dokumen-15-34

29
ABSTRAK Terapi psikoreligius atau terapi religius adalah sebuah terapi dengan pendekatan terhadap kepercayaan yang dianut oleh pasien. contoh terapi ini adalah terapi shalat dan zikir. Pada tahun 1984 WHO memasukan dimensi spiritual keagamaan sama pentingnya dengan dimensi fisik, psikologis dan psikososial. Seiring dengan itu terapi-terapi yang dilakukan pun mulai menggunakan dimensi spiritual keagamaan, sebagai bagian dari terapi modalitas khususnya untuk keperawatan jiwa. Berdasarkan penelitian Larson oleh Dadang Hawari meyebutkan bahwa terapi Religius Shalat dan Zikir dalam penurunan tingkat stres pasien Halusinasi di ruang Bangau Rumah Sakit Erladi Bahar Palembang. Penelitian ini bersifat deskriftif dengan pendekatan kualitatif, pengumpulan data dengan menggunakan wawancara mendalam, dan observasi. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2012 di Ruang Bangau Rumah Sakit Ernaldi Bahar Provinsi Sumatra Selatan. Hasil penelitian informan dengan wawancara mendalam dan Observasi menujukan bahwa untuk pelaksanaan Terapi Religius Shalat dan Zikir ini belum berjalan secara optimal. Hal ini dikarnakan masih terdapat kendala-kendala yang ditemukan. Hasil penelitian ini diharapkan bagi perawat ruangan diharapkan mampu mengingatkan kualitas sumber daya manusia dibidang kesehatan jiwa, terutama pemahaman tentang Terapi Religius Shalat dan Zikir dalam hubungannya dengan penurunan tingkat stress pasien Halusinasi Kata kunci : Terapi Psikoreligius Shalat dan Zikir. Halusinasasi Pendengaran,stres ABSTRACT Spiritual or religious therapy is a therapeutic approach to the beliefs held by patients. Examples of this therapy is the therapeutic prayer and remembrance. In 1984 the WHO include the spiritual dimension of religion is as important as the physical, psychological and psychosocial. Along with that, the therapeutic are performed began using religious spiritual spiritual dimension, as part of a therapeutic modality, especially for nursing soul. Based on research by dadang hawari larson mentioned that the religious prayer and remembrance therapy can lower stress levels of psychiatric patients. This study aims to determine the provision of religious therapy prayer and remembrance in decreased stress levels in the patient’s hallucinations paradise Ernaldi Bahar hospital Palembang. This was a descriptive qualitative approach, collecting data by using in depth interview, and observation. The research was conducted in july 2012 in room paradise Hospital Ernaldi Bahar Palembang. The results of informants with in-depth interview and observations showed that for the implementation of prayer and remembrance religious therapy is not running optimally. This is because there are constraints that are found. The results of this study is expected to nurse the room is expected to improve the quality of human resources in the field of mental health, especially an understanding of therapy religious prayer and remembrance in conjunction with a reduction in stress levels of patient hallucinations. Key word : Psikoreligius's therapy Pray and Recitation. Halusinasasi is Hearing,stress PERAWAT DALAM PENERAPAN THERAPI PSIKORELIGIUS UNTUK MENURUNKAN TINGKAT STRESS PADA PASIEN HALUSINASI PENDENGARAN DI RAWAT INAP BANGAU RUMAH SAKIT ERNALDI BAHAR PALEMBANG 2012 Oleh Mery Fanada,SPd,SKM,M.Kes Widyaiswara Muda Badan Diklat Provinsi Sumatera Selatan

Transcript of dokumen-15-34

Page 1: dokumen-15-34

ABSTRAK

Terapi psikoreligius atau terapi religius adalah sebuah terapi dengan pendekatan terhadap

kepercayaan yang dianut oleh pasien. contoh terapi ini adalah terapi shalat dan zikir. Pada tahun 1984

WHO memasukan dimensi spiritual keagamaan sama pentingnya dengan dimensi fisik, psikologis dan

psikososial. Seiring dengan itu terapi-terapi yang dilakukan pun mulai menggunakan dimensi spiritual

keagamaan, sebagai bagian dari terapi modalitas khususnya untuk keperawatan jiwa. Berdasarkan

penelitian Larson oleh Dadang Hawari meyebutkan bahwa terapi Religius Shalat dan Zikir dalam

penurunan tingkat stres pasien Halusinasi di ruang Bangau Rumah Sakit Erladi Bahar Palembang.

Penelitian ini bersifat deskriftif dengan pendekatan kualitatif, pengumpulan data dengan

menggunakan wawancara mendalam, dan observasi. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2012 di

Ruang Bangau Rumah Sakit Ernaldi Bahar Provinsi Sumatra Selatan.

Hasil penelitian informan dengan wawancara mendalam dan Observasi menujukan bahwa

untuk pelaksanaan Terapi Religius Shalat dan Zikir ini belum berjalan secara optimal. Hal ini

dikarnakan masih terdapat kendala-kendala yang ditemukan.

Hasil penelitian ini diharapkan bagi perawat ruangan diharapkan mampu mengingatkan

kualitas sumber daya manusia dibidang kesehatan jiwa, terutama pemahaman tentang Terapi Religius

Shalat dan Zikir dalam hubungannya dengan penurunan tingkat stress pasien Halusinasi

Kata kunci : Terapi Psikoreligius Shalat dan Zikir. Halusinasasi

Pendengaran,stres

ABSTRACT

Spiritual or religious therapy is a therapeutic approach to the beliefs held by patients.

Examples of this therapy is the therapeutic prayer and remembrance. In 1984 the WHO include the

spiritual dimension of religion is as important as the physical, psychological and psychosocial. Along

with that, the therapeutic are performed began using religious spiritual spiritual dimension, as part of

a therapeutic modality, especially for nursing soul. Based on research by dadang hawari larson

mentioned that the religious prayer and remembrance therapy can lower stress levels of psychiatric

patients. This study aims to determine the provision of religious therapy prayer and remembrance in

decreased stress levels in the patient’s hallucinations paradise Ernaldi Bahar hospital Palembang.

This was a descriptive qualitative approach, collecting data by using in depth interview, and

observation. The research was conducted in july 2012 in room paradise Hospital Ernaldi Bahar

Palembang.

The results of informants with in-depth interview and observations showed that for the

implementation of prayer and remembrance religious therapy is not running optimally. This is because

there are constraints that are found.

The results of this study is expected to nurse the room is expected to improve the quality of

human resources in the field of mental health, especially an understanding of therapy religious prayer

and remembrance in conjunction with a reduction in stress levels of patient hallucinations.

Key word : Psikoreligius's therapy Pray and Recitation. Halusinasasi is Hearing,stress

PERAWAT DALAM PENERAPAN THERAPI PSIKORELIGIUS

UNTUK MENURUNKAN TINGKAT STRESS PADA PASIEN

HALUSINASI PENDENGARAN DI RAWAT INAP BANGAU

RUMAH SAKIT ERNALDI BAHAR

PALEMBANG 2012

Oleh

Mery Fanada,SPd,SKM,M.Kes

Widyaiswara Muda

Badan Diklat Provinsi Sumatera Selatan

Page 2: dokumen-15-34

1. Pendahuluan

1.1 Latar Belakang

Kesehatan Jiwa adalah bagian internal

dari upaya kesehatan yang bertujuan

menciptakan p erkembangan jiwa yang sehat

secra optimal baik intelektual maupun

emosional (Kusumawati & Hartono, 2011 ).

Menurut Yosep (2007), Masalah kesehatan jiwa

mempunyai lingkup yang sangat luas dan

kompleks serta saling berhubungan satu dengan

lainnya. Apabila individu tidak mampu

mempertahankan keseimbangan atau

mempertahankan kondisi mental yang sejahtera,

maka individu tersebut akan mengalami

gangguan, dan apabila gangguan tersebut secara

psikologis maka akan mengakibatkan individu

mengalami gangguan jiwa.

Dalam masyarakat umum skizofrenia

tedapat 0,2 – 0.8 % dan retardasi mental 1 – 3 %

WHO melaporkan bahwa 5 – 15 % dari anak

anak antara 3 – 15 tahun mengalami gangguan

jiwa yang persistent dan mengganggu hubungan

sosial. Bila kira – kira 40 % penduduk negara

kita ialah anak – anak di bawah 15 tahun (di

negara yang sudah berkembang kira – kira 25

%), dapat digambarkan besarnya masalah (

ambil 5 % dari 40% dari katakan saja 120 juta

penduduk, maka di negara kita terdapat kira –

kira 2.400.000 orang anak yang mengalami

gangguan jiwa). Pada skizofrenia terdapat 90 %

gejalanya halusinasi, halusinasi timbul tanpa

penurunan kesadaran dan hal ini merupakan

suatu gejala yang hampir tidak dijumpai pada

keadaan lain (Maramis, 2005).

Berdasarkan data yang diambil dari

hasil rekapitulasi Rekam medik di Rumah Sakit

Ernaldi Bahar Jiwa Daerah Propinsi Sumatra

Selatan pada tahun 2009 jumlah keseluruhan

pasien jiwa adalah sebanyak 4313 pasien dan

413 pasien yang mengalami halusinasi. Tahun

2010 jumlah pasien gangguan jiwa 4858 pasien,

yang mengalami halusinasi 667. tahun 2011

jumlah pasien jiwa 4885 pasien, yang

mengalami halusinasi 752 pasien.

Skizofrenia yang mempunyai gejala

utama penurunan persepsi sensori yaitu

Halusinasi. Halusinasi merupakan hilangnya

kemampuan manusia dalam membedakan

rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan

eksternal (dunia luar). Klien memberi persepsi

atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada

objek atau rangsangan yang nyata. Sebagai

contoh klien mengatakan mendengar suara

padahal tidak ada orang yang

berbicara.(Kusumawati & Hartono, 2011).

Bagi mereka yang mengalami

Halusinasi juga tidak luput dari masalah stres

yang dapat muncul dalam kehidupan nya sehari-

hari. Salah satu jenis stresor yang dapat muncul

adalah stresor sosial dimana stres dan

kecemasan akan meningkat bila terjadi

penurunan stabilitas. Stress merupakan sebagai

reaksi fisik, mental, dan kimiawi dari tubuh

terhadap situasi yang menakutkan, mengejutkan.

Membingungkan, membahayakan dan

merisaukan seseorang ( Grenberg, 1984 dalam

Yosep, 2007).

Kondisi untuk menimalisi komplikasi

atau dampak dari Halusinasi membutuhkan

peran perawat yang optimal dan cermat untuk

melakukan pendekatan dan membantu klien

untuk memecahkan masalah yang dihadapinya

dengan memberikan penatalaksaan untuk

mengatasi Halusinasi. Penatalaksaan yang

diberikan antra lain meliputi farmakoligis dan

nonfarmakologis. Penatalaksaan farmakologis

antara lain dengan memberikan obat-obatan

antipsikotik. Adapun penatalaksanaan

nonfarmakologis dari halusinasi dapat meliputi

pemberian terapi-terapi antara lain terapi

modalitas. (Direja, 2011)

Terapi Modalitas adalah terapi dalam

keperawatan jiwa, dimana perawat mendasarkan

potensi yang dimiliki pasien sebagai titik tolak

terapi atau penyembuhan. Ada beberapa jenis

terapi modalitas, antara lain: terapi individual,

terapi lingkungan (milliu therapi), terapi

biologis atau terapi somatik, terapi kognitif,

terapi keluarga, terapi prilaku, terapi bermain (

Yosep, 2007 )

Pada tahun 1984 WHO memasukan

dimensi spiritual keagamaan sama petingnya

dengan dimensi fisik, psikologis dan psikososial.

Seiring dengan itu terapi-terapi yang dilakukan

pun mulai mengunakan dimensi spiritual

keagamaan, sebagai bagian dari terapi

modalitas. Terapi yang demikian disebut dengan

terapi holistik artinya terapi yang melibatkan

Page 3: dokumen-15-34

fisik, psikologis, psikososial dan

spritual.(Yosep, 2007).

Salah satu bentuk Terapi Spiritual atau

Terapi Religius ini antara lain Terapi Shalat dan

Zikir. Dalam Terapi Shalat ini semua gerakan,

sikap dan prilaku dalam Shalat dapat

melemaskan otot yang kaku, mengendorkan

tegangan sistem syaraf, menata dan

menkonstruksi persendian tubuh, sehingga

mampu mengurangi dampak positif terhadap

kesehatan kesehatan syaraf dan tubuh jika zikir

yang dilafalkan sacara baik dan benar sesuai

aturan dalam ilmu tajwid dan dipahami artis dan

dihayati maknanya disertai dengan kesungguhan

(Wibisono, 1985 dalam Yosep, 2007 ).

Terapi religius pada kasus-kasus

gangguan jiwa ternyata membawa manfaat.

Angka rawat inap pada klien gangguan jiwa

skizofrenia yang mengikuti kegiatan keagamaa

lebih rendah bila dibandingkan dengan mereka

yang tidak mengetahuinya. (Chu dan Klein,

1985 dalam Yosep, 2007)

Dari fenomena diatas peneliti tertarik

untuk mengkaji dan membuktikan secara ilmiah

tentang bagaimana penerapan therapi

psikoreligius dalam menurunkan tingkat stress

pasien halusinasi oleh perawat di ruang Bangau

di Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang.

1.2. Rumusan Masalah Melihat fenomena latar belakang

diatas, maka rumusan masalah penelitian ini

adalah belum diketahuinya penerapan therapi

psikoreligius terhadap penurunan tingkat stres

pasien Halusinasi oleh perawat di ruang Bangau

di Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang.

1.3. Pertanyaan Penelitian

Dari permasalahan tersebut diatas maka

timbul suatu pertanyaan penelitian yaitu ʻʼ

Bagaimana penerapan therapi psikoreligius

dalam penurunan tingkat stres oleh perawat

pasien halusinasi oleh perawat di ruang Bangau?

1.4. Tujuan Penelitian

1.4.1 Tujuan Umum

Untuk mendapatkan informasi yang

mendalam tetang bagaimana penerapan therapi

psikoreligius terhadap penurunan tingkat stres

pasien halusinasi oleh perawat di Ruang Bangau

di Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang tahun

2012.

1.4.2 Tujuan khusus

1. Untuk mendapatkan informasi

mendalam mengenai penerapan

Terapi Shalat.

2. Untuk mendapatkan informasi

mendalam penerapan Terapi Zikir

3. Untuk mendapatkan informasi

mendalam tentang tingkat stres

pasien Halusinasi setelah

mengikuti Terapi Shalat

4. Untuk mendapatkan informasi

mendalam tentang tingkat stres

pasien Halusinasi setelah

mengikuti Terapi Zikir

2. Tinjauan Pustaka

2.1. Konsep Dasar kesehatan Jiwa 2.1.1. Definisi kesehatan Jiwa

Menurut Undang-Undang No. 3 Tahun

1966, tentang Kesehatan jiwa, kesehatan jiwa

adalah suatu kondisi yang memungkinkan

perkembangan fisik, intelektual dan emosional

yang optimal dari seseorang dan perkembangan

itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain.

Makna kesehatan jiwa mempunyai sifat-sifat

yang harmonis (serasi) dan memperhatikan

semua segi-segi dalam kehidupan manusia dan

dalam hubungannya dengan orang lain.

(kusumawati, 2011), sedangkan menurut who

kesehatan jiwa adalah berbagai karakteristik

positif yang menggambarkan keselarasan dan

keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan

kedewasaan kepribadiannya. Direja, (2011)

Seseorang yang “sehat jiwa” mempunyai ciri-

ciri sebagai berikut:

1. Merasa senang terhadap dirinya serta

1. Mampu menghadapi situasi.

2. Mampu mengatasi kekecewaan dalam

hidup.

3. Puas dengan kehidupannya sehari-hari.

4. Mempunyai harga diri yang wajar.

5. Menilai dirinya secara realistis, tidak

berlebihan dan tidak pula

merendahkan.

2. Merasa nyaman berhubungan dengan orang

lain serta

1. Mampu mencintai orang lain

2. Mempunyai hubungan pribadi yang

tetap

3. Dapat menghargai pendapat orang lain

yang berbeda

Page 4: dokumen-15-34

4. Merasa bagian dari suatu kelompok

5. Tidak "mengakali" orang lain dan juga

tidak membiarkan orang lain

"mengakali" dirinya

3. Mampu memenuhi tuntutan hidup serta

1. Menetapkan tujuan hidup yang realistis

2. Mampu mengambil keputusan

3. Mampu menerima tanggung jawab

4. Mampu merancang masa depan

5. Dapat menerima ide dan pengalaman

baru

6. Puas dengan pekerjaannya

2.1.2 Perawat

Pasien dengan gangguan jiwa perlu

bantuan tenaga kesehatan yang khusus yang

dapat mengatasi masalah kesehatan jiwanya.

Tenaga kesehatan tersebut adalah seorang

perawat.

2.1.2.1. Definisi Perawat

Perawat adalah seseorang

telah menyelesaikan program

pendidikan keperawatan, berwenang

dinegara bersangkutan untuk

memberikan pelayanan, dan

bertanggung jawab dalam peningkatan

kesehatan, pencegahan penyakit serta

pelayanan terhadap pasien.

(Internasional Council of Nursing,

1965)

Menurut Undang-undang RI.

No.23 tahun 1992 menyatakan bahwa

perawat adalah seseorang yang

memiliki kemampuan serta ketrampilan

dan mempunyai kewenangan

melakukan tindakan keperawatan

berdasarkan ilmu yang dimilikinya,

yang diperoleh melalui pendidikan

perawatan.

2.1.2.2 Peran Perawat

Peran Perawat menurut CHS

(Consorsium Hight Science) 1989

(dalam Nurhasanah, 2010) adalah

tingkah laku yang diharapkan oleh

seseorang terhadap orang lain dalam

suatu sistem, antara lain:

1. Pemberi asuhan keperawatan.

2. Pembela pasien.

3. Pendidik tenaga perawat dan

masyarakat.

4. Koordinator dalam pelayanan

pasien.

5. Kolaborator dalam membina kerja

sama dengan profesi lain dan

sejawat.

6. Konsultan atau penasehat pada

tenaga kerja dan pasien.

7. Pembaharu sistem, metodologi,

dan sikap.

Peran perawat menurut

Lokakarya Nasional tahun 1983 adalah:

1. Pelaksana pelayanan keperawatan.

2. Pengelola pelayanan keperawatan

dan institusi Pendidikan.

3. Pendidik dalam keperawatan.

4. Peneliti dan pengembang

keperawatan.

2.1.2.3 Fungsi Perawat

Fungsi adalah pekerjaan yang

harus dilaksanakan sesuai dengan

peranannya.

Tujuh fungsi perawat menurut Phaneuf

(1972) antara lain:

1. Melaksanakan instruksi dokter

(fungsi dependen).

2. Observasi gejala dan respons

pasien yang berhubungan dengan

penyakit dan penyebabnya.

3. Memantau pasien, menyusun, dan

memperbaiki rencana keperawatan

secara terus-menerus berdasarkan

pada kondisi dan kemampuan

pasien.

4. Mencatat dan melaporkan keadaan

pasien.

5. Melaksanakan prosedur dan teknik

keperawatan.

6. Supervisi semua pihak yang ikut

terlibat dalam perawatan pasien.

7. Memberikan pengarahan dan

penyuluhan untuk meningkatkan

kesehatan fisik dan mental.

(Nurhasanah, 2010).

2.2 Konsep Dasar Halusinasi

2.2.1 Definisi Halusinasi

Halusinasi adalah suatu persepsi yang

salah tanpa dijumpai adanya rangsangan dari

luar. Walaupun tampak sesuatu yang “khayal”,

halusinasi sebenarnya merupakan bagian dari

Page 5: dokumen-15-34

kehidupan mental penderita yang “ terepsesi”.

Halusinasi dapat terjadi karena dasar-dasar

organic fungsional, psikotik maupun histerik.(

Yosep, 2007)

Halusinasi adalah sensasi panca indra

tanpa adanya rangsangan. Klien merasa melihat,

mendengar, membau dan ada rasa kecap

meskipun tidak ada suatu rangsang yang tertuju

pada kelima indra tersebut ( Damaiyanti, 2008 )

Halusinasi adalah hilangnya

kemampuan manusia dalam membedakan

rangsangan internal ( pikiran ) dan rangsangan

eksternal (dunia luar).Klien memberikan

persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa

ada objek atau rangsangan yang nyata. Sebagai

contoh klien mengatakan mendengar suara

padahal tidak ada orang yang berbicara

(Kusumawati dan Hartono 2011).

2.2.2 Penyebab Halusinasi

Menurut Yosep (2007) penyebab

halusinasi ada faktor predisposisi dan faktor

presipitasi :

a. Faktor predisposisi

a. Genetik

b. Neurobiology

c. Neurotransmitter

d. Abnormal perkembangan saraf

e. Psikologis

b. Faktor presipitasi

a. Proses pengolahan informasi yang

berlebihan

b. Mekanisme penghantaran listrik yang

abnormal

c. Adanya gejala pemicu.

2.2.5. Tahapan Halusinasi

Menurut Direja (2011) Halusinasi

melalui empat fase, yaitu sebagai berikut :

1.Fase 1 (Non-psikotik)

Pada tahap ini, halusinasi mampu

memberikan rasa nyaman pada klien, tingkst

orientasi sedang. secara umum pada tahap ini

halusinasi merupakan hal yang menyenangkan

bagi klien

a. Karakteristik : Mengalami kecemasan,

kesepian, rasa bersalah, dan

ketakutan,Mencoba berfokus pada pikiran

yang dapat menghilangkan kecemasan,

Pikiran dan pengalaman sensorik masih ada

dalam control kesadarn

b. Perilaku yang muncul : Tersenyum atau

tertawa sendiri, Menggerakan bibir tanpa

suara, pergerakan mata yang cepat, Respons

verbal lambat, diam, dan berkonsentrasi

2. Fase II (Non-psikotik)

Pada tahap ini biasanya klien bersikap

menyalahkan dan mengalami tingkat kecemasan

berat. secara umum halusinasi yang ada dapat

menyebabkan antipasti.

a. Karakteristik : Pengalaman sensori

menakutkan atau merasa dilecehkan oleh

pengalam tersebut, Mulai merasa kehilangan

control, Menarik diri dari orang lain

b. Perilaku yang muncul : Terjadi peningkatan

denyut jantung, pernapasan, dan tekanan

darah, Perhatian terhadap lingkungan

menurun, konsentrasi terhadap pengalaman

sensori pun menurun, Kehilangan

kemampuan dalam membedakan antara

halusinasi dan realita.

3. Fase III (Psikotik)

Klien biasanya tidak dapat mengontrol

dirinya sendiri, tingkat kecemasan berat, dan

halusinasi tidak dapat ditolak lagi

a. Karakteristik : Klien menyerah dan menerima

pengalaman sensorinya, Isi halusinasi

menjadi atraktif, Klien menjadi kesepian

bila pengalaman sensori berakhir

b. Perilaku yang muncul : Klien menuruti

perintah halusinasi, Sulit berhubungan

dengan orang lain, Perhatian terhadap

lingkungan sedikit atau sesaat, Tidak

mampu mengikuti perintah yang nyata,

Klien tampak tremor dan berkeringat

a. Fase IV ( Psikotik )

Klien sudah sangat dikuasai oleh

halusinasi dan biasanya klien terlihat panik

Prilaku yang muncul : Resiko tinggi mencederai,

Agitasi / kataton, Tidak mampu merespons

rangsangan yang ada.

2.2.6. Data penting yang perlu didapat saat

pengkajian

1. Jenis Halusinasi

Berikut adalah jenis-jenis

halusinasi, data objektif dan data

subjetifnya.data objektif dapat

dikaji dengan cara mengobservasi

perilaku pasien, sedangkan data

subjektif dapat dikaji dengan

melakukan cara wawancara

dengan pasien

Page 6: dokumen-15-34

2. Isi Halusinasi

Data tentang isi halusinasi dapat

diketahui dari hasil pengkajian

tentang jenis halusinasi

3. Waktu, Frekuensi, dan situasi yang

menyebabkan munculnya

halusinasi.

Perawat perlu juga perlu mengkaji

waktu, frekuensi, dan situasi

munculnya halusinasi yang

dialami pasien.hal ini dilakukan

untuk menentukan intervensi

khusus pada waktu terjadinya

halusinasi, menghindari situasi

yang menyebabkan munculnya

halusinas. sehingga pasien tidak

larut dengan halusinasinya. dengan

mengetahui frekuensi terjadinya

halusinasi dapat direncanakan

frekuensi tindakan untuk

mencegah terjadinya halusinasi.

(Damaiyanti, 2011)

2.2.7 Tindakan keperawatan pasien dengan

halusinasi

Ada 5 tindakan keperawatan pasien dengan

halusinasi menurut Damaiyanti, (2011)

1. Membina hubungan saling percaya

perawat-klien

a.Sapa klien dengan ramah baik

verbal maupun non verbal

b. Perkenalkan diri dengan sopan

c. Tanyakan nama lengkap klien

dengan nama panggilan yang

disukai klien.

d. Jelaskan tujuan pertemuan

e. Jujur dan menepati janji

2. Klien dapat mengenali halusinasi

a. Adakan kontak yang sering dan

singkat secara lengkap

b. Bantu klien mengenal

halusinasinya

c. Jika menemukan klien yang

sedang halusinasi, tanyakan

apakah ada suara yang

didengar

d. Jika klien menjawab ada,

lanjutkan apa yang dikatakan

e. Katakan bahwa perawat

percaya klien mendengar

suara itu, namun perawat

swndiri tidak mendengharny (

dengan anda bersahabat tanpa

menuduh / menghakimi )

f. Katakan bahwa klien lain juga

ada seperti klien

g. Katakan bahwa perawat akan

membantu klien

3. Klien dapat mengontrol

halusinasinya

a. Identifikasi bersama klien cara

tindakan yang dilakukan jika

terjadi halusinasi ( Tidur,

marah, menyibukan diri, dan

lain-lain)

b. Diskusikan manfaat cara yang

dilakukan klien, jika

bermanfaat beri pujian

c. Diskusikan cara baru untuk

memutus / mengontrol

timbulnya halusinasi

d. Bantu klien memilih dan

melatih cara memutuskan

halusinasi secara bertahap

e. Beri kesempatan untuk

melakukan cara yang telah

dilatih. Evaluasi hasil dan beri

pujian jika berhasil

f. Anjurkan klien mengikuti terapi

aktivitas kelompok orientasi

realita,stimulus persepsi.

4. Klien dapat dukungan dari

keluarga dalam mengontrol

halusinasi.

a. Anjurkan klien untuk memberi

tahu keluarga keluarga jika

mengalami halusinasi

b. Diskusikan dengan keluarga,

gejala halusinasi yang dialami

klien, cara yang dapat

dilakukan klien dan keluarga

untuk memutuskan halusinasi,

caramerawat anggota yang

halusinasi dirumah beri

kegiatan jangan biarkan

sendiri.

5. Klien memanfaatkan obat dengan

baik

a. Diskusikan dngan klien dan

keluarga tentang dosis,

frekuensi, dan manfaat obat

Page 7: dokumen-15-34

b. Anjurkan klien minta sendiri

obat pada perawat dan

merasakan manfaatnya

c. Anjurkan klien bicara dengan

dokter tentang manfaat dan

efek samping obat yang

dirasakan

d. Diskusikan akibat berhenti obat-

obatan tanpa konsultasi.

a. Perasaan negativistik

b. Kemampuan berkonsentrasi menurun

tajam

c. Perasaan takut yang tidak dapat

dijelaskan, tidak mengerti mengapa.

5. Stress Tingkat V

Tahapan ini merupakan keadaan yang lebih

mendalam dari tahapan IV diatas yaitu :

a. Keletihan yang mendalam

b. Untuk pekerjaan-pekerjaan yang

sederhana saja terasa kurang mampu

c. Gangguan sistem pencernaan lebih

sering, sukar buang air besar, atau

sebaliknya feses cair dan sering

kebelakang

d. Perasaan takut yang semakin menjadi,

mirip panik

6. Stress Tingkat VI

Tahapan ini merupakan tahapan puncak

yang merupak keadaan gawat darurat. Tidak

jarang penderita dalam tahapan ini dibawa

ke ICCU . gejala-gejala pada tahapan ini

cukup mengerikan diantaranya :

a. Debar jantung terasa amat keras, hal ini

disebabkan zat adrenalin yang

dikeluarkan, karena stress tersebut

cukup tinggi dalam peredaran darah.

b. Nafas sesak, megap-megap

c. Badan gemetar, badan dingin keringat

bercucuran

d. Tenaga untuk hal-hal yang ringan

sekalipun tidak kuasa lagi, pingsan atau

collaps.

Bilamana diperhatikan maka tahapan

stress diatas menunjukan manifestasi dibidang

pisik dan psikis. Dibidang fisik berupa

kelelahan, sedangkan dibidang psikis berupa

kecemasan dan depresi. Hal ini dikarenakan

penyediaan energi fisik maupun mental yang

mengalami defisit terus menerus. Sering buang

air kecil dan sukar tidur merupakan pertanda

dari depresi.

2.3.3. Cara Mengelola Stress

Sebenarnya stress akan lebih mudah

dimanage jika lebih awal menyadari gejala-

gejalanya. Beberapa tipe praktis berikut dapat

dilakukan saat stress melanda.

a. Saat ketegangan melanda jiwa,

mandilah dengan air hangat agar

syaraf-syaraf berelaksasi.

b. Perbanyaklah zikir, sebab dengan

berzikir kita mengingat allah, dan

hanya dengan mengingat allah-lah hati

menjadi tenang.

c. Bacalah al-quran dan renungkanlah

maknanya, inshaalah hati akan lekas

terobati, sebab al-quran adalah obat

hati yang mujarab

d. Perbanyaklah doa kepada allah.

Amalkanlah doa penghilang stress

dengan keyakinan penuh bahwa allah

akan menghilangkan stress.

e. Berolahragalah. Selain secara fisik

menyehatkan, olahraga dapat me

refresh jiwa saat bertemu dengan orang

lain diluar rutinitas hidup. Dengan kata

lain olahraga dapat menjadi srana

untuk memenuhi kebutuhan psikologis

sebagai mahluk sosial.

f. Kurangilah mengkonsumsi kafein,

karena zat ini dapat meningkatkan

intensitas tekanan darah dan dapat

menimbulkan kegelisahan.

g. Istirahat yang cukup pada malam hari,

sesuaikan dengan kebutuhan tidur.

h. Lakukanlah refreshing, meskipun

hanya sekedar jalan-jalan cara ini

efektif untuk mengurangi kejenuhan,

i. Bercandalah dan bercengkramalah

dengan orang-orang tercinta.

2.4 Terapi Modalitas

2.4.1 Definisi Terapi Modalitas

Terapi modalitas adalah terapi utama

dalam keperawatan jiwa. Terapi ini diberikan

dalam upaya mengubah perilaku pasien dan

perilaku yang maladaptif menjadi perilaku

adaptif. (Kusumawati dan Hartono, 2011).

Terapi modalitas keperawatan jiwa dilakukan

untuk memperbaiki dan mempertahankan sikap

klien agar mampu bertahap dan bersosialisasi

dengan lingkungan masyarakat sekitar dengan

harapan klien dapat terus bekerja dan tetap

Page 8: dokumen-15-34

berhubungan dengan keluarga, teman, dan

sistem pendukung yang ada ketika menjalani

terapi. (Nasir et.all, 2011)

Menurut Direja, (2011) terapi

modalitas bertujuan agar pola perilaku atau

keperibadian seperti keterampilan koping, gaya

komunikasi dan tingkat harga diri secara

bertahap dapat berkembang. Mengingat bahwa

klien dengan gangguan jiwa membutuhkan

pengawasan yang ketat dan lingkungan suffortif

yang aman. Beberapa terapi keperawatan

didasarkan ilmu dan seni keperawatan jiwa.

2.4.2 Jenis Jenis Terapi Modalitas

Ada beberapa jenis terapi

modalitas,menurut Dahlia, (2009) antara lain:

a. Terapi individual

Terapi individual adalah

penanganan klien gangguan jiwa

dengan pendekatan hubungan

individual antara seorang terapis

dengan seorang klien. Suatu

hubungan yang terstruktur yang

terjalin antara perawat dan klien

untuk mengubah perilaku klien.

b. Terapi Lingkungan

Terapi lingkungan adalah

bentuk terapi yaitu menata

lingkungan agar terjadi perubahan

perilaku pada klien dari perilaku

maladaptive menjadi perilaku

adaptif. Perawat menggunakan

semua lingkungan rumah sakit

dalam arti terapeutik. Bentuknya

adalah memberi kesempatan klien

untuk tumbuh dan berubah perilaku

dengan memfokuskan pada nilai

terapeutik dalam aktivitas dan

interaksi.

c. Terapi Biologis

Penerapan terapi biologis atau

terapi somatik didasarkan pada

model medical di mana gangguan

jiwa dipandang sebagai penyakit.

Ini berbeda dengan model konsep

yang lain yang memandang bahwa

gangguan jiwa murni adalah

gangguan pada jiwa semata, tidak

mempertimbangkan adanya

kelaianan patofisiologis. Tekanan

model medical adalah pengkajian

spesifik dan pengelompokkasn

gejala dalam sindroma spesifik.

d. Terapi Kognitif

Terapi kognitif adalah strategi

memodifikasi keyakinan dan sikap

yang mempengaruhi perasaan dan

perilaku klien. Proses yang

diterapkan adalah membantu

mempertimbangkan stressor dan

kemudian dilanjutkan dengan

mengidentifikasi pola berfikir dan

keyakinan yang tidak akurat tentang

stressor tersebut. Gangguan perilaku

terjadi akibat klien mengalami pola

keyakinan dan berfikir yang tidak

akurat. Untuk itu salah satu

memodifikasi perilaku adalah

dengan mengubah pola berfikir dan

keyakinan tersebut. Fokus auhan

adalah membantu klien untuk

reevaluasi ide, nilai yang diyakini,

harapan-harapan, dan kemudian

dilanjutkan dengan menyusun

perubahan kognitif

e. Terapi Keluarga

Terapi keluarga adalah terapi

yang diberikan kepada seluruh

anggota keluarga sebagai unit

penanganan (treatment unit). Tujuan

terapi keluarga adalah agar keluarga

mampu melaksanakan fungsinya.

Untuk itu sasaran utama terapi jenis

ini adalah keluarga yang mengalami

disfungsi

f. Terapi kelompok

Terapi kelompok adalah

bentuk terapi kepada klien yang

dibentuk dalam kelompok, suatu

pendekatan perubahan perilaku

melalui media kelompok. Dalam

terapi kelompok perawat

berinteraksi dengan sekelompok

klien secara teratur. Tujuannya

adalah meningkatkan kesadaran diri

klien, meningkatkan hubungan

interpersonal, dan mengubah

perilaku maladaptive

g. Terapi perilaku

Anggapan dasar dari terapi

perilaku adalah kenyataan bahwa

perilaku timbul akibat proses

Page 9: dokumen-15-34

pembelajaran. Perilaku sehat oleh

karenanya dapat dipelajari dan

disubstitusi dari perilaku yang tidak

sehat. Teknik dasar yang digunakan

dalam terapi jenis ini adalah: Role

model, Kondisioning operan,

Sensitisasi sistematis, Pengendalian

diri, Terapi aversi atau releks

kondisi

h. Terapi bermain

Terapi bermain diterapkan

karena ada anggapan dasar bahwa

anak-anak akan dapat

berkomunikasi dengan baik melalui

permainan dari pada dengan

ekspresi verbal. Dengan bermain

perawat dapat mengkaji tingkat

perkembangan, status emosional

anak, hipotesa diagnostiknya, serta

melakukan intervensi untuk

mengatasi masalah anak tersebut

i. Terapi psikoreligius/spritual

terapi psikoreligius/ spritual

adalah terapi yang biasanya melalui

pendekatan keagamaan.

2.4.3 Terapi Psikoreligius

Menurut Wicaksana, (2012) Untuk

terapi spiritual gangguan mental bisa dibagi dua

golongan besar saja, yaitu nonpsikotik dan

psikotik. Untuk non psikotik banyak jenisnya,

seperti gangguan cemas, gangguan somatoform,

depresi, gangguan kepribadian, dll. Sedangkan

gangguan psikotik adalah : Skizofrenia (5 tipe),

Gangguan Afektif Berat dengan gejala psikotik (

Bipolar manik dan Depresi Berat), Skizoafektif,

Psikosis Polimorfik Akut, Gangguan Waham

Menetap, Psikosis Non Organik lainnya dan

Gangguan Psikotik Organik.

a. Ciri gangguan psikotik

Ego yang collaps atau disfungsi,

penalaran runtuh, adanya waham (pikiran

terdistorsi), halusinasi (pendengaran, visual,

penciuman, tactil) , gangguan asosiasi pikiran

(inkoherensi), tingkah laku kacau atau katatonik,

gangguan daya nilai realitas, da tidak adanya

kesesuaian antara pikiran dengan perasaan dan

tindakan.

Karena hal itu semua maka pada

psikotik, penderita tidak mampu mengarahkan

kemauannya secara sadar, tidak mempunyai

tilikan diri, dan tidak bisa

mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Pemberian terapi spiritual akan diinterpretasikan

secara salah karena gejala-gejala itu semua

berpengaruh kuat pada proses pikirnya.

Misalnya, akan timbul rasa bersalah atau

berdosa dan tidak berguna, yang berlanjut ke

usaha bunuh diri. Atau munculnya kembali

waham paranoid karena merasa mau ”dijejali”

ide-ide agama oleh musuh-musuhnya secara

terencana

b. Kriteria terapi psikoreligius pada

pasien jiwa

1. Bila dengan pengobatan antipsikotik

selama 2-4 mg, gejala-gejala

waham, halusinasi, inkoherensi dan

tingkah laku kacau (gaduh gelisah)

sudah mereda.

2. Ego dan penalaran sudah mulai

berfungsi kembali sehingga

interpretasi terhadap ide-ide sudah

tepat.

3. Status mental tidak rentan/rapuh

atau emosi sudah stabil

4. Bila perlu dengan skor Brief

Psychiatric Rating Scale (BPRS)

yang sudah minimal.

Variasi pasien psikotik yang siap

menerima terapi spiritual, sepeerti: skizofrenia

tak terinci (F20.3) yang sudah membaik, sudah

lebih 6 bulan tidak ditengok atau diambil

keluarganya, pasien masuk dengan gejala samar

skizofrenia residual, pasif apatis, keluarga hanya

tidak mau merawatnya di rumah dengan alasan

apapun, pasien psikotik yang waham dan

halusinasinya sudah reda, tapi masih impulsif

dan cenderung lari pulang, pasien depresi berat

dengan gejala psikotik yang waham dan

halusinasinya sudah reda meski harus hati-hati

karena terapi spiritual bisa menyulut waham

bersalah dan berdosanya, psikosis polimorf akut

(E23.0) yang dalam 3-5 hari sudah reda gaduh

gelisah dan halusinasinya, tapi keluarga belum

berani mengambil. Wicaksana, (2012)

Pada konfrensi yang diadakan di

canbera pada tahun 1980, dengan tema Role Of

Religion In The Prevetion Of Drug Addiction.

Pada kelompok-kelompok yang terkena

narkotik,alkohol, dan zat adiktif (NAZA) itu

sejak dini komitmen agama nya lemah. Hal ini

dibandingkan penelitian dengan orang kuat

Page 10: dokumen-15-34

komitmen agamanya. Kesimpulannya remaja-

remaja yang sejak dini komitmen agama nya

lemah memiliki resiko terkena (NAZA) empat

kali lebih besar dibandingkan anak-anak remaja

yang sejak dini komitmen agamanya kuat. Inilah

salah satu contoh peranan agama karna agama

itu membawa ketenangan.

Contoh tentang peranan peranan agama

yang lain adalah di sejumlah rumah sakit jiwa

ada uji perbandingan terapi yang di terapkan

kepada para penderita penyakit jiwa skizofrenia,

yakni antara cara konvensional (dengan obat dan

sebagainya) dan dengan cara pendekatan

keagamaan, hasilnya hasilnya kelompok

skizofrenia yang terapinya ditambah degngan

keagamaan waktu perawatannya lebih pendek

dan gejala-gejala nya lebih cepat hilang.

Salah satu bentuk Terapi Spiritual atau

Terapi Religius ini antara lain Terapi Shalat dan

Zikir. Dalam Terapi Shalat ini semua gerakan,

sikap dan prilaku dalam Shalat dapat

melemaskan otot yang kaku, mengendorkan

tegangan system syaraf, menata dan

menkonstruksi persendian tubuh, sehingga

mampu mengurangi dampak positif terhadap

kesehatan kesehatan syaraf dan tubuh jika zikir

yang dilafalkan sacara baik dan benar sesuai

aturan dalam ilmu tajwid dan dipahami artis dan

dihayati maknanya disertai dengan kesungguhan

(Wibisono, 1985 dalam Yosep, 2007 ).

2.4.3.1 Terapi Shalat Dan Dzikir Pada

Kesehatan Jiwa

a. Shalat

Shalat merupakan ibadah utama dalam

islam bahkan dalam rukun islam nabi

Muhammad menyebutkan sebagai yang kedua

setelah kalimat syahadat (syahadatain). Nabi

Muhammad pernah berwasiat, islam dibangun

dengan lima pilar, bersaksi tiada tuhan selain

allah dan Muhammad adalah utusan allah,

menegakan Shalat, membayar zakat, berhaji ke

ka’bah dan berpuasa dibulan ramadhan “

(Hr.Bukhari dan Muslim).

Shalat juga mengandung dimensi

spiritual,. kita dapat hidup hanya dengan jasad,

tetapi tanpa ruh, niscaya kurang sempurna.

Setelah memenuhi syarat dan rukun sholat maka

telah sah Shalat kita. Namun, jika Shalat

didirikan tanpa menghayati makna bacaan dan

gerakan dengan khusyuk niscaya kita belum

mendapatkan hakikat shoalat itu sendiri. Betapa

pentingnya kekhusyukan sholat sehingga allah

berfirman ” dan memohonlah pertolongan

(kepada allah) dengan sabar dan Shalat, dan

sesungguhnya Shalat itu sangat berat kecuali

bagi mereka yang khusyuk (Qs.Al-Baqarah)

Menurut M. Thobroni, (2011)

melakukan Shalat lima waktu sehari dapat

dipandang sebagai bentuk praktis dari olahraga.

Keseluruhan gerakan dalam sholat bersifat

tenang, berulang-ulang, dan melibatkan semua

otot persendian sehingga dapat menjaga

keseimbangan energi. Hal tersebut disebabkan

oleh pembakaran kalori dengan teratur.

Menurut M. Thobroni, (2011) Gerakan

shalat mempunyai manfaat bagi kesehatan jiwa

adalah sebagai berikut :

1. Ketika takhbiratul ikhram,

Kita berdiri tegak mengangkat kedua

tangan sejajar telinga lalu melipatnya depan

perut dan dada bagian bawah. Gerakan ini

melancarkan aliran darah, getah bening dan

kekuatan otot lengan. Posisi jantung dibawah

otak, memungkinkan darah mengalir lancar

keseluruh tubuh, Kala kita bediri tubuh akan

terasa ringan karena berat tubuh tertumpu pada

kedua kaki, sedangkan otot-otot punggung

sebelah atas dan bawah dalam keadaan kendur.

Punggung dalam keadaan lurus dengan

pandangan terpusat pada tempat sujud. Pikiran

berada dalam keadaan terkendali. Pusat otak,

atas dan bawah, menyatu membentuk kesatuan

tujuan.

2. Rukuk

Rukuk merupakan satu metode untuk

menguatkan otot-otot pada persendian kaki yang

dapat meringankan tegangan pada lutut. Saat

rukuk, seseorang meregangkan otot punggung

sebelah bawah, otot paha, dan otot betis secara

penuh. Tekanan akan terjadi pada otot lambung,

perut dan ginjal sehingga darah akan terpompa

ke atas tubuh. Secara spiritual, Rukuk dapat

membentuk seseorang untuk tidak hidup dalam

kesombongan, merendahkan dan menundukkan

diri, dan senatiasa berusaha dalam memperluas

hati dan memperbarui Kekhusyukan sholat,

merasakan dirinya hina dan merasakan

kemuliaan allah.

3. i’tidal

I’tidal adalah variasi postur setelah

rukuk dan sebelum sujud. Kala kita melakukan

gerakan berdiri bungkuk lalu berdiri sujud

Page 11: dokumen-15-34

merupakan latihan pencernaan yang baik.

Dengan melakukan gerakan itu organ

pencernaan didalam perut mengalami pemijatan

dan pelonggaran secara bergantian. Hal ini

memberikan dampak tertentu, yakni pencernaan

menjadi lebih lancar. Postur tubuh kembali

tegak sehingga memberika tekanan pada aliran

darah untuk bergerak keatas. Hal ini dapat

membuat tubuh mengalami relaksasi dan

melepaskan ketegangan. Hal serupa juga terjadi

ketika berdiri setelah sujud. Dengan relaksasi

dari ketegangan, dapat menyehatkan dan

menenangkan fikiran dari segala beban

persoalan, tetapi juga memiliki kesempatan

untuk merumuskan jalan keluar, serta

merancang rencana-rencana masa depan yang

lebih matang.

4. Sujud

Gerakan sujud diyakini dapat

membawa kedamaian, keselarasan, kesesuaian,

ketenangan dan kebahagiaan. Ketika seseorang

melakukan sujud, badan dari belakang rata

kedepan, kedua telapak tangan ditempelkan

pada lantai/tanah, dan kaki ditekuk, Nabi saw

pernah bersabda, “jangan kau usap kerikil yang

menempel dimukamu karena hal itu menjadi

mutiara disurga kelak” Wasiat tersebut memberi

makna bahwa betapa secara kesehatan, wajah

(muka) yang terkena kerikil dalam keadaan

sujud dapat menjadi sumber pijat refleksi yang

berufungsi melancarkan peredaran darah dan

mengendurkan saraf-saraf dibagian wajah. Jika

saraf-saraf muka kendur dan peredaran darahnya

akan menjadi lancar, Dengan demikian, saat

sujud diyakini bukan saja menetralisisr potensi

pusing dan beban pikiran, tetapi juga dengan

peredaran darah yang lancar dapat menyebabkan

pikiran menjadi cerah dan cerdas. Dengan

asupan darah yang cukup, otak menjadi lebih

bergairah untuk mencerna berbagai persoalaan

dan dapat bekerja secara baik.

5. Duduk iftirosy

Duduk iftirosy (tahiyat awal) dan

tawaruk (tahiyat akhir) juga dipandang menjadi

proses pada pangkal paha yang terhubung

dengan saraf. Ketika duduk, biasanya kita

menekukkan jari-jari kaki kanan. Gerakan ini

dapat menjadi pijat refleksi terhadap saraf-saraf

kaki dan memperlancar peredaran darah hingga

ke saraf kepala. Dengan duduk tahiyat, tubuh

akan mengalami relaksasi dan merangsang otot-

otot pangkal paha sehingga dapat mengurangi

rasa nyeri dan sakit pada pangkal paha. Ketika

kita mengalami relaksasi, semua aliran

peredaran darah lancar dan jiwa kita menjadi

tenang. Kita diharapakan dapat berfikir dengan

jernih dalam menghadapi situasi apapun. Kita

tidak mulah tertekan, tegang, dan panik

meskipun didera beragam persoalan

6. Salam

Gerakan diatas semakin lengkap jika

diahiri dengan salam, yakni dengan cara

memutar kepala kekanan dan kekiri. memutar

kepala kekanan dan kekiri diyakini menjadi

proses relaksasi mujarab untuk semakin

meregangkan ketegangan otot sekitar leher

sehingga aliran peredaran darah menjadi lancar.

Denga cara itu kepala menjadi tersa lebih

ringan,fresh, dan mudah mencerna apa yang

sedang difikirkan. Kita dapat menjadi lebih

fokus terhadap apa yang menjadi bahan

pemikiran kita, menjadi lebih hening, dan jernih

dalam memandang setiap persoalan. Ada

ketenangan dan keheningan yang ditanamkan

dalam gerakan tersebut. M. Thobroni, (2011)

b. Dzikir

Dzikir dan bacaan dalam shalat

membuat hati seseorang menjadi tenang.

Keadaan tenang dan rileks mempengaruhi kerja

sistem syaraf dan endokrin. Pada orang yang

stress dan tegang, corteks adrenal akan

terangsang untuk mensekresi cortisol secara

berlebihan sehingga terjadi peningkatan

metabolisme tubuh secara mendadak, apabila

hal ini berlangsung lama maka akan

menurunkan sistem immunitas tubuh. Dengan

bacaan do’a dan berdzikir orang akan

menyerahkan segala permasalahan kepada allah,

sehingga beban stress yang di himpitnya

mengalami penurunan. Yosep, (2007)

2.4.3.2 Manfaat Terapi Psikoreligius Pada Klien

Jiwa

Manfaat komitmen agama tidak hanya

dalam penyakit fisik, tetapi juga dibidang

kesehatan jiwa. Dua studi epidemologik yang

luas telah dilakukan terhadap penduduk. Untuk

mengetahui sejauh mana penduduk menderita

psychological distress. Dari studi tersebut

diproleh kesimpulan bahwa makin religius maka

maakin terhindar kalian dari stress Linaen

(1970) dalam Yosep, (2007). Kemudian

dikemukakan lebih mendalam komitmen agama

Page 12: dokumen-15-34

seorang telah menujukan taraf kesehatan

jiwanya.

Terapi keagamaan (intervensi religi)

pada kasus-kasus gangguan jiwa ternyata juga

membawa manfaat. Misalnya angka rawat inap

pada klien skizofrenia yang mengikuti kegiatan

keagamaan lebih rendah bila dibandingkan

dengan merka yang tidak mengikutinya, (Chu

dan Klien, 1985 dalam Yosep, 2007).

Kegiatan keagamaan/ibadah/shalat,

menurunkan gejala psikiatrik, Riset yaang lain

menyebutkan bahwa menurunnya kunjungan ke

tempat ibadah, meningkatkan jumlah bunuh diri

di USA ,Kesimpulan dari berbagai riset bahwa

religiusitas mampuh mencegah dan melindungi

dari penyakit kejiwaan, mengurangi penderitaan

meningkatkan proses adaptasi dan

penyembuhan. (Mahoney et.all, 1985 dalam

Yosep, 2007).

Menurut Darajat, (1983) dalam Yosep,

(2007) , perasaan berdosa merupakan faktor –

faktor penyebab gangguan jiwa yang berkaitan

dengan penyakit-penyakit psikosomatik. Hal ini

di akibatkan karena seseorang merasa dosa yang

tidak bisa terlepas dari perasaan tersebut

kemudian menghukum dirinya. Bentuk

psikosomatik tersebut dapat berupa matanya

menjadi tidak dapat melihat, lidahnya menjadi

bisu, atau menjadi lumpuh.

Kekosongan spritual ,kerohanian, dan

rasa keagamaan yang sering menimbulkan

permasalahan masalah psikososial dibidang

kesehatan jiwa para pakar berpendapat bahwa

untuk memahami manusia seutuhnya baik dalam

keadaan sehat maupun sakit, pendekatannya

tidak lagi memandang manusia sebagai mahkluk

biopsikososial, tetapi sebagai makhluk

biopsikososiospritual.

2.5. Pengukuran Mutu Pelayanan

Menurut Aziz (2007) , mutu pelayanan

dapat diukur dengan menggunakan tiga variabel,

yaitu input, proses, dan output/outcome.

1. Input adalah segala sumber daya yang

diperlukan untuk melaksanakan

kegiatan seperti tenaga, dana, obat,

fasilitas peralatan, teknologi,

organisasi, dan informasi.

2. Proses adalah interaksi profesional

antara pemberi pelayanan dengan

konsumen (pasien dan masyarakat).

Setiap tindakan medis/keperawatan

harus selalu mempertimbangkan nilai

yang dianut pada diri pasien. Setiap

tindakan korektif dibuat dan

meminimalkan resiko terulangnya

keluhan atau ketidakpuasan pada

pasien lainnya. Interaksi profesional

selalu memperhatikan asas etika

terhadap pasien, yaitu:

a. Berbuat hal-hal yang baik

(beneficence) terhadap manusia

khususnya pasien, staf klinis dan

nonklinis, masyarakat dan

pelanggan secara umum.

b. Tidak menimbulkan kerugian

(nonmaleficence) terahadap

manusia.

c. Menghormati manusia (respect for

person) menghormati hak otonomi,

martabat, kerahasian, berlaku jujur,

terbuka, empati.

d. Berlaku adil (justice) dalam

memberikan layanan.

3. Output/outcome adalah hasil pelayanan

kesehatan atau pelayanan keperawatan,

yaitu berupa perubahan yang terjadi

pada konsumen termasuk kepuasan dari

konsumen. Tanpa mengukur hasil

kinerja rumah sakit/keperawatan tidak

dapat diketahui apakah input dan

process yang baik telah menghasilkan

output yang baik pula (Aziz.2007).

Bagan 2.1

Kerangka Teoritis

Bagan 2.1 : A. Aziz hidayat

3. Kerangka Pikir dan Definisi Istilah

3.1. Kerangka Konsep

Berdasarkan tinjauan kepustakaan yang

telah dikemukakan sebelumnya maka yang akan

diteliti adalah penerapan therapi psikoreligius

dalam menurunkan tingkat stress pada pasien

halusinasi oleh perawat di rawat inap Bangau

rumah sakit Dr. Ernaldi Bahar Palembang.

Kerangka pikir ini dalam menetapkannya

menggunakan pendekatan teori sistem diambil

dari Aziz, (2007) yang terdiri dari input, proses

Input Output Proses

Page 13: dokumen-15-34

dan output.Dari uraian diatas maka kerangka

pikir yang diajukan dalam penelitian ini dengan

modifikasi pada teori adalah terlihat pada bagan.

Gambar 3.1

Kerangka Pikir

Keterangan:

: Area yang diteliti

3.2. Definisi Istilah

1. Halusinasi : adalah persepsi sensorik

tentang suatu objek, gambaran dan

pikiran yang sering terjadi tanpa adanya

ransangan yang dapat meliputi semua

sistem penginderaan(pendengaran,

penglihatan, penciuman, perabaan,

pengecapan / rasa.

2. Terapi Psikoreligius / Spiritual : adalah

sebuah terapi dengan pendekatan

terhadap kepercayaan yang dianut oleh

klien dan lebih cendrung untuk

menyentuh satu sisi spiritual manusia.

3. Terapi Shalat : adalah terapi doa berupa

gerakan-gerakan yang bertujuan untuk

mendekatkan diri kepada Allah.

4. Therapi Dzikir : adalah terapi yang

mengunakan media dzikir mengingat

Allah yang bertujuan untuk menenangkan

hati dan memfokuskan fikiran.

5. Stres : adalah reaksi/respons tubuh

terhadap stresor psikososial (tekanan

mental/beban kehidupan)

4. Metode Penelitian

4.1. Desain penelitian

Penelitian ini menggunakan desain

studi kualitatif dengan menggunakan

pendekatan pengamatan dan diskusi yang cermat

dan mendalam untuk mendapatkan informasi

mengenai penerapan terapi psikoreligius pada

pasien halusinasi oleh perawat di ruangan

Bangau Rumah Sakit Ernaldi Bahar palembang.

4.2. Lokasi Dan Waktu Penelitian

Penelitian dilaksanakan di ruang

bangau Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang,

penelitian akan dilaksanakan pada bulan April

dan Mei 2012.

4.3. Sumber Informasi

Informasi yang ingin diperoleh dari

informan adalah perawat di ruang bangau

Rumah Sakit Ernaldi Bahar palembang,

informan utama adalah perawat di ruang

Bangau.

Adapun sumber informasi dalam penelitian ini

adalah terdiri atas:

4.3.1. Kepala ruangan di ruang Bangau

4.3.2. Perawat Di ruang Bangau Rumah Sakit

Ernaldi Bahar Palembang

Adapun kriteria informan :

1. Kepala ruangan dan perawat di ruangan

Bangau Rumah Sakit Ernaldi Bahar

provinsi Sumatera Selatan.

2. Berperan dalam memberikan asuhan

keperawatan pada pasien halusinasi.

3. Karateristik individu:

a) Pendidikan minimal D-III & S1

keperawatan

b) Berpengalaman minimal 1 tahun di

ruang inap bangau Rumah Sakit

Ernaldi Bahar

4. Memahami tentang konsep terapi

religius

5. Bersedia menjadi informan

Input

- Dokter

- Obat-obatan

- Fasilitas

lain

Proses

Penerapan

therapi

spritual

a. Shalat

b.Dzikir

Out put

- Pasien

halusinasi

dapat

mengontrol

stress

dengan

therapi

spritual.

Page 14: dokumen-15-34

Adapun informasi yang ingin diperoleh dari informasi dapat dilihat pada tabel.

Tabel 4.1

Informasi yang ingin diperoleh dari informan

No Informasi Informasi Yang Diinginkan

1.

2.

Kepala ruangan

Perawat di ruang inap

bangau RS. Dr. Ernaldi

Bahar Palembang

1. Pandangan kepala ruangan terhadap terapi psikoreligius .

2. Penerapan terapi psikoeligius di ruangan inap bangau.

3. Pengawasan terhadap penerapan terapi psikoreligius di

ruangan bangau.

1. Pengetahuan perawat tentang pengertian, tujuan dan

fungsi terapi spritual.

2. Tahap-tahap terapi spritual:

- Shalat

- Dzikir

4.4. Cara Pengumpulan Data

Informasi dikumpulkan dengan

menggunakan wawancara mendalam (indepth

interview) dan observasi. Wawancara mendalam

merupakan suatu cara mengumpulkan data atau

informasi, dengan cara langsung bertatap muka

dengan informan.dengan maksud mendapatkan

gambaran lengkap dengan topik yang diteliti

(Sugiyono, 2009). Informasi dikumpulkan

dengan menggunakan teknik wawancara

mendalam. Agar informasi dapat terkumpul

dengan lengkap, terinci dan jelas maka jalannya

diskusi direkam dengan menggunakan tape

recorder dan dicatat oleh seorang asisten peneliti

yang membantu penelitian dan pencatatan pada

waktu wawancara

Tabel 4.2

Informasi yang dikumpulkan menurut sumber,

metode,

jumlah kegiatan dan jumlah informasi

No. Sumber

Informasi

Metode

Pengumpulan

Data

Jumlah

Wawancara

Mendalam

1.

2.

Kepala

ruangan

Perawat di

ruang inap

bangau

1

5

1

5

Total Informan 6

4.5. Pengolahan Data dan Jenis Keabsahan

Informasi

Informasi yang didapatkan adalah

informasi primer, karena peneliti langsung

memperoleh data dari sumber informasi yaitu

Kepala ruangan dan Perawat di ruang Bangau

RS. Dr. Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera

Selatan.

Untuk pengolahan data dari hasil

wawancara mendalam dilakukan:

1. Mengumpulkan catatan

2. Menyusun atau membuat transkrip

3. Interpretasi data.

Untuk menjamin keabsahan informasi

dalam penelitian ini dilakukan uji validasi data

yaitu dengan:

1. Triangulasi sumber

Adalah untuk menguji kredibilitas data

yang di lakukan dengan cara mengecek

data yang di peroleh melalui beberapa

sumber.

a. Cross-check (pengoreksian ulang)

antara informasi yang berbeda dari

hasil sumber lain.

b. Informasi yang berbeda, yaitu

informasi dari perawat di ruang

bangau RS Dr.Ernaldi Bahar.

2. Triangulasi Metode, yaitu dengan

membandingkan informasi yang

diperoleh dari hasil wawancara

mendalam

4.6. Teknik Analisis Data

Informasi segera dianalisis tanpa

menunggu semua informan diwawancarai.

Page 15: dokumen-15-34

Informasi yang diperoleh dengan mencatat dan

direkam dengan tape recorder, kemudian dibuat

transkrip indepth dan matrik setelah

dikumpulkan sesuai dengan pertanyaan dan

tujuan penelitian. Informasi dianalisa secara

manual yang disusun untuk menemukan

alternatif pemecahan masalah.

5. Hasil Penelitian

5.1 Gambaran Umum Rumah Sakit Ernaldi

Bahar Palembang

5.1.1 Sejarah Singkat

Sejarah Rumah Sakit Ernaldi Bahar

Provinsi Sumatera Selatan diawali tahun 1923

yaitu Rumah Sakit yang dibangun oleh Belanda

di Palembang yang letaknya di jalan Keranggo

Wiro Sentiko yang sekarang Kodam II

Sriwijaya. Rumah Sakit ini dipindahkan lagi

pada Tahun 1942 di daerah Suka Bangun,

berdasarkan SK Menkes No. 4287 / Pal / Peg /

1958 dan diresmikan pada tepatnya tanggal 18

Agustus 1958 menjadi Rumah Sakit Jiwa Suka

Bangun. Tahun 1978 tepatnya tanggal 1 April,

berlaku SK Menkes tentang susunan Organisasi

dan tata kerja Rumah Sakit Jiwa Pusat

Palembang. Tahun 2001 tepatnya tanggal 22

Juni 2001, diundangkan peraturan daerah dan

Rumah Sakit Jiwa diserahkan ke daerah Provinsi

Sumatera Selatan, namun pada tanggal 24 Mei

2006 nama Rumah Sakit Jiwa diganti menjadi

Rumah Sakit Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera

Selatan hingga sekarang.

5.1.2Visi, Misi, Tujuan, Moito, dan Nilai

5.2. Visi dan Misi Rumah Sakit.

5.2.1. Visi

Terwujutnya Rumah Sakit Ernaldi

Bahar sebagian pusat pelayanan rujukan

kesehatan yang prima dan pusat pendidikan

kesehatan jiwa yang terkemuka di sumatera

selatan.

5.2.2. Misi

1. Memberikan pelayanan kesehatan yang

komprehensif sesuai dengan

perkembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi.

2. Melaksanakan pembinaan kesehatan

jiwa masyarakat.

3. Meningkatkan mutu sumber daya

manusia, sarana dan prasarana.

4. Memfasilitasi pendidikan kesehatan

jiwa yang dinamis.

5.3.3. Tujuan

Menciptakan masyarakat Sumatera

Selatan yang sehat, mandiri dan

produktif secara mental dan fisik.

5.3.4. Motto

Ramahlah satu langkah, satu senyuman

Kreatiflah satu langkah, satu ide

langsung action

5.3.5. Nilai

Kebersamaan, Peduli, dan

Kepercayaan.

5.2 Gambaran Unit Rawat Inap Bangau Unit Rawat Inap Bangau adalah ruang

rawat inap kelas tiga juga merupakan ruang

yang menjalankan program pemerintah provinsi

dan pemerintah kota yaitu jamsoskes dan

jamkesmas.

Ruang bangau terdiri dari 6 jenis

ruangan yaitu ruang kepala ruangan, ruang

perawat, ruang istirahat, ruang tidur, toilet,

ruang makan pasien, ruang bebas, teras. Toliet

bangau dipisahkan antara perawat dan pasien,

jumlah tempat tidur 33 bed disertai laken tanpa

bantal dan selimut, ruang makan pasien bangau

dicampur dengan ruang makan pasien merpati.

Jumlah pasien sampai bulan april 2012

berjumlah 61 pasien, jumlah pegawai di ruang

bangau berjumlah 12 pegawai. Terdiri dari 1

kepala ruangan dan 11 perawat pelaksana.

dengan rincian kualifikasi pendidikan sebagai

berikut :

1. Sarjana Keperawatan : 3 Orang

2. D III keperawatan : 7 Orang

3. D III Kebidanan : 1 Orang

4. SPK : 1 Orang

5.3 Karakteristik Informan

Informasi dalam wawancara mendalam

yang dilakukan observasi sebagai informan

berumur 25-54 tahun dengan pendidikan rendah

D III dan tertinggi SI Keperawatan Ners.

Pekerjaan sehari-hari informan adalah sebagai

Kepala Ruangan bangau dan perawat pelaksana,

dan yang dilakukan observasi adalah pasien

halusinasi berumur 20-45 tahun Untuk lebih

jelas dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

Page 16: dokumen-15-34

Tabel 5.2

Karakteristik Informan kunci dan informan

dalam Wawancara Mendalam dan Observasi

Menurut Umur, Pendidikan dan Pekerjaan

No

.

Inisi

al

Umur

(Thn)

Pendid

ikan

Jabatan

1 H 49 S1 Kepala ruangan

2 EK 32 SI Perawat

pelaksana

3 E 32 SI Perawat

pelaksana

4 A 29 D III Perawat

Pelaksana

5.4 Pemberian Terapi Religius oleh Perawat

untuk Menurunkan Tingkat Stres

Pasien Halusinasi Pendengaran

5.4.1 Hasil Wawancara Mendalam tentang

pemberian Terapi Shalat dan Terapi

Dzikir

5.4.1.1 Pengetahuan informan tentang jumlah

pasien Halusinasi di ruangan bangau.

Berdasarkan hasil wawancara

mendalam dengan informan, diperoleh

keterangan dari informan mengenai

jumlah pasien Halusinasi sebagai berikut:

" ........ kalo untuk sekarang kalo

kriteria pasien halusinasi itu 6 orang

dengan

masalah utama pasien adalah

halusinasi tersebut.... ( E K )

" ....... emm...oiya kalo untuk pasien

halusinasi ini ada 8 orang dek

ya...( E )

" ....... kalo jumlah pasien halusinasi di

ruangan e...ada 8 untuk saat ini .....(A)

Berdasarkan petikan wawancara di atas,

ketiga informan menjawab pertanyaan peneliti

dan memberikan informasi tentang jumlah

pasien Halusinasi di ruang bangau. Dari semua

ketiga informasi dari informan tersebut berbeda

dalam menyebutkan jumlah pasien Halusinasi di

ruangan. Informan EK" menyebutkan bahwa

jumlah pasien Halusinasi adalah 6 orang,

sedangkan informan "E" dan informan 'A"

menyebutkan jumlah pasien Halusinasi adalah 8

orang. Hal ini dikarenakan saat dilakukan

wawancara dengan ketiga informan tersebut

dilakukan dalam waktu yang berbeda jadwal

shift mereka.

5.4.1.2 Pengetahuan informan tentang

pelaksanaan Terapi Religius Shalat dan

Dzikir

Berdasarkan hasil wawancara

mendalam dengan informan, diperoleh

keterangan tentang pelaksanaan Terapi Religius

Shalat dan Dzikir sebagai berikut:

" ............ kita sih ada dong....kalo

dengan pasien jiwa tiap hari ada

jadwal terapi bagi pasien tersebut.

Kalo hari Senin dan hari Rabu

kemudian hari

Kamis itu bentuknya terapi kerja tiap

hari Kamis itu ada Terapi Religius

kemudian untuk hari Selasa , hari

Jumat itu terapi gerak dan hari Sabtu

itu terapi musik bagi pasien yang ada

di rumah sakit ini ....... (EK)

"....untuk pemberian Terapi Religius

Shalat dan Dzikir ini ada ya...

dilakukan oleh pihak rehab di ruang

Terapi Religius Hasana..tetapi kalo

untuk pelaksanaan shalat bersama

biasanya dilakukan oleh pasien sendiri

secara berjamaah di ruang TAK dan

Religius yang ada di ruangan ini . (E)

".....ada. Terapi Religius bisa dilakukan

di RS ini setiap hari Kamis....pasien-

pasien itu dilakukan Terapi Religius di

mushola yang ada di

Erba ..... (A)

Berdasarkan petikan wawancara di atas

ketiga informan menjawab pertanyaan peneliti

dan memberikan informasi bahwa Terapi

Religius sudah diberikan di Rumah Sakit

Ernaldi Bahar dan ruang rawat inap. Tetapi

ketiga informan tidak menyebutkan dengan

detail pelaksanaan dari masing-masing terapi

yaitu Terapi Shalat dan Dzikir. Dari semua

informasi dari ketiga informan memiliki

kesimpulan jawaban yang sama bahwa untuk

pelaksanaan Terapi Religius Shalat dan Dzikir

Page 17: dokumen-15-34

ini memang dilaksanakan di Rumah Sakit

Ernaldi Bahar ini tetapi dalam hal ini,

pengetahuan ketiga informan tentang Terapi

Shalat dan Dzikir masih terbatas, belum optimal.

5.4.1.3 Pengetahuan informan untuk kriteria

pasien yang akan mengikuti Terapi

Religius Shalat dan Zikir

Berdasarkan hasil wawancara

mendalam dengan informan, diperoleh

keterangan dari informan mengenai kriteria

pasien yang akan mengikuti Terapi Religius

sebagai berikut: kriteria pasien yang akan

mengikuti Terapi Religius Shalat dan Dzikir ini

sesuai dan tergolong cukup optimal.

5.4.1.4 Pengetahuan informan untuk

Kewenangan dalam Pemberian Terapi

Religius Shalat dan Dzikir

Berdasarkan hasil wawancara hasil

wawancara mendalam dengan informan,

diperoleh keterangan dari informan mengenai

pihak-pihak yang berwenang dalam pemberian

Terapi Religius Shalat dan Dzikir ini sebagai

berikut:

" ........... kalo untuk kewenangan

melakukan terapi religius itu , secara

protap itu kewenangan berdasar pada

e... petugas atau perawat yang dimana

tuh..e... di rehabilitasi tapi..e..perawat

juga ada pelajaran ataupun

mahasiswa ada bidang ilmu untuk

melakukan terapi religius ini tetapi

untuk rumah sakit ini untuk saat

sekarang, protap dan e..kewenangan

itu ada di rehabilitasi untuk melakukan

terapi religius tersebut ....... ( E )

" ........... di keperawatan kan TAK kita

sudah ditentukan tapi format TAK nya

untuk keperawatan untuk terapi musik,

religius shalat dan dzikir itu belum.,

kalo untuk pemberian terapi religius,

perawat tidak berwenang hanya

sebagai observer dilakukan oleh orang

rehab ... emm....untuk kewenangan itu

ada direhab karena untuk di

keperawatan format Terapi Religius ini

belum ada untuk perawat eemm masih

dalam proses ....... ( E )

" ........... kalo kewenangan itu untuk

terapi religius perawat di ruangan

berkoordinasi dengan dokter, jadi

setiap pasien yang akan dilakukan

tindakan terapi religius biasanya

biasanya sudah harus tau pasien mana

yang sudah bisa dilakukan terapi

religius, jadi perawat yang tau kondisi

pasien yang bisa dilakukan terapi

religius atau tidak diantar ke mushola

nanti orang rehab yang menerima

disana .. ...... ( A )

Berdasarkan informasi di atas dapat

diketahui bahwa ketiga informan menjawab

pertanyaan dari peneliti dengan jawaban yang

berbeda tetapi pada intinya sama, yaitu yang

lebih memiliki kewenangan dalam pemberian

Terapi Religius ini adalah pihak Rehabilitasi.

Jadi dari keterangan di atas tentang pengetahuan

informan tentang pihak yang berwenang dalam

pemberian Terapi Religius Shalat dan Dzikir ini

tergolong baik. Karena keempat informan

mengetahui dan dapat menyebutkan pihak yang

memiliki kewenangan dalam pemberian

Kegiatan Terapi Religius Shalat dan Dzikir ini

sesuai dengan kebijakan di Rumah Sakit Ernaldi

Bahar.

5.4.1.5 Pengetahuan Pengaturan Jadwal

Pemberian Terapi Religius Shalat dan Dzikir

Berdasarkan hasil wawancara Hasil

wawancara mendalam dengan informan,

diperoleh keterangan dari informan mengenai

pengetahuan jadwal pemberian Terapi Religius

Salat dan Zikir adalah sebagai berikut:

" .......... kita sich ada donk kalo dengan

pasien jiwa tiap hari ada jadwal terapi

bagi pasien tersebut. Kalo hari Senin

dan hari Rabu kemudian hari Kamis

itu bentuknya terapi kerja tiap hari

Kamis itu ada terapi Religius

kemudian untuk hari Selasa , hari

Jumat itu terapi gerak dan hari Sabtu

itu terapi musik bagi pasien yang ada

di rumah sakit ini ....... (EK)

" ....... kalo waktu rehab itu antara jam

8-9 pagi hari Kamis di ruang terapi

religius dan alatnya sudah tersedia

oleh rehab pengaturan jadwal

biasanya hari Kamis pagi jam 8

Page 18: dokumen-15-34

persiapan sampai jam 10 pagi di ruang

Terapi Religius Hasana dibimbing oleh

orang-orang rehab juga berkolaborasi

dengan perawat dan dokter Perawat

mengantar pasien dan obsevasi

pasien” . ( E )

"....kalo di ruangan ada tempat

sholatnya kami sediakan juga sajadah

..kalo

di lingkungan Erba ini ada mushola

jadi tiap hari pasien bisa sholat di

tempat yang disediakan terus untuk

terapi pasien setiap hari Kamis di

musholla RS bersama pasien

lain...(A )

Berdasarkan informasi di atas dapat

diketahui bahwa ketiga informan mampu

menjawab pertanyaan peneliti. Pada informan

"EK", “E”, dan "A" dapat menyimpulkan bahwa

untuk pengaturan jadwal pemberian Terapi

Religius ini adalah setiap hari Kamis dimulai

dengan persiapan jam 8 pagi dilakukan di

musolla/ruang. Terapi Religius yang dipimpin

oleh tim dari unit Rehabilitasi. Sedangkan pada

keterangan dari informan 'A" menambahkan

keterangan bahwa untuk pelaksanaan Terapi

Shalat dan Dzikir ini juga bisa dilakukan di

ruangan Bangau sendiri. Yang dimaksud

ruangan ini adalah ruangan TAK dan Religius

yang terdapat di ruang Bangau. Dalam hal ini

keterangan para informan tergolong bervariasi

tetapi tergolong baik karena dari semua

keterangan informan sesuai dengan jadwal

pengaturan Terapi Religius di Rumah Sakit

Ernaldi Bahar Palembang.

5.4.1.6 Tahapan dan Proses Kerja dari

Pemberian Terapi Religius Salat dan Zikir

Berdasarkan hasil wawancara

mendalam dengan informan, diperoleh

keterangan dari informan mengenai tahapan dan

proses kerja dari pemberian Terapi Religius

Shalat dan Dzikir adalah sebagai berikut :

a. Terapi Salat

" ........... kalo untuk perawat untuk

melakukan terapi religius ini cuma

dari sekedar pengetahuan, dari

pangalaman kan kami belum pernah

melakukan

di ruangan tapi menurut pengetahuan

kami untuk terapi itu pastilah kita

yang pertama lakukan persiapan untuk

pasien-pasien yang melakukan terapi

religius,seperti kontrak waktu

dulu...e..dikatakan terapi jam 9,

sebelumnya

kita kontrak waktu dulu kemudian kita

orientasikan dimana akan dilakukan

terapi kemudian pada kerjanya kita

arahkan untuk menuju tempat terapi

religius...memang disini ada tempat

tersendiri untuk terapi religius

..e..kemudian setelah terapi religius

kita evaluasi pasien tersebut apa yang

didapat,apa yang direspon pasien

tersebut terhadap terapi yang

diberikan

oleh yang memberikan terapi lalu

kelihatan nanti perubahan setelah

dilakukan terapi religius tersebut

...( EK )

" ............ untuk tahapan ini kan ada 4,

tahap persiapan, orientasi, kerja dan

terminasi. Tahap persiapan perawat

atau pihak rehab memilih dan

menyiapkan pasien-pasien yang mana,

yang seperti apa yang akan mengikuti

terapi ni, disiapkan tempat juga

sarana dan prasarana untuk

mendukung kegiatan ini, misalnya

mukena bagi perempuan, sarung,

sajadah,peci untuk pasien yang laki-

laki...terus tahap orientasi kita

lakukan informed consent dan kita

catat kita nilai juga keadaan pasien

sebelum mengikuti kegiatan

ini..lalu tahap kerja kita kerjakan

bersama-sama misalnya Shalat dan

Dzikir.Sebelumnya kita kasih contoh

gerakan Shalat yang benar itu seperti

apa, kita lihat apakah pasien mampu

mengikuti gerakan Shalat kita

tadi. ..emm,,, terus tahap terakhir yaitu

tahap terminasi ya...kita observasi kita

tanyakan pada pasien tentang apa

yang ia rasakan setelah ikut kegiatan

ini. Untuk prosesnya setau saya dari

ee....proses kerja dari pemberian

terapi ini baik yang di rehab atopun di

Page 19: dokumen-15-34

ruangan sama saja, gerakan-gerakan

shalat

itulah yang diperhatikan bagaimana

niat dan doanya sebelumnya diawali

wudhu dulu dan lain-lain,ceramah

kadang juga diberikan oleh dokter

kalo untuk di reha. ” ( E )

" ........... ntar dulu dek ye?? kalo

shalat dan dzikir aku tak tau makmano

lah ye? kurang tau? tapi untuk terapi

shalat dan dzikir disediakan waktu

misalnya untuk shalat jam berapa,

disediakan waktu., kalo untuk dzikir

gak ngerti dek soal tata caranya...tapi

mungkin bersamaan dengan

shalat...aku tak tau?.”(A)

b. Terapi Zikir

" .....proses kerja dari terapi

zikir...emmm....sepertinya sama

seperti proses pada terapi salat

dari persiapan sampai terminasi

ya... ( E K )

" .....sepengetahuan saya kayaknya

sama seperti proses dan tahapan

pada tercapi salat

tadi..emm..ya..karena zikir ini

dilakukan oleh pasien setelah

salat kan?..... (E)

".. ..kalo untuk dzikir gak ngerti dek

soal tata caranya...tapi mungkin

bersamaan dengan shalat...aku tak

tau? ....... (A)

Berdasarkan informasi di atas dapat

diketahui bahwa ketiga informan dapat

menjawab tentang proses kerja dari pemberian

Terapi Religius dengan informasi yang berbeda-

beda. Pada informan "EK" dan "E"

menyebutkan tentang poses dan tahapan

pelaksanaan pemberian Terapi Religius ini yang

dimulai dari tahap persiapan hingga tahap

terminasi tetapi kedua informan ini

menyebutkan tentang proses kerja dari kegiatan

Terapi Zikir sama seperti proses pada Terapi

Salat. Sedangkan pada informan 'A"

menyebutkan bahwa ia mengatakan kurang

mengetahui mengetahui tentang Terapi Shalat

dan Dzikir. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa pengetahuan ketiga informan dalam

Terapi Shalat dan Dzikir ini belum optimal.

5.4.1.7 Kendala-kendala yang dihadapi dalam

proses Terapi Religius Shalat dan Dzikir

Berdasarkan hasil wawancara Hasil

wawancara mendalam dengan informan,

diperoleh keterangan dari informan mengenai

Kendala-kendala yang dihadapi dalam proses

pemberian Terapi Religius Shalat dan Dzikir

adalah sebagai berikut:

" ............. Di ruangan kalo sampai saat

ini belum dilakukan dalam terapi

religius karena kita juga melakukan

kegiatan tersebut mungkin belum

mendukung dari sarana dan prasarana

dalam terapi religius itu kendala yang

paling utama disini adalah SDM nya

karena anggapan manajemen di

RS yang melakukan terapi religius ini

mesti ada orang yang memang orang

yang khusus untuk melakukan terapi

ini..e...dalam hal ini apalagi religius

biasanya orang-orang yang

berhubungan dengan hal-hal

keagamaan jadi

disini kendala untuk memilih orang-

orang tersebut kita kan kekurangan ..

tapi intinya kita sebagai perawat itu

bisa melakukan terapi religius sesuai

dengan agama dan kepercayaan

mereka masing-masing ....... ( E K )

“ .......... kendalanya palingan ya

keterbatasan waktu juga jumlah

perawat ruangan untuk memberikan

terapi ini di ruangan, dalam arti

mengajarkan

shalat, dzikir, sebab ini dalam

wewenang pihak rehabilitasi ....... (E)

" .......... emm...kalo untuk terapi ini

tidak ada ya karena sudah ada sarana

dan

prasarana, mencukupi jadi ya..e... tidak

ada...( A )

Page 20: dokumen-15-34

Berdasarkan informasi di atas dapat

diketahui bahwa dalam menyebutkan kendala-

kendala yang dihadapi dalam pemberian Terapi

Religius ini ketiga informan mampu menjawab

pertanyaan dari peneliti dan ketiga informan

memberikan informasi dengan informasi yang

berbeda. Pada informasi yang diperoleh dari

informan "EK" dan "E" dapat diketahui masih

ada kendala-kendala yang dihadapi dalam proses

pelaksanaan Terapi Religius seperti kendala

yang berasal dari SDM nya itu sendiri yaitu

keterbatasan waktu,tenaga juga anggapan

Rumah Sakit sendiri bahwa hanya orang-orang

tertentu yang bisa melakukan tindakan ini.

Sedangkan pada informan 'EK" menyebutkan

bahwa tidak terdapat kendala-kendala yang

berarti karena sudah tersedia sarana dan

prasarana yang sudah mencukupi.

5.4.2 Tingkat stres pasien sebelum dan sesudah

mengikuti Terapi Shalat

Berdasarkan hasil wawancara

mendalam dengan informan, diperoleh

keterangan dari informan mengenai pengaruh

Terapi Shalat terhadap perubahan tingkat stres

pasien adalah sebagai berikut:

" .........pada pasien halusinasi untuk

terapi religius ada perubahan yaitu

saya temui kalo hari Kamis setelah

pulang dari melakukan terapi religius

tersebut kita tanyakan pada pasiennya

bagaimana perasaan setelah mengikuti

terapi, ada ceramah, dzikir biasanya

yang dilakukan petugas rehabilitasi,

mereka mengatakan enak dan kelihatan

lebih tenang dan beranggapan

o..mungkin ini bias kalo begini terus

halusinasi saya bisa hilang..jadi

signifikan perubahan setelah dilakukan

terapi ini....mereka jadi lebih giat

melakukan kegiatan salat di ruangan

ini........(EK)

" .........emm..lebih tenang ..lebih ada

indikasi untuk pulang manfaat ada

donk, yang jelas pulang dari terapi ini

pasien tampak lebih tenang,

gitu..ceria, tingkah laku terkendali

untuk pasien halusinasi khususnya ya

halusinasinya itu berkurang dia sudah

mulai tenang..begitu juga untuk pasien

yang shalat di ruangan . . . . . ( E )

"......untuk salat, ada sich

perubahannya biasanya pasien

cenderung lebih tenang kooperatif bisa

mengontrol emosi........ (A)

Berdasarkan informasi di atas dapat

diketahui bahwa ketiga informan mengetahui

dan mampu menyebutkan tentang perubahan

yang tampak pada pasien setelah diberikan

tindakan Terapi Shalat ini. Ketiga informan

menyebutkan bahwa setelah dilakukan kegiatan

Terapi Shalat ini keadaan pasien menjadi lebih

baik, tenang dan tidak ada indikasi stres berat.

Pengetahuan informan dalam hal ini bisa

dikatakan cukup baik karena sesuai dengan hasil

chek list observation.

5.4.3 Tingkat stres pasien sebelum dan sesudah

mengikuti Terapi Zikir

Berdasarkan hasil wawancara

mendalam dengan informan, diperoleh

keterangan dari informan mengenai pengaruh

Terapi Zikir terhadap perubahan tingkat stres

pasien adalah sebagai berikut:

" .............. emm....untuk dzikir saya

rasa sama saja efeknya seperti salat,

membawa ketenangan, pikiran lebih

konsentrasi, tingkat stress menurun

karena beban kita semakin berkurang

jika kita berzikir ini kan sama saja

halnya seperti mengingat dan

mengadukan masalah kita ke Allah

tapi sepertinya pasien jarang

melakukan zikir yang seperti zikrullah

itu, palingan

mereka berdoa untuk keluarga, orang

tua, tapi kalo bimbingan zikir di rehab

saya juga kurang tau..mungkin juga

dilaksanakan kali ya ........(EK)

".....kalu untuk dzikir sepertinya

lebih kepada doa untuk pasien

sendiri..setau saya mereka juga dzikir

dengan dzikrullah jika dibimbing

khusus oleh dokter dan orang rehab

gitu....dampaknya sama seperti

salat,pasien lebih tenang" .....( E )

".....setelah berdzikir dan sholat

misalnya kalo dia marah kan bias

berdoa. Pokoknya ada pengaruhnya ke

arah lebih baik, lebih positif. ....( A )

Page 21: dokumen-15-34

Berdasarkan informasi di atas dapat

diketahui bahwa ketiga informan mengetahui

dan mampu menyebutkan tentang perubahan

yang tampak pada pasien setelah diberikan

tindakan Terapi Zikir ini. Namun hal ini

merupakan perkiraan informan saja. Hal ini

dapat dikatakan bahwa pengetahuan informan

masih kurang terhadap pemberian Terapi Zikir

ini unruk mengurangi tingkat stres pasien

Halusinasi.

5.5 Pandangan Kepala Ruangan Terhadap

Pemberian Terapi Religius terhadap

Pasien Halusinasi

5.5.1 Proses pelaksanaan Terapi Religius

Berdasarkan hasil wawancara

mendalam dengan key informan diperoleh

keterangan tentang Proses pelaksanaan Terapi

Religius oleh key informan adalah sebagai

berikut:

"......e..untuk terapi psikoreligius sudah

ada waktu yang ditetapkan pada hari

Jumat yang menyelenggarakan tim

kerja dari unit rehabilitasi emm...hari

Jumat ato hari apa saya lupa lagi, hari

Kamis ya?jadi selain terapi aktifitas

olahraga dan kerja ada juga terapi

psikoreligius yang dilakukan oleh unit

tim rehabilitasi di rumah

ibadah...karena SOP belum tersedia

untuk perawat ..... (H)

Dari keterangan yang diperoleh dari

informan kunci di atas dapat diketahui bahwa

untuk proses pelaksanaan Terapi Religius Shalat

dan Dzikir ini dilakukan setiap hari Kamis yang

dilakukan oleh Tim Unit Rehabilitasi dan

dilakukan di rumah ibadah. Yang dimaksud

dengan rumah ibadah disini adalah ruang Terapi

Religius Hasana yang bentuk bangunannya

mirip dengan musolla. Informasi dari key

informan ini sesuai dengan hasil informasi yang

diperoleh dari informasi informan.

5.5.2 Pandangan Kepala Ruangan dalam

pemberian Terapi Religius Shalat dan

Dzikir

Berdasarkan hasil wawancara

mendalam dengan key informan diperoleh

keterangan tentang pandangan pemberian Terapi

Religius Shalat dan Dzikir oleh key informan

adalah sebagai berikut:

"........ penting juga..mengingat ini

salah satu rangkaian dari terapi

nonfarmasi, non farmakologi yang

dilakukan oleh perawat, kesimpulannya

e..penting sangat dianjurkan tetapi

terbentur oleh beberapa hal........ (H)

Dari hasil petikan wawancara

mendalam dengan key informan di atas dapat

diketahui bahwa Kepala Ruangan pada

prinsipnya menyetujui adanya Terapi Religius

tetapi masih terbentur oleh beberapa hal. Kepala

Ruangan tidak menyebutkan tentang apa saja

beberapa hal yang menjadi kendala tersebut.

Kepala juga tidak menjelaskan secara detail

tentang Terapi Shalat dan Dzikir. Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa pengetahuan

Kepala Ruangan terhadap Terapi Religius Shalat

dan Dzikir masih kurang.

5.5.3 Dukungan Kepala Ruangan dalam

pemberian Terapi Religius Shalat dan

Dzikir

Berdasarkan hasil wawancara

mendalam dengan key informan diperoleh

keterangan tentang bentuk dukungan Kepala

Ruangan dalam pemberian Terapi Religius yaitu

sebagai berikut:

"..........saya sangat mendukung

mahasiswa selain untuk melakukan

TAK.. saya lihat dulu proposalnya jika

ada yang kurang saya perbaiki.

Dari hasil petikan wawancara di atas

dapat diketahui bahwa Kepala Ruangan sangat

mendukung mahasiswa khususnya yang sedang

praktik di Rumah Sakit Ernaldi Bahar ini untuk

melakukan kegiatan pemberian Terapi Religius

dengan cara memperbaiki proposal penelitian

dari mahasiswa jika masih ada yang kurang.

Tetapi Kepala Ruangan tidak menyebutkan dan

tidak menjelaskan tentang dukungannya

terhadap pemberian Terapi Religius Shalat dan

Dzikir oleh perawat.

5.5.4 Jenis Pengawasan yang Dilakukan oleh

Kepala Ruangan dalam Pemberian Terapi

Religius Shalat dan Dzikir

Page 22: dokumen-15-34

Berdasarkan hasil wawancara dengan

key informan diperoleh keterangan tentang jenis

pengawasan yang dilakukan oleh Kepala

Ruangan dalam pemberian Terapi Religius yaitu

sebagai berikut :

" ........... emm...disini saya melakukan

pengawasan dari perencanaan apa

saja yang dilakukan contohnya

persyaratan pasiennya , pasien seperti

apa saja yang boleh ikut...

Berdasarkan hasil petikan wawancara

dengan Kepala Ruangan di atas dapat kita

ketahui bahwa Kepala Ruangan sangat

mendukung program Terapi Religius ini di

Rumah Sakit Ernaldi Bahar khususnya di Ruang

Bangau. Kepala Ruangan melakukan

pengawasan lebih kepada pasien yang seperti

apa yang bisa ikut dalam kegiatan Terapi

Religius Shalat dan Dzikir ini.

5.6 Hasil Observasi Pasien

Berdasarkan hasil observasi terhadap

pasien Halusinasi di Ruang bangau, peneliti

memilih 3 orang pasien dengan kriteria

Halusinasi. Ketiga pasien tersebut berinisial

“A”, “D”, dan “J”. Saat peneliti memilih ketiga

pasien tersebut peneliti mengamati tentang data-

data obyektif dan subyektif dari ketiga pasien

tersebut yang mengindikasikan bahwa ketiga

pasien tersebut sedang mengalami Halusinasi

dan stres.

5.6.1 Hasil observasi pasien "A"

a. Hasil observasi pengaruh Terapi Shalat

untuk menurunkan tingkat stres pasien "A"

Dari hasil observasi pada pasien "A",

untuk Terapi Shalat peneliti mendapatkan

informasi bahwa sebelum pasien melakukan

Shalat, pasien mengatakan bahwa ia sedang

gelisah, tidak tenang. Pasien tampak sering

melamun, tidak tenang dan kadang seperti

berbicara sendiri, merasa takut. Kemudian

setelah dilakukan informed consent dengan

pasien, pasien menyetujui untuk ikut dalam

kegiatan Shalat berjamaah di ruangan Bangau

dan pasien yang berangkutan menjadi imamnya.

Setelah dilakukan kegiatan Shalat berjamaah di

ruangan bangau, pasien mengatakan bahwa

perasaannya sekarang sudah tenang, tidak takut

lagi dan merasa senang. Pasien juga mengatakan

bahwa ia juga berdoa tetapi lebih khusus

ditujukan untuk orang tua serta keluarga di

rumah.

b. Hasil observasi pengaruh Terapi Zikir untuk

menurunkan tingkat stres pasien "A"

Sedangkan untuk Terapi Dzikir, pasien

mengatakan bahwa ia kurang mengetahui

tentang Terapi Dzikir La Illaha Illalloh dan dan

Astaghfrullahaladzim. Hal ini tampak ketika

observasi, pasien lebih banyak berdoa yang

lebih ditujukan untuk orang tua dan

keluarganya. Dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa pasien “A” mampu

mengikuti kegiatan Shalat dengan baik dan

benar meskipun pengetahuan pasien tentang

bacaan Dzikir La ilaha Ilalloh masih terbatas.

5.6.2 Hasil observasi pasien "D"

a. Hasil observasi pengaruh Terapi Shalat

untuk menurunkan tingkat stres pasien "D"

Pada pasien "D” sebelum dilakukan

kegiatan Shalat berjamaah di ruangan

mengatakan bahwa ia sedang bingung, gelisah.

Pasien tampak selalu melamun, seperti berbicara

sendiri dan lebih suka menyendiri, tatapan mata

pasien kosong dan pasien bersikap apatis atau

acuh tak acuh terhadap orang-orang di

sekelilingnya. Kemudian setelah dilakukan

informed consent dengan pasien, pasien

menyetujui untuk ikut dalam kegiatan Shalat

berjamaah di ruangan bangau. Dalam kegiatan

ini pasien tampak mengikuti kegiatan Shalat ini

dengan gerakan yang lancar dan benar. Setelah

mengikuti kegiatan Shalat berjamaah di ruangan

bangau, peneliti mengobservasi keadaan pasien.

Pasien tampak lebih tenang, dan rileks tetapi

pasien berbicara hanya beberapa kata saja.

b. Hasil observasi pengaruh Terapi Zikir untuk

menurunkan tingkat stress pasien "D"

Saat peneliti bertanya kepada pasien

tentang Terapi Dzikir apakah pasien sering

berdoa dan berdzikir pasien menjawab pernah

dan doa yang sering dibaca adalah doa untuk

orang tua. Dengan demikian dapat diketahui

bahwa pengetahuan pasien tentang Dzikir La

ilaha Illalloh dan Astaghfirullahaladzim masih

terbatas.

5.6.3 Hasil observasi pasien "J"

a. Hasil observasi pengaruh Terapi Shalat

untuk menurunkan tingkat stres pasien "J"

Page 23: dokumen-15-34

Sedangkan pada pasien "J" sebelum

dilakukan kegiatan Shalat berjamaah pasien

mengatakan bahwa ia merasa tidak tenang, dan

pasien tampak gelisah. Pasien juga mengatakan

bahwa ia tidak mau mengikuti Shalat di musolla

dan lebih memilih shalat sendirian di kamarnya

atau shalat berjamaah di ruang terapi Religius

dan TAK yang terletak di dalam ruangan bangau

karena ia beranggapan ia akan kerasukan jika

shalat di musolla karena itu ia perlu di ruqyah.

Dari perkataan pasien ini dapat diketahui bahwa

pasien sedang dalam Halusinasi dan stres.

Setelah dilakukan informed consent dengan

pasien, pasien bersedia untuk mengikuti

kegiatan Shalat berjamaah di ruangan. Saat

Shalat, pasien mampu mengikuti kegiatan Shalat

dengan gerakan yang baik dan benar. Pasien

tampak lebih khusyuk dan berdoa. Setelah

Shalat, pasien ditanya tentang perasaannya

setelah mengikuti kegiatan Terapi Shalat ini,

pasien menjawab bahwa perasaannya sekarang

sudah jauh lebih tenang dan rileks, pasien

tampak kelihatan lebih senang dan tenang, dan

apa yang dibicarakannya sesuai dengan

kenyataan.

b. Hasil observasi pengaruh Terapi Zikir untuk

menurunkan tingkat stres pasien "J"

Untuk Terapi Zikir, pasien "J"

mengatakan bahwa ia sering berdoa untuk orang

tua, diri sendiri. Sebelumnya pasien "J" juga

mengatakan bahwa jika terlalu lama dan terlalu

khusuk berdikir dengan dzikrullah, pasien akan

merasa dirinya banyak didatangi setan dan

pasien tampak gelisah. Pasien jarang berdzikir

dengan dzikrullah dengan alasan seperti di atas.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

pengetahuan pasien "J" terhadap Terapi Dzikir

masih kurang optimal.

6. PEMBAHASAN

Dalam bab ini akan dibahas secara

berurutan dimulai dari keterbatasan penelitian

yang ada dalam penelitian tinjauan pelaksanan

pemberian Terapi Religius Shalat dan Dzikir

oleh perawat untuk menurunkan tingkat stres

pada pasien Halusinasi di Ruang Bangau di

Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang,

kemudian dilanjutkan dengan pembahasan pada

proses, yaitu tinjauan tentang proses

pelaksanaan pemberian Terapi Religius Shalat

dan Zikir tersebut.

6.1 Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode

kualitatif dengan maksud untuk memperoleh

informasi yang mendalam mengenai pemberian

Terapi Religius Shalat dan Dzikir untuk

mengurangi tingkat stres pada pasien Halusinasi.

Pengumpulan informasi penelitian ini

dilakukan dengan wawancara mendalam

(indepth interview) dengan menggunakan

fasilitas voice recorder di hp sebagai alat

perekam serta catatan lapangan dan observasi

sehingga faktor situasi, kondisi dan lingkungan

tempat melakukan wawancara mendalam sangat

berpengaruh terhadap informasi yang di peroleh

dari informan dalam wawancara mendalam.

Keterbatasan penelitian ini adalah subjektif

peneliti dalam menginterprestasikan yang

diperoleh dengan teknik wawancara dan

observasi sehingga hasil penelitian ini sangat

tergantung pada pemahaman dan penafsiran

peneliti. Hal tersebut akan sangat berpengaruh

terhadap informasi yang dikumpulkan. Selain

itu, terbentur dengan jadwal dinas perawat dan

pasien Halusinasi di Ruang Bangau ini juga

menjadi kendala dalam memilih informan.

6.2 Pembahasan Pelaksanaan Pemberian

Terapi Religius Shalat dan Zikir oleh

Perawat untuk menurunkan tingkat

stres pasien Halusinasi di Ruang Bangau

di Rumah Sakit Ernaldi Bahar

Palembang

6.2.1 Karakteristik Informan dan Key Informan

Peserta wawancara mendalam dalam

penelitian ini adalah 4 orang informan dan 1

orang key informan. Informan merupakan

perawat associate Ruang Bangau. Usia informan

berkisar antara 27-32 tahun. Informan memiliki

tingkat pendidikan D III dan SI Keperawatan

Ners dengan masa kerja 5-10 tahun di Rumah

Sakit Ernaldi Bahar ini.

Key informan dalam penelitian ini

merupakan orang yang berkompeten,

'bertanggung jawab serta dapat memberikan

informasi yang dibutuhkan oleh peneliti.

Adapun key informan tersebut adalah Kepala

Ruangan Bangau Rumah Sakit Ernaldi Bahar

Provinsi Sumatera Selatan. Key informan sudah

bekerja selama 21 tahun di Rumah Sakit Ernaldi

Page 24: dokumen-15-34

Bahar ini. Usia key informan adalah 49 tahun

dengan pendidikan terakhirnya SI.

6.3 Pembahasan Hasil Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti membahas

tentang pemberian Terapi Religius Shalat dan

Zikir oleh perawat untuk menurunkan tingkat

stres pada pasien Halusinasi di Ruang Bangau di

Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang.

6.3.1 Pelaksanaan pemberian Terapi Shalat di

Ruang Bangau

Berdasarkan hasil wawancara

mendalam dengan ketiga informan dan

didukung oleh informasi dari key informan,

peneliti mendapatkan informasi tentang

pelaksanaan Terapi Shalat. Terapi Shalat

merupakan salah satu bagian dari Terapi

Religius yang mana menurut informasi dari

ketiga informan perawat. Terapi Religius sudah

dilaksanakan di Rumah Sakit Ernaldi Bahar dan

hal ini merupakan salah satu kewenangan yang

dimiliki oleh pihak unit Rehabilitasi karena di

dalam keperawatan belum terdapat SOP tentang

Terapi Religius Shalat ini. Dalam kegiatan

Terapi Shalat ini, perawat sebagai observer dan

pihak yang menyeleksi pasien mana saja yang

boleh diikutkan dalam kegiatan Terapi Shalat

ini, berkolaborasi dengan Tim Unit Rehabilitasi

dan Tim Dokter. Menurut keterangan yang

didapatkan dari hasil wawancara mendalam

dengan perawat, untuk kegiatan Terapi Salat

dilaksanakan seminggu sekali pada hari Kamis

pagi dimulai dengan persiapan pada jam 8 pagi.

Kegiatan ini dilakukan di Ruang Terapi Religius

Hasana dibawah bimbingan Tim Unit

Rehabilitasi dan Dokter sebagai pengisi

kegiatan. Kegiatan yang dimaksud dapat berupa

Shalat dan Dzikir, mengaji,dan pemberian

ceramah-ceramah keagamaan.

Hal ini sesuai dengan konsep Hendra

pada tahun 2006 yang menyebutkan bahwa

Terapi spiritual adalah sebuah terapi dengan

pendekatan terhadap kepercayaan yang dianut

oleh klien, pendekatan ini dilakukan oleh

seorang pemuka agama dengan cara

memberikan pencerahan, kegiatan ini dilakukan

minimal 1 kali seminggu untuk semua klien dan

setiap hari untuk pasien. Terapi spiritual lebih

cenderung untuk menyentuh satu sisi

spiritualitas manusia, mengaktifkan titik godspot

dan mengembalikan klien ke sebuah kesadaran

dari mana dia berasal, alasan mengapa manusia

diciptakan, tugas-tugas yang harus dilakukan

manusia di dunia, beberapa hal yang pantas

dilakukan didunia dan hal-hal yang tak pantas

dilakukan di dunia. Adapun bentuk dari terapi

spiritual ini antara lain terapi shalat dan dzikir.

Selain itu berdasarkan hasil wawancara

mendalam dengan key infoman tentang

dukungannya yang diberikan dalam pelaksanaan

Terapi Shalat, dengan demikian maka penulis

dapat menyimpulkan bahwa kebijakan tentang

pelaksanaan kegiatan Terapi Religius di Rumah

Sakit Ernaldi Bahar, khususnya Terapi Shalat ini

sudah cukup bagus.

Untuk kriteria pasien mana yang boleh

ikut dalam kegiatan Terapi Shalat ini adalah

semua pasien tidak hanya diperuntukkan bagi

pasien Halusinasi saja dengan syarat pasien

tersebut dalam keadaan stres yang tidak terlalu

berat dan tidak ada resiko pasien untuk

mengamuk. Hal ini sesuai dengan hasil chek list

observation pada perawat bahwa sebelum

diadakan kegiatan ini, perawat memilih dan

menyeleksi terlebih dahulu pasien-pasien mana

saja yang boleh ikut dalam kegiatan ini. Dengan

demikian peneliti berasumsi bahwa pengetahuan

perawat untuk kriteria pemilihan pasien yang

boleh mengikuti Terapi Shalat sudah cukup

optimal.

Dari hasil wawancara mendalam

dengan informan perawat, peneliti juga

mendapatkan informasi bahwa selain kegiatan

Terapi Shalat dilakukan di ruang Terapi Religius

Hasana yang dibimbing oleh Tim Unit

Rehabilitasi dan Dokter, di ruangan TAK dan

religius yang terdapat di ruang Bangau sendiri

juga sering dilakukan kegiatan shalat berjamaah

bagi pasien. Berdasarkan pengamatan peneliti

saat melakukan Shalat Magrib berjamaah

dengan pasien Halusinasi yang terdapat di ruang

Bangau ini, kegiatan Shalat berjamaah ini atas

dasar inisiatif pasien sendiri dan kurang

melibatkan perawat di dalamnya. Hal ini

menurut keterangan dari informan dan key

informan, masih terdapat kendala-kendala bagi

perawat untuk melakukan kegiatan Terapi Shalat

dan Dzikir ini untuk pasien. Kendala-kendala

tersebut antara lain berupa anggapan pihak

Rumah Sakit bahwa hanya orang-orang atau

pihak-pihak tertentu saja yang bisa melakukan

kegiatan ini karena berhubungan dengan sisi

Page 25: dokumen-15-34

spiritualitas manusia, juga keterbatasan tenaga

perawat dan keterbatasan waktu yang dimiliki

oleh perawat untuk melakukan kegiatan Terapi

Shalat ini, serta dikarenakan di dalam

keperawatan belum ada format SOP untuk

pelaksanaan Terapi Shalat bagi pasien oleh

perawat. Meskipun menurut keterangan salah

satu informan yaitu informan 'A" sarana dan

prasarana untuk kegiatan Shalat ini seperti

sajadah, sarung, peci dan juga tempat untuk

Shalat sudah tersedia namun dalam praktiknya

masih menemukan beberapa kendala seperti

yang sudah disebutkan di atas.

Untuk tahapan dan proses kerja dari

pemberian Terapi Shalat ini, key informan dan 2

orang informan menyebutkan tentang tahap-

tahap pelaksanaan Terapi Religius yang dimulai

dari tahap persiapan, tahap orientasi, tahap kena

dan tahap terminasi.Akan tetapi informan tidak

menyebutkan secara mendetail tentang proses

dari Terapi Shalat itu sendiri. Sedangkan pada

informan '’A" mengatakan bahwa ia kurang

mengetahui tentang proses dari pelaksanaan

Terapi yang dimaksud. Dengan demikian

peneliti berasumsi bahwa dalam hal ini

pengetahuan informan dan key informan tentang

Terapi Shalat masih belum optimal.

6.3.2 Pelaksanaan pemberian Terapi Zikir di

Ruang Bangau

Berdasarkan hasil wawancara

mendalam dengan ketiga informan dan

didukung oleh informasi dari key informan,

peneliti kurang mendapatkan informasi tentang

pelaksanaan Terapi Dzikir. Menurut informan,

sama halnya seperti Terapi Shalat, Terapi Dzikir

ini juga termasuk dalam 1 rangkaian dengan

terapi Shalat yang merupakan salah satu bagian

dari Terapi Religius. Menurut informasi dari

ketiga informan perawat Terapi Religius sudah

dilaksanakan di Rumah Sakit Ernladi Bahar dan

hal ini merupakan salah satu kewenangan yang

dimiliki oleh pihak unit Rehabilitasi karena di

dalam keperawatan belum terdapat SOP tentang

Terapi Religius ini. Untuk Terapi Dzikir

biasanya dilakukan mengiringi setelah diadakan

kegiatan Shalat. Sama halnya dengan Terapi

Shalat, dalam kegiatan Terapi Dzikir ini

mengikuti Terapi Shalat, perawat sebagai

observer dan pihak yang menyeleksi pasien

mana saja yang boleh diikutkan dalam kegiatan

Terapi Dzikir ini, berkolaborasi dengan Tim

Unit Rehabilitasi dan Tim Dokter. Dalam

kegiatan Terapi Dzikir ini menurut keterangan

yang didapatkan dari hasil wawancara

mendalam dengan perawat, dilaksanakan

seminggu sekali pada hari Kamis pagi dimulai

dengan persiapan pada jam 8 pagi. Kegiatan ini

dilakukan di Ruang Terapi Religius Hasana

dibawah bimbingan Tim Unit Rehabilitasi dan

Dokter sebagai pengisi kegiatan. Kegiatan yang

dimaksud dapat berupa Shalat dan Dzikir,

mengaji,dan pemberian ceramah-ceramah

keagamaan. Isi acara bervariasi setiap

minggunya.

6.3.3 Tingkat stres pasien Halusinasi sebelum

dan setelah mendapatkan Terapi Salat

Berdasarkan hasil wawancara

mendalam dengan informan dan key informan

juga dapat diketahui bahwa terdapat pengaruh

Terapi Shalat terhadap penurunan tingkat stres

pasien. Hal ini sesuai dengan keterangan dari

informan dan key informan Bahwa terdapat

dampak yang positif dari pemberian Terapi

Shalat ini untuk menurunkan tingkat stres pasien

seperti sesudah dilakukan Shalat, informan

melihat bahwa pasien tampak lebih tenang, dan

rileks, tidak ada lagi resiko mengamuk ataupun

marah-marah. Hal ini sesuai dengan hasil

observasi peneliti terhadap pasien sebelum dan

sesudah mengikuti kegiatan Terapi Shalat.

Sebelum dilakukan Terapi Shalat, peneliti

mendapatkan gambaran tingkat stres dari 3

orang pasien observasi Halusinasi. Ketiga pasien

tersebut tampak lebih suka menyendiri,

melamun, marah sering tidak terkendali dan

bahkan pasien tampak seperti berbicara sendiri

dan marah kepada diri mereka sendiri. Pasien

berasumsi bahwa ketiga pasien ini sedang

mengalami Halusinasi dan stres sedang, sebab

pasien masih bisa orientasi waktu, tempat dan

orang. Setelah dilakukan Terapi Shalat Magrib

berjamaah di ruang TAK dan Religius yang

terdapat di ruang Bangau, ketiga pasien

observasi tersebut tampak stresnya mulai

berkurang menjadi stres tingkat rendah, ditandai

dengan ekspresi wajah pasien yang tampak

tenang , mau tersenyum, orientasi bagus dan

bisa di ajak berbicara dengan baik-baik dan

kooperatif, bersedia mengikuti saran perawat.

Page 26: dokumen-15-34

Dengan demikian, penulis berasumsi

bahwa dengan diberikannya Terapi Religius

Shalat, dapat ikut membantu menurunkan

tingkat stres pada pasien Halusinasi.

Hal ini sesuai dengan konsep Hendra

pada tahun 2011 yang menyebutkan tentang

teori dari Dadang Hawari, seorang psikiater

yang mengembangkan psikoterapi holistik,

berpendapat bahwa shalat menimbulkan

ketenangan. Di samping itu doa juga

menimbulkan rasa percaya diri dan optimis

(harapan kesembuhan). Ini merupakan dua hal

yang amat esensial bagi penyembuhan, suatu

penyakit, di samping obat-obatan dan tindakan

medis. Dipandang dari sudut kesehatan jiwa,

shalat dan dzikir mengandung unsur

psikoterapetik yang mendalam. Psikoreligius

terapi ini tidak kalah pentingnya dibandingkan

psikoterapi psikiatrik karena ia mengandung

kekuatan spiritual kerohanian yang

membangkitkan rasa percaya diri dan rasa

optimisme (harapan kesembuhan). Dua hal ini,

yaitu rasa percaya diri dan optimisme,

merupakan dua hal yang amat esensial bagi

penyembuhan suatu penyakit di samping obat-

obatan dan tindakan medis yang diberikan.

(Hawari 1998:8)

Dan juga menurut penelitian Alvan

Goldstien shalat bisa disebut sebagai ritual

meditasi. Dengan melakukan dengan ritual

meditasi maka dapat mengembalikan otak

memproduksi zat endorphin. Zat endorphin

dalam otak manusia yaitu zat yang memberikan

efek menenangkan, yang disebut endogegonius

morphin. Drs. Subandi, MA menjelaskan bahwa

kelenjar endorfina dan enkafalina yang

dihasilkan oleh kelenjar pituitrin di otak ternyata

mempunyai efek yang mirip dengan opiat

(candu) yang memiliki fungsi kenikmatan,

sehingga di sebut opiat endogen. Maka

seseorang yang sengaja memasukan zat morfin

ke dalam tubuh maka kelenjar endorphin akan

berhenti secara otomatis. Dan para pengguna

narkoba apabila melakukan penghentian

morphin dari luar secara tiba-tiba, akan

mengalami sakau (ketagihan yang menyiksa dan

gelisah) karena otak tidak lagi memproduksi zat

endhorphin yang secara alami. Sehingga sholat

yang benar atau melakukan dzikir-dzikir yang

banyak memberikan dampak efek ketenangan

mengurangi kecemasan dan tingkat stress

menurun.

Hal ini juga sesuai dengan penelitian

Larson dkk (1982) dalam Dadang Hawari

(2001) melaksanakan penelitian tentang terapi

spiritual khususnya terapi Solat untuk pasien

skizofrenia di RSJ. Mereka membandingkan

keberhasilan terapi pada dua kelompok pasien

Skizofrenia. Kelompok pertama mendapat terapi

konvensional (psikofarma) dan lain-lain tapi

tidak mendapat Terapi Spiritual (keagamaan).

Kelompok kedua mendapat terapi konvensional

dan lain-lain dan mendapat Terapi Spiritual.

Kedua kelompok tersebut dirawat di RSJ yang

sama. Hasil penelitian ini cukup bermakna

bahwa :

(1) gejala klinis gangguan jiwa

Skizofrenia lebih cepat hilang pada

kelompok kedua yang mendapat

Terapi Spiritual / Psikoreligius.

(2) pada kelompok kedua lamanya

perawatan lebih pendek daripada

kelompok pertama.

(3) pada kelompok kedua, tingkat stres

lebih cepat teratasi daripada

kelompok pertama.

(4) pada kelompok kedua kemampuan

adaptasi lebih cepat daripada

kelompok pertama.

Terapi Religius yang dimaksud dalam

penelitian ini adalah kegiatan ritual keagamaan

seperti sembahyang, berdoa, memanjatkan puji-

pujian pada Tuhan, ceramah keagamaan dan

kajian kitab suci. Shalat yang ikhlas dan

khusyuk dibuktikan secara kuantitatif melalui

sekresi hormon kortisol dengan parameter

kondisi tubuh. Pada kondisi normal, jumlah

kortisol pada pagi hari normalnya antara 38

nmol-690 nmol/liter. Sedangkan pada malam

hari atau setelah pukul 24.00, jumlah ini

meningkat menjadi 69 nmol - 345 nmol/liter.

Kalau jumlah hormon kortisolnya normal, dapat

diindikasikan bahwa orang tersebut tidak ikhlas

karena merasa tertekan. Demikian juga

sebaliknya. Orang dalam keadaan depresi, stres

atau punya beban psikologis yang berat biasanya

rentan sekali terhadap penyakit kanker dan

infeksi. Dengan melakukan shalat secara rutin

dan disertai perasaan ihklas serta tidak

terpaksa,seseorang akan memiliki respon imun

yang baik serta besar kemungkinan terhindar

Page 27: dokumen-15-34

dari penyakit infeksi dan kanker bahkan

penyakit kejiwaan. Secara medis, shalat yang

demikian menyebabkan seseorang memiliki

ketahanan tubuh yang baik.

Dengan demikian peneliti

menyimpulkan bahwa untuk pelaksanaan Terapi

Solat di ruangan Bangau terhadap pasien

Halusinasi khususnya, bisa dikatakan cukup

optimal. Hal ini dikarenakan terdapat sarana dan

prasarana yang memadai untuk dilakukan

kegiatan Terapi Shalat tersebut yaitu tersedianya

alat-alat shalat seperti sajadah, sarung, peci, juga

tersedianya tempat untuk kegiatan tersebut.

6.3.4 Tingkat Stres pasien Halusinasi sebelum

dan sesudah mengikuti Terapi Zikir

Berdasarkan hasil wawancara

mendalam dengan informan dan key informan

serta hasil observasi pasien, peneliti kurang

mendapatkan informasi tentang tingkat stres

pasien Halusinasi setelah mengikuti Terapi Zikir

karena kurangnya pengetahuan informan dan

key informan serta pasien untuk Terapi Zikir

khususnya dzikrullah. Namun berdasarkan hasil

observasi yang dilakukan kepada pasien setelah

mereka melakukan Shalat, pasien juga

memanjatkan doa setelah mereka Shalat. Ketika

ditanyakan kepada pasien tentang doa apa yang

mereka panjatkan, mereka menjawab bahwa

mereka berdoa untuk orang tua dan keluarga.

Mereka mengatakan jarang berdzikir karena

kurangnya pengetahuan mereka dalam hal

Dzikrullah ini.

Hal ini tidak sesuai dengan konsep

yang dikemukakan oleh Hendra tentang

penelitian yang diberikan oleh dr. Arman

Yurisaldi Saleh yang mengungkapkan fenomena

ini melalui pendekatan ilmiah neuro science.

Beliau adalah seorang spesialis syaraf sekaligus

seorang klinisi yang sering menangani dan

menerima konsultasi penyakit-penyakit syaraf.

Berdasarkan pengalaman empiris, didukung

pengamatan langsung terhadap pasien dan

disertai studi literatur yang serius, dr. Yurisaldi

akhirnya sampai pada kesimpulan adanya

hubungan yang erat antara pelafalan huruf

(makharijul huruf) pada bacaan zikir Laa ilaaha

illalloh dan Astaghfirullah dengan tampilan

klinis (kondisi fisik dan psikis) seseorang yang

membacanya (hal 50). Zikir yang berdampak

positif terhadap kesehatan syaraf dan tubuh ini

tentu saja adalah zikir yang dilafalkan secara

baik dan benar sesuai aturan dalam ilmu tajwid

dan dipahami arti dan dihayati maknanya

disertai dengan kesungguhan. Dari kajian ilmu

tajwid (ilmu yang mempelajari cara membaca

al-qur'an), penulis ini mengetahui bahwa kalimat

zikir Laa ilaaha illalloh dan Astaghfirullah

mengandung dampak yang luar biasa. Dalam

Laa ilaaha illalloh terdapat huruf jahr yang

diulang sebanyak tujuh (7) kali, yaitu huruf lam;

dan dalam astaghfiiullah terdapat huruf ghain, ra

dan dua buah lam. Dari kedua kalimat zikir itu

maka ada empat huruf jahr yang harus dilafalkan

seara keras/jelas. Hasilnya adalah bahwa udara

yang keluar dari paru-paru melalui mulut akan

lebih banyak dibandingkan dengan bacaan pada

kalimat zikir yang lain, seperti Subhanalloh (dua

huruf jahr), Allohu akbar (tiga huruf jahr) dan

Alhamdulillah (dua huruf jahr). (Hendra,201 l)

Ditinjau secara medis-klinis, jika kita

melafalkan kalimat zikir Laa ilaaha illalloh dan

Astaghfirulloh secara benar sesuai ilmu tajwid

berarti kita sedang mengeluarkan

karbondioksida leboh banyak saat udara

diembuskan keluar mulut, dibandingkan dengan

jika kita membaca kalimat zikir yang

mengandung lebih sedikit huruf jahr. Kalimat

zikir yang lain tetap bermanfaat memberikan

dampak ketenangan. Dampak sehatnya, ketika

seseorang melalukan zikir secara intens dan

khusyuk seraya memahami dan menghayati

artinya, pembuluh darah di otak akan membuat

aliran karbondioksida yang keluar dari

pernafasan menjadi lebih banyak. Kadar

karbondioksida di otak pun akan menurun

dengan teratur. Sehingga tubuhpun akan segera

menampilkan kemampuan reflek kompensasi,

rileks. Rangkaian proses pengeluaran

karbondioksida yang merupakan oksidan/gas

buangan metabolit dan proses neurosis tersebut

ternyata mempunyai efek positif bagi pembaca

zikir.

Sedangkan berdasarkan data yang

didapat pada hasil observasi, kegiatan Terapi

Zikir ini kurang bisa dilaksanakan secara

optimal di ruangan Bangau dikarenakan

beberapa hal terutama tentang keterbatasan

pengetahuan perawat juga pasien tentang arti

dan manfaat dzikir Laa Ilahaillalloh dan

Astaghfirullah ini. Juga dikarenakan belum

terdapat sarana dan prasarana yang memadai

untuk melakukan kegiatan ini seperti tasbih,

Page 28: dokumen-15-34

untuk berdzikir, juga belum tersedianya

fasilitator di ruangan Bangau unutuk

membimbing pasien melakukan Terapi Dzikir

ini. Juga belum diketahui perubahan tingkat

stress pasien Halusinasi sesudah mengikutu

kegiatan Terapi Zikir ini.

Meskipun demikian berdasarkan hasil

wawancara mendalam dengan informan juga

hasil observasi terhadap pasien Halusinasi yang

melakukan kegiatan Shalat, mereka mengatakan

bahwa untuk zikir ini juga dilakukan tetapi lebih

spesifik ke doa kepada orang tua, keluarga,

bukan dzikir Dzikrullah.

Dengan demikian peneliti berasumsi

bahwa untuk pelaksanaan Terapi Dzikir ini

masih belum maksimal dilakukan untuk pasien

yang terdapat di Rumah Sakit Ernaldi Bahar ini

juga belum diketahui tentang pengaruh Terapi

Zikir terhadap perubahan tingkat stres pasien

Halusinasi.

7. Kesimpulan dan Saran

7.1 Kesimpulan

7.1.1 Pelaksanaan pemberian Terapi Shalat di

Ruang Bangau

Dari hasil wawancara mendalam

dengan ketiga informan serta hasil chek list

observation terhadap perawat dan pasien

didapatkan kesimpulan bahwa untuk

pelaksanaan Terapi Religius Shalat ini masih

dalam kewenangan pihak Unit Rehabilitasi yang

terdapat di Rumah Sakit Ernaldi Bahar ini.

Namun, selain dilakukan di Ruang Terapi

Religius oleh pihak Rehabilitasi, kegiatan Shalat

juga dilaksanakan di Ruang Bangau sendiri

secara berjamaah atas inisiatif perawat dan

pasien sendiri. Secara umum pelaksanaan

pemberian Terapi Shalat ini sudah bias

dikatakan cukup baik dilakukan di Ruang

Bangau dan pasien pun bias menerima dan

mengikuti kegiatan ini sesuai dengan contoh dan

prosedur yang telah diberikan oleh perawat,

tetapi kegiatan Terapi Shalat ini dalam

pelaksanaannya juga mengalami beberapa

kendala yang berasal dari perawat yaitu

keterbatasan waktu perawat untuk memberikan

Terapi Shalat ini secara teratur terkait

terbenturnya dengan jadwal dinas perawat.

Meskipun demikian kegiatan Shalat ini

mendapatkan dukungan dari Kepala Ruangan

serta perawat yang ada di Ruang Bangau.

Sehingga dalam hal ini dapat

disimpulkan bahwa Terapi Shalat ini sudah

dilakukan cukup baik di ruangan Bangau

terutama dilakukan dari pihak pasien.

7.1.2 Pelaksanaan pemberian Terapi Zikir di

Ruang Bangau

Dari hasil wawancara mendalam

dengan ketiga informan serta hasil chek list

observation terhadap perawat dan pasien

didapatkan kesimpulan bahwa untuk

pelaksanaan Terapi Zikir ini masih kurang

optimal dalam pelaksanaannya di ruangan

Bangau untuk pasien Halusinasi khususnya. Hal

ini dikarenakan belum tersedianya sarana dan

prasarana yang mencukupi untuk dilakukan

kegiatan tersebut seperti tasbih, juga fasilitator

sebagai pembimbing pasien untuk melakukan

kegiatan Zikir Dzikrullah. Dan hal yang paling

utama adalah keterbatasan pengetahuan dari

informan juga pasien tentang Zikrullah ini

karena memang belum terdapat kebijakan

khusus dari Rumah Sakit Ernaldi Bahar ini

dalam hal pemberian terapi zikir Zikkrullah ini

untuk perawat dan pasien.

Akan tetapi meskipun terapi Zikir

Dzikrullah kurang optimal dalam

pelaksanaannya, ketiga pasien tetap berdoa

setelah melakukan Shalat. Doa tersebut antara

lain menurut keterangan informan juga pasien

adalah doa minta ampun, doa untuk keluarga

dan orang tua agar mereka segera diberikan

kesembuhan. Menurut mereka, meskipun

mereka jarang melakukan Zikir, mereka tetap

berdoa karena menurut mereka doa sama halnya

dengan Zikir Zikrullah.

Sehingga dengan demikian dapat

disimpulkan bahwa dalam pelaksaan pemberian

Terapi Zikir ini masih kurang optimal dilakukan

oleh perawat di Ruangan Bangau .

7.1.3 Tingkat Stres pasien Halusinasi sebelum

dan sesudah mengikuti kegiatan Terapi

Shalat

Sesuai dengan pelaksanaan Terapi

Shalat yang dilakukan di ruangan, peneliti

mendapatkan gambaran tentang tingkat stres

pasien Halusinasi sebelum dan sesudah

mengikuti kegiatan ini. Dalam hal ini tingkat

Page 29: dokumen-15-34

stress yang dimaksudkan adalah berupa

gambaran perilaku pasien.

Sebelum dilakukan kegiatan Shalat

berjamaah di ruangan, secara umum didapatkan

gambaran perilaku ketiga pasien observasi.

Ketiga pasien tampak gelisah, tidak tenang,

mudah tersinggung dan mudah marah. Ketiga

pasien lebih suka beraut menyendiri di dalam

kamarnya dan tampak sering melamun dan

ekspresi wajah tampak sedih. Sesudah ketiga

pasien tersebut di ajak melakukan Shalat

berjamaah di ruangan bersama dengan pasien

yang lainnya, mereka mampu mengikuti

kegiatan Shalat dengan baik dan benar, dan juga

tampak khusyuk dalam Shalatnya. Sesudah

Shalat ketiga pasien tersebut mengemukakan

tentang perasaannya yaitu lebih tenang, emosi

lebih bisa terkendali, tidak gelisah lagi.Data

obyektif yang didapatkan pasien tampak senang,

lebih bisa bersosialisasi dengan pasien yang

lainnya dan mulai bisa mengikuti aktifitas

sehari-hari.

Sehingga dalam hal ini peneliti

menyimpulkan bahwa dengan melakukan

kegiatan Shalat dapat membantu menurunkan

tingkat stres pada pasien Halusinasi.

7.1.4 Tingkat stres pasien Halusinasi sebelum

dan sesudah mengikuti kegiatan Terapi

Zikir

Peneliti kurang mendapatkan data

untuk terapi Zikir ini, namun menurut sebagian

informasi yang didapatkan dari pasien, sebelum

mereka berdoa perasaan mereka gelisah,

ditandai dengan ekspresi wajah pasien tampak

kebingungan juga tidak tenang. Sesudah berdoa,

didapatkan data subyektif pasien yaitu pasien

mengatakan bahwa setelah berdoa perasaan

mereka menjadi jauh lebih tenang, data obyektif

pasien juga menunjukkan pasien tampak lebih

rileks dan tenang.

Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa

Terapi Zikir ini belum dilakukan di ruangan

Bangau karena belum ada kebijakan khusus juga

sarana dan prasarana untuk mendukung kegiatan

ini. Namun berdasarkan keterangan informan

juga pasien, mereka berpendapat bahwa Terapi

Zikir dapat mengurangi tingkat stress pasien

Halusinasi.

Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa dalam pemberian Terapi Zikir ini masih

kurang optimal dilakukan di Ruangan Bangau

karena masih banyak terdapat kendala-kendala.

7.2 Saran

7.2.1 Bagi Pihak Rumah Sakit

Diharapkan dari pihak rumah sakit

Ernaldi Bahar Palembang untuk dapat

memberikan penyuluhan langsung kepada

pasien tentang Terapi Religius khususnya Shalat

dan Zikir. Sehingga akan tercipta kesehatan

yang holistik atau meneyeluruh untuk pasien di

Rumah Sakit Ernaldi Bahar ini. Juga

keterbatasan sarana dan prasarana dalam Terapi

Religius Shalat dan Zikir ini hendaknya lebih

diperhatikan lagi.

7.2.2 Perawat

Diharapkan perawat mendominankan

peranannya sebagai pemberi asuhan dan

pendidik bagi pasien dengan memberikan

asuhan keperawatan yang holistik meliputi

bio,sosio,psiko dan spiritual sehingga hal ini

dapat membantu pasien merasa nyaman dan

mengurangi lamanya waktu rawat inap pasien.

Perawat juga meningkatkan pengetahuannya

tentang Terapi Religius Shalat dan Zikir ini

untuk memenuhi kebutuhan spiritual pasien .

7.2.3 Bagi Peneliti Selanjutnya

Diharapkan bagi peneliti lain untuk

dapat meneruskan penelitian ini tentang

pemberian Terapi Religius Salat dan Zikir untuk

menurunkan tingkat stres pada pasien

Halusinasi.