perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id TINJAUAN YURIDIS ... · kepustakaan, dokumen, arsip,...
Transcript of perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id TINJAUAN YURIDIS ... · kepustakaan, dokumen, arsip,...
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM MEMUTUS
PERMOHONAN CERAI TALAK DENGAN PEMOHON NON-MUSLIM (Studi Kasus Permohonan Cerai Talak Di Pengadilan Agama Karanganyar Dengan Nomor Putusan 208/Pdt.G/2010/Pa.Kra)
Penulisan Hukum ( Skripsi )
Disusun dan diajukan untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
OLEH MUTMAINI
NIM : E0006181
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM MEMUTUS PERMOHONAN
CERAI TALAK DENGAN PEMOHON NON-MUSLIM (Studi Kasus Permohonan Cerai Talak Di Pengadilan Agama Karanganyar Dengan Nomor Putusan 208/Pdt.G/2010/Pa.Kra)
OLEH MUTMAINI
NIM : E0006181
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, Oktober 2010
Pembimbing I
Soehartono, S.H, M.Hum NIP. 195604251985031002
Pembimbing II
Syafrudin Yudowibowo, S.H., M.H NIP. 197511302005011001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi) TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWENANGAN
PENGADILAN AGAMA DALAM MEMUTUS PERMOHONAN CERAI TALAK DENGAN PEMOHON NON-MUSLIM
(Studi Kasus Permohonan Cerai Talak Di Pengadilan Agama Karanganyar Dengan Nomor Putusan 208/Pdt.G/2010/Pa.Kra)
Oleh Mutmaini
NIM : E0006181
Telah diterima dan disahkan oleh Dewan Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada : Hari : Selasa Tanggal : 28 Desember 2010
DEWAN PENGUJI
1. Harjono, S.H., M.H : …………………… NIP. 196101041986011001 Ketua 2. Syafrudin Yudowibowo, S.H., M.H : ……………………. NIP. 197511302005011001
Sekretaris
3. Edy Herdyanto, S.H., M.H : ……………………. NIP. 195706291985031002
Anggota
Mengetahui,
Dekan
Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. NIP.1961 0930 1986 011001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PERNYATAAN
Nama : Mutmaini
NIM : E0006181
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul
TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA
DALAM MEMUTUS PERMOHONAN CERAI TALAK DENGAN PEMOHON
NON-MUSLIM (Studi Kasus Permohonan Cerai Talak Di Pengadilan Agama
Karanganyar Dengan Nomor Putusan 208/Pdt.G/2010/Pa.Kra) adalah betul-betul
karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum (skripsi) ini
diberi tanda citasi dan ditunjukan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari
terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima sanksi
akademik berupa pancabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya
peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, November 2010
Yang menyatakan
(Mutmaini)
NIM. E 0006181
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRAK Mutmaini, 2010, TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWENANGAN PENGADILAN AGAMA DALAM MEMUTUS PERMOHONAN CERAI TALAK DENGAN PEMOHON NON-MUSLIM (Studi Kasus Permohonan Cerai Talak Di Pengadilan Agama Karanganyar Dengan Nomor Putusan 208/Pdt.G/2010/Pa.Kra). Fakultas Hukum UNS.
Penelitian ini mengkaji mengenai dasar pertimbangan Pengadilan Agama dalam menerima dan memeriksa permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-muslim, dan mengetahui akibat hukum dalam putusan Nomor: 208/Pdt.G/2010/PA.Kra yang telah dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Karanganyar atas permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-muslim.
Dalam penelitian hukum ini, penulis menggunakan penelitian hukum yang bersifat preskriptif dan terapan, dimana penelitian hukum merupakan suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Penulis dalam penelitian ini ingin menemukan aturan hukum yang menjadi dasar yuridis Pengadilan Agama dalam memutus permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-muslim dan akibat hukum cerai talak dengan pemohon non-muslim. Jenis bahan hukum yang penulis gunakan adalah bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Bahan hukum primer yang penulis gunakan adalah berupa putusan hakim nomor : Putusan Nomor 208/ Pdt.G/ 2010/ Pa.Kra tentang permohonan cerai talak oleh pemohon non muslim di Pengadilan Agama Karanganyar, Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman,Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Adapun bahan hukum sekunder yang penulis gunakan adalah bahan kepustakaan, dokumen, arsip, artikel, makalah, literatur yang sesuai dengan obyek penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara identifikasi isi bahan hukum primer dan sekunder dari studi kepustakaan. Teknik analisis yang digunakan adalah pola berfikir deduktif dengan premis mayor dan premis minor yang kemudian dicapai suatu kesimpulan. Premis mayor yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009, premis minornya adalah Putusan Nomor 208/ Pdt.G/ 2010/ Pa.Kra, kesimpulan yang didapat bahwa permohonan cerai talak dengan pemohon non-muslim tetap merupakan kewenangan Pengadilan Agama dalam memutus.
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan simpulan, kesatu dasar kewenangan Pengadilan Agama dalam memutus permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-muslim tersebut adalah penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009. Dalam penjelasan Pasal tersebut dinyatakan bahwa yang dimaksud “orang Islam” adalah orang atau badan hukum yang menundukkan diri secara sukarela terhadap Hukum Islam. Hal ini mengesampingkan asas personalitas keislaman para pihak yang berperkara,apabila para pihak secara sukarela dengan sendirinya tunduk dan menundukkan diri pada Hukum Islam, maka perceraiannya tetap menjadi kewenangan Pengadilan Agama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
sekalipun salah satu atau kedua pihaknya telah berpindah agama menjadi non-muslim. Kedua, akibat hukum dalam putusan Nomor: 208/Pdt.G/2010/PA.Kra yang telah dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Karanganyar atas permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-muslim. Dalam putusan tersebut memutus dengan fasakh, akibat hukum dari fasakh adalah Fasakh mengakhiri perkawinan seketika itu juga, Suami tidak boleh melakukan rujuk terhadap mantan istrinya apabila antara mantan suami dan isteri tersebut berkeinginan untuk hidup kembali sebagai suami-istri harus melakukan akad nikah baru, tidak mengurangi sisa talak istri, maksudnya jika terjadi fasakh kemudian dilakukan akad yang baru, fasakh tersebut tidak dihitung sebagai talak pertama, sehingga suami masih mempunyai tiga hitungan talak, Dalam hal pemohon terbukti bukan beragama Islam, maka pemohon tidak berhak mengucapkan ikrar talak, Untuk masa iddah bagi janda yang dicerai suami non-muslim, masa iddahnya dihitung sejak putusan Majelis Hakim berkekuatan hukum tetap.
Kata Kunci : Pengadilan Agama, dan cerai talak non-muslim.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
ABSTRACT Mutmaini, 2010, A JURIDICAL REVIEW ON THE RELIGION COURT’S AUTHORITY IN DECIDING THE TALAK DIVORCE APPLICATION BY NON-MUSLIM APPLICANT (A Case Study on Talak Divorce Application in Karanganyar Religion Court in Decision Number 208/Pdt.G/2010/Pa.Kra). Law Faculty of UNS.
This research studies the rationale of Religion Court in accepting and examining the talak divorce application filed the non-muslim applicant and find out the legal consequence of decision Number 208/Pdt.G/2010/Pa.Kra published by Karanganyar Religion Court on the talak divorce application by non-Muslim applicant.
In this research, the writer employed the prescriptive and applied law research in which the law research is a process of finding legal rules, principles, and doctrines to answer the legal issue encountered. The writer wants to find the legal rule becoming the juridical foundation for the Religion Court in deciding the talak divorce application by non-Muslim applicant and legal consequence of talak divorce application by non-Muslim applicant. The types of law materials used was primary and secondary law materials. The primary materials used were the decision Number 208/Pdt.G/2010/Pa.Kra about the talak divorce application by non-Muslim applicant in Karanganyar Religion Court, Republic of Indonesia’s 1945 Constitution, Acts Number 48 of 2009 about the Power of Justice, 50 of 2009 about the Second Amendment of Act Number 7 of 1989 about Religion Judicature. The secondary law material used by the writer was literatures, documents, archive, article, paper, literature consistent with the research object. Technique of collecting law material was done by identifying the content of primary and secondary law materials from library research. Technique of analyzing data used was deductive mindset with major and minor premises that then arrived at a conclusion. Major premise used was Act Number 50 of 2009, while the minor one was Decision Number 208/Pdt.G/2010/Pa.Kra, and the conclusion obtained is that the talak divorce application by non-Muslim applicant remains to be the authority of religion court in deciding.
Considering the result of research and discussion, it can be concluded that: firstly the rationale of Religion Court’s authority in deciding the talak divorce application by non-Muslim applicant was the explanation of Article 49 of Act Number 50 of 2009. The explanation of such article states that what “Moslem” is the one or enterprise subjected itself voluntarily to Islamic Law. It overrides the Islamic personality principle in the parties having case, when the parties voluntarily are subjected and submitted to the Islam Law, therefore the divorce remains to be the Religion Court’s authority although one or both parties has converted to non-Muslim. Secondly, the legal consequence in Decision Number 208/Pdt.G/2010/Pa.Kra published by the Karanganyar’s Religion Court over the talak divorce application by non-Muslim applicant. The decision decides with fasakh, the legal consequence of fasakh is that Fasakh terminates the marriage instantaneously, the husband may not undertake reconciliation to his former wife when they want to live again as husband-wife so that they should make new
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
marriage contract, does not reduce the rest of wife’s talak, it means that if there is fasakh in the future, the new marriage agreement should be made, fasakh is not counted as the first talak, so that husband still have three talak counts, in the case of applicant is non-Muslim, the applicant has no right to utter the talak pledge, in the term of iddah period for the widow divorced by non-muslim husband, it is calculated from the date when the decision of Judge Chambers has fixed legal power.
Keywords: Religion Court, and non-muslim talak divorce.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
MOTTO
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan, dia telah menciptakan manusia dari alaq, Bacalah dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,
Yang mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya” (Q.S Al-Alaq:1-5)
“Bila engkau berada pada sore hari, maka jangan menunggu datangnya pagi, dan
bila engkau di pagi hari, maka jangan menunggu datangnya sore. Manfaatkan sehatmu sebelum sakitmu dan waktu hidupmu sebelum matimu “
(HR. Ibnu Umar)
“Harapan haruslah disertai dengan amalan, kalau tidak maka harapan itu hanyalah sebuah lamunan”
(Al-Hikam).
“Kesabaran itu adalah sesuatu yang terpuji kecuali ketika agama dihina, harga diri dikoyak dan hak dirampas”
(unknown).
“Success is a journey, not a destination”. (Ben Sweetland)
“A good name is better than riches”
(Unknown)
“The way to get started is to quit talking and begin doing” (Walt Disney)
“Ilmu pengetahuan tanpa agama adalah pincang”
(Einstein)
“Segala cobaan dalam hidup untuk mendewasakan kita, tanpa itu kita tidak akan sadar betapa berharganya hidup dan bersyukur atas nikmat yang Allah berikan”
(Penulis)
“Selama nafas masih berhembus dalam raga, selama itu pula mimpi harus terus dikejar”
(Penulis)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
PERSEMBAHAN Karya kecil penulis ini senantiasa dipersembahkan kepada :
v Allah SWT, Rabb yang menguasai
alam semesta, Maha dari segala Maha, yang karena kekuasaannya menerangi setiap hati-hati yang penuh kecintaan pada-Nya, Sungguh tiada Tuhan selain Engkau.
v Muhammad SAW, suri tauladan terbaik umat manusia.
v Ibu Jumiyatun, insan mulia yang telah melahirkan, membesarkan serta mendidikku dengan penuh kasih sayang. Tiada hal yang lebih indah selain cinta, do’a dan dukungan yang kau berikan tiada henti kepadaku. Aku menyayangimu ibu.
v Bapak Prapto Hartono Suwandi, sosok ayah yang dengan disiplin dan keteguhan hatinya menjadikan penulis sebagai pribadi yang baik, semoga penulis dapat meneladani ketegasanmu.
v Kakak-kakakku tercinta. Sundari, Tri Ningsih, Widyaningsih, Yusuf Irwanto, Supriyadi dan Anton Ari Wibowo. Do’a dan dukungan dari kalian lah yang membuat penulis tetap berdiri kokoh dalam setiap keterpurukan.
v Yang terkasih, Taat Hendrawan, yang telah mencurahkan waktu dan perhatiannya dalam mendampingi penulis.
v Indonesia, tanah tumpah darahku. Besar inginku mengharumkan namamu.
v Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta. Kenangan terindah dalam hidupku.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Assalamualaikum Warrohmatullahi Wabarakatuh
Puji syukur atas kehadirat Allah SWT dimana hanya dengan rahmat dan
ridho-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) ini dengan
baik. Penulisan hukum ini membahas mengenai mengenai dasar pertimbangan
Pengadilan Agama dalam menerima permohonan cerai talak yang diajukan oleh
pemohon non-muslim, dimana putusan atas permohonan tersebut mengacu pada
Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama selain itu penulis juga
memaparkan mengenai akibat hukum dalam putusan Nomor:
208/Pdt.G/2010/PA.Kra yang telah dikeluarkan oleh Pengadilan Agama
Karanganya atas permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-
muslim.
Penulisan hukum (skripsi) ini diharapkan dapat memberikan referensi
mengenai bahan terkait, mengingat putusan nomor : 208/Pdt.G/2010/PA.Kra yang
dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Karanganyar tersebut merupakan putusan
atas permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-muslim.
Permohonan seperti ini dianggap tidak biasa karena pemohonnya tidak beragama
Islam, padahal kewenangan Pengadilan Agama adalah pengadilan bagi umat yang
beragama Islam.
Penulisan hukum ini tidak lepas dari bantuan yang telah diberikan baik
oleh pihak lain kepada penulis, oleh karena itu penulis hendak mengucapkan
banyak terimakasih yang sebesar-sesarnya kepada :
1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum
UNS dan seluruh jajaran dekanat Fakultas Hukum UNS.
2. Bapak Syafrudin Yudo Wibowo S.H., M.H. selaku Pembimbing
Akademik, Pembimbing Skripsi dan Penguji, yang selalu membimbing
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
dan memberi solusi atas permasalahan yang penulis temui dalam penulisan
hukum ini.
3. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H. selaku Ketua Bagian Hukum Acara
Fakultas Hukum UNS sekaligus sebagai Penguji yang telah memberikan
kesempatan serta saran yang berharga kepada penulis dalam penulisan
hukum ini.
4. Bapak Soehartono S.H., M.Hum. selaku Dosen pembimbing, yang di
dalam kesibukannya yang luar biasa telah bersedia membimbing penulis
hingga penulisan hukum ini dapat diselesaikan dengan baik.
5. Bapak Harjono, S.H.,M.H. selaku dosen penguji penulisan hukum ini yang
telah banyak membantu dalam perjalanan penyelesaian skripsi ini serta
memberikan banyak saran dan nasehat yang berharga bagi penulis
6. Bapak Lego Karjoko, S.H., M.H. selaku ketua Pengelola Penulisan
Hukum Fakultas Hukum UNS yang telah memberikan kesempatan kepada
penulis untuk penelitian dan penulisan hukum ini.
7. Segenap dosen Fakultas Hukum UNS, untuk ilmu yang menjadi bekal bagi
masa depan penulis. Semoga berguna bagi penulis dan menjadi amalan
yang tak terputus.
8. Pengelola Penulisan Hukum (PPH), terutama maz Wawan yang tidak
hanya membantu dalam mengurus prosedur-prosedur skripsi, tetapi juga
atas motivasinya.
9. Segenap staff dan karyawan Fakultas Hukum UNS yang selama ini telah
memberikan pelayanan dengan baik kepada penulis.
10. Sahabat-sahabatku, Ita, Pipin, Tiwi, Agus Waloyo, Andri, Delon, Eriek,
Didit, Farid, Wiwin Suryani, Anin, Arunda, sahabat yang senantiasa
mendukung dan membawa keceriaan dalam hari-hari Penulis.
11. Maz Irawan, Mz Widinta, Mz A’ad, Mz Probo, Mz Bagus, Mz Hatta, dan
teman-teman yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu, yang
senantiasa menjadi teman diskusi dan menuntut ilmu di FH UNS tercinta.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
12. Keluarga besar, FOSMI, BEM FH UNS DAN DEMA FH UNS yang telah
menjadi sosok keluarga, mendewasakan, memberikan ilmu
keorganisasian, pengetahuan ilmiah, prestasi dan pengalaman yang sangat
luar biasa. Terkhusus Kakak-kakak teladan FOSMI FH UNS, Mbak Nunik
sebagai inspirator bagi Penulis untuk selalu bersemangat dalam hidup,
Mbak Wiwiek dan Mbak Farin, kakak yang selalu membuat tersenyum
dan membawa keceriaan, Mbak Athina, Mbak Putri, dan Mbak Wiwik
sebagai sosok kakak yang memberikan banyak motifasi, pengalaman dan
masukan bagi Penulis.
13. Teman-teman Kusumawati, Mega, Whike, Dhinie, Vina, Beta, Anjar,
Uyie’, Afif, Lilis, Minie, Reninta, Niken, Anik atas kebersamaannya
selama ini. Kenangan yang tak terlupakan, penulis akan selalu merindukan
saat kebersamaan itu.
14. Teman-teman Community Of Klaten (COKLAT) UNS, yang banyak
memberikan pelajaran dan pengalaman berharga kepada penulis.
15. Teman-teman SD Daleman 2 Tulung Klaten angkatan 1994, Teman-
teman SMP Negeri 2 Tulung Klaten angkatan 2000, Teman-teman SMA
Negeri 1 Karanganom Klaten angkatan 2003, Teman-teman F.Hukum
UNS angkatan 2006 yang senantiasa menyayangi dan menjaga
persahabatan yang tak terputus. Salam semangat dan sukses selalu untuk
kita.
16. Semua pihak yang telah membantu penulis yang tidak dapat penulis
sebutkan satu per satu semoga Allah SWT membalas semua bantuan yang
telah diberikan.
Semoga Penulisan Hukum ini bermanfaat bagi pihak yang membaca, menjadi
referensi dan dicatat sebagai amal kepada penulis dan seluruh pihak yang telah
membantu sampai selesainya penyusunan Penulisan Hukum ini.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabaraokatuh
Surakarta, 28 Desember 2010
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiv
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING. .................................................. ii
HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI .............................................................. iii
HALAMAN PERNYATAAN ................................................................................. iv
ABSTRAK ............................................................................................................... v
HALAMAN MOTTO ............................................................................................ ix
HALAMAN PERSEMBAHAN ............................................................................. x
KATA PENGANTAR ............................................................................................. xi
DAFTAR ISI ............................................................................................................ xiv
DAFTAR BAGAN................................................................................................... xvi
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Perumusan Masalah ........................................................................ 4
C. Tujuan Penelitian .............................................................................. 5
D. Manfaat Penelitian ............................................................................ 5
E. Metode Penelitian ............................................................................. 6
F. Sistematika Penulisan ....................................................................... 13
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Tentang Peradilan Agama
a. Perkembangan Peradilan Agama Di Indonesia ................... 15
b. Tugas dan Kewenangan Peradilan agama........................ ... 21
2. Tinjauan Tentang Hukum Acara Peradilan Agama
a. Tahap-tahap Pemeriksaan di Pengadilan Agama …… ....... 24
b. Bentuk dan Macam Produk Hukum Pengadilan Agama. .... 28
c. Susunan dan Isi Putusan Pengadilan Agama....................... 30
d. Kekuatan Putusan Pengadilan Agama................................. 33
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xv
3. Tinjauan Tentang Perkawinan
a. Pengertian Perkawinan ..................................................... 37
b. Tujuan Perkawinan .......................................................... 38
c. Rukun dan Syarat Perkawinan ......................................... 39
d. Larangan-larangan Perkawinan ........................................ 41
e. Hak dan Kewajiban Suami Isteri Dalam Perkawinan ....... 43
f. Bentuk-bentuk Putusnya Perkawinan Menurut Hukum
Islam .................................................................................. 49
4. Tinjauan Tentang Cerai Talak
a. Pengertian Perceraian ...................................................... 52
b. Pengertian Cerai Talak ...................................................... 52
c. Syarat-syarat Talak ........................................................... 53
d. Waktu Menjatuhkan Talak ................................................ 54
e. Hak Talak .......................................................................... 54
f. Akibat Talak ..................................................................... 55
g. Alasan-alasan Menjatuhkan Talak .................................... 56
h. Macam-macam Talak ....................................................... 58
B. Kerangka Pemikiran …………...…………………................…...... 60
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian ................................................................................. 63
B. Pembahasan ....................................................................................... 70
1. Dasar Kewenangan Pengadilan Agama dalam memutus
permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-
muslim ......................................................................................... 70
2. Akibat hukum putusan atas permohonan cerai talak yang
diajukan oleh pemohon non-muslim (studi putusan nomor
208/ Pdt.G/ 2010/ PA.Kra) ............................. ..............................80
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan ........................................................................................... 93
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvi
B. Saran ........................................................................................... 94
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xvii
DAFTAR BAGAN
Bagan Kerangka Pemikiran ........................................................... .................... 60
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tuhan menciptakan semua makhluknya dalam keadaan berpasang-
pasangan, ada jantan dan betina, begitupun manusia, ada perempuan dan laki-
laki. Bagi umat Islam, hal ini diatur dalam kitab suci Al-Qur’an surat Ar-Ruum
ayat 21 : “Dan di antara bukti-bukti kebesaran Allah adalah diciptakan-Nya
untukmu pasangan hidup dari jenismu sendiri supaya kamu tentram
disampingnya dan dijadikan-Nya kasih sayang diantara kamu. Sesungguhnya
yang demikian itu menjadi tanda-tanda bagi orang yang berfikir”. Dari ayat
tersebut, jelas bahwa Allah memerintahkan manusia untuk berpasang-pasangan
sebagai wujud kasih sayang. Untuk dapat hidup berpasangan, tidak seperti pada
hewan, manusia harus melalui ikatan yang dapat dianggap sah menurut tatacara
yang diatur oleh manusia itu sendiri yang disebut perkawinan.
Perkawinan antara dua manusia mempunyai kedudukan yang sangat
penting. Perkawinan bukan hanya sekedar suatu upacara adat, tetapi juga suatu
pencatatan status perkawinan oleh aparatur negara. Menurut Ahmad Azhar
Basyir, dengan jalan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan
terjadi secara terhormat sesuai kedudukan manusia sebagai makhluk yang
berkehormatan. Pergaulan hidup rumah tangga dibina dalam suasana damai,
tentram, dan rasa kasih sayang antara suami dan istri. Anak keturunan dari
hasil perkawinan yang sah menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus
merupakan kelangsungan hidup manusia secara bersih dan berkehormatan.
Perkawinan bukan hanya sebagai sarana untuk menyalurkan nafsu biologis
semata seperti pada binatang, tetapi mempunyai makna yang lebih luas dan
mendalam, yaitu menciptakan kehidupan keluarga yang aman dan tentram
(sakinah), pergaulan yang saling mencintai (mawadah) dan saling menyantuni
(rahmah) (Ahmad Azhar Basyir, 2000: 1).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
Untuk menyeragamkan pengaturan tentang perkawinan, Indonesia telah
memiliki Undang-Undang nasional yang berlaku bagi seluruh warga negara
Republik Indonesia, yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan selanjutnya disebut dengan Undang-Undang Perkawinan. Dengan
keluarnya Undang-Undang Perkawinan tersebut, ketentuan-ketentuan yang
diatur dalam Undang-Undang, ordonansi, dan Peraturan-peraturan sebelumnya,
sejauh telah diatur dalam Undang-Undang yang baru dinyatakan tidak berlaku.
Meskipun demikian, Hukum Perkawinan Islam bagi kaum muslim memperoleh
jaminan tetap berlaku sebagaimana diatur dengan jelas dalam Pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang Perkawinan bahwa “Perkawinan adalah sah, apabila
dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”.
Hal ini sejalan pula dengan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 yang berisi:
”Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya
masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya
itu”.
Dalam Undang-Undang Perkawinan ini, disebutkan dalam Pasal 1
bahwa “Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan
seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah
tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa”.
Dalam mewujudkan tujuan perkawinan tersebut sangat tidak mudah,
dibutuhkan perasaan saling mengasihi dan menyayangi, serta menghormati hak
dan kewajiban masing-masing. Dalam suatu ikatan perkawinan, bisa saja dan
sering terjadi perbedaan pendapat yang berujung pertengkaran atau bahkan
perceraian. Perceraian merupakan salah satu penyebab putusnya hubungan
perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan. Perceraian bagi umat Islam
dapat diajukan ke Pengadilan Agama sebagai salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai
perkara tertentu yang diatur dalam Undang-Undang Perkawinan.
Peradilan Agama merupakan lingkungan peradilan di bawah
Mahkamah Agung sebagai pelaku kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Eksistensi peradilan agama telah menjadikan Umat Islam Indonesia terlayani
dalam penyelesaian masalah perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan
shadaqah serta ekonomi syariah. Peradilan agama hendak menegakkan
substansi nilai-nilai hukum yang mewarnai kehidupan umat Islam.
Perubahan signifikan di bidang ketatanegaraan dalam sistem peradilan
adalah penyatu-atapan semua lembaga peradilan (one roof system) di bawah
Mahkamah Agung RI. Reformasi sistem peradilan tersebut disahkan terlebih
dahulu dengan dimasukkannya Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 dalam amandemen
ketiga UUD 1945, kemudian diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun
2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa Kekuasaan kehakiman dilakukan
oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya
dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan
peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah
Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan pada ketentuan tersebut, maka Pengadilan Agama
merupakan salah satu kekuasaan kehakiman yang bertugas dan berwenang
memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara tertentu bagi orang-orang
yang beragama Islam sebagaimana yang dirumuskan dalam Pasal 2 Undang-
Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, yang berbunyi:
“Pengadilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi
rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu yang
diatur dalam Undang-Undang ini ”. Dengan demikian keberadaan Pengadilan
Agama dikhususkan kepada warga negara Indonesia yang beragama Islam.
Kekhususan wewenang Pengadilan Agama ini selanjutnya menjadi
menarik ketika ditemui pengajuan permohonan maupun gugatan ke
Pengadilan Agama yang mana salah satu atau kedua belah pihak bukan
beragama Islam. Pihak tersebut secara jelas dan meyakinkan mengaku
beragama selain Islam, namun tetap mengajukan permohonan maupun gugatan
ke Pengadilan Agama, khususnya pengajuan permohonan cerai talak. Ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
menjadi pertanyaan mengenai kepastian hukum tentang kewenangan absolut
Pengadilan Agama. Permohonan cerai talak tersebut, bisa diperiksa dan diputus
di Pengadilan Agama atau tidak, karena pihaknya bukan muslim sedangkan
kewenangan Pengadilan Agama adalah pada ranah penyelesaian perkara untuk
para pihak yang beragama Islam.
Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk mengetahui
dan melakukan penelitian mengenai kewenangan Pengadilan Agama dalam
memeriksa dan memutus permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon
yang bukan beragama Islam ini di dalam bentuk sebuah penulisan hukum
dengan judul:
”TINJAUAN YURIDIS TENTANG KEWENANGAN PENGADILAN
AGAMA DALAM MEMUTUS PERMOHONAN CERAI TALAK YANG
DIAJUKAN OLEH PEMOHON NON-MUSLIM (STUDI KASUS
PERMOHONAN CERAI TALAK DI PENGADILAN AGAMA
KARANGANYAR DENGAN NOMOR 208/PDT.G/2010/PA.KRA.)”
B. Rumusan Masalah
Untuk lebih memperjelas agar permasalahan yang ada nanti dapat
dibahas dengan lebih terarah dan sesuai dengan sasaran yang diharapkan, maka
penting sekali bagi penulis untuk merumuskan permasalahan yang akan
dibahas.
Adapun perumusan masalah dalam penelitian yang dirumuskan penulis
adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana dasar kewenangan Pengadilan Agama dalam memutus
permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-muslim?
2. Bagaimana akibat hukum putusan atas permohonan cerai talak yang
diajukan oleh pemohon non-muslim (studi putusan nomor
208/Pdt.G/2010/PA.Kra.) ?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
C. Tujuan Penelitian
Setiap penelitian pasti mempunyai tujuan yang jelas agar memberikan
manfaat baik bagi penulis maupun bagi orang lain. Dalam penelitian ini tujuan
yang hendak dicapai adalah:
1. Tujuan Obyektif
a. Untuk mengetahui dasar kewenangan Pengadilan Agama dalam
memutus permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-
muslim.
b. Untuk mengetahui akibat hukum putusan atas permohonan cerai talak
yang diajukan oleh pemohon non-muslim.
2. Tujuan Subyektif
c. Untuk menambah wawasan dan pemahaman penulis mengenai hukum
acara peradilan agama khususnya dasar kewenangan Pengadilan Agama
dalam memutus permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon
non-muslim dan akibat hukum cerai talak dengan pemohon non-
muslim.
d. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna mencapai gelar sarjana
strata satu dalam bidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret Surakarta.
D. Manfaat Penelitian
Di dalam suatu penelitian sangat diharapkan adanya manfaat, dan
kegunaan yang dapat diambil dari penelitian tersebut. Adapun manfaat yang
diharapkan sehubungan dengan penelitian ini adalah sebagai berikut:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat pada
pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu hukum pada
umumnya dan Hukum Acara Peradilan Agama pada khususnya.
e. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan
literatur dalam dunia kepustakaan tentang dasar kewenangan
Pengadilan Agama dalam memutus permohonan cerai talak yang
diajukan oleh pemohon non-muslim dan akibat hukum cerai talak
dengan pemohon non-muslim.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan acuan
bagi peneliti yang akan datang sesuai dengan bidang penelitian yang
penulis teliti.
2. Manfaat Praktis
a. Untuk memberi jawaban atas masalah yang diteliti.
b. Sebagai sarana untuk menambah wawasan bagi para pembaca mengenai
hukum acara peradilan agama khususnya mengenai dasar kewenangan
Pengadilan Agama dalam memutus permohonan cerai talak yang
diajukan oleh pemohon non-muslim dan akibat hukum cerai talak
dengan pemohon non-muslim.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan
pengetahuan bagi para pihak yang terkait dan sebagai bahan informasi
dalam kaitannya dengan kewenangan absolut Pengadilan Agama.
E. Metode Penelitian
Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan
analisa dan kontruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan
konsisten. Metodologis berarti sesuai dengan metode atau cara tertentu;
sistematis adalah berdasarkan suatu sistem, sedangkan konsisten berarti tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
adanya hal-hal yang bertentangangan dalam suatu kerangka tertentu (Soerjono
Soekanto, 2006: 42). Sedangkan metode penelitian adalah cara dan langkah-
langkah yang efektif dan efisien untuk mencari dan menganalisis data dalam
rangka menjawab masalah. Sedangkan merupakan kegiatan ilmianyang
berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis,
sitematis dan konsisten (Soerjono Soekanto, 2006 : 43 ).
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian
doktrinal. Penelitian hukum normatif adalah penelitian yang
mengkonsepkan hukum sebagai apa yang tertulis dalam peraturan
perundang-undangan (law in books) atau hukum sebagai kaidah atau norma
yang merupakan patokan perilaku manusia yang dianggap pantas (Amirudin
dan Zainal Asikin, 2004 : 118). Penelitian hukum normatif menurut Johny
Ibrahim adalah suatu prosedur ilmiah untuk menemukan kebenaran
berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Lebih lanjut
dikatakan oelh Johny Ibrahim bahwa dalam tipe penelitian yuridis normatif,
dimana objek penelitiannya adalah permasalahan hukum (sedangkan hukum
adalah kaidah atau norma yang ada dalam masyarakat), maka penelitian ini
difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma
dalam hukum positif (Johny Ibrahim, 2008:295).
Penelitian hukum jenis ini dilakukan dengan cara meneliti bahan
pustaka atau data sekunder yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan
hukum sekunder dan bahan hukum tersier yang berkaitan dengan obyek
penelitian. Bahan-bahan hukum itu disusun secara sistematis, dikaji dan
ditarik suatu kesimpulan sesuai dengan masalah yang diteliti.
2. Sifat Penelitian
Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat
preskriptif dan terapan (Peter Mahmud Marzuki, 2009 : 22). Dari hasil
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
telaah dapat dibuat opini atau pendapat hukum. Opini atau pendapat hukum
yang dikemukakan oleh ahli hukum merupakan suatu preskripsi. Begitu
juga tuntutan jaksa, petitum atau eksepsi dalam pokok perkara di dalam
litigasi berisi preskripsi. Untuk dapat memberikan preskripsi itulah guna
keperluan praktik hukum dibutuhkan penelitian hukum (Peter Mahmud
Marzuki, 2009:37).
Dalam penelitian hukum ini, penulis menggunakan penelitian hukum
yang bersifat preskriptif dan terapan, dimana penelitian hukum merupakan
suatu proses untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum,
maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi.
Penelitian hukum ini dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau
konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi
(Peter Mahmud Marzuki, 2008 : 35).
Penulis dalam penelitian ini ingin menemukan aturan hukum yang
menjadi dasar yuridis Pengadilan Agama dalam memutus permohonan cerai
talak yang diajukan oleh pemohon non-muslim dan akibat hukum cerai talak
dengan pemohon non-muslim. Penulis mengkaji putusan Pengadilan Agama
Karanganyar nomor 208/Pdt.G/2010/PA.Kra yang mana permohonannya
diajukan oleh pemohon non-muslim di Pengadilan Agama Karanganyar.
3. Pendekatan Penelitian
Di dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan
pendekatan tersebut, peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai
aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya.
Pendekatan-pendekatan yang dapat digunakan dalam penelitian hukum
adalah pendekatan undang-undang (statute approach), pendekatan kasus
(case approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan
comparatif (comparative approach), dan pendekatan konseptual
(conceptual approach) (Peter Mahmud Marzuki, 2009 : 93). Adapun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
dalam penelitian ini Penulis hanya menggunakan pendekatan perundang-
undangan (statute approach). “Suatu penelitian normatif tentu harus
menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti
adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral”
(Johnny Ibrahim, 2005:302). Menurut Peter Mahmud Marzuki dalam
bukunya Metode Penelitian Hukum menjelaskan “bahwa pendekatan
perundang-undangan (statute approach) dilakukan dengan menelaah
semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu
hukum yang sedang ditangani” (Peter Mahmud Marzuki, 2009 : 93).
Dalam penelitian ini digunakan pendekatan perundang-undangan.
Beberapa peraturan perundang-undangan yang digunakan yaitu Undang-
undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan pertama atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Undang-Undang
Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan kedua atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, Undang-undang Nomor 1
tahun 1974 Tentang Perkawinan, dan Instruksi Presiden Republik
Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam di
Indonesia.
Penelitian ini tidak menggunakan pendekatan kasus karena merupakan
studi kasus (case study). Studi kasus (case study) merupakan studi
terhadap kasus tertentu dari berbagai aspek hukum (Peter Mahmud
Marzuki, 2008 : 94). Studi kasus memusatkan perhatian pada suatu kasus
secara intensif dan terperinci mengenai latar belakang keadaan yang
dipermasalahkan. Kasus yang diteliti merupakan satu kesatuan secara
mendalam, hasilnya merupakan gambaran lengkap atas kasus itu (Beni
Ahmad Saebani, 2009 : 58). Kasus yang menjadi fokus penelitian ini, yaitu
permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-muslim di
Pengadilan Agama Karanganyar nomor 208/Pdt.G/2010/PA.Kra.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum
Peter Mahmud Marzuki menjelaskan bahwa untuk memecahkan isu
hukum dan sekaligus memberikan preskripsi mengenai apa yang
seyogyanya, diperlukan adannya sumber-sumber penelitian. Sumber-
sumber penelitian hukum dapat dibedakan menjadi sumber-sumber
penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan
hukum sekunder. Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang
bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan-bahan hukum
primer terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah
dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan hakim. Sedangkan
bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang
bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang hukum
meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan
komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud
Marzuki,2009:141).
Dalam penelitian hukum ini penulis menggunakan bahan hukum
primer yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, catatan-catatan
resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan yang berkaitan
dengan obyek penelitian dan pemeriksaan kasus permohonan cerai talak
oleh pemohon non muslim di Pengadilan Agama Karanganyar nomor 208/
pdt.g/ 2010/ pa.Kra. yaitu:
Dalam penelitian hukum ini Penulis menggunakan bahan hukum primer
yang terdiri dari :
a. Putusan Nomor 208/ pdt.g/ 2010/ pa.Kra. tentang permohonan
cerai talak oleh pemohon non muslim di Pengadilan Agama
Karanganyar;
b. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
c. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
d. Undang-Undang Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
e. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama;
f. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman;
g. Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua
atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama;
h. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991
(Kompilasi Hukum Islam).
Adapun bahan hukum sekunder yang penulis gunakan adalah buku-
buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan komentar-
komentar atas kasus yang berkaitan dengan obyek penelitian. Bahan
hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,
yang mencakup kamus hukum, bahan-bahan dari internet dan bahan lain
yang berhubungan dengan masalah dalam penelitian.
5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan bahan hukum dalam suatu penelitian merupakan hal
yang sangat penting dalam penelitian. Teknik pengumpulan bahan hukum
yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik studi
dokumen atau bahan pustaka baik dari media cetak maupun elektronik
yang kemudian dikategorisasi menurut jenisnya. Teknik pengumpulan
bahan hukum tersebut disebut studi pustaka.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
6. Teknik Analisis
Penelitian ini menggunakan teknik analisis dengan metode deduksi dan
interpretasi. menurut Peter Mahmud Marzuki yang mengutip pendapatnya
Philiphus M. Hadjon menjelaskan metode deduksi sebagaimana silogisme
yang diajarkan oleh Aristoteles, penggunaan metode deduksi berpangkal dari
pengajuan premis major (pernyataan bersifat umum) kemudian diajukan
premis minor (bersifat khusus), Dalam logika silogistik untuk penalaran
hukum, yang merupakan premis mayor adalah aturan hukum, sedangkan fakta
hukum merupakan premis minor yang kemudian dari kedua premis tersebut
ditarik kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2008 : 47). Jadi
yang dimaksud dengan pengolahan bahan hukum dengan cara deduktif adalah
menjelaskan sesuatu dari hal-hal yang sifatnya umum, selanjutnya menarik
kesimpulan dari hal itu yang sifatnya lebih khusus.
Pada penelitian ini, yang menjadi premis mayor adalah Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 3 Tahun
2006 tentang Perubahan Pertama atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama dan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1991 (Kompilasi Hukum Islam). Adapun premis minor, yaitu perkara
Nomor:208/ Pdt.G/ 2010/ Pa.Kra. Akhir dari proses ini diperoleh simpulan
(conclusion) atas permasalahan dalam penelitian hukum ini. Kesimpulan atau
conclusion dari penelitian ini bahwa berdasarkan premis mayor tersebut
apabila diterapkan terhadap premis minornya, maka ternyata permohonan
cerai talak dengan pemohon-non muslim masih menjadi kewenangan
Pengadilan Agama untuk memutus ini didasarkan pada penjelasan Undang-
Undang nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, terutama dalam
penjelasan Pasal 49. Dalam penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa
“Orang Islam” adalah orang atau badan hukum yang dengan sukarela
menundukkan diri pada Hukum Islam.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
Interpretasi merupakan salah satu metode penemuan hukum yang
memberi penjelasan mengenai teks undang-undang agar ruang lingkup kaidah
dapat ditetapkan sehubungan dengan peristiwa tertentu. Metode interpretasi
adalah sarana untuk mengetahui makna undang-undang. Menjelaskan
ketentuan undang-undang adalah untuk merealisir fungsi agar hukum positif
itu berlaku (Sudikno Mertokusumo, 1999 : 154).
Metode interpretasi yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah
interpretasi Otentik, yaitu interpretasi untuk mengetahui makna undang-
undang yang didapat dari penjelasan otentik dari suatu Undang-Undang
(Sudikno Mertokusumo, 1999 : 156). Dalam hal ini penulis menggunakan
metode interpretasi ini untuk menjelaskan yang dimaksud orang Islam dalam
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama atas
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yang
kemudian didapati maknanya dalam penjelasan undang-undang tersebut.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Penulisan hukum ini terdiri dari empat bab, yaitu pendahuluan, tinjauan
pustaka, pembahasan dan penutup, serta daftar pustaka dan lampiran. Adapun
susunannya adalah sebagai berikut ;
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini penulis menguraikan pendahuluan yang terdiri dari
latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan
hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini diuraikan tentang materi-materi dan landasan teori
berdasarkan sumber-sumber data yang digunakan oleh penulis
berkaitan dengan masalah yang diteliti. Tinjauan pustaka terbagi
atas dua bagian, yaitu kerangka teori dan kerangka pemikiran.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
Kerangka teori meliputi tinjauan tentang peradilan agama,
tinjauan tentang hukum acara peradilan agama, tinjauan tentang
perkawinan dan tinjauan tentang cerai talak. . Kerangka
pemikiran merupakan gambaran logika hukum berbentuk bagan
dan disertai deskripsi singkat guna mempermudah alur
pemikiran dalam menjawab permasalahan yang diteliti.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis menguraikan mengenai pembahasan dan
hasil yang diperoleh dari proses meneliti. Berdasarkan rumusan
masalah yang diteliti, terdapat dua pokok permasalahan yang
dibahas dalam bab ini yaitu dasar kewenangan Pengadilan
Agama dalam memutus permohonan cerai talak yang diajukan
oleh pemohon non-muslim danAkibat hukum permohonan cerai
talak nomor 208/Pdt.G/2010/PA.Kra. yang diajukan oleh
pemohon non muslim di Pengadilan Agama Karanganyar
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini diterangkan dari keseluruhan uraian yang telah
dipaparkan ke dalam bentuk simpulan dan saran-saran yang
dapat penulis kemukakan kepada para pihak yang terkait dengan
penulisan hukum ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Peradilan Agama
a. Perkembangan Peradilan Agama di Indonesia
Dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009
tentang Peradilan Agama dijelaskan bahwa Peradilan Agama
adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Sedangkan
Jimly Asshiddiqie berpendapat bahwa Peradilan Agama adalah
peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam (Bambang
Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, 2005: 34). Berdasarkan kedua
definisi tersebut jelas bahwa Peradilan Agama adalah lembaga
yang bertugas untuk menyelenggarakan kekuasaan kehakiman guna
menegakan hukum dan keadilan yang didasarkan pada ketentuan
Islam dan diperuntukan bagi orang-orang yang beragama Islam.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, Peradilan Agama
mendapat pengakuan secara resmi. Pada tahun 1882 pemerintah
kolonial mengeluarkan Staatsblad Nomor 152 yang merupakan
pengakuan resmi terhadap eksistensi Peradilan Agama dan hukum
Islam di Indonesia. Karena Staatsblad ini tidak berjalan efektif dan
karena pengaruh teori reseptie, maka pada tahun 1937 keluarlah
staatsblad 1937 Nomor 116. Staatsblad ini mencabut wewenang
yang dipunyai oleh Peradilan Agama dalam persoalan waris dan
masalah-masalah lain yang berhubungan dngan harta benda,
terutama tanah. Sejak itulah kompetensi Peradilan Agama hanya
pada masalah perkawinan dan perceraian. Sebagaimana yang telah
dijelaskan diatas, bahwa Peradilan Agama pada masa ini tidak
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
dapat melaksanakan keputusannya sendiri, melainkan harus
dimintakan pengukuhan dari Peradilan Negeri.
Pada awal tahun 1946, tepatnya tanggal 3 Januari 1946,
dibentuklah Kementerian Agama. Departemen Agama
dimungkinkan konsolidasi atas seluruh administrasi lembaga-
lembaga Islam dalam sebuah badan yang bersifat nasional.
Berlakunya Undang-Undang Nomor 22 tahun 1946 menunjukkan
dengan jelas maksud-maksud untuk mempersatukan administrasi
Nikah, Talak dan Rujuk di seluruh Indonesia di bawah pengawasan
Departemen Agama sendiri. Dalam rentang waktu 12 tahun sejak
proklamasi kemerdekaan RI ada tujuh hal yang dapat di ungkapkan
yang terkait langsung dengan peradilan agama di Indonesia:
1) Berkaitan dengan penyerahan kementrian agama melalui
penetapan pemerintah Nomor 5 – sampai dengan tanggal 25
maret 1946;
2) Lahirnya UU No. 22/1946;
3) Lahirnya UU No. 19/1948;
4) Masa Indonesia RIS (Republik Indonesia Serikat) tanggal 27
Desember 1946 – 17 Agustus 1950;
5) Lahirnya UU darurat Nomor 1/1951;
6) Lahirnya UU Nomor 32/1954.
Peradilan Agama dalam rentang waktu lebih kurang 17 tahun,
yakni tahun 1957-1974 mengalami perkembangan dengan
dikeluarkannya PP dan UU yakni PP No. 29/1957 PP Nomor
45/1957, UU Nomor 19/1970 dan penambahan kantor dan cabang
kantor peradilan agama . Kemudian pada tanggal 31 Oktober 1964
disahkan UU Nomor. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan Pokok-
Pokok Kekuasaan Kehakiman. Menurut Undang-Undang ini,
Peradilan Negara Republik Indonesia menjalankan dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
melaksanakan hukum yang mempunyai fungsi pengayoman yang
dilaksanakan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan
Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara.Namun
tidak lama kemudian, Undang-Undang ini diganti dengan UU
Nomor 14 tahun 1970 tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok-Pokok
Kehakiman karena sudah dianggap tidak sesuai lagi dengan
keadaan. Dalam Undang -Undang baru ini ditegaskan bahwa
Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka.
Ditegaskan demikian karena sejak tahun 1945-1966 keempat
lingkungan peradilan diatas bukanlah kekuasaan yang merdeka
secara utuh, melainkan disana sini masih mendapatkan intervensi
dari kekuasaan lain. Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970
merupakan Undang-Undang organik, sehingga perlu adanya
Undang-Undang lain sebagai peraturan pelaksanaannya, yaitu
Undang-Undang yang berkait dengan Peradilan Umum, Peradilan
Militer, Peradilan Tata Usaha Negara, termasuk juga Peradilan
Agama.
Dalam masa kurang lebih 15 tahun yakni menjelang
disahkannya UU Nomor 1/1974 tentang perkawinan sampai
menjelang lahirnya UU Nomor.7/1989 tentang peradilan agama.
Ada dua hal yang menonnjol dalam perjalanan peradilan agama di
Indonesia;
1) Tentang proses lahirnya UU Nomor 1/1974 tentang perkawinan
dengan peraturan pelaksanaannya PP Nomor 9/1974
2) Tentang lahirnya PP Nomor 28/1977 tentang perwakafan tanah
milik, sekarang telah diperbaharui UU Nomor 41/2004 tentang
wakaf.
Pada saat sebelum diberlakukan Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009 Tentang perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 Tentang peradilan Agama , Peradilan Agama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
di Indonesia menggunakan beraneka nama dan dikategorikan
sebagai peradilan kuasi, karena berdasar ketentuan yang terdapat
dalam Pasal 63 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, maka semua putusan Pengadilan Agama harus
dikukuhkan oleh Peradilan Umum. Ketentuan ini membuat
Pengadilan Agama secara de facto lebih rendah kedudukannya dari
pada Peradilan Umum. Padahal secara yuridis formal dalam Pasal
10 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dinyatakan, bahwa ada
empat lingkup Peradilan di Indonesia, yaitu :
1. Peradilan umum;
2. Peradilan Agama;
2) Peradilan Militer;
3) Peradilan Tata Usaha Negara.
Ketentuan di atas menegaskan bahwa terdapat empat
lingkungan peradilan di Indonesia yang memiliki kedudukan setara.
Kesetaraan empat lingkup peradilan tersebut merupakan koreksi
terhadap ketentuan yang terdapat dalam Staatblad 1882 No 152 dan
Staatblad 1937 No 116 dan No 610 tentang Peraturan Pengadilan
Agama di Jawa dan Madura, Staatblad 1937 No 638 dan No 639
tentang Peraturan Kerapatan Qadi dan Qadi besar untuk sebagian
Residensi Kalimantan Selatan dan Timur serta Peraturan
Pemerintah No 45 tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan
Agama / Mahkamah Syariah di luar Jawa dan Madura (Lembaran
Negara tahun 1957 No 99) yang telah menempatkan Peradilaan
Agama berada di bawah Peradilan Umum.
Koreksi yang dilakukan Pasal 10 Undang-Undang No 14
Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan
Kehakiman tersebut bukan hanya tidak ditindaklanjuti dengan
mengeluarkan peraturan organik yang dapat membuat Peradilan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
Agama mampu melaksanakan putusannya secara mandiri, namun
sebaliknya, empat tahun kemudian, Pasal 63 ayat (2) Undang-
Undang No 2 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah
mengembalikan Peradilan Agama secara utuh kepada peradilan
kuasi dengan cara mengharuskan setiap putusan Peradilan Agama
dikukuhkan oleh Peradilan Umum.
Pada tanggal 29 Desember 1989 disahkan Undang-Undang
Nomor. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sehingga
kewenangan absolut Peradilan Agama yang didasarkan pada :
1) Peraturan tentang Peradilan Agama di Jawa dan Madura
(Staatblad 1882 No 152 dan Staatblad 1937 No 116 dan No
610);
2) Peraturan tentang kerapatan Qadi dan Qadi Besar untuk
sebagai Residensi Kalimantan Selatan dan Timur (Staatblad
1937 No 638 dan No 639);
3) Peraturan Pemerintah No 45 tahun 1957 tentang
Pembentukan Pengadilan Agama / Mahkamah Syariah di luar
jawa dan Madura (Lembar Negara tahun 1957 No 99).
Ketentuan-ketentuan di atas dinyatakan tidak berlaku lagi,
sehingga sejak itu pula lembaga pengukuhan yang terdapat dalam
Staatblad 1882 No 152 jo. Staatblad 1937 No 116 dan No 610,
Staatblad 1937 No 638 dan No 639, Peraturan Pemerintah No 45
tahun 1957 tentang Pembentukan Pengadilan Agama / Mahkamah
Syariah di luar Jawa dan Madura (Lembar Negara tahun 1957 No
99) dan Pasal 63 ayat (2) Undang-Undang No 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan dinyatakan oleh Pasal 107 ayat (4) Undang-
Undang No 50 Tahun 2009 Tentang perubahan Kedua atas
Undang-Undang No 7 Tahun 1989 Tentang peradilan Agama tidak
berlaku lagi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
Pernyataan tidak berlaku terhadap semua peraturan hukum
tersebut menempatkan Peradilan Agama sebagai peradilan yang
sesungguhnya (court of law), sehingga sejak itu Peradilan Agama
mempunyai susunan peradilan sebagaimana yang terdapat dalam
Pasal 9 Undang-Undang No 50 Tahun 2009 Tentang perubahan
Kedua atas Undang-Undang No 7 Tahun 1989 Tentang peradilan
Agama dan kewenangan absolute yang terunifikasi sebagaimana
diatur dalam Pasal 49 serta hukum acara yang jelas menurut Pasal
54 Undang-Undang No 50 Tahun 2009 Tentang perubahan Kedua
atas Undang-Undang No 7 Tahun 1989 Tentang peradilan Agama .
Sebenarnya kemunculan Undang-Undang Nomor 7 Tahun
1989 tentang Peradilan Agama dianggap terlambat karena
masyarakat semakin membutuhkan wadah untuk memperkarakan
hak yang dilanggar oleh orang lain, namun tidak menimbulkan
suatu gejolak yang berarti. Hal ini sesuai dengan yang pemikiran
Soehartono yang mengatakan bahwa keterlambatan pengesahan
dan pengundangannya (Undang-Undang Nomor. 7 Tahun 1989)
bukan berarti mengurangi makna kehadirannya (Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989), tetapi sebagai akibat kandungan
“sensitivitas” yang melekat pada batang tubuhnya
(Soehartono,2004:757).
Seiring dengan berkembangnya masyarakat, maka ditemukan
dua hal yang cukup mengganjal dalam Undang-Undang No 50
Tahun 2009 Tentang perubahan Kedua atas Undang-Undang No 7
Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama , yaitu mengenai pilihan
hukum dan penyelesaian sengketa hak milik serta sengketa
kewenangan mengadili. Berkenaan dengan hal ini maka pada
tanggal 28 Februari 2006 dikeluarkan Undang-Undang Nomor. 3
Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor. 7
Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Berdasarkan perubahan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
tersebut tersurat bahwa Amandemen ini membawa perubahan besar
dalam Peradilan Agama khususnya mengenai kewenangan
Peradilan Agama dalam menangani masalah ekonomi syariah.
Terakhir, Undang-Undang tersebut disempurnakan lagi dengan
dikeluarkannya Undang-Undang No 50 Tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua atas Undang-Undang No 7 tahun 1989 tentang
Peradilan Agama.
b. Tugas dan Kewenangan Pengadilan Agama
Pasal 1 Undang-Undang No 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan
Kehakiman menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah
kekuasaan kehakiman Negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasar Pancasila
demi terselenggaranya Negara hukum Republik Indonesia.
Berdasarkan hal tersebut Pengadilan Agama adalah sebagai salah satu
pelaksana kekuasaan kehakiman disamping tiga peradilan lainnya
yaitu peradilan umum, peradilan militer dan peradilan tata Usaha
Negara.
Suatu kekuasaan kehakiman, memiliki dua kewenangan atau
kompetensi, yaitu kewenangan relatif dan kewenangan absolut.
1) Kewenangan Absolut Pengadilan Agama
Kewenangan absolut yaitu kekuasaan pengadilan yang
berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau
tingkatan pengadilan dalam perbedaannya dengan jenis perkara
atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya (Basiq
Djalil, 2006:139). Tugas dan Wewenang Pengadilan Agama,
sebagaimana tercantum dalam Pasal 49 Undang-Undang No 7
Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-Undang No 50
Tahun 2009 adalah:
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
“Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a. perkawinan;
b. waris;
c. wasiat;
d. hibah;
e. wakaf;
f. zakat;
g. infaq;
h. shadaqah; dan
i. ekonomi syari'ah.
Kewenangan diatas inilah yang disebut kewenangan absolut
Pengadilan Agama di Indonesia.
2) Kewenangan Relatif Pengadilan Agama
Kewenangan relatif diartikan sebagai kekuasaan peradilan
yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan
kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan (Basiq
Djalil, 2006:138). Kewenangan relatif Pengadilan Agama
dimaksudkan sebagai pemberian kekuasaan dan wewenang yang
berhubungan dengan wilayah hukum kerja antar pengadilan dalam
lingkungan badan peradilan yang sama, antar Pengadilan Agama
dengan Pengadilan Agama, antar Pengadilan Negeri dengan
Pengadilan Negeri, antar pengadilan Tata Usaha Negara dengan
pengadilan Tata Usaha Negara dan seterusnya (Taufiq Hamami,
2003: 117).
Dalam operasionalnya kekuasaan kehakiman di lingkungan
Peradilan Agama dilaksanakan oleh Pengadilan Agama dan
Pengadilan Tinggi Agama. Pengadilan Agama merupakan
pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi Agama
merupakan Pengadilan tingkat banding, yang berpuncak pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
Mahkamah Agung sebagai pengadilan Negara tertinggi dan secara
administratif Pengadilan Agama berada di bawah Departemen
Agama.
Dalam bidang perkawinan terutama untuk perkara perceraian,
apabila pihak yang berinisiatif mengajukan perceraian dari pihak
suami atau talak, yang berwenang untuk mengadili adalah
Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat
kediaman istri kecuali dalam hal pihak istri dengan sengaja
meninggalkan tempat tinggal bersama tanpa izin suami. Ketentuan
ini terdapat dalam Undang-Undang No 7 Tahun 1989 Pasal 66.
Dalam hal istri bertempat tinggal di luar negeri, maka yang
berwenang atas perkara tersebut adalah pengadilan agam yang
wilayah hukumnya meliputi tempat kediaman suami. Dan jika
keduanya bertempat tinggal di luar negeri maka yang berwenang
adalah Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat
pelaksanaan pernikahan mereka atau Pengadilan Agama Jakarta
Pusat. Untuk perceraian yang inisiatif perceraiannya dari istri,
Pengadilan Agama yang berwenang adalah Pengadilan Agama
yang wilayah hukumnya meliputi tempat kediaman istri kecuali
apabila pihak istri dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman
bersama tanpa izin suami. Dalam hal istri tinggal di luar negeri
maka yang berwenang adalah Pengadilan Agama yang wilayah
hukumnya meliputi tempat kediaman suami. Apabila keduanya
bertempat tinggal di luar negeri, maka yang berwenang adalah
Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat
pelaksanaan pernikahan atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Ini
tertuang dalam Pasal 73 Undang-Undang No 7 Tahun 1989.
(Taufiq Hamami, 2003: 117-118).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
2. Tinjauan Tentang Hukum Acara Pengadilan Agama
Dalam Pasal 54 UU Nomor. 7 Tahun 1989 dinyatakan,”Hukum Acara
yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah
Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam Undang-
Undang ini”. Berdasarkan bunyi Pasal 54 tersebut di atas, berlaku asas “Lex
Specialis derogat Lex Generalis” yang berarti disamping acara yang berlaku
pada pengadilan di lingkungan Pengadilan Agama berlaku Hukum Acara
yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, namun
secara khusus berlaku Hukum Acara yang hanya dimiliki oleh pengadilan
dalam lingkungan Peradilan Agama.
a. Tahap-tahap Pemeriksaan di Pengadilan Agama
Pemeriksaan perkara di peradilan agama dimulai sesudah
diajukannya permohonan atau gugatan dan pihak-pihak yang berperkara
telah dipanggil menurut ketentuan yang berlaku (Pasal 55 UUPA).
Pemeriksaan untuk sengketa perkawinan terutama perceraian hanya
dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Tahapan-
tahapan cerai talak yang harus dilakukan pemohon atau suami atau
kuasanya :
1) Tahap tahap membuat surat Permohonan
a) Mengajukan permohonan secara tertulis atau lisan kepada
Pengadilan Agama (Pasal 118 HIR, 142 RBG Jo. Pasal 66
Undang-Undang Nomor.7 tahun 1989)
b) Pemohon di anjurkan untuk meminta petunjuk kepada
Pengadilan Agama atau tentang tata cara membuat surat
permohonan (Pasal 119 HIR, 143 RGB Jo. Pasal 48 Undang-
Undang Nomor.7 tahun 1989)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
c) Surat permohonan dapat dirubah sepanjang tidak merubah posita
dan petitum. Jika termohon telah menjawab surat permohonan
ternyata ada perubahan, maka perubahan tersebut harus atas
persetujuan Termohon.
2) Permohonan tersebut diajukan kepada Pengadilan Agama/ :
a) Yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Termohon
(Pasal 66 ayat 2 Undang-Undang Nomor.7 tahun 1989)
b) Bila Termohon meninggalkan tempat kediaman yang telah
disepakati bersama tanpa izin pemohon, maka permohonan
harus diajukan kepada Pengadilan Agama/Syar’iyah yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon (Pasal 66
ayat 2 Undang-Undang Nomor. 7 tahun 1989)
c) Bila Termohon berkediaman diluar negeri, maka Permohonan
diajukan kepada Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iah yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Pemohon (Pasal 66
ayat 3 UU Nomor.7 tahun 1989)
d) Bila Pemohon dan Termohon bertempat kediaman di luar
negeri, maka permohonan di ajukan kepada Pengadilan Agama/
yang daerah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya
perkawinan atau kepada Pengadilan Agama Jakarta Pusar (Pasal
66 ayat 34UU Nomor.7 tahun 1989)
3) Permohonan tersebut memuat :
a) Nama, umur, pekerjaan, agama, dan tempat kediaman Pemohon
dan Termohon ;
b) Posita (Fakta kejadian dan Fakta hukum
c) Petitum (hal-hal yang di tuntut berdasarkan posita).
4) Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri dan
harta bersama dapat di ajukan bersama-sama dengan permohonan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
cerai talak atau sesudah ikrar talak di ucapkan (Pasal 66 ayat 5 UU
Nomor.7 tahun 1989)
5) Membayar biaya perkara (Pasal 121 ayat 4 HIR, 145 ayat 4 RBG Jo.
Pasal 89 UU Nomor.7 tahun 1989), bagi yang tidak mampu dapat
berperkara secara cuma-cuma (Prodeo) (Pasal 237 HIR, 273 RBG )
6) Proses Penyelesaian Perkara :
a) Pemohon mendaftarkan permohonan cerai talak ke Pengadilan
Agama/Mahkamah Syar’iyah
b) Pemohon dan Termohon di panggil oleh Pengadilan Agama/
Mahkamah Syar’iyah untuk menghadiri persidangan.
c) Tahapan persidangan :
i. Pada pemeriksaan sidang pertama, Hakim berusaha
mendamaikan kedua belah pihak, dan suami isteri harus
datang secara pribadi (Pasal 82 UU Nomor.7 tahun 1989);
ii. Apabila tidak berhasil, maka Hakim mewajibkan kepada
kedua belah pihak agar lebih dahulu menempuh mediasi
(Pasal 3 ayat 1 PERMA Nomor.2 tahun 2003);
iii. Apabila mediasi tidak berhasil, maka pemeriksaan perkara
di lanjutkan dengan membacakan surat permohonan,
jawaban, jawab menjawab, pembuktian dan kesimpulan.
Dalam tahap jawab menjawab (sebelum pembuktian)
Termohon dapat mengajukan gugatan rekonpensi/gugatan
balik (Pasal 132a HIR, 158 RBG)
d) Putusan Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah atas
permohonan cerai talak sebagai berikut :
i. Permohonan di kabulkan. Apabila Termohon tidak puas
dapat mengajukan banding melalui Pengadilan Agama/
tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
ii. Permohonan di tolak. Pemohon dapat mengajukan banding
melalui Pengadilan Tinggi Agama. Memori Banding yang
dibuat Pembanding/kuasanya, selanjutnya Kontra Memori
Banding yang dibuat Terbanding/kuasanya sebagai jawaban
atas memori banding. Jika atas putusan banding, tidak ada
upaya hukum lagi yang diajukan oleh para pihak, maka dapat
dilakukan eksekusi. Jika atas putusan banding dilakukan
upaya Kasasi maka harus dibuat Memori Kasasi yang dibuat
Pemohon Kasasi/kuasanya dan atas memori kasasi tersebut
dijawab dengan Kontra Memori Kasasi yang dibuat
Termohon Kasasi/kuasanya.
iii. Permohonan tidak diterima. Pemohon dapat mengajukan
permohonan baru.
e) Apabila permohonan dapat di kabulkan dan putusan telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, maka :
i. Pengadilan Agama/ menentukan hari sidang penyaksian ikrar
talak.
ii. Pengadilan Agama/Mahkamah Syar’iyah memanggil
pemohon dan Termohon untuk melaksanakan ikrar talak;
iii. Jika dalam tenggang waktu 6 (enam) bulan sejak di tetap
sidang penyaksian ikrar talak, suami atau kuasanya tidak
melaksanakan ikar talak di depan sidang, maka gugurlah
kekuatan hukum penetapan hukum tersebut dan perceraian
tidak dapat diajukan lagi berdasarkan alasan hukum yang
sama (Pasal 70 ayat 6 UU Nomor. 7 tahun 1989)
f) setelah ikrar talak di ucapkan panitera berkewajiban memberikan
akta cerai sebagai surat bukti kepada kedua belah pihak selambat-
lambatnya 7 hari setelah penetapan ikrar talak (Pasal 84 ayat 4
UU Nomor. 7 tahun 1989)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
b. Bentuk dan Macam Produk Hukum Pengadilan Agama
Salah satu tugas pokok Pengadilan Agama adalah mengadili atau
memutus perkara yang diajukan kepadannya yang dituangkan dalam
putusan. ”Putusan Hakim adalah suatu pernyataan yang oleh Hakim,
sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di
persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau menyelesaikan suatu
perkara atau sengketa antara para pihak”(SudiknoMertokusumo, 2002:
02). Berdasarkan hal tersebut, putusan yang diucapkan oleh Hakim di
persidangan adalah harus sama dengan amar putusan yang tertulis
(vonis).
”Putusan Pengadilan Agama adalah dalam bentuk tertulis dan
Pengadilan Agama adalah lembaga yang berwenang untuk membuat
putusan sesuai dengan kewenangan absolut yang diberikan kepadannya”
(Chatib Rasyid, 2009: 119). Berdasarkan penjelasan Pasal 2 Ayat (1)
Undang-Undang No 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman jo Pasal 47 Undang-Undang No 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan Kehakiman dinyatakan, bahwa yang dimaksud
perkara yang diterima di pengadilan adalah termasuk perkara voluntair.
Dengan demikian, perkara yang diajukan ke Pengadilan Agama adalah
perkara contentiosa (persengketaan) dan perkara voluntair (gugat yang
bersifat permohonan) (Chatib Rasyid, 2009: 119). Dalam penjelasan
Pasal 60 Undang-Undang No 50 tahun 2009 disebutkan ada dua produk
Pengadilan Agama, yaitu putusan dan penetapan.
Penetapan adalah putusan pengadilan untuk perkara permohonan,
pengertian ini sesuai Pasal 60 Undang-Undang No 50 tahun 2009.
Putusan penetapan menyesuaikan diri dengan sifat gugat permohonan,
bahwa Undang-Undang menilai putusan yang sesuai dengan
permohonan adalah penetapan (beschikking). Untuk penetapan ini
berlaku asas kebenaran sepihak, bahwa kebenaran yang terkandung di
dalamnya adalah kebenaran yang berasal dari diri pemohon saja.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
Penetapan juga tidak mempunyai kekuatan mengikat kepada pihak lain
dan tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian ilai kekuatan
pembuktian (Yahya Harahap, 2003: 306).
Putusan disebutkan sebagai keputusan pengadilan atas perkara
gugatan karena adanya suatu sengketa, sedangkan penetapan adalah
keputusan pengadilan atas perkara permohonan.
Adapun macam-macam putusan dalam Pengadilan Agama dapat
dibagi dua, yaitu;
1). Putusan Sela
Putusan sela adalah putusan yang dujatuhkan sebelum
putusan akhir yang diadakan dengan tujuan untuk
memungkinkan atau mempermudah kelanjutan pemeriksaan
perkara. Dalam hukum acara perdata dikenal beberapa macam
putusan sela, yaitu;
a) Putusan Preparatoir, yaitu putusan persiapan mengenai jalannya pemeriksaan untuk melancarkan segala sesuaitu guna mengadakan putusan akhir;
b) Putusan Interlacutoir, yaitu putusan yang isinya memerintahkan pembuktian;
c) Putusan Incidental, yaitu putusan yang berhubungan dengan insiden, seperti putusan yang bertujuan untuk menghentikan prosedur biasa;
d) Putusan Provisionil, yaitu putusan yang menjawab tuntutan provisi dalam hal penggugat meminta agar diadakan tindakan pendahuluan sebelum putusan akhir dijatuhkan(Chatib Rasyid, 2009: 119).
2). Putusan akhir
”Putusan akhir adalah kesimpulan akhir yang diambil oleh
Majelis Hakim yang diberi wewenang untuk itu menyelesaikan
perkara dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk
umum”(Abdul Manan, 2000: 173). Putusan akhir apabila dilihat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
dari amarnya dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu (Chatib
Rasyid, 2009: 118-119);
a) Putusan condemnatoir, yaitu yang amarnya bersifat menghukum pihak yang dikalahkan untuk memenuhi prestasi. Amar yang bersifat condemnatoir tersebut dirinci sebagai berikut ;
(1) menghukum atau memerintahkan untuk menyerahkan;
(2) menghukum atau memerintahkan untuk pengosongan;
(3) menghukum atau memerintahkan untuk membagi;
(4) menghukum atau memerintahkan untuk melakukan sesuatu;
(5) menghukum atau memerintahkan untuk menghentikan sesuatu;
(6) menghukum atau memerintahkan untuk membayar sesuatu;
(7) menghukum atau memerintahkan untuk membongkar;
(8) menghukum atau memerintahkan untuk tidak melakukan sesuatu.
b) Putusan Declaratoir adalah putusan yang amarnya menyatakan, bahwa keadaan tertentu sebagai keadaan yang resmi menurut hukum. Misalnya ”Menyatakan sah atau tidak suatu perbuatan hukum. Amarnya dimulai dengan menyatakan.......”;
c) Putusan Konstitutif adalah putusan yang bersifat mengentikan atau menimbulkan hukum baru. Misalnya memutuskan suatu ikatan perkawinan. Contoh ”Menyatakan bahwa perkawinan antara A dan B putus karena.
c. Susunan dan Isi Putusan Pengadilan Agama
Berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam Pasal 60 Undang-
Undang Nomor 50 tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
penjelasannya ditemukan dua macam produk Pengadilan Agama, yaitu
putusan dan penetapan. Kedua hal tersebut harus dibuat secara tertulis
dengan susunan sebagai berikut ;
1) Kepala Putusan
Kepala putusan memuat hal-hal sebagai berikut ;
a) judul,yaitu : PUTUSAN
b) No putusan
c) Irah-irahan, yaitu kalimat ”BISMILLAHIRRAHMAAN
IRROHIM” yang diikuti dengan kalimat ”DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”;
2) Identitas
Identitas dalam putusan sama dengan identitas yang ada dalam
surat gugatan atau permohonan sebagaimana diatur dalam Pasal 67
Undang-Undang No 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Pertama Undang-
Undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, yaitu sekurang-
kurangnya memuat nama, umur, dan alamat para pihak yang
berperkara.
3) Duduk Perkara
Dalam bagian tentang duduk perkara sebuah putusan harus
mengacu kepada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 195 R.bg / Pasal
184 HIR dan Pasal 25 Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, yaitu memuat hal-hal sebagai berikut ;
a) Gugatan yang diajukan Penggugat;
b) Jawaban dan tanggapan yang diajukan Tergugat, termasuk
didalamnya eksepsi, jawaban terhadap pokok perkara, tuntutan
provisi dan rekonvensi.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
c) Fakta kejadian dalam persidangan, hal ini dapat berupa sikap para
pihak yang berperkara di persidangan, keterangan saksi dan
keterangan yang diperoleh dari para pihak tentang alat bukti yang
diajukan para pihak;
d) Duduk perkara, adalah menguraikan seluruh fakta yang
terakumulasi mulai dari fakta yang terdapat dalam surat gugatan
sampai pada kesimpulan.
4) Pertimbangan Hukum
Pertimbangan hukum adalah suatu tahap dimana Majelis Hakim
mempertimbangkan fakta yang terungkap selama persidangan
berlangsung, mulai dari gugatan, jawaban dan eksepsi dari Tergugat
yang dihubungkan dengan alat bukti yang memenuhi syarat formil dan
meteriil yang mencapai batas minimal pembuktian.
Dalam memutus perkara Hakim harus mempunyai alasan-alasan
hukum yang menjadi dasar pertimbangan. Dasar pertimbangan tersebut
bertitik tolak dari ketentuan sebagai Pasal-Pasal tertentu dari peraturan
perUndang-Undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi dan doktrin
hukum. Sebagaimana tercantum dalam Pasal 14 dan Pasal 50 Ayat (1)
UU No 48 Tahun 2009 yang menegaskan bahwa ”segala putusan
pengadilan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan dan
mencantumkan Pasal-Pasal peraturan perUndang-Undangan tertentu
yang bersangkutan dengan perkara yang diputus atau berdasarkan
hukum tak tertulis maupun yurisprudensi atau doktrin hukum”.
5) Amar / Diktum putusan
Amar atau diktum putusan adalah jawaban atas petitum yang
dimintakan oleh Penggugat, sama ada petitum dalam bagian eksepsi,
provisi, konvensi maupun dalam rekonvensi. Berdasarkan Pasal 189
Ayat (3) R.bg, Hakim dilarang mengabulkan atau memutus lebih dari
yang diminta (petitum).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
6) Penutup
Dalam bagian penutup disebutkan kapan perkara tersebut
diputuskan dan kapan diucapkan dengan menyebutkan susunan majelis
Hakim yang memutus perkara serta susunan Majelis Hakim yang hadir
pada saat putusan diucapkan dengan tidak boleh melupakan pencantuman
Panitera yang ikut bersidang sebagai pembantu Majelis Hakim. Selain
hal tersebut, juga harus dicantumkan tentang hadir atau tidaknya
Penggugat dan Tergugat pada saat putusan diucapkan.
Adanya musyawarah Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan
harus sesuai dengan Pasal 14 Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman jo. 189 Ayat (1) R.Bg. sementara itu, tanggal
dijatuhkannya putusan adalah sama dengan tanggal musyawarah Majelis
Hakim untuk menghasilkan putusan tersebut. Tanggal putusan yaitu
tanggal hari pengucapan putusan dalam sidang terbuka untuk umum oleh
ketua sidang dengan dihadiri oleh Hakim anggota dan dibantu oleh
panitera yang turut bersidang. Putusan ditandatangani oleh Hakim Ketua
Sidang, Hakim Anggota dan Panitera yang turut bersidang, dengan
pembubuhan materai Rp. 6.000,- (enam ribu rupiah) pada tanda tangan.
d. Kekuatan Putusan Pengadilan Agama
Putusan Pengadilan Agama memiliki tiga macam kekuatan pembuktian
diantarannya adalah;
1) Kekuatan mengikat kepada para pihak
Putusan Pengadilan Agama yang dijatuhkan oleh Hakim
adalah untuk menyelesaikan perkara yang terjadi antara
Penggugat dan Tergugat dengan menetapkan siapa yang berhak
serta menentukan hukumnya. Menurut Yahya Harahap putusan
Pengadilan Agama bersifat mengikat kepada beberapa pihak,
diantaranya adalah (Yahya Harahap, 2003 : 310);
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
a) Terhadap pihak yang berperkara
b) Terhadap orang yang mendapat hak dari merk, dan
c) Terhadap ahli waris mereka.
Oleh karena putusan mempunyai kekuatan mengikat maka para pihak yang telah ditentukan mempunyai kewajiban untuk metaati putusan yang ada.
Mukti Arta menyebutkan bahwa putusan Hakim memiliki
kekuatan mengikat yang dapat diartikan sebagai berikut (Mukti
Arta.1996:264-265);
a) Putusan Hakim itu mengikat pada para pihak yang berperkara dan yang terlibat dalam perkara itu;
b) Para pihak harus tunduk dan menghormati putusan itu;
c) Terikatnya para pihak kepada putusan Hakim ini, baik dalam arti positif maupun negatif (Pasal 1917, 1920 BW, 134 Rv);
d) Mengikat dalam arti positif, yakni bahwa apa yang telah diputus oleh Hakim harus dianggap benar (Res judicata pro veritate habetur), dan tidak dimungkinkan pembuktian lawan;
e) Mengikat dalam arti negatif, artinya bahwa Hakim tidak boleh memutus lagi perkara yang pernah diputus sebelumnya antara pihak yang sama serta pokok perkara yang sama (nebis in idem), (Pasal 134 Rv);
f) Putusan Hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tidak dapat dirubah, sekalipun oleh pengadilan yang lebih tinggi, kecuali dengan upaya hukum yang luar biasa (yaitu Reguest civil dan derdent verzet);
g) Segala pertimbangan Hakim yang dijadikan dasar putusan serta amar putusan (dictum) merupakan satu kesatuan dan mempunyai kekuatan mengikat;
h) Sedang mengenai hasil konstatiring Hakim (penetapan) mengenai kebenaran peristiwa tertentu dengan alat bukti tertentu, maka dalam sengketa lain peristiwa tersebut masih dapat disengketakan.
2) Kekuatan Pembuktian
”Putusan Pengadilan Agama berbentuk tertulis, oleh karena
itu putusan Pengadilan Agama dapat digolongkan kepada akta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
35
otentik yang mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat dan
sempurna” (Chatib Rasyid, 2009: 119). Berdasarkan hal tersebut
maka putusan pengadilan dapat dijadikan alat bukti yang sempurna
tentang penyelesaian apa yang disengketakan oleh para pihak.
Selanjutnya putusan Pengadilan Agama tersebut dapat digunakan
oleh para pihak untuk alat bukti untuk mengajukan banding ke
Pengadilan Tinggi Agama, kasasi ke Mahkamah Agung RI atau
mengajukan permohonan ekseskusi apabila pihak yang dikalahkan
tidak bersedia melakukan isi putusan Pengadilan Agama tersebut
secara suka rela.
Mukti Arta menyebutkan bahwa putusan Hakim memiliki
kekuatan pembuktian yang bararti bahwa (Mukti Arta. 1996:265);
a) Dengan putusan Hakim itu telah diperoleh kepastian tentang sesuatu yang terkandung dalam putusan itu;
b) Putusan Hakim menjadi bukti dalam kebenaran sesuatu yang termuat di dalamnya;
c) Putusan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat menjadi bukti dalam sengketa perkara perdata mengenai hal itu (tindak pidana) (Pasal 1918 dan 1919 Bw);
d) Demikian pula putusan perdata menjadi bukti dalam sengketa perdata mengenai hal itu;
e) Apa yang diputuskan Hakim harus dianggap benar dan tidak boleh diajukan lagi perkara baru mengenai hal yang sama dan antara pihak-pihak yang sama pula (nebis in idem).
Salah satu keistimewaan dan perbedaan putusan Pengadilan
Agama dengan yang lainnya adalah adanya doktrin-doktrin dari
Al-Qur'an, hadits dan aqwal fuqaha. Karenanya jika kita meneliti
putusan-putusan yang terdapat pada buku yurisprudensi terutama
buku yurisprudensi lama, kita akan menemukan banyak sekali
dalil-dalil Al-Qur'an, hadits maupun aqwal fuqaha yang dijadikan
sandaran pertimbangan dalam putusan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36
3). Kekuatan Eksekutorial
Putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan
eksekutorial hanyalah putusan yang bersifat condemnatoir yang
kepala putusannya tercantum kata ”BISMILLAHI-
RRAHMANIRRAHIM” dan diikuti dengan kata ”Demi Keadilan
Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” (Chatib Rasyid, 2009:
120). Berdasarkan kata ” Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan
Yang Maha Esa” inilah yang memberi kekuatan eksekutorial pada
putusan-putusan pengadilan.
Pasal 57 Undang-Undang No 3 Tahun 2006 tentang
Perubahan Pertama Undang-Undang No 7 Tahun 1989 tentang
Pengadilan Agama jo Pasal 4 Undang-Undang No 48 Tahun 2009
tentang Kekuasaan kehakiman menegaskan bahwa maksud dari
putusan memiliki kekuatan eksekutorial adalah mempunyai
kekuatan untuk dilaksanakan secara paksa terhadap pihak yang
tidak melaksanakan putusan tersebut secara suka rela.
Putusan Hakim mempunyai kekuatan eksekutorial yakni
kekuatan untuk dilaksanakan apa yang ditetapkan dalam putusan
itu secara paksa oleh alat-alat negara. Dengan berlakunnya
Undang-Undang No 7 Tahun 1989 (sebagaimana yang telah diubah
dengan Undang-Undang No 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
Pertama atas Undang-Undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, dan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-
Undang No 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-
Undang No 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama), maka
Pengadilan Agama telah dapat melaksanakan sendiri tindakan
eksekusi atas putusan yang dijatuhkan itu tidak diperlukan lagi
lembaga pengukuhan dan fiat eksekusi oleh pengadilan negeri
(Mukti Arto.1996 : 265).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
37
3. Tinjauan tentang Perkawinan
a. Pengertian Perkawinan
Di dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan selanjutnya disebut Undang-Undang Perkawinan
dinyatakan bahwa perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan
membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Dalam Kompilasi Hukum Islam Buku I
Hukum Perkawinan pada Pasal 2, menyatakan bahwa perkawinan
menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat
kuat atau mitsaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan
melakukannya merupakan ibadah.
Nikah (kawin) menurut arti asli ialah hubungan seksual tetapi
menurut arti majazi (mataphoric) atau arti hukum ialah akad
(perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami
istri antara seorang pria dengan seorang wanita. (Moh Idris Ramulyo,
2002: 1)
Menurut Idris Ramulyo, ada beberapa definisi mengenai
perkawinan, antara lain: (Idris Ramulyo, 1996:1-3)
1) Sayuti Thalib
Perkawinan adalah perjanjian suci, kuat, dan kokoh untuk hidup
bersama secara sah antara seorang laki-laki dan seorang
perempuan membentuk keluarga kekal, santun nmenyantuni,
kasih mengasihi tentram, dan bahagia.
2) Imam Syafi’i
Pengertian nikah ialah suatu akad yang dengannya menjadi halal
hubungan seksual antara pria dengan wanita, sedangkan menurut
arti majazi (mathaporic) nikah itu artinya hubungan seksual.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
3) Mahmud Yunus
Nikah itu artinya hubungan seksual (setubuh) yang bukan
bersetubuh dengan tangannya (onani).
4) Hazarin
Perkawinan itu adalah hubungan seksual. Menurut beliau tidak
ada nikah bila tidak ada hubungan seksual antara suami istri,
maka tidak perlu ada tenggang waktu menunggu (iddah) untuk
menikah lagi bekas istri itu dengan laki-laki lain.
5) Ibrahim Hosen
Nikah menurut arti asli dapat juga berarti dengannya menjadi
halal hubungan kelamin antara pria dengan wanita, sedangkan
menurut arti lain adalah bersetubuh.
Pengertian perkawinan yang sah adalah perkawinan yang
dilakukan secara tatacara keagamaan dan juga perkawinan perdata
di hadapan petugas Kantor Pencatatan Sipil (Pasal 530 KUHP)
(Ali Afandi, 1986:98). Pengertian perkawinan yang sah menurut
Undang-Undang Perkawinan Pasal 2, Perkawinan adalah sah,
apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu serta Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut
peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.
b. Tujuan Perkawinan
Tujuan perkawinan menurut perintah Allah adalah untuk
memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat dengan
mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur serta untuk
memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani manusia, juga untuk
membentuk keluarga dan meneruskan keturunan serta mencegah
perzinaan. Tujuan perkawinan dalam Islam menurut Soemiyati
adalah untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan,
berhubungan antara laki-laki dan perempuan dalam rangka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
39
mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta
kasih dan kasih sayang untuk memperoleh keturunan yang sah
dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang
telah diatur oleh syari’ah (Idris Ramulyo, 1996:26-27).
Menurut ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan,
tujuan perkawinan adalah membentuk keluarga (rumah tangga)
yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam, seperti yang
tercantum dalam Pasal 3 Hukum Perkawinan, disebutkan bahwa
perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah
tangga yang sakinah (keadaan yang tentram), mawaddah, dan
rahmah (saling mencintai dan menyantuni).
c. Rukun dan Syarat Perkawinan
Pasal 6 Undang-Undang Perkawinan menyebutkan, bahwa
syarat-syarat perkawinan adalah:
(1) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon
mempelai.
(2) Untuk melangsungkan perkawinan seorang yang belum
mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin
kedua orang tua.
(3) Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal
dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan
kehendaknya, maka izin dimaksud ayat (2) Pasal ini cukup
diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua
yang mampu menyatakan kehendaknya.
(4) Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam
keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka
izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga
yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat
menyatakan kehendaknya.
(5) Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang-orang yang
disebut dalam ayat (2), (3) dan (4) Pasal ini, atau salah seorang
atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya,
maka Pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang
yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang
tersebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu
mendengar orang-orang tersebut dalam ayat (2), (3) dan (4)
Pasal ini.
(6) Ketentuan tersebut ayat (1) sampai dengan ayat (5) Pasal ini
berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan
lain.
Dalam Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun
1991 (Kompilasi Hukum Islam) Pasal 14, untuk melaksanakan
perkawinan harus ada:
1) Calon suami;
2) Calon isteri;
3) Wali nikah;
4) Dua orang saksi; dan
5) Ijab dan kabul.
Menurut para ulama, akad nikah baru terjadi setelah
dipenuhinya rukun-rukun dan syarat-syarat nikah (Idris Ramulyo,
1996:48-49):
1) Adanya calon pengantin laki-laki dan calon pengantin
perempuan;
2) Kedua calon pengantin sudah dewasa dan berakal sehat (akil
baligh);
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
41
3) Persetujuan bebas antara calon mempelai tersebut (tidak boleh
ada paksaan)
4) Harus ada wali bagi calon pengantin perempuan;
5) Harus ada mahar (mas kawin) dari calon pengantin laki-laki
yang diberikan setelah resmi menjadi suami-istri kepada
istrinya;
6) Harus dihadiri sekurang-kurangnya 2 (dua) orang saksi yang
adil dan laki-laki Islam merdeka;
7) Harus ada ucapan ijab qabul, ijab ialah penawaran dari pihak
calon istri atau walinya atau wakilnya dan qabul adalah
penerimaan oleh calon suami dengan menyebutkan besarnya
mahar yang diberikan. Setelah proses ijab qabul resmilah
terjadi perkawinan;
8) Sebagai tanda resmi terjadinya akad nikah (perkawinan)
seyogyanya diadakan walimah (pesta pernikahan);
9) Sebagai bukti autentik terjadinya perkawinan, diadakan
pendaftaran nikah kepada Pejabat Pencatat Nikah sesuai
dengan Undang-Undang.
d. Larangan-larangan dalam Perkawinan
Ada bermacam-macam larangan menikah (kawin) antara lain:
(Idris Ramulyo, 1996:35)
1) Larangan perkawinan karena berlainan agama;
2) Larangan perkawinan karena hubungan darah yang terlampau
dekat;
3) Larangan perkawinan karena hubungan susuan;
4) Larangan perkawinan karena hubungan semenda;
5) Larangan perkawinan poliandri;
6) Larangan perkawinan terhadap wanita yang di li’an;
7) Larangan perkawinan(menikahi) wanita/pria pezina;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
42
8) Larangan perkawinan dari bekas suami terhadap wanita
(bekas istri yang ditalak tiga);
9) Larangan kawin bagi pria yang telah beristri empat.
Dalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 8, Perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
b. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
c. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
d. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
e. berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;
f. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 39, dinyatakan
bahwa larangan perkawinan antara seorang pria dengan wanita
disebabkan:
1) Karena pertalian nasab:
a) Dengan seorang wanita yang melahirkan atau
menurunkannya atau keturunannya
b) Dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu
c) Dengan seorang wanita saudara yang melahirkan
2) Karena pertalian kerabat semenda:
a) Dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau
bekas istrinya
b) Dengan seorang wanita bekas istri orang yang
menurunkannya
c) Dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas
istrinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan
bekas istrinya itu qabla ad dukhul
d) Dengan seorang wanita bekas istri keturunannya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
43
3) Karena pertalian sesusuan:
a) Dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya
menurut garis lurus keatas
b) Dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut
garis lurus kebawah
c) Dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan
kemenakan sesusuan kebawah
d) Dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi
sesusuan keatas
e) Dengan anak yang disusui oleh istrinya dan
keturunannya
e. Hak dan Kewajiban Suami Istri dalam Perkawinan
Dengan dilangsungkan akad nikah antara mempelai laki-laki
dan mempelai perempuan terjalinlah hubungan suami istri sehingga
timbul hak dan kewajiban masing-masing secara timbal balik.
1) Hak dan kewajiban suami istri sesuai dengan Pasal 77 dan Pasal
78 Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai berikut:
a) Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan
rumah tangga yang sakinah, mawadah, dan rahmah yang
menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
b) Suami istri wajib saling mencintai, Saling menghormati, setia,
dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
c) Suami istri memikul kewajiban untuk mengasuh dan
memelihara anak-anak mereka, baik mengenai pertumbuhan
jasmani, rohani, maupun kecerdasan dan pendidikan
agamanya.
d) Suami istri wajib memelihara kehormatannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
44
e) Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya, masing-
masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan
Agama.
f) Suami istri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap.
g) Rumah kediaman yang dimaksud ditentukan oleh suami istri
bersama.
2) Kedudukan suami istri menurut Pasal 79 Kompilasi Hukum Islam
antara lain:
a) Suami adalah kepala keluarga dan istri adalah ibu rumah
tangga.
b) Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan
pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
c) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan
hukum.
3) Hak-hak bersama antara suami dan istri
Menurut Ahmad Azhar Basyir, Hak-hak bersama antara
suami dan istri adalah sebagai berikut: (Ahmad Azhar Basyir,
2000: 53)
a) Halal bergaul antara suami dan istri dan masing-masing dapat
bersenang-senang satu sama lain.
b) Terjadi hubungan mahram semenda; istri menjadi mahram
ayah suami, kakeknya, dan seterusnya ke atas. Demikian pula
suami menjadi mahram ibu istri, neneknya dan seterusnya ke
atas.
c) Terjadi hubungan waris mewaris antara suami dan istri sejak
akad nikah dilaksanakan. Istri berhak menerima waris atas
peninggalan suami. Demikian pula, suami berhak waris atas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
45
peninggalan istri, meskipun mereka belum pernah melakukan
pergaulan suami istri.
d) Anak yang lahir dari istri bernasab pada suaminya (apabila
pembuahan terjadi sebagai hasil hubungan setelah nikah).
e) Bergaul dengan baik antara suami dan istri sehingga tercipta
kehidupan yang harmonis dan damai. Dalam hubungan ini QS
An-Nisa: 19 memerintahkan, “Dan gaulilah istri-istri itu
dengan baik….”
4) Hak dan kewajiban suami
Hak suami yang wajib untuk dipenuhi istri menurut Ahmad
Azhar Basyir, hanya merupakan hak-hak bukan kebendaan sebab
menurut hukum Islam istri tidak dibebani kewajiban kebendaan
yang diperlukan untuk mencukupkan kebutuhan hidup keluarga.
Bahkan lebih diutamakan istri tidak usah ikut bekerja mencari
nafkah jika suami memang mampu memenuhi kewajiban nafkah
keluarga dengan baik. Hal ini dimaksudkan agar istri dapat
mencurahkan perhatiannya untuk melaksanakan kewajiban
membina keluarga yang sehat dan mempersiapkan generasi yang
saleh. Hak suami ini meliputi: hak ditaati, hak memberi pelajaran
atau ilmu, dan hak dipenuhi hajat biologisnya (Ahmad Azhar
Basyir, 2000: 61).
Sedangkan kewajiban suami menurut Pasal 80 Kompilasi
Hukum Islam adalah sebagai berikut:
a) Suami adalah pembimbing terhadap istri dan rumah
tangganya, akan tetapi mengenai hal-hal urusan rumah tangga
yang penting-penting diputuskan oleh suami istri secara
bersama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
46
b) Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala
sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan
kemampuannya.
c) Suami wajib memberikan pendidikan agama kepada istrinya
dan memberi kesempatan belajar pengetahuan yang berguna
dan bermanfaat bagi agama, nusa, dan bangsa.
d) Sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:
(1) Nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi istri;
(2) Biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya
pengobatan bagi istri dan anak;
(3) Biaya pendidikan bagi anak.
e) Kewajiban suami terhadap istrinya seperti tersebut pada
point d) angka 1 dan 2 di atas mulai berlaku sesudah ada
tamkim sempurna dari istrinya.
f) Istri dapat membebaskan suaminya dari kewajiban terhadap
dirinya sebagaimana tersebut pada pada point d) angka 1 dan
g) Kewajiban suami sebagaimana dimaksud point d) gugur
apabila istri nusyuz.
5) Hak dan kewajiban istri
Menurut Ahmad Azhar Basyir, hak istri yang menjadi
kewajiban suami dapat dibagi dua: hak-hak kebendaan, yaitu
mahar (mas kawin) dan nafkah, dan hak-hak bukan kebendaan
misalnya berbuat adil diantara para istri (dalam perkawinan
poligami), tidak berbuat yang merugikan istri dan sebagainya
(Ahmad Azhar Basyir, 2000: 54). Istri berhak atas mahar penuh
apabila telah dicampuri. Mahar merupakan suatu kewajiban atas
suami dan istri harus tahu berapa besar dan apa ujud mahar yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
47
menjadi haknya. Setelah tahu, dibolehkan terjadi persetujuan lain
tentang mahar yang menjadi hak istri itu, misalnya istri
merelakan haknya atas mahar, mengurangi mahar, mengubah
ujud atau bahkan membebaskannya. Menurut Ahmad Azhar
Basyir, yang dimaksud dengan nafkah ialah mencukupkan
segala keperluan istri, meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal,
pembantu rumah tangga, dan pengobatan, meskipun istri
tergolong kaya (Ahmad Azhar basyir, 2000: 57).
Masih menurut Ahmad Azhar Basyir, hak-hak bukan
kebendaan yang wajib ditunaikan suami terhadap istrinya dalam
QS An-Nisa: 19 agar para suami menggauli istri-istrinya dengan
makruf dan bersabar yang mencakup: (Ahmad Azhar Basyir,
2000: 58-61)
a) Sikap menghargai, menghormati dan perlakuan-perlakuan
yang baik, serta meningkatkan taraf hidupnya dalam bidang-
bidang agama, akhlak, dan ilmu pengetahuan yang
diperlukan.
b) Melindungi dan menjaga nama baik istri.
c) Memenuhi kebutuhan kodrat (hajat) biologis istri.
Kewajiban istri sesuai dengan Pasal 83 dan Pasal 84
Kompilasi Hukum Islam adalah sebagai berikut:
a) Kewajiban utama bagi seorang istri ialah berbakti lahir dan
batin kepada suami di dalam batas-batas yang dibenarkan
hukum Islam.
b) Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan rumah
tangga sehari-hari dengan sebaik-baiknya.
c) Istri dapat dianggap nusyuz jika ia tidak mau melaksanakan
kewajiban-kewajiban sebagaimana dimaksud dalam point a)
dan b) diatas kecuali dengan alasan yang sah.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
48
d) Selama istri dalam nusyuz, kewajiban suami terhadap istrinya
terkait dengan nafkah, kiswah, tempat kediaman istri, biaya
rumah tangga, perawatan, dan pengobatan tidak berlaku
kecuali hal-hal untuk kepentingan anaknya.
e) Kewajiban suami menjadi berlaku kembali sesudah istri tidak
nusyuz.
f) Ketentuan tentang ada atau tidak adanya nusyuz dari istri
harus didasarkan atas bukti yang sah.
Dalam Undang-Undang Perkawinan juga diatur mengenai hak
dan kewajiban suami-isteri, yaitu dalam pasal 30, 31, 32, 33 dan 34.
Pasal 30 Suami isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat. Pasal 31 (1) Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan
kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
(2) Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
(3) Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga. Pasal 32 (1) Suami isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap. (2) Rumah tempat kediaman yang dimaksud dalam ayat (1) pasal
ini ditentukan oleh suami isteri bersama. Pasal 33 Suami isteri wajib saling cinta-mencintai hormat-menghormati, setia dan memberi bantuan lahir bathin yang satu kepada yang lain. Pasal 34 (1) Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala
sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
(2) Isteri wajib mengatur urusan rumah-tangga sebaik-baiknya. (3) Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing
dapat mengajukan gugutan kepada Pengadilan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
49
f. Bentuk-bentuk Putusnya Perkawinan Menurut Hukum Islam
Menurut Djamil Latief, putusnya perkawinan menurut hukum
Islam disebabkan oleh beberapa hal, yaitu: (Djamil Latief, 1985: 38)
a) Kematian suami atau istri
Kematian suami atau istri dalam arti hukum adalah
putusnya ikatan perkawinan. Jika istri yang meninggal dunia
seorang suami boleh kawin lagi dengan segera, tetapi seorang
janda yang kematian suami, harus menunggu jangka lewatnya
waktu tertentu sebelum dapat kawin lagi, jangka waktu ini
disebut Iddah.
b) Perceraian
a) Tindakan pihak suami
(1) Talak
Perkataan talak berasal dari kata thallaqa, berarti
melepaskan (umpama seekor burung) dari sangkarnya atau
melepaskan (seekor binatang) dari rantainya. Jadi
menthalaq istri berarti melepaskan istri atau
membebaskannya dari ikatan perkawinan atau
menceraikan istri.
(2) Ila’
Meng-ila’ istrinya ialah seorang suami bersumpah
tidak akan menyetubuhi istrinya. Dengan sumpah ini
berarti seorang istri telah ditalak oleh suami.
(3) Dhihar
Suatu talak yang jatuh karena ucapan atau sumpah
suami yang mempersamakan istrinya seperti “punggung
ibunya” yang artinya suami tidak akan lagi mengumpuli
istrinya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
50
Apabila suami sebelum empat bulan mencabut
ucapannya dan kemudian rujuk maka suami tersebut
diwajibkan membayar denda, Sedangkan apabila melebihi
empat bulan tidak dicabut ucapannya maka jatuhlah talak.
b) Tindakan pihak istri
Dengan Tafwild yaitu pendelegasian kekuasaan kepada
seseorang untuk menjatuhkan talaknya kepada istrinya.
Seseorang itu bisa orang lain dan bisa istrinya sendiri. Dalam hal
ini terdapat kemungkinan terjadinya perceraian oleh tindakan
pihak istri.
c) Persetujuan kedua belah pihak
(1) Khulu’
Sering diistilahkan talak tebus, artinya talak yang terjadi
karena inisiatif pihak istri dengan ketentuan istri harus
membayar ‘iwald kepada suami. Terjadinya talak ini dan
besarnya ‘iwald harus berdasarkan kesepakatan dan kerelaan
suami istri.
(2) Mubara-ah
Perceraian yang terjadi dengan persetujuan kedua belah dari
suami istri yang sama-sama ingin memutuskan ikatan
perkawinan dan kedua belah pihak telah merasa puas hanya
dengan kemungkinan terlepas dari ikatan masing-masing.
d) Keputusan Hakim
(1) Ta’lik Thalaq
Ta’lik berarti menggantungkan, jadi pengertian ta’lik talak
ialah suatu talak yang digantungkan pada suatu hal yang
mungkin terjadi telah disebutkan dalam suatu perjanjian
yang telah diperjanjikan sebelumnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
51
(2) Fasakh
Fasakh berarti rusak atau batalnya perkawinan atas
permintaan yang salah satu pihak kepada Pengadilan
Agama karena ditemukan cela salah satu pihak yang merasa
tertipu atas hal-hal yang belum diketahui sebelum
berlangsungnya pernikahan.
(3) Syiqaq
Syiqaq yaitu talak yang terjadi karena perselisihan suami
istri, yang tidak dapat didamaikan oleh hakim yang ditunjuk
dari pihak suami dan dari pihak istri.
(4) Riddah (murtad)
Riddah salah satu penyebab perceraian karena salah seorang
dari suami istri keluar dari agama Islam.
(5) Li’an
Li’an adalah putusnya perkawinan karena menuduh istri
berbuat zina dan atau mengingkari anak dalam kandungan
atau yang sudah lahir dari istrinya, sedangkan istri
meNomorlak tuduhan dan atau pengingkaran tersebut.
Berdasarkan Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan, suatu ikatan
perkawinan dapat putus karena :
a) kematian,
b) perceraian dan
c) atas keputusan Pengadilan.
Selanjutnya diatur bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di
depan sidang pengadilan. Bagi perkawinan yang dilangsungkan
menurut agama Islam, maka permohonan atau gugatan diajukan ke
Pengadilan Agama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
52
4. Tinjauan tentang Cerai Talak
a. Pengertian Perceraian
Menurut Soemiyati perceraian dalam istilah hukum Islam
disebut Talak atau Furqah. Adapun talak artinya membuka ikatan
membatalkan perjanjian, sedangkan furqah artinya bercerai, yaitu
lawan dari berkumpul. Kemudian kata itu dipakai oleh para ahli
fiqih sebagai suatu istilah yang berarti perceraian suami istri
(Soemiyati, 1986: 103). Sedangkan menurut istilah agama oleh M.
Ahnan dan Ummu khoiroh, talak artinya melepaskan ikatan
perkawinan atau putusnya hubungan perkawinan (suami istri)
dengan mengucapkan secara sukarela ucapan talak kepada istrinya,
dengan kata-kata yang jelas ataupun dengan kata-kata sindiran (M.
Ahnan dan Ummu Khoiroh, 2001: 97).
Meskipun Islam mensyariatkan perceraian, bukan berarti
agama Islam menyukai terjadinya perceraian dari suatu
perkawinan, karena Islam menghendaki ikatan perkawinan bersifat
kekal sebagaimana Islam mengharamkan pernikahan yang bersifat
temporer atau nikah yang ditujukan untuk kepentingan di luar
masalah pernikahan seperti nikah muhalil yang sifatnya hanya
formalitas atau lahiriah saja.
Perceraian walaupun diperbolehkan, tetapi Islam memandang
sebagai perbuatan yang dimurkai oleh Allah SWT, dan karenanya
bagi orang yang bertakwa yang takut akan murka Allah SWT,
semestinya menghindari peristiwa ini. Dalam hal ini Rasulullah
SAW bersabda: “Yang halal tetapi paling dibenci oleh Allah
adalah Talak”( HR. Abu Daud dan Ibnu Majah dari Ibnu Umar)
b. Pengertian Cerai Talak
Talak adalah suatu bentuk perceraian yang umum yang
banyak terjadi di Indonesia. Sedangkan cara-cara dan bentuk lain
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
53
kurang dikenal, walaupun juga terdapat cerai dalam bentuk lain.
Akibatnya seakan-akan kata-kata talak telah dianggap keseluruhan
penyebab perceraian di Indonesia.
Soemiyati berpendapat, talak menurut arti umum ialah segala
macam bentuk perceraian baik yang dijatuhkan oleh suami yang
ditetapkan oleh hakim, maupun perceraian yang jatuh dengan
sendirinya atau perceraian karena meninggalnya salah satu dari
suami atau istri. Talak dalam arti khusus ialah perceraian yang
dijatuhkan oleh pihak suami (Soemiyati, 1986: 103).
c. Syarat-syarat Talak
Menurut Ahmad Azhar Basyir, talak merupakan salah satu
macam tindakan hukum yang pada dasarnya tidak dibenarkan,
untuk sahnya talak diperlukan adanya syarat-syarat pihak yang
menjatuhkannya yaitu: (Ahmad Azhar Basyir, 2000: 73)
1) Telah baligh
Untuk sahnya talak diperlukan adanya syarat bahwa suami
yang menjatuhkan talak telah baligh. Suami yang belum
baligh tidak dapat menjatuhkan talak terhadap istrinya.
2) Berakal sehat
Syarat berakal sehat diperlukan juga oleh suami yang akan
menjatuhkan talak terhadap istrinya. Dengan demikian, orang
yang sedang mengalami sakit gila atau seperti gila tidak
dipandang sah menjatuhkan talak terhadap istrinya.
3) Tidak dalam keadaan terpaksa
yaitu benar-benar keluar dari kehendak hati yang bebas dari
tekanan-tekanan dari diri sendiri maupun dari luar.
Menyatakan talak dapat dilakukan dengan lisan, dengan
tulisan, atau dengan isyarat (bagi suami yang bisu dan tidak
pandai menulis). Menyatakan talak dapat dilakukan sendiri oleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
54
suami bersangkutan atau boleh juga diwakilkan kepada orang
lain, menyuruh kepada seseorang menyampaikan kehendaknya
untuk menjatuhkan talak
d. Waktu Menjatuhkan Talak
Apabila terpaksa seseorang menjatuhkan talak kepada
istrinya maka perlu diperhatikan kapan talak dapat dijatuhkan,
yaitu: (Ahmad Azhar Basyir, 2000:70)
1) Tidak boleh suami menalak istrinya pada waktu istri sedang
hamil.
2) Tidak boleh suami menalak istrinya yang telah suci dari
haidnya dan sudah dicampuri lagi sesudah suci itu (belum jelas
hamil atau tidaknya istri).
3) Apabila terpaksa menalak istri, waktunya ialah sesudah istri itu
suci dari haid dan belum dicampuri.
4) Banyak pendapat di kalangan Islam bahwa menalak istri boleh
pada waktu istri hamil, artinya sudah suci dari haid yang
kemudian dicampuri dan terang telah hamil.
5) Pendapat lain mengatakan bahwa tidak baik menalak istri yang
dalam keadaan hamil.
e. Hak Talak
Hukum Islam menentukan bahwa hak menjatuhkan talak
ada pada suami, menurut Ahmad Azhar Basyir, bahwa laki-laki
pada umumnya berpembawaan kodrati lebih berpikir
mempertimbangkan mana yang lebih baik antara berpisah atau
bertahan hidup bersuami istri daripada perempuan. Laki-laki
pada umumnya lebih matang berpikir sebelum mengambil
keputusan daripada perempuan yang bertindak atas emosi.
Dengan demikian apabila hak-hak talak diberikan kepada suami,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
55
diharapkan kejadian perceraian akan lebih kecil kemungkinannya
daripada jika hak talak diberikan kepada istri. Pertimbangan lain
seorang suami akan berpikir panjang untuk menjatuhkan talak
terhadap istrinya sebab talak itu akan berakibat beban atas suami
berupa nafkah selama istri mengalami masa iddah dan mut’ah
(Ahmad Azhar Basyir, 2000: 72).
Hak talak dapat dilaksanakan oleh suami:
1) Apabila istri berbuat zina.
2) Apabila istri tidak mau menaati nasehat suami untuk
bertingkah laku secara terhormat.
3) Apabila istri suka mabuk atau berjudi.
4) Apabila tingkah laku istri menganggu ketentraman rumah
tangga.
5) Apabila ada hal-hal lain yang menyebabkan tidak mungkin
penyelenggaraan rumah tangga yang damai dan teratur.
f. Akibat Talak
Menurut ketentuan Pasal 149 Kompilasi Hukum Islam,
apabila perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib:
1) Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik
berupa uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla al
dhukhul.
2) Memberikan nafkah maskan dan kiswah (tempat tinggal dan
pakaian) kepada bekas istri selama waktu iddah kecuali bekas
istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan
tidak hamil.
3) Membayar atau melunasi mahar atau mas kawin, bila masih
terhutang kepada istri seluruhnya atau separuh apabila qabla
al dhukhul.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
56
4) Memberikan biaya hadhanah (pemeliharaan, termasuk di
dalamnya biaya pendidikan) untuk anak yang belum
mencapai umur 21 tahun.
g. Alasan-alasan Menjatuhkan Talak
Alquran tidak memberi suatu ketentuan yang mengharuskan
suami untuk mengemukakan sesuatu alasan untuk
mempergunakan haknya menjatuhkan talak kepada istrinya.
Namun suatu alasan yang mungkin dikemukakan suami untuk
menjatuhkan talak kepada istrinya bahwa ia merasa tidak senang
lagi kepada istrinya. Alasan merasa tidak senangnya suami ini
sangat subyektif yang dapat disebabkan oleh sebab-sebab yang
subyektif pula.
Dalam penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang
Perkawinan disebutkan mengenai alasan-alasan yang dapat
dijadikan dasar untuk perceraian adalah:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat,
penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
b. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 (dua) tahun
bertutut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang
sah atau karena hal lain di luar kemauannya;
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun
atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan
berlangsung;
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan
berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang
mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai
suami/isteri;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
57
f. Antara suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi
dalam rumah-tangga.
Sedangkan dalam Kompilasi Hukum Islam telah diatur
dalam Pasal 116 mengenai alasan-alasan perceraian:
1) Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk,
pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar
disembuhkan.
2) Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah
atau karena hal lain diluar kemampuannya.
3) Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan
berat yang membahayakan pihak yang lain.
5) Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan
akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami
atau istri.
6) Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi
dalam rumah tangga.
7) Suami melanggar taklik talak.
8) Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
58
h. Macam-macam Talak
Dalam Kompilasi Hukum Islam selanjutnya disebut
Kompilasi Hukum Islam disebutkan beberapa macam bentuk talak
yaitu:
1) Talak Raj’i (Pasal 118 Kompilasi Hukum Islam)
Talak Raj’i ialah talak yang masih memungkinkan suami rujuk
kepada bekas istrinya tanpa akad nikah baru. Talak pertama
dan kedua yang dijatuhkan suami terhadap istri yang sudah
pernah dicampuri dan bukan atas permintaan istri yang disertai
uang tebusan (iwad). Dengan demikian apabila seorang suami
menjatuhkan talak pertama atau kedua atas istri maka ia dapat
merujuknya, dapat kembali hidup sebagai suami istri tanpa
memerlukan akad nikah baru selama masa iddahnya belum
habis.
2) Talak Ba’in
Talak ba’in ialah talak yang tidak memungkinkan suami rujuk
kepada bekas istri, kecuali dengan melakukan akad nikah baru.
Talak ba’in dibedakan menjadi dua macam yaitu:
a) Talak Ba’in Shugra (Pasal 119 Kompilasi Hukum Islam)
Talak Ba’in Shugra yaitu talak satu atau dua yang
dijatuhkan kepada istri yang belum pernah dikumpuli, talak
satu atau dua yang dijatuhkan atas permintaan istri dengan
pembayaran uang tebusan (iwad) atau talak satu atau dua
yang dijatuhkan kepada istri yang pernah dikumpuli bukan
atas permintaannya dan tanpa pembayaran iwad setelah
habis masa iddahnya, atau talak yang dijatuhkan oleh
Pengadilan Agama.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
59
b) Talak Ba’in Kubra (Pasal 120 Kompilasi Hukum Islam)
Talak Ba’in Kubra yaitu talak yang telah dijatuhkan untuk
ketiga kalinya.talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak
dapat dinikahkan kembali, kecuali apabila pernikahan itu
dilakukan setelah bekas istri menikah dengan orang lain dan
kemudian terjadi perceraian ba’da al dhukhul dan habis
masa iddahnya.
3) Talak Sunny (Pasal 121 Kompilasi Hukum Islam)
Talak Sunny adalah talak yang dibolehkan, yaitu talak yang
dijatuhkan terhadap istri yang sedang suci dan tidak dicampuri
dalam waktu suci tersebut.
4) Talak Bid’i (Pasal 122 Kompilasi Hukum Islam)
Talak Bid’i adalah talak yang dilarang, yaitu talak yang
dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan haid atau istri dalam
keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
60
H. Kerangka Pemikiran
Bagan. 1
Kerangka Pemikiran
Permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon Non-muslim (Perkara Nomor 208/ Pdt.G/ 2010/
Pa.Kra)
Pengadilan Agama
Peradilan bagi rakyat pencari keadilan yang beragama
Islam
Memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara : Perkawinan; Kewarisan; Wasiat; Hibah; Wakaf; Zakat; Infaq; Shadaqah dan EkoNomormi syariah.
Dasar kewenangan PA dalam memeriksa, permohonan cerai talak oleh pemohon Non-
muslim
Akibat hukum Putusan
Kewenangan Pengadilan Agama menurut Pasal 49 UU Nomor 50 tahun 2009 tentang Peradilan Agama
Putusan PA Karanganyar Nomor 208/ pdt.g/ 2010/ Pa.Kra
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
61
Keterangan;
Lahirnya Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan
Agama bersifat sebagai perubahan, sehingga ketentuan-ketentuan yang ada dalam
Undang-Undang Nomor7 Tahun 1989 Tentang peradilan Agama masih berlaku
sepanjang tidak dirubah dalam Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009. Undang-
Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang perubahan Kedua atas Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1989 Tentang peradilan Agama mempunyai andil besar dalam
kewenangan peradilan agama.
Dapat dipastikan suatu lembaga peradilan selalu mempunyai dua
kompetensi, yaitu kompetensi/kewenangan/kekuasaan absolut dan
kompetensi/kewenangan/kekuasaan relatif. Kekuasaan relatif diartikan sebagai
kekuasaan peradilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya
dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan (Basiq Djalil,
2006:138). Kekuasaan absolut yaitu kekuasaan pengadilan yang berhubungan
dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan dalam
perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan
pengadilan lainnya (Basiq Djalil, 2006:139). Perubahan dalam Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 50 Tahun
2009 Tentang perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989
Tentang peradilan Agama lebih banyak pada kewenangan absolut Pengadilan
Agama, yaitu kewenangan memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-
perkara : Perkawinan; Kewarisan; Wasiat; Hibah; Wakaf; Zakat; Infaq; Shadaqah
dan Ekonomi syariah. Kewenangan absolut inilah yang menjadi kekhususan bagi
Pengadilan Agama, bahwa hanya perkara tertentu yang mana para pihaknya
beragama Islam saja yang dapat diperiksa dan diputus di Pengadilan Agama.
Pada masa sekarang ini perceraian sudah dianggap wajar oleh masyarakat.
Perceraian dianggap sebagai suatu solusi yang terbaik untuk menyelesaikan
permasalahan dalam rumah tangga. Suami ataupun istri dapat mengajukan
permohonan cerai ke Pengadilan, baik pengadilan negeri maupun Pengadilan
Agama bagi yang beragama Islam. Sangatlah mudah bagi seseorang yang akan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
62
bercerai untuk mengajukan permohonan cerainya ke pengadilan. Kemudahan
inilah yang menjadi salah satu penyebab tingginya tingkat perceraian. Bahkan
permohonan cerai talak di Pengadilan Agama dapat diajukan oleh seorang yang
bukan beragama Islam. Ini yang kemudian menjadi pertanyaan banyak kalangan
dan juga penulis sendiri.
Penulis mendapati adanya permohonan cerai talak oleh pemohon Non-
muslim di pengadilan karanganyar dengan Nomor Perkara 208/ Pdt.G/ 2010/
Pa.Kra. Dalam memeriksa dan memutus perkara dengan pihak Non-muslim ini
tentu hakim harus mengacu pada ketentuan-ketentuan Hukum Acara Peradilan
Agama yang berlaku di Pengadilan Agama, karena Pengadilan Agama tidak lain
adalah pengadilan yang berlandaskan pada syariah Islam. Inilah yang menjadi
premis mayor yang akan penulis kaji, mengenai dasar kewenangan Peradilan
Agama dalam memutus permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon
Non-muslim. Kemudian dari permasalahan tersebut, penulis juga akan mengkaji
mengenai akibat putusan atas permohonan cerai talak dengan pemohon non-
muslim.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
63
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian yang Penulis laksanakan dengan mengkaji
putusan Nomor:1047/Pdt.G/2006/PA.Pbg yang dikeluarkan oleh Pengadilan
Agama karanganyar, maka Penulis kemukakan hal-hal berikut:
1. Dasar Kewenangan Pengadilan Agama dalam memutus Permohonan
Cerai Talak yang Diajukan Oleh Pemohon Non-Muslim
2. Akibat hukum putusan atas permohonan cerai talak yang diajukan
oleh pemohon non-muslim (studi putusan Nomor:
208/Pdt.G/2010/PA.Kra).
Sebelum kedua hal tersebut Penulis uraikan, maka perlu dikemukakan
terlebih dahulu data yang dimuat dalam permohonan cerai talak Nomor :
208/Pdt.G/2010/PA.Kra. yang diajukan ke Pengadilan Agama Karanganyar
yang Penulis sajikan serta Penulis bahas meliputi:
1. Permohonan Nomor : 208/Pdt.G/2010/PA.Kra..
2. Identitas para pihak
Pemohon : E.M, umur 32 tahun, agama Katolik, pekerjaan
Swasta, pendidikan SMP bertempat tinggal di
Dusun Perum Buran Blok C 16 RT.01 RW. 08,
Desa Buran, Kecamatan Tasikmadu, Kabupaten
Karanganyar;
Termohon : S.A, umur 30 tahun, agama Islam, pekerjaan
Tidak Bekerja, pendidikan SMP, bertempat
tinggal di Dusun Kra.nggansari, RT.01 RW.
03, Desa Pulosari, Kecamatan KebakKramat,
Kabupaten Karanganyar,;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
64
3. Posita:
Bahwa Pemohon telah melangsungkan perkawinan dengan
Termohon pada tanggal 03 Juni 1999, di hadapan Pegawai Pencatat
Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Tasikmadu Kabupaten
Karanganyar sebagaimana dalam Kutipan Akta Nikah nomor : 77/7
A/1/1 999 tanggal 03 Juni 1999 yang dikeluarkan oleh Kantor
Urusan Agama Kecamatan Tasikmadu Kabupaten Karanganyar
Pemohon jejaka Termohon perawan ;
Bahwa pada awal pernikahannya, Pemohon dengan
Termohon sudah pernah tinggal bersama di rumah orang tua
Pemohon selama 5 tahun kemudian di rumah orang tua Termohon
selama 1 tahun dan kemudian di rumah kontrakan selama 3 tahun
kemudian Termohon kerja di Bali 8 bulan baru pulang dan terakhir
dirumah kontrakan lagi 1 tahun dan sudah hidup rukun dan
hamonis (ba'da dukhul) dan sudah dikaruniai anak 2 orang bernama
D.K umur 10 tahun ; A.R umur 5 tahun ;
Bahwa sejak menikah sampai sekarang Pemohon dengan
Termohon belum pemah cerai
Bahwa keharmonisan rumah tangga Pemohon dengan
Termohon tersebut tidak dapat melawan , waktu pulang dari Bali
juga bawa laki laki lain sehingga sering terjadi perselisihan dan
pertengkaran kemudian Termohon pulang kerumah orang tuanya
sampai sekarang sudah 1 bulan ;
Bahwa puncak perselisihan dan pertengkaran antara
Pemohon dengan Termohon tersebut akibatnya terjadi pada bulan
Januari 2010 Termohon pergi meninggalkan tempat tinggal
bersama dan sudah pisah-pisahan atau pisah ranjang sampai
sekarang sudah 1 bulan ;
Bahwa selama pisah-pisahan atau pisah ranjang antara
Pemohon dengan Termohon sudah tidak berkomunikasi atau sudah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
65
tidak melaksanakan tugas dan kewajibannya masing-masing
sebagai suami isteri;
Bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, Pemohon
merasa sudah tidak ada harapan untuk rukun kembali dengan
Termohon lagi sebagai suami isteri sehingga perceraianlah
merupakan jaian yang terbaik ;
Bahwa apabila permohonan cerai ini dikabulkan, Pemohon
bersedia menanggung segala akibat hukum yang timbul dari
perceraian tersebut;
Bahwa berdasarkan hal-hal tersebut di atas, Pemohon mohon
agar Ketua Pengadilan Agama Karanganyar berkenan untuk
memeriksa perkara ini dan menjatuhkan putusan
4. Petitum
PRIMAIR :
a. Mengabulkan permohonan Pemohon ;
b. Menetapkan memberi ijin kepada Pemohon (EKO MULYO
SUMARDO bin DJUWARI) untuk menjatuhkan talak satu raj'i
terhadap Termohon (SANTI AYU EKO NINGSIH binti JONI
SANTOSO) di depan sidang Pengadilan Agama Karanganyar;
c. Membebankan biaya perkara ini menurut hukum yang berlaku ;
SUBSIDAIR ;
Jika Pengadilan Agama Karanganyar berpendapat lain
mohon memberikan putusan yang seadil-adilnya;
Kemudian juga dikemukakan data yang dimuat dalam putusan cerai talak
Nomor : 208/Pdt.G/2010/PA.Kra. yang dikeuarkan oleh Pengadilan Agama
Karanganyar meliputi:
1. Putusan Nomor : 208/Pdt.G/2010/PA.Kra.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
66
2. Para Pihak
a. Pemohon
E.M., umur 32 tahun, agama Katolik, pekerjaan Swasta,
pendidikan SMP bertempat tinggal di Dusun Perum Buran Blok
C 16 RT.01 RW. 08, Desa Buran, Kecamatan Tasikmadu,
Kabupaten Karanganyar.
b. Termohon
S.A., umur 30 tahun, agama Islam, pekerjaan Tidak Bekerja,
pendidikan SMP, bertempat tinggal di Dusun
Kra.nggansari, RT.01 RW. 03, Desa Pulosari,
Kecamatan KebakKra.mat, Kabupaten Karanganyar
3. Duduk Perkara
a. Bahwa Pemohon telah melangsungkan perkawinan dengan
Termohon pada tanggal 03 Juni 1999, di hadapan Pegawai Pencatat
Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Tasikmadu Kabupaten
Karanganyar sebagaimana dalam Kutipan Akta Nikah Nomor :
77/7 A/1/1 999 tanggal 03 Juni 1999 yang dikeluarkan oleh Kantor
Urusan Agama Kecamatan Tasikmadu Kabupaten Karanganyar
Pemohon jejaka Termohon perawan ;
b. Bahwa pada awal pernikahannya, Pemohon dengan Termohon
sudah pernah tinggal bersama di rumah orang tua Pemohon selama
5 tahun kemudian di rumah orang tua Termohon selama 1 tahun
dan kemudian di rumah kontrakan selama 3 tahun kemudian
Termohon kerja di Bali 8 bulan baru pulang dan terakhir dirumah
kontrakan lagi 1 tahun dan sudah hidup rukun dan hamonis (ba'da
dukhul) dan sudah dikaruniai anak 2 orang bernama D.K. umur 10
tahun ; A.R. umur 5 tahun ;
c. Bahwa sejak menikah sampai sekarang Pemohon dengan
Termohon belum pemah cerai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
67
d. Bahwa keharmonisan rumah tangga Pemohon dengan Termohon
tersebut tidak dapat melawan , waktu pulang dari Bali juga bawa
laki laki lain sehingga sering terjadi perselisihan dan pertengkaran
kemudian Termohon pulang kerumah orang tuanya sampai
sekarang sudah 1 bulan ;
e. Bahwa puncak perselisihan dan pertengkaran antara Pemohon
dengan Termohon tersebut akibatnya terjadi pada bulan Januari
2010 Termohon pergi meninggalkan tempat tinggal bersama dan
sudah pisah-pisahan atau pisah ranjang sampai sekarang sudah 1
bulan ;
f. Bahwa selama pisah-pisahan atau pisah ranjang antara Pemohon
dengan Termohon sudah tidak berkomunikasi atau sudah tidak
melaksanakan tugas dan kewajibannya masing-masing sebagai
suami isteri;
g. Bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, Pemohon merasa
sudah tidak ada harapan untuk rukun kembali dengan Termohon
lagi sebagai suami isteri sehingga perceraianlah merupakan jaian
yang terbaik ;
h. Bahwa apabila permohonan cerai ini dikabulkan, Pemohon
bersedia menanggung segala akibat hukum yang timbul dari
perceraian tersebut;
4. Tuntutan
PRIMAIR :
1. Mengabulkan permohonan Pemohon ;
2. Menetapkan memberi ijin kepada Pemohon (E.M) untuk
menjatuhkan talak satu raj'i terhadap Termohon (S.A) di depan
sidang Pengadilan Agama Karanganyar;
3. Membebankan biaya perkara ini menurut hukum yang berlaku ;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
68
SUBSIDAIR ;
Jika Pengadilan Agama Karanganyar berpendapat lain mohon
memberikan putusan yang seadil-adilnya.
5. Pertimbangan hakim
Menimbang bahwa Majelis telah berusaha mendamaikan
kedua belah pihak yang berperkara, sesuai dengan Pasal 31 Peraturan
Pemerintah Nomor: 9 tahun 1975, tetapi usaha tersebut tidak berhasil;
Menimbang bahwa sesuai dengan bukti P.2, maka berdasarkan
pada ketentuan Pasal 66 ayat 2 Undang-Undang Nomor: 7 tahun 1989,
jo Pasal 129 Kompilasi Hukum Islam, perkara ini adalah menjadi
kewenangan Pengadilan Agama Karanganyar;
Menimbang bahwa berdasarkan pengakuan Pemohon
dan Termohon serta sebagaimana ternyata pada bukti P.1, maka
sesuai dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam,
harus dinyatakan terbukti bahwa antara Pemohon dengan Termohon
telah terikat dalam perkawinan yang sah ;
Menimbang bahwa alasan Pemohon akan menjatuhkan
talaknya kepada Termohon adalah karena sering terjadi perselisihan
dan pertengkaran disebabkan Pemohon dan termohon sering terjadi
perselisihan dan pertengkaran karena termohon mempunyai senangan
pria lain akibatnya sudah pisah rumah selama 2 bulan ;
Menimbang bahwa dengan demikian Majelis berkesimpulan
bahwa antara Pemohon dengan Termohon sering terjadi perselisihan
dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga seperti telah ditentukan oleh Pasal 39 ayat (2) Undang-
UndangNomor: 1 tahun 1974, tentang Perkawinan ;
Menimbang bahwa oleh karena itu, Majelis berpendapat
bahwa alasan Pemohon akan mencerai Termohon telah memenuhi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
69
ketentuan Pasal 19 huruf f Peraturan Pemerintah Nomor: 9 tahun
1975, jo Pasal 116 huruf f Kompilasi Hukum Islam ;
Menimbang bahwa Majelis perlu mengetengahkan petunjuk
agama berdasarkan dalil Al Quran surat Al Baqoroh ayat 227 yang
berbunyi:
÷bÎ)ur (#qãBt“tã t,»n=©Ü9$#
¨bÎ*sù ©!$# ìì‹Ïÿxœ ÒOŠÎ=tæ
ÇËËÐÈ
Artinya "Dan jika mereka bera'zam (bertetap hati) untuk talak, maka
sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui";
Menimbang bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
tersebut di atas, maka permohonan Pemohon dapat dikabulkan ;
Menimbang bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 89 ayat (1)
Undang-Undang Nomor: 7 tahun 1989, maka segala biaya perkara ini
dibebankan kepada Pemohon ;
6. Putusan
————————————— MENGADILI —————————
1. Mengabulkan permohonan Pemohon ;- ————————————
2. Memfasakh perkawinan Pemohon (E.M) dan Termohon (S.A) ; ——
3. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara ini
sebesar Rp. 341.000,- (tiga ratus empat puluh satu ribu rupiah); ——
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
70
B. Pembahasan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dipaparkan oleh penulis, dapat
disusun pembahasan untuk menjawab permasalahan yang diteliti.
Pembahasan atas permasalahan yang diteliti, penulis uraikan sebagai berikut:
1. Dasar Kewenangan Pengadilan Agama dalam Memutus Permohonan
Cerai Talak yang Diajukan Oleh Pemohon Non-Muslim
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 dan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 50
Tahun 2009 tentang Peradilan Agama yang rumusannya sebagai berikut :
Pasal 2 : Peradilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
mengenai perkara tertentu yang diatur dalam Undang-Undang
ini.
Pasal 49 : Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang: a. perkawinan; b. waris; c. wasiat; d. hibah; e. wakaf; f. zakat; g. infaq; h. shadaqah; dan i. ekonomi syari'ah.
Menurut penjelasan atas Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009
tentang Peradilan Agama, yang dimaksud dari masing- masing kewenangan
tersebut ialah:
1. Huruf a, yang dimaksud dengan “perkawinan” adalah hal-hal yang diatur
dalam atau berdasarkan Undang-Undang mengenai perkawinan yang
berlaku yang dilakukan menurut syari’ah, antara lain:
a. izin beristri lebih dari seorang;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
71
b. izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21
(dua puluh satu) tahun, dalam hal orang tua wali, atau keluarga
dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
c. dispensasi kawin;
d. pencegahan perkawinan;
e. penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
f. pembatalan perkawinan;
g. gugatan kelalaian atas kewajiban suami dan istri;
h. perceraian karena talak;
i. gugatan perceraian;
j. penyelesaian harta bersama;
k. penguasaan anak-anak;
l. ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak
bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawab tidak
mematuhinya,
m. penentuan kewajiban memberi biaya penghidupan oleh suami
kepada bekas istri atau penentuan suatu kewajiban bagi bekas istri;
n. putusan tentang sah tidaknya seorang anak;
o. putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
p. pencabutan kekuasaan wali;
q. penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal
kekuasaan seorang wali dicabut;
r. penunjukan seorang wali dalam hal seorang anak yang belum cukup
umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya;
s. pembebanan kewajiban ganti kerugian atas harta benda anak yang
ada di bawah kekuasaannya;
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
72
t. penetapan asal-usul seorang anak dan penetapan pengangkatan anak
berdasarkan hukum Islam;
u. putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk
melakukan perkawinan campuran;
v. pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan
dijalankan menurut peraturan yang lain.
2. Huruf b, yang dimaksud dengan “waris” adalah penentuan siapa yang
menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan
bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta
peninggalan tersebut, serta penetapan pengadilan atas permohonan
seseorang tentang penentuan siapa yang menjadi ahli waris, penentuan
bagian masing-masing ahli waris.
3. Huruf c, yang dimaksud dengan “wasiat” adalah perbuatan seseorang
memberikan suatu benda atau manfaat kepada orang lain atau
lembaga/badan hukum, yang berlaku setelah yang memberi tersebut
meninggal dunia.
4. Huruf d, yang dimaksud dengan "hibah" adalah pemberian suatu benda
secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang atau badan hukum kepada
orang lain atau badan hukum untuk dimiliki.
5. Huruf e, yang dimaksud dengan "wakaf" adalah perbuatan seseorang atau
sekelompok orang (wakif) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk
jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah
dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.
6. Huruf f, yang dimaksud dengan "zakat" adalah harta yang wajib disisihkan
oleh seorang muslim atau badan hukum yang dimiliki oleh orang muslim
sesuai dengan ketentuan syari’ah untuk diberikan kepada yang berhak
menerimanya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
73
7. Huruf g, yang dimaksud dengan “infaq” adalah perbuatan seseorang
memberikan sesuatu kepada orang lain guna menutupi kebutuhan, baik
berupa makanan, minuman, mendermakan, memberikan rezeki (karunia),
atau menafkahkan sesuatu kepada orang lain berdasarkan rasa ikhlas, dan
karena Allah Subhanahu Wata’ala.
8. Huruf h, yang dimaksud dengan “shadaqah” adalah perbuatan seseorang
memberikan sesuatu kepada orang lain atau lembaga/badan hukum secara
spontan dan sukarela tanpa dibatasi oleh waktu dan jumlah tertentu dengan
mengharap ridho Allah Subhanahu Wata’ala dan pahala semata.
9. Huruf i, yang dimaksud dengan “ekonomi syari’ah” adalah perbuatan atau
kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari’ah, antara lain
meliputi:
a. bank syari’ah;
b. lembaga keuangan mikro syari’ah.
c. asuransi syari’ah;
d. reasuransi syari’ah;
e. reksa dana syari’ah;
f. obligasi syari’ah dan surat berharga berjangka menengah syari’ah;
g. sekuritas syari’ah;
h. pembiayaan syari’ah;
i. pegadaian syari’ah;
j. dana pensiun lembaga keuangan syari’ah; dan
k. bisnis syari’ah.
Di dalam melaksanakan segala tugas dan kewenangannya yang telah
disebutkan, Pengadilan Agama berpijak pada berbagai asas yang
dimilikinya, antara lain: ( Taufiq Hamami, 2003: 97-104).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
74
1. Asas Personalitas ke-Islaman Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama hanya berwenang melayani penyelesaian perkara tertentu dari rakyat Indonesia yang beragama Islam, ini sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama yaitu “Peradilan Agama adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara tertentu sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini. Sedangkan perkara yang bisa diselesaikan adalah perkara yang tercantum dalam Pasal 49 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama. Ini mengandung makna bahwa yang tunduk dan dapat ditundukkan kepada kekuasaan lingkungan Peradilan Agama hanyalah mereka yang mengaku sebagai pemeluk agama Islam.
2. Asas Kebebasan
Kebebasan yang dimaksud adalah tidak ada pihak lain yang boleh ikut campur tangan dalam penanganan suatu perkara di pengadilan/ Majelis Hakim. Asas ini berlaku bagi semua badan peradilan. Tujuan dari adanya asas kebebasan ini adalah: (Yahya Harahap, 2003:59)
a. Agar hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dapat ditegakkan,
b. Agar benar-benar diselenggarakan kehidupan bernegara berdasar hukum, karena negara Republik Indonesia adalah negara hukum (Recht Staat).
3. Asas tidak boleh menolak perkara dengan alasan hukum tidak jelas
Dalam hal ini hakim dianggap memahami hukum, sehingga hakim tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan hukumnya tidak jelas atau bahkan tidak ada hukumnya. Hakim harus menggali hukum, baik melalui hukum tidak tertulis maupun yurisprudensi atau putusan hakim terdahulu untuk perkara yang serupa.
4. Asas wajib mendamaikan
Hukum Islam mengutamakan penyelesaian perselisihan secara damai terlebih dahulu sebelum adanya putusan pengadilan, karena selalu ada pihak yang dikalahkan dalam putusan pengadilan. Asas ini diatur dalam Pasal 65 dan Pasal 82 Undang-Undang Pengadilan Agama.
5. Asas sederhana, cepat dan biaya ringan
Dalam hal ini yang dimaksud peradilan sederhana, cepat adalah pemeriksaan yang tidak berbelit-belit yang menyebabkan proses sampai bertahun-tahun, cukup diselesaikan selambat-lambatnya enam bulan. Sedangkan biaya ringan,maksudnya biaya yang sudah jelas dan pasti peruntukannya tanpa ada biaya tambahan sehingga biaya berperkara tidak membengkak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
75
6. Asas mengadili menurut hukum dan persamaan hak
Pasal 58 Undang-Undang Pengadilan agama merumuskan “Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang”. Asas ini disebut juga legalitas dan equality. Legalitas adalah pengadilan mengadili menurut hukum, sehingga hakim tidak boleh bertindak di luar hukum. Equality maksudnya adalah persamaan hak dan kedudukan bagi setiap orang yang datang di hadapan sidang.
7. Asas persidangan terbuka untuk umum
Pasal 59 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama menggariskan bahwa setiap persidangan harus dalam keadaan terbuka untuk umum kecuali jika Undang-Undang menentukan lain seperti dalam pemeriksaan perkara perceraian atau jika hakim dengan alasan-alasan penting memerintahkan bahwa pemeriksaan perkara sebagian atau seluruhnya dilakukan dalam persidangan tertutup.
8. Asas aktif memberi bantuan
Pengadilan harus membantu secara aktif kepada para pencarai keadilan dan berusaha sungguh-sungguh mengatasi segala hambatan demi tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.
9. Asas peradilan dilakukan dengan cara Hakim Majelis
Proses pemeriksaan perkara harus dilakukan oleh Majelis hakim. Majelis sekurang-kurangnya tiga orang yang terdiri dari satu Ketua Majelis dan dua anggota Majelis.
Berdasarkan kedua Pasal yang telah disebutkan diatas, yaitu
Pasal 2 dan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang
Peradilan Agama, kemudian dihubungkan dengan asas-asas yang ada
terutama asas personalitas ke-Islaman, dapat dilihat bahwa asas
personalitas ke-Islaman ini menjadi sangat penting karena terkait dengan
kewenangan peradilan agama. Asas personalitas ke-Islaman adalah asas
utama yang melekat pada Undang-Undang Peradilan Agama yang
mempunyai makna bahwa pihak yang tunduk dan dapat ditundukkan pada
kekuasaan di lingkungan peradilan agama hanyalah mereka yang
beragama Islam. Ke-Islaman seseoranglah yang menjadi dasar
kewenangan pengadilan di lingkungan peradilan agama. Seorang penganut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
76
agama selain Islam tidak tunduk dan tidak dapat dipaksakan untuk tunduk
pada kekuasaan peradilan agama.
Asas personalitas ke-Islaman ini hanya bersifat khusus sepanjang
bidang perkaranya diatur dalam Undang-Undang Peradilan Agama.
Dengan demikian asas ini dapat dimaknai dengan penegasan sebagai
berikut:
1. Pihak-pihak yang berperkara harus sama-sama beragama Islam.
Jika salah satu pihak tidak beragama Islam, maka sengketanya tidak dapat ditundukkan kepada lingkungan Peradilan Agama, melainkan tunduk kepada kewenangan Peradilan Umum.
2. Perkara yang disengketakan terbatas mengenai perkara bidang tertentu yaitu bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, shadaqah dan ekonomi syari’ah.
3. Hubungan hukum yang melandasi perkara tertentu tersebut berdasarkan hukum Islam.
Jika hubungan hukum yang terjadi bukan berdasar hukum Islam, maka sengketa tersebut tidak tunduk menjadi kewenangan peradilan agama, tapi jatuh menjadi kewenangan pengadilan Negeri. (Yahya harahap, 2003: 56-57).
Ada dua patokan terkait penerapan asas personalitas ke-Islaman ini
yaitu patokan umum dan patokan saat terjadi hubungan hukum. Patokan
umum berarti apabila seseorang telah mengaku beragama Islam yang
faktanya dibuktikan dengan identitas formal maka pada dirinya melekat
asas personalitas ke-Islaman. Patokan yang kedua, yaitu patokan saat
terjadinya hubungan hukum ditentukan dengan dua syarat yaitu:
1. Pada saat terjadi hubungan hukum kedua belah pihak sama-sama
beragama Islam. Seperti halnya pada patokan umum tadi,
pembuktian atas ke-Islaman seseorang adalah dengan identitas
formal bahwa yang bersangkutan memang benar beragama Islam
tanpa mempersoalkan kualitas ke-Islamannya.
2. Hubungan hukum yang dilaksanakan oleh para pihak didasarkan
pada Hukum Islam. Ini mengandung makna, bahwa kedua belah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
77
pihak secara suka rela tunduk dan atau menundukkan diri pada
Hukum Islam
Apabila kedua syarat ini terpenuhi maka pada kedua pihak melekat
asas personalitas ke-Islaman, dan sengketa yang terjadi diantara para pihak
menjadi kewenangan Pengadilan agama. Untuk masalah perpindahan
agama, misalkan para pihak atau salah satu pihak berganti agama dan tidak
lagi beragama Islam setelah di kemudian hari maka tetap melekat asas ini.
Hal ini sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung tanggal 31 Agustus
1983 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Tinggi Ujung Pandang,
bahwa yang dipergunakan sebagai dasar berwenang atau tidaknya
pengadilan agama adalah hukum yang berlaku pada waktu pernikahan
dilangsungkan. Ini berarti seseorang yang melaksanakan pernikahan
menggunakan hukum Islam, perkaranya tetap menjadi wewenang
pengadilan agama meskipun salah satu pihak tidak beragama Islam lagi
(Yahya harahap, 2003: 58).
Pengadilan Agama hanya melayani penyelesaian perkara tertentu bagi
rakyat Indonesia yang beragama Islam. Bagi umat agama lain tidak dapat
dilayani oleh pengadilan agama karena tempat penyelesaian
perselisihannya adalah wewenang pengadilan di lingkungan badan
peradilan umum (Pengadilan Negeri), namun dalam penjelasan Pasal 49
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama, yang
dimaksud dengan "antara orang-orang yang beragama Islam" adalah
termasuk orang atau badan hukum yang dengan sendirinya menundukkan
diri dengan sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi
kewenangan Peradilan Agama sesuai dengan ketentuan Pasal ini.
Terkait dengan perkara perceraian di pengadilan agama, terutama
cerai talak oleh suami non-muslim juga berlaku dalil yang sudah
dijelaskan tersebut. Pengadilan agama berwenang menerima, memeriksa
dan mengadili perkara cerai talak dengan pemohon non-muslim sepanjang
para pihak menundukkan diri dengan sukarela kepada Hukum Islam, ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
78
sesuai dengan penjelasan Pasal 49 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006
tentang Peradilan Agama.
Hal ini bila kita terapkan dalam kasus cerai talak Nomor
208/Pdt.G/2010/PA.Kra. di Pengadilan Agama Karanganyar dengan
Pemohon EM yang beragama katolik, maka juga berlaku dalil yang sama.
Permohonan cerai talak EM dapat diterima oleh Pengadilan Agama
Karanganyar karena, kedua belah pihak dengan sendirinya menundukkan
diri secara sukarela kepada hukum Islam mengenai hal-hal yang menjadi
kewenangan Peradilan Agama, terkait permohonan perceraian atas ikatan
perkawinan kedua pihak. Alasan lainnya adalah hubungan hukum dalam
perkawinan antara EM dengan istrinya yaitu SA adalah menggunakan
Hukum Perdata Islam. Hal ini dapat dilihat dalam duduk perkara
permohonan, bahwa Pemohon telah melangsungkan perkawinan dengan
Termohon pada tanggal 03 Juni 1999, di hadapan Pegawai Pencatat Nikah
Kantor Urusan Agama Kecamatan Tasikmadu Kabupaten Karanganyar
sebagaimana dalam Kutipan Akta Nikah Nomor : 77/7 A/1/1 999 tanggal
03 Juni 1999 yang dikeluarkan oleh Kantor Urusan Agama Kecamatan
Tasikmadu Kabupaten Karanganyar Pemohon jejaka Termohon perawan.
Ini membuktikan bahwa ikatan perkawinan antara Pemohon dan
Termohon menggunakan Hukum Islam dan telah disahkan oleh Kantor
Urusan Agama Tasikmadu sebagai lembaga pengesahan Perkawinan
Islam. Namun di kemudian hari ternyata ada salah satu pihak yang
berpindah agama menjadi non-muslim, sesuai pengakuan Pemohon yang
menyatakan di dalam permohonan bahwa dirinya beragama Katolik.
Konsekuensi logis dari hal tersebut adalah keduanya tetap tunduk dan
dapat dipaksakan untuk ditundukkan kepada lingkungan peradilan agama
karena Hukum perikatan yang digunakan pada saat perkawinannya adalah
Hukum Islam. Merupakan hal yang benar jika pengajuan permohonan
cerai talak tersebut diajukan ke Pengadilan Agama.
Dalam bidang perkawinan terutama untuk perkara perceraian, apabila
pihak yang berinisiatif mengajukan perceraian dari pihak suami atau talak,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
79
yang berwenang untuk mengadili adalah Pengadilan Agama yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman istri kecuali dalam hal pihak istri
dengan sengaja meninggalkan tempat tinggal bersama tanpa izin suami.
Ketentuan ini terdapat dalam Undang-Undang Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1989 Pasal 66. Dalam hal istri bertempat tinggal di luar negeri,
maka yang berwenang atas perkara tersebut adalah pengadilan agam yang
wilayah hukumnya meliputi tempat kediaman suami. Dan jika keduanya
bertempat tinggal di luar negeri maka yang berwenang adalah Pengadilan
Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan pernikahan
mereka atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat (Taufiq Hamami, 2003: 117-
118).
Untuk perceraian yang inisiatif perceraiannya dari istri, Pengadilan
Agama yang berwenang adalah Pengadilan Agama yang wilayah
hukumnya meliputi tempat kediaman istri kecuali apabila pihak istri
dengan sengaja meninggalkan tempat kediaman bersama tanpa izin suami.
Dalam hal istri tinggal di luar negeri maka yang berwenang adalah
Pengadilan Agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat kediaman
suami. Apabila keduanya bertempat tinggal di luar negeri, maka yang
berwenang adalah Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi
tempat pelaksanaan pernikahan atau Pengadilan Agama Jakarta Pusat. Ini
tertuang dalam Pasal 73 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989. (Taufiq
Hamami, 2003: 118).
Sesuai penjelasan tersebut, maka kewenangan relatifnya dalam kasus
cerai talak Nomor 208/Pdt.G/2010/PA.Kra. tersebut adalah Pengadilan
Agama Karanganyar yang membawahi wilayah hukum dari kedua pihak.
Tidak salah jika permohonan cerai tersebut diajukan ke Pengadilan Agama
Karanganyar karena kedua pihak bertempat tinggal di wilayah hukum
Karanganyar, dan bahkan tempat menikah juga berada di Kantor Urusan
Agama Tasikmadu Karanganyar. Jadi merupakan kewenangan Pengadilan
Agama Karanganyar dalam menerima, memeriksa dan memutus
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
80
permohonan cerai talak dengan pemohon EM atas SA, karena permohonan
tersebut memenuhi asas personalitas ke-Islaman yang dianut oleh
Pengadilan Agama.
B. Akibat hukum putusan atas permohonan cerai talak yang diajukan oleh
pemohon non-muslim (studi putusan nomor 208/Pdt.G/2010/PA.Kra).
Berdasarkan hasil penelitian yang Penulis laksanakan dengan mengkaji
putusan Nomor: 208/Pdt.G/2010/PA.Kra. yang dikeluarkan oleh Pengadilan
Agama Karanganyar maka Penulis kemukakan terlebih dahulu mengenai
perbedaan cerai talak yang diajukan oleh suami non-muslim dan suami
muslim:
1. Alasan-alasan untuk dilakukannya perceraian talak oleh suami muslim dan
non-muslim sama saja, seperti yang telah ditentukan dalam Dalam
penjelasan Pasal 39 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, Pasal 51 dan 116 Kompilasi Hukum Islam
disebutkan mengenai alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar untuk
perceraian yang dapat dijadikan sebagai fundamentum petendi dalam
permohonan. Alasan-alasan perceraian tersebut antara lain:
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat,
penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun
berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah
atau karena hal lain diluar kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara lima tahun atau
hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat
yang membahayakan pihak yang lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
81
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan
akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami
atau istri.
f. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan
pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga.
g. Suami melanggar taklik talak.
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga.
Dalam kasus cerai talak yang penulis teliti, yaitu cerai talak Nomor
208/Pdt.G/2010/PA.Kra., dalam permohonan yang dibuat oleh E.M alasan
utama yang menyebabkan bercerai adalah perselingkuhan yang dilakukan
termohon/ S.A dengan pria lain, sehingga hal ini menimbulkan
perselisihan dan pertengkaran serta tidak ada harapan akan hidup rukun
lagi dalam rumah tangga. Alasan ini sesuai dengan huruf f, dan menjadi
alasan dapat diterimanya permohonan cerai talak tersebut karena alasan
perceraian dalam permohonan merupakan salah satu dari alasan perceraian
yang diatur dalam Pasal 51 KHI.
2. Rumusan diktum putusan antara permohonan cerai talak dengan pemohon
muslim berbeda dengan pemohon non-muslim.
Apabila permohonan cerai talak oleh suami muslim dikabulkan
oleh pengadilan, maka rumusan diktum penetapannya adalah sebagai
berikut:
————————————MENETAPKAN ————————
1. Mengabulkan permohonan Pemohon ;- ———————————
2. Memberikan izin kepada Pemohon ........................ untuk
mengucapkan ikrar talak atas Termohon ................................. di
hadapan sidang Pengadilan Agama ....................................... ; ——
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
82
3. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara ini
sebesar ........................................................................................; —
Sedangkan untuk permohonan cerai talak oleh pemohon non-muslim
diktum putusannya sebagai berikut:
———————————— MENETAPKAN————————
1. Mengabulkan permohonan Pemohon ;- ———————————
2. Memfasakh perkawinan Pemohon ...................................... dan
Termohon ...................................................... ; ————————
3. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara ini
sebesar .................................................................; ———————
Atau
———————————— MENETAPKAN————————
1. Mengabulkan permohonan Pemohon ;- ———————————
2. Memutuskan menceraikan perkawinan antara Pemohon
............................ dengan Termohon ...................................dengan
Talak Ba’in ; —————————————————————
3. Membebankan kepada Pemohon untuk membayar biaya perkara ini
sebesar .................................................................; ———————
Ada dua jenis putusan dalam cerai talak oleh pemohon non-muslim,
yaitu Fasakh dan Talak Ba’in. Untuk putusan Fasakh ini dijatuhkan
apabila alasan perceraian adalah riddah/ beralih agama, yang dahulu
beragama Islam sewaktu terjadinya perkawinan, namun kemudian beralih
agama menjadi non-muslim. Dalam Kitab Tanwirul Qulub disebutkan
bahwa seseorang yang telah beralih agama dari Islam, maka batallah
puasanya, tayamumnya dan nikahnya, baik qabla atau pun ba’da dhukul
(sebelum atau sesudah hubungan intim). Dalam kitab Fiqhusunnah juz II
halaman 314, apabila salah seorang diantara suami atau isteri murtad
(keluar dari agama Islam) dan tidak kembali lagi menganut agam Islam,
maka aqad (nikah) nya difasakhkan dengan sebab murtadnya dengan tiba-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
83
tiba tersebut. Namun jika alasan perceraian bukan karena pindah agama,
maka Majelis Hakim akan memutus perkawinan para pihak dengan Talak
Ba’in yaitu talak yang tidak memungkinkan suami rujuk kepada bekas
istri, kecuali dengan melakukan akad nikah baru. Meskipun salah satu atau
kedua pihak telah beralih agama menjadi non-muslim, tetapi pindah
agamanya tersebut bukan menjadi penyebab perceraian.
Hal ini berbeda dengan diktum putusan cerai talak oleh pemohon
muslim. Pada putusan cerai talak dengan pemohon muslim, Majelis Hakim
hanya memberi izin kepada suami untuk mengucapkan ikrar talak di muka
sidang pengadilan. Dalam hukum perkawinan Islam, suami dianggap
sebagai pemengang tali perkawinan, sehingga apabila suami ingin
mengakhiri tali perkawinan, maka suami cukup mengucapkan ikrar talak
yaitu ucapan suami dengan lafaz thalaq yang berarti mengakhiri hubungan
perkawinan yang terjadi selama ini.
Dalam kasus yang telah penulis teliti, yaitu cerai talak Nomor:
208/Pdt.G/2010/PA.Kra., diktum putusannya adalah memfasakh
perkawinan antara pemohon dan termohon. Hal ini berarti alasan
perceraian tersebut adalah riddah/ beralih agama, yang dulunya beragama
Islam sewaktu terjadinya perkawinan, namun kemudian beralih agama
menjadi non-muslim. Dalam gugatannya memang pemohon mengaku telah
beragama katolik dan termohon beragama Islam. Namun dalam duduk
perkara gugatan tidak disebutkan bahwa alasan perceraiannya adalah
karena salah satu telah pindah agama, melainkan karena perselingkuhan
dan pertengkaran yang sudah tidak dapat dirukunkan kembali.
Dari alasan-alasan dalam permohonan, tidak satupun yang
menyebutkan tentang peralihan agama yang dapat menyebabkan
perceraian. Ini berarti putusan dari Majelis Hakim ini berbeda dengan teori
hukum Islam yang ada. Perbedaan ini terjadi karena Majelis tetap
berpendapat bahwa apapun alasan perceraian yang terjadi namun jika salah
satu atau kedua pihak sudah riddah maka putusan tersebut adalah fasakh.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
84
Dalam praktek peradilan agama di Indonesia, terutama seperti yang
tertuang dalam Buku Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan
Agama yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung RI, cerai talak yang
diajukan suami non-muslim yang sudah riddah produk hukumnya bukan
memberikan ijin kepada suami untuk ikrar talak, melainkan talak
dijatuhkan oleh Pengadilan Agama dalam bentuk putusan. Masih dalam
buku yang sama, diatur juga mengenai keseragaman amar putusan cerai
talak yang diajukan oleh suami non-muslim berbunyi:
“ Menjatuhkan talak satu bain shugra antara Pemohon
(......................) dengan Termohon (.............................)”
(Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama, 2009: 218).
Talak Ba’in Shugra (Pasal 119 Kompilasi Hukum Islam) yaitu talak
satu atau dua yang dijatuhkan kepada istri yang belum pernah dikumpuli,
talak satu atau dua yang dijatuhkan atas permintaan istri dengan
pembayaran uang tebusan (iwad) atau talak satu atau dua yang dijatuhkan
kepada istri yang pernah dikumpuli bukan atas permintaannya dan tanpa
pembayaran iwad setelah habis masa iddahnya, atau talak yang dijatuhkan
oleh Pengadilan Agama
4. Akibat hukum dari putusan cerai talak.
Apabila putusan hakim adalah fasakh, maka akibat hukum yang timbul
dari putusnya perkawinan karena fasakh adalah suami tidak boleh
melakukan rujuk terhadap mantan istrinya. Apabila antara mantan suami
dan isteri tersebut berkeinginan untuk hidup kembali sebagai suami-istri.
Mereka harus melakukan akad nikah baru. Dengan memperhatikan syarat
sahnya perkawinan yang ada dalam Undang-Undang Perkawinan Pasal 2,
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu serta Tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
85
mengandung makna bahwa untuk melaksanakan perkawinan yang baru
kedua pihak harus beragama sama, ini dimungkinkan jika suami kembali
memeluk agama Islam, sehingga dapat dilakukan akad nikah yang baru
secara Islam.
Apabila putusan hakim adalah Talak ba’in, maka tidak dimungkinkan
suami rujuk kepada bekas istri, kecuali dengan melakukan akad nikah
baru. Talak ba’in dibedakan menjadi dua macam yaitu:
a. Talak Ba’in Shugra (Pasal 119 Kompilasi Hukum Islam)
Yaitu talak satu atau dua yang dijatuhkan kepada istri yang belum
pernah dikumpuli, talak satu atau dua yang dijatuhkan atas
permintaan istri dengan pembayaran uang tebusan (iwad) atau talak
satu atau dua yang dijatuhkan kepada istri yang pernah dikumpuli
bukan atas permintaannya dan tanpa pembayaran iwad setelah
habis masa iddahnya, atau talak yang dijatuhkan oleh Pengadilan
Agama.
b. Talak Ba’in Kubra (Pasal 120 Kompilasi Hukum Islam)
Yaitu talak yang telah dijatuhkan untuk ketiga kalinya.talak jenis
ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan kembali, kecuali
apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas istri menikah
dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da al
dhukhul dan habis masa iddahnya.
Dalam kasus yang telah penulis teliti, yaitu cerai talak Nomor:
208/Pdt.G/2010/PA.Kra., diktum putusannya adalah memfasakh
perkawinan antara pemohon dan termohon. Dalam hal ini, perkawinan
tersebut dianggap tidak memenuhi rukun dan syarat atau terdapat halangan
perkawinan yang tidak membenarkan dilangsungkannya perkawinan
tersebut maka perkawinan tersebut dinyatakan batal. Perkawinan tersebut
menjadi batal karena salah satu atau kedua pihak murtad dari agama Islam
Batal adalah rusaknya hukum yang ditetapkan terhadap suatu amalan
seseorang, karena tidak memenuhi syarat dan rukunnya yang telah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
86
ditetapkan oleh syarak. Batalnya perkawinan adalah rusak atau tidak
sahnya perkawinan karena tidak memenuhi salah satu syarat atau
diharamkan oleh agama. Batalnya perkawinan atau putusnya perkawinan
diseebut juga dengan fasakh. Fasakh artinya putus Tu batal. Maksud dari
fasakh nikah adalah memutuskan atau membatalkan hubungan antara
suami isteri.
Fasakh bisa terjadi karena tidak terpenuhinya syarat-syarat ketika
berlangsung akad nikah, atau karena ha;-hal lain yang datang kemudian
dan membatalkan kelangsungan perkawinan.
1. Fasakh (batalnya perkawinan) karena syarat-syarat yang tidak terpenuhi
pada saat akad nikah :
a. Setelah akad nikah, ternyata diketahui bahwa istrinya adalah saudara
kandung atau saudara sesusuan pihak suami.
b. Suami isteri masih kecil, dan diadakannya akad nikah oleh selain
ayah atau datuknya, kemudian setelah dewasa, ia berhak meneruskan
ikatan perkawinannya yang dahulu atau mengakhirinya. Cara seperti
ini disebut khiyar balig. Jika yang dipilih adalah mengakhiri ikatan
suami isteri, maka hal ini disebut fasakh balig.
2. Fasakh karena hal-hal yang datang setelah akad :
a. Bila salah seorang suami atau isteri murtad atau keluar dari agama
Islam dan tidak mau kembali sama sekali, maka akadnya batal
(fasakh) karena kemurtadan yang terjadi belakangan.
b. Jika suami, yang tadinya kafir kemudian masuk Islam namun
isterinya masih tetap dalam kekafirannya, yaitu tetap musyrik, maka
akadnya batal (fasakh). Hal ini berbeda jika si isteri adalah seorang
ahli kitab, maka akadnya tetap sah seperti semula sebab
perkawinannya diapandang sah sejak semula.
Pisahnya suami isteri karena fasakh berbeda dengan pisahnya
karena talak, baik talak raj’i maupun talak ba’in. Talak raj’i tidak
mengakhiri ikatan suami isteri dengan seketika, sedangkan talak ba’in
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
87
mengakhiri ikatan suami isteri seketika itu juga. Adapaun fasakh, baik
karena hal-hal yang terjadi belakangan maupun karena syarat-syarat yang
tidak terpenuhi, fasakh mengakhiri perkawinan seketika itu juga.
Selain itu, pisahnya suami isteri karena talak dapat mengurangi
bilangan talak. Jika suami mentalak istrinya dengan talak raj’i, lalu rujuk
lagi diwaktu iddahnya, maka perbuatannya dihitung satu kali talak dan ia
masih ada kesempatan talak lagi. Jika karena fasakh, maka hal tersebut
tidak berarti mengurangi sisa talak istri karena fasakh, misalnya apabila
terjadinya fasakh karena khiyar balig, kemudian suami isteri tersebut
kawin dengan akad baru lagi, maka suami tetap punya kesempataan tiga
kali talak.
Sebab-sebab batalnya perkawinan dan permohonan pembatalan
perkawinan di Indonesia, diatur dalam Kompilasi Hukum Islam secara
rinci yaitu sebagai berikut :
Pasal 70 Perkawinan batal apabila: a. suami melakukan perkawinan, sedangkan ia tidak berhak melakukan
akad nikah karena sudah mempunyai empat orang istri, sekalipun salah satu dari keempat istrinya itu dalam iddah talak raj‘i;
b. seseorang menikahi bekas istrinya yang telah dili‘annya; c. seseorang menikahi bekas istrinya yang pernah dijatuhi tiga kali talak
olehnya, kecuali bila bekas istri tersebut pernah menikah dengan pria lain yang kemudian bercerai lagi ba‘da ad-dukhul dari pria tersebut dan telah habis masa iddah-nya;
d. perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda, dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut Pasal 8 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu: 1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke
atas; 2. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara
saudara, antara seorang dengan saudara orang tua, dan antara seorang dengan saudara neneknya;
3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu, dan ibu atau ayah tiri;
4. berhubungan sesusuan, yaitu orang tua sesusuan, anak sesusuan, saudara sesusuan, dan bibi atau paman sesusuan;
e. istri adalah saudara kandung atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri atau istri-istrinya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
88
Pasal 72
(1) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum.
(2) Seorang suami atau istri dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan apabila pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi penipuan atau salah sangka mengenai diri suami atau istri;
(3) Apabila ancaman telah berhenti, atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami-istri, dan tidak menggunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Pasal 73 Yang dapat mengajukan permohonan pembatalan perkawinan adalah: a. para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah dari
suami atau istri; b. suami atau istri; c. pejabat yang berwenang mengawasi pelaksanaan perkawinan menurut
undangundang; d. para pihak yang berkepentingan yang mengetahui adanya cacat dalam
rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islam dan peraturan perundangundangan sebagaimana tersebut dalam Pasal 67.
Pasal 74 (1) Permohonan pembatalan perkawinan dapat diajukan kepada
Pengadilan Agama yang mewilayahi tempat tinggal suami atau istri atau tempat perkawinan dilangsungkan.
(2) Batalnya suatu perkawinan dimulai setelah putusan Pengadilan Agama mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
Pasal 75 Keputusan pembatalan perkawinan tidak berlaku surut terhadap:
a. perkawinan yang batal karena salah satu dari suami atau istri murtad; b. anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut; c. pihak ketiga sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan beriktikad
baik, sebelum keputusan pembatalan perkawinan mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Pasal 76 Batalnya suatu perkawinan tidak akan memutuskan hubungan hukum antara anak dengan orang tuanya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
89
Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 149 disebutkan bahwa akibat
talak ada empat yaitu:
a. Memberikan mut’ah yang layak kepada bekas istrinya, baik berupa
uang atau benda, kecuali bekas istri tersebut qabla ad-dukhu;l
b. Memberi nafkah, maskan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam
iddah, kecuali bekas istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan
dalam keadaan tidak hamil;
c. Melunasi mahar yang masih terhutang seluruhnya atau separuh
apabila qabla ad-dukhul;
d. Memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum
mencapai umur 21 tahun.
Dalam hal isteri menuntut, baik perceraian dengan suami muslim atau
pun non-muslim berlaku akibat hukum yang sama seperti dalam Pasal
tersebut. Namun ada pendapat lain yang menyebutkan bahwa akibat
hukum antara cerai talak dengan pemohon muslim berbeda dengan cerai
talak dengan pemohon non muslim, terutama dalam hal penentuan saat
kapan perkawinan menjadi putus.
a. Waktu Putusnya Perkawinan
1) Dalam perkara cerai talak dengan pemohon muslim, sekalipun
putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap namun
perkawinan belum putus secara otomatis. Putusnya perkawinan
adalah setelah suami mengucapkan ikrar talak di muka sidang
pengadilan. Selama suami belum mengucapkan ikrar talak maka
perkawinan belum putus meskipun telah ada putusan yang
berkekuatan hukum tetap. Dalam pengucapan ikrar talak ini,
Majelis hakim Pengadilan Agama hanya mempunyai
kewenangan secara ex officio untuk memanggil pemohon dan
termohon masing-masing satu kali. Apabila setelah panggilan
ini yang dilakukan dengan sah dan patut pemohon tidak datang
maka tidak ada kewajiban bagi Majelis untuk memanggil
pemohon untuk kedua kalinya guna pengucapan ikrar talak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
90
Pemohon yang tidak bisa hadir, dapat mengirimkan wakilnya
untuk mengucapkan ikrar talak di hadapan sidang pengadilan
sekalipun tidak dihadiri termohon atau wakilnya. Bila dalam
waktu enam bulan sejak ditetapkan hari sidang penyaksian ikrar
talak, suami atau wakilnya tidak datang meskipun telah
mendapat panggilan secara sah dan patut, maka gugurlah
kekuatan penetapan tersebut dan perceraian tidak dapat diajukan
lagi berdasarkan alasan yang sama (Pasal 70 ayat (6) UU Nomor
& tahun 1989).
Sejak diucapkannya ikrar talak itulah cerai talak dianggap
telah terjadi dan perkawinan antara pemohon dan termohon
telah putus dengan segala akibatnya. Jadi cerai talak belum sah
bila baru berupa putusan hakim saja, yang mana ikatan
perkawinan antara pemohon dan termohon secara hukum masih
tetap utuh dan belum putus.
2) Untuk perkara cerai talak dengan pemohon non muslim, dalam
amar putusan tidak dicantumkan perintah atau kata-kata untuk
mengucapkan ikrar talak, yang ada hanyalah pernyataan bahwa
perkawinan di fasakh ataupun pengadilan agama menjatuhkan
putusan menceraikan perkawinan antara pemohon dan termohon
dengan talak ba’in. Dalam hal pemohon terbukti bukan
beragama Islam, maka pemohon tidak berhak mengucapkan
ikrar talak. Hakim pun tidak berwenang memaksa pemohon
untuk mengucapkan ikrar talak, yang merupakan salah satu
ibadah menurut ajaran agama Islam. Jadi untuk perkara cerai
talak dengan pemohon non-muslim, perkawinan putus seketika
setelah adanya putusan Majelis hakim yang mempunyai
kekuatan hukum tetap tanpa adanya pengucapan ikrar talak oleh
suami.
b. Masa Iddah Bagi Istri Yang Telah Diceraikan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
91
Masa iddah atau masa menunggu bagi wanita untuk melakukan
perkawinan dengan pria lain setelah terjadinya perceraian dengan
suaminya dengan tujuan untuk mengetahui keadaan rahimnya atau
untuk berpikir bagi suami. Menurut Hartini dalam Jurnal berjudul
Cerai Talak Suami Non-Muslim Di Pengadilan Agama, bahwa
penghitungan masa iddah janda yang dicerai oleh suami muslim dan
non muslim berbeda.
1) Untuk masa iddah bagi janda yang dicerai suami muslim,
penghitungannya tidak dimulai ketika putusan berkekuatan
hukum tetap, tetapi dihitung sejak suami mengucapkan ikrar
talak.
2) Untuk masa iddah bagi janda yang dicerai suami non-muslim,
masa iddahnya dihitung sejak putusan Majelis Hakim
berkekuatan hukum tetap.
Dalam Pasal 155 Kompilasi Hukum Islam, diatur bahwa waktu
iddah bagi janda yang perkawinannya putus karena khuluk, fasakh
dan li’an berlaku iddah talak. Dari ketentuan ini dapat disimpulkan
bahwa masa iddah bagi janda yang dicerai oleh suami non-muslim
dan muslim adalah sama, yaitu berlaku ketentuan masa iddah seperti
iddah talak.
Dalam PP Nomor 9 Tahun 1975 sebagai pelaksana dari UU
Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam diatur bahwa lama masa
tunggu bagi janda adalah sebagai berikut:
1) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi
yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci sekurang-
kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid
ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari (Pasal 39 huruf b PP Nomor
9 Tahun 1975 dan Pasal 153 ayat (2) huruf b KHI).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
92
2) Apabila perkawinan putus karena perceraian sedangkan janda
tersebut dalam keadaan hamil, maka waktu tunggu ditetapkan
sampai melahirkan (Pasal 39 huruf c PP Nomor 9 Tahun 1975
dan Pasal 153 ayat (2) huruf c KHI).
3) Tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinannya
karena perceraian sedangkan janda tersebut dengan bekas
suaminya qabla ad dhukul (belum melakukan hubungan suami
istri) (Pasal 39 ayat (2) PP Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 153
ayat (1) KHI).
4) Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, masa tunggu
dihitung sejak jatuhnya putusan perceraian oleh Pengadilan
Agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap (Pasal 39 ayat
(3) PP Nomor 9 Tahun 1975 dan Pasal 153 ayat (4) KHI.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
93
BAB IV
PENUTUP
A. SIMPULAN
Berdasarkan pembahasan yang telah Penulis kemukakan pada bab
sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Dasar kewenangan Pengadilan Agama dalam memutus permohonan
cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-muslim.
Bahwa berdasarkan ketentuan penjelasan Pasal 49 Undang-Undang
Peradilan Agama, setiap orang atau badan hukum yang dengan sukarela
menundukkan diri dengan Hukum Islam, maka ia juga tunduk pada
Pengadilan Agama. Terkait dengan perkara perceraian di pengadilan
agama, terutama cerai talak oleh suami non-muslim juga berlaku dalil
yang sudah dijelaskan diatas. Pengadilan Agama tetap berwenang
memutus permohonan cerai talak dengan pemohon non-muslim
sepanjang para pihaknya dengan sukarela menundukkan diri pada
Hukum Islam. Alasan lain adalah, menurut Yahya harahap, apabila pada
perkawinannya menggunakan tatacara Islam, maka perceraiannya pun
masih bisa dilaksanakan menurut Hukum Islam yaitu melalui Pengadilan
Agama.
2. Akibat hukum permohonan cerai talak yang diajukan oleh pemohon non-
muslim (studi putusan nomor 208/Pdt.G/2010/PA.Kra).
Akibat hukum antara cerai talak dengan pemohon muslim berbeda
dengan cerai talak dengan pemohon non muslim, terutama dalam hal
penentuan saat kapan perkawinan menjadi putus. Untuk perkara cerai
talak dengan pemohon non muslim, dalam amar putusan tidak
dicantumkan perintah atau kata-kata untuk mengucapkan ikrar talak,
yang ada hanyalah pernyataan bahwa perkawinan di fasakh ataupun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
94
pengadilan agama menjatuhkan putusan menceraikan perkawinan antara
pemohon dan termohon dengan talak ba’in. Dalam hal pemohon terbukti
bukan beragama Islam, maka pemohon tidak berhak mengucapkan ikrar
talak. Jadi untuk perkara cerai talak dengan pemohon non-muslim,
perkawinan putus seketika setelah adanya putusan Majelis hakim yang
mempunyai kekuatan hukum tetap tanpa adanya pengucapan ikrar talak
oleh suami. Berikut adalah akibat hukum dari fasakh dengan pemohon
non-muslim:
a. Fasakh mengakhiri perkawinan seketika itu juga
b. Suami tidak boleh melakukan rujuk terhadap mantan istrinya.
Apabila antara mantan suami dan isteri tersebut berkeinginan untuk
hidup kembali sebagai suami-istri. Mereka harus melakukan akad
nikah baru.
c. Tidak mengurangi sisa talak istri, maksudnya jika terjadi fasakh
kemudian dilakukan akad yang baru, fasakh tersebut tidak dihitung
sebagai talak pertama, sehingga suami masih mempunyai tiga
hitungan talak
d. Dalam hal pemohon terbukti bukan beragama Islam, maka pemohon
tidak berhak mengucapkan ikrar talak
e. Untuk masa iddah bagi janda yang dicerai suami non-muslim, masa
iddahnya dihitung sejak putusan Majelis Hakim berkekuatan hukum
tetap
B. SARAN
Setelah mengetahui dasar pertimbangan Hakim yang digunakan
dalam memutus perkara Nomor: 208/Pdt.G/2010/PA.Kra. tentang
permohonan cerai talak dengan pemohon non-muslinm di Pengadilan
Agama Karanganyar, Penulis hendak memberi saran sebagai berikut :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
95
1. Hendaknya masyarakat diberi kesempatan untuk mengetahui bahwa
permohonan cerai talak dengan pemohon non muslim, adalah tetap
menjadi kewenangan Pengadilan agama namun dengan syarat para
pihak secara sukarela menundukkan diri kepada Hukum Islam yang
menjadi dasar Pengadilan Agama. Ini bisa dilakukan melalui
penyuluhan hukum, seminar hukum, atau bisa juga dijelaskan dalam
website resmi setiap Pengadilan Agama di Indonesia, dengan begitu
masyarakat bisa mengakses informasi yang lebih jelas.
2. Hendaknya semua aparatur Pengadilan agama, terutama hakim
memahami betul mengenai Petunjuk Teknis Administrasi dan Teknis
Peradilan Agama yang sudah diperbarui, supaya tidak terjadi
perbedaan putusan atas permohonan cerai talak dengan pemohon
non-muslim, yang memang sudah diatur menjadi satu keseragaman
bagi semua Peradilan Agama yang ada di Indonesia.
.