UNIVERSITAS UDAYANA
TERHADAP KINERJA PROYEK DAN PERUSAHAAN KONSTRUKSI
I Nyoman Yudha Astana
2. MODEL PENGARUH PERUBAHAN DESAIN (DESIGN CHANGE) TERHADAP BIAYA DAN WAKTU PADA PELAKSANAAN PROYEK KONSTRUKSI PADA SISTEM DELIVERY PROYEK YANG TIDAK TERINTEGRASI DAN YANG TERINTEGRASI
Anak Agung Gde Agung Yana
3. PENGEMBANGAN MODEL PROFIL TEMPERATUR PERKERASAN ASPAL DAN PENGARUHNYA PADA MODULUS KEKAKUAN ASPAL DAN CAMPURAN ASPAL
I Made Agus Ariawan
Ida Bagus Putu Adnyana
Anissa Maria Hidayati
6. Role of Reservoir Operation in Sustainable Water Supplyto Subak Irrigation Schemes in Yeh Ho River Basin
Mawiti Infantri Yekti
7. Improving Resilience of Coastal Structures Subject to Tsunami-like Waves
Gede Pringgana
8. PEMETAAN DAN KAJIAN AKUIFER DENGAN METODE GEOLISTRIK SERTA APLIKASINYA PADA PETERNAKAN AYAM PETELUR
I Nengah Simpen
ABSTRAK
Penelitian ini menggunakan metode survei dan studi kasus melalui kuesioner dan wawancara. Survei dilakukan terhadap 61 kontraktor besar, di empat kota besar di Indonesia dan studi kasus dilakukan pada salah satu kontraktor besar di Denpasar. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan Analisis Multivariate dengan Structural Equation Modeling Partial Least Sequare dan Analisis Sistim Dinamis
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam model SP-K terdapat tiga hubungan antar variabel yakni strategi penawaran berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja proyek, kinerja proyek berpengaruh positif signifikan terhadap kinerja perusahaan, serta kinerja proyek merupakan variabel mediasi dari hubungan antara strategi penawaran terhadap kinerja perusahaan, sehingga disebut mediasi penuh (perfect mediation). Di dalam variabel strategi penawaran terdapat beberapa dimensi yang paling berpengaruh berturut-turut adalah situasi ekonomi, situasi kompetisi, kontrak, karakteristik perusahaan, pengalaman perusahaan, karakteristik klien, karakteristik proyek, benefit, pembiayaan proyek dan situasi penawaran. Dalam kinerja proyek aspek waktu, aspek produktivitas, aspek biaya, aspek kualitas, aspek keselamatan dan kesehatan kerja serta aspek lingkungan merupakan dimensi yang paling berpengaruh secara berturut-turut. Sedangkan dalam kinerja perusahaan aspek finansial merupakan dimensi yang paling menentukan, diikuti oleh aspek proses bisnis internal, aspek lingkungan, aspek kepuasan pelanggan serta aspek pembelajaran dan pengembangan. Simulasi model menunjukkan bahwa peningkatan strategi penawaran sebesar 11,02%-20,86% dapat menghasilkan kinerja proyek 10,55%-11,15%, dan kinerja perusahaan 8,24%-9,39% dari nilai penawaran. Sedangkan kesuksesan dari kinerja perusahaan dapat mempengaruhi aktivitas- aktivitas dalam strategi penawaran dan kinerja proyek seperti peningkatan nilai kontrak dan peningkatan keuntungan proyek. Keterbatasan penelitian ini adalah hanya dilakukan pada kontraktor besar, serta hanya pada traditional project delivery system. Saran perlu melakukan penelitian lanjutan pada berbagai project delivery system.
Kata kunci: Strategi Penawaran, Kinerja Proyek, Kinerja Perusahaan, Proyek Konstruksi
MODEL HUBUNGAN STRATEGI PENAWARAN TERHADAP KINERJA PROYEK DAN PERUSAHAAN KONSTRUKSI
Strategi penawaran adalah langkah awal dari pelaksanaan proyek dalam siklus proyek konstruksi. Kinerja proyek merupakan tolok ukur dalam menilai keberhasilan sebuah proyek. Sedangkan kinerja perusahaan adalah suatu tampilan keadaan secara utuh dari perusahaan selama periode waktu tertentu, yang merupakan hasil atau prestasi yang dipengaruhi oleh kegiatan operasional perusahaan dalam memanfaatkan sumber daya-sumber daya yang dimiliki. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi strategi penawaran, menganalisis hubungan antara strategi penawaran dengan kinerja proyek dan kinerja perusahaan, serta melakukan simulasi model pengaruh strategi penawaran terhadap kinerja proyek dan kinerja perusahaan, konstruksi (SP-K).
I Nyoman Yudha Astana
THE RELATIONSHIP MODEL OF BIDDING STRATEGY, PROJECT PERFORMANCE AND COMPANY PERFORMANCE
IN CONSTRUCTION
I Nyoman Yudha Astana
Bidding strategy is the initial process of the project implementation in the construction project life cycle. Project performance is a criterion in assessing of the project success while company performance defined as the records of outcomes produced on a specified job function or activity during time periods. This study aims to identify the factors influence on bidding strategy, analysis the relationship between bidding strategies to the project and company performance, and the simulation of the relation each other in construction (SP-K).
The methods used are surveys and case studies. The surveys were conducted through questionnaire and interviews with 61 major contractors in Indonesia and case studies carried out on the one of major contractors in Denpasar. Data were analyzed using Multivariate Analysis with Structural Equation Modeling Partial Least Square and System Dynamics Analysis.
The research shows that SP-K model consists of three relationships between variables. First the influence of bidding strategy to the project performance was positive significant. Second the influence of project performance to the company performance also positive significant, and third the influence of bidding strategies to the company performance through the project performance were positive significant, at 5% level of significance. Therefore project performance becomes a perfect mediation of bidding strategy and company performance relationship. The most influential dimensions of bidding strategy are the economic situation, the competition, contract, company characteristics, company experience, client characteristics, project characteristics, benefit, project financing and bidding situation. Project performance most influence factor such as time, productivity, cost, quality, safety and environment. While the financial aspect, internal business process, environment, customer satisfaction and learning and growth is the most decisive dimension of company performance. The models simulation suggest that the enhancement of bidding strategy 11,02%-20,86% will obtain project performance 10,55%-11,15%, and company performance 8,24%-9,39% from the bidding price. Furthermore the success of company performance influence the activities on bidding strategies and project performance such as increase of contract price and project profit. This study was limited on the large contractor, with traditional project delivery system. Further research on various project delivery system is needed for suggestion.
Keywords: Bidding Strategy, Project Performance, Company Performance, Construction Project
1
ABSTRAK
Perubahan desain merupakan penyebab terjadinya perubahan yang paling dominan pada pelaksanaan proyek konstruksi. Perubahan design memiliki pengaruh/efek yang tidak baik terhadap kinerja proyek konstruksi terutama kinerja biaya dan waktu. Untuk mengurangi terjadinya perubahan desain, maka mengetahui faktor penyebab terjadinya perubahan desain perlu dilakukan. Selanjutnya mengelola dengan baik faktor yang menjadi penyebab perubahan desain akan dapat mengurangi terjadinya perubahan desain. Dalam pelaksanaan proyek konstruksi akan melibatkan banyak pihak. Untuk mengatur hubungan pihak-pihak yang terlibat pada proyek konstruksi dibutuhkan suatu sistem yang disebut dengan sistem delivery proyek. Pemilihan sistem delivery proyek yang digunakan juga akan berdampak terhadap terjadinya perubahan desain. Berdasarkan uraian di atas maka penelitian ini bertujuan untuk membuat model pengaruh perubahan desain terhadap biaya dan waktu pada pelaksanaan proyek konstruksi, yang menggunakan sistem delivery proyek yang tidak terintegrasi dengan yang terintegrasi antara pekerjaan desain dengan pekerjaan pembangunan.
Penelitian yang dilakukan menggunakan metode survey dan studi kasus. Data diperoleh dengan jalan menyebarkan kuesioner kepada kontraktor, konsultan maupun kepada owner. Sedangkan studi kasus dilakukan pada kontraktor yang sedang melaksanakan proyek konstruksi, baik yang menggunakan sistem delivery proyek yang tidak terintegrasi maupun yang terintegrasi. Analisa data menggunakan Structural Equation Modeling Partial Least Square (SEM PLS). Sedangkan simulasi model pada studi kasus yang dilakukan menggunakan system dynamics.
Dari hasil analisis yang dilakukan dengan menggunakan (SEM PLS), faktor penyebab perubahan desain yang paling besar disebabkan oleh faktor internal. Dalam faktor internal owner merupakan penyebab perubahan yang paling besar, selanjutnya diikuti konsultan desain, konsultan manajemen konstruksi dan kontraktor. Sedangkan faktor eksternal yang paling berpengaruh adalah faktor politik dan ekonomi, lingkungan alam, pihak ketiga dan yang terakhir adalah kemajuan teknologi. Hasil analisis model Design Change Cost Time (DCCT) menggunakan SEM PLS memiliki tiga buah pengaruh antar variabel yang signifikan, yaitu perubahan desain mempengaruhi waktu secara signifikan, perubahan waktu mempengaruhi biaya secara signifikan dan perubahan desain mempengaruhi biaya melalui waktu secara signifikan. Hasil analisis juga menunjukkan bahwa sistem delivery proyek merupakan variabel moderator yang dapat menyebabkan semakin meningkat dan berkurangnya perubahan desain pada pelaksanaan proyek konstruksi. Simulasi model DCCT dengan data empiris dari studi kasus proyek konstruksi yang menggunakan sistem delivery proyek yang tidak terintegrasi dengan yang terintegrasi menunjukkan bahwa penyebab perubahan desain yang paling besar
MODEL PENGARUH PERUBAHAN DESAIN (DESIGN CHANGE) TERHADAP BIAYA DAN WAKTU PADA PELAKSANAAN PROYEK KONSTRUKSI PADA SISTEM DELIVERY PROYEK YANG TIDAK
TERINTEGRASI DAN YANG TERINTEGRASI
1
disebabkan oleh owner, dilanjutkan oleh konsultan desain, konsultan manajemen konstruksi dan kontraktor. Hasil simulasi yang dilakukan tersebut menunjukkan bahwa proyek konstruksi dengan sistem delivery proyek yang tidak terintegrasi mengalami perubahan desain, perubahan biaya dan perubahan waktu lebih besar daripada yang menggunakan sistem delivery proyek yang terintegrasi.
Kata Kunci : perubahan desain, biaya, waktu, proyek konstruksi, sistem delivery proyek, tidak terintegrasi, dan terintegrasi.
ABSTRAK
merupakan fungsi dari faktor iklim lingkungan, dan sangat dipengaruhi oleh faktor
geografis lokasi (lintang). Penelitian ini bertujuan untuk mengembangkan model profil
temperatur perkerasan aspal pada lingkungan beriklim tropis di Indonesia, dan
menganalisis pengaruh temperatur pada modulus kekakuan aspal (Sb) dan modulus
kekakuan campuran aspal (Sm) AC-WC, AC-BC yang dibuat di laboratorium
(dikondisikan awal umur perkerasan) dan campuran aspal AC-WC, AC-BC yang diambil
pada perkerasan yang terhampar di lapangan (umur 3 tahun). Lokasi penelitian dilakukan
pada beberapa ruas jalan nasional di Pulau Bali.
Metode penelitian yang digunakan adalah melakukan pengukuran secara langsung
pada temperatur udara (T.Udara), kelembaban udara (RH) dan temperatur perkerasan
aspal (T.00, T.20, T.65 dan T.70), dengan menggunakan alat thermocouple yang
dilengkapi dengan data logger. Pengolahan data hasil pengukuran dilakukan dengan
softwere SAGA Technology dan pengembangan model menggunakan pendekatan
statistik yaitu analisis regresi. Analisis Sb dan Sm dilakukan secara mekanik, dengan
menguji perilaku viscous dan elastic aspal dengan alat DSR dan menguji kuat tarik
langsung dengan beban berulang, dengan alat UMATTA. Analisis Sb dan Sm secara
empiris juga dilakukan dengan menggunakan metode Ullidtz, metode Shell dan metode
Nottingham.
Terdapat keeratan hubungan yang kuat dan sangat kuat serta positip antar variabel
bebas T.Udara dengan variabel terikat T.00, T.20, T.65 dan T.70. Sebaliknya terdapat
hubungan yang kuat dan sangat kuat serta negatif antar variabel bebas RH dengan variabel
terikat T.00, T.20, T.65 dan T.70. Dengan kombinasi semua variabel terikat,
dikembangkan alternatif model regresi untuk menggambarkan hubungan antar variabel
tersebut. Model regresi terbaik, memberikan kesesuaian model dengan Adjusted R2 yang
paling tinggi, SEE yang terkecil, nilai statistik F yang paling tinggi dan nilai statistik t
memberikan probabilitas signifikansi lebih kecil dari 0,05. Model terbaik juga memenuhi
persyaratan uji multikolonieritas dan uji normalitas kesalahan pengganggu. Hasil uji
validasi model terbaik terhadap data pengamatan, memberikan nilai Mean Absolute
Percentage Error (MAPE) < 10%, dan disimpulkan model memberikan ketepatan
ramalan yang baik dan memenuhi persyaratan.
Terdapat pengaruh nyata antara temperatur dengan Sb dan Sm. Berdasarkan
pengujian DSR, peningkatan temperatur sebesar 6 oC menyebabkan penurunan Sb sebesar
56,42 %. Perbandingan Sb antara model Ullidtz dan pengujian DSR adalah 1,294 (aspal
murni), 0,737 (aspal recovery dari campuran aspal di laboratorium) dan 0,241 (aspal
recovery dari campuran aspal di lapangan). Peningkatan temperatur 10 oC menyebabkan
penurunan Sm sebesar 60,24 % (UMATTA), 64,15 % (Shell) dan 60,56 % (Notthingham).
Untuk AC-WC dan AC-BC campuran aspal di laboratorium, perbandingan Sm antara model Shell dengan pengujian UMATTA adalah 1,010 dan 0,937, sedangkan dengan
model Nottingham 1,999 dan 1,840. Untuk AC-WC dan AC-BC campuran aspal di
PENGEMBANGAN MODEL PROFIL TEMPERATUR
KEKAKUAN ASPAL DAN CAMPURAN ASPAL
I Made Agus Ariawan
lapangan, perbandingan Sm antara model Shell dengan pengujian UMATTA adalah 1,073
dan 1,129 serta dengan model Nottingham adalah 1,931 dan 2,005. Penggunaan model
Shell, menghasilkan Sm relatif mendekati hasil pengujian UMATTA sedangkan model
Nottingham memberikan Sm yang besarnya hampir dua kali dari hasil pengujian
UMATTA. Model hubungan antara profil temperatur perkerasan aspal dengan Sb, Sm dan
antara Sb dengan Sm dikembangkan, dimana model memberikan R2 > 0,97.
Success and Srength Model of Public-Private-Community Partnership In Tourism
Infrastructure Development in Bali
Dr. Ir. Ria A.A. Soemitro, M. Eng.
Christiono Utomo, ST.MT.,Ph.D.
ABSTRACT
According to the National Development Planning Agency (Bappenas), the limited of
proses funding of Indonesia Government to improve public facilities can be resolved through
Public-Private Partnership (PPP). PPP beneficial for the parties involved in such cooperation, are:
technology transfer, the transfer of risk, and increase accountability. Until now, the PPP has not
been fully involved yet the active participation of the community, it is only to the extent of
Corporate Social Responsibility (CSR) to community, so a formal involvement of local
communities in the PPP, it can be called Public-Private-Community Partnership (PPCP).
This study aims to obtain: the critical success factor/CSF of PPCP; a strength model of
interest groups (Public-Private-Community); and a success model of PPCP. The respondents from
90 peoples are divided into three groups which are: a group of 30 people at the level of heads of
government agencies; 30 private group at management level; 30 community groups at board level
Customary Village People. Data were analyzed with the results of the questionnaire validity,
reliability, factor analysis, discriminant analysis, and regression analysis.
This study resulted nine dominant factor determining the success of PPCP on tourism
infrastructure development, namely: social and cultural, legal, procurement, risk, consortium,
technical, economic, financial, and technology. Strength model of PPCP interests have the
accuracy to distinguish groups interest of 58.9%, scattered in the interests strength of the public
groups of 56.7% (factors interests priority: legal, technical, and financial), the interests strength
of private groups 46.7% (technical, economic and financial) and the interests strength of
community groups at 73.3% (social and cultural). Interest priority of PPCP in the development of
tourism infrastructure in Bali is determined by the” Community Groups”. The model of success
PPCP namely: YPPCP= +0,134 Social and Culture + 0,220 Law +0,092 Procurement + 0,283
Risk + 0,282 Consortium + 0,301 Technical + 0,096 Economics + 0,071 Financial + 0.103
Technology. PPCP success is determined by the "groups" in the social and cultural factors. The
largest of success contribution of PPCP is given by social and cultural factors are: the support of
local communities, active partisifasi Involving the local community, Giving priority to local
employment, Priority to local ingredients, Adjusting to custom, activities that do not conflict with
religious social communities, activity does not conflict with local customary law
Keywords: PPP, PPCP, Community, Strength Models, Success Models, Infrastructure,
Tourism, Bali.
dari Pemerintah Indonesia untuk meningkatkan fasilitas umum dapat diselesaikan melalui
pendekatan Kerja Sama Pemerintah-Swasta (KPS). KPS bermanfaat bagi pihak pihak yang terlibat
dalam kerja sama tersebut, antara lain: transfer teknologi, transfer resiko, dan meningkatkan
akuntabilitas. Sampai saat ini, KPS belum sepenuhnya melibatkan partisipasi aktif masyarakat,
baru sebatas tanggung jawab sosial perusahaan kepada masyarakat, maka perlu keterlibatan
masyarakat lokal secara formal dalam KPS, yang disebut Kerja Sama Pemerintah-Swasta-
Masyarakat (KPSM).
kekuatan kepentingan kelompok (Pemerintah-Swasta-Masyarakat); dan model kesuksesan KPSM.
Responden sebanyak 90 orang, dibedakan menjadi tiga kelompok yaitu: 30 orang kelompok
pemerintah pada level kepala dinas; 30 orang kelompok swasta pada level manajemen; 30 orang
kelompok masyarakat pada level pengurus Desa Adat. Data hasil kuesioner dianalisis dengan uji
validitas, uji reliabilitas, analisa faktor, analisis diskriminan, dan analisis regresi.
Penelitian ini menghasilkan sembilan faktor dominan penentu kesuksesan KPSM pada
pembangunan infrastruktur pariwisata yaitu: sosbud, hukum, pengadaan, resiko, konsorsium,
teknis, ekonomi, finansial, dan teknologi. Model kekuatan kepentingan KPSM mempunyai
ketepatan membedakan kepentingan kelompok sebesar 58,9%, tersebar dalam kekuatan
kepentingan kelompok pemerintah sebesar 56,7% (prioritas kepentingan faktor: hukum, teknis,
dan finansial), kekuatan kepentingan kelompok swasta sebesar 46,7% (teknis, ekonomi dan
finansial). kekuatan kepentingan kelompok masyarakat sebesar 73,3% (sosial-budaya). Prioritas
kepentingan KPSM dalam pembangunan prasarana pariwisata di Bali sangat ditentukan oleh
“Kelompok Masyarakat”. Model kesuksesan KPSM yaitu: YKPSM= +0,134 Sosbud + 0,220
Hukum +0,092 Pengadaan + 0,283 Resiko + 0,282 Konsorsium + 0,301 Teknis + 0,096 Ekonomi
+ 0,071 Finansial + 0.103 Teknologi. Kesuksesan KPSM sangat ditentukan oleh “Kelompok
Masyarakat”. Kontribusi model terbesar dari faktor sosial dan budaya, dalam hal ini: dukungan
masyarakat, partisipasi aktif masyarakat, tenaga kerja lokal, bahan baku setempat, dan
menyesuikan dengan adat istihadat.
Pariwisata, Bali.
Pada Pembangunan Infrastruktur Pariwisata di Bali
Oleh:
Dr. Ir. Ria A.A. Soemitro, M. Eng.
Christiono Utomo, ST.MT.,Ph.D.
geometri konstruksi dinding penahan tanah, sifat fisis dan mekanis tanah timbunan
dan/atau tanah dasar dan beban statis dan/atau dinamis yang bekerja. Pada analisis
dinamis stabilitas dinding penahan tanah, bidang longsor di belakang dinding penahan
tanah diperhitungkan berdasarkan asumsi. Perlu dikembangkan suatu metode yang tepat
dalam perencanaan konstruksi dinding penahan tanah akibat beban dinamis dengan
mempertimbangkan bentuk kelongsoran tanah di belakang dinding penahan tanah. Hasil
penelitian ini diharapkan bisa mengetahui peran parameter tersebut terhadap pergerakan
material di belakang dinding akibat beban dinamis sinusoidal. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah metode pergerakan material dengan analisis statis ekivalen
dalam menganalisis stabilitas dinding penahan tanah.
Penelitian ini dilakukan dengan melakukan uji model skala kecil dinding penahan
tanah di laboratorium. Model tersebut dibuat dari beton dengan type gravity berbentuk
trapesium tinggi 20 cm, lebar puncak 2 cm dan lebar bawah 10 cm dan kantilever dengan
tinggi 18,3 sentimeter, lebar tapak 9,3 cm yang diletakkan di atas pasir kering lolos
saringan No. 4 dan tertahan saringan No.100. Variasi kerapatan relatif (DR) pasir yang
digunakan untuk pengujian adalah DR 30 %, DR 60 % dan DR 75 % untuk model gravity
dan DR 30 %, DR 55 % dan DR 70 % untuk model kantilever. Model tersebut diletakkan
di dalam kotak kaca panjang 2 meter, lebar 0,4 meter dan tinggi 1 meter. Model tersebut
digetarkan dengan menggunakan meja getar pada arah horisontal dengan variasi frekuensi
getaran (f) dan amplitudo getaran (A). Respon percepatan dinamis sinusoidal dicatat
dengan menggunakan accelerometer. Perpindahan material (butiran) di beberapa titik
juga dipantau selama pengujian.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa bentuk (bidang) pergerakan material di
belakang dinding penahan tanah dipengaruhi oleh DR, type dinding penahan tanah dan
percepatan dinamis sinusoidal (amaks). DR berpengaruh terhadap luas dan bentuk bidang
pergerakan butiran dengan amaks tertentu. Makin tinggi DR maka makin kecil luas
pergerakan butiran yang terjadi. Makin rendah DR maka bentuk pergerakan butiran makin
luas dan dalam. Hubungan amaks terhadap lebar pergerakan butiran dan amaks terhadap
tinggi pergerakan butiran bersifat linier. Parameter f lebih dominan pengaruhnya terhadap
amaks dibandingkan dengan A. Persentase kenaikan amaks menjadi 2 kali lipat jika f
ditingkatkan. Apabila A dinaikkan maka peningkatan amaks menjadi sebanding dengan
kenaikan A. Parameter f dominan berpengaruh pada tinggi bidang pergerakan butiran.
Makin besar f makin besar tinggi bidang pergerakan butiran. Parameter A dominan
berpengaruh pada lebar bidang pergerakan butiran. Makin besar A maka makin lebar
bidang pergerakan butiran. Dengan memberikan 3 variasi amaks sebesar 0,221g, 0,245g
dan 0,27g angka keamanan terhadap bahaya guling (SFguling) untuk kedua model
menunjukkan penurunan seiring dengan kenaikan luas bidang pergerakan butiran, sebagai
akibat kenaikan amaks. Dengan meningkatkan DR, maka SFguling menurun mengikuti tren
ANALISIS DINAMIS DINDING PENAHAN TANAH
AKIBAT BEBAN DINAMIS
fungsi masing-masing. Angka keamanan terhadap bahaya geser (SFgeser) untuk model
kedua type menunjukkan penurunan, seiring dengan kenaikan luas bidang pergerakan.
SFgeser meningkat mengikuti tren fungsi masing-masing jika DR ditingkatkan.
Kata kunci: type dinding penahan tanah, percepatan dinamis, bentuk bidang pergerakan
butiran, kerapatan relatif pasir, frekuensi getaran, amplitudo getaran
Role of Reservoir Operation in Sustainable Water Supply to Subak Irrigation Schemes
in Yeh Ho River Basin
by Mawiti Infantri Yekti
Annex L. Summary
A Subak irrigation scheme, primarily in Bali, Indonesia concerns an irrigation system of
which the construction, operation and maintenance are based on agreed principles of
technology, management of agriculture and a religious community. Subak irrigation
schemes are an example of water resources management, distribution and supply of
irrigation water in a perfect vision on social welfare in the river basin. The decision-
making process in a Subak irrigation scheme takes into account political, economic, social
and cultural (religious) elements. Multifunctional ecosystems in a sustainable way of
agriculture are implemented in the Subak irrigation schemes, particularly in the
technology of such systems. On June 29, 2012 the UNESCO World Heritage Committee
formally added the Subak systems as a manifestation of the Tri Hita Karana philosophy to
the World Heritage List.
Subak systems have been well known since the 9th Century. These systems are
managed by a Subak Association based on the Tri Hita Karana philosophy - harmony
between human beings and God, harmony between people and nature, and harmony
between people and people. This philosophy underlies every activity of the Subak
farmers. For managing the Subak irrigation schemes, Subak Associations and farmers
pursue the Subak regulation called Awig-awig Subak as the togetherness consensus that in
the past was announced by the King, nowadays by the Head of the Regency.
Paddy terraces in Bali create important cultural landscapes. Traditionally, the flow
within a river basin has been managed using the Subak irrigation system technology.
Unfortunately, this traditional technology is facing challenges: problems of water shortage
and competition with other water users, that make it complicated to sustain the agriculture
production of the Subak irrigation schemes. In the middle of the twentieth century, as
consequence of ongoing population growth and land conversion, Balinese farmers were
having difficulties in meeting the ever-growing demand for rice.
In addition, the problem of insufficient water in the dry season developed. In order
to increase the irrigation water supply in Yeh Ho River Basin the Government constructed
the Telaga Tunjung Dam, based on the cultivated hectares of paddy fields (sawah).
However, since the dam was build the downstream river flow was reduced quite
236 Reservoir operation for water upply to Subak irrigation schemes in Yeh Ho River Basin
significantly and the process of water sharing among the Subak irrigation systems was
changed. Due to this, there are serious conflicts on the water sharing among the farmers
within Yeh Ho River Basin. Therefore, the main objective of this study was to develop an
optimal reservoir operation strategy in relation to the operation of the Subak irrigation
systems, capable to support agricultural productivity at upstream, midstream and
downstream level. Detailed objectives of study were to:
• identify the type of river basin and to evaluate the land use;
• identify the contribution of the existing hydraulic structures in the main river system
in supplying water to the Subak irrigation schemes;
• identify and analyze the reliability of discharge in the main river system and the
inflow to the reservoir;
• analyze and determine the optimal outflow from the reservoir based on the needs of
the Subak irrigation schemes within the river basin;
• simulation of the reservoir operation and operation of the related Subak irrigation
systems based on the needs of the Subak irrigation schemes at upstream, midstream
and downstream level to achieve optimal productivity of agriculture in a sequence
time of operation related to the cropping patterns of the Subak irrigation schemes;
• to formulate recommendations on the future operation of the reservoir and related
Subak irrigation systems.
Initially the study presents a literature review to portray centuries of experience with
ancient Subak irrigation system management, in which Participatory Irrigation
Management (PIM) is represented by three linked elements: PIM in irrigation system
operation and maintenance; PIM with respect to socio-culture and economics of
agriculture; PIM in light of a religious community. While there have been dynamic
changes in human civilization, there are concerns how the values of the Tri Hita Karana
philosophy can be applied consistently. The lessons learned are based on natural resources
of topography, especially in the paddy terraces landscape, water resources and soils based
on the principles using the Tri Hita Karana philosophy that influences all activities of
participatory irrigation system management related to those three linked elements in Bali.
Summary 237
As associations for irrigation system management, Subak Associations have been
already naturally adapted to Participatory Irrigation Management (PIM). The
technological and socio-agricultural elements, the application of local cropping patterns
and indigenous water management are regarded as the building blocks, which have been
further developed in this study as scenarios of Telaga Tunjung Reservoir operation and
supply to the related Subak irrigation systems. Using the Weibull formula, the historic
supply data of several diversion weirs were analyzed. This analysis was able to determine
the water balance of the Subak irrigation schemes behind each diversion weir. In line with
this, a system approach has been applied based on the managed flows within the river
basin and the characteristics of the Subak irrigation schemes.
Irrigation and drainage (irrigation-drainage) of Subak irrigation schemes concern an
operational approach, which has been adapted naturally to the topography, soil and water
resources of Bali. Irrigation and drainage of terrace systems became an essential element
in water distribution. Subak farmers have been able to operate and manage irrigation and
drainage from one scheme to another for more than a thousand years. They did also know
when irrigation water reached from the highest level to the lowest level of the paddy
terraces within the schemes in a river basin.
In order to sustain the agriculture production of Subak irrigation schemes there was
a need for study based on farmer's perspective related to irrigation and drainage from one
scheme to another. This research took place during the cultivation periods by observing
the water levels at the inlet and outlet of a paddy terraces block, followed by an analysis
of the trend and the amount of water being drained.
Latosol soil is the soil layer of the study region. It is one of two types of volcanic
soil cover, which is the oldest of soils in Bali. The soil characteristics of Latosol can be
categorized by silty clay with medium until high plasticity and brown to yellowish
colours. The average value of bulk density is 0.91gr/m3, the particle density 2.58 gr/m3,
the porosity 0.65, the average hydraulic conductivity 9.7 x 10-4 cm/hour or 2.7 x 10-9 m/s.
The average root zone permeability of the paddy terraces is 75 cm/hour. The results prove
that the Subak farmers irrigate for saturation of the root zone before land preparation,
which requires a large amount of water.
238 Reservoir operation for water upply to Subak irrigation schemes in Yeh Ho River Basin
In order to achieve an optimal scenario a technical system analysis was needed. Two
common techniques have been applied, namely simulation and optimisation. The
RIBASIM (RIver BAsin SIMulation) model was applied to identify the best distribution
of water resources in the Yeh Ho River Basin. The focus of this study was to obtain the
highest productivity related to the operation of the Telaga Tunjung Reservoir and the
Subak irrigation systems with several weirs. The approach by representing the Yeh Ho
River Basin with the RIBASIM model offered the possibility to find optimum results for
the agriculture production. However, there was reduced availability of water for irrigation
from upstream sources and from the river.
The river basin simulation uses the 80% dependable discharge, and the simulation
and optimisation of the Subak schemes in Yeh Ho River Basin. While the period of land
preparation is critical with respect to the water needs the scenario analysis and
optimisation have been based on shifting of the starting time of land preparation (nyorog).
The results show that especially in the upstream and midstream of Yeh Ho River the
allocation of irrigation water to the Subak irrigation schemes experienced a deficit since
the water of Gembrong Spring was primarily withdrawn for domestic use, and the
distribution of water from the spring was not based on applying the agreement on water
sharing in practice. Therefore the first step in improved water supply would have to be to
really apply the agreement about it in practice. When this will be done effective operation
of the Telaga Tunjung Reservoir does not necessarily completely solve the problem of
water shortage in the river basin. However, when a cropping pattern based on the fifth
scenario will be applied the water deficit and yield reduction will be quite limited.
The results further show that the cropping pattern of the fifth scenario would result
in an optimal overall agriculture production at 100% and feasibility of farming of 2.3 of
the potential field level production for the Subak schemes. The recoverable flow
considered in the RIBASIM model plays an important role in the simulation and
optimisation of Yeh Ho River Basin. Two values have been applied, being 62% for the
average and 21% for the minimum recoverable flow. This is supported by the Tri Hita
Karana philosophy on harmony among people that overall could be applied in the
schemes in accordance with the cropping pattern of the fifth scenario, so that agricultural
productivity will be optimal. Nevertheless, under normal hydro-climatological conditions
Summary 239
it is also possible to apply the other scenarios, especially the first scenario. This reflects
the applicability of the Tri Hita Karana philosophy of harmony among people and
harmony of people and nature. At last, it is important how Subak farmers are able to
maintain harmony within the irrigation systems.
This research started quantitatively at the river basin scale and at paddy terraces
block scale by composing the Yeh Ho River Basin with the Subak irrigation schemes in it.
The fieldwork was done by orientation on the water sources and hydraulic structures of
and within Yeh Ho River Basin. Then a closed paddy terraces block with inlets and outlets
that relatively easy could be studied was analysed. These studies were based on the third
element of the Tri Hita Karana philosophy that is the material subsystem in relation to the
natural elements. This aspect implies that every paddy block of one farmer has one inlet
and one outlet and that the boundaries of the Subak schemes are naturally clear. These
observations were conducted during two wet and dry seasons (April 2013 - April 2015).
In addition data on agriculture production within Subak Caguh upstream of Telaga
Tunjung Reservoir and Subak Meliling downstream of the reservoir were collected, and
soil samples were taken to determine the type and the characteristics of the soils. Based on
the river basin and Subak irrigation schemes model, a scenario analysis based on the
Subak irrigation systems and the Tri Hita Karana philosophy and Subak regulation was
done. The results can be applied as a recommendation for the farmers.
Although the Subak farmers are reluctant to change to new irrigation practices, such
practices can in principle be useful for them as shown in two recent studies. One of these
studies concerned the application of the System of Rice Intensification (SRI) combined
with intermittent irrigation (ngenyatin). In the farmer's perspective the SRI method is not
easy applicable in practice. Nevertheless, the Subak farmers agreed that 15 days before
harvesting they will dry their fields, which is one element of the SRI method.
The reservoir operation rule as applied in the fifth scenario gives the best result. The
reservoir has especially an important role to increase water supply for the downstream
schemes: Meliling, Gadungan and Sungsang. It also has a direct impact to sustain water
conservation at the river basin scale.
1
Abstract University of Manchester Gede Pringgana Doctor of Philosophy Improving Resilience of Coastal Structures Subject to Tsunami-like Waves 2016 This thesis investigates tsunami impact on shore-based, low-rise structures in coastal areas. The aims are to investigate tsunami wave inundation in built-up coastal areas with reference to structural response to wave inundation, to assess the performance of current design codes in comparison with validated state-of-the-art numerical models and to improve structural design of residential buildings in tsunami risk areas. Tsunami events over the past few decades have shown that a significant proportion of fatalities can be attributed to the collapse of building infrastructure due to various actions of the incident waves. Although major tsunami events have demonstrated the potential catastrophic effects on built infrastructure, current building codes have no detailed or consistent guidance on designing structures in tsunami-prone regions. Furthermore, considerable differences in existing empirical formulae highlight that new research is necessary to appropriately address the particularities of the tsunami-induced forces and structure response into the design standards. In this thesis, numerical modelling methods are used to simulate hydrodynamic impact on shore-based coastal structures. The hydrodynamic simulations were conducted using a novel meshless numerical method, smoothed particle hydrodynamics (SPH), which is coupled with the finite element (FE) method to model structural behaviour. The SPH method was validated with experimental data for bore impact on an obstacle using a convergence study to identify the optimum particle size to capture the hydrodynamics. The FE model was validated against experimental data for plates under transient blast loads which have similar load characteristics with impulsive tsunami-induced bore impacts. One of the contributions of the thesis is the use of a new coupling method of the SPH-based software DualSPHysics and FE-based software ABAQUS. Using SPH particle spacing of the same size as the FE mesh size, enables the SPH output pressure to be directly applied as an input to the structural response model. Using this approach the effects of arrangement and orientation of single and multiple low rise structures are explored. Test cases were performed in 2-D and 3-D involving a discrete structure and multiple structures. The 3-D SPH simulations with single and multiple structures used an idealised coastal structure in the form of a cube with different on-plan orientations (0°, 30°, 45° and 60°) relative to the oncoming bore direction. The single structure cases were intended to study the improvement of the resilience of coastal structures by reducing the acting pressures on the vertical surfaces by changing the structure’s orientation. It was found the pressure exerted on the vertical surface of structure can be reduced by up to 50% with the 60° orientation case. The multiple structure models were conducted to examine shielding and flow focusing phenomena in tsunami events. The results reveal that the distance between two adjacent front structures can greatly influence the pressure exerted on the rear structure. This thesis also demonstrates the capability of SPH numerical method in simulating standard coastal engineering problems such as storm waves impact on a recurve wall in 2-D.
2
The idealised structures were represented as standard timber construction and the finite element modelling was used to determine the corresponding stress distributions under tsunami impact. Following the comparison of the method used in this thesis with commonly used design equations based on the quasi-static approach, large differences in stress prediction were observed. In some cases the loads according to the design equations predicted maximum stresses almost one order of magnitude lower. This large discrepancy clearly shows the potential for non-conservative design by quasi-static approaches. The new model for the simulation of tsunami impact on discrete and multiple structures shows that the resilience of a coastal structure can be improved by changing the orientation and arrangement. The characteristics of tsunami waves during propagation and bore impact pressures on structures can be assessed in great detail with the combined SPH and FE modelling strategy. The techniques outlined in this thesis will enable engineers to gain a better insight into tsunami wave-structure interaction with a view towards resilience optimization of structures vulnerable to tsunami impact events.
Telah dilakukan penelitian pemetaan dan kajian akuifer dengan metode geolistrik serta
aplikasinya pada peternakan ayam petelur. Permasalahan utama yang sering dihadapi dalam
suatu peternakan adalah tersedianya air yang secara kuantitas dan kualitas menuhi persyaratan
untuk peternakan. Air mempunyai akuifer dengan berbagai bentuk yang terletak pada berbagai
lokasi. Posisi akuifer mesti dicari untuk mendapatkan air. Salah satu cara untuk menditeksi posisi
akuifer adalah dengan metode geolistrik. Penelitian yang dilakukan memakai metode geolistrik
didapatkan bahwa akuifer memiliki alur-alur seperti pembuluh darah pada tubuh manusia bukan
dalam bentuk flat. Hasil pendugaan ini telah dibuktikan dengan melakukan pengeboran pada
lintasan 7 di titik 24 yang didapatkan adanya akuifer pada kedalaman 18,5 m. Demikian juga
pada lintasan 4 di titik 14, pada saat dilakukan penggalian dalam rangka membuat sumur gali,
telah didapatkan akuifer pada kedalaman 17 m. Hasil kajian akuifer mendapatkan bahwa akuifer
sumur bor memiliki porositas (Φ) 36,90 %, kunduktivitas hidrolik (K) 0,0368 m/s, transivitivitas
(T) 0,5792 m2/s, spesifik storativitas (Ss) 9,7358 10-4 /m, dan storativitas (S) 0,0055883.
Berdasarkan data pemompaan terhadap sumur, didapatkan faktor pengembang (Fd) 0,46 hari/m3,
perbaikan sumur (C) 10,5147 menit2/m5, kapasita jenis (Sc) 0,0063728 m2/s , debit optimum
(Qopt) 65 m3/jam dengan efisiensi sumur (Ew) 44,4%, dan kandungan mikrobiologi nol, yang
berarti sumur bor mempunyai produktivitas tinggi, baik untuk dikembangkan. Namun saat ini,
sumur bor mempunyai kendala kurang lancarnya air dari akuifer masuk ke sumur, karena jarak
screen terlalu jarang yaitu 15 cm dan lebar 1 cm. Apabila pada sumur bor dipasang pompa
dengan kekuatan pompa 65 m3/jam, dihidupkan selama 8 jam per hari secara terus menerus,
sedangkan kebutuhan air untuk 1000 ekor ayam adalah 600 l, maka dari sumur bor tersebut
mampu menyediakan air untuk 867000 ekor ayam. Setelah dilakukan uji banding pada ayam
petelur antara air sumur bor, air PAM, air PAM ditambah desinfektan, air sumur gali dan air
sumur gali ditambah desinfektan, ternyata parameter makro yang meliputi konsumsi pakan,
konsumsi air, FCR, produksi telur, persentase produksi (HD%), berat telur, berat kulit telur,
tebal kulit telur, kenaikan berat badan, dan liveabilitas, secara statistik tidak terdapat perbedaan
yang signifikan (P>0,05). Parameter mikro yang terukur dalam telur meliputi total plate count
(TPC), coliform, E.coli, S. aereus dan salmonella sp., tidak ditemukan indikasi telur tercemar.
Ini berarti pemberian berbagai jenis air dalam penelitian, telur tidak menyebabkan tercemar
secara mikrobiologi.
APLIKASINYA PADA PETERNAKAN AYAM PETELUR
Oleh:
AND ITS APPLICATION IN POULTRY FARM
Has conducted research mapping and assenment of aquifer by geoelectric method and its
application in poultry farm. The main problem accuring on the poultry is the availability of water
in quantity and quality to meet the requirements for farms. Water has an aquifer with various
forms at various locations. The position of the aquifer have to be found to get water. One way to
detect the position of the aquifer is by geoelectric method. From research conducted by
geoelectric method found that aquifer has grooves likes blood vessels in the human body not in
the flat form. The results of these estimates has been evidenced by drilling on the strike 7 in the
point 24, there are the aquifer on 18.5 m in depth. In strike 4 point 14, at the time of excavation
in order dug wells, has obtained the aquifer on 17 m in depth. Results of the study found that
the aquifer bore well has a porosity (Φ) 36.90%, hydraulic conductivity (K) 0.0368 m/s,
transivity (T) 0,5796 m2/s, specific storativity (Ss) 9.7358.10-4/m, and storativity (s) 0.0055883.
Based on data from the pumping test, obtained development faktor 0.46 day/m3, repair factor C
10.5147 minit/m5, specific capacity (Sc) 0.0063728 m2/s, optimum debit (Qopt) 65 m3/hr on well
efficiency (Ew) 44.4% were obatain and zero microbiology content, that means bore well has
hight productivity, good for developed but bore well has problem the water from an aquifer is
less smooth entry to the well, because the screen distance is too sparse that is 15 cm and wide 1
cm. If the bore well is installed with a power pump of about 65 m3/hr, turned on for 8 hours per
day continuously, while water comsumtion for 1000 chickens is 600 l, so from the bore well is
able to provide water for 867000 chickens. After comparative tests in laying hens between water
from bore well, water from PAM, water from PAM with desinfectant, water from well, water
from well with desinfectant, so macro parameters which include feed consumption, water
consumption, FCR, egg production (HD%), egg weight, eggshell weight, eggshell thickness,
weight gain, and liveability, are not statistically significant differences (P> 0.05). Micro
parameters measured in eggs include total plate count (TPC), coliform, E. coli, S. aereus and
Salmonella sp., found no indication of contaminated eggs. This means the provision of various
types of water in the research, eggs are not causing microbiologically contaminated.
Key Words: geoelectric method, aquifer, poultry farm productivity
RINGKASAN
APLIKASINYA PADA PETERNAKAN AYAM PETELUR
Air merupakan salah satu komponen penting, baik kuantitas maupun kualitas, untuk
tumbuh, berkembang, dan berproduksi dalam suatu peternakan, selain pakan dan oksigen.
Ketidaktersediaan salah satu komponen tersebut menyebabkan produktivitas terganggu. Selain
itu, proses pembuangan zat makanan sisa metabolisme juga terhambat, akibatnya bisa meracuni
tubuh ayam. Air juga diperlukan untuk membersihkan kandang, menyiram tanam-tanaman,
untuk keperluan air minum karyawan dan untuk air minum ternak. Secara umum, volume air
yang diminum ayam adalah dua kali jumlah pakan yang dikonsumsinya. Banyaknya pakan yang
dikonsumsi ayam Isa Brown umur 23-60 minggu adalah 112 g/ekor/hari, sedangkan umur 61-90
minggu adalah 113 g/ekor/hari. Ini berarti volume air yang dikonsumsi ayam pada umur 23-60
minggu adalah 224 ml/ekor/hari, sedangkan pada umur 61-90 minggu 226 ml/ekor/hari. Menurut
Badan Standarisasi Nasional (2002), keperluan air tiap hari oleh peternakan ayam setiap 1000
ekor ayam adalah 600 l, termasuk keperluan membersihkan peralatan kandang, menyiram
tanam-tanaman, air minum karyawan, dan air minum ayam. Ini berarti dalam suatu peternakan
ayam, tiap hari minimal 224 l air harus ada untuk 1000 ekor ayam.
Disamping kuantitas, kualitas air juga harus diperhatikan. Kriteria air minum kualitas
yang baik adalah bersih, jernih, segar, tidak ada rasa, dan bebas dari pencemaran. Kualitas air
sangat tergantung dari sumbernya. Sumber air minum dapat berupa air dari Perusahaan Air
Minum (air PAM), air sumur dan air permukaan. Pengamatan di lapangan (2007-2012)
mendapatkan bahwa, sebanyak 80% sampel air dari peternakan yang diperiksa bermasalah.
Permasalahan diduga berasal dari sumber air. Karena adanya kendala pada berbagai sumber air
untuk peternakan, maka solusi yang diambil dengan membuat sumur bor untuk mendapatkan air
bawah tanah. Air bawah tanah berada diantara lapisan kedap air, sehingga cemaran airnya bisa
diminimalkan. Banyak lapisan antara akuifer dan akuiklud. Apabila dilakukan pengeboran akan
didapatkan air bawah tanah dimanapun dilakukan pengeboran. Kenyataan di lapangan
didapatkan bahwa, air bawah tanah dari suatu titik ke titik pengeboran lain dalam jarak yang
relatif dekat (12,2 m) kedalaman, kuantitas dan kualitasnya berbeda. Pembuatan sumur bor
masih ada permasalahan, yaitu bagaimana menduga akuifer yang berada di bawah permukaan
tanah betul-betul didapatkan lokasi paling dangkal, akuifer debitnya besar sehingga keperluan air
di peternakan bisa terpenuhi.
Berdasarkan sifat ini, akuifer dapat dicari dengan metode geolistrik. Metode geolistrik
merupakan salah satu metode geofisika untuk menduga keberadaan perlapisan di bawah
permukaan tanah berdasarkan beda resistivitasnya. Banyak penelitian telah dilakukan dalam
rangka menduga akuifer dengan metode geolistrik, ada yang hasilnya hanya sampai interpretasi
penyebaran akuifer dalam skala luas, tetapi ada juga yang sudah sampai verifikasi dan hasilnya
sangat cocok. Hasil penelitian tersebut belum mengungkap bagaimana bentuk, alur, dan
karakteristik akuifernya, serta kuantitas dan kualitas air yang diproduksi. Belum pernah air yang
diujicobakan pada ayam petelur untuk melihat produktivitasnya. Hasil penelitian terdahulu
belum dapat menjelaskan mengapa pada suatu tempat dilakukan pengeboran didapatkan air,
sedangkan pada tempat yang lain dengan jarak yang relatif dekat (5–10 m) tidak didapatkan air.
Adanya permasalahan-permasalahan di atas, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, sehingga
dapat diajukan permasalahan yaitu: Bagaimanakah hasil pendugaan metode geolistrik terhadap
bentuk, alur, dan karakteristik akuifer pada daerah penelitian? Bagaimanakah kuantitas dan
kualitas air sumur bor yang akuifernya didapatkan dengan cara mengaplikasikan metode
geolistrik? Bagaimanakah perbedaan hasil parameter makro dan parameter mikrobiologi telur
hasil aplikasi air sumur bor, air sumur gali, dan air PAM pada ayam petelur? Untuk menjawab
permasalahan tersebut, dilakukan penelitian di Bugbug Karangasem guna mendapatkan akuifer
dengan metode geolistrik dan mengaplikasikan berbagai jenis air pada ayam petelur Isa Brown,
kemudian dilakukan analisis data yang didapat.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, hasil analisis menunjukkan bahwa adanya
alur-alur akuifer di daerah penelitian. Akuifer bentuknya seperti pembuluh darah pada tubuh
manusia bukan dalam bentuk flat. Akuifer di daerah penelitian diduga berasal dari parit yang
tertimbun oleh material letusan Gunung Agung tahun 1963 dan sebelumnya. Hasil kajian akuifer
mendapatkan bahwa, akuifer sumur bor memiliki porositas akuifer (Φ) 36,90 %, kunduktivitas
hidrolik (K) 0,0368 m/s, transivitivitas (T) 0,5792 m2/s, spesifik storativitas (Ss) 9,7358 10-4 /m,
dan storativitas (S) 0,0055883. Berdasarkan data pemompaan terhadap sumur,
didapatkan factor pengembang (Fd) 0,46 hari/m3, perbaikan sumur (C) 10,5147 menit2/m5,
kapasita jenis (Sc) 0,0063728 m2/s , debit optimum (Qopt) 65 m3/jam dengan efesiensi sumur
(Ew) 44,4%, dan kandungan mikrobiologi nol, yang berarti sumur mempunyai produktivitas
tinggi, baik untuk dikembangkan. Namun saat ini sumur mempunyai kendala kurang lancarnya
air dari akuifer masuk ke sumur karena jarak screen terlalu jarang yaitu 15 cm dan lebar 1
cm. Apabila pada sumur bor dipasang pompa dengan kekuatan pompa 65 m3/jam, dihidupkan
selama 8 jam per hari secara terus menerus, sedangkan kebutuhan air untuk 1000 ekor ayam
adalah 600 l, maka dari sumur bor tersebut mampu menyediakan air untuk 867000 ekor ayam.
Dilakukan uji banding pada ayam petelur Isa Brown dengan memberi perlakuan berbagai jenis
air, yaitu antara air sumur bor, air PAM, air PAM ditambah desinfektan, air sumur gali dan air
sumur gali ditambah desinfektan. Parameter-parameter makro yang didapat dengan rentangan
sebagai berikut: konsumsi pakan 114,74-117,29 g/ekor/hari; konsumsi air 222,45-232,25
ml/ekor/hari; FCR 2,22-2,33; produksi telur selama penelitian 49,89-52,39 g/ekor/hari;
persentase produksi rata-rata (HD%) 84,87-89,73%; berat telur rata-rata 58,36-59,95 g; berat
kulit telur rata-rata 7,33-7,95 g; tebal kulit telur rata-rata 0,44-0,49 mm; kenaikan berat badan
rata-rata -20-120 g; dan liveabilitas 95,31-100%; secara statistik tidak terdapat perbedaan yang
signifikan (P>0,05). Parameter mikro telur meliputi total plate count (TPC), coliform, E.coli, S.
aereus dan salmonella sp., tidak ditemukan indikasi telur tercemar. Ini berarti pemberian
berbagai jenis air dalam penelitian, telur tidak menyebabkan tercemar secara mikrobiologi
karena air yang dipakai dalam penelitian, dari segi kualitas semuanya masih dalam katagori air
layak untuk peternakan