DISPNEA.docx
-
Upload
lina-pratiwi -
Category
Documents
-
view
136 -
download
0
description
Transcript of DISPNEA.docx
Tugas Ilmu Penyakit Dalam
Bagian Penyakit Jantung
Dispnea dan Dispnea Nokturnal Paroksismal
Dokter Pembimbing :
Dr. Syahrir, SpJP
Disusun oleh :
Lina Pratiwi
NIM 03009136
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PRNYAKIT DALAM RSUD KOTA BEKASI
PERIODE SEPTEMBER-DESEMBER 2013
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
1. DISPNEA
Pasien dengan penyakit jantung dan atau paru umumnya memiliki gejala dispnea.
Dispnea didefinisikan sebagai sensasi benapas yang tidak nyaman (an uncomfortable
sensation of breathing) atau sensasi bernapas yang tidak nyaman dan disadari bahwa hal
tersebut merupakan suatu kelainan (abnormally uncomfortable awareness of breathing). 1,2,3
Anamnesis yang lengkap sangat penting untuk memperoleh kepastian apakah pasien benar-
benar menderita dispnea. Apabila dispnea telah ditegakkan, maka sangat penting untuk
memperoleh data-data mengenai penyebab dispnea dan menilai gejala dan tanda lain yang
berhubungan dengan dispnea. Pada beberapa situasi, pasien terkadang tampak kesulitan
bernapas namun tidak mengeluhkan dispnea. Hal ini tampak pada keadaan hiperventilasi
akibat asidosis metabolik dimana jarang ditemukan bersamaan dengan dispnea. Pada keadaan
lain, pasien dengan pola napas yang normal dapat mengeluhkan dispnea. 1
2. KUANTITAS DISPNEA
Derajat dispnea didasarkan atas seberapa besar kegiatanm/ aktivitas fisik yang
dibutuhkan untuk menimbulkan sensasi. Dalam menilai derajat dispnea, dibutuhkan data-data
mengenai kondisi fisik umum pasien, riwayat pekerjaan, dan kebiasaan pasien. Sebagai
contoh, dispnea yang terjadi pada seorang pelari terlatih yang berlari sejauh 2 mill
menunjukkan gangguan yang lebih serius dibandingkan dengan dispnea pada seorang pejalan
kaki yang berlari dengan jarak yang sama. Variasi antar individu dalam persepsi juga patut
dipertimbangkan. Beberapa pasien dengan penyakit berat mungkin hanya mengeluh dispnea
ringan, sedangkan pada pasien dengan penyakit ringan dapat mengeluhkan dispnea berat. 1
Beberapa pola dispnea tidak berhubungan langsung dengan aktivitas fisik. Dispnea
saat istirahat yang terjadi tiba-tiba dapat berkaitan dengan emboli paru, pneumotoraks
spontan, hiperkapnia sekunder terhadap penahanan napas, atau keadaan cemas. Episode
nokturnal dispnea paroksismal berat merupakan karakteristik dari gagal jantung ventrikel
kiri. Dispnea saat posisi berbaring, atau orthopnea, walaupun merupakan gejala utama gagal
jantung kongestif namun dapat pula ditemukan pada asma, obstruksi kronik saluran napas
dan paralisis diafragma bilateral. Trepopnea adalah dispnea yang terjadi hanya pada posisi
lateral dekubitus, yang sering pada pasien dengan penyakit jantung. Platypnea adalah dispnea
yang terjadi hanya pada posisi tegak. Hal yang mendasari yaitu bahwa perubahan posisi
berhubungan dengan ventilasi-perfusi. 1
American Thoracic Society membuat skala yang dapat digunakan untuk menentukan
derajat dispnea.
Tabel 1. American Thoracic Society Scale of Dyspnea 2
DESCRIPTIONS GRADE DEGREE
Not troubled by shortness of breath when hurrying on the
level or walking up a slight hill
Troubled by shortness of breath when hurrying on the level
or walking up a slight hill
Walks more slowly than people of the same age on the level
because of breathlessness or has to stop for breath when
walking at own pace on the level
Stops for breath after walking about 100 yards or after a few
minutes on the level
Too breahtless to leave the house; breathless on dressing or
undressing
0
1
2
3
4
None
Mild
Moderate
Severe
Very severe
3. MEKANISME DISPNEA
Dispnea dipicu oleh stimulus terhadap reseptor yang terdapat dalam saluran napas atas,
paru, otot-otot pernapasan, dinding dada, atau kombinasi dari reseptor-reseptor tersebut.
Dispnea ditandai oleh aktivasi pusat pernapasan yang abnormal atau berlebihan dalam batang
otak. Aktivasi ini berasal dari stimulus yang ditransmisikan dari atau melalui : 1,3
1. Reseptor intratoraks melalui nervus vagus
2. Saraf somatic aferen, terutama dari otot pernapasan dan dinding dada, selain itu juga
dari otot rangka dan sendi lain
3. Kemoreseptor di dalam otak, aorta dan badan karotis, serta semua tempat dalam
sirkulasi
4. Pusat kortikal yang lebih tinggi
5. Serat aferen dalam nervus phrenikus
4. DIAGNOSIS BANDING
Obstruksi saluran napas
Obstruksi saluran napas dapat ditemukan pada setiap bagian mulai dari saluran napas
ekstratorakal hingga saluran napas kecil di perifer paru. Obstruksi saluran napas ekstratorakal
yang besar dapat terjadi akut seperti aspirasi makanan atau benda asing atau angioedema
glotis. Obstruksi saluran napas atas akut merupakan keadaan emergensi. Obstruksi kronik
dapat ditemukan tumor atau stenosis fibrotik pasca trakeostomi atau pasca intubasi
endotrakeal yang lama. Obstruksi akut dan kronik memiliki gejala utama berupa dispnea
dengan tanda khas yaitu adanya stridor dan retraksi fosa supraklavikula saat inspirasi.
Obstruksi saluran napas intratorakal dapat terjadi secara akut dan intermiten atau
dapat dijumpai secara kronik dan semakin parah jika terdapat infeksi. Obstruksi intermiten
akut dengan wheezing merupakan ciri khas serangan asma. Batuk kronik dengan ekspektorasi
merupakan ciri khas bronkhitis kronik dan bronkiektasis. Paling sering ditemukan adalah
ekspirasi memanjang serta suara ronkhi kasar, terdapat menyeluruh pada bronchitis kronik,
dan dapat terlokalisir pada bronkiektasis. Infeksi mengakibatkan gejala batuk semakin
bertambah parah, peningkatan pengeluaran sputum yang purulen dan dispnea yang lebih
berat. Selama serangan ini, pasien dapat mengeluhkan paroksismal nokturnal dispnea
dengan wheezing yang akan berkurang dengan batuk dan pengeluaran sputum.
Emfisema ditandai oleh gejala dispnea d’effort selama bertahun-tahun yang kemudian
berkembang menjadi gejala dispnea saat istirahat. Meskipun berdasarkan definisinya
emfisema adalah penyakit parenkim paru, emfisema selalu disertai dengan obstruksi saluran
napas.
Penyakit Paru Parenkimal Difus
Kelompok penyakit ini mencakup penyakit yang berkisar dari pneumonia akut hingga
kelainan kronik seperti sarkoidosis dan berbagai bentuk pneumokoniosis. Riwayat penyakit,
hasil pemeriksaan jasmani dan kelainan radiologi memberikan petunjuk untuk menegakkan
diagnosis. Pasien sering terlihat takipnea dengan PCO2 dan PO2 arterial dibawah nilai
normal. Volume paru menurun dan paru-paru menjadi lebih kaku yaitu
penurunan compliance dibandingkan dengan paru-paru normal.
Penyakit Vaskular Paru Oklusif
Dispnea berulang saat istirahat sering terjadi akibat emboli paru yang berulang.
Adanya sumber emboli seperti phlebitis pada ekstremitas bagian bawah atau pelvis sangat
membantu dalam mendiagnosis. Pemeriksaan gas darah arteri umumnya abnormal, tetapi
volume paru seringkali normal atau hanya didapat kelainan minimal.
Penyakit Dinding Dada atau Otot Respirasi
Pemeriksaan fisik dapat menegakkan keberadaan penyakit dinding dada seperti
kifoskoliosis berat, pectus ekskavatum dan spondilitis. Walaupun secara keseluruhan tiga
deformitas ini dapat disertai dengan gejala dispnea, hanya kifoskoliosis berat yang selalu
mengganggu respirasi dengan intensitas cukup berat hingga terjadi cor pulmonale kronik dan
gagal napas. Kelemahan dan paralisis otot-otot pernapasan dapat menimbulkan dispnea dan
gagal napas.
Penyakit Jantung
Pada penyakit jantung, dispnea d’effort terjadi sebagai akibat dari peningkatan
tekanan kapiler paru yang dapat disebabkan oleh penurunan compliance ventrikel kiri dan
stenosis mitral. Kenaikan tekanan hidrostatik pada pulmonary vascular bed mengganggu
keseimbangan Starling sehingga terjadi transudasi cairan ke dalam rongga interstisial,
mengurangi compliance paru dan merangsang reseptor J (jukstakapilaris) dalam rongga
interstisial alveoli. Jika terjadi dalam jangka waktu lama, hipertensi vena paru akan
mengakibatkan penebalan dinding pembuluh darah kecil paru, meningkatkan sel perivaskular
dan jaringan ikat sehingga mengakibatkan penurunan compliance paru lebih lanjut.
Kompetisi antara pembuluh darah, saluran napas, dan peningkatan cairan dalam ruang
interstitial akan meningkatkan resistensi saluran napas. Penurunan compliance dan
peningkatan resistensi saluran napas meningkatkan kerja pernapasan. Pada gagal jantung
kongestif lanjut, umumnya melibatkan tekanan vena paru dan vena sistemik, sehingga dapat
timbul hidrotoraks yang akan memperberat dispnea. Pada pasien dengan gagal jantung dan
curah jantung yang sangat menurun, dispnea dapat juga dikaitkan dengan kelelahan otot
respirasi sebagai akibat perfusi yang menurun
Ortopnea, yaitu dispnea pada posisi berbaring, terjadi akibat perubahan gaya gravitasi
ketika pasien berbaring sehingga akan meningkatkan tekanan vena dan kapiler paru.
Ortopnea mengakibatkan redistribusi cairan dari abdomen dan ekstremitas bawah ke toraks
sehingga meningkatkan tekanan kapiler paru, dikombinasikan juga dengan elevasi diafragma.
Paroksismal nocturnal dyspnea, dikenal dengan asma kardiak, ditandai dengan serangan
sesak napas yang berat yang umumnya terjadi pada malam hari dan membangunkan pasien
dari tidur. Serangan tersebut dicetuskan oleh stimulus yang memperburuk kongesti paru
yang telah ada sebelumnya. Volume total darah menjadi lebih besar di malam hari karena
reabsorbsi edema dari ekstremitas ketika pasien berbaring. Dua bentuk nokturnal dispnea
yang harus dibedakan dari gagal jantung adalah bronkitis kronik dan asma. Bronkitis kronik
dikarakterisasikan dengan hipersekresi mukus. Setelah tidur beberapa jam, terjadi
akumulasi sekret, timbul dispnea dan wheezing, dan akan membaik dengan batuk dan
pengeluaran sputum. Pasien asma dapat membangunkan pasien dengan sensasi dispnea
berat dan wheezing. Inhalasi bronkodilator umumnya memperbaiki gejala dengan cepat.
Istilah ini berarti adanya episode akut dari sesak napas yang berat dan batuk yang biasanya
terjadi pada malam hari dan membangunkan pasien dari tidur, biasanya 1-3 jam setelah
pasien tidur. PND dapat bermanifestasi sebagai batuk-batuk atau wheezing, kemungkinan
karena peningkatan tekanan pada arteri bronchial menyebabkan kompresi saluran udara,
disertai dengan edema pulmoner interstitial yang meyebabkan peningkatan resistensi
saluran udara. Diketahui bahwa orthopnea dapat meringan setelah duduk tegak, sedangkan
pasien PND seringkali mengalami batuk dan wheezing yang persisten walaupun mereka
mengaku telah duduk tegak.
Pada dispnea kardiak dapat ditemukan riwayat infark miokard, suara jantung ketiga
serta keempat dan atau terdapat bukti yang menunjukkan pembesaran ventrikel kiri, distensi
vena jugularis leher serta edema perifer. Pada foto thoraks terdapat tanda gagal jantung yang
menunjukkan edema interstisial, redistribusi vaskuler pulmonalis dan penumpukan cairan di
daerah septal serta kavitas pleura. Ekokardiografi terutama berguna untuk menegakkan
diagnosis anatomi penyakit jantung yang dapat menjadi penyebab terjadinya dispnea.
Perbedaan antara Dispnea Kardiak dengan Dispnea Pulmonal
Pada sebagian besar pasien dispnea terbukti klinis adanya penyakit jantung atau pada
paru.. Seperti halnya dispnea kardiak, PPOK juga dapat terbangun di malam hari karena
sesak napas, tetapi gejala ini biasanya disertai dengan produksi sputum dan gejala dispnea
akan mereda setelah pasien berhasil mengeluarkan sputumnya.
Pada pasien dengan etiologi dispnea yang tidak jelas, sebaiknya dilakukan tes faal
paru karena tes ini dapat membantu menentukan apakah dispnea tersebut ditimbulkan oleh
penyakit jantung, penyakit paru, kelainan dinding dada ataukah oleh kecemasan. Pengukuran
Perbedaan Paroxsymal Nocturnal Dyspnea dan Orthopnea
fraksi ejeksi pada saat istirahat dan sewaktu melakukan latihan jasmani melalui pemeriksaan
ekokardiografi atau radionukletida ventrikulography amat membantu dalam menentukan
etiologi. Fraksi ejeksi ventrikel kiri akan menurun pada gagal ventrikel kiri, sedangkan pada
penyakit paru yang berat fraksi ejeksi ventrikel kanan dapat rendah pada saat istirahat atau
menurun sewaktu melakukan latihan jasmani. Pada dispnea akibat cemas atau malingering,
kedua fraksi ejeksi tersebut normal saat istirahat dan sewaktu melakukan latihan jasmani.
Observasi yang cermat selama tes treadmill membantu mengidentifikasi pasien cemas dan
malingering. Pada kedua keadaan ini, pasien biasanya mengeluh sesak napas, tetapi tampak
bernapas irregular atau tanpa tenaga.
Pemeriksaan jantung paru meliputi penilaian kapasitas fungsional maksimal exercise
pasien saat dilakukan pengukuran elektrokardiogram, tekanan darah, konsumsi oksigen,
saturasi arteri (oksimetri), dan ventilasi, membantu dalam membedakan dispnea kardiak dan
pulmonal.
Ansietas
Dispnea yang dialami oleh seseorang dengan ansietas merupakan gejala yang sulit
untuk dievaluasi. Keluhan dan gejala hiperventilasi akut serta kronik tidak dapat dipakai
untuk membedakan antara ansietas dan proses lainnya. Situasi lain yang dapat
membingungkan terlihat ketika nyeri dada dan perubahan gambaran EKG menyertai
sindroma hiperventilasi. Jika ditemukan dan ada kaitannya dengan kondisi ini, yang sering
disebut astenia neurosirkulatorik, gejala nyeri dada yang dikeluhkan acapkali terasa menusuk,
berpindah-pindah di berbagai lokasi dan perubahan gambaran EKG paling sering terlihat
selama repolarisasi. Respirasi yang sering disertai dengan tarikan napas panjang dan pola
pernapasan yang tidak beraturan merupakan petunjuk yang membantu penegakkan diagnosis.
Seringkali pola pernapasan tersebut akan kembali normal sewatu pasien tidur. Cemas dan
depresi yang berhubungan dengan penyakit paru atau jantung dapat menambah berat gejala
sesak napas.
EDEMA PARU
Edema paru terjadi akibat adanya akumulasi cairan di paru-paru. Edema paru dapat
diakibatkan oleh kelainan pada jantung (edema paru kardiogenik) atau kelainan di luar
jantung (edema paru non kardiogenik)
Mekanisme Edema Paru
Terdapat dua mekanisme terjadinya edema paru : 1,4,5
1.Membran kapiler alveoli
Edema paru terjadi jika perpindahan cairan dari darah ke ruang interstitial atau ke alveoli
melampaui pengembalian cairan ke dalam darah dan aliran cairan ke sistem pembuluh limfe.
Dalam keadaan normal terjadi pertukaran cairan dari pembuluh darah ke ruang interstitial.
2. Sistem limfe
Sistem limfe berperan dalam pemindahan cairan dari ruang interstitial. Bila kapasitas
saluran limfe dilampaui, akan terjadi edema. Diperkirakan pada pasien dengan berat 70 kg
pada keadaan istirahat kapasitas sistem limfe kira-kira 20 ml/jam. Pada percobaan,
didapatkan kapasitas sistem limfe bisa mencapai 200 ml/jam pada orang dewasa dengan
ukuran rata-rata. Jika terjadi peningkatan tekanan atrium kiri kronik, sistem limfe akan
mengalami hipertrofi dan mempunyai kemampuan mentransportasi filtrat kapiler dalam
jumlah yang lebih besar sehingga dapat mencegah terjadinya edema. Sedangkan bila terjadi
peningkatan tekanan kapiler paru yang tiba-tiba dapat berakibat fatal pada pasien yang tidak
mengalami penambahan aliran limfe sebelumnya.
Studi ekperimental membuktikan bahwa mekanisme edema paru menerapkan pula hukum
Starling.
Q (iv-int) = Kf {(Piv – Pint) – σ t(IIiv – IIint)}- Qlimf
Q = kecepatan transudasi dari pembuluh darah ke ruang interstitial
Piv = tekanan hidrostatik intravaskular
Pint = tekanan hidrostatik interstitial
IIiv = tekanan osmotik koloid intravaskular
IIint = tekanan osmotik koloid interstitial
σ t = koefesien refleksi protein / makromolekul
Kf = konduktans hidrolik (berbanding lurus dengan area permukaan membran dan
berbanding terbalik dengan ketebalan membran)
Qlimf = aliran limfe
Klasifikasi edema paru berdasarkan mekanisme pencetus dapat dilihat pada tabel di bawah
ini.
Tabel 1. Klasifikasi edema paru berdasarkan mekanisme pencetusnya 1,4
I. Gangguan keseimbangan gaya Starling
1. Peningkatan tekanan kapiler pulmonalis
1. Peningkatan tekanan vena pulmonalis tanpa gagal ventrikel kiri (misalnya pada stenosis
mitral)
2. Peningkatan tekanan vena pulmonalis yang terjadi sekunder akibat gagal ventrikel kiri
3. Peningkatan tekanan tekanan kapilerpulmonalis yang terjadi sekunder akibat
peningkatan tekanan arterial pulmonalis (keadaan ini disebut sebagai edema paru karena
overperfusi)
2. Penurunan tekanan osmotik
1. Hipoalbuminemia
3. Peningkatan negativitas pada tekanan interstisial
1. Pengosongan pnemotoraks yang cepat dengan diberikan tekanan negatif yang besar
(unilateral)
2. Tekanan pleura negatif yang besar akibat obstruksi saluran napas saja dengan
peningkatan volume akhir-ekspirasi (asma)
II. Berubahnya permeabilitas membran alveoli-kapiler (acute respiratory distress
syndrome)
1. Pneumonia infeksius bakterial, viral, parasit
2. Toksin yang terinhalasi (fosgen,ozon,klorin, asap teflon,nitrogen dioksida, asap api)
3. Zat asing yang beredar dalam darah (racun ular, endotoksin bakteri)
4. Aspirasi isi lambung
5. Pneuminitis radiasi akut
6. Zat-zat vasoaktif endogen (misalnya histamin, kinin)
7. Koagulasi intravaskular diseminata
8. Immunologi pneumonitis hipersensitivitas, obat-obatan (nitrofurantoin), leukoglutinin
9. Syok paru yang berkaitan dengan trauma nontorakal
10. Pankreatitis hemoragik akut
III. Insufisiensi limfatik
1. Setelah transplantasi paru
2. Karsinomatosis limfangitik
3. Limfangitis fibrosing (misalnya, silikosis)
IV. Tidak diketahui atau hanya dipahami sebagian
1. Edema paru di tempat tinggi
2. Edema paru neurogenik
3. Overdosis narkotika
4. Emboli paru
5. Eklamsia
6. Setelah kardioversi
7. Setelah anastesi
8. Setelah operasi pintas (bypass) kardiopulmoner
Edema Paru Kardiogenik
Peningkatan tekanan vena paru yang akan menimbulkan kongesti pada pembuluh
darah paru, sering ditemukan pada sebagian besar kasus dispnea yang menyertai gagal
jantung kongestif. Paru menjadi kurang compliance, tahanan pada pembuluh napas yang kecil
meningkat, dan terdapat kenaikan aliran limfe yang berfungsi mempertahankan volume
cairan ektravaskular paru yang konstan. Pada keadaan ini biasanya terdapat takipnea ringan.
Bila keadaan ini berlanjut maka peningkatan intravaskular akan mengakibatkan penumpukan
cairan di ruangan ekstravaskular sehingga timbul edema interstitial. Pada saat ini maka gejala
memburuk, takipneu meningkat, penurunan pertukaran gas lebih lanjut, dan terdapat
perubahan radiologi seperti garis Kerley B dan hilangnya batas vaskular yang jelas. Pada
stadium ini, taut antarsel endotel kapiler melebar dan dapat dilewati makromolekul ke
interstisium.
Kenaikan lebih lanjut tekanan intravaskular mengakibatkan disrupsi hubungan antara
sel-sel lapisan alveoli, sehingga timbul edema alveoli dengan cairan yang mengandung sel
darah merah dan makro molekul. Dengan disrupsi membrana alveoli – kapiler yang semakin
hebat, cairan edematous akan menggenangi alveoli dan saluran napas. Pada saat ini akan
terjadi edema paru yang full blown, secara klinis pasien tampak cemas dan mengeluarkan
keringat dingin, sputumnya berbuih dan mengandung bercak darah, terdengar ronki basah
bilateral sedangkan pada foto thoraks tampak gambaran paru yang berkabut dengan
peningkatan densitas pada hilus proksimal. Gangguan pertukaran gas semakin bertambah
berat dengan keadaan hipoksia yang memburuk. Tanpa penanganan yang efektif akan terjadi
asidemia progresif, hiperkapnia dan henti pernapasan. Urutan akumulasi cairan yang
diuraikan diatas mengkuti hukum Starling, dimana aliran limfe (Q limf ) juga turut berperan
dalam mengurangi edema yaitu mengikuti rumus akumulasi cairan = K f {(Piv – Pint) – σ t(IIiv –
IIint)}- Qlimf . 1,4
Edema Paru NonKardiogenik
Beberapa keadaan klinis yang disertai edema paru terjadi karena ketidakseimbangan
gaya Starling dan bukan terutama melalui peningkatan tekanan pulmonalis. Meskipun
berkurangnya tekanan onkotik plasma pada keadaan hipoalbuminemia (misalnya penyakit
hepar yang berat, sindroma nefrotik, protein losing enteropathy) diperkirakan menimbulkan
edema paru, namun keseimbangan berbagai tekanan biasanya sangat mendukung resobsi
cairan sehingga pada keadaan ini diperlukan peningkatan tekanan kapiler sebelum terjadi
edema interstisial. Peningkatan negativitas tekanan interstisial terjadi pada edema paru
unilateral sesudah pengeluaran secara cepat pada pneumotoraks. Dalam situasi ini, temuan
tersebut mungkin hanya terlihat pada pemeriksaan radiografi, tetapi terkadang pasien
mengalami dispnea dengan kelainan jasmani yang terlokalisir pada paru yang edema.
Timbulnya tekanan intrapleura negatif yang besar selama serangan asma berat yang akut
dapat disertai dengan timbulnya edema interstisial. Hambatan aliran cairan limfe yang terjadi
sekunder akibat penyakit fibrotik dan inflamatorik atau karsinomatosis limfangitik dapat
menimbulkan edema interstisial. Pada kasus semacam itu, baik manifestasi klinis maupun
radiologik didominasi oleh proses penyakit yang mendasarinya.
Keadaan lain yang juga ditandai adanya peningkatan cairan interstisial di dalam paru
namun dimulai bukan dengan terjadinya gangguan keseimbangan tekanan kapiler ataupun
oleh perubahan dalam aliran cairan limfe, tetapi timbul karena adanya disrupsi membran
alveoli-kapiler. Keadaan ini timbul pada keadaan toksis karena faktor lingkungan ataupun
terjadi spontan, termasuk infeksi paru difus, aspirasi dan syok. Edema paru yang terjadi difus
dan tidak disebabkan karena hemodinamik. Keadaan ini dapat menimbulkan acute
respiratory distress syndrome (ARDS). 1,4
Bentuk Edema Paru lainnya
Ada tiga bentuk edema paru yang belum jelas berhubungan dengan peningkatan
permeabilitas, aliran limfe yang tidak adekuat atau pun dengan gangguan keseimbangan
Starling sehingga dengan demikian mekanisme terjadinya edema masih belum diketahui.
Bentuk edema tersebut yaitu pada overdosis narkotika, pemajanan tempat yang tinggi (high
altitude pulmonary edema / HAPE), dan edema paru neurogenik.
Pada overdosis narkotika diperkirakan tejadi perubahan permeabilitas alveolus dan
membran kapiler. Mekanisme timbulnya edema pada high altitude masih belum jelas, dan
studi yang ada masih kontroversi antara terjadinya konstriksi vena pulmonal dan konstriksi
arteriolar paru. Hipoksia sendiri tidak mengubah permeabilitas membran alveolar-kapiler.
Peningkatan curah jantung dan tekanan arterial paru pada exercise dikombinasikan dengan
konstriksi arteriolar paru akibat hipoksia dipikirkan menjadi sebab timbulnya edema paru.
Edema paru neurogenik ditemukan pada pasien dengan kelainan sistem saraf pusat
dan tanpa diawali disfungsi ventrikel. Peningkatan masif aktivitas saraf adrenergik
mencetuskan vasokonstriksi perifer dengan peningkatan tekanan darah dan perpindahan
darah ke sirkulasi sentral. Kemungkinan dapat pula disebabkan adanya
penurunan compliance ventrikel kiri yang mengakibatkan perubahan hemodinamik sehingga
terjadi edema paru. Beberapa penelitian memperkirakan bahwa stimulasi reseptor adrenergik
meningkatkan permeabilitas kapiler secara langsung, namun efek ini mempengaruhi relatif
sedikit bila dibandingkan dengan ketidakseimbangan hukum Starling.
Pengobatan Edema Paru
Edema paru akut merupakan suatu keadaan yang emergensi. Tindakan yang dapat
diberikan berupa :
1. Morfin diberikan secara intravena dan berulang-ulang sesuai kebutuhan, dengan
dosis 2-4 mg. Obat ini dapat menurunkan kecemasan, stimulus vasokontriktor
adrenergik membrane artelior dan vena. Naloxone harus tersedia untuk antisipasi
terjadinya depresi pernapasan
2. Pemberian O2 100%, dan lebih dianjurkan dengan tekanan yang positif. Hal ini
meningkatkan tekanan intraalveolar, mengurangi transudasi cairan dari kapiler
alveoli, mengurangi venous return ke toraks, dan mengurangi tekanan kapiler paru.
3. Posisi pasien dipertahankan pada posisi duduk dengan posisi kaki menggelantung
pada sisi tempat tidur, diharapkan terjadi penurunan venous return
4. Diuretik intravena seperti furosemide bertujuan untuk meningkatkan diuresis,
mengurangi volumer darah sirkulasi, sehingga gejala edema paru dapat berkurang.
5. Penurunan afterload jantung dengan sodium nitroprusside pada pasien dengan
tekanan sistolik lebih dari 100 mmHg.
6. Pemberian inotropik dengan dopamine atau dobutamine
7. Aminophylline intravena kadangkala cukup efektif untuk mengurangi
bronkokonstriksi, meningkatkan aliran darah renal dan ekskresi natrium, dan
meningkatkan kontraktilitas miokard.
8.
DAFTAR PUSTAKA
1. Ingram RH, Braunwauld JE. Dyspnea and pulmonary edema. In :Kasper,
Braunwauld, Fauci, Hauser, Longo, Jameson. Harrison’s Principles of Internal
Medicine. 16th edition. Mc Graw Hill; 2005.p. 201-5
2. Braunwauld. Examination of the patient. In : Braunwauld. Heart Disease. A textbook
of cardiovascular medicine. 6th edition. WB Saunders; 2001.p. 28-30
3. Manning HL, Schwartzstein. Patophysiology of Dyspnea. N Engl J Med. Vol 333;
1995: 1547-53. http://www.nejm.com. Accessed on: 17 October 2013
4. Braunwauld. Clinical aspect of heart failure: high output failure; pulmonary edema. In
: Braunwauld. Heart Disease. A textbook of cardiovascular medicine. 6th edition. WB
Saunders; 2001.p. 553-7
5. Harun S. Edema paru akut. In : Sudoyo A, Markum, Setiati S. Naskah Lengkap
Penyakit Dalam PIT 98. Jakarta; 1998.p. 97-101