DIREKTORAT PENGELOLAAN B3

63
DIREKTORAT PENGELOLAAN B3 A

Transcript of DIREKTORAT PENGELOLAAN B3

D I R E K T O R A T P E N G E L O L A A N B 3 A

B U K U T A H U N A N 2 0 1 5B

Penanggung Jawab:Ir. Yun Insiani, M.Sc.Direktur Pengelolaan Bahan Berbahaya dan BeracunKementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Tim Penyusun: Kasie. Pertambangan Energi Minyak dan Gas

Kasie. Pengembangan

Kasie. Kategorisasi

Kasie. Penghapusan

KaSubbag Tata Usaha

Tim Editor:

KaSubdit. Penerapan Konvensi B3

KaSubdit. Pengendalian B3

KaSubdit. Inventarisasi Penggunaan B3

KaSubdit. Penanganan B3

Desain & Tata Letak:

D I R E K T O R A T P E N G E L O L A A N B 3 1

ISIDAFTAR

I. PENDAHULUAN a. Kata Pengantar, 3 “Salam Hangat” b. Struktur Organisasi, 5 “The ‘A’ Team” c. Mengenai Direktorat Pengelolaan B3, 7 “Inilah Kami”

II. CATATAN PERJALANAN 2015 a. Rangkuman Pencapaian 2015, 10 “2015 Dalam Angka” b. Kebijakan & Peraturan Pengelolaan B3, 12 “Fondasi Kuat Untuk Hasil Optimal” c. Sistem Informasi Tata Kelola B3, 15 “Terbuka & Terintegrasi” d. Registrasi & Notifikasi B3, 16 “Meningkatkan Kontrol Impor & Ekspor B3” e. Rekomendasi Pengangkutan B3, 23 “Mengangkut Dengan Tepat & Bertanggung Jawab f. Inventarisasi & Pemantauan Pengelolaan B3, 27 “Mengungkap Fakta dari Lapangan” g. Bimbingan Teknis B3, 40 “Konsisten Meningkatkan Kapasitas” h. Implementasi Konvensi & Kerja Sama Internasional, 42 “Mentransformasi Rencana Menjadi Aksi” i. Penanganan B3, 49 “Peningkatan Penanganan B3, Penting!

III. EVALUASI & RENCANA KE DEPAN a. Analisis Capaian Kinerja, 56 “Sasaran VS Pencapaian” b. Rencana 2016 60 “Untuk Pengelolaan B3 Yang Lebih Baik”

B U K U T A H U N A N 2 0 1 52

D I R E K T O R A T P E N G E L O L A A N B 3 3

Tahun 2015 telah kami lalui dengan bekerja keras untuk mengejar perbaikan lingkungan hidup melalui pengembangan sistem pengelolaan bahan berbahaya dan beracun (B3) yang aman. Dengan harapan risiko terjadinya dampak negatif dari B3 terhadap lingkungan hidup, kesehatan, dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk lain pun dapat diperkecil. Dalam mewujudkan hal tersebut, berbagai kendala harus kami lalui. Namun, berbagai terobosan dilakukan oleh keempat sub direktorat kami agar sasaran dan target kerja Direktorat Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dapat tercapai.

Buku tahunan ini memaparkan gambaran objektif berbagai kegiatan, kebijakan, dan pencapaian Direktorat Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) yang telah dilakukan pada periode Mei hingga Desember 2015. Walaupun belum menjabarkan secara detail, kami berharap buku tahunan ini dapat memberikan gambaran komprehensif dan menyeluruh atas kinerja kami dalam jangka waktu tersebut. Kami juga berharap buku tahunan ini akan bermanfaat bagi pelaksana program lingkungan hidup di seluruh Tanah Air dan segenap stakeholders untuk mengoptimalkan peran serta mereka dalam perbaikan lingkungan hidup.

Akhir kata, kami ucapkan terima kasih kepada seluruh pejabat dan staf Direktorat Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) atas dukungan dan kerja samanya dalam pencapaian dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan direktorat ini. Semoga Allah SWT selalu memberikan petunjuk dan arahannya serta meridhoi usaha-usaha yang telah dilaksanakan. Amin.

Jakarta, 10 Januari 2016

Direktur Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)Ir. Yun Insiani, M.Sc.

SALAM

B U K U T A H U N A N 2 0 1 54

Kerja sama yang kuat dan selaras untuk mencapai hasil yang optimal.

B U K U T A H U N A N 2 0 1 54

D I R E K T O R A T P E N G E L O L A A N B 3 5

DIREK TOR AT PENGELOL A AN BAHAN

BERBAHAYA DAN BER ACUN

SEK SI PEMBATASAN

SEK SI MANUFAK TUR

JASA KESEHATAN PERTANIAN

SEK SI K ATEGORISASISEK SI EVALUASI

SEK SI PENGHAPUSAN

SEK SI PERTAMBANGAN

MINYAK DAN GASSEK SI VERIVIK ASISEK SI

PENGEMBANGAN

KELOMPOK JABATAN

FUNGSIONAL

TEAMTHE

Ir. Yun Insiani, M.Sc.Direktur Pengelolaan B3

Kepala Sub Direktorat Penerapan Konvensi

Kepala Sub Direktorat Inventarisasi Penggunaan B3

Kepala Sub Direktorat Pengendalian B3

Kepala Sub Direktorat Penanganan B3

SUBBAG TATA USAHA

SU BDIRE K TOR AT PE NE R APAN KONVE NSI

BAHAN BE RBAHAYA DAN BE R ACU N

SUBDIREK TOR AT PENGENDALIAN

BAHAN BERBAHAYA DAN BER ACUN

SU BDIRE K TOR AT INVE NTARISA SI

PE NGGU NA AN BAHAN BE RBAHAYA DAN

BE R ACU N

SUBDIREK TOR AT PENANGANAN

BAHAN BERBAHAYA DAN BER ACUN

B U K U T A H U N A N 2 0 1 56

Berkomitmen melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup.

B U K U T A H U N A N 2 0 1 56

D I R E K T O R A T P E N G E L O L A A N B 3 7

Di sisi lain, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat telah meningkatkan kualitas hidup dan mengubah gaya hidup manusia. Pemakaian produk berbasis kimia serta bahan berbahaya dan beracun (B3) telah meningkatkan produksi sampah dan limbah B3. Kondisi tersebut menuntut dikembangkannya sistem tata kelola yang aman, dengan risiko yang kecil bagi lingkungan hidup, kesehatan, dan kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain. Kami Direktorat Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dipercaya melaksanakan penyiapan perumusan,

pelaksanaan, koordinasi, sinkronisasi kebijakan, bimbingan teknis, evaluasi bimbingan teknis, supervisi pelaksanaan urusan di daerah bidang pengelolaan bahan berbahaya dan beracun. Dalam membuat kebijakan dan menyusun rencana kerja, Direktorat Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) dan Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2015 – 2019, serta Rencana Kerja Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan Bahan Beracun Berbahaya TA 2015.

SIAP MENJAWAB

INILAH KAMI

B U K U T A H U N A N 2 0 1 58

Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan Kehutanan memiliki visi mewujudkan perbaikan kualitas fungsi lingkungan hidup dan kehutanan dengan menjadikan Kementerian Negara Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai institusi yang andal dan proaktif, serta berperan dalam pelaksanaan pembangunan berkelanjutan, dengan menekankan pada ekonomi hijau. Mengacu pada tugas pokok dan latar belakang Direktorat Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), serta mencermati fenomena yang ada, maka kami memiliki visi dan misi sebagai berikut:

DEMI PEMBANGUNAN

VISI

MISI

Pengelolaan B3 yang berwawasan lingkungan guna melindungi kesehatan manusia dan lingkungan dalam rangka tercapainya pembangunan berkelanjutan.

1. Mendorong penerapan siklus daur hidup (life cycle analysis) dalam pengelolaan B32. Melaksanakan administras, pemantauan, dan pengawasan pengelolaan B3 dengan

menerapkan prinsip-prinsip profesionalisme, akuntabilitas, transparansi, adil, dan bertanggung jawab

3. Melaksanakan aliansi strategis dengan para pemangku kepentingan (stakeholders) dalam pengelolaan B3

4. Mendorong penguatan kapasitas serta sistem informasi tata kelola B3 yang efisien dan efektif

5. Berperan aktif dalam kerjasama dan perjanjian internasional dengan mengutamakan kepentingan nasional

Visi dan misi tersebut merupakan perwujudan dari fungsi-fungsi Direktorat Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, yaitu:1. Penyiapan perumusan kebijakan penerapan konvensi, pengendalian, inventarisasi

penggunaan, pemantauan, dan penanganan bahan berbahaya dan beracun,2. Penyiapan pelaksanaan kebijakan penerapan konvensi, pengendalian, inventarisasi

penggunaan, pemantauan, dan penanganan bahan berbahaya dan beracun,3. Penyiapan koordinasi dan sinkronisasi kebijakan kebijakan penerapan konvensi, pengendalian,

inventarisasi penggunaan, pemantauan, dan penanganan bahan berbahaya dan beracun,4. Penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria penerapan konvensi, pengendalian,

inventarisasi penggunaan, pemantauan, dan penanganan bahan berbahaya dan beracun,5. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi pelaksanaan bimbingan teknis penerapan konvensi,

pengendalian, inventarisasi penggunaan, pemantauan, dan penanganan bahan berbahaya dan beracun,

6. Supervisi atas pelaksanaan urusan penerapan konvensi, pengendalian, inventarisasi penggunaan, pemantauan, dan penanganan bahan berbahaya dan beracun,

7. Pelaksanaan adminitrasi direktorat.

INILAH KAMI

D I R E K T O R A T P E N G E L O L A A N B 3 9

SASARAN

Dalam upaya pencapaian visi dan pelaksanaan misinya, setiap pelaksanaan program dan kegiatan Direktorat Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015 – 2019 dan Renstra Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 (PSLB3). Tujuannya adalah untuk meningkatkan kesehatan masyarakat dan kualitas lingkungan dengan berkurangnya risiko akibat paparan B3. Untuk mencapai tujuan tersebut, Direktorat Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun memiliki 6 (enam) sasaran strategis sebagai berikut:

6 (ENAM) SASARAN STRATEGIS

415263

Pengembangan kebijakan dan peraturan di bidang pengelolaan B3

Kajian dan pengembangan teknologi pengelolaan B3

Peningkatan kapasitas dan bimbingan teknis pengelolaan B3

Pelaksanaan pemantauan dan pengawasan pengelolaan B3

Pengembangan sistem informasi tata kelola B3

Implementasi konvensi dan kerja sama luar negeri pengelolaan B3

STRATEGI EMPAT PILAR

1 2 3 4

Perangkat Kebijakan Strategis

Pelaksanaan Kebijakan Operasional

Peningkatan Kapasitas

Kemitraan dan Kerja Sama Luar Negeri

TARGET! Terkelolanya bahan berbahaya dan beracun (B3) sebesar dan terus meningkat setiap tahunnya

INILAH KAMI

B U K U T A H U N A N 2 0 1 510

Konsep Pengaturan RPP B3Draft revisi Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan B3Draft Mekanisme Pengelolaan Merkuri Pada Penambangan Emas Skala Kecil (PESK) di IndonesiaDraft Konsep NIP (National Implementation Plan) Pengurangan dan Penghapusan Merkuri

Draft SOP (standard operating procedure) dan Pedoman Teknis Pembatasan B3Draft PCBs (polychlorinated biphenyls) Official GuidanceDraft Instrumen Ekonomi dan Skema Insentif

1.993 surat permohonan B3 diterima Direktorat Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun pada 2015.

117 merupakan jenis B3 yang dapat dipergunakan,

151 adalah jenis B3 baru, dan 25 adalah jenis B3 terbatas.

25 juta ton B3 diimpor ke Indonesia.

(Sumber: Data Perhitungan Laporan Rencana

Realisasi Impor)

1) Buku Direktori Database Perusahaan B3 Teregister & Pengangkutan Terekomendasi Tahun 2015

2) Buku Petunjuk Teknis Tata Cara Registrasi, Notifikasi, dan Pengangkutan B3

3) Status Kategorisasi B3 Teregister Tahun 20154) Laporan Evaluasi Verifikasi B3 Teregister

Tahun 2015

Pada tahun 2015, telah dilakukan pemantauan B3 terhadap 10 perusahaan importir distributor dan importir produsen paraquat dichloride technical. Mereka umumnya merupakan produsen pestisida, herbisida, dan insektisida.

23 nama dagang atau produk herbisida berbahan baku paraquat dichloride technical telah mendapatkan izin dari Kementerian Pertanian.

PENCAPAIAN DAN EVALUASI

2015 DALAM ANGKA

Draft 4 3PENGEMBANGANKEBIJAKAN

REGISTRASI B3

OUTPUT

INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN

PENGGUNAAN B3

D I R E K T O R A T P E N G E L O L A A N B 3 11

SISTEM INFORMASI TATA KELOLA B3 DAN POP

Pengembangan dan pembangunan sistem informasi tata kelola B3 dan POP (persistent organic pollutant) telah dilakukan. Kini, kami memiliki website sib3pop.menlhk.go.id yang dapat menjadi portal informasi publik mengenai kegiatan penggunaan dan penanganan bahan beracun dan berbahaya (B3) dan POP di Indonesia. Ini merupakan implementasi dari mandat UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 19 Tahun 2009 (Pengesahan Konvensi Stockholm), UU No. 10 Tahun 2013 (Ratifikasi Konvensi Rotterdam), dan PP No. 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3).

2015 DALAM ANGKA

151 bahan kimia impor telah dikaji.

Sebanyak 38 merupakan bahan kimia baru,

16 di antaranya adalah bahan kimia baru yang dapat digunakan

dan 22 adalah bahan kimia baru yang terbatas digunakan.

(Sumber: Data Bahan Kimia Impor Baru Teregistrasi, Januari - Desember 2015)

UPAYA PENGHAPUSAN MERKURI

33 penambang rakyat dari 33 provinsi telah menandatangani Deklarasi “Bebas Merkuri Menuju Formalisasi Penambangan Emas Skala Kecil (PESK)”

Kajian dampak merkuri terhadap kesehatan dan lingkungan dilakukan di 2 lokasi, yaitu

dan .

KEGIATAN PENGHAPUSAN PCBS

Feasibility Study Fasilitas Pemusnahan PCBs,

Training of Trainer (TOT) mengenai Analisis dan Inventori PCB

draft Instrumen Ekonomi dan Skema Insentif, dan pembangunan website pcbfreeIndonesia.com

Strategic Approach to International Chemicals Management (SAICM)

kerja sama dengan Kementerian Lingkungan Hidup Jepang dan KEMI Swedia

PENANGANAN B3

KERJA SAMA DAN PERAN AKTIF DI

TINGKAT GLOBAL

UNTUK KINERJA LEBIH BAIKYANG

B U K U T A H U N A N 2 0 1 512

Di tahun lalu, Direktorat Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) telah melaksanakan berbagai program dan kegiatan terkait penyusunan kebijakan dan peraturan

pengelolaan B3. Tujuannya tentu adalah agar kita memiliki landasan kebijakan dan peraturan yang tepat, kuat, dan akomodatif terhadap kebutuhan pengelolaan B3 yang optimal.

Langkah awal untuk

mendukung kebutuhan

pengelolaan B3 dengan tepat

FONDASI KUAT UNTUK

1. Perlu ditetapkan definisi untuk setiap siklus pengelolaan B3 seperti siklus yang tercantum dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 58. Undang-undang tersebut mengatakan, “Setiap orang yang memasukkan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, menghasilkan, mengangkut, mengedarkan, menyimpan, memanfaatkan, membuang, mengolah, dan/atau menimbun B3 wajib melakukan pengelolaan B3”,

2. Pemetaan kewenangan sektor dalam pengelolaan B3,

3. Pendefinisian B3 untuk dicantumkan dalam RPP Pengelolaan B3. Definisi B3 adalah bahan kimia, baik berupa senyawa tunggal, senyawa campuran, preparat, dan/atau senyawa kimia yang terdapat dalam produk. Karena sifat, konsentrasi, dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, bahan kimia tersebut dapat mencemarkan dan/atau merusak lingkungan hidup, dan/atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, serta kelangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya.

Penyusunan Kajian Pemutakhiran Konsep Pengaturan RPP B3

Penyusunan kajian ini merupakan bagian dari proses revisi PP No. 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan B3. Melibatkan beberapa pakar, topik-topik utama yang dibahas dalam penyusunan Kajian Pemutakhiran Konsep Pengaturan RPP B3 adalah sebagai berikut:

Setiap bahan kimia pasti memiliki sifat bahaya (hazard), yaitu sifat yang dapat merusak lingkungan hidup, merugikan kesehatan manusia, serta berbahaya secara fisik. Sifat bahaya ini dikelompokkan ke dalam GHS (Globally Harmonized System), sistem klasifikasi dan pemberian label untuk bahan kimia.

Umumnya, bahan kimia dikategorikan sebagai bahan kimia berbahaya (hazardous chemicals), jika bahan kimia tersebut memiliki salah satu atau beberapa sifat merusak sekaligus. Misalnya, merusak lingkungan hidup, merugikan kesehatan manusia (beracun), serta memiliki bahaya fisik.

Bahan kimia disebut beracun jika bahan kimia tersebut dapat meracuni kesehatan manusia atau biota di lingkungan hidup. Semua bahan kimia yang beracun memiliki sifat bisa membahayakan manusia dan lingkungan hidup. Karena itu, semua bahan kimia yang beracun pasti berbahaya.

Bahan kimia yang berbahaya secara fisik (eksplosif, mudah menyala, oksidator, swa-panas, swa-reaktif, piroforik, bertekanan, dan korosif ), belum tentu memiliki bahaya racun jika berada dalam konsentrasi rendah. Sehingga, definisi bahan kimia berbahaya yang tidak beracun di sini adalah bahan kimia yang memiliki bahaya fisik, tetapi tidak termasuk dalam bahan kimia yang berpotensi meracuni kesehatan manusia dan meracuni lingkungan hidup.

Berdasarkan sifatnya, bahan kimia dapat dikategorikan sebagai berikut:

KEBIJAKAN DAN PERATURAN PENGELOLAAN B3

D I R E K T O R A T P E N G E L O L A A N B 3 13

KEBIJAKAN DAN PERATURAN PENGELOLAAN B3

4. Penentuan daftar B3 yang akan dimasukkan ke dalam lampiran RPP Pengelolaan B3 ini mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut:

kimia, antara lain: Permentan No. 24 Tahun 2011 tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Pestisida. Sehingga, perlu dilakukan koordinasi lebih lanjut dengan berbagai sektor pemerintahan untuk menginventarisasi peraturan-peraturan yang tersedia,

Konvensi Rotterdam, Konvensi Minamata, Protokol Montreal, dan SAICM. Chemical of Concerns berdasarkan isu nasional maupun internasional,

diantaranya berdasarkan Notifikasi Ekspor, Monographs IARC, dan WHO,

namun tetap harus memperhatikan kesiapan, kemampuan, dan kebutuhan nasional. Sebagai contoh, dalam Permentan No. 24 Tahun 2011 tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Pestisida, Monograph IARC Group 1 dan Group 2A menjadi pertimbangan untuk daftar pestisida yang dilarang dan terbatas dipergunakan. Selain itu, peraturan negara lain juga sebaiknya tidak dijadikan bahan pertimbangan secara spesifik. Karena, pengaturan di negara lain belum tentu sesuai dengan kebutuhan nasional. Faktor demografis, kemampuan ekonomi, dan kebutuhan nasional pun perlu menjadi bahan pertimbangan yang tak kalah pentingnya.

5. Decision Logic untuk daftar B3 adalah sebagai berikut:

atau B3 dalam kategori terbatas dipergunakan, maka otomatis bahan kimia atau B3 tersebut dimasukkan ke dalam daftar terbatas,

atau B3 sebagai dilarang dipergunakan, tetapi masih dapat dipergunakan di sektor lain, maka otomatis bahan kimia atau B3 tersebut dimasukkan ke dalam daftar terbatas,

sudah diratifikasi) sudah dinyatakan dilarang, maka otomatis bahan kimia atau B3 tersebut dimasukkan ke dalam daftar dilarang.

6. Materi muatan (ruang lingkup pengelolaan B3), yaitu bentuk B3 yang akan diatur dalam PP adalah senyawa tunggal, mixture, preparat, dan chemical in product. Perlu penjelasan lebih terperinci mengenai definisi dan pengaturan tentang preparat dan chemical in product.

7. B3 dikategorikan menjadi tiga kategori utama. Penyebutan “dimanfaatkan” dalam kategori B3 disarankan diubah menjadi “digunakan”, karena pemanfaatan identik dengan salah satu tahapan dalam siklus hidup pengelolaan B3. Kategorisasi B3 harus didasari dengan batas minimum seperti LD50. Berikut ini masukan terkait kategori B3 yang diatur dalam PP:

kelompok B3 yang terbatas dan B3 yang dilarang dimanfaatkan,

risiko bahaya terhadap lingkungan, kesehatan manusia, dan/atau fisik. Pengkategorian ini memerlukan kajian lebih lanjut. Meski begitu, suatu bahan kimia dapat dikategorikan terbatas untuk dipergunakan adalah jika bahan kimia tersebut memiliki salah satu kriteria di bawah ini:1. Bahan kimia yang termasuk dalam GHS kategori 1a dan 1b untuk

bahaya kesehatan,2. Bahan kimia yang memiliki waktu paruh lebih dari 2 (dua) bulan dalam

air atau memiliki waktu paruh lebih dari 6 (enam) bulan dalam tanah atau sedimen,

B U K U T A H U N A N 2 0 1 514

3. Bahan kimia yang memiliki sifat bioakumulasi yang tinggi terhadap biota, dibuktikan dengan angka log Kow lebih dari 5, maupun angka faktor bio-konsentrasi atau faktor bio-akumulasi lebih dari 5000,

4. Bahan kimia yang memiliki sifat eksplosif kategori divisi 1.1 dan divisi 1.2, serta bahan kimia cair (atau gas) dengan sifat mudah menyala kategori 1 berdasarkan GHS,

5. Bahan kimia yang dalam peraturan nasional di kementerian lain sudah masuk dalam kategori dibatasi atau dilarang. Bahan kimia yang termasuk dalam Annex III Konvensi Rotterdam, Annex B Konvensi Stockholm, Konvensi Montreal, dan Konvensi Minamata.

peraturan nasional telah ditetapkan terlarang.

8. Masing-masing kelompok B3 perlu ditentukan batasan klasifikasinya berdasarkan sifat bahaya dan potensi bahayanya, agar jika terdapat B3 baru, kita bisa menempatkan B3 tersebut ke dalam klasifikasinya.

Penyusunan Pedoman Pengelolaan B3Untuk menjalankan fungsi dan strategi Direktorat Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) terkait pengelolaan B3 yang optimal dengan landasan pedoman yang kuat, kami juga telah menyusun beberapa rancangan pedoman sebagai berikut:1. Draft SOP (standard operating procedure) dan draft Pedoman Teknis Pembatasan

B3,2. Draft PCBs Official Guidance dan draft Instrumen Ekonomi dan Skema Insentif.3. Penyusunan Mekanisme Pengelolaan Merkuri Pada Penambangan Emas Skala

Kecil (PESK) di Indonesia,4. Konsep NIP (National Implementation Plan) Pengurangan dan Penghapusan

Merkuri di Indonesia.

Belum disahkannya Peraturan Pemerintah Pengelolaan B3 pengganti PP No. 74 Tahun 2001 tentang pengelolaan B3 serta pemahaman yang belum sinkron dari kementerian serta lembaga lainnya terhadap substansi pengelolaan B3.

KENDALA

KEBIJAKAN DAN PERATURAN PENGELOLAAN B3

D I R E K T O R A T P E N G E L O L A A N B 3 15

Dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, ada satu pasal yang mengatur mengenai Sistem Informasi, yaitu Pasal 62. Disebutkan dalam Pasal tersebut, “Pemerintah dan pemerintah daerah mengembangkan sistem informasi lingkungan hidup untuk mendukung pelaksanaan dan pengembangan kebijakan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Sistem informasi lingkungan hidup dilakukan secara terpadu dan terkoordinasi dan wajib dipublikasikan kepada masyarakat”. Hal serupa juga dibahas dalam UU No. 19 Tahun 2009 yang merupakan Pengesahan Konvensi Stockholm mengenai bahan pencemar organik yang persisten, UU No. 10 Tahun 2013 yang merupakan Ratifikasi Konvensi Rotterdam), dan PP No. 74 Tahun 2001. Untuk itu, kami melakukan pengadaan pengembangan dan pembangunan sistem informasi B3 dan POPs (persistent organic pollutants) dengan alamat situs

Portal ini ditujukan sebagai portal informasi dan edukasi bagi publik (masyarakat Indonesia dan dunia internasional) tentang kegiatan penggunaan dan penanganan bahan beracun berbahaya (B3) dan POPs di Indonesia. Harapannya, portal ini bisa mendukung penyediaan data dan informasi B3 dan POPs nasional. Sementara itu, kami juga membangun situs

yang ditujukan sebagai medium penyediaan informasi terkait kebijakan, aktivitas, serta kontribusi berbagai pihak untuk mengelola penyimpanan, distribusi, dan pemusnahan PCBs. Dengan begitu, kami memiliki sistem informasi tata kelola B3 yang terpadu, sehingga dapat meningkatkan efisiensi dalam hal pengelolaan B3. Dengan penyediaan informasi yang dapat diakses siapa pun, kami ingin mengajak peran aktif masyarakat dan perusahaan-perusahaan dalam hal tata kelola B3 yang lebih baik.

Sigap menjawab tantangan global dan

meningkatkan efisiensi

DAN TERBUKA

SISTEM INFORMASI TATA KELOLA B3

B U K U T A H U N A N 2 0 1 516

Sistem registrasi dan inovasi yang tertata baik penting untuk memantau peredaran B3 di Indonesia.

IMPOR DAN EKSPOR

MENINGKATKAN

REGISTRASI DAN NOTIFIKASI B3

B U K U T A H U N A N 2 0 1 516

D I R E K T O R A T P E N G E L O L A A N B 3 17

Selama beberapa dekade, penggunaan B3 di Indonesia semakin meningkat dan tersebar luas di semua sektor, dari industri hingga rumah tangga. Apabila pengelolaannya tidak dilakukan dengan baik, maka dapat menimbulkan pencemaran tanah, udara, air, dan laut yang dapat membahayakan kesehatan manusia dan makhluk hidup lainnya. Karena itu, kami memulai upaya pengelolaan B3 dari hal yang paling dasar, yaitu penetapan dan pelaksanaan sistem registrasi B3 sebagai alat kontrol terhadap peredaran B3 di Indonesia. Dengan begitu, diharapkan pengawasan dan pencegahan atas terjadinya dampak negatif B3 terhadap lingkungan hidup pun dapat lebih optimal dilakukan.

Sistem Terintegrasi Satu ‘Pintu’Menurut PP No. 74 Tahun 2014, setiap pihak penghasil dan/atau pengimpor B3 wajib melakukan bahan registrasi atas B3 yang dihasilkan dan/atau diimpor untuk pertama kalinya. Proses registrasi B3 harus melalui beberapa tahapan, mulai dari persiapan, verifikasi permohonan, pembayaran, validasi permohonan, hinga akhirnya diterbitkan surat registrasi B3. Formulir-formulir yang harus dilengkapi untuk registrasi B3 ini bisa didapatkan dan diisi secara online di http://pelayananterpadu.menlh.go.id Setiap lembaga atau institusi yang mengajukan izin pengelolaan B3 harus melalui tahap verifikasi administrasi dan persyaratan teknis terlebih dahulu. Tahap verifikasi ini sangatlah krusial agar kami dapat memastikan

agar B3 tidak merusak kesehatan manusia dan lingkungan. Di dalam pelaksanaannya, verifikasi izin pengelolaan B3 mencakup kegiatan pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan, dan penimbunan, serta notifikasi ekspor B3 dan rekomendasi impor B3. Di era modern ini, globalisasi ekonomi merupakan hal yang mutlak terjadi dan tak dapat dihindari. Kondisi ini meningkatkan persaingan bisnis yang semakin ketat. Untuk meningkatkan investasi dan mendorong produksi, Negara pun perlu melakukan perbaikan dan inovasi dalam berbagai sektor ekonomi. Bagi sektor bisnis, perdagangan, manufaktur, maupun pembangunan, impor atau proses transportasi barang maupun komoditas dari negara lain merupakan aktivitas yang lazim dan penting. Untuk memperlancar proses impor, pemerintah membuat Indonesia National Single Window (INSW), suatu sistem nasional yang memungkinkan dilakukannya suatu penyampaian data dan informasi secara tunggal, pemrosesan data secara tunggal dan sinkron, serta pembuatan keputusan secara tunggal untuk pemberian izin kepabeanan dan pengeluaran barang. INSW sendiri dikoordinasikan oleh Menko Perekonomian, dengan lead agency Dirjen Bea dan Cukai serta Kementerian Keuangan.Registrasi B3 pun sudah termasuk dalam layanan INSW. Sehingga, industri atau manufaktur yang ingin mengimpor B3 dari luar negeri dapat mendaftarkannya melalui INSW di http://webformga.insw.go.id.

REGISTRASI DAN NOTIFIKASI B3REGISTRASI DAN NOTIFIKASI B3

D I R E K T O R A T P E N G E L O L A A N B 3 17

B U K U T A H U N A N 2 0 1 518

 

1.993 Surat Permohonan Registrasi Diterima

804 Surat keterangan registrasi baru

84 Surat penjelasan perubahan

82 Surat keterangan tidak diregistrasi

79 Permohonan ditolak

65 Surat yang digabung

879 Surat keterangan registrasi perpanjangan

41%

4% 4% 4% 3%

44%

117 jenis B3 yang termasuk dalam kategori dapat digunakan, dalam pelaksanaan kegiatan registrasi B3.

152 jenis B3 baru yang belum tercantum di dalam lampiran PP 74 Tahun 2014 ditemukan.

Terdapat 9 jenis B3 yang paling banyak ditemukan beredar dan digunakan.

FAKTA!

FLOWCHART REGISTRASI B3REGISTRASI DAN NOTIFIKASI B3

D I R E K T O R A T P E N G E L O L A A N B 3 19

Jumlah Rencana Impor Setahun (Ton)

Jumlah Importir

8.08

3.64

3

54 92 20328.

9951.02

4.27

4

6.59

2.65

4

47 102

93240.

93192

8.91

0

4.80

8.64

6

30 87 61123.

65874

6.10

1

Heksana Etilena Karbon Dioksida

Asam Fosfat

Metilen Klorida

Etilen Glikol

Ksilena AkrilamidaMetanol

Jenis B3 Paling Mendominasi YANG TERDAFTAR9

8.08

3.64

3

328.

9951.02

4.27

4

6.59

2.65

4

240.

93192

8.91

0

4.80

8.64

6

123.

65874

6.10

1

Heksana Etilena Karbon Dioksida

Asam Fosfat

Metilen Klorida

Etilen Glikol

Ksilena AkrilamidaMetanol

JUMLAH RENCANA IMPOR SETAHUN (TON)

REGISTRASI DAN NOTIFIKASI B3

B U K U T A H U N A N 2 0 1 520

54 92 2047 102

9330 87 61

Heksana Etilena Karbon Dioksida

Asam Fosfat

Metilen Klorida

Etilen Glikol

Ksilena AkrilamidaMetanol

JUMLAH IMPORTIR

Negara Asal IMPOR B3 (FREKUENSI)10

618 555 52160 123496 119214 138502

JermanChina

Jepang Singapura

Amerika Serikat

KoreaMalaysia Taiwan

Thailand

India

REGISTRASI DAN NOTIFIKASI B3

D I R E K T O R A T P E N G E L O L A A N B 3 21

Pada bulan Januari - Desember 2015, KLHK menerima 68 surat notifikasi B3 dari negara Belgia, Prancis, Italia, Belanda, Irlandia, Jerman, Swedia, Bulgaria, Finlandia, Denmark, Inggris, Korea, India, Tiongkok, Thailand, Malaysia dan Singapura. KLHK sudah menerbitkan 53 surat notifikasi (explisit consent), yang berisi 35 surat persetujuan impor untuk 18 bahan (14 bahan kimia

industri dan 4 bahan pestisida). Sementara, ada 18 (delapan belas) surat penolakan impor untuk 7 bahan (5 bahan kimia industri dan 2 bahan pestisida). Selain itu, juga ada 15 permohonan notifikasi untuk 5 bahan kimia industri dan 4 bahan pestisida yang masih dalam proses.

surat notifikasi B3, yaitu:Belgia, Prancis, Italia, Belanda, Irlandia, Jerman, Swedia, Bulgaria, Finlandia, Denmark,

Inggris, Korea, India, Tiongkok, Thailand, Malaysia, dan Singapura

68

Dari

ada

dan

35

18

14

4

surat notifikasi impor B3 yang disetujui,

jenis B3 yang akan diimpor.

merupakan bahan kimia industri

bahan pestisida.

dan

18

5

2

surat notifikasi impor B3 yang ditolak berencana

mengimpor

bahan kimia industri

bahan pestisida.

dan

15

5

2

surat notifikasi impor B3 yang masih dalam proses mengajukan impor untuk

bahan kimia industri

bahan pestisida.

NEGARA PENDAFTAR

DISETUJUIDITOLAK

DALAM PROSES

REGISTRASI DAN NOTIFIKASI B3

B U K U T A H U N A N 2 0 1 522

JENIS B3 (BAHAN KIMIA INDUSTRI DAN PESTISIDA) YANG DINOTIFIKASI PADA 2015

BAHAN KIMIA INDUSTRI

A (dipotassium

PESTISIDA

REGISTRASI DAN NOTIFIKASI B3

D I R E K T O R A T P E N G E L O L A A N B 3 23

REKOMENDASI PENGANGKUTAN B3

DENGAN TEPAT DAN

Perkembangan industri yang sangat pesat membutuhkan kelancaran pasokan bahan-bahan baku yang dibutuhkan. Namun, tak sedikit dari bahan-bahan baku tersebut merupakan bahan berbahaya dan beracun. Demikian juga dengan limbah bahan-bahan sisa kegiatan industri. Pengangkutan B3 perlu dilaksanakan dengan tertib dan terkontrol agar tidak membahayakan manusia maupun lingkungan.

Begitu krusialnya sistem pengangkutan B3 yang terkontrol, pemerintah pun mengeluarkan sejumlah undang-undang dan peraturan pemerintah untuk mengatur hal tersebut. Pada lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan, sistem pengangkutan B3 diatur oleh Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 91 Tahun 2003 tentang rekomendasi pengangkutan limbah B3. Keputusan tersebut diperkuat oleh Keputusan Presiden RI No. 21 Tahun 2003 tentang pengesahan Protocol 9 Dangerous Goods yang diterbitkan pada 11 April 2003. Protocol 9 Dangerous Goods merupakan hasil kesepakatan 9 negara dan merupakan acuan umum bagi negara-negara ASEAN dalam penerapan regulasi dan pelaksanaan pengangkutan B3, yang salah satunya melalui jalan raya. Maka, pengangkutan B3 harus dilakukan oleh orang atau badan yang memiliki izin dan telah mendapat rekomendasi dari pihak-pihak berwenang terkait.

Penting, demi menghindari pencemaran

dan perusakan lingkungan

hidup

B U K U T A H U N A N 2 0 1 524

Sepanjang tahun 2015, jenis B3 yang mendapatkan rekomendasi pengangkutan B3 dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutan dapat dikelompokkan ke dalam 2 (dua) kategori, yaitu bahan kimia (single substance) dan bahan kimia dalam produk (chemical in products).

64Surat

Permohonan Rekomendasi

Pengangkutan B3

27 Perusahaan Baru Terdaftar

37 Perusahaan Telah Terdaftar & Pernah Dapat Rekomendasi

38%

62%

64Surat

Permohonan Rekomendasi Pengangkutan

B3

20 Industri Kimia

27 Perusahaan Jasa Transportasi

31%

27%

42%

17 Perdagangan Bahan Kimia

53

64

4

34

surat permohonan Rekomendasi Pengangkutan

B3 diterima Kementerian Lingkungan Hidup dan

Kehutanan.

Sebanyak

ditunda

ditolak, dan

harus melengkapi persyaratan administrasi

dan teknis

surat rekomendasi diterbitkan, namun

JENIS B3 YANG DIANGKUT

REKOMENDASI PENGANGKUTAN B3

D I R E K T O R A T P E N G E L O L A A N B 3 25

609 Jenis

Bahan Kimia

398 Chemical in Product

211 Single Substance

211Single Substance

79 Tidak termasuk dalam lampiran

132 Termasuk dalam lampiran 1 (satu) PP 74/2001

38%

62%

Permohonan 343Unit Kendaraan

Angkut

170 unit Permohonan Baru

138 unit Penambahan Armada

35 unit Perpanjangan Rekomendasi

50%

40%

10% 398Chemical in

Product

161 Termasuk dalam lampiran 1 (satu) PP 74/2001

237 Tidak termasuk dalam lampiran

permohonan rekomendasi pengangkutan B3 pada tahun 2015 berhasil dicapai dari target awal yang ditetapkan sebanyak 60 permohonan.106%

REKOMENDASI PENGANGKUTAN B3

65%

35%

59%

41%

B U K U T A H U N A N 2 0 1 526

INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN PENGELOLAAN B3

B U K U T A H U N A N 2 0 1 526

D I R E K T O R A T P E N G E L O L A A N B 3 27

INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN PENGELOLAAN B3

DARI LAPANGAN

MENGUNGKAP

Kegiatan inventarisasi dan pemantauan pengelolaan B3 ini bertujuan agar kami mendapatkan data mengenai realisasi penggunaan dan pendistribusian B3 impor, kesesuaian dokumen dan tata cara penyimpanan, serta pengelolaan yang aman terhadap kesehatan dan lingkungan. Dalam hal ini, pemilik industri dan pelaku usaha memiliki peran penting untuk bertanggung jawab dan mematuhi peraturan, perundang-undangan, dan ketentuan dalam pengelolaan B3.

Masih banyak bahan baku B3 atau produk

berbahan baku B3 diimpor tanpa melalui

sistem registrasi dan notifikasi B3 KLHK.

D I R E K T O R A T P E N G E L O L A A N B 3 27

B U K U T A H U N A N 2 0 1 528

Impor Crocidolite Bahan Baku50.000 kg crocidolite bahan baku diimpor dari Kanada pada tahun 2011. Menjadikan negara itu sebagai satu-satunya pengimpor crocidolite bahan baku pada periode 2010 – 2014.

Crocidolite

49,7% penurunan impor produk yang mengandung crocidolite dengan kategori paper, millboard & felt of oth crocidolite fibre oleh industri berbahan baku asbes pada tahun 2014 dibandingkan tahun 2013.

menjadi negara yang paling banyak mengimpor produk yang mengandung crocidolite dengan kategori paper, millboard & felt of oth crocidolite fibres sepanjang kurun waktu 2010 – 2014. Jumlah yang diimpor adalah 45.773 kg (2010), 17.501 kg (2011), 35.000 kg (2013), dan 17.500 kg (2014). Hanya pada 2012 tidak ada impor dari India.

menjadi pengimpor produk yang mengandung crocidolite dengan kategori paper, millboard & felt of oth crocidolite fibres pada tahun 2012, dengan jumlah impor 9.253 kg.

2010 74.452 kg

2011 26.245 kg

2012 19.922 kg

2013 36.217 kg

2014 18.219 kg

Crocidolite adalah sejenis asbes biru dari kelompok amphibole berbentuk seperti jarum yang terbentuk dari pengelompokan Kristal. Serat crocidolite dapat melengkung atau lurus. Serat yang cukup fleksibel dan rapuh dapat menekuk di atas 90 derajat sebelum dihancurkan dan mudah menimbulkan paparan. Crocidolite digunakan untuk membuat sejumlah produk komersial industri. Crocidolite memiliki kelemahan kurang tahan terhadap panas, sehingga kurang bermanfaat bagi industri manufaktur. Dalam lampiran Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun, Crocidolite tergolong sebagai B3 yang tebatas penggunaannya. Berdasarkan hasil pertemuan koordinasi dengan Kementerian Perindustrian, diperkirakan terdapat impor crocidolite dan ekspor produk mengandung crocidolite

tanpa melalui sistem notifikasi dan registrasi B3 di KLHK. Sebagai tindak lanjut dilakukan inventarisasi data impor dan ekspor bahan dan produk B3 tersebut yang diperoleh dari Ditjen Bea dan Cukai. Data dari Direktorat Informasi Pelayanan Bea dan Cukai menunjukkan, pada tahun 2014 tidak terjadi impor B3 crocidolite ke Indonesia. Namun, data tersebut juga menunjukkan bahwa sepanjang Januari hingga Oktober 2014 terjadi impor bahan yang mengandung crocidolite yang terbatas penggunaannya. Sebagai tindak lanjut, perlu dilakukan kunjungan lapangan ke perusahaan yang melakukan impor dan ekspor bahan maupun produk yang diduga mengandung crocidolite dengan mengacu pada data dan informasi yang diperoleh dari Direktorat Informasi Bea dan Cukai tersebut. Berikut adalah datanya:

Inventarisasi Crocidolite

Paper, Millboard & Felt of Oth Crocidolite Fibres

INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN PENGELOLAAN B3

D I R E K T O R A T P E N G E L O L A A N B 3 29

Compressed Asbestos Fibre Jointing of Oth Crocidolite Fibres in Sheets or Roll

Fabric Asbes Fibres, Oth Crocidolite, Mix with A Basis Asbes & Mg Carbonate

Floor/Wall Tiles of Fabricated Asbestos (Oth Crocidolite)

13,6% kenaikan impor produk yang mengandung crocidolite dengan kategori compressed asbestos fibre jointing of oth crocidolite fibres in sheets or roll oleh industri berbahan baku asbes pada tahun 2014, dibandingkan dengan tahun 2013.

produk yang mengandung crocidolite dengan kategori compressed asbestos fibre jointing of oth crocidolite fibres in sheets or roll diimpor oleh Tiongkok sepanjang periode 2010 – 2014, terbanyak dibandingkan negara lainnya.

19% kenaikan impor bahan baku yang mengandung crocidolite dengan kategori fabric asbes fibres, oth crocidolite, mix with a basis asbes & Mg carbonate oleh industri berbahan baku asbes pada tahun 2014, dibandingkan dengan tahun 2013.

produk yang mengandung crocidolite dengan kategori fabric asbes fibres, oth crocidolite, mix with a basis asbes & Mg carbonate diimpor oleh Tiongkok sepanjang periode 2010 – 2014, terbanyak dibandingkan negara lainnya.

6,6% penurunan impor bahan baku yang mengandung crocidolite dengan kategori floor/wall tiles of fabricated asbestos (oth crocidolite) oleh industri berbahan baku asbes pada tahun 2014, dibandingkan dengan tahun 2013.

produk yang mengandung crocidolite dengan kategori floor/wall tiles of fabricated asbestos (oth crocidolite) diimpor oleh Tiongkok sepanjang periode 2010 – 2014, terbanyak dibandingkan negara lainnya.

2010 520.745 kg

2011 1.310.543 kg

2012 550.245 kg

2013 807.883 kg

2014 917.900 kg

2010 68.501 kg

2011 23.182 kg

2012 16.351 kg

2013 93.692 kg

2014 111.588 kg

2010 1.183.245 kg

2011 4.004.538 kg

2012 2.473.047 kg

2013 3.035.481 kg

2014 2.829.217 kg

INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN PENGELOLAAN B3

B U K U T A H U N A N 2 0 1 530

Other Articles of Crocidolite Fibres

46,7% kenaikan impor bahan baku yang mengandung crocidolite dengan kategori other articles of crocidolite fibres oleh industri berbahan baku asbes pada tahun 2014, dibandingkan dengan tahun 2013.

produk yang mengandung crocidolite dengan kategori other articles of crocidolite fibres diimpor oleh India sepanjang periode 2010 – 2014, terbanyak dibandingkan negara lainnya.

2010 971.009

2011 1.011.016

2012 629.329

2013 772.880

2014 411.979

Clothing of Other Crocidolite Fibres

3.134% kenaikan impor bahan baku yang mengandung crocidolite dengan kategori clothing of other crocidolite fibres oleh industri berbahan baku asbes pada tahun 2014, dibandingkan dengan tahun 2013.

produk yang mengandung crocidolite dengan kategori clothing of other crocidolite fibres diimpor oleh Tiongkok sepanjang periode 2010 – 2014, terbanyak dibandingkan negara lainnya.

2010 10.130

2011 19.694

2012 14.702

2013 698

2014 22.579

INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN PENGELOLAAN B3

D I R E K T O R A T P E N G E L O L A A N B 3 31

Sebagai langkah awal atau baseline terhadap target inventarisasi penggunaan B3 sektor Pertambangan Energi, Minyak, dan Gas (PEM) sesuai tugas dan fungsi yang tercantum dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 18 Tahun 2015, Direktorat Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun melakukan inventarisasi penggunaan B3 sektor PEM ke beberapa lokasi: Jawa Barat, Jawa Timur, Sumatera Selatan, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Utara, dan Sulawesi Selatan.

Tujuan kegiatan ini antara lain adalah:1. Inventarisasi terkait kebijakan, program,

dan kegiatan pengelolaan B3 di tingkat provinsi,

2. Inventarisasi data jumlah, jenis, dan penggunaan B3 di sektor PEM di daerah,

3. Inventarisasi data hasil penelitian terkait B3 yang dilarang, dibatasi, maupun yang digunakan,

4. Koordinasi untuk masukan terhadap rencana penyusunan Panduan Operasional Baku (POB) inventarisasi penggunaan B3.

Inventarisasi Penggunaan B3 Sektor Pertambangan Energi, Minyak, dan Gas (PEM) kepada Pihak Pemda

INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN PENGELOLAAN B3

Jawa BaratDiperolehnya data dan informasi profil Statistik Energi dan Sumber Daya Mineral Provinsi Jawa Barat tahun 2014 yang berisi antara lain:

pembangkit listrik, jumlah dan sebaran pembangkit listrik, serta peta lokasi gardu listrik,

pertambangan dan peta pengusahaan pertambangan di Jawa Barat,

lokasi SPBU/SPBE dan peta infrastruktur minyak dan gas bumi,

panas bumi yang ada dan Peta WKP panas bumi,

memuat data rekapitulasi pembangunan PLMTH (Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro) dan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) di Jawa Barat,

penyusunan Panduan Operasional Baku (POB) inventarisasi penggunaan B3 sektor PEM.

B U K U T A H U N A N 2 0 1 532

Dari kegiatan inventarisasi penggunaan B3 sektor PEM ke wilayah ini diperoleh data dan informasi potensi sumber daya pertambangan di wilayah Kabupaten Bolaang Mongondow yang berupa tambang emas dan tambang kapur. Lokasi tambang emas sebagian besar terdapat di wilayah Dumoga. Beberapa titik lokasi tambang emas bahkan berada di dalam kawasan Taman Nasional Dumoga Bone. Adapun perusahaan yang resmi memiliki izin pengelolaan tambang emas di blok Bakan, Kabupaten Bolaang Mongondow, adalah PT Jhon Resources Bolaang Mongondow (PT JBRM). Dalam kegiatan penambangan emasnya, PT JRBM menggunakan bahan kimia merkuri dan sianida. Selain lokasi tambang emas dengan izin resmi pemerintah, di Kabupaten Bolaang Mongondow terdapat juga wilayah penambangan rakyat (WPR) yang sebagian besar penambangnya adalah penambang emas tanpa izin (PETI) yang dilakukan oleh rakyat kecil. Lokasi PETI antara lain berada di Desa Bakan, Desa Duloduo I, Desa Duloduo II, Desa Duloduo Induk, Desa Uuwan, Desa

Mopuya Utara, dan Desa Tanoyan. Penambang-penambang emas tanpa izin ini telah aktif menambang selama kurang lebih 20 tahun. Hingga saat ini, di Desa Toraut, Kecamatan Dumoga Timur, Kabupaten Bolaang Mongondow, terdapat penambangan emas rakyat tanpa izin seluas ± 500 ha. Penambangan-penambangan ini telah ada dan aktif sejak tahun 1990-an. Dalam kurun waktu itu, PETI di kawasan taman nasional pun terus tumbuh dan telah menjadi bagian penting dari mata pencaharian masyarakat Toraut Dalam. Di Kabupaten Bolaang, juga telah dikembangkan potensi pembangkit listrik sebagai berikut:- PT. Cita Daya Nusantara, di Sungai Poigar

desa Mopuya Kecamatan Passi Timur dengan kapasitas 3x1000kW,

- PT. PLN disungai Onggak Mongondow Desa Lobong Kecamatan Passi Barat dengan kapasitas 2x800kW,

- Swadaya masyarakat di Desa Mengkang Kecamatan Lolayan dengan kapasitas 10kW.

INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN PENGELOLAAN B3

Manado, Sulawesi

utara

Palembang, Sumatera

Selatan

Surabaya, Jawa Timur

Diperoleh beberapa data dan informasi, antara lain:

dan energi, termasuk daftar kabupaten penghasil minyak bumi, kabupaten penghasil batu bara, kabupaten penghasil gas bumi, dan wilayah potensi panas bumi,

energi, termasuk peta sebaran batu bara, peta wilayah IUP, peta wilayah kerja

migas, peta potensi gas metana, peta ketenagalistrikan, dan peta wilayah panas,

lifting minyak bumi dan gas,

dimana didalamnya terdapat data jumlah unit dan kapasitas terpasang pembangkit listrik tahun 2014.

Diperoleh beberapa data dan informasi, antara lain:

Jawa Timur ada di Lamongan, Banyuwangi (tambang emas), dan Lumajang (tambang pasir besi). Sementara, sisi selatan dari wilayah Jawa Timur banyak mengandung alumunium,

adalah mayoritas tambang galian C,

emas skala besar milik PT Bumi Suksesindo Indonesia (BSI), yang saat ini masih dalam tahap konstruksi. Proses pengurusan

Amdal saat ini dalam transisi di provinsi, yang selama ini berada di kabupaten/kota, sehingga proses izin oleh PT BSI juga masih dalam proses penyesuaian,

batuan dan logam (tembaga) skala kecil. Saat ini tambang tersebut harus berhenti beroperasi karena belum memiliki unit pengolahan sendiri sesuai dengan ketentuan yang berlaku,

ijin (PETI), masyarakat melakukan penambangan pasir besi di wilayah yang sudah dimiliki oleh PT IMMS,

D I R E K T O R A T P E N G E L O L A A N B 3 33

untuk bahan baku semen oleh PT Holcim dan PT Semen Indonesia di daerah Tuban,

berlaku persyaratan pemberian jaminan. Nilai jaminan ditetapkan berdasarkan luasnya kegiatan penambangan dan akibat

yang ditimbulkan pasca penambangan,

di provinsi, hampir 800 izin pertambangan di Jawa Timur yang sudah masuk ke Dinas ESDM.

INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN PENGELOLAAN B3

Banjarbaru, Kalimantan

Selatan

Samarinda, Kalimantan

Timur

Berikut ini adalah data inventarisasi perusahaan yang bergerak di sektor Pertambangan, Energi, dan Migas (PEM): Tambang Batubara (34 perusahaan), Industri Semen (2 perusahaan), PT PLN ( 9 perusahaan), dan Pertamina (Migas) (6 perusahaan). Kegiatan Pertambangan Emas Skala Kecil (PESK) sering berpindah-pindah lokasi, sehingga sulit untuk didata. Namun, diketahui bahwa PESK paling banyak beraktivitas di Kabupaten Banjar dan Kabupaten Tanah Laut. Terdapat salah satu perusahaan tambang di Provinsi Kalimantan Selatan, yaitu PT Pelsart Tambang Kencana. Perusahaan tersebut baru menyelesaikan tahap eksplorasi dan belum melakukann eksplorasi produksi, namun telah dijarah oleh masyarakat. Sejak Oktober 2012 belum ada Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang diterbitkan, namun ada 910 yang memiliki IUP. Dari jumlah IUP tersebut 400 IUP yang beroperasi produksi harus melakukan presentasi kembali. Hal tersebut ditujukan untuk melihat

perkembangan mereka pada tahun 2015 dan apa yang akan direncanakan pada tahun 2016 nanti. Berdasarkan laporan dari PT PELSART Tambang Kencana pada tahun 2014, terdapat sebanyak 809 tenda PETI di wilayah KK PTK yang diperkirakan melibatkan sekitar 5.000 – 6.000 orang pekerja tambang. Berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan oleh PT Pelsart Tambang Kencana pada bulan Oktober 2015, di beberapa wilayah konsesi KK PTK ditemukan 5 (lima) lokasi baru aktivitas PETI di Kabupaten Kotabaru daerah Timburu Menteu, yaitu di Badak-1, Badak-2, Sungai Landi, Warung, dan SKN. Dampak dari kehadiran PETI di Kabupaten Kotabaru adalah banyak beredarnya senjata api ilegal, minuman keras, narkoba, dan praktik prostitusi. Tak hanya itu, kehadiran mereka juga menimbulkan berlakunya hukum rimba di area beroperasinya PETI yang mengganggu stabilitas keamanan di wilayah tersebut.

Pada tahun 2015, data dan informasi lokasi PETI di wilayah Kabupaten Paser, Kabupaten Kutai Barat, dan Kabupaten Bulungan menunjukkan, sebanyak 31 perusahaan pertambangan di Kalimantan Timur memiliki Perjanjian Kontrak Pertambangan Batu Bara (PKP2B). Sementara itu, 959 perusahaan mempunyai Izin Usaha Pertambangan. Jumlah produksi batubara pada periode 2012 adalah 157.505.476.41 m3. Pada tahun 2014, jumlah produksinya melonjak cukup tajam menjadi 252.776.664,00 m3. Sementara,

pada periode 2015 semester 1 sebanyak 97.794.654,81 m3. Sistem Monitoring Lifting Minyak dan Gas Bumi (SMLM) ini adalah sistem yang dibangun oleh Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi untuk mengimplementasikan tugas pembinaan dan pengawasan atas produksi dan lifting minyak dan gas bumi. SMLM ini digunakan sebagai dasar perhitungan alokasi volume lifting yang menentukan dana bagi hasil sektor migas dalam rangka perimbangan pusat dan daerah.

B U K U T A H U N A N 2 0 1 534

INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN PENGELOLAAN B3

melakukan sosialisasi pengelolaan B3 kepada tataran SKPD di provinsi dan perguruan tinggi di daerah

digunakan, dan yang beredar, diusulkan perlu adanya beberapa instrumen, yaitu: a. MoU di level SKPD mitra (BLHD provinsi, Dinas ESDM, Dinas Kesehatan/

Litbangkes, Bea Cukai, Dinas Perindustrian, Dinas Perdagangan, Dinas Pertanian, dan Perguruan Tinggi),

b. Pedoman inventarisasi dilengkapi format standar data dan informasi yang dibutuhkan,

c. Alokasi penganggaran (RAPBD).

SKPD dan pakar dari perguruan tinggi setempat di provinsi

pengawasan B3 dengan pihak BLH provinsi

instrumen kriteria dan indikator PROPER di tataran KLHK, sehingga pemenuhan kebutuhan data dan informasi terkait B3 dapat diakomodir melalui kerjasama pemantauan dan pengawasan PROPER baik di pusat maupun di daerah

pembahasan internal dan eksternal (sektor terkait dan Pemda, pelaku usaha, asosiasi, dan mitra lainnya)

substansi dalam konteks web-link SIB3POP dengan portal website BLHD provinsi.

Makassar, Sulawesi

Selatan

Data dan informasi yang diperoleh adalah sebagai berikut:1. Daftar pemegang Izin Usaha Pertambangan

(IUP) operasi produksi mineral bukan logam dan batuan, batubara kabupaten/kota di Sulawesi Selatan pada tahun 2009 – 2015,

2. Data daftar SPBU di seluruh Sulawesi Selatan,

3. Informasi terkait kegiatan pembinaan konservasi dan lingkungan minyak dan gas bumi di Kabupaten Maros, spesifikasi BBM bensin RON 91 (Pertamax), RON 95 (Pertamax Plus), bensin RON 88 (premium), solar 48, dan solar 51 sesuai Keputusan

Dirjen Migas, serta informasi keterlibatan ESDM dengan BLHD provinsi dalam pembinaan dan pengawasan PROPER sektor industri PEM,

4. Usulan perlu diadakannya sosialisasi regulasi, kebijakan, dan kemitraan baik secara langsung maupun elektronik, terkait pengelolaan B3 secara umum maupun inventarisasi penggunaan dan peredaran B3 secara khusus yang melibatkan peran daerah dan perguruan tinggi setempat (PSL).

Sejauh ini data penggunaan dan peredaran B3 belum tersedia baik, karena belum pernah dilakukannya kegiatan inventarisasi B3 di daerah (provinsi maupun kabupaten/kota) setempat. Hal ini disebabkan karena belum adanya kebijakan maupun regulasi yang mengatur tentang kegiatan inventarisasi B3 di level daerah dan masih kurangnya sosialisasi.

Agar kegiatan Inventarisasi penggunaan dan peredaran B3 dapat terlaksana dengan baik dan dapat mencapai sasaran yang diinginkan, maka perlu dijalin kerja sama yang baik dengan seluruh stakeholders/SKPD di tingkat pemerintah daerah, importir B3, produsen B3, distributor B3, maupun industri pengguna B3.

KENDALA

SARAN

TINDAKLANJUT

D I R E K T O R A T P E N G E L O L A A N B 3 35

INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN PENGELOLAAN B3

Paraquat dichloride (1,1 – dimetil, 4,4- bipiridilium diklorida) merupakan bahan aktif herbisida jenis gramoxone yang banyak digunakan di lahan pertanian. Diklasifikasikan sebagai herbisida golongan piridin non selektif, paraquat banyak digunakan untuk mengendalikan gulma dan rumput di area pertanian atau perkebunan. Namun, paraquat juga banyak digunakan di area non pertanian/perkebunan, seperti bandara, rel kereta api, dan juga di sekitar bangunan komersial. Merupakan senyawa fotokramik yang bereaksi cepat dan membunuh jaringan tanaman hijau saat terjadi kontak langsung, pancemaran paraquat dapat mengganggu mikroorganisme tanah. Tak hanya itu, paraquat juga bisa berdampak buruk bagi kesehatan manusia. Karena dapat membentuk ikatan dan merusak jaringan epitel dari kulit, saluran pernapasan, hati, jantung, ginjal, dan saluran pencernaan, zat kimia ini berbahaya terhadap kesehatan mata, kulit, sistem pernapasan, hati, jantung, ginjal, dan saluran pencernaan.

Selain itu, karena paraquat realtif stabil terhadap suhu dengan tekanan dan pH normal, paraquat pun lebih stabil di dalam tanah. Bersifat mudah larut dalam air dan mudah tercuci oleh air hujan atau air irigasi, pencemaran paraquat berpotensi mencemari sistem perairan. Karena itu, dilakukan pemantauan terhadap paraquat dichloride yang bertujuan untuk mendapatkan data dan informasi mengenai realisasi impor, produksi, serta peredaran zat kimia ini di Indonesia. Paraquat dichloride sendiri beredar dalam dua bentuk, yaitu bahan aktif atau formulasi (produk) atau teknis (42%)yang mengandung paraquat diklorida pada atau di atas 276 g / L, sesuai dengan ion paraquat pada atau di atas 200 g / L sesuai Lampiran III konvensi Rotterdam. Kegiatan pemantauan ini memperhatikan tata cara penyimpanan, pengangkutan, penerapan K3, dan house keeping.

Paraquat Dichloride

10 PERUSAHA AN MENJADI SUBYEK INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN B3.

MEL AKUK AN REGISTR ASI B3 DI KLHK DAN PEMEGANG PENDAFTAR AN PESTISIDA DI

PRODUKSI DARI KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN.

1

produk

diproduksi menjadi

9

mengimpor

B U K U T A H U N A N 2 0 1 536

INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN PENGELOLAAN B3

Distribusi sebaran

PARAQUAT DICHLORIDE

33%

29% 5% 9%

Kalimantan

Jawa

Sulawesi

NTB

Sumatera

24%

Bahan Aktif Paraquat

Dichloride YANG

DIIMPOR (KG)

3.17

9.00

0

368.

000

1.979

.701

393.

240

Pyridine Methyl Chloride

Sodium Sianida

Amoniak

TOTAL 5.919.941

D I R E K T O R A T P E N G E L O L A A N B 3 37

INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN PENGELOLAAN B3

DATA IMPOR PARAQUAT DICHLORIDE TAHUN 2012 - 2015

Stok Awal 2012 (kg)

Data Impor 2012 - Juni 2015 (kg)

Penggunaan 2012 - Juni 2015 (kg)

Sisa di gudang, Juni 2015 (kg)

3.33

6.23

0,48

254.

403,

57

38.8

10.2

77,0

5

40.2

07.2

12,5

7

Produk dengan Kandungan PARAQUAT DICHLORIDE

Produk dengan Kandungan PARAQUAT DICHLORIDE

23JENIS NAMA DAGANG/PRODUK YANG DIHASILK AN YANG MENGANDUNG PARAQUAT DICHLORIDE

produk jadi dengan menggunakan paraquat dichloride teknis dan 42%

produk jadi mengandung paraquat dichloride

15

835%

65%

Kandungan paraquat dichloride

Kandungan paraquat dichloride

B U K U T A H U N A N 2 0 1 538

INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN PENGELOLAAN B3

IMPOR PARAQUAT DICHLORIDE PERIODE 2012 - 2014

PENYIMPANAN PARAQUATE DICHLORIDE

PENGGUNAAN APD

Dari

9 distributor paraquat dichloride technical

42%sebesar 40.528.822 TON.

methyl chlorideparaquat dichloride

technical 5.094 TON.

paraquate dichloride

menggunakan APD ketika bekerja.

D I R E K T O R A T P E N G E L O L A A N B 3 39

INVENTARISASI DAN PEMANTAUAN PENGELOLAAN B3

ARMADA PENGANGKUTAN B3

Dari

Peraturan dan ketersediaan anggaran kegiatan

PENCAPAIAN

KENDALA

B U K U T A H U N A N 2 0 1 540

KONSISTEN

KAPASITAS

Upaya pengelolaan B3 tak akan memberikan hasil yang optimal tanpa kerja sama yang bersinergi positif dari berbagai pihak terkait. Sehingga, peningkatan kapasitas teknis bagi seluruh pemangku kepentingan, yaitu BLH provinsi dan kabupaten/kota, perguruan tinggi, asosiasi, serta masyarakat merupakan hhal penting untuk mencapai visi Direktorat Pengelolaan B3. Dengan demikian, bimbingan teknis (bimtek) merupakan program yang krusial untuk meningkatkan kapasitas pihak-pihak terkait dalam pengelolaan B3. Bimtek 2015 diadakan pada 10 – 11 Desember di Batam. Materi yang disampaikan tentunya fokus pada pengelolaan B3, yang disampaikan oleh berbagai nara sumber dari banyak instansi, seperti dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Perhubungan, Kementerian Kesehatan, Kementerian Tenaga Kerja, Badan POM, Bea dan Cukai Kementerian

Keuangan, BPS, serta BPPT. Beberapa isu yang muncul dalam diskusi antara lain penggunaan merkuri pada tambang rakyat, penyalahgunaan B3 atau bahan kimia untuk makanan, serta mekanisme pengawasan penggunaan dan peredaran B3 di daerah. Diikuti oleh 60 peserta dari 35 instansi, yaitu 11 kementerian (Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Perindustrian, Kementerian Perdagangan, Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan, Kementerian Tenaga Kerja, Kementerian Perhubungan, BPOM, BPPT, BPS, dan Bea Cukai), 17 instansi pengelola lingkungan hidup dan dinas terkait di daerah, 5 PSL/PLH perguruan tinggi, dan 1 asosiasi pertambangan rakyat yang menggunakan B3. Indikator kesuksesan bimtek adalah peningkatan pemahaman peserta mengenai pengelolaan B3 yang diukur dari perbandingan nilai sebelum dan sesudah bimtek.

Pemahaman pengelolaan B3 yang baik juga penting dimiliki juga

oleh instansi-instansi terkait.

BIMBINGAN TEKNIS PENGELOLAAN B3

D I R E K T O R A T P E N G E L O L A A N B 3 41

4

123

pengelolaan B3

stakeholders

Meningkatkan kemampuan mengidentifikasi

dan kendala dalam pelaksanaan pengelolaan B3 dari para pemangku kepentingan dan stakeholders

TUJUAN BIMBINGAN TEKNIS

60 PESERTA DARI 35 INSTANSI

17INSTANSI PE NGE LOL A

LINGKUNGAN HIDUP DI DAE R AH

11 KEME NTE RIAN/LEMBAGA

PEME RINTAHAN DI TINGK AT PUSAT

5 PSL /PLH PE RGURUAN TINGGI

2 INSTANSI PEME RINTAH DAE R AH

DILUAR INSTANSI PE NGE LOL A LINGKUNGAN

1 A SOSIA SI PE RTAMBANGAN

R AK YAT PE NGGUNA B3

Peserta Bimbingan Teknis

DKI JAK ARTA 27JAWA TIMU R 3

NANGGROE ACE H D. 3RIAU 3

D. I . YOGYAK ARTA 2JAMBI 2

JAWA TE NGAH 1L AMPUNG 1

BALI 1PAPUA 1

BIMBINGAN TEKNIS PENGELOLAAN B3

B U K U T A H U N A N 2 0 1 542

MENTRANSFORMASI

Partisipasi aktif di level

internasional demi

mewujudkan dunia yang

lebih baik

Sepanjang tahun 2015, ada beberapa program implementasi konvensi B3 dan kerja sama internasional pengelolaan B3 yang menjadi fokus utama kegiatan Direktorat Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun di bagian ini. Program-program tersebut antara lain sebagai berikut:

- Pertemuan POPRC-11- Penelaahan dan pemutakhiran dokumen NIP (National Implementation Plan)

- Penyusunan dokumen Final Regulatory Action (FRA) Konvensi Rotterdam- Penyusunan dokumen Import Response (IR) Konvensi Rotterdam- Pertemuan CRC-11

- Karakteristik ore di 5 lokasi Penambangan Emas Skala kecil (PESK), yaitu: Kabupaten Ketapang, Pacitan, Lebak, Banyumas, dan Sumbawa Barat

- Review RAN (Rencana Aksi Nasional) Merkuri dan penyusunan konsep NIP merkuri- Penyusunan konsep NIP Pengurangan dan Penghapusan Merkuri- Penyusunan mekanisme pengekolaan merkuri pada Pertambangan Emas Skala Kecil (PESK)

di Indonesia

Strategic Approach on International Chemicals Management (SAICM)- The Fourth International Conference on Chemical management (ICCM-4)- Penyusunan RAN SAICM

- ITTP-299 Asia ” Strategies for Chemicals Management”- Workshop Chemicals Legislation Implementation with KEMI (Swedia)

MENJADI

IMPLEMENTASI KONVENSI DAN KERJA SAMA INTERNASIONAL

D I R E K T O R A T P E N G E L O L A A N B 3 43

Pertemuan POPRC-11 dilaksanakan di Roma, Italia, pada tanggal 19-23 Oktober 2015 secara back to back dengan pertemuan CRC-11 pada tanggal 26-28 Oktober 2015. Sebelum pertemuan POPRC-11 dilaksanakan, pada tanggal 15 Otober 2015, Direktorat Pengelolaan B3 melakukan pertemuan persiapan dengan kementerian atau lembaga terkait mengenai bahan kimia yang akan dibahas dalam pertemuan tersebut. Hasil pertemuan persiapan tersebut adalah sebagai berikut:

1) Decabromodiphenyl ether (commercial mixture,

Draft risk management evaluation

o Kemenperind: Telah dilakukan survei PBDE dalam rangka penyusunan

o Bahan alternatif masih terindikasi mengandung bahan POPs (masih terdapat senyawa polibromo), sehingga perlu ada kajian lebih lanjut

o Hasil survei dan kajian bisa dipakai di COP 8.Perlu informasi yang lebih detail tentang bahan

alternatif pengganti yang ramah lingkungan dan terjangkau secara ekonomis

Draft

o Dicofol memiliki sifat yang mirip dengan DDT dan ada kemungkinan deteksi monitoring DDT disebabkan oleh pencemaran dicofol.

o Dicofol termasuk bahan yang dilarang berdasarkan Permentan No. 39 Tahun 2015

Dicofol dapat dilanjutkan ke Annex F – Risk Management Evaluation.

3) Short-chained chlorinated parrafins Draft risk profile

o Jika dilihat dari kriteria rantai pendeknya mungkin dapat menyulitkan industri untuk mengidentifikasi. Selain itu, rantai SCCP ini memiliki beberapa ikatan C-Cl, sehingga dikhawatirkan jika akhirnya masuk ke Annex A/B akan dimasukkan ke Annex C – Unintentional Production juga

o KLHK: Belum pernah ada permohonan registrasi B3 untuk SCCP

o Perlu data dari Kemenperind Diusulkan untuk dikeluarkan dari pembahasan

POPRC karena kurangnya data maupun kajian pendukung

4) Pentadecafluorooctanic acid perfluorooctanoic acid), its salts and PFOA-related

compounds Proposal for listing

o Perlu dicermati lebih lanjut karena terlalu banyak jenis senyawa yang diusulkan, termasuk didalamnya senyawa-senyawa turunan yang akan terdegradasi menjadi PFOA

o KLHK: Belum pernah ada permohonan registrasi B3 untuk PFOA

o Kemungkinan masih banyak digunakan di industri teflon, tekstil, busa, dll.

o Indonesia mengusulkan agar pembahasannya ditunda

Dokumen NIP, yang telah ditelaah sejak tahun 2013, telah ditandatangani dan diluncurkan oleh Menteri Lingkungan Hidup, Bapak Balthasar Kambuaya, pada Oktober 2014. Namun, meskipun telah diluncurkan, masih dilakukan beberapa revisi terhadap isi dokumen. Dokumen NIP yang terbaru telah diserahkan kepada Sekretariat pada Oktober 2015.

2. Penelaahan dan Pemutakhiran Dokumen NIP (National Implementation Plan)

Untuk mewujudkan rencana penerapannya, diperlukan kolaborasi dari pemerintah pusat dan daerah, akademisi, LSM, serta dunia usaha. Beberapa kementerian atau lembaga yang terkait hal ini adalah Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, Kementerian ESDM, Kementerian Kesehatan, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan, BPPT, BPOM, dan LIPI.

IMPLEMENTASI KONVENSI DAN KERJA SAMA INTERNASIONAL

B U K U T A H U N A N 2 0 1 544

Final Regulatory Action

Final Regulatory Action (FRA) merupakan informasi yang disampaikan oleh negara Pihak kepada Sekretariat terkait keputusan negara Pihak melarang maupun membatasi suatu bahan kimia dengan tujuan untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup. Bahan kimia yang dimaksud adalah bahan kimia apapun yang diatur dalam peraturan nasional tiap negara Pihak. Pada saat ini, di Indonesia terdapat beberapa peraturan yang mengatur pembatasan dan pelarangan bahan kimia yang tersebar di beberapa kementerian dan lembaga. Beberapa peraturan tersebut diantaranya adalah PP No. 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dan Permentan No. 24 Tahun 2011 tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Pestisida. PP No. 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan B3 mengatur tentang B3 yang dapat dipergunakan, B3 yang terbatas

dipergunakan, dan B3 yang dilarang dipergunakan. Di dalam peraturan tersebut terdapat 209 jenis B3 yang dapat dipergunakan (Lampiran I), 10 jenis B3 yang dilarang (Lampiran II, Tabel 1) dan 45 jenis B3 yang terbatas dipergunakan (Lampiran II, Tabel 2). Penyusunan FRA untuk B3 yang tercantum dalam PP No. 74 Tahun 2001 dilakukan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai Designated National Authorities (DNA) Chemicals and Pesticides. Permentan No. 24 Tahun 2011 tentang Syarat dan Tata Cara Pendaftaran Pestisida mengatur tentang pembatasan dan pelarangan Pestisida. Di dalam peraturan tersebut terdapat 45 bahan aktif pertisida yang dilarang (Lampiran I), 7 bahan aktif pestisida yang dibatasi (Lampiran II), 9 bahan tambahan pestisida yang dilarang (Lampiran III), dan 3 bahan tambahan pestisida yang dibatasi (Lampiran IV). Penyusunan FRA untuk B3 yang tercantum dalam Permentan No. 24 Tahun 2011 dilakukan oleh Kementerian Pertanian sebagai Designated National Authorities (DNA) Pesticides.

Import Response

Import Response (IR) merupakan informasi yang disampaikan oleh negara Pihak kepada Sekretariat terkait keputusan negara Pihak terhadap kemungkinan impor bahan kimia yang tercantum dalam Annex III Chemicals di masa depan. Dokumen IR ini menggambarkan keputusan suatu negara Pihak untuk tidak bersedia atau bersedia dengan syarat tertentu untuk menerima ekspor bahan kimia yang tercantum dalam Annex III Chemicals. Dalam dokumen tersebut juga dijelasakan mengenai sifat dari keputusan negara Pihak tersebut, apakah bersifat interim response (sementara) atau final decision (tetap). Selama tahun 2015, Indonesia telah menerima notifikasi impor. Beberapa notifikasi yang diterima adalah untuk bahan kimia yang tercantum dalam Annex III Chemicals. Bahan-bahan kimia tersebut antara lain: dinoseb, ethylene oxide, ethylene dichloride, dan mercury compounds. Namun, bidang penggunaan bahan-bahan kimia tersebut tidak sesuai dengan

kategori yang diatur dalam Konvensi Rotterdam. Dalam Konvensi Rotterdam, keempat bahan tersebut termasuk dalam kategori Pestisida. Sedangkan, keempat bahan tersebut diimpor ke Indonesia untuk digunakan pada bidang-bidang sebagai berikut:

Dinoseb Sebagai aditif dalam proses produksi Styrene Monomer

Ethylene Oxide Sebagai sterilant pada proses sterilisasi alat kesehatan dan ruang operasi

Ethylene Dichloride Sebagai bahan penolong dalam proses produksi alat kesehatan dan sebagai reagen untuk analisis laboratorium

-Mercury Compounds Sebagai reagen untuk analisa laboratorium

IMPLEMENTASI KONVENSI DAN KERJA SAMA INTERNASIONAL

10 jenis B3 yang dilarang

7 bahan aktif pestisida yang dibatasi

45 jenis B3 yang terbatas penggunaannya

9bahan tambahan pestisida yang dilarang

3 bahan tambahan pestisida yang dibatasi

JENIS B3 DALAM PP NO. 74 TAHUN 2001

JENIS PESTISIDA DALAM PERMENTAN NO. 24 TAHUN 2011

jenis B3 yang dapat dipergunakan209

bahan aktif pestisida dilarang45

D I R E K T O R A T P E N G E L O L A A N B 3 45

4. Pertemuan CRC-11

Pertemuan CRC-11 dilaksanakan di Roma, Italia, pada tanggal 26-28 Oktober 2015 secara back to back dengan pertemuan POPRC-11 pada tanggal 19-23 Oktober 2015. Sebelum pertemuan, pada tanggal 15 Otober 2015,

1. Short-chained chlorinated parrafins (SCCP)

Draft Decision Guidance Document (DGD)

KLHK: Belum pernah ada permohonan registrasi B3 untuk SCCP.

Indonesia mendukung masuk ke dalam Annex III karena dengan mekanisme PIC akan mempermudah pengawasan peredaran bahan kimia di Indonesia

2. Tributyltin compounds (TBT)

Draft Decision Guidance Document (DGD)

KLHK: Belum pernah ada permohonan registrasi B3 untuk TBT. Dilarang dalam permentan 39/2015 untuk semua bidang penggunaan pestisida.

3. Atrazine Notifications of Final Regulatory Action (FRA)

Kementan: Masih digunakan sebagai herbisida

4. Carbofuran Notifications of Final Regulatory Action (FRA)

Kementan: Masih digunakan sebagai insektisida

5. Carbosulfan Notifications of Final Regulatory Action (FRA)

Kementan: Masih digunakan sebagai insektisida

6. Dimethoate emulsifiable concentrate 400 gr/lt

Notifications of Final Regulatory Action (FRA)

Kementan: Masih digunakan sebagai insektisida

Direktorat Pengelolaan B3 melakukan pertemuan persiapan dengan kementerian atau lembaga terkait mengenai bahan kimia yang akan dibahas dalam pertemuan tersebut. Hasil pertemuan persiapan tersebut adalah sebagai berikut:

Mencari tahu karakter dari lokasi PESK penting dilakukan agar dapat dilakukan evaluasi terhadap kondisi PESK. Karakterisasi ini mencakup kondisi dan metode penambangan, karakteristik geologi endapan emas, metode pengolahan dan kondisi awal atau rona lingkungan. Tujuan dari karakterisasi ini adalah

untuk memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai kegiatan PESK dan karakteristik ore atau endapan emasnya. Sehingga, dapat dilakukan optimalisasi pengolahan emas dengan metode bebas merkuri. Kegiatan karakterisasi lokasi PESK ini dilakukan di Kabupaten Ketapang (Kalimantan Barat), Pacitan (Jawa Timur), Lebak (Banten), Banyumas (Jawa Tengah), dan Sumbawa Barat (Nusa Tenggara Barat). Lingkup kegiatan karakterisasi ini terdiri dari:1. Observasi kondisi geologi permukaan terutama pada jenis

serta sebaran endapan bijih serta melakukan pengambilan contoh batu-batuan,

2. Menganalisa hidrologi dan hidrogeologi,3. Menganalisa contoh batu-batuan dengan metode

mineralogi, XRD, XRF, dan AAS,4. Melakukan analisa dan rekomendasi lokasi penambangan

berdasarkan area izin Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah terkait dengan memperhatikan daerah kawasan hutan,

5. Melakukan pengambilan contoh serta melaksanakan analisa pada air dan sedimen di daerah sekitar area penambangan,

6. Evaluasi metode penambangan,7. Melakukan tes matalurgi untuk menemukan metode atau

teknologi pengolahan non merkuri,

IMPLEMENTASI KONVENSI DAN KERJA SAMA INTERNASIONAL

B U K U T A H U N A N 2 0 1 546

a. - Sudah dibentuk direktorat khusus untuk pemulihan lahan terkontaminasi, baik yang terkontaminasi limbah B3 maupun untuk Lahan Akses Terbuka. Tahun 2016, KLHK akan melakukan inventarisasi lahan terkontaminasi di 33 propinsi. Sebanyak 25% lahan terkontaminasi akan difasilitasi pemulihaannya, dalam hal ini untuk lahan-lahan pertambangan rakyat.

- Pada 2016, KLHK akan mengadakan dialog publik NA Ratifikasi Konvensi Rotterdam dengan mengundang seluruh kementerian dan lembaga terkait

b. - Pada tahun 2014, Kementerian ESDM sudah menyusun RAN Penghapusan Penggunaan Merkuri pada Pengolahan Emas

- Selain itu, ESDM juga sedang melakukan inventarisasi hotspot PESK (Pertambangan Emas Skala Kecil) yang ada di seluruh Indonesia

c. - Sudah disusun pedoman-pedoman yang terkait, salah satunya Pedoman Pengelolaan Merkuri dengan BAT/BEP pada industri Lampu dan Pedoman Pengelolaan Merkuri dengan BAT/BEP pada Industri

- Berencana untuk menyusun pedoman untuk industri non-ferrous metals karena terdapat potensi lepasan merkuri pada industri ini

- Pada tahun 2016 ingin melaksanakan pilot project Penerapan Teknologi Non-Merkuri dengan sistem insentif. Kementerian Perindustrian juga sudah memiliki program Green Industry.

d. - Tengah menyusun pedoman dan RAN terkait dampak merkuri ke kesehatan (intoksikasi merkuri)

- Berencana menyusun peraturan untuk penghentian izin produksi dan distribusi alat kesehatan bermerkuri

e. - Terdapat program Pengembangan Teknologi Industri di Kementerian Ristek dan Pendidikan Tinggi yang mungkin dapat diintegrasikan dengan program Green Industry di Kementerian Perindustrian

f. - Sudah memiliki dua alat pengujian kandungan merkuri yaitu Mercury Analyzer dan ICPMS dengan batas deteksi sampai dengan 0,1 ppb

- Sedang menyiapkan dokumen prosedur pelaksanaan pengujian dengan menggunakan kedua alat tersebut untuk sampel makanan dan biota laut

- Berencana mengembangkan pengujian untuk sampel darah, rambut, dan renik lainnya

Review National Implementation Plan

Evaluasi ini ditujukan untuk menindaklanjuti pertemuan penyusunan NIP Merkuri pada tahun 2013 yang menyepakati pembuatan Rencana Aksi Nasional (RAN) Merkuri di setiap sektor. Evaluasi dilakukan dalam pertemuan Tim Koordinasi Penerapan Konvensi Minamata tentang Merkuri untuk mengulas perkembangan dan pelaksanaan rencana aksi yang ada di setiap kementerian atau lembaga. Hal-hal yang dibahas antara lain:

IMPLEMENTASI KONVENSI DAN KERJA SAMA INTERNASIONAL

D I R E K T O R A T P E N G E L O L A A N B 3 47

Sebagai salah satu negara yang menandatangani Konvensi Minamata yang disahkan di Jepang pada tanggal 10 Oktober 2013, Indonesia harus melaksanakan program kegiatan lanjutan sesuai dengan isi kesepakatan Konvensi Minamata. Program yang dibuat harus mengarah pada pengurangan atau penghapusan pertambangan merkuri dan penggunaan merkuri pada kegiatan usaha di perdagangan, industri manufaktur, proses PESK, serta pengurangan emisi dan pelepasan merkuri ke lingkungan. Selain itu, konvensi tersebut juga mengharuskan dilakukannya pengelolaan merkuri dan senyawa merkuri yang ramah lingkungan, serta penurunan risiko dan pemulihan lahan terkontaminasi. Seperti yang disebutkan dalam Pasal 20 Konvensi Minamata, setiap negara yang menandatangani Konvensi Minamata wajib melakukan rencana aksi terhadap

kewajiban-kewajiban yang ada dalam konvensi.Untuk itu, disusun lah konsep NIP yang dapat menjadi acuan bagi pemangku kepentingan serta institusi pemerintah dalam penyusunan NIP pengurangan dan penghapusan merkuri. Konsep NIP ini juga ditujukan dapat menjadi pedoman penyusunan rencana aksi kementerian atau lembaga terait, termasuk sebagai bahan perencanaan dan pertimbangan teknis untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan dalam konvensi tersebut. Hal-hal yang penting dicantumkan di dalam NIP antara lain identifikasi masalah, kondisi nasional, perkembangan kebijakan nasional, serta landasan hukum terkait masalah ini. Selain itu, perlu juga dibuat struktur koordinatif NIP Merkuri dan Senyawa Merkuri di Indonesia yang terdiri dari tahapan kegiatan, sasaran, indikator output, dan pembagian wewenang institusi pelaksana kegiatan dalam pengelolaan merkuri di Indonesia. Sehingga, NIP ini pun dapat berjalan efektif dan mencapai hasil yang optimal.

Diadakan di Jenewa, Swiss, pada 28 September – 2 Oktober 2015, ICCM-4 dipimpin oleh President of ICCM-4, Richard Lesiyampe dari Kenya. ICCM merupakan forum multi-stakeholder dan multi-sectoral, dimana seluruh peserta memiliki kedudukan yang sama dan dapat berpartisipasi penuh dalam pertemuan, baik itu wakil pemerintah, masyarakat madani, sektor industri, atau pemangku kepentingan lainnya. Pada tahun ini, ICCM dihadiri sekitar 800 peserta dari berbagai asosiasi industri, petani, buruh, lembaga swadaya masyarakat (CSOs/NGOs), serta organisasi internasional dari 132 negara atau kelompok negara anggota. Delegasi RI sendiri dipimpin oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Anggota delegasi ini terdiri dari unsur Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai National Focal Point untuk Strategic Approach on International Chemicals Management (SAICM), Kementerian Luar Negeri, Kementerian Perindustrian, Kementerian Pertanian, dan PTRI Jenewa.

Penyusunan RAN SAICM ini merupakan tindak lanjut dari hasil ICCM ke-3 dan ICCM ke-4. Dalam kedua ICCM tersebut, setiap negara memang didorong untuk membuat RAN, sistem database yang terintegrasi, dukungan pengelolaan yang terintegrasi, dan pembentukan Working Group multi-stakeholders.

Kesimpulan dari penyusunan RAN SAICM ini adalah perlu dibuat tujuan yang lebih spesifik dan tajam, sertta pematangan mekanisme penyusunan RAN Penerapan SAICM di Indonesia. Selain itu, perlu dibentuk Working Group dan tim teknis yang terdiri dari bagian lingkungan, kesehatan, ekonomi atau tata niaga, sosial, pertanian, industri, tenaga kerja, pendidikan, serta promosi atau humas. Untuk mencapai SAICM Goals, perlu disusun peta penerapan SAICM jangka menengah (2016 – 2020) dan jangka panjang (2021 – 2030), dengan tujuan sebagai berikut:

1) Payung hukum RAN - SAICM2) Sistem koordinasi lintas sektor3) Integrasi penerapan Konvensi dan kesepakatan

internasional4) Membangun dan mengembangkan sistem informasi

di masing-masing instansi teknis di Pusat5) Identifikasi potensi resiko bahan kimia di Indonesia6) Sosialisasi dan koordinasi dengan pemangku

kepentingan di Daerah

1) Membangun dan mengembangkan sistem informasi di masing-masing instansi teknis di Daerah

2) Integrasi sistem informasi Pusat dan Daerah

IMPLEMENTASI KONVENSI DAN KERJA SAMA INTERNASIONAL

B U K U T A H U N A N 2 0 1 548

Sinergi Konvensi Internasional Bahan Kimia

Konvensi Basel

Konvensi

Konvensi Rotterdam

International

Management

Sound Management of

penerapan SAICM

Pertemuan teknis dankoordinasi

Pengembangan sistem informasi tata kelola B3

Nasional

PENERAPANSAICM DI INDONESIA

IMPLEMENTASI KONVENSI DAN KERJA SAMA INTERNASIONAL

D I R E K T O R A T P E N G E L O L A A N B 3 49

PENINGKATAN

Langkah strategis dan efektif untuk

setiap jenis B3

Menurut PP No. 74 Tahun 2001 yang mengatur tentang Bahan Berbahaya dan Beracun (B3)di Indonesia, bahan kimia B3 dikelompokkan menjadi 209 bahan kimia B3 yang dapat digunakan, 45 bahan kimia B3 yang terbatas penggunaannya, dan 10 bahan kimia B3 yang

dilarang penggunaannya. Pada 2015, Tim Teknis B3 Baru melakukan kajian terhadap bahan kimia impor baru yang teregistrasi hingga Juli 2015. Dari hasil kajian tersebut, dibuatlah rekomendasi penetapan status B3 baru.

1. Penetapan Status B3 Baru

1 1,1 dan 1,2 - Tetrafluoroetana 811-97-2 Dapat digunakan

2 1,1 - Azobisformamida 123-77-3 Dapat digunakan

3 1,3 - Butadiene 106-99-0 Dapat digunakan

4 2,3 - Dicyanohydroquinone 4733-50-0 Terbatas digunakan

5 2 - Butoksietanol 111-76-2 Terbatas digunakan

6 2 - Etilheksanoat 149-57-5 Terbatas digunakan

7 2 - EthylHexyl Nitrate 27247-96-7 Dapat digunakan

8 3,7 - Dimethyl, 2,6 - Octadienal 5392-40-5 Terbatas digunakan

9 4 - Dimethylaminoazobenzene 60-11-7 Terbatas digunakan

10 Ethanamine 3710-84-7 Dapat digunakan

11 Ethoxylated isocyanuric acid triacrylate

40220-08-4 Dapat digunakan

12 Ethyl Thioacetate 625-60-5 Terbatas digunakan

PENANGANAN B3

B U K U T A H U N A N 2 0 1 550

13 Etil Asetat 141-78-6 Dapat digunakan

14 Extract (petroleum) heavy paraffinic distillate solvent

64742-04-7 Terbatas digunakan

15 Fenitrothion 122-14-5 Terbatas digunakan

16 Formamidine Sulfunic Acid / Thiourea Dioxide

1758-73-2 Terbatas digunakan

17 Glycidyl Neodecanoate 26761-45-5 Terbatas digunakan

18 Heksametilena tetramina 100-97-0 Terbatas digunakan

19 Hexafluorozirconic acid / Dihydrogen hexafluorozirconate (2-)

12021-95-3 Dapat digunakan

20 Hydrazine Monodrobromide 13775-8-9 Terbatas digunakan

21 Isobutyl Acrylate 106-63-8 Dapat digunakan

22 Isododecane 92685-81-5 Dapat digunakan

23 Isopropyl Myristate 110-27-0 Dapat digunakan

24 Potassium Chloride 7447-40-7 Dapat digunakan

25 Melamin 9003-08-01 Terbatas digunakan

26 Paraffin 93924-07-3 Terbatas digunakan

27 Paraquat Dichloride 1910-42-5 Terbatas digunakan

28 Petroleum Hidrokarbon 64742-49-0 Terbatas digunakan

29 Piperonil Butoksida 51-03-6 Terbatas digunakan

30 Polietilena Glikol 25322-68-3 Terbatas digunakan

31 Poly Ferric Sulphate 10028-22-5 Dapat digunakan

32 Polytetramethylene Ether Glycol 25190-06-1 Terbatas digunakan

33 Propilena 115-07-1 Terbatas digunakan

34 P-Toluidine 106-49-0 Terbatas digunakan

35 Rosin 8050-09-07 Terbatas digunakan

36 Seng Klorida 7646-85-7 Dapat digunakan

37 Seng Oksida 1314-13-2 Dapat digunakan

38 Silikon 27306-78-1 Dapat digunakan

2. Kajian Dampak Merkuri Terhadap Lingkungan dan Kesehatan

Sejak lama, merkuri digunakan oleh para penambang emas skala kecil sebagai bahan untuk memisahkan emas dari bahan-bahan lainnya. Tak heran jika merkuri menjadi bahan kimia yang krusial dalam aktivitas PESK. Namun, tanpa mereka sadari, penggunaan merkuri tersebut telah menempatkan kesehatan dan lingkungan mereka pada posisi yang terancam. Terlebih lagi, kegiatan penambangan di PESK di Indonesia juga melibatkan wanita dan anak-anak di bawah umur. Kita perlu belajar dari tragedi di Teluk Minamata, Jepang, pada tahun 1950-an. Ketika itu, di sana terjadi akibat pencemaran merkuri terhadap kesehatan manusia dan lingkungan. Jangan sampai tragedi serupa menimpa negara kita. Sebagai implementasi nyata dari amanat

PENANGANAN B3

D I R E K T O R A T P E N G E L O L A A N B 3 51

Undang-undang No. 32 Tahun 2009 dan PP No. 74 Tahun 2001 tentang Pengelolaan B3 serta peraturan lainnya, Direktorat Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) melakukan kajian dan analisis atas dampak penggunaan merkuri pada lingkungan. Pada tahun 2015, kajian dan analisis tersebut dilakukan di Desa Paningkaban dan Desa Cihonje (Kecamatan Gumelar, Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah) serta Desa Lebak Situ (Kecamatan Lebak Gedong, Kabupaten Lebak, Banten). Hasil dari kajian dan analisis ini akan digunakan sebagai rekomendasi bagi

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dalam membuat kebijakan pengelolaan B3, untuk penerbitan regulasi dan mekanisme peghapusan peggunaan merkuri di Indonesia sebagai implementasi dari konvensi Minamata. Kajian dan analisis dampak merkuri terhadap lingkungan dilakukan dengan mengambil contoh uji air permukaan dan sedimen pada beberapa titik di setiap wilayah. Sementara, analisis dampak merkuri terhadap kesehatan dilakukan dengan mengambil sampel darah dari 3 orang penambang yang dilakukan di Puskesmas.

Contoh uji air diambil dari beberapa titik di Sungai Tajum, Desa Paningkaban, Kecamatan Gumelar, Kabupaten Banyumas.

Menurut US Environmental Protection Agency, baku mutu total merkuri dalam darah adalah 20 μg/kg. Kenyataannya, konsentrasi merkuri di dalam darah dari seluruh penambang yang bekerja dengan merkuri di Kabupaten Banyumas telah melebihi ambang batasnya.

Kabupaten Banyumas

PENANGANAN B3

Konsentrasi Merkuri DALAM DARAH PEKERJA TAMBANG BANYUMAS

KODE SAMPEL

UMUR

B3M1

B1M1

B4M1

B2M1

L AMA BEKERJA METHYL MERCURY(

TOTAL MERCURY(

29

Blanko

30

35

3

5

6

53

8

154

23

11.658

76.179

221.1

32.964

Nilai konsentrasi merkuri dalam air permukaan (air sungai) yang diambil di Desa Paningkaban, Kecamatan Gumelar, Kabupaten Banyumas, secara umum di bawah baku mutu air berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001 untuk merkuri yang adalah 0,001 mg/L (kelas 1).

Total merkuri pada para pembakar amalgam di Kabupaten Banyumas melebihi nilai ambang

batas 15 ug/L (Biological Exposure Indices/ BEI ACGIH 2014). Sebaliknya, pada sampel pembanding diketahui bahwa kadar total merkurinya jauh di bawah nilai ambang. Hasil pengukuran ini memperlihatkan bahwa para pekerja pembakar amalgam telah terpapar dengan total merkuri pada saat melakukan pembakaran amalgam yang melebihi batas ambang sehat. Bila upaya pengurangan paparan tidak dilakukan, dikhawatirkan dapat terjadi keracunan merkuri yang ditandai dengan

B U K U T A H U N A N 2 0 1 552

Contoh uji air diambil dari beberapa titik di Sungai Cisoka (hulu), Sungai Ciladaeun, dan Sungai Ciberang (hilir), Desa Lebak Situ, Kecamatan Lebakgedong, Kabupaten Lebak.

a. Nilai Merkuri dalam Air PermukaanSecara umum di bawah baku mutu air untuk merkuri berdasarkan PP No. 82 Tahun 2001, yaitu 0,001 mg/lt (kelas 1).

b. Analisis Kimia dalam Udara AmbienHasil analisis kimia dalam udara ambien untuk Desa Lebak Situ adalah antara 258 – 382 ug/Nm3. Kriteria mutu untuk merkuri di udara ambien tidak tercantum dalam PP No. 41 Tahun 1999. Namun, dalam Surat Edaran Menteri Tenaga Kerja SE-01/MENAKER.1997 dinyatakan bahwa baku mutu untuk air raksa dalam

bentuk senyawa anorganik adalah 25 ug/m3.

Bisa disimpulkan, jika berdasarkan baku mutu yang ditetapkan dalam surat edaran Menaker tersebut, maka konsentrasi udara ambien di Desa Lebak Situ melebihi baku mutu yang ada.

c. Kadar Total Merkuri Dalam DarahKadar total merkuri pada para pembakar amalgam di Kabupaten Lebak melebihi nilai ambang batas yaitu 15 ug/L (Biological Exposure Indices/ BEI ACGIH 2014). Sebaliknya, pada sampel pembanding diketahui bahwa kadar total merkurinya jauh di bawah nilai ambang. Hasil pengukuran ini memperlihatkan bahwa para pekerja pembakar amalgam telah terpapar dengan merkuri pada saat melakukan pembakaran amalgam yang melebihi batas ambang sehat.

Kabupaten Lebak

PENANGANAN B3

gejala seperti sakit kepala, pandangan menjadi kabur, daya dengar menurun, merasa tebal di bagian kaki dan tangan, mulut terasa tersumbat oleh logam, gusi membengkak, serta diare. Walaupun hasil pemeriksaan medis ketika itu tidak mendeteksi adanya gejala keracunan ataupun kelainan secara neurologi, risiko ini tetap perlu diwaspadai.

Kadar metil merkuri dalam darah pada pekerja pembakar amalgam di kedua kabupaten tersebut masih di bawah nilai batas aman (di Jepang 40 ng/g). Kadar metil merkuri pada sampel pembanding juga memperlihatkan

kadar yang masih dibawah nilai ambang. Hasil ini menjelaskan, manusia biasanya terpapar metil merkuri melalui makanan yang mengandung metil merkuri. Perlu diketahui, metil merkuri terbentuk di lingkungan perairan oleh beberapa jenis bakteri dari inorganik merkuri. Kemudian, metil merkuri ini akan terakumulasi pada tubuh ikan atau mamalia yang dikonsumsi masyarakat yang tinggal di lingkungan yang tercemar merkuri. Hasil observasi di lapangan menunjukkan, para pekerja tak banyak mengonsumsi makanan yang berasal dari jalur pencemaran merkuri, sehingga kadar metil merkurinya relatif masih di bawah nilai ambang batas.

KODE SAMPEL

UMUR

L4M1

L1M1

L3M1

L2M1

L AMA BEKERJA METHYL MERCURY(

TOTAL MERCURY(

32

Blanko

33

37

1

5

10

30

3

83

98

3.417

37.185

101.907

110.55

Konsentrasi Merkuri DALAM DARAH PEKERJA TAMBANG KABUPATEN LEBAK

D I R E K T O R A T P E N G E L O L A A N B 3 53

3. Studi Kelayakan Teknis Teknologi Destruksi Polychlorinated Biphenyls (PCBs)

Menurut Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants, seluruh simpanan yang mengandung PCBs, baik berupa limbah maupun bahan yang mengandung PCBs atau terancu oleh PCBs, harus sudah dimusnahkan pada tahun 2020. Sebagai negara yang telah meratifikasi konvensi ini melalui UU No. 19 Tahun 2009 Tentang Pengesahan Stockholm Convention on Persistent Organic Pollutants, Indonesia harus memegang komitmen ini. Untuk itu, dilakukan studi kelayakan teknis teknologi destruksi polychlorinated biphenyls (PCBs). Tujuannya adalah untuk memperoleh informasi mengenai berbagai

alternatif teknologi yang dapat diterapkan dalam pemusnahan PCBs. Namun, sebelum teknologi pemusnahan PCBs diterapkan, perlu dibuat definisi yang jelas mengenai kuantitas material yang mengandung PCBs. Karena, kuantitas dari material yang mengandung atau terkontaminasi PCBs akan sangat menentukan cost efficiency dari teknologi pemusnahan yang akan diterapkan. Flowchart berikut ini dapat memperlihatkan urutan yang harus dilakukan dalam menetapkan skenario pemusnahan PCBs secara nasional (McDowall 2002).

PENANGANAN B3

(inventory)

B U K U T A H U N A N 2 0 1 554

4. Deklarasi Bebas Merkuri PESK

Data UNEP (United Nations Environment Programme) menyebutkan, sekitar 1.000 ton merkuri dari kegiatan PESK mengontaminasi lingkungan. Hal ini harus menjadi perhatian bersama karena PESK di Indonesia hingga saat ini masih menggunakan merkuri. Bahkan, puncak penggunaannya justru pada tahun 2013 dan 2014, yaitu masing-masing mencapai 360 ton untuk produksi emas 150 ton pada masing-masing tahun. Upaya penghapusan penggunaan merkuri bertujuan untuk mengurangi tingkat pencemaran merkuri terhadap lingkungan dan dampaknya bagi kesehatan masyarakat. Untuk itu, perlu dibangun kesadaran pada pelaku PESK agar tidak lagi menggunakan merkuri sebagai bahan pendukung untuk proses pengolahan emas. Program pemerintah untuk penghapusan merkuri pada kegiatan PESK ini pun harus dibarengi dengan aksi memperkenalkan teknologi bebas merkuri tepat guna dengan harga terjangkau. Karena itu, perlu ada koordinasi antara seluruh pemangku kebijakan dan peran aktif dari pelaku PESK di Indonesia agar PESK yang bebas merkuri dapat terealisasi. Dengan begitu, formalisasi PESK juga dapat diwujudkan. “Deklarasi Bebas Merkuri Menuju Formalisasi PESK di Indonesia” ini merupakan langkah strategis yang diharapkan dapat mendorong pemerintah untuk mulai menata PESK sebagai sektor

usaha ekonomi kerakyatan yang dapat berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi Indonesia. Dilaksanakan pada 26 – 27 November 2015 di Jakarta, “Deklarasi Bebas Merkuri Menuju Formalisasi PESK di Indonesia” dihadiri oleh 100 penambang rakyat yang mewakili 33 provinsi di Indonesia. Dalam acara tersebut, tidak hanya dilakukan penandatanganan deklarasi, namun peserta juga mendapatkan workshop mengenai bahaya merkuri bagi lingkungan dan kesehatan manusia, konsep formalisasi dan pola kemitraan BUMN/IUP dengan tambang rakyat, potensi dan dampak tambang di Indonesia, teknologi pengolahan emas tanpa merkuri, hingga penyusunan implementasi Rencana Aksi Nasional (RAN) atau Rencana Aksi Daerah (RAD) menuju formalisasi PESK di masing-masing wilayah. Dengan begitu, peserta pun mendapat pemahaman yang menyeluruh mengenai dampak buruk merkuri bagi lingkungan dan kesehatan manusia serta apa visi pemerintah dalam hal upaya formalisasi PESK. Tersusunnya RAD untuk formalisasi PESK dan program pengurangan merkuri di provinsi pun menuntut peran aktif dan komitmen mereka dalam hal ini. Dengan pemahaman yang meningkat, persepsi yang sejalan, dan peran aktif yang terukur, diharapkan formalisasi tambang rakyat dan PESK bebas merkuri pun dapat segera diwujudkan.

PENANGANAN B3

D I R E K T O R A T P E N G E L O L A A N B 3 55

1. Nanggroe Aceh Darusallam

2. Sumatera Utara3. Riau4. Kepulauan Riau5. Sumatera Barat6. Jambi7. Bengkulu8. Sumatera Selatan

9. Bangka Belitung10. Lampung11. DKI Jakarta12. Banten13. Jawa Barat14. Jawa Tengah15. D.I. Yogyakarta16. Jawa Timur17. Nusa Tenggara Barat

18. Nusa Tenggara Timur19. Kalimantan Barat20. Kalimantan Timur21. Kalimantan Tengah22. Kalimantan Utara23. Kalimantan Selatan24. Sulawesi Barat25. Sulawesi Tengah26. Gorontalo

27. Sulawesi Selatan28. Sulawesi Utara29. Sulawesi Tenggara30. Maluku31. Maluku Utara32. Papua Barat 33. Papua

5. Lokakarya Kebijakan Penanganan Polychlorinated Biphenyls (PCBs) di IndonesiaLokakarya ini ditujukan untuk menjadi forum diskusi antar lembaga pemerintahan untuk bersama-sama mendukung rencana pelaksanaan program nasional penghapusan Polychlorinated Biphenyls (PCBs) di Indonesia. Diadakan pada 13 Oktober 2015, tujuan utama dari lokakarya ini adalah:1. Memberi gambaran singkat mengenai

pencemar organik yang persisten (Persistent Organic Pollutants/ POPs) dan PCB, serta aplikasi dan keberadaannya di Indonesia,

2. Menjabarkan informasi penting mengenai rencana dan inisiatif penghapusan dan pengurangan PCBs,

3. Memberikan contoh dan temuan dari negara lain dalam penghapusan PCBs,

4. Forum untuk diskusi tentang kolaborasi antar lembaga pemerintahan.

Menghadirkan narasumber Yun Insiani (Direktur Pengelolaan B3, KLHK), Halimah (tenaga ahli dari KLHK), Mova Al-afghani, PhD (pakar analisis kebijakan dan peraturan), SETCAR Romania (tenaga ahli PCB inventory), dan Sonny Mumbunan, PhD (pakar ekonomi lingkungan), materi-materi yang disampaikan

adalah sebagai berikut:1. Kebijakan dalam pengelolaan bahan

berbahaya dan beracun,2. Pengantar tentang PCBs,3. Pelaksanaan kebijakan PCBs , di Indonesia

dan negara lain,4. Aplikasi teknologi untuk pengelolaan

PCBs (pengolahan, transportasi, dan penyimpanan),

5. Instrumen dan insentif ekonomi dalam pengelolaan PCBs.

Lokakarya ini diikuti oleh 100 peserta yang berasal dari kementerian atau lembaga sebagai berikut:

ESDM, dan BUMN,

Hidup) provinsi, BLH Kabupaten/Kota,

dan Papua,

tambang, industri pulp dan kertas, serta industri makanan dan minuman.

PENANGANAN B3

B U K U T A H U N A N 2 0 1 556

VS

Mengukur pencapaian

untuk menilai efektivitas

kinerja dan perbaikan di masa depan

Sesuai dengan Penetapan Kinerja tahun 2015 dan implementasi Rencana Strategis 2015 – 2019, maka untuk tahun 2015 terdapat 1 program utama dengan 5 indikator utama. Berikut ini adalah pencapaian berbagai program dan kegiatan yang mendukung pencapaian sasaran I dan sasaran II.

SASARAN I

1. Persentase jumlah dan jenis B3 yang beredar dan digunakan melalui registrasi, notifikasi, rekomendasi dan perizinan sebesar 100% (S1.P11.K2.1.IKK.a),

2. Persentase kapasitas layanan registrasi, notifikasi, rekomendasi, dan perizinan sebesar 100% (S1.P11.K2.1.IKK.b).

Persentase jumlah dan jenis B3 yang beredar dan digunakan melalui registrasi, notifikasi, rekomendasi, dan perizinan sebesar 100% (S1.P11.K2.1.IKK.a)

Inventarisasi Data Impor, Peredaran dan Penggunaan B3 di Indonesia

Terinventarisasinya Data Impor, Peredaran dan Penggunaan B3 di Indonesia:

B3 sebanyak 25 juta ton dari 1993 surat permohonan dan realisasi impor B3 sebanyak 3.333.369,96 ton

Buku Juknis Tata Cara Registrasi B3

Status Kategorisasi B3 Teregister Tahun 2015

Pengembangan dan Pembangunan Sistem Informasi Tata Kelola B3 dan POPs (Persistent Organic Pollutants)

Tersedianya Portal Pengembangan dan Pembangunan Sistem Informasi Tata Kelola B3 dan POP (SIB3POP)

Beberapa hasil kegiatan terkait capaian indikator kinerja kegiatan diantaranya:

SASARAN

PENCAPAIAN

ANALISIS CAPAIAN KINERJA

D I R E K T O R A T P E N G E L O L A A N B 3 57

SASARAN II :

1. Persentase jumlah dan jenis B3 yang dipantau peredaran dan/atau pemanfaatannya meningkat setiap tahun (S1.P11.K2.2.IKK.a)

2. Jumlah jenis B3 yang dibatasi peredaran dan penggunaannya sebanyak 2 jenis (S1.P11.K2.2.IKK.b)

3. Jumlah jenis B3 yang dihapuskan sebanyak 2 jenis (S1.P11.K2.2.IKK.c).

Persentase jumlah dan jenis B3 yang dipantau peredaran dan/atau pemanfaatannya meningkat setiap tahun (S1.P11.K2.2.IKK.a)

Inventarisasi B3 Paraquat Dicloride di 10 Industri Pengguna

Hasil inventarisasi B3 Paraquat Dicloride di 10 Industri Pengguna

Pemantauan penggunaan Merkuri di PESK Pulau Buru

Laporan hasil pemantauan penggunaan Merkuri di PESK Pulau Buru

Pengumpulan Data Kajian Lingkungan dan Kesehatan Merkuri dan Chrisotile di 3 Universitas

Data dan informasi hasil kajian Lingkungan dan kesehatan Merkuri dan Chrisotile di 3 Universitas

Inventarisasi penggunaan B3 sektor Pertambangan, Energi, Minyak dan Gas di Provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, Kal-Sel, Kal-Tim, Sul-Sel, Sul-Ut dan Sumatera Selatan

Tersedianya data dan informasi penggunaan B3 sektor Pertambangan, Energi, Minyak dan Gas di Provinsi Jawa Timur, Kal-Sel, Kal-Tim, Sul-Sel dan Sumatera Selatan

Laporan Evaluasi Verifikasi B3 Teregister dan Pengangkutan B3 Tahun 2015

Tercatat dan tersedianya data 117 jenis B3 yang dapat digunakan dan 152 jenis B3 baru, yang mendominasi sebanyak 9 jenis

Bimbingan Teknis Internal Pengelolaan B3 di Bogor

Pengetahuan dan peningkatan kapasitas internal Pengelolaan B3

Bimbingan Teknis Pengelolaan B3 Nasional di Batam

Pengetahuan dan peningkatan kapasitas teknis bagi Pemda tk provinsi, asosiasi dan perguruan tinggi dalam pengelolaan B3

Revisi PP 74 tahun 2001 tentang Pengelolaan B3

Tersedianya dokumen Naskah Akademis dan draft revisi PP 74 tahun 2001 tentang Pengelolaan B3

ANALISIS CAPAIAN KINERJA

B U K U T A H U N A N 2 0 1 558

Penyusunan Mekanisme Pengelolaan Merkuri Pada Penambangan Emas Skala Kecil di Indonesia

Dokumen draft Pedoman Teknis Pengelolaan Merkuri Pada Penambangan Emas Skala Kecil di Indonesia

Penyusunan Konsep NIP Pengurangan dan Penghapusan Merkuri di Indonesia

Dokumen Konsep NIP Pengurangan dan Penghapusan Merkuri di Indonesia

Workshop Chemicals Legislation Implementation with KEMI (Swedia)

Peningkatkan kapasitas para pemangku kepentingan nasional dalam pengelolaan bahan kimia melalui pengetahuan dan informasi tentang pengelolaan bahan kimia di Swedia (Uni Eropa)

Kajian Karakterisasi PESK di 5 lokasi (Banyumas, Ketapang, Lebak, Pacitan, Sumbawa Barat)

Dokumen laporan Karakterisasi Ore di 5 Lokasi Penambangan Emas Skala Kecil

Jumlah jenis B3 yang dibatasi peredaran dan penggunaannya sebanyak 2 jenis (S1.P11.K2.2.IKK.b)

Penyusunan SOP dan Draft Pedoman Teknis Pembatasan B3

Draft SOP dan Draft Pedoman Teknis Pembatasan B3

Pertemuan Tim Teknis B3 Baru dan POPs

Data dan informasi tentang B3 baru yang diregistrasi di KLHK dan tidak terdapat di dalam lampiran PP No. 74 Tahun 2001 dan bahan kimia yang termasuk di dalam Review Committee dari Stockholm Convention.

Jumlah jenis B3 yang dihapuskan sebanyak 2 jenis (S1.P11.K2.2.IKK.c)

Kajian dampak merkuri terhadap kesehatan dan lingkungan pada 2 lokasi

Dokumen hasil kajian dampak merkuri terhadap kesehatan dan lingkungan pada 2 lokasi

Workshop dan deklarasi “Bebas Merkuri Menuju Formalisasi Pertambangan Emas Skala Kecil (PESK)”

Penandatanganan piagam deklarasi penambang rakyat untuk penghapusan merkuri di tambang rakyat oleh perwakilan penambang rakyat di 33 provinsi di Indonesia. Penyusunan rencana aksi tiap-tiap provinsi untuk program formalisasi dan program penghapusan merkuri di tambang rakyat.

Kajian feasibility study fasilitas pemusnahan PCBs

Dokumen hasil kajian feasibility study fasilitas pemusnahan PCBs

Penyusunan draft Instrumen Ekonomi dan Skema Insentif

Dokumen draft Instrumen Ekonomi dan Skema Insentif .

ANALISIS CAPAIAN KINERJA

D I R E K T O R A T P E N G E L O L A A N B 3 59

Lokakarya Kebijakan Penanganan PCBs di Indonesia

Pengetahuan dan peningkatan kapasitas teknis bagi pemerintah pusat, pemda tingkat provinsi dan kabupaten/kota dalam rencana dan inisiatif penghapusan PCB.

Training of Trainer (TOT) analisis dan inventori PCBs

Pengetahuan dan peningkatan kapasitas teknis bagi pemerintah dan perguruan tinggi (dosen dan peneliti) dalam melakukan inventori PCBs dan dan pengujian sampel PCBs.

Pengambilan sampel PCB di perusahaan/ pemilik trafo di wilayah pulau Jawa

Terkumpul sebanyak 756 sampel (atau 25% dari target sampel) dari 295 perusahaan/pemilik trafo di wilayah pulau Jawa.

Pembangunan website "pcbfreeIndonesia"

Tersedianya website untuk dapat memberikan informasi terkait kebijakan, aktivitias, serta kontribusi para pihak untuk mengelola penyimpanan, distribusi dan pemusnahan PCBs.

ANALISIS CAPAIAN KINERJA

B U K U T A H U N A N 2 0 1 560

Tahun 2015 telah menjadi tahun yang penuh pencapaian dan juga pembelajaran. Untuk terus mencapai perbaikan di sektor Pengelolaan Bahan Berbahaya dan Beracun (B3), kita perlu meneruskan pencapaian-pencapaian positif yang telah dicapai tahun ini dan menyelaraskan langkah dengan kementerian, institusi, dan pihak-pihak terkait. Sehingga, kita pun bisa memperoleh hasil yang optimal. Sebagai rencana tindak lanjut kegiatan pengelolaan B3 pada tahun 2015, berikut ini program 2016 yang akan dilaksanakan:1) Peningkatan koordinasi dan kerja sama lintas

instansi (kementerian atau lembaga), seperti Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Kementerian Kesehatan, Kementerian ESDM, SKK Migas, BUMN, Pemerintah Daerah, dan berbagai asosiasi industri,

2) Melanjutkan harmonisasi peraturan dan perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan dinamika pengelolaan B3 di tingkat nasional maupun global,

3) Pengembangan pedoman teknis mengenai pengelolaan B3 sebagai petunjuk teknis pelaksanaan dari peraturan yang telah ada,

4) Penyempurnaan dan penyederhaanan tahapan proses penerbitan izin/ rekomendasi/registrasi dalam pengelolaan B3 untuk mewujudkan pelayanan yang efektif, efisien, dan tepat waktu,

5) Melanjutkan kegiatan peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM) melalui sosialisasi dan training mengenai pengelolaan B3 yang lebih intensif, fokus

dan terarah.6) Melaksanakan koordinasi dengan instansi

terkait lain, seperti asosiasi, pemerintah daerah, dan unsur masyarakat dalam kegiatan pengawasan penataan perizinan, kegiatan penanganan pencemaran B3. Dengan begitu, kita pun dapat mencapai hasil yang efektif, berkesinambungan, dan tepat sasaran,

7) Penyebaran kuesioner pra dan paska bimbingan teknis untuk meningkatkan efektifitas bimbingan teknis yang bertujuan meningkatkan kapasitas instansi di daerah yang bertanggung jawab terhadap pengelolaan lingkungan,

8) Pengembangan infrastruktur, prosedur, dan mekanisme implementasi Sistem Informasi Tata Kelola B3 Nasional yang lebih terpadu, web based, GIS, dan mencakup antara lain:

a. Sistem pelaporan realisasi impor-ekspor, peredaran dan penggunaan B3, serta registrasi dan notifikasi B3 secara online,

b. Data registrasi dan notifikasi B3 online yang terintegrasi dengan aplikasi INSW

c. Sistem tracking peredaran B3 teregistrasi prioritas,

d. Data sebaran peredaran dan penggunaan B3 Terbatas.

9) Tindak lanjut konvensi dan kerja sama internasional dalam rangka pengelolaan B3 dan pengembangan kebijakan, peraturan, dan pedoman sebagai standar operasional teknis pengelolaan B3 di tingkat pemerintah pusat, provinsi, serta kabupaten/kota.

Pentingnya evaluasi

untuk mewujudkan

langkah lanjutan yang

selaras dan efektif

RENCANA

RENCANA KE DEPAN