Difusi Osmosis

107
REKAYASA PROSES PENYULINGAN MINYAK AKAR WANGI DENGAN PENINGKATAN TEKANAN DAN LAJU ALIR UAP BERTAHAP TUTI TUTUARIMA SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2009

description

Tentang penjelasan bagaimana sebuah difusi osmosis terjadi dalam memberikan info untuk mendukung hasil penelitian minyak atsiri

Transcript of Difusi Osmosis

Page 1: Difusi Osmosis

REKAYASA PROSES PENYULINGAN MINYAK AKAR WANGI

DENGAN PENINGKATAN TEKANAN DAN LAJU ALIR UAP BERTAHAP

TUTI TUTUARIMA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009

Page 2: Difusi Osmosis

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Rekayasa Proses Penyulingan Minyak Akar Wangi Dengan Peningkatan Tekanan dan Laju Alir Uap Bertahap adalah karya saya sendiri atas arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2009

Tuti Tutuarima NRP F351060031

Page 3: Difusi Osmosis

ii

ABSTRACT

TUTI TUTUARIMA. Process Design of Vetiver Oil Distillation by Increase of Pressure and Steam Flow Rate. Under direction of MEIKA S. RUSLI, ERLIZA NOOR and EDY MULYONO.

Indonesia is one of world wide vetiver oil major producers. The main problem of Indonesian vetiver oil especially the oil from Garut is low yield (about 0.6-0.8%) and poor quality (dark color & scorched odor). This study was aimed to improve distillation process performance of vetiver oil to obtain better oil recovery and quality.

Steam distillation and stainless steel kettle (5 kg capacity of vetiver) with pressure reducing valve (PRV) were used in this study. Raw material used in the study was vetiver root (Vetiveria zizanioides Stapt) in the type of Pulus Wangi collected from vetiver plantation in Garut, West Java. Treatments applied in this study were distillation by gradual increased steam pressure (2, 2.5, and 3 bar) with constant water steam flow rate (1, 1.5, and 2 l/h kg) for each of the steam pressure for 9 hours period. Other two additional treatments were also applied in the study, namely (1) distillation by gradual increased steam pressure without regulated steam flow rate, and (2) distillation by gradual increased steam pressure with gradual steam flow rate. Quality of the vetiver oil was analyzed according to the method of SNI 06-2386-2006 and compared with ISO 4716:2002. Compositions of the vetiver oil were identified through the GC MS analysis.

The use of gradual increased steam pressure (2, 2.5, 3 bar) resulted in 92.58% of recovery performance, which was slightly higher than 90.37% of the constant pressure of 3 bars. Steam flow rate affected the recovery performance of distillation process, significantly. The increased steam flow rate during distillation process was able to improve the recovery performance of distillation. However, in general, the highest constant steam flow rate of 2 l/h kg showed better recovery performance. The use of gradual increased pressure up to 3 bars and steam flow rate of 2 l/h kg material revealed high performance recovery with appropriate quality as the SNI and ISO standards. The use of gradual increased pressure up to 3 bars could produce vetiver oil fraction with appropriate component composition of boiling point. Components of vetiver oil, khusimene and khusimone, were extracted at the pressure of 2 and 2.5 bars; whereas α-vetivone, β-vetivon, and khusenic acid were extracted at the three type of pressures with the greater increased of percentage at 3 bars. The kinetics for vetiver oil distillation could be predicted by the equations of the solvent extraction kinetics model. The obtained equation of kinetics parameters was k = 0840 V0.530.

Keywords : vetiver oil, steam distillation, oil recovery

Page 4: Difusi Osmosis

iii

RINGKASAN

TUTI TUTUARIMA. Rekayasa Proses Penyulingan Minyak Akar Wangi Dengan Peningkatan Tekanan dan Laju Alir Uap Bertahap. Dibimbing oleh MEIKA S. RUSLI, ERLIZA NOOR dan EDY MULYONO.

Minyak akar wangi bagi Indonesia merupakan salah satu komoditas yang memberikan peranan penting untuk pendapatan devisa negara dari hasil ekspor minyak atsiri secara keseluruhan. Permasalahan utama yang dihadapi minyak akar wangi Indonesia khususnya di Garut adalah rendahnya rendemen (berkisar antara 0,6–0,8%) dan kualitas minyak (warna gelap dan bau gosong). Penelitian ini bertujuan untuk memperbaiki proses penyulingan minyak akar wangi sehingga dapat menghasilkan recovery dan kualitas tinggi melalui rekayasa disain proses penyulingan dengan peningkatan tekanan dan laju uap secara bertahap.

Penelitian ini terdiri dari 2 tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan bertujuan untuk melihat pengaruh penggunaan tekanan konstan terhadap recovery minyak akar wangi. Tekanan yang digunakan adalah 1, 2, dan 3 bar. Hasil yang didapat pada penelitian pendahuluan digunakan untuk menentukan disain proses penyulingan dengan pendekatan peningkatan tekanan secara bertahap. Penelitian utama bertujuan untuk melihat pengaruh disain proses penyulingan tekanan bertahap pada laju alir uap yang berbeda terhadap recovery dan mutu minyak akar wangi. Laju alir uap yang digunakan adalah 1, 1.5, dan 2 l/j kg bahan. Selain itu juga dilakukan 2 perlakuan tambahan yaitu penyulingan dengan peningkatan tekanan bertahap tanpa pengaturan laju alir uap dan penyulingan dengan peningkatan tekanan dan laju alir uap bertahap seiring peningkatan waktu. Analisa mutu minyak akar wangi berdasarkan SNI 06-2386-2006 dan dibandingkan dengan ISO 4716:2002. Analisa mutu meliputi warna, aroma, bobot jenis, indeks bias, bilangan asam, bilangan ester, bilangan ester setelah asetilasi, kelarutan dalam alkohol, dan total kandungan vetiverol. Komponen penyusun minyak akar wangi dideteksi melalui analisa GC MS.

Hasil penelitian pendahuluan memperlihatkan bahwa penggunaan tekanan yang lebih tinggi memberikan recovery yang lebih besar pada waktu yang sama. Penggunaan tekanan bertingkat untuk penelitian utama ditentukan berdasarkan nilai kemiringan grafik recovery minyak hasil penelitian pendahuluan. Peningkatan tekanan yang digunakan adalah 2, 2.5, dan 3 bar masing-masing setelah jam ke 2, 5, dan 9 operasi.

Penelitian utama memberikan hasil bahwa peningkatan tekanan dan laju alir uap mempengaruhi total recovery minyak yang dihasilkan dan waktu penyulingan. Penyulingan dengan peningkatan tekanan bertahap 2; 2,5; 3 bar, dan penggunaan laju alir uap yang lebih tinggi menaikkan recovery minyak hingga 92.58%. Kondisi proses ini juga dapat mempersingkat waktu penyulingan menjadi 9 jam sehingga dapat meningkatkan efisiensi produksi. Recovery minyak hasil penyulingan tekanan bertahap tanpa pengaturan laju alir uap adalah 92.58%, sedangkan recovery minyak hasil penyulingan tekanan bertahap dengan laju alir uap konstan 2 l/j kg bahan adalah 90.37%. Penyulingan dengan peningkatan tekanan bertahap menghasilkan minyak dengan mutu yang baik ditinjau dari beberapa parameter mutu SNI dan ISO. Sebagian besar komponen minyak akar

Page 5: Difusi Osmosis

iv

wangi terdistribusi sempurna sesuai dengan derajat penguapannya sebagai akibat dari penyulingan dengan peningkatan tekanan bertahap.

Penelitian lanjutan mengenai laju alir uap yang lebih dari 2 liter/jam/kg bahan serta pengaruhnya terhadap jumlah minyak yang dapat direcovery perlu dilakukan. Ini bertujuan untuk mengetahui batas penggunaan laju alir uap maksimum yang dapat meningkatkan recovery.

Kata Kunci : minyak akar wangi, penyulingan uap, recovery minyak

Page 6: Difusi Osmosis

v

©Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2009 Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar Institut Pertanian Bogor

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin Institut Pertanian Bogor

Page 7: Difusi Osmosis

vi

REKAYASA PROSES PENYULINGAN MINYAK AKAR WANGI DENGAN PENINGKATAN TEKANAN DAN

LAJU UAP BERTAHAP

TUTI TUTUARIMA

Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009

Page 8: Difusi Osmosis

vii

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Prayoga Suryadarma, STP. MT.

Page 9: Difusi Osmosis

viii

Judul Tesis : Rekayasa Proses Penyulingan Minyak Akar Wangi

Dengan Peningkatan Tekanan dan Laju Alir Uap Bertahap

Nama : Tuti Tutuarima NRP : F351060031

Disetujui

Komisi Pembimbing,

Dr. Ir. Meika Syahbana Rusli, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. Erliza Noor Anggota

Ir. Edy Mulyono, M.S. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi

Prof. Dr. Ir. Irawadi Djamaran

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S.

Tanggal Ujian : 18 Agustus 2009 Tanggal Lulus :

Page 10: Difusi Osmosis

ix

PRAKATA

Alhamdulillahirobbil’alamin. Puji syukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT, atas rahmat dan karunia Nya yang senantiasa dilimpahkan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul Rekayasa Proses Penyulingan Minyak Akar Wangi Dengan Peningkatan Tekanan dan Laju Alir Uap Bertahap sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sholawat dan salam penulis sampaikan kepada qudwah ummah sepanjang masa, Rasulullah Muhammad SAW, beserta keluarga, para shohabat dan orang-orang yang istiqomah menapaki jalan Nya hingga yaumil akhir nanti.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr. Ir, Meika Syahbana Rusli, M.Sc. selaku ketua komisi pembimbing, Ibu Dr. Ir. Erliza Noor dan Bapak Ir. Edy Mulyono, MS. selaku anggota komisi pembimbing, serta Bapak Prayoga Suryadarma, STP. MT. selaku penguji yang telah memberikan bimbingan, arahan dan masukan selama pelaksanaan penelitian hingga penyusunan tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kepala Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) dan staf, terutama Pak Dedi, Pak Makmun, Bu Eni serta staf dan teknisi laboratorium di lingkungan Departemen Teknologi Industri Pertanian yang telah membantu selama penelitian. Terimakasih juga kepada Departemen Pertanian melalui Program Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) yang telah mendanai penelitian ini.

Ucapan terima kasih yang tulus penulis haturkan kepada Mak dan Bak, kakak-kakak terutama Dodang, keponakan, dan seluruh keluarga besar yang telah memberikan dukungan, doa, dan kasih sayang sehingga penulis dapat menyelesaikan studi ini. Terima kasih pula buat saudaraku Rahmat, Ria, Mba Tini, Bu Ros, Bu Cut; teman-teman di PCH Uni Fit, Ayuk Desi, Kak Sahara, Ayuk Sherly; teman-teman ngaji Teh Erni, Patma, Mba Tiwi, Siti, Mba Rina; serta rekan-rekan TIP angkatan 2006 yang selalu memberikan dukungan. Selama penyusunan tesis ini, penulis banyak mendapatkan bantuan dan masukan, baik berupa petunjuk-petunjuk, bimbingan, dan lain-lainnya dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat penuliskan satu per satu.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan tesis ini masih jauh dari kesempurnaan. Dengan hati yang ikhlas penulis mengharapkan agar kiranya kekurangan dan kesalahan dalam tulisan ini dapat menjadi inspirasi untuk perbaikan di masa yang akan datang.

Penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat bagi kita semua. Semoga Allah SWT menerima apa yang telah penulis lakukan sebagai wujud syukur kepada-Nya dan Allah mengampuni semua kesalahan kita. Amin.

Bogor, Agustus 2009

Tuti Tutuarima

Page 11: Difusi Osmosis

x

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bengkulu pada tanggal 11 April 1983 dari ayah H.M.Sabri dan ibu Hj. Ruhana. Penulis merupakan putri bungsu dari tujuh bersaudara.

Tahun 2001 penulis lulus dari SMU Negeri 2 Bengkulu dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk Universitas Bengkulu melalui jalur Penelusuran Potensi Akademik (PPA) pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian, lulus tahun 2005. Pada tahun 2006 penulis melanjutkan pendidikan Program Magister di Institut Pertanian Bogor pada program studi yang sama atas tawaran Kakak tercinta Mahyudin Shobri. Biaya penelitian penulis peroleh dari Departemen Pertanian melalui Program KKP3T tahun 2007.

Page 12: Difusi Osmosis

xi

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL.............................................................................................. xiii DAFTAR GAMBAR .........................................................................................xiv DAFTAR LAMPIRAN...................................................................................... xv

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ................................................................................ 1 1.2 Perumusan Masalah......................................................................... 4 1.3 Tujuan Penelitian............................................................................. 4 1.4 Manfaat Penelitian........................................................................... 4 1.5 Ruang Lingkup Penelitian............................................................... 4 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Minyak Akar Wangi........................................................................ 6 2.2 Standar Mutu Minyak Akar Wangi................................................. 12 2.3 Penyulingan Minyak Akar Wangi................................................... 13 2.4 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Minyak Akar Wangi 17 2.5 Model Kinetika Penyulingan Minyak Atsiri ................................... 21 III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat .......................................................................... 22 3.2 Bahan dan Alat ................................................................................ 22 3.3 Tahapan Penelitian .......................................................................... 24 3.4 Pemodelan Kinetika ........................................................................ 28 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Karakterisasi Akar Wangi ............................................................... 29 4.2 Penyulingan Minyak Akar Wangi dengan Tekanan Konstan ......... 29 4.3 Disain Proses Penyulingan Minyak Akar Wangi............................ 32

4.4 Penyulingan dengan Peningkatan Tekanan Bertahap Tanpa Pengaturan Laju Alir Uap ............................................................... 34

4.5 Penyulingan dengan Peningkatan Tekanan Bertahap dan Laju Alir Uap Konstan .................................................................... 36

4.6 Penyulingan dengan Peningkatan Tekanan dan Laju Alir Uap Bertahap................................................................................... 37

4.7 Mutu Minyak Akar Wangi Hasil Penyulingan Tekanan Bertahap .......................................................................................... 38

4.8 Distribusi Komponen Minyak Akar Wangi .................................... 44 4.9 Model Kinetika Penyulingan Minyak Akar Wangi......................... 48

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan...................................................................................... 53 5.2 Saran................................................................................................ 53

Page 13: Difusi Osmosis

xii

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................55 LAMPIRAN....................................................................................................... 60

Page 14: Difusi Osmosis

xiii

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Perkembangan ekspor impor akar wangi............................................... 1

Tabel 2 Komposisi kimia minyak akar wangi .................................................... 9

Tabel 3 Analisa GC-MS komponen minyak akar wangi .................................... 10

Tabel 4 Beberapa penelitian minyak akar wangi ................................................ 11

Tabel 5 Sifat fisik dan kimia minyak akar wangi beberapa negara produsen..... 12

Tabel 6 Standar mutu minyak akar wangi menurut SNI 06-2386-2006............. 13

Tabel 7 Standar mutu minyak akar wangi menurut ISO 7416 : 2002 ................ 13

Tabel 8 Hasil karakterisasi akar wangi ............................................................... 29

Tabel 9 Recoveri minyak pada penyulingan tekanan konstan............................ 33

Tabel 10 Perbandingan mutu minyak hasil penelitian dan penyulingan rakyat ... 44

Tabel 11 Distribusi luas area GC-MS minyak akar wangi ................................... 45

Tabel 12 Nilai koefisien distilasi .......................................................................... 49

Tabel 13 Model matematis untuk parameter kinetika penyulingan...................... 50

Page 15: Difusi Osmosis

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Kantung minyak akar wangi ............................................................... 7

Gambar 2 Mekanisme proses penyulingan minyak atsiri dengan air .................. 14

Gambar 3 Skema proses difusi ............................................................................ 15

Gambar 4 Skema proses osmosis......................................................................... 16

Gambar 5 Mekanisme proses penyulingan minyak atsiri dengan uap................. 17

Gambar 6 Skema sistem penyulingan uap langsung............................................ 23

Gambar 7 Diagram alir tahapan penelitian .......................................................... 25

Gambar 8 Akumulasi recoveri minyak terhadap waktu penyulingan.................. 30

Gambar 9 Laju alir uap terhadap waktu pada penyulingan tekanan konstan....... 31

Gambar 10 Recoveri minyak terhadap waktu penyulingan.................................. 33

Gambar 11 Recoveri minyak pada penyulingan tekanan bertahap tanpa

pengaturan laju alir uap dan tekanan bertahap laju alir uap

konstan ...............................................................................................34

Gambar 12 Laju alir uap terhadap waktu pada penyulingan tekanan bertahap

tanpa pengaturan laju ......................................................................... 35

Gambar 13 Recoveri minyak pada penyulingan tekanan bertahap dengan laju

alir uap konstan selama 9 jam ............................................................ 36

Gambar 14 Recoveri minyak pada tekanan dan laju alir uap bertahap................. 38

Gambar 15 Tampilan warna minyak akar wangi .................................................. 40

Gambar 16 Mutu minyak akar wangi pada penyulingan tekanan bertahap.......... 42

Gambar 17 Hasil Gas Chromathography minyak akar wangi perlakuan hasil

penyulingan dengan penyulingan tekanan bertahap dan laju alir

uap 2 l/j/kg ......................................................................................... 46

Gambar 18 Hasil Gas Chromathography minyak akar wangi perlakuan hasil

penyulingan dengan peningkatan tekanan dan laju alir uap

bertahap..............................................................................................47

Gambar 19 Kinetika penyulingan minyak akar wangi ......................................... 49

Gambar 20 Plot nilai koefisien distilasi terhadap laju alir uap ............................. 50

Gambar 21 Perbandingan konsentrasi minyak hasil percobaan dan hasil

prediksi model pada laju bertahap...................................................... 51

Page 16: Difusi Osmosis

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 Daftar istilah dan simbol .................................................................. 61

Lampiran 2 Prosedur analisa kadar air dan kadar minyak.................................. 62

Lampiran 3 Prosedur analisa sifat fisika kimia minyak akar wangi ................... 66

Lampiran 4 Recoveri minyak pada penyulingan tekanan konstan ..................... 76

Lampiran 5 Recoveri minyak pada penyulingan tekanan bertahap tanpa

pengaturan laju alir uap ................................................................... 76

Lampiran 6 Recoveri minyak pada penyulingan dengan tekanan bertahap

dan laju alir uap konstan.................................................................. 77

Lampiran 7 Recoveri minyak pada penyulingan dengan tekanan dan laju alir

uap bertahap.................................................................................... 77

Lampiran 8 Laju alir uap pada tekanan konstan ................................................. 78

Lampiran 9 Laju alir uap pada tekanan bertahap tanpa pengaturan laju alir

uap ...................................................................................................78

Lampiran 10 Laju alir uap pada tekanan bertahap dan laju alir uap konstan...... 79

Lampiran 11 Laju alir uap pada tekanan dan laju alir uap bertahap..................... 79

Lampiran 12 Mutu minyak pada penyulingan tekanan bertahap dan laju alir

uap konstan...................................................................................... 80

Lampiran 13 Mutu minyak pada penyulingan tekanan dan laju alir uap

bertahap........................................................................................... 80

Lampiran 14 Hasil Kromatografi Gas Spektrometri Massa Minyak Akar

Wangi pada Penyulingan Menggunakan Tekanan Bertahap dan

Laju Alir Uap 2 l/j/kg bahan ........................................................... 81

Lampiran 15 Hasil Kromatografi Gas Spektrometri Massa Minyak Akar

Wangi pada Penyulingan Menggunakan Tekanan dan Laju Alir

Uap Bertahap................................................................................... 85

Page 17: Difusi Osmosis

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Minyak akar wangi bagi Indonesia merupakan salah satu komoditas yang

memberikan peranan penting untuk pendapatan devisa negara dari hasil ekspor

minyak atsiri secara keseluruhan. Pada perdagangan internasional, Indonesia

merupakan penghasil utama minyak akar wangi terbesar ketiga setelah Haiti dan

Bourbon. Perkembangan ekspor dan impor minyak akar wangi sejak tahun 2001–

2005 disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan ekspor impor akar wangi

Ekspor Impor Tahun

Volume (kg) Nilai (US $) Volume (kg) Nilai (US $)

2001 1.583.798 1.759.241 2.312 43.728

2001 79.714 1.973.451 2.572 46.312

2003 45.821 1.428.682 2.465 18.680

2004 58.444 2.445.744 2.231 51.308

2005 74.210 1.544.618 532 22.890

Sumber : BPS 2001-2005

Volume ekspor minyak akar wangi Indonesia berfluktuasi dari tahun ke

tahun. Fluktuasi volume ekspor ini terutama disebabkan oleh mutu minyak akar

wangi yang tidak sesuai dengan permintaan pasar (tidak seragam dan mutu

rendah) (Kardinan 2005). Pasar luar negeri yang menyerap produk minyak akar

wangi antara lain negara Jepang, China, Singapura, India, Hongkong, Amerika

Serikat, Inggris, Perancis, Jerman, Belgia, Swiss, dan Italia (BPS 2005).

Sentra budidaya tanaman dan produksi minyak akar wangi di Indonesia

berada di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Produksi minyak akar wangi sebagian

besar dilakukan oleh industri kecil dengan menggunakan teknologi yang

sederhana/konvensional, sehingga seringkali minyak yang dihasilkan tidak

memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan eksportir maupun konsumen. Mutu

minyak akar wangi Indonesia merosot tajam sejak akhir tahun 90an sebagai akibat

Page 18: Difusi Osmosis

2

terjadinya burning pada proses penyulingan yang menyebabkan adanya aroma

gosong, sehingga dalam perdagangannya mendapatkan harga yang rendah

(Suryatmi et al. 2006).

Produksi minyak atsiri dilakukan melalui beberapa metode diantaranya

distilasi (penyulingan), pengepresan, ekstraksi pelarut, dan ekstraksi dengan

lemak padat (Ketaren 1985; Heat dan Reineiccus 1987; Wright 1991).

Penyulingan merupakan metode yang umum digunakan untuk mendapatkan

minyak dari bahan yang berbentuk buah, biji, daun, dan akar. Menurut Guenther

(1990) metode penyulingan dapat dilakukan dengan air (water distillation), air

dan uap atau kukus (water and steam distillation), dan uap (steam distillation).

Metode penyulingan yang digunakan produsen minyak akar wangi Garut adalah

penyulingan uap (steam) dengan tekanan tinggi berkisar 4–5 bar (Suryatmi 2006).

Penyulingan ini menghasilkan minyak dengan mutu yang kurang baik, seperti bau

gosong dan warna gelap. Pada tekanan uap 4 bar suhu mencapai 150oC, sehingga

terbentuk uap kering (superheated steam) yang dapat menghanguskan bahan-

bahan organik yang rentan terhadap panas. Metode dan kondisi operasi proses

penyulingan merupakan tahapan penting untuk menghasilkan minyak atsiri

dengan jumlah dan mutu yang tinggi. Menurut Ketaren (1985) jumlah minyak

yang menguap ditentukan oleh tekanan uap, berat molekul komponen-komponen

dalam minyak, dan laju penyulingan.

Guenther (1990) berpendapat agar diperoleh minyak yang bermutu tinggi

maka penyulingan hendaknya berlangsung pada tekanan rendah. Penyulingan

dengan menggunakan tekanan dan suhu rendah mempunyai keuntungan yaitu

minyak yang dihasilkan tidak mengalami kerusakan akibat panas. Hasil kajian

Suryatmi (2006) memperlihatkan bahwa penyulingan minyak akar wangi

menggunakan variasi tekanan konstan hingga 3 bar menghasilkan minyak akar

wangi yang lebih baik dibanding hasil minyak akar wangi pada umumnya karena

tidak berbau gosong. Penelitian lain menggunakan tekanan 2,5–3 bar

menghasilkan minyak akar wangi yang berbau lebih halus dan berwarna lebih

jernih (Feryanto 2007). Penggunaan tekanan yang lebih rendah membutuhkan

waktu penyulingan yang lebih lama. Pada tekanan tinggi (4–5 bar) hanya

dibutuhkan waktu 12 jam, tetapi pada tekanan lebih rendah diperlukan waktu

Page 19: Difusi Osmosis

3

selama 16–18 jam. Hal ini berdampak pada besarnya biaya bahan bakar (minyak

tanah) yang dikeluarkan (rata-rata 22 liter minyak tanah/jam) (Feryanto 2007).

Kondisi yang dihadapi industri minyak akar wangi di Garut tidak hanya

berdampak pada penurunan perolehan devisa negara, tetapi juga berdampak pada

pendapatan yang dialami sejumlah besar petani dan penyuling akar wangi.

Permasalahan ini perlu diatasi dengan upaya-upaya nyata secara tepat.

Penyelesaian permasalahan dalam proses penyulingan (distilasi) minyak akar

wangi dapat dilakukan melalui inovasi teknologi dengan menggunakan prinsip-

prinsip proses distilasi. Berdasarkan Hukum Hidrodestilasi, percepatan proses

penyulingan dapat dilakukan dengan meningkatkan tekanan uap air (steam) secara

bertahap (Sakiah 2006). Untuk menguapkan komponen-komponen minyak akar

wangi yang bertitik didih lebih tinggi diperlukan kalor yang besar, untuk itu laju

uap perlu ditingkatkan secara bertahap agar diperoleh rendemen minyak akar

wangi yang lebih tinggi. Sakiah (2006) melakukan penyulingan minyak pala

selama 10 jam dengan tekanan awal 0 bar selama 4 jam kemudian ditingkatkan

menjadi 0,5 bar selama 4 jam berikutnya dan ditingkatkan lagi menjadi 1,5 bar

sampai akhir penyulingan. Hal ini dapat meningkatkan rendemen lebih tinggi

(15.30% untuk biji pala dan 16.73% untuk fuli pala) dibandingkan dengan

penyulingan pada penggunaan tekanan konstan 0 bar selama 10 jam (14.20%

untuk biji pala dan 15.41% untuk fuli pala).

Selain tekanan, laju penyulingan berperan penting dalam menghasilkan

minyak yang baik. Laju yang tidak sesuai mengakibatkan proses penyulingan

tidak berlangsung sempurna. Milojevic (2008) menyimpulkan bahwa penggunaan

laju penyulingan yang besar dapat menghasilkan jumlah minyak yang lebih

banyak. Pada penggunaan laju penyulingan 0.13, 3.6, 10, dan 11.7 ml/menit

dihasilkan minyak 0.65%, 1.30%, 1.40%, dan 1.42%.

Sebagai upaya untuk menghasilkan minyak akar wangi bermutu dan

tingkat rendemen yang tinggi maka pada penelitian ini akan dilakukan modifikasi

proses penyulingan metode uap langsung menggunakan variasi peningkatan

tekanan dan laju uap. Sebagai alternatif dari proses penyulingan dengan tekanan

yang tinggi secara konstan, pendekatan ini diharapkan dapat meningkatkan mutu

dan perolehan minyak akar wangi.

Page 20: Difusi Osmosis

4

1.2. Perumusan Masalah

Penyulingan akar wangi menggunakan tekanan tinggi menghasilkan

minyak bermutu rendah yang ditandai dengan warna gelap dan bau gosong. Mutu

minyak akar wangi yang baik, diharapkan mampu meningkatkan harga jual baik

untuk pasar dalam dan luar negeri. Permasalahan yang menjadi dasar penelitian

ini adalah :

a. Bagaimana kondisi operasi proses penyulingan untuk menghasilkan

recovery minyak yang tinggi?

b. Bagaimana pengaruh kondisi proses tersebut terhadap mutu minyak akar

wangi yang dihasilkan?

c. Bagaimana sebaran komponen senyawa penyusun minyak akar wangi

hasil penyulingan tersebut?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

a. Mendapatkan kondisi operasi proses penyulingan untuk memperoleh

recovery yang tinggi dan mutu yang sesuai dengan SNI dan ISO;

b. Mengidentifikasi senyawa penyusun minyak akar wangi dari berbagai

tahapan penyulingan;

c. Memperkirakan model dan parameter kinetika pada penyulingan minyak

akar wangi.

1.4. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan produksi minyak akar

wangi yang memenuhi standar mutu nasional (SNI 06-2386-2006) dan

internasional (ISO 4716:2002) sehingga berdampak pada peningkatan pendapatan

petani dan penyuling, serta memberikan manfaat terhadap pengembangan

teknologi produksi minyak atsiri.

1.5. Ruang Lingkup

Ruang lingkup pada penelitian ini adalah :

a. Karakterisasi bahan baku akar wangi meliputi kadar air dan kadar minyak.

Bahan baku yang digunakan adalah akar wangi jenis Pulus Wangi

Page 21: Difusi Osmosis

5

berumur 12 bulan yang berasal dari Kecamatan Sukahardja Kabupaten

Garut.

b. Penyulingan minyak akar wangi menggunakan metode uap langsung yang

berasal dari boiler berbahan bakar listrik. Alat penyuling terbuat dari

bahan stainles steel kapasitas 5 kg akar wangi kering (volume 90 liter);

dilengkapi PRV (Pressure Reducing Valve); kondensor tipe spiral.

Penyulingan terdiri dari berbagai perlakuan, antara lain penyulingan

dengan tekanan konstan 1-3 bar, penyulingan dengan tekanan meningkat

bertahap, penyulingan dengan tekanan meningkat bertahap dan laju alir

uap konstan 1-2 l/j kg bahan, penyulingan dengan tekanan dan laju alir

uap meningkat bertahap

c. Analisa mutu minyak akar wangi menggunakan metode berdasarkan SNI

06-2386-2006. Parameter yang dianalisa adalah bobot jenis, indeks bias,

putaran optik, kelarutan dalam etanol 95%, bilangan asam, bilangan ester

dan bilangan ester setelah asetilasi.

d. Identifikasi komponen minyak akar wangi hasil menggunakan GC MS

(Gas Chromatohrapy Mass Spectrometry) dan database WILEY275 di

Labkesda DKI Jakarta. Identifikasi ini hanya dilakukan pada minyak hasil

penyulingan dengan tekanan meningkat bertahap dan laju alir uap konstan

2 l/j kg bahan serta minyak hasil penyulingan dengan tekanan dan laju alir

uap meningkat bertahap.

Penelitian ini dilaksanakan bersama-sama dengan kandidat Magister Sains

Program Mayor Teknologi Pasca Panen (TPP), Ir. Rosniyati Suwarda, dalam

kerangka Proyek Penelitian Departemen Pertanian melalui Program Kerjasama

Kemitraan Penelitian Pertanian dengan Perguruan Tinggi (KKP3T) tahun 2007.

Page 22: Difusi Osmosis

6

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Minyak Akar Wangi

Akar wangi (Vetiveria zizanoides) merupakan salah satu tanaman

penghasil minyak atsiri yang potensial. Tanaman dari famili Gramineae ini telah

lama dikenal di Indonesia dan menjadi salah satu komoditas ekspor nonmigas.

Rumpun tanaman akar wangi terdiri dari beberapa anak rumpun yang memiliki

sejumlah akar-akar halus, berwarna kuning pucat atau abu-abu sampai kemerahan

(Ketaren 1985 dan Santoso 1993). Tanaman akar wangi dapat menghasilkan

minyak yang dikenal dengan minyak akar wangi (vetiver oil) melalui proses

penyulingan.

Pada tanaman akar wangi menurut Heyne (1987), hanya bagian akar yang

mengandung minyak, sedangkan batang, daun, dan bagian lain tidak mengandung

minyak. Akar yang menghasilkan minyak dengan mutu yang baik dipanen pada

umur 22 bulan dan rendemen akar yang diperoleh 190 gram per rumpun. Ketaren

(1985) menyebutkan bahwa akar yang masih muda bersifat lemah, halus seperti

rambut dan jika dicabut dapat putus dan tertinggal dalam tanah. Selain itu akar

yang muda menghasilkan minyak dengan berat jenis dan putaran optik yang

rendah, berbau seperti daun. Akar yang lebih tua dan cukup baik pertumbuhannya,

berupa akar yang lebih tebal dan dapat menghasilkan minyak dengan mutu yang

lebih baik, serta memiliki jenis dan putaran optik yang lebih tinggi, berbau lebih

wangi dan lebih tahan lama.

Minyak akar wangi merupakan cairan kental, berwarna kuning kecoklatan

hingga coklat gelap, memiliki aroma sweet, earthy, dan woody (Martinez et al.

2004). Minyak akar wangi secara luas digunakan untuk pembuatan parfum, bahan

kosmetika, pewangi sabun dan obat-obatan, serta pembasmi dan pencegah

serangga (Kardinan 2005). Minyak akar wangi dapat juga digunakan sebagai

aroma terapi dan pangan, yaitu sebagai penambah aroma dalam pengalengan

asparagus dan sebagai flavor agent dalam minuman (Martinez et al. 2004).

Minyak ini juga berfungsi sebagai pengikat karena mempunyai daya fiksasi

(pengikat) yang kuat, sehingga sering digunakan sebagai campuran parfum untuk

mempertahankan aroma.

Page 23: Difusi Osmosis

7

Minyak akar wangi memiliki aroma yang kuat (Luu 2007), oleh karena itu

minyak ini banyak digunakan sebagai bahan baku untuk berbagai macam produk

wewangian pada parfum, deodorant, lotions, sabun; sebagai bahan aromaterapi

(Guenther 1990; Luthony & Yeyet 1999; Luu 2007); sebagai zat fiksatif dan

komponen campuran dalam industri kosmetik (Akhila & Rani 2002; Martinez et

al. 2004; Kardinan 2005); sebagai pembasmi dan pencegah serangga (Kardinan

2005); dalam obat herbal sebagai carminative, stimulant, dan diaphoretic

(Lavania 1988; Akhila & Rani 2002); dalam industri pangan digunakan sebagai

flavor agent pada pengalengan asparagus dan berbagai minuman (Martinez et al.

2004).

Minyak akar wangi tersimpan dalam kantung-kantung minyak yang

berada diantara lapisan cortex dan endodermis (Gambar 1). Minyak yang terletak

dibawah lapisan permukaan disebut sebagai subcutaneous oils (Denny 2001).

Pengeluaran minyak dari dalam bahan dilakukan dengan melewatkan uap panas

untuk merusak lapisan luar yang menutupi kantung minyak (epidermis dan

cortex). Menurut Guenther (1990), suhu tinggi dan pergerakan uap air yang

disebabkan oleh kenaikan suhu dalam ketel mempercepat proses difusi. Istilah

difusi dalam konteks ini adalah penetrasi dari berbagai komponen secara timbal

balik sehingga tercapai keseimbangan.

Gambar 1. Kantong minyak akar wangi (Lavania et al. 2008)

Minyak akar wangi merupakan salah satu minyak atsiri yang mengandung

campuran seskuiterpen alkohol dan hidrokarbon yang sangat kompleks

Page 24: Difusi Osmosis

8

(Cazaussus 1988; Akhila & Rani 2002), dan jenis minyak atsiri yang sangat

kental dengan laju volatilitas yang rendah (Akhila & Rani 2002). Luu (2007)

menyebutkan, komponen utama penyusun minyak akar wangi terdiri dari

sesquiterpen hidrokarbon (γ-cadinene, clovene, α-amorphine, aromadendrene,

junipene, dan turunan alkoholnya), vetiverol (khusimol, epiglobulol, spathulenol,

khusinol, serta turunan karbonilnya), dan vetivone (α-vetivone, β-vetivone,

khusimone dan turunan esternya). Diantara komponen-komponen tersebut, α-

vetivone, β-vetivone, dan khusimone merupakan komponen utama sebagai

penentu aroma minyak akar wangi. Ketiga komponen ini disebut sebagai sidik jari

(finger print) minyak akar wangi (Demole et al. 1995).

Shibamoto et al. (1981) mengidentifikasi sebelas komponen yang

terkandung dalam fraksi fenolik minyak akar wangi asal India menggunakan

metode kromatografi gas–spektrometri massa (KG-SM) dan resonansi magnet inti

(RMI). Komponen tersebut antara lain : metoksifenol, o-kresol, p-kresol, m-

kresol, eugenol, 4-vinilguaikol, cis-isoeugenol, trans-isoeugenol, 4-vinilfenol,

vanilin, dan asam zizanoat. Subhas et al. (1982) mengidentifikasi komponen

fraksi karbonil minyak akar wangi (±13%) antara lain : zizanal, epizizanal, α-

vetivone, β-vetivone, khusimone dan (+)-(1S,10R)-1,10-dimetilbisiklo[4.4.0]-dec-

6-en-3-on. Sementara komponen minyak akar wangi asal Burundi terdiri dari α-

muurolene, valensene, β-vetivene, α-vetivone, β-vetivone, khusimole, α-cadinol,

vetiselinenol, isosedranol, isokhusimol, dan β-bisabolol (Dethier et al. 1997).

Beberapa hasil identifikasi komponen menunjukkan kandungan senyawa

lebih dari 100 komponen (Cazaussus 1988), 28 komponen terutama dari golongan

sesquiterpen (Martinez et al. 2004). Hasil analisis terhadap minyak akar wangi

yang berasal dari Brazil, Haiti, Bourbon dan Indonesia, komposisi minyak

berbeda secara kuantitatif tetapi jenis komponen yang dihasilkan hampir sama

(Martinez et al. 2004). Komposisi minyak akar wangi dari beberapa daerah

produsen disajikan pada Tabel 2.

Page 25: Difusi Osmosis

9

Tabel 2. Komposisi kimia minyak akar wangi

Komponen Brazil (%) Haiti (%) Bourbon (%) Indonesia (%)

Pre-zizaene 1.0 0.4 0.4 0.8 Khusimene 1.7 0.9 - 3.0 α-amorphene 1.6 1.8 2.1 4.2 Cis-eudesma—6,11-diene 1.2 1.4 0.8 2.4 α-amorphene 1.4 1.1 1.8 3.5 β-vetispirene 1.0 1.1 1.0 2.7 γ-cadinene 0.6 - 0.3 0.7 γ-vetivenene 1.3 - 0.8 5.1 β-vetivenene 2.0 1.6 1.7 5.2 α-calacorene 0.9 0.8 - 0.7 Cis-eudesm-6-en-11-ol 1.9 2.4 2.1 1.1 Khusimone 3.6 3.5 3.9 2.6 Ziza-6(13)-en-3-one 2.5 1.4 2.8 2.1 Khusinol 3.4 1.9 1.7 2.4 Khusian-2-ol 3.4 3.4 2.8 1.3 Vetiselinenol 1.7 2.3 1.8 1.0 Cyclocopacamphan-12-ol 1.0 1.7 1.3 0.3 2-epi-ziza-6(13)-3 α-ol 1.9 1.6 1.2 1.1 Isovalencenal 1.6 2.5 2.1 1.0 β-vetivone 1.5 5.6 3.9 6.0 Khusimol 7.2 13.3 6.4 9.7 Nootkatone 1.1 0.4 0.4 - α-vetivone 5.4 4.8 3.3 4.0 Isovalencenol 3.0 15.3 8.9 4.4 Bicyclovetivenol 0.5 1.1 0.8 - Zizanoic acid 11.8 0.5 0.9 3.3 Hydrocarbons 12.7 9.1 8.9 28.3 Alcohols 24.0 43.0 27.0 21.3 Carbonyl compounds 15.7 18.2 16.4 17.7 Carboxylic acids 11.8 0.5 0.9 3.3 Total identified 64.2 70.8 53.2 70.6

Sumber : Martinez et al. (2004)

Kandungan minyak akar wangi Bone dan Garut menunjukkan adanya 21

dan 20 komponen senyawa minyak akar wangi untuk masing-masing daerah.

Jenis komponen disajikan pada Tabel 3.

Page 26: Difusi Osmosis

10

Tabel 3. Analisa GC-MS komponen minyak akar wangi Luas Relatif (%)

No. Komponen Formula Molekul Bone Garut

1. Isokaryophyllen C15H24 0.65 - 2. Karyophyllen C15H24 0.62 1.33 3. Napthallen C15H24 0.58 1.02 4. α- Amorphen C15H24 0.93 1.05 5. α- Karyophyllen C15H24 0.69 0.69 6. Kuparen C15H22 0.75 1.63 7. Kloven C15H24 0.65 0.49 8. 1,3,5-Siklononatrien C15H24 0.63 1.46 9. Dehidroaromadendren C15H22 0.69 0.46 10. 1H-Siklopropa[a] Napthallen C15H22 1.58 3.63 11. β- Kopaen C15H24O 1.78 2.56 12. Santalol C15H24O 1.88 2.70 13. Aromadendren C15H24 1.10 0.93 14. Ledol C15H26O 2.12 1.77 15. Azulenon C15H22O 1.18 1.23 16. Cendrenol C15H24O 1.98 2.10 17. Spathulenol C15H24O 5.82 9.18 18. β- Kopaen-4-α –ol C15H24O 3.28 6.54 19. Trisiklo oktan-5-asam karboksil C15H22O2 5.82 3.93 20. 3,7-Siklodecadien-1-on C15H22O 2.27 3.50 21. 2(3H)-Naphtalenon C15H22O 2.74 5.62

Sumber : Abraham (2002)

Penelitian tentang minyak akar wangi yang telah dilakukan hingga kini

mencakup teknik budidaya tanaman, teknologi proses, hingga komponen

penyusunnya. Pada Tabel 4 dapat dilihat rangkuman penelitian teknologi proses

produksi minyak akar wangi.

Page 27: Difusi Osmosis

11

Tabel 4. Beberapa penelitian minyak akar wangi

Referensi Kondisi Operasi

Metode Parameter proses Hasil

Triharyo et al. (2007)

• P = 1; 2; dan 3 atm.

• V = 17 ml/menit

• t = 12; 20; & 24 jam

Penyulingan uap Pengaruh tekanan dan waktu terhadap rendemen dan mutu minyak akar wangi serta penggunaan energi selama penyulingan.

Penggunaan tekanan 2 bar selama 20 jam memberikan rendemen 1,92% dengan menggunakan direct use geothermal.

Suryatmi (2006) • P = 1; 2; dan 3 atm.

• V = 0,32 – 0,35 ml/det

• t = 16 jam

Penyulingan uap Pengaruh tekanan terhadap rendemen dan mutu minyak akar wangi.

Rendemen terbaik pada tekanan 3 atm sebesar 1,124%

Abraham (2002) • P : 1,2 kg/cm2

• V : 116 ml/mnt

• t : 10 jam

Penyulingan uap Identifikasi komponen minyak akar wangi asal Bone dan Garut

Rendemen yang dihasilkan masing-masing 0,62% dan 0,96%. Diidentifikasi komponen yang sama dari kedua asal minyak yaitu α-vetivone, β-vetivone, khusimol, bisiklovetiverol, trisiklovetiverol, dan vetiver alkohol.

Rusli dan Anggraeni

(1999)

• P = 0,4; 0,8 dan 1,2 kg/cm2

• t = 8; 10; dan 12 jam

• V = 1,3 l/j/kg bahan

Penyulingan uap Pengaruh tekanan dan lama penyulingan terhadap rendemen dan mutu minyak akar wangi.

Kondisi yang terbaik adalah penggunaan tekanan 1,2 kg/cm2 selama 10 jam yang menghasilkan rendemen sebesar 2,3%.

Aggarwal et al. (1998)

• t = 12 jam • P = 103-

124 kPa • V = 15-20

liter/jam

Penyulingan air dan penyulingan uap

Pengaruh penyimpanan dan lama penyulingan terhadap yield

Waktu penyimpanan akar wangi yang lama akan menurunkan recoveri minyak. Waktu 10 jam dibutuhkan untuk menghasilkan minyak, lebih dari 10 jam tidak meningkatkan recoveri secara signifikan.

Moestafa et al. (1991)

• V : 500 dan 600 gr uap/jam

• t : 12; 16; 20; 24; 28; 32; dan 36 jam

Penyulingan air Pengaruh lama dan kecepatan penyulingan terhadap kadar minyak dan vetiverol akar wangi dengan penyulingan air

Hasil terbaik penyulingan dengan kecepatan 600 gram uap/jam selama 36 jam menghasilkan rendemen 2,47% & kadar vetiverol 63,91%.

Hardjono et al. (1973)

• M = 0,1 dan 0,07 kg/liter

• t = 16, 20, 24 dan 28 jam

Penyulingan air dan uap (kukus)

Pengaruh kepadatan bahan dan lama penyulingan terhadap rendemen dan kualitas minyak akar wangi

Hasil terbaik adalah kepadatan 0,07 kg/liter selama 20 jam dengan rendemen 2,02%.

Keterangan : P : tekanan; V : kec. penyulingan; t : waktu penyulingan; M : kepadatan bahan.

Page 28: Difusi Osmosis

12

2.2. Standar Mutu Minyak Akar Wangi

Senyawa-senyawa penyusun minyak akar wangi berpengaruh besar terhadap

sifat fisik dan kimia yang dimilikinya. Sifat ini menentukan mutu dan juga

dipengaruhi oleh faktor lain seperti asal daerah, jenis tanaman, umur panen,

metode dan peralatan penyulingan yang digunakan. Oleh karena itu, sifat fisik dan

kimia minyak akar wangi yang berasal dari beberapa negara produsen berbeda

satu sama lainnya. Perbedaan sifat minyak akar wangi tersebut dapat dilihat pada

Tabel 5.

Tabel 5. Sifat fisik dan kimia minyak akar wangi beberapa negara produsen

Jawa Karakteristik

Mutu Baik Mutu Ringan Reunion Haiti

Bobot jenis pada 15o 0,9926– 1,0444 0,9852–1,0015 0.99–1.02 0.999–1.014 Putaran optik + 20o 30’ s.d

+ 46o 0’ +14o 25’ s.d + 24o 10’

+14o 0’ s.d + 37o 0’

+22o 0’ s.d + 31o 44’

Indeks bias pada 20o 1,5189–1,5306 1,5223–1,52612

1.515–1.529

1.5198–1.5250

Bilangan asam 8,4–40,1 7,5–14,9 4.5–17 7.5–16.8 Bilangan ester 5,6–24,6 6,5–14,9 5–20 8.4–52.3 Bilangan ester setelah asetilasi

103,7–151,2 98–119,5 119–145 124–264

Kelarutan dalam alkohol 80 %

Larut dalam 1–2 vol. Kadang-kadang berubah warna sampai keruh dengan jumlah alkohol lebih banyak.

Tidak seluruhnya larut. Bercampur sempurna dengan alkohol 90%; pada kasus tertentu berubah warna jika diencerkan.

Larut dalam 1-2 vol alkohol 80%, dengan warna sedikit suram sampai keruh

Larut dalam 0.5 vol. alkohol 90%, kadang buram (cloudy) jika pengenceran dilanjutkan. Kadang juga larut dalam 1 vol. alkohol 80%.

Sumber : Guenther (1990)

Tinggi rendahnya mutu minyak akar wangi ditentukan oleh ciri-ciri fisik dan

kimianya. Ciri-ciri fisikokimia yang menjadi parameter mutu minyak akar wangi

antara lain warna, aroma, bobot jenis, indeks bias, bilangan asam, bilangan ester,

bilangan ester setelah asetilasi, kelarutan dalam alkohol, dan total kandungan

vetiverol dalam senyawa aromatik.

Minyak akar wangi Indonesia yang akan diperdagangkan harus memenuhi

standar mutu dan persyaratan mutu berdasarkan Standar Nasional Indonesia yaitu

SNI 06-2386-2006, seperti yang tercantum pada Tabel 6.

Page 29: Difusi Osmosis

13

Tabel 6. Standar mutu minyak akar wangi menurut SNI 06-2386-2006

No. Jenis Mutu / Satuan Satuan Syarat Mutu 1. Warna

- Kuning muda sampai coklat kemerahan

2. Bau - Khas akar wangi 3. Bobot jenis 20o/20o C - 0,980 – 1,003 4. Indeks bias pada 20o - 1,520 – 1,530 5. Bilangan asam - 10 - 35 6. Kelarutan dalam etanol 95 % - 1:1 jernih, dan seterusnya jernih 7. Bilangan ester - 5 – 26 8. Bilangan ester setelah asetilasi - 100 – 150 9. Vetiverol total % Minimum 50

Sumber : SNI 2006

Untuk perdagangan internasional standar yang diacu adalah ISO

(International Organization for Standardization) 4716:2002, seperti tercantum

pada Tabel 7.

Tabel 7. Standar mutu minyak akar wangi menurut ISO 4716:2002

Syarat Mutu No. Jenis Mutu / Satuan

Reunion Haiti 1. Warna Coklat hingga

merah kecoklatan Coklat hingga merah kecoklatan

2. Bau Khas akar wangi Khas akar wangi 3. Bobot jenis 20o/20o C 0,99 – 1,015 0,986 – 0,998 4. Indeks bias pada 20o 1,5220 – 1,5300 1,521 – 1,526 5. Bilangan asam Maks. 35 Maks. 14 6. Kelarutan dalam etanol 80 % pada 20o C Maks. 1 : 2 Maks. 1 : 2 7. Bilangan ester 5 - 16 5 – 16 8. Putaran optik pada 20o C +19 – +30 +22 – +38 9. Bilangan karbon 44 – 68 23 - 59

Sumber : ISO 2002

2.3. Penyulingan Minyak Akar Wangi

Penyulingan (distilasi) merupakan proses pemisahan komponen berupa

cairan atau padatan dari 2 macam campuran atau lebih, berdasarkan perbedaan

titik uapnya (Ketaren 1985). Proses penyulingan umum digunakan untuk

mendapatkan minyak atsiri dari tanaman.

Guenther (1990) menyebutkan ada tiga cara penyulingan yang umum

digunakan, yaitu penyulingan dengan air (water distillation), penyulingan dengan

air dan uap (water and steam distillation), dan penyulingan dengan uap (steam

distillation). Pada penyulingan dengan air, bahan yang akan disuling kontak

langsung dengan air mendidih. Pada penyulingan dengan menggunakan uap dan

Page 30: Difusi Osmosis

14

air, bahan diletakkan pada rak-rak atau saringan berlubang, sehingga bahan tidak

mengalami kontak langsung dengan air yang digunakan untuk menghasilkan uap.

Tekanan yang dihasilkan dalam ketel suling untuk kedua cara ini biasanya sekitar

1 atm. Penyulingan dengan menggunakan uap, pada dasarnya hampir sama

dengan penyulingan menggunakan uap dan air. Perbedaannya adalah uap panas

yang digunakan berasal dari ketel uap yang terpisah dari ketel suling. Tekanan

uap dalam ketel suling dapat dimodifikasi sesuai dengan kondisi bahan.

Pemilihan metode penyulingan sangat menentukan keberhasilan dan

efisiensi proses penyulingan. Penyulingan dengan uap langsung memiliki efisiensi

yang lebih tinggi dibandingkan penyulingan air dan penyulingan air–uap, tetapi

membutuhkan peralatan yang lebih komplek dan mahal (Risfaheri & Mulyono

2006). Ketaren (2004) merekomendasikan penyulingan uap untuk bahan yang

mengandung minyak bertitik didih tinggi/fraksi berat yang lebih stabil terhadap

panas seperti nilam, akar wangi, cendana, dan pala, karena dapat mempersingkat

waktu penyulingan.

Proses Penyulingan

Penyulingan menggunakan air (water distillation), air dan uap (kukus), dan

uap (steam distillation) umum digunakan untuk mendapatkan minyak akar wangi

(Tabel 4). Proses penyulingan tersebut terdiri dari beberapa mekanisme penting

yang dapat membantu dalam memahami fenomena yang terjadi selama proses.

Mekanisme penyulingan menggunakan air disajikan dalam Gambar 2.

Gambar 2. Mekanisme proses penyulingan minyak atsiri dengan air (water

distillation) (Azlina 2005)

Page 31: Difusi Osmosis

15

a. Difusi

Difusi memegang peranan penting pada ekstraksi minyak atsiri dari

tanaman. Geankoplis (1983) menyebutkan difusi molekuler didefinisikan

sebagai perpindahan molekul dalam fluida secara acak. Gambar 3

memperlihatkan skema proses difusi molekuler. Dari gambar tersebut, terlihat

molekul A (dalam hal ini adalah uap) berdifusi secara acak melalui molekul B

(minyak dalam tanaman) dari titik 1 ke 2. Hal ini dikarenakan jumlah molekul

A yang ada di sekitar titik 1 lebih banyak daripada yang berada disekitar titik

2. Hukum Fick menyebutkan penyebab terjadinya difusi adalah perbedaan

konsentrasi komponen. Akibat perbedaan ini komponen akan berpindah ke

berbagai arah hingga konsentrasi mencapai kesetimbangan. Arah difusi dari

konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah.

Gambar 3. Skema proses difusi (Geankoplis 1983)

Sel tanaman terdiri dari membran sel. Membran sel merupakan lapisan

pelindung tanaman yang memisahkan sel dari lingkungan luar. Minyak atsiri

berada dalam kelenjar minyak (oil glands). Molekul-molekul yang berada

disekitar sel dapat berpindah masuk atau keluar sel. Membran sel selective

permeabel mengatur molekul yang melewatinya. Air dapat melewati

membran sel dengan bebas melalui proses difusi dan osmosis.

b. Osmosis

Peristiwa osmosis berperan membawa minyak yang terdapat dalam

kelenjar ke permukaan bahan. Osmosis merupakan peristiwa perpindahan

partikel dari tempat yang memiliki konsentrasi lebih tinggi ke tempat yang

Page 32: Difusi Osmosis

16

memiliki konsentrasi yang lebih rendah melewati membran selektif permeabel

hingga tercapai keseimbangan dinamis.

Gambar 4. Skema proses osmosis

c. Pemanasan, penguapan dan kondensasi

Pemanasan akan menyebabkan temperatur air meningkat hingga tekanan

uap cairan sama dengan tekanan sekitar. Pada kondisi ini tidak terjadi

peningkatan suhu dan penambahan energi panas hanya akan membuat cairan

menguap. Molekul-molekul uap tersebut akan tetap berada dalam gerakan

yang konstan (keadaaan setimbang). Pada sistem tertutup, keadaan setimbang

dipengaruhi oleh suhu. Kondensasi merupakan proses perubahan wujud uap

menjadi cairan dengan cara mengalirkan air pendingin pada tabung

kondensor. Kondensasi dan penguapan melibatkan fase cairan dengan

koefisien pindah panas yang besar. Kondensasi terjadi apabila uap jenuh

seperti uap bersentuhan dengan padatan yang suhunya dibawah jenuh

sehingga membentuk cairan (Geankoplis 1983).

d. Pemisahan

Pemisahan campuran air dan minyak umumnya dilakukan berdasarkan

berat jenis. Secara umum minyak memiliki berat jenis lebih kecil dari berat

jenis air (=1), sehingga minyak akan berada di lapisan atas.

Pada proses ekstraksi minyak atsiri dengan menggunakan uap (steam

distillation), ada sedikit perbedaan mekanisme yang terjadi. Variasi mekanisme

pada proses penyulingan dengan steam distillation disajikan pada Gambar 5.

Page 33: Difusi Osmosis

17

Gambar 5. Mekanisme proses penyulingan minyak atsiri dengan uap ( steam distillation) (Azlina 2005)

Pertama-tama uap akan berdifusi ke dalam bahan, untuk melepas minyak

yang terdapat dalam bahan akan larut. Campuran minyak yang dibawa uap ini ke

luar menuju permukaan bahan melalui peristiwa osmosis. Setelah mencapai

permukaan, minyak dibawa oleh uap yang melewati bahan. Penambahan jumlah

minyak yang larut dalam air dan proses osmosis sangat tergantung pada jumlah

air yang masuk ke dalam jaringan tanaman tersebut. Air masuk ke dalam jaringan

tanaman melalui proses difusi. Dengan kata lain, peristiwa osmosis dan difusi

terjadi dalam waktu yang bersamaan (simultaneously). Proses-proses ini

berlangsung terus menerus hingga semua komponen volatil minyak keluar dari

jaringan tanaman.

2.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produksi Minyak Akar Wangi

a. Perlakuan Pendahuluan Terhadap Akar Wangi

Perlakuan pendahuluan pada bahan sebelum proses penyulingan dapat

meningkatkan rendemen dan memperbaiki mutu minyak. Perlakuan pendahuluan

terhadap akar wangi sebelum proses penyulingan antara lain pembersihan,

pengeringan, dan pengecilan ukuran. Peningkatan rendemen minyak yang diawali

perlakuan pendahuluan telah dibuktikan Adams et al. (2008) dengan proses

pembersihan, Bacon dalam Jong (1987) dengan proses pengeringan, serta Rusli

(1985), Sudibyo (19890, dan Moestafa et al. (1998) dengan proses pengecilan

ukuran.

Adams et al. (2008) membandingkan rendemen minyak akar wangi yang

dibersihkan dan tidak dibersihkan. Rendemen yang diperoleh dari akar wangi

Page 34: Difusi Osmosis

18

yang dibersihkan adalah 1.04%, nilai ini lebih tinggi dibandingkan rendemen dari

akar wangi yang tidak dibersihkan yaitu 0.66%. Pada proses pengeringan,

sebagian besar membran sel akan pecah sehingga cairan sel bebas melakukan

penetrasi dari satu sel ke sel yang lain hingga membentuk senyawa-senyawa yang

mudah menguap (Sastrohamidjojo 2004). Oleh karenanya Ketaren (1985) dan

Thorpe (1947) menyebutkan bahwa pengeringan akan mempercepat proses

penyulingan, menaikkan rendemen serta memperbaiki mutu minyak meskipun

kemungkinan sebagian minyak akan hilang karena penguapan dan oksidasi oleh

oksigen udara. Hasil penelitian Bacon dalam Jong (1987) memperlihatkan bahwa

pengeringan memberikan peningkatan rendemen minyak akar wangi. Rendemen

dari bahan yang dikeringkan sebesar 1,09 % sedangkan rendemen akar wangi

yang tidak dikeringkan hanya 0,45 %. Perajangan bahan sebelum disuling

bertujuan untuk memudahkan penguapan minyak atsiri dari bahan dan

mengurangi sifat kamba bahan (Ketaren 1985). Pada perajangan akar wangi tanpa

bonggol dengan ukuran 15–20 cm diperoleh rendemen 1.6%-2.1% (Rusli 1985).

Untuk ukuran biji jintan yang dihancurkan diperoleh rendemen 2,18–2,43%,

dibanding biji jintan yang tidah dihancurkan hanya sebesar 1,90–2,23% (Sudibyo

1989). Perajangan halus ukuran 2-3 mm pada penyulingan jeruk purut juga

menghasilkan rendemen yang lebih tinggi yaitu 4.58% dibandingkan dengan jeruk

purut yang dirajang kasar 2 cm sebesar 4.18% (Moestafa et al. 1998)

b. Kondisi Penyulingan

Selain metode penyulingan dan perlakuan bahan, kondisi proses

penyulingan juga akan mempengaruhi rendemen minyak. Menurut Ketaren

(1985) jumlah minyak yang menguap ditentukan oleh tekanan uap, berat molekul

komponen-komponen dalam minyak, dan kecepatan minyak dikeluarkan dari

bahan.

1. Kepadatan bahan

Kepadatan bahan di dalam ketel sangat berpengaruh pada kemudahan

uap berpenetrasi kedalam bahan untuk membawa molekul minyak, sehingga

mempengaruhi rendemen dan efisiensi penyulingan (Risfaheri & Mulyono

2006). Guenther (1990) menyebutkan bahwa tingkat kepadatan bahan

Page 35: Difusi Osmosis

19

berhubungan erat dengan besar ruangan antar bahan. Kepadatan bahan yang

terlalu tinggi dan tidak merata menyebabkan terbentuknya jalur uap ”rat

holes” yang dapat menurunkan rendemen dan mutu minyak.

Hasil penelitian Hardjono et al. (1973) telah membuktikan bahwa pada

kepadatan akar wangi 0,10 kg/liter dihasilkan rendemen lebih kecil yaitu

1,43% dibanding dengan kepadatan 0,07 kg/liter yang menghasilkan

rendemen 2,02%.

2. Tekanan uap

Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap penguapan minyak pada

proses penyulingan adalah besarnya tekanan uap yang digunakan (Ketaren

1985). Menurut Guenther (1990), agar diperoleh minyak yang bermutu tinggi

maka penyulingan hendaknya berlangsung pada tekanan rendah dan dapat

juga pada tekanan tinggi tetapi dalam waktu yang singkat. Proses

penyulingan dengan menggunakan tekanan dan suhu rendah mempunyai

keuntungan yaitu minyak yang dihasilkan tidak mengalami kerusakan akibat

panas. Disamping itu mengurangi penguapan komponen bertitik didih tinggi

dan larut di air. Penyulingan dengan tekanan tinggi tidak selalu memghasilkan

rendemen dan mutu yang lebih baik. Penggunaan tekanan uap yang terlalu

tinggi dapat menyebabkan kerusakan komponen-komponen penyusun minyak.

Lestari (1993) membuktikan bahwa pada penyulingan sereh wangi

dengan tekanan 228.53 kPa memberikan rendemen 3.51% basis kering dan

tingkat mutu bagus. Sedangkan penggunaan tekanan 297.2 kPa dihasilkan

rendemen 2.52% dengan tingkat mutu biasa. Penyulingan minyak nilam

dengan menggunakan uap langsung selama 4 jam menghasilkan rendemen

sebesar 3.21%, 3.11%, 3.44%, dan 3.27% berat kering masing-masing untuk

tekanan penyulingan 158.86, 173.57, 190.24, dan 206.96 kPa (Dahlan 1989).

Kondisi penyulingan minyak akar wangi menggunakan tekanan 1.2 kg/cm2

menghasilkan rendemen 2.3% (Rusli & Anggraeni 1999).

3. Laju Penyulingan

Laju penyulingan menyatakan jumlah air suling yang dihasilkan per

satuan waktu. Pengaturan laju penyulingan disesuaikan dengan diameter ketel

dan volume antar ruang bahan (Guenther 1990). Laju penyulingan yang

Page 36: Difusi Osmosis

20

rendah menyebabkan uap terhenti pada bahan yang padat, sehingga proses

ekstraksi minyak tidak berjalan sempurna. Sebaliknya, jika laju penyulingan

terlalu cepat maka uap dalam ketel akan keluar melalui bahan dengan

membentuk jalur uap serta mengangkut bahan partikel ke dalam kondensor,

sehingga menghambat aliran uap di dalam kondensor (Risfaheri & Mulyono

2006).

Laju penyulingan memberi pengaruh nyata terhadap rendemen dan

kadar vetiverol pada penyulingan minyak akar wangi. Jumlah minyak sebesar

2.47% pada laju penyulingan 0,6 kg uap/jam dengan kadar vetiverol 63.91%

lebih tinggi dibandingkan pada laju penyulingan 0,5 kg uap/jam yang

menghasilkan minyak 2.17% dan kadar vetiverol 61.79% (Moestafa, et al.

1991).

4. Pengaruh Lama Penyulingan

Lama penyulingan mempengaruhi kontak air atau uap air dengan bahan.

Pada penyulingan yang lebih lama, jumlah minyak yang terbawa oleh uap

semakin banyak sehingga rendemen minyak yang diperoleh lebih banyak.

Lama penyulingan juga berpengaruh terhadap penguapan fraksi yang bertitik

didih tinggi. Semakin lama penyulingan, penguapan fraksi yang bertitik didih

tinggi akan semakin besar (Guenther 1990).

Hasil penelitian penyulingan pada beberapa minyak atsiri menunjukkan

lama waktu penyulingan menghasilkan minyak yang semakin banyak.

Penyulingan nilam selama 6 jam menghasilkan rendemen 2.59%

dibandingkan penyulingan selama 4 dan 5 jam yaitu 2.28% dan 2.52%

(Setiadji & Tamtarini 2006). Biji jintan yang disuling selama 3, 5, dan 7 jam

menghasilkan rendemen 1.90%, 2.10%, dan 2.23% (Sudibyo 1989). Begitu

pula halnya pada penyulingan minyak jeruk purut (Moestafa, et al. 1998).

Penyulingan jeruk purut selama 8 jam menghasilkan rendemen 4.58%, nilai

ini lebih tinggi dari rendemen minyak yang disuling selama 6 jam yaitu

3.58%. Rusli & Anggraeni (1999) juga memperoleh rendemen minyak akar

wangi lebih tinggi pada penyulingan yang lebih lama yaitu 2.07% selama 12

jam dibandingkan dengan penyulingan 8 jam yang hanya 1.78%. Namun

Page 37: Difusi Osmosis

21

perpanjangan waktu penyulingan berdampak pada besarnya biaya bahan bakar

yang digunakan (Feryanto 2007).

2.5. Model Kinetik Proses Penyulingan Minyak Atsiri

Model matematis untuk kinetika penyulingan minyak atsiri dengan metode

hydrodistillation menggunakan pendekatan mekanisme yang sama dengan

ekstraksi pelarut untuk tanaman. Mekanisme distilasi minyak atsiri dilakukan

melalui dua tahap yaitu :

1. Pelepasan minyak atsiri yang berada di sekitar permukaan luar bahan

(disebut juga fast oil distillation). Peristiwa ini terjadi di awal

penyulingan (t = 0). Ciri-ciri dari tahap ini adalah jumlah minyak yang

dihasilkan meningkat dengan cepat pada awal proses.

t = 0 ; q = qw atau bq

q

q

q

o

w

o

== (1)

dimana qw = yield minyak pada t = 0; q = yield minyak pada t = i;

qo = konsentrasi minyak awal dalam bahan; b = koefisien fast distillation

2. Pelepasan minyak atsiri dari bagian dalam bahan menuju ke permukaan

luar bahan (disebut juga slow oil distillation). Ciri-ciri dari tahap ini

adalah peningkatan jumlah minyak yang dihasilkan berlangsung lambat.

Umumnya terjadi di akhir penyulingan.

Persamaan dasar kinetika untuk proses penyulingan minyak atsiri adalah :

( ) kt

o

o ebq

qq −−=−.1 (2)

Atau

( ) ktbq

qq

o

o −−=−1lnln (3)

dimana k = koefisien slow distillation; t = waktu

Page 38: Difusi Osmosis

22

III. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan sejak bulan September 2007–Desember 2008

yang dilakukan di Balai Besar Litbang Pascapanen Cimanggu, Balai Penelitian

Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) Cimanggu, Laboratorium Teknik Kimia

Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB, dan Laboratorium Kesehatan

Daerah DKI Jakarta.

3.2. Bahan dan Alat

a. Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini berupa bahan baku utama dan

bahan pembantu. Bahan baku utama yang digunakan adalah akar wangi (Vetiveria

zizanioides Stapt) yang berasal dari perkebunan akar wangi rakyat di daerah

Garut, Jawa Barat. Sebelum digunakan dilakukan persiapan pendahuluan bahan

baku untuk penyulingan meliputi proses pengeringan, dan pengecilan ukuran

(pencacahan).

Bahan pembantu adalah bahan kimia yang digunakan untuk pengujian

sifat fisika kimia minyak akar wangi. Bahan kimia ini terdiri dari etanol, KOH,

penophtalein, HCL, asam asetat anhidrit, natrium asetat anhidrat, akuades, NaCl,

Na2SO4 anhidrid, Na2CO3, dan toluen.

b. Alat

Penyulingan menggunakan sistem penyulingan dengan uap langsung

(steam distillation) dimana uap dibangkitkan dari ketel yang terpisah (boiler). Alat

penyulingan terdiri atas boiler, ketel penyuling, alat pendingin (kondensor), alat

penampung dan pemisah minyak (separator). Sistem penyulingan uap langsung

disajikan pada Gambar 6. Alat-alat ukur dan uji sifat fisika kimia yang digunakan

adalah piknometer, refraktometer, polarimeter, termometer, tabung reaksi, gelas

ukur, neraca analitik, dan penangas air.

Boiler yang digunakan adalah boiler buatan Jerman menggunakan tenaga

listrik daya 9 kWh dan menghasilkan tekanan uap maksimum 7 bar. Air masuk ke

Page 39: Difusi Osmosis

23

boiler dengan menggunakan pompa. Penambahan air ke boiler dilakukan secara

otomatis. Uap yang dihasilkan dari boiler kemudian dialirkan ke dalam ketel

dengan terlebih dahulu melewati pressure reducing valve. Besarnya tekanan uap

diamati pada indikator tekanan di boiler.

Keterangan : A = Boiler; B = pressure reducing valve (PRV); C = Ketel suling; D = Kondensor; E = Separator; a = air boiler keluar; b = indikator tekanan; c = valve ; d = strainer ; e = bahan; f = air ketel keluar; g = air masuk kondensor; h = spiral kondensor; i = air keluar kondensor

Gambar 6. Skema sistem penyulingan uap langsung (steam distillation)

Pressure reducing valve (PRV) yang digunakan adalah tipe BRV2 dengan

spring code warna hijau yang mampu mengontrol tekanan keluar antara 1,4–4,0

bar. PRV ini dilengkapi dengan strainer yang terbuat dari bahan stainless steel

untuk menyaring uap yang akan masuk ke PRV, indikator tekanan, savety valve

dan valve.

Ketel suling terbuat dari bahan stainless steel dengan diameter 40 cm dan

tinggi 72 cm. Volume ketel adalah 90 liter dan volume bahan adalah 33,4 liter.

Tekanan yang masuk ke ketel diatur dengan memutar handwheel pada PRV.

Besarnya tekanan dan suhu dalam ketel suling dapat dideteksi melalui sensor

tekanan yang terpasang pada bagian atas (header) ketel suling. Pada ketel suling

terdapat saringan yang terbuat dari besi dengan ketinggian 10 cm dari dasar ketel.

Page 40: Difusi Osmosis

24

Besarnya tekanan uap yang disalurkan ke ketel suling diamati pada

indikator tekanan di boiler. Besarnya tekanan dan suhu dalam ketel suling dapat

dideteksi melalui sensor tekanan yang terpasang pada bagian atas (header) ketel

suling. Untuk pengaturan besarnya tekanan didalam ketel suling digunakan katup

yang dapat diatur yang diletakkan dialiran masuk ke kondensor dekat kepala ketel

suling, katup ini juga dipasang pada aliran uap (steam) dari boiler (Gambar 6c).

Kondensor yang digunakan adalah penukar panas tipe spiral dengan

panjang spiral 9 m dan diameter 19 mm. Kondensor terbuat dari bahan stainless

steel dengan diameter 26,7 cm dan tinggi 52 cm. Media pendingin menggunakan

air. Alat pemisah kondensat terbuat dari bahan gelas dengan tinggi 40 cm dan

diameter 20 cm.

Analisa Gas Chromatography–Mass Spectrometry menggunakan agilent

technologies 6890 gas chromatograph dan 5972 mass selective detector dan

chemstation data system. Kolom yang digunakan adalah kolom kapiler HP Ultra 2

dengan panjang 17 m, diameter 0,25 mm dan tebal 0,25 µm. Kondisi operasi yang

digunakan antara lain: suhu injeksi 250 oC, suhu ion source 230 oC, suhu interface

280 oC, suhu quadrupole 140 oC, flow kolom 0,7 µl/menit, volume injeksi 2µL.

3.3. Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu (1) karakterisasi

akar wangi, (2) penyulingan minyak akar wangi dengan tekanan konstan, (3)

menentukan disain proses penyulingan minyak akar wangi melalui peningkatan

tekanan dan laju alir uap, (4) penyulingan minyak akar wangi dengan tekanan

bertahap, (5) menganalisis kualitas minyak akar wangi, (5) menganalisis distribusi

komponen penyusun minyak akar wangi. Diagram alir tahapan penelitian

disajikan pada Gambar 7.

Page 41: Difusi Osmosis

25

Gambar 7. Diagram alir tahapan penelitian

a. Karakterisasi bahan baku

Karakterisasi meliputi kadar air dan kadar minyak dari bahan baku akar

wangi. Kadar air akar wangi yang masih tinggi perlu dikurangi hingga kadar air

mencapai ± 12 %. Pengeringan dilakukan dengan penjemuran selama 1–2 hari.

Selain itu, juga dilakukan pengukuran kadar minyak dari akar wangi. Prosedur

analisa kadar air dan kadar minyak dimuat pada Lampiran 2.

b. Penyulingan minyak akar wangi dengan tekanan konstan (Penelitian Pendahuluan)

Pada tahap ini terdapat tiga perlakuan penyulingan yaitu penyulingan

menggunakan tekanan 1 bar, 2 bar, dan 3 bar konstan sampai akhir penyulingan (9

jam). Masing-masing perlakuan diulang sebanyak dua kali ulangan. Laju alir uap

yang masuk ke boiler diasumsikan sama dengan laju destilat yang keluar dari

Page 42: Difusi Osmosis

26

kondensor. Pada setiap perlakuan dilakukan pengukuran laju destilat dan

pengambilan sampel setiap jam selama penyulingan.

Rancangan perlakuan pada tahapan ini adalah sebagai berikut :

P1 : Tekanan 1 bar

P2 : Tekanan 2 bar

P3 : Tekanan 3 bar

Pada tahap ini, laju alir uap hanya diukur dari jumlah destilat yang keluar dari

kondensor per satuan waktu. Laju ini hanya menjadi respon dari masuknya uap

dari boiler ke ketel setiap waktu.

c. Menentukan disain proses penyulingan minyak akar wangi melalui peningkatan tekanan dan laju alir uap bertahap

Disain proses penyulingan minyak akar wangi ditentukan oleh trend laju

recovery minyak yang tersuling pada penelitian pendahuluan selama 9 jam waktu

penyulingan. Gambaran pola recovery minyak inilah yang nantinya menjadi dasar

untuk menaikkan tekanan.

Peningkatan tekanan dibagi menjadi 3 tahap, dengan asumsi bahwa minyak

akar wangi memiliki komponen dengan titik didih tinggi, sedang, dan rendah.

Idealnya tahapan peningkatan tekanan lebih banyak agar data yang diperoleh lebih

baik. Namun keterbatasan waktu dan biaya menyebabkan penelitian ini dibuat

menjadi lebih sederhana. Kisaran tekanan dan penentuan waktu untuk masing-

masing tahap penyulingan yang akan digunakan pada penelitian ini ditentukan

berdasarkan trend laju recovery minyak hasil penelitian pendahuluan.

d. Penyulingan minyak akar wangi dengan tekanan dan laju alir uap bertahap (Penelitian Utama)

Data-data kondisi operasi hasil penyulingan konstan pada penelitian

pendahuluan dijadikan dasar untuk disain proses penyulingan pada tahap ini. Pada

tahap ini dilakukan peningkatan tekanan dan laju alir uap secara bertahap selama

9 jam penyulingan.

Page 43: Difusi Osmosis

27

Perlakuan-perlakuan yang dilakukan pada penelitian ini yaitu tekanan uap

secara bertahap dan laju alir uap. Sedangkan laju alir uap yang akan digunakan

yaitu 1 liter/jam/kg bahan, 1.5 liter/jam/kg bahan, dan 2 liter/jam/kg bahan.

Rancangan perlakuan pada tahapan ini adalah sebagai berikut :

V1 : Laju uap 1 liter/jam kg bahan.

V2 : Laju uap 1.5 liter/jam kg bahan.

V3 : Laju uap 2 liter/jam kg bahan.

V4 : Laju uap 1 liter/jam kg bahan ; laju uap 1.5 liter/jam kg bahan ; laju

uap 2 liter/jam kg bahan (meningkat bertahap sesuai dengan

peningkatan tekanan).

Pengaturan laju alir uap dilakukan dengan mengatur jumlah uap yang masuk

ke ketel dan mengatur besar kecilnya bukaan katup pada leher angsa dekat

kondensor. Pengecekan dilakukan dengan mengukur jumlah destilat yang yang

keluar dari kondensor per satuan waktu.

Pada setiap perlakuan dan kenaikan tekanan diamati kondisi operasi seperti

suhu penyulingan, suhu destilat, laju distilat, tekanan boiler, dan lain-lain. Minyak

akar wangi yang diperoleh dari setiap penyulingan dipisahkan menjadi tiga fraksi

yaitu fraksi 1 (hasil tekanan 2 bar), fraksi 2 (hasil tekanan 2.5 bar), dan fraksi 3

(hasil tekanan 3 bar).

e. Menganalisis kualitas minyak akar wangi

Semua sampel yang didapat (hasil penyulingan konstan dan bertahap)

dianalisa sifat fisik dan kimia. Analisa sifat fisik dan kimia meliputi bobot jenis,

indeks bias, putaran optik, kelarutan dalam etanol 95%, bilangan asam, bilangan

ester dan bilangan ester setelah asetilasi. Prosedur analisa dimuat pada Lampiran

3.

f. Menganalisis distribusi komponen penyusun minyak akar wangi

Penentuan komponen minyak akar wangi dilakukan melalui analisa GC MS

(Gas Chromatohrapy Mass Spectrometry). Analisa ini dilakukan hanya pada

sampel perlakuan tekanan bertahap dengan laju uap 2 liter/jam kg bahan dan

perlakuan tekanan dan laju uap meningkat bertahap.

Page 44: Difusi Osmosis

28

3.4. Pemodelan Kinetika

Model kinetika penyulingan minyak akar wangi menggunakan model

persamaan Milojevic et al. (2008). Nilai koefisien distilasi dihitung dari

transformasi data recovery minyak menggunakan model eksponensial (Chapra &

Canale 1991). Penentuan model hubungan antara parameter kinetik (koefisien

distilasi) terhadap laju alir uap diperoleh dengan metode penyesuaian kurva

kuadrat terkecil (least square curve fitting method) dengan menggunakan

persamaan pangkat sederhana (power).

Page 45: Difusi Osmosis

29

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Karakteristik Akar Wangi

Karakteristik akar wangi hasil pengeringan dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil karakterisasi akar wangi

Perlakuan Kadar Air (% bb) Kadar Minyak (% bb)

P1 (1 bar) 10.0 3.8

P2 (2 bar) 8.4 3.5

P3 (3 bar) 8.3 3.1

V1 (1 l/j kg) 10.7 3.1

V2 (1,5 l/j kg) 10.0 3.0

V3 (2 l/j kg) 9.4 3.2

V4 (bertahap) 9.5 3.3

Dari Tabel 8, terlihat bahwa akar wangi yang digunakan pada penelitian

ini memiliki kadar air berkisar antara 8-11%. Nilai ini menunjukkan bahwa akar

wangi ini memiliki kadar air lebih rendah dibandingkan dengan kadar air akar

wangi yang umum digunakan masyarakat dengan kondisi kebun yaitu sebesar

42%. Hanya sebagian kecil agroindustri penyulingan akar wangi di Garut yang

memakai bahan baku akar wangi kering jemur hingga kadar air 15% (Indrawanto

2006). Pada penelitian ini, sebelum proses penyulingan dilakukan penjemuran

selama ± 25 jam.

Nilai hasil analisa kadar minyak pada Tabel 8 menunjukkan persentase

kadar minyak yang terkandung di dalam akar wangi yang digunakan pada

penelitian ini berkisar antara 3-4%. Perbedaan kadar air dan kadar minyak akar

wangi yang digunakan pada penelitian ini mungkin disebabkan karena terjadi

penguapan selama proses penyimpanan.

4.2. Penyulingan Minyak Akar Wangi dengan Tekanan Konstan

Penyulingan minyak akar wangi selama 9 jam pada tiga tekanan berbeda

yaitu 1, 2, dan 3 bar menghasilkan recovery minyak yang berbeda (Gambar 8).

Peningkatan tekanan akan meningkatkan recovery minyak. Semakin tinggi

Page 46: Difusi Osmosis

30

tekanan, maka recovery yang dihasilkan memiliki kecenderungan meningkat.

Recovery minyak akar wangi pada tekanan 1, 2 dan 3 bar berturut-turut 78.31 %,

88.88 %, dan 90.37 %.

Pada penggunaan tekanan 1 bar dihasilkan recovery minyak yang paling

kecil (78.31%). Hal ini menunjukkan bahwa penggunaan tekanan 1 bar pada

penyulingan minyak akar wangi tidak efektif karena membutuhkan waktu yang

sangat panjang untuk menghasilkan recovery yang sama dengan tekanan 2 dan 3

bar. Penggunaan tekanan 4 bar dapat merusak minyak karena dengan tekanan 4

bar temperatur jenuh uap mencapai 150 0C, sehingga ada kemungkinan minyak

teroksidasi (Triharyo 2007). Oleh karena itu penelitian selanjutnya menggunakan

tekanan 2-3 bar.

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Waktu (jam)

Aku

mula

si reco

very

(%

)

P1=1 barP2=2 barP3=3 bar

Gambar 8. Akumulasi recovery minyak terhadap waktu penyulingan

Perbedaan recovery dari kenaikan tekanan disebabkan oleh jumlah minyak

akar wangi dengan komponen bertitik didih tinggi lebih banyak yang ikut

menguap. Suryatmi (2006) memperoleh rendemen 1%, 1.057%, dan 1.124% pada

penyulingan dengan tekanan 1, 2, dan 3 atm selama 16 jam.

Dari Gambar 8 dapat dilihat bahwa semakin lama waktu penyulingan,

maka recovery yang dihasilkan semakin meningkat. Peningkatan paling cepat

terjadi pada waktu 0-3 jam, lalu setelah itu kenaikannya cenderung sedikit. Waktu

penyulingan akar wangi selama 9 jam diperkirakan sudah dapat mengeluarkan

sebagian besar minyak, karena setelah 9 jam kenaikan recovery minyak sedikit

dan tidak sebanding dengan jumlah bahan bakar yang dikeluarkan (tidak efisien).

78.31%

90.37%

88.88%

Page 47: Difusi Osmosis

31

Hasil penelitian Triharyo (2007) juga diperoleh pola yang sama untuk tekanan

hingga 3 bar selama 24 jam. Peningkatan jumlah minyak yang signifikan terjadi

pada 0-8 jam.

Laju distilat yang keluar dari kondensor diasumsikan sama dengan laju

uap yang masuk ke ketel suling. Hasil pengukuran laju alir pada setiap

penyulingan dengan tekanan berbeda ditampilkan pada Gambar 9. Laju alir uap

pada penyulingan dengan tekanan konstan 1, 2, dan 3 bar bervariasi dengan rata-

rata 2.8, 2.7, dan 2.4 l/j kg bahan.

Secara umum, penggunaan tekanan yang lebih tinggi menghasilkan laju

uap yang lebih rendah. Tanpa adanya alat kontrol, uap yang masuk ke ketel sangat

tergantung kemampuan boiler dan pengaturan katup baik di boiler maupun

kondensor. Guenther (1990) menyebutkan bahwa pada penyulingan dengan

tekanan rendah mengakibatkan suhu proses yang rendah, tetapi membutuhkan

jumlah uap yang lebih besar per satuan berat minyak sereh wangi yang dihasilkan.

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

3.5

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Waktu (jam)

La

ju s

tea

m (

l/j k

g b

hn

)

1 bar 2 bar 3 bar

Gambar 9. Laju alir uap terhadap waktu pada penyulingan tekanan konstan Hukum hidrodestilasi menyebutkan bahwa peningkatan suhu

mengakibatkan perbandingan jumlah air dan minyak menurun, yang berarti

adanya peningkatan jumlah minyak. Guenther (1990) telah memperlihatkan

pengaruh tekanan uap terhadap perbandingan air dan minyak pada penyulingan

minyak sereh wangi dengan sistem penyulingan uap. Pada tekanan 152.2 mmHg

perbandingan air dan minyak dalam destilat 6.6, sedangkan pada tekanan 1109.1

mmHg hanya 3.7.

Page 48: Difusi Osmosis

32

Penggunaan laju alir uap yang lebih besar diduga dapat meningkatkan

recovery minyak. Moestafa (1991) memperoleh rendemen 2.47% pada laju uap

600 gram uap/jam. Nilai ini lebih besar daripada penyulingan dengan laju uap 500

gram uap/jam yang menghasilkan rendemen 2.17%. Oleh karena itu penyulingan

dengan perlakuan laju alir uap akan dilakukan pada penelitian ini.

4.3. Disain Proses Penyulingan Minyak Akar Wangi

Hipotesa yang digunakan untuk memperbaiki performa penyulingan

minyak akar wangi terkait efisiensi proses (energi dan biaya) adalah dengan

meningkatkan tekanan secara bertahap selama penyulingan berlangsung.

Peningkatan tekanan dimaksudkan untuk merusak kesetimbangan fase uap yang

terjadi dalam ketel. Keadaan setimbang terjadi jika tekanan campuran uap air dan

minyak sama dengan jumlah tekanan parsial masing-masing. Sesuai dengan

hukum hidrodestilasi, pemberian tekanan uap air yang lebih besar akan

menurunkan perbandingan berat air dan minyak dalam campuran. Pengeluaran

minyak dari tanaman tergantung dari titik didih atau tekanan parsialnya. Guenther

(1990) menyebutkan bahwa minyak atsiri terdiri dari berbagai komponen yang

memiliki sifat berbeda. Titik didih komponen minyak berkisar antara 150-300 oC

pada tekanan 1 atm. Pada awal pemanasan (suhu rendah), komponen minyak yang

bertitik didih lebih rendah akan menguap lebih dahulu. Jika komponen minyak

bertitik didih lebih tinggi dalam uap dominan dan jumlah uap minyak dalam fase

uap mulai berkurang, maka suhu akan naik secara bertahap sampai mencapai suhu

uap jenuh pada tekanan operasional (Guenther 1990).

Penggunaan tekanan dan penentuan waktu untuk menaikkan tekanan

didasarkan pada trend laju recovery minyak yang dihasilkan dari penyulingan

dengan penggunaan tekanan konstan (1, 2, dan 3 bar). Recovery minyak untuk

penyulingan pada semua tekanan 1, 2, dan 3 bar menunjukkan penurunan selama

proses (Gambar 10). Penurunan recovery minyak terhadap lama penyulingan

diduga akibat difusi antara uap dan minyak dari dalam bahan yang semakin

lambat serta kandungan minyak dalam bahan yang terus berkurang.

Page 49: Difusi Osmosis

33

0

5

10

15

20

25

30

1 2 3 4 5 6 7 8 9Waktu (jam)

Rec

over

y (%

)

1 bar

2 bar

3 bar

Gambar 10. Recovery minyak terhadap waktu penyulingan

Penurunan recovery minyak dapat diperlihatkan dari kemiringan grafik

(slope). Dari kemiringan garis dapat dibedakan atas 3 fase yaitu pada jam ke 0-2,

2-5, dan 5-9, dimana semakin lama penyulingan laju recovery minyak semakin

kecil (Tabel 9). Fase penurunan recovery untuk masing-masing tekanan terjadi

setelah jam ke 2 dan ke 5. Oleh karena itu fase ini menjadi patokan waktu untuk

menaikkan tekanan. Pada penelitian selanjutnya pengamatan terhadap recovery

diamati setelah 2, 5, dan 9 jam.

Tabel 9. Recovery minyak pada penyulingan tekanan konstan

Recovery minyak (%) Tekanan

Jam ke 0-2 (2 jam) Jam ke 2-5 (3 jam) Jam ke 5-9 (4 jam) 1 bar 31.1688 30.9152 16.2236

2 bar 43.8854 31.1662 13.8287

3 bar 49.2812 30.2373 10.8520

Telah dijelaskan sebelumnya, peningkatan tekanan akan memperkecil

perbandingan antara jumlah air dan minyak yang berimplikasi pada penurunan

perbandingan berat air dan minyak (hukum hidrodistilasi). Oleh karena itu,

peningkatan tekanan dapat dilakukan untuk memperoleh berat minyak yang lebih

banyak. Peningkatan tekanan secara bertahap dalam proses penyulingan minyak

akar wangi diharapkan mampu menghasilkan recovery minyak yang tinggi

2 bar

2,5 bar

3 bar

Page 50: Difusi Osmosis

34

dengan mutu yang lebih baik serta waktu yang dibutuhkan lebih singkat, sehingga

dapat mengurangi biaya produksi.

Pada subbab sebelumnya telah ditetapkan bahwa penelitian utama

menggunakan tekanan berkisar antara 2-3 bar. Dengan asumsi bahwa minyak akar

wangi memiliki komponen dengan titik didih tinggi, sedang, dan rendah, maka

penggunaan tekanan disesuaikan menjadi tiga tahap. Oleh karena itu tekanan yang

digunakan adalah 2, 2.5, dan 3 bar. Sedangkan waktu untuk menaikkan tekanan

adalah pada jam ke 2 dan ke 5.

4.4. Penyulingan dengan Peningkatan Tekanan Bertahap Tanpa Pengaturan Laju Alir Uap

Minyak akar wangi yang dihasilkan dari penyulingan dengan peningkatan

tekanan bertahap tanpa pengaturan laju alir uap memperlihatkan pola yang lebih

baik dengan jumlah recovery yang lebih besar dibandingkan pada tekanan konstan

2 dan 3 bar. Akumulasi recovery minyak untuk penggunaan tekanan bertahap

tanpa pengaturan laju alir uap yaitu 92,58%. Nilai ini lebih besar dibanding

penyulingan konstan 2 dan 3 bar yaitu 88.88% dan 90.37%.

0

20

40

60

80

100

1 2 3 4 5 6 7 8 9Waktu (jam)

Aku

mul

asi r

ecov

ery

(%)

2 bar

3 bar

Tek Bertahap

Gambar 11. Recovery minyak tersuling pada tekanan bertahap tanpa pengaturan laju alir uap dan tekanan konstan

Gambar 11 memperlihatkan bahwa peningkatan tekanan 2, 2.5, dan 3 bar

secara bertahap mampu mendorong minyak keluar lebih banyak jika

dibandingkan pada penggunaan tekanan konstan. Sakiah (2006) melakukan

2 bar 2,5 bar 3 bar

92.58%

90.37%

88.88%

Page 51: Difusi Osmosis

35

penyulingan minyak pala dengan peningkatan tekanan 0, 0.5, dan 1.5 bar selama

10 jam dapat meningkatkan rendemen lebih tinggi (15.30% untuk biji pala dan

16.73% untuk fuli pala) dibandingkan dengan penyulingan pada penggunaan

tekanan konstan 0 bar selama 10 jam (14.20% untuk biji pala dan 15.41% untuk

fuli pala).

Laju alir uap rata-rata yang diperoleh pada penyulingan tekanan bertahap

tanpa pengaturan laju alir berkisar 2.4-3.0 l/j kg. Nilai ini lebih tinggi dibanding

pada penyulingan dengan tekanan konstan 3 bar yaitu 2.2-2.6 l/j kg (Gambar 12).

Hal ini dikarenakan laju uap yang masuk ke ketel ditentukan oleh kemampuan

boiler untuk mensuplai uap. Pada perangkat penyulingan yang tidak dilengkapi

dengan alat kontrol tekanan PRV (Pressure Reducing Valve), maka pengaturan

tekanan ditentukan dari besar kecilnya bukaan valve pada kondensor. Pembukaan

katup ini juga mempengaruhi laju alir uap yang masuk ke ketel.

0.0

0.5

1.0

1.5

2.0

2.5

3.0

3.5

1 2 3 4 5 6 7 8 9

Waktu (jam)

Laju

ste

am (

l/j k

g bh

n)

3 bar Tek. Bertahap

Gambar 12. Laju alir uap terhadap waktu pada penyulingan tekanan bertahap tanpa pengaturan laju

Recovery minyak yang tinggi akibat penggunaan laju uap yang lebih besar

juga dihasilkan oleh Milojevic et al. (2008) pada biji juniper. Rendemen 1.42%

diperoleh dari penyulingan biji juniper pada laju 11.7 ml/menit sedangkan pada

laju 0.13 ml/menit diperoleh rendemen 0.65% (Milojevic et al. 2008).

2 bar 2,5 bar 3 bar V =2.90

V =2.71

V =2.69

Page 52: Difusi Osmosis

36

4.5. Penyulingan dengan Peningkatan Tekanan Bertahap dan Laju Alir Uap Konstan

Penyulingan dengan tekanan bertahap menggunakan variasi laju alir uap

1, 1.5, dan 2 l/j kg bahan menghasilkan recovery minyak berbeda satu sama lain

(Gambar 13). Penyulingan dengan laju alir uap 1 l/j kg bahan hanya mampu

merecovery sekitar 76,60% minyak. Sementara recovery minyak pada laju 1,5 l/j

kg dan 2 l/j kg bahan berturut-turut sebesar 83,05% dan 90,42%. Hasil ini

menunjukkan bahwa penggunaan laju yang lebih tinggi (2 l/j kg bahan) dihasilkan

recovery minyak yang lebih banyak dibandingkan dengan penggunaan laju yang

lebih rendah. Menurut Guenther (1990), uap dengan kecepatan tinggi

menimbulkan perbedaan tekanan dalam ketel suling, sehingga uap mencegah

stagnasi pada bagian bahan yang padat. Oleh karena itu peningkatan laju alir uap

akan mempercepat pengeluaran minyak dari dalam bahan tanaman (Deny 2001).

0

20

40

60

0 2 4 6 8 10

Waktu, jam

Reco

very

, %

V1 = 1 l/j/kg

V2 = 1.5 l/j/kg

V3 = 2 l/j/kg

Gambar 13. Recovery minyak pada penyulingan tekanan bertahap dengan laju alir uap konstan selama 9 jam.

Penyulingan dengan peningkatan tekanan bertahap dan laju alir uap

konstan yang bervariasi juga memberikan recovery minyak yang berbeda pada

setiap tahapannya. Pada tekanan 2 dan 2,5 bar, penyulingan dengan menggunakan

laju alir uap 2 l/j kg bahan masih menghasilkan jumlah minyak paling tinggi yaitu

39,58% dan 38,02%. Namun saat tekanan dinaikkan menjadi 3 bar, penggunaan

laju uap 2 l/j kg bahan menghasilkan minyak paling sedikit (12,81%). Hal ini

diduga minyak yang masih terkandung dalam bahan merupakan minyak yang

2 bar 2,5 bar 3 bar

76.60%

90.42%

83.05%

Page 53: Difusi Osmosis

37

memiliki titik didih tinggi dengan jumlah yang semakin berkurang dan hampir

habis.

Hal yang menarik adalah recovery minyak pada penyulingan dengan laju

1.5 l/j kg yang lebih banyak daripada penyulingan dengan laju 1 l/j kg ketika

tekanan dinaikkan menjadi 3 bar. Walaupun recovery minyak yang dihasilkan

keduanya pada tekanan 2 dan 2.5 bar hampir sama, namun perbedaan laju uap

yang digunakan dapat mendorong minyak keluar lebih banyak.

Hasil kajian Moestafa et al. (1991) pada akar wangi juga menunjukkan

bahwa penggunaan laju uap yang lebih besar menghasilkan minyak yang lebih

banyak. Dimana penyulingan pada laju 0,6 kg uap/jam diperoleh minyak 2.47%

dan pada laju penyulingan 0,5 kg uap/jam dihasilkan minyak 2.17%.

4.6. Penyulingan dengan Peningkatan Tekanan dan Laju Alir Uap Bertahap

Penyulingan dengan peningkatan tekanan 2, 2.5, 3 bar dan laju alir uap 1,

1.5, 2 l/j kg bahan secara bertahap terhadap waktu juga dilakukan dalam

penelitian ini. Recovery minyak terlihat terus meningkat dengan kenaikan tekanan

dan laju alir uap (Gambar 14). Peningkatan tekanan yang berarti juga peningkatan

suhu mampu mempercepat proses difusi minyak. Sedangkan peningkatan laju alir

uap menjadikan proses ekstraksi berjalan sempurna.

Recovery minyak yang dihasilkan pada perlakuan tekanan dan laju alir uap

bertahap ini masih lebih kecil dibandingkan dengan perlakuan tekanan bertahap

dengan laju alir uap konstan 2 l/j kg bahan. Perlakuan dengan laju alir uap konstan

2 l/j kg bahan mampu merecovery minyak hingga 90,42% sedangkan perlakuan

laju bertahap ini hanya menghasilkan 73,03%.

Diperkirakan jumlah minyak pada penyulingan dengan peningkatan

tekanan dan laju alir uap bertahap masih dapat diperbesar hingga menyamai

jumlah minyak pada perlakuan peningkatan tekanan bertahap dengan laju alir uap

konstan 2 l/j kg bahan, tetapi diperlukan waktu yang lebih lama. Akantetapi

penambahan waktu penyulingan membutuhkan energi yang lebih besar, sehingga

biaya produksi untuk bahan bakar meningkat.

Page 54: Difusi Osmosis

38

21.8825.42

25.73

38.02

39.58

12.81

0

20

40

60

0 2 4 6 8 10

Waktu, jam

Rec

over

y, %

V4 = Bertahap

V3 = 2 l/j/kg

Gambar 14. Recovery minyak pada tekanan dan laju alir uap bertahap

Kajian Milojevic et al. (2008) terhadap biji juniper juga diperoleh hasil

yang sama dimana rendemen minyak dari peningkatan laju alir uap 0.13 ml/menit

menjadi 10 ml/menit secara bertahap (0.94 g minyak/100 g bahan) lebih rendah

dibandingkan dengan rendemen minyak pada penyulingan dengan laju alir uap

konstan 10 ml/menit (1.4 g minyak/100 g bahan).

4.7. Mutu Minyak Akar Wangi Hasil Penyulingan Tekanan Bertahap

Setiap jenis minyak atsiri mempunyai sifat khas tersendiri. Sifat ini

tergantung dari komponen senyawa penyusunnya. Sifat-sifat khas dan mutu

minyak dapat berubah mulai dari minyak yang masih berada dalam bahan, selama

proses ekstraksi, penyimpanan dan pemasaran (Ketaren 1985). Mutu minyak atsiri

didasarkan atas kriteria atau batasan yang dituangkan dalam standar mutu.

Warna dan Aroma

Warna merupakan salah satu parameter mutu yang menjadi salah satu

pertimbangan konsumen minyak akar wangi. Umumnya warna yang bening lebih

disukai dari pada warna yang gelap. Warna minyak hasil penyulingan bertahap

lebih baik dibanding minyak hasil penyulingan tekanan konstan. Minyak yang

dihasilkan pada fraksi 1 (tekanan 2 bar, jam ke 0-2) berwarna lebih muda yaitu

kuning dan jernih. Minyak hasil fraksi 2 (tekanan 2.5 bar, jam ke 2-5) berwarna

kuning kecoklatan, dan dari fraksi 3 (tekanan 3 bar, jam ke 5-9) berwarna coklat

2 bar 2,5 bar 3 bar

Page 55: Difusi Osmosis

39

kemerahan. Sementara minyak hasil penyulingan konstan 3 bar fraksi 1 terlihat

lebih gelap. Minyak yang dihasilkan dari penyulingan tekanan bertahap (dengan

maupun tanpa pengaturan laju alir uap), secara visual menunjukkan warna yang

cenderung semakin gelap seiring dengan bertambahnya waktu penyulingan.

Semua hasil yang diperoleh pada setiap fraksi masih memenuhi SNI.

Perbedaan warna yang dihasilkan dari tiap-tiap fraksi diduga akibat

perbedaan tekanan yang digunakan pada setiap fraksi. Peningkatan tekanan uap

juga akan menaikkan suhu dalam ketel suling. Pada suhu yang tinggi ini

komponen minyak yang memiliki titik didih tinggi berwarna kecoklatan. Selain

itu, suhu yang tinggi juga dapat menyebabkan terjadinya proses browning dan

reaksi polimerisasi yaitu kemungkinan rusaknya minyak (Brown dan Islip 1953)

dan warna minyak menjadi lebih gelap. Penampilan visual warna minyak akar

wangi masing-masing fraksi dapat dilihat pada Gambar 15.

Warna minyak akar wangi dari semua penyulingan yang dilakukan pada

penelitian ini, memberikan warna yang lebih baik jika dibandingkan dengan

warna minyak dari penyulingan rakyat yaitu coklat kehitaman. Warna yang gelap

ini memiliki kualitas yang rendah yang ditandai oleh kerusakan beberapa

komponen (senyawa) minyak.

Aroma minyak yang dihasilkan dalam penelitian ini khas akar wangi.

Minyak akar wangi fraksi 3 beraroma lebih kuat dibandingkan minyak hasil fraksi

1 dan 2. Hasil analisa GC-MS menunjukkan persentase komponen α-vetivon dan

β-vetivone (yang memberikan aroma khas akar wangi) pada fraksi 3 lebih tinggi

dari fraksi 1 dan 2. Namun keseluruhan minyak dari semua perlakuan tidak

berbau gosong seperti halnya minyak yang dihasilkan pada penyulingan rakyat.

Penyulingan tekanan bertahap Penyulingan rakyat

F3 F2 F1

Page 56: Difusi Osmosis

40

Penyulingan tekanan 2 bar Penyulingan tekanan 3 bar

Gambar 15. Tampilan warna minyak akar wangi

Bobot jenis, indeks bias, bilangan asam dan bilangan ester

Berdasarkan SNI 2006 kisaran bobot jenis adalah 0.980–1.003. Untuk itu

hanya minyak hasil fraksi 1 yang memenuhi standar (Gambar 16). Sementara

fraksi 2 dan 3 dari setiap perlakuan berada di atas rentang tersebut. Fenomena ini

sangat mungkin terjadi karena SNI melakukan uji terhadap seluruh minyak yang

disuling dari awal hingga akhir, sementara pada penelitian ini sampel minyak

diambil berdasarkan peningkatan tekanan yang terbagi menjadi 3 fraksi.

Sedangkan nilai indeks bias minyak akar wangi hasil penyulingan tekanan

bertahap memberikan nilai yang sesuai dengan kisaran standar yang telah

ditetapkan SNI yaitu 1.520–1.530.

Gambar 16a dan 16b memperlihatkan bahwa peningkatan tekanan uap

pada setiap perlakuan meningkatkan nilai bobot jenis dan indeks bias.

Peningkatan tekanan uap akan menyebabkan kenaikan suhu di dalam ketel yang

berimplikasi pada peningkatan titih didih penguapan minyak. Komponen minyak

yang bertitik didih rendah dapat menguap pada suhu yang rendah, begitupula

sebaliknya komponen minyak yang bertitik didih tinggi menguap pada suhu yang

tinggi.

Bobot jenis dan indeks bias minyak berbanding lurus dengan titik didih

komponen yang terdapat dalam minyak tersebut. Pada tekanan rendah, minyak

yang tersuling umumnya memiliki titik didih yang rendah seperti monoterpen dan

monoterpen-O yang mempunyai bobot jenis rendah. Pada tekanan tinggi

komponen minyak yang bertitik didih tinggi seperti sesquiterpen dan

sesquiterpen-O tersuling dan akan meningkatkan bobot jenis minyak. Menurut

F3 F2 F1 F3 F2 F1

Page 57: Difusi Osmosis

41

Ketaren dan Djatmiko (1978) nilai indeks bias yang tinggi dapat disebabkan

karena komponen-komponen terpen teroksigenasinya mengandung molekul

berantai panjang dengan ikatan tak jenuh atau mengandung banyak gugus

oksigen. Peningkatan nilai bobot jenis dan indeks bias minyak akar wangi ini juga

dapat dideteksi melalui hasil analisa GC-MS. Komponen khusimene dan

khusimone yang merupakan komponen dengan titik didih yang rendah dapat

menguap pada fraksi 1 dan 2. Sedangkan pada fraksi 3 komponen ini sudah tidak

keluar lagi. Kemungkinan disebabkan jumlah komponen tersebut dalam bahan

telah semakin berkurang atau bahkan telah habis. Nilai bobot jenis dan indeks

bias yang melampaui batasan SNI dan ISO mengindikasikan adanya zat pengotor

maupun kerusakan pada komponen-komponen minyak.

Standar mutu untuk bilangan asam minyak akar wangi berada pada

kisaran 10–35 (SNI 2006). Namun nilai bilangan asam hasil penelitian berkisar

antara 2.5–9.5. Nilai bilangan asam yang rendah ini dapat dikarenakan kondisi

penyulingan yang cukup terkontrol, sehingga hidrolisis ester yang menjadi

pemicu naiknya bilangan asam dapat diminimalkan. Jika dibandingkan dengan

standar mutu internasional (ISO 2002), bilangan asam minyak akar wangi hasil

penelitian masuk dalam kriteria yaitu maksimal 35. Ini berarti bahwa minyak

yang dihasilkan dari penelitian ini tergolong cukup baik. Sementara nilai bilangan

ester berkisar 4-20. Bilangan ester yang diperoleh dari minyak akar wangi hasil

penyulingan tekanan bertahap secara umum berada dalam rentang nilai baik

sesuai dengan SNI. Rata-rata dari ketiga fraksi, dihasilkan minyak akar wangi

sesuai dengan standar baik SNI maupun ISO.

Page 58: Difusi Osmosis

42

0.9700

0.9800

0.9900

1.0000

1.0100

1.0200

1.0300

1.0400

1.0500

0 2 4 6 8 10

Waktu, jam

Bob

ot je

nis

V1=1 l/j/kgV2=1.5 l/j/kgV3=2 l/j/kgV4=bertahap

1.5200

1.5210

1.5220

1.5230

1.5240

1.5250

1.5260

1.5270

1.5280

0 2 4 6 8 10Waktu, jam

Inde

ks b

ias

V1=1 l/j/kgV2=1.5 l/j/kgV3=2 l/j/kgV4=bertahap

0

2

4

6

8

10

0 2 4 6 8 10

Waktu, jam

Bila

ngan

asa

m

V1=1 l/j/kgV2=1.5 l/j/kgV3=2 l/j/kgV4=bertahap

0

5

10

15

20

25

0 2 4 6 8 10

Waktu, jam

Bila

ngan es

ter

V1=1 l/j/kgV2=1.5 l/j/kgV3=2 l/j/kgV4=bertahap

Gambar 16. Mutu minyak akar wangi pada penyulingan tekanan bertahap (a) Bobot jenis; (b) Indeks bias; (c) Bil. asam; (d) Bil. ester

2 bar 2,5 bar 3 bar

2 bar 2,5 bar 3 bar

2 bar 2,5 bar 3 bar

2 bar 2,5 bar 3 bar

(a)

(d)

(c)

(b)

Page 59: Difusi Osmosis

43

Gambar 16c dan 16d memperlihatkan bahwa peningkatan tekanan uap

pada setiap perlakuan meningkatkan bilangan asam dan bilangan ester.

Peningkatan tekanan mengakibatkan jumlah ester yang menguap meningkat serta

terjadinya hidrolisa dari ester-ester seperti vetivenyl-vetivenat bereaksi dengan air

sehingga membentuk asam dan alkohol (Hardjono et al. 1973). Rusli (1974)

menyebutkan bahwa ester-ester yang terdapat dalam minyak atsiri merupakan

fraksi berat yang menguap pada suhu tinggi. Penggunaan laju uap yang tinggi

juga menghasilkan nilai bilangan asam dan ester yang tinggi pula. Hal ini menurut

Milojevic et al. (2008) dikarenakan oleh transformasi hidrolisis persenyawaan

minyak terhadap peningkatan jumlah air/uap.Laju uap yang rendah menyebabkan

proses hidrodifusi berjalan kurang sempurna karena uap air yang kontak dengan

bahan sedikit sehingga ester-ester yang memiliki berat molekul tinggi tidak dapat

tersuling.

Mutu minyak hasil penelitian ini dinilai lebih baik jika dibandingkan

dengan minyak yang dihasilkan pada penyulingan rakyat. Nilai bobot jenis dan

indeks bias hasil penyulingan rakyat masih memenuhi standar, namun nilai

bilangan asam dan ester tidak terpenuhi (Tabel 10). Nilai bilangan asam minyak

akar wangi hasil penyulingan rakyat berkisar antara 26–51 (Mulyono 2007).

Sementara batasan standar mutu internasional untuk bilangan asam minyak akar

wangi adalah maksimal 35. Bilangan asam yang tinggi umumnya menjadi tanda

adanya penurunan mutu minyak. Penyebab kerusakan yang mengakibatkan nilai

bilangan asam menjadi lebih tinggi adalah proses oksidasi golongan terpen

menjadi asam rantai pendek dan proses hidrolisa ester yang mengubah komponen

ester dalam minyak menjadi asam. Proses penyulingan yang lama (± 18 jam) yang

biasa digunakan oleh masyarakat bisa menjadi salah satu pemicu terjadinya proses

oksidasi dan hidrolisa.

Page 60: Difusi Osmosis

44

Tabel 10. Perbandingan mutu minyak hasil penelitian dan penyulingan rakyat

Standar Mutu Parameter Penelitian

Penyulingan Rakyat Indonesia Reunion Haiti

• Warna Kuning –

coklat kemerahan

Coklat tua / gelap

Kuning muda - coklat

kemerahan

Coklat - merah

kecoklatan

Coklat - merah

kecoklatan • Bobot jenis

20/20 oC 0,997 – 1,001

0,9882 – 0,9870

0,980 – 1,003 0,99 – 1,015

0,986 – 0,998

• Indeks bias pada 20oC

1,5228 – 1,5267

1,5178 – 1,5221

1,520 – 1,530 1,5220 – 1,5300

1,521 – 1,526

• Bilangan asam < 10 26,82 – 51,17

10 - 35 Maks. 35 Maks. 14

• Kelarutan dalam etanol 80 % pada 20oC

1:1 1:1 1:1 Maks. 1 : 2 Maks. 1 : 2

• Bilangan ester 4,86 – 20,69 3,17 – 17,82 5 – 26 5 - 16 5 – 16 • Vetiverol total

(asetilasi) 46,01 – 70,28 - Min 50 - -

• Kadar vetiverol (GC)

13,45 – 22,84 4,44 – 6,31 - - -

Sumber : Mulyono et al.(2007), SNI (2006), ISO (2002).

4.8. Distribusi Komponen Minyak Akar Wangi

Komponen penyusun minyak akar wangi diidentifikasi dengan metode

GC-MS. Analisa ini dilakukan untuk setiap fraksi pada minyak hasil penyulingan

tekanan bertahap dengan laju alir uap 2 l/j kg bahan dan laju alir uap bertahap.

Hasil yang diperoleh berupa dugaan komponen, waktu retensi, dan persen area

komponen minyak akar wangi. Identifikasi komponen minyak akar wangi hasil

GCMS ini berdasarkan pendugaan dengan menggunakan referensi data base

WILEY275. Komposisi minyak akar wangi hasil penyulingan tekanan bertahap

dengan laju alir uap 2 l/j kg bahan diperlihatkan pada Gambar 17. Sedangkan

komposisi minyak akar wangi hasil penyulingan tekanan dan laju alir uap

bertahap disajikan pada Gambar 18.

Berdasarkan spektrum massa komponen-komponen minyak akar wangi,

terdapat 8 komponen yang diduga sebagai sidik jari minyak akar wangi.

Komponen-komponen tersebut antara lain: khusimene, khusimone, cyclopropan

emethanol, 4-(1-cyclohexenyl)-2-trimethylsilylmethyl-1-buten-3-yne, beta gamma

nootkatone, khusenic acid, 4-fluoro-4’-methoxybiphenyl dan nootkatone.

Spektrum massa hasil GCMS dibandingkan dengan spektrum massa minyak akar

wangi asal Garut pada penelitian Abraham (2002), komponen-komponen yang

tersebut adalah : Cycloporopan emethanol sebagai trisiklovetiverol; 4-(1-

cyclohexenyl)-2-trimethylsilylmethyl-1-buten-3-yne sebagai β-vetivon; beta

Page 61: Difusi Osmosis

45

gamma nootkatone sebagai α-vetivone; dan 4-fluoro-4’-methoxybiphenyl sebagai

vetiver alkohol.

Secara umum Gambar 17 dan 18 menunjukkan bahwa komposisi

komponen penyusun minyak akar wangi dipengaruhi oleh tekanan. Kedua gambar

memperlihatkan kesamaan pola peak pada setiap fraksi. Peningkatan tekanan

(gambar a, b, dan c) mengakibatkan peak dengan luas area besar bergeser ke

kanan. Pergeseran pola peak antar fraksi menunjukkan komponen dengan waktu

retensi rendah keluar lebih banyak pada tekanan rendah, begitupula sebaliknya.

Waktu retensi pada gambar hasil GC MS menunjukkan titik didih setiap

komponen. Sehingga komponen yang terdeteksi di awal memiliki titik didih lebih

rendah daripada komponen yang terdeteksi di akhir. Tabel 11 menyajikan luas

area masing-masing komponen dalam minyak akar wangi pada masing-masing

fraksi.

Tabel 11. Distribusi luas area GCMS minyak akar wangi

% Area V3 V4 Komponen

Titik didih (oC) Fraksi 1 Fraksi 2 Fraksi 3 Fraksi 1 Fraksi 2 Fraksi 3

Khusimene 100 1,18 0,26 - 1,27 0,51 - Khusimone 100 3,22 1,97 - - 2,14 - Trisiklovetiverol 110 17,21 17,12 13,45 16,84 22,84 16,76 β-vetivone 110 1,35 2,66 2,60 1,11 2,45 2,43 α-vetivone 110 3,15 6,03 7,29 2,65 5,16 5,92 Khusenic acid 158 0,29 10,79 34,45 3,25 8,51 31,15 Vetiver alkohol - - 0,42 0,70 - - 0,99 Nootkatone 120 - - 1,73 - - 1,59

Page 62: Difusi Osmosis

46

Gambar 17. Hasil Gas Chromathography minyak akar wangi perlakuan V3 (a) fraksi 1(2 bar 2 jam); (b) fraksi 2 (2.5 bar 3 jam); (c) fraksi 3 (3 bar 4 jam)

(a)

(b)

(c)

1

2

3

5

6

7

4

1. Khusimene 2. Khusimone 3. Trisiklo vetiverol 4. β-vetivone 5. α-vetivone 6. Khusenic acid 7. Vetiver alkohol

3

4

5

7

8

6 3. Trisiklo vetiverol 4. β-vetivone 5. α-vetivone 6. Khusenic acid 7. Vetiver alkohol 8. Nootkatone

1

2

3

4

5

6

1. Khusimene 2. Khusimone 3. Trisiklo vetiverol 4. β-vetivone 5. α-vetivone 6. Khusenic acid

Page 63: Difusi Osmosis

47

(a)

(b)

(c)

Gambar 18. Hasil Gas Chromathography minyak akar wangi perlakuan V4 (a) fraksi 1(2 bar 2 jam); (b) fraksi 2 (2.5 bar 3 jam); (c) fraksi 3 (3 bar 4 jam)

1

3

4

5

6

1. Khusimene 3. Trisiklo vetiverol 4. β-vetivone 5. α-vetivone 6. Khusenic acid

1

2

3

5

6 4

1. Khusimene 2. Khusimone 3. Trisiklo vetiverol 4. β-vetivone 5. α-vetivone 6. Khusenic acid

3

4

5

7

8

6

3. Trisiklo vetiverol 4. β-vetivone 5. α-vetivone 6. Khusenic acid 7. Vetiver alkohol 8. Nootkatone

Page 64: Difusi Osmosis

48

4.9. Model Kinetika Penyulingan Minyak Akar Wangi

Model yang digunakan pada penelitian ini adalah model persamaan

kinetik untuk proses penyulingan minyak atsiri seperti yang dilakukan Milojevic

(2008). Persamaan tersebut adalah :

t = 0 ; q = qw atau bq

q

q

q

o

w

o

== (4)

( ) kt

o

o ebq

qq −−=−.1 (5)

Atau

( ) ktbq

qq

o

o −−=−1lnln (6)

Yield minyak awal (qo) dalam bahan dan yield minyak pada waktu

tertentu (q) diambil dari hasil penelitian.

Pengembangan model matematis untuk kinetika penyulingan minyak atsiri

menggunakan mekanisme yang sama seperti pada isolasi bahan tanaman melalui

ekstraksi pelarut. Berdasarkan mekanisme tersebut, penyulingan minyak akar

wangi terdiri dari 2 tahap : (1) penyulingan cepat yaitu pelepasan minyak atsiri

yang berada di sekitar permukaan luar bahan tanaman diawal proses. Pada kondisi

ini koefisiennya (b) diartikan sebagai jumlah minyak yang terekstrak pada saat t =

0. (2) penyulingan lambat yaitu pelepasan minyak atsiri dari bagian dalam bahan

menuju ke permukaan luar bahan. Koefisien distilasi pada penyulingan lambat (k)

ini merupakan konstanta kinetika pada keseluruhan proses penyulingan.

Nilai koefisien distilasi dihitung dari transformasi data menggunakan

model eksponensial (Chapra & Canale 1991). Transformasi dilakukan dengan

memplotkan kurva hubungan ln[(qo-q)/qo] terhadap waktu (persamaan 6).

Page 65: Difusi Osmosis

49

-2.5

-2

-1.5

-1

-0.5

0

0 2 4 6 8 10

Waktu (jam)

ln [(

qo-q

)/qo

]V1 V2 V3

Gambar 19. Kinetika penyulingan minyak akar wangi

Nilai koefisien distilasi, k, merupakan kemiringan (slope) kurva,

sedangkan nilai koefisien distilasi b, merupakan perpotongan (intercept) kurva.

Nilai koefisien yang dihasilkan dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12. Nilai koefisien distilasi

Perlakuan k (s-1) b (1) R2

V1 1 l/j kg 0,1629 0,0158 0,9988

V2 1,5 l/j kg 0,1911 0,0224 0,9971

V3 2 l/j kg 0,2369 0,0450 0,9855

Nilai koefisien distilasi meningkat seiring dengan peningkatan laju alir

uap. Nilai koefisien k lebih besar daripada koefisien b. Hal ini menyatakan bahwa

laju alir uap lebih besar pengaruhnya terhadap koefisien k dari pada koefisien b.

Artinya peningkatan laju alir uap pada proses penyulingan lebih berperan pada

proses pelepasan minyak yang terdapat dari dalam bahan menuju ke permukaan

bahan dan bukan pada pelepasan minyak yang ada di dekat permukaan bahan.

Penentuan model hubungan antara parameter kinetik (koefisien distilasi)

terhadap laju alir uap diperoleh dengan metode penyesuaian kurva kuadrat terkecil

(least square curve fitting method) dengan menggunakan persamaan pangkat

sederhana (power). Plot masing-masing nilai koefisien distilasi terhadap laju alir

uap disajikan pada Gambar 20.

Page 66: Difusi Osmosis

50

0.00

0.05

0.10

0.15

0.20

0.25

0 0.5 1 1.5 2 2.5

Laju

k

0.000

0.010

0.020

0.030

0.040

0.050

0 0.5 1 1.5 2 2.5

Laju

b

Gambar 20. Plot nilai koefisien distilasi terhadap laju alir uap

Berdasarkan Gambar 20, maka model persamaan matematis untuk

masing-masing parameter kinetik disajikan pada Tabel 13. Penelitian mengenai

model persamaan kinetika pada penyulingan biji juniper dengan menggunakan

tekanan konstan juga dilakukan oleh Milojevic (2008). Model persamaan yang

dihasilkan juga disajikan pada Tabel 13.

Tabel 13. Model matematis untuk parameter kinetika penyulingan

Penelitian Koefisien distilasi R2 Keterangan proses

Milojevic (2008) k = 0.984 V0.532 0,995

b = 0.871 V0.167 0,946

• Tekanan konstan

• Laju konstan

Tutuarima (2009) k = 0.840 V0.530 0,967

b = 0.985 V1.446 0,920

• Tekanan bertahap

• Laju konstan

Masing-masing persamaan pada Tabel 13 memperlihatkan ada sedikit

perbedaan yang dihasilkan dari kedua penelitian tersebut. Pada penelitian

Milojevic (2008) nilai k lebih besar daripada nilai b. Ini berbanding terbalik

dengan penelitian ini yang menghasilkan nilai k yang lebih kecil daripada nilai b.

Nilai k yang besar berarti kinetika yang terjadi selama proses penyulingan

berjalan cepat. Pada penelitian Milojevic (2008) penyulingan dilakukan terhadap

biji jintan yang telah dihancurkan/bubuk (comminuted ripe juniper berries).

Guenther (1990) menyebutkan bahwa penyulingan bahan tanaman dengan ukuran

yang lebih kecil mempermudah proses hidrodifusi. Hal ini berarti bahan tanaman

dengan ukuran yang lebih kecil lebih mudah menguap daripada bahan dalam

keadaan utuh. Sementara pada penelitian ini bahan akar wangi juga telah

Page 67: Difusi Osmosis

51

diperkecil. Namun jika dibandingkan dengan ukuran bubuk juniper, maka ukuran

ini masih lebih besar. Perbedaaan ukuran bahan yang disuling inilah yang diduga

menjadi penyebab terjadinya perbedaan konstanta kinetika.

Percobaan dengan peningkatan laju alir uap secara bertahap pada periode

waktu tertentu selama proses penyulingan juga dilakukan pada penelitian ini.

Peningkatan laju alir uap secara bertahap tidak mampu memberikan jumlah

minyak yang lebih tinggi dari pada minyak yang dihasilkan dengan menggunakan

laju alir uap konstan yang tertinggi, dalam hal ini 2 l/j kg bahan (lihat Gambar

14). Nilai koefisien distilasi dari kedua parameter untuk penyulingan dengan laju

alir uap bertahap (k = 0,1336 min-1; b = 0,0214) lebih rendah daripada nilai

koefisien parameter kinetika pada penyulingan dengan laju alir uap konstan

tertinggi. Oleh karena itu diduga laju alir uap yang rendah pada awal penyulingan

tidak cukup mampu membebaskan seluruh minyak dari akar wangi.

Model persamaan kinetika penyulingan minyak akar wangi yang

dihasilkan pada Tabel 13, diujicobakan pada percobaan penyulingan dengan

peningkatan laju alir uap secara bertahap. Hasil perhitungan dari persamaan

kinetika dibandingkan dengan hasil percobaan (Gambar 21).

0.029

0.0240.021

0.009 0.016

0.007

0.00

0.01

0.02

0.03

0.04

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Waktu, jam

q, g

/g

q hit q perc

Gambar 21. Perbandingan konsentrasi minyak hasil percobaan dan hasil prediksi model pada V = bertahap.

Gambar 21 menunjukkan adanya perbedaan antara konsentrasi minyak

hasil percobaan dengan hasil perhitungan. Konsentrasi minyak hasil percobaan

lebih kecil dibandingkan dengan hasil perhitungan, tetapi keduanya menunjukkan

Page 68: Difusi Osmosis

52

pola kedekatan nilai yang cukup baik. Peningkatan laju alir uap dan penambahan

waktu penyulingan memperbesar perbedaan nilai hasil perhitungan dan

percobaan. Perbedaan konsentrasi minyak antara hasil perhitungan dan percobaan

tidak terlalu besar dan masih dapat ditoleransi, hanya berkisar antar 0.002–0.005

g/g minyak. Perbedaan ini diduga akibat terjadinya kendala teknis selama

penyulingan seperti terjadinya kondensasi uap dalam ketel suling yang

mengakibatkan minyak yang telah dibawa uap tidak terpisah, beberapa komponen

minyak yang larut dan teremulsi ke dalam air destilat serta faktor-faktor luar yang

diabaikan saat melakukan perhitungan.

Page 69: Difusi Osmosis

53

V. KESIMPULAN

5.1. Kesimpulan

1. Tekanan uap pada ketel suling yang berbeda mempengaruhi kinerja proses

penyulingan. Penyulingan minyak akar wangi dengan tekanan uap konstan

1 bar terbukti tidak efektif, sedangkan tekanan uap konstan 3 bar mampu

menghasilkan recovery yang tinggi dengan mutu yang baik. Penggunaan

peningkatan tekanan uap bertahap (2, 2.5, 3 bar) menghasilkan kinerja

recovery sebesar 92.58%, sedikit lebih tinggi dari tekanan konstan 3 bar

yaitu 90.37%.

2. Laju alir uap signifikan menentukan kinerja recovery proses penyulingan.

Peningkatan laju alir uap selama proses mampu meningkatkan kinerja

recovery penyulingan. Namun secara keseluruhan, laju alir uap konstan

tertinggi 2 l/j kg bahan memberikan kinerja recovery lebih baik.

3. Penggunaan peningkatan tekanan uap secara bertahap sampai dengan 3 bar

dan laju alir uap 2 l/j kg bahan memberikan kinerja recovery tinggi dengan

mutu sesuai dengan standar SNI dan ISO.

4. Penggunaan tekanan bertahap sampai dengan 3 bar dapat menghasilkan

fraksi minyak akar wangi dengan komposisi komponen sesuai dengan

kelompok titik didihnya. Komponen minyak akar wangi khusimene,

khusimone keluar pada tekanan 2 dan 2.5 bar; α-vetivone, β-vetivon, dan

khusenic acid keluar pada ketiga tahapan dengan persentase semakin besar

pada tekanan 3 bar.

5. Kinetika untuk penyulingan minyak akar wangi dapat diprediksi

menggunakan persamaan model kinetika ekstraksi pelarut. Persamaan

parameter kinetika yang diperoleh adalah k = 0.840 V0.530.

5.2. Saran

Penelitian yang telah dilakukan ini memiliki banyak tujuan antara lain

mendapatkan recovery yang tinggi, mutu yang baik, penggunaan waktu yang

singkat dan energi yang lebih sedikit. Oleh karena itu penyulingan dengan

menggunakan tekanan bertahap pada proses penyulingan minyak akar wangi akan

Page 70: Difusi Osmosis

54

sangat membantu baik dari segi biaya dan waktu. Namun sebelum diaplikasikan

ke skala yang lebih besar perlu dilakukan :

1. Penelitian lanjutan dengan fokus utama optimasi parameter-parameter

kondisi proses yang telah digunakan. Hasil optimasi ini untuk

mendapatkan kondisi operasi yang optimum.

2. Penelitian lanjutan mengenai laju alir uap yang lebih dari 2 liter/jam/kg

bahan serta pengaruhnya terhadap jumlah minyak yang dapat direcovery.

Ini bertujuan untuk batas penggunaan laju alir uap maksimum yang dapat

meningkatkan recovery.

Page 71: Difusi Osmosis

55

DAFTAR PUSTAKA

Abraham. 2002. Telaah Komponen Volatil Akar Wangi (Vetiveria zizanoides (L) Nash ex Small) Liar Asal Bone secara Kromatografi Gas–Spektrometri Massa [tesis]. Bandung : Program Pascasarjana, Universitas Padjajaran.

Adams RP., Sanko Nguyen, Dennis A. Johnston, Sunghun Park, Tony L. Provin,

Mitiku Habte. 2008. Comparison of vetiver root essential oils from cleansed (bacteria- and fungus-free) vs. non-cleansed (normal) vetiver plants. Biochemical Systematics and Ecology 36:177-182

Aggarwal A, Singh A, Kahol AP, Singh M. 1998. Parameters of Vetiver Oil

Distillation. J.Herbs Spices & Med.Plants. 6(2):55-61 Akhila A, Mumkum R. 2002. Chemical Constituents and Essential Oil Biogenesis

in Vetiveria Zizaniodes. Didalam Massimo Maffei. Vetiveria : The Genus Vetiveria. New York : Taylor and Francs Ind..

Anonim. 2009. Wikipedia : Ensiklopedia Bebas. http://id.wikipedia.org/wiki/ [26

Agustus 2009] Atkins PW. 1999. Kimia Fisika Jilid 1 Ed ke-4. Kartohadiprodjo II, penerjemah;

Rohhadyan T & Hadiyana K, editor. Jakarta: Erlangga. Terjemahan dari: Physical Chemistry.

Azlina N. 2005. Study of Important Parameters Affecting The Hydro-Distillation

for Ginger Oil Production [thesis]. Malaysia : Faculty of Chemical and Natural Resources Engineering, University Teknology Malaysia.

[BPS] Biro Pusat Statistik. 2005. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia.

Jakarta : Biro Pusat Statistik. Brown E, Islip HT. 1953. Stills for Essential Oil: Colonial Plant and Animal

Product. 3:287-319; di dalam Monograf Nilam. 1998. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor

Cazaussus A, Pes A, Sellier N, Tabet JC. 1988. GC-MS and GC-MS-MS Analysis

of a Complex Essential Oil. Chromatographia 25(10) : 865 - 869. Chapra SC, Raymond P Canale. 1991. Metode Numerik untuk Teknik. Sardy S,

penerjemah. Jakarta : UI Press. Terjemahan dari : Numerical Methods for Engineers.

Dahlan D. 1989. Model Matematik Pengaruh Tekanan Uap Terhadap Rendemen

Penyulingan Minyak Nilam [tesis]. Bogor : Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Page 72: Difusi Osmosis

56

Denny E F K (Tim). 2001. Field Distillation for Herbaceous Oils Third Edition. Tasmania, Australia : Denny, McKenzie Associates.

Dethier M, Sakubu S, Ciza A, Cordier Y. 1997. Aromatic Plants of Tropical

Central Africa. XXVIII. Influence of Cultural Treatment and Harvest Time on Vetiver Oil Quality in Burundi. J. Essent.Oil. (9) : 447-451

Earle RL. 1982. Satuan Operasi Dalam Pengolahan Pangan. Nasution Z,

penerjemah. Jakarta: Sastra Hudaya. Terjemahan dari: Unit Operation in Food Processing.

Feryanto. 2007. Garut : The Land of Vetiver. http://ferry-atsiri.blogspot.com/2007

/12/garut-land-of-vetiver.html [6 April 2008]. Geankoplis CJ. 1983. Transport Processes and Separation Prosess Principles

(Includes Unit Operations) Fourth Edition. New York : Prentice Hall. Guenther. 1990. Minyak Atsiri Jilid I dan IVA. Semangat Ketaren, penerjemah.

Jakarta : Universitas Indonesia Press. Terjemahan dari : The Essential Oils.

Hardjono, Rusli S, Deswert RJ. 1973. Cara-cara Penyulingan Mempengaruhi

Rendemen dan Kwalitas Minyak Akar Wangi. Pemberitaan LPTI 15 – 16 : 39 – 47.

Heldman DR, Singh RP. 1980. Food Process Engineering Second Edition.

Westport, Connecticut : AVI Publishing Company, INC. Heyne K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia Jilid 1. Jakarta : Balitbang

Kehutanan. Indrawanto. 2006. Analisis Finansial Agroindustri Penyulingan Akar Wangi di

Kabupaten Garut, Jawa Barat. Buletin Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat. Vol XVIII (2) : 78 - 83

[ISO] International Organization for Standardization 4716 : 2002. Oil of vetiver

(Vetiveria zizanioides (Linnaeus) Nash). http://www.iso.org/iso/iso_ catalogue/catalogue_tc/catalogue_detail.htm?csnumber=28587 [15 April 2008].

Kardinan A. 2005. Tanaman Penghasil Minyak Atsiri. Jakarta : Agromedia

Pustaka. Ketaren S, Djatmiko B. 1978. Minyak Atsiri Bersumber dari Batang dan Akar.

Departemen Teknologi Hasil Pertanian. Bogor : FATEMETA, IPB Ketaren S. 1985. Pengantar Teknologi Minyak Atsiri. Jakarta : Balai Pustaka.

Page 73: Difusi Osmosis

57

Lavania UC. 1988. Enhanced Productivity of The Essential Oil in The Artificial Autopolyploid of Vetiver (Vetiveria zizaniodes L. Nash). Euphytica 38: 271 – 276.

Lavania UC, Surochita Basu, Seshu Lavania. 2008. Towards Bio-Efficient And Non-Invasive Vetiver : Lessons From Genomic Manipulation And Chromosomal Characterization. http://www.vetiver.org/ICV4pdfs /EB02.pdf [23 Agustus 2009]

Lestari RSE. 1993. Pengaruh Tekanan Uap dalam Proses Distilasi Terhadap

Rendemen Minyak Sereh Wangi (Andropogon nardus) [tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Lutony TL, Yeyet R. 1999. Produksi dan Perdagangan Minyak Atsiri. Jakarta : Penebar Swadaya.

Luu TD. 2007. Development of Process for Purification of α dan β-vetivone from

Vetiver Essential Oil & Investigation of Effect of Heavy Metals on Quality and Quantity of Extracted Vetiver Oil. Thesis. University of New South Wales. Sydney. http://www.vetiver.org/AUS_Research%20 Proposal%20vet%20oil.pdf. [15 Juli 2007].

Marshall JA. 1967. The Vetivane Sesquiterpenes. J. Am. Chem. Soc. 89: 2748 –

2750. Martinez J, Paulo TV, Chantal M, Alain L, Pierre B, Dominique P, Angela AM.

2004. Valorization of Brazilian Vetiver (Vetiveria zizanoides (L) Nash ex Small) Oil. J. Agr and Food Chem. 52 : 6578 – 6584.

Milojevic S, Stojanovic T, Palic R, Lazic M, Veljkovic V. 2008. Kinetics of

Distillation of Essential Oil from Comminuted Ripe Juniper (Juniperus communis L) berries. Biochem. Eng. J. 39:547-553.

Moestafa A, Sumarsi, Lestari D. 1998. Pengaruh Ukuran Bahan dan Lama

Penyulingan Terhadap Yield dan Karakteristik Minyak Jeruk Purut (Citrus hystrix DC). Warta IHP 13 (1-2) : 25 – 29.

Moestafa A, Waspodo P, Hakim S. 1991. Pengaruh Lama dan Kecepatan

Penyulingan Terhadap Kadar Minyak dan Vetiverol Akar Wangi. Warta IHP 8 (2) : 11 – 15.

Moestafa, A. 1991. Pengaruh Lama dan Kecepatan Penyulingan terhadap Kadar

Minyak dan Vetiverol Akar Wangi. Warta IHP Vol. 8 (2) : 11 – 15 Mulyono E, Risfaheri, Hernani, Tatang H, Sari IK, Wisnu B, Meika SR, Ketaren,

Hari S. 2007. Laporan Akhir Penelitian Perbaikan Mutu dan Efisiensi Penyulingan Minyak Akar Wangi. Bali Besar Penelitian dan Pascapanen Pertanian. Balai Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. [Tidak dipublikasi].

Page 74: Difusi Osmosis

58

Oyen, Dung NX. 1999. Plant Resources of Shouth East Asia (PROSEA) 19 Essential Oil Plant. Bogor: Backhoys Publisher, Leider the Netherland.

PT Djasula Wangi. 2006. Akar Wangi (Vetiver). Di dalam : Menuju IKM Minyak

Atsiri Berdaya Saing Tinggi. Prosiding Konferensi Nasional Minyak Atsiri 2006 Vol. 2; Solo, 18 – 20 Sept 2006. Jakarta : Direktorat Industri Kimia dan Bahan Bangunan Dirjen IKM Departemen Perindustrian RI. hlm 44 – 46.

Risfaheri dan Edi, M. 2006. Standar Proses Produksi Minyak Atsiri. Di dalam :

Menuju IKM Minyak Atsiri Berdaya Saing Tinggi. Prosiding Konferensi Nasional Minyak Atsiri 2006 Vol. 1; Solo, 18 – 20 Sept 2006. Jakarta : Direktorat Industri Kimia dan Bahan Bangunan Dirjen IKM Departemen Perindustrian RI. hlm 68 – 80.

Rusli S, Anggraeni. 1999. Pengaruh Tekanan Uap dan Lama Penyulingan

Terhadap Rendemen dan Mutu Minyak Akar Wangi. Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Vol. X (1) : 25 – 32

Rusli S. 1985. Penelitian dan Pengembangan Minyak Atsiri Indonesia. Edisi

Khusus 2. Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat. Bogor Sakiah S. 2006. Modifikasi Proses Penyulingan dengan Variasi Tekanan Uap

Untuk Memperbaiki Karakteristik Aroma Minyak Pala [tesis]. Bogor : Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Santoso HB. 1993. Akar Wangi Bertanam dan Penyulingan. Yogyakarta :

Kanisius. Sastrohamidjojo H. 2004. Kimia Minyak Atsiri. Yogyakarta : Gadjah Mada

University Press. Setiadji, Tamtarini. 2006. Mempelajari Pengaruh Metode dan Lama Penyulingan

Terhadap Rendemen dan Kualitas Minyak Nilam. Di dalam : Menuju IKM Minyak Atsiri Berdaya Saing Tinggi. Prosiding Konferensi Nasional Minyak Atsiri 2006 Vol. 2; Solo, 18 – 20 Sept 2006. Jakarta : Direktorat Industri Kimia dan Bahan Bangunan Dirjen IKM Departemen Perindustrian RI. hlm 128 – 134.

Shibamoto T, Nishimura O. 1982. Isolation and Identidication of Phenols in Oil of

Vetiver. Phytochemistry. 21(3):793 [SNI] Standar Nasional Indonesia 06- 2386-2006. Minyak Akar Wangi.

http://www.bsn.or.id/files/sni/SNI%2001-2386-2006%20_akar%20 wangi_.pdf [10 Februari 2008].

Page 75: Difusi Osmosis

59

Sudibyo A. 1989. Pengaruh Lama Penyulingan dan Penghancuran Biji Jintan (Cuminum Cyminum L.) Terhadap Rendemen dan Sifat Fisiko Kimia Minyak Atsiri yang Dihasilkan. Warta IHP Vol. 6 (1) : 1 – 4.

Suryatmi RD, Henanto H, Purwanto W, Wibowo T. 2006. Teknologi Proses

Produksi Minyak Atsiri Mutu Tinggi. Di dalam : Menuju IKM Minyak Atsiri Berdaya Saing Tinggi. Prosiding Konferensi Nasional Minyak Atsiri 2006 Vol. 1; Solo, 18 – 20 Sept 2006. Jakarta : Direktorat Industri Kimia dan Bahan Bangunan Dirjen IKM Departemen Perindustrian RI. hlm : 150 – 158.

Suryatmi RD. 2006. Kajian Variasi Tekanan pada Penyulingan Minyak Akar

Wangi Skala Laboratorium. Di dalam : Menuju IKM Minyak Atsiri Berdaya Saing Tinggi. Prosiding Konferensi Nasional Minyak Atsiri 2006 Vol. 1; Solo, 18 – 20 Sept 2006. Jakarta : Direktorat Industri Kimia dan Bahan Bangunan Dirjen IKM Departemen Perindustrian RI. hlm : 173 – 177.

Triharyo. 2007. Solusi Untuk Industri Penyulingan Akar Wangi dengan

Menggunakan Energi Panas Bumi. http://www.triharyo.com/dl_jump. php?id=11 [6 April 2008].

Weyerstahl P, Helga M, Ute S, Dietmar W, Horst S. 2000. Constituent of Haitian

Vetiver Oil. Flavour Fragr. J. 15 : 395-412 Wibowo TY, Suryatmi RD, Meika SR, Imelda HS. 2008. Kajian Proses

Penyulingan Uap Minyak Jintan Putih. Jurnal Teknologi Industri Pertanian Vol 17 (3) : 89-96

Page 76: Difusi Osmosis

60

Page 77: Difusi Osmosis

61

Lampiran 1. Daftar Istilah dan Simbol

A. Istilah

Boiler : alat untuk menghasilkan uap air, yang akan digunakan untuk pemanasan.

Ketel suling : alat yang berfungsi sebagai wadah tempat air dan atau uap

untuk mengadakan kontak dengan bahan serta menguapkan minyak atsiri

Kondensor : alat pendingin yang berfungsi untuk mengubah seluruh uap

air dan uap minyak menjadi fase cair Separator : alat yang berfungsi untuk menampung distilat dan

memisahkan minyak dari air suling Laju distilasi : nilai perbandingan antara jumlah air suling dengan waktu

(jumlah air yang disuling tiap jam) Laju alir uap` : nilai perbandingan antara jumlah uap air dari boiler yang

masuk ke ketel suling terhadap waktu (jumlah uap yang masuk tiap jam)

Recovery : jumlah minyak yang dapat dikeluarkan dari keseluruhan

minyak yang terkandung dalam bahan tanaman Rendemen : jumlah minyak yang dihasilkan pada proses penyulingan

persatuan bahan Tekanan : satuan fisika untuk menyatakan gaya (F) per satuan luas (A). Tekanan uap : tekanan suatu uap pada kesetimbangan dengan fase bukan

uapnya B. Simbol

P = tekanan

Konversi satuan : 1 bar = 0.9869 atm = 1.0197 kg/cm2

1 bar = 100 kPa = 750.0617 mmHg

V = laju alir uap; ml/menit, l/jam

t = waktu penyulingan; menit, jam

T = suhu penyulingan; oC

Page 78: Difusi Osmosis

62

Lampiran 2. Prosedur Analisa Kadar Air dan Kadar Minyak a. Penentuan Kadar Air (SNI 01-3181-1992)

Ruang lingkup

Metoda ini digunakan untuk penentuan kadar air dari bumbu dan rempah-

rempah.

Definisi

Yang dimaksud dengan kadar air adalah banyaknya air, dinyatakan dalam

presentasi massa yang disuling dan dikumpulkan sesuai dengan metoda yang

diuraikan.

Prinsip

Penentuan banyaknya air yang dipisahkan dengan cara destilasi dengan

bantuan suatu cairan organik yang tidak bercampur dengan air, dan yang

dikumpulkan dalam sebuah tabung ukuran.

Bahan-Bahan Kimia

Toluena. Jenuhkan toluena dengan mengocoknya dengan sejumlah kecil air

dan sulinglah. Gunakan destilat ini untuk penentuan kadar air.

Peralatan

1. Alat penyulingan terdiri atas bagian-bagian di bawah ini dipasang

bersama-sama dengan menggunakan sambungan-sambungan kaca asah :

a. Labu leher pendek, paling sedikit berkapasitas 500 ml.

b. Pendingin refluks.

c. Penampung dengan tabung berukuran, ditempatkan diantara labu

dan pendingin,

2. Neraca Analitik

Pengambilan Cuplikan

Lakukanlah pengambilan cuplikan bahan dengan menggunakan metoda

seperti diuraikan dalam Rekomendasi ISO R 984 Spices and Condiments

sampling.

Page 79: Difusi Osmosis

63

Cara Kerja

1. Persiapan alat.

Seluruh alat dibersihkan dengan larutan pencuci kalium dikhromat-asam

sulfat untuk memperkecil kemungkinan melekatnya tetes-tetes kecil air

pada sisi-sisi pendingin dan penampung. Bilaslah dengan air secara baik

dan keringkan dengan sempurna sebelum alat tersebut digunakan.

2. Penbuatan cuplikan untuk pengujian.

Buatlah cuplikan seperti diuraikan dalam Rekomendasi ISO R 984 Spices

and Condiments - Preparation of Sample for Test.

3. Cuplikan yang diperiksa.

Timbanglah mendekati 0.01 kira-kira cuplikan yang telah dibuat untuk

pengujian, sedemikian rupa sehingga banyaknva air yang diukur tidak

akan rnelebihi 4,5 ml.

4. Penentuan.

Pindahkan secara kuantitatip cuplikan yang diperiksa ke dalam labu

destilasi dengan toluene, tambahkan toluena secukupnya (kira-kita 75 ml)

untuk menutupi cuplikan itu seluruhnya, dan kocoklah perlahan-lahan

untuk mencampurnya. Pasanglah alat dan isilah penampung dengan

pelarut dengan cara menuangkannya melalui pendingin sampai mulai

meluap ke dalam labu destiIasi. Bila perlu sisipkanlah sumbat kapas yang

longgar dibagian atas pendingin atau pasanglah sebuah tabung pengering

kecil berisi kalsium klorida untuk mencegah pengembunan uap air dari

udara di dalam tabung pendingin.

Agar refluks dapat diatur, selubungilah labu dan tabung yang menuju ke

penampung dengan kain asbes. Panaskanlah labu sedemikian rupa

sehingga kecepatan destilasi adalah kira-kira 100 tetes per menit. Bila

sebagian besar air telah tersuling, naikkanlah kecepatan destilasi sampai

kira-kira 200 tetes per menit dan teruskanlah hingga tidak ada lagi air

yang tertampung. Sekali-sekali bersihkan dinding sebelah dalam dari

pendingin refluks dengan 5 ml toluena selama destilasi berlangsung untuk

membilas air yang mungkin melekat pada dinding pendingin. Air dalam

penampung dapat dipaksa untuk memisah dari toluene dengan sekali-

Page 80: Difusi Osmosis

64

sekali menggunakan sebuah spiral kawat tembaga turun naik dalam

pendingin dan penampung, sehingga air mengendap pada dasar

penampung. Reflukslah hingga tinggi air dalam penampung tetap tidak

berubah selama 30 menit dan hentukanlah sumber panas.

Bilaslah pendingin dengan toluena bila diperlukan, dan gunakanlah spiral

kawat tembaga untuk melepaskan tetes-tetes air yang ada. Celupkanlah

penampung ke dalam air pada suhu kamar paling sedikit selama 15 menit

atau sampai lapisan toluena menjadi jernih, dan kemudian bacalah volume

air.

Cara Menyatakan Hasil

Kadar air dalam persentase massa sama dengan :

M

VairKadar

100=

dimana :

V : adalah volume, dalam milliliter air yang ditampung.

M : adalah massa, dalam gram. cuplikan yang diperiksa.

Dianggap bahwa rapat massa air tepat 1 g/ml.

b. Penentuan Kadar Minyak (SNI 01-0025-1987)

Ruang lingkup

Metoda ini digunakan untuk menentukan kadar minyak atsiri pada bumbu dan

rempah-rempah.

Definisi

Kadar minyak atsiri adalah kandungan minyak yang dihasilkan dari bagian

tanaman, bersifat mudah menguap pada suhu kamar, berbau wangi khas tidak

larut dalam air tetapi larut dalam bahan organik.

Prinsip metode

Contoh dipotong-potong kecil, dimasukkan ke dalam labu didih. Tambahkan

air dan didihkan. Selanjutnya labu didih disambung dengan alat destilasi

“Dean – Stark”.

Page 81: Difusi Osmosis

65

Bahan kimia

1. Aquadest

2. Bumbu dan rempah-rempah

Peralatan

1. Timbangan analitik

2. Labu didih berkapasitas 1 liter

3. Alat destilasi “Dean – Stark”

Cara kerja

1. Timbanglah dengan teliti mendekati 1 gram, kira-kira 35 – 40 gram

cuplikan yang telah dipotong kecil-kecil sebelumnya dan masukkan ke

dalam labu didih.

2. Tambahkan air sampai seluruh cuplikan terendam dan tambahkan

kedalamnya sejumlah batu didih. Contoh dipotong-potong kecil,

dimasukkan kedalam batu didih. Tambahkan air dan didihkan.

Selanjutnya labu didih disambung dengan alat destilasi “Dean – Stark”.

3. Sambunglah labu didih dengan alat “Dean – Stark” sehingga dapat

digunakan untuk pekerjaan destilasi dan panaskanlah labu didih tersebut

beserta isinya. Penyulingan dihentikan bila tidak ada lagi butir-butir

minyak yang menetes bersama-sama air atau bila volume minyak dalam

penampung tidak berubah selama beberapa waktu.

Cara Menyatakan Hasil

Kadar minyak atsiri dapat ditentukan berdasarkan perhitungan sebagai

berikut :

100)1(

min(%)min ×

−=

airkadarcuplikanberat

dibacayangyakmlatsiriyakKadar

Page 82: Difusi Osmosis

66

Lampiran 3. Prosedur Analisa Sifat Fisika Kimia Minyak Akar Wangi

(SNI 06-2386-2006)

a. Penentuan warna

Prinsip

Metode ini didasarkan pada pengamatan visual dengan menggunakan indra

penglihatan langsung, terhadap contoh minyak akar wangi.

Peralatan

1. Tabung reaksi kapasitas 15 ml atau 20 ml;

2. Pipet gondok atau pipet berskala kapasitas 10 ml;

3. Kertas atau karton berwarna putih ukuran 20 cm x 30 cm.

Prosedur

1. Pipet 10 ml contoh minyak akar wangi

2. Masukkan kedalam tabung reaksi, hindari adanya gelembung udara

3. Sandarkan tabung reaksi berisi contoh minyak akar wangi pada kertas atau

karton berwarna putih.

4. Amati warnanya dengan mata langsung, jarak pengamatan antara mata dan

contoh 30 cm

b. Penentuan Bau

Prinsip

Metode ini didasarkan pada pengamatan visual dengan menggunakan indra

penciuman langsung, terhadap contoh minyak akar wangi.

Penyajian hasil uji

Hasil uji yang disajikan harus sesuai dengan warna contoh minyak akar wangi

yang diamati. Apabila contoh minyak akar wangi yang diamati berwarna

kuning muda, maka warna contoh minyak akar wangi dinyatakan kuning

muda.

Page 83: Difusi Osmosis

67

c. Penentuan Bobot Jenis

Prinsip

Perbandingan antara berat minyak dengan berat air pada volume dan suhu

yang sama.

Peralatan

1. Neraca analitik dengen ketelitian 0,001 g;

2. Penangas air yang diperlengkapi dengan thermostat;

3. Piknometer berkapasitas 5 ml.

Cara kerja

1. Cuci dan bersihkan piknometer, kemudian basuh berturut-turut dengan

etanol dan dietil eter.

2. Keringkan bagian dalam piknometer tersebut dengan arus udara kering

dan sisipkan tutupnya

3. Biarkan piknometer di dalam lemari timbangan selama 30 menit dan

timbang (m)

4. Isi piknometer dengan air suling sambil menghindari adanya gelembung-

gelembung udara.

5. Celupkan piknometer ke dalam penangas air pada suhu 20oC ± 0,2 oC

selama 30 menit

6. Sisipkan penutupnya dan keringkan piknometernya

7. Biarkan piknometer di dalam lemari timbangan selama 30 menit,

kemudian timbang dengan isinya (m1)

8. Kosongkan piknometer tersebut, cuci dengan etanol dan dietil eter,

kemudian keringkan dengan arus udara kering.

9. Isilah piknometer dengan contoh minyak dan hindari adanya gelembung-

gelembung udara

10. Celupkan kembali piknometer ke dalam penangas air pada suhu 20 oC ±

0,2 oC selama 30 menit. Sisipkan tutupnya dan keringkan piknometer

tersebut.

11. Biarkan piknometer di dalam lemari timbangan selama 30 menit dan

timbang (m2).

Page 84: Difusi Osmosis

68

Penyajian hasil uji

mm

mmdjenisBobot

−−==

1

22020

dengan keterangan:

m, adalah massa piknometer kosong (g);

m1, adalah massa, piknometer berisi air pada 20oC (g);

m2, adalah massa, pikonometer berisi contoh pada 20oC (g).

d. Penentuan indeks bias

Prinsip

Metode ini didasarkan pada pengukuran langsung sudut bias minyak yang

dipertahankan pada kondisi suhu yang tetap.

Bahan kimia

• Air suling

Peralatan

1. Refraktometer;

2. Penangas air;

3. Lampu natrium.

Cara kerja

1. Alirkan air melalui refraktometer agar alat ini berada pada suhu saat

pembacaan akan dilakukan

2. Suhu harus dipertahankan dengan toleransi ± 0,2 oC

3. Sebelum minyak ditaruh di dalam alat, minyak tersebut harus berada pada

suhu yang sama dengan suhu dimana pengukuran akan dilakukan

4. Pembacaan dilakukan bila suhu sudah stabil

Penyajian hasil uji

( )ttnbiasIndeks tD −+= 10004,01

Dengan:

1tDn adalah pembacaan yang dilakukan pada suhu pengerjaan ;

tDn adalah indeks bias pada suhu 20o;

Page 85: Difusi Osmosis

69

t1 adalah suhu yang dilakukan pada suhu pengerjaan;

t adalah suhu referensi (20oC);

0.0004 adalah faktor koreksi untuk indeks bias.

e. Penentuan kelarutan dalam etanol

Prinsip

Kelarutan minyak akar wangi dalam etanol absolut atau etanol 95 %

membentuk larutan yang bening dan cerah dalam perbandingan-perbandingan

seperti yang dinyatakan.

Bahan kimia

1. Etanol 95 %

2. Larutan pembanding (dibuat baru)

Dengan menambahkan 0,5 ml larutan perak nitrat (AgNO3) 0,1 N ke

dalam 50 ml larutan natrium khlorida (NaCl) 0,0002 N dan dikocok.

Tambahkan satu tetes asam nitrat (HNO3) encer (25 %) dan amati setelah

5 menit. Lindungi terhadap sinar matahari langsung.

Peralatan

1. Gelas ukur 50 ml;

2. Gelas ukur tertutup 10 ml atau 25 ml.

Cara kerja

1. Tempatkan 1 ml contoh minyak dan diukur dengan teliti di dalam gelas

ukur yang berukuran 10 ml atau 25 ml

2. Tambahkan etanol 95 %, setetes demi setetes. Kocoklah setelah setiap

penambahan sampai diperoleh suatu larutan yang sebening mungkin pada

suhu 20 oC

3. Bandingkanlah kekeruhan yang terjadi dengan kekeruhan larutan

pembanding, melalui cairan yang sama tebalnya, bila larutan tersebut

tidak bening.

Penyajian hasil uji

Hasil uji dinyatakan sebagai berikut:

Akan membentuk larutan jernih atau opalesensi ringan, apabila ditambahkan

etanol sebanyak maksimum sepuluh kali volume contoh.

Page 86: Difusi Osmosis

70

f. Penentuan bilangan asam

Prinsip

Asam-asam bebas dinetralkan dengan larutan terstandar kalium hidroksida

etanol.

Bahan kimia

1. Etanol 95 % (v/v) pada 20oc, yang dinetralkan dengan larutan kalium

hidroksida (KOH) dengan menggunakan indikator fenolftalein (pp);

2. Fenolftalein (pp), larutan 0,4 g/l dalam etanol 20 % (v/v) yang telah

dinetralkan;

3. Larutan kalium hidroksida (KOH) 0,1 N dalam etanol yang telah

distandardisasi.

Peralatan

1. Neraca analitik dengan ketelitian 0,001 g;

2. Labu penyabunan kapasitas 250 ml, yang dilengkapi dengan pendingin

refluks;

3. Buret dengan skala terbagi dalam seper sepuluh milimeter.

Cara kerja

1. Timbang 4g ± 0,05 g contoh minyak, larutkan dalam 5 ml etanol netral

pada labu saponifikasi penyabunan

2. Tambahkan 5 tetes larutan fenolftalein sebagai indikator

3. Titrasi larutan tersebut dengan kalium hidroksida 0,1 N sampai warna

merah muda

Penyajian hasil uji

m

NVasamBilangan

××= 1,56

dengan keterangan:

56,1 adalah bobot setara KOH;

V adalah volume larutan KOH yang diperlukan (ml);

N adalah normalitet larutan KOH (N);

m adalah massa contoh yang diuji (g).

Page 87: Difusi Osmosis

71

g. Penentuan bilangan ester

Prinsip

Penyabunan ester-ester dengan larutan KOH alkohol berlebihan. KOH

dititrasi kembali dengan asam klorida (HCl). Ester-ester dihidrolisis dengan

larutan standar kalium hidroksida berlebih pada kondisi panas. Kelebihan

alkali ditetapkan dengan titrasi kembali dengan asam klorida.

Bahan kimia

1. Etanol 95 % (v/v) yang baru dinetralkan dengan larutan alkali, dengan

menggunakan larutan indikator fenolftalein (pp);

2. Larutan kalium hidroksida (KOH) 0,5 N dalam etanol;

3. Larutan standar volumetri asam klorida (HCL) 0,5 N;

4. Larutan fenolftalein (pp) 1% dalam etanol.

Peralatan

1. Labu penyabunan, terbuat dari gelas dengan leher kaca asah yang tahan

terhadap alkali, berkapasitas 250 ml, dapat dilengkapi dengan sebuah pipa

kaca, panjangnya paling sedikit 1 m, dan diameter sebelah dalam 1 cm,

yang digunakan sebagai kondensor refluks atau bila perlu sebagai

pendingin refluks. Pasanglah tabung berisi penyerap karbon dioksida pada

pendingin selama pendinginan;

2. Gelas ukur 5 ml;

3. Buret standar 50 ml;

4. Pipet standar 25 ml;

5. Penangas air.

Cara kerja

a) Pengujian blanko

1. Isi labu penyabunan dengan beberapa potong batu didih atau porselen,

lalu tambahkan 25 ml larutan kalium hidroksida 0,5 N dalam alkohol

2. Refluks dengan hati-hati di atas penangas air mendidih selama 1 (satu)

jam setelah larutan mendidih. Diamkan larutan hingga menjadi dingin.

3. Lepaskan kondensor refluks dan tambah 5 tetes larutan fenolftalein

dan kemudian titrasi dengan HCl 0,5 N sampai diperoleh perubahan

warna.

Page 88: Difusi Osmosis

72

b) Pengujian contoh

1. Timbang contoh 4 g ± 0,05 g dan masukkan ke dalam labu, tambahkan

25 ml kalium hidroksida 0,5 N dan batu didih.

2. Refluks diatas penangas air selama 1 jam

3. Lepaskan kondensor refluks, tambahkan 5 tetes larutan fenolftalein,

dan titrasi dengan HCl 0,5 N sampai diperoleh perubahan warna

Penyajian hasil uji

Bilangan ester (E) dihitung dengan rumus:

( )m

NVVE 011,56 −=

dengan keterangan:

56,1 adalah bobot setara KOH;

V1 adalah volum HCl yang digunakan dalam penentuan blanko (ml);

Vo adalah volume HCl yang digunakan untuk contoh (ml);

m adalah massa dari contoh yang diuji (g);

N adalah normalitet HCl (N).

h. Penentuan bilangan ester setelah asetilasi

Prinsip

Asetilasi minyak atsiri oleh anhidrida asetat dengan adanya natrium asetat.

Isolasi dan pengeringan minyak atsiri yang terasetilasi tersebut. Penentuan

bilangan ester setelah asetilasi. Perhitungan kadar alkohol bebas, dengan

memperhatikan bilangan ester minyak sebelum asetilasi

Peralatan

1. Alat destilasi, termasuk sebuah labu asetilasi berdasar bundar dengan leher

kaca asah berkapasitas 100 cm³, dilengkapi dengan sebuah pipa kaca

untuk bertindak sebagai pendingin reflaksi, panjangnya paling sedikit 1 m

dan diameter sebelah dalam paling sedikit 10 m.

2. Gelas ukur kapasitas 10 cm³ dan 50 cm³.

3. Alat pemanas yang sesuai untuk mendidihkan, tanpa terjadinya pemanasan

setempat yang berlebih.

4. Corong pemisah berkapasitas 250 ml.

Page 89: Difusi Osmosis

73

5. Alat penyabunan, termasuk labu kaca tahan alkali berkapasitas 100 sampai

200 ml, yang dilengkapi dengan sebuah pipa kaca untuk bertindak sebagai

pendingin refluks. Pasanglah tabung penyerap karbon dioksida pada

pendingin selama pendinginan.

6. Buret berkapasitas sedikitnya 20 ml.

Bahan kimia

1. Asam asetat anhidrat 98% sampai 100% untuk analisa.

2. Natrium asetat anhidrat, baru dilebur dan dihaluskan.

3. Natrium khlorida, larutan jenuh.

4. Natrium karbonat/natrium khlorida, larutan mengandung 20 g natrium

karbonat anhidrat per liter, dijenuhkan dengan natrium khlorida

5. Magnesium sulfat, anhidridat netral, baru dipijarkan dan dihaluskan,

sebagai pengganti dapat juga digunakan natrium sulfat

6. Kertas lakmus fenolftalein, larutan 2 g fenolftalein per liter 95% (v/v)

etanol yang dinetralkan pada 25°c

7. Kalium hidroksida 0,1 n dalam 95% (v/v) etanol

8. Larutan hidroksida 0,5 n dalam 95% (v/v) etanol

9. Asam khlorida 0,5% n

Prosedur pengujian

1. Campurkan kira-kira 10 ml contoh minyak, 10 ml asam asetat anhidrat dan

2 g natrium asetat anhidrat dalam labu asetilasi. Tambahkan potongan-

potongan kecil batu apung atau porselen dan lengkapilah labu tersebut

dengan pendingin reflaksinya.

2. Panaskan labu dengan alat pemanas dan refluks cairan dengan hati-hati

selama 2 jam. Biarkan menjadi dingin.

3. Tambahkan 50 ml air suling dan panaskan pada suhu antara 40°C-50°C

selama 15 menit, menggunakan alat pemanas dan sering dikocok.

Dinginkan sampai suhu kamar.

4. Tanggalkan pipa refluks dan pindahkan cairan ke dalam corong pemisah

lalu bilas labu dua kali masing-masing dengan 10 ml air suling, dan

tambahkan air pencucian ini ke dalam isi corong pemisah. Tunggu sampai

cairan memisah dengan sempurna, kemudian buanglah lapisan airnya.

Page 90: Difusi Osmosis

74

5. Cuci lapisan minyak dengan jalan menggosok berurut-turut dengan 50 ml

larutan natrium khlorida, 50 ml larutan natrium karbonat/natrium khlorida,

50 ml larutan natrium khlorida, 20 ml air suling.

6. Kocok dengan baik minyak atsiri yang terasetilasi ini dengan larutan

larutan jenuh tersebut kemudian hati-hati dengan air suling sedemikian

rupa sehingga bila pencucian telah dilakukan dengan baik minyak itu

netral terhadap kertas lakmus (pH7).

7. Pindahkan lapisan minyak ke dalam sebuah tabung yang kering dan

kocoklah beberapa kali selama 15 min dengan sedikitnya 3 g magnesium

sulfat anhidrat. Saringlah minyak yang sudah dikeringkan itu. Ulangi

pengocokan dengan 3 g magnesium sulfat berikutnya sampai minyak yang

terasetilasi ini bebas dari air.

8. Timbanglah sampai ketelitian 0,5 mg minyak atsiri yang terasetilasi

sebanyak 2 g dan tambahkan 2 ml air suling dan 0,5 ml larutan

fenolptalein.

9. Tambahkan 25 ml larutan etanol kalium hidroksida 0,5 N. Didihkan

campuran tersebut dalam pendingin refluks diatas penangas air selama 1

jam, kemudian dinginkan dengan cepat, dengan menambhkan 20 ml air

suling dan titrasi kelebihan alkali dengan larutan asam khlorida 0,5 N.

Penyajian hasil uji

Pertama-tama hitunglah bilangan ester dari minyak atsiri.

( )c

baasetilasisetelahesterBilangan

−= 05,28

dengan keterangan:

a adalah volume dalam ml dari larutan HCl 0,5 N yang digunakan untuk

menitrasi blanko;

b adalah volume dalam ml larutan dari larutan HCl 0,5 N yang digunakan

untuk menetralisasi penentuan contoh;

c adalah berat contoh minyak dalam g setelah asetilasi.

Page 91: Difusi Osmosis

75

i. Penentuan alkohol bebas sebagai vetiverol

Senyawa-senyawa alkohol bebas sebagai vetiverol dihitung dari bilangan ester

setelah asetilasi dan sebelum asetilasi

Kadar vetiverol

( )2

12

42,0561 E

EEMvetiverolKadar

−−=

dengan keterangan:

M adalah bobot molekul vetiverol

E1 adalah bilangan ester setelah asetilasi

E2 adalah bilangan ester sebelum asetilasi

Page 92: Difusi Osmosis

76

Lampiran 4. Recovery minyak pada penyulingan tekanan konstan

Recovery minyak (%) jam ke- Tekanan Berat Bahan

Kadar Air

Bahan Kering

Kadar Minyak 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Total

1 bar 3.35 10 3.018 3.8 12.29 18.88 13.55 8.64 8.73 5.03 5.44 3.74 2.01 78.31

2 bar 3.2 9.25 2.9095 3.6 22.07 21.81 14.20 9.60 7.37 3.75 5.88 2.58 1.62 88.88

3 bar 3.55 7.5 3.285 3.9 28.18 21.10 18.75 6.84 4.64 3.67 3.32 2.42 1.44 90.37

Akumulasi Recovery minyak (%) jam ke- Tekanan Berat Bahan

Kadar Air

Bahan Kering

Kadar Minyak 1 2 3 4 5 6 7 8 9

1 bar 3.35 10 3.018 3.8 12.29 31.17 44.71 53.36 62.08 67.12 72.55 76.30 78.31

2 bar 3.2 9.25 2.9095 3.6 22.07 43.89 58.09 67.69 75.05 78.81 84.69 87.26 88.88

3 bar 3.55 7.5 3.285 3.9 28.18 49.28 68.03 74.87 79.52 83.19 86.51 88.93 90.37 Lampiran 5. Recovery minyak pada penyulingan tekanan bertahap tanpa pengaturan laju alir uap

Recovery minyak (%) Jam ke- Berat Bahan

Kadar Air

Bahan Kering

Kadar Minyak 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Total

3.10 11.25 2.75 3.65 22.67 17.28 13.32 11.60 8.58 6.90 4.88 4.11 3.23 92.58

Akumulasi Recovery minyak (%) jam ke- Berat Bahan

Kadar Air

Bahan Kering

Kadar Minyak 1 2 3 4 5 6 7 8 9

3.10 11.25 2.75 3.65 22.67 39.96 53.28 64.88 73.46 80.36 85.24 89.35 92.58

Page 93: Difusi Osmosis

77

Lampiran 6. Recovery minyak pada penyulingan dengan tekanan bertahap dan laju alir uap konstan

Recovery minyak wb Akumulasi recovery minyak wb Fraksi Fraksi Kode Laju Berat

Bahan Kadar

Air Bahan Kering

Kadar Minyak

1 2 3 Total

1 2 3 V1 1 lt/ jam 3 10.75 2.68 3.1 29.06 28.33 19.20 76.60 29.06 57.40 76.60

V2 1,5 lt/jam 3 10 2.7 3 29.51 29.39 24.15 83.05 29.51 58.90 83.05

V3 2 lt/jam 3 8.83 2.74 3.3 39.58 38.02 12.81 90.42 39.58 77.60 90.42

Lampiran 7. Recovery minyak pada penyulingan dengan tekanan dan laju alir uap bertahap

Recovery minyak wb Akumulasi recovery minyak wb Fraksi Fraksi Kode Laju

Berat Bahan

Kadar Air

Bahan Kering

Kadar Minyak

1 2 3 Total

1 2 3

V4 Bertahap 4 9.5 3.615 3.3 21.88 25.42 25.73 73.03 21.88 47.30 73.03

Page 94: Difusi Osmosis

78

Lampiran 8. Laju alir uap pada penyulingan tekanan konstan

Berat Kadar Bahan Kadar Laju Alir Uap (l/j/kg) jam ke- Tekanan Laju Alir

Uap Bahan Air Kering Minyak 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Rata-rata

1 bar - 3.35 10 3.02 3.8 3.11 2.88 2.78 2.74 2.83 2.61 2.74 2.70 2.91 2.81

2 bar - 3.2 9.25 2.91 3.6 3.04 2.79 2.56 2.46 3.07 2.51 2.44 2.77 2.81 2.87

3 bar - 3.55 7.5 3.29 3.9 2.62 2.39 2.31 2.44 2.34 2.22 2.30 2.56 2.54 2.41

Lampiran 9. Laju alir uap pada penyulingan tekanan bertahap tanpa pengaturan laju alir uap

Berat Kadar Bahan Kadar Laju Alir Uap (l/j/kg) jam ke- Tekanan Laju Alir

Uap Bahan Air Kering Minyak 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Rata-rata

Bertahap - 3.1 11.25 2.75 3.65 3.17 3.10 2.99 2.92 2.69 2.52 2.88 2.81 2.28 2.81

Page 95: Difusi Osmosis

79

Lampiran 10. Laju alir uap pada penyulingan dengan tekanan bertahap dan laju alir uap konstan

Berat Kadar Bahan Kadar Laju Alir Uap (l/j/kg) jam ke- Tekanan Laju Alir

Uap Bahan Air Kering Minyak 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Rata-rata

Bertahap 1 l/j/kg 3 10.75 2.6775 3.1 1.01 1.03 1.07 1.03 1.04 1.04 1.05 1.03 1.04 1.04

Bertahap 1,5 l/j/kg 3 10 2.7 3 1.40 1.57 1.55 1.49 1.53 1.44 1.51 1.53 1.42 1.49

Bertahap 2 l/j/kg 3 8.83 2.735 3.3 2.02 2.03 2.00 2.02 2.00 2.00 2.05 1.89 1.86 1.99

Lampiran 11. Laju alir uap pada penyulingan dengan tekanan dan laju alir uap bertahap

Berat Kadar Bahan Kadar Laju Alir Uap (l/j/kg) jam ke- Tekanan

Laju Alir Uap Bahan Air Kering Minyak 1 2 3 4 5 6 7 8 9

Rata-rata

Bertahap Bertahap 4 9.5 3.615 3.3 1.09 1.05 1.41 1.47 1.53 1.95 1.93 2.06 2.03 1.61

Page 96: Difusi Osmosis

80

Lampiran 12. Mutu minyak pada penyulingan dengan tekanan bertahap dan laju alir uap konstan

Bobot jenis Indeks Bias Bil. Asam Bil. Ester Fraksi Fraksi Fraksi Fraksi Kode Laju

1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3

V1 1 lt/ jam 0.9972 1.0163 1.0427 1.5228 1.5260 1.5267 3.34 4.87 6.67 4.05 6.52 14.26

V2 1,5 lt/jam 1.0004 1.0107 1.0305 1.5228 1.5251 1.5258 4.23 6.55 7.79 8.02 12.54 19.13

V3 2 lt/j kg bh 1.0022 1.0157 1.0328 1.5229 1.5254 1.5267 6.90 7.15 8.38 8.66 14.97 20.69

Lampiran 13. Mutu minyak pada penyulingan dengan tekanan dan laju alir uap bertahap

Bobot jenis Indeks Bias Bil. Asam Bil. Ester Fraksi Fraksi Fraksi Fraksi Kode Laju

1 2 3 1 2 3 1 2 3 1 2 3

V4 Bertahap 0.9993 1.0235 1.0394 1.5233 1.5257 1.5264 2.78 5.26 7.27 5.19 9.86 16.40

Page 97: Difusi Osmosis

81

Lampiran 14. Hasil Kromatografi Gas Spektrometri Massa Minyak Akar Wangi pada Penyulingan Menggunakan Tekanan Bertahap dan Laju Alir Uap 2 l/j/kg bahan

Fraksi 1 Fraksi 2 Fraksi 3 No.

RT Area (%) Dugaan Komponen Qual RT Area (%) Dugaan Komponen Qual RT Area (%) Dugaan Komponen Qual

1 8.59 0,78 cis-tricyclo[7.5.0.0(2,8)tetra…. 70 8.57 0,28 6-N-Butyl-1,2,3,4-tetrahydronap. 87

2 8.90 0,23 alpha-cendrene 96

3 9.09 0,28 1-acetamidobenzocyclobutene 35 9.09 1,26 s-triazolo[4,3-a]pyridine,3,5,… 43

4 9.63 0,43 alpha-terpinolene 92

5 9.79 0,18 alpha-gurjunene 95

6 9.92 0,33 aromadendrene 86

7 10.11 0,40 (E)-3,5-dimethyl-2-(1'-propenyl… 78

8 10.37 0,81 5-epiprezizaene 60 10.35 0,27 aromadendrene 68

9 10.40 0,87 benzene,,1,2,4,5-tetraethyl-.. 96

10 10.48 1,18 khusimene 78 10.45 0,26 khusimene 70

11 10.65 0,30 alpha-gurjunene 96

12 10.68 0,28 2-cyclohexen-1one,3-(1,3-buta…. 38 10.68 0,61 benzene tetraethyl 60

13 10.81 0,80 5-acetyl-4-methyl-benzimida… 80

14 10.88 0,65 phenol,2-methoxy-4-(2-propen… 42

15 10.90 1,36 trans-isolimonene 70

16 11.06 0,32 1H-cyclopropa[a]naphthalene,1a. 96

17 11.24 0,90 alpha-muurolene 97 11.23 0,31 alpha-muurolene 90

18 11.39 2,36 benzene,1-(2-butenyl)-2,3-dimet.. 64 11.36 1,37 benzene,1-(2-butenyl)-2,3-di.. 90

19 11.43 4,75 aromadendrenepoxide-(II) 38

20 11.73 0,47 ar-curcumene 64

21 11.76 0,54 benzene,1-(1,5-dimethyl-4-hex… 86

Page 98: Difusi Osmosis

82

Fraksi 1 Fraksi 2 Fraksi 3 No.

RT Area (%) Dugaan Komponen Qual RT Area (%) Dugaan Komponen Qual RT Area (%) Dugaan Komponen Qual

22 11.84 0,25 delta-cadinene 86

23 11.97 0,91 benzene,1-(1,5-dimethyl-4-hex… 53 11.94 0,46 benzene,1-(1,5-dimethyl-4-hex.. 53

24 12.07 0,66 beta-guaiene 98

25 12.23 0,22 delta-cadinene 99

26 12.36 0,35 4,4-dimethyl-3-(3-methyl-2-but…. 64 12.36 0,95 4,4-dimethyl-3-(3-methyl-2-but…. 78 12.33 1,54 4,4-dimethyl-3-(3-methyl-2-bu. 90

27 12.52 0,95 2H-benzocyclohepten-2-one,3,4,…. 97 12.49 0,29

2H-benzocyclohepten-2-one,3,4,…. 87

28 12.69 0,46 calacorene 72

29 12.83 2,69 1H-cyclopropa[a]naphthalene,1a. 96 12.81 2,19 1H-cyclopropa[a]naphthalen,1a. 96 12.78 1,06 1H-cyclopropa[a]naphthalen,.. 98

30 12.98 0,45 2-(alpha-methylstyryl)thiophe… 90 12.98 0,58 methyl-2-methylene-3-(4-meth… 87

31 13.09 1,27 1H-cyclopropa[a]naphthalen,1a. 95 13.07 1,16 1H-cyclopropa[a]naphthalen,.. 90

32 13.15 2,18 beta-eudesmol 93

33 13.28 0,73 2-hexyl furan 30

34 13.31 1,07 4-methyl-endo,exo-te…. 30

35 13.45 0,44 bicyclo[2.2.1]hept-2-ene,1-met… 58

36 13.62 0,66 1-deoxycapsidiol 35

37 13.67 0,44 (3E,5E,8E)-3,7,11-trimethyl-1,3… 47

38 13.71 0,76 beta-eudesmol 38

39 13.91 3,22 khusimone 86 13.85 1,97 khusimone 89

40 14.01 1,41 alpha-longipinene 91

41 14.28 3,60 fonenol 64

42 14.30 2,10 beta-guaiene 90

43 14.56 1,18 junipene 72

44 14.70 2,21 5-isopropenyl-2,3-dimethyl-2.. 50

45 14.71 2,02 guaiyl acetate 12

Lanjutan Lampiran 14…

Page 99: Difusi Osmosis

83

Fraksi 1 Fraksi 2 Fraksi 3 No.

RT Area (%) Dugaan Komponen Qual RT Area (%) Dugaan Komponen Qual RT Area (%) Dugaan Komponen Qual

46 14.76 2,21 agaruspirol 46

47 14.87 1,44 ledenoxide 70

48 14.91 2,28 caryophyllene oxide 46

49 15.03 2,31 8(15)-cendren-9-ol 55

50 15.20 1,67 valencene 90

51 15.27 8,75 beta-patchoulene 78

52 15.32 9,32 sinularene 78

53 15.49 2,62 zizanol 46

54 15.59 6,00 vulgarol A 52

55 15.66 7,53 volgarol A 35

56 15.84 1,13 isospathulenol 25

57 15.88 1,24 tricyclo[4.3.0.0(7,9)]non-3-ene…. 41

58 15.92 0,72 aromadendrene 84 16.01 1,83 dehydroaromadendrene 84

59 16.05 2,50 spathulenol 51

60 16.31 1,89 (1S,7R)-1,4,4,7-tetramethyl... 58

61 16.35 2,14 gamma-selinene 60

62 16.38 1,00 delta-selinene 90

63 16.55 1,20 gamma-cadinene 95

64 16.61 3,17 dimethyl-1,2-dicyano-3-methyl-… 90

65 16.64 3,23 dimethyl-1,2-dicyano-3-methyl-… 90

66 17.17 17.21 cyclopropan emethanol 25 17.12 22,32 cy clopropan emethanol 25 16.97 13,45 cyclopropan emet hanol 90

67 17.38 1,38 1-(2'-ethenyl-1'-cyclohexenyl)-… 78 17.37 2,03 diepipalustrol 53

68 17.63 0,73 2-naphthalenecarboxylic acid,8… 60

69 17.73 3,95 5-methyl-5,8-dihydro-1,4-nap. 87

Lanjutan Lampiran 14…

Page 100: Difusi Osmosis

84

Fraksi 1 Fraksi 2 Fraksi 3 No.

RT Area (%) Dugaan Komponen Qual RT Area (%) Dugaan Komponen Qual RT Area (%) Dugaan Komponen Qual

70 17.78 2,37 2-isopropylidenedihydrobenzof…. 64

71 17.89 1,39 trans-6,11-dimethyl-3,8-oxo… 64

72 17.97 4,91 valerenol 86

73 18.00 4,55 valerenol 86

74 18.19 0,56 valerenol 38

75 18.25 1,73 Nootkatone 90

76 18.33 1,25 (3E)-5-isopropylidene-2,7-dimethyl… 89 18.32 2,44 (3E)-5-isopropylidene-2,7-dime… 90

77 18.53 1,35 4-(1-cyclohexenyl)-2-trimeth…. 80 18.52 2,66 4-(1-cyclohexenyl)-2-trimethyl.. 72 18.4 3 2,60 4-(1-cyclohexenyl)-2-trimet. 64

78 18.56 3,06 2-ethyl-4,6-dimethylindane 59

79 18.63 1,70 2,10-dimethyl-7-isopropenyl-… 55

80 18.66 1,01 (E,Z)-2-acetyl-5-[beta-(2-fu… 64

81 18.98 3,15 beta-gamma-nootkatone 70 18.98 6,03 beta -gamma-nootkatone 89 18.89 7,29 beta-gamma-nootkato ne 64

82 19.43 5,40 khusenic acid 90 19.49 10,79 khusenic ac id 90 19.55 34,45 khusenic acid 90

83 19.88 0,29 khusenic acid 90 19.95 4,77 khusenic acid 90

84 20.68 0,22 patchoulene 46

85 20.71 0,91 9-propyl-9-borabicyclo[3.3.1… 46

86 39.47 0,35 cyclohepta[f]thieno[2,3-b]pridin… 72 39.48 1,35 cyclohepta[f]thieno[2,3-b]pridin… 64 39.47 3,26 hymenoquinone diacetate 90

87 39.82 0,42 4-flouro-4'-methoxyphenyl 50

88 41.15 1,41 4-methyl-6,7,8,9-tetrahydro… 86

Lanjutan Lampiran 14…

Page 101: Difusi Osmosis

85

Lampiran 15. Hasil Kromatografi Gas Spektrometri Massa Minyak Akar Wangi pada Penyulingan Menggunakan Tekanan dan Laju Alir Uap Bertahap

Fraksi 1 Fraksi 2 Fraksi 3

No. RT %Area Dugaan Komponen Qual RT %Area Dugaan Kompo nen Qual RT %Area Dugaan Komponen Qual

1 8.57 0,31 6-N-butyl-1,2,3,4-tetrahydonaph.. 78

2 8.59 1,07 5-N-butyl-1,2,3,4-tetrahydonaph.. 70

3 8.89 0,23 alpha cendrene 96

4 9.01 0,06 benzene,4-ethyl-1,2-dimethyl-.. 91

5 9.09 0,31 pyrazine,isopropenyl 35 9.09 1,11 1-amino-2-cyano-4-methylene-1.. 38

6 9.62 0,49 acoradiene 95

7 9.78 0,19 zingiberene 94

8 9.91 0,16 germacrene d 89

9 9.92 0,36 alpha copaene 83

10 10.11 0,44 (E)-3,5-dimethyl-2-(1'-propenyl… 78

11 10.37 0,87 5-epiprezizaene 92

12 10.40 0,63 benzene,1,2,4,5-tetraethyl-.. 96

13 10.45 0,51 khusimene 89

14 10.48 1,27 khusimene 89

15 10.64 0,32 beta guaiene 95

16 10.67 0,50 benzene,tetraethyl 70

17 10.68 0,27 2-cyclohexyl-5,5-dimethyl-1-hex… 72

18 10.81 0,75 2,2,6,7-tetramethylbicyclo[… 46

19 10.85 0,71 phenol,2-methoxy-4-(2-propenyl… 70

20 10.88 1,36 trans-isolimonene 70

21 11.04 0,21 9,10-dehydro isolongifolene 90

Page 102: Difusi Osmosis

86

Fraksi 1 Fraksi 2 Fraksi 3 No.

RT %Area Dugaan Komponen Qual RT %Area Dugaan Kompo nen Qual RT %Area Dugaan Komponen Qual

22 11.06 0,38 1H-cyclopropa[a]naphthalene,1a. 96

23 11.21 0,31 cycloisosativene 93

24 11.24 0,85 alpha muurolene 95

25 11.36 1,53 benzene,1-(2-butenyl)-2,3-dime.. 90

26 11.39 2,28 naphthalene,1,2,3,4-tetrahydro.. 70

27 11.43 5,32 cyclooctane,4-methylene-6-(1-p… 44

28 11.72 0,34 4-methyl-6,7,8,9-tetrahydronaph… 90

29 11.73 0,45 benzene,1-(1,5-dimethyl-4-hexe… 49

30 11.76 0,60 benzene,1-(1,5-dimethyl-4-hexe… 83

31 11.83 0,20 para cymenene 55

32 11.85 0,31 delta cadinene 86

33 11.98 1,06 benzene,1-(1,5-dimethyl-4-hexe… 53 11.95 0,44 benzene,1-(1,5-dimethyl-4-hexe… 46

34 12.08 0,60 beta guaiene 95

35 12.23 0,27 delta cadinene 98

36 12.33 1,32 4,4-dimethyl-3-(3-methyl-2-bute… 83

37 12.36 0,38 4,5-dehydro isolongifolene 64 12.36 1,00 trans-6,11-dimethyl-3,8-oxometh… 90

38 12.49 0,28 2H-benzocyclohepten-2-one,3,4,… 83

39 12.52 0,81 2H-benzocyclohepten-2-one,3,4,… 95

40 12.66 0,20 naphthalene,1,2-dihydro-1,1-6-.. 64

41 12.69 0,48 calacorene 78

42 12.78 1,33 1H-cyclopropa[a]naphthalene,1a. 95

43 12.81 1,98 1H-cyclopropa[a]naphthalene,1a…. 95

44 12.86 3,62 1H-cyclopropa[a]naphthalene,1a. 96

Lanjutan Lampiran 15…

Page 103: Difusi Osmosis

87

Fraksi 1 Fraksi 2 Fraksi 3 No.

RT %Area Dugaan Komponen Qual RT %Area Dugaan Kompo nen Qual RT %Area Dugaan Komponen Qual

45 12.95 0,45 methyl-2-methylene-3-(4-methyl.. 93

46 12.98 0,63 4,5,9,10-dehydro isolongifolene 93 12.98 0,60 methyl-2-methylene-3-(4-methylp… 93

47 13.09 1,31 1H-cyclopropa[a]naphthalene,1a…. 95 13.06 1,18 1H-cyclopropa[a]naphthalene,1a. 94

48 13.17 2,41 beta eudesmol 84

49 13.28 0,72 cyclohexane,1,2-dibromo-,trans… 35

50 13.31 1,22 4-methyl-endo,exo-te…. 42

51 13.45 0,52 17-octadecen-14-ynoic acid,me… 80

52 13.64 0,79 isospathulenol 44

53 13.67 0,49 (E)-1,4,5,6,7,7a-hexahydro-7a… 38

54 13.73 0,80 delta guaiene 41

55 13.84 0,69 alpha longipinene 91

56 13.85 2,14 khusimone 70

57 13.93 4,83 silane,diazidomethylphenyl 83

58 14.27 1,09 junipene 78

59 14.29 3,78 alloaromadendrene 64 14.30 2,11 allo aromadendrene 86

60 14.51 0,43 cyclooctane,4-methylene-6-(1-p… 45

61 14.56 1,27 junipene 84

62 14.70 2,00 5-isopropenyl-2,3-dimethyl-2-cy.. 38

63 14.73 2,10 2,3-dehydro-alpha isomethylio 25

64 14.77 2,39 agaruspirol 53

65 14.84 0,69 5BH,7B,10A-selina-4(14),11-die.. 76

66 14.87 1,44 (4aS,5R,8S,8aS)-8-isopropyl-5-m… 86

67 14.92 2,47 vulgarol A 48

68 15.03 2,83 alpha costol 45

Lanjutan Lampiran 15…

Page 104: Difusi Osmosis

88

Fraksi 1 Fraksi 2 Fraksi 3 No.

RT %Area Dugaan Komponen Qual RT %Area Dugaan Kompo nen Qual RT %Area Dugaan Komponen Qual

69 15.09 1,96 germacra-4(15),5E,10(14)-trien-… 44

70 15.22 2,49 beta patchoulene 90

71 15.29 7,06 beta patchoulene 83

72 15.32 9,87 sinularene 78

73 15.52 3,22 (3E,5E,8Z)-3,7,11-trimethyl-1,3… 52

74 15.62 6,23 vulgarol A 45

75 15.69 7,95 2-naphthalenecarboxylic acid,8… 45

76 15.83 1,02 1-deoxycapsidiol 50

77 15.89 1,22 clovene 44

78 15.94 0,77 tricyclo[4.3.0.0(7,9)]non-3-ene…. 46

79 15.98 0,98 zizanyl acetate 38

80 16.02 1,87 1,5,9-trimethyl-2-oxatricyclo[7… 83

81 16.06 2,55 cadina-1(10),6,8-triene 38

82 16.32 2,08 4,5-dimethyl-11-methylenetricyc.. 74

83 16.38 2,43 1,2,3,4-tetrahydro-2,3-methano… 78

84 16.39 1,03 delta selinene 90

85 16.51 0,32 (3E)-5-isopropylidene-2,7-dimet… 78

86 16.55 1,45 aromadendrenepoxide 46

87 16.62 3,12 dimethyl-1,2-dicyano-3-methyl-1… 90

88 16.65 2,80 dimethyl-1,2-dicyano-3-methyl-1… 90

89 17.01 16,76 cyclopropan emethanol 27

90 17.18 22,84 cyclopropan emethanol 25

91 17.21 16,84 cyclopropan emethanol 91

92 17.31 1,23 isospathulenol 41

Lanjutan Lampiran 15…

Page 105: Difusi Osmosis

89

Fraksi 1 Fraksi 2 Fraksi 3 No.

RT %Area Dugaan Komponen Qual RT %Area Dugaan Kompo nen Qual RT %Area Dugaan Komponen Qual

93 17.38 1,83 1-(2'-ethenyl-1'-cyclohexenyl)-… 78

94 17.40 0,67 1-(2'-ethenyl-1'-cyclohexenyl)-… 68

95 17.47 0,67 rishitin 83

96 17.63 0,68 cyclohexanol,1,3,3-trimethyl-2.. 50

97 17.74 3,10 3-methyl-1-benzoxepin-5(2H)-.. 72

98 17.83 2,36 9,10-dehydro isolongifolene 86

99 17.90 1,71 trans-6,11-dimethyl-3,8-oxomet.. 72

100 18.02 3,95 valerenol 87 18.00 4,06 valerenol 86

101 18.19 0,51 valerenol 86

102 18.26 1,59 Nootkatone 78

103 18.33 1,09 (3E)-5-isopropylidene-2,7-dimethyl… 83 18.34 2,19 (3E)-5-isopropylidene-2,7-dimeth… 81

104 18.44 2,43 4-(1-cyclohexenyl)-2-trimethyls 49

105 18.53 1,11 4-(1-cyclohexenyl)-2-trimethyls. 72 18.5 3 2,45 4-(1-cyclohexenyl)-2-trimethyls. 74

106 18.57 2,40 6,propyltetraline 64

107 18.65 1,89 2,10-dimethyl-7-isopropenyl-bic… 38

108 18.66 0,70 4-(1-cyclohexenyl)-2-trimethyls…. 52

109 18.90 5,92 beta gamma nootkatone 64

110 18.98 2,65 beta gamma nootkatone 76 18.99 5,16 beta gamma nootkatone 89

111 19.22 2,02 isokhusenic acid 70

112 19.38 3,25 khusenic acid 83

113

114 19.61 8,51 khusenic acid 83 19.64 31,15 khusenic ac id 90

115 19.98 1,02 1,6-dioxospiro[5.4]decane-2-car… 43

116 20.04 2,50 khusenic acid 60

Lanjutan Lampiran 15…

Page 106: Difusi Osmosis

90

Fraksi 1 Fraksi 2 Fraksi 3 No.

RT %Area Dugaan Komponen Qual RT %Area Dugaan Kompo nen Qual RT %Area Dugaan Komponen Qual

117 20.71 0,23 patchoulene 46

118 20.78 0,47 4,hydroxy-2,3-dimethoxy-4-(3-… 41

119 34.13 0,19 longifolenbromid-I 38

120 39.45 0,62 hymenoquinone diacetate 90 39.45 2,06 hymenoquinone diacetate 90

121 41.13 0,99 4-methyl-6,7,8,9-tetrahydronap… 78

Lanjutan Lampiran 15…

Page 107: Difusi Osmosis