perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id KARAKTERISTIK ... · pemakaian diksi dan gaya bahasa dalam...
Embed Size (px)
Transcript of perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id KARAKTERISTIK ... · pemakaian diksi dan gaya bahasa dalam...
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
KARAKTERISTIK PEMAKAIAN BAHASA
DALAM IKLAN KOMERSIAL
DI RADIO
SKRIPSI
Oleh:
ESTI PRIASTUTI
NIM K1206020
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
KARAKTERISTIK PEMAKAIAN BAHASA
DALAM IKLAN KOMERSIAL
DI RADIO
Oleh:
ESTI PRIASTUTI
NIM K1206020
Skripsi
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji
Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
Persetujuan Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Dra. Raheni Suhita, M. Hum. Dr. Muhammad Rohmadi, M. Hum.
NIP19630309 198803 2 001 NIP19761013 200212 1 005
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PENGESAHAN
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima
untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Hari :
Tanggal :
Tim Penguji Skripsi
Nama Terang Tanda Tangan
Ketua : Drs. Slamet Mulyono, M. Pd. ________________
Sekertaris : Drs. Suyitno, M. Pd. ________________
Anggota I : Dra. Raheni Suhita, M. Hum. ________________
Anggota II : Dr. Muhammad Rohmadi, M. Hum. ________________
Disahkan oleh :
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Sebelas Maret
Dekan,
Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd.
NIP19600727 198702 1 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
ABSTRAK
Esti Priastuti. K1206020. KARAKTERISTIK PEMAKAIAN BAHASA DALAM IKLAN KOMERSIAL DI RADIO. Skripsi. Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret, Juli. 2010.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan: (1) karakteristik pemakaian diksi dan gaya bahasa dalam iklan komersial di radio dan (2) wujud campur kode dan alih kode dalam iklan komersial di radio.
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Populasi dalam penelitian ini adalah bahasa iklan di radio dengan sampel bahasa iklan komersial yang disiarkan oleh Radio JPI. Sampel diambil dengan menggunakan purposive sampling. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik rekam, simak, catat, dan teknik wawancara mendalam (indepth interviewing). Validitas data dalam penelitian ini menggunakan teknik triangulasi sumber data dan metode. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode analisis jalinan atau mengalir (Flow Model of Analysis).
Berdasarkan penelitian ini dapat disimpulkan: (1) karakteristik diksi dalam bahasa iklan komersial di radio meliputi: a) pemakaian kata-kata gaul, b) pemakaian kata-kata asing, c) pemakaian kata bersinonim, d) pemakaian kata khusus, e) pemakaian kata-kata daerah, dan f) pemakaian kata bermakna konotasi; sedangkan pemakaian gaya bahasa dalam iklan komersial di radio meliputi: a) gaya bahasa metonimia, b) gaya bahasa polisidenton, c) gaya bahasa asidenton, d) gaya bahasa eksklamasio, e) gaya bahasa klimaks, f) gaya bahasa interupsi, g) gaya bahasa hiperbola, dan h) gaya bahasa alusio. Pemakaian diksi di atas didasarkan pada jenis produk yang diiklankan, daerah asal pendengar, usia pendengar, dan keinginan pengiklan untuk menyampaikan pesan atau informasi iklannya dengan bahasa yang komunikatif, terkesan modern dan gaul, serta mudah dimengerti pendengar; sedangkan pemakaian gaya bahasanya didasarkan pada jenis produk yang diiklankan, bentuk wacana iklan, pendengar yang menjadi sasaran iklan, dan kebiasaan-kebiasaan pendengar. (2) wujud campur kode dalam bahasa iklan komersial di radio meliputi: a) campur kode berwujud kata, b) campur kode berwujud frasa, c) campur kode berwujud baster, dan d) campur kode berwujud klausa. Wujud alih kode dalam bahasa iklan komersial di radio bersifat ke dalam atau intern yang meliputi bahasa Jawa, dialek Jakarta, dan bahasa Betawi. Alih kode dalam bahasa iklan komersial di radio dilatarbelakangi oleh faktor penutur, mitra tutur, topik pembicaraan, dan membangkitkan rasa humor. Hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi dalam bidang bahasa periklanan, khususnya iklan komersial di radio.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
MOTTO
Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh,
sesungguhnya akan Kami tempatkan mereka pada tempat-tempat yang tinggi di
dalam surga, yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di
dalamnya. Yaitu yang bersabar dan bertawakal pada Tuhan-nya.
(Q. S. Al-Ankabut: 58-59)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vii
PERSEMBAHAN
Kusuntingkan hasil karya ini untuk:
1. Kedua orang tuaku, ibu Surati dan
bapak Budi, atas segala linangan doa
tanpa ujung yang menghantarkanku
hingga jenjang sarjana.
2. Saudara-saudaraku, Mbak Indah Nian,
Mas Hirto, Mbak Yunita, Dek Afive
Caem yang mengajariku makna kasih
sayang, persaudaraan, dan ketegasan
pilihan hidup.
3. Mas Top, tekad dan semangat juangmu
menjadi lentera dalam setiap episode
kehidupanku.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa taala, yang
telah melimpahkan belas kasih, rahmat, dan ilmu-Nya yang Mahaluas hingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini ditulis untuk memenuhi
sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra
Indonesia. Selama penyusunan skripsi, tidak terlepas dari bantuan dan dukungan
berbagai pihak. Untuk itu, penulis ucapkan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M. Pd., selaku Dekan Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret yang telah memberikan izin
menyusun skripsi;
2. Drs. Suparno, M. Pd., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret yang telah
memberikan persetujuan skripsi;
3. Drs. Slamet Mulyono, M. Pd., selaku Ketua Program Pendidikan Bahasa dan
Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni FKIP Universitas
Sebelas Maret yang telah memberikan izin penulisan skripsi;
4. Dra. Raheni Suhita, M. Hum. dan Dr. Muhammad Rohmadi, M. Hum., selaku
pembimbing I dan pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan
arahan kepada penulis hingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik;
5. Bapak dan ibu dosen Program Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang
dengan tulus memberikan ilmunya selama penulis menimba ilmu di prodi ini;
6. Teman-teman JPI semuanya, tanpa terkecuali, terima kasih atas bantuan dan
dukungannya.
7. Teman-teman Bahasa dan Sastra Indonesia angkatan 2006 yang telah
memberikan kesempatan untuk saling mencicip indahnya suatu persahabatan;
8. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyusun skripsi ini.
Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan
menambah wawasan bagi para pembaca.
Surakarta, Juli 2010
Penulis
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ix
DAFTAR TABEL
Tabel halaman
1. Perincian Waktu dan Jenis Kegiatan Penelitian 42
2. Data Pengklasifikasian Iklan Komersial yang Disiarkan oleh Radio JPI
Periode Desember 2009-Januari 2010 ... 46
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
x
DAFTAR GAMBAR
Gambar halaman
1. Kerangka Berpikir 41
2. Analisis Data Flow Model of Analysis . 45
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran halaman
1. Transkripsi Grafemis Iklan Komersial yang Disiarkan Radio JPI . 127
2. Klasifikasi Data .. 146
3. Daftar Pertanyaan ... 165
4. Transkripsi Hasil Wawancara... 167
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .. i
HALAMAN PENGAJUAN ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN iii
HALAMAN PENGESAHAN iv
HALAMAN ABSTRAK v
HALAMAN MOTTO vi
HALAMAN PERSEMBAHAN vii
KATA PENGANTAR viii
DAFTAR TABEL .. ix
DAFTAR GAMBAR . x
DAFTAR LAMPIRAN .. xi
DAFTAR ISI .. xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .. 1
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan Penelitian . 4
D. Manfaat Penelitian 5
BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Landasan Teori . 6
1. Bahasa .. 6
2. Diksi . 9
3. Gaya Bahasa . 20
4. Campur Kode ... 27
5. Alih Kode . 30
6. Iklan . 33
7. Ragam Bahasa Iklan di Radio . 35
B. Penelitian yang Relevan ... 39
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
xiii
C. Kerangka Berpikir 40
BAB III METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian . 42
B. Bentuk dan Strategi Penelitian 42
C. Populasi dan Sampel 43
D. Teknik Pengumpulan Data .. 43
E. Validitas Data .. 44
F. Analisis Data 44
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Data .. 46
B. Analisis Data ... 48
1. Karakteristik Diksi ... 48
2. Pemakaian Gaya Bahasa ... 71
3. Wujud Campur Kode ... 93
4. Wujud Alih Kode ....113
BAB V SIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN
A. Simpulan . 120
B. Implikasi . 121
C. Saran 122
DAFTAR PUSTAKA 124
LAMPIRAN .. 127
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PERSETUJUAN
Proposal skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim
Pembimbing Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas
Maret Surakarta pada:
Hari :
Tanggal :
Persetujuan Pembimbing,
Pembimbing I Pembimbing II
Dra. Raheni Suhita, M. Hum. Dr. Muhammad Rohmadi, S. S., M. Hum.
NIP 19630309 198803 2 0001 NIP 19761013 200212 1 0005
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL .. i
HALAMAN PERSETUJUAN... ii
DAFTAR ISI .... iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Rumusan Masalah 4
C. Tujuan Penelitian . 4
D. Manfaat Penelitian ... 5
BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Landasan Teori ............. 6
1. Bahasa ...... 6
2. Diksi . 9
3. Gaya Bahasa .............. 12
4. Campur Kode ..19
5. Alih Kode ... 22
6. Iklan ... 24
7. Ragam Bahasa Iklan ..... 27
B. Penelitian yang Relevan ..... 28
C. Kerangka Berpikir ...... 29
BAB III METODE PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian .... 31
B. Bentuk dan Strategi Penelitian ... 31
C. Populasi dan Sampel ...... 32
D. Teknik Pengumpulan Data ..... 32
E. Validitas Data ..... 33
F. Analisis Data ...... 33
DAFTAR PUSTAKA ...... 35
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv
PENGESAHAN
Proposal skripsi ini telah diseminarkan dan dipertahankan di hadapan Tim
Pembimbing Skripsi pada forum Seminar Proposal Skripsi Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima untuk
memenuhi persyaratan dalam mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Pada hari :
Tanggal :
Mengetahui,
Pembimbing I, Pembimbing II,
Dra. Raheni Suhita, M. Hum. Dr. Muhammad Rohmadi, S. S., M. Hum.
NIP 19630309 198803 2 0001 NIP 19761013 200212 1 0005
Ketua Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia,
Drs. Slamet Mulyono, M. Pd.
NIP 19620728 199003 1 002
Ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni,
Drs. Soeparno, M. Pd.
NIP 195111127 198601 1 001
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
v
KARAKTERISTIK PEMAKAIAN BAHASA DALAM IKLAN
KOMERSIAL DI RADIO
Oleh:
Esti Priastuti
NIM K1206020
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
vi
KARAKTERISTIK PEMAKAIAN BAHASA
DALAM IKLAN KOMERSIAL
DI RADIO
Oleh :
ESTI PRIASTUTI
NIM K1206020
Skripsi
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Bahasa digunakan manusia sebagai alat komunikasi dalam upaya
berinteraksi dengan sesamanya. Dalam kenyataannya, hal tersebut tidaklah mutlak
bebas. Ada seperangkat aturan berbahasa yang telah disepakati oleh suatu
masyarakat. Suatu kelompok orang atau masyarakat merupakan lingkungan untuk
seseorang hidup dan bergaul dengan anggota-anggotanya yang lain sesuai dengan
tata nilai yang menjadi pedoman mereka dalam upaya berinteraksi dengan
sesamanya.
Bahasa yang digunakan untuk berkomunikasi adalah cerminan bahasa
masyarakat. Masyarakat dapat menyangkut masyarakat yang sangat luas dan
dapat pula menyangkut sekelompok kecil orang. Suatu kelompok orang yang
karena faktor daerah, profesi, dan hobi menggunakan bentuk bahasa dan penilaian
yang sama terhadap norma-norma pemakaian bahasa yang digunakannya, dapat
disebut sebagai masyarakat tutur. Variasi atau ragam bahasa yang digunakan
dalam komunikasi setiap masyarakat tutur selalu berbeda.
Bahasa sebagai bagian dari masyarakat merupakan gejala sosial yang tidak
dapat dilepaskan dari pemakaiannya. Pengkajian bahasa sebagai alat komunikasi
masyarakat dan segala aktivitasnya masuk dalam ranah ilmu sosiolinguistik.
Sosiolinguistik merupakan cabang ilmu bahasa yang mempelajari berbagai
macam ragam bahasa berkenaan dengan fungsi pemakaiannya. Dalam
sosiolinguistik, bahasa dikaji sebagai sarana interaksi atau komunikasi di dalam
masyarakat. Setiap kegiatan kemasyarakatan manusia tidak akan terlepas dari
penggunaan bahasa. Sosiolinguistik memberikan pedoman dalam berkomunikasi
dengan menunjukkan bahasa, ragam bahasa atau gaya bahasa yang harus dipakai.
Pemakaian bahasa selalu dipengaruhi faktor linguistik dan faktor
nonlinguistik. Faktor linguistik tersebut adalah faktor sosial dan situasional.
Faktor sosial yang mempengaruhi pemakaian bahasa yaitu tingkat pendidikan,
umur, tingkat ekonomi, dan jenis kelamin. Faktor situasional yang mempengaruhi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2
2
pemakaian bahasa yaitu siapa yang berbicara, dengan bahasa apa, kepada siapa,
kapan, dan mengenai masalah apa. Hal ini dirumuskan oleh Fishman (dalam
Suwito, 1997: 3) Who speak what language to whom and when.
Fungsi bahasa yang paling utama adalah sebagai sarana komunikasi.
Setiap anggota masyarakat dan komunitas selalu terlibat dalam komunikasi
bahasa, baik dia bertindak sebagai komunikator (pembicara atau penulis) maupun
sebagai komunikan (mitra bicara, penyimak, pendengar, atau pembaca). Jika
bertolak pada fungsi dari bahasa, yaitu bahasa adalah alat untuk berinteraksi atau
berkomunikasi (Chaer dan Agustina, 2004: 18), maka penggunaan bahasa
meliputi seluruh ranah kehidupan manusia, baik di bidang pendidikan, ekonomi,
perdagangan, kebudayaan, politik, hukum, maupun bidang-bidang kehidupan
yang lain. Bisa dikatakan, bahasa merupakan alat yang ampuh untuk berhubungan
dan bekerja sama. Keberagaman penggunaan bahasa dalam kehidupan manusia
menyebabkan munculnya ragam bahasa. Setiap ragam bahasa memiliki ciri khas
tersendiri. Hal ini juga tampak pada ragam bahasa iklan.
Iklan merupakan salah satu bentuk komunikasi. Iklan dalam berbagai
media penyampaiannya ada yang diucapkan secara lisan, seperti melalui televisi,
radio, dan media elektronik lainnya. Iklan juga disampaikan melalui tulisan,
seperti dalam surat kabar, majalah, dan papan reklame. Radio, sebagai salah satu
media penyampai informasi, memiliki sumbangsih yang cukup besar terhadap
dunia periklanan. Radio merupakan sarana terhandal untuk menjangkau orang-
orang yang mungkin tidak mempunyai akses ke media yang lain. Radio dapat juga
menjangkau orang-orang yang buta huruf yang tidak dapat membaca surat kabar.
Penggunaan suara, baik vokal maupun musikal, menjadikan radio sebagai suatu
sarana iklan yang hidup dan lebih menarik jika dibandingkan dengan media iklan
yang pasif dan statis. Efek suara juga dapat digunakan untuk menajamkan kesan.
Pendengar radio secara otomatis akan terekspos iklan yang disiarkan pada waktu
mendengarkan radio.
Iklan dapat hadir di tengah-tengah siaran tanpa mengakibatkan orang
beralih ke siaran lainnya. Oleh karena itu, radio cocok digunakan untuk
mengiklankan produk baru, terutama produk-produk yang tidak menjadi prioritas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
3
bagi calon konsumen (seperti komputer pribadi atau jasa keuangan). Radio cepat
dalam penyampaian pesannya dan mudah dimengerti tanpa menuntut kemampuan
membaca dari pendengarnya. Radio, sebagai media komunikasi, menyajikan
berbagai macam programa dengan musik sebagai unsur yang essensial dalam
keseluruhan acara karena tulang punggung siaran radio adalah musik. Berbagai
program diolah dan diberi ilustrasi musik, termasuk dalam penyajian iklan.
Iklan berisi suatu pesan yang disiarkan kepada publik agar publik tertarik
pada isi informasi tersebut. Bahasa iklan dalam dunia periklanan digunakan untuk
menyampaikan informasi-informasi mengenai suatu produk atau jasa. Penggunaan
bahasa dalam iklan dibuat lebih menarik agar pesan yang disampaikan memiliki
nilai jual dan menarik perhatian publik, sehingga publik terbujuk untuk membeli
produk atau pun jasa yang ditawarkan. Sama halnya dengan penggunaan bahasa
dalam iklan di radio, pemakaian bahasa iklan memiliki sifat-sifat persuatif, gaul,
memakai ragam santai, memiliki unsur pengingat, dan lebih sering menggunakan
kata-kata yang berkonotasi. Pemakaian diksi atau pilihan kata dalam iklan di radio
sering didasarkan pada usia pendengar, daerah asal pendengar, tingkat sosial
pendengar, dan jenis produk yang diiklankan. Gaya bahasa yang dipakai harus
disesuaikan dengan mitra tutur atau pendengar, kebiasaan-kebiasaan perilaku atau
sasaran iklan, dan tempat-tempat yang biasa mereka melakukan aktivitasnya.
Penggunaan bahasa iklan dalam iklan komersial berikut ini merupakan salah satu
iklan komersial yang disiarkan oleh radio.
A : Wah, Pak. Kita butuh dana banyak lho, Pak. Buat mantu. B : Tenang saja, Buk. Kita ambil kredit di BPR Trihasta Prasojo saja.
Piye? A : Ah Bapak iki, apa-apa kok andalane BPR Trihasta Prasojo. Dulu
waktu kredit pendidikan juga di sana. Bank lain kenapa to, Pak? C : Bapak itu bener, Buk. Untuk anggunan kendaraan, kredit di BPR
Trihasta Prasojo prosesnya cepet. Hari ini daftar, besok cair. Ada juga ni kredit bidikan, kredit modal kerja, kredit konsumtif untuk barang-barang kebutuhan harian, dan ada juga kredit hajatan yang bebas bunga.
A : Wah, wah, wah, wah. Jangan-jangan syarate angel. B : Angel piye to? Syaratnya ya umum saja. Fotokopi KTP suami istri dan
KK yang masih berlaku, fotokopi surat nikah, slip gaji, jaminan BPKB dan SHM. Lebih detail lagi ya ke BPR Trihasta Prasojo saja.
C : Di BPR Trihasta Prasojo ada juga, produk tabungan Trihasta yang bebas potongan dan juga tabungan Prasojo suku bunga menarik. Ada juga
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
4
4
deposito dengan suku bunga bersaing yang dijamin LPS atau pemerintah sampai dengan dua milyar.
A : Kosik, kosik, kosik, kosik. BPR Trihasta Prasojo ini masih di tempat yang lama kan?
C : Masih dong, Buk. Kantor pusatnya itu masih di Jalan Solo-Tawangmangu km 16 Palur telpon 825042.
B : Atau di komplek Ruko Beteng Blok A No. 6 Solo telpon 651358. A : Kalau gitu lets go yo, Pak ke BPR Trihasta Prasojo. Biar kreditnya
cepet cair. Aku selak pingin mantu. (Sumber: Radio JPI Sabtu, 03 Januari 2010)
Bahasa iklan yang digunakan dalam iklan di atas memunculkan ragam
bahasa informal dengan mencampur atau menggunakan beberapa bahasa dalam
satu tuturan. Pemilihan kata yang digunakan pun lebih terkesan santai, luwes,
komunikatif dan memiliki variasi yang berbeda untuk setiap jenis iklan, sehingga
bisa dikatakan penggunaan bahasa dalam iklan yang disiarkan radio tersebut
menarik dan laik untuk peneliti kaji. Dari sinilah, peneliti mencoba mengkaji lebih
dalam pemakaian bahasa iklan di radio tersebut yang peneliti tuangkan dalam
sebuah tulisan dengan judul Karakteristik Pemakaian Bahasa dalam Iklan
Komersial di Radio.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, penulis dapat rumuskan
beberapa masalah sebagai berikut.
1. Bagaimana karakteristik diksi dan gaya bahasa dalam iklan komersial yang
disiarkan Radio JPI?
2. Bagaimana wujud campur kode dan alih kode dalam iklan komersial yang
disiarkan Radio JPI?
C. Tujuan Penelitian Sesuai dengan rumusan masalah di atas, tulisan ini bertujuan untuk:
1. mendeskripsikan karakteristik diksi dan gaya bahasa dalam iklan komersial
yang disiarkan Radio JPI.
2. mendeskripsikan wujud campur kode dan alih kode dalam iklan komersial
yang disiarkan Radio JPI.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
5
5
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoretis
Penelitian ini diharapkan nantinya dapat menambah khazanah penelitian
ilmu bahasa dan sastra Indonesia, khususnya tentang karakteristik pemakaian
bahasa iklan.
2. Manfaat praktis
a. Bagi siswa
Dapat menambah pengetahuan dan pemahaman siswa tentang
karakteristik bahasa iklan, khususnya dalam pemilihan kata dan penggunaan
gaya bahasa.
b. Bagi pengajar bahasa dan sastra Indonesia
Dapat dijadikan tambahan materi ajar bahasa dan sastra Indonesia,
khususnya yang terkait dengan pilihan kata, gaya bahasa, campur kode dan
alih kode ragam bahasa iklan.
c. Bagi praktisi radio
Dapat digunakan sebagai salah satu acuan dalam pembuatan iklan
komersial, khususnya yang terkait dengan pemilihan diksi.
d. Bagi penelitian lain
Dapat dijadikan referensi untuk penelitian lain yang berkaitan dengan
permasalahan yang sama dalam penelitian ini.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
6
6
BAB II
LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Landasan Teori
1. Bahasa a. Hakikat Bahasa
Bahasa merupakan lambang atau sebuah rangkaian bunyi yang
membentuk suatu arti tertentu. Subroto berpendapat bahwa bahasa memiliki
sistem, asas-asas, pola-pola yaitu seperangkat kaidah yang bersifat mengatur dan
merupakan paduan dari aspek bentuk (formal aspect) dan aspek arti (semantic
aspect) bahkan juga aspek situasi (1997: 18). Sedikit berbeda dengan pendapat
tersebut, Wirjosoedarmo (dalam Husein dan Banasuru, 1996: 4) mengatakan
bahwa bahasa sebagai alat komunikasi antaranggota masyarakat, yang berupa
bunyi suara atau tanda atau isyarat atau lambang yang dikeluarkan oleh manusia
untuk menyampaikan isi hati kepada manusia.
Kridalaksana (dalam Chaer, 1994: 32) mengatakan bahasa adalah sistem
lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial
untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasi diri. Manusia
mengumpulkan lambang-lambang ini dan menyusun segala sesuatu yang
dikenalnya sebagai perbendaharaan kata-kata. Perbendaharaan ini pada
hakikatnya merupakan akumulasi pengalaman dan pemikiran mereka.
Pandangan muncul dari linguistik struktural dengan tokoh Bloomfield
(dalam Sumarsono dan Partana, 2002: 18) bahwa bahasa adalah sistem lambang
berupa bunyi yang bersifat sewenang-wenang (arbitrer) yang dipakai oleh
anggota-anggota masyarakat untuk saling berhubungan dan berinteraksi. Bahasa
mempunyai aturan-aturan yang saling bergantung dan mengandung struktur
unsur-unsur yang bisa dianalasis secara terpisah-pisah, karena merupakan suatu
sistem. Sedikit lebih rinci, Hockett (dalam Chaer, 1994: 284) menyatakan bahwa
bahasa adalah suatu sistem yang kompleks dari kebiasaan-kebiasaan. Sistem-
sistem bahasa yang dimaksud terdiri dari lima subsistem, antara lain: subsistem
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
7
gramatika, subsistem fonologi, subsistem morfofonemik, subsistem semantik, dan
subsistem fonetik. Hymes (dalam Purwoko, 2008: 4) mengatakan bahwa bahasa
adalah sesuatu yang integral dengan budaya sehingga bahasa merupakan petunjuk
simbolik menuju budaya. Bahasa sebagai pedoman simbolik untuk memahami
budaya masyarakat yang sedang diteliti, sehingga perilaku budaya akan tercermin
dalam penggunaan bahasa oleh penutur aslinya.
Dari berbagai pendapat para ahli di atas, penulis dapat simpulkan bahwa
bahasa bukan sekedar alat komunikasi, melainkan juga sebagai alat untuk
menunjukkan identitas kelompok. Bahasa adalah satu sistem untuk mewakili
benda, tindakan, gagasan dan keadaan. Bahasa erat kaitannya dengan kognisi pada
manusia. Bahasa senantiasa diperkaya oleh seluruh lapisan masyarakat yang
menggunakannya. Adanya bahasa memungkinkan manusia untuk memikirkan
sesuatu dalam kepala mereka, meskipun obyek yang sedang dipikirkan tersebut
tidak berada di dekatnya. Manusia dengan kemampuan berbahasanya
memungkinkan untuk memikirkan suatu masalah secara terus menerus. Bukan itu
saja, dengan bahasa manusia pun dapat mengekspresikan sikap dan perasaannya.
b. Fungsi Bahasa Kata fungsi, dalam arti yang paling sederhana, dapat dipandang sebagai
padanan kata guna dan penggunaan. Dengan demikian, fungsi bahasa dapat
diartikan sebagai cara orang menggunakan bahasa mereka, atau bahasa-bahasa
mereka bila mereka berbahasa lebih dari satu bahasa. Jika dinyatakan dalam
pengertian yang lebih sempit, yaitu orang melakukan sesuatu dengan bahasa
mereka; dengan cara bertutur dan menulis, mendengarkan dan membaca, mereka
berharap dapat mencapai banyak sasaran dan tujuan.
Fungsi bahasa sebagai alat untuk berkomunikasi dapat dilakukan dengan
cara lisan maupun tertulis. Komunikasi lisan, biasanya, dilakukan dalam
percakapan antar-anggota keluarga dan percakapan dengan teman akrab.
Komunikasi lisan dapat dilakukan langsung atau melalui alat perantara, misalnya
telepon. Komunikasi secara tertulis dapat dilakukan dengan surat menyurat antar-
anggota keluarga, handai taulan, teman atau sahabat.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
8
8
Di dalam kehidupan masyarakat fungsi bahasa secara tradisional dapat
dikatakan sebagai alat komunikasi verbal yang digunakan oleh masyarakat untuk
berkomunikasi. Akan tetapi, fungsi bahasa tidak hanya semata-mata sebagai alat
komunikasi. Ada beberapa pengelompokan fungsi kebahasaan yang sudah
dikenal, misalnya pengelompokan yang dikemukakan oleh Malinowski (dalam
Halliday dan Hasan, 1992: 20). Dia mengelompokkan fungsi bahasa ke dalam
dua kelompok besar, yaitu penggunaan bahasa yang praktis atau pragmatik dan
penggunaan bahasa yang ritual atau magis yang berkaitan dengan kegiatan-
kegiatan seremonial atau keagamaan dalam kebudayaan.
Berbeda dengan pendapat di atas, seorang pakar psikologi, Bhler (dalam
Halliday dan Hasan, 1992: 20) mengatakan fungsi bahasa bukan dari sudut
pandangan kebudayaan, tetapi dari sudut pandangan perseorangan. Lebih jelasnya,
dia membedakan fungsi bahasa ke dalam bahasa ekspresif (terarah pada diri
sendiri/si pembicara), bahasa konatif (terarah pada lawan bicara) dan bahasa
representasional (terarah pada kenyataan lainnya). Secara lebih rinci, Morris
(dalam Halliday dan Hasan, 1992: 21) mengelompokkan fungsi bahasa menjadi
empat fungsi, yaitu information talking (pertukaran keterangan), mood talking
(fungsi ekspresif), exploratory talking (ujaran untuk kepentingan ujaran, fungsi
estetis, fungsi drama), dan grooming talking (tuturan yang sopan dan tidak berarti
dalam peristiwa-peristiwa sosial).
Chaer (1994: 15) berpendapat bahwa fungsi bahasa yang menjadi
persoalan dalam sosiolingustik adalah dari segi penutur, pendengar, topik, kode,
dan amanat pembicaraan. Maksud dari pernyataan tersebut adalah fungsi bahasa
akan berbeda apabila ditinjau dari sudut pandang yang berbeda. Berkaitan dengan
fungsi bahasa, Halliday (dalam Sumarlam, 2005: 25) mengemukakan tujuh fungsi
bahasa, di antaranya: (1) fungsi instrumental; (2) fungsi regulasi; (3) fungsi
pemerian/representasi; (4) fungsi interaksi; (5) fungsi perorangan; (6) fungsi
heuristik; dan (7) fungsi imajinatif. Dari berbagai pendapat di atas, penulis lebih
condong pada pendapat yang dikemukakan oleh Chaer bahwa pada intinya fungsi
bahasa akan berbeda apabila ditinjau dari sudut pandang yang berbeda pula,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
9
seperti ditinjau dari sudut pandang penutur, pendengar, topik, kode, dan amanat
pembicaraan.
2. Diksi a. Hakikat Diksi
Diksi merupakan pemilihan kata untuk mengungkapkan gagasan. Pilihan
kata bukanlah masalah sederhana karena menyangkut persoalan yang bersifat
dinamis, inovatif, dan kreatif sejalan dengan perkembangan masyarakat
penunturnya. Diksi merujuk pada pemilihan kata dan gaya ekspresi oleh penulis
atau pembicara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005: 264) diksi berarti
pilihan kata yang tepat dan selaras (dalam penggunaannya) untuk mengungkapkan
gagasan sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan). Diksi atau
pilihan kata yang baik berhubungan dengan pemilihan kata yang bermakna tepat
dan selaras, yang penggunaannya cocok dengan pokok pembicaraan, peristiwa
dan khalayak pembaca atau pendengar.
Pilihan kata atau diksi bukan saja untuk menyatakan kata-kata yang
dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi juga meliputi
persoalan fraseologi, gaya bahasa, dan ungkapan (Keraf, 2007: 23). Fraseologi
mencakup persoalan kata-kata dalam pengelompokan atau susunannya. Gaya
bahasa sebagai bagian dari diksi bertalian dengan ungkapan-ungkapan yang
individual atau karakterisitik.
Pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata yang harus dipakai
untuk mencapai suatu gagasan, membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat
atau menggunakan ungkapan-ungkapan. Pilihan kata atau diksi adalah
kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari gagasan yang
ingin disampaikan dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan
situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar. Pilihan kata
yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh seseorang yang memiliki
sejumlah kosa kata atau perbendaharaan kata yang banyak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
10
10
b. Hakikat Kata Kata merupakan tataran terendah dalam tataran gramatikal bahasa. Kata
merupakan kunci utama dalam upaya membentuk tulisan. Kata adalah
sekumpulan huruf atau bunyi ujaran yang mengandung arti. Para tata bahasawan
tradisional biasanya memberi pengertian terhadap kata berdasarkan arti dan
ortografi. Mereka berpendapat bahwa kata adalah satuan bahasa yang memiliki
satu pengertian; atau kata adalah deretan huruf yang diapit oleh dua spasi, dan
mempunyai satu arti (Chaer, 1994: 162). Sementara itu, batasan kata yang dibuat
Bloomfield (dalam Chaer, 1994: 163) kata adalah satuan bebas terkecil (a minimal
free form).
Kata sebagai satuan dari perbendaharaan kata sebuah bahasa mengandung
dua aspek, yaitu aspek bentuk atau ekspresi (dapat diserap dengan panca indera)
dan aspek isi makna (reaksi yang timbul pada pendengar atau pembaca) (Keraf,
2007: 25). Chomsky (dalam Chaer, 1994: 163) mengatakan kata adalah dasar
analisis kalimat, menyajikan kata itu dengan simbol-simbol V (verba), N
(nomina), A (adjektiva), dan sebagainya. Batasan kata yang umum dijumpai
dalam berbagai buku linguistik Eropa adalah bahwa kata merupakan bentuk yang
ke dalam mempunyai susunan fonologis yang stabil dan tidak berubah, dan keluar
mempunyai kemungkinan mobilitas di dalam kalimat.
Batasan tersebut menyiratkan dua hal, yaitu (1) bahwa setiap kata
mempunyai susunan fonem yang urutannya tetap dan tidak dapat berubah, serta
tidak dapat diselipi atau diselang oleh fonem lain dan (2) setiap kata mempunyai
kebebasan berpindah tempat di dalam kalimat atau tempatnya dapat diisi atau
digantikan oleh kata lain, atau juga dapat dipisahkan dari kata lainnya. Dari
berbagai pendapat di atas, penulis coba simpulkan bahwa kata adalah satuan bebas
terkecil yang memiliki satu pengertian atau arti, baik dalam bentuk verba (kata
kerja), nomina (kata benda), adjektiva (kata sifat), maupun bentuk-bentuk yang
lain sesuai pembagian kata tersebut.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
11
c. Klasifikasi Kata Klasifikasi kata adalah penggolongan kata atau penjenisan kata. Dalam
peristilahan bahasa Inggris disebut juga part of speech (Chaer, 1994: 166). Para
tata bahasawan tradisional menggunakan kriteria makna dan kriteria fungsi untuk
mengklasifikasikan kata. Kriteria makna digunakan untuk mengidentifikasi kelas
verba, nomina, dan ajektiva; sedangkan kriteria fungsi digunakan untuk
mengidentifikasi preposisi, konjungsi, adverbia, pronomina. Mereka mengatakan
(dalam Chaer, 1994: 163) yang disebut verba adalah kata yang menyatakan
tindakan atau perbuatan; yang disebut nomina adalah kata yang menyatakan
benda atau yang dibendakan; dan yang disebut konjungsi adalah kata yang
bertugas atau berfungsi untuk menghubungkan kata dengan kata, atau bagian
kalimat yang satu dengan bagian yang lain.
Berbeda dengan Keraf, dalam bukunya yang berjudul Diksi dan Gaya
Bahasa, dia menjelaskan bahwa untuk mencapai ketepatan pengertian lebih baik
memilih kata khusus daripada kata umum (2007: 89). Kata umum dan kata khusus
dibedakan berdasarkan luas tidaknya cakupan makna yang dikandungnya. Jika
sebuah kata mengacu pada suatu hal atau kelompok yang luas bidang lingkupnya
maka kata itu disebut kata umum, sedangkan jika ia mengacu pada pengarahan-
pengarahan khusus dan kongkret maka disebut kata khusus.
Para tata bahasawan strukturalis (dalam Chaer, 1994: 167) membuat
klasifikasi kata berdasarkan distribusi kata itu dalam suatu struktur atau
konstruksi. Nomina adalah kata yang dapat berdistribusi di belakang kata bukan.
Verba adalah kata yang dapat berdistribusi di belakang kata tidak. Adjektifa
adalah kata-kata yang dapat berdistribusi di belakang kata sangat. Kelompok
linguis (dalam Chaer, 1994: 168) menggunakan kriteria fungsi sintaksis sebagai
patokan untuk menentukan kelas kata. Secara umum, fungsi subyek diisi oleh
kelas nomina; fungsi predikat diisi oleh verba atau adjektifa; fungsi objek diisi
oleh kelas nomina; dan fungsi keterangan diisi oleh adverbia.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
12
12
d. Hakikat Makna Makna adalah bagian yang tidak terpisahkan dari semantik dan selalu
melekat dari suatu ujaran yang kita tuturkan. Istilah makna memiliki pengertian
yang beragam. Pateda (2001: 79) mengemukakan istilah makna merupakan kata-
kata dan istilah yang membingungkan. Makna tersebut selalu menyatu pada
tuturan kata maupun kalimat. Makna kata merupakan hubungan antara bentuk
dengan hal atau barang yang diwakilinya (referen-nya) (Keraf, 2007: 25). Makna
adalah pertalian antara bentuk dengan referennya.
Senada dengan pendapat di atas, Ullman (dalam Pateda, 2001: 82)
mengemukakan bahwa makna adalah hubungan antara makna dengan pengertian.
Sementara itu, Saussure (dalam Chaer, 1994: 286) mengungkapkan pengertian
makna sebagai pengertian atau konsep yang dimiliki atau terdapat pada suatu
tanda linguistik. Bloomfield (dalam Wahab, 1995: 40) mengemukakan bahwa
makna adalah suatu bentuk kebahasaan yang harus dianalisis dalam batas-batas
unsur-unsur penting situasi di mana penutur mengujarnya.
Terkait dengan hal tersebut, Aminuddin (1998: 50) mengemukakan bahwa
makna merupakan hubungan antara bahasa dengan bahasa luar yang disepakati
bersama oleh pemakai bahasa sehingga dapat saling dimengerti. Dari pengertian
para ahli bahasa di atas, dapat penulis simpulkan bahwa batasan tentang
pengertian makna sangat sulit ditentukan karena setiap pemakai bahasa memiliki
kemampuan dan cara pandang yang berbeda dalam memaknai sebuah ujaran atau
kata.
e. Jenis Makna Ada berbagai jenis makna di dalam bahasa yang secara dikotomis
dibedakan menjadi beberapa macam. Penggolongan makna dilihat dari sudut
pandang yang berbeda-beda. Wijana dan Rohmadi (2008: 22-26) menggolongkan
jenis-jenis makna menjadi 8, yang meliputi: (1) makna leksikal; (2) makna
gramatikal; (3) makna denotatif; (4) makna konotatif; (5) makna literal; (6) makna
figuratif; (7) makna primer; dan (8) makna sekunder.
Makna leksikal lazim dipandang sebagai sifat kata sebagai unsur leksikal.
Makna leksikal adalah makna yang muncul tanpa menggabungkan antara unsur
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
13
yang satu dengan unsur yang lain, sedangkan makna gramatikal adalah makna
yang muncul dengan menggabungkan unsur yang satu dengan yang lain (Wijana
dan Rohmadi, 2008: 22).
Jenis makna yang selanjutnya yaitu makna denotasi dan makna konotasi.
Makna denotasi dan makna konotasi oleh para ahli semantik lazim dibedakan.
Makna denotasi adalah referensi pada sesuatu yang ekstralingual menurut makna
kata yang bersangkutan, sedangkan makna konotasi adalah arti yang dapat
muncul pada penutur akibat penilaian afektif atau emosional (Verhaar,
2008: 390). Senada dengan pendapat tersebut, Wijana dan Rohmadi (2008: 23)
mengungkapkan bahwa makna denotatif adalah keseluruhan komponen makna
yang dimiliki oleh sebuah kata atau makna yang langsung berhubungan dengan
acuan yang ditunjuk oleh kata atau ujaran, sedangkan makna konotatif adalah
makna suatu kata yang muncul karena pengaruh nilai atau rasa emotifnya.
Makna literal adalah makna yang langsung menunjuk pada sesuatu, baik
benda, gejala, kenyataan, peristiwa maupun proses; makna yang langsung
berhubungan dengan acuan yang ditunjuk oleh kata atau ujaran. Makna figuratif
adalah makna bentuk kebahasaan yang menyimpang dari referennya (Wijana dan
Rohmadi, 2008: 25). Makna primer adalah makna satuan kebahasaan yang dapat
diidentifikasi tanpa bantuan konteks, sedangkan makna sekunder adalah makna
satuan kebahasaan yang dapat diidentifikasi dengan bantuan konteks (Wijana dan
Rohmadi, 2008: 26).
Berbeda dengan pendapat di atas, Keraf (2007: 27) membedakan jenis-
jenis makna menjadi dua, yaitu makna konotatif dan makna denotatif. Makna
konotatif muncul jika makna suatu kata mengandung makna tambahan, perasaan
tertentu, atau nilai rasa tertentu di samping makna dasar; sedangkan makna
denotatif adalah suatu makna yang muncul jika makna suatu kata tidak
mengandung makna atau perasaan-perasaan tambahan, hanya makna dasarnya
saja.
f. Hubungan Makna Kata-kata biasanya mengandung komponen makna yang kompleks. Hal ini
mengakibatkan adanya berbagai hubungan yang memperlihatkan kesamaan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
14
14
pertentangan, dan tumpang tindih. Dalam hal ini, para ahli semantik telah
mengklasifikasikan hubungan makna ke dalam beberapa kategori, yang meliputi:
sinonimi, antonimi, polisemi, homonimi, dan hiponimi.
1) Sinonimi Sinonimi digunakan untuk menyatakan sameness of meaning
kesamaan arti (Djajasudarma, 1993: 36). Wijana dan Rohmadi (2008: 28)
mengungkapkan bahwa sinonimi, yaitu hubungan atau relasi persamaan
makna. Dalam bahasa Indonesia terdapat kata wafat, gugur, meninggal,
dan mati sering dikatakan bersinonim, tetapi masing-masing kata
mempunyai tempat sendiri dalam pemakaiannya sehari-hari.
Sama halnya dengan pendapat di atas, Keraf (2007: 34) berpendapat
bahwa sinonimi adalah telaah dua kata atau lebih yang memiliki makna
yang sama. Istilah sinonim digunakan untuk menyatakan kata-kata yang
memiliki makna yang sama. Sinonim digunakan untuk menghindari
pengulangan kata untuk gagasan yang sama. Meskipun demikian, sedikit
sekali kata yang bersinonim secara sempurna, dalam arti bisa
dipertukarkan dalam segala konteks tanpa ada perubahan sedikit pun dari
makna objektifnya, rasa nada atau nilai evokatifnya. Jika ada dua kata atau
lebih untuk mengekspresikan satu gagasan, maka akan dipilih satu kata
yang paling cocok untuk konteksnya, yaitu kata yang paling mampu
memuat beban emosi dan tekanan (empasis), yang paling serasi untuk
struktur fonetik kalimat, dan yang paling mampu mendukung nada umum
ujaran.
Collinson (dalam Ullman, 2007: 177) mentabulasikan perbedaan-
perbedaan antara sinonimi, yang meliputi: a) satu kata lebih umum dari
yang lain, misal kata binatang-hewan; b) satu kata lebih intens dari yang
lain, misal kata mengamati-memandang; c) satu kata lebih emotif dari yang
lain, misal kata memohon-meminta; d) satu kata lebih profesional dari yang
lain, misal kata riset-penelitian; e) satu kata lebih literer dari yang lain,
misal kata mafhum-memahami; f) satu kata lebih kolokial dari yang lain,
misal kata aku-saya; g) satu kata lebih dialek dari yang lain, misal kata
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
15
lu-kamu; h) satu kata dapat mencakup penerimaan atau penolakan moral
sedang yang lain netral, misal kata sedekah-pemberian; dan i) salah satu
dari sinonim termasuk bahasa kanak-kanak, misal kata mimik-minum.
Sinonim adalah kata-kata yang memiliki kesamaan atau kemiripan
makna. Dalam bahasa iklan sekali pun, sinonim lebih membuka peluang
untuk memilih kosakata yang lebih sesuai dengan konteks tanpa harus
mengubah gagasan. Penggunaan kata mulus, yang bersinonim dengan kata
halus, lebih sering digunakan dalam bahasa iklan kecantikan dibanding
dengan kata halus. Selain itu, penggunaan sinonim mampu mengadakan
variasi dalam pemakaian kosakata sehingga ujaran atau tuturan yang
ditampilkan menjadi lebih segar, dan menarik.
2) Antonimi Antonimi adalah relasi antarmakna yang wujud logisnya sangat
berbeda atau bertentangan (Keraf, 2007: 39). Istilah antonimi dipakai
untuk menyatakan lawan makna, sedangkan kata yang berlawanan disebut
antonim. Rustamaji (2003: 47) mengungkapkan bahwa antonim adalah
kata-kata yang memiliki makna yang berlawanan.
Senada dengan pendapat di atas, Wijana dan Rohmadi (2008: 30)
mengatakan bahwa antonimi, yaitu perlawanan makna. Antonim adalah
suatu kata yang artinya berlawanan satu sama lain, misal kata keras-
lembek, naik-turun, kaya-miskin, surga-neraka, laki-laki-perempuan, atas-
bawah.
3) Polisemi Wijana dan Rohmadi (2008: 37) mengatakan bahwa polisemi, yaitu
sebuah bentuk kebahasaan yang memiliki berbagai macam makna. Senada
dengan pendapat tersebut, Keraf (2007: 36) berpendapat bahwa polisemi
adalah suatu bentuk kata yang mempunyai beberapa makna. Polisemi
adalah suatu kata yang memiliki makna ganda. Namun demikian, di antara
makna tersebut masih terdapat hubungan makna.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
16
16
4) Homonimi Wijana dan Rohmadi (2008: 53) mengatakan bahwa homonimi, yaitu
dua kata atau lebih yang secara kebetulan memiliki pola bunyi yang sama.
Homonim adalah suatu kata yang memiliki makna yang berbeda tetapi
lafal atau ejaan sama. Jika lafalnya sama disebut homograf, namun jika
yang sama adalah ejaannya maka disebut homofon.
Sementara itu, Keraf (2007: 36) berpendapat bahwa homonimi
adalah dua kata atau lebih, tetapi memiliki bentuk yang sama (homograf
dan homofon). Kata amplop dalam kalimat Untuk mengirim surat kepada
bapak presiden kita harus menggunakan amplop memiliki arti yang
berbeda dengan kata amplop dalam kalimat Agar bisa diterima menjadi
PNS ia memberi amplop kepada para pejabat. Kata amplop pada kalimat
pertama memiliki arti amplop surat biasa, sedangkan pada kalimat kedua
memiliki arti sogokan atau uang pelicin.
5) Hiponimi Hiponimi merupakan cakupan-cakupan makna dalam sebuah makna
yang lain. Hiponim adalah suatu kata yang maknanya telah tercakup oleh
kata yang lain (Rustamaji, 2003: 48). Hubungan makna kata yang satu
dengan yang lain akan menghasilkan kata (superordinat dan subordinat).
Kata bunga yang merupakan superordinat dapat menghasilkan kata melati,
mawar, anggrek yang merupakan subordinat.
Wijana dan Rohmadi (2008: 68) mengatakan bahwa hiponimi, yaitu
hubungan semantik antara makna spesifik dan makna generik; atau antara
anggota taksonomi dengan nama taksonomi. Hampir sama dengan
pendapat tersebut, Keraf (2007: 36) berpendapat bahwa hiponimi adalah
semacam relasi antarkata yang dalam suatu makna terkandung sejumlah
komponen yang lain.
Dari berbagai pendapat dari para ahli bahasa di atas, penulis coba
simpulkan bahwa hubungan makna meliputi sinonim, yaitu dua buah kata
yang mempunyai kemiripan makna diantaranya disebut dua kata yang
sinonim; antonim, yaitu hubungan makna yang dipakai untuk menyebut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
17
makna yang berlawanan; hiponim, yaitu menyatakan hubungan makna
yang mengandung pengertian hubungan hierarkis. Bila sebuah kata
memiliki semua komponen makna kata lainnya, tetapi tidak sebaliknya,
maka hubungan itu disebut hiponimi; homonimi, yaitu bila terdapat dua
buah makna atau lebih yang dinyatakan dengan sebuah bentuk yang sama;
dan polisemi, yaitu kata yang mempunyai banyak makna.
g. Ungkapan atau idiom
Dalam bahasa Indonesia, idiom disejajarkan dengan pengertian peribahasa.
Idiom adalah pola-pola struktural yang menyimpang dari kaidah-kaidah bahasa
yang umum, biasanya berbentuk frasa, sedangkan artinya tidak bisa diterangkan
secara logis atau secara gramatikal, dengan bertumpu pada makna kata-kata yang
membentuknya (Keraf, 2007: 109). Pemahaman makna idiomatis tiada cara lain
kecuali dengan cara memahami istilah demi istilah secara benar.
Hampir senada dengan pendapat di atas, Rustamaji mengungkapkan idiom
atau ungkapan adalah kata yang memiliki makna khusus dan tidak dapat
diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa dan situasi lain (2003: 45).
Bentuk-bentuk idiom hanya bisa dipelajari dari pengalaman-pengalaman, bukan
melalui peraturan-peraturan umum bahasa. Hal ini disebabkan, sebuah idiom
bersifat tradisional dan bukan bersifat logis. Kata-kata tertentu yang terusun dalam
suatu idiom mampu mengungkapkan atau menggambarkan siatuasi secara cermat.
Dalam Ensiklopedia Bebas dikatakan bahwa idiom merupakan suatu
ungkapan (seperti istilah atau frase) yang maknanya tak dapat diturunkan dari
definisi langsung dan penyusunan bagian-bagiannya, melainkan merupakan suatu
makna tak langsung yang hanya dikenal melalui penggunaan umum. Dalam ilmu
bahasa atau linguistik, idiom umumnya dianggap sebagai gaya bahasa yang
bertentangan dengan prinsip penyusunan (principle of compositionality). Idiom
dapat membingungkan orang yang belum terbiasa dengannya.
Orang-orang yang belajar suatu bahasa harus mempelajari makna idiom
bahasa tersebut sebagaimana mereka mempelajari kosa kata lain dalam bahasa itu.
Untuk mengetahui makna sebuah idiom, setiap orang harus mempelajarinya
sebagai seorang penutur asli, tidak mungkin hanya dengan melalui makna dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
18
18
kata-kata yang membentuknya. Beberapa contoh dari idiom yang diambil dari
bahasa Indonesia antara lain: cuci mata, kambing hitam, jago merah, kupu-kupu
malam, dan hidung belang. Dari beberapa pengertian di atas, dapat dikatakan
bahwa idiom atau disebut juga dengan ungkapan adalah gabungan kata yang
membentuk arti baru yang tidak berhubungan dengan kata pembentuk dasarnya.
h. Kata-kata Gaul Secara harfiah, istilah gaul memiliki arti hidup berteman (KBBI,
2005: 339). Bahasa gaul merupakan bahasa pergaulan. Bahasa gaul sudah muncul
sejak tahun 1970-an. Bahasa gaul juga sering disebut dengan bahasa prokem. Kata
prokem merupakan bahasa pergaulan dari preman. Bahasa gaul atau prokem
awalnya digunakan oleh kalangan preman untuk berkomunikasi satu sama lain
secara rahasia. Bahasa prokem yang berkembang di Indonesia lebih dominan
dipengaruhi oleh bahasa Betawi yang mengalami penyimpangan atau
pengubahsuaian pemakaian kata oleh kaum remaja Indonesia yang menetap di
Jakarta. Saragih (2010) mengatakan bahwa bahasa gaul dianggap lebih bergengsi
karena merupakan campuran antara bahasa masyarakat ibu kota (etnis Betawi)
dengan bahasa asing, sehingga masyarakat khususnya remaja secara psikologis
ingin dianggap memiliki gengsi yang lebih tinggi dengan menggunakan bahasa
gaul.
Dalam konteks kekinian, bahasa pergaulan anak-anak remaja merupakan
dialek bahasa Indonesia non-formal. Pada dasarnya, bahasa gaul digunakan untuk
memberikan kode kepada lawan bicara. Rumusan bahasa gaul di tiap komunitas
atau daerah berbeda satu sama lain, termasuk bahasa gaul yang digunakan oleh
kalangan militer, kalangan kepolisian, atau kalangan homo seksual (waria) di
suatu daerah atau komunitas.
Penggunaan bahasa gaul menjadi lebih dikenal khalayak ramai. Bahasa
gaul telah banyak terasimilasi dan menjadi umum digunakan sebagai bentuk
percakapan sehari-hari dalam pergaulan di lingkungan sosial, bahkan dalam
media-media populer serperti TV, radio, dunia perfilman nasional, dan seringkali
digunakan dalam bentuk pengumuman-pengumuman. Bahasa gaul merupakan
bahasa sandi yang dipahami oleh kalangan atau kelompok tertentu, bersifat
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
19
sementara, dan hanya berupa variasi bahasa. Penggunaan bahasa gaul meliputi
kosakata, ungkapan, singkatan, intonasi, pelafalan, pola, konteks dan distribusi.
Kelompok-kelompok tertentu yang menggunakan bahasa gaul (Ensiklopedia
Bebas) seringkali merancang kata-kata baru dengan cara mengganti kata ke lawan
kata, mencari kata sepadan, menentukan angka-angka, penggantian fonem,
distribusi fonem, penambahan awalan, sisipan, atau akhiran. Kelompok-kelompok
tertentu tersebut menciptakan ungkapan-ungkapan baru yang sifatnya tidak baku.
Struktur dan tatabahasa dari bahasa gaul tidak terlalu jauh berbeda dari
bahasa formal, yaitu bahasa Indonesia. Perbedaan utama antara bahasa formal
dengan bahasa gaul, yaitu dalam hal perbedaharaan kata. Kosakata yang dimiliki
hanya merupakan singkatan dari bahasa formalnya. Saleh (2006) menyatakan
bahwa kosakata bahasa gaul sering tidak beraturan atau tidak memiliki rumus
tertentu, sehingga perlu upaya untuk menghafal setiap kali muncul istilah atau
kata baru. Salah satu kosakata baru dalam bahasa gaul yang tidak memiliki rumus
tertentu, misal untuk sebuah lawakan yang tidak lucu biasa disebut dengan istilah
garing, jayus, jasjus; untuk sesuatu yang tidak bagus atau tidak cocok biasa
disebut dengan istilah cupu.
Partikel sich, nich, tuh, dan dong merupakan sebagian dari partikel-
partikel bahasa gaul yang membuatnya terasa lebih hidup dan membumi,
menghubungkan satu anak muda dengan anak muda lain dan membuat mereka
merasa berbeda dengan orang-orang tua yang berbahasa baku. Partikel-partikel
bahasa gaul memiliki arti jauh lebih bermakna melebihi jumlah huruf yang
menyusunnya. Partikel-partikel tersebut mampu memberikan informasi tambahan
kepada orang lain yang tidak dapat dilakukan oleh bahasa Indonesia baku seperti
tingkat keakraban antara pembicara dan pendengar, suasana hati atau ekspresi
pembicara, dan suasana pada kalimat yang diucapkan.
Kosakata bahasa gaul di Indonesia diambil dari kosakata bahasa yang
hidup di lingkungan kelompok remaja tertentu. Pembentukan kata dan maknanya
sangat beragam dan bergantung pada kreativitas pemakainya. Bahasa gaul
berfungsi sebagai ekspresi rasa kebersamaan para pemakainya. Selain itu, dengan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
20
20
menggunakan bahasa gaul, mereka ingin menyatakan diri sebagai anggota
kelompok masyarakat yang berbeda dari kelompok masyarakat yang lain.
3. Gaya Bahasa a. Hakikat Gaya Bahasa
Gaya atau khususnya gaya bahasa dikenal dalam retorika dengan istilah
style. Kata style diturunkan dari kata Latin stilus, yaitu semacam alat untuk
menulis pada lempengan lilin (Keraf, 2007: 112). Ada dua aliran yang terkenal,
yaitu: (1) Aliran Platonik yang menganggap style sebagai kualitas suatu ungkapan
dan (2) Aliran Aristoteles yang menganggap bahwa gaya adalah suatu kualitas
yang inheren, yang ada dalam tiap ungkapan.
Majas atau gaya bahasa adalah cara pengarang atau seseorang yang
mempergunakan bahasa sebagai alat mengekspresikan perasaan dan buah pikiran
yang terpendam di dalam jiwanya (Rustamaji, 2003: 83). Kata gaya secara umum
dapat dikatakan sebagai cara mengungkapkan diri sendiri, baik melalui bahasa,
tingkah laku, maupun cara berpakaian. Semakin baik gaya bahasa seseorang,
semakin baik pula penilaian orang lain terhadap orang tersebut; sebaliknya
semakin buruk gaya bahasa seseorang, semakin buruk pula penilaian diberikan
pada orang tersebut. Dari beberapa pendapat dia atas dapat penulis simpulkan
bahwa style atau gaya bahasa dapat dibatasi sebagai cara mengungkapkan pikiran
melalui bahasa secara khas yang memperlihatkan jiwa dan kepribadian seseorang
(pemakai bahasa).
b. Macam-macam Gaya Bahasa Gaya bahasa atau majas dapat ditinjau dari bermacam-macam sudut
pandang. Pandangan-pandangan atau pendapat-pendapat tentang gaya bahasa
sejauh ini sekurang-kurangnya dapat dibedakan, pertama, dilihat dari segi
nonbahasa, dan kedua dilihat dari segi bahasanya sendiri (Keraf, 2007: 115). Pada
dasarnya majas atau gaya bahasa dapat dibagi menjadi empat, yang meliputi:
(1) majas perbandingan; (2) majas sindiran; (3) majas penegasan; dan (4) majas
pertentangan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
21
21
1) Majas perbandingan Majas perbandingan adalah majas yang berupa kata-kata kias untuk
menyatakan perbandingan untuk meningkatkan kesan dan pengaruhnya
terhadap pendengar atau pembaca. Majas perbandingan dibagi menjadi
lima belas, di antaranya: (1) gaya bahasa personifikasi; (2) gaya bahasa
metafora; (3) gaya bahasa eufemisme; (4) gaya bahasa sinekdokhe;
(5) gaya bahasa alegori; (6) gaya bahasa hiperbola; (7) gaya bahasa
simbolik; (8) gaya bahasa litotes; (9) gaya bahasa alusio; (10) gaya bahasa
asosiasi; (11) gaya bahasa perifrasis; (12) gaya bahasa metonimia;
(13) gaya bahasa antonomasia; (14) gaya bahasa tropen; dan (15) gaya
bahasa parabel.
Majas personifikasi adalah majas yang melukiskan suatu benda
dengan memberikan sifat-sifat manusia kepada benda-benda mati,
sedangkan majas metafora adalah majas yang melukiskan suatu benda
dengan perbandingan langsung dengan benda lain atas dasar sifat yang
sama atau hampir sama (Rustamaji, 2003: 83). Contoh dari masing-masing
gaya bahasa di atas, misalnya Baru 3 km berjalan mobilnya sudah batuk-
batuk (personifikasi) dan Raja siang (matahari) telah pergi ke
peraduannya (metafora). Sementara itu, majas eufemisme adalah majas
yang melukiskan suatu benda dengan kata-kata yang lebih lembut dan
sopan untuk menggantikan kata-kata lain, misal Para tunakarya perlu
perhatian yang serius dari pemerintah.
Keraf (2007: 142) menyatakan bahwa majas sinekdokhe adalah
suatu istilah yang diturunkan dari kata Yunani synekdechesthai yang
berarti menerima bersama-sama. Majas ini dibedakan menjadi dua, yaitu:
sinekdokhe pars pro toto dan sinekdokhe totem pro parte. Rustamaji
(2003: 83) mengatakan sinekdokhe pars pro toto adalah majas yang
menuliskan sebagian tetapi yang dimaksud adalah seluruhnya, sebaliknya
totem pro parte adalah majas yang melukiskan keseluruhan tetapi yang
dimaksud sebagian, misal pada contoh kalimat berikut ini. Dia mempunyai
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
22
22
lima ekor kuda (pars pro toto) dan Kaum wanita memperingati hari
Kartini (totem pro parte).
Untuk majas alegori, Rustamaji (2003: 84) menyatakan bahwa
majas alegori adalah majas yang memperlihatkan suatu perbandingan utuh
dan membentuk kesatuan yang menyeluruh, misal Hidup ini
diperbandingkan dengan perahu yang tengah berlayar di lautan. Berbeda
dengan pendapat di atas, Keraf berpendapat bahwa majas alegori adalah
suatu cerita singkat yang mengandung kiasan (2007: 140). Sementara itu,
majas hiperbola adalah majas yang melukiskan sesuatu dengan mengganti
peristiwa atau tindakan sesungguhnya dengan kata-kata yang lebih hebat
pengertiannya untuk menyangatkan arti, misal Kakak membanting tulang
demi menghidupi keluarganya. Senada dengan pengertian di atas, Keraf
(2007: 135) menyatakan bahwa hiperbol adalah semacam gaya bahasa
yang mengandung suatu pernyataan yang berlebihan, dengan membesar-
besarkan sesuatu hal.
Majas simbolik adalah majas yang melukiskan sesuatu dengan
memperbandingkan benda-benda lain sebagai simbol atau perlambang,
misal Dari dulu tetap saja ia menjadi lintah darat. Litotes adalah majas
yang melukiskan keadaan dengan kata-kata yang berlawanan artinya
dengan kenyataan yang sebenarnya guna merendahkan diri, misal
Perjuangan kami hanyalah setitik air dalam samudera luas. Alusio adalah
majas dengan menggunakan ungkapan peribahasa, misal Ah, dia itu tong
kosong nyaring bunyinya. Asosiasi adalah majas yang membandingkan
sesuatu dengan keadaan lain karena adanya persamaan sifat, misal
Wajahnya muram bagai bulan kesiangan. Perifrasis adalah majas yang
melukiskan sesuatu dengan menguraikan sebuah kata menjadi serangkaian
kata yang mengandung arti yang sama dengan kata yang digantikan itu,
misal Petang barulah dia pulang kalimat tersebut menjadi Ketika
matahari hilang di balik gunung barulah dia pulang.
Metonimia adalah majas yang menggunakan merk dagang untuk
melukiskan sesuatu yang dipergunakan, sehingga kata itu berasosiasi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
23
23
dengan benda keseluruhan. Kata metonimia (Keraf, 2007: 142) diturunkan
dari kata Yunani meta yang berarti menunjukkan perubahan dan anoma
yng berarti nama, misal Kemarin dia memakai Fiat (mobil merk Fiat).
Antonomasia adalah majas yang menyebutkan nama lain terhadap
seseorang berdasarkan ciri atau sifat menonjol yang dimilikinya, misal si
pincang, si jangkung, si keriting. Tropen adalah majas yang melukiskan
sesuatu dengan membandingkan suatu pekerjaan atau perbuatan dengan
kata-kata lain yang mengandung pengertian yang sejalan dan sejajar, misal
Setiap malam ia menjual suaranya untuk nafkah anak dan istrinya.
Parabel adalah majas perbandingan dengan menggunakan perumpamaan
dalam hidup. Majas ini terkandung dalam seluruh isi karangan, misal
Baghawat Gita, Mahabarata, Bayan Budiman.
2) Majas Sindiran Majas sindiran adalah majas yang yang bertujan untuk menyindir.
Majas sindiran meliputi ironi, sinisme, dan sarkasme. Ironi adalah majas
sindiran yang melukiskan sesuatu yang menyatakan sebaliknya dari apa
yang sebenarnya dengan maksud untuk menyindir orang. Keraf
(2007: 143) berpendapat bahwa ironi adalah suatu acuan yang ingin
mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang
terkandung dalam rangkaian kata-katanya, misal Harum benar bunga
bangkai ini!
Sinisme adalah majas sindiran dengan menggunakan kata-kata
sebaliknya seperti ironi tetapi kasar, misal Itukah yang dinamakan
bekerja. Dalam bukunya Diksi dan Gaya Bahasa, Keraf (2007: 143)
mengatakan bahwa sinisme diartikan sebagai suatu sindiran yang
berbentuk kesangsian yang mengandung ejekan terhadap keikhlasan dan
ketulusan hati, sedangkan sarkasme merupakan suatu acuan yang lebih
kasar dari ironi dan sinisme. Sarkasme adalah majas sindiran yang terkasar
serta langsung menusuk perasaan, misal Otakmu memang otak udang!
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
24
24
3) Majas Penegasan Majas penegasan adalah majas yang betujuan untuk menegaskan
sesuatu. Majas penegasan dibagi menjadi lima belas, yaitu (1) pleonasme;
(2) repetisi; (3) pararelisme; (4) tautologi; (5) simetri; (6) enumerasio;
(7) klimaks; (8) antiklimaks; (9) retorik; (10) koreksio; (11) asidenton;
(12) polisidenton; (13) ekslamasio; (14) praeterito; dan (15) interupsi.
Rustamaji (2003: 84) mengatakan bahwa pleonasme adalah majas
penegasan yang menggunakan sepatah kata yang sebenarnya tidak perlu
dikatakan lagi karena arti kata tersebut sudah terkandung dalam kata yang
diterangkan, misalnya Salju putih sudah mulai turun ke bawah. Repetisi
adalah majas penegasan yang melukiskan sesuatu dengan mengulang kata
atau beberapa kata berkali-kali, yang biasanya dipergunakan dalam pidato,
sedangkan pararelisme adalah majas penegasan seperti repetisi tetapi
dipakai dalam puisi. Pararelisme dibagi menjadi dua, yaitu: anafora dan
epifora. Anafora, yaitu bila kata atau frase yang diulang terletak di awal
kalimat, sedangkan epifora, yaitu bila kata atau frase yang diulang terletak
di akhir kalimat atau lirik.
Tautologi adalah majas penegasan yang melukiskan suatu dengan
mempergunakan kata-kata yang sama artinya (bersinonim) untuk
mempertegas arti, misal Saya khawatir serta was-was akan
keselamatannya. Simetri adalah majas penegasan yang melukiskan suatu
dengan mempergunakan satu kata, kelompok kata atau kalimat yang
diikuti oleh kata atau kalimat yang seimbang artinya dengan yang
pertama, misal Kakak berjalan tergesa-gesa, seperti orang dikejar anjing
gila. Enumerasio adalah majas penegasan yang melukiskan beberapa
peristiwa membentuk satu kesatuan yang dituliskan satu per satu supaya
tiap-tiap peristiwa dalam keseluruhannya tampak jelas, misal Angin
berhembus, lalu tenang, bulan memancar lagi.
Masih dalam bukunya yang sama, Keraf (2007: 124) berpendapat
bahwa majas klimaks adalah semacam gaya bahasa yang mengandung
urutan-urutan pikiran yang setiap kali semakin meningkat kepentingannya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
25
25
dari gagasan-gagasan sebelmnya. Bisa dikatakan, klimaks adalah majas
penegasan dengan menyatakan beberapa hal berturut-turut dengan
menggunakan urutan kata-kata yang makin lama makin memuncak
pengertiannya, misal Anak-anak, remaja, dewasa datang menyaksikan
film Saur Sepuh. Antiklimaks adalah majas penegasan dengan beberapa
hal berturut-turut dengan menggunakan urutan kata-kata yang makin lama
makin melemah pengertiannya, misal Jangankan seribu, atau seratus,
serupiah pun tak ada. Untuk majas antiklimaks, Keraf (2007: 125)
berpendapat bahwa antiklimaks sebagai gaya bahasa merupakan suatu
acuan yang gagasan-gagasannya diurutkan dari yang terpenting berturut-
turut ke gagasan yang kurang penting.
Retorik adalah majas penegasan dengan mempergunakan kalimat
tanya yang sebenarnya tidak memerlukan jawaban karena sudah
diketahuinya, misalnya Mana mungkin orang mati hidup kembali?
Koreksio adalah majas penegasan berupa membetulkan (mengoreksi)
kembali kata-kata yang salah diucapkan, baik disengaja maupun tidak,
misal Hari ini sakit ingatan, eh maaf, sakit kepala maksudku. Dengan
memberikan istilah yang lain dari majas koreksio ini, yaitu majas
epanortosis, Keraf (2007: 135) mengatakan bahwa koreksio atau
epartonosis adalah suatu gaya yang berwujud, mula-mula menegaskan
sesuatu, tetapi kemudian memperbaikinya.
Berikutnya, majas yang masih termasuk dalam kelompok majas
penegasan adalah asidenton. Asidenton adalah majas penegasan yang
menyebutkan beberapa benda, hal atau keadaan secara berturut-turut tanpa
memakai kata penghubung (Rustamaji, 2003: 85). Dengan sedikit
memberikan penjelasan yang lebih lengkap, Keraf (2007: 131)
mengatakan bahwa asidenton adalah suatu gaya yang berupa acuan, yang
bersifat padat dan mampat di mana beberapa kata, frasa, atau klausa yang
sederajat tidak dihubungkan dengan kata sambung, misal Kemeja, sepatu,
kaos kaki, dibelinya di toko itu. Majas penegasan yang merupakan
kebalikan dari asidenton adalah polisidenton. Bisa dikatakan, polisidenton
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
26
26
adalah majas penegasan yang menyatakan beberapa benda, hal atau
keadaan secara berturut-turut dengan memakai kata penghubung, misal
Dia tidak tahu, tetapi tetap saja ditanyai, akibatnya dia marah-marah.
Ekslamasio adalah majas penegasan yang memakai kata-kata seru
sebagai penegas, misal Amboi, indahnya pemandangan ini! Praeterio
adalah majas penegasan yang melukiskan sesuatu dengan
menyembunyikan atau merahasiakan sesuatu dan pembaca harus menerka
apa yang disembunyikan itu, misal Tidak usah kau sebut namanya, aku
sudah tahu siapa penyebab kegaduhan ini. Interupsi adalah majas
penegasan yang mempergunakan kata-kata atau bagian kalimat yang
disisipkan di antara kalimat pokok guna lebih menjelaskan dan
menekankan bagian kalimat sebelumnya, misal Aku, orang yang sepuluh
tahun bekerja di sini, belum pernah dinaikkan pangkatku.
4) Majas Pertentangan Majas pertentangan adalah majas yang bertujuan untuk
mempertentangkan sesuatu. Kata-kata berkias yang menyatakan
pertentangan dengan yang dimaksudkan sebenarnya oleh pembicara atau
penulis dengan maksud untuk memperhebat atau meningkatkan kesan dan
pengaruhnya kepada pembaca atau pendengar. Majas pertentangan dibagi
menjadi empat, yang meliputi: (1) antitesis; (2) paradoks; (3) okupasi; dan
(4) kontradiskio intermimis.
Antitesis adalah majas pertentangan yang melukiskan sesuatu
dengan mempergunakan kepaduan kata yang berlawanan arti, misal
Cantik atau tidak, kaya atau miskin, bukanlah suatu ukuran nilai
seseorang wanita. Untuk majas paradoks Keraf (2007: 136)
mengungkapkan bahwa paradoks adalah semacam gaya bahasa yang
mengandung pertentangan yang nyata dengan fakta-fakta yang ada.
Senada dengan hal tersebut, Rustamaji (2003: 84) berpendapat paradoks
merupakan majas pertentangan yang melukiskan sesuatu seolah-olah
bertentangan, padahal maksud sesungguhnya tidak, misal Hatinya sunyi
tinggal di kota Jakarta yang ramai.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
27
27
Majas pertentangan yang berikutnya, yaitu okupasi dan
kontradiskio intermimis. Okupasi adalah majas pertentangan yang
melukiskan sesuatu dengan bantahan, tetapi kemudian diberi penjelasan
atau diakhiri dengan kesimpulan, sedangkan kontradiskio intermimis
adalah majas pertentangan yang memperlihatkan pertentangan dengan
penjelasan semua (Rustamaji, 2003: 85). Misalnya, Merokok itu merusak
kesehatan, akan tetapi si perokok tak dapat menghentikan kebiasaannya.
Maka, muncullah pabrik-pabrik rokok karena untungnya banyak
(okupasi); Semua murid kelas ini hadir, kecuali si Hasan yang sedang ikut
jambore (kontradiskio intermimis).
4. Campur Kode a. Hakikat Campur Kode
Nababan mengatakan bahwa (1993: 32) campur kode (code-mixing)
adalah bilamana orang mencampur dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa
dalam suatu tindak bahasa (speech act or discourse) tanpa ada sesuatu dalam
situasi berbahasa itu menentukan percampuran bahasa itu. Proses ini terjadi
apabila seorang penutur menggunakan suatu bahasa secara dominan yang
mendukung suatu tuturan disisipi dengan unsur bahasa lainnya. Hal ini biasanya
berhubungan dengan karakteristik penutur, seperti latar belakang sosial, tingkat
pendidikan, dan rasa keagamaan.
Apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frase-frase
yang digunakan terdiri dari klausa dan frase campuran (hybrid clauses, hybrid
phrases) dan masing-masing klausa atau frase itu tidak lagi mendukung fungsi
sendiri-sendiri, maka peristiwa yang terjadi adalah campur kode. Seorang penutur
misalnya, yang dalam berbahasa Indonesia banyak menyelipkan serpihan-serpihan
bahasa daerahnya, bisa dikatakan telah melakukan campur kode. Akibatnya, akan
muncul satu ragam bahasa Indonesia yang kejawa-jawaan (kalau bahasa
daerahnya adalah bahasa Jawa).
Nababan (dalam Purwo, 1989: 94) memberikan batasan, yaitu campur
kode sebagai pemilihan atau penggunaan bahasa dan ragam bahasa yang hanya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
28
ditentukan oleh kebiasaan atau enaknya perasaan oleh mudahnya pengungkapan
seseorang pengguna bahasa. Hampir senada dengan pendapat tersebut, Kachru
(dalam Suwito, 1997: 76) memberikan batasan mengenai campur kode sebagai
pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur-unsur bahasa
yang satu ke dalam bahasa yang lain secara konsisten.
Kridalaksana (dalam Saddhono, 2007: 26) berpendapat bahwa campur
kode adalah (1) interferensi dan (2) penggunaan satuan bahasa dari satu bahasa ke
bahasa lain untuk memperluas gaya bahasa atau ragam bahasa; termasuk di
dalamnya pemakaian kata, klausa, idiom, dan sapaan. Dari beberapa pendapat
para ahli di atas dapat penulis simpulkan hakikat campur kode pada dasarnya
hampir sama, yaitu fenomena pencampuran bahasa kedua ke dalam bahasa
pertama, pencampuran bahasa asing atau daerah ke dalam struktur bahasa ibu baik
dalam tingkat kata, frase, klausa, idiom, maupun sapaan.
b. Ciri-ciri Campur Kode Campur kode memiliki beberapa ciri penanda. Ciri-ciri campur kode di
antaranya: (1) ciri-ciri ketergantungan ditandai oleh adanya hubungan timbal balik
antara peranan dan fungsi kebahasaan, (2) unsur-unsur bahasa atau variasi-
variasinya yang menyisip di dalam bahasa lain tidak lagi mempunyai fungsi
sendiri, dan (3) dalam kondisi yang maksimal, campur kode merupakan
konvergensi kebahasaan (linguistic convergence) yang unsur-unsurnya berasal
dari beberapa bahasa yang masing-masing telah meninggalkan fungsi bahasa yang
disisipinya, baik campur kode ke dalam maupun keluar (Suwito, 1997: 75).
Ciri-ciri ketergantungan campur kode ditandai oleh adanya hubungan
timbal balik antara peranan dan fungsi kebahasaan. Peranan maksudnya siapa
yang menggunakan bahasa itu, sedangkan fungsi kebahasaan berarti apa yang
hendak dicapai oleh penutur dengan tuturannya. Unsur-unsur bahasa atau variasi-
variasinya menyisip di dalam bahasa lain dan tidak lagi mempunyai fungsi
tersendiri. Unsur-unsur itu telah menyatu dengan bahasa yang disisipinya dan
secara keseluruhan hanya mendukung satu fungsi. Dalam kondisi yang maksimal,
campur kode merupakan konvergensi kebahasaan (linguistic convergence) yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
29
29
unsur-unsurnya berasal dari beberapa bahasa yang masing-masing telah
menanggalkan fungsinya dan mendukung fungsi bahasa yang disisipinya.
c. Latar Belakang Campur Kode Suwito (1997: 90) mengatakan latar belakang terjadinya campur kode
dapat digolongkan menjadi dua, yaitu tipe yang berlatar belakang pada sikap
(Attitudinal Type) dan tipe yang berlatar belakang kebahasaan (Linguistic Type).
Kedua tipe tersebut saling bergantung dan tidak jarang bertumpang tindih (over
laping). Atas dasar latar belakang sikap dan kebahasaan yang saling bergantung
dan bertumpang tindih, maka dapat diidentifikasikan beberapa alasan atau
penyebab yang mendorong terjadinya campur kode, di antaranya: (a) identifikasi
peranan; (b) identifikasi ragam; dan (c) identifikasi keinginan menjelaskan dan
menafsirkan.
Untuk identifikasi peranan adalah sosial, registral, dan edukasional.
Identifikasi ragam ditentukan oleh bahasa seorang penutur melakukan campur
kode yang akan menempatkan dia di dalam hierarki status sosialnya. Identifikasi
keinginan untuk menjelaskan dan menafsirkan tampak dalam sikap dan hubungan
orang lain terhadap orang lain.
Dengan demikian, campur kode terjadi karena adanya hubungan timbal
balik antara peranan penutur, bentuk bahasa, dan fungsi bahasa. Penutur yang
mempunyai latar belakang sosial tertentu, cenderung memilih bentuk campur
kode tertentu untuk mendukung fungsi-fungsi tertentu. Pemilihan tersebut
dimaksudkan untuk menunjukkan status sosial dan identitas pribadinya dalam
masyarakat.
d. Macam-macam Campur Kode Campur kode yang bersumber dari bahasa asli atau daerah dengan segala
variasinya disebut campur kode ke dalam (Innercode Mixing), sedangkan campur
kode yang berasal dari bahasa asing disebut campur kode ke luar (Outercode
Mixing). Campur kode itu dapat berupa percampuran serpihan kata, frase, dan
klausa suatu bahasa di dalam bahasa lain yang digunakan. Intinya, ada satu bahasa
yang digunakan, tetapi di dalamnya terdapat serpihan-serpihan dari bahasa lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
30
Di dalam campur kode, ada sebuah kode utama atau kode dasar yang
memiliki fungsi dan keotonomiannya; sedangkan kode-kode lain yang terlibat
dalam peristiwa tutur itu hanyalah berupa serpihan-serpihan saja, tanpa fungsi
atau keotonomian sebagai sebuah kode. Berdasarkan unsur-unsur kebahasaan
yang terlibat di dalamnya, Suwito (1997: 78-80) mengklasifikasikan campur kode
menjadi 6 macam, antara lain: 1) penyisipan unsur-unsur yang berwujud kata,
misal Mangka seringkali sok ada kata-kata seolah-olah bahasa; 2) penyisipan
unsur-unsur yang berwujud frasa, misal Nah, karena saya kadhung apik sama dia,
ya tak teken; 3) penyisipan unsur-unsur yang berwujud baster, misal Banyak klap
malam yang harus ditutup; 4) penyisipan unsur-unsur yang berwujud perulangan
kata, misal Sudah waktunya kita menghindari backing-backingan dan klik-klikan;
5) penyisipan unsur-unsur yang berwujud ungkapan atau idiom, misal Pada waktu
ini hendaknya kita hindari cara bekerja alon-alon asal kelakon; dan 6) penyisipan
unsur-unsur yang berwujud klausa, misal Pemimpin yang bijaksana akan selalu
bertindak ing ngarso sung tuladha, ing madya mbangun karsa, tut wur handayani.
5. Alih Kode
a. Hakikat Alih Kode Nababan (1993: 31) berpendapat bahwa alih kode adalah peralihan dari
satu ragam fungsiolek (umpamanya ragam santai) ke ragam yang lain
(umpamanya ragam formal), atau dari satu dialek ke dialek lain. Senada dengan
Nababan, Chaer (1994: 141) menyatakan bahwa alih kode merupakan perubahan
dari ragam santai menjadi ragam resmi, atau juga ragam resmi ke ragam santai.
Suwito (1997: 81) menyatakan alih kode sebagai suatu peristiwa peralihan
dari kode yang satu ke kode yang lain. Jadi, apabila penutur menggunakan kode A
(misalnya bahasa Indonesia) kemudian beralih kode (umpamanya bahasa Jawa),
maka peristiwa peralihan pemakaian bahasa seperti itu disebut dengan alih kode.
Thelander (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 115) mengungkapkan bahwa bila di
dalam suatu peristiwa tutur terjadi peralihan dari satu klausa suatu bahasa ke
klausa bahasa yang lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode. Sedikit
berbeda dengan pendapat di atas, Fasold (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 115)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
31
31
mengatakan bahwa apabila satu klausa jelas-jelas memiliki struktur gramatika
bahasa lain, maka peristiwa yang terjadi adalah alih kode.
Alih kode terjadi dengan masing-masing bahasa yang digunakan masih
memiliki otonomi masing-masing, dilakukan dengan sadar, dan disengaja karena
sebab-sebab tertentu. Appel (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 107) memberikan
batasan alih kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan
situasi. Berbeda dengan Appel yang mengatakan alih kode itu terjadi antarbahasa,
maka Hymes (dalam Chaer dan Agustina, 2004: 107) menyatakan alih kode bukan
hanya terjadi antarbahasa, tetapi dapat juga terjadi antara ragam-ragam atau gaya-
gaya yang terdapat dalam suatu bahasa.
Alih kode merupakan salah satu aspek ketergantungan bahasa (language
dependency) dalam masyarakat multilingual. Dalam masyarakat multilingual
sangat sulit seorang penutur mutlak hanya menggunakan satu bahasa. Dalam alih
kode masing-masing bahasa masih cenderung mendukung fungsi masing-masing
dan masing-masing fungsi sesuai dengan konteksnya.
b. Ciri-ciri Alih Kode Alih kode mempunyai sejumlah ciri-ciri sebagaimana yang diungkapkan
oleh Suwito (1997: 69), antara lain: (1) alih kode merupakan salah satu aspek
tentang saling ketergantungn masyarakat multilingual; (2) masing-masing bahasa
masih mendukung fungsi-fungsi tersendiri sesuai dengan konteksnya; (3) fungsi
masing-masing bahasa disesuaikan dengan situasi yang relevan dengan perubahan
konteks; dan (4) dalam peristiwa alih kode mungkin terjadi kontinum yaitu
peralihan antara kode satu ke kode yang lain. Dengan demikian, alih kode
menunjukkan suatu gejala adanya saling ketergantungan antara fungsi kontekstual
dan situasi relevansi di dalam pemakaian dua bahasa atau lebih.
Gejala tersebut dalam praktiknya, sering ditemukan peristiwa tutur tertentu
terjadi alih kode intern dan alih kode ekstern secara beruntun. Hal tersebut terjadi
apabila fungsi kontekstual dan situasi relevansialnya dinilai oleh penutur cocok
untuk dilakukan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
32
c. Latar Belakang Alih Kode Peristiwa alih kode tidak terjadi begitu saja. Banyak faktor yang
melatarbelakanginya. Suwito (1997: 85-87) menyatakan beberapa faktor yang
menyebabkan alih kode, antara lain: (1) penutur; (2) lawan tutur; (3) hadirnya
penutur ketiga; (4) pokok pembicaraan; (5) membangkitkan rasa humor; dan
(6) untuk sekedar bergengsi.
Seorang penutur kadang dengan sengaja beralih kode terhadap mitra tutur
karena suatu tujuan atau maksud. Misalnya, mengubah situasi dari resmi menjadi
tidak resmi atau sebaliknya. Dengan kata lain, seorang pembicara atau penutur
seringkali melakukan alih kode untuk mendapatkan keuntungan atau manfaat dari
tindakannya tersebut. Alih kode yang dilakukan seorang penutur untuk
memperoleh keuntungan biasanya terjadi dalam peristiwa tutur yang
mengharapkan bantuan lawan tuturnya.
Faktor kedua penyebab alih kode adalah mitra tutur. Lawan bicara atau
mitra tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode, misalnya karena si penutur
ingin mengimbangi kemampuan berbahasa si mitra tutur. Mitra tutur yang latar
belakang kebahasaannya sama dengan penutur biasanya beralih kode dalam wujud
alih varian dan bila mitra tutur berlatar belakang kebahasaan berbeda cenderung
alih kode berupa alih bahasa. Perbedaan latar belakang bahasa juga berkitan erat
dengan hadirnya penutur ketiga dalam pembicaraan.
Kehadiran orang ketiga atau pihak lain yang tidak memiliki latar belakang
bahasa yang sama dengan latar belakang bahasa yang digunakan oleh penutur dan
mitra tutur dapat menyebabkan terjadinya alih kode. Untuk menetralisasi situasi
dan menghormati kehadiran mitra tutur ketiga, biasanya penutur dan mitra tutur
beralih kode, apalagi bila latar belakang kebahasaan mereka berbeda. Chaer dan
Agustina (2004: 110) menambahkan bahwa status penutur ketiga dalam alih kode
juga menentukan bahasa atau varian yang digunakan.
Pokok pembicaraan atau topik merupakan faktor yang dominan dalam
menentukan terjadinya alih kode. Pokok pembicaraan yang bersifat formal
biasanya diungkapkan dengan ragam baku dengan gaya netral dan serius,
sedangkan pokok pembicaraan yang bersifat informal disampaikan dengan bahasa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
33
33
tak baku, gaya sedikit emosional, dan serba seenaknya. Meskipun demikian, alih
kode tidak akan terjadi jika pergantian topik pembicaraan masih dalam situasi
formal (Chaer dan Agustina, 2004: 112), misalnya topik tentang kesejahteraan
masyarakat tuna susila berubah menjadi topik tentang pengurangan hak seorang
napi, yang dalam masyarakat tutur Indonesia harus menggunakan ragam resmi.
Perubahan yang terjadi hanya mungkin pada registernya.
Faktor berikutnya, yang melatar belakangi terjadinya alih kode, adalah
faktor humor dan gengsi. Alih kode juga sering dimanfaatkan oleh guru,
pemimpin rapat, atau pun pelawak untuk membenagkitkan rasa humor. Biasanya
dilakukan dengan alih varian, alih ragam, atau alih gaya bicara. Untuk sekedar
bergengsi oleh penutur walaupun faktor situasi, lawan bicara, topik, dan faktor
sosio-situasional tidak mengharapkan adanya alih kode. Hal ini terjadi apabila si
penutur mempunyai penilaian bahasa yang satu dianggap lebih tinggi dan bahasa
lainnya dianggap lebih rendah. Faktor-faktor penyebab alih kode tersebut sangat
berkaitan dengan verbal repertoire yang terdapat dalam masyarakat tutur.
6. Iklan a. Hakikat Iklan
Iklan adalah produk tontonan yang dikemas dalam sebuah rangkaian yang
berisi berbagai tanda, ilusi, manipulasi, citra, dan makna. Informasi melalui iklan
dinilai berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap persepsi,
pemahaman, dan tingkah laku masyarakat (Darmawan, 2006). Rahmadi
(1994: 36) menyatakan bahwa iklan atau advertising berasal dari bahasa Latin
adverte yang berarti mengarahkan. Berbeda dengan pendapat Rahmadi, Sudiana
(1986: 1) menyatakan bahwa iklan merupakan bagian dari reklame yang berasal