Diaper Rash Fix-1

18
DIAPER RASH A. Definisi Diaper rash (napkin dermatitis) menunjukkan adanya erupsi inflamasi kulit pada area popok. Erupsi seperti ini mempunyai banyak penyebab, sehingga istilah diaper rash sebaiknya dihindari dan hanya dipakai untuk pengertian yang lebih umum. Istilah dermatitis popok iritan primer lebih tepat dipakai pada keadaan dimana erupsi yang terjadi akibat kontak iritan, meskipun etiologi belum diketahui pasti. (1) B. Epidemiologi Diaper rash adalah salah satu gangguan kulit yang paling umum pada masa anak-anak, tercatat hampir 1 juta anak berobat jalan tiap tahunnya. Dalam suatu survei pada 1.089 bayi, 50% di antaranya mengalami diaper rash, namun hanya 5% yang memiliki ruam parah. Puncak kejadian diaper rash yaitu antara usia 9 sampai 12 bulan. Hubungan antara usia dan frekuensi diaper rash dapat disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk perubahan pola makan dari ASI ke susu formula dan makanan padat selama 12 bulan pertama kehidupan. Bayi yang diberi ASI lebih jarang mengalami diaper rash 1

Transcript of Diaper Rash Fix-1

DIAPER RASH

A. Definisi

Diaper rash (napkin dermatitis) menunjukkan adanya erupsi inflamasi

kulit pada area popok. Erupsi seperti ini mempunyai banyak penyebab, sehingga

istilah diaper rash sebaiknya dihindari dan hanya dipakai untuk pengertian yang

lebih umum. Istilah dermatitis popok iritan primer lebih tepat dipakai pada

keadaan dimana erupsi yang terjadi akibat kontak iritan, meskipun etiologi belum

diketahui pasti.(1)

B. Epidemiologi

Diaper rash adalah salah satu gangguan kulit yang paling umum pada

masa anak-anak, tercatat hampir 1 juta anak berobat jalan tiap tahunnya. Dalam

suatu survei pada 1.089 bayi, 50% di antaranya mengalami diaper rash, namun

hanya 5% yang memiliki ruam parah. Puncak kejadian diaper rash yaitu antara

usia 9 sampai 12 bulan. Hubungan antara usia dan frekuensi diaper rash dapat

disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk perubahan pola makan dari ASI ke

susu formula dan makanan padat selama 12 bulan pertama kehidupan. Bayi yang

diberi ASI lebih jarang mengalami diaper rash daripada bayi yang diberi susu

formula. ASI mengandung sel darah putih yang aktif melawan infeksi dan bahan

kimia alami yang sekaligus memberikan peningkatan perlindungan terhadap

infeksi pada bulan-bulan pertama. Insidensi diaper rash 3 sampai 4 kali lebih

tinggi pada bayi yang mengalami diare.(2)

Frekuensi dan tingkat keparahan diaper rash lebih rendah jika jumlah

rata-rata penggantian popok per hari sebanyak delapan kali atau lebih, terlepas

dari jenis popok yang digunakan. Bayi yang menggunakan popok sekali pakai

yang superabsorbent memiliki frekuensi dan tingkat keparahan ruam popok yang

jauh lebih rendah bila dibandingkan dengan bayi yang menggunakan popok kain.(2)

1

Pada populasi di inggris dilaporkan 25% bayi mengalami diaper rash

selama 4 minggu pertama kehidupan. Pada penelitian lain menunjukan 52% anak

mulai dari masa bayi hingga usia <24 bulan dapat mengalami diaper rash.

Meskipun jarang menimbulkan efek samping yang dapat mengancam kehidupan,

namun diaper rash dapat menyebabkan perasaan tidak nyaman pada anak-anak.(3)

C. Etiologi

Penyebab dermatitis popok adalah multifaktorial. Faktor-faktor

pemicunya adalah kelembaban yang berkepanjangan, urin dan feses. Hal ini dapat

membuat kulit mudah rusak akibat gesekan, menurunkan fungsi sawar, dan

membuat kulit menjadi mudah terkena iritasi. (1)

Faktor-faktor berikut perlu dipertimbangkan sebagai etiologi dermatitis

popok iritan primer. (1)

1. Maserasi oleh air.

Stratum korneum yang berfungsi sebagai sawar air pada epidermis yang

mengandung sel-sel yang terus diperbarui selama 12-24 hari. Sifat matriks

ekstraselular yang hidrofobik berfungsi sebagai sawar air, mencegah

hilangnya air dari tubuh, dan masuknya air serta zat hidrofilik lainnya.

Sedangkan sel hidrofilik dari stratum korneum ('corneocytes') memberikan

perlindungan mekanik dari lingkungan eksternal dalam bentuk lapisan lilin.(1)

Kelembaban yang berlebihan memiliki beberapa efek pada stratum

korneum. Kelembaban membuat permukaan kulit menjadi lebih rapuh

sehingga kulit lebih sensitif terhadap kerusakan akibat gesekan. Selain itu,

juga dapat mengganggu fungsi sawar protektif sehingga zat iritan dan

mikroorganisme mudah masuk ke lapisan kulit yang lebih dalam. (1)

Oklusi kulit yang berkepanjangan dapat menimbulkan eritema jika air

terpapar dengan permukaan kulit secara terus-menerus. Ada pendapat bahwa

hanya dengan kontak yang berkepanjangan dengan air dapat memicu

timbulnya dermatitis. (1)

2

2. Gesekan

Gesekan antara kulit dan bahan dari popok juga menjadi faktor penting

dalam banyak kasus. Daerah predileksi terjadinya erupsi yaitu area inguinal,

alat kelamin, bokong dan pinggang. Kulit yang kering lebih rentan terhadap

gesekan, sehingga dapat meningkatkan efek dari trauma mekanis. Gesekan

akan mampu menembus stratum korneum dan memungkinkan terjadinya

maserasi. (1)

3. Urin

Salah satu penyebab terjadinya dermatitis popok iritan primer yaitu

amonia, yang dihasilkan dari degradasi urea bakteri dalam urin. (1)

4. Feses

Telah diketahui selama bertahun-tahun bahwa feses memiliki efek iritasi

pada kulit. Feses bayi mengandung sejumlah besar enzim protease dan lipase

yang diproduksi dalam usus oleh berbagai bakteri. Enzim-enzim ini

merupakan faktor iritasi kulit yang penting. Efek iritasi enzim tersebut dapat

meningkat oleh banyak faktor, terutama gangguan fungsi sawar dan pH yang

tinggi. Salah satu faktor yang telah terbukti mempengaruhi pH feses adalah

pola makan bayi. PH feses lebih tinggi pada bayi yang diberi susu formula. (1)

D. Patogenesis

Pada awal 1900-an, amonia dianggap sebagai agen penyebab diaper rash.

Diaper rash terjadi akibat adanya amonia bebas yang dihasilkan oleh bakteri

Brevi bacterium ammoniagenes, sehingga diaper rash disebut juga dermatitis

amonia. Teori yang menyatakan amonia sebagai penyebab diaper rash bertahan

hingga tahun 1980-an. Penelitian lain menunjukkan bahwa urin yang bercampur

dengan tinja yang mengandung urease dapat meningkatkan pH pada area popok.

Peningkatan pH ini terjadi karena adanya amonia yang meningkatkan aktivasi

enzim feses lainnya, yaitu lipase dan protease. Popok yang lembab dapat

meningkatkan kelembaban kulit dan meningkatkan kerentanan terhadap abrasi.

3

Infeksi sekunder oleh Candida albicans dapat terjadi dan akan menimbulkan lesi

satelit yang eritema atau pustul pada daerah perifer.(2)

Terdapat beberapa mekanisme dari berbagai keadaan popok yang

mempengaruhi struktur sawar kulit. Lingkungan yang lembab menyebabkan

overhidrasi stratum korneum. Hal ini akan menyebabkan gangguan struktur

membran lipid bilayer. Jika integritas stratum korneum rusak, terjadi penetrasi

zat-zat iritan dan mikroorganisme.(2),(6)

E. Diagnosis

Bentuk yang paling umum dari diaper dermatitis adalah eritema pada

permukaan kulit. Terjadi pada daerah yang kontak dengan popok, yaitu bokong,

alat kelamin, perut bagian bawah, daerah kemaluan, dan paha atas. Bagian-bagian

yang lebih dalam dari lipatan inguinal jarang terkena. Pola khas lain yang baru-

baru ini diketahui adalah erosi yang terlokalisir di lateral paha atas dan bokong,

permukaan kulit dalam kontak terdekat dengan popok basah atau kotor.(1)

Bokong, genitalia, perut bagian bawah, dan atas paha biasanya yang paling parah

terkena dampak, paling sering unilateral, namun tidak jarang bilateral, dalam

posisi yang sesuai ke daerah-daerah di mana kontak langsung dapat terjadi dengan

perekat yang kuat pada popok. Biasanya distribusi lesi juga tergantung pada

posisi di mana bayi diperbolehkan untuk berbaring. Pada bentuk paling ringan

hanya ada eritema, tetapi dengan meningkatnya keparahan, papula, vesikel, erosi

kecil, dan ulkus lebih besar dapat terjadi. Pada bentuk kronis, skuama dapat

disertai eritema. Skuama biasanya tampak mencolok, terutama dalam tahap

penyembuhan. Pada kasus yang parah, dapat erosi superfisial atau bahkan

ulserasi.(4)

4

Gambar 1. Dermatitis popok iritan primer(1)

Pada beberapa bayi, erosi terbatas pada batas daerah yang tertutup popok

dan kadang peradangan dapat terlihat pada tepi popok akibat kontak kulit yang

lama dengan bagian tepi popok. Gambaran dapat berupa eritema, lembab, dan

kadang muncul plak berskuama pada daerah genital dan bokonga. Pada reaksi

akut, eritema dapat disertai pengelupasan kulit sedikit demi sedikit. Skuama yang

lebih halus lebih sering muncul pada kasus lama. Kadang-kadang, bentuk erosi

diaper rash dapat disertai vesikel kecil, dan erosi dapat berkembang menjadi

lebih karakteristik, dangkal, bulat, ulkus dengan tepi yang menonjol (Jacquet

dermatitis). Pada bayi laki-laki dapat terjadi iritasi dan krusta di ujung penis.

Pada bayi laki-laki dan perempuan, keterlibatan alat kelamin dapat menyebabkan

disuria. Jika mengenai glans penis, bayi laki-laki dapat mengalami retensi urin

akut. (1)

F. Diagnosis Banding

Infantile seborrhoeic dermatitis

Biasanya erupsi pertama kali terjadi pada usia 2 minggu sampai 6 bulan,

Infantile seborrhoeic dermatitis ditandai dengan eritema sirkumskrip dan

skuama, dan dapat pula disertai vesikel. Daerah distribusinya mencakup

area popok, termasuk pangkal paha. Adanya eritem pada kulit kepala

5

(cradle cap), wajah, aksila, retroaurikuler, dan leher dapat dijadikan

petunjuk untuk diagnosis. Dapat pula ditemukan krusta kekuningan.

Kondisi ini yang biasanya dapat membedakan dengan diaper dermatitis

dan kandidiasis (yang biasanya berbentuk pustular). (5)

Gambar 2. Infantile seborrhoeic

dermatitis(5)

Kandidiasis

Infeksi primer oleh C. albicans jarang terjadi pada bayi sehat. Hal ini

umumnya terjadi akibat komplikasi sekunder dari infantile seborrhoeic

eczema atau diaper rash. Lesi dapat berupa eritema, skuama dan pustul.

Seringkali melibatkan daerah fleksura, dan dapat tampak lesi satelit(5).

Gambar 3. Kandidiasis pada area popok.(6)

Psoriasis

6

Psoriasis jarang terjadi pada bayi. Istilah diaper psoriasis sebenarnya

merupakan istilah yang tidak cocok, lebih tepatnya disebut psoriasiform

napkin dermatitis atau psorisasiform seborrheic dermatitis of infancy.

Pada beberapa bayi dengan dermatitis iritan popok primer dan infantile

seborrheic dermatitis, erupsi menunjukkan gambaran klinis psoriasiform.

Erupsi tersebut biasanya berawal pada usia tiga sampai enam bulan dan

terjadi pertama kali di area popok. Beberapa hari kemudian dapat timbul

papul-papul merah di badan dan bagian ekstremitas. Lesi pada diaper

psoriasis berwarna lebih terang dengan plak berskuama yang berbatas

tegas. Adanya riwayat psoriasis pada keluarga juga mendukung diagnosis

ini.(1)

Gambar 4. Diaper psoriasis di area popok. Selain itu, tampak skuama halus dan plak eritema(1)

Akrodermatitis enteropatika (defisiensi zink)

Diagnosis defisiensi zink hendaknya menjadi pertimbangan pada bayi-

bayi dengan diaper rash yang gagal terapi. Riwayat prematur hendaknya

dicurigai. Diagnosis dapat dikonfirmasi dengan memeriksa kadar zink

dalam serum, yaitu kurang dari 50 mcg/dL. Bayi-bayi dengan erupsi di

area popok karena defisiensi zink biasanya juga mengalami dermatitis

fasialis yang meluas dari perioral, paronikia erosif dan lesi erosif di lipatan

telapak tangan. (1),(2)

7

Gambar 5. Akrodermatitis enteropatika. A. Tampak makula eritema, skuama, dan krusta pada

daerah genital, gluteal, dan lipatan inguinal. Gambaran klinis pada bayi ini membaik setelah 2

minggu pemberian suplemen zink. B. Tampak skuama, krusta, erosi,

dan erupsi yang berbatas tegas.(7)

Histiositosis sel Langerhans (Histiositosis-X disease)

Penyakit ini merupakan kondisi reaktif histiositosis yang didominasi oleh

fenotip sel langerhans yang berakumulasi di berbagai jaringan dan

mengakibatkan kerusakan. Kerusakan jaringan diakibatkan oleh adanya

pelepasan sitokin. Histiositosis-X dapat terjadi di area popok, tetapi

biasanya juga terjadi di daerah kulit kepala dan area lipatan leher.

Awalnya muncul ruam kecil, papul yang bersisik dan pustul yang

memiliki dasar cokelat, merah atau ungu yang mengindikasikan adanya

perdarahan. Seringkali lesi ini pecah dan menjadi ulkus dalam berbagai

ukuran, dan biasanya purulen. Anamnesis dan pemeriksaan fisis lengkap

biasanya mengindikasikan bahwa ini bukanlah ruam popok biasa—biopsi

diperlukan untuk diagnosis.(1)

8

Gambar 6. Histiositosis sel Langerhans menunjukkan adanya erupsi di perut dan area popok. Tampak

makula eritema dan papul yang tersebar di bagian genitalia, perut bagian bawah, pinggang, dan lipatan

inguinal. Gambaran ini menyerupai dermatitis seboroik dan erupsi popok (diaper rash)(8)

.

G. Penatalaksanaan

Tujuan dari terapi diaper rash yaitu: (1) memperbaiki kerusakan kulit,

dan (2) mencegah rekurensi. Prinsip terapi yaitu menjaga area popok tetap bersih

dan kering, meskipun hal ini tidak mudah. Popok tipe superabsorbent (berdaya

serap tinggi) merupakan jenis popok yang paling bagus, dan sebaiknya diganti

secara teratur, terutama di malam hari. Jika menggunakan popok kain, sebaiknya

dicuci secara menyeluruh dengan bersih dan juga diganti secara teratur. Area

yang bersentuhan dengan popok sebaiknya dibersihkan dengan air, dan aqueous

cream setiap kali pergantian popok. Ointment protektif, seperti zink, dan ointment

silikon protektif, seringkali berguna. Steroid poten sebaiknya tidak digunakan

pada kasus-kasus ringan. Penggunaan topikal steroid pada bayi perlu diperhatikan

dan dibatasi selama 3 sampai 7 hari, sebab obat ini lebih banyak diabsorbsi

perkutaneus pada bayi dibanding pada orang dewasa. Terapi anti jamur

hendaknya tidak digunakan secara rutin, hanya jika dicurigai adanya infeksi

Candida spp.(1),(2),(9),(10)

Keberhasilan terapi mencakup hal-hal sebagai berikut:

Memperhatikan penggunaan popok

9

a) Penggunaan popok sekali pakai

Penggunaan popok sekali pakai yang berkualitas baik, terutama yang

mengandung bahan gel absorbent (popok sekali pakai berdaya serap

tinggi), dapat mengurangi kejadian diaper rash dengan tingkat keparahan

yang cukup ringan dibandingkan popok kain yang dapat dicuci. Gel yang

terdapat pada popok sekali pakai dapat mengabsorbsi sekitar 80 kali lipat

dari total beratnya, sehingga dapat mengurangi kelembaban, dan akhirnya

mencegah terjadi maserasi kulit. Penggunaan popok jenis ini juga

berhubungan dengan pH normal kulit.(1)

(b) Pemakaian popok yang mengandung emolien

Saat ini tersedia popok sekali pakai yang lapisan teratasnya mengandung

emolien, biasanya didominasi oleh white soft paraffin. Penggunaan popok

ini dapat mengurangi tingkat keparahan diaper rash. Saat ini, telah

tersedia juga jenis popok dengan struktur dasar berkerut yang menahan

feses di inti popok (diaper core).(1)

(c) Frekuensi penggantian popok

Popok sebaiknya diganti lebih dari delapan kali sehari dan sesegera

mungkin setelah defekasi. Penggantian popok juga sebaiknya dilakukan

saat tengah malam agar bayi tidak tidur dengan popok yang basah

sepanjang malam.(1)

Perawatan rutin di area popok

Perawatan kulit rutin akan mencegah rekurensi setelah erupsi hilang.

Setiap penggantian popok, dapat digunakan emolien seperti white soft

paraffin, dan campuran white soft paraffin dan cairan paraffin, zink,

Dexpanthenol ointment.(1)

Terapi spesifik

Kortikosteroid topikal berguna dan biasanya digunakan kecuali pada

kasus-kasus ringan. Namun penggunaannya tidak melebihi hidrokortison 1%.

10

Pendapat lainnya menyatakan dapat digunakan hidrokortison 1 sampai 2,5 %

dalam jangka pendek, yaitu 3-7 hari. Obat ini diberikan sebanyak 2 kali sehari

setelah mandi, idealnya dalam bentuk ointment. Sebuah studi penelitian

menunjukkan bahwa Aloe vera topikal dan Calendula officinalis merupakan

terapi efektif dermatitis popok pada bayi.(1)

H. Prognosis

Diaper rash seringkali berespon baik terhadap terapi. Selain itu, seorang

anak akan berhenti mengalami episode diaper rash ketika anak tidak butuh lagi

memakai popok.1,9

Daftar Pustaka

11

1. Atherton DJ, Gennery AR, Cant AR. The Neonate. In: Burns T, Breathnach S,

Cox N, Griffiths C, editors. Rook's Textbook of Dermatology. 7th ed.

Massachusetts: Blackwell Science; 2004. p. 17.22-17.26.

2. Singalavanija S, Frieden IJ. Diaper Dermatitis. Pediatrics in Review.

1995;16:p. 142-7.

3. Li CH, Zhu ZH, Dai YH. Diaper Dermatitis: a Survey of Risk Factors for

Children Aged 1 – 24 Months in China. Journal of International Medical

Research. 2012; 40: 1752 – 1760

4. Philappa KE. Diaper Dermatitis: Differential Diagnosis and Management.

Can Fam Physician. 1990;36:p.1569-72.

5. Gawkrodger DJ. Paediatric Dermatology. Dermatology an Illustrated Colour

Text. Edinburgh: Churchill Livingstone; 2002. p. 108

6. Habif TP . Clinical dermatology. Edinburgh: Mosby Elsevier; 2010. p. 448.

7. Jen M, Shah KN, Yan AC. Cutaneous Changes in Nutritional Disease. In:

Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors.

Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: Mc Graw

Hill; 2008. p. 1215.

8. Chu AC. Histiocytoses. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C,

editors. Rook’s Textbook of Dermatology. Massachusetts: Blackwell Science;

2004. p. 55.10.

9. Chang MW, Orlow SJ. Neonatal, Pediatric and Adolescent Dermatology. In:

Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors.

Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: Mc Graw

Hill; 2008. p. 942-4.

10. Hunter JAA, Savin JA, Dahl MV. Eczema and Dermatitis.Clinical

Dermatology. 3rd ed. Massachusetts: Blackwell Science; 2002. p. 92-4

12