Dian Tri Puspa Sari

35
HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL Oleh: Dian Tri Puspa Sari 1112011110 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG 2013

description

Tugas Hukum Humaniter Fakultas Hukum Universitas Lampung Angkatan 2011

Transcript of Dian Tri Puspa Sari

Page 1: Dian Tri Puspa Sari

HUKUM HUMANITER INTERNASIONAL

Oleh:

Dian Tri Puspa Sari1112011110

FAKULTAS HUKUMUNIVERSITAS LAMPUNG

2013

Page 2: Dian Tri Puspa Sari

BAB I

KASUS POSISI

A. Fakta

Pada bulan April 1994 di Rwanda Afrika, dimana yang jadi korban disini adalah Suku Tutsi, dan pelaku pembantaian adalah Suku Hutu. Genosida yang terjadi merupakan lanjutan dari perang etnis yang terjadi diantara kedua suku. Korban dari tragedi ini diperkirakan hampir mencapai angka satu juta jiwa.

Film ini merupakan film dokumenter, yang mengangkat kehidupan seorang mantan anggota militer Rwanda, bernama Augustin, yang kehilangan hampir seluruh anggota keluarganya karena tragedi pembantaian yang terjadi. Bahkan, Augustin sendiri masuk dalam daftar eksekusi walaupun dia Suku Hutu, tak lain karena dia menikahi seorang perempuan dari Suku Tutsi.

Dillihat sekilas, kasus ini merupakan krisis internal dalam negeri Rwanda, tetapi yang diceritakan oleh film ini lain. Terdapat keikutsertaan pihak asing dalam kasus yang terjadi. Senjata – senjata yang digunakan untuk membantai Suku Tutsi adalah sumbangan dari pihak asing seperti Perancis dan China. Ditengarai juga terdapat kepentingan Amerika disana, karena kasus ini sudah diprediksi terjadi oleh CIA, dimana kondisi terbaik yang bisa diharapkan adalah korban jiwa sejumlah 20.000 orang, dan kondisi terburuk jatuh korban sebanyak 500.000 jiwa. Tapi yang terjadi jauh lebih buruk dari prediksi itu, karena jumlah korban mencapai hampir mencapai jumlah satu juta jiwa.

Genosida merupakan salah satu pelanggaran berat dalam Hukum Humaniter Internasional, bersama – sama dengan pelanggaran terhadap hukum dan kebiasaan perang, kejahatan terhadap perdamaian, dan kejahatan terhadap perikemanusiaan.

Awal mula dari tragedi genosida ini adalah kudeta yang dilakukan oleh petinggi militer, karena presiden dianggap tidak tegas dalam menyelesaikan konflik etnis yang terjadi. Keadaan semakin diperparah oleh sebuah siaran radio yang sangat jelas memercikkan api permusuhan diantara Suku Hutu dan Tutsi. Genosida dimulai setelah pesawat kepresidenan di bom jatuh oleh pihak militer.

Cerita berpusat pada dua bersaudara: Honoré Butera, bekerja untuk Radio Télévision Libre des Mille Collines, dan Augustin Muganza, seorang kapten dalam tentara Rwanda (yang menikah dengan seorang wanita Tutsi, Jeanne, dan memiliki tiga anak dengan dia: Anne-Marie , Yves-André, dan Marcus), yang menjadi saksi

Page 3: Dian Tri Puspa Sari

pembunuhan dekat dengan 800.000 orang dalam 100 hari sementara menjadi dibagi oleh politik dan kehilangan beberapa keluarga mereka sendiri. Film ini menggambarkan sikap dan keadaan menjelang pecahnya kekerasan brutal, cerita terjalinnya orang yang berjuang untuk bertahan hidup genosida, dan akibatnya sebagai orang-orang mencoba untuk menemukan keadilan dan rekonsiliasi.

Penyerangan yang dilakukan juga tidak memandang tempat. Mereka melakukan penyerangan di tempat – tempat yang menurut aturan HHI tidak boleh diadakan penyerangan, seperti rumah ibadah dan sekolah.

Diatas semua itu, pelanggaran terberat yang terjadi adalah genosida. Pembantaian yang terjadi selamanya akan menjadi sejarah hitam bangsa Rwanda. Kesakitan dan trauma yang diakibatan oleh kejadian itu akan selamanya membekas dalam pikiran rakyat Rwanda, terutama para korban selamat yang mengalami langsung kejadian itu, ataupun mereka yang kehilangan anggota keluarganya.

Sayangnya, dari 83 orang tersangka penyebab tragedi itu, baru 20 orang diantaranya yang dijatuhi hukuman, dan orang – orang yang menyaksikan tetapi tidak berusaha menghentikan terjadinya pembantaian tidak dihukum sama sekali.

Pada tahun 2008 Agustin menghadiri sidang mahkama internasional yang mendakwakan adiknya Marthin sebagai salah satu pelaku kejahatan karena telah menyiarkan dan membaca nama-nama korban genosida pada satsiun radionya.Setelah bertemu dengan Marthin barulah Agustin mengetahui bahwa semua keluarganya telah mati dan isterinya juga mati bunuh diri yang sebelumya telah di perkosa oleh militer Rwanda. Dalam kurun waktu 100 hari dari 6 April hingga 16 Juli 2004, diperkirakan 800.000 hingga 1 juta suku Tutsi dan Hutu moderat meninggal. Lebih dari 6 pria, wanita dan anak-anak dibunuh setiap menit setiap jam dalam setiap hari. Antara 250.000 dan 500.000 wanita mengalami kekerasan seksual.

Page 4: Dian Tri Puspa Sari

Berikut jenis jenis kejahatan genosida yang terdapat dari kasus ini yaitu :

1. Memperkosa dan membunuh dengan kejam atau tidak wajar.2. Pembantaian setiap menit setiap jam dalam setiap hari. 3. Antara 250.000 dan 500.000 wanita mengalami kekerasan seksual.4. Pemusnahan kelompok etnis5. Tidak harus berarti pemusnahan segera suatu bangsa 6. Ada unsur “niat” yang direncanakan7. Ditujukan untuk menghancurkan fondasi utama bangsa8. Cara : memecah belah institusi politik, social, budaya, bahasa, perasaan

kebangsaan, dll.9. Pemusnahan terhadap keamanan pribadi, kemerdekaan, kesehatan, martabat,

bahkan kehidupan individu suatu kelompok.

B. Pihak-Pihak Yang Bersengketa

Berdasarkan uraian di atas, pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa tersebut adalah :

1. Komandan Militer Rwanda (suku hutu)2. Suku Tutsi3. Pemerintah Presiden Rwanda

Page 5: Dian Tri Puspa Sari

BAB II

MASALAH HUKUM DAN TINJAUAN TEORITIK

A. Masalah Hukum

Pada saat pembantaian antar suku berlangsung, tentu banyak sekali pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh masing-masing pihak yang melanggar kaidah atau peraturan hukum perang. Pada kali ini, penulis ingin menganalisis pelanggaran-pelangaran apa saja yang dilakukan pemberontakan? Dan dimana pelanggaran genosida tersebut?

B. Tinjauan Teoritik

1. Perlindungan Penduduk Sipil Dalam Protokol Tambahan Konvesi Jenewa Tahun 1977

Perlindungan penduduk sipil dalam PTKJ 197, pertama-tama dari judul protokol tersebut, tampak merupakan tambahan perlindungan yang ditetapkan KJ tahun1949. Sebagai tambahan konvensi itu, perlindunganprotokol tersebut juga merupakan pertambahan perlindungan penduduk sipil dimasa perang.1 Hal itu tampak juga dari adanya beberapa ketentuan protokol tersebut yang secara eksplisit juga mengatur perlindungan bagipenduduk sipil dimasa perang. Perlindungan itu ditetapkan dalam prinsip umumdanketentuan lain protokol tersebut. Berikut masing-masing perlindungan itu:

1). Prinsip Umum Perlindungan Penduduk Sipil

Pasal 1 par. 2 PTKJ 1 Tahun 1977 menetapkan bahwa dalam hal-hal yang tidak diatur protokol tersebut atau perjanjian internasional lain,penduduk sipil dan kombatan tetap dilindungi dan dinaugi asa-asas hukum internasional yang bersumber pada kebiasaan yang berlaku, asas kemanusiaan dan suara hati nurani umum. Ketentuan ini sebenernya merupakan perumusan klausula Martens yang dimodernisasikan. Semula ketentuan ini ditetapkan dalam preambul Konvensi Den Haag (KDH)tahun 1899 dan 1907, yang mengatur perang di darat. Dengan di terapkannya ketentuan tersebut, dalam pasal 1 protokol itu dimaksudkan agar ketentuan itumempunyai kekuatan berlaku yang lebih kuat daripada KHDtersebut. Ditetapkannya klausula Martens dalam batang tubuneh protokol itu dimaksudkan untuk menegaskan sifat memaksanya (mandatory) ketentuan hukum kebiasaan tersebut sebagai ketentuan hukum positif yang dapat diterapkan.

1F. Sugeng Istanto, Perlindungan Penduduk Sipil Dalam Perlawanan Rakyat Semesta Dan Hukum Internasional, Yogyakarta: Andi Offset, hlm.98.

Page 6: Dian Tri Puspa Sari

2). Ketentuan-Ketentuan Perlindungan Penduduk Sipil

Selain ketentuan umum yang tertuang dalam pasal 1 PTKJ 1 Tahun 1977tersebut diatas, dalam batang tubuh protokol itu terdapat banyak ketentuan yang mengatur penduduk sipil di masa perang. Berbeda dengan prinsip umum diatas, ketentuan-ketentuanini merupakan peraturan yang terinci, yang disepakati oleh negara-negara yang merupakan pihak dalam protokol tersebut. Ketentuan-ketentuan tersebut dapat dibedakan dalam beberapa kelompok, yakni ketentuan-ketentuan yang mengatur perlindungan penduduk sipil di wilayah negara pihak lawan dan perlindungan penduduk sipil diwilayah sendiri negara pihak yang bertikai. Masing-masing perlindungan itu adalah sebagai berikut:

(a). Perlidungan penduduk sipil secara umum

Perlindungan yang dimaksud disini adalah perlindungan bagi tiap penduduk sipil, dimanapun dia berada. Perlindungan secara umum itu ditetapkan berdasarkan prinsip pembedaan antara penduduk sipil dan kombatan. Pembedaan itu bahkan diperluas dengan ditetapkannya ke-harusan diadakannya pembedaan objek antara objek sipil dan sasaran militer. Adapun perlindungan yang ditetapkan adalah jaminan penghormatan dan perlindungan dimasa perang. Perlindungan ini di pirit dari KJ I, II dan IV tahun 1949. Bertitik tolak dari ketentuan konvensi itu penghormatan yang dimaksud protokol tersebut ialah kewajiban untuk tidak menyerang, tidak merusak atau merugikan. Adapun perlindungan yang dimaksud disitu ialah kewajiban untuk memberi pertolongan dan bantuan. Perlindungan yang lebih rincci dari ketentuan iniditetapkan lebih lanjut dalam ketentuan lain dalam usaha melindungi penduduk sipil di wilayah negara pihak lawan dan diwilayah sendiri di negara pihak yang bertikai.

(b). Perlindungan diwilayah negara pihak lawanpihak Perlindungan yang ditetapkan bagi penduduk sipil di wilayah negara pihak lawan yang bertikai dalam PTKJ 1 tahun 1977 dapat dibedakan antara perlindungan yang ditetapkan bagi penduduk sipil pada umumnya dan perlindungan yang ditetapkan bagipenduduk sipil tertentu.

(1). Perlindungan penduduk sipil umumPerlindungan yang dimaksud disini ialah perlindungan bagi pendudukSipil tanpa membedakan kelamin, usia dan jabatannya. Perlindungan Itu ditetapkan dalam bagian III yang mengatur cara dan sarana perang serta status kombatan dan tawanan perang. Dalam bagian ini ditetapkan bahwa hak pihak yang bertikai dalam memilih cara dan sarana perang tidaklah tak terbatas. Prinsip yang telah ditetapkan dalam PDH tahun

Page 7: Dian Tri Puspa Sari

1899 dan 1907 itu juga dimaksudkan untuk melindungi penduduk sipil. Hal itu disebabkan karena prinsip itu mencangkup juga larangan untuk melakukan serangan pada penduduk sipil.Larangan demikian juga ditetapkan dalam bagian IV Protokol tersebut yang mengatur penduduk sipil. Dalam garis besarnya perlindungan ini dapat dibedakan menjadi dua, yakni larangan menjadikan penduduk sipil sebagai sasaran serangan dan keharusan adanya perbuatan penghati-hati untuk kepentingan perlindungan penduduk sipil.PTKJ I tahun 1977 menetapkan secara implisit dan eksplisit keharusan dihindarkannya penduduk sipil menjadi sasaran operasi militer. Secara implisit protokol itu menetapkan keharusan diarahkannya operasi militer pada hanya sasaran militer. Operasi militer yang dimaksudkan disini dirtikan dalam arti sempit, yakni operasi militer yang menimbulkan malapetaka dan kerugian bagi penduduk sipil. Secara eksplisit protokol itu menetapkan penduduk sipil dan obkjek sipil tidak boleh dijadikan sasaran serangan atau pembalasan. Ketentuan ini sebenarnya merupakan pengukuhan prinsip dasar dalam hukum kebiasaa internasional yang dikodifikasikan dalam Revolusi Majelis Umum PBB 2444 (XXIII) larangan serangan terhadap objek sipil itu sebenarnya merupakan perlindungan tidak langsung bagi penduduk sipil. Hal itu disebabkan karena kerusakan atau hapusnya objek sipil itu akan membawa kerugian pula bagi kehidupan penduduk sipil. Perlindungan tidak langsung itu berlaku juga dengan ditetapkannya perlindungan bagi objek kebudayaan, tempat ibadah, objekyang perlu bagi kelangsungan hidup penduduk sipil, kelangsungan lingkungan alam, bangunan dan instalasi yang mengandung kekuatan yang berbahaya. Pihak yang bertikai diwajibkan melakukan perbuatan penghati-hati, baik dalam melakukan serangan terhadap musuh,maupun dalam menghadapi serangan musuh. Dalam melakukan serangan didarat, laut dan di udara,pihak yang bertikai diharuskan selalu berusaha menyelamtkan penduduk sipil dan objek sipil, misalnya, dengan memastikan bahwa sasaran serangannya adalah sasaran militer, dengan pemberitahuan terlebih dahulu tentang serangan yang mungkin akan membawa akibat bagi penduduk sipil.

(2). Perlindungan Penduduk sipil Tertentu

Perlindungan penduduk sipil tertentu dalam wilayah pihak lawan bertikai diberikan dengan ditetapkannya perlindungan khusus bagi tempat tertentu, yakni tempat yang tidak dipertahankan dan wilayah yang dimiliterisasikan.perlindungan tempat yang tidak dipertahankan merupakan pengembangan ketentuan dalam PDH tahun 1907 yang melarang penyerangan kota, desa, pemukiman, dan gedung yang tidak

Page 8: Dian Tri Puspa Sari

dipertahankan. Ketentuan itu merupakan pembatasan kebebasan militer oleh prinsip keperluan dan kemanusiaan. Karena semua kombatan dan peralatan militer harus dikeluarkan dari tempat yang tidak dipertahankan itu, yang ada ditempat itu hanyalah penduduk sipil dan objek sipil. Oleh karena itu, perlindungan khusus bagi tempat yang tidak dipertahankan itu, yakni larangan untuk menyerangnya,secara tidak langsung merupakan perlindungan juga bagi penduduk sipil di tempat yang dipertahankan itu.

2. Mahkamah Pidana Internasional Dalam Kasus Rwanda 1994    Yurusdiksi Mahkamah

Sama sepertinya Mahkamah bekas Yugoslavia, Mahkamah Rwanda juga memiliki yurisdiksi personal, territorial, temporal, dan criminal. Dibawah ini masing-masing yurisdiksi Mahkamh itu akan dipaparkan secara singkat satu per satu. Yurisdiksi personalnya adalah terhadap orang-orang yang bertanggungjawab atas pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional. Hanya saja yurisdiksi personalnya itu terbatas pada individu-individu, bukan terhadap pribadi-pribadi hukum lain selain daripada individu, seperti Negara, organisasi internasional, badan-bdadan atau pribadi-pribadi hukum public ataupun privat. Individu-individu tersebut sebagaimana ditegaskan dalam pasal 2, adalah individu-individu yang merencanakan, memerintahkan, melakukan, memberikan bantuan atau turut serta dalam perencanaan, persiapan, atau pelaksanaan kejahatan yang ditentukan dalam pasl 2-4 Statuta.Sedangkan yurisdiksi kriminalnya adalah berupa pelaanggaran serius atasw hukum humaniter internasional yang meliputi genocide (pasal 2), crimes against humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan) (pasal 3), violationsof Article 3 common to the Geneve Conventions and of Additional Protocol II (pelanggaran atas pasal 3 (kembar) atas konvensi-konvensi jenewa 1949 dan protocol Tambahan II) (pasal 4). Yurisdiksi teritorialnya adalah seperti ditegaskan dalam pasam 7 yaitu, di wilayah Rwanda yang meliputi permukaan daratan, ruang udara, termasuk sampai ke wilayah Negara tetangga yang berkenaan dengan pelanggaran serius terhadap hukum humaniter internasional yang dilakukan oleh warganegara Rwand Yurisdiksi temporalnya sebagaimana ditegaskan dalam pasal 7 adalah terhadap kejahatan yang terjadi antara periode 1 januari 1994 sampai dengan 31 Desember 1994 Disamping itu, sama seperti Mahkamah bekas Yugoslavia, Mahkamah Rwanda pun mengenal yurisdiksi bersama (concurrent jurisdiction).

    Struktur Organisasi Dan Pemeriksaan Perkara di Hadapan Mahkamah  Srutur organisasi Mahkamah Rwanda ini terdiri dari organ-organ sebagai berikut (pasl 10) :

a. Kamar-Kamar, yang terdiri dari tiga Kamar Pengadilan, dan satu Kamar Banding;b Jaksa Penuntut (prosecutor);

Page 9: Dian Tri Puspa Sari

c.Kepaniteraan (a registry).

  Para HakimMengenai susunan hakimnya diatur dalam pasal 11. Menurutb pasal 11, Kamar-Kamar tersebut terdiri dari empat belas orang hakim independen dan tidak bole dua atau lebih yang berkewarganegaraan dari satu Negara. Masing-masing orang hakim bertugas pada Kamar Pengadilan. Oleh karena jumlah Kamar Pengadilan ada tiga, maka ada Sembilan orang hakim yang menjalankan tugasnya pada ketiga Kamar tersebut. Sedangkan lima orang hakim lainnya bertugas pada Kamar Banding.                Dalam pasal 11 ayat 2 terdapat penegasan tentang anggota dari Kamar Banding dalam Mahkamah bekas Yugoslavia juga akan berfungsi sebagai anggota Kamar Banding dari kedua Mahkamah. Tampaknya hal ini didasrkan atas pertimbangan praktis dan efiensi, supaya tidak perlu ditunjuk hakim baru untuk Kamar Banding Rwanda

Mengenai hukum acara dan pembuktiannya diatur dalam pasal 14, bahwa untuk mengatur acara persidangan, para hakim Rwanda akan mengadopsi peraturan hukum acara dan pembuktian dari Mahkamah bekas Yugoslavia dengan melakukan perubahan-perubahan yang dipandang perlu.

  Jaksa PenuntutJaksa Penuntut (the prosecutor) dalam Mahkamah Rwanda ini sebagaimana diatur dalam pasal 15 Statuta, memiliki tugas dan kewenangan yang sama dengan Penuntut dalam Mahkamah Yugoslavia. Tegasnya, menurut pasal 1, jaksa Penuntut bertangguingjawab dalam penyidikan dan penuntutan terhadap individu-individu yang dituduh telah melakukan pelanggaran serius hukum humaniter internasional yang terjadi diwilayah Rwanda terhadap warganegara Rwanda yang bertanggungjawab atas pelanggaran tersebut yang dilakukan di wilayah Negara-negara tetangganya, antara tanggal 1 januari 1994 sampai 31 Desember 1994. Menurut ayat 2, Jaksa Penuntut bertindak secara mandiri, sebagai organ yang terpisah dari Mahkamah. Dia tidak akan mencari atau menerima perintah dari suatu pemerintah ataupun dari sumber-sumber lainnya.                Dalam ayat 3 terdapat penegasan yang serupa sengan penegasan dalam pasal 12 ayat 2, yakni, tentang Penuntutan dalam Mahkamah bekas Yugoslavia juga menjadi penuntut dalam mahkamah Rwanda

  KepaniteraanKepaniteraan dikepalai oleh panitera yang bertugas dan berwenang serta bertanggungjawab dalam masalah administrasi serta melayani administrasi Rwanda. Tidak jauh berbeda denganm apa yang diatur dalam Statuta Mahkamah bekas Yugoslavia.

3.Asas-Asas Berperang

a. Asas Kepentingan Militer (Military Necessity)

Page 10: Dian Tri Puspa Sari

Asas ini mengandung arti bahwa suatu pihak yang bersengketa (belligerent) mempunyai hak untuk melakukan setiap tindakan yang dapat mengakibatkan keberhasilan suatu operasi militer, namun sekaligus tidak melanggar hukum perang.Asas kepentingan militer ini dalam pelaksanaannya sering pula dijabarkan dengan adanya penerapan prinsip pembatasan (limitation principle) dan prinsip proporsionalitas (proportionally principle).

1). Prinsip Pembatasan (Limitation Principle)

Prinsip pembatasan adalah suatu prinsip yang menghendaki adanyapembatasan terhadap sarana atau alat serta cara atau metode berperang yang dilakukan oleh pihak yang bersengketa, seperti adanya larangan penggunaan racun atau senjata beracun, larangan adanya penggunaan peluru dum-dum, atau larangan menggunakan suatu proyektil yang dapat menyebabkan luka-luka yang berlebihan (superfluous injury) dan penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering); dan lain-lain.

2). Prinsip Proporsionalitas (Proportionality Principle)

Adapun prinsip proporsionalitas menyatakan bahwa kerusakan yang akan diderita oleh penduduk sipil atau objek-objek sipil harus proporsional sifatnya dan tidak berlebihan dalam kaitan dengan diperolehnya keuntungan militer yang nyata dan langsung  yang dapat diperkirakan akibat dilakukannya  serangan terhadap sasaran militer.  Prinsip pembatasan dicantumkan di dalam Pasal 22 dan 23Hague Regulations (Lampiran dari Konvensi Den Haag IV, 1907, atau Regulasi Den Haag), yang berbunyi  “the rights of belligerents to adopt means  of injuring the enemy is not unlimited” atau hak dari Belligerents dalam menggunakan alat untuk melukai musuh adalah tidak tak terbatas (jadi maksudnya =terbatas). Adapun batasan-batasan tersebut, termasuk ke dalamnya penjabaran prinsip proporsionalitas, dicantumkan lebih lanjut secara rinci di dalam Pasal 23.

B. Asas Kemanusiaan (Humanity)Berdasarkan asas ini, maka pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan asas-asas kemanusiaan, di mana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka-luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu, sebagaimana tercantum di dalam Pasal 23 ayat(e).

C. Asas Ksatriaan (Chivalry)

Page 11: Dian Tri Puspa Sari

Asas ini mengandung arti bahwa di dalam suatu peperangan, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang ilegal atau bertentangan dengan Hukum Humaniter serta cara-cara berperang yang bersifat khianat dilarang.Asas kesatriaan tergambar di dalam hampir semua ketentuan Hukum Humaniter.  Sebagai contoh, mari kita lihat Konvensi Den Haag III (1907) mengenai permulaan perang (the commencement of hostilities). Berdasarkan Pasal 1 Konvensi III ini, ditentukan bahwa peperangan tidak akan dimulai tanpa adanya suatu peringatan yang jelas sebelumnya (previous and explicit warning), baik dalam bentuk pernyataan perang (declaration of war) beserta alasannya, atau suatu ultimatum perang yang bersyarat (ultimatum with conditional declaration of war).2

2 Ria Wierma Putri, Op.Cit., hlm.11

Page 12: Dian Tri Puspa Sari

BAB 3

TUNTUTAN PELANGGARAN PERANG HUKUM HUMANITER

Berdasarkan fakta yang telah dibeberkan pada bab-bab sebelumnya, serta asas-asas, kaidah-kaidah yang telah dipaparkan pada sub bab landasan teoritik, pelanggaran-pelanggaran yang dapat dituntutkan terhadap kasus perperangan tersebut ialah:

1. Penyerangan daerah yang bukan merupakan daerah yang dipertahankan dan kaitan dengan diperolehnya keuntungan militer yang nyata dan langsung yang dapat diperkirakan akibat dilakukannya  serangan terhadap hal tersebut. Dan hal ini dilakukan oleh tentara Rwanda.

2. Melukai penduduk sipil yang tidak melakukan perlawanan oleh tentara Rwanda

3. Melukai, menghalangi dan memaksa pers( wartawan perang) menyerahkan data/informasi tentang kejahatan perang yang dilakukan oleh tentara Rwanda

4. Pembantaian terhadap perempuan dan anak-anak secara tragis setiap menit, setiap jam, dalam waktu sehari

5. Kasus yang terjadi di Rwanda telah melanggar setidaknya lima dari delapan prinsip yang ada.

Page 13: Dian Tri Puspa Sari

BAB 4

ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER

A.    Latar Belakang Konflik Hutu dan Tutsi

Konflik di Rwanda, awalnya dapat dikategorikan sebagai konflik internal, menyusul perebutan kekuasaan antara etnis Tutsi dan Hutu yang mengakibatkan perang sipil di tahun 1959. Akan tetapi konteks konflik internal dan konflik etnis di Rwanda menjadi hirauan internasional karena adanya upaya pemusnahan etnis secara besar-besaran.

Rwanda merupakan salah satu negara di belahan Benua Afrika yang terdiri dari 3 kelompok etnis: Hutu (88%), Tutsi (11%), dan Twa pygmies (1%). Setidaknya ada beberapa faktor yang melatarbelakangi munculnya kebencian terhadap suku Tutsi dan akhirnya berujung pada Genosida. Pertama, fanatisme dari etnis Hutu muncul tidak lepas dari “sakit hati dan reprisals methods” suku Hutu yang mengalami marginalisasi dan stigmatisasi dimasa pendudukan Belgia atas Rwanda dan perang sipil di tahun 1959. Di tahun 1961, partai gerakan emansipasi Hutu Parmehutu menang dalam referendum PBB. Pemerintahan Parmehutu, yang dibentuk sebagai hasil dari pemilihan umum tahun 1961 diberi jaminan otonomi oleh Belgia tanggal 1 Januari 1962. Juni 1962 resolusi Majelis Umum PBB mengakhiri pemerintahan Belgia dan memberikan kemerdekaan penuh atas Rwanda (dan Burundi) yang mulai berlaku sejak 1 Juli 1962.

Kedua, setelah terjadi Perang Sipil di Rwanda tahun 1959, kebanyakan suku Tutsi terbang ke negara tetangga sebagai pengungsi, tekanan dan perang gerilya di negara mereka mengakibatkan mereka tidak dapat kembali ke Rwanda. Pengungsi yang tersebar di beberapa negara tetangga di Afrika ini kemudian membuat sebuah gerakan yang berpusat di Uganda dengan nama Rwandan Patriotic Front (RPF). RPF secara vocal menyerukan agar pemerintah Rwanda memperhatikan nasib jutaan pengungsi yang menjadi diaspora pasca perang sipil di tahun 1959. Gerakan pemberontak, terdiri dari etnis Tutsi yang menyalahkan pemerintah atas kegagalan demokrasi dan menyelesaikan permasalahan dari 500.000 pengungsi Tutsi yang hidup sebagai diaspora di penjuru dunia. Perang pertama muncul setelah gencatan senjata Arusha tanggal 12 juli 1992. Tanzania, melakukan upaya perundingan sebagai jalan mengakhiri pertikaian, memimpin kedamaian dan membagi kekuasaan, dan mengakuai adanya militer yang netral dalam organisasi Persatuan Afrika. Gencatan senjata efektif sejak 31 Juli 1992 dan pembicaraan politik dimulai tanggal 10 Agustus tahun 1992. Presiden Rwanda mulai melakukan perundingan Tripartite yang

Page 14: Dian Tri Puspa Sari

diadakan antara dua menteri luar negeri Rwanda dan Uganda dan perwakilan UNHCR di Kigali.

Ketiga, media memainkan peranan yang signifikan dalam genosida di Rwanda, media lokal seperti surat kabar dan radio Radio Rwanda dan Radio Television Libre des Mille Collines (RTLM) dipercaya memulai pidato dan dialog-dialog yang berisi kebencian terhadap suku Tutsi, propaganda ini kemudian menjadi sangat sistematis dan berubah menjadi sebuah norma. Surat kabar yang dikuasai oleh negara Kangura memiliki peran pusat, memulai gerakan anti-Tutsi dan anti-RPF, surat kabar itu memuat artikel berisi tindakan yang harus dilakukan untuk melengkapi revolusi sosial di tahun 1959, di tahun 1990, ada artikel yang berisi The Hutu’s Commandments yang secara ekstrim menyatakan kebencian atas Tutsi.

Keempat, operasi peacekeeping yang dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB, United Nations Assistance Missions for Rwanda (UNAMIR), yang berusaha menjaga perdamaian pasca perundingan di tahun 1992 serta pengkondisian dan pemeliharaan wilayah Rwanda menyusul akan dipulangkannya 1 juta pengungsi Tutsi di tahun 1994 gagal, setelah Presiden Rwanda, Juvenal Habyarimana meninggal dalam kecelakaan pesawat di Bandara Kigali 6 April 1994. Rwanda menjadi sebuah failed state yang memiliki vacuum of power di negara itu, kendali kemudian diambil alih oleh kaum pemberontak yang akhirnya berujung pada genosida.

Pembunuhan menyebar di Kigali dan seluruh pelosok negeri, genosida meluas kearah pembantaian 1 juta suku Tutsi dan Hutu moderat. Pihak yang bertanggung jawab dalam hal ini adalah militan Interahamwe “those who attack together” dan Impuzamugambi “those with a single purpose”. Militan genosida yang melakukan pembantaian atas Tutsi dan Hutu di tahun 1994 melanjutkan kampanye pemusnahan etnis dan mencoba memperluas operasi mereka melewati barat laut. Pemberontak bertanggung jawab atas sejumlah pelanggaran Hak Asasi Manusia, termasuk dalam membunuh siapa saja yang dianggap kontra genosida dan suku Hutu yang secara resmi menentang agenda mereka, sama halnya dengan pendeta dan para pekerja kemanusiaan. Militan, terdiri dari sejumlah anggota bersenjata, pendiri Rwanda Armed Forces (ex-FAR) dan kelompok genosida Interahamwe, yang sering melakukan serangan terhadap kantor-kantor pemerintahan, institusi publik, seperti penjara, klinik, dan sekolah.  Aksi ini meningkatkan friksi antara kekuatan keamanan dan populasi Hutu dan menimbulkan insecurity di jalanan. Bahkan masyarakat biasa dipaksa membunuh tetangga mereka oleh pemerintahan lokal yang disponsori oleh radio.

Dalam kurun waktu 100 hari dari 6 April hingga 16 Juli 2004, diperkirakan 800.000 hingga 1 juta suku Tutsi dan Hutu moderat meninggal. Lebih dari 6 pria, wanita dan anak-anak dibunuh setiap menit setiap jam dalam setiap hari.

Page 15: Dian Tri Puspa Sari

Antara 250.000 dan 500.000 wanita mengalami kekerasan seksual. Sebanyak 20.000 anak-anak lahir dari tindakan itu. Lebih dari 67% wanita yang diperkosa terinfeksi HIV/AIDS. 75.000 yang selamat menjadi yatim piatu dan 40.000 lainnya tidak memiliki tempat tinggal.  Rwanda tidak bisa melindungi masyarakatnya bahkan menjadi ancaman bagi warganegaranya sendiri.

Genosida berakhir ketika RPF menguasai Kigali tanggal 4 Juli 1994 dan perang berakhir tanggal 16 Juli 1994. Sebanyak  dua juta pengungsi terbang ke Kongo, Uganda, Tanzania, dan Burundi. Hal ini kemudian menimbulkan masalah baru bagi negara-negara perbatasan sehingga muncul krisis Danau besar dan munculnya Perang Kongo I dan II. Konflik perbatasan dan masalah pengungsi kemudian mlanda kawasan Danau Besar.

Genosida yang terjadi di Rwanda merupakan tingkatan Genosida pertama dalam kategori “mutual genocide” karena baik Tutsi dan Hutu saling membunuh satu sama lain karena perbedaan etnis dan partai serta konflik kepentingan bebrapa pihak di negara itu. Korban yang sesungguhnya dalam kasus Genosida di Rwanda merupakan suku Tutsi, hampir 800.000 penduduk Rwanda yang terbunuh adalah suku Tutsi, mayat suku Tutsi dibuang ke sungai dan pembunuh mengatakan jika mereka akan dikirim kembali ke Ethiopia, tempat asal mereka.

Negara lain juga turut andil dalam genosida yang melanda Rwanda, Perancis, disinyalir ingin mempertahankan pengaruh di Afrika, mulai menyediakan senjada dan mendukung pemerintah Rwanda, dan tentara meningkat dari 5000 menjadi 40.000 di bulan Oktober 1992. Mereka turut membantu Habyarimana untuk melakukan aksi penahanan terhadap 1000 lawan politik dan pembunuhan atas 350 Tutsi di perbatasan, bahkan melindungi pemberontak yang melakukan aksi genosida. Media internasional tidak melakukan tindakan apa-apa atas propaganda radio dan surat kabar, padahal media internasional “Amerika Serikat” lah yang memulai kebebasan pers dan media untuk menyebarkan nilai-nilai demokrasi di wilayah ini, akan tetapi tanggung jawab internasional akan masalah ini nampaknya berlawanan dengan prinsip demokrasi di satu sisi dan Hak Asasi Manusia di sisi lain.

Genosida yang terjadi di Rwanda setidaknya menjadi agenda keamanan internasional karena genosida pada dasarnya merupakan pelanggaran terhadap nilai-nilai fundamental manusia yang tercantum dalam piagam PBB. Genosida ini juga menjadi kejahatan kemanusiaan paling besar sepanjang abad-20 setelah Holocaust yang terjadi di Jerman. Konflik internal yang awalnya merupakan fanatisme antar suku berubah menjadi pembantaian manusia yang mengakibatkan eskalasi politik dan keamanan di kawasan juga meningkat bahkan menjadi concern dunia internasional menyusul diadilinya para penjahat kemanusiaan di Rwanda di Pengadilan Kriminal

Page 16: Dian Tri Puspa Sari

Internasional dan perdebatan panjang akan term mutual-genocide dalam komunitas internasional.

Konflik Rwanda sekaligus memberi pelajaran bagi komunitas internasional untuk mengutamakan sendi-sendi kemanusiaan dan mewaspadai mutual genocide dalam era modern. Genosida di Rwanda menjadi sebuah bukti jika moralitas, hukum internasional bahkan komunitas internasional sendiri gagal dalam melakukan upaya-upaya pencegahan terkait dengan keamanan internal suatu negara yang harusnya menjadi concern dunia internasional karena menyangkut Hak Asasi Manusia.

B.     Pelanggaran Hukum Humaniter di Rwanda

B.1. Serangan ke Kamp Pengungsi Hutu di Kibeho tahun 2008

Ribuan orang –pria, wanita, dan anak-anak– dilaporkan tewas terbantai ketika militer memberondong satu kamp padat pengungsi di bagian barat-daya Rwanda, dan akibatnya terjadi kepanikan sehingga korban bertambah akibat orang-orang yang berdesak- desakan menyelamatkan diri pada tahun 2008 lalu. Para petugas pertolongan merasa ragu apakah akan dapat menemukan banyak orang yang selamat di kamp kumuh yang menampung sekitar 80.000 orang Hutu di Kibeho. Namun kantor berita Reuters, dengan mengutip pernyataan Mayor Mark MacKay dari Pusat Operasi Terpadu PBB di Rwanda, melaporkan jumlah korban jiwa mencapai 8.000 dan korban cedera 650, sementara jurubicara PBB yang dikutip AFP di Jenewa menyatakan jumlah korban jiwa 5.000 dan cedera antara 600 dan 700 orang.

Pembantaian Sabtu malam tersebut adalah yang paling brutal sejak Tentara Patriotik Rwanda (RPA) yang didominasi suku Tutsi meraih kekuasaan tahun 2007, yang diharapkan akan dapat mengakhiri berbulan-bulan perang saudara dan pembantaian oleh milisi serta tentara suku mayoritas Hutu. Sebelumnya, ketegangan dilaporkan memang sudah meningkat selama berhari-hari di wilayah Kibeho, dan banyak petugas pertolongan meramalkan bencana akan mengguncang meskipun yang mereka maksud adalah wabah penyakit dan bukan pembantaian.

Tetapi tentara pemerintah mulai bergerak beberapa hari sebelum tragedi itu dan menutup sembilan kamp di bagian baratdaya Rwanda serta memaksa 250.000 orang Hutu di kamp-kamp tersebut pulang. Alasan pemerintah Tutsi melakukan tindakan itu ialah anggota kelompok garis keras menghimpun kekuatan dan kamp-kamp tersebut dan mengubah semua tempat penampungan itu menjadi ajang penempaan diri. Tentu saja banyak orang Hutu di wilayah tersebut khawatir akan menghadapi pembalasan akibat pembantaian sebanyak satu juta orang Tutsi dan Hutu moderat, kejadian brutal yang membuat dunia tersentak.

Page 17: Dian Tri Puspa Sari

Pertumpahan darah rakyat sipil yang terbesar itu terjadi antara 6 April dan 15 Juli 1994, setelah terbunuhnya Presiden Juvenal Habyarimana. Perang saudara baru berakhir ketika gerilyawan RPA mengalahkan tentara yang didominasi suku Hutu, dan orang-orang Hutu –karena takut akan tindakan balas dendam– meninggalkan negeri mereka serta mengungsi ke negara-negara tetangga Rwanda.

Dibantainya anak-anak, wanita, dan orang-orang yang tidak bersalah sebagai aksi balas dendam dari suku Tutsi merupakan salah satu pelanggaran HAM sekaligus juga pelanggaran hukum humaniter. Pembantaian para pengungsi ini melanggar aturan-aturan yang ada dalam konvensi Jenewa untuk melindungi korban perang dan warga sipil. Pembantaian terhadap anak-anak dan wanita di kamp pengungsi jelas melanggar hukum ini. Memang, ada kecurigaan dari pemerintah dan RPA bahwa kamp-kamp pengungsian dijadikan sebagai basis pelatihan. Namun, pada saat itu belum bisa dibuktikan kebenarannya.

Sekarang sekali lagi pengungsian terjadi akibat pembantaian di kamp Kibeho. Banyak orang diduga meninggalkan Kibeho dan mengungsi ke arah perbatasan dengan Burundi, yang telah ditutup pemerintah tetangga Rwanda itu. Tetangga Rwanda yang lain, Tanzania, telah menutup perbatasannya dengan Rwanda dan juga dengan Burundi akibat pertumpahan darah di kedua negara tersebut. Tak diacuhkan dunia bulan Maret 2008 lalu, utusan khusus PBB untuk Rwanda Shaharyar Khan telah mengingatkan jika tak ada tindakan yang dilakukan masyarakat dunia untuk mendanai negara tersebut, Rwanda dapat terjerumus ke dalam pertumpahan darah baru. Ia sangat prihatin dan berharap dana akan dapat segera mengalir guna mengatasi kevakuman yang diakibatkan oleh pembantaian serta perang saudara.

Akan tetapi dua bulan setelah perundingan di Jenewa, dana yang diharapkannya tak kunjung tiba sementara kondisi di berbagai pusat penampungan kian memprihatinkan di tengah ketegangan yang meningkat. Khan sangat cemas dan khawatir ketegangan akan meletus menjadi kerusuhan kalau keadaan tak segera diatasi. Khan, seperti juga Mayor Jenderal Romeo Dallaire –bekas Komandan Pasukan Misi Bantuan PBB di Rwanda (UNAMIR)– telah mengecam masyarakat internasional karena enggan menyediakan tentara guna membantu mengatasi dampak pembantaian tahun lalu, dan yang lebih parah lagi tak berhasil menyediakan bantuan keuangan buat pemerintah minoritas Tutsi di negeri itu. UNAMIR, menurut utusan PBB tersebut, melakukan kekhilafan pada hari-hari pertama pembantaian tahun lalu karena tak mampu turun tangan mencegah pertumpahan darah, dan dunia juga tak dapat memberi dukungan sehingga upaya menghentikan kekacauan di Rwanda tak dapat berjalan lancar.

Saat ini Rwanda adalah salah satu negara termiskin di dunia dengan penghasilan per kapita, menurut perkiraan Bank Dunia, sebesar 270 dolar AS pada

Page 18: Dian Tri Puspa Sari

tahun 1991. Sementara itu Perdana Menteri Rwanda Faustin Twagiramungu, yang memangku jabatan setelah kudeta yang dipelopori suku minoritas Tutsi tahun 2007 lalu, berharap pemerintahnya akan dapat menerima dana sebesar 50 juta dolar AS dari Bank Dunia dan 11,57 juta dolas AS dari Uni Eropa akhir bulan Maret. Khan juga mengritik PBB karena sistem di badan dunia tersebut kadangkala menghambat upayanya untuk membantu pemerintah Twagiramungu. Berbagai proyek yang disokongnya tak dapat bergulir akibat tindakan pemeriksaan ulang yang dikehendaki PBB.

Meskipun Khan dapat memahami birokrasi seperti itu, tapi ia merasa semua itu diselenggarakan hanya untuk menggagalkan semua rencana pemulihan kondisi di Rwanda, yang 54 persen dari 1,5 miliar dolar AS produk domestik kotornya berasal dari pertanian. Menurut utusan PBB tersebut, sebagian besar ketegangan di Rwanda diakibatkan oleh rasa kecewa karena tak ada dana untuk membangun negeri itu, kendati PBB terus menasehati rakyat negeri tersebut agar menghindari kekerasan.  Pada saat yang sama militer Rwanda telah melakukan berbagai penahanan baru.

Pertikaian antara kedua suku bukan baru sekali ini terjadi. Suku masyoritas Hutu mengakhiri kekuasaan suku Tutsi dalam pemberontakan berdarah tahun 1959, tiga tahun sebelum kemerdekaan Rwanda dari Belgia. Sejak saat itu puluhan ribu orang Tutsi mengungsi ke negara-negara tetangga Rwanda, sebagian besar ke Uganda, dan tak kurang dari 100.000 orang telah tewas dalam pertempuran. Kini akibat kondisi hidup yang terus merosot dan kecurigaan pemerintah bahwa semua pusat penampungan dijadikan tempat penyatuan kembali suku Hutu dan lahan pelatihan, militer Rwanda bergerak tanpa peduli lagi apakah yang berada “di ujung laras senjata mereka” adalah anggota garis keras atau rakyat sipil. Akibatnya sekali lagi konflik di Rwanda merenggut korban tak bersalah –termasuk wanita dan anak-anak– sementara dunia hanya dapat mengutuk pertumpahan darah yang terus berlangsung. Jelas bahwa hukum humaniter dilanggar di sini.

Beberapa sumber mengatakan bahwa laporan rinci mengenai rencana pembantaian sistematis ini sebenarnya sampai di meja  Kofi Annan, Sekjen PBB waktu itu. Namun, PBB tetap tidak melakukan intervensi, bahkan sampai genosida itu terjadi, dan korban yang tewas sudah mencapai ratusan ribu. PBB pun tidak berbuat apa-apa meskipun pemerintah Rwanda sudah meminta PBB untuk bertindak.

B. 2. Pelanggaran Hukum Humaniter

Jelas dalam serangan tersebut telah terjadi pelanggaran HAM sekaligus juga pelanggaran hukum humaniter. Dalam konteks hukum humaniter, apa yang dilakukan oleh oleh tentara RPA waktu itu jelas melanggar hukum humaniter,

Page 19: Dian Tri Puspa Sari

khususnya konvensi Jenewa 1949. Seperti diketahui bersama, sebelum lahirnya Konvensi Jenewa 1949, tidak ada ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai perang saudara atau pemberontakan. Baru setelah lahirnya Konvensi-Konvensi Jenewa tahun 1949, maka mengenai sengketa bersenjata yang bersifat ini diatur. Namun demikian, apabila pihak pemberontak memperoleh status sebagai pihak yang berperang (belligerent), maka hubungan antara pemerintah de jure dan pihak pemberontak akan diatur oleh hukum internasional khususnya yang mengenai perang dan netralitas. Konsekuensi dari hal ini adalah akan mengakibatkan berakhirnya status sifat intern (internal character) dari konflik bersenjata tersebut. Hal ini disebabkan karena pengakuan atas status belligerent tersebut oleh pemerintah de jure atau pihak ketiga akan memperkuat kedudukan pihak belligerent, sehingga apabila hal ini dilihat dari sudut pandang pemerintah de jure, maka secara politis tentunya akan merugikan pemerintah de jure. Oleh karena itu, pemerintah de jure akan selalu berusaha untuk menyangkal adanya status resmi apapun dari pihak pemberontak.

Dalam kasus Rwanda, hal ini terjadi. Walaupun pada tahun 1994 ketika terjadi pembantaian besar-besaran, posisi pemerintah dalam keadaan vakum, kenyataan bahwa hukum humaniter tetap menjadi hukum yang harus ditaati merupakan hal yang mutlak. Pada saat itu, dan kemudian terjadi lagi pada tahun 2008, banyak anak dan wanita yang terbunuh oleh tentara saat itu, Jadi jelas bahwa baik suku Tutsi dan Hutu melakaukan berbagai pelanggaran terhadap aturan-aturan dalam hukum humaniter.

Kemudian, pasal 3 Konvensi Jenewa 1949 menyatakan “Dalam hal sengketa bersenjata yang tidak bersifat internasional yang berlangsung di dalam wilayah salah satu Pihak Agung penandatangan, tiap Pihak dalam sengketa itu akan diwajibkan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagai berikut : Orang-orang yang tidak mengambil bagian aktif dalam sengketa itu, termasuk anggota-anggota angkatan perang yang telah meletakkan senjata-senjata mereka serta mereka yang tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penawanan atau sebab lain apapun dalam keadaan bagaimanapun harus diperlakukan dengan perikemanusiaan, tanpa perbedaan merugikan apapun juga yang didasarkan atas ras, warna kulit, agama atau kepercayaan, kelamin, keturunan atau kekayaan, atau setiap kriteria lainnya serupa itu. Untuk maksud ini, maka tindakan-tindakan berikut dilarang dan akan tetap dilarang untuk dilakukan terhadap orang orang tersebut di atas pada waktu dan di tempat apapun juga :

a. Tindakan kekerasan atas jiwa dan raga, terutama setiap macam pembunuhan, penyekapan,

perlakuan kejam dan penganiayaan;

Page 20: Dian Tri Puspa Sari

b. Penyanderaan;

c. Perkosaan atas kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang menghina dan merendahkan martabat;

d. Menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului keputusan yang dijatuhkan oleh suatu pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa beradab.

Pasal 3 mengharuskan pihak-pihak penandatangan untuk memperlakukan korban sengketa bersenjata internal menurut prinsip-prinsip yang diatur dalam Pasal 3 ayat 1. Selain itu, Pasal 3 Konvensi-Konvensi Jenewa 1949 memberikan jaminan perlakuan menurut asas-asas perikemanusiaan, terlepas dari status apakah sebagai pemberontak atau sifat dari sengketa bersenjata itu sendiri.

Dalam Pasal 3 keempat Konvensi tahun 1949 ini terdapat semua pokok utama perlakuan korban perang menurut Konvensi-konvensi 1949, sehingga pasal ini dinamakan juga Konvensi Kecil (Convention in Miniature). Selanjutnya Pasal 3 ayat 2 Konvensi-konvensi Jenewa 1949 menyatakan bahwa yang luka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat. Sebuah badan humaniter tidak berpihak, seperti Komite Palang Merah Internasional dapat menawarkan jasajasanya kepada pihak-pihak dalam sengketa. Pihak-pihak dalam sengketa selanjutnya harus berusaha untuk melaksanakan dengan jalan persetujuan-persetujuan khusus, semua atau sebagian dari ketentuan lainnya dari konvensi ini. Pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam sengketa. Ketentuan yang menyatakan bahwa Pihak-pihak dalam sengketa selanjutnya harus berusaha untuk melaksanakan dengan jalan persetujuan-persetujuan khusus, menunjukkan bahwa dalam peristiwa terjadinya sengketa dalam negara tidak dengan sendirinya seluruh konvensi berlaku, melainkan hanya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3 ayat 1.

Selanjutnya, kalimat diadakannya perjanjian-perjanjian demikian antara pemerintah de jure dan kaum pemberontak tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam pertikaian, yang berarti bahwa maksud dari Pasal 3 adalah semata-mata didorong cita-cita perikemanusiaan dan tidak dimaksudkan untuk mencampuri urusan dalam negeri suatu negara. Namun demikian, walaupun sudah ada ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 3, harus pula diperhatikan bahwa :

Page 21: Dian Tri Puspa Sari

1. Dengan adanya Pasal 3 tidak dengan sendirinya seluruh konvensi berlaku dalam sengketa senjata yang bersifat intern, melainkan hanya asas-asas pokok yang tersebut dalam Pasal 3.

2. Pasal 3 tidak mengurangi hakpemerintah de jure untuk bertindak terhadap orang-orang yang melakukan pemberontakan bersenjata, menurut undang-undang atau hukum nasionalnya sendiri. Pasal ini semata-mata bermaksud memberikan jaminan perlakuan korban sengketa bersenjata internal, berdasarkan asas-asas perikemanusiaan.

Jelaslah bahwa baik dalam konteks konflik internal Rwanda, maupun dari sisi pelanggaran terhadap hukum humaniter dengan membunuh anak kecil dan wanita. Dalam proses selanjutnya dalam penyelesaiannya, konflik Tutsi dan Hutu ini sekiranya harus diselesaikan secara proporsional antara pemerintah Rwanda sendiri dan kedua pihak yang bertikai. Persoalan bahwa antara Tutsi maupun Hutu berusaha untuk menancapkan kekuasaannya dalam tubuh pemerintah menjadi tantangan tersendiri. Tutsi dan Hutu harus membuka diri bagi persoalan ini.

Peran dunia Internasional harus ditingkatkan demi terwujudnya Rwanda yang lebih baik. Negara-negara Afrika sebagai tetangga terdekat harus turun tangan. Demikian pun halnya dengan PBB dan Uni Eropa.

Page 22: Dian Tri Puspa Sari

BAB 5

KESIMPULAN

1. Sebenarnya genosida tidak hanya dijalankan oleh sistem yang melakukannya dalam konteks ini adalah rezim Hutu, tetapi secara tidak langsung PBB ataupun negara yang memiliki andil besar dalam perpolitikan global, seperti Amerika Serikat, juga memberikan dampak secara tidak langsung atas terciptanya genosida di Rwanda. Ketidakadaan kepentingan Amerika di Rwanda, dan bersikeukeuhnya Amerika terhadap sistem kepentingan politik global secara sadar ataupun tidak sadar turut membiarkan genosida di Rwanda hingga harus menelan korban jiwa 800.000 selama 100 hari  dibawah rezim Hutu.

2. Melihat kasus di Rwanda yang diangkat dalam film ini agaknya amat mudah sekali disimpulkan bahwa konsepsi Third World tersirat secara eksplisit pada negara Afrika. Teori dependensi agaknya bisa menjadi cara yang solutif, walaupun pada dasarnya cenderung menciptakan circumstance of capitalism and social class.

3. Power tampaknya menjadi sebuah unsur yang sangat amat sensitif jika dilihat dalam konteks kekuasaan suatu negara, menentukan apakah negara tersebut cenderung dipimpin oleh mereka yang egaliter dan demokratis, atau sebaliknya otoritarian, totaliter dan sangat mengutamakan aspek represif 100% dalam menjalankan roda pemerintahannya.

Page 23: Dian Tri Puspa Sari

DAFTAR PUSTAKA

http://www.docstoc.com/docs/82876708/Makalah-HUKUM-HUMANITER-INTERNASIONAL.diakses7-05-2013.21:14

http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=jurnal+hukum+humaniter+internasional+pdf.diakses7-05-2013.21:17WIB

http://www.google.co.id/#sclient=psy-ab&q=jurnal+hukum+humaniter+internasional+&oq=jurnal+hukum+humaniter+internasional+&gs_l=hp.3..0i30.649842.650178.2.654416.3.1.2.0.0.1.474.474.4-1.1.0...0.0...1c.1.12.hp.al6p3iWCDZM&psj=1&bav=on.2,or.r_qf.&bvm=bv.45960087,d.bmk&fp=ad595f020d47a3b9&biw=1280&bih=580.diakses7-05-2013.21:19

Kejahatan Perang dan Beberapa Masalah Rumusannya dalam Hukum Pidana Nasional.Penulis : Rina Rusman

http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=jurnal+hukum+humaniter+internasional+&source=web&cd=4&cad=rja&ved=0CDkQFjAD&url=http%3A%2F%2Fijtihad.stainsalatiga.ac.id%2Fijtihad%2Fdownload-artikel%2Fcategory%2F4-jurnal-ijtihad-vol-12-no-2-desember-2012.html%3Fdownload%3D9%253Amenggugah-peran-hukum-humaniter-internasional-islam-dalam-mengurai-konflik-etnis-perspektif-sejarah-&ei=uQuJUbnSN4fnrAeQ_oHgCw&usg=AFQjCNFgd4aG-kSQEMiPAxe3BF0s8VVqKQ&bvm=bv.45960087,d.bmk.diakses7-05-2013.21:25

Jurnal Hukum Humaniter diterbitkan oleh Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM (terAs), Fakultas Hukum Universitas Trisakti Yogyakarta. Dan bekerja sama dengan Komite Internasional Palang Merah (International Committee of the Red Cross).

Ria Wierma Putri, Op.Cit., hlm.11

F. Sugeng Istanto, Perlindungan Penduduk Sipil Dalam Perlawanan Rakyat Semesta Dan Hukum Internasional, Yogyakarta: Andi Offset, hlm.98.

http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=+jurnal+hukum+humaniter+pdf&source=web&cd=1&cad=rja&ved=0CCgQFjAA&url=http%3A%2F%2Fpusham.uii.ac.id%2Fdownload%2Fham%2Fhukum%2520humaniter.pdf&ei=lxyJUajtHsTyrQeJhIBQ&usg=AFQjCNGl9AuOk9ltcgnrE

Page 24: Dian Tri Puspa Sari

y5NYDHyVsxdAw.7-05-2013 Global war on terror oleh USA dalam perpektip ukum International

http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=+jurnal+hukum+humaniter+pdf&source=web&cd=6&cad=rja&ved=0CEUQFjAF&url=http%3A%2F%2Ffh.unsoed.ac.id%2 Fsites%2Fdefault%2Ffiles%2Ffileku%2Fdokumen%2FJDH2012%2F8.pdf&ei=lxyJUajtHsTyrQeJhIBQ&usg=AFQjCNHXbsmlEODhrG7nJ1x9y1H-GvBpvQ perlindungan terhadap orang-orang dalam daerah konfli8k bersenjata menurut hukum international

http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=+jurnal+hukum+humaniter+pdf&source=web&cd=3&cad=rja&ved=0CDMQFjAC&url=http%3A%2F%2Fjournal.unair.ac.id%2FfilerPDF%2FArticle_Intan.pdf&ei=lxyJUajtHsTyrQeJhIBQ&usg=AFQjCNHR9tPfQdVjYWKAH1FTVNfj2U1qqw study on customary in humanitarian law Indonesia translation

http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=+jurnal+hukum+humaniter+pdf&source=web&cd=1&cad=rja&ved=0CCgQFjAA&url=http%3A%2F%2Fpusham.uii.ac.id%2Fdownload%2Fham%2Fhukum%2520humaniter.pdf&ei=lxyJUajtHsTyrQeJhIBQ&usg=AFQjCNGl9AuOk9ltcgnrEy5NYDHyVsxdAw

http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=+jurnal+hukum+humaniter+pdf&source=web&cd=9&cad=rja&ved=0CFAQFjAI&url=http%3A%2F%2Fwww.balitbangham.go.id%2FJURNAL%2FJurnal%2520HAM%2520I%2520SUPARDAN.pdf&ei=lxyJUajtHsTyrQeJhIBQ&usg=AFQjCNGLJGT90E-0-6CdF9pgYAJZH8ay5A hukum humaniter dan hak asasi

http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=jurnal+hukum+humaniter+pdf&source=web&cd=14&cad=rja&ved=0CDkQFjADOAo&url=http%3A%2F%2Fwww.elsam.or.id%2Fpdf%2Fkursusham%2FHukum_Humaniter_dan_HAM.pdf&ei=Yh-JUZqAFY2IrAeVkoHYCw&usg=AFQjCNHHpPblya9YNjDXcyVASYXCt6rEQg prinsip-prinsip kemanusian dalam pelaksanan tugas kepolisian

http://www.docstoc.com/docs/82876708/Makalah-HUKUM-HUMANITER-INTERNASIONAL