disertasi_rofiq_F361070142tip

176
ISOLASI, PURIFIKASI, IDENTIFIKASI, DAN OPTIMASI MEDIUM FERMENTASI ANTIBIOTIK YANG DIHASILKAN OLEH AKTINOMISETES LAUT ROFIQ SUNARYANTO SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011

description

Disertasi

Transcript of disertasi_rofiq_F361070142tip

Page 1: disertasi_rofiq_F361070142tip

ISOLASI, PURIFIKASI, IDENTIFIKASI, DAN OPTIMASI MEDIUM FERMENTASI ANTIBIOTIK

YANG DIHASILKAN OLEH AKTINOMISETES LAUT

ROFIQ SUNARYANTO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2011

Page 2: disertasi_rofiq_F361070142tip

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi dengan judul ”Isolasi, Purifikasi, Identifikasi, dan Optimasi Medium Fermentasi Antibiotik yang Dihasilkan oleh Aktinomisetes Laut” adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Juli 2011

Rofiq Sunaryanto NIM. F361070142

Page 3: disertasi_rofiq_F361070142tip

ABSTRACT

ROFIQ SUNARYANTO. Isolation, Purification, Identification, and Fermentation Medium Optimization of Antibiotic Produced by Marine Actinomycetes. Under direction of TUN TEDJA IRAWADI, ZAINAL ALIM MAS’UD, LIESBETINI HARTOTO, BAMBANG MARWOTO.

Isolation and purification of active compounds produced by marine actinomycetes has been carried out. Marine sediment samples were obtained from 3 different places in Banten West Coast, Cirebon North Coast, and Yogyakarta South Coasts. A total of 40 actinomycetes isolates were obtained 4 isolates were active against Escherichia coli ATCC 25922, 5 isolates were active against Staphylococcus aureus ATCC25923, 4 isolates were active against Bacillus subtilis ATCC 66923, 4 isolates were active against Pseudomonas aeroginosa ATCC27853, 4 isolates were active against Candida albican BIOMCC00122, and 4 isolates were active against Aspergillus niger BIOMCC00134. A11 isolate showed the most active to Gram-positive and Gram-negative bacteria. Species identification using 16S rRNA gene sequencing showed that A11 isolate is Streptomyces sp.

Elucidation of its molecular formula and structure using LC-MS, 1H NMR, 13C NMR, and 13C DEPT NMR showed the antibiotic was cyclo(tyrosyl-prolyl), molecule formula was C14H16N2O3 which has a melting point of 140 °C. Minimum Inhibitory Concentration (MIC) of the antibiotic was determined against 4 bacterial test strains, namely Escherichia coli ATCC 25922, Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853, Staphylococcus aureus ATCC 25923, and Bacillus subtilis ATCC 66923, which were inhibited at 27, 69, 80, and 74 µg mL-1, respectively.

Fermentation profile of Streptomyces sp. A11 showed a lag phase which occurred until 8 hours, a log phase from 9 until 48 hours and a stationary phase from 48 until 144 hours. The growth phase showed maximum specific growth rate (μ ) of 0.04 hour and the rate of substrate conversion into biomass (Y ) of 0.6 max

-1 x/s

gram biomass per gram substrate. The optimum temperature and pH of cyclo(tyrosyl-prolyl) fermentation were 30 °C and 6.5-7.5, respectively.

Optimum composition of fermentation medium was determined with three independent variables: dextrin as a carbon source, peptone as nitrogen source, and a mixture of mineral salts using Response Surface Methodology. The results showed that the three variables significantly affected the activity of cyclo(tyrosyl-prolyl). Peptone gave the strongest effect compared to dextrin and mineral salts. Interaction was found between dextrin and peptone. On the contrary, no interaction was observed between peptone and mineral salts, and between dextrin and mineral salts. Using a mathematical model, the most optimum composition of the medium were found to be dextrin (32.55 g L ), peptone (11.22 g L ), and -1 -1

mineral salt (8.65 mL), in which 51.54 g L cyclo(tyrosyl-prolyl) was produced. -1

Verification of the model in laboratory showed the cyclo(tyrosyl-prolyl) activity to be 50.04 mg L . Thus, the difference between the result of the experiment and -1

the expected response value was 2.9%. Keywords: marine actinomycetes, antibiotic, Streptomyces, cyclo(tyrosyl-prolyl).

Page 4: disertasi_rofiq_F361070142tip

RINGKASAN

ROFIQ SUNARYANTO. Isolasi, Pemurnian, Identifikasi, dan Optimasi Medium Fermentasi Antibiotik yang Dihasilkan oleh Aktinomisetes Laut. Dibawah bimbingan TUN TEDJA IRAWADI, ZAINAL ALIM MAS’UD, LIESBETINI HARTOTO, BAMBANG MARWOTO

Kebutuhan antibiotik, anti fungal, maupun anti kanker baru masih sangat diperlukan, terutama yang efektif melawan bakteri resisten, virus, protozoa, fungi atau kanker. Untuk mendapatkan antibiotik baru, para peneliti telah banyak melakukan berbagai cara seperti eksplorasi senyawa aktif dari mikroba, tumbuhan, maupun sintesis secara kimia. Salah satu mikroba yang banyak diteliti untuk diambil senyawa aktifnya adalah aktinomisetes.

Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki bentangan laut yang luas, kurang lebih 3,1 juta km2 atau hampir 2 kali lipat dibandingkan luas daratannya. Karakteristik laut yang bermacam-macam mengindikasikan biodiversitas hayati yang besar, khususnya biodiversitas mikroba laut. Namun demikian potensi ini belum banyak dimanfaatkan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan senyawa aktif yang berpotensi sebagai antibiotik dan memproduksinya dalam skala laboratorium yang dihasilkan oleh aktinomisetes laut melalui isolasi, penapisan, pemurnian, identifikasi dan optimasi medium fermentasi.

Telah dilakukan isolasi dan penapisan aktinomisetes laut yang mampu menghasilkan senyawa antibakteri. Sampel sedimen laut diambil dari 3 tempat berbeda yaitu di Pantai Barat Banten, Pantai Utara Cirebon, dan Pantai Selatan Yogyakarta. Hasil percobaan menunjukkan bahwa pra-perlakuan dengan pemanasan dan pengasaman sampel serta penambahan sikloheksimid 100 μg mL-

1, nistatin 25 μg mL-1, asam nalidiksat 20 μg mL-1, dan rifampisin 5 μg mL-1 mampu menekan pertumbuhan bakteri dan kapang kontaminan. Total hasil isolasi diperoleh dari sampel sedimen laut sebanyak 40 isolat aktinomisetes. Penapisan dengan menggunakan 6 macam mikroba uji diperoleh 4 isolat yang mampu menghambat pertumbuhan Escherichia coli ATCC 25922, 5 isolat menghambat Staphylococcus aureus ATCC25923, 4 isolat menghambat Bacillus subtilis ATCC 66923, 4 isolat menghambat Pseudomonas aeroginosa ATCC27853, 4 isolat menghambat Candida albican BIOMCC00122, dan 4 isolat menghambat Aspergillus niger BIOMCC00134.

Isolat A11 menunjukkan isolat yang memiliki daya hambat paling kuat terhadap bakteri Gram-positif dan Gram-negatif sehingga isolat tersebut dipilih untuk penelitian selanjutnya. Hasil identifikasi menggunakan 16S rRNA menunjukkan bahwa isolat A11 adalah Streptomyces sp. (homology 100%) kelas Actinobacteria, ordo Actinomycetales, famili Streptomycetaceae, dan genus Streptomyces.

Fermentasi isolat A11 dilakukan selama 144 jam dengan menggunakan medium khamir-pepton. Dari kaldu fermentasi diperoleh bobot kering sel, ekstrak sel dengan metanol, dan ekstrak supernatan dengan etil asetat berturut-turut sebanyak 4,73 g L-1, 2,72 g L-1, 0,33 g L-1. Hasil uji aktivitas antimikroba (bioassay) menunjukkan bahwa ekstrak aktif hanya terjadi pada ekstrak

Page 5: disertasi_rofiq_F361070142tip

supernatannya saja, hal ini menunjukkan bahwa senyawa aktif dihasilkan secara ekstraselular. Ekstrak supernatan yang terbukti memiliki aktivitas antimikroba selanjutnya dipurifikasi dengan menggunakan kromatografi kolom dan HPLC preparatif, selanjutnya dilakukan elusidasi struktur molekulnya. Hasil analisis menggunakan LC-MS diketahui senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat A11 memiliki bobot molekul sebesar 260 g mol-1, rumus molekul C14H16N2O3. Hasil elusidasi struktur molekul menggunakan 1HNMR, 13C NMR, DEPT 13C NMR, dan FTIR diketahui senyawa aktif yang dihasilkan oleh Streptomyces sp.A11 adalah siklo(tirosil-prolil). Senyawa aktif ini memiliki titik leleh sebesar 140 oC.

Minimum Inhibitory Concentration (MIC) ditentukan menggunakan 4 mikroba uji dengan metode difusi agar kertas cakram. Hasil percobaan menunjukkan bahwa senyawa aktif yang dihasilkan oleh Streptomyces sp.A11 memiliki MIC terhadap Escherichia coli ATCC 25922 sebesar 27 μg mL-1, Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 sebesar 69 μg mL-1, Staphylococcus aureus ATCC 25923 sebesar 80 μg mL-1, and Bacillus subtilis ATCC 66923 sebesar 74 μg mL-1.

Profil fermentasi isolat Streptomyces sp. menunjukkan fase lag terjadi sampai dengan jam ke-8, fase pertumbuhan cepat (fase logaritma) terjadi pada selang waktu jam ke-9 sampai dengan jam ke-48, dan fase stasioner terjadi pada selang waktu jam ke-48 sampai dengan jam ke-144. Pada fase pertumbuhan cepat (fase logaritma) laju pertumbuhan maksimum (μ ) sebesar 0,04 jam dan maks

-1

rendemen pembentukan biomassa per massa substrat (Y ) sebesar 0,6 g biomassa x/sper massa substrat. Senyawa aktif diproduksi setelah memasuki fase stasioner yaitu mulai jam ke-60 yang menunjukkan bahwa senyawa aktif yang dihasilkan tergolong dalam metabolit sekunder.

Penentuan suhu optimum pada proses fermentasi untuk menghasilkan siklo(tirosil-prolil) dilakukan dalam rentang suhu 26 sampai dengan 34 °C. Hasil percobaan menunjukkan bahwa suhu 30 °C merupakan suhu terbaik untuk proses fermentasi siklo(tirosil-prolil). Penentuan pH optimum proses fermentasi siklo(tirosil-prolil) dilakukan pada rentang pH 4 sampai dengan pH 8. Hasil percobaan menunjukkan bahwa kisaran pH 6,5 sampai dengan pH 7,5 adalah kisaran pH terbaik untuk proses fermentasi siklo(tirosil-prolil).

Optimasi medium fermentasi dilakukan dengan menggunakan Response Surface Methodology. Variabel bebas yang digunakan adalah dekstrin sebagai sumber karbon, pepton sebagai sumber nitrogen, dan mineral. Respon yang ditentukan adalah konsentrasi siklo(tirosil-prolil). Hasil penelitian menunjukkan bahwa ketiga variabel bebas yang digunakan dalam proses optimasi medium fermentasi ini menunjukkan pengaruh nyata terhadap siklo(tirosil-prolil). Model matematik yang diperoleh dalam optimasi medium fermentasi ini menghasilkan variabel bebas optimum sebagai berikut; konsentrasi dekstrin, pepton, dan mineral berturut-turut sebesar 32,55 g L , 11,22 g L dan 8,65 mL, dengan dugaan respon -1 -1

yang diperoleh sebesar 51,54 g L . Hasil validasi model yang dilakukan di -1

laboratorium menunjukkan konsentrasi siklo(tirosil-prolil) yang dihasilkan pada proses fermentasi selama 144 jam sebesar 50,04 g L . Perbedaan respon dugaan -1

yang diperoleh dari model dengan nilai hasil percobaan sebesar 2,9% menunjukkan bahwa model yang digunakan telah sesuai. Kata kunci: aktinomisetes laut, antibiotik, Streptomyces, siklo(tirosil-prolil).

Page 6: disertasi_rofiq_F361070142tip

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

Page 7: disertasi_rofiq_F361070142tip

i

ISOLASI, PURIFIKASI, IDENTIFIKASI, DAN OPTIMASI MEDIUM FERMENTASI ANTIBIOTIK

YANG DIHASILKAN OLEH AKTINOMISETES LAUT

ROFIQ SUNARYANTO

Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2011

Page 8: disertasi_rofiq_F361070142tip
Page 9: disertasi_rofiq_F361070142tip

ii HALAMAN PENGESAHAN

Judul Disertasi : Isolasi, Purifikasi, Identifikasi, dan Optimasi Medium Fermentasi Antibiotik yang Dihasilkan oleh Aktinomisetes Laut

Nama Mahasiswa : Rofiq Sunaryanto NIM : F361070142 Program Studi : Teknologi Industri Pertanian

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Tun Tedja Irawadi, MS. Ketua

Dr. Ir. Zainal Alim Mas’ud, DEA Anggota

Dr. Ir. Liesbetini Hartoto, MSAnggota

Dr. Bambang Marwoto., Apt, MEngAnggota

Diketahui

Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian

Dr. Ir. Machfud, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc, Agr

Tanggal Ujian: 28 Juli 2011 Tanggal Lulus : ………………………

Page 10: disertasi_rofiq_F361070142tip

Ujian tertutup pada :

Hari/tanggal : Kamis, 9 Juni 2011

Penguji luar komisi pada ujian tertutup:

: Dr. Ir. Mulyorini Rahayuningsih, MS

(Dosen Pengajar Departement Teknologi Industri Pertanian, Institut

Pertanian Bogor)

: Dr. Ir. Dyah Iswanti Pradono. M.Agr

(Dosen Pengajar Departement Kimia, Institut Pertanian Bogor)

Ujian terbuka pada : 28 Juli 2011

Hari/tanggal : Kamis, 28 Juli 2011

Penguji luar komisi pada ujian terbuka :

: Prof. Dr. Ir. Ani Suryani, DEA

(Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian)

: Dr.Ir. Listyani Wijayanti

(Deputi Kepala Bidang Teknologi Agroindustri dan Bioteknologi,

Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi)

Page 11: disertasi_rofiq_F361070142tip

iii

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan hidayah-Nya

karya ilmiah yang berjudul “Isolasi, Purifikasi, Identifikasi, Dan Optimasi

Medium Fermentasi Antibiotik Yang Dihasilkan Oleh Aktinomisetes Laut”

berhasil diselesaikan dengan baik. Karya ilmiah ini disusun sebagai salah satu

syarat menyelesaikan studi program doktor di Sekolah Pascasarjana Institut

Pertanian Bogor. Penelitian yang telah dilakukan selama 3 (tiga) tahun bertujuan

secara umum untuk mendapatkan senyawa aktif yang memiliki sifat antibakteri

atau antifungi yang dihasilkan oleh aktinomisetes laut.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu Prof. Dr. Ir. Tun Tedja

Irawadi, MS selaku ketua komisi pembimbing, Bapak Dr. Ir. Zainal Alim Mas’ud,

DEA, Bapak Dr. Bambang Marwoto, M.Eng dan Ibu Dr. Ir. Liesbetini Hartoto,

MS selaku anggota komisi pembimbing atas bimbingan dan pengarahannya

sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini. Ucapan terima kasih juga

saya sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Machfud, MS sebagai Ketua Program Studi

Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor yang telah memberikan

saran pada proses penyelesaian penulisan disertasi ini. Penulis ucapkan terima

kasih kepada Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Deputi Kepala

Bidang Agroindustri dan Bioteknologi BPPT, Kepala Balai Pengkajian

Bioteknologi BPPT, dan Kepala Seksi Bioteknologi Industri Balai Pengkajian

Bioteknologi BPPT yang telah memberikan ijin untuk melanjutkan studi S3 dan

memberikan fasilitas penelitian untuk disertasi penulis. Demikian juga penulis

mengucapkan terima kasih kepada rekan-rekan peneliti dan teknisi di

Laboratorium Mikrobiologi, Teknologi Gen, Proses Hilir, dan Laboratorium

Analitik. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Mercian Co.Jp dan segenap

penelitinya yang telah membantu dalam proses analisis menggunakan LC-MS, 1HNMR, 13C NMR, dan DEPT 13C NMR. Penulis mengucapkan terima kasih

kepada rekan-rekan mahasiswa Teknologi industri Pertanian, Institut Pertanian

Bogor atas bantuan dan peran serta dalam penyelesaian disertasi ini.

Penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada orang tua

penulis Ibunda Hj. Sudarti dan Bapak Sutarto (Alm) yang selalu memberikan

Page 12: disertasi_rofiq_F361070142tip

semangat dan dorongan kepada penulis, demikian juga istri tercinta dr.Eni

Dwijayanti, MKM dan anak-anak penulis Aqila Luthfiana Sarastya dan Athala

Farrastya Kamil yang tidak henti-hentinya memberikan semangat dalam

penyelesaian studi penulis.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih mempunyai

keterbatasan. Kritik dan saran penulis harapkan dari semua pihak untuk perbaikan,

dan semoga hasil penelitian ini dapat berguna bagi yang membutuhkan.

Bogor, Juli 2011

Rofiq Sunaryanto NIM. F361070142

Page 13: disertasi_rofiq_F361070142tip

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Gunung Kidul pada tanggal 25 September 1971 dari

ayah Sutarto (Alm) dan Ibu Hj. Sudarti. Penulis merupakan anak ke-5 dari lima

bersaudara.

Tahun 1990 penulis lulus dari SMA Negeri I Wonosari, Gunung Kidul,

Yogyakarta dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk UMPTN di Jurusan

Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Gadjah Mada. Pada bulan Januari 1997

penulis diterima sebagai pegawai negeri di Badan Pengkajian dan Penerapan

Teknologi (BPPT) dan ditempatkan di Pusat Pengkajian dan Penerapan

Bioteknologi. Pada Tahun 2000 penulis mendapatkan beasiswa dari STAID untuk

melanjutkan studi program S2. Pada tahun tersebut penulis melanjutkan studi

program S2 di Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian

Bogor. Pada tahun 2003 penulis menyelesaikan studi S2 di Teknologi Industri

Pertanian Bogor. Pada tahun 2007 penulis mendapatkan beasiswa dari Islamic

Development Bank untuk melanjutkan studi S3, dan mengambil studi di Program

Studi Teknologi Industri Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Semenjak mengikuti program S3, penulis menjadi anggota Perhimpunan

Mikrobiologi Indonesia, Cabang Jakarta. Beberapa seminar nasional dan

internasonal yang telah diikuti (sebagai pemakalah) selama studi di S3 antara lain;

Bandung International Conference on Medicinal Chemistry yang diselenggarakan

oleh Fakultas Farmasi Institut Teknologi Bandung pada tahun 2009, National

Indonesia Congress 10th Society for Microbiology an International Symposia yang

diselenggarakan oleh Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia di Surabaya pada

tahun 2009, Seminar Nasional Pengolahan Produk dan Bioteknologi Kelautan dan

Perikanan I yang diselenggarakan oleh Departemen Perikanan dan Kelautan

(DKP) pada tahun 2009, Seminar Nasional Pengolahan Produk dan Bioteknologi

Kelautan dan Perikanan II yang diselenggarakan oleh Departemen Perikanan dan

Kelautan (DKP) pada tahun 2010, seminar internasional “Society for

Microbiology an International Symposia” yang diselenggarakan oleh

Perhimpunan Mikrobiologi Indonesia pada tahun 2010 di Bogor, seminar

internasional “The 4 th International Seminar of Indonesian Society for

Page 14: disertasi_rofiq_F361070142tip

Microbiology and IUMS-ISM Outreach Program on Food Safety” dengan tema“

Indonesian Microbial Resources: Diversity and Global Impact” yang

diselenggarakan oleh Indonesian Microbiology Society (IMS) dan International

Union of Microbiological Societies (IUMS), tanggal 22-24 Juni 2011 di Denpasar

Bali. Seminar Internasional “5th Conference of AASP (Asian Association of

Schools of Pharmacy), yang diselenggarakan oleh sekolah farmasi Institut

Teknologi Bandung dan AASP tanggal 16-19 Juni 2011.

Beberapa karya ilmiah telah dipublikasikan di jurnal terakreditasi. Penulis

pernah mendapatkan The Best Author dalam Seminar Internasional Perhimpunan

Mikrobiologi yang diselenggarakan oleh PERMI Indonesia pada tahun 2010 di

Bogor dan The Best Poster dalam Seminar Internasional “5th Conference of AASP

(Asian Association of Schools of Pharmacy)” pada tanggal 16-19 Juni 2011.

Karya-karya ilmiah yang telah dipublikasikan dan dipresentasikan dalam seminar

nasional dan internasional merupakan bagian dari program S3 penulis.

Page 15: disertasi_rofiq_F361070142tip

KARYA ILMIAH YANG TELAH DIPUBLIKASI DI JURNAL

TERAKREDITASI;

Isolasi Penapisan Aktinomisetes Laut Penghasil Antimikroba. Indonesia Journal

of Marine Science (IJMS). Volume 14 No.2. Juni 2009, halaman 98-101.

Diterbitkan oleh Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro.

Isolation and Characterization of Antimicrobial Substance from Marine

Streptomyces sp. Journal of Microbiology Indonesia. Volume 4. No.2. Agustus

2010, halaman 84-89. Diterbitkan oleh The Indonesian Society for Microbiology.

Antibiotic Compound from Marine Actinomycetes (Streptomyces sp. A11);

Isolation and Structure Elucidation. Indonesia Journal of Chemistry, Volume 10.

No. 2. July 2010, halaman 219-225. Diterbitkan oleh Department of Chemistry,

Universitas Gadjah Mada.

Isolasi dan Elusidasi Struktur Kimia Antimikroba yang Dihasilkan oleh

Aktinomisetes Laut (senyawa aktif Madumycin I oleh isolat A32), halaman 11-18.

Jurnal Pasca Panen dan Bioteknologi Kelautan dan Perikanan. Volume 5 No. 1

Juni 2010.

Cyclo(tyrosyl-prolyl) Produced by Streptomyces sp.: Bioactivity and Molecular

Structure Elucidation. Journal of Microbiology Indonesia. Accepted. Diterbitkan

oleh The Indonesian Society for Microbiology.

Page 16: disertasi_rofiq_F361070142tip

iv DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL.……..………………………………………………… i

HALAMAN PENGESAHAN….…………………………………………… ii

KATA PENGANTAR ……………………………………………………... iii

DAFTAR ISI....... ...……..……………………………..…………………… iv

DAFTAR TABEL ...……..………………………………………………… v

DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………… vi

DAFTAR LAMPIRAN ….………………………………………………… vii

I PENDAHULUAN...……………………………………………............. 1

I.1. Latar Belakang Masalah………..…….......………………………… 1I.2. Tujuan Penelitian ……………...……...…………………………… 4I.3. Hipotesis …………………………......…………………………...... 5I.4. Ruang Lingkup Penelitian........…….……………………………… 6

II TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………………..... 7

II.1. Aktinomisetes.………....…………………………………………... 7II.2. Isolasi Aktinomisetes ........................................................................ 9II.3. Antibiotik .…………………............................................................. 13II.4. Metabolit Mikroba ………………………………………............... 14II.5. Pertumbuhan Mikrobial …………………………………………… 16II.6. Identifikasi Mikroba Menggunakan 16S rRNA ............................... 21II.7. Response Surface Methodology ........................................................ 23

III METODOLOGI PENELITIAN .....……………………………………. 29

III.1. Kerangka Pemikiran…………………………………………......... 29III.2.Tempat dan Waktu Penelitian ………………….……………....... 32III.3. Bahan dan Peralatan Penelitian ....................................................... 33III.4.Tahapan Penelitian .……………………………………………….. 34

III.4.1. Pra-perlakuan Sampel dan Isolasi Aktinomisetes................ 36III.4.2. Kultur Vegetatif dan Fermentatif pada Proses Penapisan dan Penggandaan Skala Untuk Preparasi Ekstrak Fermentasi ............................................................................ 37III.4.3. Uji Aktivitas Antimikroba (Bioassay) ................................ 38III.4.4. Analisis Sekuen Gen 16S rRNA.......................................... 39

III.4.5. Pemisahan dan Pemurnian Senyawa Aktif Kaldu Fermentasi ......................................................................... 39III.4.7. Identifikasi Struktur Kimia Senyawa Aktif ........................ 40III.4.8. HPLC Preparatif................................................................... 40III.4.9. HPLC Analitik .................................................................... 41III.4.10. Penentuan Minimum Inhibitory Concentration (MIC)….. 41

Page 17: disertasi_rofiq_F361070142tip

III.4.11.Penentuan Kurva Pertumbuhan Mikroba pada Fase Vegetatif ....………………….......................................... 42

III.4.12.Profil Fermentasi Isolat Streptomyces sp.A11 ................. 42III.4.13.Penentuan Suhu dan pH Awal Terbaik pada Proses

Fermentasi ....................................................................... 43III.4.14.Proses Optimasi Medium Fermentasi .............................. 44

IV HASIL DAN PEMBAHASAN .....………………………...…………. 49

IV.1. Perlakuan Sampel untuk Isolasi Aktinomisetes ..……................. 49IV.2. Isolasi Aktinomisetes .....................................................……....... 52IV.3. Penapisan Aktinomisetes Penghasil Antimikroba ........................ 53IV.4. Pemurnian dan Identifikasi Senyawa Aktif yang Dihasilkan Oleh

Streptomyces sp.A11 ...................................................................... 59IV.5. Penentuan Minimum Inhibitory Concentration (MIC) Senyawa

Aktif Siklo(tirosil-prolil) ................................................................ 66IV.6. Penentuan Kurva Pertumbuhan Vegetatif Isolat Streptomyces sp

A11 ................................................................................................. 68IV.7. Penentuan Profil Fermentasi Isolat Streptomyces sp.A11.............. 69IV.8. Penentuan Suhu dan pH Awal Terbaik pada Proses Fermentasi ... 74IV.9. Penentuan Sumber Karbon Terbaik pada Proses Fermentasi ....... 78IV.10. Penentuan Sumber Nitrogen Terbaik pada Proses Fermentasi ... 85IV.11. Penentuan Mineral Terbaik untuk Produksi Siklo(tirosil-prolil).. 90IV.12. Optimasi Medium Fermentasi ..................................................... 92IV.13. Formulasi Medium dan Validasi Model ...................................... 105

V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................... 107V.1. Kesimpulan ..................................................................................... 107V.2. Saran ................................................................................................ 108

DAFTAR PUSTAKA ….…………………………………………….. 111

LAMPIRAN …………………………………………………………. 121

Page 18: disertasi_rofiq_F361070142tip

v

DAFTAR TABEL

1 Distribusi senyawa aktif dan tidak aktif yang telah diketahui......................

14

2 Komposisi mineral yang digunakan dalam medium fermentasi .................. 45

3 Kisaran dan taraf variabel yang diuji pada optimasi komposisi medium.....

46

4 Matrik Central Composite Design yang mengandung 20 percobaan dengan 3 faktor variabel percoban dalam kode unit.....................................

47

5 Hasil pra-perlakuan sampel pada proses isolasi aktinomisetes…………….

50

6 Hasil isolasi dan penapisan aktinomisetes penghasil antimikroba...............

55

7 Uji aktivitas antimikroba ekstrak supernatan dan biomasa hasil fermentasi isolat Streptomyces sp.A11 ..........................................................................

58

8 Data spektrum 13C NMR dan 1H NMR yang menujukkan posisi atom C dan H pada gugus fungsionalnya ..............................................................

66

9. Konsentrasi hambatan minimum (MIC) siklo(tirosil-prolil).........................

67

10. Aktivitas antibiotik yang dihasilkan adanya perlakuan sumber karbon.......

82

11. Pengaruh perlakuan sumber nitrogen terhadap aktivitas siklo(tirosil-prolil) 87

12. Kandungan prolin dan tirosin dalam pepton, kasein, dan ekstrak khamir....

89

13 Kisaran dan taraf variabel yang diuji pada optimasi komposisi medium.....

93

14 Data hasil percobaan optimasi medium kultivasi Streptomyces sp.A11 menggunakan rancangan model komposit terpusat (CCD) .........................

93

15 Jumlah kuadrat beberapa model yang dicobakan untuk proses optimasi medium fermentasi .......................................................................................

94

16 Data hasil analisis beberapa model yang dicobakan dalam optimasi medium fermentasi........................................................................................

94

17 Model koefisien regresi pada proses optimasi medium fermentasi untuk produksi siklo(tirosil-prolil)..........................................................................

95

18 Analisiskeragaman pada proses optimasi medium fermentasi untuk produksi siklo(tirosil-prolil) .........................................................................

96

Halaman

Page 19: disertasi_rofiq_F361070142tip

vi

DAFTAR GAMBAR

Halaman 1 Morfologi miselium Streptomyces .............................................................

9

2 Pola pertumbuhan sel selama fase lag, fase log, dan fase stasioner ……….

18

3 Pengaruh konsentrasi substrat (S) terhadap laju pertumbuhan spesifik .......

19

4 Tahapan penelitian isolasi, skrining, identifikasi, dan karakterisasi aktinomisetes ................................................................................................

34

5 Aktivitas dan ruang lingkup penelitian ........................................................

35

6 Morfologi isolat Streptomyces sp.A11 .........................................................

56

7 Pohon filogenik isolat A11 yang didentifikasi sebagai Streptomyces sp......

57

8 Daya hambat senyawa aktif terhadap Bacillus subtilis ATCC 66923, Escherichia coli ATCC 25922, Staphylococcus aureus ATCC25923, Pseudomonas aeruginosa ATCC27853 .......................................................

58

9 Kromatogram hasil analisis ekstrak supernatan dan biomassa yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11 ................................................

59

10. Kromatogram analisis HPLC senyawa aktif murni hasil isolasi dan Spektrum serapan UV vis senyawa aktif murni hasil isolasi......................

60

11. Spektrum LC-MS m/z 261 (M+H)+ senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11 ..........................................................................

61

12 Spektrum 1HNMR dan spektrum 13CNMR senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11..................................................

62

13 Struktur molekul senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat A11 ................

63

14 Spektrum DEPT 13C NMR senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11.....................................................................................

64

15 Spektrum inframerah senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat A11 .........

65

16 Kurva pertumbuhan vegetatif Streptomyces sp.A11 ....................................

69

17 Profil fermentasi isolat Streptomyces sp.A11 ..............................................

71

18 Pengaruh suhu fermentasi terhadap aktivitas siklo(tirosil-prolil) ................ 75

Page 20: disertasi_rofiq_F361070142tip

19 Pengaruh pH awal fermentasi terhadap aktivitas siklo(tirosil-prolil) ..........

78

20 Lintasan metabolisme glukosa, maltosa, sukrosa, laktosa sampai menjadi asam piruvat .................................................................................................

80

21 Pengaruh beberapa sumber karbon terhadap aktivitas siklo(tirosil-prolil) ..

81

22 Pengaruh sumber nitrogen terhadap aktivitas siklo(tirosil-prolil) ................

86

23 Reaksi pembentukan siklo(tirosil-prolil) ...................................................... 88

24 Biosintesis prolin melalui lintasan asam glutamat .......................................

89

25 Biosintesis tirosin melalui transaminase p-hydroxyphenylpyruvate.............

90

26 Pengaruh campuran mineral terhadap aktivitas siklo(tirosil-prolil) .............

91

27 Plot probabilitas normal galat model produktivitas siklo(tirosil-prolil) yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11.........................................

97

28 Plot urutan percobaan versus galat model pada produktivitas siklo(tirosil-prolil) yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11 ............................

98

29 Plot nilai dugaan versus galat model pada produktivitas siklo(tirosil-prolil) yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11 .............................

98

30 Permukaan respon dan plot kontur produksi siklo(tirosil-prolil) sebagai pengaruh dekstrin dan pepton ......................................................................

99

31 Pola pengaruh dekstrin dan pepton terhadap produksi siklo(tirosil-prolil)..

101

32 Permukaan respon dan plot kontur produksi siklo(tirosil-prolil) sebagai pengaruh dekstrin dan mineral ........................................................

102

33 Permukaan respon dan plot kontur produksi siklo(tirosil-prolil) sebagai pengaruh pepton dan mineral ..........................................................

104

Page 21: disertasi_rofiq_F361070142tip

vii

DAFTAR LAMPIRAN

1 Kurva standar analisis HPLC untuk penentuan konsentrasi siklo(tirosil-

prolil) ……………………………………………………………………

121

2 Metode penentuan konsentrasi gula reduksi .............................................

122

3 Metode penentuan konsentrasi nitrogen total ..........................................

123

4 Metode penentuan bobot kering sel ..........................................................

124

5 Penentuan nitrogen total dan bobot bahan dari masing-masing sumber nitrogen yang digunakan untuk optimalisasi medium fermentasi ............

125

6 Urutan nukleotida fragmen gen isolat terpilih (Streptomyces sp.A11) dan kedekatan (homology) yang dibandingkan dengan gen spesies lainnya ......................................................................................................

126

7 Kurva penentuan MIC senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) terhadap 4 bakteri uji ..................................................................................................

128

7a. Kurva penentuan MIC senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) terhadap Escherichia coli ATCC 25922 ...........................................................

128

7b. Kurva penentuan MIC senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 ................................................

129

7c. Kurva penentuan MIC senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) terhadap

Bacillus subtilis ATCC 66923 ...........................................................

130

7.d Kurva penentuan MIC senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) terhadap Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 ............................................

131

7.e Kurva penentuan MIC tetrasiklin terhadap Escherichia coli ATCC 25922...................................................................................................

132

7.f Kurva penentuan MIC tetrasiklin terhadap Staphylococcus aureus

ATCC 25923 ......................................................................................

133

7.g Kurva penentuan MIC tetrasiklin terhadap Bacillus subtilis ATCC 66923 ..................................................................................................

134

7.h Kurva penentuan MIC tetrasiklin terhadap Pseudomonas

aeruginosa ATCC 27853 ...................................................................

135

Halaman

Page 22: disertasi_rofiq_F361070142tip

8 Data perubahan parameter pH, gula reduksi, dan bobot kering sel kultur vegetatif menggunakan isolat Streptomyces sp.A11 ................................

136

9 Data perubahan parameter pH, gula reduksi, nitrogen total, berat kering

sel, dan konsentrasi siklo(tirosil-prolil) pada proses fermentasi menggunakan isolat Streptomyces sp.A11................................................

137

10 Penentuan laju pertumbuhan spesifik maksimal (µmaks) dan rendemen pembentukan biomassa per massa substrat (Yx/s) .....................................

138

10a. Penentuan laju pertumbuhan spesifik maksimal (µmaks) ................

138

10b. Penentuan rendemen pembentukan biomassa per massa substrat (Yx/s) ..................................................................................................

139

11 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan perlakuan suhu fermentasi terhadap aktivitas siklo(tirosil-prolil) yang dihasilkan .............................

140

12 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan perlakuan pH awal medum fermentasi terhadap aktivitas siklo(tirosil-prolil) yang dihasilkan

141

13 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan penentuan sumber karbon terbaik pada proses fermentasi produksi siklo(tirosil-prolil) dan hasil analisis gula total sebelum dan sesudah fermentasi. .............................................

142

13a Analisis ragam dan uji lanjut Duncan penentuan sumber karbon terbaik pada proses fermentasi produksi siklo(tirosil-prolil) ..........

142

13b Hasil analisis gula total dari beberapa sumber karbon sebelum dan

sesudah fermentasi………………………………………………

143

14 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan penentuan sumber nitrogen terbaik pada proses fermentasi produksi siklo(tirosil-prolil) dan hasil analisis nitrogen total sebelum dan sesudah fermentasi............................

144

14a. Analisis ragam dan uji lanjut Duncan penentuan sumber nitrogen terbaik pada proses fermentasi produksi siklo(tirosil-prolil)...........

144

14b. Hasil analisis nitrogen total dari beberapa sumber nitrogen sebelum dan sesudah fermentasi .....................................................

145

15 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan penentuan mineral terbaik pada proses fermentasi siklo(tirosil-prolil)……………………………………

146

16 Respon hasil percobaan optimalisasi proses produksi siklo(tirosil-prolil) menggunakan isolat Streptomyces sp.A11................................................

147

Page 23: disertasi_rofiq_F361070142tip

17 Keluaran hasil analisis data menggunakan Design Expert 7 pada proses optimasi produksi siklo(tirosil-prolil).......................................................

148

17a. Keluaran model yang digunakan dan respon yang diperoleh dari Design Expert 7 ...............................................................................

148

17b. Keluaran design summary dan respon yang diperoleh dari Design Expert 7 ...........................................................................................

149

17c. Keluaran hasil analisis fit summary dari Design Expert 7 ……….

150

17d. Keluaran hasil analisis variansi (ANOVA) dari Design Expert 7 ...

151

17e . Keluaran variabel hasil optimasi menggunakan DesignExpert 7 …

152

18 Data pengamatan konsentrasi siklo(tirosil-prolil) dan konsumsi gula pada proses validasi model percobaan di laboratorium..........................

153

Page 24: disertasi_rofiq_F361070142tip

I PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang Masalah

Kebutuhan antibiotik, anti fungal, maupun anti kanker baru masih sangat

diperlukan, terutama yang efektif melawan bakteri, virus, protozoa, fungi atau

kanker. Untuk mendapatkan antibiotik baru, para peneliti telah banyak melakukan

berbagai cara seperti eksplorasi senyawa dari bahan alam seperti mikroba,

tumbuhan, dan hewan laut. Disamping itu para peneliti juga melakukan

biotransformasi senyawa-senyawa tertentu dengan bantuan mikroba atau membuat

derivat antibiotik semisintetik secara kimiawi.

Pada saat ini sebagian besar antibiotik yang diperkenalkan dan beredar di

pasaran merupakan antibiotik semisintetik yaitu senyawa induknya adalah produk

alami (natural product), misalnya derivat penisilin (ampisilin, amoksisilin),

sefalosporin (sefotaksim), kanamisin (amikasin, dibekasin) dan sebagainya.

Keberhasilan ini telah mendorong para peneliti untuk membuat derivat kelompok

antibiotik yang lain seperti makrolid, poliena antifungi atau antrasiklin anti-tumor.

Menurut Pelaez (2006), 70 dari 90 antibiotik yang berada di pasaran dari tahun

1982-2002 adalah turunan dari antibiotik alami (natural product). Walaupun

derivatisasi atau biokonversi menjanjikan antibiotik baru yang berguna, namun

senyawa antibiotik baru yang alami masih terus dicari dan sangat diharapkan.

Keberhasilan mendapatkan antibiotik baru dari sumber alami seperti metabolit

sekunder dari mikroba telah menimbulkan asumsi bahwa mikroba merupakan

sumber senyawa baru yang tidak pernah habis. Bahkan selain aktivitas antibiotik,

metabolit mikroba juga menjadi sumber senyawa aktif farmakologis atau

fisiologis yang berguna dibidang medis atau digunakan dalam pertanian (Omura

1986).

Pada saat ini antibiotik masih memiliki nilai yang tinggi dan masih sangat

dibutuhkan oleh manusia. Menurut Strohl (1999) ada beberapa alasan pentingnya

eksplorasi antibiotik baru. Pertama: seiring dengan perkembangan metode

pengobatan yang menggunakan berbagai macam antibiotik, telah menimbulkan

kasus munculnya mikroba patogen yang resisten terhadap beberapa antibiotik

Page 25: disertasi_rofiq_F361070142tip

2

yang berkaitan dengan penggunaan antibiotik tersebut. Sebagai contoh timbulnya

mikroba patogen yang tahan terhadap penisilin, kasus Methicillin-Resistant

Staphylococcus aureus (MRSA), Vancomycin-Resistant Enterococci (VRE)

khususnya Enterococcus faecium dan Enterococcus faecalis, dan β-lactam-

resistant Streptococcus pneumoniae. Kedua: munculnya mikroba atau virus baru

yang belum diketahui penyebabnya seperti HIV AIDS, ebola, SARS, flu burung,

flu babi dan lain-lain. Ketiga: dalam beberapa kasus antibiotik yang memiliki

aktivitas biologi yang sangat tinggi tetap mampu dilawan dan dikalahkan oleh

bakteri patogen. Sebagai contoh kasus infeksi yang disebabkan oleh Pseudomonas

aeruginosa pada seseorang yang menderita cystic fibrosis pernah menjadi

permasalahan serius pada dunia kedokteran. Keempat: antibiotik memiliki

keterbatasan pada sistem organ tubuh, yaitu pada kasus tertentu beberapa

antibiotik memiliki sifat toksik terhadap salah satu organ yang peka terhadap

antibiotik tersebut. Sebagai contoh pada kasus penggunaan gentamisin dan

aminoglikosida akan dibatasi efektivitasnya karena mereka berhubungan dengan

nephrotoxicity dan ototoxicity.

Indonesia mempunyai keragaman hayati khususnya perairan yang sangat

besar, termasuk didalamnya mikroba, tumbuhan maupun hewan. Kondisi wilayah

Indonesia yang berbentuk kepulauan, maritim, dan iklim tropis yang mendukung,

menjadikannya Indonesia kaya akan sumber daya hayati yang beragam. Dua

pertiga wilayah Indonesia merupakan daerah perairan. Menurut Kelecom (2002)

biodiversitas mikroba laut sangat besar dan menjanjikan, hal yang sama

disampaikan oleh Das et al.(2006), bahwa populasi mikroba laut sangat bervariasi,

karakteristik mikroba yang hidup dipermukaan air laut, di dasar laut dalam, batu

karang dasar laut, dan sedimen atau batu karang juga sangat bervariasi. Namun

demikian sampai saat ini pemanfaatan keragaman hayati khususnya mikroba

belum secara optimal dilakukan (Desriani 2003).

Meskipun penelitian mengenai eksplorasi senyawa aktif dari

aktinomisetes laut belum intensif dilakukan sepertihalnya aktinomisetes tanah,

namun demikian ada sejumlah senyawa aktif baru yang dihasilkan oleh

aktinomisetes laut seperti Caprolactones, Chandrananimycins, Chinikomycins,

Chloro-dihydroquinones, Frigocyclinone, Gutingimycin, Marinomycins (Lam

Page 26: disertasi_rofiq_F361070142tip

3

2006). Abyssomycin C yang merupakan antibiotik polisiklik poliketida dihasilkan

aktinomisetes laut strain Verrucosispora (Riegdlinger et al. 2004). Abyssomycin

C memiliki aktivitas mampu menghambat pertumbuhan bakteri Gram-positif.

Diazepinomicin yang dihasilkan oleh strain Micromonospora laut yang memiliki

aktivitas antibakteri, antiperadangan, dan antitumor (Charan et al. 2004).

Salinosporamide A merupakan senyawa lakton-γ-laktam yang diisolasi dari

aktinomistes laut Salinispora tropical (Feling et al. 2003).

Industri farmasi di Indonesia adalah terbesar dibandingkan dengan negara-

negara di Asia Tenggara. Namun demikian sampai saat ini Indonesia belum

sepenuhnya dapat memenuhi kebutuhan bahan-baku obat untuk industri

farmasinya. Kurang lebih 90% bahan baku antibiotik yang dibutuhkan oleh

industri farmasi di Indonesia masih diimpor dari Cina, India, Jepang, dan

Amerika. Ketergantungan bahan baku antibiotik dari luar negeri berpengaruh

terhadap kestabilan harga obat. Ketergantungan bahan baku obat dapat dikurangi

dengan mendorong kemandirian ketersediaan bahan baku obat lokal khususnya

antibiotik. Berdasarkan data Pharma Materials Management Clubs (PMMC)

dalam PT.Data Consult (2004) nilai impor bahan baku obat pada tahun 2001

mencapai Rp.2,4 triliun dan naik 8,9% pada tahun 2003 menjadi Rp. 2,69 triliun.

Menurut Demain (2000) pasar antibiotik di seluruh dunia mencapai US$ 30

milyar. Kebutuhan antibiotik di dunia merupakan urutan tertinggi dibandingkan

bahan baku obat lainnya.

Aktinomisetes merupakan kelompok mikroba penghasil antibiotik

terbanyak. Sekitar 70% antibiotik yang telah ditemukan dihasilkan oleh

aktinomisetes terutama Streptomyces, sehingga sasaran penapisan mikroba

penghasil antibiotik ditujukan pada kelompok aktinomisetes (Alcamo 1996).

Selain Streptomyces, penapisan juga diarahkan untuk mendapatkan anggota

aktinomisetes yang lain, terutama aktinomisetes langka seperti actinoplanes,

micromonospora, saccharopolyspora, actinomodura, dactylosporangium, dan

sebagainya. Mikroba tersebut telah menghasilkan metabolit yang berpotensi

termasuk antibiotik dan antitumor (Bardy 2005).

Proses isolasi dan penapisan mikroba penghasil senyawa aktif merupakan

proses yang menjadi kunci keberhasilan ditemukannya senyawa aktif baru. Pada

Page 27: disertasi_rofiq_F361070142tip

4

prinsipnya penapisan mikroba penghasil antibiotik terbagi dalam beberapa tahap,

dan masing-masing tahap bertujuan mengeliminasi mikroba yang tak dikehendaki

dan meningkatkan pertumbuhan organisme yang diinginkan, misalnya

aktinomisetes. Menurut Cross (1982), ada 5 kriteria utama yang harus

diperhatikan dalam proses isolasi dan penapisan mikroba, antara lain: (1)

pemilihan target sampel, (2) komposisi medium isolasi, (3) perlakuan

pendahuluan sampel, (4) kondisi inkubasi, (5) pemilihan koloni.

Pada penelitian ini, telah dilakukan isolasi aktinomisetes laut dari beberapa

lokasi di Pantai Anyer Provinsi Banten, Pantai Selatan Gunung Kidul, dan Pantai

Utara Cirebon. Pemilihan ketiga lokasi ini didasarkan pada karakteristik pantai

yang berbeda-beda. Diharapkan dari karakteristik pantai yang berbeda akan

diperoleh mikroba dengan karakteristik yang berbeda pula. Aktinomisetes yang

diperoleh selanjutnya pilih dengan cara penapisan (screening) aktivitas antibakteri

dan antifungi.

Proses optimasi fermentasi diperlukan untuk mendapatkan produktivitas

senyawa aktif yang tinggi. Dalam penelitian ini dilakukan optimasi medium

fermentasi dalam labu kocok menggunakan Response Surface Methodology

(RSM). Optimasi medium dilakukan tiga variabel bebas yaitu sumber karbon,

sumber nitrogen dan mineral.

I.2. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menghasilkan senyawa aktif dari

aktinomisetes laut yang berpotensi sebagai antibiotik. Tujuan ini secara spesifik

dijabarkan sebagai berikut;

• Mendapatkan beberapa isolat aktinomisetes yang berasal dari sedimen

laut.

• Mendapatkan isolat aktinomisetes yang berpotensi sebagai penghasil

antibiotik.

• Mendapatkan informasi struktur kimia antibiotik yang dihasilkan oleh

aktinomisetes terpilih.

Page 28: disertasi_rofiq_F361070142tip

5

• Mendapatkan komposisi medium fermentasi yang paling optimum dan

profil fermentasi untuk produksi antibiotik.

I.3. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut;

1. Aktinomisetes laut dapat diisolasi dengan menggunakan medium starch-

casein agar yang dikombinasikan dengan antibiotik dan perlakuan

sampel. Aktinomisetes memiliki kemampuan untuk tumbuh pada medium

dengan kandungan gula reduksi rendah. Hal ini dikarenakan aktinomisetes

memiliki kemampuan menghidrolisis beberapa sumber karbon seperti pati

menjadi glukosa yang dapat digunakan untuk metabolisme. Disamping itu

aktinomisetes mampu bertahan terhadap beberapa antibiotik dengan

konsentrasi tertentu dan kondisi pemanasan pada rentang suhu 60 °C

sampai dengan 70 °C, serta tahan terhadap kondisi medium dengan pH

rendah. Pada kondisi seperti ini bakteri kontaminan maupun kapang dapat

ditekan pertumbuhannya dengan baik.

2. Pada proses fermentasi antibiotik dengan menggunakan isolat

Streptomyces sp. A11, sumber nitrogen kompleks pepton dan kasein

diduga mampu menghasilkan antibiotik golongan peptida lebih tinggi

dibandingkan dengan sumber nitrogen lainnya. Pepton dan kasein

memiliki kandungan asam amino yang dapat berfungsi sebagai sumber

nitrogen dalam medium fermentasi sekaligus sebagai prekursor pada

proses pembentukan antibiotik golongan peptida. Beberapa antibiotik

peptida disintesis melalui lintasan penggabungan beberapa asam amino

secara langsung yang sebelumnya terjadi proses aktivasi asam amino

menggunakan peptida sintetase.

Page 29: disertasi_rofiq_F361070142tip

6

I.4. Ruang Lingkup Penelitian

Ruang lingkup penelitian ini adalah sebagai berikut;

1. Penentuan pra-perlakuan sampel dari sedimen laut untuk isolasi

aktinomisetes.

2. Isolasi aktinomisetes dengan menggunakan medium starch agar yang

dikombinasikan dengan antibiotik dan pra-perlakuan sampel.

3. Identifikasi aktinomisetes terpilih yang memiliki potensi penghasil

antibiotik menggunakan 16S rRNA.

4. Pemisahan dan pemurnian senyawa aktif dari kaldu fermentasi yang

meliputi ekstraksi menggunakan pelarut organik, pemurnian dengan

kromatografi kolom dan HPLC preparatif.

5. Identifikasi struktur molekul senyawa aktif dengan menggunakan H1

NMR, C13 NMR, DEPT, Infra Red Spectrofotometry, dan LCMS.

6. Penentuan Minimum Inhibitory Concentration (MIC) dan profil fermentasi

isolat terpilih.

7. Penentuan kombinasi konsentrasi sumber karbon, sumber nitrogen, dan

mineral terbaik untuk optimasi medium fermentasi.

Page 30: disertasi_rofiq_F361070142tip

II TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Aktinomisetes

Pada awalnya aktinomisetes digolongkan dalam kelompok fungi, sebab

penampakan morfologi dan perkembangannya yang mirip dengan fungi yang

dilihat dari miseliumnya, sehingga aktinomisetes juga disebut ray fungi (Kuster

1958). Namun demikian dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, morfologi

aktinomisetes lebih dekat dengan bakteri. Dilihat dari ukuran sel, spora serta

miselianya aktinomisetes dikategorikan sebagai bakteri yang memiliki nukleod

yang sama dengan bakteri. Chitin dan selulosa sebagai penyusun dinding sel fungi

tidak terdapat pada aktinomisetes. Penyusun dinding sel aktinomisetes adalah

polimer gula, gula amino, dan beberapa asam amino seperti halnya bakteri gram

positif. Sensitifitas terhadap beberapa antibiotik menempatkan aktinomisetes

termasuk dalam golongan bakteri gram positif. Aktinomisetes biasanya dipandang

sebagai kelompok bakteri Gram-positif yang memiliki kandungan Guanin (G)

dan Citosin (C) yang tinggi di dalam DNA-nya (>55%) dengan kemampuan

membentuk cabang-cabang hifa pada tahap-tahap pengembangannya (Locci et al.

1983).

Aktinomisetes memiliki morfologi yang sangat bervariasi, dari bentuk sel

bulat/coccus (Micrococcus) dan rod-coccus cycle (Arthrobacter), bentuk hifa

berfragmen (Nocardia, Rothia), sampai dengan jenis dengan miselium bercabang

yang berbeda-beda (Micromonospora dan Streptomyces). Actinnobacteria,

Actinoplanetes, Nocardioforms, dan Streptomyces memiliki filogenik yang

berbeda dan heterogen. Aktinomisetes ada yang bersifat saprofit namun ada yang

bersifat parasit atau bersimbiosis mutualisme dengan tumbuhan dan hewan

(Goodfellow 1983).

Aktinomisetes khususnya Streptomyces dikarakterisasi dengan

pertumbuhan koloni yang spesifik. Koloni aktinomisetes bukan akumulasi dari

kumpulan sel-sel tunggal dan seragam seperti halnya bakteri, melainkan bentuk

masa filamen bercabang (Locci et al. 1983). Koloni yang tumbuh pada medium

padat tersusun secara vegetatif dan dengan miselia berantena atau bersungut. Pada

Page 31: disertasi_rofiq_F361070142tip

8

koloni yang belum tumbuh miselianya, permukaan koloni terlihat mengkilap.

Pada genus Streptomyces, miselium tumbuh secara luas menempel pada medium

padat dan keseluruhan unit mudah diambil dengan kawat Ose (Cross 1982). Dilain

pihak koloni yang dibentuk oleh Nocardia cenderung mudah terpisah setiap

hifanya dan cenderung mudah pecah seperti tepung. Apabila miselium

berkembang, permukaannya cenderung seperti tepung dan halus. Struktur, bentuk,

ukuran dan warna dari koloni sangat bervariasi dan dapat berubah sesuai dengan

kondisi kulturnya. Kebanyakan Streptomyces mengeluarkan bau yang khas seperti

tanah. Asam asetat, acetaldehida, etanol, isobutanol, dan isobutil asetat sekarang

ini sudah diidentifikasi sebagai aroma senyawa utama yang dihasilkan oleh

Streptomyces. Bahkan hidrogen sulfida dipercaya berperan dalam pembentukan

aroma tanah yang dikeluarkannya (Goodfellow 1983).

Miselium vegetatif aktinomisetes berbentuk hifa non-septat yang panjang.

Beberapa hifa membentang dan panjangnya lebih dari 600 μm, bercabang,

melengkung/meliuk-liuk, dan cabangnya berbentuk monopodial. Miselium

vegetatif memiliki karakteristik berwarna, seperti kuning, oranye, merah, hijau,

coklat, atau hitam. Apabila terlarut dalam air, pigmen akan dikeluarkan dalam

medium (Cross 1982).

Beberapa jenis aktinomisetes memiliki miselium aerial. Miselium aerial

merupakan bentuk dan struktur dari miselium vegetatif. Miselium aerial muncul

dari substrat miselium dan menutupi seluruh koloni, sehingga terlihat seperti

kapas atau tepung. Miselium aerial ada yang bersifat steril dan ada yang fertil.

Hifa steril umumnya tipis dan menunjukkan tidak adanya pertambahan diameter.

Hifa sporogenous awalnya tipis tetapi pada tahap akhir perkembangannya menjadi

lebih tebal. Fertil aerial micellium mengandung sporosphores yang berbentuk

panjang, lurus atau bengkok. Hifa pendek memberikan permukaan koloni yang

mirip tepung, sementara hifa panjang menunjukkan permukaan menyerupai

kapas. Karakteristik aerial micellium lain dari Streptomyces adalah pigmentasi

yang dapat memiliki warna dari putih atau abu-abu sampai ke kuning, oranye,

lavender, biru, dan hijau, sehingga sering disebut sebagai ”colour wheel” (Locci

et al.1983). Bentuk aerial micellium yang dibentuk oleh Streptomyces disajikan

dalam Gambar 1.

Page 32: disertasi_rofiq_F361070142tip

9

http://www.microbiologyprocedure.com/

Gambar 1 Morfologi aerial micellium Streptomyces

Spora tumbuh berawal dari ujung hifa sporogenous dan terbentuk oleh

proses fragmentasi atau segmentasi. Pada proses fragmentasi sitoplasma pecah

dan membentuk bagian-bagian kecil yang seragam, yang pada akhirnya lepas dan

memisah dari dinding sel. (Cross 1982).

II.2. Isolasi Aktinomisetes

Isolasi mikroba dari alam merupakan tahap awal dalam penapisan

metabolit mikroba seperti antibiotik. Biasanya tidak diketahui jenis dan jumlah

mikroba dalam sampel tersebut. Pada prinsipnya tujuan isolasi mikroba yaitu

untuk mendapatkan mikroba yang dikehendaki sebanyak-banyaknya (Morrelo

2002). Untuk maksud tersebut dapat digunakan teknik medium diperkaya dan

sistem pengenceran. Misalnya sampel tanah atau air diencerkan sedemikian rupa,

sehingga diharapkan pertumbuhan koloni tidak lebih 200 koloni per cawan petri.

Suspensi tersebut dengan metode taburan spread plate diinokulasikan pada cawan

petri yang mengandung medium diperkaya. Setelah diinkubasi, akan terlihat

koloni-koloni pada cawan tersebut dan siap untuk diisolasi (Hogg 2005). Namun

dalam praktek cara tersebut kurang efisien karena harus mengisolasi banyak

mikroba yang potensinya belum jelas, sehingga para peneliti sudah membatasi

jenis mikroba yang akan diisolasi. Biasanya tidak diinginkan isolasi semua

mikroba yang ada dalam sampel, karena akan menghabiskan banyak biaya, tenaga

dan waktu. Pra-perlakuan sampel dilakukan untuk mengeliminasi mikroba yang

tak diinginkan. Ada beberapa contoh yang sering dilakukan oleh para peneliti,

misalnya sampel tanah dikeringkan di udara pada suhu kamar selama 3 - 10 hari

Page 33: disertasi_rofiq_F361070142tip

10

tergantung dari kandungan airnya untuk mengurangi populasi bakteri (Hayakawa

dan Hideo 1987). Untuk memperbesar kemungkinan isolasi aktinomisetes dari

sampel air, misalnya Rhodococcus dan Micromonospora dapat dilakukan

pemanasan sampel 55 °C selama beberapa menit (Goodfellow et al. 1988).

Untuk mendapatkan Streptomyces telah digunakan medium khusus yaitu

Medium International Streptomyces Project (ISP) (Horan 1999). Fungi dapat

dihilangkan dengan menambahkan antifungi seperti nistatin atau sikloheksimid ke

dalam medium, dan bakteri dapat dieliminasi dengan menambahkan beberapa

antibiotik ke dalam medium. Selain itu parameter kondisi lingkungan juga harus

diperhatikan seperti pH, suhu dan sebagainya. Sebagian besar bakteri lebih peka

terhadap pH asam, sedangkan fungi lebih tahan terhadap rentang pH yang lebih

lebar. Suhu inkubasi dapat meningkatkan isolasi mikroba yang dikehendaki,

misalnya isolasi Thermoactinomyces dapat ditingkatkan dengan inkubasi 50-55

°C, Nocardia pada 25 °C, Streptosporangium pada 40 °C dan sebagainya. Isolasi

anggota aktinomisetes pada umumnya menggunakan suhu inkubasi 28 – 30 °C.

Aktinomisetes merupakan mikroba yang paling efektif dalam

menggunakan substrat. Sebagai organisme heterotrop, aktinomisetes memerlukan

bahan organik sebagai sumber karbon bagi kelangsungan hidupnya dan beberapa

jenis diantaranya mampu mendegradasi inulin dan chitin. Bahkan Nocardia sp

mampu memecah molekul organik yang tak lazim di alam seperti parafin, fenol,

steroid dan pirimidin. Micromonospora mampu mendekomposisi pati, chitin,

selulosa, glukosida, pentosan dan mungkin lignin. Atas dasar kemampuannya

yang jarang dijumpai pada mikroba lain, maka para ahli telah mengembangkan

medium isolasi yang hanya menguntungkan pertumbuhan aktinomisetes daripada

mikroba yang lain. Medium tersebut seperti Arginine-Glycerol salt, Benedict,

Collodial Chitin, Starch-Casein dan sebagainya (Cross 1982). Menurut Pisano et

al. (1989) medium campuran pati dengan kasein sangat cocok digunakan untuk

isolasi aktinomisetes. Aktinomisetes mudah tumbuh dalam medium campuran pati

dan kasein, namun demikian mikroba lain tumbuh lebih lama dibandingkan

dengan aktinomisetes.

Beberapa teknik perlakuan pendahuluan sampel juga telah digunakan

peneliti untuk mendapatkan isolat aktinomisetes yang diinginkan. Sebagai contoh

Page 34: disertasi_rofiq_F361070142tip

11

teknik rehidrasi diterapkan pada sampel pada habitat air tawar yang akan

menghasilkan banyak actinoplanete dan genus baru Cupolomyces. Spora

aktinomisetes biasanya tahan terhadap proses pengeringan baik proses

pengeringan kering atau basah. Pemanasan sampel pada suhu hangat mampu

menekan pertumbuhan bakteri gram negatif yang sering mengganggu proses

isolasi aktinomisetes (Pisano 1986). Cara lain untuk menekan perumbuhan bakteri

gram negatif adalah dengan mengurangi water activity pada medium isolasi.

Kelembaban pada permukaan agar dapat mendorong tumbuh dan menyebarnya

bakteri Gram-negatif yang secara signifikan dapat menekan proses germinasi dan

pertumbuhan aktinomisetes. Oleh karena itu cawan isolasi dan permukaan agar

harus dalam kondisi kering pada saat menyebarkan sampel isolasi (Seong 2001).

Beberapa spesies aktinomisetes lebih menyukai permukaan medium kering untuk

proses germinasi dan pertumbuhan. Proses pemanasan dan pengeringan dengan

kombinasi medium selektif akan mampu menghasilkan koloni aktinomisetes

yang relatif banyak. Sentrifugasi diferensial juga dapat digunakan dalam proses

pra-perlakuan sampel (Araujo 2008).

Spora aktinomisetes juga tahan terhadap pemanasan kering sampai suhu

120 °C, sifat ini dimanfaatkan untuk perlakuan pendahuluan yang dapat

menghilangkan sejumlah bakteri kontaminan (Takashi 2003). Spora aktinomisetes

lebih sentisitif terhadap pemanasan basah, yaitu sampel tersuspensi dalam pelarut

yang dipanaskan. Pemanasan sampel pada suhu 45-50 °C dapat digunakan untuk

isolasi Streptomyces, pada suhu pemanasan 55 °C dapat digunakan untuk

mengisolasi Rhodococcus, dan spesies yang lebih tahan pada pemanasan yang

lebih tinggi lagi adalah Micromonospora yang dapat bertahan pada pemanasan

60-70 °C selama 30 menit. Perlakuan pendahuluan sampel secara kimia juga

banyak dilakukan untuk mengisolasi aktinomisetes, misalnya penggunaan fenol,

klor atau amonium kuartener. Metode pra-perlakuan ini biasanya juga mengurangi

sejumlah aktinomisetes yang akan diisolasi (Goodfellow et al. 1988).

Seong et al. (2001) telah melakukan modifikasi pra-perlakuan sampel

untuk isolasi aktinomisetes dari tanah. Isolasi dilakukan dengan medium HHVA

(Hair Hydrolysate Vitamin Agar) dan pra-perlakuan sampel dengan menggunakan

4 metode, yaitu dengan penambahan antibiotik, pemanasan kering (1 jam pada

Page 35: disertasi_rofiq_F361070142tip

12

suhu 100 °C), pemanasan basah (70 °C) selama 15 menit, dan udara kering selama

24 jam. Dari penelitian ini menunjukkan bahwa hasil isolasi aktinomisetes dengan

beberapa metode pra-perlakuan sampel tersebut menunjukkan hasil yang sangat

bervariatif.

Penggunaan senyawa antibakteri dan antifungi juga menentukan hasil

isolasi aktinomisetes. Penggunakan senyawa antibakteri dapat memberikan efek

mengurangi jumlah aktinomisetes yang akan diisolasi. Namun demikian cara ini

dipandang sangat membantu menekan sejumlah bakteri dan kapang kontaminan,

sehingga mempermudah proses isolasi dan pemurnian aktinomisetes. Kombinasi

benzyl penicillin (5-10 μg mL-1) dengan asam nalidiksat (15 μg mL-1) dapat

digunakan untuk mendapatkan Saccharothrix, novobiocin (25 μg mL-1) dan

streptomycin (15 μg mL-1) dapat digunakan untuk mendapatkan isolat dari genus

Glycomyces, dan dengan menambahkan vancomycin dapat digunakan untuk

mendapatkan Amylocolatopsis. Hanka (1985) dapat menaikkan perolehan koloni

Streptoverticillium dengan menggunakan medium agar yang mengandung

oxytetracycline dengan metode filter membran yang dapat menghilangkan koloni

bakteri nonmiselia.

Salah satu faktor yang penting dalam proses isolasi dan fermentasi

aktinomisetes adalah suhu inkubasi. Secara umum aktinomisetes tumbuh baik

pada suhu 25 sampai dengan 30 °C. Namun demikian ada beberapa aktinomisetes

yang tumbuh baik pada suhu 45 °C (Goodfellow et al. 1988). Isolasi

aktinomisetes termofilik akan lebih mudah diisolasi dan dimurnikan dari bakteri

kontaminan dibandingkan jenis mesofilik. Namun pada proses produksinya

aktinomisetes termofilik akan membutuhkan biaya yang cukup tinggi untuk tetap

menjaga panas yang lebih tinggi.

Waktu inkubasi proses isolasi aktinomisetes pada cawan agar sampai dapat

dilihat koloninya dengan mata telanjang kurang lebih selama 7 sampai dengan 14

hari. Masa inkubasi yang semakin lama biasanya dihindari oleh peneliti. Hal ini

disebabkan pertumbuhan aktinomisetes yang lambat akan meningkatkan biaya

produksi pada saat masuk dalam proses fermentasi. Namun demikian

pertumbuhan aktinomisetes dapat dimodifikasi melalui medium pertumbuhan dan

kondisi lingkungan yang digunakan (Cross 1982).

Page 36: disertasi_rofiq_F361070142tip

13

II.3. Antibiotik

Sejarah perkembangan penemuan antibiotik berawal dari penemuan oleh

Fleming yang terus berkembang sampai sekarang. Sekarang ini telah ditemukan

lebih dari 10.000 senyawa bahan alam yang dihasilkan dari mikroba. Tahun 1940

sampai dengan awal tahun 1950 merupakan tahun keemasan yaitu banyak

ditemukan senyawa alam antibiotik yang berasal dari mikroba. Hampir semua

antibakteri penting seperti tetrasiklin, sefalosporin, amiloglikosid, dan makrolida

telah ditemukan pada tahun-tahun tersebut. Menurut Berdy (2005) pada tahun

1940 sekitar 10-20 antibiotik telah ditemukan, pada tahun 1950-an telah

ditemukan 300-400 antibiotik, sekitar tahun 1960 ditemukan 800-1000 antibiotik,

tahun 1970 telah ditemukan 2500, tahun 1980 telah ditemukan 5000, tahun 1990

telah ditemukan sekitar 10.000, dan tahun 2000 telah ditemukan sekitar 20.000

antibiotik.

Antibiotik merupakan substansi yang dihasilkan oleh mikroba, dalam

konsentrasi rendah mampu menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroba

lain (Cross 1982). Setiap antibiotik mempunyai aktivitas penghambatan

pertumbuhan hanya terhadap mikroba patogen spesifik, yang disebut spektrum

penghambat. Mikroba penghasil antibiotik meliputi golongan bakteri,

aktinomisetes, fungi, dan beberapa mikroba lainnya. Kurang lebih 70% antibiotik

dihasilkan oleh aktinomisetes, 20% dihasilkan oleh fungi dan 10% dihasilkan oleh

bakteri. Streptomyces merupakan penghasil antibiotik yang paling besar jenisnya

(Berdy 2005). Distribusi senyawa aktif yang telah diketemukan sampai saat ini

disajikan pada Tabel 1.

Pada siklus hidupnya yang normal, mikroba akan tumbuh dalam medium

yang sesuai dan menghasilkan jumlah sel maksimum. Setelah itu pertumbuhannya

berhenti dan memasuki fase stasioner, dan selanjutnya masuk pada fase kematian

terjadi kematian sel vegetatif (lisis) atau pembentukan spora. Pada fase stasioner

sel-sel berhenti membelah dan metabolit sekunder mulai diproduksi. Metabolit

sekunder sering diproduksi dalam jumlah besar dan kebanyakan disekresikan ke

dalam medium biakan (Cross 1982). Sebagian besar antibotik merupakan

metabolit sekunder, akan tetapi ada antibiotik merupakan metabolit primer, yaitu

Page 37: disertasi_rofiq_F361070142tip

14

antibiotik yang terbentuk selama fase pertumbuhan eksponensial, misalnya

antibiotik polipeptida nisin.

Tabel 1 Distribusi senyawa aktif dan tidak aktif yang telah diketahui. Sumber Jenis

antibiotik Senyawa

aktif lainnya Total

senyawa aktif

Penggunaan pada manusia

Senyawa tidak aktif

Bakteri 2900 900 3800 10-12 3000-5000

Aktinomisetes 8700 1400 10100 100-120 5000-10000

Fungi 4900 3700 8600 30-35 2000-15000

Total 16500 6000 22500 140-160 20000-25000

(Berdy, 2005)

Antibiotik dan produk alami (natural product) yang sejenis merupakan

metabolit sekunder yang dihasilkan oleh hampir semua tipe makhluk hidup,

seperti mikroba prokariotik, eukariotik, beberapa tumbuhan dan hewan.

Kemampuan menghasilkan metabolit sekunder sangat bervariasi pada setiap

spesies. Total jenis senyawa aktif yang dihasilkan oleh kelompok bakteri adalah

sebanyak 3.800 atau 17% dari total senyawa aktif yang telah ditemukan.

Aktinomisetes menghasilkan lebih dari 10.000 senyawa aktif, 7.600 dihasilkan

oleh Streptomyces dan 2.500 dihasilkan oleh aktinomisetes langka (Berdy 2005)

II.4. Metabolit Mikroba

Secara garis besar metabolit yang dihasilkan oleh mikroba dibagi menjadi

2 golongan yaitu metabolit sekunder dan metabolit primer. Metabolit primer

dihasilkan oleh dalam proses biokimia yaitu proses anabolik dan katabolik yang

menghasilkan asimilasi, respirasi, transportasi, dan diferensiasi. Metabolisme

primer yang terjadi dalam semua sel hampir semuanya memiliki kemiripan baik

prosesnya maupun produk yang terjadi maupun fungsi biologisnya. Sedangkan

metabolit sekunder adalah senyawa kimia yang dihasilkan mikroba, tumbuhan,

atau hewan yang tidak secara langsung terlibat dalam pertumbuhan,

perkembangan, dan reproduksi. Metabolit sekunder merupakan produk spesifik

dari setiap spesies (atau hanya ditemukan dalam bagian kecil dari spesies dalam

Page 38: disertasi_rofiq_F361070142tip

15

grup filogenik). Tanpa senyawa ini maka organisme akan berakibat menderita

karena kurang dapat mempertahankan diri namun demikian tidak menyebabkan

kematian secara langsung, contohnya antifungi, antibakteri, antikolesterol,

enziminhibitor, dan lain-lain. Fungsi utama dari metabolit sekunder dalam

organisme adalah sebagai fungsi ekologi yaitu sebagai alat pertahanan melawan

predator, parasit, dan kompetisi antar spesies (Prescot et al. 2002; Bennett et

al.1989; Luckner 1990). Konsep metabolisme sekunder pertama kali dikenal oleh

Kossel 1891 (Haslam 1986; Seigler 1998). Metabolit sekunder pada mulanya

diasumsikan sebagai hasil samping atau limbah organisme sebagai akibat

produksi metabolit primer yang berlebih. Namun seiring dengan perkembangan

ilmu pengetahuan, terbukti bahwa metabolit sekunder diproduksi oleh organisme

sebagai respon terhadap lingkungan yang tidak sesuai (Dewick 1997). Metabolit

sekunder dihasilkan melalui jalur biosintesis metabolit primer. Jalur biosintesis

metabolit sekunder lebih spesifik untuk setiap famili atau genus mikroba dan

berhubungan terhadap mekanisme evolusi suatu spesies (Torssell 1997).

Berbeda dengan metabolit sekunder, metabolit primer merupakan

metabolit yang digunakan untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup,

diantaranya adalah lemak, DNA, protein dan karbohidrat. Metabolisme primer

telah ditunjukkan pada proses sintesis asam karboksilat melalui siklus Krebs,

asam amino, karbohidrat, lemak, protein dan asam nukleat, yang semuanya

merupakan kebutuhan dasar untuk tetap dapat hidup dan terjadi pada semua

mikroorganime (Luckner (1990). Semua mikroba yang memiliki sistem jalur

metabolisme yang sama akan menghasilkan senyawa metabolit primer yang sama

pula. Berbeda halnya dengan metabolit sekunder, metabolit ini bukan merupakan

metabolit dasar yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidupnya tetapi mendukung

kelangsungan hidup suatu spesies untuk tetap hidup (Torsell 1997).

Metabolit sekunder tidak memiliki peran dalam proses kehidupan dasar.

Metabolit sekunder disintesis dari substrat yang dihasilkan oleh metabolit primer

melalui lintasan metabolisme primer. Metabolit sekunder dalam tumbuhan

biasanya dapat divisualisasi dari warna, bau, dan rasa yang dihasilkan dari

senyawa kimia. Metabolit sekunder ini dapat dimanfaatkan untuk pembuatan obat,

insektisida, pewangi dan lain-lain.

Page 39: disertasi_rofiq_F361070142tip

16

Ada beberapa metabolit sekunder khususnya antibiotik yang dihasilkan

dari jalur biosintesis ini seperti antibiotik β-laktam (misalnya penisilin dan

sefalosporin), antibiotik aminoglikosid (streptomisin), steroid (gibberelin),

makrolida (tetrasiklin), aktinomisin, dan anthramisin.

II.5. Pertumbuhan Mikrobial

Kurva pertumbuhan mikroba secara curah yang ditumbuhkan dalam

medium kimiawi dapat dibuat dengan pengaluran data jumlah sel atau biomassa

terhadap waktu pertumbuhannya. Kurva pertumbuhan dibagi menjadi 3 fase yaitu

fase lag, fase eksponensial atau fase log, dan fase stasioner. Fase lag atau sering

disebut juga fase adaptif, berlangsung segera setelah inokulasi pada medium

nutrien dan merupakan periode adaptasi. Pada fase ini mikroba mengalami

penyesuaian diri dengan kondisi lingkungan dan substrat yang tersedia. Jumlah sel

pada fase ini bisa tetap namun demikian massa sel bisa bertambah. Dapat pula

terjadi fase lag yang panjang bila inokulumnya kecil, mempunyai daya tumbuh

rendah, atau bila komposisi media propagasi sangat berbeda dengan media

fermentasi. Panjang pendeknya fase lag sangat tergantung dari kemampuan

adaptasi mikroba tersebut terhadap kondisi yang baru dan medium yang ada

(Judoamidjojo et al.1992). Pada periode ini tidak terjadi peningkatan jumlah sel,

sehingga dengan persamaan matematis dapat dituliskan sebagai berikut;

X = Xo = tetap dan rx = dx/dt = 0

Demikian pula laju pertumbuhan spesifik, μ adalah nol

dx/dt. 1/x = μ = 0

Keterangan :

X = konsentrasi selular (g L-1)

Xo = konsentrasi selular pada t = 0

rx = laju pertumbuhan

μ = laju pertumbuhan spesifik (Jam-1)

Setelah fasa lag selesai, maka mulai terjadi reproduksi sel. Konsentrasi

selular atau biomassa meningkat, dengan demikian dx/dt dan laju pertumbuhan

spesifik meningkat. Fase log ditandai oleh suatu garis lurus pada plot semilog

Page 40: disertasi_rofiq_F361070142tip

17

antara ln X versus waktu. Ini adalah periode pertumbuhan seimbang atau kondisi

mantap dengan laju pertumbuhan spesifik konstan. Sel mikroba membelah dengan

cepat dan konstan sehingga jumlah pertumbuhan selnya mengikuti kurva

logaritmik. Pada saat laju pertumbuhan atau reproduksi selular mencapai titik

maksimum, maka terjadi pertumbuhan secara logaritmik atau eksponensial. Pada

fasa ini keadaan pertumbuhan adalah mantap. Dengan laju pertumbuhan spesifik,

μ tetap, komposisi selular tetap, sedangkan komposisi kimiawi medium biakan

berubah akibat terjadinya sintesis produk dan penggunaan substrat.

Pada fase eksponensial, laju pertumbuhan, dx/dt meningkat berbanding

lurus dengan X. Laju pertumbuhan spesifik tetap dan mencapai nilai maksimal.

Laju pertumbuhan dapat digambarkan dengan persamaan sebagai berikut

(Stanbury dan Whitaker, 1984);

dX/dt = μm X..........................................(1)

Dari persamaan (1) apabila dilakukan integrasi akan diperoleh persamaan sebagai

berikut;

ln X1 = lnXo + μ t ..............................(2)

dari persamaan (2) maka laju pertumbuhan spesifik (μ) merupakan kemiringan

kurva hasil pengaluran (plotting) ln X1 (konsentrasi biomassa) terhadap waktu (t).

Pertumbuhan berbanding lurus dengan kerapatan selular mikroba,

rx = dx/dt = μm X …………………..…..(3)

pada fasa ini : logX2 – log X1 = μm (t2-t1) ….……...…(4)

maka X2 = X1 eμm (t2-t1) ……………………..(5)

apabila pada saat Tg adalah X2 = 2X1 maka

Tg =ln2/μm = 0,69/μm …………………..(6)

Tg = waktu penggandaan (waktu yang diperlukan untuk mendapatkan

konsentrasi biomassa (X) menjadi dua kali konsentrasi awal (Xo) pada

fasa eksponensial).

Pada beberapa titik laju pertumbuhan mulai menurun karena nutrisi dasar

telah menjadi berkurang dan hambatan oleh adanya produk metabolik yang

terakumulasi. Sel-sel tersebut selanjutnya akan mengalami transisi, sehingga laju

pertumbuhan menjadi nol dan memasuki ke fase stasioner.

Page 41: disertasi_rofiq_F361070142tip

18

Fase stasioner akan terjadi setelah semua sel berhenti membelah diri atau

bila sel hidup dan sel mati mencapai keseimbangan, yaitu dengan laju kematian.

Namun meskipun pertumbuhan telah berhenti, mungkin saja masih dapat

berlangsung proses metabolisme dan akumulasi produk dalam sel atau dalam

kaldu fermentasi. Pada awal fase stasioner, konsentrasi konsentrasi biomassa

mengalami maksimal. Fasa penurunan ditandai dengan berkurangnya jumlah sel

hidup dalam medium akibat kematian yang diikuti autolisis sel oleh enzim selular.

Beberapa kemungkinan yang terjadi apabila inkubasi tetap dilakukan, pertama

massa sel total mungkin konstan, kedua masa sel hidup cenderung menurun,

ketiga terjadi lisis sel dan masa sel menurun drastis atau sel hidup meningkat

kembali oleh pertumuhan kriptik. Pola pertumbuhan sel selama fase lag, fase log,

dan fase stasioner disajikan dalam Gambar 2.

Fase lag

Fase eksponensial

Fase stasioner

waktu

Kon

sent

rasi

bio

mas

sa a

bc

Keterangan : a.massa sel tanpa terjadi lisis b.massa sel terjadi lisis, diikuti pertumbuhan kriptik c.jumlah sel hidup dengan terjadi lisis

Gambar 2 Pola pertumbuhan sel selama fase lag, fase log, dan fase

stasioner (Wang 1979)

Berdasarkan kajian pertumbuhan mikroba, dapat ditentukan parameter

pertumbuhan seperti koefisien konversi atau rendemen produktivitas.

Yx/s = Xf - Xo ……………………………..(7) So - S Keterangan:

So : konsentrasi awal substrat

S : konsentrasi substrat tersisa yang umumnya mendekati nol dan dapat

diabaikan dibandingkan nilai So apabila jauh lebih besar.

Page 42: disertasi_rofiq_F361070142tip

19

Nilai Yx/s dinyatakan dalam bobot sel kering per bobot atau mol substrat yang

dikonsumsi (rendemen molekuler). Produktivitas (bobot biomassa yang dihasilkan

per volume medium per jam) merupakan kriteria untuk mengevaluasi proses

fermentasi. Produktivitas maksimal dicapai pada waktu tm dan konsentrasi Xm,

sehingga;

Pm = Xm / tm ………..…….……(8)

Bila produktivitas total dinyatakan sebagai berikut;

Pt = Xt / tt ………………………(9)

Hubungan laju pertumbuhan mikroba (μ) dengan konsentrasi substrat (S) telah

digambarkan oleh Monod berdasarkan analogi model kinetik enzimatik Michaelis

Menten. Persamaan matematik hubungan laju pertumbuhan dengan konsentrasi

substrat adalah sebagai berikut;

………………...………(10) μ = μm S Ks + S

Ks merupakan konstanta penggunaan substrat yang menunjukkan afinitas mikroba

terhadap substrat. Ks merupakan konsentrasi substrat pada saat μ = μm/2.

Pengaruh konsentrasi substrat terhadap laju pertumbuhan spesifik digambarkan

pada Gambar 3. Berdasarkan model Monod, laju pertumbuhan (rx) dapat

dinyatakan sebagai berikut;

………….(11) rx = μ X = μm S X Ks + S

a c b

Substrat (g L-1)

μ (ja

m-1

)

Keterangan : a. Pembatasan oleh substrat b.Tidak ada pengaruh oleh substrat c. Penghambatan oleh substrat berlebih

Gambar 3 Pengaruh konsentrasi substrat (S) terhadap laju pertumbuhan spesifik

(Wang et al.1979).

Page 43: disertasi_rofiq_F361070142tip

20

Pada kinetika pertumbuhan mikroba dalam kondisi keseimbangan

kimiawi, pertumbuhan sel, pembentukan produk berkaitan erat dengan

penggunaan hara atau substrat. Pada fermentasi curah, laju penggunaan substrat

persatuan volume, secara sederhana berbanding lurus dengan laju pertumbuhan.

rs = 1/Yx/s (rx) karena rx = μX maka rs = μX / Yx/s

µ = dx/dt. 1/x

Yx/s adalah rendemen biomassa yang terbentuk persatuan substrat yang

dikonsumsi. Bila pertumbuhan mikroba mengikuti model Monod, maka laju

penggunaan substrat (rs) dapat dinyatakan sebagai berikut;

…..………(12) rs = 1/Yx/s μm S X Ks + S

Hubungan kinetik pertumbuhan dan pembentukan produk tergantung pada

peranan produk di dalam metabolisme sel. Ada tiga pola kinetika yang umum

dalam hubungannya pada kinetika pertumbuhan dengan pembentukan produk,

yaitu: pola pembentukan produk berasosiasi dengan pertumbuhan, pola

pembentukan produk tidak berasosiasi dengan pertumbuhan, dan pola campuran

antara pembentukan produk berasosiasi dan tak berasosiasi dengan pertumbuhan.

Produk yang terbentuk dengan pola pertumbuhan yang berasosiasi dengan

pembentukan produk merupakan hasil langsung suatu lintasan katabolik atau

disebut metabolit primer. Pada pola ini laju pembentukan produk berbanding

secara proporsional dengan laju pertumbuhan;

dp/dt = α dx/dt atau rp = Yp/x rx dan rp = dp/dt

dengan Yp/x adalah rendemen produk yang dihasilkan per biomassa yang

dihasilkan (g/g).

Pada berbagai fermentasi, terutama yang menghasilkan metabolit sekunder

seperti antibiotik, pembentukan produk tidak berasosiasi dengan pertumbuhan,

pembentukan produk biasanya terjadi pada akhir fase pertumbuhan. Laju

pembentukan produk berbanding secara proporsional dengan konsentrasi selular

dan tidak pada laju pertumbuhan, sehingga ; rp = β x

Page 44: disertasi_rofiq_F361070142tip

21

Pada pola campuran antara pembentukan produk dan pertumbuhan, laju

pembentukan produk berbanding terbalik dengan konsentrasi sel maupun laju

pertumbuhan yang dinyatakan sebagai berikut;

dp/dt = α dx/dt + β x atau

1/x dp/dt = α 1/x dx/dt + β atau rp/x = α μ + β …….(13)

p = Konsentrasi produk

x = Konsentrasi biomassa

t = Waktu

µ = Laju pertumbuhan spesifik

α = Tetapan yang menunjukkan bagian produk yang diproduksi pada fase

logaritmik.

β = Tetapan yang menunjukkan bagian produk yang diproduksi pada fase

logaritmik.

Model ini disebut model kinetika Leudeking dan Piret (Mangunwidjaja dan

Suryani 1994).

II.6. Identifikasi Mikroba Menggunakan 16S rRNA

Identifikasi mikroba menggunakan metode molekuler dengan mendeteksi

elemen genom (DNA dan RNA) merupakan salah satu teknik identifikasi yang

akurat. Identifikasi secara molekuler banyak digunakan untuk mempertegas hasil

identifikasi secara fenotip seperti identifikasi morfologi, maupun identifikasi

secara biokimia. Identifikasi molekuler memiliki keunggulan lebih akurat,

pengerjaannya lebih cepat, dan dapat digunakan untuk identifikasi mikroba yang

tidak dapat dikulturkan (unculture).

Prinsip dasar identifikasi secara molekuler adalah mendeteksi secara

spesifik sekuen nukleotida pada genom mikroba, dan dihibridisasi menggunakan

sekuen label komplementer berdasarkan pendeteksian (Iwen dan Peter, 2004).

Identifikasi berdasarkan sekuen memerlukan pengenalan target molekuler untuk

memberikan perbedaan banyaknya varietas mikroba. Beberapa area target genom

yang sudah dikenal yaitu bagian gen 16S rRNA. Daerah 16S rRNA merupakan

daerah terkonservasi pada mikroba prokariot dan memberikan ciri spesifik dari

Page 45: disertasi_rofiq_F361070142tip

22

tiap mikroba prokariot. Sehingga daerah 16S rRNA digunakan untuk

mengklarifikasi makhluk hidup ke dalam kelompok yaitu archaea, bakteri, dan

prokarya. Ribosomal RNA (rRNA) merupakan salah satu jenis molekul RNA

yang unik disamping duta RNA (mRNA) dan transfer RNA (tRNA). RNA

berperan dalam pembentukan kerangka ribosom yang merupakan organel penting

dalam proses translasi RNA menjadi asam amino (Gick dan Pasternack 2003).

Saat ini RNA telah banyak dijadikan sebagai sumber analisis filogenik dan

pengklasifikasian makluk hidup. Hal ini disebabkan molekul rRNA bersifat

homologi baik secara fungsional maupun evolusinya pada organisme yang

berbeda (Broun-Howland et al. 1992).

Tahapan dasar untuk identifikasi molekuler dengan menggunakan analisis

sekuen adalah sebagai berikut;

1. Isolasi DNA atau RNA.

Deoxyribonucleic acid atau disingkat DNA merupakan bahan penyusun

gen, yaitu penurun sifat yang meneruskan informasi dari induknya

(Campbell et al. 2002). DNA terdapat di dalam inti sel terutama pada

kromosom. Molekul DNA juga ditemukan pada organel-organel sel seperti

sel pada mitokondria dan kloroplas. Ada beberapa tahapan dalam

melakukan isolasi DNA, pertama isolasi jaringan, pelisisan dinding sel

ekstraksi DNA, dan presipitasi. Presipitasi dilakukan untuk

mengendapkan protein sehingga terpisah dari ikatan DNA.

2. PCR (Polymerase Chain Reaction).

Reaksi polimerasi berantai atau lebih dikenal dengan PCR merupakan

suatu metode amplifikasi fragmen DNA secara cepat dan dapat

menghasilkan DNA dalam jumlah besar. Secara prinsip PCR merupakan

proses berulang, setiap siklusnya dibagi menjadi 3 tahapan, yaitu pertama

tahap denaturasi yaitu DNA terputus dan membentuk DNA rantai tunggal,

kedua tahap penempelan (annealing), yaitu primer menempel pada bagian

DNA template yang berkomplementer urutan basanya, ketiga tahap

amplifikasi, yaitu tahap penggandaan. Setelah tahap ketiga selesai, maka

akan terjadi lagi secara berulang secara terus menerus. Tahapan ini terus

berulang 20 sampai dengan 30 kali (Yuwono dan Triwibowo 2006).

Page 46: disertasi_rofiq_F361070142tip

23

3. Elektroforesis Gel.

Elektroforeses gel merupakan suatu teknik untuk memisahan

makromolekul (DNA atau protein) berdasarkan ukuran dan muatan

listrik(Cambell et al. 2002). Setiap bakteri memiliki 16S rRNA yang

merupakan suatu sub unit dari RNA ribosom. Gen 16S rRNA memiliki

nukleotida yang relatif pendek yaitu sekitar 1500 bp. Munculnya pita

(band) tunggal pada daerah 1500 bp, maka dapat diketahui bahwa gen 16

S rRNA telah diamplifikasi.

4. Sekuensing.

Metode sekuensing merupakan metode pengurutan basa nukleotida pada

DNA dan mendapatkan data berupa ukuran nukleotida dari fragmen DNA.

Sekuensing DNA akan menghasilkan sekuen yang digambarkan sebagai

untaian abjad lambang nukleotida-nukleotida penyusun DNA, yaitu ”A”

(nukleotida berbasa adenin), ”T”(nukleotida berbasa timin, ”G”(nukleotida

berbasa guanin, dan ”C”(nukleotida berbasa sitosin. (Campbell et al.

2002).

5. BLAST (Basis Local Aligment and Search Tool).

Basis data merupakan kumpulan informasi yang disimpan di dalam

komputer secara sistematik sehingga dapat diperiksa menggunakan

program komputer untuk memperoleh informasi basis data tersebut. Salah

satu basis data untuk BLAST adalah NCBI yang merupakan Gen Bank.

Data ini dapat dibuka melalui website http://www.ncbi.nih.nlm.gov yang

dapat digunakan untuk membandingkan hasil gen yang telah disekuen.

II.7. Response Surface Methodology

Response surface Methodology (RSM) merupakan teknik statistik empiris

yang digunakan pada analisis regresi berganda dengan menggunakan data

kuantitatif yang didapatkan dari percobaan-percobaan yang telah didesain dengan

baik untuk menyelesaikan persamaan multi peubah secara simultan. Menurut

Montgomery (1997), RSM adalah metode statistik yang menggunakan data

kuantitatif dari desain penelitian yang sesuai untuk menentukan dan

Page 47: disertasi_rofiq_F361070142tip

24

menyelesaikan persamaan multivariabel secara simultan. Persamaan persamaan

ini dapat ditampilkan secara grafis sebagai respon permukaan yang dapat

digunakan dalam tiga cara, yaitu 1) untuk menggambarkan bagaimana faktor

dapat mempengaruhi respon; 2) untuk menentukan hubungan inter-relasi antar

faktor; dan 3) untuk menggambarkan efek gabungan dari respon seluruh faktor.

Box et al. (1978) menyatakan bahwa RSM memiliki beberapa sifat

menarik, diantaranya: (a) RSM merupakan suatu pendekatan sequensial. Hasil

dari setiap tahapan akan memandu percobaan yang perlu dilakukan pada tahap

berikutnya. Setiap tahapan pengulangan (iterasi) hanya memerlukan sejumlah

kecil percobaan, sehingga menjamin peneliti terhindar dari percobaan yang tidak

produktif; (b) RSM mengantarkan fokus penelitian dalam bentuk geometri yang

dapat segara dipahami dengan mudah. Hasil RSM berupa ringkasan grafik dan

plot-plot kontur merupakan suatu bentuk penyajian yang paling efektif dan mudah

dicerna dibandingkan dengan persamaan-persamaan matematis; (c) RSM dapat

diaplikasikan pada berbagai peubah. Box dan Draper (1987) menambahkan bahwa

RSM telah terbukti sangat berguna dalam penyelesaian sejumlah besar problem

dan dapat diaplikasikan dalam : (a) pemetaan permukaan dalam wilayah yang

terbatas; (b) pemilihan kondisi operasi untuk mendapatkan spesifikasi yang

diinginkan; dan (c) pencarian kondisi-kondisi yang optimal.

Tampilan persamaan-persamaan ini dalam bentuk grafik disebut sebagai

permukaan respon. Permukaan respon adalah bentuk geometri yang didapatkan

jika suatu peubah respon diproyeksikan sebagai fungsi dari satu atau beberapa

peubah kuantitatif (Mason et al.1989). Plot kontur adalah suatu seri garis atau

kurva yang mengidentifikasi nilai-nilai peubah uji pada respon yang konstan.

Plot-plot kontur ini dapat dibuat dengan beberapa cara. Jika fungsi respon cukup

rumit, maka penyelesaiannya secara langsung dapat dilakukan dengan menghitung

nilai-nilai respon pada jaringan nilai-nilai dari dua peubah uji. Sebagai ganti

memproyeksikan titik-titik, nilai nilai numerik respon dapat diproyeksikan pada

suatu grafik sebagai fungsi dari dua peubah; yaitu kedua aksis yang

mempresentasikan nilai peubah uji dan nilai numerik respon yang dihitung pada

titik potong kedua nilai peubah yang digunakan. Selanjutnya kontur dapat

diperkirakan dengan menginterpolasikan antar nilai-nilai peubah respon.

Page 48: disertasi_rofiq_F361070142tip

25

Suatu model permukaan respon menggambarkan bentuk funsional suatu

permukaan respon. Model-model permukaan respon dapat didasarkan pada

pertimbangan teoritis atau empiris. Jika suatu model teoritis tidak dapat

dinyatakan secara spesifik dalam suatu percobaan, maka model-model polinomial

sering digunakan untuk memperkirakan permukaan respon tersebut. Polinomial

kuadratik dapat memberikan perkiraan yang berguna untuk berbagai aplikasi.

Model-model permukaan respon dan model-model regresi pada umumnya

dapat disesuaikan dengan dua tipe data yakni data pengamatan dan data yang

diperoleh dari percobaan yang terancang baik. Penyesuaian data pengamatan

dengan model permukaan respon memiliki beberapa kelemahan potensial, antara

lain : (a) umumnya terdapat problem yang berkaitan dengan kolinearitas antar

peubah uji, (b) pengaruh peubah uji yang penting mungkin tidak dijumpai karena

bervariasi dalam kisaran yang sangat sempit, (c) meskipun pengaruh yang

signifikan teridentifikasi, namun penyebabnya tidak dapat dikonfirmasi karena

peubah uji yang nyata dapat menjadi pengganti bagi peubah-peubah yang tidak

diamati atau dikendalikan, (d) perlu upaya yang berlebihan berkaitan dengan galat

data kasar, nilai-nilai yang hilang, dan periode pengumpulan data yang tidak

konsisten.

Sebagian problem yang berkaitan dengan data pengamatan diuraikan di

atas untuk menekankan pentingnya rancangan secara statistik untuk memenuhi

kriteria tujuan, pengaruh faktor, ketepatan, efisiensi, dan keteracakan. Sementara

itu data yang diperoleh dari percobaan yang dirancang menggunakan rancangan

komposit pusat dapat digunakan secara efisien dan memenuhi model permukaan

kuadratik penuh.

RSM juga merupakan metode yang mengeksplorasi hubungan dari

masing-masing unsur dalam penelitian misalnya hubungan suatu hasil penelitian

dengan sejumlah peubah yang diduga dapat mempengaruhi hasil tersebut. Teknik

optimasi RSM bekerja didasarkan pada proses atau siklus: pengetahuan, gagasan,

analisis desain dan percobaan berulang. Jadi RSM merupakan teknik optimasi

yang sangat berguna untuk investigasi proses yang kompleks. Adapun kegunaan

teknik optimasi RSM adalah:

Page 49: disertasi_rofiq_F361070142tip

26

1. Dapat menentukan kombinasi optimum dari faktor (peubah bebas) yang

akan menghasilkan respon (peubah tidak bebas) yang diinginkan dan dapat

menggambarkan bahwa respon mendekati optimum.

2. Dapat menentukan bagaimana suatu pengukuran respon tertentu

dipengaruhi oleh perubahan fakto-faktor pada level tertentu.

3. Dapat menentukan level faktor yang akan menghasilkan sekumpulan

spesifikasi yang diinginkan secara simultan.

Response surface methodology (RSM) adalah kumpulan teknik matematik

dan statistik yang digunakan untuk membentuk model dan menganalisis masalah

dalam suatu respon yang dipengaruhi oleh beberapa peubah dan bertujuan untuk

mengoptimalisasi respon ini (Box et al. 1978). Dalam banyak masalah RSM,

bentuk hubungan antara respon dan peubah bebas tidak diketahui. Jadi langkah

pertama adalah mendapatkan suatu pendugaan yang cocok untuk fungsi yang

sebenarnya antara y dan himpunan bebasnya. Untuk pendugaan ini biasanya

digunakan suatu polinomial orde rendah. Jika respon telah dimodelkan dengan

baik oleh fungsi linier dari peubah bebasnya, maka fungsi yang diduga adalah

model ordo pertama.

Y = β0 + βiXi + β2X2 + …….+ βkXk + ε ……………..………(14)

Jika ada lengkungan dalam sistem, maka polinomial dengan orde yang lebih

tinggi harus digunakan, seperti pada model orde kedua.

Y = β0 + ∑βiXi + ∑β2X2 + …….+ ∑βkXk + ε …………………(15) i= 1 i= 1 i< 1

Hampir semua persoalan RSM menggunakan salahsatu dari kedua model

ini. Memang model polinomial ini bukan satu-satunya model untuk menduga

hubungan fungsi sebenarnya, tetapi untuk wilayah yang relatif kecil maka model

ini dapat digunakan dengan baik. Metode kuadrat terkecil juga dapat digunakan

untuk menduga parameter dalam pendugaan polinomial. Analisis permukaan

respon kemudian dibentuk menggunakan pengepasan permukaan. Jika

pengepasan permukaan merupakan suatu pendugaan yang memadai dari fungsi

respon yang sebenarnya, maka analisis dari pengepasan permukaan kira-kira sama

dengan analisis sistem yang sebenarnya (Mongomery 1997).

Page 50: disertasi_rofiq_F361070142tip

27

Analisis untuk menduga fungsi respon sering disebut sebagai analisis

permukaan respon yang pada dasarnya mirip dengan analisis regresi yaitu

menggunakan prosedur pendugaan parameter fungsi respon berdasarkan metode

kuadrat terkecil (least square method), hanya saja dalam analisis permukaan

respon diperluas dengan menerapkan teknik-teknik matematik untuk menentukan

titik-titik optimum agar dapat ditemukan respon yang optimum. Penentuan

kondisi operasi optimum diperlukan fungsi respon orde kedua dengan

menggunakan rancangan komposit terpusat dalam mengumpulkan data percobaan.

Page 51: disertasi_rofiq_F361070142tip

28

Page 52: disertasi_rofiq_F361070142tip

III METODE PENELITIAN

III.1. Kerangka Pemikiran

Aktinomisetes merupakan mikroba penghasil senyawa aktif terbanyak

dibandingkan dengan bakteri ataupun kapang, baik itu senyawa aktif sebagai

antimikroba, antikanker, antivirus, maupun antikolesterol. Eksplorasi senyawa

aktif dari yang berasal dari mikroba, selama ini diambil dari sampel tanah

(teristorial) atau dari tumbuhan. Namun demikian eksplorasi senyawa aktif dari

biota laut seperti hewan, tumbuhan, dan mikroba laut belum banyak dilakukan.

Aktinomisetes tersebar di lingkungan yang berbeda-beda. Pada daerah

kondisi panas, misalnya di daerah yang bersuhu lebih dari 60 °C maka

kemungkinan ditemukannya aktinomisetes thermofil menjadi lebih besar. Di

daerah yang berkadar garam tinggi, akan banyak diperoleh jenis aktinomisetes

yang tahan terhadap kadar garam tinggi. Menurut Lam (2006) peluang untuk

mendapatkan senyawa aktif baru aktinomisetes laut masih sangat besar. Seperti

halnya pada populasi aktinomisetes tanah, kondisi ekosistem laut juga

berpengaruh terhadap jenis populasi aktinomisetes laut. Biodiversitas ekosistem

laut sangat besar, seperti diketahui tingkat kedalaman laut, kadar garam, dan

pertemuan arus laut berpengaruh terhadap populasi biota laut.

Iklim suatu wilayah juga berpengaruh terhadap populasi mikroba. Sebagai

contoh aktinomisetes yang hidup di daerah subtropik menunjukkan jumlah

populasi aktinomisetes yang berbeda dengan daerah tropis. Populasi mikroba pada

daerah tropis biasanya lebih tinggi dibandingkan dengan daerah subtropis.

Diversitas aktinomisetes berkaitan erat dengan jenis metabolit sekunder

yang dihasilkan, demikian juga habitat mikroba berpengaruh terhadap jenis

metabolit sekunder yang dihasilkan. Dalam spesies yang sama, metabolit sekunder

yang dihasilkan bisa saja berbeda-beda. Ekskresi metabolit sekunder oleh mikroba

merupakan fungsi dari lingkungan mikroba itu berada, dan bukan merupakan

fungsi dari biomassa sel mikroba. Semakin besar keragaman ekologi dalam

habitat tertentu maka tingkat keragaman metabolit sekunder semakin tinggi.

Page 53: disertasi_rofiq_F361070142tip

30

Dengan demikian masih banyak peluang untuk mendapatkan senyawa aktif baru

atau spesies baru yang berasal dari aktinomisetes laut.

Penapisan dan isolasi senyawa aktif ditentukan oleh metode isolasi dan

bioassay yang digunakan. Metode isolasi berkaitan dengan medium isolasi dan

metode preparasi sampel, termasuk didalamnya metode pra-perlakuan sampel.

Beberapa strategi yang dapat ditempuh untuk mendapatkan senyawa aktif

potensial adalah sebagai berikut;

• Dilakukan kombinasi beberapa medium isolasi dengan metode pra-

perlakuan sampel.

• Pengambilan sampel dengan mempertimbangkan keadaan lingkungan yang

berbeda-beda.

• Pemilihan mikroba uji pada proses penapisan.

Pada penelitian ini digunakan medium starch–casein agar yang

dikombinasikan dengan penambahan antibiotik (anti bakteri dan antifungi) serta

pra-perlakuan pemanasan dan pengasaman. Menurut Pisano et al. (1989) medium

starch-casein sangat cocok digunakan untuk isolasi aktinomisetes. Aktinomisetes

mampu menghidrolisis pati menjadi glukosa dengan mudah dan cepat untuk

proses pertumbuhannya. Di sisi lain mikroba kontaminan tumbuh lambat dalam

medium pati tanpa penambahan glukosa. Medium starch-casein agar memiliki

keunggulan warna medium agar yang putih. Hal ini memudahkan untuk

mengamati hifa horisontal dan adanya zat pewarna yang dihasilkan oleh

aktinomisetes. Selektifitas medium terhadap aktinomisetes dapat ditingkatkan

dengan penambahan antibiotik dan pra-perlakuan untuk menekan bakteri dan

fungi kontaminan.

Setelah diperoleh isolat yang potensial untuk menghasilkan senyawa aktif

tertentu, maka perlu dilakukan identifikasi mikroba. Disamping untuk mengetahui

spesies isolat yang diisolasi, identifikasi juga mempermudah untuk merunut dan

mempelajari sifat-sifat mikroba terpilih dengan membandingkan mikroba lain

yang memiliki hubungan genetika terdekat. Identifikasi mikroba dapat dilakukan

melalui analisis genetika dengan 16S rRNA. Metode ini memiliki keunggulan

hasil identifikasi yang lebih akurat dibanding metode konvensional dan juga

mempermudah merunut hubungan terdekat dengan mikroba target.

Page 54: disertasi_rofiq_F361070142tip

31

Disamping proses isolasi dan penapisan mikroba penghasil antibiotik,

rekayasa proses produksi antibiotika merupakan tahapan yang penting. Teknologi

proses produksi antibiotika mencakup optimasi medium fermentasi, optimasi

kondisi fermentasi, penentuan profil fermentasi, dan proses hilir antibiotik. Profil

fermentasi perlu dilakukan untuk mengetahui karakter mikroba yang digunakan,

khususnya fermentasi yang menggunakan isolat-isolat wild strain. Dalam

optimasi medium fermentasi, penentuan komposisi medium fermentasi menjadi

hal yang penting untuk dipelajari.

Komposisi medium ditentukan oleh pemilihan sumber karbon, sumber

nitrogen dan mineral. Sumber karbon merupakan penyusun konstituen organik sel

dan sumber energi. Sumber karbon merupakan bahan dasar sintesis polisakarida,

protein, lipida, dan asam lemak. Kurang lebih 50% bahan utama penyusun sel

mikroba berasal dari sumber karbon. Selain sebagai sumber energi dan penyusun

sel, sumber karbon juga digunakan sebagai bahan penyusun senyawa metabolit.

Jenis sumber karbon berpengaruh terhadap senyawa metabolit yang dihasilkan.

Sedangkan nitrogen merupakan konstituen pembentuk protein, asam nukleat,

koenzim, DNA, dan RNA. Jenis nitrogen juga berpengaruh terhadap pertumbuhan

dan pembentukan produk Mineral seperti K, Mg, Ca, Fe banyak digunakan

sebagai kofaktor dalam reaksi enzim yang berkaitan dengan proses metabolisme.

Sedangkan mineral fosfat dalam bentuk K2HPO4 dan KH2PO4 banyak digunakan

dalam pembentukan asam nukleat, fosfolipida, ATP dan sebagai buffer.

Penambahan Fe dan Zn dapat meningkatkan produksi aktinomisin, kloramfenikol,

neomisin, penisilin, dan patulin, serta penambahan mineral Mn mampu

meningkatkan produksi basitrasin dan protease (Stanbury dan Whitaker 1987).

Terdapat 2 kategori sumber karbon dan sumber nitrogen, yaitu sumber

karbon kompleks atau sumber nitrogen kompleks, dan sumber karbon sederhana

atau sumber nitrogen sederhana. Sumber karbon dan sumber nitrogen kompleks

biasanya lebih murah dibandingkan sumber karbon dan nitrogen sederhana.

Dalam aplikasinya di industri lebih banyak digunakan sumber karbon dan

nitrogen kompleks. Namun demikian dalam beberapa kasus masih digunakan

sumber karbon dan nitrogen dasar.

Page 55: disertasi_rofiq_F361070142tip

32

Dalam proses fermentasi untuk mendapatkan hasil yang paling optimum,

maka terlebih dahulu dipelajari sifat fisiologis dari mikroba tersebut. Sifat

fisiologis mikroba dapat diketahui dengan menentukan kurva pertumbuhan

mikroba, laju pertumbuhan spesifik, laju penggunaan substrat, laju pertumbuhan

biomassa, dan rendemen pembentukan biomassa per massa substrat.

Tahapan proses hilir merupakan rangkaian pencarian senyawa aktif untuk

mendapatkan senyawa aktif murni dan teridentifikasi. Dalam bioproses, tahapan

proses hilir meliputi tahap pemisahan sel, ekstraksi, pemekatan, dan pemurnian

senyawa target. Dalam industri bioproses tahapan proses hilir dapat mencakup

sampai 60% dari total biaya produksi (Stanbury dan Whitaker 1987), sehingga

pemilihan metode pemisahan, pemurnian, dan pemilihan pelarut organik yang

tepat akan menjadi pertimbangan yang sangat penting.

Dalam proses isolasi senyawa aktif yang dihasilkan oleh mikroba, besar

kecilnya aktivitas biologi seperti antibakteri, antikanker, antifungi atau aktivitas

lainnya seperti enzim inhibitor, imunosupresan menjadi hal yang penting untuk

diketahui. Pengukuran daya hambat senyawa aktif terhadap pertumbuhan mikroba

uji biasanya dilakukan dengan menggunakan metode MIC (Minimum Inhibitory

Concentration). Kekuatan daya hambat senyawa aktif juga dapat diketahui dengan

cara membandingkan MIC antibiotik umum seperti tetrasiklin, penisilin,

eritromisin dan lainnya.

Identifikasi dan elusidasi senyawa aktif perlu dilakukan untuk

mendapatkan gambaran struktur dan karakteristik senyawa aktif. Dengan

mengetahui struktur senyawa aktif maka sebagian sifat-sifat kimia dapat

diprediksi untuk aplikasi medis dan dapat ditentukan golongan atau kelompok

senyawa tersebut.

III.2. Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi, Laboratorium Analisa

Kimia, dan Laboratorium Teknologi Gen Balai Pengkajian Bioteknologi BPPT

dari Bulan September 2007 sampai dengan Bulan Desember 2010.

Page 56: disertasi_rofiq_F361070142tip

33

III.3. Bahan dan Peralatan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi Pepton/Bacto

Pentone (Difco), ekstrak khamir (Difco), ekstrak malt (Oxoid), glukosa (Merck) ,

Marine agar (Difco), Fe (III) sitrat hidrat (Merck), metanol p.a (JT Baker), etil

asetat p.a (JT Baker), kloroform p.a (JT Baker), metanol HPLC (Merck),

kloroform HPLC (Merck), maltosa (Merck), laktosa (Merck), sukrosa (Merck),

molase, dekstrin (Oxoid), asam glutamat (Merck), amonium sulfat (Merck),

kasein hidrolisat/Casamino acid (Difco), K2HPO4 (Merck), MgSO4.7 H2O

(Merck), ZnSO4 7 H2O (Merck), CaCl2.2 H2O (Merck), FeSO4 7 H2O (Merck),

Cu.SO4.5 H2O (Merck), MnCl2.4 H2O (Merck), CuSO4. H2O (Merck), CoCl2.6

H2O (Merck), NaCl, KH2PO4 (Merck), HCl (Merck), NaOH (Merck), DNS

(Sigma), H2SO4 95-97% (Merck), H3BO4 (Merck), silika gel 60 (0,063-

0,200mm) Merck.

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi peralatan alat

gelas, rotavapor Buchi 461, microcentrifuge (Tomy/MX-301), incubator shaker

(Takasaki Scientific Instrument), freeze drying (HETO CD 2.5), centrifugal

concentrator (TOMY CC-105), Kjeldahl (Velp Scientifica UDK 132),

Spektrofotometer (Shimadzu UV-160A), HPLC (Waters 2695), 1H & 13C NMR

(Bruker AV-500), FTIR Shimadzu 8300, LCMS (LCT Premier-XE Waters), ABI

300 genetic analyzer (Perkin Elmer), Gallen Kamp Melting Point, Sonicator

Ultrasonic Processor XL 2020, Centrifuge Beckman J2-HS.

Page 57: disertasi_rofiq_F361070142tip

34

III. 4. Tahapan Penelitian

Garis besar tahapan penelitian digambarkan diagram alir di bawah ini.

Pra-perlakuan sampel dan Isolasi

aktinomisetes menggunakan medium spesifik

Bioa

ssay

Penapisan & pemilihan isolat potensial

Identifikasi

mikroba dengan DNA sekuen (16S

rRNA)

Produksi senyawa aktif menggunakan isolat terpilih (preparasi kaldu

fermentasi untuk pemurnian senyawa aktif)

Pemanenan

Pemisahan sel dan cairan fermentasi

Ekstraksi

Kromatografi kolom

Prep. HPLC

Bioa

ssay

Senyawa murni

isolat terpilih

Identifikasi / elusidasi & karakterisasi struktur kimia senyawa aktif

Optimasi fermentasi

Gambar 4 Tahapan penelitian isolasi, penapisan, identifikasi, dan karakterisasi aktinomisetes

Page 58: disertasi_rofiq_F361070142tip

35

Dari tahapan yang disajikan dalam Gambar 4 dapat dikelompokkan

menjadi 3 tahapan besar dengan beberapa ruang lingkup penelitian seperti yang

disajikan dalam Gambar 5.

AKTIVITAS TAHAPAN KERJA LUARAN

TAHAP I: Isolasi dan penapisan aktinomisetes

Ruang lingkup penelitian : • Pengambilan sampel & pra

perlakuan sampel • Penapisan aktinomisetes

penghasil antibiotik. • Identifikasi aktinomisetes terpilih. • Pemeliharaan isolat

TAHAP II: Fermentasi, purifikasi, elusidasi struktur molekul, MIC

Ruang lingkup penelitian : • Fermentasi untuk preparasi

ekstrak kaldu fermentasi • Purifikasi ekstrak kaldu

fermentasi • Elusidasi struktur molekul

(menggunakan LCMS, 1H NMR, DEPT, FTIR dan 13C NMR) dan penentuan titik leleh senyawa aktif.

• Penentuan MIC terhadap mikroba uji

TAHAP III: Optimasi medium fermentasi, serta profil fermentasi.

Ruang lingkup penelitian : • Penentuan suhu dan pH awal

proses fermentasi yang optimum • Optimasi medium fermentasi.

(penentuan komposisi sumber karbon, nitrogen, dan mineral terbaik) menggunakan Surface Response Methodology

• Penentuan kurva pertumbuhan, μmaks, dan Yx/s, profil fermentasi

Diperoleh isolat aktinomisetes

Diperoleh komposisi medium fermentasi yang optimum untuk produksi antibiotik serta profil fermentasi.

teridentifikasi yang memiliki potensi penghasil antibiotik

Diperoleh antibiotik yang terelusidasi struktur molekul dan MIC nya

Gambar 5 Aktivitas dan ruang lingkup penelitian

Page 59: disertasi_rofiq_F361070142tip

36

III.4.1. Pra-perlakuan Sampel dan Isolasi Aktinomisetes

Metode isolasi yang digunakan mengacu pada metode yang dilakukan oleh

Mincer et al. (2005) yang dimodifikasi. Namun demikian sebelum dilakukan

proses isolasi aktinomisetes, terlebih dahulu dilakukan percobaan pendahuluan

untuk menentukan metode pra-perlakuan sampel yang paling tepat, yang meliputi

(1) tanpa pra-perlakuan (kontrol), (2) pra-perlakuan dengan metode heat shock

yang dilakukan dengan memanaskan sampel selama 4 jam pada suhu 60 °C

(Pisano et al. 1986), (3) pengasaman sampel yang dilakukan dengan cara

mengasamkan sampel sampai dengan pH 2 menggunakan asam klorida, dan

didiamkan selama 2 jam, selanjutnya dinetralkan kembali menggunakan NaOH.

(4) Pemanasan sampel (metode ke-2) yang dikombinasikan dengan penambahan

100 μg mL-1 sikloheksimid dan 25 μg mL-1 nistatin, (5) Pengasaman sampel

(metode ke-3) yang dikombinasikan dengan penambahan 100 μg mL-1

sikloheksimid dan 25 μg mL-1 nistatin, (6) Metode ke-4 yang dikombinasikan

dengan penambahan 20 μg mL-1 asam nalidiksat dan 5 μg mL-1 rifampisin. (7)

Metode ke-5 yang dikombinasikan dengan penambahan 20 μg mL-1 asam

nalidiksat dan 5 μg mL-1 rifampisin. (8) Metode ke-4 yang dikombinasikan

dengan penambahan 40 μg mL-1 asam nalidiksat dan 10 μg mL-1 rifampisin (9).

Metode ke-5 yang dikombinasikan dengan penambahan 40 μg mL-1 asam

nalidiksat dan 10 μg mL-1 rifampisin. Antibiotik ditambahkan setelah medium

agar disterilisasi. Komposisi medium isolasi adalah sebagai berikut; 10 g soluble

starch, 2 g pepton, 4 g ekstrak khamir, 16 g agar dalam 1000 mL air laut. Sampel

yang digunakan untuk percobaan pendahuluan adalah sampel dari Pantai Anyer

Banten. Setelah diperoleh metode pra-perlakuan sampel yang paling tepat,

selanjutnya digunakan untuk proses isolasi aktinomisetes pada tahap selanjutnya.

Pengambilan sampel diambil dari tiga lokasi pantai, antara lain dari pantai

utara Cirebon, Desa Gebang (koordinat 6°48'37"S 108°45'27"E), Pantai Anyer

Banten (koordinat 6°3'19"S 105°54'29"E) dan Pantai Kukup Gunung Kidul

Yogyakarta (koordinat 8°8'3"S 110°33'19"E ) dengan kedalaman rata-rata 0,5

sampai dengan 1 m. Sebanyak 5 g masing-masing sedimen sampel disimpan

dalam falcon tube 14 mL dan diletakkan dalam dryice box selama pengambilan

Page 60: disertasi_rofiq_F361070142tip

37

sampel di lapangan. Selanjutnya sedimen sampel dicuci dengan menggunakan air

demineral steril dan dilakukan pra-perlakuan dengan menggunakan metode yang

telah dipilih dalam percobaan pendahuluan. Cairan sampel yang telah mengalami

pra-perlakuan selanjutnya diencerkan secara seri dari 10-1 sampai dengan 10-5.

Sebanyak 0,1 mL sampel yang telah diencerkan, disebarkan pada permukaan agar

medium isolasi. Komposisi medium agar untuk isolasi adalah sebagai berikut; 10

g soluble starch, 2 g pepton, 4 g ekstrak khamir, 16 g agar dalam 1000 mL air laut

(Pisano et al. 1989).

Medium isolasi yang telah diinokulasikan diinkubasi di dalam inkubator

dengan suhu 30 °C selama kurang lebih 25 hari. Koloni tunggal dipilih dan

dimurnikan kembali dengan melakukan pemindahan koloni ke dalam medium

baru yaitu dengan medium marine agar sampai diperoleh koloni tunggal.

Masing-masing koloni diberi kode sesuai dengan asal lokasi sampling. Kode A

digunakan untuk sampel dari Pantai Anyer Banten, kode YK berasal dari pantai

Kukup Yogyakarta, Kode PCl berasal dari pantai utara Cirebon Desa Gebang.

Isolat yang telah dimurnikan dari hasil isolasi disebarkan kembali dalam

medium marine agar untuk proses peremajaan sebelum digunakan untuk proses

fermentasi. Sebagian isolat murni yang telah diremajakan dipindahkan dalam

gliserol 15% dan disimpan dalam suhu -40 °C untuk proses preservasi. Kultur

stok yang akan digunakan diremajakan lagi sebelum digunakan untuk fermentasi.

III.4.2. Kultur Vegetatif dan Fermentatif pada Proses Penapisan dan

Penggandaan Skala untuk Preparasi Ekstrak Fermentasi.

Sejumlah koloni yang telah dimurnikan dikulturkan (vegetatif) dengan

menggunakan medium ekstrak khamir-ekstrak malt (YEME). Inkubasi kultur

vegetatif dilakukan selama 48 jam pada suhu 30 °C dengan komposisi medium:

pepton 5 g L-1, ekstrak khamir 3 g L-1, ekstrak malt 3 g L-1, glukosa 10 g L-1, air

demineral 250 mL, and air laut 750 mL. Sebelum sterilisasi, pH medium diatur

pada 7,6 dengan menggunakan NaOH 0,1 N dan HCl 0,1 N. Sepuluh persen (v/v)

medium vegetatif diinokulasikan ke dalam medium fermentatif. Komposisi

medium fermentatif adalah sebagai berikut; pepton 5 g L-1, ekstrak khamir 1 g L-

Page 61: disertasi_rofiq_F361070142tip

38

1, Fe (III) citrate hydrate 0,3 g L-1, air demineral 250 mL, dan air laut 750 mL

(Kanoh et al. 2005). Sebelum sterilisasi, pH medium diatur pada 7,6. Fermentasi

dilakukan pada suhu 30 ºC selama 144 jam dengan kecepatan agitasi 200 rpm

menggunakan incubator shaker. Volume kerja kultur vegetatif dan fermentatif

pada tahap penapisan dilakukan pada volume 3 mL dalam BD falcon (around

bottom) volume 14 mL.

Preparasi ekstrak kaldu fermentasi untuk uji aktivitas aktinomisetes

(bioassay) pada tahap penapisan, dilakukan dengan cara mengeringkan 3 mL

kaldu fermentasi dengan metode kering beku, selanjutnya ditambahkan 3 mL

metanol dan divorteks selama 15 menit. Biomassa dan supernatan dipisahkan

menggunakan sentrifugasi pada kecepatan 14000 x g selama 15 menit.

Pada tahap penggandaan volume fermentasi untuk preparasi kaldu

fermentasi, medium vegetatif dan fermentatif adalah sama dengan medium

vegetatif dan fermentatif proses penapisan, namun volume kerja kultur vegetatif

dilakukan pada volume masing-masing 100 mL dalam labu erlenmeyer 250 mL

sebanyak 5 labu erlenmeyer dan fermentasi dilakukan selama 48 jam pada suhu

30 °C dengan kecepatan agitasi sebesar 150 rpm. Sedangkan tahap fermentatif

volume kerja masing-masing 1 l dalam labu erlenmeyer 2 l sebanyak 5 labu

erlenmeyer. Sebelum sterilisasi pH medium diatur pada 7,6. Fermentasi dilakukan

pada suhu 30 ºC selama 144 jam dengan kecepatan agitasi sebesar 150 rpm.

III.4.3. Uji Aktivitas Antimikroba (Bioassay)

Penapisan aktinomisetes penghasil antimikroba dan uji aktivitas antimikroba

(bioassay) dilakukan dengan metode difusi agar dengan menggunakan kertas

cakram diameter 6 mm. Mikroba uji yang digunakan adalah Escherichia coli

ATCC 25922, Staphylococcus aureus ATCC25923, Pseudomonas aeruginosa

ATCC27853, Bacillus subtilis ATCC 66923, Candida albicans BIOMCC00122

and Aspergillus niger BIOMCC00134. Escherichia coli ATCC 25922,

Staphylococcus aureus ATCC25923, Pseudomonas aeruginosa ATCC27853, dan

Bacillus subtilis ATCC 66923 ditumbuhkan pada medium nutrient agar dan

Page 62: disertasi_rofiq_F361070142tip

39

Candida albicans BIOMCC00122 dan Aspergillus niger BIOMCC00134.

ditumbuhkan pada Potato Dextrose Agar.

Sebanyak 15 μL ekstrak sampel diteteskan dalam kertas cakram, kemudian

dikeringkan dengan cara diangin-anginkan. Selanjutnya diletakkan pada

permukaan agar yang telah diinokulasikan 15 μL (106 sel mL-1) mikroba uji per

cawan petri. Inkubasi dilakukan pada suhu 30 °C selama 24 jam. Zona bening

yang terbentuk diukur diameter zonanya (Prescott et al. 2002)

III. 4.4. Analisis Sekuen Gen 16S rRNA

Isolat murni hasil preservasi dalam gliserol stok diremajakan kembali dan

dilakukan identifikasi. Identifikasi didasarkan pada analisis 16S rRNA. DNA

diisolasi dengan menggunakan FastPrep, kit khusus untuk isolasi DNA. Sampel

dilisis menggunakan lysing matrix kit dan dihomogenasi menggunakan FastPrep

selama 40 detik pada 4500 rpm.

Amplifikasi DNA dikerjakan menggunakan PCR dengan primers 8 F dan

1492R. PCR yang mengandung primer 8F dan 1492R ditambahkan ke dalam

larutan DNA, selanjutnya dipurifikasi menggunakan kit ekstraksi Gel/DNA. Gen

16S rRNA yang diperoleh selanjutnya dilakukan sekuen DNA menggunakan

Dye® terminator V 3.1 cycle sequencing kit. Peralatan DNA sekuen yang

digunakan adalah ABI 300 genetic analyzer. Selanjutnya sekuen yang diperoleh

dibandingkan dengan database yang tersedia dalam NCBI menggunaan BLAST

search engine http://blast.ncbi.nlm.nih.gov/Blast.cgi. Pohon filogenik dibuat

menggunakan program ClustalW (Mega 3.1) dengan membandingkan beberapa

DNA sekuen dari spesies aktinomisetes yang diperoleh dari database gen di

NCBI. Analisis digunakan metode neighbor-joining dengan bootstrap dataset 100

kali pengulangan yang telah tersedia dalam program Mega 3.1.

III.4.5. Pemisahan dan Pemurnian Senyawa Aktif Kaldu Fermentasi

Proses pemisahan dan pemurnian dilakukan dengan mengikuti metode

Shindo et al. (1995) yang dimodifikasi. Kaldu fermentasi yang mengandung

Page 63: disertasi_rofiq_F361070142tip

40

campuran sisa medium, biomassa, dan senyawa aktif dipisahkan padatannya

dengan sentrifugasi pada kecepatan 14000 x g selama 15 menit. Fase padat

(biomassa) dipisahkan dari cairannya dan dilakukan pemecahan sel dengan

sonikator. Padatan sel diekstraksi menggunakan metanol dua kali. Fasa cair

(supernatan) diekstraksi menggunakan etil asetat dengan perbandingan volume

yang sama, dan ekstraksi dilakukan sebanyak 2 kali. Ekstrak supernatan dan

biomassa dipekatkan dengan rotavapor sampai diperoleh ekstrak pekat.

Ekstrak yang sudah dipekatkan selanjutnya difraksinasi menggunakan

kromatografi kolom (φ25 x 500 mm), dengan fasa diam yang digunakan adalah

silika gel 60 (0,063-0,200mm) dan fasa gerak yang digunakan campuran metanol-

kloroform, dengan elusi gradien bertahap dari kloroform:metanol (100%:0)

berubah dengan berkurangnya 10% kloroform, sampai diperoleh elusi

kloroform:metanol (0:100%). Sebanyak 30 fraksi dikumpulkan dan diuji

(bioassay) aktivitas antimikrobanya.

Fraksi aktif dimurnikan kembali menggunakan HPLC preparatif. Semua

fraksi hasil pemurnian dengan HPLC preparatif dikumpulkan dan diuji (bioassay)

aktivitas antimikrobanya. Fraksi aktif murni dikumpulkan dan ditentukan bobot

dan struktur molekulnya.

III.4.6. Identifikasi Struktur Kimia Senyawa Aktif

Gugus fungsional senyawa aktif diidentifikasi menggunakan FTIR (Infra

Red Spectrofotometry) (FTIR Shimadzu 8300), bobot molekul senyawa aktif

ditentukan dengan LCMS (Liquid Chromatography Mass Spetrofotometry) (LCT

Premier-XE Waters), hubungan tata letak atom karbon dan proton dideteksi

dengan 13C NMR, DEPT, dan 1HNMR Bruker AV-500 (500 MHz). Titik leleh

(melting point) ditentukan dengan menggunakan Gallen Kamp Melting Point

Bicasa.

Page 64: disertasi_rofiq_F361070142tip

41

III. 4.7. HPLC Preparatif

HPLC preparatif dilakukan untuk memurnikan fraksi aktif hasil fraksinasi

dari kromatografi kolom pada tahap pemurnian sebelumnya. Purifikasi

menggunakan HPLC preparatif dilakukan dengan menggunakan Waters 2695

HPLC, dengan detektor Photo Diode Array (PDA), dan jenis kolom puresil 5μ

C18 4,6x150 mm. Volume injeksi sebesar 100 uL per injeksi dibawah kondisi

tekanan 1267 psi, dan kecepatan alir 1 mL menit-1 dengan fasa geraknya adalah

0-45% campuran metanol–air dan selama 25 menit (Kazakevich dan Lobrutto

2007).

III. 4.8. HPLC Analitik

Pada HPLC analitik digunakan kolom analitik Sunfire C18 column (4,6 x

250 mm, Shiseido Co. Ltd., Tokyo, Japan). Fasa gerak yang digunakan adalah

campuran metanol-air (0-100%) dengan elusi linier gradien selama 25 menit dan

selanjutnya elusi isokratik 100% metanol selama 10 menit, dengan kecepatan alir

1 mL menit-1, volume injeksi 10μL, dan diamati pada panjang gelombang λ 210

nm (Kazakevich dan Lobrutto 2007). Kurva standar senyawa aktif dibuat yang

selanjutnya digunakan untuk menentukan konsentrasi senyawa aktif yang akan

ditentukan konsentrasinya. Kurva standar senyawa aktif siklo(tirosil-prolil)

disajikan dalam Lampiran 1.

III. 4.9. Penentuan Minimum Inhibitory Concentration (MIC)

Minimum Inhibitory Concentration (MIC) ditentukan dengan cara

melarutkan senyawa antibiotik hasil purifikasi dalam beberapa konsentrasi, yaitu

dari konsentrasi 6500 μg mL-1, 3250 μg mL-1, 1625 μg mL-1, 812,5 μg mL-1, 406,3

μg mL-1, 203,1 μg mL-1, 101,6 μg mL-1, dan 50,5 μg mL-1. Masing-masing

konsentrasi diuji aktivitasnya menggunakan metode disc diffusion agar. MIC

ditentukan terhadap 4 macam bakteri uji yaitu Escherichia coli ATCC 25922,

Staphylococcus aureus ATCC 25923, Bacillus subtilis ATCC 66923,

Page 65: disertasi_rofiq_F361070142tip

42

Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853. Diameter kertas cakram yang digunakan

adalah 6 mm. Zona bening yang terbentuk diukur diameternya. Selanjutnya dibuat

kurva Log [C] (konsentrasi) sebagai sumbu Y terhadap X2 (diameter zona

bening) sebagai sumbu X. Titik potong sumbu Y pada X=0 merupakan nilai Log

MIC. Metode penentuan MIC ini mengikuti Bonev et al. (2008) dan Andrews

(2001).

III.4.10. Penentuan Kurva Pertumbuhan Mikroba pada Fase Vegetatif

Kurva pertumbuhan ditentukan dengan melakukan pengamatan perubahan

biomassa, pH medium,dan gula pereduksi per satuan waktu (jam). Sebanyak 2

Ose isolat terpilih diinokulasikan dalam 15 mL medium ekstrak khamir–ekstrak

malt pada pH 7,6. Jumlah sel dihitung dan ditentukan, sehingga jumlah sel

menjadi kurang lebih 106-108 sel mL-1. Sebanyak 3 % (v/v) kultur pre-vegetatif

diinokulasikan kedalam 100 mL medium vegetatif dalam labu erlenmeyer 250

mL. Komposisi medium vegetatif yang digunakan meliputi; pepton 5 g L-1,

ekstrak khamir 3 g L-1, ekstrak malt 3 g L-1, glukosa 10 g L-1, air demineral 250

mL, and air laut 750 mL. Selanjutnya diinkubasi pada suhu 30 °C selama 64 jam

dengan kecepatan agitasi sebesar 150 rpm. Pengamatan dilakukan setiap 8 jam

sekali dengan mencatat perubahan parameter yang diamati. Kurva pertumbuhan

diperoleh dengan melakukan plot perubahan biomassa (bobot kering sel), pH, dan

gula reduksi sebagai sumbu Y serta waktu pengamatan masing-masing parameter

pada sumbu X. Waktu transfer fase vegetatif ke fase fermentatif ditentukan pada

saat sebelum berakhirnya fase logaritmik.

III.4.11. Profil Fermentasi Isolat Streptomyces sp. A11

Profil fermentasi dilakukan dengan mengamati perubahan beberapa

parameter seperti pH, biomassa, gula pereduksi, nitrogen total, dan antibiotik yang

dihasilkan selama proses fermentasi. Perubahan parameter tersebut digambarkan

dalam bentuk kurva dengan parameter pH, biomassa, gula pereduksi, nitrogen

total, dan antibiotik diplotkan dalam sumbu Y dan interval waktu pengamatan

Page 66: disertasi_rofiq_F361070142tip

43

masing-masing parameter pada sumbu X. Komposisi medium yang digunakan

adalah maltosa 10 g L-1, glukosa 2 g L-1, pepton 5 g L-1, ekstrak khamir 1 g L-1,

Fe.citrate nH2O 0,3 g L-1, pH: 7,6, air demineral 250 mL, air laut 750 mL.

Fermentasi dilakukan dengan menggunakan labu erlenmeyer 250 mL dengan

volume kerja sebesar 100 mL. Fermentasi dilakukan pada suhu 30 °C selama 144

jam dengan kecepatan agitasi 150 rpm. Laju pertumbuhan spesifik maksimum

(μmaks) dan rendemen pembentukan biomassa per massa substrat (Yx/s) juga

ditentukan. Laju pertumbuhan spesifik maksimum (μmaks) diperoleh dari gradien

koefisien arah kurva selama fase eksponensial dari ln X (biomassa) pada sumbu

X terhadap waktu (jam) pada sumbu Y. Rendemen pembentukan biomassa per

massa substrat (Yx/s) diperoleh dari gradien yang dibentuk oleh kurva Xt–Xo pada

sumbu Y versus So-S pada sumbu X (Mangunwidjaya et al. 1994). Pertumbuhan

biomassa, perubahan pH, gula pereduksi, nitrogen total, dan konsentrasi

siklo(tirosil-prolil) diukur dalam setiap interval waktu 8 jam. Prosedur penentuan

konsentrasi gula pereduksi, nitrogen total, dan bobot kering sel berturut-turut

disajikan dalam Lampiran 2, 3, dan 4.

III. 4.12. Penentuan Suhu dan pH Awal Terbaik pada Proses Fermentasi

Suhu terbaik proses fermentasi ditentukan dalam rentang 26, 28, 30, 32,

dan 34 °C. Inkubasi dilakukan dengan menggunakan shaker inkubator. Komposisi

medium fermentasi yang digunakan adalah maltosa 10 g L-1, glukosa 2 g L-1,

pepton 5 g L-1, ekstrak khamir 1 g L-1, Fe.citrate nH2O 0,3 g L-1, air demineral

250 mL, dan air laut 750 mL, serta pH medium ditentukan sebelum proses

sterilisasi pada pH 7,6. Fermentasi dilakukan dengan menggunakan labu

erlenmeyer 250 mL dengan volume kerja sebesar 100 mL. Fermentasi lakukan

selama 144 jam dengan kecepatan agitasi 150 rpm, dan kriteria suhu terbaik

dipilih pada suhu fermentasi yang menghasilkan konsentrasi siklo(tirosil-prolil)

paling tinggi.

Penetapan pH awal medium fermentasi terbaik ditentukan dalam beberapa

titik yaitu pH 4,5 ; 5 ; 5,5 ; 6 ; 6,5 ; 7 ; 7,5 dan 8. Variasi pH awal medium

fermentasi diatur sebelum sterilisasi dilakukan. Komposisi medium fermentasi

Page 67: disertasi_rofiq_F361070142tip

44

yang digunakan adalah maltosa 10 g L-1, glukosa 2 g L-1, pepton 5 g L-1, ekstrak

khamir 1 g L-1, Fe.citrate nH2O 0,3 g L-1, air demineral 250 mL, dan air laut 750

mL. Fermentasi dilakukan dengan menggunakan labu erlenmeyer 250 mL dengan

volume kerja sebesar 100 mL. Fermentasi dilakukan selama 144 jam dengan

kecepatan agitasi 150 rpm, dan kriteria pH terbaik dipilih pH fermentasi yang

menghasilkan konsentrasi siklo(tirosil-prolil) paling tinggi.

III.4.13. Optimasi Medium Fermentasi

Optimasi medium fermentasi diawali dengan percobaan pendahuluan

untuk mendapatkan jenis sumber karbon, sumber nitrogen, dan mineral terbaik.

Pada penentuan sumber karbon terbaik, komposisi medium utamanya adalah

komposisi menurut Kanoh et al. (2005); pepton 5 g L-1, ekstrak khamir 1 g L-1,

Fe.citrate nH2O 0,3 g L-1, pH: 7,5, air demineral 250 mL, air laut 750 mL yang

ditambahkan 10 g L-1 sumber karbon yang akan diuji. Dalam hal ini jenis sumber

karbon yang diuji adalah glukosa, maltosa, laktosa, sukrosa, molase, dan dektrin.

Penentuan sumber nitrogen terbaik dilakukan dengan komposisi medium

adalah 10 g L-1 glukosa, Fe.citrate hydrate 0,3 g L-1, air demineral 250 mL, air

laut 750 mL, sumber nitrogen dengan bobot masing-masing disesuaikan dengan

nitrogen total seperti yang disajikan dalam Lampiran 5. Sumber nitrogen yang

digunakan antara lain asam glutamat, ekstrak khamir, pepton, amonium sulfat dan

hidrolisat kasein. Konsentrasi masing-masing sumber nitrogen mengacu pada

Kanoh et al. (2005), yaitu konsentrasi nitrogen ditentukan menjadi 0,76 g L-1.

Penentuan komposisi mineral terbaik dilakukan dengan mengacu dari

beberapa sumber literatur yang disajikan dalam Tabel 2. Kompisisi medium

fermentasi untuk penentuan mineral terbaik adalah komposisi medium menurut

Kanoh et al. (2005) yang dimodifikasi; glukosa 10 g L-1, pepton 5 g L-1, ekstrak

khamir 1 g L-1, Fe.citrate hydrate 0,3 g L-1, pH: 7,5, air demineral 250 mL, air

laut 750 mL. Proses fermentasi penentuan sumber karbon, nitrogen, dan mineral

terbaik dilakukan selama 144 jam dengan volume kerja 100 mL dalam labu

erlenmeyer 250 mL, suhu 30 °C, dengan kecepatan agitasi 150 rpm. Kriteria

Page 68: disertasi_rofiq_F361070142tip

45

yang digunakan untuk menentukan sumber karbon, sumber nitrogen, dan mineral

terbaik adalah yang menghasilkan konsentrasi siklo(tirosil-prolil) paling tinggi.

Tabel 2 Komposisi mineral yang digunakan dalam medium fermentasi

No

Mineral

Komposisi

1 Komposisi mineral menurut Sousa et al. (2001)

K2HPO4 1 g L-1, MgSO4.7 H2O 0,025 g L-1, ZnSO4 7 H2O 0,025 g L-1, CaCl2.2 H2O 0,025 g L-1, FeSO4 7 H2O 0,025 g L-1.

2 Komposisi mineral menurut Furtado et al. (2005)

KH2PO4 0,6 g L-1, Mg.SO4.7 H2O 5 g L-1, Cu.SO4.5 H2O 0,001 g L-1, FeSO4.7 H2O 0,003 g L-1

3 Komposisi mineral menurut Dhananjeyan et al. (2010)

K2HPO4 0,1 g L-1, Mg.SO4.7 H2O 0,5 g L-1, CaCl2.2H2O 0,1 g L-1, FeSO4.5H2O 0,05 g L-1

4 Komposisi mineral menurut Voelker & Altaba (2001)

CaCl2.2H2O 0,011 g L-1, FeSO4.5H2O 0,007 g L-1, MnCl2.4 H2O 0,002 g L-1, ZnSO4.7 H2O 0,002 g L-1, CuSO4. H2O 0,0004 g L-1, CoCl2.6 H2O 0,0004 g L-1

5 Komposisi mineral menurut Dharmaraj et al. (2010)

NaCl 0,8 g L-1, NH4Cl 1 g L-1, KCl. 0,1 g L-1

, KH2PO4 0,1 g L-1

, 0,2 g L-1 MgSO4. 7H2O, 0,04 g L-1

CaCl22H2O.

Komposisi medium yang digunakan dalam optimasi medium fermentasi

menggunakan Response Surface Methodology meliputi 3 variabel terpilih, yaitu

sumber karbon, nitrogen, dan mineral, ditambah 2 g L-1 glukosa, air demineral

250 mL, air laut 750 mL. Keasaman medium fermentasi diatur pada pH 7,5

sebelum dilakukan sterilisasi. Fermentasi dilakukan dengan menggunakan labu

erlenmeyer 250 mL dengan volume kerja sebesar 100 mL. Fermentasi dilakukan

selama 144 jam dengan kecepatan agitasi 150 rpm. Ketiga variabel terpilih

digunakan sebagai variabel bebas. Sedangkan konsentrasi senyawa aktif yang

dihasilkan akibat dari perlakuan 3 variabel bebas tersebut merupakan respon yang

akan dicari dalam penelitian ini. Rancangan percobaan untuk mendapatkan data

respon yang muncul akibat dari perlakuan digunakan metode Central Composite

Page 69: disertasi_rofiq_F361070142tip

46

Design. Selanjutnya untuk menentukan daerah optimum pada respon digunakan

metode permukaan respon (Response Surface Methodology). Untuk membantu

penyelesaian optimasi ini akan digunakan perangkat lunak Design Expert 7.

Kisaran dan taraf variabel yang diuji pada optimasi disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3 Kisaran dan taraf variabel yang diuji pada optimasi komposisi medium

Kisaran dan taraf Variabel yang diuji

-1,68 -1 0 1 1,68

Konsentrasi sumber karbon (g L-1) 21,6 25 30 35 38,4

Konsentrasi sumber nitrogen (g L-1) 6,64 8 10 12 13,36

Penambahan mineral (mL larutan stok per liter kaldu fermentasi)

3,3 5 7,5 10 11,7

Dalam studi ini digunakan 8 titik faktorial fraksional 23-1, 6 titik bintang,

dan 6 titik pusat, sehingga total percobaan adalah 20 percobaan. Nilai pusat

perlakuan yang digunakan adalah konsentrasi sumber karbon 30 g L-1, konsentrasi

nitrogen 10 g L-1, dan konsentrasi mineral adalah 7,5 mL L-1. Tabel 4

menunjukkan matrik satuan-satuan percobaan pada optimasi medium fermentasi

dalam kode dan nilai asli. Dengan 3 variabel yang diuji maka model kuadratiknya

persamaan sebagai berikut (Mongomery 1997).

Y = bo + b1X1i + b2 X2i + b3 X3i + b11X1i2 + b22X2i

2 + b33X3i2 + b12X1iX2i +

b12X1iX2i + b13X1iX3i + b23X2iX3i

Keterangan : Y = konsentrasi senyawa aktif (mg L-1)

X1 = konsentrasi sumber karbon (g L-1)

X2 = konsentrsi sumber nitrogen (g L-1)

X3 = volume penambahan mineral (mL).

Page 70: disertasi_rofiq_F361070142tip

47

Tabel 4 Matrik Central Composite Design yang mengandung 20 percobaan dengan 3 variabel percoban dalam kode unit.

No.

X1

X2

X3

Koefisien yang diuji

Respon(Y)

1 1 1 1

2 1 -1 -1

3 -1 1 -1

4 1 1 -1

5 1 -1 1

6 -1 1 1

7 -1 -1 1

8 -1 -1 -1

Fraksional 23-1 faktorial design

9 -1,68 0 0

10 0 -1,68 0

11 0 0 -1,68

12 1,68 0 0

13 0 1,68 0

Konsentrasi siklo(tirosil-prolil) (mg L-1)

14 0 0 1,68

Titik bintang (6 titik)

15 0 0 0

16 0 0 0

17 0 0 0

18 0 0 0

19 0 0 0

20 0 0 0

Titik pusat (6 titik)

Page 71: disertasi_rofiq_F361070142tip

48

Page 72: disertasi_rofiq_F361070142tip

IV HASIL DAN PEMBAHASAN

IV.1. Perlakuan Sampel untuk Isolasi Aktinomisetes

Sebelum dilakukan isolasi aktinomisetes, terlebih dahulu dilakukan

penelitian pendahuluan untuk menentukan metode pra-perlakuan sampel yang

paling tepat. Pra-perlakuan sampel dilakukan untuk mengurangi pertumbuhan

mikroba yang tidak dikehendaki (mikroba kontaminan), sehingga proses isolasi

aktinomisetes menjadi lebih mudah. Sampel yang digunakan untuk penentuan

metode pra-perlakuan ini adalah sampel yang diambil dari Pantai Anyer Banten.

Hasil pra-perlakuan sampel isolasi aktinomisetes disajikan dalam Tabel 5.

Pra-perlakuan ke-1 sampai dengan ke-5 menunjukkan mikroba

kontaminan menutup seluruh permukaan medium agar (Tabel 5). Hal ini akan

menekan pertumbuhan aktinomisetes dan mempersulit proses pengambilan koloni

aktinomisetes. Pra-perlakuan dengan pemanasan dan pengasaman diharapkan

dapat menekan pertumbuhan bakteri Gram-negatif yang banyak terdapat di air

laut. Dibandingkan dengan metode 1 sebagai kontrol, metode pemanasan dan

pengasaman mampu menekan bakteri kontaminan, terbukti kecepatan

pertumbuhan bakteri kontaminan lebih lambat dibandingkan dengan kontrol

(metode ke-1). Namun demikian metode pemanasan dan pengasaman belum

efektif untuk digunakan dalam isolasi ini, karena pada hari ke-3 permukaan

medium agar masih dipenuhi oleh bakteri kontaminan, koloni aktinomisetes akan

muncul pada hari ke-15 sampai dengan hari ke-21 (Hozzein et al. 2008;

Dhanasekaran et al. 2009). Seperti halnya metode ke-2 dan ke-3, metode isolasi

dengan penambahan sikoloheksimid dan nistatin pada medium isolasi, belum

dapat menekan pertumbuhan bakteri kontaminan secara keseluruhan. Pada hari

ke-3 pertumbuhan bakteri kontaminan masih menutup seluruh permukaan

medium agar. Sikloheksimid dan nistatin hanya efektif menghambat pertumbuhan

fungi dan khamir. Dengan demikian mikroba yang mampu tumbuh dan

berkembang pada medium yang mengandung sikloheksimid dan nistatin diduga

adalah kelompok bakteri.

Page 73: disertasi_rofiq_F361070142tip

50

Tabel 5 Hasil pra-perlakuan sampel pada proses isolasi aktinomisetes.

Metode ke-

Jenis pra-perlakuan Pengamatan pertumbuhan

mikroba kontaminan

Keterangan

1 Tanpa adanya pra-perlakuan (kontrol)

Sangat banyak Inkubasi hari ke-2, seluruh permukaan medium isolasi dipenuhi mikroba kontaminan

2 Pemanasan sampel pada 60 °C selama 4 jam

Banyak Inkubasi hari ke-3, seluruh permukaan medium isolasi dipenuhi mikroba kontaminan

3 Pengasaman sampel pada pH 2 selama 2 Jam

Banyak Inkubasi hari ke-3, seluruh permukaan medium isolasi dipenuhi mikroba kontaminan

4 Pemanasan sampel pada 60 °C selama 4 jam dan penambahan sikloheksimid 100 μg mL-1 dan nistatin 25 μg mL-1

Banyak Inkubasi hari ke-3, seluruh permukaan medium dipenuhi mikroba kontaminan

5 Pengasaman pada pH 2 selama 2 jam dan penambahan sikloheksimid 100 μg mL-1 dan nistatin 25 μg mL-1

Banyak Inkubasi hari ke-3, seluruh permukaan medium dipenuhi mikroba kontaminan

6 Pemanasan pada 60 °C selama 4 jam dan penambahan sikloheksimid 100 μg mL-1, nistatin 25 μg mL-1, asam nalidiksat 20 μg mL-1, rifampisin 5 μg mL-1

Sedang Pertumbuhan koloni terpisah dan tidak tertutup oleh mikroba kontaminan

7 Pengasaman pada pH 2 selama 2 jam dan penambahan sikloheksimid 100μg mL-1, nystatin 25 μg mL-1, asam nalidiksat 20 μg mL-1, rifampisin 5 μg mL-1

Sedang Pertumbuhan koloni terpisah dan tidak tertutup oleh mikroba kontaminan

8 Pemanasan pada 60 °C selama 4 jam dan penambahan sikloheksimid 100 μg mL-1, nistatin 25 μg mL-1, asam nalidiksat 40 μg mL-1, rifampisin 10 μg mL-1

Tidak tumbuh Pertumbuhan koloni aktinomisetes juga tertekan (tidak tumbuh)

9 Pengasaman pada pH 2 selama 2 jam dan penambahan sikloheksimid 100 μg mL-1, nistatin 45 μg mL-1, asam nalidiksat 30 μg mL-1, rifampisin 10 μg mL-1

Tidak tumbuh Pertumbuhan koloni aktinomisetes juga tertekan (tidak tumbuh).

Keterangan : Komposisi medium isolasi; soluble starch 10 g, pepton 2 g, ekstrak khamir 4 g, agar 16 g dalam 1000 mL air laut

Page 74: disertasi_rofiq_F361070142tip

51

Selanjutnya penambahan antibiotik rifampisin 5 μg mL-1 dan asam

nalidiksat 20 μg mL-1 terlihat mampu menekan pertumbuhan bakteri Gram-postif

dan Gram-negatif. Kombinasi antara pra-perlakuan pemanasan atau pengasaman

dengan penambahan antibiotik sikloheksimid 100 μg mL-1, nistatin 25 μg mL-1,

asam nalidiksat 20 μg mL-1, rifampisin 5 μg mL-1 mampu menekan pertumbuhan

mikroba kontaminan, sehingga pada inkubasi sampai dengan hari ke-21 beberapa

koloni aktinomisetes dapat tumbuh dan tidak tertutup oleh mikroba kontaminan,

baik itu fungi maupun bakteri lainnya. Namun demikian beberapa koloni fungi

dan bakteri tetap tumbuh dalam medium agar, dan tidak menutup koloni lainnya.

Menurut Seong et al. 2001 pemanasan suspensi sampel pada suhu 70 °C selama

15 menit mampu menurunkan populasi bakteri Gram-negatif dan fungi

kontaminan, serta dapat menaikkan rasio koloni aktinomisetes. Penambahan

nistatin 50 μg mL-1 dan asam nalidiksat 20 μg mL-1 mampu menekan

pertumbuhan fungi dalam medium isolasi. Menurut Pisano et al. (1989)

rifampicin 2,5 μg mL-1 efektif menekan pertumbuhan bakteri Gram-negatif.

Namun demikian komposisi dan konsentrasi antibiotik dalam medium isolasi

yang digunakan akan berbeda tergantung dari biodiversitas mikrooganisme di

dalam sampel. Pada penelitian ini penggunaan pra-perlakuan kombinasi

pemanasan atau pengasaman sampel yang dikombinasikan dengan sikloheksimid

dan nistatin belum sepenuhnya efektif untuk mengurangi sejumlah bakteri

kontaminan. Kombinasi metode pra-perlakuan pemanasan atau pengasaman

dengan penambahan sikloheksimid 100 μg mL-1, nistatin 25 μg mL-1, asam

nalidiksat 20 μg mL-1, rifampisin 5 μg mL-1 dalam medium agar, lebih efektif

menghambat mikroba kontaminan dan meningkatkan jumlah koloni

aktinomisetes. Rifampisin diketahui efektif menghambat bakteri Gram-negatif

dan Gram-positif, serta mampu menghambat mikobakterium yang banyak terdapat

di daerah perairan. Namun demikian pada penambahan konsentrasi rifampisin dan

asam nalidiksat menjadi dua kalinya (pra-perlakuan ke-8 dan ke-9) ternyata

berakibat menghambat pertumbuhan koloni aktinomisetes dan mikroba lainnya.

Sampai dengan inkubasi 21 hari, belum ada koloni aktinomisetes yang mampu

tumbuh pada medium isolasi tersebut. Dengan demikian pada tahap selanjutnya

akan digunakan pra-perlakuan dengan metode ke-6 dan ke-7.

Page 75: disertasi_rofiq_F361070142tip

52

IV.2. Isolasi Aktinomisetes

Hasil isolasi aktinomisetes laut yang diambil dari tiga lokasi diperoleh 5

isolat dari pantai utara Cirebon, 29 isolat dari Pantai Anyer Banten, dan 6 isolat

dari Pantai Kukup Gunung Kidul Yogyakarta. Jumlah aktinomisetes yang dapat

diisolasi setiap bobot sampel sedimen laut relatif lebih sedikit dibandingkan

dengan isolasi aktinomisetes dari tanah. Namun demikian potensi untuk

mendapatkan mikroba unggul dari aktinomisetes laut lebih besar karena kondisi

lingkungan laut yang lebih bervariasi dibandingkan di tanah. Menurut Goodfellow

(1983) bahwa walaupun jumlah aktinomisetes yang dapat diisolasi dari laut

cenderung lebih sedikit dibandingkan dari tanah namun demikian karakteristik

aktinomisetes laut lebih bervariasi dan lebih berpotensi.

Pada komposisi medium isolasi dan sejumlah antibiotik yang ditambahkan

sama, maka apabila dilihat dari kedua proses pra-perlakuan yaitu dengan

menggunakan panas (heatshock treatment) dan menggunakan pengasaman (acid

treatment) maka terlihat bahwa pra-perlakuan dengan pemanasan lebih efektif

dibandingkan pra-perlakuan dengan pengasaman. Praperlakuan pemanasan

terbukti mampu menekan pertumbuhan bakteri kontaminan yang biasanya akan

tumbuh pada awal inkubasi. Sebaliknya pra-perlakuan asam terbukti masih

banyak bakteri kontaminan yang tumbuh dan menyebabkan sulitnya proses

pemurnian koloni aktinomisetes. Menurut Hoskisson et al. (2000) perlakuan

pemanasan sampel pada 60 °C mampu meningkatkan 5 kali jumlah spora

Micromonospora echinospora yang dikulturkan dibandingkan tanpa pemanasan.

Disamping mampu menekan bakteri kontaminan perlakuan pemanasan terbukti

mampu meningkatkan aktivasi proses respirasi spora dan memacu penggunaan

senyawa yang digunakan. Apabila pemanasan dinaikkan menjadi 70 °C, maka

waktu yang dibutuhkan untuk proses aktivasi menjadi lebih pendek, namun terjadi

pengurangan jumlah spora yang dikulturkan. Pemanasan sampel pada suhu 50 °C

selama 30 menit tidak berpengaruh tarhadap pertumbuhan spora yang dikulturkan

dibandingkan kontrol. Hal yang sama disampaikan oleh Karwowski (1986) bahwa

pemanasan pada suhu 70 °C dalam waktu lebih dari 30 menit berpotensi

mengurangi jumlah spora yang dapat dikulturkan pada medium isolasi. Hal yang

Page 76: disertasi_rofiq_F361070142tip

53

sama dilakukan oleh Seong et al. (2001). Pemanasan suspensi sampel pada 70 °C

dalam waktu lebih dari 30 menit dengan kombinasi penambahan Nistatin 50 μg

mL-1dan asam nalidiksat 20 μg mL-1 mampu menekan pertumbuhan mikroba

kontaminan seperti khamir dan fungi.

Apabila dilihat dari jumlah aktinomisetes yang dapat diisolasi setiap

lokasi pengambilan sampel, terlihat bahwa sampel dari Pantai Anyer Banten

menunjukkan jumlah aktinomisetes terbanyak dibanding dengan sampel dari

pantai Selatan Yogyakarta dan pantai Utara Cirebon. Perbedaan jumlah isolat

yang diperoleh dalam setiap lokasi pengambilan sampel terlihat sangat besar.

Salah satu penyebab sedikitnya isolat aktinomisetes yang mampu diisolasi dari

Pantai Selatan Yogyakarta dan Pantai Utara Cirebon diduga adalah rentang waktu

yang cukup lama antara pengambilan sampel dengan proses penyebaran sampel

dalam medium agar (medium isolasi). Hal ini menyebabkan bakteri kontaminan

tumbuh secara cepat dan bertambah banyak, sehingga mempersulit proses isolasi.

Sebagian besar sampel dari pantai Utara Cirebon dan Pantai Selatan Yogyakarta

menunjukkan pertumbuhan bakteri kontaminan yang cepat dan menutup seluruh

permukaan medium isolasi dalam satu minggu inkubasi yang menyebabkan sulit

tumbuhnya aktinomisetes.

IV.3. Penapisan Aktinomisetes Penghasil Antimikroba

Penapisan aktinomisetes dilakukan untuk menentukan dan memilih isolat-

isolat yang memiliki aktivitas antimikroba. Penapisan aktinomisetes dilakukan

dengan menggunakan uji hambatan terhadap beberapa mikroba uji dengan

metode difusi agar. Mikroba uji yang digunakan adalah Escherichia coli ATCC

25922 dan Pseudomonas aeruginosa ATCC27853 yang termasuk bakteri Gram-

negatif, Staphylococcus aureus ATCC25923 dan Bacillus subtilis ATCC 66923

yang termasuk bakteri Gram-positif, Aspergillus niger BIOMCC00134 yang

termasuk dalam golongan fungi, dan Candida albicans BIOMCC00122 yang

termasuk dalam golongan khamir. Dari 40 isolat yang telah diisolasi diperoleh 4

isolat yang mampu menghambat Escherichia coli ATCC 25922, 5 isolat mampu

menghambat Staphylococcus aureus ATCC25923, 4 isolat mampu menghambat

Page 77: disertasi_rofiq_F361070142tip

54

Bacillus subtilis ATCC 66923, 4 isolat mampu menghambat Pseudomonas

aeruginosa ATCC27853, 5 isolat mampu menghambat Candida albicans

BIOMCC00122, dan 4 isolat mampu menghambat Aspergillus niger

BIOMCC00134. Hasil penapisan aktinomisetes selengkapnya disajikan dalam

Tabel 6.

Hasil penapisan memperlihatkan bahwa isolat A11 (isolat dari Pantai

Barat Banten) memiliki daya anti bakteri Gram-positif dan bakteri Gram-negatif

yang kuat. Isolat PCL11, A64, dan YK21 memiliki aktivitas antifungi dan tidak

memiliki aktivitas terhadap bakteri. Isolat A64 menunjukkan hambatan yang

paling kuat terhadap Aspergillus niger BIOMCC00134, dan isolat A44

menunjukkan hambatan paling kuat terhadap Candida albicans BIOMCC00122.

Studi lebih lanjut dipilih isolat A11 yang menunjukkan aktivitas antibakteri paling

kuat. Selanjutnya dilakukan identifikasi morfologi dan filogenik terhadap isolat

A11.

Dilihat dari morfologinya, isolat A11 terlihat memiliki hifa yang

bercabang dengan arah horisontal maupun vertikal dan terdapat beberapa kantong

spora pada ujung hifa seperti yang disajikan dalam Gambar 6a. Dengan mata

telanjang, morfologi A11 terlihat warna putih terang, dengan permukaan yang

berlipat-lipat, hifa yang panjang membentuk miselium dan terbentuk beberapa

hifa antena (aerial hyphae) yang timbul secara vertikal (Gambar 6b), serta

miselium substrat yang berwarna putih kecoklatan yang menembus ke dalam

medium agar. Adanya aerial hyphae dan miselium substrat yang menembus ke

medium agar merupakan salah satu ciri khas Streptomyces. (Goodfellow dan

William 1988). Pada awal pertumbuhan terbentuk koloni tunggal berbentuk bulat,

selanjutnya akan berkembang hifa yang memanjang. Koloni tunggal berbentuk

bulat yang semakin lama diinkubasi diameter koloni akan semakin melebar.

Morfologi isolat Streptomyces sp.A11 disajikan dalam Gambar 6.

Page 78: disertasi_rofiq_F361070142tip

55

Tabel 6 Hasil isolasi dan penapisan aktinomisetes penghasil antimikroba. Daya hambatan terhadap bakteri&fungi (diameter zona bening dalam mm) No Kode

isolat Jenis

perlakuan sampel

Lokasi isolasi E.coli S.aureus B.subtilis P.aeruginosa C.albicans A.niger

1 PCL11 HS PUC 7 2 PCL12 HS PUC 3 PCL13 HS PUC 7 7 7 7 4 PCL14 HS PUC 5 PCL15 HS PUC 6 A61 HS PA 7 A62 HS PA 8 A63 HS PA 9 A64 HS PA 15 10 A65 HS PA 11 A66 HS PA 12 A67 A PA 13 A68 A PA 14 A69 A PA 15 A610 A PA 12 16 A611 A PA 17 A11 HS PA 14 15 14 14 18 A12 HS PA 19 A21 HS PA 7 9 20 A23 A PA 21 A24 A PA 22 A31 HS PA 23 A32 HS PA 12 7 24 A33 HS PA 25 A41 HS PA 26 A42 HS PA 27 A43 A PA 10,16 8,67 9,51 28 A44 A PA 10,61 29 A45 A PA 30 A51 HS PA 31 A52 HS PA 32 A53 HS PA 33 A54 HS PA 8,56 8,67 34 A56 A PA 35 YK11 HS PSY 36 YK12 HS PSY 37 YK21 HS PSY 14 38 YK41 HS PSY 9,71 8,71 9,53 9,01 39 YK42 A PSY 40 YK43 A PSY 8,58

Keterangan : PUC : Pantai utara Cirebon PA : Pantai Anyer PSY : Pantai Selatan Yogyakarta HS : Heat shock treatment (perlakuan dengan pemanasan pada suhu 60 °C selama 4 jam) A : Acid treatment (perlakuan sampel dengan pengasaman pada pH 2 selama 2 jam)

Page 79: disertasi_rofiq_F361070142tip

56

(a) (b)

Gambar 6 Morfologi isolat Streptomyces sp. A11. (a). Morfologi

Streptomyces sp. A11dengan perbesaran 40x (b). Morfologi Streptomyces sp. A11 tanpa perbesaran.

Menurut Awad et al. (2009) morfologi Streptomyces sp. dapat dilihat dari

hifa antena (aerial hyphae), miselium substrat, bentuk permukaan koloni, dan

warna. Namun demikian identifikasi melalui morfologi saja tidak menunjukkan

hasil yang memuaskan, sehingga perlu dilakukan identifikasi secara genetik

(Annaliesa et al. 2001). Menurut Srinivasan et al. (1991) morfologi Streptomyces,

khususnya pada hifa antena (aerial hyphae) dan miselium substrat bersifat

karakteristik namun demikian dapat berubah bentuknya tergantung dari komposisi

substrat.

Identifikasi secara genetik dilakukan dengan menggunakan 16S rRNA.

Analisa partial sekuens 16S rRNA dari isolat A11 dibandingkan dengan sekuens

seluruh bakteri yang ada didalam database Gen-Bank dengan menggunakan

program BLAST yang diakses dari website http://www.ncbi.nlm.nih. gov/.

BLAST. Dengan menggunakan 16S rRNA diperoleh informasi bahwa isolat A11

memiliki kekerabatan terdekat dengan Streptomyces sp. (homology 100%) kelas

Actinobacteria, ordo Actinomycetales, famili Streptomycetaceae, dan genus

Streptomyces. Urutan nukleotida fragmen gen dan kedekatan (homology) yang

dibandingkan dengan gen spesies lainnya disajikan dalam Lampiran 6.

Analisis dengan pohon filogenik (Gambar 7) yang dikumpulkan dari

beberapa data spesies genus Streptomyces diketahui bahwa isolat ini mempunyai

kedekatan dengan S. tanashiensis subsp.cephalomyceticus yang dikenal banyak

menghasilkan senyawa antimikroba. Isolat S. tanashiensis subsp.

cephalomyceticus dikenal mampu mensintesis TAK-637 (tachykinin receptor

antagonist) (Tarui et al. 2001). Jika dibandingkan dengan Streptomyces

Page 80: disertasi_rofiq_F361070142tip

57

indonesiaensis yang berasal dari Indonesia, isolat A11 justru lebih dekat dengan

S. tanashiensis subsp. Cephalomyceticus, S. Microflavus, S. Africanus,

Parastreptomyces abscessus, dan Streptoallomorpha polyantibiotica.

Gambar 7 Pohon filogenik isolat A11 yang didentifikasi sebagai Streptomyces sp.

Setelah dilakukan identifikasi secara morfologi dan filogenik pada isolat

Streptomyces sp. A11, tahap selanjutnya adalah mengetahui aktivitas antibakteri

yang dimiliki oleh isolat tersebut. Uji aktivitas antibakteri dilakukan pada ekstrak

supernatan maupun ekstrak biomassanya. Ekstrak aktif ditunjukkan pada ekstrak

supernatan dan tidak ditunjukkan pada ekstrak biomassa (Tabel 7). Hal ini

menunjukkan bahwa senyawa aktif yang diproduksi oleh isolat A11 bersifat

ekstraselular. Hasil uji aktivitas antimikroba menunjukkan bahwa isolat A11

merupakan isolat yang memiliki aktivitas antibakteri paling kuat, baik bakteri

Gram-positif maupun Gram-negatif (Gambar 8).

Page 81: disertasi_rofiq_F361070142tip

58

A B

C D

Gambar 8 Daya hambat senyawa aktif terhadap (A) Bacillus subtilis ATCC

66923, (B) Escherichia coli ATCC 25922, (C) Staphylococcus aureus ATCC25923, (D) Pseudomonas aeruginosa ATCC27853

Tabel 7 Uji aktivitas antimikroba ekstrak supernatan dan biomasa hasil

fermentasi isolat Streptomyces sp. A11 Diameter zona bening (mm)

Sampel Uji

Staphilococcus aureus ATCC 25922

Bacillus subtilis ATCC 66923

Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853

Escherichia coli ATCC 25922

Candida albicans BIOMCC00122

Aspergillus niger BIOMCC00134

Ekstrak biomasa

- - - - - -

Ekstrak supernatan

10,39 24,43 9,64 9,55 - -

kontrol (rifampisin 500 ppm)

21,27 44,57 10,08 10,12 - -

Diameter kertas cakram : 6 mm

Hal yang sama ditunjukkan pada kromatogram HPLC, yaitu kromatogram

hasil analisis ekstrak biomassa tidak menunjukkan adanya puncak, sedangkan

kromatogram hasil analisis ekstrak supernatan menunjukkan beberapa puncak

yang salah satu puncak tersebut adalah senyawa aktif. Kromatogram hasil analisis

ekstrak biomassa dan supernatan disajikan dalam Gambar 9. Pada tahap

selanjutnya ekstrak yang digunakan untuk proses pemurnian dan elusidasi struktur

molekul hanya digunakan ekstrak supernatannya saja.

Page 82: disertasi_rofiq_F361070142tip

59

b

AU

0.00

0.50

1.00

1.50

2.00

Minutes5.00 10.00 15.00 20.00

12.1

04

a menit menit

Gambar 9 Kromatogram hasil analisis ekstrak supernatan (a) dan biomassa (b) yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11

IV.4. Pemurnian dan Identifikasi Senyawa Aktif yang Dihasilkan oleh

Streptomyces sp.A11

Sebanyak 5 l kaldu fermentasi yang telah mengalami perlakuan sonifikasi

untuk memecah sel, disentrifugasi pada kecepatan 14000 x g selama 15 menit. Sel

beserta supernatan dipisahkan, dan masing-masing diekstraksi dengan pelarut

organik dan dikeringkan sampai diperoleh bobot konstan. Sebanyak 5 l kaldu

fermentasi diperoleh bobot kering sel sisa ekstraksi sebanyak 4,73 g L-1, bobot

kering ekstrak sel dengan metanol sebanyak 2,72 g L-1 dan bobot kering ekstrak

supernatan dengan etil asetat sebanyak 0,33 g L-1. Ekstrak supernatan yang

terbukti menunjukkan aktivitas antimikroba selanjutnya dipurifikasi dengan

menggunakan kromatografi kolom dan HPLC preparatif. Fraksi-fraksi yang

dihasilkan dalam proses purifikasi dengan kromatografi kolom dan HPLC

prepratif ditampung dan masing-masing fraksi diuji aktivitas antibakterinya untuk

menentukan fraksi mana yang memiliki aktivitas. Selanjutnya untuk mengetahui

profil kromatogram hasil pemurnian maka fraksi aktif dianalisis menggunakan

HPLC analitik. Hasil HPLC analitik menggunakan kolom Water Column

symmetry C18 (4,6 x 250 mm, Part No.WAT054275) menunjukkan bahwa

senyawa aktif hasil pemurnian memiliki kemurnian yang relatif tinggi (Gambar

10a). Senyawa aktif ini dicirikan dengan waktu retensi 12,1 menit dan memiliki

serapan maksimum pada panjang gelombang 210 dan 274,5 nm (Gambar 11b).

Page 83: disertasi_rofiq_F361070142tip

60

Menurut Kumar et al. 2009 sebagian besar antibiotik golongan peptida memiliki

serapan panjang gelombang maksimum pada 210-230 dan 270-280 nm. Serapan

pada panjang gelombang 220-230 nm berhubungan dengan karakteristik serapan

ikatan peptida. Kromatogram HPLC analitik dan spektrum serapan UV vis

antibiotik yang telah dimurnikan disajikan dalam Gambar 10a & 10b.

(a)

AU

0.00

1.00

2.00

Minutes5.00 10.00 15.00 20.00

12.0

61

AU

0.00

0.50

1.00

1.50

2.00

2.50

3.00

nm250.00 300.00 350.00

210.6

274.5

(b)

menit (a)

Gambar 10 (a) Kromatogram HPLC analitik senyawa aktif murni hasil isolasi.

(b) Spektrum serapan UV vis senyawa aktif murni hasil isolasi.

Senyawa aktif murni yang diperoleh selanjutnya ditentukan bobot molekul

dan struktur molekulnya menggunakan LC-MS, 1HNMR, 13C NMR, DEPT 13C

NMR, dan FTIR. Dari hasil analisis menggunakan LC-MS diketahui bahwa

senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat A11 memiliki bobot molekul sebesar

260 g mol-1, pada LC-MS m/z (M+H)+ ditunjukkan sebesar 261 (Gambar 11).

Dari database program LCT Premier-XE Waters menunjukkan bahwa senyawa ini

memiliki 14 atom karbon, 16 atom hidrogen, 2 atom nitrogen, dan 3 atom

oksigen.

Page 84: disertasi_rofiq_F361070142tip

61

Gambar 11 Spektrum LC-MS m/z 261 (M+H)+ senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11.

Selanjutnya hubungan tata letak atom karbon dan atom hidrogen ditentukan

menggunakan 1HNMR, 13CNMR, DEPT 13CNMR. Spektrum 1HNMR yang

diperoleh dari Bruker AV-500 (500 MHz) dengan tetramethylsilane (TMS)

sebagai standar internal dalam pelarut metanol-D4 dan memberikan data sebagai

berikut; δH: 4,4 (t, 1H), 4,0(1H, dd), 2,1 (2H, m), 1,8 (2H, m), 3,5 (2H, dd), 3,1

(2H, dd), 7,0 (2H, d), 6,7 (2H, d), dan δC : 170,8 (s), 58,0 (d), 167,0 (s), 60,1 (d),

29,4 (t), 22,5 (t), 45,9 (t), 37,7 (t), 127,7 (s), 132,1 (d), 116,3 (d), 157,7 (s).

Spektrum 1HNMR dan 13CNMR ditunjukkan pada Gambar 12a dan 12b.

Page 85: disertasi_rofiq_F361070142tip

62

12. (a)

12.(b)

Gambar 12 Spektrum 1HNMR (a) dan spektrum 13CNMR (b) senyawa aktif

yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11.

Page 86: disertasi_rofiq_F361070142tip

63

Dari hasil interpretasi spektrum LC-MS, 1HNMR, dan 13C NMR, diduga

struktur molekul senyawa tersebut adalah seperti yang disajikan dalam Gambar

13.

Gambar 13 Struktur molekul senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat A11

Dua singlet atom karbon yang merupakan atom karbon dari gugus keton

pada δC 170,8 (s)(C1) dan δC 166,9 (s) (C4) (Gambar 12b). Analisis lebih lanjut

dari spektrum 13C, dua atom karbon yang tidak tersubstitusi ditunjukkan pada δC

127,7 (C1’) dan 157,7 (C4’). Enam karbon methine ditunjukkan pada δC 57,9

(C3), 60,1 (C6), 132,1 (C2’), 116,3 (C3’), 116,2 (C5’), 132,1 (C6’), dan empat

karbon methylene ditunjukkan pada δC 29,4 (C7), 22,5 (C8), 45,9 (C9), 37,7

(C10).

DEPT 135° dan 90° (Gambar 14) menunjukkan ada enam karbon methine

[δC 57,9 (C3), 60,1 (C6), 132,1 (C2’), 116,3 (C3’), 116,2 (C5’), 132,1 (C6’)] dan

empat karbon methylene [δC 29,4 (C7), 22,5 (C8), 45,9 (C9), 37,7 (C10)]. Dari

spektrum DEPT 13C NMR terlihat puncak (C6’) tumpang tindih dengan (C2’) dan

(C3’) tumpang tindih dengan (C5’). Hal ini disebabkan posisi (C6’) simetri

dengan (C2’) dan (C3’) simetri dengan (C5’) yang mendapatkan pengaruh atau

gugus tetangga dan awan elektron yang sama besar.

Apabila dilihat dari geseran kimianya, proton pada posisi C3’ dan C5’ lebih

upfield dibandingkan dengan proton pada posisi C2’ and C6’, hal ini disebabkan

karena efek lindungan (shielding effect) dari gugus hidroksi pada posisi C4’ dan

membentuk posisi ortho dengan atom C3’ and C5’. Hal yang sama terjadi pada

C1’ (posisi para dengan C4’) yang tergeser lebih upfield dibandingkan C2’ dan

C6’.

Page 87: disertasi_rofiq_F361070142tip

64

Gambar 14 Spektrum DEPT 13C NMR senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11

Hasil analisis menggunakan spektrum infra merah (Gambar 15), pita

karakteristik senyawa ini ditunjukkan pada 3383 cm-1 (N-H), 3227 cm-1 (O-H),

2959 cm-1 (saturated C-H), 1660 cm-1 (C=O), 1515 cm-1 (cincin benzen), 1456

cm-1 (methine), 1344 cm-1 (methylene), 1232 cm-1 (fenol), 1116 cm-1 (C-O), 827

cm-1 (p-disubstituted benzene ring). Pola spektrum infra merah ini sangat mirip

dengan senyawa siklo(tirosil-prolil) yang telah ditemukan sebelumnya oleh Milne

et al. (1992). Informasi yang diperoleh dari spectrum infra merah menguatkan

bahwa senyawa aktif yang diperoleh adalah siklo(tirosil-prolil). Identifikasi

dilanjutkan pada uji titik leleh menggunakan Gallen Kamp Melting Point Bicasa.

Hasil uji menunjukkan bahwa senyawa aktif yang dihasilkan oleh Streptomyces sp

A11 memiliki titik leleh sebesar 140 °C.

Page 88: disertasi_rofiq_F361070142tip

65

Gambar 15 Spektrum inframerah senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11

Data spektrum infra merah yang menunjukkan gugus fungsional yang

terdapat dalam senyawa tersebut memperkuat data 13C NMR dan 1H NMR. Data

kombinasi spektrum 13C NMR dan 1H NMR yang menunjukkan posisi atom C

dan atom H pada gugus fungsional yang ditunjukkan oleh spektrum Infra Red

disajikan dalam Tabel 8.

Senyawa aktif yang dihasilkan oleh isolat A11 termasuk dalam kelompok

siklodipeptida dengan nama siklo(tirosil-prolil). Siklo(tirosil-prolil) juga

dihasilkan oleh Alternaria alternate yang digunakan sebagai host-specific

phytotoxin untuk tumbuhan spotted knapweed (Stierle et al.1988) dan dihasilkan

juga oleh Pseudomonas fluorescens GcM5-1A yang diisolasi dari pine wood

nematode (PWN), Bursaphelenchus xylophilus (Guo et al. 2007). Menurut Graz et

al.(2000) disamping memiliki aktivitas antibakteri, siklo(tirosil-prolil) adalah

senyawa yang dapat digunakan untuk mengiduksi pematangan dalam terapi sel

kanker, disamping itu menurut Graz et al.(1999) siklo(tirosil-prolil) juga memiliki

aktivitas dalam pematangan sel gastrointestinal.

Apabila dibandingkan dengan sebelum diperoleh isolat A11 dari Pantai

Anyer Banten, penelitian ini telah mampu memberikan nilai tambah terhadap

Page 89: disertasi_rofiq_F361070142tip

66

isolat-isolat mikroba laut yang belum sepenuhnya dimanfaatkan. Dengan

ditemukannya senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) yang dihasilkan oleh isolat

Streptomyces sp.A11 maka ada nilai tambah yang diperoleh dari pemanfaatan

isolat ini. Siklo(tirosil-prolil) memiliki nilai ekonomis yang tinggi, dari daftar

harga Chem-info di dalam (http://www.chem-info.com/trade/sell/Cyclo(-Pro-

Tyr)-518590.html) menunjukkan bahwa harga siklo(tirosil-prolil) murni sebesar

US$ 155 per gramnya. Dengan demikian senyawa ini memiliki potensi untuk

dikembangkan dan diproduksi.

Tabel 8 Data spektrum 13C NMR dan 1H NMR yang menunjukkan

posisi atom C dan H pada gugus fungsionalnya No

δ 13C (ppm) δ 1H (ppm) (dalam MeOD)

Gugus fungsional

1 170,8 (s) CO

N R

2 3 57,9 (d) 4,4 (t) CH

4 166,9 (s) C

ON R

5 6 60,1 (d) 4,0(dd) CH

7 29,4 (t) 2,1 (m) -CH2- 8 22,5 (t) 1,8 (m) -CH2- 9 45,9 (t) 3,5 (dd) CH2 N

10 37,7 (t) 3,1 (dd) -CH2- 1’ 127,7 (s) C R

2’ 132,1 (d) 7,0 (d) =CH- 3’ 116,3 (d) 6,7 (d) =CH- 4’ 157,7 (s) C OH

5’ 116,3 (d) 6,7 (d) =CH- 6’ 132,1 (d) 7,0 (d) =CH-

IV.5. Penentuan Minimum Inhibitory Concentration (MIC) Senyawa Aktif

Siklo(tirosil-prolil)

Minimum Inhibitory Concentration (MIC) merupakan salah satu metode

untuk menentukan daya hambat suatu senyawa tertentu terhadap mikroba uji. MIC

banyak digunakan untuk menguji aktivitas secara in vitro suatu senyawa aktif

Page 90: disertasi_rofiq_F361070142tip

67

yang memiliki aktivitas antimikroba Andrews (2001). Pada penelitian ini MIC

ditentukan mengikuti metode Bonev et al. (2008) dan Andrews (2001) yang

dimodifikasi yaitu dengan cara melarutkan senyawa antibiotik hasil purifikasi

dalam beberapa konsentrasi yaitu dari konsentrasi 6500 μg mL-1 sampai dengan

50,5 μg mL-1. Masing-masing konsentrasi diuji aktivitas antibakteri terhadap

bakteri uji menggunakan metode difusi agar. Titik potong sumbu Y pada X=0

dalam kurva yang dibentuk Log [C] (konsentrasi) sebagai sumbu Y melawan X2

(diameter zona bening) sebagai sumbu X merupakan nilai logaritma MIC, dengan

demikian besarnya MIC dapat ditentukan. Hasil penentuan MIC senyawa aktif

siklo(tirosil-prolil) terhadap 4 bakteri uji disajikan dalam Tabel 9, sedangkan

kurva penentuan MIC senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) terhadap 4 bakteri uji

disajikan dalam Lampiran 7.

Tabel 9 Minimum Inhibitory Concentration (MIC) siklo(tirosil-prolil)

Konsentrasi hambatan minimum (MIC) µg mL-1

Sampel Escherichia coli ATCC 25922

Staphylococcus aureus ATCC

25923

Bacillus subtilis ATCC

66923

Pseudomonas aeruginosa

ATCC 27853 Senyawa hasil pemurnian

27 80 74 69

Tetrasiklin (senyawa pembanding) 64 256 128 13

Tabel 9 menunjukkan bahwa senyawa hasil isolasi memiliki daya hambat

yang kuat melawan bakteri Gram-positif maupun Gram-negatif. Terhadap

Escherichia coli ATCC 25922 yang merupakan kelompok bakteri Gram-negatif,

senyawa ini menunjukkan MIC sebesar 27 µg mL-1, demikian juga dengan

Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 menunjukkan MIC sebesar 69 µg mL-1.

Apabila dibandingkan dengan tetrasiklin (kontrol), senyawa hasil isolasi memiliki

daya hambat lebih tinggi terhadap Escherichia coli ATCC 25922, namun daya

hambatnya lebih rendah terhadap Pseudomonas aeruginosa ATCC 2785.

Senyawa hasil isolasi juga memiliki hambatan yang kuat terhadap bakteri Gram-

positif walaupun hambatannya tidak sekuat Escherichia coli ATCC 25922.

Terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 yang merupakan kelompok bakteri

Gram-positif, senyawa hasil isolasi memiliki MIC sebesar 80 µg mL-1 dan

Page 91: disertasi_rofiq_F361070142tip

68

terhadap Bacillus subtilis ATCC 66923 memiliki MIC sebesar 74 µg mL-1.

Dibandingkan dengan tetrasiklin, senyawa ini masih lebih tinggi daya hambatnya

terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923 dan Bacillus subtilis ATCC 6692.

Menurut Tanaka (2001) dan Rhee (2004) sebagian besar antibiotik golongan

peptida dikenal memiliki daya hambat yang kuat terhadap bakteri Gram-positif

dan bakteri Gram-negatif. Menurut Rhee (2004) cyclo(leu-pro) memiliki MIC

sebesar 16 µg mL-1 terhadap Escherichia coli, MIC 32 µg mL-1 terhadap Bacillus

subtilis, MIC 32 µg mL-1 terhadap Pseudomonas aeruginosa, 64 µg mL-1

terhadap Staphylococcus aureus. Selain memiliki aktivitas antibakteri, siklik

dipeptida juga memiliki aktivitas sebagai anti virus, dan antitumor. Campuran

beberapa siklik dipeptida memiliki efek sinergi terhadap bakteri dan fungi (Rhee

2004).

IV.6. Penentuan Kurva Pertumbuhan Vegetatif Isolat Streptomyces sp.A11

Sebelum dilakukan optimasi proses fermentasi, terlebih dahulu dilakukan

penentuan kurva pertumbuhan vegetatif isolat Streptomyces sp.A11 yang

digunakan sebagai inokulan dalam proses optimasi fermentasi. Kurva

pertumbuhan vegetatif digunakan untuk menentukan waktu yang paling tepat

untuk transfer dari kultur vegetatif ke kultur fermentatif, yaitu pada saat

mendekati akhir dari fase logaritma. Kultur vegetatif bertujuan untuk

memperbanyak sel yang akan digunakan sebagai inokulum pada proses

fermentasi. Medium yang digunakan biasanya didesain untuk perbanyakan sel.

Pada penelitian ini medium yang digunakan untuk penentuan kurva vegetatif

adalah medium khamir ekstrak malt ekstrak (YEME). Medium YEME banyak

digunakan untuk perbanyakan sel dalam kultur cair Streptomyces (Daza et

al.1989). Kurva dan data pertumbuhan vegetatif Streptomyces sp.A11 berturut-

turut disajikan dalam Gambar 16 dan Lampiran 8.

Page 92: disertasi_rofiq_F361070142tip

69

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

0 10 20 30 40 50 60 70

Waktu (Jam)

Bio

mas

sa s

el (g

L-1),

gula

(g L

-1),

pH

biomassa gula pH

Gambar 16 Kurva pertumbuhan vegetatif Streptomyces sp.A11

Gambar 16 menunjukkan bahwa fase penyesuaian atau fase lag terjadi

selama kurang lebih 8 jam. Pada fase lag, mikroba mulai menyesuaikan kondisi

dan medium fermentasi. Pada fase ini belum terjadi pertumbuhan sel atau laju

pertumbuhan sel sama dengan nol. Setelah fase lag selesai selanjutnya masuk

pada fase pertumbuhan. Fase pertumbuhan atau logaritma terjadi pada rentang

waktu jam ke-8 sampai dengan jam ke-50. Pada fase ini terlihat juga konsumsi

gula dan pertumbuhan sel yang cepat yang diikuti penurunan pH dalam cairan

medium. Konsumsi gula oleh mikroba mengakibatkan terbentuknya asam-asam

organik hasil hidrolisis gula yang dapat menurunkan derajat keasaman medium

Sanchez et al. (2010). Apabila dilihat dari rentang waktu fase logaritma maka

proses pemanenan sel vegetatif untuk inokulum pada proses fermentasi dilakukan

pada jam ke-40 sampai dengan jam ke-50, yaitu rentang waktu akhir fase

pertumbuhan.

IV.7. Penentuan Profil Fermentasi Isolat Streptomyces sp. A11

Setiap mikroba memiliki profil fermentasi yang khas. Perubahan pH

medium, konsumsi gula, nitrogen, biomass dapat menggambarkan kondisi

fermentasi mikroba tersebut. Profil fermentasi diamati dari beberapa variabel

fermentasi seperti perubahan konsentrasi gula, nitrogen total, pH, biomassa, dan

Page 93: disertasi_rofiq_F361070142tip

70

konsentrasi siklo(tirosil-prolil). Kurva dan data profil fermentasi berturut-turut

disajikan dalam Gambar 17 dan Lampiran 9.

Gambar 17 menunjukkan bahwa fase penyesuaian (fase lag) terjadi selama

kurang lebih 8 jam, yaitu dari jam ke-0 sampai dengan jam ke-8. Pada fase ini

tidak terjadi pertumbuhan sel atau laju pertumbuhan sel adalah nol. Walaupun

medium awal fermentasi sudah mengandung glukosa, namun pertumbuhan sel

mikroba masih memerlukan tahap penyesuaian medium. Adanya perbedaan

komposisi medium vegetatif dengan medium fermentatif menyebabkan sistem

metabolisme mikroba menjadi berubah, sehingga dibutuhkan waktu untuk

menyesuaikan kondisi medium yang baru (Wang et al. 1979). Fase logaritmik

terjadi pada jam ke 8 sampai dengan jam ke-40 dengan ditandai penurunan

konsentrasi gula yang diiringi pertumbuhan massa sel yang cepat. Pada fase ini

laju pertumbuhan atau reproduksi selular mencapai titik maksimum (Stanbury dan

Whitaker 1984). Dari hasil perhitungan laju pertumbuhan spesifik maksimal

(µmaks) dan rendemen pembentukan biomassa per massa substrat (Yx/s)

(Lampiran 10a & 10b) menunjukkan bahwa isolat Streptomyces sp.A11 memiliki

laju pertumbuhan spesifik maksimal (µmaks) sebesar 0,04 jam-1 dan rendemen

pembentukan biomassa per massa substrat (Yx/s) sebesar 0,6 gram biomassa per

gram substrat. Apabila dibandingkan dengan laju pertumbuhan spesifik dan

rendemen pembentukan biomassa per massa substrat Streptomyces coelicolor

dalam pembentukan antibiotik actinohordin (Ulgen dan Mavituna 1993),

Streptomyces sp.A11 menunjukkan laju pertumbuhan spesifik dan rendemen

pembentukan biomassa per massa substrat yang lebih besar.

Page 94: disertasi_rofiq_F361070142tip

71

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

14

15

0 15 30 45 60 75 90 105 120 135 150

waktu (jam)

bobo

t ker

ing

sel (

g.L-1

),gu

la (g

.L-1

), ni

troge

n to

tal (

mg.

mL-1

)x10

-1

0

5

10

15

20

25

30

35

kons

entra

si s

iklo

(tiro

sil-p

rolil

) (m

g.L-1

)

bobot kering sel gula

pH nitrogen total

konsentrasi siklo(tirosil-prolil)

Gambar 17 Profil fermentasi isolat Streptomyces sp.A11

Menipisnya konsentrasi substrat dalam medium fermentasi mengakibatkan

pertumbuhan sel mulai menurun. Pada fase ini terjadi penumpukan produk-produk

metabolisme yang dapat menghambat laju pertumbuhan, selanjutnya mikroba

masuk fase pada tahap stasioner. Pada fase stasioner pertumbuhan selular berhenti

dan menyebabkan terjadinya modifikasi struktur biokimiawi sel serta terjadi

produksi metabolit sekunder (Mangunwidjaja dan Suryani 1994). Pada fase ini

merupakan tahapan penting dalam produksi metabolit sekunder. Mikroba mulai

tertekan pada akhirnya akan terjadi perubahan sistem metabolisme sel untuk

mempertahankan viabilitas sel. Mekanisme reaksi enzim dalam metabolisme yang

pada awalnya lebih banyak mendukung pertumbuhan sel akan berubah menjadi

metabolisme pertahanan diri (Wang et al, 1979). Gambar 17 terlihat bahwa fase

stasioner dimulai jam ke-48, namun demikian produksi siklo(tirosil-prolil) terjadi

mulai jam ke-60 sampai dengan jam ke-135. Terlambatnya fase produksi yang

ditunjukkan dalam kurva pertumbuhan (Gambar 17) diduga karena masih

Page 95: disertasi_rofiq_F361070142tip

72

rendahnya konsentrasi siklo(tirosil-prolil) dalam kaldu fermentasi yang tidak

terdeteksi dalam proses analisis.

Pengamatan nilai pH medium fermentasi dapat digunakan untuk

mengetahui adanya aktivitas pertumbuhan sel. Apabila dilihat dari profil

perubahan pH, terlihat bahwa dari jam ke-0 sampai dengan jam ke-45 terjadi

penurunan pH seiring dengan penurunan konsentrasi gula. Hal ini disebabkan

terjadinya hidrolisis gula yang diubah menjadi asam-asam organik yang

menyebabkan suasana medium fermentasi menjadi asam. Dengan demikian secara

tidak langsung bahwa penurunan pH menunjukkan adanya konversi substrat

menjadi senyawa lain seperti asam organik, dan protein. Secara umum penurunan

pH bersamaan dengan penurunan konsentrasi gula. Pengamatan pH setelah jam

ke-45 terjadi kenaikan pH pada medium fermentasi, hal ini disebabkan oleh

terjadinya deaminasi protein yang dapat menyebabkan kondisi kaldu fermentasi

menjadi lebih basa. Menurut Wang et al. (1979) penggunaan sumber nitrogen

organik cenderung memicu naiknya pH fermentasi yang disebabkan oleh

terjadinya deaminasi asam amino. Lisis sel atau rusaknya sebagian sel dalam

medium fermentasi juga dapat mempengaruhi kenaikan pH medium fermentasi.

Sel disusun oleh beberapa protein organik, apabila terjadi kerusakan sel maka

terjadi deaminasi asam amino yang mengakibatkan naiknya pH kaldu fermentasi.

Kisaran pH selama proses fermentasi terlihat pada kisaran pH 5,8-7,6. Nilai pH ini

masih pada batas toleransi aktinomisetes pada umumnya. Menurut Goodfellow et

al. (1988) aktinomisetes mampu tumbuh baik pada kisaran pH 6-8. Actinohordin

yang dihasilkan oleh Streptomyces coelicolor A3(2) memiliki kisaran pH 7,2-8.

Seperti halnya Streptomyces sp. A11, Streptomyces coelicolor A3(2) memiliki

profil pH yang mirip dengan Streptomyces sp. A11. Pada fase eksponensial terjadi

penurunan pH sampai mendekati fase stasioner, selanjutnya terjadi kenaikan pH

sampai dengan pH 8 sampai akhir fermentasi (Ulgen dan Mavituna 1993).

Apabila dilihat dari profil perubahan konsentrasi nitrogen total

menunjukkan bahwa kebutuhan nitrogen terjadi dari awal fermentasi sampai

dengan akhir fermentasi. Pada awal fermentasi, konsumsi nitrogen digunakan

untuk pertumbuhan sel, setelah pertumbuhan berhenti, kebutuhan sumber

nitrogen digunakan untuk pembentukan senyawa-senyawa metabolit melalui

Page 96: disertasi_rofiq_F361070142tip

73

reaksi enzimatis dalam proses metabolisme, dan sebagian sumber nitrogen

kompleks dihidrolisis dan digunakan sebagai sumber karbon untuk

mempertahankan viabilitas selnya (Stanbury dan Whitaker 1987). Dalam sistem

metabolisme sel mikroba, nitrogen digunakan sebagai sumber sintesis asam

amino, purin, piridin, protein, DNA dan RNA yang berfungsi menurunkan faktor

genetik (Vogel 1996). Sumber nitrogen juga berperan penting dalam pembentukan

biomassa sel pada fase pertumbuhan, pembentukan metabolit primer dan sekunder

(Aharonowitz 1980).

Sumber nitrogen yang digunakan dalam penentuan profil fermentasi ini

adalah ekstrak khamir dan pepton. Kedua sumber nitrogen ini diketahui mampu

meningkatkan pertumbuhan sel dan pembentukan produk oleh beberapa jenis

mikroba. Kedua sumber nitrogen ini diketahui mengandung beberapa macam

asam amino dan vitamin yang dibutuhkan untuk metabolisme sel (Crueger dan

Crueger 1984). Asam amino yang terdapat dalam ekstrak khamir dan pepton

antara lain asam glutamat, glutamin, arginin, asparagin, prolin, sistein, metionin,

dan fenilalanin (Wang et al. 1978). Disamping mengandung asam amino, ekstrak

khamir juga mengandung beberapa mineral seperti kalsium, magnesium,

potassium, sodium, klorida, fosfat, dan sulfat.

Apabila dilihat dari produktivitas antibiotik, Streptomyces sp. A11

terdeteksi mulai memproduksi metabolit sekunder pada jam ke-60, yaitu rentang

waktu yang telah masuk pada fase stasioner dan tidak terjadi pertumbuhan sel atau

laju pertumbuhan sel sama dengan nol. Hal ini mengindikasikan bahwa senyawa

aktif yang dihasilkan termasuk dalam metabolit sekunder dan bukan metabolit

primer. Seperti diketahui bahwa metabolit sekunder diproduksi tidak berasosiasi

dengan pertumbuhan sel, dan disintesis pada fase stasioner (Mangunwijaya dan

Suryani 1994). Demikian sebaliknya apabila terjadi pertumbuhan sel cepat maka

pada saat itu terjadi represi antibiotik sintetase, sehingga mikroba tidak

menghasilkan metabolit sekunder. Pada fase pertumbuhan, glikolisis lebih

banyak terjadi untuk pembentukan metabolit primer seperti asam organik, asam

amino atau protein, dan asam lemak (Martin dan Demain 1980).

Dilihat durasi fase produksi, siklo(tirosil-prolil) diproduksi selama kurang

lebih selama 75 jam. Setelah memasuki jam ke-135 produktivitas siklo(tirosil-

Page 97: disertasi_rofiq_F361070142tip

74

prolil) mulai mengalami penurunan. Durasi fase produksi setiap mikroba adalah

berbeda-beda tergantung pada faktor genetik dan kondisi lingkungannya. Untuk

aktinomisetes dan fungi, fase produksi biasanya lebih panjang dari bakteri.

Apabila tidak ada inhhibitor atau represi lainnya, aktinomisetes dan fungi mampu

memproduksi antibiotik sampai beberapa hari (Martin dan Demain 1980). Sebagai

contoh fermentasi untuk produksi candicidin pada skala indutri, dapat dilakukan

selama 200 jam. Menurut Martin dan Demain (1980) ada 3 hal yang

mempengaruhi berhentinya biosintesis antibiotik, pertama: rusaknya beberapa

enzim jalur biosintesis antibiotik secara ireversibel, kedua: efek umpan balik

akibat akumulasi antibiotik yang dihasilkannya, dan ketiga: berkurangnya

prekursor perantara pada biosintesis antibiotik.

IV. 8. Penentuan Suhu dan pH Awal Terbaik pada Proses Fermentasi

Laju pertumbuhan mikroba dan pembentukan produk sangat dipengaruhi

oleh lingkungan sekitarnya. Setiap mikroba memiliki rentang kondisi optimum

untuk pertumbuhan sel dan produksi metabolit sekunder yang berbeda-beda,

walaupun dalam satu spesies. Suhu dan pH medium merupakan salah satu faktor

yang berpengaruh terhadap pertumbuhan sel maupun produktivitas antibiotik

(Shuler & Kargi 1992). Hal ini disebabkan pH dan suhu dapat mempengaruhi

kinerja membran sel mikroba, enzim dan komponen intraselular lainnya

(Judoamidjojo et al. 1992).

Ada tiga jenis pembagian mikroba didasarkan pada suhu optimum untuk

pertumbuhan atau produksi. Pertama mikroba psychrophiles yaitu pertumbuhan

optimum mikroba pada rentang waktu dibawah suhu 20°C. Kedua mikroba

mesophiles yaitu mikroba yang memiliki pertumbuhan optimum pada rentang

suhu 20-40°C, dan ketiga mikroba thermophile, yaitu mikroba dengan

pertumbuhan optimum diatas suhu 40°C. Sebagian besar mikroba masuk dalam

kelompok mesophile (Wang et al. 1979). Dalam penentuan suhu terbaik pada

proses fermentasi, dipilih beberapa variabel suhu fermentasi. Pada penelitian ini

digunakan lima variabel suhu fermentasi yaitu pada 26, 28, 30, 32, dan 34 °C.

Dari rentang suhu fermentasi yang digunakan terlihat bahwa suhu terbaik proses

Page 98: disertasi_rofiq_F361070142tip

75

fermentasi ini berada pada suhu 30 °C (Gambar 18). Hasil analisis ragam

(Lampiran 11) menunjukkan bahwa perlakuan terhadap suhu fermentasi

berpengaruh nyata terhadap konsentrasi antibiotik yang dihasilkannya. Hasil Uji

Duncan dengan taraf nyata α (0,05) menunjukkan bahwa konsentrasi antibiotik

yang dihasilkan dengan perlakuan suhu 30 °C adalah yang terbaik dan berbeda

nyata dengan variabel suhu lainnya. Terlihat pada suhu 30 °C, konsentrasi

antibiotik yang dihasilkan sebesar 30 mg L-1, dan berturut-turut diikuti perlakuan

suhu 32 °C dengan konsentrasi antibiotik 24,49 mg L-1, suhu 34 °C dengan

konsentrasi antibiotik 20,97 mg L-1, suhu 28 °C dengan konsentrasi antibiotik

19,86 mg L-1, dan suhu 26 °C dengan konsentrasi antibiotik 11,29 mg L-1. Dilihat

dari suhu optimum untuk produksi metabolit sekunder, Streptomyces sp. A11

tergolong dalam bakteri mesofilik, yaitu suhu optimum untuk pertumbuhan dan

produksi metabolit sekunder berada pada kisaran 20 °C - 40 °C.

0

5

10

15

20

25

30

35

26 28 30 32 34

suhu fermentasi (oC)

kons

entr

asi

sikl

o(tir

osil-

prol

il) (m

g.L

-1)

Gambar 18 Pengaruh suhu fermentasi terhadap konsentrasi siklo(tirosil-prolil)

Hal yang sama disampaikan oleh Barun et al. (1998), suhu optimum

proses fermentasi Streptomyces hygroscopicus D1.5 adalah 30 °C, dan menurut

Kumar dan Kannabiran (2010) suhu optimum proses fermentasi Streptomyces

VITSVK9 spp adalah 30 °C. Namun demikian berbeda halnya dengan James dan

Edwards (1997) yang telah menemukan Streptomyces termotoleran yang memiliki

suhu optimum fermentasi sebesar 45 °C pada produksi granaticin. Suhu

Page 99: disertasi_rofiq_F361070142tip

76

fermentasi berkaitan erat dengan proses metabolisme pembentukan metabolit

primer dan sekunder. Pada proses metabolisme banyak reaksi enzim yang terlibat

dan saling berkaitan. Enzim dapat bekerja secara maksimal pada suhu yang

optimum. Setiap mikroba memiliki suhu optimum fermentasi yang berbeda-beda

walaupun dalam spesies yang sama. Pada suhu yang lebih tinggi dari suhu

optimumnya, peningkatan suhu mengakibatkan penurunan kecepatan

pertumbuhan sel dengan cepat. Pada suhu dibawah optimum, proses metabolisme

sel akan berjalan lebih lambat. Hubungan diantara perubahan suhu terhadap

kecepatan pertumbuhan sel atau kematian sel dapat dijelaskan dengan persamaan

Arrhenius (Wang et al.1979).

Menurut Wang et al. (1979) energi aktivasi untuk pertumbuhan sel pada

mikroba adalah berkisar antara 15-20 kkal/mol dan untuk kematian sel berkisar

60-70 kkal/mol. Hal ini menunjukkan bahwa kecepatan kematian sel lebih sensitif

dibandingkan dengan kecepatan pertumbuhan sel. Kenaikan suhu fermentasi

diatas titik kritisnya akan menyebabkan penurunan pertumbuhan sel yang cepat

dibandingkan penurunan suhu dibawah titik kritisnya. Berdasarkan persamaan

Arrhenius (Wang et al. 1979);

µ = A° e-Ea/ RT

α = A° e-Ea/ RT

µ = kecepatan pertumbuhan sel spesifik

α = kecepatan kematian sel spesifik

A° = Konstanta Arrhenius

Ea = Energi aktivasi

R = Konstanta gas (1,98 kal/mol °K)

T = Temperatur (°K)

Dalam beberapa hal penggunaan mikroba thermophile tidak dikehendaki

oleh industri. Hal ini disebabkan oleh biaya energi yang dibutuhkan untuk proses

produksi yang jauh lebih tinggi.

Page 100: disertasi_rofiq_F361070142tip

77

Selain suhu fermentasi, faktor lain yang berpengaruh pada kondisi

fermentasi adalah pH awal medium fermentasi. pH medium merupakan salah satu

parameter penting yang berpengaruh terhadap pertumbuhan sel dan pembentukan

produk. Sebagian besar bakteri memiliki kisaran optimum pada pH 5-8, kapang

dan aktinomisetes pada kisaran pH 3-8, yeast pada kisaran pH 3-6, dan kelompok

eukariotik tingkat tinggi pada kisaran pH 6,5-7,5 (Wang et al. 1979).

Dalam penelitian ini ditentukan pH optimum fermentasi dari interval pH 4

sampai dengan pH 8. Rentang pH yang telah diuji menunjukkan pH 6,5; 7 ; 7,5

menghasilkan konsentrasi antibiotik paling optimum (Gambar 19). Hasil analisis

ragam (Lampiran 12) menunjukkan bahwa perlakuan pH awal medium

fermentasi berpengaruh nyata terhadap konsentrasi antibiotik yang dihasilkannya.

Hasil Uji Duncan dengan taraf nyata α (0,05) menunjukkan bahwa konsentrasi

antibiotik yang dihasilkan dengan perlakuan pH awal fermentasi 6,5; 7, dan 7,5

paling optimum. Dari ketiga variabel tersebut menunjukkan konsentrasi antibiotik

tidak berbeda nyata. Dengan demikian rentang pH 6,5 sampai dengan 7,5

menunjukkan pH optimum proses fermentasi Streptomyces sp. A11. Seperti

halnya pengaruh suhu fermentasi, pH awal medium fermentasi memiliki pengaruh

yang nyata terhadap konsentrasi antibiotik yang dihasilkan. pH awal medium

fermentasi berkaitan dengan proses metabolisme sel, kinerja membran sel, dan

tekanan osmotik sel. Enzim yang terlibat dalam proses metabolisme memerlukan

kondisi pH yang optimum. Beberapa genus Streptomyces memiliki pH optimum

pada rentang pH 6,5 sampai dengan 7,5. (Barun et al.1998 ; James dan Edwards

1997).

Page 101: disertasi_rofiq_F361070142tip

78

0

5

10

15

20

25

30

35

4 4.5 5 5.5 6 6.5 7 7.5 8

pH

Kons

entr

asi

sikl

o(tir

osil-

prol

il)(m

g.L-1

)

Gambar 19 Pengaruh pH awal fermentasi terhadap konsentrasi siklo(tirosil-prolil)

IV. 9. Penentuan Sumber Karbon Terbaik pada Proses Fermentasi

Pemilihan substrat yang akan dijadikan medium fermentasi sangat

menentukan struktur metabolit primer dan metabolit sekunder yang dihasilkan

oleh mikroba. Oleh karena itu pemilihan sumber karbon sebagai penyusun utama

dalam medium fermentasi harus disesuaikan dengan kebutuhan mikroba untuk

pembentukan metabolit primer atau metabolit sekunder yang diharapkan (Crueger

dan Crueger 1984). Menurut (Stanbury dan Whitaker 1984) laju metabolisme

sumber karbon berpengaruh terhadap pembentukan biomassa dan produk

metabolit yang dihasilkan. Dengan demikian pemilihan sumber karbon merupakan

salah satu kunci keberhasilan untuk mendapatkan metabolit yang diharapkan.

Sebelum dilakukan optimasi medium fermentasi secara simultan

menggunakan Response Surface Methodology (RSM), terlebih dahulu dilakukan

percobaan pendahuluan untuk menentukan variabel terbaik sumber karbon,

sumber nitrogen dan mineral. Sumber karbon yang digunakan dalam penelitian ini

meliputi glukosa, maltosa, sukrosa, laktosa, dekstrin, dan molase. Pemilihan

sumber karbon glukosa, maltosa, sukrosa, dan laktosa didasarkan pada lintasan

awal metabolisme diantara maltosa, sukrosa dan laktosa yang berbeda. Glukosa

merupakan senyawa monosakarida yang umumnya bersifat paling mudah

Page 102: disertasi_rofiq_F361070142tip

79

dimetabolisme oleh mikroba dibanding gula lainnya, sehingga disebut sebagai

substrat primer (Wang et al. 1978). Lintasan metabolisme glukosa sebagian besar

mengikuti lintasan Embden-Meyerhof. Glukosa dikonversi menjadi glukosa-6-

fosfat yang selanjutnya dalam beberapa tahapan dikonversi menjadi asam piruvat.

Senyawa ini merupakan sumber karbon dan energi utama bagi sebagian besar

mikroba serta menjadi titik awal sebagian besar lintasan metabolisme mikroba.

Penggunaan substrat maltosa membutuhkan enzim maltose-glukoamilase yang

akan memecah maltosa menjadi glukosa, dan enzim maltose-fosforilase yang akan

maltosa menjadi glukosa-1-fosfat. Selanjutnya glukosa-1-fosfat diisomerisasi

menjadi glukosa-6-fosfat, sehingga lintasan menjadi sama dengan glukosa (Moat

et al. 2002). Menurut Hoque et al (2003) beberapa isolat Streptomyces yang

diisolasi dari tanah mampu menghasilkan enzim maltase. Selanjutnya lintasan

metabolisme sukrosa diawali dengan konversi sukrosa menjadi glukosa dan

fruktosa menggunakan enzim invertase yang berlanjut menjadi fruktosa-6-fosfat

oleh enzim fruktokinase sampai terbentuknya asam piruvat. Lintasan

metabolisme laktosa diawali dengan hidrolisis laktosa oleh enzim β-galaktosidase

menjadi galaktosa dan glukosa. Glukosa hasil hidrolisis masuk dalam lintasan

Embden-Meyerhof, sedangkan galaktosa dikonversi mejadi galaktosa-1-fosfat

oleh galaktokinase dan berlanjut menjadi glukosa-1-fosfat oleh enzim

fosfogalaktoseuridiltansferase (Moat et al. 2002). Menurut Dan dan Szabo (1973)

Streptomyces griseus mampu menghasilkan enzim β-galaktosidase melalui

induksi menggunakan substrat galaktosa.

Dekstrin merupakan produk antara hasil hidrolisis pati menjadi maltosa

dan glukosa yang memiliki rantai 6-10 glukosa. Lintasan metabolisme dekstrin

mirip dengan lintasan metabolisme maltosa dan glukosa yang diawali dengan

hidrolisis dekstrin menjadi maltosa dan glukosa. Dekstrin memiliki keunggulan

lebih mudah larut di dalam air dibandingkan dengan pati. Beberapa enzim α-

amilase dan glukoamilase mampu menghidrolisis dekstrin menjadi glukosa atau

maltosa. Lintasan metabolisme glukosa, maltosa, sukrosa, laktosa, dan dekstrin

dapat digambarkan pada Gambar 20. Pada proses glikolisis, setiap molekul

glukosa akan dikonversi menjadi 2 molekul asam piruvat. Asam piruvat

merupakan senyawa antara untuk pembentukan berbagai asam amino dan asam

Page 103: disertasi_rofiq_F361070142tip

80

lemak yang merupakan komponen pembentukan metabolit primer dan metabolit

sekunder.

Glukosa-6-P

Glukosa-1-P

Sukrosa

D-Glukosa

Maltosa

Fruktosa Fruktosa-6-P

Dektrin

Laktosa

Galaktosa

Galaktosa-1-P

Fruktosa-1,6-difosfat

1,6 difosfogliserat

3-fosfogliserat

2-fosfogliserat

fosfoenolpiruvat

Asam piruvat

Gambar 20 Lintasan metabolisme glukosa, maltosa, sukrosa, laktosa sampai menjadi asam piruvat (Moat et al. 2002).

Pemilihan molase (gula tebu) sebagai sumber karbon didasarkan pada

komposisi molase yang komplek dan kaya akan sumber gula seperti sukrosa

sekitar 33,4 %, gula invert 21,2 %, beberapa mineral seperti Cu, Fe, Mn, Zn,Co,

Mg, K, Na, dan asam amino seperti riboflavin, tiamin, niasin, dan kolin (Crueger

dan Crueger (1984). Namun demikian komposisi gula, kandungan mineral, dan

asam amino di dalam molase bervariasi tergantung dari proses produksi gula

yang digunakan. Molase yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari

industri gula Madukismo yang berlokasi di Yogyakarta.

Page 104: disertasi_rofiq_F361070142tip

81

Hasil percobaan diperoleh informasi bahwa sumber karbon terbaik untuk

produksi senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) dihasilkan oleh dekstrin dan maltosa

(Gambar 21).

0

5

10

15

20

25

30

laktosa glukosa molase sukrosa dekstrin maltosa

sumber karbon

kons

entr

asi s

iklo

(tiro

sil-p

rolil

) mg

L-1

Gambar 21 Pengaruh sumber karbon terhadap konsentrasi siklo(tirosil-prolil)

Hasil analisis ragam (Lampiran 13a) menunjukkan bahwa perlakuan

terhadap beberapa sumber karbon berpengaruh nyata terhadap konsentrasi

antibiotik yang dihasilkannya. Dari Gambar 21 terlihat bahwa sumber karbon

dekstrin menghasilkan konsentrasi antibiotik sebesar 28,41 mg L-1 dan diikuti

dengan maltosa dengan konsentrasi sebesat 25,29 mg L-1. Hasil Uji Duncan

dengan taraf nyata α (0,05) menunjukkan bahwa konsentrasi antibiotik yang

dihasilkan oleh kedua sumber karbon dekstrin dan maltosa tidak berbeda nyata.

Apabila dilihat dari konsentrasi antibiotik dan rasio konsentrasi antibiotik

terhadap konsumsi sumber karbon (Tabel 10) terlihat bahwa dektrin menunjukkan

sumber karbon yang terbaik.

Konsumsi dekstrin terlihat lebih sedikit dibandingkan dengan glukosa

maupun maltosa, namun demikian konsentrasi antibiotik yang dihasilkan lebih

besar, artinya bahwa konversi sumber karbon menjadi metabolit sekunder adalah

lebih besar (Tabel 10). Hal yang sama ditunjukkan pada rasio konsentrasi

siklo(tirosil-prolil) yang dihasilkan terhadap total konsumsi sumber karbon,

terlihat dekstrin menunjukkan rasio yang paling tinggi. Berbeda halnya dengan

Page 105: disertasi_rofiq_F361070142tip

82

glukosa, konsumsi glukosa cenderung besar, namun demikian konsentrasi

antibiotik yang dihasilkan cenderung lebih kecil dibandingkan dekstrin. Menurut

Wang (1979) sebagian besar mikroba lebih menyukai glukosa yang dapat

dimetabolisme secara langsung dibandingkan sumber karbon lainnya. Konsumsi

glukosa pada fase logaritma diiringi pertumbuhan sel yang cepat, sehingga jumlah

sel cenderung meningkat lebih cepat. Data selengkapnya disajikan dalam

Lampiran 13b.

Tabel 10 Konsentrasi antibiotik yang dihasilkan adanya perlakuan sumber karbon

Sumber karbon

Konsentrasi siklo (tirosil-

prolil) (mg L-1) Notasi

Total konsumsi sumber karbon

(mg)

(So-S)/So x 100%

Rasio konsentrasi siklo (tirosil-prolil) terhadap total konsumsi sumber

karbon (Yp/s) Laktosa 12,84 a 4034 32,26 0,00318 Sukrosa 14,05 a 4401 47,87 0,00319 Molase 15,50 a 4933 83,47 0,00314 Glukosa 23,00 bc 9747 86,05 0,00224 Maltosa 25,29 cd 9409 79,45 0,00269 Dekstrin 28,41 d 8573 78,08 0,00331 Total konsumsi sumber karbon : konsentrasi sumber karbon awal (sebelum fermentasi) dikurangi konsentrasi sumber karbon setelah fermentasi

Tabel 10 menunjukkan konsumsi glukosa lebih tinggi dibandingkan

dengan konsumsi maltosa dan dektrin. Pada awal fermentasi dan fase logaritma,

konsumsi glukosa lebih banyak digunakan untuk pembentukan sel. Menurut

Stanbury dan Whitaker (1984) adanya glukosa dalam medium fermentasi dapat

menyebabkan terjadinya metabolisme cepat (fast metabolism) untuk pembentukan

sel dan secara bersamaan akan merepresi reaksi enzim pembentukan metabolit

sekunder. Namun demikian apabila konsentrasi glukosa mulai terbatas,

pembentukan metabolit sekunder akan terjadi.

Untuk dapat menggunakan substrat maltosa atau dektrin masuk kedalam

sel, diperlukan pemecahan atau hidrolisis maltosa atau dekstrin menjadi glukosa

terlebih dahulu. Gambar 20 menunjukkan lintasan metabolisme maltosa dapat

melalui glukosa yang dilanjutkan dengan glikolisis menjadi glukosa-6-fosfat dan

melalui lintasan melalui konversi maltosa menjadi glukosa-1-fosfat yang berlanjut

menjadi glukosa-6-fosfat. Lintasan metabolisme dektrin menjadi lebih panjang,

yaitu melalui pemecahan dektrin menjadi maltosa dan glukosa, dan tahap

selanjutnya mengikuti lintasan metabolisme glukosa dan maltosa. Perbedaan

Page 106: disertasi_rofiq_F361070142tip

83

lintasan metabolisme menyebabkan laju penggunaan substrat antara glukosa,

maltosa, dan dekstrin menjadi berbeda. Perbedaan lintasan metabolisme juga

berpengaruh terhadap besarnya energi, dalam hal ini ATP yang diperlukan atau

dibebaskan dalam proses anabolisme dan katabolisme.

Konsumsi sumber karbon laktosa, sukrosa, dan molase terlihat jauh lebih

kecil dibandingkan sumber karbon glukosa, maltosa, dan dekstrin, demikian juga

konsentrasi antibiotik yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan bahwa isolat

Streptomyces sp.A11 kurang mampu menghidrolisis dan mengkonsumsi sumber

karbon tersebut. Untuk dapat digunakan dalam metabolisme sel, laktosa terlebih

dahulu dihidrolisis menjadi glukosa dan galaktosa. Enzim yang terlibat dalam

proses hidrolisis laktosa adalah enzim β-galaktosidase. Kurangnya kemampuan

dalam mengasimilasi laktosa ditandai dengan pertumbuhan sel yang lambat. Hal

yang sama terjadi pada konsumsi sukrosa. Sukrosa merupakan disakarida yang

disusun dari glukosa dan fruktosa. Sebelum dapat diasimilasi oleh mikroba,

sukrosa terlebih dahulu dihidrolisis menggunakan enzim invertase. Tidak semua

mikroba memiliki kemampuan untuk menghidrolisis sukrosa menjadi glukosa dan

fruktosa. Adapun reaksi hidrolisis sukrosa menjadi glukosa dan fruktosa disajikan

sebagai berikut:

C22H22O11 + H2O C6H12O6 + C6H12O6invertase

Glukosa FruktosaSukrosa

Penggunaan molase sebagai sumber karbon pada percobaan ini diperoleh

konsentrasi siklo(tirosil-prolil) yang lebih rendah dibandingkan dengan

penggunaan sumber karbon glukosa, maltosa, dan dektrin. Molase merupakan

hasil samping dari proses produksi gula. Disamping kaya akan sukrosa, fruktosa,

dan glukosa, molase juga mengandung bermacam-macam mineral. Namun

demikian karena molase merupakan hasil samping yang sebelumnya dilakukan

penambahan bahan kimia dalam proses produksi gula, sulit untuk memprediksi

komposisi kimia sebenarnya yang terkandung di dalam molase. Banyak

kemungkinan unsur-unsur logam yang terkandung didalamnya menghambat atau

mempercepat pertumbuhan mikroba. Molase yang digunakan dalam penelitian ini

menghasilkan pertumbuhan isolat Streptomyces sp. A11 yang lambat, demikian

Page 107: disertasi_rofiq_F361070142tip

84

juga dengan konsentrasi siklo(tirosil-prolil) yang dihasilkannya. Kompleksitas

komposisi molase menjadi lebih sulit untuk memprediksi kemungkinan penyebab

kecilnya laju pertumbuhan dan produktivitas siklo(tirosil-prolil). Dalam

penggunaan sumber karbon komplek seperti halnya molase, maka perlu

diperhatikan regulasi penggunaan sumber karbon dalam sel. Menurut Sanchez et

al. (2010) salah satu faktor yang berpengaruh dalam proses fermentasi adalah

regulasi sumber karbon dalam metabolisme sel. Regulasi sumber karbon

ditentukan oleh kecepatan penggunaan sumber karbon yang paling disukai oleh

mikroba tersebut. Salah satu faktor regulasi sumber karbon yang paling penting

adalah represi katabolit sumber karbon. Mikroba akan menentukan sumber karbon

yang paling disukai untuk dimetabolisme terlebih dahulu dibandingkan sumber

karbon lainnya dengan melakukan represi reaksi enzim tertentu yang terjadi di

dalam metabolisme tersebut (Martin dan Demain 1980).

Dalam jalur metabolisme, dektrin dan maltosa dihidolisis menjadi glukosa,

dan berlanjut sampai terjadinya glikolisis menjadi piruvat. Walaupun jalur

metabolisme yang digunakan oleh dekstrin dan maltosa pada akhirnya mirip

dengan lintasan glukosa, namun produktivitas siklo(tirosil-prolil) dengan sumber

karbon dekstrin dan maltosa lebih tinggi dibandingkan dengan sumber karbon

glukosa. Glukosa merupakan sumber karbon yang siap dimetabolisme secara

langsung tanpa dilakukan hidrolisis seperti halnya dektrin atau polisakarida

lainnya. Mikroba akan merasa nyaman dan terus tumbuh dengan adanya glukosa

dalam jumlah yang cukup. Pada Tabel 10 terlihat bahwa konsumsi glukosa terlihat

relatif lebih banyak dibandingkan maltosa dan dekstrin. Berbeda halnya dengan

sumber karbon dekstrin dan maltosa, kedua sumber karbon ini akan mengalami

hidrolisis terlebih dahulu menjadi glukosa untuk dapat digunakan dalam proses

metabolisme sel. Dengan demikian jumlah glukosa yang dibutuhkan untuk

pertumbuhan sel dapat diatur dengan sendirinya oleh mikroba tersebut. Hal yang

sama terjadi pada produksi aktinomisin D menggunakan isolat Streptomyces

parvulus (Sausa et al. 2001). Penggunaan glukosa dalam medium fermentasi

mengakibatkan pertumbuhan sel yang cepat dan produktivitas aktinomisin D

menjadi berkurang.

Page 108: disertasi_rofiq_F361070142tip

85

Streptomyces merupakan salah satu bakteri Gram-positif non-motil yang

memiliki kemampuan menghidrolisis berbagai sumber karbon polimer yang ada

di lingkungan. Streptomyces memiliki jumlah protein & enzim yang paling

lengkap yang dapat mendukung kemampuannya untuk dapat bertahan hidup di

lingkungannya. Sebagai contoh Streptomyces coelicolor memiliki 614 protein

untuk mendukung kelangsungan hidupnya (Sanchez et al. 2010).

Berdasarkan hasil percobaan pendahuluan yang telah dilakukan

sebelumnya, maka sumber karbon dekstrin dipilih sebagai sumber karbon untuk

penelitian selanjutnya. Dekstrin merupakan salah satu produk hasil hidrolisis

parsial pati yang memiliki unit rantai glukosa yang pendek (6 – 10 molekul

glukosa) sehingga dektrin memiliki sifat lebih mudah larut di dalam air. Dektrin

juga menjadi sumber karbon terbaik untuk produksi antibiotik spiramycin oleh

Streptomyces ambofaciens (Benslimane et al.1995; Ashy dan Abou-Zeid 1982).

IV. 10. Penentuan Sumber Nitrogen Terbaik pada Proses Fermentasi

Salah satu komponen utama dalam medium fermentasi mikroba disamping

sumber karbon adalah sumber nitrogen. Nitrogen digunakan sebagai sumber

sintesis asam amino, purin, piridin, protein, DNA dan RNA (Vogel 1996). Sumber

nitrogen juga berperan penting dalam pembentukan biomassa sel pada fase

pertumbuhan, disamping itu sumber nitrogen juga berperan penting dalam

pembentukan metabolit sekunder khususnya antibiotik golongan peptida

(Umezawa et al. 1978). Disamping konsentrasi sumber nitrogen dalam medium

fermentasi, jenis sumber nitrogen juga berpengaruh terhadap produktifitas

metabolit primer atau sekunder yang dihasilkan oleh mikroorganisme. Sumber

nitrogen komplek organik banyak digunakan dalam produksi metabolit sekunder

antibiotik dibandingkan dengan sumber nitrogen inorganik seperti nitrat, nitrit,

dan ammonium sulfat (Aharonowitz 1980). Dengan demikian pemilihan jenis

sumber nitrogen berperan penting dalam proses produksi metabolit primer atau

sekunder. Sumber nitrogen yang digunakan dalam percobaan ini meliputi sumber

nitrogen kompleks seperti pepton, ekstrak khamir, kasein hidrolisat dan sumber

nitrogen non kompleks seperti asam glutamat dan ammonium sulfat. Hasil

Page 109: disertasi_rofiq_F361070142tip

86

percobaan pemilihan sumber nitrogen terbaik menunjukkan bahwa pepton terlihat

menghasilkan konsentrasi siklo(tirosil-prolil) paling tinggi, yaitu sebesar 22,7 mg

L-1, selanjutnya kasein sebesar 21,65 mg L-1, ekstrak khamir 12,88 mg L-1, dan

asam glutamate 9,99 mg L-1. Sumber nitrogen ammonium sulfat terlihat tidak

menghasilkan konsentrasi antibiotik.

Hasil analisis ragam (Lampiran 14a) menunjukkan bahwa perlakuan

terhadap beberapa sumber nitrogen berpengaruh nyata terhadap konsentrasi

antibiotik yang dihasilkan. Namun demikian hasil Uji Duncan dengan taraf nyata

α (0,05) menunjukkan bahwa konsentrasi antibiotik yang dihasilkan oleh sumber

nitrogen pepton dan kasein adalah tidak berbeda nyata. Dilihat dari tingkat

konsumsi nitrogen antara pepton dan kasein (Tabel 11), yaitu nitrogen total awal

fermentasi dikurangi nitrogen total akhir fermentasi adalah hampir sama, hal ini

menunjukkan bahwa penggunakan sumber nitrogen pepton dan kasein tidak

berbeda nyata. Data selengkapnya disajikan dalam Gambar 22 dan Tabel 11.

0

5

10

15

20

25

amonium sulfat ekstrak khamir asam glutamat kasein pepton

sumber nitrogen

kon

sent

rasi

si

klo(

tiros

il-pr

olil)

(mg

L-1)

Gambar 22 Pengaruh sumber nitrogen terhadap konsentrasi siklo(tirosil-prolil)

Dari Tabel 11 terlihat bahwa tingkat konsumsi pepton dan kasein relatif

tinggi dibandingkan dengan sumber nitrogen lainnya, hal ini diimbangi juga

dengan produktivitas antibiotik yang tinggi. Berbeda halnya dengan konsumsi

Page 110: disertasi_rofiq_F361070142tip

87

sumber nitrogen ekstrak khamir, terlihat tingkat konsumsi ekstrak khamir tinggi

namun produktivitas antibiotik relatif lebih kecil dibanding pepton dan kasein.

Diduga tingginya konsumsi ekstrak khamir ini lebih banyak dikonversi menjadi

biomassa dibandingkan dengan konversi menjadi siklo(tirosil-prolil).

Tabel 11 Pengaruh perlakuan sumber nitrogen terhadap konsentrasi siklo(tirosil-

prolil)

Sumber nitrogen

Nitrogen total awal

fermentasi (mg.mL-1)

Nitrogen total akhir

fermentasi (mg.mL-1)

Konsentrasi siklo(tirosil-

prolil) (mg.L-1)

Jumlah konsumsi

nitrogen total (mg.mL-1)

Asam glutamat (C5H9NO4) 0,76 0,44 9,99 0,32 Pepton 0,76 0,35 22,70 0,41 Kasein 0,75 0,34 21,65 0,41 Ekstrak khamir 0,74 0,30 12,88 0,44 Amonium sulfat (NH4)2SO4 0,75 0,55 0 0,20

Pepton (Difco) merupakan produk hidrolisis dari protein hewani yang

diambil dari albumin. Pepton mengandung bermacam-macam asam amino hasil

hidrolisis protein hewani. Pepton banyak digunakan untuk medium sumber

nitrogen kompleks dalam proses fermentasi. Sedangkan kasein (Difco) merupakan

produk hidrolisis protein susu yang diperoleh dari kasein susu. Seperti halnya

pepton, kasein juga kaya akan protein yang disusun dari beberapa macam asam

amino. Kasein banyak digunakan dalam medium fermentasi atau campuran dalam

medium agar. Menurut Aharonowitz (1980), keterlibatan nitrogen dalam regulasi

metabolisme biosintesis antibiotik dapat dikategorikan dalam 2 jalur. Pertama,

nitrogen dalam bentuk asam amino terlibat langsung dalam pembentukan

antibiotik. Asam amino bertindak sebagai prekursor dalam proses pembentukan

antibiotik. Proses ini banyak terjadi dalam pembentukan antibiotik golongan

peptida. Sebagai contoh pada biosintesis antibiotik gramisidin oleh Bacillus sp

dan Pseudomonas, dibutuhkan 5 asam amino yang terlibat langsung sebagai

prekursor dalam pembentukan biosintesis gramisidin tersebut. Kedua, nitrogen

dalam bentuk atom nitrogen terlibat dalam biosintesis metabolit primer dan

berlanjut menjadi senyawa metabolit sekunder.

Dilihat dari keterlibatan nitrogen dalam biosintesis antibiotik seperti yang

dikemukaan oleh Aharonowitz (1980), diduga peran nitrogen dalam biosintesis

Page 111: disertasi_rofiq_F361070142tip

88

siklo(tirosil-prolil) mengikuti jalur yang pertama, yaitu asam amino terlibat

langsung dalam biosintesis antibiotik. Hal ini dikuatkan dari penggunaan sumber

nitrogen pepton dan kasein yang mengandung asam amino menghasilkan

produktivitas siklo(tirosil-prolil) yang lebih tinggi. Lautru et al. (2002)

menjelaskan bahwa biosintesis siklo(phe-leu) disusun oleh asam amino phenil

alanin dengan leusin secara langsung dari asam amino, masing-masing asam

amino diaktifkan oleh siklodipeptida sintetase (CDPSs) melalui gen AlbC. Sampai

saat ini belum ada literatur yang menjelaskan mengenai biosintesis pembentukan

siklo(tirosil-prolil). Biosintesis pembentukan siklo(tirosil-prolil) diduga melalui

jalur pengaktifan asam amino tirosin dan prolin dengan menggunakan

siklodipeptida sintetase seperti yang dijelaskan oleh Lautru et al. (2002).

Kemungkinan reaksi pembentukan siklo(tirosil-prolil) terjadi adalah seperti yang

disajikan dalam Gambar 23.

HO

O

OH

HN

N

H2+

-

H3+

- +

siklodipeptida sintetase(CDPSs)

prolin tirosin siklo(tirosil-prolil)

Gambar 23 Reaksi pembentukan siklo(tirosil-prolil)

Apabila dilihat dari komposisi asam amino dari sumber nitrogen pepton,

kasein, dan ekstrak khamir, terlihat bahwa ketiga sumber nitrogen ini

mengandung asam amino prolin dan tirosin dalam bentuk bebas dan terikat dalam

protein seperti yang disajikan dalam Tabel 12.

Pepton mengandung total prolin, tirosin bebas, dan total tirosin yang lebih

tinggi dibandingkan kasein dan ekstrak khamir. Kasein mengandung jumlah

prolin bebas, total prolin, tirosin bebas, dan total tirosin yang lebih besar

dibandingkan dengan ekstrak khamir. Konsentrasi siklo(tirosil-prolil) yang

dihasilkan oleh pepton dan kasein lebih tinggi dibandingkan dengan ekstrak

khamir. Hal ini mendukung dugaan bahwa biosintesis siklo(tirosil-prolil)

Page 112: disertasi_rofiq_F361070142tip

89

dipengaruhi oleh adanya asam amino prolin dan tirosin dalam medium fermentasi

seperti yang dijelaskan oleh Lautru et al. (2002).

Tabel 12 Kandungan prolin dan tirosin dalam pepton, kasein, dan ekstrak khamir.

Sumber Nitrogen Komplek

Prolin Bebas (%)

Total Prolin (%)

Tirosin Bebas (%)

Total Tirosin (%)

Pepton (Difco) 0,3 8,8 0,5 0,6

Kasein (Difco) 0,5 8,0 0,4 0,4

Ekstrak khamir (Difco)

0,3 2,3 0,1 0,2

sumber: katalog Difco 2004.

Penggunaan sumber nitrogen asam glutamat terlihat mampu menghasilkan

siklo(tirosil-prolil) walaupun lebih kecil dibandingkan dengan pepton, kasein, dan

ekstrak khamir. Hal ini dapat dijelaskan bahwa asam glutamat merupakan lintasan

dalam pembentukan asam amino prolin melalui L-glutamil-γ-phosphate, glutamic-

γ-semialdehyde (GSA), dan pyroline-5-carboxylate seperti yang disajikan dalam

Gambar 24. Dengan demikian glutamat berperan dalam preursor pembentukan

prolin.

Gambar 24 Biosintesis prolin melalui lintasan asam glutamat (http://www.hort.purdue.edu/rhodcv/hort640c/proline/pr00003.htm)

Page 113: disertasi_rofiq_F361070142tip

90

Selain berperan sebagai prekursor pembentukan prolin, asam glutamat

juga berperan dalam pembentukan tirosin. Sebagai sumber nitrogen, glutamat

berperan dalam proses transaminase pembentukan tirosin melalui p-

hydroxyphenylpyruvate seperti yang disajikan dalam Gambar 25.

Gambar 25 Biosintesis tirosin melalui transaminase p-hydroxyphenylpyruvate (http://en.wikibooks.org/wiki/Principles_of_Biochemistry/Synthesis_of_aminoacids).

Pepton juga menjadi sumber nitrogen terbaik pada produksi antibiotik

oxytetracycline menggunakan isolat Streptomyces rimosus (Abou-Zeid et al.

1981) dan menjadi sumber nitrogen terbaik pada produksi antibiotik

streptolydigin menggunakan isolat Streptomyces lydicus AS 4.2501. (Liangzhi et

al. 2007).

IV.11. Penentuan Mineral Terbaik untuk Produksi Siklo(tirosil-prolil)

Mineral merupakan salah satu penyusun medium fermentasi yang

memiliki pengaruh terhadap produksi antibiotik. Menurut Stanbury dan Whitaker

(1987), mineral memiliki peran penting dalam reaksi enzim, yaitu sebagai

kofaktor pada proses metabolisme. Kombinasi campuran mineral juga berperan

penting dalam regulasi elektrolitik dan osmotik dalam sel. Menurut Vogel dan

Todaro 1996, kebutuhan mineral pada fase pembentukan metabolit primer atau

sekunder lebih tinggi dibandingkan pada fase pembentukan biomassa sel. Hal ini

berkaitan dengan keterlibatan mineral dalam metabolisme pembentukan metabolit

primer dan sekunder.

Reaksi enzim dalam proses metabolisme membutuhan beberapa macam

campuran mineral. Sebagai contoh kebutuhan garam fosfat pada kisaran 0,3

sampai dengan 300 mM umumnya dibutuhkan untuk pertumbuhan sel, namum

Page 114: disertasi_rofiq_F361070142tip

91

demikian pada fase stasioner keberadaan garam fosfat akan merepresi

pembentukan antibiotik (Martin dan Demain 1980). Reaksi biosintesis antibiotik

banyak melibatkan reaksi enzim dalam metabolismenya. Dalam setiap reaksi

enzim dibutuhkan mineral atau ion logam yang bervariasi. Beberapa ion logam

bersifat menghambat reaksi namun ada yang mempercepat reaksi enzim.

Penentuan awal kebutuhan jumlah dan jenis mineral didalam medium fermentasi

memang sulit ditentukan. Selain bersifat sedikit jumlahnya dalam setiap volume

medium juga terdapat jenis mineral yang bersifat toksik dan menghambat

pertumbuhan mikroba. Penghambatan salah satu jenis mineral terhadap jenis

mikroba tertentu tidak bersifat umum.

Pada penelitian ini ditentukan komposisi mineral yang mengacu dari

beberapa referensi seperti yang telah disampaikan dalam Bab III. Dari hasil

percobaan terlihat bahwa mineral I dengan komposisi K2HPO 1 g L-1, MgSO4 4.7

H -1 -1 -1O 0,025 g L , ZnSO 7 H O 0,025 g L , CaCl2 4 2 2.2 H O 0,025 g L , FeSO2 4 7

H -1O 0,025 g L2 (Sousa et al. 2001) menunjukkan konsentrasi yang paling tinggi

(Gambar 26).

0

5

10

15

20

25

30

35

40

blanko mineral I mineral II mineral III mineral IV mineral V

garam mineral

kons

entr

asi s

iklo

(tiro

sil-p

rolil

)(mg/

L)

Gambar 26 Pengaruh campuran beberapa mineral terhadap konsentrasi siklo(tirosil-prolil).

Hasil analisis ragam (Lampiran 15) menunjukkan bahwa perlakuan

terhadap beberapa campuran mineral berpengaruh nyata terhadap konsentrasi

Page 115: disertasi_rofiq_F361070142tip

92

antibiotik yang dihasilkan. Hasil Uji Duncan dengan taraf nyata α (0,05)

menunjukkan bahwa konsentrasi antibiotik yang dihasilkan oleh mineral I adalah

yang terbaik dan berbeda nyata dengan mineral lainnya.

Dalam jumlah yang sedikit, mineral memiliki pengaruh terhadap

pertumbuhan sel dan pembentukan produk. Menurut Stanbury dan Whitaker

(1987) diantara logam dan mineral yang dibutuhkan oleh mikroba, mangan, besi,

dan seng adalah jenis mineral yang paling banyak dibutuhkan. Dalam batas

konsentrasi tertentu mineral mampu meningkatkan pertumbuhan sel dan

pembentukan produk, namun pada konsentrasi berlebih akan menjadi toksik dan

menyebabkan lisis sel. Menurut Hassan et al. (2001) penambahan magnesium

sulfat dalam medium fermentasi menggunakan isolat Streptomyces violatus

mampu menaikkan konsentrasi senyawa antimikroba sebesar 4 kali. Hal yang

sama disampaikan oleh Paul dan Banerjee (1983) penambahan tembaga, seng, dan

besi berpengaruh nyata terhadap produksi senyawa anti kapang menggunakan

Streptomyces galbus. Sementara itu penambahan kalsium, seng, dan besi juga

berpengaruh nyata terhadap produksi neomisin menggunakan Streptomyces

fradiae (Haque dan Mondal 2010).

IV.12. Optimasi Medium Fermentasi

Komposisi medium fermentasi mikroba secara umum disusun oleh sumber

karbon, sumber nitrogen, vitamin dan mineral (Stanbury dan Whitaker 1987).

Jenis dan konsentrasi setiap sumber karbon, nitrogen dan mineral setiap mikroba

adalah berbeda tergantung dari tujuan dan target produk fermentasi yang

dikehendaki (Vogel dan Todaro1996). Medium fermentasi untuk produksi protein

sel tunggal atau metabolit primer jauh berbeda dengan komposisi medium

fermentasi untuk produksi metabolit sekunder. Pada penelitian ini optimasi

medium fermentasi dilakukan dengan komposisi medium fermentasi terpilih yang

telah dilakukan pada percobaan sebelumnya, yaitu sumber karbon dekstrin,

sumber nitrogen pepton dan komposisi mineral menurut Sousa et al. (2001).

Adapun kisaran dan taraf ketiga variabel terpilih disajikan dalam Tabel 13.

Page 116: disertasi_rofiq_F361070142tip

93

Tabel 13 Kisaran dan taraf variabel yang diuji pada optimasi komposisi medium Kisaran dan taraf

Variabel yang diuji -1,68 -1 0 1 1,68

Konsentrasi dekstrin (g L-1) 21,60 25 30 35 38,40

Konsentrasi pepton (g L-1) 6,64 8 10 12 13,36

Penambahan mineral (mL larutan stok per liter kaldu fermentasi)*

3,30 5 7,50 10 11,70

*Komposisi mineral larutan stok adalah; K2HPO4 133,33 g L-1, MgSO4.7 H2O 3,3 g L-1, ZnSO4 7 H2O 3,3 g L-1 , CaCl2.2 H2O 3,3 g L-1, FeSO4 7 H2O 3,3 g L-1. Dari percobaan diperoleh respon antibiotik yang disajikan dalam Tabel 14. Data

selengkapnya disajikan dalam Lampiran 16.

Tabel 14 Data hasil percobaan optimasi medium fermentasi Streptomyces sp. A11 menggunakan rancangan model komposit terpusat (CCD).

No  X1  X2  X3 

respon (antibiotik mg L‐1) 

Nilai dugaan 

Total konsumsi sumber karbon 

(g)  

Respon berbanding total 

konsumsi sumber karbon 

1  ‐1  ‐1  ‐1  19,13  17,19  19,12  1,00 2  1  ‐1  ‐1  19,96  20,15  20,59  0,97 3  ‐1  1  ‐1  23,19  24,64  21,07  1,10 4  1  1  ‐1  40,35  36,28  22,94  1,76 5  ‐1  ‐1  1  20,59  23,72  19,96  1,03 6  1  ‐1  1  30,99  28,61  23,57  1,31 7  ‐1  1  1  35,67  34,54  22,61  1,58 8  1  1  1  47,11  48,11  23,00  2,05 9  ‐1,68  0  0  26,00  24,65  17,69  1,47 10  1,68  0  0  35,88  38,56  25,88  1,39 11  0  ‐1,68  0  16,74  16,89  19,52  0,86 12  0  1,68  0  38,37  39,55  22,90  1,68 13  0  0  ‐1,68  20,90  23,05  22,78  0,92 14  0  0  1,68  39,31  38,49  23,86  1,65 15  0  0  0  47,56  47,40  23,45  2,03 16  0  0  0  47,71  47,40  23,19  2,06 17  0  0  0  47,88  47,40  23,10  2,07 18  0  0  0  46,94  47,40  23,07  2,03 19  0  0  0  47,19  47,40  23,28  2,03 20  0  0  0  47,36  47,40  23,36  2,03 

Dari beberapa model yang diuji (Tabel 15 dan 16) ternyata model

kuadratik merupakan model yang paling cocok untuk digunakan dalam percobaan

ini.

Page 117: disertasi_rofiq_F361070142tip

94

Tabel 15 Jumlah kuadrat beberapa model yang dicobakan untuk proses optimasi medium fermentasi.

Source Jumlah kuadrat 

Derajat bebas 

Kuadrat Tengah  Nilai  F  

Nilai p (Prob > F) 

Mean vs total  24418,17  1  24418,17     Linier  1141,22  3  380,41  4,20  0,0227 2FI   45,26  3  15,09  0,14  0,9344 Kuadratik  1347,01  3  44,00  79,48  < 0,0001 Kubik  51,47  4  12,87  15,38  0,0026 Galat  5,02  6  0,84     Total  27008,15  20  1350,41     

Tabel 16 Data hasil analisis beberapa model yang dicobakan dalam optimasi

medium fermentasi.

Sumber  Standar deviasi  R2 Adj R2Nilai 

dugaan R2

Linear  9,5157  0,4406  0,3357  0,2338 2FI  10,3905  0,4581  0,2080  ‐0,3512 Kuadratik  2,3769  0,9782  0,9586  0,8181 Kubik  0,9148  0,9981  0,9939  0,6233 

Terlihat dari Tabel 15 model kuadratik memiliki nilai F (F-test) yang

paling tinggi dan p-value(Prob>F) paling rendah. Semakin tinggi nilai F atau

semakin kecil p-value(Prob>F) berarti semakin signifikan hubungannya dengan

model yang digunakan (Montgomery 1997). Model kuadratik memiliki nilai

koefisien determinasi R2 yang lebih dari 97% yang menunjukkan tingginya

korelasi antara nilai-nilai observasi dengan nilai-nilai dugaan. Hanya 3% dari

total variasi data yang tidak dapat diterangkan oleh model tersebut. Apabila

dibandingkan dengan model kubik, nilai R2 model kubik masih lebih besar

dibandingkan model kuadratik, akan tetapi nilai p-value (Prob>F) model kubik

jauh lebih besar dari model kuadratik, sehingga model kuadratik masih lebih tepat

digunakan dalam penelitian ini.

Model kuadratik memiliki nilai adj R2 sebesar 0,96 yang berarti bahwa

model tersebut mempunyai tingkat signifikasi yang tinggi, dengan variabel bebas

X1, X2, dan X3 memiliki pengaruh yang kuat terhadap respon yang dihasilkan.

Mengacu dari data Tabel 13 & 14 maka model kuadratik digunakan sebagai

model matematik untuk optimasi pada penelitian ini. Keluaran hasil analisis

menggunakan Design Expert 7 disajikan dalam Lampiran 17.

Page 118: disertasi_rofiq_F361070142tip

95

Untuk mendapatkan model persamaan matematik maka ditentukan

estimasi koefisien regresinya. Hasil tabulasi data percobaan Tabel 13 diperoleh

estimasi koefisien regresi seperti yang disajikan dalam Tabel 17.

Tabel 17 Model koefisien regresi pada proses optimasi medium fermentasi

untuk produksi siklo(tirosil-prolil).

Faktor Koefisien Estimasi 

Derajat bebas 

Intercept  47,40  1 A‐dekstrin  4,13  1 B‐pepton  6,74  1 C‐ mineral  4,59  1 AB  2,17  1 AC  0,48  1 BC  0,84  1 A2 ‐5,59  1 B2 ‐6,78  1 C2 ‐5,88  1 

CV: 6,8%

Persamaan matematik model kuadratik optimasi produksi antibiotik

siklo(tirosil-prolil) adalah sebagai berikut;

Y= 47,40 + 4,13X1+ 6,74 X2 + 4,59 X3 + 2,17 X1X2 – 5,59 X12- 6,78 X2

2 – 5.88

X32.

Y = produksi senyawa aktif (mg L-1)

X1 = konsentrasi dekstrin (g L-1)

X2 = konsentrasi pepton (g L-1)

X3 = volume penambahan mineral (mL).

Untuk menentukan pengaruh masing-masing variabel dalam bentuk linier

dan kuadratik atau interaksi antar variabel maka ditentukan nilai F p-value

(Prob>F) dalam analisis keragaman seperti yang disajikan dalam Tabel 18. Nilai

Fvalue dan p-value (Prob>F) menunjukkan signifikasi masing-masing variabel

(dekstrin, pepton, dan mineral) dan model yang digunakan.

Page 119: disertasi_rofiq_F361070142tip

96

Tabel 18 Analisis keragaman pada proses optimasi medium fermentasi untuk produksi siklo(tirosil-prolil)

Sumber Jumlah kuadrat 

Derajat bebas 

Kuadrat Tengah  Nilai  F 

Nilai p (Prob > F) 

Model  2533,49  9  281,50  49,83  < 0,0001 A‐dekstrin  233,30  1  233,30  41,30  < 0,0001 B‐pepton  620,13  1  620,13  109,77  < 0,0001 C‐ mineral  287,79  1  287,79  50,94  < 0,0001 AB  37,71  1  37,71  6,68  0,0272 AC  1,85  1  1,85  0,33  0,5795 BC  5,0  1  5,70  1,01  0,3390 A2 449,57  1  449,57  79,58  < 0,0001 B2 662,88  1  662,88  117,33  < 0,0001 C2 498,35  1  498,35  88,21  < 0,0001 Residual  56,50  10  5,65     Total  2589,98  19       

R2 = 0,98; adj R2 = 0,96; CV= 6,8%

Dari Tabel 17 & 18 menunjukkan bahwa konsentrasi dekstrin memberikan

pengaruh linear positif dan pengaruh kuadratik negatif terhadap produktivitas

antibiotik, namun demikian pengaruh kuadratik negatif dektrin lebih besar

dibandingkan dengan pengaruh linier positif, demikian juga dengan pengaruh

pepton dan pengaruh mineral. Hal yang sama terjadi pada mineral, yaitu pengaruh

kuadratik negatif lebih besar dibandingkan dengan pengaruh linier positif

mineral. Pengaruh linier positif pepton memiliki nilai yang hampir sama dengan

pengaruh kuadratik negatif.

Apabila dilihat dari interaksi antar variabel, interaksi antara dektrin dengan

pepton terlihat nyata dengan p-value(Prob>F) < 0,0272. Interaksi ini memiliki

pengaruh positif terhadap kenaikan konsentrasi antibiotik. Dengan demikian

perubahan konsentrasi masing-masing variabel ini akan saling mempengaruhi dan

menentukan konsentrasi antibiotik yang dihasilkannya. Berbeda halnya dengan

interaksi antara dekstrin dengan mineral dan pepton dengan mineral yang terlihat

tidak nyata.

Hasil uji kesahihan model secara statistik seperti yang disajikan dalam

Tabel 18 menunjukkan bahwa model dugaan yang dikembangkan telah sesuai

dan sangat nyata. Hal ini tampak dari hasil uji p-value (Prob>F) menunjukkan

nilai yang sangat kecil yaitu <0,0001. Sementara itu pengaruh linear dan kuadratik

dari ketiga variabel yang digunakan bersifat sangat nyata (p-value (Prob>F)

<0,0001, dan interaksi diantara ketiga variabel bersifat tidak nyata. Model

Page 120: disertasi_rofiq_F361070142tip

97

kuadratik yang dikembangkan memiliki nilai CV sebesar 6,8% yang menunjukkan

bahwa derajat ketepatan (precision) dari perlakuan yang dibandingkan cukup

tinggi, yaitu semakin kecil nilai CV maka derajat ketepatan dari perlakuan yang

dibandingkan semakin tinggi (Montgomery 1997). Uji kenormalan galat model

(Normality Test) menunjukkan bahwa galat model telah terdistribusi secara

normal dan saling bebas dengan keragaman yang relatif homogen (Gambar 27).

Hal yang sama ditunjukkan pada Gambar 28, plot antara galat dengan urutan

percobaan dan Gambar 29 plot antara galat dengan nilai dugaan. Dari kedua

gambar tersebut menunjukkan tidak ada pola tertentu yang mengindikasikan

bahwa model regresi yang digunakan dapat menjelaskan data yang digunakan.

Residual

Nor

mal

% P

roba

bilit

y

Normal Plot of Residuals

-3.12906 -1.32966 0.469733 2.26913 4.06853

1

5

10

2030

50

7080

90

95

99

Plot Normal Galat

Galat

Prob

abili

tas n

orm

al (%

)

Gambar 27 Plot probabilitas normal galat model produktivitas siklo(tirosil-prolil)

yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11.

Page 121: disertasi_rofiq_F361070142tip

98

Run Number

Inte

rnal

ly S

tude

ntiz

ed R

esid

uals

Residuals vs. Run

-3.00

-1.50

0.00

1.50

3.00

1 4 7 10 13 16 19

Gal

at m

odel

Galat vs urutan percobaan

Urutan percobaan

Gambar 28 Plot urutan percobaan versus galat model produktivitas siklo(tirosil-

prolil) yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11

Gambar 29 Plot nilai dugaan versus galat model pada produktivitas siklo(tirosil-

prolil) yang dihasilkan oleh isolat Streptomyces sp.A11

Predicted

Inte

rnal

ly S

tude

ntiz

ed R

esid

uals

Residuals vs. Predicted

-3.00

-1.50

0.00

1.50

Nilai dugaan VS Galat Model

3.00

Gal

at m

odel

16.89 24.69 32.50 40.31 48.11

Nilai Dugaan

Page 122: disertasi_rofiq_F361070142tip

99

Hubungan antara variabel dapat digambarkan dengan menggunakan

permukaan respon dan plot kontur.

(a) Permukaan respon hubungan antara dekstrin dengan pepton produksi antibiotik

C : mineral = 0

0

-1.68

-0.84

0.00

0.84

1.68

-1.68

-0.84

0.00

0.84

1.68

0

12.75

25.5

38.25

51 a

ktiv

itas

antib

iotik

A: dekstrin B: peptone

Kon

sent

rasi

ant

ibio

tik

A: dekstrin B: pepton

-1.68 -0.84 0.00 0.84 1.68

-1.68

-0.84

0.00

0.84

1.68aktivitas antibiotik

A: dekstrin

B: p

epto

ne

8.687718.6877117.0156

25.3435

33.6714

41.9993

41.9993

666666

Konsentrasi antibiotik

(b) Plot kontur hubungan antara dektrin dan pepton produksi antibiotik Gambar 30 Permukaan respon dan plot kontur produksi siklo(tirosil-prolil)

sebagai pengaruh dekstrin dan pepton.

Page 123: disertasi_rofiq_F361070142tip

100

Hubungan antara variabel dekstrin dan pepton dapat digambarkan dalam

bentuk plot kontur dan permukaan respon seperti yang disajikan dalam Gambar

30. Gambar 30 menunjukkan bahwa kenaikan konsentrasi dektrin dan pepton

berpengaruh nyata terhadap produksi siklo(tirosil-prolil), dan kenaikan

konsentrasi pepton terlihat lebih berpengaruh pada produksi siklo(tirosil-prolil)

dibandingkan dengan kenaikan konsentrasi dekstrin. Pada penambahan

konsentrasi dekstrin di atas 30 g L-1 level (0) dan konsentrasi pepton di atas 10 g

L-1 level (0), mengakibatkan penurunan konsentrasi antibiotik. Menurunnya

konsentrasi antibiotik pada penambahan konsentrasi dekstrin dan pepton level (0)

dapat disebabkan oleh dua kemungkinan, pertama; terjadi hambatan oleh substrat

atau disebut represi katabolit. Menurut Wang et al. (1979) beberapa sumber

nitrogen dan sumber karbon berlebih dapat menyebabkan penghambatan oleh

substrat. Penghambatan oleh substrat tidak hanya diakibatkan oleh glukosa saja,

namun dapat disebabkan oleh senyawa lain seperti sumber karbon lain, sumber

nitrogen maupun mineral (Wang et al. 1979). Penyebab yang kedua adalah

berkurangnya transfer oksigen dalam medium karena viskositas medium

meningkat dengan meningkatnya konsentrasi dektrin dan pepton. Streptomyces sp.

termasuk dalam golongan mikroba aerobik yang memerlukan oksigen untuk

pertumbuhan selnya. Dengan berkurangnya transfer oksigen di dalam medium,

pertumbuhan sel menjadi kurang optimal (Goodfellow et al. 1988). Apabila

dihubungkan dengan model monod (Vogel dan Todaro 1996) dalam kondisi

konsentrasi substrat rendah, penambahan konsentrasi substrat akan menambah

laju pertumbuhan spesifik, namun pada batas tertentu konsentrasi substrat tidak

berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan spesifik, sehingga laju pertumbuhan

sel konstan, dan dapat terjadi penghambatan oleh substrat itu sendiri.

Pada konsentrasi dektrin dan pepton berturut-turut dibawah 30 g L-1 dan

10 g L-1 terjadi penurunan konsentrasi antibiotik, hal ini dapat disebabkan oleh

kemampuan produksi siklo(tirosil-prolil) yang sepenuhnya belum dipenuhi oleh

kecukupan pasokan sumber karbon dan nitrogen. Hal ini dapat dilihat dari

kenaikan konsentrasi dektrin dan pepton dari titik (-1,68) naik sampai dengan titik

(0) yang mengakibatkan kenaikan konsentrasi siklo(tirosil-prolil) secara terus-

Page 124: disertasi_rofiq_F361070142tip

101

menerus. Namun setelah tercapai titik optimum, kenaikan konsetrasi dektrin dan

pepton tidak mengakibatkan kenaikan konsentrasi siklo(tirosil-prolil).

Pola pengaruh interaksi antara dektrin dan pepton cenderung menguatkan

produksi siklo(tirosil-prolil) (Gambar 31). Pada konsentrasi sumber karbon

dekstrin 30 g L-1 atau titik pusat perlakuan (0) dan perlakuan titik pusat mineral

adalah (0), perubahan konsentrasi pepton sampai dengan perlakuan titik pusat (0)

terlihat berpengaruh nyata terhadap kenaikan produktivitas antibiotik. Namun

demikian pada perlakuan titik pusat konsentrasi sumber karbon (0), perlakuan

pepton pada (+1,68) terjadi penurunan produktivitas antibiotik. Hal berbeda pada

konsentrasi sumber karbon 38,4 g L-1 atau titik pusat perlakuan (+1,68),

penambahan konsentrasi sumber nitrogen sampai dengan perlakuan (+1,00)

terlihat masih lebih tinggi konsentrasi antibiotiknya dibandingkan konsentrasi

sumber nitrogen pada perlakuan titik pusat (0).

Gambar 31 Pola pengaruh dekstrin dan pepton terhadap produksi siklo(tirosil-

prolil).

Hubungan antara variabel konsentrasi dekstrin dengan konsentrasi mineral

dalam bentuk plot kontur dan permukaan respon disajikan dalam Gambar 32.

Design-Expert® Sof tware

aktiv itas antibiotik

Design Points

B- -1.000B+ 1.000

X1 = A: dekstrinX2 = B: peptone

Actual FactorC: garam mineral = 0.00

B: peptone

-1.68 -0.84 0.00 0.84 1.68

InteractionInteraksi

A: dekstrin

aktiv

itas

antib

iotik

11.2176

21.1632

31.1088

41.0544

Konsentrasi antibiotik B: pepton 51

332223

B(1,68)

B(0)

B(-1,68)

B(0)

B(0)

Kon

sent

rasi

ant

ibio

tik

Page 125: disertasi_rofiq_F361070142tip

102

-1.68

-0.84

0.00

0.84

1.68

-1.68

-0.84

0.00

0.84

1.68

1

13.25

25.5

37.75

50

A: dekstrin C: garam mineral

akt

ivita

s an

tibio

tik

B: pepton = 0

Kon

sent

rasi

ant

ibio

tik

C: mineral A: dekstrin

(a) Permukaan respon hubungan antara dekstrin dengan mineral produksi antibiotik

-1.68 -0.84 0.00 0.84 1.68

-1.68

-0.84

0.00

0.84

1.68aktivitas antibiotik

A: dekstrin

C: g

aram

min

eral

Konsentrasi Antibiotik 666666 41.2308

33.3332

25.4357

17.5382

9.64072 17.5382

(b) Plot kontur hubungan antara dekstrin dengan mineral produksi antibiotik

Gambar 32 Permukaan respon dan plot kontur produksi siklo(tirosil-prolil)

sebagai pengaruh dekstrin dan mineral.

Page 126: disertasi_rofiq_F361070142tip

103

Gambar 32 terlihat bahwa penambahan konsentrasi dekstrin dan mineral

dari level (-1,68), terjadi kenaikan produktivitas antibiotik. Namun demikian

penambahan konsentrasi dekstrin dan mineral pada level (0) terjadi penurunan

konsentrasi antibiotik. Pengaruh konsentrasi dekstrin terhadap produktivitas

antibiotik relatif sama dengan pengaruh konsentrasi mineral, tetapi interaksi

antara dua variabel ini tidak nyata. Perubahan konsentrasi dekstrin terhadap

produktivitas antibiotik tidak mempengaruhi perubahan konsentrasi mineral

terhadap produktivitas antibiotik, demikian juga sebaliknya. Hal yang

menyebabkan terjadinya penurunan konsentrasi siklo(tirosil-prolil) akibat

penambahan konsentrasi dekstrin dan mineral pada level (0) sampai dengan level

(-1,68) diduga disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu pertama; terjadinya

penghambatan oleh substrat (dekstrin), kedua; naiknya viskositas kaldu fermentasi

yang menyebabkan transfer oksigen menjadi turun, ketiga; terjadinya efek toksik

oleh mineral akibat sensitifitas sel terhadap mineral pada konsentrasi tertentu.

Menurut Stanbury dan Whitaker (1987) kebutuhan mineral terhadap pertumbuhan

sel mikroba tidak berlaku hubungan linier atau berbanding lurus. Pada konsentrasi

mineral yang melebihi batas toleransi sel, justru akan menghambat pertumbuhan

sel. Menurut Abbas dan Edwards (1990) penambahan magnesium dan kalsium

dalam batas konsentrasi tertentu berpengaruh nyata terhadap penurunan

produktivitas antibiotik actinohordin oleh Streptomyces coelicolor.

Hubungan antara variabel konsentrasi nitrogen dengan konsentrasi mineral

dalam bentuk plot kontur dan permukaan respon disajikan dalam Gambar 33.

Gambar 33 menunjukkan bahwa penambahan konsentrasi pepton dan mineral

pada level (-1,68) sampai dengan (0) terjadi kenaikan produktivitas antibiotik.

Namun penambahan konsentrasi pepton dan mineral pada level (0) sampai dengan

level (1,68) terjadi penurunan produktivitas antibiotik. Penurunan produktivitas

antibiotik pada konsentrasi pepton dan mineral tinggi dapat diakibatkan oleh

hambatan oleh subtrat atau efek toksik dari mineral. Pengaruh kenaikan

konsentrasi antibiotik lebih banyak dipengaruhi oleh konsentrasi nitrogen

dibandingkan dengan konsentrasi mineral, dan interaksi antara dua variabel ini

relatif tidak nyata, atau perubahan konsentrasi nitrogen terhadap konsentrasi

Page 127: disertasi_rofiq_F361070142tip

104

antibiotik tidak mempengaruhi perubahan konsentrasi mineral terhadap

konsentrasi antibiotik, demikian juga sebaliknya.

-1.68

-0.84

0.00

0.84

1.68

-1.68

-0.84

0.00

0.84

1.68

-5

9

23

37

51

akt

ivita

s an

tibio

tik

B: peptone C: garam mineral

A: dekstrin = 0

Kon

sent

rasi

ant

ibio

tik

B : Pepton C: mineral B: pepton

(a) Permukaan respon hubungan antara pepton dengan mineral

produksi antibiotik

-1.68 -0.84 0.00 0.84 1.68

-1.68

-0.84

0.00

0.84

1.68aktivitas antibiotik

B: peptone

C: g

aram

min

eral

4.20041

13.3893

22.5781

22.5781

31.767

40.9559

40.9559

666666

Konsentrasi antibiotik

B: Pepton

(b) Plot kontur hubungan antara pepton dengan mineral produksi antibiotik Gambar 33 Permukaan respon dan plot kontur produksi siklo(tirosil-prolil)

sebagai pengaruh pepton dan mineral.

Page 128: disertasi_rofiq_F361070142tip

105

IV.13. Formulasi Medium dan Validasi Model

Melalui program Design Expert 7 dapat ditentukan nilai optimal variabel

dekstrin, pepton, dan mineral. Hasil analisis diperoleh peubah-peubah dalam unit

yang dikodekan, yaitu X1 = 0,51; X2 = 0,61; X3 = 0,46 dengan respon yang

dihasilkan (nilai yang diduga) sebesar Y = 51,54. Keluaran variabel hasil optimasi

menggunakan Design Expert 7 disajikan dalam Lampiran 17e. Nilai asli peubah-

peubah adalah konsentrasi dekstrin sebesar 32,55 g L-1, konsentrasi pepton

sebesar 11,22 g L-1, dan penambahan mineral sebesar 8,65 mL. Hasil percobaan

di laboratorium proses fermentasi selama 144 jam dengan komposisi medium

konsentrasi dekstrin sebesar 32,55 g L-1, pepton 11,22 g L-1, mineral 8,65 mL, air

demineral 250 mL, air laut 750 mL dengan pH awal 7,5 diperoleh konsentrasi

siklo(tirosil-prolil) sebesar 50,04 mg L-1. Data pengamatan konsentrasi

siklo(tirosil-prolil) dan konsumsi gula pada proses validasi model percobaan di

laboratorium disajikan dalam Lampiran 18. Nilai konsentrasi siklo(tirosil-prolil)

yang dihasilkan dari percobaan terlihat 2,9% lebih kecil dibandingkan dengan

nilai dugaan respon dari model matematik yang digunakan. Perbedaan nilai

dugaan (respon dari model) dengan nilai respon hasil percobaan di laboratorium

sebesar 2,9% menunjukkan bahwa model yang digunakan telah sesuai dan

mampu menjelaskan data percobaan yang digunakan.

Dibandingkan dengan konsentrasi siklo(tirosil-prolil) yang dihasilkan

menggunakan medium standar sebelum dilakukan proses optimasi (sebesar 20 mg

L-1), maka proses optimasi medium fermentasi ini terjadi penambahan

konsentrasi siklo(tirosil-prolil) sebesar 2,5 kalinya , yaitu sebesar 50 mg L-1.

Page 129: disertasi_rofiq_F361070142tip

106

Page 130: disertasi_rofiq_F361070142tip

V KESIMPULAN DAN SARAN

V.1. Kesimpulan

Isolasi aktinomisetes laut dapat dilakukan dengan menggunakan medium

starch-kasein-agar. Untuk menekan pertumbuhan bakteri dan kapang kontaminan

dapat ditambahkan sikloheksimid 100 μg mL-1, nistatin 45 μg mL-1, asam

nalidiksat 30 μg mL-1, rifampisin 10 μg mL-1. Pra-perlakuan sampel dengan

pemanasan pada suhu 60 °C selama 4 jam atau pengasaman sampel pada pH 2

selama 2 jam mampu mengurangi pertumbuhan mikroba kontaminan.

Sebanyak 40 isolat aktinomistes yang berhasil diisolasi dari Pantai Barat

Banten, Pantai Selatan Yogyakarta, dan Pantai Utara Cirebon diketahui 4 isolat

mampu menghambat pertumbuhan Escherichia coli ATCC 25922, 5 isolat

menghambat Staphylococcus aureus ATCC25923, 4 isolat menghambat Bacillus

subtilis ATCC 66923, 4 isolat menghambat Pseudomonas aeroginosa

ATCC27853, 4 isolat menghambat Candida albican BIOMCC00122, dan 4 isolat

menghambat Aspergillus niger BIOMCC00134. Isolat A11 sebagai isolat terpilih,

memiliki aktivitas hambatan paling kuat terhadap bakteri Gram-positif dan Gram-

negatif. Hasil identifikasi menggunakan 16S rRNA menunjukkan bahwa isolat

A11 adalah Streptomyces sp. (homology 100%).

Hasil analisis menggunakan LC-MS diketahui bahwa senyawa aktif yang

dihasilkan oleh isolat A11 memiliki bobot molekul sebesar 260 g mol-1 dan rumus

molekul C14H16N2O3. Hasil elusidasi struktur molekul menggunakan 1HNMR, 13C NMR, DEPT 13C NMR, dan FTIR menunjukkan bahwa senyawa aktif yang

dihasilkan oleh Streptomyces sp.A11 adalah siklo(tirosil-prolil) yang memiliki

titik leleh sebesar 140 °C.

Minimum Inhibitory Concentration (MIC) siklo(tirosil-prolil) yang

dihasilkan oleh Streptomyces sp.A11 terhadap Escherichia coli ATCC 25922

adalah sebesar 27 μg mL-1, Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853 sebesar 69 μg

mL-1, Staphylococcus aureus ATCC 25923 sebesar 80 μg mL-1, and Bacillus

subtilis ATCC 66923 sebesar 74 μg mL-1.

Page 131: disertasi_rofiq_F361070142tip

108

Profil fermentasi isolat Streptomyces sp. A11 dalam medium glukosa-

khamir-pepton menunjukkan bahwa fase lag terjadi sampai dengan jam ke-8, fase

pertumbuhan cepat (fase logaritma) terjadi pada selang waktu jam ke-9 sampai

dengan jam ke-48, dan fase stasioner terjadi pada selang waktu jam ke-48 sampai

dengan jam ke-144. Pada fase pertumbuhan cepat (fase logaritma) laju

pertumbuhan maksimum (μ ) sebesar 0,04 jam dan rendemen pembentukan maks-1

biomassa per massa substrat (Y ) sebesar 0,6 gram biomassa per gram gula. Suhu x/s

30 °C dan kisaran pH 6,5 sampai dengan pH 7,5 merupakan kondisi terbaik untuk

proses produksi siklo(tirosil-prolil).

Hasil optimasi medium fermentasi menggunakan variabel bebas dektrin,

pepton, dan campuran mineral I (referensi menurut Sousa et al. 2001)

menunjukkan pengaruh nyata terhadap konsentrasi siklo(tirosil-prolil). Pepton

memberikan pengaruh yang paling kuat dibandingkan dekstrin dan mineral.

Terdapat interaksi nyata diantara pepton dengan dekstrin. Namun demikian tidak

ada interaksi nyata diantara pepton dengan mineral dan dekstrin dengan mineral.

Model matematik produksi siklo(tirosil-prolil) yang diperoleh dalam

optimasi adalah Y= 47,40 + 4,13X1+ 6,74 X2 + 4,59 X3 + 2,17 X1X2 – 5,59 X12-

6,78 X22 – 5.88 X3

2, dengan variabel yang menunjukkan respon paling optimum

adalah konsentrasi dekstrin (X1) sebesar 32,55 g L , konsentrasi pepton (X ) -12

sebesar 11,22 g L dan penambahan mineral (X ) sebesar 8,65 mL dan dugaan -13

respon yang diperoleh adalah sebesar 51,54 mg L . Hasil validasi model yang -1

dilakukan dilaboratorium diperoleh konsentrasi siklo(tirosil-prolil) pada

fermentasi jam ke-144 adalah sebesar 50,04 mg L . Perbedaan nilai dugaan -1

respon dengan percobaan dilaboratorium adalah sebesar 2,9%.

V.2. Saran

Pada proses produksi metabolit sekunder sangat ditentukan oleh mekanisme

lintasan metabolisme (pathway) yang terjadi. Dari hasil penelusuran beberapa

literatur, sampai saat ini belum ada literatur yang memberikan informasi mengenai

lintasan metabolisme pembentukan siklo(tirosil-prolil) ataupun enzim-enzim yang

terlibat dalam metabolisme pembentukan siklo(tirosil-prolil). Untuk penelitian

Page 132: disertasi_rofiq_F361070142tip

109

selanjutnya perlu dilakukan pengamatan enzim-enzim yang terlibat dalam proses

metabolisme pembentukan siklo(tirosil-prolil). Disamping itu perlu dilakukan

pengamatan gen-gen yang bertanggung jawab dalam proses pembentukan

siklo(tirosil-prolil). Dengan demikian produktivitas antibiotik masih dapat

ditingkatkan kembali.

Selain variabel komposisi medium fermentasi, variabel proses fermentasi

seperti aerasi dan agitasi juga berpengaruh terhadap produktivitas antibiotik.

Variabel aerasi dan agitasi dapat dipelajari dengan menggunakan fermentor.

Penelitian selanjutnya disarankan untuk menguji pengaruh aerasi, agitasi, dan

suhu fermentasi secara simultan terhadap peningkatan produktivitas antibiotik

dengan menggunakan fermentor.

Page 133: disertasi_rofiq_F361070142tip

110

Page 134: disertasi_rofiq_F361070142tip

DAFTAR PUSTAKA

Abbas AS, Edwards C. 1990. Effect of metals on Streptomyces coelicolor growth

and actinohordin production. Appl Environ Microbiol. 56(3): 675-680.

Abou-Zeid AA, El-Diwany AI, Shaker HM, Salem HM.1981. Role of nitrogen

sources in fermentative production of oxytetracycline by Streptomyces

rimosus 93060. Agr Wastes 3: 257-265.

Aharonowitz Y.1980. Nitrogen metabolite regulation of antibiotic biosynthesis.

Ann Rev Microbiol. 34:209-33.

Aiba S, Humprey AE, Millis NF. 1973. Biochemical engineering (second edition).

Tokyo: University of Tokyo Press.

Alcamo E. 1996. Fundamental of microbiology. Ed ke-4. California: Addison

Wesley Longman, Inc.

Allen DG, Robinson C. 1990. Measurement of rheological properties of

filamentous fermentation broths. Chem Eng Sci. 45:37-48.

Andrews JM. 2001. Determination of minimum inhibitory concentration. J

Antimicrob Chemother 48 (S1): 5-16.

Annaliesa S, Anderson, Elizabeth MH, Wellington. 2001. The taxonomy of

Streptomyces and related genera. Int J Syst Evol Microbiol 51: 797–814.

Apriyantono A, Fardiaz D, Puspitasari NL, Sedarnawati, Budiyanto S. 1989.

Petunjuk Laboratorium Analisis Pangan. Bogor: P.T. Penerbit IPB (IPB

Press).

Araujo JM, Adilson CD, Joao LA. 2008. Isolation of endophytic actinomycetes

from roots and leaves of maize (Zea mays L). Brazil Electronic Journal.

23 Desember 2008.Diunduh 11 Agustus 2010.

Ashy MA, Abou-ZeidAA. 1982. Fermentative production of spiramycins. Enzym

Microb. Technol 4: 20-24.

Awad HM, Shahed KYI, Nakkadi. EM. 2009. Isolation, screening and

identification of newly isolated soil Streptomyces (Streptomyces sp. NRC-

35) for β-lactamase inhibitor production. World Appl Sc J 7(5):637-646.

Page 135: disertasi_rofiq_F361070142tip

112

Barun K, Bhattacharyya, Sushil CP, Sukanta K, Sen. 1998. Antibiotic production

by Streptomyces hygroscopicus D1.5: Cult Effect. Rev. Microbiol 29: 314-

317.

Bennett JW dan Bentley R. 1989. What's in a name? Microbial secondary

metabolism. Adv Appl Microbiol 34: 1-28

Benslimane C, Lebrihi A, Lounes A, Lefebvr G, Germain P. 1995. Influence of

dextrine on the assimilastion of yeast extract amino acids in culture of

Streptomyces ambofaciens producer spiramycin. Enzyme Microbiol

Technol 17:1003-1013.

Berdy J. 2005. Bioactive microbial metabolites (review article). J Antibiot 58(1):

1-26.2005

Bonev B, James H, Judicael P. 2008. Principles of assessing bacterial

susceptibility to antibiotics using the agar diffusion method. J Antimicrob

Chemother 61:1295–1301

Box GEP dan Draper NR. 1987. Emperical model building and response surface.

New York: John Wiley & Sons.

Box GEP, Hunter WG, Hunter JS. 1978. Statistics for experimenters. an

introduction to design, data analysis and model building. New York: John

Wiley and Sons.

Bround-Howland EB, Danielson SS, Niezwicki-Baue SA.1992. Development of

rapid method for detecting bacterial cell insitu using 16S rRNA-targeted

robe. Biotechniques 13:928-933.

Bushell ME, Dunstan GL, Wilson GC. 1997. Effect of small scale culture vessel

type on hyphal fragment size and erythromycin production in

Saccharopolyspora erythraea Biotechnol Lett 9(9):849-852.

Campbell, Neill A. 2002. Biologi. Edisi kelima Jilid 1. Jakarta: Erlangga.

Charan RD, Schlingmann G, Janso J, Bernan V, Feng X, Carter GT. 2004

Diazepinomicin, a new antimicrobial alkaloid from marine

Micromonospora sp. J Nat Prod 67:1431-1433

Cross T. 1982. Actinomycetes : A continuing source of new metabolites. Di dalam

Lancini G, Rolando L. 1993. Biotechnology of antibiotic and other

Page 136: disertasi_rofiq_F361070142tip

113

bioactive microbial metabolites. New York: Kluwer Academic Publisher

Group.

Crueger W, Crueger A. 1984. Biotechnology: A Textbook of Industrial

Microbiology, Madison: Science Tech. Inc Publishers.

Dan A, Szabo G. 1973. Induction production of beta-galactosidase in

Streptomyces griseus. Acta Biol Acad Sci Hung. 24(1):1-10.

Das S, Lyla PS, Ajmal-Khan S. 2006. Marine microbial diversity and ecology:

importance and future perspective. Curr Sci 90(10): 1325-1335.

Daza A, Martin FJ, Dominguez A, Gil JA. 1989. Sporulation of several species of

Streptomyces in submerged culture after nutritional downshift. J.Gen

Microbiol 135: 2483-2491.

Demain AL. 2000. Small bugs, big business: The economic power of the microbe.

Biotechnol adv 18:499-514.

Desriani. 2003. Penapisan isolat Streptomyces sp penghasil protein penghambat β-

Laktamase (Thesis). Bogor: Institut Pertanian Bogor, Program

Pascasarjana.

Dewick PM.1997. Medicinal natural products, a biosynthetic approach. Third

avenue, New York, USA, 153-173.

Dhanasekaran D, Selvamani S, Panneerselvam, Thajuddin. 2009. Isolation and

characterization of actinomycetes in Vellar Estuary, Annagkoil, Tamil

Nadu. Afr J Biotechnol 8(17):4159-4162.

Dharmaraj S, Ashokkumar B, Dhevendaran K. 2010. Isolation of marine

Streptomyces and the evaluation of its bioactive potential. Afr J Microbiol

Res 4(4): 240-248.

Dhananjeyan V, Selvan N, Dhanapal K. 2010. Isolation, characterization,

screening and antibiotic sensitivity of actinomycetes from locally (Near

MCAS) collected soil samples. J Biol Sci 10(6): 514-519.

Dunstan GH, Avignone–Rossa C, Langley D, Bushell ME. 2000. The

Vancomycin biosynthetic pathway is induced in oxygen-limited

Amycolatopsis orientalis (ATCC 19795) cultures that do not produce

antibiotic. Enzyme Microb Technol 27(7): 502-510.

Page 137: disertasi_rofiq_F361070142tip

114

Facciotti MCR, Schmidell W. 2004. The effect of dissolved oxygen concentration

control on cell growth and antibiotic retamycin production in Streptomyces

olindensis so20. Braz J Chem Eng 02(21) 185-192.

Feling RH, Buchanan GO, Mincer T J, Kauffman CA, Jensen PR, Fenical W.

2003. Salinosporamide A: a highly cytotoxic proteasome inhibitor from a

novel microbial source, a marine bacterium of the new genus Salinospora.

Angew Chem Int Ed Engl 42:355-357.

Furtado NAJC, Pupo MT, Carvalhho I, Campo VL, Duarte MCT, Bastos JK.

2005. Diketopiperazines produced by an Aspergillus fumigatus Brazillian

strain. Braz Chem Soc 16(6B):1448-1453.

Garcia-Ochoa F, Gomez E. 2009. Bioreactor scale-up and oxygen transfer rate in

microbial processes: An overview. Biotechnol Adv. 27:153–176

Glick BR, Pasternak JJ. 2003. Molecular biotechnology, principles and

application of recombinant DNA. Washington: ASM Press.

Goodfellow. M.,(1983). Ecology of Actinomycetes. Ann.Rev. Microbiol. 1983.

37:189-216.

Goodfellow M, Haynes JA. 1984. Actinomycetes in marine sediment. Dalam

Ortiz-ortiz L, Bojalil LF, Vakoleff V (ed). Biological, Biochemical, and

Biomedical aspect of Actinomycetes. Acad. Press Inc, Orlando.Fla.

Goodfellow M, William ST. Mordarski M.1988. Actinomycetes in Biotechnology.

New York: Academic Press.

Graz CJM, Hunt A, Jamie H, Grant G, Milne P. 1999. Antimicrobial activity of

selected cyclic dipeptide. Pharmazie. 54(10): 772-5

Graz CJM, Grant GD, Brauns SCA, Hunt A, Jamie H, Milne PJ. 2000. CDPs in

the induction of maturation for cancer therapy. J Pharm Pharmacol 52: 75-

82.

Guo Q, Daosen G, Zhao B, Xu J, Li R. 2007. Two cyclic dipeptides from

Pseudomonas fluorescens GcM5-1A carried by the pine wood nematode and

their toxicities to Japanese black pine suspension cells and seedlings in vitro.

J Nematol. 39(3): 243–247.

Hanka LJ, Rueckert PW, Cross T. 1985. A method for isolating strains of the

genus Streptoverticillium from soil. FEMS Microbiol Lett.30(3): 365-368.

Page 138: disertasi_rofiq_F361070142tip

115

Haque R, Mondal S. 2010. Study on the development of high yielding neomycin

resistant strain of streptomyces fradiae for improved production of

neomycin by using optimal levels of Minerals. Int.J.Drug Dev. & Res.

2(1):33-39.

Hoque MM, Noor R, Nurun N, Khan MR, Khan ZUM. 2003. Maltase activity of

Streptomyces roseolus isolated from Bangladesh soil. Bangladesh J

Bot.20:31-35

Haslam E.1986. Secondary Metabolism, fact or fiction. Nat. Prod. Rep 3: 217–

249.

Hassan MA, Moustafa Y, El-Naggar, Said WY. 2001. Physiological factors

affecting the production of an antimicrobial substance by Streptomyces

violatus in batch cultures. Egypt J Biol. 3: 1-10.

Hayakawa M, Hideo N. 1987. Efficacy of artificial humic acid as a selective

nutrient in HV agar used for the isolation of soil actinomycetes. J Ferment.

Technol 65(6): 609-616.

Hogg S. 2005. Essential microbiology. England: John Wiley and Son Inc.

Horan AC. 1999. Secondary metabolite production, actinomycetes, other than

Streptomyces. Di dalam: Flickinger MC, Drew SW, editors. Encyclopedia

of bioprocess technology: fermentation, biocatalysis and bioseparation.

New York: John Wiley & Sons, Inc.

Hozzein WN, Ali MI, RabieW. 2008. A new prefential medium for enumeration

and isolation of desert actinomycetes. World J Microbiol Biotechnol 24:

1547-1552.

Hoskisson PA, Hobbs G, Sharples GP. 2000. Response of Micromonospora

echinospora (NCIMB 12744) spores to heat treatment with evidence of a

heat activation phenomenon. Lett Appl Microbiol 30:14–117.

Ibarz A, Castell-Perez E, Barbosa-Cánovas GV. 2005. Newtonian and Non-

Newtonian Flow. Di dalam: Barbosa-Cánovas, G.V. 2005. Food

Engineering: Encyclopedia of Life Support Systems. UNESCO.

Iwen and Peter C. 2004. Identification of Microbial Pathogens Using Nucleic

Acid Sequenceing. LA: New Orleans.

Page 139: disertasi_rofiq_F361070142tip

116

James PDA dan Edwards C. 1997. The effects of temperature on growth and

production of the antibiotic granaticin by a thermotolerant Streptomycete. J

Gen Microbiol135: 1997-2003.

Judoamidjojo M, Abdul AD, Endang GS. 1992. Teknologi Fermentasi. Jakarta:

Rajawali Press.

Kanoh K, Matsuo Y, Adachi K, Imagawa K, Nishizawa M, Shizuri Y. 2005.

Mechercharmycins A and B, Cytotoxic Substances from Marine-derived

Thermoactinomyces sp. YM3-251. J Antibiot 58(4): 289–292.

Karwowski JP.1986. The selective isolation of Micromonospora from soil by

cesium chloride density gradient ultracentrifugation. J Ind

Microbiol1:186-181.

Kazakevich Y, Lobrutto R. 2007. HPLC for pharmaceutical scientists. New

Jersey: A John Wiley & Sons Inc.

Kelekom A. 2002. Secondary metabolites from marine microorganisms. Annals

Brazil Acad Sci 74(1): 151–170.

Kirk PL. 1950. Kjeldahl method for total nitrogen. Anal Chem 22 (2): 354–358.

Kumar, Kannabiran K. 2010. Diversity and optimization of process parameters for

the growth of Streptomyces VITSVK9 spp. isolated from Bay of Bengal,

India. J Nat Env Sci 1(2):9-18.

Kuster E. 1958 The actinomycetes. di dalam: Burger A, Raw F. 1967. Soil

Biology. London: Acad Press.

Lam KM. 2006. Discovery of novel metabolites from marine Actinomycetes. Curr

Opin Microbiol 9:245–251.

Lautru S, Gondry M, Genet R, Pernodet JL. 2002. Biosynthesis of

diketopiperazine metabolites independent of nonribosomal peptide

synthetases. Chem Biol 9:1355–1364.

Liang JG, Chu XH, Chu J, Wang YH, Zhuang YP, Zhang SI. 2010. Oxygen

uptake rate (OUR) control strategy for improving avermectin B1a

production during fed-batch fermentation on industrial scale (150 m3). Afr J

Biotechnol 9(42) 7186-7191.

Page 140: disertasi_rofiq_F361070142tip

117

Liangzhi.L.I., Bin. Q.I.A.O., Yingjin Y. 2007. Nitrogen Sources Affect

Streptolydigin Production and Related Secondary Metabolites Distribution

of Streptomyces lydicus AS 4.2501. Chin J Chem.Eng. 15(3):403-410.

Locci R, Sharples GP. 1983 Morphology. di dalam: Goodfellow M., Mordarski

M, Williams ST. 1984. The biology of the actinomycetes. London:

Academic Press.

Luckner M.1990. Secondary metabolism in plants and animals. Third edition.

Berling: Springer Verlag.

Mangunidjaja. D dan Suryani A. 1994. Teknologi Bioproses. Jakarta: Penebar

Swadaya.

Martin JF, Demain AL. 1980. Control of antibiotic biosynthesis. 1980. Microbiol

Rev. 230-251.

Mason RL, Gunst RF, Hess JL. 1989. Statistical design and analysis of

experiments with applications to engineering and sciences. New York:

John Wiley & Sons.

Miller GL. 1959. Use of dinitrosalicylic acid reagent for determination of

reducing sugar. Anal Chem 31:426-428.

Milne PJ, Oliver DW, Roos HM. 1992. Cyclodipeptides: Structure and

conformation of cyclo(tyrosyl--prolyl). J Crystallog Spect Res. 22(6):643-9,

doi 10.1007.

Mincer TJ, William F, Paul RJ. 2005. Culture-dependent and culture-independent

diversity within the obligate marine actinomycete genus Salinispora. Appl

Environ Microbiol 71(11 P): 7019–7028.

Montgomery DC. 1997. Design and analysis of experiments. 4th Edition. New

York: John Wiley and Sons.

Moat AG, Foster JW, Spector MP. 2002. Microbial physiology 4th edition. New

York: John Wiley & Sons inc Publication.

Morello JA, Paul AG, Helen EM. 2002. Laboratory manual and workbook in

microbiology applications to patient care. New York: The McGraw−Hill

Companies.

Nedialkova D and Mariana N. 2005. Screening the antimicrobial activity of

actinomycetes strains isolated from Antartica. J Cult Collect. 4:29-35.

Page 141: disertasi_rofiq_F361070142tip

118

Okami Y, Hotta K. 1988. Search and discovery of new antibiotic, p.33-67. Di

dalam: Goodfellow M, Williams ST, Mordarski M. Actinomycetes in

Biotechnology. New York: Academic Press. Inc.

Omura S.1986. Phylosophy of new drug discovery. Microbiol Rev 50(3) 259-279.

Pelaez F. 2006. The historical delivery of antibiotics from microbial natural

products-Can history repeat? Biochem Pharmacol 71: 981-990.

Pisano MA, Michael JS, Madelyn ML. 1986. Application of pretreatments for the

isolation of bioactive actinomycetes from marine sediments. Appl

Microbiol Biotechnol 25:285-288.

Pisano MA, Sommer MJ, Brancaccio L. 1989. Isolation of bioactive

actinomycetes from marine sediments using rifampicin. Appl Microbiol

Biotechnol. 31:609-612.

Prescott, Harley, Klein. 2002. Microbiology. Fifth Edition. New York: The

McGraw−Hill Companies.

PT. Data Consult. 2004. The market for parmaceutical products and materials in

Indonesia. Jakarta: PT.Data Consult.

Rahayuningsihl M, Syamsu K, Darwis AA, Purnawati R. 2007. Penggandaan

skala prouksi bioinsektisida Bacillus thuringiensis var . israelensi untuk

membasmi jentik nyamuk Aedes aegypti. J. Ilmu Pertanian Indonesia.

12(2):12-130.

Rhee KH. 2004. Cyclic dipeptides exhibit synergistic, broad spectrum

antimicrobial effects and have anti-mutagenic properties. Int J Antimicrob

Agent. 24(5):423–427.

Riegdlinger J, Reicke A, Zahner H, Krismer B, Bull AT, Maldanado LA, Ward

AC, Goodfellow M, Bister B, Bischoff D. 2004. Abyssomicins, inhibitors

of the para-aminobenzoic acid pathway produced by the marine

Verrucosispora strain AB-18-032. J Antibiot 57:271-279.

Ruohang W, Webb C. 1995. Effect of cell concentration on the rheology of

glucoamylase fermentation broth. Biotechnol Tech.9:55-58.

Sanchez S et al. 2010. Carbon source regulation of antibiotic production. J

Antibiot 63: 442-459.

Page 142: disertasi_rofiq_F361070142tip

119

Seigler DS. 1998. Plant Secondary Metabolism. London: Kluwer Academic

Publisher.

Seong CN, Ji HC, Keun-shik B. 2001. Improve selective isolation of rare

actinomycetes from forest soil. J Microbiol 39(1): 17-23.

Shindo K, Michiko M, Hiroyuki K. 1995. Studies on cochleamycins, novel

antitumor antibiotics. J Antibiot 49(3): 249-253.

Shuler ML & Kargi F. 1992. Bioprocess engineering. New Jersey: Prentice-Hall

Inc.

Sousa MFVQ, Lopes CE, Junior NP. 2001. A chemically defined medium

production of Actinomycin D by Streptomyces parvulus. Brazilian arch

biol technol 44(N3): 227-231.

Srinivasan MC., Laxman RS, Deshpande MV. 1991. Physiology and nutritional

aspects of actinomycetes : an overview. World J Microbol Biotechnol 7:

171-184.

Stanbury PF, Whitaker A. 1987. Principles of Fermentation Technology. New

York: Pergamon Press.

Stierle A, Cardellina JH, Strobel GA. 1988. Maculosin, a host-specific

phytotoxin for spotted knapweed from Alternaria alternata. Proc Nat Acad

Sci. 85(21): 8008-8011.

Strohl W.1999. Secondary metabolites, antibiotic. Di dalam: Flickinger M,

Stephen WD. Encyclopedia: Bioprocess technology, fermentation,

biocatalysis, and bioseparation. Volumes 1-5. New York: John wiley and

sons Inc.

Takahashi Y, Satoshi O.2003. Isolation of new actinomycete galurs for the

screening of new bioactive compounds. J Gen Appl Microbiol 49:141-154.

Tanaka K. 2001. P-I3 - kinase p85 is a target molecule of proline-rich

antimicrobial peptide to suppress proliferation of ras - transformed cells. Jpn

J Cancer Res. 92: 959-967.

Tarui N, Ikeura Y, Natsugari H, Nakahama K. 2001. Microbial synthesis of three

metabolites of a tachykinin receptor antagonist, TAK-637. J Biosci

Bioeng. 92(3):285-287

Page 143: disertasi_rofiq_F361070142tip

120

Torssell KBG. 1997. Natural Product Chemistry; A mechanistic, biosynthetic and

ecological approach. Swedish: Apotekarsocieteten-Swedish

Pharmaceutical Press.

Tuffile CM, Pinho F. 1970. Determination of oxygen transfer coefficients in

viscous streptomycete fermentations. Di dalam: Stanbury PF, Whitaker A.

1987. Principles of Fermentation Technology. New York: Pergamon

Press.

Ulgas KO, Mavituna F. 1993. Actinohordin production by Streptomyces

coelicolor A3(2): kinetic parameter related to growth, substrate uptake and

production. Appl Microbiol Biotechnol 43:457-462.

Umezawa H, Takita T, Shiba T. 1978. Bioactive peptides produced by

microorganisms. New York: John Wiley & Sons.

Voelker dan Altaba. 2001. Nitrogen source governs the pattern of growth and

prostinamycein production in Streptomyces pristinaespiralis. Microbiol

147:2447-2459.

Vogel HC dan Todaro CL. 1996. Fermentation and biochemical engineering

handbook; principles, process design and equipment. New Jersey: Noyes

Publications.

Wang DIC, Cooney CL, Demain AL, Dunhill P, Humprey AE, Lily MM. 1979.

Fermentation and Enzym Technology. London: Willey Interscience.

Wirakartakusumah MA. 1989. Prinsip Teknik Pangan. PAU Pangan dan Gizi

IPB, Bogor.

Yuwono dan Triwibowo. 2006. Teori dan Aplikasi Polymerase Chain Reaction.

Perbit ANDI. Yogyakarta.

Page 144: disertasi_rofiq_F361070142tip

Lampiran 1 Kurva standar HPLC analitik untuk penentuan konsentrasi siklo(tirosil-prolil).

Kurva Standar HPLC siklo(tirosil-prolil)

y = 16663x + 145389R2 = 0.99

0.00

10000000.00

20000000.00

30000000.00

40000000.00

50000000.00

60000000.00

0 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500Konsentrasi antibiotik (mg.L-1)

Luas

are

a (k

rom

atog

ram

HP

LC)

Konsentrasi siklo(tirosil-prolil)

(mg L-1)

Luas area kromatogram

HPLC 3250 54297969 1625 27028277 812,5 14223325 406,3 6364325 203,1 4037020 101,6 2024768 50,8 893794 25,4 292393 12,7 244598

Jenis kolom : Sunfire C18 column (4,6 x 250 mm,

Shiseido Co. Ltd., Tokyo, Japan) Kondisi operasi : Fasa gerak : metanol-air (0-100%) elusi linier gradien

selama 25 menit, dilanjutkan elusi isokratik 100% metanol selama 10 menit.

Kecepatan alir : 1 mL menit-1

Volume injeksi : 10μL Panjang gelombang detektor : λ 210 nm Suhu kolom : 30°C Tekanan kolom : 1267 psi Detektor : Photo Diode Array (PDA)

Page 145: disertasi_rofiq_F361070142tip

122

Lampiran 2 Metode penentuan konsentrasi gula reduksi (Miller 1959).

Sebanyak 1 gram sampel dimasukkan ke dalam tabung reaksi 20 mL.

Kemudian ditambahkan 1 mL HCl 4 N dan dipanaskan pada penganas air selama

30 menit. Selanjutnya didinginkan dan dinetralkan dengan menambahkan 2 mL

NaOH 2 N. Sampel diencerkan sesuai dengan perkiraan konsentrasi gula

pereduksi yang terdapat di dalam sampel. Selanjutnya sampel yang telah

diencerkan ini diambil sebanyak 1 mL dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi 20

mL. Setelah itu ditambahkan 3 mL pereaksi DNS dan diinkubasi pada penangas

air bersuhu ± 100 °C selama 5 menit. Selanjutnya didinginkan dan diukur

konsentrasi gula pereduksinya dengan cara dibaca absorbansinya menggunakan

spektrofotometer pada panjang gelombang 550 nm. Sebagai blanko dibuat sama

seperti prosedur tersebut kecuali sampel diganti dengan akuades. Kurva standar

dibuat menggunakan larutan glukosa standar pada kisaran 100-350 mg L-1.

Kurva standar glukosa standar dibuat dengan membuat larutan glukosa

standar (Merck) pada beberapa konsentrasi antara lain dari konsentrasi 100 mg L-1

sampai dengan 300 mg L-1. Adapun kurva standar glukosa yang ditelah dibuat

disajikan sebagai berikut;

Absorbansi

Konsentrasi glukosa (mg L-1)

0,159 100 0,348 150 0,552 200 0,748 250 0,916 300

y = 260.97x + 57.874R2 = 0.99

0

50

100

150

200

250

300

350

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1

absorbansi

kons

entra

si g

ula

(ppm

)

Page 146: disertasi_rofiq_F361070142tip

123

Lampiran 3 Metode penentuan konsentrasi nitrogen total (Kirk 1950)

Sebanyak 10 mL dari setiap pengambilan 30 mL sampel dianalisis untuk

uji total nitrogen. Terlebih dahulu disentrifugasi dengan 8000 x g selama 15 menit

untuk memisahkan biomassanya, fase air dipisahkan dari biomassanya. Fase air

ditimbang sebanyak kurang lebih 1 g di dalam tabung destruksi ditambahkan 1

butir selenium tablet dan 10 mL H2SO4 pekat, kemudian didekstruksi dalam

dekstruksi Kjeldahl sampai perubahan warna menjadi bening.

Larutan H3BO4 4% dipipetkan sebanyak 25 mL ke dalam labu Erlenmeyer

250 mL. Setelah menjadi bening sampel kemudian didestilasi di destilasi Kjeldahl

dengan NaOH 40% berlebih sampai selesai. Selanjutnya dititrasi dengan larutan

HCl 0,05 N sampai titik akhir. Hal yang sama dilakukan untuk blanko. Nitrogen

total dapat dihitung dengan menggunakan rumus:

N total (% w/n) = (Vs-Vb) x N HCl x 14,01 x 100% Bobot contoh

Dengan Vs sebagai volume HCl yang digunakan untuk titrasi sampel, Vb sebagai

volume HCl yang digunakan pada titrasi blanko, dan N HCl sebagai normalitas

HCl.

Page 147: disertasi_rofiq_F361070142tip

124

Lampiran 4 Metode penentuan bobot kering sel. (Voelker dan Altaba, 2001)

Bobot kering sel ditentukan dengan mengikuti metode menurut Voelker

dan Altaba (2001) yang dimodifikasi. Sebanyak 10 mL kaldu fermentasi dari

sampel disentrifuse dengan kecepatan 8000 x g selama 10 menit. Selanjutnya sel

dipisahkan dengan filtratnya menggunakan kertas saring 0,22 µm (Millipore) dan

dicuci dengan menggunakan air demineral sebanyak dua kali. Sel dikeringkan

pada suhu 110 °C selama selama 48 jam, selanjutnya dimasukkan dalam

desikator sampai diperoleh bobot konstan. Sel ditimbang dan diperoleh bobot

kering sel per satuan volume.

Page 148: disertasi_rofiq_F361070142tip

125

Lampiran 5 Penentuan nitrogen total dan bobot bahan dari masing-masing sumber nitrogen yang digunakan untuk optimasi medium fermentasi

Penentuan nitrogen total dalam medium fermentasi yang digunakan dalam

penelitian ini mengacu dari medium fermentasi yang digunakan oleh Kanoh et al.

2005, dengan komposisi sumber nitrogen 5 g L-1 pepton dan 1 g L-1 ekstrak

khamir. Hasil analisis kandungan nitrogen total beberapa sumber nitrogen yang

digunakan dalam penelitian ini diperoleh data sebagai berikut;

No Sumber nitrogen Kandungan nitrogen (%)

1 Asam gutamat (C5H9NO4) 8,00

2 Pepton 13,21 3 Kasein 11,39 4 Ekstrak Khamir 10,08

5 Amonium Sulfat(NH4)2SO4 3,59

Mengacu dari hasil analisis nitrogen total pepton dan ekstrak khamir

tersebut diatas maka dalam 5 g pepton dan 1 g ekstrak khamir dalam setiap 1 l

medium diperoleh kandungan nitrogen total sebanyak 0,76 g. Dengan demikian

bobot masing-masing sumber nitrogen yang digunakan dalam penyusunan

medium fermentasi adalah sebagai berikut;

No Sumber nitrogen

Bobot sumber nitrogen yang

dibutuhkan (g L-1) 1 Asam gutamat 8,00 2 Pepton 5,76 3 Kasein 6,68 4 Ekstrak khamir 7,55

5 Amonium sulfat(NH4)2SO4 3,59

Page 149: disertasi_rofiq_F361070142tip

126

Lampiran 6 Urutan nukleotida fragmen gen isolat terpilih (Streptomyces sp.A11) dan kedekatan (homology) yang dibandingkan dengan gen spesies lainnya

CACCTTCGACAGCTCCCTCCCACAAGGGGTTGGGCCACCGGCTTCGGGTGTTACCGACTTTCGTGACGTGACGGGCGGTGTGTACAAGGCCCGGGAACGTATTCACCGCAGCAATGCTGATCTGCGATTACTAGCAACTCCGACTTCATGGGGTCGAGTTGCAGACCCCAATCCGAACTGAGACCGGCTTTTTGAGATTCGCTCCGCCTCGCGGCATCGCAGCTCATTGTACCGGCCATTGTAGCACGTGTGCAGCCCAAGACATAAGGGGCATGATGACTTGACGTCGTCCCCACCTTCCTCCGAGTTGACCCCGGCAGTCTCCTGTGAGTCCCCATCACCCCGAAGGGCATGCTGGCAACACAGAACAAGGGTTGCGCTCGTTGCGGGACTTAACCCAACATCTCACGACACGAGCTGACGACAGCCATGCACCACCTGTATACCGACCACAAGGGGGGCACCATCTCTGATGCTTTCCGGTATATGTCAAGCCTTGGTAAGGTTCTTCGCGTTGCGTCGAATTAAGCCACATGCTCCGCTGCTTGTGCGGGCCCCCGTCAATTCCTTTGAGTTTTAGCCTTGCGGCCGTACTCCCCAGGCGGGGAACTTAATGCGTTAGCTGCGGCACCGACGACGTGGAATGTCGCCAACACCTAGTTCCCAACGTTTACGGCGTGGACTACCAGGGTATCTAATCCTGTTCGCTCCCCACGCTTTCGCTCCTCAGCGTCAGTAATGGCC

Page 150: disertasi_rofiq_F361070142tip

127

Page 151: disertasi_rofiq_F361070142tip

128

Lampiran 7 Kurva penentuan MIC senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) terhadap 4 bakteri uji

Lampiran 7a Kurva penentuan MIC senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) terhadap Escherichia coli

Pengukuran zona bening

I

Pengukuran zona bening

II

Rata-rata diameter

zona bening (x) x2 logC(konsentrasi)

Konsentrasi (C) senyawa aktif (mg L-1)

12,21 12,11 12,16 147,8656 3,812913 6500 11,25 10,87 11,06 122,3236 3,511883 3250 9,89 9,95 9,92 98,4064 3,210853 1625 9,12 8,78 8,95 80,1025 2,909823 812,5 8,11 8,01 8,06 64,9636 2,608847 406,3 6,78 6,86 6,82 46,5124 2,30771 203,1 5,98 6,15 6,07 36,784225 2,006894 101,6 4,90 5,32 5,11 26,1121 1,703291 50,5

y = 0.017x + 1.4316R2 = 0.98

00.5

11.5

22.5

33.5

44.5

0 20 40 60 80 100 120 140 160

X2

Log

(C)

pada x=0 maka y= log (C) log (C)= 1,4316 Log(C) = Log (MIC) MIC =27,01 µg mL-1

Page 152: disertasi_rofiq_F361070142tip

129

Lampiran 7b Kurva penentuan MIC senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923

Pengukuran zona bening

I

Pengukuran zona bening

II

Rata-rata diameter

zona bening (x) x2 logC (konsentrasi)

Konsentrasi (C) senyawa aktif (mg L-1)

7,95 8,21 8,08 65,2864 3,812913 6500 7,21 7,11 7,16 51,2656 3,511883 3250 6,14 5,96 6,05 36,6025 3,210853 1625 5,01 6,67 5,84 34,1056 2,909823 812,5 4,35 4,12 4,24 17,93523 2,608847 406,3 3,32 3,22 3,27 10,6929 2,30771 203,1 2,12 1,50 1,81 3,2761 2,006894 101,6 0,50 0,89 0,71 0,5041 1,703291 50,5

y = 0.0311x + 1.9042R2 = 0.97

00.5

11.5

22.5

33.5

44.5

0 10 20 30 40 50 60 70

x2

log(

C)

pada x=0 maka y= log(C) log (C) = 1,9042 Log (C) = Log (MIC)

MIC = 80,2 µg mL-1

Page 153: disertasi_rofiq_F361070142tip

130

Lampiran 7c Kurva penentuan MIC senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) terhadap Bacillus subtilis ATCC 66923

Pengukuran I zona

bening (mm)

Pengukuran II zona

bening (mm)

Rata-rata diameter

zona bening (x) x2 logC(konsentrasi)

Konsentrasi (C) senyawa aktif (mg L-1)

9,51 8,91 9,21 84,82 3,812913357 6500 8,22 8,13 8,18 66,83 3,511883361 3250 7,12 6,89 7,01 49,07 3,210853365 1625 6,33 6,11 6,22 38,69 2,90982337 812,5 4,97 5,01 4,99 24,90 2,608846822 406,3 4,10 3,87 3,99 15,88 2,307709923 203,1 3,01 2,75 2,88 8,29 2,006893708 101,6 0,50 0,51 0,52 0,26 1,703291378 50,5

y = 0.0247x + 1.8675R2 = 0.97

00.5

11.5

22.5

33.5

44.5

0 20 40 60 80 1

X2

Log(

C)

00

pada x=0 maka y= log(C) log C= 1,8675 log(C) = Log(MIC) MIC =73,71 µg mL-1

Page 154: disertasi_rofiq_F361070142tip

131

Lampiran 7d Kurva penentuan MIC senyawa aktif siklo(tirosil-prolil) terhadap Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853

Pengukuran zona bening

I

Pengukuran zona bening

II

Rata-rata diameter

zona bening (x) x2 logC(konsentrasi)

Konsentrasi (C) senyawa aktif (mg L-1)

9,32 9,01 9,17 84 3,812913 6500 8,11 7,98 8,05 64,72 3,511883 3250 7,10 6,75 6,93 47,96 3,210853 1625 6,33 6,11 6,22 38,69 2,909823 812,5 5,14 5,10 5,12 26,21 2,608847 406,3 3,97 3,99 3,98 15,84 2,30771 203,1 3,12 3,32 3,22 10,37 2,006894 101,6 1,10 0,89 1,02 1,03 1,703291 50,5

y = 0.0256x + 1.8357R2 = 0.97

00.5

11.5

22.5

33.5

44.5

0 20 40 60 80 1

x2

logC

00

pada x=0 maka y= log (C) log C= 1,837 log (C) = log (MIC) MIC = 68,71 µg mL-1

Page 155: disertasi_rofiq_F361070142tip

132

Lampiran 7e Kurva penentuan MIC tetrasiklin terhadap Escherichia coli ATCC

25922

Pengukuran zona

bening I

Pengukuran zona

bening II

Rata-rata diameter

zona bening

(x) x2 logC(konsentrasi)

Konsentrasi (C) senyawa aktif (mg L-1)

9,08 9,23 9,16 83,8140 3,812913 6500 7,11 7,58 7,35 53,9490 3,511883 3250 7,01 7,15 7,08 50,1264 3,210853 1625 5,33 7,23 6,28 39,4384 2,909823 812,5 4,14 6,10 5,12 26,2144 2,608847 406,3 3,97 4,32 4,15 17,1810 2,30771 203,1 3,50 3,32 3,41 11,6281 2,006894 101,6 1,20 1,29 1,26 1,5876 1,703291 50,5

y = 0.0268x + 1.8064R2 = 0.95

00.5

11.5

22.5

33.5

44.5

0 20 40 60 80 1

X2

Log

(C)

00

pada x=0 maka y= log (C) log C= 1,8064 log (C) = log (MIC) MIC = 64 µg mL-1

Page 156: disertasi_rofiq_F361070142tip

133

Lampiran 7f Kurva penentuan MIC tetrasiklin terhadap Staphylococcus aureus ATCC 25923

Pengukuran zona bening

I Pengukuran zona bening

II

Rata-rata diameter

zona bening (x) x2 logC(konsentrasi)

Konsentrasi (C) senyawa aktif (mg L-1)

5,39 5,01 5,20 27,0400 3,812913 6500 4,61 4,91 4,76 22,6576 3,511883 3250 3,81 3,96 3,89 15,0932 3,210853 1625 3,01 3,09 3,05 9,3025 2,909823 812,5 2,10 2,12 2,11 4,4521 2,608847 406,3

y = 0.0511x + 2.4082R2 = 0.99

00.5

11.5

22.5

33.5

44.5

0 5 10 15 20 25 30

x2

log(

C)

pada x=0 maka y= log (C) log C= 2,4082 log (C) = log (MIC) MIC = 256 µg mL-1

Page 157: disertasi_rofiq_F361070142tip

134

Lampiran 7g Kurva penentuan MIC tetrasiklin terhadap Bacillus subtilis ATCC 66923

Pengukuran zona bening I

Pengukuran zona bening

II

Rata-rata diameter zona

bening (x) x2 logC(konsentrasi)

Konsentrasi (C) senyawa aktif

(mg L-1) 7,12 6,94 7,03 49,4209 3,812913357 6500 6,98 6,45 6,72 45,0912 3,511883361 3250 5,92 5,65 5,79 33,4662 3,210853365 1625 4,79 4,68 4,74 22,4202 2,90982337 812,5 3,52 3,72 3,62 13,1044 2,608846822 406,3 2,92 2,92 2,92 8,5264 2,307709923 203,1

y = 0.0332x + 2.1073R2 = 0.98

00.5

11.5

22.5

33.5

44.5

0 10 20 30 40 50 6

X2

Log(

C)

0

pada x=0 maka y= log (C) log C= 2,1073 log (C) = log (MIC) MIC = 128 µg mL-1

Page 158: disertasi_rofiq_F361070142tip

135

Lampiran 7h Kurva penentuan MIC tetrasiklin terhadap Pseudomonas aeruginosa ATCC 27853

Pengukuran zona

bening I

Pengukuran zona

bening II

Rata-rata diameter

zona bening (x) x2 logC(konsentrasi)

Konsentrasi (C) senyawa aktif

(mg L-1) 14,32 14,26 14,29 204,2041 3,812913 6500 13,11 13,98 13,55 183,4670 3,511883 3250 12,10 12,75 12,43 154,3806 3,210853 1625 11,33 11,11 11,22 125,8884 2,909823 812,5 10,14 10,10 10,12 102,4144 2,608847 406,3 9,97 9,99 9,98 99,6004 2,30771 203,1 8,12 8,32 8,22 67,5684 2,006894 101,6 7,00 7,09 7,04 49,5616 1,703291 50,5

y = 0.0135x + 1.0968R2 = 0.98

00.5

11.5

22.5

33.5

44.5

0 50 100 150 200 250

x2

logC

pada x=0 maka y= log (C) log C= 1,0968 log (C) = log (MIC) MIC = 12,5 µg mL-1

Page 159: disertasi_rofiq_F361070142tip

136

Lampiran 8 Data perubahan parameter pH, gula reduksi, dan bobot kering sel kultur vegetatif menggunakan isolat Streptomyces sp. A11.

Jam ke-

Bobot kering sel

(g L-1)

Gula reduksi (g L-1) pH

0 0,22 10,22 7,65 8 0,62 9,57 7,56

16 2,06 8,15 6,90 24 3,29 6,51 6,65 32 4,45 4,52 6,51 40 5,35 3,21 6,12 48 6,35 2,37 5,94 56 6,86 1,79 5,85 64 6,85 1,51 5,80

Page 160: disertasi_rofiq_F361070142tip

137

Lampiran 9 Data perubahan parameter pH, gula reduksi, nitrogen total, bobot kering sel, dan konsentrasi siklo(tirosil-prolil) pada proses fermentasi menggunakan isolat Streptomyces sp.A11.

Jam ke-

Bobot kering sel (g L-1)

Gula reduksi (g L-1) pH

Konsentrasi siklo(tirosil-

prolil) (mg L-1) Nitrogen total

(mg L-1) 0 0,29 13,12 7,65 0 0,75 8 0,53 12,57 7,57 0 0,74

16 2,01 11,15 6,90 0 0,74 24 3,03 9,51 6,65 0 0,73 32 4,13 7,52 6,51 0 0,70 40 5,17 5,12 5,86 0 0,68 48 6,22 4,37 6,34 0 0,63 56 6,75 3,79 6,65 0 0,59 64 6,65 3,51 7,03 12,35 0,54 72 6,72 3,33 7,32 15,43 0,51 80 6,18 3,21 7,35 16,34 0,46 88 6,51 3,11 7,51 18,43 0,45 96 6,34 2,89 7,54 20,32 0,44

104 6,21 2,68 7,59 23,32 0,41 112 5,88 2,43 7,76 26,32 0,40 120 5,89 2,35 7,65 28,43 0,39 128 5,65 2,32 7,68 29,59 0,38 136 5,76 2,11 7,61 30,43 0,37 144 5,83 2,00 7,65 30,21 0,35

Page 161: disertasi_rofiq_F361070142tip

138

Lampiran 10 Penentuan laju pertumbuhan spesifik maksimal (µmaks) dan rendemen pembentukan biomassa per massa substrat (Yx/s)

Lampiran 10a Penentuan laju pertumbuhan spesifik maksimal (µmaks)

Waktu (Jam)

Bobot kering sel percobaan 1(g L-1)

Bobot kering sel percobaan 2 (g L-1)

Rata-rata (X) Ln (X)

16 1,87 2,15 2,01 0,70 24 2,78 3,28 3,03 1,11 32 3,70 4,56 4,13 1,42 40 4,94 5,40 5,17 1,64

y = 0.0393x + 0.1166R2 = 0.98

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1.4

1.6

1.8

0 10 20 30 40

waktu (jam)

Ln(X

)

50

µmaks yang merupakan gradien dari kurva waktu (jam) versus ln(X)

menunjukkan nilai sebesar 0,04 Jam-1

Page 162: disertasi_rofiq_F361070142tip

139

Lampiran 10b Penentuan rendemen pembentukan biomassa per massa substrat (Yx/s)

Waktu (Jam) X1 X2

Rata-rata (X) S1 S2

Rata-rata (S) (X-Xo) (So-S)

16 1,87 2,15 2,01 10,94 11,36 11,15 1,72 1,97 24 2,78 3,28 3,03 9,03 9,99 9,51 2,74 3,61 32 3,70 4,56 4,13 7,05 7,99 7,52 3,84 5,6 40 4,94 5,40 5,17 4,78 5,46 5,12 4,88 8

X1 = bobot kering sel percobaan 1 (g L-1) X2 = bobot kering sel percobaan 2 (g L-1) S1 = konsentrasi gula reduksi percobaan 1 (g L-1) S2 = konsentrasi gula reduksi percobaan 2 (g L-1)

y = 0.6048x + 0.2973R2 = 0.97

0

1

2

3

4

5

6

0 1 2 3 4 5 6 7 8

(So-S)

(X-X

o)

9

(Yx/s) yang merupakan gradien dari kurva (X-Xo) versus (So-S) menunjukkan

0,60 gram biomassa per gram sumber karbon.

Page 163: disertasi_rofiq_F361070142tip

140

Lampiran 11 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan perlakuan suhu fermentasi terhadap konsentrasi siklo(tirosil-prolil) yang dihasilkan.

Aktvitas antbiotik (mg L-1) Variabel suhu (oC) Ulangan 1 Ulangan 2 Rataan Jumlah 26 12,35 10,23 11,29 22,58 28 19,98 21,96 20,97 41,94 30 29,76 30,89 30,33 60,65 32 25,21 23,76 24,49 48,97 34 19,37 20,34 19,86 39,71

total 213,85

FK 4573,18 JKP 387,91 JKT 394,28

ANOVA db JK KT F F(0,05)tabel

P(perlakuan) 4 387,91 96,98 76,15 3,02 G(galat) 5 6,37 1,27 T(total) 9 394,28

UJI DUNCAN (0,05) p=5 dbG=5 Ulangan=2 Pembanding(P-1) 2 3 4 5 6 JND(0,05) 3,35 3,47 3,54 3,58 3,6 JNT(JNDxSy) 2,67 2,77 2,82 2,86 2,87

Suhu (oC)

Konsentrasi antibiotik (mg L-1) kode

26 11,29 a 34 19,86 b 28 20,97 c 32 24,49 d 30 30,33 e

Page 164: disertasi_rofiq_F361070142tip

141

Lampiran 12 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan perlakuan pH awal medum fermentasi terhadap konsentrasi siklo(tirosil-prolil) yang dihasilkannya

Konsentrasi antibiotik (mg L-1) pH awal fermentasi Ulangan 1 Ulangan 2 Rataan Jumlah

4 19,98 21,30 20,64 41,27 4,5 22,33 22,52 22,42 44,85 5 23,04 23,73 23,39 46,77

5,5 23,38 23,27 23,32 46,65 6 23,38 28,53 25,95 51,90

6,5 31,54 30,44 30,99 61,98 7 31,40 32,12 31,76 63,52

7,5 32,38 31,26 31,82 63,63 8 24,14 23,93 24,03 48,06

total 468,65

FK 12201,70 JKP 302,66 JKT 318,58

ANOVA db JK KT F F(0,05)tabel

P(perlakuan) 8,00 302,66 37,83 21,39 3,02 G(galat) 9,00 15,92 1,77 T(total) 17,00 318,58

UJI DUNCAN (0,05) p=9 dbG=9 Ulangan=2 Pembanding (P-1) 2 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 8,00 9,00 JND(0,05) 3,2 3,34 3,41 3,47 3,50 3,52 3,52 3,52 JNT(JNDxSy) 2,93 3,06 3,12 3,18 3,20 3,22 3,22 3,22

pH Konsentrasi

antibiotik (mg L-1) pH4 20,64 a pH4,5 22,42 ab pH5,5 23,32 ab pH5 23,39 ab pH8 24,03 bc pH7,5 31,82 bc pH6 25,95 cd pH7 31,76 d pH6,5 30,99 d

Page 165: disertasi_rofiq_F361070142tip

142

Lampiran 13 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan penentuan sumber karbon terbaik pada proses fermentasi produksi siklo(tirosil-prolil) dan hasil analisis gula total sebelum dan sesudah fermentasi.

Lampiran 13a Analisis ragam dan uji lanjut Duncan penentuan sumber karbon terbaik pada proses fermentasi produksi siklo(tirosil-prolil)

Konsentrasi antibiotik (mg L-1) Sumber

karbon Ulangan 1 Ulangan 2 Rataan Jumlah glukosa 22,83 23,17 23,00 46,00 maltosa 25,34 25,25 25,29 50,59 laktosa 13,12 12,57 12,84 25,69 sukrosa 14,51 13,58 14,05 28,09 molase 18,67 12,33 15,50 30,99 dekstrin 27,14 29,68 28,41 56,82 total 238,19

FK 4727,84 JKP 429,15 JKT 453,10

ANOVA db JK KT F F(0,05)tabel P(perlakuan) 5 429,15 85,83 21,50 3,02 G(galat) 6 23,96 3,99 T(total) 11 453,10

UJI DUNCAN (0,05) p=6 dbG=6 ulangan=2 Pembanding(P-1) 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 7,00 JND(0,05) 3,15 3,30 3,37 3,43 3,46 3,47 JNT(JNDxSy) 3,74 3,92 4,01 4,08 4,11 4,12

Sumber karbon Konsentrasi antibiotik

(mg L-1) Kode Laktosa 12,84 a Sukrosa 14,05 a Molase 15,50 a Glukosa 23,00 bc Maltosa 25,29 cd Dekstrin 28,41 d

Page 166: disertasi_rofiq_F361070142tip

143

Lampiran 13b Hasil analisis gula total dari beberapa sumber karbon sebelum dan sesudah fermentasi.

Sumber karbon

Konsentrasi antibiotik (mg L-1)

Konsentrasi sumber karbon awal (mg L-1)

(S0)

Konsentrasi sumber karbon akhir (mg L-1)

(S1)

Jumlah konsumsi

(mg)

(S0-S)/S0 x 100

Rasio Konsentrasi siklo (tirosil-

prolil) terhadap total

konsumsi sumber karbon

Laktosa 12,84a 12504 8470 4034 32,26 0,00318

Sukrosa 14,05a 9196 4794 4402 47,87 0,00319

Molase 15,50a 5909 976 4933 83,47 0,00314

Glukosa 23,00bc 10577 830 9747 86,05 0,00224

Maltosa 25,29bc 11842 2433 9409 79,45 0,00269

Dekstrin 28,41d 10979 2406 8573 78,08 0,00331

Page 167: disertasi_rofiq_F361070142tip

144

Lampiran 14 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan penentuan sumber nitrogen terbaik pada proses fermentasi produksi siklo(tirosil-prolil) dan hasil analisis nitrogen total sebelum dan sesudah fermentasi.

Lampiran 14a Analisis ragam dan uji lanjut Duncan penentuan sumber nitrogen terbaik pada proses fermentasi produksi siklo(tirosil-prolil)

Konsentrasi antibiotik

(mg L-1) Sumber nitrogen 1 2 Rataan Jumlah Ekstrak khamir 13,10 12,65 12,88 25,75 Pepton 23,06 22,34 22,70 45,39 Amonium sulfat 0,00 0,00 0,00 0,00 Kasein 20,17 23,12 21,65 43,29 Asam glutamat 9,74 10,25 9,99 19,98 Total 134,42

FK 1806,98 JKP 691,76 JKT 696,61

ANOVA db JK KT F F(0.05)tabel

P(perlakuan) 4,00 691,76 172,94 178,34 3,02 G(galat) 5,00 4,85 0,97 T(total) 9,00 696,61

UJI DUNCAN (0,05) p=5 dbG=5 ulangan=2 Pembanding(P-1) 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 JND(0,05) 3,35 3,47 3,54 3,58 3,60 JNT(JNDxSy) 2,80 2,90 2,95 2,99 3,00

Sumber Nitrogen Konsentrasi antibiotik (mg L-1) Amonium sulfat 0 a Asam glutamat 9,99 b Ekstrak khamir 12,88 b Kasein 21,65 c Pepton 22,70 c

Page 168: disertasi_rofiq_F361070142tip

145

Lampiran 14b Hasil analisis nitrogen total dari beberapa sumber nitrogen sebelum dan sesudah fermentasi

Nitrogen total awal fermentasi (mg.mL-1)

Nitrogen total akhir fermentasi (mg.mL-1)

Konsentrasi siklo(tirosil-

prolil) (mg L-1)

Jumlah konsumsi

nitrogen total (mg.mL-1)

Asam glutamat (C5H9NO4) 0,76 0,44 9,99 0,32 Pepton 0,76 0,35 22,70 0,41 Kasein 0,75 0,34 21,65 0,41 Ekstrak khamir 0,74 0,30 12,88 0,44 Amonium sulfat (NH4)2SO4 0,75 0,55 0 0,20

Page 169: disertasi_rofiq_F361070142tip

146

Lampiran 15 Analisis ragam dan uji lanjut Duncan penentuan mineral terbaik pada proses fermentasi produksi siklo(tirosil-prolil).

Konsentrasi antibiotik mg L-1 Jenis mineral Percobaan 1 Percobaan 2 rataan jumlah Mineral I 35,23 35,76 35,50 70,99 Mineral II 31,23 32,12 31,68 63,35 Mineral III 33,22 32,98 33,10 66,20 Mineral IV 31,75 31,76 31,76 63,51 Mineral V 26,54 25,43 25,99 51,97 Blanko 25,13 24,32 24,73 49,45 total 365,47

ANOVA db JK KT F F(0.05)tabel P(perlakuan) 5 176,78 35,36 140,54 3,22 G(galat) 6 1,51 0,25 T(total) 11 178,29

p=6 dbG=6 ulangan=2 Pembanding (P-1) 2 3 4 5 6 JND(0,05) 3,46 3,58 3,64 3,68 3,68 JNT(JNDxSy) 1,25 1,29 1,31 1,33 1,33

perlakuan Nilai tengah notasi

Blanko 24,73 a Mineral V 25,99 b Mineral II 31,68 c Mineral IV 31,76 c Mineral III 33,10 d Mineral I 35,50 e

FK 11130,69 JKP 176,78 JKT 178,29

Page 170: disertasi_rofiq_F361070142tip

147

Lampiran 16 Respon hasil percobaan optimalisasi proses produksi siklo(tirosil-prolil) menggunakan isolat Streptomyces sp.A11 Dekstrin (g L-1)

Pepton (g L-1)

Mineral (mL) Notasi

X1 X2 X3 X1 X2 X3 Respon Predicted

value Residual

Gula reduksi

fermentasi (g L-1)

Gula reduksi akhir

fermentasi (g L-1)

Konsumsi gula (g L-1) (awal-

akhir)

Rasio respon terhadap

konsumsi gula 25 8 5 -1 -1 -1 19,13 17,19 1,94 27,99 8,87 19,12 1,00 35 8 5 1 -1 -1 19,96 20,15 -0,19 37,78 17,19 20,59 0,97 25 12 5 -1 1 -1 23,19 24,64 -1,45 28,22 7,15 21,07 1,10 35 12 5 1 1 -1 40,35 36,28 4,07 38,26 15,32 22,94 1,76 25 8 10 -1 -1 1 20,59 23,72 -3,13 27,94 7,98 19,96 1,03 35 8 10 1 -1 1 30,99 28,61 2,38 37,89 14,32 23,57 1,31 25 12 10 -1 1 1 35,67 34,54 1,13 28,17 5,56 22,61 1,58 35 12 10 1 1 1 47,11 48,11 -1,00 38,21 15,21 23,00 2,05

21,6 10 7,5 -1,68 0 0 26,00 24,65 1,35 23,12 5,43 17,69 1,47 38,4 10 7,5 1,68 0 0 35,88 38,56 -2,68 43,11 17,23 25,88 1,39 30 6,64 7,5 0 1,68 0 16,74 16,89 -0,15 31,98 12,46 19,52 0,86 30 13,36 7,5 0 1,68 0 38,37 39,55 -1,18 33,24 10,34 22,90 1,68 30 10 3,3 0 0 -1,68 2,90 23,05 -2,15 33,13 10,35 22,78 0,13 30 10 11,7 0 0 1,68 39,31 38,49 0,82 33,21 9,35 23,86 1,65 30 10 7,5 0 0 0 47,56 47,40 0,16 33,32 9,87 23,45 2,03 30 10 7,5 0 0 0 47,71 47,40 0,31 33,11 9,92 23,19 2,06 30 10 7,5 0 0 0 47,88 47,40 0,48 33,31 10,21 23,10 2,07 30 10 7,5 0 0 0 46,94 47,40 -0,46 33,21 10,14 23,07 2,03 30 10 7,5 0 0 0 47,19 47,40 -0,21 33,16 9,88 23,28 2,03 30 10 7,5 0 0 0 47,36 47,40 -0,04 33,14 9,78 23,36 2,03

Page 171: disertasi_rofiq_F361070142tip

148

Lampiran 17 Keluaran hasil analisis data menggunakan Design Expert 7 pada proses optimasi produksi siklo(tirosil-prolil).

Lampiran 17a Keluaran Design Expert 7 dan respon yang diperoleh

Page 172: disertasi_rofiq_F361070142tip

149

Lampiran 17b Keluaran design summary dan respon yang diperoleh

Page 173: disertasi_rofiq_F361070142tip

150

Lampiran 17 c Keluaran hasil analisis fit summary dari Design Expert 7

Page 174: disertasi_rofiq_F361070142tip

151

Lampiran 17d Keluaran hasil analisis variansi (ANOVA) dari DesignExpert 7

Page 175: disertasi_rofiq_F361070142tip

152

Lampiran 17e Keluaran variabel hasil optimasi menggunakan DesignExpert 7

Page 176: disertasi_rofiq_F361070142tip

153

Lampiran 18 Data pengamatan konsentrasi siklo(tirosil-prolil) dan konsumsi gula

pada proses verifikasi model percobaan di laboratorium.

Percobaan

Konsentrasi siklo(tirosil-prolil)

(mgL-1) Konsumsi gula

(gL-1) Ulangan 1 49,32 22,05 Ulangan 2 50,81 23,82 Ulangan 3 48,83 21,76 Ulangan 4 51,20 23,28 Rata-rata 50,04 22,73

Rasio pembentukan siklo(tirosil-prolil) terhadap konsumsi gula adalah sebesar 2,20 mg siklo(tirosil-prolil) per gram gula.