Disintegrasi Timor Leste dan Sudan Selatan

download Disintegrasi Timor Leste dan Sudan Selatan

of 22

Transcript of Disintegrasi Timor Leste dan Sudan Selatan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Disintegrasi berasal dari kata dis yang berarti tidak dan integrasi yang berarti menyatu. Sementara itu, fenomena disintegrasi merupakan pecahnya atau lepasnya suatu bagian negara atau wilayah dari suatu negara dan kemudian berdiri sendiri menjadi sebuah negara yang merdeka. Disintegrasi, secara harfiah, dipahami sebagai perpecahan suatu bangsa menjadi bagian-bagian yang terpisah1. Baru-baru ini, terjadi peristiwa disintegrasi Sudan Selatan dari Sudan Utara. Hampir 100 persen warga Sudan Selatan memilih untuk berdisintegrasi dan mendirikan negara baru untuk mengakhiri konflik sipil yang berlangsung selama puluhan tahun. Daerah ini berpenduduk mayoritas etnis Afrika hitam (Nubia) dengan agama Kristen, berbeda dengan Sudan Utara yang berada di sub-Sahara bagian utara yang bercorak gurun sahara serta berpenduduk etnis Arab-Islam. Karakteristik geografis dan iklim yang kontras antara Sudan Selatan dan dunia Arab itu, ditambah lagi dengan perbedaan agama, etnis, bahasa, budaya, dan latar belakang sejarah, membuat dua wilayah di Sudan ini tak pernah merasa dekat. Sudan Selatan cenderung lebih dekat dengan Afrika ketimbang dunia Arab (Timur Tengah)2. Usaha pemisahan sudah dirintis sejak 50 tahun lalu melalui berbagai cara bahkan perang saudara. Sudan Selatan telah mengorbankan jutaan penduduknya termasuk yang tewas dan luka-luka dalam peperangan. Pada 9 Juli 2011, Sudan Selatan resmi menjadi negara Afrika ke-54, setelah referendum digelar dalam kerangka kesepakatan damai, dan 95% memilih untuk merdeka3. Peristiwa ini merupakan puncak dari penyelesaian konflik dan perang sipil yang terjadi di tubuh Sudan. Tidak jauh berbeda dengan yang terjadi di Sudan tahun 2011 lalu, pada tahun 1998 Indonesia juga mengalami hal yang serupa pada Timor Timur (atau disebut juga dengan nama Timor Lorosae, dan sekarang disebut dengan nama Timor Leste). Dahulunya, Timor Timur merupakan kepemilikan dari Portugal, dan kerap kali disebut sebagai "Propinsi Seberang Lautan" oleh Portugal4. Pada tubuh Portugal tahun 1960-an terjadi pergantian kekuasaan, yang berarti juga pergantian ideologi yang dianut. Diktator Salazar jatuh dan digantikan oleh Marcello Gaetano menyebabkan munculnya ide-ide mengenai liberalisasi dan diizinkannya Portugal untuk mengikuti organisasi1

2

3

4

G.R. Sumantri, Disintegrasi Bangsa, 29 Desember 2009, , diakses pada 30 November 2011 Majalah Berita Indonesia, Demi Ketentraman Sudan, 06 Februari 2011, , diakses pada 30 November 2011 BBC Indonesia, Sudan Selatan Resmi Merdeka, 9 Juli 2011, , diakses pada tanggal 30 November 2011 E.M. Tomodok, Hari-Hari Akhir Timor Portugis, Pustaka Jaya, Jakarta, 1994, p. 10

1

organisasi politik di luar pemerintahan. Ini juga memberikan tempat bagi Propinsi Seberang Lautan untuk turut berkontribusi; sebagai contoh diberikannya dua buah jatah kursi di Dewan Perwakilan Rakyat di Lisboa5. Namun, kontradiksi di dalam masyarakat akibat cengkeraman empat abad penjajahan Portugal mewarnai kehidupan sehari-hari yang mencerminkan perbedaan pandangan dan kepentingan politik. Pada gilirannya, hal tersebut mengakibatkan terbentuknya kelompok politik yang ragu akan masa depan Timor Portugis. Pada akhirnya, terdapat tiga buah sikap pada tubuh masyarakat Timor Portugis: tetap menginginkan Timor sebagai propinsi milik Portugal, menginginkan kemerdekaan Timor (Xavier Amaral dan Ramos Horta, yang kemudian membentuk Fretilin yang berhaluan komunis), serta masyarakat yang berkeinginan untuk berintegrasi dengan Indonesia (terkenal dengan karena pemberontakan Viqueque 1955, yang tergabung dalam Partai Apodeti)6. Pada 30 November 1975, Deklarasi Balibo menyatakan bahwa seluruh wilayah bekas koloni Timor Portugis berintegrasi dengan bangsa Indonesia, dan dengannya resmi menjadi propinsi Indonesia yang kedua puluh tujuh. Tetapi sayangnya, semenjak tanggal 30 Agustus 1999, bendera merah putih tak lagi dikibarkan di Bumi Lorosae. Timor Timur lepas, berdisintegrasi dari Indonesia setelah jajak pendapat (referendum) yang diadakan PBB menyatakan bahwa 78,5% masyarakat Timor Timur menginginkan kemerdekaan dalam menentukan nasib sendiri7. Baik Timor Leste maupun Sudan Selatan, pada akhirnya berhasil menuntaskan masalah disintegrasi mereka dengan jalan keluar referendum. Lebih dari itu, terdapat juga berbagai bentuk intervensi asing dalam kepentingan disintegrasi kedua negara; seperti peran Australia dan Amerika Serikat dalam upaya mereka mendesak Presiden B.J. Habibie sehubungan dengan Timor Timur dan peran PBB dan Uni Afrika dalam perdamaian Sudan. Dalam paper ini, penulis ingin berfokus terhadap upaya disintegrasi secara historis; pada Timor Leste dalam rentang integrasi ke Indonesia hingga perolehan kemerdekaan mereka sementara pada Sudan Selatan fokus dimulai saat awal mula konflik dengan Sudan Utara hingga perolehan kemerdekaan mereka, intervensi asing, serta penyelesaian masalah disintegrasi kedua negara.

5 6

E.M. Tomodok, Hari-Hari Akhir Timor Portugis, Pustaka Jaya, Jakarta, 1994, p. 12 E.M. Tomodok, Hari-Hari Akhir Timor Portugis, Pustaka Jaya, Jakarta, 1994, p. 88 7 Liputan6.com, Keluar Juga Kerikil Dalam Sepatu Itu, 30 Agustus 2009, , diakses pada tanggal 30 November 2011

2

B. Rumusan Masalah 1. Apa faktor pendukung disintegrasi Timor Timur dari Indonesia dan Sudan Selatan dari Sudan Utara? 2. Apa bentuk upaya intervensi asing dalam disintegrasi kedua negara dan seberapa pentingnyakah upaya-upaya tersebut? 3. Kepentingan apa yang berhasil dicapai oleh kedua negara setelah disintegrasi tersebut? C. Landasan Konseptual 1) Tinjauan Hukum Internasional: Secession Konflik-konflik internal yang terjadi di suatu negara dapat berakibat lepasnya suatu wilayah negara (secession) atau bahkan malah berujung pada pembubaran negara. Konsep negara-bangsa sebagai suatu unit politik akan menjadi goyah akibat munculnya dorongan bagi kelompokkelompok etnik untuk melepaskan diri dari negara induknya; yang merupakan kecenderungan "micro nationalism" dan kontradiktif dengan konsep negara-bangsa. Secession ini bukan merupakan hak namun cenderung kepada sesuatu yang dapat dijadikan bahan perjanjian8. 2) Prinsip Hak Menentukan Nasib Sendiri (Self Determination) Prinsip ini bukanlah untuk dimaksudkan sebagai "hak untuk merdeka" melainkan sebagai selfrule, semacam otonomi sehingga kemerdekaan hanya dimungkinkan atas persetujuan negara penjajah. 3) Garis Arbitrari (Arbitrary Boundaries) Wilayah jajahan kolonial dibagi atas kehendak kolonial, bukannya ketertarikan atau kepentingan bangsa yang dijajah, sehingga kerap kali menyisakan perselisihan, menjadikan etnis-etnis yang bermukim di wilayah tersebut secara tidak natural harus bersatu, atau justru malah memisahkan etnis yang bersifat homogen9. D. Hipotesis 1. Disintegrasi kedua negara berasal dari faktor perbedaan; yakni didominasi oleh faktor perbedaan etnisitas dan agama. 2. Intervensi asing hadir dalam bentuk pendanaan, dan pemberian fasilitas berupa konferensi, pembicaraan agenda mengenai pendisintegrasian berupa referendum mengenai kemerdekaan8

S. Hadi, Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal, dan Dinamika Internasional,Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007, hal. 241 9 A. Thomson, An Introduction to African Politics, Routledge, New York, 2005, hal. 13

3

mereka 3. Setelah pada akhirnya kedua negara tersebut berhasil berdisintegrasi, kedua negara jelas mendapatkan hak untuk merdeka atau menentukan nasib sendiri. Selain itu, kedua negara dapat memiliki aset-aset seperti pertambangan dan sebagainya; aset tersebut tidak lagi dikuasai oleh negara induk melainkan dimiliki dan diolah sendiri.

4

BAB II PEMBAHASAN A. Disintegrasi Timor Leste dan Sudan Selatan 1. Timor Leste Sebelum berintegrasi dengan Indonesia pada tahun 1976, selama lebih dari empat abad Timor Leste merupakan jajahan Portugal. Revolusi Anyelir di Portugal menyebabkan tergulingnya rezim pemerintahan disana, dan disisi lain, membuka era baru untuk koloni-koloni Portugal; termasuk dalam hal ini Timor Leste10. Walaupun Timor Leste berbatasan langsung dengan Indonesia, tidak pernah sekalipun ia menuntut apapun terhadap wilayah ini, hingga kemudian dihimpit oleh situasi pada tahun 1970an ketika Portugal mengumandangkan seruan dekolonisasi bagi daerah-daerah kolonialisme Portugal di seberang samudera. Kepemerintahan Portugal memang tidak mengubah standar kehidupan orang-orang pribumi di Timor. Mayoritas penduduk pribumi hidup dalam kondisi paling buruk: miskin, kesehatan tidak terjamin, serta rendahnya tingkat pendidikan yang mereka kenyam. Selama empat abad menjajah, pemerintah Portugal tidak ambil andil dalam pengembangan pendidikan di Timor. Rendahnya standar hidup juga mengakibatkan kekurangan daya tahan bagi tubuh kaum pribumi, dan juga rentan penyakit, sementara tenaga medis yang tersedia sangatlah minim. Terlebih, kaum pribumi yang miskin dan tidak berpendidikan itu diharuskan pula membayar pajak yang luar biasa berat. Salah satu jenis pajak tersebut adalah pajak berdiam, atau disebut juga dengan "pajak kepala". Menurut undang-undang yang berlaku, warga negara yang berumur 18 tahun ke atas dikenakan pajak kepala, terlepas apakah objek pajak tersebut bekerja atau tidak11. Pajak kepala tersebut merupakan sumber pendapatan pemerintah yang terbesar. Pemungutan pajaknya dilakukan oleh raja-raja, kepala-kepala suku, atau kepala-kepala kampung. Tidak mampu membayar pajak kepala maka hukuman penjara dua bulan, atau kerja rodi hingga pajak tersebut dianggap lunas. Keluh kesah masyarakat Timor Portugis tidak pernah terdengar oleh dunia luar karena isolasi politik yang dijalankan oleh Timor Portugis; bahkan di Indonesia pun masalah pajak ini tidak terdengar. Kebebasan bersuara atau kebebasan menyatakan pendapat tidak ada di Timor Portugis. Setiap penerbitan apapun diharuskan melewati sensor. Bila tidak disetujui, maka tidak akan diterbitkan. Begitu juga dengan film impor. Radio Dili tidaklah berfungsi sebagai media penerangan, karena siarannya10

S. Hadi, Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal, dan Dinamika Internasional,Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007, hal. 187 11 E.M. Tomodok, Hari-Hari Akhir Timor Portugis, Pustaka Jaya, Jakarta, 1994, p.30

5

cenderung bersifat menghibur, dan bilapun ada berita, maka hanya berita-berita yang telah lulus sensor yang disiarkan. Berita-berita mengenai perjuangan kemerdekaan daerah jajahan Portugal di Afrika (yakni Mozambik, Guinea Bissau, Cape Verde, Sao Tome, Principe, dan Angola) dijaga ketat agar tidak bocor dan diketahui oleh rakyat pribumi. Tidak hanya itu, badan sensor juga lekat menempel pada buku-buku pengetahuan yang berbahasa asing. Hal-hal yang dapat menggoyahkan kedudukan Portugal sedapat mungkin dihindarkan. Pada tahun 1977, Partai Fretilin pun tampil dan memproklamirkan kemerdekaan Timor pada tanggal 28 November. Fretilin merupakan partai revolusioner dan radikal dalam usaha kemerdekaan Timor Leste, serta kental dengan ideologi komunisme. Namun, dua hari kemudian, Partai Apodeti (partai pro-Indonesia) juga memproklamirkan kemerdekaan wilayah tersebut dan menyatakan ingin berintegrasi dengan Indonesia. Deklarasi ini kemudian dikenal dengan nama Deklarasi Balibo, yang berisi pernyataan kesepakatan mereka atas nama Timor Timur (sebelumnya Timor Portugis) memproklamasikan pengintegrasian bekas Timor Portugis ke NKRI sebagai propinsi yang ke-2712. Pada tanggal 7 Desember 1977, Indonesia melakukan serangan darat, laut, dan udara ke Timor Leste. Invasi yang dilakukan Indonesia ini mendapat kecaman keras dari PBB, dan pada tanggal 22, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan suara bulat menyepakati resolusi 384 yang mengakui hak warga Timor Leste untuk menentukan nasib sendiri dan merdeka. Resolusi ini memuat juga pola posisi PBB di Timor Leste selama 24 tahun ke depan13. Integrasi Timor Leste ke Indonesia pada tahun 1976 tidak serta merta melemahkan tekad faksi politik Fretilin untuk mendirikan negara Timor yang merdeka. Mereka bergerilya di hutan-hutan dan mengkampanyekan kepada dunia internasional bahwa masuknya Indonesia ke wilayah tersebut pada tahun 1976 merupakan bentuk tindakan aneksasi. Dukungan dunia internasional terhadap Fretilin pun makin pupus seiring tiadanya hasil yang diperoleh dari perjuangan-perjuangan Fretilin, bahkan hingga tahun 1990an. Puncak ketegangan terjadi pada tahun 1991, ketika tentara Indonesia menembaki para peziarah yang beriringan menuju taman pemakaman Santa Cruz, guna meletakkan karangan bunga pada makam Sebastiano Gomes, yang tertembak oleh tentara dua minggu sebelumnya. Naasnya, insiden Santa Cruz ini kemudian menewaskan 180 orang; terekam kamera wartawan asing dan menyebar ke seantero dunia. Kecaman keras banyak datang untuk Indonesia, muncul pula wacana mengenai HAM mengalir deras. Desakan dan simpati internasional banyak datang agar Indonesia memberikan kesempatan pada rakyat12 13

E.M. Tomodok, Hari-Hari Akhir Timor Portugis, Pustaka Jaya, Jakarta, 1994, p 307

S. Hadi, Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal, dan Dinamika Internasional,Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007, hal.189-192

6

Timor Leste dalam menentukan nasibnya sendiri. Insiden ini menjadi momentum strategis bagi pejuang Fretilin yang telah lama menginginkan kemerdekaan atas wilayah tersebut. Melemahnya stabilitas dan koordinasi politik nasional seiring kejatuhan Soeharto dan menguatnya desakan internasional untuk Indonesia, pemerintahan Habibie mengambil terobosan kebijakan untuk menyelenggarakan jajak pendapat yang akan menentukan masa depan Timor Timur. Timor Timur saat itu memiliki dua pilihan; otonomi khusus dan tetap menjadi bagian dari Indonesia, atau merdeka. Jajak pendapat yang menawarkan kedua pilihan tersebut diselenggrakan di Timor Timur pada 30 Agustus 1999. Hasil jajak pendapat tersebut diumumkan pada tanggal 4 September dengan angka 78,5% dari masyarakat Timor Timur menginginkan kemerdekaan; yang berarti menyetujui lepasnya Timor Timur dari kedaulatan Indonesia. Hasil jajak pendapat tersebut membuat kelompok pro-integrasi kecewa dan mengamuk, dan melakukan penyerangan terhadap kelompok pro-kemerdekaan. Dili dan berbagai kota di Timor Leste pun berada pada kekacauan, berbagai sarana dan fasilitas publik rusak berat, dan ratusan orang tewas. Ratusan ribu orang mengungsi ke Nusa Tenggara Barat dengan alasan keamanan14. Disintegrasi Timor Leste yang dimuluskan oleh referendum menghasilkan kemerdekaan Timor Leste secara penuh dan mendapatkan pengakuan internasional pada tanggal 20 Mei 200215 2. Sudan Selatan Perang saudara antara wilayah Utara dan Selatan mewarnai sejarah politik Sudan. Meski telah lebih dari setengah abad lepas dari kolonialisasi Inggris dan Mesir, Sudan masih belum menemukan perdamaian. Sebagai negara dengan wilayah terbesar di benua Afrika, Sudan memiliki sumber daya alam berupa minyak; yang juga merupakan komoditas, namun demikian di dalam negeri masih berhadapan dengan masalah instabilitas pemerintahan dan pemberontakan. Secara kultural, Sudan terbagi menjadi dua, dimana wilayah Utara dihuni oleh penduduk yang beragama Islam yang lekat dengan budaya Arab dan wilayah Selatan yang dihuni oleh penduduk Kristen; bahkan masih menganut animisme. Pada awalnya, wilayah Utara dan Selatan merupakan dua wilayah yang terpisah, namun demikian pada akhir masa kolonialisasi Inggris dan Mesir, kedua wilayah tersebut digabungkan yang memicu protes dari penduduk di wilayah selatan. Protes disebabkan oleh kendali politik yang diserahkan kepada pemerintah wilayah utara yang mayoritas Arab, yang dikhawatirkan akan mengancam eksistensi kepemerintahan wilayah selatan yang14

berwenang atas sumur minyak yang

S. Hadi, Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal, dan Dinamika Internasional,Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007, hal. 191 15 World Socialist Website, Australia Menggertak Timor Timur, 30 Mei 2002, , diakses pada tanggal 30 November 2011

7

mayoritas berada di wilayah Selatan. Karakteristik geografis dan iklim yang kontras antara Sudan Selatan dan dunia Arab itu, ditambah lagi dengan perbedaan agama, etnis, bahasa, budaya, dan latar belakang sejarah, membuat dua wilayah di Sudan ini tak pernah merasa dekat. Sudan Selatan jauh lebih dekat dengan Afrika ketimbang dunia Arab. Pecahnya perang saudara di Sudan telah terjadi bahkan sebelum deklarasi kemerdekaan tahun 1956. Setahun sebelumnya, pemberontak Sudan Selatan mulai melancarkan serangan terhadap pemerintah Sudan Utara. Perang saudara ini berlangsung selama 17 tahun hingga pemimpin Southern Sudan Liberation, Joseph Lagu, yang membentuk pemerintahan di wilayah Selatan bertemu dengan presiden Sudan saat itu, Jafaar Muhammad An-Numeiri, untuk membahas perang yang masih berlarutlarut. Kedua pihak bertikai sepakat menandatangani Addis Ababa Agreement tahun 1972 yang memberikan otonomi kepada wilayah Sudan selatan16. Sayangnya, satu dekade sesudahnya, perang saudara kembali terjadi di Sudan ketika Presiden Jafaar Muhammad An-Numeiri mencanangkan pemberlakukan hukum Islam di seluruh wilayah Sudan pada tahun 1983. Hal ini menyebabkan perasaan terdiskriminasi bagi masyarakat Sudan bagian selatan. Perang terus berlanjut hingga disepakati perjanjian damai di Nairobi, Kenya, pada tahun 2005, yang membahas masalah referendum untuk menentukan nasib Sudan selatan pada tahun 2011. Pada satu sisi, euforia diwujudkan melalui ekspresi tulisan-tulisan dan bendera-bendera pembebasan yang memenuhi jalan-jalan di Juba, calon ibukota Sudan Selatan. Di sisi lain, euforia ini membawa potensi konflik bagi mayoritas penduduk Arab di Sudan Utara yang disinyalir akan melakukan serangan-serangan untuk mengganggu jalannya referendum. Penyerangan tersebut mungkin disebabkan oleh dua hal yaitu perebutan wilayah antar suku dan kontrol atas sumur minyak di wilayah Sudan Tengah dan Selatan. Sebenarnya, pembentukan suatu negara di benua Afrika merupakan proses dari wilayah bekas kolonial Eropa pada masa lalu yang membentuk suatu negara tanpa memperhatikan latar belakang budaya penduduk asli, yang dikenal dengan nama Scramble for Africa. Akibatnya, negara-negara di benua Afrika mengalami perubahan administratif dari waktu ke waktu yang merupakan proses yang telah menjadi bagian sejarah politiknya. Proses ini juga terjadi dalam pembentukan negara Sudan. Negara yang memiliki perbedaan kultural antar masyarakatnya ini kemudian dipersatukan dalam sebuah negara,16

http://www.politik.lipi.go.id/index.php/in/kolom/politik-internasional/403-referendum-penutupkonflik-sudan, diakses pada tanggal 30 November 20118

dibawah satu bendera. Masyarakat Sudan memerlukan kedaulatan atas kehidupan mereka tanpa harus dipersatukan oleh ikatan masa lalu yang tidak mereka inginkan17. Keinginan Sudan Selatan untuk berdisintegrasi pada akhirnya tersalurkan melalui referendum. Setelah bertahun-tahun ditimpa perang saudara, pada akhirnya referendum digelar pada 9 Januari 2011. Dikarenakan diskriminasi perlakuan bangsa koloni terhadap rakyat Sudan, hanya 15% penduduknya saja yang bisa membaca, membuat kertas suara dibuat sesederhana mungkin dan tidak terdapat tulisan, melainkan gambar atau simbol saja18. Hampir 100 persen warga Sudan Selatan memilih untuk memisahkan diri dan mendirikan negara baru untuk mengakhiri konflik sipil yang berlangsung selama puluhan tahun. Pemisahan Sudan Utara dan Sudan Selatan dianggap solusi terbaik meskipun masih banyak isu yang menggantung termasuk isu sengketa wilayah Abyei yang kaya minyak. B. Intervensi Asing dalam Proses Disintegrasi Timor Leste dan Sudan Selatan Sebuah benang merah dari fenomena disintegrasi yang terjadi pada Timor Leste dan Sudan Selatan adalah banyaknya campur tangan asing yang bermain. Berbeda dengan Sudan Selatan yang merupakan bagian dari negara Sudan saat pertama kali memproklamirkan kemerdekaan, Timor Leste bukanlah salah satu propinsi yang berada pada bendera merah putih saat proklamasi kemerdekaan berkumandang, yakni pada tanggal 17 Agustus 1945. Awal mula disintegrasi Timor Portugis adalah sebuah integrasi paksa pada tahun 1976 dikarenakan ketidakmampuan Portugal dalam melakukan proses dekolonisasi yang tuntas di wilayah tersebut pada periode 1970an19. Integrasi Timor ke Indonesia tidak lepas dari determinan konstelasi politik internasional saat Perang Dingin, dan integrasi tersebut (walaupun dilakukan melalui operasi militer Indonesia) direstui oleh negara-negara Barat-liberalis yang tidak ingin melihat Timor dipimpin oleh Fretilin dan bertransformasi menjadi The Cuba of Asia. Disintegrasi Timor Leste dari Indonesia membuat Indonesia sewajarnya kecewa terhadap Australia, tetangga seberang laut. Australia adalah negara yang mendukung integrasi Timor ke Indonesia, namun kemudian berbalik dan mendukung disintegrasi Timor dari Indonesia. Lewat mekanisme diplomatis, sikap Australia dalam kasus Timor nampak fluktuatif. Kejatuhan Soekarno dan naiknya Habibie pada tahun 1999 menjadi titik balik posisi politis Australia. Australia mendukung penuh17

U.S. Department of State: Diplomacy in Action, Background Note: Sudan, 8 April 2011, diakses pada tanggal 30 November 2011 18 Okezone Internasional, Referendum Unik Berlangsung di Sudan, 10 Januari 2011, , diakses pada tanggal 30 November 2011 19 S. Hadi, Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal, dan Dinamika Internasional,Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007, hal. 192

9

kemerdekaan Timor Leste. Penarikan dukungan Australia atas kedaulatan Indonesia atas Timor Leste disinyalir merupakan akibat dari hilangnya wewenang pemerintah Indoensia dalam menentukan hak eksplorasi tambang di celah Timor, karena telah terikat oleh IMF dalam penanganan krisis ekonomi yang dideritanya. IMF mengharuskan Indonesia untuk melakukan open tender terhadap semua transaksi ekonomi nasional. Regulasi tersebut tentu saja mencakup urusan tender pengolahan Celah Timor bilamana status kawasan ini dimenangkan oleh Indonesia. John Howard, Perdana Menteri Australia saat itu, mengambil sikap yang bertentangan dengan sikap yang diambil oleh negarawan Australia sebelumnya. Howard, setelah gagal melobi IMF, menulis surat yang ditujukan untuk Habibie, berisi seruan agar posisi Timor Leste sejajar sebagai sebuah bangsa dalam politik internasional20. Australia, dalam hal disintegrasi Timor, terlihat jelas sangat oportunis demi kepentingan ekonomi nasionalnya sendiri. Tidak hanya Australia yang bermain dalam disintegrasi Timor Leste, namun juga Amerika Serikat. Hanya saja, bila sikap Australia ramai dengan warna dan motif ekonomis, peran Amerika Serikat lebih condong ke arah ideologi. Sebagaimana yang kita ketahui bersama, Amerika berperang hegemoni dengan Uni Soviet, dan dapat sedikit bernafas lega saat komunisme di Indonesia berhasil diberangus melalui Angkatan Darat, dan memunculkan Soeharto sebagai Presiden yang baru sekaligus menandai pergantian wajah Indonesia melalui Orde Baru yang dipimpinnya. Nafas lega Amerika Serikat sempat terhenti ketika Portugal memutuskan untuk melepas wilayah jajahannya di kawasan Asia Tenggara; yakni Timor Portugis. Lebih terhenti lagi saat mengetahui Partai Fretilin memenangi pemilu pertama pasca dekolonialisasi Portugal pada tahun 1975. Hal ini jelas merupakan cobaan berat bagi Amerika, karena corak Fretilin yang kekirian dan berarti kerugian bagi strategi pembendungan komunisme di Asia tenggara. Bagi Amerika, akan lebih menguntungkan bila Timor dititipkan pada Indonesia yang telah teruji bebas komunis melalui operasi militernya21. Amerika Serikat tidak semata-mata mendukung integrasi ini hanya karena efek domino yang akan ditimbulkan bilamana Timor Portugis dikuasai Fretilin yang kekirian, tetapi juga nilai pasaran Indonesia yang menguat serta arti penting strategis dan ekonomis Indonesia dalam perspektif global, apalagi setelah dipukul mundurnya Amerika keluar dari Vietnam. Hanya saja pada akhirnya, sama seperti Australia, Amerika memutar balik punggung dari masalah Timor Leste. Integrasi Timor ke Indonesia yang semula didukungnya malah diancam dan dikecam; apalagi pasca perang dingin, dimana dunia tidak lagi bipolar.20

21

S. Hadi, Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal, dan Dinamika Internasional,Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007, hal 197 S. Hadi, Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal, dan Dinamika Internasional,Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007, hal 200

10

Australia dan Amerika Serikat sepakat akan banyaknya pelanggaran HAM yang dilakukan militer Indonesia di tanah Timor. Tidak hanya itu, Amerika Serikat mengharapkan pemerintah Indonesia membiarkan warga Timor Leste kembali ke kampung halaman mereka (setelah mengungsi di Nusa Tenggara Barat) dan membiarkan pasukan penjaga perdamaian internasional menuntaskan misi mereka dalam menjaga stabilitas di kawasan tersebut, dan kolusi antara militer Indonesia dan kelompok prokemerdekaan harus segera diakhiri22. Amerika Serikat dan Australia, keduanya telah ikut campur dalam masalah integrasi Timor ke Indonesia, dan kembali melakukan hal yang sama ditambah dengan kecaman dan peringatan agar sesegera mungkin dilakukan disintegrasi antara Timor Timur dengan Indonesia. Sikap kedua negara ini jelas menyudutkan Indonesia pada posisi bersalah terhadap Timor Leste. Portugal, sebagai negara penjajah wilayah Timor Leste, cukup aktif dalam membela daerah bekas koloninya tersebut. Invasi militer Indonesia ke Timor membuat hubungan diplomatik Lisabon dengan Jakarta putus. Di forum PBB, Portugal selalu berusaha menyelipkan agenda mengenai Timor Leste di setiap sidang Majelis Umum. Selama 25 tahun Portugal terus merengek mengenai Timor Leste setelah pada awalnya terburu-buru melepaskannya; akibat kerusuhan yang terjadi di Portugal dan yang terjadi di Angola dan Mozambik. Letak geografis Timor yang jauh dari Portugal serta bertumpuknya masalah internal yang mesti diselesaikan membuat Portugal memilih untuk angkat kaki dan mencuci tangan dari segala keributan yang terjadi di tanah Timor. Kisah yang terjadi kemudian adalah masuknya Tentara Indonesia dalam rangka mengendalikan keamanan dan ketertiban di Timor, yang kemudian diklaim sebagai bentuk invasi dan menyalahi kaidah hukum internasional. Portugal, menanggapi tindakan Indonesia ini, memutuskan hubungan diplomatik dengan Indonesia sehari setelah Operasi Seroja 7 Desember 1975. Pemutusan hubungan diplomatik ini merupakan sebuah harga yang sangat mahal, namun rupanya sepadan dikarenakan sikap memaafkan dari banyak negara terhadap Portugal yang walaupun telah empat abad menjajah Timor belum pernah memberikan pembangunan yang berarti, dan tidak memberikan edukasi yang beradab. Portugal, di mata internasional, menjadi pahlawan Timor Leste, namun hanya saat momen itu saja. Bisa dikatakan yang dilakukan oleh Portugal semata-mata karena alasan nama baik di muka internasional, supaya terlihat memiliki andil dalam masalah bekas wilayah koloninya23. Peran yang cukup substansial pada disintegrasinya Timor dari Indonesia dipegang oleh PBB. Forum PBB dijadikan medan diplomasi bagi Indonesia yang memerlukan dukungannya atas pendudukan di Timor Leste, sebaliknya Portugal terus menerus menyerukan di forum ini agar Indonesia menarik22

23

S. Hadi, Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal, dan Dinamika Internasional,Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007, hal 203 S. Hadi, Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal, dan Dinamika Internasional,Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007, hal 212

11

semua pasukannya keluar dari wilayah Timor Leste. Pada 19 November 1976, Majelis Umum PBB mengecam aneksasi Indonesia ke Timor Leste dan menghimbau agar rakyat Timor Leste diberi kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri. Naiknya Habibie sebagai presiden membuat warga Timor mendapatkan kesempatan memilih: terus menjadi bagian dari Indonesia dengan otonomi ataukah pergi menentukan nasib sendiri. Meskipun selama 23 tahun periode integrasi ratusan milyar rupiah telah dikucurkan pusat tiap tahunnya sebagai bentuk wujud otonomi, pada akhirnya, mayoritas memilih opsi kedua, yakni menentukan nasib sendiri. PBB, dalam hal ini, memfasilitasi banyak hal dalam rangka penghentian kekerasan di Timor Leste. PBB membentuk UNAMET, United Nation Assistance Mission for east Timor, dipimpin oleh Ian Martin guna memfasilitasi dan mengawasi jalannya jajak pendapat. Para diplomat Indonesia pesimistis dan mencium adanya konspirasi Barat dari UNAMET karena Ian Martin dikenal karena reputasinya yang garang dalam persoalan HAM di LSM yang pernah dipimpinnya. UNAMET disinyalir kurang netral dalam perekrutan staf lokal di Timor Leste dengan kecenderungan memilih dari kalangan prokemerdekaan dibanding dari kalangan pro-integrasi24. Aktor-aktor yang bermain pada disintegrasi Timor Leste rupanya tampil kembali pada episode disintegrasi Sudan Selatan; diantaranya Amerika Serikat dan PBB. Telah dijelaskan sebelumnya, bahwa etnis hitam Afrika nonmuslim yang bermukim dibawah bendera Sudan merupakan orang-orang yang dengan sangat terpaksa tinggal menyatu bersama orang-orang Arab Muslim yang mendominasi segala aspek; mulai dari politik, budaya dan pendidikan, hukum, dan lain sebagainya. Ini tak lepas merupakan hasil perundingan bangsa-bangsa Eropa yang menjajah benua Afrika lewat perundingan Scramble for Africa yang dilaksanakan di Jerman. Perundingan ini menjadikan suku-suku yang bertentangan terpaksa menyatu demi kepentingan politis bangsa penjajah atau malah membuat suku yang homogen terpisahpisah karena alasan sentimentil penjajah. Perundingan ini, walaupun telah berlangsung lama, jelas masih menyisakan konflik-konflik berupa perang sipil atau pemberontakan karena perselisihan yang telah lama terakumulasi. Peluang terjadinya konflik di Afrika sangatlah besar, tanpa bantuan campur tangan asing pun konflik dapat terjadi karena arbitrary boundaries ini. Sehingga, perselisihan yang terjadi di Sudan merupakan perselisihan yang alami atau wajar terjadi, bahkan bila tanpa campur tangan Amerika Serikat dan negara-negara lainnya. Barat punya andil besar terhadap kondisi Sudan sekarang. Inggris sejak tahun 1924 menjalankan politik isolasi antara Sudan Selatan yang mayoritas Kristen dan Animisme dengan Sudan Utara yang mayoritas muslim. Penduduk wilayah utara dipersulit untuk pindah ke Selatan, demikian juga sebaliknya.24

A. Kusaeni, Kerikil dalam Sepatu: Diplomasi Penyelesaian Kasus Timor Leste di PBB, Pustaka Antara Utama, Jakarta, 2000, hal. 58

12

Meskipun alasannya untuk mencegah penyakit malaria, namun motif sebenarnya adalah untuk memisahkan dua kawasan itu. Politik identitas berdasarkan agama dan ras pun dibangun oleh kolonial Inggris; bahwasannya Selatan adalah kawasan penganut Kristen dan asli Afrika, sementara Utara merupakan kawasan yang didominasi Muslim dan bangsa Arab. Negara kolonial itu memberikan jalan bagi berkembangnya gerakan misionaris Kristen di Selatan dan menghalangi penyebaran Islam di kawasan itu, demikian juga sebaliknya. Akibatnya, integrasi antara Sudan Selatan dan Utara menjadi terhalang. Kebijakan kolonial Inggris ini kemudian terbukti menjadi salah sumber konflik di masa sekarang. Sementara itu, Amerika Serikat memang sudah sejak lama menjadikan pemisahan Sudan Utara dan Selatan menjadi target politiknya di kawasan itu. The Sunday Times (17/11/1996) pernah mengungkap, pemerintah Clinton meluncurkan kampanye untuk membuat ketidakstabilan pemerintah Sudan. Lebih dari 20 miliar dolar peralatan militer dikirim ke Eritrea, Etiopia, Uganda, termasuk ke tentara pemberontak Sudan Selatan (SPLA). Sebelumnya, pada tahun 1995, mantan presiden AS, Jimmy Carter, dengan alasan membuka bantuan kemanusiaan, menjadi penengah gencatan senjata antara SPLA dengan pemerintah Sudan. Pada pertengahan 2001, mantan senator John Danforth ditunjuk oleh George Bush Jr. sebagai utusan presiden AS. Semua itu menjadi alat penekan untuk untuk mewujudkan tujuan politik Amerika. Referendum 2011 ini merupakan implementasi dari Comprehensive Peace Agreement tahun 2005 di Nairobi. Kehadiran menlu AS saat itu Collin Powel saat penandatanganan menunjukkan peran penting Amerika. Setelah lewat perjuangan yang lama tujuan Amerika akhirnya terwujud di era presiden Obama sekarang lewat referendum 201125. Tak hanya AS, perhatian besar datang dari pemerintah Cina. Lantaran perusahaan migasnya, China National Petroleum Corp (CNPC), beroperasi di negara tersebut. Apabila referendum itu memutuskan untuk memisahkan diri, wilayah selatan kemungkinan akan menguasai sekitar 80 persen minyak Sudan. Menurut laman Washington Times, industri minyak di Selatan mampu meraup keuntungan hingga 4,4 miliar dolar AS sepanjang 2010 lalu. Jumlah itu setara dengan hampir 98 persen pemasukan yang diperoleh wilayah tersebut, sedangkan pemerintah hanya memperoleh pemasukan 100 juta dolar dari sumber lainnya.25

http://farid1924.wordpress.com/2011/01/23/disintegrasi-sudan-bahaya-politik-referendum/, diakses pada tanggal 30 November 2011

13

Karena itu, tidak mengherankan bila kepentingan Cina di Sudan begitu besar. CNPC menguasai saham 41 persen atas perusahaan The Petrodolar Operating Company Ltd yang beroperasi di Sudan. Pemilik saham lainnya adalah Petronas asal Malaysia (40 persen), Sudapet asal Sudan (8 persen), SINOPEC asal China (6 persen), dan Al Thani Corporation dari United Arab Emirates (5 persen)26. Sementara itu, PBB dalam disintegrasi Sudan berperan dalam menjaga perdamaian dan ketertiban hukum disana, dengan menempatkan pasukan penjaga perdamaian Uni-Afrika-PBB di Darfur (UNAMID). Pasukan penjaga perdamaian Uni Afrika-PBB telah ditempatkan di Darfur sejak tahun 2008, yang dimaksudkan untuk melindungi kaum sipil dan berusaha memelihara tertib hukum. Sejak pertempuran antara pemberontak dan pasukan pemerintah mulai 8 tahun lalu, kira-kira 300 ribu orang telah tewas dan hampir 3 juta orang lainnya mengungsi dari rumah mereka. PBB telah mendesak semua orang yang terlibat dalam konflik di Darfur agar bertindak ke arah gencatan sejata dan persetujuan perdamaian yang permanen27. Pada dasarnya, intervensi asing pada disintegrasi Sudan Selatan dari Sudan tidak begitu signifikan seperti yang terjadi pada disintegrasi Timor Timur dari Indonesia. Intervensi asing pada disintegrasi Timor dari Indonesia jauh lebih kompleks karena harus menadahi banyak kepentingan; contohnya kepentingan Australia, Amerika Serikat, Portugal, kepentingan keamanan Asia Tenggara, dan juga kepentingan Indonesia. Pada kasus Sudan Selatan, intervensi asing tidak tampak nyata karena pada dasarnya kedua negara memang tidak akur. Ketidakakuran ini merupakan buah kolonialisme Inggris di Sudan pada zaman lampau, yang kemudian terakumulasi menjadi konflik panjang dengan tempo puluhan tahun yang menjadikan disintegrasi sebagai jalan keluar permasalahan. C. Analisis Dalam mengkaji disintegrasi yang terjadi di Timor Leste dan Sudan Selatan, penulis menganalisis melalui perspektif hukum internasional, yakni konsep secession dan hak menentukan nasib sendiri. Konflik-konflik internal yang terjadi di suatu negara dapat berakibat lepasnya suatu wilayah negara (secession) atau bahkan malah berujung pada pembubaran negara. Konsep ini kemudian menjadikan Sudan Selatan mau tidak mau harus terpisah dari Sudan, karena konflik internal yang banyak terjadi disana. Telah kita ketahui bersama bahwa pada tubuh Sudan, terdapat kekurangharmonisan antara masyarakat disana, walaupun hal ini merupakan warisan kolonialisme. Yang terjadi di tubuh Sudan murni26

27

Berita Indonesia, Demi Ketentraman Sudan, diakses pada tanggal 30 November 2011 Voice of America, Penjaga Perdamaian PBB Tetap di Darfur Setahun Lagi, 30 Juli 2011 , diakses pada tanggal 30November 2011

14

merupakan konflik internal, bukan karena tangan-tangan asing yang sengaja mengobok-obok negara Sudan. Disintegrasi Sudan Selatan juga menandai adanya micro nationalism, yakni buah dari pelepasan etnis-etnis yang bersengketa dan melepaskan diri dari negara induk. Permasalahannya adalah, upaya pemisahan diri dari negara induk inilah yang menyebabkan konflik internal bersenjata, karena negara induk berusaha sedapat mungkin untuk memelihara kedaulatan negaranya yang telah dijamin oleh hukum internasional. Ini terjadi pada rakyat Sudan Selatan yang merasa termarginalkan dengan kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat (Sudan Utara), mengakibatkan perang saudara selama berpuluh-puluh tahun dan hampir mengalami kejenuhan. Indonesia sebagai negara induk juga merasa kecolongan dan terkhianati oleh pihak-pihak asing yang semula menginginkan integrasi wilayah Timor ke Indonesia tetapi pada akhirnya malah menginginkan perceraian Indonesia dengan Timor Leste. Indonesia, selaku negara induk, dijamin oleh hukum internasional guna melindungi kedaulatan negaranya, sementara secession merupakan upaya dari negara mikro untuk menggerogoti kedaulatan negara induk. Meskipun begitu, masih terdapat kaidah-kaidah hukum humaniter guna melindungi masyarakat sipil dalam konflik/gencatan senjata. Yang terjadi di Sudan Selatan dan Timor Leste merupakan gencatan senjata yang melewati batas wajar, hal ini dilihat dari jumlah korban yang jatuh, kerusakan yang terjadi, dan tempo atau rentang waktu gencatan senjata. Berbeda dengan yang terjadi di Sudan Selatan, disintegrasi Timor Leste hampir sepenuhnya berisikan campur tangan asing. Indonesia tidak pernah memaksakan diri memasukkan Timor Timur sebagai propinsi milik Indonesia bila tidak didesak oleh Amerika Serikat dan Australia. Lepas tangan Portugal akan daerah jajahannya di Asia Tenggara menimbulkan kenisbian kekuasaan di Timor, yang kemudian dimenangkan oleh Fretilin; menimbulkan kekhawatiran Amerika Serikat akan munculnya bibit komunisme di Asia Tenggara. Keberhasilan Indonesia dalam menumpas komunisme membuat Amerika mempercayakan Timor Leste untuk 'dirawat' oleh Indonesia. Australia mendukung integrasi Timor ke Indonesia dengan syarat bahwa integrasi tersebut mendapatkan dukungan internasional. Herannya, setelah 'diurus', kedua negara ini bersikeras menginginkan disintegrasi Timor Leste dari Indonesia. Motifmotif kemudian muncul; motif ekonomi Australia, motif ideologi Amerika Serikat, dan motif gambaran heroik milik Portugal. Aspek internasional di Timor Leste sangat kental sejak awal berintegrasi dengan Indonesia karena ia adalah koloni Portugal yang sedang dalam proses dekolonisasi. Portugal seharusnya menjadi aktor yang bertanggung jawab sebagai penguasa administrasi hingga Timor Portugis melaksanakan hak15

menentukan nasib sendiri sebagaimana diatur oleh Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 1541 Tahun 196028 , bukannya ditinggalkan begitu saja. Prinsip hak menentukan nasib sendiri tidak dimaksudkan sebagai hak untuk merdeka, dari sini kita dapat melihat bahwa dasar pemikiran untuk melanggengkan kolonialisme saat pembahasan rancangan Piagam PBB masih sangat kental. Negara-negara Eropa yang porak poranda akibat perang masih ingin menjadikan wilayah-wilayah koloni mereka sebagai sumber bahan mentah yang murah bagi rekonstruksi pasca perang. Hak menentukan nasib sendiri berakhir setelah sekali digunakan. Ketika suatu bangsa memproklamasikan kemerdekaannya, saat itu pula sudah habis haknya akan menentukan nasib sendiri. Pelaksanaan hak menentukan nasib sendiri ini juga tetap harus menjaga dan menghormati batas-batas wilayah yang telah ada sebelumnya; tersebutkan pada doktrin uti possidetis dalam hukum internasional: batas-batas wilayah suatu negara baru mengambil batas-batas wilayah kolonial yang sudah ada29. Pada kasus Timor Leste, permasalahan ini cukup mudah karena perbedaan sejarah kolonialisme yang berbeda dengan Indonesia. Wilayah Timor Leste hanya mengambil wilayah yang dulu pernah dijajah oleh bangsa Portugis saja. Berbeda dengan Sudan Selatan, yang batas wilayahnya setelah menentukan nasib sendiri masih dipersengketakan, karena keterikatannya dengan sejarah kolonialisme dengan negara induk. Arbitrary boundaries dengan gampang memberi jalan keluar bagi penentuan nasib bagi Timor Leste namun sedikit menyusahkan bagi Sudan Selatan. Dengan disintegrasi, Timor Leste setidaknya dapat bernafas lega karena akhirnya berpisah dengan masyarakat Indonesia yang kulturnya merupakan 'didikan' dari bangsa penjajah Belanda. Timor Leste, sesuai dengan kaidah di dalam Perjanjian Wina 1978 tentang Perjanjian Internasional Dalam Kaitan Dengan Suksesi Negara30, dapat mengeksplorasi sumber daya alamnya yakni berupa pertambangan minyak di wilayah yang disebut dengan nama Timor Gap atau Celah Timor. Begitupun dengan Sudan Selatan yang jumlah kekayaan minyaknya konon sanggup meraup keuntungan sebanyak 4,4 miliar dollar AS sepenghujung tahun 2010 lalu.

28

S. Hadi, Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal, dan Dinamika Internasional,Yayasan Obor Indonesia,

Jakarta, 2007, hal 26229

S. Hadi, Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal, dan Dinamika Internasional,Yayasan Obor Indonesia,

Jakarta, 2007, hal 24530

S. Hadi, Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal, dan Dinamika Internasional,Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2007, hal 266

16

BAB III KESIMPULAN Disintegrasi yang terjadi pada Timor Leste dan Sudan Selatan pada akhirnya selesai dengan jalur referendum atau jajak pendapat. Pada proses disintegrasi kedua negara, terdapat intervensi asing, seperti kepentingan Inggris selaku bangsa penjajah pada disintegrasi Sudan Selatan. Hanya saja, intervensi asing yang terjadi pada disintegrasi Sudan Selatan tidak begitu berpengaruh karena konflik internal yang terjadi sudah terakumulasi sangat lama. Pada dasarnya, ada atau tidak adanya intervensi dari asing tetap akan mengantarkan Sudan Selatan pada disintegrasi dengan Sudan. Timor Leste, disisi lain, konflik disintegrasinya merupakan sebuah wadah yang menadahi begitu banyak kepentingan asing; kepentingan Indonesia dan stabilitas Asia Tenggara akan hadirnya pengaruh komunis yang diprakarsai oleh partai Fretilin, kepentingan Australia yang menginginkan minyak di Celah Timor, kepentingan Amerika Serikat (dan PBB) yang menginginkan ideologi komunisme musnah (pada akhirnya setelah Timor bergabung dengan Indonesia, dukungannya tidak ditampakkan), dan kepentingan17

Portugal guna mencari muka di ajang internasional agar dimaafkan atas dosa kolonialisme-nya di Timor dan di sisi lain agar terlihat memiliki andil dalam menangani konflik di wilayah koloninya. Penting bagi kita untuk waspada dan seksama mengikuti perkembangan konstelasi global, serta selektif merespon partisipasi aktor eksternal dalam penyelesaian permasalahan konflik-konflik internal yang muncul. Intervensi asing pada derajat tertentu berarti dapat mengarah pada erosi kedaulatan nasional, karena akan menjadikan dinamika konflik makin tidak dapat dikendalikan dan dikontrol pemerintah pusat. Indonesia pada insiden Santa Cruz menimbulkan trauma pada masyarakat Timor, yang kemudian berujung pada pelanggaran hak asasi manusia. Selama 23 tahun periode integrasi Timor Timur ke Indonesia, Timor telah diberikan hak otonomi daerah khusus, tetapi perlu diingat bahwa otonomi khusus bukanlah sebuah garansi emas akan keberlangsungan integrasi. Hal tersebut juga berlaku bagi Sudan Selatan yang diberi otonomi khusus juga, karena pada akhirnya memutuskan untuk berdisintegrasi setelah puluhan tahun lamanya berkonflik dengan negara induknya. Disintegrasi yang terjadi di Sudan Selatan lebih cenderung disebabkan perasaan terdiskriminasi akan pembagian wilayah Utara-Selatan; wilayah Utara didominasi oleh etnisitas Arab yang beragama Islam sementara wilayah Selatan didominasi oleh suku Nubia (Afrika) serta beragama Kristiani, bahkan masih menganut animisme. Diskriminasi itu berlanjut hingga pembagian kekuasaan, pemberian edukasi dan infrastruktur wilayah. Hal ini mengakibatkan warga Sudan Selatan memutuskan untuk memisahkan diri dari Sudan, ditambah lagi karena pasokan minyak banyak berlokasi di wilayah Selatan, membuat warga Sudan Selatan percaya diri dan optimis akan keberlangsungan negara Sudan Selatan. Timor Leste, di pihak lain, berdisintegrasi bukan semata karena hasrat untuk menjadi sebuah negara merdeka, namun lebih karena pengalaman dan trauma buruk ketika menjadi bagian dari Indonesia. Selanjutnya, upaya penanganan konflik yang dilakukan oleh pemerintah cenderung bersifat reaktif dan parsial saja. Pendekatan militer masih menjadi tumpuan utama; sementara pendekatan yang lain meskipun ada tetapi kurang mendapat fokus yang memadai. Pola seperti ini sebenarnya berbahaya karena tidak berorientasi pada penyelesaian secara substansial. Pemberian otonomi khusus memang sebuah jalan keluar yang baik bagi Timor dan Sudan Selatan, namun perlu kita ketahui bersama bahwasannya suatu konsep penyelesaian bisa saja sangat ideal, namun bisa jadi tidak sejalan ketika dalam proses tataran pelaksanaan. Disintegrasi telah terlaksana, tetapi belum tentu kepentingan-kepentingan yang semula diinginkan oleh kedua negara kemudian terpenuhi. Kedua negara telah mendapatkan kemerdekaan, hak untuk menentukan nasib sendiri (melalui referendum), dan hak untuk mengolah atau mengeksplorasi kekayaan18

alamnya, tanpa ada campur tangan dari mantan negara induk. Disintegrasi ini sebetulnya tidak perlu ada. Ini semua ulah bangsa-bangsa Eropa yang melakukan penjajahan pada benua Asia dan Afrika, juga Amerika Latin. Mereka menerapkan apa yang disebut dengan arbitrary boundaries yakni wilayah jajahan, tanpa memperhatikan aspek etno-sosio-religion yang berada sebelumnya. Ini kemudian mengakibatkan suku Nubia harus bersatu dengan suku Arab dibawah satu bendera, dan mengakibatkan orang-orang Timor Leste yang dekat secara garis kekerabatan berpisah dengan orang-orang Nusa Tenggara Timur karena berbeda penjajah. Negara toh bisa saja dibentuk dengan berdasarkan keinginan politis suatu bangsa, seperti yang terjadi pada negara-negara di wilayah Eropa Barat. Tidak ada peristiwa perebutan wilayah atau keinginan untuk berdisintegrasi disana. Walaupun kolonialisme telah usai sejak lama, jejak hitam masih terasa di negara-negara pasca kolonial yakni berupa rapuhnya batas teritorial negara, ketidaksiapan institusi politik, lenyapnya struktur adat (karena wilayah jajahan lebih berlaku daripada wilayah adat), hingga rendahnya kohesi sosial antarkomponen bangsa.

DAFTAR PUSTAKA Dari Buku atau Jurnal: Hadi, Syamsul dkk. 2007. Disintegrasi Pasca Orde Baru: Negara, Konflik Lokal dan Dinamika Internasional. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Kusaeni, Ahmad. 200. Kerikil dalam Sepatu: Diplomasi Penyelesaian Kasus Timor Leste di PBB. Jakarta: Pustaka Antara Utama. Thomson, Alex. 2005. An Introduction to African Politics. New York: Routledge. Tomodok, Eliza. 1994. Hari-Hari Akhir Timor Portugis. Jakarta: Pustaka Jaya.

Dari Laman Web: BBC Indonesia, Sudan Selatan Resmi Merdeka, 9 Juli 2011,

, diakses pada tanggal 30 November19

2011 Berita Indonesia, Demi Ketentraman Sudan, diakses pada tanggal 30 November 2011 http://farid1924.wordpress.com/2011/01/23/disintegrasi-sudan-bahaya-politik-referendum/, diakses pada tanggal 30 November 2011 G.R. Sumantri, Disintegrasi Bangsa, 29 Desember diakses pada 2009, 30

, November 2011 Majalah Berita Indonesia, Demi Ketentraman Sudan, 06

Februari

2011,

, diakses pada 30 November 2011 Okezone Internasional, Referendum Unik Berlangsung di Sudan, 10 Januari 2011, diakses

, pada tanggal 30 November 2011http://www.politik.lipi.go.id/index.php/in/kolom/politik-internasional/403-referendum-penutup-konflik-sudan,

diakses

pada tanggal 30 November 2011 U.S. Department of State: Diplomacy in Action, Background Note: Sudan, 8 April 2011, diakses pada tanggal 30 November 2011 Voice of America, Penjaga Perdamaian PBB Tetap di Darfur Setahun Lagi, 30 Juli 2011 , diakses pada tanggal 30November 2011 World Socialist Website, Australia Menggertak Timor Timur, 30 Mei 2002,

, diakses pada tanggal 30 November 2011

20

DISINTEGRASI TIMOR LESTE DAN SUDAN SELATAN Disusun guna memenuhi tugas akhir mata kuliah Perbandingan Politik

21

Disusun Oleh: Afina Nurul Faizah 10/296376/SP/23832 Perbandingan Politik A

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2012

22