagi hasil untuk perusahaan dan berapa persen untuk masyarakat? Batasan pemaknaan tersebut diperkuat dengan indikator penilaian akhir tentang kolaborasi yang yang berorientasi teknis dan kuantitatif. Makna kolaborasi dalam pembangunan kehutanan mesti dilihat secara lebih luas, yaitu sebagai pintu masuk untuk mendorong keseimbangan hubungan kekuasaan antarpihak dan perubahan sosial secara berkelanjutan. Secara konseptual, kolaborasi dimaknai sebagai proses di mana dua orang atau lebih terlibat aktif dalam memikirkan, merencanakan, memutuskan, dan bekerjasama, sebagai wujud proses kreasi bersama dan saling pengertian untuk mewujudkan tujuan tertentu yang dikonstruksi bersama. Dalam konteks penguasaan hutan, kolaborasi dimaknai sebagai proses di mana para pemangku kepentingan aktif dan sengaja

Prudensius Maring 23

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

mengartikulasi kepentingan, mendiskusikan perbedaan, mengkonstruksi kepentingan bersama, merumuskan tujuan dan strategi bersama, dan menetapkan mekanisme kontrol untuk mencapai tujuan bersama (Maring, 2010a).

Dari aspek kerangka teoritis-konseptual, konsep kolaborasi berkaitan dengan teori-model konsensus. Teori konsensus melihat bahwa konflik dan konsensus adalah dua dimensi yang merupakan satu kesatuan yang saling tergantung satu sama lain (Durkheim dan Parsons dalam Saifuddin, 2005). Model konsensus mendiskusikan dan menyatakan bahwa: 1) Dalam sistem sosial selalu ada orang saling tertarik dan mau saling bekerjasama; 2) Dalam sistem sosial ada orang yang mau saling bergabung, menyatu, dan berintegrasi; 3) Dalam sistem sosial ada keyakinan yang dimiliki bersama dan dipraktekkan atau dijalankan secara kolektif; (4) Dalam sistem sosial terbangun kesadaran kolektif atau representasi kolektif; 5) Dalam sistem sosial ada tindakan moral (tindakan moral harus mengikuti aturan untuk memenuhi kepentingan masyarakat; tujuan tindakan moral adalah memelihara keberlanjutan masyarakat). Lebih jauh teori-model konsensus juga menyatakan bahwa: 1) Kesadaran kolektif adalah sumber solidaritas (mekanik dan organik) yang mendorong kerjasama. 2) Keyakinan bukanlah semata-mata mengintegrasikan kelompok. Yang dapat mengintegrasikan kelompok adalah keyakinan yang dimiliki bersama (representasi kolektif). 3) Semakin besar konsensus semakin kuat dan lebih banyak representasi kolektif yang terbangun maka semakin besar pula nilai preservatifnya, yaitu nilai pemeliharaan atas kolektivitas.

Teori konsensus menyatakan bahwa proses perubahan harus berlangsung dalam 4 tahap proses, yaitu proses diferensiasi, proses perbaikan adaptif, proses integrasi, dan proses generalisasi nilai (Saifuddin, 2005). Proses

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring24

diferensiasi, umumnya bersifat “menjadi-dua” (binary) yang terjadi dalam struktur, fungsi, dan peran. Dari bersifat individual menjadi kelompok, informal menjadi formal, skala domestik menjadi skala pabrik/industri, kolektivitas kerabat menjadi organisasi formal. Proses perbaikan adaptif menegaskan bahwa diferensiasi harus diikuti perbaikan bersifat adaptif dalam hal struktur, fungsi, dan peran. Tanpa perbaikan adaptif akan terjadi kekacauan, tumpang tindih, dan pengulangan struktur-fungsi-peran yang mubasir. Proses integrasi menegaskan bahwa melalui diferensiasi dan adaptasi maka lahir kebutuhan menjalankan integrasi. Harus lahir insentif baru, model baru, cara baru yang mampu menjalin, menyatukan, dan memelihara realitas struktur-fungsi-peran yang berdiferensiasi dalam proses perbaikan adaptif. Proses generalisasi nilai, menegaskan bahwa nilai yang lahir dari proses diferensiasi, adaptasi, dan integrasi dikonstruksi dan diangkat menjadi nilai dalam kolektivitas kehidupan masyarakat. Nilai tersebut dibuat menjadi lebih umum dan menjadi nilai inti yang diterima dalam kolektivitas masyarakat. Gagasan-gagasan penting yang dikemukakan teori konsensus tidak berkembang luas karena secara akademik kurang mendapat respon dan penguatan melalui kajian dan diskusi akademik.

Teori konsensus menyatakan bahwa hukum pertama dari proses konsensus adalah dipertahankannya hubungan saling melengkapi antara pengharapan ego (aku, keakuan, diri-sendiri) dengan pengharapan alter (aku yang kedua, aku yang lain, diri yang lain). Untuk mempertahankan hubungan saling bersinergi dan melengkapi maka harus dikelola dua ancaman utama, yaitu kesulitan melepaskan ego dan kemerosotan motivasi untuk terus berkembang (Saifuddin, 2005). Tantangan pertama, aktor-aktor yang terlibat dalam proses membangun konsensus harus dapat melepaskan egonya dan harus dapat mengakomodasi harapan orang lain. Setiap

Prudensius Maring 25

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

aktor harus dapat melepaskan diri dari cengkeram harapan egonya dan belajar berperan sesuai harapan orang lain atau orang banyak. Jawaban terhadap tantangan pertama adalah menjalankan “mekanisme sosialisasi” sebagai suatu proses belajar, secara berkesinambungan, dan selalu merespon, menanggapi, serta mengakomodasi perubahan dalam situasi dinamik di mana peran-peran itu dijalankan. Tantangan kedua, selalu terjadi kemerosotan atau berkurangnya motivasi untuk bersepakat. Setiap aktor yang terlibat dalam proses konsensus cenderung memanipulasi dan menyimpang dari kesepakatan atau aturan yang telah dibuat bersama. Jawaban terhadap tantangan kedua adalah menerapkan mekanisme kontrol baik melalui mekanisme kerja moral maupun mekanisme penegakan aturan secara formal dengan sanksi yang tegas. Kerangka pikir teori-model konsensus ini memberi inspirasi dalam proses membangun kolaborasi secara berkelanjutan.

1.3. Pendekatan dan Metode Penelitian Gambaran tentang kerangka konseptual di atas

memperlihatkan bahwa corak konflik penguasaan sumberdaya alam dipengaruhi perspektif dan regim penguasaan yang dijalankan. Perspektif memengaruhi regim penguasaan sumberdaya alam serta berbagai pendekatan, instrumen kebijakan, dan metode kerja di lapangan. Praktik pemanfaatan sumberdaya alam telah menimbulkan prokontra dan implikasi terhadap pola hubungan yang melibatkan masyarakat, negara/pemerintah, perusahaan, dan aktor-aktor lain seperti dunia akademis dan organisasi masyarakat sipil. Pola-pola hubungan antarpihak terlihat dalam bentuk fenomena konflik sosial, perlawanan (resistensi), dan kerjasama atau kolaborasi. Pendekatan analisis akademis sering menempatkan dan melihat fenomena-fenomena tersebut secara terpisah dan parsial. Padahal, dalam kenyataan fenomena konflik, perlawanan, dan kolaborasi

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring26

merupakan fenomena yang terjadi secara bersamaan, dalam satu kesatuan ruang dan waktu, serta melibatkan orang-orang yang sama. Analisis yang disajikan dalam buku ini mengambil posisi terpadu-integratif yaitu melihat fenomena tersebut dalam satu kesatuan dengan penekanan analisis pada aspek kolaborasi.

Berangkat dari gambaran demikian, masalah utama yang dibahas dalam buku ini adalah pengarusutamaan kolaborasi di balik setting konflik sosial. Apa implikasi teoritis-konseptual pengarusutamaan kolaborasi di balik konflik? Apa implikasi praktis pengarusutamaan kolaborasi di balik konflik penguasaan hutan? Mengacu kepada masalah utama tersebut maka analisis dalam buku ini bertujuan memberi kontribusi pada dua aras manfaat yaitu manfaat teoritis-konseptual dan manfaat praktis. Secara teoritis-konseptual, manfaat yang diperoleh adalah memberi penegasan dan penekanan analisis pada fenomena kolaborasi. Analisis kolaborasi tidak hanya dilihat sebatas urusan manajemen dalam pengurusan hutan tetapi harus dilihat sebagai fenomena yang membuka lahir-nya perubahan pemaknaan perspektif konflik, perlawanan, dan kolaborasi. Diharapkan lahir suatu cara pandang untuk menempatkan kesetaraan antara konflik, perlawanan, dan kolaborasi dalam konteks analisis. Manfaat praktis adalah memberi masukan terhadap usaha mengembangkan kolaborasi sebagai pendekatan pembangunan sumberdaya alam, terutama terhadap upaya transformasi konflik yang melibatkan semua stakeholders berkepentingan.

Sumber utama data untuk analisis berasal dari penelitian aksi partisipatif (participatory action research) tentang konflik penguasaan hutan antara masyarakat dan perusahaan yang dijalankan melalui program-proyek Strategy for Developing Plantation Forest: A Conflict Resolution Approach in Indonesia. Program-proyek ini dibiayai International

Prudensius Maring 27

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Tropical Timber Organization (ITTO) melalui Kementerian Kehutanan RI selama tahun 2009-2012. Secara teoritis-konseptual, judul program-proyek tersebut memperlihatkan landasan konseptual dan latar penelitian ini bersentuhan dengan isu-isu konflik sosial. Di balik landasan konseptual dan latar konflik, program ini hendak diarahkan untuk membangun sebuah proses kolaborasi dalam pembangunan hutan tanaman industri yang melibatkan masyarakat dan perusahaan sebagai dua stakeholders utama (primary-stakeholders), dan melibatkan pemerintah pusat dan daerah sebagai stakeholders kunci (key-stakeholders) yang berurusan dengam kebijakan, serta stakeholders sekunder (secondary-stakeholders). Masyarakat dan perusahaan terlibat dalam pola relasi bernuansa perlawanan dan konflik sebagai akibat praktek penguasaan hutan yang tidak mememenuhi harapan keadilan bagi masyarakat. Masyarakat melihat kehadiran perusahaan membuat harapan keadilan sulit terwujud. Sebaliknya, perusahaan melihat masyarakat sebagai penghambat bagi perusahaan untuk mewujudkan tujuan mendapatkan keuntungan secara ekonomi (profit). Meski demikian, pola hubungan bernuansa kerjasama terlihat dalam mekanisme community developmennt (CD) atau corporate social responsibility (CSR) yang dijalankan perusahaan. Penelitian lapangan dilaksanakan di Provinsi Jambi selama tahun 2009-2012. Tulisan ini memberi fokus pada kasus desa Praha (nama desa disamarkan). Penelitian di desa Praha mengidentifikasi sejumlah tema penting, seperti kolaborasi, konflik, dan perlawanan antara masyarakat dan perusahaan. Ada dua alasan mendasari analisis dengan penekanan pada tema kolaborasi dalam buku ini. Pertama, tema kolaborasi kurang dibahas secara akademik-ilmiah sebagaimana tema konflik dan perlawanan. Kedua, realitas empiris memperlihatkan bahwa dalam berbagai peristiwa konflik dan perlawanan yang melibatkan masyarakat, perusahaan, dan aparat pemerintah selalu terkandung benih kolaborasi. Benih kolaborasi ini

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring28

menjadi dasar membangun kerjasama antar stakeholders dalam pengelolaan sumberdaya hutan secara berkelanjutan.

Penelitian ini menginspirasi kepada pendekatan kualitatif dengan alur kerja induktif dan emik (Creswell, 2010). Pendekatan kualitatif menuntut ketajaman dan kecermatan peneliti untuk menggali dan menangkap realitas yang berlangsung di masyarakat. Dalam kajian ini, peneliti menempatkan diri sebagai instrumen yang menentukan kebutuhan data dan proses penggalian data. Peneliti membekali diri dengan pengetahuan pembanding dan pertanyaan penelitian. Seperti dikemukakan di atas, peneliti berkosenrasi mengelaborasi tiga masalah utama, yaitu mempelajari kasus konflik sosial yang melibatkan masyarakat dan perusahaan, kasus perlawanan yang melibatkan masyarakat dan perusahaan, dan mempelajari kolaborasi yang dilakukan masyarakat dan perusahaan melalui kegiatan community developmennt atau corporate social responsibility. Pertanyaan penelitian diturunkan dalam pertanyaan pemandu. Pertanyaan pemandu bersifat fleksibel, jadi pegangan awal peneliti. Saat penelitian dimulai, peneliti mencermati realitas yang berlangsung di lapangan. Dalam pelaksanaan, pertanyaan pemandu mengalami perubahan dan penajaman selama berlangsungnya penelitian. Penajaman dan perubahan itu adalah keputusan peneliti berdasarkan dinamika penggalian data di lapanga. Hal ini sejalan dengan prinsip bahwa dalam penelitian kualitatif, penelitilah yang menyandang posisi sebagai instrumen atau pengandalan instrumen ada pada peneliti. Cara ini dilakukan untuk menangkap masalah riil dalam masyarakat dan perusahaan.

Peristiwa atau kejadian yang dicermati baik yang berlangsung selama penelitian maupun yang sudah terjadi pada masa lalu. Untuk menggali pertistiwa, kejadian, atau pengalaman masyarakat dan perusahaan pada masa lalu

Prudensius Maring 29

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

diajukan pertanyaan-pertanyaan secara mendalam dan meluas. Peristiwa masa lalu dan yang sedang berlangsung dipertanyakan keterkaitannya satu sama lain. Apakah peristiwa yang terjadi saat penelitian berdiri sendiri atau berkaitan dengan kejadian sebelumnya. Alur penggalian dilakukan secara fleksibel, dari kasus yang berlangsung saat ini dihubungkan dengan peristiwa masa lalu atau sebaliknya. Pengalaman kajian ini memperlihatkan ada keterkaitan antara kasus-kasus yang berlangsung masa lalu dan masa kini, dan memengaruhi agenda pengembangan kolaborasi pembangunan hutan tanaman pada masa datang.

Kajian ini dilakukan bersamaan dengan memfasilitasi kolaborasi antara masyarakat dan perusahaan, karenanya disebut penelitian aksi partisipatif (participatory action research). Dengan alasan itu, sejak awal semua peristiwa atau kejadian, nilai-nilai dan pemaknaan yang dialami masyarakat dan perusahaan dihimpun untuk memberi landasan dalam proses fasilitasi membangun kolaborasi. Riset aksi membawa konsekuensi pada posisi peneliti. Di satu sisi, setiap usaha menggali data selalu harus dibarengi intervensi peneliti untuk memberi penekanan dan pengintegrasian nilai tertentu atas agenda kolaborasi yang akan dibangun. Dibutuhkan waktu lebih panjang untuk mendalami data. Di sisi lain, riset aksi memberi dimensi yang lebih terbuka bagi peneliti untuk mencermati realitas dalam masyarakat. Kejadian masa lalu, masa kini, dan gagasan masa depan bisa terekam secara bersamaan. Misalnya, saat peneliti mendiskusikan agenda masa depan yaitu kolaborasi, ternyata agenda itu ditolak masyarakat saat ini karena trauma masa lalu.

Pendekatan kualitatif memberi ruang yang terbuka dan fleksibel untuk menggali data melalui metode wawancara mendalam (indepth-interview) dan pengamatan terlibat (participatory observation). Pendalaman data selalu dikaitkan

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring30

dengan tema yang berhubungan dengan konflik, resistensi, dan kerjasama yang dijalankan masyarakat dan perusahaan. Pengalaman konflik dan resistensi antara masyarakat dan perusahaan digali secara progresif dengan menerapkan formulasi pertanyaan 5W+1H (What, Who, Where, When, Why, and How). Metode wawancara mendalam digunakan untuk penggalian makna dari berbagai peristiwa dan fenomena yang dialami masyarakat. Pengamatan terlibat digunakan untuk melihat langsung areal kerja perusahaan dan kebun masyarakat. Pertanyaan dimulai dari satu aspek ke aspek lain dan melihat hubungan antara satu aspek dengan aspek lain. Untuk memahami makna atas peristiwa atau kejadian yang dialami masyarakat maka dilakukan triangulasi untuk mengkonfirmasi informasi/data dari informan berbeda. Selain itu, data dan informasi yang diperoleh melalui wawancara mendalam dikonfirmasi melalui metode pengamatan terlibat. Informan sebagai sumber penggalian data adalah tokoh masyarakat, anggota masyarakat, aparatur pemerintah desa, aparatur perusahaan, dan aparat pemerintah pada instansi kehutanan (Maring, 2012).

Pengalaman penelitian ini menunjukkan bahwa proses penelitian aksi partisipatif memberi keleluasaan kepada peneliti untuk melakukan konfirmasi dan pengecekan ulang terhadap data yang telah dikumpulkan. Proses fasilitasi transformasi konflik dan membangun kolaborasi yang dilakukan secara intensif dengan semua masyarakat dan aparatur perusahaan memberi kesempatan kepada peneliti untuk memastikan akurasi dan validitas data yang telah dikumpulkan sebelumnya melalui metode wawancara mendalam dan pengamatan terlibat. Peluang tersebut bisa terwujud karena bagi peneliti kualitatif, ketika berada di lapangan maka semua kesempatan atau momentum berinteraksi adalah kesempatan menggali data. Ada waktu khusus untuk penggalian data melalui metode wawancara

Prudensius Maring 31

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

dengan informan tertentu. Namun, di luar itu, kesempatan ngobrol, diskusi, proses fasilitasi, makan bersama, melakukan perjalanan bersama, peninjauan lapangan, mendengar tanpa sengaja pembicaraan masyarakat atau aparat perusahaan, dan menyaksikan ekspresi kecewa atau gembira adalah momentum merekam data. Pengalaman kajian ini membuktikan bahwa data atau informasi tertentu yang belum tergali dalam proses wawancara bisa terungkap dalam diskusi selama proses fasilitasi. Data dan informasi yang diperoleh dari hasil wawancara mendalam dan pengamatan terlibat ditulis menjadi catatan lapangan sebagai bagian dari tahap analisis. Setiap data yang dikumpulkan dari hari ke hari dilihat hubungan dan keterkaitan satu sama lain. Melalui proses ini peneliti memastikan kebutuhan dan kecukupan data. Setelah data cukup, peneliti melakukan analisis sesuai masalah dan tujuan penelitian sebagaimana telah diuraikan di depan.

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring32

Salah satu jalur transportasi alternatif untuk keluar/masuk desa Praha.

Dok. ITTO

Prudensius Maring 33

2.1. Realitas Sosial-Ekonomi Masyarakat Bagian ini membahas kondisi masyarakat dari segi

kehidupan sosial, eknomi, dan kesiapan mereka untuk bekerjasama dengan pihak lain. Aspek kehidupan sosial menggambarkan komposisi, pola interaksi sosial, modal sosial, dan basis kepemimpinan di tingkat masyarakat. Aspek ekonomi menggambarkan sumber matapencarian, penguasaan sumberdaya, pola kerja, dan pengaruh jejaringan infrastruktur fisik-sosial. Aspek kesiapan masyarakat menggambarkan harapan masyarakat untuk melakukan perbaikan kehidupan sosial dan ekonomi melalui dukungan dan kerjasama dengan pihak luar, baik dari pemerintah maupun organisasi non pemerintah. Gambaran tentang harapan kerjasama ini tidak lepas dari pengalaman masa lalu yang dijalankan masyarakat setempat bersama pihak luar. Aspek-aspek ini dibahas secara bebas dengan memperhatikan kesalingterkaitan satu sama lain.

Penelitian aksi partisipatif (atau ada yang menyebutnya kaji tindak partisipatif) yang dibarengi proses fasilitasi penyelesaian konflik melalui pendekatan kolaborasi ini

Bab 2REALITAS SOSIAL-EKONOMI DAN

KOMPLEKSITAS KEPENTINGAN STAKEHOLDERS

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring34

dilaksanakan di desa Praha (nama desa disamarkan) dan pada areal kerja perusahaan Persero Karsa (nama perusahaan disamarkan). Desa Praha dan areal kerja Persero Karsa terletak di Kabupaten Tanjab, Provinsi Jambi. Untuk kebutuhan analisis maka nama desa, nama perusahaan, dan kabupaten telah disamarkan. Hal ini bisa diterima sesuai kebiasaan dalam metode kerja antropologi dan pertimbangan etis serta kemanfaatan bagi informan dan masyarakat yang diteliti. Apalagi kasus yang dibahas juga berkaitan dengan konflik dan perlawanan penguasaan sumberdaya alam yang bersentuhan langsung dengan aktor-aktor di lapangan. Nama-nama orang yang disebutkan dalam analisis ini disamarkan atau disingkat demi kenyamanan informan atau narasumber. Penduduk desa Praha pada tahun 2008 berjumlah 2.667 jiwa dan tahun 2010 berjumlah 2.963 jiwa. Pertambahan penduduk dalam kurun waktu dua tahun tersebut terutama disebabkan faktor mobilitas penduduk dari luar desa yang masuk ke desa Praha untuk mencari pekerjaan dan hubungan perkawinan. Faktor pertambahan penduduk karena pertambahan angka kelahiran dari dalam desa tidak terlampau tinggi (Maring, 2013).

Sejak awal masa kemerdekaan, Praha sudah berkembang menjadi kampung dan pusat pemukiman penduduk yang berasal dari wilayah tersebut dan yang datang sebagai tenaga kerja perusahaan. Sebelum tahun 1980-an, Praha masih merupakan wilayah yang sulit diakses karena jauh dari jalan raya. Warga yang memilih tinggal di Praha pada masa sebelum tahun 1980-an terutama karena alasan pekerjaan yang terkait langsung dengan kehutanan. Secara umum wilayah desa Praha dan sekitarnya sudah menjadi areal pengusahaan kayu sebelum tahun 1980-an, namun masih buruk infrastruktur fisik. Jaringan jalan belum bisa dilalui kendaraan bermotor untuk menopang kegiatan ekonomi. Bahkan, hingga pertengahan tahun 1990-an pun pusat aktivitas ekonomi di

Prudensius Maring 35

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

wilayah Tanjung Jabung masih terpusat di sepanjang jalan utama dari kota Jambi menuju Kuala Tungkal. Perkembangan ekonomi di Praha dan pola hubungan produksi mulai terjadi sejak masuknya jaringan jalan untuk mendukung aktivitas perusahaan kayu, pertambangan, dan perkebunan yang baru berlangsung pada awal tahun 1980-an. Perubahan lebih terasa saat terjadi pemekaran kabupaten Tanjung Jabung menjadi Tajung Jabung Barat dan Tanjab.

Terbukanya jalan lintas dari kota Jambi menuju Sabah sekitar tahun 1996/1997 mempercepat aktivitas ekonomi. Wilayah di sepanjang jalan utama dari Jambi menuju Sabak mengalami perkembangan cepat. Pusat pemukiman penduduk bergerak merapat ke pinggir jaringan jalan utama. Praha adalah salah satu desa yang terletak di pinggir jalan utama Jambi-Sabak, berbatasan dengan areal kerja perusahaan kehutanan, dan berdekatan dengan areal kerja pertambangan (Maring, 2009; Utama, 2009). Mobilitas sosial petani di desa Praha termasuk tinggi. Hampir tiap bulan penduduk desa Praha melalukan perjalanan ke luar desa untuk keperluan keluarga. Kondisi jalan keluar-masuk desa secara umum baik. Hal ini membuka aksesibilitas warga dari dan keluar desa. Untuk mendukung mobilitas warga tersedia angkutan umum menuju beberapa kota di sekitarnya, seperti kota Jambi, Muara Sabak, dan Kuala Tungkal. Alternatif sarana transportasi adalah angkutan sungai dengan perahu ke arah Muara Sabak di bagian hilir. Alternatif lain adalah sarana transportasi darat dengan menggunakan kendaraan bermotor roda dua dan mobil.

Praha berkembang menjadi desa dengan karakter dan dinamika yang dipengaruhi pola hubungan ekonomi-produksi berbasis sumberdaya alam, baik perkebunan, kehutanan, dan pertambangan. Karakter dan dinamika ekonomi-produksi terlihat dalam komposisi penduduk

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring36

desa Praha yang tergolong heterogen. Penduduk yang kini menghuni desa Praha berasal dari berbagai suku-bangsa, seperti Bugis, Jawa, Banjar, Melayu, Kerinci, dan Riau. Dalam jumlah kecil, terdapat penduduk yang berasal dari wilayah Nusa Tenggara, seperti suku-bangsa Flores dan Lembata. Masyarakat yang berlatar suku-bangsa Melayu teridentifikasi sebagai penduduk asli, meski sebagian dari mereka datang dari wilayah Kerinci dan sekitarnya. Secara kuantitatif, komposisi suku-bangsa Bugis adalah terbanyak dan disusul suku-bangsa Jawa, Banjar, Melayu, Kerinci, dan Riau. Meski demikian, dalam dinamika kehidupan masyarakat sehari-hari tidak tampak dominasi akibat komposisi demografis dan kesukubangsaan. Diskusi dan klaim keberadaan masyarakat desa Praha dengan basis status penduduk asli tidak jadi hal penting di wilayah itu karena umumnya ikatan dan kohesi sosial antarwarga dipengaruhi pola hubungan produksi. Terlihat, misalnya, upaya untuk membangun kelembagaan adat di tingkat desa yang berciri adat Melayu pernah dilakukan, namun secara fungsional tidak berjalan karena basis utama suku Melayu justru berkembang di luar desa Praha (Maring, 2013).

Menurut penduduk Praha, gelombang kedatangan penduduk menuju Praha terkait erat dengan dinamika kegiat-an di bidang perkebunan, kehutanan, dan pertambangan. Waktu kedatangan penduduk desa Praha yang berasal dari luar sangat bervariasi. Diperkirakan kedatangan penduduk dari luar Praha sudah berlangsung sejak masa awal kemerdekaan. Beberapa penduduk yang berasal dari Bugis dan Banjar sudah memasuki generasi ketiga, yaitu pendatang pertama yang sudah mempunyai anak dan cucu di Praha. Gelombang kedatangan terbesar terjadi sekitar awal tahun 1980-an ketika masuknya perusahaan swasta kehutanan di wilayah Praha. Alasan kedatangan bervariasi. Penduduk suku-bangsa Melayu yang masuk ke Praha terutama karena

Prudensius Maring 37

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

alasan ekspansi penguasaan sumberdaya alam dan hubungan perkawinan. Sedangkan penduduk suku-bangsa lain yang datang dari luar umumnya karena alasan menjadi tenaga kerja pada perusahaan perkebunan dan kehutanan. Namun, Praha bukanlah daerah tujuan pertama kedatangan. Sebelum masuk ke Praha, umumnya para pendatang telah berpidah-pindah tempat. Integrasi sosial antarsuku-bangsa berjalan dinamis, warga pendatang diterima sebagai tokoh masyarakat dan pamong desa (Maring, 2009; Utama, 2009). Sejak tahun 2013, Kepada Desa Praha dijabat oleh warga dari suku-bangsa Bugis. Heterogenitas penduduk desa Praha ini sejalan dengan gambaran komposisi penduduk desa-desa di provinsi Jambi yang secara umum terdiri atas suku-bangsa Melayu (37,87%), Jawa (27,64%), Kerinci (10,56%), Minangkabau (5,40%), Banjar (3,40%), Sunda (2,62%), Bugis (2,59%), dan Lainnya (9,80%).

Gambaran komposisi penduduk yang bervariasi di atas sejalan dengan karakter dan dinamika desa yang dipengaruhi pola hubungan berbasis aktivitas ekonomi-produksi. Penelitian ini memperlihatkan bahwa dinamika kehidupan masyarakat secara umum dipengaruhi oleh faktor kegiatan ekonomi-produksi. Hal tersebut terlihat pula dalam konstraksi-konstraksi sosial yang terjadi dalam kehidupan masyarakat desa Praha yang tidak bersumber dari sentimen kesukuan. Konstraksi sosial yang terjadi di tingkat desa terutama dipicu oleh intervensi program dan proyek pembangunan yang tidak partisipatif, tidak meratanya distribusi sumberdaya proyek, dan proses pembentukan kelembagaan masyarakat oleh pemerintah dan perusahaan. Kondisi demikianlah yang banyak memicu kecurigaan antarwarga, melahirkan ketidakpuasan, menimbulkan ketegangan antarmasyarakat. Penelitian ini juga mencatat bahwa ada usaha membangun kelembagaan adat untuk mengayomi heterogenitas masyarakat, namun inisiasi

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring38

tersebut masih merupakan kesadaran yang didorong oleh pihak luar (kesadaran titipan). Belum terbangun kesadaran kolektif masyarakat untuk membangun kelembagaan adat secara bersama juga berhubungan dengan lemahnya kepemimpinan.

Basis penguasaan sumberdaya alam oleh masyarakat terlihat dari struktur dan status penguasaan sumberdaya lahan. Luas wilayah desa Praha adalah 9.199,14 Ha. Luas lahan yang dikuasai penduduk desa rata-rata sekitar 1-4 Ha dengan rata-rata tiap keluarga seluas 2,2 Ha. Dibandingkan dengan struktur penguasaan lahan pertanian di Jawa, misalnya, struktur penguasaan lahan di Praha termasuk tinggi. Meski demikian, dari segi status penguasaan lahan terlihat kerapuhan untuk menopang kegiatan ekonomi rumah tangga petani secara berkelanjutan. Hampir semua lahan yang dikuasai masyarakat berada dalam areal hutan negara yang diberikan hak pengusahaan pada perusahaan (Utama, 2009). Hal ini berarti masyarakat desa Praha tidak bisa dengan leluasa mengatur, mengendalikan, dan menentukan pola pemanfaatan lahan yang dikuasainya. Perusahaan leluasa membangun relasi sosial dengan masyarakat berbekal ijin pengusahaan hutan dan kekuatan modal yang dimilikinya. Dengan mendatangkan tenaga kerja murah dari luar daerah, perusahaan mengganggu soliditas relasi sosial yang sudah terbangun antarmasyarakat. Aktivitas perusahaan pemegang ijin pengusahaan hutan sejak 1980-an membuat relasi masyarakat dan perusahaan diwarnai pola hubungan produksi dan resistensi. Pola hubungan produksi menciptakan nilai baru, struktur baru, dan relasi sosial yang mengacu pada kalkulasi kepentingan ekonomi. Relasi sosial, ketokohan, dan panutan sosial dalam kehidupan masyarakat lebih dipengaruhi oleh skala penguasaan sumberdaya, luas lahan yang dikuasai, keberanian seseorang menghadapi aparat

Prudensius Maring 39

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

perusahaan, dan luasnya pengalaman kerja di perusahaan. Perusahaan pemegang ijin muncul sebagai struktur ekonomi yang kuat di mata masyarakat (Maring, 2009; Maring, 2013)

Karakter sumberdaya hutan berhubungan erat dengan kepentingan berbagai stakeholders dengan basis argumentasi yang beragam. Masyarakat desa Praha dan Persero Karsa adalah stakeholders utama yang memiliki klaim atas sumberdaya hutan pada areal konsesi seluas 293.812 Ha. Persero Karsa adalah nama perusahaan swasta yang disamarkan, sama halnya Praha adalah nama desa yang disamarkan. Basis argumentasi penguasaan masyarakat atas sumberdaya hutan adalah kedekatan geografis dan kepentingan ekonomi rumah tangga. Sekitar 55% penduduk desa Praha bekerja sebagai petani. Kedekatan geografis melahirkan rasa memiliki dan kesadaran mengamankan sumberdaya hutan dari intervensi pihak luar. Basis argumentasi penguasaan perusahaan atas sumberdaya hutan adalah legalitas-formal dan kepentingan ekonomi skala besar (profit oriented). Sejak memperoleh ijin Menteri Kehutanan tahun 2004, perusahaan mengatur strategi merealisasikan tujuannya. Aktivitas perusahaan adalah memastikan berlangsungnya kegiatan penanaman dan penebangan kayu yang dikalkulasi untung-rugi secara ekonomi. Jadwal penanaman, penebangan, dan sistem rotasi berdasarkan daur hidup tanaman diterapkan secara ketat. Kondisi demikian, selain melahirkan pola hubungan produksi, juga memperkuat lahirnya pola hubungan perlawanan (resistensi) antara masyarakat dengan perusahaan (Maring, 2013)

Aktivitas perusahaan pemegang ijin pengusahaan hutan sejak tahun 1980-an membuat relasi masyarakat dan peru-sahaan diwarnai pola hubungan produksi. Perusahaan seb-agai pemegang ijin dan memahami kebijakan pengusahaan hutan terlihat sebagai struktur ekonomi yang kuat di mata

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring40

masyarakat. Kekuatan modal yang dimiliki membuat peru-sahaan leluasa membangun relasi sosial dengan masyarakat. Perusahaan leluasa mendatangkan tenaga kerja murah dari luar daerah, yang turut memorak-porandakan relasi sosial yang sudah terbangun antarmasyarakat. Perusahaan sukses membujuk warga pendatang untuk diupah secara murah. Ini melahirkan pro-kontra antarmasyarakat. Perusahaan hadir sebagai pengontrol dan masyarakat sebagai faktor produksi. Alasan kedekatan interaksi antara masyarakat dengan sum-berdaya alam tidak mampu membendung kekuatan ekono-mi dari luar. Ironisnya, warga yang menentang perusahaan, mencontoh perilaku perusahaan, dan berhasil menguasai sumberdaya, dipandang sebagai ancaman. Padahal, perilaku warga merupakan akumulasi respon mereka terhadap ket-impangan struktur sosial-ekonomi yang melindas mereka. Kuatnya hubungan produksi dan ketimpangan sosial-eko-nomi melahirkan warga yang tidak miliki lahan atau jadi bu-ruh di tengah kelimpahan sumberdaya alam. Mereka yang tidak menguasai sumberdaya dituding sebagai warga yang rendah etos kerja. Padahal, itu akibat tekanan dan ketimpa-ngan sosial-ekonomi. Seperti, akibat kebijakan yang tidak memberi hak dan ruang kelola bagi warga dan pendekatan yang represif. Hal ini andil melahirkan kelompok masyarakat yang tidak menguasai sumberdaya sebagai basis mewujud-kan kesejahteraan.

Gambaran di atas memperlihatkan aktivitas ekonomi dan tata kelola sumberdaya alam yang diwarnai pola hubungan produksi, kalkulasi untung-rugi, dan ketimpangan struktur sosial-ekonomi. Pertanyaannya, bagaimana fenomena sosio-kultural dalam masyarakat, terutama dinamika kelembagaan sosial, aturan main, mekanisme sosial, dan pola kepemimpi-nan dalam masyarakat? Fenomena sosio-kultural harus ditan-dai pola hubungan yang terbangun di atas nilai yang dianut bersama, rasionalitas, terintegrasi, dimiliki bersama, dinamis,

Prudensius Maring 41

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

dan dibagi bersama melalui suatu proses belajar. Ia tidak di-kuasai dan dikendalikan sepihak oleh mereka yang memiliki kekuatan sosial-ekonomi. Terlihat bahwa organisasi sosial, aturan, dan mekanisme sosial yang terbangun, baik dalam nuansa formal dan informal, tidak selalu tumbuh dari dalam masyarakat. Hal itu akibat dominannya permintaan dan ke-butuhan administratif proyek/program dari luar yang meng-haruskan pembentukan kelembagaan lokal untuk mendistri-busikan sumberdaya yang dibawa proyek/program. Proses asal bentuk lembaga memicu kecemburuan sosial, saling cu-riga, dan berkembang benih tidak saling percaya antarwar-ga. Saat ini ada usaha membangun kelembagaan adat untuk mengayomi heterogenitas masyarakat, namun kesadaran itu didorong dari luar. Belum terbangun kesadaran kolek-tif masyarakat untuk membangun kelembagaan adat secara bersama. Pro-kontra dalam membangun kelembagaan adat dan pro-kontra dalam berbagai persoalan di masyarakat bisa memperlihatkan dinamika kepemimpinan di tingkat lokal.

Gambaran kondisi sosial ekonomi masyarakat desa Praha bisa dilihat dalam aspek pendidikan, sarana dan prasarana, partisipasi masyarakat, tingkat pendapatan, dan penguasaan sumberdaya. Rata-rata tingkat pendidikan penduduk desa adalah tamat sekolah dasar. Sebagian besar petani yang bergelut dengan urusan kehutanan dan perkebunanan pun belum mengikuti pelatihan dalam bidang kehutanan atau perkebunan. Sebagian besar warga memperoleh penguatan pengetahun dan ketrampilan melalui pengalaman bekerja di perusahaan di sekitarnya. Beberapa warga desa yang pernah bekerja di perusahaan kayu di sekitar desa berkesempatan meningkatkan ketrampilan melalui pelatihan yang diselenggarakan perusahaan. Pemenuhan kebutuhan berupa bahan pangan, pakaian dan tempat tinggal tergolong rendah. Pemenuhan kebutuhan pendidikan hanya sampai tingkat sekolah dasar atau sekolah menengah pertama,

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring42

untuk melanjutkan ke jenjang sekolah lanjutan tingkat atas dirasakan sulit karena tidak tersedia biaya. Kebutuhan layanan kesehatan dan hiburan pun kurang tercukupi. Jumlah tanggungan keluarga rata-rata 4-5 orang dalam setiap rumah tangga. Dalam satu keluarga rata-rata jumlah anggota keluarga sekitar 6-7 orang. Keterlibatan secara langsung dalam kegiatan kehutanan yang dikelola Persero Karsa termasuk rendah. Sebagian besar warga belum terlibat dalam program hutan tanaman industri. Padahal, ada banyak kegiatan yang bisa dikerjakan dalam program hutan tanaman industri, seperti persiapan dan pembersihan lahan (land-clearing), pembibitan tanaman, penanaman, pemeliharaan tanaman, penebangan pohon, dan pengangkutan kayu. Kegiatan Persero Karsa umumnya melibatkan karyawan dari luar daerah setempat. Para karyawan Persero Karsa tinggal di camp perusahaan dengan jarak paling dekat sekitar 22 Km dari desa Praha (Utama, 2009; Maring, 2009).

Organisasi sosial dan kelompok di desa Praha umumnya berhubungan dengan kebutuhan pnyelenggaraan kegiatan bertani, kegiatan sosial keagamaan, kegiatan sosial kemasyarakatan, dan kegiatan yang diprakarsai pemerintah di tingka desa dan kecamatan. Organisasi untuk mendukung kegiatan sosial keagamaan dan sosial kemasyarakatan umumnya diprakarsai tokoh agama dan tokoh masyarakat. Dalam perbicangan di tingkat masyarakat, kedua kategori organisasi sosial tersebut relatif bebas dari kecurigaan dan diterima oleh masyarakat. Meski organisasi sosial kemasyarakatan yang berusaha menghimpun semua unsur suku-bangsa yang ada di desa pernah dicurigai karena ada tokoh masyarakat yang memanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Organisasi sosial atau kelompok masyarakat yang tidak luput dari perguncingan adalah kelompok yang inisiasi pembentukannya berasal dari tuntutan pemenuhan persyaratan keproyekan dari luar desa. Kelompok tersebut

Prudensius Maring 43

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

dinilai kehadirannya untuk mengamankan sumberdaya proyek sesuai keinginan pemimpin di tingkat desa, termasuk mengelola sumberdaya yang datang dari perusahaan swasta di sekitarnya.

Kelompok tani dikenal secara luas sebagai kelompok yang didirikan untuk melakukan kerjasama dan negosiasi penguasaan lahan hutan negara yang dkonsesikan kepada perusahaan. Salah satu kelompok tani di desa Praha yaitu Kelompok Tani Mulia yang beranggotakan 63 orang. Kelompok ini mulai membuka lahan hutan di sepanjang jalan raya dari arah desa Praha menuju kota Muara Sabak. Masyarakat desa Praha biasa menyebut areal/lokasi pembukaan lahan tersebut dengan sebutan Kilo-Meter 4-6. Masyarakat menguasaai lahan di sepanjang jalan tersebut pada jarak sekitar 500 dari tepi jalan raya menuju areal utama yang dikonsesikan pada Persero Karsa. Secara legal-formal, areal yang dibuka dan dikuasai kelompok tersebut merupakan areal kerja Persero Karsa. Proses pembentukan kelompok tani bermula dari keinginan sejumlah warga untuk membuka lahan secara bersama-sama pada areal yang termasuk dalam areal kerja hutan tanaman industri Persero Karsa. Kelompok ini telah memiliki ketua kelompok dan para pengurus yang dipilih secara musyawarah. Pengaturan pekerjaan pembukaan lahan, pembagian kavling lahan dan pembersihan kanal-kanal dilakukan secara gotong-royong. Setiap anggota mendapatkan sekitar 2 Ha lahan. Proses penguasaan lahan tersebut dibahas pada bagian lain.

Kepemimpinan di tingkat desa yang diakui masyarakat meliputi kepemimpinan formal, kepemimpinan informal, dan pemimpin kelompok atau organisasi sosial. Tokoh seperti kepala desa, para mantan kepala desa, tokoh masyarakat, tokoh agama, dan ketua-ketua kelompok diakui keberadaan dan perannya di tingkat masyarakat. Berbagai

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring44

informasi dari luar desa bisa dikomunikasikan kepada petani melalui Kepala Desa untuk bergulir kepada kepada ketua kelompok tani dan tokoh masyarakat lainnya sesuai kebutuhan dan konteksnya. Beberapa ketua kelompok tani memiliki pengaruh yang kuat terhadap petani anggotanya. Pengaruh tersebut terutama karena pengalaman tokoh yang pernah bekerja sebagai karyawan perusahaan atau karena ketokohannya secara informal. Partisipasi sosial masyarakat desa Praha terhadap agenda kegiatan di tingkat desa termasuk tinggi. Hal ini terlihat dari keikutsertaan masyarakat desa Praha dalam berbagai pertemuan dan kegiatan sosial di desa. Masyarakat kurang merasa aman dalam melaksanakan aktivitas pertanian dan perkebunan karena sebagian besar lahan berada di kawasan hutan. Padahal kegiatan tersebut merupakan sumber mata pencaharian utama masyarakat. Secara khusus respon masyarakat terhadap gagasan kerjasama dengan Persero Karsa pun termasuk rendah. Hal ini bisa dipahami akibat pola hubungan yang tidak terbagun secara baik pada masa sebelumnya. Meski demikian, kondisi ini bisa diimbangi dengan adanya kepercayaan masyarakat terhadap tokoh masyarakat baik formal maupun informal di tingkat desa. Hal ini mengingatkan agar intervensi program dan gagasan pengembangan masyarakat bisa ditempuh melalui pendekatan kepada tokoh masyarakat di tingkat desa (Utama, 2009; Maring, 2009).

Aspek ekonomi keluarga petani desa Praha terlihat dalam pendapatan keluarga, sumber pendapatan, penguasaan lahan, dan orientasi ekonomi. Pendapatan keluarga petani setiap bulannya berkisar antara Rp. 241.000-Rp. 3.800.000 dengan rata-rata sebesar Rp. 1.501.100/bulan. Sumber pendapatan utama sebagian besar warga berasal dari nelayan atau bekerja di pelabuhan. Sumber pendapatan lainnya berasal dari kebun tanaman perkebunan. Hanya sedikit yang mengandalkan sumber pendapatan dari bercocok tanam

Prudensius Maring 45

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

tanaman pangan. Lahan di sekitar desa merupakan lahan gambut. Lahan ini perlu beberapa perlakuan agar menjadi lahan yang sesuai untuk tanaman pertanian. Kebanyakan lahan yang mereka kelola ditanami sawit. Luas lahan yang dikelola oleh petani berkisar dari 1-4 Ha dengan rata-rata tiap keluarga seluas 2,20 Ha. Sebagian besar lahan tersebut yaitu sekitar 2,1 Ha ditanami sawit. Sebgain kecil atau 0,30 Ha lahan petani ditanami tanaman pangan. Lahan-lahan yang dikelola petani merupakan lahan gambut yang membutuhkan pengaturan tata tanaman dan pengelolaan air. Lahan yang dikelola masyarakat termasuk areal kerja Persero Karsa. Masyarakat menganggap lahan yang mereka kelola ditelantarkan oleh perusahaan. Areal tersebut dijadikan wilayah penyanggah batas antara perkampungan dengan areal utama yang dikelola perusahaan. Pada sisi lain, pihak perusahaan menilai masyarakat melakukan okupasi lahan. Perusahaan tidak pernah mempermasalahkan pemanfaatan lahan oleh masyarakat tersebut. Peruashaan hanya bertindak tegas ketika ada masyarakat yang menebang kayu di areal utama kegiatan perusahaan. Sebagian lahan yang ditanami sawit juga ditanami palawija, pinang, pisang, dan nenas (Maring, 2009; Utama, 2009).

Aspek lain yang dibahas adalah kesiapan masyarakat untuk bekerjasama dengan pihak lain, terutama dengan pemerintah dan perusahaan kehutanan yang dalam hal ini adalah Persero Karsa. Semula respon masyarakat tidak antusias terhadap kerjasama di bidang kehutanan bersama Persero Karsa. Masyarakat ingin memastikan keuntungan apa yang akan diperoleh petani dengan adanya kerjasama dengan perusahaan. Pengalaman petani yang sudah melakukan kerjasama kemitraan hutan tanaman industri (tanaman akasia) pada lahan masyarakat ternyata mendapatkan bagi hasil yang kurang memuaskan. Umumnya setelah satu daur berakhir, masyarakat tidak berminat lagi meneruskan

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring46

kerjasama. Selain itu masyarakat menilai bahwa lahan yang ditanami sawit lebih menguntungkan dari pada tanam akasia melalui skema kemitraan. Setelah memperoleh gambaran proses dan peluang kerjasama membangun hutan tanaman bersama Persero Karsa, masyarakat mulai menunjukkan kesiapan menerima tetapi dengan banyak catatan. Antara lain harus diberi kesempatan menanam sawit, tanaman kehidupan, dan tanaman jelutung sebagai jenis tanaman unggul lokal. Selain itu, masyarakat juga menyatakan menolak jika areal kerjasama tersebut diambil dari lahan yang sudah ditanami masyarakat, yaitu lahan yang sudah diklaim (persepsi masyarakat) atau sudah diokupasi oleh masyarakat (persepsi perusahaan). Sebaliknya, apabila areal kerjasama tersebut berada dalam areal kerja Persero Karsa para petani menyambut baik. Syarat lainnya, jenis-jenis tanaman hutan dan tanaman kehidupan harus dibicarakan dan diputuskan bersama masyarakat. Proporsi pembagian keuntungan juga harus dibicarakan bersama dan memberikan keuntungan yang memadai kepada para petani.

2.2. Strategi Penguasaan Lahan: Perusahaan Versus Masyarakat

Bagian ini menjelaskan secara singkat strategi penguasaan hutan yang dijalankan perusahaan dan masyarakat. Perusahaan, meski memperoleh hak penguasahaan hutan melalui SK Menteri Kehutanan namun dalam implementasinya lebih banyak menerapkan cara-cara yang persuasif dengan masyarakat. Perusahaan menghindari benturan langsung dengan masyarakat dalam mengatasi klaim dan tuntutan masyarakat. Masyarakat meskipun memiliki basis klaim yang kuat karena alasan kedekatan secara geografis dan ketergantungan atas sumberdaya hutan namun dalam menjalankan tuntutannya masyarakat menghindari benturan langsung dengan perusahaan. Strategi yang dijalankan

Prudensius Maring 47

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

oleh masyarakat dan perusahaan ini memperlihatkan pola hubungan berciri perlawanan (resistensi) di mana masing-masing pihak menghindari benturan langsung dengan pihak lain, tetapi tetap konsisten menjalankan taktik dan strategi menguasai sumberdaya hutan.

Strategi Perusahaan. Wilayah kerja Persero Karsa berada di provinsi Jambi. Persero Karsa merupakan perusahaan yang mengusahakan hutan tanaman industri yang memproduksi bahan baku untuk industri Pulp. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan tanggal 25 Nopember 1996, Persero Karsa mempunayi areal kerja definitif seluas 78.240 Ha. Kemudian berdasarkan SK Menteri Kehutanan tahun 2001, areal kerja Persero Karsa bertambah menjadi seluas + 191.130 Ha dan setelah di tata batas luas bertambah mejadi 208.655 Ha. Akhirnya melalui SK Menteri Kehutanan tanggal 10 September 2004 luas areal kerja Persero Karsa bertambah menjadi seluas 293.812 Ha. Areal kerja hutan tanaman industri Persero Karsa tersebut terletak dalam lima wilayah Kabupaten, yaitu Tanjung Jabung Barat, Tanjab, Batanghari, Muaro Jambi, dan Tebo. Areal kerja hutan tanaman industri Persero Karsa terbagi menjadi 11 unit yang kemudian dikelompokkan dalam 7 blok atau distrik. Lokasi kolaborasi pembangunan hutan tanaman industri antara masyarakat dan perusahaan berada di wilayah Kabupaten Tanjab Provinsi Jambi. Areal kerja Persero Karsa sebagian besar berupa rawa yang bisa terendam terendam secara permanen. Untuk mengatasi masalah tersebut maka dibangun saluran drainase berupa kanal-kanal untuk menurunkan muka air tanah. Tanaman pokok yaitu akasia dengan jarak tanam 3 x 2,5 meter (1.300 btg/Ha) dengan daur tanaman 6 tahun.

Areal kerja Persero Karsa terletak pada ketinggian 3-200 meter dari permukaan laut (dpl). Berdasarkan Rencana Kerja Persero Karsa tahun 2003, tercatat daerah rawa dengan

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring48

ketinggian 3-6 meter dpl menempati luasan terbesar yaitu 186.032 Ha (89,16%) dari luas total 208.655 Ha. Daerah rawa dicirikan dengan cembungan gambut (peat dome) yang tebal dan warna air yang gelap (coklat s/d hitam) serta bersifat masam (pH rendah). Jenis tanah di areal kerja Persero Karsa terdiri dari 7 jenis tanah yaitu: Organosol, Gleisol, Aluvial, Kambisol, Spodosol, Oksisol, dan Podsolik. Berdasarkan klasifikasi tipe iklim Schmidt dan Ferguson, areal Persero Karsa termasuk tipe iklim A (sangat basah), dengan nilai Q diatas 10% kurang dari 14%. Dari hasil pengamatan stasiun cuaca Persero Karsa antara tahun 2001-2002 diperoleh data hujan tahunan sebesar 2.083 s/d 2.353 mm/tahun. Hujan bulanan terjadi antara 3 sampai 18 hari hujan, dengan hari hujan total tahunan antara 64 s/d 122 hari. Musim kering pendek tetapi dengan curah hujan yang tinggi, sehingga membuat tanah cukup basah sepanjang tahun. Suhu udara rata-rata bulanan berkisar antara 25,8-27,0 º, dengan rata-rata tahunan sebesar 26,4 º. Adapun suhu maksimum dan suhu minimumnya masing-masing berkisar antara 30,6- 33,0 ºC dan antara 21,5-22,7 ºC. Kelembapan udara (relatif) bulanan berkisar antara 82-87%, dengan rata-rata tahunan sebesar 85%. Adapun kelembapan maksimum dan kelembapan minimum bulanan masing-masing antara 95-97% dan antara 57-67%, dengan nilai rata-rata tahunan masing-masing sebesar 96% dan 63% (Arifin, 2009; Utama, 2009).

Persero Karsa bukanlah perusahaan pertama yang dikenal masyarakat. Masyarakat menyebut beberapa perusahaan sebagai pemegang hak pengusahaan hutan alam yang pernah beroperasi di sekitar Praha seperti Kamihaka dan Lamatto. Pola hubungan antara perusahaan dengan masyarakat yang dijalankan pemegang hak pengusahaan hutan alam dan Persero Karsa tidak banyak beda. Pada tahap awal perusahaan mendekati masyarakat di sekitar dan merekrut mereka menjadi petugas keamanan. Menurut

Prudensius Maring 49

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

warga, pola ini dijalankan Persero Karsa pada saat awal beroperasi di Praha. Beberapa warga yang berpengaruh dilibatkan sebagai tenaga keamanan (security). Mereka hanya sebatas mendapat jatah sebagai tenaga keamanan. Pada tahun-tahun pertama aktivitas perusahaan, sekitar 10 orang warga setempat dilibatkan sebagai tenaga keamanan. Persyaratannya adalah mereka harus siap melawan warga yang mengganggu aktivitas perusahaan. Untuk kegiatan operasional di lapangan, perusahaan mendatangkan tenaga dari luar karena upah lebih murah. Pola perekrutan tenaga kerja yang dijalankan perusahaan selalu berhubungan dengan usaha melindungi tujuan menanam dan memanen kayu demi tercapai keuntungan secara ekonomi.

Persero Karsa adalah pemegang ijin untuk melakukan penanaman dan penebangan kayu pada kawasan hutan negara. Namun, upaya perusahaan memelihara pencapaian tujuannya selalu bersinggungan dengan kepentingan masyarakat. Pihak perusahaan harus mengeluarkan biaya untuk melindungi tanaman akasia dan lahan hutan yang dikuasainya karena selalu ada usaha warga untuk melakukan penebangan dan menggarap lahan yang dikuasai perusahaan. Pada sisi lain, warga harus terus bersuara keras untuk mencegah perilaku perusahaan yang semena-mena yang menyebabkan jalan umum sering mengalami kerusakan, rumah mereka terguncang akibat truk pengangkut kayu, dan debu jalan menyelimuti rumah warga. Bahkan, tahun 2006, saat ada warga yang ditangkap polisi dan dipenjara karena menebang akasia di lahan yang dikuasai perusahaan, warga melakukan demonstrasi untuk menentang keangkuhan perusahaan. Berbagai cara dilakukan perusahaan untuk memelihara hubungan dengan masyarakat. Pola pendekatan perusahaan terhadap masyarakat bersifat formalitas dan mengikuti mekanisme struktur administratif. Pola ini di satu sisi membuat perusahaan mencatat besarnya kontribusi

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring50

yang diberikan kepada masyarakat. Namun, di sisi lain masyarakat melihatnya sebagai pola yang tidak menyentuh langsung pada masyarakat. Bantuan-bantuan yang diberikan perusahaan melalui pemerintah desa dan kecamatan menguap di tengah jalan. Di sisi lain, masyarakat memahami kehadiran perusahaan sebagai pengganggu terhadap aktivitas dan interaksi mereka dengan hutan.

Praktik yang dijalankan perusahaan menyerupai model perlawanan (resistance). Perusahaan berusaha meredam klaim dan gangguan masyarakat melalui cara melibatkan mereka sebagai tenaga security, meneteskan bantuan, membangun parit pemisah, menarik ulur agenda dengan masyarakat, mengganti-ganti petugas, dan membiarkan areal yang berbatasan langsung dengan masyarakat menjadi tidak ”terkelola”. Di sisi lain, masyarakat berusaha menghadang aktivitas perusahaan dengan cara menghalangi truk pengangkut kayu, menebang pohon di wilayah konsesi secara sembunyi-sembunyi, membuka lahan di areal konsesi, dan menanami lahan dengan kelapa sawit, pinang, dan nenas. Pola demikian memperlihatkan masing-masing pihak mengambil posisi mewujudkan tujuannya. Koflik terbuka jarang terjadi, kecuali jika salah satu pihak sangat meng-ganggu atau menghentikan pihak lain dalam mewujudkan tujuannya. Seperti terlihat dalam aksi demonstrasi warga tahun 2006 akibat ada warga yang ditangkap dan ditahan polisi karena menebang pohon di areal konsesi perusahaan. Model resistensi berfokus pada pencapaian tujuan masing-masing, tidak peduli dengan tujuan pihak lain. Model resistensi mengesankan berlangsungnya kolaborasi di antara pihak-pihak terkait. Tetapi sesungguhnya itu adalah kolaborasi tanpa dilandasi tujuan bersama.

Strategi Masyarakat. Strategi perlawanan masyarakat terlihat dalam proses kolektif yang dijalankan masyarakat

Prudensius Maring 51

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

untuk menguasai lahan konsesi perusahaan. Masyarakat membuka lahan hutan pada areal konsesi, menanami lahan dengan tanaman bernilai ekonomi-pasar, memelihara tanaman, dan memanennya. Masyarakat membentuk kelompok kecil, saling memotivasi, dan membangun strategi dan taktik berkomunikasi dengan perusahaan dan pemerintah desa/kecamatan. Awalnya, kelompok masyarakat tersebut berjalan secara anonim namun mengalami perkembangan lebih lanjut hingga terbentuk struktur kelompok formal. Dalam proses tersebut, berkembang pula benih kepemimpinan dalam kelompok, terjadi proses saling berbagi pengalaman, merancang dan melakukan tindakan bersama. Keseluruhan prakarsa tersebut merupakan respon masyarakat terhadap strategi perusahaan dalam penguasaan sumberdaya hutan sebagaimana diuraikan berikut ini (lihat Maring, 2013; Maring, 2009).

Tahun 2004, 2 orang warga (Ss dan Bs) memprakarsai rencana pembukaan lahan di areal konsesi perusahaan. Mereka mencari lahan di areal konsesi perusahaan untuk digarap. Warga biasa menebang kayu dengan gergaji mesin di hutan mengetahui areal konsesi yang potensial untuk dijadikan kebun. Umumnya areal tersebut adalah lahan bekas tebangan kayu oleh perusahaan yang tidak ditanami akasia. Mereka membuktikan informasi awal tersebut dengan melakukan pengecekan lapangan. Beberapa warga yang pernah bekerja di Persero Karsa memastikan adanya lahan kosong yang tidak ditanami perusahaan. Setelah mengetahui ada lahan cukup luas, para inisiator mengumpulkan warga yang membutuhkan lahan. Untuk tahap awal berkumpul 12 orang. Secara informal, niat warga untuk membuka lahan tersebut dilaporkan ke kepala desa dan camat. Kepala desa dan camat memberi restu kepada warga dengan menyatakan: ”Jika ada kebutuhan silahkan garap lahan di kawasan hutan, asal tidak memperjual-belikan lahan tersebut. Jika masyarakat mau bekerja

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring52

maka perlu didukung, dari pada jadi maling”. Prinsip yang dianut kepala desa dan camat sejalan dengan prinsip warga. Dukungan informal tersebut menguatkan tekad warga untuk membuka lahan bekas tebangan kayu di areal perusahaan.

Sebelum membuka lahan, warga membuat rencana bersama. Dihasilkan kesepakatan bahwa meski memulai bersama-sama namun jika suatu saat ada masalah dengan perusahaan maka tidak boleh melibatkan anggota lainnya, tiap orang menghadapinya sendiri-sendiri. Tiap orang harus siap menghadapi resiko. Kesepakatan ini dimaksudkan agar warga yang bermasalah tidak menghambat agenda kolektif yang dijalankan anggota lainnya. Setelah kesepakatan awal, mereka mulai buka lahan hutan. Proses buka lahan dilakukan bertahap. Dalam seminggu ada yang hanya sekali bekerja membuka lahan karena aktivitas lain tetap dijalankan. Untuk menghindari kesan kerja berkelompok dan membuka lahan dalam jumlah luas maka aktivitas membuka lahan tidak dilakukan serentak. Ada warga yang mulai membuka lahan sejak tahun 2004 dan sebagian mulai tahun berikutnya. Hingga tahun 2007, warga yang bergabung dalam pembukaan lahan di areal kerja perusahaan mencapai 45 orang.

Setelah 3 tahun membuka lahan dan menanam di areal perusahaan, warga mulai menginisiasi pembentukan kelompok. Akhir tahun 2007 dilakukan musyawarah pemilihan pengurus kelompok. Para perintis pembukaan lahan terpilih menjadi ketua dan sekretaris kelompok. Jumlah anggota kelompok sebanyak 45 orang. Dalam bentuk sederhana, mereka membuat berita acara pembentukan kelompok dan rancangan aturan kelompok berupa tugas pengurus, hak dan kewajiban anggota kelompok. Kepengurusan kelompok dilaporkan ke pemerintah desa dan penyuluh pertanian tingkat desa dan kecamatan. Tahun 2008, anggota bertambah 15 orang sehingga jumlah keseluruhan

Prudensius Maring 53

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

60 orang. Luas lahan yang digarap sekitar 109 Ha. Inisiatif warga membuka lahan perusahaan tidak hanya dilakukan kelompok tersebut di atas. Pada waktu bersamaan, ada 2 kelompok lain di desa Praha juga merintis pembukaan lahan hutan pada areal perusahaan, yaitu kelompok yang diinisiasi Um dkk dengan luas sekitar 25 Ha dengan anggota 10 orang dan kelompok yang diinisiasi Zn dkk dengan luas sekitar 25,5 Ha dengan anggota 11 orang. Semua lahan yang dibuka warga ada dalam areal konsesi perusahaan. Lokasi tersebut tidak jauh dari jaringan jalan utama dari Jambi menuju Muara Sabah. Dalam pandangan masyarakat, lahan yang dibuka tersebut merupakan lahan yang sengaja tidak dikelola perusahaan. Masyarakat menyatakan bahwa pembiaran lahan-lahan tersebut oleh perusahaan bertujuan memisahkan pemukiman masyarakat dengan tanaman akasia yang ditanam perusahaan. Namun, menurut perusahaan, lahan yang dibuka warga tersebut ada dalam areal konservasi yang dilindungi perusahaan.

Hal penting dari peristiwa ini adalah aktivitas warga dalam membuka lahan tersebut diketahui aparat perusahaan. Warga menyampaikan niat membuka lahan konsesi tersebut kepada aparat perusahaan. Aparat perusahaan hanya menyatakan: ”Pembukaan lahan di areal konsesi perusahaan tidak boleh dilakukan. Suatu waktu lahan tersebut akan digarap oleh perusahaan.” Tidak ada tindakan perusahaan untuk menghentikan kegiatan warga. Aparat perusahaan menyerahkan urusan ini kepada pemerintah desa dan kecamatan. Sikap lunak aparat perusahaan merupakan hal yang tidak biasa. Sikap lunak itu karena lahan-lahan tersebut masuk dalam kategori lahan yang dengan sengaja dibiarkan (tidak diolah) perusahaan. Pembiaran lahan tersebut bertujuan membuat jarak pemisah antara pemukiman masyarakat dengan tanaman milik perusahaan. Terlihat di sini, pembiaran lahan untuk menciptakan jarak pemisah tersebut merupakan

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring54

strategi perusahaan untuk mengamankan tanaman peru-sahaan. Masyarakat tidak peduli dengan strategi yang dijalankan perusahaan. Masyarakat terus memastikan klaim mereka dengan menanam nenas, pinang, dan kelapa sawit di atas lahan-lahan tersebut. Di atas kebun tersebut dibangun pondok sebagai tempat peneduh dan kontrol. Pondok kontrol ini merupakan salah satu strategi memperkuat klaim masyarakat atas lahan dan kebun.

Pola perlawanan tidak hanya berlangsung dalam penguasaan lahan. Saat melakukan protes kepada perusahaan karena lalulintas kendaraan perusahaan yang merusak jalan dan menyebabkan debu menyelimuti rumah warga, masyakat menempuh aksi pemblokiran jalan. Cara demikian berakhir ketika perusahaan melakukan perbaikan jalan dan secara rutin menyirami jalan yang dilewati kendaraan perusahaan. Aksi-aksi penebangan kayu di areal konsesi pun dilakukan warga melalui cara diam-diam dan tersembunyi. Saat membuka lahan di areal konsesi perusahaan pun, masyarakat memilih lahan-lahan yang tidak dikelola perusahaan. Lahan-lahan yang sedang digarap perusahaan dihindari masyarakat karena mereka menyadari akan ditentang perusahaan. Pilihan metode atau cara melakukan aksi oleh masyarakat tersebut memperlihatkan karakter dan ciri perlawanan. Selama masa reformasi yang merebak konflik sosial, konflik terbuka antara masyarakat desa Praha dengan perusahaan jarang terjadi. Kecuali pada tahun 2006 terjadi demonstrasi masyarakat menuntut pembebasan warga Praha yang ditangkap polisi karena menebang pohon di areal konsesi perusahaan. Padahal, di luar desa Praha sering terjadi aksi-aksi konfrontatif dan terbuka oleh masyarakat untuk menduduki dan menguasai areal konsesi perusahaan. Tokoh masyarakat memperingatkan warga yang tertarik dengan pola tuntutan bersifat konfrontatif agar bergabung dengan gerakan masyarakat di wilayah lain di luar desa Praha.

Masyarakat tidak berhenti setelah membentuk ke-

Prudensius Maring 55

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

lompok dan menanami lahan. Akhir tahun 2009, muncul proyek kolaborasi pembangunan hutan tanaman industri antara masyarakat dengan perusahaan yang difasilitasi Kementerian Kehutanan RI. Merespon kehadiran proyek kolaborasi tersebut, tiga kelompok masyarakat tersebut di atas mengintegrasikan diri dalam proyek tersebut. Tiga kelompok yang telah diinisiasi oleh masyarakat Praha melebur menjadi kelompok Harapan Mulya Lestari (HML). Kelompok HML memiliki struktur pengurus baru meliputi: Ketua I, Ketua II, Sekretaris I, Sekretaris II, Bendahara, dengan tiga koordinator blok kerja. Sub struktur koordinator blok kerja dimunculkan sebagai akomodasi terhadap eksistensi tiga kelompok masyarakat terdahulu yang melebur dalam kelompok HML. Kehadiran proyek kolaborasi hutan tanaman yang difasilitasi Kementerian Kehutanan RI dimaknai masyarakat sebagai proses legalisasi atas pola penguasaan hutan berciri per-lawanan yang dijalankan sebelumnya. Melalui fasilitasi pihak ketiga, masyarakat dan perusahaan membangun kesepakatan secara legal-formal untuk menjamin pencapaian tujuan kedua pihak. Poin penting yang dilegalisasi kedua pihak dan disaksikan pihak-pihak berkepentingan meliputi, kesepakatan untuk: (1) Membangun kerjasama antara masyarakat dan perusahaan yang mengarah pada kemitraan untuk memelihara fungsi kawasan hutan negara. (2) Memelihara kawasan hutan negara agar fungsi lindung (ekologis), ekonomi (produksi), dan fungsi sosial tetap terjaga. (3) Membangun kehidupan bersama secara harmonis antara masyarakat dan perusahaan. (4) Membangun percontohan pendekatan resolusi konflik sosial.

2.3. Kompleksitas Kepentingan Masyarakat dan Perusahaan

Pola hubungan sosial antara masyarakat desa Praha dengan perusahaan (Persero Karsa) menyerupai model konflik

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring56

dan perlawanan (resistensi). Secara umum para praktisi baik masyarakat, perusahaan, pemerintah, dan lembaga swadaya masyarakat yang peduli pada masalah ini memahami pola hubungan tersebut sebagai pola hubungan konflik. Cara pandang demikian mendorong kementerian kehutanan menetapkan masyarakat desa Praha dan Per-sero Karsa sebagai lokasi pembangunnan hutan tanaman kolaborasi. Padahal, jika dicermati secara mendalam terlihat bahwa pola hubungan yang terjadi antara masyarakat dengan perusahaan lebih kuat memperlihatkan pola hubungan bersifat perlawanan atau resistensi. Pola resistensi memperlihatkan masing-masing pihak, baik masyarakat maupun perusahaan, berfokus pada pencapaian tujuan masing-masing (Maring, 2010). Perusahaan meredam klaim dan gangguan masyarakat melalui cara melibatkan mereka sebagai tenaga security, memberi bantuan, menarik ulur agenda dalam proses negosiasi membangun kesepakatan, dan membiarkan sebagian areal kerja di zona perbatasan menjadi tidak ”terkelola” agar tercipta jarak pemisah antara masyarakat dengan areal utama perusahaan. Masyarakat menghadang aktivitas perusahaan dengan cara menghalangi lalu-lintas truk, menebang pohon di areal konsesi secara sembunyi-sembunyi, membuka areal tidak terkelola, serta menanam sawit, nenas, dan pinang. Sepintas, model resis-tensi ini mengesankan berlangsungnya kolaborasi yang tanpa dilandasi tujuan bersama. Pola hubungan bersifat koflik jarang terjadi, kecuali salah satu pihak mengganggu pihak lain dalam mewujudkan tujuannya. Seperti aksi demonstrasi warga akibat ada anggota masyarakat/warga yang ditangkap dan ditahan polisi karena menebang pohon di areal konsesi Persero Karsa.

Untuk memperoleh gambaran dinamika pola hubungan yang terjadi, perlu dikemukakan stakeholders yang berkepentingan dan bagaimana mereka berusaha

Prudensius Maring 57

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

mewujudkan kepentingannya. Berbagai pihak berusaha menguasainya melalui cara memberi perhatian, mengontrol, mengurus, meneliti, memanfaatkan, dan memeliharanya. Dari pengalaman pengurusan sumberdaya ekologi, stakeholders dalam pengurusan sumberdaya hutan meliputi masyarakat lokal (primary stakeholders), perusahaan (primary sakeholders), pemerintah pusat dan pemerintah daerah (key stakeholders), peneliti/akademisi dan organisasi masyarakat sipil (secondary stakeholders). Kepentingan stakeholder dalam penguasaan sumberdaya ekologi berhubungan dengan mandat institusional, kedekatan geografis, histori penguasaan, sumber mata pencaharian, kepentingan ekonomi, dan kapasitas stakeholders (lihat “Analisis dan Pemetaan Stakeholders dalam Penguasaan Hutan”, Maring, 2013a). Kepentingan stakeholder dalam penguasaan dan akses hutan biasanya terkait dengan mandat institusional, kedekatan geografis, asosiasi sejarah, ketergantungan pada mata pencaharian, kepentingan ekonomi dan berbagai kapasitas dan kepentingan lainnya. Ragam kepentingan stakeholder atas sumberdaya hutan membawa implikasi pada ketertarikannya untuk melakukan pelestarian sum-berdaya hutan. Perbedaan kepentingan dan ketertarikan dalam melakukan upaya pelestarian sumberdaya hutan memengaruhi dinamika hubungan antarstakeholder. Konflik penguasaan hutan sering terjadi karena masing-masing pihak berdiri pada posisi kepentingannya sambil memberikan penilaian dan memaksa pihak lain untuk mengikuti dan tunduk kepadanya.

Untuk memahami hambatan dan benih kolaborasi di balik pola hubungan perlawanan dan konflik, bagian ini berusaha menguraikan: (1) Bagaimana masyarakat dan perusahaan berdiri pada posisi masing-masing dan melancarkan penilaian pada pihak lain. Dengan mengambil posisi dan mendefinisikan kepentingannya secara sepihak atas

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring58

sumberdaya hutan maka lahirlah penilaian bersfat sepihak yang menghambat kolaborasi antara masyarakat dan perusahaan. Meski demikian, dalam setting pola hubungan yang secara kuat memperlihatkan model perlawanan/resistensi maka meski kedua pihak tetap bertahan pada posisi dan penilaian masing-masing namun selalu ada peluang untuk mendorong kerjasama dan kolaborasi antara kedua pihak. Situasi demikian selalu mengandung benih-benih kerjasama dan kolaborasi meskipun tidak dilandasi proses konstruksi tujuan bersama. Dengan pertimbangan demikian maka pada bagian akhir sub bagian ini dikemukakan pula benih-benih kolaborasi yang tumbuh dari dalam, yang diperagakan kedua pihak sebagai dasar mendorong lahirnya kolaborasi yang ”dibangun bersama”. Bahasan ini difokuskan pada dua pihak yang berinteraksi langsung dalam pembangunan hutan tanaman kolaboratif, yaitu masyarakat dan perusahaan.

Kepentingan Masyarakat dan PerusahaanKepentingan masyarakat selalu berhubungan dengan

mandat institusional, kedekatan geografis, asosiasi sejarah, ketergantungan pada mata pencaharian, kepentingan ekonomi dan berbagai jenis kapasitas dan kepentingan lainnya. Konstruksi kepentingan demikian turut membentuk strategi dan cara-cara penguasaan dan pemanfaatan atas sumberdaya hutan. Dalam kasus penguasaan sumbedaya hutan, tidak selalu semua faktor tersebut terjadi dan berpengaruh. Untuk kasus yang melibatkan masyarakat desa Praha dan perusahaan, terlihat bahwa kepentingan masyarakat atas sumberdaya hutan berhubungan dengan kedekatan geografis, sumber mata pencaharian, dan kepentingan ekonomi. Karenanya, startegi dan metode penguasaan sumberdaya hutan yang bersifat kontradiksi yang dijalankan pihak luar yang memengaruhi kepentingan masyarakat Praha bisa melahirkan resistensi dan konflik. Dengan berbagai strategi

Prudensius Maring 59

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

dan metode, masyarakat selalu berusaha memperkuat klaim mereka atas hutan.

Pertama, kedekatan geografis. Secara geografis, masyarakat desa Praha tinggal berdekatan dan berbatasan langsung dengan kawasan hutan produksi yang diberikan ijin pengusahaan kepada Persero Karsa. Kedekatan secara geografis ini membawa berbagai implikasi pada cara masyarakat mendefisikan kepentingannya atas sumberdaya hutan dan cara mereka menguasai sumberdaya hutan. Di satu sisi, masyarakat memandang mereka memiliki hubungan dan interaksi yang kuat dengan sumberdaya di sekitarnya. Hutan dan lahan hutan adalah sumberdaya terdekat yang bisa memenuhi kepentingan masyarakat. Dalam situasi ini masyarakat memosisikan diri sebagai penguasa riil atas sumberdaya hutan. Menjadi penguasaan riil bermakna bahwa lahan dan hutan tersebut harus bisa dikuasai dan dimanfaatkan dengan cara menanam, memelihara, mengontrol, dan memanen hasilnya. Strategi ini harus dijalankan sekalipun lahan dan hutan tersebut secara legal-formal berada di bawah hak penguasaan dan pengelolaan oleh Persero Karsa. Sekalipun kawasan hutan negara, pemaknaan kedekatan geografis tersebut menggerakkan masyarakat dan membuat masyarakat permisif untuk menebang pohon, membuka hutan, menanami lahan, dan membangun pondok untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Pada sisi lain, alasan kedekatan secara geografis melahirkan sikap posesif atas sumberdaya hutan. Sikap ini melahirkan keingingan untuk memproteksi, mengamankan, dan melindungi sumberdaya hutan dari intervensi pihak lain. Sikap posesif dan protektif ini bekerja dalam alam pikir masyarakat. Sejak masa reformasi hingga penelitian ini dilakukan, gerakan masyarakat melalui dukungan organisasi masyarakat sipil memperkuat strategi dan

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring60

metode negosiasi dengan perusahaan. Masyarakat melalui dukungan organisasi masyarakat sipil melakukan okupasi atau pendudukan atas lahan perusahaan dan melakukan penanaman. Situasi ini terjadi di banyak tempat, termasuk di provinsi Jambi sehingga sulit mengontrol faktor kedekatan secara geografis. Masyarakat dari suatu wilayah yang jauh bisa saja menduduki dan menguasai lahan hutan konsesi perusahaan yang berlokasi jauh dari wilayah pemukiman mereka. Meski demikian, di tingkat masyarakat desa Praha berkembang pemikiran untuk mengamankan lokasi-lokasi dari euforia gerakan okupasi atau pendudukan lahan, menguasai, dan menanami lahan yang dilakukan oleh orang dari luar desa. Beberapa warga yang tertarik dengan gerakakan tersebut dihimbau untuk keluar dari desa dan bergabung ke wilayah gerakan di luar desa. Untuk kasus Praha, ekspresi kedekatan secara geografis kurang memperoleh penguatan dari legitimasi berbasis alasan historis dan kultural yang menguatkan posisi masyarakat sebagai pewaris atas sumberdaya hutan. Kasus Praha, di mana penduduk bersifat heterogen dan sebagian besar teridentifikasi sebagai pendatang, membuat mereka lemah dalam menjalankan klaim ikatan historis dan kultural.

Meski demikian, ketiadaan ikatan historis dan kultural justru menguatkan penolakan masyarakat terhadap kehadiran perusahaan. Masyarakat berpandangan bahwa kehadiran perusahaan justru mengecilkan makna kedekatan geografis yang mereka miliki. Dalam pandangan masyarakat, perusahaan yang beroperasi di wilayah mereka pun tidak memiliki basis klaim historis dan kultural. Menurut masyarakat, alasan kedekatan geografis seharusnya menjadi nilai tambah bagi masyarakat untuk dilibatkan dalam pengusahaan hutan. Perusahaan perlu memperhatikan aspek kedekatan geografis dalam pengelolaan perusahaan. Masyarakat sekitar areal konsesi harusnya jadi sumber utama pemenuhan tenaga

Prudensius Maring 61

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

kerja perusahaan. Namun, kebijakan perekrutan tenaga kerja tidak lepas dari taktik pengamankan aktivitas perusahaan. Warga di sekitar, mendapat kehormatan untuk direkrut sebagai petugas security dengan pertimbangan mereka bisa mengamankan aktivitas perusahaan. Mereka kenal siapa berpotensi mengganggu aktivitas perusahaan, dengan alasan itu mereka dipilih menjadi tenaga security yang kenal medan tugas. Namun, terbatas peluang bagi masyarakat desa Praha untuk menjadi tenaga kerja operasional baik untuk jenis pekerjaan persiapan lahan, pembibitan tanaman, penanaman, pemeliharaan tanaman, dan pemamenan. Strategi yang dijalankan perusahaan adalah membayar upah di bawah standar upah lokal. Strategi ini mengurungkan niat warga untuk bergabung dan membuka mobilisasi tenaga kerja dari luar daerah. Pertimbangannya, karena datang dari jauh tenaga kerja dari luar desa tersebut sulit menolak upah murah. Selain itu, tenaga kerja luar desa pun tidak leluasa pergi-pulang, mereka bersedia tinggal di mess kerja, dan sulit memutuskan kontrak kerja dengan perusahaan. Analisis yang dilakukan Utama (2009) memperlihatkan, semua aktivitas persiapan lahan hingga penanaman di areal kerja Persero Karsa dilakukan karyawan dari luar daerah. Jarak tinggal terdekat tenaga kerja dari luar desa adalah 22 Km dari desa Praha. Dengan jarak yang cukup jauh maka tenaga kerja harus tinggal di mess buruh harian sehingga memudahkan pengorganisasian kerja oleh perusahaan.

Kedua, sumber mata pencaharian. Aspek lain yang turut menentukan kepentingan masyarakat atas sumberdaya hutan adalah alasan sumber mata pencaharian. Dari 2.667 pendduduk desa Praha pada tahun 2008, sebanyak 1.451 bekerja sebagai petani, 50 orang sebagai buruh tani, dan 100 orang merangkap nelayan dan petani. Angka luas lahan yang dikuasai cukup tinggi dengan kisaran 1-4 Ha dengan rata-rata tiap keluarga seluas 2,20 Ha. Namun, hampir semua

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring62

lahan yang mereka kuasai berada dalam areal hutan negara yang diberikan ijin pada perusahaan (Utama, 2009). Bahkan, mereka dituding melakukan okupasi lahan yang dikuasakan pengelolaannya pada perusahaan. Data yang ada memberi gambaran, mengapa masyarakat berjuang menyampaikan aspirasi kepada pemerintah kabupaten untuk menuntut dibebaskannya lahan kawasan hutan negara di sepanjang jalan utama menjadi lahan garapan masyarakat. Fakta memperlihatkan, saat perjuangan belum final pun masyara-kat sudah membuka lahan dan menanami sawit dan pinang. Inisiatif membuka lahan hutan yang dilakukan 3 kelompok yang kini berkolaborasi dalam pembangunan hutan tanaman menunjukkan seriusnya kebutuhan lahan. Di tengah tekanan dan kontrol yang dijalankan aparat perusahaan, masyarakat membuka lahan hutan dan menanami sawit dan pinang yang sebagian sudah berproduksi. Sebelum hadirnya program kolaborasi ini, prinsip yang dijadikan pegangan sebagian warga adalah yang penting membuka lahan dan menanami sawit. Soal status lahan tidak jadi masalah. Masyarakat berprinsip, jangankan status lahan kebun sawit, lahan di mana mereka mendirikan rumah tinggal pun belum jelas statusnya. Prinsip itu disebarluaskan beberapa tokoh masyarakat yang melihat peluang jangka panjang melalui investasi perkebunan sawit dengan menguasai lahan kawasan hutan.

Keterbatasan sumber mata pencaharian ini membuat masyarakat berani mengembangkan proses kolektif untuk menguasai lahan konsesi perusahaan. Masyarakat membuka lahan hutan pada areal konsesi, menanami lahan dengan tanaman bernilai ekonomi-pasar, memelihara tanaman, dan memanennya. Masyarakat membentuk kelompok kecil, saling memotivasi, dan membangun strategi dan taktik berkomunikasi dengan perusahaan dan pemerintah desa/kecamatan. Seperti telah dibahas di depan, awalnya kelompok masyarakat tersebut berjalan secara anonim

Prudensius Maring 63

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

namun mengalami perkembangan lebih lanjut hingga terbentuk struktur kelompok formal. Dalam proses tersebut, berkembang pula benih kepemimpinan dalam kelompok, terjadi proses saling berbagi pengalaman, merancang dan melakukan tindakan bersama. Keseluruhan prakarsa tersebut merupakan respon masyarakat terhadap strategi perusahaan dalam penguasaan sumberdaya hutan. Sebelum membuka lahan, warga membuat rencana bersama. Dihasilkan kesepakatan bahwa meski memulai bersama-sama namun jika suatu saat ada masalah dengan perusahaan maka tidak boleh melibatkan anggota lainnya, tiap orang menghadapinya sendiri-sendiri. Tiap orang harus siap menghadapi resiko. Kesepakatan ini dimaksudkan agar warga yang bermasalah, tidak menghambat agenda kolektif yang dijalankan anggota lainnya. Setelah kesepakatan awal, mereka mulai buka lahan hutan. Proses buka lahan dilakukan bertahap. Dalam seminggu ada yang hanya sekali bekerja membuka lahan karena aktivitas lain tetap dijalankan. Untuk menghindari kesan kerja berkelompok dan membuka lahan dalam jumlah luas maka aktivitas membuka lahan tidak dilakukan serentak. Ada warga yang mulai membuka lahan sejak tahun 2004 dan sebagian mulai tahun berikutnya. Hingga tahun 2007, warga yang bergabung dalam pembukaan lahan di areal kerja perusahaan mencapai 45 orang.

Tindakan-tindakan membuka lahan dan menanam di areal perusahaan juga diikuti dengan inisiasi pembentukan dan penguatan kelompok. Akhir tahun 2007 dilakukan musyawarah pemilihan pengurus kelompok. Para perintis pembukaan lahan terpilih menjadi ketua dan sekretaris kelompok. Jumlah anggota kelompok sebanyak 45 orang. Dalam bentuk sederhana, mereka membuat berita acara pembentukan kelompok dan rancangan aturan kelompok berupa tugas pengurus, hak dan kewajiban anggota kelompok. Kepengurusan kelompok dilaporkan ke pemerintah desa dan

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring64

penyuluh pertanian tingkat desa dan kecamatan. Tahun 2008, anggota bertambah 15 orang sehingga jumlah keseluruhan 60 orang. Luas lahan yang digarap sekitar 109 Ha. Inisiatif warga membuka lahan perusahaan tidak hanya dilakukan kelompok tersebut di atas. Pada waktu bersamaan, ada 2 kelompok lain di desa Praha juga merintis pembukaan lahan hutan pada areal perusahaan, yaitu kelompok yang diinisiasi Um dkk dengan luas sekitar 25 Ha dengan anggota 10 orang dan kelompok yang diinisiasi Zn dkk dengan luas sekitar 25,5 Ha dengan anggota 11 orang. Semua lahan yang dibuka warga berada dalam areal konsesi perusahaan. Lokasi tersebut tidak jauh dari jaringan jalan utama dari Jambi menuju Muara Sabak. Dalam pandangan masyarakat, lahan yang dibuka tersebut merupakan lahan yang sengaja tidak dikelola perusahaan. Masyarakat menyatakan bahwa pembiaran lahan-lahan tersebut oleh perusahaan bertujuan memisahkan pemukiman masyarakat dengan tanaman akasia yang ditanam perusahaan. Menurut perusahaan, lahan yang dibuka warga tersebut ada dalam areal konservasi yang dilindungi perusahaan.

Ketiga, kuatnya aktivitas ekonomi dari luar. Aspek lain yang perlu dilihat adalah pengaruh aktivitas ekonomi dari luar terhadap pemaknaan masyarakat atas sumberdaya hutan. Seperti digambarkan pada bagian II, masuknya berbagai perusahaan kayu, perkebunan, pertambangan, dan terbukanya jaringan jalan mendorong lahirnya pola hubungan produksi. Aktivitas perusahaan pemegang ijin pengusahaan hutan sejak 1980-an membuat relasi masyarakat dan perusahaan diwarnai pola hubungan produksi. Perusahaan sebagai pemegang ijin dan memahami kebijakan pengusahaan hutan terlihat sebagai struktur ekonomi yang kuat di mata masyarakat. Kekuatan modal yang dimiliki membuat perusahaan leluasa membangun relasi sosial dengan masyarakat. Perusahaan leluasa mendatangkan tenaga kerja

Prudensius Maring 65

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

murah dari luar daerah, yang turut memorak-porandakan relasi sosial yang sudah terbangun antarmasyarakat di ting-kat desa. Perusahaan sukses membujuk warga pendatang untuk diupah secara murah. Hal ini melahirkan pro-kontra antarmasyarakat. Perusahaan hadir sebagai pengontrol dan masyarakat sebagai faktor produksi. Alasan kedekatan interaksi antara masyarakat dengan sumberdaya alam tidak mampu membendung kekuatan ekonomi dari luar.

Kuatnya motivasi, spritit, dan kalkulasi ekonomi yang diperagakan struktur ekonomi yang besar menggeser pemaknaan masyarakat atas sumberdaya hutan. Cara pandang perusahaan bahwa hutan dan lahan hutan adalah faktor produksi ditransmisikan kepada masyarakat. Perusahaan menjadikan lahan hutan untuk hutan tanaman industri dan perkebunan skala besar. Prinsip yang sama diteladani masyarakat. Sumberdaya hutan dipandang sebagai sumber utama penyediaan lahan untuk melakukan investasi jangka panjang melalui penanaman sawit, pinang, dan karet. Kalkulasi ekonomi membuat masyarakat memandang tidak cukup hanya memiliki lahan seluas 1-4 Ha. Ketika penelitian ini dilakukan diketahui bahwa ada warga yang memiliki lahan seluas 40 Ha untuk ditanami sawit. Dari luasan tersebut hanya 10 Ha yang berada di luar kawasan hutan, selebihnya ada dalam kawasan hutan atau areal konsesi perusahaan. Warga menyatakan sudah cukup belajar dari perilaku perusahaan besar yang menguasai dan menginvestasi tanaman hingga ribuan hektar. Saat proyek pembangunan hutan tanaman industri digulirkan Kementerian Kehutanan dan ITTO, masyarakat desa Praha saling memotivasi untuk menyambut peluang ini. Namun, saat proses negosiasi dengan perusahaan tersendat-sendat warga tidak khawatir. Masyarakat berprinsip bahwa meskipun perusahaan tidak mau berkolaborasi dengan masyarakat namun kebun-kebun masyarakat dalam kawasan

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring66

hutan pasti tetap dirawat dan berhasil. Warga yang menentang perusahaan, mencontoh perilaku perusahaan, dan berhasil menguasai sumberdaya, dipandang sebagai ancaman. Padahal, perilaku warga merupakan akumulasi respon mereka terhadap ketimpangan struktur sosial-ekonomi dan struktur penguasaan sumberdaya hutan yang melindas masyarakat. Kuatnya hubungan produksi dan ketimpangan sosial-ekonomi melahirkan warga yang tidak memiliki lahan atau jadi buruh di tengah kelimpahan sumberdaya alam. Mereka yang tidak menguasai sumberdaya dituding sebagai warga yang rendah etos kerja, sekalipun itu akibat tekanan dan ketimpangan sosial-ekonomi. Seperti, akibat kebijakan yang tidak memberi hak dan ruang kelola bagi warga dan pendekatan yang represif. Hal ini turut melahirkan kelompok masyarakat yang tidak menguasai sumberdaya sebagai basis material untuk mewujudkan kesejahteraan.

Berbagai alasan di atas - kedekatan geografis, sumber mata pencaharian, dan pengaruh aktivitas ekonomi dari luar - membuat masyarakat menilai dan memosisikan perusahaan sebagai pihak yang menghalangi masyarakat dalam mewujudkan kepentingannya. Tujuan dan kepentingan masyarakat berhubungan dengan pemahaman bahwa masyarakat adalah pihak yang memiliki kedekatan interaksi dengan sumberdaya hutan. Karenanya masyarakat harus mendapat peran dan akses yang proporsional. Perilaku perusahaan yang semena-mena, tidak menghiraukan masyarakat, dan menuding mereka sebagai pengganggu membuat masyarakat melawan dan berontak. Kepentingan lain berhubungan dengan kebutuhan masyarakat terhadap lahan sebagai basis melakukan aktivitas ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Akibat tujuan dan kepentingan masyarakat tidak direspon maka lahir berbagai tudingan masyarakat terhadap perusahaan. Berbagai penilaian dan tudingan masyarakat terhadap perusahaan

Prudensius Maring 67

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

perlu diidentifikasi untuk dijadikan dasar dalam membangun kolaborasi antara kedua pihak.

Berbagai penilaian dan tudingan masyarakat terhadap perusahaan meliputi: Pertama, berkaitan dengan aktivitas kendaraan perusahaan yang merusak jalan, menyebarkan debu, dan mengguncang rumah warga. Masyarakat mempertanyakan, mengapa perusahaan leluasa menebang dan mengangkut kayu melintasi jalan di depan rumah mereka sementara mereka hanya menyaksikan dan menerima debu. Kedua, perusahaan dianggap menempuh jalan pintas dalam memberikan bantuan kepada masyarakat melalui pemerintah desa tanpa memperhitungkan mekanisme distribusi yang adil dan merata. Hal ini melahirkan kecemburuan dan merusak tatanan sosial antarmasyarakat. Menurut masyarakat, kebanggaan perusahaan karena memberi bantuan justru melahirkan saling curiga dan tidak saling percaya antarwarga. Ketiga, kasus penangkapan dan penahanan warga yang melakukan penebangan kayu di lahan yang dikuasai perusahaan meninggalkan trauma dan antipati masyarakat terhadap perusahaan. Perusahaan dinilai menggunakan kekuasaan dan kekuatannya untuk menakut-nakuti masyarakat. Akibatnya, masyarakat merespon dengan melakukan demonstrasi menuntut pembebasan warga. Keempat, sikap perusahaan yang menunda dan menghindari permintaan masyarakat untuk bertemu dan mendiskusikan kepentingan masyarakat membuat masyarakat memandang perusahaan tidak berniat berkolaborasi dengan mereka. Kasus ini terlihat selama dimulainya inisiasi mendorong kolaborasi pembangunan hutan tanaman. Berganti-gantinya utusan perusahaan untuk menghadiri pertemuan yang diagendakan menguatkan penilaian masyarakat bahwa perusahaan tidak berniat bekerjasama dengan mereka. Masyarakat melihat itu sebagai strategi menghindari masyarakat yang sengaja dijalankan perusahaan. Sekalipun

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring68

itu mungkin berhubungan dengan kompleksitas sistem kerja dan rotasi penugasan yang diijalankan perusahaan.

Kepentingan perusahaan atas sumberdaya hutan berhubungan dengan basis legalitas ijin pengusahaan hutan dan kepentingan ekonomi. Kontradiksi yang dijalankan masyarakat atau pihak lain yang akan mengganggu kepentingan perusahaan bisa melahirkan pendekatan keamanan yang represif, aktivitas pengontrolan, penegakan hukum, atau merangsang perusahaan menjalankan tanggung jawab sosial melalui mekanisme community development. Menurut aparat perusahaan, aktivitas warga dan gejolak sosial di sekitar areal konsesi perusahaan ada dalam kontrol perusahaan. Perusahaan bisa dengan mudah menangkap atau mengamankan warga yang mengganggu perusahaan. Sejak memperoleh ijin pemerintah melalui SK Menteri Kehutanan tanggal 10 September 2004 seluas 293.812 Ha, perusahaan leluasa mengatur strategi untuk merealisasikan tujuannya. Kepentingan utama perusahaan adalah menanam dan memanen kayu yang selalu dikalkulasi untung-ruginya secara ekonomi. Perhitungan jadwal penebangan, penanaman, dan sistem rotasi berdasarkan daur hidup akasia diperhitungkan secara ketat. Keteguhan perusahaan untuk mewujudkan tujuan itu sudah terbukti di lapangan, salah satunya adalah memosisikan masyarakat sebagai pengganggu.

Skema kolaborasi dan strategi community development yang dijalankan perusahaan lebih sebagai taktik mengamankan perusahaan dalam mewujudkan tujuan utama meraih untung. Sinyalemen masyarakat dan pemerintah daerah bahwa dalam membangun hubungan dengan masyarakat pihak perusahaan selalu menarik ulur agenda, menghindari pertemuan, dan mengganti-ganti petugas turut membuktikan bahwa perusahaan berkonsentrasi mewujudkan tujuan utama. Cara itu pun dijalankan saat menghadapi kehadiran

Prudensius Maring 69

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

proyek hutan tanaman kolaboratif. Situasi ini memunculkan pertanyaan, apakah pendekatan awal yang dilakukan proyek belum menyentuh ruang yang amat dipelihara perusahaan yaitu implikasi pada kepentingan mereka dan bagaimana saling berbagi manfaat dengan masyarakat. Atau, apakah sikap ”welcome” dari perusahaan yang ditunjukkan pada tahap awal sekadar strategi menghindar yang sukses mengelabui tim pembangunan hutan tanaman kolaboratif.

Akibat berkonsentrasi pada pencapaian tujuan meraih keuntungan maka berbagai aktivitas masyarakat dilihat sebagai ancaman. Tudingan perusahaan yang diarahkan pada masyarakat adalah: Pertama, aksi penebangan kayu akasia yang dilakukan warga di lahan yang dikelola perusahaan menguatkan pandangan perusahaan bahwa masyarakat mengganggu mereka dalam mewujudkan tujuan. Kedua, aksi pembukaan lahan dan penanaman sawit di lahan yang dikuasai perusahaan yang dilakukan secara kolektif oleh masyarakat dipandang sebagai okupasi lahan perusahaan. Ketiga, demonstrasi warga menuntut pembebasan warga yang ditahan dinilai menyudutkan perusahaan dan menebar citra buruk perusahaan di tengah masyarakat. Keempat, pelemparan truk pengangkut kayu dinilai sebagai ancaman. Kelima, tokoh masyarakat yang bersikap kritis terhadap perusahaan dan memobilisasi warga untuk menggarap lahan yang dikuasai perusahaan dipandang sebagai ancaman terhadap perusahaan.

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring70

Jelutung, tanaman lokal unggul penghasil getah sebagai alternatif pilihan kolaborasi masyarakat desa Praha dan perusahaan.

Dok. ITTO

Prudensius Maring 71

3.1. Benih Kolaborasi di Balik Konflik-ResistensiHubungan konflik-resistensi. Di tengah tujuan, kepentingan,

posisi, dan penilaian yang bertentangan antara masyarakat dan perusahaan, berlangsung inisiatif yang melibatkan kedua pihak. Seperti dikemukakan pada bagian II, pola hubungan yang dominan dijalankan Persero Karsa dan masyarakat Praha menyerupai model perlawanan (resistance). Pola demikian memperlihatkan masing-masing pihak berkonsentrasi memelihara dan mewujudkan tujuannya. Yang dipentingkan adalah bagaimana tujuan masing-masing tercapai. Pihak yang satu tidak akan secara langsung mengganggu atau menghalangi pihak lain sejauh tujuannya tidak terganggu atau terancam. Dari sisi perusahaan, misalnya, model resistensi terlihat dari upaya perusahaan meredam klaim dan gangguan masyarakat melalui cara melibatkan mereka sebagai tenaga security, memberikan bantuan melalui skema community development dan membangun parit pemisah antara areal kerja perusahaan dengan permukiman masyarakat. Dalam proses membangun hutan tanaman kolaboratif, perusahaan sering menarik ulur agenda pertemuan dan pembahasan kerjasama dengan masyarakat. Dalam situasi tertentu perusahaan mengganti-ganti petugas yang terlibat dalam proses negosiasi kerjasama dan membiarkan lahan yang berbatasan dengan perkampungan masyarakat jadi areal ”tidak terkelola” dan sekaligus menjadi batas pemisah

Bab 3KONSTRUKSI KOLABORASI

DI BALIK KONFLIK

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring72

antara warga desa dengan areal kerja perusahaan. Upaya yang dijalankan perusahaan secara langsung dan tidak langsung memberi kenyamanan bagi perusahaan dalam melakukan aktivitas menebang, mengangkut, menanam, dan memelihara kayu yang ditanamnya.

Cara-cara yang dijalankan perusahaan tersebut tidak secara langsung mengganggu atau menghambat aktivitas masyarakat. Masyarakat terus dibiarkan membuka lahan dan menanami sawit pada areal yang dengan sengaja dibiarkan perusahaan meski areal tersebut merupakan areal kerja persusahaan. Masyarakat melaporkan aktivitas mereka kepada aparat perusahaan, namun pihak perusahaan tidak mencegah atau melarang kegiatan masyarakat tersebut. Menurut masyarakat, hal itu berbeda ketika masyarakat menebang kayu pada areal utama yang dikelola perusahaan. Penebangan tanaman akasia tersebut pasti langsung direspon perusahaan, penebang pasti langsung ditangkap seperti pernah terjadi tahun 2006. Sebaliknya, cara memberi bantuan kepada masyarakat membangun citra positif pada sebagian masyarakat dan perusahaan leluasa melakukan aktivitasnya. Di mata masyarakat, perusahaan selalu memberi bantuan untuk pendidikan, kegiatan keagamaan, dan perayaan hari raya nasional. Bantuan tersebut kecil tetapi memberi kesan perusahaan peduli dan memperhatikan kepentingan masyarakat. Padahal, cara pemberian atau distribusi bantuan tersebut sering menimbulkan masalah di masyarakat karena prosesnya tidak transparan di tingkat desa. Cara-cara menarik ulur pembahasan agenda masyarakat dan mengganti-ganti petugas, tidak secara langsung menggagalkan tujuan masyarakat, sehingga sekalipun melahirkan kekecewaan namun tidak melahirkan respon yang menghambat aktivitas perusahaan. Strategi membiarkan lahan yang berbatasan langsung dengan masyarakat juga mengandung maksud

Prudensius Maring 73

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

menjauhkan gangguan masyarakat terhadap areal tanaman perusahaan.

Dari sisi lain, dalam kegiatan membuka lahan dan menanam sawit masyarakat berusaha membangun komunikasi secara informal dengan aparat perusahaan, menebang pohon secara sembunyi-sembunyi, membuka lahan di areal konsesi, dan menanami lahan dengan kelapa sawit, pinang, dan nenas. Saat 3 kelompok masyarakat membuka lahan hutan, mereka memililih areal yang tidak sedang ditanami akasia, areal tersebut seolah telantar dan tidak dihiraukan perusahaan. Saat mereka memperoleh penegasan dari aparat perusahaan bahwa areal yang mereka buka suatu waktu akan digarap perusahaan, masyarakat tidak melakukan reaksi. Yang diutamakan dan dipentingkan masyarakat adalah komunikasi sudah dilakukan dan petugas tidak menghentikan aktivitas mereka. Cara-cara yang dijalankan masyarakat memperlihatkan mereka berkonsentrasi pada tujuan membuka hutan, menanami lahan, dan memiliki kebun sawit di kawasan hutan. Mereka tidak memilih areal yang sedang digarap perusahaan karena akan ditentang perusahaan dan tujuan memiliki kebun sawit tidak akan terealisasi. Mereka tidak peduli dengan peringatan aparat perusahaan bahwa lahan tersebut suatu waktu akan digarap perusahaan karena tujuan mereka bukan memastikan status lahan, tetapi memiliki kebun sawit di kawasan hutan. Mereka tidak perlu ijin dan terang-terangan membuka lahan dan menanami sawit karena tujuan mereka bukan memperoleh legalitas melainkan secara faktual memiliki kebun sawit. Model resistensi yang diperagakan kedua pihak dia atas, berbeda dalam hubungan bernuansa konflik. Seperti dikemukakan di bagian II, konflik terbuka yang melibatkan kedua pihak jarang terjadi. Bahkan, pihak perusahaan menolak penilaian bahwa hubungan perusahaan dengan masyarakat merupakan hubungan konflik.

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring74

Meski demikian, bisa dikemukakan satu kasus yang memperlihatkan terjadinya konflik antara perusahaan dan masyarakat. Tahun 2006, masyarakat dan perusahaan terlibat dalam suatu situasi konflik. Ada warga melakukan penebangan akasia di areal yang ditanami perusahaan. Penebangan akasia untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga dan tidak untuk diperjual-belikan. Meski demikian, aksi warga ini dinilai perusahaan sebagai tindakan yang secara langsung mengganggu atau mengancam kepentingan perusahaan. Tanaman akasia dan hasil berupa kayu merupakan komoditas utama yang diperjuangkan perusahaan. Kayu akasia menjadi target utama yang harus diamankan perusahaan. Jika tanaman akasia ditebangi dan kayu akasia diambil warga maka bisa berdampak luas. Menghadapi kasus ini, perusahaan bertindak tegas dan langsung menempuh jalur penyelesaian secara legal-formal. Perusahaan menghentikan tindakan warga dengan melaporkannya kepada polisi setempat. Polisi melakukan penangkapan. Warga pelaku penebangan akasia ditangkap dan ditahan di sel tahanan polisi. Perusahaan tidak mau berkompromi dan tetap memilih jalur hukum. Akibatnya warga desa Praha melakukan demonstrasi ke perusahaan dan kantor polisi. Hubungan kedua pihak menjadi runcing. Masyarakat menuntut agar warga tersebut dibebaskan. Situasi kembali tenang setelah pihak perusahaan dan polisi membebaskan warga pelaku penebangan tanaman akasia. Menurut masyarakat, setelah kejadian tersebut, tidak terjadi suasana hubungan konflik bersifat konfrontatif dan terbuka antara masyarakat desa Praha dengan perusahaan (Persero Karsa).

Gambaran di atas memperlihatkan bahwa tindakan menebang kayu akasia yang dilakukan warga di lahan yang dikelola perusahaan menguatkan pandangan perusahaan bahwa masyarakat mengganggu mereka dalam mewujudkan tujuan. Aksi kolektif warga dalam pembukaan lahan hutan

Prudensius Maring 75

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

dan penanaman sawit di areal kerja perusahaan dipandang sebagai strategi mengokupasi dan mengklaim areal kerja perusahaan. Demonstrasi warga menuntut pembebasan warga dinilai menyudutkan perusahaan dan menyebarkan citra buruk perusahaan di tengah masyarakat. Pelemparan truk pengangkut kayu dinilai sebagai ancaman. Tokoh masyarakat yang bersikap kritis terhadap perusahaan dan memobilisasi warga untuk membuka lahan hutan di areal kerja dikuasai perusahaan dipandang sebagai ancaman terhadap perusahaan. Pada sisi lain, perusahaan memosisikan masyarakat sebagai sumberdaya yang bisa membantu perusahaan dalam mewujudkan pengelolaan hutan. Masyarakat dilibatkan dalam program hutan tanaman. Selain itu, perusahaan melakukan pendekatan persuasif terhadap masyarakat dalam menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan kawasan hutan yang berada dalam konsesi perusahaan. Gambaran di atas memperlihatkan bahwa minimnya hubungan bernuansa konflik yang ber-tujuan menghancurkan atau menghambat tujuan pihak lain, dan dominannya pola hubungan resistensi memberi peluang membangun kolaborasi antara masyarakat dan perusahaan.

Benih-benih kolaborasi. Dari pengalaman pola hubungan yang terbangun antara masyarakat dan perusahaan bisa diidentifikasi benih-benih kolaborasi untuk dijadikan dasar dalam membangun kolaborasi. Beberapa bidang kerjasama berikut bisa dikemukakan untuk melihat benih kolaborasi: Pertama, sumber benih kolaborasi yang terlihat dari proses pengelolaan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat. Meski banyak kritik dari masyarakat tentang pengelolaan bantuan namun beberapa poin pembelajaran bisa dipetik dari pengalaman tersebut. Perusahaan sudah bertahun-tahun menjalankan peran sosial melalui program community development. Masyarakat familiar dengan istilah community development. Masyarakat fasih menyebut ”CD”

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring76

(singkatan dari community development) untuk menjelaskan peran sosial perusahaan selama ini. Hal ini paling tidak menunjukkan bahwa peran sosial yang dijalankan perusahaan mendapat kesan bermakna bagi masyarakat dan diharapkan masyarakat. Tentu diperlukan perbaikan sistem dan pengelolaan bantuan perusahaan tersebut agar berdampak langsung ke masyarakat, bersifat berkelanjutan, dan menegakkan contoh-contoh keadilan-pemerataan dalam proses alokasi bantuan di lapangan. Situasi ini memberi peluang untuk melahirkan kolaborasi yang proaktif antara perusahaan dan masyarakat. Perusahaan bisa menekan anggaran community development yang diberikan secara pasif dan datang dari satu pihak. Keberhasilan program kolaborasi hutan tanaman bisa melahirkan kontribusi dua arah yang timbal balik dan saling menguntungkan antara masyarakat dan perusahaan.

Kedua, perusahaan sekalipun mengetahui lahan mereka dibuka dan ditanami masyarakat sejak tahun 2004 namun hingga kini mereka bisa menahan diri untuk tidak mengusir masyarakat dari areal konsesinya. Sekalipun sikap pembiaran yang dilakukan perusahaan ini dilihat sebagai strategi untuk mengamankan tujuan perusahaan, namun ini memperlihatkan sikap perusahaan yang tidak arogan dan tidak serta-merta menerapkan cara-cara kekerasan. Perusahaan bisa saja memobilisasi petugas security perusahaan dan bantuan polisi untuk mengamankan areal kerja perusahaan. Situasi ini memberi peluang untuk dikembangkan pendekatan dan pola hubungan yang persuasif dalam mengatasi permasalahan yang terjadi. Sikap pembiaran yang dijalankan perusahaan memberi kesan pada masyarakat bahwa perusahaan memberi ruang bagi masyarakat. Kasus penangkapan warga yang menebang tanaman akasia semula disikapi perusahaan dengan cara menempuh jalur hukum. Namun akhirnya perusahaan

Prudensius Maring 77

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

mengakomodasi tuntutan masyarakat untuk membebaskan pelaku. Kasus ini memberi pelajaran kepada kedua belah pihak untuk bertindak hati-hati dan saling menghormati hak masing-masing. Kasus ini membuka peluang membangun kerjasama antara perusahaan dan masyarakat. Pengalaman demikian bisa diangkat menjadi pelajaran bagi kedua belah pihak untuk memulai merancang kerjasama dan kolaborasi secara terbuka. Situasinya lebih sulit jika kedua belah pihak sudah terlibat dalam intensitas konflik sedemikian luas dan menimbulkan kerugian material dan immaterial pada kedua belah pihak.

Ketiga, situasi serupa terjadi dari sisi masyarakat. Saat membuka lahan, masyarakat menyampaikan niat ke pemerintah desa/kecamatan dan aparat perusahaan di tingkat lapangan. Meski tanpa dukungan biaya dan sarana produksi dari perusahaan atau pemerintah, namun masyarakat bisa membuka lahan dan menanami lahan secara mandiri. Saat ini lahan yang dibuka telah ditanami sawit, pinang, dan nenas, bahkan, sebagian tanaman sawit mulai berproduksi. Ini adalah prakarsa yang dilakukan masyarakat sebagai respon terhadap dinamika kehidupan sosial-ekonomi, keterbatasan sumber mata pencaharian, dan alasan kedekatan geografis mereka terhadap sumberdaya hutan. Prakarsa bernuansa produktif yang dilakukan masyarakat ini pantas mendapat fasilitasi lebih lanjut dari pemerintah maupun perusahaan. Prakarsa yang sudah dijalankan masyarakat bisa dimodifikasi dan diintegrasikan dengan kepentingan perusahaan dan pemerintah. Jika sebelumnya masyarakat hanya menanam sawit, untuk jangka panjang bisa diberi alternatif tanam-an kayu jelutung yang bisa mereka ambil getahnya sehingga fungsi ekonomi dan ekologis jangka panjang bisa diakomodasi. Prakarsa masyarakat desa Praha perlu direspon secara positif karena dalam setting wilayah lain justru berkembang luas perilaku eksploitasi dan perusakan sumberdaya hutan.

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring78

Hal ini sejalan dengan kesadaran dan pengakuan pemerintah bahwa sebagian besar wilayah pengembangan program hutan tanaman industri adalah wilayah konflik yang sudah berlangsung dalam rentang waktu yang panjang. Inisiatif yang telah dirintis bisa memberi manfaat bagi kedua pihak secara terbuka, tidak harus dengan cara sembunyi-sembunyi. Pemosisian diri sebagai pihak yang paling memiliki otoritas atau sebagai pemegang ijin secara legal-formal perlu dihindari di tengah upaya membangun hutan tanaman kolaboratif. Dalam situasi demikian, masyarakat menyatakan niat membuka diri dan melakukan peran aktif untuk mengamankan aktivitas perusahaan. Masyarakat mau secara proaktif melindungi perusahaan jika perusahaan mengayomi tujuan dan kepentingan masyarakat. Terwujudnya niat masyarakat ini bisa mengalihkan biaya operasi pengamanan perusahaan untuk kebutuhan community development atau memperkuat inisiatif pengelolaan hutan oleh masyarakat. Dengan demikian, fungsi sosial dan citra perusahaan di mata masyarakat akan terbangun secara positif. Perusahaan dan masyarakat bisa berkolaborasi mewujudkan tujuan masing-masing dan menjamin pencapaian tujuan bersama. Pengalaman terjadinya akumulasi penilaian sepihak dan saling tuding karena masing-masing pihak belum membuka diri dan berpegang pada tujuan masing-masing. Masalah ini bisa dipecahkan jika kedua pihak bernegosiasi memformulasi tujuan bersama dan menyepakati mekanisme dan metode kerja yang transparan. Pengalaman tarik-ulur agenda, tersendatnya proses, dan keraguan yang melanda perusahaan dan masyarakat menegaskan urgensi kolaborasi yang dibangun bersama (dibahas di bagian lain).

3.2. Proses Bersama Membangun KolaborasiUsaha mewujudkan kolaborasi tidak lepas dari

pengalaman masa lalu yang melibatkan pihak-pihak ber-

Prudensius Maring 79

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

kepentingan. Pengalaman konflik dan perlawanan yang berlarut-larut melahirkan prasangka dan hubungan tidak saling percaya antarpihak, seperti kasus di Jambi. Situasi ini tidak dengan serta-merta diatasi dengan menyodorkan skema kolaborasi yang hendak dicapai melalui proyek ini. Masing-masing pihak berusaha mengamankan tujuannya dari intervensi pihak lain, termasuk melalui kehadiran proyek ini. Sebaliknya pengalaman kerjasama dan pola relasi yang harmonis antara kedua pihak yang telah berlangsung di masa lalu memudahkan usaha membangun kolaborasi. Usaha membangun kolaborasi pembangunan hutan tanaman dimulai tahun 2009 hingga akhir tahun 2012. Berbagai kegiatan untuk merealisasikan tujuan proyek pembangunan hutan tanaman kolaboratif telah dilakukan. Tiga kegiatan awal yang dilakukan meliputi strategi pengelolaan hutan kolaboratif, penyusunan kerangka kerja formal resolusi konflik, dan mekanisme praktis untuk membangun hutan tanaman kolaboratif. Ketiga agenda tersebut dikerjakan tim konsultan bersama perusahaan dan masyarakat yang hasilnya telah dibahas dalam small workshop. Proses demikian diikuti survey penentuan lokasi demplot, survey sosial ekonomi, dan penyusunan rencana pengelolaan demplot. Hasil tersebut telah dibahas dalam forum konsultasi publik dan dilanjutkan dengan proses penguatan tingkat penerimaan masyarakat dan penguatan kelembagaan masyarakat.

Proses membangun kolaborasi dilakukan secara partisi-patif. Proses ini membuka ruang diskusi dengan semua pihak terkait, terutama perusahaan, masyarakat, dan pemerintah daerah. Komunikasi dengan perusahaan baik di kantor pusat dan lapangan dilakukan secara aktif. Bahkan proses penen-tuan lokasi kerjasama datang dari usulan aparat perusahaan. Masyarakat sekalipun menyimpan trauma akibat hubungan tidak harmonis dengan perusahaan namun bisa menerima ke-hadiran proyek sebagai jalan keluar memperbaiki hubungan

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring80

dan membuka akses mereka atas hutan. Pemerintah daerah menerima proyek ini untuk memberi akses bagi masyarakat dan memperbaiki hubungan dengan perusahaan. Meski de-mikian, pengalaman membangun kolaborasi ini tidak selalu berjalan mulus. Dalam proses perjalanan, masing-masing pi-hak memperlihatkan keraguan. Keraguan tersebut terutama terkait dengan keterjaminan kepentingan dan tujuan masing-masing. Apakah proses kolaborasi ini bisa menjamin kepen-tingan perusahaan untuk tetap mendapatkan manfaat secara ekonomi dari areal konsesinya? Apakah proses kolaborasi ini bisa menjamin kepentingan masyarakat untuk terus berusa-ha di kawasan hutan yang dikonsesikan pada perusahaan? Pengalaman hubungan sosial yang kurang harmonis di masa lalu terus menyertai proses membangun kolaborasi ini. Pen-galaman kerjasama masa lalu yang berjalan tersendat itulah menegaskan pentingnya kolaborasi yang dibangun bersama.

Dalam situasi konflik dan perlawanan yang merebak di berbagai tempat, sulit mengharapkan kolaborasi yang lahir secara ”instant” (bersifat segera dan seketika; cepat jadi dan cepat saji). Kita butuh ”kolaborasi yang dibangun bersama”. Pengalaman membangun kolaborasi bersama masyarakat dan perusahaan ini memperlihatkan bahwa proses tidak bisa berjalan linear dan tidak ada jalan tunggal. Terkadang proses sudah berjalan jauh kemudian tersadar ada yang tertinggal dan terlewat maka harus balik lagi. Memulai lagi dari awal, mengajak lagi pihak lain, dan mengakomodasi lagi kepentin-gan pihak lain. Terkadang kesepakatan yang telah terbangun harus dibongkar ulang, dinegosiasikan kembali, menemui jalan buntu, dan perlu cooling-down karena terkadang para pihak yang terlibat pun tersulut emosi karena masih terba-yang pengalaman buruk masa lalu. Namun, proses yang sa-bar dan tidak tergesa-gesa memberi peluang kepada semua pihak yang terlibat membangun kolaborasi untuk mengha-lau tantangan dengan mimpi masa depan bersama yang le-

Prudensius Maring 81

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

bih nyaman, damai, dan sejahtera. Kolaborasi yang dibangun bersama harus mengandung proses untuk memberi peluang kepada pihak-pihak yang terlibat dalam proses kolabora-si untuk bisa: 1) Secara proaktif dan sengaja mengartikula-si kepentingan. 2) Mengkonstruksi kepentingan dan tujuan bersama. 3) Merumuskan strategi dan metode pencapaian tujuan. 4) Merancang dan menggerakkan agenda teknis. 5) Menyepakati dan menjalankan mekanisme kontrol (Maring, 2009; Maring, 2013b). Tiga proses pertama adalah proses konstruksi mental dan dua proses berikutnya adalah proses konstruksi teknis. Dalam proses implementasi, hukum uta-ma yang diinspirasi adalah proses konstruksi mental harus mendahului proses konstruksi teknis, namun selalu memper-hatikan prinsip bahwa tidak ada jalan linear dan jalan tunggal dalam proses membangun kolaborasi.

Proses Konstruksi Mental dan TeknisUsaha membangun kolaborasi kerap mengabaikan proses konstruksi mental dan langsung masuk pada proses konstruksi teknis. Akibatnya, saat terjadi masalah pada implementasi teknis, pihak-pihak yang terlibat tidak memiliki bekal kematangan untuk mencari jalan keluar. Kolaborasi terhenti dan menyisahkan trauma atau pengalaman buruk berhubungan dengan pihak lain. Pengalaman kemandegan proses fasilitasi pembangunan hutan tanaman di Jambi membuktikan. Proses konstruksi mental yang belum matang dan orientasi terfokus pada aspek teknis melahirkan kemandegan dan kegelisahan perusahaan dan masyarakat. Negosiasi ulang harus dilakukan. Untungnya, masih ada amunisi otoritas dan tekanan eksternal yang memaksa pihak-pihak yang terlibat harus tunduk dan merealisasikan agenda kolaborasi. Pengalaman ini menegaskan pentingnya langkah proaktif membangun kolaborasi.

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring82

Akumulasi fakta di mana masyarakat dan perusahaan saling melancarkan penilaian dan tudingan karena belum ada langkah proaktif mengartikulasi kepentingan. Masing-masing pihak berdisi pada posisi, cara pandang, dan tujuan masing-masing. Posisi perusahaan yang berorientasi profit memandang hutan adalah sumberdaya ekonomi yang bisa memenuhi tujuan meraup keuntungan. Posisi masyarakat yang sebagian besar adalah petani memandang hutan sebagai sumber mata pencaharian yang bisa memenuhi kebutuhan dasar mereka. Bagi perusahaan, areal konsesi seluas 293.812 Ha adalah harga mati untuk memenuhi kalkulasi ekonomi. Pengurangan areal karena okupasi dan klaim masyarakat didefinisikan sebagai ancaman terhadap tujuan mereka. Sebaliknya, angka luas lahan 1-4 Ha sebagai rata-rata penguasaan lahan oleh masyarakat adalah perjuangan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka. Posisi, cara pandang, dan tujuan yang berbeda ini harus diartikulasikan secara terbuka. Tujuannya tidak untuk meniadakan satu sama lain tetapi terbangun saling pengertian. Komunikasi yang dibangun selama ini kurang proaktif dan lebih sebagai usaha menguatkan posisi masing-masing. Analisis yang memperlihatkan dominasi pola hubungan bernuansa resistensi, dan secara sporadis diikuti pola hubungan bersifat konflik memperlihatkan kedua pihak belum memilih strategi dan metode yang proaktif. Pola hubungan bernuansa resistensi dan konflik menunjukkan masing-masing pihak berkonsentrasi pada posisi dan tujuan masing-masing.

Artikulasi kepentingan secara proaktif harus dilandasi nilai kebersamaan, rasa keadilan, tanggung jawab sosial, dan transparan. Nilai dasar ini harus tumbuh dari dalam masing-masing pihak, bukan bersifat reaktif. Perusahaan tidak perlu tertutup, memproteksi agenda-agenda ekonomi, dan membangun prasangka dengan masyarakat. Melalui

Prudensius Maring 83

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

langkah proaktif diharapkan skema community development dan model kolaborasi hutan tanaman yang dikembangkan perusahaan tidak sekadar melindungi pencapaian tujuan perusahaan. Skema-skema tersebut harusnya memosisikan masyarakat di sekitar areal konsesi sebagai pusat. Sebaliknya, masyarakat pun tidak perlu menempuh cara-cara yang demonstratif dalam mengartikulasikan kepentingannya. Eksistensi perusahaan perlu diposisikan sebagai pihak yang bisa menjawab kebutuhan masyarakat. Langkah proaktif bermuara pada pandangan, jika kita memberi peran dan membuka ruang bagi pihak lain berarti kita membuka kontribusi pihak lain untuk ikut menjawab kebutuhan dan tujuan kita.

Tujuan bersama harus melampaui tujuan dan kepentingan masing-masing. Terpeliharanya tujuan bersama akan men-jamin terpeliharanya pencapaian tujuan dan kepentingan masing-masing. Analisis yang memperlihatkan dominasi pola hubungan produksi dengan kalkulasi ekonomi mengingatkan kita bahwa hutan bakal menjadi sasaran eksploitasi dari semua pihak yang terlibat. Kepentingan banyak pihak yang bersifat sama terhadap sumberdaya hutan yang tidak ditransformasi menjadi tujuan bersama potensial berkembang menjadi konflik kepentingan. Konflik tidak saja mengancam nilai sumberdaya hutan, tetapi juga mengancam hancurnya hubungan dan tatanan sosial antarpihak. Kasus di Jambi memperlihatkan bahwa resistensi dan konflik terjadi bukan karena memperebutkan sumberdaya yang langka, tetapi karena faktor salah urus yang menyebabkan ketimpangan akses atas sumberdaya hutan dan relasi sosial yang tidak terkelola. Dalam situasi di mana kedua pihak bertahan pada posisi dan kepentingannya, perlu dikedepankan agenda pembangunan kehutanan yang membutuhkan kontribusi mereka. Orientasi yang berpusat pada memperebutkan nilai ekonomi atas sumberdaya hutan

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring84

perlu diperkaya dengan memperhitungkan pentingnya nilai sosial dan kultural yang melekat dalam interaksi antarpihak. Ketentraman dan ketenangan bersama perlu dikedepankan untuk memberi warna baru dalam menilai interaksi antarpihak. Dari interaksi dengan aparat perusahaan di Jambi, terungkap bahwa di balik tujuan meraup keuntungan ekonomi, mereka mendambakan terciptanya kebersamaan dan ketenteraman bersama masyarakat. Saat diskusi dengan aparat perusahaan, terungkap bahwa mereka sangat mendambakan ketenteraman. Mereka ingin tidur nyenyak di malam hari, pintu rumah mereka tidak digedor dan dilempari masyarakat.

Formulasi tujuan bersama yang dihasilkan dari proses membangun kolaborasi antara masyarakat dan perusahaan desa Praha bisa dilihat sebagai berikut: 1) Membangun kerjasama dan saling membantu dalam usaha memelihara fungsi kawasan hutan negara. (2) Menanam dan memelihara kawasan hutan negara agar hutan bisa memberikan fungsi lindung (ekologis) dan fungsi ekonomi (sosial) bagi masyarakat dan perusahaan. (3) Membangun ketenangan bersama dan hidup bertetangga secara harmonis antara masyarakat dan perusahaan. Formulasi tujuan bersama ini terlihat sederhana dan secara substansial sering dilontarkan. Tetapi, ini adalah pengalaman pertama masyarakat dan perusahaan yang terlibat dalam konflik dan resistensi untuk duduk sama-sama, membicarakannya, dan memformulasinya menjadi tujuan bersama. Nilai tinggi dari formulasi tujuan bersama ini adalah hasrat untuk bersinergi dan bekerjasama. Bahkan, perusahaan yang selama ini dikenal kuat orientasi ekonominya, justru secara lugas mengusulkan pentingnya membangun ketenangan dan hidup harmonis dengan masyarakat. Ke depan, nilai-nilai yang dipandang sebagai tujuan bersama ini diharapkan memberi spirit kepada kedua pihak dalam menerjemahkan strategi dan metode

Prudensius Maring 85

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

kerjasama, termasuk kalkulasi bagi hasil-keuntungan secara proporsional. Dalam situasi di mana terjadi perbedaan interpretasi kolaborasi, tujuan bersama ini diharapkan bisa memberi ingatan terhadap arah kolaborasi yang dibangun. Formulasi tujuan bersama ini bukan harga mati dan tidak sakral. Ia harus dilihat secara dinamis dan bisa terus-menerus diformulasi sesuai situasi dan kebutuhan kedua pihak. Kolaborasi yang digerakkan tujuan bersama dan diletakkan jauh ke depan akan menentukan strategi dan metode. Tujuan bersama yang terus terpelihara akan menentukan sejauh mana kepentingan masing-masing pihak terus terwadahi dalam kolaborasi.

Tumpang tindih pemaknaan tentang tujuan, strategi, dan metode kerja sering mengacaukan kolaborasi yang dibangun antarpihak. Saat kita berkonsentrasi pada strategi atau metode kerja maka potensi pengabaian terhadap tujuan mulai terjadi. Misalnya, saat perusahaan memergoki warga menebang akasia di areal konsesi, maka aktivitas melapor dan menangkap warga itu bukanlah tujuan perusahaan. Aktivitas itu hanyalah strategi perusahaan agar areal tersebut aman. Sama halnya, saat masyarakat melakukan demonstrasi menuntut dibebaskannya warga yang melakukan pe-nebangan akasia, maka demonstrasi itu merupakan strategi agar warga itu dibebaskan. Namun, seringkali aksi-aksi (strategi dan metode) yang dilakukan itu berganti posisi menjadi tujuan sehingga demonstrasi dan aksi penangkapan menjadi pusat perhatian dan kebablasan. Akibatnya, tujuan bersama, seperti yang telah diformulasi bersama menjadi kian jauh. Ketenteraman, kenyamanan, dan nilai sosial-ekonomi sumberdaya hutan justru terancam. Proyek kolaborasi hutan tanaman adalah strategi untuk mewujudkan tujuan yang diformulasi bersama. Semua protokol keproyekan, tata kerja, lokasi demonstrasi, kelengkapan kelembagaan, aturan main, dan mekanisme yang digarap melalui proyek

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring86

ini adalah strategi mewujudkan tujuan bersama. Ini perlu dikemukakan karena kerap kali ada gap antara tujuan dan strategi. Konsentrasi difokuskan pada penggarapan strategi dan metode kerja bisa membuyarkan tujuan. Pengalaman fasilitasi proyek kolaborasi ini memberi pelajaran untuk menghindari tumpang tindih tujuan dan strategi. Misalnya, alasan kelembagaan kelompok yang belum dilegalisasi dan baru dalam proses dibangun tidak harus menghentikan kolaborasi. Pematangan kelompok itu sendiri adalah strategi yang harus digarap bersama untuk mewujudkan tujuan.

Proses merancang strategi yang menarik terjadi saat diskusi memformulasi proporsi bagi hasil atau keuntungan untuk kedua pihak. Masing-masing bertahan pada kalkulasi untung-rugi yang bakal dikontribusi dan diterima. Meski demikian, proses formulasi tujuan bersama yang mendaului pembahasan soal bagi hasil turut menekan sikap mau menang sendiri. Mereka sangat berhati-hati melontarkan pendapat dan saling menjaga perasaan untuk tidak mencederai tujuan bersama. Proses diskusi sempat terhenti, meski demikian situasi yang alot memancing kedua pihak untuk secara lugas menegaskan kepentingan masing-masing dan melontarkan harapan kontribusi dari pihak lain. Terlihat bahwa formulasi tujuan bersifat non material seperti dambaan saling membantu dan hidup harmonis membuat negosiasi skema bagi hasil dan formulasi hak dan kewajiban bisa disepakati.

Merancang agenda teknis adalah kelanjutan dari proses konstruksi mental-sosial. Tujuan dan strategi bersama diterjemahkan dalam agenda teknis. Dalam konteks kolaborasi ini, penataan tata ruang, pengaturan pola tanam, penentuan jenis tanaman, dan tata persiapan lahan adalah contoh agenda teknis yang harus dikerjakan. Tanpa disadari, negosiasi penentuan agenda teknis dan pilihan teknologi dipengaruhi kerangka tujuan bersama. Kesadaran penuh

Prudensius Maring 87

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

atas status lahan hutan negara memengaruhi keputusan-keputusan yang diambil pada level teknis. Contoh yang terlihat dalam proses ini adalah bagaimana masyarakat mengambil keputusan untuk menanam sawit di lahan kawasan hutan. Saat awal, ketika masyarakat mengambil inisiatif membuka lahan hutan, yang menguasai kerangka pikir mereka adalah mimpi untuk mewujudkan kebun-kebun sawit yang segera memberikan keuntungan.

Mimpi masyarakat untuk menanam sawit di lahan hutan negara adalah konstruksi mental berdasarkan pengalaman dan pengaruh lingkungan di mana setiap hari mereka menyaksikan aktivitas ekonomi perkebunan berskala besar. Meski demikian, saat gagasan kolaborasi pembangunan hutan tanaman dimulai, konstruksi mental yang membenarkan sawit bisa ditanam di hutan negara ditata ulang. Kesadaran atas status kawasan hutan negara dengan konsekuensi teknis diperbaharui. Pada diskusi awal dengan perusahaan, mereka memprediksi masyarakat sulit meninggalkan sawit. Negosiasi soal menghentikan penanaman sawit diduga sebagai poin yang bakal alot dalam negosiasi dengan masyarakat. Namun, dengan adanya informasi dan wawasan baru yang digulirkan kepada masyarakat, keputusan untuk menghentikan penanaman sawit justru muncul sebagai aspirasi dari dalam masyarakat. Tidak ada kekuatan otoritas yang memaksa masyarakat untuk berkeputusan menghentikan sawit. Mereka diluluhkan oleh wawasan baru dan tawaran alternatif berupa tanaman jelutung untuk menggantikan mimpi mereka tentang sawit yang menjanjikan keuntungan secara ekonomi menuju akomodasi kepentingan ekonomi-ekologis.

Pengalaman ini memberi pelajaran untuk memperbarui proses membangun kolaborasi yang dikemas dalam proyek. Proyek-proyek kehutanan kerap terlampau ketat dengan

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring88

perencanaan teknis, seperti penentuan jenis tanaman, pengaturan pola tanam, dan jarak tanam yang kerap mendapat resistensi dari masyarakat. Itu adalah contoh implementasi teknis tanpa diawal konstruksi mental. Pengalaman proyek ini, dengan fleksibilitas dalam menetapkan perencanaan teknis sambil menyuguhkan wawasan dan tawaran alternatif justru diterima masyarakat. Momentum diskusi untuk memformulasi kesepakatan bersama, yang di dalamnya meliputi aspek teknis, sudah dipersiapkan jauh-jauh hari. Informasi dan wawasan baru seputar usaha menjaga fungsi hutan melalui pilihan tanaman pohon telah digulirkan. Secara mental masyarakat telah siap menerima gagasan menghentikan penanaman sawit.

Mekanisme kontrol merupakan agenda yang harus didiskusikan lebih lanjut, masih banyak aspek yang harus dibahas bersama. Meski demikian, satu kesepakan bersama tentang penyelesaian perselisihan perlu diapresiasi. Secara substansial, tidak ada hal yang baru dan luar biasa dari muatan kesepakatan ini. Itu bisa terlihat dari formulasi berikut: (1) Jika ada masalah antara kedua pihak maka mereka harus melakukan musyawarah untuk penyelesaian. (2) Jika kedua pihak tidak memperoleh kesepakatan maka perlu mediasi pihak ketiga yaitu pemerintah tingkat desa, kecamatan, dan dinas kehutanan. (3) Jika tahap kedua tersebut tidak memperoleh kesepakatan maka proses penyelesaian masalah dilanjutkan ke lembaga peradilan. Meski demikian, dari sisi proses ini adalah pengalaman baru bagi masyarakat. Proses ini tidak memosisikan mereka sebagai obyek hukum, mereka justru tampil sebagai subyek yang memformulasi kesepakatan penyelesaian perselisian. Bagi kedua pihak, baik masyarakat maupun perusahaan, dengan mendiskusikan dan menyepakati mekanisme ini secara langsung dan partisipatif, memberikan konsekuensi moral untuk menghindari perselisihan dan menjalankan

Prudensius Maring 89

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

kesepakatan bersama. Secara berlanjut membuka cara pandang kedua pihak untuk mengedepankan agenda pembangunan kehutanan yang membutuhkan kontribusi mereka. Secara berlanjut mendorong kedua pihak untuk melepaskan pengalaman buruk masa lalu dan membangun mimpi baru melalui perwujudan kolaborasi pembangunan hutan tanaman. Melanjutkan fasilitasi penyempurnaan kesepakatan kerja sama dan implementasi teknis dengan memperhitungkan momentum dan spirit yang sudah terbangun. Memastikan dan mengawal pemberlakuan proporsi pembagian keuntungan untuk kedua belah pihak baik secara sosial, ekonomi, dan ekologis selama berlangsungnya kolaborasi. Memastikan dan mengawal penegakan hak dan kewajiban masing-masing pihak di tengah realitas sosial yang diwarnai hubungan produksi-ekonomi dengan ragam kepentingan. Memastikan dan mengawal implementasi tujuan bersama, mekanisme, dan metode kerja untuk menjamin proses yang adil dan transparan di tengah kuatnya rasa saling curiga dan tidak percaya.

Abstraksi Proses Membangun KolaborasiUsaha mewujudkan tata kelola sumberdaya ekologi

tidak lepas dari pengalaman masa lalu yang melibatkan pihak terkait. Pengalaman konflik dan perlawanan yang berlarut-larut melahirkan prasangka dan hubungan tidak saling percaya antarpihak. Situasi ini tidak mudah diatasi dengan menyodorkan skema tata kelola yang digagas dari luar. Memperhatikan situasi dan pengalaman demikian, maka proses membangun tata kelola sumberdaya ekologi ini menginspirasi kepada pendekatan appreciative inquiry yang berorientasi pada penggalian kekuatan dan pengalaman sukses di masa lampau untuk membangun kolaborasi di masa depan. Proses ini tidak menempuh pendekatan berbasis problem solving yang potensial membuka jebakan untuk

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring90

saling menyalahkan antarpihak. Dengan menginspirasi kepada pendekatan appreciative inquiry (AI), maka proses membangun tata kelola sumberdaya ekologi ini mengacu kepada tahap definition, discovery, dream, design, destiny. Intinya adalah bagaimana mengenali/memahami masalah, bagaimana menemukan kekuatan dari dalam, bagaimana membangun cita-cita dan impian bersama, bagaimana merancang pewujudan impian, dan bagaimana menggerakan kekuatan bersama. Pendekatan AI disinergikan dengan tesis dasar bahwa proses mencipta selalu mengandung proses konstruksi mental dan proses konstruksi teknis. Berikut ini dikemukakan proses konstruksi tata kelola sumberdaya ekologi dijalankan. Mengacu kepada kerangka pikir AI, maka tiga tahap pertama adalah proses konstruksi mental yang menentukan masa depan tata kelola yang dibangun. Dua tahap berikutnya adalah proses konstruksi teknis yang seharusnya lahir dari kematangan mentalitas. Secara ringkas proses konstruksi sosial dan teknis tersebut diabstraksikan sebagai berikut.

Pertama, artikulasi masalah dan kepentingan. Para pihak yang berkepentingan secara aktif dan sengaja mengartikulasi masalah dan kepentingan masing-masing. Perbedaan yang ada didiskusikan. Masing-masing pihak berdiri pada posisi, cara pandang, dan tujuan masing-masing. Posisi perusahaan yang berorientasi profit memandang hutan adalah sumberdaya ekonomi yang bisa memenuhi tujuan meraup keuntungan. Posisi masyarakat yang sebagian besar adalah petani memandang hutan sebagai sumber mata pencaharian yang bisa memenuhi kebutuhan dasar mereka. Posisi, cara pandang, dan tujuan yang berbeda ini harus diartikulasikan secara terbuka. Tujuannya tidak untuk meniadakan satu sama lain tetapi terbangun saling pengertian. Artikulasi kepentingan secara proaktif harus dilandasi nilai kebersamaan, rasa keadilan, tanggung jawab sosial, dan transparansi. Nilai dasar ini harus tumbuh dari dalam masing-masing pihak,

Prudensius Maring 91

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

bukan bersifat reaktif. Perusahaan tidak perlu tertutup, memproteksi agenda-agenda ekonomi, dan membangun prasangka dengan masyarakat. Skema tersebut harusnya memosisikan masyarakat di sekitar areal konsesi sebagai pusat. Sebaliknya, masyarakat pun tidak perlu menempuh cara-cara yang demonstratif. Masing-masing pihak harus tiba pada penerimaan secara proaktif atas eksistensi pihak lain. Langkah proaktif bermuara pada pandangan, jika kita memberi peran dan membuka ruang bagi pihak lain berarti kita membuka kontribusi pihak lain untuk ikut menjawab kebutuhan/tujuan kita.

Kedua, konstruksi tujuan dan strategi bersama. Setelah masalah dan kepentingan masing-masing diartikulasikan, para pihak harus berupaya mengkonstruksi kepentingan dan tujuan bersama. Tujuan bersama melampaui tujuan dan kepentingan masing-masing. Terpeliharanya tujuan bersama akan menjamin terpeliharanya pencapaian tujuan dan kepentingan masing-masing. Analisis yang memperlihatkan dominasi pola hubungan produksi dengan kalkulasi ekonomi mengingatkan kita bahwa hutan bakal menjadi sasaran eksploitasi dari semua pihak yang terlibat. Kepentingan banyak pihak yang bersifat sama terhadap sumberdaya hutan yang tidak ditransformasi menjadi tujuan bersama potensial berkembang menjadi konflik kepentingan. Konflik tidak saja mengancam nilai sumberdaya hutan, tetapi juga mengancam hancurnya hubungan dan tatanan sosial antarpihak. Kasus di Praha memperlihatkan bahwa konflik dan resistensi bukan karena memperebutkan sumberdaya yang langka, tetapi karena faktor salah urus yang menyebabkan ketimpangan akses atas sumberdaya ekologi. Dalam situasi para pihak bertahan pada posisi dan kepentingannya, perlu dikedepankan agenda pembangunan kehutanan yang membutuhkan kontribusi bersama. Orientasi yang berpusat pada memperebutkan nilai ekonomi atas sumberdaya hutan perlu diperkaya dengan memperhitungkan pentingnya

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring92

nilai sosial dan kultural yang melekat dalam interaksi antarpihak. Ketentraman dan ketenangan bersama perlu dikedepankan untuk memberi warna baru dalam menilai interaksi antarpihak. Kasus di Praha memperlihatkan bahwa di balik tujuan meraup keuntungan ekonomi, para pihak mendambakan terciptanya ketenteraman dan kebersamaan. Nilai tinggi dari formulasi tujuan bersama ini adalah hasrat untuk bersinergi dan bekerjasama. Ke depan, nilai-nilai yang dipandang sebagai tujuan bersama ini diharapkan memberi spirit kepada para pihak dalam menerjemahkan strategi dan metode kerjasam. Dalam situasi di mana terjadi perbedaan interpretasi kolaborasi, tujuan bersama ini diharapkan bisa memberi ingatan terhadap arah kerjasama membangun tata kelola ekologi. Formulasi tujuan bersama ini bukanlah harga mati dan tidak sakral. Ia harus dilihat secara dinamis dan terus-menerus diformulasi menyesuaikan situasi dan kebutuhan para pihak

Ketiga, membangun metode kerjasama. Tumpang tindih pemaknaan tujuan, strategi, dan metode, kerap mengacaukan kerjasama dibangun. Saat kita hanya berkonsentrasi pada metode kerja maka potensi pengabaian terhadap tujuan mulai terjadi. Kasus Praha, misalnya, saat perusahaan memergoki warga menebang kayu di areal konsesi, maka aktivitas melapor dan menangkap warga itu bukanlah tujuan utama perusahaan. Aktivitas itu hanyalah strategi perusahaan agar areal tersebut aman. Sama halnya, saat masyarakat melakukan demonstrasi menuntut dibebaskannya warga yang melakukan pene-bangan kayu, maka demonstrasi itu merupakan strategi agar warga itu dibebaskan. Namun, seringkali aksi-aksi yang dilakukan itu berganti posisi menjadi tujuan sehingga demonstrasi dan aksi penangkapan menjadi pusat perhatian. Akibatnya, tujuan bersama yang telah diformulasi bersama menjauh dan terkikis. Ketenteraman, kenyamanan, dan nilai sosial/ekonomi sumberdaya ekologi justru kian terancam.

Prudensius Maring 93

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Esensi dari sebuah proyek kerjasama membangun tata kelola ekologi adalah ”strategi untuk mewujudkan tujuan”. Jadi proyek bukan pusat, yang jadi pusat adalah tujuan bersama. Dengan demikian, mestinya, semua protokol keproyekan, tata kerja, plot demonstrasi, struktur lembaga, aturan main, dan mekanisme proyek, harus diposisikan sebagai strategi mewujudkan tujuan bersama. Hal ini perlu ditegaskan karena kerap ada kesenjangan antara tujuan dan strategi. Konsentrasi yang berfokus pada penggarapan strategi dan metode bisa membuyarkan tujuan. Kasus Praha memberi pelajaran untuk menghindari tumpang tindih tujuan dan strategi.

Keempat, membangun mekanisme kontrol. Dalam proses kerjasama membangun tata kelola sumberdaya ekologi, mekanisme kontrol bersama merupakan keniscayaan. Mekanisme kontrol merupakan agenda yang harus didiskusikan dengan para pihak terkait. Kesepakan bersama tentang penyelesaian perselisihan perlu diapresiasi. Secara substansial, biasanya tidak ada hal yang baru dan luar biasa dari muatan kesepakatan bersama tersebut. Namun, proses membangun kesepakatan yang melibatkan semua pihak secara aktif bisa memberi pengalaman baru bagi masyarakat. Mengapa? Karena sering kali masyarakat diposisikan sebagai obyek hukum dalam kesepakatan yang melibatkan pihak lain. Namun, dalam proses yang tidak memosisikan masyarakat sebagai obyek hukum, masyarakat justru tampil sebagai subyek yang memformulasi kesepakatan penyelesaian perselisihan. Bagi masyarakat dan perusahaan, dengan mendiskusikan dan menyepakati mekanisme ini secara bersama dan secara langsung, memberi konsekuensi moral untuk menghindari perselisihan, dan sebaliknya memberi dorongan moral untuk menjalankan hal-hal yang telah disepakati bersama.

Kelima, proses konstruksi teknis. Konstruksi teknis adalah kelanjutan dari proses konstruksi mental. Proses di mana

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring94

tujuan dan strategi bersama diterjemahkan dalam agenda teknis. Dalam konteks kerjasama membangun tata kelola sumberdaya ekologi, konstruksi teknis meliputi penataan ruang kelola, pengaturan pola tanam, penentuan jenis tanaman, tata olah lahan, tata air, dan lain-lain. Tanpa disadari, proses negosiasi antarpihak dalam penentuan agenda teknis dan pilihan teknologi dipengaruhi kerangka tujuan bersama yang telah disepakati. Kesadaran penuh atas status lahan hutan negara memengaruhi keputusan-keputusan yang diambil pada level teknis. Dalam kasus Praha, ketika para pihak dipengaruhi pola resistensi, contoh yang terlihat adalah bagaimana masyarakat mengambil keputusan untuk menanam sawit di lahan kawasan hutan negara. Keputusan pada tahap konstruksi teknis tersebut dipengaruhi oleh kerangka pikir bahwa masyarakat pun memiliki peluang mewujudkan kebun-kebun sawit, seperti halnya dilakukan perusahaan. Proyek tata kelola sumberdaya ekologi kerap terlampau ketat dan cepat-cepat masuk dalam proses konstruksi teknis, tanpa konstruksi mental yang memadai. Akibatnya, banyak tujuan besar yang gagal dicapai karena para pihak asyik mengurusi hal-hal teknis dan sibuk mendamaikan pertikaian para pihak akibat gagal memperoleh untung dari proses teknis.

Dalam situasi konflik dan perlawanan yang merebak di berbagai tempat, sulit mengharapkan kolaborasi yang lahir secara ”instant” (bersifat segera dan seketika; cepat jadi dan cepat saji). Kita butuh ”kolaborasi yang dibangun bersama”. Pengalaman membangun kolaborasi bersama masyarakat dan perusahaan ini memperlihatkan bahwa proses tidak bisa berjalan linear dan tidak ada jalan tunggal. Terkadang proses sudah berjalan jauh kemudian tersadar ada yang tertinggal dan terlewat maka harus balik lagi. Memulai lagi dari awal, mengajak lagi pihak lain, dan mengakomodasi lagi kepentingan pihak lain. Terkadang kesepakatan yang telah terbangun harus dibongkar ulang, dinegosiasikan

Prudensius Maring 95

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

kembali, menemui jalan buntu, dan perlu cooling-down karena terkadang para pihak yang terlibat pun tersulut emosi karena masih terbayang pengalaman buruk masa lalu. Namun, proses yang sabar dan tidak tergesa-gesa memberi peluang kepada semua pihak yang terlibat membangun kolaborasi untuk menghalau tantangan dengan mimpi masa depan bersama yang lebih nyaman, damai, dan sejahtera. Kolaborasi yang dibangun bersama harus mengandung proses untuk memberi peluang kepada pihak-pihak yang terlibat dalam proses kolaborasi untuk bisa: 1) Secara proaktif dan sengaja mengartikulasi kepentingan. 2) Mengkonstruksi kepentingan dan tujuan bersama. 3) Merumuskan strategi dan metode pencapaian tujuan. 4) Merancang dan menggerakkan agenda teknis. 5) Menyepakati dan menjalankan mekanisme kontrol (Maring, 2010; Maring, 2013b). Tiga proses pertama adalah proses konstruksi mental dan dua proses berikutnya adalah proses konstruksi teknis. Dalam proses implementasi, hukum utama yang diinspirasi adalah proses konstruksi mental harus mendahului proses konstruksi teknis, namun selalu memperhatikan prinsip bahwa tidak ada jalan liner dan jalan tunggal dalam proses membangun kolaborasi. Namun, proses yang sabar dan tidak tergesa-gesa memberi peluang kepada semua pihak yang terlibat membangun kolaborasi untuk menghalau tantangan dengan mimpi masa depan bersama yang lebih nyaman, damai, dan sejahtera. Kolaborasi yang dibangun bersama tidak cukup berhenti di situ. Kolaborasi butuh perawatan terus-menerus karena ia selalu dalam proses diferensiasi, adaptasi, internalisasi, dan pembudayaan.

Kolaborasi yang dibangun bersama tersebut harus dibesarkan, diperkuat, dan dirawat terus-menerus. Proses membangun kolaborasi secara berkelanjutan tersebut mengingatkan 4 tahap proses perubahan sosial dan masyarakat yang diperkenalkan teori konsensus, yaitu

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring96

proses diferensiasi, proses perbaikan adaptif, proses integrasi, dan proses generalisasi nilai. Proses diferensiasi, umumnya bersifat “menjadi-dua” (binary) yang terjadi dalam struktur, fungsi, dan peran. Dari bersifat individual menjadi kelompok, informal menjadi formal, domestik menjadi skala pabrik/industri, kolektivitas kerabat menjadi organisasi formal. Proses perbaikan adaptif, menegaskan bahwa diferensiasi harus diikuti perbaikan bersifat adaptif dalam hal struktur, fungsi, dan peran. Tanpa perbaikan adaptif akan terjadi kekacauan, tumpang tindih, dan pengulangan struktur-fungsi-peran yang mubasir. Proses integrasi, menegaskan bahwa melalui diferensiasi dan adaptasi maka lahir kebutuhan menjalankan integrasi. Harus lahir insentif baru, model baru, cara baru yang mampu menjalin, menyatukan, dan memelihara realitas struktur-fungsi-peran yang berdiferensiasi dsan dalam proses mengalami perbaikan adaptif. Proses generalisasi nilai, menegaskan bahwa nilai yang lahir dari proses diferensiasi, adaptasi, dan integrasi dikonstruksi dan diangkat menjadi nilai dalam kolektivitas kehidupan masyarakat. Nilai tersebut dibuat menjadi lebih umum dan menjadi nilai inti yang diterima dalam kolektivitas masyarakat. Secara akademik, gagasan-gagasan penting yang dikemukakan teori konsensus tidak berkembang luas karena secara akademik kurang mendapat respon melalui kajian dan diskusi secara akademik. Pada sisi praktis, banyak program kolaborasi yang dibangun sebatas memenuhi kebutuhan dan target pendekatan keproyekan. Tantangan untuk memelihara kolaborasi bisa menginspirasi kepada teori kosensus di mana: 1) Kolaborasi harus dimaknai dan dijalankan sebagai suatu proses belajar. 2) Kolaborasi dilakukan secara berkesinambungan. 3) Proses kolaborasi harus selalu merespon, menanggapi, mengakomodasi perubahan dalam situasi dinamik di mana peran-peran kolaborasi dijalankan. 4) Proses kolaborasi harus menerapkan kontrol melalui mekanisme sosial maupun penegakan hukum secara konsisten.

Prudensius Maring 97

Seperti dinyatakan pada bagian awal bahwa masalah uta-ma yang dibahas dalam buku ini adalah bagaimana penga-rusutamaan kolaborasi di balik realitas konflik penguasaan sumberdaya alam? Untuk menjelaskan masalah tersebut di-butuhkan diskusi pada tataran teoritis-konseptual dan prak-tis. Bagian ini bermaksud menjelaskan kontribusi pada aras manfaat teoritis-konseptual dan praktis. Secara teoritis-kon-septual, manfaat yang diperoleh adalah penegasan analisis pada fenomena kolaborasi. Analisis kolaborasi tidak hanya dilihat sebatas urusan manajemen tetapi sebagai fenomena yang membuka lahirnya perubahan pemaknaan perspektif konflik, perlawanan, dan kolaborasi. Perlu lahir suatu cara pandang kolektif untuk menempatkan kesetaraan analisis tema konflik, perlawanan, dan kolaborasi. Manfaat praktis adalah masukan terhadap usaha mengembangkan kolabo-rasi pembangunan sumberdaya alam melalui pen-dekatan kolaborasi. Kolaborasi dalam konteks pembangunan sum-berdaya alam tidak berhenti pada manajemen sumberdaya material, tetapi juga menyangkut proses konstruksi nilai, strategi, metode, dan mekanisme mewujudkan tujuan ber-sama yang berhubungan dengan sumberdaya materil dan non material secara berkelanjutan. Berikut ini dikemukakan konstruksi realitas empiris, implikasi teoritis-konseptual, dan

Bab 4PENUTUP:

IMPLIKASI TEORITIS DAN PRAKTIS

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring98

implikasi praktis dalam pengarusutamaan kolaborasi di ba-lik konflik penguasaan sumberdaya alam.

4.1. Konstruksi Realitas EmpirisFakta empiris yang disajikan di depan memperlihatkan

bahwa sumberdaya alam, masyarakat, dan perusahaan, tidak hanya menjadi setting realitas yang statis. Gambaran masyarakat sebagai satuan sosial yang dinamis dengan latar belakang etnis beragam dan mata pencaharian yang bervariasi memengaruhi kalkulasi yang khas dalam membangun relasi dengan perusahaan. Kehadiran perusahaan bidang kehutanan yang memperoleh ijin pemanfaatan lahan dan tanaman memengaruhi bagaimana perusahaan membangun hubungan atau relasi dengan masyarakat. Status sumberdaya alam (misal: tanah, lahan, tanaman, air, sungai, dan parit ) sebagai hutan negara turut memengaruhi corak hubungan atau relasi yang dibangun antara masyarakat dan perusahaan dalam penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya alam. Interaksi ketiga komponen tersebut tidak berjalan linear, tetapi sebuah hubungan saling pengaruh bersifat kompleks. Pengaruh aktivitas ekonomi di sekitar desa memengaruhi pemaknaan masyarakat atas sumberdaya hutan. Masuknya berbagai perusahaan kayu, perkebunan, pertambangan, dan terbukanya jaringan jalan mendorong lahirnya pola hubungan produksi antarpihak. Kegiatan pengusahaan hutan oleh perusahaan sejak 1980-an melahirkan pola hubungan produksi antara masyarakat dengan perusahaan. Perusahaan pemegang ijin dilihat sebagai struktur ekonomi yang kuat. Perusahaan leluasa mendatangkan tenaga kerja dengan upah murah dari luar desa hingga melahirkan kontraksi sosial dan kecemburuan antara pendatang dengan masyarakat setempat. Perusahaan memperlihatkan posisi kontrol dan masyarakat berjuang melepaskan diri dari posisi sekadar jadi faktor produksi. Masyarakat dengan klaim kedekatan geografis

Prudensius Maring 99

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

dan alasan sumber pencaharian berjuang membendung kekuatan ekonomi dari luar. Kehadiran perusahaan dengan nilai yang dianutnya memengaruhi pemaknaan masyarakat atas sumberdaya hutan. Masyarakat melihat lahan hutan sebagai investasi jangka panjang melalui penanaman sawit, pinang, dan karet. Kalkulasi ekonomi membuat masyarakat memandang tidak cukup hanya memiliki lahan seluas 1-4 Ha sehingga mereka harus berjuang memiliki lahan lebih luas seperti yang dilakukan perusahaan.

Usaha masyarakat untuk menguasai lahan perusahaan terus dilakukan. Masyarakat terus berusaha mengklaim dan menanami lahan konsesi perusahaan. Inisiasi masyarakat merupakan akumulasi respon terhadap ketimpangan struk-tur sosial-ekonomi. Upaya tersebut tidak hanya dilakukan secara individu, tetapi melalui kelompok yang dibentuk masyarakat. Namun, inisiasi masyarakat desa Praha mencontoh nilai dan perilaku perusahaan dinilai sebagai ancaman terhadap perusahaan. Kuatnya hubungan produksi dan ketimpangan sosial-ekonomi menyebabkan ketimpangan penguasaan lahan pertanian, bahkan petani harus menjadi buruh tani. Masyarakat yang tidak menguasai lahan dituding sebagai warga yang rendah etos kerja. Padahal, itu akibat tekanan dan ketimpangan sosial-ekonomi, seperti buruknya kebijakan yang memberi hak akses, tidak tersedianya ruang kelola bagi warga, dan pendekatan pembangunan kehutanan berorientasi ekonomi skala besar. Situasi ini melahirkan petani tanpa lahan di tengah kelimpahan sumberdaya alam, padahal lahan adalah basis material untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat petani.

Kepentingan perusahaan atas sumberdaya alam di desa Praha bertumpu pada kepentingan ekonomi skala besar. Klaim kepentingan lain oleh perusahaan selalu berhubungan dengan tujuan mengamankan kepentingan ekonomi

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring100

skala besar tersebut. Untuk mewujudkannya, perusahaan memperoleh basis legalitas ijin pengusahaan sejak tahun 2004. Kepentingan utama perusahaan adalah menanam pohon tanaman industri dan memanennya yang selalu dikalkulasi untung-rugi secara ekonomi. Penetapan jadwal penanaman, penebangan, dan sistem rotasi berdasarkan daur hidup tanaman akasia dilakukan secara ketat. Keteguhan perusahaan dalam mewujudkan tujuan ekonomi itu di-lakukan melalui berbagai strategi dan taktik. Masyarakat dan pihak lain yang melakukan aktivitas bertentangan dengan tujuan perusahaan diposisikan sebagai pengganggu. Dalam mengatasi gangguan pihak lain, perusahaan menerapkan pendekatan bermata dua. Perusahaan menerapkan pendekatan kontrol dan penegakan hukum formal, sekaligus menjalankan strategi resistensi sebagaimana dijalankan masyarakat. Aparat perusahaan bangga menyatakan semua aktivitas masyarakat dan dinamika sosial di sekitar areal perusahaan selalu dalam kontrol perusahaan. Perusahaan bisa dengan mudah menangkap dan mengamankan warga yang mengganggu perusahaan. Selain itu perusahaan menjalankan tanggung jawab sosial melalui program pengembangan masyarakat.

Dari sisi masyarakat, terlihat masyarakat berusaha membangun komunikasi secara informal dengan aparat perusahaan, menebang pohon secara sembunyi-sembunyi, membuka lahan di areal konsesi, dan menanami lahan dengan kelapa sawit, pinang, dan nenas. Saat kelompok masyarakat membuka lahan hutan, mereka memililih areal yang ditelantarkan dan tidak digarap perusahaan. Bahkan secara informal masyarakat melapor kepada aparat perusahaan dan pemerintah desa/kecamatan. Saat aparat perusahaan menyatakan areal tersebut suatu waktu akan digarap perusahaan, masyarakat tidak melakukan reaksi. Yang diutamakan masyarakat adalah komunikasi sudah dilakukan

Prudensius Maring 101

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

dan petugas tidak menghentikan aktivitas mereka. Cara-cara yang dijalankan memperlihatkan masyarakat berkonsentrasi pada tujuan membuka hutan, menanami lahan, dan memiliki kebun sawit di kawasan hutan. Masyarakat tidak memilih areal yang sedang digarap perusahaan karena akan ditentang perusahaan dan tujuan memiliki kebun sawit tidak akan terealisasi. Masyarakat tidak peduli dengan peringatan aparat perusahaan karena tujuan masyarakat bukan memastikan status lahan, tetapi memiliki kebun sawit di kawasan hutan. Masyarakat tidak perlu ijin membuka lahan dan menanami sawit karena tujuannya bukan untuk memperoleh legalitas, melainkan secara faktual memiliki kebun sawit.

Uraian di atas memperlihatkan dua sisi realitas yang kontradiktif. Di satu sisi terlihat kelimpahan sumberdaya dengan peluang akses terbuka lebar bagi perusahaan. Pada sisi lain terlihat keterbatasan peluang akses sumberdaya bagi masyarakat dalam penopang sumber mata pencahariannya. Terlihat masyarakat berusaha mewujudkan kepentingan mereka, di sisi lain perusahaan berusaha melindungi kepentingannya dengan menjauhkan dan menutup akses masyarakat atas sumberdaya. Melalui legitimasi aturan, perusahaan leluasa mewujudkan hasratnya. Namun, masyarakat terus berjuang mewujudkan tujuannya melalui berbagai strategi perlawanan dan mencontoh perilaku perusahaan. Praktik yang dijalankan perusahaan dan masyarakat menyerupai model perlawanan (resistance). Model resistensi berfokus pada pencapaian tujuan masing-masing, bahkan seolah-olah berlangsung kerjasama di antara pihak-pihak terkait.

Pada tataran lebih luas, situasi empiris yang dialami masyarakat dan perusahaan di atas juga dialami dan berlangsung di tempar lain dalam skala lebih luas dan sistematis pula. Argumentasi yang menyertai berbagai gejala atau

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring102

fenomena tersebut dan cara-cara yang dilakukan mengandung kemiripan pola. Sumberdaya alam dilihat sebagai penopang keberlanjutan lingkungan dan memenuhi kepentingan sosial-ekonomi. Para pihak berkepentingan (stakeholders), masyarakat lokal, pemerintah, dan perusahaan, ber-usaha menguasai sumberdaya alam. Proses pemenuhan kepentingan sering melahirkan konflik yang menimbulkan kerusakan fisik dan hancurnya tatanan sosial masyarakat. Kondisi ini butuh konstruksi tata kelola sumberdaya ekologi yang mengakomodasi nilai dan kepentingan stakeholders. Sumberdaya alam seperti hutan dengan berbagai komponen fisik dan biofisik yang terkait di dalamnya selalu melekat dengan kepentingan banyak pihak (stakeholders). Konflik penguasaan hutan sering terjadi karena masing-masing pihak berdiri pada posisi kepentingannya sambil memberikan penilaian dan memaksa pihak lain untuk mengikuti dan tunduk kepadanya. Konflik sosial yang berkelanjutan berdampak pada kerusakan fisik dan hancurnya tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat. Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi konflik sosial melalui transformasi konflik yang diarahkan pada kasus-kasus konflik yang terjadi dalam penguasaan sumberdaya alam. Upaya lain diintegrasikan dalam program pembangunan kehutanan yang menekankan pencapaian kelestarian hutan dan memberikan manfaat ekonomi untuk kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan. Program kolaborasi pembangunan hutan tanaman industri merupakan salah satu usaha menanggulangi degradasi sumberdaya alam dan memberi akses bagi masyarakat di sekitar hutan. Gambaran di atas menegaskan dua hal. Pertama, prakarsa membangun kolaborasi antarstakeholders tidak lagi berdiri di ruang kosong yang bebas dari pengaruh konflik dan perlawanan. Kedua, pentingnya ikhtiar membangun kolaborasi di balik merebaknya konflik dan perlawanan. Penting untuk membangun kolaborasi yang mengakomodasi

Prudensius Maring 103

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

kepentingan semua pihak dalam pengurusan sumberdaya alam. Akomodasi nilai-nilai sosiokultural memungkinkan lahirnya tata kelola sumberdaya alam yang berkelanjutan. Akomodasi kepentingan para pihak memberi peluang kontribusi peran dan tanggung jawab dari semua pihak dalam pengurusan sumberdaya alam. Dalam situasi di mana pengelolaan sumberdaya alam diwarnai konflik dan perlawanan, pendekatan yang mengutamakan penggalian pengalaman sukses mesti mendapat perhatian. Situasi demikian membutuhkan konstruksi tata kelola sumberdaya alam berbasis nilai sosiokultural dan kepentingan para pihak. Proses itu dimulai dari identifikasi kekuatan atau pengalaman sukses, formulasi tujuan bersama, merancang strategi dan metode pencapaian tujuan, dan mendorong mekanisme kontrol bersama. Proses demikian harus melibatkan semua stakeholders tata-kelola sumberdaya alam. Di sini pentingnya kolaborasi yang dibangun bersama. Kolaborasi yang dibangun bersama” harus mengandung proses untuk memberi peluang kepada pihak-pihak yang terlibat dalam proses kolaborasi untuk bisa: 1) Secara proaktif dan sengaja mengartikulasi kepentingan. 2) Mengkonstruksi kepentingan dan tujuan bersama. 3) Merumuskan strategi dan metode pencapaian tujuan. 4) Merancang dan menggerakkan agenda teknis. 5) Menyepakati dan menjalankan mekanisme kontrol

4.2. Implikasi Teoritis: Pengarusutamaan KolaborasiArah analisis buku ini digerakkan dua sudut pandang,

yaitu sudut pandang praktis dan sudut pandang teoritis-kon-septual. Seperti telah dikemukakan di depan, fakta empiris yang dijadikan bahan analisis ini bersumber dari sebuah riset aksi partisipatif (participatory action research) di bawah proyek yang diberi judul: Strategy for Developing Plantation Forest: A Conflict Resolution Approach in Indonesia. Dalam implementasi di lapangan, secara bebas proyek ini selalu disebut secara

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring104

bergantian yaitu proyek Pembangunan Hutan Tanaman Ko-laboratif atau proyek Kolaborasi Pembangunan Hutan Tana-man. Terlepas dari itu, hal penting di balik proyek ini adalah adanya pengakuan pemerintah dan lembaga internasional yang mendukung proyek ini bahwa realitas pembangunan kehutanan di Indonesia tidak bisa dilepas dari realitas kon-flik yang sudah berlangsung lama. Dengan demikian, gaga-san dan implementasi pembangunan hutan tanaman secara kolaboratif tidak bisa dilepaskan dari masalah konflik. Ko-laborasi pembangunan kehutanan yang hendak dibangun dalam banyak hal beralaskan konflik. Kesadaran di balik re-alitas empiris ini menegaskan bahwa konflik dan kolaborasi menjadi dua fenomena yang ada dalam satu arena/lapangan/bidang sosial pengurusan sumberdaya alam. Meski demiki-an, kesadaran pada tataran praksis ini tidak sejalan dengan alur besar tradisi analisis hubungan sosial berupa konflik, perlawanan, dan kolaborasi. Tradisi analisis konflik dan per-lawanan masih sering dilakukan secara partial karena datang dengan perskpektif dan metodologi kerja yang berbeda. Bah-kan, fenomena kolaborasi dan kerjasama belum dilihat dan diposisikan sebagai fenomena yang pantas dianalisis secara setara dengan konflik dan perlawanan. Perspektif teori kon-flik lebih menaruh minat pada perbenturan kepentingan dari pada konsensus nilai-nilai dan kerja sama. Konsensus nilai yang melibatkan banyak pihak dipandang sebagai ilusi yang dipertahankan oleh ideologi yang menanggulangi perbe-daan-perbedaan nyata di kalangan individu dan kelompok konflik. Posisi konsensus dan kolaborasi hanya dipandang se-bagai subordinat dan ditempatkan sebagai bentuk partisipasi terhadap konflik (Saifuddin, 2005: 341-342). Dalam perspektif perlawanan pun aspek kolaborasi tidak secara khusus diba-has. Berbagai analisis konflik dan perlawanan tidak secara eksplisit memperlihatkan posisi kolaborasi (Maring, 2010).

Prudensius Maring 105

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Dari posisi di atas terbangun salah satu kontribusi teoritis-konseptual dari analisis ini, yaitu perlunya analisis yang dilakukan secara terpadu antara konflik, perlawanan, dan kolaborasi. Analisis fakta empiris memperlihatkan bahwa dalam hubungan sosial bernuansa konflik dan perlawanan yang dialami masyarakat dan perusahaan selalu muncul benih-benih kerjasama. Masyarakat mengakui makna penting dari peran sosial perusahaan di balik strategi perlawanan yang dijalankan masyarakat. Perusahaan menahan diri tidak melakukan pendekatan represif dan menangkap masyarakat yang menduduki dan menanami areal konsesi perusahaan. Konstruksi realitas empiris tersebut menegaskan bahwa hubungan bersifat konflik dan perlawanan/resistensi selalu mengandung pula proses konsensus dan kolaborasi antar-pihak. Hal ini menegaskan perlunya analisis yang dilakukan secara terpadu antara nuansa hubungan bersifat konflik, perlawanan, dan kolaborasi. Bahkan dalam konteks mendorong tujuan-tujuan bersama maka aspek konsensus dan kolaborasi perlu mendapat penekanan analisis. Pandangan serupa juga pernah dikemukakan Maring (2010) dari analisisnya tentang penguasaan hutan bahwa meski dalam situasi konflik dan perlawanan namun pemerintah dan masyarakat di kawasan hutan Noge tetap saling mengkomunikasikan tujuan masing-masing dan melakukan negosiasi untuk melahirkan tujuan bersama. Diskursus kepentingan dan tujuan bersama menjadi kebutuhan karena para pihak harus bisa merumuskan strategi dan taktik untuk kemenangan bersama, bukan untuk saling mengalahkan atau menundukkan. Usaha para pihak untuk membangun kolaborasi di tengah situasi konflik dan resistensi merupakan arena yang memperlihatkan bagaimana para pihak berusaha saling mengkomunikasikan kepentingan dan tujuan bersama.

Kontribusi teoritis dari konstruksi fakta empiris di atas bukan sesuatu yang baru dimulai. Seperti dikemukakan di

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring106

depan, dalam perspektif konflik sendiri, selain berkembang cara pandang yang melihat konflik dan perlawanan secara bi-polar di mana pihak-pihak bertikai berada pada posisi saling berhadapan, terdapat pula cara pandang yang transformatif. Cara pandang transformatif melihat konflik dan perlawanan sebagai hubungan dinamis yang berpeluang mengalami transformasi menuju model konsensus dan kolaborasi. Gagas-an transformasi konflik berusaha men-dorong penyatuan tujuan bersama antarpihak-pihak yang berkonflik dan saling berlawanan. Transformasi konflik dimaknai sebagai proses yang memosisikan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik aktif menempuh pembelajaran bersama dan cara-cara kreatif dalam menyelesaikan konflik secara berkelanjutan (Manembu dan Alamsyah, 2006). Lebih jauh transformasi konflik dimaknai sebagai kesempatan yang diberikan kepada semua pihak berkonflik untuk menciptakan perubahan proses sosial yang konstruktif agar dapat mengurangi kekerasan, meningkatkan keadilan, dalam interaksi langsung dengan struktur sosial, dan merespon masalah manusia dalam hubungan kemanusiaan. Cara pandang yang cair dan dinamis tentang konflik dan perlawanan ini membuka ruang analisis secara terpadu terhadap fenomena konflik, perlawanan, dan kolaborasi. Proses-proses konsensus yang melibatkan banyak pihak tidak beralasan untuk hanya dilihat dan diposisikan sebagai ilusi sebagaimana dituding penganut konflik marxian. Proses-proses membangun konsensus dan kolaborasi tidak perlu dipandang sebagai subordinat dan sebagai bentuk partisipasi terhadap konflik (lihat pandangan Saifuddin, 2005). Justru sebaliknya, proses membangun konsensus dan kolaborasi harus dilihat sebagai arus utama (main-stream) untuk membangun pola hubungan antarpihak secara berkelanjutan. Kolaborasi dimaknai sebagai alternatif jalan atau alternatif pendekatan mewujudkan tujuan perubahan secara berkelanjutan. Kolaborasi harus dikonstruksi dalam

Prudensius Maring 107

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

suatu tujuan bersama di mana semua pihak berkontribusi serta memberi makna dan warna yang khas agar hasil akhir gemilang dan memuaskan semua pihak (Maring, 2010).

Proses konstruksi fakta emprik dari penelitian ini juga mengingatkan pentingnya pendekatan kualitatif, alur kerja ilmiah induktif, dan posisi pandang emik dalam mempelajari konflik, perlawanan, dan kolaborasi. Dalam banyak kasus analisis, alur kerja dan cara pandang yang dibawa dari luar mempunyai peran penting dalam pendefinisian masalah dan realitas yang terjadi dalam masyarakat. Pendekatan induktif dan emik telah membantu peneliti membebaskan diri dari format kerja keproyekan yang telah memberi label konflik pada realitas lapangan (lihat judul proyek: Strategy for Developing Plantation Forest: A Conflict Resolution Approach in Indonesia). Hasil penggalian fakta melalui alur kerja induktif dan emik dapat menemukan realitas lain yang terjadi di lapangan, yaitu bukan konflik dalam makna bi-polar dan konfrontatif, tetapi sebuah realitas hubungan perlawanan-resistensi yang dijalankan kedua belah pihak, baik masyarakat maupun perusahaan. Kedua belah pihak terlibat dalam aksi melindungi dan mewujudkan tujuan masing-masing dan tidak terlibat dalam tindakan saling mengalahkan, tindakan konfrontatif, dan melumpuhkan lawan. Temuan realitas hubungan bernuansa perlawanan-resistensi ini memberi pengaruh signifikan dalam perancangan kerjasama dan kolaborasi pembangunan kehutanan sebagai tujuan praksis penelitian ini.

Kontribusi lain adalah perlu menempatkan kolaborasi bukan sebagai sebuah paket jadi yang diusung pihak yang kuat dan pihak yang lemah berada pada posisi menjalankan atau menyetujui. Kolaborasi dilihat sebagai fenomena yang diciptakan dan dikreasi sebagai hasil proses konstruksi mental dan teknis. Fakta empiris ini memperlihatkan bahwa

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring108

masyarakat dan perusahaan melalui fasilitasi pihak lain telah membangun kolaborasi. Kolaborasi yang dijalankan mulai ditulis oleh kedua belah pihak. Kedua pihak turut menggambar kolaborasi macam apa yang mau dikonstruksi atau dibangun bersama. Kolaborasi yang dikontsruksi bersama melahirkan rasa memiliki dan tangggung jawab untuk merawatnya. Dalam realitas sosial di mana pola hubungan konflik dan perlawanan mendominasi maka proses konstruksi kolaborasi menjadi keniscayaan. Dalam proses membangun kolaborasi, masing-masing pihak tetap berusaha mewujudkan agendanya melalui berbagai argumentasi berdasarkan pengalaman praktis, basis aturan hukum, dan memobilisasi dukungan pihak lain. Kolaborasi yang dikonstruksi bersama sekalipun memakan waktu dan energi, namun keseluruhan dinamika itu menggambarkan berlangsungnya sebuah diskursus kepentingan dan tujuan bersama untuk diterjemahkan dalam strategi dan aksi di lapangan. Kolaborasi yang dikonstruksi mampu memberi ruang untuk menegosiasikan kepentingan, tujuan, dan strategi bersama. Kolaborasi perlu mendapat tempat sejajar dalam analisis konflik dan perlawanan/resistensi.

Dalam situasi konflik dan perlawanan yang merebak di berbagai tempat, sulit mengharapkan kolaborasi yang lahir secara ”instant” (bersifat segera dan seketika; cepat jadi dan cepat saji). Kita butuh ”kolaborasi yang dibangun bersama”. Pengalaman membangun kolaborasi bersama masyarakat dan perusahaan ini memperlihatkan bahwa proses tidak bisa berjalan linear dan tidak ada jalan tunggal. Terkadang proses sudah berjalan jauh kemudian tersadar ada yang tertinggal dan terlewat maka harus balik lagi. Memulai lagi dari awal, mengajak lagi pihak lain, dan mengakomodasi lagi kepentingan pihak lain. Terkadang kesepakatan yang telah terbangun harus dibongkar ulang, dinegosiasikan kembali, menemui jalan buntu, dan perlu cooling-down karena

Prudensius Maring 109

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

terkadang para pihak yang terlibat pun tersulut emosi karena masih terbayang pengalaman buruk masa lalu. Namun, proses yang sabar dan tidak tergesa-gesa memberi peluang kepada semua pihak yang terlibat membangun kolaborasi untuk menghalau tantangan dengan mimpi masa depan bersama yang lebih nyaman, damai, dan sejahtera. Kolaborasi yang dibangun bersama harus mengandung proses untuk memberi peluang kepada pihak-pihak yang terlibat dalam proses kolaborasi untuk bisa: 1) Secara proaktif dan sengaja mengartikulasi kepentingan. 2) Mengkonstruksi kepentingan dan tujuan bersama. 3) Merumuskan strategi dan metode pencapaian tujuan. 4) Merancang dan menggerakkan agenda teknis. 5) Menyepakati dan menjalankan mekanisme kontrol (Maring, 2009; Maring, 2013b). Tiga proses pertama adalah proses konstruksi mental dan dua proses berikutnya adalah proses konstruksi teknis. Dalam proses implementasi, hukum utama yang diinspirasi adalah proses konstruksi mental harus mendahului proses konstruksi teknis, namun selalu memperhatikan prinsip bahwa tidak ada jalan liner dan jalan tunggal dalam proses membangun kolaborasi. Namun, proses yang sabar dan tidak tergesa-gesa memberi peluang kepada semua pihak yang terlibat membangun kolaborasi untuk menghalau tantangan dengan mimpi masa depan bersama yang lebih nyaman, damai, dan sejahtera. Kolaborasi yang dibangun bersama tidak cukup berhenti di situ. Kolaborasi butuh perawatan terus-menerus karena ia selalu dalam proses diferensiasi, adaptasi, internalisasi, dan pembudayaan.

Proses merawat kolaborasi penting memperhatikan dan mengakomodasi gagasan teori konsensus yang menyatakan bahwa proses perubahan harus berlangsung dalam 4 tahap proses, yaitu proses diferensiasi, proses perbaikan adaptif, proses integrasi, dan proses generalisasi nilai (Saifuddin, 2005). Proses diferensiasi, umumnya bersifat “menjadi-dua” (binary) yang terjadi dalam struktur, fungsi, dan peran. Dari

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring110

bersifat individual menjadi kelompok, informal menjadi formal, domestik menjadi skala pabrik/industri, kolektivitas kerabat menjadi organisasi formal. Proses perbaikan adaptif, menegaskan bahwa diferensiasi harus diikuti perbaikan bersifat adaptif dalam hal struktur, fungsi, dan peran. Tanpa perbaikan adaptif akan terjadi kekacauan, tumpang tindih, dan pengulangan struktur-fungsi-peran yang mubasir. Proses integrasi, menegaskan bahwa melalui diferensiasi dan adaptasi maka lahir kebutuhan menjalankan integrasi. Harus lahir insentif baru, model baru, cara baru yang mampu menjalin, menyatukan, dan memelihara realitas struktur-fungsi-peran yang berdiferensiasi dalam proses mengalami perbaikan adaptif. Proses generalisasi nilai, menegaskan bahwa nilai yang lahir dari proses diferensiasi, adaptasi, dan integrasi dikonstruksi dan diangkat menjadi nilai dalam kolektivitas kehidupan masyarakat. Nilai tersebut dibuat menjadi lebih umum dan menjadi nilai inti yang diterima dalam kolektivitas masyarakat. Melalui penerapan tahapan di atas maka proses membangun kolaborasi mendapat pelajaran tentang pentingnya ketuntasan dan keberlanjutan kolaborasi. Proses 4 tahap mendorong perubahan ini mengingatkan proses dan mekanisme perubahan kebudayaan dalam dinamika kehidupan masyarakat yang mencakup proses internalisasi, sosialisasi, enkulturasi (pembudayaan), akulturasi, asimilasi, dan difusi (Koentjaraningrat, 2009).

Konstruksi realitas empiris di atas sejalan dengan makna kolaborasi yang dikemukakan Maring (2010), kolaborasi merupakan proses di mana dua orang atau lebih terlibat aktif dalam memikirkan, merencanakan, memutuskan, dan bekerjasama, sebagai wujud proses kreasi bersama dan saling pengertian untuk mewujudkan tujuan tertentu yang dikonstruksi bersama. Dalam konteks penguasaan hutan, kolaborasi dimaknai sebagai proses di mana para pemangku kepentingan aktif dan sengaja mengartikulasi kepentingan,

Prudensius Maring 111

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

mendiskusikan perbedaan, mengkonstruksi kepentingan bersama, merumuskan tujuan dan strategi bersama, dan menetapkan mekanisme kontrol untuk mencapai tujuan bersama (Maring, 2010). Dengan demikian, penting menyatakan bahwa kolaborasi merupakan sebuah realitas sosial dinamik yang ada dan terus berkembang dalam kehidupan masyarakat. Kolaborasi tidak hanya muncul sebagai sebuah isu manajemen yang datang dari luar untuk menjalankan fungsi menata dan mengatur. Sebagai sebuah realitas sosial maka kolaborasi perlu dianalisis sebagaimana halnya analisis yang dilakukan terhadap konflik dan perlawanan (resistensi), serta tema-tema masalah sosial lainnya. Menghubungkan dengan makna dan konstruksi kebudayaan yang mensyaratkan adanya proses adaptasi, berlangsung melalui proses belajar, yang dilakukan secara kolektif, adanya proses saling berbagi (Saifuddin, 2005), dan keseluruhan hasilnya diarahkan untuk mendukung mendukung kehidupan masyarakat secara luas, maka proses kolaborasi memiliki kesamaan karakteristik dengan proses konstruksi kebudayaan tersebut. Keseluruhan proses kolaborasi yang dijalankan masyarakat dan perusahaan merupakan respon adaptatif terhadap realitas sosial, dilakukan bersama-sama, menjadi arena dan proses belajar untuk semua pihak, dan hasilnya mengarah kepada pencapaian tujuan kehidupan bersama yang lebih baik. 4.3. Implikasi Praktis: Revitalisasi Makna Mana-jemen Kolaborasi

Implikasi praktis dari penelitian ini adalah perlunya revitalisasi makna dan implementasi “manajemen kolaborasi”. Tidak terhindarkan bahwa pengintegrasian kolaborasi dalam tata kelola sumberdaya alam selalu memberi nuansa yang kuat pada aspek manajemen yang berhubungan dengan pengaturan sumberdaya serta pengorganisasian pola hubungan antarstakeholders. Meski demikian, pengaturan

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring112

sumberdaya tidak cukup hanya terfokus pada sumberdaya material yang dalam konteks pengurusan sumberdaya alam selalu berhubungan dengan lahan/tanah, air, dan tanaman. Sumberdaya material tersebut harus diabstraksi dan selalu dikaitkan konteks dan hubungannya dengan sumberdaya non material yang melekat di dalamnya. Sumberdaya non material selalu berhubungan dengan nilai, norma, jasa, kebiasaan, penghormatan, penghargaan, pengakuan, kesalingtergantungan, tanggungjawab, dan perubahan sosial berkelanjutan. Dalam konteks fungsi manajemen untuk mengatur dan mengorganisasi sumberdaya material dan non material tersebut maka kehadiran manajemen tidak cukup hanya memastikan terjadinya distribusi, alokasi, dan proporsi pembagian secara kuantitatif semata, tetapi juga proses distribusi, alokasi, dan proporsi pembagian secara kualitatif atas sumberdaya berciri non material. Dalam situasi ini kehadiran manajemen kolaborasi dalam konteks pengurus-an sumberdaya alam harus mampu mengintegrasikan target-target kuantitatif bersama target berciri kualitatif, mengintegrasikan target waktu yang ketat menjadi fleksibel, mengintegrasikan orientasi pencapaian output dengan orientasi proses, menekankan indikator penilaian yang datang dari luar dengan proses yang partisipatif.

Menempatkan kolaborasi dalam pembangunan sumberdaya alam lebih sebagai manajemen apalagi dalam pendekatan keproyekan bisa menggiring proses kolaborasi langsung masuk pada tahap konstruksi teknis. Banyak proses kolaborasi atau kemitraaan pembangunan kehutanan sering dimulai dengan penunjukkan dan penetapan wilayah, pemetaan lokasi atau areal, pengkaplingan areal kerja, dan distribusi areal kerja kepada masyarakat. Proses demikian berlanjut kepada penentuan pilihan tanaman/komoditas, tata pengaturan tanaman atau pola tanam, hingga penentuan kalender kerja yang sangat teknis. Penelitian dan proses

Prudensius Maring 113

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

fasilitasi ini yang digerakkan oleh kesadaran atas realitas konflik yang sedemikian serius telah memberi pelajaran bahwa kolaborasi tidak sekadar sebuah manajemen dalam pembangunan hutan. Kolaborasi dilihat sebagai sebuah pendekatan strategis untuk mentransformasi konflik yang sudah menjadi alas realitas sosial penguasaan sumberdaya alam. Dengan menempatkan kolaborasi sebagai sebuah pendekatan maka keseluruhan proses harus merefleksikan spirit kolaborasi yang selalu mengandung proses konstruksi mental-sosial dan proses konstruksi teknis. Bahkan proses konstruksi mental-sosial perlu mendahului proses konstruksi teknis. Urusan membuat peta areal kerja, distribusi dan alokasi lahan adalah proses yang kemudian setelah semua pihak memahami argumentasi penting di balik urusan membagi dan mengelola sumberdaya material tersebut.

Pelajaran praktis lain dari penelitian ini adalah proses membangun kolaborasi perlu dilepaskan dari jangkauan cara pandang hanya sejauh dan seumur proyek dan program in-tervensi dari luar. Proyek dan program kolaborasi seringkali cukup puas dengan pencapaian output yang telah terjadwal. Dengan menginspirasi teori-konsep kolaborasi dan menem-patkannya sebagai pendekatan maka proses membangun ko-laborasi itu harus didorong melampaui proses diferensiasi, proses perbaikan adaptif, proses integrasi, dan proses gener-alisasi nilai. Pendekatan proyek dengan kekuatan sumber-daya keproyekan yang dimiliki sering berhenti pada tahap diferensiasi yaitu ketika semua pihak baru mulai tergugah dan sadar, ketika institusi baru mulai terbangun, ketika per-an-peran baru mulai jalan. Untuk melangkah ke tahap berikut yaitu memelihara dan melakukan perbaikan adaptif masih harus menunggu proyek baru yang belum tentu terwujud. Dalam situasi demikian, proyek kolaborasi pembangunan gagal mencapai tahap integrasi dan generalisasi nilai se-hingga prakarsa-prakarsa yang dilakukan terhenti dan tidak

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring114

berkelanjutan. Karenanya proses kolaborasi tidak tuntas, ti-dak membumi, dan tidak menjadi milik para pihak yang ter-libat dalam proses kolaborasi tersebut. Dalam situasi di mana konflik yang diakui menjadi setting penguasaan hutan di In-donesia maka ketuntasan implementasi program-proyek ko-labotasi menjadi keniscayaan. Kolaborasi mesti dimaknai se-bagai proses di mana para pemangku kepentingan aktif dan sengaja mengartikulasi kepentingan, mendiskusikan perbe-daan, mengkonstruksi kepentingan bersama, merumuskan tujuan dan strategi bersama, dan menetapkan mekanisme kontrol untuk mencapai tujuan bersama. Jika tidak tuntas dan menyeluruh, bisa jadi program-proyek kolaborasi justru menciptakan spot-spot konflik baru yang menutup jalan bagi upaya pembangunan sumberdaya alam secara berkelanjutan dan berkeadilan bagi semua stakeholders dan bagi kelestar-ian alam. (*)

Prudensius Maring 115

Anonim, 2009. Strategi Pengembangan Manajemen Kolaborasi Pembangunan Hutan Tanaman Melalui Pendekatan Resolusi Konflik. Informasi Singkat. Jakarta: ITTO PD 396/06 Rev.2(F).

______, 2003. Kajian Model Manajemen Kolaborasi Antara HPH/HTI dengan Masyarakat Setempat. Laporan Akhir. Jakarta: Kerjasama Departemen Kehutanan dan PT Megah Ganendra Consultants.

Arifin, Bustanul, 1999. Kebijakan Ekonomi Kerakyatan: Intervensi Pemerintah dalam Sistem Pengelolaan Sumber Daya Alam. Dalam Kartika, Sandra dan Gautama, Candra (Eds) Menggugat Posisi Masyarakat Adat terhadap Negara: 16-23. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Arifin, Hazanal, 2009. Laporan Survei Lingkungan Sekitar Areal HTI guna mencari lokasi yang sesuai untuk Demplot di Provinsi Kalimantan Selatan dan Provinsi Jambi Indonesia. Laporan. Jakarta: ITTO PD 396/06 Rev.2 (F).

Awang, San Afri, 2006. Sosiologi Pengetahuan Deforestasi: Konstruksi Sosial dan Perlawanan. Jogyakarta: Debut Press.

Bukik’s Ideas, Tanpa Tahun. Berkendara Appreciative Inquiry: Imagine Indonesia. Bukik’s Ideas.

Covey, Stephen R., 1997. The 7 Habits of Highly Effective People. Edisi Indonesia. Jakarta: Binarupa Aksara.

Creswell, John W., 2010. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. Edisi Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Daniels, Steven E. dan Gregg B. Walker, 2005. Metode-Metode Kolaborasi untuk Memperkuat Pluralisme dalam Pengelolaan Sumberdaya Alam. Dalam: Manajemen Kolaborasi: Memahami Pluralisme Membangun Konsensus. Editor: Suporahardjo. Bogor: Pustaka Latin.

Elias, 2008. The Development of a Strategy for the Collaborative Forest Plantation Management in Jambi Province and South Kalimantan Province. Laporan. Jakarta: ITTO PD 396/06 Rev.2 (F).

DAFTAR PUSTAKA

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring116

Fairhead, James, 2001. International Dimensions of Conflict over Natural and Environmental Resources. Dalam Peluso, Nancy Lee & Michael Watts (Eds). Violent Environments. Ithaca and London: Cornell University Press.

Hartmann, Betsy, 2001. Dalam “Violent Environments”: Peluso, Nancy Lee & Michael Watts (Eds). Ithaca and London: Cornell University Press.

Hemmati, Minu, 2002. Multi-stakeholder Processes for Governance and Sustainability: Beyon Deadlock and Conflict. London: Earthscan Publication Ltd.

Katherine M., Cynthia J., Erik Nielsen, Vittoo V., 2005. Kolaborasi dan Konflik. Dalam: Manajemen Kolaborasi: Memahami Pluralisme Membangun Konsensus. Editor: Suporahardjo. Bogor: Pustaka Latin.

Koentjaraningrat, 2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Edisi Revisi 2009. Jakarta: Rineka Cipta.

Mallarangeng, Rizal, 2000. Konflik Maluku dan Reorientasi Ilmu Sosial. Opini. Harian KOMPAS, Rabu, 19 Januari 2000.

Manembu, Angel dan Alamsyah S., 2006. Kajian Dampak Program Kehutanan Multipihak-DFID Terhadap Konflik Sumberdaya Alam. akarta: Program Kehutanan Multipihak.

Maring, Prudensius, 2015. Culture of Control versus the Culture of Resistance in the Case of Control of Forest, Jurnal Makara Human Behavior Studies in Asia, Volume 19, Nomor 1, Juli 2015, ISSN: 2355-794X.

________, 2014. Konstruksi Tata Kelola Sumberdaya Ekologi Ber-basis Nilai Sosiokultural Masyarakat Lokal dan Perusahaan Swasta. Makalah Seminar Nasional Universitas Trilogi, Jakarta, Tanggal 11-12 Maret 2014.

________, 2013a. Kekuasaan yang Bekerja melalui Perlawanan: Kasus Penguasaan Hutan oleh Masyarakat dan Peru-sahaan, Jurnal Antropologi Indonesia; Volume 34 No. 2 Tahun 2013 Juli-Desember 2013, hal. 164-175, ISSN: 1693-167X.

________, 2013b. Transformasi Konflik Menuju Kolaborasi: Kasus Resolus Konflik Penguasaan Hutan, Jurnal INSANI, Edisi Desember 2013, ISSN: Jakarta: STISIP Widuri.

________, 2010a. Bagaimana Kekuasaan Bekerja di Balik Konflik, Perlawanan, dan Kolaborasi? Sebuah Sudut Pandang Antropologi Tentang Perebutan Sumberdaya Ekologi, Jakarta: Lembaga Pengkajian Antropologi Kekuasaan Indonesia.

Prudensius Maring 117

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

________, 2010b. Strategi Perlawanan Berkedok Kolaborasi: Sebuah Tinjauan Antropologi Kasus Penguasaan Hutan, Buletin PARTNER, Kupang, ISSN:0852-6877.

________, 2010c. Bangun Diskusi Persuasif Soal Tambang. Harian Pos Kupang, 23September 2010.

________, 2009. Participatory Rural Appraisal untuk Pembangunan Hutan Tanaman Kolaboratif (Kasus Provinsi Jambi dan Kalimantan Selatan), Laporan Proyek Strategy For Developing Plantation Forest: A Conflict Resolution Approach In Indonesia, Jakarta; ITTO PD 396/06 Rev.2(F).

________, 2007. Krisis Ekologi dan Seruan Moral. Opini. Jakarta Harian KOMPAS, Jumat, 7 Desember 2007.

Marzali, Amri, 2013. Pengantar Tokoh untuk Buku Antropologi Kehutanan. Jakarta: Wana Aksara.

Munggoro, Dani Wahyu & Novi Andri, 2002. Tatanan Kehutanan Majemuk: Redistribusi Kekayaan Alam Nusantara. Seri Kajian Komuniti Forestri, Seri 6 Tahun V Desember 2002. Bogor: LATIN.

Nugraha, Agung dan Murtijo, 2013. Antropologi Kehutanan. Cetakan Kedua. Jakarta: Lembaga Wana Aksara.

Peluso, Nancy Lee, 2006. Hutan Kaya, Rakyat Melarat: Penguasaan Sumberdaya dan Perlawanan di Jawa. Terjemahan. Jakarta: KONPHALINDO.

Qadir, C.A., 1995. Ilmu Pengetahuan dan Metodenya. (Penerjemah: Bosco Caevallo dkk). Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Ramirez, Ricardo, 2005. Memahami Pendekatan-Pendekatan Kolaborasi: Usaha Mengakomodasi Kepentingan Multi-stakeholders. Dalam: Manajemen Kolaborasi: Memahami Pluralisme Membangun Konsensus. Editor: Suporahardjo. Bogor: Pustaka Latin.

Santoso, Hery, 2004. Perlawanan di Simpang Jalan: Kontes Harian di Desa-desa Sekitar Hutan di Jawa. Yogyakarta: Damar.

Scott, James C., 1993. Perlawanan Kaum Tani. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

_______, 1994. Moral Ekonomi Petani: Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta: Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES).

Saifuddin, Achmad Fedyani, 2005. Antropologi Kontemporer: Suatu Pengantar Kritis Mengenai Paradigma. Jakarta: Prenada Media.

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring118

_______, 2010. “Outside In, Inside Out: Suatu Catatan ReflektifTentang Kekuasaan”. Pengantar Buku: Bagaimana Kekuasaan Bekerja di Balik Konflik Perlawanan, dan Kolaborasi? Sebuah Sudut Pandang Antropologi Tentang Perebutan Sumberdaya Ekologi. Prudensius Maring. Jakarta: Lembaga Pengkajian Antropologi Kekuasaan Indonesia.

Siradjuddin, S., 2013. Eksistensi Pluralisme Hukum dan Proses Negosiasi untuk Mewujudkan Keadilan dalam Penguasaan Hutan di Indonesia. Disertasi. Bandung: Program Pascasarjana, Fakultas Hukum, Universitas Padjajaran.

Suporahardjo, 2005. Strategi dan Praktek Kolaborasi : Sebuah Tinjauan. Dalam: Manajemen Kolaborasi: Memahami Pluralisme Membangun Konsensus. Editor: Suporahardjo. Bogor: Pustaka Latin.

Tadjudin, Djuhendi, 2000. Manajemen Kolaborasi. Bogor: Pustaka LATIN (Lembaga Alam Tropis Indonesia).

Utama, Suwignya, 2009. Laporan Survei Sosial Ekonomi alam Rangka Kolaborasi Pembangunan Hutan Tanaman Antara Perusahaan Bersama Masyarakat: Kasus Provinsi Jambi dan Kalimantan Selatan. Jakarta: ITTO PD 396/06 Rev.2(F).

Widyantoro, Bambang, 2008. Pengembangan Mekanisme Praktis Hutan Tanaman Kolaboratif Berdasarkan Kerangka Yuridis Formal yang Relevan. Draf Hasil Konsultasi. Jakarta: ITTO PD 396/06 Rev.2(F).

Widyantoro, Bambang, 2008. Kerangka Yuridis Formal untuk Pendekatan Resolusi Konflik di Provinsi Jambi dan Kalimantan Selatan, Indonesia. Draf Hasil Konsultasi. Jakarta: ITTO PD 396/06 Rev.2(F).

Wulan, Y.C., dkk, 2004. Analisa Konflik Sektor Kehutanan di Indonesia 1997-2003. Laporan Penelitian. Bogor: CIFOR dan FWI.

Prudensius Maring 119

I N D E K S

Aakulturasi 110Alasmsyah 9, 20, 106antropologi 34appreciative inquiry 89, 90Arifin 2, 9, 10, 11, 48asimilasi 110

BBailey 3, 11Banjar 36, 37binary 24, 96, 109Bryant 3, 11Bugis 36, 37

Ccamp 42Center for International Forestry

Research (CIFOR) 1coerce/coercion 12community development 68, 71,

75, 76, 78, 83community forestry 6common-pool resources 10conflict resolution 8, 26, 103, 107conflict resolution approach 8, 26,

103, 107corporate social responsibility 27, 28Creswell 28

DDesa Praha 20, 27, 34-39, 41-44,

53-55, 58-61, 64, 65, 74, 77, 84, 99

developing plantation forest 8, 26, 103, 107

difusi 110Durkheim 23

Eego 24, 26emik 28, 107enkulturasi 110enforcement 2, 11environmental scarcity 12equilibrium 13

FFairhead 3, 13, 15Flores 36Foucault 17furgitive resources 9

Ggaris linear 13gotong-royong 5, 43

HHardin 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15heterogenitas 37, 41Hobbes 2Hukum Berbasis Masyarakat

dan Ekologis (Huma) 1hutan tanaman industri 7, 8, 12,

27, 42, 43, 45, 47, 55, 65, 78, 102

Iinduktif 28, 107instant 80, 94, 108intensitas konflik 1, 77internalisasi 95, 109, 110International Tropical Timber Or-

ganization (ITTO) 27

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Prudensius Maring120

JJambi 20, 27, 35, 37, 47, 53, 60,

64, 79, 81, 83, 84Jawa 36, 37, 38jelutung 46, 77, 87

Kkedekatan geografis 39, 57, 58,

60, 77kekuasaan 3, 4, 12, 14, 17, 21, 22,

67Kernaghan 4, 25Kerinci 36, 37key-stakeholders 27Koentjaraningrat 110kolaborasi 3-9, 16, 18-27, 29, 33,

47, 50, 55-58, 65-68, 71, 75-81, 83-87, 89, 92, 94-97, 102-114

konflik 1-4, 6-21, 25-27, 29, 32, 54, 55, 57, 58, 71, 73, 74, 77-80, 83, 84, 89, 91, 94, 97, 98, 102-108, 113, 114.

konflik marxian 16konflik non marxian 13, 14konsensus 3-5, 8, 18, 19, 23-25,

95, 96, 104, 105, 106, 109.konstruksi kolaborasi 71, 108konstruksi mental 81, 86-88, 90,

93-95, 197, 109, 113konstruksi teknis 81, 90, 93-95,

109, 112, 113konstruksi tujuan 58, 91

Llaw-enforcement 2legal-formal 6, 43, 55, 59, 74, 78

MManembu 9, 20, 106Maring 3-6, 11, 15, 17-23, 30, 34-

37, 39, 42, 44, 45, 51, 56, 57, 81. 95, 104, 105, 107, 109, 110, 111

Melayu 36, 37Menteri Kehutanan 39, 46, 47,

68Minangkabau 37model konflik 13, 14, 55

OOngleo 21open access 10Ostrom 9Oxfam Novib 1

PParsons 23participatory action research 26,

29, 103peat dome 48Peluso 15pembudayaan 95, 109, 110perlawanan 2-4, 12, 17-19, 25-28,

39, 46, 50, 54-57, 71, 79, 80, 87, 94, 97, 101, 102, 104-108, 111

Persero Karsa 14, 39, 42-49, 51, 55, 56, 59, 71, 74

perspektif kekuasaan 3, 17, 21pola hubungan produksi 35, 36,

38-40, 83, 91, 98political ecology 3, 11, 13, 14Praha 20, 27, 34-39, 41-44, 48, 52,

54, 55, 58, 60, 61, 65, 71, 74, 76, 84, 91-94, 99

primary-stakeholdersi 27problem solving 89profit 2, 27, 39, 82, 90profit oriented 39

Rresistance 3, 17, 50, 71, 101resistensi 18,19, 22, 25, 38, 39,

47, 50, 56, 58, 71, 72, 75, 82-84, 88, 91, 94, 100, 101, 105, 107, 108, 111

SSaifuddin 2, 8, 16, 19, 23, 24, 104,

106, 109, 111

Prudensius Maring 121

Pengutamaan Kolaborasi di Balik Konflik Sumberdaya Alam

Scott 17secondary-stakeholders 27security 50, 56, 60, 71, 76setting 8, 26, 58, 77, 98, 114share of power 5small workshop 79Siradjuddin 7stakeholders 28, 39, 56, 57, 102,

103, 111, 114standing position 4strategi masyarakat 50strategi perusahaan 47, 54, 61,

63, 85, 92struktural-fungsionalisme 13Sunda 37suku-bangsa 36, 37, 42Suporahardjo 4, 5, 6, 21

TTadjudin 6Tanjab 34, 35,47teori-model konsensus 8, 23, 25tragedy of the commons I2, 9, 10transformasi konflik 8, 9, 19, 20,

26, 30, 102, 106

UUtama 6, 24, 26-28, 35-39, 42-

45, 48, 53, 56, 60-62, 64, 65, 68, 72, 74, 81, 92, 95, 97, 100, 106, 109

WWatts 15welcome 69Worah 21

Prudensius Maring122

PRUDENSIUS MARING: Lahir di Kloang-popot, Maumere, Flores, 20 Pebruari 1966; Menjadi Dosen PNS sejak tahun 1996; sejak Januari 2013 menjadi Dosen PNS DPk pada Program Pascasarjana, Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Widuri

Jakarta; Lulus Magister Antropologi tahun 2000 dan Doktor Antropologi tahun 2008 pada Program Pascasarjana Antropologi, FISIP, Universitas Indonesia; Menulis buku ”Bagaimana Kekuasaan Bekerja di Balik Konflik, Perlawanan, dam Kolaborasi: Sebuah Sudut Pandang Antropologi tentang Perebutan Sumberdaya Ekologi” terbit Desember 2010; Menulis artikel ilmiah/populer, antara lain: Kekuasaan yang Bekerja Melalui Perlawanan: Kasus Penguasaan Hutan Antara Masyarakat dan Perusahaan (Jurnal Antropologi Indonesia, 2013); Culture of Control versus the Culture of Resistance in the Case of Control of Forest (Jurnal Makara Human Behavior Studies in Asia, 2015); Social Strategy of Ciliwung River Bank Community (Jurnal Komunitas, 2015); Meneliti masalah konflik, perlawanan, dan kolaborasi dalam perspektif antropologi kekuasaan dan antropologi ekologi; Menjadi narasumber dan instruktur pelatihan transformasi konflik; Mengajar mata kuliah: Pengantar Antropologi, Pengantar Ilmu Politik, Sistem Politik Indonesia, Penelitian Pengembangan Masyarakat, Pembangunan dalam Perspektif Modernisasi Ekologi; Bisa dihubungi melalui email: [email protected].

TENTANG PENULIS