Diskusi Kelompok B Sinusitis Maksilaris Kronis

24
I. Apa yang dimaksud dengan sinusitis maksilaris kronis? Embriologi Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa rongga hidung, dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan. Sinus maksilla telah ada saat bayi lahir. 1 Anatomi Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa. 1 Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os maksila yang disebut fossa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan iinfra-temporal maksila, dinding medialnya ialah lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semiluminaris melalui infundibulum etmoid. 1 1

Transcript of Diskusi Kelompok B Sinusitis Maksilaris Kronis

Page 1: Diskusi Kelompok B Sinusitis Maksilaris Kronis

I. Apa yang dimaksud dengan sinusitis maksilaris kronis?

Embriologi

Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi mukosa

rongga hidung, dan perkembangannya dimulai pada fetus usia 3-4 bulan.

Sinus maksilla telah ada saat bayi lahir.1

Anatomi

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir

sinus maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat

dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml saat dewasa.1

Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah

permukaan fasial os maksila yang disebut fossa kanina, dinding posteriornya

adalah permukaan iinfra-temporal maksila, dinding medialnya ialah lateral

rongga hidung, dinding superiornya ialah dasar orbita dan dinding inferiornya

ialah prosesus alveolaris dan palatum. Ostium sinus maksila berada di sebelah

superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semiluminaris melalui

infundibulum etmoid.1

1

Page 2: Diskusi Kelompok B Sinusitis Maksilaris Kronis

Gambar 1 dan 2. Sinus paranasal dan ostiumnya

Definisi sinusitis maksilaris kronis

Rhinosinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal.

Penyebab utamanya adalah selesma (common cold) yang merupakan infeksi

virus, yang selanjutnya dapat diikuti oleh infeksi bakteri. Dikatakan sinusitis

kronis, apabila terdapat gejala sinusitis lebih dari 8 minggu atau 4 kali episode

serangan sinusitis akut dalam setahun pada dewasa, dan lebih dari 12 minggu

atau 6 kali episode serangan sinusitis akut pada anak-anak.1,4

Sinus maksila disebut juga antrum High more, merupakan sinus yang

sering terinfeksi, oleh karena (1) merupakan sinus paranasal yang terbesar, (2)

letak ostiumnya lebih tinggi dari dasar, sehingga aliran sekret atau drainase

dari sinus maksila hanya tergantung dari gerakan silia, (3) dasar sinus maksila

adalah dasar akar gigi (prosesus alveolaris), sehingga infeksi gigi dapat

menyebabkan sinusitis maksila, (4) ostium sinus maksila terletak di meatus

medius , disekitar hiatus semilunaris yang sempit, sehingga mudah tersumbat.5

Gambaran patologik sinusitis kronik adalah kompleks dan irreversibel.

Mukosa umumnya menebal, membentuk lipatan-lipatan atau psudopolip.

Epitel permukaan tampak deskuamasi, regenrasi, metaplasia atau epitel biasa

dalam jumlah yang bervariasi pada suatu irisan histologis yang sama.

Pembentukan mikroabses, dan jaringan granulasi bersama-sama dengan

pembentukan jaringan parut. Secara menyeluruh terdapat infiltrat sel bundar

dan polimorfonuklear dalam laoisan submukosa.2

Etiologi sinusitis maksillaris kronik

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan sinusitis kronik diantaranya

adalah pneumatisasi yang tidak memadai, makanan yang tak memadai, reaksi

atopik, lingkungan kotor, sepsis gigi dan variasi anatomi.6

Variasi anatomi memegang peranan lebih besar mekanisme etiologi

sinusitis kronis. Variasi anatomi yang sering ditemukan deviasi septum, 2

Page 3: Diskusi Kelompok B Sinusitis Maksilaris Kronis

prosessus unsinatus melengkung ke lateral, konka media mengalami

pneumatisasi, bula etmoid sel dan etmoid yang meluas.5

Berdasarkan penyebabnya sinusitis dibagi menjadi rhinogenik dan

dentogenik/odontogenik. Rhinogenik berasal dari kelainan atau masalah di

hidung yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan

sinusitis. Contohnya rinitis akut (influenza), polip, dan septum deviasi.

Sedangkan dentogenik/odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering

menyebabkan sinusitis infeksi adalah pada gigi geraham atas (pre molar dan

molar). Bakteri penyebabnya adalah Streptococcus pneumoniae, Hemophilus

influenza, Steptococcus viridans, Staphylococcus aureus, Branchamella

catarhatis.

Antrum maksila mempunyai hubungan yang sangat dekat dengan akar

gigi pre molar dan molar atas. Hubungan ini dapat menimbulkan problem

klinis seperti infeksi yang berasal dari gigi dan fistula oroantral dapat naik ke

atas dan menimbulkan infeksi sinus. Sinusitis maksila diawali dengan

sumbatan ostium sinus akibat proses inflamasi pada mukosa rongga hidung.

Proses inflamasi ini akan menyebabkan gangguan aerasi dan drainase sinus.

Keterlibatan antrum unilateral seringkali merupakan indikasi dari keterlibatan

gigi sebagai penyebab. Bila hal ini terjadi maka organisme yang bertanggung

jawab kemungkinan adalah jenis gram negatif yang merupakan organisme

yang lebih banyak didapatkan pada infeksi gigi daripada bakteri gram positif

yang merupakan bakteri khas pada sinus.

Penyakit gigi seperti abses apikal, atau periodontal dapat menimbulkan

gambaran radiologi yang didominasi oleh bakteri gram negatif, karenanya

menimbulkan bau busuk. Pada sinusitis yang dentogennya terkumpul kental

akan memperberat atau mengganggu drainase terlebih bila meatus medius

tertutup oleh oedem atau pus atau kelainan anatomi lain seperti deviasi, dan

hipertropi konka. Akar gigi premolar kedua dan molar pertama berhubungan

3

Page 4: Diskusi Kelompok B Sinusitis Maksilaris Kronis

dekat dengan lantai dari sinus maksila dan pada sebagian individu

berhubungan langsung dengan mukosa sinus maksila. Sehingga penyebaran

bakteri langsung dari akar gigi ke sinus dapat terjadi.

Kegagalan mengobati sinusitis akut atau berulang secara adekuat akan

menyebabkan regenerasi epitel permukaan bersilia yang tidak lengkap,

akibatnya terjadi kegagalan mengeluarkan sekret sinus, dan oleh karena itu

menciptakan predisposisi infeksi. Sumbatan drainase dapat pula ditimbulkan

oleh perubahan struktur ostium sinus, atau oleh lesi dalam rongga hidung

misalnya, hipertrofi adenoid, tumor hidung dan nasofaring dan suatu septum

deviasi. Akan tetapi, faktor predisposisi yang paling lazim adalah polipolis

nasal yang timbul pada rinitis alergika, polip dapat memenuhi rongga hidung

dan menyumbat total ostium sinus.2

Alergi juga dapat merupakan predisposisi infeksi karena terjadi edema

mukosa dan hipersekresi. Mukosa sinus yang membengkak dapat menyumbat

ostium sinus dan mengganggu drainase, menyebabkan infeksi lebih lanjut,

yang selanjutnya menghancurkan epitel permukaan dan siklus seterusnya

berulang.2

Patofisiologi

Beberapa teori yang dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal

antara lain (1) sebagai pengatur kondisi udara, (2) sebagai penahan suhu, (3)

membantu keseimbangan kepala, (4) membantu resonansi suara, (5) peredam

perubahan tekanan udara dan (6) membantu produksi mukus untuk

membersihkan rongga hidung.7,8

Fungsi sinus paranasal dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti

pertahanan mukosilier, ostium sinus yang tetap terbuka dan pertahanan tubuh

baik lokal maupun sistemik.6,8,9 Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus

juga terdapat mukosa bersilia dan palut lendir di atasnya. Di dalam sinus silia

4

Page 5: Diskusi Kelompok B Sinusitis Maksilaris Kronis

bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya

mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya.

Gambar 3. Pergerakan silia dalam drainase cairan sinus

5

Page 6: Diskusi Kelompok B Sinusitis Maksilaris Kronis

Gambar 4. Perubahan silia pada sinusitis

Bila terjadi edema di kompleks osteomeatal, mukosa yang letaknya

berhadapan akan saling bertemu, sehingga silia tidak dapat bergerak dan

lendir tidak dapat dialirkan. Maka terjadi gangguan drainase dan ventilasi

didalam sinus, sehingga silia menjadi kurang aktif dan lendir yang di produksi

mukosa sinus menjadi lebih kental dan merupakan media yang baik untuk

tumbuhnya bakteri patogen. Bila sumbatan berlangsung terus, akan terjadi

hipoksia dan retensi lendir sehingga timbul infeksi oleh bakteri anaerob.1

Bakteri yang sering ditemukan pada sinusitis kronik adalah Streptococcus

pneumoniae, Haemophilus influenzae, Moraxella catarrhalis, Streptococcus B

hemoliticus, Staphylococcus aureus, kuman anaerob jarang ditemukan.1

Selanjutnya terjadi perubahan jaringan menjadi hipertrofi, polipoid atau

pembentukan polip dan kista.7,8,9

Gambar 5. Perubahan mukosa pada sinus yang terinfeksi

6

Page 7: Diskusi Kelompok B Sinusitis Maksilaris Kronis

Reaksi peradangan berjalan menurut tahap-tahap tertentu yang khas.

Pelebaran kapiler darah akan memperlambat aliran darah sehingga akan

mengeluarkan fibrin dan eksudat serta migrasi leukosit menembus dinding

pembuluh darah membentuk sel-sel nanah dalam eksudat. Tetapi bilamana

terjadi pada selaput lendir, maka pada saat permulaan vasodilatasi terjadi

peningkatan produksi mukus dari kelenjar mukus sehingga nanah yang terjadi

bukan murni sebagai nanah, tetapi mukopus.6

7

Page 8: Diskusi Kelompok B Sinusitis Maksilaris Kronis

Gambar 6. Sinusitis akut menjadi sinusitis kronik

Ada tiga kategori utama pada mekanisme terjadinya rhinosinusitis

kronis, yaitu: rhinosinusitis yang berhubungan dengan hiperplasia karena

peradangan, rhinosinusitis sebagai bagian dari alergi umum saluran napas, dan

rhinosinusitis karena salah satu diatas disertai infeksi sekunder.

Rhinosinusitis yang berhubungan dengan hiperplasia karena

peradangan biasanya mulai pada masa kanak-kanak. Serangan infeksi terjadi

berulang-ulang. Waktu antara dua serangan makin lama makin pendek.

Kekebalan makin terkalahkan dan resolusi terjadi hampir tidak pernah

sempurna. Pengaruh terhadap mukosa adalah penebalan dengan disertai

infiltrasi limfosit yang padat. Fibrosis sub epitel menyebabkan pengurangan

jumlah kelenjar karena iskemia dan bila berlangsung lebih lanjut akan

menyebabkan ulserasi mukosa. Pada tahap berikutnya periosteum akan

terkena dan hiperemia meluas ke tulang-tulang yang kemudian menjadi

osteoporosis dan akhirnya menjadi sklerotik.

Penderita rhinosinusitis sebagai bagian dari alergi umum saluran napas

memiliki salah satu dari dua tipe alergi. Pertama adalah alergi umum diatesis

yang timbul pada permulaan bersama asma, eksema, konjungtivitis dan rinitis

yang kemudian menjadi rinitis musiman (hay fever) pada anak lebih tua.

Kedua mngkin tidak didapatkan keluhan dan tanda dari alergi sampai umur 8

atau 9 tahun secara berangsur-angsurmukosa makin “penuh terisi air” yang

menyebabkan bertambahnya sumbatan dan secret hidung. Polip dapat timbul 8

Page 9: Diskusi Kelompok B Sinusitis Maksilaris Kronis

karena pengaruh gaya berat terhadap selaput mukosa yang penuh dengan air

dan dapat memenuhi rongga hidung.6

Gambar 7. Mekanisme terjadinya sinusitis kronis

II. Bagaimana gejalanya?

Keluhan umum yang membawa pasien sinusitis kronis untuk berobat

biasanya adalah kongesti atau obstruksi hidung. Keluhan biasanya diikuti dengan

malaise, nyeri kepala setempat, sekret di hidung, sekret pasca nasal (post nasal

drip) , gangguan penciuman dan pengecapan.6,10

Pada rinoskopi anterior dapat ditemukan sekret kental purulen dari

meatus medius. Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring

atau turun ke tenggorok.7

Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Selama

eksaserbasi akut, gejala-gejala mirip dengan gejala sinusitis akut. Namun, diluar

masa itu, gejala berupa suatu perasaan penuh pada wajah dan hidung, dan

hipersekresi yang seringkali mukopurulen. Kadang-kadang terdapat nyeri kepala, 9

Page 10: Diskusi Kelompok B Sinusitis Maksilaris Kronis

namun gejala ini seringkali tidak tepat dianggap sebagai gejala penyakit sinus,

hidung biasanya tersumbat, dan tentunya ada gejala-gejala faktor predisposisi

yang menetap, seperti rinitis alergika yang menetap1,2

Kadang-kadang hanya satu atau dua dari gejala-gejala di bawah ini yaitu

sakit kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok,

gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba eustachius, gangguan ke

paru seperti bronkitis (sino-bronkitis), bronkiektasis dan yang penting adalah

serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus yang

tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis.1

Pemeriksaan penunjang

Transluminasi dapat dipakai untuk memeriksa sinus maksilaris dan

sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan radiologik tidak tersedia. Bila pada

pemeriksaan transluminasi tampak gelap didaerah infraorbita, mungkin berarti

antrum terisi oleh pus atau mukosa antrum menebal atau terdapat neoplasma

di dalam antrum. Bila terdapat kista yang besar didalam sinus maksila, akan

tampak terang pada pemeriksaan transluminasi.7

CT scan salah satu modalitas yang dapat digunakan untuk

mengidentifikasi dan mengevaluasi anatomi dan patologi sinus. 10

10

Page 11: Diskusi Kelompok B Sinusitis Maksilaris Kronis

Gambar 8. CT Scan memperlihatkan penebalan mukosa sinus.

III. Apa gejala yang menonjol?

Gejala Mayor Gejala Minor

Nyeri atau rasa tertekan pada wajah Sakit kepalaSekret nasal purulen Batuk Demam Rasa lelahKongesti nasal Rasa lelahObstruksi nasal HalitosisHiposmia atau anosmia Nyeri gigi

Diagnosis memerlukan dua kriteria mayor atau satu kriteria mayor dengan dua kriteria minor pada pasien dengan gejala lebih dari 7 hari.

IV. Bagaimana penatalaksanaannya?

Medikamentosa

Pengobatan medikamentosa yang adekuat merupakan pilihan terapi

untuk sinusitis maksilaris subakut dan kronis Pengobatan medikamentosa

pada sinusitis maksillaris kronik meliputi tetes hidung dekongestan (tidak

lebih dari 1 minggu), serta antibiotika dapat digunakan untuk sinusitis kronis

eksaserbasi akut dengan demam dan malaise. Terapi mukolitik juga dapat

diberukan sebagai terapi suportif. 3

Antibiotik diberikan sesuai dengan kultur dan uji sensitivitas.

Antibiotik harus dilanjutkan sekurang-kurangnya 10 hari. Drainase diperbaiki

dengan dekongestan lokal dan sistemik. Selain itu juga dapt dibantu dengan

diatermi gelombang pendek selama 10 hari, pungsi dan irigasi sinus. Irigasi

dan pencucian sinus ini dilakukan 2 kali dalam seminggu. Bila setelah 5 atau 6

kali tidak ada perbaikan dan klinis masih tetap banyak sekret purulen berarti

11

Page 12: Diskusi Kelompok B Sinusitis Maksilaris Kronis

mukosa sinus sudah tidak dapat kembali normal, maka perlu dilakukan

operasi radikal.6,7,11

Bila etiologi sinusitis kronik berupa alergi, penggunaan antialergi yang

sesuai dapat diberikan seperti obat-obat stabilizer sel mast, α-simpatomimetik,

antagonis H1, steroid, serta antikolinergik. Semua pengobatan konservatif

diatas merupakan terapi simptomatik dan tidak bisa menghilangkan penyebab

sinusitis kronil, terapi definitif yang digunakan adalah pembedahan sinus.3

Pengobatan radikal

Pengobatan ini dilakukan bila pengobatan medikamentosa gagal.

Terapi radikal dilakukan dengan mengangkat mukosa yang patologik dan

membuat drenase dari sinus yang terkena. Untuk sinus maksila dilakukan

operasi Caldwell-Luc. Pembedahan ini dilaksanakan dengan anestesi umum

atau lokal. Jika dengan anestesi lokal, analgesi intranasal dicapai dengan

menempatkan tampon kapas yang dibasahi kokain 4% atau tetrakain 2%

dengan efedrin 1% diatas dan dibawah konka media. Prokain atau lidokain

2% dengan tambahan ephineprin disuntika di fosa kanina. Suntikan

dilanjutkan ke superior untuk saraf intraorbital. Incisi horizontal dibuat di

sulkus ginggivobukal, tepat diatas akar gigi. Incisi dilakukan di superior gigi

taring dan molar kedua. Incisi menembus mukosa dan periosteum. Periosteum

diatas fosa kanina dielevasi sampai kanalis infraorbitalis, tempat saraf orbita

diidentifikasi dan secara hati-hati dilindungi.7,11

12

Page 13: Diskusi Kelompok B Sinusitis Maksilaris Kronis

Gambar 9. prosedur Caldwell Luc

Pada dinding depan sinus dibuat fenestra, dengan pahat, osteatom atau

alat bor. Lubang diperlebar dengan cunam pemotong tulang kerison, sampai

jari kelingking dapat masuk. Isi antrum dapat dilihat dengan jelas. Dinding

nasoantral meatus inferior selanjutnya ditembus dengan trokar atau hemostat

bengkok. Antrostomi intranasal ini dapat diperlebar dengan cunam kerison

dan cunam yang dapat memotong tulang kearah depan. Lubang nasoantral ini

sekurang-kurangnya 1,5 cm dan yang dipotong adalah mukosa intra nasal,

mukosa sinus dan dinding tulang. Telah diakui secara luas bahwa berbagai

jendela nasoantral tidak diperlukan. Setelah antrum diinspeksi dengan teliti

agar tidak ada tampon yang tertinggal, incisi ginggivobukal ditutup dengan

benang plain cat gut 00. biasanya tidak diperlukan pemasangan tampon

intranasal atau intra sinus. Jika terjadi perdarahan yang mengganggu, kateter

balon yang dapat ditiup dimasukan kedalam antrum melalui lubang

nasoantral. Kateter dapat diangkat pada akhir hari ke-1 atau ke 2. kompres es

di pipi selama 24 jam pasca bedah penting untuk mencegah edema, hematoma

dan perasaan tidak nyaman.

13

Page 14: Diskusi Kelompok B Sinusitis Maksilaris Kronis

Pembedahan tidak radikal

Akhir-akhir ini dikembangkan metode operasi sinus paranasal dengan

menggunakan endoskop yang disebut Bedah Sinus Endoskopi Fungsional

(BESF). Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi

terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah

menggantikan hampir semuajenis bedah sinus terdahulu karena memberikan

hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan tidak radikal.

Indikasi FESS/BSEF meliputi sinusitis kronik yang tidak membaik setelah

terapi yang adekuat, sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang

irreversibel, polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur.1

Prinsipnya adalah membuka dan membersihkan daerah kompleks

ostio-meatal yang menjadi sumber penyumbatan dan infeksi, sehingga

ventilasi dan drenase sinus dapat lancar kembali melalui ostium alami.

Dengan demikian mukosa sinus akan kembali normal.7

14

Page 15: Diskusi Kelompok B Sinusitis Maksilaris Kronis

Daftar Pustaka

1. Wardani R. S, Mangunkusumo E. Rinorea, Infeksi Hidung, dan Sinus. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala & Leher. Edisi 6. Jakarta: Balai Penerbit FK UI, 2007; 145-153

2. Hilger P.A. Penyakit Sinus Paranasalis. Dalam: BOIES, Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. Minnesota: Penerbit buku kedokteran EGC, 1997; 240-262

3. Probts R, Grevers G, Iro H. Basic Otorhinolaryngology, A step-By-Step Learning Guide. New York: Georg Thieme Verlag, 2006; 52-54

4. Hedges H. H, Pollart S.M. 2003. Acute and Chronic Sinusitis: A Practical Guide for Diagnosis and Treatment. American Academy of Family Physician (http://www.icsi.org/knowledge/detail.asp?catID=29&itemID=147. Diakses 5 April 2012)

5. Nizar W. Anatomi Endoskopik Hidung-Sinus Paranasalis dan Patifisiologi Sinusitis. Kumpulan Naskah Lengkap Pelatihan Bedah Sinus Endoskopik Fungsional Juni 2000.p 8-9

6. Pracy R, Siegler Y. Sinusitis Akut dan Sinusitis Kronis. Editor Roezin F, Soejak S. Pelajaran Ringkas THT . Cetakan 4. Jakarta: Gramedia; 1993.p 81-91

7. Mangunkusumo, Endang dan Nusjirwan Rifki. Sinusitis. In: Soepardi EA, Iskandar N (eds). Buku ajar ilmu kesehatan telinga hidung tenggorok kepala leher. 5th Ed. Jakarta: Gaya Baru; 2001.pp.120-124.

8. Kennedy E. Sinusitis. Available from: http://www.emedicine.com/emerg/topic536.htm

15

Page 16: Diskusi Kelompok B Sinusitis Maksilaris Kronis

9. Hilger, Peter A. Penyakit pada Hidung. In: Adams GL, Boies LR. Higler PA, editor. Buku ajar penyakit THT. Edisi 6. Jakarta: EGC; 1997.p.200.

10. Razek A. Sinusitis, Chronic, Medical Treatment. Available from: http://www.emidicine.com/ent/topic338.htm

11. Ballenger, J.J. Infeksi Sinus Paranasal dalam Penyakit Telinga, Hidung dan Tenggorokan Jilid 1 Edisi 13, halaman 232-245, Binarupa Aksara, Jakarta Indonesia 1994

16