Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi...

280
MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Transcript of Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi...

Page 1: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

MUTUPEKERJA SOSIAL

DI ERA OTONOMI DAERAH

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 2: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

MUTUPEKERJA SOSIAL

DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 3: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2001 Tentang Hak CiptaPasal 2

(1) Hak Cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya, yang timbul secara otomatis setelah suatu ciptaan dilahirkan tanpa mengurangi pembatasannya menurut perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan PidanaPasal 72

(1) Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).

(2) Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Page 4: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

MUTUPEKERJA SOSIALDI ERA OTONOMI DAERAH

Penulis:

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Penerbit:CINTA IndonesiaCimanggis Kota Depok, Mei 2013

Page 5: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

MUTU PEKERJA SOSIALDI ERA OTONOMI DAERAH

Oleh: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Cetakan Pertama: Mei 2013

Diterbitkan Oleh CINTA Indonesia

Executive Office : Perkantoran Pesona View B8 2nd Floor Jl. Juanda Kota Depok, Jawa Barat.Production Office : Jl. Bhayangkara No. 9 PGS Cimanggis Kota Depok, Jawa BaratTelp/Fax : (021) 87717007/(021) 87717007Website : www.cia.web.idEmail : [email protected]

Editor : Wahyu Triono KSDesain Sampul : Wahyu Triono KSTata Letak & : Julhan Evendi SianturiPenyelaras Bahasa Yusmiti TarmiziOrganizer : PT. SEVROASIS CITRA INTIPRIMAPercetakan : PT. Khalifah MediatamaDistributor/Penyalur : CV. Jelajah Nusa

Perpustakaan Nasional RI. Data Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Situmorang, Chazali H. Dr. Apt, M.Sc Mutu pekerja sosial di era otonomi daerah / penulis Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc; editor, Wahyu Triono KS. Depok : CINTA Indonesia– (Central Informasi Networking Transformasi dan Aspirasi Indonesia), 2013. 262 hlm dan xvi hlm. ; 22 cm x 15 cm

ISBN 978 - 602 - 97251- 3 - 1

1. Pekerja sosial I. Judul. II. WahyuTriono KS

361.309 2

Page 6: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

KOMENTARMENTERI SOSIAL REPUBLIK

INDONESIA

“Pekerja Sosial sebagai garda terdepan dalam Pelayanan Sosial memerlukan mutu yang tinggi, kompetensi yang unggul dan harus dapat mengupdate dirinya secara berkelanjutan. Buku ini diharapkan dapat dijadikan sebagai pencerahan ke arah di maksud”

– Dr. Salim Segaf Al Jufri, MA – Menteri Sosial Republik Indonesia

v

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 7: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

KOMENTAR TOKOH

“Buku ini patut mendapat apresiasi karena mengangkat Quality Control dari suatu profesi yang sangat mulia namun sering dicampuradukkan dengan pekerjaan relawan. Social Worker perlu membaca buku ini untuk meningkatkan eksistensi profesi pekerjaan sosial di Indonesia”. (Makmur Sunusi, Ph.D – Staf Ahli Menteri Sosial/Pakar International Social Work).

“Buku Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah karya Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc, memberikan referensi yang holistik dan komprehensif bagi para akademisi, praktisi dan penggiat pembangunan kesejahteraan sosial tentang permasalahan, kebijakan dan evaluasi mutu pekerja sosial di era otonomi daerah. Penulis telah menguraikan kerangka pemikirannya berdasarkan fakta yang lengkap, otentik dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Buku ini layak dijadikan referensi utama di berbagai perguruan tinggi yang menyelenggarakan pendidikan tinggi profesi pekerjaan sosial.” (Dr. Ir. Harry Hikmat, M.Si – Kepala Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial

vi

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 8: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Penulis buku ini memberikan gambaran bahwa manakala pekerjaan sosial tidak dilakukan oleh orang yang tepat maka akan terdapat celah. Tanpa menafikkan jasa pekerja sosial fungsional yang tidak berlatar belakang pekerjaan sosial, buku ini secara terbuka mengupas mutu mereka.

Meskipun hal ini tidak berarti bahwa mereka yang murni berlatar belakang pendidikan pekerjaan sosial tidak memiliki kekurangan. Menurut saya, buku ini dapat menjadi cambuk bagi para pekerja sosial untuk lebih maju.

Sedangkan bagi para pekerja sosial fungsional, buku ini layak menjadi media refleksi terhadap praktik yang sudah dilakukan. Bagi saya, buku ini semakin menegaskan perlunya perubahan aturan terkait pekerja sosial fungsional agar sejalan dengan reformasi pekerjaan sosial.” (Dr. Kanya Eka Santi, MSW – Ketua Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial Bandung).

“Dalam era otonomi daerah, masa depan pekerja sosial di Indonesia ada di tingkat pemerintahan yang paling bawah yang langsung berhadapan dengan individu dan masyarakat yang membutuhkan pelayanan kesejahteraan sosial. Buku ini, dengan bahasannya yang mendalam pada kebijakan dan program pelayanan kesejahteraan sosial, menjawab tanta-ngan ini dan membuka wawasan kita bahwa ternyata masih banyak agenda yang harus dibenahi.

Meskipun settingnya lebih pada pelayanan di Kemensos RI, tetapi buku ini berhasil menyajikan informasi yang sangat penting bagaimana meningkatkan mutu pekerja sosial." (Drs. Tata Sudrajat, M.Si – Ketua Umum Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia (IPSPI) 2010 - 2016).

vii

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 9: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

KATA PENGANTAR

EMBANGUNAN P Sosial dalam pelaksanaannya terkait erat dengan profesi pekerjaan sosial. Oleh karena itu, melihat sejauh mana peran Pekerja Sosial dalam

pembangunan sosial menjadi sangat penting, mengingat profesi Pekerja Sosial menempati posisi garda terdepan dalam pembangunan sosial, khususnya di era otonomi daerah.

Di era otonomi daerah pemberian pelayanan langsung (direct services) kepada Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) menjadi domain dan tanggungjawab dinas/ instansi sosial, sementara peran pemerintah hanya sebatas fasilitasi, dukungan dan kebijakan (indirect services).

Untuk menghindari terjadinya kesenjangan hasil pelayanan peningkatan mutu pekerja sosial menjadi sebuah keniscayaan yang harus dilakukan oleh pemerintah melalui berbagai upaya pendidikan, pelatihan dan penyediaan perangkat peraturan yang mendukung. Dengan begitu, mutu atau kualitas hasil pelayanan sosial yang diberikan dapat dipertanggungjawabkan secara profesional.

Sebagai orang yang menggeluti pembangunan kese-jahteraan sosial di lingkungan Kementerian Sosial, tidak diragukan lagi penulis banyak mengetahui berbagai persoalan dan hambatan yang dijumpai baik dalam tataran kebijakan maupun implementasi program. Melalui Buku ini, penulis mencoba untuk membahas bahwa di era otonomi daerah saat ini salah satu isu krusial adalah masih dominannya pembangunan fisik dibandingkan peningkatan kualitas

viii

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 10: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Sumber Daya Manusia (SDM). Akibatnya, capaian pelayanan kesejahteraan sosial menjadi kurang maksimal karena ketersediaan dan keterbatasan Mutu Pekerja Sosial.

Penulisan dan penerbitan buku ini selain merupakan wujud kepedulian penulis untuk turut serta memperkaya dis-kursus pembangunan sosial di Indonesia, juga merupakan sumbangan penulis dalam memberikan “mercusuar” bagi penanganan permasalahan kesejahteraan sosial di tanah air.

Dalam buku ini, penulis berupaya membedah berbagai perangkat peraturan yang mencakup Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Keputusan Menteri dan berbagai ketentuan lain yang membahas tentang Mutu Pekerja Sosial.

Karenanya, selain memiliki posisi strategis dalam khaza-nah literatur Pekerjaan Sosial dan Kesejahteraan Sosial, buku ini sangat bermanfaat bagi para penentu kebijakan sosial maupun para praktisi Pekerjaan Sosial dalam menetapkan dan mengimplementasikan strategi pembangunan sosial yang berkualitas dan berkelanjutan.”

Edi Suharto, Ph.D

ix

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 11: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

PENGANTAR PENULIS

UTU Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah adalah Mmerupakan Buku yang berasal dari disertasi yang saya tulis untuk meraih gelar doktor bidang studi

Manajemen Pendidikan pada program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Tahun 2010. Judul aslinya adalah Kebijakan Nasional Tentang Mutu Pekerja Sosial (Studi Evaluasi Tentang Implementasi Kebijakan Pekerja Sosial Pemerintah Pusat Dan Daerah).

Buku ini membahas kajian mendalam tentang berbagai ketentuan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputu-san Presiden, Keputusan Menpan dan Keputusan Menteri Sosial yang substansinya mengatur tentang Mutu Pekerja Sosial dan Pelayanan Sosial (Pelayanan Kesejahteraan Sosial) yang terdiri dari Rehabilitasi Sosial, Perlindungan Sosial, Jaminan Sosial dan Pemberdayaan Sosial.

Meskipun saya berasal dari latar belakang sebagai seorang Apoteker (Ahli di bidang obat-obatan), namun penga-laman pengabdian saya di lingkup kerja Kementerian Sosial RI dan pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal semakin menumbuhkan komitmen saya yang sangat kuat untuk meningkatkan Mutu Pekerja Sosial di Indonesia yang pada saat Otonomi Daerah kurang mendapatkan perhatian yang sungguh-sungguh.

Dalam perspektif kajian yang mendalam dari hasil studi yang saya lakukan ini, setidaknya buku ini menyajikan data yang lengkap, bersumber dari stakeholder di lingkup kerja

x

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 12: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Kementerian Sosial serta kajian yang mendalam implementasi kebijakan nasional tentang peningkatan mutu pekerja sosial di era otonomi daerah. Karenanya, buku ini menjadi panduan bagi seluruh pekerja sosial di Indonesia dan referensi bagi yang ingin mengetahui dan memahami berbagai kebijakan nasional tentang peningkatan mutu pekerja sosial di Indonesia.

Untuk menerbitkan buku ini saya menyadari bahwa semua dapat diselesaikan berkat dukungan dan bantuan dari semua pihak. Oleh karena itu, tidak ada kata lain yang dapat saya ucapkan selain dari ungkapan terima kasih kepada semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung telah memberikan kontribusi dalam penyelesaian penulisan dan penerbitan buku ini.

Secara khusus saya menyampaikan terima kasih kepada Dr. Salim Segaf Aljufrie, MA, Menteri Sosial RI yang memberikan pandangannya tentang Mutu Pekerja Sosial dan memberikan komentar pada buku ini. Ucapan terimakasih juga saya sampaikan kepada Dr (Hc). H. Bachtiar Chamsyah, SE, Menteri Sosial RI 2001-2009. Dimana dalam kepemimpinan beliau berdua sebagai Menteri Sosial RI saya berkesempatan melakukan pengabdian di Kemsos RI khususnya dalam upaya dan komitmen saya meningkatkan Mutu Pekerja Sosial di Indonesia.

Selain itu, ucapan terima kasih saya sampaikan juga kepada Makmur Sunusi, Ph.D (Staf Ahli Menteri Sosial RI), Dr. Ir. Harry Hikmat, M.Si, Kepala Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial RI, Dr. Kanya Eka Santi, MSW, Ketua Sekolah Tinggi Kesejahte-raan Sosial (STKS) Bandung, Drs. Tata Sudrajat, M.Si, Ketua Umum Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia (IPSPI) 2010-2016 Edi , yang memberikan komentar pada buku ini dan Suharto, Ph.D, Direktur Kesejahteraan Sosial Anak Kemensos RI, Social Protection Expert, UNESCAP Bangkok yang memberikan kata pengantar dan komentar pada buku ini.

Kepada semua pihak di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) antara lain Prof. Dr. Bedjo Sujanto, M.Pd, Rektor Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Prof. Dr. H. Djaali (Direktur Program Pascasarjana Universitas Negeri Jakarta(UNJ),

xi

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 13: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Prof. Dr. Muchlis R. Luddin dan Prof. Dr. Thamrin Abdullah, M.Pd, Prof. Dr. Yetti Supriyati, M.Pd, dan Prof. Dr. Ma'ruf Akbar, M.Pd saya mengucapkan terima kasih atas semua upaya dan bantuannya sehingga saya dapat menyelesaikan disertasi yang akhirnya menjadi bahan dalam penerbitan buku ini.

Ucapan terimakasih juga saya sampaikan kepada para teman-teman di Kemensos: Dr. Marjuki, Dr. Mukman Nuryana, Armay, SH, M.Hum, MM dan Toto Restuanto sebagai nara sumber dan staf di Sekretariat Jenderal Kemensos (Jaya Rachmat, Zaenal, Nining Irianti, Iin Purwatiningsih, Siti Indriasari Octaviana dan Rifa) yang telah membantu dan memberikan dukungan kemudahan dan kelancaran sampai saya dapat merampungkan disertasi saya yang pada akhirnya menjadi bahan penerbitan buku ini.

Dengan rasa kasih sayang, buku ini saya persembahkan kepada istri saya tercinta Dra. Lenny Brida, M.Si dan juga kepada kedua anak saya yang tersayang Budi Syarif Amanda Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada Wahyu Triono KS yang menjadi editor buku ini, juga kepada Julhan Evendi Sianturi dan Yusmiti Tarmizi yang menentukan tata letak dan menyelaraskan bahasa buku ini.

Akhirnya saya berharap kiranya buku ini memberikan manfaat dalam peningkatan mutu Sumber Daya Manusia, khususnya Mutu Pekerja Sosial sebagai lokomotif pemba-ngunan kesejahteraan sosial di Indonesia.

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

xii

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 14: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

xiii

DAFTAR ISI

KOMENTAR MENTERI SOSIAL RI – vKOMENTAR TOKOH – viKATA PENGANTAR – viiiPENGANTAR PENULIS – xDAFTAR ISI – xiii

BAB IPENDAHULUAN: MASALAH MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH – 3A. Beberapa Catatan Tentang Studi Mutu Pekerja Sosial Di

Era Otonomi Daerah – 3 1. Latar Belakang Studi – 3 2. Ruang Lingkup Studi – 15 3. Rumusan Masalah Studi – 15 4. Kegunaan Studi – 16 B. Pendekatan Studi – 16 1. Tujuan Studi – 19 2. Tahapan Studi – 19 3. Tinjauan Pendekatan Studi – 21C. Metode Studi – 22 1. Sumber Dan Teknik Pengumpulan Data Studi – 22 2. Metode Analisis Studi – 23 D. Pengorganisasian Buku – 27

BAB IIKEBIJAKAN NASIONAL TENTANG MUTU PEKERJA SOSIAL SUATU TINJAUAN TEORITIK – 31A. Kebijakan Nasional – 31B. Kebijakan Publik – 32C. Analisis Kebijakan – 42 1. Pendekatan Analisis Kebijakan – 49 2. Pendekatan Evaluasi Kebijakan – 51 3. Indikator Evaluasi – 56D. Konsep Mutu – 57 1. Sejarah Mutu – 57 2. Definisi Mutu – 59

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 15: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

E. Mutu Pekerja Sosial – 67 1. Standar Pelayanan Sosial Di Panti Sosial – 68 2. Pekerja Sosial dan Pekerjaan Sosial (Social Worker and

Social Work) – 71 3. Prinsip-Prinsip Pekerjaan Sosial/Pekerja Sosial – 78 4. Ruang Lingkup Pekerjaan Sosial – 86 F. Panti Sosial/Institusi Kesejahteraan Sosial – 88G. Kerangka Berpikir Tentang Studi – 89

BAB IIIKEBIJAKAN NASIONAL YANG BERKAITAN DENGAN MUTU PEKERJA SOSIAL – 93A. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 Tentang Keten-

tuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial – 93B. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejah-

teraan Sosial – 94C. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16

Tahun 1994 Tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil – 95

D. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 1999 Tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Ne-geri Sipil – 96

E. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor KEP/03/M.PAN/I/2004 Tentang Jabatan Fungsio-nal Pekerja Sosial dan Angka Kreditnya – 96

F. Keputusan Bersama Menteri Sosial Dan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 05/HUK/2004, Nomor 09 Tahun 2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fung-sional Pekerja Sosial dan Angka Kreditnya – 101

G. Keputusan Menteri Sosial Nomor 50/HUK/2004 Tentang Perubahan Keputusan Menteri Kesehatan dan Kesejahte-raan Sosial Nomor 193/MENKES-KESSOS/III/2000 Ten-tang Standarisasi Panti Sosial – 101

H. Keputusan Menteri Sosial Nomor 10/HUK/2007 Tentang Pembinaan Teknis Jabatan Fungsional Pekerja Sosial – 103

I. Keputusan Menteri Sosial Nomor 43/HUK/2007, Tentang Pedoman Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial – 103

xiv

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 16: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

J. Peraturan Menteri Sosial Nomor 108/HUK/2009, Tentang Sertifikasi Bagi Pekerja Sosial Profesional Dan Tenaga Kesejahteraan Sosial – 106

BAB IVMENJELASKAN HASIL STUDI KEBIJAKAN NASIONAL TENTANG MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH – 109A. Substansi Kebijakan Tentang Mutu Pekerja Sosial – 110B. Implementasi Kebijakan Mutu Pekerja Sosial – 120C. Evaluasi Hasil Pelaksanaan Kebijakan Tentang Mutu

Pekerja Sosial – 137

BAB VINDIKATOR EVALUASI DAN DESKRIPSI HASIL PELAKSA-NAAN KEBIJAKAN MUTU PEKERJA SOSIAL – 149A. Indikator Evaluasi Hasil Pelaksanaan Kebijakan Mutu

Pekerja Sosial – 149B. Deskripsi Hasil Pelaksanaan Kebijakan Mutu Pekerja

Sosial – 151 1. Pekerja Sosial Di Panti Sosial – 151 1) Latar Belakang Pendidikan – 151 2) Ketentuan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial

(JFPS) – 152 3) Kegiatan Pelayanan Sosial Dan Pengembangan

Kualitas Pelayanan Kesejahteraan Sosial – 176 4) Formasi Pekerja Sosial – 182 5) Penilaian Angka Kredit – 182 6) Kompetensi Profesi Pekerja Sosial – 183 7) Partisipasi Masyarakat – 186 2. Kepala Panti Sosial – 190 1) Latar Belakang Pendidikan – 190 2) Ketentuan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial

(JFPS) – 190 3) Kegiatan Pelayanan Kesejahteraan Sosial Dan

Pengembangan Kualitas Pelayanan Kesejahteraan Sosial – 207

4) Formasi Pekerja Sosial – 214 5) Penilaian Angka Kredit Pekerja Sosial – 215

xv

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 17: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

6) Kompetensi Profesi Pekerja Sosial – 215 7) Sarana Penunjang Kerja Pekerja Sosial – 220 8) Partisipasi Masyarakat – 221

BAB VIMEMBAHAS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN NASIONAL TENTANG MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH – 227A. Evaluasi Substansi, Implementasi dan Hasil Pelaksanaan

Kebijakan Nasional Tentang Mutu Pekerja Sosial – 227 B. Analisis SWOT Kementerian Sosial Dalam Implementasi

Kebijakan Nasional Tentang Mutu Pekerja Sosial – 235C. Strategi Program Implementasi Kebijakan Nasional Ten-

tang Mutu Pekerja Sosial – 241

BAB VIIKESIMPULAN DAN REKOMENDASI IMPLEMENTASI KEBI-JAKAN NASIONAL TENTANG MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH – 247A. Kesimpulan Implementasi Kebijakan Nasional Tentang

Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah – 248B. Rekomendasi Implementasi Kebijakan Nasional Tentang

Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah – 250

DAFTAR PUSTAKA – 255RIWAYAT HIDUP – 261

xvi

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 18: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

BAB IPENDAHULUAN:

MASALAH MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

1

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 19: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

2

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 20: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

BAB IPENDAHULUAN:

MASALAH MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

UKU Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah ini

Bmembahas kajian mendalam tentang berbagai

ketentuan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,

Keputusan Presiden, Keputusan Menpan, Keputusan Menteri

Sosial, yang substansinya mengatur tentang mutu Pekerja

Sosial dan pelayanan sosial (pelayanan kesejahteraan sosial)

yang terdiri dari rehabilitasi sosial, perlindungan sosial,

jaminan sosial dan pemberdayaan sosial.

Pada bagian pendahuluan yang merupakan tinjauan

umum ini akan menguraikan beberapa catatan tentang mutu

Pekerja Sosial di era otonomi daerah, pendekatan studi,

metode studi dan pengorganisasian buku ini.

A. Beberapa Catatan Tentang Mutu Pekerja Sosial Di Era

Otonomi Daerah.

1. Latar Belakang Studi. Sumber daya manusia memegang peranan penting dalam penyelenggaraan pelayanan kesejahteraan sosial. Integritas dan kompetensi sumber daya manusia kesejahteraan sosial merupakan potensi utama dalam menjawab tuntutan pembangunan dan peningkatan

3

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 21: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

kualitas kesejahteraan sosial. Sumber Daya Manusia

sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11

Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial mencakup

tenaga kesejahteraan sosial, pekerja sosial profesional,

relawan sosial dan penyuluh sosial.

Adapun potensi SDM/Pegawai Kementerian

Sosial yang di dalamnya mencakup Tenaga Kesejahte-

raan Sosial, Pekerja Sosial, Penyuluh Sosial dan jabatan

fungsional lainnya selama periode tahun 2009, terlihat

pada tabel berikut:

Tabel 1.1

Komposisi Pegawai Kementerian Sosial Berdasarkan

Golongan Tahun 2009

Sumber: Biro Organisasi dan Kepegawaian, 2009.

Tabel 1.2

Komposisi Pegawai Kementerian Sosial Berdasarkan

Tingkat Pendidikan Tahun 2009

Sumber: Biro Organisasi dan Kepegawaian, 2009.

4

Golongan L P Total Orang

Golongan I 102 29 131

Golongan II 529 211 740

Golongan III 1.421 1.370 2.791

Golongan IV 350 233 583

T o t a l 2.402 1.843 4.245

Pendidikan L P Total Orang

SD 135 28 163

SLTP 133 34 167

SLTA 788 525 1.313

Diploma III 111 179 290

Diploma IV 223 172 395

Diploma IV 691 724 1.415

Magister (S-2/Spesialis) 308 175 482

Doktor (S-3) 13 7 20

T o t a l 2.402 1.843 4.245

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 22: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Dalam pembangunan kesejahteraan sosial,

sarana dan prasarana mempunyai peranan yang tidak

kalah penting. Sarana dan prasarana pembangunan

kesejahteraan sosial itu berupa Panti Sosial, pusat reha-

bilitasi sosial, pusat pendidikan dan pelatihan, pusat

kesejahteraan sosial, rumah singgah dan rumah perlindu-

ngan sosial. Semua sarana dan prasarana pembangunan

kesejahteraan sosial harus memiliki standar minimum

yang ditetapkan dan sumber daya manusia yang profe-

sional (Pekerja Sosial, Penyuluh Sosial, Relawan Sosial).

Tabel 1.3

Jumlah Panti Sosial Di Lingkungan Kementerian Sosial

Sumber: Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial 2008.

Selama kurun waktu 2004-2009, terdapat bebe-

rapa persoalan yang dihadapi Kementerian Sosial yang

dapat menjadi faktor penghambat pencapaian kinerja pada

5

No Jenis Permasalahan Nama Panti/UPT Jumlah

1 Anak Balita Terlantar Taman Balita Sejahtera 32

2 Anak Terlantar/Jalanan PS Asuhan Anak & SDC 4

3 Remaja Bermasalah Sosial PS Bina Remaja 3

4 Lanjut Usia Terlantar PS Tresna Werdha 2

5 Paca Tunanetra PS Bina Netra & Balai Braille

Abiyoso

5

6 Paca Rungu Wicara PS Bina Rungu Wicara 2

7 Paca Tubuh PS Bina Daksa & Balai Besar

Dr. Soeharso

6

8 Paca Grahita PS Bina Grahita & BB Kartini 3

9 Paca Psikotik PS Bina Laras 3

10 Paca Lara Kronis PS BL Kronis 1

11 Korban Napza PS Pamardi Putra 2

12 Gelandangan Pengemis PS Bina Karya 1

13 Wanita Tunasusila (WTS) PS Karya Wanita 1

14 Korban Bencana Rumah Sejahtera 1

15 Anak Nakal PS Marsudi Putra 4

16 Korban Tindak Kekerasan, Orang

Terlantar, dan Korban Musibah lain

Rumah Perlindungan Sosial

Anak

3

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 23: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

masa yang akan mendatang, khususnya kinerja Pekerja

Sosial yang melaksanakan pelayanan sosial di Panti

Sosial. Tabel 1.4 menggambarkan besarnya masalah

terkait banyaknya PMKS berdasarkan kelompok sasaran.

Tabel 1.4

Distribusi PMKS Berdasarkan Kelompok Sasaran

Sumber: Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial 2008

Pemerintah menyadari pentingnya pembangunan

di bidang kesejahteraan sosial untuk mengupayakan agar

berbagai masalah sosial tersebut dapat diatasi dan dari 7

(tujuh) kelompok sasaran pada Tabel 1.4 tersebut, urutan

pertama, kedua dan ketiga sangat dominan dan

memerlukan pendekatan pelayanan sosial oleh Pekerja

Sosial secara khusus, walaupun jenis sasaran lainnya juga

memerlukan penanganan Pekerja Sosial.

Sumber: Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial 2008

Gambar 1.1. Distribusi Penyebaran PMKS per Kelompok Sasaran

6

PMKS Berdasarkan Kelompok Sasaran Jumlah

1. Kemiskinan 9.596.936 53,30%

2. Keterlantaran 4.193.281 23,29%

3. Kecacatan 1.544.184 8,58%

4. Keterpencilan 229.479 1,27%

5. Ketunaansosial dan Penyimpangan Perilaku 239.699 1,33%

6. Korban Bencana 1.866.885 10,37%

7. KTK, Eksploitasi, dan Diskriminasi 333.481 1,85%

KTK, Eksploitasi dan Diskriminasi

Korban Bencana

Ketunaan Sosial dan Penyimpangan Perilaku

Keterpencilan

Kecacatan

Keterlantaran

Kemiskinan

2.000.000 4.000.000 6.000.000 8.000.000 10.000.000 12.000.000

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 24: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Permasalahan sosial di Indonesia saat ini

cenderung meningkat dilihat dari jumlah Penyandang

Masalah Kesejahteraan Sosial dan kompleksitasnya.

Sumber: Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial 2008

Gambar 1.2. Perbandingan Jumlah Data PMKS Terhadap

Jumlah Data Penduduk Miskin

Berdasarkan uraian di atas, inti permasalahan

yang sedang dan masih akan dihadapi dapat dirumuskan

sebagai berikut: Jumlah penduduk miskin di Indonesia

menurut data BPS per Maret 2008 sebanyak 34,96 juta

jiwa (15,42 persen). Pada tahun 2004, jumlah penduduk

miskin sebanyak 36,10 juta jiwa (16,66 persen). Berarti

selama tahun 2004-2008 terjadi penurunan sebesar 1,14

juta jiwa (3,15 persen). Rendahnya tingkat capaian

penurunan angka kemiskinan sebagai akibat: (1) Kejadian

bencana alam sepanjang tahun 2005-2008; (2) Terjadinya

krisis ekonomi global, tingginya kurs nilai tukar dolar

terhadap mata uang rupiah yang berdampak terhadap

tingginya harga keperluan pada berbagai sektor dan

memicu kenaikan harga pada sektor lainnya; (3) Kejadian

bencana sosial, seperti korban konflik sosial.

Walaupun terjadi penurunan jumlah, namun

dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia,

masalah kemiskinan merupakan masalah yang masih sulit

7

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 25: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

ditanggulangi, karena mayoritas termasuk dalam kategori

kemiskinan kronis (chronic poverty) yang terjadi terus-

menerus atau disebut juga sebagai kemiskinan struktural.

PMKS yang dikategorikan sebagai fakir miskin termasuk

kategori kemiskinan kronis, yang membutuhkan pena-

nganan yang sungguh-sungguh, terpadu secara lintas

sektor dan berkelanjutan. Jumlah Keluarga Fakir Miskin

(KFM) atau (sangat miskin) menurut data Pusdatin Kessos

tahun 2008 sebanyak 3.274.060 KK. Jumlah ini akan

semakin bertambah mengingat masih adanya kelompok

masyarakat yang tinggal di Rumah Tidak Layak Huni

(RTLH) sebanyak 2.456.521 KK dan Keluarga Rentan (KR)

sebanyak 1.885.014 KK (Pusat Data dan Informasi

Kesejahteraan Sosial, 2008).

Sumber: Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial 2008

Gambar 1.3. Jumlah Keluarga Yang Memiliki Kecenderungan

Menjadi Kelompok ”Chronic Poverty”

Keterlantaran di sini dimaksudkan sebagai penga-

baian/penelantaran anak-anak dan orang lanjut usia

karena berbagai penyebab. Berdasarkan data, pada tahun

2008 jumlah Balita terlantar 299.127 Balita dan anak

terlantar 2.250.152 anak, anak jalanan 109.454 anak.

(Sumber: Pusdatin Kesejahteraan Sosial Depsos 2009).

Sementara itu, jumlah lanjut usia terlantar pada tahun 2008

telah mencapai 1.644.002 lansia. Data ini menunjukan

8

3.500.000

3.000.000

2.500.000

2.000.000

1.500.000

1.000.000

500.000

KFM RTLH KR

3.274.060

2.456.521

1.885.014

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 26: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

sebanyak 23,29 persen dari jumlah data PMKS masuk

pada kriteria kelompok terlantar. Fakta ini akan sangat

berdampak pada tuntutan peningkatan kesejahteraan

keluarga. Masalah yang harus dihadapi pemerintah adalah

bagaimana meningkatkan pelayanan sosial bagi para

lanjut usia terlantar melalui panti jompo dan di keluarga

dengan sentuhan Pekerja Sosial yang profesional, agar

mereka dapat hidup bahagia dalam suasana aman dan

tenteram yang tentu saja melalui usaha pelembagaan para

lanjut usia.

Sumber: Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial 2008

(LUT: Lanjut Usia Terlantar, AT: Anak Terlantar, BT: Balita Terlantar)

Gambar 1.4. Komposisi Jumlah Data Kelompok Terlantar

Kecacatan diartikan sebagai hilang/terganggunya

fungsi fisik atau kondisi abnormal fungsi struktur anatomi,

psikologi, maupun fisiologi seseorang. Kecacatan telah

menyebabkan seseorang mengalami keterbatasan atau

gangguan terhadap fungsi sosialnya sehingga mempe-

ngaruhi keleluasan aktivitas fisik, kepercayaan dan harga

diri yang bersangkutan dalam berhubungan dengan orang

lain ataupun dengan lingkungan. Kondisi seperti ini menye-

9

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 27: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

babkan terbatasnya kesempatan bergaul, bersekolah,

bekerja dan bahkan kadang-kadang menimbulkan perla-

kuan diskriminatif dari mereka yang tidak cacat.

Sumber: Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial 2008

Gambar 1.5. Perbandingan Data Jumlah Penyandang Cacat Dengan Data Jumlah PMKS

Jumlah penyandang cacat berdasarkan Pusdatin

Kesejahteraan Sosial Tahun 2008 sebanyak 1.544.184

orang, (meliputi cacat fisik, mental, cacat ganda). Namun

demikian, jumlah yang sebenarnya jauh lebih besar dari

data yang ada. Hal ini karena keluarga dan masyarakat

yang mempunyai anggota keluarga yang mengalami

kecacatan sering kali menyembunyikannya sehingga

penyandang cacat tidak dapat tersentuh pelayanan.

Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial,

selanjutnya disebut PMKS, didefinisikan sebagai sese-

orang, keluarga atau kelompok masyarakat yang karena

suatu hambatan, kesulitan atau gangguan, tidak dapat

terpenuhi kebutuhan hidupnya (jasmani, rohani dan sosial)

secara memadai dan wajar. Dan banyaknya PMKS terse-

but menjadi tanggungjawab pemerintah dan masyarakat

untuk menanganinya, melalui sistem Panti Sosial maupun

di luar Panti Sosial. Untuk pelayanan sosial di Panti Sosial

maupun yang ada di masyarakat, diperlukan SDM yang

handal yaitu Pekerja Sosial. Dalam melaksanakan profe-

sinya, Pekerja Sosial oleh pemerintah diberikan jabatan

fungsional sesuai dengan jabatan dan jenjang pangkatnya.

10

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 28: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Dimensi pelayanan sosial sebagaimana diatur

dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Nomor 11 Tahun

2009 tentang Kesejahteran Sosial meliputi rehabilitasi

sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial dan perlindu-

ngan sosial. Pelaksanaan pelayanan sosial tersebut pen-

dekatannya melalui pelayanan sosial di dalam Panti Sosial

dan pelayanan sosial di luar Panti Sosial (di masyarakat).

Pelayanan sosial di Panti Sosial khususnya yang

dikelola oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah

tidak kurang dari 250 Unit Pelaksana Teknis (UPT),

diantaranya 3 unit dalam bentuk Balai Besar Rehabilitasi

Sosial (Eselon II/b) dan selebihnya dalam bentuk Panti

Sosial (Eselon III/a) yang seluruhnya menangani PMKS

dengan berbagai katagori.

Panti Sosial adalah lembaga pelayanan kesejah-

teraan sosial yang memiliki tugas dan fungsi untuk mening-

katkan kualitas sumber daya manusia dan memberdaya-

kan PMKS ke arah kehidupan normatif secara fisik, mental

dan sosial.

Beberapa prinsip yang menjadi dasar penyeleng-

garaan Panti Sosial dan atau lembaga pelayanan sosial

lain yang sejenis adalah mengacu kepada: rambu-rambu

yang berlaku, memberikan kesempatan yang sama kepa-

da mereka yang membutuhkan untuk mendapatkan pela-

yanan, menghargai dan memberi perhatian kepada setiap

klien dalam kapasitas sebagai individu sekaligus juga

sebagai anggota masyarakat, menyelenggarakan fungsi

pelayanan sosial yang bersifat pencegahan, perlindungan

bersifat pencegahan, perlindungan, pelayanan dan rehabi-

Standarisasi Panti Sosial, (Depsos, Badiklit, 2004), Jakarta.p. 4

Ibid .p. 9-10

1

2

1

2

11

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 29: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

litasi serta pengembangan, menyelenggarakan pelaya-

nan sosial yang dilaksanakan secara terpadu antara

profesi pekerjaan sosial dengan profesi lainnya yang ber-

kesinambungan, menyediakan pelayanan sosial berdasar-

kan kebutuhan klien guna meningkatkan fungsi sosialnya,

memberikan kesempatan kepada klien untuk berpartisi-

pasi secara aktif dalam usaha-usaha pertolongan yang

diberikan, mempertanggungjawabkan pelaksanaan pela-

yanan sosial kepada pemerintah dan atau masyarakat.

Dalam sistem pelayanan sosial di dalam Panti

Sosial, pada aspek penyelenggaraan Panti Sosial, terdiri

atas 3 unsur, yaitu: 1) Unsur pimpinan meliputi Kepala

Panti Sosial dan kepala-kepala unit yang ada di bawahnya,

diperioritaskan berasal dari latar belakang pendidikan

pekerjaan sosial dan atau fungsional Pekerja Sosial;

2) Unsur operasional pelayanan meliputi Pekerja Sosial,

instruktur, pembimbing rohani dan pejabat fungsional

lainnya sesuai dengan kebutuhan Panti Sosial; 3) Unsur

penunjang pelayanan meliputi Pembina Asrama,

Pengasuh, Juru Masak, Petugas Kebersihan, Satpam dan

Supir.

Yang dimaksud dengan Pekerja Sosial, adalah pe-

jabat fungsional yang berkedudukan sebagai pelaksana

teknis fungsional yang menyelenggarakan kegiatan pela-

yanan kesejahteraan sosial pada instansi pemerintah

maupun badan/organisasi sosial lainnya. Pekerja Sosial

dimaksud adalah jabatan karier yang hanya dapat diduduki

oleh seseorang yang telah berstatus sebagai Pegawai

Negeri Sipil. (Kepmenpan No: KEP/03/M.PAN/1/2004).

Ibid .p. 12

3

3

12

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 30: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Jumlah Pekerja Sosial yang berada di Pemerintah

Pusat, Pemerintah Propinsi dan Kabupaten/Kota sampai

akhir tahun 2008 berjumlah lebih kurang 3.000 orang,

bekerja di Kementerian Sosial (Kantor Pusat dan UPT/

Panti Sosial), Depkes (Rumah sakit), Kementerian Hukum

dan HAM (LAPAS), Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota

(Dinas Sosial, UPT/Panti Sosial). Jumlah ini sangatlah

sedikit jika dibandingkan dengan banyaknya jumlah PMKS

yang perlu dilayani oleh Pekerja Sosial.

Menurut Pusdatin Kessos (Kesejahteraan Sosial),

dalam Data dan Informasi Pekerja Sosial pada tahun 2003,

potret dari Pekerja Sosial waktu itu adalah 36 persen

Pekerja Sosial berpendidikan SMTA Non Pekerja Sosial,

22 persen pendidikan SMK Pekerjaan Sosial, 13 persen

berpendidikan sarjana non Pekerjaan Sosial, 7 persen

berpendidikan D III Pekerjaan Sosial, dan 6 persen berpen-

didikan D III non Pekerjaan Sosial. Maknanya 55 persen

latar belakang pendidikan Pekerja Sosial adalah non

Pekerjaan Sosial.

Dari sisi jabatan, sesudah era otonomi, dari sejum-

lah Pekerja Sosial yang dilimpahkan kepada Pemerintah

Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, hanya 40 persen

yang masih menjabat sebagai Pekerja Sosial, selebihnya

60 persen pindah ke jabatan struktural atau non jabatan.

Latar belakang menjadi Pekerja Sosial sekitar 20

persen bukan keinginan sendiri tetapi ditunjuk atasan dan

himbauan pimpinan. Terkait dengan kesesuaian antara

jabatan fungsional dengan pelaksanaan tugas, sebanyak

24 persen Pekerja Sosial menyatakan tidak/kurang sesuai.

Data dan Informasi Pekerja Sosial, (Pusat Data dan Informasi Depsos,

2003).

4

4

13

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 31: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Bagaimana dengan besarnya tunjangan jabatan,

sebanyak 74 persen menyatakan besarnya tunjangan

jabatan yang diperoleh setiap bulan tidak sesuai dengan

besarnya biaya hidup dan 24 persen menyatakan kurang

sesuai dengan biaya hidup.

Gambaran di atas adalah mencakup problematika

Pekerja Sosial di Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Daerah. Khusus di Kementerian Sosial, potret Pekerja

Sosial adalah sebagian besar berada pada Direktorat

Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial khususnya di

Balai Besar Rehabilitasi Sosial dan Panti Sosial berjumlah

432 orang, di Balai Besar Diklat Kessos dan STKS 22

orang, di Kantor Kemensos Pusat 27 orang, totalnya

berjumlah 481 orang (25% dari total Pekerja Sosial). Dari

jumlah tersebut yang berlatar belakang pendidikan

Kesejahteraan Sosial adalah 195 orang (sekitar 45%) dan

selebihnya pendidikan non Kesejahteraan Sosial.

Dengan jumlah Panti Sosial Pusat dan Daerah 250

unit, dengan asumsi rata-rata kapasitas 100 klien setiap

Panti, maka total klien yang perlu dilayanai 25.000 klien

untuk periode waktu tertentu. Jumlah Pekerja Sosial Pusat

432 orang, yang berada di Panti Sosial Daerah sekitar

724 orang. Total Pekerja Sosial 1.156 orang. Artinya, setiap

Pekerja Sosial melayani sekitar 22 klien. Menurut Standari-

sasi Panti, ratio yang proporsional adalah satu orang

Pekerja Sosial melayani 5 orang klien.

Dari latar belakang yang diuraikan diatas, ada 2

(dua) masalah besar yang dihadapi pemerintah dan juga

masyarakat, yaitu Pertama, berkaitan dengan tidak pro-

porsionalnya jumlah Pekerja Sosial dibandingkan dengan

jumlah PMKS (klien) yang ada di Panti Sosial (1 : 22), dan

14

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 32: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Kedua, ada kesenjangan antara Kebijakan yang telah

digariskan oleh pemerintah tentang upaya menjaga mutu

Pekerja Sosial dengan implementasi dan hasil pelaksana-

an yang sesuai dengan standar pelayanan sosial di Panti

Sosial.

2. Ruang Lingkup Studi.

Berdasarkan latar belakang studi di atas, maka

ruang lingkup studi ini adalah melakukan evaluasi terha-

dap substansi kebijakan, implementasi kebijakan dan hasil

pelaksanaan kebijakan tentang mutu Pekerja Sosial dalam

melaksanakan standar pelayanan sosial di Panti Sosial

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Periode waktu studi ini dilakukan antara tahun

2004-2009, yaitu periode Rencana Pembangunan Jangka

Menengah I (RPJM I).

3. Rumusan Masalah Studi.

Apa yang menjadi rumusan masalah dalam studi

ini dapat dirangkum dalam 3 (tiga) pertanyaan berikut ini:

Pertama, Apakah substansi kebijakan tentang mutu

Pekerja Sosial sesuai dengan standar pelayanan sosial di

Panti Sosial Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah?

Kedua, Bagaimanakah implementasi kebijakan

tentang mutu Pekerja Sosial dalam pelayanan sosial di

Panti Sosial Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah?

Ketiga, Apakah hasil pelaksanaan kebijakan ten-

tang mutu Pekerja Sosial sesuai dengan standar pelaya-

nan sosial di Panti Sosial Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah?

15

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 33: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

4. Kegunaan Studi.

Hasil dari studi ini berguna dan bermanfaat untuk

mengembangkan keilmuan khususnya mengenai kebija-

kan pengembangan mutu Pekerja Sosial di era otonomi

daerah yaitu terutama pada kurun waktu antara tahun

2004-2009 dalam meningkatkan pelayanan sosial di Panti

Sosial.

Diharapkan juga hasil dari studi ini dapat membuka

horizon pemikiran yang lebih luas dan memperkaya

wawasan intelektual dalam bidang penelitian kebijakan

(policy research).

Manfaat lainnya dari hasil studi ini adalah untuk

perencanaan program yang lebih realistis dalam mening-

katkan kualitas dan kuantitas Pekerja Sosial dalam mema-

suki Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional

II (RPJMN II) tahun 2010-2014.

B. Pendekatan Studi.

Blair menyatakan bahwa analisis kebijakan (policy

analysis) merupakan suatu proses pengkajian kebijakan dan

produk keputusan yang telah diputuskan oleh lembaga

legislatif maupun lembaga eksekutif. Sementara itu policy

making adalah suatu proses dimana eksekutif melakukan

penjabaran visi politiknya kedalam berbagai bentuk program

dan implementasi yang menghasilkan kegiatan sehingga

terjadinya perubahan-perubahan yang diinginkan. Dalam

analisis kebijakan yang dikaji pada umumnya adalah hasil-

Tony Blair, Medernising Government. With Paper Presented to

Parliament. By the Prime Minister and the Minister for Cabinet Office and by

Command of Her Mayesty, March 1999, p. 15.

16

5

5

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 34: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

hasil kebijakan mulai dari legislatif tertinggi sampai dengan

produk kebijakan eksekutif, mulai dari pimpinan tertinggi

sampai dengan pelaksanaannya di tingkat praktis.

Tujuan utama dari analisis kebijakan adalah untuk

memahami sejauh mana suatu kebijakan itu dapat berpe-

ngaruh dan menimbulkan perubahan, mulai tahap substansi

sampai dengan efeknya di lapangan. Fokus Studi ini pada

pelaksanaan kebijakan atau disebut dengan studi evaluasi,

sebagaimana yang dimaksud Hongwood, bahwa studi

evaluasi merupakan penilaian terhadap kebijakan tertentu

tentang sejauh mana hasilnya telah mencapai sasarannya.

Dengan demikian yang dikaji dalam penelitian ini adalah

proses evaluasi dari mulai substansi, implementasi dan hasil

pelaksanaan dari suatu kebijakan tentang mutu Pekerja Sosial

dalam melaksanakan pelayanan sosial di Panti Sosial Peme-

rintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Di Indonesia analisa kebijakan khususnya di bidang

Pekerja Sosial masih belum pernah dilakukan. Padahal

Pekerja Sosial merupakan tulang punggung pelayanan sosial

dalam kerangka pembangunan kesejahteraan sosial. Oleh

karena itu, literatur tentang studi kebijakan dalam lingkup

pengembangan Sumber Daya Manusia dalam pembangunan

kesejahteraan sosial masih langka. Namun demikian

sebagaimana lazimnya suatu ilmu, menurut Philips, analisa

kebijakan mengikuti metodologi dan logika dari system

positivism.

B.W. Hogwood & Gun L.A., Policy Analysis for the Real World (Oxford:

Oxford University Press. 1990) p. 270

D.C. Philips, After the Wake: Post Positivistic Educational Thought

(Educational Researcher 12 Number 5, 1983) p.4-12

6

6

7

7

17

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 35: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

18

Menurut Borg dan Gall positivism adalah system

philosophy yang mengutamakan pada objektivitas dari peneliti

(the research must be as objective as possible) dan lebih

mengutamakan fakta-fakta yang ada dan mencari hubungan

antara fakta yang satu dengan fakta lainnya. Dikemukakan

lebih lanjut oleh Borg dan Gall bahwa dalam hal ini peneliti

menjadi nonparticipant observer. Demikian juga menurut

Muhadjir tesis positivisme adalah bahwa ilmu merupakan

satu-satunya pengetahuan yang valid dan fakta-fakta sajalah

yang mungkin dapat menjadi obyek pengetahuan.

Merujuk Mc.Milland dan Schumacher bahwa metodo-

logi dapat didefinisikan sebagai rancangan yang dapat dipakai

peneliti untuk memilih prosedur pengumpulan dan analisis

data untuk menyelidiki masalah tertentu. Disamping itu

Bailey menambahkan bahwa metodologi mencakup asumsi

dan nilai yang berfungsi sebagai rasionalisasi untuk penelitian

dan standar atau kriteria yang dipakai untuk menginterpretasi-

kan data dan mencapai kesimpulan. Adapun standar dan

kriteria yang digunakan dalam studi ini dibangun untuk

keperluan pengumpulan dan analisa data serta pengambilan

keputusan.

Walter R. Borg and Meredith D. Gall, Educational Research: An

Introduction 5th Edition (New York: Longman , 1989).p.17.

Ibid. p. 396.

Noeng Muhadjir. Filsafat Ilmu Positivisme, Post Positivisme, dan Post

modernisme edisi II (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2001). P. 69.

J. H. Mc. Milland and Schumacher S, Research and Education: A con-

ceptual Introduction 2nd Edition (III Scrot, Foresman, Glenview, 1989), p.8.

K.D.Bailey, Method of Sosial Research (London Free Press, 1978),

p.32.

8

8

9

9

10

11

12

11

10

12

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 36: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

1. Tujuan Studi.

Dengan berbagai teori yang berkaitan dengan

kebijakan dan metodologi studi yang diuraikan di atas,

maka studi ini merupakan suatu penelitian empirik, penga-

matan dilakukan terhadap substansi, implementasi dan

hasil pelaksanaan kebijakan tentang mutu Pekerja Sosial

dalam pelayanan sosial yang sesuai dengan standar

pelayanan sosial di Panti Sosial Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah.

Secara khusus studi ini bertujuan menganalisis:

(1) substansi kebijakan yang mengatur tentang Pekerja

Sosial, terutama terkait mutu Pekerja Sosial; (2) implemen-

tasi kebijakan yang dilaksanakan oleh stakeholder

Kementerian Sosial (Dirjen Yanrehsos, Ka. Badiklit dan Ka.

Biro Organisasi dan Kepegawaian) dan para Direktur,

Kepala Balai Diklat terkait; (3) dan hasil pelaksanaan

kebijakan yang dilaksanakan pada level operasional

(Pekerja Sosial yang melaksanakan pelayanan sosial di

Panti Sosial).

2. Tahapan Studi.

Studi Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah

ini memiliki tahapan sebagai berikut: (1) menemukan fakta

lapangan bahwa mutu pekerja sosial yang rendah;

(2) masalah yang ditemukan adalah adanya gap antara

mutu pekerja sosial dengan standar pelayanan sosial;

(3) mempergunakan metode analisis kebijakan melalui

pendekatan evaluasi kebijakan; (4) melakukan kajian teori

dengan mempergunakan teori Williem N Dunn, Bridgman

and Davis, Thomas R Dey, Bromley dan Bardach;

(5) melakukan pengumpulan data: data skunder (Undang-

19

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 37: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden,

Keputusan Menteri), data primer, workshop dan Fokus

Group Discussion (FGD); (6) melakukan analisis data

dengan menggunakan Analisis SWOT dan Strategi

Program; (7) menarik kesimpulan dan menetapkan

rekomendasi.

Tahapan studi ini secara lengkap dapat dilihat

melalui gambar berikut ini:

Gambar 1.6: Tahapan Studi

20

Pengumpulan Data- Skunder (UU, PP, Kepres, Kepmen).- Primer.- Worshop.- FGD.

Analisis Data:- Analisis SWOT - Strategi Program

Kesimpulan/Rekomendasi

Fakta Lapangan Mutu Pekerja Sosial Rendah

Masalah Gap: Mutu Pekerja Sosialdengan Standar Pelayanan Sosial

Metode Analisis Kebijakan:Pendekatan Evaluasi Kebijakan

Kajian Teori:- William N Dunn. - Bromley.- Bridgman and Davis - Bardach.- Thomas R. Dye.

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 38: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

3. Tinjauan Pendekatan Studi.

Pendekatan studi dilakukan dengan pendekatan

kualitatif dan terhadap evaluasi hasil kebijakan dilakukan

pendekatan kuantitatif. Data yang digunakan adalah data

primer dan data sekunder. Data primer, dengan mewawan-

carai stakeholder secara mendalam dan pertanyaan tertu-

lis sebagai implementasi pelaksana kebijakan mulai dari

Direktur Jenderal Pelayanan dan Rahabilitasi Sosial, para

Direktur di lingkungan Ditjen Yanrehsos, Kepala Badan

Pendidikan dan Penelitian Kessos, Kepala Pusdiklat

Kessos, Kepala Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan

Kessos, Kepala Biro Organisasi dan Kepegawaian Kemen-

terian Sosial. Data sekunder menggunakan pendekatan

studi dokumen (documentary study) dan penggalian infor-

masi juga melalui Focus Group Discussion (FGD) yang

dilakukan terhadap Kepala Panti Sosial.

Untuk kepentingan evaluasi hasil pelaksanaan

kebijakan nasional, digunakan pengumpulan data dengan

menyampaikan kuesioner kepada Pekerja Sosial dan Ke-

pala Panti Sosial dengan mengajukan pertanyaan tertutup

dan terbuka, menyediakan kolom jawaban sebagai tamba-

han keterangan terhadap pertanyaan tertentu. Studi doku-

men dan wawancara mendalam dan pengisian kuesioner

dilakukan untuk menganalisis substansi, implementasi,

dan hasil pelaksanaan kebijakan nasional tentang mutu

Pekerja Sosial dalam pelayanan sosial sesuai dengan

standar pelayanan sosial Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah. Periode waktu yang dipilih adalah

tahun 2004-2009. Periode waktu ini dipilih karena genap

satu periode Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) dan periode

Pembangunan Jangka Menengah Nasional I (PJMN I).

21

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 39: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

22

C. Metode Studi.

1. Sumber Dan Teknik Pengumpulan Data Studi.

Sumber data sebagai unit analisis untuk data

primer adalah stakeholder di lingkungan Kementerian

Sosial, Pekerja Sosial dan Kepala Panti Sosial Pemerintah

Pusat dan Pemerintah Daerah sebagai berikut:

Jumlah Panti Sosial sebagai unit kerja yang

melaksanakan pelayanan sosial milik Pemerintah Pusat

(Kemensos) adalah sebanyak 34 unit kerja dan sebanyak

216 Panti Sosial sebagai unit kerja yang melaksanakan

pelayanan sosial milik Pemerintah Daerah Propinsi se-

Indonesia. Jumlah Tenaga Fungsional Pekerja Sosial yang

bekerja pada Kementerian Sosial (Pegawai Pusat) 481

orang dan yang bekerja sebagai Tenaga Fungsional Peker-

ja Sosial di Pemerintah Daerah Propinsi (Pegawai Otonom)

sebanyak 2.500 orang. Adapun Satuan Kerja Kementerian

Sosial yang terlibat langsung dalam membina Tenaga

Fungsional Pekerja Sosial sebanyak 2 unit Eselon I, 14 unit

Eselon II.

Dengan gambaran di atas, maka studi ini melaku-

kan wawancara dan pertanyaan tertulis untuk kepentingan

studi dengan rincian sebagai berikut: (1) Dirjen Yanrehsos

1 orang; (2) Ka. Badiklit 1 orang; (3) Ka. Balai Besar Pendi-

dikan Pelatihan Kessos (6 wilayah) 6 orang; (4) Sesditjen

Yanrehsos 1 orang; (5) Direktur di lingkungan Ditjen Yan-

rehsos 5 orang; (6) Kepala Biro Organisasi dan Kepega-

waian 1 orang; (7) Kepala Panti Sosial Kemensos di 34

Panti Sosial 34 orang; (8) Kepala Panti Sosial Pemerintah

Propinsi 75 orang; (9) Tenaga Fungsional Pekerja Sosial

Trampil Panti Sosial Kemensos 34 orang; (10) Tenaga

Fungsional Pekerja Sosial Ahli Panti Sosial Kemensos

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 40: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

34 orang; (11) Tenaga Fungsional Pekerja Sosial Trampil

Panti Sosial Propinsi 75 orang; (12) Tenaga Fungsional

Pekerja Sosial Ahli Panti Sosial Propinsi 75 orang.

Responden dari studi ini terdiri dari (1) Unsur

Kementeriaan Sosial 16 orang; (2) Unsur Kepala Panti

Sosial Kemensos 34 orang; (3) Unsur Kepala Panti Sosial

Propinsi 75 orang; (4) Tenaga Fungsionasl Pekerja Sosial,

Panti Sosial Kemensos (trampil dan ahli) 68 orang;

(5)Tenaga Fungsional Pekerja Sosial, Panti Sosial Propinsi

(trampil dan ahli) 150 orang. Dengan demikian total jumlah

responden studi ini adalah sebanyak 342 orang.

Data sekunder yang dikumpulkan melalui studi

dokumentasi yang terkait dengan kebijakan tentang

Pegawai Negeri, Tenaga Fungsional Pekerja Sosial,

Kesejahteraan Sosial dan implementasi kebijakan,

(Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan

Presiden, Keputusan Menteri) serta literatur lainnya. Teknik

pengumpulan data yang utama adalah penelusuran

dokumen (document tracking) dan wawancara mendalam

(in-depth interview), pengiriman kuesioner dan Focus

Group Discussion (FGD).

2. Metode Analisis Studi.

Sebagaimana yang telah diungkap di atas, studi ini

menggunakan paradigma “kualitatif” walaupuan khusus

yang berhubungan dengan hasil pelaksanaan kegiatan di-

lakukan dengan kuantitatif. Dalam konteks ini analisis yang

dilakukan adalah analisis kebijakan. Analisis kebijakan

adalah merupakan ilmu sosial terapan sebagai salah satu

hasil nyata dari suatu misi ilmu pengetahuan yang lahir dari

gerakan yang disebut profesionalisasi ilmu-ilmu sosial.

23

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 41: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Menghasilkan dan mendayagunakan informasi

ialah suatu bagian dari suatu kegiatan analisis kebijakan

yaitu: pengumpulan, pengolahan dan pendayagunaan

data agar menjadi masukan yang berguna bagi para

pembuat keputusan. Seterusnya, analisis kebijakan akan

meneliti sebab akibat dan kinerja kebijaksanaan dan

program publik (Sufyarma, 2004) yang dikutip oleh Syaiful

Anwar: 2009.

Selanjutnya, sesuai dengan tujuan studi ini,

analisis kebijakan dalam studi ini bukan pada proses

pembuatan kebijakan melainkan pada evaluasi kebijakan:

Pertama, Substansi kebijakan tentang Pekerja Sosial,

khususnya yang berhubungan dengan mutu Pekerja

Sosial dalam melaksanakan standar pelayanan sosial di

Panti Sosial. Kedua, implementasi kebijakan yang

dilaksanakan oleh stakeholder Kementerian Sosial yang

berkaitan dengan mutu Pekerja Sosial dalam melaksana-

kan pelayanan sosial di Panti Sosial. Ketiga, analisis hasil

pelaksanaan kebijakan yang dilaksanakan oleh Pekerja

Sosial (yang bermutu) di Panti Sosial sesuai standar

pelayanan sosial.

Proses analisis kebijakan dalam studi ini mengikuti

tahap-tahap sebagaimana diungkap oleh Dunn dengan

tahapan-tahapan sebagai berikut: (1) merumuskan

masalah-masalah kebijakan; (2) meramalkan kebijakan di

masa depan; (3) merekomendasikan aksi-aksi kebijakan;

Syaiful Anawar, AB, Peningkatan Mutu, Relevansi dan Dayasaing

Perguruan Tinggi: Analisis Kebijakan di Universitas Bengkulu, (Disertasi

Doktor Pascasarjan UNJ, 2009).p.64.

William N Dunn, Public Policy Analysis. An Introduction, Third Edition

(Pearson Prentice Hall, 2004)p. 55-58.

13

14

13

14

24

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 42: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

(4) memantau hasil-hasil kebijakan; (5) mengevaluasi hasil

pelaksanaan kebijakan.

Berdasarkan proses analisis kebijakan di atas,

maka kelima langkah utama dalam proses Analisis

kebijakan dapat dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:

(1) Menyusun masalah kebijakan adalah proses yang

meliputi tiga fase yang saling berkaitan yaitu: mengartikan,

mengkonsep, dan mengkhususkan masalah. Masing-

masing fase ini menghasilkan informasi tentang situasi,

substansi, dan bentuk masalah; (2) Meramalkan masa

depan kebijakan, para ahli analisis kebijakan perlu mera-

malkan apa yang akan terjadi berkenaan dengan masalah

kebijakan dan mencari tindakan yang tepat untuk mena-

ngani masalah-masalah di masa yang akan datang.

Peramalan dapat digunakan untuk mengubah

informasi masa kini menjadi informasi masa akan datang

dan menawarkan berbagai kemungkinan pada situasi

yang akan datang, setelah itu menyediakan sejumlah alter-

natif obyektif yang dapat dicapai; (3) Merekomendasikan

penerapan kebijakan, rekomendasi adalah informasi

mengenai jangkauan penerapan kebijakan yang menye-

diakan hasil yang berguna untuk kelompok orang atau

komunitas tertentu secara umum, hal ini dihubungkan

dengan nilai. Oleh karena itu rekomendasi kebijakan tidak

hanya evaluasi empiris saja tetapi juga berhubungan

dengan aspek normatif.

Dengan demikian, rekomendasi dicirikan dengan

fokus tindakan dan orientasi masa depan, prospek, saling

ketergantungan, nilai nyata dan nilai ganda.

Penerapan kebijakan yang terstruktur dalam reko-

mendasi tidak hanya teoritis dan logika empiris tetapi juga

25

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 43: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

memberikan keuntungan dalam kontek nilai tertentu. Nilai

ganda yang ingin dicapai adalah nilai intrinsik dan

ekstrinsik. Nilai intrinsik yaitu nilai atau keuntungan yang

langsung dapat diwujudkan. Nilai ekstrinsik yaitu nilai yang

tidak langsung diperoleh; (4) Memonitor hasil-hasil kebi-

jakan, monitoring atau pemantauan merupakan prosedur

yang didasarkan pada analitik kebijakan yang digunakan

untuk memperoleh informasi mengenai penyebab dan

konsekwensi dari kebijakan. Monitoring membantu para

ahli analisis untuk menggambarkan hubungan antara

pelaksanaan program kebijakan dengan hasilnya;

(5) Mengevaluasi hasil pelaksanaan kebijakan, evaluasi

merupakan prosedur yang didasarkan pada analitik kebija-

kan untuk menjeneralisasikan informasi tentang hasil

kebijakan agar sesuai dengan kebutuhan, nilai, atau

kesempatan yang dapat menyelesaikan masalah.

Monitoring menjawab “apa, bagaimana dan mengapa

terjadi?” Sementara itu, evaluasi menjawab “apa perbe-

daan yang dibuat?”

26

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 44: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

D. Pengorganisasian Buku.

Pada bagian Pendahuluan buku ini adalah merupakan

tinjauan umum, kemudian pada Bab II membahas tentang

teori-teori dari para ahli yang berkaitan dengan Kebijakan

Nasional Tentang Mutu Pekerja Sosial. Bagian pertama Bab II

menjelaskan tentang teori-teori yang berkaitan dengan

kebijakan nasional, selanjutnya tentang kebijakan publik,

analisis kebijakan, konsep mutu, mutu pekerja sosial, panti

sosial/institusi kesejahteraan sosial dan untuk memudahkan

dalam memahami studi ini akan diuraikan kerangka berpikir

tentang studi ini.

Kemudian pada Bab III menguraikan tentang substansi

produk kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan mutu

pekerja sosial. Berikutnya pada Bab IV menjelaskan hasil studi

kebijakan nasional tentang mutu pekerja sosial di era otonomi

daerah dan akan menjawab satu persatu dari ketiga masalah

studi, yaitu: Apakah substansi kebijakan tentang mutu Pekerja

Sosial sesuai dengan standar pelayanan sosial di Panti Sosial

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah? Bagaimanakah

implementasi kebijakan tentang mutu Pekerja Sosial dalam

pelayanan sosial di Panti Sosial Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah? Dan Apakah hasil pelaksanaan

kebijakan tentang mutu Pekerja Sosial sesuai dengan standar

pelayanan sosial di Panti Sosial Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah?

Pada Bab V diuraikan secara lengkap mengenai

indikator evaluasi hasil kebijakan mutu pekerja sosial dan

deskripsi hasil pelaksanaan kebijakan mutu pekerja sosial.

Deskripsi hasil pelaksanaan kebijakan mutu pekerja

sosial dalam rangka memenuhi standar pelayanan sosial di

Panti Sosial disajikan dalam data kuantitatif berkaitan dengan

27

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 45: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Latar Belakang Pendidikan, Ketentuan Jabatan Fungsional

Pekerja Sosial (JFPS), Kegiatan Pelayanan Kesejahteraan

Sosial Dan Pengembangan Kualitas Pelayanan Sosial,

Formasi Pekerja Sosial, Penilaian Angka Kredit, Kompetensi

Profesi Pekerja Sosial, Partisipasi Masyarakat dan Sarana

Penunjang Kerja Pekerja Sosial.

Bab VI merupakan kajian mendalam yang membahas

tentang implementasi kebijakan nasional tentang mutu pekerja

sosial di era otonomi daerah dimana terdapat tiga hal utama

yang menjadi pembahasan. Ketiga hal yang menjadi

pembahasan di bab VI ini adalah: Pertama, Evaluasi

Substansi, Implementasi dan Hasil Pelaksanaan Kebijakan

Nasional Tentang Mutu Pekerja Sosial. Kedua, Analisis SWOT

Kementerian Sosial Dalam Implementasi Kebijakan Nasional

Tentang Mutu Pekerja Sosial, dan Ketiga, Strategi Program

Implementasi Kebijakan Nasional Tentang Mutu Pekerja

Sosial.

Dan Bab VII adalah merupakan bagian penutup dari

buku ini yang merupakan kesimpulan dan rekomendasi dari

implementasi kebijakan nasional tentang mutu pekerja sosial

di era otonomi daerah.

28

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 46: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

BAB IIKEBIJAKAN NASIONAL

TENTANG MUTU PEKERJA SOSIAL SUATU TINJAUAN TEORITIK

29

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 47: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

30

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 48: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

31

BAB IIKEBIJAKAN NASIONAL

TENTANG MUTU PEKERJA SOSIAL SUATU TINJAUAN TEORITIK

PADA bab II ini akan membahas tentang teori-teori dari

para ahli yang berkaitan dengan Kebijakan Nasional

Tentang Mutu Pekerja Sosial.

Bagian pertama menjelaskan tentang teori-teori yang

berkaitan dengan kebijakan nasional, selanjutnya tentang

kebijakan publik, analisis kebijakan, konsep mutu, mutu

pekerja sosial, panti sosial/institusi kesejahteraan sosial dan

untuk memudahkan dalam memahami studi ini akan diuraikan

kerangka berpikir tentang studi ini.

A. Kebijakan Nasional.

Kebijakan adalah prinsip atau cara bertindak yang dipilih

untuk mengarahkan pengambilan keputusan. Menurut Ealau

dan Prewitt (1973) dalam Edi Suharto, 2005, kebijakan adalah

sebuah ketetapan yang berlaku yang dicirikan oleh perilaku

konsisten dan berulang, baik dari yang membuatnya maupun

yang mentaatinya (yang terkena kebijakan itu). Titmuss (1974)

dalam (Edi Suharto, 2005) mendefinisikan kebijakan sebagai

prinsip-prinsip yang mengatur tindakan yang diarahkan

kepada tujuan-tujuan tertentu. Kebijakan, menurut Titmuss,

Edi Suharto, Analisis Kebijakan Publik (ALFABETA, Bandung 2005) p.7.1

1

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 49: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

senantiasa berorientasi kepada masalah dan berorientasi

kepada tindakan. Dengan demikian kebijakan dapat dinyata-

kan sebagai suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip

untuk mengarahkan cara-cara bertindak yang dibuat secara

terencana dan konsisten dalam mencapai tujuan tertentu.

Kebijakan nasional adalah kebijakan yang dikeluarkan

oleh pemerintah (eksekutif dan legislatif) dan salah satu

bentuk kebijakan nasional adalah dalam bentuk Undang-

Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden,

Keputusan Menteri, Keputusan Dirjen (Pejabat Eselon I) dan

mempunyai legalitas hukum yang berlaku secara nasional

untuk seluruh warga masyarakat.

B. Kebijakan Publik.

Sebagian besar ahli memberi pengertian kebijakan

publik dalam kaitannya dengan keputusan atau ketetapan

pemerintah untuk melakukan suatu tindakan yang dianggap

akan membawa dampak baik bagi kehidupan warganya.

Menurut Bridgman dan Davis, kebijakan publik pada umum-

nya mengandung pengertian mengenai ‘whatever government

choose to do or not to do.’ Artinya, kebijakan publik adalah apa

saja yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak

dilakukan.

Kadang-kadang, kebijakan publik menunjuk pada istilah

atau konsep untuk menjelaskan pilihan-pilihan tindakan terten-

tu yang sangat khas atau spesifik, seperti kepada bidang-

bidang tertentu dalam sektor-sektor fasilitas umum, transpor-

tasi, pendidikan, kesehatan, perumahan atau kesejahteraan.

Urusan-urusan yang menyangkut kelistrikan, air, jalan raya,

Peter Bridgman & Glyn Davis, the Australian policy handbook (Crows

Nest: Allen and Unwin 2004) p.3.

32

2

2

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 50: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

sekolah, rumah sakit, perumahan rakyat, lembaga-lembaga

rehabilitasi sosial adalah beberapa contoh yang termasuk

dalam bidang kebijakan publik (lihat Suharto, 2007).

Menurut Nakamura dan Smallwood bahwa kebijakan

publik adalah serangkaian instruksi kepada para pembuat

kebijakan yang menjelaskan tujuan dan cara-cara untuk

mencapai tujuan tersebut. Selanjutnya mereka mengatakan

bahwa kebijakan publik berada pada tiga lingkup kebijakan,

yakni perumusan kebijakan, pelaksanaan kebijakan dan

penilaian (evaluasi) kebijakan.

Selanjutnya Edi Suharto (2007:4) mengutip pendapat

beberapa ahli menguraikan bahwa setiap perundang-

undangan adalah kebijakan, namun tidak setiap kebijakan di-

wujudkan dalam bentuk perundang-undangan. Hogwood dan

Gunn (1990) (dalam Suharto, 2007: 4) menyatakan bahwa

kebijakan publik adalah seperangkat tindakan pemerintah

yang didesain untuk mencapai hasil-hasil tertentu. Ini tidak

berarti bahwa makna “kebijakan” hanyalah milik atau domain

pemerintah saja. Organisasi-organisasi non-pemerintah,

seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Organisasi

Sosial dan lembaga-lembaga sukarela lainnya memiliki kebija-

kan-kebijakan pula. Namun, kebijakan mereka tidak dapat

diartikan sebagai kebijakan publik. Karena kebijakan mereka

tidak dapat memakai sumber daya publik atau tidak memiliki

legalitas hukum sebagaimana kebijakan lembaga pemerintah.

Beberapa ahli memberi definisi kebijakan publik yang

beragam, meskipun pada intinya memiliki kesamaan, yakni

Edi Suharto, Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik (CV. Alfabeta, 2007) p.3.

R.T Nakamura dan F. Smallwood, The Politic of Policy Implementation (New

York: St. Martin's Press, 1980) p. 31.

Suharto, op.cit. .p.4.

3

3

4

5

4

5

33

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 51: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

sebagai inisiatif atau tindakan yang dilakukan pemerintah.

Thomas R.Dye mendefinisikannya sebagai “what government

do, why they do it, and what defference it makes”. David Easton

(1965: 212) dalam Nugroho (2007: 217) mendefinisikan

kebijakan publik sebagai “the impact of government activity.”

Harold Laswell dan Abraham Kaplan (170: 17) dikutip Nugroho

(2007: 217) menyatakan bahwa kebijakan publik adalah “a

projected program of goals, values, and practices”. James

Anderson (2004: 4) dikutip Nugroho (2007:217) mengartikan

kebijakan publik sebagai “a relative stable, purposive course of

action followed by an actor or set of actors in dealing with a

problem or matter of concern.” Steven A. Peterson dikutip

Nugroho (2007:218) mengartikan kebijakan publik sebagai

“government action to address some problem.”

Bridgman dan Davis menerangkan bahwasannya

kebijakan publik sedikitnya memiliki tiga dimensi yang saling

bertautan, Pertama, yakni sebagai pilihan tindakan yang legal

atau sah secara hukum (authoritative choice), Kedua, sebagai

hipotesis (hypothesis) dan Ketiga, sebagai “objective” dari

kegiatan pemerintah.

Kebijakan publik sebagai tujuan (objective) adalah “a

means to an end”, alat untuk mencapai sebuah tujuan. Kebija-

kan publik pada akhirnya menyangkut pencapaian tujuan

publik. Artinya, kebijakan publik adalah seperangkat tindakan

pemerintah yang didesain untuk mencapai hasil-hasil tertentu

yang diharapkan oleh publik sebagai konstituen pemerintah.

Thomas R. Dye, Undertanding Publik Policy (Upper Saddle River, New

Jersey 2005) p. 1.

Riant Nugroho, Publik Policy, (PT. Elex Media Komputindo,

Jakarta,2008) p. 217-218.

Peter Bridgman and Glyn Davis, the Australian policy handbook, (Allen

& Unwin Crows Nest NSW, 2004) p.4-7.

34

6

7

8

8

7

6

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 52: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Proses kebijakan harus mampu membantu para

pembuat kebijakan merumuskan tujuan-tujuannya. Sebuah

kebijakan tanpa tujuan tidak memiliki arti, bahkan tidak

mustahil akan menimbulkan masalah baru. Misalnya, sebuah

kebijakan yang tidak memiliki tujuan jelas, program-program

akan diterapkan secara berbeda-beda, strategi pencapaian-

nya menjadi kabur dan akhirnya para analis akan menyatakan

bahwa pemerintah telah kehilangan arah.

Bromley melihat proses kebijakan sebagai suatu

hirarki. Aliran ini mengatakan bahwa kebijakan publik

merupakan sumber yang sangat penting dari perubahan

kelembagaan. Dikatakan, bahwa secara umum terdapat tiga

tingkat proses perubahan kelembagaan yaitu: Tingkat

kebijakan (Policy level), tingkat organisasi (organization level),

dan tingkat operasional (operational level).

Proses kebijakan pada setiap tingkatan tersebut akan

menghasilkan institutional arrangements berupa peraturan

perundang-undangan. Proses kebijakan pada policy level

akan menghasilkan institutional arrangements berupa

peraturan perundang-undangan, misalnya undang-undang.

Selanjutnya peraturan perundang-undangan pada tingkat ini

akan diterjemahkan oleh proses kebijakan pada operational

level yang selanjutnya akan mempengaruhi patterns of

interaction dan outcomes dari kebijakan tersebut. Bila hasil

tidak memuaskan, pada umumnya akan ada reaksi kolektif

melalui suatu proses untuk memperbaiki institutional

arrangements pada tingkat atasnya. Secara teoritis, proses ini

akan berjalan secara terus menerus sampai diperoleh suatu

kebijakan yang optimal.

Daniel W. Bromley, Economic Interest and institutions. (New York: Basil

Blackwell, 1989) p. 32-34.

9

9

35

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 53: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Kebijakan publik sebagai pilihan tindakan yang legal

(authoritative choice of a government) adalah pilihan tindakan

dalam kebijakan bersifat legal atau otoritatif karena dibuat oleh

lembaga yang memiliki legitimasi dalam sistem pemerintahan.

Keputusan itu mengikat para pegawai negeri untuk bertindak

atau mengarahkan pilihan tindakan atau kegiatan seperti

menyiapkan rancangan undang-undang atau peraturan

pemerintah untuk dipertimbangkan oleh parlemen atau

mengalokasikan anggaran guna mengimplementasikan

program tertentu.

Kebijakan Publik sebagai Kebijakan Sosial diuraikan

oleh Suharto, bahwa kebijakan sosial adalah salah satu

bentuk dari kebijakan publik. Kebijakan sosial merupakan

ketetapan pemerintah yang dibuat untuk merespon isu-isu

yang bersifat publik, yakni mengatasi masalah sosial atau

memenuhi kebutuhan masyarakat banyak. Menurut Bessant,

Watts, Dalton dan Smith: “In short, social policy refers to what

governments do when they attempt to improve the quality of

people's live by providing a range of income support,

community services and support programs”.

Secara garis besar, kebijakan sosial diwujudkan dalam

tiga kategori, yakni perundang-undangan, program pelayanan

sosial dan sistem perpajakan (lihat Midgley, 2000). Berda-

sarkan kategori ini, maka dapat dinyatakan bahwa setiap

perundang-undangan, hukum atau peraturan daerah yang

Edi Suharto, Kebijakan Sosial Sebagai Kebijakan Publik, (Alfabeta

Bandung 2007) p. 10.

Judith Bessant, Rob Watts, Tony Dalton&Paul Smyth, Talking Policy:

How Sosial Policy in Made,(Crows Nest:Allen&Winn,2006) p.4.

James Midgley, Martin B. Tracy, Michelle Livermore (edit), The

Handbook oc Sosial Policy, (Sage Publikations, London, 2000)p. 3-5.

10

11

12

12

11

10

36

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 54: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

menyangkut masalah dan kehidupan sosial adalah wujud dari

kebijakan sosial. Namun, tidak semua kebijakan sosial ber-

bentuk perundang-undangan.

Thomas R. Dye merumuskan 8 model formulasi

kebijakan, yaitu: (1) Model Institusional: Kebijakan adalah

institusional output. Secara simpel model ini dimaksudkan

adalah bahwa tugas membuat kebijakan publik adalah

pemerintah. Jadi apapun yang dibuat pemerintah dengan

berbagai cara dapat disebut sebagai kebijakan publik. Dye

mengutarakan ada 3 karakteristik pendekatan ini yaitu yang

Pertama, bahwa pemerintah mempunyai legitimasi untuk

membuat kebijakan publik, dan yang Kedua bersifat universal,

dan Ketiga pemerintah memonopoli fungsi pemaksaan

(coercion) dalam masyarakat; (2) Model Proses: Kebijakan

adalah aktivitas politik. Dalam model ini menguraikan asumsi

bahwa politik merupakan sebuah aktivitas sehingga dapat

disebut sebagai proses. Dengan demikian kebijakan publik

merupakan juga proses politik. Model ini menjelaskan

bagaimana kebijakan dibuat atau seharusnya dibuat.

Proses kebijakan secara umum garis besarnya sebagai

berikut: Problem Identification; Agenda Setting; Policy

Formulation; Policy Legitimation; Policy Implementation;

Policy Evaluation; (3) Model Teori Rasionalisme: Kebijakan

adalah Maximum Social Gain. Model ini mengedepankan

gagasan “Maximum Social Gain”, yaitu kebijakan publik seba-

gai Maximum Social Gain, yang berarti pemerintah sebagai

pembuat kebijakan harus memilih kebijakan yang memberikan

manfaat terbaik bagi masyarakat. Sebagai catatan, secara

realita ada 2 petunjuk penting dari pengertian Maximum Social

Thomas R. Dye, Understanding Publik Policy (Upper Suddle River,

New Jersey, 2005) p.11-27.

13

37

13

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 55: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Gain”, Pertama, adalah tidak ada kebijakan akan diadopsi jika

costnya tinggi bagi penerima manfaat. Kedua, adanya

alternatif-alternatif kebijakan, dimana pengambil keputusan

akan memilih kebijakan yang produktif dan mempunyai

keuntungan yang terbaik. Model ini juga mengatakan bahwa

proses formulasi kebijakan haruslah didasarkan pada

keputusan yang sudah diperhitungkan rasionalitasnya.

Rasionalitas yang diambil adalah perbandingan antara

pengorbanan dan hasil yang dicapai; (4) Model Inkrementalis:

Kebijakan adalah variasi dari masa lalu. Model Inkrementalis

melihat bahwa kebijakan publik adalah kelanjutan dari aktivitas

pemerintah di masa lalu. Model ini disebut juga model

pragmatis. Model ini diadopsi ketika pengambil keputusan

berhadapan dengan keterbatasan waktu, informasi dan

kecukupan dana untuk melakukan evaluasi kebijakan secara

komprehensif. Sementara itu pengambil keputusan dihadap-

kan pada ketidakpastian yang terjadi di sekelilingnya.

Pilihannya adalah melanjutkan kebijakan di masa lalu dengan

beberapa modifikasi sebelumnya. Pilihan ini biasanya dilaku-

kan oleh pemerintah dalam lingkungan yang pluralistik, yang

tidak mungin membuat kebijakan baru yang dapat memuas-

kan semua pihak. Dalam batas tertentu model ini tidak saja

terjadi keterbatasan sumber dana, melainkan juga karena

keberhasilan di masa lalu yang menimbulkan rasa puas diri

yang berkepanjangan; (5) Model Teori Group: Kebijakan

adalah keseimbangan group (kelompok). Model teori group

(kelompok) mengandaikan kebijakan sebagai titik keseimba-

ngan. Inti gagasannya adalah interaksi di dalam kelompok

akan menghasilkan keseimbangan dan keseimbangan adalah

yang terbaik. Di sini individu di dalam kelompok-kelompok

kepentingan berinteraksi secara formal dan informal, secara

38

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 56: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

langsung atau melalui media masa menyampaikan tuntutan-

nya kepada pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan publik

yang diperlukan. Di sini peran dari sistem politik adalah untuk

manajemen konflik yang muncul dari adanya perbedaan

tuntutan. Model ini sesungguhnya merupakan abstraksi dari

proses formulasi kebijakan yang di dalamnya beberapa

kelompok kepentingan berusaha untuk mempengaruhi isi dan

bentuk kebijakan secara interaktif. (6) Model Teori Elite:

Kebijakan adalah preferensi elite. Model ini merupakan

abstraksi dari proses formulasi kebijakan, dimana kebijakan

publik merupakan perspektif dari elite politik. Prinsip dasarnya

adalah karena setiap elite politik ingin mempertahankan status

quo maka kebijakan menjadi bersifat konservatif. Kebijakan-

kebijakan yang dibuat oleh para elite politik tidaklah berarti

selalu mementingkan kesejahteraan masyarakat. (7) Model

Pilihan publik: Kebijakan adalah pengambilan keputusan

kolektif oleh setiap orang yang berkepentingan. Intinya model

ini menghendaki agar setiap orang dilibatkan secara

demokratis dalam pengambilan keputusan. Model ini biasanya

dikaitkan dengan implementasi kebijakan good governance

bagi pemerintah yang mengamanahkan agar dalam membuat

kebijakan, para konstituen dan pemanfaat diakomodir kebera-

daannya. Model ini baik tapi kurang efektif dalam mengatasi

masalah-masalah kritis, darurat, dalam kelangkaan sumber

daya. Namun jika dapat dilaksanakan, sangat efektif dalam

implementasinya, karena setiap pihak mempunyai kewajiban

untuk ikut serta mencapai keberhasilan kebijakan, yang

karena juga setiap pihak bertanggungjawab atas kebijakan

yang dirumuskan. (8) Model Teori Permainan (Game):

Kebijakan adalah pilihan rasional dalam situasi kompetisi.

Gagasan pokok kebijakan dalam model teori permainan

39

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 57: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

adalah: Pertama, formulasi kebijakan berada dalam situasi

kompetisi yang intensif, dan Kedua, para aktor tidak berada

dalam situasi pilihan yang tidak independen ke dependen,

melainkan situasi pilihan yang sama-sama bebas atau

independen. Model teori permainan adalah model yang sangat

abstrak dan deduktif dalam formulasi kebijakan.

Sesungguhnya model ini mendasarkan pada formulasi

kebijakan yang rasional namun dalam kondisi kompetitif

dimana tingkat keberhasilan kebijakan tidak lagi hanya

ditentukan oleh aktor pembuat kebijakan, namun juga aktor-

aktor lain.

Pada tahun 1951, Harold Laswell telah membuat proses

perumusan kebijakan ke dalam beberapa tahapan yang

dimulai dari tahap konseptualisasi, rekomendasi, preskripsi,

invokasi, aplikasi, apraisal dan terminasi (Bridgman dan Davis,

2004). Meskipun tahapan ini terlihat tumpang tindih, namun

karya Laswell memberi inspirasi bagi penulis lain untuk

mengembangkannya. Beberapa penulis lain tetap memperta-

hankan formulasi kebijakan berdasarkan pendekatan proses.

Berbagai label tahapan yang dibuat memang berbeda-beda,

namun pada intinya menunjuk pada sebuah sekuen logis yang

terdiri dari identifikasi masalah kebijakan, penetapan agenda

kebijakan, penetapan keputusan kebijakan, implementasi

kebijakan dan evaluasi kebijakan (Sabatier dan Jenkins-

Smith, 1993, Bridgman dan Davis, 2004).

Hampir semua penjelasan mengenai proses perumusan

kebijakan bergerak melalui tiga tahapan (Suharto, 2007), yaitu

Peter Bridgman & Glyn Davis, the Australian policy handbook (Crows

Nest: Allen and Unwin 2004) p.22.

Edi Suharto, op.cit. p. 26-27.

14

14

15

15

40

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 58: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

41

pengembangan ide, melakukan aksi dan mengevaluasi hasil.

Secara formal, ketiga langkah itu bisa disederhanakan

menjadi: pengembangan ide (ideation); realisasi (realisation);

dan evaluasi (evaluation). Secara kurang formal, ketiga

tahapan itu bisa pula diformulasikan menjadi: berpikir

(thinking), bertindak (doing) dan menguji (testing) (Bridgman

dan Davis, 2004: 22).

Meskipun proses perumusan kebijakan dapat dilakukan

melalui berbagai tahapan yang beragam, langkah-langkah pe-

rumusan kebijakan publik dapat dimulai dari identifikasi isu,

merumuskan agenda kebijakan, melakukan konsultasi, mene-

tapkan keputusan, menerapkan kebijakan dan mengevaluasi

kebijakan. Keenam langkah tersebut dapat dilihat secara ring-

kas dalam lingkaran kebijakan yang dipresentasikan Gambar 2.1.

Gambar 2.1. Lingkaran Kebijakan

Menurut Parsons mengutip pendapat para ahli pada

Introduction, menyatakan bahwa kebijakan publik menitik be-

Wayne Parsons, Publik Policy: Pengantar Teori & Praktek Analisis

Kebijakan, (Predana Media Group 2006),p.xi – xii.

16

16

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 59: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

42

ratkan pada apa yang oleh Dewey (1927) katakan sebagai

“publik dan problem-problemnya”.Kebijakan publik membahas

soal bagaimana isu-isu dan persoalan-persoalan tersebut

disusun dan didefinisikan dan bagaimana kesemuanya itu

diletakkan dalam agenda kebijakan dan agenda politik. Selain

itu kebijakan publik juga merupakan studi tentang “bagaimana,

mengapa dan apa efek dari tindakan aktif dan pasif

pemerintah” (Heidenheimer et al.,1990:3). Atau seperti dikata-

kan oleh Dye, kebijakan publik adalah studi tentang “apa yang

dilakukan pemerintah, mengapa pemerintah mengambil tinda-

kan tersebut dan apa akibat dari tindakan tersebut” (Dye,

1976:1). Studi “sifat, sebab dan akibat dan kebijakan publik”

(Nagel 1990: 440) ini mensyaratkan agar kita menghindari

fokus yang “sempit” dan menggunakan pendekatan dan

disiplin yang bervariasi.

C. Analisis Kebijakan.

Menurut Versi Dunn, mengemukakan bahwa: ”Policy

analysis is an applied social science discipline which use

multiple methods of inquiry and argument to produce and

transform policy-relevant information that my be utilized in

political setting to resolve policy problems”.

Dunn mendefinisikan analisis kebijakan adalah aktivitas

intelektual dan praktis yang ditujukan untuk menciptakan,

secara kritis menilai dan mengkomunikasikan pengetahuan

tentang dan dalam proses kebijakan. Analisis kebijakan adalah

disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai

metode pengkajian multipel dalam konteks argumentasi dan

debat politik untuk menciptakan, secara kritis menilai dan

William N. Dunn, Publik Policy Analysis: An Introduction (New Yersey:

Prentice Hall ,1981) p.35.

17

17

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 60: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

mengkomunikasikan pengetahuan yang relevan dengan

kebijakan.

Dunn sendiri melukiskan proses analisis kebijakan (yang

berorientasi pada masalah kebijakan) sebagai berikut :

Gambar 2.2. Analisis Kebijakan yang berorientasi pada masalah

Proses analisis kebijakan yang sebagaimana diilustrasi-

kan pada Gambar 2.2. tersebut di atas, dibuat untuk tujuan

metodologis, untuk mempelajari kelebihan dan kekurangan

dari metode-metode dan teknik-teknik analisis kebijakan.

Gambar 2.2. tersebut, merupakan rekonstruksi logis dari

proses analisis kebijakan, proses aktual mengerjakan analisis

kebijakan dapat sesuai atau tidak sesuai dengan rekonstruksi

logis tersebut, yang merupakan abstraksi dari banyak deskrip-

si konkrit tentang praktek yang dilakukan analisis kebijakan.

43

KebijakanKinerja

Peramalan

KebijakanMasa Depan

Evaluasi

Pemantauan Rekomendasi

MasalahPerumusan

KebijakanHasil

KebijakanMasalah

KebijakanAksi

MasalahPerumusan

Masalah

Perum

usanM

asal

ahPe

rum

usa

n

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 61: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Logika yang digunakan analisis dalam praktek, sebagai-

mana dibedakan dari rekonstruksi logis, mencerminkan variasi

yang muncul baik dari karakteristik individual para analisis dan

keadaan institutional dimana mereka bekerja.

Analisis kebijakan juga dapat dibedakan menjadi

analisis prospektif atau ex post yang merupakan produksi dan

diimplementasikan dan analisis retrospektif atau ex ante yang

merupakan produksi dan transformasi informasi sesudah aksi

kebijakan. Di antara keduanya, Dunn menyebutkan analisis

terintegrasi, yaitu produksi dan transformasi informasi baik

sebelum maupun sesudah aksi kebijakan.

Menurut Weimer-Vining, mencermati analisis kebijakan

pertama-tama dari segi produknya, yaitu bahwa produk dari

analisis kebijakan adalah advis yang menginformasikan

keputusan kebijakan publik. (The product of policy analysis is

advice. Specifically, it is advice that inform some public policy

decission). Tentu saja, tidak semua advis adalah produk dari

analisis kebijakan. Advis yang merupakan produk analisis

kebijakan adalah advis yang berkenaan dengan keputusan

publik yang di dalamnya memuat nilai-nilai sosial. Namun

demikian, analisis kebijakan tidak hanya untuk sektor

pemerintahan (publik), namun juga diperlukan untuk sektor

bisnis.

Jadi, pemahaman dasar analisis kebijakan adalah advis

yang berorientasi pada klien yang berkenaan dengan kepu-

tusan publik dan memuat nilai-nilai sosial (policy analysis is

client oriented advice relevant of public decission and informed

by social values). Weimer dan Vining memahami analisis ke-

bijakan sebagai sebuah kegiatan yang mengandung tiga nilai,

David L. Weimer & Aidan R. Vining, 1991 (2rd edition), Policy

Analysis: Concept and Practice, New Jersey: Prentice Hall. Hal.1-2.

18

18

44

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 62: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

pragmatis (client-oriented), mengacu pada keputusan

(kebijakan) publik dan tujuannya melebihi kepentingan atau

nilai-nilai klien, melainkan kepentingan atau nilai-nilai sosial.

Definisi ini berbeda dengan definisi “klasik” tentang

analisis kebijakan. Misalnya, definisi dari Walter William (1971)

dikutip oleh Nugroho (2007) bahwa analisis kebijakan adalah

sebuah cara penyintesiskan informasi, termasuk hasil-hasil

penelitian, untuk menghasilkan format keputusan kebijakan

(yang ditentukan dari sejumlah alternatif pilihan) dan

menentukan informasi yang relevan dengan kebijakan; policy

analysis is a means of synthesizing information including

research result to produce a format for policy decission (the

laying out of alternative choice) and of determining future

needs for policy relevant information.

Teori lain tentang kebijakan publik juga disampaikan oleh

Patton & Savicky, bahwa tantangan hari ini bagi analisis

kebijakan publik adalah bagaimana kita dapat mempunyai

metode analisis dan perencanaan kebijakan yang sederhana.

Tantangan ini timbul karena proses pemecahan masalah yang

rasional tidak sesuai dengan kondisi kebutuhan analisis kebi-

jakan yang ditekan oleh sempitnya waktu, terbatasnya penge-

tahuan dan terbatasnya sumber daya. Patton dan Savicky me-

ngatakan: “Policy analyst are often required to give advice to

policy maker in incredibly short periods of time, in contrast to

university researcher and think tank consultant who are hired

specifically to conduct intensive research on publik policy issues.”

Riant Nugroho, op.cit.p.36.

Carl V. Patton & David S. Savicki, 1993 (1986), Basic Methods of

Policy Analysis & Planning, New Jersey: Prentice Hall, 482 + xiii. Dalam buku

Riant Nugroho, Analisis Kebijakan, (Elex Media Komputindo, Jakarta,

2007).p.59-60.

19

19

20

20

45

Page 63: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Teori lain juga disampaikan oleh Quade dan Jenkis

Smith E.S. Quade, Menurut Edward S. Quade adalah ilmu-

wan sekaligus praktisi dan guru analisis kebijakan publik.

Quade mempunyai kredo yang dikutip oleh ahli kebijakan

bahwa (disiplin) analisis kebijakan muncul karena perumusan

kebijakan publik tidak memuaskan unsatisfactory state of

public policy making. Oleh karena itu, tujuan analisis kebijakan

adalah untuk memperbaiki pembuatan keputusan kebijakan.

Dalam kebijakan, digunakan istilah “analisis” yang sebenarnya

menyiratkan penggunaan “intuisi” dan “judgement”.

Quade bukanlah pengikut pendekatan rasionalis murni,

melainkan lebih bersifat pragmatis. Itulah sebabnya ia

mangatakan: “We have not been and never shall be able to

make policy analysis a purely rational, coldly objective,

scientific aid to decision-making that will neatly lay bare the

solution to every problem to which it is applied. There are

always may be not analytically, or even systematically, and

there may be problems with no solution. In the end politics and

intuitive judgement must rule”.

Pemikiran lain dari Quade dan Dunn, disampaikan oleh

Bardach mengemukakan bahwa analisis kebijakan adalah

suatu aktivitas politik dan sosial. Oleh karena itu seseorang

yang tertarik di bidang analisis kebijakan memerlukan suatu

tanggung jawab mental dan intelektual dari kualitas hasil

pekerjaan atau kegiatan di bidang analisis kebijakan.

Selanjutnya, analisis kebijakan pada dasarnya lebih pada seni

E.S.Quade, Analysis for Publik Decisions, Third Edition, Revised

Edition by Grace M Carter, (The RAND Corporation, 1989) p. 11, 46-55.

Eugene Bardach, A Practical Guide for Policy Analysis The Eighfald

Path to More Effective Problem Solving (New York: Seven Bridges Press

2000) p.xiii.

21

22

21

22

46

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 64: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

mengambil kesimpulan dan pada ilmunya (more art than

science). Oleh karena itu penggunaan intuisi dan prosedur

atau metode harus digunakan secara seimbang.

Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial

dalam proses kebijakan publik. Suatu program kebijakan

harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau

tujuan yang diinginkan. Dalam hal ini yang dibahas dua hal

pokok, yakni mengenai konsep implementasi dan model-

model implementasi kebijakan. Model yang dibicarakan

adalah model implementasi kebijakan yang diperkenalkan

oleh Donalds S. Van Meter dan Carl E. Van Horn dan model

pelaksanaan kebijakan yang dikemukakan oleh George C.

Edward III, yang dikutip oleh Winarno dalam bukunya “Teori

dan Proses Kebijakan Publik” (2004: 101). Kedua model ini

mempunyai kesamaan dalam aspek-aspek tertentu, sekalipun

dalam aspek-aspek lainnya berbeda.

Menurut Winarno mengutip pendapat James P. Lester

dan Joseph Stewart, Implementasi kebijakan dipandang

dalam pengertian yang luas, merupakan alat administrasi

hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik

yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan

guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan.

Implementasi pada sisi yang lain merupakan fenomena yang

kompleks yang mungkin dapat dipahami sebagai proses,

keluaran, maupun sebagai hasil. Sementara itu, Van Meter

dan Van Horn (Winarno: 2004) membatasi implementasi kebi-

jakan sebagai tindakan-tindakan yang dilakukan oleh individu-

individu (atau kelompok-kelompok) pemerintah maupun

swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang

Budi Winarno,Teori dan Praktek Kebijakan Publik, (Yogyakarta,

Media Pressindo,2004).p.1-2.

23

23

47

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 65: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

telah ditetapkan dalam keputusan-keputusan kebijakan sebe-

lumnya.

Tindakan-tindakan ini mencakup usaha-usaha untuk

mengubah keputusan-keputusan menjadi tindakan-tindakan

operasional dalam kurun waktu tertentu maupun dalam rangka

melanjutkan usaha-usaha untuk mencapai perubahan-

perubahan besar dan kecil yang ditetapkan oleh keputusan-

keputusan kebijakan.

Yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa tahap

implementasi kebijakan tidak akan dimulai sebelum tujuan-

tujuan dan sasaran-sasaran ditetapkan atau diidentifikasi oleh

keputusan-keputusan kebijakan. Dengan demikian, tahap

implementasi terjadi hanya setelah Undang-Undang ditetap-

kan dan dana disediakan untuk membiayai implementasi

kebijakan tersebut.

Masih menurut Van Meter dan Van Horn (Winarno

2004:109) ada beberapa hal yang perlu diperhatikan di dalam

mengembangkan tipologi kebijakan-kebijakan publik. Yakni:

Pertama, kemungkinan implementasi yang efektif akan ber-

gantung sebagian pada tipe kebijakan yang dipertimbangkan.

Misalnya, keberhasilan implementasi kebijakan mengenai

peningkatan mutu pelayanan sosial di Panti Sosial oleh Peker-

ja Sosial, akan berbeda dengan kebijakan untuk menang-

gulangi masalah kemiskinan. Hal ini disebabkan oleh tipe

kebijakan yang berbeda antara peningkatan mutu pelayanan

sosial di Panti Sosial dengan penanggulangan masalah

kemiskinan. Kedua, faktor-faktor tertentu yang mendorong

realisasi atau non-realisasi tujuan-tujuan program akan berbe-

da dari tipe kebijakan yang satu dengan tipe kebijakan yang

lain. Suatu implementasi akan sangat berhasil bila perubahan

marginal diperlukan dan konsensus tujuan adalah tinggi.

48

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 66: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Sebaliknya, bila perubahan besar ditetapkan dan konsensus

tujuan rendah maka prospek implementasi yang efektif akan

sangat diragukan.

1. Pendekatan Analisis Kebijakan.

Pendekatan dalam memahami tentang kebijakan,

dirujuk apa yang ditulis oleh William N Dunn. Bahwa

model-model untuk analisis yaitu: model deskriftif, model

verbal, model simbolik dan model prosedural. Dalam aspek

prosedural Dunn mengemukakan beberapa langkah

proses analisis kebijakan yaitu; (1) Penyusunan agenda

kebijakan, yang berkaitan dengan perumusan masalah;

(2) Formulasi kebijakan, yang berkaitan dengan perama-

lan; (3) Adopsi kebijakan, yang berkaitan dengan rekomen-

dasi yang perlu dilaksanakan; (4) Pelaksanaan kebijakan

yang berkaitan dengan proses pemantauan terhadap

pelaksanaan kebijakan.

Analisis kebijakan memiliki tiga pendekatan, yaitu

(1) pendekatan empiris, berupaya menjawab permasa-

lahan fakta-fakta; (2) pendekatan evaluatif, berupaya

mencari beberapa nilai atas sesuatu; (3) pendekatan

normatif, memberikan upaya tindakan atas apa yang harus

dilakukan.

Seterusnya, terdapat tiga bentuk analisis kebijakan

yaitu prospektif, retrospektif dan integratif. Analisis kebi-

jakan prospektif melibatkan produksi dan transformasi

informasi sebelum pelaksanaan kebijakan dimulai dan

dilaksanakan. Analisis kebijakan retrospektif merupakan

William N Dunn, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Edisi Kedua

(Gadjah Mada University Press, 2000) Yogyakarta, p. 24, 233-240.

William N Dunn, op. cit. p.117-124.

49

24

24

25

25

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 67: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

usaha memproduksi dan mentransformasi informasi se-

sudah kebijakan dilakukan. Analisis kebijakan integratif

adalah analisis yang lebih komprehensif yang mengkombi-

nasikan prospektif dan retrospektif. Dalam studi ini pende-

katan yang dipakai adalah pendekatan retrospektif. Artinya

dilakukan evaluasi terhadap kebijakan yang telah dilaksa-

nakan dalam kurun waktu tertentu.

Penelitian kebijakan didefinisikan sebagai kegia-

tan penelitian yang dilakukan untuk mengevaluasi kebija-

kan. Oleh karena sifatnya mengevaluasi suatu kebijakan,

maka penelitian/studi ini spesifik, namun tidak berarti

mengada-ada (Syaiful Anwar,2009). An Majchrzak (1984)

dalam Danim (2005) mendefinisikan penelitian kebijakan

sebagai proses penyelenggaraan penelitian untuk mendu-

kung kebijakan atau analisis terhadap masalah-masalah

sosial yang bersifat fundamental secara teratur untuk

membantu pengambil kebijakan memecahkan masalah

dengan jalan menyediakan rekomendasi yang berorientasi

pada tindakan atau tingkah laku pragmatis.

Dalam studi ini, analisis kebijakan dipakai untuk

menilai atau mengevaluasi suatu kebijakan. Artinya,

sejauh mana substansi, implementasi dan hasil kebijakan

tentang mutu Pekerja Sosial dalam pelayanan sosial

sesuai dengan standar pelayanan sosial di Panti Sosial.

Kebijakan yang dievaluasi adalah kebijakan Kementerian

Sosial tentang Pekerja Sosial.

Anwar Syaiful, AB, Peningkatan Mutu, Relevansi dan Dayasaing

Perguruan Tinggi: Analisis Kebijakan di Universitas Bengkulu,(Disertasi

Doktor, Pascasarjana UNJ,2009).

Danim Sudarwan, Pengantar Studi Penelitian Kebijakan, (Bumi

Aksara, 2005),p.23.

50

26

27

26

27

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 68: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Substansi kebijakan mencakup berbagai pera-

turan yang berhubungan dengan Pekerja Sosial, imple-

mentasi kebijakan mencakup bagaimana para stakeholder

Kementerian Sosial melaksanakan berbagai ketentuan/

peraturan dan apa saja hasil pelaksanaan kebijakan

dimaksud pada tingkat operasional yaitu pelayanan sosial

yang dilakukan Pekerja Sosial di Panti Sosial.

2. Pendekatan Evaluasi Kebijakan.

Evaluasi kebijakan dapat dilakukan dengan me-

ngikuti suatu model tertentu. Mengacu pada Bridgman dan

Davis (2004) sedikitnya ada empat model evaluasi yang

bisa diterapkan: (1) Evaluasi ketepatan (appropriateness

evaluation). Evaluasi yang dilakukan untuk membantu

membuat kebijakan dalam menentukan apakah sebuah

program yang baru perlu dibuat atau apakah program yang

ada masih harus dipertahankan. Pertanyaan kunci pada

evaluasi ini menyentuh aspek mekanisme pemberian pela-

yanan: apakah lembaga pemerintah ataukah swasta yang

harus menyelenggarakan pelayanan sosial?; (2) Evaluasi

efisiensi (efficiency evaluation). Menghitung seberapa

besar barang dan jasa mampu menghasilkan sesuai

dengan sumberdaya yang dikeluarkan. Apakah sebuah

program secara ekonomi efisien dilihat dari uang publik

yang digunakannya?; (3) Evaluasi efektivitas (effective-

ness evaluation). Mengidentifikasi apakah sebuah

program menghasilkan dampak yang bermanfaat bagi

publik? Apakah dampak yang ditimbulkan program dapat

Bridgman, op.cit.,132-133. 28

28

51

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 69: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

meningkatkan kesejahteraan publik? Apakah program

dapat mencapai tujuan-tujuannya? (4) Evaluasi meta

(meta-evaluation). Mengevaluasi proses evaluasi itu

sendiri. Apakah lembaga-lembaga yang melakukan

evaluasi menerapkan model dan metode evaluasi yang

profesional? Apakah prosedur evaluasinya sesuai dengan

langkah-langkah evaluasi yang benar? Apakah kriteria

evaluasi sesuai dengan variabel-variabel yang diukur?

Menurut Howlet dan Ramesh (1995) yang dikutip

Nugroho (2008) mengelompokkan evaluasi menjadi tiga

yaitu: Pertama, evaluasi administratif yang berkenaan

dengan evaluasi sisi administratif –anggaran, efisiensi,

biaya– dari proses kebijakan di dalam pemerintah yang

berkenaan dengan: (a) effort evaluation, yang menilai dari

sisi input program yang dikembangkan oleh kebijakan,

(b) performance evaluation, yang menilai keluaran dari

program yang dikembangkan oleh kebijakan, (c) adequacy

of performance evaluation atau effectiveness evaluation,

yang menilai apakah program dijalankan sebagaimana

yang telah ditetapkan, (d) efficiency evaluation, yang

menilai biaya program dan memberikan penilaian tentang

keefektifan biaya tersebut, (e) process evaluation, yang

menilai metode yang dipergunakan oleh organisasi untuk

melaksanakan program; Kedua, evaluasi judisial, yaitu

evaluasi yang berkenaan dengan isu keabsahan hukum

tempat kebijakan diimplementasikan, termasuk kemungki-

nan pelanggaran terhadap konstitusi, sistem hukum, etika,

aturan administrasi negara, hingga hak azasi manusia;

Riant Nugroho, op,cit. p.478-479.

52

29

29

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 70: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

53

Ketiga, Evaluasi politik yaitu menilai sejauh manan konstituen

politik terhadap kebijakan publik yang diimplementasikan.

Untuk melakukan evaluasi yang baik dengan

margin kesalahan yang minimal beberapa ahli mengem-

bangkan langkah-langkah dalam evaluasi kebijakan. Salah

satu ahli adalah Edward A. Suchman yang dikutip oleh

Winarno (2004), dimana Suchman mengajukan 6 (enam)

langkah dalam evaluasi kebijakan, yakni: (1) Mengidentifi-

kasi tujuan program yang akan dievaluasi; (2) Analisis

terhadap masalah; (3) Deskripsi dan standarisasi kegiatan;

(4) Pengukuran terhadap tingkatan perubahan yang

terjadi; (5) Menentukan apakah perubahan yang diamati

merupakan akibat dari kegiatan tersebut atau karena

penyebab yang lain; (6) Beberapa indikator untuk menen-

tukan keberadaan suatu dampak.

Dalam penelitian ini pendekatan yang dilakukan

adalah pendekatan evaluasi kebijakan. Ada tiga pendeka-

tan dalam evaluasi kebijakan: (1) evaluasi semu; adalah

pendekatan yang menggunakan metode-metode deskriftif

untuk menghasilkan informasi yang valid dan dapat

dipercaya mengenai hasil kebijakan, tanpa berusaha untuk

menanyakan tentang manfaat atau nilai dari hasil-hasil

tersebut terhadap individu, kelompok, atau masyarakat

secara keseluruhan; (2) evaluasi formal; merupakan

pendekatan yang menggunakan metode deskriftif untuk

menghasilkan informasi yang valid dan cepat, dipercaya

mengenai hasil-hasil kebijakan tetapi mengevaluasi hasil

tersebut atas dasar tujuan program kebijakan yang telah

diumumkan secara formal oleh pembuat kebijakan dan

administrator program. Asumsi utama dari evaluasi formal

adalah bahwa tujuan dan target diumumkan secara formal

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 71: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

dan merupakan ukuran yang tepat untuk manfaat dan nilai

kebijakan serta program, dan (3) evaluasi teoritis keputu-

san, adalah pendekatan yang menggunakan metode-

metode deskriftif untuk menghasilkan informasi yang dapat

dipertanggungjawabkan mengenai hasil-hasil kebijakan

yang secara eksplisit dinilai oleh berbagai macam pelaku

kebijakan. Perbedaan pokok antara evaluasi teoritis

keputusan di satu sisi dan evaluasi semu dan evaluasi

formal di sisi lainnya adalah bahwa evaluasi keputusan

teoritis berusaha untuk memunculkan dan membuat

eksplisit tujuan dan target baik yang tersembunyi atau

dinyatakan.

Dalam studi ini pendekatan yang dipakai adalah

pendekatan evaluasi formal, karena evaluasi formal meng-

gunakan dokumen-dokumen Undang-Undang, dokumen-

dokumen program dan wawancara dengan pembuat

kebijakan dan administrator untuk mengidentifikasi,

mendefinisikan dan menspesifikasikan tujuan dan target

kebijakan. Kelayakan dari tujuan dan target yang

diumumkan secara formal tersebut tidak ditanyakan.

Dalam evaluasi formal tipe-tipe kriteria evaluatif yang

paling sering digunakan adalah efektivitas dan efisiensi.

Sementara itu, dalam kajian ini digunakan juga

pendekatan evaluasi proses retrosfektif meliputi peman-

tauan dan evaluasi program setelah program tersebut

diterapkan untuk jangka waktu tertentu. Evaluasi proses

retrosfektif, yang cenderung dipusatkan pada masalah-

masalah dan kendala-kendala yang terjadi selama

implementasi kebijakan dan program. Evaluasi retorsfektif

William N. Dunn, Op.cit.p.613-619.

54

30

30

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 72: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

lebih menggantungkan pada deskripsi ex post facto

tentang kegiatan aktivitas program yang sedang berjalan,

yang selanjutnya berhubungan dengan keluaran dan

dampak. Evaluasi proses retrosfektif mensyaratkan

adanya sistem pelaporan internal yang mantap dan

memungkinkan pemunculan informasi yang berkelanjutan

dan mempunyai hubungan dengan program.

Selanjutnya tujuan evaluasi, dapat dirinci sebagai

berikut: (1) menentukan tingkat kinerja suatu kebijakan.

Melalui evaluasi maka dapat diketahui derajat pencapaian

tujuan dan sasaran kebijakan; (2) mengukur tingkat

efisiensi suatu kebijakan. Dengan evaluasi juga dapat

diketahui berapa biaya dan manfaat dari suatu kebijakan;

(3) mengukur tingkat keluaran (outcome) suatu kebijakan.

Salah satu tujuan evaluasi adalah mengukur berapa besar

dan kualitas pengeluaran atau output dari suatu kebijakan;

(4) mengukur dampak suatu kebijakan. Pada tahap lebih

lanjut, evaluasi ditujukan untuk melihat dampak dari suatu

kebijakan, baik dampak positif maupun dampak negatif;

(5) untuk mengetahui apabila ada penyimpangan. Evaluasi

juga bertujuan untuk mengetahui adanya penyimpangan-

penyimpangan yang mungkin terjadi, dengan cara mem-

bandingkan antara tujuan dan sasaran dengan pencapaian

target; (6) sebagai bahan masukan (input) untuk kebijakan

yang akan datang. Tujuan akhir dari evaluasi adalah untuk

memberikan masukan bagi proses kebijakan ke depan

agar dihasilkan kebijakan yang lebih baik. Selanjutnya,

data yang telah dikumpulkan dilakukan reduksi dan

verifikasi data sebelum diambil kesimpulan.

AG.Subarsono, Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori dan

Aplikasi, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2008). p.120.

55

31

31

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 73: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

3. Indikator Evaluasi.

Menilai keberhasilan suatu kebijakan perlu dikem-

bangkan beberapa indikator, karena penggunaan indikator

yang tunggal akan membahayakan, dalam arti hasil

penilaiannya dapat bias dari yang sesungguhnya. Indikator

atau kriteria evaluasi yang dapat dikembangkan oleh Dunn

(1994) mencakup lima indikator sebagai berikut:

Tabel 2.1. Indikator Evaluasi Kebijakan

No Kriteria Penjelasan

1 Efektivitas Apakah hasil yang diinginkan telah tercapai

2 Kecukupan Seberapa jauh hasil yang telah tercapai dapat

memecahkan masalah?

3 Pemerataan Apakah biaya dan manfaat didistribusikan

merata pada kelompok masyarakat yang

berbeda?

4 Responsivitas Apakah hasil kebijakan memuat preferensi atau

nilai kelompok dan dapat memuaskan mereka?

5 Ketepatan Apakah hasil yang dicapai bermanfaat?

Dari uraian diatas, dapat disimpulkan bahwa

proses evaluasi dapat dipandang sebagai akhir proses

kebijakan, tetapi dapat juga diartikan tidak. Artinya, setelah

tahap evaluasi kebijakan masih ada tahap yang lain, yakni

tahap terminasi atau perubahan kebijakan. Pada

dasarnya, setiap kebijakan mempunyai tujuan tertentu

atau ingin meraih dampak yang diinginkan. Namun

demikian, karena proses kebijakan merupakan proses

yang kompleks, maka seringkali program kebijakan tidak

dapat meraih tujuan atau dampak yang diinginkan.

Evaluasi dalam bahasa yang lebih singkat digunakan untuk

melihat sejauh mana program kebijakan meraih dampak

yang diinginkan.

56

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 74: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

57

D. Konsep Mutu.

1. Sejarah Mutu.

Menurut Vaughn, sejarah mengenai mutu suatu

produk dan jasa telah lama dikenal dan usianya sama

lamanya dengan peradaban umat manusia. Orang mulai

memperbincangkan tentang mutu suatu produk atau jasa

pada saat produk atau jasa tersebut tidak mampu

memberikan pelayanan yang diinginkan oleh masyarakat

pengguna.

Pada abad pertengahan sampai dengan lahirnya

revolusi industri, mutu selalu diassosiasikan dengan merek

produk tertentu. Dengan lahirnya revolusi industri maka

produksi masal suatu barang dimulai dan permasalahan

yang muncul kemudian adalah adanya ketidakseragaman

hasil produk, tidak sesuai antara apa yang dihasilkan oleh

mesin dengan apa yang diinginkan pembeli.

Disamping itu, muncul pula persoalan bahan baku

yang tidak seragam sehingga sulit untuk diproses dalam

pabrik. Efisiensi penggunaan mesin mulai menjadi

masalah disamping standar kualitas para pekerja di pabrik

(sumber daya manusia) mulai dipersoalkan. Solusi

pertama yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut di

atas adalah dengan melakukan kontrak produk setelah

prosesnya selesai.

Dari pengalaman produksi suatu barang, kaum

industriawan belajar dari suatu kenyataan bahwa kualitas

suatu barang tidak dapat dikontrol melalui produk akhirnya,

melainkan harus dilakukan pengecekan pada setiap tahap

proses pembuatannya (in process control). Tujuan utama

Richard C. Vaughn, Quality Control (Iowa States University Press,

1974) p.4.

32

32

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 75: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

dari pengontrolan tersebut adalah untuk mengetahui dan

menyeleksi produk mana yang tidak sesuai dengan

standar yang telah ditetapkan (products do not conform to

the standards desired).

Akibat dari itu, maka lahirlah dua jenis produk,

yaitu produk yang sesuai dengan standar dan yang lain-

nya ditolak (reject) dan diproses ulang. Dalam perkemba-

ngannya kemudian fungsi kualitas kontrol menjadi alat

penguji suatu hasil produksi.

Pada tahun 1924 lahir untuk pertama kalinya

pengukur tentang kualitas produk, yaitu Statistic Quality

Control (SQC) pertama dilaboratorium Telepon (Bell Labs)

yang disusun oleh Walter A. Shewhart (1891-1967).

Perkembangan mutu muncul di Jepang setelah

Perang Dunia II. Pada saat itu Jepang mengalami

kehancuran fatal. Ketika akan dibangun kembali, Jepang

mengundang sejumlah orang Amerika pergi ke Jepang

untuk membangun fasilitas manufaktur yang modern.

Salah seorang yang peranannya sangat besar dalam

pembangunan kembali Jepang adalah W. Edward Deming

seorang ahli fisika (1990-1993) yang kemudian dikenal

juga sebagai bapak manajemen kualitas.

Jepang kemudian mengembangkan apa yang

lebih dikenal dengan Total Quality Control (Pengendalian

Mutu Terpadu) hingga akhirnya mencapai hasil-hasil yang

spektakuler. Setelah produk dari industri Jepang sekaligus

penjualannya melampaui Amerika Serikat, barulah

industri-industri Amerika sadar dan akhirnya mulai

memakai konsep itu.

Ibid. p. 5

58

33

33

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 76: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

2. Definisi Mutu.

Mutu merupakan suatu konsep yang didasarkan

pada ilusi dan bermakna universal. Oleh karena itu, mutu

memiliki makna yang sangat beragam dan berlainan bagi

setiap orang dan kriterianya berubah secara terus menerus

tergantung pada konteksnya. Mutu merupakan suatu

terminologi yang subjektif dan relatif yang dapat diartikan

dengan berbagai cara dimana setiap definisi dapat

didukung oleh argumentasi yang sama baiknya. Oleh

karena itu, mutu merupakan konsep yang kompleks yang

telah menjadi perdebatan dalam semua teori manajemen.

Konsep mutu itu sendiri sering dianggap sebagai

ukuran relatif tentang kebaikan suatu produk atau jasa

yang terdiri atas mutu dan kesesuaian. Lloyd Dobbins dan

Clare Crawford-Mason dalam Stoner telah mewawan-

carai sejumlah penulis mengenai mutu dan mereka

memperoleh kesimpulan bahwa tidak ada orang yang telah

berbicara dengan kami dapat menyetujui dengan tepat

bagaimana mendefinisikan mutu. Mereka mengutip John

Stewart, seorang konsultan di Mc Kinsey yang mengata-

kan bahwa tidak ada sebuah definisi mengenai mutu, dan

mutu adalah perasaan menghargai bahwa sesuatu lebih

baik dari pada yang lain. Perasaan itu berubah sepanjang

waktu dan berubah dari generasi ke generasi serta

bervariasi sesuai dengan aktivitas manusia.

Perdebatan tersebut terjadi karena konsep mutu

menyangkut adanya dua belah pihak yang saling berkaitan

Reni Marlinawati, Kebijakan Nasional Tentang Mutu Pendidikan

Periode 1999 - 2004, (Disertasi Doktor Pascasarjana UNJ 2006,) p.15.

James A.F.Stoner, R. Edward Freeman, and Daniel R. Gilbert JR.

Management. (Sixth Edition (New Jersey: Practice Hall Inc. 1995) p.210.

35

34

35

34

59

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 77: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

yakni pihak yang menghasilkan dan pihak yang meng-

gunakan. Dalam hal ini Deming lebih menekankan kepada

aspek yang lebih umum dan beliau berpendapat bahwa

mutu merupakan kesesuaian (kecocokan) produk dengan

kebutuhan konsumen/pelanggan. Pendapat lain dikemu-

kakan Juran bahwa mutu merupakan fitness for use,

kecocokan penggunaan produk untuk memenuhi

kebutuhan dan kepuasan pelanggan. Lebih lanjut dikemu-

kakan Juran dalam Nasution bahwa kecocokan penggu-

naan didasarkan pada lima ciri utama, yakni: (1) Teknologi,

yaitu kekuatan atau daya tahan; (2) Psikologis, yaitu citra

rasa atau status; (3) Waktu, yaitu kehandalan; (4)

Kontraktual, yaitu adanya jaminan; (5) Etika, yaitu sopan

santun, ramah atau jujur. Pendapat Juran tersebut

mengindikasikan bahwa mutu memiliki dua aspek utama

yaitu Pertama: Ciri-ciri produk yang memenuhi permintaan

pelanggan. Mutu lebih tinggi memungkinkan perusahaan

atau lembaga dapat meningkatkan kepuasan pelanggan,

membuat produk laku terjual dengan harga tinggi; Kedua:

Bebas dari kekurangan, mutu yang tinggi membuat

perusahaan dapat mengurangi tingkat kesalahan,

mengurangi ketidakpuasan pelanggan dan memperbaiki

kinerja penyampaian produk atau jasa.

W. Edwards Deming, Out of The Crisis ( Cambridge: Massachussett

Institute of Technology, 1982).p.176.

Josep M. Juran, Quality Planning and Analysis. (Third Edition (New

York: Mc.Graw Hill Inc. 1993).p. 32.

M.N.Nasution, Manajemen Mutu Terpadu (Total Quality

Management) (Jakarta: Ghalia Indonesia 2001).p.15.

60

36

37

38

36

37

38

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 78: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Hal yang mirip dikemukakan pula oleh Crosby yang

mendefinisikan mutu sebagai “conformance to

requirement”. Menurut Crosby, yang dimaksud mutu

adalah yang sesuai dengan yang diisyaratkan atau distan-

darkan yakni suatu produk memiliki mutu apabila sesuai

dengan standar yang telah ditentukan. Standar tersebut

meliputi bahan baku, proses produksi dan produk jadi.

Feigunbaum dalam Nasution mengemukakan

bahwa mutu adalah kepuasan pelanggan sepenuhnya.

Suatu produk dikatakan bermutu apabila dapat memberi-

kan kepuasan sepenuhnya pada konsumen. Selain itu

definisi mutu diungkapkan oleh Sallis sebagai berikut:

“Quality has a variety of contradictory meanings. It implies

different things to different people. Everyone is in favour of

providing quality education”.

Sedangkan menurut Goetsch & David dalam

Tjiptono dan Diana, mutu adalah suatu kondisi dinamis

yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses

dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan.

Menurut Hubeis bahwa konsep mutu sering

dianggap sebagai ukuran relatif kebaikan suatu produk

atau jasa yang terdiri atas mutu desain dan mutu kesesuai-

an. Mutu desain merupakan spesifikasi produk, sedang

mutu kesesuaian adalah suatu ukuran seberapa jauh suatu

produk memenuhi persyaratan atau spesifikasi mutu yang

Philip B. Crosby, Quality is Free (New York : New American Library,

1978). p. 58.

Nasution. Op.cit.p.16.

Fandi Tjiptono & Anastasia Diana, Total Quality Management,

Yogyakarta: Andi ,2001, p. 27.

61

39

40

40

39

41

41

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 79: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

ditetapkan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang

diterbitkan Balai Pustaka mutu didefinisikan sebagai

ukuran baik buruk suatu benda, kadar, taraf atau derajat

(kepandaian, kecerdasan).

Mengacu pada pengertian di atas, tampak bahwa

belum ada satu definisi tentang mutu yang diterima secara

universal, sehingga Feffer dan Coole mengatakan mutu

sebagai “a slippery concept” yaitu konsep yang licin.

Walaupun argumentasi yang melatarbelakangi

definisi mutu tidak sama antara Deming, Juran, Crosby,

Feigenbaum, Sallis dan lainnya pada prinsipnya penera-

pan mutu memiliki tujuan yang sama yaitu untuk:

(1) Meningkatkan perbaikan secara terus menerus;

(2) Meningkatkan nilai suatu produk atau jasa; (3) Menjaga

kesinambungan antara penghasil dan pengguna produk,

dalam kondisi lingkungan yang selalu berubah.

Beberapa langkah sebagai upaya memperbaiki

mutu menurut Juran dalam Lewis dan Smith adalah

membentuk kesadaran terhadap peluang untuk perbaikan,

mengorganisasikan untuk upaya mencapai tujuan, pelati-

han, melaksanakan proyek-proyek untuk pemecahan

masalah, melaporkan perkembangan, memberi penghar-

gaan, mengkomunikasikan dan mempertahankan hasil

yang dicapai.

Hubeis, M. Sistem Jaminan Mutu Pangan. Pelatihan Pengendalian

Mutu dan Keamanan bagi Staf Pengajar. (Kerjasama Pusat Studi Pangan

dan Gizi IPB dengan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen

Pendidikan dan Kebudayaan Bogor: Dirjen Dikti. 1999).

Ralph G. Lewis & Douglas H.Smith, Total Quality for Higher Education

(Florida: St. Lucie Press. 1994) p.55.

42

43

43

62

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

42

Page 80: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Berikutnya yang dikupas Tjiptono dkk (2001)

adalah tentang Joseph M. Juran. Kontribusi Juran yang

paling terkenal antara lain Juran's Three Basic Steps to

Progress, Juran's Ten Steps to Quality Improvement, The

Pareto Principle dan The Juran Trilogy. Selain itu Juran

mengembangkan konsep Managing Business Process

Quality, yang merupakan suatu teknik untuk melaksana-

kan penyempurnaan kualitas secara fungsional silang

(cross- functional).

Juran's Three Basic Steps to Progress: Menurut

Juran, tiga langkah dasar ini merupakan langkah yang

harus diambil perusahaan/manajemen bila mereka ingin

mencapai kualitas tingkat dunia. Juran juga yakin bahwa

ada titik diminishing return dalam hubungan antara kualitas

dan daya saing. Ketiga langkah tersebut terdiri dari:

(1) Mencapai perbaikan terstruktur atas dasar kesinambu-

ngan yang dikombinasikan dengan dedikasi dan keadaan

yang mendesak; (2) Mengadakan program pelatihan

secara luas; (3) Membentuk komitmen dan kepemimpinan

pada tingkat manajemen yang lebih tinggi.

Juran's Ten Steps to Quality Improvement:

Sepuluh langkah untuk memperbaiki kualitas menurut

Juran meliputi: (1) Membentuk kesadaran terhadap kebu-

tuhan akan perbaikan dan peluang untuk melakukan per-

baikan; (2) Menetapkan tujuan perbaikan; (3) Mengorga-

nisasikan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan;

(4) Menyediakan pelatihan; (5) Melaksanakan proyek-pro-

yek yang ditujukan untuk pemecahan masalah; (6) Mela-

porkan perkembangan; (7) Memberikan penghargaan;

Tjiptono dan Diana op.cit . p.53-5444

44

63

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 81: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

(8) Mengkomunikasikan hasil-hasil; (9) Menyimpan dan

mempertahankan hasil yang dicapai; (10) Memelihara

momentum dengan melakukan perbaikan dalam sistem

reguler perusahaan.

The Pareto Principle: Juran menerapkan prinsip

yang dikemukakan oleh Vilfredo Pareto ke dalam

manajemen. Prinsip ini kadang kala disebut pula kaidah

80/20, yang bunyinya “80% of the trouble comes froms

20% of the problems”. Menurut prinsip ini, organisasi

harus memusatkan energinya pada penyisihan sumber

masalah yang sedikit tapi vital (vital few sources) yang

menyebabkan sebagian besar masalah. Baik Juran

maupun Deming yakin bahwa sistem yang dikendalikan

oleh manajemen merupakan sistem dimana sebagian

besar masalah terjadi.

The Juran Trilogy: The Juran Trilogy merupakan

ringkasan dari tiga fungsi manajerial yang utama. Panda-

ngan Juran terhadap fungsi ini dijelaskan sebagai berikut:

Perencanaan kualitas. Perencanaan kualitas

meliputi pengembangan produk, sistem dan proses yang

dibutuhkan untuk memenuhi atau melampaui harapan

pelanggan. Langkah-langkah yang dibutuhkan untuk itu

adalah: menentukan siapa yang menjadi pelanggan;

(1) Mengidentifikasi kebutuhan para pelanggan;

(2) Mengembangkan produk dengan keistimewaan yang

dapat memenuhi kebutuhan pelanggan; (3) Mengembang-

kan sistem dan proses yang memungkinkan organisasi

untuk menghasilkan keistimewaan tersebut, menyebarkan

rencana kepada level operasional.

Pengendalian Kualitas. Pengendalian kualitas

meliputi langkah-langkah berikut: (1) Menilai kinerja

64

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 82: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

kualitas aktual; (2) Membandingkan kinerja dengan tujuan;

(3) Bertindak berdasarkan perbedaan antara kinerja dan

tujuan.

Perbaikan Kualitas. Perbaikan kualitas harus

dilakukan secara on-going yang terus menerus. Langkah-

langkah yang dapat dilakukan adalah: (1) Mengembang-

kan infrastruktur yang diperlukan untuk melakukan perbai-

kan kualitas setiap tahun; (2) Mengidentifikasi bagian-

bagian yang membutuhkan perbaikan dan melakukan

proyek perbaikan; (3) Memberikan tim-tim tersebut apa

yang mereka butuhkan agar dapat mendiagnosis masalah

guna menentukan sumber penyebab utama, memberikan

solusi dan melakukan pengendalian yang akan memper-

tahankan keuntungan yang diperoleh.

Pakar Total Quality Control berikutnya adalah

Philip B. Crosby, dikutip dari Tjiptono dkk, (2001) yang

dikenal dengan anjuran manajemen zero defect dan

pencegahan, yang menentang tingkat kualitas yang dapat

diterima secara statistik (acceptable quality level). Ia juga

dikenal dengan Quality Vaccine dan Crosby's Fourteen

Steps to Quality Improvement.

Pandangan-pandangan Crosby dirangkumnya

dalam ringkasan yang disebut sebagai Dalil-dalil Manaje-

men Kualitas. Dalil-dalil ini dikemukakan untuk menjawab

pertanyaan-pertanyaan pokok berikut: (a) Apa yang dimak-

sud dengan kualitas? (b) Sistem seperti apa yang dibutuh-

kan untuk menghasilkan kualitas? (c) Standar kinerja

bagaimana yang harus digunakan? (d) Sistem penguku-

ran seperti apa yang dibutuhkan?

Tjiptono dkk. Op.cit . p. 55-58

65

45

45

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 83: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Dalil pertama: definisi kualitas adalah sama de-

ngan persyaratan. Definisi kualitas menurut Crosby adalah

memenuhi atau sama dengan persyaratannya (confor-

mance to requirements). Meleset sedikit saja dari persya-

ratannya, maka suatu produk atau jasa dikatakan tidak

berkualitas. Persyaratan itu sendiri dapat berubah sesuai

dengan keinginan pelanggan, kebutuhan organisasi,

pemasok dan sumber, pemerintah, teknologi, serta pasar

atau persaingan.

Dalil kedua: sistem kualitas adalah pencegahan.

Dalam suatu proses pasti ada input dan output. Di dalam

proses kerja internal sendiri ada empat kendali input

dimana proses pencegahan dapat dilakukan, yaitu:

fasilitas dan perlengkapan; pelatihan dan pengetahuan;

prosedur, pedoman/manual operasi standar dan pedoman

standar kualitas; standar kinerja/prestasi.

Dalil ketiga: kerusakan nol (zero defect) merupa-

kan standar kinerja yang harus digunakan. Konsep yang

berlaku di masa lalu, yaitu konsep mendekati (close

enough), misalnya effisiensi mesin mendekati 95 persen.

Tetapi coba dihitung berapa besarnya effisiensi 5 persen

dikalikan penjualan. Orang sering terjebak dengan nilai

persentase, sehingga Crosby mengajukan konsep kerusa-

kan nol yang menurutnya dapat tercapai bila perusahaan

melakukan sesuatu secara benar semenjak pertama kali

dan setiap kali.

Dalil keempat: ukuran kualitas adalah price of non

conformance. Kualitas harus merupakan sesuatu yang

dapat diukur. Biaya untuk menghasilkan kualitas juga

harus terukur. Menurut Crosby, biaya mutu merupakan

penjumlahan antara Price of Non Conformance dan Price

66

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 84: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

of Conformance. Price of Non Conformance (PONC)

adalah biaya yang harus dikeluarkan karena melakukan

kesalahan. Price of Conformance (POC) adalah biaya

yang dikeluarkan bila tugas dilakukan secara benar

semenjak pertama kalinya. Untuk keperluan ini dibutuhkan

konfirmasi persyaratan dari para pelanggan.

Crosby's Qualirty Vaccine.

Crosby's Quality Vaccine terdiri atas tiga unsur,

yaitu Determinasi (Determination), Pendidikan (Education),

dan Pelaksanaan (Implementation). Determinasi adalah

suatu sikap dari manajemen untuk tidak menerima proses,

produk atau jasa yang tidak memenuhi persyaratan, seperti

reject, scrap, lead delivery, wrong shipment dan lain-lain.

Menurut Crosby, setiap perusahaan harus divak-

sinasi agar memiliki antibodi untuk melawan ketidak-

sesuaian terhadap persyaratan. Ketidaksesuaian ini

merupakan sebab, sehingga harus dicegah dan dihilang-

kan. Dalam menyiapkan vaksinasi, suatu perusahaan

perlu membuat lima unsur, yaitu: integritas, sistem,

komunikasi, operasi dan kebijakan.

E. Mutu Pekerja Sosial.

Dalam pelayanan sosial di Panti Sosial, salah satu

penyelenggara Panti Sosial adalah Pekerja Sosial. Dalam

pelayanan tersebut telah ditetapkan standar pelayanan sosial

yang harus dipenuhi oleh Pekerja Sosial. Oleh karena itu mutu

Pekerja Sosial diperlukan untuk memenuhi standar pelayanan

sosial dimaksud.

Dengan merujuk definisi mutu yang telah diuraikan,

maka dapat dirumuskan bahwa, Mutu Pekerja Sosial adalah

67

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 85: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Pekerja Sosial yang mampu memberikan pelayanan yang

diinginkan oleh masyarakat pengguna, dalam hal ini adalah

para klien sebagai Penyandang Masalah Kesejahteraan

Sosial (PMKS).

Gambar 2.4. Pekerja Sosial Dalam Pelayanan Sosial Di Panti Sosial

Sedangkan yang dimaksud Pekerja Sosial (Gambar

2.4.) adalah pejabat fungsional (terampil dan ahli) yang

berkedudukan sebagai pelaksana teknis fungsional yang

menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesejahteraan sosial

kepada klien (PMKS), pada instansi pemerintah maupun

badan/organisasi sosial lainnya. Pekerja Sosial dimaksud

adalah jabatan karier yang hanya dapat diduduki oleh sese-

orang yang telah berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil.

1. Standar Pelayanan Sosial Di Panti Sosial.

Standar pelayanan sosial di Panti Sosial, merupa-

kan standar khusus yang memuat sejumlah kegiatan yang

sistematis sebagai proses pelayanan profesional yang di-

Kepmenpan Nomor: KEP/03/M.PAN/1/2004.

68

46

46

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 86: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

69

berikan oleh: Pekerja Sosial dan tenaga profesional

lainnya. Kegiatan pelayanan sosial dimaksud meliputi:

Tabel 2.2. Standar Pelayanan Sosial Di Panti Sosial

1. Pendekatan Awal Sosialisasi program, penjaringan/penjangkauan calon

klien, seleksi calon klien, penerimaan dan registrasi

serta konfrensi kasus.

2. Pengungkapan penetapan tujuan pelayanan, penetapan jenis

pelayanan yang dibutuhkan oleh klien dan sumber daya

yang akan digunakan.

3. Perencanaan penetapan tujuan pelayanan, penetapan jenis

pelayanan yang dibutuhkan oleh klien dan sumber daya

yang akan digunakan.

4. Pelaksanaan a. Bimbingan Fisik dan Kesehatan: pemeliharaan fisik

dan kesehatan; terapi fisik; pemeliharaan kebugaran;

pelayanan menu dalam rangka peningkatan gizi;

orientasi mobilitas.

b. Bimbingan Mental dan Psikososial: bimbingan

keagamaan; bimbingan kedisiplinan dan budi pekerti;

bimbingan psikososial.

c. Bimbingan Sosial: bimbingan Daily Living Activity

(DLA); bimbingan relasi sosial; bimbingan integrasi

sosial; bimbingan rekreasi.

d. Bimbingan Pelatihan dan Ketrampilan: bimbingan

usaha ekonomi produktif; bimbingan ketrampilan

kerja; bimbingan pengelolaan usaha; bimbingan wira

usaha; bimbingan kesenian.

e. Bimbingan Pendidikan: bimbingan paket belajar

klien; bantuan beasiswa; bantuan pendidikan.

f. Bimbingan individu: pelayanan konseling individu;

pelayanan terapi sosial.

g. Bimbingan kelompok: dinamika kelompok;

pelayanan konseling kelompok.

h. Penyiapan lingkungan sosial: penyiapan lingkungan

keluarga; penyiapan lingkungan di sekitar kehidupan

klien; penyiapan lingkungan sosial klien secara luas:

praktek belajar kerja; instalasi produksi/workshop.

Standarisasi Panti Sosial (Balitbang Kessos Depsos, 2004) p. 13-16.47

47

Tahapan Pelayanan Sosial

Kegiatan

dan pemahamanmasalah (Assesmen)

Program Pelayanan(Rencana Intervensi)

Pelayanan (Intervensi)

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 87: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

5. Pasca Pelayanan a. Penghentian pelayanan; dilakukan setelah klien

selesai mengikuti proses pelayanan dan telah

mencapai hasil pelayanan sesuai dengan rencana

yang telah ditetapkan.

b. Rujukan; Kegiatan rujukan dilaksanakan apabila

klien membutuhkan pelayanan lainnya yang tidak

tersedia dalam panti.

c. Pemulangan dan Penyaluran; kegiatan pemulangan

dan penyaluran dilaksanakan setelah klien

dinyatakan berhenti atau selesai mengikuti proses

pelayanan. Proses pemulangan yaitu klien

dikembalikan kepada pihak keluarga atau sanak

saudara dan lingkungan tempat klien tinggal. Proses

penyaluran yaitu Klien disalurkan kepada

perusahaan/tempat kerja/instansi yang berminat

mempekerjakan klien sesuai dengan bidang dan

jenis keterampilan yang telah dimiliki klien.

d. Pembinaan lanjut; Berupa kegiatan untuk memonitor

dan memantau klien sesudah mereka bekerja atau

kembali ke keluarga.

Disamping standar khusus pelayanan sosial di

Panti Sosial yang harus dilaksanakan oleh Pekerja Sosial,

menurut Kepmenpan Nomor: KEP./03/M.PAN/1/2004,

standar khusus yang dituntut dari Pekerja Sosial adalah:

(1) Komponen Pendidikan, meliputi Pendidikan Sekolah

dan memperoleh ijazah, Diklat fungsional di bidang pelaya-

nan kesejahteraan sosial dan memperoleh Surat Tanda

Tamat Diklat. (2) Komponen Pengembangan Kualitas

Pelayanan kesejahteraan sosial, meliputi: (a) pengkajian

kebijakan dan penyusunan rencana pelayanan kesejah-

teraan sosial; (b) model pelayanan kesejahteraan sosial;

(c) evaluasi program pelayanan kesejahteraan sosial.

(3) Pengembangan profesi, meliputi: (a) pembuatan karya

tulis/karya ilmiah di bidang pelayanan kesejahteraan

sosial; (b) penerjemahan/penyaduran buku dan bahan

lainnya di bidang pelayanan kesejahteraan sosial;

70

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 88: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

(c) pembuatan buku/pedoman/petunjuk pelaksanaan/

petunjuk teknis di pelayanan kesejahteraan sosial;

(d) partisipasi secara aktif dalam penerbitan buku/majalah

di bidang pelayanan kesejahteraan sosial; (e) pelaksanaan

studi banding di bidang pelayanan kesejahteraan sosial.

2. Pekerja Sosial Dan Pekerjaan Sosial (Social Worker

and Social Work).

Pekerja Sosial atau social worker adalah sese-

orang yang melaksanakan profesi Pekerjaan Sosial, dalam

ketentuan peraturan yang ada disebut juga sebagai tenaga

fungsional Pekerja Sosial. Pekerjaan Sosial sebagai profesi

berkembang mulai abad ke-19 seiring dengan tumbuhnya

aksi philanthropi dan reformasi sosial di negara-negara

Eropa terutama Inggris dan di Amerika Serikat. Tepatnya

sejarah pekerjaan sosial ini sebagai sebuah profesi secara

esensial dimulai pada pertengahan abad ke-19 dan

akarnya dalam gerakan pemukiman perumahan dan

organisasi charity pada waktu itu (Blair, 2007).

Lepas dari dimana tempat asli lahirnya pekerjaan

sosial, semua penulis sejarah menekankan bahwa kepri-

hatinannya antara social control dan social change dan

antara perubahan individu dan perubahan kemasyaraka-

tan yang telah lama menjadi isu sentral bagi peranan

Pekerja Sosial dan fungsinya di dalam masyarakat.

Banyak yang memberikan pandangan tentang hu-

bungan antara Pekerja Sosial dan masyarakat, yang mene-

kankan pada social control atau social change sebagai

outcome utama dari aktivitas pekerjaan sosial. Masalahnya

adalah apakah Pekerja Sosial bertindak dengan cara-cara

mempengaruhi atau merubah masyarakat sangat tergan-

tung pada landasan teoritis dari pengamatnya.

71

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 89: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Tetapi dalam semua pendekatan, adalah pada

pendekatan individu atau kelompok atau keluarga, disam-

ping juga pada masyarakat yang menjadi fokus pragmatis

aksi Pekerja Sosial. Pekerja Sosial bertindak dengan cara-

cara mengupayakan manfaat primer praktis langsung bagi

individu; konsekuensinya Pekerja Sosial dipandang mem-

pengaruhi struktur kekuasaan elit masyarakat dengan

tidak merubah apapun di atas level mikro/individual, atau

untuk membawa suatu masyarakat yang lebih baik dimana

masing-masing individu memberikan kontribusi kepada

perbaikan masyarakat (Blair, 2007). Analisis Blair ini

menunjukan dilema sentral bagi Pekerja Sosial: apakah

Pekerja Sosial yang bekerja dengan individu itu mendo-

rong kepada suatu masyarakat yang lebih baik atau

apakah pekerjaannya mendorong kepada suatu pengaruh

ketidakadilan dan ketidaksetaraan masyarakat? Payne

(Dalam Blair, 2007) mengakui bahwa “the nature of social

work, therefore, is ambiguous and debated, but we can see

the fundamental elements of that debate”.

Selanjutnya, banyak orang memuji bahwa Pekerja

Sosial itu adalah pekerjaan mulia, dan ada benarnya

mengingat akar pekerjaan sosial adalah nilai-nilai dan

konsep kuno mengenai charity, equality, compassion bagi

orang lain yang membutuhkan pertolongan pada waktu

yang dibutuhkan. Akar profesi kontemporer ini terutama

berhubungan dengan pembangunan kesejahteraan sosial

pada abad ke-19.

Pembangunan ini termasuk di dalamnya gerakan

reformasi untuk merubah sikap masyarakat yang negatif

terhadap orang yang membutuhkan pertolongan, entitas

organisasi charity untuk membantu individu dan keluarga;

72

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 90: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

penempatan perumahan untuk meningkatkan kondisi

kehidupan pada level ketetanggaan; dan meningkatkan

advokasi gerakan feminisme atas hak azasi manusia,

keadilan sosial dan kesetaraan gender.

Jadi profesi pekerjaan sosial ditemukan unik pada

nilai-nilai altruistik yang menghargai kehormatan inheren

setiap individu dan kewajiban sistem sosial kemasyaraka-

tan untuk menyediakan sumber-sumber struktural yang

adil bagi semua anggota masyarakat.

Kepedulian primer Pekerja Sosial adalah kesejah-

teraan sosial semua orang yang secara setara menilai

akan pentingnya kesejahteraan fisik, mental dan spiritual.

Perintis Pekerja Sosial adalah mereka yang untuk pertama

kali mengurus signifikansi hubungan koneksitas yang

membentuk konteks sosial dalam kehidupan manusia.

Selain itu, kekayaan warisan pekerjaan sosial yang

banyak diakui adalah sebuah perspektif yang dikenal

sebagai "person-in-environment”, yang mengkarakteris-

tikkan fokus pada hubungan berpusat pada keunikan

(unique relationship-centred focus) dari profesi tersebut.

Kemajuan paralel di bidang lainnya sekarang menyedia-

kan dukungan signifikan bagi pemajuan Pekerja Sosial dan

Pekerjaan Sosial yang terus berkembang sebagai sebuah

profesi yang berpusat pada hubungan (relationship-

centred profession) dengan suatu rentang metoda praktis

yang berorientasi pada hubungan orang dan lingkungan.

Banyak sekali definisi mengenai pekerjaan sosial

(social work), bahkan setiap negara dan universitas

nasional masing-masing memiliki definisi spesifik sesuai

dengan sifat dan karakteristik masalah sosial dan latar

belakang sosial, budaya dan agama. Salah satu yang

73

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 91: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

sering dirujuk adalah yang didefinisikan oleh International

Federation of Social Workers (IFSW).

IFSW (2008) mendefinisikan bahwa “profesi

pekerjaan sosial mempromosikan perubahan sosial,

penyelesaian masalah hubungan kemanusiaan dan

pemberdayaan serta pembebasan orang untuk meningkat-

kan kesejahteraan.” Dengan memakai teori-teori perilaku

manusia dan sistem sosial, pekerjaan sosial menengahi

simpul-simpul dimana orang berinteraksi dengan ling-

kungan mereka. Prinsip hak azasi manusia dan keadilan

sosial adalah fundamental bagi Pekerja Sosial.

Definisi internasional mengenai profesi pekerjaan

sosial tersebut menggantikan definisi IFSW yang diadopsi

pada tahun 1982. Oleh karena itu dapat dipahami bahwa

pekerjaan sosial pada abad ke-21 demikian dinamis dan

berkembang dan oleh sebab itu tidak ada definisi yang

perlu dipegang secara ketat. Definisi yang diuraikan di atas

diadopsi dari IFSW General Meeting di Montréal, Canada,

pada bulan Juli tahun 2000.

Sebagai bahan perbandingan, berikut dua definisi

pekerjaan sosial lainnya. Pertama, yang dikembangkan

oleh The National Association of Sosial Worker dari Wright

State University (2008) di USA, pekerjaan sosial adalah

“aktivitas profesional yang membantu individu, kelompok,

atau komunitas meningkatkan atau merestorasi kapasitas

mereka untuk keberfungsian sosial dan menciptakan kondi-

IFSW adalah sebuah organisasi global yang memperjuangkan

keadilan sosial, hak azasi manusia, dan pembangunan sosial melalui

pengembangan pekerjaan sosial, best practice, dan kerjasama internasional

antara Pekerja Sosial dan organisasi profesional mereka (lihat IFSW

http://www.ifsw.org/).

48

48

74

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 92: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

si kemasyarakatan yang mendukung bagi tujuan ini.”

Kedua, Betty Baer and Ron Frederico (2008)

pengajar pada universitas tersebut mendefinisikan peker-

jaan sosial sebagai “kepedulian dan keterlibatan dengan

interaksi antara orang dengan institusi masyarakat yang

mempengaruhi kemampuan orang untuk menyelesaikan

tugas-tugas kehidupan, merealisasikan aspirasi dan nilai,

dan aleviasi distress.” Yang cukup menarik dari pandangan

kedua pakar pekerjaan sosial ini adalah bahwa interaksi

antara orang dan institusi sosial muncul dalam konteks materi

kemasyarakatan yang lebih luas dan menurut pendapatnya

ada tiga kegunaan utama dari pekerjaan sosial yakni:

(1) untuk meningkatkan pemecahan masalah, mengatasi dan

mengembangkan kapasitas orang; (2) untuk mempromosi-

kan operasi sistem kemanusiaan yang efektif yang menye-

diakan orang dengan sumber daya dan pelayanan dan (3)

menghubungkan orang dengan sistem yang menyediakan

mereka dengan sumber daya, pelayanan dan kesempatan.

Ketiga, definisi yang juga banyak dirujuk yang

dikembangkan adalah oleh National Association of Sosial

Workers (NASW) sebagai berikut (Standards for Sosial

Service Manpower, 1973, pp.4) (Zastrow, 1999) sebagai

berikut: Pekerjaan sosial adalah “aktivitas profesional

menolong individu, kelompok atau komunitas untuk mening-

katkan atau restorasi kapasitas mereka untuk keberfungsian

sosial dan untuk menciptakan kondisi kemasyarakatan yang

mendukung tujuan tersebut.”

Untuk lebih rinci mengenai pekerjaan sosial dan definisinya, silahkan

unduh dalam website berikut, http://www.wright.edu/cola/dept/sosial_work/

sw_definition.htm.)

Charles H. Zastrow, The Practice of Sosial Work, Sixth Edition,

(Brooks/Cole Publishing Company USA, 1999) p.10-11.

49

49

75

50

50

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 93: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Dengan mengacu kepada definisi sebagaimana

diuraikan di atas, pekerjaan sosial dengan berbagai ben-

tuknya mengurusi multitransaksional yang sangat

kompleks antara orang dengan lingkungan sosial mereka.

Misinya adalah agar memungkinkan semua orang me-

ngembangkan potensi mereka secara penuh, mensen-

tosakan kehidupan mereka dan mencegah disfungsi

sosial. Sebab itu, pekerjaan sosial profesional fokus pada

penyelesaian masalah dan perubahan sosial. Sebagai

sebuah ilustrasi, Pekerja Sosial atau Social Worker

menjadi agen perubahan sosial dalam kehidupan

masyarakat baik perorangan, keluarga maupun komunitas

yang mereka layani.

Pendek kata, pekerjaan sosial adalah merupakan

sebuah sistem nilai yang memiliki inter-relasi antara teori

dan praktis di dalam konteks pelayanan sosial kepada

Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS).

Mullaly menguraikan tentang hubungan antara

pekerjaan sosial dengan problem-problem sosial. Aktifitas

pekerjaan sosial harus dapat mengeliminasi, atau men-

cegah problem-problem sosial dan menghilangkan efek-

nya pada setiap orang. Persoalan-persoalan sosial seperti

kemiskinan, penyakit mental, perlu dianalisis, diinterpreta-

sikan dan dijelaskan oleh pekerjaan sosial.

Allen Pincus dan Anne Minahan menyatakan

bahwa fokus dari praktek pekerjaan sosial adalah interaksi

Mullaly, Bob, Structural Social Work: Ideology, Theory, and Practice,

(Oxford University Press Canada 1997) p.35.

Allen Pincus, Anne Minahan, Social Work Practice: Model and

Method, (University Wisconsin, Madison F.E. Peacock Publishers, Inc.

Illinois) p.3.

76

52

51

51

52

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 94: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

antara orang dengan sistem dalam lingkungan sosial.

Orang menggantungkan dirinya dalam sistem ini untuk

mendapatkan sumber-sumber material, emosional atau

spiritual dan pelayanan-pelayanan dan peluang-peluang

yang mereka butuhkan untuk mewujudkan aspirasi mereka

dan juga untuk membantu mereka dalam tugas kehidupan

mereka.

Sutarso menguraikan bahwa pekerjaan sosial

adalah suatu bidang keahlian yang mempunyai tanggung

jawab untuk memperbaiki dan atau mengembangkan

interaksi-interaksi diantara orang dengan lingkungan

sosial sehingga orang ini memiliki kemampuan untuk

menyelesaikan tugas-tugas kehidupan mereka, mengatasi

kesulitan-kesulitan, serta mewujudkan aspirasi-aspirasi

dan nilai-nilai mereka.

Atas dasar pengertian ini, maka pekerjaan sosial

mempunyai tujuan untuk: (1) Meningkatkan kemampuan

orang untuk menghadapi tugas-tugas kehidupan dan

kemampuannya untuk memecahkan masalah-masalah

yang dihadapi; (2) Mengaitkan orang dengan sistem yang

dapat menyediakan sumber-sumber, pelayanan-pelaya-

nan dan kesempatan-kesempatan yang dibutuhkannya;

(3) Meningkatkan kemampuan pelaksanaan sistem terse-

but secara efektif dan berprikemanusiaan; (4) Memberikan

sumbangan bagi perubahan, perbaikan dan perkemba-

ngan kebijakan serta perundang-undangan sosial.

Dalam usaha pencapaian tujuan pekerjaan sosial,

Sutarso (2005: 6) menguraikan bahwa Pekerja Sosial

melaksanakan tugas-tugas untuk menyelesaikan satu atau

Sutarso, Praktek Pekerjaan Sosial dalam Pembangunan Masyarakat

( Balatbangsos Depsos, Jakarta,2005) p.5.

53

53

77

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 95: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

lebih fungsi sebagai berikut: (1) Membantu orang untuk

meningkatkan dan menggunakan secara lebih efektif

kemampuan-kemampuan mereka untuk melaksanakan

tugas-tugas kehidupan dan memecahkan masalah mere-

ka; (2) Menciptakan jalur-jalur hubungan pendahuluan

diantara orang dengan sistem sumber; (3) Mempermudah

interaksi, merubah dan menciptakan hubungan-hubungan

baru diantara orang dengan sistem sumber kemasyaraka-

tan; (4) Mempermudah interaksi, merubah dan mencipta-

kan hubungan diantara orang-orang di lingkungan dengan

sistem sumber; (5) Memberikan sumbangan bagi peruba-

han, perbaikan dan perkembangan kebijaksanaan dan

perundang-undangan sosial. (6) Meratakan sumber-sumber

material. (7) Bertindak sebagai pelaksana kontrol sosial.

3. Prinsip-Prinsip Pekerjaan Sosial/Pekerja Sosial.

Dasar teori (Midgley, 2008) untuk kesemua prak-

tik pekerjaan sosial tersusun dalam suatu 'prinsip-prinsip

general' yang menggambarkan keyakinan filsafat dari

profesi dan menjadi sebuah pedoman Pekerja Sosial untuk

bekerja dengan klien-klien mereka, beberapa prinsip ini

lebih menekankan nilai-nilai dan ide-ide dari pada prosedur

praktik. Prinsip-prinsip generik ini telah menjadi bahan

kontroversi di kalangan Pekerja Sosial, karena dipandang

tidak sesuai, kontradiksi, serta banyak Pekerja Sosial yang

menghadapi masalah praktik yang menghambat imple-

mentasi mereka secara tepat. Tetapi kesulitan-kesulitan ini

sering terabaikan di dalam buku-buku standar referensi

Midgley, James, 2008, Imperialisme Profesional Pekerjaan Sosial di

Dunia Ketiga, (Biro Organisasi & Kepegawaian Departemen Sosial), p.19.

78

54

54

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 96: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

pekerjaan sosial yang menggambarkan idealisme bagai-

mana prinsip-prinsip generik membimbing para praktisi

dan memberikan profesi pekerjaan sosial dengan metodo-

logi yang terpadu.

Konsep individualisasi, yang merupakan karak-

teristik dasar pekerjaan sosial dengan individu, dipandang

sebagai prinsip umum yang melambangkan kepercayaan

pekerjaan sosial seperti yang dinyatakan oleh Friendlander

“sebagai penghargaan, integritas dan kehormatan kepada

individu yang bersifat inheren”.

Dalam istilah praktek Pekerja Sosial kelompok,

mengutamakan penguatan kepribadian dan memperbaiki

fungsi-fungsi sosial dari anggota-anggota kelompok dan

dalam pekerjaan sosial dengan masyarakat relasi-relasi

dengan pemimpin dan warga masyarakat digunakan

dengan individualisasi sebagai prinsip utama.

Intervensi langsung adalah prinsip umum lainnya

yang berkaitan pekerjaan sosial dengan individu. Dalam

penyusunan prinsip ini, Pekerja Sosial memindahkan

pengalaman relasi pekerjaan sosial dengan individu

dengan menolong orang-orang yang memerlukan berda-

sarkan hubungan tatap muka kedalam konsep metodologi

yang sekarang ini sebagai arah dari bentuk intervensi

pekerjaan sosial.

Metode-metode praktik pekerjaan sosial dicirikan

melalui pelayanan langsung. Pekerja Sosial berhadapan

dengan klien mereka secara langsung dan menjalin relasi

yang bermakna dengan mereka. Kesemuanya ini sama

pentingnya dilaksanakan secara penuh dalam pekerjaan

sosial dengan individu, kelompok dan masyarakat.

Pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh Pekerja

79

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 97: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Sosial digunakan melalui relasi antara interpersonal

dengan anggota kelompok. Pekerja Sosial masyarakat

juga harus menjalin relasi yang baik dengan pemimpin

lokal dan yang lainnya dalam rangka meningkatkan

kesejahteraan masyarakat.

Hak untuk menentukan diri sendiri (self-deter-

mination) dan membantu diri sendiri (self-help) adalah

prinsip-prinsip umum yang diberi status yang tinggi dalam

pekerjaan sosial. Satu alasan kelemahan definisi konsep

kebutuhan di dalam literatur ialah karena Pekerja Sosial

percaya bahwa individu, kelompok dan masyarakat

mempunyai hak untuk menentukan kebutuhan-kebutuhan

mereka dan bagaimana hal itu dapat dicapai. Prinsip self

determination menyatakan bahwa kebutuhan tidak pernah

terabaikan, meskipun Pekerja Sosial percaya bahwa

masalah sosial harus ditentukan dengan tepat, mereka

tidak membicarakan individu, kelompok dan masyarakat

tentang apa yang mereka butuhkan tetapi berusaha untuk

menolong mereka mengidentifikasikan dan memahami

kebutuhan mereka.

Pekerja Sosial juga tidak bersifat memerintah,

memohon atau bahkan mempengaruhi klien-klien mereka

untuk membuat keputusan. Hal ini di dalam pekerjaan

sosial dengan individu dipandang tidak demokratik dan

menghambat perkembangan kepribadian. Masalah-

masalah keputusasaan, kebingungan dan kehancuran

moral tidak dapat diatasi melalui penyelesaian berdasar-

kan solusi pemecahan yang dibuat Pekerja Sosial.

Sebaliknya, Pekerja Sosial membantu klien untuk menda-

patkan kembali keyakinan akan kemampuan kepada diri

sendiri untuk menyelesaikan masalah-masalahnya.

80

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 98: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Dalam pekerjaan sosial kelompok dan masyara-

kat, Pekerja Sosial dapat menguraikan masalah-masalah

dan menyarankan cara-cara tindakan alternatif tetapi

mereka tidak memaksakan solusi pemecahan kepada

klien-klien mereka. Sebaliknya Pekerja Sosial memandang

diri mereka sebagai pemungkin (enabler) yang membantu

individu, kelompok dan masyarakat dapat memecahkan

masalah-masalah mereka sendiri.

Prinsip hak untuk menentukan diri sendiri telah

membimbing praktik pekerjaan sosial selama bertahun-

tahun, tetapi juga telah mendatangkan beberapa masalah

praktik profesi Pekerja Sosial. Misalnya, apakah yang

seharusnya Pekerja Sosial lakukan ketika klien mereka

melakukan keputusan yang salah? Karena pengetahuan

dan pengalaman mereka, Pekerja Sosial harus dapat

menilai tindakan-tindakan klien mereka dan seperti ahli-

ahli profesional lain, mereka harus menasehati dan

membimbing klien terhadap penyelesaian masalah yang

dapat dilakukan.

Masalah lainnya ialah mengenai persoalan hak

individu dengan hak kolektif telah menyulitkan penerapan

prinsip hak untuk menentukan diri sendiri. Adakah individu

mempunyai hak kebebasan untuk memilih jika akibat dari

tindakan mereka secara langsung atau pun tidak langsung

merugikan orang-orang lain?

Misalnya, isu ini sangat sulit bagi pekerja

perawatan anak yang harus menghormati hak-hak ibu,

bapak untuk mengasuh anak-anak mereka. Dalam meng-

hadapi masalah ini, Pekerja Sosial diajarkan bahwa

walaupun individu mempunyai hak untuk menentukan

tindakan-tindakan mereka, mereka juga mempunyai

81

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 99: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

hak untuk menentukan tindakan-tindakan mereka, mereka

juga mempunyai tanggung jawab yang sama penting ter-

hadap keluarga dan masyarakat. Walaupun Pekerja Sosial

perlu menunjukkan bahwa kebutuhan individu dan sosial

adalah saling mempengaruhi, banyak ditemukan bahwa

sulit untuk menyatukan kehendak individu dan kebutuhan

masyarakat. Hal ini terutama sulit ketika perilaku anti sosial

sebagai subjek dari intervensi pekerjaan sosial.

Prinsip umum penerimaan (acceptance) mengan-

dung arti adanya prinsip tidak menghakimi (non

judgemental) dalam pekerjaan sosial yang mengandung

sikap-sikap untuk menilai secara netral yang tertanam

dalam diri Pekerja Sosial.

Pekerja Sosial diajarkan supaya mereka tidak

berprasangka mengenai standar moral. Karena mereka

meyakini nilai sifat harga diri yang telah ada, klien-klien

diterima sebagai diri mereka sendiri tanpa memandang

masalah yang telah mereka terima sebagai diri mereka

sendiri tanpa memandang masalah yang telah mereka

lakukan atau kesalahan yang mereka kerjakan, pekerjaan

sosial tidak membedakan antara klien yang baik atau jahat.

Akhirnya, prinsip penerimaan didasarkan pada

keyakinan bahwa manusia pada asalnya baik dan suci dan

harus mendapat pelayanan. Tetapi Pekerja Sosial juga

percaya bahwa individu harus bertanggungjawab terhadap

tindakannya dan bertindak dengan penuh tanggung jawab

terhadap orang-orang lain.

Pada abad kesembilan belas, Pekerja Sosial yang

bekerja dengan orang-orang miskin tidak mengindahkan

etika yang memihak orang lain (made no prentence),

kemiskinan diyakini sebagai akibat tingkah laku yang tidak

82

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 100: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

bermoral dan Pekerja Sosial tidak setuju khususnya

kepada mereka yang menganggur tetapi secara fisik

dipandang mampu dan dianggap sebagai pemalas. Hal

yang sama, individu manapun yang menyebabkan orang-

orang bergantung kepada menderita, Pekerja Sosial akan

menegur individu tersebut.

Pekerja Sosial kontemporer diperlukan untuk

menggunakan teknik-teknik tambahan secara luas tetapi

kebanyakan mereka mengakui bahwa adalah sulit untuk

tidak bekerjasama dan tidak membina klien sebagai

individu yang menghargai penerimaan. Untuk mengatasi

masalah ini, pekerjaan sosial mengajarkan bahwa para

praktisi harus memisahkan individu dari tindakan-tindakan

mereka, ketika tingkah laku yang tidak bisa diterima perlu

disensor, individu harus dipandang bebas dari pada

tindakannya dan dari pada penilaian moral.

Kerahasiaan (confidentiality) adalah prinsip umum

lainnya yang membimbing praktik pekerjaan sosial. Dalam

cara yang sama, praktisi-praktisi kesehatan, pengacara

yang berurusan dengan kerahasiaan, Pekerja Sosial

meyakini bahwa klien mereka mempunyai hak untuk

menjaga perilaku dan masalah-masalah pribadi mereka

pada masa lalu dan masa sekarang. Walau bagaimana-

pun, Pekerja Sosial seringkali perlu untuk menyampaikan

informasi kepada kolega mereka, profesional lain dan

bahkan kepada keluarga klien. Pekerja Sosial dalam

bidang koreksional dan psikiatrik seringkali menghadapi

masalah ini. Mereka yang mengetahui bahwa klien-klien

mereka telah melanggar peraturan pada masa probasi

atau parole mempunyai dua kewajiban, mereka bertang-

gung jawab melaporkan pesalah kepada pihak berkuasa.

83

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 101: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Tetapi jika klien membuat pengakuan secara

sukarela, mereka mungkin merasa bahwa mereka tidak

sepatutnya membuka rahasia ini, bukan saja untuk

menghormati prinsip kerahasiaan tetapi untuk menjaga

hubungan yang sudah terjalin. Demikian juga, terkadang

penting untuk mengungkapkan informasi yang diberikan

oleh pasien psikiatrik kepada anggota keluarga meskipun

klien menginginkan dirahasiakan.

Dua prinsip umum lainnya adalah pengungkapan

emosi dan tidak terlibat secara profesional. Pekerja Sosial

diajarkan agar mereka harus mendorong klien untuk

mengungkapkan perasaan mereka, dalam hal ini Pekerja

Sosial dapat memahami masalah klien secara lebih

mendalam dan menjadi lebih sensitif terhadap kebutuhan

mereka. Pengungkapan emosi juga akan mengeluarkan

berbagai perasaan yang selama ini terpendam. Namun,

pengungkapan emosi harus dikendalikan dan digunakan

untuk tujuan tertentu dalam relasi pekerjaan sosial dan

sebaiknya tidak berpengaruh terhadap nilai profesional

pekerjaan sosial itu sendiri.

Meskipun Pekerja Sosial harus bersimpati dan

memahami, mereka harus menjaga agar tidak terlibat

secara emosional dengan klien mereka, karena akan

mengurangi kemampuan Pekerja Sosial berfungsi secara

rasional dan efektif.

Prinsip-prinsip umum ini menunjukkan tujuan-

tujuan utama pekerjaan sosial yang sering digambarkan

dengan istilah-istilah yang besar di dalam literatur profesi

ini. Dengan dibimbing oleh prinsip-prinsip umum ini

Pekerja Sosial dapat mengembangkan kepribadian

individu dan meningkatkan relasi sosial diantara orang.

84

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 102: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Pekerjaan sosial menuntut bahwa ia membawa

penyesuaian yang sehat diantara individu dengan

masyarakat dan menolong masyarakat untuk berpartisi-

pasi dalam kehidupan kelompok secara lebih bermakna.

Hal ini akan mendorong manusia untuk lebih menyadari

kebutuhan dengan orang lain dan mengajarkan mereka

untuk bergabung dengan anggota masyarakat untuk

memutuskan secara bersama bagaimana kebutuhan-

kebutuhan masyarakat dapat dipenuhi. Seorang pengajar

pekerjaan sosial menulis: 'Dengan cara ini, pekerjaan

sosial membantu mewujudkan prinsip-prinsip demokrasi

hak-hak asasi manusia, mencoba memastikan warga

masyarakat memperoleh standar kehidupan yang baik,

jaminan sosial dan pemenuhan kebutuhan secara

menyeluruh menyangkut rasa cinta, penerimaan,

pengakuan dan status'.

Robert & Green menguraikan dengan detail,

berupa manual sebagai panduan bagi Pekerja Sosial

dalam melaksanakan fungsi pelayanan sosial, mulai dari

konteks praktik pekerjaan sosial, assesmen dalam praktik

pekerjaan sosial yang mencakup pengetahuan dan

ketrampilan, penerapan pendekatan penanganan dalam

pekerjaan sosial klinis, panduan manajemen kasus dan

bekerja dengan pasangan dan keluarga dengan pende-

katan pemetaan pola-pola keluarga, situasi ketahanan

keluarga, terapi keluarga sampai dengan mediasi dan

resolusi konflik dalam keluarga.

Albert R. Roberts & Gilbert J. Greene, Buku Pintar Pekerja Sosial,

PT. BPK Gunung Mulia, 2008, Jakarta. p. v-vii.

55

55

85

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 103: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

4. Ruang Lingkup Pekerjaan Sosial.

Tiga konsep kunci dalam pekerjaan sosial dalam

rangka untuk memahami ruang lingkup kesejahteraan

sosial, yakni "social well-being", "person-in-environment",

"social functioning". World Health Organization (WHO)

mengakui social well-being sebagai sebuah komponen

integral dalam status kesehatan setiap orang, ia

komplementer tetapi berbeda dari kesentosaan pisik,

mental dan spiritual. Ruang lingkup pekerjaan sosial

memiliki beberapa elemen definisi. (Lihat definisi a.l.

Canadian Association of Sosial Work website: www.casw-

acts.ca.).

Perspektif 'person-in-environment' dalam peker-

jaan sosial menjelaskan area atau domain dimana Pekerja

Sosial melakukan praktik. Orang merujuk kepada kemam-

puan pengembangan (developmental) dan keberfungsian

sosial dalam konteks pengaruh lingkungan. Konsep ling-

kungan dalam pekerjaan sosial mencakup faktor-faktor

dalam masyarakat yang memperluas atau mempersempit

pengembangan kesejahteraan sosial individu.

Domain 'person-in-environment' itu memberikan

pekerjaan sosial sebuah kerangka kerja pengorganisasian

yang umum dan sebuah konteks holistik bagi misi dan

visinya. Sebagaimana diketahui bahwa visi global

pekerjaan sosial adalah sebuah dunia yang secara konsis-

ten bekerja menuju keadilan sosial dan kesejahteraan

untuk semua warga negara. Misi sentralnya adalah agar

Pekerja Sosial terlibat dalam aktivitas yang akan mening-

katkan struktur kesejahteraan dan meningkatkan keber-

fungsian sosial individu, keluarga dan komunitas pada

level lokal, nasional dan internasional.

86

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 104: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Fokus utama praktik pekerjaan sosial adalah pada

jaringan kerja hubungan antara individu, sumber dukungan

alamiah mereka, struktur formal dalam komunitas mereka,

dan norma-norma sosial kemasyarakatan dan harapannya

yang membentuk hubungan tersebut. Fokus yang berpu-

sat pada hubungan ini membedakan fitur profesi pekerjaan

sosial dengan profesi lainnya. Pekerja Sosial diharapkan

memiliki sebuah pemahaman komprehensif tentang

keadaan kompleksitas sistem 'person-in-environment'

mereka.

Metoda praktis pekerjaan sosial berakar pada awal

adopsi sebuah studi, diagnosis dan proses perawatan

untuk mensistimasikan praktis dalam konteks orang-

dalam-lingkungan. Implementasi proses praktis secara

resmi dilakukan melalui sebuah ragam bidang-bidang

praktis termasuk kesejahteraan anak, pelayanan keluarga,

pekerjaan sosial medis, pekerjaan sosial psikiatrik dan

school social work dan beberapa metoda spesialisasi,

termasuk pekerjaan kasus sosial (social casework),

pekerjaan kelompok sosial (social group work) dan

organisasi komunitas.

Metoda-metoda praktis dalam pekerjaan sosial

adalah yang secara umum digunakan oleh Pekerja Sosial

terkualifikasi (qualified social worker) atau teregistrasi

sebagai aktivitas terbatas yang dibatasi untuk Pekerja

Sosial dengan kualifikasi spesifik. Aktivitas praktis

pekerjaan sosial digunakan untuk melengkapi fungsi-

fungsi pokok termasuk praktis langsung dengan klien,

perorganisasian komunitas, advokasi, aksi sosial dan

politik, pengembangan kebijakan dan implementasinya,

pendidikan dan riset serta evaluasi.

87

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 105: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

F. Panti Sosial / Institusi Kesejahteraan Sosial.

Panti Sosial/Institusi kesejahteraan sosial, adalah

tempat dimana Pekerja Sosial melakukan pelayanan sosial

kepada klien yang menurut hasil penilaian direkomendasikan

untuk menggunakan fasilitas kesejahteraan sosial.

Berdasarkan jenisnya, Panti Sosial/institusi kesejahte-

raan sosial dengan merujuk kepada standar universal teru-

tama yang selama ini dikembangkan di Jepang oleh Ministry of

Health, Labour and Welfare (2004) sebagai berikut. (1) Insti-

tutions Under the Protection Law; (2) Welfare Instituion for the

Aged; (3) Rehabilitation Institutions for the Physically

Handicapped; (4) Protective Facilities for Women dibagi ke

dalam dua jenis Institusi yakni (a) Children's Welfare Facilities

dan (b) Care Facilities for Adults with Mental Retardation;

(5) Care Facilities for Adults with Mental Retardation.

Sesuai dengan Panti Sosial/institusi kesejahteraan

sosial sebagaimana diuraikan di atas, maka kebutuhan

sumber daya manusia untuk mengisi institusi tersebut sangat

beragam. Berikut ini adalah jenis-jenis Pekerja Sosial yang

biasanya bekerja dengan jabatan tertentu di dalam institusi

kesejahteraan sosial, yakni: (1) Head of Facility; (2) Living

Instructor; Children's Recreation Worker; (3) Vocational

Instructor, Work Instructor; (4) Therapist (Phisical Therapist,

Occuvational Therapist, Other Therapist); (5) Phychological,

Statistics and Information Department, Minister's Secretariat,

Japanese Ministry of Health, Labour and Welfare, Health and Welfare

Statistics Association (2004). Statistical Abstracts on Health and Welfare in

Japan 2004.

Statistics and Information Department, Minister's Secretariat,

Japanese Ministry of Health, Labour and Welfare, Health and Welfare

Statistics Association (2004). Statistical Abstracts on Health and Welfare in

Japan 2004.

56

56

88

57

57

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 106: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Vocational Aptitude Evaluator; (6) Phisician; (7) Publik Health

Nurse, Midwive and Nurse; (8) Mental Councellor; (9) Nursary

Teacher, Living Support Instructor for Children; (10) Children

Recreation Worker; (11) Matron, Personal Care Staff; (12)

Care Manager (Support Worker); (13) Nutritionist; (14) Cook;

(15) Office Clerk; (16) Other Personnel.

G. Kerangka Berpikir Tentang Studi.

Dalam memudahkan pemahaman tentang studi ini,

maka dikemukakan kerangka berpikir studi sebagaimana

Gambar 2.3. berikut ini.

Gambar 2.3. di atas menunjukkan bahwa Pemerintah,

dalam hal ini Kementerian Sosial berkeinginan untuk mening-

katkan mutu Pekerja Sosial melalui kebijakan yang dituangkan

dalam peraturan perundang-undangan (UU, PP, Keppres,

Kepmenpan, Kepmensos tentang Jabatan Fungsional Pekerja

Sosial, Angka Kredit dan Diklat Peksos). Substansi kebijakan

tersebut, diimplementasi oleh para stakeholder Kementerian

Sosial (Ditjen Yanrehsos, Ka. Badiklit Kessos, dan Ka. Biro

Organisasi dan Kepegawaian).

89

Mutu

Pekerja Sosial

di Panti Sosial

Evaluasi Kebijakan Mutu

Pekerja Sosial 2004 -2009

Renstra Kessos2010-2014

Mutu

Pekerja Sosial

StandarPelayanan Sosial

di Panti Sosial

Pelayanan SosialUU, PP, Keppres ,

Kepmenpan, Kepmensos tentang

JFPS

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 107: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Oleh karena itu, dilakukan kajian mendalam berbagai

ketentuan berupa Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,

Keputusan Presiden, Keputusan Menpan, Keputusan Menteri

Sosial, yang substansinya mengatur tentang mutu Pekerja

Sosial dan pelayanan sosial (pelayanan kesejahteraan sosial)

yang terdiri dari rehabilitasi sosial, perlindungan sosial,

jaminan sosial dan pemberdayaan sosial.

Persoalannya adalah sejauh mana kebijakan tersebut

dapat diimplementasikan dengan baik oleh para stakeholder

Kementerian Sosial, dengan berbagai program dan kegiatan

yang berorientasi pada peningkatan mutu Pekerja Sosial,

dalam melaksanakan pelayanan sosial yang sesuai dengan

standar pelayanan sosial di Panti Sosial. Kemudian dilakukan

evaluasi terhadap hasil pelaksanaan kebijakan tersebut, untuk

mengetahui peningkatan mutu Pekerja Sosial yang melaksa-

nakan standar pelayanan sosial di Panti Sosial dalam kurun

waktu 2004 sampai dengan 2009.

Dengan demikian dapat diperoleh umpan balik bagi

Kementerian Sosial untuk masukan dalam Rencana dan

Strategi Pembangunan Kesejahteraan Sosial 2010-2014

khususnya dalam bidang Pengembangan Sumber Daya

Manusia Kesejahteraan Sosial.

90

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 108: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

BAB IIIKEBIJAKAN NASIONAL

YANG BERKAITAN DENGAN MUTU PEKERJA SOSIAL

91

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 109: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

92

Page 110: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

93

BAB IIIKEBIJAKAN NASIONAL

YANG BERKAITAN DENGAN MUTU PEKERJA SOSIAL

EBAGAIMANA

S diuraikan pada acuan teoritik, bahwa

sebagian besar ahli memberi pengertian kebijakan

nasional sebagai kebijakan publik, dalam kaitannya

dengan keputusan atau ketetapan pemerintah untuk melaku-

kan suatu tindakan yang dianggap akan membawa dampak

baik bagi kehidupan warganya.

Pekerja Sosial adalah jabatan publik yang dalam

melaksanakan tugasnya mengacu pada kebijakan pemerintah

berupa peraturan perundang-undangan dan peraturan lainnya

sebagai kebijakan publik.

Berikut ini adalah substansi produk kebijakan pemerin-

tah berkaitan dengan mutu pekerja sosial yang secara runtut di

uraikan sebagai berikut:

A. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 Tentang Keten-

tuan-Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial.

Undang-Undang ini adalah ketentuan hukum pertama

yang lahir sejak Kementerian Sosial berdiri tanggal 18 Agustus

1945, artiya 29 tahun sesudah Indonesia merdeka, Republik

Indonesia mempunyai Undang-Undang yang mengatur ten-

tang Kesejahteraan Sosial.

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 111: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

94

Ruang lingkup Undang-Undang tersebut mencakup

aspek: (1) Kesejahteraan Sosial yang diartikan sebagai suatu

tata kehidupan dan penghidupan sosial materil maupun

spirituil yang diliputi oleh rasa keselamatan, kesusilaan dan

ketentraman lahir batin yang memungkinkan bagi setiap warga

negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-

kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-

baiknya bagi diri, keluarga serta masyarakat dengan menjun-

jung tinggi hak-hak azasi serta kewajiban manusia sesuai

dengan Pancasila; (2) Usaha-usaha Kesejahteraan Sosial,

ialah semua upaya program dan kegiatan yang ditujukan untuk

mewujudkan, membina, memelihara, memulihkan dan me-

ngembangkan kesejahteraan sosial; (3) Pekerjaan Sosial,

adalah semua keterampilan teknis yang dijadikan wahana bagi

pelaksanaan usaha kesejahteraan sosial; dan (4) Jaminan

Sosial yang dimaknai sebagai perwujudan dari pada sekuritas

sosial adalah seluruh sistem perlindungan dan pemeliharaan

kesejahteraan sosial bagi warga negara yang diselenggara-

kan oleh pemerintah dan/atau masyarakat guna memelihara

taraf kesejahteraan sosial.

B. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009.

Dalam sejarah perjalanannya setelah Undang-Undang

Nomor 6 Tahun 1974 berjalan selama 34 tahun, dirasakan

tidak sesuai lagi dengan perkembangan situasi dan kondisi

saat ini, terutama dalam sistem pemerintahan yang telah

mengalami perubahan dari sentralisasi ke desentralisasi

sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Dalam rangka

penyesuaian tersebut pada 16 Januari 2009 lahirlah Undang-

Undang Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial,

sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974.

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 112: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

95

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 terdiri dari 60

pasal, XI Bab dan mengatur tentang kesejahteraan sosial

secara lebih komprehensif dan detail. Dalam ketentuan umum

dari Undang-Undang ini, pengertian kesejahteraan sosial lebih

lengkap tidak saja untuk pemenuhan kebutuhan jasmani,

rohani dan sosial, tetapi juga untuk mampu mengembangkan

diri sehingga dapat melaksanakan fungsi-fungsi sosial. Artinya

Undang-Undang Nomor 11/2009, memberikan ruang gerak

seluas-luasnya kepada setiap orang mengembangkan diri

untuk dapat melaksanakan fungsi sosialnya dengan optimal.

Dalam Ketentuan Umum juga diutarakan kebijakan

tentang Pekerja Sosial yang dirubah istilah menjadi Pekerja

Sosial Profesional, yaitu seseorang yang bekerja, baik di lem-

baga pemerintah maupun swasta yang memiliki kompetensi

dan profesi pekerjaan sosial dan kepedulian dalam pekerjaan

sosial yang diperoleh melalui pendidikan, pelatihan dan/atau

pengalaman praktik pekerjaan sosial untuk melaksanakan

tugas-tugas pelayanan dan penanganan masalah sosial.

C. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 16 Tahun

1994 Tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil.

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994,

pada Ketentuan Umum menjelaskan bahwa yang dimaksud

dengan Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil adalah

kedudukan yang menunjukkan tugas, tanggung jawab, wewe-

nang dan hak seseorang Pegawai Negeri Sipil dalam suatu

satuan organisasi yang dalam pelaksanaan tugasnya didasar-

kan pada keahlian dan/atau keterampilan tertentu serta bersi-

fat mandiri. Dalam jabatan fungsional dikenal rumpun jabatan

fungsional yaitu himpunan jabatan fungsional yang mempu-

nyai fungsi dan tugas yang berkaitan erat satu sama lain dalam

melaksanakan salah satu tugas umum pemerintahan.

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 113: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

96

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994

diatur juga tentang angka kredit bagi jabatan fungsional, yaitu

satuan nilai dari tiap butir kegiatan dan/atau akumulasi nilai

butir-butir kegiatan yang harus dicapai oleh pejabat fungsional

dalam rangka pembinaan karir yang bersangkutan. Untuk

menyelenggarakan manajemen jabatan fungsional, maka

ditetapkan instansi pembina jabatan fungsional yaitu instansi

pemerintah yang bertugas membina suatu jabatan fungsional

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

D. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun

1999 Tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri

Sipil.

Tujuan ditetapkannya rumpun jabatan fungsional untuk

mewadahi keberadaan dan sekaligus sebagai landasan bagi

penetapan jabatan fungsional keahlian dan/atau jabatan fung-

sional keterampilan yang diperlukan oleh pemerintah dalam

rangka terselenggaranya tugas umum pemerintahan.

Dari berbagai jenis rumpun jabatan fungsional, setiap

rumpun terdiri dari jabatan fungsional keahlian dan jabatan

fungsional keterampilan (Pasal 4).

E. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor

KEP/03/M.PAN/I/2004 Tentang Jabatan Fungsional Pekerja

Sosial dan Angka Kreditnya.

Dalam Keputusan ini, yang dimaksud dengan Pekerja

Sosial sebagaimana telah diuraikan pada bagian terdahulu,

adalah Pegawai Negeri Sipil yang diberi tugas, tanggung-

jawab, wewenang dan hak secara penuh oleh pejabat yang

berwenang untuk melaksanakan pelayanan kesejahteraan

sosial di lingkungan instansi pemerintah maupun pada badan/

organisasi sosial lainnya.

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 114: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

97

Sedangkan Pekerjaan Sosial, adalah suatu profesi yang

ditujukan untuk membantu orang, baik individual, kelompok

dan atau masyarakat dalam memperbaiki atau meningkatkan

kemampuannya mencapai keberfungsian sosial secara penuh

serta mengupayakan kondisi-kondisi kemasyarakatan tertentu

yang menunjang pencapaian fungsi sosial.

Sedangkan yang dimaksud pelayanan kesejahteraan

sosial, adalah serangkaian kegiatan pelayanan yang diberikan

terhadap individu, keluarga, kelompok maupun masyarakat

yang membutuhkan atau mengalami permasalahan sosial

baik yang bersifat pencegahan, pengembangan maupun

rehabilitasi guna mengatasi permasalahan yang dihadapi dan

atau memenuhi kebutuhan secara memadai sehingga mereka

mampu menjalankan fungsi sosialnya secara wajar.

Pengembangan kualitas pelayanan kesejahteraan

sosial, adalah berbagai kegiatan yang dilaksanakan secara

terencana dan sistematis dalam rangka menghasilkan kualitas

pelayanan kesejahteraan sosial yang lebih baik melalui peng-

kajian terhadap kebijakan sosial, pengembangan model pela-

yanan dan evaluasi terhadap program pelayanan kesejah-

teraan sosial. Angka kredit adalah satuan nilai dari tiap butir

kegiatan dan atau akumulasi butir-butir kegiatan yang harus

dicapai oleh seorang Pekerja Sosial dalam rangka pembinaan

karir kepangkatan dan jabatannya.

Tim Penilai Angka Kredit (Tim PAK), adalah tim penilai

yang dibentuk dan ditetapkan oleh pejabat yang berwenang

dan bertugas untuk menilai prestasi kerja Pekerja Sosial.

Dalam Pasal 2 secara jelas dinyatakan bahwa Jabatan

Fungsional Pekerja Sosial termasuk dalam rumpun ilmu sosial

dan yang berkaitan dan Instansi pembina Jabatan Fungsional

Pekerja Sosial, adalah Kementerian Sosial.

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 115: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

98

Pasal 3 dan Pasal 4 dalam Keputusan Menpan tersebut

menguraikan bahwa Pekerja Sosial adalah pejabat fungsional

yang berkedudukan sebagai pelaksana teknis fungsional yang

menyelenggarakan kegiatan pelayanan kesejahteraan sosial

pada instansi pemerintah maupun badan/organisasi sosial

lainnya dan merupakan jabatan karir yang hanya dapat didu-

duki oleh seseorang yang telah berstatus sebagai Pegawai

Negeri Sipil. Sedangkan tugas pokok Pekerja Sosial adalah

menyiapkan, melakukan dan menyelesaikan kegiatan pelaya-

nan kesejahteraan sosial dan pengembangan kualitas pelaya-

nan kesejahteraan sosial.

Untuk memenuhi standar pelayanan sosial di Panti

Sosial, maka Pekerja Sosial harus memenuhi unsur-unsur

kegiatan Pekerja Sosial terdiri dari: (1) Pendidikan; (2) Pelaya-

nan kesejahteraan sosial; (3) Pengembangan kualitas pelaya-

nan kesejahteraan sosial; (4) Pengembangan profesi; dan

(5) Penunjang tugas Pekerja Sosial bagi Pekerja Sosial.

Dalam Keputusan Menpan tersebut juga mengatur

jenjang jabatan dan pangkat Pekerja Sosial. Jabatan Fungsio-

nal Pekerja Sosial terdiri dari Pekerja Sosial tingkat Terampil

dan Pekerja Sosial tingkat Ahli.

Urutan jenjang jabatan Pekerja Sosial tingkat terampil

dari yang terendah sampai dengan tertinggi adalah: Pekerja

Sosial Pelaksana Pemula, Pekerja Sosial Pelaksana, Pekerja

Sosial Pelaksana Lanjutan, Pekerja Sosial Penyelia. Untuk

jenjang jabatan Pekerja Sosial tingkat ahli dari yang terendah

sampai dengan tertinggi adalah: Pekerja Sosial Pertama,

Pekerja Sosial Muda dan Pekerja Sosial Madya.

Pasal 7 dari Keputusan Menpan secara rinci mengurai-

kan kegiatan Pekerja Sosial pada tingkat terampil dan keah-

lian, sesuai dengan jenjang jabatan.

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 116: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

99

Bagaimana jika dalam satu unit pelayanan sosial tidak

terdapat Pekerja Sosial sesuai jenjang jabatannya untuk

melaksanakan tugas sebagaimana dijelaskan diatas, maka

pasal 8 memberikan solusinya yaitu: Pekerja Sosial satu

tingkat di atas atau satu tingkat di bawah jenjang jabatannya

dapat melaksanakan tugas tersebut berdasarkan surat penu-

gasan tertulis dari pimpinan unit kerja yang bersangkutan.

Pada Pasal 10 sangat detail mengatur tentang jumlah

angka kredit kumulatif minimal yang harus dipenuhi oleh setiap

Pekerja Sosial baik pada tingkat terampil maupun tingkat ahli.

Rambu-rambunya adalah sekurang-kurangnya 80% angka

kredit berasal dari unsur utama dan 20% berasal dari unsur

penunjang.

Untuk penilaian dan penetapan angka kredit, diatur pada

Bab VI, mulai Pasal 12 sampai dengan Pasal 18, yang secara

terinci menguraikan setiap Pekerja Sosial harus mencatat

seluruh aktivitasnya untuk dapat dinilai dan penetapan angka

kredit dan periode penilaian sekurang-kurang 2 kali dalam satu

tahun, 3 bulan sebelum periode kenaikan pangkat Pegawai

Negeri Sipil.

Secara berjenjang sesuai dengan pangkat dan jabatan

Pekerja Sosial, yang berwenang menetapkan angka kredit

adalah Menteri Sosial atau pejabat eselon I yang ditunjuk,

Direktur Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial atau

pejabat eselon II yang ditunjuk, Pimpinan instansi pusat di luar

Kementerian Sosial atau pejabat lain yang ditunjuk (serendah-

rendahnya eselon II) yang membidangi pelayanan kesejahte-

raan sosial, Gubernur atau pejabat lain yang ditunjuk (seren-

dah-rendahnya eselon II), Bupati/Walikota atau pejabat lain

yang ditunjuk (serendah-rendahnya eselon II) sesuai dengan

tingkatan pangkat dan jabatan Pekerja Sosial.

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 117: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

100

Untuk melaksanakan kewenangan pejabat dimaksud,

dibantu oleh Tim Penilai Jabatan Pekerja Sosial Kementerian,

Tim Penilai Direktorat Jenderal, Tim Penilai Instansi, Tim

Penilai Provinsi dan Tim Penilai Kabupaten/Kota. Anggota Tim

Penilai tersebut haruslah Pekerja Sosial sesuai dengan

janjang pangkat dan jabatannya.

Yang menarik dalam Keputusan Menpan ini adalah pada

Pasal 20 ayat (1) untuk diangkat pertama sekali sebagai

Pekerja Sosial tingkat terampil, berijazah serendah-rendahnya

Sekolah Menengah Atas/Diploma I sesuai dengan kualifikasi

yang ditentukan.

Artinya persyaratan ini sangat longgar tidak mensyarat-

kan pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan, tetapi memang

ada syarat tambahan yaitu harus mengikuti dan lulus Diklat

fungsional bidang pelayanan kesejahteraan sosial.

Untuk diangkat pertama kali dalam Jabatan Pekerja

Sosial tingkat ahli, syarat pendidikan sekurang-kurangnya

berijazah sarjana (S1), tanpa mensyaratkan bidang ilmu

pendidikan tertentu atau Diploma IV sesuai dengan kualifikasi

yang ditentukan, tapi juga disertai syarat tambahan yaitu harus

mengikuti dan lulus Diklat fungsional di bidang pelayanan

kesejahteraan sosial.

Pasal penting lainnya dari Keputusan Menpan ini adalah

pada Pasal 30, pengalaman dan pengembangan karir, Pekerja

Sosial dapat dipindahkan ke jabatan struktural atau jabatan

fungsional lainnya sepanjang memenuhi persyaratan jabatan

yang ditentukan.

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 118: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

F. Keputusan Bersama Menteri Sosial Dan Kepala Badan

Kepegawaian Negara Nomor 05/HUK/2004, Nomor 09

Tahun 2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan

Fungsional Pekerja Sosial dan Angka Kreditnya.

Keputusan Bersama ini merupakan penjabaran lebih

lanjut dan berupa petunjuk pelaksanaan dari Keputusan

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor KEP/03/

M.PAN/I/2004 tentang Jabatan Fungsional Pekerja Sosial dan

angka kreditnya.

Dalam Keputusan Bersama ini, diatur lebih lanjut bagai-

mana usul dan penetapan angka kredit dilakukan, dengan

berbagai matrik formulir yang perlu diisi oleh Pekerja Sosial.

Kemudian tugas Tim Penilai Angka Kredit (Tim PAK) juga

diatur lebih lanjut dan lebih detail. Tugas pokok Tim PAK baik

tingkat Kementerian, tingkat Direktorat Jenderal, tingkat

Instansi, tingkat Kabupaten/Kota, diuraikan secara jelas

sehingga dengan mudah dapat dipahami oleh setiap anggota

Tim Penilai maupun Pekerja Sosial itu sendiri.

Penjabaran lebih lanjut juga mencakup kenaikan pang-

kat dan jabatan dan penetapan angka kreditnya, demikian juga

menjabarkan lebih lanjut tentang tata cara dan mekanisme

pengangkatan, pemberhentian sementara dan pemberhen-

tian dalam dan dari jabatan, termasuk juga pengangkatan

kembali dalam jabatan dan perpindahan jabatan.

G. Keputusan Menteri Sosial Nomor 50/HUK/2004 Tentang

Perubahan Keputusan Menteri Kesehatan dan Kesejah-

teraan Sosial Nomor 193/MENKES-KESSOS/III/2000

Tentang Standarisasi Panti Sosial.

Dalam Kepmensos tersebut telah mendefinisikan

Sistem Pelayanan Kesejahteraan Sosial atau disebut juga

Sistem Pelayanan Sosial (sesuai dengan Undang-Undang

101

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 119: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

102

Nomor 11 Tahun 2009 Tentang Kesejahteraan Sosial) yang

diselenggarakan melalui sistem Panti Sosial maupun sistem

non Panti Sosial (keluarga dan masyarakat). Pelayanan Sosial

melalui sistem Panti Sosial merupakan pelayanan alternatif

apabila fungsi dan peran keluarga/masyarakat tidak dapat

memenuhi kebutuhan anggotanya.

Panti Sosial merupakan lembaga pelayanan sosial yang

memiliki tugas dan fungsi untuk meningkatkan kualitas sumber

daya manusia dan memberdayakan Penyandang Masalah

Kesejahteraan Sosial (PMKS) ke arah kehidupan normatif

secara fisik, mental dan sosial.

Ada 15 jenis Panti Sosial yaitu: Panti Sosial Petirahan

Anak, Panti Sosial Taman Penitipan Anak, Panti Sosial Asuhan

Anak, Panti Sosial Bina Remaja, Panti Sosial Tresna Werdha,

Panti Sosial Bina Daksa, Panti Sosial Bina Netra, Panti Sosial

Bina Rungu Wicara, Panti Sosial Bina Grahita, Panti Sosial

Bina Laras, Panti Sosial Bina Pasca Laras Kronis, Panti Sosial

Marsudi Putra, Panti Sosial Karya Wanita dan Panti Sosial

Bina Karya.

Dalam Kepmensos tersebut, juga sudah diberikan

batasan standarisasi dan katagorinya, dibagi dua katagori

yaitu standar umum dan standar khusus. Standar umum

mencakup: kelembagaan, Sumber Daya Manusia, Sarana dan

Prasarana, Pembiayaan, Pelayanan Sosial Dasar dan

Monitoring dan Evaluasi. Standar khusus mencakup: kegiatan

pelayanan (pendekatan awal, rencana intervensi, intervensi,

terminasi, rujukan, pemulangan, pembinaan lanjut).

Dalam Kepmensos tersebut juga telah menjelaskan

tugas Pekerja Sosial yang harus melaksanakan tugas pelaya-

nan sosial di panti secara profesional sesuai standar pelaya-

nan sosial di Panti Sosial.

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 120: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

103

H. Keputusan Menteri Sosial Nomor 10/HUK/2007 Tentang

Pembinaan Teknis Jabatan Fungsional Pekerja Sosial.

Tujuan Kepmensos ini adalah: Pertama, memberikan

kejelasan bagi Pekerja Sosial dalam mencapai angka kredit

guna kenaikan jabatan dan pangkat. Kedua, mengoptimalkan

kontribusi Pekerja Sosial dalam mendukung pelaksanaan

pelayanan kesejahteraan sosial di unit kerja masing-masing.

Ketiga, mengoptimalkan peran Unit Pembina Jabatan Fung-

sional Pekerja Sosial dalam melaksanakan pembinaan Peker-

ja Sosial. Keempat, meningkatkan kinerja instansi dalam

melaksanakan pembangunan kesejahteraan sosial, didukung

oleh Pekerja Sosial yang kompeten dan profesional.

Ruang lingkup Pedoman Teknis Jabatan Fungsional

Pekerja Sosial antara lain: Pertama, penetapan Formasi

Jabatan Fungsional Pekerja Sosial. Kedua, Penilaian Angka

Kredit Pekerja Sosial. Ketiga, Pengangkatan, Pembebasan,

Pemberhentian dalam dan dari Jabatan Fungsional Pekerja

Sosial. Keempat, Pembinaan Karir Pekerja Sosial.

I. Keputusan Menteri Sosial Nomor: 43/HUK/2007, Tentang

Pedoman Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Fungsional

Pekerja Sosial.

Tujuannya adalah: Pertama, terwujudnya standarisasi

penyelenggaran Diklat Jabatan Fungsional Pekerja Sosial,

baik yang diadakan oleh unit kerja Diklat di lingkungan Kemen-

terian Sosial maupun lembaga Diklat di luar Kementerian

Sosial. Kedua, terselenggaranya Diklat Jabatan Fungsional

Pekerja Sosial yang tepat sasaran dan waktu untuk mendu-

kung Diklat yang dipersyaratkan dalam menduduki jabatan

Pekerja Sosial per jenjang jabatan. Ketiga, meningkatkan

kompetensi Pekerja Sosial yang diperlukan dalam pelaksana-

an pelayanan kesejahteraan sosial dan pengembangan kuali-

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 121: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

104

tas pelayanan kesejahteraan sosial. Keempat, meningkatkan

kompetensi pimpinan dan pengelola Unit Pembina Jabatan

Fungsional dalam mendukung pelaksanaan pelayanan kese-

jahteraan sosial dan pengembangan kualitas pelayanan kese-

jahteraan sosial. Kelima, meningkatkan kinerja instansi dalam

melaksanakan pembangunan kesejahteraan sosial, karena

didukung oleh adanya Pekerja Sosial yang berkompeten dan

profesional.

Ruang lingkup Pedoman Pendidikan dan Pelatihan Jaba-

tan Fungsional Pekerja Sosial mengatur penyelenggaraan:

Pertama, Pendidikan Formal. Kedua, Pendidikan Non Formal.

Pendidikaan Formal, meliputi Pendidikan Akademik dan Pendi-

dikan Profesional. Untuk Jenjang Pendidikan Akademik Jaba-

tan Fungsional Pekerja Sosial (JFPS) meliputi pendidikan

Sarjana (S1), Magister (S2) dan Doktoral (S3). Jenjang

pendidikan akademik Jabatan Fungsional Pekerja Sosial terse-

but diperoleh dengan mengikuti pendidikan pada perguruan

tinggi negeri dan perguruan tinggi swasta baik di dalam maupun

di luar negeri.

Untuk jenjang pendidikan profesional Pekerja Sosial,

meliputi Diploma (DI, DII, DIII dan DIV), dan Pendidikan

Spesialis (Sp1 dan Sp2). Saat ini belum ada PTN/PTS yang

menyelenggarakan program pendidikan profesional Pekerja

Sosial. Satu-satunya perguruan tinggi di Indonesia yang

menyelenggarakan pendidikan profesional adalah Sekolah

Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung, yang merupa-

kan Perguruan Tinggi Kedinasan (PTK) dibawah naungan

Kementerian Sosial. Program pendidikan profesional yang

diselenggarakan saat ini di STKS Bandung meliputi: Jenjang

Diploma IV (DIV) dan Pendidikan Spesialis 1 (Sp1).

Untuk meningkatkan mutu pendidikan Pekerjaan Sosial di

STKS Bandung, dalam Pedoman Mensos sudah mencantumkan

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 122: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

105

Standarisasi Pendidikan Pekerjaan Sosial. Pada tahun 2000,

International Association of Schools of Sosial Work (IASSW) dan

Internatonal Federasion of Sosial Work (IFSW) sebagai dua

organisasi yang bersama-sama memperkuat Profesi Pekerjaan

Sosial telah menetapkan standar kualitas pendidikan dan latihan

Pekerjaan Sosial yang berlaku secara internasional.

Pendidikan dan Pelatihan Wajib. Diklat Wajib ditujukan

kepada: (1) CPNS/PNS yang akan diangkat pertama sebagai:

a) Pekerja Sosial tingkat terampil, pendidikan SLTA/sederajat,

DI, DII, DIII, wajib mengikuti Diklat Sertifikasi Jabatan Fungsio-

nal Pekerja Sosial tingkat terampil; b) Pekerja Sosial tingkat ahli;

1) pendidikan S1/DIV Pekerjaan Sosial/Kesejahteraan Sosial

wajib mengikuti Diklat Sertifikasi Jabatan Fungsional Pekerja

Sosial tingkat ahli, 2) pendidikan S1/DIV Non Pekerjaan Sosial/

Kesejahteraan Sosial wajib mengikuti: (a) Pendidikan dan

Pelatihan Dasar Pekerja Sosial (PDPS); (b) Diklat Sertifikasi

Jabatan Fungsional Pekerja Sosial Tingkat Ahli. (2) PNS yang

akan diangkat dari Jabatan lain ke dalam Jabatan Fungsional

Pekerja Sosial sebagai: a) Pekerja Sosial Tingkat Terampil.

Pendidikan SLTA/Sederajat sampai dengan DIII, wajib

mengikuti Diklat Sertifikasi Jabatan Fungsional Pekerja Sosial

Tingkat Terampil; b) Pekerja Sosial Tingkat Ahli; 1) Pendidikan

S1/DIV Pekerjaan Sosial/Kesejahteraan Sosial wajib mengikuti

Diklat Sertifikasi Jabatan Fungsional Pekerja Sosial Tingkat Ahli;

2) Pendidikan S1/DIV Non Pekerjaan Sosial/Kesejahteraan

Sosial wajib mengikuti: (a) Pendidikan dan Pelatihan Dasar

Pekerjaan Sosial (PDPS); (b) Diklat Sertifikasi Jabatan Fungsio-

nal Pekerja Sosial Tingkat Ahli. (3) Pekerja Sosial yang telah

menduduki dan/atau akan naik jenjang jabatan diwajibkan

mengikuti Diklat Penjenjangan Jabatan Fungsional Pekerja

Sosial yang dipersyaratkan sesuai dengan jenjang jabatan,

mulai dari Diklat Penjenjangan Jabatan Fungsional Pekerja

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 123: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

106

Sosial Pelaksana Pemula, sampai dengan Diklat Penjenja-

ngan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial Madya. (4) Pekerja

Sosial Tingkat Terampil yang akan diangkat menjadi Pekerja

Sosial Tingkat Ahli dan/atau Pekerja Sosial Tingkat Terampil,

golongan ruang IVa ke atas dengan latar pendidikan DIII ke

bawah yang akan diangkat menjadi Pekerja Sosial Tingkat

Ahli, berdasarkan Pasal 29 Keputusan Menpan Nomor

KEP/03/M.PAN/I/2004 wajib mengikuti: a) Pendidikan S1/DIV;

b) Diklat Penyetaraan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial;

c) Diklat Penjenjangan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial.

Pendidikan dan Pelatihan Penunjang; Diklat ini mencakup Dik-

lat Teknis Substansi Pekerjaan Sosial; Diklat Tim dan Sekre-

tariat Penilai Angka Kredit Jabatan Fungsional Pekerja Sosial;

dan Diklat untuk TOT Jabatan Fungsional Pekerja Sosial.

J. Peraturan Menteri Sosial Nomor: 108/HUK/2009, Tentang

Sertifikasi Bagi Pekerja Sosial Profesional Dan Tenaga

Kesejahteraan Sosial.

Permensos ini diterbitkan untuk melaksanakan keten-

tuan Pasal 53 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang

Kesejahteraan Sosial. Dalam Permensos ini menjelaskan

pengertian tentang Sertifikasi, Sertifikasi kompetensi, Standar

Kompetensi, Lembaga Sertifikasi Pekerja Sosial, Pekerja

Sosial Profesional dan Uji kompetensi.

Pasal 3 menjelaskan tujuan sertifikasi dan Pasal 4

tentang Sertifikasi, Pasal 5 mengatur tentang Sertifikasi

kompetensi, Uji kompetensi. Pasal 16 mengatur tentang

Lembaga Sertifikasi.

Dengan Permensos ini maka diharapkan Pekerja Sosial

mempunyai kompetensi yang tinggi dalam melaksanakan

pelayanan sosial.

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 124: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

BAB IVMENJELASKAN HASIL STUDI

KEBIJAKAN NASIONAL TENTANGMUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

107

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 125: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

108

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 126: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

109

BAB IVMENJELASKAN HASIL STUDI

KEBIJAKAN NASIONAL TENTANGMUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

DALAM bab IV ini, akan disajikan hasil studi dari data

sekunder yang berhasil dikumpulkan dan data primer

hasil interview dan kuesioner yang dikirimkan kepada

para responden stakeholder Kementerian Sosial RI dan pelak-

sana langsung pelayanan sosial di Panti Sosial (Pekerja Sosial

dan Kepala Panti Sosial),serta Focus Group Discussion (FGD)

antara stakeholder Kementerian Sosial RI dengan para Kepala

Panti Sosial Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

Kemudian akan menjawab satu persatu dari ketiga

masalah studi, yaitu (1) Apakah substansi kebijakan tentang

mutu Pekerja Sosial sesuai dengan standar pelayanan sosial

di Panti Sosial Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah?

(2) Bagaimanakah implementasi kebijakan tentang mutu

Pekerja Sosial dalam pelayanan sosial di Panti Sosial

Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah? (3) Apakah hasil

pelaksanaan kebijakan tentang mutu Pekerja Sosial sesuai

dengan standar pelayanan sosial di Panti Sosial Pemerintah

Pusat dan Pemerintah Daerah?

Sebagaimana dikemukakan di metodologi studi, maka

studi ini bukan pada proses pembuatan kebijakan melainkan

pada evaluasi kebijakan, yang menyoroti hasil-hasil dari kebi-

jakan terhadap pelaksanaan program yang telah dilakukan.

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 127: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

110

A. Substansi Kebijakan Tentang Mutu Pekerja Sosial.

Sebagaimana diuraikan pada acuan teoritik, bahwa

sebagian besar ahli memberi pengertian kebijakan nasional

dalam kaitannya dengan keputusan atau ketetapan pemerin-

tah untuk melakukan suatu tindakan yang dianggap akan

membawa dampak baik bagi kehidupan warganya. Pekerja

Sosial adalah jabatan publik yang dalam melaksanakan tugas-

nya mengacu pada kebijakan pemerintah berupa peraturan

perundang-undangan dan peraturan lainnya sebagai kebija-

kan publik.

Pekerja Sosial yang bermutu tentunya adalah Pekerja

Sosial yang mampu memberikan pelayanan yang diinginkan

oleh masyarakat pengguna, dalam hal ini adalah para klien

sebagai Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS).

Pekerja Sosial, dalam Sistem Tata Negara Republik

Indonesia berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil dan aturan

mengenai Pegawai Negeri Sipil, telah ditetapkan dengan

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974, tentang Pokok-Pokok

Kepegawaian yang selanjutnya telah diubah dengan Undang-

Undang Nomor 43 Tahun 1999.

Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa

Pegawai Negeri adalah setiap warga negara Republik Indone-

sia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat

oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu

jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji

berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Yang masuk katagori Pegawai Negeri adalah: a) Pegawai

Negeri Sipil; b) Anggota Tentara Nasional Indonesia dan;

c) Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Dalam perjalanan karirnya, seorang Pegawai Negeri

Sipil menempuhnya melalui jabatan struktural dan jabatan

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 128: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

111

fungsional yang diduduki setelah memenuhi syarat yang

ditentukan. Karena Pekerja Sosial adalah Pegawai Negeri

Sipil yang melalui jabatan fungsional, maka berbagai jenjang

Diklat dan pengalaman pelayanan sosial di unit kerjanya telah

diatur sehingga memenuhi standar mutu untuk menjadi Peker-

ja Sosial yang professional.

Untuk pengaturan lebih lanjut dari Undang-Undang

tentang Pokok-Pokok Kepegawaian, telah diterbitkan Pera-

turan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan

Fungsional Pegawai Negeri Sipil.

Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil yang selanjut-

nya disebut jabatan fungsional adalah kedudukan yang me-

nunjukkan tugas, tanggung jawab/wewenang dan hak sese-

orang Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam suatu satuan organi-

sasi yang dalam pelaksanaan tugasnya didasarkan pada

keahlian dan/atau keterampilan tertentu serta bersifat mandiri.

Dalam jabatan fungsional juga dikenal istilah rumpun jabatan

fungsional yaitu himpunan jabatan fungsional yang mempu-

nyai fungsi dan tugas yang berkaitan erat satu sama lain dalam

melaksanakan salah satu tugas umum pemerintahan.

Dalam PP tersebut juga telah ada instrumen untuk

menilai kinerja jabatan fungsional Pegawai Negeri Sipil, yaitu

dengan menggunakan instrumen penilaian angka kredit,

berupa satuan nilai dari tiap butir kegiatan dan/atau akumulasi

nilai butir-butir kegiatan yang harus dicapai oleh pejabat

fungsional dalam rangka pembinaan karier yang bersang-

kutan. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994

tersebut juga menjelaskan tanggung jawab suatu instansi

sebagai pembina jabatan fungsional yaitu instansi pemerintah

yang bertugas membina suatu jabatan fungsional menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 129: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

112

Dalam Peraturan Pemerintah tersebut juga diatur

tentang pengangkatan Pegawai Negeri Sipil ke dalam jabatan

fungsional pada instansi pemerintah dengan mengacu pada

formasi yang disediakan, serta diatur juga penilaian prestasi

kerja bagi pejabat fungsional melalui angka kredit oleh pejabat

yang berwenang setelah memperhatikan pertimbangan Tim

Penilai dan Tim Penilai dimaksud dibentuk oleh pimpinan

instansi pembina jabatan fungsional atau pimpinan instansi

pengguna jabatan fungsional.

Hal lain juga diatur dalam Peraturan Pemerintah ini

menyangkut perpindahan jabatan fungsional ke jabatan

struktural dan sebaliknya dimungkinkan sepanjang meme-

nuhi persyaratan yang ditetapkan untuk masing-masing jaba-

tan tersebut.

Salah satu cara untuk mendapatkan standar mutu

tenaga fungsional (termasuk Pekerja Sosial) adalah dengan

pendidikan dan pelatihan terhadap jabatan fungsional serta

sertifikasi keahlian dan keterampilan jabatan fungsional yang

ditetapkan oleh instansi pembina jabatan fungsional, dengan

pembinaan dari Lembaga Administrasi Negara. Peraturan

Pemerintah ini juga sudah menetapkan adanya tunjangan

jabatan fungsional bagi Pegawai Negeri Sipil yang menduduki

jabatan fungsional dan telah ditetapkan angka kreditnya dan

besarnya tunjangan fungsional dimaksud ditetapkan dengan

Keputusan Presiden.

Penyelenggaraan kediklatan pejabat fungsional

Pegawai Negeri Sipil, diatur lebih lanjut dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan

Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil, yang dalam Pasal 8

ayat (2) bahwa Diklat jabatan terdiri dari: (a) Diklat Kepemim-

pinan; (b) Diklat Fungsional; dan (c) Diklat Teknis.

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 130: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

113

Pada Pasal 10, ayat (1) menjelaskan bahwa Diklat

fungsional dilaksanakan untuk mencapai persyaratan kompe-

tensi yang sesuai dengan jenis jenjang jabatan fungsional

masing-masing. Dan pada ayat (2) jenis dan jenjang Diklat

fungsional untuk masing-masing jabatan fungsional sebagai-

mana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan oleh instansi

pembina jabatan fungsional yang bersangkutan. Pada Pasal

15 menguraikan bahwa peserta Diklat fungsional adalah PNS

yang akan atau telah menduduki jabatan fungsional tertentu.

Mengenai kurikulum dan metode Diklat fungsional ditetapkan

oleh instansi pembina jabatan fungsional, sebagaimana ter-

cantum pada Pasal 17.

Terkait dengan rumpun jabatan fungsional, telah dijabar-

kan lebih lanjut dengan Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun

1999, tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri

Sipil. Dalam Keppres tersebut intinya adalah mengelompok-

kan jenis rumpun jabatan fungsional dengan menggunakan

perpaduan pendekatan antara jabatan dan bidang ilmu penge-

tahuan yang digunakan sebagai dasar untuk melaksanakan

tugas dan fungsi jabatan dalam rangka pelaksanaan tugas

umum pemerintahan.

Dalam Keppres tersebut pada lampiran sudah mencan-

tumkan Daftar Rumpun Jabatan fungsional dan penjelasan-

nya. Dari daftar tersebut, ternyata belum dicantumkan Pekerja

Sosial pada salah satu rumpun dari 8 rumpun yang ada. Hal ini

mungkin disebabkan pada saat itu, Pekerja Sosial belum

begitu dikenal dikalangan birokrasi pemerintahan. Pada

Keppres 87 tahun 1999 tersebut, juga telah mengatur lebih

rinci tentang jenjang jabatan fungsional secara umum, yang

dikatagorikan dalam jabatan fungsional keahlian dan jabatan

fungsional keterampilan.

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 131: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

114

Dalam rangka menjaga mutu jabatan fungsional dimaksud,

Keppres juga mensyaratkan bahwa untuk katagori jabatan

fungsional keahlian dalam pelaksanaan tugasnya: Pertama,

mensyaratkan kualifikasi profesional dengan pendidikan

serendah-rendahnya berijasah Sarjana (Strata 1); Kedua,

meliputi kegiatan yang berkaitan dengan penelitian dan pengem-

bangan, peningkatan dan penerapan konsep dan teori serta

metoda operasional dan penerapan disiplin ilmu pengetahuan

yang mendasari pelaksanaan tugas dan fungsi jabatan fungsio-

nal yang bersangkutan; Ketiga, terikat pada etika profesi tertentu

yang ditetapkan oleh ikatan profesinya.

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara pada tahun

2004, dengan merujuk Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974

tentang Pokok-pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999, Undang-

Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah;

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan

fungsional Pegawai Negeri Sipil, Peraturan Pemerintah Nomor

101 Tahun 2000 tentang Pendidikan dan Pelatihan Jabatan

Pegawai Negeri Sipil dan Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun

1999 tentang Rumpun Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil,

memperhatikan usulan Menteri Sosial selaku Pembina Jabatan

Fungsional Pekerja Sosial melalui surat Nomor A/A.336/XI-

2003/MS tanggal 21 November 2003, serta pertimbangan

Kepala Badan Kepegawaian Negara dengan surat Nomor K.26-

14/HAL2-10/87 tanggal 8 Januari 2004, meninjau kembali

Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara

Nomor 45/MENPAN/1988 tentang Angka Kredit bagi Jabatan

Pekerja Sosial.

Selanjutnya Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara

menerbitkan Keputusan Menpan Nomor KEP/03/M.PAN/I /2004

tentang Jabatan Fungsional Pekerja Sosial dan Angka Kreditnya.

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 132: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

115

Sebagaimana telah diuraikan di atas, dalam Keppres 87

Tahun 1999, dalam lampiran tidak mencantumkan Pekerja

Sosial sebagai rumpun jabatan fungsional Pegawai Negeri

Sipil, maka pada Keputusan Menpan Nomor KEP/03/M.PAN/I

/2004, telah mencantumkan pada Pasal 2 ayat (1) bahwa

jabatan fungsional Pekerja Sosial termasuk rumpun ilmu sosial

dan yang berkaitan dan pada ayat (2) menegaskan bahwa

Kementerian Sosial adalah Instansi Pembina Jabatan Fung-

sional Pekerja Sosial.

Menindak lanjuti Keputusan Menpan dimaksud, maka

telah dibuat Keputusan Bersama Menteri Sosial dan Kepala

Badan Kepegawaian Negara Nomor 05/HUK/2004 dan 09

Tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsio-

nal Pekerja Sosial dan Angka Kreditnya. Tetapi rupanya

Kementerian Sosial baru menerbitkan Petunjuk Teknis dari

SKB tersebut tiga tahun kemudian dengan menerbitkan

Kepmensos Nomor 10/HUK/2007 tentang Pembinaan Teknis

Jabatan Fungsional Pekerja Sosial dan Kepmensos Nomor

43/HUK /2007 tentang Pedoman Pendidikan dan Pelatihan

Jabatan Fungsional Pekerja Sosial.

Dengan adanya masa jeda terbitnya Juknis tentang

Tenaga Fungsional Pekerja Sosial sampai tahun 2007, para

unit-unit kerja di berbagai tingkatan pelaksanaan pelayanan

sosial masih menggunakan Kepmensos Nomor 9/HUK/1989

tentang Sekretariat Tim Penilai Jabatan Pekerja Sosial Pusat,

Kepmensos Nomor 10/HUK/1989 tentang Tata Kerja Tim

Penilai dan Tata Cara Penilaian Angka Kredit Jabatan Pekerja

Sosial dan Kepmensos Nomor 11/HUK/1989 tentang Pende-

legasian wewenang pengangkatan, pembebasan sementara,

pemberhentian dan pengangkatan kembali jabatan Pekerja

Sosial di lingkungan Kementerian Sosial.

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 133: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

116

Dapat dibayangkan kebingungan yang terjadi pada

tingkat pelaksana pelayanan sosial, terlebih dalam suasana

otonomi daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22

tahun 1999.

Dalam Kepmenpan Nomor KEP/03/M.PAN/1/2004 Ten-

tang Jabatan Fungsional Pekerja Sosial dan Angka Kreditnya,

pada Pasal 9 menegaskan bahwa unsur yang dinilai untuk

mendapatkan angka kredit sebagai peningkatan kualifikasi

mutu Pekerja Sosial ada dua unsur yaitu unsur utama dan

unsur penunjang.

Tabel 4.1. Kualifikasi Mutu Pekerja Sosial

Unsur Utama Kriteria

1. Pendidikan Formal1. PendidikanTinggi Kesejahteraan Sosial.

2. PendidikanS1, S2 dan S3

2. Diklat Penjenjangan1. LatihanDasar Pekerja Sosial.

2. Sertifikasi

3. Pelayanan Sosial

1. PendekatanAwal.

2. Assesmen.

3. Rencana Intervensi.

4. Intervensi.

5. Evaluasi (Terminasi, Rujukan).

6. Bimbingandan Tindak Lanjut

4. Pengembangan

KualitasPelayanan

Sosial

1. Kajian kebijakan dan penyusunan rencana pelayanan

kesejahteraansosial.

2. Pengembanganmodel pelayanankesejahteraan sosial.

3. Evaluasi program pelayanan kesejahteraansosial

5. Pengembangan Profesi

1. PembuatanKarya Tulis/Karya Ilmiah.

2. Penerjemah/Penyaduran buku.

3. Pembuatanbuku pedoman/ juklak/juknis pelayanan

kesejahteraansosial.

4. Partisipasiaktif penerbitan buku/majalah pelayanan

kesejahteraansosial.

5. Studibanding pelayanan kesejahteraansosial.

6. Unsur Penunjang :

1. Pengajar/pelatih pelayanan kesejahteraansosial.

2. Peranserta dalam seminar/lokakarya pelayanan

kesejahteraansosial.

3. Keanggotaanorganisasi profesi Pekerja Sosial.

4. KeanggotanTim Penilai Jabatan Fungsional Pekerja

Sosial.

5. Memperolehgelar sarjana, penghargaan/tanda jasa.

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 134: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

117

Kualifikasi mutu Pekerja Sosial yang diatur dalam

Kepmenpan tersebut diikuti dengan instrumennya sebagai

lampiran dan kualifikasi sesuai dengan standar pelayanan

sosial di Panti Sosial yang tercantum dalam Kepmensos

Nomor 50/HUK/2004 Tentang Standarisasi Panti Sosial,

adalah suatu kebijakan nasional yang dilakukan pemerintah

untuk menjaga agar mutu Pekerja Sosial dalam melaksanakan

pelayanan sosial memenuhi kualifikasi yang telah ditetapkan,

disamping itu kebijakan tersebut juga sudah mengatur

mekanisme dan persyaratan yang harus dipenuhi untuk

mencapai kualifikasi ahli dari kualifikasi terampil dan dari

jenjang pelaksana pemula, sampai tingkat ahli madya.

Dalam Kepmensos Nomor 50 tahun 2004 tersebut,

menjelaskan bahwa Pekerja Sosial merupakan aspek

penyelenggara Panti Sosial dan berperan sebagai unsur

pimpinan dan juga sebagai unsur operasional. Standar

pelayanan sosial di Panti Sosial telah ditetapkan sebagaimana

diuraikan pada Bab II (merujuk pada Kepmenpan Nomor

03/M.PAN/1/2004), yaitu: Tahap Pendekatan Awal. Pada

tahap pendekatan awal dilaksanakan kegiatan sosialisasi

program, penjaringan/penjangkauan calon Klien, seleksi calon

Klien, penerimaan dan registrasi serta konfrensi kasus. Tahap

Pengungkapan dan Pemahaman masalah (Asesmen). Pada

tahap ini dilaksanakan kegiatan analisis kondisi Klien,

keluarga, lingkungan, karakteristik masalah, sebab dan

implikasi masalah, kapasitas mengatasi masalah dan sumber

daya, serta konfrensi kasus.

Berikutnya, Tahap Perencanaan Progam Pelayanan

(Rencana Intervensi). Pada tahap ini dilaksanakan kegiatan

penetapan tujuan pelayanan, penetapan jenis pelayanan yang

dibutuhkan oleh Klien dan sumber daya yang akan digunakan.

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 135: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

118

Tahap Pelaksanaan Pelayanan (Intervensi). Pada tahap

pelaksanaan pelayanan terdapat beberapa bentuk kegiatan

yang dapat diberikan sesuai dengan kebutuhan, karakteristik,

dan permasalahan Klien, sebagai berikut: (a) Bimbingan Fisik

dan Kesehatan: pemeliharaan fisik dan kesehatan, terapi fisik,

pemeliharaan kebugaran, pelayanan menu dalam rangka

peningkatan gizi, orientasi mobilitas; (b) Bimbingan Mental dan

Psikososial: bimbingan keagamaan, bimbingan kedisiplinan

dan budi pekerti, bimbingan psikososial; (c) Bimbingan Sosial:

bimbingan Daily Living Activity (DLA), bimbingan relasi sosial,

bimbingan integrasi sosial, bimbingan rekreasi; (d) Bimbingan

Pelatihan dan Ketrampilan: bimbingan usaha ekonomi produk-

tif, bimbingan ketrampilan kerja, bimbingan pengelolaan usa-

ha, bimbingan wira usaha, bimbingan kesenian; (e) Bimbingan

Pendidikan: bimbingan paket belajar klien, bantuan beasiswa,

bantuan pendidikan; (f) Bimbingan individu: Pelayanan konse-

ling individu, Pelayanan terapi sosial; (g) Bimbingan kelompok:

Dinamika kelompok, Pelayanan konseling kelompok;

(h) Penyiapan lingkungan sosial: penyiapan lingkungan

keluarga, penyiapan lingkungan di sekitar kehidupan klien,

penyiapan lingkungan sosial klien secara luas: praktek belajar

kerja, instalasi produksi/workshop.

Tahap Pasca Pelayanan: Bentuk pelaksanaan pelaya-

nan terdiri dari: (a) Penghentian pelayanan. Dilakukan setelah

klien selesai mengikuti proses pelayanan dan telah mencapai

hasil pelayanan sesuai dengan rencana yang telah ditetapkan;

(b) Rujukan. Kegiatan rujukan dilaksanakan apabila klien

membutuhkan pelayanan lainnya yang tidak tersedia dalam

panti; (c) Pemulangan dan Penyaluran, kegiatan pemulangan

dan penyaluran dilaksanakan setelah klien dinyatakan berhen-

ti atau selesai mengikuti proses pelayanan. Proses pemula-

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 136: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

119

ngan yaitu klien dikembalikan kepada pihak keluarga atau

sanak saudara dan lingkungan tempat klien tinggal. Proses

penyaluran yaitu klien disalurkan kepada perusahaan/tempat

kerja/instansi yang berminat mempekerjakan klien sesuai

dengan bidang dan jenis keterampilan yang telah dimiliki Klien;

(d) Pembinaan lanjut: berupa kegiatan untuk memonitor dan

memantau klien sesudah mereka bekerja atau kembali ke

keluarga.

Dari uraian diatas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa

melalui peraturan yang diterbitkan pemerintah sebagai suatu

kebijakan telah menetapkan kualifikasi kompetensi bagi

Pekerja Sosial dan kualifikasi tersebut ditetapkan untuk

mendapatkan Pekerja Sosial yang bermutu, walaupun secara

eksplisit kami tidak menemukan definisi mutu Pekerja Sosial.

Namun dalam penelitian ini rumusan mutu Pekerja Sosial yang

digunakan adalah mengacu pada tugas pokok dan unsur-

unsur kegiatan sebagai kualifikasi kompetensi yang dilaksana-

kan Pekerja Sosial sesuai dengan Pasal 3, Pasal 4 dan Pasal

5 Kepmenpan Nomor 03/M.PAN/1/2004 tentang Jabatan

Fungsional Pekerja Sosial dan Angka Kreditnya.

Atas dasar uraian diatas, maka rumusan mutu Pekerja

Sosial adalah kemampuan memberikan pelayanan yang

diinginkan oleh masyarakat pengguna, dalam hal ini adalah

klien sebagai Penyadang Masalah Kesejahteraan Sosial.

Hal ini juga memberikan makna bahwa substansi

kebijakan yang berhubungan dengan upaya menjaga mutu

Pekerja Sosial sudah secara detail diatur, termasuk unsur-

unsur ataupun kriteria mutu Pekerja Sosial dalam melaksana-

kan pelayanan sosial di Panti Sosial. Kriteria dimaksud meru-

pakan persyaratan untuk tercapainya standar pelayanan

sosial di Panti Sosial (Kepmensos Nomor 50/HUK/2004),

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 137: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

120

dengan demikian sangat berkaitan erat antara standar pelaya-

nan Sosial di Panti Sosial dengan mutu Pekerja Sosial.

Semakin tinggi mutu Pekerja Sosial di pastikan akan semakin

baik pelayanan sosial di Panti Sosial.

Dari rangkaian substansi kebijakan nasional tentang

Pekerja Sosial dalam kaitannya dengan mutu Pekerja Sosial

yang telah diutarakan di atas, telah sangat komprehensif

mengatur agar Pekerja Sosial dapat melaksanakan tugas dan

tanggung jawabnya secara optimal dan memenuhi kriteria-

kriteria standar mutu yang ditetapkan.

B. Implementasi Kebijakan Mutu Pekerja Sosial.

Dengan diimplementasikannya kebijakan pemerintah

untuk peningkatan mutu Pekerja Sosial di dalam Panti Sosial

(Kepmenpan Nomor 03/M.PAN/1/2004, SKB Mensos dengan

Ka.BKN Nomor 05 dan Nomor 9 Tahun 2009 dan Kepmensos

Nomor 10 dan 43 Tahun 2007), kondisi obyektif yang dihadapi

selama periode 2004-2009 masih meninggalkan berbagai

masalah yang cukup rumit dan mempengaruhi upaya pengem-

bangan SDM Pekerja Sosial kedepan, antara lain sebagai

berikut: (1) Belum seluruh Pekerja Sosial dapat mengikuti

Diklat Wajib Jabatan Fungsional Pekerja Sosial yang merupa-

kan media untuk meningkatkan kompetensi dan sekaligus

sebagai persyaratan kenaikan jabatan dan pangkat bagi

Pekerja Sosial; (2) Mengingat keterbatasan anggaran untuk

penyelenggaraan Diklat Wajib Jabatan Fungsional Pekerja

Sosial yang belum dapat memenuhi kebutuhan Diklat, kondisi

ini mengakibatkan beberapa Pekerja Sosial tidak dapat naik

pangkat, nota usulan kenaikan pangkatnya ditolak oleh pihak

Badan Kepegawaian Negara (BKN) karena belum mengikuti

Diklat yang dipersyaratkan.

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 138: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

121

Secara umum kita melihat bahwa kebijakan yang

mengatur pembinaan karir Pekerja Sosial sudah termuat di-

dalam Keputusan Menteri Sosial Nomor 10/HUK/2007 tentang

Pedoman Pembinaan Teknis Jabatan Fungsional Pekerja

Sosial dan Keputusan Menteri Sosial Nomor 43/HUK/2007

tentang Diklat Jabatan Fungsional Pekerja Sosial.

Pada bagian ini disajikan hasil wawancara dan perta-

nyaan tertulis dengan para stakeholder Kementerian Sosial

yang paling bertanggungjawab terhadap pembinaan Pekerja

Sosial, yaitu Sekretariat Jenderal (Biro Organisasi dan Kepe-

gawaian), Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi

Sosial (Ditjen Yanrehsos) dan Badan Pendidikan dan Peneli-

tian Kesejahteraan Sosial (Badiklit Kessos).

Maksud dari wawancara adalah untuk menggali

informasi sejauhmana implementasi kebijakan tentang mutu

Pekerja Sosial dalam melaksanakan pelayanan sesuai

dengan standar pelayanan sosial di Panti Sosial. Kemudian

mencoba menangkap upaya-upaya yang dilakukan untuk

perbaikan mutu Pekerja Sosial kedepan.

Berikut ini disajikan hasil wawancara dan pertanyaan

tertulis yang disampaikan kepada Direktur Jenderal Pelaya-

nan dan Rehabilitasi Sosial, Kepala Badan Pendidikan dan

Penelitian Kesejahteraan Sosial dan Kepala Biro Organisasi

dan Kepegawaian Kementerian Sosial.

Makmur Sunusi, Ph.D (Dirjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial)

Dalam upaya meningkatkan mutu Pekerja Sosial, untuk

melaksanakan tugas pelayanan sosial di Panti Sosial, Direk-

torat Jenderal Yanrehsos menyusun buku panduan dan akan

menerbitkan kebijakan sebagai pedoman teknis bagi Pekerja

Sosial yang melaksanakan tugas fungsional di Panti Sosial.

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 139: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

122

Adanya Kepmensos Nomor 43/HUK/2007 tentang

Pedoman pendidikan dan pelatihan Jabatan Fungsional

Pekerja Sosial, telah dapat memenuhi hal-hal sebagai berikut:

(a) Dapat mewujudkan standarisasi penyelenggaraan Diklat

Jabatan Fungsional Pekerja Sosial, baik yang diadakan oleh

unit kerja Diklat di lingkungan Kementerian Sosial maupun

lembaga Diklat di luar Kementerian Sosial; (b) Dapat menye-

lenggarakan Diklat jabatan fungsional Pekerja Sosial yang

belum secara optimal tepat sasaran dan waktu untuk mendu-

kung Diklat yang dipersyaratkan dalam menduduki jabatan

Pekerja Sosial per jenjang jabatan; (c) Dapat untuk meningkat-

kan kompetensi Pekerja Sosial yang diperlukan dalam pelak-

sanaan pelayanan sosial dan pengembangan kualitas pelaya-

nan sosial; (d) Dapat untuk meningkatkan kompetensi pimpi-

nan dan pengelola unit pembina Jabatan Fungsional Pekerja

Sosial dalam mendukung pelaksanaan pelayanan sosial dan

pengembangan kualitas pelayanan sosial; (e) Dapat untuk

meningkatkan kinerja institusi dalam melaksanakan pemba-

ngunan kesejahteraan sosial, karena didukung oleh adanya

Pekerja Sosial yang berkompeten dan profesional.

Terkait dengan tugas pokok Pekerja Sosial di Panti

Sosial adalah melaksanakan pelayanan sosial mulai dari

pendekatan awal, asesmen, rencana intervensi, intervensi,

evaluasi (terminasi,rujukan), bimbingan dan pembinaan lanjut.

Pekerja Sosial secara keseluruhan belum optimal dan

belum profesional dalam melaksanakan tugas tersebut,

karena para Pekerja Sosial yang diangkat menduduki Jabatan

Fungsional Pekerja Sosial umumnya tidak berlatar belakang

pendidikan profesi pekerjaan sosial.

Jumlah Pekerja Sosial yang bertugas di Panti Sosial baik

yang bekerja pada Unit Pelaksana Teknis Kementerian Sosial

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 140: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

123

maupun Unit Pelaksana Teknis Daerah secara keseluruhan

belum mencukupi dibandingkan dengan rasio jumlah perma-

salahan sosial yang ada dan Pekerja Sosial yang bertugas di

Unit Pelaksana Teknis Pusat maupun Unit Pelaksana Teknis

Daerah, dalam melaksanakan tugasnya sebagian besar tidak

sesuai dengan jabatan dan kepangkatannya.

Evaluasi, telah dilakukan secara berkala terhadap

kinerja Pekerja Sosial di panti-panti sosial milik Pusat dan

Daerah. Diperoleh hasil bahwa Pekerja Sosial banyak yang

melakukan tugas pada jenjang lain, dikarenakan terbatasnya

pemahaman tentang apa yang menjadi tugas dan tanggung

jawab dari para Pekerja Sosial. Disamping itu juga banyak

Panti Sosial tidak memiliki Pekerja Sosial yang terampil

khususnya Panti Sosial Pemda, diikuti dengan persoalan

Sumber Daya Manusia yang belum memenuhi jumlah maupun

jabatan yang harus diduduki sesuai dengan jenjang

jabatannya.

Berkaitan dengan koordinasi, telah melakukan koordi-

nasi dengan Direktur di lingkungan Direktorat Jenderal Pelaya-

nan dan Rehabilitasi Sosial dalam rangka mengevaluasi

implementasi kebijakan tentang Pekerja Sosial, khususnya

terkait dengan pelaksanaan pelayanan sosial di dalam Panti

Sosial.

Dari berbagai data yang diperoleh di Pusdatin dan ber-

dasarkan pengamatan Ditjen Yanrehsos yang dilakukan di

panti-panti sosial dan di Direktorat, mutu Pekerja Sosial masih

rendah dalam melakukan tugasnya, hal ini disebabkan adanya

beberapa faktor yang mempengaruhi antara lain: (a) Pada

umumnya latar belakang pendidikan para Pekerja Sosial tidak

berprofesi pekerjaan sosial; (b) Kurangnya pelatihan tentang

teori pekerjaan sosial yang diperlukan oleh petugas sesuai

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 141: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

124

dengan jenjang yang dimiliki; (c) Kemampuan untuk belajar

dan menekuni pekerjaan terbatas karena seolah-olah Pekerja

Sosial itu adalah merupakan jabatan nomor dua dibanding

dengan jabatan struktural.

Saran-saran dan pemikiran untuk meningkatkan mutu

Pekerja Sosial baik secara kualitatif maupun kuantitatif antara

lain: (a) Perlunya peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia

(SDM) melalui jalur pendidikan formal maupun informal;

(b) Rekruitmen pegawai dalam Jabatan Fungsional Pekerja

Sosial sebaiknya disesuaikan dengan kebutuhan lembaga;

(c) Penempatan pegawai dapat disesuaikan dengan kejuruan

yang dimiliki; (d) Pengangkatan pada Jabatan Fungsional

Pekerja Sosial sebaiknya melalui seleksi, sehingga tidak

melenceng dengan tugas yang harus dilaksanakan; (e) Dalam

melakukan pelayanan dan rehabilitasi sosial secara profesio-

nal diperlukan suatu prinsip dan metode; (f) Diklat-Diklat yang

dilakukan oleh Kementerian Sosial sebaiknya dapat dianggar-

kan secara rutin, sehingga dapat menyerap dan menfasilitasi

kebutuhan pegawai khususnya fungsional Pekerja Sosial.

Terkait Tim PAK, bahwa Tim PAK belum ada maupun

belum di fungsikan di masing-masing Panti Sosial di setiap

Unit Pelaksana Teknis. Tugas penilaian terhadap angka kredit

Jabatan Fungsional Pekerja Sosial masih di emban oleh Biro

Organisasi dan Kepegawaian yang berhubungan langsung

dengan para Kasubag Tata Usaha Panti Sosial dan mengirim-

kan rincian tugas dan kegiatan yang dilakukan oleh Pekerja

Sosial ke Sekretariat Direktorat Jenderal Pelayanan dan

Rehabilitasi Sosial dan selanjutnya diteruskan ke Biro

Organisasi dan Kepegawaian.

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 142: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

125

Dr. Marjuki (Kepala Badan Pendidikan dan Penelitian Kessos).

Dalam upaya peningkatan mutu Pekerja Sosial, sebagai

unit pembina pengembangan SDM Pekerja Sosial, Badiklit

Kesos telah menerbitkan kebijakan antara lain: (a) Pada tahun

2005 telah membuat Rencana induk pengembangan Jabatan

Fungsional Pekerja Sosial 2005-2010 yang ruang lingkupnya

meliputi pengangkatan awal (rekruitmen), pengembangan dan

pendayagunaan serta pemberian penghargaan bagi Pekerja

Sosial, baik yang bertugas pada instansi/lembaga-lembaga

pelayanan sosial pemerintah, masyarakat termasuk pergu-

ruan tinggi dan dunia usaha yang berstatus PNS dan diangkat

dalam Jabatan Fungsional Pekerja Sosial; (b) Menindaklanjuti

SK Menteri Sosial RI Nomor 43/HUK/2007 Tentang Pedoman

Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial,

maka sebagai acuan untuk mengoperasionalisasikan Keputu-

san Menteri Sosial RI di atas, telah disusun standarisasi dan

akreditasi penyelenggaraan Diklat bagi pejabat fungsional

Pekerja Sosial sebagai acuan, pedoman atau patokan bagi

lembaga-lembaga Diklat dalam menyelenggarakan pengem-

bangan. Sumber Daya Manusia (SDM) pembangunan sosial

melalui pendidikan dan pelatihan (Diklat) bagi pejabat fungsio-

nal Pekerja Sosial, sehingga terwujud keseragaman penye-

lenggaraan Diklat diseluruh Indonesia dan keberlangsungan

(sustainabelity) pelaksanaan Diklat Jabatan Fungsional Pe-

kerja Sosial; (c) Telah diterbitkan Keputusan Kepala Badan

Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial tentang Pe-

doman Penyelenggaraan Pendidikan dan Penelitian Jabatan

Fungsional Pekerja Sosial sehingga memberi kejelasan dan

kemudahan dalam menyelenggarakan Diklat dimaksud.

Secara empiris implementasi SK Menteri Sosial Nomor:

43/HUK/2007 Tentang Pedoman Pendidikan dan Pelatihan

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 143: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

126

Jabatan Fungsional Pekerja Sosial terkait pada: Standarisasi,

dan telah dilakukan khususnya di lembaga Diklat di 6 Balai

Besar Diklat Unit Pelaksana Teknis Badiklit Kesos, tentunya

disesuaikan dengan kemampuan kelembagaan di masing-

masing Unit Pelaksana Teknis, Diklat Jabatan Fungsional

Pekerja Sosial telah melakukan seleksi secara ketat berkaitan

dengan kualifikasi calon peserta didik disesuaikan dengan

Diklat-Diklat penjenjangan dan dapat terlaksana sesuai

kebutuhan kurikulum Diklat bersangkutan, Output Diklat

menghasilkan kompetensi dasar para Pekerja Sosial pada

aspek pengetahuan, keahlian/keterampilan dan sikap

profesional para alumni Diklat untuk dapat dikembangkan

dalam praktik pelayanan dan kualitas pelayanan sosial di

masing-masing unit kerja. Kompetensi akan optimal bilamana

dalam implementasinya Pekerja Sosial diberikan peluang dan

kesempatan yang sama dengan berbagai elemen di unit kerja

disertai dengan kejelasan otoritas dan fasilitas yang memadai

untuk menunjang tupoksinya.

Kompetensi pimpinan dan pengelola unit pembina jaba-

tan fungsional juga perlu ditingkatkan sejalan dengan tuntutan

pelaksanaan pelayanan sosial dan pengembangan kualitas

pelayanan sosial, karena fungsi-fungsi manajerial dan monito-

ring evaluasi dapat berkembang menyesuaikan meningkat-

nya kompetensi para tenaga fungsional Pekerja Sosial.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Pencapaian

kinerja optimal institusi dapat dibangun dari SDM yang unggul

melalui pendidikan dan pelatihan agar dapat menguasai

pengetahuan, keahlian/keterampilan dan sikap professional.

Selama ini ditengarai tupoksi Pekerja Sosial dalam

melaksanakan tahapan pelayanan sosial masih dimaknai

sebagai tugas teknis dan administrasi yang merupakan

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 144: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

127

perpanjangan dari juklak dan juknis pelayanan sosial. Tahapan

pelayanan belum dilihat dari kedalaman dan otonomi profesi

pekerjaan sosial yang mensyaratkan latar belakang pendidi-

kan khusus, kompetensi dan disupervisi oleh seorang ahli/

praktisi Pekerja Sosial professional.

Ironisnya keberhasilan intervensi pekerjaan sosial

dalam setiap tahapan hanya berorientasi pada target-target

fisik dan administrasi dari suatu program/kegiatan, bukan

target fungsional klien.

Kondisi riil di lapangan terlihat Pekerja Sosial pada

dasarnya sudah melaksanakan enam tahapan proses

pelayanan sosial mulai dari pendekatan awal, asesmen,

rencana intervensi, intervensi, evaluasi, terminasi dan

bimbingan lanjut, namun pada implementasi di lapangan

masih banyak Pekerja Sosial yang belum melaksanakan

tahapan-tahapan kegiatannya secara profesional dan

didukung pengetahuan (kompetensi yang dimilikinya).

Formasi Pekerja Sosial yang bekerja di Panti-Panti

Sosial masih belum terlaksana secara merata, sejumlah

Pekerja Sosial masih belum memenuhi standar ideal bagi

Panti-Panti Sosial, masih ada Panti Sosial yang baru memiliki

1 bahkan 3 Pekerja Sosial sedangkan klien yang harus

ditangani rata-rata 100 s/d 150 orang. Dengan demikian perlu

kiranya penataan kembali tentang formasi Pekerja Sosial

untuk masing-masing panti sehingga pelayanan bagi klien

dapat terlayani secara maksimal dengan rasio yang ideal.

Dari laporan dan pengusulan angka kredit yang dinilai

oleh Badiklit, masih terlihat pelaksanaan tugas pekerjaan yang

dilakukan oleh Pekerja Sosial, masih belum maksimal dilaksa-

nakan sesuai jenjang jabatan dan kepangkatannya dan masih

banyak tugas Pekerja Sosial dilakukan oleh berbagai jenjang

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 145: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

128

jabatan dan kepangkatan. Hal ini terjadi karena belum baiknya

penataan formasi Pekerja Sosial, juga karena pelaksanan

bimbingan teknis bagi Pekerja Sosial belum maksimal.

Terkait dengan mutu Pekerja Sosial, memang masih

rendah, karena antara lain sekali lagi disebabkan sebagian

besar Pekerja Sosial yang ada di lingkungan Kemeterian

Sosial latar belakang pendidikannya non pekerjaan sosial

(jurusan kesejahteraan sosial).

Evaluasi selalu dilaksanakan secara berkala setiap tahun

terhadap kinerja alumni Diklat dengan menggali data dan

informasi berkaitan dengan kinerja Pekerja Sosial kepada

atasan/pimpinan institusi, rekan sekerja dan alumni. Hasil

evaluasi diketahui antara lain: (1) Pada umumnya alumni Diklat

merasakan manfaat Diklat yang diikuti dengan bertambahnya

pengetahuan/wawasan, keahlian dan keterampilan bidang

pelayanan sosial; (2) Secara kelembagaan, pimpinan dan rekan

sekerja di panti (UPT/UPTD) menilai positif perubahan/

peningkatan kinerja alumni walaupun masih terkendala

kesesuaian penempatan bidang tugas dengan spesialisasi

keahlian yang diperoleh dari Diklat; (3) Hasil evaluasi telah

ditindaklanjuti dengan penyempurnaan kurikulum Diklat yang

sesuai dengan kebutuhan riil di lapangan baik dalam aspek

lama/waktu Diklat dan muatan kurikulum inti dan penunjang.

Kegiatan tersebut diawali dengan melakukan Training Need

Assesment (TNA), pembuatan modul-modul Diklat, seminar

dan lokakarya alumni Diklat; (4) Koordinasi antar unit kerja

eselon 1 (UKE 1) Kementerian Sosial telah dilakukan dengan

penyampaian informasi dan jejaring kerja sama melalui media

seminar dan loka karya yang dilaksanakan oleh Unit Pelaksana

Teknis Badiklit Kesos dengan melibatkan unsur-unsur eksekutif

dan legislatif pada Pemda Provinsi, Kabupaten/Kota yang

menjadi wilayah kerja Unit Pelaksana Teknis bersangkutan.

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 146: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

129

Selain itu dari rapat koordinasi para pejabat fungsional di

lingkungan Badiklit Kesos, hasilnya antara lain: (a) Kesepaka-

tan dengan Pemda Provinsi, Kabupaten/Kota untuk mengalo-

kasikan SDM-nya untuk menjadi Pekerja Sosial di Unit Pelak-

sana Teknis Daerah pada Panti-Panti Sosial meskipun dalam

jumlah terbatas karena kecilnya APBD; (b) Terciptanya jejaring

kerjasama dalam bentuk kesepakatan kerja sama (MOU)

dengan Pemda dalam rangka peningkatan SDM Pekerja

Sosial di daerah melalui Diklat, penelitian dan pengembangan

pelayanan sosial dan penjaringan calon peserta pendidikan

tinggi kedinasan jenjang S1 dan S2 di STKS Bandung.

(c) Secara internal Kementerian Sosial telah menghasilkan

integrasi kebijakan pengembangan SDM Pekerja Sosial baik

secara formal dan non formal melalui Ditjen Yanrehsos, Biro

Organisasi dan Kepegawaian, Pusdiklat dan Balai-Balai Besar

Diklat, STKS serta Penelitian dan Pengembangan Pelayanan

Sosial; d) Hasil penelitian menunjukkan faktor-faktor yang

mempengaruhi rendahnya mutu Pekerja Sosial antara lain:

(1) Ketidakjelasan otoritas profesi berkaitan bidang tugas baik

dalam pelayanan sosial (direct service) maupun pengemba-

ngan pelayanan sosial (indirect service), hal ini ditunjukkan

belum adanya kejelasan pembagian ranah/fungsi manajerial

(struktural) sebagai supporting system dan spesialisasi tugas

(fungsional) sebagai tulang punggung pelayanan sosial;

(2) Fasilitas kerja seperti ATK, biaya operasional, alat transpor-

tasi dan lain-lain kurang memadai; (3) Belum terciptanya

hubungan yang sinergis dan harmonis antara Pekerja Sosial

dengan pejabat struktural serta pejabat fungsional lainnya,

karena keterbatasan pemahaman tupoksi, distribusi dan

reposisi peran; (4) Terbatasnya pemahaman dan kemampuan

Pekerja Sosial pada berbagai jenjang, khususnya jenjang

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 147: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

130

Pekerja Sosial ahli, selama ini Pekerja Sosial hanya berorien-

tasi pada pelayanan sosial langsung kepada klien (direct

service), sedangkan kemampuan pada jenjang ahli yang

memerlukan “specialized knowledge” dengan persiapan

waktu dan akademis yang panjang dan intensif seperti

pengembangan kualitas pelayanan kesejahteraan sosial dan

pengembangan profesi sangat terbatas.

Ka.Badiklit memfokuskan pada rekruitmen awal sebagai

entry point menentukan mutu Pekerja Sosial. Rendahnya mutu

Pekerja Sosial selama ini ditengarai karena input SDM tidak

memiliki kualifikasi dan kompetensi sebagai seorang Pekerja

Sosial profesional yang ditandai dengan latar belakang

pendidikan non profesi.

Terkait penilaian angka kredit, bahwa nilai angka kredit

untuk setiap butir kegiatan Pekerja Sosial tidak proporsional

dan tidak semua bentuk kegiatan Pekerja Sosial di panti dapat

diberikan angka kredit. Kondisi tersebut lebih sulit lagi apabila

pejabat penilai angka kredit kurang memahami terhadap

bidang tugas Pekerja Sosial dan angka kreditnya sesuai

dengan Keputusan Menpan Nomor KEP/03/M.PAN/1/2004.

Armay, SH, M.Hum, MM (Kepala Biro Organisasi dan Kepegawaian)

Kondisi riil di lapangan melihat kinerja dan tingkat kom-

petensi Pekerja Sosial yang bekerja di panti pada dasarnya

mereka sudah melaksanakan 6 tahapan proses pelayanan

sosial mulai dari pendekatan awal, assessment, rencana inter-

vensi, intervensi, evaluasi, terminasi dan bimbingan lanjut.

Pada implementasinya di lapangan masih banyak

Pekerja Sosial yang belum melaksanakan tahapan-tahapan

kegiatannya secara profesional dan didukung pengetahuan

(kompetensi yang dimilikinya) hal tersebut dikarenakan masih

banyaknya latarbelakang Pekerja Sosial yang tidak memiliki

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 148: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

131

background pendidikan yang mendukung (non-Peksos), hal ini

sama dengan yang disampaikan Dr. Marjuki dan Dr. Makmur

Sunusi.

Formasi Pekerja Sosial yang bekerja di panti-panti masih

belum terlaksana secara merata, jumlah Pekerja Sosial masih

belum memenuhi standar ideal bagi panti-panti.

Dari laporan dan pengusulan angka kredit yang masuk

dan dinilai oleh Biro Orpeg (Organisasi dan Kepegawaian),

masih terlihat pelaksanaan tugas yang dilakukan oleh Pekerja

Sosial masih belum maksimal sesuai dengan jenjang jabatan

dan kepangkatannya.

Realitanya masih banyak pelaksanaan tugas Pekerja

Sosial dilakukan oleh berbagai jenjang jabatan dan kepang-

katan, karena hal ini disamping belum baiknya penataan

formasi Pekerja Sosial juga pelaksanan bimbingan teknis bagi

Pekerja Sosial belum maksimal.

Biro Organisasi dan Kepegawaian mempunyai data

bahwa sebagian besar Pekerja Sosial yang ada di lingkungan

Kementerian Sosial latarbelakang pendidikannya bukan

pekerjaan sosial (jurusan kesejahteraan sosial).

Disimpulkan bahwa dalam prakteknya Pekerja Sosial

melaksanakan tupoksinya masih sangat tergantung dari

kemauan para pemimpin lembaga dan tenaga lain yang ada di

dalam Panti Sosial. Bagi lembaga yang memiliki pimpinan

yang mendukung dan memberikan penghargaan terhadap

Pekerja Sosial maka peran Pekerja Sosial akan terlihat. Tetapi

sebaliknya, maka Pekerja Sosial hanya akan menjadi simbol

dan syarat suatu organisasi.

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 149: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

132

Direktur Di Lingkungan Ditjen Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial

Bagaimana dengan pendapat para stakeholder yaitu

Direktur di lingkungan Ditjen Yanrehsos, bahwa Direktorat di

lingkungan Ditjen Yanrehsos telah melakukan evaluasi secara

reguler terhadap pelayanan sosial yang dilakukan oleh Pekerja

Sosial, bersama dengan Kepala Panti Sosial Unit Pelaksana

Teknis Kementerian Sosial, melalui berbagai pertemuan,

demikian juga koordinasi sudah dilaksanakan walaupun

sifatnya masih reaksional jika ada kebutuhan dan masalah

yang dihadapi terkait pelayanan dalam Panti Sosial. Terkait

masa depan Pekerja Sosial, kepada mereka perlu terus

menerus diberikan motivasi. Sistem peluang mutasi diagonal

juga harus diwujudkan sehingga masa depan Pekerja Sosial

semakin terbuka.

Disamping itu juga banyak Panti Sosial tidak memiliki

Pekerja Sosial yang terampil khususnya Panti Sosial milik

Pemda, dengan Sumber Daya Manusia yang belum memenu-

hi jumlah maupun jabatan yang harus diduduki sesuai dengan

jenjang jabatannya.

Terkait dengan keberadaan Tim PAK yang sangat pen-

ting untuk penilaian angka kredit bagi Pekerja Sosial, umum-

nya sudah berfungsi di Panti Sosial milik Kementerian Sosial.

Keberfungsian Tim PAK pada unit kerja Panti Sosial atau

instansi di atasnya ternyata belum optimal dan terkesan bahwa

tim tersebut hanya menilai angka kredit yang disodorkan oleh

Kepala Panti Sosial tanpa disesuaikan dengan jenjang jabatan

Pekerja Sosial di setiap Unit Pelaksana Teknis dan ditangani

langsung oleh Biro Organisasi dan Kepegawaian.

Untuk masa mendatang diharapkan sesuai dengan

ketentuan, Tim PAK seharusnya sudah terbetuk di setiap Panti

Sosial dan di setiap Direktorat masing-masing, untuk mem-

bantu kelancaran dalam mengusulkan angka kredit.

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 150: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

133

Saran-saran dan pemikiran para Direktur Ditjen Yanreh-

sos, serta upaya yang perlu dilakukan untuk meningkatkan

mutu Pekerja Sosial baik secara kualitatif maupun kuantitatif:

Pertama, perlunya pengangkatan CPNS yang secara

langsung diangkat menjadi tenaga Pekerja Sosial pada Unit

Pelaksana Teknis. Hal ini untuk memenuhi jumlah Pekerja

Sosial sesuai dengan rasio klien yang ada.

Kedua, perlu adanya monitoring maupun pembekalan

dari sekelompok Tim untuk memberikan penyegaran tentang

ilmu pekerjaan sosial sekaligus memantau pelaksanaan tugas

Pekerja Sosial. Disisi lain mereka dapat berkonsultasi apabila

menemui hambatan dalam pelaksanaannya.

Ketiga, Diklat penjenjangan bagi Pekerja Sosial harus

benar-benar terseleksi. Jadi tidak semua yang terdaftar dapat

mengikutinya demikian pula dengan kelulusannya.

Keempat, perlu adanya penegasan bagi Kepala Panti

Sosial untuk lebih memberikan perhatian atas laporan dari

setiap Pekerja Sosial, sehingga laporan tersebut benar-benar

sesuatu yang mereka kerjakan bukan hanya mengcopi dari

Pekerja Sosial lainnya.

Apa yang dilakukan para Direktur di lingkungan Ditjen

Yanrehsos dalam upaya meningkatkan mutu Pekerja Sosial

dalam melaksanakan tugas pelayanan sosial di Panti Sosial,

antara lain adalah menyusun buku panduan dan menerbitkan

kebijakan sebagai pedoman teknis bagi Pekerja Sosial yang

melaksanakan tugas fungsional di Panti Sosial.

Langkah lain yang dilakukan adalah pembinaan teknis

secara berkala terhadap Pekerja Sosial untuk menumbuhkan

semangat dalam bekerja, kepercayaan diri sebagai pejabat

fungsional yang harus mandiri dan terampil baik di lingkungan

panti maupun di masyarakat.

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 151: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

134

Ka. Balai Besar Diklat Kessos (6 wilayah: Bandung, Yogyakarta,

Makasar, Banjarmasin, Padang, Jayapura).

Bagaimana dengan penyelenggaraan/implementasi

Pedoman Diklat bagi tenaga fungsional Pekerja Sosial

(Permensos Nomor: 43/HUK/2007), maka telah dimintakan

pendapat dan tanggapan secara tertulis kepada Kepala Balai

Besar Diklat Kessos di 6 cluster dan berikut ini rangkuman

pendapat Kepala BBPPKS Bandung, Yogyakarta, Makassar,

Padang, Banjarmasin dan Jayapura.

Penjelasan tentang adanya Keputusan Menteri Sosial

Nomor 43/HUK/2007 tentang Pedoman Pendidikan dan Pela-

tihan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial sebagai berikut,

sampai dengan tahun 2009, BBPPKS belum menyelenggara-

kan Diklat Jabatan Fungsional Pekerja Sosial (JFPS) yang

mengacu pada Keputusan Menteri Sosial Nomor 43/HUK

/2007 tentang Pedoman Pendidikan dan Pelatihan Jabatan

Fungsional Pekerja Sosial.

Kepmensos Nomor 43/HUK/2007 tentang Pedoman

Pendidikan dan Pelatihan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial

telah cukup memberikan kerangka landasan dalam mewujud-

kan standardisasi penyelenggaraan Diklat Jabatan Fungsional

Pekerja Sosial.

Melalui pendidikan dan pelatihan yang dilaksanakan ter-

lihat adanya peningkatan kemampuan para Pekerja Sosial di

Panti Sosial dalam melaksanakan pelayanan sosial. Namun

demikian untuk memperluas kemampuan tersebut masih perlu

terus diupayakan Diklat yang mampu menjangkau Pekerja

Sosial secara keseluruhan dan terkait juga jumlah Pekerja

Sosial yang bertugas di Panti Sosial masih perlu ditingkatkan

untuk dapat memenuhi rasio yang ideal. Secara umum Pekerja

Sosial yang bekerja di Panti Sosial telah melaksanakan

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 152: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

135

tugasnya sesuai dengan jenjang jabatan dan kepangkatan-

nya. Namun demikian dalam beberapa hal masih terjadi

tumpang tindih pelaksanaan tugas yang antara lain disebab-

kan oleh terbatasnya jumlah Pekerja Sosial.

Latar belakang terjadinya kondisi yang menunjukkan

bahwa sebagian besar Pekerja Sosial tidak berlatar belakang

pendidikan kesejahteraan sosial, adalah besarnya minat

pegawai yang berlatar belakang pendidikan pekerjaan sosial

untuk berkarir dalam jabatan struktural. Oleh karena itu, untuk

meningkatkan profesionalitas mereka perlu terus diupayakan

pendidikan dan pelatihan dasar Pekerja Sosial.

Hasil evaluasi Diklat yang diikuti Pekerja Sosial menun-

jukkan bahwa Diklat dimaksud dapat membantu Pekerja Sosial

dalam mengubah secara positif pengetahuan dan sikap dalam

pelayanan sosial, tetapi belum terjadi perubahan keterampilan

dalam melakukan pelayanan sosial. Kondisi tersebut menye-

babkan belum terjadinya perubahan kinerja Pekerja Sosial ke

arah yang lebih baik dalam melakukan pelayanan sosial.

Pelaksanaan koordinasi yang berkaitan jenjang Diklat

fungsional Pekerja Sosial, hasilnya adalah: (a) Pengembangan

kurikulum dengan modul Pekerja Sosial; (b) Jadwal pelaksa-

naan pelatihan; (c) Pelaksanaan pelatihan melalui Diklat peme-

rintah daerah; (d) Pelaksanaan evaluasi, motivasi terhadap

pelaksanaan Diklat Pekerja Sosial. Pelaksanaan jenjang Diklat

fungsional Pekerja Sosial meliputi Diklat sertifikasi Pekerja

Sosial, PDPS, Pekerja Sosial terampil dan Pekerja Sosial ahli.

Hasil koordinasi dengan Pusdiklat tentang Diklat Fung-

sional Pekerja Sosial adalah sebagai berikut: Pusdiklat ber-

tanggungjawab dalam hal TOT, kurikulum dan modul serta

penerbitan sertifikat, Balai Besar sebagai penyelenggara Diklat

sertifikat penjenjangan sehingga dalam pelaksanaannya selalu

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 153: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

136

berkoordinasi dengan Pusdiklat Kesos dalam penerbitan serti-

fikat dan pelaksanaan ujian.

Untuk peningkatan mutu Pekerja Sosial, langkah-

langkah secara kualitatif yang dilakukan oleh BBPPKS adalah:

(a) Pekerja Sosial perlu mengikuti Diklat penjenjangan sesuai

dengan Kepmensos Nomor 43/HUK/2007 tentang Pedoman

Diklat Jabatan Fungsional; (b) Pekerja Sosial perlu diberikan

literatur-literatur agar mereka dapat mengetahui perkemba-

ngan. Perlu internet pada Diklat terkait.

Secara kuantitatif: (a) Perlu melaksanakan sosialisasi

keseluruh daerah di Indonesia, karena masih banyak daerah

yang belum mengetahui tentang Pekerja Sosial, selain banyak

pihak PNS yang berkemampuan untuk menjadi tenaga fung-

sional Pekerja Sosial; (b) Perlu segera membentuk Tim PAK di

daerah; (c) Balai besar diberikan legalitas untuk melakukan

sosialisasi dengan disertai literatur dan brosur tentang Pekerja

Sosial. Tim PAK belum menyeluruh ada di daerah dan belum

berfungsi termasuk di Panti Sosial dan perlu dilakukan sosiali-

sasi serta diberikan buku-buku dan brosur tentang jabatan

fungsional Pekerja Sosial dengan Tim PAK nya.

Dalam mengikuti pelatihan, belum seluruh Pekerja

Sosial telah mengikuti Diklat menurut jenjang pangkatnya,

terutama bagi Pekerja Sosial yang bekerja pada Panti Sosial

pemerintah daerah, hal ini dipengaruhi antara lain karena

Diklat Jabatan Fungsional Pekerja Sosial selama ini masih

kurang dan terbatas.

Hal lain yang menyebabkan belum berfungsi secara

maksimal dalam proses PAK, karena masih cenderung

mencermati persyaratan administrasi dari pada substansial.

Hal tersebut karena lemahnya kompetensi anggota Tim dalam

menilai angka kredit Pekerja Sosial.

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 154: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

137

C. Evaluasi Hasil Pelaksanaan Kebijakan Tentang Mutu

Pekerja Sosial.

Untuk mengetahui apakah mutu Pekerja Sosial dalam

kaitannya dengan hasil pelaksanaan kebijakan tentang

Pekerja Sosial sesuai dengan standar pelayanan sosial di

Panti Sosial Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah pada

periode 2004-2009, salah satu langkah yang dilakukan adalah

melaksanakan “Workshop tentang mutu pelayanan sosial di

Panti Sosial oleh Pekerja Sosial” dilanjutkan dengan Focus

Group Discussion (FGD), yang dihadiri sebanyak 250 Kepala

Panti Sosial Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (UPT

dan UPTD), pada tanggal 8 - 9 November 2009, di Balai Besar

Diklat Kessos Yogyakarta, dengan merekam sudut pandang

dan pemikiran yang disampaikan oleh Menteri Sosial, Direktur

Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, para Direktur di

lingkungan Ditjen Yanrehsos, masukan dan saran dari para

Kepala Panti Sosial Pemerintah Pusat dan Daerah.

Dr. Salim Segaf Aljufri, MA ( Menteri Sosial RI).

Beri yang terbaik untuk bangsa dengan metode/cara

yang lebih up to date; Kondisi masyarakat cukup memprihatin-

kan, penyakit fisik, psikososial, dan keterlantaran. Kondisi

hidup mereka disabilitas baik fisik, mental, intelektual, sosial

maupun psikososial sehingga keberfungsian sosial mereka

tidak sempurna.

Oleh karena itu, mereka memerlukan pelayanan sosial

yang sesuai melalui panti sosial sebagai salah satu pilihan

kebijakan. Panti sosial sebagai tumpuan terakhir; Lansia

semakin meningkat, mendekati angka 8,5% atau sekitar 1,7

juta lansia terlantar; Kementerian Sosial telah membangun

berbagai sarana dan prasarana fisik panti sosial sebagai pusat

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 155: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

138

kesejahteraan sosial yang dirancang untuk memberikan pela-

yanan sosial kepada Penyandang Masalah Kesejahteraan

Sosial (PMKS) terutama orang dengan kecacatan, anak

terlantar, lanjut usia, tuna sosial dan lain-lain sebanyak 200

unit panti sosial yang tersebar di seluruh provinsi pada tahun

1999. Jumlah itu belum termasuk Loka Bina Karya (LBK)

sebanyak 350 unit yang dirancang sebagai fasilitas untuk

meningkatkan keterampilan vokasional penyandang cacat

untuk mencapai kemandirian.

Namun seiring dengan penyelenggaraan Otonomi

Daerah, hampir semua Panti Sosial (190 unit) dan semua LBK

diserahkan kepada Pemerintah Daerah dan saat ini dikelola

oleh Dinas Sosial. Kalau Panti Sosial UPTD (Unit Pelaksana

Teknis Daerah) itu dikelola dengan baik, sebagian permasa-

lahan kesejahteraan sosial sudah dapat diselesaikan di

peringkat daerah.

Kementerian Sosial saat ini dengan hanya memiliki 35

unit panti sosial tidak mungkin memenuhi kebutuhan rehabili-

tasi sosial kepada PMKS, kecuali kerjasama dengan Pemerin-

tah Daerah. Menyusul penyerahan panti sosial, Kementerian

Sosial mengeluarkan Keputusan Menteri Sosial Nomor 50/

HUK/2004 tentang Standarisasi Panti dengan tujuan untuk

menjaga agar kualitas pelayanan sosial yang dilakukan oleh

panti sosial daerah tetap terpelihara.

Standar panti ini diharapkan menjadi rujukan panti sosial

agar kualitas pelayanan sosial yang kita berikan kepada yang

berhak dapat memenuhi kebutuhan klien. Setelah satu dekade

desentralisasi pelayanan sosial dari pusat ke daerah, pada

pertemuan kepala panti seluruh Indonesia ini adalah waktu

yang tepat untuk mengevaluasi apakah standar panti itu tetap

prima dan apakah standar pelayanan sosial tetap terjaga?

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 156: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

139

Komitmen yang kami bangun di Kementerian Sosial

adalah terus memberikan perhatian kepada panti sosial eks

pusat sekalipun sudah menjadi milik daerah, karena secara

fungsional kami masih memiliki tanggung jawab untuk membe-

rikan pembinaan fungsional. Hal ini penting mengingat kebija-

kan pusat dalam hal rehabilitasi sosial harus diimplemen-

tasikan oleh Dinas Sosial.

Dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009

tentang Kesejahteraan Sosial, semakin memperkuat posisi

dan peran Dinas Sosial untuk menyelenggarakan kesejahte-

raan sosial. Evaluasi standar tersebut meliputi 6 aspek, yaitu:

kelembagaan, SDM, sarana dan prasarana, pembiayaan,

pelayanan sosial dasar, monitoring dan evaluasi. Implemen-

tasi keenam aspek manajemen panti sosial itu dapat didisku-

sikan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan sosial.

Diberlakukannya Undang Undang Nomor 22 Tahun

1999 tentang Pemerintahan Daerah, hampir semua Panti

Sosial dan LBK milik Kementerian Sosial termasuk di dalam-

nya personil, perlengkapan, pembiayaan maupun dokumen-

tasi diserahkan sepenuhnya kepada daerah dan menjadi panti

sosial sebagai UPTD.

Dalam perkembangannya, jangkauan dan kualitas pela-

yanan sosial bagi PMKS tampaknya mengalami penurunan

disebabkan kurangnya dukungan pemerintah daerah terha-

dap penyediaan sumber daya manusia, perlengkapan,

teknologi, penganggaran, manajemen dan organisasi.

Kedepan tidak boleh ada lagi alih fungsi panti sosial,

karena bila hal itu terjadi hanya akan mempersempit ruang

lingkup Dinas Sosial. Oleh karena itu, Dinas Sosial harus

mampu memperjuangkan dukungan anggaran lebih besar

melalui APBD.

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 157: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

140

Sebagaimana kami di pusat (Kementerian Sosial) juga

terus berjuang agar anggaran kesejahteraan sosial meningkat

dalam APBN. Sebab, menurut arahan Bapak Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono dalam Sidang Kabinet Paripuna yang

pertama, agenda utama Kabinet Indonesia Bersatu II adalah:

peningkatan kesejahteraan, pemantapan nilai demokrasi dan

penegakan prinsip keadilan bagi semua warga negara.

Kementerian Sosial sewajarnya menjadi leading sector

bagi program kesejahteraan sosial. Panti sosial pusat dan

daerah diarahkan menjadi pusat pelayanan kesejahteraan

sosial (Care Management Center), yang dapat memperluas

jangkauan pelayanan sosial walaupun dengan kapasitas yang

sangat terbatas. Fungsi panti sosial adalah: (1) memberikan

berbagai jenis pelayanan pencegahan, pemulihan, reintegrasi,

perlindungan dan pengembangan serta menjadi sistem pen-

dukung pelayanan sosial lainnya; (2) menjadi pusat informasi

pelayanan kesejahteraan sosial bagi masyarakat yang mem-

butuhkan; (3) menjadi pusat rujukan bagi panti-panti sosial

milik masyarakat/swasta, terutama bagi klien yang membutuh-

kan pelayanan terpadu atau pengembangan kemampuan

secara optimal; (4) memberikan bantuan teknis dalam pe-

ngembangan program pelayanan panti-panti sosial milik mas-

yarakat/swasta; (5) menjadi pusat konsultasi bagi pengemba-

ngan kapasitas pelayanan panti sosial milik masyarakat/

swasta;(6) menjadi lembaga yang dijadikan sasaran penelitian

bagi kalangan perguruan tinggi; (7) menjadi sarana untuk pe-

ngembangan model-model pelayanan kesejahteraan sosial;

(8) melaksanakan outreaching (perluasan) program bagi

PMKS yang berada di luar panti. Pelayan sosial bagi lanjut

usia, anak terlantar, orang dengan kecacatan, tuna sosial dan

lain-lain, secara tradisional dilakukan oleh keluarga.

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 158: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

141

Kementerian Sosial memberikan pelayanan sosial melalui

panti sosial bagi mereka yang miskin dan terlantar.

Mayoritas masyarakat percaya bahwa pihak keluarga

dapat memberikan perawatan bagi anggota keluarganya yang

mengalami keterbatasan kemampuan tersebut. Tetapi kita

juga menyadari bahwa telah sejak lama pelayanan sosial oleh

keluarga telah menjadi semakin sulit dan menghadapi tanta-

ngan berat. Alasannya adalah: (1) Semakin banyak perem-

puan memiliki pekerjaan di luar rumah sebagai perwujudan

dari peningkatan tingkat partisipasi perempuan dalam berba-

gai aspek kehidupan; (2) Semakin banyak lanjut usia dengan

usia harapan hidup lebih panjang, sementara penyandang

cacat, anak terlantar dan tuna sosial yang membutuhkan pela-

yanan khusus juga semakin banyak; (3) Rasio lanjut usia yang

tinggal dengan anak-anak mereka semakin menurun dengan

cepat, terutama di kota-kota besar dan rasio lanjut usia yang

hidup sebatangkara diperkirakan meningkat signifikan;

(4) Generasi lanjut usia dan generasi anak-anak mereka yang

menginginkan untuk hidup lebih mandiri juga diperkirakan

semakin besar.

Tugas kita antara lain mengubah Panti Tresna Werdha

yang terkesan kusam menjadi “Happy Ending House” atau

“Bait Husnul Khatimah”. Kualitas pelayanan sosial sulit

ditingkatkan mengingat permintaan (demand) jauh lebih tinggi

dibandingkan dengan pasokan (supply). Tetapi, kita tak pernah

kehilangan semangat untuk menghadapi tantangan itu;

revitalisasi dan kebangkitan kembali pelayanan sosial secara

komprehensif melalui panti sosial mari kita canangkan di

Yogyakarta hari ini.

Sejak tahun 1999 tanggung jawab pelayanan sosial

sudah bergeser dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 159: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

142

Daerah dan setiap Dinas Sosial sekarang dalam situasi yang

tepat untuk membuat sebuah Perencanaan Pelayanan Sosial

tahun 2010-2014. Revitalisasi ini kita lakukan dalam kerangka

“Reformasi Desentralisasi.”

Di Indonesia, banyak program peningkatan pelayanan

sosial bagi PMKS berbasis Panti Sosial. Kementerian Sosial

perlu memulai kembali metoda pembangunan yang disebut

sheltered housing atau group home, tempat dimana lanjut usia

melakukan aktivitas sekaligus memperoleh pelayanan sosial

dari komunitas berdasarkan prinsip-prinsip sukarela. Setelah

itu, sistem penyediaan pekerja sosial daerah (kabupaten/kota)

perlu dimulai dan fasilitas pelayanan sosial seperti panti sosial

perlu digairahkan kembali.

Sesuai dengan Rencana Strategis Kementerian Sosial

Tahun 2010-2014, Kementerian Sosial bersama-sama dengan

Dinas Sosial Provinsi dan Kabupaten/Kota perlu bahu mem-

bahu memulai kembali membangun panti sosial untuk

berbagai karakteristik PMKS seperti lanjut usia, anak terlantar,

dan penyandang cacat. Saya kira perencanaan pelayanan

sosial perlu diperluas: bisa dalam bentuk Home Help,

Sheltered Housing, Nursing Homes, Day-Care Center,

Fasilitas Kesehatan bagi Lanjut Usia.

Untuk meningkatkan partisipasi sosial masyarakat

dalam pelayanan sosial bagi lanjut usia, anak terlantar,

penyandang cacat dan lain-lain maka perlu ada pemikiran

dibentuknya Night Patrol dan Day-Care Center, Home Health

Care, Technical Aid, Group Living, Modern Old Age Home.

Sedangkan integrasi antara sektor kesejahteraan sosial

dengan sektor kesehatan dan pendidikan perlu segera direali-

sasikan. Saya akan berdiskusi dengan Menteri Kesehatan dan

Menteri Pendidikan Nasional agar dapat melakukan program

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 160: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

143

terpadu, sehingga semangat “Program 100 Hari Kabinet

Indonesia Bersatu II” lebih terasa. Pertemuan ini menandai

bahwa seluruh jajaran Kementerian Sosial di pusat dan

daerah siap bekerja sejak hari pertama pembentukan kabinet

baru dengan mengakselerasi dan mengoptimalkan program

yang telah berjalan selama ini.

Rekomendasi Workshop dan FGD.

Akhir dari Workshop, dilanjutkan dengan Focus Group

Discussion (FGD), telah digali berbagai pemikiran dan

kesimpulan dalam rangka perbaikan pelaksanaan untuk

meningkatkan mutu pelayanan sosial oleh pekerja sosial di

Panti Sosial, dengan berpedoman pada standar pelayanan

sosial di Panti Sosial yang mencakup kualifikasi pendidikan

Pekerja Sosial.

Kualifikasi pelayanan sosial yang terdiri dari 6 (enam)

tahap yaitu: pendekatan awal-asesmen-rencana intervensi-

intervensi-evaluasi (terminasi, rujukan) bimbingan dan pembi-

naan tindak lanjut, kualifikasi pengembangan kualitas pelaya-

nan kesejahteraan sosial, pengembangan profesi (karya tulis/

karya ilmiah, pembuatan buku/pedoman/juklak/juknis pelaya-

nan kesejahteraan sosial, aktif dalam penerbitan buku dan

mengikuti studi banding di bidang pelayanan kesejahteraan

sosial).

Aspek penunjang standar pelayanan sosial di Panti

Sosial, antara lain adalah: pengajar/pelatih dalam pelayanan

kesejahteraan sosial, aktif dalam seminar/lokakarya bidang

pelayanan kesejahteraan sosial, keanggotaan dalam organi-

sasi Pekerja Sosial, keanggotaan dalam Tim PAK, mempe-

roleh gelar kesarjanaan lainnya dan perolehan penghargaan/

tanda jasa.

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 161: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

144

Pada dasarnya semua Panti Sosial (Unit Pelaksana

Teknis Daerah dan Pusat) memiliki tugas pokok dan fungsi

yang sama yakni memberikan pelayanan sosial kepada PMKS

utamanya penyandang cacat, lanjut usia, anak terlantar dan

lain-lain, dengan menggunakan pendekatan pekerjaan sosial.

Walaupun Panti Sosial eks-pusat yang sudah menjadi

Unit Pelaksana Teknis Daerah, tetapi dalam melaksanakan

tugas pokok dan fungsinya dalam memberikan pelayanan

sosial masih tetap merujuk kepada kebijakan dan program re-

habilitasi sosial yang dikembangkan oleh Kementerian Sosial

melalui Direktorat Jenderal Pelayanan dan Rehabilitasi sosial.

Hal ini menunjukan adanya komitmen yang baik dari peme-

rintah daerah terhadap pembangunan kesejahteraan sosial,

tetapi ini belum cukup untuk meningkatkan mutu Panti Sosial.

Berdasarkan laporan kepala Panti Sosial Unit Pelaksana

Teknis Daerah, kondisi Panti Sosial daerah pada umumnya

sudah tidak layak lagi sebagai sebuah pusat kesejahteraan

sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan PMKS yang semakin

meningkat baik kompleksitas permasalahan kesejahteraan

sosialnya maupun populasinya. Hal ini terjadi karena lemah-

nya dukungan pemerintah daerah dalam aspek finansial,

sumber daya manusia (pekerja sosial), sarana dan prasarana,

fasilitas atau perlengkapan, manajemen, bahkan organisasi.

Untuk mengatasi masalah kelangkaan pekerja Sosial

dalam Panti Sosial Unit Pelaksana Teknis Daerah, adalah

menjadi tanggung jawab Dinas Sosial untuk menyediakan

Pekerja Sosial karena Panti Sosial Unit Pelaksana Teknis

Daerah adalah organisasi yang berada di bawah SKPD

Pemerintah Provinsi dan Kabupaten/Kota. Untuk memenuhi

kebutuhan ini, Kementerian Sosial telah siap membantu dan

membuka akses bagi Dinas Sosial dalam rangka untuk

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 162: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

145

meningkatkan kuantitas dan kualitas SDM terutama penjenja-

ngan profesi pekerjaan sosial (pekerja sosial).

Walaupun peranan sosial keluarga dan komunitas seba-

gai basis utama dalam pelayanan sosial bagi Penyandang

Masalah Kesejahteraan Sosial yang paling membutuhkan,

tetapi keberadaan Panti Sosial tetap sangat diperlukan karena

merupakan sebuah pilihan yang harus tersedia dalam me-

ngantisipasi situasi dimana keluarga dan komunitas tidak

mampu melakukan pelayanan sosial kepada anggota keluar-

ganya yang menjadi PMKS.

Panti Sosial pusat dan daerah di masa yang akan datang

agar diarahkan menjadi pusat pelayanan kesejahteraan sosial

(Care Management Center), yang dapat memperluas jang-

kauan pelayanan sosial walaupun dengan kapasitas yang

sangat terbatas.

Menindaklanjuti kebutuhan akan pedoman atau pan-

duan yang berkaitan dengan pelayanan sosial dalam panti,

akan diupayakan agar direktorat teknis mengirimkan panduan/

pedoman sampai tingkat Unit Pelaksana Teknis Daerah.

Sebaliknya Unit Pelaksana Teknis Daerah dapat berperan aktif

berkoordinasi dengan direktorat teknis Kementerian Sosial.

Terkait dengan kebutuhan pedoman, masukan para

stakeholder di Kementerian Sosial dan dialog dengan Pekerja

Sosial, perlu dibuat kebijakan dalam bentuk Kepmensos yang

mengatur tentang pelayanan sosial di Rumah Sakit dan

Lembaga Pemasyarakatan. Sebab Kepmensos yang ada

substansinya terfokus pada pelayanan sosial di Panti Sosial.

Kepala Panti Sosial diminta memberikan dukungan

dengan komitmen yang kuat untuk mengembangkan lebih lan-

jut Panti Sosial yang ada dalam rangka meningkatkan kinerja

dan mempeluas jangkauan pelayanan sosial kepada PMKS.

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 163: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

146

Menyangkut persoalan keterbatasan Pekerja Sosial

yang dihadapi oleh Panti Sosial Unit Pelaksana Teknis Daerah,

maka bila memungkinkan mengangkat tenaga honorer de-

ngan mengutamakan mereka yang berlatar belakang pendidi-

kan pekerjaan sosial atau kesejahteraan sosial dan untuk itu

Badiklit Kessos Kementerian Sosial memfasilitasi dan mem-

buka kesempatan pelatihan pekerjaan sosial bagi utusan Panti

Sosial Unit Pelaksana Teknis Daerah.

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 164: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

BAB VINDIKATOR EVALUASI

DAN DESKRIPSI HASIL PELAKSANAAN KEBIJAKAN MUTU PEKERJA SOSIAL

147

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 165: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

148

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 166: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

BAB VINDIKATOR EVALUASI

DAN DESKRIPSI HASIL PELAKSANAAN KEBIJAKAN MUTU PEKERJA SOSIAL

ADA bab V ini, akan disajikan indikator evaluasi hasil

Pkebijakan mutu pekerja sosial dan deskripsi hasil

pelaksanaan kebijakan mutu pekerja sosial.

Deskripsi hasil pelaksanaan kebijakan mutu pekerja

sosial dalam rangka memenuhi standar pelayanan sosial di

Panti Sosial disajikan secara lengkap dalam data kuantitatif

berkaitan dengan Latar Belakang Pendidikan, Ketentuan

Jabatan Fungsional Pekerja Sosial (JFPS), Kegiatan Pelaya-

nan Kesejahteraan Sosial Dan Pengembangan Kualitas Pela-

yanan Sosial, Formasi Pekerja Sosial, Penilaian Angka Kredit,

Kompetensi Profesi Pekerja Sosial, Partisipasi Masyarakat

dan Sarana Penunjang Kerja Pekerja Sosial.

A. Indikator Evaluasi Hasil Pelaksanan Kebijakan.

Secara umum, terdapat empat jenis indikator evaluasi

hasil pelaksanaan kebijakan tentang mutu Pekerja Sosial

sebagai berikut: (1) Indikator masukan, mencakup antara lain

kualifikasi pendidikan dari Pekerja Sosial, formasi yang terse-

dia untuk Pekerja Sosial, dukungan anggaran dan sarana yang

tersedia, dan berbagai kebijakan dan peraturan serta perun-

dang-undangan yang berlaku; (2) Indikator proses, efektifitas

149

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 167: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

pelayanan sosial yang dilaksanakan, pengembangan kualitas

pelayanan kesejahteraan sosial, pengembangan profesi

Pekerja Sosial; (3) Indikator keluaran, jumlah klien yang diter-

minasi sesuai dengan rencana program, kualitas/ketrampilan

klien yang diterminasi, monitoring dan evaluasi dan pembi-

naan tindak lanjut; (4) Indikator dampak, antara lain berupa

masa tunggu eks klien (alumni Panti Sosial) mandiri dan

diserap oleh lapangan kerja, pengaruh kelulusan terhadap

lapangan kerja PMKS.

Indikator evaluasi hasil pelaksanaan kebijakan terkait

dengan mutu Pekerja Sosial, meliputi: (1) latar belakang pendi-

dikan Pekerja Sosial; (2) Jabatan Fungsional Pekerja Sosial;

(3) pelayanan sosial dan pengembangan kualitas pelayanan

sosial; (4) Formasi Pekerja Sosial; (5) Penilaian angka kredit

Pekerja Sosial; (6) Kompetensi profesi Pekerjaan Sosial.

150

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 168: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

B. Deskripsi Hasil Pelaksanaan Kebijakan Mutu Pekerja

Sosial.

Adapun deskripsi hasil pelaksanaan kebijakan tentang

mutu pekerja sosial dalam rangka memenuhi standar pelaya-

nan sosial di Panti Sosial Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Daerah sesuai dengan indikator evaluasi hasil kebijakan

disajikan dalam bentuk data-data kuantitatif berikut ini.

1. Pekerja Sosial Di Panti Sosial.

1) Latar Belakang Pendidikan.

Proporsi terbesar (38,05%) adalah berpendidikan

S1 (umumnya pendidikan non kesejahteraan sosial),

diikuti pendidikan SLTA 21,68 %, sedangkan pendi-

dikan DIII dan DIV umumnya dari pendidikan kese-

jahteraan sosial sekitar 17,7%. Sudah ada Pekerja

Sosial yang berpendidikan S2 (4,43%).

151

NO JENJANG PENDIDIKAN F %

1 SLTA 49 21.68

2 SMPS 36 15.93

3 DI 3 1.33

4 DII 2 0.88

5 DIII 20 8.85

6 DIV 20 8.85

7 S1 86 38.05

8 S2 10 4.43

9 S3

JUMLAH 226 100.00

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 169: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

2) Ketentuan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial

(JFPS).

(1) Pemahaman Pekerja Sosial terhadap ketentuan

JFPS, tersaji dalam diagram berikut ini :

44,25% Pekerja Sosial yang bertugas di Panti

Sosial memahami ketentuan JFPS secara utuh

terhadap 6 peraturan yaitu: Keputusan MENPAN No.

45/Menpan/1988 tentang Angka Kredit Bagi Jabatan

Pekerja Sosial, Surat Edaran Bersama Menteri

Sosial dan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian

Negara, Nomor B/C-01-VIII-88/MS, Nomor 17/SE/

1988 tentang Angka Kredit Bagi Jabatan Pekerja

Sosial, Keputusan Menteri Sosial Nomor 10/HUK/

1999 tentang Tata kerja Tim Penilai dan Tata cara

Penilaian Angka Kredit bagi Jabatan Pekerja Sosial.

Keputusan MENPAN Nomor KEP/03/M.PAN /I/2004

tentang JFPS dan Angka Kreditnya, Keputusan

Bersama Menteri Sosial dan Kepala Badan

Administrasi Kepegawaian Negara Nomor 05/HUK/

152

44,25%, 100 org

38,50%, 87 org

5,31%, 12 org2,21%, 5 org

9,73%, 22 org

Diagram 1 . Pemahaman Pekerja Sosial Terhadap

Ketentuan JFPS

Ketentuan nomor 1 s/d 6 Ketentuan nomor 3, 4 dan 5

Ketentuan nomor 2 dan 3 Ketentuan nomor 1

Responden yang tidak menjawab

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 170: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

2004, Nomor 09 Tahun 2004 tentang Petunjuk

Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial

dan Angka Kreditnya, Keputusan Menteri Sosial

Nomor 10/HUK/2007 tentang Pembinaan Teknis

JFPS dan Keputusan Menteri Sosial Nomor

43/HUK/2007 tentang Pedoman Pendidikan dan

Pelatihan JFPS.

Sebanyak 38,50% Pekerja Sosial memahami

terhadap 3 peraturan saja yaitu: Keputusan Menteri

Sosial Nomor 10/HUK/1999 tentang Tata kerja Tim

Penilai dan Tata cara Penilaian Angka Kredit bagi

Jabatan Pekerja Sosial, Keputusan MENPAN Nomor

KEP/03/M.PAN/1/2004 tentang JFPS dan Angka

Kreditnya, Keputusan Bersama Menteri Sosial dan

Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara

Nomor 05/HUK/2004, Nomor 09 Tahun 2004 tentang

Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Pekerja

Sosial dan Angka Kreditnya.

Selanjutnya 9,7% Pekerja Sosial tidak menja-

wab, dan 5,31% responden memahami hanya 2

ketentuan yaitu: Surat Edaran Bersama Menteri

Sosial dan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian

Negara, Nomor B/C-01-VIII-88/MS, Nomor 17/SE/

1988 tentang Angka Kredit Bagi Jabatan Pekerja

Sosial, Keputusan Menteri Sosial Nomor 10/HUK

/1999 tentang Tata kerja Tim Penilai dan Tata cara

Penilaian Angka Kredit bagi Jabatan Pekerja Sosial.

Dan selebihnya 2,21% Pekerja Sosial hanya

mengetahui 1 peraturan yaitu, Keputusan MENPAN

Nomor 45/Menpan/1988 tentang Angka Kredit Bagi

Jabatan Pekerja Sosial.

153

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 171: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Keterangan

Nomor 1, Keputusan MENPAN Nomor 45/

Menpan/1988 tentang Angka Kredit Bagi Jabatan

Pekerja Sosial.

Nomor 2, Surat Edaran Bersama Menteri Sosial

dan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian

Negara, Nomor B/C-01-VIII-88/MS, Nomor 17/

SE/1988 tentang Angka Kredit Bagi Jabatan

Pekerja Sosial.

Nomor 3, Keputusan Menteri Sosial Nomor 10/

HUK/1999 tentang Tata kerja Tim Penilai dan Tata

cara Penilaian Angka Kredit bagi Jabatan Pekerja

Sosial.

Nomor 4, Keputusan MENPAN Nomor KEP/03/

M.PAN/1/2004 tentang JFPS dan Angka

Kreditnya.

Nomor 5, Keputusan Bersama Menteri Sosial dan

Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Nega-

ra Nomor 05/HUK/2004, Nomor 09 Tahun 2004

tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsio-

nal Pekerja Sosial dan Angka Kreditnya.

Nomor 6, Keputusan Menteri Sosial Nomor

10/HUK/2007 tentang Pembinaan Teknis JFPS

dan Keputusan Menteri Sosial Nomor 43/HUK/

2007 tentang Pedoman Pendidikan dan Pelati-

han JFPS.

(2) Pengetahuan Pekerja Sosial terhadap perbeda-

an mendasar KeMenpan No 45/MENPAN/1988

tentang Angka Kredit bagi Jabatan Pekerja So-

sial Fungsional dengan Keputusan Menpan No

KEP/03/M.PAN/I/2004 tentang JFPS dan Angka

Kreditnya, tersaji dalam diagram berikut ini :

154

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 172: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

80,09% Pekerja Sosial mengetahui terhadap

perbedaan mendasar Kepmenpan No 45/MENPAN

/1988, dengan Kepmenpan No KEP/03/M.PAN/I

/2004. Sebanyak 13,27% menjawab tidak mengeta-

hui perbedaan yang mendasar dan 6,64% tidak

menjawab.

(3) Pengetahuan Pekerja Sosial terhadap perbeda-

an mendasar antara Keputusan Menteri Sosial

Nomor 10/HUK/1989 tentang Tata Kerja Tim

Penilai dan Tatacara Penilaian Angka Kredit Bagi

Pekerja Sosial dengan Keputusan Menteri Sosial

Nomor 10/HUK/2007 tentang Pembinaan Teknis

JFPS dan Keputusan Menteri Sosial Nomor

43/HUK/2007 tentang Pedoman Pendidikan dan

Pelatihan JFPS, tersaji dalam diagram berikut ini:

155

80, 09%,181 org

13,27%, 30 org

6,64%, 15 org

Diagram 2. Pengetahuan Pekerja Sosial terhadap Perbedaan Mendasar Kepmenpan Nomor : 45/MENPAN/1988 tentang Angka Kredit bagi Jabatan Pekerja Sosial dengan Keputusan

Menpan Nomor: KEP/03/M.PAN/ I/2004 tentang JFPS dan Angka Kreditnya

Mengetahui Tidak mengetahui Responden yang tidak menjawab

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 173: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Sebanyak 60,62% Pekerja Sosial menyatakan

mengetahui perbedaan mendasar antara Kepmensos

Nomor 10/HUK/1989 dengan Kepmensos Nomor 10/HUK

/2007 dan Kepmensos Nomor 43/HUK/2007. Dan 24,34%

Pekerja Sosial menyatakan tidak mengetahui perbedaan-

nya dan 15,04% Pekerja Sosial tidak menjawab. Artinya

sekitar 60% Pekerja Sosial yang mengetahui dan mema-

hami ketiga Kepmensos tersebut.

(4) Pemahaman Pekerja Sosial terhadap substansi ke-

tentuan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial (JFPS),

tersaji dalam diagram berikut ini:

156

60.62%, 137 org

24.34%,55 org

15.04%, 34 org

Diagram 3 . Pengetahuan Pekerja Sosial terhadap

Perbedaan Mendasar antara Keputusan Menteri Sosial Nomor: 10/HUK/1989 dengan Keputusan

Menteri Sosial No. 10/HUK/2007 dan Keputusan Menteri Sosial Nomor: 43/HUK/2007

Mengetahui Tidak mengetahui Responden yang tidak menjawab

30.97%, 70 org

17.70%; 40 org27.43%, 62 org

13.72%, 31 org10.18%,23 org

Diagram 4 . Pemahaman Pekerja Sosial Terhadap

Substansi Ketentuan JFPS

Memahami 6 Ketentuan JFPS Memahami Ketentuan JFPS Nomor 3, 4 dan 5

Memahami Ketentuan JFPS Nomor 2 dan 3 Memahami Ketentuan JFPS Nomor 1

Responden yang tidak menjawab

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 174: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Pemahaman Pekerja Sosial terhadap subs-

tansi ketentuan JFPS, 30,97% Pekerja Sosial me-

mahami keenam ketentuan tersebut yaitu: peneta-

pan formasi; penerapan butir kegiatan pelayanan

kesejahteraan sosial, penerapan butir kegiatan pe-

ngembangan kualitas pelayanan kesejahteraan

sosial, mekanisme penetapan angka kredit, pe-

ngangkatan, pembebasan sementara, pengang-

katan kembali dan pemberhentian dan Diklat JFPS.

27,43% Pekerja Sosial memahami sebanyak dua

ketentuan yaitu: penerapan butir kegiatan pelaya-

nan kesejahteraan sosial; dan penerapan butir

kegiatan pengembangan kualitas pelayanan kese-

jahteraan sosial. Sebesar 17,70% Pekerja Sosial

memahami tiga ketentuan yaitu: penerapan butir

kegiatan pengembangan kualitas pelayanan

kesejahteraan sosial, mekanisme penetapan angka

kredit; dan pengangkatan, pembebasan sementara,

pengangkatan kembali dan pemberhentian. Selan-

jutnya 13,72% Pekerja Sosial memahami hanya

satu ketentuan yaitu penetapan formasi, dan

10,18% Pekerja Sosial tidak menjawab.

Keterangan

Nomor 1, penetapan formasi.

Nomor 2, penerapan butir kegiatan pelayanan kesejahte-

raan sosial.

Nomor 3, penerapan butir kegiatan pengembangan kuali-

tas pelayanan kesejahteraan sosial.

Nomor 4, mekanisme penetapan angka kredit.

Nomor 5, pengangkatan, pembebasan sementara, pe-

ngangkatan kembali dan pemberhentian.

Nomor 6, Diklat JFPS.

157

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 175: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

(5) Sumber referensi Pekerja Sosial dalam mema-

hami substansi ketentuan Jabatan Fungsional

Pekerja Sosial (JFPS), tersaji dalam diagram

berikut ini:

47,35% Pekerja Sosial menyatakan bahwa

sumber referensi Pekerja Sosil dalam memahami

substansi ketentuan JFPS, merujuk pada 5 referensi

yaitu: membaca ketentuan yang ada, bimbingan

teknis dari Biro Organisasi dan Kepega-waian;

Diklat JFPS; arahan pimpinan, dan melalui internet.

21,68% Pekerja Sosial menggunakan sumber

referensi yaitu membaca ketentuan yang ada.

11,06% Pekerja Sosial menggunakan referensi

bimbingan teknis dari Biro Organisasi dan Kepega-

waian serta Diklat JFPS. 10,62% Pekerja Sosial

tidak menjawab, 9,29% Pekerja Sosial mengguna-

kan referensi Diklat JFPS, arahan pimpinan dan

melalui internet.

158

47,35%;107 org

9,29% , 21 org11,06%, 25 org

21,68%; 49 org

10,62%; 24 org

Diagram 5. Sumber Referensi Pekerja Sosial Dalam

Memahami Substansi Ketentuan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial

Referensi nomor 1/d 5 Referensi nomor 3, 4 dan 5

Referensi nomor 2 dan 3 Referensi nomor 1

Responden yang tidak menjawab

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 176: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Keterangan

Nomor 1, membaca ketentuan yang ada.

Nomor 2, bimbingan teknis dari Biro Organisasi

& Kepegawaian.

Nomor 3, Diklat JFPS.

Nomor 4, arahan pimpinan.

Nomor 5, internet,

(6) Pemahaman Pekerja Sosial terhadap isi buku

pedoman atau panduan bagi Pekerja Sosial,

tersaji dalam diagram berikut ini:

60.62% Pekerja Sosial mengakui pemaha-

man Pekerja Sosial terhadap isi buku pedoman atau

panduan bagi Pekerja Sosial fungsional adalah jelas.

15,04% Pekerja Sosial mengaku kurang jelas, 12,39%

Pekerja Sosial mengaku tidak jelas, dan 11,95% Pekerja

Sosial tidak memberikan jawaban.

159

60,62%, 137

org15,04%, 34 org

12,39%, 28 org

11,95%, 27 org

Diagram 6. Pemahaman Pekerja Sosial terhadap

Isi Buku Pedoman atau Panduan Bagi Pekerja Sosial Fungsional

Jelas Kurang jelas Tidak jelas Responden yang tidak menjawab

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 177: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

(7) Upaya Pekerja Sosial dalam penggunaan buku

pedoman/panduan Pekerja Sosial, tersaji dalam

diagram berikut ini:

Dengan persentase yang sama, masing-

masing 26,11% Pekerja Sosial memberikan jawa-

ban yang berbeda, 26,11% pertama mengutarakan

5 upaya dalam penggunaan buku pedoman/

panduan Pekerja Sosial yaitu: melaksanakan tugas

berdasarkan buku pedoman yang ada, mempelajari

lebih mendalam buku pedoman, menyederhanakan

buku pedoman; dan menyusun PAK sesuai buku

pedoman, menyebarluaskan informasi.

26,11% Pekerja Sosial hanya melakukan satu

upaya yaitu melaksanakan tugas berdasarkan buku

pedoman yang ada. 19,91% Pekerja Sosial melaku-

kan 3 upaya yaitu: menyederhanakan buku pedo-

man; menyusun PAK sesuai buku pedoman; dan

menyebarluaskan informasi. Berikutnya 19,91%

160

Diagram 7. Upaya Pekerja Sosial Dalam Penggunaan Buku Pedoman/Panduan Pekerja Sosial

26,11%, 59 org

19,91%, 45 org

19,91%, 45 org

26,11%, 59 org

7,96%, 18 org

5 (Lima) Upaya Upaya Nomor 3, 4 dan 5Upaya Nomor 2 dan 3 Upaya Nomor 1Responden yang tidak menjawab

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 178: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Pekerja Sosial melakukan 2 upaya yaitu: mempela-

jari lebih mendalam buku pedoman dan menyeder-

hanakan buku pedoman. Sisanya 7,96% Pekerja

Sosial tidak menjawab.

Keterangan

Nomor 1, melaksanakan tugas berdasarkan buku pedo-

man yang ada.

Nomor 2, mempelajari lebih mendalam buku pedoman.

Nomor 3, menyederhanakan buku pedoman.

Nomor 4, menyusun PAK sesuai buku pedoman.

Nomor 5, menyebarluaskan informasi.

(8) Dukungan terhadap Pekerja Sosial dalam me-

laksanakan pelayanan sosial sesuai pedoman/

panduan Pekerja Sosial, tersaji dalam diagram

berikut ini:

161

16,37%, 37 org

7,96%, 18 org

47,79%, 108 org

18,58%, 42 org

9,29%, 21 org

Diagram 8. Dukungan Terhadap Pekerja Sosial

Dalam Melaksanakan Pelayanan Sosial Sesuai Pedoman /Panduan Pekerja Sosial

Dukungan nomor 1 s/d 8 Dukungan nomor 6, 7 dan 8

Dukungan nomor 1, 2, 3 dan 4 Dukungan nomor 5

Responden yang tidak menjawab

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 179: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

47,79% Pekerja Sosial menyatakan menda-

patkan dukungan terhadap Pekerja Sosial dalam

melaksanakan pelayanan sosial sesuai pedoman/

panduan Pekerja Sosial melalui 4 bentuk dukungan

yaitu: adanya petunjuk/bimbingan dari atasan

(Kepala Panti Sosial),Tim Penilai Pusat memberikan

buku pedoman, melakukan kerjasama dengan unit

kerja lain, Tim Penilai memberikan penilaian berda-

sarkan buku pedoman. 18,58% Pekerja Sosial me-

ngaku mendapatkan dukungan dalam bentuk:

adanya pentunjuk/bimbingan dari atasan (Kepala

Panti Sosial). 16,37% Pekerja Sosial mendapatkan

dukungan yaitu: adanya petunjuk/bimbingan dari

atasan (Kepala Panti Sosial), Tim Penilai Pusat

memberikan buku pedoman, melakukan kerjasama

dengan unit kerja lain, Tim Penilai memberikan

penilaian berdasarkan buku pedoman; belum/tidak

dirasakan adanya dukungan, tersedianya buku

pedoman yang lebih teknis bagi Pekerja Sosial, Tim

PAK Pusat memberikan bimbingan dan arahan dan

bentuk dukungan lainnya. 7,96% Pekerja Sosial

mendapat dukungan yaitu: tersedianya buku

pedoman yang lebih teknis bagi Pekerja Sosial, Tim

PAK Pusat memberikan bimbingan dan arahan dan

bentuk dukungan lainnya. Dan sisanya 9,29% Pe-

kerja Sosial tidak menjawab.

Keterangan

Nomor 1, adanya petunjuk/bimbingan dari atasan

(Kepala Panti Sosial).

Nomor 2, Tim Penilai Pusat memberikan buku

pedoman.

162

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 180: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Nomor 3, melakukan kerjasama dengan unit

kerja lain.

Nomor 4, Tim Penilai memberikan penilaian

berdasarkan buku pedoman.

Nomor 5, belum/tidak dirasakan adanya

dukungan.

Nomor 6, tersedianya buku pedoman yang lebih

teknis bagi Pekerja Sosial.

Nomor 7, Tim PAK Pusat memberikan bim-

bingan dan arahan.

Nomor 8, lainnya.

(9) Harapan Pekerja Sosial dalam melaksanakan

pelayanan sosial sesuai pedoman/panduan

Pekerja Sosial, tersaji dalam diagram berikut ini:

163

34,51%, 78 org

48,23%, 109 org

8,41%,19 org0,44%, 1 org 8,41%, 19

org

Diagram 9. Harapan Pekerja Sosial Dalam

Melaksanakan Pelayanan Sosial Sesuai Pedoman dan Panduan

Harapan nomor 1 s.d 9 Harapan nomor 4, 5 dan 6

Harapan nomor 2, 3 dan 4 Harapan nomor 1

Responden yang tidak menjawab

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 181: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

48,23% Pekerja Sosial mengungkapkan 3

harapan dalam melaksanakan pelayanan sosial

sesuai pedoman/panduan Pekerja Sosial yaitu:

perlu secara lebih teknis tentang pedoman/

panduan, setiap Pekerja Sosial perlu memiliki/

memperoleh pedoman dan perlu petunjuk praktis

dari pedoman/panduan.

Sebanyak 34,51% Pekerja Sosial menaruh

banyak harapan yaitu: perlu secara lebih teknis

diuraikan tentang pedoman/panduan, setiap Peker-

ja Sosial perlu memiliki/memperoleh pedoman, perlu

petunjuk praktis dari pedoman/panduan, pedoman/

panduan selalu disesuaikan dengan perkembangan

kegiatan/tugas baru di lapangan, pedoman/pan-

duan diberikan kepada Pekerja Sosial secara cuma-

cuma, buku pedoman didistribusikan cukup banyak

sampai ke panti, perlu dibuat buku saku, buku

pedoman tersebut diperlengkapi dengan buku-buku

tentang pekerjaan sosial dan perlu kelengkapan lain

dari buku pedoman/panduan tersebut. Berikutnya

8,41% Pekerja Sosial mengungkapkan 3 harapan

yaitu: setiap Pekerja Sosial perlu memiliki/mem-

peroleh pedoman, perlu petunjuk praktis dari pedo-

man/panduan, pedoman/panduan selalu disesuai-

kan dengan perkembangan kegiatan/tugas baru di

lapangan. 0,44% Pekerja Sosial berharap agar perlu

secara lebih teknis diuraikan tentang pedoman/pan-

duan. Dan 8,41% Pekerja Sosial tidak menjawab.

Keterangan

Nomor 1, perlu secara lebih teknis tentang pedoman

/panduan.

164

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 182: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Nomor 2, setiap Pekerja Sosial perlu memiliki/

memperoleh pedoman.

Nomor 3, perlu petunjuk praktis dari pedoman/

panduan.

Nomor 4, pedoman/panduan selalu disesuaikan de-

ngan perkembangan kegiatan/tugas baru di lapa-

ngan.

Nomor 5, pedoman/panduan diberikan kepada Pe-

kerja Sosial secara cuma-cuma.

Nomor 6, buku pedoman didistribusikan cukup ba-

nyak sampai ke panti.

Nomor 7, perlu dibuat buku saku.

Nomor 8, buku pedoman tersebut diperlengkapi

dengan buku-buku tentang pekerjaan sosial.

Nomor 9, perlu kelengkapan lain dari buku pedoman

/panduan tersebut.

(10) Pemahaman Pekerja Sosial terhadap proses

pengumpulan angka kredit, tersaji dalam

diagram 14 berikut ini:

165

41,59%, 94 org

11,95%, 27 org

38,50%, 87 org

7,96%, 18 org

Diagram 10. Pemahaman Pekerja Sosial terhadap

Proses Pengumpulan Angka Kredit

Cukup sulit Sulit Mudah Responden yang tidak menjawab

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 183: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Sebanyak 38,50% Pekerja Sosial mengungkap-

kan bahwa pemahaman Pekerja Sosial terhadap proses

pengumpulan angka kredit adalah mudah. 11,95% Peker-

ja Sosial menayatakan sulit, 41,59% Pekerja Sosial

menyatakan cukup sulit dan 7,96% Pekerja Sosial tidak

menjawab.

(11) Upaya Pekerja Sosial dalam perolehan angka

kredit, tersaji dalam diagram berikut ini:

27,43% Pekerja Sosial melakukan 8 tindakan

sebagai upaya Pekerja Sosial dalam peroleh kredit

yaitu: bekerja sesuai dengan beban tugas di dalam

Panti Sosial, melaksanakan tugas dan pelayanan

sosial secara professional, bekerja dengan baik dan

mengikuti pelatihan, belajar sendiri dan banyak

bertanya, mengadakan penyuluhan dan pembinaan

masyarakat sekitar Panti Sosial, mengadakan koor-

dinasi dengan unit kerja terkait, mencatat segala

kegiatan dan menyediakan sarana dan prasarana.

166

27,43%, 62 org

26,55%, 60 org36,28%, 82 org

0,88%, 2 org8,85%, 20 org

Diagram 11. Upaya Pekerja Sosial Dalam

Perolehan Angka Kredit

8 (Delapan) Tindakan Tindakan Nomor 5, 6, dan 7

Tindakan Nomor 2, 3 dan 4 Tindakan Nomor 1

Responden yang tidak menjawab

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 184: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

26,55% Pekerjaan Sosial melakukan 3

tindakan sebagai upaya dalam memperoleh angka

kredit yaitu: mengadakan penyuluhan dan pembi-

naan masyarakat sekitar Panti Sosial, mengadakan

koordinasi dengan unit kerja terkait dan mencatat

segala kegiatan.

Berikutnya 36,28% Pekerja Sosial melakukan

3 tindakan sebagai upaya yang berbeda yaitu:

melaksanakan tugas dan pelayanan sosial secara

professional, bekerja dengan baik dan mengikuti

pelatihan dan belajar sendiri dan banyak bertanya.

8,85% Pekerja Sosial tidak menjawab dan persen-

tase terkecil. 0,88% Pekerja Sosial melakukan 1

tindakan yaitu: bekerja sesuai dengan beban tugas

di dalam Panti Sosial.

Keterangan

Nomor 1, bekerja sesuai dengan beban tugas di

dalam Panti Sosial.

Nomor 2, melaksanakan tugas dan pelayanan

sosial secara professional.

Nomor 3, bekerja dengan baik dan mengikuti

pelatihan.

Nomor 4, belajar sendiri dan banyak bertanya.

Nomor 5, mengadakan penyuluhan dan pembinaan

masyarakat sekitar Panti Sosial.

Nomor 6, mengadakan koordinasi dengan unit kerja

terkait.

Nomor 7, mencatat segala kegiatan.

Nomor 8, menyediakan sarana dan prasarana.

167

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 185: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

(12) Dukungan yang diperoleh Pekerja Sosial

dalam perolehan angka kredit, tersaji dalam

diagram berikut ini:

47,35% Pekerja Sosial memperoleh dukungan

dalam perolehan angka kredit dalam bentuk: pimpinan

memberikan kemudahan dan mendapatkan arahan dari

atasan. 27,88% Pekerja Sosial memperoleh dukungan

dalam bentuk: pimpinan memberikan kemudahan,

mendapat arahan dari atasan dan adanya pengakuan dan

kemudahan dari Tim Penilai Pusat. 13,27% Pekerja

Sosial memperoleh dukungan dalam bentuk: pimpinan

memberikan kemudahan mendapatkan arahan dari

atasan, adanya pengakuan dan kemudahan dari Tim

Penilai Pusat dan dukungan lainnya. Berikutnya 7,08%

Pekerja Sosial ternyata tidak memperoleh dukungan. Dan

4,42% Pekerja Sosial tidak menjawab.

Keterangan

Nomor 1, pimpinan memberikan kemudahan.

Nomor 2, mendapatkan arahan dari atasan.

168

13,27%, 30 org

27,88%, 63 org

47,35%, 107 org

7,08%, 16 org4,42%, 10 org

Diagram 12. Dukungan Yang Diperoleh Pekerja Sosial

Dalam Perolehan Angka Kredit

Dukungan nomor 1 s/d 5 Dukungan nomor 1, 2, dan 4

Dukungan nomor 1 dan 2 Dukungan nomor 3

Responden yang tidak menjawab

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 186: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Nomor 3, tidak/memperoleh dukungan.

Nomor 4, adanya pengakuan dan kemudahan dari

Tim Penilai Pusat.

Nomor 5, lainnya.

(13) Harapan Pekerja Sosial dalam perolehan angka

kredit, tersaji dalam diagram berikut ini:

45,13% Pekerja Sosial menaruh harapan

dalam perolehan angka kredit dalam bentuk: perlu/

sering diselenggarakan Diklat teknis/fungsional bagi

Pekerja Sosial untuk memperoleh angka kredit,

perlu selalu diciptakan kerjasama dengan instansi

lain dan organisasi sosial untuk mengembangkan

tugas secara fungsional, pimpinan/atasan membe-

rikan keleluasaan kepada Pekerja Sosial untuk

mencari angka kredit, perlu penambahan/peningka-

tan nilai dari setiap poin kegiatan dan tidak kalah

pentingnya adalah bobot nilai diperbesar, perole-

169

45,13%, 102 org

30,97%, 70 org

8,41%, 19 org7,08%, 16 org

8,41%, 19 org

Diagram 13. Harapan Pekerja Sosial Dalam

Perolehan Angka Kredit

Harapan nomor 1 s.d 7 Harapan nomor 1, 2, 3, 6 dan 7

Harapan nomor 4 dan 5 Harapan nomor 1, 2 dan 3

Responden yang tidak menjawab

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 187: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

han angka kredit lebih disederhanakan/fleksibel dan

bentuk-bentuk form yang lebih praktis.

Terbesar berikutnya 30,97% Pekerja Sosial

menaruh harapan dalam bentuk: perlu/sering

diselenggarakan Diklat teknis/fungsional bagi

Pekerja Sosial untuk memperoleh angka kredit,

perlu selalu diciptakan kerjasama dengan instansi

lain dan organisasi sosial untuk mengembangkan

tugas secara fungsional dan pimpinan/atasan mem-

berikan keleluasaan kepada Pekerja Sosial untuk

mencari angka kredit, perolehan angka kredit lebih

disederhanakan/fleksibel dan bentuk-bentuk form

yang lebih praktis.

8,41% Pekerja Sosial menaruh harapan

dalam bentuk: perlu penambahan/peningkatan nilai

dari setiap poin kegiatan dan bobot nilai diperbesar.

Dengan presentase yang sama (8,41%) Pekerja

Sosial dalam bentuk lain yaitu: tidak menjawab. Dan

7,08% Pekerja Sosial menaruh harapan dalam

bentuk: perlu/sering diselenggarakan Diklat teknis/

fungsional bagi Pekerja Sosial untuk memperoleh

angka kredit, perlu selalu diciptakan kerjasama

dengan instansi lain dan organisasi sosial untuk

mengembangkan tugas secara fungsional dan

pimpinan/atasan memberikan keleluasaan kepada

Pekerja Sosial untuk mencari angka kredit.

Keterangan

Nomor 1, perlu/sering diselenggarakan Diklat tek-

nis/fungsional bagi Pekerja Sosial untuk mempe-

roleh angka kredit.

Nomor 2, perlu selalu diciptakan kerjasama dengan

170

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 188: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

instansi lain dan organisasi sosial untuk mengem-

bangkan tugas secara fungsional.

Nomor 3, pimpinan/atasan memberikan keleluasaan

kepada Pekerja Sosial untuk mencari angka kredit.

Nomor 4, perlu penambahan/peningkatan nilai dari setiap

poin kegiatan.

Nomor 5, bobot nilai diperbesar.

Nomor 6, perolehan angka kredit lebih disederhanakan/

fleksibel.

Nomor 7, bentuk-bentuk form yang lebih praktis.

(14) Harapan Pekerja Sosial terhadap mekanisme

pengajuan kenaikan jabatan fungsional Pekerja

Sosial, tersaji dalam diagram berikut ini:

Sebagian besar Pekerja Sosial yaitu 46,90%

menaruh harapan sebagai berikut: usulan kenaikan

pangkat tidak dipersulit/tidak bertele-tele/birokrasi

berbelit-belit, perlu ada pembinaan/pelatihan terha-

dap Tim Penilai, proses penilaian dan penurunan

PAK dipercepat, proses pengajuan perlu disederha-

171

18,41%, 41 org

46,90%, 106 org

18,41%, 41 org

8,41%, 19 org8,41%, 19 org

Diagram 14. Harapan Pekerja Sosial Terhadap

Mekanisme Pengajuan Kenaikan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial

Harapan JFPS Nomor 1 s.d 7 Harapan JFPS Nomor 1, 2, 3, 4, 5 dan 6

Harapan JFPS Nomor 1, 2, 3 dan 4 Harapan JFPS Nomor 1

Responden yang tidak menjawab

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 189: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

nakan sampai ke tingkat kabupaten/kota, sesuaikan

dengan prosedur resmi/berlaku dan lebih trans-

paran. 18,41% Pekerja Sosial harapannya adalah:

usulan kenaikan pangkat tidak dipersulit/tidak

bertele-tele/birokrasi berbelit-belit, perlu ada pembi-

naan/pelatihan terhadap Tim Penilai, proses peni-

laian dan penurunan PAK dipercepat dan proses

pengajuan perlu disederhanakan sampai ke tingkat

kabupaten/kota.

Dengan persentase yang sama (18,41%)

Pekerja Sosial harapannya adalah: usulan kenaikan

pangkat tidak dipersulit/tidak bertele-tele/birokrasi

berbelit-belit, perlu ada pembinaan/pelatihan terha-

dap Tim Penilai, proses penilaian dan penurunan

PAK dipercepat, proses pengajuan perlu disederha-

nakan sampai ke tingkat kabupaten/ kota, sesuaikan

dengan prosedur resmi/berlaku, lebih transparan,

dan perlu disosialisasikan/penjelasan tentang

mekanisme pengajuan terhadap pejabat fungsional

Pekerja Sosial. 8,41% Pekerja Sosial harapannya

hanya satu saja yaitu: usulan kenaikan pangkat tidak

dipersulit/ tidak bertele-tele/birokrasi tidak berbelit-

belit. Dengan persentase yang sama yaitu 8,41%

Pekerja Sosial tidak menjawab.

Keterangan

Nomor 1, usulan kenaikan pangkat tidak dipersulit/tidak

bertele-tele/birokrasi berbelit-belit.

Nomor 2, perlu ada pembinaan/pelatihan terhadap Tim

Penilai.

Nomor 3, proses penilaian dan penurunan PAK

dipercepat.

Nomor 4, proses pengajuan perlu disederhanakan

172

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 190: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

sampai ke tingkat kabupaten/kota.

Nomor 5, sesuaikan dengan prosedur resmi/berlaku.

Nomor 6, lebih transparan.

Nomor 7, perlu disosialisasikan/penjelasan tentang

mekanisme pengajuan terhadap pejabat fungsional

Pekerja Sosial.

(15) Upaya meningkatkan tunjangan Pekerja Sosial,

tersaji dalam diagram berikut ini:

Dalam upaya peningkatan tunjangan Pekerja

Sosial, 43,36% Pekerja Sosial melakukan upaya

dengan memaksimalkan tunjangan dengan beban

kerja; dan mempergunakan tunjangan sesuai dengan

kemampuan yang ada. 20,80% Pekerja Sosial

melakukan upaya dengan mengusulkan ke-naikan

tunjangan kepada pimpinan dan memper-gunakan

tunjangan sesuai dengan kemampuan yang ada.

15,04% Pekerja Sosial melakukan upaya 4 tindakan (1,

2, 3 dan 5). 8,85% Pekerja Sosial melakukan upaya

dengan tidak melakukan usaha apapun dan sisanya

11,95% Pekerja Sosial tidak menjawab.

173

15,04%, 34 org

43,36%, 98 org20,80%, 47 org

8,85%, 20 org11,95%, 27 org

Diagram 15. Upaya meningkatkan Tunjangan Pekerja Sosial

Tindakan Nomor 1, 2, 3, dan 5 Tindakan Nomor 2 dan 3

Tindakan Nomor 1 dan 2 Tindakan Nomor 4

Responden yang tidak menjawab

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 191: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Keterangan

Nomor 1, mengusulkan kenaikan tunjangan kepada pimpinan.

Nomor 2, mempergunakan tunjangan sesuai dengan kemam-

puan yang ada.

Nomor 3, memaksimalkan tunjangan dengan beban kerja.

Nomor 4, tidak melakukan usaha apapun.

Nomor 5, mencari dukungan dari instansi lain yang lebih atas

(16) Harapan Pekerja Sosial terhadap upaya peningka-

tan tunjangan fungsional Pekerja Sosial, tersaji

dalam diagram berikut ini :

33,63% Pekerja Sosial menaruh harapan agar

tunjangan Pekerja Sosial disesuaikan dengan tunjangan

jabatan fungsional yang lain. 28,76% Pekerja Sosial

menaruh harapan agar tunjangan Pekerja Sosial dise-

suaikan dengan beban tugas dan besarnya biaya hidup.

25,22% Pekerja Sosial menaruh harapan agar tunjangan

pekerja sosial ditingkatkan besarnya tunjangan 0,88%

Pekerja Sosial menaruh harapan minimal tunjangan

Pekerja Sosial setara dengan tunjangan jabatan

struktural, dan 11,50% Pekerja Sosial tidak menjawab.

174

25,22%, 57 org

33,63%, 76 org

28,76%, 65 org

0,88%, 2 org

11,50%, 26 org

Diagram 16. Harapan Pekerja Sosial Terhadap

Upaya Peningkatan Tunjangan Pekerja Sosial

Ditingkatkan besarnya tunjangan

Disesuaikan dengan tunjangan jabatan fungsional yang lain

Disesuaikan dengan beban tugas dan besarnya biaya hidup

Minimal tunjangan setara dengan tunjangan jabatan struktural.

Responden yang tidak menjawab

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 192: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

(17) Pendapat Pekerja Sosial tentang mekanisme

pengajuan kenaikan pangkat, tersaji dalam diagram

berikut ini:

Sebanyak 54,42% Pekerja Sosial menyatakan

mudah tentang mekanisme pengajuan kenaikan pangkat.

32,30% Pekerja Sosial menyatakan sulit tentang

mekanisme pengajuan kenaikan pangkat dan sebanyak

5,75% Pekerja Sosial menyatakan cukup sulit terkait

mekanisme pengajuan kenaikan pangkat dan sisanya

7,52% Pekerja Sosial tidak menjawab.

(18) Pendapat Pekerja Sosial tentang dukungan fasilitas

pembuatan dokumen angka kredit, tersaji dalam

diagram berikut ini:

175

5,75%, 13 org32,30%, 73 org

54,42%, 123 org

7,52%%, 17 org

Diagram 17. Pendapat Pekerja Sosial Tentang

Mekanisme Pengajuan Kenaikan Pangkat

Cukup sulit Sulit Mudah Responden yang tidak menjawab

10,62%, 24 org

32,74%, 74 org45,58%, 103 org

11,06%, 25 org

Diagram 18. Pendapat Pekerja Sosial Tentang Dukungan Fasilitas Pembuatan Dokumen Angka Kredit

Memadai Cukup memadaiTidak memadai Responden yang tidak menjawab

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 193: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Terkait dukungan fasilitas pembuatan

dokumen angka kredit, sebanyak 45,58% Pekerja

Sosial menyatakan tidak memadai. 32,74% Pekerja

Sosial menyatakan cukup memadai, 10,62%

Pekerja Sosial menyatakan memadai, dan sisanya

11,06% Pekerja Sosial tidak menjawab.

3) Kegiatan Pelayanan Sosial Dan Pengembangan

Kualitas Pelayanan Kesejahteraan Sosial.

(19) Pemahaman Pekerja Sosial terhadap metode,

tehnik dan ketrampilan pekerjaan sosial, tersaji

dalam diagram berikut ini:

45,13% Pekerja Sosial menyatakan memahami

dan mampu menerapkan sebagian dari metode, teknik

dan ketrampilan Pekerja Sosial. 23,45% Pekerja Sosial

memahami namun tidak mampu menerapkan. Sebanyak

11,95% Pekerja Sosial memahami dan mampu menerap-

kan seluruhnya. 10,18% Pekerja Sosial tidak memahami,

dan sisanya 9,29% Pekerja Sosial tidak menjawab.

176

10.18%, 23 org

23.45%, 53 org

45.13%, 102 org

11.95%, 27 org

9.29%, 21 org

Diagram 19. Pemahaman Pekerja Sosial Terhadap

Metode, Teknik dan Ketrampilan Pekerjaan Sosial

Tidak memahamiMemahami namun tidak mampu menerapkan

Memahami dan mampu menerapkan sebagianMemahami dan mampu menerapkan seluruhnyaResponden yang tidak menjawab

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 194: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

(20) Latar belakang ketidakpahaman dalam peng-

gunaan metode, teknik dan ketrampilan peker-

jaan sosial, tersaji dalam diagram berikut ini:

Latar belakang ketidakpahaman dalam peng-

gunaan metode, teknik dan ketrampilan Pekerja

Sosial, sebanyak 34,51% Pekerja Sosial karena

kurang meminati bidang tugas dan karena berlatar

belakang non pekerjaan sosial. 24,78% Pekerja

Sosial dilatarbelakangi oleh: tidak mengetahui

bidang tugas pekerjaan sosial, kurang meminati

bidang tugas dan berlatarbelakang non pekerjaan

sosial.

16,81% Pekerja Sosial dilatarbelakangi/

alasan: tidak mengetahui bidang tugas pekerjaan

sosial dan kurang meminati bidang tugas. 15,04%

Pekerja Sosial mengutarakan alasan (latarbela-

kang): tidak mengetahui bidang tugas pekerjaan

sosial dan kurang meminati bidang tugas. Dan

8,85% Pekerja Sosial tidak menjawab.

177

24,78%, 56 org

15,04%, 34 org

16,81%, 38 org

34,51%, 78 org

8,85%, 20 org

Diagram 20. Latarbelakang Ketidakpahaman Dalam

Penggunaan Metode, Teknik dan Ketrampilan Pekerjaan Sosial

Alasan nomor 1, 2 dan 3 Alasan nomor 1 dan 2Alasan nomor 1 dan 3 Alasan nomor 2 dan 3Responden yang tidak menjawab

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 195: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Keterangan

Nomor 1, tidak mengetahui bidang tugas pekerjaan

sosial.

Nomor 2, kurang meminati bidang tugas

Nomor 3, berlatar belakang non pekerjaan sosial

(21) Ketersediaan anggaran untuk peningkatan

kompetensi Pekerja Sosial, tersaji dalam dia-

gram berikut ini:

Sebanyak 39,38% Pekerja Sosial mengakui

sudah tersedia anggaran, 34,96% Pekerja Sosial

menyatakan belum tersedia anggaran dan 25,66%

Pekerja Sosial tidak menjawab.

(22) Tahapan dalam pelayanan sosial yang sering

menemui hambatan, tersaji dalam diagram

sebagai berikut :

178

34,96%, 79 org

39,38%, 89 org

25,66%, 58 org

Diagram 21. Ketersediaan Anggaran Untuk

Peningkatan Kompetensi Pekerja Sosial

Belum Sudah Responden yang tidak menjawab

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 196: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Sebanyak 43,81% Pekerja Sosial mengung-

kapkan bahwa keenam tahapan pelayanan sosial

mengalami hambatan yaitu tahapan: pendekatan

awal, asesmen, penyusunan rencana intervensi,

pelaksanaan intervensi, evaluasi, terminasi dan

rujukan dan bimbingan dan pembinaan lanjut.

17,26% Pekerja Sosial menyebutkan 3 taha-

pan yaitu: penyusunan rencana intervensi, pelaksa-

naan intervensi dan evaluasi, terminasi dan rujukan.

15,93% Pekerja Sosial mengeluhkan hambatan

pada tahap asesmen dan penyusunan rencana

intervensi. 14,60% Pekerja Sosial mengungkapkan

hambatan pada tahap bimbingan dan pembinaan

lanjut. Dan 8,41% Pekerja Sosial tidak menjawab.

Keterangan

Tahapan 1, pendekatan awal.

Tahapan 2, asesmen.

Tahapan 3, penyusunan rencana intervensi.

179

43,81%, 99 org

17,26%, 39 org

15,93%, 36 org

14,60%, 33 org8,41%, 19 org

Diagram 22. Tahapan Dalam Pelayanan Sosial Yang

Sering Menemui Hambatan

Tahapan 1 s/d 6 Tahapan 3, 4 dan 5

Tahapan 2 dan 3 Tahapan 6

Responden yang tidak menjawab

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 197: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Tahapan 4, pelaksanaan intervensi.

Tahapan 5, evaluasi, terminasi dan rujukan.

Tahapan 6, bimbingan dan pembinaan lanjut.

(23) Pelaksanaan kegiatan pengembangan kualitas

pelayanan kesejahteraan sosial, tersaji dalam

diagram sebagai berikut:

69,91% Pekerja Sosial menyatakan bahwa

kegiatan pengembangan kualitas pelayanan kese-

jahteraan sosial sudah dilaksanakan. Sebanyak

17,26% Pekerja Sosial menyatakan belum dilaksa-

nakan, sisanya 12,83% Pekerja Sosial tidak

menjawab.

(24) Pembagian kewenangan antara pejabat

struktural, fungsional dan Pekerja Sosial di unit

kerja, tersaji dalam diagram berikut ini:

180

17,26%, 39 org

69,91%, 158 org

12,83%, 29 org

Diagram 23. Pelaksanaan Kegiatan Pengembangan

Kualitas Pelayanan Kesejahteraan Sosial di Unit Kerja

Belum Sudah Responden yang tidak menjawab

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 198: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Pembagian kewenangan antara pejabat struktu-

ral, fungsional dan Pekerja Sosial di unit kerja, belum

dilaksanakan sesuai Tupoksi masing-masing, sebagai-

mana diungkapkan oleh 54,42% Pekerja Sosial. 24,34%

Pekerja Sosial menjelaskan sudah dilaksanakan sesuai

Tupoksi. 3,98% Pekerja Sosial ternyata tidak memberikan

jawaban.

(25) Penerapan pembagian kewenangan antar jenjang

Pekerja Sosial sesuai KEPMENPAN No. KEP/03/

M.PAN/I/2004 tersaji dalam diagram berikut ini:

181

59,77%,159 org

14,29%, 38 org

25,94%, 69 org

Diagram 25. Penerapan Pembagian Kewenangan

Antar Jenjang Pekerja Sosial Sesuai KEPMEN PAN No. KEP/3/M.PAN/1/2004

Belum Sudah dilaksanakan Responden yang tidak menjawab

24,34%, 77 org

54,42%, 94 org

3,98%, 9 org

Diagram 24. Pembagian Kewenangan Antara

Pejabat Struktural, Fungsional dan Pekerja Sosial di Unit Kerja

Sudah dilaksanakan sesuai dengan Tupoksi masing -masingBelum dilaksanakan sesuai Tupoksi masing-masingResponden yang tidak menjawab

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 199: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Sekitar 59,77% Pekerja Sosial mengungkap

kan bahwa penerapan pembagian kewenangan

antar jenjang Pekerja Sosial sesuai KEPMENPAN

No. KEP/03/M.PAN/I/2004 belum dilaksanakan dan

14,29% Pekerja Sosial menyatakan sudah dilaksa-

nakan dan sisanya (cukup besar) 25,94% Pekerja

Sosial tidak menjawab.

4) Formasi Pekerja Sosial.

(26) Pendapat Pekerja Sosial mengenai formasi di unit

kerjanya, tersaji dalam diagram berikut ini:

Sebanyak 61,06% Pekerja Sosial berpenda-

pat bahwa jumlah formasi di unit kerjanya belum

mencukupi, 30,53% Pekerja Sosial berpendapat

sudah mencukupi dan 8,41% Pekerja Sosial tidak

menjawab.

5) Penilaian Angka Kredit

(27) Tanggapan Pekerja Sosial Tentang pemben-

tukan Tim Penilai Angka Kredit Pembantu di

unit kerja, tersaji dalam diagram berikut ini:

182

30,53%, 69 org

61,06%, 138 org

8,41%, 19 org

Diagram 26. Pendapat tentang jumlah formasi

Pekerja Sosial di Unit Kerja

Sudah mencukupi Belum mencukupi Responden yang tidak menjawab

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 200: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Tanggapan Pekerja Sosial (responden) tentang

pembentukan Tim Penilai Angka Kredit Pembantu di unit

kerja, 62,39% Pekerja Sosial menyatakan sudah berjalan

tetapi belum efektif, 16,37% Pekerja Sosial menyatakan

kurang efektif, 11,95% Pekerja Sosial menyatakan efektif

dan sudah berjalan, 0,88% Pekerja Sosial mengatakan

sangat efektif dan sisanya 8,41% Pekerja Sosial tidak

menjawab.

6) Kompetensi Profesi Pekerjaan Sosial.

(28) Keterkaitan antara pendidikan profesi pekerjaan

sosial dengan mutu pelayanan sosial, tersaji dalam

diagram berikut ini :

183

0,88%, 2 org 11,95%, 27 org

62,39%, 141 org

16,37%, 37 org

8,41%, 19 org

Diagram 27. Tanggapan tentang pembentukan Tim

Penilai Angka Kredit Pembantu di Unit Kerja

Sangat efektif Efektif dan sudah berjalan

Sudah Berjalan tetapi belum efektif Kurang efektif

Responden yang tidak menjawab

66,81%, 151 org

7,96%, 18 org

7,96%, 18 org8,85%, 20 org

8,41%, 19 org

Diagram 28. Keterkaitan Antara Pendidikan Profesi Pekerjaan Sosial Dengan Mutu Pelayanan Sosial

Sangat terkait dengan mutu pelayanan

Cukup terkait dengan mutu pelayananBelum begitu terkait dengan mutu pelayanan

Tidak terkait dengan mutu pelayananResponden yang tidak menjawab

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 201: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

66,81% Pekerja Sosial berpendapat bahwa

sangat terkait antara pendidikan profesi pekerjaan

sosial dengan mutu pelayanan sosial. 7,96% me-

nyatakan cukup terkait dengan mutu pendidikan,

persentase yang sama yaitu 7,96% menyatakan

belum begitu terkait dengan mutu pelayanan. 8,85%

menyatakan tidak terkait dengan mutu pelayanan,

dan sisanya 8,41% Pekerja Sosial tidak menjawab.

(29) Keinginan Pekerja Sosial Berlatar Belakang

Pendidikan Non Pekerjaan Sosial Untuk Me-

nempuh Pendidikan Profesi Pekerjaan Sosial,

tersaji dalam diagram berikut ini:

65,93% Pekerja Sosial berkeinginan untuk

menempuh pendidikan profesi Pekerjaan Sosial,

25,66% Pekerja Sosial menyatakan tidak berke-

inginan dan 8,41% Pekerja Sosial tidak menjawab.

184

65,93%, 149 org

25,66%, 58 org

8,41%, 19 org

Diagram 29. Keinginan Pekerja Sosial Berlatar

Belakang Pendidikan Non Pekerjaan Sosial Untuk Menempuh Pendidikan Profesi Pekerjaan Sosial

Ada Tidak Responden yang tidak menjawab

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 202: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

(30) Unit kerja yang sering melakukan kegiatan

peningkatan kompetensi pekerjaan sosial,

tersaji dalam diagram berikut ini:

Sebanyak 47,35% Pekerja Sosial mengatakan

bahwa Balai Besar Diklat Kessos, Unit kerja dilingku-

ngan Ditjen Yanrehsos, dan Biro Organisasi dan

Kepegawaian merupakan unit kerja yang sering mela-

kukan kegiatan peningkatan kompetensi pekerjaan

sosial. Berikutnya 17,70% menyatakan hanya dua unit

kerja yaitu Balai Besar Diklat Kessos dan Ditjen

Yanrehsos, 16,37% menyatakan 2 unit kerja juga yakni

Balai Besar Diklat Kessos dan Biro Organisasi dan

Kepegawaian, 10,18% juga 2 unit kerja yaitu: Ditjen

Yanrehsos dan Biro Organisasi dan Kepegawaian dan

8,41% tidak menjawab.

Keterangan

Tahapan 1, pendekatan awal.

Tahapan 2, asesmen.

Tahapan 3, penyusunan rencana intervensi.

(31) Upaya yang sering dilakukan Pekerja Sosial

untuk meningkatkan kompetensi pekerjaan

sosial, tersaji dalam diagram berikut ini:

185

47,35%, 107 org

17,70%, 40 org

16,37%, 37 org

10,18%, 23 org

8,41%, 19 org

Diagram 30. Unit kerja Yang Sering Melakukan

Kegiatan Peningkatan Kompetensi Pekerjaan Sosial

Unit Kerja 1, 2 dan 3 Unit Kerja 1 dan 2Unit Kerja 1 dan 3 Unit Kerja 2 dan 3Responden yang tidak menjawab

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 203: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Sebanyak 51,33% Pekerja Sosial mengung-

kapkan 3 (tiga) upaya yang dilakukan melalui latihan

Diklat, pembinaan/supervise dari Tim Pusat dan

Juknis pelayanan sosial. 17,70% Pekerja Sosial

mengungkapkan 2 (dua) upaya yaitu: pembinaan/

supervisi dari Tim Pusat dan Juknis pelayanan

sosial. 13,72% Pekerja Sosial menyebutkan 2(dua)

upaya yaitu: mengikuti Diklat dan pembinaan/

supervise dari Tim Pusat. 8,85% Pekerja Sosial

melakukan 2 (dua) upaya yaitu: mengikuti Diklat dan

Juknis pelayanan sosial. Sisanya 8,41% Pekerja

Sosial tidak menjawab.

Keterangan

Kegiatan 1, mengikuti diklat.

Kegiatan 2, pembinaan/supervise dari Tim Pusat.

Kegiatan 3, Juknis pelayanan sosial.

7) Partisipasi Masyarakat

(32) Keterlibatan masyarakat dalam penyeleng-

garaan pelayanan sosial di Panti Sosial, tersaji

dalam diagram berikut ini :

186

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

51,33%, 116 org

13,72%, 31 org8,85%, 20 org

17,70%, 40 org8,41%, 19 org

Diagram 31. Upaya Yang Sering Dilakukan Untuk

Meningkatkan Kompetensi pekerjaan sosial

Kegiatan 1, 2 dan 3 Kegiatan 1 dan 2 Kegiatan 1 dan 3 Kegiatan 2 dan 3Responden yang tidak menjawab

Page 204: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

47,79% Pekerja Sosial mengaku masyarakat

terlibat dalam penyelenggaraan pelayanan sosial di Panti

Sosial, 30,09% Pekerja Sosial menyatakan tidak terlibat

dan selebihnya 22,12% Pekerja Sosial tidak menjawab.

(33) Bantuan dari Organisasi Sosial/Organisasi

Masyarakat terhadap Panti Sosial, tersaji da-lam

diagram berikut ini :

Sebanyak 69,47% responden menyatakan pernah

mendapat bantuan dari Organisasi Sosial/Organisasi

Masyarakat terhadap Panti Sosial. Dan 22,12%

responden menyatakan tidak pernah, dan 8,41%

responden tidak menjawab.

187

47,79%, 108 org

30,09%, 68 org

22,12%, 50 org

Terlibat Tidak terlibat Responden yang tidak menjawab

69,47%, 157 org

22,12%, 50 org

8,41%, 19 org

Pernah Tidak Responden yang tidak menjawab

Diagram 33. Bantuan dari Organisasi

Sosial/Organisasi Masyarakat Terhadap Panti Sosial

Diagram 32. Keterlibatan Masyarakat Dalam

Penyelenggaraan Pelayanan Sosial Di Panti Sosial

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 205: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

(34) Pemberian bantuan/sumbangan kepada Panti

Sosial oleh orang tua klien, tersaji dalam diagram

berikut ini :

45,13% Pekerja Sosial membenarkan adanya

pemberian bantuan/sumbangan kepada Panti Sosial oleh

orang tua klien, 19,91% Pekerja Sosial menyatakan tidak

ada pemberian bantuan dan 34,96% Pekerja Sosial tidak

menjawab.

(35) Setelah klien diterminasi, apakah ada organisasi

sosial/organisasi masyarakat atau kelompok

masyarakat yang menggunakan tenaga mereka

untuk kegiatan ekonomi produktif, tersaji dalam

diagram berikut ini :

188

45,13%, 102 org

19,91%, 45 org

34,96% 79 org

Diagram 34. Pemberian Bantuan/Sumbangan Kepada

Panti Sosial oleh Orang Tua Klien

Ya Tidak Responden yang tidak menjawab

41,59%, 94 org

22,12%, 50 org

36,28%, 82 org

Diagram 35. Setelah klien Di Terminasi, Apakah Ada

Orsos/Ormas Atau Pokmas Yang Menggunakan Tenaga Mereka Untuk Kegiatan Ekonomi Produktif

Ada Tidak, Responden yang tidak menjawab

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 206: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Sebanyak 41,59% Pekerja Sosial mengung-

kapkan ada yang menggunakan tenaga klien yang

telah diterminasi. 22,12% Pekerja Sosial menyata-

kan tidak ada yang menggunakannya dan 36,28%

Pekerja Sosial tidak menjawab.

(36) Sejauh mana kepedulian masyarakat sekitar

terhadap keberadaan Panti Sosial, tersaji

dalam diagram berikut ini:

Sebanyak 44,69% Pekerja Sosial menyata-

kan bahwa masyarakat sekitar peduli terhadap ke-

beradaan Panti Sosial, 37,17% Pekerja Sosial me-

nyatakan sangat peduli, 7,52% Pekerja Sosial tidak

peduli dan 10,62% Pekerja Sosial tidak menjawab.

189

37,17%, 84 org

44,69%, 101 org

7,52%, 17 org10,62%, 24 org

Diagram 36. Sejauh Mana Kepedulian Masyarakat

Sekitar Terhadap Keberadaan Panti Sosial

Sangat peduli PeduliTidak peduli Responden yang tidak menjawab

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 207: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

190

No Jenjang Pendidikan F %

1 SLTA 1 1.03

2 SMPS 0 0.00

3 D I 0 0.00

4 D II 0 0.00

5 D III 3 3.09

6 D IV 3 3.09

7 S1 47 48.45

8 S2 43 44.33

9 S3

JUMLAH 97 100.00

2. Kepala Panti Sosial.

1) Latar Belakang Pendidikan.

Latar belakang pendidikan Kepala Panti Sosial

yang terbanyak adalah S1 (48,45%), diikuti S2 (44,33%),

namun masih ada yang berpendidikan tamatan SLTA,

yaitu sebanyak 1 (satu) orang.

2) Ketentuan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial (JFPS).

(37) Pemahaman Kepala Panti Sosial terhadap keten-

tuan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial, tersaji

dalam diagram berikut:

17.53%,17 org

24.74%, 24 org35,05%, 34 org

22,68%,22 org

Diagram 37. Pemahaman Kepala Panti Terhadap

Ketentuan JFPS

Ketentuan JFPS nomor 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 Ketentuan JFPS Nomor 3, 4 dan 5

Ketentuan JFPS Nomor 2 dan 3 Ketentuan JFPS Nomor 1

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 208: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Sebahagian besar (35,05%) Kepala Panti

Sosial, hanya memahami ketentuan yang lama

(1988) tentang Ketentuan JFPS yaitu SE Mensos

dan Kepala BAKN, Nomor B/C-01-VIII-88/MS dan

Nomor 17/SE/1988. Terbesar berikutnya (24,74%)

memahami ketentuan yang diterbitkan tahun beri-

kutnya yaitu: Kepmensos Nomor 10/HUK/1999

tentang Tata Kerja Tim Penilai dan Tata Kerja Peni-

laian Angka Kredit bagi jabatan Pekerja Sosial,

Kepmenpan Nomor KEP/03/M.PAN/I/2004 tentang

JFPS dan Angka Kreditnya, serta Keputusan Ber-

sama Mensos dan Kepala BAKN Nomor 05/HUK/

2004, dan 09 Tahun 2004 tentang Juklak JFPS dan

Angka Kredit. Sebanyak 22,58% menyatakan hanya

memahami satu produk kebijakan pemerintah, yaitu

Kepmenpan Nomor 45/MENPAN/1988 tentang

Angka Kredit bagi JPS. Yang paling rendah yaitu

17,53% memahami seluruh produk kebijakan

pemerintah yang mengatur Pekerja Sosial mulai

tahun 1988 sampai dengan 2007 berupa Kep-

menpan, Kepmensos, maupun Keputusan Bersama

Mensos dan Kepala BAKN.

Keterangan:

Ketentuan nomor 1, adalah Keputusan MENPAN No 45/

MENPAN/1988 tentang Angka Kredit Bagi Jabatan Pekerja

Sosial.

Ketentuan nomor 2, adalah Surat Edaran Bersama Menteri

Sosial dan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara,

Nomor B/C-01-VIII-88/MS, Nomor 17/SE/1988 tentang Angka

Kredit Bagi Jabatan Pekerja Sosial.

Ketentuan nomor 3, adalah Keputusan Menteri Sosial Nomor

10/HUK/1999 tentang Tatakerja Tim Penilai dan Tatacara

Penilaian Angka Kredit bagi Jabatan Pekerja Sosial.

191

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 209: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Ketentuan nomor 4, adalah Keputusan MENPAN Nomor

KEP/03/M.PAN/1/2004 tentang JFPS dan Angka Kreditnya.

Ketentuan nomor 5, adalah Keputusan Bersama Menteri Sosial

dan Kepala Badan Administrasi Kepegawaian Negara Nomor

05/HUK/2004, Nomor 09 Tahun 2004 tentang Petunjuk Pelaksa-

naan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial dan Angka Kreditnya.

Ketentuan nomor 6, adalah Keputusan Menteri Sosial Nomor

10/HUK/2007 tentang Pembinaan Teknis JFPS dan Keputusan

Menteri Sosial Nomor 43/HUK/2007 tentang Pedoman Pendidi-

kan dan Pelatihan JFPS.

(38) Pengetahuan Kepala Panti Sosial terhadap

perbedaan mendasar antara Keputusan

MENPAN Nomor 45/MENPAN/1988 tentang

Angka Kredit Bagi Jabatan Pekerja Sosial

dengan Keputusan MENPAN Nomor KEP/03/

M.PAN/1/2004 tentang JFPS dan Angka

Kreditnya, tersaji dalam diagram, berikut ini.

192

58,76%, 57 org

41,24%, 40 org

Diagram 38. Pengetahuan Kepala Panti Sosial

terhadap Perbedaan Mendasar Kepmenpan Nomor: 45/MENPAN/1988 tentang Angka Kredit bagi

Jabatan Pekerja Sosial dengan Keputusan Menpan Nomor: KEP/03/M.PAN/2004

tentang JFPS dan Angka Kreditnya

Mengetahui Tidak mengetahui

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 210: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Sebagian besar Kepala Panti Sosial

(58,76%) mengetahui perbedaan mendasar

Kepmenpan Nomor 45/MENPAN/1988 tentang

Angka Kredit bagi JPS dan Kepmenpan Nomor

KEP/03/M.PAN/I/2004 tentang JFPS dan Angka

Kreditnya. Hal ini berarti, sebagian besar (41,24%)

tidak mengetahui dan tidak membaca salah satu

dari Kepmenpan tersebut.

(39) Pengetahuan Kepala Panti Sosial terhadap

perbedaan mendasar antara Keputusan

Menteri Sosial Nomor 10/HUK/1989 tentang

Tata Kerja Tim Penilai dan Tata Cara Penilaian

Angka Kredit Bagi Jabatan Pekerja Sosial

dengan Keputusan Menteri Sosial Nomor

10/HUK/2007 tentang Pembinaan Teknis JFPS

dan Keputusan Menteri Sosial Nomor 43/HUK/

2007 tentang Pedoman Pendidikan dan Pelati-

han JFPS, tersaji dalam diagram, berikut ini:

193

64,95%, 63 org

35,05%, 34 org

Diagram 39. Pengetahuan Kepala Panti Sosial

terhadap Perbedaan Mendasar antara Keputusan Menteri Sosial Nomor: 10/HUK/1989 dengan

Keputusan Menteri Sosial No.10/HUK/2007 dan Keputusan Menteri Sosial Nomor: 43/HUK/2007

Mengetahui Tidak mengetahui

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 211: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Terkait dengan produk kebijakan Mensos,

yang berhubungan dengan Pekerja Sosial, seba-

gian besar Kepala Panti Sosial (64,95%) menge-

tahui perbedaan mendasar antara Kepmensos

Nomor 10/HUK/1999 dengan Kepmensos Nomor

10/HUK/2007 dan Nomor 43/HUK/2007. Gamba-

ran tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar

mengikuti perkembangan perubahan Kepmensos,

walaupun masih ada belum mengetahui perbe-

daan mendasar dari perubahan Kepmensos terse-

but, dengan angka yang cukup signifikan yaitu

35,05%.

(40) Pemahaman Kepala Panti Sosial terhadap

sustansi ketentuan Jabatan Fungsional

Pekerja Sosial (JFPS), tersaji dalam diagram

berikut ini:

Proporsi terbesar yaitu 42,27% Kepala Panti

Sosial pemahamannya terhadap substansi keten-

tuan JFPS yang komplit mulai dari: penetapan

formasi, kegiatan pelayanan kesejahteraan sosial,

194

42,27%, 41 org

36,08% , 35 org

4,12%, 4 org

17,53%, 17 org

Diagram 40. Pemahaman Kepala Panti Terhadap

Substansi Ketentuan JFPS

Ketentuan JFPS Nomor 1, 2, 3, 4, 5 dan 6 Ketentuan JFPS Nomor 3, 4 dan 5

Ketentuan JFPS Nomor 2 dan 3 Ketentuan JFPS Nomor 1

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 212: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

195

penerapan butir kegiatan pengembangan kualitas

pelayanan kesejahteraan sosial, penerapan butir

kegiatan pengembangan kualitas pelayanan

kesejahteraan sosial, mekanisme penetapan angka

kredit; pengangakatan, pembebasan sementara,

pengangkatan kembali dan pemberhentian dan

tentang Diklat JFPS.Berikutnya 36,08% menyata-

kan memahami tentang penerapan butir kegiatan

pelayanan kesejahteraan sosial, tentang mekanis-

me penetapan angka kredit; dan tentang pengang-

katan, pembebasan sementara, pengangkatan

kembali dan pemberhentian. Sebanyak 17,53%

menyatakan memahami hanya yang berkaitan

dengan penetapan formasi. Dan persentase yang

terkecil yaitu 4,12% hanya memahami tentang

penerapan butir kegiatan pengembangan kualitas

pelayanan kesejahteraan sosial.

Keterangan:

Ketentuan nomor 1, tentang penetapan formasi.

Ketentuan nomor 2, tentang penerapan butir

kegiatan pelayanan kesejahteraan sosial.

Ketentuan nomor 3, tentang penerapan butir

kegiatan pengembangan kualitas pelayanan

kesejahteraan sosial.

Ketentuan nomor4, tentang mekanisme penetapan

angka kredit.

Ketentuan nomor 5, tentang pengangakatan,

pembebasan sementara, pengangkatan kembali

dan pemberhentian.

Ketentuan nomor 6, tentang DIklat JFPS.

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 213: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

196

(41) Pemahaman Kepala Panti Sosial terhadap isi dari

buku pedoman atau panduan yang diterbitkan oleh

Kementerian Sosial, tersaji dalam diagram sebagai

berikut ini:

Pemahaman kepala Panti Sosial terhadap isi buku

pedoman atau panduan bagi Pekerja Sosial fungsional

yang diterbitkan Kementerian Sosial, sebanyak 59,79%

menyatakan jelas. 39,18% menyatakan kurang jelas dan

hanya 1,03% menyatakan tidak jelas.

(42) Harapan Kepala Panti Sosial terhadap Pekerja

Sosial dalam melaksanakan pelayanan sosial

sesuai pedoman/panduan Pekerja Sosial tersaji

dalam diagram sebagai berikut :

59,79%, 58 org

39,18%, 38 org1,03%, 1 org

Diagram 41. Pemahaman Kepala Panti terhadap

Isi Buku Pedoman atau Panduan BagiPekerja Sosial Fungsional

Jelas Kurang jelas Tidak jelas

54,64%, 53 org

4,12%, 4 org

23,71%, 23 org

17,53%, 17 org

Diagram 42. Harapan Kepala Panti Terhadap Pekerja

Sosial dalam Melaksanakan Pelayanan Sosial Sesuai Pedoman/Panduan Pekerja Sosial

Harapan Nomor 1 s.d 7 Harapan Nomor 4, 5 dan 6Harapan Nomor 2, 3 dan 4 Harapan Nomor 1

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 214: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

197

Sebanyak 54,64% Kepala Panti Sosial

menaruh 7 bentuk harapan kepada Pekerja Sosial,

yaitu: perlu mendapatkan penjelasan secara teknis

tentang pedoman/panduan, perlu memiliki/mempe-

roleh buku pedoman, perlu mendapatkan petunjuk

praktis dari pedoman/panduan, pedoman/panduan

selalu disesuaikan dengan perkembangan kegiatan/

tugas baru di lapangan, pedoman/panduan dapat

diberikan kepada Pekerja Sosial secara cuma-

Cuma, perlu dibuat buku saku, dan buku pedoman

tersebut perlu dilengkapi dengan buku-buku tentang

pekerjaan sosial.

Sebanyak 23,71% Kepala Panti Sosial me-

nyatakan setiap Pekerja Sosial perlu memiliki/

memperoleh buku pedoman, perlu mendapatkan

petunjuk praktis dari pedoman/panduan dan pedo-

man/panduan selalu disesuaikan dengan perkem-

bangan kegiatan/tugas baru di lapangan.

Berikutnya 17,53% Kepala Panti Sosial

menyatakan harapan bahwa perlu menapatkan pen-

jelasan secara teknis tentang pedoman/panduan,

dan 4,12% menyatakan harapan: pedoman/

panduan selalu disesuaikan dengan perkemba-

ngan kegiatan/tugas baru di lapangan, pedoman/

panduan dapat diberikan kepada Pekerja Sosial

secara cuma-cuma, perlu dibuat buku saku.

Keterangan:

Nomor 1, perlu mendapatkan penjelasan secara

teknis tentang pedoman/panduan.

Nomor 2, setiap Pekerja Sosial perlu memiliki/

memperoleh buku pedoman.

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 215: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

198

Nomor 3, perlu mendapatkan petunjuk praktis dari

pedoman/panduan.

Nomor 4, pedoman/panduan selalu disesuaikan

dengan perkembangan kegiatan/tugas baru di

lapangan.

Nomor 5, pedoman/panduan dapat diberikan kepa-

da Pekerja Sosial secara cuma-cuma.

Nomor 6, perlu dibuat buku saku.

Nomor 7, buku pedoman tersebut perlu dilengkapi

dengan buku-buku tentang pekerjaan sosial.

(43) Pemahaman Kepala Panti Sosial terhadap

proses pengumpulan angka kredit, tersaji

dalam Diagram berikut:

Hampir setengah para Kepala Panti Sosial

(44,33%) memahami proses pengumpulan angka

kredit cukup sulit, sebanyak 37,11% menyatakan

mudah dan 18,56% menyatakan sulit memahami.

44,33%, 43 org

18,56%, 18 org

37,11, 36 org

Diagram 43. Pemahaman Kepala Panti terhadap

Proses Pengumpulkan Angka Kredit Pekerja Sosial

Cukup sulit Sulit Mudah

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 216: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

199

(44) Upaya Kepala Panti Sosial agar Pekerja Sosial

dapat memperoleh angka kredit, tersaji dalam

diagram berikut ini:

Sebanyak 42,27% dari Kepala Panti Sosial

melakukan berbagai upaya agar Pekerja Sosial

dapat memperoleh angka kredit yaitu: mendorong

Pekerja Sosial bekerja sesuai dengan beban tugas

di dalam Panti Sosial, melaksanakan tugas dan

pelayanan sosial secara professional, bekerja

dengan baik dan mengikuti pelatihan, belajar sendiri

dan banyak bertanya; mengadakan penyuluhan dan

pembinaan masyarakat sekitar Panti Sosial,

mengadakan koordinasi dengan unit kerja terkait;

mencatat segala kegiatan dan menyediakan sarana

dan prasarana.

Sebanyak 31,96% melakukan upaya dengan

mendorong Pekerja Sosial bekerja sesuai dengan

beban tugas di dalam Panti Sosial. Sebesar 15,46%

melakukan upaya-upaya: mengadakan penyuluhan

dan pembinaan masyarakat sekitar Panti Sosial,

42,27%, 41 org

15,46%, 15 org

10,31%, 10 org

31,96%, 31 org

Diagram 44. Upaya Kepala Panti agar Pekerja Sosial Dapat Memperoleh Angka Kredit

8 (Delapan) Tindakan Tindakan Nomor 5, 6, dan 7 Tindakan Nomor 2, 3 dan 4 Tindakan Nomor 1

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 217: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

200

mengadakan koordinasi dengan unit kerja terkait

dan mencatat segala kegiatan. Berikutnya 10,31%

melakukan upaya-upaya: melaksanakan tugas dan

pelayanan sosial secara professional, bekerja

dengan baik dan mengikuti pelatihan dan belajar

sendiri dan banyak bertanya.

Keterangan:

Nomor 1, mendorong Pekerja Sosial bekerja sesuai dengan

beban tugas di dalam Panti Sosial.

Nomor 2, melaksanakan tugas dan pelayanan sosial secara

professional.

Nomor 3, bekerja dengan baik dan mengikuti pelatihan.

Nomor 4, belajar sendiri dan banyak bertanya.

Nomor 5, mengadakan penyuluhan dan pembinaan masya-

rakat sekitar Panti Sosial.

Nomor 6, mengadakan koordinasi dengan unit kerja terkait.

Nomor 7, mencatat segala kegiatan.

Nomor 8, menyediakan sarana dan prasarana.

(45) Upaya yang dilakukan berkaitan dengan me-

kanisme pengajuan kenaikan jabatan Pekerja

Sosial, tersaji dalam diagram berikut :

35,05%, 34 org

4,12%, 4 org46,39%, 45 org

14,43%, 14 org

Diagram 45. Upaya yang Dilakukan Terkait

Mekanisme Pengajuan Kenaikan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial

Upaya Nomor 1 s/d 6 Upaya Nomor 3, 4 dan 5

Upaya Nomor 1, 2 dan 3 Upaya Nomor 6

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 218: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

201

Upaya yang dilakukan Kepala Panti Sosial

terkait mekanisme pengajuan kenaikan jabatan

Pekerja Sosial, sebanyak 46,39% diantaranya

melalui upaya: membantu sesuai dengan meka-

nisme yang ada membantu menyesuaikan dengan

ketentuan yang ada, menyederhanakan prosedur

pengajuan kenaikan jabatan. 35,05% menyatakan

melakukan upaya-upaya sebagai berikut: memban-

tu sesuai dengan mekanisme yang ada, membantu

menyesuaikan dengan ketentuan yang ada, menye-

derhanakan prosedur pengajuan kenaikan jabatan,

mengadakan pendekatan dengan tim penilai untuk

mendapatkan petunjuk proses pengajuan, mening-

katkan prestasi kerja, membantu mengumpulkan

nilai angka kredit.

Sebanyak 14,43% menyatakan melakukan

upaya: membantu sesuai dengan mekanisme yang

ada. Dan 4,12% menyatakan upaya yang dilakukan:

menyederhanakan prosedur pengajuan kenaikan

jabatan, mengadakan pendekatan dengan tim

penilai untuk mendapatkan petunjuk proses

pengajuan dan meningkatkan prestasi kerja.

Keterangan:

Nomor1, membantu sesuai dengan mekanisme yang ada.

Nomor 2, membantu menyesuaikan dengan ketentuan

yang ada.

Nomor 3, menyederhanakan prosedur pengajuan kenai-

kan jabatan.

Nomor 4, mengadakan pendekatan dengan tim penilai

untuk mendapatkan petunjuk proses pengajuan.

Nomor 5, meningkatkan prestasi kerja.

Nomor 6, membantu mengumpulkan nilai angka kredit.

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 219: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

202

(46) Dukungan Kepala Panti Sosial terkait mekanis-

me pengajuan kenaikan jabatan Pekerja So-

sial, tersaji dalam diagram berikut:

Sebanyak 47,42% Kepala Panti Sosial mem-

berikan dukungan terkait mekanisme pengajuan

kenaikan jabatan Pekerja Sosial dalam bentuk koor-

dinasi untuk mendapatkan arahan/bimbingan dari

Tim PAK Pusat. Berikutnya 34,02% memberikan

dukungan dalam bentuk: koordinasi untuk menda-

patkan arahan/bimbingan dari tim penilai pusat,

membantu adanya kemudahan dari pejabat penilai,

memfasilitasi untuk dilakukan pembinaan/petunjuk

dari bagian kepegawaian dan membantu untuk

terpenuhinya angka kredit.

Selanjutnya sebanyak 13,40% memberikan

dukungan dalam bentuk: membantu adanya kemu-

dahan dari pejabat penilai, memfasilitasi untuk

dilakukan pembinaan/petunjuk dari bagian

34,02%, 33 org

13,40%, 13 org

5,15%, 5 org

47,42%, 46 org

Diagram 46. Dukungan Kepala Panti Terkait

Mekanisme Pengajuan Kenaikan Jabatan Pekerja Sosial

Dukungan nomor 1 s/d 5 Dukungan nomor 3, 4 dan 5

Dukungan nomor 2 Dukungan nomor 1

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 220: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

203

kepegawaian dan membantu untuk terpenuhinya

angka kredit. Yang menarik adalah 5,15% Kepala

Panti Sosial menyatakan tidak ada dukungan yang

diberikan.

Keterangan:

Nomor 1, berkoordinasi untuk mendapatkan arahan

/bimbingan dari tim penilai pusat.

Nomor 2, tidak ada dukungan.

Nomor 3, membantu adanya kemudan dari pejabat

penilai.

Nomor 4, memfasilitasi untuk dilakukan pembinaan/

petunjuk dari bagian kepegawaian.

Nomor 5, membantu untuk terpenuhinya angka

kredit.

(47) Harapan Kepala Panti Sosial agar mekanisme

pengajuan kenaikan jabatan fungsional

Pekerja Sosial lancar, tersaji dalam diagram

berikut:

29,90%, 29 org

43,30%, 42 org

5,15%, 5 org

21,65%, 21 org

Diagram 47. Harapan Kepala Panti Agar Mekanisme

Pengajuan Kenaikan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial Lancar

Harapan nomor 1 s.d 7 Harapan nomor 1, 2, 3, 4, 5 dan 6

Harapan nomor 1, 2, 3 dan 4 Harapan nomor 1

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 221: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

204

Proporsi terbesar yaitu 43,30% Kepala Panti

Sosial berharap agar mekanisme pengajuan kenai-

kan JFPS lancer, melalui berbagai langkah kebija-

kan sebagai berikut: usulan kenaikan pangkat tidak

dipersulit/tidak bertele-tele/birokrasi berbelit-belit,

perlu ada pembinaan/pelatihan terhadap tim penilai,

proses penilaian dan penurunan PAK lebih diperce-

pat, proses pengajuan perlu disederhanakan sam-

pai ke tingkat kota/kabupaten, sesuaikan dengan

prosedur resmi/berlaku; dan lebih transparan.

Terbesar kedua yaitu 29,90% berharap

melalui langkah kebijakan sama dengan diatas,

ditambah dengan: perlu disosialisasikan/penjelasan

tentang mekanisme pengajuan terhadap pejabat

fungsional Pekerja Sosial. Berikutnya 21,65%

berharap melalui langkah kebijakan agar pengusu-

lan kenaikan pangkat tidak dipersulit/tidak bertele-

tele/birokrasi berbelit-belit. Sisanya 5,15% berharap

melalui langkah kebijakan: usulan kenaikan pangkat

tidak dipersulit/tidak bertele-tele/birokrasi berbelit-

belit, perlu ada pembinaan/pelatihan terhadap tim

penilai;,proses penilaian dan penurunan PAK lebih

dipercepat dan proses pengajuan perlu disederha-

nakan sampai ke tingkat kota/ kabupaten.

Keterangan:

Nomor 1, usulan kenaikan pangkat tidak dipersulit/tidak

bertele-tele/ birokrasi berbelit-belit.

Nomor 2, perlu ada pembinaan/pelatihan terhadap tim

penilai.

Nomor 3, proses penilaian dan penurunan PAK lebih

dipercepat.

Nomor 4, proses pengajuan perlu disederhanakan

sampai ke tingkat kota/kabupaten.

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 222: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

205

Nomor 5, sesuaikan dengan prosedur resmi/berlaku.

Nomor 6, lebih transparan.

Nomor 7, perlu disosialisasikan/penjelasan tentang

mekanisme pengajuan terhadap pejabat fungsional

Pekerja Sosial.

(48) Dukungan terhadap upaya meningkatkan

tunjangan Pekerja Sosial tersaji dalam

diagram berikut:

Sebanyak 62,89% Kepala Panti Sosial

member ikan dukungan te rhadap upaya

meningkatkan tunjangan Pekerja Sosial melalui

berbagai kegiatan dan proyek dan sebanyak

23,71% melalui upaya memperjuangkan kepada

pimpinan Kementerian dan selebihnya (13,40%)

ternyata tidak dan belum memberikan dukungan.

(49) Harapan Kepala Panti Sosial terhadap upaya

meningkatkan tunjangan Pekerja Sosial tersaji

dalam diagram berikut:

13,40%, 13 org

23,71%, 23 org62,89%, 61 org

Diagram 48. Dukungan Terhadap Upaya

Meningkatkan Tunjangan Pekerja Sosial

Tidak/belum ada dukungan.Memperjuangkan kepada Pimpinan Departemen.Adanya dukungan dari kegiatan/proyek.

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 223: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

206

Harapan Kepala Panti Sosial terhadap upaya

meningkatkan tunjangan Pekerja Sosial, ternyata

sebanyak 53,61% mengharapkan perlu ditingkatkan

besarnya tunjangan fungsional Pekerja Sosial,

sebanyak 18,56% mengharapkan disesuaikan

dengan tunjangan jabatan fungsional yang ada di

instasi lain dan 14,43% berharap agar besarnya tun-

jangan disesuaikan dengan beban tugas dan besar-

nya biaya hidup di daerah, selebihnya sebesar

13,40% mengharapkan minimal tunjangan fung-

sional Pekerja Sosial setara dengan tunjangan

jabatan struktural.

(50) Pendapat Kepala Panti Sosial tentang meka-

nisme pengajuan kenaikan jabatan fungsional

Pekerja Sosial, tersaji dalam diagram berikut :

53,61%, 52 org

18,56%, 18 org

14,43%, 14 org

13,40%, 13 org

Diagram 49. Harapan Kepala Panti Sosial Terhadap

Upaya Meningkatkan Tunjangan Pekerja Sosial

Perlu ditingkatkan besarnya tunjangan fungsional pekerjasosial.Disesuaikan dengan tunjangan jabatan fungsional yang ada diinstansi lain.Besarnya tunjangan disesuaikan dengan beban tugas danbesarnya biaya hidup didaerahMinimal tunjangan fungsional pekerja sosial setara dengantunjangan jabatan struktural.

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 224: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

207

Apa pendapat Kepala Panti Sosial, terhadap

proses mekanisme pengajuan kenaikan jabatan

fungsional Pekerja Sosial, ternyata 51,55% menya-

takan mudah, 42,27% menyatakan cukup sulit dan

angka ini cukup besar dan yang menyatakan sulit

6,19%. Jika digabung yang menyatakan cukup sulit

dan sulit adalah 48,46% .

3) Kegiatan Pelayanan Kesejahteraan Sosial dan

Pengembangan Kualitas Pelayanan Kesejahte-

raan Sosial.

(51) Pemahaman Kepala Panti Sosial terhadap

penerapan metode, teknik dan ketrampilan

pekerjaan sosial, tersaji dalam diagram

berikut:

42,27%, 41 org

6,19%, 6 org

51,55%, 50 org

Diagram 50. Pendapat Kepala Panti Tentang

Proses Mekanisme Pengajuan Kenaikan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial

Cukup Sulit Sulit Mudah

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 225: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

208

Sebanyak 34,02% Kepala Panti Sosial menjawab

memahami dan mampu menerapkan sebagian terhadap

penerapan metode, teknik dan ketrampilan Pekerja

Sosial. 16,49% memahami dan mampu menerapkan

seluruhnya. 17,53% memahami namun tidak mampu

menerapkan. Dan 31,96% ternyata tidak memahami.

(52) Latar belakang Kepala Panti Sosial tidak mema-

hami penerapan metode, teknik dan keterampilan

pekerjaan sosial, tersaji dalam diagram berikut :

31,96%, 31 org

17,53%, 17 org

34,02%, 33 org

16,49%, 16 org

Diagram 51. Pemahaman Kepala Panti

Terhadap Penerapan Metode, Teknik dan Keterampilan Pekerjaan Sosial

Tidak memahami

Memahami namun tidak mampu menerapkan

Memahami dan mampu menerapkan sebagian

Memahami dan mampu menerapkan seluruhnya

22,68%, 22 org

10,31%,10 org54,64%,

53 org

12,37%, 12 org

Diagram 52. Latar Belakang Ketidakpahaman

Kepala Panti Terhadap Penerapan Metode, Teknik dan Keterampilan Pekerjaaan Sosial

Alasan nomor 1, 2 dan 3 Alasan nomor 1 dan 2Alasan nomor 1 dan 3 Alasan nomor 2 dan 3

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 226: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

209

Latar belakang ketidakpahaman Kepala Panti

Sosial terhadap penerapan metode, teknik dan

ketrampilan Pekerjaan Sosial, sebanyak 54,64%

karena tidak mengetahui bidang tugas Pekerja

Sosial dan tidak memberikan pelayanan langsung.

Sebanyak 22,68% karena tidak mengetahui

bidang tugas Pekerja Sosial, kurang meminati

bidang pekerjaan sosial; dan tidak memberikan

pelayanan lagsung. Diikuti sebanyak 12,37%

menyatakan kurang meminati bidang pekerjaan

sosial dan tidak memberikan pelayanan langsung.

Berikutnya 10,31% karena tidak mengetahui

bidang tugas Pekerja Sosial dan kurang meminati

bidang pekerjaan sosial.

Keterangan:

Nomor 1, tidak mengetahui bidang tugas Pekerja Sosial.

Nomor 2, kurang meminati bidang pekerjaan sosial.

Nomor 3, tidak memberikan pelayanan langsung.

(53) Keterlibatan Pekerja Sosial dalam penyusunan

program dan kegiatan di unit kerjanya, tersaji

dalam diagram berikut ini :

52,58%, 51 org

47,42%, 46 org

Diagram 53. Keterlibatan Pekerja Sosial Dalam Penyusunan Program dan Kegiatan di Unit Kerja

Dilibatkan Tidak Dilibatkan

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 227: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

210

Menurut Kepala Panti Sosial, sebanyak

52,58% menyatakan melibatkan Pekerja Sosial

dalam penyusunan program dan kegiatan di unit

kerja, sedangkan sisanya yaitu 47,42% tidak meli-

batkan Pekerja Sosial.

(54) Alasan Pekerja Sosial tidak dilibatkan dalam

penyusunan program unit kerja, tersaji dalam

diagram berikut ini:

Alasan utama Kepala Panti Sosial tidak

dilibatkan dalam penyusunan program unit kerja,

sebesar 73,20% menyatakan karena: bukan bidang

tugas Pekerja Sosial, Pekerja Sosial kurang aktif

dalam penyusunan program dan kemampuan

Pekerja Sosial tidak memadai.

Keterangan:

Nomor 1, bukan bidang tugas Pekerja Sosial.

Nomor 2, Pekerja Sosial kurang aktif dalam penyusunan

program.

Nomor 3, kemampuan Pekerja Sosial tidak memadai.

73,20%, 71 org

11,34%, 11 org1,03%. 1 org

14,43%, 14 org

Diagram 54. Alasan Pekerja Sosial Tidak Dilibatkan

Dalam Penyusunan Program Unit Kerja

Alasan nomor 1 s/d 3 Alasan nomor 1 dan 2

Alasan nomor 1 dan 3 Alasan nomor 2 dan 3

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 228: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

211

(55) Ketersediaan alokasi anggaran untuk pening-

katan kompetensi Pekerja Sosial di unit kerja

tersaji dalam diagram 93 berikut ini.

Separuh lebih (52,58%) Kepala Panti Sosial

ternyata belum menyediakan anggaran untuk

peningkatan kompetensi Pekerja Sosial di unit kerja,

dan sisanya 47,42% menyatakan sudah menye-

diakan.

(56) Tahapan pelayanan sosial yang sering

menemui hambatan, tersaji dalam diagram

berikut ini :

52,58%, 51 org

47,42%, 46 org

Diagram 55. Ketersediaan Alokasi Anggaran untuk

Peningkatan Kompetensi Pekerja Sosial Di Unit Kerja

Belum Tersedia Sudah Tersedia

44,33%, 43 org

27,84%, 27 org

10,31%, 10 org

17,53%, 17 org

Diagram 56. Tahapan Praktek Pekerjaan Sosial yang

Sering Menemui Hambatan

Tahapan nomor 1 s/d 6 Tahapan nomor 3, 4 dan 5Tahapan nomor 2 dan 3 Tahapan nomor 6

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 229: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Sebanyak 44,33% Kepala Panti Sosial

menyatakan bahwa tahapan pelayanan sosial yang

sering menemui hambatan adalah mulai dari:

pendekatan awal, assemen, penyusunan rencana

intervensi, pelaksanaan intervensi, evaluasi,

terminasi dan rujukan dan bimbingan dan pembinaan

lanjut.

Sebanyak 27,84% adalah pada: penyusunan

rencana intervensi, pelaksanaan intervensi dan

evaluasi, terminasi dan rujukan. Sebanyak 17,53%

menyatakan pada tahapan bimbingan dan pembi-

naan lanjut. Dan sebanyak 10,31% menyatakan pada

tahapan assesmen dan penyusunan rencana

intervensi.

Keterangan:

Nomor 1, pendekatan awal.

Nomor 2, asesmen.

Nomor 3, penyusunan rencana intervensi.

Nomor 4, pelaksanaan intervensi.

Nomor 5, evaluasi, terminasi dan rujukan.

Nomor 6, bimbingan dan pembinaan lanjut.

(57) Pembagian kewenangan antara pejabat struk-

tural, pejabat fungsional dan Pekerja Sosial

tersaji dalam diagram, berikut ini:

43,30%, 42 org

56,70%, 55 org

Diagram 57. Pelaksanaan Kegiatan Pengembangan

Kualitas Pelayanan Kesejahteraan Sosial

Sudah Dilaksanakan Belum Dilaksanakan

212

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 230: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Berapa banyak Kepala Panti Sosial yang

melaksanakan kegiatan pengembangan kualitas

pelayanan kesejahteraan sosial, ternyata sebanyak

43,30% menyatakan sudah melaksanakan dan ter-

besar 56,70% menyatakan belum melaksanakan,

tentunya gambaran ini cukup memprihatinkan dalam

upaya meningkatkan mutu Pekerja Sosial di Panti

Sosial.

(58) Pembagian kewenangan antara pejabat struk-

tural, pejabat fungsional dan Pekerja Sosial

tersaji dalam diagram, berikut ini :

Terkait dengan pembagian kewenangan

antara pejabat struktural, fungsional dan Pekerja

Sosial, angkanya cukup signifikan yaitu 70,10%

para Kepala Panti Sosial menyatakan sudah

dilaksana-kan, dan sekitar 29,90% yang belum

dilaksanakan. Dalam hal ini, kewenangan cepat-

cepat dibagikan, tapi tidak seimbang dengan

dukungan anggaran dan perencanaan yang masih

lebih rendah persentasenya.

213

70,10%, 68 org

29,90%, 29 org

Diagram 58. Pembagian Kewenangan Antara Pejabat Struktural, Fungsional dan Pekerja Sosial

Sudah Dilaksanakan Belum Dilaksanakan

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 231: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

(59) Penerapan pembagian kewenangan kegiatan antar

jenjang Pekerja Sosial sesuai Keputusan MENPAN

No. KEP/03/M.PAN/1/2004, tersaji dalam diagram

berikut ini:

Sebanyak 56,70% Kepala Panti Sosial menyata-

kan belum dilaksanakan penerapan pembagian kewena-

ngan kegiatan antar jenjang Pekerja Sosial sesuai

KepMenpan Nomor KEP/03/M.PAN/I/2004,dan sebanyak

43,30% menyatakan sudah dilaksanakan.

4) Formasi Pekerja Sosial.

(60) Pendapat Kepala Panti Sosial tentang formasi

Pekerja Sosial di unit kerjanya, tersaji dalam

diagram berikut ini.

214

43,30%, 42 org

56,70%, 55 org

Diagram 59. Penerapan Pembagian Kewenangan

Kegiatan Antar Jenjang Pekerja Sosial Sesuai Kep.Menpan No. KEP/03/M.PAN/1/2004

Sudah Dilaksanakan Belum Dilaksanakan

24,74%, 24 org

75,26%, 73 org

Diagram 60. Pendapat Kepala Panti tentang

Formasi Pekerja Sosial di Unit Kerja

Sudah Mencukupi Belum Mencukupi

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 232: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Hanya sebagian kecil Kepala Panti Sosial

menyatakan bahwa formasi Pekerja Sosial sudah

mencukupi (24,74%), sedangkan terbesar yaitu

75,26% menyatakan belum mencukupi.

5) Penilaian Angka Kredit.

(61) Tanggapan Kepala Panti Sosial tentang pem-

bentukan Tim Penilai Angka Kredit Pembantu

di Unit Kerja, tersaji dalam diagram berikut ini:

45,10% Kepala Panti Sosial menyatakan

kurang efektif, 40,20% menyatakan sangat efektif,

13,73% menyatakan efektif dan sudah berjalan dan

0,98% menyatakan sudah berjalan tapi belum

efektif.

6) Kompetensi Pekerja Sosial.

(62) Tanggapan Kepala Panti Sosial tentang keter-

kaitan antara pendidikan profesi pekerjaan

sosial dengan mutu pelayanan sosial, tersaji

dalam diagram berikut ini:

215

40,20%, 41 org

13,73%, 14 org0,98%, 1 org

45,10%, 46 org

Diagram 61. Tanggapan Kepala Panti TentangPembentukan Tim PenilaiAngka Kredit

Pembantu diUnit Kerja

Sangat efektif Efektif dan sudah berjalanSudah Berjalan tetapi belum efektif Kurang efektif

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 233: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Sebanyak 72,16% Kepala Panti Sosial menyata-

kan bahwa pendidikan pekerjaan sosial sangat terkait de-

ngan mutu pelayanan. Sekitar 13,40% menyatakan pen-

didikan pekerjaan sosial cukup terkait dengan mutu pela-

yanan, berikutnya 13,40% menyatakan pendidikan peker-

jaan sosial tidak terkait dengan mutu pelayanan dan

sebanyak 1,03% berpendapat bahwa pendidikan peker-

jaan sosial belum begitu terkait dengan mutu pelayanan.

(63) Keinginan pegawai berlatar belakang pendidikan

non profesi pekerjaan sosial untuk menempuh

pendidikan profesi pekerjaan sosial tersaji dalam

diagram berikut ini:

216

72,16%, 70 org

13,40%, 13 org

1,03%, 1 org13,40%, 13 org

Diagram 62. Tanggapan Kepala Panti Tentang KeterkaitanAntara Pendidikan Profesi Pekerjaan Sosial

Dengan Mutu Pelayanan Sosial

Pendidikan Pekerjaan Peksos sangat terkait dengan mutu pelayanan

Pendidikan Pekerjaan Peksos cukup terkait dengan mutu pelayanan

Pendidikan Pekerjaan Peksos belum begitu terkait dengan mutu pelayanan

Pendidikan Pekerjaan Peksos tidak terkait dengan mutu pelayanan

73,20%, 71 org

26,80%, 26 org

Diagram 63. Keinginan Pegawai Berlatar Belakang

Pendidikan Non Pekerjaan Sosial Untuk Menempuh Pendidikan Profesi Pekerjaan Sosial

Ada Tidak Ada

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 234: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Menurut Kepala Panti Sosial, sebanyak 73,20%

menyatakan bahwa ada keinginan pegawai berlatar

belakang non kesejahteraan sosial untuk menem-

puh pendidikan profesi Pekerjaan Sosial, hanya

sekitar 26,80% menyatakan tidak ada lagi keinginan.

(64) Kegiatan yang dilakukan unit kerja untuk

meningkatkan kompetensi Pekerja Sosial,

tersaji dalam diagram berikut ini:

Apa yang dilakukan unit kerja untuk mening-

katkan kompetensi Pekerja Sosial, sebanyak 47,42%

Kepala Panti Sosial menjelaskan melalui: memoti-

vasi kinerja Pekerja Sosial, melalui Diklat, menye-

diakan buku referensi Pekerjaan Sosial.

Sebanyak 34,02% Kepala Panti Sosial mela-

lui upaya memotivasi kinerja Pekerja Sosial, seba-

nyak 13,40% Kepala Panti Sosial melalui diklat dan

sebanyak 5,15% Kepala Panti Sosial dengan kegia-

tan menyediakan buku referensi Pekerjaan Sosial.

217

34,02%, 33 org

13,40%, 13 org5,15%, 5 org

47,42%, 46 org

Diagram 64. Kegiatan yang Dilakukan Unit Kerja Untuk Meningkatkan Kompetensi Pekerja Sosial

Memotivasi kinerja Pekerja SosialMelalui DiklatMenyediakan buku referensi Pekerjaan SosialSemua kegiatan 1 s.d 3

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 235: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

(65) Frekuensi kegiatan peningkatan kompetensi

Pekerja Sosial setiap tahun, tersaji dalam diagram

berikut ini:

Frekuensi kegiatan yang dilakukan oleh Kepala

Panti Sosial untuk peningkatan kompetensi Pekerja

Sosial setiap tahun, sebanyak 45,36% melakukan lebih

dari 10 kegiatan, 32,99% sebanyak 1 sampai dengan 2

kegiatan, 13,40% sejumlah 3 sampai dengan 4 kegiatan,

dan 8,25% sejumlah 5 sampai dengan 9 kegiatan.

(66) Unit kerja yang sering melakukan kegiatan pening-

katan kompetensi Pekerja Sosial, tersaji dalam

diagram berikut ini:

218

45,36%, 44 org

8,25%, 8 org13,40%, 13 org

32,99%, 32 org

Diagram 65. Frekuensi Kegiatan Peningkatan

Kompetensi Pekerja Sosial Setiap Tahun

Lebih dari 10 kegiatan 5 s.d 9 kegiatan

3 s.d 4 kegiatan 1 s.d 2 kegiatan

57,73%, 56 org16,49%, 16 org

10,31%, 10 org

15,46%, 15 org

Diagram 66. Unit Kerja yang Sering Melakukan

Kegiatan Peningkatan Kompetensi Pekerjaan Sosial

Unit nomor 1,2 dan 3 Unit nomor 1 dan 2Unit nomor 1 dan 3 Unit nomor 2 dan 3

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 236: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Menurut Kepala Panti Sosial, unit kerja yang

sering melakukan kegiatan peningkatan kompetensi

Pekerja Sosial, sebanyak 57,73% menyatakan

Balia besar Diklat Kesejahteraan Sosial, unit kerja

dilingkungan Ditjen Yanrehsos dan Biro Organisasi

dan Kepegawaian. Sebanyak 16,49% mengutara-

kan Balai Besar Diklat Kesejahteraan Sosial dan unit

kerja di lingkungan Ditjen Yanrehsos dan sebanyak

15,46% menyatakan pada unit kerja di lingkungan

Ditjen Yanrehsos dan unit Biro Organisasi dan Kepe-

gawaian. Sisanya 10,31% menyatakan Balai Besar

Diklat Kesejahteraan Sosial dan Biro Organisasi dan

Kepegawaian.

Keterangan:

Nomor 1, Balai Besar Diklat Kesejahteraan Sosial.

Nomor 2, Unit kerja di lingkungan Ditjen Yanrehsos.

Nomor 3, Biro Organisasi dan Kepegawaian.

(67) Jenis kegiatan peningkatan kompetensi Pekerja

Sosial yang dilakukan oleh Unit Kerja, tersaji dalam

diagram berikut ini:

219

31,96%, 31 org

40,21%, 39 org

15,46%, 15 org

12,37%, 12 org

Diagram 67. Jenis Kegiatan Peningkatan Kompetensi

Pekerja Sosial Yang Dilakukan

Kegiatan nomor 1, 2 dan 3 Kegiatan nomor 1 dan 2

Kegiatan nomor 1 dan 3 Kegiatan nomor 2 dan 3

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 237: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Sebanyak 40,21% Kepala Panti Sosial

menyebutkan jenis kegiatan peningkatan kompe-

tensi Pekerja Sosial yang dilakukan adalah pembi-

naan/supervise dan penataan administrasi Pekerja

Sosial. 31,96% menyebutkan jenis kegiatan yang

dilakukan adalah pembinaan dan supervise, pena-

taan administrasi Pekerja Sosial dan assesmen

Pekerja Sosial. Berikutnya 15,46% menyebutkan

jenis kegiatan pembinaan dan supervisi dan asses-

men Pekerja Sosial dan sebesar 12,37% menyata-

kan melalui jenis kegiatan penataan administrasi

Pekerja Sosial dan assesmen Pekerja Sosial.

Keterangan:

Nomor 1, pembinaan/supervise.

Nomor 2, penataan administrasi Pekerja Sosial.

Nomor 3, Assesment Pekerja Sosial.

7) Sarana Penunjang Kerja Pekerja Sosial.

(68) Ketersediaan ruang konsultasi Pekerja Sosial,

tersaji dalam diagram berikut ini:

220

43,30%, 42 org

30,93%, 30 org

25,77%, 25 org

Diagram 68. Ketersediaan Ruang Konsultasi

Pekerja Sosial

Tidak ada Ada dan bergabung dengan lainnya Tersendiri

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 238: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

25,77% dari Kepala Panti Sosial menyatakan

menyediakan ruangan konsultasi Pekerja Sosial

secara tersendiri dan 30,93% menyatakan menye-

diakan ruang konsultasi Pekerja Sosial bergabung

dengan ruang lainnya, sisanya dan proporsi terbe-

sar (43,30%) Kepala Panti Sosial tidak ada menye-

diakan ruang konsultasi Pekerja Sosial.

8) Partisipasi Masyarakat.

(69) Keterlibatan masyarakat dalam penyeleng-

garaan pelayanan sosial di Panti Sosial, tersaji

dalam diagram berikut ini:

64,00% Kepala Panti Sosial mengaku meli-

batkan masyarakat dalam penyelenggaraan pelaya-

nan sosial di Panti Sosial dan 36,00% dari Kepala

Panti Sosial mengaku tidak melibatkan masyarakat.

(70) Bantuan dari organisasi sosial/organisasi

masyarakat terhadap Panti Sosial, tersaji

dalam diagram berikut ini :

221

64,00%, 32 org

36,00%, 18 org

Diagram 69. Keterlibatan Masyarakat Dalam

Penyelenggaraan Pelayanan Sosial di Panti Sosial

Dilibatkan Tidak Dilibatkan

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 239: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Yang menarik memang bantuan orsos dan

ormas luar biasa, hampir 100%, persisinya 91,75%

dari Kepala Panti Sosial mengungkapkan bahwa

Panti Sosial yang dipimpinnya pernah mendapatkan

bantuan dari organisasi sosial/masyarakat. Hanya

8,25% dari Kepala Panti Sosial mengaku tidak per-

nah mendapatkan bantuan dari organisasi sosial/

masyarakat.

(71) Kontribusi orang tua klien terhadap Panti

Sosial, tersaji dalam diagram berikut ini :

222

91,75%, 89 org

8,25%, 8 org

Diagram 70. Bantuan Organisasi Sosial/ Organisasi Masyarakat Terhadap Panti Sosial

Pernah Tidak Pernah

53,12%, 51 org

46,88%, 45 org

Diagram 71. Kontribusi Orang Tua Klien

Terhadap Panti Sosial

Ada Tidak Ada

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 240: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Sebanyak 53,12% Kepala Panti Sosial me-

nyatakan bahwa ada kontribusi orang tua klien

terhadap Panti Sosial dan sisanya 46,88% dari

Kepala Panti Sosial menyatakan tidak ada kontribusi

orang tua klien terhadap Panti Sosial.

(72) Kepedulian masyarakat terhadap keberadaan

Panti Sosial, tersaji dalam diagram berikut ini:

Bagaimana dengan kepedulian masyarakat

terhadap keberadaan Panti Sosial, ternyata 60,82%

Kepala Panti Sosial menyatakan peduli dan 39,18%

Kepala Panti Sosial mengungkapkan sangat peduli

dan tidak ada Kepala Panti Sosial yang menyatakan

tidak peduli.

223

39,18%, 38 org

60,82%, 59 org

0%

Diagram 72. Kepedulian Masyarakat Terhadap

Keberadaan Panti Sosial

Sangat Peduli Peduli Tidak Peduli

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 241: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

(73) Peran tenaga fungsional Pekerja Sosial dalam

melaksanakan tugas-tugas pekerjaan sosial

untuk masyarakat sekitar, tersaji dalam

diagram berikut ini:

Menurut Kepala Panti Sosial, 69,07% dianta-

ranya menjelaskan bahwa tenaga fungsional

Pekerja Sosial melaksanakan perannya dalam

melaksanakan tugas pekerjaan sosial untuk mas-

yarakat sekitarnya dan sisanya 30,93% Kepala

Panti Sosial mengungkapkan tenaga fungsional

Pekerja Sosial tidak pernah melaksanakan tugas

pekerjaan sosial untuk masyarakat sekitarnya.

224

69,07%, 67 org

30,93%, 30 org

Diagram 73. Peran Tenaga Fungsional Pekerja

Sosial Dalam Melaksanakan Tugas Pekerjaan Sosial Untuk Masyarakat Sekitar

Melaksanakan Tidak Melaksanakan

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 242: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

BAB VIMEMBAHAS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN NASIONAL

TENTANG MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

225

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 243: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

226

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 244: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

BAB VIMEMBAHAS IMPLEMENTASI KEBIJAKAN NASIONAL

TENTANG MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

BAGIAN di bab VI ini adalah merupakan kajian menda-

lam yang membahas tentang implementasi kebijakan

nasional tentang mutu pekerja sosial di era otonomi

daerah dimana terdapat tiga hal utama yang menjadi

pembahasan.

Ketiga hal yang menjadi pembahasan di bab VI ini

adalah: Pertama, Evaluasi Substansi, Implementasi dan Hasil

Pelaksanaan Kebijakan Nasional Tentang Mutu Pekerja

Sosial. Kedua, Analisis SWOT Kementerian Sosial Dalam

Menghadapi Implementasi Kebijakan Nasional Tentang Mutu

Pekerja Sosial dan Ketiga, Strategi Program Implementasi

Kebijakan Nasional Tentang Mutu Pekerja Sosial.

A. Evaluasi Substansi, Implementasi dan Hasil Pelaksanaan

Kebijakan Nasional Tentang Mutu Pekerja Sosial.

Masalah semakin menurunnya mutu Pekerja Sosial

diawali dari dibubarkannya Departemen Sosial tahun 1999-

2000 dan adanya otonomi daerah dengan penyerahan personil,

prasarana, peralatan dan dana kepada Pemda Propinsi. Tahun

1999-2000 adalah tahun titik nadir dimana fungsi pelayanan

sosial oleh Pekerja Sosial di Panti Sosial pada titik terendah.

227

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 245: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Banyak Panti Sosial yang tidak mempunyai tenaga

fungsional Pekerja Sosial, tidak ada atau tidak standarnya

pelayanan sosial, fungsi Panti Sosial hanya sebagai tempat

untuk memberi makan klien. Untuk Panti-Panti Sosial yang

diserahkan ke pemerintah daerah, sarana prasarana dan

peralatan semakin berkurang, tidak terurus, klien setiap tahun

berkurang, bahkan ada Panti Sosial yang beralih fungsi

menjadi kantor satuan kerja pemerintah daerah yang tidak ada

hubungannya dengan kesejahteraan sosial, bahkan ada yang

dijadikan kantor DPRD Kabupaten dan kepentingan lainnya.

Para Direktur Ditjen Yanrehsos dan para Kepala Balai

Besar Diklat Kessos di 6 (enam) wilayah kerjanya sebagai

stakeholder Kementerian Sosial, memerlukan waktu berta-

hun-tahun (3-5 tahun) untuk memulihkan kembali atmosfir

pelayanan sosial kepada kondisi dan situasi yang lebih

kondusif untuk terlaksananya pelayanan sosial di Panti Sosial.

Dengan keterbatasan baik dana dan tenaga, upaya recovery

telah dilakukan Kementerian Sosial khususnya untuk Panti

Sosial yang dikelola Pemerintah Pusat, sedangkan Panti

Sosial daerah masih sangat lambat, bahkan ada yang

menginginkan agar Panti Sosial daerah kembali diserahkan

dan dikelola oleh Pemerintah Pusat.

Pada periode tahun 2004 sampai dengan 2009, telah

dilaksanakan berbagai kegiatan perbaikan dan penyempur-

naan dari periode awal berdirinya kembali Departemen Sosial

pada tahun 2001, setelah dilikuidasi pada tahun 1999. Secara

bertahap berbagai kondisi dan problema yang dihadapi terkait

peningkatan mutu Pekerja Sosial dalam melaksanakan pela-

yanan sosial di dalam Panti Sosial terus dilakukan walaupun

berjalan dengan lambat.

Dari hasil studi yag diuraikan di bab sebelumnya, maka

228

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 246: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

dapat dirumuskan bahwa mutu Pekerja Sosial adalah,

kemampuan memberikan pelayanan sosial yang diinginkan

oleh masyarakat pengguna, dalam hal ini adalah klien sebagai

Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial.

Demikian juga setelah dilakukan kajian yang mendalam

substansi kebijakannya, menyimpulkan bahwa substansi

kebijakan yang berhubungan dengan upaya menjaga mutu

Pekerja Sosial sudah secara detail diatur dan komprehensif,

termasuk unsur-unsur ataupun kriteria mutu Pekerja Sosial

dalam melaksanakan pelayanan sosial di Panti Sosial.

Kriteria dimaksud merupakan persyaratan untuk terca-

painya standar pelayanan sosial di Panti Sosial (Kepmensos

Nomor 50/HUK/ 2004), dengan demikian sangat berkaitan erat

antara standar pelayanan Sosial di Panti Sosial dengan mutu

Pekerja Sosial. Semakin tinggi mutu Pekerja Sosial dipastikan

akan semakin baik pelayanan sosial di Panti Sosial.

Namun demikian, ada beberapa tindak lanjut yang perlu

dilakukan untuk melengkapi ketentuan/pedoman yang ada.

Pedoman dimaksud mencakup Pedoman teknis pelayanan

sosial oleh Pekerja Sosial di rumah sakit, lembaga pemasyara-

katan dan berbagai petunjuk teknis yang perlu diterbitkan oleh

Badan Pendidikan dan penelitian Kessos sebagai pedoman

latihan setiap jenjang jabatan dan pangkat fungsional Pekerja

Sosial.

Menilai keberhasilan suatu kebijakan perlu dikembang-

kan beberapa indikator, karena penggunaan indikator yang

tunggal akan membahayakan, dalam arti hasil penilaiannya

dapat bias dari yang sesungguhnya.

Indikator atau kriteria evaluasi yang dapat dikembang-

kan oleh Dunn (1994) mencakup lima indikator sebagai eva-

luasi hasil pelaksanaan kebijakan yang secara umum terbagi

229

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 247: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

atas 5 indikator yaitu indikator efektifitas, kecukupan, pemera-

taan, responsivitas dan ketepatan.

Dengan mengacu pada kerangka indikator yang dikem-

bangkan Dunn tersebut, dalam penelitian ini dikembangkan

modifikasi indikator yang mencakup, indikator latar belakang

pendidikan. Proporsi yang berpendidikan SMA/SMPS, dengan

S1 untuk Pekerja Sosial berimbang masing-masing 37% dan

38,5%, bandingkan dengan para Kepala Panti Sosial 90%

berpendidikan S1 dan S2 dan SMA hanya 1 orang. Dalam

situasi seperti ini, seharusnya sudah perlu diperioritaskan

meningkatkan pendidikan bagi Pekerja Sosial. Kondisi

tersebut tentu sangat menyulitkan posisi Pekerja Sosial

terhadap Kepala Pantai Sosial, dilihat dari sudut pendidikan

saja sudah cukup lebar kesenjangannya.

Berikutnya adalah indikator: Ketentuan jabatan

fungsional Pekerja Sosial, Kegiatan pelayanan sosial dan

pengembangan kualitas pelayanan sosial, Formasi;

Penilaian angka kredit, Kompetensi profesi Pekerja Sosial dan

indikator Partisipasi masyarakat.

Kepala Panti Sosial, walaupun pendidikannya lebih

tinggi dari Pekerja Sosial, banyak hal-hal yang harus dipahami,

diketahui, dipedomani dan dilaksanakan terkait dengan

standar pelayanan sosial di Panti Sosial masih belum sebagai-

mana diharapkan. Antara lain penerapan pembagian kewena-

ngan antar jenjang Pekerja Sosial, hanya sekitar 59% dari

Kepala Panti Sosial melaksanakannya. Contoh lain adalah

penerapan Tim PAK, sekitar 62% menyatakan sudah menja-

lankannya tetapi belum efektif.

Terkait dengan indikator penilaian dan pengumpulan

angka kredit, juga kondisinya sangat memprihatinkan, sete-

ngah dari Pekerja Sosial menyatakan cukup sulit dan sulit

230

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 248: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

dalam memperoses pengumpulan angka kredit dan sudah

dapat dipastikan sekitar setengah dari Pekerja Sosial akan

mengalami problem untuk kenaikan pangkat, kondisi ini akan

menurunkan semangat dan kinerja para Pekerja Sosial.

Bagaimana dukungan Kepala Panti Sosial untuk

mengatasi kesulitan tersebut, terbesar (47%) memberikan

kemudahan dan memberikan pengarahan. Tentu dukungan

tersebut belumlah optimal dan ironisnya ada sekitar 7%

Kepala Panti Sosial tidak memberikan dukungan atas

kesulitan Pekerja Sosial tersebut.

Keadaan yang sama terjadi pada mekanisme pengajuan

kenaikan pangkat dan dukungan fasilitas pembuatan

dokumen angka kredit, hampir 40% dan 45% Pekerja Sosial

mengeluh cukup sulit/sulit dan tidak memadai.

Hal yang langsung terkait dengan indikator pelayanan

sosial dan pengembangan kualitas pelayanan sosial adalah

mencakup metode, teknik dan keterampilan Pekerja Sosial,

sebanyak 45% dari Pekerja Sosial menyatakan tidak mema-

hami, berarti hampir separuhnya tidak paham bagaimana

caranya melaksanakan pelayanan sosial di Panti Sosial.

Bagaimana dengan 6 (enam) tahap pelayanan sosial,

ternyata hampir setengahnya (43%) dari Pekerja Sosial

mengalami kesulitan/hambatan pada keenam tahap

pelayanan sosial tersebut.

Tentu kondisi ini tidak sesuai dengan standar pelayanan

sosial di Panti Sosial, yang pada gilirannya mempengaruhi

tingkat keterampilan klien yang dihasilkan. Untuk indikator

pengembangan kualitas pelayanan kesejahteraan sosial, 17%

menyatakan belum dan 12% tidak menjawab. Keadaan ini

lebih baik, karena lebih dari 69% menyatakan sudah

melaksanakan. Kondisi lain yang menyebabkan rendahnya

231

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 249: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

kemampuan Pekerja Sosial dalam melaksanakan Tupoksinya,

adalah tidak jelasnya pembagian kewenangan pejabat

struktural dan fungsional Pekerja Sosial.

Dalam hal ini setengah dari Pekerja Sosial (54%)

menyatakan belum melaksanakan tugas sesuai dengan

Tupoksinya masing-masing. Hal yang sama juga pada pemba-

gian kewenangan antar jenjang jabatan Pekerja Sosial.

Terkait dengan pendidikan Pekerja Sosial, sebagaian

besar (66%) Pekerja Sosial menyatakan bahwa tingkat

pendidikan profesi Pekerja Sosial sangat terkait dengan mutu

pelayanan sosial. Dengan persentase yang sama, sebagian

besar Pekerja Sosial non pendidikan pekerjaan sosial berke-

inginan untuk mengikuti pendidikan profesi pekerjaan sosial.

Menurut sebagian Pekerja Sosial (47%) ada tiga

instansi yang bertanggung jawab melaksanakan peningatan

kompetensi mereka, yaitu Balai Besar Diklat Kessos, unit kerja

di lingungan Ditjen Yanrehsos dan Biro Organisasi dan Kepe-

gawaian Kementerian Sosial.

Untuk peningkatan kompetensi dimaksud, lebih dari

setengah Pekerja Sosial mengharapkan melalui proses Diklat,

pembinaan dan supervisi dari Tim Pusat dan adanya Juknis

Pelayanan Sosial.

Walaupun gambaran Pekerja Sosial dan Panti Sosial

yang sangat memprihatinkan, ternyata keterlibatan masyara-

kat terhadap penyelenggaraan pelayanan sosial di Panti

Sosial cukup lumayan (47%), bahkan menurut Kepala Panti

Sosial persentasenya lebih tinggi, sedangkan bantuan dari

orsos/ormas terhadap panti, sebagian besar (65%) Pekerja

Sosial menyatakan pernah mendapatkan bantuan. Demikian

juga dari orang tua klien, hampir setengah dari Pekerja Sosial

menyatakan ada bantuan dari orang tua klien.

232

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 250: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Berikutnya, bagaimana output dengan kondisi Pekerja

Sosial dan Kepala Panti Sosial yang telah diuraikan diatas.

41% Pekerja Sosial menyatakan, klien yang telah diterminasi

ditampung oleh orsos/ormas/pokmas untuk melaksanakan

kegiatan ekonomi produktif. Hal ini berarti selebihnya tidak

bekerja dan kembali ke rumah orang tuanya atau melakukan

kegiatan mandiri. Maknanya adalah tingkat efektifitas

pelayanan sosial di Panti Sosial masih rendah, sehingga

kegiatan monitoring dan pembinaan lanjut perlu ditingkatkan.

Berkaitan dengan evaluasi hasil pelaksanaan kebijakan

terkait dengan Kepala Panti Sosial yang bertanggung jawab

langsung dan melakukan pembinaan terhadap Pekerja Sosial

dapat diperoleh deskripsinya sebagai berikut:

Terkait dengan aturan dan pedoman yang mancakup

Pekerja Sosial, kurang menjadi perhatian, antara lain pemaha-

man terhadap ketentuan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial

yang diatur dalam Kepmenpan dan Kepmensos (ada 6

perangkat peraturan), hanya 17% lebih yang memahami

keenam perangkat peraturan tersebut. Demikian juga dalam

upaya pengumpulan angka kredit dan mekanisme pengajuan

kenaikan jabatan Pekerja Sosial masih belum optimal.

Berkaitan dengan penerapan metode, teknik dan kete-

rampilan Pekerja Sosial, ditanyakan kepada para Kepala Panti

Sosial, jawabannya 31% tidak memahami, 17% lebih mema-

hami tapi tidak mampu menerapkan, 34% memahami dan

mampu menerapkan sebagian. Kondisi ini sejalan dengan apa

yang dialami Pekerja Sosial dan jauh dari pemenuhan standar

pelayanan sosial di Panti Sosial.

Penerapan keterampilan Pekerja Sosial dalam tahapan

pelayanan sosial di Panti Sosial, substansinya sama dengan

standar pelayanan sosial dan sebagai Standard operation

233

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 251: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

procedure (SOP) yang harus diketahui oleh Kepala Panti

Sosial sebagai unsur pimpinan dalam aspek penyelenggaraan

Panti Sosial.

Dari evaluasi menunjukkan bahwa kurang dari setengah

(46%) Kepala Panti Sosial yang menerapkan keenam tahapan

pelayanan sosial dan 30% Kepala Panti Sosial hanya mene-

rapkan 3 tahapan lainnya.

Dalam penyusunan program dan kegiatan, 47% Kepala

Panti Sosial menyatakan tidak melibatkan Pekerja Sosial.

Alasannya sebagian besar menyatakan karena bukan bidang

tugas Pekerja Sosial, Pekerja Sosial kurang aktif dan

kemampuan Pekerja Sosial tidak memadai.

Persoalan menjadi rumit kalau pembagian tugas men-

jadi kaku dan secara prinsip managemen, Kepala Panti Sosial

bertanggung jawab meningkatkan kemampuan managemen

dan peran serta Pekerja Sosial dalam menyusun program dan

kegiatan di unit kerjanya masing-masing. Hal yang sama juga

tergambar dalam keterlibatan Pekerja Sosial untuk pengelo-

laan anggaran.

Untuk meningkatkan mutu Pekerja Sosial, tidak cukup

perangkat hukum yang lengkap, tetapi juga dukungan ang-

garan untuk kompetensi Pekerja Sosial. Namun kenyataannya

50% Kepala Panti Sosial tidak menyediakan anggaran untuk

peningkatan kompetensi dimaksud.

Untuk kegiatan pengembangan kualitas pelayanan

kesejahteraan sosial, 56% Kepala Panti Sosial menyatakan

belum dilaksanakan, situasi ini hampir sama dengan yang

disampaikan Pekerja Sosial.

Demikian juga keinginan pegawai yang berpendidikan

non pekerjaan sosial untuk mengikuti pendidikan profesi

pekerjaan sosial cukup tinggi (73%).

234

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 252: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

B. Analisis SWOT Kementerian Sosial Dalam Implemen-

tasi Kebijakan Nasional Tentang Mutu Pekerja Sosial.

Dari berbagai analisis dan kajian yang diuraikan di atas,

dalam implementasinya, Kementerian Sosial menghadapi per-

masalahan dan tantangan yang tidak kecil. Untuk itu dilakukan

pendekatan analisis SWOT, untuk mengetahui apa saja

kekuatan, kelemahan, peluang dan tantangan yang dihadapi.

Analisis situasi merupakan awal proses perumusan

strategi. Selain itu, analisis situasi juga mengharuskan para

pimpinan strategis untuk menemukan kesesuaian strategis

antara peluang-peluang eksternal dan kekuatan-kekuatan

internal, disamping memperhatikan ancaman-ancaman

eksternal dan kelemahan-kelemahan internal.

Satu cara untuk menyimpulkan faktor-faktor strategis

sebuah organisasi adalah mengkombinasikan faktor strategis

eksternal (EFAS) dengan faktor strategis internal (IFAS)

kedalam sebuah ringkasan analisis faktor-faktor strategis

(SFAS) organisasi Kementerian Sosial dalam pengembangan

Pekerja Sosial, sebagaimana ditunjukkan pada Tabel 6.1.

IFAS dan EFAS Pekerja Sosial, berisi 20 faktor strategis, 5

faktor untuk kekuatan (strerngths), 7 faktor kelemahan

(weakness), 4 faktor peluang (opportunities) dan 4 faktor

ancaman (threats). Dari 20 faktor tersebut diambil 12 faktor

strategis kunci, yang tercantum dalam SFAS (Strategic Factor

Analysis Summary) Pekerja Sosial.

Penyusunan bentuk SFAS meliputi langkah-langkah

sebagai berikut: Pertama, susun item IFAS dan EFAS yang

paling penting (12 item) dalam kolom Faktor Startegis Kunci;

untuk kekuatan beri tanda (S), kelemahan (W), peluang (O)

dan ancaman (T). Kedua, tinjaulah bobot yang diberikan untuk

faktor-faktor dalam tabel IFAS dan EFAS tersebut dan

235

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 253: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

dilakukan penyesuaian bobot IFAS dan EFAS sehingga total

bobot mencapai angka 1,00. Ketiga, masukan dalam Kolom

Peringkat dengan interval 1 s/d 5, dengan peringkat tertinggi 5

dan terendah 1. Keempat, kalikan bobot dengan peringkat

untuk menghasilkan jumlah pada Kolom Skor Bobot. Kelima,

berikan tanda (X) dalam Kolom Durasi untuk mengambarkan

apakah satu faktor memiliki horizon waktu jangka pendek (< 1

Tahun), jangka menengah (1-3 tahun) dan jangka panjang

(> 3 tahun). Keenam, berikan keterangan untuk masing-

masing Faktor Strategis Kunci.

SFAS yang dihasilkan meringkas faktor-faktor strategis

internal dan eksternal Pekerja Sosial dalam satu bentuk. SFAS

hanya berisi faktor-faktor yang paling penting dan menyedia-

kan basis bagi perumusan strategis.

236

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 254: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

237

Tabel 6.2. IFAS (Internal Factors Strategis) Pekerja Sosial

Faktor Strategis Internal Bobot Peringkat Perbobot (1) (2) (3) (4)

Kekuatan

Produk Peraturan Perundang- 0.15 4 0.60 undangan tentang Pekerja Sosial

Motivasi kerja Pekerja Sosial 0.10 3 0.30 Dukungan manajemen puncak 0.10 5 0.50 Keterampilan Pekerja Sosial 0.05 3 0.45 Budaya kerja Pekerja Sosial 0.05 3 0.45

Kelemahan

Pendidikan Pekerja Sosial 0.15 5 0.75 Jumlah Pekerja Sosial 0.10 4 0.40 Anggaran untuk Pekerja Sosial 0.05 3 0.15 Sarana dan Prasarana Pelayanan 0.05 3 0.15 Sosial di Panti Sosial

Keberadaan Tim PAK Pekerja Sosial 0.05 2 0.10 Pelaksanaan Tupoksi Pekerja Sosial 0.05 2 0.10 Insentif Pekerja Sosial 0.10 4 0.40

Total 1.00 3.75

Keterangan

(5)

Substansi peraturan sudah cukup mendukung.

Motivasi kerja sudah terbentuk lama.

Kuatnya dukungan Pimpinan Pusat dan Panti

Sosial.

Karena pengalaman dapat diandalkan.

Sudah terbentuknya budaya kerja Pekerja Sosial

dalam pelayanan sosial.

Pendidikan Pekerja Sosial rendah (SMA/SMK).

Ratio Peksos dan klien tidak proporsional

(seharusnya 1 : 5 kenyataannya 1 : 22).

Tunjangan fungsional Pekerja Sosial rendah.

Sarana dan prasarana Panti Sosial terbatas dan

out of date.

Tidak semua Pemda Provinsi ada Tim PAK.

Tupoksi Pekerja Sosial belum optimal

dilaksanakan

Tidak ada insentif untuk Pekerja Sosial.

Tabel 6.3. EFAS (External Factors Strategis) Pekerja Sosial

Faktor Strategis Internal Bobot Peringkat Perbobot (1) (2) (3) (4) Peluang

Peningkatan struktur organisasi 0.20 5 1.00 Pembinaan Jabatan Fungsional

Pekerja Sosial.

Renstra Pengembangan SDM RPJM II 0.15 4 0.60 (2010-2014).

Formasi tenaga Fungsional Pekerja 0.05 3 0.15 Sosial.

Standar minat pendidikan Pekerja 0.10 5 0.50 Sosial.

Tantangan/Ancaman

Tuntutan pelayanan oleh klien (PMKS) 0.15 5 0.75 Kemandirian alumni Panti Sosial (Klien) 0.20 4 0.80 Komitmen Pemerintah Daerah untuk 0.05 3 0.15 pembinaan Pekerja Sosial.

Tren peminat pendidikan tinggi 0.10 5 0.50 Kesejahteraan Sosial.

Total 1.00 4.45

Keterangan

(5)

Peningkatan eselonering pembinaan jabatan

fungsional Pekerja Sosial.

Tercantumnya rencana strategis pengembangan

Pekerja Sosial.

Terbentuknya formasi jabatan fungsional Pekerja

Sosial oleh Pemerintah Daerah.

Peningkatan standar minimal pendidikan Pekerja

Sosial (Dll).

Klien di Panti Sosial menuntut pelayanan yang

optimal.

Rendahnya out put Klien untuk mandiri dan masuk

lapangan kerja.

Pemerintah Daerah belum menjadikan pengem-

bangan Pekerja Sosial sebagai program prioritas.

Semakin sedikitnya jumlah perguruan tinggi dan

mahasiswa yang berminat mengikuti pendidikan

tinggi Kesejahteraan Sosial.

Tabel 6.1. SFAS (Strategic Factors Analysis Summary) Pekerja Sosial

Faktor Strategis Internal Bobot Peringkat Perbobot Durasi Keterangan (1) (2) (3) (4) (5) (6) Pendek Menengah Panjang

Produk Peraturan Perundang 0.10 4 0.40 x Payung hukum. undangan tentang Pekerja Sosial (S)

Dukungan manajemen puncak (S) 0.10 5 0.50 x Kunci sukses. Keterampilan Pekerja Sosial (S) 0.10 2 0.20 x Peningkatan mutu. Pendidikan Pekerja Sosial (W) 0.05 3 0.15 x Peningkatan kompetensi. Jumlah Pekerja Sosial (W) 0.15 3 0.45 x Pemerataan pelayanan sosial. Insentif Pekerja Sosial (W) 0.10 4 0.40 x Untuk motivasi kerja. Peningkatan struktur organisasi 0.10 4 0.40 x Dukungan politik pembinaan jabatan fungsional Pekerja pemerintah Sosial (O).

Renstra pengembangan SDM RPJM II 0.05 3 0.15 x Kesinambungan pembi- (2010-2014) (O). naan Pekerja Sosial. Standar minimal pendidikan Pekerja 0.10 4 0.40 x Peningkatan profesiona- Sosial (O). litas Pekerja Sosial. Kemandirian klien (T) 0.05 4 0.20 x Keadilan untuk kelompok marjinal. Tuntutan pelayanan oleh klien (T) 0.05 3 0.15 x Hak azasi manusia bagi klien. Tren peminat pendidikan tinggi 0.05 4 0.20 x Berkurangnya peminat Kesejahteraan Sosial (T) Perguruan Tinggi Kese- jahteraan Sosial.

Total 1.00 3.60

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 255: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Pembuatan Matrik SWOT (TOWS).

Tahap berikutnya adalah Kementerian Sosial mengiden-

tifikasi cara-cara alternatif, dengan menggunakan kekuatan-

kekuatan khusunya dengan menggunakan kesempatan atas

peluang-peluang atau untuk menghindari ancaman-ancaman,

dan mengatasi kelemahan-kelemahannya. Matrik SWOT

(dikenal juga dengan TOWS) menggambarkan bagaimana

manajemen dapat mencocokkan peluang-peluang dan

ancaman-ancaman eksternal yang dihadapi suatu organisasi

dengan kekuatan dan kelemahan internalnya, untuk meng-

hasilkan empat rangkaian alternatif strategis.

Tabel 6.4. adalah Matrik SWOT Pekerja Sosial dengan

menggunakan Tabel IFAS dan EFAS, dengan penjelasan

sebagai berikut: Pertama, Pada blok berlabel Peluang, daftar

peluang eksternal yang tersedia (EFAS, Tabel 6.5). Kedua,

Pada blok berlabel Ancaman, daftar ancaman eksternal yang

tersedia (EFAS, Tabel 6.5). Ketiga, Pada blok berlabel

Kekuatan yang dimiliki (IFAS, Tabel 6.6). Keempat, Pada blok

berlabel Kelemahan, daftar kelemahan yang dimiliki (IFAS,

Tabel 6.6). Kelima, Kemudian dibuat sekumpulam strategi

yang mungkin bagi Kementerian Sosial, berdasarkan kombi-

nasi tertentu dari empat kumpulan faktor strategi tersebut.

Perumusan Strategi.

Perumusan Strategi SO (disebut juga: Comparative

Advantage), adalah memikirkan cara-cara tertentu untuk

dapat menggunakan kekuatan-kekuatannya untuk mengambil

manfaat dari peluang-peluang yang ada. Dengan kata lain

bagaimana memanfaatkan kekuatan yang ada untuk mening-

katkan posisi kompetitifnya.

238

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 256: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Strategi ST (disebut juga: Mobilization), adalah dengan

mempertimbangkan kekuatan yang ada untuk menghindari

ancaman-ancaman atau bagaimana caranya berusaha

memobilisir sumber daya yang merupakan kekuatan organi-

sasi untuk memperlunak ancaman dari luar.

Strategi WO (disebut juga: Investment/Divestment),

adalah dengan mengambil keuntungan dari peluang yang ada

dengan mengatasi berbagai kelemahan yang ada atau

peluang yang tersedia sangat meyakinkan, tetapi tidak ada

kemampuan organisasi untuk menggarapnya dan memberi-

kan reaksi positif.

Strategi WT (disebut juga: Demage Control), adalah

strategi defensif untuk meminimalisasi kelemahan dan meng-

hindari ancaman. Strategi yang ditempuh adalah untuk

mengendalikan kerugian yang diderita sehingga tidak separah

dengan yang diperkirakan.

239

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 257: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

KekuatanKelemahan

Pelu

ang

Tant

anga

n/A

ncam

an

Faktor Internal

Faktor Eksternal

Peluang

Peningkatan struktur organisas Pem-

binaan Jabatan Fungsional Pekerja

Sosial.

Renstra Pengembangan SDM RPJM II

(2010-2014).

Formasi tenaga Fungsional Pekerja

Sosial.

Standar minat pendidikan Pekerja

Sosial.

Tantangan Ancaman

Tuntutan pelayanan oleh klien

(PMKS).

Kemandirian alumni Panti Sosial

(Klien).

Komitmen Pemda untuk pembinaan

Pekerja Sosial.

Tren peminat pendidikan tinggi

Kesejahteraan Sosial.

Tabel 6.5. IFAS (Internal Factors Strategis) Pekerja Sosial

Faktor Strategis Internal Bobot Peringkat Perbobot (1) (2) (3) (4)

Kekuatan

Produk Peraturan Perundang- 0.15 4 0.60 undangan tentang Pekerja Sosial

Motivasi kerja Pekerja Sosial 0.10 3 0.30 Dukungan manajemen puncak 0.10 5 0.50 Keterampilan Pekerja Sosial 0.05 3 0.45 Budaya kerja Pekerja Sosial 0.05 3 0.45

Kelemahan

Pendidikan Pekerja Sosial 0.15 5 0.75 Jumlah Pekerja Sosial 0.10 4 0.40 Anggaran untuk Pekerja Sosial 0.05 3 0.15 Sarana dan Prasarana Pelayanan 0.05 3 0.15 Sosial di Panti Sosial

Keberadaan Tim PAK Pekerja Sosial 0.05 2 0.10 Pelaksanaan Tupoksi Pekerja Sosial 0.05 2 0.10 Insentif Pekerja Sosial 0.10 4 0.40

Total 1.00 3.75

Keterangan

(5)

Substansi peraturan sudah cukup mendukung.

Motivasi kerja sudah terbentuk lama.

Kuatnya dukungan Pimpinan Pusat dan Panti Sosial.

Karena pengalaman dapat diandalkan.

Sudah terbentuknya budaya kerja Pekerja Sosial dalam pelayanan sosial.

Pendidikan Pekerja Sosial rendah (SMA/SMK). Ratio Peksos dan klien tidak proporsional

(seharusnya 1 : 5 kenyataannya 1 : 22).

Tunjangan fungsional Pekerja Sosial rendah.

Sarana dan prasarana Panti Sosial terbatas dan out of date.

Tidak semua Pemda Provinsi ada Tim PAK.

Tupoksi Pekerja Sosial belum optimal dilaksanakan

Tidak ada insentif untuk Pekerja Sosial.

Tabel 6.6. EFAS (External Factors Strategis) Pekerja Sosial

Faktor Strategis Internal Bobot Peringkat Perbobot (1) (2) (3) (4) Peluang

Peningkatan struktur organisasi 0.20 5 1.00 Pembinaan Jabatan Fungsional

Pekerja Sosial.

Renstra Pengembangan SDM RPJM II 0.15 4 0.60 (2010-2014).

Formasi tenaga Fungsional Pekerja 0.05 3 0.15 Sosial.

Standar minat pendidikan Pekerja 0.10 5 0.50 Sosial.

Tantangan/Ancaman

Tuntutan pelayanan oleh klien (PMKS) 0.15 5 0.75 Kemandirian alumni Panti Sosial (Klien) 0.20 4 0.80 Komitmen Pemerintah Daerah untuk 0.05 3 0.15 pembinaan Pekerja Sosial.

Tren peminat pendidikan tinggi 0.10 5 0.50 Kesejahteraan Sosial.

Total 1.00 4.45

Keterangan

(5)

Peningkatan eselonering pembinaan jabatan fungsional Pekerja Sosial.

Tercantumnya rencana strategis pengembangan Pekerja Sosial.

Terbentuknya formasi jabatan fungsional Pekerja Sosial oleh Pemerintah Daerah.

Peningkatan standar minimal pendidikan Pekerja Sosial (Dll).

Klien di Panti Sosial menuntut pelayanan yang optimal.

Rendahnya out put Klien untuk mandiri dan masuk lapangan kerja.

Pemerintah Daerah belum menjadikan pengem-bangan Pekerja Sosial sebagai program prioritas.

Semakin sedikitnya jumlah perguruan tinggi dan mahasiswa yang berminat mengikuti pendidikan tinggi Kesejahteraan Sosial.

Tabel 6.4. Matrik SWOT (TOWS) Pekerja Sosial

Kekuatan

Produk Peraturan Perundang-unada-

ngan tentang Pekerja Sosial.

Motivasi kerja Pekerja Sosial.

Dukungan manajemen puncak.

Keterampilan Pekerja Sosial.

Budaya kerja Pekerja Sosial.

SO (Comparative Advantage)

Komitmen manajemen puncak untuk

pembinaan Jabatan Fungsional

Pekerja Sosial.

Produk Peraturan Perundang-unda-

ngan untuk peningkatan Standar mini-

mal pendidikan Pekerja Sosial.

ST (Mobilization)

Mobilisasi keterampilan Pekerja Sosial

untuk peningkatan kualitas out put

Panti Sosial.

Mendorong manajer puncak Panti

Sosial untuk peningkatan peleyanan

sosial di Panti Sosial.

Kelemahan

Jumlah Pekerja Sosial.

Anggaran untuk Pekerja Sosial.

Sarana dan prasarana pelayanan

sosial di Panti Sosial.

Keberadaan Tim PAK Pekerja Sosial.

Pelaksanaan Tupoksi Pekerja Sosial.

Insentif Pekerja Sosial.

WO (Investment/Divestment)

Implementasi Renstra SDM RPJM II

untuk pemberdayaan Pekerja Sosial.

Peningkatan eselonering pembinaan

Jabatan Fungsional Pekerja Sosial

akan meningkatkan alokasi anggaran

untuk insentif dan pelaksanaan

Tupoksi Pekerja Sosial.

WT (Damage Control)

Fokus pada kemudahan dan pembe-

rian beasiswa untuk calon mahasiswa

perguruan tinggi Kesejahteraan

Sosial.

Supervisi pada input dan proses pela-

yanan sosial di Panti Sosial.

240

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 258: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

C. Strategi Program Implementasi Kebijakan Nasional

Tentang Mutu Pekerja Sosial.

Dengan Analisis SWOT yang telah diuraikan di atas,

melalui pendekatan IFAS (Internal Factors Strategic) dan

EFAS (External Factors Strategic) dan Strategi SO, WO, ST

dan WT, maka telah dirumuskan 8 (delapan) strategi program

yaitu:

Pertama, Komitmen pimpinan untuk pembinaan Jaba-

tan Fungsional Pekerja Sosial. Dalam strategi ini, pimpinan

Kementerian Sosial (menteri Sosial, Pejabat Eselon I dan II

terkait), berkomitmen untuk melaksanakan pembinaan

Jabatan Fungsional Pekerja Sosial. Dengan komitmen yang

tinggi ini diharapkan para Pekerja Sosial dapat ditingkatkan

kompetensinya dalam melaksanakan pelayanan sosial di

Panti Sosial dan mengembangkan karirnya mendapat perha-

tian yang lebih proporsional.

Kedua, Produk peraturan perundang-undangan untuk

peningkatan standar pendidikan Pekerja Sosial. Saat ini

sesuai dengan Kepmenpan Nomor: KEP/03/M.PAN/1/2004,

untuk menjadi tenaga fungsional Pekerja Sosial, pendidikan

terendah adalah SMA/SMK dan untuk jangka pendek akan

diusulkan kepada Menpan standar minimal pendidikan tenaga

fungsional Pekerja Sosial adalah D III. Peningkatan standar

minimal pendidikan D III merupakan salah satu upaya untuk

meningkatkan mutu Pekerja Sosial dan peningkatan profesio-

nalitas dalam melaksanakan pelayanan kesejahteraan sosial.

Ketiga, Implementasi Renstra RPJM II (2010-2014)

untuk pemberdayaan Pekerja Sosial. Mendorong agar

Renstra Pembangunan Jangka Menengah II (2010-2014)

yang telah merumuskan berbagai program dan kegiatan untuk

pemberdayaan Pekerja Sosial melalui penyediaan anggaran

241

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 259: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

untuk pendidikan dan pelatihan, pengembangan karir, pening-

katan kinerja Pekerja Sosial dan penambahan formasi untuk

mengisi tenaga fungsional Pekerja Sosial di Panti Sosial dapat

diimplementasikan mulai tahun pertama RPJM II.

Keempat, Peningkatan eselonering pembinaan fung-

sional Pekerja Sosial. Diusulkan kepada Menpan untuk

meningkatkan eselonering pembinaan Jabatan Fungsional

Pekerja Sosial dari level eselon III menjadi eselon II. Pening-

katan eselonering ini tentu dapat mendorong motivasi kerja

para Pekerja Sosial, karena semakin terbentuknya peluang

untuk terlaksananya Tupoksi Pekerja Sosial dan pemberian

insentif sesuai dengan kinerja para Pekerja sosial.

Kelima, Mobilisasi keterampilan Pekerja Sosial untuk

peningkatan kualitas out put Panti Sosial. Karena pengalaman

yang panjang sebagian besar Pekerja Sosial mempunyai

keterampilan yang baik dalam melaksanakan pelayanan

sosial di Panti Sosial. Dengan mobilisasi keterampilan Pekerja

Sosial diharapkan dapat mendorong Panti Sosial meningkat-

kan kualitas out put klien sehingga menjadi mandiri dan dapat

diserap lapangan kerja.

Keenam, Mendorong Kepala Panti Sosial untuk

meningkatkan pelayanan sosial di Panti Sosial. Komitmen

Kepala Panti Sosial merupakan faktor penting untuk memba-

ngun suasana kerja yang kondusif bagi Pekerja Sosial.

Kepemimpinan Kepala Panti Sosial merupakan faktor utama

berhasilnya pelayanan sosial dan mendorong partisipasi dan

solidaritas seluruh komponen di Panti Sosial.

Ketujuh, Program beasiswa untuk mahasiswa Pergu-

ruan Tinggi Kesejahteraan Sosial. Untuk memenuhi kebutu-

han tenaga kesejahteraan sosial maka Perguruan Tinggi

Kesejahteraan Sosial memberikan kemudahan dan beasiswa

242

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 260: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

kepada calon mahasiswa, sehingga Perguruan Tinggi tetap

eksis dan kebutuhan tenaga Kesejahteraan Sosial dapat

terpenuhi. Oleh karena itu, perlu kerja sama dengan Pemerin-

tah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, organisasi Sosial

untuk mendapatkan program beasiswa dimaksud.

Kedelapan, Supervisi pada in put dan proses pelayanan

sosial di Panti Sosial. Pada tahap in put, perlu dilakukan secara

cermat pendekatan awal yang dilakukan terhadap klien dan

dalam tahap proses perlu dilakukan kontrol dan supervisi pada

setiap tahapan pelayanan sosial. Langkah supervisi ini perlu

dilakukan untuk mengoptimalkan sumber daya yang terbatas

agar dapat lebih produktif.

243

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 261: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

244

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 262: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

BAB VIIKESIMPULAN DAN REKOMENDASI

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN NASIONAL TENTANG MUTU PEKERJA SOSIAL

DI ERA OTONOMI DAERAH

245

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 263: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

246

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 264: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

BAB VIIKESIMPULAN DAN REKOMENDASI

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN NASIONAL TENTANG MUTU PEKERJA SOSIAL

DI ERA OTONOMI DAERAH

DENGAN pembahasan hasil studi melalui penyajian

data yang lengkap dan kajian serta analisis yang

mendalam dengan pemaparan yang panjang lebar

pada halaman-halaman sebelumnya, dimaksudkan untuk

menjawab tiga pertanyaan utama dari studi ini tentang:

Apakah substansi kebijakan tentang mutu Pekerja Sosial

sesuai dengan standar pelayanan sosial di Panti Sosial Peme-

rintah Pusat dan Pemerintah Daerah? Bagaimanakah imple-

mentasi kebijakan tentang mutu Pekerja Sosial dalam pelaya-

nan sosial di Panti Sosial Pemerintah Pusat dan Pemerintah

Daerah? Dan apakah hasil pelaksanaan kebijakan tentang

mutu Pekerja Sosial sesuai dengan standar pelayanan sosial

di Panti Sosial Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah?

Pertanyaan penting dari studi tentang mutu pekerja

sosial di era otonomi daerah (Pemerintah Pusat dan Pemerin-

tah Daerah) telah mendapat jawaban secara utuh bagaimana

situasi Pekerja Sosial yang memiliki nasib yang kurang

beruntung dan tidak mendapat perhatian yang sungguh-

sungguh dalam kurun waktu berjalannya otonomi daerah.

Hasil evaluasi dan analisis dari studi ini menghasilkan

kesimpulan dan rekomendasi sebagai berikut:

247

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 265: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

A. Kesimpulan Implementasi Kebijakan Nasional Tentang

Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah.

Hasil studi tentang mutu pekerja sosial di era otonomi

daerah ini dirumuskan dalam kesimpulan sebagai berikut:

Pertama, Kebijakan nasional dalam bentuk berbagai peratu-

ran perundang-undangan (Undang-Undang, PP, Keputusan

Presiden, Kepmenpan, Kepmensos), yang mengatur tentang

mutu Pekerja Sosial sesuai standar pelayanan sosial (di Panti

Sosial), cukup lengkap dan mudah dipahami sebagai pedo-

man/acuan oleh birokrasi Kementerian Sosial dan Pekerja

Sosial.

Dikaitkan dengan Pengembangan Manajemen Sumber

Daya Manusia (PMSDM), ada beberapa unsur pengemba-

ngan PMSDM yang belum terlihat pada kebijakan nasional

yang mengatur mutu Pekerja Sosial yaitu: motivasi dan

insentif, disamping seleksi dengan standar rendah, penilaian

kinerja yang rumit dan sulit, manajemen gaji dan upah dibawah

standar serta tunjangan dan program kesejahteraan yang

terbatas.

Kedua, Implementasi Kebijakan Nasional. Implementasi

kebijakan nasional peningkatan mutu Pekerja Sosial dalam

pelayanan sosial di Panti Sosial, selama kurun waktu lima

tahun (2004-2009), belum dilaksanakan secara maksimal.

Faktor utama belum maksimalnya implementasi

kebijakan tersebut adalah: (a) adanya tenggang waktu yang

lama (tiga tahun) untuk menindaklanjuti Kepmenpan Nomor:

03/M.PAN/1/2004 Tentang Jabatan Fungsional Pekerja Sosial,

seharusnya dijabarkan dengan Keputusan Menteri Sosial

sebagai Pedoman Pembinaan Jabatan Fungsional Pekerja

Sosial dan Pedoman Diklat Tenaga Fungsional Pekerja Sosial

pada tahun yang sama, ternyata Kepmensos dimaksud

248

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 266: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

(Nomor 10/HUK/2007 dan Nomor 43/HUK/2007) dikeluarkan

pada tahun 2007; (b) Kementerian Sosial sebagai pembina

Jabatan Fungsional Pekerja Sosial, tidak didukung dengan

struktur organisasi yang sesuai dengan beban tugas. Saat ini

pejabat struktural yang bertanggungjawab pada tingkat eselon

III, idealnya ditangani oleh pejabat setingkat eselon II;

(c) kurangnya advokasi dan sosialisasi dari stakeholder tingkat

Kementerian Sosial terhadap berbagai produk peraturan yang

berkaitan dengan Pekerja Sosial kepada Pemerintah Daerah

(Dinas Sosial Provinsi, Kabupaten/Kota) Kepada Panti Sosial

dan Pekerja Sosial pada Panti Sosial Pemerintah Pusat dan

Pemerintah Daerah.

Ketiga, Evaluasi hasil pelaksanaan kebijakan nasional.

Evaluasi hasil pelaksanaan kebijakan nasional tentang mutu

Pekerja Sosial dalam melaksanakan pelayanan sosial yang

sesuai dengan standar pelayanan sosial di Panti Sosial,

sebagai berikut: (a) dari sisi efektifitas ternyata Pekerja Sosial

belum efektif menjalankan profesinya, karena hanya 40%

Pekerja Sosial yang melaksanakan 6 (enam) tahap pelayanan

sosial (pendekatan awal, assesmen, rencana intervensi,

intervensi, evaluasi-terminasi-rujukan, bimbingan dan tindak

lanjut) secara lengkap dan 38% melaksanakan 3 (tiga) tahap

dari 6 (enam) tahap pelayanan sosial di Panti Sosial;

(b) kualifikasi Jabatan Fungsional Pekerja Sosial 65% pada

tingkat terampil dan 35% pada tingkat ahli. Dengan latar

belakang pendidikan terbesar tingkat SMA/SMK dan S1 Non

Pekerjaan Sosial. Kondisi tersebut tentu belum mencukupi

untuk mendapatkan standar pelayanan sosial di Panti Sosial;

(c) Unit Pekerja Balai Besar Diklat Kessos, Direktorat Jenderal

Pelayanan dan Rehabilitasi Sosial, Biro Organisasi dan

Kepegawaian Kemensos, berperan besar dalam merespons

249

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 267: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

dan fasilitator untuk peningkatan kompetensi Pekerja Sosial;

(d) terbatasnya jumlah Pekerja Sosial (1 orang Pekerja Sosial

melayani 22 klien di Panti Sosial seharusnya 1:5), rendahnya

tunjuangan jabatan fungsional, kesempatan pendidikan dan

pelatihan jenjang jabatan fungsional yang terbatas, dukungan

anggaran untuk pelayanan Panti Sosial yang minim, sebagai

faktor utama penyebab belum meratanya jangkauan pelaya-

nan sosial maupun mutu keluaran (out put) PMKS di Panti

Sosial; (e) masih ada Kepala Panti Sosial yang tidak memberi-

kan ruang gerak dan kesempatan yang cukup kepada Pekerja

Sosial untuk melaksanakan Tupoksinya. Hal tersebut berdam-

pak kurang efisien (inefficiency) Pekerja Sosial dalam

melaksanakan profesinya.

B. Rekomendasi Implementasi Kebijakan Nasional

Tentang Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah.

Setelah dirumuskan kesimpulan dari studi mutu pekerja

sosial di era otonomi daerah ini, maka diperlukan rekomendasi

yang ditujukan kepada stakeholder dalam hal ini ditujukan

terutama kepada pemerintah (Kementerian Sosial), dengan

rekomendasi sebagai berikut:

Pertama, Peningkatan profesionalitas dan Standar

Kompetensi Pekerja Sosial. Untuk menjaga mutu Pekerja

Sosial, skala prioritas yang perlu dilakukan adalah dilaksana-

kannya peningkatan profesionalitas dan kompetensi Pekerja

Sosial. Upaya yang dilakukan adalah melalui: peningkatan

pendidikan rata-rata, motivasi kerja, memberi tanggung jawab,

menciptakan cara kerja baru dan pemberdayaan. Untuk

penerapan sertifikasi bagi Pekerja Sosial, perlu diatur

penetapan standar kompetensi yang meliputi pengetahuan,

keterampilan dan perilaku yang dipersyaratkan bagi Pekerja

250

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 268: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Sosial untuk dapat melaksanakan praktek Pekerja Sosial dan

penyelenggaraan kesejahteraan Sosial.

Kedua, Penyelenggaraan Diklat wajib JFPS dan Diklat

Teknik dan Keterampilan Pekerja Sosial jarak jauh. Penye-

lenggaraan Diklat yang bersifat klasikal membutuhkan pem-

biayaan yang cukup besar, jangka pendek ini Diklat dilak-

sanakan di lokasi tugas Pekerja Sosial, dengan penyediaan

modul Diklat dan pengiriman Widyaiswara sebagai Tutorial.

Dengan demikian kenaikan jenjang jabatan dan pangkat

fungsional Pekerja Sosial dapat dipenuhi sesuai persyaratan

yang ditetapkan.

Ketiga, Komitmen Pimpinan untuk pembinaan Jabatan

Fungsional Pekerja Sosial. Pimpinan Kementerian Sosial

(Menteri Sosial, Pejabat Eselon I dan II terkait), berkomitmen

untuk melaksanakan pembinaan Jabatan Fungsional Pekerja

Sosial. Dengan komitmen yang tinggi ini diharapkan para

Pekerja Sosial dapat ditingkatkan kompetensinya dalam

melaksanakan pelayanan sosial di Panti Sosial dan pengem-

bangan karirnya mendapat perhatian yang lebih proporsional.

Keempat,Produk peraturan perundang-undangan untuk

peningkatan standar pendidikan Pekerja Sosial. Saat ini

sesuai dengan Kepmenpan Nomor: KEP/03/M.PAN/1/2004,

untuk menjadi tenaga fungsional Pekerja Sosial, pendidikan

terendah adalah SMA/SMK dan untuk jangka pendek akan

diusulkan kepada Menpan standar minimal pendidikan tenaga

fungsional Pekerja Sosial adalah D III. Peningkatan standar

minimal pendidikan D III merupakan salah satu upaya untuk

meningkatkan mutu Pekerja Sosial dan peningkatan profesio-

nalitas dalam melaksanakan pelayanan kesejahteraan sosial.

Kelima, Implementasi Renstra RPJM II (2010-2014)

untuk pemberdayaan Pekerja Sosial. Mendorong agar Renstra

251

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 269: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Pembangunan Jangka Menengah II (2010-2014) yang telah

merumuskan berbagai program dan kegiatan untuk pember-

dayaan Pekerja Sosial melalui penyediaan anggaran untuk

pendidikan dan pelatihan, pengembangan karir, peningkatan

kinerja Pekerja Sosial dan penambahan formasi untuk mengisi

tenaga fungsional Pekerja Sosial di Panti Sosial dapat

diimplementasikan mulai tahun pertama RPJM II.

Keenam, Peningkatan eselonering pembinaan fung-

sional Pekerja Sosial. Diusulkan kepada Menpan untuk

meningkatkan eselonering pembinaan Jabatan Fungsional

Pekerja Sosial dari level eselon III menjadi eselon II. Pening-

katan eselonering ini tentu dapat mendorong motivasi kerja

para Pekerja Sosial, karena semakin terbentuknya peluang

untuk terlaksananya Tupoksi Pekerja Sosial dan pemberian

insentif sesuai dengan kinerja para Pekerja sosial.

Ketujuh, Mobilisasi keterampilan Pekerja Sosial untuk

peningkatan kualitas out put Panti Sosial. Karena pengalaman

yang panjang sebagian besar Pekerja Sosial mempunyai

keterampilan yang baik dalam melaksanakan pelayanan

sosial di Panti Sosial. Dengan mobilisasi keterampilan Pekerja

Sosial diharapkan dapat mendorong Panti Sosial meningkat-

kan kualitas out put klien sehingga menjadi mandiri dan dapat

diserap lapangan kerja.

Kedelapan, Mendorong Kepala Panti Sosial untuk

meningkatkan pelayanan sosial di Panti Sosial. Komitmen

Kepala Panti Sosial merupakan faktor penting untuk memba-

ngun suasana kerja yang kondusif bagi Pekerja Sosial.

Kepemimpinan Kepala Panti Sosial merupakan faktor utama

berhasilnya pelayanan sosial dan mendorong partisipasi dan

solidaritas seluruh komponen di Panti Sosial.

Kesembilan, Program beasiswa untuk mahasiswa Per-

252

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 270: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

guruan Tinggi Kesejahteraan Sosial. Untuk memenuhi kebutu-

han tenaga kesejahteraan sosial maka Perguruan Tinggi

Kesejahteraan Sosial memberikan kemudahan dan beasiswa

kepada calon mahasiswa, sehingga Perguruan Tinggi tetap

eksis dan kebutuhan tenaga Kesejahteraan Sosial dapat

terpenuhi. Oleh karena itu, perlu kerja sama dengan Pemerin-

tah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota, organisasi Sosial

untuk mendapatkan program beasiswa dimaksud.

Kesepuluh, Supervisi pada in put dan proses pelayanan

sosial di Panti Sosial. Pada tahap in put, perlu dilakukan secara

cermat pendekatan awal yang dilakukan terhadap klien dan

dalam tahap proses perlu dilakukan kontrol dan supervisi pada

setiap tahapan pelayanan sosial. Langkah supervisi ini perlu

dilakukan untuk mengoptimalkan sumber daya yang terbatas

agar dapat lebih optimal.

253

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 271: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

254

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 272: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

DAFTAR PUSTAKA

AG.Subarsono,(2008), Analisis Kebijakan Publik: Konsep,

Teori dan Aplikasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

AB. Syaiful Anwar, (2009), Peningkatan Mutu, Relevansi dan

Dayasaing.

Perguruan Tinggi: Analisis Kebijakan di Universitas Bengkulu,

Disertasi Doktor, Pascasarjana UNJ, Jakarta.

Bardach, Eugene, (2000), A Practical Guide for Policy Analysis

The Eighfold Path to More Effective Problem Solving,

New York: Seven Bridges Press.

Bailey, K.D.,(1978), Method of Social Researh, London Free

Press.

Bessant Judith, Watts Rob, Dalton Tony&Smyth Paul (2006),

Talking Policy How Social Policy is Made, Allen & Unwin

Crows Nest NSW.

Bridgman Peter & Davis Glyn (2004), the Australian Policy

Handbook, Allen & Unwin Nest NSW.

Bromley, Daniel W. (1989), Economic Interest and Institutions.

New York: Basil Blackwell.

Blair, K. (2007). Social Work and the Cultural Dialogue. Critical

Social Work, 2007 Vol. 8, No. 1.

Blair, Tony. Mondernising Government. With Paper Presented

to Parliament. By the Prime Minister and the Minister for

Cabinet Office and by Commandof Her Mayesty, March

1999.

Borg, Walter R. and Meredith D. Gall. Educational Research:

An Introduction 5th Edition. New York: Longman, 1989.

Brooks, S. (2002). Introduction: The Challenge of Cultural

Pluralism, in Stephen Brooks ed., The Challenge of

Cultural Pluralism. Westport, Connecticut: Preager.

255

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 273: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

BPS dan Desos (2007), Analisis Deskriptif Penyandang

Masalah Kesejahteraan Sosial Tahun 2006, Jakarta.

Depsos, Biro Orpeg. (2008), Pemetaan Karier Pekerja Sosial.

Jakarta.

Depsos. (2006), Peran dan Perjalanan Departemen Sosial,

PT. DN Media, Jakarta.

Depsos (2009), Rencana Strategis Pembangunan

Kesejahteraan Sosial 2010-2014, Jakarta.

Depsos (2009), Pelaksanaan Program Pembangunan

Kesejahteraan Sosial di Indonesia Tahun 2004-2009,

Jakarta.

Dhooper S., Moore S. (2001). Social Work Practice with

Culturally Diverse People. Thousand Oaks: Sage.

Dunn, William N., (2000, 2nd edition), Pengantar Analisis

Kebijakan Publik, Gajah Mada University Press,

Yogyakarta.

Dunn, William N. (1981). Public Policy Analysis: An

Introduction, New Jersey: Prentice Hall.

Dubois, Brenda & Miley, Karla Krogsrud.(1996, 2nd edition).

Social Work An Ampowering Profession, Allyn and

Bacon A Simon & Schuster Company Needham Heights,

Mass.

Dwidjowito, Riant Nugroho, (2003), Kebijakan Publik:

Perumusan Implementasi Evaluasi, Jakarta: Elex Media

Komputindo.

Dwidjowito, Riant Nugroho D. (2007), Analisis Kebijakan.PT.

Elex Media Komputindo, Jakarta.

Dwidjowito, Riant Nugroho D, (2008), Public Policy. PT.Elex

Media Komputindo, Jakarta.

Dye, Thomas R., (1995), Understanding Public Policy, New

Jersey: Prentice Hall.

256

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 274: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Hill Michael (1996), Social Policy A comparative analysis,

Prentice Hall, London.

Hogwood, B.W & Gun L.A., Policy Analysis for the Real World.

Oxford: Oxford University Press.

Jusman Iskandar, Carolina Nitimihardjo (Penyunting, 1411 H),

Pengantar Penelitian Pekerjaan Sosial, STKS Bandung.

Leibfried S., & Mau S., (Eds). (2007) Welfare states:

Construction, Deconstruction, Reconstruction.

Northampton/Cheltenham: An Elgar Reference

collection.

Mc.Milland,J.H, and Schumacher S,(1989), Research and

Education: A conceptual Introduction 2nd Edition. III

Scot, Foresman, Glenview.

Mullaly, Bob (1997), Structural Social Work, Ideology, Theory,

and Practice, Oxford University Press Canada.

Midgley, James,( 2008), Imperialisme Profesional Pekerjaan

Sosial di Dunia Ketiga, (Biro Organisasi & Kepega-

waian), Departemen Sosial R.I.

Midgley, James, Tracy B.Martin, Livermore Michelle,(2000),

The Handbook of Social Policy, Sage Publications,

California USA.

Muhadjir, Noeng.(2001), Filsafat Ilmu Positivisme, Post

Positivisme, dan Post Modernisme edisi II, Rake

Sarasin, Yogyakarta.

National Association of Social Workers (2007), Indicators for

the Achievement of the NASW Standards for Cultural

Competence in Social Work Practice, NASW,

Washington D.C

Naumann, I. (2005). Child care and feminism in West Germany

and Sweden in the 1960s and 1970s, Journal of

European Social Policy 15 (1), 133-152.

257

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 275: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Nakamura,R.T, Smallwood.F.(1980). The Politic of Policy

Implementation. New York: St.Martin's Press.

Parsons, Wayne, 2005 (2001), Public Policy: Pengantar Teori

dan Praktik Analisis Kebijakan, Jakarta: Prenada Media.

Patton, Carl V., & David S. Sawicky, (1993), Basic Methods of

Policy Analysis and Planning, London: Prentice Hall.

Philips D.C,.(1983), After the Wake: Post Positivistic

Peducational Thought, Educational Researcher 12

Number 5.

Pincus, Allen & Manahan, Anne, Social Work Practice: Model

and Method, University of Wisconsin Madison,

F.E.Peacock Publishers,Inc. Illinois.

Pusdatin Depsos (2003), Data dan Informasi Pekerja Sosial,

Jakarta

Quade, E.S., (1982), Analysis for Public Decission, New York:

Elseveir Science Publishing.

Roberts,Albert R & Greene Gibert J, (2008), Buku Pintar

Pekerja Sosial, PT.BPK Gunung Mulia, Jakarta.

Reeves Paul (1996), an introduction to Social Housing, Arnold

London.

Reni Marlinawati, (2006), Kebijakan Nasional Tentang Mutu

Pendidikan Periode 1999 – 2004, Disertasi Doktor Pasca

Sarjana UNJ,Jakarta.

Sudarwan Danim, (2005), Pengantar Studi Penelitian

Kebijakan, Bumi Aksara.

Sue D. W. & McGoldrick M. (2006) . Multicultural Social Work

Practice, Hoboken. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.

Svetlana T. (2008) , The impact of multiculturalism on social

work practice and the welfare state reforms, Journal of

Critical Social Work, JOURNAL ISSUE 18 Fall.

258

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 276: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Sutarso (2005), Praktek Pekerjaan Sosial Dalam

Pembangunan Masyarakat, Balatbangsos, Depsos

Jakarta.

Suharto Edi, (2006), Analisis Kebijakan Publik, Alfabeta,

Bandung.

Suharto Edi. (2007), Kebijakan sosial sebagai kebijakan

publik, Alfabeta, Bandung.

Singarimbun, Masri, Sofian Efendi (1989), Metode Penelitian

Survei, LP3ES,Jakarta.

The Columbia Encyclopedia (2001-07). Reformation, Sixth

Edition. New York. Available at http://www.bartleby.com/

65/re/Reformat.html.

Tjiptono, Fandy, & Diana, Anastasia, 2001 (2001, Edisi Revisi),

Total Quality Mangement, Yogyakarta: Andi.

Tricket, E., Watts R. & Briman, D. (1994). Human Diversity:

Perspective of people in context. San Francisco: Jossey

Bass, Inc.

Thompson Neil (2005), Understanding Social Work Preparing

for Practice, Palgrave MacMillan N.Y.

Vaughn, Richard C.(1974), Quality Control. Iowa: Iowa State

University Press.

Wayne Parsons. (2006). Public Policy: Pengantar Teori &

Praktek Analisis Kebijakan, Predana Media Group,

Jakarta.

Weimer, L. David & Vining.R.Aidan (1991), Policy Analysis

Concepts and Practice, Prentice Hall New Jersey.

Williams, Walter, (1971), Social Policy Research and Analysis:

The Experiencein the Federal Social Agencies, New

York: American Elseveir Publishing.

Zastrow H. Charles,(Sixth edition,1999), The Practice of Social

Work, Brooks/ Cole Publisihing Company,USA.

259

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 277: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Himpunan Peraturan Perundang-undangan:

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1974 Tentang Ketentuan-

Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial.

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009, Tentang Kesejahteraan

Sosial.

Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999, tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974, tentang Pokok-Pokok

Kepegawaian.

Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994, tentang Jabatan

Fungsional Pegawai Negeri sipil.

Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000, tentang Pendidikan

dan Pelatihan Jabatan Pegawai Negeri Sipil.

Keputusan Presiden Nomor 87 Tahun 1999, tentang Rumpun

Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil.

Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara

Nomor: 45/MENPAN/1988 Tentang Angka kredit Bagi Jabatan

Pekerja Sosial.

Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor:

KEP/03/PAN/1/2004 Tentang Jabatan Fungsional Pekerja

Sosial dan Angka Kreditnya.

Keputusan Bersama Menteri Sosial Dan Kepala Badan Administrasi

Kepegawaian Negara Nomor: 05/HUK/2004, Nomor: 09

Tahun 2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan

Fungsional Pekerja Sosial dan Angka Kreditnya.

Keputusan Menteri Sosial Nomor : 50/HUK/2004 Tentang

Perubahan Keputusan Menteri Kesehatan dan Kesejahteraan

Sosial Nomor: 193/Menkes-Kessos/III/2000 Tentang

Standarisasi Panti Sosial.

Keputusan Menteri Sosial Nomor 10/HUK/2007, Tentang Jabatan

Fungsional Pekerja Sosial.

Keputusan Menteri Sosial Nomor 43/HUK/2007, Tentang Pedoman

Pendidikan & Pelatihan Jabatan Fungsional Pekerja Sosial.

Keputusan Menteri Sosial Nomor: 108/HUK/2009, Tentang

Sertifikasi Pekerja Sosial

260

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 278: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

RIWAYAT HIDUP

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc, lahir di Medan

Sumatera Utara tanggal 25 Juni 1955, merupakan

putra ketiga dari sembilan bersaudara, dari Bapak Haji

Idham Situmorang (Almarhum),Purnawirawan TNI dan

Ibu Hajjah Isnaniah (Almarhumah), seorang ibu rumah

tangga yang gigih mendorong pendidikan anak-anak-

nya. Menyelesaikan pendidikan SD Negeri di sebuah

perkebunan negara di Kabupaten Deli Serdang tahun

1968, SMP Negeri Perbaungan Kabupaten Deli Serdang tahun 1971, SAA

(Sekolah Asisten Apoteker) Negeri Medan tahun 1974.

Menyelesaikan pendidikan Sarjana Farmasi di FMIPA Universitas

Sumatera Utara (USU) tahun 1981 dan pendidikan profesi Apoteker tahun

1982. Pada tahun 1988-1990 melanjutkan pendidikan S2 Public Health di

Pasca Sarjana Universitas Indonesia (UI) bidang studi Biostatistik dan

Kependudukan dan mendapatkan predikat lulusan terbaik II dan pada tahun

2010 menyelesaikan pendidikan S3 Bidang Studi Manajemen Pendidikan di

Universitas Negeri Jakarta (UNJ).

Semasa mahasiswa aktif dalam organisasi intra dan ekstra

universitas. Pernah duduk sebagai Pengurus Senat Mahasiswa FMIPA USU,

Ikatan Mahasiswa Farmasi FMIPA USU, Ketua Umum HMI Cabang Medan

dan Ketua Badko HMI Sumatera Bagian Utara.

Mulai bekerja di BKKBN Propinsi Sumatera Utara tahun 1983 dan

pada tahun 1984 sebagai PH Kasi Kontrasepsi, kemudian melanjutkan

pendidikan S2 dengan tugas belajar dan pada tahun 1990 di tugaskan

sebagai Kepala BKKBN Kota Pematang Siantar. Tahun 1994 ditarik ke

BKKBN Pusat dan berturut-turut menjabat sebagai Kepala Bagian Pemeli-

haraan dan Kendaraan Biro Tata Usaha, Kabag Peningkatan Mutu

Pelayanan Kontrasepsi Biro Kontrasepsi, Kepala Sub Direktorat Pening-

katan Kelompok Usaha Direktorat Pemberdayaan Ekonomi Keluarga. Tahun

2001 pindah ke Departemen Sosial dan menjabat sebagai Sekretaris

Direktorat Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial, tahun 2006 menjabat

sebagai Direktur Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial dan akhir tahun 2007

menjabat sebagai Sekretaris Jenderal sampai dengan Oktober 2010. Dan

sejak Oktober 2010 sampai dengan saat ini menjabat sebagai Staf Ahli

Menteri Sosial Bidang Otonomi Daerah.

261

MUTU PEKERJA SOSIAL DI ERA OTONOMI DAERAH

Page 279: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Disamping jabatan di Kemensos, pada September 2008 diangkat

sebagai Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN), Agustus 2010

sebagai Plt. Ketua DJSN dan sejak tahun 2011 dengan Keputusan Presiden

diangkat sebagai Ketua definitif. Pada Agustus 2009 diangkat dengan

Keputusan Presiden sebagai Anggota Dewan Pengarah BNPB (Badan

Nasional Penanggulangan Bencana).

Pada tahun 1982-1988 pernah juga mengajar sebagai Guru SAA di

Medan dan Dosen Luar Biasa Jurusan Tadris Fakultas Tarbiyah IAIN

Sumatera Utara. Anggota Panja RUU Penanggulangan Bencana (2007),

Ketua Panja unsur Pemerintah pada Penyusunan RUU tentang

Kesejahteraan Sosial tahun 2008, anggota Panja RUU Penanganan Fakir

Miskin (2011) dan anggota Panja RUU BPJS (2010-2011). Seluruh jenjang

pendidikan Struktural kedinasan telah diikuti (Spama, Diklat PIM Tkt.II dan

Diklat PIM Tk.I mendapat katagori 10 lulusan terbaik). Telah mengunjungi

berbagai negara dalam rangka pelatihan, konferensi internasional dan studi

banding ke Swedia, Finlandia, Belanda, Jepang, Korea Selatan, Thailand,

Australia, New Zealand, Iran, India, Sudan, Inggris, Jerman, Taiwan dan

Philipina.

Saat ini juga aktif mengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

(FISIP) Universitas Nasional (UNAS) dan Kepala Laboratorium Administrasi

Negara FISIP UNAS dan di Fakultas Ilmu Pendidikan dan Studi Islam UNIDA

Ciawi Bogor dan pernah sebagai Konsultan beberapa penelitian di

Puslitbangkesos.

Di organisasi profesi, aktif sebagai pengurus pusat Ikatan Sarjana

Farmasi Indonesia (ISFI) dan saat ini sebagai Wakil Ketua Penasehat BPP

IAI ( Pengganti nama dari ISFI) dan Ketua Yayasan ISFI.

Pada organisasi intelektual muslim, sewaktu bertugas di Kota

Pematang Siantar, membentuk dan menjadi Ketua Orsat ICMI Pematang

Siantar. Salah satu tugas waktu itu adalah mendirikan BPRS Amanah

Bangsa dan selama 18 tahun sampai dengan saat ini BPRS tersebut tetap

eksis untuk menghadang rentenir yang cukup banyak di Siantar. Sehari-hari

di celah waktu yang tersisa masih menyempatkan diri memberikan pelaya-

nan profesi kefarmasian di Apotik sebagai pengelola dan pemilik Apotik.

Menikah dengan Dra. Leny Brida Siregar, Dipl. TESOL, M,Psi

(Mahasiswa S3 UNJ, Dosen Politeknik Negeri Jakarta), pada tahun 1983

dan dikaruniai dua orang putra, Budi Syarif Amanda Situmorang,SH, LL,M,

dan Boby Nirwan Ramadhan Situmorang, SE, B,Econ (Mahasiswa Post

Graduate Ilmu Ekonomi University Of Quensland Australia).

262

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc

Page 280: Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, Mrepository.unas.ac.id/302/1/Mutu Pekerja Sosial Di Era Otonomi Daerah(1).pdf · Situmorang, SH, LLM dan Boby Nirwan Ramadhan, SE, B. Econ. Saya juga

Mutu Pekerja SosialDi Era Otonomi Daerah

Mutu Pekerja SosialDi Era Otonomi Daerah

..................................................................................................................................................“Pekerja Sosial sebagai garda terdepan dalam Pelayanan Sosial memerlukan mutu yang tinggi, kompetensi yang unggul dan harus dapat mengup-date dirinya secara berkelanjutan. Buku ini diharapkan dapat dijadikan sebagai pencerahan ke arah dimaksud”. (Dr. Salim Segaf Al Jufri, MA – Menteri Sosial RI)....................................................................................................................................“Buku ini patut mendapat apresiasi karena mengangkat Quality Control dari suatu profesi yang sangat mulia namun sering dicampuradukkan dengan pekerjaan relawan. Social Worker perlu membaca buku ini untuk meningkatkan eksistensi profesi pekerjaan sosial di Indonesia”. (Makmur Sunusi, PhD – Staf Ahli Menteri Sosial/Pakar International Social Work)...................................................................................................................................................Mutu Pekerja Sosial di Era Otonomi Daerah karya Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc, memberikan referensi yang holistik dan komprehensif bagi para akademisi, praktisi dan penggiat pembangunan kesejahteraan sosial tentang permasalahan, kebijakan, dan evaluasi mutu pekerja sosial di era otonomi daerah. Penulis telah menguraikan kerangka pemikirannya berdasarkan fakta yang lengkap, otentik dan dapat dipertanggungjwabkan secara ilmiah. Rekomendasi yang diajukan penulis untuk peningkatan mutu pekerja sosial yang terkait dengan standar kompetensi pekerja sosial, pendidikan penyelenggaraan diklat, reformasi peraturan perundang-undangan, dan pendayagunaan pekerja sosial di lembaga-lembaga kesejahteraan sosial; sangat relevan untuk diterapkan di era otonomi daerah. Buku ini layak dijadikan referensi utama di berbagai perguruan tinggi yang menyelengarakan pendidikan tinggi profesi pekerjaan sosial. (Dr. Ir. Harry Hikmat, M.Si – Kepala Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial Kementerian Sosial RI)......................................................................................................................................“Dalam era otonomi daerah, masa depan pekerja sosial di Indonesia ada di tingkat pemerintahan yang paling bawah yang langsung berhadapan dengan individu dan masyarakat yang membutuhkan layanan-layanan kesejahteraan sosial. Buku ini, dengan bahasannya yang mendalam pada kebijakan dan program layanan kesejahteraan sosial, menjawab tantangan ini dan membuka wawasan kita bahwa ternyata masih banyak agenda yang harus dibenahi. Meskipun settingnya lebih pada pelayanan di Kemensos, tetapi buku ini berhasil menyajikan informasi yang sangat penting bagaimana meningkatkan mutu pekerja sosial." (Tata Sudrajat – Ketua Umum IPSPI, 2010 - 2016). .......................................................................................................................................

Dr. Chazali H. Situmorang, Apt, M.Sc, Lahir di Medan, 25 Juni 1955. Menyelesaikan pendidikan Sarjana Farmasi di FMIPA USU tahun 1981, dan pendidikan profesi Apoteker tahun 1982. Pada tahun 1988-1990 melanjutkan pendidikan S2 Public Health di Pasca Sarjana Universitas Indonesia Bidang Studi Biostatistik dan

Kependudukan, dan mendapatkan predikat lulusan terbaik II dan pada tahun 2010 menyelesaikan pendidikan S3 Bidang Studi Manajemen Pendidikan di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Di Kementerian Sosial menjabat sebagai Direktur Jenderal Bantuan dan Jaminan Sosial tahun 2006 dan akhir tahun 2007-Oktober 2010 menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Kementerian Sosial RI. Saat ini menjabat sebagai Staf Ahli Menteri Sosial Bidang Otonomi Daerah, dan Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN). Selain itu juga aktif mengajar di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Nasional (UNAS).

donesiaCINTACentral Informasi Networking Transformasi & Aspirasi IndonesiaPenerbit:CINTA IndonesiaPGS Building Jl. Bhayangkara No. 9 CimanggisKota Depok Jawa Barat 16951Telp: 021-87717007; Fax: 021-87717007