DONGENG DIGITAL: BACAAN ANAK DALAM MASYARAKAT … filemakalah “Sastra Anak dan Media Publikasi:...

13
¹Dipresesentasikan dalam Seminar Nasional Sosiologi Sastra, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, pada 11 Oktober 2016 sebagai pengembangan dari makalah “Sastra Anak dan Media Publikasi: Tinjauan Terhadap Bacaan Anak Usia Dini” yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra Anak, 27 Juli 2016 di Yogyakarta. DONGENG DIGITAL: BACAAN ANAK DALAM MASYARAKAT KONSUMSI ¹ Ratna Djumala Universitas Indonesia [email protected] Abstrak Perkembangan teknologi yang sedemikian cepat sejak terjadinya revolusi industri, telah mengubah banyak hal dalam kehidupan manusia. Perubahan ini terjadi pula dalam bacaan untuk anak-anak. Tidak hanya menggeser muatan nilai dalam tema bacaan, tetapi juga turut mengubah bentuk bacaan yang disajikan. Hal ini terjadi sebagai implikasi dari berubahnya bentuk perilaku membaca masyarakat global. Bacaan digital kini juga dapat dinikmati oleh anak-anak. Tulisan ini membahas mengenai dongeng digital dalam bacaan anak. Dengan menggunakan pendekatan sosiologis, dapat ditunjukan bahwa dongeng digital umumnya mengabaikan anak dalam pemenuhan kebutuhan untuk berimajinasi, berinteraksi, dan menginternalisasikan nilai dari bacaan tersebut sebagai bagian proses sosialisasi yang dilaluinya. Kata kunci: anak, bacaan anak, dongeng digital, masyarakat konsumsi Pendahuluan Keberadaan masyarakat menjadi perlu dan penting dalam pertumbuhan suatu kaum, bangsa, bahkan sebuah negara. Masyarakat sebagai peletak norma, nilai, dan pengetahuan terus berkembang mengikuti kemajuan jamannya. Sifat masyarakat yang dinamis ini- yang terus bergerak, berkembang, dan berubah, seringkali ditandai sebagai capaian ataskemajuan suatu peradaban. Sejak terjadinya revolusi industri pada pertengahan abad ke-19, maka terjadi pula perubahan sosial dan budaya atas nilai dan norma.Revolusi industri telah mengubah cara hidup dan cara kerja manusia, dari yang menggunakan tangan ke mesin. Begitu pula yang terjadi dalam budaya tulis dan membaca. Ketika mesin

Transcript of DONGENG DIGITAL: BACAAN ANAK DALAM MASYARAKAT … filemakalah “Sastra Anak dan Media Publikasi:...

¹Dipresesentasikan dalam Seminar Nasional Sosiologi Sastra, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, pada 11 Oktober 2016 sebagai pengembangan dari makalah “Sastra Anak dan Media Publikasi: Tinjauan Terhadap Bacaan Anak Usia Dini” yang dipresentasikan pada Seminar Nasional Sastra Anak, 27 Juli 2016 di Yogyakarta.

DONGENG DIGITAL:

BACAAN ANAK DALAM MASYARAKAT KONSUMSI ¹

Ratna Djumala

Universitas Indonesia

[email protected]

Abstrak

Perkembangan teknologi yang sedemikian cepat sejak terjadinya revolusi

industri, telah mengubah banyak hal dalam kehidupan manusia. Perubahan ini

terjadi pula dalam bacaan untuk anak-anak. Tidak hanya menggeser muatan nilai

dalam tema bacaan, tetapi juga turut mengubah bentuk bacaan yang disajikan. Hal

ini terjadi sebagai implikasi dari berubahnya bentuk perilaku membaca

masyarakat global. Bacaan digital kini juga dapat dinikmati oleh anak-anak.

Tulisan ini membahas mengenai dongeng digital dalam bacaan anak. Dengan

menggunakan pendekatan sosiologis, dapat ditunjukan bahwa dongeng digital

umumnya mengabaikan anak dalam pemenuhan kebutuhan untuk berimajinasi,

berinteraksi, dan menginternalisasikan nilai dari bacaan tersebut sebagai bagian

proses sosialisasi yang dilaluinya.

Kata kunci: anak, bacaan anak, dongeng digital, masyarakat konsumsi

Pendahuluan

Keberadaan masyarakat menjadi perlu dan penting dalam pertumbuhan suatu

kaum, bangsa, bahkan sebuah negara. Masyarakat sebagai peletak norma, nilai,

dan pengetahuan terus berkembang mengikuti kemajuan jamannya. Sifat

masyarakat yang dinamis ini- yang terus bergerak, berkembang, dan berubah,

seringkali ditandai sebagai capaian ataskemajuan suatu peradaban.

Sejak terjadinya revolusi industri pada pertengahan abad ke-19, maka terjadi

pula perubahan sosial dan budaya atas nilai dan norma.Revolusi industri telah

mengubah cara hidup dan cara kerja manusia, dari yang menggunakan tangan ke

mesin. Begitu pula yang terjadi dalam budaya tulis dan membaca. Ketika mesin

cetak ciptaan Johannes Gutenberg hadir, maka tradisi masyarakat dalam bercerita

secara lisan dan penulisan catatan dengan menggunakan tinta dan pena

tergantikan pula. Produksi atas bacaan cetak pun meningkat.

Di masa kini, saat kemajuan teknologi tidak dapat dibendung lagi, teknologi

juga mengubah bentuk bacaan yang pernah ada sebelumnya. Bacaan tidak hanya

berevolusi sejak penemuan mesin cetak, bacaan yang ada kini juga berkembang

sebagai hasil perkembangan dari penemuan alat komunikasi jarak jauh dan alat

pemancar gambar- telepon dan televisi oleh Alexander Graham Bell dan John

Logie Baird. Bacaan dalam bentuk digital yang ditawarkan oleh gadget saat ini

dianggap sebagai sebuah kemajuan.

Sebagai salah satu produk dari kemajuan teknologi, gadget atau gawai tidak

hanya berfungsi sebagai alat komunikasi. Kini, beragam inovasi dan spesifikasi

terbaru ditawarkan oleh gawai. Semakin canggih produk suatu gawai, maka

semakin beragam pula yang dapat dinikmati oleh konsumennya.Teknologi,

nyatanya tidak hanya mempermudah cara hidup manusia, teknologi juga

mengubah sikap hidup manusia. Mereka yang gagap teknologi, akan dicap oleh

sebagian anggota masyarakatnya sebagai orang yang kuper, kudet kurang up date,

kuno, dan ketinggalan jaman. Untuk memenuhi kebutuhan penggunanya tersebut,

maka bermunculanlah istilahe-book, buku digital, koran online, hingga

cybersastra- yang kesemuanya merujuk pada betapa sempurna dan lengkapnya

gawai dalam memanjakan penggunanya.

Hal tersebut terjadi pula pada bacaan anak. Ketika gawai diberikanoleh

orangtua kepada anak, maka produsen seolah tidak ingin kehilangan pasarnya.

Bermunculanlah berbagai bentuk media yang dapat dibaca oleh anak- video,

bermacamgames, hingga bukudigital yang berubah bentuknya (baca: tidak lagi

tercetak).

Tulisan ini berfokus pada bacaan anak-anak, yang mulai bergeser bentuk dan

fungsinya. Pembahasan tentu saja tidak hanya berfokus pada bentuknya, tetapi

juga pada isi dan fungsinya dengan mempertimbangkan pembacanya- yaitu anak.

Dongeng Digital: Bentuk Baru dalam Bacaan untuk Anak

Istilah bacaan anak (children’s reading) barangkali lebih luas pengertiannya

daripada sastra anak (children’s literature). Sastra anak- seperti yang dikemukakan

oleh Davis dalam Sarumpaet (2009), merujuk pada bacaan yang dibaca oleh anak-

anak dengan bimbingan dan pengarahan orang dewasa dalam suatu masyarakat,

yang penulisannya juga dilakukan oleh orang dewasa. Namun, seiring dengan

berkembangnya kondisi sosial masyarakat, pengertian sastra anak pun bergeser.

Sastra anak kini mengacu pula pada bacaan yang ditulis oleh anak-anak.

Meskipun demikian, perlu adanya peninjuan ulang atas nilai kesastraan-nya.

Pengertian atas bacaan anak kini meluas pada apapun yang dibaca, dilihat,

dan didengar oleh anak-anak. Saat ini bacaan untuk anak-anak tidak hanya hadir

dalam bentuk buku yang tercetak (melalui proses printing). Bacaan anak juga

hadir dalam bentuk digital. Bacaan digital untuk anak tersebut hadir dalam bentuk

e-book, games online, aplikasi (seperti Apps Store, kiddlefire, Windows phone,

dan Google play), serta tayangan yang diunggah di youtube.

Bacaan anak yang ditawarkan toko aplikasi umumnya berupagames online,

lagu anak-anak, dongeng (cerita), kuis edukatif, serta film animasi. Sebagian besar

aplikasiini ditawarkan dengan gratis.Berdasarkan hasil penelusuran pada Apps

Store, kiddlefire, Windows phone, dan Google play, umumnya bacaan anak digital

ini berlabel dongeng dalam bentuk cerita bergambar. Ada yang memakai istilah

dongeng, kisah, dan cerita. Sebut saja misalnyaMarbel Dongeng, Buku Dongeng,

Kumpulan Dongeng, Kumpulan Cerita dan Dongeng, Dongeng Anak, Dongeng

Anak Islami, Cerita Rakyat Indonesia, atau pun 100 Dongeng Anak Populer

merupakan beberapa contoh aplikasi dongeng yang dapat ditemukan dalam Apps

Store, kiddlefire, Windows phone,dan Google play.

Bacaan dongeng berbentuk digital ini umumnya mengangkat kisah mengenai

cerita rakyat dunia, cerita rakyat tradisional Indonesia, cerita binatang, fabel,

cerita para nabi, juga cerita mengenai keseharian dalam kehidupan anak-

anak.Pada aplikasinya tertera bahwa dongeng tersebutditujukan bagi anak usia 0-8

tahun.

Sebuah bacaan digital yang di-download biasanya hanya memuat satu cerita

saja. Namun, ada juga yang memuat lebih dari satu cerita, yang terhimpun dalam

kumpulan dongeng. Bacaan digital ini ada yang disajikan layaknya bacaan

bergambar yang tercetak- dilengkapi gambar dan teks cerita di setiap halaman.

Ada pula yang tidak hanya bergambar dan berisi teks cerita, tetapi juga

memunculkan efek suara. Suara yang dimunculkan inidatang dari narator cerita

dan sesekali tokoh yang ada di dalam cerita.Ilustrasi gambar dalam cerita ada

yang bersifat statis- hanya gambar, ada pula yang bergerak. Gambar yang

bergerak tersebut ada yang bersifat otomatis, ada juga yang digerakan secara

manual.Gambar yang digerakan secara manual ini dapat mengeluarkan suara,

misalnya gambar bebek mengeluarkan suara bebek atau gambar barisan bunga

mengeluarkan barisan nada dasardo, re, mi, dan seterusnya.

Beberapa dongeng aplikasi menyediakan pula aktivitas lain selain

mendongeng. Di dalamnya terdapat permainan yang oleh pembuatnya dinyatakan

bersifat edukatif seperti menghubungkan titik dan angka untuk membentuk

gambar, mencocokan gambar, dan mencari perbedaan dalam gambar.

Membaca dongeng digital dan membaca buku yang dicetak secara

konvensional, sekilas tidak ada bedanya. Keduanya berfungsi untuk dibaca.

Bahkan, pengaturan suara dalam dongeng digitaldapat menghadirkan efek suara

saat halaman berganti. Yang membedakannya hanya adanya efek suara yang

memungkinkan cerita dibacakan secara otomatis oleh mesin aplikasi.Sementara

pada buku biasa, teks cerita dibacakan oleh orang dewasa yang mendampingi

anak-anak.

Aplikasi dongeng digital ini memang praktis. Orangtua tidak perlu bersusah

payah mencarikan dongeng untuk mengantarkan anaknya tidur. Bagi orangtua

yang kurang percaya diri untuk mendongeng di hadapan anak pun, dapat diatasi

lewat dongeng digital. Yang pasti, orangtua masa kini berhemat dengan waktu.

Tugas mendongengkan anak dialihkan kepada mesin pendongeng. Dikarenakan

berbentuk aplikasi, tentu saja dongeng digital tidak hanya mendongeng saat akan

berangkat tidur. Dongeng digital ini dapat dinikmati anak kapan dan di mana pun

mereka inginkan, bahkan berulang-ulang dalam jangka waktu yang panjang.

Namun demikian, betulkah aplikasi buku dongeng ini dapat memenuhi

kebutahan anak, terutama anak usia dini terhadap bacaannya. Berikut adalah

contoh aplikasi buku dongeng Kisah Kancil & Siput-Adu Pintar, Mumu Ikan

Mujair Kecil, dan Kisah Malin Kundang.

Dongeng Digital Kisah Kancil & Siput- Adu Pintar

Kisah Kancil & Siput-Adu Pintaradalah salah satu dongeng digital yang

diproduksi oleh www.educastudio.com.Educa Studio merupakan salah satu rumah

produksi yang banyak membuat aplikasi edukatif untuk anak-anak dalam bentuk

musik, dongeng, dan permainan (games) dalam bentuk digital. Marbel-Edu

games, Riri Story Books, Kabi- Islamic Books, Kolak- Kids Songs, Marbel &

Friends- Kids Games, Keong- Casual Gamesadalah

(https://www.educastudio.com/about-us/, diunduh 7 Oktober 2016).

Pada seri Riri Story Books, terdapat kurang lebih 50 aplikasi buku dongeng

dengan berbagai jenis cerita seperti legenda, fabel, dan cerita realistik.Kisah

Kancil & Siput-Adu Pintaradalah salah satu dongeng yang ditawarkan dalam

aplikasi Riri Story Books. Dongeng tersebut tidak berbeda versinya dengan cerita

mengenai kancil yang berlomba adu cepat dengan siput yang telah ada dalam

bentuk tercetak selama ini. Kancil dikisahkan mengajak siput untuk lomba lari.

Kancil bersikap sombong, ia merasa bahwa dirinya pasti akan mengalahkan siput

karena ia dapat berlari dengan cepat, sementara siput sangat lambat. Namun,

dengan kecerdikannya, justeru siputlah yang akhirnya memenangkan

pertandingan.

Di halaman pertama, pembaca diberi pilihan, apakah akan membaca sendiri

atau dibacakan secara otomatis oleh mesin. Jika dipilih membaca sendiri, teks

akan diberikan. Jika memilih yang otomatis dibacakan, maka diberikan pilihan,

apakah teks disertakan atau disembunyikan.

Cerita kancil dan siput ini terdiri dari 9 gambar (9 caption). Kesembilan

gambar tersebut semuanya bergerak, meskipun pergerakan tidak seperti dalam

film animasi. Gambar-gambar hanya bergerak di tempatnya- menggoyang kepala,

kaki, atau badannya saja. Yang disayangkan adalah pergerakan gambar justru

membuat perhatian anak terhadap cerita terganggu.

Misalnya pada gambar halaman, pertama yang menceritakan mengenai

kancilsebagai hewan tercerdas di hutan, merasa bosan karena hutan sangat

tenang. Saat teks dibacakan, benda-banda yang ada di gambar itu bergerak dan

bersuara- jeruk yang jatuh, induk dan anak bebek yang sedang berenang, buaya

yang sedang mengintai di sungai, gemericik air sungai, juga suara kepik yang

melompat-lompat di pohon.

Hal lain yang mengganggu dalam aplikasi ini adalah suara narator cerita yang

membawakan cerita dengan intonasi suara yang datar, sehingga tidak terbangun

ekspresi emosi yang seharusnya muncul dari cerita. Datarnya intonasi dan

minimnya ekspresi si narator terjadi di seluruh cerita seri Riri- Story Books.

Seperti halnya pada ciri khas dalam cerita fabel, cerita pun ditutup dengan pesan

moral.

Dongeng Digital Kisah Mumu Ikan Mujair Kecil

Kisah Mumu Ikan Mujair Kecildiproduksi oleh Kastari Sentra Medika-

sebuah rumah produksi animasi untuk anak-anak. Dongeng digital ini

mengisahkan Mumu- seekor ikan mujair kecil yang berbibir tebal dan berwarna

kusam. Teman-teman sekolah mumu mengejek kondisi fisik Mumu yang seperti

itu. Pada awalnya, Mumu merasa sedih dengan ejekan teman-temannya. Atas

nasihat dari ayah dan ibunya, Mumu tidak lagi memusingkan perkataan teman.

Apalagi, di kelas Mumu adalah siswa yang terpandai dalam hal membaca. Teman-

teman yang semula menjauhinya, menyesal dan meminta Mumu untuk mengajari

mereka membaca.

Dalam Dongeng digital Kisah Mumu Ikan Mujair Kecil ini gambar tidak

bergerak. Gambar bersifat statis, layaknya membaca buku yang dicetak seperti

biasa. Kisah sebanyak 18 halaman ini dapat dibaca sendiri oleh anak, atau

dibacakan oleh mesin narator. Sesekali tokoh di dalam cerita juga mengeluarkan

suara- hanya suara, tanpa memperlihatkan gerakan mulut saat berbicara. Dari segi

ilustrasi, sebenarnya dongeng Kisah Mumu Ikan Mujair Kecil, tidak terlalu buruk.

Dongeng Digital Kisah Malin Kundang

Kisah Malin Kundang bercerita mengenai seorang anak laki-laki yang

dikutuk menjadi batu karena durhaka kepada ibu kandungnya. Sebenarnya kisah

Malin Kundang ini pun tidak jauh berbeda dengan Kisah Malin Kundang yang

ada pada umumnya. Hanya variasi cerita yang membedakannya satu dengan yang

lain.

Dongeng digital Kisah Malin Kundang diproduksi pula oleh Kastari Sentra

Medika di tahun 2014. Berbeda dari Kisah Mumu Ikan Mujair Kecil, pada Kisah

Malin Kundangini buku digital dikemas seperti buku tercetak; ada lembar sampul,

lembar judul, juga lembar pengesahan secara hukumnya.

Pada dongeng digital Kisah Malin Kundang, ilustrasi gambar sepertinya

digarap seadanya. Penggambaran wajah si Malin, isteri Malin, ataupun ibu Malin

terkesan kaku dan menyeramkan.

Dalam dongeng ini, seperti juga karakteristik dongeng digital lainnya, ada

narator yang menyuarakan isi cerita. Ilustrasi gambar bersifat statis. Yang berbeda

dari Kisah Kancil & Siput-Adu Pintar adalah munculnya teks dalam cerita yang

tidak dapat dihilangkan. Sementara dalam Kisah Kancil & Siput-Adu Pintar,

kemunculan teks cerita dapat ditampilkan danditiadakan. Hal ini berarti anak yang

sudah dapat membaca akan tetap dapat melihat teksnya. Sedangkan pada dongeng

digital Kisah Kancil & Siput-Adu Pintar, pembaca anak cenderung menjadi malas

membaca teks dan memilih untuk dibacakan oleh mesin.

Dari ketiga contoh dongeng digital di atas, dapat terlihat bahwa pemilihan

cerita dalam dongeng digital lebih banyak mengadopsi cerita yang sudah ada

seperti cerita rakyat dan fabel dalam bentuk tercetak selama ini. Untuk cerita

binatang seperti dongeng digital Kisah Mumu Ikan Mujair Kecil yang bertema

pada keseharian hidup anak-anak, memang tidaklah banyak.

Jika ditilisik dari dari segi isi, ilustrasi, tampilan, bahkan kemasannya,

sekilas dongeng digital ini terkesan seru, penuh warna, dan menyenangkan bagi

anak. Namun, sebagai bacaan untuk memperkaya kebutuhan atas nilai dalam

pertumbuhan anak, bacaan ini digarap tanpa pemikiran yang matang bahwa

bacaan ini ditujukan untuk anak-anak dengan kebutuhan yang khusus. Kesalahan

ejaan, kalimat yang tidak logis, nilai yang seharusnya tidak ada dalam bacaan

untuk anak seperti labelling- seharusnya tidak ditemukan dalam bacaan untuk

anak-anak.

Popularitas gawai sebagai bentuk kemajuan dari suatu peradaban, mampu

menyentuh seluruh lapisan sosial-ekonomi suatu masyarakat tanpa sekat secara

geografis. Hal ini sepertinya dipandang oleh produsen sebagai peluang besar.

Mereka melihat pasar yang besar dan menguntungkan dari reproduksi dongeng,

cerita, lagu-lagu, hingga permainan (games) anak-anak ke dalam bentuk digital.

Padahal, suatu bacaan untuk anak seharusnya memenuhi kriteria dan

kententuan yang khusus. Bagaimana pun, anak tentu berbeda dari orang dewasa.

Bacaan untuk anak, berbeda dengan bacaan untuk orang dewasa. Oleh karena itu,

pembaca anak memiliki kebutuhan tersendiri atas bacaannya. Bacaan anak, harus

mempertimbangkan seluruh unsur pembangun teks. Temanya, tokoh dan

penokohannya, alurnya, latarnya, bahkan konfliknya- khas dunia kanak-kanak.

Bacaan anak sekiranya haruslah dapat membuat anak merasa gembira,

mengembangkan imajinasinya, sekaligus berkontribusi bagi pengembangan diri

mereka yang sedang bertumbuh.

Bacaan Anak dalam Masyarakat Konsumsi

Bergesernya bacaan tercetak menjadi digital untuk anak-anaktidak terlepas

dari kondisi sosial masyarakat yang ada pada saat ini. Perkembangan teknologi-

dalam hal ini gawai, telah membawa pengaruh dan perubahan ke seluruh sendi

kehidupan masyarakat. Gawai kini tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi,

tetapi juga menyediakan berbagai sarana untuk memudahkan dan memanjakan

manusia dalam banyak hal, bahkan hingga sarana hiburan.

Kehidupan masyarakat saatini mengarah pada suatu kondisi yang disebut

oleh Jean Baudrillard sebagai masyarakat konsumsi (2004). Dalam masyarakat

konsumsi, Baudrillard menggambarkan suatu masyarakat yang terjebak dalam

konsumsi simbol, drugstore, simulacra (simulakrum), sampah visual, dan ditingsi.

Perubahan pola konsumsi pada masyarakat modern ini ditandai dengan

bergesernya orientasi konsumsi, yang semula untuk memenuhi kebutuhan bagi

keberlangsungan hidup, kini menjadi gaya hidup. Kepemilikan teknologi- dalam

hal ini gawai sepertismartphone- menjadi tanda atau simbol atas status sosial

seseorang dalam masyarakatnya.Banyaknya sampah visual yang menjadikan

seseorang merasa “harus” memiliki barang seperti para model yang mengiklankan

suatu produk, menjadikan masyarakat secara tak sadar membeli status untuk

barang yang dimilikinya. Jika mereka berusaha menghindar dari apa yang menjadi

tren di masyarakatnya, mereka takut dengan distingsi (jarak sosial) yang akan

tercipta. Dengan kata lain, mereka mengonsumsi simbol dan menyesuaikan diri

dengan selera “pasar kebanyakan”.Hal ini dikarenakan mereka takut jika

dikucilkan dari lingkungan sosialnya, dianggap kuno, ketinggalan jaman,

kampungan, dan sebaginya.

Dengan mengacu pada apa yang dikemukakan oleh Baudrillard, maka

gawai- dalam hal ini smartphone diibaratkan sebagai sebuah toko obat

(drugstore). Saat ini toko obat muncul dengan konsep sebagai toko yang melayani

kebutuhan konsumennya selama 24 jam. Toko obat ini tidak hanya menyediakan

obat, namun menyediakan pula barang lainnya. Konsumen yang semula akan

membeli obat, akhirnya sangat dimungkinkan membeli juga barang lain yang

tidak ada hubungannya dengan obat, namun kedua jenis barang tersebut

didapatkan sekaligus di toko obat.Smartphone tidak hanya memenuhi kebutuhan

untuk berkomunikasi. Komunikasi yang terjadi melalui smartphonepun tidak

hanya bersifat audio- videodan surat elektromagnetik pun dimungkinkan. Dengan

kemampuan mengolah data, smartphone juga menyediakan beragam fitur;

aplikasi perkantoran, edukasi, permainan, hingga hiburan. Bagai sebuah toko obat

24 jam yang serba ada, begitulah smartphone adanya- menyediakan berbagai rupa

kebutuhan konsumennya, kapanpun membutuhkannya.

Kebutuhan para konsumennya tersebut terlihat seolah nyata. Sesuatu yang

hanya dapat dibayangkan, gambar yang tidak bergerak, bahkan konsep yang

hanya ada dalam benak, dapat diwujudkan. Smartphonemerupakan hasil

darisimulakrumyang dapat mengubah sesuatu yang abstrak menjadi

konkretataupun yang kongkret menjadi abstrak. Dalam simulakrum pula sifat-sifat

manusia seolah tergantikan.Simulakrumyang memungkinkan smartphone untuk

menyediakan segalanya ini sesungguhnya memunculkan pula hipperrealitas yang

terlalu berlebihan dalam memaknai sesuatu, hingga makna tersebut seolah hanya

bersifat kebohongan semata.

Smartphone kini dimiliki oleh sebagian besar masyarakat, dari berbagai

kalangan dan status sosial. Yang tidak memilikinya, dianggap aneh dan

ketinggalan jaman. Sebagian orangtua saat ini seringkali memberikan

smartphone-nya sebagai bagian dalam aktivitas pengasuhan anak-anak mereka. Di

rumah, di restoran, bahkan di atas kereta, saat anak rewel dan tak mau diam,

smartphone menjadi senjata pamungkas untuk mendiamkan dan membuat mereka

duduk manis. Di sinilah, smartphone yang awalnya hanya untuk memenuhi fungsi

komunikasi dan memudahkan pekerjaan kantor, kini menyediakan pula beragam

fitur yang dapat memuaskan ibu rumah tangga hingga anak-anak. Beragam resep

masakan, cara memasak, berbagai aktivitas untuk memudahkan pengasuhan anak,

tersedia semuanya. Melalui smartphone, seolah fungsi dan peran manusia pun

dapat digantikan.

Berkaitan dengan bacaan anak, keberadaan dongeng digital sesungguhnya

menggantikan fungsi dari agen-agen sosialisasi yang selama ini ada. Padahal,

dalam pertumbuhannya, anak-anak membutukan keterlibatan agen-agen

sosialisasi dalam hidupnya. Fuller dan Jacobs dalam Sunarto (1993)

mengidentifikasikan adanya lima agen sosialisasi utama yaitu keluarga, kelompok

bermain, media massa, dan sistem pendidikan. Keluarga menjadi agen sosialisasi

pertama dan terpenting bagi anak-anak dalam mengembangkan kemampuan

berinteraksi dan berkomunikasi dalam bentuk verbal maupun nonverbal (Gertrude

Jaeger dalam Sunarto, 1993).

Sosok ibu yang mendongeng di kala anak akan berangkat tidur, kini

digantikan fungsinya oleh dongeng digital. Hanya dengan satu “klik” saja,

dongeng digital tesedia dalam smartphone, suara pendongeng pun menggantikan

suara ibu. Smartphone menyediakan pula fungsi dan peran ibu dalam pengasuhan

anak, dengan ini seolah ibu telah menjalankan perannya. Padahal, dalam

pengasuhan anak, sosialisasi dan internalisasi nilai secara langsung kepada anak-

anak tetaplah dibutuhkan, terutama jika itu berkaitan dengan pertumbuhan anak di

usia awal. Saat peran ibu tergeser oleh dongeng digital, dan interaksi antara ibu

dan anak berkurang bakan tidak ada, maka akan ada nilai-nilai kehidupan yang

berkurang pula yang akan diterima bahkan dipahami oleh sang anak.

Jika diperiksa komentar para pengguna aplikasi dongeng digital ini,

sebagian besar memang menyatakan bahwa dongeng digital untuk anak ini

menyenangkan, bagus, memudahkan orangtua dalam mendongeng, tidak susah

memikirkandogeng apa yang akan diberikan- tinggal menyalakan aplikasinya

saja, anak-anak sudah dapat mendengarkan dongengnya. Begitu pula yang

dicantumkan oleh pembuat salah satu dongen digital “Buku ini merupakan

sumber pendidikan karakter dan hiburan bagi anak-anak.Anda dapat memberikan

perangkat Android Anda untuk anak-anak Anda dan mereka dapat sendiri

membaca seluruh cerita. Ini membuat mereka sibuk!”

(https://play.google.com/store/apps/details?id=air.air.com.ksm.visualBook.

mumuikanmujahir).

Dari komentar di atas, tertangkap kesan bahwa anak dibiarkan dengan

bacaannya. Tanpa pendampingan dari orangtuanya. Membiarkan mereka sibuk

dan berinteraksi sendiri dengan bacaannya, sangat mungkin akan memakan waktu

berjam-jam. Dapatlah dibayangkan jika anak berjam-jam berinteraksi dengan

smartphone-nya tanpa mengembangkan kecakapan sosialnya, anak-anak pun

menjadi gagap dengan lingungan sosialnya. Inilah yang digambarkan oleh

baudrillard (2004), bahwa mereka yang terjebak dalam sampah visual, konsumsi

simbol, distingsi, drugstore, dan hiperrealitas, maka berakhirlah kehidupan sosial

mereka seperti yang dikatakan oleh Baudrillard (2004).

Penutup

Seiring dengan perkembagan teknologi, bacaan kini tidak hanya dalam

bentuk tercetak. Kemunculan buku digital ditengarai sebagai suatu bentuk baru

dalam penyajian bacaan bagi khalayak. Dongeng digital pun bermunculan sebagai

alternatif dalam bacaan anak. Dongeng digital dengan mesin pendongengnya,

bahkan dapat menggantikan peran orangtua dalam pengasuhan dan pengenalan

nilai pada proses sosialisasi yang dilalui oleh anak-anak.

Namun demikian, keberadaan dongeng digital saat ini dalam khazanah

bacaan anak di Indonesia, sekiranya masih diperlukan penyelidikan lebih lanjut

terhadap materinya berkaitan dengan aspek kognitif, afektif, motorik, dan sosial

yang diperlukan anak dalam pertumbuhannya, terutama jika bacaan tersebut

menyangkut pembaca anak di usia awal.

Kesadaran masyarakat untuk memberikan bacaan yang sesuai kepada anak

tanpa mengurangi bahkan meniadakan kedekatan antara orangtua dengan anak

pun masih perlu ditingkatkan. Bagaimanapun, anak-anak, terutama anak-anak di

usia awal tetap membutuhkan pendampingan dari orangtua dalam bacaannya.

Daftar Pustaka

Baudrillard, Jean. 2004. Masyarakat Konsumsi. Yogyakarta: Kreasi Wacana

Christantiowati.1996. Bacaan Anak Tempo Doeloe: Kajian Pendahuluan Periode

1908—1945. Jakarta: Balai Pustaka

Damono, Sapardi. 2014. (Edisi Revisi). Sosiologi Sastra Pengantar Ringkas.

Jakarta: Editum

Huck, Charlotte S, Susan Hepler, dan Janet Hickman. 1987. Children’s Literature

in The

Elementary School. New York: Holt, Rinehart and Winston.

Laurenson, Diana & Swingewood, Alan. 1972. The Sociology of Literature.

London: Paladin.

Santosa, Elizabeth T. 205. Raising Children in Digital Era. Jakarta: PT Elex

Media Komputindo

Sarumpaet. Riris K. 1976. Bacaan Anak-Anak: Suatu Penyelidikan

Pendahuluan ke dalam Hakekat, Sifat, dan Corak Bacaan Anak Serta

Minat Anak pada Bacaannya. Jakarta: Pustaka Jaya.

____________________. 2010. Pedoman Penelitian Sastra Anak: Jakarta:

Yayasan Pustaka Obor.

Sunarto, Kamanto. 1993. Pengantar Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit

Fakultas Ekonomi

Universitas Indonesia.

Sutherland, Zena. Children and Books. 9th editions. 1997. New York: Addison

Wesley Longman, Inc.