DIALEKTIKA GERAKAN EKONOMI ISLAM (Studi Pada …

23
DIALEKTIKA GERAKAN EKONOMI ISLAM (Studi Pada Komunitas Bisnis Islami di Kota Malang) JURNAL ILMIAH Disusun oleh : Azhar Syahida 145020500111011 JURUSAN ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG 2018

Transcript of DIALEKTIKA GERAKAN EKONOMI ISLAM (Studi Pada …

Page 1: DIALEKTIKA GERAKAN EKONOMI ISLAM (Studi Pada …

DIALEKTIKA GERAKAN EKONOMI ISLAM

(Studi Pada Komunitas Bisnis Islami di Kota Malang)

JURNAL ILMIAH

Disusun oleh :

Azhar Syahida

145020500111011

JURUSAN ILMU EKONOMI

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

MALANG

2018

Page 2: DIALEKTIKA GERAKAN EKONOMI ISLAM (Studi Pada …

LEMBAR PENGESAHAN PENULISAN ARTIKEL JURNAL

Artikel Jurnal dengan judul:

DIALEKTIKA GERAKAN EKONOMI ISLAM

(Studi Pada Komunitas Bisnis Islami di Kota Malang)

Yang disusun oleh:

Nama : Azhar Syahida

NIM : 145020500111011

Fakultas : Ekonomi dan Bisnis

Jurusan : S1 Ilmu Ekonomi

Bahwa artikel Jurnal tersebut dibuat sebagai persyaratan ujian skripsi yang dipertahankan di

depan Dewan Penguji pada tanggal 30 Mei 2018.

Malang, 30 Mei 2018

Dosen Pembimbing,

Arif Hoetoro, SE., MT., Ph.D

NIP. 19700920 199512 1 001

Page 3: DIALEKTIKA GERAKAN EKONOMI ISLAM (Studi Pada …

DIALEKTIKA GERAKAN EKONOMI ISLAM

(Studi Pada Komunitas Bisnis Islami di Kota Malang) Azhar Syahida

Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya

Email: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini berfokus untuk mengelaborasi tujuan, fungsi, dan proses bisnis yang dijalankan oleh komunitas,

termasuk pula gagasan-gagasan bisnis yang dicanangkan oleh tiga komunitas, yaitu Komunitas Tanpa Riba (KTR),

Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia (KPMI), dan Vigur Organik. Menggunakan paradigma kualitatif-interpretif,

penelitian ini menemukan beberapa poin orisinil. Pertama, dengan latar belakang sejarah yang beragam, komunitas

tengah berjuang mewujudkan ekonomi umat yang lebih maju dan dari ketiganya, hanya Vigur Organik yang mampu

membangun mentalitas wirausahawan. Kedua, komunitas sepakat bahwa “tauhid” adalah landasan utama kegiatan

ekonomi yang kemudian berkembang menjadi konsep “bisnis organik” dan “ekonomi kejujuran”, masing-masing

pada KTR dan Vigur Organik. Ketiga, keberhasilan bisnis dipengaruhi oleh etos kerja dan gejolak pasar, adapun

kepatuhan pada larangan riba, gharar, maisir, dan zalim hanya mendorong ketenangan batin semata. Dan terakhir,

keempat, hanya Vigur Organik yang diprediksi mampu mengejar target bisnis, sementara KTR dan KPMI belum,

sebab pergeseran paradigma dari gerakan bisnis ke gerakan sosial dan kinerja organisasi yang lemah.

Kata kunci: Bisnis Islami, KTR, KPMI, Vigur Organik

A. PENDAHULUAN

Harus diakui, kemunculan ekonomi Islam merupakan antitesis ekonomi mainstream yang menghegemoni ekonomi

dunia. Ekonomi Islam mengkritik ekonomi konvensional yang dianggap menafikan eksistensi manusia sebagai

makhluk ciptaan Tuhan. Dalam hal ini ekonomi Islam hadir sebagai bentuk pengakuan manusia atas keberadaan Tuhan

(Asy’arie, 2015:65). Ekonomi Islam mengakui pelaku ekonomi sebagai individu teomorfik yang tidak hanya

mementingkan kepentingan dunia namun berorientasi pada kehidupan ukhrawi (falah) [Naqvi, 2003:1; Hoetoro,

2017:189].

Hoetoro (2017:260) berkomentar dengan tegas bahwa kelahiran ekonomi Islam dipandang sebagai bentuk evaluasi

kritis terhadap ilmu ekonomi modern. Gagasan ekonomi konvensional yang mendikotomi keterlibatan agama dalam

perilaku ekonomi, membuat Shadr (2008:144) juga mengkritik keras tindakan tersebut, dengan menyebut doktrin

ekonomi Islam sama sekali berbeda dengan ekonomi kapitalis dan sosialis. Prawiranegara (2011:57) pun begitu,

merasa risau dan mengkritik aksi eksploitasi manusia ekonomi (homo economicus) ala Barat yang tidak punya batas

kemanusiaan.

Maksimasi utilitas dan pemenuhan kepentingan diri (self-interest) yang tidak didasari konsep spiritualitas,

membuat posisi ekonomi modern vis a vis dengan wacana ekonomi Islam. Konsep kosmik dalam area Tuhan yang

menjadi wadah kegiatan ekonomi dinafikan oleh pelaku ekonomi modern dengan mengabaikan kepentingan orang

banyak. Rasa altruistik menjadi hilang sebab ketiadaan agama dalam tindakan ekonomi (Asy’arie, 2015). Inilah

kemudian yang menjadikan ekonomi Islam bersifat dialektis dengan ekonomi modern, saling berbenturan dan terjalin

komunikasi yang resiprokal.

Dalam bentuknya yang paling pragmatis, ekonomi Islam menyembul sebagai gerakan ekonomi (economic

movement). Gerakan ini terdiri dari bisnis nonribawi dan keuangan Islam. Berbentuk keuangan Islam misalnya diawali

pada tahun 1940-an, Malaysia dan Pakistan merintis penerapan sistem profit dan loss-sharing atas pengelolaan dana

jamaah haji (Antonio, 2001:18). Sementara bisnis non-ribawi kerapkali muncul dalam bentuk komunitas pengusaha

Muslim.

Rahardjo (2004:XVI) menilai, didahuluinya gerakan ekonomi dalam wacana ekonomi Islam, lebih disebabkan

doktrin Tuhan yang paling menonjol dalam Quran dan sunnah adalah soal transaksi nonribawi. Hal ini kemudian

menginspirasi banyak pemikir Muslim untuk mengonseptualisasikan doktrin Tuhan tersebut menjadi sebuah gerakan

ekonomi.

Di Indonesia, wacana ekonomi Islam didahului oleh gerakan komunitas pengusaha sebagai implikasi atas

keresahan pada praktik ekonomi kolonial dan Cina yang melemahkan umat Islam. Fakta sejarah mencatat munculnya

Page 4: DIALEKTIKA GERAKAN EKONOMI ISLAM (Studi Pada …

beberapa komunitas atau perhimpunan pedagang Muslim yang menjadikan Islam sebagai basis ideologi, antara lain,

Sarekat Dagang Islam (SDI) bentukan Haji Samanhoeddhi (1905) yang kemudian bereinkarnasi menjadi Sarekat

Dagang Islam Indonesia (SDII) di tahun 2001, Perhimpunan Usahawan Muslimin Indonesia (HUSAMI) prakarsa

Sjafruddin Prawiranegara (1967), dan Nahdathul Tujjar, Kebangkitan Pedagang (1918) [Rahardjo, 2015:319;

Lombard, 2005:119].

Secara kasuistik, kemunculan SDI di Solo pada 16 Oktober 1905 “pada mulanya diarahkan untuk melawan para

pedagang Cina yang semakin banyak memperoleh posisi kunci dalam ekonomi Indonesia” (Djaelani, 2017:31). Noer

(1996:115-116) menambahkan unsur sikap para bangsawan pribumi yang menekan gerakan bisnis para pedagang

pribumi. Faktor lain yang juga cukup signifikan adalah persentuhan Haji Samanhoeddhi dengan tafsir progresif teks-

teks Islam sepulang dari ibadah haji pada tahun 1904 (Djaelani, 2017:30). Atas eviden ini, kemunculan SDI

menunjukkan nuansa ideologi Islam yang sangat kental dalam nafas ekonomi.

Sementara itu, HUSAMI yang dibentuk oleh Sjafruddin Prawiranegara tahun 1967 adalah wujud kebangkitan

kaum santri setelah runtuhnya rezim Soekarno (Lombard, 2005:119). Sjafruddin Prawiranegara (2011:283)

menyatakan bahwa berdirinya HUSAMI didasarkan atas dua pesan Tuhan dalam Quran, pertama, Q.S. Al-Hujurat

ayat 13: “Wahai Manusia! Sungguh, kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan,

kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal”, dan kedua, QS. Al-

Baqarah: 148: “…Maka berlomba-lombalah dalam kebaikan…”.

Lombard (2005:119), “Nusa Jawa: Silang Budaya”, menyebutkan bahwa tujuan dari HUSAMI adalah untuk

“mempelajari dan menerapkan asas-asas Islam di bidang ekonomi dan keuangan, serta meningkatkan keikutsertaan

golongan masyarakat Muslim pada usaha pembangunan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia”. Di luar tujuan

itu, Prawiranegara (2011:288) menambahkan dengan menyebut tujuan yang lebih esensial dari HUSAMI, yaitu “untuk

mengajar dan melaksanakan kembali fair trade practices, kebiasaan-kebiasaan dagang baik dalam melakukan

kegiatan dan perjanjian-perjanjian dagang”. Adapun secara bisnis, HUSAMI memiliki beberapa usaha ekonomi

bersama anggotanya, salah satunya adalah perjalanan carteran Haji ke Mekkah (Lombard, 2005:120). Usaha carteran

penerbangan haji ke Mekkah dengan biaya yang murah ini kemudian hari mengalami kebangkrutan karena harus

berhadapan dengan kekuasaan yang mendukung monopoli (Rosidi, 1986:10). Sungguh disayangkan, karena carteran

perjalanan haji ke Mekkah dengan biaya murah adalah salah satu peran terbesar HUSAMI pada perekonomian

pribumi.

HUSAMI yang baru berdiri pada 1967, di luar carteran murah ibadah haji, juga berperan penting sebagai komunitas

penggerak kolektifitas kaum santri dalam mengkritik ekonomi kapitalis-liberal dan sosialis-komunis yang eksploitatif

(Rahardjo, 2011:151). Tindakan ini sekaligus mengutuk kebiasaan praktik riba yang berlipat ganda, sebagaimana

Sjafruddin Prawiranegara mendasarkan pada Q.S. Ali-Imran: 130: “Wahai orang-orang yang beriman, janganlah

kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung” (Quran Terjemah,

2011:66).

Gerakan kedua komunitas di atas, kemudian hari disusul oleh semangat para cendikiawan Muslim Indonesia untuk

membahas ekonomi Islam sebagai sebuah Ilmu. Dalam hal ini adalah munculnya wacana integralisasi ilmu

pengetahuan umum dengan Islam (Kuntowijoyo, 2017:339). Wacana ini berikutnya mendorong berdirinya Bank

Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1991 (Rahardjo, 2004:XIX). Pendirian BMI ternyata memicu semangat

kolektif umat Islam Indonesia, sehingga muncul berjibun praktik bisnis nonribawi dalam bentuk komunitas bisnis.

Maka kemudian tidak mengherankan bilamana belakangan ini banyak bermunculan reinkarnasi perkumpulan

pedagang Muslim dalam bentuk komunitas bisnis Islami, tentu saja, dengan tidak memungkiri keberadaan bisnis

Islami yang non-komunitas. Dalam konteks komunitas, tujuan komunitas bisnis Islami sedikit mengalami pergeseran.

Jika SDI dan HUSAMI bertujuan melawan praktik hegemoni ekonomi Cina dan pemerintah yang tidak memihak pada

umat Islam, maka sekarang, komunitas lebih sebagai wadah dan upaya serangan balik atas praktek bisnis ribawi,

termasuk membangun kesadaran beragama para pebisnis Muslim. Meskipun nuansa Islam sebagai ideologi masih

sangat kental, tetapi ketiadaan politik yang despotik agaknya menjadi pembeda utama antara gerakan komunitas bisnis

Islami yang sekarang dengan yang dahulu.

Nuansa internal komunitas juga mengalami perbedaan. Bilamana dahulu komunitas pedagang Muslim—SDI dan

HUSAMI—tidak menjadikan anti riba sebagai kampanye utama dan bertujuan untuk memajukan ekonomi pribumi.

Maka sekarang nuansa itu sudah lain, dalam mana cenderung memusatkan kemajuan internal umat Islam ketimbang

perekonomian Indonesia. Berbagai perbedaan ini tentu akibat dari perbedaan lingkungan sosial-politik yang memang

acapkali berpengaruh pada perilaku dan aktivitas agen ekonomi.

Beberapa komunitas bisnis yang menyebut dirinya kelompok bisnis Islami dan cukup menarik untuk diamati

adalah: Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia (KPMI), Vigur Organik, dan Komunitas Tanpa Riba (KTR).

Ketiganya punya semangat yang sama, yaitu membangun bisnis yang sesuai dengan ajaran Islam. Ketiganya berlokasi

Page 5: DIALEKTIKA GERAKAN EKONOMI ISLAM (Studi Pada …

di Kota Malang, dua di antaranya komunitas asli Kota Malang; Vigur Organik dan KTR. Sementara KPMI merupakan

percabangan dari Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia di tingkat nasional.

Adapun pemilihan Kota Malang sebagaimana lokasi keberadaan ketiga komunitas dimaksudkan untuk

menspesifikkan penelitian agar terfokus pada satu kelompok studi kasus tertentu. Di Kota Malang yang kebetulan

tumbuh subur komunitas bisnis Islami, mewartakan potensi penggalian infomasi secara mendalam dengan konstruksi

akademis yang baik agar menjadi informasi ilmiah yang dapat dipertimbangkan.

Ketiga komunitas dimungkinkan memiliki konsep dan genre strategi bisnis yang unik. Kampanye utamanya yang

anti riba dan anti perbankan, mewartakan distingsi bisnis komunitas. Termasuk, atensi beberapa anggota yang tinggi

dalam berbisnis, rasa berbagi, sikap kepedulian; tolong menolong, dan pengaturan tata kelola bisnis yang menuju aras

profesional, menjadi modal kuat komunitas untuk menyeimbangi ombak besar ekonomi konvensional.

Untuk itu, kiranya sangat menarik untuk melihat, menggali makna, dan menakar ketangguhan gagasan ketiga

komunitas dalam menyeimbangi ekonomi konvensional yang dianggap ribawi, termasuk menelusuri upayanya dalam

mendorong kemakmuran dan kesejahteraan umat Islam. Di luar daripada itu, penelitian pada gerakan wirausaha

komunitas ini akan menjadi salah satu peluang untuk menunjukkan ekonomi Islam sebagai kajian yang positif; nilai-

nilai Islam akan ditunjukkan sebagai unsur instrumental yang melekat dan membudaya dalam bisnis masyarakat.

Oleh karena itu, penelitian ini difokuskan untuk menjawab tiga rumusan penelitian berikut: (1) Bagaimana tujuan

dan fungsi komunitas bisnis Islami? (2) Bagaimana proses bisnis Islami yang dijalankan oleh komunitas?

B. PARADIGMA TRANSFORMATIF EKONOMI ISLAM

Ekonomi Islam: Sebuah Upaya Konter Hegemoni Ekonomi Modern Rahardjo (1989:15), kemunculan ekonomi Islam di kancah internasional dimulai sejak bergulirnya konferensi

internasional tentang ekonomi Islam di Mekkah pada tahun 1976. Meski baru muncul pada tahun itu, bukan berarti

pembahasan ekonomi Islam belum menyembul pada tahun-tahun sebelumnya. Karena sejatinya sejak tahun 1950-an

sudah muncul beberapa karya intelektual Muslim yang mengarah pada pembahasan ekonomi Islam. Rahardjo

(1989:16) misalnya menyebut karya Dr. Kaharudin Yunus, “Sistem Ekonomi Kemakmuran Bersama (Bersamaisme)”.

Karya ini terbit pada 1956, yang membahas tentang Ekonomi Islam yang lekat dengan koperasi (Rahardjo, 1989:16).

Sekitar empat tahun sebelumnya, muncul karya Mr. Sjafruddin Prawiranegara, “Motif dan Prinsip Ekonomi Diukur

Menurut Hukum-Hukum Islam”. Menurut Rahardjo (2010:149), karya Sjafruddin Prawiranegara yang satu ini pertama

kali terbit di Suara Partai Masyumi pada tahun 1951. Pada karya ini, Sjafruddin Prawiranegara, sangat resah melihat

perilaku ekonomi Umat Islam tidak mencerminkan ekonomi yang berlandaskan agama (Prawiranegara, 2011:56-70).

Prawiranegara (2011:62) berkomentar, Muslim harusnya mendasarkan motif ekonomi pada ketakwaan pada Allah.

Dalam hal ini, dua karya di atas menjadi pembuka pembahasan ekonomi Islam. Baru kemudian muncul karya lain

dari cendikiawan Muslim Internasional. Dari kalangan Sunni muncul Abdul Mannan dan dari kalangan Syiah muncul

Muhammad Baqr Ash Shadr. Kemunculan dua tokoh ini selanjutnya disusul cendikiawan Muslim lainnya seperti

Umer Capra, Khurshid Ahmad, Syaed Nawab Haedar Naqvi, dan Nejjatullah Siddiqi, AM. Saefuddin, Dawam

Rahardjo, dan Muhammad Syafii Antonio.

Keseluruhan pemikir ekonomi Islam tersebut memiliki visi sama, yaitu menggagas ekonomi yang sesuai dengan

risalah Islam. Meskipun dalam praktiknya tafsir ekonomi Islam sangat beragam, tetapi poros tekan kesemuanya

mengkritik ekonomi global yang jauh dari nilai-nilai etika kemanusiaan. Shadr (2008) misalnya, sangat keras

mengkritik kapitalisme dan sosialisme yang dianggapnya mensubordinasi negara-negara dunia ketiga—yang

kebanyakan negara Muslim. Shadr (2008) juga tegas menyebutkan bahwa ekonomi Islam berbeda dengan ekonomi

Barat sebab keterlibatan wahyu Tuhan yang sangat kental dalam ekonomi Islam. Tidak juah beda, Naqvi (2003:37-

46) menyebut ekonomi Islam jelas berbeda dengan ekonomi konvensional. Titik tekan kritiknya pada aspek etika

(Naqvi, 2003). Menariknya, Ia merumuskan aksioma yang bisa dikembangkan menjadi nilai-nilai instrumental.

Setidaknya ada empat aksioma diusulkan, meliputi: kesatuan, keseimbangan/kesejajaran, kehendak bebas, dan

tanggung jawab (Naqvi, 2003:37).

Lebih lanjut, Naqvi (2003:35) menandaskan fungsi keempat aksioma tersebut adalah membentuk etika Islam yang

secara substantif berisi “kebebasan manusia untuk bertindak dan bertanggung jawab karena kepercayaannya terhadap

kemahakuasaan Tuhan”. Aras ini Naqvi (2003:35) memberi tekanan bahwa manusia adalah wakil Tuhan

(khalifahtullah) di bumi (Al-An’am: 165). Allah memberikan kebebasan kepada manusia untuk menjadi makhluk

kreatif di muka bumi. Dan karenanya, justru manusia dituntut sikap tanggungjawab, tanggung jawab atas pilihan-

pilihan yang diambilnya (Naqvi, 2003:35).

Sedikit berbeda dengan Naqvi, Rahardjo (2015:157-184) mengelaborasi berbagai kumpulan moral yang disusun

menjadi bangunan ekonomi Islam. Dalam mana Rahardjo (2015:175) mengamini pernyataan pendapat ahli ekonomi

Islam dari Turki, Mehmed Austy, yang menyebut ekonomi Islam sejatinya tidak identik dengan ekonomi syariah

Page 6: DIALEKTIKA GERAKAN EKONOMI ISLAM (Studi Pada …

dalam arti sempit, yaitu ilmu hukum dan keuangan, melainkan lebih jauh sebagai ekonomi moral dan ekonomi sosial.

Maka kemudian, Rahardjo (2015:173) berujar sebagai berikut:

“Sebagai ekonomi sosial, ekonomi Islam mirip dengan ekonomi pasar sosial (social market economy) yang

dianut Jerman. Namun, sebenarnya perbedaan antara keduanya. Jika sistem ekonomi pasar sosial

memposisikan hukum untuk melindungi pasar, dalam Islam pasar didasarkan pada nilai-nilai moral

sehingga berdaya (self-regulating) ke arah keseimbangan. Selain itu hukum juga berfungsi melindungi

moral. Dengan demikian, sistem ekonomi Islam dapat dirumuskan sebagai sistem ekonomi pasar moral

(moral market economy) atau sistem ekonomi moral sosial.”

Melalui pemaknaan ekonomi Islam sebagai ekonomi moral, sebagaimana juga dijelaskan oleh Syed Nawab Haedar

Naqvi, ekonomi Islam akan berimplikasi pada pesan ‘memotivasi’ daripada ‘pengaturan’, sebagaimana bila ekonomi

Islam dimaknai sebagai ekonomi hukum (legal economics) [Rahardjo, 1990:119]. Secara terperinci, Rahardjo

(2015:175) menyebutkan nilai-nilai yang terkandung dalam ekonomi moral sosial dan ekonomi moral pasar. Lihat

tabel 2.2

Tabel 1. Tabulasi Nilai-Nilai Aliran Moral Sosial dan Aliran Moral Pasar

Aliran Moral Sosial Aliran Moral Pasar

Keadilan dan kebaikan (al-‘adl wa al-ihsan)

Kerjasama (al-ta’awun)

Persaudaraan dan solidaritas (al-ukhuwah)

Musyawarah (al-syura)

Saling percaya (al-amanah)

Saling menghargai (al-ta’aruf)

Pertengahan (al-wasath)

Keseimbangan (al-mizan)

Kedaulatan manusia (al-khilafah)

Kedaulatan manusia (al-khilafah)

Saling percaya (al-amanah)

Saling menghargai (al-ta’aruf)

Musyawarah (al-syura)

Persaudaraan dan solidaritas (al-ukhuwah)

Kerjasama (al-ta’awun)

Keseimbangan (al-mizan)

Pertengahan (al-wasath)

Keadilan dan kebaikan (al-‘adl wa al-ihsan)

Sumber: Rahardjo, 2015:175

Konsekuensi dari gagasan Rahardjo (2015:173) yang memaknai ekonomi Islam sebagai ekonomi moral pasar

sosial akan memberikan kecenderungan asas liberal atau kebebasan pasar pada ekonomi pasar moral dan

kencenderungan sosial pada ekonomi moral sosial. Asas kebebasan tercermin dari fungsi manusia sebagai Khalifah,

sementara asas sosial menitikberatkan pada nilai keadilan (al-‘adl) dan kebaikan (al-ihsan) [Rahardjo, 2015:175].

Meski begitu, secara keseluruhan ia tetap berpegang pada perspektif ekonomi moral dalam menjelaskan ekonomi

Islam.

Melalui konstruksi ini, Rahardjo (2015:168-172) selain ingin menunjukkan perbedaan ekonomi Islam yang

mengakomodasi wahyu ilahi sebagai sumber primer, juga ingin menunjukkan kata “Islam” dalam konteks ekonomi

Islam, bisa dimaknai dalam aras yang generik. Ia mendefinisikan islam sebagai “kesejahteraan”, berbeda dengan

Nurcholish Majid, yang ia kutip, Islam dimaknai sebagai “kedamaian” atau “perdamaian”. Lewat konstruksi bangunan

ini, ia berusaha membangun transformasi nilai moral fundamental menjadi nilai instrumental yang diharapkan mampu

membudaya dalam ekonomi masyarakat.

Sementara itu, Asy’arie (2015) memandang ekonomi Islam dari sudut kacamata filsafat Islam, sehingga ekonomi

Islam memiliki trilogi yang menunjukkan perbedaannya yang sangat jelas dengan ekonomi konvensional (Asy’arie,

2015:61-79). Trilogi ini adalah teologi ekonomi Islam, kosmologi ekonomi Islam, dan antropologi ekonomi Islam.

Teologi ekonomi Islam, pada dasarnya berbicara tentang nilai-nilai ketuhanan yang merasuk ke dalam kegiatan

ekonomi seorang Muslim (Asy’arie, 2015:65). Seorang Muslim yang mengakui bahwa dirinya adalah makhluk ciptaan

Tuhan, dengan sendirinya akan meyakini bahwa Tuhan adalah sang penjamin kehidupan (QS. 2:60).

Tinggi rendahnya rezeki juga menjadi keyakinan bahwa Tuhan yang mengaturnya (Q.S. 16:71). Asy’arie

(2015:69) menandaskan tinggi rendahnya rezeki ditentukan oleh kualitas seorang individu dan seberapa besar

perbuatan baik yang diperbuat. Dalam hal ini ekonomi Islam sangat menganjurkan perbuatan baik yang berkelanjutan.

Kedua, kosmologi ekonomi Islam, Asy’ari (2015:73) menjelaskan pada aspek ini ekonomi Islam diarahkan menjaga

alam semesta. Artinya, menjauhi eksploitasi sumberdaya alam.

Page 7: DIALEKTIKA GERAKAN EKONOMI ISLAM (Studi Pada …

Selain itu, kosmologi ekonomi Islam ingin menunjukkan peran negara sebagai sarana menuju kesejahteraan

bersama (Asy’arie, 2015:74). Termasuk, yang jauh lebih esensial, kosmologi ekonomi Islam ingin menyatakan bahwa

ekonomi hidup dalam area Tuhan, seluruh alam diciptakan oleh Tuhan dan ekonomi tidak mampu bekerja diluar

ekistensi kosmik, menunjukkan entitas ekonomi haruslah bertuhan (Asy’arie, 2015). Ketiga, antropologi ekonomi,

bermakna manusia tidak dapat hidup dalam lingkungan individualistik. Asy’arie (2015:107) menyatakan, “dalam

antropologi, ekonomi Islam melihat kegiatan ekonomi sebagai bagian dari kebudayaan yang menyangkut lapangan

kehidupan yang amat luas, sifatnya dinamis dan beraneka ragam bentuk dan kegiatannya”. Selain itu, terdapat pula

apa yang disebut sebagai monodualisme dan monopluralisme (Asy’arie, 2015:106).

Monodualisme meniscayakan manusia memiliki unsur jasmani dan rohani, jasmani bagian dari kosmos sedangkan

rohani bagian dari teos. Teos menunjukkan unsur ketuhanan sangat melekat dalam kegiatan ekonomi Islam (Asy’arie,

2015:107). Sementara monopluralisme meniscayakan tentang multidimensionalitas dalam kegiatan ekonomi.

Ekonomi tidak hanya menyangkut soal keuangan dan perdagangan, melainkan bagian dari kebudayaan manusia yang

begitu kompleks dan membutuhkan metode yang beragam.

Sampai aras ini, predikat ekonomi Islam sebagai konter atas ekonomi konvensional agaknya sudah mulai kentara,

terutama tentang sumber dalam merumuskan konstruksi bangunan ilmunya, yang dalam keterangan Hoetoro

(2017:260) tidak hanya dari realitas empiris (realitas eksternal) melainkan juga dari konsep-konsep normatif (syariat)

yang ada pada wahyu Tuhan. Konsep tentang hakikat manusia itu sendiri juga menunjukkan perbedaan. Bila Naqvi

(2003:) menyebutkan manusia secara individu dalam ekonomi Islam adalah makhluk teomorfik, maka Hoetoro

(2017:187) menyebutnya dalam tiga tingkatan nafs, dalam mana menjadi bagian dari rumusan homo Islamicus yang

sangat relevan digunakan untuk menunjukkan perbedaan ekonomi Islam.

Hoetoro (2017:186) menjelaskan bahwa konsep manusia yang hanya berhenti pada dimensi material, membuat

banyak ekonom Muslim tidak puas dengan konsep homo economicus. Konsep yang meniadakan aspek non-material

dan ketuhanan, agaknya memang mempersempit konsep manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Dalam hal ini

konsep homo islamicus mengacu pada perilaku manusia ekonomi yang dibimbing oleh ketentuan syariat Islam

(Hoetoro, 2017:186). Homo islamicus mendekonstruksi sekaligus merekonstruksi konsep self-interest yang digagas

oleh Adam Smith. Konsep self-interest yang tidak berbatas, menjadikan manusia tidak terkontrol dan eksploitatif

dalam memenuhi nafsu ekonomi. Islam meredam itu melalui tiga konsep tingkatan diri (nafs). Hoetoro (2017:187)

menyebutnya tiga tingkatan self-interest islamicus. Dari yang tertinggi tingkatanya, yaitu: (1) al-nafs al muthmainnah;

(2) al-nafs al-lawamah; (3) al-nafs al-ammarah.

Al-nafs al-ammarah menjadi tingkatan yang terendah, Hoetoro (2017:188) menunjukkan tingkatan itu tercermin

pada kisah Yusuf dan istri pembesar Mesir: (QS. 12: 53). Dalam konteks ekonomi, Hoetoro (2017:188) menyebut,

“al-nafs al-ammarah sebagai motif ekonomi yang condong kepada pemerolehan kesenangan dan pemuasan nilai guna

(utility) yang bersifat kebendaan”. Lebih lanjut, ia menyebut aras ini seorang manusia baru sampai pada kesadaran

semu (Hoetoro, 2017:188). Kedua, tingkatan al-nafs al-lawwamah, Hoetoro (2017:188) merujuk pada pernyataan

wahyu Tuhan (Q.S. 75:2). Asad (2017:1173) menjelaskan yang dimaksud “al-nafs al-lawwamah” sebagai

“pengetahuan bawah sadar manusia akan kelemahan dan kekurangannya sendiri”. Dalam penjelasan Hoetoro

(2017:188), tingkatan al-nafs al-lawwamah menjadi tingkatan tertinggi yang bisa digapai oleh konsep self-interest

ekonomi modern karena dominasi kesadaran material (Hoetoro, 2017:188-189).

Ketiga, al-nafs al-Muthmainnah, (QS.89: 27-28). Hoetoro (2017:189), manusia yang mencapai al-nafs al-

muthmainnah telah mencapai kesadaran tauhid yang menunjukkan kesempurnaan diri. Das sollen dan das sein tidak

lagi terjadi terdikotomi, melainkan menyatu sehingga tindakan ekonomi tidak dimaknai sebagai aktivitas pemuas

duniawi, tetapi diarahkan pada pencapaian falah (Hoetoro, 2017:189). Lebih lanjut, Hoetoro (2017:189) juga

menyebut logika-logika ekonomi modern tidak lagi mendominasi upaya maksimasi keuntungan dan maksimasi

utilitas, tetapi bersanding dengan cara kerja syariat.

Perbedaan konsep diri (self) dalam ekonomi Islam, menunjukkan pergumulan ekonomi Islam dalam kancah

ekonomi global berada pada posisi vis a vis. Rentetan sejarah ekonomi global yang dimulai dari Merkantilis (kapitalis

merkantilis), fisiokrat, klasik, neo-klasik, Keynisian, Neo-Keynisian, hingga sampai pada institusionalis tidak ada

yang menunjukkan perbedaan. Logika dasar yang dipakai tetap sama; dikotomi antara agama dan ekonomi. Inilah

mengapa kemudian ekonomi Islam dipahami berada pada posisi vis a vis dengan ekonomi modern.

Orientasi Fikih Muamalah Pada Ekonomi Islam

Ekonomi Islam yang begitu kompleks, belakangan ini banyak dimaknai secara simplistik sebagai keuangan Islam

atau fikih muamalah. Menurut Hoetoro (2017:266), hal ini terjadi karena analisis teori-teori ekonomi Islam cenderung

bersifat fiqhiyah ketimbang ekonomi. Sementara Rahardjo (2004) menyebut hal itu lebih karena perintah Tuhan dalam

Quran terkait ekonomi Islam banyak mengarah pada transaksi non-ribawi.

Page 8: DIALEKTIKA GERAKAN EKONOMI ISLAM (Studi Pada …

Ketergesaan pemahaman ekonomi Islam sebagai fikih muamalah agaknya akan berimplikasi pada perkembangan

ekonomi Islam secara ilmu. Munculnya berbagai kajian fikih ekonomi Islam dan justifikasi oleh beberapa ahli fikih,

menunjukkan simplifikasi atas pemaknaan ekonomi Islam. Walau begitu, Hoetoro (2017) tetap menyebut kajian fikih

muamalah masih dibutuhkan sebagai kajian perumusan bangunan teori ekonomi Islam. Prawiranegara (2011)

menguatkan, bahwa untuk membangun struktur ekonomi Islam yang mapan, dibutuhkan tiga ahli sekaligus;

pengusaha, ekonom, dan ahli fikih.

Orientasi Bisnis Ala Rasulullah صلى الله عليه وسلم

Selain dimaknai sebagai gerakan fikih mualamah (legal economics), ekonomi Islam sering kali dimaknai sebagai

konsep ekonomi ala Rasulullah Muhammad صلى الله عليه وسلم. Antonio (2015:138) menyebut, setidaknya ada beberapa ciri-ciri bisnis

ala Rasulullah: pertama, uang bukan segala-galanya, modal kepercayaan (trust) adalah yang utama; kedua, jujur dan

dapat dipercaya; ketiga, memiliki wawasan luas tentang seluk beluk perekonomian dan perdagangan; keempat,

memiliki kemampuan teknis bisnis. Dan kelima, tidak riba, tidak gharar, dan tidak maisir. Sepanjang ± 25 tahun,

Rasulullah صلى الله عليه وسلم menerapkan dan mengelaborasi prinsip-prinsip bisnisnya (Antonio, 2015:111), yang kemudian hari

banyak kalangan meyakini sebagai konsep ekonomi Islam.

Ketiadaan bisnis instan adalah penjelasan yang paling komprehensif atas konsep bisnis Ala Rasulullah صلى الله عليه وسلم (Antonio,

2015:115-128). Lebih lanjut, Antonio (2015:115-128) menjelaskan konsep bisnis nabi memiliki fase jejak

perdagangan. Fase pertama, disebut sebagai fase intership; magang usaha dan dagang (Antonio, 2015:115). Fase

kedua, Rasulullah sebagai business manager. Fase Ketiga, Rasulullah صلى الله عليه وسلم menjadi investment manager. Investment

manager adalah kala pemilik modal Mekkah mempercayakan pengelolaan perdagangan atau bisnis mereka kepada

Rasulullah صلى الله عليه وسلم (Antonio, 2015:124). Dan terakhir, fase keempat, Rasulullah صلى الله عليه وسلم menjadi business owner, yaitu ketika

Rasulullah صلى الله عليه وسلم menjadi istri Khadijah dan mengelola bisnisnya (Antonio, 2015:124).

Empat fase utama yang dilalui tersebut menunjukkan suatu bisnis tidak bisa dilakukan secara instan, melainkan

pelan-pelan (gradually) dengan etos kerja tinggi. Di samping itu juga konsep pertama yang dijalankan oleh Rasulullah

dalam membangun bisnis, yaitu bermula dari membangun kepercayaan (trust). Namun demikian, pemaknaan صلى الله عليه وسلم

ekonomi Islam yang ‘hanya’ didekatkan pada konsep bisnis ala Rasulullah صلى الله عليه وسلم juga mengalami simplifikasi yang terlalu

dini.

Komunitas dan Gerakan Collective Action: Jalan Menggempur Hegemoni Bisnis Ribawi Menurut Oxford Dictionary (2018), komunitas (community) bermakna “A group of people living in the same place

or having a particular characteristic in common”. Definisi ini menyiratkan bahwa komunitas/kelompok mensyaratkan

kepemilikan kesamaan ciri khas bagi anggota-anggotanya. Sementara itu, Arthur Bentley, menyebut tidak ada grup

atau kelompok yang tanpa kepentingan (Olson, 2002:8). Raymond Cattel, seorang ahli psikologi sosial juga menyebut,

“setiap grup memiliki kepentingan” (every group has its interest) [Olson, 2002]. Harold Laski tidak kalah ketinggalan,

ia menekankan, “organisasi ada untuk meraih tujuan atau kepentingan dalam mana sekelompok orang punya

kesamaan” (Olson, 2002:7). Menurut Olson (2002:7), ini persis dengan yang pernah disampaikan oleh Aristoteles:

“asosiasi politik diciptakan dan dipertahankan karena kepentingan umum yang mereka bawa”. Prinsipnya, setiap

kelompok pasti memiliki kepentingan (Olson, 2002:8).

Sementara itu, dalam kajian psikologi sosial, Cattel (1951) mengartikan kelompok sebagai “kumpulan organisme

yang bereksistensi dalam keseluruhan konstelasi (mereka saling menerima relationship) yang berguna untuk

pemenuhan kebutuhan masing-masing individu” (Yusuf, 1989:19). Bass (1960), memaknai kelompok sebagai

“kumpulan individu-individu yang bereksistensi sebagai kumpulan yang mendorong dan memberi ganjaran pada

masing-masing individu” (Yusuf, 1989:19).

Dua penjelasan itu, agaknya bersifat esensial-substantif, yang menunjukkan hakikat keberadaan komunitas. Lain

lagi, Reitz mendefinisikan kelompok melalui empat kriteria yang menjadi prasyarat suatu objek disebut sebagai

kelompok (Yusuf, 1989:17). Empat kriteria tersebut adalah: (1) suatu kelompok tediri dari dua orang atau lebih; (2)

yang berinteraksi satu sama lain; (3) yang saling membagi beberapa tujuan yang sama; (4) dan melihat dirinya sebagai

sebuah kelompok.

Soekanto (1986:6), juga mengungkapkan ciri esensial suatu kelompok, bahwa anggota-anggota kelompok

mempunyai sesuatu yang dianggap sebagai milik bersama. Anggota-anggota kelompok menyadari bahwa yang

dimiliki bersama itu, mengakibatkan adanya perbedaan dengan kelompok lain (Soekanto, 1986:6). Perbedaan antara

satu kelompok dengan kelompok yang lain, meniscayakan interaksi yang kuat dalam internal kelompok. Hal ini

menguatkan pendapat Olson (2002), bahwa kelompok niscaya membangun tujuan bersama (common interest).

Sebagai penjelasan lebih lanjut tentang kelompok, perlu melihat posisi kelompok di antara posisi individu dan

masyarakat. Merujuk pada penjelasan Yusuf (1989:22), kelompok (group) berkaitan erat dengan kelembagaan

(institutions) atau pranata, sementara masyarakat mengacu pada hukum, norma moral atau adat istiadat, dan individu

Page 9: DIALEKTIKA GERAKAN EKONOMI ISLAM (Studi Pada …

mengacu pada norma. Dalam pada ini, aspek kelembagaan menjadi pengikat anggota-anggota anggota kelompok,

tentu saja, kelembagaan ini dikonstruksi secara mandiri di bawah kesepakatan seluruh agen yang ada dalam kelompok.

Melalui keterangan itu, menunjukkan kelompok memiliki kesepakatan kelembagaan yang dibangun dengan sadar

dan sukarela. Demikian selanjutnya meniscayakan apa yang disebut Marvin e Shaw sebagai ‘daya ikat’ dan ‘daya

tarik’ (Yusuf, 1989:23). Daya ikat dan daya tarik inilah yang selanjutnya membuahkan pola interaksi dalam internal

kelompok. Yusuf (1989:23) memberikan gambaran pola interaksi dalam kelompok yang dimungkinkan terdapat

empat tipe interaksi, yaitu cooperation, competition, conflict, dan accommodation. Lebih lanjut, masing-masing tipe

interaksi itu selanjutnya membentuk tipe kelompok, yaitu kelompok kooperatif, kelompok kompetitif, kelompok

konflik, dan kelompok akomodasi. Yusuf (1989:24) menandaskan keempat tipe kelompok itu tidak ada yang

dikategorikan sebagai kelompok yang paling ideal atau sempurna, dalam artian, hanya menunjukkan pengkategorian

dalam konteks akademis.

Gerakan komunitas bisnis Islami yang mengindikasikan gerakan kolektif kelompok ataupun komunitas, pada

perspektif teoritis menunjukkan adanya keterlekatan yang sangat kuat. Damsar dan Indrayani (2009:139) menjelaskan

makna keterlekatan menurut Granovetter (1985) sebagai “tindakan ekonomi yang disituasikan pada konteks sosial

sekaligus melekat dalam jaringan sosial personal yang sedang berlangsung di antara para aktor”. Definisi ini,

menunjukkan keterlekatan memberikan pandangan baru bahwa ekonomi berjalan dalam konteks masyarakat komunal.

Damsar dan Indrayani (2009:139) menjelaskan bahwa konteks keterlekatan tidak hanya menyembul pada perilaku

atau tindakan si agen ekonomi, melainkan juga dalam konteks yang lebih luas, misalnya penetapan harga dan institusi-

institusi ekonomi yang kesemuanya terpendam dalam jaringan hubungan sosial. Dalam hal ini, konsep keterlekatan

adalah wahana untuk memahami perilaku ekonomi dari sudut pandang sosial (Damsar dan Indrayani, 2009:139).

Perilaku ekonomi yang beragam dari masing-masing konstruksi sosial, menyembulkan kadar keterlekatan yang

berbeda. Damsar dan Indrayani (2009:144) menjelaskan pandangan Granovetter yang menyatakan adanya konsep

keterlekatan kuat dan lemah. Konsep keterlekatan kuat dan lemah ini, tentu saja, secara implisit menjelaskan bahwa

setiap perilaku ekonomi memiliki konteks sosialnya, tidak mungkin berjalan tanpa bersentuhan dengan realitas sosial

(Damsar dan Indrayani, 2009:142).

Keterlekatan kuat (embedded) yang ditunjukkan oleh interaksi yang berjalan dengan timbal balik dan terjadi terus

menerus, menunjukkan suatu kelompok, dalam kajian sosiologi ekonomi, mengandung tujuan bersama (common

interest) berupa collective action. Yustika (2012:86) menyebut, collective action berfungsi untuk menyelesaikan

persoalan ekonomi berupa penunggang bebas (free rider). Namun, dalam situasi lain, collective action dijalankan

sebagai wahana untuk mengantisipasi perubahan sosial semacam revolusi (Opp, 1989 dalam Yustika, 2012:88).

Modal Sosial sebagai “Modal” Perekat Gerakan Komunitas Para teoritisi ilmu ekonomi dan ilmu sosiologi sepakat pencetus awal teori modal sosial adalah Bourdie dan James

Coleman yang kemudian disempurnakan oleh Putnam (Richards dan Reed, 2013:5). Melalui publikasi Bourdieu yang

ditulis dalam bahasa Prancis, bertajuk “Le Capital Social: Notes Provisoires” Yustika (2012:138) meyakinkan

Bourdie-lah tokoh pertama yang memberikan dasar pembahasan tentang modal sosial. Baru kemudian Coleman

(1988) memperjelas pembahasan itu melalui sebuah artikel berbahasa inggris, “Social Capital in the Creation of

Human Capital”. Terlepas daripada itu, pembahasan modal sosial yang dimasukkan dalam pergumulan ilmu ekonomi,

menunjukkan satu eviden tentang atensi ilmuwan ekonomi yang lebih terbuka sekaligus menunjukkan pergeseran

paradigma ilmu ekonomi.

Secara teoritis, modal sosial (social capital) memiliki banyak definisi. Damsar dan Indrayani (2009:209)

menyebutkan makna modal sosial menurut Bourdieu sebagai:

“Sumberdaya aktual dan potensial yang dimiliki oleh seseorang berasal dari jaringan sosial yang terlembaga

serta berlangsung terus-menerus dalam bentuk pengakuan dan perkenalan timbal balik (dengan kata lain,

keanggotaan dalam kelompok sosial) yang memberikan kepada anggotanya berbagai bentuk dukungan

kolektif”.

Dalam diksi yang berbeda, Yustika (2012:139) menjelaskan makna modal sosial menurut Bourdieu: “agregat

sumberdaya aktual ataupun potensial yang diikat untuk mewujudkan jaringan yang awet (durable) sehingga

menginstitusionalisasikan hubungan persahabatan (acquaintance) yang saling menguntungkan”. Lebih lanjut, melalui

pemaknaan tersebut, Yustika (2012:139) meyakini modal sosial bukan sesuatu yang alami, melainkan sesuatu yang

dikonstruksi melalui hubungan kelompok sebagai sumber utama dalam meraih keuntungan. Sementara itu, Richards

dan Reed (2013:5) menyebut definisi modal sosial menurut Bourdieu sebagai konsep nilai (as a concept of value).

Kemudian tokoh kedua yang juga peletak dasar teori modal sosial, seorang sosiolog Amerika, James Coleman,

mendefinisikan modal sosial dari arah fungsinya, yang berarti bahwa modal sosial bukanlah entitas tunggal, melainkan

Page 10: DIALEKTIKA GERAKAN EKONOMI ISLAM (Studi Pada …

entitas majemuk yang mengandung dua instrumen, yaitu: (1) mencakup beberapa aspek dalam struktur sosial; dan (2)

modal sosial memfasilitasi tindakan tertentu dari pelaku (Yustika, 2012:139). Dalam konteks ini, modal sosial laiknya

konsep modal lainnya, bersifat produktif dan jika tidak eksis maka tidak akan mampu untuk produktif (Yustika,

2012:139). Sementara itu, Damsar dan Indrayani (2009:209-210) memberikan batasan modal sosial menurut

keterangan Coleman sebagai “aspek dari struktur sosial serta memfasilitasi tindakan individu dalam struktur sosial”.

Seorang ahli ilmu politik, Robert Putnam, mendefinisikan modal sosial, sebagai “jaringan-jaringan, nilai-nilai, dan

kepercayaan yang timbul di antara para anggota perkumpulan, yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama untuk

manfaat bersama” (Damsar dan Indrayani, 2009:210). Dalam bahasa yang lebih mudah dipahami, Yustika (2012:140)

mendefinisikan modal sosial menurut Robert Putnam sebagai “gambaran organisasi sosial seperti jaringan, norma,

dan kepercayaan sosial yang memfasilitasi koordinasi dan kerjasama yang saling menguntungkan”. Wallis dan

Killerby (2004:241), mendefinisikan modal sosial menurut Putman sebagai “fitur organisasi sosial yang terdiri dari

kepercayaan, norma, dan jaringan yang mampu meningkatkan efisiensi masyarakat dengan memfasilitasi tindakan

yang terkoordinasi”. Berdasarkan definisi itu, Intisari modal sosial menurut Robert Putnam adalah sebuah norma dan

jejaring kerjasama sosial (as norms and networks of social cooperation) [Richards dan Reed, 2013:5].

Ada juga sosiolog Indonesia yang serius melahap pembahasan modal sosial, Robert M.Z. Lawang, yang menurut

keterangan Damsar dan Indrayani (2009:210) mendefinisikan modal sosial berupa kekuatan sosial yang

dikonstruksikan individu atau kelompok yang mengacu pada konstruksi sosial, dalam mana, diyakini mampu

mencapai tujuan individu/kelompok secara efektif dan efisien. Sementara itu, muncul juga definisi modal sosial

sebagai “investasi” dalam konteks sosial. Definisi ini muncul dari pemikiran Nan Lin, Profesor Sosiologi dari Duke

University, sebagaimana penjelasan Damsar dan Indrayani (2009:210).

Melalui berbagai definisi modal sosial yang bertebaran di berbagai literatur tersebut, Damsar (2009:211) secara

mandiri mendefinisikan modal sosial sebagai “investasi sosial, yang meliputi sumber daya sosial seperti jaringan,

kepercayaan, nilai dan norma sosial serta kekuatan menggerakkan, dalam struktur hubungan sosial untuk mencapai

tujuan individual dan/atau kelompok secara efisien dan efektif dengan kapital lainnya”. Definisi ini menyiratkan

bahwa modal sosial, menurut Damsar, diartikan sebagai sebuah “sarana” dan “daya” untuk mencapai tujuan yang

“efektif dan efisien”.

Yustika (2012:140) lain, ia tidak kemudian mencoba mendefinisikan modal sosial, tetapi justru memberikan kata

kunci penjelasan atas tiga tokoh utama teori modal sosial; Bourdieu, Coleman, dan Putnam. Yustika (2012:140)

mengomentari definisi modal sosial menurut Bourdieu yang lebih fokus sebagai sarana penghasil sumber daya

ekonomi, Coleman yang lebih fokus sebagai struktur hubungan sosial, dan Putnam yang lebih menekankan pada

hubungan kerja sama. Kesemua penjelasan yang sudah disebutkan, rupanya menunjukkan bahwa modal sosial

merujuk pada suatu hal yang tidak mungkin muncul dalam ruang tanpa interaksi, ia akan muncul dalam petak realitas

sosial yang meniscayakan keberadaan aktor yang lebih dari satu.

Lantas kemudian, muncul pertanyaan tentang bentuk daripada modal sosial: “Manakah yang disebut modal

sosial?” Coleman (1998) dalam Yustika (2012:141) menyebut, modal sosial memiliki setidaknya tiga bentuk, yaitu:

pertama, struktur kewajiban (obligations), ekspektasi (expectations), kepercayaan (trustworthiness); kedua, jaringan

informasi (information channels); dan ketiga, norma dan sanksi yang efektif (norms and effective sanctions).

Sementara Pratikno, et.al (2001) yang disitir oleh Damsar dan Indrayani (2009:211), menyebutkan modal sosial terdiri

dari simpati, rasa berkewajiban, rasa percaya, resiprositas dan pengakuan timbal balik.

Sungguhpun begitu, Alejandro Portes, seorang sosiolog kenamaan Amerika, menyebut bentuk-bentuk modal sosial

yang sudah disebutkan di atas bukanlah modal sosial. Menurutnya, sebagaimana ditegaskan oleh Damsar dan

Indrayani (2009:2011), “modal sosial merujuk pada suatu kemampuan individu untuk memobilisasi sumber-sumber

langka terhadap permintaan”. Dalam hal ini, Damsar dan Indrayani (2009:211) dengan sangat jelas menunjukkan

ketegasan Portes yang menyebut bentuk-bentuk modal sosial yang sudah disebutkan sebelumnya bukanlah modal

sosial, melainkan “sumber” modal sosial.

Damsar dan Indrayani (2009:212) menyebut, Portes mengajukan sedikitnya empat sumber modal sosial, yaitu

nilai, solidaritas, resiprositas, dan kepercayaan. Sementara itu, Damsar dan Indrayani (2009:214) secara mandiri

menyebutkan sumber modal sosial terdiri dari jaringan, kepercayaan, nilai, dan norma. Secara spesifik, Damsar dan

Indrayani (2009:215) menunjukkan sumber modal sosial yang paling relevan untuk dibahas dalam konteks sosiologi

ekonomi hanyalah tiga, yaitu kepercayaan, resiprositas, dan tanggungjawab.

Pada aras ini, Damsar dan Indrayani (2009:212) rupanya mengambil posisi yang lebih luas, dengan

menggabungkan antara definisi Coleman dan Pratikno dkk., dengan menyebut modal sosial sebagai investasi (sarana)

dan kekuatan menggerakkan (daya). Itulah kontroversi pendefinisian modal sosial, yang dalam perspektif intelektual,

justru memperkaya khazanah keilmuan. Dalam pada ini, posisi peneliti mengambil perspektif yang digunakan oleh

Damsar dan Indrayani (2009) dalam memahami konsep modal sosial. Demikian dilakukan untuk melihat berbagai

temuan di lapangan yang pastinya belum bisa diprediksi dan sangat heterogen.

Page 11: DIALEKTIKA GERAKAN EKONOMI ISLAM (Studi Pada …

Lantas, muncul pula pertanyaan tentang bagaimana modal sosial mampu mendorong pembangunan ekonomi.

Tentu sebelum melangkah jauh pada pembahasan modal sosial dan pembangunan ekonomi, agaknya harus dijelaskan

konsep pertukaran ekonomi dan pertukaran sosial. Kedua konsep ini akan menjadi jembatan konstruksi berfikir

hubungan modal sosial dan pembangunan ekonomi. Yustika (2012:153) menjelaskan konsep pertukaran ekonomi dan

pertukaran sosial dari apa yang dinyatakan oleh Lin (2001-154-155). Konsep pertukaran ekonomi atau rasionalitas

transaksional, menurut Lin seperti diutarakan Yustika (2012:153) bertujuan untuk mendapatkan modal ekonomi

(sumber daya melalui transaksi) yang dimediasi oleh harga dan uang. Lebih jauh, Yustika (2012:153) menjelaskan

kegunaan dari pertukaran ini semata-mata untuk memperoleh keuntungan transaksional, sementara “pilihan rasional

didasarkan pada analisis hubungan-hubungan alternatif yang memproduksi beragam keuntungan dan biaya transaksi”.

Bila hubungan dengan agen diprediksi memperoleh keuntungan, maka transaksi akan dilanjutkan, apabila tidak, maka

akan mencari beberapa alternatif lainnya (Yustika, 2012:153). Kesimpulannya, rasionalitas transaksional

mengindikasikan ekspektasi profitabilitas.

Kedua, rasionalitas relasional atau pertukaran sosial. Pada pokoknya, rasionalitas relasional menunjukkan unsur

yang kuat tentang konsep pengakuan (recognition). Sebagaimana Yustika (2012:153) menandaskan, motivasi utama

rasionalitas relasional adalah untuk memperoleh reputasi dari pengakuan kelompok atau jaringan. Persis seperti

pertukaran ekonomi, pertukaran sosial juga akan dilanjutkan bila menawarkan aspek pengakuan yang kuat, bila aspek

perluasan pengakuan lemah, makan pelaku pertukaran akan mencari alternatif lainnya yang menawarkan perluasan

pengakuan yang lebih kuat (Yustika, 2012:153). Sampai aras ini, dapat disimpulkan bahwa modal sosial dalam

aktivitas transaksi mampu menjadi basis sumber daya ekonomi (Yustika, 2012:153).

Dalam lingkup yang lebih luas, modal sosial mampu menjadi alternatif penyelesaian transaksi ekonomi bila pasar

tidak sanggup menyelesaikannya (Yustika, 2012:154). Dalam hal ini posisi modal sosial menjadi instrumen penantang

dalam pergumulan ekonomi neo-klasik vis a vis ekonomi institusional yang lebih multidisipliner. Putnam (1999),

seperti diutarakan oleh Yustika (2012:154) sampai pada kesimpulan bahwa modal sosial mampu menjadi sarana yang

mengurusi secara sukarela barang publik (common good). Artinya, modal sosial memiliki peran yang signifikan dalam

perekonomian.

Modal sosial sebagai wujud gerakan komunitas akan memicu paradigma baru gerakan ekonomi Islam. Paradigma

baru yang dikonstruksi dengan konsep ekonomi yang khas, pada waktunya, akan menjadi kekuatan besar sekaligus

sebagai perwujudan konstruksi ekonomi Islam dalam skala mikro.

C. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif-interpretif dengan metode studi kasus. Pemilihan paradigma

penelitian, disesuaikan dengan tujuan penelitian yang ingin menggali noesis dibalik proses bisnis yang dijalankan oleh

komunitas. Sebagaimana penjelasan Manzilati (2017:21), bahwa penelitian kualitatif “dilakukan tidak hanya

bertumpu kepada realitas yang tampak (gejala) tetapi juga hakikat persoalan sebenarnya dari gejala yang tertangkap”.

Sementara itu, Martono (2015:191) menambahkan, bahwa pendekatan interpretif lebih memandang bagaimana

manusia memaknai suatu fenomena yang berkembang. Artinya, tugas peneliti hanya mengungkap pemahaman

individu atas fenoma di balik KTR, KPMI, dan Vigur Organik.

Adapun metode yang digunakan adalah studi kasus (case study). Manzilati (2017:57) menyebut studi kasus sebagai

salah satu teknik dalam penelitian kualitatif yang fokus menggali secara mendalam pengalaman spesifik manusia.

Lebih lanjut, Manzilati (2017:57) juga menyebut metode ini dapat digunakan pada seseorang, group, atau situasi

spesifik. Martono (2015:295) menyebut metode studi kasus sebagai teknik kualitatif yang mampu menggambarkan

kasus-kasus; ide, konsep, aktivitas, dll, sehingga dapat dianalisis dan ditemukan temuan-temuan baru. Adapun metode

analisis yang digunakan adalah metode interaktif, Miles dan Huberman (1994:10-12), yang dimulai dari data

reduction, kemudian data display, dan conclusions drawing/verifying.

D. HASIL DAN PEMBAHASAN

Aspek Kesejarahan Komunitas

Secara umum ketiga komunitas memiliki latar belakang sejarah yang berbeda-beda. Dimulai dari Vigur Organik

yang sejatinya Kelompok Tani Wanita (KTW) berdasarkan tiga alasan, kemudian dikelompokkan sebagai salah satu

komunitas bisnis Islami. Alasan itu antara lain: (1) Vigur Organik mengharuskan anggotanya berasal dari Muslim; (2)

Vigur Organik berusaha mengangkat derajat kaum Muslim yang berada di taraf ekonomi dan pendidikan lemah; (3)

Vigur Organik enggan bersentuhan dengan riba (Wawancara, 12/05/2017).

Embrio Vigur Organik lahir dari Kelompok Tani Wanita (KTW) yang bernama Vigur Asri. Kelahiran Vigur Asri

didasari oleh keprihatinan atas kondisi keluarga Muslim yang tidak mampu mencukupi kesehatan jasmani keluarganya

Page 12: DIALEKTIKA GERAKAN EKONOMI ISLAM (Studi Pada …

dan keprihatinan atas penipisan lahan pertanian (Wawancara, 12/05/2017). Selain faktor kesehatan dan keprihatinan

konversi lahan pertanian, pada tahun 2007, belum adanya program di Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK) di

RT 1 RW 7, Kelurahan Cemoro Kandang, sehingga diusulkanlah program penghijauan (Wawancara, 12/05/2017).

Upaya penghijauan dengan menanam tanaman organik, dimulai sejak Mei 2007 (Wawancara, 12/05/2017).

Menurut catatan dokumen Vigur Organik (2018), makna “Vigur” sendiri adalah akronim dari “Villa Gunung Buring”

Semenara itu, pada tahun 2009, Titiek Widayati, Ketua Vigur Asri, dituntut oleh Dinas Pertanian untuk

mengembangkan kelompok tani baru. Pun juga, karena ada keinginan Titiek Widayati untuk mengembangkan

perekonomian masyarakat lemah, akhirnya memacu Titiek Widayati untuk membentuk sebuah kelompok tani baru.

Kemudian terealisasi pada tahun 2010 dengan terbentuknya Kelompok Tani Wanita yang bernama “Vigur Organik”

(Wawancara, 05/12/2017). Melalui berdirinya Vigur Organik pada tahun 2010, dimulailah babak baru pemberdayaan

ekonomi lemah melalui gerakan bisnis di sektor pertanian. Terkait keanggotaan Vigur Organik, pada awal-awal berdiri

di tahun 2010, Vigur Organik terdiri dari 10 anggota, lantas berkembang menjadi 22 orang di tahun 2014. Kemudian

menyusut kembali karena beberapa faktor, hingga di tahun 2018 anggota Vigur Organik terdiri dari 12 orang.

Adapun sejarah Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia (KPMI), berasal dari grup mailing list:

[email protected]. Grup ini berisi perbagai pengusaha Muslim dari berbagai wilayah di Indonesia

dan diasuh oleh beberapa ustad, yang isinya membahas tentang fatwa-fatwa tentang bisnis (Wawancara, 11/12/2017).

KPMI nasional berdiri pada tahun 2010, lantas diikuti KPMI Malang Raya karena kesamaan asal geografis anggota

grup mailing list (Wawancara, 11/12/2017).

Kemudian, sejarah Komunitas Tanpa Riba (KTR), berdiri pada akhir-akhir tahun 2015 (Wawancara, 20/02/2018).

Komunitas ini berawal dari keresahan para pengusaha yang berhutang di perbankan dengan beban bunga (interest)

yang tinggi. Menganggap akibat beban bunga yang tinggi inilah, para pengusaha itu dirugikan dan/atau bangkrut.

Sebelum menjadi KTR, Nama komunitas ini adalah Pengusaha Tanpa Riba (PTR), yang mana para pendiri PTR

berasal dari para pengusaha. Namun, seiring dengan perkembangan waktu dan banyaknya jumlah anggota yang mulai

bervariatif, maka per 30 Maret 2016 PTR resmi dirubah menjadi KTR (Soemintorro, Wawancara, 20/02/2018). Saat

ini, KTR secara komunal, mengalami pergeseran cakupan keanggotaan. Ketika awal berdiri saja, terdiri dari 20’an

anggota, sekarang sudah berkembang hingga mencapai 46 ribu anggota di Facebook dan memiliki 12 grup Whatsapp

dengan varian anggota yang tidak hanya terdiri dari pengusaha (Soemintorro, Wawancara, 20/02/2018).

Tujuan dan Fungsi Komunitas

Setali tiga uang dengan aspek kesejarahan, tujuan ketiga komunitas juga menunjukkan hal yang beragam. Temuan

di lapangan menunjukkan bahwa tujuan Vigur Organik adalah mengangkat derajat ekonomi lemah, terutama bagi

keluarga Muslim (Wawancara, 19/02/2018). Diawali dengan menggerakkan ibu-ibu rumah tangga untuk melakukan

produksi tanaman organik di pekaran-pekarangan rumah. Kesemua aspek produksi yang dikerjakan oleh ibu-ibu ini,

oleh Rahardjo (2010) kemudian disebut sebagai ‘genderisasi ekonomi’. Sejak awal, Vigur Organik memang ditujukan

untuk membangun jiwa wirausaha bagi ibu rumah tangga melalui sektor pertanian organik (Wawancara, 05/12/2017).

Artinya, secara universal, Vigur Organik ditujukan untuk membangun kemakmuran dan kesejahteraan. Tidak hanya

kesejahteraan ekonomi, melainkan juga kesejahteraan jasmani dan kesejahteraan hati, yaitu ketenangan dengan

hubungannya kepada Tuhan (Wawancara, 19/02/2018).

Lebih jauh, Vigur Organik rupanya menjadi rumah dalam rangka membangun kemakmuran bagi keluarga kecil

Muslim (Wawancara, 19/02/2018). Dalam pemikiran Yunus (2010), yang dilakukan oleh Vigur Organik ini disebut

sebagai ‘Kewirausahaan Sosial’. Di satu sisi, Vigur Organik ternyata juga sangat kuat mendorong anggota-anggotanya

untuk menjadi seorang wirausahawan (Wawancara, 23/02/2018). Dengan menggunakan metode ‘sosialisasi

persuasif’, komunitas mendorong anggotanya berbisnis dan bekerja keras (Wawancara, 23/02/2018). Sebab, menurut

Vigur Organik, itulah cara untuk keluar dari jeratan kemiskinan.

Kedua, tujuan dan fungsi KPMI. Secara sederhana, tujuan KPMI adalah menarik para pebisnis Muslim untuk

mengaji tentang agama:

“Kalau kita ngajak pengusaha itu ngaji, jadi kita tekankan di sisi muamalahnya, bagaimana sih bisnis ini

sesuai dengan syariat. Dan kenyataannya di lapangan kan masih banyak teman-teman yang belum ngerti

gitu. Oh ini tidak boleh ternyata, oh ini riba…” (Wawancara, 11/12/2017).

Ungkapan di atas, seolah menunjukkan bahwa KPMI adalah rumah pendidikan keagamaan bagi para pengusaha

Muslim. Dalam bahasa Ketua KPMI, disebut sebagai ‘pendidikan mindset’. Dalam mana bisnis itu harus sesuai dengan

syariat Islam dengan setidaknya empat hal yang harus dihindari, yaitu riba, zalim, gharar, dan maisir (Wawancara,

28/02/2018). Keempat hal yang dianggap harus dihindari tersebut, menurut keterangan Sunan Nur Huda hanya bisa

diselesaikan dan betul-betul dihindari jika mindset ketuhanannya sudah benar. Pemahaman tauhid, mengesakan Allah

Page 13: DIALEKTIKA GERAKAN EKONOMI ISLAM (Studi Pada …

dengan segala bentuk konsekuensinya, menghindari penyekutuan Dia dengan makhluk yang lainnya termasuk

ekonomi (materi), sehingga bisnisnya berlandaskan basis ketauhidan yang kuat.

Secara teknis, KPMI menyediakan pengajian-pengajian keagamaan yang bertemakan fikih muamalah untuk

memberikan asupan pengetahuan kepada pebisnis Muslim (Wawancara, 18/02/2018). Namun begitu, sampai

penelitian ini dilaksanakan, kegiatan tersebut tengah berhenti, sehingga praktis, komunitas juga terjadi kevakuman

kegiatan secara formal. Termasuk juga, training bisnis dan pendampingan bisnis kepada anggota juga tengah berhenti.

Hal ini lebih disebabkan karena para pengurus masih sibuk dengan kegiatan masing-masing (Wawancara,

28/02/2018).

Ketiga, tujuan dan Fungsi KTR. Visi KTR adalah “Melaksanakan amanah Allah untuk menegakkan Islam

sebagaimana yang disyariatkan di dalam Surat Asy-Syura ayat 13.” Sedangkan Misinya adalah “Berkontribusi dalam

upaya membangun ekonomi umat yang diridai Allah ta’ala dengan sosialisasi tobat dari riba dalam berbagai

bentuknya, serta mengupayakan sinergi dan pemberdayaan potensi umat sesuai syariah” (Rano Tamtomo,

Wawancara, 21/02/2018). Dari visi dan misi KTR tersebut, jelas tergambar bahwa KTR adalah komunitas yang

mengkampanyekan bahaya riba. Menurut keterangan Ryan Gahara Putra, ketua KTR, hakikat komunitas ini adalah

sebagai rumah untuk berkumpul para saudara-saudara Muslim yang punya persoalan yang sama, terutama berkaitan

dengan bisnis:

“Bagi kami, hakikat komunitas itu adalah tempat berkumpulnya saudara-saudara seiman, yang sama-sama

mempunyai persamaan sisi atau permasalahan yang sama, di mana di dalam komunitas itu semua bisa saling

berbagi, dalam hal ini berbagi kebaikan, entah itu menguatkan, entah itu memberi solusi secara pikiran

bahkan secara fisik atau finansial.” (Wawancara, 12/12/2018).

Sampai saat ini, KTR, secara sistematis belum mampu membangun mentalitas bisnis ataupun pendampingan yang

simultan bagi bisnis yang dijalankan oleh anggota. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh KTR lebih banyak terfokus

pada persoalan edukasi bahaya riba, kajian fikih muamalah, dan juga kajian tauhid. Sementara itu, terkait sumbangsih

pendidikan mindset KTR untuk bisnis anggota, belum sepenuhnya berjalan secara sistematis, menunjukkan fungsi

KTR baru sebatas gerakan dakwah anti riba, belum mewujud sebagai gerakan bisnis yang sistematis. Apalagi, KTR

memproduksi pandangan bahwa pendidikan mindset bertauhid harus dibenahi dahulu, karena tauhid adalah hal yang

utama. Ini tentu sejalan dengan apa yang dilakukan oleh KPMI, bahwa pendidikan mindset bertuhan adalah hal utama

dan pertama yang harus dikuatkan. Pendidikan mindset melalui serangkaian kajian tauhid, menjadi dasar pijakan untuk

menggelorakan dakwah anti riba yang memang menjadi konsentrasi komunitas (Wawancara, 20/02/2018).

“Target yang bisa kita tuju, bagaimana umat Muslim ini membangun sebuah bisnis tidak dengan modal

hutang. Tapi lebih dengan modal skill lebih dahulu. Caranya bagaimana, ya harus belajar, begitu, jadi tidak

dimulai dengan mindset berhutang dulu baru berbisnis, tapi itu bisa dipelajari bagaimana berbisnis tanpa

hutang itu bisa dipelajari.” (Ryan Gahara Putra, Wawancara, 19/02/2018).

Artinya, target gerakan ekonomi yang selama ini dicanangkan oleh KTR baru berjalan dalam arena dakwah, belum

masuk dalam aras praktik bisnis. Memang, secara individual, beberapa pengurus inti KTR memiliki pengalaman dan

sedang menjalankan bisnis, namun, gerakan bisnis yang diinisasi oleh komunitas untuk membangun mentalitas

pengusaha belum sepenuhnya muncul dalam bentuk ruang realitas nyata, artinya baru sekedar keinginan dan angan-

angan yang sifatnya normatif.

Tentu saja, interpretasi bahwa fungsi KTR baru sebatas gerakan dakwah-sosial dan belum gerakan bisnis,

dijustifkasi oleh program kerja yang sudah berjalan selama ini, sebatas gerakan sosial: sedekah subuh, kajian rutin,

dan seminar (Wawancara, 20/02/2018). Di satu sisi, adanya perluasan keanggotaan yang tidak hanya terdiri dari

pengusaha dan kini lebih banyak bergerak ke arah sosial, membuat fungsi KTR lebih kental narasi sosial ketimbang

gebrakan bisnis tanpa hutang yang sebelumnya sudah dikampayekan. Ini menunjukkan bahwa sejatinya kegiatan KTR

lebih berbasis dakwah dengan derivasinya aktivitas bisnis. Belum lagi keinginan KTR untuk meniru gerakan wakaf

Muhammadiyah, padahal berbagai literature menyebut Muhammadiayah adalah gerakan sosial-keagamaan (Rahardjo,

1999; Kuntowijoyo, 2017; Fuad, 2015). Lantas muncul pertanyaan, apakah kemudian komunitas ini mampu

mengangkat derajat perekonomian dengan menciptakan banyak pengusaha Muslim di hari depan? Tentu tergantung

seberapa kuat komunitas mengarahkan gerakan sosialnya ke arah gerakan ekonomi (Latief, 2017). Sebab, Ketua KTR

menyebut bahwa, hari ini KTR masih sebagai wadah entry level untuk peduli tentang bahaya riba, belajar tauhid, dan

muamalah, barulah kemudian bergerak di Yayasan Asy-Syafaat dengan gerakan wakafnya (Wawancara, 19/02/2018).

Konsep Bisnis Islami Komunitas: “Tauhid” sebagai Konsepsi Dasar Berekonomi

Page 14: DIALEKTIKA GERAKAN EKONOMI ISLAM (Studi Pada …

Konsep bisnis yang dilakukan tiga Komunitas; Vigur Organik, KPMI, dan KTR, sedikit banyak merujuk pada satu

pemahaman bersama bahwa “Iman” kepada Allah adalah titik kisar segala aktivisme bisnis. Iman kepada Allah

menjadi landasan fundamental mengembangkan arah gerakan bisnis. Menjadi batasan-batasan terhadap hal yang tidak

boleh, sekaligus mendorong ihwal yang diperbolehkan, bahkan dianjurkan. Dalam mana ketiga komunitas menjadikan

iman memiliki fungsi sosial, persis seperti yang disampaikan oleh Mulkhan (2000:40), “Ekonomi tidak sekedar

hubungan produksi, tetapi fungsi realitas metafisis amal saleh, sehingga harta pribadi yang ditransendensi memiliki

hak sosial dalam perspektif iman (tauhid)”.

Secara empiris, bukti paling menonjol bahwa tauhid dijadikan landasan berbisnis adalah soal persyaratan menjadi

anggota komunitas. Bahwa untuk menjadi anggota ketiga komunitas, para pengurus komunitas mensyaratkan seorang

yang beragama Islam (Muslim). Salah seorang pengurus Vigur Organik, yang tinggal di kawasan Sawojajar Kota

Malang, menyebutkan alasan keharusan Muslim yang menjadi anggota adalah supaya jika dalam berbisnis terjadi

ketidaksamaan pandangan, dapat diselesaikan dengan mudah, termasuk membangun ekonomi yang sevisi juga akan

lebih mudah karena dasarnya sudah takut kepada Allah (Wawancara, 05/12/2017). KPMI pun begitu, karena dari

nama komunitas saja sudah terpampang diksi “Pengusaha Muslim”, sehingga otomatis wajib bagi anggotanya

beragama Islam (Wawancara, 28/02/2018). KTR setali tiga uang, dengan berbasiskan gerakan dakwah muamalah,

mereka mensyaratkan anggotanya beragama Islam. Eviden ini, menunjukkan lingkungan sosial komunitas cukup

kental nuansa simbolik keagamaan atau kespiritualan, namun, tetap dengan ciri khas yang berbeda satu sama lain.

Tentang tauhid sebagai landasan dasar berbisnis, Rahardjo (2015:348) menempatkan tauhid pada bagian ontologi

yang menduduki strata pertama, rumusan “Kode Etik Pengusaha Muslim”. Dengan mendudukkan tauhid sebagai basis

ontologi kode etik pengusaha Muslim, Rahardjo (Rahardjo, 2015:348) ingin menyatakan bahwa idealita para

pengusaha Muslim adalah percaya bahwa Tuhan sebagai sumber rejeki, tetapi tetap, rejeki harus dicari dengan bekerja.

Dalam hal ini, KPMI dan KTR memiliki kesamaan konsep dalam menjadikan tauhid sebagai landasan berekonomi.

Kedua komunitas ini menyebut bahwa tauhid (aqidah yang lurus) adalah modal utama untuk menjalankan bisnis.

Mereka menyebutnya dengan istilah “mindset”. Secara teknis, hal utama yang ingin diperbaiki oleh KPMI dan KTR

adalah soal perbaikan “mindset” atau aqidah yang betul, sehingga ilmu syariah atau muamalah termasuk strategi bisnis

dalam menghadapi dinamika pasar menyusul secara otomatis. Penempaan mindset aqidah yang benar, dilakukan

melalui kajian-kajian keagamaan. Menurut pengurus KPMI, korelasi antara penempaan tauhid dengan bisnis terletak

pada niat (Wawancara, 19/02/2018). Jadi, bagaimana niat bisa mempengaruhi mentalitas pengusaha terutama tentang

konsepsi rejeki yang berkaitan dengan kinerja bisnis. Jika terjadi gulung tikar, melalui konsep aqidah yang benar,

pengusaha tersebut tidak terlalu meratapi kerugian yang dideritanya, karena misalnya, sudah meyakini bahwa rejeki

itu yang mengatur adalah Allah, sudah ada takaran sendiri untuk masing-masing individu (Wawancara, 11/12/2017).

Prawiranegara (1986:99), menyebutnya sebagai homo-religious, bahwa ketika terjadi guncangan ekonomi, tetap

tenang, terus bekerja dan bersadar pada Tuhan.

Mindset aqidah yang benar juga dianggap memberikan batasan bagi pebisnis dalam melakukan pilihan-pilihan

operasional bisnis; terutama berkaitan dengan pemenuhan modal finansial. Jadi, aqidah yang lurus selain memberikan

konfigurasi pada niat pengusaha juga berpengaruh pada persoalan operasional bisnis.

“…Urusan nafkah itu Allah yang menjamin, jadi tidak ragu untuk berkarya. Membangun bisnis itu begitu,

tidak usah ragu dalam hidup ini, Allah itu pasti menjamin hidup kita sejahtera, asal kita punya kemauan

dan memenuhi apa yang diinginkan Allah itu seperti apa. Ngalir aja kok itu, tapi kita harus bekerja terus,

jangan diam gitu, kita berfikir berusaha mencari apa yang harus kita harapkan, gitu” (Sugiantoro,

Wawancara, 19/02/2018).

Mengacu pada statemen tersebut, menggambarkan adanya sikap penyandaran diri pada Tuhan yang begitu tinggi.

Segala aktivitas bisnis, mulai dari proses produksi, pengepakan barang, hingga pendistribusian, dilakukan atas dasar

ketaatan kepada Allah. Menurut Rahardjo (1999:266), kepercayaan adanya kehidupan setelah mati, sebagai bagian

dari bentuk ketransendentalan, memang mampu membuat pribadi-pribadi semakin bertanggungjawab, bahkan sampai

mampu membangun solidaritas sosial berdasarkan ketataan pada Tuhan. Ketua Vigur Organik menandaskan sebagai

berikut:

“Kalau di tempat kami memang Islam itu nomor satu, Islam itu nomor satu, tidak ada yang bisa kita bedakan

dengan yang lainnya. Memang ini menjadi acuan. Acuannya ngenten, yang gampangannya saja menjadi

salah satu rem, kalau kita mau melakukan salah, itu sudah ketakutan dengan sendirinya, seluruh teman saya

seperti itu.” (Wawancara, 23/02/2018).

Page 15: DIALEKTIKA GERAKAN EKONOMI ISLAM (Studi Pada …

Inti ajaran tauhid yang merupakan dasar dari ajaran agama Islam, menjadi sumber semangat dan kekuatan kontrol

dari aktivitas bisnis. Sikap ketaatan dan ketakutan yang tinggi kepada Allah, tidak justru menjadikan komunitas lemah

secara ekonomi, melainkan justru bisnis yang dijalankan semakin tenang dan harmonis (Wawancara, 23/02/2018).

Rahardjo (1999:266) menunjukkan bahwa kepercayaan yang tinggi pada Tuhan memang justru menjadi sumber “etos

kerja” yang semakin tinggi (Surat Hud: 61), sebagaimana yang ditemukan oleh Max Weber dalam “Etika Protestan”.

Pada aras ini, konsep tauhid yang menyatu dalam aktivitas bisnis menjadi pembeda konsepsi bisnis komunitas dengan

bisnis kapitalis yang umumnya berjalan. Unsur teomorfik yang menyembul, sebagaimana diungkapkan oleh Naqvi

(1981), dimaksudkan bahwa manusia sebagai makhluk ilahiah; dia (manusia) adalah “makhluk tetapi akhlaknya harus

meniru akhlak Tuhan” (Kuntowijoyo, 1997:136).

Bisnis Organik dan Ekonomi Kejujuran

Hasil temuan di lapangan, ternyata juga mendapati bahwa komunitas memiliki konsep bisnis sendiri. Konsep bisnis

ini ditemui pada KTR dan Vigur Organik. Di KTR, Komunitas menggaungkan konsep bisnis ‘organik’. Yaitu, konsep

bisnis yang diawali dengan kapasitas dan kepercayaan, dan bukan dari modal finansial (Wawancara, 12/12/2018).

Maksudnya adalah bahwa suatu bisnis harus dibangun dengan cara yang pelan-pelan (gradually), dimulai dengan

membangun kepercayaan (trust) dengan menunjukkan sikap amanah, membangun kapasitas sumberdaya manusia

yang ada, sehingga membentuk sistem kelembagaan yang baik dalam manajemen bisnisnya (Wawancara,

19/02/2018).

Sementara di Vigur Organik, berkembang konsep bisnis yang sangat mengedepankan etika kejujuran, dalam mana,

peneliti kemudian menyebutnya sebagai ‘Ekonomi Kejujuran’. Konsep gerakan ekonomi kejujuran sejatinya sejalan

dengan konsep transendensi dalam bisnis islami. Yaitu, bagaimana sebuah perilaku ketaatan kepada Tuhan menjadi

simbol bahwa yang jujur adalah mereka yang dekat kepada Tuhan (Wawancara, 05/12/2017). Pada pendulum lain,

selain berkaitan dengan konsep transendensi, secara universal, konsep “kejujuran” merupakan bagian dari bangunan

besar sistem etika dalam ekonomi Islam. Sebab, Kuntowijoyo (1997:135) menyebutkan bahwa ekonomi Islam

sejujurnya dibangun atas “kesadaran tentang etika, sebuah ethical economy”, pun demikian yang dikatakan oleh

Prawiranegara (2011), ekonomi Islam adalah kumpulan moral dalam ekonomi dan Naqvi (1981), ekonomi Islam

adalah kumpulan aksioma—nilai-nilai etis. Sungguhpun begitu, etika kejujuran yang muncul dalam praktik bisnis

Vigur Organik, dijadikan pembahasan terpisah karena memiliki bobot informasi yang berbeda, sehingga layak untuk

disebut sebagai konsep tersendiri. Karena bagaimanapun, bisnis pertanian organik sangat mengedepankan kejujuran:

“siapa yang tahu jika tanaman yang kita tanam itu tidak disemprot pestisida” (Wawancara, 26/02/2018).

Ekonomi Moral dan Ekonomi Hukum

Realitas di lapangan menunjukkan kegiatan KPMI dan KTR sangat kental nuansa ekonomi Islam menyembul

sebagai praktik fikih muamalah. Kencenderungan ini terlihat dari berbagai program kajian keagamaan yang dilakukan

oleh kedua komunitas. Dalam mana kajian yang digalakkan, selain bertumpu pada persoalan mindset ketuhanan dan

fikih muamalah. Bahkan, porsi kajian muamalah menempati bagian yang terbesar setelah kajian pola pikir ketuhanan

yang sampai 80% dari total persentase tema kajian (Wawancara, 12/12/2017). Tema-tema fikih muamalah, selanjutnya

dielaborasi setelah mindset tauhid (Wawancara, 19/02/2018).

Tendensi diskursus bisnis yan banyak menggunakan kacamata fikih muamalah, membuat komunitas cenderung

lekat pada ekonomi hukum (Rahardjo, 2015:161). Aras ini memunculkan pemahaman bahwa aktivitas ekonomi yang

benar adalah suatu kegiatan ekonomi yang didasarkan pada konsep muamalah. Namun begitu, diskursus fikih

muamalah yang begitu menonjol, menyebabkan beberapa pesan Tuhan dalam teks Quran kurang begitu diperhatikan.

Misalnya pesan Tuhan tentang manusia sebagai khalifah, makhluk kreatif untuk memakmurkan bumi (Asy’arie,

2015). Walau begitu, KPMI tetap menunjukkan kecenderungan adanya praktik ekonomi Islam sebagai ekonomi moral.

Terlihat dari interpretasi proses produksi dalam Islam, bahwa produksi harus menggunakan bahan yang kualitasnya

terukur, bisa dipertanggungjawabkan kehalalannya (Wawancara, 28/02/2018). Upaya menjaga kualitas bahan baku

produksi adalah wujud usaha pengusaha KPMI yang “termotivasi” narasi agama tentang perlunya menjaga kepuasan

konsumen melalui penjagaan kualitas produksi.

“… (Dalam) produksi, bahwa apa yang kamu tidak disukai jangan lakukan pada orang lain…kan saya

memproduksi tepung, dalam kebersihan dalam proses produksi itu tidak terjaga, saya coba untuk merasakan

sendiri, apakah saya mau membeli produk yang seperti itu, saya jawab sendiri tidak, oh kalau gitu saya

mengerjakannya dengan hati-hati agar hasilnya bersih seperti itu. Jadi agama itu menjadi pijakan dalam

mengambil keputusan bisnis. Itu sangat penting.” (Wawancara, 19/02/2018).

Page 16: DIALEKTIKA GERAKAN EKONOMI ISLAM (Studi Pada …

KPMI dan KTR Vigur Organik

Ajaran Agama

Persolaan

Ekonomi

Mengatur Memotivasi

Moral

Economics

Legal

Economics

Komunitas Bisnis

Sementara itu, Vigur Organik, yang dalam praktiknya tidak pernah melakukan kajian keagamaan, memaknai

ajaran agama sebagai sumber “motivasi”. Teks-teks Quran yang mengajarkan etos kerja, kreativitas, dan keharusan

inovasi menjadi landasan berbisnis, menjadi landasan semangat bekerja. Walau begitu, Vigur Organik tetap berpegang

teguh pada ajaran agama yang mengontrol aktivitas bisnis, misal larangan riba dan zalim.

“…Etos kerja itulah yang kami tanamkan, makanya saya tidak mau orang hutang. Jangan hutang, Kerja

saja gitu. Kerja saja, kerja itu ada hasilnya. Tapi kalau hutang, apalagi tidak kerja, mau dapat darimana gitu.

Harus kerja…saya mengajarinya kerja, kerja, dan kerja. Kalau kerja pasti ada hasilnya. Kalau tidak kerja,

mau menghasilkan apa.” (Titiek Widayati, Wawancara, 23/02/2018).

Ungkapan ini menyuratkan adanya satu prinsip yang dipegang oleh Vigur Organik, bahwa bekerja dengan giat

adalah perintah Tuhan. Dengan meyakini Tuhan sebagai tempat bersandar, sebagaimana nilai-nilai spiritual yang kuat,

tercermin dari keyakinan rejeki yang datang dari Allah (Wawancara, 19/02/2018), juga perilaku ekonomi yang terus

berusaha untuk berlaku profesional, jujur, disiplin dan adil, menunjukkan Vigur Organik mengelobari prinsip moral

dan etos kerja dalam berekonomi.

Gambar 1. Pemaknaan Ekonomi Islam dalam Komunitas

Sumber: Ilustrasi Peneliti, 2018

Dengan demikian, dari uraian ini, kegiatan ekonomi yang dijalankan oleh ketiga komunitas, pada dasarnya

menjadikan Quran dan Sunnah sebagai sumber rujukan utama. Tetapi, dalam praktiknya, KTR dan KPMI lebih dekat

pada diskursus muamalah. Namun, konsep moralitas dalam ajaran agama tetap ada walau tidak mendapatkan tempat

yang longgar. Di sisi lain, Vigur Organik, lebih kuat memaknai ajaran agama sebagai sumber motivasi berekonomi.

Karena itu, Vigur Organik disimpulkan memaknai ekonomi Islam sebagai ekonomi moral yang berdimensi pasar dan

sosial. Dalam hal ini, ekonomi moral, menjadikan moral sebagai pengontrol pasar (Rahardjo, 2015:173). Pasar tidak

bebas sebagaimana konsep invisible hand Adam Smith, tetapi dikontrol oleh moral yang bersumber dari ajaran agama.

Sementara legal economics, ajaran agama muncul sebagai aturan yang mengikat dan membatasi kontrak-kontrak

ekonomi, sehingga ekonomi moral dan ekonomi hukum sama-sama menjadikan ajaran agama sebagai pengontrol,

tetapi dengan narasi yang berbeda, yaitu mengatur dan memotivasi.

Etos Kerja sebagai Akar Ekspansi Bisnis

Penelitian ini menemukan ada beberapa spirit bisnis yang dihayati oleh pelaku bisnis Islami di tiga komunitas

bersumber dari ajaran Islam. Sikap kerja keras berkelindan dengan kekuatan iman pada Tuhan, menunjukkan

hubungan ajaran Islam dengan kegiatan ekonomi. Misalnya semangat untuk terus bekerja, bersisihan dengan

kepasrahan pada Allah sang maha pemberi rejeki. Ketua Vigur Organik menandaskan: “Saya kira kalau kita mau

minta dan serius pada Allah itu akan cepat dikasih…” (Wawancara, 23/02/2018). Melalui kepasrahan kepada Allah

yang begitu tinggi, komunitas menganggap kerja keras, menjadi satu-satunya jalan untuk meningkatkan taraf hidup.

Oleh Kuntowijoyo (1997:123) disebut kepercayaan pada sunnatullah atas pembagian Allah (QS. An-Nahl: 71).

Page 17: DIALEKTIKA GERAKAN EKONOMI ISLAM (Studi Pada …

Etos Kerja

Ajaran Agama

Larangan riba, gharar, maisyr,

dan zalim

Pasar

Kinerja Bisnis Ketenangan Hati

“Jadi, mereka yang tetap eksis sebagai anggota itulah orang-orang yang berhasil. Dan orang yang sudah

mengundurkan diri itu, kelihatan orang-orang yang tidak serius. Ingin mendapatkan hasil banyak tapi tidak

bekerja. Mereka yang punya kemauan dan kemampuan untuk bekerja, rajinlah begitu, ya sampai sekarang

meningkat status ekonominya, walaupun tidak banyak, tetapi status keluarga mereka menjadi meningkat.”

(Sugiantoro, Wawancara, 19/02/2018).

Merujuk pada keterangan di atas, budaya kerja keras yang sudah menjadi habitus rupanya ditanamkan melalui

penyadaran yang serius. Melalui pemberian berbagai ilustrasi kebermanfaatan budaya etos kerja dan kepasrahan

kepada Allah (Wawancara, 23/02/2018). Semangat kerja yang tinggi juga menjadi solusi preventif pinjam meminjam

berbasis riba. Dalam hal ini Vigur Organik mendorong budaya etos kerja dengan membuka berbagai akses jaringan

bisnis yang lebih baik bagi anggota untuk menghindari pinjaman riba. Contohnya, akses pelatihan bisnis di lembaga

pemerintahan, menjadi narasumber kunjungan antarkomunitas tanaman organik, dan mendorong inovasi produk

anggota dengan target setiap tahun meluncurkan produk baru (Wawancara, 26/02/2018). KPMI pun demikian,

mengelaborasi kepatuhan kepada Tuhan dengan semangat kerja dan perilaku disiplin dalam berbisnis (Wawancara,

28/02/2018). Karakter disiplin dalam bisnis, misalnya berkaitan manajemen keuangan bisnis; aliran modal, membagi

prioritas pengeluaran dari yang paling dibutuhkan hingga yang bisa ditunda, dan memisahkan antara keinginan pribadi

dan keberlangsungan bisnis (Wawancara, 28/02/2018). Selain itu, KTR meskipun muncul sebagai gerakan dakwah,

juga berpandangan bahwa mengikuti trend pasar adalah cara untuk berhasil dalam bisnis (Wawancara, 20/02/2018).

Ungkapan ini juga menunjukkan seberapa seringpun kajian muamalah dilakukan, inti kegiatan bisnis tetaplah pada

praktik dan inovasi. Hal ini, selaras Rahardjo (1990:117) bahwa inti aktivitas wiraswasta adalah inovasi, di samping

seorang pebisnis juga diasosiasikan dengan kepribadian yang berani mengambil resiko, ulet, hemat, berperhitungan,

inovatif, optimis, pencipta strategi baru, dan pekerja keras (Raharjo, 1990:117; Hoque et.al, 2013:132-138; Fozia,

et.al, 2016:27-34). Konteks ini Rahardjo (1990:123-128) ingin menunjukkan bahwa sejatinya dalam ajaran Islam

terdapat doktrin-doktrin tertentu yang mendorong atau memotivasi pengikutnya untuk giat bekerja, berkompetisi, dan

berinovasi.

Gambar 2. Faktor yang Mempengaruhi Kinerja Bisnis

Sumber: Ilustrasi Peneliti, 2018

Disamping etos kerja yang menyembul di kegiatan ekonomi komunitas, penelitian ini juga menemukan bahwa

ternyata etos kerja adalah kunci kinerja bisnis, selain pengaruh oleh gejolak pasar. Sementara itu, larangan riba,

gharar, maisir, dan zalim hanya menuntun pada ketenangan batin semata (Wawancara, 19/02/2018). Dalam hal ini,

akumulasi etos kerja dikonstruksi oleh komunitas dan menjadi habitus yang terus dilakukan, lantas secara bertahap

berubah menjadi strategi-strategi bisnis yang lebih teknis dan instrumental. Perubahan ini menjadi landasan bagaimana

komunitas membangun kekuatan finansial bisnis, strategi produksi, strategi distribusi, dan strategi pemasaran.

Kekuatan finansial misalnya, dibangun oleh komunitas dengan metode syirkah atau kerjasama, bagi risiko dan bagi

keuntungan. Sedang terkait strategi produksi, distribusi dan pemasaran, berlangsung sebagaimana teknis bisnis secara

umum. Ranah ajaran Islam hanya menyentuh persoalan “etis” yang mempengaruhi pilihan-pilihan strategi yang akan

diambil.

Perihal syirkah yang dilakukan komunitas—KTR dan KPMI—hanya berhasil sebesar 20%-30% saja (Wawancara,

19/02/2018). Hal ini, lebih disebabkan karena human error dan wanprestasi (Wawancara, 28/02/2018). Persoalan ini

berarti berkaitan dengan belum baiknya sumberdaya manusia di tubuh umat Islam sendiri. Sementara itu, Ketua KTR,

menganggap hal ini karena lemahnya pola pikir tauhid para pelaku bisnis. Sungguhpun begitu, alasan ini agaknya

terlalu jauh sebagai penyebab gagalnya syirkah, karena Damsar (2009) jelas menyebut, bahwa ekonomi berkelindan

dengan masyarakat, pun juga temuan Bahramitash (2003:551), bahwa kinerja ekonomi perempuan di Iran alih-alih

Page 18: DIALEKTIKA GERAKAN EKONOMI ISLAM (Studi Pada …

dipengaruhi oleh faktor keagamaan (religiosity), justru gejolak sosial-politiklah yang paling banyak mempengaruhi.

Menyebut kegagalan syirkah sebab lemahnya aqidah, Rahardjo (2015:327) menyebutnya sebagai gejala metamorfosa

aqidah ke instrumen ekonomi syariah. Dalam hal ini, persoalan aqidah menjadi sasaran poros kegiatan bisnis KTR

dan KPMI, sedang dalam kondisi lain ekonomi disebabkan oleh berbagai faktor pasar.

Pada pendulum lain, metode pembangunan modal finasial lain yang juga dilakukan oleh komunitas adalah

menggunakan modal pribadi, umumnya dengan menjual asset yang dimiliki (Wawancara, 19/02/2018). Namun begitu,

pemenuhan modal bisnis yang seperti ini tidak mencerminkan fungsi komunitas sebagai kelembagaan yang menaungi

anggota, karena sifatnya sangat individual dan tidak terikat oleh pengajaran komunitas. Sementara itu, Vigur Organik

yang lebih banyak membangun modal bisnis dari perputaran omzet, bantuan pemerintah, dan pelatihan tanaman

organik, menunjukkan distingsi dari KPMI dan KTR. Lebih lanjut, KPMI juga melakukan pembangunan modal

dengan cara memutar omzet bisnis, sebagaimana Vigur Organik. Secara teknis ketua KPMI menyebutkan bahwa untuk

bermain dalam perputaran omzet bisnis, bisa menggunakan dua strategi, yaitu menaruh fokus pada margin harga atau

bermain pada volume penjualan (Wawancara, 28/02/2018). Lebih lanjut, ketua KPMI yang saat ini tengah berbisnis

kuliner tersebut, memilih untuk mengatur modal dengan perputaran omzet melalui volume penjualan, margin yang

diambil kecil tetapi memperbanyak jumlah produk yang dijual.

Sementara itu, terkait kinerja bisnis masing-masing komunitas, menunjukkan data yang beragam, terutama pada

KTR yang lebih banyak bergerak sebagai entitas dakwah ketimbang bisnis, menjadi bias untuk ditelisik dan

diinterpretasi kinerja bisnis yang dilakukan. Sedang KPMI yang fokus pada persoalan bisnis yang Islami, terlihat jelas

bahwa kinerja bisnis anggota-anggotanya juga beragam. Yang perlu dicatat adalah bahwa KTR dan KPMI, aktivitas

bisnisnya tidak terikat oleh komunitas, sementara Vigur Organik, karena sejatinya kelompok tani perempuan, sehingga

mengharuskan keterikatan bisnis anggota pada komunitas (Wawancara, 19/02/2018).

Misalnya bisnis ketua KPMI, berawal dari omzet Rp 3 juta per-bulan di tahun 2014 menjadi 25 juta per-bulan di

tahun 2017 (Wawancara, 28/02/2018). Lebih lanjut, salah seorang pengurus KPMI lainnya, menyebut rata-rata omzet

anggota KPMI per-bulan masih di bawah Rp 100 juta, karena mayoritas adalah start up (pemula) [Wawancara,

19/02/2018]. Menurut salah seorang pengurus KPMI, penggunaan konsep bisnis ala Rasulullah, maksudnya yang

sesuai dengan syariah, lebih membawa pada persoalan ketenangan batin dan hati, dan tidak berpengaruh sama sekali

pada kinerja bisnis (Wawancara, 19/02/2018) [Lihat Gambar 2]. Adapun kinerja bisnis KTR secara kelembagaan

komunitas yang tidak mencerminkan gerakan bisnis, secara kasuistik bisnis pengurus dan anggota yang berjalan juga

beragam, tetapi secara umum ada beberapa yang menunjukkan tren positif. Ketua KTR menandaskan, kinerja bisnis

anggota banyak yang turun, apalagi setelah menutup penggunaan modal dari perbankan (Wawancara, 19/02/2018).

Tetapi, setelah terjadi penurunan, kembali terjadi kenaikan yang perlahan-lahan. Lebih lanjut, Ketua KTR menyatakan

tentang tren bisnis anggota:

“Banyak sebetulnya, cuman tidak semua terdata dengan baik. Naik itu, dalam hal begini, misalnya dulu dia

mempunyai beban cicilan misalnya 10 juta, omzetnya 100 juta, sekarang omzet 100 juta tapi tidak punya

cicilan, itu naik apa tidak?...seperti itu” (Wawancara, 19/02/2018).

Di sisi lain, kinerja bisnis yang ditunjukkan oleh anggota-anggota KTR—seperti Ayam Nelongso, Mie Aceh, dan

Abah Dawam—yang sudah sukses menjadi pengusaha menengah, mayoritas tidak hanya bergabung dalam KTR,

melainkan juga bergabung dengan berbagai komunitas bisnis lainnya. Artinya, keberhasilan bisnis anggota tidak

banyak dipengaruhi oleh program-program yang dilakukan oleh KTR. Misalnya saja Ayam Nelongso, yang menurut

salah seorang pengurus KTR adalah contoh sukses anggota KTR, ternyata justru banyak belajar tentang strategi bisnis

kepada Coach Dr. Fahmi, salah seorang trainer bisnis ternama yang juga membawahi Magistra Group Utama

(Wawancara, 15/03/2018).

Adapun kinerja bisnis Vigur Organik, selalu mengalami eskalasi dengan inovasi produk olahan, antara lain:

Kecap Manis, Kecap Pedas, Kecap Autis, Kecap Asin, Krupuk Puli, Saos Tomat, Manisan Kencur, dan Manisan Jahe.

Belum lagi berbagai varian sayuran dan buah-buahan organik juga menjadi komoditas utama yang diperjual-belikan

oleh Vigur Organik. Dua komoditas pertanian unggulan, sayuran organik dan beras organik, secara produksi

mengalami fluktuasi. Beras, berawal dari 2,5 ton di Januari 2017 dan dipungkas per-Desember 2017 mencapai 3,7

ton. Sedang produksi sayuran hanya berkutat di angka 170 kilogram hingga 340 kilogram. Rendahnya produksi

sayuran disebabkan hama dan penipisan lahan garap (Wawancara, 19/02/2018). Adapun mozet Vigur Organik

bermula dari pendapatan sebesar Rp 80.000 per-hari (tahun 2010), kini mampu memperoleh omzet di atas Rp 57 juta

(2018). Kenaikan ini, menurut Ketua Vigur Organik belum menunjukkan kinerja bisnis yang maksimal, walaupun

terus terjadi eskalasi, tetapi tren itu berjalan lambat (Wawancara, 23/02/2018). Meskipun berjalan lambat, di sepanjang

tahun 2017, omzet per bulan yang di dapatkan Vigur Organik sudah mencapai mencapai angka Rp 30 juta ke atas,

meskipun di beberapa bulan tertentu terjadi penurunan omzet, misalnya penurunan cukup drastis terjadi di bulan

Page 19: DIALEKTIKA GERAKAN EKONOMI ISLAM (Studi Pada …

September 2017 yang memang disebabkan oleh hama dan banyaknya lahan yang harus diberi jeda tanam (Wawancara,

23/02/2018). Walau sudah mencapai omzet yang tinggi, Vigur Organik juga tetap memperhatikan pesan Tuhan tentang

aspek sosial, yang dalam hal ini, menunjukkan adanya konsep manusia “altruistik” dan “nafs-al Muthmainnah” di

lingkungan Vigur Organik (Asy’arie, 2015; Hoetoro, 2017:189).

Jika melihat kinerja bisnis yang sudah berlangsung, dalam mana KTR belum memiliki data yang lengkap tentang

anggotanya, KPMI pun demikian, belum memiliki data yang komplit, serta hanya Vigur Organik saja yang memiliki

data yang lengkap terkait tren bisnis, tentu akan sangat mempengaruhi pilihan program dan strategi yang akan

dikembangkan. Vigur Organik misalkan, kini sedang mengejar pangsa pasar internasional dengan berusaha

melengkapi lisensi nutrition fact (Wawancara, 23/02/2018). Target untuk menguasai pasar organik nasional, salah

satunya adalah dengan membangun jaringan-jaringan antar-pengusaha organik, menjaga kualitas produk, dan menjaga

lisensi organik (Wawancara, 23/02/2018). Artinya, strategi-strategi bisnis untuk mencapai target bisnis, dilakukan

secara sistematis.

Berbeda dengan Vigur Organik, KTR dengan target bisnis menguasai pasar fashion, kuliner, dan property

(Wawancara, 19/02/2018), sepertinya akan mengalami banyak kendala. Bagaimanapun, secara kelembagaan KTR

belum kokoh, dibuktikan dengan belum adanya praksis-praksis bisnis yang simultan dan sustainable, pun juga,

pergeseran paradigma dari bisnis anti-bank menjadi gerakan sosial justru menyebabkan munculnya resisten utama

bagi KTR. Artinya, agaknya akan sulit bagi KTR untuk mencapai target bisnis yang sudah dicanangkan, karena yang

dibangun adalah gerakan sosial melalui wakaf dan sedekah. Adapun KPMI, target bisnis yang ingin dicapai justru

belum terlihat konkret. KPMI hanya fokus menarik pengusaha belajar agama, sehingga target bisnis dikembalikan

kepada masing-masing individu baik pengurus ataupun anggota sebagai pelaku bisnis. Ini tentu terlihat kontradiktif

dengan narasi-narasi normatif KPMI yang ingin mendorong perekonomian Indonesia.

Pembangunan Jaringan Bisnis, Mentalitas Bisnis, dan Impian menjadi saudagar Besar

Manning (2010:254), dalam kajian akademisnya tegas menyatakan bahwa modal sosial menjadi anasir paling

signifikan yang dielaborasi dalam kajian sosial-ekonomi. Ini menunjukkan semakin semaraknya temuan dan kaitan

antara modal sosial dan kegiatan ekonomi. Dalam kaitan ini, peneliti mendapati ketiga komunitas memiliki genre

sendiri-sendiri dalam membangun jaringan bisnis, yang terbentuk dari modal sosial. Damsar dan Indrayani (2009:173)

menyebut teori jaringan secara praktis bisa digunakan sebagai sarana membangun ekspansi bisnis:

“Ketika ditanyakan pada para pebisnis yang ingin mengembangkan (ekspansi) usaha mereka di daerah yang

sama sekali baru bagi pebisnis tersebut, maka salah satu strategi yang dilakukannya adalah menemukan

jaringan sosial yang mungkin miliki misalnya menelusuri pebisnis-pebisnis daerah bersangkutan yang

berlatarbelakang suku bangsa, daerah, alumni, atau agama yang sama dengan diri mereka. Penelusuran

tersebut menunjukkan bagaimana jaringan sosial dimanfaatkan dalam melakukan ekspansi bisnis”.

Secara umum, penelitian ini mendapati bahwa komunitas mampu memberikan relasi-relasi bisnis yang cukup baik.

Relasi-relasi bisnis yang diberikan, umumnya bersifat informatif tentang akses sumberdaya yang menghubungkan

antarpengusaha dengan pengusaha yang lain. Walau begitu, secara teknis ketiganya menjalankan prinsip yang

beragam. Vigur Organik misalnya, membangun jaringan bisnis melalui kegiatan pameran, kompetisi produk olahan

organik, dan membangun kedekatan dengan pemerintah (Wawancara, 23/02/2018). Bahkan, berkat banyak mengikuti

pameran dan kompetisi di luar wilayah Malang, Vigur Organik hari ini sudah mampu menasional dengan mengirim

produknya ke beberapa kota, antara lain: Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Tulungagung, dan Surabaya (Wawancara,

26/02/2018) Terbaru, Vigur Organik membangun jaringan bisnis eksternal melalui media online dan reseller

(Wawancara, 26/02/2018). Dalam pada ini, membangun kedekatan dengan pemerintah ini dilakukan untuk

memperoleh akses kepercayaan, sebagai simpul dari jaringan (Damsar dan Indrayani, 2009:182-283). Sementara itu,

KPMI dan KTR, membangun jaringan eskternal, melalui perkumpulan baru yang disebut sebagai “Hijrah Iku Mbois”,

yang di dalamnya berserikat beberapa komunitas yang mengkampanyekan anti riba (Wawancara, 19/02/2018).

Jaringan-jaringan bisnis yang dilakukan komunitas ini, dalam kajian modal sosial disebut sebagai jaringan makro

(Damsar dan Indrayani, 2009:165).

Adapun pembangunan jaringan meso, atau jaringan antaranggota komunitas, dengan menjadikan anggota

komunitas sebagai bentuk “simpul” dan proses interaksi sebagai “ikatan”—sebagaimana definisi jaringan menurut

Lawang—(Damsar dan Indrayani, 2009:162), hanya Vigur Organik yang mampu mewadahi pola interaksi yang

sistematis, dengan sistem kelembagaan yang mumpuni. Dibuktikan dengan strategi penjualan dan distribusi produk

yang dilakukan setiap Sabtu dan Selasa, kemudian pertemuan kelompok rutin satu bulan sekali (Wawancara,

23/02/2018). Sedangkan KPMI dan KTR, hanya mewadahi interaksi melalui jejaring ‘whatsapp’ yang sifatnya

sporadis. Walaupun, di setiap akhir pekan ada kesempatan untuk mempromosikan bisnisnya, disebut sebagai “saling

Page 20: DIALEKTIKA GERAKAN EKONOMI ISLAM (Studi Pada …

Sabu Ahad” (Wawancara, 20/02/2018), tetapi hal itu belum bisa mencandrakan sebagai interaksi sosial yang masif.

Sungguhpun begitu, di KPMI, meskipun tampak sporadis, ada juga yang berhasil membangun jaringan bisnis melalui

sarana grup ‘whatsapp’ tersebut (Wawancara, 28/02/2018).

Di lain sisi, secara personal, beberapa pengurus komunitas, ada juga yang membangun jaringan bisnis dengan

menggunakan pendekatan “personality”, yakni melakukan pendekatan secara individual, setelah memperoleh

informasi dari komunitas (Wawancara, 28/02/2018). Hal ini mencandrakan bahwa komunitas ini tetap menjadi wadah

yang mengantarkan para anggota untuk bisa mengakses jaringan yang berisikan informasi sumberdaya yang dimiliki

oleh berbagai komunitas sejenis, sehingga disebut memiliki modal sosial yang tinggi (Yustika, 2012:142).

Dengan demikian, penelitian ini mengambil satu pandangan umum bahwa ketiga komunitas, sukses menjadi

wadah pembangun jaringan bisnis. Secara individual, menjadi perekat jaringan meso dan antarkomunitas—yang juga

menguntungkan anggota—membentuk jaringan makro. Namun begitu, jaringan-jaringan yang dibentuk hanya bisa

dimanfaatkan jika anggota komunitas memiliki etos kerja yang tinggi, yaitu menggali jaringan bisnis secara masif.

Karena bagaimanapun, untuk KTR dan KPMI interaksi antaranggota tidak berjalan dengan baik, artinya tidak

sistematis dengan pendampingan yang lemah. Hal ini berbeda dengan Vigur Organik yang rutin melakukan pertemuan

setiap satu bulan sekali dan juga waktu penjualan yang rutin, sehingga modal sosial terjalin cukup kuat yang kemudian

menginkat dalam bentuk jaringan meso yang juga kuat. Sementara dari sudut keterlekatan, Vigur Organik tergolong

keterlekatan kuat (embedded) dan keterlekatan struktural, Karena interaksi bisnis antaranggota terjalin sangat intens,

resiprokal, dan organisatoris (Damsar dan Indrayani, 2009:139). Sementara KTR dan KPMI masuk ke dalam

keterlekatan lemah karena interaksi bisnis antaranggota jarang terjalin secara langsung dan lebih banyak melalui media

sosial yang sifatnya sporadis. Tentu, ini menjadi gejala yang kontradiktif, bahwa untuk mewujudkan suatu bisnis

Islami yang riil, diperlukan masifikasi praktik wirausaha dan memotivasi pengusaha-pengusaha muda untuk lebih giat

berdagang dan berinovasi.

Pada pendulum lain, komunitas juga menggalakkan pembangunan mentalitas bisnis, dan hal ini, rupanya hanya

dilakukan dengan sangat baik oleh Vigur Organik. Sementara KTR dan KPMI rupanya belum mampu melakukan hal

tersebut. Didasarkan pada program-program strategis Vigur Organik, yang kini tengah mengejar label internasional

(nutrition fact) guna merambah pasar internasional (Wawancara, 23/02/2018). Sementara KTR dan KPMI belum

memiliki fungsi strategis untuk mengembangkan program ke arah itu. Hal ini, lebih disebabkan oleh kesibukan

pengurus KPMI dan pergeseran paradigma (shifting paradigm) ke arah gerakan sosial yang mewujud di KTR. Padahal,

program-program strategis untuk memberikan insight baru sangat dibutuhkan untuk mewujdukan seorang saudagar

besar (Wawancara, 15/03/2018). Pun juga, praktik bisnis yang professional adalah kuncinya (Rahardjo, 1990; Hamim,

2017:195). Dengan demikian, impian untuk mewujudkan saudagar Muslim berkaliber global, agaknya akan sulit

dicapai oleh KPMI dan KTR, namun, secercah harapan agaknya menyembul pada Vigur Organik, asalkan konsisten

dengan program-program strategisnya dan tentunya tergantung pula pada kondisi pasar, sosial, dan politik.

E. KESIMPULAN

Reinkarnasi komunitas bisnis Islami seolah akhir-akhir ini mewartakan sebagai varian baru gerakan ekonomi

Islam. Konsepsi bisnis yang dibangun menunjukkan distingsi yang unik, seolah mencandrakan gejala yang vis a vis

antara ekonomi Islam dengan ekonomi konvensional. Gerakan ekonomi konvensional yang dianggap sudah menjauh

dari syariat Islam, ingin dirubah melalui konsep bisnis Islami yang digagas oleh komunitas bisnis Islami. Namun

begitu, komunitas bisnis Islami rupanya tidak mudah untuk menemukan posisi yang kokoh dalam merobohkan

bangunan ekonomi konvensional yang memang sudah menjarah ke segala sisi. Karena itu, mendasarkan pada fokusan

rumusan masalah, penelitian ini mengambil dua poin kesimpulan sebagai berikut:

1. Ketiga komunitas, yaitu Vigur Organik, Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia (KPMI) dan Komunitas Tanpa

Riba (KTR) memiliki latar belakang sejarah yang berbeda satu sama lain. Ketiganya juga memiliki tujuan yang

yang beragam. Tetapi, secara umum, ketiganya bertujuan untuk membangun ekonomi umat yang lebih maju, di

samping, KPMI misalnya, juga berfokus sebagai wadah untuk menarik pebisnis belajar ilmu muamalah. Kedua,

rupanya hanya Vigur Organik saja yang diprediksi mampu membangun mental wirausahawan, adapun KPMI

dan KTR belum mampu melakukan hal yang demikian. Sungguh pun para pengurus KPMI dan KTR tetap

memiliki bisnis secara mandiri yang tidak terikat secara kelembagaan dengan komunitas.

2. Terdapat kesepahaman bersama bahwa ketiga komunitas menjadikan tauhid sebagai poros kegiatan ekonomi,

yang dalam komunitas Vigur Organik kemudian berkembang menjadi konsep “ekonomi kejujuran” dan di KTR

bertransformasi menjadi konsep “bisnis organik”. Kedua, KPMI dan KTR cenderung memaknai ekonomi Islam

sebagai “ekonomi hukum” sementara Vigur Organik justru cenderung memaknai ekonomi Islam sebagai

“ekonomi moral”. Ketiga, kinerja bisnis dipengaruhi oleh seberapa besar etos kerja seorang pengusaha dalam

Page 21: DIALEKTIKA GERAKAN EKONOMI ISLAM (Studi Pada …

menjalankan bisnis, kondisi pasar yang berkaitan dengan supply dan demand, serta kondisi sosial-politik yang

berkembang. Adapun konsepsi larangan riba, zalim, gharar, maisyr hanya menuntun ketaatan kepada Tuhan

yang diharapkan mendorong ketenangan batin. Kemudian para pengusaha yang berkecimpung di ketiga

komunitas, masih tergolong pengusaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), karena omzet yang berhasil

digulung masih tergolong klasifikasi UMKM. Keempat, komunitas berhasil menjadi pangkal para pengusaha

untuk membangun jaringan bisnis. Dan terakhir, kelima, KTR dan KPMI diprediksi kesulitan mengejar target

bisnis yang dicanangkan sebab pergeseran paradigma yang terjadi di KTR dan terhambatnya pelaksanaan

program di KPMI yang mengakibatkan pelemahan gerakan komunitas sebagai wadah penguat mental bisnis

anggota.

UCAPAN TERIMAKASIH

Pada kesempatan ini, peneliti haturkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah

membantu dalam proses penyelesaian penelitian ini. Tentu, upaya menggali aktivitas ekonomi Islam tidak akan pernah

berhenti, karena sejatinya, pengembaraan intelektual tidak akan pernah menemukan ujung. Oleh karena itu, secara

khusus, peneliti ingin mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing, Bapak Arif Hoetoro, SE., MT., Ph.D

yang telah memberikan banyak wawasan baru. Pun juga, tak lupa, kedua orang tua yang selalu memberikan dorongan

dan doa yang kemuliaannya tiada tara. Akhirnya, kepada semua pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, peneliti

haturkan salam takzim.

Page 22: DIALEKTIKA GERAKAN EKONOMI ISLAM (Studi Pada …

DAFTAR PUSTAKA

Antonio, M Syafii. 2001. Bank Syariah: Dari Teori Ke Praktek. Jakarta: Gema Insani Press.

Antonio, Muhammad Syafii. 2015. Muhammad The Super Leader Super Manager. Jakarta: Tazkia Publishing

Ash Shadr, Muhammad Baqir. 2008. Buku Induk Ekonomi Islam: Iqtishaduna. Jakarta: Zahra

Asad, Muhammad. 2017. The Message of the Quran: Tafsir Al-Quran Bagi Orang-Orang yang Berfikir. Jakarta:

Mizan

Asy’rie, Musa. 2015. Filsafat Ekonomi Islam. Yogyakarta: LESFI

Bahramitash, Roksana. 2003. Islamic Fundamentalism and Women’s Economic Role: The Case of Iran. International

Journal of Politics, Culture and Society, Vol. 16, No. 4

Damsar dan Indrayani. 2009. Pengantar Sosiologi Ekonomi. Jakarta: Kencana

Djaelani, Anton Timur. 2017. Gerakan Sarekat Islam: Kontribusinya pada Nasionalisme Indonesia. Jakarta: LP3ES

Fozia, Maryam, et.al., 2016. Entrepreneurship and Leadership: An Islamic Perspective. International Journal of

Economics, Management and Accounting 24, No. 1 (2016): 15-47 by International Islamic University Malaysia

Hamim, Abdul Wadud Kasyful. 2017. Jejak Bisnis Sahabat Nabi: Sejarah Kesuksesan yang Terlupakan. Jakarta:

Qalam

Hoetoro, Arif. 2017. Ekonomi Islam: Perspektif Historis dan Metodologis. Malang: Empatdua

Hoque, Nazamul, et.al., 2013. Dynamics and Traits of Entrepreneurship: An Islamic Approach. World Journal of

Entrepreneurship, Management and Sustainable Development, Vol. 10, No. 2, 2014 pp. 128-142 by Emerald

Group Publishing Limited 2042-5961

Kementerian Agama RI. 2011. Al-Quran dan Terjemahnya. Jakarta: Khazanah

Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia. Visi dan Misi. http://kpmi.or.id/. [diakses pada tanggal 14 Mei 2018]

Kuntowijoyo. 1997. Identitas Politik Umat Islam. Jakarta: Mizan

Kuntowijoyo. 2017. Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Yogyakarta: Tiara Wacana

Latief, Hilman. 2017. Melayani Umat: Filantropi Islam dan Ideologi Kesejahteraan Kaum Modernis. Yogyakarta:

Suara Muhammadiyah

Lombard, Denys. 2005. Nusa Jawa: Silang Budaya, Edisi Dua Jaringan Asia. Jakarta: Gramedia

Martono, Nanang. 2015. Metode Penelitian Sosial: Konsep-Konsep Kunci. Jakarta: Rajawali Press

Manzilati, Asfi. 2017. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma, Metode, dan Aplikasi. Malang: UB Press

Miles, Matthew B. & Huberman, A. Michael. 1994. An Expanded Sourcebook: Qualitative Data Analysis. Second

Edition. London: Sage Publication

Mulkhan, A. Munir. 2000. Moral Kenabian: Paradigma Intelektual Pembangunan. [Dalam] Meretas Jalan Baru

Ekonomi Muhammadiyah. Yogyakarta: Tiara Wacana

Page 23: DIALEKTIKA GERAKAN EKONOMI ISLAM (Studi Pada …

Naqvi, Syed Nawad Haedar. 1981. Etika dan Ilmu Ekonomi: Suatu Sintesis Islamisasi. Jakarta: Mizan

Naqvi, Syed Nawab Haedar. 2003. Menggagas Ilmu Ekonomi Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Noer, Deliar. 1996. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: LP3ES

Olson, Mancur. 2002. (20th Printing). The Logic of Collective Action: Public Goods and the Theory of Groups.

Harvard University Press. USA

Oxford English Dictionary. https://en.oxforddictionaries.com/definition/community Diakses pada 23 Januari 2018

Prawiranegara, Sjafruddin. 2011. Ekonomi dan Keuangan: Makna Ekonomi Islam (Kumpulan Karangan Terpilih Jilid

2). Jakarta: Pustaka Jaya

Prawiranegara, Sjafruddin. 1986. Islam Sebagai Pedoman Hidup (Kumpulan Karangan Terpilih Jilid 1). Jakarta: Inti

Idayu Press

Rahardjo, Dawam. 1989. Perspektif Deklarasi Mekkah: Menuju Ekonomi Islam. Jakarta: Mizan

Rahardjo, Dawam. 1990. Etika Ekonomi dan Manajemen. Yogyakarta: Tiara Wacana

Rahardjo, Dawam. Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi. Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat

Rahardjo, Dawam. 2015. Arsitektur Ekonomi Islam: Menuju Kesejahteraan Sosial. Jakarta: Mizan

Rahardjo, Dawam. 2004. “Kata Pengantar” dalam Karim, Adiwarman. 2004. Bank Islam: Analisis Fiqih dan

Keuangan. Jakarta: RajaGrafindo Persada

Richards, Adam and Reed, John. 2013. Social Capital’s Role in the Development of Volunteer-led Cooperatives.

Social Enterprise Journal, Vol. 11 Issue: 1, pp.4-23

Rosidi, Ajib. 1986. “Kata Pengantar” dalam Prawiranegara, Sjafruddin. 2011. Ekonomi dan Keuangan: Makna

Ekonomi Islam (Kumpulan Karangan Terpilih Jilid 2). Jakarta: Pustaka Jaya

Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Sosiologi kelompok. Bandung: Penerbit Remadja Karya

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008. “Usaha, Mikro, Kecil, dan Menengah”. https://www.bi.go.id/id/tentang-

bi/uu bi/Documents/UU20Tahun2008UMKM. pdf [diakses pada tanggal 14 Mei 2018]

Wallis, Joe and Killerby, Paul. 2004. Social Economics and Social Capital. International Journal of Social Economics,

Vol. 31 Issue: 3, pp.235-258

Yunus, Muhammad. 2010. Bisnis Sosial: Sistem Kapitalisme Baru yang Memihak Kaum Miskin. Jakarta: PT Gramedia

Yusuf, Yusmar. 1989. Dinamika Kelompok: Kerangka Studi dalam Perspektif Psikologi Sosial. Bandung: Armico

Yustika, Ahmad Erani. 2012. Ekonomi Kelembagaan: Paradigma, Teori, dan Kebijakan. Jakarta: Erlangga