Diskusi Kasus t.kororis

26
DISKUSI KASUS TINEA KORPORIS Oleh: Anung Rizki Putri Utami G9911112020

Transcript of Diskusi Kasus t.kororis

Page 1: Diskusi Kasus t.kororis

DISKUSI KASUS

TINEA KORPORIS

Oleh:

Anung Rizki Putri Utami

G9911112020

KEPANITERAAN KLINIK ILMU FARMASI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNS/RSUD DR MOEWARDI

S U R A K A R T A

2012

Page 2: Diskusi Kasus t.kororis

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Tinea Korporis adalah suatu penyakit kulit menular yang disebabkan oleh jamur

golongan dermatofita. Penyakit kulit ini mempunyai banyak nama lain, yaitu tinea sirsinata,

tinea glabrosa, scherende flechte, kurap, herpes sircine trichophytique, atau ringworm of the

body. Penyakit ini tersebar di seluruh dunia terutama daerah tropis dan menyerang pria

maupun wanita semua umur terutama dewasa. Kebersihan perorangan memegang peranan

penting dalam pencegahan penyakit ini. Oleh karena itu, usaha pencegahan penularannya

merupakan hal terpenting dengan terlebih dahulu mengetahui gejala klinis hingga pengobatan

yang akan dibahas dalam bab selanjutnya.

B. Tujuan Penulisan

Penulisan makalah ini bertujuan sebagai syarat dalam kepaniteraan klinik Lab/SMF

Ilmu Farmasi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret RSUD Dr. Moewardi

Surakarta.

Page 3: Diskusi Kasus t.kororis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi

Tinea korporis adalah penyakit dermatofit pada kulit glabrosa, selain kulit

kepala,wajah, kaki, telapak tangan dan kaki, janggut dan lipatan paha.1,2,3

B. Sinonim

1. Tinea sirsinata

2. Tinea glabrosa

3. Scherende flechte

4. Kurap

5. Herpes sircine trichophytique

6. Ringworm of the body.

C. Etiologi

Tinea korporis dapat disebabkan oleh berbagai spesies dermatofit seperti

Trichophyton, Microsporum, dan Epidermophyton. Variasi penyebabnya dapat

ditemukan berdasarkan spesies yang terdapat di daerah tertentu.12 Namun demikian yang

lebih umum menyebabkan tinea korporis adalah T. rubrum, T. mentagrophytes,

dan M.canis.1

D. Epidemiologi

Tinea korporis merupakan infeksi yang umumnya sering dijumpai didaerah

yang panas. Tricophyton rubrum merupakan infeksi yang paling umum diseluruh dunia

dan sekitar 47 % menyebabkan tinea korporis. Tricophyton tonsuran merupakan

dermatofit yang lebih umum menyebabkan tinea kapitis, dan orang dengan infeksi tinea

kapitis antropofilik akan berkembang menjadi tinea korporis. Walaupun prevalensi tinea

korporis dapat disebabkan oleh peningkatan Tricophyton tonsuran, Microsporum canis

merupakan organisme ketiga sekitar 14 % menyebabkan tinea korporis.7

Tinea korporis mungkin ditransmisikan secara langsung dari infeksi manusia atau

hewan melalui autoinokulasi dari reservoir, seperti kolonisasi T.rubrum di kaki. Anak-

anak lebih sering kontak pada zoofilik patogen seperti M.canis pada kucing atau anjing.

Pakaian ketat dan cuaca panas dihubungkan dengan banyaknya frekuensi dan beratnya

erupsi.2

Infeksi dermatofit tidak menyebabkan mortalitas yang signifikan tetapi mereka

bisa berpengaruh besar terhadap kualitas hidup. Tinea korporis prevalensinya sama antara

Page 4: Diskusi Kasus t.kororis

pria dan wanita. Tinea korporis mengenai semua orang dari semua tingkatan usia tapi

prevalensinya lebih tinggi pada preadolescen. Tinea korporis yang berasal dari binatang

umumnya lebih sering terjadi pada anak-anak.7,8 Secara geografi lebih sering pada daerah

tropis daripada subtropics.8 Berdasarkan habitatnya dermatofit digolongkan sebagai

antropofilik (manusia), zoofilik (hewan), dan geofilik (tanah). Dermatofit yang

antropofilik paling sering sebagai sumber infeksi tinea, tetapi sumber yang zoofilik di

identifikasi (jika mungkin) untuk mencegah reinfeksi manusia.9

E. Patogenesis

Dermatofitosis bukanlah patogen endogen. Transmisi dermatofit ke manusia dapat

melalui 3 sumber masing-masing memberikan gambaran tipikal. Karena dermatofit

tidak memiliki virulensi secara khusus dan khas hanya menginvasi bagian luar stratum

korneum dari kulit.3 Lingkungan kulit yang sesuai merupakan faktor penting dalam

perkembangan klinis dermatofitosis. Infeksi alami disebabkan oleh deposisi langsung

spora atau hifa pada permukaan kulit yang mudah dimasuki dan umumnya tinggal di

stratum korneum, dengan bantuan panas, kelembaban dan kondisi lain yang mendukung

seperti trauma, keringat yang berlebih dan maserasi juga berpengaruh. 4,7,10 

Pemakaian bahan yang tidak berpori akan meningkatkan temperatur dan keringat

sehingga mengganggu fungsi barier stratum korneum. Infeksi dapat ditularkan melalui

kontak langsung dengan individu atau hewan yang terinfeksi, benda-benda seperti

pakaian, alat-alat dan lain-lain. Infeksi dimulai dengan terjadinya kolonisasi hifa atau

cabang-cabangnya dalam jaringan keratin yang mati. Hifa ini memproduksi enzim

keratolitik yang mengadakan difusi ke dalam jaringan epidermis dan merusak

keratinosit.7,10 Setelah masa perkembangannya (inkubasi) sekitar 1-3 minggu respon

jaringan terhadap infeksi semakin jelas dan meninggi yang disebut ringworm, yang

menginvasi bagian perifer kulit. Respon terhadap infeksi, dimana bagian aktif akan

meningkatkan proses proliferasi sel epidermis dan menghasilkan skuama. Kondisi ini

akan menciptakan bagian tepi aktif untuk berkembang dan bagian pusat akan bersih.

Eliminasi dermatoft dilakukan oleh sistem pertahanan tubuh (imunitas) seluler. 7,10 Pada

masa inkubasi, dermatofit tumbuh dalam stratum korneum, kadang-kadang disertai tanda

klinis yang minimal. Pada carier, dermatofit pada kulit yang normal dapat diketahui

dengan pemeriksaan KOH atau kultur.10

F. Gejala Klinik

Tinea korporis bisa mengenai bagian tubuh manapun meskipun lebih sering

terjadi pada bagian yang terpapar. Pada penyebab antropofilik biasanya terdapat di

Page 5: Diskusi Kasus t.kororis

daerah yang tertutup atau oklusif atau daerah trauma.6 Keluhan berupa rasa gatal. Pada

kasus yang tipikal didapatkan lesi bulla yang berbatas tegas, pada tepi lesi tampak tanda

radang lebih aktif dan bagian tengah cenderung menyembuh. Lesi yang berdekatan dapat

membentuk pola gyrate atau polisiklik. Derajat inflamasi bervariasi, dengan morfologi

dari eritema sampai pustula, bergantung pada spesies penyebab dan status imun pasien.

Pada penyebab zoofilik umumnya didapatkan tanda inflamasi akut. Pada keadaan

imunosupresif, lesi sering menjadi lebih luas.6 Tinea korporis dapat bermanifestasi

sebagai gambaran tipikal, dimulai sebagai lesi eritematosa, plak yang bersisik yang

memburuk dan membesar, selanjutnya bagian tengah dari lesi akan menjadi bentuk yang

anular akan mengalami resolusi, dan bentuk lesi menjadi anular1,5,7,10,11 berupa skuama,

krusta, vesikel, dan papul sering berkembang, khususnya pada bagian tepinya. Kadang-

kadang terlihat erosi dan krusta akibat garukan.Lesi pada umumnya merupakan bercak

terpisah satu dengan yang lainnya.10

Pada tinea korporis yang menahun, tanda radang akut biasanya tidak terlihat lagi.

Kelainan ini dapat terjadi pada tiap bagian tubuh dan bersama-sama dengan kelainan

pada sela paha. Dalam hal ini disebut tinea korporis dan kruris.12 Bentuk khas tinea

korporis yang disebabkan oleh Trichophyton concentricum disebut tinea imbrikata. Tinea

imbrikata mulai dengan bentuk papul berwarna coklat, yang perlahan-lahan menjadi

besar. Stratum korneum bagian tengah ini terlepas dari dasarnya dan melebar. Proses ini

setelah beberapa waktu mulai lagi dari bagian tengah, sehingga terbentuk lingkaran-

lingkaran skuama yang konsentris.7

Infeksi dermatofit secara zoofilik atau geofilik lebih sering menyebabkan respon

inflamasi daripada yang disebabkan oleh mikroba antropofilik. Umumnya, pasien HIV-

positif atau imunokompromise bisa terlihat dengan abses yang dalam dan meluas.7 Tinea

korporis lebih sering ditemukan sebagai asimptomatik atau gatal ringan. Secara obyektif

tipikal lesinya mulai sebagai makula eritematosa atau papul yang menjalar dan

berkembang menjadi anular, dan lesi berbatas tegas, skuama atau vesikel, tepi

yang berkembang dan healing center. Tinea korporis lebih sering pada permukaan tubuh

yang terbuka antara lain wajah, lengan dan bahu. 13

G. Pemeriksaan Penunjang

1. Pemeriksaan KOH

Sediaan berasal dari bahan kerokan kulit dengan meletakkan bahan diatas gelas

obyek, kemudian ditambah 1-2 tetes larutan KOH 20%, ditunggu 15-20 menit untuk

melarutkan jaringan. Pemanasan di atas api kecil mempercepat proses pelarutan. Pada

Page 6: Diskusi Kasus t.kororis

saat mulai keluar uap, pemanasan cukup. Bila terjadi penguapan, akan terbentuk

kristal KOH sehingga akan mengganggu pembacaan. Teknik lain yaitu dengan

menggunakan dimetil sulfoksida (DMSO) 40% pada KOH akan mempercepat

penjernihan sediaan tanpa pemanasan. Untuk melihat elemen jamur lebih nyata,

ditambahkan zat warna pada sediaan KOH, misalnya tinta Parker superchrom blue

black1. Dengan pemeriksaan mikroskopis akan terlihat elemen jamur dalam bentuk

hifa sebagai dua garis yang sejajar, terbagi oleh sekat dan bercabang, maupun spora

yang berderet (artrospora)1,13

Gambar 2.. pemeriksaan mikroskopis dari kerokan kulit bersisik (skuama). Tampak

gambaran hifa bercabang.

2. Pemeriksaan Lampu Wood

Pemeriksaan lampu wood dapat digunakan untuk menyingkirkan diagnosis eritrasma.

Pada eritrasma didapatkan flouresensi merah bata (coral red)1,4

3. Pemeriksaan Histopatologi

Pemeriksaan histopatologi dengan pewarnaan Hematoksilin Eosin menunjukkan

adanya proses inflamasi yang hebat dari infeksi jamur. Inflamasi terutama didapatkan

pada daerah perivaskuler. Epidermis mengalami spongiosis atau hiperplasia seperti

pada psoriasis. Pada pemeriksaan yang lebih spesifik ditemukan neutrofil pada

stratum korneum. Terdapat perbedaan struktur elemen jamur diantara 2 bagian pada

stratum korneum. Pada stratum korneum bagian atas didapatkan orthokeratosis tipe

anyaman keranjang (basket-waven), sedangkan pada stratum korneum bagian bawah

didapatkan bentuk orthokeratosis dan parakeratosis yang padat.4 Spora dan cabang-

cabang hifa dapat dilihat dengan menggunakan pewarnaan periodic acid-Schiff atau

Gomori methenamine-silver. Pemeriksaan histologis tidak dapat digunakan untuk

mengetahui spesies jamur. 4

Gambar 3. Gambaran histopatologi tinea cruris dengan pewarnaan Hematoksilin

Eosin4

Page 7: Diskusi Kasus t.kororis

4. Pemeriksaan Mikrobiologi dengan Biakan Jamur

Tujuan pemeriksaaan ini adalah untuk mengetahui spesies jamur penyebab. Bahan

sediaan kerokan ditanam dalam media agar Sabouroud dekstrose, untuk mencegah

pertumbuhan bakteri dapat ditambahkan antibiotika (misalnya khloramfenikol) ke

dalam media tersebut. Perbenihan dieramkan pada suhu 24-30°C. Pembacaan hasil

dilakukan dalam waktu 1-3 minggu. Koloni yang tumbuh diperhatikan warna, bentuk,

permukaan dan ada atau tidaknya hifa4,13

Tabel 1. Gambaran mikroskopis dan biakan jamur-jamur dermatofita yang sering

menyebabkan tinea kruris pada media SDA

Nama spesies jamur Gambaran biakan jamur

pada SDA

Gambaran mikroskopis

Trycophyton

mentagrophytes

Trichophyton rubrum

Microsporum canis

Trichophyton

tonsurans

Page 8: Diskusi Kasus t.kororis

Trichophyton

verrucosum

H. Diagnosis

Diagnosis ditetapkan berdasarkan gambaran klinis dan lokalisasinya atau pemeriksaan

sediaan langsung kerokan lesi dengan larutan KOH 20%, untuk melihat elemen jamur

dermatofit. Biakan jamur diperlukan untuk identifikasi spesies jamur  penyebab yang

lebih akurat.10 Diagnosis pasti digunakan melakukan pemeriksaan dengan menggunakan

mikroskop untuk mengidentifikasi adanya hifa dan spora untuk mengetahui infeksi

dermatofit. Infeksi dapat dikonfirmasi atau beberapa dari keadaan ini diidentifikasi dari

hasil positif kerokan oleh kultur jamur. 14

I. Diagnosis Banding

Bergantung variasi gambaran klinis, tinea korporis kadang sulit dibedakan

dengan beberapa kelainan kulit yang lainnya. Antara lain dermatitis kontak, dermatitis

numularis, dermatitis seboroik, ptiriasis rosea,6,12 dan psoriasis. 6,7,12 Untuk alasan ini, tes

laboraturium sebaiknya dilakukan pada kasus dengan lesi kulit yang tidak jelas

penyebabnya.6 Kelainan kulit pada dermatitis seboroik selain dapat menyerupai tinea

korporis, biasanya dapat terlihat pada tempat-tempat predileksi, misalnya dikulit kepala,

lipatan-lipatan kulit, misanya belakang telinga, daerah nasolabial dan sebagainya.

Psoriasis dapat dikenal dari kelainan kulit dari tempat predileksi, yaitu daerah ekstensor,

misalnya lutut, siku dan punggung. Kulit kepala berambut juga sering terkena pada

penyakit ini. Adanya lekukan lekukan pada kuku dapat pula menolong untuk

menentukan diagnosis. 12 Pitiriasis rosea, yang distribusi kelainan kulitnya simetris dan

terbatas, tubuh dan bagian proksimal anggota badan, sukar dibedakan dengan tinea

korporis tanpa heral patch yang dapat membedakan penyakit ini dengan tinea korporis.

Pemeriksaan laboratoriumlah yang dapat memastikan diagnosisnya. 12

J. Penatalaksanaan

Menghilangkan faktor predisposisi penting, misalnya mengusahakan daerah lesi

selalu kering dan memakai baju yang menyerap keringat.

Page 9: Diskusi Kasus t.kororis

1. Terapi topical

Terapi direkomendasikan untuk infeksi lokal karena dermatofit biasanya hidup

pada jaringan. Berbagai macam preparat imidazol dan alilamin tersedia dalam

berbagai formulasi. Dan semuanya memberikan keberhasilan terapi (70-100%).

Terapi topikal digunakan 1-2 kali sehari selama 2 minggu tergantung agen yang

digunakan. Topikal azol dan allilamin menunjukkan angka perbaikan perbaikan

klinik yang tinggi. 7 Berikut obat yang sering digunakan :

a. Menghambat enzim 14-alfa-dimetilase pada pembentukan ergosterol

membran sel jamur.

Derivat Imidazol

1) Ketoconazol 2 %

2) Miconazol 2%

3) Clotrimazol 1%

4) Econazol 1 %

b. Menghambat allosterik dan enzim jamur skualen 2,3 epoksidase sehingga

skualen menumpuk pada proses pembentukan ergosterol membran sel

jamur.10

Allilamin

1) butenafin 1%

c. Sikloklopirosolamin 2% (cat kuku, krim dan losio) bekerja menghambat

masuknya bahan esensial selular dan pada konsentrasi tinggi

merubah permeabilitas sel jamur merupakan agen topikal yang bersifat

fungisidal dan fungistatik, antiinflamasi dan anti bakteri serta berspektrum

luas. 7

d. Kortikosteroid topikal yang rendah sampai medium bisa ditambahkan pada

regimen anti jamur topikal untuk menurunkan gejala. Tetapi steroid hanya

diberikan pada beberapa hari pertama dari terapi. 5,7

2. Terapi sistemik 

Pedoman yang dikeluarkan oleh American Academy of Dermatology menyatakan

bahwa obat anti jamur (OAJ) sistemik dapat digunakan pada kasus hiperkeratosis

terutama pada telapak tangan dan kaki, lesi yang luas, infeksi kronis, pasien

imunokompromais, atau pasien tidak responsif maupun intoleran terhadap OAJ

topikal.15

a. Griseofulvin 7,15

Page 10: Diskusi Kasus t.kororis

Obat ini berasal dari penicillium griceofulvum dan masih dianggap baku

emas pada pengobatan infeksi dermatofit genus Trichophyton,

Microsporum, Epidermophyton.Berkerja pada inti sel, menghambat mitosis

pada stadiummetafase.

b. Ketokonazol15

Merupakan OAJ sistemik pertama yang berspektrum luas, fungistatik,

termasuk golongan imidazol. Absorbsi optimum bila suasana asam.

c. Flukonazol15

Mempunyai mekanisme kerja sama dengan golongan imidazol, namun

absorbsitidak dipengaruhi oleh makanan atau kadar asam lambung.

d. Itrakonazol15

Merupakan OAJ golongan triazol, sangat lipofilik, spektrum luas,

bersifatfungistatik dan efektif untuk dermatofita, ragi, jamur dismorfik

maupun jamur dematiacea. Absorbsi maksimum dicapai bila obat diminum

bersama dengan makanan.

e. Amfosterin B15

Merupakan anti jamur golongan polyen yang diproduksi oleh

Streptomycesnodosus. Bersifat fungistatik, pada konsentrasi rendah akan

menghambat pertumbuhan jamur, protozoa dan alga. Digunakan sebagai obat

pilihan pada pasien dengan infeksi jamur yang membahayakan jiwa dan tidak

sembuh dengan preparat azol.

K. Prognosis

Untuk tinea korporis yang bersifat lokal, prognosisnya akan baik dengan tingkat

kesembuhan 70-100% setelah pengobatan dengan azol topikal atau allilamin atau dengan

menggunakan anti jamur sistemik. 7

BAB III

Page 11: Diskusi Kasus t.kororis

ILUSTRASI KASUS

I. IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. Y

Umur : 30 tahun

JenisKelamin : Laki-laki

Agama

Status

Pekerjaan

: Islam

: Menikah

: Petani

Alamat : Bulak 02/03 Dukuh Mojolaban Skh

Tanggal Pemeriksaan : 26 Juli 2012

No. RM : 90 58 77

II. ANAMNESIS

A. Keluhan Utama :

Gatal pada daerah dada

B. Riwayat Penyakit Sekarang :

± 2 minggu SMRS pasien mengeluh gatal pada daerah dada. Gatal dirasakan

terus menerus setiap saat dan makin gatal bila berkeringat. Pasien sering menggaruk

dan timbul bekas garukan berwarna merah kehitaman. Gatal dirasakan semakin

meluas hingga hampir seluruh badan timbul bentol-bentol merah. Sudah diperiksakan

ke dokter umum sebanyak 1x diberi obat minum dan salep, gatal sedikit berkurang

tapi jika obat habis gatal kambuh lagi.

Selama di rumah pasien mandi, berganti pakaian normal seperti biasanya

2x/hari, dan menggunakan handuk sendiri tidak beraganti-ganti. Namun pasien

mengaku jarang mencuci handuknya. Anggota keluarga yang lain tidak ada yang

menderita sakit gatal seperti pasien.

C. Riwayat Penyakit Dahulu :

Riwayat sakit serupa : disangkal

Riwayat alergi obat : disangkal

Riwayat asma

Riwayat DM

: disangkal

: disangkal

Page 12: Diskusi Kasus t.kororis

Riwayat Jantung

Riwayat Hipertensi

Riwayat Operasi

: disangkal

: disangkal

: disangkal

D. Riwayat penyakit Keluarga :

Riwayat sakit serupa : disangkal

Riwayat alergi obat : disangkal

Riwayat alergi makanan : disangkal

Riwayat atopik : disangkal

E. Riwayat Sosial Ekonomi :

Pasien seorang laki-laki 30 tahun, tinggal bersama istri dan seorang anak

perempuannya. Pasien memeriksakan diri dengan menggunakan biaya sendiri.

F. Riwayat Kebiasaan :Pasien biasa mandi 2x sehari dengan sumber air PDAM. Ganti pakaian 2x

sehari. Pasien menggunakan handuk pribadi, dan pasien mengaku jarang mencuci

handuknya.

III.PEMERIKSAAN FISIK

A. Status generalis

1. Keadaan umum

Vital sign :

: baik, compos mentis, gizi kesan cukup

T : 110/70mmHg RR: 20x/menit

N: 82x/menit t : 36,7 C

2. Kepala : mesocephal

3. Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik

(-/-)

4. Hidung : sekret (-), darah (-)

5. Mulut : bibir pucat (-)

6. Leher : pembesaran KGB (-)

7. Thorax : retraksi (-), lihat status dermatologis

8. Abdomen : supel, nyeri tekan (-)

9. Ekstremitas atas

10.Ekstremitas bawah

: dalam batas normal

: dalam batas normal

Page 13: Diskusi Kasus t.kororis

B. Status Dermatologis

Regio thorax :

Tampak Patch hiperpigmentasi, batas tegas, multiple dengan skuama halus tidak

tampak adanya erosi.

IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Dilakukan pengambilan kerokan kulit pada daerah lesi kemudian diberi larutan KOH

30% kemudian di periksa di bawah mikroskop

Hasil : (+) ditemukan hifa panjang

Pemeriksaan lampu wood : (-)

V. DIAGNOSIS BANDING

1. Tinea korporis

2. Eritrasma

3. Kandidiasis

VI. DIAGNOSIS KERJA

Tinea korporis

VII.TUJUAN PENGOBATAN

Menghilangkan infeksi jamur

Page 14: Diskusi Kasus t.kororis

Fungistatis

1. Antibiotika

- Griseofulvin

Bentuk : Oral

Dosis : oral 4 dd 125 mg serbuk microfine (1-5 mikron) atau sekaligus

500 mg pc.

- Nistatin

Bentuk : Oral, tab vaginal, salep atau bedak tabur

Dosis : oral 3 dd 0.5-1 MU, tab vaginal selama 14 hari 1 tablet dari

100.000 U, salep atau bedak tabur dengan 100.000 U/g 2-3 kali

sehari. I mg nistatin = 3000 U

2. Derivat imidazol

- Mikonazol

Bentuk : Krim, salep

Dosis : salep 1-2 % dd salep 2% selama 3-5 minggu

- ketokonazol

Bentuk : Krim, salep, oral

Dosis : Krim dan salep dosisnya 1-2%, oral 1 dd 200 mg dc sampai 7

hari setelah gejala hilang.

- Klotrimazol

Bentuk : Krim, Spray

Dosis : Krim atau spray 1% 2 kali sehari minimal 3-4 minggu

3. Derivat triazol

- Itrakonazol

Bentuk : Oral

Dosis : oral 1 kali 200 mg selama 3 hari

- Flukonazol

Bentuk : Oral

Dosis : 1 dd 200-400 mg

Fungisid

1. Asam organis

- Asal salisilat

Bentuk : Salep

Dosis : Salep 3-6%

Page 15: Diskusi Kasus t.kororis

VIII.TERAPI

Non medikamentosa

Edukasi kepada pasien :

a. Menjaga kebersihan kulit dan lingkungan pribadi

b. Menganjurkan pasien agar daerah lesi selalu kering

c. Memakai pakaiannya sendiri yang longgar dan menyerap keringat

d. Memakai peralatan mandi tersendiri

e. Jangan menggaruk lesi

Medikamentosa

a. Anti jamur topikal

R/ Miconazole cream 2% tube No. I

∫ ue

Pro : Tn. Y (30 tahun)

IX. PEMBAHASAN OBAT

Pasien mengalami infeksi jamur yang cukup luas. Miconazole merupakan derivat

imidazol yang bersifat fungistatis, memiliki spektrum antifungi yang luas dan pada dosis

tinggi bisa bekerja sebagai fungisid terhadap fungi tertentu. Mekanisme kerjanya

berdasarkan pengikatan pada enzim sitokrom P450, sehingga sintesis ergosterol, yang

berfungsi untuk pembinaan membran sel jamur, dihambat dan dirusak. Obat ini juga

berfungsi sebagai bakterisid pada dosis terapi terhadap sejumlah kuman gram positif,

kecuali basil-basil Doderlein yang terdapat dalam vagina. Efek samping dari obat ini

dapat berupa iritasi, reaksi alergi, dan rasa terbakar pada kulit. Pemberian dalam bentuk

krim berkaitan dengan aktifitas pasien sebagai petani yang rentan dengan pekerjaan berat

dan mudah menimbulkan keringat, sehingga pemberian dalam bentuk krim bisa

dilakukan berulang ulang. Krim bisa diberikan tiap 2-3 jam sekali selama 3-5 minggu.

X. PROGNOSIS

Ad vitam : bonam

Ad sanam : bonam

Ad fungsionam : bonam

Ad kosmetikam : bonam

Page 16: Diskusi Kasus t.kororis

BAB IV

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan:

Page 17: Diskusi Kasus t.kororis

Tinea korporis adalah penyakit dermatofit pada kulit glabrosa, selain kulit

kepala,wajah, kaki, telapak tangan dan kaki, janggut dan lipatan paha. Transmisi dermatofit

ke manusia dapat melalui 3 sumber masing-masing memberikan gambaran tipikal. Karena

dermatofit tidak memiliki virulensi secara khusus dan khas hanya menginvasi bagian luar

stratum korneum dari kulit. Lingkungan kulit yang sesuai merupakan faktor penting dalam

perkembangan klinis dermatofitosis. Penatalaksanaan tinea korporis ini dengan enghilangkan

faktor predisposisi, misalnya mengusahakan daerah lesi selalu kering dan memakai baju yang

menyerap keringat.

Saran:

Tinea korporis merupakan suatu penyakit kulit menular yang disebabkan oleh jamur

golongan dermatofita. Kebersihan perorangan memegang peranan penting dalam pencegahan

penyakit ini. Oleh karena itu, usaha pencegahan penularannya merupakan hal terpenting.

DAFTAR PUSTAKA

Page 18: Diskusi Kasus t.kororis

1. Patel S, Meixner JA, Smith MB, McGinnis MR. 2006. Superficial Mycoses And Dermatophytes. In : Tyring SK, Lupi O, Hengge UR, editors. Tropical dermatology. China: Elsenvier inc. p.185-92.2.

2. Nelson MM, Martin AG, Heffernan MP. 2004. Fungal Disease With Cutaneus Involvement. In : Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA,Katz SI. Fitzpatrick’s: Dermatology in general medicine. 6th ed. New York: Mcgraw hill. p:1908-2001.

3. Sobera JO, Elewski BE. 2003. Fungal Disease.. In : Bolognia JL, Jorizzo JL, Raiini RP,editors. Dermatology. Spain : Elsevier Science. p.1174-83.4.

4. Rook, Willkinson, Ebling. 1992. Mycology. In : Champion RH, Burton JL, Ebling FJG,editors. Text book of dermatology. 5thed. London : Blackwell scientific publication. p.1148-9.5.

5. Habif TP. 2004. Clinacal Dermatology. 4thed. Edinburgh: Mosby.6. Goedadi MH, Suwito PS. 2004. Tinea Korporis Dan Tinea Kruris. In : Budimulja

U,Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S, editors. Dermatomikosis superfisialis. Jakarta: Balai penerbit FKUI. p.31-47.

7. Rushing ME. 2006. Tinea corporis. Online journal. 29 June 2006; available from: http://www.emedicine.com/asp/tinea corporis/article/page type=Article.htm8.

8. Fitzpatrick TB, Johnson RA, Wolff K, Suurmond D. 1999. Colour Atlas And Synopsis Of Clinical Dermatology. Athed New York: Mc graw hill.

9. Noble SL, Forbes RC, Stamm PL. 1998. Diagnosis and management of common tineainfections. 1 July 1998; available from:<http://www.afp.org/journal/asp/.htm>

10. Amiruddin MD. 2003. Ilmu Penyakit Kulit. Makassar: Percetakan LKiS.11. Allen Hb, Rippon JW. 1992. Superficial And Deep Mycoses. In : Moschella SL,

HurleyHJ. Dermatology. 2nd ed. Philadelphia: W.B. Sauders company. p.739-7512.12. Budimulja U. 2002. Mikosis. In : Djuanda A, Hamzah M, Aisyah S. editors.

Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 3rd ed. Jakarta: Balai penerbit FKUI. p.92-3.13.13. Arndt KA, Bowers KE. 2002. Manual Of Dermatology Therapeutics With Essential

Of Diagnostic. 6th ed. Philadelphia: Lippincot Williams & willkins.14. Nugroho SA. 2004. Pemeriksaan Penunjang Diagnosis Dermatomikosis Superfisialis.

In :Budimulja U, Kuswadji, Bramono K, Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S, editors.Dermatomikosis superfisialis. Jakarta: Balai penerbit FKUI. p.99-106.15.

15. Kuswadji, Widaty KS. 2004. Obat Anti Jamur. In : Budimulja U, Kuswadji, Bramono K,Menaldi SL, Dwihastuti P, Widaty S, editors. Dermatomikosis superfisialis. Jakarta: Balai penerbit FKUI. p.108-16.