Diskusi Topik Bronkiolitis James Rsmc

26
DISKUSI TOPIK BRONKIOLITIS Disusun Oleh: James Setyadi Handono 07120110044 Pembimbing: Dr. Azis Masduki, SpA KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT MARINIR CILANDAK FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN Periode 10 Agustus 2015 – 17 Oktober 2015

description

bronkiolitis fix

Transcript of Diskusi Topik Bronkiolitis James Rsmc

DISKUSI TOPIK

BRONKIOLITIS

Disusun Oleh:

James Setyadi Handono

07120110044

Pembimbing:

Dr. Azis Masduki, SpA

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK

RUMAH SAKIT ANGKATAN LAUT MARINIR CILANDAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PELITA HARAPAN

Periode 10 Agustus 2015 – 17 Oktober 2015

  ii  

DAFTAR ISI

Halaman Judul ...................................................................................................... i

Daftar Isi ............................................................................................................... ii

Pendahuluan .......................................................................................................... 1

Pembahasan .......................................................................................................... 2

2.1 Definisi ................................................................................................... 2

2.2 Etiologi .................................................................................................... 2

2.3 Faktor Risiko ........................................................................................... 3

2.4 Epidemiologi ............................................................................................ 3

2.5 Patogenesis .............................................................................................. 4

2.6 Gejala ...................................................................................................... 6

2.7 Pemeriksaan penunjang ........................................................................... 7

2.8 Diagnosis ................................................................................................ 8

2.9 Diagnosis Banding ................................................................................... 10

2.10 Terapi ..................................................................................................... 14

2.10 Prognosis ............................................................................................... 20

2.11 Pencegahan ............................................................................................ 21

Penutup ................................................................................................................. 22

Daftar Pustaka ....................................................................................................... 23

  1  

PENDAHULUAN

Bronkiolitis merupakan infeksi respiratorik akut yang disebabkan oleh

peradangan pada bronkiolus, dan menyebabkan terjadi obstruksi saluran nafas.

Penyakit ini terjadi pada anak-anak dengan usia dibawah 2 tahun. Angka kejadian

bronkiolitis di dunia mencapai angka 3000-5000 anak dari 80.000 anak. Angka

kematian akibat kejadian ini sekitar 2 dari 100.000 bayi1. Keluhan bronkiolitis ini

sering berhubungan erat dengan asma. Hal ini mengingat gejala yang dialami

hamper sama, mulai dari adanya mengi/ whrrzing, hiperinflasi, retraksi, hingga

nafas cuping hidung1,2. Oleh karena itu, tujuan penulisan ini adalah untuk

mengenal lebih jauh mengenai bronkiolitis dan perbedaaannya dengan asma.

Bronkiolitis didiagnosis bukan berdasarkan pemeriksaan klinis dan

penunjang, tetapi hanya melalui pemeriksaan klinis. Penilaian tersebut dinilai

kegawtannnya berdasarkan skor RDAI dengan melihat adanya mengi / wheezing

dan retraksinya. Selain itu, nilai ini menentukan terapi yang dapat diberikan.

Sebenarnya, terapi yang diberikan hanya suportif dan sering bertabrakan dengan

pengobatan asma, khususnya dalam hal penggunaan kortikosteroid2,3. Hal ini

menyebabkan terjadinya over-treatment pada pasien bronkiolitis. Oleh karena itu,

penulisan ini ditujukan untuk mengenal penatalaksanaan terapi yang baik pada

pasien bronkiolitis, mengingat adanya overlapping dengan riwayat asma pada

anak

  2  

PEMBAHASAN

Bronkiolitis

2.1 Definisi

Bronkiolitis merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang disebabkan

oleh proses inflamasi bronkiolus. Menurut IDAI, Bronkiolitis juga dapat diartikan

infeksi respiratorik akut saluran nafas bagian bawah yang ditandai dengan adanya

inflmasi pada bronkiolus3. Penyakit ini menyerang-anak dibawah usia 2 tahun,

biasanya mencapai puncaknya pada usia 1-3 bulan.

2.2 Etiologi:

Penyebab terjadinya bronkiolitis didominasi oleh virus. Tidak ditemukan

bukti yang kuat bahwa bakteri dapat menyebabkan bronkiolitis. Agen virus

terbanyak yang menyebabkan terjadinya penyakit ini adalah RSV (Respiratory

Synctial Virus). Selain itu, penyebab virus lainnya seperti adenovirus, virus

influenza, parainfluenza, rhinovirus, mikoplasma dapat menyebabkan penyakit

tersebut.2,3

Virus RSV merupakan salah satu jenis virus single stranded RNA virus.

Virus tersebut berukuran 80- 350nm. Virus ini masuk dalam kelompok

paramayxovirus. Ini terdiri atas dua komponen glikoprotein yaitu protein G

(attachment protein )yang mengikat sel dan protein F (fusion protein) yang

menghubungkan partikel virus dengan sel target dan sel tetangganya. Virus ini

terdiri atas 2 strain, yaitu strain antigen RSV yaitu A dan B. RSV strain A

  3  

menyebabkan gejala yang pernapasan yang lebih berat dan menimbulkan

sekuele3,4.

2.3 Faktor Risiko

Faktor risiko terjadinya bronkiolitis terbagi atas factor host dan factor

lingkungan. Faktor host yang mempengaruhi adalah bayi prematur, infeksi

sebelum berusia 6 bulan, penyakit jantung bawaan, dysplasia bronkopulmoner,

fibrosis kistik, dan defisiensi imun. Infeksi sendiri dipengaruhi oleh usia,

kelahiran gemeli, riwayat atopi keluarga, didikan keluarga, kurangnya pemberian

ASI, dan eksposur perokok pasif. Sedangkan, faktor lingkungan yang

memengaruhi terjadinya penyakit ini adalah malnutrisi, eksposur asap rokok,

keadaan ekonomi, dan lingkungan yang cenderung padat2,4 .

2.4 Epidemiologi

Bronkiolitis menyerang anak-anak pada usia 2-24 bulan dan mencapai

puncaknya pada usia 28 bulan. Selain itu, bronkiolitis sering terjadi pda bayi

berusia 3-6 bulan yang tidak mendapatkan ASI, dan hidup di lingkungan yang

padat. Lalu, kejadian ini banyak terjadi pada anak laki-laki dengan perbandingan

1,25: 1 dibanding perempuan. Lalu, kejadian ini juga banyak diderita oleh anak-

anak yang dilahirkan dari ibu berusia dibawah 20 tahun dan bayi-bayi yang lahir

dengan berat lahir sangat rendah (kurang dari 1500 gram)1,4.

Angka kejadian terjadinya bronkiolitis tiap tahun mencapai 3000 hingga

50.0000. Tingkat kematian bayi mencapai 0.5-1,5%, sedangkan bagi penderita

  4  

penyakit jantung dan paru-paru bawaan, risikonya mencapi 3-4%. Berdasarkan

data di Amerika, penderita bronkiolitis didominasi anak bersuia 1 tahun dengen

persentase 11,4%, jika dibandingkan anak berusia 1-2 tahun yang hanya mencapai

6%. Sedangkan, frekuensi penyakit ini di negara-negara berkembang hampir sama

dengan yang ada di Amerika, khususnya pada musim dingin. Tidak ada data lebih

lanjut mengenai epidemiologi kejadian bronkiolitis di Indonesia 2,3

2.5 Patogenesis

Infeksi bronkiolitis terjadi melalui droplet dan inokulasi/ kontak langsung.

Droplet sendiri dapat bertahan di udara bebas selama 6 jam. Selanjutnya, droplet

tersebut terhirup dan masuk ke dalam saluran nafas. Lalu, virus tersebut

bereplikasi di dalam nasofaring dan menyebar dari saluran nafas atas menuju

saluran nafas bawah. Hal ini terjadi apabila mekanisme pertahanan tubuh tidak

berjalan dengan baik. Penyebaran infeksi tersebut terjadi langsung pada epitel

saluran nafas dan dapat terjadi juga melalui aspirasi sekresi nasofaring1,5.

Lalu, virus tersebut berkolonisasi dan melakukan replikasi pada mukosa

bronkus dan bronkiolus. Selanjutnya, virus tersebut menyebabkan nekrosis sel

epitel silia, melalui pengikatan antigen dan IgE, degranulasi eosinophil serta

pelepasan eosinophil kataonik. Selanjutnya, hal ini menyebabkan terjadinya

edema submukosa, serta pelepasan debris dan fibrin ke dalam lumen bronkiolus.

Oleh karena itu, hal tersebut menyebabkan gangguan gerakan mukosilier,

sehingga mukus tertimbun di dalam bronkiolus.

  5  

Kerusakan sel epitel saluran napas menyebabkan saraf aferen terpapar

terhadap alergen/iritan, dan menyebabkan pelepasan beberapa neuropeptida

(neurokinin, substance P). Hal ini menmbuat kontraksi otot polos saluran napas.

Selain iru, kerusakan ssel epitel nafas meningkatkan ekpresi Intercellular

Adhesion Molecule-1 (ICAM-1), faktor inflamasi dan produksi sitokin yang

menginisiasi sel-sel inflamasi. Sel-sel dan mediator inflamasi tersebut berupa  

interleukin-8 (IL-8), macrophage-inflammatory protein (MIP) 1α, dan RANTES

(Regulated on Activation, Normal T-cell Expressed and Secreted). Ini

menyebabkan terjadinya obstruksi bronkiolus akibat proses inflamasi, edema

saluran nafas, akumulasi sel-sel debris dan mukus, serta spasme otot polos saluran

napas. Kerusakan sel epitel saluran napas juga mengakibatkan saraf aferen lebih

terpapar terhadap alergen/iritan, sehingga dilepaskan beberapa neuropeptida

(neurokinin, substance P) yang menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas

2,3.

Keadaan obstruksi jalan nafas menyebabkan terjadinya peningkatan kerja

sistem pernapasan, batuk, wheezing, obstruksi saluran napas, hiperaerasi,

atelektasis, hipoksia, hiperkapnea, asidosis metabolik hingga gagal napas. Ini

ditambah juga dengan diameter saluran napas bayi dan anak kecil lebih sempit,

sehingga resistensi aliran udara saluran nafas meningkat pada fase inspirasi dan

ekspirasi, sehingga menimbulkan hiperinflasi dada 3,4.

.

  6  

2.6 Gejala

Gejala yang dapat dialami oleh pasien tersebut pertama kali adalah adanya

pilek ringan, batuk dan, demam. Nafsu makan pada pasien ini pun cenderiung

menurun. Selanjutnya, keluhan berlanjut pada hari berikutnya dengan adanya

batuk paroksismal, sesak nafas, wheezing, sianosis, merintih (grunting), nafas

berbunyi, muntah setelah batuk, rewel, dan muntah. Pada pemeriksaan fisik,

ditemukan adanya takipnea, takikardia, peningkatan suhu diatas 38,5,

kongjungtivitis ringan dan faringitis. Selain itu, obstruksi pada jalan nafas

menyebabkan terjadinya usaha pernafasan dan menyebabkan adanya nafas cuping

hidung, serta retraksi intercostal. Lalu, ini juga dapat ditemukan adanya ronki,

sianosis, apnea terutama pada bayi dengan usia dibawah enam minggu.

Bronkiolitis biasanya terjadi setelah kontak dengan orang dewasa atau anak besar

yang menderita infeksi saluran nafas atas yang ringan3.8.

Sedangkan, gejala yang dapat dialami pada bayi dapat berupa demam

ringan hingga hipotermia. Selain itu, gawat nafas dapat ditemukan dengan laju

nafas diatas enam puluh kali per menit. Hal ini dapat disertai sianosis, denyut

jantung biasanya meningkat, nafas cuping hidung, dan retraksi yang tidak dalam.

Pemanjangan ekspirasi wheezing dan crackles dapat dirasakan. Lalu, hepar dan

lien teraba pada saar pemeriksaan akibat adanya pendorongan diafragma oleh

penekanan paru yang hiperinflasi. Bayi juga dapat mengalami gejala hipoksia

dengan saturasi oksigen <92% pada udara kamar. Pada beberapa pasien

bronkiolitis, didapatkan konjungtivitis ringan, otitis media serta faringitis2,3.

  7  

Ada bentuk kronis bronkiolitis, biasanya disebabkan oleh karena

adenovirus atau inhalasi zat toksis (hydrochloric, nitric acids ,sulfur dioxide).

Karakteristiknya: gambaran klinis & radiologis hilang timbul dalam beberapa

minggu atau bulan dengan episode atelektasis, pneumonia dan wheezing yang

berulang. Proses penyembuhan, mengarah ke penyakit paru kronis. Histopatologi:

hipertrofi dan timbunan infiltrat meluas ke peribronkial, destruksi dan

deorganisasi jaringan otot dan elastis dinding mukosa. Terminal bronkiolus

tersumbat dan dilatasi. Alveoli overdistensi, atelektasis dan fibrosis 3.

2.7 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien ini berupa

pemeriksaan darah rutin, elektrolit, dan analisa gas darah, serta pemeriksaan foto

toraks. Pemeriksaan laboratorium pada bronkiolitis tidak bermakna untuk

menegakkan diagnosis. Sedangkan, analisa gas darah diperlukan untuk anak yang

membutuhkan ventilator mekanik. Pada pemeriksaan foto toraks, dapat ditemukan

adanya hiperinflasi, dan infiltrat. Oleh karena itu, gambaran radiologis ini tidak

bersifat speifik karena gambaran ini dapat ditemukan pada asma, pneumonia viral/

atipikal/ asporasi. Selain itu, gambaran radiologis lain yang dapat ditemukan

adalah atelectasis terutama pada saat kovalkesens sekret bercampur sel-sel mati

yang menyumbat, air trapping, diafragma datar, dan peningkatan diameter

anterior-posterior. Pemeriksaan lebih lanjut dapat dilakukan adalah kultur virus,

rapid antigen detection test atau polymerase chain reaction (PCR), dan

pengukuran antibodi pada fase akut dan kovalesens2,6.

  8  

2.8 Diagnosis

Diagnosis bronkiolitis dilakukan berdasarkan gambaran klinis, umur

penderita, dan lingkungan sekitar. Seseorang dapat dicurigai menderita

bronkiolitis, karena adanya wheezing/ mengi pertama kali, umur di bawah 2

tahun, adanya gambaran batuk, pilek, demam, tidak adanya riwayat atopi dan

menyingkirkan diagnosis pneumonia. Berdasarkan SIGN dan New Zealand

Guideline, penilaian kaparahan bronkiolitis pada pasien, adalah sebagai berikut:

Parameter Bronkiolitis Ringan Bronkiolitas Sedang Bronkiolitas Berat

Nafsu makan Normal menurun Tidk mau makan dan

minum

Laju nafas <52x pada usia >60

tahun, sedangkabn

>60x/ menit >70x/ menit

Resesi dinding

thorax

Ringan Sedang Berat

Nafas cping

hidung

Tidak ada Tidak ada Ada

Sp 02 Lebih dari 92% 88-92% <,88x/ menit

Tidakan Umum Normal iritabel letargi

Sedangkan, penilaian kegawatan pasien dapat dilakukan melalui skor Respiratory

Distress Assessment Instrument (RDAI). Gambaran penilaiannya adalah sebagai

berikut:

  9  

Tabel 2.1 Respiratory Distress Assessment Instrument (RDAI) (dikutip dari

Klassen, 1991)

Skor

0 1 2 3 4

Wheezing

Ekspirasi Tidak ada Akhir 1/2 3/4 semua

Inspirasi Tidak ada Sebagian semua

Lokasi Tidak ada Segmental: 2

dari 4 lapangan

paru

Diffuse: 3

dari 4

lapangan

paru

Retraksi

supraklavikular Tidak ada Ringan Sedang Berat

Intercostal Tidak ada Ringan Sedang Berat

subkostal Tidak ada Ringan Sedang Berat

Apabila skor mencapai angka 15, hal ini berarti adanya kegawatan dengan risiko

tinggi. Sedangkan, skor dibawah tiga menunjukkan bahwa kegawatan pad pasien

  10  

bersifat rendah. Sedangkan, penilaian skala kegawatan lain yang dapat dilakukan

melalui Abul-Ainine- Luyt, adalah:

• Laju nafas, dihitung manual dengan palpasi dan melihat gerakan dada,

yang dilakukan selama 1 menit penuh , dilakukan dua kali penghitungan,

lalu diambil rata-ratanya

• Denyut jantung diambil dari pulse oxymetry yang dibaca lima kali selama

satu menit, dan diambil rata-ratanya.

• Saturasi O2, diambil dari pulse oxymetry yang dibaca lima kali selama

satu menit, dan diambil rata-ratanya.

• Respiratory clinical status yang menggunakan RDAI menurut Lowell dkk

• Status aktivitas bayi ( empat tingkat, yaitu tidur, tenang, rewel, dan

menangis)3,3

2.9 Diagnosis Banding

a. Asma

Asma merupakan gangguan inflamasi kronik saluran napas yang

melibatkan banyak sel dan elemennya, serta bersifat reversibel. Proses

inflamasi pada asma ini membuat terjadinya spasme otot bronkus,

kongesti vascular, naiknya tingkat permeabilitas kapiler, pembentukan

tenacious mucus yang tebal, mengganggu fungsi mukosilier, penebalan

dinding jalan nafas, menaikkan repon kontraktilitas otot polos bronkus.

Artinya, hal ini membuat terjadi obstruksi jalan nafas atau

  11  

bronkokonstriksi. Hal ini membuat terjadinya kenaikan resistensi jalan

nafas dan berkurangnya aliran nafas, terutama jalannya ekspirasi. Inilah

yang menyebabkan terjadinya hiperinflasi pada paru-paru, dan timbul

mekanisme menaikkan respon kerja nafasTahap inilah yang memunculkan

fibrosis pada bronkus. Hal ini memiliki risiko munculnya sesak yang

bersifat persisten, respon inflamasi bronkus/ bronchitis akibat tidak adanya

udara, mudahnya terjadi fraktur iga akibat hiperinflasi paru secara

berlebihan, dan terjadinya PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) [7].

Faktor risiko munculnya asma, terdiri dari faktor pejamu (host factor) dan

faktor lingkungan. Faktor pejamu disini adalah factor dari penderita

tersebut. Faktor tersebut, terdiri dari predisposisi genetic, hipereaktivitas

bronkus, jenis kelamin dan ras. Faktor lingkungan, yaitu factor yang

mempengaruhi individu dengan kecenderungan/ predisposisi asma untuk

berkembang menjadi asma. Faktor ini, terdiri dari asap rokok, tungau

debu, perubahan cuaca, binatang piaraan, perabot rumah tangga, dan lain

sebagainya. Menurut penelitian di Finlandia, orang yang terpapar asap

rokok punya risiko terjadinya asma dua kali lipat dibandingkan orang yang

tidak terpapar asap rokok. Ini disebabkan oleh pembakaran temabakau

pada rokok yang merupakan sumber zat-zat iritan. Zat-zat ini terdiri dari

hidrokarbon polisiklik, karbon monoksida, karbondioksida, nitrit oksida,

nikotin, dan akrolein. Tungau debu berperan dengan mengeluarkan feses

yang dilapisi protein dan menjadi allergen. Lalu, kondisi cuaca yang

dingin dan lembab dapat menjadi factor risko terjadiny asma. Sedangkan,

  12  

perubahan cuaca Sedangkan, binatang pemeliharan merupakan factor

risiko terjadinya asama karena bulu-bulu binatang tersebut merupakan

sumber allergen inhalasi. Lalu, perabot rumah tangga mengandung bahan

polutan, ayang salah satunya adalah formaldehid. Zat inilah yang

mengakibatkan terjadinya iritasi pada mata dan sluran nafas 3,5.

Gejala yang ditimbulkan pada penyakit asma adalah batuk yang tidak

berdahak , sesak napas, rasa berat di dada. Gejala dapat timbul/

memburuk terutama malam/ dini hari · Sifat dari gejala ini adalah

reversible dan episodik. Artinya, tidak bersifat permanen dan persisten.

Biasanya serangan asama terjadi diawali oleh faktor pencetus yang bersifat

individu. Diagnosis ini dapat dibedakan dengan bronkiolitis, dengan

perbedaan sebagai berikut:

  13  

b. Bronkopneumonia

Bronkopneumonia merupakan peradangan pada parenkim paru

yang melibatkan bronkus/bronkiolus dengan distribusi berbentuk bercak-

bercak (patchy distribution). Konsolidasi bercak berpusat disekitar

bronkus yang mengalami peradangan multifokal dan biasanya bilateral.

Penyebabnya sendiri, dapat berupa virus, bakteri, dan jamur. Bakteri dapat

berupa Diplococus pneumonia, Pneumococcus sp, Streptococcus sp,

Hemoliticus aureus, Haemophilus influenza, Basilus friendlander (Klebsial

pneumonia), dan Mycobacterium tuberculosis. Sedangkan, Virus dapat

berupa Respiratory syntical virus, Virus influenza, dan Virus sitomegalik.

Jamur seperti Citoplasma capsulatum, Criptococcus nepromas,

Blastomices dermatides, Cocedirides immitis, Aspergillus sp, Candinda

albicans, dan Mycoplasma pneumonia.. Penyebab bronkopneumonia pada

anak-anak diatas 2 tahun banyak yang disebabkan oleh bakteri 3.5.

Gejala yang ditimbulkan dapat berupa demam gelisah, dispnue,

pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung, serta

sianosis di sekitar hidung dan mulut. Batuk biasanya tidak dijumpai pada

awal penyakit, anak akan mendapat batuk setelah beberapa hari, pada

awalnya berupa batuk kering kemudian menjadi produktif. Selain itu,

dapat dijumpai adanya distensi abdomen, retraksi sela iga, batuk semula

nonproduktif menjadi produktif, serta nyeri dada pada waktu menarik

napas. Selain itu, pada pemeriksaan fisik dapat ditemui adanya stridor,

  14  

ronki basah halus nyaring, serta suara redup di sisi yang sakit pada saat

perkusi. Diagnosis ini dapat disingkirkan karena tidak adanya mengi/

wheezing, demam pada kasus ini tidak bersifat subfebris, sesak tidak

dating mendadak, proses perjalanan penyakit progresif, dan pada

pemriksaan darah bersifat shif to the left.

2.10 Terapi

Prinsip dasar penanganan bronkiolitis adalah terapi suportif yaitu

pemberian oksigen, minimal handling pada bayi, cairan intravena dan kecukupan

cairan, penyesuaian suhu lingkungan agar konsumsi oksigen optimal minimal,

tunjangan respirasi, dan bila perlu nutrisi yang memadai. Penjelasan penanganan

bronkiolitis adalah sebagai berikut2,6,8,9:

1. Terapi Oksigen

Pemberian oksigen dilakukan kepada penderita bronkiolitis sedang hingga

berat. Pemberian ini dapat diberikan melalui nasal, marker, atau headbox.

Saturasi oksigen menggambarkan kejenuhan afinitas hemoglobin terhadap

oksigen di dalam darah. Oksigen dapat diberikan melalui nasal prongs (2

liter/menit) , masker (minimum 4 liter/menit) atau head box. Terapi

oksigen dihentikan jika pemeriksaan saturasi oksigen dengan pulse

oximetry (SaO2) pada suhu ruangan stabil diatas 94%. Penderita

bronkiolitis kadang-kadang membutuhkan ventilasi mekanik, yaitu pada

  15  

kasus gagal napas, serta apnea berulang. Lalu, CPAP juga dapat digunakan

untuk mempertahankan tekanan positif paru. Ventilasi high frequency jet

ventilation atau extracorporeal membrane oxygenation (ECMO) diberikan

apabila Bayi menderita hipoksemia berat yang tidak membaik dengan

ventilasi konvensional 2,8.

2. Terapi cairan

Terapi cairan hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan, baik melalui oral,

infus, hingga diet sonde/nasogastrik. Jumlah cairan disesuaikan dengan

berat badan, kenaikan suhu dan status hidrasi. Cairan intravena diberikan

pada pasien yang muntah dan tidak dapat minum. Hal ini dilakukan untuk

mencegah terjadinya dehidrasi. Selain itu, koreksi diperlukan terhadap

kelainan asam basa dan elektrolit yang mungkin timbul2,3.

3. Antibiotika

Antibiotika dapat diberikan apabila terdapat perubahan pada kondisi

umum penderita, peningkatan lekosit atau pergeseran hitung jenis, atau

tersangka sepsis. Oleh karena itu, pasien perlu diperiksa kultur darah,

urine, feses dan cairan serebrospinal. Sementara itu, pasien diberikan

antibiotika yang memiliki spektrum luas. Pemberian antibiotik secara rutin

tidak menunjukkan pengaruh terhadap perjalanan bronkiolitis.

4. Antivirus (Ribavirin)

  16  

Ribavirin adalah antivirus synthetic purine nucleoside analogue. Antivirus

ini bekerja dengan cara menghambat translasi messenger RNA (mRNA)

virus ke dalam protein virus dan menekan aktivitas polymerase RNA.

Penggunaan antivirus ini masih bersifat kontroversial. Berdasarkan

Cocharne review, menyimpulkan bahwa ribavirin tidak menunjukkan efek

positif yang menetap. Guerguian meneliti efektivitas terapi ribavirin aeorol

20mg/ml pada bayi distress dengan bronkiolitis RSV dibandingkan

placebo Nacl0,9%. Hasilnya, tidak ada perbedaan bermakna pada kedua

perlakukan, walaupun sama-sama menunjukkan perbaikan pada bayi

tersebut. Sedangkan, edell meneliti secara prospektif pada bayi dengan

bronkiolitis berat sebelum 5 hari yang mendapat terapi ribavirin dosis

tinggi jangka pendek: 60mg/ml selama 2 jam dibeikan 3 kali sampai total

6g/100ml tiap 24 jam selam 3 hari dibandingkan dengan terapi konservatif

(pemberian oksigen, nebulasi 2,5mg albuterol tiap 3-4jam,

methylprednisolone 1mg/kgBB/kali tiap 12 jam, ranitidine oral 3mg/kgBB

per kali tiap 12 jam. Hasilnya, setahun kemudian, penggunaan ribavirin

menurunkan episode penyakit reaktif saluran nafas, berat penyakit. Eddell

menyimpulan penggunaan ribavirin sedini mungjun/ kurang dari 5 hari

akan mengurangi insiden dan berat penyakit saluran respiratori reaktif.

Kekurangan dari terapi ribavirin adalah harganya yang mahal dan resiko

terjadi toksisitas pada pekerja. Menurut American Academy of

Pediatrics/AAP (1996), ribavirin hanya direkomendasikan pada

bronkiolitis dengan kondisi spesifik yaitu mempunyai penyakit jantung

  17  

bawaan, pasien dengan dysplasia bronkopulmoner, kistik fibrosis,

defisiensi imun, bayi premature, usia bayi kurang dari 6 minggu, dan

pasien yang membutuhkan ventilasi mekanik 2,7.

5. Bronkodilator

Penggunaan bronkodilator pada bronkiolitis merupakan perbedatan

bertahun-tahun. Hal ini dikarenakan adanya perbaikan skor klinis pada

penggunaan jangka pendek, tetapi tidak dalam jangka panjang.

Bronkodilator digunakan pada sebagai besar pusat kesehatan di dunia.

Berdasarkan suvei pada 88 pusat kesehatan di Eropa, Ada 54 pusat

kesehatan yang melaporkan penggunaan bronkodilator pada semua pasien

bayi dengan bronkiolitis, dan 15 pusat pelayanan kesehatan melaporkan

penggunaan bronkodilator pada pasien bronkiolitis hanya pada bayi

dengan risiko tinggi.

Bronkidilator yang biasa digunakan, adalah epineferin dan beta 2 agonis.

Epineferin merupakan alfa adrenergic beta adnergic. Alfa adrenergic

bekerja dengan cara konstriksi pembuluh darah paru dan pengurangan

edema. Sedangkan, beta adrenergic bekerja dengan cara relaksasi otot

bronkus dan menekan pelepasan mediator kimiawi, dan mengurangi

sekresi kataral. Sedangkan, beta 2 agonis bekerja dengan cara mengurangi

pelepasan mediator dari sel mast, menurunkan tonus kolinergik,

mengurangi sembab mukosa dan meningkatkan pergerakan silia saluran

napas sehingga efektivitas dari mukosilier akan lebih baik2,3,8

  18  

6. Kortikosteroid

Kortikosteroid yang sering digunakan adalah prednisone, prednisolone,

dan metilprednisolon dengan rata-rata dosis per hari berkisar 0,6-

6,3mg/kgBB. Cara pemberiannya adalah melalui oral, intramuscular, dan

intravena. Menurut hasil penelitian, pemakaian kortikosteroid inhalasi

budesonide 1mg/ hari menunjukkan yang dilakukan selama pemantauan

12 minggu, menunjukkan tidak adanya keuntungan klinis pada pasien,

baik jangka pendek maupun jangka panjang. pada bayi yang dirawat akibat

bronkiolitis. Begitupun dengan pemakaian kosrtikosteroid, baik secara

inhalasi, oral, intramuscular menunjukkan hasil yang sama. Oleh karena

itu, kosrtikosteroid lebih efektif digunakan pada anak dengan predisposisi

asma sebelumnya. Sayangnya, factor predisposisi tersebut tidak dapat

diidentifikasi sebelumnya, maka penggunaan kortikosteroid harus

dipertimbangkan pada perawatan bronkiolitis2,9.

Derajat keparahan bronkiolitis menetukan penanganan lebih lanjut dari

pasien. Apabila pasien merupakan penderita bronkiolitis ringan, dapat dilakukan

perawatan jalan dan diberikan cairan peroral adekuat. Sedangkan, pasien dengan

bronkiolitis derajat sedang sampai berat harus dirawat inap. Selain itu, Penderita

resiko tinggi wajib dirawat inap. Kriterianya adalah bayi berusia kurang dari 3

bulan, prematur, mempunyai kelainan jantung bawaan, neurologis, penyakit paru

kronis, defisiensi imun, hingga distres napas. Tujuan perawatan di rumah sakit

adalah mencegah dan mengatasi komplikasi melalui terapi suportif.

  19  

Penanganan bronkiolitis di Bagian Ilmu Kesehatan Anak RS Dr. Soetomo:

• Cairan dan nutrisi: adekuat, tergantung kondisi penderita

• Oksigenasi dengan oksigen nasal atau masker, monitor dengan

pulse

• oxymetry dan bila perlu dilakukan analisa gas darah. Bila ada

tanda gagal

• napas diberikan bantuan ventilasi mekanik.

• Bronkodilator: nebulasi agonis beta2: salbutamol 0,1 mg/kg

BB/dosis,

• diencerkan dengan cairan normal saline, diberikan 4 – 6 kali per-

hari

• Steroid, pada bronkiolitis berat: deksametason 0,1-0,2 mg/kg/dosis,

IV

• Antibiotika: penyakit berat, keadaan umum kurang baik, curiga

infeksi sekunder

• Digitalisasi: bila ada tanda payah jantung

Sedangkan, pengobatan lain yang dapat dilakukan adalah melalui

pemberian heliox dan Recombinant Human Deoxyribonuclease. Heliox

merupakan campuran helium dan oksigen. Efeknya sendiri masih terbilang

kontroversial, sehingga tidak dipakai secara universal. Efek positifnya

dikarenakan densitas Heliox yang lebih rendah dibandingkan campuran

udara dan oksigen, sehingga mengurangi tekanan dorong yang dihasilkan

  20  

aliran turbulen dan mempertahankan aliran luminer. Ini biasanya dipakai

pada bronkiolitis dengan derajat sedang berat. Sedangkan, recombinant

human deoxyribonuclease 1 meruapakan mukolitik efektif yang dapat

diberikan dengan tidak adanya efek samping. Pmeberian terapi ini

mengurangi lama perawatan dan perubahan pada gambaran radiologis.

2.11 Prognosis

Berdasarkan studi kohort, 23% bayi yang mempunyai riwayat infeksi

bronkiolitis akut berat akan berlanjut menjadi asma. Selain itu 40-50% bayi yang

dirawat dengan bronkioliti akibat RSVs dapat menderita mengi di kemudian hari.

Hal ini terjadi akibat produksi sitokin oleh sel T helper 2 yang berperan dalam

terjadinya asma. Ini ditandai dengan adanya penggunaan sel T dan eosinophil,

serta pelepasan mediator. Oleh karena itu, IgE akan meningkat terhadap RSV.

Prognosis pada pasien ini tergantung pada periode 48-72 jam stelah gejala

sesak dan batuk muncul. Pada masa tersebut, bayi berada dalam risiko tinggi

terjadinya gangguan pernapasan lebih lanjut. Gangguan tersebut dapat berupa,

kelaparan udara, apnea, dan asidosis pernafasan. Angka kasus kematian kurang

dari 1%, dengan kematian disebabkan apnea, asidosis pernafasan tidak

terkompensasi, atau dehidrasi berat. Setelah masa kritis ini, gejala dapat bertahan.

Selain itu, apabila anak mempunyai penyakit jantung bawaan, dysplasia

bronkopulmoner, dan gangguan defisiensi imun, mempunyai prognosis yang tidak

baik.

  21  

2.12 Pencegahan

Pencegahan yang dapat diberikan dengan pemerian immunoglobulin dan

vaksinasi. Imunoglobulin diberikan sebagai profilaksis pada populasi risiko

tinggi, melalui netralisasi antibody protein F dan G. Pada manusia, efek

immunoglobulin yang mengandung RSV neutralizing antibody titer tinggiatau

antibody monoclonal terhadap protein F akan mengurang beratnya penyakit.

Sediaan pavlizumab biasanya dipakai diberikan pada bayi premature dan bayi

dengan penyakit paru kronis. Pemberiannya dilakukan setiap bulannya secara

intramuskuler. Efeknya adalah mengurangi lama perawatan di rumah sakit. Efek

negatifnya meningkat pada bayi dengan penyakit jantung bawaaan sianotik. Oleh

karena itu, AAP merekomendasikan pemberian immunoglobulin pada bayi

dengan risiko tinggi dan tidak menderita penyakit jantung bawaan sianotik2

Sedangkan, vaknisasi yang diberikan merupakan vaksin live attenuated,

yaitu cpRSV dan khusus pada penderita bronkiolitis akibat virus RSV. cpRSV

sendiri sedikit dilemahkan pada simpanse dan manusia, serta mengandung 5 nom-

ts amino acids. Selain itu, vaksinasi lain yang dapat diberikan vaksin PIV (Para

influenza Virus). Kedua vaksin ini diberikan kombinasi pada 2-3 bulan pertama,

dengan pemberian pertama sebelum bayi berusia 1 bulan, dan ditambah dengan

vaksin bivalen PIV 2 dan PIV3 pada usia 4 bulan dan 6 bulan10.

  22  

PENUTUP

Jadi, bronkiolitis merupakan penyakit infeksi respiratorik akut saluran

nafas bagian bawah yang ditandai dengan adanya inflmasi pada bronkiolus. Ini

biasanya terjadi pada anak-anak dengan usia dibawah 2 tahun. Penyabab

terbanyak pada kasus ini adalah RSV. Tidak ditemukan etiologi bakteri pada

kasus bronkiolitis. Selain itu, gejala yang dirasakan awalnya demam, batuk, pilek.

Pada hari berikutnya, pasien akan merasakan sesak nafas mendadak, mengi,

retraksi dada, dan nafas cuping hidung.

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan darah

rutin, elektrolit, dan analisa gas darah. Sedangkan, pemeriksaan foto toraks tidak

menunjukkan hasil yang spesifik. Gambaran toraksa dapat menyerupai

pneumonia, yaitu infiltrate dan hiperinflasi pada asma. Pada tahap lanjut,

gambaran toraks dapat terlihat seperti atelectasis. Pengobatan yang diperlukan

adalah terapi suportif. Terapi tersebut, berupa pemberian oksigen, cairan, hingga

bronkodilator dan kortikosteroid, tergantung derajat keparahan dari penyakit

bronkiolitis tersebut. Prognosisnya adalah 40-50% pasien dengan bronkiolitis

dapat menjadi pencetus teradinya asma. Selain itu, pasien yang mempunyai factor

risiko tinggi dapat berkembang menjadi gangguan pernafasan lebih lanjut.

  23  

DAFTAR PUSTAKA

1. Orenstein DM. Bronchiolitis. In Behrman RE, Kleigman RM. Nelson

Textbook of Pediatrics. Edisi 17. Philadelphia: WB Saunders. 2004.

2. Landia Setiawati, Retno Asih S, Makmuri MS. Tatalaksana bronkiolitis.

Divisi Respirologi, Ilmu Kesehatan Anak. RSU Dr. Soetomo.

3. Rahajoe, Nastani N, Supriyatno Bambang, Darmawan Budi Setyanto. Buku

Ajar Respirologi Anak. Edisi Pertama. 2012. Jakarta: Ikatan Dakter Anak

Indonesia

4. Hayden FG, Ison MG. Respiratory Viral Infections. ACP Medicine.

Infectious Disease XXV 2004:1-16.

5. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Asma: Pedoman Diagnosis dan

Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Direktorat Jenderal Pemberantasan

Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (P2PL); 2006: 20-27

6. Garrison MM, Christakis DA, Harvey E, Cummings P, Davis RL. Systemic

Corticosteroid in infant bronchiolitis, 1999;105-110

7. Gauenargen A, Gauther M. Ribavirin in ventilated respiratory syncytial

virus in bronchiolitis. Am J Repair Crit Med. 1999:160:829-34

8. Universitas Sriwijaya. Standar Pelaksanaan Ilmu Kesehatan Anak. 2010

9. Whol ME. Chernick V. Treatment o acute bronchiolitis. N Engl J Med

2003; 349: 82-3

  24  

10. Murphy BR, Collins PL. Live attenuated viral vaccine for Respiratory

synticial Virus dan Parainfluenza Virus. Applications for reverse genetics. J

Clinical Invest 2002: 110-120