diare idai

36
BAB VI DIARE AKUT Bambang Subagyo & Nurtjahjo Budi Santoso Ilustrasi Kasus Seorang anak berumur 4 tahun diperiksa ke poliklinik karena mencret sejak dua hari yang lalu. BAB sehari 6 kali cair, tak ada darah, tak ada lendir, dan muntah 1 kali. Saat dilakukan pemeriksaan fisik anak tampak rewel, lahap ketika diberi minum. Mata tampak cekung, turgor kulit lemah. Di rumah diberi minum biasa ditambah sup asam, tanpa diberi obat. Pendahuluan Diare akut masih merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak di negara berkembang. Terdapat banyak penyebab diare akut pada anak. Pada sebagian besar kasus penyebabnya adalah infeksi akut intestinum yang disebabkan oleh virus, bakteri atau parasit, akan tetapi berbagai penyakit lain juga dapat menyebabkan diare akut, termasuk sindroma malabsorpsi. Diare karena virus umumnya bersifat self limiting, sehingga aspek terpenting yang harus diperhatikan adalah mencegah terjadinya dehidrasi yang menjadi penyebab utama kematian dan menjamin asupan nutrisi untuk mencegah gangguan pertumbuhan akibat diare. Diare menyebabkan hilangnya sejumlah besar air dan elektolit dan sering disertai dengan asidosis metabolik karena kehilangan basa. 1,2,3 Di Indonesia penyakit diare menjadi beban ekonomi yang tinggi disektor kesehatan oleh karena rata rata sekitar 30 % dari jumlah tempat tidur yang ada di rumah sakit ditempati oleh bayi dan anak dengan penyakit diare selain itu juga di pelayanan kesehatan primer, diare masih menempati urutan kedua dalam urutan 10 penyakit terbanyak dipopulasi. 4 Diare juga erat hubungannya dengan kejadian kurang gizi. Setiap episod diare dapat menyebabkan kekurangan gizi oleh karena adanya anoreksia dan berkurangnya kemampuan menyerap sari makanan, sehingga apabila episodnya berkepanjangan akan berdampak terhadap pertumbuhan dan kesehatan anak. 5 Definisi

description

hhh

Transcript of diare idai

BAB VI

DIARE AKUT

Bambang Subagyo & Nurtjahjo Budi Santoso

Ilustrasi Kasus

Seorang anak berumur 4 tahun diperiksa ke poliklinik karena mencret sejak dua hari yang

lalu. BAB sehari 6 kali cair, tak ada darah, tak ada lendir, dan muntah 1 kali. Saat dilakukan

pemeriksaan fisik anak tampak rewel, lahap ketika diberi minum. Mata tampak cekung,

turgor kulit lemah. Di rumah diberi minum biasa ditambah sup asam, tanpa diberi obat.

Pendahuluan

Diare akut masih merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas anak di negara

berkembang. Terdapat banyak penyebab diare akut pada anak. Pada sebagian besar kasus

penyebabnya adalah infeksi akut intestinum yang disebabkan oleh virus, bakteri atau parasit,

akan tetapi berbagai penyakit lain juga dapat menyebabkan diare akut, termasuk sindroma

malabsorpsi. Diare karena virus umumnya bersifat self limiting, sehingga aspek terpenting yang

harus diperhatikan adalah mencegah terjadinya dehidrasi yang menjadi penyebab utama

kematian dan menjamin asupan nutrisi untuk mencegah gangguan pertumbuhan akibat diare.

Diare menyebabkan hilangnya sejumlah besar air dan elektolit dan sering disertai dengan

asidosis metabolik karena kehilangan basa.1,2,3

Di Indonesia penyakit diare menjadi beban ekonomi yang tinggi disektor kesehatan oleh

karena rata – rata sekitar 30 % dari jumlah tempat tidur yang ada di rumah sakit ditempati oleh

bayi dan anak dengan penyakit diare selain itu juga di pelayanan kesehatan primer, diare masih

menempati urutan kedua dalam urutan 10 penyakit terbanyak dipopulasi.4

Diare juga erat hubungannya dengan kejadian kurang gizi. Setiap episod diare dapat

menyebabkan kekurangan gizi oleh karena adanya anoreksia dan berkurangnya kemampuan

menyerap sari makanan, sehingga apabila episodnya berkepanjangan akan berdampak terhadap

pertumbuhan dan kesehatan anak.5

Definisi

Diare akut adalah buang air besar pada bayi atau anak lebih dari 3 kali perhari, disertai

perubahan konsistensi tinja mejadi cair dengan atau tanpa lendir dan darah yang berlangsung

kurang dari satu minggu. Pada bayi yang minum ASI sering frekuensi buang air besarnya lebih

dari 3 – 4 kali per hari, keadaan ini tidak dapat disebut diare, tetapi masih bersifat fisiologis atau

normal. Selama berat badan bayi meningkat normal, hal tersebut tidak tergolong diare, tetapi

merupakan intoleransi laktosa sementara akibat belum sempurnanya perkembangan saluran

cerna. Untuk bayi yang minum ASI secara eksklusif definisi diare yang praktis adalah

meningkatnya frekuensi buang air besar atau konsistensinya menjadi cair yang menurut ibunya

abnormal atau tidak seperti biasanya. Kadang – kadang pada seorang anak buang air besar

kurang dari 3 kali perhari, tetapi konsistensinya cair, keadaan ini sudah dapat disebut diare.6,7,8

Epidemiologi

Diare masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di negara berkembang termasuk di

Indonesia dan merupakan salah satu penyebab kematian dan kesakitan tertinggi pada anak,

terutama usia di bawah 5 tahun. Di dunia, sebanyak 6 juta anak meninggal tiap tahunnya

karena diare dan sebagian besar kejadian tersebut terjadi di negara berkembang. Sebagai

gambaran 17% kematian anak di dunia disebabkan oleh diare sedangkan di Indonesia, hasil

Riskesdas 2007 diperoleh bahwa diare masih merupakan penyebab kematian bayi yang

terbanyak yaitu 42% dibanding pneumonia 24%, untuk golongan 1-4 tahun penyebab kematian

karena diare 25,2% dibanding pneumonia 15,5%.2,5,9

Cara Penularan dan Faktor Risiko

Cara penularan diare pada umumnya melalui cara fekal – oral yaitu melalui makanan

atau minuman yang tercemar oleh enteropatogen, atau kontak langsung tangan dengan

penderita atau barang-barang yang telah tercemar tinja penderita atau tidak langsung melalui

lalat. ( melalui 4 F = finger, flies, fluid, field).10,11,12

Faktor resiko yang dapat meningkatkan penularan enteropatogen antara lain : tidak

memberikan ASI secara penuh untuk 4 – 6 bulan pertama kehidupan bayi, tidak memadainya

penyediaan air bersih, pencemaran air oleh tinja, kurangnya sarana kebersihan (MCK),

kebersihan lingkungan dan pribadi yang buruk, penyiapan dan penyimpanan makanan yang

tidak higienis dan cara penyapihan yang tidak baik. Selain hal-hal tersebut, beberapa faktor

pada penderita dapat meningkatkan kecenderungan untuk dijangkiti diare antara lain : gizi

buruk, imunodefisiensi, berkurangnya keasaman lambung, menurunnya motilitas usus,

menderita campak dalam 4 minggu terakhir dan faktor genetik.8,11,13

1. Faktor umur

Sebagian besar episode diare terjadi pada 2 tahun pertama kehidupan. Insidensi tertinggi

terjadi pada kelompok umur 6 – 11 bulan pada saat diberikan makanan pendamping ASI.

Pola ini menggambarkan kombinasi efek penurunan kadar antibodi ibu, kurangnya

kekebalan aktif bayi, pengenalan makanan yang mungkin terkontaminasi bakteri tinja dan

kontak langsung dengan tinja manusia atau binatang pada saat bayi mulai merangkak.

Kebanyakan enteropatogen merangsang paling tidak sebagian kekebalan melawan infeksi

atau penyakit yang berulang, yang membantu menjelaskan menurunnya insiden penyakit

pada anak yang lebih besar dan pada orang dewasa.1,4,14

2. Infeksi asimtomatik

Sebagian besar infeksi usus bersifat asimtomatik dan proporsi asimtomatik ini meningkat

setelah umur 2 tahun dikarenakan pembentukan imunitas aktif. Pada infeksi asimtomatik

yang mungkin berlangsung beberapa hari atau minggu, tinja penderita mengandung virus,

bakteri atau kista protozoa yang infeksius. Orang dengan infeksi asimtomatik berperan

penting dalam penyebaran banyak enteropatogen terutama bila mereka tidak menyadari

adanya infeksi, tidak menjaga kebersihan dan berpindah-pindah dari satu tempat ke

tempat yang lain.7,14,15

3. Faktor musim

Variasi pola musiman diare dapat terjadi menurut letak geografis. Didaerah sub tropik,

diare karena bakteri lebih sering terjadi pada musim panas, sedangkan diare karena virus

terutama rotavirus puncaknya terjadi pada musim dingin. Didaerah tropik (termasuk

Indonesia), diare yang disebabkan oleh rotavirus dapat terjadi sepanjang tahun dengan

peningkatan sepanjang musim kemarau, sedangkan diare karena bakteri cenderung

meningkat pada musim hujan.3,14,16

4. Epidemi dan pandemi

Vibrio cholera 0.1 dan Shigella dysentriae 1 dapat menyebabkan epidemi dan pandemi

yang mengakibatkan tingginya angka kesakitan dan kematian pada semua golongan usia.

Sejak tahun 1961, kolera yang disebabkan oleh V. Cholera 0.1 biotipe Eltor telah menyebar

ke negara-negara di Afrika, Amerika Latin, Asia, Timur Tengah dan di beberapa daerah di

Amerika Utara dan Eropa. Dalam kurun waktu yang sama Shigella dysentriae tipe 1

menjadi penyebab wabah yang besar di Amerika Tengah dan terakhir di Afrika Tengah dan

Asia Selatan. Pada akhir tahun 1992, di kenal strain baru Vibrio cholera 0139 yang

menyebabkan epidemi di Asia dan lebih dari 11 negara mengalami wabah.2,14,17

Etiologi

Pada saat ini, dengan kemajuan di bidang teknik laboratorium kuman-kuman patogen

telah dapat diidentifikasikan dari penderita diare sekitar 80 % pada kasus yang datang disarana

kesehatan dan sekitar 50 % kasus ringan di masyarakat. Pada saat ini telah dapat diidentifikasi

tidak kurang dari 25 jenis mikroorganisme yang dapat menyebabkan diare pada anak dan bayi.

Penyebab infeksi utama timbulnya diare umumnya adalah golongan virus, bakteri dan parasit.

Dua tipe dasar dari diare akut oleh karena infeksi adalah non inflammatory dan

inflammatory.1,2,8

Enteropatogen menimbulkan non inflammatory diare melalui produksi enterotoksin oleh

bakteri, destruksi sel permukaan villi oleh virus, perlekatan oleh parasit, perlekatan dan / atau

translokasi dari bakteri. Sebaliknya inflammatory diare biasanya disebabkan oleh bakteri yang

menginvasi usus secara langsung atau memproduksi sitotoksin.3,4,18

Beberapa penyebab diare akut yang dapat menyebabkan diare pada manusia adalah

sebagai berikut :

Golongan Bakteri :

1. Aeromonas 8. Salmonella

2. Bacillus cereus 9. Shigella

3. Campylobacter jejuni 10. Staphylococcus aureus

4. Clostridium perfringens 11. Vibrio cholera

5. Clostridium defficile 12. Vibrio parahaemolyticus

6. Escherichia coli 13. Yersinia enterocolitica

7. Plesiomonas shigeloides

Golongan Virus :

1. Astrovirus 5. Rotavirus

2. Calcivirus (Norovirus, Sapovirus) 6. Norwalk virus

3. Enteric adenovirus 7. Herpes simplex virus *

4. Coronavirus 8. Cytomegalovirus *

Golongan Parasit :

1. Balantidium coli 5. Giardia lamblia

2. Blastocystis homonis 6. Isospora belli

3. Cryptosporidium parvum 7. Strongyloides stercoralis

4. Entamoeba histolytica 8. Trichuris trichiura

Sumber = Nelson Textbook of Pediatric3

* umumnya berhubungan dengan diare hanya pada penderita imunocompromised

Di negara berkembang kuman patogen penyebab penting diare akut pada anak-anak yaitu:

Rotavirus, Escherichia coli enterotoksigenik, Shigella, Campylobacter jejuni dan

Cryptosporidium.

Patogenesis terjadinya diare yang disebabkan virus yaitu virus yang menyebabkan diare

pada manusia secara selektif menginfeksi dan menghancurkan sel-sel ujung-ujung villus pada

usus halus. Biopsi usus halus menunjukkan berbagai tingkat penumpulan villus dan infiltrasi sel

bundar pada lamina propria. Perubahan-perubahan patologis yang diamati tidak berkorelasi

dengan keparahan gejala-gejala klinis dan biasanya sembuh sebelum penyembuhan diare.

Mukosa lambung tidak terkena walaupun biasanya digunakan istilah “gastroenteritis”,

walaupun pengosongan lambung tertunda telah didokumentasi selama infeksi virus Norwalk.

Virus akan menginfeksi lapisan epithelium di usus halus dan menyerang villus di usus

halus. Hal ini menyebabkan fungsi absorbsi usus halus terganggu. Sel-sel epitel usus halus yang

rusak diganti oleh enterosit yang baru, berbentuk kuboid yang belum matang sehingga

fungsinya belum baik. Villus mengalami atrofi dan tidak dapat mengabsorbsi cairan dan

makanan dengan baik. Selanjutnya, cairan dan makanan yang tidak terserap/tercerna akan

meningkatkan tekanan koloid osmotik usus dan terjadi hiperperistaltik usus sehingga cairan

beserta makanan yang tidak terserap terdorong keluar usus melalui anus, menimbulkan diare

osmotik dari penyerapan air dan nutrien yang tidak sempurna.

Pada usus halus, enterosit villus sebelah atas adalah sel-sel yang terdiferensiasi, yang

mempunyai fungsi pencernaan seperti hidrolisis disakharida dan fungsi penyerapan seperti

transport air dan elektrolit melalui pengangkut bersama (kotransporter) glukosa dan asam

amino. Enterosit kripta merupakan sel yang tidak terdiferensiasi, yang tidak mempunyai enzim

hidrofilik tepi bersilia dan merupakan pensekresi (sekretor) air dan elektrolit. Dengan demikian

infeksi virus selektif sel-sel ujung villus usus menyebabkan (1) ketidakseimbangan rasio

penyerapan cairan usus terhadap sekresi, dan (2) malabsorbsi karbohidrat kompleks, terutama

laktosa.

Pada hospes normal, infeksi ekstra-intestinal sangat jarang, walaupun penderita terganggu

imun dapat mengalami keterlibatan hati dan ginjal. Kenaikan kerentanan bayi (dibanding

dengan anak yang lebih tua dan orang dewasa) sampai morbiditas berat dan mortalitas

gastroenteritis virus dapat berkaitan dengan sejumlah faktor termasuk penurunan fungsi

cadangan usus, tidak ada imunitas spesifik, dan penurunan mekanisme pertahanan hospes

nonspesifik seperti asam lambung dan mukus. Enteritis virus sangat memperbesar

permeabilitas usus terhadap makromolekul lumen dan telah dirumuskan menaikkan risiko

alergi makanan.6,8,10,13

Diare karena bakteri terjadi melalui salah satu mekanisme yang berhubungan dengan

pengaturan transpor ion dalam sel-sel usus cAMP,cGMP, dan Ca dependen. Patogenesis

terjadinya diare oleh salmonella, shigella, E coli agak berbeda dengan patogenesis diare oleh

virus, tetapi prinsipnya hampir sama. Bedanya bakteri ini dapat menembus (invasi) sel mukosa

usus halus sehingga depat menyebakan reaksi sistemik.Toksin shigella juga dapat masuk ke

dalam serabut saraf otak sehingga menimbulkan kejang. Diare oleh kedua bakteri ini dapat

menyebabkan adanya darah dalam tinja yang disebut disentri.7, 10, 12

Disamping itu penyebab diare non infeksi yang dapat menimbulkan diare pada anak antara lain :

Kesulitan makan

Defek Anatomis

- Malrotasi

- Penyakit Hirchsprung - Short Bowel Syndrome - Atrofi mikrovilli - Stricture

Malabsorpsi

- Defisiensi disakaridase - Malabsorpsi glukosa – galaktosa - Cystic fibrosis - Cholestosis - Penyakit Celiac

Endokrinopati

- Thyrotoksikosis - Penyakit Addison - Sindroma Adrenogenital

Keracunan makanan

- Logam Berat - Mushrooms

Neoplasma

- Neuroblastoma - Phaeochromocytoma - Sindroma Zollinger Ellison

Lain -lain :

- Infeksi non gastrointestinal - Alergi susu sapi - Penyakit Crohn - Defisiensi imun - Colitis ulserosa - Gangguan motilitas usus - Pellagra

Sumber : Nelson Textbook of Pediatric3

Anatomi dan Patofisiologi Diare19,20,21,22,23,24,25

Anatomi

a. Gaster

Sel-sel epitel di gaster adalah merupakan kelenjar gaster. Terdapat 3 tipe kelenjar yaitu :

cardiac, oxyntic dan pyloric. Cardiac merupakan penghasil mukus yang terletak pada

perbatasan cincin gaster sampai oesophagus. Oxyntic merupakan yang paling banyak dan

didapatkan pada fundus. Tipe ketiga yaitu piloric merupakan 10% permukaan mukosa

gaster, ditandai adanya pits yang dalam. Dua tipe sel yang utama adalah sel penghasil

mukus dan sel penghasil gastrin.

Fungsi neuromuskuler gaster meliputi penyimpanan, mencampur, menggilas dan

melakukan kontrol terhadap pengeluaran makanan ke dalam duodenum. Sekresi gaster

terdiri dari asam hidroklorid (HCl), gastrin, pepsinogen, faktor intrinsik, lipase dan mukus.

Asam hidroklorid (HCl)

Merupakan produksi sel tunggal dari berbagai spesies. HCl ini diproduksi oleh sel parietal.

Pada bayi baru lahir, HCl diproduksi dengan cara mengubah-ubah bahan alkaline amnion

yang ditelan hingga dapat mencapai pH lambung kurang dari 4. Konsentrasi HCl tertinggi

terjadi pada hari ke-7 sampai hari ke-10 setelah lahir dan akan terus meningkat sampai

mencapai kadar dewasa pada usia 60 sampai 90 hari. Pada bayi aterm 2 hari pertama

setelah lahir, stimulasi sekresi tidak dapat meningkat dengan stimulasi pentagastrin, dan

reaksi terhadap bahan-bahan histamin seperti betazole hidrochloride (histalog) tidak

timbul sampai usia 1 bulan.

Pentagastrin akan meningkatkan sekresi HCl mulai usia 1 minggu dan lebih besar pada

bayi-bayi aterm daripada yang preterm. Respon stimuli makanan pada bayi aterm oleh HCl

lambung terjadi setelah 2 jam. Sekresi asam lambung dikendalikan oleh sistem sekresi dan

inhibisi. Sistem persarafan gaster ada dua yaitu pleksus myenteric dan pleksus mukosal.

Pleksus myenteric menginervasi lapisan otot dan melakukan regulasi fungsi motorik. Saraf-

saraf ini terdiri atas 80 sampai 90 % saraf afferen dan 10 sampai 20% saraf efferen. Pleksus

mukosal terdiri dari neuropeptide transmiter seperti acetylcholin, serotonin, dan GABA

dan transmiter peptide seperti bombesin, vasoactive intestinal peptide (VIP) dan substansi

kalium.

Gastrin

Disintesis dan dilepaskan oleh sel endokrin G yang terletak pada antrum gaster. Sekresi sel

G yaitu gastrin secara lokal dihambat oleh somatostatin yang berasal dari sel D yang

letaknya berdekatan dengan sel G. Terdapat 2 bentuk gastrin yaitu G-17 dan G-34 dimana

G-34 mempunyai waktu paruh lebih panjang.

Peregangan ringan pada gaster terutama antrum akan mengaktifkan saraf VIP yang akan

menghambat sekresi gastrin dengan cara melepaskan antral somatostatin dan

prostaglandin E (PGE). Pada peregangan yang lebih besar terutama pada proksimal

lambung akan menstimuli pelepasan cholinergic vagal gaster. Sebagian makanan dalam

lambung dan protein duodenum terutama triptofan dan phenylalanin akan merangsang

pelepasan gastrin. Hambatan pelepasan gastrin tidak hanya oleh somatostatin, tapi juga

oleh sekretin, neurotensin, gastric inhibitory polypeptide (GIP) dan PGE.

Sel-sel somatostatin yang tersebar hingga melewati usus bekerja sebagai hormon endokrin

seperti halnya parakrin yang menghambat sekresi sel G. Lemak usus merupakan

perangsang utama pelepasan somatostatin, sehingga terjadi penurunan gastrin dan

perlambatan pengosongan lambung.

Sekretin terdapat nyata di usus halus proksimal dan dilepaskan karena pengasaman

intraduodenal. Neurotensin disintesis di ileum untuk merespon lemak usus, menurunkan

keasaman lambung. PGE seperti halnya somatostatin bekerja menurunkan produksi asam

oleh sel parietal.

Pepsinogen

Diproduksi oleh sel kepala dan sel mukosa leher fundus, badan dan cardiac gaster. Fundus

gaster memproduksi 4 proteinase acidic yaitu pepsinogen I atau A, pepsinogen II atau C,

captensin D dan captensin A. Sekresi pepsinogen dipacu oleh stimuli cholinergic dan beta

adrenergik. Perangsangan beta adrenergik diperantarai oleh cAMP dan dihambat dengan

propanolol, tidak oleh atropin atau cimetidine. Stimuli cholinergic dihambat oleh atropin

dan mengikuti perubahan Ca intrasel. Pepsinogen juga dirangsang secara langsung oleh

histamin, cholesystokinin (CCK), sekretin dan VIP. CCK bekerja melalui pelepasan Ca

intrasel, sedangkan sekretin dan VIP bekerja melalui cAMP. Somatostatin dan PGE

menghambat sekresi pepsinogen dengan menurunkan cAMP.

Faktor intrinsik

Merupakan glikoprotein yang diproduksi oleh sel parietal di mukosa oxyntic badan dan

fundus gaster. Faktor intrinsik didapatkan pada jaringan gaster fetus pada usia kehamilan

11 minggu. Sekresi kontinyu sedikit demi sedikit terjadi di bawah kondisi basal oleh

transpor membran vesikuler. Peningkatan sekresi distimuli oleh agent penginduksi sekresi

sel parietal seperti histamin, acetylcholin, dan gastrin. Puncak pelepasan terjadi 25 sampai

30 menit. Sekresi dihambat oleh H2 reseptor antagonis.

Pada bayi aterm atau pretem sekresi basal ini tidak tergantung sekresi asam gestasi atau

kelebihan nutrisi enteral. Disosiasi stimuli pelepasan asam dan faktor intrinsik secara baik

terdapat pada usia anak mulai berjalan. Sekresi faktor ini mendekati kadar dewasa pada

usia 3 bulan.

Lipase gaster

Aktifitas lipase pada semua usia maksimal di badan gaster dan minimal di antrum. Meski

pH optimun 5.5 tetapi lipase aktif bekerja dalam 1 jam setelah lahir, dan pelepaskan

lipolytic intragaster merangsang sekresi CCK; pelepasan asam lemak rantai sedang

menyebabkan absorbsi lemak langsung segera di gaster.4

Mukus gaster

Epitel gaster dan sekresi sel mukus pit merupakan gel mukus tak larut air yang membentuk

lapisan kontinyu dan berfungsi protektif. Sintesis mucin dan volume total mukus

meningkat dengan stimuli oleh histamin, acetylcholin dan gastrin. Mukus bekerja sebagai

barier difusi terhadap pepsin luminal dan HCl. Kerusakan lapisan mukosa menyebabkan

difusi kembali asam peptide dan kehilangan gradien pH bikarbonat, yang penting untuk

mempertahankan integritas epitel dan pembentukan epitel yang baru.

b. Usus halus

Memanjang dari pilorus hingga cecum. Pada neonatus memiliki panjang 275 cm dan

tumbuh mencapai 5 sampai 6 meter pada dewasa. Epitel usus halus tersusun atas lapisan

tunggal sel kolumnar disebut juga enterosit. Permukaan epitel ini menjadi 300 kali lebih

luas dengan adanya vilus dan kripta. Vilus berbeda dalam bentuk dan densitas pada

masing-masing regio usus halus. Di duodenum vilus tersebut lebih pendek, lebih lebar dan

lebih sedikit; menyerupai bentuk jari dan lebih tinggi pada jejunum; serta menjadi lebih

kecil dan lebih meruncing di ileum. Densitas terbesar didapatkan di jejunum. Di antara

vilus tersebut terdapat kripta (Lieberkuhn) yang merupakan tempat proliferasi enterosit

dan pembaharuan epitel. Terdapat perbedaan tight junction antara jejunum dan ileum,

tight junction ini berperan penting dalam regulasi permeabilitas epitel dengan melakukan

kontrol terhadap aliran air dan solut paraseluler.

Sel goblet

Merupakan sel penghasil mukus yang terpolarisasi. Mukus yang disekresi sel goblet

menghampar di atas glikokaliks berupa lapisan yang kontinyu, membentuk barier

fisikokimia, memberi perlindungan pada epitel permukaan. Mukus ini paling banyak

didapatkan pada gaster dan duodenum.

Sel kripta

Sel kripta yang tidak berdiferensiasi merupakan tipe sel yang paling banyak terdapat di

kripta Lieberkuhn. Merupakan prekursor sel penyerap vilus, sel paneth, sel

enteroendokrine, sel goblet dan mungkin juga sel M. Sel kripta yang tidak berdiferensiasi

ini mensintesis dan mengekspresikan komponen sekretori pada membran basolateral,

dimana molekul ini bertindak sebagai reseptor untuk sintesis IgA oleh lamina propria sel

plasma.

Sel Paneth

Terdapat di basis kripte. Memiliki granula eosinophilic sitoplasma dan basophil. Granula

lisosom dan zymogen didapatkan juga pada sitoplasma, meskipun fungsi sekretori sel panet

belum diketahui. Diduga berperan dalam membunuh bakteri dengan lisosom dan

imunoglobulin intrasel, menjaga keseimbangan flora normal usus.

Sel enteroendokrin

Merupakan sekumpulan sel khusus neurosekretori, sel enteroendokrin terdapat di mukosa

saluran cerna, melapisi kelenjar gaster, vilus dan kripta usus. Sel enteroendokrin

mensekresi neuropeptide seperti gastrin, sekretin, motilin, neurotensin, glukagon,

enteroglukagon, VIP, GIP, neurotensin, cholesistokinin dan somatostatin.

Sel M

Merupakan sel epitel khusus yang melapisi folikel limfoid.4,25

c. Usus besar

Terdiri atas sekum, appendik, kolon, rektum dan anus. Mukosa usus besar bertambah

dengan adanya plika semilunar yang irreguler dan adanya kripta tubuler Lieberkuhn. Tidak

terdapat vilus pada usus besar. Baik permukaan mukosa dan kripta dilapisi oleh sel epitel

kolumnar (kolonosit) dan sel goblet yang membatasi dari jaringan mesenkim lamina

propria. Kolonosit memiliki mikrovilus lebih sedikit dan lebih pendek daripada usus halus.

Epitel bagian bawah kripta terdiri atas proliferasi sel kolumnar yang tidak berdiferensiasi,

sel goblet dan sedikit sel endokrin. Morfologi sel goblet dan sel endokrin mirip seperti pada

usus halus.

Sel kolumnar penyerap berasal dari sel imatur dari bagian bawah kripta yang

berdiferensiasi dan bermigrasi ke bagian atas kripta, akhirnya akan dilepaskan dari

permukaan mukosa ke dalam lumen. Proses siklus pembaharuan sel ini berlangsung 3

sampai 8 hari pada manusia. Kripta dikelilingi oleh sarung fibroblas dalam lamina propria,

mengalami proliferasi dan migrasi secara sinkron dengan migrasi sel epitel. Jumlah total

sel terbanyak pada kripta kolon desenden, menurun secara progresif di sepanjang kolon

transversum dan kolon desenden dan meningkat lagi pada sekum.

Mekanisme Diare1,4,6,7,10,11,12,13,15,18,26,27

Secara umum diare disebabkan 2 hal yaitu gangguan pada proses absorbsi atau sekresi.

Terdapat beberapa pembagian diare:

1. Pembagian diare menurut etiologi

2. Pembagian diare menurut mekanismenya yaitu gangguan

a. Absorbsi

b. Gangguan sekresi.

3. Pembagian diare menurut lamanya diare

a. Diare akut yang berlangsung kurang dari 14 hari.

b. Diare kronik yang berlangsung lebih dari 14 hari dengan etiologi non-infeksi.

c. Diare persisten yang berlangsung lebih dari 14 hari dengan etiologi infeksi.

Kejadian diare secara umum terjadi dari satu atau beberapa mekanisme yang saling

tumpang tindih. Menurut mekanisme diare maka dikenal:

Diare akibat gangguan absorpsi yaitu volume cairan yang berada di kolon lebih besar daripada

kapasitas absorpsi. Disini diare dapat terjadi akibat kelainan di usus halus, mengakibatkan

absorpsi menurun atau sekresi yang bertambah. Apabila fungsi usus halus normal, diare dapat

terjadi akibat absorpsi di kolon menurun atau sekresi di kolon meningkat. Diare dapat juga

dikaitkan dengan gangguan motilitas, inflamasi dan imunologi.

1. Gangguan absorpsi atau diare osmotik.

Secara umum terjadi penurunan fungsi absorpsi oleh berbagai sebab seperti celiac sprue,

atau karena:

a. mengkonsumsi magnesium hidroksida

b. defisiensi sukrase-isomaltase adanya laktase defisien pada anak yang lebih besar

c. adanya bahan yang tidak diserap, menyebabkan bahan intraluminal pada usus halus

bagian proksimal tersebut bersifat hipertonis dan menyebabkan hiperosmolaritas.

Akibat perbedaan tekanan osmose antara lumen usus dan darah maka pada segmen

usus jejenum yang bersifat permeabel, air akan mengalir ke arah lumen jejenum,

sehingga air akan banyak terkumpul air dalam lumen usus. Na akan mengikuti masuk

ke dalam lumen, dengan demikian akan terkumpul cairan intraluminal yang besar

dengan kadar Na yang normal. Sebagian kecil cairan ini akan diabsorpsi kembali, akan

tetapi lainnya akan tetap tinggal di lumen oleh karena ada bahan yang tidak dapat

diserap seperti Mg, glukose, sukrose,laktose, maltose di segmen illeum dan melebihi

kemampuan absorpsi kolon, sehingga terjadi diare. Bahan-bahan seperti karbohidrat

dari jus buah, atau bahan yang mengandung sorbitol dalam jumlah berlebihan, akan

memberikan dampak yang sama.

2. Malabsoprsi umum.

Keadaan seperti short bowel syndrom, celiac, protein, peptida, tepung, asam amino dan

monosakarida mempunyai peran pada gerakan osmotik pada lumen usus. Kerusakan sel

(yang secara normal akan menyerap Na dan air) dapat disebabkan virus atau kuman,

seperti Salmonella, Shigella atau Campylobacter. Sel tersebut juga dapat rusak karena

inflammatory bowel disease idiopatik, akibat toksin atau obat-obat tertentu. Gambaran

karakteristik penyakit yang menyebabkan malabsorbsi usus halus adalah atropi villi. Lebih

lanjut, mikororganisme tertentu (bakteri tumbuh lampau, giardiasis, dan enteroadheren E.

coli) menyebabkan malabsorbsi nutrien dengan merubah faal membran brush border tanpa

merusak susunan anatomi mukosa. Maldigesti protein lengkap, karbohidrat, dan trigliserid

diakibatkan insuficiensi eksokrin pankreas menyebabkan malabsorbsi yang signifikan dan

mengakibatkan diare osmotik.

Gangguan atau kegagalan ekskresi pankreas menyebabkan kegagalan pemecahan kompleks

protein, karbohidrat, trigliserid, selanjutnya menyebabkan maldigesti, malabsorpsi dan

akhirnya menyebabkan diare osmotik. Steatorrhe berbeda dengan malabsorpsi protein dan

karbohidrat dengan asam lemak rantai panjang intraluminal, tidak hanya menyebabkan

diare osmotik, tetapi juga menyebabkan pacuan sekresi Cl- sehingga diare tersebut dapat

disebabkan malabsorpsi karbohidrat oleh karena kerusakan difus mukosa usus, defisiensi

sukrosa, isomaltosa dan defisiensi congenital laktase, pemberian obat pencahar; laktulose,

pemberian Mg hydroxide (misalnya susu Mg), malabsorpsi karbohidrat yang berlebihan

pada hipermotilitas pada kolon iritabel. Mendapat cairan hipertonis dalam jumlah besar

dan cepat, menyebabkan kekambuhan diare. Pemberian makan/minum yang tinggi KH,

setelah mengalami diare, menyebabkan kekambuhan diare. Infeksi virus yang

menyebabkan kerusakan mukosa sehingga menyebabkan gangguan sekresi enzim laktase,

menyebabkan gangguan absorpsi nutrisi laktose.

3. Gangguan sekresi atau diare sekretorik

Hiperplasia kripta.

Teoritis adanya hiperplasia kripta akibat penyakit apapun, dapat menyebabkan sekresi

intestinal dan diare. Pada umumnya penyakit ini menyebabkan atrofi vili.

Luminal secretagogues

Dikenal 2 bahan yang menstimulasi sekresi lumen yaitu enterotoksin bakteri dan bahan

kimia yang dapat menstimulasi seperti laksansia, garam empedu bentuk dihydroxy, serta

asam lemak rantai panjang.

Toksin penyebab diare ini terutama bekerja dengan cara meningkatkan konsentrasi intrasel

cAMP, cGMP atau Ca++ yang selanjutnya akan mengaktifkan protein kinase. Pengaktifan

protein kinase akan menyebabkan fosforilasi membran protein sehingga mengakibatkan

perubahan saluran ion, akan menyebabkan Cl- di kripta keluar. Di sisi lain terjadi

peningkatan pompa natrium, dan natrium masuk kedalam lumen usus bersama Cl-.

Bahan laksatif dapat menyebabkan bervariasi efek pada aktivitas NaK-ATPase. Beberapa

diantaranya memacu peningkatan kadar cAMP intraseluler., meningkatkan permeabilitas

intestinal dan sebagian menyebabkan kerusakan sel mukosa. Beberapa obat menyebabkan

sekresi intestinal. Penyakit malabsorpsi seperti reseksi ileum dan penyakit Crohn dapat

menyebabkan kelainan sekresi seperti menyebabkan peningkatan konsentrasi garam

empedu, lemak.

Blood-Borne Secretagogues.

Diare sekretorik pada anak-anak di negara berkembang, umumnya disebabkan

enterotoksin E coli atau Cholera. Berbeda dengan negara berkembang, di negara maju,

diare sekretorik jarang ditemukan, apabila ada kemungkinan disebabkan obat atau tumor

seperti ganglioneuroma atau neuroblastoma yang menghasilkan hormon seperti VIP. Pada

orang dewasa, diare sekretorik berat disebabkan neoplasma pankreas, sel non-beta yang

menghasilkan VIP, Polipeptida pankreas, hormon sekretorik lainnya (sindroma watery

diarrhe hypokalemia achlorhydria (WDHA). Diare yang disebabkan tumor ini termasuk

jarang.5 Semua kelainan mukosa usus, berakibat sekresi air dan mineral berlebihan pada

vilus dan kripta serta semua enterosit terlibat dan dapat terjadi mukosa usus dalam

keadaan normal.

4. Diare akibat gangguan peristaltik

Meskipun motilitas jarang menjadi penyebab utama malabsorbsi, tetapi perubahan

motilitas mempunyai pengaruh terhadap absorbsi. Baik peningkatan ataupun penurunan

motilitas, keduanya dapat menyebabkan diare. Penurunan motilitas dapat mengakibatkan

bakteri tumbuh lampau yang menyebabkan diare. Perlambatan transit obat-obatan atau

nutrisi akan meningkatkan absorbsi. Kegagalan motilitas usus yang berat menyebabkan

stasis intestinal berakibat inflamasi, dekonjugasi garam empedu dan malabsorbsi. Diare

akibat hiperperistaltik pada anak jarang terjadi. Watery diare dapat disebabkan karena

hipermotilitas pada kasus kolon iritable pada bayi. Gangguan motilitas mungkin

merupakan penyebab diare pada thyrotoksikosis, malabsorbsi asam empedu dan berbagai

penyakit lain.

5. Diare inflamasi

Proses inflamasi di usus halus dan kolon menyebabkan diare pada beberapa keadaan.

Akibat kehilangan sel epitel dan kerusakan tight junction, tekanan hidrostatik dalam

pembuluh darah dan limphatic menyebabkan air, elektrolit, mukus, protein dan seringkali

sel darah merah dan sel darah putih menumpuk dalam lumen. Biasanya diare akibat

inflamasi ini berhubungan dengan tipe diare lain seperti diare osmotik dan diare sekretorik.

Bakteri enteral patogen akan mempengaruhi struktur dan fungsi tight junction,

menginduksi sekresi cairan dan elektrolit, dan akan mengaktiflkan kaskade inflamasi. Efek

infeksi bakterial pada tight junction akan mempengaruhi susunan anatomis dan fungsi

absorpsi yaitu cytoskeleton dan perubahan susunan protein. Penelitian oleh Berkes J dkk.

2003 menunjukkan bahwa peranan bakteri enteral patogen pada diare terletak pada

perubahan barrier tight junction oleh toksin atau produk kuman yaitu perubahan pada

cellular cytoskeleton dan spesifik tight junction. Pengaruh itu bisa pada kedua komponen

tersebut atau salah satu komponen saja sehingga akan menyebabkan hipersekresi chlorida

yang akan diikuti natrium dan air. Sebagai contoh C. difficile akan menginduksi kerusakan

cytoskeleton maupun protein,Bacteroides fragilis menyebabkan degradasi proteolitik

protein tight junction, V cholera mempengaruhi distribusi protein tight junction,

sedangkan EPEC menyebabkan akumulasi protein cytoskeleton.

6. Diare terkait imunologi

Diare terkait imunologi dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe I, III dan IV.

Reaksi tipe I yaitu terjadi reaksi antara sel mast dengan IgE dan alergen makanan. Reaksi

tipe III misalnya pada penyakit gastroenteropati, sedangkan reaksi tipe IV terdapat pada

Coeliac disease dan protein loss enteropaties. Pada reaksi tipe I, alergen yang masuk tubuh

menimbulkan respon imun dengan dibentuknya IgE yang selanjutnya akan diikat oleh

reseptor spesifik pada permukaan sel mast dan basofil. Bila terjadi aktivasi akibat pajanan

berulang dengan antigen yang spesifik, sel mast akan melepaskan mediator seperti

histamin, ECF-A, PAF, SRA-A dan prostaglandin. Pada reaksi tipe III terjadi reaksi

komplek antigen-antibodi dalam jaringan atau pembuluh darah yang mengaktifkan

komplemen. Komplemen yang diaktifkan kemudian melepaskan Macrophage Chemotactic

Factor yang akan merangsang sel mast dan basofil melepas berbagai mediator. Pada reaksi

tipe IV terjadi respon imun seluler, disini tidak terdapat peran antibodi. Antigen dari luar

dipresentasikan sel APC(Antigen Presenting Cell) ke sel Th1 yang MHC-II dependen.

Terjadi pelepasan berbagai sitokin seperti MIF, MAF dan IFN-γ oleh Th1. Sitokin tersebut

akan mengaktifasi makrofag dan menimbulkan kerusakan jaringan.

Berbagai mediator diatas akan menyebabkan luas permukaan mukosa berkurang akibat

kerusakan jaringan, merangsang sekresi klorida diikuti oleh natrium dan air.

Manifestasi Klinis

Infeksi usus menimbulkan tanda dan gejala gastrointestinal serta gejala lainnya bila

terjadi komplikasi ekstra intestinal termasuk manifestasi neurologik. Gejala gastrointestinal

bisa berupa diare, kram perut dan muntah. Sedangkan manifestasi sistemik bervariasi

tergantung pada penyebabnya.1,6,9

Penderita dengan diare cair mengeluarkan tinja yang mengandung sejumlah ion natrium,

klorida, dan bikarbonat. Kehilangan air dan elektrolit ini bertambah bila ada muntah dan

kehilangan air juga meningkat bila ada panas. Hal ini dapat menyebabkan dehidrasi, asidosis

metabolik dan hipokalemia. Dehidrasi merupakan keadaan yang paling berbahaya karena dapat

menyebabkan hipovolemia, kolaps kardiovaskuler dan kematian bila tidak diobati dengan tepat.

Dehidrasi yang terjadi menurut tonisitas plasma dapat berupa dehidrasi isotonik, dehidrasi

hipertonik (hipernatremik) atau dehidrasi hipotonik. Menurut derajat dehidrasinya bisa tanpa

dehidrasi, dehidrasi ringan, dehidrasi sedang atau dehidrasi berat.4,8,11

Infeksi ekstraintestinal yang berkaitan dengan bakteri enterik patogen antara lain :

vulvovaginitis, infeksi saluran kemih, endokarditis, osteomielitis, meningitis, pneumonia,

hepatitis, peritonitis dan septik trombophlebitis. Gejala neurologik dari infeksi usus bisa berupa

paresthesia (akibat makan ikan, kerang, monosodium glutamat) hipotoni dan kelemahan otot

(C. botulinum).3,4,12

Manifestasi immun mediated ekstraintestinal biasanya terjadi setelah diarenya sembuh,

contoh:

Tabel 6.1. Manifestasi immun mediated ekstraintestinal dan enteropatogen terkait

Manifestasi Enteropatogen terkait

Reactive arthritis Salmonella, Shigella, Yersinia, Camphylobacter, Clostridium

difficile

Guillain Barre Syndrome Camphylobacter

Glomerulonephritis Shigella, Camphylobacter, Salmonella

IgA nephropathy Camphylobacter

Erythema nodusum Yersinia, Camphylobacter, Salmonella

Hemolytic anemia

Camphylobacter, Yersinia

Hemolytic Uremic

Syndrome

S. dysentrie, E. coli

Sumber: Nelson Textbook of Pediatrics3

Bila terdapat panas dimungkinkan karena proses peradangan atau akibat dehidrasi. Panas

badan umum terjadi pada penderita dengan inflammatory diare.. Nyeri perut yang lebih hebat

dan tenesmus yang terjadi pada perut bagian bawah serta rektum menunjukkan terkenanya

usus besar.14, 15, 17

Mual dan muntah adalah simptom yang non spesifik akan tetapi muntah mungkin

disebabkan oleh karena organisme yang menginfeksi saluran cerna bagian atas seperti: enterik

virus, bakteri yang memproduksi enterotoksin, Giardia, dan Cryptosporidium.

Muntah juga sering terjadi pada non inflammatory diare. Biasanya penderita tidak panas

atau hanya subfebris, nyeri perut periumbilikal tidak berat, watery diare, menunjukkan bahwa

saluran cerna bagian atas yang terkena. Oleh karena pasien immunocompromise memerlukan

perhatian khusus, informasi tentang adanya imunodefisiensi atau penyakit kronis sangat

penting.11, 16, 18

Tabel 16.2. Gejala khas diare akut oleh berbagai penyebab

Gejala

klinik

Rotavirus Shigella Salmonella ETEC EIEC Kolera

Masa tunas

Panas

Mual

muntah

Nyeri perut

17-72 jam

+

Sering

Tenesmus

24-48

jam

++

Jarang

Tenesmus

kramp

6-72 jam

++

Sering

Tenesmus

kolik

6-72 jam

-

+

-

6-72 jam

++

-

Tenesmus

kramp

-

48-72 jam

-

Sering

Kramp

Nyeri

kepala

Lamanya

sakit

Sifat tinja

Volume

Frekuensi

Konsistensi

Darah

Bau

Warna

Leukosit

Lain-lain

-

5-7 hari

Sedang

5-10x/hr

Cair

-

Langu

Kuning

hijau

-

Anorexia

+

> 7 hari

Sedikit

>10x/hr

Lembek

Sering

Merah-

hijau

+

Kejang

+

3-7 hari

Sedikit

Sering

Lembek

Kadang

Busuk

Kehijauan

+

Sepsis

-

-

2-3 hari

Banyak

Sering

Cair

-

+

Tak

berwarna

-

Meteorismus

-

Variasi

Sedikit

Sering

Lembek

+

Tidak

Merah-

hijau

-

Infeksi

sistemik

-

-

3 hari

Banyak

Terusmenerus

Cair

-

Amis khas

Seperti air

cucian beras

-

Sumber : Sunoto 199117

Diagnosis

1. Anamnesis

Pada anamnesis perlu ditanyakan hal-hal sebagai berikut: lama diare, frekuensi, volume,

konsistensi tinja, warna, bau, ada / tidak lendir dan darah. Bila disertai muntah: volume

dan frekuensinya. Kencing: biasa, berkurang, jarang atau tidak kencing dalam 6 – 8 jam

terakhir. Makanan dan minuman yang diberikan selama diare. Adakah panas atau penyakit

lain yang menyertai seperti: batuk, pilek, otitis media, campak.

Tindakan yang telah dilakukan ibu selama anak diare: memberi oralit, membawa berobat

ke Puskesmas atau ke Rumah Sakit dan obat-obatan yang diberikan serta riwayat

imunisasinya.3, 10, 12

2. Pemeriksaan fisik

Pada pemeriksaan fisik perlu diperiksa: berat badan, suhu tubuh, frekuensi denyut jantung

dan pernapasan serta tekanan darah. Selanjutnya perlu dicari tanda-tanda utama dehidrasi:

kesadaran, rasa haus dan turgor kulit abdomen dan tanda-tanda tambahan lainnya : ubun-

ubun besar cekung atau tidak, mata : cowong atau tidak, ada atau tidak adanya air mata,

bibir, mukosa mulut dan lidah kering atau basah.

Pernapasan yang cepat dan dalam indikasi adanya asidosis metabolik. Bising usus yang

lemah atau tidak ada bila terdapat hipokalemi. Pemeriksaan ekstremitas perlu karena

perfusi dan capillary refill dapat menentukan derajat dehidrasi yang terjadi.1, 3, 10

Penilaian beratnya atau derajat dehidrasi dapat ditentukan dengan cara: obyektif yaitu

dengan membandingkan berat badan sebelum dan selama diare. Subyektif dengan

menggunakan kriteria WHO, Skor Maurice King, kriteria MMWR dan lain-lain dapat

dilihat pada tabel berikut.

Tabel 16.3. Penentuan derajat dehidrasi menurut MMWR 2003

Simptom Minimal atau tanpa

dehidrasi kehilangan

BB < 3%

Dehidrasi Ringan -

Sedang, Kehilangan

BB 3 % - 9 %

Dehidrasi Berat

Kehilangan BB > 9%

Kesadaran Baik Normal, lelah,

gelisah, irritable

Apathis, letargi, tidak

sadar

Denyut

jantung

Normal Normal - meningkat Takikardi, bradikardia

pada kasus berat

Kualitas nadi Normal Normal – melemah Lemah, kecil, tidak

teraba

Pernapasan Normal Normal – cepat Dalam

Mata Normal Sedikit cowong Sangat cowong

Air mata Ada Berkurang Tidak ada

Mulut dan

lidah

Basah Kering Sangat kering

Cubitan kulit Segera kembali Kembali < 2 detik Kembali > 2 detik

Capillary refill Normal Memanjang Memanjang, minimal

Extremitas Hangat Dingin Dingin, mottled, sianotik

Kencing Normal Berkurang Minimal

Sumber : adapatasi dari Duggan C, Santosham M, Glaso RI, MMWR 1992 dan WHO 1995

Tabel 16.4. Penentuan derajat dehidrasi menurut WHO 1995

Penilaian A B C

1. Lihat :

keadaan umum

mata

air mata

mulut dan lidah

rasa haus

Baik, sadar

Normal

Ada

Basah

Minum biasa tidak

haus

* Gelisah, rewel

Cekung

Tidak ada

Kering

* Haus, ingin

minum banyak

* Lesu, lunglai atau

tidak sadar

Sangat cekung

dan

kering

Sangat kering

* Malas minum

atau

tidak bisa minum

2. Periksa : turgor kulit Kembali cepat * Kembali lambat * Kembali sangat

lambat

3. Hasil pemeriksaan : Tanpa dehidrasi Dehidrasi ringan /

sedang

Bila ada 1 tanda *

ditambah 1 atau lebih

tanda lain

Dehidrasi berat

Bila ada 1 tanda *

ditambah 1 atau

lebih tanda lain

4. Terapi : Rencana Terapi A Rencana Terapi B Rencana Terapi C

Sumber : adapatasi dari Duggan C, Santosham M, Glaso RI, MMWR 1992 dan WHO 1995

Tabel 16.5. Penentuan derajat dehidrasi menurut sistim pengangkaan – Maurice King (1974)

Bagian tubuh

yang diperiksa

Nilai untuk gejala yang ditemukan

0 1 2

Keadaan umum Sehat Gelisah, cengeng, apatis,

ngantuk

Mengigau, koma atau

syok

Kekenyalan kulit Normal Sedikit kurang Sangat kurang

Mata Normal Sedikit cekung Sangat cekung

Ubun-ubun

besar

Normal Sedikit cekung Sangat cekung

Mulut Normal Kering Kering & sianosis

Denyut nadi/

mnt

Kuat < 120 Sedang (120-140) Lemah > 140

Sumber : Sunoto 199117

Hasil yang didapat pada penderita diberi angka 0, 1 atau 2 sesuai dengan tabel kemudian

dijumlahkan.

Nilai: 0 – 2 = Ringan 3 – 6 = Sedang 7 – 12 = Berat

3. Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium lengkap pada diare akut pada umumnya tidak diperlukan, hanya

pada keadaan tertentu mungkin diperlukan misalnya penyebab dasarnya tidak diketahui

atau ada sebab-sebab lain selain diare akut atau pada penderita dengan dehidrasi berat.

Contoh : pemeriksaan darah lengkap, kultur urine dan tinja pada sepsis atau infeksi saluran

kemih.

Pemeriksaan laboratorium yang kadang-kadang diperlukan pada diare akut :

Darah : darah lengkap, serum elektrolit, analisa gas darah, glukosa darah, kultur dan tes

kepekaan terhadap antibiotika.

Urine : urine lengkap, kultur dan test kepekaan terhadap antibiotika.

Tinja :

Pemeriksaan makroskopik:

Pemeriksaan makroskopik tinja perlu dilakukan pada semua penderita dengan diare

meskipun pemeriksaan laboratorium tidak dilakukan. Tinja yang watery dan tanpa mukus

atau darah biasanya disebabkan oleh enterotoksin virus, protozoa atau disebabkan oleh

infeksi diluar saluran gastrointestinal.

Tinja yang mengandung darah atau mukus bisa disebabkan infeksi bakteri yang

menghasilkan sitotoksin, bakteri enteroinvasif yang menyebabkan peradangan mukosa atau

parasit usus seperti : E. histolytica, B. coli dan T. trichiura. Apabila terdapat darah biasanya

bercampur dalam tinja kecuali pada infeksi dengan E. Histolytica darah sering terdapat

pada permukaan tinja dan pada infeksi EHEC terdapat garis-garis darah pada tinja. Tinja

yang berbau busuk didapatkan pada infeksi dengan Salmonella, Giardia, Cryptosporidium

dan Strongyloides.2,7,17

Tabel 16.6. Test laboratorium tinja yang digunakan untuk mendeteksi enteropatogen

Test Laboratorium Organisme diduga / identifikasi

Mikroskopik : Lekosit pada tinja Invasive atau bakteri yang memproduksi sitotoksin

Trophozoit, kista, oocysts, spora G. lamblia, E. histolytika, Cryptosporidium, I. belli,

Cyclospora

Rhabditiform lava Stongyloides

Spiral atau basil gram (-) berbentuk

S

Camphylobacter jejuni

Kultur tinja: Standard

Spesial

E. coli, Shigella, Salmonella, Camphylobacter jejuni

Y. enterocolitica, V. cholerae, V. parahaemolyticus, C.

difficile, E. coli, O 157 : H 7

Enzym imunoassay atau latex

aglutinasi

Rotavirus, G. lamblia, enteric adenovirus, C. difficile

Serotyping E. coli, O 157 : H 7, EHEC, EPEC

Latex aglutinasi setelah broth

enrichment

Salmonella, Shigella

Test yang dilakukan di laboratorium

riset

Bakteri yang memproduksi toksin, EIEC, EAEC, PCR

untuk genus yang virulen

Sumber: Suparto10

Pemeriksaan mikroskopik:

Pemeriksaan mikroskopik untuk mencari adanya lekosit dapat memberikan informasi

tentang penyebab diare, letak anatomis serta adanya proses peradangan mukosa. Lekosit

dalam tinja diproduksi sebagai respon terhadap bakteri yang menyerang mukosa kolon.

Lekosit yang positif pada pemeriksaan tinja menunjukkan adanya kuman invasif atau

kuman yang memproduksi sitotoksin seperti Shigella, Salmonella, C. jejuni, EIEC, C.

difficile, Y. enterocolitica, V. parahaemolyticus dan kemungkinan Aeromonas atau P.

shigelloides. Lekosit yang ditemukan pada umumnya adalah lekosit PMN, kecuali pada S.

typhii lekosit mononuklear. Tidak semua penderita kolitis terdapat lekosit pada tinjanya,

pasien yang terinfeksi dengan E. histolytica pada umumnya lekosit pada tinja minimal.

Parasit yang menyebabkan diare pada umumnya tidak memproduksi lekosit dalam jumlah

banyak. Normalnya tidak diperlukan pemeriksaan untuk mencari telur atau parasit kecuali

terdapat riwayat baru saja bepergian kedaerah resiko tinggi, kultur tinja negatif untuk

enteropatogen, diare lebih dari 1 minggu atau pada pasien immunocompromised. Pasien

yang dicurigai menderita diare yang disebabkan giardiasis, cryptosporidiosis, isosporiasis

dan strongyloidiasis dimana pemeriksaan tinja negatif, aspirasi atau biopsi duodenum atau

yeyunum bagian atas mungkin diperlukan. Karena organisme ini hidup di saluran cerna

bagian atas, prosedur ini lebih tepat daripada pemeriksaan spesimen tinja. Biopsi

duodenum adalah metoda yang spesifik dan sensitif untuk diagnosis giardiasis,

strongylodiasis dan protozoa yang membentuk spora. E. hystolitica dapat didiagnosis

dengan pemeriksaan mikroskopik tinja segar. Trophozoit biasanya ditemukan pada tinja

cair sedangkan kista ditemukan pada tinja yang berbentuk. Tehnik konsentrasi dapat

membantu untuk menemukan kista amuba. Pemeriksaan serial mungkin diperlukan oleh

karena ekskresi kista sering terjadi intermiten. Sejumlah tes serologis amubiasis untuk

mendeteksi tipe dan konsentrasi antibodi juga tersedia. Serologis test untuk amuba hampir

selalu positif pada disentri amuba akut dan amubiasis hati.

Kultur tinja harus segera dilakukan bila dicurigai terdapat Hemolytic Uremic Syndrome,

diare dengan tinja berdarah, bila terdapat lekosit pada tinja, KLB diare dan pada penderita

immunocompromised.

Oleh karena bakteri tertentu seperti : Y. enterocolitica, V. cholerae, V. Parahaemolyticus,

Aeromonas, C. difficile, E. coli 0157: H7 dan Camphylobacter membutuhkan prosedur

laboratorium khusus untuk identifikasinya, perlu diberi catatan pada label apabila ada

salah satu dicurigai sebagai penyebab diare yang terjadi. Deteksi toksin C. difficile sangat

berguna untuk diagnosis antimikrobial kolitis. Proctosigmoidoscopy mungkin membantu

dalam menegakkan diagnosis pada penderita dengan simptom kolitis berat atau penyebab

inflammatory enteritis syndrome tidak jelas setelah dilakukan pemeriksaan laboratorium

pendahuluan.9, 10, 18

Terapi

Departemen Kesehatan mulai melakukan sosialisasi Panduan Tata Laksana Pengobatan

Diare pada balita yang baru didukung oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia, dengan merujuk pada

panduan WHO. Tata laksana ini sudah mulai diterapkan di rumah sakit-rumah sakit. Rehidrasi

bukan satu-satunya strategi dalam penatalaksanaan diare.28,29,30 Memperbaiki kondisi usus dan

menghentikan diare juga menjadi cara untuk mengobati pasien. Untuk itu, Departemen

Kesehatan menetapkan lima pilar penatalaksanaan diare bagi semua kasus diare yang diderita

anak balita baik yang dirawat di rumah maupun sedang dirawat di rumah sakit, yaitu:

1. Rehidrasi dengan menggunakan oralit baru

2. Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut

3. ASI dan makanan tetap diteruskan

4. Antibiotik selektif

5. Nasihat kepada orang tua

Rehidrasi dengan oralit baru, dapat mengurangi rasa mual dan muntah.

Berikan segera bila anak diare, untuk mencegah dan mengatasi dehidrasi. Oralit formula

lama dikembangkan dari kejadian luar biasa diare di Asia Selatan yang terutama

disebabkan karena disentri, yang menyebabkan berkurangnya lebih banyak elektrolit

tubuh, terutama natrium. Sedangkan diare yang lebih banyak terjadi akhir-akhir ini dengan

tingkat sanitasi yang lebih banyak terjadi akhir-akhir ini dengan tingkat sanitasi yang lebih

baik adalah disebabkan oleh karena virus. Diare karena virus tersebut tidak menyebabkan

kekurangan elektrolit seberat pada disentri. Karena itu, para ahli diare mengembangkan

formula baru oralit dengan tingkat osmolarits yang lebih rendah. Osmolaritas larutan baru

lebih mendekati osmolaritas plasma, sehingga kurang menyebabkan risiko terjadinya

hipernatremia.

Oralit baru ini adalah oralit dengan osmolaritas yang rendah. Keamanan oralit ini sama

dengan oralit yang selama ini digunakan, namun efektivitasnya lebih baik daripada oralit

formula lama. Oralit baru dengan low osmolaritas ini juga menurunkan kebutuhan

suplementasi intravena dan mampu mengurangi pengeluaran tinja hingga 20% serta

mengurangi kejadian muntah hingga 30%. Selain itu, oralit baru ini juga telah

direkomendasikan oleh WHO dan UNICEF untuk diare akut non-kolera pada anak.31, 32, 33

Tabel 16.7. Komposisi Oralit Baru

Oralit Baru Osmolaritas Rendah Mmol/liter

Natrium 75

Klorida 65

Glucose, anhydrous 75

Kalium 20

Sitrat 10

Total Osmolaritas 245

Sumber: WHO 200633

Ketentuan pemberian oralit formula baru:

a. Beri ibu 2 bungkus oralit formula baru

b. Larutkan 1 bungkus oralit formula baru dalam 1 liter air matang, untuk persediaan 24

jam.

c. Berikan larutan oralit pada anak setiap kali buang air besar, dengan ketentuan sebagai

berikut:

Untuk anak berumur < 2 tahun : berikan 50-100 ml tiap kali BAB

Untuk anak 2 tahun atau lebih : berikan 100-200 ml tiap BAB

d. Jika dalam waktu 24 jam persediaan larutan oralit masih tersisa, maka sisa larutan

harus dibuang.

Zinc diberikan selama 10 hari berturut-turut.

Zinc mengurangi lama dan beratnya diare. Zinc juga dapat mengembalikan nafsu makan

anak.

Penggunaan zinc ini memang popular beberapa tahun terakhir karena memiliki evidence

based yang bagus. Beberapa penelitian telah membuktikannya. Pemberian zinc yang

dilakukan di awal masa diare selama 10 hari ke depan secara signifikan menurunkan

morbiditas dan mortalitas pasien. Lebih lanjut, ditemukan bahwa pemberian zinc pada

pasien anak penderita kolera dapat menurunkan durasi dan jumlah tinja/cairan yang

dikeluarkan.

Zinc termasuk mironutrien yang mutlak dibutuhkan untuk memelihara kehidupan yang

optimal. Meski dalam jumlah yang sangat kecil, dari segi fisiologis, zinc berperan untuk

pertumbuhan dan pembelahan sel, anti oksidan, perkembangan seksual, kekebalan seluler,

adaptasi gelap, pengecapan, serta nafsu makan. Zinc juga berperan dalam sistem kekebalan

tubuh dan merupakan mediator potensial pertahanan tubuh terhadap infeksi.

Dasar pemikiran penggunaan zinc dalam pengobatan diare akut didasarkan pada efeknya

terhadap fungsi imun atau terhadap struktur dan fungsi saluran cerna dan terhadap proses

perbaikan epitel saluran cerna selama diare. Pemberian zinc pada diare dapat

meningkatkan aborpsi air dan elektrolit oleh usus halus, meningkatkan kecepatan

regenerasi epitel usus, meningkatkan jumlah brush border apical, dan meningkatkan

respon imun yang mempercepat pembersihan patogen dari usus. Pengobatan dengan zinc

cocok diterapkan di negara-negara berkembang seperti Indonesia yang memiliki banyak

masalah terjadinya kekurangan zinc di dalam tubuh karena tingkat kesejahteraan yang

rendah dan daya imunitas yang kurang memadai. Pemberian zinc dapat menurunkan

frekuensi dan volume buang air besar sehingga dapat menurunkan risiko terjadinya

dehidrasi pada anak.

Dosis zinc untuk anak-anak:

Anak di bawah umur 6 bulan : 10 mg (1/2 tablet) per hari

Anak di atas umur 6 bulan : 20 mg (1 tablet) per hari

Zinc diberikan selama 10-14 hari berturut-turut meskipun anak telah sembuh dari diare.

Untuk bayi, tablet zinc dapat dilarutkan dengan air matang, ASI, atau oralit. Untuk anak-anak

yang lebih besar, zinc dapat dikunyah atau dilarutkan dalam air matang atau oralit.34, 35, 36

ASI dan makanan tetap diteruskan sesuai umur anak dengan menu yang sama pada

waktu anak sehat untuk mencegah kehilangan berat badan serta pengganti nutrisi yang

hilang. Pada diare berdarah nafsu makan akan berkurang. Adanya perbaikan nafsu makan

menandakan fase kesembuhan.37

Antibiotik jangan diberikan kecuali ada indikasi misalnya diare berdarah atau kolera.

Pemberian antibiotik yang tidak rasional justru akan memperpanjang lamanya diare karena

akan mengganggu keseimbangan flora usus dan Clostridium difficile yang akan tumbuh

dan menyebabkan diare sulit disembuhkan. Selain itu, pemberian antibiotik yang tidak

rasional akan mempercepat resistensi kuman terhadap antibiotik, serta menambah biaya

pengobatan yang tidak perlu. Pada penelitian multipel ditemukan bahwa telah terjadi

peningkatan resistensi terhadap antibiotik yang sering dipakai seperti ampisilin, tetrasiklin,

kloramfenikol, dan trimetoprim sulfametoksazole dalam 15 tahun ini. Resistensi terhadap

antibiotik terjadi melalui mekanisme berikut: inaktivasi obat melalui degradasi enzimatik

oleh bakteri, perubahan struktur bakteri yang menjadi target antibiotik dan perubahan

permeabilitas membrane terhadap antibiotik.38

Nasihat pada ibu atau pengasuh: Kembali segera jika demam, tinja berdarah,berulang,

makan atau minum sedikit, sangat haus, diare makin sering, atau belum membaik dalam 3

hari.28, 29

Infeksi usus pada umumnya self limited, tetapi terapi non spesifik dapat membantu

penyembuhan pada sebagian pasien dan terapi spesifik, dapat memperpendek lamanya sakit

dan memberantas organisme penyebabnya. Dalam merawat penderita dengan diare dan

dehidrasi terdapat beberapa pertimbangan terapi :

1. Terapi cairan dan elektrolit

2. Terapi diit

3. Terapi non spesifik dengan antidiare

4. Terapi spesifik dengan antimikroba

Walaupun demikian, berdasarkan penelitian epidemiologis di Indonesia dan negara

berkembang lainnya, diketahui bahwa sebagian besar penderita diare biasanya masih dalam

keadaan dehidrasi ringan atau belum dehidrasi. Hanya sebagian kecil dengan dehidrasi lebih

berat dan memerlukan perawatan di sarana kesehatan. Perkiraan secara kasar menunjukkan

dari 1000 kasus diare yang ada di masyarakat, 900 dalam keadaan dehidrasi ringan, 90 dalam

keadaan dehidrasi sedang dan 10 dalam keadaan dehidrasi berat, 1 diantaranya disertai

komplikasi serta penyakit penyerta yang penatalaksanaannya cukup rumit. Berdasarkan data

diatas, sesuai dengan panduan WHO, pengobatan diare akut dapat dilaksanakan secara

sederhana yaitu dengan terapi cairan dan elektrolit per-oral serta melanjutkan pemberian

makanan, sedangkan terapi non spesifik dengan anti diare tidak direkomendasikan dan terapi

antibiotika hanya diberikan bila ada indikasi. Pemberian cairan dan elektrolit secara parenteral

hanya untuk kasus dehidrasi berat.28, 29, 30

1. Pengobatan diare tanpa dehidrasi

TRO (Terapi Rehidrasi Oral)

Penderita diare tanpa dehidrasi harus segera diberi cairan rumah tangga untuk mencegah

dehidrasi, seperti: air tajin, larutan gula garam, kuah sayur-sayuran dan sebagainya.

Pengobatan dapat dilakukan di rumah oleh keluarga penderita. Jumlah cairan yang

diberikan adalah 10 ml/kgBB atau untuk anak usia < 1 tahun adalah 50 – 100 ml, 1 – 5

tahun adalah 100 – 200 ml, 5 – 12 tahun adalah 200 – 300 ml dan dewasa adalah 300 – 400

ml setiap BAB.

Untuk anak dibawah umur 2 tahun cairan harus diberikan dengan sendok dengan cara 1

sendok setiap 1 sampai 2 menit. Pemberian dengan botol tidak boleh dilakukan. Anak yang

lebih besar dapat minum langsung dari cangkir atau gelas dengan tegukan yang sering. Bila

terjadi muntah hentikan dulu selama 10 menit kemudian mulai lagi perlahan-lahan

misalnya 1 sendok setiap 2 – 3 menit. Pemberian cairan ini dilanjutkan sampai dengan diare

berhenti. Selain cairan rumah tangga ASI dan makanan yang biasa dimakan tetap harus

diberikan. Makanan diberikan sedikit-sedikit tetapi sering (lebih kurang 6 kali sehari) serta

rendah serat. Buah-buahan diberikan terutama pisang. Makanan yang merangsang (pedas,

asam, terlalu banyak lemak) jangan diberikan dulu karena dapat menyebabkan diare

bertambah berat. Bila dengan cara pengobatan ini diare tetap berlangsung atau bertambah

hebat dan keadaan anak bertambah berat serta jatuh dalam keadaan dehidrasi ringan-

sedang, obati dengan cara pengobatan dehidrasi ringan – sedang.28, 29, 30

2. Pengobatan diare dehidrasi ringan – sedang :

TRO (Terapi Rehidrasi Oral)

Penderita diare dengan dehidrasi ringan–sedang harus dirawat di sarana kesehatan dan

segera diberikan terapi rehidrasi oral dengan oralit. Jumlah oralit yang diberikan 3 jam

pertama 75 cc/kgBB. Bila berat badannya tidak diketahui, meskipun cara ini kurang tepat,

perkiraan kekurangan cairan dapat ditentukan dengan menggunakan umur penderita, yaitu

: untuk umur < 1 tahun adalah 300 ml, 1 – 5 tahun adalah 600 ml, > 5 tahun adalah 1200

ml dan dewasa adalah 2400 ml. Rentang nilai volume cairan ini adalah perkiraan, volume

yang sesungguhnya diberikan ditentukan dengan menilai rasa haus penderita dan

memantau tanda-tanda dehidrasi.

Bila penderita masih haus dan masih ingin minum harus diberi lagi. Sebaliknya bila dengan

volume diatas kelopak mata menjadi bengkak, pemberian oralit harus dihentikan

sementara dan diberikan minum air putih atau air tawar. Bila oedem kelopak mata sudah

hilang dapat diberikan lagi.

Apabila oleh karena sesuatu hal pemberian oralit tidak dapat diberikan secara per-oral,

oralit dapat diberikan melalui nasogastrik dengan volume yang sama dengan kecepatan 20

ml/kgBB/jam. Setelah 3 jam keadaan penderita dievaluasi, apakah membaik, tetap atau

memburuk. Bila keadaan penderita membaik dan dehidrasi teratasi pengobatan dapat

dilanjutkan dirumah dengan memberikan oralit dan makanan dengan cara seperti pada

pengobatan diare tanpa dehidrasi. Bila memburuk dan penderita jatuh dalam keadaan

dehidrasi berat, penderita tetap dirawat di sarana kesehatan dan pengobatan yang terbaik

adalah pemberian cairan parenteral.28, 29, 30

3. Pengobatan diare dehidrasi berat

TRP (Terapi Rehidrasi Parenteral)

Penderita diare dehidrasi berat harus dirawat di puskesmas atau Rumah Sakit. Pengobatan

yang terbaik adalah dengan terapi rehidrasi parenteral.

Pasien yang masih dapat minum meskipun hanya sedikit harus diberi oralit sampai cairan

infus terpasang. Disamping itu, semua anak harus diberi oralit selama pemberian cairan

intravena ( 5 ml/kgBB/jam), apabila dapat minum dengan baik, biasanya dalam 3 – 4 jam

(untuk bayi) atau 1 – 2 jam (untuk anak yang lebih besar). Pemberian tersebut dilakukan

untuk memberi tambahan basa dan kalium yang mungkin tidak dapat disuplai dengan

cukup dengan pemberian cairan intravena. Untuk rehidrasi parenteral digunakan cairan

Ringer Laktat dengan dosis 100 ml/kgBB. Cara pemberiannya untuk < 1 tahun 1 jam

pertama 30 cc/kgBB, diLanjutkan 5 jam berikutnya 70 cc/kgBB. Diatas 1 tahun ½ jam

pertama 30 cc/kgBB dilanjutkan 2 ½ jam berikutnya 70 cc/kgBB.

Lakukan evaluasi tiap jam. Bila hidrasi tidak membaik, tetesan I.V. dapat dipercepat.

Setelah 6 jam pada bayi atau 3 jam pada anak lebih besar, lakukan evaluasi, pilih

pengobatan selanjutnya yang sesuai yaitu : pengobatan diare dengan dehidrasi ringan

sedang atau pengobatan diare tanpa dehidrasi.28, 29, 30

4. Cairan Rehidrasi Oral (CRO)

Pada tahun 1975 WHO dan Unicef menyetujui untuk mempromosikan CRO tunggal yang

mengandung (dalam mmol/L) Natrium 90, Kalium 20, Chlorida 80, Basa 30 dan Glukosa

111 (2%).

Komposisi ini dipilih untuk memungkinkan satu jenis larutan saja untuk digunakan pada

pengobatan diare yang disebabkan oleh bermacam sebab bahan infeksius yang disertai

dengan berbagai derajat kehilangan elektrolit. Contoh diare Rotavirus berhubungan

dengan kehilangan natrium bersama tinja 30 – 40 mEq/L, ETEC 50 – 60 mEq/L dan V.

cholera > 90 – 120 mEq/L. CRO – WHO (Oralit) telah terbukti selama lebih dari 25 tahun

efektif baik untuk terapi maupun rumatan pada anak dan dewasa dengan semua tipe diare

infeksi.

Walaupun demikian, dari hasil-hasil riset klinik berikutnya, pada metaanalisa mendukung

penggunaan CRO yang osmolaritasnya rendah. CRO dengan osmolaritasnya yang lebih

rendah berkaitan dengan muntah lebih sedikit, keluaran tinja yang lebih sedikit,

berkurangnya pemberian intravena dibandingkan dengan CRO standard, pada bayi dan

anak non kolera.

Pada kolera tidak ada perbedaan klinik antara penderita yang diberi CRO osmolaritas

rendah dengan CRO standard kecuali angka kejadian hiponatremi.

Atas dasar hasil tersebut WHO dan Unicef mengadakan konsultasi tentang penggunaan

CRO dengan osmolaritas lebih rendah untuk digunakan secara global. Pada tahun 2002

WHO mengumumkan CRO formula baru yang sesuai dengan rekomendasi tersebut dengan

75 mEq/L Natrium, 75 mmol/L glucosa dan osmolaritas total 245 mOsm/L. CRO formula

baru ini juga direkomendasikan untuk digunakan pada anak dan dewasa dengan kolera,

meskipun post marketing surveilans sedang dilakukan untuk memastikan keamanan dan

indikasinya.31, 32, 39

5. CRO baru

Resep untuk memperbaiki CRO antara lain menambahkan substrat untuk kotransport

natrium (contoh : asam amino glycine, alanine dan glutamin) atau substitusi glukosa

dengan komplek karbohidrat (CRO berbasis beras atau cereal). Asam amino tidak

menunjukkan lebih efektif dari CRO tradisional dan lebih mahal. CRO berbasis beras dapat

direkomendasikan bila cukup latihan dan penyediaan dirumah dapat dilakukan, dan

mungkin sangat efektif untuk mengobati dehidrasi karena kolera.

Walaupun demikian, kemudahan dan keamanan CRO paket dinegara berkembang dan

secara komersial tersedia CRO dinegara maju, maka CRO standard tetap merupakan

pilihan utama dari sebagian besar klinisi.

Potential aditive pada CRO termasuk mampu melepaskan SCFA (amylase resistent starch

derivat dari jagung) dan partially hydrolized guar gum. Mekanisme kerja yang diharapkan

adalah meningkatkan uptake natrium oleh kolon terikat pada transport SCFA.

Kemungkinan lain dari perbaikan komposisi CRO masa depan adalah penambahan

probiotik, prebiotik, seng dan protein polimer.3, 32, 34,

6. Seng (Zinc)

Defisiensi seng sering didapatkan pada anak-anak di negara berkembang dan dihubungkan

dengan menurunnya fungsi imun dan meningkatnya kejadian penyakit infeksi yang serius.

Seng merupakan mikronutrien komponen berbagai enzim dalam tubuh, yang penting

antara lain untuk sintesis DNA. Pada sistematik review dari 10 RCT yang semuanya

dilakukan di negara berkembang pada tahun 1999 didapatkan bahwa suplementasi seng

dengan dosis minimal setengah dari RDA Amerika Serikat untuk seng, ternyata dapat

menurunkan insiden diare sebanyak 15% dan prevalensi diare sampai 25%, kurang lebih

sama dengan hasil yang dicapai upaya preventive yang lain seperti perbaikan higiene

sanitasi dan pemberian ASI. Sejak tahun 2004, WHO dan UNICEF telah menganjurkan

penggunaan seng pada anak dengan diare dengan dosis 20 mg perhari selama 10 – 14 hari,

dan pada bayi <6 bulan dengan dosis 10 mg perhari selama 10 – 14 hari.40, 41, 42

7. Pemberian makanan selama diare

Pemberian makanan harus diteruskan selama diare dan ditingkatkan setelah sembuh.

Tujuannya adalah memberikan makanan kaya nutrien sebanyak anak mampu menerima.

Sebagian besar anak dengan diare cair, nafsu makannya timbul kembali setelah dehidrasi

teratasi. Meneruskan pemberian makanan akan mempercepat kembalinya fungsi usus yang

normal termasuk kemampuan menerima dan mengabsorbsi berbagai nutrien, sehingga

memburuknya status gizi dapat dicegah atau paling tidak dikurangi. Sebaliknya,

pembatasan makanan akan menyebabkan penurunan berat badan sehingga diare menjadi

lebih lama dan kembalinya fungsi usus akan lebih lama. Makanan yang diberikan pada

anak diare tergantung kepada umur, makanan yang disukai dan pola makan sebelum sakit

serta budaya setempat. Pada umumnya makanan yang tepat untuk anak diare sama dengan

yang dibutuhkan dengan anak sehat. Bayi yang minum ASI harus diteruskan sesering

mungkin dan selama anak mau. Bayi yang tidak minum ASI harus diberi susu yang biasa

diminum paling tidak setiap 3 jam. Pengenceran susu atau penggunaan susu rendah atau

bebas laktosa secara rutin tidak diperlukan. Pemberian susu rendah laktosa atau bebas

laktosa mungkin diperlukan untuk sementara bila pemberian susu menyebabkan diare

timbul kembali atau bertambah hebat sehingga terjadi dehidrasi lagi, atau dibuktikan

dengan pemeriksaan terdapat tinja yang asam (pH < 6) dan terdapat bahan yang mereduksi

dalam tinja > 0,5%,. Setelah diare berhenti, pemberian tetap dilanjutkan selama 2 hari

kemudian coba kembali dengan susu atau formula biasanya diminum secara bertahap

selama 2 – 3 hari.

Bila anak berumur 4 bulan atau lebih dan sudah mendapatkan makanan lunak atau padat,

makanan ini harus diteruskan. Paling tidak 50% dari energi diit harus berasal dari makanan

dan diberikan dalam porsi kecil atau sering (6 kali atau lebih) dan anak dibujuk untuk

makan. Kombinasi susu formula dengan makanan tambahan seperti serealia pada

umumnya dapat ditoleransi dengan baik pada anak yang telah disapih. Pada anak yang

lebih besar, dapat diberikan makanan yang terdiri dari : makanan pokok setempat,

misalnya nasi, kentang, gandum, roti, atau bakmi. Untuk meningkatkan kandungan

energinya dapat ditambahkan 5 – 10 ml minyak nabati untuk setiap 100 ml makanan.

Minyak kelapa sawit sangat bagus dikarenakan kaya akan karoten. Campur makanan pokok

tersebut dengan kacang-kacangan dan sayur-sayuran, serta ditambahkan tahu, tempe,

daging atau ikan. Sari buah segar atau pisang baik untuk menambah kalium. Makanan yang

berlemak atau makanan yang mengandung banyak gula seperti sari buah manis yang

diperdagangkan, minuman ringan, sebaiknya dihindari.43, 44, 45

8. Pemberian makanan setelah diare

Meskipun anak diberi makanan sebanyak dia mau selama diare, beberapa kegagalan

pertumbuhan mungkin dapat terjadi terutama bila terjadi anoreksia hebat. Oleh karena itu

perlu pemberian ekstra makanan yang kaya akan zat gizi beberapa minggu setelah sembuh

untuk memperbaiki kurang gizi dan untuk mencapai serta mempertahankan pertumbuhan

yang normal. Berikan ekstra makanan pada saat anak merasa lapar, pada keadaan semacam

ini biasanya anak dapat menghabiskan tambahan 50% atau lebih kalori dari biasanya.4, 43

9. Terapi medikamentosa29, 30, 38

Berbagai macam obat telah digunakan untuk pengobatan diare seperti: antibiotika,

antidiare, adsorben, antiemetik dan obat yang mempengaruhi mikroflora usus. Beberapa

obat mempunyai lebih dari satu mekanisme kerja, banyak diantaranya mempunyai efek

toksik sistemik dan sebagian besar tidak direkomendasikan untuk anak umur kurang dari 2

– 3 tahun. Secara umum dikatakan bahwa obat-obat tersebut tidak diperlukan untuk

pengobatan diare akut.

Antibiotik

Antibiotika pada umumnya tidak diperlukan pada semua diare akut oleh karena sebagian

besar diare infeksi adalah rotavirus yang sifatnya self limited dan tidak dapat dibunuh

dengan antibiotika.

Hanya sebagian kecil (10 – 20%) yang disebabkan oleh bakteri patogen seperti V. cholera,

Shigella, Enterotoksigenik E. coli, Salmonella, Camphylobacter dan sebagainya.

Tabel 16.8. Antibiotik pada diare

Penyebab Antibiotik Pilihan Alternatif

Kolera Tetracycline

12,5 mg/kgBB

4x sehari selama 3 hari

Erythromycin

12,5 mg/kgBB

4x sehari selama 3 hari

Shigella

dysentery

Ciprofloxacin

15 mg/kgBB

2x sehari selama 3 hari

Pivmecillinam

20 mg/kgBB

4x sehari selama 5 hari

Ceftriaxone

50-100 mg/kgBB

1x sehari IM selama 2-5

hari

Amoebiasis

Metronidazole

10 mg/kgBB

3x sehari selama 5 hari (10 hari pada kasus

berat)

Giardiasis

Metronidazole

5 mg/kg

3x sehari selama 5 hari

Sumber : WHO 200633

Obat antidiare

Obat-obat ini meskipun sering digunakan tidak mempunyai keuntungan praktis dan tidak

diindikasikan untuk pengobatan diare akut pada anak. Beberapa dari obat-obat ini

berbahaya. Produk yang termasuk dalam kategori ini adalah :

Adsorben

(Contoh: kaolin, attapulgite, smectite, activated charcoal, cholestyramine). Obat-obat ini

dipromosikan untuk pengobatan diare atas dasar kemampuannya untuk mengikat dan

menginaktifasi toksin bakteri atau bahan lain yang menyebabkan diare serta dikatakan

mempunyai kemampuan melindungi mukosa usus. Walaupun demikian, tidak ada bukti

keuntungan praktis dari penggunaan obat ini untuk pengobatan rutin diare akut pada

anak.

Antimotilitas

(Contoh: loperamide hydrochloride, diphenoxylate dengan atropine, tinctura opii,

paregoric, codein). Obat-obatan ini dapat mengurangi frekuensi diare pada orang dewasa

akan tetapi tidak mengurangi volume tinja pada anak. Lebih dari itu dapat menyebabkan

ileus paralitik yang berat yang dapat fatal atau dapat memperpanjang infeksi dengan

memperlambat eliminasi dari organisme penyebab. Dapat terjadi efek sedatif pada dosis

normal. Tidak satu pun dari obat-obatan ini boleh diberikan pada bayi dan anak dengan

diare.

Bismuth subsalicylate

Bila diberikan setiap 4 jam dilaporkan dapat mengurangi keluaran tinja pada anak dengan

diare akut sebanyak 30% akan tetapi, cara ini jarang digunakan.

Kombinasi obat

Banyak produk kombinasi adsorben, antimikroba, antimotilitas atau bahan lain. Produsen

obat mengatakan bahwa formulasi ini baik untuk digunakan pada berbagai macam diare.

Kombinasi obat semacam ini tidak rasional, mahal dan lebih banyak efek samping daripada

bila obat ini digunakan sendiri-sendiri. Oleh karena itu tidak ada tempat untuk

menggunakan obat ini pada anak dengan diare.

Obat-obat lain :

Anti muntah.

Termasuk obat ini seperti prochlorperazine dan chlorpromazine yang dapat

menyebabkan mengantuk sehingga mengganggu pemberian terapi rehidrasi oral. Oleh

karena itu obat anti muntah tidak digunakan pada anak dengan diare, muntah karena

biasanya berhenti bila penderita telah terehidrasi.

Cardiac stimulan

Renjatan pada diare akut disebabkan oleh karena dehidrasi dan hipovolemi. Pengobatan

yang tepat adalah pemberian cairan parenteral dengan elektrolit yang seimbang.

Penggunaan cardiac stimulan dan obat vasoaktif seperti adrenalin, nicotinamide, tidak

pernah diindikasikan.

Darah atau plasma

Darah, plasma atau plasma expander tidak diindikasikan untuk anak dengan dehidrasi

oleh karena diare. Yang dibutuhkan adalah penggantian dari kehilangan air dan

elektrolit. Walaupun demikian, terapi rehidrasi tersebut dapat diberikan untuk

penderita dengan hipovolemia oleh karena renjatan septik.

Steroid

Tidak memberikan keuntungan dan tidak diindikasikan.

Komplikasi1,3,12,46

Beberapa masalah mungkin terjadi selama pengobatan rehidrasi. Beberapa diataranya

membutuhkan pengobatan khusus.

Gangguan Elektrolit

Hipernatremia

Penderita diare dengan natrium plasma > 150 mmol/L memerlukan pemantauan berkala

yang ketat. Tujuannya adalah menurunkan kadar natrium secara perlahan-lahan.

Penurunan kadar natrium plasma yang cepat sangat berbahaya oleh karena dapat

menimbulkan edema otak. Rehidrasi oral atau nasogastrik menggunakan oralit adalah cara

terbaik dan paling aman.

Koreksi dengan rehidrasi intravena dapat dilakukan menggunakan cairan 0,45% saline –

5% dextrose selama 8 jam. Hitung kebutuhan cairan menggunakan berat badan tanpa

koreksi. Periksa kadar natrium plasma setelah 8 jam. Bila normal lanjutkan dengan

rumatan, bila sebaliknya lanjutkan 8 jam lagi dan periksa kembali natrium plasma setelah 8

jam. Untuk rumatan gunakan 0,18% saline - 5% dektrosa, perhitungkan untuk 24 jam.

Tambahkan 10 mmol KCl pada setiap 500 ml cairan infus setelah pasien dapat kencing.

Selanjutnya pemberian diet normal dapat mulai diberikan. Lanjutkan pemberian oralit 10

ml/kgBB/setiap BAB, sampai diare berhenti.

Hiponatremia

Anak dengan diare yang hanya minum air putih atau cairan yang hanya mengandung

sedikit garam, dapat terjadi hiponatremi (Na< 130 mol/L). Hiponatremi sering terjadi pada

anak dengan Shigellosis dan pada anak malnutrisi berat dengan oedema. Oralit aman dan

efektif untuk terapi dari hampir semua anak dengan hiponatremi. Bila tidak berhasil,

koreksi Na dilakukan bersamaan dengan koreksi cairan rehidrasi yaitu : memakai Ringer

Laktat atau Normal Saline. Kadar Na koreksi (mEq/L) = 125 – kadar Na serum yang

diperiksa dikalikan 0,6 dan dikalikan berat badan. Separuh diberikan dalam 8 jam, sisanya

diberikan dalam 16 jam. Peningkatan serum Na tidak boleh melebihi 2 mEq/L/jam.

Hiperkalemia

Disebut hiperkalemia jika K > 5 mEq/L, koreksi dilakukan dengan pemberian kalsium

glukonas 10% 0,5 – 1 ml/kgBB i.v. pelan-pelan dalam 5 – 10 menit dengan monitor detak

jantung.

Hipokalemia

Dikatakan hipokalemia bila K < 3.5 mEq/L, koreksi dilakukan menurut kadar K : jika

kalium 2,5 – 3,5 mEq/L diberikan per-oral 75 mcg/kgBB/hr dibagi 3 dosis. Bila < 2,5

mEq/L maka diberikan secara intravena drip (tidak boleh bolus) diberikan dalam 4 jam.

Dosisnya: (3,5 – kadar K terukur x BB x 0,4 + 2 mEq/kgBB/24 jam) diberikan dalam 4 jam,

kemudian 20 jam berikutnya adalah (3,5 – kadar K terukur x BB x 0,4 + 1/6 x 2 mEq x BB).

Hipokalemi dapat menyebabkan kelemahan otot, paralitik ileus, gangguan fungsi ginjal dan

aritmia jantung. Hipokalemi dapat dicegah dan kekurangan kalium dapat dikoreksi dengan

menggunakan oralit dan memberikan makanan yang kaya kalium selama diare dan sesudah

diare berhenti.

Kegagalan Upaya Rehidrasi Oral

Kegagalan upaya rehidrasi oral dapat terjadi pada keadaan tertentu misalnya pengeluaran

tinja cair yang sering dengan volume yang banyak, muntah yang menetap, tidak dapat minum,

kembung dan ileus paralitik, serta malabsorbsi glukosa. Pada keadaan-keadaan tersebut

mungkin penderita harus diberikan cairan intravena.25, 30

Kejang

Pada anak yang mengalami dehidrasi, walaupun tidak selalu, dapat terjadi kejang sebelum

atau selama pengobatan rehidrasi. Kejang tersebut dapat disebabkan oleh karena :

hipoglikemi, kebanyakan terjadi pada bayi atau anak yang gizinya buruk, hiperpireksia,

kejang terjadi bila panas tinggi, misalnya melebihi 400C, hipernatremi atau hiponatremi.

Pencegahan

Upaya pencegahan diare dapat dilakukan dengan cara:

1. Mencegah penyebaran kuman patogen penyebab diare.

Kuman-kuman patogen penyebab diare umumnya disebarkan secara fekal - oral.

Pemutusan penyebaran kuman penyebab diare perlu difokuskan pada cara penyebaran ini.

Upaya pencegahan diare yang terbukti efektif meliputi:

a. Pemberian ASI yang benar.

b. Memperbaiki penyiapan dan penyimpanan makanan pendamping ASI.

c. Penggunaan air bersih yang cukup.

d. Membudayakan kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sehabis buang air besar dan

sebelum makan.

e. Penggunaan jamban yang bersih dan higienis oleh seluruh anggota keluarga.

f. Membuang tinja bayi yang benar.

2. Memperbaiki daya tahan tubuh pejamu ( host ).

Cara-cara yang dapat dilakukan untuk meningkatkan daya tahan tubuh anak dan dapat

mengurangi resiko diare antara lain:

a. Memberi ASI paling tidak sampai usia 2 th.

b. Meningkatkan nilai gizi makanan pendamping ASI dan memberi makan dalam jumlah

yang cukup untuk memperbaiki status gizi anak.

c. Imunisasi campak.

Akhir-akhir ini banyak diteliti tentang peranan probiotik, prebiotik dan seng dalam

pencegahan diare.47

Probiotik

Probiotik diberi batas sebagai mikroorganisme hidup dalam makanan yang difermentasi

yang menunjang kesehatan melalui terciptanya keseimbangan mikroflora intestinal yang lebih

baik. Pencegahan diare dapat dilakukan dengan pemberian probiotik dalam waktu yang

panjang terutama untuk bayi yang tidak minum ASI. Pada sistematik review yang dilakukan

Komisi Nutrisi ESPGHAN (Eropean Society of Gastreoenterology Hepatology and Nutrition)

pada tahun 2004, didapatkan laporan-laporan yang berkaitan dengan peran probiotik untuk

pencegahan diare. Saavedra dkk tahun 1994, melaporkan pada penelitiannya bahwa susu

formula yang disuplementasi dengan Bifidobacterium lactis dan Streptococcus thermophilus

bila diberikan pada bayi dan anak usia 5 - 24 bulan yang dirawat di Rumah Sakit dapat

menurunkan angka kejadian diare dari 31% menjadi 7%, infeksi rotavirus juga berkurang dari

39% pada kelompok placebo menjadi 10 % pada kelompok probiotik. Penelitian Phuapradit P.

dkk di Thailand pada tahun 1999 menunjukan bahwa bayi yang minum susu formula yang

mengandung probiotik Bifidobacterium Bb 12 dan Streptococcus thermophylus lebih jarang

menderita diare oleh karena infeksi rotavirus.

Oberhelman RA dkk tahun 2002 melaporkan penggunaan Lactobacillus GG di Peru pada

komunitas dengan resiko tinggi diare dapat menurunkan episode diare terutama pada anak-

anak usia 18 – 29 bulan dibandingkan dengan placebo (4,7 v 5,9 episod/anak/thn dengan p =

0,0005), akan tetapi penelitian yang sama di Finlandia tahun 2001 tidak menemukan adanya

efek proteksi pada konsumsi jangka lama susu formula yang disuplementasi dengan probiotik.

D’Souza dkk tahun 2002 melaporkan bahwa probiotik jika diberikan bersama-sama

dengan antibiotika mengurangi resiko”Antibiotic Associated Diaorrhea”.

Kemungkinan mekanisme efek probiotik dalam pencegahan diare melalui: perubahan

lingkungan mikro lumen usus (pH, oksigen), produksi bahan anti mikroba terhadap beberapa

patogen usus, kompetisi nutrien, mencegah adhesi kuman patogen pada enterosit, modifikasi

toksin atau reseptor toksin efek trofik terhadap mukosa usus melalui penyediaan nutrien dan

imunomodulasi.

Disimpulkan bahwa beberapa probiotik potential mempunyai efek protektif terhadap

diare, tetapi masih diperlukan penelitian dan evaluasi lebih lanjut termasuk efektifitas dan

keamanannya, walaupun sejauh ini penggunaan probiotik pada percobaan klinis dikatakan

aman.

Surveilans diperlukan untuk mencari kemungkinan efek samping seperti infeksi pada

kelompok resiko tinggi antara lain bayi prematur dan pasien immuno compromised.48, 49

Prebiotik

Prebiotik bukan merupakan mikroorganisme akan tetapi bahan makanan. Umumnya

kompleks karbohidrat yang bila dikonsumsi dapat merangsang pertumbuhan flora intestinal

yang menguntungkan kesehatan.

Oligosacharida yang ada didalam ASI dianggap sebagai prototipe prebiotik oleh karena

dapat merangsang pertumbuhan Lactobacilli dan Bifidobacteria didalam kolon bayi yang

minum ASI. Data menunjukan angka kejadian diare akut lebih rendah pada bayi yang minum

ASI. Tetapi pada dua penelitian RCT di Peru th. 2003, bayi-bayi dikomunitas yang diberi cereal

yang disuplementasi dengan Fruktooligosakarida ( FOS ) tidak menunjukan penurunan angka

kejadian diare. Penemuan lain yang dilakukan di Yogyakarta pada tahun 1998, suatu penelitian

RCT yang melibatkan 124 penderita diare dengan tanpa melihat penyebabnya menunjukkan

adanya perbedaan bermakna lamanya diare, dimana pada penderita yang mendapat FOS lebih

pendek masa diarenya dibanding placebo48.

Rekomendasi penggunaannya untuk aspek pencegahan diare akut masih perlu

menunggu penelitian-penelitian selanjutnya. 49,50

Daftar Pustaka

1. Dit. Jen PPM, PLP Dep. Kes. RI. PMPD. Buku Ajar Diare. 1996. 2. Parashar UD, Hummelman EG, Breese JS, Miller MA, Glass RI. Global illnes and death caused by rotavirus

disease in children. Emerging Infection Disease. 2006; 9:565-572.

3. Pickering LK, Snyder JD. Gastroenteritis in Behrman, Kliegman, Jenson eds. Nelson Textbook of Pediatrics 17 ed. Saunders. 2004 :1272-6.

4. Widayana IW, Gandi. Konsistensi pelaksanaan program serta morbiditas dan mortalitas diare di era otonomi

dan krisis. Kumpulan makalah Kongres Nasional II BKGAI Bandung. 2003: 45-54. 5. Firmansyah A. Pengaruh malnutrisi terhadap saluran cerna tikus putih: penelitian khusus pada perkembangan

morfologid, biokimiawi, dan fisiologis terutama kolon. Disertasi. 1992;13-20.

6. Rhoads JM, Powell DW. Diarrhea. Dalam: Walker WA, Durie PR, Hamilton JR, Smith JA eds. Pediatric gastrointestinal disease and pathophysiology, diagnosis and management. BC Decker Inc. 1991: 65-73.

7. Soeparto P, Djupri LS, Sudarmo SM, Ranuh IRG. Diare. Dalam: Soeparto P, Djupri LS, Sudarmo SM, Ranuh

IRG eds. Gangguan absorbsi-sekresi sindroma diare. Graha masyarakat ilmiah kedokteran FK Unair. 1999:1-36.

8. Sunoto, Sutoto, Soeparto P, Soenarto Y, Ismail R. Pedoman Proses Belajar Mengajar Diare, Departemen

Kesehatan Republik Indonesia. Direktorat Jendral Pemberantasan Penyakit Menular. 1990.

9. Hoekstra JH. Acute Gastroenteritis in industriliazed countries : compliance with guidelines for treatment. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2001; 33:531-5.

10. Suparto P. Sumbangan dan peran kaum profesional dalam mendukung program penyakit saluran cerna di era

otonomi.Kumpulan makalah Kongres Nasional II BKGAI Bandung. 2003: 17-27. 11. Tolia V. Acute infections diarrhea in children. Current treatment option in infections diseases. 2002; 4:183-94.

12. Vanderhoof JA. Diarrhe. Dalam: Wyllie R, Hyams JS eds. Pediatric gastrointestinal disease pathophysiology,

diagnosis and management. WB Saunders Co. 1993:187-95. 13. Pickering LK, Cleary TG. Approach to patients with gastrointestinal tract infection and food poisoning in Feigin

RD. Cherry JC eds. Textbook of Pediatric infectious diseases 4 Ed WB Saunders Co. 1998; 1:567-94.

14. Breese J, Fang, Wang BLE, Soenarto Y, Nelson EA, Tam J, Wilopo SA, Kilgore P. First report from the asian rotavirus survaillance network. Emerg Infect Dis. 2004; 10(6): 988-955.

15. Field M. Intestinal ion transport and the pathophysiology of diarrhea. Didapat dari: http://www.jci.orig.

16. Soenarto, Y. Rotavirus Disease Burden in Indonesia. Grand Round: Melbourne. 2007. 17. Sunoto. Penyakit radang usus: infeksi. Dalam: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Balai Penerbit FKUI. 1991;

I:448-66.

18. Rahmat H. Kebijakan Nasional pemberantasan penyakit menular langsung dan oralit formula baru. Kumpulan makalah Kongres Nasional II BKGAI Bandung. 2003: 91-7.

19. Antonsun DL. Anatomy and physiology of the small and large intestine. Dalam: Wyllie R, Hyams JS eds.

Pediatric gastrointestinal disease pathophysiology, diagnosis and management. WB Saunders Co. 1993: 479-91. 20. Berkes J, Viswanathan VK, Savkovic SD, Hecht G. Intestinal ephitel to enteric pathogens: effects on tight

junction barrier, ion transport, and inflammation. Didapat dari: http://gut.bmjjournals.com/

21. Burke V. Mechanisms of intestinal digestion and absorption. Dalam: Gracey M, Burke V eds. Gastroenterology and hepatology 3rd. Blackwell scientific publication Inc. 1993:150-6.

22. Desjeux JF. Transport water and ions. Dalam: Walker WA, Durie PR, Hamilton JR, Smith JA eds. Pediatric

gastrointestinal disease and pathophysiology, diagnosis and management. BC Decker Inc. 1991: 312-18. 23. Guyton AC, Hall JE. Transport ion dan molekul melalui sel. Dalam: Guyton AC, Hall JE eds. Buku ajar fisiologi

kedokteran. EGC. 1997: 55-69.

24. Lake AM. Anatomy and physiology of stomatch. Dalam: Wyllie R, Hyams JS eds. Pediatric gastrointestinal disease pathophysiology, diagnosis and management. WB Saunders Co. 1993: 405-11.

25. Weaver LT. Anatomy and embryology. Dalam: Walker WA, Durie PR, Hamilton JR, Smith JA eds. Pediatric

gastrointestinal disease and pathophysiology, diagnosis and management. BC Decker Inc. 1991: 405-11.

26. Brueton MJ. Immunology of the gastrointestinal tract. Dalam: Gracey M, Burke V eds. Gastroenterology and

hepatology 3rd. Blackwell scientific publication Inc. 1993: 224-32.

27. Reaksi hipersensitivitas. Dalam: Baratawidjaya KG ed. Imunologi Dasar. BPFKUI, 2002;135-49. 28. American academy of pediatric. The management of acute gastroenteritis in young children. Pediatrics. 1996;

97: 1-20.

29. Duggan C, Santosham M, Glass RI. The management of acute diarrhea in children : oral rehydration, maintenance and nutritional therapy. MMWR. 1992; 41 (RR-16) : 1-20.

30. King CK, Glass R, Bresee JS, Duggan C. Managing acute gastroenteritis among child ; oral rehydration,

maintenance and nutritional therapy. MMWR. 2003; 52 (RR16): 1-16. 31. Guarino A et al. Oral rehydration toward a real solution. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2001 ; 33 : 2 – 12.

32. Hans S et al. Reduced osmolarity oral rehydration solution for treating dehydration due to diarrhea in children :

systematic review. BMJ. 2001; 325: 81-5. 33. WHO, UNICEF. Oral Rehydration Salt Production of the new ORS. Geneva. 2006.

34. Altaf Waseef MD. Zinc Supplementaion in Oral Rehydration Solution : Experimental Assesment and

Mechanisms of Action. Journal of the American College of Nutrition. Orlando. 2001. 35. Baqui AH et al. Effect of zinc supplementation started during diarrhea on morbidity and mortality in

Bangladeshi children : Community randomized trial. BMJ. 2002; 325:1-7.

36. Lukacik M., Ronald L. Thomas., Jacob V. Aranda. A Meta-Analysis of the effect of Oral Zinc in the Treatment of Acute and Persistent Diarrhea. 2007.

37. Sandhu BK. Practical guidelines for the management of gastroenteritis in children. J Pediatr Gastroenterol Nutr.

2001; 33: 36-9. 38. Dwiprahasto, I. Penggunaan Antidiare ditinjau dari Aspek Terapi Rasional. Jurnal Manajemen Pelayanan

Kesehatan. 2003; 9(2): 94-101.

39. Duggan C et al. Oral rehydration solution for acute diarrhea prevents subsequent unscheduled follow up visits.

Pediatrics. 1999; 104 (3): 29-33.

40. Bao Bin. Zinc Modulates mRNA levels of cytokines. Am J Physiol Endocrinol Metab. Michigan. 2003.

41. Sazawal S et al. Zinc supplementation in young children with acute diarrhea in India. N Engl J Med. 1995; 333: 839-44.

42. Yamey G. Zinc supplementation prevents diarrhea and pneumonia. BMJ 1999 : 1521 – 3.

43. Brown KH and Mac Lean W.C. Nutritional management of acute diarrhea : an appraisal of the alternatives. Pediatrics. 1984; 73: 2: 119-125.

44. Sandhu BK. Rationale for early feeding in childhood gastroenteritis. J Pediatr Gastroenterol Nutr. 2001; 33: 13-

6. 45. WHO. The treatment of diarrhea : a manual for physicians and other senior health workers Child Health /

WHO. CDR 95 (1995).

46. WHO. Hospital Care for Children. Geneva. 2005. 47. Kandun IN. Upaya pencegahan diare ditinjau dari aspek kesehatan masyarakat.

48. Juffrie M, et al. The effect of fructooligosaccharide (FOS) in children with diarrhea. J of the Medical

Sciences.2007;39:47-53. 49. Agostoni C et al. Medical position paper. Probiotic bacteria in dietetic product for infants : A commentary by

ESPGHAN committee on nutrition. J Pediatr Gastroenerol Nutr 2004 : 38 : 365 – 74.

50. Szajewska H and Mrukowics JZ. Probiotic in the treatment and prevention of acute infectious diarrhea in infants and children : A systematic review of published randomized, double blind, placebo controlled trials. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2001 ; 33 : 17 – 25.