Distribusi an Dan Kemiskinan(2)

26
MAKALAH DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN Disusun Oleh Kelompok 9: 1. SAFITRI INDRAYANTI (2007310002) 2. BETTINA EMA P. R. (2007310045) 3.TIYARA SARI (2007310049) 4. AINUN FAUZIAH (2007310060) 5. KARTIKA TRIANA P. (2007310083) 6. HESTI PUTRI A. (2007310103) KELAS F STIE PERBANAS SURABAYA 1

Transcript of Distribusi an Dan Kemiskinan(2)

Page 1: Distribusi an Dan Kemiskinan(2)

MAKALAH

DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

Disusun Oleh Kelompok 9:

1. SAFITRI INDRAYANTI (2007310002)

2. BETTINA EMA P. R. (2007310045)

3. TIYARA SARI (2007310049)

4. AINUN FAUZIAH (2007310060)

5. KARTIKA TRIANA P. (2007310083)

6. HESTI PUTRI A. (2007310103)

KELAS F

STIE PERBANAS SURABAYA

JL. NGINDEN SEMOLO NO. 34-36

TELP. 031-5947151-52

TAHUN PELAJARAN 2007-2008

1

Page 2: Distribusi an Dan Kemiskinan(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat dan

hidayah-Nya, sehingga tugas makalah Perekonomian Indonesia tentang “Distribusi

Pendapatan dan Kemiskinan” ini dapat terselesaikan dengan tepat waktu. Makalah ini

kami susun berdasarkan sumber-sumber laporan berupa literatur. Kami menyusun makalah

ini sangat sederhana agar mudah dimengerti oleh mahasiswa lainnya.

Kami mengucapkan terima kasih khususnya kepada semua pihak yang telah

banyak membantu dalam memberikan petunjuk-petunjuk untuk menyusun makalah ini,

dan kepada seluruh tim kelompok kami yang telah banyak membantu memberikan ide dan

saran demi perbaikan dan kesempurnaan makalah ini.

Semoga makalah ini dapat memenuhi kebutuhan mahasiswa untuk

meningkatkan kemampuannya dalam menggali informasi dan membantu tugas-tugas

dalam rangka penilaian.

Akhirnya kami menyadari bahwa penyusunan makalah ini masih sangat

jauh dari sempurna. Oleh sebab itu kritik dan saran dari pembaca sangat kami harapkan

demi perbaikan dan penyempurnaan makalah kami. Mohon maaf apabila ada kesalahan

baik dalam penulisan maupun penggunaan bahasa yang kurang tepat dalam makalah ini.

Surabaya, 28 Mei 2008

TIM PENYUSUN

2

Page 3: Distribusi an Dan Kemiskinan(2)

DAFTAR ISI

Halaman Judul..............................................................................................1

Kata Pengantar..............................................................................................2

Daftar Isi........................................................................................................3

Pendahuluan..................................................................................................4

Latar Belakang...............................................................................................................4

Permasalahan.................................................................................................................7

Pembahasan........................................................................................................... 8

1. Konsep-konsep Distribusi Pendapatan.............................................8

2. Ketidakmerataan Distribusi Pendapatan.........................................9

2.1 Ketidakmerataan Pendapatan Nasional..................................10

2.2 Ketidakmerataan Pendapatan Spasial.....................................10

2.3 Ketidakmerataan Pendapatan Regional..................................11

3. Ketimpangan Pembangunan...........................................................12

4. Kesenjangan Sosial...........................................................................13

5. Tingkat Kemiskinan.........................................................................14

6. Mengapa Timpang?..........................................................................15

Kesimpulan........................................................................................................16

Daftar Pustaka............................................................................................................17

3

Page 4: Distribusi an Dan Kemiskinan(2)

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Prestasi pembangunan dapat dinilai dengan berbagai macam cara dan tolak

ukur, baik dengan pendekatan ekonomi maupun dengan pendekatan non-ekonomi.

Penilaian dengan pendekatan ekonomi dapat dilakukan berdasarkan tinjauan aspek

pendapatan maupun aspek non-pendapatan. Perekonomian Indonesia dapat ditinjau

berdasarkan aspek pendapatan, dengan tolak ukur pendapatan per kapita.

Pertumbuhan ekonomi secara mengejutkan berhasil pulih dengan cepat dari

kekacauan yang terjadi pada paruh pertama dekade 1960-an, yaitu mencapai pertumbuhan

dua digit untuk pertama kalinya pada tahun 1968. Sejak itu, pertumbuhan ekonomi yang

cepat, paling sedikit 5% per tahun, tetap dipertahankan hingga tahun 1982, yaitu ketika

melemahnya pasar minyak bumi dunia menyebabkan pertumbuhan ekonomi menurun

drastis. Pertumbuhan yang lambat ini terus berlangsung hingga tahun 1986 (kecuali pada

tahun 1984, sejalan dengan berdatangannya investasi minyak bumi dan gas dalam jumlah

besar, menggenjot pertumbuhan industri hingga 10%), ketika perubahan kebijakan yang

diterapkan pada pertengahan dekade 1980an mulai terlihat hasilnya. Diakhir dekade

tersebut,pertumbuhan Indonesia telah pulih kembali dan tingkat pertumbuhan sebesar 6% -

7% kembali berhasil dicapai, tidak terlalu jauh bedanya dibanding pertumbuhan yang

tinggi pada periode kejayaan minyak bumi.

Fenomena yang berlawanan terjadi sepanjang dekade 1980an, dengan

dilakukannya devaluasi besar sebanyak dua kali, yang mengakibatkan terjadinya depresiasi

riil yang tajam selama dekade tersebut, dan pada gilirannya menyebabkan penurunan

dalam deret data pendapatan perkapitajika diukur dalam dolar AS deret data ini

memberikan penjelasan tentang apa sebab, misalnya, pada tahun 1980 Indonesia mendapat

berbagai pujian resmi dan dinaikkan peringkatnya ke bagian bawah dari kelompok “negara

berpenghasilan menengah” versi Bank Dunia. Walaupun demikian, akibat terjadinya

devaluasi sepanjang dekade 1980an, pada tahun 1987 Indonesia kembali menduduki posisi

teratas kelompok negara-negara berpenghasilan rendah.

4

Page 5: Distribusi an Dan Kemiskinan(2)

Berbagai agregat sektoral yang luas ini, mencerminkan trend dari Neraca

Pendapatan Nasional (nilainya dalam rupiah), dengan beberapa pengecualian.

Pertumbuhan sektor industri adalah yang paling tidak merata dibanding semua sektor

lainnya, dengan pertumbuhan yang spektakuler pada beberapa waktu sebelum tahun 1980.

Semua kasus (kecuali satu) pertumbuhan super (dua digit) terjadi pada tahun 1968 hingga

1977. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu peningkatan yang dramatis dalam

kapasitas industri pengolahan akibat berhasil di atasinya kekurangan permintaan

konsumen, eksploitasi sumber daya mineral yang lebih efektif, dan sebagai akibat pesatnya

kenaikan kegiatan konstruksi. Sebaliknya, industri lambat pertumbuhannya pada tahun-

tahun tertentu, khususnya sepanjang akhir dekade 1970an dan awal dekade 1980an, yaitu

ketika Indonesia mematuhi kuota produksi OPEC. Pertumbuhan industri manufaktur juga

sangat lambat pada tahun 1982 dan 1983. Dengan demikian, industri tidak bisa disebut

sebagai “sektor utama” sepanjang periode ini. Indusrti merupakan sektor yang paling cepat

pertumbuhannya sepanjang periode kejayaan minyakbumi dan industri manufaktur

nonmigas terkena dampak pemulihan ekonomi yang terjadi pada akhir dekade 1980an.

Tetapi hingga masa pertumbuhan industri berbasis luas dan berorientasi ekspor yang

terjadi akhir-akhir ini, sektor industri cenderung mengalami pertumbuhan yang naik turun.

Tidak mengejutkan jika pertumbuhan sektor pertanian bersifat lebih lambat

dan lebih stabil. Pertumbuhannya hanya beberapa kali melebihi 5%, yaitu tingkat tertinggi

yang pernah dicapai sepanjang waktu. Angka ini terjadi pada tahun-tahun pemulihan sudah

terjadi keterpurukan, misalnya pada tahun 1968, 1973 dan 1992. Tetapi periode yang

paling penting sepanjang sejarah pertanian Orde Baru adalah tahun 1978 hingga 1981,

ketika pertumbuha yang tinggi berhasil meletakkan dasar bagi keberhasilan mencapai

swasembada beras pada tahun 1985. Prestasi ini sangat berlawanan dengan kinerja yang

lambat sepanjang dekade 1960an hingga 1970an, ketika kebijakan yang tidak tepat,

ditambah dengan buruknya musim dan serangan hama, menyebabkan krisis beras yang

berulang-ulang. Krisis ini secara khusus sangat serius ketika dibarengi dengan panen yang

buruk di negara-negara penghasil beras utama lainnya.

Dari ketiga sektor utama, sektor jasa adalah yang paling dekat berhubungan

dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Setelah dengan cepat pulih dari stagnasi pada

dekade 1960an, sektor jasa tumbuh paling sedikit 8% dalam hampir semua tahun antara

1968 dan 1981. Tingkat pertumbuhannya kemudian melambat, mengikuti melambatnya

tingkat perekonomian secara keseluruhan, sebelum akhirnya kembali normal pada akhir

dekade 1980an. Sesuai dengan teori pembangunan ekonomi, output sektor jasa tumbuh

5

Page 6: Distribusi an Dan Kemiskinan(2)

lebih cepat dari GDP, dan sektor tersebut pada saat ini hampir tidak bisa dibandingkan

dengan situasinya pada dekade 1960an. Tetapi orang juga enggan menyebutnya sebagai

lokomotif pertumbuhan ekonomi, karena sepanjang masa kejayaan minyak bumi,

pertumbuhan sektor ini sangat terkait dengan belanja pemerintah. Meskipun begitu, akhir-

akhir ini pertumbuhan sektor jasa yang cepat, diperoleh terlepas dari belanja pemerintah,

khususnya dengan berkembangnya turisme dan semakin luasnya jenis usaha di sektor jasa.

Pembangunan ekonomi sejak Pelita I hingga krisis tahun 1997 memang

telah memberi hasil positif bagi perekonomian Indonesia, terutama jika dilihat dari sisi

kinerja ekonomi makro. Tingkat PN riil rata-rata perkapita mengalami peningkatan yang

cukup signifikan dari hanya sekitar US$ 50 pertengahan 1960-an menjadi lebih dari US$

1000 pertengahan 1990-an, dan bahkan Indonesia sempat disebut sebagai calon negara

industri baru di Asia Tenggara, satu tingkat di bawah NICs. Namun, dilihat dari sisi

kualitasnya, ternyata proses pembangunan ekonomi selama Orde Baru telah menciptakan

suatu kesenjangan yang besar, baik dalam bentuk ketimpangan dalam distribusi

pendapatan antarkelompok maupun kesenjangan ekonomi/pendapatan

antardaerah/provinsi. Pembangunan ekonomi yang tidak merata antarprovinsi membuat

sebagian masyarakat di banyak daerah di luar pulau Jawa seperti Aceh, Irian Jaya(Papua),

dan Riau ingin melepaskan diri dari Indonesia. Bahkan dapat dikatakan bahwa menangnya

kelompok prokemerdekaan di Timor Timur tidak lepas dari kekecewaan dari sebagian

besar masyarakat melihat kenyataan bahwa bergabungnya mereka dengan Indonesia

selama Orde Baru tidak menghasilkan pembangunan ekonomi yang berarti di wilayah

mereka.

6

Page 7: Distribusi an Dan Kemiskinan(2)

PERMASALAHAN

Dalam bab ini kita akan membahas bagaimana pembangunan ekonomi

daerah di Indonesia, terutama pada Distribusi PDB nasional dan bagaimana tingkat

kemiskinan yang terjadi di Indonesia.

7

Page 8: Distribusi an Dan Kemiskinan(2)

PEMBAHASAN

1. KONSEP-KONSEP DISTRIBUSI PENDAPATAN

Distribusi pendapatan nasional mencerminkan merata atau timpangnya

pembagian hasil pembagian hasil pembangunan suatu negara di kalangan penduduknya.

Terdapat berbagai kriteria atau tolak ukur untuk menilai kemerataan (parah atau lunaknya

ketimpangan) distribusi dimaksud. Tiga di antaranya yang paling lazim di gunakan adalah:

1. Kurva Lorenz;

2. Indeks atau Rasio Gini;

3. Kriteria Bank Dunia.

Kurva Lorenz menggambarkan distribusi kumulatif pendapatan nasional di

kalangan lapisan-lapisan penduduk, secara kumulatif pula. Kurva Lorenz yang semakin

dekat ke diagonal (semakin lurus) menyiratkan distribusi pendapatan nasional yang

semakin merata. Sebaliknya, jika kurva Lorenz semakin jauh dari diagonal (semakin

lengkung), maka ia mencerminkan keadaan yang semakin buruk, distribusi pendapatan

nasional semakin timpang atau tidak merata.

Indeks atau Rasio Gini adalah suatu koefisien yang berkisar dari angka 0

hingga 1, menjelaskan kadar kemerataan (ketimpangan) distribusi pandapatan nasional.

Semakin kecil (semakin mendekati nol) koefisiennya, pertanda semakin baik atau merata

distribusi. Di lain pihak, koefisien yang kian besar (semakin mendekati satu)

mengisyaratkan distribusi yang timpang atau senjang.

Kriteria ketidakmerataan versi Bank Dunia didasarkan atas porsi

pendapatan nasional yang dinikmati oleh tiga lapisan penduduk, yakni 40% penduduk

berpendapatan terendah (penduduk termiskin); 40% penduduk berpendapatan menengah;

serta 20% penduduk berpendapatan tertinggi (penduduk terkaya).

Kriteria ketidakmerataan versi Bank Dunia ini sering pula dipakai sekaligus

sebagai kriteria kemiskinan relatif. Kemerataan distribusi pendapatan nasional bukan

semata-mata “pendamping” pertumbuhan ekonomi dalam menilai keberhasilan

pembangunan. Ketidakmerataan sesungguhnya tak lepas dari masalah kemiskinan.

Keduanya ibarat dua sisi pada sekeping mata uang.

8

Page 9: Distribusi an Dan Kemiskinan(2)

2. KETIDAKMERATAAN DISTRIBUSI PENDAPATAN

Upaya untuk memeratakan pembangunan dan hasil-hasilnya baru tampak

nyata sejak Pelita III, manakala srtategi pembangunan secara eksplisit diubah dengan

menempatkan pemerataan sebagai aspek pertama dalam trilogi pembangunan. Semenjak

itu dikenal kebijaksanaan delapan jalur pemerataan, meliputi:

a. Pemerataan pemenuhan kebutuhan pokok rakyat banyak khususnya pangan,

sandang, dan perumahan;

b. Pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan;

c. Pemerataan pembagian pendapatan;

d. Pemerataan kesempatan kerja;

e. Pemerataan kesempatan berusaha;

f. Pemerataan kesempatan berpartisipasi dalam pembangunan khususnya bagi

generasi muda dan kaum wanita;

g. Pemerataan penyebaran pembangunan di seluruh tanah air;

h. Pemerataan kesempatan memperoleh keadilan.

Dalam kaitan khusus dengan pemerataan pembagian pendapatan (jalur

ketiga), kita dapat memilah tinjauan permasalahan dari tiga segi yaitu:

a. Pembagian pendapatan antarlapisan pendapatan masyarakat;

b. Pembagian pendapatan antardaerah, dalam hal ini antara wilayah perkotaan

dan wilayah pedesaan;

c. Pembagian pendapatan antarwilayah, dalam hal ini antarpropinsi dan

antarkawasan (barat, tengah, timur).

9

Page 10: Distribusi an Dan Kemiskinan(2)

2.1 KETIDAKMERATAAN PENDAPATAN NASIONAL

Distribusi atau pembagian pendapatan antarlapisan pendapatan masyarakat

dapat ditelaah dengan mengamati perkembangan angka-angka Rasio Gini. Koefisien Gini

itu sendiri, perlu dicatat, bukanlah merupakan indikator paling ideal tentang

ketidakmerataan (ketimpangan,kesenjangan) distribusi pendapatan antarlapisan. Namun

setidak-tidaknya ia cukup memberikan gambaran mengenai kecenderungan umum dalam

pola pembagian pendapatan. Angka-angka koefisien Gini dihitung berdasarkan pendekatan

pengeluaran.

Dalam perbandingan internasional, distribusi pendapatan nasional Indonesia

tidak lebih buruk bila dibandingkan dengan beberapa negara tetangga di Asia.

Dibandingkan dengan Republik Rakyat Cina; Malaysia; Filipina dan Thailand, distribusi

pendapatan nasional Indonesia relatif lebih merata. Porsi pendapatan nasional yang

dinikmati oleh lapisan 40% penduduk berpendapatan terendah, lebih besar.

2.2 KETIDAKMERATAAN PENDAPATAN SPASIAL

Ketidakmerataan distribusi pendapatan antarlapisan masyarakat bukan saja

berlangsung secara nasional. Akan tetapi hal itu juga terjadi secara spasial atau

antardaerah, yakni antardaerah perkotaan dan daerah pedesaan. Di Indonesia pembagian

pendapatan relatif lebih merata di daerah pedesaan daripada di daerah perkotaan.

Ketidakmerataan pendapatan yang berlangsung antardaerah tidak hanya

dalam hal distribusinya, tapi dalam hal tingkat atau besarnya pendapatn itu sendiri. Hal ini

dapat dilihat dengan cara membandingkan persentase penduduk pedesaan terhadap

penduduk perkotaan untuk tiap-tiap golongan pendapatan. Porsi penduduk pedesaan yang

berada dalam rentang pendapatan lapis bawah lebih besar daripada porsi penduduk

perkotaan. Sebaliknya, pada rentang pendapatan lapis atas, porsi penduduk pedesaan lebih

kecil.

10

Page 11: Distribusi an Dan Kemiskinan(2)

2.3 KETIDAKMERATAAN PENDAPATAN REGIONAL

Secara regional atau antarwilayah, berlangsung pula ketidakmerataan

distribusi pendapatan antarlapisan masyarakat. Bukan hanya itu, di antara wilayah-wilayah

di Indonesia bahkan terdapat ketidakmerataan tingkat pendapatan itu sendiri. Jadi, dalam

perspektif antarwilayah, ketidakmerataan terjadi baik dalam hal tingkat pendapatan

masyarakat antar wilayah yang satu dengan yang lain, maupun dalam hal distribusi

pendapatan di kalangan penduduk masing-masing wilayah. Dalam hal tingkat

pendapatannya sendiri, terdapat perbedaan yang cukup mencolok di antara wilayah-

wilayah di tanah air. Pembandingan untuk ini dapat dilakukan melalui angka-angka

Produk Domestik Bruto (PDRB) per kapita antarpropinsi.

Di antara 27 propinsi di tanah air, per tahun 1991 hanya ada 6 propinsi yang

PDRB per kapitaaya lebih besar daripada PDB per kapita Indonesia. Angka PDB per

kapita Indonesia di sini termasuk minyak bumi dan hasil-hasilnya. Keenam propinsi

dimaksudkan adalh Daerah Istimewa Aceh, Riau, Sumatera Selatan, Daerah Khusus

Ibukota Jakarta, Kalimantan Timur, dan Irian Jaya. Berarti keenam propinsi inilah yang

pendapatannya per kapita penduduknya lebih tinggi daripada pendapatan per kapita rata-

rata Indonesia. Perhatikan, tidak semua propinsi yang menghasilkan minyak bumi

memiliki PDRB per kapita lebih besar daripada PDB per kapita. Di lain pihak, di antara

enam propinsi yang pendapatan per kapita lebih besar daripada pendapatan per kapita

Indonesia, ada yang tidak menghasilkan minyak bumi yakni DKI Jakarta.

Lebih besarnya pendapatan per kapita penduduk Jakarta daripada penduduk

Indonesia sebagai keseluruhan, meskipun propinsi ini tidak menghasilkan minyak bumi,

rasanya mudah dimaklumi. Jakarta merupakan ibukota negara. Wilayah ini bukan saja

pusat pemerintahan, tapi sekaligus juga menjadi pusat perekonomian. Kegiatan ekonomi

Indonesia bertumpu di sini. Demikian halnya dengan PDRB per kapita Bali, propinsi yang

juga tidak menghasilkan minyak bumi, lebih besar daripada PDB per kapita Indonesia.

Mudah diduga, hal itu adalah berkat keberhasilannya meraup pendapatan dari sektor

pariwisata. Seperti diketahui, Bali merupakan daerah tujuan wisata utama di tanah air.

11

Page 12: Distribusi an Dan Kemiskinan(2)

3. KETIMPANGAN PEMBANGUNAN

Ketimpangan pembangunan di Indonesia selama ini berlangsung dan

berwujud dalam berbagai bentuk, aspek, atau dimensi. Bukan saja berupa ketimpangan

hasil-hasilnya, misalnya dalam hal pendapatan per kapita, tetapi juga ketimpangan

kegiatan atau proses pembangunan itu sendiri. Bukan pula semata-mata berupa

ketimpangan spasial atau antardaerah, yakni antara daerah pedesaan dan daerah perkotaan.

Akan tetapi juga berupa ketimpangan sektoral dan ketimpangan regional.

Tersedia cukup bukti yang bisa diajukan untuk menunjukkan betapa

ketimpangan masih memprihatinkan. Bahkan dalam kehidupan sehari-hari pun bukti

tersebut bisa terlihat dengan kasat mata dan dirasakan. Bermunculannya kawsan-kawsan

kumuh (slumps) di tengah beberapa kota besar, serta (sebaliknya, di lain pihak) hadirnya

kantong-kantong permukiman mewah di tepian kota atau bahkan di daerah pedesaan,

adalah satu bukti nyata ketimpangan yang langsung dapat kita saksikan dan rasakan.

Perbedaan mencolok dalam gaya hidup masyarakat merupakan bukti lain lagi. Secara

“akademik”, berbagai ketimpangan yang ada dapat disimak dengan menelaah sejumlah

data statistis.

Upaya untuk mengatasi ketimpangan-ketimpangan yang terjadi, menurut

penilaian beberapa kalangan, sebetulnya sudah mulai dirintis sejak awal Pelita III. Ketika

itu urutan trilogi pembangunan dirasionalisasikan dengan menempatkan pemerataan

sebagai prioritas pertama. Ini bahkan dipertahankan terus hingga Repelita IV, namun

hasilnya belum tidak sesuai harapan. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa, secara umum,

kesejahteraan orang-orang Indonesia dewasa ini lebih baik dibandingkan masa-masa

sebelumnya. Akan tetapi peningkatan kesejahteraan secara umum tidaklah dengan

sendirinya mengurangi ketimpangan.

Ketimpangan sektoral dan ketimpangan regional dalam pembangunan dapat

ditengarai antara lain dengan menelaah perbedaan mencolok dalam aspek-aspek seperti

penyebaran tenaga kerja, alokasi dana perbankan, investasi dan pertumbuhan.ketimpangan

pertumbuhan antarsektor bukan saaja terjadi pada masa lalu sejak Pelita I hingga Pelita V.

Akan tetapi juga memang “ direncanakan” untuk masa-masa yang akan datang.

Ketimpangan sektoral dalam aspek pertumbuhan ini sangat mencolok apabila kita

membandingkan sektor pertanian dengan sektor industri pengolahan.

12

Page 13: Distribusi an Dan Kemiskinan(2)

4. KESENJANGAN SOSIAL

Ketimpangan antardaerah di tanah air dapat pula diungkap melalui berbagai

variabel selain pendapatan, bahkan variabel non-ekonomi. Dengan mengenali berbagai

ketimpangan dalam variabel-variabel non-ekonomi dapat tersingkap adanya kesenjangan

sosial di Indonesia.

Dilihat berdasarkan berbagai indikator, terlihat masih berlangsung

kesenjangan kesejahteraan antara orang-orang di desa dan orang-orang kota. Bahakan

untuk beberapa variabel atau indikator, sekalipun skor kesejahteraan mengisyaratkan

adanaya perbaikan, perbedaan itu cukup mencolok. Persentase penduduk berusia 10 tahun

ke atas yang melek-huruf lebih besar di kota daripada di desa. Keadaan bayi dan anak-anak

balita di kota lebih baik daripada mereka yang tinggal di desa. Indeks mutu hidup di kta

juga jauh lebih baik daripada di desa. Semua ini cukup untuk membuktikan betapa masih

memprihatinkannya kesenjangan sosial antara masyarakat desa dan masyarakat kota.

Kesenjangan sosial pun bukan hanya berlangsung antardaerah, tetapi juga antarwilayah.

Ketidakmetaraan atau ketimpangan atau kesenjangan diukur dengan

berbagai variabel serta dalam berbagai dimensi agaknya merupakan fenomena atau produk

sampingan yang tak terelakan dalm PJP I. Ketimpangan-ketimpangan yang ada bersifat

majemuk dan berskala nasional. Pengurangan kemiskinan memang perlu. Kemiskinan,

sampai kadar tertentu, memang bertalian dengan ketimpangan. Akan tetapi pengurangan

kemiskinan tidak selalu berarti pengurangan ketimpangan. Sebagai suatu bangsa, kita

bukan hanya ingin hidup lebih makmur (tidak miskin), tetapi juga mendambahkan

kebersamaan dalam kemakmuran; kesejahteraan bersama yang relatif setara, tanpa

perbedaan mencolok satu sama lain.

Kesejahteraan atau keadaan tidak miskin merupakan keinginan lahiriah

setiap orang. Kesetaraan kemakmuran, dalam arti perbedaan yang ada tidak terlalu

mencolok, merupakan salah satu sarana yang memungkinkan orang-orang bisa hidup

bermasyarakat dengan baik dan tenang, tidak menimbulkan kecemburuan sosial.

Kemerataan sama pentingnya dengan kemakmuran. Pengurangan ketimpangan atau

kesenjangan sama pentingnya dengan pengurangan kemiskinan.

13

Page 14: Distribusi an Dan Kemiskinan(2)

5. TINGKAT KEMISKINAN

Persentase penduduk yang yang hidup di bawah garis kemiskinan

digunakan sebagai salah satu alat ukur tingkat ketimpangan ekonomi antardaerah. Jika

dilihat distribusi dari jumlah penduduk miskin di Indonesia, lebih dari 55%-nya terdapat di

pulau Jawa. Pulau Jawa memang merupakan pusat kemiskinan di Indonesia, dan hal ini

erat kaitannya dengan angka kepadatan penduduk yang memang di pulau Jawa paling

tinggi dibandingkan dengan di provinsi-provinsi lain di Indonesia. Fakta ini memberikan

kesan adanya suatu korelasi positif antara kepadatan penduduk dan tingkat kemiskinan di

ladang untuk bertani atau lokasi untuk membangun pabrik atau melakukan kegiatan-

kegiatan ekonomi lainnya, semakin kecil kesempatan kerja dan sumber pendapatan, yang

berarti juga semakin besar persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.

Ada dua hal yang menarik. Pertama, provinsi Jawa Tengah dan DI

Yogyakarta merupakan pusat kemiskinan di IKB, sedangkan NTB dan NTT di IKT. Paling

besarnya kemiskinan di Jawa Tengah dan DI Yogyakarta tersebut erat kaitannya dengan

kenyataan bahwa tingkat kepadatan penduduk tertinggi di Indonesia adalah di dua wilayah

tersebut. Sedangkan di Nusa Tenggara dikarenakan oleh tingkat pembangunan yang

rendah, bukan karena kepadatan penduduk, karena jumlah penduduk di wilayah tersebut

relatif sedikit. Kedua, sebagian besar dari provinsi-provinsi di Indonesia mengalami

penurunan bervariasi per provinsi, yang erat kaitannya dengan kinerja perekonomian

regional yang juga bervariasi menurut provinsi.

Selain dengan jumlah orang yang hidup di bawah garis kemiskinan atau

sebagai suatu persentase dari jumlah populasi, besarnya kemiskinan di suatu wilayah dapat

juga di ukur dengan sejumlah variabel lain seperti jumlah rumah tangga yang membayar

listrik (PLN), yang memiliki kendaran bermotor, atau yang memiliki sambungan telepon

per 1000 rumah tangga.BPD dkk. (2001), membuat suatu indeks yang disebut indeks

kemiskinan manusia (IKM) yang terdiri dari 5 unsur utama, yakni suatu proporsi dari

jumlah populasi yang diperkirakan tidak mencapai usia 40 tahun, yang buta huruf, yang

tidak memiliki akses terhadap ait bersih dan sarana kesehatan, dan balita kurang gizi.

14

Page 15: Distribusi an Dan Kemiskinan(2)

6. MENGAPA TIMPANG ?

Ada dua faktor yang layak dikemukakan untuk menerangkan mengapa

ketimpangan pembangunan dan hasil-hasilnya dapat terjadi. Faktor pertama adalah karena

ketidaksetaraan anugerah awal (initial endowment) di antara pelaku-pelaku ekonomi.

Sedangkan faktor kedua adalah strategi pembangunan dalam era PJP I lebih bertumpu

pada aspek pertumbuhan (growth).

Sebagian dari ketidaksetaraan anugerah awal itu bersifat alamiah (natural)

atau bahkan ilahiah. Akan tetapi sebagian lagi bersifat struktural. Ketidaksetaraan

anugerah awal tersebut berakibat peluang dan harapan untuk berkiprah dalam

pembangunan menjadi tidak seimbang. Ada yang dapat dengan cepat menyergap peluang

membangun, ada pula yang lamban. Pada gilirannya, sepanjang kurun prmbangunan,

timbul ketidakmerataan. Sebagai bukti bahwa dalam praktiknya selama ini kita lebih

peduli akan pertumbuhan dibandingkan pemerataan, dapat dicermati melalui sasaran-

sasaran pembangunan yang pernag ditetapkan. Sepanjang PJP I kita senantiasa hanya

menetapkan target-target tingkat pertumbuhan yang hendak dicapai. Kita tidak pernah

menetapkan target mengenai tingkat kemerataan, misalnya dengan menetapkan bahwa

pada tahun tertentu Indeks Gini (salah satu ukuran kemertaan) harus mencapai angka

rendah tertentu.

15

Page 16: Distribusi an Dan Kemiskinan(2)

KESIMPULAN

Distribusi pendapatan nasional mencerminkan merata atau timpangnya

pembagian hasil pembagian hasil pembangunan suatu negara di kalangan penduduknya.

Tiga tolak ukur untuk menilai kemerataan distribusi pendapatan adalah Kurva Lorenz,

Indeks atau Rasio Gini, dan Kriteria Bank Dunia. Distribusi atau pembagian pendapatan

antarlapisan pendapatan masyarakat dapat ditelaah dengan mengamati perkembangan

angka-angka Rasio Gini. Dalam perbandingan internasional, distribusi pendapatan

nasional Indonesia tidak lebih buruk bila dibandingkan dengan beberapa negara tetangga

di Asia. Di Indonesia pembagian pendapatan relatif lebih merata di daerah pedesaan

daripada di daerah perkotaan. Dalam perspektif antarwilayah, ketidakmerataan terjadi baik

dalam hal tingkat pendapatan masyarakat antar wilayah yang satu dengan yang lain,

maupun dalam hal distribusi pendapatan di kalangan penduduk masing-masing wilayah.

Ketimpangan pembangunan di Indonesia berlangsung dan berwujud dalam

berbagai bentuk, aspek, atau dimensi. Tidak saja berupa ketimpangan hasil, misalnya

dalam hal pendapatan per kapita, tetapi juga ketimpangan kegiatan atau proses

pembangunan. Tidak pula semata-mata berupa ketimpangan spasial atau antardaerah,

yakni antara daerah pedesaan dan daerah perkotaan. Akan tetapi juga berupa ketimpangan

sektoral dan ketimpangan regional. Upaya untuk mengatasi ketimpangan-ketimpangan

yang terjadi, menurut penilaian beberapa kalangan, sebetulnya sudah mulai dirintis sejak

awal Pelita III. Persentase penduduk yang yang hidup di bawah garis kemiskinan

digunakan sebagai salah satu alat ukur tingkat ketimpangan ekonomi antardaerah. Provinsi

Jawa Tengah dan DI Yogyakarta merupakan pusat kemiskinan di IKB, sedangkan NTB

dan NTT di IKT.

Ada dua faktor yang layak dikemukakan untuk menerangkan mengapa

ketimpangan pembangunan dan hasil-hasilnya dapat terjadi. Faktor pertama adalah karena

ketidaksetaraan anugerah awal (initial endowment) di antara pelaku-pelaku ekonomi.

Sedangkan faktor kedua adalah strategi pembangunan dalam era PJP I lebih bertumpu

pada aspek pertumbuhan (growth).

16

Page 17: Distribusi an Dan Kemiskinan(2)

DAFTAR PUSTAKA

Basri, Faisal. 2002. Perekonomian Indonesia, Tantangan dan Harapan bagi Kebangkitan

Indonesia. Erlangga : Jakarta.

Tumbunan, Tulus T.H. 1996. Perekonomian Indonesia. Ghalia Indonesia : Jakarta.

17