DIVERSITAS SERANGGA

23
KERAGAMAN : KEANEKARAGAMAN : DIVERSITAS SERANGGA PADA BERAPA TIPE PENGGUNAAN LAHAN DI KAWASAN BUKIT MANDIANGIN TAHURA SULTAN ADAM KALIMANTAN SELATAN Tesis untuk memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat Sarjana S-2 Program Studi Ilmu Kehutanan Kelompok Bidang Ilmu-Ilmu Pertanian Oleh Susilawati 23090/II-4/424/05 Email : [email protected] PENDAHULUAN Perbedaan penggunaan lahan ini menyebabkan berubahnya struktur dan komposisi vegetasi pada lahan tersebut dan pada akhirnya akan berpengaruh pada kestabilan ekosistem yang baru. Perubahan ekosistem menjadi ekosistem baru tidak hanya melibatkan vegetasi, tetapi juga melibatkan fauna baik yang hidup di atas tanah maupun permukaan tanah . Artinya fauna juga akan mengalami urutan perubahan yang paralel dengan tingkatan seral tumbuhan. Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami dampak perubahan lanskap tersebut adalah melalui identifikasi jenis dan komposisi serangga yang ada untuk dapat dimanfaatkan sebagai bioindikator guna memprediksi perubahan habitat maupun ekosistem tertentu. Hal ini beranjak dari pemahaman bahwa adanya keterkaitan antara faktor biotik dan abiotik lingkungan, dimana jenis atau populasi tumbuhan , hewan termasuk serangga dan mikroorganisme akan mengalami perubahan

Transcript of DIVERSITAS SERANGGA

Page 1: DIVERSITAS SERANGGA

KERAGAMAN : KEANEKARAGAMAN : DIVERSITAS SERANGGA PADA BERAPA TIPE PENGGUNAAN LAHAN DI KAWASAN BUKIT MANDIANGIN

TAHURA SULTAN ADAM KALIMANTAN SELATAN

Tesisuntuk memenuhi sebagian persyaratan

mencapai derajat Sarjana S-2

Program Studi Ilmu KehutananKelompok Bidang Ilmu-Ilmu Pertanian

OlehSusilawati

23090/II-4/424/05Email : [email protected]

PENDAHULUAN 

Perbedaan penggunaan lahan ini menyebabkan berubahnya struktur dan komposisi vegetasi

pada lahan tersebut dan pada akhirnya akan berpengaruh pada kestabilan ekosistem yang

baru.   Perubahan ekosistem menjadi ekosistem baru tidak hanya melibatkan vegetasi, tetapi

juga melibatkan fauna baik yang hidup di atas tanah maupun permukaan tanah.  Artinya

fauna juga akan mengalami urutan  perubahan yang paralel dengan tingkatan seral tumbuhan.

Salah satu pendekatan yang dapat digunakan untuk memahami dampak perubahan lanskap

tersebut adalah melalui identifikasi jenis dan komposisi serangga yang ada untuk dapat

dimanfaatkan sebagai bioindikator guna memprediksi perubahan habitat maupun ekosistem

tertentu.  Hal ini beranjak dari pemahaman bahwa  adanya keterkaitan antara faktor biotik

dan abiotik lingkungan, dimana jenis atau populasi tumbuhan, hewan termasuk serangga  dan

mikroorganisme akan mengalami perubahan kehadiran, vitalitas dan respon sebagai akibat

pengaruh kondisi lingkungan. Setiap jenis akan memberikan respon terhadap perubahan

lingkungan tergantung dari stimulasi (rangsangan) yang diterimanya. Respon yang diberikan

mengindikasikan perubahan dan tingkat pencemaran yang terjadi di lingkungan tersebut 

(Speight et.al., 1999).

Berdasarkan pemikiran di atas, penulis tertarik melakukan penelitian apakah perubahan

komunitas yang sekarang terjadi di kawasan Tahura mempengaruhi  diversitas fauna. Salah

satu pendekatan yang dilakukan adalah menggunakan serangga yang selama ini dianggap

sebagai bioindikator yang cukup responsif untuk menilai perubahan-perubahan  yang terjadi

dalam suatu habitat.

Page 2: DIVERSITAS SERANGGA

METODE PENELITIAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian di hutan sekunder, kebun buah (dukuh), kebun karet dan belukar muda

campur alang-alang di kawasan Bukit Mandiangin Tahura Sultan  Adam Kalimantan Selatan

dan Laboratorium Entomologi Dasar Fakultas Pertanian UGM Yogyakarta.  Penelitian

dilaksanakan dari bulan Nopember 2006 – Maret 2007.

Alat dan Bahan Penelitian

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah lup, mikroskop cahaya, kantong plastik,

karet gelang, pinset, kotak serangga, jaring serangga, killing bottle, kertas label, botol

spesimen, emergency lamp.

Metode Kerja

1. Pengamatan  serangga  dilaksanakan  pada  tiap tipe penggunaan lahan seluas 1 ha

(500m X 20m) yang terbagi atas 5 (lima) petak pengamatan (20 m x 100 m).  Pada

tiap petak pengamatan menggunakan 2 (dua) buah jaring serangga dan 1 (satu) buah

emergency lamp

2. Penangkapan dengan jaring serangga menggunakan dua rentang waktu yang berbeda

yakni dari pukul 07.00 s/d 10.00 pagi , kemudian dilanjutkan kembali pada pukul

16.00 siang hingga pukul 18.00 sore

3. Serangga – serangga yang berhasil ditangkap dimasukkan ke dalam killing bottle

4. Selanjutnya dilakukan pemilahan koleksi dan identifikasi sampai tingkat famili dan

secara morphospesies

Analisis Data

Parameter yang dihitung adalah :

Kekayan Jenis Serangga ( Richness )

Untuk mengetahui kekayaan jenis serangga dalam satu kawasan digunakan rumus yang

dikemukakan  oleh Margalef  (Reynold, 1988) yakni :

  R         =          S – 1

                          Ln N

Page 3: DIVERSITAS SERANGGA

  

Dimana :

R            =          Indeks Kekayaan Jenis

S            =          Jumlah Jenis Serangga

N            =          Jumlah Total Individu Serangga

Ln          =          Logaritma Natural

Keanekaragaman Serangga ( Diversity)

 Untuk mengetahui keanekaragaman serangga dalam satu kawasan digunakan indeks

keanekaragaman jenis yang dikemukakan oleh Shanon dan Wiener  (Reynold, 1988)  yakni  :

               H’  =  -   [(ni/N) Ln (ni/N)]

Dimana :

H’           =          Keanekaragaman Jenis Serangga

ni            =          Jumlah Individu Tiap Jenis Serangga

N            =          Jumlah Total Individu Seluruh Serangga

Kerataaan  Serangga (Eveness)

Untuk mengetahui kerataan serangga digunakan rumus yang dikemukakan oleh Peilou 

(Reynold,1988 )  yakni :

                           é = H’ / Ln S

Dimana  :

            é          =          Index Kerataan Jenis

            S          =          Jumlah Jenis Serangga

            H’        =          Index Keanekaragaman Jenis

            Ln        =          Logaritma Natural

 

Struktur Komunitas

Struktur komunitas serangga antar lahan dibandingkan menggunakan indeks kesamaan

Sorensen (Suin,1989) sebagai berikut :

IS          =        2j    x   100 %

                           a  +  b

Dimana :

IS             =     Indeks kesamaan komunitas

j              =       Jumlah spesies yang terdapat pada ke dua tipe penggunaan lahan

Page 4: DIVERSITAS SERANGGA

a             =       Jumlah spesies pada lahan A

b             =       Jumlah spesies pada lahan B

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komunitas Serangga di Beberapa Tipe Penggunaan Lahan

Jumlah keseluruhan serangga di lokasi pengamatan sebanyak 1183 individu yang terdiri atas

11 ordo, 49 famili dan 68 spesies.  Ordo Lepidoptera dan Hymenoptera mendominasi jumlah

serangga dari keseluruhan lokasi masing-masing sebesar 39,56 % dan 20,03 % dari

keseluruhan spesimen.       

   Jumlah serangga yang dikoleksi pada beberapa tipe penggunaan lahan di Kawasan Bukit

Mandingin dengan menggunakan alat tangkap jaring serangga dan Emergency Lamp dapat

dilihat pada Tabel 1 :

Tabel 1.  Jumlah Serangga di Beberapa Tipe Penggunaan Lahan pada   Kawasan Bukit

Mandiangin

No Penggunaan Lahan Ordo Famili Jenis Individu

1 Hutan Sekunder 10 35 46 412

2 Kebun Buah (dukuh) 10 35 47 409

3 Kebun Karet 9 25 29 229

4 Belukar Muda &

Alang-alang

6 14 17 133

           

Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa populasi serangga terbanyak ditemukan pada hutan

sekunder kemudian diikuti pada lokasi kebun buah, kebun karet dan belukar muda campur

alang-alang.  Jumlah jenis serangga yang ditemukan di kebun buah lebih banyak dibanding

jumlah jenis serangga yang ditemukan di hutan sekunder karena pada saat penelitian

berlangsung di kebun buah sedang musim berbunga sehingga diduga lebih banyak serangga

pollinator yang sedang beraktivitas.

Perbedaaan jumlah serangga yang ekstrim dapat dilihat pada jumlah serangga di belukar

muda campur alang-alang dengan di hutan sekunder, kebun buah dan kebun karet.   Tinggi

rendahnya jumlah populasi di suatu habitat berkaitan dengan kondisi lingkungan habitat yang

bersangkutan.  Kondisi lingkungan tersebut dapat berubah-ubah akibat adanya pengaruh atau

gangguan baik faktor eksternal maupun internal.  Faktor eksternal dapat berupa akibat

aktivitas manusia, kebakaran hutan sedangkan faktor internal dapat berupa adannya

Page 5: DIVERSITAS SERANGGA

persaingan dan sifat ketergantungan dari komponen-komponen yang ada di dalam lingkungan

habitat itu sendiri misalnya ketersediaan makanan/pakan bagi serangga seperti vegetasi atau

serangga lain yang berukuran lebih kecil sebagai mangsa.

Jumlah serangga terbanyak ditemukan pada hutan sekunder dan kebun buah, hal ini dapat

dijelaskan karena pada kedua tipe penggunaan lahan tersebut, terdapat keanekaragaman

vegetasi yang lebih banyak sehingga  merupakan sumber pakan yang melimpah bagi

serangga yang mempengaruhi  populasi serangga.  Vegetasi pada hutan sekunder di lokasi

pengamatan antara lain palawan (Tristania maingayi), kayu kacang (Strombosia javanica),

madang pirawas (Neolitsia cassifolia), tengkook ayam (Nephelium sp), margatahan

(Palaquium desypyllum), kayu kikir (Casearia grewiefolia), keruing (Dipterocarpus spp) dan

lain-lain, sedangkan vegetasi pada kebun buah pada saat pengamatan antara lain didominasi

oleh durian (Durio zibethinus), pampakin (Durio kutejensis), rambutan (Nephelium

lappaceum), langsat (Lansium domesticum), hambawang (Mangifera feotida), ramania

(Benca macrophylla), nangka (Arthocarpus heterophyllus), cempedak (Arthocarpus integra),

kesturi (Mangifera sp) dan lain-lain. Kelimpahan populasi serangga pada suatu habitat

ditentukan oleh adanya keanekaragaman dan kelimpahan sumber pakan maupun sumber daya

lain yang tersedia pada habitat tersebut.  Serangga menanggapi sumber daya tersebut dengan

cara yang kompleks.  Keadaan pakan yang berfluktuasi secara musiman akan menjadi faktor

pembatas bagi keberadaan populasi hewan di suatu tempat oleh adanya kompetisi antar

individu.   

Jumlah dan jenis serangga akan semakin meningkat pada komunitas yang memiliki kuantitas

dan kualitas pakan yang sesuai dengan kebutuhan serangga.  Antara vegetasi dan serangga

terjadi hubungan yang dapat menstabilkan ekosistem hutan.  Bila salah satu komponen

terganggu maka akan mempengaruhi keberadaan komponen lainnya.  Hal ini ditegaskan oleh

Berryman (1986), yang menyebutkan bahwa serangga berperan penting dalam proses suksesi

dan menjaga kestabilan ekosistem hutan.  Berdasarkan Keppres RI No. 52 Tahun 1989 salah

satu fungsi pokok dari kawasan Tahura Sultan Adam adalah sebagai kawasan pengawetan

keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya dan meningkatkan fungsi

hidrologi DAS Riam Kanan dan sekitarnya.  Maka sudah sewajarnyalah fungsi itu tetap kita

pertahankan setinggi mungkin.

Populasi serangga yang ditemukan pada kebun karet lebih kecil daripada serangga yang ada

pada hutan sekunder dan kebun buah, hal ini terjadi diduga berkaitan dengan kondisi kebun

karet yang hanya terdiri satu jenis saja  sehingga menjadi faktor pembatas bagi ketersediaan

Page 6: DIVERSITAS SERANGGA

pakan bagi serangga.   Populasi serangga yang ditemukan pada belukar muda campur alang-

alang mempunyai angka yang lebih kecil dibandingkan ketiga tipe penggunaan lahan lainnya,

hal ini juga diduga berkaitan dengan ketersediaan pakan bagi serangga sehingga sedikit sekali

serangga yang menjadikan belukar muda campur alang-alang sebagai habitatnya.  Hal ini

didukung oleh pendapat Natawigena (1990) bahwa keanekaragaman jenis vegetasi

memberikan sumbangan yang sangat penting bagi keberadaan serangga, karena serangga

akan menghabiskan separuh siklus hidupnya pada suatu habitat yang dapat menyediakan

sumber pakan dalam jumlah yang optimal sesuai kebutuhan.  Disisi lain vegetasi dapat

berperan sebagai habitat bagi serangga untuk berbagai aktivitas diantaranya sebagai tempat

berlindung, tempat pembuatan sarang maupun tempat beristirahat.

Selain vegetasi sebagai sumber pakan, kehadiran serangga lain yang berperan sebagai mangsa

bagi serangga yang bersifat predator dalam suatu habitat.  Hasil analisa serangga

menunjukkan bahwa jumlah maupun jenis serangga di beberapa tipe penggunaan lahan cukup

bervariatif sehingga mempengaruhi aktivitas makan serangga yang bersifat predator. 

Misalnya serangga dari ordo Odonata akan bertindak sebagai predator terhadap serangga dari

ordo Orthoptera, Lepidoptera (ngengat), serangga ordo Orthoptera bertindak sebagai predator

terhadap serangga ordo Hemiptera.

Faktor lain yang diduga juga berpengaruh terhadap populasi serangga adalah antara lain

ketersediaan air yang umumnya diperoleh serangga melalui makanan yang mengandung air. 

Dengan tingginya jumlah vegetasi yang ada pada hutan sekunder, kebun buah, kebun karet

dibanding pada belukar muda dan alang-alang, maka otomatis berpengaruh pada ketersediaan

air bagi serangga.  Selain itu pada ketiga lokasi pertama didapati anak sungai-anak sungai

yang banyak disukai oleh beberapa jenis serangga yang beraktivitas di sekitar daerah yang

berair sehingga turut berpengaruh pada populasi serangga, sementara kondisi habitat seperti

ini tidak didapati pada belukar muda campur alang-alang.    Lebih tingginya keragaman

spesies serangga pada habitat yang vegetasinya lebih beragam terhadap kerusakan habitat,

mengindikasikan perlunya mempertahankan keragaman jenis tumbuhan setinggi mungkin.

            Keragaman serangga yang ditangkap dengan menggunakan jaring serangga dan

sistem ”Light trapping” dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2.  Distribusi Serangga di Lokasi Penelitian berdasarkan Waktu Aktif Serangga

Tipe Lahan Waktu Aktif Ordo Famili Jenis Individu

Ht.Sekunder Siang 8 20 25 221

Page 7: DIVERSITAS SERANGGA

Malam 7 17 21 191

Kb.Buah (dukuh) Siang

Malam

10

7

24

17

28

25

221

188

Kb.Karet Siang

Malam

9

6

20

8

21

10

126

103

Belukar Muda

Alang-alang

Siang

Malam

6

3

10

4

12

5

95

38

Serangga yang aktif pada siang hari terdiri dari ordo Lepidoptera, Hymenoptera, Coleoptera,

Odonata, Hemiptera, Orthoptera, Diptera, Neuroptera, Blattodea dan Mantodea, sedangkan

serangga yang aktif pada malam hari terdiri dari ordo Lepidoptera, Hymenoptera, Coleoptera,

Hemiptera, Diptera, Trichoptera, Blattodea dan Orthoptera.(Lampiran 14 s.d Lampiran 21). 

Jumlah famili serangga malam lebih kecil dibandingkan jumlah famili serangga yang aktif

pada siang hari, hal ini dikarenakan famili untuk serangga yang aktif pada malam hari tidak

sebanyak pada siang hari (Borror et all, 1992).  Hal ini sejalan dengan penelitian Harmonis

(2000) dan Latumahina (2006) yang mengemukakan bahwa famili serangga yang ditemukan

pada malam hari sedikit lebih berkurang dibanding serangga pada siang hari.  Perbedaan lain

yang ditimbulkan oleh waktu penangkapan adalah terjadinya variasi ordo, famili dan jenis

yang hadir pada tiap tipe penggunaan lahan.  Variasi-variasi tersebut terjadi oleh karena

masing-masing famili atau jenis mempunyai waktu-waktu aktif yang berlainan.

Jumlah ordo, famili maupun jenis serangga siang yang ditemukan pada kebun buah lebih

banyak daripada tipe penggunaan lahan lainnya.  Hal ini dikarenakan pada saat penelitian

sedang musim berbunga sehingga kehadiran serangga yang aktif pada siang hari (diurnal)

dapat juga dikaitkan dengan potensinya sebagai serangga pollinator (serangga penyerbuk bagi

vegetasi yang sedang berbunga). Sedangkan kehadiran serangga yang aktif pada malam hari

(nocturnal) dapat pula dikaitkan dengan potensinya sebagai hama. 

Kekayaan, Keanekaragaman dan Kerataan Jenis Serangga

Nilai kekayaan, keanekaragaman dan kerataan serangga pada tiap tipe penggunaan lahan

dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel  3. Total Nilai Kekayaan, Keanekaragaman dan Kerataan Jenis Serangga pada Lokasi

Penelitian

Tipe LahanKekayaan Jenis

(R)

Keanekaragaman

Jenis (H’)

Kerataan Jenis

(é)

Page 8: DIVERSITAS SERANGGA

Ht.Sekunder

Kb.Buah (dukuh)

Kb.Karet

Belukar Muda&Alang-

Alang

66.7661

66.3483

40.4879

25.9695

3.7949

3.6240

3.2082

2.6489

0.9912

0.9413

0.9528

0.9350

Pada Tabel 3 menunjukkan baik nilai kekayaan jenis maupun nilai keanekaragaman jenis

tertinggi pada hutan sekunder diikuti kebun buah, kebun karet dan belukar muda campur

alang-alang.  Nilai kerataan jenis tertinggi pada hutan sekunder, kemudian diikuti kebun

karet, kebun buah dan terendah pada belukar muda campur alang-alang.  Hal ini

menunjukkan bahwa pada keempat tipe penggunaan lahan , sebaran individu dari tiap jenis

individu yang hidup di dalamnya relatif lebih merata, walaupun nilai kekayaan dan

keanekaragaman jenis serangga pada masing-masing tipe penggunaan lahan berbeda.

Perbedaan nilai kekayaan jenis (R), keanekaragaman jenis (H’) maupun kerataan jenis (é)

secara umum dipengaruhi oleh faktor dalam dan luar dari kehidupan serangga.  Faktor dalam

antara lain kemampuan berkembang biak, perbandingan kelamin, sifat mempertahankan diri

dan siklus hidup.  Faktor luar yang mempengaruhi keberadaan serangga adalah suhu,

kelembaban, cahaya, warna, bau, angin, makanan, parasit dan predator (Elzinga,1978).

Nilai keanekaragaman jenis serangga yang menggambarkan keragaman serangga mengalami

penurunan seiring dengan berubahnya penggunaan lahan dari hutan sekunder, kebun buah,

kebun karet yang terdiri dari satu jenis saja sampai pada belukar muda dan alang-alang yang

sering mengalami kebakaran.  Hal ini menunjukkan adanya perubahan habitat di kawasan

Bukit Mandiangin dari hutan sekunder, kebun buah, kebun karet sampai belukar muda

campur alang berpengaruh terhadap diversitas, dalam hal ini mempengaruhi diversitas

serangga. Jadi dapatlah dikatakan bahwa konversi hutan menjadi peruntukan lain dapat

menurunkan nilai keanekaragaman jenis serangga.  Hal ini sejalan dengan penelitian

Subahar,T (2004), terjadi penurunan nilai keanekaragaman serangga dari Hutan Campuran,

Hutan Pinus, Lahan Bekas Kebun.

Konsekuensi langsung dari penurunan keragaman spesies adalah menurunnya layanan

ekosistem serangga dan akan menimbulkan kerugian yang tidak sedikit bagi manusia. 

Sebagai contoh, menurunnya populasi serangga predator dan polinator masing-masing

menyebabkan peningkatan populasi serangga hama dan menurunnya keberhasilan reproduksi

Page 9: DIVERSITAS SERANGGA

tumbuhan.  Penurunan keragaman serangga dekomposer seperti kumbang bubuk antara lain

dapat memperlambat siklus hara sehingga berpeluang menurunkan kesuburan tanah.    

Hutan sekunder dan kebun buah mempunyai diversitas yang tinggi karena kondisi habitat

pada saat penelitian terdiri dari vegetasi yang beragam , sehingga semakin tinggi

keanekaragaman vegetasi pada suatu habitat maka semakin tinggi pula sumber pakan bagi

serangga dalam suatu habitat.  Penanaman dengan sistem monokultur seperti kebun karet

mengakibatkan berkurangnya sumber pakan bagi serangga, sehingga diversitas serangga akan

berkurang, hal yang sama terjadi pada belukar muda campur alang-alang, vegetasi yang ada

merupakan sumber pakan yang tidak melimpah bagi serangga sehingga sedikit sekali

serangga yang didapati di habitat itu.  Jadi dapat dikatakan bahwa penggunaan lahan yang

berbeda akan membentuk iklim mikro dan sumber makanan yang berbeda.  Iklim mikro dan

sumber makanan merupakan faktor utama yang mempengaruhi diversitas serangga.  Adanya

simplifikasi jenis seperti kebun karet  dapat mengurangi diversitas sumber makanan dan

perlindungan bagi serangga, sehingga dapat mengurangi diversitas serangga.  Braganca, M

(1997) menyatakan bahwa serangga dari Ordo Hymenoptera yang merupakan predator dari

hama Lepidoptera yang menyerang tanaman Eucalyptus lebih banyak ditemukan pada hutan

alami dibandingkan pada hutan tanaman Eucalyptus.  Hal ini terjadi karena beragamnya

sumber makanan di hutan alami yang dapat mengurangi jenis dari Lepidoptera yang

berpotensi sebagai hama.

Perkembangan komunitas suatu habitat juga dapat mempengaruhi keanekaragaman serangga

pada keempat tipe penggunaan lahan.  Komunitas yang terdapat pada hutan sekunder, kebun

buah  memiliki tingkat keanekaragaman yang lebih tinggi dibanding kebun karet dan belukar

muda campur alang-alang.  Hal ini dapat dijelaskan dari beragamnya flora dan fauna pada

saat penelitian di hutan sekunder dan kebun buah.

Meskipun nilai keanekaragaman serangga yang diteliti mengalami penurunan akibat konversi

hutan menjadi kebun buah, namun umumnya ditemukan bahwa penggunaan lahan berupa

kebun buah yang terdiri dari beranekaragam jenis vegetasi (polikultur) masih mampu

mendukung sebagian besar dari jenis serangga yang terdapat dalam hutan dibanding

penggunaan lahan berupa kebun karet (sistem monokultur) dan belukar muda campur alang-

alang.  Penelitian Shahabuddin (2005) menunjukkan penurunan kekayaan spesies kumbang

koprofagus dari hutan alami ke daerah terbuka namun kekayaan spesies pada sistem

agroforestri kakao (17 spesies) tidak berbeda nyata dengan hutan alami (19 spesies) akan

tetapi lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah terbuka (9 spesies).  Meskipun demikian

Page 10: DIVERSITAS SERANGGA

hal ini tidak cukup menjadi alasan untuk menkonversi seluas mungkin hutan di Tahura Sultan

Adam menjadi lahan perkebunan karena hutan memiliki sejumlah fungsi lainnya selain

sebagai pendukung kelestarian keragaman hayati yang sangat vital bagi kehidupan manusia

dan fungsi-fungsi tersebut tidak bisa diambil alih sepenuhnya oleh penggunaan lahan seperti

kebun buah dan kebun karet. 

Namun di sisi lainnya seiring dengan pertambahan penduduk, kebutuhan akan lahanpun akan

meningkat sehingga mau tidak mau lahan hutanpun akan berkurang.  Konversi hutan yang

terus menerus terjadi karena alasan ekonomi.  Adanya perubahan komunitas dari hutan

menjadi kebun buah (dukuh), kebun karet dan belukar muda mengorbankan diversitas,

sehingga diperlukan penataan bentang alam yang mendukung kelestarian keragaman hayati

tanpa mengenyampingkan kepentingan masyarakat lokal dalam pengelolaan Tahura Sultan

Adam. 

Sudah saatnya dirumuskan sistem penataan bentang alam (lanskap) di Kawasan Tahura

Sultan Adam yang mendukung kelestarian keragaman hayati dengan pelibatan masyarakat

lokal dalam pengelolaan hutan.  Sistem penataan yang dapat diusulkan adalah bagaimana

mempertahankan sebanyak mungkin hutan alami yang tersisa serta mempertahankan vegetasi

alami sebanyak mungkin pada pemanfaatan hutan secara tradisional.  Termasuk dalam

strategi ini adalah bagaimana memaksimalkan konektivitas antara hutan alami dengan

berbagai pola pemanfaatan hutan dan lahan yang ada sehingga dapat mencegah terjadinya

fragmentasi habitat yang merupakan salah satu penyebab utama menurunnya keragaman

hayati.

Keanekaragaman hayati yang tinggi menyebabkan ekosistem lebih resisten terhadap serangan

penyakit dan penyebab kerusakan hutan lainnya yang dapat menurunkan produktivitas primer

ekosistem.  Sebaliknya apabila kehilangan keanekaragaman hayati maka akan menyebabkan

tidak stabilnya ekosistem hutan (Elzinga, 1978).  Hal ini didukung oleh pendapat Odum

(1988) yang menyatakan bahwa pada ekosistem yang memiliki tingkat keanekaragaman yang

tinggi umumnya terdapat rantai makanan yang lebih panjang dan kompleks, sehingga lebih

banyak terjadi  interaksi seperti pemangsaan, parasitisme, kompetisi, komensalisme yang

lebih besar sehingga interaksi ini dapat mengurangi goncangan-goncangan, sehingga

ekosistem tetap berlangsung stabil.  Keanekaragaman  hayati di dalam ekosistem mempunyai

arti yang sangat penting, baik sebagai sumber daya maupun dalam pemeliharaan ekosistem

karena keanekaragaman hayati dipandang sebagai faktor penentu stabilitas ekosistem, yaitu

Page 11: DIVERSITAS SERANGGA

suatu aspek yang bertalian erat dengan fenomena pendorong terciptanya keseimbangan

ekosistem.

Struktur Komunitas Serangga

            Struktur komunitas serangga dapat dilihat melalui nilai Indeks Kesamaan Komunitas

pada Tabel 4 berikut :

Tabel 4.  Indeks Kesamaan Komunitas Serangga pada beberapa Tipe Penggunaan Lahan

Lahan Kebun Buah Kebun Karet Belukar Muda&Alang-Alang

Ht.Sekunder

Kebun Buah

Kebun Karet

66.67 % 48.00 %

60.53 %

38.10 %

37.50 %

47.83 %

Nilai IS (Indeks Kesamaan Komunitas) berkisar antara 0 % - 100 %, jadi makin dekat 100

dua contoh yang dibandingkan semakin bersamaan dan jika mendekati 0 %, maka kondisi

kedua contoh yang dibandingkan semakin berlainan (Soerianegara dan Indrawan, 1998). 

Hutan sekunder dan kebun buah menunjukkan indeks kesamaan komunitas yang tertinggi

yaitu sebesar 66.67 %.  Hal ini diduga karena berhubungan dengan kondisi kedua habitat

yang tidak jauh berbeda.  Struktur vegetasinya lebih beraneka ragam, begitu juga keadaan

kanopinya yang hampir sama, sehingga berpengaruh terhadap kondisi iklim mikro di dalam

kedua habitat tersebut.  Sedangkan indeks kesamaan komunitas  terendah  pada kebun buah

dan belukar muda campur alang-alang sebesar 37.50 %  dan  pada  hutan  sekunder  dan 

belukar  muda campur alang-alang sebesar  38.10 %.

Pendugaan Serangga sebagai Indikator

Beberapa syarat penggunaan serangga sebagai bioindikator dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5.  Syarat Penggunaan Serangga sebagai Indikator Kesehatan Ekosistem

Butler dkk (1971) Pearson (1994)

Organisme indikator harus memiliki

kisaran toleransi yang sempit terhadap

perubahan lingkungan

Organisme indikator secara taksonomi

telah stabil dan cukup diketahui

Organisme indikator memiliki kebiasaan

hidup menetap di suatu tempat atau

pemencarannya terbatas

Organisme indikator mudah disurvey

Organisme indikator mudah dilakukan

pengambilan sampel dan umum dijumpai

pada lokasi penelitian

Taksa yang lebih tinggi terdistribusi

secara luas pada berbagai tipe habitat

Page 12: DIVERSITAS SERANGGA

Organisme indikator berumur panjang

sehingga dapat diperoleh individu contoh

dari tiap stadium dan tingkatan umur

Taksa yang lebih rendah bersifat spesialis

dan sensitif terhadap perubahan

lingkungan

Pendugaan serangga untuk dijadikan bioindikator perubahan suatu ekosistem tidaklah mudah

dilakukan dalam waktu  penelitian yang relatif singkat.  Penarikan kesimpulan akhir

mengenai serangga sebagai bioindikator perubahan ekosistem untuk taksa ordo, famili

maupun jenis memerlukan banyak kriteria.  Selain itu rentang waktu pengamatan yang

diperlukan guna melihat perilaku serangga atau pun perubahan yang terjadi dalam suatu

ekosistem

Dilihat dari jumlah kehadiran serangga pada keempat tipe penggunaan lahan, maka serangga

dari ordo Lepidoptera mendominasi populasi serangga.  Hal ini menunjukkan bahwa ordo

Lepidoptera terdistribusi secara luas pada keempat habitat di kawasan Bukit Mandiangin. 

Ada kecenderungan beberapa famili yang kehadirannya menurun bahkan tidak ditemukan

seiring dengan perubahan tata guna lahan dari hutan menjadi kebun buah, kebun karet dan

belukar muda campur alang-alang.  Famili-famili tersebut antara lain Noctuidae, Pyralidae,

Nymphalidae, Arctiidae, Pieridae, Geometridae, Satyridae, Formicidae, Libellulidae,

Coenagrinidae. 

Organisme bioindikator dapat dilihat dari kehadiran maupun ketidakhadirannya pada suatu

habitat.  Seiring dengan berubahnya habitat dari hutan sekunder, kebun buah, kebun karet

menjadi belukar muda campur alang-alang, ada famili bahkan jenis yang hanya ditemukan

pada hutan sekunder saja dan tidak ditemukan pada lokasi yang lain.  Hal ini menandakan

bahwa famili  atau jenis tersebut cukup sensitif dan mempunyai kisaran toleransi yang sempit

terhadap perubahan lingkungan.  Pada ordo Lepidoptera, famili yang hanya terdapat pada

hutan sekunder adalah famili Danaidae (D2), Hesperidae (H1), Lycanidae (L1) ditemukan

pada siang hari dan famili Geometridae (G2) yang ditemukan pada malam hari. 

Ketidakhadiran famili-famili tersebut menandakan perubahan penggunaan lahan di Kawasan

Bukit Mandiangin mengakibatkan berubahnya suatu ekosistem dan menciptakan ekosistem

baru dan mempengaruhi diversitas dalam hal ini kehadiran dan ketidakhadiran jenis serangga

tertentu yang berasosiasi dan sensitif terhadap perubahan lingkungan.

Ordo serangga yang perlu mendapat perhatian adalah dari ordo Odonata, karena dari hasil

beberapa penelitian ordo Odonata adalah salah satu serangga akuatik yang banyak digunakan

Page 13: DIVERSITAS SERANGGA

untuk mengetahui kondisi pencemaran air suatu daerah.  Pada lokasi penelitian, populasi ordo

Odonata ini akan mengalami penurunan seiring dengan berubahnya tata guna lahan dari hutan

sekunder, kebun buah, kebun karet dan belukar muda campur alang-alang.  Karena umumnya

serangga odonata akan dijumpai di sepanjang aliran air, pinggiran sungai, danau atau kolam

yang belum mengalami gangguan pencemaran.  Hal ini sejalan dengan pendapat Weaver

(1995)  bahwa pada umumnya serangga dari ordo Odonata dan Lepidoptera memiliki tingkat

penyebaran dan kelimpahan di alam cukup banyak dan memiliki sensitivitas yang tinggi

terhadap perubahan yang terjadi dalam suatu komunitas.  Namun sejauh mana potensi suatu

organisme digunakan sebagai indikator, diperlukan pengambilan sampel secara berulang pada

kondisi lingkungan yang sama tetapi pada tempat dan musim yang berbeda.

KESIMPULAN

Dari hasil penelitian lapangan dan pembahasan, maka dapat diambil beberapa kesimpulan

sebagai berikut :

1. Jumlah keseluruhan serangga di lokasi pengamatan sebanyak 1183 individu yang

terdiri dari 11 ordo, 49 famili dan 68 spesies.  Ordo Lepidoptera dan Hymenoptera

mendominasi perolehan serangga dari keseluruhan lokasi sebesar 39,56 % dan 20,03

% dari keseluruhan spesimen

2. Serangga yang ditemukan di hutan sekunder terdiri dari 10 ordo, 35 famili, 46 jenis

dan 412 individu, di kebun buah terdiri dari 10 ordo, 35 famili, 47 jenis dan 409

individu, di kebun karet terdiri 9 ordo, 25 famili, 29 jenis dan 229 individu, di belukar

muda campur alang-alang terdiri dari 6 ordo, 14 famili, 17 jenis dan 133 individu

3. Struktur dan kelimpahan komunitas serangga akan berubah seiring dengan perubahan

penggunaan lahan di lokasi penelitian, karena adanya hubungan yang erat antara

serangga dengan kondisi habitat lingkungannya

4. Serangga yang diduga berpotensi sebagai indikator ekologis adalah  famili Danaidae

(D2), Hesperidae (H1), Lycanidae (L1)  dan famili Geometridae (G2) dari ordo

Lepidoptera.

Ucapan Terima Kasih

Pada kesempatan yang berbahagia ini, saya menghaturkan terima kasih yang dalam kepada

Bapak Prof. Dr. Ir. Sumardi, M.For.Sc., dan Dr.Ir. Musyafa, M.Agr selaku Dosen

Pembimbing yang telah banyak memberikan petunjuk dan bimbingan dalam penelitian ini.

Page 14: DIVERSITAS SERANGGA

DAFTAR PUSTAKA

Alfaro, R .I .,& Singh,P. 1997.  Forest Health Management : A  Changing  Persfective

Boror, DJ and Dwight, M.D. 1954.  An Introduction to the Study Of Insect. Printed in The

United State of America.

Boror, Triplehorn. Johnson, 1992.  Pengenalan Pelajaran Serangga.  Edisi Keenam.  Gajah

Mada University Press.  Yogyakarta.

Braganca,M.  1997. Effect of Enviromental Heterogenity on Lepidoptera and Hymenoptera

Populations in Eucalyptus Plantation in Brazil. Forest Ecology and Management 103 (1998).

Elzinga, R.J. 1978.  Fundamental of Entomology. Prentice Hall of India.  Private Limited.

New Delhi.

Gaston, K.J.. 1994. Spatial Patterns of Species Description – How is Our Knowledge of The

Global Insect Fauna Growing. Biological Conservation, 67 : 37 – 40.

Harmonis.  2000.  Keanekaragaman Serangga dan Hama pada Anakan Acacia Mangium di

Bukit Soeharto.  Rimba Kalimantan. Vol 4.No.1.

Klein, B.C.  1989.  Effect of Forest Fragmentation on Dung and Carrion Beetle Communities

in Central Amazonia.

Krebs, C.J.  1985.  Ecology.  The Experimental  Analisys of Distribution and Abudance. 

Third Edition.  Harper & Raws Publishers.  New York.

Latumahina,F. 2006.  Keanekaragaman Serangga dan Vegetasi pada Dua Kawasan Resapan

Air di Kota Ambon Provinsi Maluku.  Tesis S-2.  Program Pasca Sarjana Universitas Gadjah

Mada.  Yogyakarta. (Tidak dipublikasikan).

Natawigena, H.  1990. Entomologi Pertanian.  Penerbit PT. Orba Sakti Bandung.

Odum, E.D.  1998.  Dasar-Dasar Ekologi (Terjemahan Ir. Tjahjono Samingan, MSc).  Edisi

Ketiga.  Gajah Mada University Press.

Pearson, D.L.  1994.  Selecting Indicator Taxa for the Quantitativ Assessment of

Biodiversity.   Philosophical  Transaction of the Royal Society of London, Series B :

Biological Sciences.

Price, 1975.  Insect Ecology. John Wiley and Sons, Inc New York.

Shahabuddin,    2003.  Pemanfaatan  Serangga  sebagai Bioindikator Kesehatan Hutan

(Makalah Individu Pengantar Falsafah Sains), http : rudyet.topcities.com/702_71034

Shahabuddin_shl.htm, tanggal kunjungan 19 Februari 2006.

Page 15: DIVERSITAS SERANGGA

Shahabuddin, 2005.  Changes of Dung Beetle Communities from Rainforests toward

Agroforestry systems and Annual Cultures in Sulawesi (Indonesia).  Biodiversity and

Conservation 34. 863-877, 2005.

Soerianegara, I dan Indrawan, A.  1998.  Ekologi Hutan Indonesia.  Institut Pertanian Bogor.

Southwood, T.R.E.  1975.  The Dynamics of Insect Population, in Insect , Science and

Society, D.Pimentel. Academic Press, Inc, New York.

Speight, M.R., Hunter, M.D., Watt, A.D., 1999. Ecology of Insects, Consepts and

Applications.Blackwell Science,Ltd. 169 - 179.

Subahar, T. 2004. Keanekaragaman Serangga pada Bentang Alam yang Berbeda di Kawasan

Gunung Tangkuban Parahu. Konferensi Nasional Konservasi Serangga, Bogor 2007.

Suin, 1989.  Ekologi Hewan Tanah.  Bumi Aksara, Jakarta.

Sulthoni, A., Subyanto.  1980.  Kunci Determinasi Serangga.  Yayasan Pembina Fakultas

Kehutanan Universitas Gajah Mada Yogyakarta.