Dosa Besar 7
description
Transcript of Dosa Besar 7
BAGIAN 7
RIBA (3)
Contoh Praktik Riba di Zaman ini
Praktik Kedua : Pegadaian
Di antara bentuk riba yang merajalela di masyarakat ialah riba
pegadaian. Telah menjadi budaya di berbagai daerah, pihak
kreditur memanfaatkan barang gadai yang diserahkan kepadanya.
Bila gadai berupa ladang, maka kreditur mengelola ladang tersebut
dan mengambil hasilnya. Dan bila gadai berupa kendaraan, maka
kreditur sepenuhnya memanfaatkan kendaraan tersebut. Praktik
semacam ini tidak diragukan sebagai bentuk riba karena dengan
pemanfaatan ini sebagai bentuk riba karena dengan pemanfaatan
ini kreditur mendapatkan keuntungan dari piutangnya.
ربافهونفعاجر قرض كل Setiap piutang yang mendatangkan kemanfaatan/keuntungan,
maka itu adalah riba” [asy-Syarhul Mumti : 108-109]
Ketentuan hukum gadai ini selaras dengan penegasan Sa’id bin
Musayyib rahimahullah bahwa :
هنيغلقل هنالر هوعليغنمهلهرهنهال ذىصاحبهمنالر
غرمهBarang gadai tidak dapat hangus. Gadai adalah milik debitur (yang
berhutang), miliknyalah keuntungan dan tanggug jawabnya pula
kerugiannya” [Riwayat Imam Syafi’i dalam kitab al-Umm : 3/170]
Ada beberapa ketentuan dalam gadai setelah terjadinya serah
terima yang berhubungan dengan pembiayaan (pemeliharaan),
pertumbuhan barang gadai dan pemanfaatan serta jaminan
pertanggung jawaban bila rusak atau hilang.
1. Pemegang Barang Gadai
Barang gadai tersebut berada ditangan Murtahin selama masa
perjanjian gadai tersebut, sebagaimana firman Allah:
قبوضة فرهان كاتباتجدواولمسفر على كنتموإن م “Jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara
tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, maka
hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang
berpiutang).[Al-Baqarah : 283]
2. Pembiayaan, Pemeliharaan, Pemanfaatan Barang Gadai
Pada asalnya barang, biaya pemeliharaan dan manfaat barang yang
digadaikan adalah milik orang yang menggadaikan (Rahin).
Adapun Murtahin, ia tidak boleh mengambil manfaat barang
gadaian tersebut, kecuali bila barang tersebut berupa kendaraan
atau hewan yang diambil air susunya, maka boleh menggunakan
dan mengambil air susunya apabila ia memberikan nafkah (dalam
arti pemeliharaan barang tersebut).
Pemanfaatan barang gadai tesebut, tentunya sesuai dengan
besarnya nafkah yang dikeluarkan dan memperhatikan keadilan.
Hal ini di dasarkan sabda Rasululloh Shallallahu ‘alaihi wa sallam
مرهوناكانإذايشربر الد ولبنمرهوناكانإذايركبالظ هر
نفقتهويشربيركبال ذيوعلى“Hewan yang dikendarai dinaiki apabila digadaikan dan susu (dari
hewan) diminum apabila hewannya digadaikan. Wajib bagi yang
mengendarainya dan yang minum, (untuk) memberi nafkahnya.
[Hadits Shahih riwayat At-Tirmidzi]
Menurut Syaikh Al Basaam, ulama sepakat bahwa biaya
pemeliharaan barang gadai dibebankan kepada pemiliknya.
Demikian juga pertumbuhan dan keuntungan barang tersebut juga
menjadi miliknya, kecuali pada dua hal, yaitu kendaraan dan hewan
yang memiliki air susu yang diperas oleh yang menerima gadai.
[Taudhih Al Ahkam 4/462-477]
Praktik Ketiga: Kartu Kredit
Yaitu suatu kartu yang dapat digunakan untuk penyelesaian
transaksi ritel [Ritel/retail ialah usaha bersama dalam bidang
perniagaan dalam jumlah kecil kepada pengguna akhir] dengan
sistem kredit. Dengan kartu ini pengguna mendapatkan pinjaman
uang yang dibayarkan kepada penjual barang atau jasa dari pihak
penerbit kartu kredit. Sebagai konsekwensinya, pengguna kartu
kredit harus membayar tagihan dalam tempo waktu yang
ditentukan, dan bila telat maka ia dikenai penalty atau denda.
Tidak diragukan bahwa praktik semacam ini adalah riba karena
penggunaan kartu kredit berarti berhutang, sehingga penalty yang
dibebankan atas setiap keterlambatan adalah riba.
Mungkin anda berkata, “Bukankah denda hanya dikenakan bila
terjadi keterlambatan? Dengan demikian, bila saya tidak telat maka
saya tidak berdosa karena tidak membayar riba atau bunga”.
Saudaraku ! Walaupun pada kenyataannya anda tidak pernah telat
–sehingga tidak pernah tekena penalty- anda telah menyetujui
persyaratan haram ini. Persetujuan atas persyaratan haram ini sudah
termasuk perbuatan dosa yang tidak sepantasnya anda
meremehkan.
Sebagai solusinya, anda dapat menggunakan kartu debet, sehingga
anda tidak behutang kepada penyedia kartu. Yang terjadi pada
penggunaan kartu debet sejatinya adalah sewa menyewa jasa
transfer atas setiap tagihan anda. Karena setiap anda menggunakan
kartu anda, pihak penerbit kartu langsung memotongkan jumlah
tagihan dari tabungan anda.
Praktek Keempat: Dana Talangan Haji
Dana talangan haji yang sekarang sedang marak diterapkan di
berbagai lembaga keuangan, adalah salah satu bentuk rekayasa
melanggar hukum Allah Ta’ala. Praktek yang sekarang sedang
menjamur di masyarakat ini sekilas berupa akad qardh (piutang)
dan ijarah (sewa menyewa jasa). Dan tidak diragukan bahwa kedua
akad ini bila dilakukan secara terpisah adalah halal.
Walau demikian, ketika kedua akad ini dilakukan secara bersamaan
dan saling terkait, muncullah masalah besar. Yang demikian itu
karena beberapa alasan :
1. Larangan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
وبيع سلف يحل ل“Tidak halal menggabungkan antara piutang dengan akad jual-
beli” [HR Abu Dawud hadits no. 3506 dan At-Tirmidzy hadits no.
1234]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata :”Pada hadits ini Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam melarang penggabungan antara
piutang dengan jual beli. Dengan demikian bila Anda
menggabungkan antara akad piutang dengan akad sewa-menyewa
berarti Anda telah menggabungkan antara akad piutang dengan
akad jual-beli atau akad yang serupa dengannya. Dengan demikian,
setiap akad sosial semisal hibah pinjam-meminjam, hibah buah-
buahan yang masih di atas pohonnya, diskon pada akan
penggarapan ladang atau sawah, dan lainnya semakna dengan akad
hutang piutang, yaitu tidak boleh digabungkan dengan akad jual-
beli dan sewa-menyewa” [Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/62]
2. Riba Terselubung
Secara lahir kreditur tidak memungut tambahan atau riba atau
bunga dari piutangnya, namun secara tidak langsung ia telah
mendapatkannya, yaitu dari uang sewa yang ia pungut. Anda pasti
menyadari bahwa sewa menyewa (jual jasa pengurusan
administrasi haji) yang dilakukan oleh lembaga keuangan terkait
langsung dengan akad hutang piutang. Biasanya, yang telah
memiliki dana sendiri untuk biaya hajinya, tidak akan
menggunakan layanan “dana talangan haji” ini. Dengan demikian,
adanya talangan dana haji ini, menjadikan lembaga keuangan
terkait dapat memasarkan jasanya dan pasti mendapatkan
keuntungan dari jual-beli jasa tersebut.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah menjelaskan hal ini dengan berkata
: “Kesimpulan dari hadits ini menegaskan bahwa : Tidak
dibenarkan menggabungkan antara akad komersial dengan akad
sosial. Yang demikian itu karena keduanya menjalin akad sosial
disebabkan adanya akad komersial antara mereka. Dengan
demikian akad sosial itu tidak sepenuhnya sosial. Namun akad
sosial secara tidak langsung menjadi bagian dari nilai transaksi
dalam akad komersial.
Dengan demikian orang yang menghutangkan uang sebesar seribu
dirham kepada orang lain, dan pada waktu yang sama kreditur tidak
rela memberi piutang kecuali bila debitur membeli barangnya
dengan harga mahal. Sebagaimana pembeli tidaklah rela membeli
dengan harga mahal melainkan karena ia mendapatkan piutang dari
penjual” [Majmu Fatawa Ibnu Taimiyyah 29/63]
3. Memberatkan Masyarakat
Sistem setoran haji yang diterapkan oleh Departemen Agama
dengan online, sehingga dapat dilakukan kapan saja, telah
mendatangkan masalah besar. Masyarakat berlomba-lomba untuk
melakukan pembayaran secepat mungkin, guna mendapatkan
kepastian jadwal keberangkatan. Akibatnya , banyak dari mereka
yang sejatinya belum mampu menempuh segala macam cara,
karena khawatir kelak harus menanti lama. Banyak dari mereka
yang memaksakan diri dengan cara menggunakan sistem dana
talangan haji atau arisan.
Adanya praktek memaksakan diri ini tidak diragukan membebani
masyarakat. Terlebih-lebih menjadikan agama Islam yang pada
awalnya terasa mudah, sekarang menjadi terasa sulit nan berat.
Untuk dapat berhaji harus menanti sekian lama, dan selama
penantian banyak dari mereka yang harus tersiksa dengan cicilan
piutang. Bahkan sepulang menunaikan ibadah hajipun, sering kali
masih menanggung beban cicilan biaya perjalan hajinya.
Contoh lain
1. Termasuk riba, bila meminjamkan barang ribawi untuk
mendapatkan ganti lebih dari pokoknya.
Misalnya:
a. Meminjamkan uang Rp 1.000.000,00 kembali menjadi Rp
1.050.000,00. Dinamakan riba fadhel, karena sama jenis rupiahnya.
b. Meminjamkan emas 10 gr, kembali setelah 3 bulan menjadi 11gr.
Atau 10 gr dan gula 10 kg, atau 10 gr dan Rp 100.000,00.
Dinamakan riba fadhel dan nasiah, karena sama jenisnya, yaitu
emas.
c. Meminjam beras 1 kwintal di KUD atau orang lain, kembali
setelah panen menjadi 1,5 kwintal. Atau harus menjual panennya
ke KUD. Dinamakan riba fadhel dan nasiah, karena sama jenisnya,
yaitu beras.
d. Meminjam benih anak ayam dari perusahaan tertentu. Hasilnya
harus dijual kepadanya dengan harga dari perusahaan. Dinamakan
riba fadhel dan nasiah. Karena menjual barang haknya penjual,
bukan haknya pembeli.
Dalilnya, firman Allah.
تظلمونولتظلمونلأموالكمرءوسفلكمMaka bagimu pokok hartamu;kamu tidak menganiaya (dengan
memungut tambahan) dan tidak (pula) dianiaya (dengan
dikuranginya). [Al Baqarah:279].
Contoh di atas tidak ada hubungannya dengan jual beli. Tetapi
berhubungan dengan peminjaman barang riba. Kami masukkan
benih telur ke dalam contoh, sekalipun bukan benda riba, karena
meminjam sesuatu, harus kembali dengan sesuatu yang sama pula.
أعلموهللا
Peminjaman di atas sah, apabila:
- Huruf a, Rp. 1.000.000,00 kembali Rp. 1.000.000,00
- Huruf b, emas 10 gr kembali emas 10gr.
- Huruf c, 1 kwintal beras, kembali 1 kwintal beras. Atau 1 kwintal
beras dari KUD tersebut dibeli walaupun dengan harga mahal,
sedangkan pembayarannya setelah panen.
- Huruf d, sama dengan c, atau bagi hasil (mudharabah).
- Boleh meminjamkan mobil, kembali mobil dengan tambahan
uang. Hal ini dinamakan menyewakan barang, dan mobil bukan
barang ribawi.
- Boleh menerima pemberian dari orang yang meminjam peralatan
rumah umpamanya, sekalipun tidak ada niat untuk menyewakan.
Karena barang tersebut bukan benda ribawi.
2. Termasuk riba, bila menukar uang sejenis, salah satunya
dilebihkan, diambil langsung atau belakangan.
Misalnya: Menukarkan uang ribuan baru sejumlah seratus lembar,
kembali seratus lima ribu rupiah. Ini termasuk riba fadhel,
sekalipun sama-sama suka.
Dalilnya, hadits Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersumber dari
shahabat Abu Said Al Khudri Radhiyallahu 'anhu.
بمثل مثلبالورقوالورقبمثل مثلبالذ هبالذ هبMenjual emas dengan emas hendaknya sama nilai (timbangannya),
perak dengan perak, hendaknya sama pula timbangannya. [HR
Bukhari, Kitabul Buyu’].
3. Termasuk riba, bila menitipkan uang, lalu diambil dengan
mendapat tambahan atau dikurangi. Misalnya, menitipkan uang di
bank. Ketika mengambilnya, dia mengambil bunganya juga. Atau
sekolah memerintahkan siswanya agar menabung. Tetapi ketika
diambil, tabungan itu dipotong untuk keperluan penitipan. Yang
benar, diserahkan semua titipannya, lalu menyampaikan
kepentingan kebutuhan sekolah.
Dalilnya, firman Allah.
تظلمونولتظلمونلأموالكمرءوسفلكمMaka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya (dengan
memungut tambahan) dan tidak (pula) dianiaya (dengan
dikuranginya). [Al Baqarah:279].
Contoh di atas tidak ada hubungannya dengan jual beli, karena
titipan. Maka, harus dikembalikan sebagaimana asalnya; lain
dengan akad jual beli.