DOSIS EFEKTIF AIR KELAPA WULUNG (Cocos nucifera L. … · 2018-03-24 · pemotongan organ,...
-
Upload
nguyenduong -
Category
Documents
-
view
224 -
download
1
Transcript of DOSIS EFEKTIF AIR KELAPA WULUNG (Cocos nucifera L. … · 2018-03-24 · pemotongan organ,...
i
DOSIS EFEKTIF AIR KELAPA WULUNG (Cocos nucifera L. Var.rubescens) SEBAGAI ANTIDOTUM TERHADAP KERACUNAN
PROPOXUR PADA MENCIT PUTIH JANTAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu SyaratMemperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh:Pius Perwita Setyo Hadi
NIM : 068114018
FAKULTAS FARMASIUNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA2010
ii
DOSIS EFEKTIF AIR KELAPA WULUNG (Cocos nucifera L. Var.rubescens) SEBAGAI ANTIDOTUM TERHADAP KERACUNAN
PROPOXUR PADA MENCIT PUTIH JANTAN
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu SyaratMemperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm)
Program Studi Ilmu Farmasi
Oleh:Pius Perwita Setyo Hadi
NIM : 068114018
FAKULTAS FARMASIUNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA2010
iii
iv
v
vi
LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN
PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS
Yang bertanda tangan dibawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:
Nama : Pius Perwita Setyo Hadi
NIM : 068114018
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan
Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
” Dosis Efektif Air Kelapa Wulung (Cocos nucifera L. Var. rubescens) sebagai
Antidotum terhadap Keracunan Propoxur pada Mencit Putih Jantan”
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan
kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan,
mengalihkan, dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan
data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau
media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin dari saya maupun
memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai
penulis
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 9 Juni 2010
Yang menyatakan
Pius Perwita Setyo Hadi
vii
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Bapa di Surga dan Tuhan Yesus
Kristus karena atas berkat, hikmat, kasih, kekuatan, dan cinta-nya yang diberikan
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”Dosis Efektif Air
Kelapa Wulung (Cocos nucifera L. Var. rubescens) sebagai Antidotum terhadap
Keracunan Propoxur pada Mencit Putih Jantan”.
Skripsi ini disusun sebagai tugas akhir untuk memenuhi salah satu syarat
guna memperoleh gelar Sarjana Strata satu Farmasi (S. Farm.), program Studi Ilmu
Farmasi Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Sekaligus untuk
menambah pengetahuan dalam dunia kefarmasian pada umumnya.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih atas segala
bantuan yang penulis terima baik secara langsung maupun tidak langsung sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih yang tulus khususnya
penulis tujukan kepada :
1. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta.
2. Bapak Ipang Djunarko, M.Sc., Apt. selaku dosen pembimbing dan penguji
yang telah mengarahkan, mendampingi, dan meluangkan waktu untuk
berdiskusi bersama penulis selama proses penelitian, penyusunan, hingga
selesainya skripsi ini.
3. Ibu dr. Fenty, M.Kes., Sp.PK selaku dosen penguji skripsi yang telah
memberikan waktu, saran dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini.
viii
4. Ibu Phebe Hendra, M.Si., Ph.D., Apt. selaku dosen penguji skripsi yang telah
memberikan waktu, saran dan masukan demi kesempurnaan skripsi ini.
5. Staf laboratorium, terimakasih atas bantuan dan kerjasamanya selama penulis
melakukan penelitian.
6. Bapak dan Ibu atas doa, bimbingan, nasehat dan dukungannya untuk dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
7. Adikku Ambar dan Gigih, terimakasih atas dukungan dan semangat.
8. Paulina Maya terima kasih atas doa, kasih sayang, pendapat, perhatian dan
dukungannya.
9. Bapak Yunadir yang telah memberikan tips-tips dalam pengambilan dan
pemotongan organ, membuatkan preparat dengan cepat dan baik.
10. Ibu drh. Sitarina Widyarini, M.P., Ph.D. yang telah membantu dalam analisis
dan memotret organ histopatologi.
11. Teman-teman 2006 Zihendra, Daryono, Novianti, Ricky, Felix, Dewi, Reyni
untuk diskusi, semangat dan dukungannya.
12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah membantu
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dan ketidaksempurnaan yang
ada dalam penyusunan skripsi ini. Untuk itulah penulis mengaharapkan kritik dan
saran yang dapat membuat karya ini menjadi lebih baik. Akhir kata, semoga
penelitian skripsi yang telah dilakukan penulis dapat bermanfaat bagi
perkembangan ilmu kefarmasian.
Penulis
ix
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan bahwa sesungguhnya skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar
pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 9 Juni 2010
Penulis,
Pius Perwita Setyo Hadi
x
INTISARI
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui wujud dan sifatpenawaracunan propoxur oleh air kelapa wulung secara peroral sebagai antidotummelalui pengamatan struktural, serta dosis efektif air kelapa wulung untuk kasuskeracunan propoxur.
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental murni denganrancangan acak pola satu arah. Tiga puluh ekor mencit dibagi menjadi 5 kelompok.Kelompok I diberi propoxur dosis 0,315 ml/20gBB mencit secara per-oral sebagaikontrol positif; kelompok II-IV diberi propoxur masing-masing dengan dosisberturut-turut 0,315 ml/20gBB mencit secara per-oral kemudian diberi antidotumair kelapa wulung pada masing-masing kelompok secara berturut-turut: 0,350ml/20gBB mencit; 0,500 ml/20gBB mencit; 0,715 ml/20gBB mencit. Kelompok Vdiberi air kelapa wulung dosis 0,715 ml/20gBB mencit secara per-oral sebagaikontrol negatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa wujud dari pemberian antidotum airkelapa wulung dosis 0,500 ml/20gBB mencit bersifat terbalikan. Dosis efektif airkelapa wulung sebagai antidotum keracunan propoxur adalah air kelapa wulungdosis 0,500 ml/20gBB mencit.
Kata kunci : antidotum, air kelapa wulung, propoxur , dosis efektif
xi
ABSTRACT
The research aims to know form and nature of poison antidote of propoxurby “wulung” coconut water by per oral, and also the effective dose of “wulung”coconut water as antidote for the case of poisoned of propoxur.
This research is a pure experimental research by completed random ofdirect-current plan. Thirty mice are divided into five groups. Group I is givenpropoxur with dosage 0,315 ml/20gBW mice as a positive control; group II-IV isgiven propoxur each group 0,315 ml/20gBW mice then given coconut water eachgroup successively 0,350 ml/20gBW mice; 0,500 ml/20gBW mice; 0,715ml/20gBW mice. Group V is given coconut water with dosage 0,715 ml/20gBWmice as a negative control.
The results showed that the form of giving antidote of “wulung” coconutwater have character of inversion. Effective dosage “wulung” coconut water asantidote for propoxur poisioning is “wulung” coconut water dosage 0,500ml/20gBW mice.
Key word: antidote, coconut water, propoxur, effective dosage
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ......................................................................................... i
HALAMAN JUDUL ............................................................................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING.................................................... iii
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iv
HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................... v
PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ................................................. vi
PRAKATA ............................................................................................................ vii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ............................................................... ix
INTISARI ............................................................................................................ x
ABSTRACT ........................................................................................................... xi
DAFTAR ISI ........................................................................................................ xii
DAFTAR TABEL ................................................................................................ xv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xix
BAB I. PENGANTAR ......................................................................................... 1
A. Latar Belakang .......................................................................................... 1
1. Permasalahan .................................................................................... 3
2. Keaslian penelitian ........................................................................... 3
3. Manfaat penelitian ............................................................................ 4
B. Tujuan Penelitian ....................................................................................... 4
BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA .................................................................. 5
xiii
A. Toksikologi ................................................................................................ 5
B. Cara Penanganan Keracunan ..................................................................... 6
C. Penanganan Keracunan Insektisida Karbamat .......................................... 7
D. Asas Umum Terapi Antidot ...................................................................... 8
E. Propoxur .................................................................................................... 11
F. Asetilkolin ................................................................................................. 15
G. Enzim Asetilkolinesterase ......................................................................... 16
H. Kelapa Wulung .......................................................................................... 16
I. Anatomi Fisiologi ...................................................................................... 19
J. Kerusakan Organ ....................................................................................... 22
K. Landasan Teori .......................................................................................... 26
L. Hipotesis .................................................................................................... 27
BAB III. METODE PENELITIAN ....................................................................... 28
A. Jenis dan Rancangan Penelitian ................................................................ 28
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ……................................... 28
C. Bahan dan Alat Penelitian ......................................................................... 30
1. Bahan .................................................................................................. 30
2. Alat ..................................................................................................... 31
D. Tata Cara Penelitian .................................................................................... 31
1. Orientasi dosis propoxur .................................................................... 31
2. Orientasi penetapan waktu pemberian ............................................... 32
3. Penetapan dosis propoxur ................................................................... 32
4. Penetapan dosis air kelapa wulung ..................................................... 32
xiv
5. Pengelompokan hewan uji ................................................................. 32
6. Pengamatan ........................................................................................ 33
7. Pemeriksaan histopatologi .................................................................. 34
E. Tata Cara Analisis Hasil ............................................................................ 35
BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 36
A. Orientasi Dosis Perlakuan Dan Waktu Pemberian .................................... 36
B. Wujud dan Sifat Penawaracunan Propoxur oleh Air Kelapa
Wulung....................................................................................................... 38
C. Dosis Efektif Air Kelapa Wulung sebagai Antidotum .............................. 56
BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN................................................................ 65
A. Kesimpulan ................................................................................................ 65
B. Saran .......................................................................................................... 65
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 66
LAMPIRAN .......................................................................................................... 71
BIOGRAFI PENULIS .......................................................................................... 87
xv
DAFTAR TABEL
Tabel I. Komposisi Air Kelapa Wulung (Cocos nucifera L. Var. rubescens) ...... 18
Tabel II. Hasil Penelitian % Kematian akibat Pemejanan Propoxur ..................... 37
Tabel III. Hasil Perbandingan Pengamatan Gejala Efek Toksik Waktu
Kematian.................................................................................................. 41
Tabel IV. Hasil Perbandingan Antar Kelompok pada Pengamatan Gejala Efek
Toksik Waktu Kematian ......................................................................... 42
Tabel V. Hasil Pemeriksaan Histopatologis Organ Mencit .................................. 45
xvi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Penghambatan Absorpsi dan Distribusi (Translokasi) ........................ 9
Gambar 2. Peningkatan Eliminasi ......................................................................... 10
Gambar 3. Penaikkan Ambang Toksik Racun dalam Tubuh ................................ 11
Gambar 4. Struktur Propoxur (2-isopropoxyphenyl methylcarbamate) ................ 11
Gambar 5. Jalur Biosintesis Asetilkolin ................................................................ 15
Gambar 6. Reaksi Hidrolisis Asetilkolin Oleh Enzim Asetilkolin Esterase ......... 16
Gambar 7. Perbedaan Buah Kelapa Wulung dengan Kelapa Hijau ...................... 17
Gambar 8. Skema Prosedur Kerja ......................................................................... 33
Gambar 9. Penghambatan Enzim Asetilkolinesterase oleh Propoxur ................... 39
Gambar 10. Diagram Batang Mean ± SE untuk Gejala Efek Toksik Waktu
Kematian Akibat Keracunan Propoxur ................................................... 43
Gambar 11. Gambaran Histopatologi Organ Hati Kelompok Kontrol Negatif
Air Kelapa Wulung 0, 715 ml/20g BB mencit Pengecatan
Hematoksislin-Eosin ............................................................................... 46
Gambar 12. Gambaran Histopatologi Organ Hati Kelompok Kontrol Positif
Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit Pengecatan Hematoksislin-Eosin .. 47
Gambar 13. Gambaran Histopatologi Organ Hati Kelompok Dosis I Propoxur
0,315 ml/20g BB mencit dan Air Kelapa Wulung 0,350 ml/20g BB
mencit Pengecatan Hematoksislin-Eosin ................................................ 48
xvii
Gambar 14. Gambaran Histopatologi Organ Hati Kelompok Dosis II Propoxur
0,315 ml/20g BB mencit dan Air Kelapa Wulung 0,500 ml/20g BB
mencit Pengecatan Hematoksislin-Eosin ................................................ 49
Gambar 15. Gambaran Histopatologi Organ Hati Kelompok Dosis III Propoxur
0,315 ml/20g BB mencit dan Air Kelapa Wulung 0,715 ml/20g BB
mencit Pengecatan Hematoksislin-Eosin ................................................ 51
Gambar 16. Gambaran Histopatologi Organ Lambung Perlakuan (a) Kontrol
Negatif Air Kelapa Wulung 0,715 ml/20g BB mencit dan (b) Kontrol
Positif Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit Pengecatan Hematoksislin-
Eosin ....................................................................................................... 52
Gambar 17. Gambaran Histopatologi Organ Lambung Perlakuan (c) Dosis I
Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit dan Air Kelapa Wulung 0,350
ml/20g BB mencit; (d) Dosis II Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit dan
Air Kelapa Wulung 0,500 ml/20g BB mencit; (e) Dosis III Propoxur
0,315 ml/20g BB mencit dan Air Kelapa Wulung 0, 715 ml/20g BB
mencit ..................................................................................................... 53
Gambar 18. Gambaran Histopatologi Organ Jantung Perlakuan (a) Kontrol
Negatif Air Kelapa Wulung 0,715 ml/20g BB mencit dan (b) Kontrol
Positif Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit Pengecatan Hematoksislin-
Eosin ........................................................................................................ 54
Gambar 19. Gambaran Histopatologi Organ Jantung Perlakuan (c) Dosis I
propoxur 0,315 ml/20g BB mencit dan Air Kelapa Wulung 0,350
ml/20g BB mencit; (d) Dosis II Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit dan
xviii
Air Kelapa Wulung 0,500 ml/20g BB mencit; (e) Dosis III Propoxur
0,315 ml/20g BB mencit dan Air Kelapa Wulung 0,715 ml/20g BB
mencit ..................................................................................................... 55
Gambar 20. Diagram Batang Kelompok Perlakuan vs Persen Hidup .................. 57
Gambar 21. Interaksi Antara Asetilkolin dengan Enzim Asetilkolinesterase........ 59
Gambar 22. Skema hidrolisis asetilkolin oleh asetilkolinesterase dan reaksi
antara propoxur dengan asetilkolinesterase …........................................ 61
Gambar 23. Mekanisme Reaksi Hidrolisis Asetilkolin …................................... 62
Gambar 24. Proses Biotransformasi Propoxur ….................................................. 63
xix
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Orientasi ............................................................................................ 71
Lampiran 2. Perhitungan Dosis ............................................................................. 73
Lampiran 3. Hasil Pengamatan Efek Toksik ......................................................... 76
Lampiran 4. Hasil Penimbangan Organ Histopatologi ......................................... 78
Lampiran 5. Analisa Data Gejala Efek Toksik Waktu Kematian ......................... 80
Lampiran 6. Tabel Hasil Perbandingan Antar Kelompok Pada Pengamatan
Gejala Efek Toksik Waktu Kematian ..................................................... 83
Lampiran 7. Diagram Batang Kelompok Perlakuan vs % Hidup ......................... 84
Lampiran 8. Hasil Pemeriksaan Histopatologis .................................................... 85
Lampiran 9. Surat Keterangan Hewan Uji ............................................................ 86
1
BAB I
PENGANTAR
A. Latar Belakang
Keracunan merupakan suatu keadaan penyakit akut yang diakibatkan oleh
obat atau zat kimia lain yang masuk kedalam tubuh manusia secara berlebihan
(over dosage) baik disengaja maupun tidak disengaja (Sjamsuir, 1983).
Keracunan dapat ditimbulkan berbagai macam zat yang terdapat dalam
lingkungan sehari-hari: seperti obat-obatan, makanan, pestisida dan lain-lain.
Sebab-sebab terjadinya keracunan ini dapat dibagi atas 3 golongan yaitu
keracunan karena kecelakaan atau tidak di sengaja, keracunan karena di sengaja
untuk maksud bunuh diri dan keracunan kriminil atau tindak kejahatan (Sjamsuir,
1983). Keracunan dapat berakibat fatal mulai dari bahaya yang paling ringan yaitu
kejang, muntah, pingsan hingga bahaya yang paling berat yaitu kematian.
Propoxur atau C11-H15-N-O3 yang biasa disebut Aprocarb (senyawa
karbamat) banyak digunakan dalam racun pembasmi nyamuk yang memiliki
risiko terhadap kesehatan. Propoxur juga dapat menurunkan aktivitas enzim yang
berperan pada saraf transmisi, dan berpengaruh buruk pada hati dan reproduksi
(Olson, 2007).
Insektisida golongan karbamat ini dapat menghambat enzim asetilkolin
esterase sehingga mengakibatkan akumulasi asetilkolin berlebih pada reseptor
muskarinik, nikotinik dan sistem saraf pusat (Olson, 2007). Efek beracun dapat
diakibatkan oleh ketidaksengajaan menelan material ini, yang mengakibatkan
2
mual, muntah, kehilangan selera makan, kram abdominal, dan diare (Anonim,
2007a).
Di Indonesia, kasus kematian remaja akibat keracunan pembasmi nyamuk
dengan zat aktif propoxur sering terjadi (Henaldi, 2009). Tragedi di Bhopal-India
pada tahun 80-an yang menyebabkan ribuan orang meninggal seketika dan ratusan
ribu lainnya menjadi cacat dan mengalami kerusakan syaraf yang disebabkan oleh
propoxur (senyawa antaranya MIC atau metil isosianat) (Srinoeni, 2008).
Melihat banyaknya kasus keracunan yang terjadi akibat senyawa aktif
propoxur pada pembasmi nyamuk, maka diperlukan strategi terapi yang cepat dan
tepat untuk meningkatkan usaha dalam pencegahan maupun dalam
penanggulangan kasus-kasus keracunan (Sjamsuir, 1983). Menurut Donatus
(1997), strategi terapi tersebut adalah strategi terapi antidotum.
Menurut Barlina (2004); Rachman (2007), salah satu khasiat air kelapa
adalah sebagai antidotum (penawar) keracunan makanan, arsenik. Air kelapa
muda juga berkhasiat untuk diuretikum, pembersih darah, obat TBC, obat sifilis,
obat demam, dan gangguan pada saluran kencing. Menurut Hadi dkk (2009), Air
kelapa wulung dosis 0,500 ml/20gBB mencit memiliki daya sebagai antidotum
untuk mengatasi keracunan propoxur dosis 0,125 ml/20gBB mencit, akan tetapi
belum diketahui dosis efektifnya.
Berdasarkan latar belakang di atas penulis ingin mengetahui dosis efektif
air kelapa wulung dalam mengatasi kasus keracunan insektisida khususnya
propoxur serta melihat wujud dan sifat penawaracunan propoxur oleh air kelapa
wulung secara pengamatan fisik dan struktural.
3
1. Permasalahan
a. Bagaimana wujud dan sifat penawaracunan propoxur oleh air kelapa wulung
secara pengamatan struktural?
b. Berapakah dosis efektif air kelapa wulung sebagai antidotum secara peroral
untuk kasus keracunan propoxur?
2. Keaslian penelitian
Berdasarkan sumber-sumber informasi yang diperoleh, penelitian
ilmiah mengenai air kelapa sebagai antidotum pada kasus keracunan propoxur
sudah pernah dilakukan adalah daya antidotum air kelapa terhadap keracunan
propoxur pada mencit galur Swiss oleh Hadi, dkk (2009) dengan hasil
penelitian yaitu air kelapa wulung memiliki daya antidotum pada kasus
keracunan propoxur ditunjukkan pada dosis 0,5ml/20gBB mencit sedangkan
air kelapa hijau volume 0,5ml/20g BB mencit tidak memiliki daya antidotum.
Selain itu penelitian mengenai efek toksik pestisida propoxur pada hepar
dilakukan oleh Nandang (2004) dengan hasil penelitian yaitu propoxur dapat
menyebabkan perubahan sitologi hepar.
Penelitian mengenai Dosis Efektif Air Kelapa Wulung (Cocos
nucifera L. Var. rubescens) sebagai Antidotum terhadap Keracunan Propoxur
pada Mencit Putih Jantan sepanjang pengetahuan penulis belum pernah ada
yang melakukan. Perbedaan dengan penelitian tentang air kelapa sebelumnya
terletak pada variasi dosis air kelapa dan hewan uji yang digunakan serta
dilakukan histopatologi pada organ hati, lambung dan jantung mencit.
4
3. Manfaat penelitian
a. Manfaat teoritis
Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah khasanah
dan perkembangan ilmu pengetahuan di bidang kefarmasian, terkait dengan
bidang toksikologi klinik.
b. Manfaat praktis
Penelitian ini dapat memberikan informasi wujud dan sifat serta
dosis efektif air kelapa wulung secara peroral sebagai antidotum keracunan
propoxur 0,315 ml/20g BB mencit.
B. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian mengenai Dosis Efektif Air Kelapa Wulung
(Cocos nucifera L. Var. rubescens) sebagai Antidotum terhadap Keracunan
Propoxur pada Mencit Putih Jantan yaitu:
1. Mengetahui wujud dan sifat penawaracunan propoxur oleh air kelapa wulung
secara pengamatan struktural.
2. Mengetahui dosis efektif air kelapa wulung sebagai antidotum secara peroral
untuk kasus keracunan propoxur.
5
BAB II
PENELAAHAN PUSTAKA
A. Toksikologi
Menurut beberapa sumber, toksikologi adalah ilmu yang mempelajari
tentang zat kimia dan aksinya di dalam tubuh (Clarke and Clarke,1975); aksi
bahaya zat kimia atas sistem biologi tertentu (Loomis, 1978); ilmu
pengetahuan mengenai kerja senyawa kimia yang merugikan terhadap
organisme hidup (Ariens, Mutschler, Simonis, 1986). Lu (1995)
mendefinisikan toksikologi sebagai kajian tentang hakikat dan mekanisme efek
toksik berbagai bahan terhadap makhluk hidup dan sistem biologik lainnya.
Jadi istilah toksikologi ialah ilmu yang mempelajari pengaruh kuantitatif zat
kimia atas sistem-sistem biologi, yang pusat perhatiannya terletak pada aksi
berbahaya zat kimia itu (Donatus, 2001). Menurut Purwandari (2006)
didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang efek merugikan berbagai
bahan kimia dan fisik pada semua sistem kehidupan.
Salah satu cabang ilmu toksikologi yang mempelajari tentang racun
adalah toksikologi klinik. Menurut berbagai sumber, toksikologi klinik
merupakan cabang ilmu toksikologi yang mempelajari tentang gangguan
gangguan yang disebabkan substansi toksik, merawat penderita yang
keracunan, dan mencari ikhtiar untuk menemukan cara-cara baru dalam
penanggulangan keracunan (Raharjo, 2004). Menurut Dipiro (2005)
6
didefinisikan sebagai cabang ilmu toksikologi yang mempelajari penanganan
kearcunan suatu obat atau senyawa beracun.
B. Cara Penanganan Keracunan
Dari beberapa pendapat yang telah dikemukakan oleh para pakar, tindakan
pada pasien keracunan menurut Donatus (1997), yaitu:
1. Terapi suportif
Tindakan ini merupakan pertolongan pertama yang bertujuan untuk
memperbaiki kondisi dan menyelamatkan jiwa penderita. Tindakan ini akan
memelihara fungsi vital seperti pernafasan dan peredaran darah, sehingga
penderita selamat serta menjadi lebih mudah dan kooperatif untuk menjalani
terapi antidot berikutnya. Untuk itu terapi suportif harus dilakukan dengan
cepat dan sesegera mungkin.
2. Penyidikan jenis racun penyebab
Penyidikan ini dilakukan untuk menentukan pilihan terapi antidot.
Tindakan ini dilakukan dengan cara:
a. Wawancara dengan penderita atau penghantar.
b. Pemeriksaan gejala-gejala keracunan secara sistematis.
c. Pemeriksaan wadah dan sisa bahan penyebab yang dicurigai melalui
muntahan, air kencing, atau darah penderita.
3. Terapi antidot
Terapi antidot dilakukan untuk membatasi intensitas (kekuatan) efek
toksik zat kimia atau menyembuhkan efek toksik yang ditimbulkannya,
7
sehingga bermanfaat dalam mencegah timbulnya bahaya lebih lanjut.
Pemilihan strategi terapi antidot bergantung pada pengetahuan atau informasi
tentang rentang waktu antara saat pemejanan bahan berbahaya, saat timbulnya
gejala-gejala toksik, dan saat penderita siap menjalankan terapi
Ketiga strategi di atas dapat dikerjakan secara khas maupun tidak. Metode
yang khas hanya dapat digunakan bila zat beracunnya telah diketahui serta zat
antidotnya tersedia. Sedangkan yang tidak khas adalah metode umum yang dapat
digunakan untuk sebagian besar zat beracun (Donatus, 1997).
C. Penanganan Keracunan Insektisida Karbamat
Olson (2007) mengemukakan bahwa ada beberapa cara yang dapat
dilakukan dalam menangani keracunan khususnya keracunan organofosfat dan
insektisida karbamat, yaitu:
1. Terapi suportif dan penanganan darurat
2. Pemberian obat seperti agen antimuskarinik yaitu atropin atau dengan
pemberian reaktivator enzim yaitu pralidoxime.
3. Dekontaminasi yaitu dengan cara membersihkan bagian tubuh yang telah
terkontaminasi dengan sabun maupun air.
4. Peningkatan eliminasi yang dilakukan dengan cara dialisis dan hemoperfusi.
8
D. Asas Umum Terapi Antidot
Pada umumnya, para pakar sependapat bahwa tindakan pertama yang
sebaiknya dilakukan atas penderita keracunan akut zat kimia ialah terapi suportif,
yakni memelihara fungsi vital seperti pernafasan dan sirkulasi. Tindakan
selanjutnya yang umum dilakukan meliputi upaya membatasi penyebaran racun
dan meningkatkan pengakhiran aksi racun (Donatus, 2001).
Ketoksikan racun sebagian besar ditentukan oleh keberadaan (lama dan
kadar) racun (bentuk senyawa utuh atau metabolitnya) di tempat aksi tertentu di
dalam tubuh. Keberadaan racun tersebut ditentukan oleh keefektifan absorpsi,
distribusi dan eliminasinya. Jadi, pada umumnya intensitas efek toksik pada
efektor berhubungan erat dengan keberadaan racun di tempat aksi dan takaran
pemejanannya (Donatus, 2001).
Tujuan terapi antidot ialah untuk membatasi intensitas efek toksik racun,
sehingga bermanfaat untuk mencegah timbulnya efek berbahaya selanjutnya.
Dengan demikian, jelas bahwa sasaran terapi antidot ialah intensitas efek toksik
racun (Donatus, 2001).
Pada dasarnya dalam praktek toksikologi klinik, terapi antidot dapat
dikerjakan dengan metode yang tak khas atau yang khas. Dimaksud dengan
metode tak khas ialah metode umum yang dapat diterapkan terhadap sebagian
besar racun. Metode khas, ialah metode yang hanya digunakan bila senyawa yang
kemungkinan bertindak sebagai penyebab keracunan telah tersidik, serta zat
antidotnya ada (Donatus, 2001).
9
Asas umum yang mendasari terapi antidot tersebut meliputi sasaran,
strategi dasar, cara, dan pilihan terapi antidot. Sasaran terapi antidot ialah
penurunan atau penghilangan intensitas efek toksik racun. Intensitas efek ini
ditunjukkan oleh tingginya jarak antara nilai ambang toksik (KTM) dan kadar
puncak racun dalam plasma atau tempat aksi tertentu. Strategi dasar terapi antidot
meliputi:
1. Penghambatan absorpsi dan distribusi (translokasi)
Sumber: Donatus (2001)Gambar 1. Penghambatan Absorpsi dan Distribusi (Translokasi)
Dalam mekanisme penawaracunan dengan cara penghambatan absorpsi
dan distribusi. Pada gambar 1, garis putus-putus menunjukkan apabila terdapat
racun maka absorpsi obat akan melebihi ambang kadar toksik maksimal
(KTM) sehingga senyawa beracun akan semakin cepat terdistribusi pula
keseluruh tubuh. Sedangkan pada garis lurus, dengan adanya pemberian
antidotum maka absorpsi terhadap senyawa beracun akan dihambat sehingga
tidak melebihi kadar toksik maksimal (KTM) (Donatus, 2001).
10
2. Peningkatan eliminasi
Sumber: Donatus (2001)Gambar 2. Peningkatan Eliminasi
Dalam mekanisme penawaracunan dengan cara peningkatan eliminasi.
Pada gambar 2, garis putus-putus menunjukkan apabila terdapat racun maka
absorpsi obat akan melebihi ambang kadar toksik maksimal (KTM) sehingga
senyawa beracun akan semakin lama berada di dalam tubuh sehingga proses
eliminasi senyawa beracun tersebut juga lama. Sedangkan pada garis lurus,
dengan adanya pemberian antidotum maka eliminasi terhadap senyawa beracun
akan dipercepat sehingga dapat segera di ekskresikan dari dalam tubuh
(Donatus, 2001).
3. Penaikkan ambang toksik racun dalam tubuh (Donatus, 2001).
Dalam mekanisme penawaracunan dengan penaikan cara ambang
toksik racun dalam tubuh. Pada gambar 3, menunjukkan bahwa ambang kadar
toksik maksimal (KTM) suatu senyawa beracun yaitu 80 sehingga akan
menimbulkan keracunan. Sedangkan dengan adanya pemberian antidotum
11
maka ambang kadar toksik maksimal (KTM) akan ditingkatkan menjadi 100
sehingga tidak menimbulkan keracunan (Donatus, 2001).
Sumber: Donatus (2001)Gambar 3. Penaikkan Ambang Toksik Racun dalam Tubuh
E. Propoxur
O
C
NH
O
CH3
O
CH
CH3
CH3
Sumber: Anonim (1973)
Gambar 4. Struktur Propoxur (2-isopropoxifenil metilkarbamat)
Propoxur (Gambar 4) merupakan senyawa karbamat (senyawa antara,
MIC) yang telah dilarang penggunaannya di luar negeri karena diduga kuat
sebagai zat karsinogenik. Zat racun ini menyebabkan kerusakan syaraf (Anonim,
2007b).
12
Propoxur, C11H15NO3 termasuk racun kelas menengah. Racun ini biasa
disebut dengan Aprocarb yang biasa digunakan sebagai zat aktif dalam insektisida
(Anonim, 2007b).
1. Mekanisme Propoxur
Propoxur merusak kesehatan dengan cara menurunkan aktivitas enzim
yang berperan pada saraf transimisi dalam darah. Enzim yang dimaksud di atas
adalah enzim kolinesterase. Kolinesterase berfungsi menghidrolisis asetilkolin
menjadi kolin dan asam asetat (Putri, 2004).
Jika enzim ini terikat oleh jenis insektisida ini, maka kerja syaraf akan
menjadi terganggu sehingga gerak otot tidak dapat dikendalikan, timbul
kejang, lumpuh atau pingsan sehingga dapat menyebabkan kematian
(Widiarini, 2001).
Untuk mengetahui kadar racun di dalam tubuh dengan melakukan
pemeriksaan aktivitas kolinesterase dalam darah merah dengan alat tintometer
kit (Putri, 2004).
Dalam metabolisme manusia, terdapat enzim asetilkolinesterase yang
terdapat dalam darah. Fungsi normal dari enzim ini adalah menghidrolisis
sehingga menonaktifkan kerja asetilkolin. Ketika asetilkolin dilepaskan,
peranannya melepaskan neurotransmitter untuk memperbanyak konduksi saraf
perifer dan saraf pusat atau memulai kontraksi otot. Efek asetilkolin diakhiri
melalui hidrolisis dengan munculnya enzom asetilkolinesterase (AChE). Ada
dua bentuk AChE, yaitu: true cholinesterase atau asetilkolinesterase (AChE)
yang berada di eritrosit, saraf dan neuromuscular junction. Yang kedua adalah
13
pseudocholinesterase atau serum cholisterase yang berada pada serum, plasma
dan hati (Lubis, 2002). Insektisida yang mengandung bahan ini akan
menghambat AChE melalui proses fosforilasi bagian ester anion. Ikatan fosfor
ini sangat kuat sekali dan bersifat irreversibel. Penghambatan ini terjadi sampai
suatu reaktivator kolinesterase diberikan. Jika penghambatan AChE diabaikan
maka kerja asetilkolin akan berlangsung terus sehingga kontraksi otot berjalan
terus menerus (Lubis, 2002).
2. Efek toksik propoxur
Propoxur dapat mengakibatkan beberapa efek yang berbahaya antara
lain:
a. Jika tertelan
Proses pencernaan dapat menghasilkan mual, muntah, kehilangan
selera makan, kram abdominal, dan diare.
b. Jika terkena mata
Propoxur dapat menyebabkan iritasi mata dan kerusakan pada
beberapa individu. Jika melakukan kontak mata secara langsung dapat
menghasilkan air mata, pelipatan pada kelopak mata, kontraksi atau
pengucupan anak mata, kehilangan fokus dan pengaburan penglihatan.
Dapat juga terjadi dilasi atau pembesaran anak mata.
c. Jika terkena kulit
Bahan ini dapat mengiritasi kulit dan rasa tidak nyaman bila terjadi
pemaparan dalam waktu yang lama. Bagian yang terkena bahan ini akan
14
mengeluarkan keringat dan terjadi kekejangan otot. Namun reaksi ini
tertunda untuk beberapa jam.
d. Jika terhirup
Bahan ini tidak mengiritasi saluran pernapasan. Namun penghirupan
debu atau uap dalam periode yang cukup lama dapat menimbulkan
gangguan saluran pernapasan. Efek pada sistem saraf meliputi kehilangan
keseimbangan, sulit berbicara, gemetar pada kelopak mata dan lidah,
kelumpuhan otot tangan dan otot saluran pernafasan. Ini dapat menyebabkan
kematian yang dikaitkan dengan adanya kegagalan jantung.
e. Efek bahaya kronis
Efek ini terjadi jika orang yang bersangkutan melakukan kontak
secara berulang kali terhadap unsur ini. Efek yang ditimbulkan antara lain
menyebabkan memori menjadi lemah dan hilangnya konsentrasi, depresi
parah dan penyakit kejiwaan akut, sifat lekas marah, kebingungan, kelesuan,
emosional, sulit berbicara, disorientasi pada ruang, penundaan waktu untuk
bereaksi, berjalan sambil tidur, mengantuk, sulit tidur, emosional, berbagai
kesulitan berbicara, sakit kepala, diorientasi pada ruang, penundaan waktu
untuk bereaksi. Selain itu bisa menyebabkan perilaku atau perubahan neuro-
kimia selama berhari-hari atau beberapa bulan. Efek jangka panjang ini
meliputi kaburnya penglihatan, sakit kepala, kelemahan, dan anorexia
(Anonim, 2007b).
15
F. Asetilkolin
Asetilkolin merupakan substrat alam asetilkolinesterase, yaitu enzim yang
terdapat pada jaringan pembuluh darah vena mamalia dan serangga. Oleh kerja
katalitik asetilkolinesterase, asetilkolin dihidrolisis dan menghasilkan kolin dan
asetat (Niksolihin, 1996a).
Di dalam susunan saraf pusat, asetilkolin dibuat oleh saraf yang batang
selnya terdapat pada batang otak dan forebrain, dan juga disintesis dalam saraf di
berbagai daerah di tempat lain di dalam otak. Ia beraksi pada sistem saraf otonom
di perifer maupun pusat. Asetilkolin merupakan transmitter utama dalam saraf
motorik di neuromuscular junction pada vertebrata. Setelah disintesis, asetilkolin
dimetabolisme lebih lanjut menjadi kolin dan asetat oleh enzim
asetilkolinesterase. Kolin selanjutnya akan direuptake (Gambar 5) ke dalam ujung
presinaptik untuk menjadi prekursor sintesis asetilkolin (Ikawati, 2008).
Gambar 5. Jalur Biosintesis Asetilkolin
16
G. Enzim Asetilkolinesterase
Enzim merupakan suatu makromolekul yang berperan dalam katalis suatu
reaksi biokimia. Asetilkolinesterase merupakan suatu enzim esterase yang
mengkatalisis reaksi hidrolisis asetilkolin menjadi kolin and asetat pada saraf
sinaptik. Enzim asetilkolinesterase ini mengandung suatu serin yang merupakan
pusat aktif dari enzim sebagai katalis dalam reaksi hidrolisis asetilkolin (Bug,
2004).
NCH2
H3C
H2C
H3C
CH3
OC
O
CH3
Asetilkolin
NCH2
H3C
H2C
H3C
CH3
OH HOC
O
CH3
Kolin Asam Asetat
Asetilkolinesterase
Sumber: Bug (2004)
Gambar 6. Reaksi Hidrolisis Asetilkolin Oleh Enzim Asetilkolin Esterase
H. Kelapa Wulung (Cocos nucifera L. Var. Rubescens)
Kelapa (Cocos nucifera) termasuk jenis tanaman familia palmae, dibagi
menjadi 3 ,yaitu:
1. Kelapa dalam dengan varietas: viridis (kelapa hijau), rubescens (kelapa merah),
macrocorpu (kelapa kelabu), sakarina (kelapa manis)
2. Kelapa genjah dengan varietas: eburnea (kelapa gading), regia (kelapa raja),
pumila (kelapa puyuh), pretiosa (kelapa raja malabar)
3. Kelapa hibrida (Anonim, 2005).
Taksonomi kelapa wulung (Cocos nucifera L. Var. Rubescens):
Regnum : Plantae
Divisio : Magnoliophyta
17
Kelas : Liliopsida
Ordo : Arecales
Familia : Arecaceae
Genus : Cocos
Spesies : Cocos nucifera L. Var. rubescens (Anonim, 2005).
Menurut BPPT (2005), kelapa wulung (Cocos nucifera L. Var. Rubescens)
termasuk dalam famili palmae golongan kelapa dalam. Varietas dari kelapa
wulung ini yaitu kelapa merah (Rubescens). Berbeda dengan kelapa hijau, kelapa
merah memiliki sabut kelapa berwarna kemerahan serta bunganya berwarna
semburat kemerahan.
Gambar 7. Perbedaan Buah Kelapa Wulung dengan Kelapa Hijau
Kelapa wulung mempunyai buah berukuran cukup besar. Batang berdiri
tegak dan tidak bercabang, tinggi mencapai10 - 14 meter lebih. Daunnya
berpelepah, panjangnya mencapai 3 - 4 meter lebih dengan sirip lidi yang
18
menopang tiap helaian. Buahnya terbungkus serabut dan batok cukup kuat. Pohon
Kelapa dapat menghasilkan 2 - 10 buah kelapa setiap tangkainya (Anonim, 2005).
Tabel I. Komposisi Air Kelapa Wulung (Cocos nucifera L. Var. rubescens)
Komposisi Jumlah Komposisi Jumlah
Kalori 17,4 kkal Nitrogen (N) 432 mg/l
Kadar Air 95,50% Fosfor (P) 186 mg/l
Kadar Lemak <0,10% Kalium (K) 7300 mg/l
Kadar Protein 0,10% Kalsium (Ca) 994 mg/l
Kadar Karbohidrat 4,00% Magnesium (Mg) 262 mg/l
Kadar Gula Total 5,60% Klorida (Cl) 1830 mg/l
Kadar Gula Reduksi 5,40% Sulfur (S) 35,40 ppm
Glutamat 14,50% Besi (Fe) 11,54 ppm
Arginin 12,75% Mangan (Mn) 49 ppm
Leusin 4,18% Seng (Zn) 18 ppm
Lisin 4,51% Tembaga (Cu) 0,80 ppm
Prolin 4,12% Vitamin C 2,2-3,4 mg/100 ml
Aspartam 3,60% Asam Nikotinat 64 µg/100 ml
Tirosin 2,83% Asam Pantotenat 52 µg/100 ml
Alanin 2,41% Biotin 2 µg/100 ml
Histidin 2,05% Vitamin B2 < 0,01 µg/100 ml
Fenilalanin 1,23% Asam Folat 0,3 µg/100 ml
Serin 0,91% Vitamin B1 Sedikit
Sistein 1,17% Piridoksin Sedikit
Sumber: Kemala dan Velayutham (1978), Thampan (1981), Sison (1977)
Air kelapa muda bila diminum segar, rasanya manis karena mengandung
total gula 5,6%. Selain memiliki sejumlah makro dan mikromineral, juga
mengandung vitamin dan protein meskipun dalam jumlah yang kecil. Meskipun
kandungan protein air kelapa muda hanya 0,1%, tetapi arginin (12,75%), alanin
(2,41%), sistein (1,17%), dan serin (0,91%) merupakan empat jenis asam amino
yang lebih tinggi dibanding dengan yang terkandung pada protein susu sapi. Oleh
karena itu air kelapa muda dapat diberikan kepada bayi (Grimwood, 1979).
19
Selanjutnya dari 12 jenis asam amino pada air kelapa, tujuh di antaranya adalah
esensial, yaitu: arginin, leusin, lisin, tirosin, histidin, fenilalanin dan sistein.
Sedangkan glutamat adalah jenis asam amino tertinggi dan seperti yang dijelaskan
pada nilai gizi daging buah kelapa muda, glutamat juga yang paling tinggi dimana
asam amino tersebut merupakan nutrisi penting untuk otak (Barlina, 2004).
I. Anatomi Fisiologi
1. Jantung
Jantung adalah organ berotot yang berkontraksi secara ritmik, yang
memompa darah melalui sistem sirkulasi. Jantung juga berfungsi menghasilkan
sebuah hormon yang disebut faktor natriuretik atrium (Junquiera dan Carneiro,
2007).
Lapisan dinding pada jantung terdiri atas 3 tunika : bagian dalam atau
endokardium, bagian tengah atau miokardium, dan bagian luar atau
epikardium. Endokardium bersifat homolog dengan intima pembuluh darah.
Endokardium terdiri atas selapis sel endotel gepeng, yang berada di atas selapis
tipis subendotel jaringan ikat longgar yang mengandung serat elastin dan
kolagen, selain sel otot polos. Yang menghubungkan miokardium pada lapisan
subendotel adalah selapis jaringan ikat (yang sering disebut lapisan
subendokardium) yang mengandung vena, saraf, dan cabang-cabang dari
sistem penghantar impuls jantung (sel-sel purkinje) (Junquiera dan Carneiro,
2007).
20
Miokardium adalah tunika yang paling tebal dari jantung yang
tersusun dalam lapisan yang mengelilingi bilik-bilik jantung dalam bentuk
pilihan yang rumit. Dalam miokardium terdapat sel otot yang bervariasi
sehingga sediaan histology dari sebagian kecil daerahnya akan memperlihatkan
sel-sel yang tersusun dalam berbagai arah. Bagian luar jantung dilapisi oleh
epitel selapis gepeng (mesotel) yang ditopang oleh selapis tipis jaringan ikat
yang membentuk epikardium. Lapisan jaringan ikat longgar subepikardium
mengandung vena, saraf, dan ganglia saraf (Junquiera dan Carneiro, 2007).
Jantung sebagai pompa merupakan salah satu bagian dari sistem
kardiovaskular disamping sistem pembuluh darah dan darah. Ketiga komponen
tersebut dapat dipengaruhi oleh zat toksik (Bergman, Adel dan Paul, 1996).
2. Lambung
Lambung, seperti usus halus, merupakan organ gabungan eksokrin
dan endokrin yang mencernakan makanan dan sekresi hormon. Lambung
merupakan bagian yang melebar disaluran cerna, yang fungsi utamanya adalah
melanjutkan pencernaan karbohidrat yang sudah dimulai dimulut, menambah
cairan asam kepad makanan, mengubah makanan oleh kerja otot menjadi suatu
massa kental (kimus), dan membantu dimulainya pencernaan protein oleh
enzim pepsin. Lambung juga menghasilkan lipase lambung yang mencerna
trigliserida dengan bantuan lipase lidah (Junquiera dan Carneiro, 2007).
Pada inspeksi makro terlihat 4 regio, yakni : kardia, fundus, korpus
dan pilorus. Karena struktur bagian fundus dan korpus identik secara
21
makroskopis, hanya tiga daerah yang dapat dikenali secara histologis. Mukosa
dan submukosa lambung yang kosong memperlihatkan adanya lipatan-lipatan
memanjang yang dikenal sebagai rugae. Saat lambung terisi oleh makanan,
lipatan-lipatan ini menjadi rata (Alya, 2004).
Mukosa lambung terdiri atas epitel permukaan yang berlekuk ke
dalam lamina propria dengan kedalaman yang bervariasi, membentuk sumur-
sumur lambung (foveola gastrika). Ke dalam foveola gastrika ini, dicurahkan
isi kelenjar tubular bercabang (kardiak, korpus, dan pilorus) yang khas untuk
setiap bagian lambung. Lamina propria lambung terdiri atas jaringan ikat
longgar yang disusupi sel otot polos dan sel limfoid. Yang memisahkan
mukosa dari submukosa dibawahnya adalah selapis otot polos, yaitu
muskularis mukosa (Junquiera dan Carneiro, 2007).
3. Hati
Hati adalah organ terbesar kedua ditubuh (yang terbesar adalah kulit)
dan kelenjar terbesar, dengan berat sekitar 1,5 kg. Organ ini terletak dalam
rongga perut dibawah diagfragma (Junquiera dan Carneiro, 2007). Hati
mempunyai banyak fungsi kompleks, di antaranya pembentukan empedu,
penyimpanan dan pelepasan karbohidrat, pembentukan urea, pembuatan
protein plasma, pentak-aktifan sejumlah hormon polipeptida, pengurangan dan
konjugasi hormon korteks adrenalis dan steroid gonad. Sintesis 25-
hidroksikolekalsiferol, detoksikasi banyak obat dan toksin, dan banyak fungsi
yang berhubungan dengan metabolisme lemak (Ganong, 1995).
22
Posisi hati dalam sistem sirkulasi sangat cocok untuk menampung,
mengubah dan mengumpulkan metabolit serta untuk menetralisasi dan
mengeluarkan zat toksik. Pengeluaran ini terjadi melalui empedu, yakni suatu
secret eksokrin dari hati yang penting untuk pencernaan lipid (Junquiera dan
Carneiro, 2007).
Hati dibungkus oleh suatu simpai tipis jaringan ikat (kapsula glisson)
yang menebal di hilus, tempat vena porta dan arteri hepatica memasuki hati
dan keluarnya duktus hepatica kiri dan kanan serta pembuluh limfe dari hati.
Pembuluh-pembuluh dan duktus ini dikelilingi jaringan ikat disepanjang
perjalanannya ke bagian ujung (atau bagian asal) didalam celah portal antar
lobuli hati. Ditempat ini, terbentuk jaringan serat retikulin halus yang
menopang hepatosit dan sel endotel sinusoid di lobulus hati (Junquiera dan
Carneiro, 2007).
J. Kerusakan Organ
1. Nekrosis
Perubahan sel berupa nekrosis adalah bentuk kematian sel pada
jaringan organisme hidup dan merupakan proses patologis setelah terjadi cidera
sel dan sering mengenai jaringan padat (Underwood, 1994). Inti sel yang
mengalami nekrosis mempunyai ciri karioisis (inti sel yang mati menghilang),
piknosis (inti sel yang mengalami penyusutan), atau karioreksis (inti sel yang
mati hancur dan meninggalkan pecahan zat kromatin yang tersebar di dalam
sel) (Abrams, 1995).
23
Nekrosis hati membentuk pola-pola yang bersifat fokal, zona, atau
massif (Chandrasoma dan Taylor, 2006). Gambaran makroskopik jaringan
yang mengalami nekosis terlihat lebih pucat dan transparan bila dibandingkan
dengan jaringan normal disekitarnya. Penyebab nekrosis hati dapat dipengaruhi
secara langsung oleh agen yang bersifat tosik seperti zat-zat kimia maupun
toksin kuman (nekrosis toksopatik), ataupun dapat juga disebabkan karena
kekurangan faktorfaktor yang sangat dibutuhkan sel seperti O2 dan zat-zat
makanan (nekrosistrofopatik) (Ressang, 1984). Infeksi bakteri dapat pula
menyebabkan terjadi nekrosis (Graves dan Faccini, 1984). Berikut adalah
keterangan tentang pola-pola nekrosis.
a. Nekrosis fokal
Nekrosis sel hati fokal merupakan nekrosis yang terjadi secara acak
atau sekelompok sel pada seluruh daerah lobulus-lobulus hati. Tidak semua
lobulus terkena. Nekrosis ini dikenali pada biopsi melalui badan asidofilik
dan daerah lisis sel hati yang dikelilingi oleh kumpulan sel kupffer dan
radang. Badan asidofilik merupakan sel hati nekrotik dengan inti piknotik
atau lisis dan sitoplasma terkoagulasi berwarna merah muda (Chandrasoma
dan Taylor, 2006).
b. Nekrosis zona
Nekrosis zona sel hati adalah nekrosis sel hati yang terjadi pada
region-regio yang identik di semua lobulus hati. Penyebabnya berbeda-beda
sesuai dengan zona yang terkena. Nekrosis sentrizona yang mengenai sel-sel
di sekeliling vena hepatika sentral, terjadi pada hepatitis virus, keracunan
24
karbon tetraklorida dan kloroform, serta keadaan anoksia seperti gagal
jantung dan syok. Nekrosis midzona jarang terjadi dan timbul pada demam
kuning. Nekrosis zona perifer yang mengenai sel hati di sekeliling traktus
porta terjadi pada eklampsia dan keracunan fosfor (Chandrasoma dan
Taylor, 2006).
c. Nekrosis submasif dan masif
Nekrosis submasif merupakan nekrosis sel hati yang meluas
melewati batas lobulus, sering menjembatani daerah porta dengan vena
sentralis (“bridging necrosis”). Bentuk nekrosis yang paling berat adalah
nekrosis hati masif, dengan daerah hati yang berkonfluensi luas mengalami
nekrosis sehingga tertinggal pulau-pulau kecil sel hati viabel yang tetap
utuh. Nekrosis masif ditandai oleh pengecilan hati mendadak, yang tampak
kuning, dan membubur, dengan kapsul yang berkerut. Daerah sisa sel hati
viabel tampak sebagai daerah bercak coklat tua yang kontras dengan zona
kuning nekrotik (Chandrasoma dan Taylor, 2006).
2. Degenerasi
Degenerasi merupakan perubahan morfologik yang diakibatkan oleh
pengaruh luka yang tidak fatal dan kondisi ini masih dapat terbalikkan
(reversibel) (Anonim, 1973; Robbins, 1974). Degenerasi diklasifikasikan
menjadi beberapa tipe yaitu:
a. Degenerasi hidrofik
Degenerasi hidrofik adalah pembengkakan sel karena terjadi
penimbunan air. Pembengkakan ini terjadi karena sel tidak mampu
25
mempetahankan homeostasis antara ion dan cairan (Anonim, 1973;
Robbins, 1974). Adanya hambatan dalam pompa ion natrium
mengakibatkan masuknya ion natrium ke intrasel meningkat. Keadaan ini
diikuti oleh adanya kenaikan isoosmosi air intrasel sehingga terjadi
pembengkakan sel (Donatus, 2001). Penampakan degenerasi hidrofik pada
hati secara mikroskopik sering terlihat sebagai ruangan yang kosong dalam
sitoplasma (Anonim, 1973; Atmodjo, 1990; Robbins, 1974).
b. Degenerasi melemak
Degenerasi melemak merupakan perubahan morfologik pada organ
hati akibat luka yang ditandai dengan adanya lemak pada sel (Hagazy,
2009). Pada beberapa keadaan, degenerasi melemak dapat sebagai indikator
lain untuk jejas reversibel sel. Ini merupakan reaksi yang kurang umum,
terutama dijumpai dalam sel-sel yang terlibat dan tergantung pada
metabolisme lemak, seperti hepatosit dan sel-sel miokardium, karena ini
adalah bentuk penimbunan intrasel (Robbins dan Kumar, 1995).
c. Degenerasi albuminous
Degenerasi albuminous merupakan perubahan sel yang ditandai
pembengkakan sel dan granulasi di sitoplasma (Hagazy, 2009).
d. Degenerasi hyaline
Degenerasi hyaline merupakan perubahan sel hati menjadi homogen
dan kehilangan struktur (Hagazy, 2009).
26
3. Radang
Radang ialah reaksi jaringan hidup terhadap semua bentuk jejas.
Dalam aksi ini ikut berperan pembuluh darah, saraf, cairan dan sel-sel tubuh di
tempat jejas. Proses radang merupakan proses memusnahkan, melarutkan atau
membatasi agen penyebab jejas dan merintis jalan untuk pemulihan jaringan
yang rusak pada tempat itu (Robbins dan Kumar, 1995).
K. Landasan Teori
Propoxur merupakan racun yang dapat mengakibatkan timbulnya kejang,
lumpuh dan gerak otot tidak dapat dikendalikan sehingga dapat menyebabkan
kematian. Propoxur bekerja dengan menghambat enzim asetilkolinesterase
sehingga terjadi akumulasi asetilkolin yang menyebabkan terjadinya kejang otot
yang berlebihan,
Propoxur dapat merusak sel-sel organ pada hati, lambung dan jantung.
Hati merupakan organ yang berperan dalam metabolisme. Apabila organ hati ini
rusak maka dapat menyebabkan kematian. Pada organ lambung dan jantung
terdapat banyak otot polos di mana otot polos merupakan tempat penyimpanan
asetilkolin.
Air kelapa wulung dosis 0,500 ml/20gBB mencit memiliki daya antidotum
pada kasus keracunan propoxur dosis 0,1575ml/20gBB mencit (Hadi dkk., 2009).
Air kelapa wulung mengandung berbagai macam asam amino salah satunya yaitu
asam amino serin. Pada enzim asetilkolinesterase, sisi aktif yang berperan sebagai
katalis dalam reaksi hidrolisis asetilkolin yaitu gugus hidroksi pada asam amino
27
serin. Dengan pemberian air kelapa wulung maka gugus hidroksi serin pada air
kelapa wulung dapat membantu dalam mengkatalis reaksi hidrolisis asetilkolin,
sehingga terjadi regenerasi asetilkolinesterase (Klaassen, 2008). Hasil regenerasi
asetilkolinesterase mengkatalisis kembali asetilkolin yang terakumulasi menjadi
kolin dan asetat, sehingga toksisitas propoxur dapat dihambat.
L. Hipotesis
Pada hewan uji mencit yang terkena paparan propoxur dapat mengalami
kerusakan berupa nekrosis dan degenerasi pada organ hati, lambung dan jantung.
Semakin besar konsentrasi dosis antidotum air kelapa wulung yang
diberikan dapat meningkatkan % hidup hewan uji mencit.
28
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis dan Rancangan Penelitian
Penelitian yang berjudul “Dosis Efektif Air Kelapa Wulung (Cocos
nucifera L. Var. rubescens) sebagai Antidotum terhadap Keracunan Propoxur
pada Mencit Putih Jantan” merupakan jenis penelitian eksperimental murni
dengan rancangan acak pola satu arah.
B. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
1. Variabel utama
Variabel utama penelitian ini meliputi:
a. Variabel bebas (independent)
Yaitu dosis perlakuan. Peringkat dosis air kelapa wulung (Cocos
nucifera L. Var. rubescens) dibuat dalam 3 peringkat dosis yaitu:
0,350ml/20gBB mencit; 0,500ml/20gBB mencit; 0,715ml/20gBB mencit.
Dosis propoxur yaitu 0,315 ml/20gBB mencit.
b. Variabel tergantung : presentase hidup hewan uji.
2. Variabel pengacau
a. Variabel pengacau terkendali:
1) Bahan uji : Kelapa wulung (Cocos nucifera L. Var.
rubescens) dperoleh dari penjual kelapa, dan kelapa yang digunakan
berasal dari 1 tandan.
29
2) Subyek uji : Mencit putih
3) Jenis kelamin : Jantan
4) Galur : Swiss
5) Umur subyek : 1,5-2,5 bulan
6) Berat badan : 20-30 gram
7) Zat gizi dalam pakan : 10 % dari berat badan
8) Keadaan subyek : sehat
b. Variabel pengacau tak terkendali: Kemampuan mencit menahan rasa sakit
dan kondisi patologis hewan uji.
3. Definisi Operasional
a. Propoxur merupakan merupakan senyawa karbamat yang biasa digunakan
sebagai zat aktif dalam insektisida dan bersifat toksik.
b. Air kelapa wulung merupakan air kelapa yang diperoleh dari varietas kelapa
dalam dengan nama latin Cocos nucifera L. Var. rubescens.
c. Waktu pemberian antidotum yaitu pada saat timbulnya kejang yang
diakibatkan oleh pemberian propoxur.
d. Saat timbulnya kejang ditandai dengan ekor mencit mulai melilit dan
terlihat kaku, badan mencit agak membungkuk.
e. Gejala efek toksik dari keracunan propoxur yaitu timbul kejang sehingga
gerak otot tidak dapat dikendalikan sehingga dapat menyebabkan kematian.
30
f. Kejang adalah keadaan di mana gerak otot tubuh tidak dapat dikendalikan
sehingga kaki depan dan atau kaki belakang mencit bergetar- getar; atau
kaki depan dan kaki belakang saling menarik ke depan dan kebelakang.
g. Waktu pembedahan untuk pengambilan organ hati, lambung dan jantung
mencit yaitu dilakukan apabila terjadi kematian selama pengamatan
berlangsung dan apabila dalam waktu pengamatan tidak terjadi kematian
maka pembedahan dilakukan selang waktu 24 jam.
C. Bahan dan Alat Penelitian
1. Bahan yang digunakan dalam penelitian:
a. Hewan uji
Hewan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit putih jantan
galur Swiss yang diperoleh dari Unit Pengembangan Hewan Penelitian
(UPHP), Fakultas Kedokteran Hewan, Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta.
b. Propoxur
Propoxur yang terdapat dalam obat nyamuk cair dosis 4,050 g/L yang
diperoleh dari supermarket Dewi.
c. Air kelapa
Air kelapa yang digunakan yaitu air kelapa wulung (Cocos nucifera L. Var.
rubescens) yang diperoleh dari penjual kelapa Samirono yang berasal dari
kebun Bapak Wurnoto.
d. Formalin 10 %
31
e. NaCl 0,9 %
2. Alat atau instrumen penelitian:
a. Kotak kaca tempat pengamatan mencit
b. Spuit injeksi untuk pemberian per-oral,
c. stopwatch
d. Timbangan analitik merk Mettler Toledo
e. Timbangan mencit
f. Labu ukur 500 ml
g. Beker gas 100 ml
h. Gelas ukur 50 ml
i. Pipet tetes
j. Gelas arloji
k. Gunting bedah
l. Pinset
m. Jarum pentul
n. Papan bedah
D. Tata Cara Penelitian
1. Orientasi dosis propoxur
Dilakukan pemberian propoxur pada konsentrasi 0,296 ml/20g BB
mencit; 0,315 ml/20g BB mencit; 0,396 ml/20g BB mencit. Digunakan
konsentrasi propoxur yang memiliki LD100.
32
2. Orientasi dan penetapan waktu pemberian antidotum air kelapa wulung
Dilakukan pemberian antidotum air kelapa wulung dosis 0,500 ml/20g
BB mencit yaitu masing-masing pada saat 5 menit setelah pemberian racun dan
pemberian antidotum saat mulai kejang. Ditetapkan waktu pemberian yang
efektif untuk pemberian antidotum air kelapa wulung.
3. Penetapan dosis propoxur (obat nyamuk merk “X”)
Dosis untuk mencit ditentukan dengan konversi dosis manusia 200
mg/kg BB manusia ke mencit 20-30 gram.
4. Penyiapan larutan dan penetapan dosis air kelapa wulung
Dosis air kelapa wulung ditentukan dengan konversi 200ml/70 kg BB
manusia.
5. Pengelompokan hewan uji
Tiga puluh ekor mencit dibagi menjadi 5 kelompok. Kelompok I
diberi propoxur dosis 0,315 ml/20gBB mencit secara per-oral sebagai kontrol
positif; kelompok II-IV diberi propoxur masing-masing dengan dosis berturut-
turut 0,315 ml/20gBB mencit secara per-oral kemudian diberi antidotum air
kelapa wulung pada masing-masing kelompok secara berturut-turut: 0,350
ml/20gBB mencit; 0,500 ml/20gBB mencit; 0,715 ml/20gBB mencit.
kelompok V diberi air kelapa wulung dosis 0,715 ml/20gBB mencit secara per-
oral sebagai kontrol negatif.
33
Gambar 8. Skema Prosedur Kerja
6. Pengamatan
Pengamatan terhadap waktu kematian dilakukan mulai dari awal
pemberian racun propoxur, setelah terjadi kejang yang ditandai dengan ekor
mencit mulai melilit dan terlihat kaku, badan mencit agak membungkuk
dilakukan pemberian antidotum air kelapa wulung (Cocos nucifera L. Var.
rubescens) waktu dimulai hingga 3 jam pengamatan. Jika dalam waktu 3 jam
pengamatan hewan uji tidak mengalami kematian maka pengamatan
dilanjutkan hingga 1x 24 jam dari waktu pemberian antidotum.
34
Kriteria klinik pengamatan meliputi :
a. Pengamatan gejala toksik yaitu gejala efek toksik kematian. Pengamatan
dilakukan selama 3 jam pertama setelah pemberian propoxur dan
antidotumnya air kelapa wulung (Cocos nucifera L. Var. rubescens).
b. Kematian hewan uji pada masing-masing kelompok.
c. Pemeriksaan berat dan volume organ hati, lambung dan jantung mencit.
d. Pemeriksaan histopatologi yaitu pada organ hati, lambung dan jantung.
7. Pemeriksaan histopatologi
a. Pengambilan organ
Untuk histopatologi dilakukan dengan mengorbankan hewan uji dengan
cara dekapitasi (menarik kepala dan ekornya) kemudian dibedah pada
bagian perut. Selanjutnya organ hati dan jantung diambil kemudian dicuci
dengan NaCl 0,9 % dimasukkan kedalam wadah berisi formalin 10%.
b. Pembuatan preparat histopatologi
Dilakukan di Laboratorium Patologi, Fakultas Kedokteran Umum
Universitas Gajah Mada Yogyakarta
c. Pemeriksaan preparat histopatologi
Dilakukan di Laboratorium Patologi, Fakultas Kedokteran Hewan,
Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
35
E. Tata Cara Analisis Hasil
a. Analisis hasil dilakukan dengan membandingkan persen hidup tiap kelompok
perlakuan sehingga diperoleh dosis efektif air kelapa wulung sebagai
antidotum yang mampu memberikan persen hidup 100 %.
b. Dilakukan pula uji histopatologi pada organ hati, lambung dan jantung dari tiap
kelompok perlakuan. Data pemeriksaan histopatologi digunakan untuk
mengevaluasi perubahan pada organ sebagai perwujudan efek toksik yang
timbul.
c. Data gejala-gejala toksik yang teramati dianalisis secara kualitatif dengan
membandingkan kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol untuk melihat
tingkat keparahan kerusakan pada sel maupun jaringan.
36
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini salah satunya bertujuan untuk mencari kisaran dosis efektif
air kelapa wulung (Cocos nucifera L. Var. rubescens) yang mempunyai potensi
sebagai antidotum pada kasus keracunan insektisida golongan karbamat yaitu
propoxur. Dalam penelitian ini, senyawa yang berperan sebagai antidotum adalah
senyawa yang dapat menghidupkan 100% populasi.
A. Orientasi Dosis Perlakuan Dan Waktu Pemberian
Dalam penelitian ini, dilakukan orientasi dosis perlakuan yaitu dosis
propoxur sebagai racun dan air kelapa wulung sebagai antidotum. Propoxur yang
digunakan sebagai senyawa racun diperoleh dari salah satu obat nyamuk cair
merek “X” yang beredar di pasaran dengan konsentrasi 4,050 g/L. Berdasarkan
Olson (2007), propoxur merupakan insektisida karbamat kelas menengah dengan
LD50 < 200 mg/kg BB tikus, sehingga konversi LD50 untuk mencit yaitu 5,6
mg/20g BB mencit. Volume pemberian secara peroral dengan dosis 5,6 mg/20g
BB mencit yaitu 1,38 ml/20g BB mencit, akan tetapi volume pemberian tersebut
melebihi batas maksimal pemberian secara peroral pada mencit yaitu 1 ml.
Berdasarkan penelitian Hadi dkk (2009), LD50 propoxur yang terkandung
dalam obat nyamuk cair merk “X” untuk manusia yaitu 8,1 mg/kg BB manusia,
sehingga konversi dosis LD50 untuk mencit yaitu 1,4742 mg/20g BB mencit.
Volume pemberian secara peroral dengan dosis 1,4742 mg/20g BB mencit yaitu
0,364 ml/20g BB mencit, hasil yang diperoleh menunjukkan kematian pada
37
seluruh hewan uji. Pada penelitian Hadi dkk (2009) (Tabel II), digunakan 4
peringkat dosis propoxur yaitu 0,125 ml/20g BB mencit; 0,1575 ml/20g BB
mencit; 0,1984/20g BB mencit; 0,2500/20g BB mencit. Dosis keempat yaitu
0,2500/20g BB mencit tidak memberikan kematian pada seluruh hewan uji.
Tabel II. Hasil Penelitian % Kematian akibat Pemejanan Propoxur(Hadi, dkk., 2009)
No. Dosis%
Kematian
1 0,1250 ml/20g BB mencit 0%
2 0,1575 ml/20g BB mencit 33,33%
3 0,1984 ml/20g BB mencit 66,66%
4 0,2500 ml/20g BB mencit 83,33%
Dalam penelitian skripsi ini dilakukan orientasi dosis propoxur yang
digunakan untuk memperoleh LD100. Peringkat dosis pada penelitian Hadi dkk
(2009) memiliki selisih dosis 1,26; sehingga pada dosis 0,2500 ml/20g BB mencit
dikalikan 1,26 menjadi 0,315 ml/20g BB mencit. Dosis 0,315 ml/20g BB mencit
inilah yang digunakan sebagai dosis propoxur dalam orientasi. Hasil orientasi
diperoleh bahwa propoxur 0,315 ml/20g BB mencit memberikan kematian
terhadap seluruh hewan uji (100%) dengan rata-rata waktu kematian 11505x103 +
620,47; sehingga dosis tersebut merupakan LD100 dan dapat digunakan sebagai
dosis kontrol positif propoxur pada penelitian skripsi ini.
Dalam penelitian ini dilakukan orientasi dosis air kelapa wulung sebagai
antidotum dan waktu pemberiannya. Dosis yang digunakan yaitu 0,5 ml/20g BB
mencit. Dosis air kelapa wulung yang digunakan ini diperoleh berdasarkan hasil
penelitian Hadi dkk (2009) yaitu bahwa air kelapa wulung dosis 0,500 ml/20gBB
mencit memiliki daya sebagai antidotum untuk mengatasi keracunan propoxur
38
dosis 0,125 ml/20gBB mencit. Orientasi waktu pemberian air kelapa wulung dosis
0,500 ml/20gBB mencit yang dilakukan yaitu 5 menit setelah pemberian propoxur
0,315 ml/20g BB mencit. Hasil orientasi menunjukkan bahwa seluruh hewan uji
mengalami kematian. Hal ini dikarenakan sebelum waktu 5 menit, hewan uji
mengalami efek toksik kematian. Berdasarkan hasil tersebut, dilakukan orientasi
waktu pemberian air kelapa wulung dosis 0,500 ml/20gBB mencit yaitu pada saat
mulai timbul efek toksik kejang yang ditandai dengan ekor mencit mulai melilit
dan terlihat kaku, badan mencit agak membungkuk. Hasil orientasi menunjukkan
bahwa dengan waktu pemberian tersebut dapat memberikan % hidup 100% pada
seluruh hewan uji, sehingga waktu pemberian yang digunakan dalam penelitian
skripsi ini yaitu saat timbul efek toksik kejang.
B. Wujud dan Sifat Penawaracunan Propoxur Oleh Air Kelapa Wulung
Keracunan propoxur menyebabkan kerja syaraf menjadi terganggu, hal
ini terlihat setelah mencit terpapar propoxur maka gerak otot tidak dapat
dikendalikan mengakibatkan kejang otot, lumpuh atau pingsan sehingga
menyebabkan kematian pada mencit. Gejala efek toksik yang timbul ini
disebabkan karena propoxur menghambat kinerja dari enzim asetilkolinesterase
dengan cara menurunkan aktivitas enzim yang berperan pada saraf transmisi
dalam darah yang berfungsi menghidrolisis asetilkolin menjadi kolin dan asetat.
Dengan adanya penghambatan enzim asetilkolinesterase oleh propoxur maka
hidrolisis asetilkolin menjadi kolin dan asetat tidak terjadi sehingga menyebabkan
39
terjadinya kejang otot mengakibatkan kejang otot berlebihan hingga kematian
seperti yang terlihat pada hewan uji mencit setelah dipejankan propoxur.
Gambar 9. Penghambatan Enzim Asetilkolinesterase oleh Propoxur
Menurut Niksolihin (1996b), pada enzim asetilkolinesterase, tersusun
atas sisi anionik dan sisi ester. Sisi enzim asetilkolinesterase memiliki sisa histidin
yang bersebelahan dengan gugus hidroksi pada sisi serin dalam rantai polipeptida.
Sebagai penyusun enzim, serin berfungsi sebagai katalisator enzim. Pada rantai
polipeptida enzim asetilkolinesterase, sisi yang berperan dalam hidrolisis
asetilkolinesterase adalah hidroksil serin. Air kelapa wulung memiliki banyak
kandungan asam amino, yaitu arginin, leusin, lisin, tirosin, histidin, fenilalanin,
sistein dan serin. Asam amino tersebut juga merupakan bagian dari penyusun
rantai polipeptida enzim asetilkolinesterase sehingga untuk menghidrolisis
asetilkolin diperlukan gugus aktif hidroksil serin sebagai katalisnya. Serin yang
terdapat dalam air kelapa wulung merupakan senyawa diantara banyak senyawa
40
yang terdapat dalam air kelapa wulung yang berperan dalam hidrolisis asetilkolin
menjadi kolin dan asetat sehingga penumpukan asetilkolin berlebih dapat
dikurangi sehingga gejala efek toksik berupa kejang dapat segera diminimalkan
dan kematian tidak terjadi.
Berdasarkan strukturnya, asetilkolin lebih reaktif dibandingkan propoxur.
Sehingga asetilkolin lebih mudah berikatan dengan enzim asetilkolin esterase.
Walaupun propoxur memiliki kereaktifan yang kurang daripada asetilkolin.
Halangan sterik dari propoxur (terhibridisasi sp2) lebih rendah daripada
asetilkolin (terhibridisasi sp3) sehingga propoxur dapat dengan mudah berikatan
dengan asetilkolinesterase. Propoxur memiliki struktur yang lebih besar daripada
asetilkolin sehingga dengan struktur yang besar ini propoxur berperan sebagai
inhibitor kompetitif yang lebih baik daripada asetilkolin sehingga dapat
menhambat hidrolisis asetilkolin.
Pada pengamatan gejala efek toksik yaitu kematian, pada tabel
perbandingan pengamatan gejala efek toksik waktu kematian (tabel III)
didapatkan bahwa kelompok kontrol positif propoxur 0,315 ml/20g BB mencit
berbeda bermakna terhadap kelompok kontrol negatif (air kelapa wulung 0,715
ml/20g BB mencit). Hal ini menunjukkan perbedaan yang signifikan dilihat dari
nilai mean + SE (tabel III) antara kontrol positif dengan kontrol negatif. Pada
dosis I (tabel III) menunjukkan hubungan berbeda bermakna terhadap kontrol
negatif dilihat dari nilai mean + SE. Hal ini menunjukkan bahwa dengan
pemberian propoxur 0,315 ml/20g BB mencit sebagai racun dan air kelapa
wulung 0,350 ml/20g BB mencit sebagai antidotum tidak memberikan efek yang
41
sama sebagai antidotum seperti pada kelompok kontrol negatif air kelapa wulung
0,715 ml/20g BB mencit.
Tabel III. Hasil Perbandingan Pengamatan Gejala Efek Toksik WaktuKematian
Efek Toksik WaktuKematian
No. Kelompok PerlakuanMean + SE
(detik)
Uji scheffeterhadapkontrolnegatif
1Kontrol Negatif Air Kelapa Wulung 0, 715ml/20g BB mencit
864000x104 +0,00 *)
-
2Kontrol Positif Propoxur 0,315 ml/20g BBmencit
11505x103 +620,47
B
3Dosis I Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit +Air Kelapa Wulung 0, 350 ml/20g BB mencit
29090x104 +18123,00
B
4Dosis II Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit +Air Kelapa Wulung 0, 500 ml/20g BB mencit
864000x104 +0,00 *)
TB
5Dosis III Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit +Air Kelapa Wulung 0, 715 ml/20g BB mencit
29020x104 +18145,00
B
Keterangan :B : Berbeda bermakna terhadap kontrol negatif (p<0,05)TB : Berbeda tidak bermakna terhadap kontrol negatif (p>0,05)*) : tidak terjadi kematian pada seluruh hewan uji mencit sampai waktu 24
jam
Pada dosis II (tabel III) menunjukkan hubungan berbeda tidak bermakna
terhadap kontrol negatif dilihat dari nilai mean + SE. Hal ini menunjukkan bahwa
dengan pemberian propoxur 0,315 ml/20g BB mencit sebagai racun dan air kelapa
wulung 0,500 ml/20g BB mencit sebagai antidotum memberikan efek yang sama
sebagai antidotum seperti pada kelompok kontrol negatif air kelapa wulung 0,715
ml/20g BB mencit. Pada dosis III (tabel III) menunjukkan hubungan berbeda
42
bermakna terhadap kontrol negatif dilihat dari nilai mean + SE. Hal ini
menunjukkan bahwa dengan pemberian propoxur 0,315 ml/20g BB mencit
sebagai racun dan air kelapa wulung 0,715 ml/20g BB mencit sebagai antidotum
tidak memberikan efek yang sama sebagai antidotum seperti pada kelompok
kontrol negatif air kelapa wulung 0,715 ml/20g BB mencit.
Tabel IV. Hasil Perbandingan Antar Kelompok pada Pengamatan GejalaEfek Toksik Waktu Kematian
KELOMPOKKontrolNegatif
KontrolPositif
Dosis I Dosis II Dosis III
Kontrol Negatif B B TB B
Kontrol Positif B TB B TB
Dosis I B TB B TB
Dosis II TB B B B
Dosis III B TB TB B
Keterangan:1. Kontrol positif : Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit2. Kontrol negatif : Air kelapa wulung 0,715 ml/20g BB mencit3. Dosis I : Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit + Air kelapa wulung 0,350
ml/20g BB mencit4. Dosis II : Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit + Air kelapa wulung 0,500
ml/20g BB mencit5. Dosis III : Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit + Air kelapa wulung 0,715
ml/20g BB mencit6. B : Berbeda bermakna terhadap kontrol negatif (p<0,05)7. TB : Berbeda tidak bermakna terhadap kontrol negatif (p>0,05)
43
Keterangan:1. Kontrol positif : Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit2. Kontrol negatif : Air kelapa wulung 0,715 ml/20g BB mencit3. Dosis 1 : Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit + Air kelapa wulung 0,350
ml/20g BB mencit4. Dosis 2 : Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit + Air kelapa wulung 0,500
ml/20g BB mencit5. Dosis 3 : Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit + Air kelapa wulung 0,715
ml/20g BB mencit6. *) : tidak terjadi kematian pada seluruh hewan uji mencit sampai waktu 24
jam
Gambar 10. Diagram Batang Mean ± SE untuk Gejala Efek Toksik WaktuKematian Akibat Keracunan Propoxur
Dilihat dari gambar grafik mean + SE (gambar 11), menunjukkan bahwa
kontrol positif yaitu propoxur 0,315 ml/20g BB mencit (1519,84 + 620,47)
menunjukkan presentase waktu kematian paling cepat. Dosis kontrol positif dalam
penelitian ini diperoleh dari orientasi dan dari hasil orientasi menunjukkan
propoxur dosis 0,315 ml/20g BB mencit dapat mematikan 100% populasi hewan
uji. Dengan digunakan propoxur 0,315 ml/20g BB mencit dengan LD100
44
(mematikan 100 % hewan uji) maka dapat melihat keefektifan air kelapa wulung
sebagai antidotum dalam menghidupkan 100 % hewan uji.
Dalam penelitian ini, untuk mengetahui perubahan wujud struktural
akibat keracunan propoxur 0,315 ml/20g BB mencit dan penawaracunan oleh air
kelapa wulung dilakukan pembuatan preparat histopatologi organ. Dalam
penelitian ini, organ yang dipilih untuk diamati histopatologinya yaitu organ hati,
lambung dan jantung. Pengamatan terhadap gejala toksik yang timbul dilakukan
selama 3 jam. Apabila terjadi kematian pada hewan uji maka pada waktu
kematian tersebut langsung dilakukan pembedahan hewan uji untuk dibuat
preparat histopatologi guna pengamatan secara mikroskopis. Sedangkan apabila
hewan uji tidak mengalami gejala efek toksik kematian maka dalam waktu 1x 24
jam hewan uji dikorbankan dengan cara dekapitasi yaitu menarik kepala dan ekor
dari tubuhnya kemudian dibedah untuk diambil organnya.
Pengamatan secara makroskopis juga dilakukan untuk melihat perubahan
morfologi pada setiap organ dari setiap kelompok perlakuan. Pengamatan
makroskopis ini meliputi penimbangan berat organ. Dari pengamatan
makroskopis, terlihat bahwa tidak terjadi perubahan morfologi pada setiap organ
dari setiap kelompok perlakuan. Pengamatan secara mikroskopis dilakukan
dengan membuat preparat organ histopatologi dengan pengecatan hematoksilin-
eosin untuk dapat melihat kondisi organ apabila terjadi kerusakan organ, hasil
pengamatan yang berupa pengamatan histopatologi organ menunjukkan terjadinya
perubahan pada beberapa organ dari masing-masing kelompok perlakuan
dibandingkan dengan kontrol.
45
Tabel V. Hasil Pemeriksaan Histopatologis Organ Mencit
Preparat Organ HistopatologiNo
KelompokPerlakuan
ReplikasiHati Lambung Jantung
1 - - -
2 - - -
3 - - -
4 MFN - -
5 - - -
1
Kontrol Negatif AirKelapa Wulung 0,
715 ml/20g BBmencit
6 - - -
1 - - -
2 - - -
3 MFN - -
4 - - -
5 - - -
2Kontrol PositifPropoxur 0,315
ml/20g BB mencit
6 MFN - -
1 DM (b) - -
2 DM (b) - -
3 MFN - -
4 MFN - -
5 MFN - -
3
Dosis I Propoxur0,315 ml/20g BB
mencit + Air KelapaWulung 0, 350
ml/20g BB mencit6 MFN - -
1 DM (b) - -
2 R, DM - -
3 DM - -
4 DM - -
5 DM (b) - -
4
Dosis II Propoxur0,315 ml/20g BB
mencit + Air KelapaWulung 0, 500
ml/20g BB mencit6 DM (b) - -
1 MFN - -
2 MFN - -
3 MFN - -
4 MFN - -
5 DM (b) - -
5
Dosis III Propoxur0,315 ml/20g BB
mencit + Air KelapaWulung 0, 715
ml/20g BB mencit6 DM (b) - -
Keterangan tabel:- : Tidak ada perubahan patologis yang spesifikDH : Degenerasi hidropikDM : Degenerasi melemakMFN : Multi Fokal Nekrosis pada parenkim hatiR : Radang di sekitar pembuluh darah(b) : Berat
46
Perubahan organ dapat dilihat pada tabel diatas. Berdasarkan hasil
pengamatan histopatologi, beberapa kerusakan jaringan yang timbul akibat
keracunan propoxur 0,315 ml/20g BB mencit adalah : multi fokal nekrosis pada
parenkim hati, degenerasi melemak, serta radang di sekitar pembuluh darah.
1. Hati
(a) (b)
Kondisi organ hati normal Kondisi organ hati dengan kerusakanmulti fokal nekrosis pada sel parenkim
hatiGambar 11. Gambaran Histopatologi Organ Hati Kelompok Kontrol
Negatif Air Kelapa Wulung 0, 715 ml/20g BB mencit PengecatanHematoksislin-Eosin
Dalam penelitian ini, organ hati dipilih karena organ tersebut berperan
dalam proses metabolisme serta dalam menetralkan racun. Pada kelompok
kontrol negatif air kelapa wulung 0,715 ml/20g BB mencit. Organ hati pada
replikasi 1, 2, 3, 5 dan 6 tidak mengalami kerusakan. Sedangkan pada replikasi
4 mengalami kerusakan berupa multi fokal nekrosis pada parenkim hati. Hanya
1 replikasi yang mengalami kerusakan organ hati, hal ini dikarenakan rentang
waktu organ dalam kondisi lingkungan untuk diawetkan terlalu lama, sehingga
kemampuan sel organ untuk bertahan hidup menjadi singkat karena sel-sel hati
47
tidak mampu membelah diri, sehingga kemungkinan untuk terjadi kerusakan
organ semakin besar.
(c) (d)
Kondisi organ hati pada kontrol positifdengan kerusakan multi fokal nekrosis
pada sel parenkim hati
Kondisi organ hati normal pada kontrolpositif
Gambar 12. Gambaran Histopatologi Organ Hati Kelompok KontrolPositif Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit Pengecatan Hematoksislin-
Eosin
Pada pengamatan preparat histopatologi, organ hati pada kelompok
kontrol positif propoxur 0,315 ml/20g BB mencit pada replikasi 3 dan 6
mengalami multi fokal nekrosis pada parenkim hati, tetapi pada replikasi 1, 2,
4 dan 5 sama sekali tidak mengalami kerusakan. Hal ini terjadi dikarenakan
sel-sel parenkim hati pada replikasi 3 dan 6 tidak dapat mengatasi kerusakan
yang diakibatkan oleh propoxur sehingga sel-sel parenkim mengalami nekrosis
sehingga tidak dapat melakukan replikasi sel parenkim sehingga sel-sel
parenkim rusak.
48
(e) (f)
Kondisi organ hati kelompok perlakuandosis I dengan kerusakan degenerasi
melemak berat
Kondisi organ hati kelompok perlakuandosis I dengan kerusakan multi fokal
nekrosis pada sel parenkim hatiGambar 13. Gambaran Histopatologi Organ Hati Kelompok Dosis I
Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit dan Air Kelapa Wulung 0,350 ml/20gBB mencit Pengecatan Hematoksislin-Eosin
Pada kelompok dosis I yaitu pemberian propoxur 0,315 ml/20g BB
mencit dan air kelapa wulung 0,350 ml/20g BB mencit. Dari keenam replikasi
seluruhnya mengalami kerusakan organ hati. Kelompok perlakuan dosis I
memiliki % hidup 33,33 %, dimana terdapat 2 ekor hewan uji yang hidup dari
6 ekor hewan uji. Pada kelompok perlakuan dosis I ini, hewan uji replikasi 1
dan 2 yang mampu bertahan hidup. Dari pengamatan histopatologinya, hewan
uji replikasi 1 dan 2 ini mengalami kerusakan organ hati degenerasi melemak
berat dimana organ hati yang mengalami kerusakan ini masih dapat kembali ke
kondisi normal. Sedangkan pada hewan uji replikasi 3, 4, 5 dan 6 mengalami
kerusakan organ hati multi fokal nekrosis pada sel parenkim dan keempat
hewan uji ini mengalami efek toksik kematian. Lain halnya dengan degenerasi
melemak, organ hati yang mengalami nekrosis tidak dapat kembali kekondisi
normal dikarenakan sel-sel hati tidak mampu melakukan proliferasi sel.
49
(g) (h)
Kondisi organ hati kelompok perlakuandosis II dengan kerusakan degenerasi
melemak berat
Kondisi organ hati kelompok perlakuandosis II dengan kerusakan degenerasi
melemak
(i) (j)
Kondisi organ hati kelompok perlakuandosis II dengan kerusakan degenerasi
melemak berat
Kondisi organ hati kelompok perlakuandosis II dengan kerusakan radang
disekitar pembuluh darahGambar 14. Gambaran Histopatologi Organ Hati Kelompok Dosis II
Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit dan Air Kelapa Wulung 0,500 ml/20gBB mencit Pengecatan Hematoksislin-Eosin
Pada kelompok perlakuan dosis II yaitu pemberian propoxur 0,315
ml/20g BB mencit dan air kelapa wulung 0, 500 ml/20g BB mencit. Pada
kelompok perlakuan ini memiliki % hidup 100 % akan tetapi keenam hewan
uji mengalami kerusakan organ hati. Pada hewan uji replikasi 1 mengalami
50
kerusakan organ hati degenerasi melemak berat. Pada hewean uji replikasi 2
mengalami kerusakan organ hati radang di sekitar pembuluh darah dan
degerasi melemak. Pada hewan uji replikasi 3 dan 4 mengalami kerusakan
organ hati degenerasi melemak. Pada hewan uji replikasi 5 dan 6 mengalami
kerusakan organ hati degenerasi melemak berat berat. Pada kelompok
perlakuan dosis II ini, hewan uji dapat bertahan hidup dengan % hidup 100 %
dengan mengalami kerusakan organ pada hati, akan tetapi dengan kerusakan
organ hati tersebut masih dapat kembali ke kondisi normal karena organ hati
tidak mengalami nekrosis.
Pada kelompok dosis III yaitu pemberian propoxur 0,315 ml/20g BB
mencit dan air kelapa wulung 0,715 ml/20g BB mencit. Kelompok perlakuan
dosis III memiliki % hidup 33,33 %, dimana terdapat 2 ekor hewan uji yang
hidup dari 6 ekor hewan uji dan keenam hewan uji tersebut mengalami
kerusakan organ hati. Pada hewan uji replikasi 1, 2, 3 dan 4 mengalami efek
toksik kematian dan kerusakan organ hati multi fokal nekrosis pada sel
parenkim dimana organ hati yang mengalami nekrosis tidak dapat kembali
kekondisi normal dikarenakan sel-sel hati tidak mampu melakukan proliferasi
sel.
51
(k) (l)
Kondisi organ hati kelompok perlakuandosis III dengan kerusakan degenerasi
melemak berat
Kondisi organ hati kelompok perlakuandosis III dengan kerusakan multi fokal
nekrosis pada sel parenkim hatiGambar 15. Gambaran Histopatologi Organ Hati Kelompok Dosis III
Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit dan Air Kelapa Wulung 0,715 ml/20gBB mencit Pengecatan Hematoksislin-Eosin
Pada kelompok perlakuan dosis III ini, hewan uji replikasi 5 dan 6
yang mampu bertahan hidup. Kedua hewan uji ini mengalami kerusakan organ
hati degenerasi melemak berat dimana organ hati yang mengalami kerusakan
ini masih dapat kembali ke kondisi normal.
Kematian pada hewan uji tidak disebabkan karena sel mengalami
nekrosis. Akan tetapi kematian hewan uji disebabkan karena terjadi
penumpukan asetilkolin akibat keracunan propoxur. Asetilkolin memegang
peranan dalam gerak tubuh seperti: gerak otot jantung, gerak bernafas, dsb.
Pada saat hewan uji mengalami kejang maka otot perut pada hewan uji
mengencang terlalu lama menyebabkan gerak diafragma untuk bernafas
menjadi terganggu dan suplai oksigen keseluruh tubuh menjadi berkurang
sehingga kematian hewan uji terjadi karena hewan uji kekurangan oksigen di
dalam tubuh.
52
2. Lambung
Dalam pengamatan histopatologi, organ lambung dipilih karena
lambung merupakan organ yang terkena pertama kali ketika racun diberikan
secara peroral. Pada kelima kelompok perlakuan yaitu kelompok kontrol
negatif, kontrol positif, dosis I, dosis II, dosis III tidak mengalami perubahan
patologis yang spesifik artinya tidak ada kerusakan organ lambung karena
pemejanan. Pemberian air kelapa wulung tidak mengakibatkan kerusakan
organ, hal ini terlihat pada kontrol negatif yaitu air kelapa wulung dosis 0,715
ml/20g BB mencit yang tidak menunjukkan kerusakan organ lambung.
(a) (b)Kondisi organ lambung normal Kondisi organ lambung normal
Gambar 16. Gambaran Histopatologi Organ Lambung Perlakuan (a)Kontrol Negatif Air Kelapa Wulung 0,715 ml/20g BB mencit dan (b)
Kontrol Positif Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit PengecatanHematoksislin-Eosin
Pada kelompok kontrol positif yaitu propoxur 0,315 ml/20g BB
mencit, organ lambung tidak mengalami kelainan maupun kerusakan. Karena
organ lambung tidak mengalami kerusakan maka proses absorbsi tetap berjalan
dengan baik. Sehingga propoxur sebagai racun maupun air kelapa wulung
53
sebagai antidotum dapat terdistribusi ke reseptor sasaran untuk menimbulkan
efek.
(c) (d)Kondisi organ lambung normal Kondisi organ lambung normal
(e)Kondisi organ lambung normal
Gambar 17. Gambaran Histopatologi Organ Lambung Perlakuan (c)Dosis I Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit dan Air Kelapa Wulung 0,350
ml/20g BB mencit; (d) Dosis II Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit danAir Kelapa Wulung 0,500 ml/20g BB mencit; (e) Dosis III Propoxur0,315 ml/20g BB mencit dan Air Kelapa Wulung 0, 715 ml/20g BB
mencit
3. Jantung
Organ jantung dipilih karena organ tersebut bertanggung jawab dalam
sistem sirkulasi darah dalam tubuh dan berpengaruh terhadap distribusi suatu
54
obat. Apabila terjadi gangguan pada organ ini maka sirkulasi darah didalam
tubuh menjadi tidak lancar serta dapat menimbulkan efek toksik berupa kejang.
Dalam penelitian ini organ jantung dipilih karena didalam jantung
terdapat otot polos, reseptor asetilkolin muskarinik dan nikotinik. Pada kedua
reseptor tersebut banyak ditemui asetilkolin, apabila terjadi penumpukan
asetilkolin berlebih tersebut dapat menyebabkan gejala efek toksik kejang.
(a) (b)Kondisi organ jantung normal Kondisi organ jantung normal
Gambar 18. Gambaran Histopatologi Organ Jantung Perlakuan (a)Kontrol Negatif Air Kelapa Wulung 0,715 ml/20g BB mencit dan (b)
Kontrol Positif Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit PengecatanHematoksislin-Eosin
Pada kelompok perlakuan yaitu kontrol negatif dan kontrol positif
(gambar 18) tidak mengalami perubahan patologis yang spesifik artinya tidak
ada kerusakan pada organ jantung. Pada kelompok dosis I, dosis II dan dosis
III (gambar 19) mengalami hemorrhagic area yaitu daerah dimana terdapat
hemoragi, akan tetapi karena jumlahnya sangat sedikit kondisi organ jantung
masih tergolong normal.
55
(c) (d)Kondisi organ jantung dengan
hemorrhagic areaKondisi organ jantung dengan
hemorrhagic area
(e)Kondisi organ jantung dengan
hemorrhagic areaGambar 19. Gambaran Histopatologi Organ Jantung Perlakuan (c)Dosis I propoxur 0,315 ml/20g BB mencit dan Air Kelapa Wulung
0,350 ml/20g BB mencit; (d) Dosis II Propoxur 0,315 ml/20g BBmencit dan Air Kelapa Wulung 0,500 ml/20g BB mencit; (e) Dosis III
Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit dan Air Kelapa Wulung 0,715ml/20g BB mencit
56
C. Dosis Efektif Air Kelapa Wulung sebagai Antidotum
Pemberian antidotum untuk keracunan propoxur yang terkandung dalam
obat nyamuk cair merek “X” dalam penelitian ini digunakan air kelapa wulung
(Cocos nucifera L. Var. rubescens). Dosis yang dipilih berdasarkan terapi
antidotum yang digunakan dalam penelitian penawaracunan propoxur ini melalui
jalur pemberian secara peroral.
Pada penelitian ini dosis per-oral air kelapa wulung yang dipilih sebagai
antidotum propoxur berturut-turut yaitu 0,350 ml/20g BB mencit; 0,500 ml/20g
BB mencit; 0,715 ml/20g BB mencit. Kelompok perlakuan ini terdiri dari 3
kelompok dosis rendah, sedang dan tinggi dikarenakan volume lambung mencit
maksimal yaitu 1 ml, apabila ditambahkan peringkat dosis lagi maka volume
pemberian total yang berada dilambung dapat lebih dari 1 ml, sehingga hewan uji
mencit dapat seketika mati dikarenakan volume lambung terlalu penuh yang dapat
mempengaruhi hasil penelitian. Kontrol negatif dalam penelitian ini yaitu dosis
tertinggi yang tidak menyebabkan kematian pada subyek uji mencit sebesar 0,715
ml/20g BB mencit sebagai kontrol negatif. Dari hasil penelitian didapatkan pada
air kelapa wulung dosis 0,715 ml/20g BB mencit dengan pemberian secara
peroral pada mencit tidak ditemukan adanya gejala efek toksik ringan hingga
kematian. Waktu pemberian antidotum air kelapa wulung yaitu pada saat
timbulnya kejang yang diakibatkan oleh pemberian propoxur secara per-oral
dimana hewan uji mencit mulai mengalami kejang-kejang ditandai dengan ekor
mulai menegang dan bergerak berputar.
57
Keterangan:1. Kontrol positif : Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit2. Kontrol negatif : Air kelapa wulung 0,715 ml/20g BB mencit3. Dosis I : Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit + Air kelapa wulung 0,350
ml/20g BB mencit4. Dosis II : Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit + Air kelapa wulung 0,500
ml/20g BB mencit5. Dosis III : Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit + Air kelapa wulung 0,715
ml/20g BB mencit
Gambar 20. Diagram Batang Kelompok Perlakuan vs Persen Hidup
Pada diagram batang antara kelompok perlakuan dengan persen hidup.
Persen hidup kontrol positif yaitu propoxur 0,315 ml/20g BB mencit adalah
sebesar 0 %. Sehingga dosis propoxur yang digunakan dapat mematikan seluruh
populasi hewan uji mencit. Sedangkan kontrol negatif yaitu air kelapa wulung
0,715 ml/20g BB mencit memberikan persen hidup 100 %. Dalam penelitian ini,
pemberian air kelapa wulung 0,715 ml/20g BB mencit tidak menimbulkan gejala
efek toksik baik kejang maupun kematian.
Dari diagram batang tersebut dapat disimpulkan bahwa semakin
meningkat dosis air kelapa wulung yang diberikan maka dapat menurunkan
58
persentase hidup hewan uji. Sehingga hipotesis dalam penelitian ini yaitu
“semakin besar konsentrasi dosis antidotum air kelapa wulung yang diberikan
dapat meningkatkan % hidup mencit” ditolak.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa air kelapa wulung memiliki khasiat
dalam mengatasi keracunan propoxur, terbukti bahwa pemberian air kelapa
wulung dengan 3 tingkatan dosis pada keracunan propoxur 0,315 ml/20g BB
mencit dapat meningkatkan % hidup. Dalam penelitian ini, antidotum merupakan
senyawa yang dapat menghidupkan 100 % populasi akibat keracunan senyawa
toksik yang dapat mematikan 100% populasi. Pada dosis I dengan pemberian
antidotum air kelapa wulung dosis 0,350 ml/20g BB mencit secara per-oral
didapatkan persen hidup hewan uji mencit 33,33 %. Dapat dikatakan bahwa
pemberian air kelapa wulung dosis I yaitu 0,350 ml/20g BB mencit tidak efektif
dalam mengatasi keracunan propoxur dosis 0,315 ml/20g BB mencit, sehingga
perlu dosis yang lebih tinggi yang efektif sebagai antidotum.
Dari hasil penelitian didapatkan pada dosis II yaitu pemberian antidotum
air kelapa wulung 0,500 ml/20g BB pada mencit tidak ditemukan adanya
kematian. Sehingga persentase hidup hewan uji mencit dengan pemberian air
kelapa wulung 0,500 ml/20g BB pada keracunan propoxur dosis 0,315 ml/20g BB
mencit sebesar 100 %. Pada kelompok perlakuan dosis II ini tidak ditemukan
kematian dan antidotum air kelapa wulung 0,500 ml/20g BB mencit ini dapat
menghidupkan 100% populasi hewan uji, sehingga dosis air kelapa wulung 0,500
ml/20g BB ini efektif sebagai antidotum dalam mengatasi keracunan propoxur
0,315 ml/20g BB mencit.
59
Pada kelompok perlakuan dosis III yaitu pemberian antidotum air kelapa
wulung 0,715 ml/20g BB mencit. Terjadi penurunan persentase hidup hewan uji
menjadi 33,33 %. Seluruh hewan uji pada kelompok perlakuan dosis III ini
mengalami gejala efek toksik kejang, akan tetapi dari keenam hewan uji yang
diberikan propoxur dosis 0,315 ml/20g BB mencit, hanya dua ekor mencit yang
mampu hidup. Dosis air kelapa wulung 0,715 ml/20g BB mencit ini sama dengan
dosis kontrol negatif, dimana dari kontrol negatif yaitu air kelapa wulung 0,715
ml/20g BB mencit tidak menyebabkan kematian dan tidak menimbulkan gejala
efek toksik.
Air kelapa wulung memiliki berbagai macam komposisi salah satu
diantaranya yaitu terdapat berbagai macam asam amino dalam air kelapa wulung
tersebut. Untuk mengetahui senyawa dari air kelapa yang berperan dalam
penawaracunan propoxur maka kita harus mengetahui bagian dari enzim
asetilkolinesterase yang berperan dalam hidrolisis asetilkolin serta interaksinya.
Gambar 21. Interaksi Antara Asetilkolin dengan EnzimAsetilkolinesterase
60
Menurut Niksolihin (1996b) Enzim asetilkolinesterase memiliki dua sisi
yaitu sisi anionik dan sisi ester. Sisi anionik pada enzim asetilkolinesterase
memiliki gugus anionik. Sedangkan pada sisi esternya memiliki gugus asam dan
sisa histidin yang bersebelahan dengan gugus serin pada rantai polipeptida.
Interaksi antara asetilkolin dan enzim asetilkolinesterase melibatkan 4 gugus
fungsi pada dua sisi molekul enzim. Pada sisi anion, interaksinya adalah gugus
karboksil enzim dengan sisi kation pada gugus trimetilamonium dari asetilkolin.
Sedangkan pada sisi ester, hidroksil serin pada enzim berinteraksi dengan gugus
asetil pada asetilkolin dengan membentuk ikatan kovalen dengan karboksilat dan
ikatan hydrogen dengan imidazol, dan ikatan dipolar pada atom oksigen dengan
gugus asam.
Enzim asetilkolinesterase terdiri dari berbagai macam asam amino seperti
serin dan histidin. Pada enzim ini, gugus hidroksil serin yang berperan dalam
hidrolisis asetilkolin. Pada kasus keracunan propoxur, gugus hidroksil serin
berinteraksi dengan propoxur sehingga asetilkolin tidak dapat dihidrolisis oleh
enzim. Air kelapa wulung memiliki banyak kandungan asam amino. Asam amino
terdapat dalam air kelapa wulung dan merupakan penyusun enzim
asetilkolinesterase yaitu serin dan histidin. Terdapat beberapa dugaan mekanisme
air kelapa wulung dalam penawaracunan propoxur yaitu:
1. Gugus hidroksil serin pada air kelapa wulung akan membantu dalam reaksi
hidrolisis asetilkolin sehingga penumpukan asetilkolin dapat dikurangi.
2. Air kelapa wulung membantu dalam mempercepat biotransformasi propoxur.
61
Gambar 22. Skema hidrolisis asetilkolin oleh asetilkolinesterase dan reaksiantara propoxur dengan asetilkolinesterase
Pada dugaan pertama, air kelapa wulung memiliki asam amino serin yang
juga merupakan penyusun rantai polipeptida enzim asetilkolin esterase. Air kelapa
mengandung asam amino serin (Niksolihin, 1996b) dimana gugus hidroksil serin
akan membentuk ikatan dengan asetilkolin yang tidak berikatan dengan enzim
asetilkolinesterase sehingga asetilkolin dapat terhidrolisis dan regenerasi
asetilkolinesterase dapat terjadi secara normal. Dengan adanya propoxur maka
proses hidrolisis asetilkolin akan terhambat. Hal ini dikarenakan propoxur akan
62
menghalangi asetilkolin dengan cara berikatan dengan asetilkolinesterase.
Sehingga terjadi penumpukan asetilkoin berlebih yang menyebabkan kejang
hingga kematian. Dengan adanya propoxur, proses regenerasi asetilkolinesterase
akan berjalan lambat sehingga untuk menghidrolisis asetilkolin dengan enzim
asetilkolinesterase yang telah aktif juga akan berjalan lambat.
NCH2
H3C
H2C
H3C
CH3
OC
O
CH3
NCH2
H3C
H2C
H3C
CH3
OH HOC
O
CH3
Asetilkolin
Kolin Asam Asetat
H20 NCH2
H3C
H2C
H3C
CH3
OC
O
CH3
H
O
H
NCH2
H3C
H2C
H3C
CH3
OC
O
CH3
O
H
H
H
NCH2
H3C
H2C
H3C
CH3
OC
O
CH3
O
H
H
H
Gambar 23. Mekanisme Reaksi Hidrolisis Asetilkolin
Reaksi hidrolisis melibatkan adanya air. Pada pemberian air kelapa
wulung, jumlah asam amino serin dan air yang masuk kedalam tubuh akan
bertambah banyak sehingga dapat membantu mempercepat proses hidrolisis
asetilkolin.
63
OC
NH
O
CH3
OCH
CH3
CH3
OH
OCH
CH3
CH3
OC
NH2
O
OCH
CH3
CH3
OC
NH
O
H2C
OCH
CH3
CH3
OH OC
NH
O
CH3
OCH
CH3
CH3
OH
OC
NH
O
CH3
OCH
CH3
CH3
OCH3
HO
OC
NH
O
CH3
OH
OH
OH
propoxur
2-isopropoxyphenyl carbamate
2-isopropoxyphenylhydroxymethylcarbamate
4-hydroxy-2-isopropoxyphenylmethylcarbamate
5-hydroxy-2-isopropoxy-4-methoxyphenyl methylcarbamate
2-hydroxyphenyl methylcarbamate
pyrocatechol2-isopropoxyphenol
Gambar 24. Proses Biotransformasi Propoxur
Pada dugaan ketiga, pemberian air kelapa wulung akan membantu dalam
mempercepat biotransformasi dari propoxur. Propoxur dapat dimetabolisme
menjadi beberapa metabolit yang kurang toksik, propoxur dapat terhidrolisis
melalui dua cara yaitu dengan hidrolisis spontan dan hidrolisis oleh enzim-enzim
esterase (memiliki gugus ester). Dengan adanya air kelapa wulung maka dapat
membantu dalam mempercepat proses pembentukan metabolit yang kurang
64
toksik. Dengan terbentuknya metabolit yang kurang toksik ini, maka metabolit
propoxur dapat segera diekskresikan dan dieliminasi dari dalam tubuh lalu enzim
asetilkolinesterase akan melakukan reaktivasi enzim untuk dapat melakukan
hidrolisis asetilkolin.
65
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan data, analisis statistik dan evaluasi hasil penelitian “Dosis
Efektif Air Kelapa Wulung (Cocos nucifera L. Var. rubescens) sebagai Antidotum
terhadap Keracunan Propoxur pada Mencit Putih Jantan” yang telah dilakukan
maka dapat disimpulkan bahwa:
1. Wujud dari pemberian antidotum air kelapa wulung dosis 0,500 ml/20gBB
mencit bersifat terbalikkan.
2. Dosis efektif air kelapa wulung sebagai antidotum keracunan propoxur 0,315
ml/20g BB mencit adalah air kelapa wulung dosis 0,500 ml/20gBB mencit.
B. Saran
Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk :
1. Uji enzimatis untuk mengetahui kapasitas enzim asetilkolinesterase akibat
pemberian air kelapa wulung dalam kasus keracunan propoxur.
2. Dilakukan pengukuran tanda vital pada hewan uji untuk melihat keterbalikkan
fungsi fisiologis dari hewan uji.
3. Dilakukan penelitian dengan pemberian antidotum sesaat setelah pemejanan
racun propoxur.
66
DAFTAR PUSTAKA
Abrams, G.D., 1995, Cedera dan Kematian Sel, Gangguan Sirkulasi dalam Price,S.A., Wilson, L. M., (Eds), Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-ProsesPenyakit, diterjemahkan oleh Anugerah P., Buku I, 25-26,92-94, PenerbitBuku Kedokteran EGC, Jakarta
Alya, A., 2004, Histologi Lambung, USU repository, hal 1-7, UniversitasSumatera Utara, Medan
Anonim, 1973, Patologi, 25-26, 226-228, Bagian Patologi Anatomik FakultasKedokteran UI, Jakarta
Anonim, 1973, Propoxur,http://www.inchem.org/documents/jmpr/jmpmono/v073pr19.htm, diaksestanggal 11 april 2010
Anonim, 2005, Budidaya Kelapa,http://www.lc.bppt.go.id/iptek/budidaya_kelapa.pdf, diakses tanggal 22februari 2010
Anonim, 2007a, Hati-hati dengan obat nyamuk, http://cianjur-online.com/members/deni/Hati-hati-dengan-obat-nyamuk-detail-artikel.html, diakses tanggal 22 februari 2010
Anonim, 2007 b, Propoxur...Saingan Dhiclorvos yang belum terjamah..,http://blog.wordpress.co/Propoxur-Saingan-Dhiclorvos-yang-belum-terjamah-detail-artikel.html, diakses tanggal 22 februari 2010
Ariens, E.J., Mutschler, E., Simonis, A.M., 1986, Toksikologi Umum Pengantar,diterjemahkan oleh Yoke R, Wattimena, Mathilda B Widianto, Elin
Atmodjo, A.P., 1990, Album Patologi Anatomi, 15, Universitas Airlangga,Surabaya
Barlina, R., 2004, Potensi Buah Kelapa Muda untuk Kesehatan danPengolahannya,http://perkebunan.litbang.deptan.go.id/upload.files/File/publikasi/perspektif/Perspektif_vol_3_No_2_2_Rindengan.pdf, diaksestanggal 22 februari 2010
Barlina, R., 2007, Pengaruh Perbandingan Air Kelapa dan Penambahan DagingKelapa Muda serta Lama Penyimpanan terhadap Serbuk MinumamKelapa,http://perkebunan.litbang.deptan.go.id/upload.files/File/publikasi/perspektif/JurnalLittri_vol_13_No_12_Rindengan.pdf, diakses tanggal 22februari 2010
67
Bergman,A.R., Adel, K.A., and Paul, M.H.J.R., 1996, Histology, 213-216, W.B.Saunders Company, USA
Bug, T. D. H, 2004, Introduction to Enzyme and Coenzyme Chemistry, 116,Blackwell Science, Britain
Chandrasoma, P., Taylor, R. T., 2006, Ringkasan Patologi Anatomi, edisi 2, 574-575, 581-582, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Clarke, E.G.C and Clarke, M.L., 1975, Veterinary Toxicology, Low Price Edition,The English Language Book Society and Bailliere Tindall
Dipiro, J.T., 2005, Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach, SixthEdition, 125-130, McGraw Hill Companies, Inc., USA
Donatus, I.A., 1997, Makalah Penanganan dan Pertolongan Pertama KeracunanBahan Berbahaya, Laboratorium Farmakologi dan Toksikologi FakultasFarmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Donatus, I.A., 2001, Toksikologi Dasar, 200, Laboratotium Farmakologi danToksikologi Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta
Ganong, W.F., 1995, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran (Review of medicalPhysiology), Edisi 14, 288-291, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Graves, M. B.P., and Faccini, J.M., 1984, Rat Histopatology, 88,103, Elsevier,Amsterdam.
Grimwood, B.A., 1979, Coconut Palm Product, FAO, 80-82, AgriculturalDevelopment USA
Hadi, P., Maya, P., Dathania, D., Eka, P., Ogata, R., 2009, Daya Antidotum AirKelapa terhadap Keracunan Propoxur pada Mencit Galur Swiss, PekanIlmiah Mahasiswa Nasional 2009
Hagazy, M.A., 2009, Histopatologi, Edisi 14, 331-332, Penerbit Buku KedokteranEGC, Jakarta
Henaldi, 2009, Pusing Uang Sekolah, http://www.kompas.com/, diakses tanggal22 februari 2010
Ikawati, Z., 2008, Pengantar Farmakologi Molekuler, 46-50, UGM Press,Yogyakarta
Ionescu, C., 2005, Drug Metabolism Current Concepts, 107-114, Springer,Netherlands
68
Junquiera, L. C. dan Carneiro, J., 2007, Histologi Dasar: Teks dan Atlas, Edisi 10,213-216, 288-291, 318-323, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta
Kemala, D.C.B., and Velayutham, M., 1978, Changes in the chemicalcomposition of nut water and kernel during development of coconut, 340-346, Placrosym, New Delhi, India
Klaassen, C.D., 2008, The Basic Science of Poisons, Seventh Edition, 888-894,McGraw Hill Companies, Inc., USA
Loomis, I.A., 1978, Essentiale of Toxycologi, diterjemahkan oleh Imono ArgoDonatus, Toksikologi Dasar, Edisi III, IKIP Semarang Press, Semarang
Lu, F.C., 1995, Toksikologi Dasar : Asas, Organ Sasaran dan Penilaian Resiko,diterjemahkan oleh Edi Nugroho, Edisi II, UI Press, Jakarta
Lubis, H.S., 2002, Deteksi Dini dan Penatalaksanaan Keracunan PestisidaGolongan Organofosfat Pada Tenaga Kerja,http://library.usd.ac.id/download/fkm/k3-halinda.pdf, diakses tanggal 22februari 2010
Moore, P.K., Ritter, J,M., and Dale, M.M., 2003, Pharmacology, 5th Edition, 136-158, Elsevier Sciene Bath Press, London
Nandang, K., 2004, Efek Toksik Propoxur pada Hati,http://library.usd.ac.id/download/fkm/k3nandang.pdf, diakses tanggal 22februari 2010
Niksolihin, S., 1996a, Kimia Medisinal Jilid I, Edisi 2, 654-702, UniversitasGajah Mada Press, Yogyakarta
Niksolihin, S., 1996b, Kimia Medisinal Jilid II, Edisi 2, 1638-1678, UniversitasGajah Mada Press, Yogyakarta
Olson, Kent R., 2007, Poisioning and Drug Overdose, Fifth Edition, 519-524,Prentice-Hall International, Inc., USA
Purwandari, R., 2006 , Farmakologi-Toksikologi,http://elearning.unej.ac.id/courses/CLe970/document/TOKSIKOLOGI_psik_unej.doc?cidReq=CL8217, diakses tanggal 22 februari 2010
Putri, V.Y., 2004, Hubungan Perilaku dalam Aplikasi Pestisida dengan AktivitasKolinesterase dalam Darah Petani Penyemprot Hortikultura di KelurahanDukuh Sukoharjo 2004, http://sia.fkm-undip.or.id/data/index.php?action=4&idx=2357, diakses tanggal 22februari 2010
69
Rachman, A., 2007, Multikhasiat Air Kelapa,http://www.binaapiari.com, diaksestanggal 22 februari 2010
Raharjo, 2004, Farmakologi dan Toksikologi, 289, Penerbit Buku KedokteranEGC, Jakarta
Robbins, S.L., 1974, Pathology Basis of Disease, 32, 322-324, 997, W.B.Saunders Company, London
Robbins, S.L., Kumar, 1995, Buku Ajar Patologi I, edisi 4, 14, 28, Penerbit BukuKedokteran EGC, Jakarta
Ressang, A. A., 1984, Buku Pelajaran Patologi Khusus Veteriner, Edisi II, 237-248, Bali Cattle Disease Investigation Unit, Denpasar.
Schapira, M., Abagyan, R., and Totrov, M., 2002, Structural model of nicotinicacetylcholine receptor isotypes bound to acetylcholine and nicotine,http://www.biomedcentral.com/1472-6807/2/1, diakses tanggal 9 februari2010
Sison, B.C., 1977, Disposal of coconut processing waste, 55, Philippine Journal ofCoconut Studies, Philippine
Sjamsuir, M., 1983, Berbagai Jenis Keracunan Yang Dirawat Pada EmpatRumah Sakit di Palembang Selama Periode 3% Tahun (Januari 1980sampai dengan Juni 1983, http://www.portalkalbe.com, diakses tanggal 22februari 2010
Srinoeni, 2008, Opini : Seberapa Amankah Obat Nyamuk yang Beredar DiPasar?, http://cianjur-online.com/members/, diakses tanggal 22 februari2010
Thampan, P.K., 1981, Handbook on Coconut Palm, 311, Oxford and IBHPublishing Co., New Delhi, India
Timbrell, John., 2002, Introduction to Toxicology, Third Edition, 114-115, Taylor& Francis e-Library, United Kingdom
Underwood, 1994, Patologi Umum dan Sistemik, Edisi 2, Diterjemahkan olehSarjadi, 149-151, Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta.
Widiarini, 2001, Studi Dosis Respons Antara Insektisida Profenos denganAktivitas Enzim Asetilkolinesterase dan Kolinesterase pada Darah TikusPutih (Rattus norvegicus) Galur Wistar,http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=jbptitbpp-gdl-s2-2001-yuniarwidi-1821&q=Rumah, diakses tanggal 22 februari 2010
70
Wilkinson, H., 1976, The Principles and Practiceof Diagnostic Enzymology, 119-128, Year Book Medical Publiser, USA
71
LAMPIRAN
Lampiran 1. Orientasi
1. Orientasi dosis LD100 kontrol positif propoxur
a. Dosis propoxur 0,315 ml/20grBB
Hasil:
No. Replikasi Mati (detik) % hidup
1 I 4207
2 II 552
3 III 481
4 IV 1016
5 V 237
6 VI 410
0 %
b. Dosis propoxur 0,396 ml/20grBB
Hasil:
No. Replikasi Mati (detik) % hidup
1 I 1324
2 II 1165
3 III 579
4 IV 2419
5 V 190
6 VI 234
0 %
Dari hasil orientasi, digunakan dosis propoxur 0,315ml/20g BB
mencit sebagai kontrol positif karena telah memberikan LD 100.
72
2. Orientasi waktu pemberian
Digunakan dosis air kelapa wulung 0,500 ml/20g BB mencit.
a. Pemberian antidotum setelah 5 menit pemberian propoxur 0,315ml/20g
BB mencit
Hasil:
No. Replikasi Mati (detik) % hidup
1 I 379
2 II 177
3 III 230
0 %
Pemberian antidotum air kelapa wulung setelah 5 menit tidak efektif,
sehingga pada perlakuan replikasi tidak dilanjutkan karena mencit telah
mengalami gejala efek toksik kematian.
b. Pemberian antidotum saat gejala efek toksik kejang terjadi
Berdasarkan hasil orientasi pemberian antidotum setelah 5 menit.
Dilakukan pemberian antidotum sesaat setelah gejala efek toksik kejang
terjadi. Hasil:
No. Replikasi Mati (detik) % Hidup
1. I 0
2. II 0
3. III 0
4. IV 0
5. V 0
6. VI 0
100%
Berdasarkan hasil orientasi, digunakan waktu pemberian antidotum
sesaat setelah gejala efek toksik kejang terjadi karena menunjukkan respon
yang baik
73
Lampiran 2. Perhitungan Dosis
1. Kontrol negatif air kelapa wulung 0,715ml/20g BB mencit
a. Replikasi I
Suntik = 0:00Mati = -
b. Replikasi II
Suntik = 1:22Mati = -
c. Replikasi III
Suntik = 2:47Mati = -
d. Replikasi IV
Suntik = 4:46Mati = -
e. Replikasi V
Suntik = 5:55Mati = -
f.Replikasi VI
Suntik = 7:42Mati = -
2. Kontrol Positif Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit
a. Replikasi I
Suntik = 0:00Mati = 1:10:07
b. Replikasi II
Suntik = 7:10Mati = 16:22
c. Replikasi III
Suntik = 30:24Mati = 38:25
d. Replikasi IV
Suntik = 0:00Mati = 16:56
e. Replikasi V
Suntik = 2:52Mati = 6:49
f.Replikasi VI
Suntik = 0:00Mati = 6:50
74
3. Dosis I Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit + Air Kelapa Wulung 0, 350
ml/20g BB mencit
a. Replikasi I
Suntik = 0:00Mati = -
b. Replikasi II
Suntik = 11:05Mati = -
c. Replikasi III
Suntik = 33:15Mati = 38:25
d. Replikasi IV
Suntik = 1:03:27Mati = 1:07:10
e. Replikasi V
Suntik = 1:26:07Mati = 1:30:32
f. Replikasi VI
Suntik = 1:42:25Mati = 1:56:33
4. Dosis II Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit + Air Kelapa Wulung 0, 500
ml/20g BB mencit
a. Replikasi I
Suntik = 00:00Mati = -
b. Replikasi II
Suntik = 00:00Mati = -
c. Replikasi III
Suntik = 00:00Mati = -
d. Replikasi IV
Suntik = 00:00Mati = -
75
e. Replikasi V
Suntik = 00:00Mati = -
f.Replikasi VI
Suntik = 00:00Mati = -
5. Dosis III Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit + Air Kelapa Wulung 0, 715
ml/20g BB mencit
a. Replikasi I
Suntik = 0:00Mati = 3:03
b. Replikasi II
Suntik = 0:00Mati = 7:32
c. Replikasi III
Suntik = 0:00Mati = 7:35
d. Replikasi IV
Suntik = 0:00Mati = 3:53
e. Replikasi V
Suntik = 0:00Mati = -
f.Replikasi VI
Suntik = 9:42Mati = -
76
Lampiran 3. Hasil Pengamatan Efek Toksik
1. Kontrol Negatif Air Kelapa Wulung 0, 715 ml/20g BB mencit
No. ReplikasiMati
(detik)%
Hidup
1. I 0
2. II 0
3. III 0
4. IV 0
5. V 0
6. VI 0
Total 0
Rata-rata 0
SD 0
SE 0
100%
2. Kontrol Positif Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit
No. ReplikasiMati
(detik)%
Hidup
1. I 4207
2. II 552
3. III 481
4. IV 1016
5. V 237
6. VI 410
Total 6903
Rata-rata 1150,5
SD 1519.8
SE 620.5
0%
77
3. Dosis I Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit + Air Kelapa Wulung 0, 350
ml/20g BB mencit
No. ReplikasiMati
(detik)%
Hidup
1. I 0
2. II 0
3. III 336
4. IV 283
5. V 265
6. VI 855
Total 1739
Rata-rata 289,8
SD 313.1
SE 127.8
33.33 %
4. Dosis II Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit + Air Kelapa Wulung 0, 500
ml/20g BB mencit
No. ReplikasiMati
(detik)%
Hidup
1. I 0
2. II 0
3. III 0
4. IV 0
5. V 0
6. VI 0
Total 0
Rata-rata 0
SD 0
SE 0
100%
78
5. Dosis III Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit + Air Kelapa Wulung 0, 715
ml/20g BB mencit
No. ReplikasiMati
(detik)% Hidup
1. I 183
2. II 451
3. III 455
4. IV 232
5. V 0
6. VI 0
Total 1321
Rata-rata 220,2
SD 203.4
SE 83.0
33.33 %
Lampiran 4. Hasil Penimbangan Organ Histopatologi
1. Kontrol Negatif Air Kelapa Wulung 0, 715 ml/20g BB mencit
Hati Lambung JantungReplikasi Berat
(g)Volume
(ml)Berat(g)
Volume(ml)
Berat(g)
Volume(ml)
I 1,2181 1,1 0,2694 0,2 0,1504 0,1
II 1,3418 1,5 0,3783 0,5 0,3443 0,4
III 1,4773 1,5 0,3390 0,5 0,2053 0,2
IV 1,3579 1,3 0,5522 0,5 0,1729 0,2
V 1,2578 1,5 0,3153 0,3 0,2558 0,3
VI 1,1735 1,5 0,3746 0,3 0,2505 0,2
2. Kontrol Positif Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit
Hati Lambung JantungReplikasi Berat
(g)Volume
(ml)Berat(g)
Volume(ml)
Berat(g)
Volume(ml)
I 1,1950 1,5 0,4677 0,7 0,2733 0,2
II 1,3827 1,9 0,3429 0,5 1,2622 0,1
III 1,2622 1,8 0,3928 0,4 0,2643 0,1
IV 1,0386 1,2 0,324 0,4 0,1796 0,2
V 1,1902 1,5 0,3924 0,4 0,219 0,2
VI 1,2114 1,2 0,2672 0,2 0,1505 0,1
79
3. Dosis I Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit + Air Kelapa Wulung 0, 350
ml/20g BB mencit
Hati Lambung JantungReplikasi Berat
(g)Volume
(ml)Berat(g)
Volume(ml)
Berat(g)
Volume(ml)
I 1,5111 1,5 0,6140 0,5 0,232 0,4
II 1,2589 1,2 0,8152 0,9 0,2323 0,3
III 1,2279 1,5 0,2915 0,2 0,2205 0,1
IV 1,2010 1,2 0,3343 0,3 0,1544 0,1
V 1,2253 1,3 0,4292 0,5 0,2223 0,2
VI 1,2078 1,9 0,3404 0,4 0,268 0,2
4. Dosis II Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit + Air Kelapa Wulung 0, 500
ml/20g BB mencit
Hati Lambung JantungReplikasi Berat
(g)Volume
(ml)Berat(g)
Volume(ml)
Berat(g)
Volume(ml)
I 1,4679 1,7 1,5979 0,9 0,2024 0,1
II 1,3649 1,9 0,8096 0,9 0,2328 0,3
III 1,6149 1,5 0,3954 0,6 0,2161 0,2
IV 1,5209 1,5 0,5981 1 0,2551 0,4
V 1,3524 1,3 0,6054 0,9 0,1653 0,1
VI 1,4721 1,5 0,9259 1 0,2202 0,3
5. Dosis III Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit + Air Kelapa Wulung 0, 715
ml/20g BB mencit
Hati Lambung JantungReplikasi Berat
(g)Volume
(ml)Berat(g)
Volume(ml)
Berat(g)
Volume(ml)
I 1,2312 1,3 0,6570 1,0 0,1928 0,5
II 1,1523 1,4 0,4435 0,5 0,2721 0,5
III 1,0143 1,2 0,4321 0,4 0,2689 0,3
IV 1,3863 1,4 0,4020 0,5 0,2668 0,4
V 1,5347 1,5 0,6030 1,0 0,2602 0,3
VI 1,6622 1,9 0,7268 1,0 0,263 0,4
80
Lampiran 5. Analisa Data Gejala Efek Toksik Waktu Kematian
NPar Tests
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
waktu_mati
N 30
Mean 4.6412E4Normal Parametersa
Std. Deviation 4.34852E4
Absolute .354
Positive .301
Most Extreme Differences
Negative -.354
Kolmogorov-Smirnov Z 1.941
Asymp. Sig. (2-tailed) .001
a. Test distribution is Normal.
Descriptive Statistics
N Mean Std. Deviation Minimum Maximum
waktu_mati 30 4.6412E4 43485.17489 183.00 86400.00
Oneway
Descriptives
waktu_m
ati
95% Confidence Intervalfor Mean
N MeanStd.
Deviation Std. Error Lower BoundUpperBound
Minimum
Maximum
kontrolnegative
6 8.6400E4 .00000 .00000 86400.0000 86400.0000 86400.00 86400.00
kontrolpositif
6 1.1505E3 1519.83798 6.20471E2 -444.4721 2745.4721 237.00 4207.00
dosis I 6 2.9090E4 44392.80080 1.81233E4 -17497.5540 75677.2206 265.00 86400.00
dosis II 6 8.6400E4 .00000 .00000 86400.0000 86400.0000 86400.00 86400.00
dosis III 6 2.9020E4 44446.36610 1.81452E4 -17623.4340 75663.7673 183.00 86400.00
Total 30 4.6412E4 43485.17489 7.93927E3 30174.4688 62649.7312 183.00 86400.00
Test of Homogeneity of Variances
waktu_mati
Levene Statistic df1 df2 Sig.
29.406 4 25 .000
81
ANOVA
waktu_mati
Sum ofSquares Df
MeanSquare F Sig.
Between Groups 3.510E10 4 8.774E9 11.110 .000
Within Groups 1.974E10 25 7.897E8
Total 5.484E10 29
Post Hoc Tests
Multiple Comparisons
waktu_matiScheffe
95% Confidence Interval
(I) dosis (J) dosisMean Difference
(I-J) Std. Error Sig.LowerBound
UpperBound
kontrol positif 85249.50000* 1.62245E4 .001 31353.8076 139145.1924
dosis I 57310.16667* 1.62245E4 .033 3414.4742 111205.8591
dosis II .00000 1.62245E4 1.000 -53895.6924 53895.6924
kontrol negatif
dosis III 57379.83333* 1.62245E4 .032 3484.1409 111275.5258
kontrol negatif -8.52495E4* 1.62245E4 .001 -1.3915E5 -31353.8076
dosis I -27939.33333 1.62245E4 .573 -81835.0258 25956.3591
dosis II -8.52495E4* 1.62245E4 .001 -1.3915E5 -31353.8076
kontrol positif
dosis III -27869.66667 1.62245E4 .575 -81765.3591 26026.0258
kontrol negatif -5.73102E4* 1.62245E4 .033 -1.1121E5 -3414.4742
kontrol positif 27939.33333 1.62245E4 .573 -25956.3591 81835.0258
dosis II -5.73102E4* 1.62245E4 .033 -1.1121E5 -3414.4742
dosis I
dosis III 69.66667 1.62245E4 1.000 -53826.0258 53965.3591
kontrol negatif .00000 1.62245E4 1.000 -53895.6924 53895.6924
kontrol positif 85249.50000* 1.62245E4 .001 31353.8076 139145.1924
dosis I 57310.16667* 1.62245E4 .033 3414.4742 111205.8591
dosis II
dosis III 57379.83333* 1.62245E4 .032 3484.1409 111275.5258
kontrol negatif -5.73798E4* 1.62245E4 .032 -1.1128E5 -3484.1409
kontrol positif 27869.66667 1.62245E4 .575 -26026.0258 81765.3591
dosis I -69.66667 1.62245E4 1.000 -53965.3591 53826.0258
dosis III
dosis II -5.73798E4* 1.62245E4 .032 -1.1128E5 -3484.1409
*. The mean difference is significant at the 0.05 level.
82
Homogeneous Subsets
waktu_mati
Scheffe
Subset for alpha = 0.05
Dosis N 1 2
kontrol positif 6 1.1505E3
dosis III 6 2.9020E4
dosis I 6 2.9090E4
kontrol negatif 6 8.6400E4
dosis II 6 8.6400E4
Sig. .573 1.000
Means for groups in homogeneous subsets are displayed.
GGraph
83
Lampiran 6. Tabel Hasil Perbandingan Antar Kelompok Pada Pengamatan
Gejala Efek Toksik Waktu Kematian
Efek Toksik WaktuKematian
No. Kelompok PerlakuanMean + SE
(detik)
Uji scheffeterhadapkontrolnegatif
1Kontrol Negatif Air Kelapa Wulung 0, 715ml/20g BB mencit
864000x104 +0,00
-
2Kontrol Positif Propoxur 0,315 ml/20g BBmencit
11505x103 +620,47
B
3Dosis I Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit +Air Kelapa Wulung 0, 350 ml/20g BB mencit
29090x104 +18123,00
B
4Dosis II Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit +Air Kelapa Wulung 0, 500 ml/20g BB mencit
864000x104 +0,00
TB
5Dosis III Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit +Air Kelapa Wulung 0, 715 ml/20g BB mencit
29020x104 +18145,00
B
KELOMPOKKontrolNegatif
KontrolPositif
Dosis I Dosis II Dosis III
Kontrol Negatif B B TB B
Kontrol Positif B TB B TB
Dosis I B TB B TB
Dosis II TB B B B
Dosis III B TB TB B
Keterangan:1. B : Berbeda bermakna terhadap kontrol negatif (p<0,05)2. TB : Berbeda tidak bermakna terhadap kontrol negatif (p>0,05)
84
Lampiran 7. Diagram Batang Kelompok Perlakuan vs % Hidup
Keterangan:1. Kontrol positif : Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit2. Kontrol negatif : Air kelapa wulung 0,715 ml/20g BB mencit3. Dosis I : Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit + Air kelapa wulung 0,350
ml/20g BB mencit4. Dosis II : Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit + Air kelapa wulung 0,500
ml/20g BB mencit5. Dosis III : Propoxur 0,315 ml/20g BB mencit + Air kelapa wulung 0,715
ml/20g BB mencit
85
Lampiran 8. Hasil Pemeriksaan Histopatologis
86
Lampiran 9. Surat Keterangan Hewan Uji
87
BIOGRAFI PENULIS
Penulis bernama lengkap Pius Perwita Setyo Hadi
merupakan anak pertama dari pasangan Bapak Theodorus
Sunarko dan Ibu Ana Ratna Dwi Atmika Asih. Lahir di
Temanggung Jawa Tengah pada tanggal 30 Juni 1988.
Pendidikan awal dimulai di TK Ade Irma Suryani Parakan
(1992-1994), SD Santa Maria Bulu Temanggung (1994-
2000), SMP Santa Maria Bulu Temanggung (2000-2003),
SMA Negeri 3 Temanggung (2003-2006), kemudian
penulis menempuh pendidikan di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma
Yogyakarta (2006-2010).
Selama menempuh kuliah, penulis pernah menjabat sebagai Staf Ahli
Keuangan Ismafarsi Komisariat Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma
(2007- 2008), Komisi Humas Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Farmasi
Universitas Sanata Dharma (2007- 2008), Gubernur Badan Eksekutif Mahasiswa
Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma (2008-2009), Wakil Ketua Kongres
Mahasiswa Universitas Sanata Dharma 2008, Tergabung dalam Panitia Khusus
Inisiasi Sanata Dharma 2008, Tergabung dalam Pembentukan Komisi Pemilihan
Umum Presiden Mahasiswa Universitas Sanata Dharma 2009, Calon Wakil
Presiden Mahasiswa Universitas Sanata Dharma 2009-2010, Koordinator
Pendamping Kelompok Materi Inisiasi Sanata Dharma 2009. Penulis pernah
menjadi peserta Program Kreativitas Mahasiswa 2009 dan lolos menjadi peserta
Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional 2010 Bidang Penelitian. Selain itu, penulis
juga pernah menjadi asisten dosen praktikum farmakognosi fitokimia II,
toksikologi dasar, analisis sediaan obat tradisional, farmakologi dasar, formulasi
teknologi sediaan steril. Penulis juga tergabung dalam penelitian layanan eksternal
dibidang standarisasi ekstrak, toksisitas akut, uji subkronis, farmakologi, serta uji
ulcerogenik.