Dinamika Perubahan Status Pernikahan Di Indonesia

22
Dinamika Perubahan Status Pernikahan Keluarga di Indonesia DINAMIKA PERUBAHAN STATUS PERKAWINAN KELUARGA DI INDONESIA Mata Kuliah: Kekerabatan, Perkawinan dan Keluarga Dosen: Dra. Sri Rahayu Sumarah, S.U dan Dewi Cahyani P, MA OLEH: NO NAMA 1 Akbar Nugraha M.P 2 Ali Aji Sujatmiko 3 Noor Maharsi 4 Bekti 5 Agil Priyo Digdo 6 Andri Prasetya 7 Devri Brisandi 8 Dorkas Alfeline Jisa 9 Muh. Ridwan Hanif 10 Muh. Yusuf 11 Ringga A.Widiharto JURUSAN SOSIOLOGI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS GADJAH MADA 1

description

Pola perubahan status pernikahan di Indonesia, diteliti oleh mahasiswa Universitas Gadjah Mada

Transcript of Dinamika Perubahan Status Pernikahan Di Indonesia

DINAMIKA PERUBAHAN STATUS PERKAWINAN KELUARGA DI INDONESIA

Mata Kuliah: Kekerabatan, Perkawinan dan KeluargaDosen: Dra. Sri Rahayu Sumarah, S.U dan Dewi Cahyani P, MA

OLEH: NONAMA

1Akbar Nugraha M.P

2Ali Aji Sujatmiko

3Noor Maharsi

4Bekti

5Agil Priyo Digdo

6Andri Prasetya

7Devri Brisandi

8Dorkas Alfeline Jisa

9Muh. Ridwan Hanif

10Muh. Yusuf

11Ringga A.Widiharto

JURUSAN SOSIOLOGIFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIKUNIVERSITAS GADJAH MADAYOGYAKARTA2012

Dinamika Perubahan Status Perkawinan Keluarga di IndonesiaPendahuluan Dalam studi tentang perkawinan, pola yang ditunjukan oleh negara maju dalam hal perkawinan, mulai ada di negara-negara berkembang yakni tingkat perkawinan menurun dan tingkat perceraian meningkat (Zagorsky, 2007). Indonesia termasuk negara dengan jumlah penduduk yang tinggi. Data BPS menunjukan bahwa penduduk negeri ini mencapai 230 juta jiwa. Dalam hal perkawinan di Indonesia terdapat peningkatan dalam penundaan masa perkawinan secara signifikan selama beberapa tahun terakhir, sementara tingkat perceraian memiliki indikasi kenaikan yang belum jelas (Jones, 2003). Adapun dalam studi demografi, status perkawinan dibagi menjadi lima kategori yakni: belum menikah, menikah, berpisah, bercerai, dan janda. Kategori ini diterapkan baik untuk studi sectional dan longitudinal.

Kemungkinan perubahan status perkawinan dari waktu ke waktuStudi menunjukkan bahwa di negara-negara maju, tingkat pendapatan yang diperoleh seseorang memiliki dampak pada status perkawinan. Misalnya, sebuah studi oleh Zorgorsky (2005) menunjukkan bahwa perkawinan cenderung meningkatkan kesejahteraan. Adapun dalam penelitian ini, Pertama, sebagian besar responden (baik istri dan suami) dalam studi ini bekerja. Kedua, pendapatan gabungan dari pasangan suami-istri akan lebih besar daripada single, sedangkan konsumsi gabungan dari pasangan yang hidup bersama akan kurang dari itu daripada dua orang yang tidak hidup bersama. Jika kondisi pertama tidak terpenuhi, hasilnya mungkin berbeda. Di Indonesia, proporsi non-kerja istri cukup besar. Dampak dari menjadi lajang, menikah, dan bercerai diharapkan akan berbeda dibanding negara-negara maju, dengan asumsi bahwa keduanya memiliki kondisi dan dampak yang lebih rumit juga.Penurunan tingkat perkawinan di negara-negara berkembang ditandai dengan penundaan perkawinan. Dalam hal ini maka factor ekonomi menjadi penting untuk dilihat, terutama karena wanita saat ini lebih berkeinginan lebih memapankan kondisi finansialnya. Sedangkan penundaan perkawinan dipengaruhi oleh variabel ekonomi dalam cara yang berbeda. Wanita yang memiliki kapasitas dan kemampuan ekonomi termotivasi untuk hidup melajang dahulu, sementara hal berlainan dialami ketika kurangnya penghasilan dalam masyarakat akan dapat memunculkan kekcenderungan untuk menikah di usia muda. Hal ini karena beberapa orang tua ingin mengurangi beban ekonomi mereka dengan menikahkan anak-anak mereka. Selain itu, orang bisa memiliki penghasilan yang lebih tinggi melalui pernikahan.Variabel demografi yang sangat berhubungan dengan perceraian ialah usia, tingkat pendidikan, dan jenis kelamin. Perceraian lebih mungkin terjadi di antara orang yang kurang berpendidikan. Sehubungan dengan gender, perempuan yang bekerja menunjukkan tingkat perceraian lebih tinggi daripada non-kerja perempuan. Pada pria sebaliknya, yang non-bekerja dan berpenghasilan rendah lebih beresiko untuk bercerai.Pernikahan kembali menjadi fenomena menarik di antara tingkat pertumbuhan penundaan perkawinan, hidup bersama, dan perceraian. Diantara faktor-faktor ini, gender dan tingkat pendapatan konsisten berkontribusi terhadap keputusan menikah lagi. Pria lebih mungkin untuk menikah lagi daripada wanita yang status pekerjaan dan tingkat pendapatanya akan memainkan peran penting dalam kelompok ini.

Kerangka TeoriPerkawinan bukan hanya pengambilan keputusan secara pribadi, terkadang perkawinan juga melibatkan dan mempertimbangkan pendapat keluarga. Keluarga sebagai lembaga primer sangat bisa mengambil peran dalam penentuan pendapat ini meskipun telah terjadi perubahan. Salah satu yang menjadi alasan karena perkawinan dapat mengubah struktur keluarga baik sisi materi dan nonmateri, sehingga ini menjadi legitimasi orang tua memiliki untuk mengontrol proses pengambilan keputusan. Kontrol ini sedikit berbeda antara pria dan wanita, dimana pilihan wanita lebih ketat daripada pria. Menurut Malhotra (1991) situasi ini dapat berubah oleh beberapa faktor seperti upah ekonomi, pendidikan dan westernisasi, yang selanjutnya mengurangi kontrol keluarga atas proses perkawinan. Studi oleh Malhotra tentang perkawinan di Jawa, dia menyebutkan tentang perjodohan dan faktor-faktor yang berhubungan dengan perkawinan.Penting pula untuk memahami bahwa tingkat pendidikan merupakan faktor yang kuat dalam menunda perkawinan dari oleh perempuan perkotaan. Pada setiap usia, di perkotaan yang bekerja baik dalam pekerjaan keluarga atau pekerjaan yang dibayar meningkatkan kemungkinan seorang pria menikah selama tahun berikutnya.Pekerjaan sangat meningkatkan kemampuan seorang pria dalam perkawinan karena pria bisa menghidupi keluarga, namun peran serupa tidak diharapkan untuk wanita. Sebaliknya, di daerah pedesaan baik status kerja dan pengalaman kerja menunjukkan efek yang signifikan dan penting bagi perempuan serta untuk laki-laki. Selain itu, pria yang bekerja di daerah pedesaan lebih cenderung tidak untuk menikah, tapi seperti perempuan pedesaan, mereka lebih cenderung untuk melihat kemungkinan pekerjaan sebagai sarana pemenuhan kewajiban keluarga sebelum pernikahan. Menikah juga dapat dipengaruhi oleh usia. Seseorang diharapkan untuk menikah ketika ia mencapai kedewasaannya. Terkait dengan gangguan perkawinan, ada beberapa faktor yang secara signifikan terkait dengan hal ini, seperti usia menikah, durasi perkawinan, pendidikan dan jam karakteristik istri termasuk bekerja (Heaton, et.al., 2001).Usia perkawinan dan durasi perkawinan merupakan salah satu prediktor terkuat dalam hal gangguan perkawinan. Seseorang yang menikah di usia muda lebih cenderung memiliki masalah dengan gangguan perkawinan. Di sisi lain, pendidikan merupakan prediktor penting bagi stabilitas perkawinan. Namun demikian, faktor-faktor yang membuat perceraian menurun yang mungkin karena meningkatnya usia saat menikah, meningkatnya pilihan pasangan pribadi dan meningkatnya tingkat hidup. Faktor-faktor ini menandakan kematangan pernikahan mereka (Jones, 1997).Salah satu efek pada perubahan status perkawinan berkaitan dengan kemiskinan di mana perubahan ini dapat menyebabkan seseorang untuk meninggalkan atau masuk ke dalam kemiskinan. Kemiskinan dikaitkan dengan struktur keluarga. Salah satu kemungkinan yang terjadi dalam perkawinan hal itu dapat mengurangi kemiskinan. Perkawinan bisa membantu untuk keluar dari kemiskinan dan mengurangi kemungkinan mereka masuk kembali ke dalam kemiskinan (Mauldin dan Mimura, 2007). Status perkawinan adalah suatu fenomena yang dinamis. Pengalaman seseorang mungkin memiliki satu status di suatu waktu dan memiliki status lain di lain waktu. Keuntungan dari mempelajari dinamika perkawinan melalui studi longitudinal untuk menggambarkan pola perubahan, untuk membangun arah dan besarnya hubungan kausal serta untuk memahami perubahan sosial dan lintasan sejarah hidup termasuk proses dinamis yang mempengaruhi perubahan tersebut (Menard, 2002; Ruspini, 2002). Meskipun bahwa studi longitudinal memiliki banyak keuntungan, metode ini memiliki beberapa kesulitan juga. Dalam hal unit analisis, melakukan penelitian dengan rumah tangga sebagai subjek memiliki kesulitan sendiri karena perubahan dalam struktur keluarga, yang beberapa alasannya adalah karena perubahan dalam perkawinan, kelahiran, mati atau migrasi (Betti, Agustino, Laura Neri, 2003; Wheland & Maitre, 2006). Ada banyak alasan yang menyebabkan gesekan panel (Atrisi) seperti kematian, penolakan, atau responden pindah ke tempat lain di mana sulit untuk dijangkau. Memiliki sistem pelacakan yang baik dapat meminimalkan masalah dengan gesekan panel. Sebagai contoh, Indonesian Familys Life Survey (IFLS) dalam gelombang ketiga memiliki 94,8% re-kontak tingkat rumah tangga target dengan mengembangkan pelacakan suatu sistem untuk mengikuti semua rumah tangga IFLS1 asli dan membagi-off rumah tangga dan berhasil mewawancarai termasuk rumah tangga yang bergerak dalam penelitian daerah (Strauss, dkk, 2004).

MetodologiPenelitian sebagaimana dilakukan oleh Faturochman, Amelia Maika dan Evita Pangariwibowo yang disajikan dalam presentasi ini merupakan analisis data sekunder dari data Survei Kualitas Rumah Tangga Indonesia (IFLS) termasuk IFLS1 (1993), IFLS2 (1997) dan IFLS3 (2000) - Survei mencakup 13 provinsi di Indonesia termasuk provinsi di Jawa, Sumatera, Bali, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusa Tenggara.Jumlah total responden dalam tiga gelombang adalah 24.203 jiwa, mulai dari usia 15 tahun-49 tahun. Dalam rangka untuk melengkapi analisis data dengan usia, kelompok usia 15-19 dari tahun 1997 dan 2000 survei juga dimasukan dalam perhitungan. Responden yang usianya 15-19 tahun di tahun 1997 dan 2000 survei ditambahkan dalam analisis status perkawinan untuk kelompok usia ini.

Kajian Menurut karakteristik demografi sosial rersponden, 52.3% dari total responden adalah laki-laki dan 51% dari total tinggal di daerah pedesaan. Lebih dari 80% dari total responden dikategorikan miskin karena mereka hidup dengan pengeluaran per kapita yang berada di bawah garis kemiskinan. Jumlah tertinggi orang dikategorikan sebagai bekerja sebagai aktivitas utama mereka, diikuti oleh rumah tangga dan tinggal di rumah, atau penganggur. Berdasarkan tingkat pendidikan, banyak responden menyelesaikan pendidikan dasar dan sekolah menengah mereka (sekitar 44% dan 33% masing-masing). Ada sekitar 14% dari responden tidak menyelesaikan sekolah dasar. Di antara orang-orang menikah dalam survei ini, rata-rata usia ketika menikah pada tahun 1993 adalah relatif sama dengan dua gelombang lain, yaitu sekitar 20 tahun. Median pada tahun 1993 adalah 19, sementara pada tahun 1997 dan 2000 yakni 20 dan 18 tahun. Kadang-kadang perkawinan juga melibatkan pihak ketiga terutama orang tua untuk memilih dengan siapa anak-anak mereka harus menikah. Meskipun jumlah tertinggi memilih pasangan mereka sendiri, 30% dari responden pasangan dipilih oleh orangtua mereka di tahun 1993 dan ini angka penurunan pada 1997 dan 2000 menjadi 10% responden yang pasangan dipilih orangtua mereka.Pada tahun 1993 mayoritas responden sudah menikah. Ada sekitar 14,833 responden yang diidentifikasi sebagai pasangan menikah. Status mereka berubah dari waktu ke waktu selama menikah. Sekitar 8.5 % responden pernah menikah tapi kemudian diidentifikasi berpisah ( 0.6 % ), bercerai 2,2 % ), dan janda ( 5,6 % )

Status perkawinan dari waktu ke waktu Secara umum, ada perubahan signifikan dalam status perkawinan pada periode tahun 1993-2000. Yang paling besar perubahan kuantitatif dalam kurun waktu tahun 1993-2000 adalah belum menikah menjadi menikah. Belum menikah pada tahun 1993 (30.3 % dari total responden) mengalami perubahan status pada tahun 1997, yaitu penurunan yang dinamis dari 19,8% menjadi 12,7% pada tahun 2000. Konsekuensi langsung dari proporsi belum menikah ini adalah peningkatan pada yang menikah. Pada tabel Status perkawinan 1993-2000(%) Menimbulkan lebih kecil juga ditemukan dalam status perkawinan selain unmaried seperti terpisah dan status perceraian, sementara meningkatkan lebih besar terjadi kepada status janda.Status yang belum menikah, perubahan yang cukup relatif ini ditemukan dalam proporsi dari responden yang belum menikah selama periode 1993-2000. Pada perubahan status yang belum menikah selama periode 1993-1997 yang terjadi lebih sering pada perempuan (65.1 % ) dari pada pria (52,7 % ). Untuk kedua jenis kelamin, perubahan selama periode 1993-1997 lebih besar daripada periode 1997-2000. Untuk kedua jenis kelamin, proporsi yang belum menikah di tiga pengamatan ditemukan bahwa di perkotaan lebih besar daripada di daerah pedesaan. Sehubungan dengan status perubahan perkawinan, namun, penurunan proporsi pada yang belum menikah kedua jenis kelamin tapi tidak menunjukkan tren signifikan yang berbeda antara pedesaan dan perkotaan, menunjukkan bahwa proporsi unmaried di daerah antara menunjukkan perbedaan signifikan. Belum menikah tampaknya juga berhubungan dengan status pendidikan dari responden. Proporsi terbesar adalah ditemukan di antara responden dengan pendidikan terendah (tidak sekolah). Pola ini berubah ketika jenis kelamin dan pendidikan digabungkan dalam analisis. Pada tahun 1993 laki-laki berpendidikan menengah memiliki proporsi sedikit lebih rendah dibanding pendidikan dasar, namun, perbedaan antara kedua kategori pendidikan menjadi lebih kecil pada tahun 1997 dan menjadi hampir sama pada tahun 2000. Sementara itu, yang belum menikah proporsi terbesar di kalangan wanita terkait dengan tingkat pendidikan mereka pada tahun 1993. Sedangkan proporsi perempuan yang belum menikah tanpa sekolah masih cukup besar, pada tahun 2000 proporsi belum menikah wanita dengan pendidikan universitas adalah yang terbesar dalam distribusi. Selama 7 tahun pengamatan menemukan peningkatan lebih dari 18% dari yang belum menikah adalah perempuan berpendidkan universitas. Ini adalah kecenderungan kontradiktif dibandingkan dengan laki-laki, yang menunjukkan penurunan beberapa di periode yang sama. Di sisi lain, kelompok wanita yang belum menikah dengan pendidikan menengah dan tidak sekolah terus menurun selama periode yang sama.Sehubungan dengan status pekerjaan, hal ini tidak mengejutkan untuk menemukan bahwa proporsi tertinggi. Kategori yang belum menikah adalah responden yang sedang sekolah dan mencari pekerjaan. Selain itu, pada umumnya mahasiswa, terutama, mahasiswa S1 ditemukan belum menikah karena ekonomi mereka masih bergantung kepada orang tua dan orang tua tidak membiarkan anak mereka menikah ketika ekonomi masih bergantung kepada orangtua mereka. Pencari pekerjaan juga menemukan banyak kesulitan dalam menikah. Oleh karena itu, kedua kategori ini bisa menjelaskan proporsi yang belum menikah. Mengenai usia responden, beberapa temuan dapat digambarkan sebagai berikut. Proporsi 15- 19 tahun kelompok tercatat pada tahun 1993, tidak ditemukan lagi pada tahun 2000 ketika usia mereka meningkat. Berdasarkan catatan waktu, 1993-1997 status proporsi belum menikah responden berusia antara 20 dan 24 meningkat dari 58.7 ke 61.6 % pada setiap tahun, dan pada tahun 2000 proporsi mengalami penurunan cukup signifikan menjadi 52,7 %. Pola perubahan lebih jelas di kalangan wanita, seperti yang diamati dalam proporsi perempuan yang belum menikah pada tahun 1993, tahun 1997 dan 2000 yang 41.8, 46.0, dan 34.8 % masing-masing tahun. Pria menunjukkan pola, yang berbeda di mana proporsi belum menikah cenderung terus menurun sejak tahun 1993 dan seterusnya. Perubahan yang cukup kurang ditemukan di antara kelompok 25-29 tahun kelompok, dimana proporsi belum menikah sedikit mengalami penurunan dari tahun 1993-1997 dan sedikit menurun lagi dari 1997-2000. Untuk kelompok usia 30 tahun ke atas, perubahan status pernikahan mereka ini digambarkan sebagai pernikahan terlambat.Pernikahan akhir. Secara umum, status menikah berhubungan dengan usia. Semakin tua usia, semakin kecil proporsi yang belum menikah. Status belum menikah di usia 30 atau di atas menunjukkan pernikahan/perkawinan terlambat. Menurut data, jumlah belum menikah, responden berusia 40 tahun ke atas sangat kecil, yaitu 72 saja, dan oleh karena itu hanya ada satu kategori untuk kelompok usia ini. Dengan demikian,responden belum menikah usia 30 + dikelompokkan menjadi tiga kategori: 30-34, 35-39, dan 40 ke atas.Gambaran umum pernikahan terlambat dalam penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut. Pertama, proporsi belum menikah, responden usia 40 ke atas pada tahun 1993 adalah 9, proporsi ini hampir tidak berubah pada tahun 1997, dan sedikit meningkat menjadi 1,1% pada tahun 2000. Proporsi perempuan ini kategori yang lebih besar, kecuali pada tahun 1997 dimana proporsi laki-laki ini kategori meningkat cukup, dan menurun lagi pada tahun 2000. pria dan wanita ternyata menunjukkan pola yang berbeda dalam kasus ini.

Pada tahun 1993, proporsi belum menikah kategori 35-39 tahun wanita lebih besar daripada laki-laki dari kategori usia yang sama. Penurunan terjadi pada wanita dari kategori ini menjadi 3,1% tetapi peningkatan kecil terjadi untuk lawan jenis menjadi 2,9%. Penurunan perempuan terus berlanjut hingga tahun 2000, dimana proporsi menjadi 2,8%, dan peningkatan pria berlanjut juga menjadi 3.6% pada tahun yang sama. Itu menunjukkan bahwa selama tujuh tahun pengamatan, proporsi yang belum menikah, 35-39 tahun laki-laki menunjukkan kecenderungan peningkatan, sementara wanita menunjukkan kecenderungan sebaliknya.Antara kelompok 30-34 tahun, peningkatan total proporsi yang belum menikah relatif jelas, itu adalah dari 6,9% pada 1993, 8,1% pada tahun 1997 dan 9,7% pada tahun 2000. Lebih jelas perubahan ditemukan pada wanita (2,8%) daripada laki-laki (2,4%). Namun, pengamatan tiga kali dengan jelas menunjukkan bahwa proporsi laki-laki yang belum menikah dari kategori usia ini umumnya lebih rendah daripada wanita. Seperti tren extrapolative terus, mungkin jika di masa depan proporsi perempuan yang belum menikah dari kategori usia ini akan melebihi laki-laki.Status menikah Peningkatan proporsi status perkawinan ditemukan lebih cepat di kalangan laki-laki daripada yang di antara perempuan. Pada tahun 1993, proporsi laki-laki menikah adalah 60,9% agak lebih kecil dibandingkan dengan perempuan (61,9%). Dengan tingkat kenaikan yang lebih cepat, proporsi pria menikah menjadi 71,0% pada tahun 1997, lebih tinggi dari perempuan (68,8%). Perbedaan ini menjadi bahkan lebih luas pada tahun 2000 77,5% untuk pria dan 71,6% untuk perempuan. Proporsi kelompok menikah ditemukan lebih besar di kalangan pedesaan daripada responden perkotaan, namun pola peningkatan antara mereka tidak berbeda secara signifikan. Dengan pendidikan menengah meningkat juga terjadi pada SD danberpendidikan universitas orang dengan pola yang berbeda. Diantara berpendidikan SDresponden, peningkatan selama periode 1993-1997 lebih cepatdibandingkan dengan periode 1997-2000, sementara di kalangan berpendidikan universitasBercerai meskipun persentasenya relatif kecil, data menunjukkan beberapa fenomena menarik yang berhubungan dengan perceraian. Peningkatan proporsi bercerai juga sedikit lebih tinggi pada wanita dibandingkan pada pria. Pada pria, tidak ada peningkatan yang signifikan 1993-1997, dan peningkatan kecil (5%) ditemukan 1997-2000. Di kalangan perempuan, di sisi lain, meningkat 4% ditemukan 1997 sampai 2000. Bagi pria dan wanita yang tinggal di daerah perkotaan, proporsi perceraian lebih kecil daripada mereka yang tinggal di daerah pedesaan. Di kalangan perempuan, proporsi bercerai dari perempuan yang bekerja menunjukkan peningkatan yang sangat kecil sehubungan dengan proporsi yang bercerai. Bercerai proporsi tren kenaikan muncul antara pria pengangguran dan wanita. Sedangkan pada tahun 1993 proporsi pria pengangguran yang bercerai lebih kecil daripada laki-laki yang bekerja, pada tahun 1997 proporsi kategori pertama menunjukkan peningkatan yang cukup. Kemudian kategori berdasarkan pendidikan, penelitian ini menunjukkan bahwa bercerai terkait untuk menurunkan proporsi responden bercerai dengan ke sekolah dengan kelompok berpendidikan tinggi.

Sesi Diskusi

NIM: 24913Pertanyaan:

1. Apa yang dimaksud kategori pernikahan akhir, pernikahan awal, dan pernikahan miskin dalam penelitian ini?

Jawaban:Status perkawinan pada penelitian ini umumnya dibagi menjadi 5 kategori analisis pengukuran, yaitu lajang (single/belum pernah menikah), menikah (married), bercerai (divorce), berpisah (separate), dan janda (widowed), tetapi khusus pada kategori menikah (married) terdapat sub kategori pengukuran yang dibagi menjadi tiga, yaitu :a. Late married : seseorang yang menikah saat berumur 30 tahun atau lebih dan tidak pernah menikah sebelumnnya.b. Erly married : seseorang yang berusia di bawah 19 tahun dan telah menikah.c. Poor: seseorang yang menikah dan tinggal dalam pengeluaran di bawah garis kemiskinan.Pemilihan kategori ini tujuannya agar memperoleh data yang lengkap mengenai angka pernikahan dini dan terlepas dari kategori pernikahan secara umum.

NIM: 23894Pertanyaan:2. Mengapa salah satu faktor seperti westernisasi menurut Malhotra berpengaruh terhadap kontrol keluarga atas proses perkawinan ?Jawaban:Pada penelitian yang dilakukan oleh Mbak Amelia ini memang tidak disebutkan secara rinci mengenai faktor westernisasi yang disebutkan oleh penelitian sebelumnya yang dilakukan Malhotra. Faktor seperti ekonomi dan pendidikan yang sangat erat hubungan pada proses pernikahan karena biasanya seseorang yang siap menikah secara ekonomi sudah siap untuk berkeluarga yang ditunjang oleh tingkat pendidikan yang tinggi berpengaruh terhadap pendapatannya yang tinggi juga.Faktor westernisasi sendiri berkaitan dengan kebebasan (Independency) memilih pasangan untuk menikah, dimana telah terjadi pergeseran kontrol keluarga yang jaman dahulu pasangan menikah selalu ditentukan oleh orangtua, bahkan kriteria pasangan harus sesuai dengan keinginan orangtua. Tetapi karena proses pencampuran budaya pengetahuan dari barat, keputusan memilih calon pasangan ditentukan oleh si calon yang menikah itu sendiri, mereka mulai secara rasional memilih pasangan sendiri tanpa campur tangan orangtua atau extended family mereka.

NIM: 24763Pertanyaan:3. Menurut Zagorsky pernikahan dapat meningkatkan kesejahteraan, apakah jika pasangan yang menikah berasal dari kelas sosial yang sama, akan dapat meningkatkan kesejahteraan mereka?Jawaban:Ya, bisa saja. Tetapi kembali lagi kepada tujuan dari sebuah pernikahan tersebut apakah tujuan pernikahan untuk hidup bersama dan akan adanya komitmen dalam menjalankan tugas dan fungsi keluarga dengan baik, hal itu akan membawa mereka pada mobilitas sosial vertical dan kesejahteraan, tetapi jika pernikahan hanya sebagai tujuan pribadi, maka disorganisasi keluarga yang akan terjadi. Pernikahan individu yang berasal dari kelas sosial bawah dengan pasangan dari kelas sosial atas menyebabkan pasangan yang dari kelas bawah tersebut berpindah menjadi kelas atas karena pernikahan. Tetapi pasangan kelas sosial bawah yang menikah dengan pasangan dari kelas sosial bawah juga, bisa saja akan tetap berada pada posisi sosialnya tanpa terjadi mobilitas sosial vertikal, karena selain faktor internal (tujuan pernikahan/keluarga) hal tersebut juga dipengaruhi oleh faktor eksternal lain seperti keterbatasan memperoleh akses ekonomi (pekerjaan, modal, dll). Sebab kemiskinan dikaitkan dengan struktur keluarga. Salah satu kemungkinan yang terjadi dalam perkawinan hal itu dapat mengurangi kemiskinan. Perkawinan bisa membantu untuk keluar dari kemiskinan dan mengurangi kemungkinan mereka masuk kembali ke dalam kemiskinan (Mauldin dan Mimura, 2007).

KesimpulanStatus perkawinan pada penelitian ini umumnya dibagi menjadi 5 kategori analisis pengukuran, yaitu lajang (single/belum pernah menikah), menikah (married), bercerai (divorce), berpisah (separate), dan janda (widowed), tetapi khusus pada kategori menikah (married) terdapat sub kategori pengukuran yang dibagi menjadi tiga, yaitu :a. Late married : seseorang yang menikah saat berumur 30 tahun atau lebih dan tidak pernah menikah sebelumnnya.b. Erly married : seseorang yang berusia di bawah 19 tahun dan telah menikah.c. Poor: seseorang yang menikah dan tinggal dalam pengeluaran di bawah garis kemiskinan.Dan dalam penelitian ini terdapat penelitian dari Malhotra yang menjelaskan tentang Fktor westernisasi yang mempengaruhi dinamikan pernikahan, namun terkait factor ini tidak dijelaskan secara rinci. Faktor westernisasi sendiri berkaitan dengan kebebasan (Independency) memilih pasangan untuk menikah, dimana telah terjadi pergeseran kontrol keluarga yang jaman dahulu pasangan menikah selalu ditentukan oleh orangtua, bahkan kriteria pasangan harus sesuai dengan keinginan orangtua. Tetapi karena proses pencampuran budaya pengetahuan dari barat, keputusan memilih calon pasangan ditentukan oleh si calon yang menikah itu sendiri, mereka mulai secara rasional memilih pasangan sendiri tanpa campur tangan orangtua atau extended family mereka.Pernikahan individu yang berasal dari kelas sosial bawah dengan pasangan dari kelas sosial atas menyebabkan pasangan yang dari kelas bawah tersebut berpindah menjadi kelas atas karena pernikahan. Tetapi pasangan kelas sosial bawah yang menikah dengan pasangan dari kelas sosial bawah juga, bisa saja akan tetap berada pada posisi sosialnya tanpa terjadi mobilitas sosial vertikal, karena selain faktor internal (tujuan pernikahan/keluarga) hal tersebut juga dipengaruhi oleh faktor eksternal lain seperti keterbatasan memperoleh akses ekonomi (pekerjaan, modal, dll). Namun pernikahan yang sama dengan kelas sosial bawah juga dapat menaikan posisi sosial keluarga, apabila pasangan dapat berkomitmen untuk menjalankan fungsi dan peran dalam keluarga dengan baik. Sebab kemiskinan dikaitkan dengan struktur keluarga. Salah satu kemungkinan yang terjadi dalam perkawinan hal itu dapat mengurangi kemiskinan. Perkawinan bisa membantu untuk keluar dari kemiskinan dan mengurangi kemungkinan mereka masuk kembali ke dalam kemiskinan (Mauldin dan Mimura, 2007). Di dalam penelitian ini juga dijelaskan bahwa pendapatan gabungan dari pasangan suami-istri akan lebih besar daripada single, sedangkan konsumsi gabungan dari pasangan yang hidup bersama akan kurang dari itu daripada dua orang yang tidak hidup bersama.

DAFTAR PUSTAKAFaturochman, Maika, Amalia dan Pangariwibowo, Evita H. 2009. The Dynamic of Marital Status Changes in Indonesia. Research Paper, CPSS GMU-ARI National University of Singapore Silalahi, Karlina dkk (penyunting). 2010. Keluarga Indonesia: Aspek dan Dinamika Zaman. Jakarta: Rajawali PressTukiran dkk (penyunting). 2010. Keluarga Berencana dan Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta: PSKK UGM-Pustaka Pelajar

Dinamika Perubahan Status Pernikahan Keluarga di Indonesia14