disertasi_rofiq_F361070142tip
-
Upload
ines-maulyna-tora -
Category
Documents
-
view
7 -
download
5
description
Transcript of disertasi_rofiq_F361070142tip
ISOLASI, PURIFIKASI, IDENTIFIKASI, DAN OPTIMASI MEDIUM FERMENTASI ANTIBIOTIK
YANG DIHASILKAN OLEH AKTINOMISETES LAUT
ROFIQ SUNARYANTO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul ”Isolasi, Purifikasi, Identifikasi, dan Optimasi Medium Fermentasi Antibiotik yang Dihasilkan oleh Aktinomisetes Laut” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Bogor, Juli 2011
Rofiq Sunaryanto NIM. F361070142
ABSTRACT
ROFIQ SUNARYANTO. Isolation, Purification, Identification, and Fermentation Medium Optimization of Antibiotic Produced by Marine Actinomycetes. Under direction of TUN TEDJA IRAWADI, ZAINAL ALIM MAS’UD, LIESBETINI HARTOTO, BAMBANG MARWOTO.
Isolation and purification of active compounds produced by marine actinomycetes has been carried out. Marine sediment samples were obtained from 3 different places in Banten West Coast, Cirebon North Coast, and Yogyakarta South Coasts. A total of 40 actinomycetes isolates were obtained 4 isolates were active against Escherichia coli ATCC 25922, 5 isolates were active against Staphylococcus aureus ATCC25923, 4 isolates were active against Bacillus subtilis ATCC 66923, 4 isolates were active against Pseudomonas aeroginosa ATCC27853, 4 isolates were active against Candida albican BIOMCC00122, and 4 isolates were active against Aspergillus niger BIOMCC00134. A11 isolate showed the most active to Gram-positive and Gram-negative bacteria. Species identification using 16S rRNA gene sequencing showed that A11 isolate is Streptomyces sp.
Elucidation of its molecular formula and structure using LC-MS, 1H NMR, 13C NMR, and 13C DEPT NMR showed the antibiotic was cyclo(tyrosyl-prolyl), molecule formula was C14H16N2O3 which has a melting point of 140 °C. Minimum Inhibitory Concentration (MIC) of the antibiotic was determined against 4 bacterial test strains, namely Escherichia coli ATCC 25922, Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853, Staphylococcus aureus ATCC 25923, and Bacillus subtilis ATCC 66923, which were inhibited at 27, 69, 80, and 74 µg mL-1, respectively.
Fermentation profile of Streptomyces sp. A11 showed a lag phase which occurred until 8 hours, a log phase from 9 until 48 hours and a stationary phase from 48 until 144 hours. The growth phase showed maximum specific growth rate (μ ) of 0.04 hour and the rate of substrate conversion into biomass (Y ) of 0.6 max
-1 x/s
gram biomass per gram substrate. The optimum temperature and pH of cyclo(tyrosyl-prolyl) fermentation were 30 °C and 6.5-7.5, respectively.
Optimum composition of fermentation medium was determined with three independent variables: dextrin as a carbon source, peptone as nitrogen source, and a mixture of mineral salts using Response Surface Methodology. The results showed that the three variables significantly affected the activity of cyclo(tyrosyl-prolyl). Peptone gave the strongest effect compared to dextrin and mineral salts. Interaction was found between dextrin and peptone. On the contrary, no interaction was observed between peptone and mineral salts, and between dextrin and mineral salts. Using a mathematical model, the most optimum composition of the medium were found to be dextrin (32.55 g L ), peptone (11.22 g L ), and -1 -1
mineral salt (8.65 mL), in which 51.54 g L cyclo(tyrosyl-prolyl) was produced. -1
Verification of the model in laboratory showed the cyclo(tyrosyl-prolyl) activity to be 50.04 mg L . Thus, the difference between the result of the experiment and -1
the expected response value was 2.9%. Keywords: marine actinomycetes, antibiotic, Streptomyces, cyclo(tyrosyl-prolyl).
RINGKASAN
ROFIQ SUNARYANTO. Isolasi, Pemurnian, Identifikasi, dan Optimasi Medium Fermentasi Antibiotik yang Dihasilkan oleh Aktinomisetes Laut. Dibawah bimbingan TUN TEDJA IRAWADI, ZAINAL ALIM MAS’UD, LIESBETINI HARTOTO, BAMBANG MARWOTO
Kebutuhan antibiotik, anti fungal, maupun anti kanker baru masih sangat diperlukan, terutama yang efektif melawan bakteri resisten, virus, protozoa, fungi atau kanker. Untuk mendapatkan antibiotik baru, para peneliti telah banyak melakukan berbagai cara seperti eksplorasi senyawa aktif dari mikroba, tumbuhan, maupun sintesis secara kimia. Salah satu mikroba yang banyak diteliti untuk diambil senyawa aktifnya adalah aktinomisetes.
Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki bentangan laut yang luas, kurang lebih 3,1 juta km2 atau hampir 2 kali lipat dibandingkan luas daratannya. Karakteristik laut yang bermacam-macam mengindikasikan biodiversitas hayati yang besar, khususnya biodiversitas mikroba laut. Namun demikian potensi ini belum banyak dimanfaatkan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan senyawa aktif yang berpotensi sebagai antibiotik dan memproduksinya dalam skala laboratorium yang dihasilkan oleh aktinomisetes laut melalui isolasi, penapisan, pemurnian, identifikasi dan optimasi medium fermentasi.
Telah dilakukan isolasi dan penapisan aktinomisetes laut yang mampu menghasilkan senyawa antibakteri. Sampel sedimen laut diambil dari 3 tempat berbeda yaitu di Pantai Barat Banten, Pantai Utara Cirebon, dan Pantai Selatan Yogyakarta. Hasil percobaan menunjukkan bahwa pra-perlakuan dengan pemanasan dan pengasaman sampel serta penambahan sikloheksimid 100 μg mL-
1, nistatin 25 μg mL-1, asam nalidiksat 20 μg mL-1, dan rifampisin 5 μg mL-1 mampu menekan pertumbuhan bakteri dan kapang kontaminan. Total hasil isolasi diperoleh dari sampel sedimen laut sebanyak 40 isolat aktinomisetes. Penapisan dengan menggunakan 6 macam mikroba uji diperoleh 4 isolat yang mampu menghambat pertumbuhan Escherichia coli ATCC 25922, 5 isolat menghambat Staphylococcus aureus ATCC25923, 4 isolat menghambat Bacillus subtilis ATCC 66923, 4 isolat menghambat Pseudomonas aeroginosa ATCC27853, 4 isolat menghambat Candida albican BIOMCC00122, dan 4 isolat menghambat Aspergillus niger BIOMCC00134.
Isolat A11 menunjukkan isolat yang memiliki daya hambat paling kuat terhadap bakteri Gram-positif dan Gram-negatif sehingga isolat tersebut dipilih untuk penelitian selanjutnya. Hasil identifikasi menggunakan 16S rRNA menunjukkan bahwa isolat A11 adalah Streptomyces sp. (homology 100%) kelas Actinobacteria, ordo Actinomycetales, famili Streptomycetaceae, dan genus Streptomyces.
Fermentasi isolat A11 dilakukan selama 144 jam dengan menggunakan medium khamir-pepton. Dari kaldu fermentasi diperoleh bobot kering sel, ekstrak sel dengan metanol, dan ekstrak supernatan dengan etil asetat berturut-turut sebanyak 4,73 g L-1, 2,72 g L-1, 0,33 g L-1. Hasil uji aktivitas antimikroba (bioassay) menunjukkan bahwa ekstrak aktif hanya terjadi pada ekstrak
supernatannya saja, hal ini menunjukkan bahwa senyawa aktif dihasilkan secara ekstraselular. Ekstrak supernatan yang terbukti memiliki aktivitas antimikroba selanjutnya dipurifikasi dengan menggunakan kromatografi kolom dan HPLC preparatif, selanjutnya dilakukan elusidasi struktur molekulnya. Hasil analisis menggunakan LC-MS diketahui senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat A11 memiliki bobot molekul sebesar 260 g mol-1, rumus molekul C14H16N2O3. Hasil elusidasi struktur molekul menggunakan 1HNMR, 13C NMR, DEPT 13C NMR, dan FTIR diketahui senyawa aktif yang dihasilkan oleh Streptomyces sp.A11 adalah siklo(tirosil-prolil). Senyawa aktif ini memiliki titik leleh sebesar 140 oC.
Minimum Inhibitory Concentration (MIC) ditentukan menggunakan 4 mikroba uji dengan metode difusi agar kertas cakram. Hasil percobaan menunjukkan bahwa senyawa aktif yang dihasilkan oleh Streptomyces sp.A11 memiliki MIC terhadap Escherichia coli ATCC 25922 sebesar 27 μg mL-1, Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 sebesar 69 μg mL-1, Staphylococcus aureus ATCC 25923 sebesar 80 μg mL-1, and Bacillus subtilis ATCC 66923 sebesar 74 μg mL-1.
Profil fermentasi isolat Streptomyces sp. menunjukkan fase lag terjadi sampai dengan jam ke-8, fase pertumbuhan cepat (fase logaritma) terjadi pada selang waktu jam ke-9 sampai dengan jam ke-48, dan fase stasioner terjadi pada selang waktu jam ke-48 sampai dengan jam ke-144. Pada fase pertumbuhan cepat (fase logaritma) laju pertumbuhan maksimum (μ ) sebesar 0,04 jam dan maks
-1
rendemen pembentukan biomassa per massa substrat (Y ) sebesar 0,6 g biomassa x/sper massa substrat. Senyawa aktif diproduksi setelah memasuki fase stasioner yaitu mulai jam ke-60 yang menunjukkan bahwa senyawa aktif yang dihasilkan tergolong dalam metabolit sekunder.
Penentuan suhu optimum pada proses fermentasi untuk menghasilkan siklo(tirosil-prolil) dilakukan dalam rentang suhu 26 sampai dengan 34 °C. Hasil percobaan menunjukkan bahwa suhu 30 °C merupakan suhu terbaik untuk proses fermentasi siklo(tirosil-prolil). Penentuan pH optimum proses fermentasi siklo(tirosil-prolil) dilakukan pada rentang pH 4 sampai dengan pH 8. Hasil percobaan menunjukkan bahwa kisaran pH 6,5 sampai dengan pH 7,5 adalah kisaran pH terbaik untuk proses fermentasi siklo(tirosil-prolil).
Optimasi medium fermentasi dilakukan dengan menggunakan Response Surface Methodology. Variabel bebas yang digunakan adalah dekstrin sebagai sumber karbon, pepton sebagai sumber nitrogen, dan mineral. Respon yang ditentukan adalah konsentrasi siklo(tirosil-prolil). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga variabel bebas yang digunakan dalam proses optimasi medium fermentasi ini menunjukkan pengaruh nyata terhadap siklo(tirosil-prolil). Model matematik yang diperoleh dalam optimasi medium fermentasi ini menghasilkan variabel bebas optimum sebagai berikut; konsentrasi dekstrin, pepton, dan mineral berturut-turut sebesar 32,55 g L , 11,22 g L dan 8,65 mL, dengan dugaan respon -1 -1
yang diperoleh sebesar 51,54 g L . Hasil validasi model yang dilakukan di -1
laboratorium menunjukkan konsentrasi siklo(tirosil-prolil) yang dihasilkan pada proses fermentasi selama 144 jam sebesar 50,04 g L . Perbedaan respon dugaan -1
yang diperoleh dari model dengan nilai hasil percobaan sebesar 2,9% menunjukkan bahwa model yang digunakan telah sesuai. Kata kunci: aktinomisetes laut, antibiotik, Streptomyces, siklo(tirosil-prolil).
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.
i
ISOLASI, PURIFIKASI, IDENTIFIKASI, DAN OPTIMASI MEDIUM FERMENTASI ANTIBIOTIK
YANG DIHASILKAN OLEH AKTINOMISETES LAUT
ROFIQ SUNARYANTO
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2011
ii HALAMAN PENGESAHAN
Judul Disertasi : Isolasi, Purifikasi, Identifikasi, dan Optimasi Medium Fermentasi Antibiotik yang Dihasilkan oleh Aktinomisetes Laut
Nama Mahasiswa : Rofiq Sunaryanto NIM : F361070142 Program Studi : Teknologi Industri Pertanian
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS. Ketua
Dr. Ir. Zainal Alim Mas’ud, DEA Anggota
Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MSAnggota
Dr. Bambang Marwoto., Apt, MEngAnggota
Diketahui
Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian
Dr. Ir. Machfud, MS
Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr
Tanggal Ujian: 28 Juli 2011 Tanggal Lulus : ………………………
Ujian tertutup pada :
Hari/tanggal : Kamis, 9 Juni 2011
Penguji luar komisi pada ujian tertutup:
: Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, MS
(Dosen Pengajar Departement Teknologi Industri Pertanian, Institut
Pertanian Bogor)
: Dr. Ir. Dyah Iswanti Pradono. M.Agr
(Dosen Pengajar Departement Kimia, Institut Pertanian Bogor)
Ujian terbuka pada : 28 Juli 2011
Hari/tanggal : Kamis, 28 Juli 2011
Penguji luar komisi pada ujian terbuka :
: Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA
(Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian)
: Dr.Ir. Listyani Wijayanti
(Deputi Kepala Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi,
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi)
iii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya
karya ilmiah yang berjudul “Isolasi, Purifikasi, Identifikasi, Dan Optimasi
Medium Fermentasi Antibiotik Yang Dihasilkan Oleh Aktinomisetes Laut”
berhasil diselesaikan dengan baik. Karya ilmiah ini disusun sebagai salah satu
syarat menyelesaikan studi program doktor di Sekolah Pascasarjana Institut
Pertanian Bogor. Penelitian yang telah dilakukan selama 3 (tiga) tahun bertujuan
secara umum untuk mendapatkan senyawa aktif yang memiliki sifat antibakteri
atau antifungi yang dihasilkan oleh aktinomisetes laut.
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Tun Tedja
Irawadi, MS selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Dr. Ir. Zainal Alim Mas’ud,
DEA, Bapak Dr. Bambang Marwoto, M.Eng dan Ibu Dr. Ir. Liesbetini Hartoto,
MS selaku anggota komisi pembimbing atas bimbingan dan pengarahannya
sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Ucapan terima kasih juga
saya sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Machfud, MS sebagai Ketua Program Studi
Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan
saran pada proses penyelesaian penulisan disertasi ini. Penulis ucapkan terima
kasih kepada Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Deputi Kepala
Bidang Agroindustri dan Bioteknologi BPPT, Kepala Balai Pengkajian
Bioteknologi BPPT, dan Kepala Seksi Bioteknologi Industri Balai Pengkajian
Bioteknologi BPPT yang telah memberikan ijin untuk melanjutkan studi S3 dan
memberikan fasilitas penelitian untuk disertasi penulis. Demikian juga penulis
mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan peneliti dan teknisi di
Laboratorium Mikrobiologi, Teknologi Gen, Proses Hilir, dan Laboratorium
Analitik. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Mercian Co.Jp dan segenap
penelitinya yang telah membantu dalam proses analisis menggunakan LC-MS, 1HNMR, 13C NMR, dan DEPT 13C NMR. Penulis mengucapkan terima kasih
kepada rekan-rekan mahasiswa Teknologi industri Pertanian, Institut Pertanian
Bogor atas bantuan dan peran serta dalam penyelesaian disertasi ini.
Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada orang tua
penulis Ibunda Hj. Sudarti dan Bapak Sutarto (Alm) yang selalu memberikan
semangat dan dorongan kepada penulis, demikian juga istri tercinta dr.Eni
Dwijayanti, MKM dan anak-anak penulis Aqila Luthfiana Sarastya dan Athala
Farrastya Kamil yang tidak henti-hentinya memberikan semangat dalam
penyelesaian studi penulis.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih mempunyai
keterbatasan. Kritik dan saran penulis harapkan dari semua pihak untuk perbaikan,
dan semoga hasil penelitian ini dapat berguna bagi yang membutuhkan.
Bogor, Juli 2011
Rofiq Sunaryanto NIM. F361070142
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Gunung Kidul pada tanggal 25 September 1971 dari
ayah Sutarto (Alm) dan Ibu Hj. Sudarti. Penulis merupakan anak ke-5 dari lima
bersaudara.
Tahun 1990 penulis lulus dari SMA Negeri I Wonosari, Gunung Kidul,
Yogyakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk UMPTN di Jurusan
Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Gadjah Mada. Pada bulan Januari 1997
penulis diterima sebagai pegawai negeri di Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT) dan ditempatkan di Pusat Pengkajian dan Penerapan
Bioteknologi. Pada Tahun 2000 penulis mendapatkan beasiswa dari STAID untuk
melanjutkan studi program S2. Pada tahun tersebut penulis melanjutkan studi
program S2 di Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian
Bogor. Pada tahun 2003 penulis menyelesaikan studi S2 di Teknologi Industri
Pertanian Bogor. Pada tahun 2007 penulis mendapatkan beasiswa dari Islamic
Development Bank untuk melanjutkan studi S3, dan mengambil studi di Program
Studi Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Semenjak mengikuti program S3, penulis menjadi anggota Perhimpunan
Mikrobiologi Indonesia, Cabang Jakarta. Beberapa seminar nasional dan
internasonal yang telah diikuti (sebagai pemakalah) selama studi di S3 antara lain;
Bandung International Conference on Medicinal Chemistry yang diselenggarakan
oleh Fakultas Farmasi Institut Teknologi Bandung pada tahun 2009, National
Indonesia Congress 10th Society for Microbiology an International Symposia yang
diselenggarakan oleh Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia di Surabaya pada
tahun 2009, Seminar Nasional Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan
Perikanan I yang diselenggarakan oleh Departemen Perikanan dan Kelautan
(DKP) pada tahun 2009, Seminar Nasional Pengolahan Produk dan Bioteknologi
Kelautan dan Perikanan II yang diselenggarakan oleh Departemen Perikanan dan
Kelautan (DKP) pada tahun 2010, seminar internasional “Society for
Microbiology an International Symposia” yang diselenggarakan oleh
Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia pada tahun 2010 di Bogor, seminar
internasional “The 4 th International Seminar of Indonesian Society for
Microbiology and IUMS-ISM Outreach Program on Food Safety” dengan tema“
Indonesian Microbial Resources: Diversity and Global Impact” yang
diselenggarakan oleh Indonesian Microbiology Society (IMS) dan International
Union of Microbiological Societies (IUMS), tanggal 22-24 Juni 2011 di Denpasar
Bali. Seminar Internasional “5th Conference of AASP (Asian Association of
Schools of Pharmacy), yang diselenggarakan oleh sekolah farmasi Institut
Teknologi Bandung dan AASP tanggal 16-19 Juni 2011.
Beberapa karya ilmiah telah dipublikasikan di jurnal terakreditasi. Penulis
pernah mendapatkan The Best Author dalam Seminar Internasional Perhimpunan
Mikrobiologi yang diselenggarakan oleh PERMI Indonesia pada tahun 2010 di
Bogor dan The Best Poster dalam Seminar Internasional “5th Conference of AASP
(Asian Association of Schools of Pharmacy)” pada tanggal 16-19 Juni 2011.
Karya-karya ilmiah yang telah dipublikasikan dan dipresentasikan dalam seminar
nasional dan internasional merupakan bagian dari program S3 penulis.
KARYA ILMIAH YANG TELAH DIPUBLIKASI DI JURNAL
TERAKREDITASI;
Isolasi Penapisan Aktinomisetes Laut Penghasil Antimikroba. Indonesia Journal
of Marine Science (IJMS). Volume 14 No.2. Juni 2009, halaman 98-101.
Diterbitkan oleh Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro.
Isolation and Characterization of Antimicrobial Substance from Marine
Streptomyces sp. Journal of Microbiology Indonesia. Volume 4. No.2. Agustus
2010, halaman 84-89. Diterbitkan oleh The Indonesian Society for Microbiology.
Antibiotic Compound from Marine Actinomycetes (Streptomyces sp. A11);
Isolation and Structure Elucidation. Indonesia Journal of Chemistry, Volume 10.
No. 2. July 2010, halaman 219-225. Diterbitkan oleh Department of Chemistry,
Universitas Gadjah Mada.
Isolasi dan Elusidasi Struktur Kimia Antimikroba yang Dihasilkan oleh
Aktinomisetes Laut (senyawa aktif Madumycin I oleh isolat A32), halaman 11-18.
Jurnal Pasca Panen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. Volume 5 No. 1
Juni 2010.
Cyclo(tyrosyl-prolyl) Produced by Streptomyces sp.: Bioactivity and Molecular
Structure Elucidation. Journal of Microbiology Indonesia. Accepted. Diterbitkan
oleh The Indonesian Society for Microbiology.
iv DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL.……..………………………………………………… i
HALAMAN PENGESAHAN….…………………………………………… ii
KATA PENGANTAR ……………………………………………………... iii
DAFTAR ISI....... ...……..……………………………..…………………… iv
DAFTAR TABEL ...……..………………………………………………… v
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………… vi
DAFTAR LAMPIRAN ….………………………………………………… vii
I PENDAHULUAN...……………………………………………............. 1
I.1. Latar Belakang Masalah………..…….......………………………… 1I.2. Tujuan Penelitian ……………...……...…………………………… 4I.3. Hipotesis …………………………......…………………………...... 5I.4. Ruang Lingkup Penelitian........…….……………………………… 6
II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………..... 7
II.1. Aktinomisetes.………....…………………………………………... 7II.2. Isolasi Aktinomisetes ........................................................................ 9II.3. Antibiotik .…………………............................................................. 13II.4. Metabolit Mikroba ………………………………………............... 14II.5. Pertumbuhan Mikrobial …………………………………………… 16II.6. Identifikasi Mikroba Menggunakan 16S rRNA ............................... 21II.7. Response Surface Methodology ........................................................ 23
III METODOLOGI PENELITIAN .....……………………………………. 29
III.1. Kerangka Pemikiran…………………………………………......... 29III.2.Tempat dan Waktu Penelitian ………………….……………....... 32III.3. Bahan dan Peralatan Penelitian ....................................................... 33III.4.Tahapan Penelitian .……………………………………………….. 34
III.4.1. Pra-perlakuan Sampel dan Isolasi Aktinomisetes................ 36III.4.2. Kultur Vegetatif dan Fermentatif pada Proses Penapisan dan Penggandaan Skala Untuk Preparasi Ekstrak Fermentasi ............................................................................ 37III.4.3. Uji Aktivitas Antimikroba (Bioassay) ................................ 38III.4.4. Analisis Sekuen Gen 16S rRNA.......................................... 39
III.4.5. Pemisahan dan Pemurnian Senyawa Aktif Kaldu Fermentasi ......................................................................... 39III.4.7. Identifikasi Struktur Kimia Senyawa Aktif ........................ 40III.4.8. HPLC Preparatif................................................................... 40III.4.9. HPLC Analitik .................................................................... 41III.4.10. Penentuan Minimum Inhibitory Concentration (MIC)….. 41
III.4.11.Penentuan Kurva Pertumbuhan Mikroba pada Fase Vegetatif ....………………….......................................... 42
III.4.12.Profil Fermentasi Isolat Streptomyces sp.A11 ................. 42III.4.13.Penentuan Suhu dan pH Awal Terbaik pada Proses
Fermentasi ....................................................................... 43III.4.14.Proses Optimasi Medium Fermentasi .............................. 44
IV HASIL DAN PEMBAHASAN .....………………………...…………. 49
IV.1. Perlakuan Sampel untuk Isolasi Aktinomisetes ..……................. 49IV.2. Isolasi Aktinomisetes .....................................................……....... 52IV.3. Penapisan Aktinomisetes Penghasil Antimikroba ........................ 53IV.4. Pemurnian dan Identifikasi Senyawa Aktif yang Dihasilkan Oleh
Streptomyces sp.A11 ...................................................................... 59IV.5. Penentuan Minimum Inhibitory Concentration (MIC) Senyawa
Aktif Siklo(tirosil-prolil) ................................................................ 66IV.6. Penentuan Kurva Pertumbuhan Vegetatif Isolat Streptomyces sp
A11 ................................................................................................. 68IV.7. Penentuan Profil Fermentasi Isolat Streptomyces sp.A11.............. 69IV.8. Penentuan Suhu dan pH Awal Terbaik pada Proses Fermentasi ... 74IV.9. Penentuan Sumber Karbon Terbaik pada Proses Fermentasi ....... 78IV.10. Penentuan Sumber Nitrogen Terbaik pada Proses Fermentasi ... 85IV.11. Penentuan Mineral Terbaik untuk Produksi Siklo(tirosil-prolil).. 90IV.12. Optimasi Medium Fermentasi ..................................................... 92IV.13. Formulasi Medium dan Validasi Model ...................................... 105
V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 107V.1. Kesimpulan ..................................................................................... 107V.2. Saran ................................................................................................ 108
DAFTAR PUSTAKA ….…………………………………………….. 111
LAMPIRAN …………………………………………………………. 121
v
DAFTAR TABEL
1 Distribusi senyawa aktif dan tidak aktif yang telah diketahui......................
14
2 Komposisi mineral yang digunakan dalam medium fermentasi .................. 45
3 Kisaran dan taraf variabel yang diuji pada optimasi komposisi medium.....
46
4 Matrik Central Composite Design yang mengandung 20 percobaan dengan 3 faktor variabel percoban dalam kode unit.....................................
47
5 Hasil pra-perlakuan sampel pada proses isolasi aktinomisetes…………….
50
6 Hasil isolasi dan penapisan aktinomisetes penghasil antimikroba...............
55
7 Uji aktivitas antimikroba ekstrak supernatan dan biomasa hasil fermentasi isolat Streptomyces sp.A11 ..........................................................................
58
8 Data spektrum 13C NMR dan 1H NMR yang menujukkan posisi atom C dan H pada gugus fungsionalnya ..............................................................
66
9. Konsentrasi hambatan minimum (MIC) siklo(tirosil-prolil).........................
67
10. Aktivitas antibiotik yang dihasilkan adanya perlakuan sumber karbon.......
82
11. Pengaruh perlakuan sumber nitrogen terhadap aktivitas siklo(tirosil-prolil) 87
12. Kandungan prolin dan tirosin dalam pepton, kasein, dan ekstrak khamir....
89
13 Kisaran dan taraf variabel yang diuji pada optimasi komposisi medium.....
93
14 Data hasil percobaan optimasi medium kultivasi Streptomyces sp.A11 menggunakan rancangan model komposit terpusat (CCD) .........................
93
15 Jumlah kuadrat beberapa model yang dicobakan untuk proses optimasi medium fermentasi .......................................................................................
94
16 Data hasil analisis beberapa model yang dicobakan dalam optimasi medium fermentasi........................................................................................
94
17 Model koefisien regresi pada proses optimasi medium fermentasi untuk produksi siklo(tirosil-prolil)..........................................................................
95
18 Analisiskeragaman pada proses optimasi medium fermentasi untuk produksi siklo(tirosil-prolil) .........................................................................
96
Halaman
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Morfologi miselium Streptomyces .............................................................
9
2 Pola pertumbuhan sel selama fase lag, fase log, dan fase stasioner ……….
18
3 Pengaruh konsentrasi substrat (S) terhadap laju pertumbuhan spesifik .......
19
4 Tahapan penelitian isolasi, skrining, identifikasi, dan karakterisasi aktinomisetes ................................................................................................
34
5 Aktivitas dan ruang lingkup penelitian ........................................................
35
6 Morfologi isolat Streptomyces sp.A11 .........................................................
56
7 Pohon filogenik isolat A11 yang didentifikasi sebagai Streptomyces sp......
57
8 Daya hambat senyawa aktif terhadap Bacillus subtilis ATCC 66923, Escherichia coli ATCC 25922, Staphylococcus aureus ATCC25923, Pseudomonas aeruginosa ATCC27853 .......................................................
58
9 Kromatogram hasil analisis ekstrak supernatan dan biomassa yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11 ................................................
59
10. Kromatogram analisis HPLC senyawa aktif murni hasil isolasi dan Spektrum serapan UV vis senyawa aktif murni hasil isolasi......................
60
11. Spektrum LC-MS m/z 261 (M+H)+ senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11 ..........................................................................
61
12 Spektrum 1HNMR dan spektrum 13CNMR senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11..................................................
62
13 Struktur molekul senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat A11 ................
63
14 Spektrum DEPT 13C NMR senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11.....................................................................................
64
15 Spektrum inframerah senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat A11 .........
65
16 Kurva pertumbuhan vegetatif Streptomyces sp.A11 ....................................
69
17 Profil fermentasi isolat Streptomyces sp.A11 ..............................................
71
18 Pengaruh suhu fermentasi terhadap aktivitas siklo(tirosil-prolil) ................ 75
19 Pengaruh pH awal fermentasi terhadap aktivitas siklo(tirosil-prolil) ..........
78
20 Lintasan metabolisme glukosa, maltosa, sukrosa, laktosa sampai menjadi asam piruvat .................................................................................................
80
21 Pengaruh beberapa sumber karbon terhadap aktivitas siklo(tirosil-prolil) ..
81
22 Pengaruh sumber nitrogen terhadap aktivitas siklo(tirosil-prolil) ................
86
23 Reaksi pembentukan siklo(tirosil-prolil) ...................................................... 88
24 Biosintesis prolin melalui lintasan asam glutamat .......................................
89
25 Biosintesis tirosin melalui transaminase p-hydroxyphenylpyruvate.............
90
26 Pengaruh campuran mineral terhadap aktivitas siklo(tirosil-prolil) .............
91
27 Plot probabilitas normal galat model produktivitas siklo(tirosil-prolil) yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11.........................................
97
28 Plot urutan percobaan versus galat model pada produktivitas siklo(tirosil-prolil) yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11 ............................
98
29 Plot nilai dugaan versus galat model pada produktivitas siklo(tirosil-prolil) yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11 .............................
98
30 Permukaan respon dan plot kontur produksi siklo(tirosil-prolil) sebagai pengaruh dekstrin dan pepton ......................................................................
99
31 Pola pengaruh dekstrin dan pepton terhadap produksi siklo(tirosil-prolil)..
101
32 Permukaan respon dan plot kontur produksi siklo(tirosil-prolil) sebagai pengaruh dekstrin dan mineral ........................................................
102
33 Permukaan respon dan plot kontur produksi siklo(tirosil-prolil) sebagai pengaruh pepton dan mineral ..........................................................
104
vii
DAFTAR LAMPIRAN
1 Kurva standar analisis HPLC untuk penentuan konsentrasi siklo(tirosil-
prolil) ……………………………………………………………………
121
2 Metode penentuan konsentrasi gula reduksi .............................................
122
3 Metode penentuan konsentrasi nitrogen total ..........................................
123
4 Metode penentuan bobot kering sel ..........................................................
124
5 Penentuan nitrogen total dan bobot bahan dari masing-masing sumber nitrogen yang digunakan untuk optimalisasi medium fermentasi ............
125
6 Urutan nukleotida fragmen gen isolat terpilih (Streptomyces sp.A11) dan kedekatan (homology) yang dibandingkan dengan gen spesies lainnya ......................................................................................................
126
7 Kurva penentuan MIC senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) terhadap 4 bakteri uji ..................................................................................................
128
7a. Kurva penentuan MIC senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) terhadap Escherichia coli ATCC 25922 ...........................................................
128
7b. Kurva penentuan MIC senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 ................................................
129
7c. Kurva penentuan MIC senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) terhadap
Bacillus subtilis ATCC 66923 ...........................................................
130
7.d Kurva penentuan MIC senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) terhadap Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 ............................................
131
7.e Kurva penentuan MIC tetrasiklin terhadap Escherichia coli ATCC 25922...................................................................................................
132
7.f Kurva penentuan MIC tetrasiklin terhadap Staphylococcus aureus
ATCC 25923 ......................................................................................
133
7.g Kurva penentuan MIC tetrasiklin terhadap Bacillus subtilis ATCC 66923 ..................................................................................................
134
7.h Kurva penentuan MIC tetrasiklin terhadap Pseudomonas
aeruginosa ATCC 27853 ...................................................................
135
Halaman
8 Data perubahan parameter pH, gula reduksi, dan bobot kering sel kultur vegetatif menggunakan isolat Streptomyces sp.A11 ................................
136
9 Data perubahan parameter pH, gula reduksi, nitrogen total, berat kering
sel, dan konsentrasi siklo(tirosil-prolil) pada proses fermentasi menggunakan isolat Streptomyces sp.A11................................................
137
10 Penentuan laju pertumbuhan spesifik maksimal (µmaks) dan rendemen pembentukan biomassa per massa substrat (Yx/s) .....................................
138
10a. Penentuan laju pertumbuhan spesifik maksimal (µmaks) ................
138
10b. Penentuan rendemen pembentukan biomassa per massa substrat (Yx/s) ..................................................................................................
139
11 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan perlakuan suhu fermentasi terhadap aktivitas siklo(tirosil-prolil) yang dihasilkan .............................
140
12 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan perlakuan pH awal medum fermentasi terhadap aktivitas siklo(tirosil-prolil) yang dihasilkan
141
13 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan penentuan sumber karbon terbaik pada proses fermentasi produksi siklo(tirosil-prolil) dan hasil analisis gula total sebelum dan sesudah fermentasi. .............................................
142
13a Analisis ragam dan uji lanjut Duncan penentuan sumber karbon terbaik pada proses fermentasi produksi siklo(tirosil-prolil) ..........
142
13b Hasil analisis gula total dari beberapa sumber karbon sebelum dan
sesudah fermentasi………………………………………………
143
14 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan penentuan sumber nitrogen terbaik pada proses fermentasi produksi siklo(tirosil-prolil) dan hasil analisis nitrogen total sebelum dan sesudah fermentasi............................
144
14a. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan penentuan sumber nitrogen terbaik pada proses fermentasi produksi siklo(tirosil-prolil)...........
144
14b. Hasil analisis nitrogen total dari beberapa sumber nitrogen sebelum dan sesudah fermentasi .....................................................
145
15 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan penentuan mineral terbaik pada proses fermentasi siklo(tirosil-prolil)……………………………………
146
16 Respon hasil percobaan optimalisasi proses produksi siklo(tirosil-prolil) menggunakan isolat Streptomyces sp.A11................................................
147
17 Keluaran hasil analisis data menggunakan Design Expert 7 pada proses optimasi produksi siklo(tirosil-prolil).......................................................
148
17a. Keluaran model yang digunakan dan respon yang diperoleh dari Design Expert 7 ...............................................................................
148
17b. Keluaran design summary dan respon yang diperoleh dari Design Expert 7 ...........................................................................................
149
17c. Keluaran hasil analisis fit summary dari Design Expert 7 ……….
150
17d. Keluaran hasil analisis variansi (ANOVA) dari Design Expert 7 ...
151
17e . Keluaran variabel hasil optimasi menggunakan DesignExpert 7 …
152
18 Data pengamatan konsentrasi siklo(tirosil-prolil) dan konsumsi gula pada proses validasi model percobaan di laboratorium..........................
153
I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Masalah
Kebutuhan antibiotik, anti fungal, maupun anti kanker baru masih sangat
diperlukan, terutama yang efektif melawan bakteri, virus, protozoa, fungi atau
kanker. Untuk mendapatkan antibiotik baru, para peneliti telah banyak melakukan
berbagai cara seperti eksplorasi senyawa dari bahan alam seperti mikroba,
tumbuhan, dan hewan laut. Disamping itu para peneliti juga melakukan
biotransformasi senyawa-senyawa tertentu dengan bantuan mikroba atau membuat
derivat antibiotik semisintetik secara kimiawi.
Pada saat ini sebagian besar antibiotik yang diperkenalkan dan beredar di
pasaran merupakan antibiotik semisintetik yaitu senyawa induknya adalah produk
alami (natural product), misalnya derivat penisilin (ampisilin, amoksisilin),
sefalosporin (sefotaksim), kanamisin (amikasin, dibekasin) dan sebagainya.
Keberhasilan ini telah mendorong para peneliti untuk membuat derivat kelompok
antibiotik yang lain seperti makrolid, poliena antifungi atau antrasiklin anti-tumor.
Menurut Pelaez (2006), 70 dari 90 antibiotik yang berada di pasaran dari tahun
1982-2002 adalah turunan dari antibiotik alami (natural product). Walaupun
derivatisasi atau biokonversi menjanjikan antibiotik baru yang berguna, namun
senyawa antibiotik baru yang alami masih terus dicari dan sangat diharapkan.
Keberhasilan mendapatkan antibiotik baru dari sumber alami seperti metabolit
sekunder dari mikroba telah menimbulkan asumsi bahwa mikroba merupakan
sumber senyawa baru yang tidak pernah habis. Bahkan selain aktivitas antibiotik,
metabolit mikroba juga menjadi sumber senyawa aktif farmakologis atau
fisiologis yang berguna dibidang medis atau digunakan dalam pertanian (Omura
1986).
Pada saat ini antibiotik masih memiliki nilai yang tinggi dan masih sangat
dibutuhkan oleh manusia. Menurut Strohl (1999) ada beberapa alasan pentingnya
eksplorasi antibiotik baru. Pertama: seiring dengan perkembangan metode
pengobatan yang menggunakan berbagai macam antibiotik, telah menimbulkan
kasus munculnya mikroba patogen yang resisten terhadap beberapa antibiotik
2
yang berkaitan dengan penggunaan antibiotik tersebut. Sebagai contoh timbulnya
mikroba patogen yang tahan terhadap penisilin, kasus Methicillin-Resistant
Staphylococcus aureus (MRSA), Vancomycin-Resistant Enterococci (VRE)
khususnya Enterococcus faecium dan Enterococcus faecalis, dan β-lactam-
resistant Streptococcus pneumoniae. Kedua: munculnya mikroba atau virus baru
yang belum diketahui penyebabnya seperti HIV AIDS, ebola, SARS, flu burung,
flu babi dan lain-lain. Ketiga: dalam beberapa kasus antibiotik yang memiliki
aktivitas biologi yang sangat tinggi tetap mampu dilawan dan dikalahkan oleh
bakteri patogen. Sebagai contoh kasus infeksi yang disebabkan oleh Pseudomonas
aeruginosa pada seseorang yang menderita cystic fibrosis pernah menjadi
permasalahan serius pada dunia kedokteran. Keempat: antibiotik memiliki
keterbatasan pada sistem organ tubuh, yaitu pada kasus tertentu beberapa
antibiotik memiliki sifat toksik terhadap salah satu organ yang peka terhadap
antibiotik tersebut. Sebagai contoh pada kasus penggunaan gentamisin dan
aminoglikosida akan dibatasi efektivitasnya karena mereka berhubungan dengan
nephrotoxicity dan ototoxicity.
Indonesia mempunyai keragaman hayati khususnya perairan yang sangat
besar, termasuk didalamnya mikroba, tumbuhan maupun hewan. Kondisi wilayah
Indonesia yang berbentuk kepulauan, maritim, dan iklim tropis yang mendukung,
menjadikannya Indonesia kaya akan sumber daya hayati yang beragam. Dua
pertiga wilayah Indonesia merupakan daerah perairan. Menurut Kelecom (2002)
biodiversitas mikroba laut sangat besar dan menjanjikan, hal yang sama
disampaikan oleh Das et al.(2006), bahwa populasi mikroba laut sangat bervariasi,
karakteristik mikroba yang hidup dipermukaan air laut, di dasar laut dalam, batu
karang dasar laut, dan sedimen atau batu karang juga sangat bervariasi. Namun
demikian sampai saat ini pemanfaatan keragaman hayati khususnya mikroba
belum secara optimal dilakukan (Desriani 2003).
Meskipun penelitian mengenai eksplorasi senyawa aktif dari
aktinomisetes laut belum intensif dilakukan sepertihalnya aktinomisetes tanah,
namun demikian ada sejumlah senyawa aktif baru yang dihasilkan oleh
aktinomisetes laut seperti Caprolactones, Chandrananimycins, Chinikomycins,
Chloro-dihydroquinones, Frigocyclinone, Gutingimycin, Marinomycins (Lam
3
2006). Abyssomycin C yang merupakan antibiotik polisiklik poliketida dihasilkan
aktinomisetes laut strain Verrucosispora (Riegdlinger et al. 2004). Abyssomycin
C memiliki aktivitas mampu menghambat pertumbuhan bakteri Gram-positif.
Diazepinomicin yang dihasilkan oleh strain Micromonospora laut yang memiliki
aktivitas antibakteri, antiperadangan, dan antitumor (Charan et al. 2004).
Salinosporamide A merupakan senyawa lakton-γ-laktam yang diisolasi dari
aktinomistes laut Salinispora tropical (Feling et al. 2003).
Industri farmasi di Indonesia adalah terbesar dibandingkan dengan negara-
negara di Asia Tenggara. Namun demikian sampai saat ini Indonesia belum
sepenuhnya dapat memenuhi kebutuhan bahan-baku obat untuk industri
farmasinya. Kurang lebih 90% bahan baku antibiotik yang dibutuhkan oleh
industri farmasi di Indonesia masih diimpor dari Cina, India, Jepang, dan
Amerika. Ketergantungan bahan baku antibiotik dari luar negeri berpengaruh
terhadap kestabilan harga obat. Ketergantungan bahan baku obat dapat dikurangi
dengan mendorong kemandirian ketersediaan bahan baku obat lokal khususnya
antibiotik. Berdasarkan data Pharma Materials Management Clubs (PMMC)
dalam PT.Data Consult (2004) nilai impor bahan baku obat pada tahun 2001
mencapai Rp.2,4 triliun dan naik 8,9% pada tahun 2003 menjadi Rp. 2,69 triliun.
Menurut Demain (2000) pasar antibiotik di seluruh dunia mencapai US$ 30
milyar. Kebutuhan antibiotik di dunia merupakan urutan tertinggi dibandingkan
bahan baku obat lainnya.
Aktinomisetes merupakan kelompok mikroba penghasil antibiotik
terbanyak. Sekitar 70% antibiotik yang telah ditemukan dihasilkan oleh
aktinomisetes terutama Streptomyces, sehingga sasaran penapisan mikroba
penghasil antibiotik ditujukan pada kelompok aktinomisetes (Alcamo 1996).
Selain Streptomyces, penapisan juga diarahkan untuk mendapatkan anggota
aktinomisetes yang lain, terutama aktinomisetes langka seperti actinoplanes,
micromonospora, saccharopolyspora, actinomodura, dactylosporangium, dan
sebagainya. Mikroba tersebut telah menghasilkan metabolit yang berpotensi
termasuk antibiotik dan antitumor (Bardy 2005).
Proses isolasi dan penapisan mikroba penghasil senyawa aktif merupakan
proses yang menjadi kunci keberhasilan ditemukannya senyawa aktif baru. Pada
4
prinsipnya penapisan mikroba penghasil antibiotik terbagi dalam beberapa tahap,
dan masing-masing tahap bertujuan mengeliminasi mikroba yang tak dikehendaki
dan meningkatkan pertumbuhan organisme yang diinginkan, misalnya
aktinomisetes. Menurut Cross (1982), ada 5 kriteria utama yang harus
diperhatikan dalam proses isolasi dan penapisan mikroba, antara lain: (1)
pemilihan target sampel, (2) komposisi medium isolasi, (3) perlakuan
pendahuluan sampel, (4) kondisi inkubasi, (5) pemilihan koloni.
Pada penelitian ini, telah dilakukan isolasi aktinomisetes laut dari beberapa
lokasi di Pantai Anyer Provinsi Banten, Pantai Selatan Gunung Kidul, dan Pantai
Utara Cirebon. Pemilihan ketiga lokasi ini didasarkan pada karakteristik pantai
yang berbeda-beda. Diharapkan dari karakteristik pantai yang berbeda akan
diperoleh mikroba dengan karakteristik yang berbeda pula. Aktinomisetes yang
diperoleh selanjutnya pilih dengan cara penapisan (screening) aktivitas antibakteri
dan antifungi.
Proses optimasi fermentasi diperlukan untuk mendapatkan produktivitas
senyawa aktif yang tinggi. Dalam penelitian ini dilakukan optimasi medium
fermentasi dalam labu kocok menggunakan Response Surface Methodology
(RSM). Optimasi medium dilakukan tiga variabel bebas yaitu sumber karbon,
sumber nitrogen dan mineral.
I.2. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan senyawa aktif dari
aktinomisetes laut yang berpotensi sebagai antibiotik. Tujuan ini secara spesifik
dijabarkan sebagai berikut;
• Mendapatkan beberapa isolat aktinomisetes yang berasal dari sedimen
laut.
• Mendapatkan isolat aktinomisetes yang berpotensi sebagai penghasil
antibiotik.
• Mendapatkan informasi struktur kimia antibiotik yang dihasilkan oleh
aktinomisetes terpilih.
5
• Mendapatkan komposisi medium fermentasi yang paling optimum dan
profil fermentasi untuk produksi antibiotik.
I.3. Hipotesis
Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut;
1. Aktinomisetes laut dapat diisolasi dengan menggunakan medium starch-
casein agar yang dikombinasikan dengan antibiotik dan perlakuan
sampel. Aktinomisetes memiliki kemampuan untuk tumbuh pada medium
dengan kandungan gula reduksi rendah. Hal ini dikarenakan aktinomisetes
memiliki kemampuan menghidrolisis beberapa sumber karbon seperti pati
menjadi glukosa yang dapat digunakan untuk metabolisme. Disamping itu
aktinomisetes mampu bertahan terhadap beberapa antibiotik dengan
konsentrasi tertentu dan kondisi pemanasan pada rentang suhu 60 °C
sampai dengan 70 °C, serta tahan terhadap kondisi medium dengan pH
rendah. Pada kondisi seperti ini bakteri kontaminan maupun kapang dapat
ditekan pertumbuhannya dengan baik.
2. Pada proses fermentasi antibiotik dengan menggunakan isolat
Streptomyces sp. A11, sumber nitrogen kompleks pepton dan kasein
diduga mampu menghasilkan antibiotik golongan peptida lebih tinggi
dibandingkan dengan sumber nitrogen lainnya. Pepton dan kasein
memiliki kandungan asam amino yang dapat berfungsi sebagai sumber
nitrogen dalam medium fermentasi sekaligus sebagai prekursor pada
proses pembentukan antibiotik golongan peptida. Beberapa antibiotik
peptida disintesis melalui lintasan penggabungan beberapa asam amino
secara langsung yang sebelumnya terjadi proses aktivasi asam amino
menggunakan peptida sintetase.
6
I.4. Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut;
1. Penentuan pra-perlakuan sampel dari sedimen laut untuk isolasi
aktinomisetes.
2. Isolasi aktinomisetes dengan menggunakan medium starch agar yang
dikombinasikan dengan antibiotik dan pra-perlakuan sampel.
3. Identifikasi aktinomisetes terpilih yang memiliki potensi penghasil
antibiotik menggunakan 16S rRNA.
4. Pemisahan dan pemurnian senyawa aktif dari kaldu fermentasi yang
meliputi ekstraksi menggunakan pelarut organik, pemurnian dengan
kromatografi kolom dan HPLC preparatif.
5. Identifikasi struktur molekul senyawa aktif dengan menggunakan H1
NMR, C13 NMR, DEPT, Infra Red Spectrofotometry, dan LCMS.
6. Penentuan Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dan profil fermentasi
isolat terpilih.
7. Penentuan kombinasi konsentrasi sumber karbon, sumber nitrogen, dan
mineral terbaik untuk optimasi medium fermentasi.
II TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Aktinomisetes
Pada awalnya aktinomisetes digolongkan dalam kelompok fungi, sebab
penampakan morfologi dan perkembangannya yang mirip dengan fungi yang
dilihat dari miseliumnya, sehingga aktinomisetes juga disebut ray fungi (Kuster
1958). Namun demikian dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, morfologi
aktinomisetes lebih dekat dengan bakteri. Dilihat dari ukuran sel, spora serta
miselianya aktinomisetes dikategorikan sebagai bakteri yang memiliki nukleod
yang sama dengan bakteri. Chitin dan selulosa sebagai penyusun dinding sel fungi
tidak terdapat pada aktinomisetes. Penyusun dinding sel aktinomisetes adalah
polimer gula, gula amino, dan beberapa asam amino seperti halnya bakteri gram
positif. Sensitifitas terhadap beberapa antibiotik menempatkan aktinomisetes
termasuk dalam golongan bakteri gram positif. Aktinomisetes biasanya dipandang
sebagai kelompok bakteri Gram-positif yang memiliki kandungan Guanin (G)
dan Citosin (C) yang tinggi di dalam DNA-nya (>55%) dengan kemampuan
membentuk cabang-cabang hifa pada tahap-tahap pengembangannya (Locci et al.
1983).
Aktinomisetes memiliki morfologi yang sangat bervariasi, dari bentuk sel
bulat/coccus (Micrococcus) dan rod-coccus cycle (Arthrobacter), bentuk hifa
berfragmen (Nocardia, Rothia), sampai dengan jenis dengan miselium bercabang
yang berbeda-beda (Micromonospora dan Streptomyces). Actinnobacteria,
Actinoplanetes, Nocardioforms, dan Streptomyces memiliki filogenik yang
berbeda dan heterogen. Aktinomisetes ada yang bersifat saprofit namun ada yang
bersifat parasit atau bersimbiosis mutualisme dengan tumbuhan dan hewan
(Goodfellow 1983).
Aktinomisetes khususnya Streptomyces dikarakterisasi dengan
pertumbuhan koloni yang spesifik. Koloni aktinomisetes bukan akumulasi dari
kumpulan sel-sel tunggal dan seragam seperti halnya bakteri, melainkan bentuk
masa filamen bercabang (Locci et al. 1983). Koloni yang tumbuh pada medium
padat tersusun secara vegetatif dan dengan miselia berantena atau bersungut. Pada
8
koloni yang belum tumbuh miselianya, permukaan koloni terlihat mengkilap.
Pada genus Streptomyces, miselium tumbuh secara luas menempel pada medium
padat dan keseluruhan unit mudah diambil dengan kawat Ose (Cross 1982). Dilain
pihak koloni yang dibentuk oleh Nocardia cenderung mudah terpisah setiap
hifanya dan cenderung mudah pecah seperti tepung. Apabila miselium
berkembang, permukaannya cenderung seperti tepung dan halus. Struktur, bentuk,
ukuran dan warna dari koloni sangat bervariasi dan dapat berubah sesuai dengan
kondisi kulturnya. Kebanyakan Streptomyces mengeluarkan bau yang khas seperti
tanah. Asam asetat, acetaldehida, etanol, isobutanol, dan isobutil asetat sekarang
ini sudah diidentifikasi sebagai aroma senyawa utama yang dihasilkan oleh
Streptomyces. Bahkan hidrogen sulfida dipercaya berperan dalam pembentukan
aroma tanah yang dikeluarkannya (Goodfellow 1983).
Miselium vegetatif aktinomisetes berbentuk hifa non-septat yang panjang.
Beberapa hifa membentang dan panjangnya lebih dari 600 μm, bercabang,
melengkung/meliuk-liuk, dan cabangnya berbentuk monopodial. Miselium
vegetatif memiliki karakteristik berwarna, seperti kuning, oranye, merah, hijau,
coklat, atau hitam. Apabila terlarut dalam air, pigmen akan dikeluarkan dalam
medium (Cross 1982).
Beberapa jenis aktinomisetes memiliki miselium aerial. Miselium aerial
merupakan bentuk dan struktur dari miselium vegetatif. Miselium aerial muncul
dari substrat miselium dan menutupi seluruh koloni, sehingga terlihat seperti
kapas atau tepung. Miselium aerial ada yang bersifat steril dan ada yang fertil.
Hifa steril umumnya tipis dan menunjukkan tidak adanya pertambahan diameter.
Hifa sporogenous awalnya tipis tetapi pada tahap akhir perkembangannya menjadi
lebih tebal. Fertil aerial micellium mengandung sporosphores yang berbentuk
panjang, lurus atau bengkok. Hifa pendek memberikan permukaan koloni yang
mirip tepung, sementara hifa panjang menunjukkan permukaan menyerupai
kapas. Karakteristik aerial micellium lain dari Streptomyces adalah pigmentasi
yang dapat memiliki warna dari putih atau abu-abu sampai ke kuning, oranye,
lavender, biru, dan hijau, sehingga sering disebut sebagai ”colour wheel” (Locci
et al.1983). Bentuk aerial micellium yang dibentuk oleh Streptomyces disajikan
dalam Gambar 1.
9
http://www.microbiologyprocedure.com/
Gambar 1 Morfologi aerial micellium Streptomyces
Spora tumbuh berawal dari ujung hifa sporogenous dan terbentuk oleh
proses fragmentasi atau segmentasi. Pada proses fragmentasi sitoplasma pecah
dan membentuk bagian-bagian kecil yang seragam, yang pada akhirnya lepas dan
memisah dari dinding sel. (Cross 1982).
II.2. Isolasi Aktinomisetes
Isolasi mikroba dari alam merupakan tahap awal dalam penapisan
metabolit mikroba seperti antibiotik. Biasanya tidak diketahui jenis dan jumlah
mikroba dalam sampel tersebut. Pada prinsipnya tujuan isolasi mikroba yaitu
untuk mendapatkan mikroba yang dikehendaki sebanyak-banyaknya (Morrelo
2002). Untuk maksud tersebut dapat digunakan teknik medium diperkaya dan
sistem pengenceran. Misalnya sampel tanah atau air diencerkan sedemikian rupa,
sehingga diharapkan pertumbuhan koloni tidak lebih 200 koloni per cawan petri.
Suspensi tersebut dengan metode taburan spread plate diinokulasikan pada cawan
petri yang mengandung medium diperkaya. Setelah diinkubasi, akan terlihat
koloni-koloni pada cawan tersebut dan siap untuk diisolasi (Hogg 2005). Namun
dalam praktek cara tersebut kurang efisien karena harus mengisolasi banyak
mikroba yang potensinya belum jelas, sehingga para peneliti sudah membatasi
jenis mikroba yang akan diisolasi. Biasanya tidak diinginkan isolasi semua
mikroba yang ada dalam sampel, karena akan menghabiskan banyak biaya, tenaga
dan waktu. Pra-perlakuan sampel dilakukan untuk mengeliminasi mikroba yang
tak diinginkan. Ada beberapa contoh yang sering dilakukan oleh para peneliti,
misalnya sampel tanah dikeringkan di udara pada suhu kamar selama 3 - 10 hari
10
tergantung dari kandungan airnya untuk mengurangi populasi bakteri (Hayakawa
dan Hideo 1987). Untuk memperbesar kemungkinan isolasi aktinomisetes dari
sampel air, misalnya Rhodococcus dan Micromonospora dapat dilakukan
pemanasan sampel 55 °C selama beberapa menit (Goodfellow et al. 1988).
Untuk mendapatkan Streptomyces telah digunakan medium khusus yaitu
Medium International Streptomyces Project (ISP) (Horan 1999). Fungi dapat
dihilangkan dengan menambahkan antifungi seperti nistatin atau sikloheksimid ke
dalam medium, dan bakteri dapat dieliminasi dengan menambahkan beberapa
antibiotik ke dalam medium. Selain itu parameter kondisi lingkungan juga harus
diperhatikan seperti pH, suhu dan sebagainya. Sebagian besar bakteri lebih peka
terhadap pH asam, sedangkan fungi lebih tahan terhadap rentang pH yang lebih
lebar. Suhu inkubasi dapat meningkatkan isolasi mikroba yang dikehendaki,
misalnya isolasi Thermoactinomyces dapat ditingkatkan dengan inkubasi 50-55
°C, Nocardia pada 25 °C, Streptosporangium pada 40 °C dan sebagainya. Isolasi
anggota aktinomisetes pada umumnya menggunakan suhu inkubasi 28 – 30 °C.
Aktinomisetes merupakan mikroba yang paling efektif dalam
menggunakan substrat. Sebagai organisme heterotrop, aktinomisetes memerlukan
bahan organik sebagai sumber karbon bagi kelangsungan hidupnya dan beberapa
jenis diantaranya mampu mendegradasi inulin dan chitin. Bahkan Nocardia sp
mampu memecah molekul organik yang tak lazim di alam seperti parafin, fenol,
steroid dan pirimidin. Micromonospora mampu mendekomposisi pati, chitin,
selulosa, glukosida, pentosan dan mungkin lignin. Atas dasar kemampuannya
yang jarang dijumpai pada mikroba lain, maka para ahli telah mengembangkan
medium isolasi yang hanya menguntungkan pertumbuhan aktinomisetes daripada
mikroba yang lain. Medium tersebut seperti Arginine-Glycerol salt, Benedict,
Collodial Chitin, Starch-Casein dan sebagainya (Cross 1982). Menurut Pisano et
al. (1989) medium campuran pati dengan kasein sangat cocok digunakan untuk
isolasi aktinomisetes. Aktinomisetes mudah tumbuh dalam medium campuran pati
dan kasein, namun demikian mikroba lain tumbuh lebih lama dibandingkan
dengan aktinomisetes.
Beberapa teknik perlakuan pendahuluan sampel juga telah digunakan
peneliti untuk mendapatkan isolat aktinomisetes yang diinginkan. Sebagai contoh
11
teknik rehidrasi diterapkan pada sampel pada habitat air tawar yang akan
menghasilkan banyak actinoplanete dan genus baru Cupolomyces. Spora
aktinomisetes biasanya tahan terhadap proses pengeringan baik proses
pengeringan kering atau basah. Pemanasan sampel pada suhu hangat mampu
menekan pertumbuhan bakteri gram negatif yang sering mengganggu proses
isolasi aktinomisetes (Pisano 1986). Cara lain untuk menekan perumbuhan bakteri
gram negatif adalah dengan mengurangi water activity pada medium isolasi.
Kelembaban pada permukaan agar dapat mendorong tumbuh dan menyebarnya
bakteri Gram-negatif yang secara signifikan dapat menekan proses germinasi dan
pertumbuhan aktinomisetes. Oleh karena itu cawan isolasi dan permukaan agar
harus dalam kondisi kering pada saat menyebarkan sampel isolasi (Seong 2001).
Beberapa spesies aktinomisetes lebih menyukai permukaan medium kering untuk
proses germinasi dan pertumbuhan. Proses pemanasan dan pengeringan dengan
kombinasi medium selektif akan mampu menghasilkan koloni aktinomisetes
yang relatif banyak. Sentrifugasi diferensial juga dapat digunakan dalam proses
pra-perlakuan sampel (Araujo 2008).
Spora aktinomisetes juga tahan terhadap pemanasan kering sampai suhu
120 °C, sifat ini dimanfaatkan untuk perlakuan pendahuluan yang dapat
menghilangkan sejumlah bakteri kontaminan (Takashi 2003). Spora aktinomisetes
lebih sentisitif terhadap pemanasan basah, yaitu sampel tersuspensi dalam pelarut
yang dipanaskan. Pemanasan sampel pada suhu 45-50 °C dapat digunakan untuk
isolasi Streptomyces, pada suhu pemanasan 55 °C dapat digunakan untuk
mengisolasi Rhodococcus, dan spesies yang lebih tahan pada pemanasan yang
lebih tinggi lagi adalah Micromonospora yang dapat bertahan pada pemanasan
60-70 °C selama 30 menit. Perlakuan pendahuluan sampel secara kimia juga
banyak dilakukan untuk mengisolasi aktinomisetes, misalnya penggunaan fenol,
klor atau amonium kuartener. Metode pra-perlakuan ini biasanya juga mengurangi
sejumlah aktinomisetes yang akan diisolasi (Goodfellow et al. 1988).
Seong et al. (2001) telah melakukan modifikasi pra-perlakuan sampel
untuk isolasi aktinomisetes dari tanah. Isolasi dilakukan dengan medium HHVA
(Hair Hydrolysate Vitamin Agar) dan pra-perlakuan sampel dengan menggunakan
4 metode, yaitu dengan penambahan antibiotik, pemanasan kering (1 jam pada
12
suhu 100 °C), pemanasan basah (70 °C) selama 15 menit, dan udara kering selama
24 jam. Dari penelitian ini menunjukkan bahwa hasil isolasi aktinomisetes dengan
beberapa metode pra-perlakuan sampel tersebut menunjukkan hasil yang sangat
bervariatif.
Penggunaan senyawa antibakteri dan antifungi juga menentukan hasil
isolasi aktinomisetes. Penggunakan senyawa antibakteri dapat memberikan efek
mengurangi jumlah aktinomisetes yang akan diisolasi. Namun demikian cara ini
dipandang sangat membantu menekan sejumlah bakteri dan kapang kontaminan,
sehingga mempermudah proses isolasi dan pemurnian aktinomisetes. Kombinasi
benzyl penicillin (5-10 μg mL-1) dengan asam nalidiksat (15 μg mL-1) dapat
digunakan untuk mendapatkan Saccharothrix, novobiocin (25 μg mL-1) dan
streptomycin (15 μg mL-1) dapat digunakan untuk mendapatkan isolat dari genus
Glycomyces, dan dengan menambahkan vancomycin dapat digunakan untuk
mendapatkan Amylocolatopsis. Hanka (1985) dapat menaikkan perolehan koloni
Streptoverticillium dengan menggunakan medium agar yang mengandung
oxytetracycline dengan metode filter membran yang dapat menghilangkan koloni
bakteri nonmiselia.
Salah satu faktor yang penting dalam proses isolasi dan fermentasi
aktinomisetes adalah suhu inkubasi. Secara umum aktinomisetes tumbuh baik
pada suhu 25 sampai dengan 30 °C. Namun demikian ada beberapa aktinomisetes
yang tumbuh baik pada suhu 45 °C (Goodfellow et al. 1988). Isolasi
aktinomisetes termofilik akan lebih mudah diisolasi dan dimurnikan dari bakteri
kontaminan dibandingkan jenis mesofilik. Namun pada proses produksinya
aktinomisetes termofilik akan membutuhkan biaya yang cukup tinggi untuk tetap
menjaga panas yang lebih tinggi.
Waktu inkubasi proses isolasi aktinomisetes pada cawan agar sampai dapat
dilihat koloninya dengan mata telanjang kurang lebih selama 7 sampai dengan 14
hari. Masa inkubasi yang semakin lama biasanya dihindari oleh peneliti. Hal ini
disebabkan pertumbuhan aktinomisetes yang lambat akan meningkatkan biaya
produksi pada saat masuk dalam proses fermentasi. Namun demikian
pertumbuhan aktinomisetes dapat dimodifikasi melalui medium pertumbuhan dan
kondisi lingkungan yang digunakan (Cross 1982).
13
II.3. Antibiotik
Sejarah perkembangan penemuan antibiotik berawal dari penemuan oleh
Fleming yang terus berkembang sampai sekarang. Sekarang ini telah ditemukan
lebih dari 10.000 senyawa bahan alam yang dihasilkan dari mikroba. Tahun 1940
sampai dengan awal tahun 1950 merupakan tahun keemasan yaitu banyak
ditemukan senyawa alam antibiotik yang berasal dari mikroba. Hampir semua
antibakteri penting seperti tetrasiklin, sefalosporin, amiloglikosid, dan makrolida
telah ditemukan pada tahun-tahun tersebut. Menurut Berdy (2005) pada tahun
1940 sekitar 10-20 antibiotik telah ditemukan, pada tahun 1950-an telah
ditemukan 300-400 antibiotik, sekitar tahun 1960 ditemukan 800-1000 antibiotik,
tahun 1970 telah ditemukan 2500, tahun 1980 telah ditemukan 5000, tahun 1990
telah ditemukan sekitar 10.000, dan tahun 2000 telah ditemukan sekitar 20.000
antibiotik.
Antibiotik merupakan substansi yang dihasilkan oleh mikroba, dalam
konsentrasi rendah mampu menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroba
lain (Cross 1982). Setiap antibiotik mempunyai aktivitas penghambatan
pertumbuhan hanya terhadap mikroba patogen spesifik, yang disebut spektrum
penghambat. Mikroba penghasil antibiotik meliputi golongan bakteri,
aktinomisetes, fungi, dan beberapa mikroba lainnya. Kurang lebih 70% antibiotik
dihasilkan oleh aktinomisetes, 20% dihasilkan oleh fungi dan 10% dihasilkan oleh
bakteri. Streptomyces merupakan penghasil antibiotik yang paling besar jenisnya
(Berdy 2005). Distribusi senyawa aktif yang telah diketemukan sampai saat ini
disajikan pada Tabel 1.
Pada siklus hidupnya yang normal, mikroba akan tumbuh dalam medium
yang sesuai dan menghasilkan jumlah sel maksimum. Setelah itu pertumbuhannya
berhenti dan memasuki fase stasioner, dan selanjutnya masuk pada fase kematian
terjadi kematian sel vegetatif (lisis) atau pembentukan spora. Pada fase stasioner
sel-sel berhenti membelah dan metabolit sekunder mulai diproduksi. Metabolit
sekunder sering diproduksi dalam jumlah besar dan kebanyakan disekresikan ke
dalam medium biakan (Cross 1982). Sebagian besar antibotik merupakan
metabolit sekunder, akan tetapi ada antibiotik merupakan metabolit primer, yaitu
14
antibiotik yang terbentuk selama fase pertumbuhan eksponensial, misalnya
antibiotik polipeptida nisin.
Tabel 1 Distribusi senyawa aktif dan tidak aktif yang telah diketahui. Sumber Jenis
antibiotik Senyawa
aktif lainnya Total
senyawa aktif
Penggunaan pada manusia
Senyawa tidak aktif
Bakteri 2900 900 3800 10-12 3000-5000
Aktinomisetes 8700 1400 10100 100-120 5000-10000
Fungi 4900 3700 8600 30-35 2000-15000
Total 16500 6000 22500 140-160 20000-25000
(Berdy, 2005)
Antibiotik dan produk alami (natural product) yang sejenis merupakan
metabolit sekunder yang dihasilkan oleh hampir semua tipe makhluk hidup,
seperti mikroba prokariotik, eukariotik, beberapa tumbuhan dan hewan.
Kemampuan menghasilkan metabolit sekunder sangat bervariasi pada setiap
spesies. Total jenis senyawa aktif yang dihasilkan oleh kelompok bakteri adalah
sebanyak 3.800 atau 17% dari total senyawa aktif yang telah ditemukan.
Aktinomisetes menghasilkan lebih dari 10.000 senyawa aktif, 7.600 dihasilkan
oleh Streptomyces dan 2.500 dihasilkan oleh aktinomisetes langka (Berdy 2005)
II.4. Metabolit Mikroba
Secara garis besar metabolit yang dihasilkan oleh mikroba dibagi menjadi
2 golongan yaitu metabolit sekunder dan metabolit primer. Metabolit primer
dihasilkan oleh dalam proses biokimia yaitu proses anabolik dan katabolik yang
menghasilkan asimilasi, respirasi, transportasi, dan diferensiasi. Metabolisme
primer yang terjadi dalam semua sel hampir semuanya memiliki kemiripan baik
prosesnya maupun produk yang terjadi maupun fungsi biologisnya. Sedangkan
metabolit sekunder adalah senyawa kimia yang dihasilkan mikroba, tumbuhan,
atau hewan yang tidak secara langsung terlibat dalam pertumbuhan,
perkembangan, dan reproduksi. Metabolit sekunder merupakan produk spesifik
dari setiap spesies (atau hanya ditemukan dalam bagian kecil dari spesies dalam
15
grup filogenik). Tanpa senyawa ini maka organisme akan berakibat menderita
karena kurang dapat mempertahankan diri namun demikian tidak menyebabkan
kematian secara langsung, contohnya antifungi, antibakteri, antikolesterol,
enziminhibitor, dan lain-lain. Fungsi utama dari metabolit sekunder dalam
organisme adalah sebagai fungsi ekologi yaitu sebagai alat pertahanan melawan
predator, parasit, dan kompetisi antar spesies (Prescot et al. 2002; Bennett et
al.1989; Luckner 1990). Konsep metabolisme sekunder pertama kali dikenal oleh
Kossel 1891 (Haslam 1986; Seigler 1998). Metabolit sekunder pada mulanya
diasumsikan sebagai hasil samping atau limbah organisme sebagai akibat
produksi metabolit primer yang berlebih. Namun seiring dengan perkembangan
ilmu pengetahuan, terbukti bahwa metabolit sekunder diproduksi oleh organisme
sebagai respon terhadap lingkungan yang tidak sesuai (Dewick 1997). Metabolit
sekunder dihasilkan melalui jalur biosintesis metabolit primer. Jalur biosintesis
metabolit sekunder lebih spesifik untuk setiap famili atau genus mikroba dan
berhubungan terhadap mekanisme evolusi suatu spesies (Torssell 1997).
Berbeda dengan metabolit sekunder, metabolit primer merupakan
metabolit yang digunakan untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup,
diantaranya adalah lemak, DNA, protein dan karbohidrat. Metabolisme primer
telah ditunjukkan pada proses sintesis asam karboksilat melalui siklus Krebs,
asam amino, karbohidrat, lemak, protein dan asam nukleat, yang semuanya
merupakan kebutuhan dasar untuk tetap dapat hidup dan terjadi pada semua
mikroorganime (Luckner (1990). Semua mikroba yang memiliki sistem jalur
metabolisme yang sama akan menghasilkan senyawa metabolit primer yang sama
pula. Berbeda halnya dengan metabolit sekunder, metabolit ini bukan merupakan
metabolit dasar yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidupnya tetapi mendukung
kelangsungan hidup suatu spesies untuk tetap hidup (Torsell 1997).
Metabolit sekunder tidak memiliki peran dalam proses kehidupan dasar.
Metabolit sekunder disintesis dari substrat yang dihasilkan oleh metabolit primer
melalui lintasan metabolisme primer. Metabolit sekunder dalam tumbuhan
biasanya dapat divisualisasi dari warna, bau, dan rasa yang dihasilkan dari
senyawa kimia. Metabolit sekunder ini dapat dimanfaatkan untuk pembuatan obat,
insektisida, pewangi dan lain-lain.
16
Ada beberapa metabolit sekunder khususnya antibiotik yang dihasilkan
dari jalur biosintesis ini seperti antibiotik β-laktam (misalnya penisilin dan
sefalosporin), antibiotik aminoglikosid (streptomisin), steroid (gibberelin),
makrolida (tetrasiklin), aktinomisin, dan anthramisin.
II.5. Pertumbuhan Mikrobial
Kurva pertumbuhan mikroba secara curah yang ditumbuhkan dalam
medium kimiawi dapat dibuat dengan pengaluran data jumlah sel atau biomassa
terhadap waktu pertumbuhannya. Kurva pertumbuhan dibagi menjadi 3 fase yaitu
fase lag, fase eksponensial atau fase log, dan fase stasioner. Fase lag atau sering
disebut juga fase adaptif, berlangsung segera setelah inokulasi pada medium
nutrien dan merupakan periode adaptasi. Pada fase ini mikroba mengalami
penyesuaian diri dengan kondisi lingkungan dan substrat yang tersedia. Jumlah sel
pada fase ini bisa tetap namun demikian massa sel bisa bertambah. Dapat pula
terjadi fase lag yang panjang bila inokulumnya kecil, mempunyai daya tumbuh
rendah, atau bila komposisi media propagasi sangat berbeda dengan media
fermentasi. Panjang pendeknya fase lag sangat tergantung dari kemampuan
adaptasi mikroba tersebut terhadap kondisi yang baru dan medium yang ada
(Judoamidjojo et al.1992). Pada periode ini tidak terjadi peningkatan jumlah sel,
sehingga dengan persamaan matematis dapat dituliskan sebagai berikut;
X = Xo = tetap dan rx = dx/dt = 0
Demikian pula laju pertumbuhan spesifik, μ adalah nol
dx/dt. 1/x = μ = 0
Keterangan :
X = konsentrasi selular (g L-1)
Xo = konsentrasi selular pada t = 0
rx = laju pertumbuhan
μ = laju pertumbuhan spesifik (Jam-1)
Setelah fasa lag selesai, maka mulai terjadi reproduksi sel. Konsentrasi
selular atau biomassa meningkat, dengan demikian dx/dt dan laju pertumbuhan
spesifik meningkat. Fase log ditandai oleh suatu garis lurus pada plot semilog
17
antara ln X versus waktu. Ini adalah periode pertumbuhan seimbang atau kondisi
mantap dengan laju pertumbuhan spesifik konstan. Sel mikroba membelah dengan
cepat dan konstan sehingga jumlah pertumbuhan selnya mengikuti kurva
logaritmik. Pada saat laju pertumbuhan atau reproduksi selular mencapai titik
maksimum, maka terjadi pertumbuhan secara logaritmik atau eksponensial. Pada
fasa ini keadaan pertumbuhan adalah mantap. Dengan laju pertumbuhan spesifik,
μ tetap, komposisi selular tetap, sedangkan komposisi kimiawi medium biakan
berubah akibat terjadinya sintesis produk dan penggunaan substrat.
Pada fase eksponensial, laju pertumbuhan, dx/dt meningkat berbanding
lurus dengan X. Laju pertumbuhan spesifik tetap dan mencapai nilai maksimal.
Laju pertumbuhan dapat digambarkan dengan persamaan sebagai berikut
(Stanbury dan Whitaker, 1984);
dX/dt = μm X..........................................(1)
Dari persamaan (1) apabila dilakukan integrasi akan diperoleh persamaan sebagai
berikut;
ln X1 = lnXo + μ t ..............................(2)
dari persamaan (2) maka laju pertumbuhan spesifik (μ) merupakan kemiringan
kurva hasil pengaluran (plotting) ln X1 (konsentrasi biomassa) terhadap waktu (t).
Pertumbuhan berbanding lurus dengan kerapatan selular mikroba,
rx = dx/dt = μm X …………………..…..(3)
pada fasa ini : logX2 – log X1 = μm (t2-t1) ….……...…(4)
maka X2 = X1 eμm (t2-t1) ……………………..(5)
apabila pada saat Tg adalah X2 = 2X1 maka
Tg =ln2/μm = 0,69/μm …………………..(6)
Tg = waktu penggandaan (waktu yang diperlukan untuk mendapatkan
konsentrasi biomassa (X) menjadi dua kali konsentrasi awal (Xo) pada
fasa eksponensial).
Pada beberapa titik laju pertumbuhan mulai menurun karena nutrisi dasar
telah menjadi berkurang dan hambatan oleh adanya produk metabolik yang
terakumulasi. Sel-sel tersebut selanjutnya akan mengalami transisi, sehingga laju
pertumbuhan menjadi nol dan memasuki ke fase stasioner.
18
Fase stasioner akan terjadi setelah semua sel berhenti membelah diri atau
bila sel hidup dan sel mati mencapai keseimbangan, yaitu dengan laju kematian.
Namun meskipun pertumbuhan telah berhenti, mungkin saja masih dapat
berlangsung proses metabolisme dan akumulasi produk dalam sel atau dalam
kaldu fermentasi. Pada awal fase stasioner, konsentrasi konsentrasi biomassa
mengalami maksimal. Fasa penurunan ditandai dengan berkurangnya jumlah sel
hidup dalam medium akibat kematian yang diikuti autolisis sel oleh enzim selular.
Beberapa kemungkinan yang terjadi apabila inkubasi tetap dilakukan, pertama
massa sel total mungkin konstan, kedua masa sel hidup cenderung menurun,
ketiga terjadi lisis sel dan masa sel menurun drastis atau sel hidup meningkat
kembali oleh pertumuhan kriptik. Pola pertumbuhan sel selama fase lag, fase log,
dan fase stasioner disajikan dalam Gambar 2.
Fase lag
Fase eksponensial
Fase stasioner
waktu
Kon
sent
rasi
bio
mas
sa a
bc
Keterangan : a.massa sel tanpa terjadi lisis b.massa sel terjadi lisis, diikuti pertumbuhan kriptik c.jumlah sel hidup dengan terjadi lisis
Gambar 2 Pola pertumbuhan sel selama fase lag, fase log, dan fase
stasioner (Wang 1979)
Berdasarkan kajian pertumbuhan mikroba, dapat ditentukan parameter
pertumbuhan seperti koefisien konversi atau rendemen produktivitas.
Yx/s = Xf - Xo ……………………………..(7) So - S Keterangan:
So : konsentrasi awal substrat
S : konsentrasi substrat tersisa yang umumnya mendekati nol dan dapat
diabaikan dibandingkan nilai So apabila jauh lebih besar.
19
Nilai Yx/s dinyatakan dalam bobot sel kering per bobot atau mol substrat yang
dikonsumsi (rendemen molekuler). Produktivitas (bobot biomassa yang dihasilkan
per volume medium per jam) merupakan kriteria untuk mengevaluasi proses
fermentasi. Produktivitas maksimal dicapai pada waktu tm dan konsentrasi Xm,
sehingga;
Pm = Xm / tm ………..…….……(8)
Bila produktivitas total dinyatakan sebagai berikut;
Pt = Xt / tt ………………………(9)
Hubungan laju pertumbuhan mikroba (μ) dengan konsentrasi substrat (S) telah
digambarkan oleh Monod berdasarkan analogi model kinetik enzimatik Michaelis
Menten. Persamaan matematik hubungan laju pertumbuhan dengan konsentrasi
substrat adalah sebagai berikut;
………………...………(10) μ = μm S Ks + S
Ks merupakan konstanta penggunaan substrat yang menunjukkan afinitas mikroba
terhadap substrat. Ks merupakan konsentrasi substrat pada saat μ = μm/2.
Pengaruh konsentrasi substrat terhadap laju pertumbuhan spesifik digambarkan
pada Gambar 3. Berdasarkan model Monod, laju pertumbuhan (rx) dapat
dinyatakan sebagai berikut;
………….(11) rx = μ X = μm S X Ks + S
a c b
Substrat (g L-1)
μ (ja
m-1
)
Keterangan : a. Pembatasan oleh substrat b.Tidak ada pengaruh oleh substrat c. Penghambatan oleh substrat berlebih
Gambar 3 Pengaruh konsentrasi substrat (S) terhadap laju pertumbuhan spesifik
(Wang et al.1979).
20
Pada kinetika pertumbuhan mikroba dalam kondisi keseimbangan
kimiawi, pertumbuhan sel, pembentukan produk berkaitan erat dengan
penggunaan hara atau substrat. Pada fermentasi curah, laju penggunaan substrat
persatuan volume, secara sederhana berbanding lurus dengan laju pertumbuhan.
rs = 1/Yx/s (rx) karena rx = μX maka rs = μX / Yx/s
µ = dx/dt. 1/x
Yx/s adalah rendemen biomassa yang terbentuk persatuan substrat yang
dikonsumsi. Bila pertumbuhan mikroba mengikuti model Monod, maka laju
penggunaan substrat (rs) dapat dinyatakan sebagai berikut;
…..………(12) rs = 1/Yx/s μm S X Ks + S
Hubungan kinetik pertumbuhan dan pembentukan produk tergantung pada
peranan produk di dalam metabolisme sel. Ada tiga pola kinetika yang umum
dalam hubungannya pada kinetika pertumbuhan dengan pembentukan produk,
yaitu: pola pembentukan produk berasosiasi dengan pertumbuhan, pola
pembentukan produk tidak berasosiasi dengan pertumbuhan, dan pola campuran
antara pembentukan produk berasosiasi dan tak berasosiasi dengan pertumbuhan.
Produk yang terbentuk dengan pola pertumbuhan yang berasosiasi dengan
pembentukan produk merupakan hasil langsung suatu lintasan katabolik atau
disebut metabolit primer. Pada pola ini laju pembentukan produk berbanding
secara proporsional dengan laju pertumbuhan;
dp/dt = α dx/dt atau rp = Yp/x rx dan rp = dp/dt
dengan Yp/x adalah rendemen produk yang dihasilkan per biomassa yang
dihasilkan (g/g).
Pada berbagai fermentasi, terutama yang menghasilkan metabolit sekunder
seperti antibiotik, pembentukan produk tidak berasosiasi dengan pertumbuhan,
pembentukan produk biasanya terjadi pada akhir fase pertumbuhan. Laju
pembentukan produk berbanding secara proporsional dengan konsentrasi selular
dan tidak pada laju pertumbuhan, sehingga ; rp = β x
21
Pada pola campuran antara pembentukan produk dan pertumbuhan, laju
pembentukan produk berbanding terbalik dengan konsentrasi sel maupun laju
pertumbuhan yang dinyatakan sebagai berikut;
dp/dt = α dx/dt + β x atau
1/x dp/dt = α 1/x dx/dt + β atau rp/x = α μ + β …….(13)
p = Konsentrasi produk
x = Konsentrasi biomassa
t = Waktu
µ = Laju pertumbuhan spesifik
α = Tetapan yang menunjukkan bagian produk yang diproduksi pada fase
logaritmik.
β = Tetapan yang menunjukkan bagian produk yang diproduksi pada fase
logaritmik.
Model ini disebut model kinetika Leudeking dan Piret (Mangunwidjaja dan
Suryani 1994).
II.6. Identifikasi Mikroba Menggunakan 16S rRNA
Identifikasi mikroba menggunakan metode molekuler dengan mendeteksi
elemen genom (DNA dan RNA) merupakan salah satu teknik identifikasi yang
akurat. Identifikasi secara molekuler banyak digunakan untuk mempertegas hasil
identifikasi secara fenotip seperti identifikasi morfologi, maupun identifikasi
secara biokimia. Identifikasi molekuler memiliki keunggulan lebih akurat,
pengerjaannya lebih cepat, dan dapat digunakan untuk identifikasi mikroba yang
tidak dapat dikulturkan (unculture).
Prinsip dasar identifikasi secara molekuler adalah mendeteksi secara
spesifik sekuen nukleotida pada genom mikroba, dan dihibridisasi menggunakan
sekuen label komplementer berdasarkan pendeteksian (Iwen dan Peter, 2004).
Identifikasi berdasarkan sekuen memerlukan pengenalan target molekuler untuk
memberikan perbedaan banyaknya varietas mikroba. Beberapa area target genom
yang sudah dikenal yaitu bagian gen 16S rRNA. Daerah 16S rRNA merupakan
daerah terkonservasi pada mikroba prokariot dan memberikan ciri spesifik dari
22
tiap mikroba prokariot. Sehingga daerah 16S rRNA digunakan untuk
mengklarifikasi makhluk hidup ke dalam kelompok yaitu archaea, bakteri, dan
prokarya. Ribosomal RNA (rRNA) merupakan salah satu jenis molekul RNA
yang unik disamping duta RNA (mRNA) dan transfer RNA (tRNA). RNA
berperan dalam pembentukan kerangka ribosom yang merupakan organel penting
dalam proses translasi RNA menjadi asam amino (Gick dan Pasternack 2003).
Saat ini RNA telah banyak dijadikan sebagai sumber analisis filogenik dan
pengklasifikasian makluk hidup. Hal ini disebabkan molekul rRNA bersifat
homologi baik secara fungsional maupun evolusinya pada organisme yang
berbeda (Broun-Howland et al. 1992).
Tahapan dasar untuk identifikasi molekuler dengan menggunakan analisis
sekuen adalah sebagai berikut;
1. Isolasi DNA atau RNA.
Deoxyribonucleic acid atau disingkat DNA merupakan bahan penyusun
gen, yaitu penurun sifat yang meneruskan informasi dari induknya
(Campbell et al. 2002). DNA terdapat di dalam inti sel terutama pada
kromosom. Molekul DNA juga ditemukan pada organel-organel sel seperti
sel pada mitokondria dan kloroplas. Ada beberapa tahapan dalam
melakukan isolasi DNA, pertama isolasi jaringan, pelisisan dinding sel
ekstraksi DNA, dan presipitasi. Presipitasi dilakukan untuk
mengendapkan protein sehingga terpisah dari ikatan DNA.
2. PCR (Polymerase Chain Reaction).
Reaksi polimerasi berantai atau lebih dikenal dengan PCR merupakan
suatu metode amplifikasi fragmen DNA secara cepat dan dapat
menghasilkan DNA dalam jumlah besar. Secara prinsip PCR merupakan
proses berulang, setiap siklusnya dibagi menjadi 3 tahapan, yaitu pertama
tahap denaturasi yaitu DNA terputus dan membentuk DNA rantai tunggal,
kedua tahap penempelan (annealing), yaitu primer menempel pada bagian
DNA template yang berkomplementer urutan basanya, ketiga tahap
amplifikasi, yaitu tahap penggandaan. Setelah tahap ketiga selesai, maka
akan terjadi lagi secara berulang secara terus menerus. Tahapan ini terus
berulang 20 sampai dengan 30 kali (Yuwono dan Triwibowo 2006).
23
3. Elektroforesis Gel.
Elektroforeses gel merupakan suatu teknik untuk memisahan
makromolekul (DNA atau protein) berdasarkan ukuran dan muatan
listrik(Cambell et al. 2002). Setiap bakteri memiliki 16S rRNA yang
merupakan suatu sub unit dari RNA ribosom. Gen 16S rRNA memiliki
nukleotida yang relatif pendek yaitu sekitar 1500 bp. Munculnya pita
(band) tunggal pada daerah 1500 bp, maka dapat diketahui bahwa gen 16
S rRNA telah diamplifikasi.
4. Sekuensing.
Metode sekuensing merupakan metode pengurutan basa nukleotida pada
DNA dan mendapatkan data berupa ukuran nukleotida dari fragmen DNA.
Sekuensing DNA akan menghasilkan sekuen yang digambarkan sebagai
untaian abjad lambang nukleotida-nukleotida penyusun DNA, yaitu ”A”
(nukleotida berbasa adenin), ”T”(nukleotida berbasa timin, ”G”(nukleotida
berbasa guanin, dan ”C”(nukleotida berbasa sitosin. (Campbell et al.
2002).
5. BLAST (Basis Local Aligment and Search Tool).
Basis data merupakan kumpulan informasi yang disimpan di dalam
komputer secara sistematik sehingga dapat diperiksa menggunakan
program komputer untuk memperoleh informasi basis data tersebut. Salah
satu basis data untuk BLAST adalah NCBI yang merupakan Gen Bank.
Data ini dapat dibuka melalui website http://www.ncbi.nih.nlm.gov yang
dapat digunakan untuk membandingkan hasil gen yang telah disekuen.
II.7. Response Surface Methodology
Response surface Methodology (RSM) merupakan teknik statistik empiris
yang digunakan pada analisis regresi berganda dengan menggunakan data
kuantitatif yang didapatkan dari percobaan-percobaan yang telah didesain dengan
baik untuk menyelesaikan persamaan multi peubah secara simultan. Menurut
Montgomery (1997), RSM adalah metode statistik yang menggunakan data
kuantitatif dari desain penelitian yang sesuai untuk menentukan dan
24
menyelesaikan persamaan multivariabel secara simultan. Persamaan persamaan
ini dapat ditampilkan secara grafis sebagai respon permukaan yang dapat
digunakan dalam tiga cara, yaitu 1) untuk menggambarkan bagaimana faktor
dapat mempengaruhi respon; 2) untuk menentukan hubungan inter-relasi antar
faktor; dan 3) untuk menggambarkan efek gabungan dari respon seluruh faktor.
Box et al. (1978) menyatakan bahwa RSM memiliki beberapa sifat
menarik, diantaranya: (a) RSM merupakan suatu pendekatan sequensial. Hasil
dari setiap tahapan akan memandu percobaan yang perlu dilakukan pada tahap
berikutnya. Setiap tahapan pengulangan (iterasi) hanya memerlukan sejumlah
kecil percobaan, sehingga menjamin peneliti terhindar dari percobaan yang tidak
produktif; (b) RSM mengantarkan fokus penelitian dalam bentuk geometri yang
dapat segara dipahami dengan mudah. Hasil RSM berupa ringkasan grafik dan
plot-plot kontur merupakan suatu bentuk penyajian yang paling efektif dan mudah
dicerna dibandingkan dengan persamaan-persamaan matematis; (c) RSM dapat
diaplikasikan pada berbagai peubah. Box dan Draper (1987) menambahkan bahwa
RSM telah terbukti sangat berguna dalam penyelesaian sejumlah besar problem
dan dapat diaplikasikan dalam : (a) pemetaan permukaan dalam wilayah yang
terbatas; (b) pemilihan kondisi operasi untuk mendapatkan spesifikasi yang
diinginkan; dan (c) pencarian kondisi-kondisi yang optimal.
Tampilan persamaan-persamaan ini dalam bentuk grafik disebut sebagai
permukaan respon. Permukaan respon adalah bentuk geometri yang didapatkan
jika suatu peubah respon diproyeksikan sebagai fungsi dari satu atau beberapa
peubah kuantitatif (Mason et al.1989). Plot kontur adalah suatu seri garis atau
kurva yang mengidentifikasi nilai-nilai peubah uji pada respon yang konstan.
Plot-plot kontur ini dapat dibuat dengan beberapa cara. Jika fungsi respon cukup
rumit, maka penyelesaiannya secara langsung dapat dilakukan dengan menghitung
nilai-nilai respon pada jaringan nilai-nilai dari dua peubah uji. Sebagai ganti
memproyeksikan titik-titik, nilai nilai numerik respon dapat diproyeksikan pada
suatu grafik sebagai fungsi dari dua peubah; yaitu kedua aksis yang
mempresentasikan nilai peubah uji dan nilai numerik respon yang dihitung pada
titik potong kedua nilai peubah yang digunakan. Selanjutnya kontur dapat
diperkirakan dengan menginterpolasikan antar nilai-nilai peubah respon.
25
Suatu model permukaan respon menggambarkan bentuk funsional suatu
permukaan respon. Model-model permukaan respon dapat didasarkan pada
pertimbangan teoritis atau empiris. Jika suatu model teoritis tidak dapat
dinyatakan secara spesifik dalam suatu percobaan, maka model-model polinomial
sering digunakan untuk memperkirakan permukaan respon tersebut. Polinomial
kuadratik dapat memberikan perkiraan yang berguna untuk berbagai aplikasi.
Model-model permukaan respon dan model-model regresi pada umumnya
dapat disesuaikan dengan dua tipe data yakni data pengamatan dan data yang
diperoleh dari percobaan yang terancang baik. Penyesuaian data pengamatan
dengan model permukaan respon memiliki beberapa kelemahan potensial, antara
lain : (a) umumnya terdapat problem yang berkaitan dengan kolinearitas antar
peubah uji, (b) pengaruh peubah uji yang penting mungkin tidak dijumpai karena
bervariasi dalam kisaran yang sangat sempit, (c) meskipun pengaruh yang
signifikan teridentifikasi, namun penyebabnya tidak dapat dikonfirmasi karena
peubah uji yang nyata dapat menjadi pengganti bagi peubah-peubah yang tidak
diamati atau dikendalikan, (d) perlu upaya yang berlebihan berkaitan dengan galat
data kasar, nilai-nilai yang hilang, dan periode pengumpulan data yang tidak
konsisten.
Sebagian problem yang berkaitan dengan data pengamatan diuraikan di
atas untuk menekankan pentingnya rancangan secara statistik untuk memenuhi
kriteria tujuan, pengaruh faktor, ketepatan, efisiensi, dan keteracakan. Sementara
itu data yang diperoleh dari percobaan yang dirancang menggunakan rancangan
komposit pusat dapat digunakan secara efisien dan memenuhi model permukaan
kuadratik penuh.
RSM juga merupakan metode yang mengeksplorasi hubungan dari
masing-masing unsur dalam penelitian misalnya hubungan suatu hasil penelitian
dengan sejumlah peubah yang diduga dapat mempengaruhi hasil tersebut. Teknik
optimasi RSM bekerja didasarkan pada proses atau siklus: pengetahuan, gagasan,
analisis desain dan percobaan berulang. Jadi RSM merupakan teknik optimasi
yang sangat berguna untuk investigasi proses yang kompleks. Adapun kegunaan
teknik optimasi RSM adalah:
26
1. Dapat menentukan kombinasi optimum dari faktor (peubah bebas) yang
akan menghasilkan respon (peubah tidak bebas) yang diinginkan dan dapat
menggambarkan bahwa respon mendekati optimum.
2. Dapat menentukan bagaimana suatu pengukuran respon tertentu
dipengaruhi oleh perubahan fakto-faktor pada level tertentu.
3. Dapat menentukan level faktor yang akan menghasilkan sekumpulan
spesifikasi yang diinginkan secara simultan.
Response surface methodology (RSM) adalah kumpulan teknik matematik
dan statistik yang digunakan untuk membentuk model dan menganalisis masalah
dalam suatu respon yang dipengaruhi oleh beberapa peubah dan bertujuan untuk
mengoptimalisasi respon ini (Box et al. 1978). Dalam banyak masalah RSM,
bentuk hubungan antara respon dan peubah bebas tidak diketahui. Jadi langkah
pertama adalah mendapatkan suatu pendugaan yang cocok untuk fungsi yang
sebenarnya antara y dan himpunan bebasnya. Untuk pendugaan ini biasanya
digunakan suatu polinomial orde rendah. Jika respon telah dimodelkan dengan
baik oleh fungsi linier dari peubah bebasnya, maka fungsi yang diduga adalah
model ordo pertama.
Y = β0 + βiXi + β2X2 + …….+ βkXk + ε ……………..………(14)
Jika ada lengkungan dalam sistem, maka polinomial dengan orde yang lebih
tinggi harus digunakan, seperti pada model orde kedua.
Y = β0 + ∑βiXi + ∑β2X2 + …….+ ∑βkXk + ε …………………(15) i= 1 i= 1 i< 1
Hampir semua persoalan RSM menggunakan salahsatu dari kedua model
ini. Memang model polinomial ini bukan satu-satunya model untuk menduga
hubungan fungsi sebenarnya, tetapi untuk wilayah yang relatif kecil maka model
ini dapat digunakan dengan baik. Metode kuadrat terkecil juga dapat digunakan
untuk menduga parameter dalam pendugaan polinomial. Analisis permukaan
respon kemudian dibentuk menggunakan pengepasan permukaan. Jika
pengepasan permukaan merupakan suatu pendugaan yang memadai dari fungsi
respon yang sebenarnya, maka analisis dari pengepasan permukaan kira-kira sama
dengan analisis sistem yang sebenarnya (Mongomery 1997).
27
Analisis untuk menduga fungsi respon sering disebut sebagai analisis
permukaan respon yang pada dasarnya mirip dengan analisis regresi yaitu
menggunakan prosedur pendugaan parameter fungsi respon berdasarkan metode
kuadrat terkecil (least square method), hanya saja dalam analisis permukaan
respon diperluas dengan menerapkan teknik-teknik matematik untuk menentukan
titik-titik optimum agar dapat ditemukan respon yang optimum. Penentuan
kondisi operasi optimum diperlukan fungsi respon orde kedua dengan
menggunakan rancangan komposit terpusat dalam mengumpulkan data percobaan.
28
III METODE PENELITIAN
III.1. Kerangka Pemikiran
Aktinomisetes merupakan mikroba penghasil senyawa aktif terbanyak
dibandingkan dengan bakteri ataupun kapang, baik itu senyawa aktif sebagai
antimikroba, antikanker, antivirus, maupun antikolesterol. Eksplorasi senyawa
aktif dari yang berasal dari mikroba, selama ini diambil dari sampel tanah
(teristorial) atau dari tumbuhan. Namun demikian eksplorasi senyawa aktif dari
biota laut seperti hewan, tumbuhan, dan mikroba laut belum banyak dilakukan.
Aktinomisetes tersebar di lingkungan yang berbeda-beda. Pada daerah
kondisi panas, misalnya di daerah yang bersuhu lebih dari 60 °C maka
kemungkinan ditemukannya aktinomisetes thermofil menjadi lebih besar. Di
daerah yang berkadar garam tinggi, akan banyak diperoleh jenis aktinomisetes
yang tahan terhadap kadar garam tinggi. Menurut Lam (2006) peluang untuk
mendapatkan senyawa aktif baru aktinomisetes laut masih sangat besar. Seperti
halnya pada populasi aktinomisetes tanah, kondisi ekosistem laut juga
berpengaruh terhadap jenis populasi aktinomisetes laut. Biodiversitas ekosistem
laut sangat besar, seperti diketahui tingkat kedalaman laut, kadar garam, dan
pertemuan arus laut berpengaruh terhadap populasi biota laut.
Iklim suatu wilayah juga berpengaruh terhadap populasi mikroba. Sebagai
contoh aktinomisetes yang hidup di daerah subtropik menunjukkan jumlah
populasi aktinomisetes yang berbeda dengan daerah tropis. Populasi mikroba pada
daerah tropis biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan daerah subtropis.
Diversitas aktinomisetes berkaitan erat dengan jenis metabolit sekunder
yang dihasilkan, demikian juga habitat mikroba berpengaruh terhadap jenis
metabolit sekunder yang dihasilkan. Dalam spesies yang sama, metabolit sekunder
yang dihasilkan bisa saja berbeda-beda. Ekskresi metabolit sekunder oleh mikroba
merupakan fungsi dari lingkungan mikroba itu berada, dan bukan merupakan
fungsi dari biomassa sel mikroba. Semakin besar keragaman ekologi dalam
habitat tertentu maka tingkat keragaman metabolit sekunder semakin tinggi.
30
Dengan demikian masih banyak peluang untuk mendapatkan senyawa aktif baru
atau spesies baru yang berasal dari aktinomisetes laut.
Penapisan dan isolasi senyawa aktif ditentukan oleh metode isolasi dan
bioassay yang digunakan. Metode isolasi berkaitan dengan medium isolasi dan
metode preparasi sampel, termasuk didalamnya metode pra-perlakuan sampel.
Beberapa strategi yang dapat ditempuh untuk mendapatkan senyawa aktif
potensial adalah sebagai berikut;
• Dilakukan kombinasi beberapa medium isolasi dengan metode pra-
perlakuan sampel.
• Pengambilan sampel dengan mempertimbangkan keadaan lingkungan yang
berbeda-beda.
• Pemilihan mikroba uji pada proses penapisan.
Pada penelitian ini digunakan medium starch–casein agar yang
dikombinasikan dengan penambahan antibiotik (anti bakteri dan antifungi) serta
pra-perlakuan pemanasan dan pengasaman. Menurut Pisano et al. (1989) medium
starch-casein sangat cocok digunakan untuk isolasi aktinomisetes. Aktinomisetes
mampu menghidrolisis pati menjadi glukosa dengan mudah dan cepat untuk
proses pertumbuhannya. Di sisi lain mikroba kontaminan tumbuh lambat dalam
medium pati tanpa penambahan glukosa. Medium starch-casein agar memiliki
keunggulan warna medium agar yang putih. Hal ini memudahkan untuk
mengamati hifa horisontal dan adanya zat pewarna yang dihasilkan oleh
aktinomisetes. Selektifitas medium terhadap aktinomisetes dapat ditingkatkan
dengan penambahan antibiotik dan pra-perlakuan untuk menekan bakteri dan
fungi kontaminan.
Setelah diperoleh isolat yang potensial untuk menghasilkan senyawa aktif
tertentu, maka perlu dilakukan identifikasi mikroba. Disamping untuk mengetahui
spesies isolat yang diisolasi, identifikasi juga mempermudah untuk merunut dan
mempelajari sifat-sifat mikroba terpilih dengan membandingkan mikroba lain
yang memiliki hubungan genetika terdekat. Identifikasi mikroba dapat dilakukan
melalui analisis genetika dengan 16S rRNA. Metode ini memiliki keunggulan
hasil identifikasi yang lebih akurat dibanding metode konvensional dan juga
mempermudah merunut hubungan terdekat dengan mikroba target.
31
Disamping proses isolasi dan penapisan mikroba penghasil antibiotik,
rekayasa proses produksi antibiotika merupakan tahapan yang penting. Teknologi
proses produksi antibiotika mencakup optimasi medium fermentasi, optimasi
kondisi fermentasi, penentuan profil fermentasi, dan proses hilir antibiotik. Profil
fermentasi perlu dilakukan untuk mengetahui karakter mikroba yang digunakan,
khususnya fermentasi yang menggunakan isolat-isolat wild strain. Dalam
optimasi medium fermentasi, penentuan komposisi medium fermentasi menjadi
hal yang penting untuk dipelajari.
Komposisi medium ditentukan oleh pemilihan sumber karbon, sumber
nitrogen dan mineral. Sumber karbon merupakan penyusun konstituen organik sel
dan sumber energi. Sumber karbon merupakan bahan dasar sintesis polisakarida,
protein, lipida, dan asam lemak. Kurang lebih 50% bahan utama penyusun sel
mikroba berasal dari sumber karbon. Selain sebagai sumber energi dan penyusun
sel, sumber karbon juga digunakan sebagai bahan penyusun senyawa metabolit.
Jenis sumber karbon berpengaruh terhadap senyawa metabolit yang dihasilkan.
Sedangkan nitrogen merupakan konstituen pembentuk protein, asam nukleat,
koenzim, DNA, dan RNA. Jenis nitrogen juga berpengaruh terhadap pertumbuhan
dan pembentukan produk Mineral seperti K, Mg, Ca, Fe banyak digunakan
sebagai kofaktor dalam reaksi enzim yang berkaitan dengan proses metabolisme.
Sedangkan mineral fosfat dalam bentuk K2HPO4 dan KH2PO4 banyak digunakan
dalam pembentukan asam nukleat, fosfolipida, ATP dan sebagai buffer.
Penambahan Fe dan Zn dapat meningkatkan produksi aktinomisin, kloramfenikol,
neomisin, penisilin, dan patulin, serta penambahan mineral Mn mampu
meningkatkan produksi basitrasin dan protease (Stanbury dan Whitaker 1987).
Terdapat 2 kategori sumber karbon dan sumber nitrogen, yaitu sumber
karbon kompleks atau sumber nitrogen kompleks, dan sumber karbon sederhana
atau sumber nitrogen sederhana. Sumber karbon dan sumber nitrogen kompleks
biasanya lebih murah dibandingkan sumber karbon dan nitrogen sederhana.
Dalam aplikasinya di industri lebih banyak digunakan sumber karbon dan
nitrogen kompleks. Namun demikian dalam beberapa kasus masih digunakan
sumber karbon dan nitrogen dasar.
32
Dalam proses fermentasi untuk mendapatkan hasil yang paling optimum,
maka terlebih dahulu dipelajari sifat fisiologis dari mikroba tersebut. Sifat
fisiologis mikroba dapat diketahui dengan menentukan kurva pertumbuhan
mikroba, laju pertumbuhan spesifik, laju penggunaan substrat, laju pertumbuhan
biomassa, dan rendemen pembentukan biomassa per massa substrat.
Tahapan proses hilir merupakan rangkaian pencarian senyawa aktif untuk
mendapatkan senyawa aktif murni dan teridentifikasi. Dalam bioproses, tahapan
proses hilir meliputi tahap pemisahan sel, ekstraksi, pemekatan, dan pemurnian
senyawa target. Dalam industri bioproses tahapan proses hilir dapat mencakup
sampai 60% dari total biaya produksi (Stanbury dan Whitaker 1987), sehingga
pemilihan metode pemisahan, pemurnian, dan pemilihan pelarut organik yang
tepat akan menjadi pertimbangan yang sangat penting.
Dalam proses isolasi senyawa aktif yang dihasilkan oleh mikroba, besar
kecilnya aktivitas biologi seperti antibakteri, antikanker, antifungi atau aktivitas
lainnya seperti enzim inhibitor, imunosupresan menjadi hal yang penting untuk
diketahui. Pengukuran daya hambat senyawa aktif terhadap pertumbuhan mikroba
uji biasanya dilakukan dengan menggunakan metode MIC (Minimum Inhibitory
Concentration). Kekuatan daya hambat senyawa aktif juga dapat diketahui dengan
cara membandingkan MIC antibiotik umum seperti tetrasiklin, penisilin,
eritromisin dan lainnya.
Identifikasi dan elusidasi senyawa aktif perlu dilakukan untuk
mendapatkan gambaran struktur dan karakteristik senyawa aktif. Dengan
mengetahui struktur senyawa aktif maka sebagian sifat-sifat kimia dapat
diprediksi untuk aplikasi medis dan dapat ditentukan golongan atau kelompok
senyawa tersebut.
III.2. Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi, Laboratorium Analisa
Kimia, dan Laboratorium Teknologi Gen Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT
dari Bulan September 2007 sampai dengan Bulan Desember 2010.
33
III.3. Bahan dan Peralatan Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi Pepton/Bacto
Pentone (Difco), ekstrak khamir (Difco), ekstrak malt (Oxoid), glukosa (Merck) ,
Marine agar (Difco), Fe (III) sitrat hidrat (Merck), metanol p.a (JT Baker), etil
asetat p.a (JT Baker), kloroform p.a (JT Baker), metanol HPLC (Merck),
kloroform HPLC (Merck), maltosa (Merck), laktosa (Merck), sukrosa (Merck),
molase, dekstrin (Oxoid), asam glutamat (Merck), amonium sulfat (Merck),
kasein hidrolisat/Casamino acid (Difco), K2HPO4 (Merck), MgSO4.7 H2O
(Merck), ZnSO4 7 H2O (Merck), CaCl2.2 H2O (Merck), FeSO4 7 H2O (Merck),
Cu.SO4.5 H2O (Merck), MnCl2.4 H2O (Merck), CuSO4. H2O (Merck), CoCl2.6
H2O (Merck), NaCl, KH2PO4 (Merck), HCl (Merck), NaOH (Merck), DNS
(Sigma), H2SO4 95-97% (Merck), H3BO4 (Merck), silika gel 60 (0,063-
0,200mm) Merck.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi peralatan alat
gelas, rotavapor Buchi 461, microcentrifuge (Tomy/MX-301), incubator shaker
(Takasaki Scientific Instrument), freeze drying (HETO CD 2.5), centrifugal
concentrator (TOMY CC-105), Kjeldahl (Velp Scientifica UDK 132),
Spektrofotometer (Shimadzu UV-160A), HPLC (Waters 2695), 1H & 13C NMR
(Bruker AV-500), FTIR Shimadzu 8300, LCMS (LCT Premier-XE Waters), ABI
300 genetic analyzer (Perkin Elmer), Gallen Kamp Melting Point, Sonicator
Ultrasonic Processor XL 2020, Centrifuge Beckman J2-HS.
34
III. 4. Tahapan Penelitian
Garis besar tahapan penelitian digambarkan diagram alir di bawah ini.
Pra-perlakuan sampel dan Isolasi
aktinomisetes menggunakan medium spesifik
Bioa
ssay
Penapisan & pemilihan isolat potensial
Identifikasi
mikroba dengan DNA sekuen (16S
rRNA)
Produksi senyawa aktif menggunakan isolat terpilih (preparasi kaldu
fermentasi untuk pemurnian senyawa aktif)
Pemanenan
Pemisahan sel dan cairan fermentasi
Ekstraksi
Kromatografi kolom
Prep. HPLC
Bioa
ssay
Senyawa murni
isolat terpilih
Identifikasi / elusidasi & karakterisasi struktur kimia senyawa aktif
Optimasi fermentasi
Gambar 4 Tahapan penelitian isolasi, penapisan, identifikasi, dan karakterisasi aktinomisetes
35
Dari tahapan yang disajikan dalam Gambar 4 dapat dikelompokkan
menjadi 3 tahapan besar dengan beberapa ruang lingkup penelitian seperti yang
disajikan dalam Gambar 5.
AKTIVITAS TAHAPAN KERJA LUARAN
TAHAP I: Isolasi dan penapisan aktinomisetes
Ruang lingkup penelitian : • Pengambilan sampel & pra
perlakuan sampel • Penapisan aktinomisetes
penghasil antibiotik. • Identifikasi aktinomisetes terpilih. • Pemeliharaan isolat
TAHAP II: Fermentasi, purifikasi, elusidasi struktur molekul, MIC
Ruang lingkup penelitian : • Fermentasi untuk preparasi
ekstrak kaldu fermentasi • Purifikasi ekstrak kaldu
fermentasi • Elusidasi struktur molekul
(menggunakan LCMS, 1H NMR, DEPT, FTIR dan 13C NMR) dan penentuan titik leleh senyawa aktif.
• Penentuan MIC terhadap mikroba uji
TAHAP III: Optimasi medium fermentasi, serta profil fermentasi.
Ruang lingkup penelitian : • Penentuan suhu dan pH awal
proses fermentasi yang optimum • Optimasi medium fermentasi.
(penentuan komposisi sumber karbon, nitrogen, dan mineral terbaik) menggunakan Surface Response Methodology
• Penentuan kurva pertumbuhan, μmaks, dan Yx/s, profil fermentasi
Diperoleh isolat aktinomisetes
Diperoleh komposisi medium fermentasi yang optimum untuk produksi antibiotik serta profil fermentasi.
teridentifikasi yang memiliki potensi penghasil antibiotik
Diperoleh antibiotik yang terelusidasi struktur molekul dan MIC nya
Gambar 5 Aktivitas dan ruang lingkup penelitian
36
III.4.1. Pra-perlakuan Sampel dan Isolasi Aktinomisetes
Metode isolasi yang digunakan mengacu pada metode yang dilakukan oleh
Mincer et al. (2005) yang dimodifikasi. Namun demikian sebelum dilakukan
proses isolasi aktinomisetes, terlebih dahulu dilakukan percobaan pendahuluan
untuk menentukan metode pra-perlakuan sampel yang paling tepat, yang meliputi
(1) tanpa pra-perlakuan (kontrol), (2) pra-perlakuan dengan metode heat shock
yang dilakukan dengan memanaskan sampel selama 4 jam pada suhu 60 °C
(Pisano et al. 1986), (3) pengasaman sampel yang dilakukan dengan cara
mengasamkan sampel sampai dengan pH 2 menggunakan asam klorida, dan
didiamkan selama 2 jam, selanjutnya dinetralkan kembali menggunakan NaOH.
(4) Pemanasan sampel (metode ke-2) yang dikombinasikan dengan penambahan
100 μg mL-1 sikloheksimid dan 25 μg mL-1 nistatin, (5) Pengasaman sampel
(metode ke-3) yang dikombinasikan dengan penambahan 100 μg mL-1
sikloheksimid dan 25 μg mL-1 nistatin, (6) Metode ke-4 yang dikombinasikan
dengan penambahan 20 μg mL-1 asam nalidiksat dan 5 μg mL-1 rifampisin. (7)
Metode ke-5 yang dikombinasikan dengan penambahan 20 μg mL-1 asam
nalidiksat dan 5 μg mL-1 rifampisin. (8) Metode ke-4 yang dikombinasikan
dengan penambahan 40 μg mL-1 asam nalidiksat dan 10 μg mL-1 rifampisin (9).
Metode ke-5 yang dikombinasikan dengan penambahan 40 μg mL-1 asam
nalidiksat dan 10 μg mL-1 rifampisin. Antibiotik ditambahkan setelah medium
agar disterilisasi. Komposisi medium isolasi adalah sebagai berikut; 10 g soluble
starch, 2 g pepton, 4 g ekstrak khamir, 16 g agar dalam 1000 mL air laut. Sampel
yang digunakan untuk percobaan pendahuluan adalah sampel dari Pantai Anyer
Banten. Setelah diperoleh metode pra-perlakuan sampel yang paling tepat,
selanjutnya digunakan untuk proses isolasi aktinomisetes pada tahap selanjutnya.
Pengambilan sampel diambil dari tiga lokasi pantai, antara lain dari pantai
utara Cirebon, Desa Gebang (koordinat 6°48'37"S 108°45'27"E), Pantai Anyer
Banten (koordinat 6°3'19"S 105°54'29"E) dan Pantai Kukup Gunung Kidul
Yogyakarta (koordinat 8°8'3"S 110°33'19"E ) dengan kedalaman rata-rata 0,5
sampai dengan 1 m. Sebanyak 5 g masing-masing sedimen sampel disimpan
dalam falcon tube 14 mL dan diletakkan dalam dryice box selama pengambilan
37
sampel di lapangan. Selanjutnya sedimen sampel dicuci dengan menggunakan air
demineral steril dan dilakukan pra-perlakuan dengan menggunakan metode yang
telah dipilih dalam percobaan pendahuluan. Cairan sampel yang telah mengalami
pra-perlakuan selanjutnya diencerkan secara seri dari 10-1 sampai dengan 10-5.
Sebanyak 0,1 mL sampel yang telah diencerkan, disebarkan pada permukaan agar
medium isolasi. Komposisi medium agar untuk isolasi adalah sebagai berikut; 10
g soluble starch, 2 g pepton, 4 g ekstrak khamir, 16 g agar dalam 1000 mL air laut
(Pisano et al. 1989).
Medium isolasi yang telah diinokulasikan diinkubasi di dalam inkubator
dengan suhu 30 °C selama kurang lebih 25 hari. Koloni tunggal dipilih dan
dimurnikan kembali dengan melakukan pemindahan koloni ke dalam medium
baru yaitu dengan medium marine agar sampai diperoleh koloni tunggal.
Masing-masing koloni diberi kode sesuai dengan asal lokasi sampling. Kode A
digunakan untuk sampel dari Pantai Anyer Banten, kode YK berasal dari pantai
Kukup Yogyakarta, Kode PCl berasal dari pantai utara Cirebon Desa Gebang.
Isolat yang telah dimurnikan dari hasil isolasi disebarkan kembali dalam
medium marine agar untuk proses peremajaan sebelum digunakan untuk proses
fermentasi. Sebagian isolat murni yang telah diremajakan dipindahkan dalam
gliserol 15% dan disimpan dalam suhu -40 °C untuk proses preservasi. Kultur
stok yang akan digunakan diremajakan lagi sebelum digunakan untuk fermentasi.
III.4.2. Kultur Vegetatif dan Fermentatif pada Proses Penapisan dan
Penggandaan Skala untuk Preparasi Ekstrak Fermentasi.
Sejumlah koloni yang telah dimurnikan dikulturkan (vegetatif) dengan
menggunakan medium ekstrak khamir-ekstrak malt (YEME). Inkubasi kultur
vegetatif dilakukan selama 48 jam pada suhu 30 °C dengan komposisi medium:
pepton 5 g L-1, ekstrak khamir 3 g L-1, ekstrak malt 3 g L-1, glukosa 10 g L-1, air
demineral 250 mL, and air laut 750 mL. Sebelum sterilisasi, pH medium diatur
pada 7,6 dengan menggunakan NaOH 0,1 N dan HCl 0,1 N. Sepuluh persen (v/v)
medium vegetatif diinokulasikan ke dalam medium fermentatif. Komposisi
medium fermentatif adalah sebagai berikut; pepton 5 g L-1, ekstrak khamir 1 g L-
38
1, Fe (III) citrate hydrate 0,3 g L-1, air demineral 250 mL, dan air laut 750 mL
(Kanoh et al. 2005). Sebelum sterilisasi, pH medium diatur pada 7,6. Fermentasi
dilakukan pada suhu 30 ºC selama 144 jam dengan kecepatan agitasi 200 rpm
menggunakan incubator shaker. Volume kerja kultur vegetatif dan fermentatif
pada tahap penapisan dilakukan pada volume 3 mL dalam BD falcon (around
bottom) volume 14 mL.
Preparasi ekstrak kaldu fermentasi untuk uji aktivitas aktinomisetes
(bioassay) pada tahap penapisan, dilakukan dengan cara mengeringkan 3 mL
kaldu fermentasi dengan metode kering beku, selanjutnya ditambahkan 3 mL
metanol dan divorteks selama 15 menit. Biomassa dan supernatan dipisahkan
menggunakan sentrifugasi pada kecepatan 14000 x g selama 15 menit.
Pada tahap penggandaan volume fermentasi untuk preparasi kaldu
fermentasi, medium vegetatif dan fermentatif adalah sama dengan medium
vegetatif dan fermentatif proses penapisan, namun volume kerja kultur vegetatif
dilakukan pada volume masing-masing 100 mL dalam labu erlenmeyer 250 mL
sebanyak 5 labu erlenmeyer dan fermentasi dilakukan selama 48 jam pada suhu
30 °C dengan kecepatan agitasi sebesar 150 rpm. Sedangkan tahap fermentatif
volume kerja masing-masing 1 l dalam labu erlenmeyer 2 l sebanyak 5 labu
erlenmeyer. Sebelum sterilisasi pH medium diatur pada 7,6. Fermentasi dilakukan
pada suhu 30 ºC selama 144 jam dengan kecepatan agitasi sebesar 150 rpm.
III.4.3. Uji Aktivitas Antimikroba (Bioassay)
Penapisan aktinomisetes penghasil antimikroba dan uji aktivitas antimikroba
(bioassay) dilakukan dengan metode difusi agar dengan menggunakan kertas
cakram diameter 6 mm. Mikroba uji yang digunakan adalah Escherichia coli
ATCC 25922, Staphylococcus aureus ATCC25923, Pseudomonas aeruginosa
ATCC27853, Bacillus subtilis ATCC 66923, Candida albicans BIOMCC00122
and Aspergillus niger BIOMCC00134. Escherichia coli ATCC 25922,
Staphylococcus aureus ATCC25923, Pseudomonas aeruginosa ATCC27853, dan
Bacillus subtilis ATCC 66923 ditumbuhkan pada medium nutrient agar dan
39
Candida albicans BIOMCC00122 dan Aspergillus niger BIOMCC00134.
ditumbuhkan pada Potato Dextrose Agar.
Sebanyak 15 μL ekstrak sampel diteteskan dalam kertas cakram, kemudian
dikeringkan dengan cara diangin-anginkan. Selanjutnya diletakkan pada
permukaan agar yang telah diinokulasikan 15 μL (106 sel mL-1) mikroba uji per
cawan petri. Inkubasi dilakukan pada suhu 30 °C selama 24 jam. Zona bening
yang terbentuk diukur diameter zonanya (Prescott et al. 2002)
III. 4.4. Analisis Sekuen Gen 16S rRNA
Isolat murni hasil preservasi dalam gliserol stok diremajakan kembali dan
dilakukan identifikasi. Identifikasi didasarkan pada analisis 16S rRNA. DNA
diisolasi dengan menggunakan FastPrep, kit khusus untuk isolasi DNA. Sampel
dilisis menggunakan lysing matrix kit dan dihomogenasi menggunakan FastPrep
selama 40 detik pada 4500 rpm.
Amplifikasi DNA dikerjakan menggunakan PCR dengan primers 8 F dan
1492R. PCR yang mengandung primer 8F dan 1492R ditambahkan ke dalam
larutan DNA, selanjutnya dipurifikasi menggunakan kit ekstraksi Gel/DNA. Gen
16S rRNA yang diperoleh selanjutnya dilakukan sekuen DNA menggunakan
Dye® terminator V 3.1 cycle sequencing kit. Peralatan DNA sekuen yang
digunakan adalah ABI 300 genetic analyzer. Selanjutnya sekuen yang diperoleh
dibandingkan dengan database yang tersedia dalam NCBI menggunaan BLAST
search engine http://blast.ncbi.nlm.nih.gov/Blast.cgi. Pohon filogenik dibuat
menggunakan program ClustalW (Mega 3.1) dengan membandingkan beberapa
DNA sekuen dari spesies aktinomisetes yang diperoleh dari database gen di
NCBI. Analisis digunakan metode neighbor-joining dengan bootstrap dataset 100
kali pengulangan yang telah tersedia dalam program Mega 3.1.
III.4.5. Pemisahan dan Pemurnian Senyawa Aktif Kaldu Fermentasi
Proses pemisahan dan pemurnian dilakukan dengan mengikuti metode
Shindo et al. (1995) yang dimodifikasi. Kaldu fermentasi yang mengandung
40
campuran sisa medium, biomassa, dan senyawa aktif dipisahkan padatannya
dengan sentrifugasi pada kecepatan 14000 x g selama 15 menit. Fase padat
(biomassa) dipisahkan dari cairannya dan dilakukan pemecahan sel dengan
sonikator. Padatan sel diekstraksi menggunakan metanol dua kali. Fasa cair
(supernatan) diekstraksi menggunakan etil asetat dengan perbandingan volume
yang sama, dan ekstraksi dilakukan sebanyak 2 kali. Ekstrak supernatan dan
biomassa dipekatkan dengan rotavapor sampai diperoleh ekstrak pekat.
Ekstrak yang sudah dipekatkan selanjutnya difraksinasi menggunakan
kromatografi kolom (φ25 x 500 mm), dengan fasa diam yang digunakan adalah
silika gel 60 (0,063-0,200mm) dan fasa gerak yang digunakan campuran metanol-
kloroform, dengan elusi gradien bertahap dari kloroform:metanol (100%:0)
berubah dengan berkurangnya 10% kloroform, sampai diperoleh elusi
kloroform:metanol (0:100%). Sebanyak 30 fraksi dikumpulkan dan diuji
(bioassay) aktivitas antimikrobanya.
Fraksi aktif dimurnikan kembali menggunakan HPLC preparatif. Semua
fraksi hasil pemurnian dengan HPLC preparatif dikumpulkan dan diuji (bioassay)
aktivitas antimikrobanya. Fraksi aktif murni dikumpulkan dan ditentukan bobot
dan struktur molekulnya.
III.4.6. Identifikasi Struktur Kimia Senyawa Aktif
Gugus fungsional senyawa aktif diidentifikasi menggunakan FTIR (Infra
Red Spectrofotometry) (FTIR Shimadzu 8300), bobot molekul senyawa aktif
ditentukan dengan LCMS (Liquid Chromatography Mass Spetrofotometry) (LCT
Premier-XE Waters), hubungan tata letak atom karbon dan proton dideteksi
dengan 13C NMR, DEPT, dan 1HNMR Bruker AV-500 (500 MHz). Titik leleh
(melting point) ditentukan dengan menggunakan Gallen Kamp Melting Point
Bicasa.
41
III. 4.7. HPLC Preparatif
HPLC preparatif dilakukan untuk memurnikan fraksi aktif hasil fraksinasi
dari kromatografi kolom pada tahap pemurnian sebelumnya. Purifikasi
menggunakan HPLC preparatif dilakukan dengan menggunakan Waters 2695
HPLC, dengan detektor Photo Diode Array (PDA), dan jenis kolom puresil 5μ
C18 4,6x150 mm. Volume injeksi sebesar 100 uL per injeksi dibawah kondisi
tekanan 1267 psi, dan kecepatan alir 1 mL menit-1 dengan fasa geraknya adalah
0-45% campuran metanol–air dan selama 25 menit (Kazakevich dan Lobrutto
2007).
III. 4.8. HPLC Analitik
Pada HPLC analitik digunakan kolom analitik Sunfire C18 column (4,6 x
250 mm, Shiseido Co. Ltd., Tokyo, Japan). Fasa gerak yang digunakan adalah
campuran metanol-air (0-100%) dengan elusi linier gradien selama 25 menit dan
selanjutnya elusi isokratik 100% metanol selama 10 menit, dengan kecepatan alir
1 mL menit-1, volume injeksi 10μL, dan diamati pada panjang gelombang λ 210
nm (Kazakevich dan Lobrutto 2007). Kurva standar senyawa aktif dibuat yang
selanjutnya digunakan untuk menentukan konsentrasi senyawa aktif yang akan
ditentukan konsentrasinya. Kurva standar senyawa aktif siklo(tirosil-prolil)
disajikan dalam Lampiran 1.
III. 4.9. Penentuan Minimum Inhibitory Concentration (MIC)
Minimum Inhibitory Concentration (MIC) ditentukan dengan cara
melarutkan senyawa antibiotik hasil purifikasi dalam beberapa konsentrasi, yaitu
dari konsentrasi 6500 μg mL-1, 3250 μg mL-1, 1625 μg mL-1, 812,5 μg mL-1, 406,3
μg mL-1, 203,1 μg mL-1, 101,6 μg mL-1, dan 50,5 μg mL-1. Masing-masing
konsentrasi diuji aktivitasnya menggunakan metode disc diffusion agar. MIC
ditentukan terhadap 4 macam bakteri uji yaitu Escherichia coli ATCC 25922,
Staphylococcus aureus ATCC 25923, Bacillus subtilis ATCC 66923,
42
Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853. Diameter kertas cakram yang digunakan
adalah 6 mm. Zona bening yang terbentuk diukur diameternya. Selanjutnya dibuat
kurva Log [C] (konsentrasi) sebagai sumbu Y terhadap X2 (diameter zona
bening) sebagai sumbu X. Titik potong sumbu Y pada X=0 merupakan nilai Log
MIC. Metode penentuan MIC ini mengikuti Bonev et al. (2008) dan Andrews
(2001).
III.4.10. Penentuan Kurva Pertumbuhan Mikroba pada Fase Vegetatif
Kurva pertumbuhan ditentukan dengan melakukan pengamatan perubahan
biomassa, pH medium,dan gula pereduksi per satuan waktu (jam). Sebanyak 2
Ose isolat terpilih diinokulasikan dalam 15 mL medium ekstrak khamir–ekstrak
malt pada pH 7,6. Jumlah sel dihitung dan ditentukan, sehingga jumlah sel
menjadi kurang lebih 106-108 sel mL-1. Sebanyak 3 % (v/v) kultur pre-vegetatif
diinokulasikan kedalam 100 mL medium vegetatif dalam labu erlenmeyer 250
mL. Komposisi medium vegetatif yang digunakan meliputi; pepton 5 g L-1,
ekstrak khamir 3 g L-1, ekstrak malt 3 g L-1, glukosa 10 g L-1, air demineral 250
mL, and air laut 750 mL. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 30 °C selama 64 jam
dengan kecepatan agitasi sebesar 150 rpm. Pengamatan dilakukan setiap 8 jam
sekali dengan mencatat perubahan parameter yang diamati. Kurva pertumbuhan
diperoleh dengan melakukan plot perubahan biomassa (bobot kering sel), pH, dan
gula reduksi sebagai sumbu Y serta waktu pengamatan masing-masing parameter
pada sumbu X. Waktu transfer fase vegetatif ke fase fermentatif ditentukan pada
saat sebelum berakhirnya fase logaritmik.
III.4.11. Profil Fermentasi Isolat Streptomyces sp. A11
Profil fermentasi dilakukan dengan mengamati perubahan beberapa
parameter seperti pH, biomassa, gula pereduksi, nitrogen total, dan antibiotik yang
dihasilkan selama proses fermentasi. Perubahan parameter tersebut digambarkan
dalam bentuk kurva dengan parameter pH, biomassa, gula pereduksi, nitrogen
total, dan antibiotik diplotkan dalam sumbu Y dan interval waktu pengamatan
43
masing-masing parameter pada sumbu X. Komposisi medium yang digunakan
adalah maltosa 10 g L-1, glukosa 2 g L-1, pepton 5 g L-1, ekstrak khamir 1 g L-1,
Fe.citrate nH2O 0,3 g L-1, pH: 7,6, air demineral 250 mL, air laut 750 mL.
Fermentasi dilakukan dengan menggunakan labu erlenmeyer 250 mL dengan
volume kerja sebesar 100 mL. Fermentasi dilakukan pada suhu 30 °C selama 144
jam dengan kecepatan agitasi 150 rpm. Laju pertumbuhan spesifik maksimum
(μmaks) dan rendemen pembentukan biomassa per massa substrat (Yx/s) juga
ditentukan. Laju pertumbuhan spesifik maksimum (μmaks) diperoleh dari gradien
koefisien arah kurva selama fase eksponensial dari ln X (biomassa) pada sumbu
X terhadap waktu (jam) pada sumbu Y. Rendemen pembentukan biomassa per
massa substrat (Yx/s) diperoleh dari gradien yang dibentuk oleh kurva Xt–Xo pada
sumbu Y versus So-S pada sumbu X (Mangunwidjaya et al. 1994). Pertumbuhan
biomassa, perubahan pH, gula pereduksi, nitrogen total, dan konsentrasi
siklo(tirosil-prolil) diukur dalam setiap interval waktu 8 jam. Prosedur penentuan
konsentrasi gula pereduksi, nitrogen total, dan bobot kering sel berturut-turut
disajikan dalam Lampiran 2, 3, dan 4.
III. 4.12. Penentuan Suhu dan pH Awal Terbaik pada Proses Fermentasi
Suhu terbaik proses fermentasi ditentukan dalam rentang 26, 28, 30, 32,
dan 34 °C. Inkubasi dilakukan dengan menggunakan shaker inkubator. Komposisi
medium fermentasi yang digunakan adalah maltosa 10 g L-1, glukosa 2 g L-1,
pepton 5 g L-1, ekstrak khamir 1 g L-1, Fe.citrate nH2O 0,3 g L-1, air demineral
250 mL, dan air laut 750 mL, serta pH medium ditentukan sebelum proses
sterilisasi pada pH 7,6. Fermentasi dilakukan dengan menggunakan labu
erlenmeyer 250 mL dengan volume kerja sebesar 100 mL. Fermentasi lakukan
selama 144 jam dengan kecepatan agitasi 150 rpm, dan kriteria suhu terbaik
dipilih pada suhu fermentasi yang menghasilkan konsentrasi siklo(tirosil-prolil)
paling tinggi.
Penetapan pH awal medium fermentasi terbaik ditentukan dalam beberapa
titik yaitu pH 4,5 ; 5 ; 5,5 ; 6 ; 6,5 ; 7 ; 7,5 dan 8. Variasi pH awal medium
fermentasi diatur sebelum sterilisasi dilakukan. Komposisi medium fermentasi
44
yang digunakan adalah maltosa 10 g L-1, glukosa 2 g L-1, pepton 5 g L-1, ekstrak
khamir 1 g L-1, Fe.citrate nH2O 0,3 g L-1, air demineral 250 mL, dan air laut 750
mL. Fermentasi dilakukan dengan menggunakan labu erlenmeyer 250 mL dengan
volume kerja sebesar 100 mL. Fermentasi dilakukan selama 144 jam dengan
kecepatan agitasi 150 rpm, dan kriteria pH terbaik dipilih pH fermentasi yang
menghasilkan konsentrasi siklo(tirosil-prolil) paling tinggi.
III.4.13. Optimasi Medium Fermentasi
Optimasi medium fermentasi diawali dengan percobaan pendahuluan
untuk mendapatkan jenis sumber karbon, sumber nitrogen, dan mineral terbaik.
Pada penentuan sumber karbon terbaik, komposisi medium utamanya adalah
komposisi menurut Kanoh et al. (2005); pepton 5 g L-1, ekstrak khamir 1 g L-1,
Fe.citrate nH2O 0,3 g L-1, pH: 7,5, air demineral 250 mL, air laut 750 mL yang
ditambahkan 10 g L-1 sumber karbon yang akan diuji. Dalam hal ini jenis sumber
karbon yang diuji adalah glukosa, maltosa, laktosa, sukrosa, molase, dan dektrin.
Penentuan sumber nitrogen terbaik dilakukan dengan komposisi medium
adalah 10 g L-1 glukosa, Fe.citrate hydrate 0,3 g L-1, air demineral 250 mL, air
laut 750 mL, sumber nitrogen dengan bobot masing-masing disesuaikan dengan
nitrogen total seperti yang disajikan dalam Lampiran 5. Sumber nitrogen yang
digunakan antara lain asam glutamat, ekstrak khamir, pepton, amonium sulfat dan
hidrolisat kasein. Konsentrasi masing-masing sumber nitrogen mengacu pada
Kanoh et al. (2005), yaitu konsentrasi nitrogen ditentukan menjadi 0,76 g L-1.
Penentuan komposisi mineral terbaik dilakukan dengan mengacu dari
beberapa sumber literatur yang disajikan dalam Tabel 2. Kompisisi medium
fermentasi untuk penentuan mineral terbaik adalah komposisi medium menurut
Kanoh et al. (2005) yang dimodifikasi; glukosa 10 g L-1, pepton 5 g L-1, ekstrak
khamir 1 g L-1, Fe.citrate hydrate 0,3 g L-1, pH: 7,5, air demineral 250 mL, air
laut 750 mL. Proses fermentasi penentuan sumber karbon, nitrogen, dan mineral
terbaik dilakukan selama 144 jam dengan volume kerja 100 mL dalam labu
erlenmeyer 250 mL, suhu 30 °C, dengan kecepatan agitasi 150 rpm. Kriteria
45
yang digunakan untuk menentukan sumber karbon, sumber nitrogen, dan mineral
terbaik adalah yang menghasilkan konsentrasi siklo(tirosil-prolil) paling tinggi.
Tabel 2 Komposisi mineral yang digunakan dalam medium fermentasi
No
Mineral
Komposisi
1 Komposisi mineral menurut Sousa et al. (2001)
K2HPO4 1 g L-1, MgSO4.7 H2O 0,025 g L-1, ZnSO4 7 H2O 0,025 g L-1, CaCl2.2 H2O 0,025 g L-1, FeSO4 7 H2O 0,025 g L-1.
2 Komposisi mineral menurut Furtado et al. (2005)
KH2PO4 0,6 g L-1, Mg.SO4.7 H2O 5 g L-1, Cu.SO4.5 H2O 0,001 g L-1, FeSO4.7 H2O 0,003 g L-1
3 Komposisi mineral menurut Dhananjeyan et al. (2010)
K2HPO4 0,1 g L-1, Mg.SO4.7 H2O 0,5 g L-1, CaCl2.2H2O 0,1 g L-1, FeSO4.5H2O 0,05 g L-1
4 Komposisi mineral menurut Voelker & Altaba (2001)
CaCl2.2H2O 0,011 g L-1, FeSO4.5H2O 0,007 g L-1, MnCl2.4 H2O 0,002 g L-1, ZnSO4.7 H2O 0,002 g L-1, CuSO4. H2O 0,0004 g L-1, CoCl2.6 H2O 0,0004 g L-1
5 Komposisi mineral menurut Dharmaraj et al. (2010)
NaCl 0,8 g L-1, NH4Cl 1 g L-1, KCl. 0,1 g L-1
, KH2PO4 0,1 g L-1
, 0,2 g L-1 MgSO4. 7H2O, 0,04 g L-1
CaCl22H2O.
Komposisi medium yang digunakan dalam optimasi medium fermentasi
menggunakan Response Surface Methodology meliputi 3 variabel terpilih, yaitu
sumber karbon, nitrogen, dan mineral, ditambah 2 g L-1 glukosa, air demineral
250 mL, air laut 750 mL. Keasaman medium fermentasi diatur pada pH 7,5
sebelum dilakukan sterilisasi. Fermentasi dilakukan dengan menggunakan labu
erlenmeyer 250 mL dengan volume kerja sebesar 100 mL. Fermentasi dilakukan
selama 144 jam dengan kecepatan agitasi 150 rpm. Ketiga variabel terpilih
digunakan sebagai variabel bebas. Sedangkan konsentrasi senyawa aktif yang
dihasilkan akibat dari perlakuan 3 variabel bebas tersebut merupakan respon yang
akan dicari dalam penelitian ini. Rancangan percobaan untuk mendapatkan data
respon yang muncul akibat dari perlakuan digunakan metode Central Composite
46
Design. Selanjutnya untuk menentukan daerah optimum pada respon digunakan
metode permukaan respon (Response Surface Methodology). Untuk membantu
penyelesaian optimasi ini akan digunakan perangkat lunak Design Expert 7.
Kisaran dan taraf variabel yang diuji pada optimasi disajikan dalam Tabel 3.
Tabel 3 Kisaran dan taraf variabel yang diuji pada optimasi komposisi medium
Kisaran dan taraf Variabel yang diuji
-1,68 -1 0 1 1,68
Konsentrasi sumber karbon (g L-1) 21,6 25 30 35 38,4
Konsentrasi sumber nitrogen (g L-1) 6,64 8 10 12 13,36
Penambahan mineral (mL larutan stok per liter kaldu fermentasi)
3,3 5 7,5 10 11,7
Dalam studi ini digunakan 8 titik faktorial fraksional 23-1, 6 titik bintang,
dan 6 titik pusat, sehingga total percobaan adalah 20 percobaan. Nilai pusat
perlakuan yang digunakan adalah konsentrasi sumber karbon 30 g L-1, konsentrasi
nitrogen 10 g L-1, dan konsentrasi mineral adalah 7,5 mL L-1. Tabel 4
menunjukkan matrik satuan-satuan percobaan pada optimasi medium fermentasi
dalam kode dan nilai asli. Dengan 3 variabel yang diuji maka model kuadratiknya
persamaan sebagai berikut (Mongomery 1997).
Y = bo + b1X1i + b2 X2i + b3 X3i + b11X1i2 + b22X2i
2 + b33X3i2 + b12X1iX2i +
b12X1iX2i + b13X1iX3i + b23X2iX3i
Keterangan : Y = konsentrasi senyawa aktif (mg L-1)
X1 = konsentrasi sumber karbon (g L-1)
X2 = konsentrsi sumber nitrogen (g L-1)
X3 = volume penambahan mineral (mL).
47
Tabel 4 Matrik Central Composite Design yang mengandung 20 percobaan dengan 3 variabel percoban dalam kode unit.
No.
X1
X2
X3
Koefisien yang diuji
Respon(Y)
1 1 1 1
2 1 -1 -1
3 -1 1 -1
4 1 1 -1
5 1 -1 1
6 -1 1 1
7 -1 -1 1
8 -1 -1 -1
Fraksional 23-1 faktorial design
9 -1,68 0 0
10 0 -1,68 0
11 0 0 -1,68
12 1,68 0 0
13 0 1,68 0
Konsentrasi siklo(tirosil-prolil) (mg L-1)
14 0 0 1,68
Titik bintang (6 titik)
15 0 0 0
16 0 0 0
17 0 0 0
18 0 0 0
19 0 0 0
20 0 0 0
Titik pusat (6 titik)
48
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1. Perlakuan Sampel untuk Isolasi Aktinomisetes
Sebelum dilakukan isolasi aktinomisetes, terlebih dahulu dilakukan
penelitian pendahuluan untuk menentukan metode pra-perlakuan sampel yang
paling tepat. Pra-perlakuan sampel dilakukan untuk mengurangi pertumbuhan
mikroba yang tidak dikehendaki (mikroba kontaminan), sehingga proses isolasi
aktinomisetes menjadi lebih mudah. Sampel yang digunakan untuk penentuan
metode pra-perlakuan ini adalah sampel yang diambil dari Pantai Anyer Banten.
Hasil pra-perlakuan sampel isolasi aktinomisetes disajikan dalam Tabel 5.
Pra-perlakuan ke-1 sampai dengan ke-5 menunjukkan mikroba
kontaminan menutup seluruh permukaan medium agar (Tabel 5). Hal ini akan
menekan pertumbuhan aktinomisetes dan mempersulit proses pengambilan koloni
aktinomisetes. Pra-perlakuan dengan pemanasan dan pengasaman diharapkan
dapat menekan pertumbuhan bakteri Gram-negatif yang banyak terdapat di air
laut. Dibandingkan dengan metode 1 sebagai kontrol, metode pemanasan dan
pengasaman mampu menekan bakteri kontaminan, terbukti kecepatan
pertumbuhan bakteri kontaminan lebih lambat dibandingkan dengan kontrol
(metode ke-1). Namun demikian metode pemanasan dan pengasaman belum
efektif untuk digunakan dalam isolasi ini, karena pada hari ke-3 permukaan
medium agar masih dipenuhi oleh bakteri kontaminan, koloni aktinomisetes akan
muncul pada hari ke-15 sampai dengan hari ke-21 (Hozzein et al. 2008;
Dhanasekaran et al. 2009). Seperti halnya metode ke-2 dan ke-3, metode isolasi
dengan penambahan sikoloheksimid dan nistatin pada medium isolasi, belum
dapat menekan pertumbuhan bakteri kontaminan secara keseluruhan. Pada hari
ke-3 pertumbuhan bakteri kontaminan masih menutup seluruh permukaan
medium agar. Sikloheksimid dan nistatin hanya efektif menghambat pertumbuhan
fungi dan khamir. Dengan demikian mikroba yang mampu tumbuh dan
berkembang pada medium yang mengandung sikloheksimid dan nistatin diduga
adalah kelompok bakteri.
50
Tabel 5 Hasil pra-perlakuan sampel pada proses isolasi aktinomisetes.
Metode ke-
Jenis pra-perlakuan Pengamatan pertumbuhan
mikroba kontaminan
Keterangan
1 Tanpa adanya pra-perlakuan (kontrol)
Sangat banyak Inkubasi hari ke-2, seluruh permukaan medium isolasi dipenuhi mikroba kontaminan
2 Pemanasan sampel pada 60 °C selama 4 jam
Banyak Inkubasi hari ke-3, seluruh permukaan medium isolasi dipenuhi mikroba kontaminan
3 Pengasaman sampel pada pH 2 selama 2 Jam
Banyak Inkubasi hari ke-3, seluruh permukaan medium isolasi dipenuhi mikroba kontaminan
4 Pemanasan sampel pada 60 °C selama 4 jam dan penambahan sikloheksimid 100 μg mL-1 dan nistatin 25 μg mL-1
Banyak Inkubasi hari ke-3, seluruh permukaan medium dipenuhi mikroba kontaminan
5 Pengasaman pada pH 2 selama 2 jam dan penambahan sikloheksimid 100 μg mL-1 dan nistatin 25 μg mL-1
Banyak Inkubasi hari ke-3, seluruh permukaan medium dipenuhi mikroba kontaminan
6 Pemanasan pada 60 °C selama 4 jam dan penambahan sikloheksimid 100 μg mL-1, nistatin 25 μg mL-1, asam nalidiksat 20 μg mL-1, rifampisin 5 μg mL-1
Sedang Pertumbuhan koloni terpisah dan tidak tertutup oleh mikroba kontaminan
7 Pengasaman pada pH 2 selama 2 jam dan penambahan sikloheksimid 100μg mL-1, nystatin 25 μg mL-1, asam nalidiksat 20 μg mL-1, rifampisin 5 μg mL-1
Sedang Pertumbuhan koloni terpisah dan tidak tertutup oleh mikroba kontaminan
8 Pemanasan pada 60 °C selama 4 jam dan penambahan sikloheksimid 100 μg mL-1, nistatin 25 μg mL-1, asam nalidiksat 40 μg mL-1, rifampisin 10 μg mL-1
Tidak tumbuh Pertumbuhan koloni aktinomisetes juga tertekan (tidak tumbuh)
9 Pengasaman pada pH 2 selama 2 jam dan penambahan sikloheksimid 100 μg mL-1, nistatin 45 μg mL-1, asam nalidiksat 30 μg mL-1, rifampisin 10 μg mL-1
Tidak tumbuh Pertumbuhan koloni aktinomisetes juga tertekan (tidak tumbuh).
Keterangan : Komposisi medium isolasi; soluble starch 10 g, pepton 2 g, ekstrak khamir 4 g, agar 16 g dalam 1000 mL air laut
51
Selanjutnya penambahan antibiotik rifampisin 5 μg mL-1 dan asam
nalidiksat 20 μg mL-1 terlihat mampu menekan pertumbuhan bakteri Gram-postif
dan Gram-negatif. Kombinasi antara pra-perlakuan pemanasan atau pengasaman
dengan penambahan antibiotik sikloheksimid 100 μg mL-1, nistatin 25 μg mL-1,
asam nalidiksat 20 μg mL-1, rifampisin 5 μg mL-1 mampu menekan pertumbuhan
mikroba kontaminan, sehingga pada inkubasi sampai dengan hari ke-21 beberapa
koloni aktinomisetes dapat tumbuh dan tidak tertutup oleh mikroba kontaminan,
baik itu fungi maupun bakteri lainnya. Namun demikian beberapa koloni fungi
dan bakteri tetap tumbuh dalam medium agar, dan tidak menutup koloni lainnya.
Menurut Seong et al. 2001 pemanasan suspensi sampel pada suhu 70 °C selama
15 menit mampu menurunkan populasi bakteri Gram-negatif dan fungi
kontaminan, serta dapat menaikkan rasio koloni aktinomisetes. Penambahan
nistatin 50 μg mL-1 dan asam nalidiksat 20 μg mL-1 mampu menekan
pertumbuhan fungi dalam medium isolasi. Menurut Pisano et al. (1989)
rifampicin 2,5 μg mL-1 efektif menekan pertumbuhan bakteri Gram-negatif.
Namun demikian komposisi dan konsentrasi antibiotik dalam medium isolasi
yang digunakan akan berbeda tergantung dari biodiversitas mikrooganisme di
dalam sampel. Pada penelitian ini penggunaan pra-perlakuan kombinasi
pemanasan atau pengasaman sampel yang dikombinasikan dengan sikloheksimid
dan nistatin belum sepenuhnya efektif untuk mengurangi sejumlah bakteri
kontaminan. Kombinasi metode pra-perlakuan pemanasan atau pengasaman
dengan penambahan sikloheksimid 100 μg mL-1, nistatin 25 μg mL-1, asam
nalidiksat 20 μg mL-1, rifampisin 5 μg mL-1 dalam medium agar, lebih efektif
menghambat mikroba kontaminan dan meningkatkan jumlah koloni
aktinomisetes. Rifampisin diketahui efektif menghambat bakteri Gram-negatif
dan Gram-positif, serta mampu menghambat mikobakterium yang banyak terdapat
di daerah perairan. Namun demikian pada penambahan konsentrasi rifampisin dan
asam nalidiksat menjadi dua kalinya (pra-perlakuan ke-8 dan ke-9) ternyata
berakibat menghambat pertumbuhan koloni aktinomisetes dan mikroba lainnya.
Sampai dengan inkubasi 21 hari, belum ada koloni aktinomisetes yang mampu
tumbuh pada medium isolasi tersebut. Dengan demikian pada tahap selanjutnya
akan digunakan pra-perlakuan dengan metode ke-6 dan ke-7.
52
IV.2. Isolasi Aktinomisetes
Hasil isolasi aktinomisetes laut yang diambil dari tiga lokasi diperoleh 5
isolat dari pantai utara Cirebon, 29 isolat dari Pantai Anyer Banten, dan 6 isolat
dari Pantai Kukup Gunung Kidul Yogyakarta. Jumlah aktinomisetes yang dapat
diisolasi setiap bobot sampel sedimen laut relatif lebih sedikit dibandingkan
dengan isolasi aktinomisetes dari tanah. Namun demikian potensi untuk
mendapatkan mikroba unggul dari aktinomisetes laut lebih besar karena kondisi
lingkungan laut yang lebih bervariasi dibandingkan di tanah. Menurut Goodfellow
(1983) bahwa walaupun jumlah aktinomisetes yang dapat diisolasi dari laut
cenderung lebih sedikit dibandingkan dari tanah namun demikian karakteristik
aktinomisetes laut lebih bervariasi dan lebih berpotensi.
Pada komposisi medium isolasi dan sejumlah antibiotik yang ditambahkan
sama, maka apabila dilihat dari kedua proses pra-perlakuan yaitu dengan
menggunakan panas (heatshock treatment) dan menggunakan pengasaman (acid
treatment) maka terlihat bahwa pra-perlakuan dengan pemanasan lebih efektif
dibandingkan pra-perlakuan dengan pengasaman. Praperlakuan pemanasan
terbukti mampu menekan pertumbuhan bakteri kontaminan yang biasanya akan
tumbuh pada awal inkubasi. Sebaliknya pra-perlakuan asam terbukti masih
banyak bakteri kontaminan yang tumbuh dan menyebabkan sulitnya proses
pemurnian koloni aktinomisetes. Menurut Hoskisson et al. (2000) perlakuan
pemanasan sampel pada 60 °C mampu meningkatkan 5 kali jumlah spora
Micromonospora echinospora yang dikulturkan dibandingkan tanpa pemanasan.
Disamping mampu menekan bakteri kontaminan perlakuan pemanasan terbukti
mampu meningkatkan aktivasi proses respirasi spora dan memacu penggunaan
senyawa yang digunakan. Apabila pemanasan dinaikkan menjadi 70 °C, maka
waktu yang dibutuhkan untuk proses aktivasi menjadi lebih pendek, namun terjadi
pengurangan jumlah spora yang dikulturkan. Pemanasan sampel pada suhu 50 °C
selama 30 menit tidak berpengaruh tarhadap pertumbuhan spora yang dikulturkan
dibandingkan kontrol. Hal yang sama disampaikan oleh Karwowski (1986) bahwa
pemanasan pada suhu 70 °C dalam waktu lebih dari 30 menit berpotensi
mengurangi jumlah spora yang dapat dikulturkan pada medium isolasi. Hal yang
53
sama dilakukan oleh Seong et al. (2001). Pemanasan suspensi sampel pada 70 °C
dalam waktu lebih dari 30 menit dengan kombinasi penambahan Nistatin 50 μg
mL-1dan asam nalidiksat 20 μg mL-1 mampu menekan pertumbuhan mikroba
kontaminan seperti khamir dan fungi.
Apabila dilihat dari jumlah aktinomisetes yang dapat diisolasi setiap
lokasi pengambilan sampel, terlihat bahwa sampel dari Pantai Anyer Banten
menunjukkan jumlah aktinomisetes terbanyak dibanding dengan sampel dari
pantai Selatan Yogyakarta dan pantai Utara Cirebon. Perbedaan jumlah isolat
yang diperoleh dalam setiap lokasi pengambilan sampel terlihat sangat besar.
Salah satu penyebab sedikitnya isolat aktinomisetes yang mampu diisolasi dari
Pantai Selatan Yogyakarta dan Pantai Utara Cirebon diduga adalah rentang waktu
yang cukup lama antara pengambilan sampel dengan proses penyebaran sampel
dalam medium agar (medium isolasi). Hal ini menyebabkan bakteri kontaminan
tumbuh secara cepat dan bertambah banyak, sehingga mempersulit proses isolasi.
Sebagian besar sampel dari pantai Utara Cirebon dan Pantai Selatan Yogyakarta
menunjukkan pertumbuhan bakteri kontaminan yang cepat dan menutup seluruh
permukaan medium isolasi dalam satu minggu inkubasi yang menyebabkan sulit
tumbuhnya aktinomisetes.
IV.3. Penapisan Aktinomisetes Penghasil Antimikroba
Penapisan aktinomisetes dilakukan untuk menentukan dan memilih isolat-
isolat yang memiliki aktivitas antimikroba. Penapisan aktinomisetes dilakukan
dengan menggunakan uji hambatan terhadap beberapa mikroba uji dengan
metode difusi agar. Mikroba uji yang digunakan adalah Escherichia coli ATCC
25922 dan Pseudomonas aeruginosa ATCC27853 yang termasuk bakteri Gram-
negatif, Staphylococcus aureus ATCC25923 dan Bacillus subtilis ATCC 66923
yang termasuk bakteri Gram-positif, Aspergillus niger BIOMCC00134 yang
termasuk dalam golongan fungi, dan Candida albicans BIOMCC00122 yang
termasuk dalam golongan khamir. Dari 40 isolat yang telah diisolasi diperoleh 4
isolat yang mampu menghambat Escherichia coli ATCC 25922, 5 isolat mampu
menghambat Staphylococcus aureus ATCC25923, 4 isolat mampu menghambat
54
Bacillus subtilis ATCC 66923, 4 isolat mampu menghambat Pseudomonas
aeruginosa ATCC27853, 5 isolat mampu menghambat Candida albicans
BIOMCC00122, dan 4 isolat mampu menghambat Aspergillus niger
BIOMCC00134. Hasil penapisan aktinomisetes selengkapnya disajikan dalam
Tabel 6.
Hasil penapisan memperlihatkan bahwa isolat A11 (isolat dari Pantai
Barat Banten) memiliki daya anti bakteri Gram-positif dan bakteri Gram-negatif
yang kuat. Isolat PCL11, A64, dan YK21 memiliki aktivitas antifungi dan tidak
memiliki aktivitas terhadap bakteri. Isolat A64 menunjukkan hambatan yang
paling kuat terhadap Aspergillus niger BIOMCC00134, dan isolat A44
menunjukkan hambatan paling kuat terhadap Candida albicans BIOMCC00122.
Studi lebih lanjut dipilih isolat A11 yang menunjukkan aktivitas antibakteri paling
kuat. Selanjutnya dilakukan identifikasi morfologi dan filogenik terhadap isolat
A11.
Dilihat dari morfologinya, isolat A11 terlihat memiliki hifa yang
bercabang dengan arah horisontal maupun vertikal dan terdapat beberapa kantong
spora pada ujung hifa seperti yang disajikan dalam Gambar 6a. Dengan mata
telanjang, morfologi A11 terlihat warna putih terang, dengan permukaan yang
berlipat-lipat, hifa yang panjang membentuk miselium dan terbentuk beberapa
hifa antena (aerial hyphae) yang timbul secara vertikal (Gambar 6b), serta
miselium substrat yang berwarna putih kecoklatan yang menembus ke dalam
medium agar. Adanya aerial hyphae dan miselium substrat yang menembus ke
medium agar merupakan salah satu ciri khas Streptomyces. (Goodfellow dan
William 1988). Pada awal pertumbuhan terbentuk koloni tunggal berbentuk bulat,
selanjutnya akan berkembang hifa yang memanjang. Koloni tunggal berbentuk
bulat yang semakin lama diinkubasi diameter koloni akan semakin melebar.
Morfologi isolat Streptomyces sp.A11 disajikan dalam Gambar 6.
55
Tabel 6 Hasil isolasi dan penapisan aktinomisetes penghasil antimikroba. Daya hambatan terhadap bakteri&fungi (diameter zona bening dalam mm) No Kode
isolat Jenis
perlakuan sampel
Lokasi isolasi E.coli S.aureus B.subtilis P.aeruginosa C.albicans A.niger
1 PCL11 HS PUC 7 2 PCL12 HS PUC 3 PCL13 HS PUC 7 7 7 7 4 PCL14 HS PUC 5 PCL15 HS PUC 6 A61 HS PA 7 A62 HS PA 8 A63 HS PA 9 A64 HS PA 15 10 A65 HS PA 11 A66 HS PA 12 A67 A PA 13 A68 A PA 14 A69 A PA 15 A610 A PA 12 16 A611 A PA 17 A11 HS PA 14 15 14 14 18 A12 HS PA 19 A21 HS PA 7 9 20 A23 A PA 21 A24 A PA 22 A31 HS PA 23 A32 HS PA 12 7 24 A33 HS PA 25 A41 HS PA 26 A42 HS PA 27 A43 A PA 10,16 8,67 9,51 28 A44 A PA 10,61 29 A45 A PA 30 A51 HS PA 31 A52 HS PA 32 A53 HS PA 33 A54 HS PA 8,56 8,67 34 A56 A PA 35 YK11 HS PSY 36 YK12 HS PSY 37 YK21 HS PSY 14 38 YK41 HS PSY 9,71 8,71 9,53 9,01 39 YK42 A PSY 40 YK43 A PSY 8,58
Keterangan : PUC : Pantai utara Cirebon PA : Pantai Anyer PSY : Pantai Selatan Yogyakarta HS : Heat shock treatment (perlakuan dengan pemanasan pada suhu 60 °C selama 4 jam) A : Acid treatment (perlakuan sampel dengan pengasaman pada pH 2 selama 2 jam)
56
(a) (b)
Gambar 6 Morfologi isolat Streptomyces sp. A11. (a). Morfologi
Streptomyces sp. A11dengan perbesaran 40x (b). Morfologi Streptomyces sp. A11 tanpa perbesaran.
Menurut Awad et al. (2009) morfologi Streptomyces sp. dapat dilihat dari
hifa antena (aerial hyphae), miselium substrat, bentuk permukaan koloni, dan
warna. Namun demikian identifikasi melalui morfologi saja tidak menunjukkan
hasil yang memuaskan, sehingga perlu dilakukan identifikasi secara genetik
(Annaliesa et al. 2001). Menurut Srinivasan et al. (1991) morfologi Streptomyces,
khususnya pada hifa antena (aerial hyphae) dan miselium substrat bersifat
karakteristik namun demikian dapat berubah bentuknya tergantung dari komposisi
substrat.
Identifikasi secara genetik dilakukan dengan menggunakan 16S rRNA.
Analisa partial sekuens 16S rRNA dari isolat A11 dibandingkan dengan sekuens
seluruh bakteri yang ada didalam database Gen-Bank dengan menggunakan
program BLAST yang diakses dari website http://www.ncbi.nlm.nih. gov/.
BLAST. Dengan menggunakan 16S rRNA diperoleh informasi bahwa isolat A11
memiliki kekerabatan terdekat dengan Streptomyces sp. (homology 100%) kelas
Actinobacteria, ordo Actinomycetales, famili Streptomycetaceae, dan genus
Streptomyces. Urutan nukleotida fragmen gen dan kedekatan (homology) yang
dibandingkan dengan gen spesies lainnya disajikan dalam Lampiran 6.
Analisis dengan pohon filogenik (Gambar 7) yang dikumpulkan dari
beberapa data spesies genus Streptomyces diketahui bahwa isolat ini mempunyai
kedekatan dengan S. tanashiensis subsp.cephalomyceticus yang dikenal banyak
menghasilkan senyawa antimikroba. Isolat S. tanashiensis subsp.
cephalomyceticus dikenal mampu mensintesis TAK-637 (tachykinin receptor
antagonist) (Tarui et al. 2001). Jika dibandingkan dengan Streptomyces
57
indonesiaensis yang berasal dari Indonesia, isolat A11 justru lebih dekat dengan
S. tanashiensis subsp. Cephalomyceticus, S. Microflavus, S. Africanus,
Parastreptomyces abscessus, dan Streptoallomorpha polyantibiotica.
Gambar 7 Pohon filogenik isolat A11 yang didentifikasi sebagai Streptomyces sp.
Setelah dilakukan identifikasi secara morfologi dan filogenik pada isolat
Streptomyces sp. A11, tahap selanjutnya adalah mengetahui aktivitas antibakteri
yang dimiliki oleh isolat tersebut. Uji aktivitas antibakteri dilakukan pada ekstrak
supernatan maupun ekstrak biomassanya. Ekstrak aktif ditunjukkan pada ekstrak
supernatan dan tidak ditunjukkan pada ekstrak biomassa (Tabel 7). Hal ini
menunjukkan bahwa senyawa aktif yang diproduksi oleh isolat A11 bersifat
ekstraselular. Hasil uji aktivitas antimikroba menunjukkan bahwa isolat A11
merupakan isolat yang memiliki aktivitas antibakteri paling kuat, baik bakteri
Gram-positif maupun Gram-negatif (Gambar 8).
58
A B
C D
Gambar 8 Daya hambat senyawa aktif terhadap (A) Bacillus subtilis ATCC
66923, (B) Escherichia coli ATCC 25922, (C) Staphylococcus aureus ATCC25923, (D) Pseudomonas aeruginosa ATCC27853
Tabel 7 Uji aktivitas antimikroba ekstrak supernatan dan biomasa hasil
fermentasi isolat Streptomyces sp. A11 Diameter zona bening (mm)
Sampel Uji
Staphilococcus aureus ATCC 25922
Bacillus subtilis ATCC 66923
Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853
Escherichia coli ATCC 25922
Candida albicans BIOMCC00122
Aspergillus niger BIOMCC00134
Ekstrak biomasa
- - - - - -
Ekstrak supernatan
10,39 24,43 9,64 9,55 - -
kontrol (rifampisin 500 ppm)
21,27 44,57 10,08 10,12 - -
Diameter kertas cakram : 6 mm
Hal yang sama ditunjukkan pada kromatogram HPLC, yaitu kromatogram
hasil analisis ekstrak biomassa tidak menunjukkan adanya puncak, sedangkan
kromatogram hasil analisis ekstrak supernatan menunjukkan beberapa puncak
yang salah satu puncak tersebut adalah senyawa aktif. Kromatogram hasil analisis
ekstrak biomassa dan supernatan disajikan dalam Gambar 9. Pada tahap
selanjutnya ekstrak yang digunakan untuk proses pemurnian dan elusidasi struktur
molekul hanya digunakan ekstrak supernatannya saja.
59
b
AU
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
Minutes5.00 10.00 15.00 20.00
12.1
04
a menit menit
Gambar 9 Kromatogram hasil analisis ekstrak supernatan (a) dan biomassa (b) yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11
IV.4. Pemurnian dan Identifikasi Senyawa Aktif yang Dihasilkan oleh
Streptomyces sp.A11
Sebanyak 5 l kaldu fermentasi yang telah mengalami perlakuan sonifikasi
untuk memecah sel, disentrifugasi pada kecepatan 14000 x g selama 15 menit. Sel
beserta supernatan dipisahkan, dan masing-masing diekstraksi dengan pelarut
organik dan dikeringkan sampai diperoleh bobot konstan. Sebanyak 5 l kaldu
fermentasi diperoleh bobot kering sel sisa ekstraksi sebanyak 4,73 g L-1, bobot
kering ekstrak sel dengan metanol sebanyak 2,72 g L-1 dan bobot kering ekstrak
supernatan dengan etil asetat sebanyak 0,33 g L-1. Ekstrak supernatan yang
terbukti menunjukkan aktivitas antimikroba selanjutnya dipurifikasi dengan
menggunakan kromatografi kolom dan HPLC preparatif. Fraksi-fraksi yang
dihasilkan dalam proses purifikasi dengan kromatografi kolom dan HPLC
prepratif ditampung dan masing-masing fraksi diuji aktivitas antibakterinya untuk
menentukan fraksi mana yang memiliki aktivitas. Selanjutnya untuk mengetahui
profil kromatogram hasil pemurnian maka fraksi aktif dianalisis menggunakan
HPLC analitik. Hasil HPLC analitik menggunakan kolom Water Column
symmetry C18 (4,6 x 250 mm, Part No.WAT054275) menunjukkan bahwa
senyawa aktif hasil pemurnian memiliki kemurnian yang relatif tinggi (Gambar
10a). Senyawa aktif ini dicirikan dengan waktu retensi 12,1 menit dan memiliki
serapan maksimum pada panjang gelombang 210 dan 274,5 nm (Gambar 11b).
60
Menurut Kumar et al. 2009 sebagian besar antibiotik golongan peptida memiliki
serapan panjang gelombang maksimum pada 210-230 dan 270-280 nm. Serapan
pada panjang gelombang 220-230 nm berhubungan dengan karakteristik serapan
ikatan peptida. Kromatogram HPLC analitik dan spektrum serapan UV vis
antibiotik yang telah dimurnikan disajikan dalam Gambar 10a & 10b.
(a)
AU
0.00
1.00
2.00
Minutes5.00 10.00 15.00 20.00
12.0
61
AU
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
nm250.00 300.00 350.00
210.6
274.5
(b)
menit (a)
Gambar 10 (a) Kromatogram HPLC analitik senyawa aktif murni hasil isolasi.
(b) Spektrum serapan UV vis senyawa aktif murni hasil isolasi.
Senyawa aktif murni yang diperoleh selanjutnya ditentukan bobot molekul
dan struktur molekulnya menggunakan LC-MS, 1HNMR, 13C NMR, DEPT 13C
NMR, dan FTIR. Dari hasil analisis menggunakan LC-MS diketahui bahwa
senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat A11 memiliki bobot molekul sebesar
260 g mol-1, pada LC-MS m/z (M+H)+ ditunjukkan sebesar 261 (Gambar 11).
Dari database program LCT Premier-XE Waters menunjukkan bahwa senyawa ini
memiliki 14 atom karbon, 16 atom hidrogen, 2 atom nitrogen, dan 3 atom
oksigen.
61
Gambar 11 Spektrum LC-MS m/z 261 (M+H)+ senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11.
Selanjutnya hubungan tata letak atom karbon dan atom hidrogen ditentukan
menggunakan 1HNMR, 13CNMR, DEPT 13CNMR. Spektrum 1HNMR yang
diperoleh dari Bruker AV-500 (500 MHz) dengan tetramethylsilane (TMS)
sebagai standar internal dalam pelarut metanol-D4 dan memberikan data sebagai
berikut; δH: 4,4 (t, 1H), 4,0(1H, dd), 2,1 (2H, m), 1,8 (2H, m), 3,5 (2H, dd), 3,1
(2H, dd), 7,0 (2H, d), 6,7 (2H, d), dan δC : 170,8 (s), 58,0 (d), 167,0 (s), 60,1 (d),
29,4 (t), 22,5 (t), 45,9 (t), 37,7 (t), 127,7 (s), 132,1 (d), 116,3 (d), 157,7 (s).
Spektrum 1HNMR dan 13CNMR ditunjukkan pada Gambar 12a dan 12b.
62
12. (a)
12.(b)
Gambar 12 Spektrum 1HNMR (a) dan spektrum 13CNMR (b) senyawa aktif
yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11.
63
Dari hasil interpretasi spektrum LC-MS, 1HNMR, dan 13C NMR, diduga
struktur molekul senyawa tersebut adalah seperti yang disajikan dalam Gambar
13.
Gambar 13 Struktur molekul senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat A11
Dua singlet atom karbon yang merupakan atom karbon dari gugus keton
pada δC 170,8 (s)(C1) dan δC 166,9 (s) (C4) (Gambar 12b). Analisis lebih lanjut
dari spektrum 13C, dua atom karbon yang tidak tersubstitusi ditunjukkan pada δC
127,7 (C1’) dan 157,7 (C4’). Enam karbon methine ditunjukkan pada δC 57,9
(C3), 60,1 (C6), 132,1 (C2’), 116,3 (C3’), 116,2 (C5’), 132,1 (C6’), dan empat
karbon methylene ditunjukkan pada δC 29,4 (C7), 22,5 (C8), 45,9 (C9), 37,7
(C10).
DEPT 135° dan 90° (Gambar 14) menunjukkan ada enam karbon methine
[δC 57,9 (C3), 60,1 (C6), 132,1 (C2’), 116,3 (C3’), 116,2 (C5’), 132,1 (C6’)] dan
empat karbon methylene [δC 29,4 (C7), 22,5 (C8), 45,9 (C9), 37,7 (C10)]. Dari
spektrum DEPT 13C NMR terlihat puncak (C6’) tumpang tindih dengan (C2’) dan
(C3’) tumpang tindih dengan (C5’). Hal ini disebabkan posisi (C6’) simetri
dengan (C2’) dan (C3’) simetri dengan (C5’) yang mendapatkan pengaruh atau
gugus tetangga dan awan elektron yang sama besar.
Apabila dilihat dari geseran kimianya, proton pada posisi C3’ dan C5’ lebih
upfield dibandingkan dengan proton pada posisi C2’ and C6’, hal ini disebabkan
karena efek lindungan (shielding effect) dari gugus hidroksi pada posisi C4’ dan
membentuk posisi ortho dengan atom C3’ and C5’. Hal yang sama terjadi pada
C1’ (posisi para dengan C4’) yang tergeser lebih upfield dibandingkan C2’ dan
C6’.
64
Gambar 14 Spektrum DEPT 13C NMR senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11
Hasil analisis menggunakan spektrum infra merah (Gambar 15), pita
karakteristik senyawa ini ditunjukkan pada 3383 cm-1 (N-H), 3227 cm-1 (O-H),
2959 cm-1 (saturated C-H), 1660 cm-1 (C=O), 1515 cm-1 (cincin benzen), 1456
cm-1 (methine), 1344 cm-1 (methylene), 1232 cm-1 (fenol), 1116 cm-1 (C-O), 827
cm-1 (p-disubstituted benzene ring). Pola spektrum infra merah ini sangat mirip
dengan senyawa siklo(tirosil-prolil) yang telah ditemukan sebelumnya oleh Milne
et al. (1992). Informasi yang diperoleh dari spectrum infra merah menguatkan
bahwa senyawa aktif yang diperoleh adalah siklo(tirosil-prolil). Identifikasi
dilanjutkan pada uji titik leleh menggunakan Gallen Kamp Melting Point Bicasa.
Hasil uji menunjukkan bahwa senyawa aktif yang dihasilkan oleh Streptomyces sp
A11 memiliki titik leleh sebesar 140 °C.
65
Gambar 15 Spektrum inframerah senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11
Data spektrum infra merah yang menunjukkan gugus fungsional yang
terdapat dalam senyawa tersebut memperkuat data 13C NMR dan 1H NMR. Data
kombinasi spektrum 13C NMR dan 1H NMR yang menunjukkan posisi atom C
dan atom H pada gugus fungsional yang ditunjukkan oleh spektrum Infra Red
disajikan dalam Tabel 8.
Senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat A11 termasuk dalam kelompok
siklodipeptida dengan nama siklo(tirosil-prolil). Siklo(tirosil-prolil) juga
dihasilkan oleh Alternaria alternate yang digunakan sebagai host-specific
phytotoxin untuk tumbuhan spotted knapweed (Stierle et al.1988) dan dihasilkan
juga oleh Pseudomonas fluorescens GcM5-1A yang diisolasi dari pine wood
nematode (PWN), Bursaphelenchus xylophilus (Guo et al. 2007). Menurut Graz et
al.(2000) disamping memiliki aktivitas antibakteri, siklo(tirosil-prolil) adalah
senyawa yang dapat digunakan untuk mengiduksi pematangan dalam terapi sel
kanker, disamping itu menurut Graz et al.(1999) siklo(tirosil-prolil) juga memiliki
aktivitas dalam pematangan sel gastrointestinal.
Apabila dibandingkan dengan sebelum diperoleh isolat A11 dari Pantai
Anyer Banten, penelitian ini telah mampu memberikan nilai tambah terhadap
66
isolat-isolat mikroba laut yang belum sepenuhnya dimanfaatkan. Dengan
ditemukannya senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) yang dihasilkan oleh isolat
Streptomyces sp.A11 maka ada nilai tambah yang diperoleh dari pemanfaatan
isolat ini. Siklo(tirosil-prolil) memiliki nilai ekonomis yang tinggi, dari daftar
harga Chem-info di dalam (http://www.chem-info.com/trade/sell/Cyclo(-Pro-
Tyr)-518590.html) menunjukkan bahwa harga siklo(tirosil-prolil) murni sebesar
US$ 155 per gramnya. Dengan demikian senyawa ini memiliki potensi untuk
dikembangkan dan diproduksi.
Tabel 8 Data spektrum 13C NMR dan 1H NMR yang menunjukkan
posisi atom C dan H pada gugus fungsionalnya No
δ 13C (ppm) δ 1H (ppm) (dalam MeOD)
Gugus fungsional
1 170,8 (s) CO
N R
2 3 57,9 (d) 4,4 (t) CH
4 166,9 (s) C
ON R
5 6 60,1 (d) 4,0(dd) CH
7 29,4 (t) 2,1 (m) -CH2- 8 22,5 (t) 1,8 (m) -CH2- 9 45,9 (t) 3,5 (dd) CH2 N
10 37,7 (t) 3,1 (dd) -CH2- 1’ 127,7 (s) C R
2’ 132,1 (d) 7,0 (d) =CH- 3’ 116,3 (d) 6,7 (d) =CH- 4’ 157,7 (s) C OH
5’ 116,3 (d) 6,7 (d) =CH- 6’ 132,1 (d) 7,0 (d) =CH-
IV.5. Penentuan Minimum Inhibitory Concentration (MIC) Senyawa Aktif
Siklo(tirosil-prolil)
Minimum Inhibitory Concentration (MIC) merupakan salah satu metode
untuk menentukan daya hambat suatu senyawa tertentu terhadap mikroba uji. MIC
banyak digunakan untuk menguji aktivitas secara in vitro suatu senyawa aktif
67
yang memiliki aktivitas antimikroba Andrews (2001). Pada penelitian ini MIC
ditentukan mengikuti metode Bonev et al. (2008) dan Andrews (2001) yang
dimodifikasi yaitu dengan cara melarutkan senyawa antibiotik hasil purifikasi
dalam beberapa konsentrasi yaitu dari konsentrasi 6500 μg mL-1 sampai dengan
50,5 μg mL-1. Masing-masing konsentrasi diuji aktivitas antibakteri terhadap
bakteri uji menggunakan metode difusi agar. Titik potong sumbu Y pada X=0
dalam kurva yang dibentuk Log [C] (konsentrasi) sebagai sumbu Y melawan X2
(diameter zona bening) sebagai sumbu X merupakan nilai logaritma MIC, dengan
demikian besarnya MIC dapat ditentukan. Hasil penentuan MIC senyawa aktif
siklo(tirosil-prolil) terhadap 4 bakteri uji disajikan dalam Tabel 9, sedangkan
kurva penentuan MIC senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) terhadap 4 bakteri uji
disajikan dalam Lampiran 7.
Tabel 9 Minimum Inhibitory Concentration (MIC) siklo(tirosil-prolil)
Konsentrasi hambatan minimum (MIC) µg mL-1
Sampel Escherichia coli ATCC 25922
Staphylococcus aureus ATCC
25923
Bacillus subtilis ATCC
66923
Pseudomonas aeruginosa
ATCC 27853 Senyawa hasil pemurnian
27 80 74 69
Tetrasiklin (senyawa pembanding) 64 256 128 13
Tabel 9 menunjukkan bahwa senyawa hasil isolasi memiliki daya hambat
yang kuat melawan bakteri Gram-positif maupun Gram-negatif. Terhadap
Escherichia coli ATCC 25922 yang merupakan kelompok bakteri Gram-negatif,
senyawa ini menunjukkan MIC sebesar 27 µg mL-1, demikian juga dengan
Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 menunjukkan MIC sebesar 69 µg mL-1.
Apabila dibandingkan dengan tetrasiklin (kontrol), senyawa hasil isolasi memiliki
daya hambat lebih tinggi terhadap Escherichia coli ATCC 25922, namun daya
hambatnya lebih rendah terhadap Pseudomonas aeruginosa ATCC 2785.
Senyawa hasil isolasi juga memiliki hambatan yang kuat terhadap bakteri Gram-
positif walaupun hambatannya tidak sekuat Escherichia coli ATCC 25922.
Terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 yang merupakan kelompok bakteri
Gram-positif, senyawa hasil isolasi memiliki MIC sebesar 80 µg mL-1 dan
68
terhadap Bacillus subtilis ATCC 66923 memiliki MIC sebesar 74 µg mL-1.
Dibandingkan dengan tetrasiklin, senyawa ini masih lebih tinggi daya hambatnya
terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Bacillus subtilis ATCC 6692.
Menurut Tanaka (2001) dan Rhee (2004) sebagian besar antibiotik golongan
peptida dikenal memiliki daya hambat yang kuat terhadap bakteri Gram-positif
dan bakteri Gram-negatif. Menurut Rhee (2004) cyclo(leu-pro) memiliki MIC
sebesar 16 µg mL-1 terhadap Escherichia coli, MIC 32 µg mL-1 terhadap Bacillus
subtilis, MIC 32 µg mL-1 terhadap Pseudomonas aeruginosa, 64 µg mL-1
terhadap Staphylococcus aureus. Selain memiliki aktivitas antibakteri, siklik
dipeptida juga memiliki aktivitas sebagai anti virus, dan antitumor. Campuran
beberapa siklik dipeptida memiliki efek sinergi terhadap bakteri dan fungi (Rhee
2004).
IV.6. Penentuan Kurva Pertumbuhan Vegetatif Isolat Streptomyces sp.A11
Sebelum dilakukan optimasi proses fermentasi, terlebih dahulu dilakukan
penentuan kurva pertumbuhan vegetatif isolat Streptomyces sp.A11 yang
digunakan sebagai inokulan dalam proses optimasi fermentasi. Kurva
pertumbuhan vegetatif digunakan untuk menentukan waktu yang paling tepat
untuk transfer dari kultur vegetatif ke kultur fermentatif, yaitu pada saat
mendekati akhir dari fase logaritma. Kultur vegetatif bertujuan untuk
memperbanyak sel yang akan digunakan sebagai inokulum pada proses
fermentasi. Medium yang digunakan biasanya didesain untuk perbanyakan sel.
Pada penelitian ini medium yang digunakan untuk penentuan kurva vegetatif
adalah medium khamir ekstrak malt ekstrak (YEME). Medium YEME banyak
digunakan untuk perbanyakan sel dalam kultur cair Streptomyces (Daza et
al.1989). Kurva dan data pertumbuhan vegetatif Streptomyces sp.A11 berturut-
turut disajikan dalam Gambar 16 dan Lampiran 8.
69
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
0 10 20 30 40 50 60 70
Waktu (Jam)
Bio
mas
sa s
el (g
L-1),
gula
(g L
-1),
pH
biomassa gula pH
Gambar 16 Kurva pertumbuhan vegetatif Streptomyces sp.A11
Gambar 16 menunjukkan bahwa fase penyesuaian atau fase lag terjadi
selama kurang lebih 8 jam. Pada fase lag, mikroba mulai menyesuaikan kondisi
dan medium fermentasi. Pada fase ini belum terjadi pertumbuhan sel atau laju
pertumbuhan sel sama dengan nol. Setelah fase lag selesai selanjutnya masuk
pada fase pertumbuhan. Fase pertumbuhan atau logaritma terjadi pada rentang
waktu jam ke-8 sampai dengan jam ke-50. Pada fase ini terlihat juga konsumsi
gula dan pertumbuhan sel yang cepat yang diikuti penurunan pH dalam cairan
medium. Konsumsi gula oleh mikroba mengakibatkan terbentuknya asam-asam
organik hasil hidrolisis gula yang dapat menurunkan derajat keasaman medium
Sanchez et al. (2010). Apabila dilihat dari rentang waktu fase logaritma maka
proses pemanenan sel vegetatif untuk inokulum pada proses fermentasi dilakukan
pada jam ke-40 sampai dengan jam ke-50, yaitu rentang waktu akhir fase
pertumbuhan.
IV.7. Penentuan Profil Fermentasi Isolat Streptomyces sp. A11
Setiap mikroba memiliki profil fermentasi yang khas. Perubahan pH
medium, konsumsi gula, nitrogen, biomass dapat menggambarkan kondisi
fermentasi mikroba tersebut. Profil fermentasi diamati dari beberapa variabel
fermentasi seperti perubahan konsentrasi gula, nitrogen total, pH, biomassa, dan
70
konsentrasi siklo(tirosil-prolil). Kurva dan data profil fermentasi berturut-turut
disajikan dalam Gambar 17 dan Lampiran 9.
Gambar 17 menunjukkan bahwa fase penyesuaian (fase lag) terjadi selama
kurang lebih 8 jam, yaitu dari jam ke-0 sampai dengan jam ke-8. Pada fase ini
tidak terjadi pertumbuhan sel atau laju pertumbuhan sel adalah nol. Walaupun
medium awal fermentasi sudah mengandung glukosa, namun pertumbuhan sel
mikroba masih memerlukan tahap penyesuaian medium. Adanya perbedaan
komposisi medium vegetatif dengan medium fermentatif menyebabkan sistem
metabolisme mikroba menjadi berubah, sehingga dibutuhkan waktu untuk
menyesuaikan kondisi medium yang baru (Wang et al. 1979). Fase logaritmik
terjadi pada jam ke 8 sampai dengan jam ke-40 dengan ditandai penurunan
konsentrasi gula yang diiringi pertumbuhan massa sel yang cepat. Pada fase ini
laju pertumbuhan atau reproduksi selular mencapai titik maksimum (Stanbury dan
Whitaker 1984). Dari hasil perhitungan laju pertumbuhan spesifik maksimal
(µmaks) dan rendemen pembentukan biomassa per massa substrat (Yx/s)
(Lampiran 10a & 10b) menunjukkan bahwa isolat Streptomyces sp.A11 memiliki
laju pertumbuhan spesifik maksimal (µmaks) sebesar 0,04 jam-1 dan rendemen
pembentukan biomassa per massa substrat (Yx/s) sebesar 0,6 gram biomassa per
gram substrat. Apabila dibandingkan dengan laju pertumbuhan spesifik dan
rendemen pembentukan biomassa per massa substrat Streptomyces coelicolor
dalam pembentukan antibiotik actinohordin (Ulgen dan Mavituna 1993),
Streptomyces sp.A11 menunjukkan laju pertumbuhan spesifik dan rendemen
pembentukan biomassa per massa substrat yang lebih besar.
71
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
0 15 30 45 60 75 90 105 120 135 150
waktu (jam)
bobo
t ker
ing
sel (
g.L-1
),gu
la (g
.L-1
), ni
troge
n to
tal (
mg.
mL-1
)x10
-1
0
5
10
15
20
25
30
35
kons
entra
si s
iklo
(tiro
sil-p
rolil
) (m
g.L-1
)
bobot kering sel gula
pH nitrogen total
konsentrasi siklo(tirosil-prolil)
Gambar 17 Profil fermentasi isolat Streptomyces sp.A11
Menipisnya konsentrasi substrat dalam medium fermentasi mengakibatkan
pertumbuhan sel mulai menurun. Pada fase ini terjadi penumpukan produk-produk
metabolisme yang dapat menghambat laju pertumbuhan, selanjutnya mikroba
masuk fase pada tahap stasioner. Pada fase stasioner pertumbuhan selular berhenti
dan menyebabkan terjadinya modifikasi struktur biokimiawi sel serta terjadi
produksi metabolit sekunder (Mangunwidjaja dan Suryani 1994). Pada fase ini
merupakan tahapan penting dalam produksi metabolit sekunder. Mikroba mulai
tertekan pada akhirnya akan terjadi perubahan sistem metabolisme sel untuk
mempertahankan viabilitas sel. Mekanisme reaksi enzim dalam metabolisme yang
pada awalnya lebih banyak mendukung pertumbuhan sel akan berubah menjadi
metabolisme pertahanan diri (Wang et al, 1979). Gambar 17 terlihat bahwa fase
stasioner dimulai jam ke-48, namun demikian produksi siklo(tirosil-prolil) terjadi
mulai jam ke-60 sampai dengan jam ke-135. Terlambatnya fase produksi yang
ditunjukkan dalam kurva pertumbuhan (Gambar 17) diduga karena masih
72
rendahnya konsentrasi siklo(tirosil-prolil) dalam kaldu fermentasi yang tidak
terdeteksi dalam proses analisis.
Pengamatan nilai pH medium fermentasi dapat digunakan untuk
mengetahui adanya aktivitas pertumbuhan sel. Apabila dilihat dari profil
perubahan pH, terlihat bahwa dari jam ke-0 sampai dengan jam ke-45 terjadi
penurunan pH seiring dengan penurunan konsentrasi gula. Hal ini disebabkan
terjadinya hidrolisis gula yang diubah menjadi asam-asam organik yang
menyebabkan suasana medium fermentasi menjadi asam. Dengan demikian secara
tidak langsung bahwa penurunan pH menunjukkan adanya konversi substrat
menjadi senyawa lain seperti asam organik, dan protein. Secara umum penurunan
pH bersamaan dengan penurunan konsentrasi gula. Pengamatan pH setelah jam
ke-45 terjadi kenaikan pH pada medium fermentasi, hal ini disebabkan oleh
terjadinya deaminasi protein yang dapat menyebabkan kondisi kaldu fermentasi
menjadi lebih basa. Menurut Wang et al. (1979) penggunaan sumber nitrogen
organik cenderung memicu naiknya pH fermentasi yang disebabkan oleh
terjadinya deaminasi asam amino. Lisis sel atau rusaknya sebagian sel dalam
medium fermentasi juga dapat mempengaruhi kenaikan pH medium fermentasi.
Sel disusun oleh beberapa protein organik, apabila terjadi kerusakan sel maka
terjadi deaminasi asam amino yang mengakibatkan naiknya pH kaldu fermentasi.
Kisaran pH selama proses fermentasi terlihat pada kisaran pH 5,8-7,6. Nilai pH ini
masih pada batas toleransi aktinomisetes pada umumnya. Menurut Goodfellow et
al. (1988) aktinomisetes mampu tumbuh baik pada kisaran pH 6-8. Actinohordin
yang dihasilkan oleh Streptomyces coelicolor A3(2) memiliki kisaran pH 7,2-8.
Seperti halnya Streptomyces sp. A11, Streptomyces coelicolor A3(2) memiliki
profil pH yang mirip dengan Streptomyces sp. A11. Pada fase eksponensial terjadi
penurunan pH sampai mendekati fase stasioner, selanjutnya terjadi kenaikan pH
sampai dengan pH 8 sampai akhir fermentasi (Ulgen dan Mavituna 1993).
Apabila dilihat dari profil perubahan konsentrasi nitrogen total
menunjukkan bahwa kebutuhan nitrogen terjadi dari awal fermentasi sampai
dengan akhir fermentasi. Pada awal fermentasi, konsumsi nitrogen digunakan
untuk pertumbuhan sel, setelah pertumbuhan berhenti, kebutuhan sumber
nitrogen digunakan untuk pembentukan senyawa-senyawa metabolit melalui
73
reaksi enzimatis dalam proses metabolisme, dan sebagian sumber nitrogen
kompleks dihidrolisis dan digunakan sebagai sumber karbon untuk
mempertahankan viabilitas selnya (Stanbury dan Whitaker 1987). Dalam sistem
metabolisme sel mikroba, nitrogen digunakan sebagai sumber sintesis asam
amino, purin, piridin, protein, DNA dan RNA yang berfungsi menurunkan faktor
genetik (Vogel 1996). Sumber nitrogen juga berperan penting dalam pembentukan
biomassa sel pada fase pertumbuhan, pembentukan metabolit primer dan sekunder
(Aharonowitz 1980).
Sumber nitrogen yang digunakan dalam penentuan profil fermentasi ini
adalah ekstrak khamir dan pepton. Kedua sumber nitrogen ini diketahui mampu
meningkatkan pertumbuhan sel dan pembentukan produk oleh beberapa jenis
mikroba. Kedua sumber nitrogen ini diketahui mengandung beberapa macam
asam amino dan vitamin yang dibutuhkan untuk metabolisme sel (Crueger dan
Crueger 1984). Asam amino yang terdapat dalam ekstrak khamir dan pepton
antara lain asam glutamat, glutamin, arginin, asparagin, prolin, sistein, metionin,
dan fenilalanin (Wang et al. 1978). Disamping mengandung asam amino, ekstrak
khamir juga mengandung beberapa mineral seperti kalsium, magnesium,
potassium, sodium, klorida, fosfat, dan sulfat.
Apabila dilihat dari produktivitas antibiotik, Streptomyces sp. A11
terdeteksi mulai memproduksi metabolit sekunder pada jam ke-60, yaitu rentang
waktu yang telah masuk pada fase stasioner dan tidak terjadi pertumbuhan sel atau
laju pertumbuhan sel sama dengan nol. Hal ini mengindikasikan bahwa senyawa
aktif yang dihasilkan termasuk dalam metabolit sekunder dan bukan metabolit
primer. Seperti diketahui bahwa metabolit sekunder diproduksi tidak berasosiasi
dengan pertumbuhan sel, dan disintesis pada fase stasioner (Mangunwijaya dan
Suryani 1994). Demikian sebaliknya apabila terjadi pertumbuhan sel cepat maka
pada saat itu terjadi represi antibiotik sintetase, sehingga mikroba tidak
menghasilkan metabolit sekunder. Pada fase pertumbuhan, glikolisis lebih
banyak terjadi untuk pembentukan metabolit primer seperti asam organik, asam
amino atau protein, dan asam lemak (Martin dan Demain 1980).
Dilihat durasi fase produksi, siklo(tirosil-prolil) diproduksi selama kurang
lebih selama 75 jam. Setelah memasuki jam ke-135 produktivitas siklo(tirosil-
74
prolil) mulai mengalami penurunan. Durasi fase produksi setiap mikroba adalah
berbeda-beda tergantung pada faktor genetik dan kondisi lingkungannya. Untuk
aktinomisetes dan fungi, fase produksi biasanya lebih panjang dari bakteri.
Apabila tidak ada inhhibitor atau represi lainnya, aktinomisetes dan fungi mampu
memproduksi antibiotik sampai beberapa hari (Martin dan Demain 1980). Sebagai
contoh fermentasi untuk produksi candicidin pada skala indutri, dapat dilakukan
selama 200 jam. Menurut Martin dan Demain (1980) ada 3 hal yang
mempengaruhi berhentinya biosintesis antibiotik, pertama: rusaknya beberapa
enzim jalur biosintesis antibiotik secara ireversibel, kedua: efek umpan balik
akibat akumulasi antibiotik yang dihasilkannya, dan ketiga: berkurangnya
prekursor perantara pada biosintesis antibiotik.
IV. 8. Penentuan Suhu dan pH Awal Terbaik pada Proses Fermentasi
Laju pertumbuhan mikroba dan pembentukan produk sangat dipengaruhi
oleh lingkungan sekitarnya. Setiap mikroba memiliki rentang kondisi optimum
untuk pertumbuhan sel dan produksi metabolit sekunder yang berbeda-beda,
walaupun dalam satu spesies. Suhu dan pH medium merupakan salah satu faktor
yang berpengaruh terhadap pertumbuhan sel maupun produktivitas antibiotik
(Shuler & Kargi 1992). Hal ini disebabkan pH dan suhu dapat mempengaruhi
kinerja membran sel mikroba, enzim dan komponen intraselular lainnya
(Judoamidjojo et al. 1992).
Ada tiga jenis pembagian mikroba didasarkan pada suhu optimum untuk
pertumbuhan atau produksi. Pertama mikroba psychrophiles yaitu pertumbuhan
optimum mikroba pada rentang waktu dibawah suhu 20°C. Kedua mikroba
mesophiles yaitu mikroba yang memiliki pertumbuhan optimum pada rentang
suhu 20-40°C, dan ketiga mikroba thermophile, yaitu mikroba dengan
pertumbuhan optimum diatas suhu 40°C. Sebagian besar mikroba masuk dalam
kelompok mesophile (Wang et al. 1979). Dalam penentuan suhu terbaik pada
proses fermentasi, dipilih beberapa variabel suhu fermentasi. Pada penelitian ini
digunakan lima variabel suhu fermentasi yaitu pada 26, 28, 30, 32, dan 34 °C.
Dari rentang suhu fermentasi yang digunakan terlihat bahwa suhu terbaik proses
75
fermentasi ini berada pada suhu 30 °C (Gambar 18). Hasil analisis ragam
(Lampiran 11) menunjukkan bahwa perlakuan terhadap suhu fermentasi
berpengaruh nyata terhadap konsentrasi antibiotik yang dihasilkannya. Hasil Uji
Duncan dengan taraf nyata α (0,05) menunjukkan bahwa konsentrasi antibiotik
yang dihasilkan dengan perlakuan suhu 30 °C adalah yang terbaik dan berbeda
nyata dengan variabel suhu lainnya. Terlihat pada suhu 30 °C, konsentrasi
antibiotik yang dihasilkan sebesar 30 mg L-1, dan berturut-turut diikuti perlakuan
suhu 32 °C dengan konsentrasi antibiotik 24,49 mg L-1, suhu 34 °C dengan
konsentrasi antibiotik 20,97 mg L-1, suhu 28 °C dengan konsentrasi antibiotik
19,86 mg L-1, dan suhu 26 °C dengan konsentrasi antibiotik 11,29 mg L-1. Dilihat
dari suhu optimum untuk produksi metabolit sekunder, Streptomyces sp. A11
tergolong dalam bakteri mesofilik, yaitu suhu optimum untuk pertumbuhan dan
produksi metabolit sekunder berada pada kisaran 20 °C - 40 °C.
0
5
10
15
20
25
30
35
26 28 30 32 34
suhu fermentasi (oC)
kons
entr
asi
sikl
o(tir
osil-
prol
il) (m
g.L
-1)
Gambar 18 Pengaruh suhu fermentasi terhadap konsentrasi siklo(tirosil-prolil)
Hal yang sama disampaikan oleh Barun et al. (1998), suhu optimum
proses fermentasi Streptomyces hygroscopicus D1.5 adalah 30 °C, dan menurut
Kumar dan Kannabiran (2010) suhu optimum proses fermentasi Streptomyces
VITSVK9 spp adalah 30 °C. Namun demikian berbeda halnya dengan James dan
Edwards (1997) yang telah menemukan Streptomyces termotoleran yang memiliki
suhu optimum fermentasi sebesar 45 °C pada produksi granaticin. Suhu
76
fermentasi berkaitan erat dengan proses metabolisme pembentukan metabolit
primer dan sekunder. Pada proses metabolisme banyak reaksi enzim yang terlibat
dan saling berkaitan. Enzim dapat bekerja secara maksimal pada suhu yang
optimum. Setiap mikroba memiliki suhu optimum fermentasi yang berbeda-beda
walaupun dalam spesies yang sama. Pada suhu yang lebih tinggi dari suhu
optimumnya, peningkatan suhu mengakibatkan penurunan kecepatan
pertumbuhan sel dengan cepat. Pada suhu dibawah optimum, proses metabolisme
sel akan berjalan lebih lambat. Hubungan diantara perubahan suhu terhadap
kecepatan pertumbuhan sel atau kematian sel dapat dijelaskan dengan persamaan
Arrhenius (Wang et al.1979).
Menurut Wang et al. (1979) energi aktivasi untuk pertumbuhan sel pada
mikroba adalah berkisar antara 15-20 kkal/mol dan untuk kematian sel berkisar
60-70 kkal/mol. Hal ini menunjukkan bahwa kecepatan kematian sel lebih sensitif
dibandingkan dengan kecepatan pertumbuhan sel. Kenaikan suhu fermentasi
diatas titik kritisnya akan menyebabkan penurunan pertumbuhan sel yang cepat
dibandingkan penurunan suhu dibawah titik kritisnya. Berdasarkan persamaan
Arrhenius (Wang et al. 1979);
µ = A° e-Ea/ RT
α = A° e-Ea/ RT
µ = kecepatan pertumbuhan sel spesifik
α = kecepatan kematian sel spesifik
A° = Konstanta Arrhenius
Ea = Energi aktivasi
R = Konstanta gas (1,98 kal/mol °K)
T = Temperatur (°K)
Dalam beberapa hal penggunaan mikroba thermophile tidak dikehendaki
oleh industri. Hal ini disebabkan oleh biaya energi yang dibutuhkan untuk proses
produksi yang jauh lebih tinggi.
77
Selain suhu fermentasi, faktor lain yang berpengaruh pada kondisi
fermentasi adalah pH awal medium fermentasi. pH medium merupakan salah satu
parameter penting yang berpengaruh terhadap pertumbuhan sel dan pembentukan
produk. Sebagian besar bakteri memiliki kisaran optimum pada pH 5-8, kapang
dan aktinomisetes pada kisaran pH 3-8, yeast pada kisaran pH 3-6, dan kelompok
eukariotik tingkat tinggi pada kisaran pH 6,5-7,5 (Wang et al. 1979).
Dalam penelitian ini ditentukan pH optimum fermentasi dari interval pH 4
sampai dengan pH 8. Rentang pH yang telah diuji menunjukkan pH 6,5; 7 ; 7,5
menghasilkan konsentrasi antibiotik paling optimum (Gambar 19). Hasil analisis
ragam (Lampiran 12) menunjukkan bahwa perlakuan pH awal medium
fermentasi berpengaruh nyata terhadap konsentrasi antibiotik yang dihasilkannya.
Hasil Uji Duncan dengan taraf nyata α (0,05) menunjukkan bahwa konsentrasi
antibiotik yang dihasilkan dengan perlakuan pH awal fermentasi 6,5; 7, dan 7,5
paling optimum. Dari ketiga variabel tersebut menunjukkan konsentrasi antibiotik
tidak berbeda nyata. Dengan demikian rentang pH 6,5 sampai dengan 7,5
menunjukkan pH optimum proses fermentasi Streptomyces sp. A11. Seperti
halnya pengaruh suhu fermentasi, pH awal medium fermentasi memiliki pengaruh
yang nyata terhadap konsentrasi antibiotik yang dihasilkan. pH awal medium
fermentasi berkaitan dengan proses metabolisme sel, kinerja membran sel, dan
tekanan osmotik sel. Enzim yang terlibat dalam proses metabolisme memerlukan
kondisi pH yang optimum. Beberapa genus Streptomyces memiliki pH optimum
pada rentang pH 6,5 sampai dengan 7,5. (Barun et al.1998 ; James dan Edwards
1997).
78
0
5
10
15
20
25
30
35
4 4.5 5 5.5 6 6.5 7 7.5 8
pH
Kons
entr
asi
sikl
o(tir
osil-
prol
il)(m
g.L-1
)
Gambar 19 Pengaruh pH awal fermentasi terhadap konsentrasi siklo(tirosil-prolil)
IV. 9. Penentuan Sumber Karbon Terbaik pada Proses Fermentasi
Pemilihan substrat yang akan dijadikan medium fermentasi sangat
menentukan struktur metabolit primer dan metabolit sekunder yang dihasilkan
oleh mikroba. Oleh karena itu pemilihan sumber karbon sebagai penyusun utama
dalam medium fermentasi harus disesuaikan dengan kebutuhan mikroba untuk
pembentukan metabolit primer atau metabolit sekunder yang diharapkan (Crueger
dan Crueger 1984). Menurut (Stanbury dan Whitaker 1984) laju metabolisme
sumber karbon berpengaruh terhadap pembentukan biomassa dan produk
metabolit yang dihasilkan. Dengan demikian pemilihan sumber karbon merupakan
salah satu kunci keberhasilan untuk mendapatkan metabolit yang diharapkan.
Sebelum dilakukan optimasi medium fermentasi secara simultan
menggunakan Response Surface Methodology (RSM), terlebih dahulu dilakukan
percobaan pendahuluan untuk menentukan variabel terbaik sumber karbon,
sumber nitrogen dan mineral. Sumber karbon yang digunakan dalam penelitian ini
meliputi glukosa, maltosa, sukrosa, laktosa, dekstrin, dan molase. Pemilihan
sumber karbon glukosa, maltosa, sukrosa, dan laktosa didasarkan pada lintasan
awal metabolisme diantara maltosa, sukrosa dan laktosa yang berbeda. Glukosa
merupakan senyawa monosakarida yang umumnya bersifat paling mudah
79
dimetabolisme oleh mikroba dibanding gula lainnya, sehingga disebut sebagai
substrat primer (Wang et al. 1978). Lintasan metabolisme glukosa sebagian besar
mengikuti lintasan Embden-Meyerhof. Glukosa dikonversi menjadi glukosa-6-
fosfat yang selanjutnya dalam beberapa tahapan dikonversi menjadi asam piruvat.
Senyawa ini merupakan sumber karbon dan energi utama bagi sebagian besar
mikroba serta menjadi titik awal sebagian besar lintasan metabolisme mikroba.
Penggunaan substrat maltosa membutuhkan enzim maltose-glukoamilase yang
akan memecah maltosa menjadi glukosa, dan enzim maltose-fosforilase yang akan
maltosa menjadi glukosa-1-fosfat. Selanjutnya glukosa-1-fosfat diisomerisasi
menjadi glukosa-6-fosfat, sehingga lintasan menjadi sama dengan glukosa (Moat
et al. 2002). Menurut Hoque et al (2003) beberapa isolat Streptomyces yang
diisolasi dari tanah mampu menghasilkan enzim maltase. Selanjutnya lintasan
metabolisme sukrosa diawali dengan konversi sukrosa menjadi glukosa dan
fruktosa menggunakan enzim invertase yang berlanjut menjadi fruktosa-6-fosfat
oleh enzim fruktokinase sampai terbentuknya asam piruvat. Lintasan
metabolisme laktosa diawali dengan hidrolisis laktosa oleh enzim β-galaktosidase
menjadi galaktosa dan glukosa. Glukosa hasil hidrolisis masuk dalam lintasan
Embden-Meyerhof, sedangkan galaktosa dikonversi mejadi galaktosa-1-fosfat
oleh galaktokinase dan berlanjut menjadi glukosa-1-fosfat oleh enzim
fosfogalaktoseuridiltansferase (Moat et al. 2002). Menurut Dan dan Szabo (1973)
Streptomyces griseus mampu menghasilkan enzim β-galaktosidase melalui
induksi menggunakan substrat galaktosa.
Dekstrin merupakan produk antara hasil hidrolisis pati menjadi maltosa
dan glukosa yang memiliki rantai 6-10 glukosa. Lintasan metabolisme dekstrin
mirip dengan lintasan metabolisme maltosa dan glukosa yang diawali dengan
hidrolisis dekstrin menjadi maltosa dan glukosa. Dekstrin memiliki keunggulan
lebih mudah larut di dalam air dibandingkan dengan pati. Beberapa enzim α-
amilase dan glukoamilase mampu menghidrolisis dekstrin menjadi glukosa atau
maltosa. Lintasan metabolisme glukosa, maltosa, sukrosa, laktosa, dan dekstrin
dapat digambarkan pada Gambar 20. Pada proses glikolisis, setiap molekul
glukosa akan dikonversi menjadi 2 molekul asam piruvat. Asam piruvat
merupakan senyawa antara untuk pembentukan berbagai asam amino dan asam
80
lemak yang merupakan komponen pembentukan metabolit primer dan metabolit
sekunder.
Glukosa-6-P
Glukosa-1-P
Sukrosa
D-Glukosa
Maltosa
Fruktosa Fruktosa-6-P
Dektrin
Laktosa
Galaktosa
Galaktosa-1-P
Fruktosa-1,6-difosfat
1,6 difosfogliserat
3-fosfogliserat
2-fosfogliserat
fosfoenolpiruvat
Asam piruvat
Gambar 20 Lintasan metabolisme glukosa, maltosa, sukrosa, laktosa sampai menjadi asam piruvat (Moat et al. 2002).
Pemilihan molase (gula tebu) sebagai sumber karbon didasarkan pada
komposisi molase yang komplek dan kaya akan sumber gula seperti sukrosa
sekitar 33,4 %, gula invert 21,2 %, beberapa mineral seperti Cu, Fe, Mn, Zn,Co,
Mg, K, Na, dan asam amino seperti riboflavin, tiamin, niasin, dan kolin (Crueger
dan Crueger (1984). Namun demikian komposisi gula, kandungan mineral, dan
asam amino di dalam molase bervariasi tergantung dari proses produksi gula
yang digunakan. Molase yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari
industri gula Madukismo yang berlokasi di Yogyakarta.
81
Hasil percobaan diperoleh informasi bahwa sumber karbon terbaik untuk
produksi senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) dihasilkan oleh dekstrin dan maltosa
(Gambar 21).
0
5
10
15
20
25
30
laktosa glukosa molase sukrosa dekstrin maltosa
sumber karbon
kons
entr
asi s
iklo
(tiro
sil-p
rolil
) mg
L-1
Gambar 21 Pengaruh sumber karbon terhadap konsentrasi siklo(tirosil-prolil)
Hasil analisis ragam (Lampiran 13a) menunjukkan bahwa perlakuan
terhadap beberapa sumber karbon berpengaruh nyata terhadap konsentrasi
antibiotik yang dihasilkannya. Dari Gambar 21 terlihat bahwa sumber karbon
dekstrin menghasilkan konsentrasi antibiotik sebesar 28,41 mg L-1 dan diikuti
dengan maltosa dengan konsentrasi sebesat 25,29 mg L-1. Hasil Uji Duncan
dengan taraf nyata α (0,05) menunjukkan bahwa konsentrasi antibiotik yang
dihasilkan oleh kedua sumber karbon dekstrin dan maltosa tidak berbeda nyata.
Apabila dilihat dari konsentrasi antibiotik dan rasio konsentrasi antibiotik
terhadap konsumsi sumber karbon (Tabel 10) terlihat bahwa dektrin menunjukkan
sumber karbon yang terbaik.
Konsumsi dekstrin terlihat lebih sedikit dibandingkan dengan glukosa
maupun maltosa, namun demikian konsentrasi antibiotik yang dihasilkan lebih
besar, artinya bahwa konversi sumber karbon menjadi metabolit sekunder adalah
lebih besar (Tabel 10). Hal yang sama ditunjukkan pada rasio konsentrasi
siklo(tirosil-prolil) yang dihasilkan terhadap total konsumsi sumber karbon,
terlihat dekstrin menunjukkan rasio yang paling tinggi. Berbeda halnya dengan
82
glukosa, konsumsi glukosa cenderung besar, namun demikian konsentrasi
antibiotik yang dihasilkan cenderung lebih kecil dibandingkan dekstrin. Menurut
Wang (1979) sebagian besar mikroba lebih menyukai glukosa yang dapat
dimetabolisme secara langsung dibandingkan sumber karbon lainnya. Konsumsi
glukosa pada fase logaritma diiringi pertumbuhan sel yang cepat, sehingga jumlah
sel cenderung meningkat lebih cepat. Data selengkapnya disajikan dalam
Lampiran 13b.
Tabel 10 Konsentrasi antibiotik yang dihasilkan adanya perlakuan sumber karbon
Sumber karbon
Konsentrasi siklo (tirosil-
prolil) (mg L-1) Notasi
Total konsumsi sumber karbon
(mg)
(So-S)/So x 100%
Rasio konsentrasi siklo (tirosil-prolil) terhadap total konsumsi sumber
karbon (Yp/s) Laktosa 12,84 a 4034 32,26 0,00318 Sukrosa 14,05 a 4401 47,87 0,00319 Molase 15,50 a 4933 83,47 0,00314 Glukosa 23,00 bc 9747 86,05 0,00224 Maltosa 25,29 cd 9409 79,45 0,00269 Dekstrin 28,41 d 8573 78,08 0,00331 Total konsumsi sumber karbon : konsentrasi sumber karbon awal (sebelum fermentasi) dikurangi konsentrasi sumber karbon setelah fermentasi
Tabel 10 menunjukkan konsumsi glukosa lebih tinggi dibandingkan
dengan konsumsi maltosa dan dektrin. Pada awal fermentasi dan fase logaritma,
konsumsi glukosa lebih banyak digunakan untuk pembentukan sel. Menurut
Stanbury dan Whitaker (1984) adanya glukosa dalam medium fermentasi dapat
menyebabkan terjadinya metabolisme cepat (fast metabolism) untuk pembentukan
sel dan secara bersamaan akan merepresi reaksi enzim pembentukan metabolit
sekunder. Namun demikian apabila konsentrasi glukosa mulai terbatas,
pembentukan metabolit sekunder akan terjadi.
Untuk dapat menggunakan substrat maltosa atau dektrin masuk kedalam
sel, diperlukan pemecahan atau hidrolisis maltosa atau dekstrin menjadi glukosa
terlebih dahulu. Gambar 20 menunjukkan lintasan metabolisme maltosa dapat
melalui glukosa yang dilanjutkan dengan glikolisis menjadi glukosa-6-fosfat dan
melalui lintasan melalui konversi maltosa menjadi glukosa-1-fosfat yang berlanjut
menjadi glukosa-6-fosfat. Lintasan metabolisme dektrin menjadi lebih panjang,
yaitu melalui pemecahan dektrin menjadi maltosa dan glukosa, dan tahap
selanjutnya mengikuti lintasan metabolisme glukosa dan maltosa. Perbedaan
83
lintasan metabolisme menyebabkan laju penggunaan substrat antara glukosa,
maltosa, dan dekstrin menjadi berbeda. Perbedaan lintasan metabolisme juga
berpengaruh terhadap besarnya energi, dalam hal ini ATP yang diperlukan atau
dibebaskan dalam proses anabolisme dan katabolisme.
Konsumsi sumber karbon laktosa, sukrosa, dan molase terlihat jauh lebih
kecil dibandingkan sumber karbon glukosa, maltosa, dan dekstrin, demikian juga
konsentrasi antibiotik yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan bahwa isolat
Streptomyces sp.A11 kurang mampu menghidrolisis dan mengkonsumsi sumber
karbon tersebut. Untuk dapat digunakan dalam metabolisme sel, laktosa terlebih
dahulu dihidrolisis menjadi glukosa dan galaktosa. Enzim yang terlibat dalam
proses hidrolisis laktosa adalah enzim β-galaktosidase. Kurangnya kemampuan
dalam mengasimilasi laktosa ditandai dengan pertumbuhan sel yang lambat. Hal
yang sama terjadi pada konsumsi sukrosa. Sukrosa merupakan disakarida yang
disusun dari glukosa dan fruktosa. Sebelum dapat diasimilasi oleh mikroba,
sukrosa terlebih dahulu dihidrolisis menggunakan enzim invertase. Tidak semua
mikroba memiliki kemampuan untuk menghidrolisis sukrosa menjadi glukosa dan
fruktosa. Adapun reaksi hidrolisis sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa disajikan
sebagai berikut:
C22H22O11 + H2O C6H12O6 + C6H12O6invertase
Glukosa FruktosaSukrosa
Penggunaan molase sebagai sumber karbon pada percobaan ini diperoleh
konsentrasi siklo(tirosil-prolil) yang lebih rendah dibandingkan dengan
penggunaan sumber karbon glukosa, maltosa, dan dektrin. Molase merupakan
hasil samping dari proses produksi gula. Disamping kaya akan sukrosa, fruktosa,
dan glukosa, molase juga mengandung bermacam-macam mineral. Namun
demikian karena molase merupakan hasil samping yang sebelumnya dilakukan
penambahan bahan kimia dalam proses produksi gula, sulit untuk memprediksi
komposisi kimia sebenarnya yang terkandung di dalam molase. Banyak
kemungkinan unsur-unsur logam yang terkandung didalamnya menghambat atau
mempercepat pertumbuhan mikroba. Molase yang digunakan dalam penelitian ini
menghasilkan pertumbuhan isolat Streptomyces sp. A11 yang lambat, demikian
84
juga dengan konsentrasi siklo(tirosil-prolil) yang dihasilkannya. Kompleksitas
komposisi molase menjadi lebih sulit untuk memprediksi kemungkinan penyebab
kecilnya laju pertumbuhan dan produktivitas siklo(tirosil-prolil). Dalam
penggunaan sumber karbon komplek seperti halnya molase, maka perlu
diperhatikan regulasi penggunaan sumber karbon dalam sel. Menurut Sanchez et
al. (2010) salah satu faktor yang berpengaruh dalam proses fermentasi adalah
regulasi sumber karbon dalam metabolisme sel. Regulasi sumber karbon
ditentukan oleh kecepatan penggunaan sumber karbon yang paling disukai oleh
mikroba tersebut. Salah satu faktor regulasi sumber karbon yang paling penting
adalah represi katabolit sumber karbon. Mikroba akan menentukan sumber karbon
yang paling disukai untuk dimetabolisme terlebih dahulu dibandingkan sumber
karbon lainnya dengan melakukan represi reaksi enzim tertentu yang terjadi di
dalam metabolisme tersebut (Martin dan Demain 1980).
Dalam jalur metabolisme, dektrin dan maltosa dihidolisis menjadi glukosa,
dan berlanjut sampai terjadinya glikolisis menjadi piruvat. Walaupun jalur
metabolisme yang digunakan oleh dekstrin dan maltosa pada akhirnya mirip
dengan lintasan glukosa, namun produktivitas siklo(tirosil-prolil) dengan sumber
karbon dekstrin dan maltosa lebih tinggi dibandingkan dengan sumber karbon
glukosa. Glukosa merupakan sumber karbon yang siap dimetabolisme secara
langsung tanpa dilakukan hidrolisis seperti halnya dektrin atau polisakarida
lainnya. Mikroba akan merasa nyaman dan terus tumbuh dengan adanya glukosa
dalam jumlah yang cukup. Pada Tabel 10 terlihat bahwa konsumsi glukosa terlihat
relatif lebih banyak dibandingkan maltosa dan dekstrin. Berbeda halnya dengan
sumber karbon dekstrin dan maltosa, kedua sumber karbon ini akan mengalami
hidrolisis terlebih dahulu menjadi glukosa untuk dapat digunakan dalam proses
metabolisme sel. Dengan demikian jumlah glukosa yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan sel dapat diatur dengan sendirinya oleh mikroba tersebut. Hal yang
sama terjadi pada produksi aktinomisin D menggunakan isolat Streptomyces
parvulus (Sausa et al. 2001). Penggunaan glukosa dalam medium fermentasi
mengakibatkan pertumbuhan sel yang cepat dan produktivitas aktinomisin D
menjadi berkurang.
85
Streptomyces merupakan salah satu bakteri Gram-positif non-motil yang
memiliki kemampuan menghidrolisis berbagai sumber karbon polimer yang ada
di lingkungan. Streptomyces memiliki jumlah protein & enzim yang paling
lengkap yang dapat mendukung kemampuannya untuk dapat bertahan hidup di
lingkungannya. Sebagai contoh Streptomyces coelicolor memiliki 614 protein
untuk mendukung kelangsungan hidupnya (Sanchez et al. 2010).
Berdasarkan hasil percobaan pendahuluan yang telah dilakukan
sebelumnya, maka sumber karbon dekstrin dipilih sebagai sumber karbon untuk
penelitian selanjutnya. Dekstrin merupakan salah satu produk hasil hidrolisis
parsial pati yang memiliki unit rantai glukosa yang pendek (6 – 10 molekul
glukosa) sehingga dektrin memiliki sifat lebih mudah larut di dalam air. Dektrin
juga menjadi sumber karbon terbaik untuk produksi antibiotik spiramycin oleh
Streptomyces ambofaciens (Benslimane et al.1995; Ashy dan Abou-Zeid 1982).
IV. 10. Penentuan Sumber Nitrogen Terbaik pada Proses Fermentasi
Salah satu komponen utama dalam medium fermentasi mikroba disamping
sumber karbon adalah sumber nitrogen. Nitrogen digunakan sebagai sumber
sintesis asam amino, purin, piridin, protein, DNA dan RNA (Vogel 1996). Sumber
nitrogen juga berperan penting dalam pembentukan biomassa sel pada fase
pertumbuhan, disamping itu sumber nitrogen juga berperan penting dalam
pembentukan metabolit sekunder khususnya antibiotik golongan peptida
(Umezawa et al. 1978). Disamping konsentrasi sumber nitrogen dalam medium
fermentasi, jenis sumber nitrogen juga berpengaruh terhadap produktifitas
metabolit primer atau sekunder yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Sumber
nitrogen komplek organik banyak digunakan dalam produksi metabolit sekunder
antibiotik dibandingkan dengan sumber nitrogen inorganik seperti nitrat, nitrit,
dan ammonium sulfat (Aharonowitz 1980). Dengan demikian pemilihan jenis
sumber nitrogen berperan penting dalam proses produksi metabolit primer atau
sekunder. Sumber nitrogen yang digunakan dalam percobaan ini meliputi sumber
nitrogen kompleks seperti pepton, ekstrak khamir, kasein hidrolisat dan sumber
nitrogen non kompleks seperti asam glutamat dan ammonium sulfat. Hasil
86
percobaan pemilihan sumber nitrogen terbaik menunjukkan bahwa pepton terlihat
menghasilkan konsentrasi siklo(tirosil-prolil) paling tinggi, yaitu sebesar 22,7 mg
L-1, selanjutnya kasein sebesar 21,65 mg L-1, ekstrak khamir 12,88 mg L-1, dan
asam glutamate 9,99 mg L-1. Sumber nitrogen ammonium sulfat terlihat tidak
menghasilkan konsentrasi antibiotik.
Hasil analisis ragam (Lampiran 14a) menunjukkan bahwa perlakuan
terhadap beberapa sumber nitrogen berpengaruh nyata terhadap konsentrasi
antibiotik yang dihasilkan. Namun demikian hasil Uji Duncan dengan taraf nyata
α (0,05) menunjukkan bahwa konsentrasi antibiotik yang dihasilkan oleh sumber
nitrogen pepton dan kasein adalah tidak berbeda nyata. Dilihat dari tingkat
konsumsi nitrogen antara pepton dan kasein (Tabel 11), yaitu nitrogen total awal
fermentasi dikurangi nitrogen total akhir fermentasi adalah hampir sama, hal ini
menunjukkan bahwa penggunakan sumber nitrogen pepton dan kasein tidak
berbeda nyata. Data selengkapnya disajikan dalam Gambar 22 dan Tabel 11.
0
5
10
15
20
25
amonium sulfat ekstrak khamir asam glutamat kasein pepton
sumber nitrogen
kon
sent
rasi
si
klo(
tiros
il-pr
olil)
(mg
L-1)
Gambar 22 Pengaruh sumber nitrogen terhadap konsentrasi siklo(tirosil-prolil)
Dari Tabel 11 terlihat bahwa tingkat konsumsi pepton dan kasein relatif
tinggi dibandingkan dengan sumber nitrogen lainnya, hal ini diimbangi juga
dengan produktivitas antibiotik yang tinggi. Berbeda halnya dengan konsumsi
87
sumber nitrogen ekstrak khamir, terlihat tingkat konsumsi ekstrak khamir tinggi
namun produktivitas antibiotik relatif lebih kecil dibanding pepton dan kasein.
Diduga tingginya konsumsi ekstrak khamir ini lebih banyak dikonversi menjadi
biomassa dibandingkan dengan konversi menjadi siklo(tirosil-prolil).
Tabel 11 Pengaruh perlakuan sumber nitrogen terhadap konsentrasi siklo(tirosil-
prolil)
Sumber nitrogen
Nitrogen total awal
fermentasi (mg.mL-1)
Nitrogen total akhir
fermentasi (mg.mL-1)
Konsentrasi siklo(tirosil-
prolil) (mg.L-1)
Jumlah konsumsi
nitrogen total (mg.mL-1)
Asam glutamat (C5H9NO4) 0,76 0,44 9,99 0,32 Pepton 0,76 0,35 22,70 0,41 Kasein 0,75 0,34 21,65 0,41 Ekstrak khamir 0,74 0,30 12,88 0,44 Amonium sulfat (NH4)2SO4 0,75 0,55 0 0,20
Pepton (Difco) merupakan produk hidrolisis dari protein hewani yang
diambil dari albumin. Pepton mengandung bermacam-macam asam amino hasil
hidrolisis protein hewani. Pepton banyak digunakan untuk medium sumber
nitrogen kompleks dalam proses fermentasi. Sedangkan kasein (Difco) merupakan
produk hidrolisis protein susu yang diperoleh dari kasein susu. Seperti halnya
pepton, kasein juga kaya akan protein yang disusun dari beberapa macam asam
amino. Kasein banyak digunakan dalam medium fermentasi atau campuran dalam
medium agar. Menurut Aharonowitz (1980), keterlibatan nitrogen dalam regulasi
metabolisme biosintesis antibiotik dapat dikategorikan dalam 2 jalur. Pertama,
nitrogen dalam bentuk asam amino terlibat langsung dalam pembentukan
antibiotik. Asam amino bertindak sebagai prekursor dalam proses pembentukan
antibiotik. Proses ini banyak terjadi dalam pembentukan antibiotik golongan
peptida. Sebagai contoh pada biosintesis antibiotik gramisidin oleh Bacillus sp
dan Pseudomonas, dibutuhkan 5 asam amino yang terlibat langsung sebagai
prekursor dalam pembentukan biosintesis gramisidin tersebut. Kedua, nitrogen
dalam bentuk atom nitrogen terlibat dalam biosintesis metabolit primer dan
berlanjut menjadi senyawa metabolit sekunder.
Dilihat dari keterlibatan nitrogen dalam biosintesis antibiotik seperti yang
dikemukaan oleh Aharonowitz (1980), diduga peran nitrogen dalam biosintesis
88
siklo(tirosil-prolil) mengikuti jalur yang pertama, yaitu asam amino terlibat
langsung dalam biosintesis antibiotik. Hal ini dikuatkan dari penggunaan sumber
nitrogen pepton dan kasein yang mengandung asam amino menghasilkan
produktivitas siklo(tirosil-prolil) yang lebih tinggi. Lautru et al. (2002)
menjelaskan bahwa biosintesis siklo(phe-leu) disusun oleh asam amino phenil
alanin dengan leusin secara langsung dari asam amino, masing-masing asam
amino diaktifkan oleh siklodipeptida sintetase (CDPSs) melalui gen AlbC. Sampai
saat ini belum ada literatur yang menjelaskan mengenai biosintesis pembentukan
siklo(tirosil-prolil). Biosintesis pembentukan siklo(tirosil-prolil) diduga melalui
jalur pengaktifan asam amino tirosin dan prolin dengan menggunakan
siklodipeptida sintetase seperti yang dijelaskan oleh Lautru et al. (2002).
Kemungkinan reaksi pembentukan siklo(tirosil-prolil) terjadi adalah seperti yang
disajikan dalam Gambar 23.
HO
O
OH
HN
N
H2+
-
H3+
- +
siklodipeptida sintetase(CDPSs)
prolin tirosin siklo(tirosil-prolil)
Gambar 23 Reaksi pembentukan siklo(tirosil-prolil)
Apabila dilihat dari komposisi asam amino dari sumber nitrogen pepton,
kasein, dan ekstrak khamir, terlihat bahwa ketiga sumber nitrogen ini
mengandung asam amino prolin dan tirosin dalam bentuk bebas dan terikat dalam
protein seperti yang disajikan dalam Tabel 12.
Pepton mengandung total prolin, tirosin bebas, dan total tirosin yang lebih
tinggi dibandingkan kasein dan ekstrak khamir. Kasein mengandung jumlah
prolin bebas, total prolin, tirosin bebas, dan total tirosin yang lebih besar
dibandingkan dengan ekstrak khamir. Konsentrasi siklo(tirosil-prolil) yang
dihasilkan oleh pepton dan kasein lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak
khamir. Hal ini mendukung dugaan bahwa biosintesis siklo(tirosil-prolil)
89
dipengaruhi oleh adanya asam amino prolin dan tirosin dalam medium fermentasi
seperti yang dijelaskan oleh Lautru et al. (2002).
Tabel 12 Kandungan prolin dan tirosin dalam pepton, kasein, dan ekstrak khamir.
Sumber Nitrogen Komplek
Prolin Bebas (%)
Total Prolin (%)
Tirosin Bebas (%)
Total Tirosin (%)
Pepton (Difco) 0,3 8,8 0,5 0,6
Kasein (Difco) 0,5 8,0 0,4 0,4
Ekstrak khamir (Difco)
0,3 2,3 0,1 0,2
sumber: katalog Difco 2004.
Penggunaan sumber nitrogen asam glutamat terlihat mampu menghasilkan
siklo(tirosil-prolil) walaupun lebih kecil dibandingkan dengan pepton, kasein, dan
ekstrak khamir. Hal ini dapat dijelaskan bahwa asam glutamat merupakan lintasan
dalam pembentukan asam amino prolin melalui L-glutamil-γ-phosphate, glutamic-
γ-semialdehyde (GSA), dan pyroline-5-carboxylate seperti yang disajikan dalam
Gambar 24. Dengan demikian glutamat berperan dalam preursor pembentukan
prolin.
Gambar 24 Biosintesis prolin melalui lintasan asam glutamat (http://www.hort.purdue.edu/rhodcv/hort640c/proline/pr00003.htm)
90
Selain berperan sebagai prekursor pembentukan prolin, asam glutamat
juga berperan dalam pembentukan tirosin. Sebagai sumber nitrogen, glutamat
berperan dalam proses transaminase pembentukan tirosin melalui p-
hydroxyphenylpyruvate seperti yang disajikan dalam Gambar 25.
Gambar 25 Biosintesis tirosin melalui transaminase p-hydroxyphenylpyruvate (http://en.wikibooks.org/wiki/Principles_of_Biochemistry/Synthesis_of_aminoacids).
Pepton juga menjadi sumber nitrogen terbaik pada produksi antibiotik
oxytetracycline menggunakan isolat Streptomyces rimosus (Abou-Zeid et al.
1981) dan menjadi sumber nitrogen terbaik pada produksi antibiotik
streptolydigin menggunakan isolat Streptomyces lydicus AS 4.2501. (Liangzhi et
al. 2007).
IV.11. Penentuan Mineral Terbaik untuk Produksi Siklo(tirosil-prolil)
Mineral merupakan salah satu penyusun medium fermentasi yang
memiliki pengaruh terhadap produksi antibiotik. Menurut Stanbury dan Whitaker
(1987), mineral memiliki peran penting dalam reaksi enzim, yaitu sebagai
kofaktor pada proses metabolisme. Kombinasi campuran mineral juga berperan
penting dalam regulasi elektrolitik dan osmotik dalam sel. Menurut Vogel dan
Todaro 1996, kebutuhan mineral pada fase pembentukan metabolit primer atau
sekunder lebih tinggi dibandingkan pada fase pembentukan biomassa sel. Hal ini
berkaitan dengan keterlibatan mineral dalam metabolisme pembentukan metabolit
primer dan sekunder.
Reaksi enzim dalam proses metabolisme membutuhan beberapa macam
campuran mineral. Sebagai contoh kebutuhan garam fosfat pada kisaran 0,3
sampai dengan 300 mM umumnya dibutuhkan untuk pertumbuhan sel, namum
91
demikian pada fase stasioner keberadaan garam fosfat akan merepresi
pembentukan antibiotik (Martin dan Demain 1980). Reaksi biosintesis antibiotik
banyak melibatkan reaksi enzim dalam metabolismenya. Dalam setiap reaksi
enzim dibutuhkan mineral atau ion logam yang bervariasi. Beberapa ion logam
bersifat menghambat reaksi namun ada yang mempercepat reaksi enzim.
Penentuan awal kebutuhan jumlah dan jenis mineral didalam medium fermentasi
memang sulit ditentukan. Selain bersifat sedikit jumlahnya dalam setiap volume
medium juga terdapat jenis mineral yang bersifat toksik dan menghambat
pertumbuhan mikroba. Penghambatan salah satu jenis mineral terhadap jenis
mikroba tertentu tidak bersifat umum.
Pada penelitian ini ditentukan komposisi mineral yang mengacu dari
beberapa referensi seperti yang telah disampaikan dalam Bab III. Dari hasil
percobaan terlihat bahwa mineral I dengan komposisi K2HPO 1 g L-1, MgSO4 4.7
H -1 -1 -1O 0,025 g L , ZnSO 7 H O 0,025 g L , CaCl2 4 2 2.2 H O 0,025 g L , FeSO2 4 7
H -1O 0,025 g L2 (Sousa et al. 2001) menunjukkan konsentrasi yang paling tinggi
(Gambar 26).
0
5
10
15
20
25
30
35
40
blanko mineral I mineral II mineral III mineral IV mineral V
garam mineral
kons
entr
asi s
iklo
(tiro
sil-p
rolil
)(mg/
L)
Gambar 26 Pengaruh campuran beberapa mineral terhadap konsentrasi siklo(tirosil-prolil).
Hasil analisis ragam (Lampiran 15) menunjukkan bahwa perlakuan
terhadap beberapa campuran mineral berpengaruh nyata terhadap konsentrasi
92
antibiotik yang dihasilkan. Hasil Uji Duncan dengan taraf nyata α (0,05)
menunjukkan bahwa konsentrasi antibiotik yang dihasilkan oleh mineral I adalah
yang terbaik dan berbeda nyata dengan mineral lainnya.
Dalam jumlah yang sedikit, mineral memiliki pengaruh terhadap
pertumbuhan sel dan pembentukan produk. Menurut Stanbury dan Whitaker
(1987) diantara logam dan mineral yang dibutuhkan oleh mikroba, mangan, besi,
dan seng adalah jenis mineral yang paling banyak dibutuhkan. Dalam batas
konsentrasi tertentu mineral mampu meningkatkan pertumbuhan sel dan
pembentukan produk, namun pada konsentrasi berlebih akan menjadi toksik dan
menyebabkan lisis sel. Menurut Hassan et al. (2001) penambahan magnesium
sulfat dalam medium fermentasi menggunakan isolat Streptomyces violatus
mampu menaikkan konsentrasi senyawa antimikroba sebesar 4 kali. Hal yang
sama disampaikan oleh Paul dan Banerjee (1983) penambahan tembaga, seng, dan
besi berpengaruh nyata terhadap produksi senyawa anti kapang menggunakan
Streptomyces galbus. Sementara itu penambahan kalsium, seng, dan besi juga
berpengaruh nyata terhadap produksi neomisin menggunakan Streptomyces
fradiae (Haque dan Mondal 2010).
IV.12. Optimasi Medium Fermentasi
Komposisi medium fermentasi mikroba secara umum disusun oleh sumber
karbon, sumber nitrogen, vitamin dan mineral (Stanbury dan Whitaker 1987).
Jenis dan konsentrasi setiap sumber karbon, nitrogen dan mineral setiap mikroba
adalah berbeda tergantung dari tujuan dan target produk fermentasi yang
dikehendaki (Vogel dan Todaro1996). Medium fermentasi untuk produksi protein
sel tunggal atau metabolit primer jauh berbeda dengan komposisi medium
fermentasi untuk produksi metabolit sekunder. Pada penelitian ini optimasi
medium fermentasi dilakukan dengan komposisi medium fermentasi terpilih yang
telah dilakukan pada percobaan sebelumnya, yaitu sumber karbon dekstrin,
sumber nitrogen pepton dan komposisi mineral menurut Sousa et al. (2001).
Adapun kisaran dan taraf ketiga variabel terpilih disajikan dalam Tabel 13.
93
Tabel 13 Kisaran dan taraf variabel yang diuji pada optimasi komposisi medium Kisaran dan taraf
Variabel yang diuji -1,68 -1 0 1 1,68
Konsentrasi dekstrin (g L-1) 21,60 25 30 35 38,40
Konsentrasi pepton (g L-1) 6,64 8 10 12 13,36
Penambahan mineral (mL larutan stok per liter kaldu fermentasi)*
3,30 5 7,50 10 11,70
*Komposisi mineral larutan stok adalah; K2HPO4 133,33 g L-1, MgSO4.7 H2O 3,3 g L-1, ZnSO4 7 H2O 3,3 g L-1 , CaCl2.2 H2O 3,3 g L-1, FeSO4 7 H2O 3,3 g L-1. Dari percobaan diperoleh respon antibiotik yang disajikan dalam Tabel 14. Data
selengkapnya disajikan dalam Lampiran 16.
Tabel 14 Data hasil percobaan optimasi medium fermentasi Streptomyces sp. A11 menggunakan rancangan model komposit terpusat (CCD).
No X1 X2 X3
respon (antibiotik mg L‐1)
Nilai dugaan
Total konsumsi sumber karbon
(g)
Respon berbanding total
konsumsi sumber karbon
1 ‐1 ‐1 ‐1 19,13 17,19 19,12 1,00 2 1 ‐1 ‐1 19,96 20,15 20,59 0,97 3 ‐1 1 ‐1 23,19 24,64 21,07 1,10 4 1 1 ‐1 40,35 36,28 22,94 1,76 5 ‐1 ‐1 1 20,59 23,72 19,96 1,03 6 1 ‐1 1 30,99 28,61 23,57 1,31 7 ‐1 1 1 35,67 34,54 22,61 1,58 8 1 1 1 47,11 48,11 23,00 2,05 9 ‐1,68 0 0 26,00 24,65 17,69 1,47 10 1,68 0 0 35,88 38,56 25,88 1,39 11 0 ‐1,68 0 16,74 16,89 19,52 0,86 12 0 1,68 0 38,37 39,55 22,90 1,68 13 0 0 ‐1,68 20,90 23,05 22,78 0,92 14 0 0 1,68 39,31 38,49 23,86 1,65 15 0 0 0 47,56 47,40 23,45 2,03 16 0 0 0 47,71 47,40 23,19 2,06 17 0 0 0 47,88 47,40 23,10 2,07 18 0 0 0 46,94 47,40 23,07 2,03 19 0 0 0 47,19 47,40 23,28 2,03 20 0 0 0 47,36 47,40 23,36 2,03
Dari beberapa model yang diuji (Tabel 15 dan 16) ternyata model
kuadratik merupakan model yang paling cocok untuk digunakan dalam percobaan
ini.
94
Tabel 15 Jumlah kuadrat beberapa model yang dicobakan untuk proses optimasi medium fermentasi.
Source Jumlah kuadrat
Derajat bebas
Kuadrat Tengah Nilai F
Nilai p (Prob > F)
Mean vs total 24418,17 1 24418,17 Linier 1141,22 3 380,41 4,20 0,0227 2FI 45,26 3 15,09 0,14 0,9344 Kuadratik 1347,01 3 44,00 79,48 < 0,0001 Kubik 51,47 4 12,87 15,38 0,0026 Galat 5,02 6 0,84 Total 27008,15 20 1350,41
Tabel 16 Data hasil analisis beberapa model yang dicobakan dalam optimasi
medium fermentasi.
Sumber Standar deviasi R2 Adj R2Nilai
dugaan R2
Linear 9,5157 0,4406 0,3357 0,2338 2FI 10,3905 0,4581 0,2080 ‐0,3512 Kuadratik 2,3769 0,9782 0,9586 0,8181 Kubik 0,9148 0,9981 0,9939 0,6233
Terlihat dari Tabel 15 model kuadratik memiliki nilai F (F-test) yang
paling tinggi dan p-value(Prob>F) paling rendah. Semakin tinggi nilai F atau
semakin kecil p-value(Prob>F) berarti semakin signifikan hubungannya dengan
model yang digunakan (Montgomery 1997). Model kuadratik memiliki nilai
koefisien determinasi R2 yang lebih dari 97% yang menunjukkan tingginya
korelasi antara nilai-nilai observasi dengan nilai-nilai dugaan. Hanya 3% dari
total variasi data yang tidak dapat diterangkan oleh model tersebut. Apabila
dibandingkan dengan model kubik, nilai R2 model kubik masih lebih besar
dibandingkan model kuadratik, akan tetapi nilai p-value (Prob>F) model kubik
jauh lebih besar dari model kuadratik, sehingga model kuadratik masih lebih tepat
digunakan dalam penelitian ini.
Model kuadratik memiliki nilai adj R2 sebesar 0,96 yang berarti bahwa
model tersebut mempunyai tingkat signifikasi yang tinggi, dengan variabel bebas
X1, X2, dan X3 memiliki pengaruh yang kuat terhadap respon yang dihasilkan.
Mengacu dari data Tabel 13 & 14 maka model kuadratik digunakan sebagai
model matematik untuk optimasi pada penelitian ini. Keluaran hasil analisis
menggunakan Design Expert 7 disajikan dalam Lampiran 17.
95
Untuk mendapatkan model persamaan matematik maka ditentukan
estimasi koefisien regresinya. Hasil tabulasi data percobaan Tabel 13 diperoleh
estimasi koefisien regresi seperti yang disajikan dalam Tabel 17.
Tabel 17 Model koefisien regresi pada proses optimasi medium fermentasi
untuk produksi siklo(tirosil-prolil).
Faktor Koefisien Estimasi
Derajat bebas
Intercept 47,40 1 A‐dekstrin 4,13 1 B‐pepton 6,74 1 C‐ mineral 4,59 1 AB 2,17 1 AC 0,48 1 BC 0,84 1 A2 ‐5,59 1 B2 ‐6,78 1 C2 ‐5,88 1
CV: 6,8%
Persamaan matematik model kuadratik optimasi produksi antibiotik
siklo(tirosil-prolil) adalah sebagai berikut;
Y= 47,40 + 4,13X1+ 6,74 X2 + 4,59 X3 + 2,17 X1X2 – 5,59 X12- 6,78 X2
2 – 5.88
X32.
Y = produksi senyawa aktif (mg L-1)
X1 = konsentrasi dekstrin (g L-1)
X2 = konsentrasi pepton (g L-1)
X3 = volume penambahan mineral (mL).
Untuk menentukan pengaruh masing-masing variabel dalam bentuk linier
dan kuadratik atau interaksi antar variabel maka ditentukan nilai F p-value
(Prob>F) dalam analisis keragaman seperti yang disajikan dalam Tabel 18. Nilai
Fvalue dan p-value (Prob>F) menunjukkan signifikasi masing-masing variabel
(dekstrin, pepton, dan mineral) dan model yang digunakan.
96
Tabel 18 Analisis keragaman pada proses optimasi medium fermentasi untuk produksi siklo(tirosil-prolil)
Sumber Jumlah kuadrat
Derajat bebas
Kuadrat Tengah Nilai F
Nilai p (Prob > F)
Model 2533,49 9 281,50 49,83 < 0,0001 A‐dekstrin 233,30 1 233,30 41,30 < 0,0001 B‐pepton 620,13 1 620,13 109,77 < 0,0001 C‐ mineral 287,79 1 287,79 50,94 < 0,0001 AB 37,71 1 37,71 6,68 0,0272 AC 1,85 1 1,85 0,33 0,5795 BC 5,0 1 5,70 1,01 0,3390 A2 449,57 1 449,57 79,58 < 0,0001 B2 662,88 1 662,88 117,33 < 0,0001 C2 498,35 1 498,35 88,21 < 0,0001 Residual 56,50 10 5,65 Total 2589,98 19
R2 = 0,98; adj R2 = 0,96; CV= 6,8%
Dari Tabel 17 & 18 menunjukkan bahwa konsentrasi dekstrin memberikan
pengaruh linear positif dan pengaruh kuadratik negatif terhadap produktivitas
antibiotik, namun demikian pengaruh kuadratik negatif dektrin lebih besar
dibandingkan dengan pengaruh linier positif, demikian juga dengan pengaruh
pepton dan pengaruh mineral. Hal yang sama terjadi pada mineral, yaitu pengaruh
kuadratik negatif lebih besar dibandingkan dengan pengaruh linier positif
mineral. Pengaruh linier positif pepton memiliki nilai yang hampir sama dengan
pengaruh kuadratik negatif.
Apabila dilihat dari interaksi antar variabel, interaksi antara dektrin dengan
pepton terlihat nyata dengan p-value(Prob>F) < 0,0272. Interaksi ini memiliki
pengaruh positif terhadap kenaikan konsentrasi antibiotik. Dengan demikian
perubahan konsentrasi masing-masing variabel ini akan saling mempengaruhi dan
menentukan konsentrasi antibiotik yang dihasilkannya. Berbeda halnya dengan
interaksi antara dekstrin dengan mineral dan pepton dengan mineral yang terlihat
tidak nyata.
Hasil uji kesahihan model secara statistik seperti yang disajikan dalam
Tabel 18 menunjukkan bahwa model dugaan yang dikembangkan telah sesuai
dan sangat nyata. Hal ini tampak dari hasil uji p-value (Prob>F) menunjukkan
nilai yang sangat kecil yaitu <0,0001. Sementara itu pengaruh linear dan kuadratik
dari ketiga variabel yang digunakan bersifat sangat nyata (p-value (Prob>F)
<0,0001, dan interaksi diantara ketiga variabel bersifat tidak nyata. Model
97
kuadratik yang dikembangkan memiliki nilai CV sebesar 6,8% yang menunjukkan
bahwa derajat ketepatan (precision) dari perlakuan yang dibandingkan cukup
tinggi, yaitu semakin kecil nilai CV maka derajat ketepatan dari perlakuan yang
dibandingkan semakin tinggi (Montgomery 1997). Uji kenormalan galat model
(Normality Test) menunjukkan bahwa galat model telah terdistribusi secara
normal dan saling bebas dengan keragaman yang relatif homogen (Gambar 27).
Hal yang sama ditunjukkan pada Gambar 28, plot antara galat dengan urutan
percobaan dan Gambar 29 plot antara galat dengan nilai dugaan. Dari kedua
gambar tersebut menunjukkan tidak ada pola tertentu yang mengindikasikan
bahwa model regresi yang digunakan dapat menjelaskan data yang digunakan.
Residual
Nor
mal
% P
roba
bilit
y
Normal Plot of Residuals
-3.12906 -1.32966 0.469733 2.26913 4.06853
1
5
10
2030
50
7080
90
95
99
Plot Normal Galat
Galat
Prob
abili
tas n
orm
al (%
)
Gambar 27 Plot probabilitas normal galat model produktivitas siklo(tirosil-prolil)
yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11.
98
Run Number
Inte
rnal
ly S
tude
ntiz
ed R
esid
uals
Residuals vs. Run
-3.00
-1.50
0.00
1.50
3.00
1 4 7 10 13 16 19
Gal
at m
odel
Galat vs urutan percobaan
Urutan percobaan
Gambar 28 Plot urutan percobaan versus galat model produktivitas siklo(tirosil-
prolil) yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11
Gambar 29 Plot nilai dugaan versus galat model pada produktivitas siklo(tirosil-
prolil) yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11
Predicted
Inte
rnal
ly S
tude
ntiz
ed R
esid
uals
Residuals vs. Predicted
-3.00
-1.50
0.00
1.50
Nilai dugaan VS Galat Model
3.00
Gal
at m
odel
16.89 24.69 32.50 40.31 48.11
Nilai Dugaan
99
Hubungan antara variabel dapat digambarkan dengan menggunakan
permukaan respon dan plot kontur.
(a) Permukaan respon hubungan antara dekstrin dengan pepton produksi antibiotik
C : mineral = 0
0
-1.68
-0.84
0.00
0.84
1.68
-1.68
-0.84
0.00
0.84
1.68
0
12.75
25.5
38.25
51 a
ktiv
itas
antib
iotik
A: dekstrin B: peptone
Kon
sent
rasi
ant
ibio
tik
A: dekstrin B: pepton
-1.68 -0.84 0.00 0.84 1.68
-1.68
-0.84
0.00
0.84
1.68aktivitas antibiotik
A: dekstrin
B: p
epto
ne
8.687718.6877117.0156
25.3435
33.6714
41.9993
41.9993
666666
Konsentrasi antibiotik
(b) Plot kontur hubungan antara dektrin dan pepton produksi antibiotik Gambar 30 Permukaan respon dan plot kontur produksi siklo(tirosil-prolil)
sebagai pengaruh dekstrin dan pepton.
100
Hubungan antara variabel dekstrin dan pepton dapat digambarkan dalam
bentuk plot kontur dan permukaan respon seperti yang disajikan dalam Gambar
30. Gambar 30 menunjukkan bahwa kenaikan konsentrasi dektrin dan pepton
berpengaruh nyata terhadap produksi siklo(tirosil-prolil), dan kenaikan
konsentrasi pepton terlihat lebih berpengaruh pada produksi siklo(tirosil-prolil)
dibandingkan dengan kenaikan konsentrasi dekstrin. Pada penambahan
konsentrasi dekstrin di atas 30 g L-1 level (0) dan konsentrasi pepton di atas 10 g
L-1 level (0), mengakibatkan penurunan konsentrasi antibiotik. Menurunnya
konsentrasi antibiotik pada penambahan konsentrasi dekstrin dan pepton level (0)
dapat disebabkan oleh dua kemungkinan, pertama; terjadi hambatan oleh substrat
atau disebut represi katabolit. Menurut Wang et al. (1979) beberapa sumber
nitrogen dan sumber karbon berlebih dapat menyebabkan penghambatan oleh
substrat. Penghambatan oleh substrat tidak hanya diakibatkan oleh glukosa saja,
namun dapat disebabkan oleh senyawa lain seperti sumber karbon lain, sumber
nitrogen maupun mineral (Wang et al. 1979). Penyebab yang kedua adalah
berkurangnya transfer oksigen dalam medium karena viskositas medium
meningkat dengan meningkatnya konsentrasi dektrin dan pepton. Streptomyces sp.
termasuk dalam golongan mikroba aerobik yang memerlukan oksigen untuk
pertumbuhan selnya. Dengan berkurangnya transfer oksigen di dalam medium,
pertumbuhan sel menjadi kurang optimal (Goodfellow et al. 1988). Apabila
dihubungkan dengan model monod (Vogel dan Todaro 1996) dalam kondisi
konsentrasi substrat rendah, penambahan konsentrasi substrat akan menambah
laju pertumbuhan spesifik, namun pada batas tertentu konsentrasi substrat tidak
berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan spesifik, sehingga laju pertumbuhan
sel konstan, dan dapat terjadi penghambatan oleh substrat itu sendiri.
Pada konsentrasi dektrin dan pepton berturut-turut dibawah 30 g L-1 dan
10 g L-1 terjadi penurunan konsentrasi antibiotik, hal ini dapat disebabkan oleh
kemampuan produksi siklo(tirosil-prolil) yang sepenuhnya belum dipenuhi oleh
kecukupan pasokan sumber karbon dan nitrogen. Hal ini dapat dilihat dari
kenaikan konsentrasi dektrin dan pepton dari titik (-1,68) naik sampai dengan titik
(0) yang mengakibatkan kenaikan konsentrasi siklo(tirosil-prolil) secara terus-
101
menerus. Namun setelah tercapai titik optimum, kenaikan konsetrasi dektrin dan
pepton tidak mengakibatkan kenaikan konsentrasi siklo(tirosil-prolil).
Pola pengaruh interaksi antara dektrin dan pepton cenderung menguatkan
produksi siklo(tirosil-prolil) (Gambar 31). Pada konsentrasi sumber karbon
dekstrin 30 g L-1 atau titik pusat perlakuan (0) dan perlakuan titik pusat mineral
adalah (0), perubahan konsentrasi pepton sampai dengan perlakuan titik pusat (0)
terlihat berpengaruh nyata terhadap kenaikan produktivitas antibiotik. Namun
demikian pada perlakuan titik pusat konsentrasi sumber karbon (0), perlakuan
pepton pada (+1,68) terjadi penurunan produktivitas antibiotik. Hal berbeda pada
konsentrasi sumber karbon 38,4 g L-1 atau titik pusat perlakuan (+1,68),
penambahan konsentrasi sumber nitrogen sampai dengan perlakuan (+1,00)
terlihat masih lebih tinggi konsentrasi antibiotiknya dibandingkan konsentrasi
sumber nitrogen pada perlakuan titik pusat (0).
Gambar 31 Pola pengaruh dekstrin dan pepton terhadap produksi siklo(tirosil-
prolil).
Hubungan antara variabel konsentrasi dekstrin dengan konsentrasi mineral
dalam bentuk plot kontur dan permukaan respon disajikan dalam Gambar 32.
Design-Expert® Sof tware
aktiv itas antibiotik
Design Points
B- -1.000B+ 1.000
X1 = A: dekstrinX2 = B: peptone
Actual FactorC: garam mineral = 0.00
B: peptone
-1.68 -0.84 0.00 0.84 1.68
InteractionInteraksi
A: dekstrin
aktiv
itas
antib
iotik
11.2176
21.1632
31.1088
41.0544
Konsentrasi antibiotik B: pepton 51
332223
B(1,68)
B(0)
B(-1,68)
B(0)
B(0)
Kon
sent
rasi
ant
ibio
tik
102
-1.68
-0.84
0.00
0.84
1.68
-1.68
-0.84
0.00
0.84
1.68
1
13.25
25.5
37.75
50
A: dekstrin C: garam mineral
akt
ivita
s an
tibio
tik
B: pepton = 0
Kon
sent
rasi
ant
ibio
tik
C: mineral A: dekstrin
(a) Permukaan respon hubungan antara dekstrin dengan mineral produksi antibiotik
-1.68 -0.84 0.00 0.84 1.68
-1.68
-0.84
0.00
0.84
1.68aktivitas antibiotik
A: dekstrin
C: g
aram
min
eral
Konsentrasi Antibiotik 666666 41.2308
33.3332
25.4357
17.5382
9.64072 17.5382
(b) Plot kontur hubungan antara dekstrin dengan mineral produksi antibiotik
Gambar 32 Permukaan respon dan plot kontur produksi siklo(tirosil-prolil)
sebagai pengaruh dekstrin dan mineral.
103
Gambar 32 terlihat bahwa penambahan konsentrasi dekstrin dan mineral
dari level (-1,68), terjadi kenaikan produktivitas antibiotik. Namun demikian
penambahan konsentrasi dekstrin dan mineral pada level (0) terjadi penurunan
konsentrasi antibiotik. Pengaruh konsentrasi dekstrin terhadap produktivitas
antibiotik relatif sama dengan pengaruh konsentrasi mineral, tetapi interaksi
antara dua variabel ini tidak nyata. Perubahan konsentrasi dekstrin terhadap
produktivitas antibiotik tidak mempengaruhi perubahan konsentrasi mineral
terhadap produktivitas antibiotik, demikian juga sebaliknya. Hal yang
menyebabkan terjadinya penurunan konsentrasi siklo(tirosil-prolil) akibat
penambahan konsentrasi dekstrin dan mineral pada level (0) sampai dengan level
(-1,68) diduga disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu pertama; terjadinya
penghambatan oleh substrat (dekstrin), kedua; naiknya viskositas kaldu fermentasi
yang menyebabkan transfer oksigen menjadi turun, ketiga; terjadinya efek toksik
oleh mineral akibat sensitifitas sel terhadap mineral pada konsentrasi tertentu.
Menurut Stanbury dan Whitaker (1987) kebutuhan mineral terhadap pertumbuhan
sel mikroba tidak berlaku hubungan linier atau berbanding lurus. Pada konsentrasi
mineral yang melebihi batas toleransi sel, justru akan menghambat pertumbuhan
sel. Menurut Abbas dan Edwards (1990) penambahan magnesium dan kalsium
dalam batas konsentrasi tertentu berpengaruh nyata terhadap penurunan
produktivitas antibiotik actinohordin oleh Streptomyces coelicolor.
Hubungan antara variabel konsentrasi nitrogen dengan konsentrasi mineral
dalam bentuk plot kontur dan permukaan respon disajikan dalam Gambar 33.
Gambar 33 menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi pepton dan mineral
pada level (-1,68) sampai dengan (0) terjadi kenaikan produktivitas antibiotik.
Namun penambahan konsentrasi pepton dan mineral pada level (0) sampai dengan
level (1,68) terjadi penurunan produktivitas antibiotik. Penurunan produktivitas
antibiotik pada konsentrasi pepton dan mineral tinggi dapat diakibatkan oleh
hambatan oleh subtrat atau efek toksik dari mineral. Pengaruh kenaikan
konsentrasi antibiotik lebih banyak dipengaruhi oleh konsentrasi nitrogen
dibandingkan dengan konsentrasi mineral, dan interaksi antara dua variabel ini
relatif tidak nyata, atau perubahan konsentrasi nitrogen terhadap konsentrasi
104
antibiotik tidak mempengaruhi perubahan konsentrasi mineral terhadap
konsentrasi antibiotik, demikian juga sebaliknya.
-1.68
-0.84
0.00
0.84
1.68
-1.68
-0.84
0.00
0.84
1.68
-5
9
23
37
51
akt
ivita
s an
tibio
tik
B: peptone C: garam mineral
A: dekstrin = 0
Kon
sent
rasi
ant
ibio
tik
B : Pepton C: mineral B: pepton
(a) Permukaan respon hubungan antara pepton dengan mineral
produksi antibiotik
-1.68 -0.84 0.00 0.84 1.68
-1.68
-0.84
0.00
0.84
1.68aktivitas antibiotik
B: peptone
C: g
aram
min
eral
4.20041
13.3893
22.5781
22.5781
31.767
40.9559
40.9559
666666
Konsentrasi antibiotik
B: Pepton
(b) Plot kontur hubungan antara pepton dengan mineral produksi antibiotik Gambar 33 Permukaan respon dan plot kontur produksi siklo(tirosil-prolil)
sebagai pengaruh pepton dan mineral.
105
IV.13. Formulasi Medium dan Validasi Model
Melalui program Design Expert 7 dapat ditentukan nilai optimal variabel
dekstrin, pepton, dan mineral. Hasil analisis diperoleh peubah-peubah dalam unit
yang dikodekan, yaitu X1 = 0,51; X2 = 0,61; X3 = 0,46 dengan respon yang
dihasilkan (nilai yang diduga) sebesar Y = 51,54. Keluaran variabel hasil optimasi
menggunakan Design Expert 7 disajikan dalam Lampiran 17e. Nilai asli peubah-
peubah adalah konsentrasi dekstrin sebesar 32,55 g L-1, konsentrasi pepton
sebesar 11,22 g L-1, dan penambahan mineral sebesar 8,65 mL. Hasil percobaan
di laboratorium proses fermentasi selama 144 jam dengan komposisi medium
konsentrasi dekstrin sebesar 32,55 g L-1, pepton 11,22 g L-1, mineral 8,65 mL, air
demineral 250 mL, air laut 750 mL dengan pH awal 7,5 diperoleh konsentrasi
siklo(tirosil-prolil) sebesar 50,04 mg L-1. Data pengamatan konsentrasi
siklo(tirosil-prolil) dan konsumsi gula pada proses validasi model percobaan di
laboratorium disajikan dalam Lampiran 18. Nilai konsentrasi siklo(tirosil-prolil)
yang dihasilkan dari percobaan terlihat 2,9% lebih kecil dibandingkan dengan
nilai dugaan respon dari model matematik yang digunakan. Perbedaan nilai
dugaan (respon dari model) dengan nilai respon hasil percobaan di laboratorium
sebesar 2,9% menunjukkan bahwa model yang digunakan telah sesuai dan
mampu menjelaskan data percobaan yang digunakan.
Dibandingkan dengan konsentrasi siklo(tirosil-prolil) yang dihasilkan
menggunakan medium standar sebelum dilakukan proses optimasi (sebesar 20 mg
L-1), maka proses optimasi medium fermentasi ini terjadi penambahan
konsentrasi siklo(tirosil-prolil) sebesar 2,5 kalinya , yaitu sebesar 50 mg L-1.
106
V KESIMPULAN DAN SARAN
V.1. Kesimpulan
Isolasi aktinomisetes laut dapat dilakukan dengan menggunakan medium
starch-kasein-agar. Untuk menekan pertumbuhan bakteri dan kapang kontaminan
dapat ditambahkan sikloheksimid 100 μg mL-1, nistatin 45 μg mL-1, asam
nalidiksat 30 μg mL-1, rifampisin 10 μg mL-1. Pra-perlakuan sampel dengan
pemanasan pada suhu 60 °C selama 4 jam atau pengasaman sampel pada pH 2
selama 2 jam mampu mengurangi pertumbuhan mikroba kontaminan.
Sebanyak 40 isolat aktinomistes yang berhasil diisolasi dari Pantai Barat
Banten, Pantai Selatan Yogyakarta, dan Pantai Utara Cirebon diketahui 4 isolat
mampu menghambat pertumbuhan Escherichia coli ATCC 25922, 5 isolat
menghambat Staphylococcus aureus ATCC25923, 4 isolat menghambat Bacillus
subtilis ATCC 66923, 4 isolat menghambat Pseudomonas aeroginosa
ATCC27853, 4 isolat menghambat Candida albican BIOMCC00122, dan 4 isolat
menghambat Aspergillus niger BIOMCC00134. Isolat A11 sebagai isolat terpilih,
memiliki aktivitas hambatan paling kuat terhadap bakteri Gram-positif dan Gram-
negatif. Hasil identifikasi menggunakan 16S rRNA menunjukkan bahwa isolat
A11 adalah Streptomyces sp. (homology 100%).
Hasil analisis menggunakan LC-MS diketahui bahwa senyawa aktif yang
dihasilkan oleh isolat A11 memiliki bobot molekul sebesar 260 g mol-1 dan rumus
molekul C14H16N2O3. Hasil elusidasi struktur molekul menggunakan 1HNMR, 13C NMR, DEPT 13C NMR, dan FTIR menunjukkan bahwa senyawa aktif yang
dihasilkan oleh Streptomyces sp.A11 adalah siklo(tirosil-prolil) yang memiliki
titik leleh sebesar 140 °C.
Minimum Inhibitory Concentration (MIC) siklo(tirosil-prolil) yang
dihasilkan oleh Streptomyces sp.A11 terhadap Escherichia coli ATCC 25922
adalah sebesar 27 μg mL-1, Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 sebesar 69 μg
mL-1, Staphylococcus aureus ATCC 25923 sebesar 80 μg mL-1, and Bacillus
subtilis ATCC 66923 sebesar 74 μg mL-1.
108
Profil fermentasi isolat Streptomyces sp. A11 dalam medium glukosa-
khamir-pepton menunjukkan bahwa fase lag terjadi sampai dengan jam ke-8, fase
pertumbuhan cepat (fase logaritma) terjadi pada selang waktu jam ke-9 sampai
dengan jam ke-48, dan fase stasioner terjadi pada selang waktu jam ke-48 sampai
dengan jam ke-144. Pada fase pertumbuhan cepat (fase logaritma) laju
pertumbuhan maksimum (μ ) sebesar 0,04 jam dan rendemen pembentukan maks-1
biomassa per massa substrat (Y ) sebesar 0,6 gram biomassa per gram gula. Suhu x/s
30 °C dan kisaran pH 6,5 sampai dengan pH 7,5 merupakan kondisi terbaik untuk
proses produksi siklo(tirosil-prolil).
Hasil optimasi medium fermentasi menggunakan variabel bebas dektrin,
pepton, dan campuran mineral I (referensi menurut Sousa et al. 2001)
menunjukkan pengaruh nyata terhadap konsentrasi siklo(tirosil-prolil). Pepton
memberikan pengaruh yang paling kuat dibandingkan dekstrin dan mineral.
Terdapat interaksi nyata diantara pepton dengan dekstrin. Namun demikian tidak
ada interaksi nyata diantara pepton dengan mineral dan dekstrin dengan mineral.
Model matematik produksi siklo(tirosil-prolil) yang diperoleh dalam
optimasi adalah Y= 47,40 + 4,13X1+ 6,74 X2 + 4,59 X3 + 2,17 X1X2 – 5,59 X12-
6,78 X22 – 5.88 X3
2, dengan variabel yang menunjukkan respon paling optimum
adalah konsentrasi dekstrin (X1) sebesar 32,55 g L , konsentrasi pepton (X ) -12
sebesar 11,22 g L dan penambahan mineral (X ) sebesar 8,65 mL dan dugaan -13
respon yang diperoleh adalah sebesar 51,54 mg L . Hasil validasi model yang -1
dilakukan dilaboratorium diperoleh konsentrasi siklo(tirosil-prolil) pada
fermentasi jam ke-144 adalah sebesar 50,04 mg L . Perbedaan nilai dugaan -1
respon dengan percobaan dilaboratorium adalah sebesar 2,9%.
V.2. Saran
Pada proses produksi metabolit sekunder sangat ditentukan oleh mekanisme
lintasan metabolisme (pathway) yang terjadi. Dari hasil penelusuran beberapa
literatur, sampai saat ini belum ada literatur yang memberikan informasi mengenai
lintasan metabolisme pembentukan siklo(tirosil-prolil) ataupun enzim-enzim yang
terlibat dalam metabolisme pembentukan siklo(tirosil-prolil). Untuk penelitian
109
selanjutnya perlu dilakukan pengamatan enzim-enzim yang terlibat dalam proses
metabolisme pembentukan siklo(tirosil-prolil). Disamping itu perlu dilakukan
pengamatan gen-gen yang bertanggung jawab dalam proses pembentukan
siklo(tirosil-prolil). Dengan demikian produktivitas antibiotik masih dapat
ditingkatkan kembali.
Selain variabel komposisi medium fermentasi, variabel proses fermentasi
seperti aerasi dan agitasi juga berpengaruh terhadap produktivitas antibiotik.
Variabel aerasi dan agitasi dapat dipelajari dengan menggunakan fermentor.
Penelitian selanjutnya disarankan untuk menguji pengaruh aerasi, agitasi, dan
suhu fermentasi secara simultan terhadap peningkatan produktivitas antibiotik
dengan menggunakan fermentor.
110
DAFTAR PUSTAKA
Abbas AS, Edwards C. 1990. Effect of metals on Streptomyces coelicolor growth
and actinohordin production. Appl Environ Microbiol. 56(3): 675-680.
Abou-Zeid AA, El-Diwany AI, Shaker HM, Salem HM.1981. Role of nitrogen
sources in fermentative production of oxytetracycline by Streptomyces
rimosus 93060. Agr Wastes 3: 257-265.
Aharonowitz Y.1980. Nitrogen metabolite regulation of antibiotic biosynthesis.
Ann Rev Microbiol. 34:209-33.
Aiba S, Humprey AE, Millis NF. 1973. Biochemical engineering (second edition).
Tokyo: University of Tokyo Press.
Alcamo E. 1996. Fundamental of microbiology. Ed ke-4. California: Addison
Wesley Longman, Inc.
Allen DG, Robinson C. 1990. Measurement of rheological properties of
filamentous fermentation broths. Chem Eng Sci. 45:37-48.
Andrews JM. 2001. Determination of minimum inhibitory concentration. J
Antimicrob Chemother 48 (S1): 5-16.
Annaliesa S, Anderson, Elizabeth MH, Wellington. 2001. The taxonomy of
Streptomyces and related genera. Int J Syst Evol Microbiol 51: 797–814.
Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989.
Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor: P.T. Penerbit IPB (IPB
Press).
Araujo JM, Adilson CD, Joao LA. 2008. Isolation of endophytic actinomycetes
from roots and leaves of maize (Zea mays L). Brazil Electronic Journal.
23 Desember 2008.Diunduh 11 Agustus 2010.
Ashy MA, Abou-ZeidAA. 1982. Fermentative production of spiramycins. Enzym
Microb. Technol 4: 20-24.
Awad HM, Shahed KYI, Nakkadi. EM. 2009. Isolation, screening and
identification of newly isolated soil Streptomyces (Streptomyces sp. NRC-
35) for β-lactamase inhibitor production. World Appl Sc J 7(5):637-646.
112
Barun K, Bhattacharyya, Sushil CP, Sukanta K, Sen. 1998. Antibiotic production
by Streptomyces hygroscopicus D1.5: Cult Effect. Rev. Microbiol 29: 314-
317.
Bennett JW dan Bentley R. 1989. What's in a name? Microbial secondary
metabolism. Adv Appl Microbiol 34: 1-28
Benslimane C, Lebrihi A, Lounes A, Lefebvr G, Germain P. 1995. Influence of
dextrine on the assimilastion of yeast extract amino acids in culture of
Streptomyces ambofaciens producer spiramycin. Enzyme Microbiol
Technol 17:1003-1013.
Berdy J. 2005. Bioactive microbial metabolites (review article). J Antibiot 58(1):
1-26.2005
Bonev B, James H, Judicael P. 2008. Principles of assessing bacterial
susceptibility to antibiotics using the agar diffusion method. J Antimicrob
Chemother 61:1295–1301
Box GEP dan Draper NR. 1987. Emperical model building and response surface.
New York: John Wiley & Sons.
Box GEP, Hunter WG, Hunter JS. 1978. Statistics for experimenters. an
introduction to design, data analysis and model building. New York: John
Wiley and Sons.
Bround-Howland EB, Danielson SS, Niezwicki-Baue SA.1992. Development of
rapid method for detecting bacterial cell insitu using 16S rRNA-targeted
robe. Biotechniques 13:928-933.
Bushell ME, Dunstan GL, Wilson GC. 1997. Effect of small scale culture vessel
type on hyphal fragment size and erythromycin production in
Saccharopolyspora erythraea Biotechnol Lett 9(9):849-852.
Campbell, Neill A. 2002. Biologi. Edisi kelima Jilid 1. Jakarta: Erlangga.
Charan RD, Schlingmann G, Janso J, Bernan V, Feng X, Carter GT. 2004
Diazepinomicin, a new antimicrobial alkaloid from marine
Micromonospora sp. J Nat Prod 67:1431-1433
Cross T. 1982. Actinomycetes : A continuing source of new metabolites. Di dalam
Lancini G, Rolando L. 1993. Biotechnology of antibiotic and other
113
bioactive microbial metabolites. New York: Kluwer Academic Publisher
Group.
Crueger W, Crueger A. 1984. Biotechnology: A Textbook of Industrial
Microbiology, Madison: Science Tech. Inc Publishers.
Dan A, Szabo G. 1973. Induction production of beta-galactosidase in
Streptomyces griseus. Acta Biol Acad Sci Hung. 24(1):1-10.
Das S, Lyla PS, Ajmal-Khan S. 2006. Marine microbial diversity and ecology:
importance and future perspective. Curr Sci 90(10): 1325-1335.
Daza A, Martin FJ, Dominguez A, Gil JA. 1989. Sporulation of several species of
Streptomyces in submerged culture after nutritional downshift. J.Gen
Microbiol 135: 2483-2491.
Demain AL. 2000. Small bugs, big business: The economic power of the microbe.
Biotechnol adv 18:499-514.
Desriani. 2003. Penapisan isolat Streptomyces sp penghasil protein penghambat β-
Laktamase (Thesis). Bogor: Institut Pertanian Bogor, Program
Pascasarjana.
Dewick PM.1997. Medicinal natural products, a biosynthetic approach. Third
avenue, New York, USA, 153-173.
Dhanasekaran D, Selvamani S, Panneerselvam, Thajuddin. 2009. Isolation and
characterization of actinomycetes in Vellar Estuary, Annagkoil, Tamil
Nadu. Afr J Biotechnol 8(17):4159-4162.
Dharmaraj S, Ashokkumar B, Dhevendaran K. 2010. Isolation of marine
Streptomyces and the evaluation of its bioactive potential. Afr J Microbiol
Res 4(4): 240-248.
Dhananjeyan V, Selvan N, Dhanapal K. 2010. Isolation, characterization,
screening and antibiotic sensitivity of actinomycetes from locally (Near
MCAS) collected soil samples. J Biol Sci 10(6): 514-519.
Dunstan GH, Avignone–Rossa C, Langley D, Bushell ME. 2000. The
Vancomycin biosynthetic pathway is induced in oxygen-limited
Amycolatopsis orientalis (ATCC 19795) cultures that do not produce
antibiotic. Enzyme Microb Technol 27(7): 502-510.
114
Facciotti MCR, Schmidell W. 2004. The effect of dissolved oxygen concentration
control on cell growth and antibiotic retamycin production in Streptomyces
olindensis so20. Braz J Chem Eng 02(21) 185-192.
Feling RH, Buchanan GO, Mincer T J, Kauffman CA, Jensen PR, Fenical W.
2003. Salinosporamide A: a highly cytotoxic proteasome inhibitor from a
novel microbial source, a marine bacterium of the new genus Salinospora.
Angew Chem Int Ed Engl 42:355-357.
Furtado NAJC, Pupo MT, Carvalhho I, Campo VL, Duarte MCT, Bastos JK.
2005. Diketopiperazines produced by an Aspergillus fumigatus Brazillian
strain. Braz Chem Soc 16(6B):1448-1453.
Garcia-Ochoa F, Gomez E. 2009. Bioreactor scale-up and oxygen transfer rate in
microbial processes: An overview. Biotechnol Adv. 27:153–176
Glick BR, Pasternak JJ. 2003. Molecular biotechnology, principles and
application of recombinant DNA. Washington: ASM Press.
Goodfellow. M.,(1983). Ecology of Actinomycetes. Ann.Rev. Microbiol. 1983.
37:189-216.
Goodfellow M, Haynes JA. 1984. Actinomycetes in marine sediment. Dalam
Ortiz-ortiz L, Bojalil LF, Vakoleff V (ed). Biological, Biochemical, and
Biomedical aspect of Actinomycetes. Acad. Press Inc, Orlando.Fla.
Goodfellow M, William ST. Mordarski M.1988. Actinomycetes in Biotechnology.
New York: Academic Press.
Graz CJM, Hunt A, Jamie H, Grant G, Milne P. 1999. Antimicrobial activity of
selected cyclic dipeptide. Pharmazie. 54(10): 772-5
Graz CJM, Grant GD, Brauns SCA, Hunt A, Jamie H, Milne PJ. 2000. CDPs in
the induction of maturation for cancer therapy. J Pharm Pharmacol 52: 75-
82.
Guo Q, Daosen G, Zhao B, Xu J, Li R. 2007. Two cyclic dipeptides from
Pseudomonas fluorescens GcM5-1A carried by the pine wood nematode and
their toxicities to Japanese black pine suspension cells and seedlings in vitro.
J Nematol. 39(3): 243–247.
Hanka LJ, Rueckert PW, Cross T. 1985. A method for isolating strains of the
genus Streptoverticillium from soil. FEMS Microbiol Lett.30(3): 365-368.
115
Haque R, Mondal S. 2010. Study on the development of high yielding neomycin
resistant strain of streptomyces fradiae for improved production of
neomycin by using optimal levels of Minerals. Int.J.Drug Dev. & Res.
2(1):33-39.
Hoque MM, Noor R, Nurun N, Khan MR, Khan ZUM. 2003. Maltase activity of
Streptomyces roseolus isolated from Bangladesh soil. Bangladesh J
Bot.20:31-35
Haslam E.1986. Secondary Metabolism, fact or fiction. Nat. Prod. Rep 3: 217–
249.
Hassan MA, Moustafa Y, El-Naggar, Said WY. 2001. Physiological factors
affecting the production of an antimicrobial substance by Streptomyces
violatus in batch cultures. Egypt J Biol. 3: 1-10.
Hayakawa M, Hideo N. 1987. Efficacy of artificial humic acid as a selective
nutrient in HV agar used for the isolation of soil actinomycetes. J Ferment.
Technol 65(6): 609-616.
Hogg S. 2005. Essential microbiology. England: John Wiley and Son Inc.
Horan AC. 1999. Secondary metabolite production, actinomycetes, other than
Streptomyces. Di dalam: Flickinger MC, Drew SW, editors. Encyclopedia
of bioprocess technology: fermentation, biocatalysis and bioseparation.
New York: John Wiley & Sons, Inc.
Hozzein WN, Ali MI, RabieW. 2008. A new prefential medium for enumeration
and isolation of desert actinomycetes. World J Microbiol Biotechnol 24:
1547-1552.
Hoskisson PA, Hobbs G, Sharples GP. 2000. Response of Micromonospora
echinospora (NCIMB 12744) spores to heat treatment with evidence of a
heat activation phenomenon. Lett Appl Microbiol 30:14–117.
Ibarz A, Castell-Perez E, Barbosa-Cánovas GV. 2005. Newtonian and Non-
Newtonian Flow. Di dalam: Barbosa-Cánovas, G.V. 2005. Food
Engineering: Encyclopedia of Life Support Systems. UNESCO.
Iwen and Peter C. 2004. Identification of Microbial Pathogens Using Nucleic
Acid Sequenceing. LA: New Orleans.
116
James PDA dan Edwards C. 1997. The effects of temperature on growth and
production of the antibiotic granaticin by a thermotolerant Streptomycete. J
Gen Microbiol135: 1997-2003.
Judoamidjojo M, Abdul AD, Endang GS. 1992. Teknologi Fermentasi. Jakarta:
Rajawali Press.
Kanoh K, Matsuo Y, Adachi K, Imagawa K, Nishizawa M, Shizuri Y. 2005.
Mechercharmycins A and B, Cytotoxic Substances from Marine-derived
Thermoactinomyces sp. YM3-251. J Antibiot 58(4): 289–292.
Karwowski JP.1986. The selective isolation of Micromonospora from soil by
cesium chloride density gradient ultracentrifugation. J Ind
Microbiol1:186-181.
Kazakevich Y, Lobrutto R. 2007. HPLC for pharmaceutical scientists. New
Jersey: A John Wiley & Sons Inc.
Kelekom A. 2002. Secondary metabolites from marine microorganisms. Annals
Brazil Acad Sci 74(1): 151–170.
Kirk PL. 1950. Kjeldahl method for total nitrogen. Anal Chem 22 (2): 354–358.
Kumar, Kannabiran K. 2010. Diversity and optimization of process parameters for
the growth of Streptomyces VITSVK9 spp. isolated from Bay of Bengal,
India. J Nat Env Sci 1(2):9-18.
Kuster E. 1958 The actinomycetes. di dalam: Burger A, Raw F. 1967. Soil
Biology. London: Acad Press.
Lam KM. 2006. Discovery of novel metabolites from marine Actinomycetes. Curr
Opin Microbiol 9:245–251.
Lautru S, Gondry M, Genet R, Pernodet JL. 2002. Biosynthesis of
diketopiperazine metabolites independent of nonribosomal peptide
synthetases. Chem Biol 9:1355–1364.
Liang JG, Chu XH, Chu J, Wang YH, Zhuang YP, Zhang SI. 2010. Oxygen
uptake rate (OUR) control strategy for improving avermectin B1a
production during fed-batch fermentation on industrial scale (150 m3). Afr J
Biotechnol 9(42) 7186-7191.
117
Liangzhi.L.I., Bin. Q.I.A.O., Yingjin Y. 2007. Nitrogen Sources Affect
Streptolydigin Production and Related Secondary Metabolites Distribution
of Streptomyces lydicus AS 4.2501. Chin J Chem.Eng. 15(3):403-410.
Locci R, Sharples GP. 1983 Morphology. di dalam: Goodfellow M., Mordarski
M, Williams ST. 1984. The biology of the actinomycetes. London:
Academic Press.
Luckner M.1990. Secondary metabolism in plants and animals. Third edition.
Berling: Springer Verlag.
Mangunidjaja. D dan Suryani A. 1994. Teknologi Bioproses. Jakarta: Penebar
Swadaya.
Martin JF, Demain AL. 1980. Control of antibiotic biosynthesis. 1980. Microbiol
Rev. 230-251.
Mason RL, Gunst RF, Hess JL. 1989. Statistical design and analysis of
experiments with applications to engineering and sciences. New York:
John Wiley & Sons.
Miller GL. 1959. Use of dinitrosalicylic acid reagent for determination of
reducing sugar. Anal Chem 31:426-428.
Milne PJ, Oliver DW, Roos HM. 1992. Cyclodipeptides: Structure and
conformation of cyclo(tyrosyl--prolyl). J Crystallog Spect Res. 22(6):643-9,
doi 10.1007.
Mincer TJ, William F, Paul RJ. 2005. Culture-dependent and culture-independent
diversity within the obligate marine actinomycete genus Salinispora. Appl
Environ Microbiol 71(11 P): 7019–7028.
Montgomery DC. 1997. Design and analysis of experiments. 4th Edition. New
York: John Wiley and Sons.
Moat AG, Foster JW, Spector MP. 2002. Microbial physiology 4th edition. New
York: John Wiley & Sons inc Publication.
Morello JA, Paul AG, Helen EM. 2002. Laboratory manual and workbook in
microbiology applications to patient care. New York: The McGraw−Hill
Companies.
Nedialkova D and Mariana N. 2005. Screening the antimicrobial activity of
actinomycetes strains isolated from Antartica. J Cult Collect. 4:29-35.
118
Okami Y, Hotta K. 1988. Search and discovery of new antibiotic, p.33-67. Di
dalam: Goodfellow M, Williams ST, Mordarski M. Actinomycetes in
Biotechnology. New York: Academic Press. Inc.
Omura S.1986. Phylosophy of new drug discovery. Microbiol Rev 50(3) 259-279.
Pelaez F. 2006. The historical delivery of antibiotics from microbial natural
products-Can history repeat? Biochem Pharmacol 71: 981-990.
Pisano MA, Michael JS, Madelyn ML. 1986. Application of pretreatments for the
isolation of bioactive actinomycetes from marine sediments. Appl
Microbiol Biotechnol 25:285-288.
Pisano MA, Sommer MJ, Brancaccio L. 1989. Isolation of bioactive
actinomycetes from marine sediments using rifampicin. Appl Microbiol
Biotechnol. 31:609-612.
Prescott, Harley, Klein. 2002. Microbiology. Fifth Edition. New York: The
McGraw−Hill Companies.
PT. Data Consult. 2004. The market for parmaceutical products and materials in
Indonesia. Jakarta: PT.Data Consult.
Rahayuningsihl M, Syamsu K, Darwis AA, Purnawati R. 2007. Penggandaan
skala prouksi bioinsektisida Bacillus thuringiensis var . israelensi untuk
membasmi jentik nyamuk Aedes aegypti. J. Ilmu Pertanian Indonesia.
12(2):12-130.
Rhee KH. 2004. Cyclic dipeptides exhibit synergistic, broad spectrum
antimicrobial effects and have anti-mutagenic properties. Int J Antimicrob
Agent. 24(5):423–427.
Riegdlinger J, Reicke A, Zahner H, Krismer B, Bull AT, Maldanado LA, Ward
AC, Goodfellow M, Bister B, Bischoff D. 2004. Abyssomicins, inhibitors
of the para-aminobenzoic acid pathway produced by the marine
Verrucosispora strain AB-18-032. J Antibiot 57:271-279.
Ruohang W, Webb C. 1995. Effect of cell concentration on the rheology of
glucoamylase fermentation broth. Biotechnol Tech.9:55-58.
Sanchez S et al. 2010. Carbon source regulation of antibiotic production. J
Antibiot 63: 442-459.
119
Seigler DS. 1998. Plant Secondary Metabolism. London: Kluwer Academic
Publisher.
Seong CN, Ji HC, Keun-shik B. 2001. Improve selective isolation of rare
actinomycetes from forest soil. J Microbiol 39(1): 17-23.
Shindo K, Michiko M, Hiroyuki K. 1995. Studies on cochleamycins, novel
antitumor antibiotics. J Antibiot 49(3): 249-253.
Shuler ML & Kargi F. 1992. Bioprocess engineering. New Jersey: Prentice-Hall
Inc.
Sousa MFVQ, Lopes CE, Junior NP. 2001. A chemically defined medium
production of Actinomycin D by Streptomyces parvulus. Brazilian arch
biol technol 44(N3): 227-231.
Srinivasan MC., Laxman RS, Deshpande MV. 1991. Physiology and nutritional
aspects of actinomycetes : an overview. World J Microbol Biotechnol 7:
171-184.
Stanbury PF, Whitaker A. 1987. Principles of Fermentation Technology. New
York: Pergamon Press.
Stierle A, Cardellina JH, Strobel GA. 1988. Maculosin, a host-specific
phytotoxin for spotted knapweed from Alternaria alternata. Proc Nat Acad
Sci. 85(21): 8008-8011.
Strohl W.1999. Secondary metabolites, antibiotic. Di dalam: Flickinger M,
Stephen WD. Encyclopedia: Bioprocess technology, fermentation,
biocatalysis, and bioseparation. Volumes 1-5. New York: John wiley and
sons Inc.
Takahashi Y, Satoshi O.2003. Isolation of new actinomycete galurs for the
screening of new bioactive compounds. J Gen Appl Microbiol 49:141-154.
Tanaka K. 2001. P-I3 - kinase p85 is a target molecule of proline-rich
antimicrobial peptide to suppress proliferation of ras - transformed cells. Jpn
J Cancer Res. 92: 959-967.
Tarui N, Ikeura Y, Natsugari H, Nakahama K. 2001. Microbial synthesis of three
metabolites of a tachykinin receptor antagonist, TAK-637. J Biosci
Bioeng. 92(3):285-287
120
Torssell KBG. 1997. Natural Product Chemistry; A mechanistic, biosynthetic and
ecological approach. Swedish: Apotekarsocieteten-Swedish
Pharmaceutical Press.
Tuffile CM, Pinho F. 1970. Determination of oxygen transfer coefficients in
viscous streptomycete fermentations. Di dalam: Stanbury PF, Whitaker A.
1987. Principles of Fermentation Technology. New York: Pergamon
Press.
Ulgas KO, Mavituna F. 1993. Actinohordin production by Streptomyces
coelicolor A3(2): kinetic parameter related to growth, substrate uptake and
production. Appl Microbiol Biotechnol 43:457-462.
Umezawa H, Takita T, Shiba T. 1978. Bioactive peptides produced by
microorganisms. New York: John Wiley & Sons.
Voelker dan Altaba. 2001. Nitrogen source governs the pattern of growth and
prostinamycein production in Streptomyces pristinaespiralis. Microbiol
147:2447-2459.
Vogel HC dan Todaro CL. 1996. Fermentation and biochemical engineering
handbook; principles, process design and equipment. New Jersey: Noyes
Publications.
Wang DIC, Cooney CL, Demain AL, Dunhill P, Humprey AE, Lily MM. 1979.
Fermentation and Enzym Technology. London: Willey Interscience.
Wirakartakusumah MA. 1989. Prinsip Teknik Pangan. PAU Pangan dan Gizi
IPB, Bogor.
Yuwono dan Triwibowo. 2006. Teori dan Aplikasi Polymerase Chain Reaction.
Perbit ANDI. Yogyakarta.
Lampiran 1 Kurva standar HPLC analitik untuk penentuan konsentrasi siklo(tirosil-prolil).
Kurva Standar HPLC siklo(tirosil-prolil)
y = 16663x + 145389R2 = 0.99
0.00
10000000.00
20000000.00
30000000.00
40000000.00
50000000.00
60000000.00
0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500Konsentrasi antibiotik (mg.L-1)
Luas
are
a (k
rom
atog
ram
HP
LC)
Konsentrasi siklo(tirosil-prolil)
(mg L-1)
Luas area kromatogram
HPLC 3250 54297969 1625 27028277 812,5 14223325 406,3 6364325 203,1 4037020 101,6 2024768 50,8 893794 25,4 292393 12,7 244598
Jenis kolom : Sunfire C18 column (4,6 x 250 mm,
Shiseido Co. Ltd., Tokyo, Japan) Kondisi operasi : Fasa gerak : metanol-air (0-100%) elusi linier gradien
selama 25 menit, dilanjutkan elusi isokratik 100% metanol selama 10 menit.
Kecepatan alir : 1 mL menit-1
Volume injeksi : 10μL Panjang gelombang detektor : λ 210 nm Suhu kolom : 30°C Tekanan kolom : 1267 psi Detektor : Photo Diode Array (PDA)
122
Lampiran 2 Metode penentuan konsentrasi gula reduksi (Miller 1959).
Sebanyak 1 gram sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi 20 mL.
Kemudian ditambahkan 1 mL HCl 4 N dan dipanaskan pada penganas air selama
30 menit. Selanjutnya didinginkan dan dinetralkan dengan menambahkan 2 mL
NaOH 2 N. Sampel diencerkan sesuai dengan perkiraan konsentrasi gula
pereduksi yang terdapat di dalam sampel. Selanjutnya sampel yang telah
diencerkan ini diambil sebanyak 1 mL dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi 20
mL. Setelah itu ditambahkan 3 mL pereaksi DNS dan diinkubasi pada penangas
air bersuhu ± 100 °C selama 5 menit. Selanjutnya didinginkan dan diukur
konsentrasi gula pereduksinya dengan cara dibaca absorbansinya menggunakan
spektrofotometer pada panjang gelombang 550 nm. Sebagai blanko dibuat sama
seperti prosedur tersebut kecuali sampel diganti dengan akuades. Kurva standar
dibuat menggunakan larutan glukosa standar pada kisaran 100-350 mg L-1.
Kurva standar glukosa standar dibuat dengan membuat larutan glukosa
standar (Merck) pada beberapa konsentrasi antara lain dari konsentrasi 100 mg L-1
sampai dengan 300 mg L-1. Adapun kurva standar glukosa yang ditelah dibuat
disajikan sebagai berikut;
Absorbansi
Konsentrasi glukosa (mg L-1)
0,159 100 0,348 150 0,552 200 0,748 250 0,916 300
y = 260.97x + 57.874R2 = 0.99
0
50
100
150
200
250
300
350
0 0.2 0.4 0.6 0.8 1
absorbansi
kons
entra
si g
ula
(ppm
)
123
Lampiran 3 Metode penentuan konsentrasi nitrogen total (Kirk 1950)
Sebanyak 10 mL dari setiap pengambilan 30 mL sampel dianalisis untuk
uji total nitrogen. Terlebih dahulu disentrifugasi dengan 8000 x g selama 15 menit
untuk memisahkan biomassanya, fase air dipisahkan dari biomassanya. Fase air
ditimbang sebanyak kurang lebih 1 g di dalam tabung destruksi ditambahkan 1
butir selenium tablet dan 10 mL H2SO4 pekat, kemudian didekstruksi dalam
dekstruksi Kjeldahl sampai perubahan warna menjadi bening.
Larutan H3BO4 4% dipipetkan sebanyak 25 mL ke dalam labu Erlenmeyer
250 mL. Setelah menjadi bening sampel kemudian didestilasi di destilasi Kjeldahl
dengan NaOH 40% berlebih sampai selesai. Selanjutnya dititrasi dengan larutan
HCl 0,05 N sampai titik akhir. Hal yang sama dilakukan untuk blanko. Nitrogen
total dapat dihitung dengan menggunakan rumus:
N total (% w/n) = (Vs-Vb) x N HCl x 14,01 x 100% Bobot contoh
Dengan Vs sebagai volume HCl yang digunakan untuk titrasi sampel, Vb sebagai
volume HCl yang digunakan pada titrasi blanko, dan N HCl sebagai normalitas
HCl.
124
Lampiran 4 Metode penentuan bobot kering sel. (Voelker dan Altaba, 2001)
Bobot kering sel ditentukan dengan mengikuti metode menurut Voelker
dan Altaba (2001) yang dimodifikasi. Sebanyak 10 mL kaldu fermentasi dari
sampel disentrifuse dengan kecepatan 8000 x g selama 10 menit. Selanjutnya sel
dipisahkan dengan filtratnya menggunakan kertas saring 0,22 µm (Millipore) dan
dicuci dengan menggunakan air demineral sebanyak dua kali. Sel dikeringkan
pada suhu 110 °C selama selama 48 jam, selanjutnya dimasukkan dalam
desikator sampai diperoleh bobot konstan. Sel ditimbang dan diperoleh bobot
kering sel per satuan volume.
125
Lampiran 5 Penentuan nitrogen total dan bobot bahan dari masing-masing sumber nitrogen yang digunakan untuk optimasi medium fermentasi
Penentuan nitrogen total dalam medium fermentasi yang digunakan dalam
penelitian ini mengacu dari medium fermentasi yang digunakan oleh Kanoh et al.
2005, dengan komposisi sumber nitrogen 5 g L-1 pepton dan 1 g L-1 ekstrak
khamir. Hasil analisis kandungan nitrogen total beberapa sumber nitrogen yang
digunakan dalam penelitian ini diperoleh data sebagai berikut;
No Sumber nitrogen Kandungan nitrogen (%)
1 Asam gutamat (C5H9NO4) 8,00
2 Pepton 13,21 3 Kasein 11,39 4 Ekstrak Khamir 10,08
5 Amonium Sulfat(NH4)2SO4 3,59
Mengacu dari hasil analisis nitrogen total pepton dan ekstrak khamir
tersebut diatas maka dalam 5 g pepton dan 1 g ekstrak khamir dalam setiap 1 l
medium diperoleh kandungan nitrogen total sebanyak 0,76 g. Dengan demikian
bobot masing-masing sumber nitrogen yang digunakan dalam penyusunan
medium fermentasi adalah sebagai berikut;
No Sumber nitrogen
Bobot sumber nitrogen yang
dibutuhkan (g L-1) 1 Asam gutamat 8,00 2 Pepton 5,76 3 Kasein 6,68 4 Ekstrak khamir 7,55
5 Amonium sulfat(NH4)2SO4 3,59
126
Lampiran 6 Urutan nukleotida fragmen gen isolat terpilih (Streptomyces sp.A11) dan kedekatan (homology) yang dibandingkan dengan gen spesies lainnya
CACCTTCGACAGCTCCCTCCCACAAGGGGTTGGGCCACCGGCTTCGGGTGTTACCGACTTTCGTGACGTGACGGGCGGTGTGTACAAGGCCCGGGAACGTATTCACCGCAGCAATGCTGATCTGCGATTACTAGCAACTCCGACTTCATGGGGTCGAGTTGCAGACCCCAATCCGAACTGAGACCGGCTTTTTGAGATTCGCTCCGCCTCGCGGCATCGCAGCTCATTGTACCGGCCATTGTAGCACGTGTGCAGCCCAAGACATAAGGGGCATGATGACTTGACGTCGTCCCCACCTTCCTCCGAGTTGACCCCGGCAGTCTCCTGTGAGTCCCCATCACCCCGAAGGGCATGCTGGCAACACAGAACAAGGGTTGCGCTCGTTGCGGGACTTAACCCAACATCTCACGACACGAGCTGACGACAGCCATGCACCACCTGTATACCGACCACAAGGGGGGCACCATCTCTGATGCTTTCCGGTATATGTCAAGCCTTGGTAAGGTTCTTCGCGTTGCGTCGAATTAAGCCACATGCTCCGCTGCTTGTGCGGGCCCCCGTCAATTCCTTTGAGTTTTAGCCTTGCGGCCGTACTCCCCAGGCGGGGAACTTAATGCGTTAGCTGCGGCACCGACGACGTGGAATGTCGCCAACACCTAGTTCCCAACGTTTACGGCGTGGACTACCAGGGTATCTAATCCTGTTCGCTCCCCACGCTTTCGCTCCTCAGCGTCAGTAATGGCC
127
128
Lampiran 7 Kurva penentuan MIC senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) terhadap 4 bakteri uji
Lampiran 7a Kurva penentuan MIC senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) terhadap Escherichia coli
Pengukuran zona bening
I
Pengukuran zona bening
II
Rata-rata diameter
zona bening (x) x2 logC(konsentrasi)
Konsentrasi (C) senyawa aktif (mg L-1)
12,21 12,11 12,16 147,8656 3,812913 6500 11,25 10,87 11,06 122,3236 3,511883 3250 9,89 9,95 9,92 98,4064 3,210853 1625 9,12 8,78 8,95 80,1025 2,909823 812,5 8,11 8,01 8,06 64,9636 2,608847 406,3 6,78 6,86 6,82 46,5124 2,30771 203,1 5,98 6,15 6,07 36,784225 2,006894 101,6 4,90 5,32 5,11 26,1121 1,703291 50,5
y = 0.017x + 1.4316R2 = 0.98
00.5
11.5
22.5
33.5
44.5
0 20 40 60 80 100 120 140 160
X2
Log
(C)
pada x=0 maka y= log (C) log (C)= 1,4316 Log(C) = Log (MIC) MIC =27,01 µg mL-1
129
Lampiran 7b Kurva penentuan MIC senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923
Pengukuran zona bening
I
Pengukuran zona bening
II
Rata-rata diameter
zona bening (x) x2 logC (konsentrasi)
Konsentrasi (C) senyawa aktif (mg L-1)
7,95 8,21 8,08 65,2864 3,812913 6500 7,21 7,11 7,16 51,2656 3,511883 3250 6,14 5,96 6,05 36,6025 3,210853 1625 5,01 6,67 5,84 34,1056 2,909823 812,5 4,35 4,12 4,24 17,93523 2,608847 406,3 3,32 3,22 3,27 10,6929 2,30771 203,1 2,12 1,50 1,81 3,2761 2,006894 101,6 0,50 0,89 0,71 0,5041 1,703291 50,5
y = 0.0311x + 1.9042R2 = 0.97
00.5
11.5
22.5
33.5
44.5
0 10 20 30 40 50 60 70
x2
log(
C)
pada x=0 maka y= log(C) log (C) = 1,9042 Log (C) = Log (MIC)
MIC = 80,2 µg mL-1
130
Lampiran 7c Kurva penentuan MIC senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) terhadap Bacillus subtilis ATCC 66923
Pengukuran I zona
bening (mm)
Pengukuran II zona
bening (mm)
Rata-rata diameter
zona bening (x) x2 logC(konsentrasi)
Konsentrasi (C) senyawa aktif (mg L-1)
9,51 8,91 9,21 84,82 3,812913357 6500 8,22 8,13 8,18 66,83 3,511883361 3250 7,12 6,89 7,01 49,07 3,210853365 1625 6,33 6,11 6,22 38,69 2,90982337 812,5 4,97 5,01 4,99 24,90 2,608846822 406,3 4,10 3,87 3,99 15,88 2,307709923 203,1 3,01 2,75 2,88 8,29 2,006893708 101,6 0,50 0,51 0,52 0,26 1,703291378 50,5
y = 0.0247x + 1.8675R2 = 0.97
00.5
11.5
22.5
33.5
44.5
0 20 40 60 80 1
X2
Log(
C)
00
pada x=0 maka y= log(C) log C= 1,8675 log(C) = Log(MIC) MIC =73,71 µg mL-1
131
Lampiran 7d Kurva penentuan MIC senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) terhadap Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853
Pengukuran zona bening
I
Pengukuran zona bening
II
Rata-rata diameter
zona bening (x) x2 logC(konsentrasi)
Konsentrasi (C) senyawa aktif (mg L-1)
9,32 9,01 9,17 84 3,812913 6500 8,11 7,98 8,05 64,72 3,511883 3250 7,10 6,75 6,93 47,96 3,210853 1625 6,33 6,11 6,22 38,69 2,909823 812,5 5,14 5,10 5,12 26,21 2,608847 406,3 3,97 3,99 3,98 15,84 2,30771 203,1 3,12 3,32 3,22 10,37 2,006894 101,6 1,10 0,89 1,02 1,03 1,703291 50,5
y = 0.0256x + 1.8357R2 = 0.97
00.5
11.5
22.5
33.5
44.5
0 20 40 60 80 1
x2
logC
00
pada x=0 maka y= log (C) log C= 1,837 log (C) = log (MIC) MIC = 68,71 µg mL-1
132
Lampiran 7e Kurva penentuan MIC tetrasiklin terhadap Escherichia coli ATCC
25922
Pengukuran zona
bening I
Pengukuran zona
bening II
Rata-rata diameter
zona bening
(x) x2 logC(konsentrasi)
Konsentrasi (C) senyawa aktif (mg L-1)
9,08 9,23 9,16 83,8140 3,812913 6500 7,11 7,58 7,35 53,9490 3,511883 3250 7,01 7,15 7,08 50,1264 3,210853 1625 5,33 7,23 6,28 39,4384 2,909823 812,5 4,14 6,10 5,12 26,2144 2,608847 406,3 3,97 4,32 4,15 17,1810 2,30771 203,1 3,50 3,32 3,41 11,6281 2,006894 101,6 1,20 1,29 1,26 1,5876 1,703291 50,5
y = 0.0268x + 1.8064R2 = 0.95
00.5
11.5
22.5
33.5
44.5
0 20 40 60 80 1
X2
Log
(C)
00
pada x=0 maka y= log (C) log C= 1,8064 log (C) = log (MIC) MIC = 64 µg mL-1
133
Lampiran 7f Kurva penentuan MIC tetrasiklin terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923
Pengukuran zona bening
I Pengukuran zona bening
II
Rata-rata diameter
zona bening (x) x2 logC(konsentrasi)
Konsentrasi (C) senyawa aktif (mg L-1)
5,39 5,01 5,20 27,0400 3,812913 6500 4,61 4,91 4,76 22,6576 3,511883 3250 3,81 3,96 3,89 15,0932 3,210853 1625 3,01 3,09 3,05 9,3025 2,909823 812,5 2,10 2,12 2,11 4,4521 2,608847 406,3
y = 0.0511x + 2.4082R2 = 0.99
00.5
11.5
22.5
33.5
44.5
0 5 10 15 20 25 30
x2
log(
C)
pada x=0 maka y= log (C) log C= 2,4082 log (C) = log (MIC) MIC = 256 µg mL-1
134
Lampiran 7g Kurva penentuan MIC tetrasiklin terhadap Bacillus subtilis ATCC 66923
Pengukuran zona bening I
Pengukuran zona bening
II
Rata-rata diameter zona
bening (x) x2 logC(konsentrasi)
Konsentrasi (C) senyawa aktif
(mg L-1) 7,12 6,94 7,03 49,4209 3,812913357 6500 6,98 6,45 6,72 45,0912 3,511883361 3250 5,92 5,65 5,79 33,4662 3,210853365 1625 4,79 4,68 4,74 22,4202 2,90982337 812,5 3,52 3,72 3,62 13,1044 2,608846822 406,3 2,92 2,92 2,92 8,5264 2,307709923 203,1
y = 0.0332x + 2.1073R2 = 0.98
00.5
11.5
22.5
33.5
44.5
0 10 20 30 40 50 6
X2
Log(
C)
0
pada x=0 maka y= log (C) log C= 2,1073 log (C) = log (MIC) MIC = 128 µg mL-1
135
Lampiran 7h Kurva penentuan MIC tetrasiklin terhadap Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853
Pengukuran zona
bening I
Pengukuran zona
bening II
Rata-rata diameter
zona bening (x) x2 logC(konsentrasi)
Konsentrasi (C) senyawa aktif
(mg L-1) 14,32 14,26 14,29 204,2041 3,812913 6500 13,11 13,98 13,55 183,4670 3,511883 3250 12,10 12,75 12,43 154,3806 3,210853 1625 11,33 11,11 11,22 125,8884 2,909823 812,5 10,14 10,10 10,12 102,4144 2,608847 406,3 9,97 9,99 9,98 99,6004 2,30771 203,1 8,12 8,32 8,22 67,5684 2,006894 101,6 7,00 7,09 7,04 49,5616 1,703291 50,5
y = 0.0135x + 1.0968R2 = 0.98
00.5
11.5
22.5
33.5
44.5
0 50 100 150 200 250
x2
logC
pada x=0 maka y= log (C) log C= 1,0968 log (C) = log (MIC) MIC = 12,5 µg mL-1
136
Lampiran 8 Data perubahan parameter pH, gula reduksi, dan bobot kering sel kultur vegetatif menggunakan isolat Streptomyces sp. A11.
Jam ke-
Bobot kering sel
(g L-1)
Gula reduksi (g L-1) pH
0 0,22 10,22 7,65 8 0,62 9,57 7,56
16 2,06 8,15 6,90 24 3,29 6,51 6,65 32 4,45 4,52 6,51 40 5,35 3,21 6,12 48 6,35 2,37 5,94 56 6,86 1,79 5,85 64 6,85 1,51 5,80
137
Lampiran 9 Data perubahan parameter pH, gula reduksi, nitrogen total, bobot kering sel, dan konsentrasi siklo(tirosil-prolil) pada proses fermentasi menggunakan isolat Streptomyces sp.A11.
Jam ke-
Bobot kering sel (g L-1)
Gula reduksi (g L-1) pH
Konsentrasi siklo(tirosil-
prolil) (mg L-1) Nitrogen total
(mg L-1) 0 0,29 13,12 7,65 0 0,75 8 0,53 12,57 7,57 0 0,74
16 2,01 11,15 6,90 0 0,74 24 3,03 9,51 6,65 0 0,73 32 4,13 7,52 6,51 0 0,70 40 5,17 5,12 5,86 0 0,68 48 6,22 4,37 6,34 0 0,63 56 6,75 3,79 6,65 0 0,59 64 6,65 3,51 7,03 12,35 0,54 72 6,72 3,33 7,32 15,43 0,51 80 6,18 3,21 7,35 16,34 0,46 88 6,51 3,11 7,51 18,43 0,45 96 6,34 2,89 7,54 20,32 0,44
104 6,21 2,68 7,59 23,32 0,41 112 5,88 2,43 7,76 26,32 0,40 120 5,89 2,35 7,65 28,43 0,39 128 5,65 2,32 7,68 29,59 0,38 136 5,76 2,11 7,61 30,43 0,37 144 5,83 2,00 7,65 30,21 0,35
138
Lampiran 10 Penentuan laju pertumbuhan spesifik maksimal (µmaks) dan rendemen pembentukan biomassa per massa substrat (Yx/s)
Lampiran 10a Penentuan laju pertumbuhan spesifik maksimal (µmaks)
Waktu (Jam)
Bobot kering sel percobaan 1(g L-1)
Bobot kering sel percobaan 2 (g L-1)
Rata-rata (X) Ln (X)
16 1,87 2,15 2,01 0,70 24 2,78 3,28 3,03 1,11 32 3,70 4,56 4,13 1,42 40 4,94 5,40 5,17 1,64
y = 0.0393x + 0.1166R2 = 0.98
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
0 10 20 30 40
waktu (jam)
Ln(X
)
50
µmaks yang merupakan gradien dari kurva waktu (jam) versus ln(X)
menunjukkan nilai sebesar 0,04 Jam-1
139
Lampiran 10b Penentuan rendemen pembentukan biomassa per massa substrat (Yx/s)
Waktu (Jam) X1 X2
Rata-rata (X) S1 S2
Rata-rata (S) (X-Xo) (So-S)
16 1,87 2,15 2,01 10,94 11,36 11,15 1,72 1,97 24 2,78 3,28 3,03 9,03 9,99 9,51 2,74 3,61 32 3,70 4,56 4,13 7,05 7,99 7,52 3,84 5,6 40 4,94 5,40 5,17 4,78 5,46 5,12 4,88 8
X1 = bobot kering sel percobaan 1 (g L-1) X2 = bobot kering sel percobaan 2 (g L-1) S1 = konsentrasi gula reduksi percobaan 1 (g L-1) S2 = konsentrasi gula reduksi percobaan 2 (g L-1)
y = 0.6048x + 0.2973R2 = 0.97
0
1
2
3
4
5
6
0 1 2 3 4 5 6 7 8
(So-S)
(X-X
o)
9
(Yx/s) yang merupakan gradien dari kurva (X-Xo) versus (So-S) menunjukkan
0,60 gram biomassa per gram sumber karbon.
140
Lampiran 11 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan perlakuan suhu fermentasi terhadap konsentrasi siklo(tirosil-prolil) yang dihasilkan.
Aktvitas antbiotik (mg L-1) Variabel suhu (oC) Ulangan 1 Ulangan 2 Rataan Jumlah 26 12,35 10,23 11,29 22,58 28 19,98 21,96 20,97 41,94 30 29,76 30,89 30,33 60,65 32 25,21 23,76 24,49 48,97 34 19,37 20,34 19,86 39,71
total 213,85
FK 4573,18 JKP 387,91 JKT 394,28
ANOVA db JK KT F F(0,05)tabel
P(perlakuan) 4 387,91 96,98 76,15 3,02 G(galat) 5 6,37 1,27 T(total) 9 394,28
UJI DUNCAN (0,05) p=5 dbG=5 Ulangan=2 Pembanding(P-1) 2 3 4 5 6 JND(0,05) 3,35 3,47 3,54 3,58 3,6 JNT(JNDxSy) 2,67 2,77 2,82 2,86 2,87
Suhu (oC)
Konsentrasi antibiotik (mg L-1) kode
26 11,29 a 34 19,86 b 28 20,97 c 32 24,49 d 30 30,33 e
141
Lampiran 12 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan perlakuan pH awal medum fermentasi terhadap konsentrasi siklo(tirosil-prolil) yang dihasilkannya
Konsentrasi antibiotik (mg L-1) pH awal fermentasi Ulangan 1 Ulangan 2 Rataan Jumlah
4 19,98 21,30 20,64 41,27 4,5 22,33 22,52 22,42 44,85 5 23,04 23,73 23,39 46,77
5,5 23,38 23,27 23,32 46,65 6 23,38 28,53 25,95 51,90
6,5 31,54 30,44 30,99 61,98 7 31,40 32,12 31,76 63,52
7,5 32,38 31,26 31,82 63,63 8 24,14 23,93 24,03 48,06
total 468,65
FK 12201,70 JKP 302,66 JKT 318,58
ANOVA db JK KT F F(0,05)tabel
P(perlakuan) 8,00 302,66 37,83 21,39 3,02 G(galat) 9,00 15,92 1,77 T(total) 17,00 318,58
UJI DUNCAN (0,05) p=9 dbG=9 Ulangan=2 Pembanding (P-1) 2 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 9,00 JND(0,05) 3,2 3,34 3,41 3,47 3,50 3,52 3,52 3,52 JNT(JNDxSy) 2,93 3,06 3,12 3,18 3,20 3,22 3,22 3,22
pH Konsentrasi
antibiotik (mg L-1) pH4 20,64 a pH4,5 22,42 ab pH5,5 23,32 ab pH5 23,39 ab pH8 24,03 bc pH7,5 31,82 bc pH6 25,95 cd pH7 31,76 d pH6,5 30,99 d
142
Lampiran 13 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan penentuan sumber karbon terbaik pada proses fermentasi produksi siklo(tirosil-prolil) dan hasil analisis gula total sebelum dan sesudah fermentasi.
Lampiran 13a Analisis ragam dan uji lanjut Duncan penentuan sumber karbon terbaik pada proses fermentasi produksi siklo(tirosil-prolil)
Konsentrasi antibiotik (mg L-1) Sumber
karbon Ulangan 1 Ulangan 2 Rataan Jumlah glukosa 22,83 23,17 23,00 46,00 maltosa 25,34 25,25 25,29 50,59 laktosa 13,12 12,57 12,84 25,69 sukrosa 14,51 13,58 14,05 28,09 molase 18,67 12,33 15,50 30,99 dekstrin 27,14 29,68 28,41 56,82 total 238,19
FK 4727,84 JKP 429,15 JKT 453,10
ANOVA db JK KT F F(0,05)tabel P(perlakuan) 5 429,15 85,83 21,50 3,02 G(galat) 6 23,96 3,99 T(total) 11 453,10
UJI DUNCAN (0,05) p=6 dbG=6 ulangan=2 Pembanding(P-1) 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 JND(0,05) 3,15 3,30 3,37 3,43 3,46 3,47 JNT(JNDxSy) 3,74 3,92 4,01 4,08 4,11 4,12
Sumber karbon Konsentrasi antibiotik
(mg L-1) Kode Laktosa 12,84 a Sukrosa 14,05 a Molase 15,50 a Glukosa 23,00 bc Maltosa 25,29 cd Dekstrin 28,41 d
143
Lampiran 13b Hasil analisis gula total dari beberapa sumber karbon sebelum dan sesudah fermentasi.
Sumber karbon
Konsentrasi antibiotik (mg L-1)
Konsentrasi sumber karbon awal (mg L-1)
(S0)
Konsentrasi sumber karbon akhir (mg L-1)
(S1)
Jumlah konsumsi
(mg)
(S0-S)/S0 x 100
Rasio Konsentrasi siklo (tirosil-
prolil) terhadap total
konsumsi sumber karbon
Laktosa 12,84a 12504 8470 4034 32,26 0,00318
Sukrosa 14,05a 9196 4794 4402 47,87 0,00319
Molase 15,50a 5909 976 4933 83,47 0,00314
Glukosa 23,00bc 10577 830 9747 86,05 0,00224
Maltosa 25,29bc 11842 2433 9409 79,45 0,00269
Dekstrin 28,41d 10979 2406 8573 78,08 0,00331
144
Lampiran 14 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan penentuan sumber nitrogen terbaik pada proses fermentasi produksi siklo(tirosil-prolil) dan hasil analisis nitrogen total sebelum dan sesudah fermentasi.
Lampiran 14a Analisis ragam dan uji lanjut Duncan penentuan sumber nitrogen terbaik pada proses fermentasi produksi siklo(tirosil-prolil)
Konsentrasi antibiotik
(mg L-1) Sumber nitrogen 1 2 Rataan Jumlah Ekstrak khamir 13,10 12,65 12,88 25,75 Pepton 23,06 22,34 22,70 45,39 Amonium sulfat 0,00 0,00 0,00 0,00 Kasein 20,17 23,12 21,65 43,29 Asam glutamat 9,74 10,25 9,99 19,98 Total 134,42
FK 1806,98 JKP 691,76 JKT 696,61
ANOVA db JK KT F F(0.05)tabel
P(perlakuan) 4,00 691,76 172,94 178,34 3,02 G(galat) 5,00 4,85 0,97 T(total) 9,00 696,61
UJI DUNCAN (0,05) p=5 dbG=5 ulangan=2 Pembanding(P-1) 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 JND(0,05) 3,35 3,47 3,54 3,58 3,60 JNT(JNDxSy) 2,80 2,90 2,95 2,99 3,00
Sumber Nitrogen Konsentrasi antibiotik (mg L-1) Amonium sulfat 0 a Asam glutamat 9,99 b Ekstrak khamir 12,88 b Kasein 21,65 c Pepton 22,70 c
145
Lampiran 14b Hasil analisis nitrogen total dari beberapa sumber nitrogen sebelum dan sesudah fermentasi
Nitrogen total awal fermentasi (mg.mL-1)
Nitrogen total akhir fermentasi (mg.mL-1)
Konsentrasi siklo(tirosil-
prolil) (mg L-1)
Jumlah konsumsi
nitrogen total (mg.mL-1)
Asam glutamat (C5H9NO4) 0,76 0,44 9,99 0,32 Pepton 0,76 0,35 22,70 0,41 Kasein 0,75 0,34 21,65 0,41 Ekstrak khamir 0,74 0,30 12,88 0,44 Amonium sulfat (NH4)2SO4 0,75 0,55 0 0,20
146
Lampiran 15 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan penentuan mineral terbaik pada proses fermentasi produksi siklo(tirosil-prolil).
Konsentrasi antibiotik mg L-1 Jenis mineral Percobaan 1 Percobaan 2 rataan jumlah Mineral I 35,23 35,76 35,50 70,99 Mineral II 31,23 32,12 31,68 63,35 Mineral III 33,22 32,98 33,10 66,20 Mineral IV 31,75 31,76 31,76 63,51 Mineral V 26,54 25,43 25,99 51,97 Blanko 25,13 24,32 24,73 49,45 total 365,47
ANOVA db JK KT F F(0.05)tabel P(perlakuan) 5 176,78 35,36 140,54 3,22 G(galat) 6 1,51 0,25 T(total) 11 178,29
p=6 dbG=6 ulangan=2 Pembanding (P-1) 2 3 4 5 6 JND(0,05) 3,46 3,58 3,64 3,68 3,68 JNT(JNDxSy) 1,25 1,29 1,31 1,33 1,33
perlakuan Nilai tengah notasi
Blanko 24,73 a Mineral V 25,99 b Mineral II 31,68 c Mineral IV 31,76 c Mineral III 33,10 d Mineral I 35,50 e
FK 11130,69 JKP 176,78 JKT 178,29
147
Lampiran 16 Respon hasil percobaan optimalisasi proses produksi siklo(tirosil-prolil) menggunakan isolat Streptomyces sp.A11 Dekstrin (g L-1)
Pepton (g L-1)
Mineral (mL) Notasi
X1 X2 X3 X1 X2 X3 Respon Predicted
value Residual
Gula reduksi
fermentasi (g L-1)
Gula reduksi akhir
fermentasi (g L-1)
Konsumsi gula (g L-1) (awal-
akhir)
Rasio respon terhadap
konsumsi gula 25 8 5 -1 -1 -1 19,13 17,19 1,94 27,99 8,87 19,12 1,00 35 8 5 1 -1 -1 19,96 20,15 -0,19 37,78 17,19 20,59 0,97 25 12 5 -1 1 -1 23,19 24,64 -1,45 28,22 7,15 21,07 1,10 35 12 5 1 1 -1 40,35 36,28 4,07 38,26 15,32 22,94 1,76 25 8 10 -1 -1 1 20,59 23,72 -3,13 27,94 7,98 19,96 1,03 35 8 10 1 -1 1 30,99 28,61 2,38 37,89 14,32 23,57 1,31 25 12 10 -1 1 1 35,67 34,54 1,13 28,17 5,56 22,61 1,58 35 12 10 1 1 1 47,11 48,11 -1,00 38,21 15,21 23,00 2,05
21,6 10 7,5 -1,68 0 0 26,00 24,65 1,35 23,12 5,43 17,69 1,47 38,4 10 7,5 1,68 0 0 35,88 38,56 -2,68 43,11 17,23 25,88 1,39 30 6,64 7,5 0 1,68 0 16,74 16,89 -0,15 31,98 12,46 19,52 0,86 30 13,36 7,5 0 1,68 0 38,37 39,55 -1,18 33,24 10,34 22,90 1,68 30 10 3,3 0 0 -1,68 2,90 23,05 -2,15 33,13 10,35 22,78 0,13 30 10 11,7 0 0 1,68 39,31 38,49 0,82 33,21 9,35 23,86 1,65 30 10 7,5 0 0 0 47,56 47,40 0,16 33,32 9,87 23,45 2,03 30 10 7,5 0 0 0 47,71 47,40 0,31 33,11 9,92 23,19 2,06 30 10 7,5 0 0 0 47,88 47,40 0,48 33,31 10,21 23,10 2,07 30 10 7,5 0 0 0 46,94 47,40 -0,46 33,21 10,14 23,07 2,03 30 10 7,5 0 0 0 47,19 47,40 -0,21 33,16 9,88 23,28 2,03 30 10 7,5 0 0 0 47,36 47,40 -0,04 33,14 9,78 23,36 2,03
148
Lampiran 17 Keluaran hasil analisis data menggunakan Design Expert 7 pada proses optimasi produksi siklo(tirosil-prolil).
Lampiran 17a Keluaran Design Expert 7 dan respon yang diperoleh
149
Lampiran 17b Keluaran design summary dan respon yang diperoleh
150
Lampiran 17 c Keluaran hasil analisis fit summary dari Design Expert 7
151
Lampiran 17d Keluaran hasil analisis variansi (ANOVA) dari DesignExpert 7
152
Lampiran 17e Keluaran variabel hasil optimasi menggunakan DesignExpert 7
153
Lampiran 18 Data pengamatan konsentrasi siklo(tirosil-prolil) dan konsumsi gula
pada proses verifikasi model percobaan di laboratorium.
Percobaan
Konsentrasi siklo(tirosil-prolil)
(mgL-1) Konsumsi gula
(gL-1) Ulangan 1 49,32 22,05 Ulangan 2 50,81 23,82 Ulangan 3 48,83 21,76 Ulangan 4 51,20 23,28 Rata-rata 50,04 22,73
Rasio pembentukan siklo(tirosil-prolil) terhadap konsumsi gula adalah sebesar 2,20 mg siklo(tirosil-prolil) per gram gula.