DIALEKTOLOGI

47
1 DIALEKTOLOGI (SEMESTER IV) 1. Dialektologi 2. Batasan Dialek 3. Sejarah dan Perkembangan Dialek 4. Macam/Ragam Dialek 5. Ciri Pembeda Dialek 6. Sumber Penelitian Dialek 7. Pendekatan Sinkronis dan Diakronis 8. Informan dan Titik Pengamatan 9. Penelitian Dialek 10. Metode dan Teknik Penelitian Dialek: 1) Langkah2 Penelitian, 2) metode pengumpulan data, 3) teknik pengumpulan data, 4) metode dan teknik analisis data, 5) metode pemaparan hasil analsis data

Transcript of DIALEKTOLOGI

Page 1: DIALEKTOLOGI

1

DIALEKTOLOGI(SEMESTER IV)

1. Dialektologi2. Batasan Dialek 3. Sejarah dan Perkembangan Dialek4. Macam/Ragam Dialek5. Ciri Pembeda Dialek6. Sumber Penelitian Dialek7. Pendekatan Sinkronis dan Diakronis8. Informan dan Titik Pengamatan9. Penelitian Dialek10. Metode dan Teknik Penelitian Dialek: 1) Langkah2

Penelitian, 2) metode pengumpulan data, 3) teknik pengumpulan data, 4) metode dan teknik analisis data, 5) metode pemaparan hasil analsis data

Page 2: DIALEKTOLOGI

2

Buku-buku acuan1. Ayatrohaedi. 1983 Dialektologi. Sebuah

pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud.

2. Chambers, J. K. dan Peter Trudgill. 1980. Dialectology. Cambridge: Cambridge University Press.

3. Lauder, Multamia R. M. T. 1993. Pemetaan dan Distribusi Bahasa-Bahasa di Tangerang. Jakarta: Depdiknas.

Page 3: DIALEKTOLOGI

3

Buku-buku Acuan4. Mahsun. 1995. Dialektologi Diakronis, Sebuah

Pengantar. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

5. Soetoko, dkk. 1984. Geografi Dialek Bahasa Jawa di Kabupaten Surabaya. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Depdikbud

6. Ida Zulaeha. 2010. Dialektologi; Dielek Geografi dan Dialek Sosial

7. Nadra dan Reniwati. 2009. Dialektologi: Teori dan Metode. Yogyakarta: Elmatera Publishing.

8. Gorys Keraf. 1984. Linguistik Bandingan Historis. Jakarta: Gramedia.

9. Inyo Yos Fernandez. 1996. Relasi Historis Kekerabatan Bahasa Flores. Ende: Nusa Indah.

Page 4: DIALEKTOLOGI

4

• Beberapa hasil penelitian tentang geografi dialek maupun sosiodialek, antara lain:

a. Geografi dialek Solo’b. Geografi dialek Demak,c. Geografi dialek Jepara,d. Geografi dialek Kudus,e. Geografi dialek Rembang,f. Geografi dialek Pati,g. Geografi dialek Banyuwangi,h. Geografi dialek Banyumas,i. Geografi dialek Tangerang,j. Dll.

Page 5: DIALEKTOLOGI

5

DIALEK • Beberapa pendapat mengenai batasan atau

istilah dialek,• Beberapa hal yang menjadi pembeda dialek,• Isoglos atau garis batas dialek,• Perkembangan dialek beserta asal usulnya,• Sumber-sumber penelitian dialek,• Ragam-ragam dialek,

Page 6: DIALEKTOLOGI

6

Dialek dan Dialektologi

• Istilah dialek berasal dari kata Yunani dialektos yang berpadan kata dengan logat.

• Dialektologi adalah cabang ilmu bahasa yang mengkaji tentang dialek, yaitu tentang variasi-variasi bahasa berdasarkan perbedaan lokal dari seluruh aspeknya, yaitu aspek fonologi, morfologi, sintaksis, leksikon, dan semantik (lihat Chambers dan trudgill, 1980; Gorys Keraf, 1984; Ida Zulaeha, 2010).

• Menurut Meillet (1967: 69), di Yunani terdapat perbedaan-perbedaan kecil dalam bahasa yang dipergunakan oleh pendukungnya masing-masing, tetapi hal tersebut tidak sampai menyebabkan mereka merasa memiliki bahasa yang berbeda. Bahkan, mereka secara keseluruhan merasa memiliki satu bahasa yang sama.

Page 7: DIALEKTOLOGI

7

Ciri utama dialek

Meillet mengatakan bahwa ciri utama dialek adalah ‘perbedaan dalam kesatuan, dan kesatuan dalam perbedaan’ (hal. 70).

Page 8: DIALEKTOLOGI

8

Ciri lain suatu Dialek

1.Dialek adalah seperangkat bentuk ujaran setempat yang berbeda-beda, yang memiliki ciri-ciri umum dan masing-masing lebih mirip sesamanya dibanding dengan bentuk ujaran lain dari bahasa yang sama,

2.Dialek tidak harus mengambil semua bentuk ujaran dari sebuah bahasa.

3.Dialek pada awalnya adalah ‘kata-kata di atas tanahnya’ mots de leur terroir.

Page 9: DIALEKTOLOGI

9

• Contoh:1. Bahasa Jawa Yogja – Solo (BJYS), dianggap

bahasa standar (pusat budaya, pusat segala kegiatan (pemerintahan): kraton): jiglO? ‘jatuh untuk barang’, tibO ‘jatuh untuk orang’

2. Bahasa Jawa di luar Yogja-Solo dianggap tidak standar, kedudukannya di bawah BJYS (jauh dari pusat budaya: sebagian mengikuti pusat dan sebagian tidak mengikuti (menyimpang) dari pusat budaya);

3. Dialek tidak berkaitan dengan norma bahasa (standar) karena masing-masing penutur (daerah) memiliki kebudayaan masing-masing yang hidup dan terpelihara dengan baik (dinikmati) oleh seluruh masyarakatnya.

Page 10: DIALEKTOLOGI

10

• BJ non YS berkembang di berbagai daerah dengan berbagai variasinya masing-masing.

• Contoh: kata ‘jatuh, utuk barang’, sangat bervariasi: tibO, jiglO?, rintOh, ceblO?, runtUh, jiblO?, rigOl, giglO?, gigOl, nyeblO?, dsb.

• Kata bermakna ‘berlubang’ menjadi sangat beragam tergantung ‘di mana dan mengenai apa’ bocor/lubang itu.

• Kata bOrOt ‘berlubang/bocor untuk panci, gelas, dan sejenisnya yang bisa/biasa menampung benda cair’, sedangkan untuk ‘ban berlubang’ biasanya digunakan kata bocOr.

Page 11: DIALEKTOLOGI

11

• Untuk ‘genting yang bocor ketika kena hujan’ biasa digunakan istilah trOcOh.

• Dari bervariasinya istilah untuk BJ tersebut, terasa bahwa betapa beragamnya BJ (beragam-ragam karena geografinya maupun tingkat sosialnya).

• Dalam BJ dikenal beberapa variasi (dialek) yang masing-masing mendasarkan pada hal-hal yang berbeda, misalnya:

• Ada beberapa istilah untuk menghadiri ‘undangan’, antara lain adalah: (1) kondangan ‘datang karena diundang (ke undangan)’, (2) nyumbang ‘datang untuk memberikan sumbangan’, (3) jagong ‘duduk-(duduk)’ karena seseorang datang di suatu tempat dan duduk sambil menikmati hidangan, (4) buwOh (dari wuwuh ‘menambah’).

Page 12: DIALEKTOLOGI

12

• ‘pepaya’ gantUng (buah yang menggantung), ganDUl (buah yang menggantung (Jawa: ngganDUl).

• Buah ‘rambutan’, di beberapa daerah rambutan (kulit menyerupai rambut), ace(h) (buah ini berasal dari Aceh)

Page 13: DIALEKTOLOGI

13

Pembeda dialek

• Paling tidak ada 5 macam pembeda dialek:

1. Perbedaan fonetik,2. Perbedaan semantik: sinonim dan

homonim,3. Perbedaan onomasiologis,4. Perbedaan semasiologis, dan5. Perbedaan morfologis

Page 14: DIALEKTOLOGI

14

1. Perbedaan Fonetik

• Yaitu perbedaan di bidang fonologi (pada vokal maupun konsonan), biasanya penutur tidak menyadari adanya perbedaan tersebut.

• Contoh: jênDelO-cênDelO ‘jendela’, paDaran-maDaran ‘perut’, mlayu-mblayu ‘lari’.

Page 15: DIALEKTOLOGI

15

2. Perbedaan semantik

• Yaitu dengan terciptanya kata-kata baru, berdasarkan perubahan fonologi dan geseran bentuk yang biasanya juga terjadi pergeseran makna.

a. Sinonim (padan kata): pemberian nama yang berbeda untuk lambang yang sama di beberapa tempat yang berbeda, contoh: pupu-sempOl ‘paha (ayam)’, gêmblOng-jadah ‘uli (makanan dari ketan)’

b. Homonim: pemberian nama yang sama untuk hal yang berbeda di beberapa tempat yang berbeda.

Page 16: DIALEKTOLOGI

16

• Contoh: ontEl, di beberapa daerah (Klaten, Solo, Boyolali) bermakna ‘bunga dari sukun atau kluwih’ sedangkan di daerah lain bermakna ‘bunga pisang = jantung’.

Page 17: DIALEKTOLOGI

17

4. Perbedaan semasiologis

• Merupakan kebalikan dari perbedaan onomasiologis, yaitu pemberian nama yang sama untuk beberapa konsep yang berbeda.

• Contoh: Kata ambon, misalnya, mengandung makna (1) ‘nama suku bangsa, (2) ‘nama buah pisang’, (3) ‘nama kebudayaan’, (4) ‘nama bahasa’.

Page 18: DIALEKTOLOGI

18

3. Perbedaan onomasiologis

• Yaitu menunjukkan nama yang berbeda berdasarkan satu konsep yang diberikan di beberapa tempat yang berbeda.

• Menghadiri ‘kenduri’ atau ‘orang yang punya hajat/ perhelatan’ di beberapa daerah bahasa Jawa (BJ) dikenal dengan (n)jagOng (datang dan duduk-duduk (sambil berbincang-bincang), ñumbang (datang dan memberi sumbangan), kondangan (datang karena diundang ‘ke-undangan’), buwOh (datang untuk memberikan ‘tambahan’ wuwuh).

• Dalam bahasa Sunda (BS) juga dikenal: kaondangan, kondangan, ñambungan (mungkin menyambung silaturahmi)

Page 19: DIALEKTOLOGI

19

5. Perbedaan Morfologis

• Dibatasi oleh adanya sistem tata bahasa bahasa yang bersangkutan, oleh frekuensi morfem-morfem yang berbeda, oleh kegunaannya yang berkerabat, oleh wujud fonetisnya, oleh daya rasanya, dan oleh sejumlah faktor lainnya (Guiraud, 1970 dalam Ayatrohaedi, 1983: 5).

• Dalam hal ini akan memungkinkan adanya inovasi.• Inovasi dibedakan menjadi dua tahap, ialah

penciptaan yang sifatnya perorangan dan penerimaan oleh masyarakat bahasa yang merupakan suatu kenyataan sosial.

• Seandainya ada penciptaan tetapi tidak diterima oleh masyarakat, tentu tidak mungkin akan muncul di masyarakat (tidak terjadi inovasi).

• Inovasi diciptakan bersama-sama dalam masyarakat, harus didukung oleh seluruh masyarakat penutur bahasa tersebut.

Page 20: DIALEKTOLOGI

20

• Contoh: ng(alem) dan aleman ‘manja’, simbO? – mbO?e, tEhtEhan – ti(h)tihan, dsb.

Page 21: DIALEKTOLOGI

21

Perkembangan Dialek

• Perkembangan bahasa/dialek dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal.

• Faktor internal ialah faktor yang ada di dalam bahasa itu sendiri, misalnya mengenai variasi fonetis, variasi fonemis, dan variasi morfologis.

• Faktor eksternal adalah faktor yang ada di luar sistem bahasa, meliputi: waktu, tempat, sosial budaya, situasi, dan sarana yang digunakan

• Perkembangan suatu dialek (bahasa) sangat tergantung kepada sejarah daerah yang bersangkutan.

• Di samping itu, faktor agama, kebudayaan, ekonomi, dan komunikasi juga ikut andil dalam perkembangan dialek suatu daerah.

Page 22: DIALEKTOLOGI

22

• Munculnya ragam dialek juga disebabkan oleh adanya hubungan dan keunggulan bahasa-bahasa yang terbawa ketika terjadi perpindahan penduduk, penjajahan, atau peperangan.

• Pengaruh dialek atau bahasa yang bertetangga juga ikut andil mewarnai wujud dialek di suatu wilayah (bisa berwujud kosa kata, lafal, maupun struktur.

• Dari berbagai faktor tersebut, pemisahannya ditandai oleh isoglos/(garis) watas kata, yang gerak garis batasnya disebut berkas batas kata.

• Batas/garis batas antara dialek yang satu dengan dialek yang lain tidak jelas (ada irama yang bervariasi), kecuali (mungkin) dua daerah yang dibatasi oleh sungai atau rimba belantara yang sangat luas dan sulit atau tidak memungkinkan untuk ditembus oleh masyarakat dari masing-masing wilayah.

Page 23: DIALEKTOLOGI

23

Perkembangan membaik

• Bahasa Daerah (BD) BJYS dianggap sebagai BJ standar (BJ di pusat budaya), bahasa yang digunakan di sekolah-sekolah sebagai mata pelajaran ‘Mulok’.

• Penobatan BJYS menjadi bahasa Baku (standar) tidak mengalami kesulitan karena faktor luar bahasa, sperti: sebagai pusat kegiatan politik dan pemerintahan, keraton juga berperan sebagai pemelihara perkembangan kebudayaan, termasuk bahasanya.

Page 24: DIALEKTOLOGI

24

Perkembangan memburuk

• Biasanya disebabkan oleh faktor luar bahasa, antara lain:

1. Pengaruh dari bahasa lain.Masuknya bahasa kebangsaan ke dalam bahasa daerah dan masuknya bahasa kebangsaan dan bahasa baku bahasa daerah ke dalam dialek dengan melalui berbagai saluran baik secara resmi maupun tidak resmi, antara lain:

Page 25: DIALEKTOLOGI

25

a. Sekolah atau lembaga pendidikanHampir semua sekolah dasar, bahkan TK (terutama di kota) menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar dalam kelas. Dalam hal itu, akan mengacaukan anak didik yang menggunakan bahasa ibu bahasa daerah.

b. Saluran budayaSaluran ini antara lain karena adanya surat kabar, radio, televisi, buku, majalah, dan film. Tidak adanya siaran bahasa daerah di TV, misalnya, merupakan salah satu faktor yang secara tidak langsung mengharuskan orang untuk mendengar, mencoba memahami/menafsirkan BI itu dengan kemampuan yang dimiliki.

Page 26: DIALEKTOLOGI

26

2. Faktor sosialDengan membaiknya taraf sosial masyarakat,kemungkinan memperoleh pendidikan yang lebih baik dan memperoleh kedudukan lebih baik pun menjadi lebih terbuka lebar.

• Dengan demikian, masyarakat akan berusaha mendapatkannya dengan meninggalkan kampung halamannya (desa) untuk pergi ke kota yang lebih besar. Di kota mereka hidup/bergaul dengan orang lain (bahasa lain) dan pada akhirnya lambat laun akan meninggalkan bahasa daerahnya, apalagi dialeknya. Hal ini merupakan pertanda semakin memburuknya keadaan bahasa daerah apalagi dialek.

Page 27: DIALEKTOLOGI

27

• Kehidupan masyarakat desa yang susah juga ikut memicu adanya perpindahan sebagian warganya ke kota yang pada akhirnya ‘berpindah’ pula bahasa yang digunakannya.

• Ketika kembali ke desa, mereka tetap mempertahankan gaya/cara hidup yang mereka peroleh di rantau.

• Pada penggunaan bahasa baku BD akan terlihat pengaruh bahasa nasional bahkan bahasa asing.

• Pada saat penggunaan di tingkat dialek akan terlihat pengaruh atau bahkan mereka akan lebih memilih menggunakan bahasa baku BD nya, karena mereka beranggapan bahwa bahasa baku lebih baik.

• Itu semua menunjukkan bahwa semakin memburuknya keadaan bahasa daerah apalagi dialek.

Page 28: DIALEKTOLOGI

28

• Proses pemengaruhan BI ke dalam BD sangat mudah disebabkan adanya kenyataan bahwa pada dasarnya BI maupun BD yang ada di Indonesia termasuk dalam satu rumpun yang sama (struktur dan sistem), kecuali bbrp bhs yang ada di Irian Jaya.

Page 29: DIALEKTOLOGI

29

Sumber Penelitian Dialek

1. Sumber lisan• Berupa bahasa atau dialek itu sendiri yang di

dalamnya dijumpai adanya cerita rakyat, adat-istiadat/kebiasaan, kepercayaan, atau konvensi-konvensi yang ada di daerah ybs.

• Sumber lisan dapat/akan punah jika tidak segera ada usaha untuk mengagendakan dengan jalan penelitian, misalnya.

2. Sumber tulis• Sumber tulis banyak memberikan

sumbangan kepada usaha penelitian sumber lisan.

Page 30: DIALEKTOLOGI

30

Sumber tulis• Sumber tulis dibagi menjadi dua, yaitu (1)

naskah dan (2) kamus dan atlas bahasa.1. Naskah

Bahasan atau seluk-beluk naskah sangat bermanfaat bagi penelitian dialek, apalagi yang berupa naskah-naskah kuna yang di dalamnya memuat informasi-informasi keadaan masa lampau yang tidak ditemukan dalam masyarakat saat ini.

2. Kamus dan Atlas BahasaKamus-kamus dialek merupakan sumber informasi yang utama dalam penel dialek walaupun kamus tsb masih sangat sederhana yang biasanya belum ada tanda fonetiknya.

Page 31: DIALEKTOLOGI

31

Macam-macam Dialek• Ragm dialek/bahasa ditentukan oleh

faktor waktu, tempat, sosio-budaya, situasi, dan sarana pengungkapan (Harimurti Kridalaksana, 1974: 8).

• Faktor-faktor tersebut saling pengaruh antara satu dengan yang lain.

• Pada umumnya, dialek dibagi menjadi tiga, ialah (1) dialek 1, dialek geografi, (2) dialek regional, dan (3) dialek sosial.

Page 32: DIALEKTOLOGI

32

Dialek 1• Dialek yang dihasilkan oleh adanya dua faktor

yang saling melengkapi, yaitu faktor tempat dan faktor waktu. Jadi, dialek ini berbeda karena faktor keadaan alam tempat dialek tersebut dipergunakan dari masa ke masa (Warnant, 1973: 101 dalam Ayatrohaedi, 1983: 13).

• Dalam hal ini, bahasa/dialek tertentu dipergunakan yang menurut sejarahnya hanya dipergunakan di daerah tertentu saja.

• Misal: bhs Melayu yang dipergunakan di daerah Menado menurut sejarah dan berdasarkan tempatnya hanya dipergunakan di daerah Menado.

Page 33: DIALEKTOLOGI

33

Dialek 2• Dialek jenis ini di dalam kepustakaan dialektologi

Roman disebut dialecte 2, regiolecte atau dialecte regional, yaitu bahasa yang dipergunakan di luar daerah pakainya. (Warnant, 1973: 102 dalam Ayatrohaedi: 1983: 13; Mahmud Saefi: Google: 12 Maret 2009, 09.00 WIB).

• Juga disebut dialek geografi (geographical dialect) Harimurti, 1984: 39), ialah dialek yang ciri-cirinya dibatasi oleh tempat, misal dialek Melayu Menado, dialek Jawa Banyumas, dialek Jawa Pati, dsb.

• Bahasa Jawa (BJ) yang dipergunakan di wilayah pakai non BJ (misal wilayah Cirebon-Sunda) termasuk Dialek 2.

• Bahasa Sunda (BS) yang dipergunakan di wilayah pakai non BS (misal wilayah Cirebon-Jawa juga termasuk dialek 2.

Page 34: DIALEKTOLOGI

34

• Dalam dialek 2 ini masuk bhs asli si penutur, seperti terbukti bahwa ada perbedaan BI antara penutur yang berasal dari Sunda dengan yang berasal dari Jawa, Bali, Madura, Batak atau daerah-daerah lain.

• Sedangkan BI yang dipergunakan di daerah Ambon, Menado, dan Jakarta bukan termasuk dialek 2 karena ketiga daerah tersebut dianggap sebagai daerah pakai BI.

Page 35: DIALEKTOLOGI

35

Dialek Sosial

• Dialek sosial (sosiolecte) adalah ragam bahasa yang dipergunakan oleh kelompok tertentu sehingga memperlihatkan perbedaan dengan kelompok masyarakat yang lain.

• Kelompok yang dimaksud bisa kelompok pekerjaan, usia, kegiatan, kelamin, pendidikan, dan sebagainya.

• Argot atau Slang paling jelas termasuk kelompok ini.• Argot (Perancis): bahasa dan perbendaharaan kata suatu

kelompok orang (mis. Bhs para pencopet, Harimurti K. (1984: 39); bhs khusus kaum petualang, pencuri, dan pengemis (Guiraud, 1973: 5 dalam Ayatrohaedi, 183: 14).

• Slang, adalah ragam bahasa tak resmi yang dipakai di kalangan remaja atau kelompok sosial tertentu untuk komunikasi intern, mis. Bhs prokem di kalangan remaja Jakarta (Harimurti, 1984: 181).

Page 36: DIALEKTOLOGI

36

Catatan

• Dialek geografi/dialek regional: berkaitan dengan geografi/tempat penuturnya.

• Dialek sosial: berkaitan dengan keadaan sosial penuturnya.

• Dialek temporal: berkaitan dengan waktu digunakannya suatu dialek oleh penuturnya, misal, ada BJ Kuna, BJ Tengahan, dan BJ Baru, ada BM Klasik, BM Modern.

Page 37: DIALEKTOLOGI

37

Perkembangan Dialektologi

• Dialektologi baru benar-benar mendapat perhatian dari para ahli bahasa menjelang akhir abad XIX.

• Gustav Wenker (1876) mengadakan penelitian dengan mengirim kuesioner kepada para guru di daerah Rinea (Jerman),

• Jules Louis Gillieron (1885) mengadakan penelitian di daerah Vionnaz (Swiss) dengan metode angket lapangan untuk pembuatan atlas bahasa,

• Kedua orang itu dianggap sebagai “bapak” ilmu geografi dialek di negaranya masing-masing dan dalam perkembangannya mempengaruhi penelitian dialek geografi di negara-negara lain.

Page 38: DIALEKTOLOGI

38

Masa sebelum 1875• Sejak zaman Renaissance (Zaman Kebangkitan Kembali)

para ahli bahasa mulai mampu untuk mengikuti perkembangan dan mengamati perkembangan bahasa, sementara pemerintah/negara (politik) ikut mencampuri masalah kebahasaan.

• Pendapat yang mengatakan bahwa bahasa yang dipergunakan di kalangan keraton merupakan ragam yang paling baik di antara ragam-ragam yang ada dicetuskan sekitar tahun 1535.

• Pemakaian dialek mulai ditentang pada pertengahan awal abad ke-16: di Wales (1535) dan di Perancis (1539).

• Tetapi tahun 1584 diterjemahkan sebuah naskah Decamerone ke dalam 12 dialek Italia dengan cara angket koresponden sangat berpengaruh terhadap karya-karya sejenisnya yang terbit kemudian

• Usaha Gottfried Wilhelm Leibniz (pertengahan abad XVII) untuk memperkaya bahasa Jerman dengan memasukkan kata-kata asli merupakan bukti bahwa kehidupan dialek masih mendapat perhatian.

Page 39: DIALEKTOLOGI

39

• Metode angket lapangan pertama kali dilakukan oleh Martin Sarmiento (Spanyol) tahun 1730. menurutnya bahasa ibu (Latin) penting untuk dikuasai oleh para keluarga.

• Sejak saat itu dialek mendapat perhatian, antara lain dengan usaha menyusun kamus bahasa2 Roman dengan memperhatikan kaidah bunyi untuk menentukan asal-usul kata.

• Angket koresponden (pupuan sinurat) yang diadakan oleh Kementerian Dalam Negeri Perancis (1806) dengan penanggung jawab Baron Coquebert de Monbret menghasilkan peta bahasa yang membatasi tuturan-tuturan yang dipergunakan di Perancis.

• Penelitian kaidah fonetik (awal abad ke-19) oleh Franz Bopp menjadi dasar penelitian geografi dialek, yang kmd diikuti oleh peneliti lain, di antaranya Friedrich Diez, Brugmann, Osthoff, Braune, Sievers, dan Paul (Wartburg, 1943: 2-4 dalam Ayatrohaedi, 1983: 16).

Page 40: DIALEKTOLOGI

40

• Kemungkinan untuk membuat peta bahasa pertama kali digagas oleh Baron Claude Francois Etienne Dupin (1814), dengan tujuan memperoleh gambaran bagaimana kedudukan sustu dialek terhadap dialek tetangga (Pop, 1950:XXXI dalam Ayatrohaedi, 1983: 17).

• Dessire Monnier mulai memikirkan untuk membuat peta fonetik.

• N. St.des Etangs (1845) yang pertama kali memperhitungkan folklore yang diharapkan dapat menjadi jembatan antara pekerja ilmiah dengan dengan orang awam di pedalaman, antara teori dan penerapannya.

• Bernandino Biondelli (1853) mengumpulkan bahan dengan angket responden/tertulis dan angket lapangan untuk pertama kali mulai mengadakan pemerian dialek yang kemudian mempengaruhi kajian dialektologi Italia.

• Ia berpendapat bahwa bahan dialek harus dikumpulkan langsung dari mulut orangnya dan tidak dengan mempergunakan dokumen tertulis.

Page 41: DIALEKTOLOGI

41

Masa sesudah 1875

• Gustav Wenker (filsuf Jerman), 1876 mengirim daftar tanyaan yang berisi 40 kalimat sederhana (berisi 335 kata) kepada para guru di wilayah Renia untuk diterjemahkan ke dalam dialek setempat. Hasilnya dipetakan dan dimuat di dalam karyanya Das Rhenischen Platt (Diiselfoft, 1877: 1-6 dalam Ayatrohaedi, 1983: 17). Atlasnya disimpan di univ. Marburg.

• Cara yang sama digunakan Wenker di Jerman Tengah dan Utara (1881) dan Jerman Selatan (1887).

• Ia dibantu oleh filolog Jerman, yaitu Otto Behagel, W. braune, F. Kluge, dan H. Paul, dan sejak 1887 turut juga membantu C. Norrenberg dan Ferdinand Wrede.

• Jika ada kata-kata yang menarik (khas) di suatu daerah penelitian tetapi tidak terdapat di dalam daftar kata yang sudah disediakan, Wenker meminta agar memasukkan ke dalam catatan khusus.

Page 42: DIALEKTOLOGI

42

• Metode yang digunakan adalah metode angket koresponden (pupuan sinurat) yang dikirim lewat Kepala Sekolah untuk diteruskan kpd para guru. Walaupun metode ini tdk begitu baik karena kemungkinan yang mengisi bukan guru ybs tetapi tetap bisa dipakai sebagai acuan tentang kata-kata di tempat itu.

• Metode pupuan sinurat (madzab Jerman) ini dikecam oleh beberapa ahli karena dianggap tidak valid.

• Akhirnya, metode pupuan lapangan digunakan oleh Wrede dengan menggabungkan dengan metode angket tertulis (madzab Perancis).

Page 43: DIALEKTOLOGI

43

DIALEK GEOGRAFI

• Batasan geografi dialek• Tujuan penelitian geografi dialek• Metode penelitian geografi dialek• Daerah penelitian geografi dialek

Page 44: DIALEKTOLOGI

44

Kerangka penelitian dialek

• Daftar peta• Daftar peta kata• Kata pengantar• Bab I Pendahuluan1. Latar belakang2. Rumusan masalah3. Pembatasan masalah4. Tujuan 5. Kerangka teori6. Metode dan Teknik7. Populasi dan sampel8. Informan9. Data10. Teknik pengumpulan data11. Alat pengumpul data12. Pengolahan data

Page 45: DIALEKTOLOGI

45

• Bab II Keadaan umum dan kebahasaan1. Keadaan umum• Letak geografis• Luas wilayah• Penduduk• Mata pencaharian• Agama• Pendidikan2. Keadaan kebahasaan• Nama dan wilayah pakai dialek “A”• Kedudukan dan fungsi dialek “A”• Bab III Peta Unsur dialek “A”1. Daftar kecamatan yang tertera di peta2. Daftar desa sampel yang tertera di peta3. Daftar kosa kata yang dipetakan

Page 46: DIALEKTOLOGI

46

• Bab IV deskripsi dialek “A”1. Keragaman dialek “A” dan Peta unsur

bahasa2. Ragam Unsur dialek “A” ditinjau dari segi

kosa kata dan persebarannya3. Penggunaan kata khas dialek “A” 4. Ragam unsur dialek “A” ditinjau dari segi

fonologi5. Ragam unsur dialek “A” ditinjau dari segi

morfologi6. Deskripsi lokasi persebaran unsur morfologis

dialek “A”7. Deskripsi persebaran kosa kata dialek “A”

pengaruh bahasa/dialek lain (BJ, BM, BS)

Page 47: DIALEKTOLOGI

47

• Bab V Penutup/Kesimpulan/Hambatan/Saran• Daftar Pustaka• Lampiran1. Instrumen tentang informan2. Instrumen pertanyaan latar belakang sosbud

kecamatan3. Instrumen pertanyaan latar belakang sosbud

desa sampel4. Daftar dan kode kecamatan dan desa

sampel