dokumen-15-34
-
Upload
kim-haris-imnida -
Category
Documents
-
view
244 -
download
6
Transcript of dokumen-15-34
ABSTRAK
Terapi psikoreligius atau terapi religius adalah sebuah terapi dengan pendekatan terhadap
kepercayaan yang dianut oleh pasien. contoh terapi ini adalah terapi shalat dan zikir. Pada tahun 1984
WHO memasukan dimensi spiritual keagamaan sama pentingnya dengan dimensi fisik, psikologis dan
psikososial. Seiring dengan itu terapi-terapi yang dilakukan pun mulai menggunakan dimensi spiritual
keagamaan, sebagai bagian dari terapi modalitas khususnya untuk keperawatan jiwa. Berdasarkan
penelitian Larson oleh Dadang Hawari meyebutkan bahwa terapi Religius Shalat dan Zikir dalam
penurunan tingkat stres pasien Halusinasi di ruang Bangau Rumah Sakit Erladi Bahar Palembang.
Penelitian ini bersifat deskriftif dengan pendekatan kualitatif, pengumpulan data dengan
menggunakan wawancara mendalam, dan observasi. Penelitian ini dilakukan pada bulan Juni 2012 di
Ruang Bangau Rumah Sakit Ernaldi Bahar Provinsi Sumatra Selatan.
Hasil penelitian informan dengan wawancara mendalam dan Observasi menujukan bahwa
untuk pelaksanaan Terapi Religius Shalat dan Zikir ini belum berjalan secara optimal. Hal ini
dikarnakan masih terdapat kendala-kendala yang ditemukan.
Hasil penelitian ini diharapkan bagi perawat ruangan diharapkan mampu mengingatkan
kualitas sumber daya manusia dibidang kesehatan jiwa, terutama pemahaman tentang Terapi Religius
Shalat dan Zikir dalam hubungannya dengan penurunan tingkat stress pasien Halusinasi
Kata kunci : Terapi Psikoreligius Shalat dan Zikir. Halusinasasi
Pendengaran,stres
ABSTRACT
Spiritual or religious therapy is a therapeutic approach to the beliefs held by patients.
Examples of this therapy is the therapeutic prayer and remembrance. In 1984 the WHO include the
spiritual dimension of religion is as important as the physical, psychological and psychosocial. Along
with that, the therapeutic are performed began using religious spiritual spiritual dimension, as part of
a therapeutic modality, especially for nursing soul. Based on research by dadang hawari larson
mentioned that the religious prayer and remembrance therapy can lower stress levels of psychiatric
patients. This study aims to determine the provision of religious therapy prayer and remembrance in
decreased stress levels in the patient’s hallucinations paradise Ernaldi Bahar hospital Palembang.
This was a descriptive qualitative approach, collecting data by using in depth interview, and
observation. The research was conducted in july 2012 in room paradise Hospital Ernaldi Bahar
Palembang.
The results of informants with in-depth interview and observations showed that for the
implementation of prayer and remembrance religious therapy is not running optimally. This is because
there are constraints that are found.
The results of this study is expected to nurse the room is expected to improve the quality of
human resources in the field of mental health, especially an understanding of therapy religious prayer
and remembrance in conjunction with a reduction in stress levels of patient hallucinations.
Key word : Psikoreligius's therapy Pray and Recitation. Halusinasasi is Hearing,stress
PERAWAT DALAM PENERAPAN THERAPI PSIKORELIGIUS
UNTUK MENURUNKAN TINGKAT STRESS PADA PASIEN
HALUSINASI PENDENGARAN DI RAWAT INAP BANGAU
RUMAH SAKIT ERNALDI BAHAR
PALEMBANG 2012
Oleh
Mery Fanada,SPd,SKM,M.Kes
Widyaiswara Muda
Badan Diklat Provinsi Sumatera Selatan
1. Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Kesehatan Jiwa adalah bagian internal
dari upaya kesehatan yang bertujuan
menciptakan p erkembangan jiwa yang sehat
secra optimal baik intelektual maupun
emosional (Kusumawati & Hartono, 2011 ).
Menurut Yosep (2007), Masalah kesehatan jiwa
mempunyai lingkup yang sangat luas dan
kompleks serta saling berhubungan satu dengan
lainnya. Apabila individu tidak mampu
mempertahankan keseimbangan atau
mempertahankan kondisi mental yang sejahtera,
maka individu tersebut akan mengalami
gangguan, dan apabila gangguan tersebut secara
psikologis maka akan mengakibatkan individu
mengalami gangguan jiwa.
Dalam masyarakat umum skizofrenia
tedapat 0,2 – 0.8 % dan retardasi mental 1 – 3 %
WHO melaporkan bahwa 5 – 15 % dari anak
anak antara 3 – 15 tahun mengalami gangguan
jiwa yang persistent dan mengganggu hubungan
sosial. Bila kira – kira 40 % penduduk negara
kita ialah anak – anak di bawah 15 tahun (di
negara yang sudah berkembang kira – kira 25
%), dapat digambarkan besarnya masalah (
ambil 5 % dari 40% dari katakan saja 120 juta
penduduk, maka di negara kita terdapat kira –
kira 2.400.000 orang anak yang mengalami
gangguan jiwa). Pada skizofrenia terdapat 90 %
gejalanya halusinasi, halusinasi timbul tanpa
penurunan kesadaran dan hal ini merupakan
suatu gejala yang hampir tidak dijumpai pada
keadaan lain (Maramis, 2005).
Berdasarkan data yang diambil dari
hasil rekapitulasi Rekam medik di Rumah Sakit
Ernaldi Bahar Jiwa Daerah Propinsi Sumatra
Selatan pada tahun 2009 jumlah keseluruhan
pasien jiwa adalah sebanyak 4313 pasien dan
413 pasien yang mengalami halusinasi. Tahun
2010 jumlah pasien gangguan jiwa 4858 pasien,
yang mengalami halusinasi 667. tahun 2011
jumlah pasien jiwa 4885 pasien, yang
mengalami halusinasi 752 pasien.
Skizofrenia yang mempunyai gejala
utama penurunan persepsi sensori yaitu
Halusinasi. Halusinasi merupakan hilangnya
kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal (pikiran) dan rangsangan
eksternal (dunia luar). Klien memberi persepsi
atau pendapat tentang lingkungan tanpa ada
objek atau rangsangan yang nyata. Sebagai
contoh klien mengatakan mendengar suara
padahal tidak ada orang yang
berbicara.(Kusumawati & Hartono, 2011).
Bagi mereka yang mengalami
Halusinasi juga tidak luput dari masalah stres
yang dapat muncul dalam kehidupan nya sehari-
hari. Salah satu jenis stresor yang dapat muncul
adalah stresor sosial dimana stres dan
kecemasan akan meningkat bila terjadi
penurunan stabilitas. Stress merupakan sebagai
reaksi fisik, mental, dan kimiawi dari tubuh
terhadap situasi yang menakutkan, mengejutkan.
Membingungkan, membahayakan dan
merisaukan seseorang ( Grenberg, 1984 dalam
Yosep, 2007).
Kondisi untuk menimalisi komplikasi
atau dampak dari Halusinasi membutuhkan
peran perawat yang optimal dan cermat untuk
melakukan pendekatan dan membantu klien
untuk memecahkan masalah yang dihadapinya
dengan memberikan penatalaksaan untuk
mengatasi Halusinasi. Penatalaksaan yang
diberikan antra lain meliputi farmakoligis dan
nonfarmakologis. Penatalaksaan farmakologis
antara lain dengan memberikan obat-obatan
antipsikotik. Adapun penatalaksanaan
nonfarmakologis dari halusinasi dapat meliputi
pemberian terapi-terapi antara lain terapi
modalitas. (Direja, 2011)
Terapi Modalitas adalah terapi dalam
keperawatan jiwa, dimana perawat mendasarkan
potensi yang dimiliki pasien sebagai titik tolak
terapi atau penyembuhan. Ada beberapa jenis
terapi modalitas, antara lain: terapi individual,
terapi lingkungan (milliu therapi), terapi
biologis atau terapi somatik, terapi kognitif,
terapi keluarga, terapi prilaku, terapi bermain (
Yosep, 2007 )
Pada tahun 1984 WHO memasukan
dimensi spiritual keagamaan sama petingnya
dengan dimensi fisik, psikologis dan psikososial.
Seiring dengan itu terapi-terapi yang dilakukan
pun mulai mengunakan dimensi spiritual
keagamaan, sebagai bagian dari terapi
modalitas. Terapi yang demikian disebut dengan
terapi holistik artinya terapi yang melibatkan
fisik, psikologis, psikososial dan
spritual.(Yosep, 2007).
Salah satu bentuk Terapi Spiritual atau
Terapi Religius ini antara lain Terapi Shalat dan
Zikir. Dalam Terapi Shalat ini semua gerakan,
sikap dan prilaku dalam Shalat dapat
melemaskan otot yang kaku, mengendorkan
tegangan sistem syaraf, menata dan
menkonstruksi persendian tubuh, sehingga
mampu mengurangi dampak positif terhadap
kesehatan kesehatan syaraf dan tubuh jika zikir
yang dilafalkan sacara baik dan benar sesuai
aturan dalam ilmu tajwid dan dipahami artis dan
dihayati maknanya disertai dengan kesungguhan
(Wibisono, 1985 dalam Yosep, 2007 ).
Terapi religius pada kasus-kasus
gangguan jiwa ternyata membawa manfaat.
Angka rawat inap pada klien gangguan jiwa
skizofrenia yang mengikuti kegiatan keagamaa
lebih rendah bila dibandingkan dengan mereka
yang tidak mengetahuinya. (Chu dan Klein,
1985 dalam Yosep, 2007)
Dari fenomena diatas peneliti tertarik
untuk mengkaji dan membuktikan secara ilmiah
tentang bagaimana penerapan therapi
psikoreligius dalam menurunkan tingkat stress
pasien halusinasi oleh perawat di ruang Bangau
di Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang.
1.2. Rumusan Masalah Melihat fenomena latar belakang
diatas, maka rumusan masalah penelitian ini
adalah belum diketahuinya penerapan therapi
psikoreligius terhadap penurunan tingkat stres
pasien Halusinasi oleh perawat di ruang Bangau
di Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang.
1.3. Pertanyaan Penelitian
Dari permasalahan tersebut diatas maka
timbul suatu pertanyaan penelitian yaitu ʻʼ
Bagaimana penerapan therapi psikoreligius
dalam penurunan tingkat stres oleh perawat
pasien halusinasi oleh perawat di ruang Bangau?
1.4. Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Untuk mendapatkan informasi yang
mendalam tetang bagaimana penerapan therapi
psikoreligius terhadap penurunan tingkat stres
pasien halusinasi oleh perawat di Ruang Bangau
di Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang tahun
2012.
1.4.2 Tujuan khusus
1. Untuk mendapatkan informasi
mendalam mengenai penerapan
Terapi Shalat.
2. Untuk mendapatkan informasi
mendalam penerapan Terapi Zikir
3. Untuk mendapatkan informasi
mendalam tentang tingkat stres
pasien Halusinasi setelah
mengikuti Terapi Shalat
4. Untuk mendapatkan informasi
mendalam tentang tingkat stres
pasien Halusinasi setelah
mengikuti Terapi Zikir
2. Tinjauan Pustaka
2.1. Konsep Dasar kesehatan Jiwa 2.1.1. Definisi kesehatan Jiwa
Menurut Undang-Undang No. 3 Tahun
1966, tentang Kesehatan jiwa, kesehatan jiwa
adalah suatu kondisi yang memungkinkan
perkembangan fisik, intelektual dan emosional
yang optimal dari seseorang dan perkembangan
itu berjalan selaras dengan keadaan orang lain.
Makna kesehatan jiwa mempunyai sifat-sifat
yang harmonis (serasi) dan memperhatikan
semua segi-segi dalam kehidupan manusia dan
dalam hubungannya dengan orang lain.
(kusumawati, 2011), sedangkan menurut who
kesehatan jiwa adalah berbagai karakteristik
positif yang menggambarkan keselarasan dan
keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan
kedewasaan kepribadiannya. Direja, (2011)
Seseorang yang “sehat jiwa” mempunyai ciri-
ciri sebagai berikut:
1. Merasa senang terhadap dirinya serta
1. Mampu menghadapi situasi.
2. Mampu mengatasi kekecewaan dalam
hidup.
3. Puas dengan kehidupannya sehari-hari.
4. Mempunyai harga diri yang wajar.
5. Menilai dirinya secara realistis, tidak
berlebihan dan tidak pula
merendahkan.
2. Merasa nyaman berhubungan dengan orang
lain serta
1. Mampu mencintai orang lain
2. Mempunyai hubungan pribadi yang
tetap
3. Dapat menghargai pendapat orang lain
yang berbeda
4. Merasa bagian dari suatu kelompok
5. Tidak "mengakali" orang lain dan juga
tidak membiarkan orang lain
"mengakali" dirinya
3. Mampu memenuhi tuntutan hidup serta
1. Menetapkan tujuan hidup yang realistis
2. Mampu mengambil keputusan
3. Mampu menerima tanggung jawab
4. Mampu merancang masa depan
5. Dapat menerima ide dan pengalaman
baru
6. Puas dengan pekerjaannya
2.1.2 Perawat
Pasien dengan gangguan jiwa perlu
bantuan tenaga kesehatan yang khusus yang
dapat mengatasi masalah kesehatan jiwanya.
Tenaga kesehatan tersebut adalah seorang
perawat.
2.1.2.1. Definisi Perawat
Perawat adalah seseorang
telah menyelesaikan program
pendidikan keperawatan, berwenang
dinegara bersangkutan untuk
memberikan pelayanan, dan
bertanggung jawab dalam peningkatan
kesehatan, pencegahan penyakit serta
pelayanan terhadap pasien.
(Internasional Council of Nursing,
1965)
Menurut Undang-undang RI.
No.23 tahun 1992 menyatakan bahwa
perawat adalah seseorang yang
memiliki kemampuan serta ketrampilan
dan mempunyai kewenangan
melakukan tindakan keperawatan
berdasarkan ilmu yang dimilikinya,
yang diperoleh melalui pendidikan
perawatan.
2.1.2.2 Peran Perawat
Peran Perawat menurut CHS
(Consorsium Hight Science) 1989
(dalam Nurhasanah, 2010) adalah
tingkah laku yang diharapkan oleh
seseorang terhadap orang lain dalam
suatu sistem, antara lain:
1. Pemberi asuhan keperawatan.
2. Pembela pasien.
3. Pendidik tenaga perawat dan
masyarakat.
4. Koordinator dalam pelayanan
pasien.
5. Kolaborator dalam membina kerja
sama dengan profesi lain dan
sejawat.
6. Konsultan atau penasehat pada
tenaga kerja dan pasien.
7. Pembaharu sistem, metodologi,
dan sikap.
Peran perawat menurut
Lokakarya Nasional tahun 1983 adalah:
1. Pelaksana pelayanan keperawatan.
2. Pengelola pelayanan keperawatan
dan institusi Pendidikan.
3. Pendidik dalam keperawatan.
4. Peneliti dan pengembang
keperawatan.
2.1.2.3 Fungsi Perawat
Fungsi adalah pekerjaan yang
harus dilaksanakan sesuai dengan
peranannya.
Tujuh fungsi perawat menurut Phaneuf
(1972) antara lain:
1. Melaksanakan instruksi dokter
(fungsi dependen).
2. Observasi gejala dan respons
pasien yang berhubungan dengan
penyakit dan penyebabnya.
3. Memantau pasien, menyusun, dan
memperbaiki rencana keperawatan
secara terus-menerus berdasarkan
pada kondisi dan kemampuan
pasien.
4. Mencatat dan melaporkan keadaan
pasien.
5. Melaksanakan prosedur dan teknik
keperawatan.
6. Supervisi semua pihak yang ikut
terlibat dalam perawatan pasien.
7. Memberikan pengarahan dan
penyuluhan untuk meningkatkan
kesehatan fisik dan mental.
(Nurhasanah, 2010).
2.2 Konsep Dasar Halusinasi
2.2.1 Definisi Halusinasi
Halusinasi adalah suatu persepsi yang
salah tanpa dijumpai adanya rangsangan dari
luar. Walaupun tampak sesuatu yang “khayal”,
halusinasi sebenarnya merupakan bagian dari
kehidupan mental penderita yang “ terepsesi”.
Halusinasi dapat terjadi karena dasar-dasar
organic fungsional, psikotik maupun histerik.(
Yosep, 2007)
Halusinasi adalah sensasi panca indra
tanpa adanya rangsangan. Klien merasa melihat,
mendengar, membau dan ada rasa kecap
meskipun tidak ada suatu rangsang yang tertuju
pada kelima indra tersebut ( Damaiyanti, 2008 )
Halusinasi adalah hilangnya
kemampuan manusia dalam membedakan
rangsangan internal ( pikiran ) dan rangsangan
eksternal (dunia luar).Klien memberikan
persepsi atau pendapat tentang lingkungan tanpa
ada objek atau rangsangan yang nyata. Sebagai
contoh klien mengatakan mendengar suara
padahal tidak ada orang yang berbicara
(Kusumawati dan Hartono 2011).
2.2.2 Penyebab Halusinasi
Menurut Yosep (2007) penyebab
halusinasi ada faktor predisposisi dan faktor
presipitasi :
a. Faktor predisposisi
a. Genetik
b. Neurobiology
c. Neurotransmitter
d. Abnormal perkembangan saraf
e. Psikologis
b. Faktor presipitasi
a. Proses pengolahan informasi yang
berlebihan
b. Mekanisme penghantaran listrik yang
abnormal
c. Adanya gejala pemicu.
2.2.5. Tahapan Halusinasi
Menurut Direja (2011) Halusinasi
melalui empat fase, yaitu sebagai berikut :
1.Fase 1 (Non-psikotik)
Pada tahap ini, halusinasi mampu
memberikan rasa nyaman pada klien, tingkst
orientasi sedang. secara umum pada tahap ini
halusinasi merupakan hal yang menyenangkan
bagi klien
a. Karakteristik : Mengalami kecemasan,
kesepian, rasa bersalah, dan
ketakutan,Mencoba berfokus pada pikiran
yang dapat menghilangkan kecemasan,
Pikiran dan pengalaman sensorik masih ada
dalam control kesadarn
b. Perilaku yang muncul : Tersenyum atau
tertawa sendiri, Menggerakan bibir tanpa
suara, pergerakan mata yang cepat, Respons
verbal lambat, diam, dan berkonsentrasi
2. Fase II (Non-psikotik)
Pada tahap ini biasanya klien bersikap
menyalahkan dan mengalami tingkat kecemasan
berat. secara umum halusinasi yang ada dapat
menyebabkan antipasti.
a. Karakteristik : Pengalaman sensori
menakutkan atau merasa dilecehkan oleh
pengalam tersebut, Mulai merasa kehilangan
control, Menarik diri dari orang lain
b. Perilaku yang muncul : Terjadi peningkatan
denyut jantung, pernapasan, dan tekanan
darah, Perhatian terhadap lingkungan
menurun, konsentrasi terhadap pengalaman
sensori pun menurun, Kehilangan
kemampuan dalam membedakan antara
halusinasi dan realita.
3. Fase III (Psikotik)
Klien biasanya tidak dapat mengontrol
dirinya sendiri, tingkat kecemasan berat, dan
halusinasi tidak dapat ditolak lagi
a. Karakteristik : Klien menyerah dan menerima
pengalaman sensorinya, Isi halusinasi
menjadi atraktif, Klien menjadi kesepian
bila pengalaman sensori berakhir
b. Perilaku yang muncul : Klien menuruti
perintah halusinasi, Sulit berhubungan
dengan orang lain, Perhatian terhadap
lingkungan sedikit atau sesaat, Tidak
mampu mengikuti perintah yang nyata,
Klien tampak tremor dan berkeringat
a. Fase IV ( Psikotik )
Klien sudah sangat dikuasai oleh
halusinasi dan biasanya klien terlihat panik
Prilaku yang muncul : Resiko tinggi mencederai,
Agitasi / kataton, Tidak mampu merespons
rangsangan yang ada.
2.2.6. Data penting yang perlu didapat saat
pengkajian
1. Jenis Halusinasi
Berikut adalah jenis-jenis
halusinasi, data objektif dan data
subjetifnya.data objektif dapat
dikaji dengan cara mengobservasi
perilaku pasien, sedangkan data
subjektif dapat dikaji dengan
melakukan cara wawancara
dengan pasien
2. Isi Halusinasi
Data tentang isi halusinasi dapat
diketahui dari hasil pengkajian
tentang jenis halusinasi
3. Waktu, Frekuensi, dan situasi yang
menyebabkan munculnya
halusinasi.
Perawat perlu juga perlu mengkaji
waktu, frekuensi, dan situasi
munculnya halusinasi yang
dialami pasien.hal ini dilakukan
untuk menentukan intervensi
khusus pada waktu terjadinya
halusinasi, menghindari situasi
yang menyebabkan munculnya
halusinas. sehingga pasien tidak
larut dengan halusinasinya. dengan
mengetahui frekuensi terjadinya
halusinasi dapat direncanakan
frekuensi tindakan untuk
mencegah terjadinya halusinasi.
(Damaiyanti, 2011)
2.2.7 Tindakan keperawatan pasien dengan
halusinasi
Ada 5 tindakan keperawatan pasien dengan
halusinasi menurut Damaiyanti, (2011)
1. Membina hubungan saling percaya
perawat-klien
a.Sapa klien dengan ramah baik
verbal maupun non verbal
b. Perkenalkan diri dengan sopan
c. Tanyakan nama lengkap klien
dengan nama panggilan yang
disukai klien.
d. Jelaskan tujuan pertemuan
e. Jujur dan menepati janji
2. Klien dapat mengenali halusinasi
a. Adakan kontak yang sering dan
singkat secara lengkap
b. Bantu klien mengenal
halusinasinya
c. Jika menemukan klien yang
sedang halusinasi, tanyakan
apakah ada suara yang
didengar
d. Jika klien menjawab ada,
lanjutkan apa yang dikatakan
e. Katakan bahwa perawat
percaya klien mendengar
suara itu, namun perawat
swndiri tidak mendengharny (
dengan anda bersahabat tanpa
menuduh / menghakimi )
f. Katakan bahwa klien lain juga
ada seperti klien
g. Katakan bahwa perawat akan
membantu klien
3. Klien dapat mengontrol
halusinasinya
a. Identifikasi bersama klien cara
tindakan yang dilakukan jika
terjadi halusinasi ( Tidur,
marah, menyibukan diri, dan
lain-lain)
b. Diskusikan manfaat cara yang
dilakukan klien, jika
bermanfaat beri pujian
c. Diskusikan cara baru untuk
memutus / mengontrol
timbulnya halusinasi
d. Bantu klien memilih dan
melatih cara memutuskan
halusinasi secara bertahap
e. Beri kesempatan untuk
melakukan cara yang telah
dilatih. Evaluasi hasil dan beri
pujian jika berhasil
f. Anjurkan klien mengikuti terapi
aktivitas kelompok orientasi
realita,stimulus persepsi.
4. Klien dapat dukungan dari
keluarga dalam mengontrol
halusinasi.
a. Anjurkan klien untuk memberi
tahu keluarga keluarga jika
mengalami halusinasi
b. Diskusikan dengan keluarga,
gejala halusinasi yang dialami
klien, cara yang dapat
dilakukan klien dan keluarga
untuk memutuskan halusinasi,
caramerawat anggota yang
halusinasi dirumah beri
kegiatan jangan biarkan
sendiri.
5. Klien memanfaatkan obat dengan
baik
a. Diskusikan dngan klien dan
keluarga tentang dosis,
frekuensi, dan manfaat obat
b. Anjurkan klien minta sendiri
obat pada perawat dan
merasakan manfaatnya
c. Anjurkan klien bicara dengan
dokter tentang manfaat dan
efek samping obat yang
dirasakan
d. Diskusikan akibat berhenti obat-
obatan tanpa konsultasi.
a. Perasaan negativistik
b. Kemampuan berkonsentrasi menurun
tajam
c. Perasaan takut yang tidak dapat
dijelaskan, tidak mengerti mengapa.
5. Stress Tingkat V
Tahapan ini merupakan keadaan yang lebih
mendalam dari tahapan IV diatas yaitu :
a. Keletihan yang mendalam
b. Untuk pekerjaan-pekerjaan yang
sederhana saja terasa kurang mampu
c. Gangguan sistem pencernaan lebih
sering, sukar buang air besar, atau
sebaliknya feses cair dan sering
kebelakang
d. Perasaan takut yang semakin menjadi,
mirip panik
6. Stress Tingkat VI
Tahapan ini merupakan tahapan puncak
yang merupak keadaan gawat darurat. Tidak
jarang penderita dalam tahapan ini dibawa
ke ICCU . gejala-gejala pada tahapan ini
cukup mengerikan diantaranya :
a. Debar jantung terasa amat keras, hal ini
disebabkan zat adrenalin yang
dikeluarkan, karena stress tersebut
cukup tinggi dalam peredaran darah.
b. Nafas sesak, megap-megap
c. Badan gemetar, badan dingin keringat
bercucuran
d. Tenaga untuk hal-hal yang ringan
sekalipun tidak kuasa lagi, pingsan atau
collaps.
Bilamana diperhatikan maka tahapan
stress diatas menunjukan manifestasi dibidang
pisik dan psikis. Dibidang fisik berupa
kelelahan, sedangkan dibidang psikis berupa
kecemasan dan depresi. Hal ini dikarenakan
penyediaan energi fisik maupun mental yang
mengalami defisit terus menerus. Sering buang
air kecil dan sukar tidur merupakan pertanda
dari depresi.
2.3.3. Cara Mengelola Stress
Sebenarnya stress akan lebih mudah
dimanage jika lebih awal menyadari gejala-
gejalanya. Beberapa tipe praktis berikut dapat
dilakukan saat stress melanda.
a. Saat ketegangan melanda jiwa,
mandilah dengan air hangat agar
syaraf-syaraf berelaksasi.
b. Perbanyaklah zikir, sebab dengan
berzikir kita mengingat allah, dan
hanya dengan mengingat allah-lah hati
menjadi tenang.
c. Bacalah al-quran dan renungkanlah
maknanya, inshaalah hati akan lekas
terobati, sebab al-quran adalah obat
hati yang mujarab
d. Perbanyaklah doa kepada allah.
Amalkanlah doa penghilang stress
dengan keyakinan penuh bahwa allah
akan menghilangkan stress.
e. Berolahragalah. Selain secara fisik
menyehatkan, olahraga dapat me
refresh jiwa saat bertemu dengan orang
lain diluar rutinitas hidup. Dengan kata
lain olahraga dapat menjadi srana
untuk memenuhi kebutuhan psikologis
sebagai mahluk sosial.
f. Kurangilah mengkonsumsi kafein,
karena zat ini dapat meningkatkan
intensitas tekanan darah dan dapat
menimbulkan kegelisahan.
g. Istirahat yang cukup pada malam hari,
sesuaikan dengan kebutuhan tidur.
h. Lakukanlah refreshing, meskipun
hanya sekedar jalan-jalan cara ini
efektif untuk mengurangi kejenuhan,
i. Bercandalah dan bercengkramalah
dengan orang-orang tercinta.
2.4 Terapi Modalitas
2.4.1 Definisi Terapi Modalitas
Terapi modalitas adalah terapi utama
dalam keperawatan jiwa. Terapi ini diberikan
dalam upaya mengubah perilaku pasien dan
perilaku yang maladaptif menjadi perilaku
adaptif. (Kusumawati dan Hartono, 2011).
Terapi modalitas keperawatan jiwa dilakukan
untuk memperbaiki dan mempertahankan sikap
klien agar mampu bertahap dan bersosialisasi
dengan lingkungan masyarakat sekitar dengan
harapan klien dapat terus bekerja dan tetap
berhubungan dengan keluarga, teman, dan
sistem pendukung yang ada ketika menjalani
terapi. (Nasir et.all, 2011)
Menurut Direja, (2011) terapi
modalitas bertujuan agar pola perilaku atau
keperibadian seperti keterampilan koping, gaya
komunikasi dan tingkat harga diri secara
bertahap dapat berkembang. Mengingat bahwa
klien dengan gangguan jiwa membutuhkan
pengawasan yang ketat dan lingkungan suffortif
yang aman. Beberapa terapi keperawatan
didasarkan ilmu dan seni keperawatan jiwa.
2.4.2 Jenis Jenis Terapi Modalitas
Ada beberapa jenis terapi
modalitas,menurut Dahlia, (2009) antara lain:
a. Terapi individual
Terapi individual adalah
penanganan klien gangguan jiwa
dengan pendekatan hubungan
individual antara seorang terapis
dengan seorang klien. Suatu
hubungan yang terstruktur yang
terjalin antara perawat dan klien
untuk mengubah perilaku klien.
b. Terapi Lingkungan
Terapi lingkungan adalah
bentuk terapi yaitu menata
lingkungan agar terjadi perubahan
perilaku pada klien dari perilaku
maladaptive menjadi perilaku
adaptif. Perawat menggunakan
semua lingkungan rumah sakit
dalam arti terapeutik. Bentuknya
adalah memberi kesempatan klien
untuk tumbuh dan berubah perilaku
dengan memfokuskan pada nilai
terapeutik dalam aktivitas dan
interaksi.
c. Terapi Biologis
Penerapan terapi biologis atau
terapi somatik didasarkan pada
model medical di mana gangguan
jiwa dipandang sebagai penyakit.
Ini berbeda dengan model konsep
yang lain yang memandang bahwa
gangguan jiwa murni adalah
gangguan pada jiwa semata, tidak
mempertimbangkan adanya
kelaianan patofisiologis. Tekanan
model medical adalah pengkajian
spesifik dan pengelompokkasn
gejala dalam sindroma spesifik.
d. Terapi Kognitif
Terapi kognitif adalah strategi
memodifikasi keyakinan dan sikap
yang mempengaruhi perasaan dan
perilaku klien. Proses yang
diterapkan adalah membantu
mempertimbangkan stressor dan
kemudian dilanjutkan dengan
mengidentifikasi pola berfikir dan
keyakinan yang tidak akurat tentang
stressor tersebut. Gangguan perilaku
terjadi akibat klien mengalami pola
keyakinan dan berfikir yang tidak
akurat. Untuk itu salah satu
memodifikasi perilaku adalah
dengan mengubah pola berfikir dan
keyakinan tersebut. Fokus auhan
adalah membantu klien untuk
reevaluasi ide, nilai yang diyakini,
harapan-harapan, dan kemudian
dilanjutkan dengan menyusun
perubahan kognitif
e. Terapi Keluarga
Terapi keluarga adalah terapi
yang diberikan kepada seluruh
anggota keluarga sebagai unit
penanganan (treatment unit). Tujuan
terapi keluarga adalah agar keluarga
mampu melaksanakan fungsinya.
Untuk itu sasaran utama terapi jenis
ini adalah keluarga yang mengalami
disfungsi
f. Terapi kelompok
Terapi kelompok adalah
bentuk terapi kepada klien yang
dibentuk dalam kelompok, suatu
pendekatan perubahan perilaku
melalui media kelompok. Dalam
terapi kelompok perawat
berinteraksi dengan sekelompok
klien secara teratur. Tujuannya
adalah meningkatkan kesadaran diri
klien, meningkatkan hubungan
interpersonal, dan mengubah
perilaku maladaptive
g. Terapi perilaku
Anggapan dasar dari terapi
perilaku adalah kenyataan bahwa
perilaku timbul akibat proses
pembelajaran. Perilaku sehat oleh
karenanya dapat dipelajari dan
disubstitusi dari perilaku yang tidak
sehat. Teknik dasar yang digunakan
dalam terapi jenis ini adalah: Role
model, Kondisioning operan,
Sensitisasi sistematis, Pengendalian
diri, Terapi aversi atau releks
kondisi
h. Terapi bermain
Terapi bermain diterapkan
karena ada anggapan dasar bahwa
anak-anak akan dapat
berkomunikasi dengan baik melalui
permainan dari pada dengan
ekspresi verbal. Dengan bermain
perawat dapat mengkaji tingkat
perkembangan, status emosional
anak, hipotesa diagnostiknya, serta
melakukan intervensi untuk
mengatasi masalah anak tersebut
i. Terapi psikoreligius/spritual
terapi psikoreligius/ spritual
adalah terapi yang biasanya melalui
pendekatan keagamaan.
2.4.3 Terapi Psikoreligius
Menurut Wicaksana, (2012) Untuk
terapi spiritual gangguan mental bisa dibagi dua
golongan besar saja, yaitu nonpsikotik dan
psikotik. Untuk non psikotik banyak jenisnya,
seperti gangguan cemas, gangguan somatoform,
depresi, gangguan kepribadian, dll. Sedangkan
gangguan psikotik adalah : Skizofrenia (5 tipe),
Gangguan Afektif Berat dengan gejala psikotik (
Bipolar manik dan Depresi Berat), Skizoafektif,
Psikosis Polimorfik Akut, Gangguan Waham
Menetap, Psikosis Non Organik lainnya dan
Gangguan Psikotik Organik.
a. Ciri gangguan psikotik
Ego yang collaps atau disfungsi,
penalaran runtuh, adanya waham (pikiran
terdistorsi), halusinasi (pendengaran, visual,
penciuman, tactil) , gangguan asosiasi pikiran
(inkoherensi), tingkah laku kacau atau katatonik,
gangguan daya nilai realitas, da tidak adanya
kesesuaian antara pikiran dengan perasaan dan
tindakan.
Karena hal itu semua maka pada
psikotik, penderita tidak mampu mengarahkan
kemauannya secara sadar, tidak mempunyai
tilikan diri, dan tidak bisa
mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Pemberian terapi spiritual akan diinterpretasikan
secara salah karena gejala-gejala itu semua
berpengaruh kuat pada proses pikirnya.
Misalnya, akan timbul rasa bersalah atau
berdosa dan tidak berguna, yang berlanjut ke
usaha bunuh diri. Atau munculnya kembali
waham paranoid karena merasa mau ”dijejali”
ide-ide agama oleh musuh-musuhnya secara
terencana
b. Kriteria terapi psikoreligius pada
pasien jiwa
1. Bila dengan pengobatan antipsikotik
selama 2-4 mg, gejala-gejala
waham, halusinasi, inkoherensi dan
tingkah laku kacau (gaduh gelisah)
sudah mereda.
2. Ego dan penalaran sudah mulai
berfungsi kembali sehingga
interpretasi terhadap ide-ide sudah
tepat.
3. Status mental tidak rentan/rapuh
atau emosi sudah stabil
4. Bila perlu dengan skor Brief
Psychiatric Rating Scale (BPRS)
yang sudah minimal.
Variasi pasien psikotik yang siap
menerima terapi spiritual, sepeerti: skizofrenia
tak terinci (F20.3) yang sudah membaik, sudah
lebih 6 bulan tidak ditengok atau diambil
keluarganya, pasien masuk dengan gejala samar
skizofrenia residual, pasif apatis, keluarga hanya
tidak mau merawatnya di rumah dengan alasan
apapun, pasien psikotik yang waham dan
halusinasinya sudah reda, tapi masih impulsif
dan cenderung lari pulang, pasien depresi berat
dengan gejala psikotik yang waham dan
halusinasinya sudah reda meski harus hati-hati
karena terapi spiritual bisa menyulut waham
bersalah dan berdosanya, psikosis polimorf akut
(E23.0) yang dalam 3-5 hari sudah reda gaduh
gelisah dan halusinasinya, tapi keluarga belum
berani mengambil. Wicaksana, (2012)
Pada konfrensi yang diadakan di
canbera pada tahun 1980, dengan tema Role Of
Religion In The Prevetion Of Drug Addiction.
Pada kelompok-kelompok yang terkena
narkotik,alkohol, dan zat adiktif (NAZA) itu
sejak dini komitmen agama nya lemah. Hal ini
dibandingkan penelitian dengan orang kuat
komitmen agamanya. Kesimpulannya remaja-
remaja yang sejak dini komitmen agama nya
lemah memiliki resiko terkena (NAZA) empat
kali lebih besar dibandingkan anak-anak remaja
yang sejak dini komitmen agamanya kuat. Inilah
salah satu contoh peranan agama karna agama
itu membawa ketenangan.
Contoh tentang peranan peranan agama
yang lain adalah di sejumlah rumah sakit jiwa
ada uji perbandingan terapi yang di terapkan
kepada para penderita penyakit jiwa skizofrenia,
yakni antara cara konvensional (dengan obat dan
sebagainya) dan dengan cara pendekatan
keagamaan, hasilnya hasilnya kelompok
skizofrenia yang terapinya ditambah degngan
keagamaan waktu perawatannya lebih pendek
dan gejala-gejala nya lebih cepat hilang.
Salah satu bentuk Terapi Spiritual atau
Terapi Religius ini antara lain Terapi Shalat dan
Zikir. Dalam Terapi Shalat ini semua gerakan,
sikap dan prilaku dalam Shalat dapat
melemaskan otot yang kaku, mengendorkan
tegangan system syaraf, menata dan
menkonstruksi persendian tubuh, sehingga
mampu mengurangi dampak positif terhadap
kesehatan kesehatan syaraf dan tubuh jika zikir
yang dilafalkan sacara baik dan benar sesuai
aturan dalam ilmu tajwid dan dipahami artis dan
dihayati maknanya disertai dengan kesungguhan
(Wibisono, 1985 dalam Yosep, 2007 ).
2.4.3.1 Terapi Shalat Dan Dzikir Pada
Kesehatan Jiwa
a. Shalat
Shalat merupakan ibadah utama dalam
islam bahkan dalam rukun islam nabi
Muhammad menyebutkan sebagai yang kedua
setelah kalimat syahadat (syahadatain). Nabi
Muhammad pernah berwasiat, islam dibangun
dengan lima pilar, bersaksi tiada tuhan selain
allah dan Muhammad adalah utusan allah,
menegakan Shalat, membayar zakat, berhaji ke
ka’bah dan berpuasa dibulan ramadhan “
(Hr.Bukhari dan Muslim).
Shalat juga mengandung dimensi
spiritual,. kita dapat hidup hanya dengan jasad,
tetapi tanpa ruh, niscaya kurang sempurna.
Setelah memenuhi syarat dan rukun sholat maka
telah sah Shalat kita. Namun, jika Shalat
didirikan tanpa menghayati makna bacaan dan
gerakan dengan khusyuk niscaya kita belum
mendapatkan hakikat shoalat itu sendiri. Betapa
pentingnya kekhusyukan sholat sehingga allah
berfirman ” dan memohonlah pertolongan
(kepada allah) dengan sabar dan Shalat, dan
sesungguhnya Shalat itu sangat berat kecuali
bagi mereka yang khusyuk (Qs.Al-Baqarah)
Menurut M. Thobroni, (2011)
melakukan Shalat lima waktu sehari dapat
dipandang sebagai bentuk praktis dari olahraga.
Keseluruhan gerakan dalam sholat bersifat
tenang, berulang-ulang, dan melibatkan semua
otot persendian sehingga dapat menjaga
keseimbangan energi. Hal tersebut disebabkan
oleh pembakaran kalori dengan teratur.
Menurut M. Thobroni, (2011) Gerakan
shalat mempunyai manfaat bagi kesehatan jiwa
adalah sebagai berikut :
1. Ketika takhbiratul ikhram,
Kita berdiri tegak mengangkat kedua
tangan sejajar telinga lalu melipatnya depan
perut dan dada bagian bawah. Gerakan ini
melancarkan aliran darah, getah bening dan
kekuatan otot lengan. Posisi jantung dibawah
otak, memungkinkan darah mengalir lancar
keseluruh tubuh, Kala kita bediri tubuh akan
terasa ringan karena berat tubuh tertumpu pada
kedua kaki, sedangkan otot-otot punggung
sebelah atas dan bawah dalam keadaan kendur.
Punggung dalam keadaan lurus dengan
pandangan terpusat pada tempat sujud. Pikiran
berada dalam keadaan terkendali. Pusat otak,
atas dan bawah, menyatu membentuk kesatuan
tujuan.
2. Rukuk
Rukuk merupakan satu metode untuk
menguatkan otot-otot pada persendian kaki yang
dapat meringankan tegangan pada lutut. Saat
rukuk, seseorang meregangkan otot punggung
sebelah bawah, otot paha, dan otot betis secara
penuh. Tekanan akan terjadi pada otot lambung,
perut dan ginjal sehingga darah akan terpompa
ke atas tubuh. Secara spiritual, Rukuk dapat
membentuk seseorang untuk tidak hidup dalam
kesombongan, merendahkan dan menundukkan
diri, dan senatiasa berusaha dalam memperluas
hati dan memperbarui Kekhusyukan sholat,
merasakan dirinya hina dan merasakan
kemuliaan allah.
3. i’tidal
I’tidal adalah variasi postur setelah
rukuk dan sebelum sujud. Kala kita melakukan
gerakan berdiri bungkuk lalu berdiri sujud
merupakan latihan pencernaan yang baik.
Dengan melakukan gerakan itu organ
pencernaan didalam perut mengalami pemijatan
dan pelonggaran secara bergantian. Hal ini
memberikan dampak tertentu, yakni pencernaan
menjadi lebih lancar. Postur tubuh kembali
tegak sehingga memberika tekanan pada aliran
darah untuk bergerak keatas. Hal ini dapat
membuat tubuh mengalami relaksasi dan
melepaskan ketegangan. Hal serupa juga terjadi
ketika berdiri setelah sujud. Dengan relaksasi
dari ketegangan, dapat menyehatkan dan
menenangkan fikiran dari segala beban
persoalan, tetapi juga memiliki kesempatan
untuk merumuskan jalan keluar, serta
merancang rencana-rencana masa depan yang
lebih matang.
4. Sujud
Gerakan sujud diyakini dapat
membawa kedamaian, keselarasan, kesesuaian,
ketenangan dan kebahagiaan. Ketika seseorang
melakukan sujud, badan dari belakang rata
kedepan, kedua telapak tangan ditempelkan
pada lantai/tanah, dan kaki ditekuk, Nabi saw
pernah bersabda, “jangan kau usap kerikil yang
menempel dimukamu karena hal itu menjadi
mutiara disurga kelak” Wasiat tersebut memberi
makna bahwa betapa secara kesehatan, wajah
(muka) yang terkena kerikil dalam keadaan
sujud dapat menjadi sumber pijat refleksi yang
berufungsi melancarkan peredaran darah dan
mengendurkan saraf-saraf dibagian wajah. Jika
saraf-saraf muka kendur dan peredaran darahnya
akan menjadi lancar, Dengan demikian, saat
sujud diyakini bukan saja menetralisisr potensi
pusing dan beban pikiran, tetapi juga dengan
peredaran darah yang lancar dapat menyebabkan
pikiran menjadi cerah dan cerdas. Dengan
asupan darah yang cukup, otak menjadi lebih
bergairah untuk mencerna berbagai persoalaan
dan dapat bekerja secara baik.
5. Duduk iftirosy
Duduk iftirosy (tahiyat awal) dan
tawaruk (tahiyat akhir) juga dipandang menjadi
proses pada pangkal paha yang terhubung
dengan saraf. Ketika duduk, biasanya kita
menekukkan jari-jari kaki kanan. Gerakan ini
dapat menjadi pijat refleksi terhadap saraf-saraf
kaki dan memperlancar peredaran darah hingga
ke saraf kepala. Dengan duduk tahiyat, tubuh
akan mengalami relaksasi dan merangsang otot-
otot pangkal paha sehingga dapat mengurangi
rasa nyeri dan sakit pada pangkal paha. Ketika
kita mengalami relaksasi, semua aliran
peredaran darah lancar dan jiwa kita menjadi
tenang. Kita diharapakan dapat berfikir dengan
jernih dalam menghadapi situasi apapun. Kita
tidak mulah tertekan, tegang, dan panik
meskipun didera beragam persoalan
6. Salam
Gerakan diatas semakin lengkap jika
diahiri dengan salam, yakni dengan cara
memutar kepala kekanan dan kekiri. memutar
kepala kekanan dan kekiri diyakini menjadi
proses relaksasi mujarab untuk semakin
meregangkan ketegangan otot sekitar leher
sehingga aliran peredaran darah menjadi lancar.
Denga cara itu kepala menjadi tersa lebih
ringan,fresh, dan mudah mencerna apa yang
sedang difikirkan. Kita dapat menjadi lebih
fokus terhadap apa yang menjadi bahan
pemikiran kita, menjadi lebih hening, dan jernih
dalam memandang setiap persoalan. Ada
ketenangan dan keheningan yang ditanamkan
dalam gerakan tersebut. M. Thobroni, (2011)
b. Dzikir
Dzikir dan bacaan dalam shalat
membuat hati seseorang menjadi tenang.
Keadaan tenang dan rileks mempengaruhi kerja
sistem syaraf dan endokrin. Pada orang yang
stress dan tegang, corteks adrenal akan
terangsang untuk mensekresi cortisol secara
berlebihan sehingga terjadi peningkatan
metabolisme tubuh secara mendadak, apabila
hal ini berlangsung lama maka akan
menurunkan sistem immunitas tubuh. Dengan
bacaan do’a dan berdzikir orang akan
menyerahkan segala permasalahan kepada allah,
sehingga beban stress yang di himpitnya
mengalami penurunan. Yosep, (2007)
2.4.3.2 Manfaat Terapi Psikoreligius Pada Klien
Jiwa
Manfaat komitmen agama tidak hanya
dalam penyakit fisik, tetapi juga dibidang
kesehatan jiwa. Dua studi epidemologik yang
luas telah dilakukan terhadap penduduk. Untuk
mengetahui sejauh mana penduduk menderita
psychological distress. Dari studi tersebut
diproleh kesimpulan bahwa makin religius maka
maakin terhindar kalian dari stress Linaen
(1970) dalam Yosep, (2007). Kemudian
dikemukakan lebih mendalam komitmen agama
seorang telah menujukan taraf kesehatan
jiwanya.
Terapi keagamaan (intervensi religi)
pada kasus-kasus gangguan jiwa ternyata juga
membawa manfaat. Misalnya angka rawat inap
pada klien skizofrenia yang mengikuti kegiatan
keagamaan lebih rendah bila dibandingkan
dengan merka yang tidak mengikutinya, (Chu
dan Klien, 1985 dalam Yosep, 2007).
Kegiatan keagamaan/ibadah/shalat,
menurunkan gejala psikiatrik, Riset yaang lain
menyebutkan bahwa menurunnya kunjungan ke
tempat ibadah, meningkatkan jumlah bunuh diri
di USA ,Kesimpulan dari berbagai riset bahwa
religiusitas mampuh mencegah dan melindungi
dari penyakit kejiwaan, mengurangi penderitaan
meningkatkan proses adaptasi dan
penyembuhan. (Mahoney et.all, 1985 dalam
Yosep, 2007).
Menurut Darajat, (1983) dalam Yosep,
(2007) , perasaan berdosa merupakan faktor –
faktor penyebab gangguan jiwa yang berkaitan
dengan penyakit-penyakit psikosomatik. Hal ini
di akibatkan karena seseorang merasa dosa yang
tidak bisa terlepas dari perasaan tersebut
kemudian menghukum dirinya. Bentuk
psikosomatik tersebut dapat berupa matanya
menjadi tidak dapat melihat, lidahnya menjadi
bisu, atau menjadi lumpuh.
Kekosongan spritual ,kerohanian, dan
rasa keagamaan yang sering menimbulkan
permasalahan masalah psikososial dibidang
kesehatan jiwa para pakar berpendapat bahwa
untuk memahami manusia seutuhnya baik dalam
keadaan sehat maupun sakit, pendekatannya
tidak lagi memandang manusia sebagai mahkluk
biopsikososial, tetapi sebagai makhluk
biopsikososiospritual.
2.5. Pengukuran Mutu Pelayanan
Menurut Aziz (2007) , mutu pelayanan
dapat diukur dengan menggunakan tiga variabel,
yaitu input, proses, dan output/outcome.
1. Input adalah segala sumber daya yang
diperlukan untuk melaksanakan
kegiatan seperti tenaga, dana, obat,
fasilitas peralatan, teknologi,
organisasi, dan informasi.
2. Proses adalah interaksi profesional
antara pemberi pelayanan dengan
konsumen (pasien dan masyarakat).
Setiap tindakan medis/keperawatan
harus selalu mempertimbangkan nilai
yang dianut pada diri pasien. Setiap
tindakan korektif dibuat dan
meminimalkan resiko terulangnya
keluhan atau ketidakpuasan pada
pasien lainnya. Interaksi profesional
selalu memperhatikan asas etika
terhadap pasien, yaitu:
a. Berbuat hal-hal yang baik
(beneficence) terhadap manusia
khususnya pasien, staf klinis dan
nonklinis, masyarakat dan
pelanggan secara umum.
b. Tidak menimbulkan kerugian
(nonmaleficence) terahadap
manusia.
c. Menghormati manusia (respect for
person) menghormati hak otonomi,
martabat, kerahasian, berlaku jujur,
terbuka, empati.
d. Berlaku adil (justice) dalam
memberikan layanan.
3. Output/outcome adalah hasil pelayanan
kesehatan atau pelayanan keperawatan,
yaitu berupa perubahan yang terjadi
pada konsumen termasuk kepuasan dari
konsumen. Tanpa mengukur hasil
kinerja rumah sakit/keperawatan tidak
dapat diketahui apakah input dan
process yang baik telah menghasilkan
output yang baik pula (Aziz.2007).
Bagan 2.1
Kerangka Teoritis
Bagan 2.1 : A. Aziz hidayat
3. Kerangka Pikir dan Definisi Istilah
3.1. Kerangka Konsep
Berdasarkan tinjauan kepustakaan yang
telah dikemukakan sebelumnya maka yang akan
diteliti adalah penerapan therapi psikoreligius
dalam menurunkan tingkat stress pada pasien
halusinasi oleh perawat di rawat inap Bangau
rumah sakit Dr. Ernaldi Bahar Palembang.
Kerangka pikir ini dalam menetapkannya
menggunakan pendekatan teori sistem diambil
dari Aziz, (2007) yang terdiri dari input, proses
Input Output Proses
dan output.Dari uraian diatas maka kerangka
pikir yang diajukan dalam penelitian ini dengan
modifikasi pada teori adalah terlihat pada bagan.
Gambar 3.1
Kerangka Pikir
Keterangan:
: Area yang diteliti
3.2. Definisi Istilah
1. Halusinasi : adalah persepsi sensorik
tentang suatu objek, gambaran dan
pikiran yang sering terjadi tanpa adanya
ransangan yang dapat meliputi semua
sistem penginderaan(pendengaran,
penglihatan, penciuman, perabaan,
pengecapan / rasa.
2. Terapi Psikoreligius / Spiritual : adalah
sebuah terapi dengan pendekatan
terhadap kepercayaan yang dianut oleh
klien dan lebih cendrung untuk
menyentuh satu sisi spiritual manusia.
3. Terapi Shalat : adalah terapi doa berupa
gerakan-gerakan yang bertujuan untuk
mendekatkan diri kepada Allah.
4. Therapi Dzikir : adalah terapi yang
mengunakan media dzikir mengingat
Allah yang bertujuan untuk menenangkan
hati dan memfokuskan fikiran.
5. Stres : adalah reaksi/respons tubuh
terhadap stresor psikososial (tekanan
mental/beban kehidupan)
4. Metode Penelitian
4.1. Desain penelitian
Penelitian ini menggunakan desain
studi kualitatif dengan menggunakan
pendekatan pengamatan dan diskusi yang cermat
dan mendalam untuk mendapatkan informasi
mengenai penerapan terapi psikoreligius pada
pasien halusinasi oleh perawat di ruangan
Bangau Rumah Sakit Ernaldi Bahar palembang.
4.2. Lokasi Dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di ruang
bangau Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang,
penelitian akan dilaksanakan pada bulan April
dan Mei 2012.
4.3. Sumber Informasi
Informasi yang ingin diperoleh dari
informan adalah perawat di ruang bangau
Rumah Sakit Ernaldi Bahar palembang,
informan utama adalah perawat di ruang
Bangau.
Adapun sumber informasi dalam penelitian ini
adalah terdiri atas:
4.3.1. Kepala ruangan di ruang Bangau
4.3.2. Perawat Di ruang Bangau Rumah Sakit
Ernaldi Bahar Palembang
Adapun kriteria informan :
1. Kepala ruangan dan perawat di ruangan
Bangau Rumah Sakit Ernaldi Bahar
provinsi Sumatera Selatan.
2. Berperan dalam memberikan asuhan
keperawatan pada pasien halusinasi.
3. Karateristik individu:
a) Pendidikan minimal D-III & S1
keperawatan
b) Berpengalaman minimal 1 tahun di
ruang inap bangau Rumah Sakit
Ernaldi Bahar
4. Memahami tentang konsep terapi
religius
5. Bersedia menjadi informan
Input
- Dokter
- Obat-obatan
- Fasilitas
lain
Proses
Penerapan
therapi
spritual
a. Shalat
b.Dzikir
Out put
- Pasien
halusinasi
dapat
mengontrol
stress
dengan
therapi
spritual.
Adapun informasi yang ingin diperoleh dari informasi dapat dilihat pada tabel.
Tabel 4.1
Informasi yang ingin diperoleh dari informan
No Informasi Informasi Yang Diinginkan
1.
2.
Kepala ruangan
Perawat di ruang inap
bangau RS. Dr. Ernaldi
Bahar Palembang
1. Pandangan kepala ruangan terhadap terapi psikoreligius .
2. Penerapan terapi psikoeligius di ruangan inap bangau.
3. Pengawasan terhadap penerapan terapi psikoreligius di
ruangan bangau.
1. Pengetahuan perawat tentang pengertian, tujuan dan
fungsi terapi spritual.
2. Tahap-tahap terapi spritual:
- Shalat
- Dzikir
4.4. Cara Pengumpulan Data
Informasi dikumpulkan dengan
menggunakan wawancara mendalam (indepth
interview) dan observasi. Wawancara mendalam
merupakan suatu cara mengumpulkan data atau
informasi, dengan cara langsung bertatap muka
dengan informan.dengan maksud mendapatkan
gambaran lengkap dengan topik yang diteliti
(Sugiyono, 2009). Informasi dikumpulkan
dengan menggunakan teknik wawancara
mendalam. Agar informasi dapat terkumpul
dengan lengkap, terinci dan jelas maka jalannya
diskusi direkam dengan menggunakan tape
recorder dan dicatat oleh seorang asisten peneliti
yang membantu penelitian dan pencatatan pada
waktu wawancara
Tabel 4.2
Informasi yang dikumpulkan menurut sumber,
metode,
jumlah kegiatan dan jumlah informasi
No. Sumber
Informasi
Metode
Pengumpulan
Data
Jumlah
Wawancara
Mendalam
1.
2.
Kepala
ruangan
Perawat di
ruang inap
bangau
1
5
1
5
Total Informan 6
4.5. Pengolahan Data dan Jenis Keabsahan
Informasi
Informasi yang didapatkan adalah
informasi primer, karena peneliti langsung
memperoleh data dari sumber informasi yaitu
Kepala ruangan dan Perawat di ruang Bangau
RS. Dr. Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera
Selatan.
Untuk pengolahan data dari hasil
wawancara mendalam dilakukan:
1. Mengumpulkan catatan
2. Menyusun atau membuat transkrip
3. Interpretasi data.
Untuk menjamin keabsahan informasi
dalam penelitian ini dilakukan uji validasi data
yaitu dengan:
1. Triangulasi sumber
Adalah untuk menguji kredibilitas data
yang di lakukan dengan cara mengecek
data yang di peroleh melalui beberapa
sumber.
a. Cross-check (pengoreksian ulang)
antara informasi yang berbeda dari
hasil sumber lain.
b. Informasi yang berbeda, yaitu
informasi dari perawat di ruang
bangau RS Dr.Ernaldi Bahar.
2. Triangulasi Metode, yaitu dengan
membandingkan informasi yang
diperoleh dari hasil wawancara
mendalam
4.6. Teknik Analisis Data
Informasi segera dianalisis tanpa
menunggu semua informan diwawancarai.
Informasi yang diperoleh dengan mencatat dan
direkam dengan tape recorder, kemudian dibuat
transkrip indepth dan matrik setelah
dikumpulkan sesuai dengan pertanyaan dan
tujuan penelitian. Informasi dianalisa secara
manual yang disusun untuk menemukan
alternatif pemecahan masalah.
5. Hasil Penelitian
5.1 Gambaran Umum Rumah Sakit Ernaldi
Bahar Palembang
5.1.1 Sejarah Singkat
Sejarah Rumah Sakit Ernaldi Bahar
Provinsi Sumatera Selatan diawali tahun 1923
yaitu Rumah Sakit yang dibangun oleh Belanda
di Palembang yang letaknya di jalan Keranggo
Wiro Sentiko yang sekarang Kodam II
Sriwijaya. Rumah Sakit ini dipindahkan lagi
pada Tahun 1942 di daerah Suka Bangun,
berdasarkan SK Menkes No. 4287 / Pal / Peg /
1958 dan diresmikan pada tepatnya tanggal 18
Agustus 1958 menjadi Rumah Sakit Jiwa Suka
Bangun. Tahun 1978 tepatnya tanggal 1 April,
berlaku SK Menkes tentang susunan Organisasi
dan tata kerja Rumah Sakit Jiwa Pusat
Palembang. Tahun 2001 tepatnya tanggal 22
Juni 2001, diundangkan peraturan daerah dan
Rumah Sakit Jiwa diserahkan ke daerah Provinsi
Sumatera Selatan, namun pada tanggal 24 Mei
2006 nama Rumah Sakit Jiwa diganti menjadi
Rumah Sakit Ernaldi Bahar Provinsi Sumatera
Selatan hingga sekarang.
5.1.2Visi, Misi, Tujuan, Moito, dan Nilai
5.2. Visi dan Misi Rumah Sakit.
5.2.1. Visi
Terwujutnya Rumah Sakit Ernaldi
Bahar sebagian pusat pelayanan rujukan
kesehatan yang prima dan pusat pendidikan
kesehatan jiwa yang terkemuka di sumatera
selatan.
5.2.2. Misi
1. Memberikan pelayanan kesehatan yang
komprehensif sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
2. Melaksanakan pembinaan kesehatan
jiwa masyarakat.
3. Meningkatkan mutu sumber daya
manusia, sarana dan prasarana.
4. Memfasilitasi pendidikan kesehatan
jiwa yang dinamis.
5.3.3. Tujuan
Menciptakan masyarakat Sumatera
Selatan yang sehat, mandiri dan
produktif secara mental dan fisik.
5.3.4. Motto
Ramahlah satu langkah, satu senyuman
Kreatiflah satu langkah, satu ide
langsung action
5.3.5. Nilai
Kebersamaan, Peduli, dan
Kepercayaan.
5.2 Gambaran Unit Rawat Inap Bangau Unit Rawat Inap Bangau adalah ruang
rawat inap kelas tiga juga merupakan ruang
yang menjalankan program pemerintah provinsi
dan pemerintah kota yaitu jamsoskes dan
jamkesmas.
Ruang bangau terdiri dari 6 jenis
ruangan yaitu ruang kepala ruangan, ruang
perawat, ruang istirahat, ruang tidur, toilet,
ruang makan pasien, ruang bebas, teras. Toliet
bangau dipisahkan antara perawat dan pasien,
jumlah tempat tidur 33 bed disertai laken tanpa
bantal dan selimut, ruang makan pasien bangau
dicampur dengan ruang makan pasien merpati.
Jumlah pasien sampai bulan april 2012
berjumlah 61 pasien, jumlah pegawai di ruang
bangau berjumlah 12 pegawai. Terdiri dari 1
kepala ruangan dan 11 perawat pelaksana.
dengan rincian kualifikasi pendidikan sebagai
berikut :
1. Sarjana Keperawatan : 3 Orang
2. D III keperawatan : 7 Orang
3. D III Kebidanan : 1 Orang
4. SPK : 1 Orang
5.3 Karakteristik Informan
Informasi dalam wawancara mendalam
yang dilakukan observasi sebagai informan
berumur 25-54 tahun dengan pendidikan rendah
D III dan tertinggi SI Keperawatan Ners.
Pekerjaan sehari-hari informan adalah sebagai
Kepala Ruangan bangau dan perawat pelaksana,
dan yang dilakukan observasi adalah pasien
halusinasi berumur 20-45 tahun Untuk lebih
jelas dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:
Tabel 5.2
Karakteristik Informan kunci dan informan
dalam Wawancara Mendalam dan Observasi
Menurut Umur, Pendidikan dan Pekerjaan
No
.
Inisi
al
Umur
(Thn)
Pendid
ikan
Jabatan
1 H 49 S1 Kepala ruangan
2 EK 32 SI Perawat
pelaksana
3 E 32 SI Perawat
pelaksana
4 A 29 D III Perawat
Pelaksana
5.4 Pemberian Terapi Religius oleh Perawat
untuk Menurunkan Tingkat Stres
Pasien Halusinasi Pendengaran
5.4.1 Hasil Wawancara Mendalam tentang
pemberian Terapi Shalat dan Terapi
Dzikir
5.4.1.1 Pengetahuan informan tentang jumlah
pasien Halusinasi di ruangan bangau.
Berdasarkan hasil wawancara
mendalam dengan informan, diperoleh
keterangan dari informan mengenai
jumlah pasien Halusinasi sebagai berikut:
" ........ kalo untuk sekarang kalo
kriteria pasien halusinasi itu 6 orang
dengan
masalah utama pasien adalah
halusinasi tersebut.... ( E K )
" ....... emm...oiya kalo untuk pasien
halusinasi ini ada 8 orang dek
ya...( E )
" ....... kalo jumlah pasien halusinasi di
ruangan e...ada 8 untuk saat ini .....(A)
Berdasarkan petikan wawancara di atas,
ketiga informan menjawab pertanyaan peneliti
dan memberikan informasi tentang jumlah
pasien Halusinasi di ruang bangau. Dari semua
ketiga informasi dari informan tersebut berbeda
dalam menyebutkan jumlah pasien Halusinasi di
ruangan. Informan EK" menyebutkan bahwa
jumlah pasien Halusinasi adalah 6 orang,
sedangkan informan "E" dan informan 'A"
menyebutkan jumlah pasien Halusinasi adalah 8
orang. Hal ini dikarenakan saat dilakukan
wawancara dengan ketiga informan tersebut
dilakukan dalam waktu yang berbeda jadwal
shift mereka.
5.4.1.2 Pengetahuan informan tentang
pelaksanaan Terapi Religius Shalat dan
Dzikir
Berdasarkan hasil wawancara
mendalam dengan informan, diperoleh
keterangan tentang pelaksanaan Terapi Religius
Shalat dan Dzikir sebagai berikut:
" ............ kita sih ada dong....kalo
dengan pasien jiwa tiap hari ada
jadwal terapi bagi pasien tersebut.
Kalo hari Senin dan hari Rabu
kemudian hari
Kamis itu bentuknya terapi kerja tiap
hari Kamis itu ada Terapi Religius
kemudian untuk hari Selasa , hari
Jumat itu terapi gerak dan hari Sabtu
itu terapi musik bagi pasien yang ada
di rumah sakit ini ....... (EK)
"....untuk pemberian Terapi Religius
Shalat dan Dzikir ini ada ya...
dilakukan oleh pihak rehab di ruang
Terapi Religius Hasana..tetapi kalo
untuk pelaksanaan shalat bersama
biasanya dilakukan oleh pasien sendiri
secara berjamaah di ruang TAK dan
Religius yang ada di ruangan ini . (E)
".....ada. Terapi Religius bisa dilakukan
di RS ini setiap hari Kamis....pasien-
pasien itu dilakukan Terapi Religius di
mushola yang ada di
Erba ..... (A)
Berdasarkan petikan wawancara di atas
ketiga informan menjawab pertanyaan peneliti
dan memberikan informasi bahwa Terapi
Religius sudah diberikan di Rumah Sakit
Ernaldi Bahar dan ruang rawat inap. Tetapi
ketiga informan tidak menyebutkan dengan
detail pelaksanaan dari masing-masing terapi
yaitu Terapi Shalat dan Dzikir. Dari semua
informasi dari ketiga informan memiliki
kesimpulan jawaban yang sama bahwa untuk
pelaksanaan Terapi Religius Shalat dan Dzikir
ini memang dilaksanakan di Rumah Sakit
Ernaldi Bahar ini tetapi dalam hal ini,
pengetahuan ketiga informan tentang Terapi
Shalat dan Dzikir masih terbatas, belum optimal.
5.4.1.3 Pengetahuan informan untuk kriteria
pasien yang akan mengikuti Terapi
Religius Shalat dan Zikir
Berdasarkan hasil wawancara
mendalam dengan informan, diperoleh
keterangan dari informan mengenai kriteria
pasien yang akan mengikuti Terapi Religius
sebagai berikut: kriteria pasien yang akan
mengikuti Terapi Religius Shalat dan Dzikir ini
sesuai dan tergolong cukup optimal.
5.4.1.4 Pengetahuan informan untuk
Kewenangan dalam Pemberian Terapi
Religius Shalat dan Dzikir
Berdasarkan hasil wawancara hasil
wawancara mendalam dengan informan,
diperoleh keterangan dari informan mengenai
pihak-pihak yang berwenang dalam pemberian
Terapi Religius Shalat dan Dzikir ini sebagai
berikut:
" ........... kalo untuk kewenangan
melakukan terapi religius itu , secara
protap itu kewenangan berdasar pada
e... petugas atau perawat yang dimana
tuh..e... di rehabilitasi tapi..e..perawat
juga ada pelajaran ataupun
mahasiswa ada bidang ilmu untuk
melakukan terapi religius ini tetapi
untuk rumah sakit ini untuk saat
sekarang, protap dan e..kewenangan
itu ada di rehabilitasi untuk melakukan
terapi religius tersebut ....... ( E )
" ........... di keperawatan kan TAK kita
sudah ditentukan tapi format TAK nya
untuk keperawatan untuk terapi musik,
religius shalat dan dzikir itu belum.,
kalo untuk pemberian terapi religius,
perawat tidak berwenang hanya
sebagai observer dilakukan oleh orang
rehab ... emm....untuk kewenangan itu
ada direhab karena untuk di
keperawatan format Terapi Religius ini
belum ada untuk perawat eemm masih
dalam proses ....... ( E )
" ........... kalo kewenangan itu untuk
terapi religius perawat di ruangan
berkoordinasi dengan dokter, jadi
setiap pasien yang akan dilakukan
tindakan terapi religius biasanya
biasanya sudah harus tau pasien mana
yang sudah bisa dilakukan terapi
religius, jadi perawat yang tau kondisi
pasien yang bisa dilakukan terapi
religius atau tidak diantar ke mushola
nanti orang rehab yang menerima
disana .. ...... ( A )
Berdasarkan informasi di atas dapat
diketahui bahwa ketiga informan menjawab
pertanyaan dari peneliti dengan jawaban yang
berbeda tetapi pada intinya sama, yaitu yang
lebih memiliki kewenangan dalam pemberian
Terapi Religius ini adalah pihak Rehabilitasi.
Jadi dari keterangan di atas tentang pengetahuan
informan tentang pihak yang berwenang dalam
pemberian Terapi Religius Shalat dan Dzikir ini
tergolong baik. Karena keempat informan
mengetahui dan dapat menyebutkan pihak yang
memiliki kewenangan dalam pemberian
Kegiatan Terapi Religius Shalat dan Dzikir ini
sesuai dengan kebijakan di Rumah Sakit Ernaldi
Bahar.
5.4.1.5 Pengetahuan Pengaturan Jadwal
Pemberian Terapi Religius Shalat dan Dzikir
Berdasarkan hasil wawancara Hasil
wawancara mendalam dengan informan,
diperoleh keterangan dari informan mengenai
pengetahuan jadwal pemberian Terapi Religius
Salat dan Zikir adalah sebagai berikut:
" .......... kita sich ada donk kalo dengan
pasien jiwa tiap hari ada jadwal terapi
bagi pasien tersebut. Kalo hari Senin
dan hari Rabu kemudian hari Kamis
itu bentuknya terapi kerja tiap hari
Kamis itu ada terapi Religius
kemudian untuk hari Selasa , hari
Jumat itu terapi gerak dan hari Sabtu
itu terapi musik bagi pasien yang ada
di rumah sakit ini ....... (EK)
" ....... kalo waktu rehab itu antara jam
8-9 pagi hari Kamis di ruang terapi
religius dan alatnya sudah tersedia
oleh rehab pengaturan jadwal
biasanya hari Kamis pagi jam 8
persiapan sampai jam 10 pagi di ruang
Terapi Religius Hasana dibimbing oleh
orang-orang rehab juga berkolaborasi
dengan perawat dan dokter Perawat
mengantar pasien dan obsevasi
pasien” . ( E )
"....kalo di ruangan ada tempat
sholatnya kami sediakan juga sajadah
..kalo
di lingkungan Erba ini ada mushola
jadi tiap hari pasien bisa sholat di
tempat yang disediakan terus untuk
terapi pasien setiap hari Kamis di
musholla RS bersama pasien
lain...(A )
Berdasarkan informasi di atas dapat
diketahui bahwa ketiga informan mampu
menjawab pertanyaan peneliti. Pada informan
"EK", “E”, dan "A" dapat menyimpulkan bahwa
untuk pengaturan jadwal pemberian Terapi
Religius ini adalah setiap hari Kamis dimulai
dengan persiapan jam 8 pagi dilakukan di
musolla/ruang. Terapi Religius yang dipimpin
oleh tim dari unit Rehabilitasi. Sedangkan pada
keterangan dari informan 'A" menambahkan
keterangan bahwa untuk pelaksanaan Terapi
Shalat dan Dzikir ini juga bisa dilakukan di
ruangan Bangau sendiri. Yang dimaksud
ruangan ini adalah ruangan TAK dan Religius
yang terdapat di ruang Bangau. Dalam hal ini
keterangan para informan tergolong bervariasi
tetapi tergolong baik karena dari semua
keterangan informan sesuai dengan jadwal
pengaturan Terapi Religius di Rumah Sakit
Ernaldi Bahar Palembang.
5.4.1.6 Tahapan dan Proses Kerja dari
Pemberian Terapi Religius Salat dan Zikir
Berdasarkan hasil wawancara
mendalam dengan informan, diperoleh
keterangan dari informan mengenai tahapan dan
proses kerja dari pemberian Terapi Religius
Shalat dan Dzikir adalah sebagai berikut :
a. Terapi Salat
" ........... kalo untuk perawat untuk
melakukan terapi religius ini cuma
dari sekedar pengetahuan, dari
pangalaman kan kami belum pernah
melakukan
di ruangan tapi menurut pengetahuan
kami untuk terapi itu pastilah kita
yang pertama lakukan persiapan untuk
pasien-pasien yang melakukan terapi
religius,seperti kontrak waktu
dulu...e..dikatakan terapi jam 9,
sebelumnya
kita kontrak waktu dulu kemudian kita
orientasikan dimana akan dilakukan
terapi kemudian pada kerjanya kita
arahkan untuk menuju tempat terapi
religius...memang disini ada tempat
tersendiri untuk terapi religius
..e..kemudian setelah terapi religius
kita evaluasi pasien tersebut apa yang
didapat,apa yang direspon pasien
tersebut terhadap terapi yang
diberikan
oleh yang memberikan terapi lalu
kelihatan nanti perubahan setelah
dilakukan terapi religius tersebut
...( EK )
" ............ untuk tahapan ini kan ada 4,
tahap persiapan, orientasi, kerja dan
terminasi. Tahap persiapan perawat
atau pihak rehab memilih dan
menyiapkan pasien-pasien yang mana,
yang seperti apa yang akan mengikuti
terapi ni, disiapkan tempat juga
sarana dan prasarana untuk
mendukung kegiatan ini, misalnya
mukena bagi perempuan, sarung,
sajadah,peci untuk pasien yang laki-
laki...terus tahap orientasi kita
lakukan informed consent dan kita
catat kita nilai juga keadaan pasien
sebelum mengikuti kegiatan
ini..lalu tahap kerja kita kerjakan
bersama-sama misalnya Shalat dan
Dzikir.Sebelumnya kita kasih contoh
gerakan Shalat yang benar itu seperti
apa, kita lihat apakah pasien mampu
mengikuti gerakan Shalat kita
tadi. ..emm,,, terus tahap terakhir yaitu
tahap terminasi ya...kita observasi kita
tanyakan pada pasien tentang apa
yang ia rasakan setelah ikut kegiatan
ini. Untuk prosesnya setau saya dari
ee....proses kerja dari pemberian
terapi ini baik yang di rehab atopun di
ruangan sama saja, gerakan-gerakan
shalat
itulah yang diperhatikan bagaimana
niat dan doanya sebelumnya diawali
wudhu dulu dan lain-lain,ceramah
kadang juga diberikan oleh dokter
kalo untuk di reha. ” ( E )
" ........... ntar dulu dek ye?? kalo
shalat dan dzikir aku tak tau makmano
lah ye? kurang tau? tapi untuk terapi
shalat dan dzikir disediakan waktu
misalnya untuk shalat jam berapa,
disediakan waktu., kalo untuk dzikir
gak ngerti dek soal tata caranya...tapi
mungkin bersamaan dengan
shalat...aku tak tau?.”(A)
b. Terapi Zikir
" .....proses kerja dari terapi
zikir...emmm....sepertinya sama
seperti proses pada terapi salat
dari persiapan sampai terminasi
ya... ( E K )
" .....sepengetahuan saya kayaknya
sama seperti proses dan tahapan
pada tercapi salat
tadi..emm..ya..karena zikir ini
dilakukan oleh pasien setelah
salat kan?..... (E)
".. ..kalo untuk dzikir gak ngerti dek
soal tata caranya...tapi mungkin
bersamaan dengan shalat...aku tak
tau? ....... (A)
Berdasarkan informasi di atas dapat
diketahui bahwa ketiga informan dapat
menjawab tentang proses kerja dari pemberian
Terapi Religius dengan informasi yang berbeda-
beda. Pada informan "EK" dan "E"
menyebutkan tentang poses dan tahapan
pelaksanaan pemberian Terapi Religius ini yang
dimulai dari tahap persiapan hingga tahap
terminasi tetapi kedua informan ini
menyebutkan tentang proses kerja dari kegiatan
Terapi Zikir sama seperti proses pada Terapi
Salat. Sedangkan pada informan 'A"
menyebutkan bahwa ia mengatakan kurang
mengetahui mengetahui tentang Terapi Shalat
dan Dzikir. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa pengetahuan ketiga informan dalam
Terapi Shalat dan Dzikir ini belum optimal.
5.4.1.7 Kendala-kendala yang dihadapi dalam
proses Terapi Religius Shalat dan Dzikir
Berdasarkan hasil wawancara Hasil
wawancara mendalam dengan informan,
diperoleh keterangan dari informan mengenai
Kendala-kendala yang dihadapi dalam proses
pemberian Terapi Religius Shalat dan Dzikir
adalah sebagai berikut:
" ............. Di ruangan kalo sampai saat
ini belum dilakukan dalam terapi
religius karena kita juga melakukan
kegiatan tersebut mungkin belum
mendukung dari sarana dan prasarana
dalam terapi religius itu kendala yang
paling utama disini adalah SDM nya
karena anggapan manajemen di
RS yang melakukan terapi religius ini
mesti ada orang yang memang orang
yang khusus untuk melakukan terapi
ini..e...dalam hal ini apalagi religius
biasanya orang-orang yang
berhubungan dengan hal-hal
keagamaan jadi
disini kendala untuk memilih orang-
orang tersebut kita kan kekurangan ..
tapi intinya kita sebagai perawat itu
bisa melakukan terapi religius sesuai
dengan agama dan kepercayaan
mereka masing-masing ....... ( E K )
“ .......... kendalanya palingan ya
keterbatasan waktu juga jumlah
perawat ruangan untuk memberikan
terapi ini di ruangan, dalam arti
mengajarkan
shalat, dzikir, sebab ini dalam
wewenang pihak rehabilitasi ....... (E)
" .......... emm...kalo untuk terapi ini
tidak ada ya karena sudah ada sarana
dan
prasarana, mencukupi jadi ya..e... tidak
ada...( A )
Berdasarkan informasi di atas dapat
diketahui bahwa dalam menyebutkan kendala-
kendala yang dihadapi dalam pemberian Terapi
Religius ini ketiga informan mampu menjawab
pertanyaan dari peneliti dan ketiga informan
memberikan informasi dengan informasi yang
berbeda. Pada informasi yang diperoleh dari
informan "EK" dan "E" dapat diketahui masih
ada kendala-kendala yang dihadapi dalam proses
pelaksanaan Terapi Religius seperti kendala
yang berasal dari SDM nya itu sendiri yaitu
keterbatasan waktu,tenaga juga anggapan
Rumah Sakit sendiri bahwa hanya orang-orang
tertentu yang bisa melakukan tindakan ini.
Sedangkan pada informan 'EK" menyebutkan
bahwa tidak terdapat kendala-kendala yang
berarti karena sudah tersedia sarana dan
prasarana yang sudah mencukupi.
5.4.2 Tingkat stres pasien sebelum dan sesudah
mengikuti Terapi Shalat
Berdasarkan hasil wawancara
mendalam dengan informan, diperoleh
keterangan dari informan mengenai pengaruh
Terapi Shalat terhadap perubahan tingkat stres
pasien adalah sebagai berikut:
" .........pada pasien halusinasi untuk
terapi religius ada perubahan yaitu
saya temui kalo hari Kamis setelah
pulang dari melakukan terapi religius
tersebut kita tanyakan pada pasiennya
bagaimana perasaan setelah mengikuti
terapi, ada ceramah, dzikir biasanya
yang dilakukan petugas rehabilitasi,
mereka mengatakan enak dan kelihatan
lebih tenang dan beranggapan
o..mungkin ini bias kalo begini terus
halusinasi saya bisa hilang..jadi
signifikan perubahan setelah dilakukan
terapi ini....mereka jadi lebih giat
melakukan kegiatan salat di ruangan
ini........(EK)
" .........emm..lebih tenang ..lebih ada
indikasi untuk pulang manfaat ada
donk, yang jelas pulang dari terapi ini
pasien tampak lebih tenang,
gitu..ceria, tingkah laku terkendali
untuk pasien halusinasi khususnya ya
halusinasinya itu berkurang dia sudah
mulai tenang..begitu juga untuk pasien
yang shalat di ruangan . . . . . ( E )
"......untuk salat, ada sich
perubahannya biasanya pasien
cenderung lebih tenang kooperatif bisa
mengontrol emosi........ (A)
Berdasarkan informasi di atas dapat
diketahui bahwa ketiga informan mengetahui
dan mampu menyebutkan tentang perubahan
yang tampak pada pasien setelah diberikan
tindakan Terapi Shalat ini. Ketiga informan
menyebutkan bahwa setelah dilakukan kegiatan
Terapi Shalat ini keadaan pasien menjadi lebih
baik, tenang dan tidak ada indikasi stres berat.
Pengetahuan informan dalam hal ini bisa
dikatakan cukup baik karena sesuai dengan hasil
chek list observation.
5.4.3 Tingkat stres pasien sebelum dan sesudah
mengikuti Terapi Zikir
Berdasarkan hasil wawancara
mendalam dengan informan, diperoleh
keterangan dari informan mengenai pengaruh
Terapi Zikir terhadap perubahan tingkat stres
pasien adalah sebagai berikut:
" .............. emm....untuk dzikir saya
rasa sama saja efeknya seperti salat,
membawa ketenangan, pikiran lebih
konsentrasi, tingkat stress menurun
karena beban kita semakin berkurang
jika kita berzikir ini kan sama saja
halnya seperti mengingat dan
mengadukan masalah kita ke Allah
tapi sepertinya pasien jarang
melakukan zikir yang seperti zikrullah
itu, palingan
mereka berdoa untuk keluarga, orang
tua, tapi kalo bimbingan zikir di rehab
saya juga kurang tau..mungkin juga
dilaksanakan kali ya ........(EK)
".....kalu untuk dzikir sepertinya
lebih kepada doa untuk pasien
sendiri..setau saya mereka juga dzikir
dengan dzikrullah jika dibimbing
khusus oleh dokter dan orang rehab
gitu....dampaknya sama seperti
salat,pasien lebih tenang" .....( E )
".....setelah berdzikir dan sholat
misalnya kalo dia marah kan bias
berdoa. Pokoknya ada pengaruhnya ke
arah lebih baik, lebih positif. ....( A )
Berdasarkan informasi di atas dapat
diketahui bahwa ketiga informan mengetahui
dan mampu menyebutkan tentang perubahan
yang tampak pada pasien setelah diberikan
tindakan Terapi Zikir ini. Namun hal ini
merupakan perkiraan informan saja. Hal ini
dapat dikatakan bahwa pengetahuan informan
masih kurang terhadap pemberian Terapi Zikir
ini unruk mengurangi tingkat stres pasien
Halusinasi.
5.5 Pandangan Kepala Ruangan Terhadap
Pemberian Terapi Religius terhadap
Pasien Halusinasi
5.5.1 Proses pelaksanaan Terapi Religius
Berdasarkan hasil wawancara
mendalam dengan key informan diperoleh
keterangan tentang Proses pelaksanaan Terapi
Religius oleh key informan adalah sebagai
berikut:
"......e..untuk terapi psikoreligius sudah
ada waktu yang ditetapkan pada hari
Jumat yang menyelenggarakan tim
kerja dari unit rehabilitasi emm...hari
Jumat ato hari apa saya lupa lagi, hari
Kamis ya?jadi selain terapi aktifitas
olahraga dan kerja ada juga terapi
psikoreligius yang dilakukan oleh unit
tim rehabilitasi di rumah
ibadah...karena SOP belum tersedia
untuk perawat ..... (H)
Dari keterangan yang diperoleh dari
informan kunci di atas dapat diketahui bahwa
untuk proses pelaksanaan Terapi Religius Shalat
dan Dzikir ini dilakukan setiap hari Kamis yang
dilakukan oleh Tim Unit Rehabilitasi dan
dilakukan di rumah ibadah. Yang dimaksud
dengan rumah ibadah disini adalah ruang Terapi
Religius Hasana yang bentuk bangunannya
mirip dengan musolla. Informasi dari key
informan ini sesuai dengan hasil informasi yang
diperoleh dari informasi informan.
5.5.2 Pandangan Kepala Ruangan dalam
pemberian Terapi Religius Shalat dan
Dzikir
Berdasarkan hasil wawancara
mendalam dengan key informan diperoleh
keterangan tentang pandangan pemberian Terapi
Religius Shalat dan Dzikir oleh key informan
adalah sebagai berikut:
"........ penting juga..mengingat ini
salah satu rangkaian dari terapi
nonfarmasi, non farmakologi yang
dilakukan oleh perawat, kesimpulannya
e..penting sangat dianjurkan tetapi
terbentur oleh beberapa hal........ (H)
Dari hasil petikan wawancara
mendalam dengan key informan di atas dapat
diketahui bahwa Kepala Ruangan pada
prinsipnya menyetujui adanya Terapi Religius
tetapi masih terbentur oleh beberapa hal. Kepala
Ruangan tidak menyebutkan tentang apa saja
beberapa hal yang menjadi kendala tersebut.
Kepala juga tidak menjelaskan secara detail
tentang Terapi Shalat dan Dzikir. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa pengetahuan
Kepala Ruangan terhadap Terapi Religius Shalat
dan Dzikir masih kurang.
5.5.3 Dukungan Kepala Ruangan dalam
pemberian Terapi Religius Shalat dan
Dzikir
Berdasarkan hasil wawancara
mendalam dengan key informan diperoleh
keterangan tentang bentuk dukungan Kepala
Ruangan dalam pemberian Terapi Religius yaitu
sebagai berikut:
"..........saya sangat mendukung
mahasiswa selain untuk melakukan
TAK.. saya lihat dulu proposalnya jika
ada yang kurang saya perbaiki.
Dari hasil petikan wawancara di atas
dapat diketahui bahwa Kepala Ruangan sangat
mendukung mahasiswa khususnya yang sedang
praktik di Rumah Sakit Ernaldi Bahar ini untuk
melakukan kegiatan pemberian Terapi Religius
dengan cara memperbaiki proposal penelitian
dari mahasiswa jika masih ada yang kurang.
Tetapi Kepala Ruangan tidak menyebutkan dan
tidak menjelaskan tentang dukungannya
terhadap pemberian Terapi Religius Shalat dan
Dzikir oleh perawat.
5.5.4 Jenis Pengawasan yang Dilakukan oleh
Kepala Ruangan dalam Pemberian Terapi
Religius Shalat dan Dzikir
Berdasarkan hasil wawancara dengan
key informan diperoleh keterangan tentang jenis
pengawasan yang dilakukan oleh Kepala
Ruangan dalam pemberian Terapi Religius yaitu
sebagai berikut :
" ........... emm...disini saya melakukan
pengawasan dari perencanaan apa
saja yang dilakukan contohnya
persyaratan pasiennya , pasien seperti
apa saja yang boleh ikut...
Berdasarkan hasil petikan wawancara
dengan Kepala Ruangan di atas dapat kita
ketahui bahwa Kepala Ruangan sangat
mendukung program Terapi Religius ini di
Rumah Sakit Ernaldi Bahar khususnya di Ruang
Bangau. Kepala Ruangan melakukan
pengawasan lebih kepada pasien yang seperti
apa yang bisa ikut dalam kegiatan Terapi
Religius Shalat dan Dzikir ini.
5.6 Hasil Observasi Pasien
Berdasarkan hasil observasi terhadap
pasien Halusinasi di Ruang bangau, peneliti
memilih 3 orang pasien dengan kriteria
Halusinasi. Ketiga pasien tersebut berinisial
“A”, “D”, dan “J”. Saat peneliti memilih ketiga
pasien tersebut peneliti mengamati tentang data-
data obyektif dan subyektif dari ketiga pasien
tersebut yang mengindikasikan bahwa ketiga
pasien tersebut sedang mengalami Halusinasi
dan stres.
5.6.1 Hasil observasi pasien "A"
a. Hasil observasi pengaruh Terapi Shalat
untuk menurunkan tingkat stres pasien "A"
Dari hasil observasi pada pasien "A",
untuk Terapi Shalat peneliti mendapatkan
informasi bahwa sebelum pasien melakukan
Shalat, pasien mengatakan bahwa ia sedang
gelisah, tidak tenang. Pasien tampak sering
melamun, tidak tenang dan kadang seperti
berbicara sendiri, merasa takut. Kemudian
setelah dilakukan informed consent dengan
pasien, pasien menyetujui untuk ikut dalam
kegiatan Shalat berjamaah di ruangan Bangau
dan pasien yang berangkutan menjadi imamnya.
Setelah dilakukan kegiatan Shalat berjamaah di
ruangan bangau, pasien mengatakan bahwa
perasaannya sekarang sudah tenang, tidak takut
lagi dan merasa senang. Pasien juga mengatakan
bahwa ia juga berdoa tetapi lebih khusus
ditujukan untuk orang tua serta keluarga di
rumah.
b. Hasil observasi pengaruh Terapi Zikir untuk
menurunkan tingkat stres pasien "A"
Sedangkan untuk Terapi Dzikir, pasien
mengatakan bahwa ia kurang mengetahui
tentang Terapi Dzikir La Illaha Illalloh dan dan
Astaghfrullahaladzim. Hal ini tampak ketika
observasi, pasien lebih banyak berdoa yang
lebih ditujukan untuk orang tua dan
keluarganya. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa pasien “A” mampu
mengikuti kegiatan Shalat dengan baik dan
benar meskipun pengetahuan pasien tentang
bacaan Dzikir La ilaha Ilalloh masih terbatas.
5.6.2 Hasil observasi pasien "D"
a. Hasil observasi pengaruh Terapi Shalat
untuk menurunkan tingkat stres pasien "D"
Pada pasien "D” sebelum dilakukan
kegiatan Shalat berjamaah di ruangan
mengatakan bahwa ia sedang bingung, gelisah.
Pasien tampak selalu melamun, seperti berbicara
sendiri dan lebih suka menyendiri, tatapan mata
pasien kosong dan pasien bersikap apatis atau
acuh tak acuh terhadap orang-orang di
sekelilingnya. Kemudian setelah dilakukan
informed consent dengan pasien, pasien
menyetujui untuk ikut dalam kegiatan Shalat
berjamaah di ruangan bangau. Dalam kegiatan
ini pasien tampak mengikuti kegiatan Shalat ini
dengan gerakan yang lancar dan benar. Setelah
mengikuti kegiatan Shalat berjamaah di ruangan
bangau, peneliti mengobservasi keadaan pasien.
Pasien tampak lebih tenang, dan rileks tetapi
pasien berbicara hanya beberapa kata saja.
b. Hasil observasi pengaruh Terapi Zikir untuk
menurunkan tingkat stress pasien "D"
Saat peneliti bertanya kepada pasien
tentang Terapi Dzikir apakah pasien sering
berdoa dan berdzikir pasien menjawab pernah
dan doa yang sering dibaca adalah doa untuk
orang tua. Dengan demikian dapat diketahui
bahwa pengetahuan pasien tentang Dzikir La
ilaha Illalloh dan Astaghfirullahaladzim masih
terbatas.
5.6.3 Hasil observasi pasien "J"
a. Hasil observasi pengaruh Terapi Shalat
untuk menurunkan tingkat stres pasien "J"
Sedangkan pada pasien "J" sebelum
dilakukan kegiatan Shalat berjamaah pasien
mengatakan bahwa ia merasa tidak tenang, dan
pasien tampak gelisah. Pasien juga mengatakan
bahwa ia tidak mau mengikuti Shalat di musolla
dan lebih memilih shalat sendirian di kamarnya
atau shalat berjamaah di ruang terapi Religius
dan TAK yang terletak di dalam ruangan bangau
karena ia beranggapan ia akan kerasukan jika
shalat di musolla karena itu ia perlu di ruqyah.
Dari perkataan pasien ini dapat diketahui bahwa
pasien sedang dalam Halusinasi dan stres.
Setelah dilakukan informed consent dengan
pasien, pasien bersedia untuk mengikuti
kegiatan Shalat berjamaah di ruangan. Saat
Shalat, pasien mampu mengikuti kegiatan Shalat
dengan gerakan yang baik dan benar. Pasien
tampak lebih khusyuk dan berdoa. Setelah
Shalat, pasien ditanya tentang perasaannya
setelah mengikuti kegiatan Terapi Shalat ini,
pasien menjawab bahwa perasaannya sekarang
sudah jauh lebih tenang dan rileks, pasien
tampak kelihatan lebih senang dan tenang, dan
apa yang dibicarakannya sesuai dengan
kenyataan.
b. Hasil observasi pengaruh Terapi Zikir untuk
menurunkan tingkat stres pasien "J"
Untuk Terapi Zikir, pasien "J"
mengatakan bahwa ia sering berdoa untuk orang
tua, diri sendiri. Sebelumnya pasien "J" juga
mengatakan bahwa jika terlalu lama dan terlalu
khusuk berdikir dengan dzikrullah, pasien akan
merasa dirinya banyak didatangi setan dan
pasien tampak gelisah. Pasien jarang berdzikir
dengan dzikrullah dengan alasan seperti di atas.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa
pengetahuan pasien "J" terhadap Terapi Dzikir
masih kurang optimal.
6. PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan dibahas secara
berurutan dimulai dari keterbatasan penelitian
yang ada dalam penelitian tinjauan pelaksanan
pemberian Terapi Religius Shalat dan Dzikir
oleh perawat untuk menurunkan tingkat stres
pada pasien Halusinasi di Ruang Bangau di
Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang,
kemudian dilanjutkan dengan pembahasan pada
proses, yaitu tinjauan tentang proses
pelaksanaan pemberian Terapi Religius Shalat
dan Zikir tersebut.
6.1 Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode
kualitatif dengan maksud untuk memperoleh
informasi yang mendalam mengenai pemberian
Terapi Religius Shalat dan Dzikir untuk
mengurangi tingkat stres pada pasien Halusinasi.
Pengumpulan informasi penelitian ini
dilakukan dengan wawancara mendalam
(indepth interview) dengan menggunakan
fasilitas voice recorder di hp sebagai alat
perekam serta catatan lapangan dan observasi
sehingga faktor situasi, kondisi dan lingkungan
tempat melakukan wawancara mendalam sangat
berpengaruh terhadap informasi yang di peroleh
dari informan dalam wawancara mendalam.
Keterbatasan penelitian ini adalah subjektif
peneliti dalam menginterprestasikan yang
diperoleh dengan teknik wawancara dan
observasi sehingga hasil penelitian ini sangat
tergantung pada pemahaman dan penafsiran
peneliti. Hal tersebut akan sangat berpengaruh
terhadap informasi yang dikumpulkan. Selain
itu, terbentur dengan jadwal dinas perawat dan
pasien Halusinasi di Ruang Bangau ini juga
menjadi kendala dalam memilih informan.
6.2 Pembahasan Pelaksanaan Pemberian
Terapi Religius Shalat dan Zikir oleh
Perawat untuk menurunkan tingkat
stres pasien Halusinasi di Ruang Bangau
di Rumah Sakit Ernaldi Bahar
Palembang
6.2.1 Karakteristik Informan dan Key Informan
Peserta wawancara mendalam dalam
penelitian ini adalah 4 orang informan dan 1
orang key informan. Informan merupakan
perawat associate Ruang Bangau. Usia informan
berkisar antara 27-32 tahun. Informan memiliki
tingkat pendidikan D III dan SI Keperawatan
Ners dengan masa kerja 5-10 tahun di Rumah
Sakit Ernaldi Bahar ini.
Key informan dalam penelitian ini
merupakan orang yang berkompeten,
'bertanggung jawab serta dapat memberikan
informasi yang dibutuhkan oleh peneliti.
Adapun key informan tersebut adalah Kepala
Ruangan Bangau Rumah Sakit Ernaldi Bahar
Provinsi Sumatera Selatan. Key informan sudah
bekerja selama 21 tahun di Rumah Sakit Ernaldi
Bahar ini. Usia key informan adalah 49 tahun
dengan pendidikan terakhirnya SI.
6.3 Pembahasan Hasil Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti membahas
tentang pemberian Terapi Religius Shalat dan
Zikir oleh perawat untuk menurunkan tingkat
stres pada pasien Halusinasi di Ruang Bangau di
Rumah Sakit Ernaldi Bahar Palembang.
6.3.1 Pelaksanaan pemberian Terapi Shalat di
Ruang Bangau
Berdasarkan hasil wawancara
mendalam dengan ketiga informan dan
didukung oleh informasi dari key informan,
peneliti mendapatkan informasi tentang
pelaksanaan Terapi Shalat. Terapi Shalat
merupakan salah satu bagian dari Terapi
Religius yang mana menurut informasi dari
ketiga informan perawat. Terapi Religius sudah
dilaksanakan di Rumah Sakit Ernaldi Bahar dan
hal ini merupakan salah satu kewenangan yang
dimiliki oleh pihak unit Rehabilitasi karena di
dalam keperawatan belum terdapat SOP tentang
Terapi Religius Shalat ini. Dalam kegiatan
Terapi Shalat ini, perawat sebagai observer dan
pihak yang menyeleksi pasien mana saja yang
boleh diikutkan dalam kegiatan Terapi Shalat
ini, berkolaborasi dengan Tim Unit Rehabilitasi
dan Tim Dokter. Menurut keterangan yang
didapatkan dari hasil wawancara mendalam
dengan perawat, untuk kegiatan Terapi Salat
dilaksanakan seminggu sekali pada hari Kamis
pagi dimulai dengan persiapan pada jam 8 pagi.
Kegiatan ini dilakukan di Ruang Terapi Religius
Hasana dibawah bimbingan Tim Unit
Rehabilitasi dan Dokter sebagai pengisi
kegiatan. Kegiatan yang dimaksud dapat berupa
Shalat dan Dzikir, mengaji,dan pemberian
ceramah-ceramah keagamaan.
Hal ini sesuai dengan konsep Hendra
pada tahun 2006 yang menyebutkan bahwa
Terapi spiritual adalah sebuah terapi dengan
pendekatan terhadap kepercayaan yang dianut
oleh klien, pendekatan ini dilakukan oleh
seorang pemuka agama dengan cara
memberikan pencerahan, kegiatan ini dilakukan
minimal 1 kali seminggu untuk semua klien dan
setiap hari untuk pasien. Terapi spiritual lebih
cenderung untuk menyentuh satu sisi
spiritualitas manusia, mengaktifkan titik godspot
dan mengembalikan klien ke sebuah kesadaran
dari mana dia berasal, alasan mengapa manusia
diciptakan, tugas-tugas yang harus dilakukan
manusia di dunia, beberapa hal yang pantas
dilakukan didunia dan hal-hal yang tak pantas
dilakukan di dunia. Adapun bentuk dari terapi
spiritual ini antara lain terapi shalat dan dzikir.
Selain itu berdasarkan hasil wawancara
mendalam dengan key infoman tentang
dukungannya yang diberikan dalam pelaksanaan
Terapi Shalat, dengan demikian maka penulis
dapat menyimpulkan bahwa kebijakan tentang
pelaksanaan kegiatan Terapi Religius di Rumah
Sakit Ernaldi Bahar, khususnya Terapi Shalat ini
sudah cukup bagus.
Untuk kriteria pasien mana yang boleh
ikut dalam kegiatan Terapi Shalat ini adalah
semua pasien tidak hanya diperuntukkan bagi
pasien Halusinasi saja dengan syarat pasien
tersebut dalam keadaan stres yang tidak terlalu
berat dan tidak ada resiko pasien untuk
mengamuk. Hal ini sesuai dengan hasil chek list
observation pada perawat bahwa sebelum
diadakan kegiatan ini, perawat memilih dan
menyeleksi terlebih dahulu pasien-pasien mana
saja yang boleh ikut dalam kegiatan ini. Dengan
demikian peneliti berasumsi bahwa pengetahuan
perawat untuk kriteria pemilihan pasien yang
boleh mengikuti Terapi Shalat sudah cukup
optimal.
Dari hasil wawancara mendalam
dengan informan perawat, peneliti juga
mendapatkan informasi bahwa selain kegiatan
Terapi Shalat dilakukan di ruang Terapi Religius
Hasana yang dibimbing oleh Tim Unit
Rehabilitasi dan Dokter, di ruangan TAK dan
religius yang terdapat di ruang Bangau sendiri
juga sering dilakukan kegiatan shalat berjamaah
bagi pasien. Berdasarkan pengamatan peneliti
saat melakukan Shalat Magrib berjamaah
dengan pasien Halusinasi yang terdapat di ruang
Bangau ini, kegiatan Shalat berjamaah ini atas
dasar inisiatif pasien sendiri dan kurang
melibatkan perawat di dalamnya. Hal ini
menurut keterangan dari informan dan key
informan, masih terdapat kendala-kendala bagi
perawat untuk melakukan kegiatan Terapi Shalat
dan Dzikir ini untuk pasien. Kendala-kendala
tersebut antara lain berupa anggapan pihak
Rumah Sakit bahwa hanya orang-orang atau
pihak-pihak tertentu saja yang bisa melakukan
kegiatan ini karena berhubungan dengan sisi
spiritualitas manusia, juga keterbatasan tenaga
perawat dan keterbatasan waktu yang dimiliki
oleh perawat untuk melakukan kegiatan Terapi
Shalat ini, serta dikarenakan di dalam
keperawatan belum ada format SOP untuk
pelaksanaan Terapi Shalat bagi pasien oleh
perawat. Meskipun menurut keterangan salah
satu informan yaitu informan 'A" sarana dan
prasarana untuk kegiatan Shalat ini seperti
sajadah, sarung, peci dan juga tempat untuk
Shalat sudah tersedia namun dalam praktiknya
masih menemukan beberapa kendala seperti
yang sudah disebutkan di atas.
Untuk tahapan dan proses kerja dari
pemberian Terapi Shalat ini, key informan dan 2
orang informan menyebutkan tentang tahap-
tahap pelaksanaan Terapi Religius yang dimulai
dari tahap persiapan, tahap orientasi, tahap kena
dan tahap terminasi.Akan tetapi informan tidak
menyebutkan secara mendetail tentang proses
dari Terapi Shalat itu sendiri. Sedangkan pada
informan '’A" mengatakan bahwa ia kurang
mengetahui tentang proses dari pelaksanaan
Terapi yang dimaksud. Dengan demikian
peneliti berasumsi bahwa dalam hal ini
pengetahuan informan dan key informan tentang
Terapi Shalat masih belum optimal.
6.3.2 Pelaksanaan pemberian Terapi Zikir di
Ruang Bangau
Berdasarkan hasil wawancara
mendalam dengan ketiga informan dan
didukung oleh informasi dari key informan,
peneliti kurang mendapatkan informasi tentang
pelaksanaan Terapi Dzikir. Menurut informan,
sama halnya seperti Terapi Shalat, Terapi Dzikir
ini juga termasuk dalam 1 rangkaian dengan
terapi Shalat yang merupakan salah satu bagian
dari Terapi Religius. Menurut informasi dari
ketiga informan perawat Terapi Religius sudah
dilaksanakan di Rumah Sakit Ernladi Bahar dan
hal ini merupakan salah satu kewenangan yang
dimiliki oleh pihak unit Rehabilitasi karena di
dalam keperawatan belum terdapat SOP tentang
Terapi Religius ini. Untuk Terapi Dzikir
biasanya dilakukan mengiringi setelah diadakan
kegiatan Shalat. Sama halnya dengan Terapi
Shalat, dalam kegiatan Terapi Dzikir ini
mengikuti Terapi Shalat, perawat sebagai
observer dan pihak yang menyeleksi pasien
mana saja yang boleh diikutkan dalam kegiatan
Terapi Dzikir ini, berkolaborasi dengan Tim
Unit Rehabilitasi dan Tim Dokter. Dalam
kegiatan Terapi Dzikir ini menurut keterangan
yang didapatkan dari hasil wawancara
mendalam dengan perawat, dilaksanakan
seminggu sekali pada hari Kamis pagi dimulai
dengan persiapan pada jam 8 pagi. Kegiatan ini
dilakukan di Ruang Terapi Religius Hasana
dibawah bimbingan Tim Unit Rehabilitasi dan
Dokter sebagai pengisi kegiatan. Kegiatan yang
dimaksud dapat berupa Shalat dan Dzikir,
mengaji,dan pemberian ceramah-ceramah
keagamaan. Isi acara bervariasi setiap
minggunya.
6.3.3 Tingkat stres pasien Halusinasi sebelum
dan setelah mendapatkan Terapi Salat
Berdasarkan hasil wawancara
mendalam dengan informan dan key informan
juga dapat diketahui bahwa terdapat pengaruh
Terapi Shalat terhadap penurunan tingkat stres
pasien. Hal ini sesuai dengan keterangan dari
informan dan key informan Bahwa terdapat
dampak yang positif dari pemberian Terapi
Shalat ini untuk menurunkan tingkat stres pasien
seperti sesudah dilakukan Shalat, informan
melihat bahwa pasien tampak lebih tenang, dan
rileks, tidak ada lagi resiko mengamuk ataupun
marah-marah. Hal ini sesuai dengan hasil
observasi peneliti terhadap pasien sebelum dan
sesudah mengikuti kegiatan Terapi Shalat.
Sebelum dilakukan Terapi Shalat, peneliti
mendapatkan gambaran tingkat stres dari 3
orang pasien observasi Halusinasi. Ketiga pasien
tersebut tampak lebih suka menyendiri,
melamun, marah sering tidak terkendali dan
bahkan pasien tampak seperti berbicara sendiri
dan marah kepada diri mereka sendiri. Pasien
berasumsi bahwa ketiga pasien ini sedang
mengalami Halusinasi dan stres sedang, sebab
pasien masih bisa orientasi waktu, tempat dan
orang. Setelah dilakukan Terapi Shalat Magrib
berjamaah di ruang TAK dan Religius yang
terdapat di ruang Bangau, ketiga pasien
observasi tersebut tampak stresnya mulai
berkurang menjadi stres tingkat rendah, ditandai
dengan ekspresi wajah pasien yang tampak
tenang , mau tersenyum, orientasi bagus dan
bisa di ajak berbicara dengan baik-baik dan
kooperatif, bersedia mengikuti saran perawat.
Dengan demikian, penulis berasumsi
bahwa dengan diberikannya Terapi Religius
Shalat, dapat ikut membantu menurunkan
tingkat stres pada pasien Halusinasi.
Hal ini sesuai dengan konsep Hendra
pada tahun 2011 yang menyebutkan tentang
teori dari Dadang Hawari, seorang psikiater
yang mengembangkan psikoterapi holistik,
berpendapat bahwa shalat menimbulkan
ketenangan. Di samping itu doa juga
menimbulkan rasa percaya diri dan optimis
(harapan kesembuhan). Ini merupakan dua hal
yang amat esensial bagi penyembuhan, suatu
penyakit, di samping obat-obatan dan tindakan
medis. Dipandang dari sudut kesehatan jiwa,
shalat dan dzikir mengandung unsur
psikoterapetik yang mendalam. Psikoreligius
terapi ini tidak kalah pentingnya dibandingkan
psikoterapi psikiatrik karena ia mengandung
kekuatan spiritual kerohanian yang
membangkitkan rasa percaya diri dan rasa
optimisme (harapan kesembuhan). Dua hal ini,
yaitu rasa percaya diri dan optimisme,
merupakan dua hal yang amat esensial bagi
penyembuhan suatu penyakit di samping obat-
obatan dan tindakan medis yang diberikan.
(Hawari 1998:8)
Dan juga menurut penelitian Alvan
Goldstien shalat bisa disebut sebagai ritual
meditasi. Dengan melakukan dengan ritual
meditasi maka dapat mengembalikan otak
memproduksi zat endorphin. Zat endorphin
dalam otak manusia yaitu zat yang memberikan
efek menenangkan, yang disebut endogegonius
morphin. Drs. Subandi, MA menjelaskan bahwa
kelenjar endorfina dan enkafalina yang
dihasilkan oleh kelenjar pituitrin di otak ternyata
mempunyai efek yang mirip dengan opiat
(candu) yang memiliki fungsi kenikmatan,
sehingga di sebut opiat endogen. Maka
seseorang yang sengaja memasukan zat morfin
ke dalam tubuh maka kelenjar endorphin akan
berhenti secara otomatis. Dan para pengguna
narkoba apabila melakukan penghentian
morphin dari luar secara tiba-tiba, akan
mengalami sakau (ketagihan yang menyiksa dan
gelisah) karena otak tidak lagi memproduksi zat
endhorphin yang secara alami. Sehingga sholat
yang benar atau melakukan dzikir-dzikir yang
banyak memberikan dampak efek ketenangan
mengurangi kecemasan dan tingkat stress
menurun.
Hal ini juga sesuai dengan penelitian
Larson dkk (1982) dalam Dadang Hawari
(2001) melaksanakan penelitian tentang terapi
spiritual khususnya terapi Solat untuk pasien
skizofrenia di RSJ. Mereka membandingkan
keberhasilan terapi pada dua kelompok pasien
Skizofrenia. Kelompok pertama mendapat terapi
konvensional (psikofarma) dan lain-lain tapi
tidak mendapat Terapi Spiritual (keagamaan).
Kelompok kedua mendapat terapi konvensional
dan lain-lain dan mendapat Terapi Spiritual.
Kedua kelompok tersebut dirawat di RSJ yang
sama. Hasil penelitian ini cukup bermakna
bahwa :
(1) gejala klinis gangguan jiwa
Skizofrenia lebih cepat hilang pada
kelompok kedua yang mendapat
Terapi Spiritual / Psikoreligius.
(2) pada kelompok kedua lamanya
perawatan lebih pendek daripada
kelompok pertama.
(3) pada kelompok kedua, tingkat stres
lebih cepat teratasi daripada
kelompok pertama.
(4) pada kelompok kedua kemampuan
adaptasi lebih cepat daripada
kelompok pertama.
Terapi Religius yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah kegiatan ritual keagamaan
seperti sembahyang, berdoa, memanjatkan puji-
pujian pada Tuhan, ceramah keagamaan dan
kajian kitab suci. Shalat yang ikhlas dan
khusyuk dibuktikan secara kuantitatif melalui
sekresi hormon kortisol dengan parameter
kondisi tubuh. Pada kondisi normal, jumlah
kortisol pada pagi hari normalnya antara 38
nmol-690 nmol/liter. Sedangkan pada malam
hari atau setelah pukul 24.00, jumlah ini
meningkat menjadi 69 nmol - 345 nmol/liter.
Kalau jumlah hormon kortisolnya normal, dapat
diindikasikan bahwa orang tersebut tidak ikhlas
karena merasa tertekan. Demikian juga
sebaliknya. Orang dalam keadaan depresi, stres
atau punya beban psikologis yang berat biasanya
rentan sekali terhadap penyakit kanker dan
infeksi. Dengan melakukan shalat secara rutin
dan disertai perasaan ihklas serta tidak
terpaksa,seseorang akan memiliki respon imun
yang baik serta besar kemungkinan terhindar
dari penyakit infeksi dan kanker bahkan
penyakit kejiwaan. Secara medis, shalat yang
demikian menyebabkan seseorang memiliki
ketahanan tubuh yang baik.
Dengan demikian peneliti
menyimpulkan bahwa untuk pelaksanaan Terapi
Solat di ruangan Bangau terhadap pasien
Halusinasi khususnya, bisa dikatakan cukup
optimal. Hal ini dikarenakan terdapat sarana dan
prasarana yang memadai untuk dilakukan
kegiatan Terapi Shalat tersebut yaitu tersedianya
alat-alat shalat seperti sajadah, sarung, peci, juga
tersedianya tempat untuk kegiatan tersebut.
6.3.4 Tingkat Stres pasien Halusinasi sebelum
dan sesudah mengikuti Terapi Zikir
Berdasarkan hasil wawancara
mendalam dengan informan dan key informan
serta hasil observasi pasien, peneliti kurang
mendapatkan informasi tentang tingkat stres
pasien Halusinasi setelah mengikuti Terapi Zikir
karena kurangnya pengetahuan informan dan
key informan serta pasien untuk Terapi Zikir
khususnya dzikrullah. Namun berdasarkan hasil
observasi yang dilakukan kepada pasien setelah
mereka melakukan Shalat, pasien juga
memanjatkan doa setelah mereka Shalat. Ketika
ditanyakan kepada pasien tentang doa apa yang
mereka panjatkan, mereka menjawab bahwa
mereka berdoa untuk orang tua dan keluarga.
Mereka mengatakan jarang berdzikir karena
kurangnya pengetahuan mereka dalam hal
Dzikrullah ini.
Hal ini tidak sesuai dengan konsep
yang dikemukakan oleh Hendra tentang
penelitian yang diberikan oleh dr. Arman
Yurisaldi Saleh yang mengungkapkan fenomena
ini melalui pendekatan ilmiah neuro science.
Beliau adalah seorang spesialis syaraf sekaligus
seorang klinisi yang sering menangani dan
menerima konsultasi penyakit-penyakit syaraf.
Berdasarkan pengalaman empiris, didukung
pengamatan langsung terhadap pasien dan
disertai studi literatur yang serius, dr. Yurisaldi
akhirnya sampai pada kesimpulan adanya
hubungan yang erat antara pelafalan huruf
(makharijul huruf) pada bacaan zikir Laa ilaaha
illalloh dan Astaghfirullah dengan tampilan
klinis (kondisi fisik dan psikis) seseorang yang
membacanya (hal 50). Zikir yang berdampak
positif terhadap kesehatan syaraf dan tubuh ini
tentu saja adalah zikir yang dilafalkan secara
baik dan benar sesuai aturan dalam ilmu tajwid
dan dipahami arti dan dihayati maknanya
disertai dengan kesungguhan. Dari kajian ilmu
tajwid (ilmu yang mempelajari cara membaca
al-qur'an), penulis ini mengetahui bahwa kalimat
zikir Laa ilaaha illalloh dan Astaghfirullah
mengandung dampak yang luar biasa. Dalam
Laa ilaaha illalloh terdapat huruf jahr yang
diulang sebanyak tujuh (7) kali, yaitu huruf lam;
dan dalam astaghfiiullah terdapat huruf ghain, ra
dan dua buah lam. Dari kedua kalimat zikir itu
maka ada empat huruf jahr yang harus dilafalkan
seara keras/jelas. Hasilnya adalah bahwa udara
yang keluar dari paru-paru melalui mulut akan
lebih banyak dibandingkan dengan bacaan pada
kalimat zikir yang lain, seperti Subhanalloh (dua
huruf jahr), Allohu akbar (tiga huruf jahr) dan
Alhamdulillah (dua huruf jahr). (Hendra,201 l)
Ditinjau secara medis-klinis, jika kita
melafalkan kalimat zikir Laa ilaaha illalloh dan
Astaghfirulloh secara benar sesuai ilmu tajwid
berarti kita sedang mengeluarkan
karbondioksida leboh banyak saat udara
diembuskan keluar mulut, dibandingkan dengan
jika kita membaca kalimat zikir yang
mengandung lebih sedikit huruf jahr. Kalimat
zikir yang lain tetap bermanfaat memberikan
dampak ketenangan. Dampak sehatnya, ketika
seseorang melalukan zikir secara intens dan
khusyuk seraya memahami dan menghayati
artinya, pembuluh darah di otak akan membuat
aliran karbondioksida yang keluar dari
pernafasan menjadi lebih banyak. Kadar
karbondioksida di otak pun akan menurun
dengan teratur. Sehingga tubuhpun akan segera
menampilkan kemampuan reflek kompensasi,
rileks. Rangkaian proses pengeluaran
karbondioksida yang merupakan oksidan/gas
buangan metabolit dan proses neurosis tersebut
ternyata mempunyai efek positif bagi pembaca
zikir.
Sedangkan berdasarkan data yang
didapat pada hasil observasi, kegiatan Terapi
Zikir ini kurang bisa dilaksanakan secara
optimal di ruangan Bangau dikarenakan
beberapa hal terutama tentang keterbatasan
pengetahuan perawat juga pasien tentang arti
dan manfaat dzikir Laa Ilahaillalloh dan
Astaghfirullah ini. Juga dikarenakan belum
terdapat sarana dan prasarana yang memadai
untuk melakukan kegiatan ini seperti tasbih,
untuk berdzikir, juga belum tersedianya
fasilitator di ruangan Bangau unutuk
membimbing pasien melakukan Terapi Dzikir
ini. Juga belum diketahui perubahan tingkat
stress pasien Halusinasi sesudah mengikutu
kegiatan Terapi Zikir ini.
Meskipun demikian berdasarkan hasil
wawancara mendalam dengan informan juga
hasil observasi terhadap pasien Halusinasi yang
melakukan kegiatan Shalat, mereka mengatakan
bahwa untuk zikir ini juga dilakukan tetapi lebih
spesifik ke doa kepada orang tua, keluarga,
bukan dzikir Dzikrullah.
Dengan demikian peneliti berasumsi
bahwa untuk pelaksanaan Terapi Dzikir ini
masih belum maksimal dilakukan untuk pasien
yang terdapat di Rumah Sakit Ernaldi Bahar ini
juga belum diketahui tentang pengaruh Terapi
Zikir terhadap perubahan tingkat stres pasien
Halusinasi.
7. Kesimpulan dan Saran
7.1 Kesimpulan
7.1.1 Pelaksanaan pemberian Terapi Shalat di
Ruang Bangau
Dari hasil wawancara mendalam
dengan ketiga informan serta hasil chek list
observation terhadap perawat dan pasien
didapatkan kesimpulan bahwa untuk
pelaksanaan Terapi Religius Shalat ini masih
dalam kewenangan pihak Unit Rehabilitasi yang
terdapat di Rumah Sakit Ernaldi Bahar ini.
Namun, selain dilakukan di Ruang Terapi
Religius oleh pihak Rehabilitasi, kegiatan Shalat
juga dilaksanakan di Ruang Bangau sendiri
secara berjamaah atas inisiatif perawat dan
pasien sendiri. Secara umum pelaksanaan
pemberian Terapi Shalat ini sudah bias
dikatakan cukup baik dilakukan di Ruang
Bangau dan pasien pun bias menerima dan
mengikuti kegiatan ini sesuai dengan contoh dan
prosedur yang telah diberikan oleh perawat,
tetapi kegiatan Terapi Shalat ini dalam
pelaksanaannya juga mengalami beberapa
kendala yang berasal dari perawat yaitu
keterbatasan waktu perawat untuk memberikan
Terapi Shalat ini secara teratur terkait
terbenturnya dengan jadwal dinas perawat.
Meskipun demikian kegiatan Shalat ini
mendapatkan dukungan dari Kepala Ruangan
serta perawat yang ada di Ruang Bangau.
Sehingga dalam hal ini dapat
disimpulkan bahwa Terapi Shalat ini sudah
dilakukan cukup baik di ruangan Bangau
terutama dilakukan dari pihak pasien.
7.1.2 Pelaksanaan pemberian Terapi Zikir di
Ruang Bangau
Dari hasil wawancara mendalam
dengan ketiga informan serta hasil chek list
observation terhadap perawat dan pasien
didapatkan kesimpulan bahwa untuk
pelaksanaan Terapi Zikir ini masih kurang
optimal dalam pelaksanaannya di ruangan
Bangau untuk pasien Halusinasi khususnya. Hal
ini dikarenakan belum tersedianya sarana dan
prasarana yang mencukupi untuk dilakukan
kegiatan tersebut seperti tasbih, juga fasilitator
sebagai pembimbing pasien untuk melakukan
kegiatan Zikir Dzikrullah. Dan hal yang paling
utama adalah keterbatasan pengetahuan dari
informan juga pasien tentang Zikrullah ini
karena memang belum terdapat kebijakan
khusus dari Rumah Sakit Ernaldi Bahar ini
dalam hal pemberian terapi zikir Zikkrullah ini
untuk perawat dan pasien.
Akan tetapi meskipun terapi Zikir
Dzikrullah kurang optimal dalam
pelaksanaannya, ketiga pasien tetap berdoa
setelah melakukan Shalat. Doa tersebut antara
lain menurut keterangan informan juga pasien
adalah doa minta ampun, doa untuk keluarga
dan orang tua agar mereka segera diberikan
kesembuhan. Menurut mereka, meskipun
mereka jarang melakukan Zikir, mereka tetap
berdoa karena menurut mereka doa sama halnya
dengan Zikir Zikrullah.
Sehingga dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa dalam pelaksaan pemberian
Terapi Zikir ini masih kurang optimal dilakukan
oleh perawat di Ruangan Bangau .
7.1.3 Tingkat Stres pasien Halusinasi sebelum
dan sesudah mengikuti kegiatan Terapi
Shalat
Sesuai dengan pelaksanaan Terapi
Shalat yang dilakukan di ruangan, peneliti
mendapatkan gambaran tentang tingkat stres
pasien Halusinasi sebelum dan sesudah
mengikuti kegiatan ini. Dalam hal ini tingkat
stress yang dimaksudkan adalah berupa
gambaran perilaku pasien.
Sebelum dilakukan kegiatan Shalat
berjamaah di ruangan, secara umum didapatkan
gambaran perilaku ketiga pasien observasi.
Ketiga pasien tampak gelisah, tidak tenang,
mudah tersinggung dan mudah marah. Ketiga
pasien lebih suka beraut menyendiri di dalam
kamarnya dan tampak sering melamun dan
ekspresi wajah tampak sedih. Sesudah ketiga
pasien tersebut di ajak melakukan Shalat
berjamaah di ruangan bersama dengan pasien
yang lainnya, mereka mampu mengikuti
kegiatan Shalat dengan baik dan benar, dan juga
tampak khusyuk dalam Shalatnya. Sesudah
Shalat ketiga pasien tersebut mengemukakan
tentang perasaannya yaitu lebih tenang, emosi
lebih bisa terkendali, tidak gelisah lagi.Data
obyektif yang didapatkan pasien tampak senang,
lebih bisa bersosialisasi dengan pasien yang
lainnya dan mulai bisa mengikuti aktifitas
sehari-hari.
Sehingga dalam hal ini peneliti
menyimpulkan bahwa dengan melakukan
kegiatan Shalat dapat membantu menurunkan
tingkat stres pada pasien Halusinasi.
7.1.4 Tingkat stres pasien Halusinasi sebelum
dan sesudah mengikuti kegiatan Terapi
Zikir
Peneliti kurang mendapatkan data
untuk terapi Zikir ini, namun menurut sebagian
informasi yang didapatkan dari pasien, sebelum
mereka berdoa perasaan mereka gelisah,
ditandai dengan ekspresi wajah pasien tampak
kebingungan juga tidak tenang. Sesudah berdoa,
didapatkan data subyektif pasien yaitu pasien
mengatakan bahwa setelah berdoa perasaan
mereka menjadi jauh lebih tenang, data obyektif
pasien juga menunjukkan pasien tampak lebih
rileks dan tenang.
Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa
Terapi Zikir ini belum dilakukan di ruangan
Bangau karena belum ada kebijakan khusus juga
sarana dan prasarana untuk mendukung kegiatan
ini. Namun berdasarkan keterangan informan
juga pasien, mereka berpendapat bahwa Terapi
Zikir dapat mengurangi tingkat stress pasien
Halusinasi.
Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa dalam pemberian Terapi Zikir ini masih
kurang optimal dilakukan di Ruangan Bangau
karena masih banyak terdapat kendala-kendala.
7.2 Saran
7.2.1 Bagi Pihak Rumah Sakit
Diharapkan dari pihak rumah sakit
Ernaldi Bahar Palembang untuk dapat
memberikan penyuluhan langsung kepada
pasien tentang Terapi Religius khususnya Shalat
dan Zikir. Sehingga akan tercipta kesehatan
yang holistik atau meneyeluruh untuk pasien di
Rumah Sakit Ernaldi Bahar ini. Juga
keterbatasan sarana dan prasarana dalam Terapi
Religius Shalat dan Zikir ini hendaknya lebih
diperhatikan lagi.
7.2.2 Perawat
Diharapkan perawat mendominankan
peranannya sebagai pemberi asuhan dan
pendidik bagi pasien dengan memberikan
asuhan keperawatan yang holistik meliputi
bio,sosio,psiko dan spiritual sehingga hal ini
dapat membantu pasien merasa nyaman dan
mengurangi lamanya waktu rawat inap pasien.
Perawat juga meningkatkan pengetahuannya
tentang Terapi Religius Shalat dan Zikir ini
untuk memenuhi kebutuhan spiritual pasien .
7.2.3 Bagi Peneliti Selanjutnya
Diharapkan bagi peneliti lain untuk
dapat meneruskan penelitian ini tentang
pemberian Terapi Religius Salat dan Zikir untuk
menurunkan tingkat stres pada pasien
Halusinasi.