Disusun Oleh : IIN SOLIHIN -...

107
MATHLA’UL ANWAR DALAM KONSTELASI POLITIK NASIONAL PASCA ORDE BARU Disusun Oleh : IIN SOLIHIN NIM: 105033201130 Program Studi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 1430 H / 2010 M

Transcript of Disusun Oleh : IIN SOLIHIN -...

Page 1: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

1

MATHLA’UL ANWAR DALAM KONSTELASI POLITIK

NASIONAL PASCA ORDE BARU

Disusun Oleh :

IIN SOLIHIN

NIM: 105033201130

Program Studi Ilmu Politik

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta

1430 H / 2010 M

Page 2: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

2

Page 3: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

3

Page 4: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

4

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah

satu persyaratan memperoleh gelar Strata-1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 01 Desember 2010

Iin Solihin

iii

Page 5: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

5

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN ........................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. ii

LEMBAR PERNYATAAN............................................................................. iii

DAFTAR ISI.................................................................................................... iv

ABSTRAK ....................................................................................................... vi

KATA PENGANTAR ..................................................................................... vii

Bab 1 : Pendahuluan

A. Latar belakang ................................................................................. 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah .............................................. 6

C. Tinjauan Pustaka.............................................................................. 6

D. Tujuan Penelitian............................................................................. 7

E. Metode Penelitian ............................................................................ 8

F.Sistematika Penulisan ....................................................................... 10

Bab II: Sekilas Tentang Mathla’ul Anwar

A. Sekilas Berdirinya Mathla’ul Anwar............................................... 12

B. Sifat-Sifat Tujuan Mathla’ul Anwar................................................ 16

C. Pengertian Khittah Mathla’ul Anwar .............................................. 19

1. Fungsi dan Tugas Organisasi Mathla’ul Anwar.............................. 19

2. Landasan Operasional Organisasi Mathla’ul Anwar ...................... 20

D. Tokoh-Tokoh Pendiri Mathla’ul Anwar.......................................... 24

iv

Page 6: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

6

Bab III: Mathla’ul Anwar Dan Partisipasi Politik

A. Pengertian Dan Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik .............................. 29

B. Langkah-Langkah Perjuangan Mathla’ul Anwar................................. 35

1. Bidang Politik................................................................................... 35

2. Bidang Pendidikan ........................................................................... 41

C. Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar ...................................................... 48

1. Di Era Orde Lama ........................................................................... 48

2. Di Era Orde Baru............................................................................. 52

Bab IV: Mathla’ul Anwar Dalam Konstelasi Politik Nasional Pasca Orde Baru

A. Realitas Politik Mathla’ul Anwar Pasca Orde Baru........................ 65

B. Hubungan Mathla’ul Anwar Dengan Partai Politik ........................ 74

C. Partisipasi Mathla’ul Anwar Dalam Politik Pasca Orde Baru......... 80

D. Masa Depan Mathla’ul Anwar, Antara Peluang dan Tantangan..... 87

Bab V: Penutup

A. Kesimpulan...................................................................................... 91

B. Saran ................................................................................................ 92

C. Dafatar Pustaka................................................................................ 94

Lampiran

v

Page 7: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

7

ABSTRAK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

FAKULTAS ILMU POLITIK DAN ILMU SOSIAL PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

Iin Solihin, 97 halaman, 56 Daftar Pustaka, 105033201130 Mathla’ul Anwar Dalam Konstelasi Politik Nasional Pasca Orde Baru

Skripsi ini memfokuskan perhatian pada partisipasi politik organisasi Mathla’ul Anwar (MA 1916) dalam konstelasi politik nasional pasca Orde Baru sebagai salahsatu organisasi keagamaan yang bergerak dalam bidang kultural (pendidikan, dakwah dan sosial). Pemilihan MA pada kajian ini karena ia dianggap sebagai salah satu organisasi keagamaan terbesar di Provinsi Banten dan terbesar ketiga di Indonesia setelah NU (1926) dan Muhammadiyah (1912). Sebagai organisasi gerakan kultural diawal pendiriannya pada perjalanannya dalam rangka mengisi setelah kemerdekaan untuk membangun permasalahn keumatan, kenegaraan dan kebangsaan mengalami degradasi dari awal sebagai gerakan dalam bidang kultural menuju gerakan politis yang terbawa oleh arus euphoria masa Orde Baru (Orba) yang melakukan strategi hegemoni kekuasaannya dengan memberlakukan Asas Pancasila sebagai satu-satunya Asas untuk seluruh organisasi. Kemudian, pada perkembangannya menyebabkan perpecahan dinternal organisasi MA dengan hilangnya independensi dan puncaknya mengadopsi sistem komando dibawah Orde Baru dan Golkar dengan menjadi onderbouw dari partai politik yang dinilai telah keluar dari Khitthah (1916) organisasi MA.

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis dengan melakukan survei untuk mendapatkan data primer, yaitu dengan jalan interview atau wawancara secara langsung dan mendalam, dengan pendekatan penelitian kualitatif dan pengumpulan dokumen lainnya (library research) untuk mendapatkan data skunder, yakni mengadakan studi kepustakaan melalui penelitian terhadap buku-buku, majalah dan lain sebagainya yang ada relevansinya dengan pembahasan tema penelitian.

Skripsi ini berkesimpulan; Pertama, MA merupakan organisasi keagamaan yang bergerak dalam bidang kultural dan bukan sebagai organisasi politik. Karena itu, partisipasi politiknya dalam konstelasi politik nasional dimasa Orde Baru telah menyimpang dari tujuan awalnya sebagai gerakan kultural yang berdampak buruk terhadap eksistensi organisasi. Kedua, organisasi MA di masa reformasi telah kehilangan daya tariknya dalam merespon permasalahan keumatan, kenegaraan dan kebangsaan. Selain itu, terjadinya demoralisasi para elit keagamaan yang terjebak dalam pragmatisme politik yang menyebabkan adanya dualisme antara kepentingan kultural dan kepentingan politis.

vi

Page 8: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

8

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan

karunia-Nya, sehingga penulis berhasil menyelesaikan salah satu kewajiban

akademik yang merupakan prasyarat dalam rangka meraih gelar Sarjana Sosial di

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ucapan terimakasih tak lupa penulis haturkan kepada berbagai pihak yang

ikut memberikan kontribusi dalam penyelesaian skripsi “Mathla’ul Anwar

Dalam Konstelasi Politik Nasional Pasca Orde Baru”. Adapun ucapan

terimaksasih penulis haturkan sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA selaku Rektor UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta..

2. Bapak Prof. Dr. Bahtiar Effendi, MA selaku Dekan Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayarullah Jakarta.

3. Bapak Dr. Hendro Prasetyo, MA selaku Wakil Dekan Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayarullah Jakarta.

4. Ibu Dra. Wiwi Sajaroh, MA dan M. Zaki Mubarak M.Si selaku Ketua

dan Sekretaris Prodi Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

5. Bapak Dr. Sirojuddin Ali, MA selaku Dosen Pembimbing atas

dedikasi dan perhatiannya dalam memberikan masukan dan bimbingan

selama proses penulisan skripsi.

vii

Page 9: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

9

6. Seluruh dosen dan staff pengajar pada Program Studi Ilmu Politik yang

telah sangat banyak memberikan sumbangan ilmiah selama penulis

menempuh proses perkuliahan.

7. Seluruh jajaran, staff dan petugas di Perpustakaan Utama dan

Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta. Universitas Mathla’ul Anwar (UNMA)

Cikaliung, Menes Pandeglang Banten.

8. Ucapan terimakasih dengan segala kerendahan hati tak lupa penulis

ucapkan kepada kedua orang tua H. Sanusi, Hj. Saiyah yang telah

melahirkan, membimbing sehingga penulis bisa menduduki bangku

perguruan tinggi. Kepada kakak dan teteh, Arniah, Salmah, Sukron

Ma’mun, Suherman.

9. Ucapan terimakasih penulis kepada mamang Drs. Sonhaji Ujaji yang

telah memberikan inspirasi penulis untuk mengkaji terhadap organisasi

Mathla’ul Anwar (MA), Herdi Sahrasad yang telah memberikan

motivasi penulis untuk segera menyelesaikan penulisan skrispi.

10. Ucapan terimakasih kepada para narasumber yang telah banyak

memberikan informasi dan masukan dalam proses penelitian skripsi,

Dr. Asep Saepudin Jahar,Mhd, Mohammad Zen, MA, Ali Nurdin, MA,

Drs. Herman Fauzi, Mohammad Idjen, Drs. H.A. Shihabuddin, MM,

KH. Sadeli Karim, Lc, KH. Abdul Wahid Sahari, MA, Drs, Anang

Ainul Yaqin, H. Lili Nahriri, MA, Aas Syatibi, SH.

viii

Page 10: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

10

11. Kepada seluruh teman-teman Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)

Cabang Ciputat, Himpunan Mahasiswa Banten (HMB) Jakarta, Dewan

Pimpinan Pusat Himpunan Ikatan Mahasiswa Mathla’ul Anwar (DPP

HIMMA), Lingkar Studi Islam dan Kebudayaan (LSIK) Ciputat, koran

online Rimanews.com, koran online Bantenpress.com, Forum Kajian

Benoa Air Nusantara Jakarta, Forum Studi Jala Sutra Jakarta, Forum

Kajian INCA Ciputat.

12. Ucapan terimakasih dan penghargaan secara tulus tak lupa penulis

sampaikan kepada teman-teman sepermainan dan seperjuangan di

Cipuat. Umar Hamdani, Teteh Bety, Duha Hediyansyah, Fahrurazzi,

Ahyanuddin, Syahid, Mohammad Asrori Mulky, Mulyani, Ucu,

Fikriyah, Zaenab, Melly, Guruh Tajul Arsy, TB. Hamid, Andi

Rahman, Iyan Sopyan Hamid, Sukardi, Buluk, Asep. Serta seseorang

yang saat ini belum bisa disebutkan.

ix

Page 11: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Menurut Deliar Noer, sejarah munculnya berbagai organisasi masyarakat

(ormas) di Indonesia adalah sebagai respon terhadap kondisi yang telah menjadi

atmosfir di belantara bumi Nusantara. Kondisi bangsa yang memprihatinkan di

tengah tekanan kaum imprealis, dengan sendirinya memunculkan jiwa patriotisme

dan semangat memperjuangkan hak dan martabat kaum pribumi. Guliran

semangat kejuangan ini, pada akhirnya melahirkan gerakan modernisasi di

kalangan bangsa Indonesia.1

Ormas-ormas keagamaan seperti Mathla’ul Anwar (kemudian disingkat

MA), merupakan cerminan suatu gerakan modernisasi Islam untuk menumbuhkan

semangat kejuangan dan mempercepat proses pencerahan pemikiran di kalangan

umat, agar memiliki kepekaan dan keluasan wawasan sehingga kondisi bangsa

tidak direlakan untuk dieksploitasi oleh kaum imprealis.

Semangat awal ormas-ormas yang ada di Indonesia yang dikategorikan

sebagai gerakan modernisasi, setelah bergulirnya kemerdekaan dalam rangka

mengisi dan membangun bangsa mengalami degradasi, dari orientasi awal pada

gerakan kultur menuju gerakan politis. Sebagaimana fenomena yang terjadi pada

MA sebagai organisasi masyarakat terbesar ketiga di Indonesia setelah NU dan

Muhammadiyah.

1 Deliar Noer, Gerakan Modern Islam Di Indoneseia 1900-1942 (Jakarta: LP3ES, 1995),

h. 121

1

Page 12: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

12

Pada perjalananya, MA terbawa arus euphoria Orde Baru (Orba) yang

melakukan strategi hegemoni kekuasaannya atas segala bentuk institusi yang ada

di Indonesia. Strategi hegemoni ini terlihat ketika Rezim Orba memaksakan

kepada seluruh institusi yang ada untuk menerima Asas Tunggal Pancasila.

Institusi apapun yang tidak menerima Pancasila sebagai Asas Tunggal secara

sepihak oleh Rezim Orba dibubarkan dan dikucilkan dari tata dinamika konstelasi

kehidupan nasional pada saat itu. MA pada masa Orba, tidak saja menerima Asas

Tunggal tersebut, akan tetapi lebih jauh membuat statemen bahwa secara politis

aspirasi warga MA diberikan dukungannya kepada Golkar sebagai partai Orba

yang berkuasa. Dengan memulai gerakan politiknya pasca Muktamar XIV tahun

1985 di Jakarta, dengan jargonnya yang berani menerima Pancasila sebagai Asas

organisasi dan menyatakan berafiliasi dengan partai politik.2

Menurut Didin Nurul Rosidin, bahwa keputusan Muktamar XIV (1985)

merupakan keputusan paling menghebohkan dalam sejarah MA terkait dengan

penerimaan Asas Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi yang sesuai

dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang organisasi

kemasyarakatan yang berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas baik dalam

kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kebijakan politik organisasi

ini berdampak terjadinya perpecahan di internal sebagai akibat dari keputusan

menjadi onderbouw dari partai politik telah keluar dari Khitthah (1916)

2 Syibli Sarjaya, dkk., Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar (Jakarta: PB Mathla’ul

Anwar, 1996), h. 56-57

2

Page 13: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

13

organisasi.3 Bagaimanapun Mathla’ul Anwar merupakan organisasi masyarakat

terbesar di Provinsi Banten. Sebagai sebuah organisasi yang independent

(mandiri) dan pada awalnya tidak berafiliasi politik praktis. Tentunya karena

adanya intervensi dan intimidasi oleh pemerintah Orde Baru dan militer terhadap

organisasi masyarakat (ormas) telah menghilangkan kemandirian organisasi dan

menodai demokrasi dengan kata lain, MA telah mengadopsi budaya politik

internal Partai Golkar yang menggunakan sistem komando (top-down) dengan

menggunakan strategi merekrut beberapa tokoh MA menjadi pengurus dan kader

di Partai Golkar.

Dengan adanya pergeseran orientasi MA dari murni gerakan kultural ke

arah gerakan politik, maka konsentrasi MA tidak lagi diarahkan semata untuk

kepentingan rekonstruksi gerakan kultural ummat, akan tetapi gerakan-gerakan

yang digulirkan terbingkai oleh kepentingan politik. Pada peta percaturan politik

Orde Baru (Orba), hampir tidak ada ormas yang berani melakukan alienasi

terhadap partai yang berkuasa pada waktu itu, yaitu Partai Golkar. Dengan adanya

format politik yang diciptakan oleh Golkar, maka ormas manapun yang rela

menjadi subordinasi partai Golkar akan terjamin kelangsungan (sustainability)

dan kemudahan untuk mencari akses dalam rangka menjalankan aktivitas

organisasinya.

MA pada awal berdirinya merupakan kelompok pengajian lokal di Menes,

Kabupaten Pandeglang, Provinsi Jawa Barat (kini Provinsi Banten) dan pada

perkembangan dan gerakannya di manifestasikan pada reformasi sosial religius,

3 Didin Nurul Rosidin, Quo Vadis Mathla’ul Anwar, Makalah disampaikan pada Rakernas Mathla’ul Anwar di Batam, 7-9 Juli 2007. Selanjutnya lihat. M. Irsjad Djuwaeli, Sejarah dan Khitthah Mathla’ul Anwar (Jakarta: Pengurus Besar Mathla’ul Anwar, 1996), h. 28

3

Page 14: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

14

pendidikan, dakwah dan budaya, dengan melakukan pembaharuan (modernisasi)

dan pemurnian (furifikasi) ajaran agama Islam. Gerakan Ormas MA sebagai

gerakan kultural, yang mana kondisi ummat yang diinginkan adalah ummat yang

melakukan pembaharuan di bidang kultur kehidupan. Semangat pembaharuan di

bidang kultur, pada gilirannya membuahkan sebuah tatanan kehidupan penguatan

masyarakat sipil (civil society). Kuatnya masyarakat sipil, secara langsung

mempengaruhi tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara,

sehingga masyarakat bangsa dapat keluar dari belenggu penjajahan kaum

imprealis, maupun kekuasaan sebuah rezim yang tidak memihak terhadap

kepentingan rakyat.

Perkembangan sebuah organisasi masyarakat seperti MA pada dasarnya

tidak bisa dilepaskan dari perkembangan dan dinamika masyarakat itu sendiri.

Sebab, ormas dibentuk dan kiprahnya ditengah masyarakat. Maju mundurnya

sebuah ormas sangat tergantung pada dukungan masyarakat. Jika dukungan

masyarakat kuat, maka majulah ia. Sebaliknya, sulit bagi ormas untuk

berkembang tanpa dukungan yang mantap dari masyarakat. Karena itu,

memprediksi keadaaan sebuah ormas dimasa mendatang pada dasarnya adalah

memprediksi dan menganalisa kecenderungan-kecenderungan yang akan terjadi

pada masyarakat masa depan.4

Munculnya euphoria reformasi dengan berakhirnya rezim Orde Baru

(1998), berimplikasi terhadap perubahan paradigma berbagai institusi atau ormas

di Indonesia seperti Mathla’ul Anwar (MA) sebagai salah satu “pendukung” rezim

4 M. Irsjad Djuwaeli, Membawa Mathla’ul Anwar Ke Abad XXI (Jakarta: PB Mathla’ul

Anwar, 1996), h. 1

4

Page 15: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

15

Orde Baru dengan mengubah cara pandang terhadap tatanan kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, dengan mendukung pemberantasan

Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN).

Selanjutnya, terjadinya perpindahan Rezim Orba ke Rezim Reformasi

eksistensi Orba dihujat dan diinjak-injak, maka secara tidak langsung keberadaan

ormas-ormas yang merupakan subordinasi dari rezim Orba (termasuk di dalamnya

MA) akan terkena dampak langsung kebencian, gunjingan dan dikucilkan

sehingga pada akhirnya bukan tidak mungkin ditinggalkan. Maka euphoria

reformasi diikuti oleh berbagai institusi-institusi, ormas-ormas ke-Islaman baik

formal maupun non formal untuk melakukan perubahan paradigma baru terhadap

perjalanan organisasinya yang lebih baik ke depan. Hal ini dilakukan bukan hanya

sebagai strategi “cuci tangan” terhadap dosa-dosa Orde Baru, tetapi sebagai

evaluatif dari ormas MA demi kemajuan dalam menghadapi tantangan institusi

agar tetap sejalan dengan asas perjuangan.

Perubahan paradigma MA, dengan berbenah dan menata diri agar tidak

ketinggalan gerbong reformasi, MA melakukan perubahan-perubahan yang

responsif terhadap permasalahan bangsa dengan mengarah pada substansi

didirikannya organisasi ini, agar tidak menyalahi Khitthah (1916) awalnya.

Dengan adanya perubahan iklim politik secara nasional, maka, MA melakukan

evaluasi terhadap partisipasi politik Mathla’ul Anwar (MA) di tengah kancah

konstelasi politik nasional, akan menjadi sesuatu yang signifikan.

5

Page 16: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

16

Berdasarkan latar belakang inilah penulis ingin mengadakan penelitian

tentang permasalahan-permasalahan di atas dengan judul: “Mathla’ul Anwar

Dalam Konstelasi Politik Nasional Pasca Orde Baru”.

B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah

Agar pembahasan permasalahan dalam skripsi ini tidak melebar, maka

permasalahannya dibatasi pada peran dan bentuk partisipasi politik MA dalam

politik praktis yang tekait dengan dukungan terhadap salah satu kekuatan politik

tertentu. Dan untuk memudahkan mengidentifikasi persoalan, maka penelitian

difokuskan pada bentuk-bentuk peran politik yang telah dilakukan MA dalam

kurun waktu pasca Orde Baru (1998).

Untuk itu, maka muncul beberapa pertanyaan yang cukup fundamental

sebagai rumusan masalah menyangkut eksistensi MA, yaitu;

1. Bagaimana bentuk kontribusi politik MA dalam politik praktis?

2. Apakah peran politik yang telah dilakukan oleh MA itu sejalan dengan

Khitthah MA?

3. Bagaimana bentuk partisipasi politik MA dalam konstelasi kehidupan

nasional?

C. Tinjauan Pustaka

Sebelum penulis berniat untuk menyusun skripsi yang berjudul “Mathla’ul

Anwar Dalam Konstelasi Politik Nasional Pasca Orde Baru”, penulis telah

melakukan tinjauan pustaka sebagai upaya preventif agar penulisan karya ilmiah

6

Page 17: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

17

ini tidak sia-sia karena satu kelalaian sederhana. Dikarenakan sudah ada materi

yang dibahas sehingga judul yang diajukan harus benar-benar selektif dan

korektif.

Hasil penelusuran penulis, dan sejauh yang penulis ketahui ada dua orang

yang sudah lebih dulu membahas mengenai Mathla’ul Anwar, yaitu:

Pertama. Aas Syatibi dengan judul skripsinya: Partisipasi Politik Mathla’ul

Anwar di Indonesia. Pada Fakultas Syari’ah dan Hukum Jurusan Jinayah Siyasah

Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, lulus tahun 2006. Di

dalamnya membahas secara deskriptif tentang partisipasi politik Mathla’ul Anwar

dalam Pemilu di Indonesia.

Kedua. Didin Nurul Rosidin dengan judul disertasinya: Dari Kampung Ke

Kota Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar Dari Tahun 1916-1998. Disertasi

pada Leiden University (tidak di publikasikan) lulus tahun 2007. Di dalamnya

membahas terhadap peran dan kontribusi Mathla’ul Anwar baik Dakwah,

Pendidikan dan Sosial (ekonomi) di Indonesia

Berdasarkan hal itu, Penulis melihat belum ada yang membahas secara

spesifik tentang peran Mathla’ul Anwar dalam konstelasi politik nasional pasca

Orde Baru. Untuk menambah khazanah, referensi atau pun literatur merupakan

salah satu alasan penulis kenapa pembahasan tema ini perlu dikaji.

D. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk;

1. Mendapatkan informasi terhadap peran poltik MA dalam politik praktis.

7

Page 18: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

18

2. Mengetahui bentuk dan kontribusi partisipasi politik MA dalam konstelasi

politik nasional pasca Orde Baru (1998).

3. Bagaimana semestinya peran politik MA dalam politik praktis ke depan

yang sesuai dengan kondisi dan situasi bangsa.

D. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan tiga instumen

pengumpulan data:

1. Wawancara

Wawancara adalah suatu kegiatan komunikasi langsung dengan tujuan

mendapatkan informasi. Selain itu, wawancara untuk mendapatkan gambaran

yang menyeluruh dan memperoleh informasi yang penting. Menurut Denzin,

wawancara dilakukan dengan tatap muka dimana seseorang memperoleh

informasi dari yang lain.5

Penelitian dilakukan pada lokasi tertentu yang bersentuhan langsung

dengan mayoritas komunitas MA. Sampai saat ini pusat MA terletak di Menes

Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Di Menes inilah para tokoh dan putra-

putri pendiri MA dan bahkan sebagian orang yang mengabdi kepada perjalanan

MA masih dapat dijadikan kunci informasi untuk menggali secara mendalam

tentang permasalahan terhadap peran politik MA pasca Orde Baru (1998), tidak

menyentuh aspek-aspek lainnya yang dilakukan oleh MA dalam menjalankan visi

dan misinya. Dalam hal ini peneliti akan melibatkan beberapa komponen

5 James A. Black dan Dean J. Champion, Metodologi Dan Masalah Penelitian Sosial

(Bandung: PT Refika Aditama, 2001, Cet: 3), h. 306

8

Page 19: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

19

masyarakat MA yaitu: tokoh MA terutama sebagai pendiri organisasi, pengurus

MA, pengurus perguruan MA dan orang-orang yang memiliki perhatian terhadap

organisasi ini.

2. Observasi

Observasi dalam suatu penelitian berarti pengamatan yang dilakukan

secara langsung terhadap gejala yang terjadi dengan objek yang diteliti. Teknik ini

memungkinkan peneliti melakukan penarikan kesimpulan terhadap makna dan

sudut pandang responden, kejadian, peristiwa atau proses yang diamati. Lewat

teknik ini peneliti akan melihat sendiri pemahaman yang tidak terucapkan,

langsung dan sudut pandang narasumber atau responden yang mungkin tidak

didapati dari wawancara.6

3. Penelitian Kepustakaan

Penelitian kepustakaan (Library research), yaitu penelitian dengan

menelaah buku-buku, dokumen-dokumen, majalah, surat kabar, artikel yang

relevan dan bahan-bahan lainya yang terkait dengan MA.

Adapun analisi data dalam penelitian ini, menggunakan analisis data

berkelanjutan, artinya data dimulai dengan penetapan masalah, pengumpulan data

dan setelah data terkumpul. Menurut Mills dan Huberman, tahap analisis data

seperti ini secara umum dimulai sejak pengumpulan data, reduksi data, penyajian

data dan pengambilan kesimpulan.7 Metode ini dilakukan untuk mengetahui

kekurangan data yang harus dikumpulkan dan mentode mana yang harus dipakai.

Sedangkan teknik pengambilan dalam penelitian ini menggunakan teknik

6 A. Chaedar Alweilah, Pokoknya Kualitatif, Dasar-Dasar Merancang dan Melaksanakan Penelitian (Jakarta: Pustaka Jaya, 2002), h. 155

7 Imam Suprayogo, Metodologi Penelitian Soaial Agama (Bandung: Rosda, 2002), h. 192

9

Page 20: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

20

sampling dengan kecenderungan peneliti untuk memilih informan atau responden

yang dianggap mengetahui informasi

Kemudian dalam teknik penulisan skripsi ini, penulis merujuk pada buku

“Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi)”, CeQDa, UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta.

E. Sistematika Penulisan

Penulisan Skripsi ini terdiri dari lima bab dan masing-masing terbagi ke

dalam sub-sub yang tersusun secara sistematis. Adapun bab-bab tersebut tersusun

sebagai berikut:

Bab Pendahulun: Bab ini menjelaskan tentang kerangka pembahasan dan

gambaran isi skripsi ini secara keseluruhan. Bab ini terdiri dari penjelasan latar

belakang masalah, batasan rumusan masalah, tinjauan pustaka, tujuan penelitian,

metode penelitian, dan sistematika penulisan.

Bab II: Sekilas tentang Mathla’ul Anwar, bab ini akan menjelaskan

terhadap sejarah berdirinya Mathla’ul Anwar tahun 1916 di Menes, Kabupaten

Pandeglang sebagai salah satu organisasi masyarakat (Ormas) terbesar di Provinsi

Banten dan untuk tingkat nasional terbesar ketiga setelah NU (1926) dan

Muhammadiyah (1912). Selanjutnya akan di bahas tentang sifat-sifat tujuan dan

pengertian Khittah Mathala’ul Anwar, berikut dengan penjelasan terhadap fungsi

dan tugas organisasi Mathla’ul Anwar, landasan operasional organisasi Mathla’ul

Anwar dan terakhir akan perkenalkan tokoh-tokoh pendiri Mathla’ul Anwar serta

peranannya dalam membangun sebuah organisasi mayarakat.

10

Page 21: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

21

Bab III: Partisipasi Mathla’ul Anwar dalam ranah politik, bab ini akan

menjelaskan tentang pengertian dan bentuk-bentuk partisipasi politik sebagai

salah satu aspek demokrasi dan dilajutkan dengan membahas langkah-langkah

perjuangan Mathla’ul Anwar baik dibidang pendidikan maupun dalam ranah

politik yang dimaksudkan berupa kegiatan baik individu maupun kelompok.

Terakhir tentang partisipasi politik Mathla’ul Anwar di Era Orde Lama dan Orde

Baru.

Bab IV: Bab ini merupkan isi substansi penelitian yang telah didapatkan

dari penelitian pustaka dan lapangan. Dengan mengulas seputar realitas politik

Mathl’ul Anwar terhadap konstalasi politik nasional pasca Orde Baru, dan

hubungan MA dan partai politik, terakhir menelusuri sejauhmana partisipasi

Mathla’ul Anwar dalam politik nasional pasca Orde Baru sebagai evaluatif

terhadap perjalanan organisasi.

Bab V: Bab ini merupakan kesimpulan dari penelitian ini, yang berisi

komentar penulis dalam bentuk analisa kritis, komentar, masukan dan harapan

terhadap bahasan yang telah dikupas dari penulisan skripsi ini.

11

Page 22: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

22

BAB II

SEKILAS TENTANG MATHLA’UL ANWAR

A. Sekilas Berdirinya Mathla’ul Anwar Tahun 1916 Di Menes

Mathla’ul Anwar (MA) merupakan salah satu organisasi kemasyarakatan

(ormas) terbesar ketiga setelah Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah yang

masih eksis hingga kini, MA secara kuantitas sudah tersebar di 26 pengurus

wilayah dan 215 pengurus daerah.di Indonesia.8 Kelahiran MA, seperti juga

ormas-ormas lain pada awal abad ke-20, telah menandai perjuangan kebangkitan

nasional. Karena itu, semangat pendidikan, dakwah dan sosial yang dibangun

pada periode tersebut menekankan semangat pembebasan atau rasa kemerdekaan,

yang saat itu dibawah penindasan kolonialisasi Belanda dengan segala dampak

politiknya.

Organisasi kemasyarakatan (Ormas) atau keagamaan Mathla’ul Anwar

(bahasa Arab, yang artinya tempat munculnya cahaya) sejak didirikannya pada

tahun 1334 H atau 10 Juli tahun 1916 oleh sepuluh tokoh ulama lokal diantaranya

adalah Kiyai Moh Tb Soleh, Kiyai Moh Yasin (1860-1937), Kiyai Tegal, Kiyai

Mas Abdurrahman bin Mas Jamal (1868-1943), KH Abdul Mu’ti, KH Soleman

Cibinglu, KH Daud, KH Rusydi, E. Danawi, KH Mustaghfiri di Menes-

Pandeglang bagian selatan Banten.9

Tujuan didirikannya MA adalah membebaskan umat dari segala bentuk

penindasan, kebodohan dan kemiskinan. Pada abad ke-19, kondisi masyarakat

8 Wawancara Pribadi dengan Ketua PBMA KH. Ahmad Sadeli Karim. Menes, 7 Agustus 2010.

9 M. Irsjad Djuwaeli, Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, h. 10

12

Page 23: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

23

Banten Selatan dan khususnya Menes-Ujung Kulon merupakan masyarakat

dengan tingkat buta huruf yang cukup tinggi. Dimana masyarakat Banten

khususnya dari segi pendidikan dan sosial (ekonomi) memang sangat

memprihatinkan, sekolah–sekolah yang dibangun oleh penjajah Belanda tidak

disiapkan untuk pribumi, hanya golongan tertentu yang bisa masuk disekolah

tersebut (politik etis Belanda).10 Selain itu, rendahnya tingkat pengetahuan

masyarakat (Menes-Ujung Kulon) terhadap pendidikan juga ajaran Islam, salah

satunya disebabkan proses Islamisasi yang dilakukan di zaman Kesultanan Banten

Selatan belum terbukti dalam mengamalkan ajaran agama Islam secara benar,

karena proses dakwah tidak berlangsung secara gencar, konsep pengembangan

Islam pada zaman Kerajaan atau Kesultanan Banten hanya gencar dilakukan ke

daerah-daerah yang menyetorkan upeti (pajak).11 Karena itu Kesultanan atau

Kerajaan justeru lebih tertarik dalam memperluas kekuasaan teritorialnya dengan

cara menundukan kerajaan-kerajaan yang belum masuk Islam dibandingkan

dengan upaya mengintensifkan dakwahnya.12

Hal itu terbukti, dengan masih rendahnya tingkat pengetahuan masyarakat

Menes terhadap ajaran agama Islam yang menyebabkan adanya penyimpangan-

penyimpangan akidah seperti adanya TBC (takhayul, bid’ah dan khurafat) dan

percaya kepada benda-benda keramat (animisme) lainnya yang diyakini akan

10 Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888 (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984,

Cet I ), h. 157 11 Wawancara Pribadi dengan Mohammad Zen, Ciputat, 17 Mei 2010. 12 Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan, Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad

XX, (Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta, 2004), h. 63, 69

13

Page 24: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

24

mendatangkan hal yang dianggap positif bagi masyarakat Menes terhadap segala

macam kejahatan dan kenaasan.13

Kemudian, kondisi masyarakat di daerah Menes diperparah dengan situasi

penuh kekacauan dan kerusuhan, dimana para jawara14 atau bandit sosial15 yang

mempunyai ilmu-ilmu hitam pada saat itu telah menguasai daerah Menes

seringkali membuat kekacauan, kemaksiatan, perjudian, pelacuran, pencurian,

perampokan dan menindas masyarakat dan akhirnya mematikan kehidupan ruh

keagamaan.16

Atas keprihatinan tersebut, para ulama atau kyai meresponnya dengan

mengadakan musyawarah yang bertempat di Kampung Kananga-Menes,

dipimpin oleh KH. Entol Mohammad Yasin dan KH. Tb. Mohammad Soleh serta

ulama-ulama lainnya di sekitar Menes. Akhirnya musyawarah tersebut mengambil

keputusan untuk mendirikan pendidikan formal yaitu berbentuk madrasah sebagai

bentuk perjuangan untuk membawa umat keluar dari keterpurukan.

Pendirian madrasah atau pendidikan formal selain untuk memberikan

kesempatan belajar bagi masyarakat Menes, juga karena gagalnya sistem

pendidikan Islam lama (pesantren) untuk menarik minat anak muda sebagai

generasi penerus untuk masuk pesantren. Sehingga, pesantren tidak mampu untuk

“mencetak” calon-calon pemimpin umat yang sadar akan tantangan zaman. Faktor

13 Wawancara Pribadi dengan Asep Saepudin Jahar, Ciputat, 17 Mei 2010. 14 Jawara menurut orang Banten adalah istilah orang-orang yang mempunyai ilmu

kesaktian. 15 Bandit sosial Istilah lain Jawara, yaitu suatu golongan sosial yang terdiri dari orang-

orang yang tidak mempunyai pekerjaan tetap dan seringkali melakukan tindakan kriminal. Lihat. Sartono Kartodirdjo, Pemberontakan Petani Banten 1888 (Jakarta: Pustaka Jaya, 1984, Cet I), h. 83. Selanjutnya lihat. Mohammad Hudaeri, ed., Tasbih dan Golok Kedudukan, Peran dan Jaringan Kiyai dan Jawara di Banten (Serang: Biro Humas Setda Provinsi Banten, 2007), h. 13

16 Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006), h. 25

14

Page 25: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

25

lainnya adalah intensifnya gerakan pemerintah kolonial Belanda dalam

mendirikan sekolah-sekolah rakyat di pedesaan dengan materi umum sebagai

objek pelajarannya yang dinilai oleh para Kiyai Menes akan menghilangkan

syariat Islam. Kedua faktor inilah yang diantaranya memainkan peranan penting

dalam proses penerimaan sistem pendidikan madrasah oleh para Kiyai.17

Namun, rencana pendirian madrasah terhambat oleh ketidaktahuan dan

keterbatasan keilmuan para ulama dalam mengelola sistem pendidikan modern

(kurikulum madrasah). Kemudian, KH. Entol Mohammad Yasin dan ulama

lainnya berinisiatif mengundang seorang pemuda bernama KH. Mas Abdurahman

yang sedang menuntut ilmu di Mekkah selama 10 tahun pada seorang guru besar

yang berasal dari Banten Syeh Mohammad Nawawi Al-Bantani. Tujuan

diundangnya KH. Mas Abdurrahman untuk merumuskan dan mengelola sistem

pendidikan modern (madarasah) yang akan dibangun di Menes.

Pada tahun 1910 M, KH. Mas Abdurahman (42 tahun) datang di Menes,

kemudian segera bergabung dengan para ulama lainnya untuk membantu

mengintensifkan kembali gerakan dakwahnya dengan membentuk pengajian-

pengajian diberbagai tempat di Banten. Kemudian pada perkembangannya mereka

mendirikan lembaga pendidikan yang kemudian diberi nama Mathla’ul Anwar

(tempat terbitnya cahaya) yang berdiri pada tanggal 09 Agustus 1916/10 Syawal

17 Didin Nurul Rosidin, Quo Vadis Mathla’ul Anwar, Makalah disampaikan pada

Rakernas Mathla’ul Anwar di Batam, 7-9 Juli 2007, h. 2-3. Menurut Karel A. Steenbrink bahwa, faktor pertumbuhan gerakan Islam di Indonesia melalui pendirian madrasah, pertama, faktor keinginan kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah, kedua, semangat nasionalisme melawan penguasa kolonial Belanda, ketiga, untuk memperkuat basis gerakan sosial, ekonomi, budaya dan politik, keempat, faktor untuk melakukan pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia. Abuddin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT Grasindo, 2001), h. 196

15

Page 26: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

26

1334 H tahun 1916 M. Lembaga pendidikan MA untuk sementara beroperasi di

sebuah rumah KH. Mustahgfiri di Menes yang dijadikan tempat belajar dan

mengajar. 18

Setelah beberapa bulan madrasah dioperasikannya, situasi kehidupan

masyarakatpun mulai pulih dari kekacauan, dan masyarakat merespon sangat baik

dengan banyaknya para orang tua mengirim anak-anaknya sekolah di madrasah.

Kemudian, untuk mendukung kemajuan lembaga pendidikan MA, Ki Demang

Entol Djasudin seorang tokoh priyayi desa Menes menghibahkan tanahnya untuk

membangun gedung dengan biaya atau dana diperoleh dari bantuan swadaya

masyarakat dan donasi. Sehingga pada akhirnya, gedung pertama madrasah tahun

1920 terbangun berukuran seluas 1000 m2 (20 m x 50 m) yang dilengkapi dengan

fasilitas seperti papan tulis, meja, kursi dan lain sebagainya, walaupun siswa-

siswinya saat itu tidak menggunakan seragam khusus, karena mereka masih

menggunakan sarung, tetapi tidak mengurangi atau menggangu proses

pendidikan. Gedung madrasah inilah kemudian menjadi pusat kegiatan pendidikan

Islam dengan nama Mathla’ul Anwar Pusat mulai dari TK sampai Madrasah

Aliyah yang terletak di Jl. Raya Labuan-Menes, Pandeglang Banten.

B. Sifat-Sifat Tujuan MA

Organisasi MA ini bersifat keagamaan, independen, berakidah Islam

menurut ahlussunah waljamah, dan berasaskan Pancasila. Tujuan MA adalah:

18 Syibli Sarjaya, dkk., Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar

(Jakarta: PB Mathla’ul Anwar, 1996), h. 8

16

Page 27: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

27

1. Terwujudnya masyarakat Indonesia yang Pancasilais, bertakwa kepada

Allah SWT, sehat jasmani dan rohani, berilmu pengetahuan, cakap dan

terampil, serta berkepribadian Indonesia

2. Menumbuhkan nilai-nilai ajaran Islam pada lembaga-lembaga

pendidikan, pengajaran dan kebudayaan

3. Membentuk keluarga dan masyarakat yang bahagia dan sejahtera. Untuk

mencapai tujuan tersebut, MA melakukan usaha-usaha

4. Mendirikan, membina, dan mengelola lembaga-lembaga pendidikan dan

pengajaran serta melaksanakan dakwah

5. Mendidik, memupuk, dan menyalurkan bakat para pelajar, mahasiswa, dan

pemuda agar dapat menjadi insan yang mandiri dan terampil

6. Membina dan menyantuni anak-anak yatim piatu, fakir miskin, orang-orang

jompo, dan orang cacat

7. Membentuk, menjaga kesehatan dan kesejahteraan masyarakat

8. Mengadakan penelitian dan pengembangan terhadap ilmu-ilmu pengetahuan

9. Membangun kerja sama dengan badan-badan, lembaga-lembaga dan

organisasi kemasyarakatan yang sejenis

10. Mengadakan usaha-usaha lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam

dan perundang-perundangan yang berlaku. Organisasi MA meliputi bidang

organisasi/kaderisasi, bidang pendidikan, penelitian dan pengembangan,

bidang ekonomi/keuangan, bidang sosial/kesejahteraan, bidang

penerangan/dakwah, bidang pemuda, olah raga dan kesenian, bidang

17

Page 28: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

28

pembinaan muslimah, bidang pembinaan hukum dan pembelaan, serta bidang

hubungan luar negeri.

Struktur organisasi MA terdiri atas: pengurus tingkat pusat, tingkat wilayah,

tingkat daerah, tingkat cabang, tingkat ranting serta badan-badan otonom. Organisasi

tingkat pusat terdiri atas:

1. Dewan Pembina, yang meliputi ketua, wakil ketua, sekretaris, .wakil

sekretaris dan beberapa orang anggota

2. Majelis Fatwa, yang meliputi ketua, wakil ketua, sekretaris, wakil sekretaris,

dan 45 anggota (ulama pusat dan daerah)

3. Pengurus Besar, yang terdiri atas ketua umum, ketua-ketua, sekretaris

jenderal, wakil-wakil sekretaris, bendahara umum, bendahara-bendahara, dan

ketua-ketua departemen serta biro. Sedangkan keuangan organisasi diperoleh

dari iuran anggota, sumbangan yang tidak mengikat, zakat, infak, sedekah,

wakaf, dan hadiah; dan usaha-usaha yang sah dan halal. Untuk lancarnya

kegiatan pada masing-masing tingkat kepengurusan, biaya yang dipergunakan

diambil dari kas masing-masing yang diperoleh dari bantuan-bantuan dan

kerja sama dengan lembaga-lembaga pemerintah, swasta, perorangan, dan

usaha-usaha lain yang dibenarkan oleh Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah

Tangga (AD/ART).19

19 Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 1994, Cet: 2),

h. 204-205

18

Page 29: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

29

C. Pengertian dan Khittah Mathla’ul Anwar

Pengertian yang dapat ditarik dari Khittah Mathla’ul Anwar merupakan

petunjuk atau pegangan yang dijadikan oleh organisasi Mathla’ul Anwar dalam

melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai sebuah organisasi Islam yang bergerak

dalam bidang pendidikan, dakwah dan sosial.20

1. Fungsi dan Tugas Organisasi Mathla’ul Anwar

a. Bidang Pendidikan

MA memiliki tujuan untuk mencetak generasi Muslim yang menyadari

akan tanggung jawabnya sebagai khalifah Allah di muka bumi untuk membangun

masyarakat, bangsa dan negaranya dalam rangka ibadah kepada Allah SWT.

Karenanya Mathla’ul Anwar mendidik putra putrinya dengan:

1) Menanamkan dan memantapkan aqidah Islamiyah yang disyariatkan yang

benar

2) Membiasakan ibadah-ibadah yang disyariatkan

3) Membekali pengetahuan ke-Islaman serta berbagai disiplin ilmu dan skill yang

berguna sesuai dengan tuntutan zaman

4) Menanamkan kesadaran agar dapat hidup mandiri membangun lingkungan

dan masyarakat serta membentengi diri dan lingkungannya dari pengaruh

budaya negatif (yang bertentangan dengan ajaran Islam)

b. Bidang Dakwah

Mathla’ul Anwar sebagai organisasi Islam menjalankan tugasnya dalam

bidang dakwah yang menjalankan “amar ma’ruf nahi mungkar” dengan

20 Syibli Sarjaya, dkk., Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, h. 8

53

19

Page 30: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

30

memperhatikan kondisi dan sasaran yang akan dicapai sesuai dengan tujuan

dakwah itu sendiri.

c. Bidang Sosial

Mathla’ul Anwar sebagai organisasi Islam yang bergerak dalam bidang

sosial dengan berbagai usaha dan cara yang Islami agar masyarakat terhindar dari

kebodohan, kemiskinan dan keterbelakangan.

2. Landasan Opersional Organisasi Mathla’ul Anwar

a. Memahami Kandungan ayat-ayat al Qur’an dan Hadits sebagai berikut:

1) Dalam bidang pendidikan

Mathla’ul Anwar sebagai organisasi Islam mempunyai kewajiban untuk

mendidik dan mencerdaskan kehidupan keumatan, kebangsaan dan kenegaran.

Æìsùötƒ ª!$# t⎦⎪ Ï% ©!$# (#θ ãΖtΒ#u™ öΝä3ΖÏΒ t⎦⎪ Ï% ©!$#uρ (#θ è?ρ é& zΟù= Ïè ø9$# ;M≈y_ u‘ yŠ 4 ª!$#uρ $ yϑ Î/ tβθè= yϑ ÷è s? ×Î7yz ∩⊇⊇∪

Artinya: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu

dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (QS: Almujadalah: 11)

$ tΒ uρ šχ% x. tβθ ãΖÏΒ ÷σßϑ ø9$# (#ρ ãÏΨ uŠÏ9 Zπ ©ù!$ Ÿ2 4 Ÿω öθ n= sù txtΡ ⎯ÏΒ Èe≅ ä. 7π s% öÏù öΝåκ÷]ÏiΒ ×πxÍ← !$ sÛ (#θ ßγ ¤)xtG uŠÏj9 ’ Îû Ç⎯ƒ Ïe$! $#

(#ρ â‘ É‹ΨãŠÏ9uρ óΟßγ tΒ öθ s% #sŒÎ) (#þθãè y_ u‘ öΝÍκö s9Î) óΟßγ ¯= yè s9 šχρ â‘ x‹øt s† ∩⊇⊄⊄∪

Artinya: “Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka

beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya”. (QS: Attaubah: 122)

2) Dalam bidang dakwah

20

Page 31: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

31

Organisasi Mathla’ul Anwar mempunyai tugas dan kewajiban untuk mendidik

umat sebagai dakwah “amar ma’ruf nahi mungkar” yang sesuai dengan tujuan

berdirinya MA untuk membangun kehidupan umat Islam.

⎯ä3tFø9uρ öΝä3ΨÏiΒ ×π ¨Βé& tβθ ããô‰tƒ ’ n< Î) Îösƒ ø: $# tβρããΒ ù'tƒ uρ Å∃ρ ã÷è pRùQ$$ Î/ tβ öθ yγ ÷Ζtƒ uρ Ç⎯tã Ìs3Ψ ßϑ ø9$# 4 y7 Íׯ≈ s9'ρ é&uρ ãΝèδ

šχθ ßs Î=øßϑ ø9$# ∩⊇⊃⊆∪

Artinya: “Dan hendaklah ada diantara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar. Mereka adalah orang-orang yang beruntung”. (QS: Ali Imran: 104)

3) Dalam bidang sosial

a) Taat kepada para pemimpin yang beriman setelah taat kepada Allah dan

Rasulnya

Mathla’ul Anwar memiliki tujuan untuk mendidik dan membimbing umat

untuk mematuhi perintah dan menjauhi larangan Allah SWT, Nabi dan Rasul,

serta para pemimpin.

$ pκš‰ r'̄≈ tƒ t⎦⎪ Ï% ©!$# (#þθãΨ tΒ#u™ (#θ ãè‹ÏÛr& ©!$# (#θãè‹ÏÛr&uρ tΑθ ß™ §9$# ’Í< 'ρ é&uρ Íö∆ F{$# óΟä3ΖÏΒ ( β Î* sù ÷Λä⎢ ôãt“≈ uΖs? ’ Îû &™ó© x« çνρ –Šãsù

’ n< Î) «!$# ÉΑθ ß™ §9$#uρ β Î) ÷Λä⎢Ψä. tβθ ãΖÏΒ ÷σè? «!$$ Î/ ÏΘöθ u‹ø9$#uρ ÌÅz Fψ$# 4 y7 Ï9≡sŒ ×öyz ß⎯|¡ôm r&uρ ¸ξƒÍρ ù's? ∩∈®∪

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan Rasul (Nya)

dan Ulul Amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah (Al Qur’an dan) dan RasulNya (As Sunnah) jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagimu dan lebih baik akibatnya”. (QS: An-Nisa: 59)

b) Bersatu dan berpegang teguh kepada Wahyu Allah

21

Page 32: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

32

Mathla’ul Anwar memiliki kewajiban untuk menciptakan dan menjaga

kesatuan serta persatuan kehidupan keumatan, kebangsaan, kenegaraan.

(#θßϑÅÁ tGôã $# uρ È≅ ö7 pt ¿2 «!$# $Yè‹ Ïϑy_ Ÿωuρ (#θè%§x s? 4 ∩⊇⊃⊂∪

Artinya: “Dan berpegang teguhlah kamu semuanya kepada tali (agama)

Allah, dan janganlah kamu bercerai berai”. (QS: Ali Imran: 103) c) Tidak hidup bergolong-golongan dan memilah-milah dinul Islam

Mathla’ul Anwar sebagai organisasi keagamaan memiliki kewajiban untuk

menjaga persatuan dan kesatuan kehidupan umat Islam.

Ÿω uρ (#θçΡθ ä3s? š∅ ÏΒ t⎦⎫Å2 Îô³ßϑ ø9$# z⎯ÏΒ š⎥⎪ Ï%©!$# (#θ è% §sù öΝßγ uΖƒ ÏŠ (#θ çΡ% Ÿ2 uρ $Yè u‹Ï© ( ‘≅ ä. ¥> ÷“ Ïm $ yϑ Î/

öΝÍκö‰ y‰s9 tβθãm Ìsù ∩⊂⊄∪

Artinya: “Janganlah kamu menjadi orang-orang yang musyrikin, yaitu

orang-orang yang memecah belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka”. (QS: Ar-Rum: 31-32)

d) Tolong menolong dalam kebajikan dan takwa Mathla’ul Anwar memiliki tujuan untuk mecerdaskan dan mensejahterakan

kehidupan umat Islam.

(#θ çΡuρ$ yè s?uρ ’n?tã ÎhÉ9 ø9$# 3“ uθ ø)−G9$#uρ ( Ÿω uρ (#θ çΡuρ$ yè s? ’n?tã ÉΟøO M}$# Èβ≡uρ ô‰ãèø9$#uρ 4 (#θ à)¨?$#uρ ©!$# ( ¨βÎ) ©!$# ߉ƒ ωx©

É>$ s)Ïèø9$# ∩⊄∪

Artinya: “Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan

dan takwalan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran’. (QS: Al-Maidah: 2)

e) Usaha bertahkim dengan syari’at Islam

22

Page 33: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

33

Page 34: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

34

Page 35: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

35

1891. Setelah selesai pendidikan pesantren, dia kembali ke kampungnya, dan

kemudian menikahi seorang gadis bernama Sofrah. Dari pernikahan pertamanya

dia dikarunia delapan orang anak yang terdiri atas satu anak perempuan dan tujuh

anak laki-laki. Kemudian menikah lagi untuk kedua kalinya (berpoligami) dengan

Artafiah dari Kampung Baru (Menes). Dari isteri keduanya dikarunia lima anak

yakni tiga anak laki-laki dan dua anak perempuan.21

Tahun 1902, Tb. Mohammad Soleh menunaikan ibadah haji ke Makkah

dan sepulang dari sana, kemudian tahun1906 dia mendirikan pesantren di

Kananga-Menes. Di tahun pertama, ia telah mempunyai 25 santri yang berasal

dari penduduk sekitar. Jumlah santri bertambah dua kali lipat, dan pada akhirnya

menjadi pondok pesantren terbesar di antara pesantren-pesantren di Pandeglang.

Kiyai sepuh Kananga-Menes Tb. Mohammad Soleh berpulang kerahmatullah

sebelum menyaksikan cita-cita besarnya terwujud mendirikan lembaga pendidikan

MA yang diresmikan pada tanggal 09 Agustus tahun 1916 M.

a. KH. Mohammad Entol Yasin

KH. Mohammad Entol Yasin bin Demang Darwis lahir tahun 1860 di

Simanying-Menes, Yasin merupakan salah satu keluarga ningrat yang cukup kaya,

ayahnya Demang Darwis menjabat sebagai kepala Desa di Menes. Pendidikan

dasar tentang agama, Yasin memperoleh dari beberapa orang guru agama yang

diundang langsung kerumahnya. Selain itu, dia melanjutkan pendidikan agama di

dua pesantren, yakni di Karamulya dan Soreang tahun 1875-1884. Sedangkan

pendidikan formal atau umum pada sekolah Pemerintahan Belanda di Menes.

21 Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul

Anwar dari Tahun 1916-1998,” (Disertasi Leiden University: Fakulty of Humanity, 2007), h.18-19

25

Page 36: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

36

Yasin selain dikenal sebagai intelektual juga aktivis Sarekat Dagang Islam

(SDI)22 yang cukup terkenal dimasyarakat karena kedermawanannya, karena telah

membantu penderitaan rakyat, sehingga dengan kebaikannya itu masyarakat

menyebutnya dengan kiayi. Ketika pada umur 17 tahun, ia bahkan membiayai

pendidikan dan memberikan pakaian untuk fakir miskin sebanyak 20 anak di

Tegalwangi. Kemudian pada umur 24 tahun, ia mampu mengubah prilaku para

Jawara yang terkenal sebagai pembuat onar di Menes menjadi orang baik, yaitu

dengan cara memberikan mereka sebidang tanah untuk tempat tinggal. Dengan

latar pendidikan agama dan formal, Yasin telah memberikan kontribusi yang

cukup besar baik diawal maupun setelah pendirian organisasi Mathla’ul Anwar.

Mohammad Entol Yasin wafat sekitar tahun 1937-1938 pada usia 77 tahun.

b. KH. Mas Abdurrahman

Tokoh terakhir adalah KH. Mas Abdurrahman bin Mas Jamal lahir sekitar

tahun 1875-1882 di Kampung Janaka dekat kaki gunung Haseupan. Ayahnya

(Mas Jamal) merupakan keturunan dua tokoh legendaris muslim lokal yang

pertama masuk Islam di Banten yaitu Ki Jong dan Ki Jon. Karena garis

keturunannya itu Abdurrahman bergelar Mas pada namanya. Seperti umumnya

guru agama Islam lainnya di Banten, Mas Abdurrahman memperoleh pendidikan

Islam dibawah bimbingan Mas Jamal. Selanjutnya, ia melanjutkan pendidikan

pesantren di Kiyai Shohib Kadu Pinang. Kemudian, ia selanjutnya meneruskan

kembali di pesantren Kiyai Ma’mun untuk memperdalam ilmu seni baca Al-

22 Keterlibatan Yasin di SDI memilih dunia pendidikan sebagai strategi untuk

membangun masyarakat. Sedangkan Samanhudi memilih peningkatan ekonomi. Lihat, M. Irsjad Djuwaeli, Membawa Mathla’ul Anwar Ke Abad XXI (Jakarta: PB Mathla’ul Anwar, 1996), h. 15-16

26

Page 37: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

37

Qur’an (qiro’a). Kemudian, ia berangkat ke ke Jawa Tengah sekitar tahun 1927

untuk memperdalam ilmu tentang al-Qur’an di pesantren Kiyai Afif di Sarang,

Kabupaten Purwakarta, Provinsi Jawa Barat. Sedangkan pendidikan sufi dan

tarekat dia dapat Kiyai Tb. Bachri.

Tahun 1930, ayahnya (Mas Jamal) berpulang kerahmatullah ketika

melaksanakan ibadah Haji di Makkah. Dua tahun setelah Mas Jamal berpulang

kerahmatullah, Abdurrahman berangkat ke Makkah untuk mengenang ayahnya

dan meneruskan pendidikan tentang beragam ilmu ke-Islaman. Ketika di Makkah

itulah, Abdurrahman berkenalan dengan beberapa tokoh agama Islam, seperti

tokoh pendiri Muhammadiyah Ahmad Dahlan dan Nahdlatul Ulama (NU) Hasyim

Asy’ari.

Kemudian tahun 1930, Abdurrahman kembali ke Menes dan menikahi

Enong salah satu anak perempuan Tb. Sholeh. Namun pernikahannya yang

pertama tidak berjalan lama karena isterinya berpulang kerahatullah ketika ia

melaksanakan ibadah Haji. Kemudian menikah kembali dengan tiga istri

(berpoligami) yakni, Menot Aminah, Ijot Khodijah dan Enjoh. Dari ketiga istrinya

ia dikaruniai lima belas orang anak.

Diantara para pendiri Mathla’ul Anwar, Abdurrahman merupakan tokoh

yang berpengaruh dalam merumuskan konsep pendidikan madrasah dan

memanjukan organisasi Mathla’ul Anwar (MA) selama hidupnya. Buah

pikirannya itu ditulisnya dalam beberapa karya tulis seperti, Kitab Al-Jawa’is Fi

’Ahkam Al-Jana’iz, melalui Kitab-Kitab yang berisi tentang etika dan tatacara

mengurusi jenazah, Ilm al Tajwid, yakni kitab yang mempelajari tentang aturan

27

Page 38: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

38

baca Qur’an, Al-Takhfifi, metode mudah belajar bahasa Arab, Nahwu Al

Jamaliyyah, kitab yang mempelajari tentang tata bahasa Arab, seperti Al-

Ajrumiyya yang tersebar luas dipergunakan sebagai rujukan dasar tata bahasa

Arab di Indonesia, Miftah Bab Alsalam, kitab tentang hukum Islam, dan Fi Arkan

Al Iman Wal Islam, yaitu kitab tentang Tauhid. Kitab-Kitab tersebut ditulis dalam

menggunakan bahasa Jawi dan pengantarnnya bahasa Sunda. Kecuali Al Jawa’iz

Fi Ahkam Al Jana’iz, dan buku-buku itu dipersiapkan sebagai rujukan utama

pelajaran agama Islam di madrasah-madrasah Mathla’ul Anwar. Abdurrahman

berpulang kerahmatullah pada usia 68 tahun pada tahun 1943.

Selain tiga tokoh-tokoh diatas, beberapa ulama lain yang terlibat dan

berjasa dalam pendirian Mathla’ul Anwar diantaranya adalah, K. Tegal, KH.

Abdul Mu’ti, Soleman Cibinglu, KH. Daud, KH, Rusydi, E, Danawi dan terakhir

KH. Mustghfiri.23

23 Ada beberapa catatan perbedaan dalam jumlah orang yang terlibat dalam pendirian

MA. Secara umum ada yang mengatakan bahwa jumlah pendiri MA berjumlah 10 orang nama yang disebutkan, sedangkan nama Tb. Tirtawinata dan Kiyai Muhammad Nur tidak dicantumkan sehingga berjumlah 12 orang. Lihat. Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar dari Tahun 1916-1998,” h. 158

28

Page 39: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

39

BAB III

PARTISIPASI MATHLA’UL ANWAR DALAM RANAH POLITIK

A. Pengertian Partisipasi Politik

Ditengah-tengah masyarakat modern seluruh komponen masyarakat ikut

terlibat dalam proses politik yang merupakan salah satu aspek penting dalam

demokrasi. Partisipasi politik berasal dari dua kata, yaitu partisipasi dan politik.

Menurut bahasa partisipasi adalah pengambilan bagian (didalamnya) atau peran

serta bergabung.24Secara umum, partisipasi politik dapat dikatakan sebagai

penentuan sikap seseorang atau kelompok dalam kegiatan untuk pencapaian

tujuan organisasi, serta berperan dalam setiap pertanggungjawaban bersama dalam

kehidupan politik.

Menurut Miriam Budiarjo, partisipasi politik sebagai kegiatan yang

berkaitan dengan proses pemilihan pemimpin-pemimpin politik dan juga turut

serta dalam pembentukan kebijakan umum. Secara riil bentuk-bentuk kegiatan ini

mencakup kegiatan memilih pada pemilihan umum, menjadi anggota partai

politik, duduk di lembaga politik, berkampanye, menghadiri kelompok diskusi

yang membahas persoalan politik dan sebagainya.25

Senada dengan Miriam Budiarjo, Michael Rush dan Philif Althoff,

menyatakan bahwa partisipasi politik adalah usaha warga negara secara

terorganisir dalam proses pemilihan para pemimpin dan mempengaruhi jalannya

24 Pius A. Partanto dan Dahlan Al Barry, Kamus Ilmiah Populer (Surabaya: Arkola,

1994), h. 572 25 Miriam Budiarjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama,

Cet: 27, 2005), h. 161

29

Page 40: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

40

kebijakan umum. Hal tersebut sebagaimana menurut Rafael Raga Maran dalam

Pengantar Sosiologi Politik bahwa yang dilakukan berdasarkan kesadaran akan

tanggung jawab terhadap kehidupan bersama sebagai warga negara.26

Sementara Harbert McClosky dalam International Encyclopedia of the

Sosial Sciences seperti yang dikutip oleh Miriam Budiarjo, menyatakan:

“Partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela masyarakat untuk terlibat

dalam setiap pengambilan kebijakan seperti dalam proses pemilihan penguasa,

baik secara langsung atau tidak langsung, dalam proses pembentukan kebijakan

umum”. Sedangkan menurut Norman H. Nie dan Sidney Verba dalam Handbook

of Political Science, menyatakan: “Partisipasi politik adalah keterlibatan langsung

seseorang atau pribadi warga negara dalam setiap kegiatan untuk tujuan

mempengaruhi dan menyeseleksi pejabat-pejabat Negara dalam memutuskan

setiap kebijakan”.

Menurut Samuel Huntington dan Joan M. Nelson dalam No Easy Choise:

political Participation in Developing Countries, menyatakan: “Partisipasi politik

adalah kegiatan warga negara yang bertindak sebagai pribadi-pribadi, yang

dimaksud untuk mempengaruhi pembuatan keputusan oleh pemerintah. Partisipasi

bisa bersifat individu atau kolektif, terorganisir atau spontan, mantap atau

sporadis, secara damai atau dengan kekerasan, legal atau Ilegal, efektif atau tidak

efektif”.27 Sedangkan Samuel Huntington dan Joan M. Nelson dalam Partisipasi

26 Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik (Jakarta: PT Rineka Cipta, Cet: I

2001), h. 147 27 Miriam Budiarjo, Partisipasi dan Partai Politik (Jakarta: Yayasasn Obor Indonesia,

1998), h. 2-3

30

Page 41: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

41

Politik di Negara Berkembang membagi partisipasi masyarakat kedalam berbagai

bentuk28

1. Elektoral activity, adalah segala bentuk kegiatan yang dilakukan melalui

kampanye salah satu partai politik dalam pemilu dan memberikan suara

serta ikut mengawasi berlangsungnya proses pemilu.

2. Lobbying, yaitu aktivitas seseorang atau kelompok dalam melakukan

pendekatan pada pejabat pemerintah atau elit politik untuk tujuan

mempengaruhi dan mendukung terhadap kegiatan mereka.

3. Organizational Activity, adalah partisipasi warga negara dalam berbagai

kegiatan organisasi politik dan sosial dengan menduduki sebuah jabatan

sebagai pemimpin, anggota maupu simpatisan.

4. Contacting, yaitu kegiatan warga negara dalam mempengaruhi elit politik

dengan cara mendatangi dan menghubungi lewat telepon kepada pejabat

pemerintah maupun elit politik lainnya.

5. Violence, adalah sebuah usaha yang dilakukan melalui cara-cara kekerasan

atau intimidasi dan pengrusakan dalam proses mempengaruhi elit politik.

Dari beberapa definisi diatas, partisipasi politik dapat disimpulkan sebagai

bentuk sikap dan keterlibatan setiap individu dalam situasi dan kondisi

organisasinya, kemudian mendorong individu tersebut untuk berperan serta dalam

pencapaian tujuan organisasi serta ambil bagian dalam setiap tanggung jawab

bersama.29 Hal tersebut dilakukan berdasarkan kesadaran terhadap bentuk

tanggung jawab dalam kehidupan bersama sebagai suatu bangsa dalam suatu

28 Samuel P Huntington dan Joan Nelson, Partisipasi Politik di Negara Berkembang (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), h. 8

29 Arifin Rahman, Sistem Politik Indonesia (Surabaya: SIC, 2002), h. 127

31

Page 42: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

42

negara. Bagaimanapun, keputusan politik yang diambil oleh pemerintah

menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga masyarakat berhak untuk ikut

serta dalam mempengaruhi setiap keputusan politik. Karena keterlibatan warga

negara dalam keputusan politik akan menentukan baik buruknya setiap keputusan

untuk kehidupan individu maupun masyarakat itu sendiri.30

B. Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik

Sebagaimana di tulis di atas bahwa partisipasi politik adalah kegiatan

warga negara dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksaan kebijakan

umum maupun ikut serta dalam menentukan pemimpin pemerintahan. Kegiatan

tersebut seperti antara lain, mengajukan tuntutan, kritikan, koreksi, melaksanakan

kebijakan umum dengan cara melaksanakan atau menentang. Kemudian untuk

merealisasikan berbagai bentuk-bentuk partisipasi politik, maka masyarakat dan

negara memanifestasikan bentuk partisipasi politik melalui pembentukan sebuah

organisasi masyarakat (ormas), kelompok kepentingan, partai politik, lembaga

perwakilan rakyat baik tingkat pusat maupun daerah.

Selanjutnya Jeffry M. Paige, membagi partisipasi politik menjadi empat

tipe yaitu, partisipasi politik aktif, fasif, apatis dan militan.31 Partisipasi politik

aktif adalah apabila tingkat kesadaran politik dan kepercayaan politiknya tinggi.

Masyarakat dengan tingkat partisipasi aktif bisa mempengaruhi penentuan

pejabat publik dan kebijakan yang dikeluarkannya. Mereka bisa

30 Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik (Jakarta: PT Gramedia, Cet: 3, 1999), h. 140-

141 31 Jeffry M. Paige, Political Orientation and Riot Participation, dalam American

Sosiological, Review, Oktober, 1991, h. 810-820

32

Page 43: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

43

berpartisipasi dalam pembuatan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi pada

setiap kebijakan publik. Pola partisipasi seperti ini tumbuh dengan baik

dalam Masyarakat dengan tingkat pendidikan yang tinggi, tingkat

kehidupan ekonomi cukup, akses informasi bisa diperoleh dengan cepat.

Biasanya pola ini berkembang dengan baik pada masyarakat perkotaan.

Partisipasi politik pasif adalah partisipasi dengan tingkat kesadaran politik

rendah dan pada saat yang bersamaan tingkat kepercayaan politik tinggi. Pola

partisipasi seperti ini mendominasi pada masyarakat yang tingkat pendidikan

renadah, tingkat ekonomi yang serba kekurangan, dan akses informasi yang sulit.

Biasanya pola partisipasi model ini berkembang di masyarakat pedesaan. Dalam

menentukan pilihan politik dan sikap terhadap setiap kebijakan yang

berkaitan dengan hajat bersama, masyarakat mempercayakan kepada tokoh

masyarakat atau kepala desa. Masyarakat menganggap dirinya tidak punya

kemampuanapapun dalam menentukan kepentingan bersama. Mereka

sepenuhnya percaya pada orang yang memiliki kharisma dan ketokohan, seperti

:kiyai dan jawara, serta pada orang yang memiliki kekuasaan struktural, seperti

kepala desa, camat, bupati dan lainnya. Partisipasi politik apatis (masa bodoh) adalah

partisipasi politik dengan tingkat kesadaran dan kepercayaan politik yang rendah.

Pola partisipasi seperti ini terjadi pada masyarakat yang tidak menyadari

terhadap hak dan kewajibannya untuk melakukan penilaian pada kebijakan

pemerintah. Walaupun mereka sadar, tetapi mereka lebih memilih diam dan

mengabaikan dengan masalah-masalah yang menyakut kepentingan publik.

Sedangkan partisipasi politik militan adalah pola partisipasi politik dengan tingkat

33

Page 44: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

44

kesadaran politik tinggi dan pada saat yang bersamaan tingkat kepercayaan politik

yang rendah. Partisipasi politik militan ini biasanya terjadi pada masyarakat dengan

melakukan seperti demonstrasi dan aksi-aksi menentang kebijakan publik dengan

cara merusak fasilitas umum, menganggu keamanan, melakukan kerusuhan atau

kekacauan.

Sedangkan Wasburn, membagi bentuk partisipasi politik kedalam dua

kategori yakni konvesional dan nonkonvesional. Partisipasi konvesional sebagai

bentuk yang sudah umum dilakukan pada negara-negara maju. Sedangkan di

negara-negara berkembang cenderung menggunakan partisipasi yang berbeda

karena tidak berjalannya sistem politik. Sehingga, menyebabkan Inputnya sulit

berkembang dikompensasikan kedalam bentuk-bentuk kegiatan partisipasi yang

tidak biasa dilakukan di negara-negara dengan sistem politik yang bekerja dengan

baik.

Gambar 1.32 Bentuk-Bentuk Partisipasi Politik

Konvesional Nonkonvesional Pemberian Suara (voting, Pemilu) Pengajuan Petisi Diskusi Politik Berdemonstrasi Kegiatan Kampanye Mogok Bergabung dengan Partai Politik Tindakan Kekerasan Politik Terhadap

Harta Benda (Perusakan, pemboman, penjarahan, pembakaran)

Membentuk dan/atau berbagung dalam Kelompok Kepentingan

Tindakan Kekerasan Politik terhadap Manusia (penculikan, pembunuhan, terror)

Komunikasi Individual/Kelompok dengan Pejabat Politik dan Birokrasi

Perang Gerilya dan revolusi

Kudeta

32 Toto Pribadi dkk,. Sistem Politik Indonesia (Jakarta: Universitas Terbuka, Cet: 1,

2006), h. 36

34

Page 45: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

45

B. Langkah-Langkah Perjuangan Mathla’ul Anwar

1. Bidang Politik

Sebelum penulis membahas tentang peran atau partisipasi

politik MA, terlebih dahulu akan dibahas tentang hubungan antara

Islam dan politik di Indonesia. Keterlibatan Islam dalam politik, telah

dimulai ketika adanya penjajahan kolonialisme Barat yang hegemonik secara

politik, militer, ekonomi, dan budaya. Islam dijadikan sebagai kekuatan politik

oleh para pemimpin-pemimpin Muslim Nusantara dalam menghadapi penjajah

Portugis dan Belanda pada abad ke-13 dan 14 Masehi.33

Dalam konteks ini, Islam berfungsi sebagai lambang pemersatu dan

sekaligus sebagai ideologi politik, sehingga menimbulkan kekuatan luar biasa

yang memiliki kekayaan doktrinal dan pengalaman politik yang direkonstruksi

menjadi keyakinan politik seperti gerakan Sabilillah, Perang Jihad,

Pemberontakan Petani Banten Tahun 1888 dan sebagainya. Maka dibawah

pimpinan orang-orang Islam memperoleh kekuatan untuk melawan penjajahan

Belanda. Fenomena distingsi "Islam politik" dan "Islam kultural" mencapai

puncaknya ketika pada masa pasca runtuhnya kesultanan Banten oleh

kolonialisme Belanda pada tahun 1813 oleh Gubernur Herman William

Daendels.34

Menurut Irsyad Djuwaeli, MA sebagai salah satu organisasi

keagamaan yang memiliki kepentingan untuk memajukan bangsa dan

33 Pramono U. Tanthowi, Kebangkitan Politik Kaum Santri, Islam dan Demokrasi di

Indonesia, 1990-2000 (Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban, 2005), h. 16 34 M. Irsjad Djuwaeli, Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar (Jakarta: PB Mathla’ul

Anwar, 1996), h. 15

35

Page 46: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

46

organisasinya, berusaha mencoba masuk ke wilayah kebijakan dan politik.

Selanjutnya menyatakan diri secara teoritis ada dua peluang atau pintu masuk

bagi MA untuk menentukan arah perkembangannya di masyarakat. Pertama,

adalah pada tingkat kultural (pendidikan, dakwah dan sosial). Tingkat ini

secara formal dilakukan oleh MA sejak kelahirannya tahun 1916, namun

secara out put yang dihasilkan perlu dievaluasi. Kedua, adalah pada tingkat

struktural, dimana MA dapat berperan dengan turut berpartisipasi dalam

setiap pengambilan keputusan dan kebijakan, sehingga MA akan menjadi

penentu kecenderungan (trend maker) masyarakat.35

Keterlibatan MA dalam politik cenderung untuk menggabungkan diri

dengan kekuatan politik yang ada. Hampir bersamaan dengan pendirian MA, para

pendirinya seperti KH. Entol Yasin dan KH. Mas Abdurrahman telah menjadi

tokoh utama Sarekat Islam (SI)36 di wilayah Banten. Dalam fatwanya, KH. Mas

Abdurrahman memberikan dukungan kepada SI sebagai salah satu wujud dari

ibadah ke Allah SWT.37

Pada tanggal 01 September 1926, terjadi pemberontakan rakyat Menes

dan Labuan melawan pemerintahan kolonial Belanda. Keterlibatan tokoh-

tokoh MA seperti K. Abdulhadi Bangko dan Khusen Cisaat dalam peristiwa

pemberontakan melawan Pemerintah kolonial Belanda, menyebabkan mereka

35 Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” h. 4 36 Sarekat Islam (SI) bermula dari sebuah organisasi Sarekat Dagang Islam (SDI), yang

didirikan oleh Samanhudi di Solo pada tahun 1911 pada perkembangnya menjadi organisasi politik nasional pertama di Indonesia sebagai satu-satunya kekuatan pemersatu bagi seluruh elemen bangsa dalam membawa aspirasi ke-Islaman dan kebangsaan. Lihat. Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, Trasformasi Pemikiran dan praktik Politik Islam di Indonesia (Jakarta: Paramadina, 1998, cet: 1), h. 63. Selanjutnya lihat. Fauzan Saleh, Teologi Pembaruan, Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004), h. 63.

37 Didin Nurul Rosidin, Quo Vadis Mathla’ul Anwar, h. 5

36

Page 47: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

47

(K. Abdulhadi Bangko dan Khusen Cisaat) ditangkap dan kemudian dibuang

ke Boven Digul, Tanah Merah dan Irian.38 Sedangkan KH. Tb. Mohammad

Soleh (tahun 1916) diterbunuh dalam peristiwa pemberontakan tersebut untuk

memperjuangkan terhadap adanya ketidakadilan dalam bidang ekonomi, politik

dan lain sebagainya.39

MA dinilai menjadi salah satu organisasi yang dianggap berbahaya

oleh Pemerintah kolonial Belanda semakin dicurigai perkembangannya,

terlebih KH. Mas Abdurrahman dan KH. Entol Yasin sebagai tokoh MA dan

pengurus SDI atau Sarekat Islam (SI) bagian Banten untuk memperjuangkan

umat Islam melawan kolonial Belanda. Kemudian KH. Entol Yasin dan tokoh

MA lainnya pasca peristiwa tanggal 01 September tahun 1926 menyebabkan

mereka selalu diawasi oleh PID (Polisi Rahasia Kolonial Belanda) dalam

setiap aktivitasnya dalam membangun MA. Kemudian, akibat adanya

perpecahan di tubuh SI40 pada tahun 1921 dan berdirinya Partai Komunis

38 Syibli Sarjaya, dkk., Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar

(Jakarta: PB Mathla’ul Anwar, 1996), h. 11 39 Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” h. 68. Menurut

Chalwani Michrob dan A. Mudjahid Chudari, bahwa karakter para ulama di Banten dikenal berwatak keras dan suka memberontak, bahkan banyak dari para ulama-ulamanya menilai kepemimpinan dalam Sarekat Islam (SI) kurang berani dan tegas dalam melakukan pemberontakan melawan Belanda, hal tersebut dimanfaatkan oleh PKI (Partai Komunis Indonesia) dengan cara infiltrasi keanggotaan ganda untuk mengajak para ulama bergabung dengan PKI, sehingga banyak tokoh-tokoh agama seperti K. Abdulhadi Bangko dan Khusen Cisaat (tokoh MA) di Banten disamping sebagai anggota SI juga menjadi pengurus PKI. M. Irsjad Djuwaeli, Membawa Mathla’ul Anwar Ke Abad XXI (Jakarta: PB Mathla’ul Anwar, 1996), h. 18

40 Konflik diinternal SI terjadi pada kongres Luar Biasa Central Sarekat Islam pada tanggal 6-10 Oktober tahun 1921 di Surabaya. Akibat peristiwa tersebut Sarekat Islam pecah menjadi 2 aliran, yaitu: Sarekat Islam Merah (SI Merah) yang dipimpin Semaoen yang berasaskan sosial-komunis dan berpusat di Semarang dan Sarekat Islam Putih (SI Putih) yang dipimpin Agus Salim, Cokroaminoto dan Abdoel Moeis yang berasaskan kebangsaan dan keagamaan dan berpusat di Yogyakarta. Peristiwa tersebut terjadi akibat pengaruh dari paham sosialis revolusioner yang di bawa H.J.F.M. Sneevliet, seorang sosialis Belanda yang datang ke Indonesia pada tahun 1913. Kemudian pada tahun 1914 Sneevliet bersama rekan-rekannya yaitu J..A. Bransteder, H.W. Dekker dan P. Bergsma mendirikan ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereeniging) di

37

Page 48: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

48

Indonesia (PKI) tahun 1924 menjadi semakin tidak kondusif terhadap aktifitas

politik, sehingga mendorong Kyai Entol Yasin dan Kyai Mas Abdurrahman untuk

mengalihkan aktifitas politiknya pada NU.

Pengawasan yang menimbulkan kecurigaan pemerintah kolonial

Belanda yang ketat di Menes dan Labuan, menyebabkan para tokoh MA

menjadi kendala untuk melakukan pembinaan keagamaan di masyarakat. Di

bawah pengawasan pemerintah kolonial Belanda, tokoh-tokoh MA melakukan

aktivitasnya secara sembunyi-sembunyi dalam melakukan pembinaan

kehidupan masyarakat disekitar daerah Menes. Kemudian, untuk membantu

mengintensifkan perjuangannya dalam pembinaan umat, para tokoh MA

dibantu oleh para kader-kader dan lulusan atau alumni madrasah MA Pusat

(Menes) yang dikirim ke berbagai daerah seperti Kabupaten Lebak, Serang,

Bogor, Karawang dan Karesidenan Lampung.

Tahun 1926, KH. Mas Abdurrahman dan KH. Entol Yasin menghadiri

sebuah rapat akbar NU di Jawa Tengah, dengan tujuan untuk bekerja sama

dalam melakukan pembinaan kehidupan masyarakat. Selanjutnya, pada tahun

1936 akhirnya MA mengadakan musyawarah terbatas sebagai bentuk

komitmen dan evaluasi dalam perjuangan dengan membentuk konsulat-

konsulat MA yang membawahi kepengurusan di tingkat Kabupaten dan di

tingkat Kecamatan. Para konsulat dan sub konsulat tersebut mengadakan

kongres (Muktamar) MA ke-I tahun 1937 di Menes, pertemuan tersebut

sebagai evaluasi tahunan bagi setiap pengurus mulai dari tingkat bawah

Surabaya. Lihat Dewi Yuliati,. Semaoen: Pers Bumiputera dan Radikalisasi Sarekat Islam Semarang. (Semarang: Bendera, 2000), h. 6-7

38

Page 49: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

49

sampai atas yang dihadiri oleh setiap utusan cabang, yang kemudian

dilanjutkan dengan pemilihan ketua umum terpilih adalah KH. Entol Yasin

dan wakil ketua adalah KH. Abdul Muthi’, sedangkan ketua bidang

pendidikan adalah KH. Mas Abdurrahman.

Pada tahun 1938 ketua umum KH. Entol Yasin berpulang

kerahmatullah, yang seharusnya tahun tersebut diadakan Muktamar MA ke-II

di Menes, kemudian jabatan ketua umum dijabat oleh wakil ketua umum yaitu

KH. Abdul Muthi’. Selanjutnya tahun 1939 MA dapat melaksanakan

Muktamar ke-III di Menes dengan agenda salah satunya adalah pemilihan

ketua umum yang berhasil memilih dan menetapkan KH. Uwes Abu Bakar

sebagai ketua umum Pengurus Besar Mathlaul Anwar (PBMA).41

Kemudian, muktamar dengan berjalannya waktu, diadakan setiap tahun

umumnya tidak banyak yang dibicarakan dan dihasilkan. Terlebih dihadapkan

pada situasi yang cukup sulit, sehingga diawal kepemimpinan KH. Uwes Abu

Bakar tidak banyak pula hasil yang diperoleh. Tahun 1940 dan 1941 MA

mengadakan Muktamar ke-1V dan V di Menes dengan terpilih kembali KH. Uwes

Abu Bakar menjadi ketua umum untuk periode berikutnya.

Tahun 1942, dengan meletusnya perang di Asia Timur dan masuknya

Jepang untuk menghadapi Belanda dan menduduki Indonesia. MA pada saat itu

berkonsentrasi untuk melakukan konsolidasi terhadap pengembangan dan

penguatan solidaritas umat Islam. Setelah itu para tokoh MA berpartisipasi

membuat barisan kesiapsiagaan dan aktif melakukan berbagai forum pertemuan

41 Syibli Sarjaya, dkk., Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, h. 12

39

Page 50: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

50

untuk mempercepat terciptanya kemerdekaan bangsa Indonesia. Kesibukan tokoh-

tokoh MA diberbagai kegiatan sosial dan politik menyebabkan tidak bisa

melaksanakan Muktamar ke-IV di Menes pada waktunya. Baru tahun 1943,

dibawah kekuasaan Jepang, MA dapat melaksanakan Muktamar ke-VI di Menes.

Bagaimanapun, saat itu MA merupakan satu-satunya organisasi keagamaan yang

mampu melaksanakan Muktamar di bawah kontrol dan kekuasaan dan

pendudukan Jepang.

KH. Mas Abdurrahman termasuk salah satu tokoh organisasi keagamaan

yang cukup tegas menentang para pegawai pemerintah Jepang yang berusaha

memaksakan memberi hormat Sei kierei kepada Kaisar Tenno Heika dalam

berbagai persitiwa publik maupun ditempat kerja pada pagi hari.42 Hal senada

juga datang dari pendiri NU yakni KH. Hasjim Asy’ari yang menentang upacara

penghormatan kepada Kaisar, sehingga menyebabkannya ditangkap dan dipenjara

selama empat bulan.43

Kemudian, MA sebelum di jaman pemerintahan Jepang bersama-sama

organisasi lainnya bergabung dalam pembentukan MIAI (Masjlis Islam A’la

Indonesia) sebagai wadah untuk memobilisasi kaum muslim pada tahun 1935.44

Kemudian, MIAI pada kongres umat Islam Indonesia dirubah lagi menjadi

menjadi Masyumi (Majlis Syura Muslimin Indonesia) secara resmi berdiri pada

42 Banyak tokoh ulama yang menentang dipenjarakan dan mati terbunuh. KH. Mas

Abdurrahman sedang sakit parah dan tidak tampil dipublik diwaktu dilakukan operasi penangkapan oleh pemerintah Jepang. Lihat: M. Irsjad Djuwaeli, Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, h. 16

43 Howard M. Federspiel, Labirin Ideologi Muslim, Pencarian dan Pergulatan PERSIS di Era Kemunculan Negara Indonesia (1923-1957) (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, Cet: 1, 2004), h. 108-109. Selanjutnya lihat. Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional 1945-1965, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti), h. 25

44 M. Irsjad Djuwaeli, Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, h. 16

40

Page 51: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

51

tanggal 07-08 November tahun 1945 di Madrasah Muallimin Muhammadiyah

Yogyakarta sebagai satu-satunya partai politik Islam. Selain itu, Masyumi

merupakan wadah untuk memobilisasi organisasi-organisasi muslim dan

bertujuan untuk memperkuat persatuan semua organisasi Islam dalam membantu

Dai Nippon untuk kepentingan Asia Timur Raya

2. Bidang Pendidikan

Mathla’ul Anwar (MA) sejak pertama kali didirikan tahun 1916

memfokuskan gerakannya dalam bidang pendidikan Islam yang diwujudkan

melalui madrasah berpusat di Menes, dengan maksud untuk membentuk manusia

muslim yang berakhlak mulia serta menjalankan syariat Islam. Namun, pada

perkembangannya menjadi organisasi sosial kemasyarakatan yang tidak hanya

terbatas menyelenggarakan pendidikan formal, tetapi juga pendidikan nonformal

baik dakwah maupun sosial.45

Adanya kesadaran terhadap pentingnya mobilisasi umat untuk terbebas

dari keterpurukan akibat kolonialisme, maka para pendiri MA yang merupakan

Kiyai lokal Menes telah sepakat untuk menjadikan pendidikan sebagai sarana

untuk mencapai tujuan tersebut. Sistem madrasah yang berbasis kelas sebagai

alternatif terbaik bagi lembaga pendidikan yang akan dibangun. Model pendidikan

modern merupakan hal yang baru bagi komunitas Muslim Nusantara. Hal ini

mengingat model tersebut baru diperkenalkan pada dekade kedua abad ke-20

45 Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, Cet: 2, 1994),

h. 204

41

Page 52: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

52

ketika sekolah/madrasah sejenis didirikan di beberapa tempat seperti sekolah

Adabiyah di Padang serta Manba’ul Ulum di Solo.46

Aplikasi model pendidikan Islam ini merupakan terobosan sekaligus

keberanian yang luar biasa karena masyarakat Muslim saat itu telah lama

diyakinkan bahwa model-model seperti pangajian di musholla, langgar, surau dan

pesantren47 merupakan model pendidikan yang paling sesuai dengan ajaran

agama Islam. Terkait dengan MA, tentunya patut dicatat secara khusus, yang

justru pengelola model pendidikan lama tersebut. Hal ini tidak lepas dari sikap

terbuka mereka akan gagasan-gagasan baru yang lebih tepat seperti terlihat dari

pernyataan salah seorang tokoh pendiri, KH. Muhammad Sholeh menyatakan

bahwa, dirinya bukan hanya tidak mampu mengelola lembaga pendidikan tersebut

tetapi juga tidak mengenalnya dengan baik. Oleh karena itu, lembaga ini harus

diserahkan kepada seseorang (Mas Abdurrahman) yang mengetahui dan mampu

mengelola lembaga pendidikan baru tersebut.

Menurut Zamakhsyari Dhofier, bahwa pesantren pada perkembangannya

dari sistem tradisional ke sistem modern, maka proses transformasi pendidikan

pesantren menjadi tiga pola: pertama, pola tradisional, kedua, pola transisional,

ketiga, pola modern. Trasformasi ini terjadi karena ada di antara pesantren

46Didin Nurul Rosidin, Quo Vadis Mathla’ul Anwar, Makalah disampaikan pada

Rakernas Mathla’ul Anwar di Batam, 7-9 Juli 2007, h. 2-3. Selanjutnya lihat. M. C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern !912- 2008 (Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, Cet: II, 2009), h. 366-367

47 Pesantren berasal dari kata santri yang diawali dengan kata pe dan diakhiri kata an, yang berarti tempat tinggal para santri. Pengertian ini menggambarkan bahwa, pesantren dalam penyelenggaraan proses belajar mengajar menyediakan asrama untuk tempat tinggal para santrinya. Namun bukan berarti setiap lembaga pendidikan yang menyediakan asrama bagi peserta didiknya dapat dikategorikan sebagai pesantren. Lihat. Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai (Jakarta: LP3S, 1985), h. 14

42

Page 53: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

53

tradisional yang cenderung mengadaptasi sistem modern, sementara yang lainnya

tetap mempertahankan nilai-nilai tradisional.48

Tekad untuk melakukan perubahan pada umat lewat modernisasi sistem

pendidikan Islam pada MA selanjutnya disebarkan pula ke wilayah lain di luar

Menes bahkan di seluruh daerah Banten. Para aktifis dan tokoh pendidikan MA di

Menes bekerjasama dengan warga lokal atau migran asal Banten mendirikan

madrasah-madrasah modern sekaligus menjadikannya sebagai cabang madrasah

pusat MA. Hanya dalam jangka 20 tahun, MA telah memiliki lebih dari 40

madrasah cabang yang tersebar di wilayah Banten, Bogor dan Lampung. Seperti

halnya Hayatul Qulub di Majalengka, gerakan pembaharuan pendidikan ini

memfokuskan pada masyarakat dan wilayah pendesaan sehingga gerakan ini

termasuk pada kategori gerakan berbasis desa. Tujuan MA terhadap gerakan

berbasis desa pada dasarnya untuk memberikan akses atau kesempatan yang

sebanyak-banyaknya bagi seluruh warga negara untuk mengenyam pendidikan.

Sehingga dengan demikian, MA membuka sekolah-sekolah dan madrasah-

madrasah formal maupun informal.49

Tahun 1929, MA telah berhasil mendirikan sekolah khusus wanita yang

dipimpin oleh Ny. Hj. Zaenab (Putri sulung KH. Mohammad Entol Yasin).

Tentunya adanya madrasah khusus wanita MA membuktikan komitmennya

bahwa pendidikan sangat penting. Sebagai pelajaran tambahan bagi para guru

wanita dan pria, maka pada setiap hari kamis dilangsungkan studi umum di masjid

Soreang Menes dibawah bimbingan KH. Mas Abdurrahman.

48Abuddin Nata, ed., Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta: PT Grasindo, 2001), h. 129-130

49 Wawancara Pribadi dengan Mohammad Zen, Ciputat, 17 Mei 2010.

43

Page 54: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

54

Kemudian tahun 1951 madrasah MA mengalami kemajuan dan

perkembangan yang signifikan. Karena secara kuantitas, madrasah MA tercatat

sebanyak 100 unit yang tersebar didaerah Banten, Lampung, Palembang, Bogor

dan Karawang. Pada tanggal 17 Juli tahun 1951, Menteri Pendidikan dan

Kebudayaan dengan surat keputusan nomor: 17737/CV memutuskan bahwa

Madrasah Mathla’ul Anwar (MA) mendapat pengakuan kesamaan derajat

terhadap ijasahnya. Kemudian tanggal 28 Maret tahun 1959 Kementerian

Kehakiman Republik Indonesia dengan surat keputusan nomor; JA.5/6/15

menyatakan MA sebagai organisasi yang berbadan hukum yang diakui oleh

Negara Republik Indonesia.50

Selanjutnya, semangat modernisasi sistem pendidikan MA bertambah

dengan memasukkan kurikulum umum dengan diperkenalkannya beberapa materi

pelajaran seperti ilmu bumi, ilmu ukur dan lain-lain sejak kendali pendidikan MA

masih ditangan kiyai Mas Abdurrahman. Usaha ini oleh KH. Uwes Abu Bakar

kemudian dipertahankan pada saat menerima aturan pemerintah Indonesia yang

menetapkan jenjang sekolah/madrasah menjadi SD (enam tahun), MTs (tiga

tahun), Madrasah Aliyah (tiga tahun) dan perguruan tinggi. Kiyai Uwes juga

menerima aturan untuk memasukkan materi-materi umum lainnya termasuk

bahasa Inggris dalam kurikulum madrasah. Bahkan, kiyai Uwes berinisiatif untuk

mendirikan Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang pertama di wilayah

50 Selain MA, ada sepuluh organisasi lainnya yang mendapat pengakuan yang sama

antara lain; Ma’arif Nahdhatul Ulama, Muhammadiyah, darul Ulum Majalengka (sekarang PUI), Daru Dakwah Islamiyah Sulawesi, Darunnajah NTB, Al-Ittihadyah Sumatera, Al-Wasliah Sumatera Utara, Al-Hidayah Kalimantan dan Thawalib Sumatera Barat. Lihat. Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006), h. 51

44

Page 55: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

55

Pandeglang dimana sebagian besar materi pengajarannya justru materi-materi

umum sebelum kemudian sekolah ini berubah menjadi Pendidikan Guru Agama

Pertama (PGAP). Ketika Departemen Agama (sekarang Kemenag) meluncurkan

program Madrasah Wajib Belajar (MWB) untuk mengintensifikasi pengajaran

materi umum pada siswa madrasah, MA termasuk organisasi yang paling

mendukung dengan menyediakan seluruh madrasahnya sebagai tempat aplikasi

program tersebut.51

Kewajiban untuk mengadopsi kurikulum umum yang ditetapkan

pemerintah terhadap MA, justru menimbulkan keprihatinan di kalangan beberapa

pendidik MA tentang hilangnya kekhasan karakter pendidikan MA. Pengadopsian

mata pelajaran tersebut sebagai hasil dari kebijakan pemerintah yang baru di

bidang pendidikan terhadap sekolah yang harus memberikan mata pelajaran yang

bersifat umum. Padahal tidak semua pelajaran yang bersifat sekuler itu baru, MA

sebelumnya juga mempelajari Bahasa Indonesia, aritmetika, sejarah dunia,

geografi, pelajaran menulis huruf latin, IPA, tetapi sebagai bahasa pengantarnya

menggunakan bahasa Arab.

Salah satu pelajaran yang paling kontroversial adalah mata pelajaran

Bahasa Inggris yang dinilai tidak sesuai dengan ajaran agama Islam, sedangkan

mata pelajaran Bahasa Arab adalah bahasa Islam. Selain Bahasa Inggris tidak

dianggap tidak cocok juga sebagai salah satu bentuk penjajahan terhadap agama

Islam. Bahkan untuk menunjukan ketidaksetujuannya setiap kali waktunya

51 Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul

Anwar dari Tahun 1916-1998,”, h. 60

45

Page 56: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

56

pelajaran Bahasa Inggris para siswa dan guru MA melakukan pemboikotan (walk

out) dari kelas masing-masing.

Kemudian tahun 1956 MA mengadakan kongres ke-X di Menes dan

menyepakati untuk mengajukan pernyataan yang meminta pemerintah untuk

mengkaji kembali kebijakan tentang mata pelajaran agama sebagai pelajaran

pilihan atau utama. Respon pemerintah yang lambat dalam merevisi kebijakan

tentang pelajaran agama disekolah MA, selanjutnya sebagai wujud nyatanya

dengan pendirian SMPI (Sekolah Menengah Pertama Islam).

Tahun 1961 MA memiliki 3000 madrasah yang terdaftar di Departemen

Agama. Secara kuantitas organisasi pendidikan Islam yang bergabung dengan

MA, seperti, YPI Banten, Nurul Falah di Petir Serang, Yayasan Ihsaniyah Tegal,

Yayasan Al-Iman Di Kebumen atau YPI Jawa Tengah dan Nurul Islam di Palu

Sulawesi Utara menjadi cukup banyak. Perkembangan selanjutnya, pada tahun

1963 ketua umum MA mendapat undangan menjadi tamu kehormatan menghadiri

Muktamar Rabithah Alam Islami. Pertemuan ini menyatakan MA menjadi salah

satu organisasi Islam di Indonesia yang mendapat kehormatan dan memperoleh

bantuan material untuk pengembangan organisasinya. Kemudian pada saat yang

sama di Mekkah pula berhasil mendirikan perwakilannya, yang dipimpin oleh

KH. Abdul Jalil Al-Mugaddasy. Sementara itu perwakilan MA di Jeddah

dipimpin oleh Syeh Abdul Malik.

Pada perkembangan selanjutnya, bila dilihat pendidikan MA dengan

pendidikan lainnya tidak ada perbedaan yang sigifikan yang menjadi ciri khas

MA. Padahal pendidikan madrasah MA sebelumnya telah dikenal dan banyak

46

Page 57: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

57

mencetak ulama-ulama atau intelektual Islam dengan menggunakan metode

khusus pelajaran agama. Tetapi, pengadopsian kurikulum pemerintah disatu sisi

menurunkan mutu pendidikan madrasah MA sebagai pencetak ulama.

Terjadinya perpecahan di internal MA berakibat terhadap pendirian

madrasah-madrasah sempalan atau pecahan seperti Maslahul Anwar yang

didirikan oleh Kyai Junaedi, putra Kyai Yasin, di Kaduhauk yang terpisah dari

struktur madrasah MA. Kemunculan madrasah ini merupakan titik mula

munculnya madrasah-madrasah baru baik itu di pusat MA (Menes) maupun di

beberapa wilayah/cabang tertentu seperti Al-Ma’arif sebelum kemudian berubah

menjadi Ahlussunnah Wal Jama’ah pada akhir tahun 1970-an, Anwarul Hidayah,

Malnu, Malinu dan Nurul Amal.52

Kemunculan madrasah-madrasah baru tersebut merupakan akibat dari

adanya perbedaan persepsi dan kepentingan berbagai kelompok elit MA.

Misalnya, pendirian madrasah Al-Ma’arif yang diprakarsai oleh KH. Abdul Latif,

KH. Asrori dan KH. Hamdani merupakan akibat dari perbedaan orientasi politik

antara apakah harus mempertahankan ikatan politik dengan Partai NU atau

Masyumi. Selain karena perbedaan afiliasi politik, penolakan para Kyai senior

terhadap upaya modernisasi sekolah dengan memasukkan materi-materi umum,

khususnya Bahasa Inggris, mendorong para Kyai (tradisionalis) dan pengikutnya

kelua dari madrasah MA. Suatu hal yang menarik dari peristiwa ini adalah

bagaimana madrasah tidak hanya berfungsi sebagai tempat menimba ilmu

pengetahuan dari guru ke murid tetapi juga menjadi salah satu simbol identitas

52 Wawancara Pribadi dengan Asep Saepudin Jahar, Ciputat, 17 Mei 2010.

47

Page 58: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

58

politik sekaligus alat memobilisasi masa pengikut. Hal yang tidak jauh berbeda

ketika pada tahun 1980-an dan 1990-an ketika muncul lagi madrasah-madrasah

baru seperti al-Ishlah, Al-Jannah dan lain-lain.53

Hingga tahun 1985, lembaga pendidikan yang didirikan oleh MA,

memiliki 4.706 unit Madrasah Ibtidaiah, 737 buah Madrasah Tsanawiyah, 311 buah

Madrasah Aliyah, dan 771 unit pondok pesantren. Jumlah siswa diseluruh lembaga

pendidikan tersebut di atas tercatat sebanyak 344.614 orang. 54 Kemudian tahun

2010, MA memiliki sekitar 6000 madrasah yang terdiri dari TK, Tsanawiyah/SMPI,

Aliyah/SMA diseluruh Indonesia. Disamping itu, MA memiliki satu Perguruan Tinggi

yakni Universitas Mathla’ul Anwar (UNMA) yang berada diatas tanah seluas 7 Ha,

dilengkapi dengan asrama dan pondok pesantren. Peresmiannya dilakukan oleh wakil

Presiden RI Tri Sutrisno tahun 1993 bertempat di Cikaliung Menes Pandeglang-

Banten. Sebagai lembaga penujang dibuat Lembaga Konsultasi dan Bantuan Hukum

(LKBH), Lembaga Pengembangan Koperasi dan Lembaga Bimbingan Haji dan

Umroh 55

C. Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar

1. Era Orde Lama

Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, dan Masyumi

selain memiliki anggota perorangan juga organisasi diantaranya Muhammadiyah,

NU, Perserikatan Ummat Islam, PUSA (Persatuan Ummat Islam, 1949-1953), Al-

53 Wawancara Pribadi dengan KH. Wahid Sahari, Menes, 07 Agustus 2010. 54 Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, h. 205 55 Wawancara Pribadi dengan Mohammad Zen.

48

Page 59: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

59

Jamiyatul Washliyah, Al-Ittihadiyah (Sumatera Utara-1947), Persis (Persatuan

Islam, Bandung-1948), Al-Irsyad (Jakarta-1950)56 dan Matha’ul Anwar (MA).57

Tahun 1945-1950, MA beserta segenap anggota ikut serta dalam

perjuangan melawan Belanda yang berusaha untuk menjajah kembali negara dan

bangsa Indonesia. Keterlibatan MA secara organisasi maupun anggota yang ikut

berjuang dalam mengangkat senjata menjadi anggota Hizbullah dan anggota

badan kelaskaran-kelaskaran lainnya. Juga masuk dalam struktural pemerintahan

menjadi Asisten Wedana (camat) seperti KE. Ismail (Sekretaris Pengurus Besar

Mathla’ul Anwar pertama periode 1936-1939) kemudian diangkat menjadi

Wedana Menes dan KH. A. Shidiq (Asisten Wedana Menes). Disamping itu,

beberapa Pemuda MA yang gugur dalam perang kemerdekaan sebagai pahlawan

bangsa antara lain Kiyai Abeh Habri (Putra KH. Mas Abdurrahman).58

Kemudian pada masa pemerintahan Orde Lama, partisipasi MA dalam

kancah politik terlihat misalnya pada tahun 1950 dimana Ketua Umum atau

Pengurus Besar MA (PB MA) KH. Uwes Abu Bakar menjadi anggota fraksi

Masyumi. Keterlibatan MA dengan Masyumi telah memposisikannya sebagai

organisasi Islam dalam konstituante untuk memperjuangkan Islam sebagai

falsafah ideologi negara Indonesia setelah kemerdekaan. Partisipasi politik MA

secara struktural ini diambil sebagai strategi untuk menentukan arah kebijakan

yang menyangkut kepentingan ummat.

56 Pramono U. Tanthowi, Kebangkitan Politik Kaum Santri, Islam dan Demokrasi di

Indonesia, 1990-2000, h. 41-42 57 M. Irsyad Djuwaeli, Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, h. 17 58 Wawancara Pribadi dengan Mohammad Idjen, Menes, 03 Agustus 2010.

49

Page 60: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

60

Perdebatan dalam merumuskan dasar negara antara kelompok Islamis

dan kelompok nasionalis sekuler dalam BPUPKI yang dibentuk tanggal 09 April

tahun 1945 merupakan realisasi dari pemerintahan Jepang untuk memberikan

kemerdekaan Indonesia yang diumumkan oleh Perdana Menteri Koiso pada 09

September 1944. Anggota BPUPKI sebelumnya berjumlah 62 orang kemudian

bertambah enam orang menjadi 68, yang terdiri dari 15 mewakili dari kelompok

Islam politik59 dan kelompok nasionalis sekuler60 secara tegas menolak Islam

sebagai dasar negara.61

Menurut Ali Nurdin, bahwa keterlibatan MA dalam politik praktis hanya

bersifat situasional, secara organisasi adalah independen dan non-afiliasi. Hal itu

dipertegas dalam AD/ART MA.62 Pernyataan independensi MA ini tertuang

dalam keputusan-keputusan Muktamar ke-VII, VIII tahun 1951-1952 di Bogor,

dan Muktamar IX tahun 1953 di Bandung dan Muktamar X tahun 1956 dan XI

tahun 1966 di Menes.63

Kemudian, Pemilihan Umum (pemilu) tahun 1955 KH. Uwes Abu Bakar

terpilih menjadi anggota DPR RI yang sebelumnya sebagai anggota DPRD

Provinsi Jawa Barat dan DPRD Kabupaten Pandeglang, bersama kiyai Muslim

Abdurrahman. Selain itu, KH. Uwes Abu Bakar juga pernah ditawari menjadi

59 Perwakilan dari kalangan Islam politik terdiri dari: KH. Ahmad Sanusi dan KH. Abdul

Halim (PUI), K. Bagus Hadikusumo, KH. Mas Masjkur dan Ambdul Kahar Muzakar (Muhammadiyah), KH. A. Wahid Hasjim, KH. Masjkur (NU), Sukiman Wirjisanjojo (PII sebelum perang), Abi Kusno Cokrosojoso (PSII), Agus Salim (Penyadar senelum perang).

60 Perwakilan nasionalis sekuler dalam BPUPKI terdiri dari Dr. Radjiman, Soekarno, M. Hatta. Prof. Soepomo, Muhammad Yamin, Wongsonegoro, Santono, RP Suroso, Dr. Buntaran Martoatmojo.

61 Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” h. 41-42. 62 Wawancara Pribadi dengan Ali Nurdin, Ciputat, 20 Mei 2010. 63 Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” h. 72

50

Page 61: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

61

Menteri Agama pada masa Orde Lama, namun ditolaknya dengan alasan ingin

konsentrasi terhadap pengembangan dan kemajuan MA.64

Partisipasi politik MA melalui partai politik pernah mengalami

kevakuman. Hingga awal tahun 1950 Masyumi masih merupakan kekuatan yang

dominan di parlemen ketika Presiden Soekarno menunjuk formatur kabinet dari

Masyumi sebanyak dua kali berturut-turut. Salah satu peristiwa penyerahan

formartur kepada Sukiman tanpa meminta pesetujuan Natsir sebagai ketua

eksekutif Masyumi. Tindakan Sukiman tetap melaksanakan tugas sebagai

formatur tanpa persetujuan eksekutif partai Masyumi tersebut dianggap sebagai

tindakan pelanggaran terhadap partai. Peristiwa ini menunjukkan bahwa dalam

tubuh Masyumi sendiri terjadi perebutan pengaruh politis Muhammadiyah dan

Nahdhatul Ulama yang kemudian dimanfaatkan oleh Presidien Soekarno.

Selanjutnya, Presiden Soekarno pada akhir tahun 1960 menerbitkan Keppres

Nomor 200/1960 tanggal 15 Agustus 1960, yang isinya membubarkan Masyumi

dan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Namun pelaksanaan pembubaran itu harus

dilakukan sendiri oleh Masyumi dan PSI. Jika dalam tempoh seratus hari kedua

partai itu tidak membubarkan diri, maka partai itu akan dinyatakan sebagai partai

terlarang. Keputusan tersebut kemudian sebagai salah satu pemicu terjadinya

peritiwa pemberontakan yang dilakukan oleh PRRI dan Permesta di Sumatera

Barat dan Sulawesi Utara akibat terjadinya dominasi kekuasaan antara Jawa

(Jakarta) dan non Jawa.65

64 Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” h. 70 65 Syibli Sarjaya, dkk., Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, h. 21

51

Page 62: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

62

Kedekatan politik MA ke Masyumi semakin kental manakala beberapa

tokoh MA menjadi pendukung sikap oposisi Masyumi terhadap beberapa

kebijakan Sukarno. Tidak heran jika setelah Masyumi untuk membubarkan diri

pada tahun 1960, MA mendapat tekanan dari kelompok pro-Sukarno. Akibatnya,

MA mengubah simbolnya dengan tujuan untuk menjelaskan tidak adanya

hubungan yang khusus MA dengan Masyumi. Tidak cukup dengan itu, MA

kemudian bergabung dengan pembentukan Dewan Dakwah Islam Indonesia

(DDII)66 dan Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar)67 yang

bertujuan untuk merespon terjadinya peristiwa Gestapu (Gerakan Tiga puluh

September) yang kemudian Sekber menjadi Partai Golkar.68

2. Era Orde Baru

Mathla’ul Anwar (MA) seperti halnya organisasi muslim lainnya dibawah

Orde Baru, mengalami perubahan yang hebat, baik dari dimensi internal maupun

pengaruh langsung atau tidak langsung kebijakan Orde Baru. Berdasarkan fakta

ini, perjalanan MA dapat dibagi kepada dua periode yang penting. Pertama, untuk

20 tahun pertama pemerintahan Orde Baru ditandai oleh tumbuhnya kekuatan MA

penentang melawan pemerintah. Kepemimpinan Pengurus Besar Mathla’ul Anwar

(PBMA) dibawah KH. Uwes Abu Bakar ayng dilanjutkan oleh Nafirin Hadi yang

radikal secara rutin menentang kebijakan Orde Baru-Soeharto.69 Kedua, ditahun-

66 DDII adalah organisasi keagamaan independen yang berdiri tahun 1967 di Jakarta,

fokus gerakannya adalah dakwah Islam yang telah berjasa mencetak dan mengirim para da’i keseluruh pelosok Indonesia. Lihat. R. William Liddle, Islam, Politik dan Modernisasi (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, Cet: 1, 1997), h. 105

67 Wawancara Pribadi dengan Mohammad Zen. 68 Arif Yulianto, Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca Orde Baru Ditengah

Pusaran Demokrasi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet: 1, 2002), h. 252 69 Reaksi menentang kebijakan Orde Baru seperti, pernyataan kelompok muslim radikal

sebagai Islam phobia, politik Islam secara umum memburuk oleh intervensi militer, menolak

52

Page 63: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

63

tahun terakhir pemerintahan Soeharto, MA mengadopsi pendekatan politik yang

lebih akomodatif setelah pemimpin PBMA yang secara politis lebih pragmatis dan

moderat mengambil alih kekuasaan kepemimpinan pengurus besar organisasi.

Mengawali pemerintahan Orde Baru, sesuai dengan rencana pada bulan

September tahun 1966, MA dapat melaksanakan Muktamar ke-XI dan Perayaan

Ulang Tahun ke-50 di Menes, MA pada waktu itu satu-satunya organisasi yang

bisa melaksanakan Muktamar dalam situasi politik yang tidak kondusif baik

ekonomi maupun politik. Muktamar MA kali ini tidak dihadiri oleh sejumlah

Dewan Pengurus Daerah (DPD) karena situasi ekonomi dan komunikasi yang

kurang, menyebabkan peserta muktamar tidak mencapai qourum sebagaimana

diatur dalam AD/ART dan akhirnya disepakati dan diputuskan sebagai Muktamar

Luar Biasa (MLB).70

Hasil Muktamar menghasilkan beberapa keputusan yang menjadi

fenomena baru yang kemudian menjadi arah penentu dinamika perkembangan

MA dimasa depan. Para muktamirin secara mayoritas menyetujui untuk

menambahkan dua lembaga baru, Dewan Pelindung dan Dewan Penasehat. Posisi

Dewan Pelindung dipegang oleh Adam Malik (Menteri Luar Negeri) dan Dewan

Penasehat oleh BM Diah (Menteri Penerangan) dan Baharsan ditunjuk sebagai

anggota Dewan Pelindung.

Lembaga penunjang lainnya seperti, Majlis Fatwa Wattabligh, Majlis

Pendidikan, Bagian Keorganisasian, dan terakhir Bagian Kepanduan (Pramuka).

merehabilitasi Masyumi, penolakan terhadap undang-undang pernikahan tahun 1973 dan penyatuan sistem pendidikan nasional dengan mengharuskan penggunaan satu kurikulum dan lainnya sebagainya.

70 Syibli Sarjaya, dkk., Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, h. 31-32

53

Page 64: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

64

Sedangkan M. Nur Atmadibrata dan tokoh-tokoh terpelajar MA (Banten) sebagai

Anggota Dewan Penasehat, masuknya tokoh politik “bukan MA” dalam struktur

organisasi MA disatu sisi dinilai sebagai strategi organisasi untuk mendapat akses

dalam pencarian dana operasional, sedangkan sisi lain disebut sebagai “periode

bulan madu” dalam membangun hubungan mutual antara pemerintah dan MA

yang berjuang bersama dalam meruntuhkan pemerintahan Seokarno dan melawan

kekuatan komunis.71

MA sebagai organisasi masyarakat (ormas) diawal pemerintahan Orde

Baru berpartisipasi untuk menciptakan kesejahteraan dan kemajuan bangsa

Indonesia. Sikap MA terhadap Orde Baru kemudian lebih akrab atau akomodatif

dengan harapan Ode Baru dapat menyetujui untuk bisa merehabilitasi Masyumi

yang akhirnya ditolak oleh Soeharto. Para tokoh MA dan organisasi keagamaan

lainnya membentuk Badan Koordinasi Amal Muslimin Indonesia (BKAMI).

Tahun 1967, tokoh MA dan sejumlah bekas pemimpin Masyumi atau ormas

keagamaan lainnya bergabung mendirikan Partai Muslimin Indonesia (Parmusi)

sebagai wadah aspirasi ormas-ormas Islam seperti ; Muhammadiyah, Persis, PUI,

Al-Jamiatul Washliyah, Mathla’ul Anwar dan lain sebagainya.

Hubungan antara Parmusi dan MA mendorong Ketua Umum KH. Uwes

Abu Bakar dan tokoh-tokoh lainnya secara otomatis tarikan politiknya terbawa

dalam organisasi. Bahkan ketika itu, ketua umum menginstruksikan semua Dewan

Pengurus baik ditingkat provinsi maupun daerah pengurus MA untuk mendukung

dan mendirikan Dewan-Dewan Parmusi lokal diwilayah masing-masing. Dalam

71 Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul

Anwar dari Tahun 1916-1998,”, h. 77

54

Page 65: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

65

waktu singkat, perkembangan cabang-cabang Parmusi diberbagai wilayah meluas,

dan kemudian MA menjadi bagian dari Parmusi.72

Kebijakan KH. Uwes Abu Bakar dalam membawa organisasi MA kedalam

afiliasi politik Parmusi dinilai telah menyalahi Anggaran Dasar dan Anggaran

Rumah Tangga (AD/ART) serta menghianati Khittah MA (sebagaimana dibahas

sebelumnya diatas) adalah organisasi yang independen non afiliasi politik.

Kebijakan KH. Uwes Abu Bakar terhadap organisasi menimbulkan reaksi

perlawanan seperti Komari Saleh SG yang menjabat sekretaris PBMA dan

koordinator Jawa Tengah bersama pengurus dan warga MA diberbagai provinsi

dan daerah untuk menuntut kembali ditariknya instruksi afiliasi politiknya di

Parmusi. Kemudian untuk menjaga kemaslahatan (kebaikan) organisasi MA, KH.

Uwes Abu Bakar menginstruksikan untuk kedua kalinya keseluruh pengurus MA

tidak harus mendukung Parmusi diatas kepentingan organisasi. Selanjutnya,

warga MA dibebaskan pilihan politiknya yang mereka kehendaki, dan KH. Uwes

Abu Bakar meminta maaf atas kekhilafannya baik secara tertulis maupun lisan

diseluruh pengurus MA. Dengan keputusan tersebut, MA memutuskan

hubungannya dengan Parmusi.73 Tahun 1973, Partai Parmusi kemudian

digabungkan atau difusikan oleh Presiden Soeharto menjadi Partai Persatuan

Pembangunan (PPP) sebagai wadah aspirasi politik Islam.74 Yang kemudian pada

perjalanannya MA pada kepemimpinan ketua umum Nafsirin Hadi dan tokoh-

72 Wawancara Pribadi dengan Ali Nurdin. 73 Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul

Anwar dari Tahun 1916-1998,”, h. 77. Selanjutnya lihat. Syibli Sarjaya dkk, Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, h. 34

74 Musa Kazhim dan Alfian Hamzah, Lima Partai Islam Dalam Timbangan, Analis dan Prospek (Bandung: Pustaka Hidayah, Cet: 1, 1999), h. 96

55

Page 66: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

66

tokoh lainya di Menes seperti Moh. Idjen dan KH. Abdul Wahid Sahari

memperlihatkan kecenderungan politiknya di partai PPP.75

Pada bulan September tahun 1973, KH. Uwes Abu Bakar berpulang

kerahmatullah secara mendadak. Selanjutnya, MA pada perkembangannya

memiliki orientasi politik MA yang baru dan semakin radikal. Sifat pluralistik

MA, akhirnya hilang setelah diganti oleh dua pemimpin yang terkenal sangat

radikal, yakni Muslim Abdurrahman yang pernah dipenjara beberapa bulan pada

masa Soekarno karena kedekatannya dengan pemipin DI/TII, dan Nafsirin Hadi.

Setelah tidak ada pemimpin MA yang moderat yakni KH. Uwes Abu Bakar, untuk

mengisi posisi Ketua Umum Pengurus Besar MA, selanjutnya dilaksanakan Rapat

Kerja Luar Biasa di Bandung. Pada kesempatan tersebut, memilih dan

menetapkan Muslim Abdurrahman sebagai ketua umum yang sebelumnya

menjabat ketua satu, di Perguruan Madrasah MA Pusat (Menes) pada kongres

1966 di Menes, kepemimpinannya bertahan selama setahun karena meninggal

dunia.

Kemudian, Nafsirin Hadi menggantikan posisi Muslim Abdurrahman

sebagai ketua umum. Menurut Didin Nurul Rosidin, bahwa Nafsirin Hadi dikenal

sebagai figur yang kuat mendukung menerapkan hukum Islam dan menolak

mengamalkan ideologi Pancasila, menurutnya, tidak saja dilarang oleh agama

tetapi membicarakannya juga haram.76

Tahun 1975, MA melaksanakan Muktamar ke-XII di Asrama Haji

Cempaka Putih Jakarta Pusat yang dibuka langsung oleh Menteri Agama RI, Prof.

75 Wawancara Pribadi dengan Ali Nurdin. 76 Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul

Anwar dari Tahun 1916-1998,”, h. 84-86

56

Page 67: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

67

Dr. Mukti Ali. Hasil Muktamar Nafsirin Hadi terpilih sebagai ketua umum

PBMA. Terpilihnya Nafsirin Hadi sebagai tokoh penentang ideologi Pancasila

menghasilkan keputusan yang paradoks. Pertama, masuknya Pancasila menjadi

salah satu ideologi MA dalam AD/ART. Kedua, kuatnya intervensi pemerintah

dan militer dalam mengontrol MA. Ketiga, adanya pengrekrutan tokoh-tokoh MA

seperti M. Irsyad Djuwaeli dan yang lainnya menjadi pegawai pemerintah,

sedangkan Entol Burhani dan KH. Uyeh Balukiya merupakan aktor utama

dibelakang inklusi Pancasila sebagai dasar idelogi organisasi. Keempat, adalah

dorongan kuat dari BM Diah yang memiliki posisi sebagai anggota Dewan

Pengawas MA pertama yang diangkat pada kongres tahun1966.77

Keputusan tersebut diatas, menimbulkan reaksi kekecewaan para peserta

Muktamar yang kontra (tidak setuju) dengan melakukan walk out (keluar) dan

hanya meninggalkan sedikit peserta yang tersisa. Muktamar MA ke-XII selesai

tanpa mengadakan resepsi penutupan. Disamping itu, peserta Muktamar

menyepakati dihilangkannya badan-badan otonom dan bagian-bagian susunan

pengurus hasil Muktamar ke-XI dan hanya bidang Majlis Fatwa yang tersisa.

Sedangkan untuk para ketua terpilih menetapkan M. Irsyad Djuwaeli sebagai

Sekretaris Umum, Moh. Rifa’I Sekretaris 1, Moh. Idjen Sekretaris II, dan E.

Lukman Hakim Sekretaris III. Untuk jabatan bendahara ditetapkan BM. Diah

yang waktu itu dinyatakan sebagai pembantu penyandang dana untuk kegiatan

kesekretariatan. Damanhuri, M. Nahid Abdurrahman dan Hasan Muslihat sebagai

pembantu.

77 Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul

Anwar dari Tahun 1916-1998,”, h. 84

57

Page 68: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

68

Suksesi penerimaan Pancasila yang dimasukan kedalam AD/ART MA

diikuti oleh perekrutan secara paksa wakil-wakil pemerintahan dalam

kepengurusan pusat MA. BM Diah yang berperan aktif dalam memaksa peserta

kongres untuk menerima beberapa orang seperti Yahya Nasution dan H.

Burhanuddin yang keduannya orang-orang pemerintah atau Golkar. Inklusifisasi

Pancasila kedalam AR/ART MA tidak dapat memperlemah para anggota MA.

Pertama, posisi tertinggi MA dipegang oleh orang-orang (Muslim Abdurrahman

dan Nafsirin Hadi) radikal sebagaimana diterangkan diatas. Kedua, tumbuhnya

radikalisme pandangan politik MA dengan datangnya guru-guru muda MA (tahun

1950-1960-an) yang merupakan para aktivis seperti, Boman Rukmantara, Saleh

As’ad (HMI), Abdul Salam Panji Gumilang (al-Zaitun) (GPI) dan Hudri Halim

(PII) mereka seringkali memobilisasi siswa dan pemuda MA menentang

kebijakan-kebijakan Orde Baru sebagai “poros utama anti Orde Baru, Golkar dan

Pancasila” di Menes.

Kemudian, sikap oposisi para pemimpin MA terhadap Orde Baru

berdampak luar biasa pada eksistensi dan marginalisasi organisasi oleh

pemerintah, termasuk kegagalan untuk menyelenggarakan Muktamar ke-XIII di

Lampung tahun 1980. Hal tersebut terjadi karena. Pertama, kurangnya komunikasi

antara pengurus MA di Provinsi dan Daerah. Kedua, banyaknya pengurus PBMA

yang berpulang kerahmatullah, seperti KH. A. Syahroni (ketua I), KH. M. Kholid

(ketua IV), KH. Damanhuri (anggota) dan H. Yahya Nasution (ketua III) yang

mengundurkan diri dari kepengurusan. Ketiga, adanya perbedaan pemahaman

keagamaan dan politik (Islam dan negara) di elit pengurus PBMA, sehingga

58

Page 69: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

69

menyebabkan pemerintah Orde Baru tidak memberikan izin penyelenggaraan

Muktamar di Lampung. Kecuali, MA bersedia bergabung bersama Golkar dengan

imbalan akan diberikan dana sebesar Rp. 250 Juta, namun dana yang dijanjikan

pemerintah ditolak.78

Hal tersebut, menimbulkan konflik diinternal MA yang puncaknya terjadi

pemecatan M. Irsyad Djuawaeli sebagai Sekretaris Umum PBMA dan mengalami

pergantian sekjen sampai tiga kali antara lain oleh H. Nur Sanusi (Lampung) dan

H. Abdul Sahari (Menes). Karena dicopot dari posisinya di organisasi, M. Irsyad

Djuwaeli79 memobilisasi massa pendukung dari tingkat daerah dan provinsi akar

rumput (bawah) untuk menentang kepemimpinan ketua umum Nafsirin Hadi.

M. Irsyad Djuweli, yang mendapat dukungan penguasa Orde Baru untuk

melakukan “kudeta” gaya kepemimpinan radikal Nafsirin Hadi dari posisi ketua

umum PBMA. Hal tersebut selain menjadi alasan kelompok “oposisi” juga

kegagalan Nafsirin Hadi untuk melaksanakan Muktamar ke-XIII di Lampung dan

perbedaan orientasi politik PPP (Nafsirin Hadi, Moh. Idjen, H. Nur Sanusi, H.

Dhoifun Kepuh) dan Golkar (M. Irsyad Djuwaeli, Uyeh Balukiya, KH. Entol

Burhani, Imron Syuaidi), menyebabkan organisasi mengalami keadaan yang tidak

menentu (statis). Untuk menghidupkan kembali organisasi tokoh-tokoh MA yang

terdiri dari M. Irsyad Djuwaeli, KH. A. Syadli, M. Nahid Abdurrahman, H. Mubin

78 Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” h. 75 79 M. Irsyad Djuwaeli, telah aktif di Golkar sejak tahun 1970-an dan meminta dukungan

pemerintah Orde Baru dan tokoh-tokoh militer dibawah bendera GUPII seperti mantan Jenderal Alamsyah Ratu Prawiranegara (mantan Menteri Agama tahun 1978-1983) dan mantan Jenderal Ibnu Hartomo (adik Ibu Tien Soeharto) untuk melakukan “kudeta” kepemimpinan Nafsirin Hadi. Lihat. Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar dari Tahun 1916-1998,”, h. 87. Selanjutnya Lihat Syibli Sarjaya, dkk., Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, h. 36-37

59

Page 70: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

70

Arshudin, H. Chowasi Mandala dan H. Aim, mereka menemui ketua umum untuk

segera dilaksanakannya Muktamar ke-XIII, namun usulan tersebut kemudian

ditolak oleh ketua umum.

Kemudian, dibentuklah panitia yang terdiri dari M. Irsyad Djuwaeli cs

untuk mempersiapkan pelaksanaan Muktamar ke-XIII di Menes, tanpa restu dari

ketua umum Nafsirin Hadi.80 Tahun 1980, Muktamar ke-XIII berhasil

dilaksanakan di Menes dengan menetapkan KH. Entol Burhani sebagai ketua

umum baru menggantikan Nafsirin Hadi dan kembali naiknya M. Irsyad Djuwaeli

sebagai sekretaris umum. Kuatnya intervensi Orde Baru dan Militer menyebabkan

ketua umum Nafsirin Hadi dan tokoh-tokoh anti pemerintah Orde Baru tidak bisa

mengikuti acara Muktamar. 81

Tahun 1985, Muktamar MA ke-XIV di Jakarta, menetapkan M. Irsyad

Djuwaeli sebagai ketua umum terpilih menggantikan KH. Entol Burhani.

Keputusan Muktamar memutuskan untuk menerima Pancasila sebagai salah satu

asas selain Islam yang dituangkan kedalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah

Tangga (AD/ART). Keputusan tersebut menimbulkan perpecahan di internal MA

antara yang menerima dan menolak yang puncaknya terjadi pemecatan pengurus

PBMA seperti Moh. Idjen, KH, Abdul Wahid Sahari yang kemudian mendirikan

80 Sebelum Muktamar, Nafsirin Hadi telah memberikan surat keputusan kepada Entol

Burhani atas nama ketua umum dengan mandat khusus untuk mengambil langkah-langkah penting dalam persiapan Muktamar, surat itu salah satunya berisi penolakannya atas pelantikan kembali M. Irsyad Djuwaeli sebagai Sekretaris Umum PBMA dan penunjukan Muhammad Amin sebagai ketua kedua. Namun, surat tersebut diabaikan oleh M. Irsyad Djuwaeli cs. Lihat. Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar dari Tahun 1916-1998,”, h. 108

81 Penjagaan ketat yang dilakukan oleh militer di sekitar acara Muktamar ke-XIII di Menes menyebakan beberapa tokoh-tokoh MA yang di cap “pembangkang” pemerintah dicekal dan di asingkan kemudian dipecat, walaupun mereka sudah berada disekitar Menes. Tetapi, tidak diperbolehkan memasuki atau mengikuti acara Muktamar sebagaimana yang dialami oleh Nafsirin Hadi (ketua umum). Wawancara Pribadi dengan Mohammad Idjen.

60

Page 71: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

71

madrasah al-Islah yang dikelola secara independen dan keluar dari struktur

Perguruan MA-Pusat.82

Menurut Syibli Sarjaya, keputusan Muktamar XIV (1985) merupakan

keputusan paling berani dan kontroversial dalam sejarah perjalanan MA. Pertama,

penerimaan Asas Pancasila sebagai satu-satunya asas organisasi UU Keormasan

No. 81 tahun 1985.83Kedua, MA secara tegas mendeklarasikan Soeharto sebagai

”Bapak Pembangunan”.84 Ketiga, secara deklaratif mendeklarasikan dukungannya

untuk mendukung Golkar dalam pemilihan umum tahu 1987.85 Keempat,

perekrutan tokoh-tokoh Golkar seperti, Alamsyah Ratu Prawiranegara (Menteri

Agama tahun 1978-1983), Ibnu Hartomo dan Moes Joenoes menjadi Dewan

Pembina, dalam struktur kepengurusan PBMA yang secara eksklusif lebih

diutamakan adalah orang yang berkedudukan pegawai pemerintahan atau pejabat

seperti, Adam Malik dan BM. Diah yang posisi sebelumnya berada ditangan kiyai

dan tokoh “asli” MA.

Secara makro, dinamika perjalanan organisasi pada perkembangannya dan

penyebarannya menggunakan fasilitas Partai Golkar di seluruh daerah-daerah di

Indonesia. M. Irsyad Djuwaeli sebagai salah satu tokoh Partai Golkar

menginstruksikan berbagai pengurus Partai Golkar diberbagai daerah dan provinsi

untuk mendirikan cabang-cabang madrasah MA dan pengurus MA. Pertama, MA

memanfaatkan pengaruh Alamsyah Ratu Prawiranegara dalam menarik

82 Wawancara Pribadi dengan KH. Abdul Wahid Sahari. 83 Syibli Sarjaya, dkk., Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar, h. 38 84 Gelar Bapak Pembangunan merupakan bentuk apresiasi terhadap Presiden Soeharto

atas pembangunan dalam bidang sosial budaya, ekonomi dan politik. Lihat. Deliar Noer, Islam, Pancasila dan Asas Tunggal (Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1983), h. 76

85 Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar dari Tahun 1916-1998,”, h. 111

61

Page 72: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

72

pemimpin-pemimpin besar regional untuk mendukung pendirian cabang-

cabangnya didaerah mereka dengan diberikan bantuan keuangan. Kedua, MA

sebagai salah satu pendukung utama Partai Golkar, menggunakan jaringan partai

untuk mempengaruhi basis di tingkat daerah tradisionalnya untuk memperkuat

Golkar. Ketiga, adalah menggunakan jaringan Departemen Agama (sekarang

Kemenag) yang memberikan jaminan para pegawai lokal departemen tersebut

untuk membantu memperluas MA. Sedangkan untuk gedung atau kantor

sementara bergabung (MA dan Golkar) di kantor Dewan Perwakilan Daerah

Partai Golkar.86 Hal tersebut, sangat berbeda apa yang dilakukan oleh para senior

MA (Mas Abdurrahman dan KH. Entol Yasin) dalam pengembangan MA

diberbagai daerah dan provinsi dengan mengirimkan para alumni atau lulusan

madrasah MA untuk mendirikan madrasah dan cabang-cabang MA di seluruh

Indonesia.

MA pada Pemilihan Umum (pemilu) tahun 1987, sebagaimana hasil

Muktamar MA ke-XIV (1985) menyepakati untuk menyalurkan aspirasi

politiknya di Partai Golkar. Walaupun secara deklararatif tidak tertulis, tetapi MA

siap mendukung dan memenangkan Golkar. Keputusan untuk menyalurkan

aspirasi politiknya secara struktural di Partai Golkar telah memberikan

kesempatan ketua umum M. Irsyad Djuwaeli dalam Pemilu 1992 menjadi anggota

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI).87

Kemudian, pada Muktamar ke-XV tahun 1996 di Jakarta, kebijakan dan

aspirasi politik MA yang diambil tidak jauh berbeda dari sebelumnya, dimana

86 Wawancara Pribadi dengan Mohammad Zen. 87 Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” h. 78

62

Page 73: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

73

Golkar menjadi pilihan untuk menyalurkan aspirasi politiknya. Keputusan ini

diambil dipengaruhi oleh kuatnya kecenderungan ketua umum M. Irsyad Djuwaeli

sebagai fungsionaris Golkar dan untuk strategi dalam mendapatkan segala fasilitas

maupun dana material, sehigga secara pragmatis tidak sulit dalam melakukan

mobilisasi massa MA untuk kepentingannya di Golkar.88 Sedangkan, bagi mereka

yang aktif di PPP dan non-politik menolak bergabung bersama Golkar kemudian

dikucilkan dan memilih untuk tidak aktif dalam organisasi MA, bahkan sebagian

dari mereka keluar dan dipecat.89

Pada pemilu tahun 1997, dukungan diberikan lewat kampanye-kampanye

yang menggiring warga MA kepada Golkar diberbagai daerah dan provinsi.

Kampanye dilakukan selain terbuka juga terselubung dalam forum-forum seperti,

pengajian, Majlis Ta’lim, pesantren-pesantren dan madrasah-madrasah dan lain

sebagainya. Peristiwa tersebut, menandai kembalinya sikap politik yang mendua

di satu sisi MA menyatakan independen dari partai politik manapun tetapi di sisi

lain justru seperti menjadi bagian yang tak terpisahkan dari ketergantungan

Golkar.

Sejarah perjalanan MA dengan segala bentuk kemajuan dan

kemundurannya. Secara kuantitas, pada kepemimpinan M. Irsyad Djuwaeli, MA

berhasil menyebarkan pengurus di daerah dan provinsi di Indonesia. MA

sebelumnya berkembang di tiga wilayah seperti: Banten, Jawa Barat dan

Lampung. Berbagai terobosan dilakukan lewat “kendaraan Golkar” selain untuk

88 Wawancara Pribadi dengan Herman Fauzi, Menes, 14 Juni 2010 89 Diantara tokoh MA yang tidak setuju dengan kebijakan mendukung Golkar,

diantaranya KH. Abdul Wahid Sahari (Menes), Mohammad Idjen (Menes) dan tokoh-tokoh lain nya. Mereka selain melakukan penentangan dan memberikan pemahaman pada warga MA bahwa apa yang dilakukan dalam politik praktis telah menyalahi Khittah dan misi didirikannya MA.

63

Page 74: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

74

kepentingan pribadi dan kelompok, juga telah berpengaruh terhadap keberhasilan

organisasi MA dalam pembangunan Universitas Mathla’ul Anwar (UNMA),

sebagai satu-satunya milik MA di Indonesia yang berlokasi di Cikaliung Menes

tahun 1993. Lembaga-lembaga pendidikan (madrasah) yang sebelumnya

menurunkan papan nama dan aktivitasnya dapat bangkit kembali secara perlahan-

lahan, organisasi penunjang lainya mulai bangkit melakukan aktivitasnya, seperti

bangkitnya kembali organisasi pemuda melalui Generasi Muda Mathla’ul Anwar

(GEMA-MA), Muslimat Mathla’ul Anwar (MMA) dan kegiatan Majelis Fatwa.90

90 Wawancara Pribadi dengan H. A. Shihabudin, Menes, 4 Agustus 2010.

64

Page 75: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

75

BAB IV

MATHLA’UL ANWAR DALAM KONSTELASI POLITIK

NASIONAL PASCA ORDE BARU

A. Realitas Politik Mathla’ul Anwar Pasca Orde Baru

Runtuhnya rezim Orde Baru ditandai dengan mundurnya Presiden

Soeharto pada 21 Mei 1998, yang kemudian digantikan B.J. Habibi sebagai

Presiden keempat Republik Indonesia (RI), dan selanjutnya digantikan

Abdurrahman Wahid yang terpilih sebagai Presiden dalam Sidang Umum Majlis

Permusyawaratan Rakyat (SU MPR) tanggal 20 Oktober tahun 1999. Kemudian,

proses transisi ke arah demokratisasi yang lebih otentik di Indonesia yang

sebelumnya terpenjarakan selama 32 tahun rezim Soeharto.91 Perubahan politik di

Indonesia di era reformasi khususnya kebebasan ekspresi politik yang diwujudkan

dengan adanya sistem multipartai pada pemilihan umum (pemilu) tahun 1999

langsung, secara luber jurdil (jujur, adil, bebas, dan rahasia).

Selain itu, kekuasaan negara dan ideologi Pancasila di era reformasi tidak

lagi menjadi momok yang menakutkan bagi organisasi masyarakat (ormas) dan

partai politik yang sebelumnya secara ketat dikontrol oleh Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1985 Pasal 2 tentang organisasi kemasyarakatan berasaskan

Pancasila sebagai satu-satunya asas dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa

dan bernegara. Proses hegemoni ideologi Pancasila tidak hanya ditempuh melaui

cara-cara legalistik, tetapi juga melalui sistem pendidikan. Penataran P4

91 Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara Merajut Hubungan Antar

Umat., ed. Idris Thaha (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, Cet: 1, 2002), h. 20

65

Page 76: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

76

(pendidikan Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) adalah program yang

disponsori negara untuk mendidik seluruh lapisan masyarakat memahami ideologi

dan interpertasi resmi negara untuk menjamin keseragaman pemahaman Pancasila

sebagai ideologi negara.

Organisasi masyarakat (ormas) atau keagamaan merupakan salah satu

bentuk pengorganisasian masyarakat sipil yang berlandaskan pada prinsip

demokrasi, kemitraan, keswadayaan, dan partisipasi publik. Selain itu, ormas

sebagai wadah dalam menyalurkan aspirasi kepedulian, kesadaran sosial dan

politik masyarakat. Ormas-ormas nonpolitik memiliki peran penting sebagai

penengah dan jembatan untuk kepentingan antara masyarakat pada satu pihak

dengan negara pada pihak lain.

Menurut Azyumardi Azra92 dan Bachtiar Effendi93 bahwa organisasi sosial

keagamaan di era reformasi seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU),

Mathla’ul Anwar (MA), al-Washliyah, Perti, Persis, Nahdlatul Wathan, Darud-

Dakwah wal-Irsyad, al-Khairat, Hidayatullah dan lain sebagainya, mengalami

penurunan dan kehilangan daya tarik terhadap peranannya dalam merespon

masalah-masalah keumatan dan kebangsaan. Jika pada masa Orde Baru,

organisasi keagamaan atau kultural dilarang terlibat dalam politik praktis justeru

sangat besar kontribusi sosialnya seperti pembangunan madrasah, pesantren,

rumah sakit dan bidang-bidang sosial yang lainnya. Selain organisasi keagamaan

mengalami penurunan dalam bidang kultural juga terjadinya demoralisasi para elit

92 Azyumardi Azra, “Islam: Politik dan Kultural,” artikel diakses pada 12 Agustus dari

http:// www.uinjkt.ac.id/index.php/section-blog/28-artikel/834-islam-politik-dan-kultural-.pdf 93 Bachtiar Effendi, “Tokoh Agama Tak Lagi Didengar,” artikel diakses pada 12 Agustus

dari http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=47286

66

Page 77: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

77

organisasi keagamaan yang terjebak dalam kepentingan politik praktis dalam

konstelasi politik Nasional, Daerah maupun Provinsi yang menyebabkan adanya

stigmatisasi buruk terhadap eksistensi organisasi keagamaan.

Hal tersebut, sebagaimana yang terjadi secara realitas pada organisasi

Mathla’ul Anwar (MA) sebagai salah satu organisasi keagamaan atau kultural

(pendidikan, dakwah dan sosial) mengalami penurunan dalam merespon

permasalahan keumatan, kebangsaan dan kenegaraan. Terlebih, para elit MA

masih menyatakan dukungannya kepada Partai Golkar beberapa bulan setelah

lengsernya Soeharto. Karena, proses konsolidasi yang dilakukan oleh organisasi

MA terperangkap dalam skenario reformasi semu yang diperankan para elitnya.

Dimana adanya proses dualisme antara kepentingan kultural dan politik, karena

tidak ada upaya dari para elit MA untuk menarik diri dan menjaga jarak dengan

sisa-sisa kekuatan Orde Baru dan Golkar.94

Untuk menjaga independensi organisasi agar tidak terjebak pragmatisme

politik, Muktamar MA ke-XVI pada 26-30 Oktober 2001 di Bojolali, Jawa

Tengah.95 Organisasi MA menegaskan perjuangannya dalam bidang pendidikan,

dakwah dan sosial sebagai fokus gerakannya untuk meningkatkan mutu dan

94 Tahun 1998, MA mengeluarkan statemen moral untuk memaafkan dosa-dosa Soeharto

dan menghukum mereka yang menyakitinya, yang ditanda tangani M. Irsyad Djuwaeli dan Usep Fathudin (Golkar). Tahun 1999, sejumlah madrasah MA diberbagai daerah di Banten Selatan seperti Pandeglang, Ujung Jaya, dan cabang Madrasah MA di Indramayu dan Cirebon menghentikan operasinya, akibat ketua umum Irsyad Djuwaeli tidak responsif terhadap aspirasi dana pendamping biaya operasional pendidikan. Tahun 2000-2003 para elit MA mendukung pembentukan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB). Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar dari Tahun 1916-1998,” (Disertasi Leiden University: T.pn., 2007), h. 152-156. Selanjutnya lihat. “Tutut, Siapa Capres Yang Bakal Kau Contreng,” artikel diakses pada 13 September 2010 dari http://www.indonesia-monitor.com/main /index.php? option=com_content &task=view&id=1494&Itemid=33

95 Syibli Sarjaya, dkk., Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar (Jakarta: PB Mathla’ul Anwar, 1996), h. 48

67

Page 78: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

78

kualitas kehidupan bangsa dan negara dengan keputusan “untuk tidak berafiliasi

lagi dengan partai politik apapun”, dan menetapkan M. Irsyad Djuwaeli sebagai

ketua umum MA untuk ketiga kalinya periode 2001-2005.

Keputusan Muktamar tersebut, secara kelembagaan memberikan

kebebasan terhadap pilihan politik dan menumbuhkan optimisme para kader dan

warga MA khsususnya di Daerah Menes-Banten dan wilayah lainnya dalam

menyalurkan aspirasi politiknya tanpa diskriminasi dari para elit MA (tidak

seperti di era Orde Baru). Nilai-nilai keterbukaan dan independensi yang

diperjuangkan walaupun tidak seratus persen, merupakan sesuatu yang positif

bagi perkembangan dan kemajuan organisasi MA dalam medistribusikan para

kader untuk menggunakan “kendaraan” manapun sebagai alat penyalur aspirasi

politiknya yang sesuai dengan AD/ART yang menyatakan tidak boleh membawa

kepentingan pribadi dan partai politik kedalam organisasi MA, tetapi sebaliknya

untuk kepentingan organisasi MA.96

Menurut Ali Nurdin,97 perubahan paradigma organisasi MA di era

reformasi selain memberikan peluang organisasi untuk menata dan melakukan

instrospeksi diri yang sebelumnya afiliasi para elitnya terpusat di partai Golkar.

Pertama, perubahan orientasi politik MA sebelumnya mengalami ekslusivisme

politik dan stigmatisasi negatif ketika segala keburukan Orde Baru yang

disandarkan pada Golkar berdampak pada MA sendiri. Kedua, menumbuhkan

semangat dan memperkuat inklusivisme organisasi, para anggota MA diberikan

keleluasan untuk aktif dipartai politik manapun yang sesuai dengan hati

96 Wawancara Pribadi dengan Ketua PBMA KH. Ahmad Sadeli Karim. Menes, 7 Agustus 2010.

97 Wawancara Pribadi dengan Ali Nurdin, Ciputat, 20 Mei 2010.

68

Page 79: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

79

nuraninya, terutama yang memperjuangkan kesejahteraan dan tegaknya keadilan.

Ketiga, menjaga eksistensi organisasi yang bergerak dalam bidang kultural.

Namun, menurut Mohammad Zen,98 walaupun organisasi MA menyatakan

independen (mandiri tanpa adanya ketergantungan) dan tidak lagi berafiliasi

dengan partai politik. Tetapi, secara realitas tidak ditunjukan oleh ketua umum M.

Irysad Djuwaeli dan tokoh-tokoh lainnya yang masih mendominasi untuk

membawa kepentingan diri dan kelompok (Golkar) di atas kepentingan organisasi

MA. Misalnya, seperti yang terjadi pada acara perayaan Hari Ulang Tahun (HUT)

MA ke-87, dan Rapat Kerja Nasional (rakernas) Pengurus Besar Mathla’ul Anwar

(PBMA) tanggal 28-30 Mei 2004 di Bandar Lampung.

Kebijakan-kebijakan ketua umum M. Irsyad Djuwaeli yang dinilai terlalu

“politis” memaksakan kehendaknya dengan memutuskan dan mendeklarasikan

diri (tetapi secara organisasi tidak) secara sepihak membawa organisasi MA untuk

menyalurkan aspirasi politiknya yang kemudian menginstruksikan kepada

pengurus MA yang ada di daerah dan provinsi untuk menjadi pendukung (tim

sukses) pasangan Presiden dan Wakil Presiden H. Wiranto dan Salahuddin Wahid

pada pemilihan umum (pemilu) tahun 2004.99 Keputusan tersebut, selain

menimbulkan reaksi keras dari para pengurus MA yang berbeda partai maupun

non partai yang diakibatkan oleh sikap kepemimpinan M. Irsyad Djuwaeli yang

dinilai otoriter dan arogan, bahkan tidak segan-segan melakukan pengusiran

98 Wawancara Pribadi dengan Mohammad Zen, Ciputat, 17 Mei 2010. 99 Kebijakan ketua umum M. Irsyad Djuwaeli selain mengajurkan pilihan politiknya

untuk pasangan Wiranto dan Salahuddin Wahid, juga memberikan waktu orasi politik Wiranto pada acara Rekernas dan HUT MA ke-87 di Lampung. Sehingga membuat para peserta kecewa dengan sikap Ketua Umum yang dinilai hanya mementingkan karir politiknya.

69

Page 80: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

80

peserta atau pengurus didalam forum (acara HUT dan Rakernas MA) bagi mereka

yang menolak “syahwat” politiknya.100

Hal tersebut terjadi, selain untuk kepentingan pribadi (M. Irsyad Djuwaeli)

dan kelompok, juga karena kuatnya cengkraman elit Golkar yang mempunyai

kepentingan untuk menjaga massa yang begitu besar dari MA. Langkah yang

dilakukan Golkar adalah mendekati dan mempertahankan beberapa elit di tubuh

MA untuk tetap masuk kedalam Partai Golkar. Asumsi yang dipakai adalah

dengan istilah “ekor mengikuti kepala” dimana pilihan politik individu warga

suatu organisasi keagamaan akan ditentukan atau disinyalir akan sama dengan

pilihan politik organisasi atau pemimpinnya. Sehingga asumsi yang dibangun

kemudian dapat diterima, khususnya para pemilih (Partai Golkar) yang memiliki

kedekatan emosional yang kuat dengan organisasi keagamaan dan pemimpinnya

dapat menjaga hubungan yang telah lama dibangun sejak munculnya Orde Baru

sampai pasca Orde Baru tetap terpelihara.

Hubungan historis dengan Golkar dan ikatan emosional para elit yang

masih ada dalam struktural organisasi MA yang berkiprah di dunia politik

menyebabkan konsentrasinya bercabang dua; pendidikan keagamaan dan politik

kenegaraan. Tentunya, sebagai sebuah kekuatan politik yang mapan Golkar bukan

tidak mungkin menarik dan mempertahankan massa untuk memperkuat posisi

para elit organisasi keagamaan di partai Golkar pasca runtuhnya Soeharto.

Kemudian, sistem dalam tubuh MA telah melanggengkan hubungan yang

harmonis antara elit MA dengan Partai Golkar. Sehingga menyebabkan para elit

100 Mohammad Zen, ”Diusir dari Sidang Mathla’ul Anwar,” artikel diakses pada 13 September 2010 dari http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/2004/06/21/SRT/mbm.20040621 SRT92296.id.html

70

Page 81: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

81

MA non partisan seperti akademisi dan lain sebagainya tidak dapat menembus

sistem yang telah terbentuk, hal ini dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

Gambar 2.101

Harmonisasi Mathla’ul Anwar dan Partai Golkar

Proses harmonisasi hubungan simbiosis mutualisme antara MA dan Partai

Golkar terjadi akibat tidak adanya ketegasan (sanksi) dari organisasi MA untuk

merealisasikan peraturan-peraturan (AD/ART) bagi para elit-elit MA yang

memiliki kepengurusan ganda, menjadi pengurus MA dan pengurus di partai

politik (Golkar). Kondisi tersebut secara tidak langsung telah melegitimasi para

elit untuk menjadi pengurus partai politik yang lebih dominan. Sementara garis

demarkasi yang terlihat di gambar tidak dapat ditembus oleh para elit non

partisan, mengingat akan terjadinya pergeseran ketika elit-elit yang tidak memiliki

afiliasi politik tidak dapat menembus garis tersebut yang akan dapat merombak

atau merubah sistem yang telah lama terbentuk antara MA dan Partai Golkar.

101 Hardi Putra Wirman, “Menakar Peran Politik Organisasi Sosial Keagamaan di

Sumatera Barat Pasca Orde Baru Studi Kasus Muhammadiyah dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah, ” artikel diakses pada 10 September 2010 dari http://dualmode.depag.go.id/acis09/file/dokumen/ HardiPutraWirman.pdf

Harmonisasi di tubuh MA dengan Partai Golkar

Elit yang terlibat dalam partai Golkar

Elit non partisan terdiri dari para akademisi dan lain sebagainya

…Elit yang masuk dalam Partai Golkar seakan-akan tidak tersentuh oleh elit non partisan, sehingga terjadi harmonisasi di tubuh MA. Elit non partisan dan lainnya tidak dapat menyentuh sistem yang telah dibuat oleh elit partai dan elit pengurus MA. Tidak terjadinya pergeseran yang dilakukan oleh elit masa terhadap elit.

71

Page 82: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

82

Selain itu, tidak adanya ketegasan dari organisasi MA menyebabkan

kondisi tersebut memperkuat legitimasi adanya “proses pembenaran”102 para elit

MA untuk tetap aktif di partai politik (Golkar) yang secara tidak langsung adanya

stigmatisasi buruk terhadap organisasi MA. Walaupun, aspirasi warga MA yang

non partisan menginginkan agar organisasi untuk tetap menjaga independensinya.

Namun, kondisi tersebut terkadang berbenturan dengan kuatnya kepentingan

politis para elit MA yang menjadi pengurus partai politik, justeru melegitimasi

diri dengan menyatakan yang mereka lakukan merupakan bagian dari hak asasi

dari individu-individu di organisasi MA.

Meskipun demikian, sikap oposisi dari kaum idealis atau non partisan

diberbagai daerah dan provinsi yang menuntut ketua umum M. Irsyad Djuwaeli

dan elit-elit MA (Golkar) untuk menghormati dan memberikan keleluasan

terhadap pilihan dan aspirasi politik para kader MA yang aktif diberbagai partai

politik (selain Golkar) dan organisasi lainnya. Sebagaimana kebebasan dalam

menyalurkan aspirasi politik merupakan hasil keputusan Muktamar MA ke-XVI

2001. Kuatnya aspirasi para kader untuk diberikan kebebasan menyalurkan

aspirasi politik, maka aspirasi tersebut kemudian akhirnya diberikan oleh para elit

MA untuk para kader yang aktif di partai politik dan organisasi lainnya, diberikan

keleluasan pilihan politiknya pada putaran kedua pemilu 2004 (untuk putaran

pertama warga MA disarankan memilih pasangan H. Wiranto dan Salahuddin

Wahid). Selain itu, untuk memberikan kesempatan dan keleluasan warga MA

102 Wawancara Pribadi dengan KH. Wahid Sahari, Mantan Ketua Majlis Fatwa PBMA

Menes, 07 Agustus 2010.

72

Page 83: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

83

yang mencalonkan diri di partai politik selain Golkar untuk menjadi wakil rakyat

baik ditingkat Legislativ maupun di Eksekutiv.

Kebebasan dan keleluasan untuk menyalurkan aspirasi politik pada

akhirnya membuahkan hasil khususnya bagi para kader MA untuk mencalonkan

diri di partai manapun. Para kader MA yang mendapat kesempatan duduk di

Eksekutiv diantaranya adalah Andung Nitiharja (2004) sebagai Menteri

Perindustrian pada kabinet Indonesia Bersatu, sementara kader-kader MA yang

duduk di DPR RI adalah ketua umum organisasi Mathla’ul Anwar (MA) yakni M.

Irsyad Djuwaeli (2004), Ali Yahya dan Usep Fathuddin menjadi anggota MPR RI

(Fraksi Golkar-2004) yang ketiganya dari partai Golkar, Jajuli Juwaeni dari Partai

Keadilan Sejahtera (2004-2010). Sedangkan untuk tingkat provinsi Banten dari

PKS dan Partai Bulan Bintang (PBB) adalah KH. Sadeli Karim (2004), Mas’a

Toyib (2004), Asnin Syafiuddin dan Jaenal Abibin Suja’i (2004), Bueti Nasir,

Saris Priada Rahmat dan Babay Sujawandi dari Partai Bintang Reformasi (PBR-

2004).

Untuk tingkat Kabupaten Pandeglang dan Serang adalah HM. Acang

(2004-2010) dari Partai Golkar dan menjabat sebagai anggota DPRD, Aksan

Sukroni dari Partai Amanah Nasional (PAN-2004)), Ace Zaenal Sholihin (PKS-

2004), A. Baehaqi (PBB-2004) dan Wahyudin Wahab (PBR-2004). Sedangkan

ditingkat Kabupaten Serang terdapat tiga orang kader MA, yaitu H. Daifun dari

Partai Persatua Pembangunan (PPP-2004) dan A. Basuni dari PAN, Mohammad

73

Page 84: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

84

Idjen (2004) anggota DPRD dari Fraksi PPP dan terakhir Ratu Tatu Chasanah

(Wakil Bupati Serang periode 2010-2015).103

Realitas orietasi politik MA sebagaimana di atas, mengalami perubahan

yang lebih akomodatif dari para elit MA untuk mentoleransi bagi anggota yang

non Golkar maupun non partai. Sehingga anggota MA di era reformasi memiliki

kebebasan dan keleluasan untuk menyalurkan aspirasi politiknya tidak hanya di

satu partai maupun organisasi kemasyarakatn lainnya. Keleluasan dan kebebasan

politik pada perkembangannya mendapat banyak keuntungan bagi organisasi MA

yang lebih terbuka dan tidak lagi adanya stigmatisasi buruk. Selain itu, adanya

kepedulian dari anggota dan warga MA untuk melakukan dan menata kembali

kehidupan organisasi yang lebih maju dalam bidang kultural. Sehingga, beberapa

anggota MA yang duduk dalam pemerintahan dapat membantu masalah

pendanaan (sumbangan anggota) dan memperluas jaringan organisasi untuk

meningkatkan kesejahteraan anggota dan pembangunan masyarakat.

B. Hubungan Mathla’ul Anwar Dengan Partai Politik

Sesuai dengan rencana, tahun 2005 MA melaksanakan Muktamar ke-XVII

dan Peringatan Hari Ulang Tahun (HUT) yang ke-89, di Pondok Gede Jakarta,

dengan tema ”Revitalisasi Mathla’ul Anwar melalui tiga amal: Konsolidasi

organisasi, Pendidikan, Dakwah dan Sosial (ekonomi)”. Muktamar secara resmi

dibuka oleh Wakil Presiden RI. H. Muhammad Jusuf Kalla, dan ditutup oleh

Ketua DPR RI H. R. Agung Laksono. Pada Muktamar MA ke-XVII, menetapkan

103 Wawancara Pribadi dengan Mohammad Idjen, Menes, 03 Agustus 2010. Selanjutnya lihat. Aas Syatibi, ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” (Skripsi S1 Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 59-60

74

Page 85: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

85

M. Irsyad Djuwaeli sebagai Ketua Umum PBMA untuk keempat kalinya periode

2005-2010. Keputusan Muktamar MA ke-XVII, tidak menghasilkan keputusan

yang signifikan dan tidak jauh berbeda dengan hasil Muktamar tahun 2001 (ke-

XVII) yang memfokuskan gerakannya dalam bidang kultural yang bersifat

independent.

Menurut Herman Fauzi,104 terpilihnya kembali M. Irsyad Djuwaeli

menjadi ketua umum Pengurus Besar Mathla’ul Anwar (PBMA) adalah: Pertama,

proses kaderisasi ditubuh organisasi MA pada kepemimpinan M. Irsyad Djuwaeli

selama lima belas tahun tidak berjalan dan cenderung eksklusiv (tertutup), hanya

boleh dipegang oleh orang-orang dilingkungan ”Pemerintah dan Golkar”. Kedua,

tidak adanya peraturan baik dalam AD/ART maupun Khittah MA (1916) yang

menyatakan untuk berapakali periode seorang boleh menjadi Ketua Umum.

Ketiga, sosok M. Irsyad Djuwaeli memiliki peran politik yang cukup besar

utamanya dalam menyebarkan perkembangan MA di seluruh daerah dan provinsi

di Indonesia (lihat Bab III). Selain itu, posisinya yang terhormat dan kharismatik

menyebabkan dia mampu untuk mempengaruhi dan menggerakkan aksi atau

tanggapan (kritik) emosional warga MA sesuai dengan kepentingannya. Keempat,

memiliki kekuatan baik secara finansial maupun jaringan diinternal dan eksternal

(pemerintah), sehingga cukup menjadi alasan baginya untuk tidak memberikan

peluang bagi orang lain menggantikan posisinya.

Sedangkan menurut Syihabudin,105 sebelumnya sudah ada keinginan dari

M. Irsyad Djuwaeli untuk tidak mencalonkan kembali dirinya menjadi Ketua

104 Wawancara Pribadi dengan Herman Fauzi, Menes, 14 Juni 2010 105 Wawancara Pribadi dengan H. A. Shihabudin, Menes, 4 Agustus 2010.

75

Page 86: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

86

Umum. Pertama, adanya aspirasi dari Pengurus Daerah, Provinsi dan warga MA

untuk mencalonkan kembali dirinya sebagai Ketua Umum PBMA periode 2005-

2010, yang dinilai oleh beberapa kalangan pada kepemimpinannya cukup berhasil

dalam membangun dan mengembangkan organisasi. Kedua, sebagai strategi untuk

mencekal atau menghambat calon lain, karena sebagian dari Pengurus Daerah

(khusus Banten) MA yang mengkhawatirkan dan keberatan apabila posisi Ketua

Umum PBMA di pegang oleh dan dari kandidat lain yang mencalonkan diri

seperti AS Panji Gumilang (Ma’had Al-Zaytun), yang memiliki kekuatan yang

cukup kuat secara finansial, tetapi pemahaman keagamaan “Islam” dan

“kenegaraannya” yang dinilai berbeda dengan mayoritas warga MA sendiri.

Kemudian, untuk menghambat lolosnya Panji Gumilang menjadi Ketua Umum

adalah melawan M. Irsyad Djuwaeli yang menjabat (icumbent) Ketua Umum

PBMA memiliki massa pendukung dan berpengalaman.

Selajutnya, M. Irsyad Djuwaeli selain sebagai Ketua Umum PBMA dan

juga di DPP Partai Golkar sebagai Ketua Bidang Kerohanian, mempunyai ambisi

yang cukup kuat untuk memperbesar kekuasaan yang puncaknya pada tahun 2006,

Irsyad mencalonkan diri menjadi Calon Gubernur dengan menggandeng Mas

Achmad Daniri sebagai Wakil Gubernur dari kalangan pengusaha pada Pemilihan

Umum Kepala Daerah (Pemilukada) Provinsi Banten 2006.106

Pencalonan Irsyad dalam Pilgub Banten di 2006 mendapat Rekomendasi

DPP Partai Demokrat (PD) dan DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB).

106Awalnya Provinsi Banten adalah bagian dari Provinsi Jawa Barat. Sejak 4 Oktober

2000, Banten berdiri sendiri menjadi provinsi. Provinsi Banten terdiri dari empat kabupaten Serang, Tangerang, Pandeglang dan Lebak dan dua kotamadya Tangerang dan Cilegon. Lihat. Aat Royhatudin, ”Keterlibatan Jawara Dalam Pembentukan Provinsi Banten,” (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004), h. 2

76

Page 87: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

87

Sedangkan Partai Golkar yang justeru sebagai ”kendaraan” politik yang telah

mengantarkannya menjadi Anggota DPR RI dalam Pemilu tahun 1992 dan 2004

tidak merestui dan menonaktifkan Irsyad dari DPR RI dari Golkar. Selain itu,

keputusan hasil seleksi akhir diinternal Golkar dalam menentukan kandidat Pilgub

Banten justeru pilihannya pada Ratu Atut Chosiyah (Plt Gubernur) yang dinilai

secara politis lebih kuat baik secara finansial maupun jaringan yang sebelumnya pada

2001 menjabat sebagai Wakil Gubernur pada kepemimpinan Gubernur Djoko

Munandar (PPP).

Kemudian, setelah melalui berbagai seleksi dan verifikasi oleh KPUD,

akhirnya pada tanggal 3 Oktober 2006 sebagaimana tertuang dalam SK KPU

Banten nomor 15/Kep-KPUD/2006, KPUD menetapkan 4 pasang calon untuk

Pilgub Banten 2006.107 Pasangan M. Irsyad Djuwaeli- Achmad Daniri, walaupun

tidak didukung oleh Partai Golkar dalam momentum Pemilukada 2006, tetapi

pada dasarnya ia memiliki basis massa pendukung diakar rumput dari Pengurus

Mathla’ul Anwar (MA) Banten yang secara kuantitas paling besar konstituen dan

lembaga pendidikannya dibandingkan Daerah dan Provinsi lain sebagai modal

kekuatan politiknya.

Selain itu, Irsyad pun membentuk Laskar Muda Banten (LMB) yang

dipersiapkan sebagai salah satu mesin politiknya untuk memobilisasi massa

ditingkat bawah. Partisipasi politik atau dukungan di internal MA sendiri tidak

107 Susunan Pasangan Calon Gubernur dan Wakil Gubernur Pilgub Banten 2006 dan Partai Pendukung dan Jumlah Kursi di DPRD. (1). Trjana Sam’un-Benyamin (PAN, 4 Kursi-PPP, 8 Kursi). (2) Ratu Atut Chosiyah-Masduki (Partai Golkar, 16 Kursi, PDIP, 10 Kursi, PBR, 5 Kursi, PBB, 3 Kursi, PDS, 2 Kursi, PKPB, 1 Kusi). (3). M. Irsyad Djuwaeli-Achmad Daniri (Partai Demokrat, 9 Kursi, PKB, 5 Kursi). Lihat. Laporan Penelitian “Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur Provinsi Banten Tahun 2006 Regenerasi Sebuah Hegemoni Banten Institut,” artikel diakses pada tanggal 11 September 2010 dari http:// w ww .g oog le .co .id / se ar ch ?hl =id & cli ent=firefox-a&ie=UTF-8&q=laporan+akhir+pil kada+banten. pdf&lr=

77

Page 88: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

88

bisa terlalu banyak diharapkan dalam memberikan suarannya untuk kemenangan

Djuwaeli di Pilgub. Terlebih, Partai Golkar sendiri sudah cukup solid dengan

dukungan untuk kemenangan pasangan Atut dan Masduki.

Posisi MA, secara formal tidak terlibat langsung dalam politik praktis

terkait dengan pencalonan M. Iryad Djuwaeli di Pilgub Banten. Tetapi secara

umum, MA mengalami kondisi sebagaimana yang terjadi dalam organisasi

Muhammadiyah dengan melakukan tidak adanya politik pemihakan atau political

disengagement dari arus ”mabuk politik dan demokrasi” yang terjadi diseluruh

masyarakat di Indonesia.108

Konsekuensi dari political disengagement adalah terjadinya penyebaran

atau pemencaran warga MA dalam berbagai partai politik (parpol) baik yang

berideologi nasionalis religius Islam (PBB, Partai Politik Islam Masyumi, PUI)

maupun nasionalis ”sekuler” (PAN, Golkar, PDI dan lain sebagainya). Sehingga,

hasilnya tidak ada satupun parpol yang dapat diidentifikasikan dengan MA (di era

Orde Baru MA identik Golkar), maka, dengan adanya penyebaran tersebut, warga

MA sebagai sebuah komunitas atau kesatuan tidak dapat memiliki peranan yang

sigifikan dalam proses politik untuk kemenangan pencalonan M. Irsyad Djuwael

dalam Pilgub Banten.

Karena, penggabungan atau penyatuan para elite MA dalam satu partai

partai politik merupakan hal yang tidak strategis dan demokratis, mengingat

banyaknya dampak yang diterima oleh organisasi MA. Pertama, partai tersebut

akan dicap sebagai partainya orang MA dan di luar MA akan menjaga jarak dan

108 Azyumardi Azra, Reposisi Hubungan Agama dan Negara Merajut Hubungan Antar

Umat., h. 97

78

Page 89: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

89

akhirnya partai tersebut tidak berkembang, karena hanya akan diisi oleh warga

MA, dan mereka tidak dapat mengembangkan sayap kepada kelompok lain.

Kedua, MA akan terkena imbas ketika beberapa tokoh yang ada di partai politik

tersebut bermasalah sehingga akan merugikan MA secara kelembagaan. Ketiga,

MA tidak mempunyai akses lagi kepada partai lain, sehingga perkembangan

organisasi hanya akan terbatas pada satu partai politik saja.109

Sehingga, kekalahan yang dialami oleh M. Irsyad Djuwaeli dalam Pilgub

Banten yang memiliki massa dari organisasi MA (Banten) yang terbesar di

Indonesia. Tetapi, dalam kenyataannya mengalami kekalahan, karena MA

merupakan organisasi keagamaan yang bergerak dalam bidang kultural yang

bersifat independent tidak berafiliasi dengan partai politik maupun salah satu

calon di Pilgub sekalipun itu Ketua Umum PBMA.

Secara realitas, MA sebagaimana yang sudah dijelaskan di atas bahwa,

hubungan antara MA dan Partai Politik hanya bersifat personal tak langsung

dengan organisasi. Namun, Pada kasus-kasus tertentu, terdapat proses dalam

tubuh organisasi MA sendiri yang menunjukkan keterlibatan dalam pembentukan

dan dukungan partai politik yang dibidani oleh tokoh-tokoh MA. Pada kasus lain,

keterlibatan itu bersifat praktis dan hanya melibatkan tokoh-tokoh MA.110

Dari kenyataan sosiologis di atas, hubungan MA dan politik tidaklah

tunggal, melainkan menunjukkan pola yang beragam. Pola hubungan antara MA

dan politik dapat ditunjukkan dalam tiga varian yaitu pertama, hubungan yang

109 Wawancara Pribadi dengan Mohammad Zen, Ciputat, 17 Mei 2010. 110 Wawancara Pribadi dengan Herman Fauzi, Menes, 14 Juni 2010.

79

Page 90: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

90

bersifat formal dan langsung; kedua, hubungan yang bersifat personal dan tidak

langsung; dan ketiga, hubungan yang lebih netral dan murni.

Dinamika perjalanan MA secara politis dapat diklasifikasikan atas dua

orientasi, yaitu orientasi politis struktural dan orientasi politis kultural. Orientasi

politis struktural atau politik yang berorientasi kekuasaan dilakukan melalui alat-

alat kekuasaan dan mobilisasi massa. Dalam konteks Menes-Banten, keterlibatan

MA dalam politik praktis dapat dilihat pada indikator kemenangan beberapa tokoh

MA (Eksekutif dan Legislatif) di parpol selain Golkar. Walaupun MA dan parpol

tidak memiliki hubungan organisasi. Tetapi, MA bersifat mengayomi partai

politik manapun dan menjaga kedekatan dengan partai politik untuk berjuang

bersama-sama dalam membangun masyarakat yang bersifat horizontal, yaitu MA

melakukan strategi pengembangan amal usaha yang dikembangkan secara merata,

dan juga melalui metode dakwah baik formal maupun informal.

C. Partisipasi Mathla’ul Anwar Dalam Politik Pasca Orde Baru

Tahun 2010, MA melaksanakan Muktamar ke-XVIII dan Peringatan Hari

Ulang Tahun (HUT) ke-94 yang diselenggarakan pada tanggal 16-19 Juli di Hotel

Sol Elite Marbela Anyer Serang-Banten yang dibuka langsung oleh Menteri

Agama RI Suryadarma Ali, dengan tema "Reposisi Peran Mathla’ul Anwar dalam

Pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia yang Unggul dan

Berakhlakul Karimah," dengan tema tersebut diharapkan akan dapat melahirkan

generasi-generasi muda yang kritis dan progresif yang mampu menjadi generasi

muda MA sebagai mercusuar yang menerangi kehidupan bangsa dan negara.

80

Page 91: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

91

Selain itu, Muktamar MA ke-XVIII merupakan momentum untuk

melakukan penataan organisasi melalui pergantian Ketua Umum Pengurus Besar

Mathla’ul Anwar (PBMA) untuk periode 2010-2015, dan melakukan konsolidasi

antar pengurus dan ajang Silaturrahim Keluarga Besar MA dari 26 Pengurus

Wilayah Provinsi, Kabupaten dan Kota se-Indonesia.111

Pada Muktamar ke-XVIII, menetapkan KH. Ahmad Sadeli Karim sebagai

Ketua Umum PBMA periode 2010-2015, Muktamar MA menghasilkan beberapa

keputusan yang cukup signifikan, utamanya dalam melakukan perubahan-

perubahan yang tepat untuk menancapkan tonggak sejarah yang akan menentukan

masa depan MA kembali menjadi ormas keagamaan yang sesungguhnya yang

bermartabat dan kuat (solid). Pertama, MA menegaskan kembali sebagai

organisasi keagamaan (kultural) yang independent dan tidak menjadi underbouw

(antek) Partai Politik dan organisasi manapun. Kedua, menjalin dan membangun

jaringan (network) dengan ormas-ormas keagamaan lainya seperti NU,

Muhammadiyah dan lain sebagainya sebagai upaya untuk memperkenalkan dan

menyebarkan MA di Daerah dan Provinsi yang belum ada baik pengurus cabang

maupun lembaga pendidikan Mathla’ul Anwar seperti di Papua Barat, Gorontalo

dan Bali. Ketiga, melarang Ketua Umum PBMA merangkap dua jabatan baik di

Partai Politik Maupun organisasi lainnya. Keempat, membatasi masa jabatan

Ketua Umum PBMA paling banyak 2 (dua) periode setelah terpilih.Kelima,

111 "Muktamar Mathla’ul Anwar Jadi Momentum," Radar Bamten, 18 Juli 2010

81

Page 92: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

92

meningkatkan gerakannya dalam pembangunan pendidikan atau madrasah

Mathla’ul Anwar yang berorientasi ke kota tidak hanya dipedesaan.112

Kemudian, independensi MA ditegaskan pula oleh M. Irsyad Djuwaeli113

bahwa, MA pasca Muktamar (2010) dan kepemimpinannya selama 20 tahun

menjadi Ketua Umum PBMA, melarang Ketua Umum PBMA kedepan adanya

dualisme antara kepentingan politik dan kultural, sedangkan untuk para anggota

dan pengurus MA tidak ada sanksi (larangan) aktif di partai politik dan organisasi

lainnya, dengan catatan tidak diperbolehkan membawa kepentingan pribadi dan

kelompok kedalam organisasi MA (tidak seperti pada era kepemimpinan M.

Irsyad Djuwaeli).

Sejarah perjalanan MA dengan segala bentuk kemajuan dan

kemundurannya, seringkali MA disuguhi "dramatisasi" elit politik dengan

berbagai manuvernya bukan untuk memperjuangkan rakyat, terutama bagi kaum

marginal, melainkan hanya mengikuti syahwat politiknya, yaitu kepentingan

pragmatis-ekonomis kekuasaan. Hal tersebut yang telah melahirkan rasa

skeptisisme dan rasa apriori bagi sebagian kalangan dimasyarakat terhadap kinerja

para politisi, sebagaimana terlihat dengan adanya fenomena penurunan tingkat

112 Peraturan untuk calon Ketua Umum PBMA periode 2010-2015 tidak merangkap

jabatan. Seperti, posisi Ahmad Sadeli Karim sebelum menjadi Ketua Umum PBMA adalah Ketua Majlis Pengurus Wilayah (MPW) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Banten. Kemudian, untuk mentaati aturan, akhirnya Sadeli membuat pernyatan pengunduran diri dari jabatan MPW Partai PKS baik secara tertulis maupun lisan. Wawancara Pribadi dengan Ketua Umum PBMA KH. Ahmad Sadeli Karim, Menes, 07 Agustus 2010. Selanjutnya Lihat. ”Mathla’ul Anwar Tidak Menjadi Bagian Partai Politik,” artikel diakses pada 08 Agustus 2010 dari http:// banten. antara news.com/berita/13395/mathlaul-anwar-tidak-menjadi-bagian-partai-politik

113 Jaenal Abidin, ”Irsyad Siap Berhenti Pimpin MA,” artikel diakses pada 08 Agustus 2010 dari http://mediabanten.com/berita-517-irsyad-siap-berhenti-pimpin-ma.html

82

Page 93: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

93

partisipasi masyarakat (khususnya MA) terhadap proses demokratisasi demi

kemajuan bangsa Indonesia.114

Bagaimanapun, dewasa ini tidak dapat di pungkiri bahwa peran tokoh atau

elit keagamaan (ulama, intelektual, cendikiawan) dalam sebuah organisasi

keagamaan sangat membantu dalam menentukan pilihan politik konstituen seperti

dalam Pemilu dan lain sebagainya. Karena, seorang tokoh tersebut menjadi

panutan banyak orang atau minimal di puja karena ide-idenya dengan modal

kharisma dan kekuasaan yang dimiliki.115 Maka tak heran apabila banyak partai

politik yang memperebutkan dan mendekatinya dengan harapan memperoleh

suara dari para konstituen yang memiliki hubungan emosional dengan para elit

organisasi tersebut.

Suryadharma Ali (Menteri Agama RI) dalam sambutan pembukaan

Muktamar Mathla’ul Anwar ke-XVIII dan HUT MA ke-94 di Anyer Serang-

Banten mengatakan bahwa, keberhasilan para ulama (intelektual, cendikiawan)

pada masa terdahulu, telah mampu memberikan kontribusi riil (nyata) kepada

bangsa, negara dan umat baik dalam bidang pendidikan, dakwah dan

pemberdayaan masyarakat (sosial) tanpa mengharapkan imbalan atau pamrih.

Karena, keberhasilan para ulama tersebut bukan karena memiliki kekayaan harta

atau melimpahnya dana yang dimiliki, tetapi kesuksesannya adalah oleh jiwa

semangat idealisme dan keikhlasan dalam melakukan sesuatu. Bagaimanapun,

114 M. Irsyad Djuwaeli, Laporan Pertanggung Jawaban Pengurus Besar Mathla’ul

Anwar Periode 2005-2010, Makalah disampaikan pada Acara Muktamar MA ke-XVIII dan HUT MA ke-94 di Anyer-Serang Banten, 16-19 Juli 2010, h. 1

115 Haniah Hanafi, ”Transformasi Peran Ulama Dalam Pergerakan Politik,” Refleksi Jurnal Kajian Agama dan Filsafat Vol. VIII, No. 1, 2006 (Jakarta: Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006), h. 49

83

Page 94: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

94

spirit keikhlasan dan tak kenal lelah itulah yang menjadikan ulama atau elit

keagamaan memiliki peran strategis di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara

yang mesti diteladani dan dibangun oleh MA dewasa ini.116

Realitas yang ada menunjukan, umumnya ormas-ormas (keagamaan) di

Indonesia disinyalir telah dimanfaatkan untuk mengakomodasi kepentingan

politik para elit ormas. Kepatuhan dan ketaatan terhadap Anggaran Dasar dan

Rumah Tangga (AD/ART) sebagai pondasi organisasi sudah tidak ditaati dan

digubris oleh para elit ormas tersebut. Oleh karena itu, MA pada momentum

Muktamar (2010) ini, diharapkan dapat kembali pada tujuan (Khittah) utamanya

ketika pertama kali didirikannya (1916), MA harus kembali berfungsi sebagai

pembangun keummatan, kenegaraan dan kebangsaan serta menjadi pengawal

moral yang berdiri sendiri secara netral di atas semua golongan.117 Sedangkan

peran politik MA yang dapat diambil dan dimainkan tanpa harus terperangkap

dalam pergulatan politik praktis, yaitu ; MA dapat mengambil posisi sebagai

kekuatan politik atau “kekuatan moral” yang memainkan fungsi selaku kelompok

kepentingan atau sebagai kelompok penekan yang efektif yang berusaha

mempengaruhi kebijakan negara atau pemerintah (Pusat dan Daerah) tanpa harus

memperoleh jabatan-jabatan politik.

Sebagaimana yang ungkapan Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum Ad-Din (1933)

yang dikutip oleh Ali Rahmena bahwa, dekatnya ulama (intelektual, cendikiawan)

atau para elit kegamaan terhadap kekuasaan atau pemerintah, akan menghilangkan

daya kontrol ulama terhadap penguasa. Sehingga, hilangnya daya kontrol ulama

116 “Spirit Ulama Harus Dihidupkan,” Radar Banten, 18 Juli 2010, h. 1. 117 Iin Solihin, “Jelang Muktamar ke-18 Mathla’ul Anwar Kembali ke Khittah 1916,”

Kabar Banten, 14 Juli 2010, h. 8.

84

Page 95: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

95

terhadap penguasa menyebabkan terjadinya demoralisasi terhadap ulama atau elit

keagamaan yang dapat merusak moral pemerintah atau penguasa yang berdampak

buruk bagi masyarakat, hal tersebut sebagaimana dewasa ini terjadi di Indonesia

dengan adanya budaya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN).118

Dari komitmen ini, sebagaimana dijelaskan di atas bahwa partisipasi

politik Mathla’ul Anwar pasca Muktamar 2010 dalam konstelasi politik baik

ditingkat Nasional, Provinsi maupun Daerah, secara kelembagaan bersifat

independent dan di atas semua golongan. Walaupun keterlibatan tokoh-tokoh MA

dalam politik praktis merupakan bukan hal yang baru, karena memang sudah

dijalani oleh tokoh-tokoh MA sejak awal berdirinya organisasi, seperti yang

dilakukan oleh KH. Entol Yasin, KH, Mas Abdurahman (1916-1920), KH. Uwes

Abu Bakar, KH. Nafsirin Hadi (1945-1970), M. Irsyad Djuwaeli (1980-2009) dan

tokoh lainnya.

Dewasa ini, beberapa tokoh MA (kecuali Ketua Umum PBMA) yang

masuk dalam partai politik dilandasi oleh beberapa pemikiran. Pertama, karena

mereka ingin menjadikan politik sebagai areal atau media dakwah yang mampu

membawa perubahan bagi partai yang mereka masuki. Kedua, mereka melihat

bahwa partai tersebut mampu mengembangkan potensi dan naluri politik yang

mereka miliki. Ketiga, masuk dalam partai politik adalah upaya untuk

memperoleh kekuasaan dan untuk memengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah,

sehingga menghasilkan pemerintahan yang kuat dan dapat mensejahterakan

masyarakat.

118 Ali Rahmena, Para Perintis Zaman Baru Islam (Bandung: Mizan, Cet: II, 1996), h. 11

85

Page 96: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

96

Secara personal orang-orang MA dituntut memainkan peran-peran politik

itu secara efektif dan produktif dan jangan sampai melakukan uzlah (keluar dari

komunitas) politik. Karena politik hendaknya dipandang secara positif dan

dijadikan media dakwah yang dimainkan secara beradab dan bermoral untuk

pencerahan umat, bangsa, dan dunia kemanusiaan secara universal

Sedangkan secara institutional, MA dituntut untuk merevitalisasi peran

politik sebagai kelompok kepentingan yang memainkan berbagai macam fungsi

politik tanpa harus terperangkap pada permainan riel politik atau politik praktis.

Pertama, mengenai politik dalam konteks ajaran Islam sebagai ajaran yang

menyeluruh yang menyangkut aspek aqidah, ibadah, akhlak, dan mu’amalat

dunyawiyah. Politik sebagaimana aspek-aspek kehidupan lainnya termasuk ke

dalam bagian dari ibadah dalam artian umum atau merupakan wilayah dari

mu’amalah, yang harus dijamah dan dikelola oleh MA sebagai bagian tedak

terpisahkan dari misi membentuk masyarakat utama dan mengemban pesan

rahmatan lil ‘alamin.

Kedua, politik sebagai bagian penting dari kehidupan dan merupakan

instrument dakwah. Bahwa politik sebagai bagian dari al-amr ad-dunya (urusan

dunia) merupakan komponen kehidupan yang penting dan strategis sebagaimana

bidang kehidupan lainnya, yang tidak kotor, hina dan jahat sebagaimana kesan

umum dalam pandangan yang negative tentang politik. Politik itu dapat menjadi

baik, mulia dan bersih manakala dibingkai oleh moral dan diperankan oleh orang-

orang yang juga bermoral sehingga melahirkan politik yang berkeadaban.

86

Page 97: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

97

Ketiga, masalah implikasi dari sikap negative terhadap politik, selain

bertentangan dengan pandangan dasar keagamaan MA sebagai pembangun atau

pengawal moral keumatan, kebangsaan dan kenegaraan. Tentunya, partisipasi

politik MA akan berpengaruh dan bermanfaat untuk mempengaruhi suatu

kebijakan pemerintah baik Pusat maupun Daerah. Karena, hal tersebut jika tdak

dilakukan selain bertentangan dengan hakikat MA sendiri sebagai pengawal

moral, juga berdampak terjadi marginalisasi bagi organisasi MA dari dunia

kultural maupun struktural yang pada akhirnya tidak mustahil MA sendiri akan

menjadi korban politik kekuatan-kekuatan lain.

Keempat, menyangkut tuntutan dan pertanggungjawaban atas moralitas

politik. Bahwa jika kekuatan-kekuatan sosial-keagamaan yang memiliki misi

luhur dan didukung massa yang besar seperti MA tidak mengambil bagian dalam

proses politik nasional secara aktif, maka dunia politik pada khususnya dan nasib

bangsa pada umumnya akan merasa rugi karena tidak memperoleh sentuhan

moralitas nilai-nilai keagamaan yang dibawa oleh gerakan-gerakan keagamaan

seperti MA.

D. Masa Depan Mathla’ul Anwar, Antara Peluang dan Tantangan

1. Peluang

Sebagai organisasi keagamaan yang bergerak dalam bidang pendidikan,

dakwah dan sosial (ekonomi), MA telah melewati masa-masa perjuangannya yang

cukup panjang. Kini diusianya yang ke- 94 tahun, MA berjuang dan berkhidmat

kepada masyarakat dengan senantiasa menebar cahaya, berupaya secara terus

87

Page 98: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

98

menerus dan konsisten merubah kondisi masyarakat yang diliputi kebodohan dan

keterbelakangan menjadi masyarakat maju dan cerdas yang bertakwa kepada

Allah SWT.

Ormas keagamaan baik secara teoritis-normatif maupun historis-empirik,

menempati posisi strategis dalam melakukan pemberdayaan kultural dan politik

masyarakat. Secara historis, posisi yang pernah dimainkan memiliki effektivitas

melebihi peran dan posisi yang dimainkan oleh organisasi politik formal (Partai

Politik). Karena itu, organisasi politik formal sulit memperlihatkan konsistensi

pada suatu prinsip, antara lain karena strategi politik yang dilatari oleh

kepentingan-kepentingan politik yang terkesan pragmatis.

Kekuatan-kekuatan kultural yang dimiliki oleh ormas keagamaan pada era

reformasi, tetap menawarkan peluang yang besar untuk memainkan peran penting

dalam melakukan pemberdayaan kultural dan politik masyarakat. Sekalipun ormas

keagamaan memiliki ketangguhan kultural, ini tidak berarti bahwa hanya mampu

bermain diseputar lingkar wilayah kultural, karena wibawa serta potensi kultural

yang dimilikinya tetapi diperhitungkan oleh kekuatan-kekuatan struktural

(pemerintah). Sehingga dengan demikian Ormas keagamaan memiliki kekuatan

dan potensi untuk melakukannya dengan pendekatan kultural maupun struktural

sekaligus. Dengan demikian, peran ormas keagamaan selain memperluas

perannya dalam proses menciptakan kesejahteraan keumatan, kenegaraan dan

kebangsaan, juga akan memperkuat organisasi untuk lebih maju dan dituntut

untuk mererspon setiap permasalan-permasalahan kekinian.

88

Page 99: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

99

2. Tantangan

MA sebagai organisasi keagamaan terbesar di Banten dan terbesar ketiga

di Indonesia setelah NU (1926) dan Muhammadiyah (1912). Tetapi, MA

merupakan salah satu organisasi keagamaan yang kurang dikenal baik dikalangan

akademisi maupun dikalangan masyarakat muslim umumnya. Menurut Ali

Nurdin,119 ada tiga alasan yang menyebabkan MA kurang dikenal. Pertama, MA

sejak awal pendiriannya (1916) hingga dewasa ini memfokuskan gerakan-

gerakanya (kultural) di wilayah pedesaan atau pinggiran. Kedua, akibat kurangnya

perhatian publik (media cetak dan elekronik). Ketiga, kontribusi MA dalam

politik mempunyai pengaruh yang relatif kecil.

Hal senada juga diungakapkan oleh Herman Fauzi,120 selain MA masih

orientasinya ke pedesaan, akibatnya tak jarang warga MA tidak mendapatkan

informasi. Pertama, MA kedepan dalam gerakannya harus berorientasi kota,

karena akses untuk mendapatkannya berada diwilayah perkotaan. Sehingga hal ini

tentunya turut memandekan dunia pendidikan yang merupakan unsur penting

dalam membangun sebuah peradaban besar. Kedua, MA saat ini mengalami

degradasi menyangkut persoalan ideologi yang tidak pernah dievaluasi dalam

konteks hubungan sosial, tetapi MA lebih fokus kepada soal-soal fiqiyah. Ketiga,

pada kepemimpinan Ketua Umum. Irsyad Djuwaeli selama 20 tahun telah

menghilangkan independensi MA yang terkooptasi untuk kepentingan politik

praktis dan untuk kepentingan pribadi. Sehingga, menyebabkan warga MA

kehilangan sebagian hasrat warga MA untuk membangun dan bergabung dengan

119 Wawancara Pribadi dengan Ali Nurdin. 120 Wawancara Pribadi dengan Herman Fauzi.

89

Page 100: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

100

MA lagi. Keempat. rendahnya aksebilitas terhadap pemerintah baik Pemerintah

Daerah maupun Pusat untuk menjalin kerja sama dalam program pemberdayaan

masyarakat secara luas. Kelima, tidak adanya kesinambungan komunikasi antara

pengurus ditingkat Pusat (PBMA), Daerah, Provinsi dan konstituen sebagai sarana

untuk memperkuat institution building. Maka dari itu, sudah selayaknya

organisasi MA meninjau kembali untuk meningkatkan kiprahnya disegala aspek.

90

Page 101: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

101

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Mathla’ul Anwar (MA) sebagai salah satu organisasi keagamaan yang

bergerak dalam bidang kultural (pendidikan, dakwah dan sosial) memiliki posisi

yang strategis dan khas dibandingkan dengan organisasi lain umumnya. Pertama,

bahwa secara khusus ormas keagamaan dibentuk bukan untuk mencari

keuntungan apalagi yang bersifat material financial. Kedua, organisasi sosial

keagamaan berada di luar wilayah organisasi pemerintah dan nonpolitik. Ketiga,

bahwa dalam gerakan atau kegiatannya lebih memusatkan sasarannya pada

kepentingan untuk kemajuan keumatan, kebangsaan dan kenegaraan.

Secara umum, peran ormas keagamaan dalam pemberdayaan terdapat

berbagai permasalahan yang dihadapi masyarakat muslim di Indonesia. Pertama,

ormas keagamaan telah memberikan solusi terhadap berbagai permasalahan yang

dihadapi masyarakat muslim. Kedua, sebagai media atau menjadi “kendaraan”

untuk memobilisasi sosial untuk melakukan identifikasi keagamaan dimana umar

Islam menegaskan kerjasama sosialnya dan pandangan keagamaanya. Ketiga,

ormas keagamaan memberikan rasa aman untuk pelarian politik dan kelompok

solidaritas diluar etalase politik. Keempat, ormas keagamaan membentuk makna

yang efektif untuk mengekspresikan ide-ide dan pilihan politik mereka. Kelima,

melalui struktur organisasi yang ekstensif, network, dan hiraki mereka

memberikan pelayanan sebagai sarana latihan kepemimpinan dan untuk

91

Page 102: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

102

melahirkan pemimpin-pemimpin muslim yang siap menghadapi tantangan

jaman.121

Maka, keterlibatan organisasi keagamaan dalam bidang politik praktis

yang diperankan baik secara organisasi maupun oleh para elit keagamaan (ormas)

selain telah menyalahi atau mengkhianati Khittah dan AD/ART sebagai pondasi

dari visi dan misi didirikannya organisasi keagaman untuk menciptakan

kesejahteraan dan mencerdaskan masyarakat secara umum yang bersifat

independent yang berdiri diatas semua golongan. Secara umum, tujuan yang ingin

dicapai oleh organisasi keagamaan adalah untuk mencapai tujuan yang bersifat

makro yang meliputi: faktor ekonomi, politik, hukum, budaya, ekologi

(lingkungan) dan faktor Sosial.

B. Saran-Saran

Dalam penghujung tulisan ini penulis ingin menyampaikan beberapa buah

saran, yaitu:

Pertama, MA sebagai organisasi keagamaan kultural terbesar di Banten

dan ketiga di Indonesia setelah NU dan Muhammadiyah. Secara kuantitas tidak

dikenal oleh masyarakat secara umum, MA dimasa depan tidak hanya

memfokuskan gerakannya diwilayah pedesaan atau pinggiran, tetapi juga harus

diperkotaan untuk mendapatkan dan meningkatkan akses atau jaringan serta

segala informasi.

121 Didin Nurul Rosidin, “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul

Anwar dari Tahun 1916-1998,” (Disertasi Leiden University: T.pn., 2007), h.3-4

92

Page 103: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

103

Kedua, MA dimasa depan tidak hanya bergerak dalam bidang kultural dan

juga sekaligus peran struktural yang terorganisir. Peran struktural, sebagai strategi

untuk berpartisipasi dalam setiap proses pengambilan kebijakan-kebijakan untuk

menjadi trend maker (penentu kecenderungan) dalam merespon terhadap

permasalahan keumatan, kenegaraan dan kebangsaan

Ketiga, MA harus lebih meningkatkan komunikasi antar Pengurus Pusat

(PBMA), Daerah, Provinsi dan konstituen untuk memperkuat institution building.

Selain itu, MA sebagai organisasi nasional, diawal pendiriannya hingga dewasa

ini, adanya primodialisme atau dominasi dari masyarakat Banten dalam perebutan

jabatan atau kursi baik posisi Ketua Umum PBMA, Dewan Pengurus Pusat dan

Dewan Majlis Fatwa. kedepan, MA seharus dapat mengayomi dan

mengedepankan integritas dan kapasitas seorang pigur atau ketokohan dari

berbagai latar belakang kedaerahan dan kesukuan.

Kelima, MA harus meningkatkan kualitas pendidikan (madrasah), dakwah

dan sosial (ekonomi) untuk mencetak generasi muda MA yang sesuai dengan

Imtak (iman dan takwa) dan iptek (informasi dan teknologi).

Demikian penutup dari skripsi ini. Semoga dapat memberikan manfaat.

Amien

93

Page 104: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

104

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qu’ran dan Terjemahannya, Jakarta: Departemen Agama RI, 2000 Azra, Azyumardi Reposisi Hubungan Agama dan Negara Merajut Hubungan

Antarumat., ed. Idris Thaha. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 2002 Alweilah, A. Chaedar Pokoknya Kualitatif, Dasar-Dasar Merancang dan

Melaksanakan Penelitian Jakarta: Pustaka Jaya, 2002 Black, James A. dan Champion, Dean J Metodologi Dan Masalah Penelitian

Sosial Bandung: PT Refika Aditama, 2001 Badudu, J.S. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1996

Budiarjo, Miriam. Partisipasi dan Partai Politik. Jakarta: Yayasasn Obor Indonesia, 1998

. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005

Dhofier, Zamakhsyari Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kiyai

Jakarta: LP3S, 1985 Djuwaeli, M. Irsyad. Membawa Mathla’ul Anwar Ke Abad XXI. Jakarta: PB

Mathla’ul Anwar, 1996

. Sejarah dan Khitthah Mathla’ul Anwar. Jakarta: Pengurus Besar Mathla’ul Anwar, 1996

Ecip, Sinansari. NU Khittah dan Godaan Politik. Bandung: Mizan, 1994

Effendy, Bahtiar. Islam dan Negara, Trasformasi Pemikiran dan praktik Politik Islam di Indonesia. Jakarta: Paramadina, 1998

Federspiel, Howard M. Labirin Ideologi Muslim, Pencarian dan Pergulatan

PERSIS di Era Kemunculan Negara Indonesia (1923-1957). Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2004

Gaffar, Afan. Merangsang Partisipasi Politik Rakyat Dalam Demitologisasi

Politik Indonesia Mengusung Elitisme dalam Orde Baru. Jakarta: Cidesindo, 1998

Hudaeri, Mohammad, ed.. Tasbih dan Golok Kedudukan, Peran dan Jaringan

Kiyai dan Jawara di Banten. Serang: Biro Humas Setda Provinsi Banten, 2007

94

Page 105: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

105

Huntington, Samuel P dan Nelson, Joan. Partisipasi Politik di Negara Berkembang. Jakarta: Rineka Cipta, 1990

Islam, Ensiklopedi. Ensiklopedi Islam, Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 1994 Kartodirdjo, Sartono. Pemberontakan Petani Banten 1888. Jakarta: Pustaka Jaya,

1984 Kazhim, Musa dan Hamzah, Alfian Lima Partai Islam Dalam Timbangan, Analis

dan Prospek. Bandung: Pustaka Hidayah, 1999 Liddle, R. William. Islam, Politik dan Modernisasi. Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan, 1997 Maran, Rafael Raga. Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2001

Nata, Abuddin. Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: PT Grasindo, 2001

Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam Di Indoneseia 1900-1942. Jakarta: LP3ES,

1995

. Islam Pancasila dan Asas Tunggal. Jakarta: Yayasan Perkhidmatan, 1983

Paige, Jeffry M. Political Orientation and Riot Participation. dalam American Sosiological, Review, Oktober, 1991

Pribadi, Toto dkk. Sistem Politik Indonesia Jakarta: Universitas Terbuka, 2006 Partanto, Pius A. dan Dahlan Al Barry. Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola,

1994 Rahardjo, Dawam (ed.). Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES, 1985

Rahman, Arifin. Sistem Politik Indonesia. Surabaya: SIC, 2002

Rahmena, Ali. Para Perintis Zaman Baru Islam. Bandung: Mizan, 1996

Saleh, Fauzan. Teologi Pembaruan, Pergeseran Wacana Islam Sunni di Indonesia Abad XX. Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta, 2004

Suprayogo, Imam Metodologi Penelitian Soaial Agama Bandung: Rosda, 2002 Sarjaya, Syibli. dkk. Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar. Jakarta: PB Mathla’ul

Anwar, 1996

95

Page 106: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

106

. Dirosah Islamiyah 1 Sejarah dan Khittah Mathla’ul Anwar. Jakarta: PB Mathla’ul Anwar, 1996

Surbakti, Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia, 1999

Tanthowi, Pramono U. Kebangkitan Politik Kaum Santri, Islam dan Demokrasi di Indonesia, 1990-2000. Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban, 2005

Yulianto, Arif. Hubungan Sipil Militer di Indonesia Pasca Orde Baru Ditengah

Pusaran Demokrasi. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002 Yuliati, Dewi Semaoen: Pers Bumiputera dan Radikalisasi Sarekat Islam Semarang. Semarang: Bendera, 2000

Artikel Koran, Makalah, Jurnal, Skripsi, Disertasi dan Websate:

Abidin, Jaenal. ”Irsyad Siap Berhenti Pimpin MA,” artikel diakses pada 08 Agustus 2010 dari http://mediabanten.com/berita-517-irsyad-siap-ber henti-pim pin -ma.html

Azra, Azyumardi. “Islam: Politik dan Kultural,” artikel diakses pada 12 Agustus

dari http:// www.uinjkt.ac.id/index.php/section-blog/28-artikel/834-islam-politik-dan-kultural-.pdf

Djuwaeli, M. Irsyad. Laporan Pertanggung Jawaban Pengurus Besar Mathla’ul

Anwar Periode 2005-2010, Makalah disampaikan pada Acara Muktamar MA ke-XVIII dan HUT MA ke-94 di Anyer-Serang Banten, 16-19 Juli 2010, h. 1

Effendy, Bahtiar. “Tokoh Agama Tak Lagi Didengar,” artikel diakses pada 12

Agustus dari http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=47286 Hanafi, Haniah. ”Transformasi Peran Ulama Dalam Pergerakan Politik,”

Refleksi Jurnal Kajian Agama dan Filsafat Vol. VIII, No. 1, Jakarta: Fakultas Ushuluddin dan Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2006

Hasan, Amirul ”Pengaruh Media Terhadap Tingkat Partisipasi Politik Studi Kasus

Partisipasi Politik Masyarakat Ciputat Pada Pilkada Provinsi Banten Tahun 2006,” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin Dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2007

Rosidin, Didin Nurul. Quo Vadis Mathla’ul Anwar, Makalah disampaikan pada

Rakernas Mathla’ul Anwar di Batam, 7-9 Juli 2007.

96

Page 107: Disusun Oleh : IIN SOLIHIN - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24147/1/MATLAUR.pdf · dengan Undang-Undang nomor. 8 tahun 1985 Pasal 2 tentang

107

. “Dari Kampung ke Kota, Sebuah Studi Perjalanan Mathla’ul Anwar dari Tahun 1916-1998,” Disertasi Leiden University: Fakulty of Humanity, 2007

Royhatudin, Aat. ”Keterlibatan Jawara Dalam Pembentukan Provinsi Banten,” Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2004

Solihin, Iin. “Jelang Muktamar ke-18 Mathla’ul Anwar Kembali ke Khittah

1916,” Kabar Banten, 14 Juli 2010, h. 8. Syatibi, Aas. ”Partisipasi Politik Mathla’ul Anwar Di Indonesia,” Skripsi S1

Fakultas Syari’ah Dan Hukum, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2006 Wirman, Hardi Putra. “Menakar Peran Politik Organisasi Sosial Keagamaan di

Sumatera Barat Pasca Orde Baru Studi Kasus Muhammadiyah dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah,” artikel diakses pada 10 September 2010 dari http://dualmode.depag.go.id/acis09/file/dokumen/ Hardi Putra Wirma n.pdf

Zen, Mohammad. ”Diusir dari Sidang Mathla’ul Anwar,” artikel diakses pada 13

September 2010 dari http :// majalah .tempointeraktif .com/id/arsip /2004 /06/21/SRT/mbm.20040621 SRT92296.id.html

"Muktamar Mathla’ul Anwar Jadi Momentum," Radar Bamten, 18 Juli 2010

“Pemilihan Gubernur-Wakil Gubernur Provinsi Banten Tahun 2006 Regenerasi

Sebuah Hegemoni Banten Institut,” artikel diakses pada tanggal 11 September 2010 dari http:// w ww .g oog le .co .id / se ar ch ?hl =id& cli ent=firefox-a&ie=UTF-8&q= laporan +akhir+pil kada + ba n t en. pdf&lr=

“Spirit Ulama Harus Dihidupkan,” Radar Banten, 18 Juli 2010, h. 1.

“Tutut, Siapa Capres Yang Bakal Kau Contreng,” artikel diakses pada 13

September 2010 dari http://www.indonesia-monitor.com/main /index.php? option=com_content &task=view&id=1494&Itemid=33

”Mathla’ul Anwar Tidak Menjadi Bagian Partai Politik,” artikel diakses pada 08

Agustus 2010 dari http:// banten. antara news.com/berita/13395/mathlaul-anwar-tidak-menjadi-bagian-partai-politik

97