Dimensi Kultural Dalam Pembangunan
-
Upload
riandra-krisdiyanto -
Category
Documents
-
view
60 -
download
8
description
Transcript of Dimensi Kultural Dalam Pembangunan
DIMENSI KULTURAL
DALAM
PEMBANGUNAN
Agung Wibowo
“MELANGKAH DENGAN BASMALLAH”
Istilah sumber daya manusia mengandung bias
ekonomi. Manusia dianggap semata – semata sebagai
factor produksi, bukan sebagai makhluk cultural.
Karena manusia dilihat sebagai factor produksi, maka
wacana tentang sumber daya manusia jadi berbeda
dari factor cultural dalam pembangunan.
Kualitas seorang manusia sebagai sebuah factor
produksi dianggap ditentukan oleh kondisi fisiknya,
tingkat pendidikannya dan keterampilan yang
dimilikinya. Manusia yang berkualitas tinggi adalah
manusia yang sehat badannya dan memperoleh cukup
pendidikan dan pelatihan
Namun demikian satu factor sebagai penentu kualitas
sumber daya manusia adalah mentalitas manusia.
Ini adalah satu factor yang tidak konkret dan sukar diukur
besarannya. Factor mentalitas ini memiliki sebutan yang
berbeda dari setiap orang.
Ada yang menyebutnya sebagai human factor ( inkeles
1966), factor cultural (Rogers 1969 ), factor the state of
mind (Harrison 1985 ), factor non-ekonomi (Kuntjoro-
Jakti 1972), factor psikokultural (Budiman 1989), sikap
mental (Koentjaraningrat 1974).
Factor tersebut terdiri atas:
• sikap,
• nilai, dan
• kepercayaan.
Beberapa Teori Tentang Peranan Daya Psikokultural
Max Weber Weber adalah seorang yang selalu disebut sebagai pelopor
kajian tentang pengaruh daya psikokultural dalam
perkembangan ekonomi suatu bangasa. Dia berusaha
mengembalikan tesis Marx yang mmengatakan bahwa
superstruktur (ideology dan agama) ditentukan infrastruktur
(hubungan ekonomi dan cara produksi). Bagi Weber, salah satu
factor penting perkembangan ekonomi kapitalis justru terletak
pada aspek superstruktur, yaitu daya psikokultural.
Menurut Weber, akar dari pencapaian ekonomi Eropa adalah
seperangkat nilai dan sikap yang terkandung dalam etika
protestan (khususnya aliran calvinisme) yaitu kerja keras,
hemat, jujur, rasionalitas dan sederhana. Keseluruhan nilai dan
sikap ini disebut asceticism. Inilah yang disebut dengan daya
psikokultural.
Max Weber......lanjutkan
Jadi dapat disimpulkan bahwa daya psikokultural yaitu :
Salah satu factor penting dari perkembanga ekonomi
kapitalis terletak pada aspek superstruktur (ideology dan
agama).
Kerja keras, hemat, jujur, rasionalitas dan sederhana
(asceticism).
Pemenuhan kewajiban yang diletakan diatas bahu
seseorang individu oleh kedudukannya dalam dunia
(calling).
Berkah dari Tuhan, terlihat dari kemakmuran dan
kekayaan yang dicapai oleh orang orang terpilih.
Arthur Lewis
Arthur Lewis adalah seorang ahli ekonomi pertama yang
memerhatikan secara serius dimensi social dan cultural
dari pembangunan ekonomi.
Dia menghubungkan factor-faktor psikokultural yang
mendorong kemunculan para wirausaha dengan masalah
lingkungna social dan politik yang subur bagi
pertumbuhan ekonomi.
Bagi Arthur Lewis, pertumbuhan ekonomi dipengaruhi
oleh sikap terhadap kerja, terhadap jumlah dan pemilikan
anak, terhadap penemuan baru, terhadap orang asing,
terhadap pencarian pengalaman hidup dan lain lain.
Semua sikap ini membentuk satu kekuatan psikokultural
yang dahsyat bagi perkembangan ekonomi.
Evertt Hagen
Daya psikokultural menurut Evertt Hagen yang
pertama adalah prilaku inovatif.
Prilaku inovatif ini berasal dari nilai dan sikap
mental yang khas.
Satu bangsa akan tetap tertinggal di belakang
jika terlalu sedikit anggotanya yang memiliki nilai
dan sikap mental inovatif ini.
Mereka yang mamiliki nilai dan sikap mental
inovatif ini disebut innovational personality.
Evertt Hagen.....Lanjutkan
Kebalikan dari innovatinal personality adalah
authoritarian personality. Masyarakat pedesaan pertanian
yang pada umumnya beku dan mandek didominasi oleh
authoritarian personality ini.
Dalam masyarakat ini orang merasa puas apabila
mereka telah memberi kewenangan dan tunduk kepada
penguasa.
Sebaliknya, para penguasa yang pada umunya tinggal di
kota merasa mencapai kepuasan dalam tindakan mereka
dalam menguasai rakyat jelata.
Evertt Hagen.....Lanjutkan
Situasi social poltis di mana orang memperoleh kepuasan dan
ketenangan dengan cara menginjak kebawah dan menjilat ke atas ini
adalah bertentangan dengan innovatinal personality, yang pada
gilirannya menghambat bagi jalan menuju kekemajuan ekonomi.
Inovasi memerlukan kreatifitas. Manusia yang kreatif adalah seseorang
yang selalu siap dalam mengamati dunia sekelilingnya dan percaya
akan evaluasi yang dibuatnya terhadap pengalaman hidupnya. Manusia
seperti ini susah untuk muncul dalam sebuah masyarakat yang
didominasi oleh authoritarian personality.
Gunnar Myrdal
Gunnar Myrdal adalah seorang ahli ekonomi
yang paling serius dalam mengkaji akar
psikokultural dari perkembangan ekonomi.
Bagi Myrdal factor psikokultural tidak hanya
melahirkan prilaku enterpereneurial, tapi juga
memasuki, membantuk, dan mendominasi
dimensi politik, ekonomi, social, dan lain-lain dari
seluruh sisitem nasional.
Factor psikokultural tersebut seperi sikap
toleran, rasionalitas dll
David McClelland
David McClelland mengatakan bahwa satu jenis daya mentalitas seseorang yang disebut sebagai “n achievement” adalah factor penting bagi kemajuan usaha orang tersebut.
Daya psikokultural ini adalah berbentuk semacam gagasan, motivasi, semangat, dorongan, untuk melakukan pekerjaan tidak hanya dengan hasil yang baik, tapi dengan hasil yang lebih baik, lebih baik, terus lebih baik.
Jadi, kata kunci dalam daya psikokultural ini adalah berbuat yang lebih baik dan bermanfaat untuk banyak orang.
Alex Inkeles
Menurut Inkeles manusia modern adalah manusia yang siap untuk
meninggalkan pola pikir tradisional jika diperlukan. Factor psikokultural
menurut Inkeles yaitu terdapat pada manusia modern. Di antaranya :
Memiliki pola pikir terbuka pada inovasi dan perubahan, dan siap untuk
menerima pengalaman baru.
Mempunyai pandangan yang luas terhadap sejumlah masalah dan isu
yang terjadi, tidak hanya di lingkungan kecil tapi juga di lingkungan yang
lebih luas.
Mempunyai pandangan yang lebih demokratis, bersedia dan menghargai
kepercayaan, sikap dan pendapat yang berlainan.
Lebih berorientasi ke masa kini dan masa depan, menghargai tepat
waktu, disiplin kerja dan hidup teratur.
Menjalankan kehidupan secara berencana dan terorganisasi.
Percaya kepada keampuhan ilmu dan teknologi.
Percaya bahwa kehidupan alam dunia dapat di atur dan diperhitungkan
Kondisi Psikokultural Masyarakat yang Kurang Produktif
Ada beberapa ciri dari kondisi psikokultural masyarakat terbelakang, atau masyarakat yang kurang produktif secara ekonomi. Dari Almond dan Verba (1963) diperoleh satu butir penting dari masyarakat terbelakang, yaitu sikap saling tidak percaya terhadap orang lain, khususnya dalam bidang kegiatan politik dan ekonomi.
Penelitian yang dilakukan oleh Edward Banfield di desa Montegranesi di Italia bagian selatan mencatat satu kondisi psikokultural negatif yang tidak mendukung ke arah kemajuan ekonomi masyarakat, yaitu sikap iri hati kepada orang lain.
Setiap orang berusaha untuk menghambat perolehan orang lain, sebaliknya berusaha untuk memperbanyak perolehan sendiri. Hipotesis dasar dari penelitian Banfield mengatakan bahwa masyarakat desa Montegranesi berperilaku bagai mengikuti aturan yang berbunyi (Maksimalkan keuntungan materi jangka pendek keluarga batih, anggaplah bahwa orang lain juga akan berbuat seperti itu). Mereka yang perilakunya sesuai dengan aturan ini disebut oleh Banfield sebagai “amoral familist” (aliran pemikiran keluarga amoral).
Implikasi logis dari hipotesis dasar ini, menurut analisis Banfield,
menghasilkan 17 butir proposisi. Proposisi ini dapat kita ambil sebagai
cermin untuk melihat keterbelakangan masyarakat Indonesia masa
kini. Proposisi tersebut berbunyi bahwa dalam setiap masyarakat yang
menganut “amoral familist”, maka :
Tidak ada orang yang mendahulukan kepentingan kelompok,
kecuali kalau kepentingannya sendiri sudah terpenuhi.
Hanya para pegawai negeri yang peduli akan masalah-masalah
umum. Orang biasa tidak peduli.
Hanya ada sedikit pengawasan atas kegiatan pegawai negeri.
Organisasi sulit untuk dibangun dan dibina, karena masing-masing
orang hanya memikirkan kepentingan sendiri-sendiri.
Pekerja kantor hanya akan bekerja keras sepanjang hal itu
diperlukan agar dia tidak di copot.
Kepatuhan pada hukum hanya karena takut akan dihukum. Kalau
tidak ada alasan karena takut hukuman, maka undang-undang
tidak akan dipedulikan.
Pegawai akan korupsi sepanjang dia bisa mengerjakannya.
Mereka yang lemah akan menyenangi rezim tangan besi.
Implikasi logis :.... bahwa dalam setiap masyarakat yang menganut
“amoral familist”, maka :
Barang siapa yang membangkitkan semangat pelayanan umum sebagai motif kerja akan dianggap sebagai penipuan omong kosong.
Prinsip politik yang abstrak tidak sesuai dengan perilaku konkret setiap hari.
Tidak ada pemimpin dan tidak ada pengikut. Masing-masing jalan sendiri-sendiri.
yang hanya akan ikut pemilihan umum untuk mencapai tujuan kepentingan jangka pendek.
Individu-individu akan menyokong kegiatan bersama hanya jika ada keuntungan langsung bagi dirinya.
Janji-janji partai politik hanya dipercayai dengan sedikit.
Para penguasa dianggap hanya mementingkan diri sendiri dan korup.
Tidak ada perilaku organisasi politik yang sesuai dengan namanya.
Pekerja partai akan memjual jasanya kepada pembayar yang tertinggi
Pengembangan Institusi Sosial Untuk Memajukan Daya Psikokultural
Dulu bangsa Indonesia, khususnya orang Jawa, tidak
mengenal nilai-nilai yang terkandung dalam kitab fiksi
Mahabarata dan Ramayana karangan orang India.
Kini nilai-nilai tersebut bukan hanya dikenal atau diterima,
tapi juga dipandang sebagai milik sendiri. Bahkan
sebagian orang menganggap cerita fiksi itu sebagai
kejadian benar yang pernah terjadi dipulau Jawa.
Kerajaan Madura, misalnya yang disebut dalam fiksi
tersebut dianggap terletak di pulau Madura.
Di bawah ini, mengikuti pemikiran Harrison (1985), ada beberapa institusi sosiokultural yang perlu diperhatikan untuk memperbaiki daya psikokultural masyarakat Indonesia. Institusi-institusi tersebut adalah:
Kepemimpinan
Penafsiran baru terhadap ajaran agama
Pendidikan dan pelatihan
Media massa
Pembangunan organisasi dan norma (Institutional Building)
Perilaku manajemen, dan
Pola-pola pengasuhan anak.