Dokter dan Kepemimpinan Klinis

5
RAD Journal 2014:12:016 Dokter dan Kepemimpinan Klinis, Robertus Arian Datusanantyo | 1 Dokter dan Kepemimpinan Klinis Ilustrasi: Seorang dokter jaga IGD mengangkat telpon yang berasal dari yuniornya di ruang rawat inap pediatri. Dia tidak yakin terhadap kondisi pasien yang sedang ditanganinya dan meminta bantuan dokter jaga IGD. Dalam waktu singkat, kedua dokter memutuskan untuk mengintubasi pasien dan memindahkannya ke ICU. Dokter yunior melakukan semuanya sendiri dibantu tim ruang perawatan pediatri. Dokter jaga IGD hanya berdiri di sana, memberikan persetujuan ketika dokter yunior mengatakan penilaian klinis dan rencananya. Sesungguhnya, dokter yunior hanya memerlukan dukungan dan kehadiran seniornya dalam memutuskan tindakan klinis atas pengalaman pertamanya pada pasien kritis yang ditemuinya di ruang perawatan pediatri. Mengenal Kepemimpinan Klinis Kepemimpinan lama dipersepsikan dengan kekuatan dan kekuasaan. Dalam dunia kesehatan, kepemimpinan lebih dekat dengan pengaruh dan perubahan. Konsep fivestar doctor dari WHO tidak menyebutkan kepemimpinan. Demikian pula dalam pendidikan, kepemimpinan adalah satu aspek yang harus ditemukan sendiri dalam pengalaman klinis. Istilah kepemimpinan klinis mengemuka pada NHS Next Stage Review Final Report yang dipimpin oleh Lord Darzi pada tahun 2008. Sejak itu, kepemimpinan klinis menjadi pokok bahasan yang ramai di Inggris dan menular ke seluruh dunia dengan terminologi yang tidak sama persis. Walau tidak ada pakem standar mengenai bagaimana kepemimpinan dibentuk selama pendidikan dokter dan dokter spesialis di Indonesia, namun ada perilaku serupa yang ditemui di banyak rumah sakit di seluruh Indonesia. Dokter cenderung suka memberikan perintah, memaksa profesi klinis lain melakukan sesuatu, dan cenderung tidak suka bila “otonomi” yang dipegangnya dimasuki oleh orang lain. Ini bukan kepemimpinan klinis. Ini adalah arogansi profesi. Kepemimpinan klinis disebut oleh Lord Darzi akan memegang peranan yang penting dalam pencapaian derajat kesehatan tertentu di Inggris. Tidak ada alasan mengapa pemikiran ini tidak dapat diaplikasi di Indonesia, mengingat porsi besar pelayanan kesehatan di rumah sakit sangat ditentukan oleh dokter. Veronica Wilkie dari Institute of Clinical Leadership mengatakan bahwa ada tujuh kompetensi dokter dalam kepemimpinan klinis. Ketujuh kompetensi tersebut adalah: 1. Keterlibatan dalam semua sejawat klinis dalam menjaga dan meningkatan keselamatan. 2. Berkontribusi dalam diskusi dan pengambilan keputusan terkait peningkatan mutu dan luaran pelayanan. 3. Mengangkat isu dan bertindak nyata dalam kepedulian terhadap keselamatan pasien. 4. Mendemonstrasikan kerja sama tim dan kepemimpinan yang efektif. 5. Mendukung lingkungan kerja yang bebas dari diskriminasi, perundungan (bullying), dan pelecehan. 6. Berkontribusi pada pendidikan dokter dan profesi klinis lain termasuk menjadi teladan (role model) dalam arti positif. 7. Mempergunakan sumber daya untuk kebaikan pasien dan masyarakat. Untuk meraih ketujuh kompetensi tersebut, dokter dapat belajar dari Clinical Leadership Competency Framework yang diterbitkan oleh NHS Leadership Academy. Dalam dokumen tersebut, terdapat lima domain kompetensi, yaitu menunjukkan kualitas diri, bekerja dengan orang lain, mengelola pelayanan, meningkatkan mutu pelayanan, dan menentukan tujuan. Masingmasing domain akan dijelaskan di bawah ini. Menunjukkan Kualitas Diri Hal pertama yang bisa dilakukan dokter dalam kepempimpinan klinis adalah menunjukkan kualitas diri. Kualitas diri ditunjukkan dengan empat cara, yaitu menyadari nilainilai yang dianut, prinsip

Transcript of Dokter dan Kepemimpinan Klinis

Page 1: Dokter dan Kepemimpinan Klinis

RAD Journal 2014:12:016

Dokter dan Kepemimpinan Klinis, Robertus Arian Datusanantyo | 1

Dokter  dan  Kepemimpinan  Klinis    

Ilustrasi:   Seorang   dokter   jaga   IGD   mengangkat   telpon   yang   berasal   dari   yuniornya   di  ruang   rawat   inap   pediatri.   Dia   tidak   yakin   terhadap   kondisi   pasien   yang   sedang  ditanganinya  dan  meminta  bantuan  dokter  jaga  IGD.  Dalam  waktu  singkat,  kedua  dokter  memutuskan   untuk   mengintubasi   pasien   dan   memindahkannya   ke   ICU.   Dokter   yunior  melakukan   semuanya   sendiri   dibantu   tim   ruang   perawatan   pediatri.   Dokter   jaga   IGD  hanya  berdiri  di  sana,  memberikan  persetujuan  ketika  dokter  yunior  mengatakan  penilaian  klinis   dan   rencananya.   Sesungguhnya,   dokter   yunior   hanya   memerlukan   dukungan   dan  kehadiran   seniornya   dalam   memutuskan   tindakan   klinis   atas   pengalaman   pertamanya  pada  pasien  kritis  yang  ditemuinya  di  ruang  perawatan  pediatri.    

 Mengenal  Kepemimpinan  Klinis  Kepemimpinan   lama   dipersepsikan   dengan   kekuatan   dan   kekuasaan.   Dalam   dunia   kesehatan,  kepemimpinan   lebih   dekat   dengan   pengaruh   dan   perubahan.   Konsep   five-­‐star   doctor   dari   WHO  tidak  menyebutkan   kepemimpinan.  Demikian   pula   dalam   pendidikan,   kepemimpinan   adalah   satu  aspek  yang  harus  ditemukan  sendiri  dalam  pengalaman  klinis.    Istilah  kepemimpinan  klinis  mengemuka  pada  NHS  Next  Stage  Review  Final  Report   yang  dipimpin  oleh   Lord   Darzi   pada   tahun   2008.   Sejak   itu,   kepemimpinan   klinis   menjadi   pokok   bahasan   yang  ramai  di  Inggris  dan  menular  ke  seluruh  dunia  dengan  terminologi  yang  tidak  sama  persis.    Walau   tidak  ada  pakem  standar  mengenai  bagaimana  kepemimpinan  dibentuk   selama  pendidikan  dokter  dan  dokter  spesialis  di  Indonesia,  namun  ada  perilaku  serupa  yang  ditemui  di  banyak  rumah  sakit   di   seluruh   Indonesia.   Dokter   cenderung   suka  memberikan   perintah,  memaksa   profesi   klinis  lain  melakukan  sesuatu,  dan  cenderung  tidak  suka  bila  “otonomi”  yang  dipegangnya  dimasuki  oleh  orang  lain.  Ini  bukan  kepemimpinan  klinis.  Ini  adalah  arogansi  profesi.    Kepemimpinan   klinis   disebut   oleh   Lord   Darzi   akan   memegang   peranan   yang   penting   dalam  pencapaian   derajat   kesehatan   tertentu   di   Inggris.   Tidak   ada   alasan   mengapa   pemikiran   ini   tidak  dapat   diaplikasi   di   Indonesia,   mengingat   porsi   besar   pelayanan   kesehatan   di   rumah   sakit   sangat  ditentukan  oleh  dokter.    Veronica  Wilkie  dari  Institute  of  Clinical  Leadership  mengatakan  bahwa  ada  tujuh  kompetensi  dokter  dalam  kepemimpinan  klinis.  Ketujuh  kompetensi  tersebut  adalah:  

1. Keterlibatan  dalam  semua  sejawat  klinis  dalam  menjaga  dan  meningkatan  keselamatan.  2. Berkontribusi   dalam   diskusi   dan   pengambilan   keputusan   terkait   peningkatan   mutu   dan  

luaran  pelayanan.    3. Mengangkat  isu  dan  bertindak  nyata  dalam  kepedulian  terhadap  keselamatan  pasien.    4. Mendemonstrasikan  kerja  sama  tim  dan  kepemimpinan  yang  efektif.  5. Mendukung   lingkungan   kerja   yang   bebas   dari   diskriminasi,   perundungan   (bullying),   dan  

pelecehan.  6. Berkontribusi  pada  pendidikan  dokter  dan  profesi  klinis  lain  termasuk  menjadi  teladan  (role  

model)  dalam  arti  positif.  7. Mempergunakan  sumber  daya  untuk  kebaikan  pasien  dan  masyarakat.    

Untuk   meraih   ketujuh   kompetensi   tersebut,   dokter   dapat   belajar   dari   Clinical   Leadership  Competency  Framework  yang  diterbitkan  oleh  NHS  Leadership  Academy.  Dalam  dokumen  tersebut,  terdapat   lima   domain   kompetensi,   yaitu   menunjukkan   kualitas   diri,   bekerja   dengan   orang   lain,  mengelola   pelayanan,   meningkatkan   mutu   pelayanan,   dan   menentukan   tujuan.   Masing-­‐masing  domain  akan  dijelaskan  di  bawah  ini.      Menunjukkan  Kualitas  Diri  Hal  pertama  yang  bisa  dilakukan  dokter  dalam  kepempimpinan  klinis  adalah  menunjukkan  kualitas  diri.  Kualitas   diri   ditunjukkan  dengan   empat   cara,   yaitu  menyadari   nilai-­‐nilai   yang  dianut,   prinsip  

Page 2: Dokter dan Kepemimpinan Klinis

RAD Journal 2014:12:016

Dokter dan Kepemimpinan Klinis, Robertus Arian Datusanantyo | 2

dan   asumsi,   dan   dengan   kemampuan   belajar   dari   pengalaman.   Kedua,   kualitas   diri   ditunjukkan  dengan  pengelolaan  diri  yang  baik  bersamaan  dengan  pengenalan  terhadap  kebutuhan  dan  prioritas  orang   lain,   utamanya   pasien.   Ketiga,   kualitas   diri   ditunjukkan   dengan   pengembangan   diri   yang  berkelanjutan.   Ini   dapat   ditunjukkan   dengan   mengikuti   program   kerja   yang   diadakan   oleh  subkomite   dalam   komite   medis   maupun   menunjukkan   sendiri   pengembangan   profesional   dalam  bentuk   yang   lain.  Keempat,   kualitas   diri   ditunjukkan  dengan   integritas   yang   secara   umum  berarti  terbuka,  jujur,  dan  etis.    Seseorang,   termasuk   juga   dokter,   tidak   dapat   dinilai   lepas   dari   konteks   budaya.   Prinsip   ini   juga  berlaku  di   rumah  sakit,   terutama  nilai-­‐nilai  yang  dianut.  Rumah  sakit  satu  dengan  yang   lain  dapat  mempunyai   nilai-­‐nilai   yang   berbeda.   Rumah   sakit   daerah   di   satu   tempat   dapat   mempunyai   nilai  yang   berbeda   dengan   tempat   lain   dalam   aspek   komunikasi   misalnya.   Kegagalan   dokter  menunjukkan  nilai   yang  diakui  di   suatu   rumah  sakit  dapat  menyebabkan  kegagalan  menunjukkan  kualitas  diri  yang  sepenuhnya.    Belajar  dari  pengalaman  dapat  membantu  dokter  menunjukkan  berkomunikasi  dengan  staf   rumah  sakit  lain  mengenai  prinsip  dan  nilai  yang  dianut.  Cara  mengkomunikasikan  ketidaksetujuan  adalah  salah  satu  contohnya.  Mengatakan  kepada  atasan  suatu  ketidaksetujuan  terhadap  perilaku  perawat  di   satu   tempat   dapat   diterima   dengan   baik,   namun   belum   tentu   dapat   diterima   di   tempat   lain.  Mengamati  bagaimana  dinamika  komunikasi  terjadi  dalam  pembahasan  tim  pada  suatu  kasus  dapat  menjadi  sarana  yang  baik  untuk  memahami  nilai  dan  prinsip  yang  berlaku  di  suatu  rumah  sakit.    Pertemuan  semacam  itu  dapat  pula  membantu  dokter  mengelola  dirinya  sendiri  dengan  baik.  Emosi,  tanggung   jawab,   tenggat   waktu,   dapat   pula   dipelajari   dan   menjadi   bahan   pembelajaran   dalam  pengelolaan  diri.  Pemikiran  secara  kritis   terhadap  beban  kerja,  pemenuhannya,  dan  kesehatan  diri  perlu  dilatih  secara  berkelanjutan.    Pengelolaan   diri   berhubungan   sangat   erat   dalam   pengembangan   profesioal   berkelanjutan.   Selain  pendidikan  berkelanjutan  dalam  bentuk  kelas,  seminar,  dan  workshop  eksternal,  dokter  dapat  pula  memastikan   pengembangan   profesional   dengan   cara   menjadi   anggota   tim   dalam   kegiatan   audit,  pembahasan  kasus  sulit,  dan  konferensi  kematian  pasien.      Bekerja  dengan  Orang  Lain  Profil  sebagai  manajer  dalam  five-­‐star  doctor  memungkinkan  dokter  berperan  sebagai  pemain  yang  baik  dalam  tim.  Semakin  kita  sadar  dalam  dunia  yang  makin  berkembang  ini,  dokter  semakin  harus  terlibat   dalam   tim   untuk   bekerja,   terutama   di   rumah   sakit.   Sesuai   dengan   spesialisasi,   terdapat  perbedaan  banyaknya  orang  yang  bekerja  sama  dengan  dokter.    Seorang  dokter  jaga  IGD  akan  bekerja  sama  dengan  perawat,  radiografer,  petugas  pendaftaran  rawat  inap,   pengemudi   ambulans,   dan   lain-­‐lain.   Seorang   ahli   bedah   mungkin   tidak   akan   bekerja   sama  langsung   dengan   pengemudi   ambulans,   namun   interaksinya   diperkaya   dengan   dokter   anestesi,  perawat  kamar  bedah  dengan  berbagai  spesialisasinya,  dan  tentu  perawat  pengendali  infeksi.  Walau  demikian,  ada  empat  elemen  kompetensi  yang  harus  dikuasai.    Keempat   elemen   tersebut   adalah   mengembangkan   jaringan,   membangun   dan   mempertahankan  hubungan,  mendorong  kontribusi,  dan  bekerja  dalam  tim.    Dalam  sebuah  instalasi  gawat  darurat,  di  mana  kerja  tim  sangat  penting,  keempat  elemen  tersebut  mutlak  dikuasai  oleh  dokter  yang  berkedudukan  sebagai  kepala   instalasi.  Dalam  waktu  yang  sama,  dokter  tersebut  harus  dapat  bermain  sebagai  anggota  tim  namun  juga  menunjukkan  pengaruh  yang  cukup  untuk  mendorong  kontribusi  masing-­‐masing  anggota  tim  lain.    Mendengarkan  sudut  pandang  profesi  klinis  lain  yang  bekerja  sama  dengan  dokter  dapat  membuka  berbagai  peluang.  Seorang  pengemudi  ambulans  dapat  menceritakan  dengan  baik  bagaimana  sebuah  ambulans   yang   bersih   dan   rapi   dapat  meningkatkan   keselamatan   dan   kepuasan   pasien.  Demikian  juga  seorang  perawat  yang  bebas  mengutarakan  ide  dan  pendapatnya  sering  kali  mempunyai  saran  untuk  memperbaiki  bagaimana  berkas  rekam  medis  didesain.    Kemampuan  mendengarkan   dengan   cukup   kerendahan   hati   inilah   yang   sering   tidak   dimiliki   oleh  dokter  yang  bekerja  di  rumah  sakit.  Dengan  mendengarkan  profesi  lain,  sekurang-­‐kurangnya  dokter  

Page 3: Dokter dan Kepemimpinan Klinis

RAD Journal 2014:12:016

Dokter dan Kepemimpinan Klinis, Robertus Arian Datusanantyo | 3

dapat  menemukan  peluang-­‐peluang,  mempertahankan  hubungan  baik  dengan  rekan  kerjanya,  dan  pada  akhirnya  meningkatkan  luaran  klinis  hasil  pekerjaannya  sendiri.    Dengan  menjadi   teladan   yang   baik,   dokter   yang  mendengarkan   dan   bekerja   sama   dengan   profesi  kesehatan   lain   dapat   mendukung   perbaikan   berkelanjutan   di   dalam   unit   kerja   di   mana   dia  berkiprah.  Penghargaan  terhadap  kontribusi  profesi  kesehatan   lain  dalam  tim  atau  unit  kerja  pada  akhirnya   juga   akan  berwujud  pada  perbaikan   luaran  pelayanan.   Selama  proses   ini   berjalan,  dokter  diharapkan   dapat   berperan   sebagai   pemimpin   tim   dan   berinteraksi   dengan   anggota   tim   yang  dipimpinnya.      Mengelola  Pelayanan  Pelayanan   rumah   sakit   bukanlah  pelayanan  yang  bersifat   statis.   Pelayanan   rumah   sakit  dewasa   ini  sangat  dinamis,  cepat  berubah,  dan  konsisten  pada  perbaikan.  Dokter  yang  bekerja  di   rumah  sakit  adalah   bagian   tidak   terpisahkan  dari   dinamika   perubahan  pelayanan   rumah   sakit   ini.   Pengelolaan  pelayanan,  dengan  demikian,  adalah  bagian  dari  urusan  dokter  juga.    Pengelolaan   pelayanan   yang   dimaksud   bukanlah   manajemen   klinis   pada   pasien.   Pelayanan   yang  dimaksud  adalah  produk  rumah  sakit  yang  ditawarkan  kepada  pelanggan.  Pelayanan  ini  bisa  berupa  pelayanan   generik   rumah   sakit   seperti   misalnya   pelayanan   instalasi   gawat   darurat,   ataupun  pelayanan  khusus  yang  menjadi  unggulan  rumah  sakit.    Sebagian   besar   dokter   purna   waktu   dalam   ranah   klinis   di   Indonesia   selalu   memisahkan   dengan  nyata   antara   pekerjaan   klinis   dan  pekerjaan   yang  disebut   pekerjaan   “struktural”   atau   “manajerial”.  Jarang  sekali  dokter  yang  ingin  disebut  “klinisi  murni”  atau  “fungsional  murni”  ini  menyadari  bahwa  pengelolaan   pasien   sehari-­‐hari   yang   dilakukannya   sebenarnya   adalah   manajemen   juga.   Sekali  seorang  dokter  masuk  untuk  berkarya  di  sebuah  rumah  sakit,  saat  itu  juga  manajemen  rumah  sakit  menjadi   urusannya   juga   karena   kelangsungan   pengelolaan   pasiennya   ditentukan   oleh   kualitas  manajemen  di  dalam  rumah  sakit  tersebut.    Para  dokter  dapat  berkontribusi  mengelola  pelayanan  dengan  cara   turut   serta  dalam  perencanaan,  pengelolaan  sumber  daya,  pengelolaan  staf,  dan  pengelolaan  kinerja.    Ada   contoh   klasik   yang   sering   dipakai   untuk   menggambarkan   proses   ini.   Di   suatu   rumah   sakit,  hanya   terdapat   seorang   ahli   bedah   yang   sudah   mulai   menua.   Seiring   perkembangan   ekonomi,  dibangunlah   jalan   besar   dekat   rumah   sakit,   dan  mulailah   banyak   cedera   terjadi   akibat   kecelakaan  lalu   lintas.   Data   tahunan   dikumpulkan,   dan  mulailah   sang   ahli   bedah  mengusulkan   perencanaan  untuk  mengembangkan   pelayanan   trauma.   Seorang   ahli   orthopaedi   dan   ahli   bedah   saraf   direkrut  bersama  tambahan  seorang  spesialis  anestesi.    Dalam   perkembangannya,   penambahan   dokter   dan   penambahan   pelayanan   menuntut   tambahan  perawat   beserta   spesialisasinya.  Kebutuhan   listrik  meningkat,   demikian  pula   pembuangan   limbah.  Staf   semakin   banyak,  mutu   pelayanan   dianalisis   dan   ditingkatkan.   Semua   direspon   dan   beberapa  tahun  kemudian  sang  ahli  bedah  menemukan  rumah  sakitnya  telah  mempunyai  trauma  centre  yang  ramai.  Dalam  hal  pengelolaan  pelayanan  ini,  kerap  dijumpai  dokter  yang  diam  saja  dan  tidak  mau  terlibat.  Hal-­‐hal   semacam   ini   selalu   disebut   sebagai   urusan   struktural   atau   urusan  manajemen.   Di   rumah  sakit   pemerintah   sebelum   era   badan   layanan   umum,   memang   pengelolaan   pelayanan   macam   ini  tidak  mudah  dilakukan.  Namun  di  jaman  ini,  pengelolaan  pelayanan  perlu  menjadi  urusan  dokter.      Meningkatkan  Mutu  Pelayanan    Para  dokter  dapat  meningkatkan  mutu  pelayanan  lewat  empat  cara,  yaitu  memastikan  keselamatan  pasien,   evaluasi   secara   kritis,   mendorong   perbaikan   dan   inovasi,   dan   menjadi   fasilitator   dalam  transformasi.   Secara   ringkas,   dalam   hal   meningkatkan   mutu   pelayanan   ini   seorang   dokter   perlu  memahami  terlebih  dahulu  mengenai  keselamatan  pasien  dan  peningkatan  mutu.    Isu  keselamatan  pasien  sebenarnya  belum  terlalu  tua.  Telah  dikenal  luas  bahwa  gerakan  keselamatan  pasien  berawal  dari  laporan  Institute  of  Medicine  yang  diterbitkan  tahun  2000  melalui  buku  berjudul  “To  Err  is  Human:  Building  a  Safer  Health  System.”  Dalam  buku  ini  ditegaskan  perlunya  ada  sistem  yang  dibangun  untuk  membuat  orang   sulit   berbuat   salah  dan  mudah  untuk  melakukan  pekerjaan  

Page 4: Dokter dan Kepemimpinan Klinis

RAD Journal 2014:12:016

Dokter dan Kepemimpinan Klinis, Robertus Arian Datusanantyo | 4

dengan  benar.  Secara  luas,  gerakan  keselamatan  pasien  saat  ini  disebut  sebagai  sebuah  sistem  yang  memungkinkan  asuhan  pada  pasien  dilakukan  secara  aman.    Isu-­‐isu  yang  berkaitan  dengan  keselamatan  pasien  akan  dibahas  pada  tulisan  yang  lain.    Keselamatan  pasien  memang  sangat  erat  berhubungan  dengan  mutu.  Di   Indonesia   saat   ini,   sistem  akreditasi   rumah   sakit   juga   mengamini   hal   ini.   Pelayanan   yang   bermutu   adalah   pelayanan   yang  aman.  Pengembangan  sistem  tarif  bahkan  juga  bersandar  pada  prinsip  demikian.  Hanya  rumah  sakit  yang  dapat  membuktikan  mutu  dan  keselamatannya  saja  yang  kelak  akan  dibayar  oleh  asuransi  dan  pihak  penanggung  biaya.    Untuk  itulah  diperlukan  inovasi.  Inovasi  adalah  pengenalan  dan  aplikasi  secara  sengaja  ide,  proses,  produk,  atau  prosedur  baru  pada  suatu  peran,  kelompok,  organisasi  dan  diharapkan  bermanfaat  bagi  individu,  kelompok,  organisasi,  maupun  masyarakat  yang  lebih  luas.    Dalam   tulisannya   mengenai   difusi   inovasi,   Donald   M.   Berwick   menulis   bahwa   hanya   2,5%   dari  mereka   yang   terlibat   dapat   disebut   sebagai   inovator.   Inovator   menonjol   di   kelompoknya   karena  toleransinya   pada   risiko,   keberaniannya,   kegemaran   pada   hal   baru,   dan   kemauan   untuk  meninggalkan   zona   nyaman.   Dalam   kelompok,   dapat   berupa   unit   kerja,   dokter   adalah  minoritas.  Kesempatan   ini   sebaiknya   digunakan   sebagai   inovator   karena   secara   tidak   langsung,   dokter   selalu  dipandang  sebagai  pemimpin  di  sebuah  unit  kerja.      Menentukan  Tujuan  Pada  bagian  akhir  domain  kompetensi  kepemimpinan  klinis  ini,  masih  ada  empat  hal  penting  dalam  menetapkan  tujuan  untuk  perubahan.  Keempat  hal  tersebut  adalah  identifikasi  konteks  perubahan,  penerapan  pengetahuan  dan  bukti  ilmiah,  membuat  keputusan,  dan  mengevaluasi  dampak.    Dua  yang  pertama  akan  dibahas  mendalam  pada  tulisan  yang  lain.    Dalam  pengambilan  keputusan,  dokter  harus  ikut  berperan.  Kerap  dijumpai  keputusan  yang  diambil  manajer   maupun   pemimpin   di   rumah   sakit   tidak   berorientasi   pada   misi   rumah   sakit   namun  cenderung  mengatasi  masalah  untuk  tujuan   jangka  pendek.  Perlu  diingat,  misi   rumah  sakit  adalah  panduan  utama  dalam  keberpihakan  pengambilan  keputusan.    Untuk   itulah  misi   rumah   sakit  penting  dipahami  oleh  dokter   yang  berkarya  di   rumah   sakit.  Nilai-­‐nilai   inti   dan   prioritas   organisasi   perlu   dikembangkan   dalam   diri   dokter   sehingga   pengambilan  keputusan  benar-­‐benar  berorientasi  pada  misi  rumah  sakit.  Walaupun  tidak  ada  cara  yang  seragam  dalam  mencapai  hal  ini,  prinsip  pengambilan  keputusan  tersebut  harus  tetap  dijaga.    Demikian   halnya   setelah   implementasi   perubahan.   Dokter   juga   perlu   terlibat   dalam   evaluasi  terhadap  dampak  yang  ditimbulkan  oleh  perubahan.  Berbagai  pilihan  yang  mungkin  diambil  sebagai  alternatif   dapat   diidentifikasi   bersama   oleh   dokter   dan   staf   unit   kerja   lain.   Proses   pengambilan  keputusan  dengan  demikian  berulang  dengan  penetapan  standar  yang  baru.      Penutup  Uraian   mengenai   kelima   domain   kepemimpinan   klinis   di   atas   diharapkan   dapat   memberikan  gambaran  bagaimana  kepemimpinan  klinis  dibentuk  dalam  diri  dokter  yang  bekerja  di  rumah  sakit.  Dari  uraian   tersebut  nampak  bahwa   sekali   dokter  bekerja  di   rumah   sakit,   dia  menemukan  dirinya  adalah   klinisi,   sekaligus   manajer,   sekaligus   pemimpin.   Semua   urusan   yang   terkait   pelayanan,  termasuk  pengembangan,  adalah  urusan  dokter.  Sehingga,  bukan  jamannya  lagi  mengatakan,  “Saya  klinisi  murni,  itu  urusan  anda  sebagai  pejabat  struktural,  saya  tidak  mau  ikut  campur.”    Penulis  Artikel   ini   dipersiapkan   dan   ditulis   oleh   dr.   Robertus  Arian  Datusanantyo.   Tulisan   ini  merupakan  tulisan   pertama   dari   seri   Dokter   dan   Manajemen   Rumah   Sakit   yang   sedang   ditulis   sebagai  pertanggungjawaban  keilmuan.    

Page 5: Dokter dan Kepemimpinan Klinis

RAD Journal 2014:12:016

Dokter dan Kepemimpinan Klinis, Robertus Arian Datusanantyo | 5

Daftar  Bacaan  Barnett,   J.   et   al.,   2011.   Understanding   innovators’   experiences   of   barriers   and   facilitators   in  

implementation   and   diffusion   of   healthcare   service   innovations:   a   qualitative   study.   BMC  health  services  research,  11(1),  p.342.    

Beasley,   D.C.   et   al.,   2011.   Clinical   Leadership   Competency   Framework.   Coventry:   NHS   Leadership  Academy.  

Berwick,  D.M.,  2003.  Disseminating  innovations  in  health  care.  JAMA  :  the  journal  of  the  American  Medical  Association,  289(15),  pp.1969–75.    

Boelen   C.,   The   Five-­‐Star   Doctor,   An   Asset   to   Health   Care   Reform?,   Geneve:   World   Health  Organization.  

Darzi   L.,   2008.   High   Quality   Care   for   All:   NHS   Next   Stage   Review   Final   Report.   Department   of  Health.  

Kohn   L.T.   et   al   (Ed).,   2000.   To   Err   is   Human:   Building   a   Safer   Health   System.Washington   DC:  National  Academy  Press.  

Ross   D.   et   al   (Ed).,   Clinical   Leadership   –   the   Challenge   of   Making   the   Most   of   Doctors   in  Management.  The  Centre  for  Innovation  in  Health  Management  University  of  Leeds.  

Wilkie   V.,   2012.   Leadership   and  Management   for   All   Doctors.   British   Journal   of   General   Practice,  May,  2012,  DOI:  10.3399/bjgp12X636290.