Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi...
Transcript of Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi...
HUBUNGAN KONSEP DIRI DENGAN
KECENDERUNGAN BERPERILAKU BULLYING
SISWA SMAN 70 JAKARTA
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Syarat Dalam Meraih
Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)
Disusun Oleh :
Farisa Handini
105070002232
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H / 2010 M
HUBUNGAN KONSEP DIRI DENGAN
KECENDERUNGAN BERPERILAKU BULLYING
SISWA SMAN 70 JAKARTA
Skripsi
Ditujukan Kepada Fakultas Psikologi Untuk Memenuhi Syarat
Mencapai Gelar Sarjana Psikologi
Oleh : Farisa Handini
NIM : 105070002232
Di Bawah bimbingan
Pembimbing I Pembimbing II
Dra. Zahrotun Nihayah, M.Si Yufi Adriani, M.Psi, Psi NIP. 196 207 241 989 020 01 NIP. 1982 0918 2009 01 2006
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H / 2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul HUBUNGAN KONSEP DIRI DENGAN KECENDERUNGAN BERPERILAKU BULLYING SISWA SMA NEGERI 70 JAKARTA telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatulllah Jakarta Pada Tanggal 10 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi.
Jakarta,10 Juni 2010
Sidang Munaqasyah
Jahja Umar, Ph.D Dra.FadhilahSuralaga,M.Si NIP. 130 885 522 NIP. 1956 12319 8303 2001
Anggota
Penguji I Penguji II Dra.FadhilahSuralaga,M.Si Dra. Zahrotun Nihayah, M.Si NIP. 1956 123 1983 03 2001 NIP. 1962 0724 19890 2001
Pembimbing I Pembimbing II
Dra. Zahrotun Nihayah, M.Si Yufi Adriani, M.Psi, Psi NIP. 1962 0724 19890 2001 NIP. 1982 0918 2009 01 2006
Sesungguhnya dibalik kesulitan ada
kemudahan
“Al-Insyirah : 5”
Skripsi yang sederhana ini ku persembahkan untuk :
Orang-orang terkasih yaitu keluarga dan sahabat
ABSTRAK
(A) Fakultas Psikologi (B) Mei 2010 (C) Farisa Handini
Hubungan Konsep Diri Dengan Kecenderungan Berperilaku Bullying Siswa SMA Negeri 70 Jakarta
(D) Hal, 13 tabel, 4 gambar dan 6 lampiran (E) Bullying merupakan perilaku penindasan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang yang dianggap lebih kuat kepada yang lemah dalam bentuk fisik maupun nonfisik. Bullying bentuk fisik misalnya menjambak, memukul, menendang, dan serangan fisik lainnya. Sedangkan nonfisik berupa verbal dengan memfitnah, mempermalukan dan lainnya. Ada beberapa faktor yang mungkin mempengaruhi munculnya perilaku bullying antara lain konsep diri. Konsep diri adalah gambaran yang ada pada diri individu yang berisikan bagaimana individu melihat dirinya sendiri sebagai pribadi yang disebut pengetahuan diri, bagaimana individu merasa atas dirinya yang merupakan penilaian dirinya sendiri serta bagaimana individu menginginkan diri sendiri sebagai manusia yang diharapkan. Konsep diri terbagi menjadi konsep diri negatif dan konsep diri positif. Diduga, siswa yang memiliki konsep diri positif tidak mengarah pada perilaku bullying, sedangkan siswa berkonsep diri negatif memiliki kecenderungan berperilaku bullying.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan konsep diri dengan kecenderungan berperilaku bullying siswa SMAN 70 Jakarta. Jumlah responden 40 siswa yang diambil secara acak dari kelas XI IPA 1.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dimana data yang dihasilkan berupa data yang berbentuk bilangan. Metode yang digunakan adalah metode korelasional yaitu penelitian yang dirancang untuk menemukan hubungan antara variabel-variabel yang berbeda dalam suatu populasi. Teknik statistik yang digunakan adalah Pearson Product Momen dalam SPSS 16 for Windows.
Dari hasil uji korelasi didapatkan nilai r hitung -0,058 yang signifikan pada level 0,05 dimana r tabel 0,312 maka diperoleh kesimpulan ada hubungan antara konsep diri dengan kecenderungan berperilaku bullying siswa SMAN 70 Jakarta yang mengarah pada korelasi negatif. Artinya semakin tinggi (positif) konsep diri siswa, maka semakin rendah kecenderungan berperilaku bullyingnya. Begitupun sebaliknya, semakin rendah (negatif) konsep diri siswa, maka semakin tinggi kecenderungan berperilaku bullyingnya.
Untuk penelitian selanjutnya diharapkan mencari faktor lain yang mempengaruhi kecenderungan berperilaku bullying serta mencari faktor yang dominan mempengaruhi konsep diri
(F) Bahan bacaan 22
Kata Pengantar
Bismillahirrahmanirrahim
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang
senantiasa mencurahkan rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta salam tidak lupa penulis sampaikan
kepada Rasulullah SAW, keluarganya, para sahabat dan pengikutnya.
Dengan selesainya penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa banyak
pihak yang telah membantu dan berperan serta dalam penulisan skripsi ini. Oleh
karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terimakasih yang tak terhingga
kepada:
1. Dekan Fakultas Psikologi yaitu Jahja Umar, Ph.D dan juga seluruh staf
pengajar dan administrasi Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dra. Zahrotun Nihayah, M.Si dan Yufi Adriani, M.Psi, Psi pembimbing
penulisan skripsi ini, yang telah meluangkan waktunya yang padat untuk
memberikan bimbingan dan saran dalam penulisan skripsi ini. Terima kasih
telah sabar membantu penulis hingga akhirnya skripsi ini diselesaikan.
3. Kepala Sekolah SMAN 70 Jakarta, Humas SMAN 70 (Bapak Burhan) dan
staf-staf lainnya yang senantiasa meluangkan waktunya untuk membantu
penulis dalam pelaksanaan penelitian ini. Semoga kebaikan dibalas oleh Allah
SWT.
4. Ayah H. Drs. Nasruddin, M.Pd dan Ibu Hj. Titin Sumarni, yang senantiasa
mendukung dan mendoakan penulis baik secara moril dan materiil untuk terus
maju dalam menyelesaikan tugas dan selalu menanamkan kepada penulis
untuk selalu jujur dalam keadaan apapun dan tak mudah menyerah adik –
adikku tersayang Yazir Haq Dasendi “Ajil” dan Derizky Kentadika “Adik”
juga kakek dan nenekku tersayang serta semua keluarga yang selalu
mendukung penulis.
5. Sahabat-sahabatku Dalla, Alyn, Syifa yang selalu mendukung penulis dalam
keadaan suka maupun duka. Berjuang sama-sama. Semoga persahabatan kita
tak lekang oleh waktu.
6. Semua teman – teman Psikologi angkatan 2005 terutama kelas A ceria yang
selalu memberi dukungan dan semangat serta kerjasamanya selama masa
perkuliahan. Buat Ida, Amie, Leli dan teman-teman KKL atas bantuan dan
dukungan tak henti-hentinya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Teman – teman irakian community Eva, Nurul, Ita, Tina, Oi, Bili, Amar dan
teman – teman MB Bulldozer PU, terimakasih atas dukungan dan masukannya
kepada penulis dalam mengerjakan skripsi ini.
8. Untuk sahabat terdalam penulis “bee”, terimakasih atas semua cinta dan kasih
sayang yang tulus kepada penulis, serta mengajarkan penulis untuk selalu
menghargai orang lain dan tetap sabar mendampingi penulis dalam situasi
apapun.
9. Adik-adik responden di SMAN 70 Jakarta yang telah memberikan kontribusi
yang tak ternilai sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Semoga
kesuksesan selalu menyertai kalian semua.
Seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu. Semoga
Allah senantiasa membalas kebaikan semuanya dengan berlipat ganda dan penulis
berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak, Amin
Tangerang, 7 Juni 2010
Penulis
DAFTAR TABEL
1. Tabel 2.1 Kerangka berfikir .................................................................40
2. Tabel 3.1 Dimensi dan indikator konsep diri .........................................44
3. Tabel 3.2 Blue print konsep diri ……….........................................46
4. Tabel 3.3 Aspek dan indikator bullying .........................................47
5. Tabel 3.4 Blue print bullying ……….....................................................47
6. Tabel 3.5 Pedoman skala .................................................................48
7. Tabel 3.6 Blue print try out konsep diri ……………………………….51
8. Tabel 3.7 Blue print try out bullying ……………………………………52
9. Tabel 4.1 Gambaran umum responden ………………………………...55
10. Tabel 4.2 Hasil uji normalitas konsep diri ……………………………..57
11. Tabel 4.3 Hasil uji normalitas bullying …………………………………58
12. Tabel 4.4 Descriptive statistics ………………………………………….60
13. Tabel 4.5 Kategori konsep diri ………………………………………….61
14. Tabel 4.6 Kategori bullying ……………………………………………..62
15. Tabel 4.7 Hasil Spearman’s rank correlations …………………………..62
DAFTAR LAMPIRAN 1. Hasil skoring skala konsep diri saat penelitian
2. Hasil skoring skala kecenderungan berperilaku bullying saat penelitian
3. Validitas dan reliabilitas skala konsep diri dan skala kecenderungan berperilaku
bullying saat try out
4. Skala konsep diri dan kecenderungan berperilaku bullying saat penelitian
5. Surat izin penelitian
6. Surat keterangan telah melakukan penelitian di SMA Negeri 70 Jakarta Selatan
DAFTAR ISI
ABSTRAK................................................................................................. i
KATA PENGANTAR............................................................................... ii
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR......................................................... iv
DAFTAR LAMPIRAN.............................................................................. v
DAFTAR ISI............................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN ……..………….……...……………………… 1
1.1 Latar Belakang …………………..………….……………………. 1
1.2. Identifikasi Masalah ………….…………….…………………… 8
1.3. Rumusan Masalah …………..……..………...………………… 9
1.4. Batasan Masalah ………………………..………………………... 9
1.5. Tujuan dan Manfaat penelitian ....................................................... 10
1.6. Sistematika Penulisan .................................................................... 10
BAB II LANDASAN TEORI .................................................................... 12
2.1 Perilaku Bullying ............................................................................. 12
2.1.1 Definisi Perilaku Bullying ....................................................... 12
2.1.2 Bentuk – bentuk Bullying ......................................................... 14
2.1.3 Faktor Penyebab Terjadinya Bullying ..................................... 15
2.1.4 Penanggulangan Bullying ......................................................... 16
2.1.5 Dampak Perilaku Bullying ...................................................... 19
2.2 Konsep Diri …………………………………………..…………. 22
2.2.1 Pengertian Konsep Diri ……….…….…………………..….. 22
2.2.2 Jenis – Jenis Konsep Diri ………….…………..…………... 24
2.2.3 Aspek – Aspek Konsep Diri …….………………..………... 30
2.3 Remaja ............................................................................................. 32
2.3.1 Definisi Remaja ..................................................................... 32
2.3.2 Ciri-ciri Remaja ..................................................................... 33
2.4 Hubungan Konsep Diri Dengan Kecenderungan Berperilaku Bullying
Siswa SMAN 70 Jakarta ................................................................ 37
2.5 Kerangka Berfikir ........................................................................... 38
2.7 Hipotesis ......................................................................................... 40
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................ 41
3.1 Jenis Penelitian .................................................................................. 41
3.1.1 Pendekatan Penelitian ............................................................... 41
3.1.2 Metode Penelitian ...................................................................... 41
3.2 Variabel Penelitian ............................................................................. 41
3.2.1 Definisi Konseptual ................................................................... 42
3.2.2 Definisi Operasional Variabel ................................................... 42
3.3 Pengambilan Sampel .......................................................................... 43
3.3.1 Populasi dan Sampel ................................................................ 43
3.3.2 Teknik Pengambilan Sampel ...................................................... 43
3.4 Teknik Pengumpulan Data .................................................................. 44
3.4.1 Metode Dan Instrumen Penelitian .............................................. 44
3.4.2 Instrumen Penelitian ................................................................... 44
3.4.3 Teknik Uji Instrumen ................................................................. 48
3.4.3.1 Uji Validitas ................................................................ 48
3.4.3.2 Uji Reliabilitas ............................................................ 49
3.5 Hasil Uji Coba Alat Ukur ..................................................................... 50
3.6 Teknik Analisis Data ........................................................................... 53
3.7 Prosedur Penelitian .............................................................................. 53
BAB IV PRESENTASI DAN ANALISIS DATA ....................................... 55
4.1 Gambaran Umum Responden .............................................................. 55
4.2 Uji Persyaratan ..................................................................................... 56
4.2.1 Uji Normalitas ............................................................................. 56
4.2.2 Uji Hipotesis .............................................................................. 59
4.3 Deskripsi Hasil Penelitian ................................................................. 60
4.3.1 Kategori Skor Konsep Diri ....................................................... 60
4.3.2 Kategori Skor Bullying ............................................................. 61
4.4 Hasil Penelitian .................................................................................. 62
4.4.1 Hasil Utama Penelitian .............................................................. 63
BAB V KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN ....................................... 64
5.1 Kesimpulan .......................................................................................... 64
5.2 Diskusi .................................................................................................. 64
5.3 Saran ...................................................................................................... 66
5.3.1 Saran Teoritis …………………………………………………... 66
5.3.2 Saran Praktis …………………………………………………… 67
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kekerasan merupakan suatu fenomena krisis moral. Krisis yang didapat
dari berbagai macam tekanan hidup. Suatu krisis yang bisa menjadi barometer
kegagalan membina “character building” para remaja dan masyarakat. Banyak
sekali kasus kekerasan di kalangan remaja. Kekerasan antar sebaya atau yang
biasa dikenal dengan bullying merupakan suatu tindak kekerasan fisik dan
psikologis yang dilakukan seseorang atau kelompok, yang dimaksudkan untuk
melukai, membuat takut atau membuat tertekan seseorang (anak atau siswa) lain
yang dianggap lemah, yang biasanya secara fisik lebih lemah, minder dan kurang
mempunyai teman, sehingga tidak mampu mempertahankan diri.
Alasan bullying seringkali tidak jelas, biasanya menggunakan kedok
perpeloncoan, penggemblengan mental, ataupun aksi solidaritas. Terjadinya
kekerasan antar sebaya semakin menguat, mengingat adanya faktor pubertas dan
krisis identitas yang normal terjadi pada perkembangan remaja. Dalam rangka
mencari identitas dan ingin eksis, biasanya remaja gemar membentuk geng. Geng
remaja sebenarnya sangat normal dan bisa berdampak positif, namun jika orientasi
geng kemudian “menyimpang” hal ini kemudian menimbulkan banyak masalah
dan timbullah bullying tersebut. Dari relasi antar sebaya juga ditemukan bahwa
beberapa remaja menjadi pelaku bullying karena “balas dendam” atas perlakuan
2
penolakan dan kekerasan yang pernah dialami sebelumnya, misalnya saat SD atau
SMP. (www.waingapu.com)
Lingkungan secara makro pun turut berpengaruh terhadap munculnya
bullying, baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara sosiokultural,
bullying dipandang sebagai wujud rasa frustrasi akibat tekanan hidup dan hasil
imitasi dari lingkungan orang dewasa. Tanpa sadar, lingkungan memberikan
referensi kepada remaja bahwa kekerasan bisa menjadi sebuah cara pemecahan
masalah. Misalnya saja lingkungan preman yang sehari – hari dapat dilihat di
sekitar mereka dan juga aksi kekerasan dari kelompok – kelompok massa. Belum
lagi tontonan kekerasan yang disuguhkan melalui media visual. Walaupun tak
kasat mata, senioritas pun turut memberikan atmosfer dominansi dan
menumbuhkan perilaku menindas. (Neneng Muchlisoh, 2006)
Di tahun 2007, beberapa kali kita dikejutkan oleh serangkaian berita-
berita tentang kekerasan di sekolah. Diawali dengan berita tentang siswa STPDN,
berita tentang geng SMA di Jakarta. Ternyata di tahun 2008 kekerasan di
kalangan remaja masih saja terjadi, berita yang terbaru adalah tahun 2009, yaitu
kejadian serupa dengan label senioritas dimana senior “mengerjai” junior (adik
kelas). Istilah yang digunakan seseorang atau sekelompok orang yang
mengintimidasi orang lain disebut sebagai bullying. Kebanyakan pelaku bullying
atau biasa disebut bully di sekolah adalah mereka yang berkedudukan sebagai
kakak kelas atau senior dan target atau sasaran bullying mereka adalah para siswa
baru. Pada dasarnya pelaku bullying tidak memperhitungkan alasan mengapa
mereka melakukan bullying tersebut. Terkadang pelaku hanya mencari alasan
3
yang dapat diterima atas tindakan yang ia lakukan, misalnya melakukan bullying
untuk mendisiplinkan adik kelas atau korban, tetapi perilaku tersebut berlangsung
selama periode yang cukup lama dan membuat korban mengalami luka fisik
maupun psikologis. Hasil penelitian Dina Wiyasti (2004) tentang gambaran
penyebab terjadinya bullying oleh senior terhadap junior di SMU “Z”
menunjukkan bahwa salah satu penyebab terjadinya bullying adalah karena adik
kelas bersikap tidak menghargai seniornya.
Bullying adalah sebuah situasi di mana terjadinya penyalahgunaan
kekuatan/kekuasaan yang dilakukan seorang/sekelompok. Pihak yang kuat disini
tidak hanya berarti kuat dalam ukuran fisik atau mental. (Semai Jiwa Amini,
SEJIWA 2008). Perilaku bullying didefinisikan sebagai suatu bentuk agresi fisik
dan atau psikologis yang dilakukan secara berulang oleh seorang atau kelompok
yang lebih kuat kepada seorang atau kelompok yang lebih lemah, dengan tujuan
untuk menyakiti. Perilaku ini dilakukan secara berulang dalam frekuensi yang
cukup banyak (Fekkes, Pijpers & Vanhorick, 2005) dengan maksud untuk
menyakiti korban (Olweus, 1993 ; Berger, 2007 ; Limber & Nation, Brinson, 2005
dalam Deta Armatia, 2008).
Penelitian terbaru Deta Armatia dalam Berger (2007) menunjukkan bahwa
sebenarnya para bullies tersebut merasa dirinya kuat (powerfull), bukan merasa
tidak aman (insecure). Jika anak – anak yang agresif cenderung untuk dijauhi,
para bullies remaja memiliki kecenderungan untuk dihormati, ditakuti, atau
bahkan disukai. Pada masa remaja, para bullies menikmati memiliki status sosial
tingkat tinggi di mana perilaku bullying mendapatkan dukungan dari teman –
4
teman mereka, dengan mereka melihat bahwa teman – temannya ikut menikmati
dan menonton saat ia memukul korban, teman – teman sekelas yang
menertawakan, komentar – komentar kejam yang ia lontarkan pada korban, dan
teman – teman sebayanya yang turut menyebar gosip yang ia buat. (Bukowski &
Sippola ; Cillessen & Mayeux ; Estell, Cairns, Farmer, & Cains ; Hawley &
Vaughn dalam Berger, 2007 ).
Hal ini sesuai dengan perilaku bullying di sekolah yang dilakukan oleh
senior kepada junior, dimana perilaku bullying tidak dianggap perilaku yang
salah, dan senior sebagai pelaku bullying cenderung dihormati, ditakuti, bahkan
juga disukai.
Faisal dalam Ahsit (2009) menyatakan bahwa seringkali remaja yang
tumbuh dan dibesarkan dalam pola asuh yang keliru dan negatif ataupun
lingkungan yang kurang mendukung, cenderung berperilaku negatif. Hal ini dapat
disebabkan karena sikap orang tua yang suka memukul, mengabaikan, kurang
memperhatikan, melecehkan, menghina, sikap tidak adil, suka marah – marah dan
sebagainya. Hal tersebut dianggap oleh remaja (anak) sebagai hukuman,
kesalahan, kebodohan dirinya. Jadi remaja akan menilai berdasarkan apa yang ia
alami yang didapat dari keluarga dan lingkungannya.
Terkait penjelasan di atas, dapat disimpulkan masa remaja merupakan
masa perubahan sikap dan perilaku dalam pencarian jati dirinya, di antaranya
perubahan dalam kematangan mental, emosional, fisik, dan sosial. (Hurlock,
1980). Pada masa remaja, individu mulai mencari dan menemukan nilai – nilai
baru dengan cara menguji informasi yang ada pada dirinya, mengevaluasi kembali
5
informasi yang ada dan menyesuaikan kembali dengan konsep baru (Craig, 1986).
Reaksi emosional remaja terhadap perubahan fisiknya sangat penting untuk
diperhatikan. Remaja menjadi lebih memperhatikan image tubuh, kemenarikan
fisik (physical attraction), tipe tubuh dan ideal concept, yaitu konsep tentang diri
sebagaimana yang diinginkan oleh individu.
Dalam hal tersebut, dapat dicerna bahwa remaja sedang dalam masa
pencarian identitas. Pencarian identitas pada saat sekarang ini suatu kebutuhan
yang bahkan lebih nyata lagi dan mendesak bagi kebanyakan individu yang
terlibat di dalam zaman teknologi kontemporer yang terus – menerus berubah
secara tepat dan tidak pandang bulu ini. Satu cara pendekatan terhadap masalah
identitas adalah dengan mencoba berbagai peran dan cara berperilaku. Banyak
ahli percaya bahwa masa remaja sebaiknya merupakan masa bereksperimen pada
waktu mana anak muda dapat bereksplorasi dengan ideologi dan minat yang
berbeda. Para ahli itu khawatir akan adanya kompetisi (persaingan) akademis dan
tekanan karier yang merenggut kesempatan para remaja untuk bereksplorasi.
Dalam pembentukan identitas, masa remaja sama pentingnya dengan masa
kanak – kanak yang sudah terjadi sebelumnya. Dalam masa remaja berbagai
peristiwa terjadi dengan begitu cepat. Seringkali timbul suatu perasaan hilang
kendali, dan perasaan dimana terkadang sama – sama dirasakan oleh si anak
maupun orang tuanya. Dan hampir dapat dipastikan bahwa sampai pada derajat
tertentu, pada waktu tertentu dan karena alasan tertentu, pasti timbul kepedihan
psikologis, kebingungan, dan rasa tidak bahagia. Terhadap kebingungan dan
kegalauannya itu ada sebagian remaja yang memberi reaksi dengan menyatakan
6
perasaannya lewat tindakan. Remaja – remaja seperti ini seringkali berontak dan
melawan semua bentuk otorita. Akibatnya, mereka sendiri seringkali menjadi
sebab dari berbagai masalah. Secara fisik mereka seringkali bengis terhadap
sesamanya atau terhadap siapapun yang mengganggu jalannya. Orang – orang
muda ini bertindak sesuka hatinya dan begitu memuja identitas kelompoknya serta
penerimaan kelompok terhadap dirinya. Kekerasan yang mereka tujukan keluar,
kepada sesamanya dan orang lain kelihatannya adalah refleksi dari kegalauan
yang terjadi di dalam diri mereka. (Gordner, Dr. James E. 1988)
Pengalaman menunjukkan bahwa remaja yang telah mendapat status sosial
yang jelas dalam usia dini, tidak menampakkan gejolak emosi yang terlalu
menonjol seperti rekan – rekannya yang lain yang harus menjalani masa transisi
dalam tempo yang cukup panjang. Masalahnya adalah jika seorang remaja tidak
berhasil mengatasi situasi – situasi kritis dalam rangka konflik peran, itu karena ia
terlalu mengikuti gejolak emosinya maka besar kemungkinan ia akan
terperangkap ke jalan yang salah. Kasus – kasus kenakalan remaja yang
disebutkan di atas, seringkali disebabkan oleh kurang adanya kemampuan remaja
untuk mengarahkan emosinya secara positif. Bisa dikarenakan kurangnya
dukungan positif dari lingkungan terdekat remaja, termasuk orang tuanya sendiri.
(Sarlito, 2002)
Menurut Jersild dalam Corey dikutip dari Yulia (2004), konsep diri terdiri
dari pikiran dan perasaan individu, dimana pikiran dan perasaan itu bersifat
dinamis sehingga sering berubah – ubah. Konsep diri dapat berubah sebagai hasil
penghargaan (achievement) dan interaksi dengan teman / lingkungan. Semakin
7
stabil suatu lingkungan individu semakin yakin akan apa yang ia pikir tentang
dirinya maka konsep dirinya semakin stabil. Tetapi meskipun konsep diri
mengalami perkembangan pada masa remaja akhir dan dewasa konsep diri
seseorang sudah relatif menetap.
Konsep diri merupakan suatu cara untuk memprediksi tingkah laku
individu. Selain itu, masuk ke dalam golongan konsep diri positif atau negatif
tergantung pada individu itu sendiri dalam bertingkah laku. Seseorang dikatakan
memiliki konsep diri negatif jika dia menyakiti dan memandang dirinya lemah,
tidak berdaya, tidak kompeten, tidak menarik, cenderung bersikap pesimistik
terhadap kesempatan yang ada seperti perilaku bullying yang sudah dijelaskan di
atas. Dengan konsep diri negatif remaja akan mudah menyerah, selalu
menyalahkan dirinya maupun orang lain jika mengalami kegagalan. Sedangkan
seseorang dengan konsep diri positif akan terlihat lebih penuh percaya diri dan
selalu bersikap positif terhadap segala sesuatu bahkan terhadap kegagalan yang
ditemuinya akan dianggap sebagai pelajaran berharga untuk melangkah ke arah
yang lebih baik. (Jasinta F. Rini, 2002 dalam Fikriyah, Fatimatul, 2009). Tidak
dapat disangkal bahwa konsep diri mempunyai peranan yang penting dalam
menentukan perilaku individu.
Adanya konsep diri pada individu menjadikan manusia sebagai makhluk
yang unik, di mana setiap individu mempunyai pemahaman sendiri tentang
dirinya yang diyakininya sebagai bagian dari dirinya. Kualitas dan keunikan yang
menjadi ciri khas individu dapat dilihat dalam kehidupan mereka sehari – hari
sebagai makhluk sosial. Konsep diri mungkin merupakan penuntut yang lebih
8
kuat lagi bagi peranan tersebut yang membedakan manusia dari makhluk hidup
yang lainnya. (RB, Burns. 1993).
Konsep diri terbentuk dan berkembang dipengaruhi oleh pengalaman atau
kontrak eksternal dengan lingkungannya dan juga pengalaman internal tentang
dirinya. Pengalaman internal ini akan mempengaruhi respon terhadap pengalaman
eksternalnya. Lalu bagaimana dengan konsep diri remaja tersebut, dimana yang ia
lakukan tidak lepas dengan ikatan kelompoknya. Konsep diri merupakan faktor
yang sangat menentukan dalam perilaku seseorang, karena setiap orang
bertingkah laku sesuai dengan konsep dirinya, atau secara sederhana dapat
dikatakan bahwa konsep diri merupakan pandangan – pandangan atau
penghayatan dan perasaan tentang diri sendiri. Hal inilah yang menarik peneliti
membuat penelitian dengan judul HUBUNGAN KONSEP DIRI DENGAN
KECENDERUNGAN BERPERILAKU BULLYING SISWA SMAN 70
JAKARTA. Peneliti melakukan penelitian di SMAN 70 Jakarta dengan alasan,
yaitu menurut penuturan dan beberapa informasi bahwa sekolah tersebut
merupakan salah satu sekolah yang fenomenal dengan kasus tawuran antar pelajar
dan tindakan bullying. Atas dasar inilah peneliti kemudian memutuskan untuk
melakukan penelitian di SMA tersebut.
1.2 Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas penulis
mengidentifikasi masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana gambaran perilaku bullying siswa SMAN 70 Jakarta ?
9
2. Bagaimana konsep diri siswa SMAN 70 Jakarta ?
3. Adakah hubungan yang signifikan antara konsep diri dengan kecenderungan
berperilaku bullying siswa kelas XI SMAN 70 Jakarta ?
1.3 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, maka dapat
dirumuskan masalah pokok dalam penelitian ini adalah “Apakah ada hubungan
yang signifikan antara konsep diri dengan kecenderungan berperilaku bullying
siswa SMAN 70 Jakarta ?”
1.4 Batasan Masalah
1. Perilaku Bullying yang dimaksud adalah perilaku penindasan yang dilakukan
seseorang atau kelompok yang dianggap lebih kuat kepada yang lemah dalam
bentuk fisik maupun nonfisik. Dalam bentuk fisik misalnya menjambak,
memukul, menendang serta merusak barang. Sedangkan nonfisik berupa
verbal (memfitnah, mempermalukan) dan nonverbal (mengisolasi, meneror,
menunjukkan gerak tubuh yang kasar).
2. Konsep diri yang dimaksud adalah persepsi individu mengenai kemampuan
dirinya dalam hal akademik, sosial, emosional, dan fisik individu itu sendiri
sesuai dengan konstrak yang ada dari teori Shavellson.
3. Siswa yang diteliti yaitu siswa kelas XI SMAN 70 Jakarta, remaja
pertengahan (15 – 18 tahun), di mana teman sebaya masih memiliki peran
penting, namun individu sudah lebih mampu mengarahkan diri sendiri (self -
10
directed) dan mulai mengembangkan kematangan tingkah laku, membuat
keputusan yang akan dicapai.
1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.5.1 Tujuan
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah mengungkap
adanya hubungan yang signifikan antara konsep diri dengan kecenderungan
berperilaku bullying siswa kelas XI SMAN 70 Jakarta.
1.5.2 Manfaat
Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat menambah wacana dalam
psikologi perkembangan remaja. Bagi pengembangan keilmuan diharapkan hasil
penelitian ini dapat menjadi bahan masukan dan pustaka umtuk mengkaji masalah
konsep diri dan kecenderungan berperilaku bullying siswa SMA.
Secara praktis diharapkan penelitian ini bermanfaat bagi para pendidik
siswa, serta umumnya bagi masyarakat pemerhati masalah remaja.
1.6 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Bab I Pendahuluan yang meliputi latar belakang, identifikasi masalah,
rumusan masalah, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, dan sistematika penulisan.
11
Bab II Kajian pustaka yang meliputi teori tentang perilaku bullying yang
meliputi definisi perilaku bullying, bentuk – bentuk bullying, faktor
penyebab terjadinya bullying, penanggulangan bullying, dampak
perilaku bullying. Konsep diri yang meliputi pengertian konsep
diri, jenis – jenis konsep diri, aspek – aspek konsep diri. Dan
remaja yang di antaranya definisi remaja, ciri-ciri remaja. Serta
penjelasan hubungan konsep diri dengan kecenderungan
berperilaku bullying siswa SMAN 70 Jakarta.
Bab III Metode Penelitian yang meliputi jenis penelitian, variabel
penelitian, pengambilan sampel, teknik pengumpulan data, teknik
analisis data, prosedur penelitian
Bab IV Presentasi dan analisis data meliputi ; gambaran umum subjek
penelitian, presentasi data, hasil penelitian.
Bab V Kesimpulan meliputi : kesimpulan, diskusi, dan saran.
12
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Perilaku Bullying
2.1.1 Definisi Perilaku Bullying
Istilah bullying diilhami dari kata bull (bahasa Inggris) yang berarti
”banteng” yang suka menanduk. Pihak pelaku bullying sering disebut bully.
Bullying adalah sebuah situasi dimana terjadinya penyalahgunaan
kekuatan/kekuasaan yang dilakukan oleh seseorang/sekelompok.(Semai Jiwa
Amini, 2008)
Menurut Ken Rigby, bullying merupakan sebuah hasrat untuk menyakiti.
Hasrat ini diperlihatkan ke dalam aksi, menyebabkan seseorang menderita. Aksi
ini dilakukan secara langsung oleh seseorang atau kelompok yang lebih kuat,
tidak bertanggung jawab, biasanya berulang, dan dilakukan dengan perasaan
senang. (Ponny Retno Astuti, 2008)
Sullivan, 2000 menyatakan bahwa bullying sebagai bentuk kenakalan
remaja dikalangan siswa, memerlukan model intervensi yang baik dan terencana
untuk sebuah perubahan. Bullying merupakan bagian dari kegagalan membangun
kecerdasan yang komprehensif. (pernyataan Mendiknas Bambang Sudibyo dalam
seminar ”Bullying ; masalah tersembunyi dalam dunia pendidikan di Indonesia”,
Jakarta 29 April 2006 dikutip dari harian Kompas, 1 Mei 2006. dalam buku
Meredam Bullying). Selain itu bullying juga dapat berupa perilaku tidak langsung,
misalnya dengan mengisolasi atau dengan sengaja menjauhkan seseorang yang
13
dianggap berbeda. Baik bullying langsung maupun tidak langsung pada dasarnya
bullying adalah bentuk intimidasi fisik ataupun psikologis yang terjadi berkali-kali
dan secara terus-menerus membentuk pola kekerasan.
Sedangkan Barbara (2001) dalam Nurbaiti (2009) mendefinisikan bullying
(penindasan) adalah tindakan intimidasi yang dilakukan pihak yang lebih kuat
terhadap pihak yang lebih lemah. Sementara menurut Heald (2002) dalam Andy
Herlambang (2008) bullying adalah tindak kekerasan disertai keinginan untuk
menyakiti, mengancam, menakut – nakuti atau membuatnya dalam keadaan tidak
nyaman, berlangsung dalam jangka waktu yang lama, baik fisik maupun
psikologis, yang dilakukan oleh seseorang maupun kelompok terhadap orang lain
yang tidak mampu mempertahankan dirinya. Teori lain yang menghubungkan
antara bullying dan agresi mengemukakan bahwa bullying adalah tingkah laku
agresif yang bertujuan untuk mendominasi, menyakiti, atau mengucilkan orang
lain Sheras (2002) dalam Andy Herlambang (2008).
Dari penjelasan definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa bullying
merupakan perilaku penindasan yang dilakukan seseorang atau kelompok yang
dianggap lebih kuat kepada yang lemah dalam bentuk fisik maupun nonfisik.
Dalam bentuk fisik misalnya menjambak, memukul, menendang, dan serangan
fisik launnya. Sedangkan nonfisik berupa verbal (merusak barang, memfitnah,
mempermalukan) dan nonverbal (mengisolasi, meneror, menunjukkan gerak
tubuh yang kasar).
14
2.1.2 Bentuk – Bentuk Bullying
Bentuk-bentuk bullying, antara lain;
1. Bullying secara fisik: menarik rambut, meninju, memukul, mendorong,
menusuk.
2. Bullying secara emosional: menolak, meneror, mengisolasi atau menjauhkan,
menekan, memeras, memfitnah, menghina, dan adanya diskriminasi berdasarkan
ras, ketidakmampuan, dan etnik.
3. Bullying secara verbal: memberikan nama panggilan, mengejek, dan
menggosip.
4.Bullying secara seksual: ekshibisionisme, berbuat cabul, dan adanya pelecehan
seksual.
Bullying dapat dilakukan dalam salah satu bentuk di atas atau kombinasi
dari beberapa bentuk perilaku bullying. Pada perilaku bullying tidak
memperhitungkan alasan pelaku melakukan bullying. Terkadang pelaku hanya
mencari alasan yang dapat diterima atas tindakan yang ia lakukan, misalnya
melakukan bullying untuk mendisiplinkan adik kelas atau korban, tetapi perilaku
tersebut berlangsung selama periode yang cukup lama dan membuat korban
mengalami luka baik fisik maupun psikologis.
Pada umumnya anak laki – laki lebih sering melakukan bullying. Hal
tersebut dikarenakan hubungan pertemanan di antara sesama laki – laki lebih
keras, lebih kuat, dan lebih agresif daripada hubungan pertemanan di antara
sesama perempuan. Selain itu, laki – laki lebih sering menggunakan perilaku
15
bullying aktif seperti menyerang korban daripada perilaku bullying pasif seperti
memperlihatkan mimik muka jahat. Bukan berarti laki – laki tidak pernah
melakukan bullying dalam bentuk pasif. (Luthfiah, 2002)
2.1.3 Faktor Penyebab Terjadinya Bullying
Kebanyakan perilaku bullying berkembang dari berbagai faktor
lingkungan yang kompleks. Tidak ada faktor tunggal menjadi penyebab
munculnya bullying. Faktor-faktor penyebabnya antara lain:
Faktor keluarga: Anak yang melihat orang tuanya atau saudaranya melakukan
bullying sering akan mengembangkan perilaku bullying juga. Ketika anak
menerima pesan negatif berupa hukuman fisik di rumah, mereka akan
mengembangkan konsep diri dan harapan diri yang negatif, yang kemudian
dengan pengalaman tersebut mereka cenderung akan lebih dulu meyerang orang
lain sebelum mereka diserang. Bullying dimaknai oleh anak sebagai sebuah
kekuatan untuk melindungi diri dari lingkungan yang mengancam.
Faktor sekolah: Karena pihak sekolah sering mengabaikan keberadaan bullying
ini, anak-anak sebagai pelaku bullying akan mendapatkan penguatan terhadap
perilaku mereka untuk melakukan intimidasi anak-anak yang lainnya. Bullying
berkembang dengan pesat dalam lingkungan sekolah yang sering memberikan
masukan yang negatif pada siswanya misalnya, berupa hukuman yang tidak
membangun sehingga tidak mengembangkan rasa menghargai dan menghormati
antar sesama anggota sekolah.
Faktor kelompok sebaya: Anak-anak ketika berinteraksi dalam sekolah dan
16
dengan teman sekitar rumah kadang kala terdorong untuk melakukan bullying.
Kadang kala beberapa anak melakukan bullying pada anak yang lainnya dalam
usaha untuk membuktikan bahwa mereka bisa masuk dalam kelompok tertentu,
meskipun mereka sendiri merasa tidak nyaman dengan perilaku tersebut.
Dari penjelasan di atas, dapat ditarik kesimpulan mengenai penyebab
terjadinya bullying, antara lain :
1. Lingkungan sekolah yang kurang baik
2. Senioritas tidak pernah diselesaikan
3. Guru memberikan contoh kurang baik pada siswa
4. Ketidakharmonisan di rumah
5. Karakter anak
2.1.4 Penanggulangan Bullying
Untuk mencegah dan menghambat munculnya tindak kekerasan di
kalangan remaja, diperlukan peranan dari semua pihak yang terkait dengan
lingkungan kehidupan remaja. Sedini mungkin anak – anak memperoleh
lingkungan yang tepat. Keluarga semestinya dapat menjadi tempat yang nyaman
untuk anak dapat mengungkapkan pengalaman – pengalaman dan perasaannya.
Orang tua hendaknya mengevaluasi pola interaksi yang dimiliki selama ini dan
menjadi model yang tepat dalam berinteraksi dengan orang lain. Berikan
penguatan atau pujian pada perilaku prososial yang ditunjukkan oleh anak.
Selanjutnya dorong anak untuk mengembangkan bakat atau minatnya dalam
17
kegiatan mereka dan orang tua tetap harus berkomunikasi dengan guru jika anak
menunjukkan adanya masalah yang bersumber dari sekolah.
Bullying sudah menjadi masalah global yang kemudian tidak bisa kita
abaikan lagi. Banyak hal yang harus bisa kita lakukan untuk meyelamatkan
perkembangan psikologis anak-anak dan remaja kita. Kekerasan sejak dini bukan
merupakan bagian dari perkembangan psikologis mereka, oleh sebab itu banyak
elemen harus ikut terlibat, baik orang tua, pihak sekolah, bahkan pemerintah.
Beberapa hal yang bisa dilakukan antara lain:
1. Orang tua membiasakan diri memberikan feedback positif bagi anak sehingga
mereka belajar untuk berperilaku sosial yang baik dan mereka mendapatkan
model interaksi yang tepat bukan seperti perilaku bullying dan agresi.
Kemudian, menggunakan alternatif hukuman bagi anak dengan tidak
melibatkan kekerasan fisik maupun psikologis. Selain itu, orang tua mau
menjalin relasi dengan sekolah untuk berkonsultasi jika anaknya sebagai
pelaku bullying ataupun korban.
2. Pihak sekolah menciptakan lingkungan yang positif misalnya dengan adanya
praktik pendisiplinan yang tidak menggunakan kekerasan. Selain itu juga,
meningkatkan kesadaran pihak sekolah untuk tidak mengabaikan keberadaan
bullying. (www.kabarindonesia.com)
3. Kurikulum sekolah semestinya mengandung unsur pengembangan sikap
prososial dan guru – guru memberikan penguatan dan penerapannya dalam
kehidupan sehari – hari di sekolah. Sekolah sebaiknya mendukung kelompok
kegiatan agar diikuti oleh seluruh siswa. Selanjutnya sekolah menyediakan
18
akses pengaduan atau forum dialog antar siswa dan sekolah, atau orang tua
dan sekolah, dan membangun aturan sekolah dan sanksi yang jelas terhadap
tindakan bullying.
4. Membangun kesadaran atas buruknya akibat bullying di komunitas sekolah,
termasuk siswa, dan orang tua siswa, dan perlunya menyebarluaskan
pengawasan dan perilaku bersahabat, bertanggung jawab, jujur, adil, tekun
belajar, dan takwa sebagai insan manusia.
Bullying sebagai bentuk agressifitas seseorang atau kelompok yang
bertujuan menyakiti orang lain, telah menjadi tradisi yang berlangsung hampir di
sekolah – sekolah bahkan di dalam masyarakat. Dikutip dari tesis Willem
Sopacua, 2006 Pascasarjana psikologi UI, bahwa upaya untuk mengurangi
perilaku bullying tersebut merupakan impian indah menyongsong harapan hari
esok adalah menjadikan komunitas siswa pada SMA Z sebagai komunitas yang
”Bersahabat”, memiliki nilai – nilai toleransi yang tinggi, memiliki kesadaran
untuk menghargai teman, dan memahami pentingnya sebuah komunikasi efektif
di antara siswa.
Ada satu program yang dinamakan ”Program Sahabat”, adalah program
bersama tim intervensi untuk menanggulangi perilaku bullying di sekolah.
Program sahabat adalah program yang dibuat dalam rangka menekan angka
perilaku bullying supaya semakin berkurang. Dengan melihat bahwa bullying ini
bisa teratasi hanya dengan melibatkan semua elemen dalam komunitas sekolah
SMA Z yakni ; guru, orangtua, siswa untuk aktif dan berpartisipasi bersama
19
membentuk nilai – nilai etika persahabatan sehingga menjadi nilai yang betul
tertanam dalam diri setiap siswa.
Program ini untuk membangun komitmen, antara lain Kasih Sayang, Baik
Budi, Harmoni dan Tanggung Jawab.
1. Kasih sayang, berkonotasi cinta. Saling berbagi, saling memberi, membuat
orang lain merasa nyaman, menghilangkan rasa marah (Diane Tillman dan
Diana Hsu, 2004).
2. Baik budi, berkonotasi memberi dengan tulus, berbuat jujur, membantu orang
yang sedang dalam kesulitan, rendah hati, menerima apa adanya, adil dan
toleransi
3. Harmoni, dikonotasikan sebagai prinsip hidup bersama dengan damai, toleran,
tenang, saling menghargai dan saling mengakui adanya perbedaan.
4. Tanggung jawab, berkonotasi melakukan sesuatu dengan sebaik – baiknya,
membantu orang lain ketika mereka membutuhkan bantuan, menjaga,
merawat barang, diri sendiri, mampu menciptakan dunia yang lebih baik.
2.1.5 Dampak Perilaku Bullying
Peristiwa bullying yang dialami korban ternyata menimbulkan dampak
negatif pada dirinya, baik dalam jangka panjang maupun jangka pendek. Bullying
ternyata tidak hanya menimbulkan dampak negatif dalam segi psikologis, namun
juga dari segi fisik. Riauskina, Djuwita, dan Soesetio (2005) menyebutkan bahwa
salah satu dampak dari bullying yang jelas terlihat adalah kesehatan fisik.
Beberapa dampak fisik yang biasanya ditimbulkan bullying adalah sakit kepala,
20
sakit tenggorokan, flu, batuk, bibir pecah-pecah, dan sakit dada. Bagi para korban
bullying yang mengalami perilaku agresif langsung juga mungkin mengalami
luka-luka pada fisik mereka.
Bullying mungkin merupakan bentuk agresivitas antarsiswa yang memiliki
akibat paling negatif bagi korbannya. Hal tersebut disebabkan karena dalam
peristiwa bullying terjadi ketidakseimbangan kekuasaan dimana para pelaku
memiliki kekuasaan yang lebih besar sehingga korban merasa tidak berdaya untuk
melawan mereka. Hasil dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa korban
bullying akan cenderung mengalami berbagai macam gangguan yang meliputi
kesejahteraan psikologis yang rendah (low psychological well-being), penyesuaian
sosial yang buruk, gangguan psikologis, dan kesehatan yang memburuk (Rigby,
dalam Riauskina, Djuwita, dan Soesetio, 2005).
Korban bullying juga bisa mengalami penyesuaian sosial yang buruk
sehingga ia terlihat seperti membenci lingkungan sosialnya, enggan ke sekolah,
selalu merasa kesepian, dan sering membolos sekolah. Apabila kita melihat lebih
jauh lagi maka korban bullying juga dapat memancing timbulnya gangguan
psikologis rasa cemas berlebihan, selalu merasa takut, depresi, ingin bunuh diri,
dan gejala-gejala gangguan stres pasca-trauma (post-traumatic stress disorder).
Seorang psikolog terkemuka bernama Abraham Maslow menyebutkan bahwa
manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidupnya.
Kebutuhan-kebutuhan tersebut memiliki tingkatan atau hirarki, mulai dari yang
paling rendah (bersifat dasar/fisiologis) sampai yang paling tinggi (aktualisasi
diri). Maslow menjelaskan bahwa seseorang baru dapat melakukan aktualisasi
21
diri, yaitu keinginan untuk mewujudkan dan mengembangkan potensi diri, apabila
orang tersebut telah merasa bahwa kebutuhan fisiologis (seperti makan dan
minum), rasa aman, kebutuhan sosial, dan kebutuhan akan harga diri telah
terpenuhi dengan baik.
Seorang yang menjadi korban bullying dapat mengalami kesulitan untuk
bersosialisasi dengan lingkungannya, selalu merasa ketakutan dan tidak aman,
bahkan merasa bahwa dirinya tidak lagi mempunyai harga diri akibat perilaku
bullying yang diterimanya. Memahami teori Maslow maka hal tersebut dapat
membuat korban bullying kesulitan untuk mengembangkan potensi-potensi yang
ada di dalam dirinya.
Salah satu contohnya adalah sebuah kisah nyata yang penulis dapatkan
dari seorang siswa. Ia adalah seorang anak yang mempunyai potensi besar dalam
bidang sepakbola sehingga dirinya memutuskan untuk bergabung dalam eskul
sepakbola di sekolahnya dengan harapan dapat lebih mengembangkan potensinya.
Namun apa yang terjadi? Ternyata sejak bergabung di eskul tersebut, dirinya
kerap kali menjadi korban bullying dari kakak-kakak kelas yang juga anggota
eskul tersebut. Pada akhirnya, akibat rasa takut dan cemas yang terus menerus
oleh perilaku bullying yang diterimanya, membuat dirinya kesulitan untuk
mengembangkan potensi yang ada di dalam dirinya. Sayang sekali, padahal siswa
tersebut sebenarnya dapat membantu sekolahnya untuk mencetak prestasi dalam
bidang sepakbola dengan potensi yang dimilikinya namun karena bullying, hal
tersebut tidak dapat terwujud.
22
2.2 Konsep Diri
2.2.1 Pengertian Konsep Diri
Sejak kecil individu telah dipengaruhi dan dibentuk oleh berbagai
pengalaman yang dijumpai dari hubungannya dengan orang lain, terutama dengan
orang – orang terdekat, maupun yang didapatkan dalam peristiwa – peristiwa
kehidupan. Sejarah hidup individu dari masa lalu dapat membuat dirinya
memandang diri lebih baik atau lebih buruk dari kenyataan yang sebenarnya
(Centi, 1993).
Charles Horton Cooley, kita melakukan dengan membayangkannya
looking-glass self (diri cermin); seakan - akan kita menaruh cermin di depan kita.
Dengan mengamati diri kita maka sampailah kita pada gambaran dan penilaian
mengenai diri kita. Inilah yang disebut self-concept atau konsep diri adalah
pikiran dan keyakinan seseorang mengenai dirinya sendiri.
Konsep diri merupakan gambaran yang dimiliki seseorang tentang dirinya,
yang dibentuk melalui pengalaman – pengalaman yang diperoleh dari interaksi
dengan lingkungan. Konsep diri bukan merupakan faktor bawaan, melainkan
berkembang dari pengalaman yang terus – menerus. Dasar dari konsep diri
individu ditanamkan pada saat dini kehidupan anak dan menjadi dasar yang
mempengaruhi tingkah lakunya di kemudian hari. William D. Brooks : Konsep
diri adalah persepsi yang bersifat fisik, sosial & psikologis mengenai diri kita,
yang didapat dari pengalaman & interaksi kita dengan orang lain.
Konsep diri adalah pandangan & perasaan tentang diri kita. Persepsi
tentang diri ini dapat bersifat psikologis, sosial, & fisis. Konsep diri bukan
23
sekedar gambaran deskriptif tentang diri, tetapi juga penilaian tentang diri kita. (T.
Safaria, Msi). Tidak ada seorangpun yang terlahir secara langsung memilki
konsep diri, ia berkembang seiring perjalanan hidup seseorang. Umumnya konsep
diri muncul dari dorongan dalam diri seseorang & pengaruh dari luar terhadap
seseorang.
Harry Stack Sullivan, jika kita diterima oleh orang lain, dihormati, &
disenangi karena keadaan diri kita, maka kita akan cenderung bersikap
menghormati & menerima diri kita. Sebaliknya, bila orang lain selalu
meremehkan, menyalahkan, & menolak kita, kita cenderung tidak menyenangi
diri sendiri.
William H. Fitts (1971) mengemukakan bahwa konsep diri merupakan
aspek penting dalam diri seseorang, karena konsep diri seseorang merupakan
kerangka acuan (frame of reference) dalam berinteraksi dalam lingkungan. Ketika
individu mempersepsikan dirinya, bereaksi terhadap dirinya, memberikan arti dan
penilaian serta membentuk abstraksi tentang dirinya, berarti ia menunjukkan suatu
kesadaran diri dan kemampuan untuk keluar dari dirinya sendiri untuk melihat
dirinya seperti yang ia lakukan terhadap dunia di luar dirinya. (Hendriati
Agustiani, 2006)
Konsep diri menurut Rogers adalah kesadaran batin yang tetap, mengenai
pengalaman yang berhubungan dengan aku dan membedakan aku dari yang bukan
aku. Konsep diri ini terbagi menjadi 2 yaitu konsep diri real dan konsep diri ideal.
Untuk menunjukkan apakah kedua konsep diri tersebut sesuai atau tidak, Rogers
mengenalkan 2 konsep lagi, yaitu Incongruence dan Congruence. Incongruence
24
adalah ketidakcocokan antara self yang dirasakan dalam pengalaman aktual
disertai pertentangan dan kekacauan batin. Sedangkan Congruence berarti situasi
di mana pengalaman diri diungkapkan dengan seksama dalam sebuah konsep diri
yang utuh, integral, dan sejati.
Berdasarkan pendapat ahli di atas maka dapat disimpulkan bahwa konsep
diri merupakan satu hal yang sangat penting dalam pengitegrasian kepribadian,
memotivasi tingkah laku sehingga pada akhirnya akan tercapainya kesehatan
mental. Sehingga konsep diri dapat didefinisikan sebagai gambaran yang ada pada
diri individu yang berisikan bagaimana individu melihat dirinya sendiri sebagai
pribadi yang disebut pengetahuan diri, bagaimana individu merasa atas dirinya
yang merupakan penilaian dirinya sendiri serta bagaimana individu menginginkan
diri sendiri sebagai manusia yang diharapkan.
2.2.2 Jenis – Jenis Konsep Diri
Menurut Callhoun dan Acocella (1990), dalam perkembangannya konsep
diri terbagi dua, yaitu konsep diri positif dan konsep diri negatif.
1. Konsep Diri Positif
Konsep diri positif lebih kepada penerimaan diri bukan sebagai suatu
kebanggaan yang besar tentang diri. Konsep diri yang positif bersifat stabil
dan bervariasi. Individu yang memiliki konsep diri positif adalah individu
yang tahu betul dirinya, dapat memahami dan menerima sejumlah fakta yang
sangat bermacam – macam tentang dirinya, evaluasi terhadap dirinya sendiri
menjadi positif dan dapat menerima keberadaan orang lain. Individu yang
25
memiliki konsep diri positif akan merancang tujuannya secara realitas, yaitu
tujuan yang memiliki kemungkinan besar untuk tercapai, mampu menghadapi
kehidupan di depannya serta menganggap bahwa hidup adalah sebuah
penemuan.
Menurut Jalaludin dalam Fitriyanti, orang yang memiliki konsep diri
positif ditandai dengan lima hal :
a. Kemampuan mengatasi masalah
b. Merasa setara dengan orang lain
c. Menerima pujian tanpa rasa malu
d. Ia menyadari, bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan,
keinginan dan perilaku yang tidak seluruhnya disetujui masyarakat.
e. Ia mampu memperbaiki dirinya karena ia sanggup mengungkapkan aspek
– aspek kepribadian yang tidak disenangi dan berusaha mengubahnya.
2. Konsep Diri Negatif
Calhoun dan Acocella (1993) membagi konsep diri negatif menjadi dua
tipe, yaitu;
a. Pandangan individu tentang dirinya sendiri tidak teratur, tidak memiliki
perasaan kestabilan dan keutuhan diri. Individu tersebut benar – benar
tidak tahu siapa dirinya, kekuatan atau kelemahannya atau yang dihargai
dalam kehidupannya.
b. Pandangan individu tentang dirinya sendiri terlalu stabil dan teratur. Hal
ini bisa terjadi karena individu dididik terlalu keras, sehingga menciptakan
26
citra diri yang tidak mengizinkan adanya penyimpangan dari seperangkat
hukum yang dalam pikirannya merupakan cara hidup yang tepat.
Singkatnya, individu yang memiliki konsep diri negatif terdiri dari dua
tipe. Tipe pertama yaitu individu yang tidak tahu dirinya dan tidak mengetahui
kekurangan dan kelebihan yang dimilikinya. Sedangkan tipe kedua adalah
individu yang memandang dirinya dengan sangat teratur dan stabil.
Menurut William D. Brooks dan Philip Emmert, ada empat tanda orang
yang memiliki konsep diri negatif, yaitu :
a. Peka terhadap kritikan orang lain, tidak tahan terhadap kritik yang
diterimanya, mudah marah, baginya koreksi sering kali dipersepsi sebagai
usaha menjatuhkan harga dirinya
b. Sangat responsif terhadap pujian, bersifat hiper kritis terhadap orang lain,
selalu mengeluh, mencela atau meremehkan apapun atau siapapun, mereka
tidak bisa mengungkapkan penghargaan atau kelebihan orang lain
c. Merasa tidak disenangi orang lain, merasa tidak diperhatikan, karena itu ia
bereaksi kepada orang lain sebagai musuh, tidak pernah mempersalahkan
dirinya, tetapi akan menganggap dirinya sebagai korban dari sistem sosial
yang tidak beres
d. Cenderung bersifat pesimis terhadap kompetisi, seperti terungkap dalam
keengganannya untuk bersaing dengan orang lain dalam membuat prestasi.
27
William H. Fitts (1971), mengemukakan bahwa konsep diri merupakan
aspek penting dalam diri seseorang, karena konsep diri seseorang merupakan
kerangka acuan dalam berinteraksi dengan lingkungan. Fitts (1971) membagi
konsep diri dalam dua dimensi pokok, yang sebagai berikut ; (Hendriati
Agustiani, 2006)
1. Dimensi Internal meliputi : identity self (diri sebagai objek), behavioral self
(diri sebagai pelaku), judging self (diri sebagai penilai).
a. Diri identitas (identity self), kemungkinan merupakan aspek dasar dari
konsep diri. Merupakan segi ”siapa saya?” dari konsep diri atau label dan
simbol yang dikenakan pada diri oleh seseorang untuk menjelaskan
dirinya dan membentuk identitasnya. Kemungkinan sumber utama bagi
materi diri identitas adalah diri pelaku ”behavioral self”.
b. Diri pelaku (behavioral self), seseorang melakukan sesuatu sesuai
dorongan stimuli internal dan eksternal. Konsekuensi perilaku tersebut
mempengaruhi kelanjutan atau disudahinya perilaku tersebut juga
menentukan apakah suatu perilaku akan diabstraksikan, disimbolisasikan
dan digabungkan ke dalam diri identitas.
c. Diri penilai (judging self), interaksi antara diri identitas dan diri pelaku
serta integrasinya ke dalam konsep diri melibatkan diri penilai. Salah satu
kapasitas manusia adalah kamampuan untuk sadar akan dirinya serta
mengamati dirinya dalam bertindak dan menilai diri sendiri.
2. Dimensi Eksternal meliputi : physical self (diri fisik), moral / ethical self (diri
28
moral), personal self (diri pribadi), family self (diri keluarga), social self (diri
sosial).
a. Physical Self, persepsi individu terhadap keadaan dirinya secara fisik,
seperti kesehatan, penampilan dan keadaan tubuh.
b. Moral – Ethical Self, persepsi individu terhadap keadaan dirinya dilihat
dari standar pertimbangan nilai moral dan etika.
c. Personal Self, persepsi individu terhadap keadaan pribadinya.
d. Family Self, menunjukkan persepsi individu yang berhubungan dengan
kedudukannya sebagai anggota keluarga.
e. Social Self, persepsi individu terhadap interaksi dirinya dengan orang lain
atau lingkungan di sekitarnya. (Hendriati Agustiani, 2006)
Penelitian ini mengarah pada dimensi internal konsep diri yaitu identitas
diri. Identitas diri menurut kamus lengkap psikologi J.P Chaplin adalah diri atau
aku individual, kepribadian, suatu kondisi kesamaan dalam sifat – sifat
karakteristik yang pokok – pokok. Dalam the penguin dictionary of psychology,
personal identity the sense or feeling of being the same person, based mainly on
common sensibility and continuity of aims, purposes, and memories. Sedangkan
dalam kamus Chaplin, personal identity adalah rasa kesinambungan pribadi
melewati waktu, kekerasan hati, sekalipun banyak menghadapi perubahan
lingkungan dan struktural dengan berlalunya waktu.
Identitas diri merupakan faktor dari identitas sosial, dimana seseorang
akan mengikuti kelompok sosialnya yang pada akhirnya seseorang tersebut
29
mengidentifikasikan dirinya pada kelompok sosialnya. Identitas sosial merupakan
produk dari proses identifikasi sosial. Identitas sosial mencerminkan karakteristik
yang khas dimana anggota kelompok sosial melakukan identifikasi. Proses
identifikasi sosial ini berlangsung tiga tahapan. Pertama, identifikasi berlangsung
secara tidak sadar (secara sendirinya). Kedua, umumnya muncul secara irasional
berdasarkan perasaan atau kecenderungan diri yang tidak diperhitungkan secara
rasional, dan ketiganya identifikasi mempunyai kegunaan untuk melengkapi
sistem norma – norma, cita – cita dan pedoman – pedoman tingkah laku orang
yang mengidentifikasi itu. Identifikasi dilakukan orang kepada orang lain yang
dianggapnya ideal dalam satu segi untuk memperoleh sistem norma – norma,
sikap – sikap dan nilai – nilai yang dianggap ideal. (Gerungan, 1977)
Persepsi identitas remaja berkembang secara perlahan – lahan melalui
berbagai identifikasi masa kanak – kanak. Nilai dan standard moral anak sebagian
besar merupakan nilai dan standard orang tua mereka. Pada waktu para remaja
beralih ke dunia sekolah yang lebih luas, nilai – nilai kelompok sebaya menjadi
bertambah penting, seperti juga halnya kata – kata pujian dari guru dan orang
sekitarnya.
Jika pandangan dan nilai orang tua sangat berbeda dengan nilai teman
sebaya serta tokoh penting lainnya, kemungkinan akan adanya konflik itu besar
dan remaja tersebut mungkin mengalami apa yang disebut kebingungan peran.
Remaja mencoba peran yang satu bergantian dengan peran lain dan menghadapi
kesulitan mensintesiskan berbagai peran yang berbeda menjadi satu identitas.
30
Shavelson dkk. (Marsh & Hattie, 1996) dalam Dewi Maulina, 2004
mengemukakan konsep diri terbagi dua, yaitu :
1. Konsep diri akademik, terdiri dari kemampuan individu pada mata pelajaran
tertentu.
2. Konsep diri non-akademik terdiri dari, komponen social, komponen emosi,
dan komponen fisik individu.
2.2.3 Aspek – Aspek Konsep Diri
Konsep diri merupakan gambaran mental yang dimiliki seorang individu.
Gambaran mental yang dimiliki individu mempunyai tiga aspek yaitu
pengetahuan yang memiliki individu mengenai dirinya sendiri, pengharapan yang
dimiliki individu untuk dirinya sendiri serta penilaian mengenai diri sendiri.
(Calhoun & Acocella, 1990)
1. Pengetahuan
Dimensi pertama dari konsep diri adalah pengetahuan. Pengetahuan yang
dimiliki individu merupakan apa yang individu ketahui tentang dirinya sendiri.
Hal ini mengacu pada istilah – istilah kuantitas seperti usia, jenis kelamin,
kebangsaan, pekerjaan, dan sesuatu yang merujuk pada istilah – istilah
kualitas seperti individu yang egois, baik hati, tenang dan bertempramen
tinggi. Pengetahuan dapat diperoleh dengan membandingkan diri individu
dengan kelompok pembandingnya. Pengetahuan yang dimiliki individu
tidaklah menetap sepanjang hidupnya, pengetahuan bisa berubah dengan cara
31
merubah tingkah laku individu tersebut atau dengan cara merubah kelompok
pembanding.
2. Harapan
Dimensi kedua dari konsep diri adalah harapan. Harapan adalah apa yang
diinginkan individu untuk dirinya di masa yang akan datang dan harapan bagi
setiap orang berbeda – beda. Sedangkan penilaian adalah pengukuran yang
dilakukan individu tentang keadaan dirinya saat ini dengan apa yang menurut
dirinya dapat dan terjadi. Selain individu mempunyai satu set pandangan
tentang siapa dirinya, individu juga memiliki satu set pandangan lain, yaitu
tentang kemungkinan menjadi apa di masa mendatang (Rogers dalam Calhoun
& Acocella, 1990). Singkatnya setiap individu memiliki pengharapan bagi
dirinya sendiri dan pengharapan tersebut berbeda – beda pada setiap individu.
3. Penilaian
Dimensi terakhir dari konsep diri adalah penilaian terhadap diri sendiri.
Individu berkedudukan sebagai penilai dirinya sendiri setiap hari. Penilaian
terhadap dirinya sendiri adalah pengukuran individu tentang keadaannya saat
ini dengan apa yang menurutnya dapat dan terjadi pada dirinya.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep diri yang
dimiliki individu terdiri dari tiga aspek, yaitu pengetahuan tentang diri sendiri,
harapan mengenai diri sendiri, dan penilaian terhadpa diri sendiri. Pengetahuan
adalah apa yang diketahui individu tentang dirinya baik dari segi kualitas dan
kuantitas, pengetahuan ini bisa diperoleh dengan membandingkan diri dengan
32
kelompok pembanding dan pengetahuan yang dimiliki individu dapat berubah –
ubah.
2.3 Remaja
2.3.1 Definisi Remaja
Dalam perkembangan kepribadian seseorang, maka remaja mempunyai
arti khusus, namun begitu masa remaja mempunyai tempat yang tidak jelas dalam
rangkaian proses perkembangan seseorang. Istilah adolescence atau remaja
berasal dari kata latin adolescere, yang berarti ”tumbuh” atau ”tumbuh menjadi
dewasa”. Hurlock (1980) menjelaskan istilah adolescence seperti yang
dipergunakan saat ini, mempunyai arti yang lebih luas, mencakup kematangan
mental, emosional, sosial, dan fisik. Hal ini sejalan dengan Santrock (2000) yang
mengatakan bahwa usia remaja ditandai oleh terjadinya perubahan yang besar
dalam aspek fisik yaitu terjadinya pubertas, perubahan kognitif, maupun
perubahan psikososial.
Sarlito (2004) mengemukakan bahwa seringkali orang mendefinisikan
remaja sebagai periode transisi antara masa anak – anak ke masa dewasa, atau
masa usia belasan tahun, atau jika seseorang menunjukkan tingkah laku tertentu
seperti sudah diatur, mudah terangsang perasaannya dan sebagainya. Menurut
Hurlock (1980) masa remaja merupakan suatu periode transisi di mana seseorang
berubah secara fisik dan psikologis dari seorang anak menjadi orang yang dewasa.
Purwadasmita (1991) dalam kamus umum bahasa indonesia dikutip dari
Ahsit Santoso (2009) mengatakan bahwa pengertian remaja adalah mulai dewasa,
33
atau biasa disebut sebagai gerbang menuju kedewasaan. Sedangkan Luthfiah
(2002) mengatakan masa remaja merupakan periode perubahan yang sangat pesat
baik dalam perubahan fisiknya maupun perubahan sikap dan perilakunya. Ada
empat perubahan yang bersifat universal selama masa remaja, yaitu :
1. Meningkatnya emosi, ini tergantung intensitasnya pada tingkat perubahan
fisik dan psikologis yang terjadi ; perubahan emosi ini banyak terjadi pada
awal remaja.
2. Perubahan tubuh, minat dan peran yang diharapkan oleh kelompok sosial
untuk diperankan, menimbulkan masalah baru, sehingga selama masa ini
remaja merasa ditimbuni masalah.
3. Dengan berubahnya minat dan perilaku, maka nilai – nilai juga berubah. Apa
yang dianggap penting atau bernilai pada masa kanak – kanak sekarang tidak
lagi. Bila pada masa kanak – kanak kuantitas yang dipentingkan, sekarang segi
kualitaslah yang diutamakan.
4. Sebagian besar remaja bersikap ambivalensi terhadap setiap perubahan.
Mereka menginginkan dan menuntut kebebasan, tetapi mereka sering takut
bertanggung jawab akan akibatnya dan meragukan kemampuan mereka untuk
melaksanakan tanggung jawab tersebut.
2.3.2 Ciri-ciri Remaja
Masa remaja merupakan masa transisi atau masa peralihan dari masa anak
menuju masa dewasa. Pada masa ini individu mengalami berbagai perubahan,
baik fisik maupun psikis. Perubahan yang tampak jelas adalah perubahan fisik, di
34
mana tubuh berkembang pesat sehingga mencapai bentuk tubuh orang dewasa
yang disertai pula dengan berkembangnya kapasitas reproduktif. Selain itu remaja
juga berubah secara kognitif dan mulai mampu berfikir abstrak seperti orang
dewasa. Pada periode ini pula remaja mulai melepaskan diri secara emosional dari
orang tua dalam rangka menjalankan peran sosialnya yang baru sebagai orang
dewasa. (Clarke – Stewart & Friedman, 1987 ; Ingersoll, 1989 dalam Hendriati
Agustiani, 2006)
Secara umum masa remaja dibagi menjadi tiga bagian, yaitu sebagai
berikut ; (Konopka, 1973 dalam Pikunas, 1976 ; Ingersoll, 1989 dalam Hendriatai
Agustiani, 2006)
1. Masa remaja awal (12 – 15 tahun), pada masa ini adanya penerimaan terhadap
bentuk dan kondisi fisik serta adanya konformitas yang kuat dengan teman
sebaya.
2. Masa remaja pertengahan (15 – 18 tahun), teman sebaya masih memiliki peran
penting, namun individu sudah lebih mampu mengarahkan diri sendiri (self -
directed) dan mulai mengembangkan kematangan tingkah laku, membuat
keputusan yang akan dicapai.
3. Masa remaja akhir (19 – 22 tahun), masa ini adalah persiapan akhir untuk
memasuki peran – peran orang dewasa, keinginan yang kuat untuk menjadi
matang dan diterima dalam kelompok teman sebaya dan orang dewasa.
Menurut Erikson (1968), seorang remaja bukan sekedar mempertanyakan
siapa dirinya, tapi bagaimana dan dalam konteks apa atau dalam kelompok apa dia
35
bisa menjadi bermakna dan dimaknakan. Dengan kata lain, identitas seseorang
tergantung pula pada bagaimana orang lain mempertimbangkan kehadirannya.
Pada masa remaja terjadi perubahan yang sangat penting pada identitas diri
(Harter, 1990). Pada masa remaja, mereka sangsi akan identitas dirinya dan tidak
hanya sangsi akan personal sense dirinya tapi juga untuk pengakuan dari orang
lain dan dari lingkungan bahwa dirinya merupakan individu yang unik dan
khusus. Berhubung perkembangan tidak hanya berisi pemasakan dan reaksi
lingkungan terhadap pemasakan tadi, melainkan juga berisi pengaruh lingkungan
terhadap remaja, maka juga dibicarakan mengenai pengaruh teman sebaya sekolah
dan keluarga terhadap perkembangan remaja, berhubung dengan itu juga
dibicarakan mengenai perkembangan sosial remaja dan pengisian waktu luangnya.
(Siti Rahayu, 2004)
Dalam kehidupan sosial, remaja sangat tertarik pada kelompok sebayanya
sehingga tak jarang orang tua di nomor duakan sedangkan kelompoknya di nomor
satukan. Apa – apa yang diperbuatnya ingin sama dengan anggota kelompok
lainnya, bila tidak sama ia akan merasa turun harga dirinya dan menjadi rendah
diri (Zulkifli, 1995).
Remaja memiliki kebutuhan afiliasi yang sangat kuat. Dengan peer
affiliation, seseorang mengukuhkan konsep – konsep dirinya, mengitegrasikan
individu ke kelompoknya dan memudahkan proses ia mengembangkan diri dari
orang tuanya. Dalam kelompok teman sebaya, remaja dapat memenuhi
kebutuhannya, misalnya kebutuhan mencari pengalaman baru, kebutuhan
berprestasi, kebutuhan diterima statusnya, kebutuhan harga diri, rasa aman yang
36
belum tentu dapat diperoleh di rumah maupun sekolah. Pada masa ini keadaan
emosi remaja tidak stabil, mereka mudah marah, sedih ataupun senang.
Ketidakstabilan emosi ini juga mempengaruhi tingkah laku mereka yang
terkadang menjadi tidak terkendali seperti memunculkan perilakumenyimpang
dalam kehidupan sosial. Selain karena emosi yang tidak stabil, terkadang
pengaruh dari kelompok mereka yang memprovokatori dirinya untuk ikut terlibat
dalam semua perilaku yang dilakukan baik yang positif maupun negatif bagi
lingkungannya.
Gambaran remaja mengenai dirinya mulai berubah, dari hanya mengacu
pada kondisi fisik, tingkah laku, dan atribut eksternal lainnya menjadi mengarah
pada kualitas – kualitas yang terdapat di dalam dirinya, yaitu trait, nilai,
keyakinan, dan ideology (Damon & Hart ; Livesly & Bromley dalam Shaffer,
2002). Pada masa ini remaja mulai mampu untuk berfikir abstrak atau berfikir
tentang apa yang akan mereka lakukan di masa mendatang.
Remaja menjadi lebih menyadari bahwa mereka bukan merupakan orang
yang sama dalam segala situasi, misalnya ketika berhubungan dengan orang tua,
teman, pacar, guru, dan sebagainya. Pada perkembangannya, konsep diri pada
akhirnya akan mulai menetap dan stabil pada masa remaja akhir. Pada masa
remaja awal (11 – 14 tahun) walaupun tampak stabil, konsep diri masih dapat
berubah karena pengaruh dari teman sebaya. Konsep diri mulai sulit berubah pada
remaja akhir, yaitu usia sekitar 18 – 21 tahun. Pada masa ini, konsep diri
seseorang sudah mantap karena konsep mengenai diri yang dibentuknya sudah
relatif menetap dan stabil. Remaja akhir pada dasarnya mempunyai konsep diri
37
yang lebih stabil dari pada remaja awal. (Steinberg, 1990, Gunarsa ; Offer &
Howard dalam Hapsari, 2001 dalam Dewi Maulina, 2004)
2.4 Hubungan Konsep Diri Dengan Kecenderungan Berperilaku Bullying
Siswa SMAN 70 Jakarta
Hubungan konsep diri dengan kecenderungan berperilaku bullying terlihat
dari apa yang sudah dipaparkan di atas. Konsep diri juga berhubungan dengan
komunikasi interpersonal antar individu. Mereka (senior) melakukan itu karena
adanya rasa ingin dihargai dan dihormati oleh juniornya. Di sini akan berpengaruh
terhadap konsep diri baik dari senior maupun junior.
Dari penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa bullying dengan perilaku
senioritas pada remaja mempunyai hubungan satu sama lain. Bullying merupakan
tindak kekerasan yang dilakukan dan biasanya remaja terutama SMA yang sedang
dalam masa pencarian jati dirinya, mereka haus akan kehormatan, yang
mengharuskan adik kelasnya menghormati kakak kelasnya yang terkadang
melalui cara kekerasan yang biasa disebut senioritas. Dan senioritas itu
dipengaruhi oleh agresivitas remaja yang berlebihan, yang tidak dapat
menempatkan sesuatu pada tempatnya. Sebenarnya bullying tidak hanya meliputi
kekerasan fisik, seperti memukul, menjambak, menampar, memalak, dll. Tetapi
juga dapat berbentuk kekerasan verbal, seperti memaki, mengejek, menggosip,
dan berbentuk kekerasan psikologis, seperti mengintimidasi, mengucilkan,
mendiskriminasikan. Berdasarkan sebuah survei terhadap perlakuan bullying,
sebagian besar korban melaporkan bahwa mereka menerima perlakuan pelecehan
38
secara psikologis (diremehkan). Kekerasan secara fisik, seperti didorong, dipukul,
dan ditempeleng lebih umum di kalangan remaja pria.
Dan itu semua berhubungan dengan konsep diri remaja tersebut. Di mana
kebanyakan memiliki konsep diri yang negatif, yaitu tidak dapat mengakui
kelemahan yang ada dalam dirinya. Itu juga dipengaruhi oleh keluarga dan
lingkungan sekitar yang selalu mendukung mereka melakukan itu semua.
Dengan melihat konsep diri seseorang melalui tingkah lakunya, maka kita
dapat mengetahui bahwa orang yang memiliki konsep diri yang negatif cenderung
memiliki rasa tidak percaya diri, tidak berani mencoba hal – hal yang baru, tidak
berani mencoba hal yang menantang, takut gagal, takut sukses, merasa diri bodoh,
rendah diri, merasa diri tidak berharga, merasa tidak layak untuk sukses, pesimis,
dan masih banyak perilaku lainnya. Sebaliknya orang yang konsep dirinya positif
akan selalu optimis, berani mencoba hal – hal baru, berani sukses, berani gagal,
percaya diri, antusias, merasa diri berharga, berani menetapkan tujuan hidup,
bersikap dan berfikir positif, dan dapat menjadi seorang pemimpin yang handal.
(Gunawan, 2005 dalam Siti Homsiah, 2009)
2.5 Kerangka Berfikir
Masa remaja adalah tahapan yang penting dalam rentang kehidupan
manusia karena pada masa ini dikenal antara lain sebagai masa dimana individu
melakukan pencarian identitas diri. Pencarian identitas diri tersebut diambil dari
lingkungan sekitarnya. Baik pengaruh positif maupun pengaruh negatif, akan
terlihat pada perilaku kesehariannya.
39
Pengaruh positif berupa pengalaman yang positif contohnya seseorang
yang dapat menerima penilaian tentang dirinya dari orang lain, menyadari
kekurangan dan kelebihan yang dimiliki dan mampu memperbaiki dirinya saat
dinilai kurang baik dari lingkungannya. Pengalaman positif tersebut menghasilkan
perilaku yang positif sehingga terbentuklah konsep diri yang positif pula. Oleh
karena itu, seseorang yang memiliki konsep diri positif kecenderungan untuk
berperilaku negatifnya rendah.
Sedangkan pengaruh negatif berasal dari pengalaman negatif seseorang
dimana pandangan dirinya terlalu teratur, hal ini bisa terjadi karena individu
dididik terlalu keras oleh keluarganya sehingga membuat individu tertekan dengan
keadaan tersebut. Singkatnya, individu yang selalu mengalami keadaan negatif
akan timbul dalam dirinya konsep diri yang negatif pula sehingga menghasilkan
perilaku yang negatif seperti bullying.
40
Tabel 2.1
Pengalaman : - Keluarga - Teman
sebaya - Lingkungan
masyarakat
Pengaruh positif Pengaruh negatif
Konsep Diri Negatif
Konsep Diri Positif
Kecenderungan berperilaku
Bullying rendah
Kecenderungan berperilaku
Bullying tinggi
2.6 Hipotesis
Berdasarkan kerangka berfikir di atas, maka peneliti mengajukan hipotesis
sebagai berikut :
H1 : “Ada hubungan negatif yang signifikan antara konsep diri dengan
kecenderungan berperilaku bullying siswa SMAN 70 Jakarta”.
Ho : “Tidak ada hubungan negatif yang signifiksan antara konsep diri dengan
kecenderungan berperilaku bullying siswa SMAN 70 Jakarta”.
41
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
3.1.1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
kuantitatif, yaitu penelitian yang informasinya atau datanya dikelola dengan
statistik. Dengan kata lain, data yang didapat dari hasil kuesioner diolah secara
statistik dengan menggunakan skala kategori.
3.1.2. Metode Penelitian
Metode yang digunakan adalah metode korelasional, yaitu menentukan
tingkat hubungan variabel-variabel yang berbeda dalam suatu populasi (Sevilla,
1993). Jadi, metode korelasional mencari hubungan di antara variabel – variabel
yang diteliti. (Iqbal Hasan, 2002), dalam hal ini hubungan konsep diri dengan
kecenderungan bullying siswa SMAN 70 Jakarta.
3.2 Variabel Penelitian
Variabel adalah suatu karakteristik yang mempunyai dua atau lebih nilai
atau sifat yang satu sama lain terpisah (Sevilla, 1993). Variabel terbagi dua
macam, yaitu variabel bebas dan variabel terikat. Dalam penelitian ini yang
menjadi kedua variabel tersebut adalah sebagai berikut :
1. Variabel bebas : konsep diri
42
2. Variabel terikat : kecenderungan berperilaku bullying
3.2.1. Definisi Konseptual
1. Konsep diri adalah pandangan & perasaan tentang diri individu tentang
bagaimana individu melihat dirinya sendiri sebagai pribadi yang disebut
pengetahuan diri, bagaimana individu merasa atas dirinya yang merupakan
penilaian dirinya sendiri serta bagaimana individu menginginkan diri sendiri
sebagai manusia yang diharapkan. Dapat juga dimasukkan ke dalam identitas
diri dimana remaja ini mencari jati diri dia yang sebenarnya dengan
melakukan identifikasi terhadap lingkungan sekitarnya.
2. Bullying adalah perilaku agresif yang dilakukan secara sadar oleh individu
atau kelompok yang memiliki kekuatan terhadap orang yang lemah, bertujuan
untuk menyakiti korban, dan dilakukan secara berulang – ulang, dalam
periode waktu tertentu.
3.2.2. Definisi Operasional Variabel
Konsep diri yang dimaksud dalam penelitian ini adalah skor yang
diperoleh melalui pengukuran dengan skala persepsi konsep diri dalam bidang
akademik, fisik, emosional, dan sosial.
Perilaku bulllying yang dimaksud adalah skor yang diperoleh melalui
pengukuran dengan skala perilaku bullying dengan aspek bullying fisik dan
bullying nonfisik, serta gabungan antara fisik dan nonfisik.
43
3.3 Pengambilan Sampel
3.3.1. Populasi dan sampel
Populasi adalah keseluruhan anggota (Kerlinger, 1973). Populasi
penelitian ini adalah siswa – siswi kelas XI SMAN 70 Jakarta Selatan, baik laki –
laki maupun perempuan. Sampel adalah beberapa bagian kecil atau cuplikan yang
ditarik dari populasi (Ferguson, 1976). Sampel pada penelitian ini adalah kelas XI
IPA 1 SMAN 70 Jakarta yang terdiri dari 70% perempuan dan 30% laki – laki.
Selain itu, Guilford dan Fruchter 1978 menjelaskan bahwa responden yang
berjumlah lebih atau sama dengan 30 orang dapat dinyatakan sebagai jumlah yang
mendekati kurva normal dari satu populasi dan dapat digunakan sebagai sampel
dari suatu penelitian, selama penyebaran distribusi sampel tersebut tidak
menyeleweng jauh dari kurva normal.
3.3.2. Teknik Pengambilan Sampel
Pengambilan sampel dalam penelitian ini random sampling yang
menggunakan undian. Fox (1969) menyebutnya sebagai teknik fishbowl. Prosedur
ini dapat dilakukan melalui, pertama menetapkan nomor-nomor pada anggota
populasi yang terkumpul dalam daftar sampling. Kemudian tulis nomor anggota
pada potongan kertas kecil, satu nomor untuk setiap anggota populasi.
Selanjutnya, menggulung semua kertas kecil tersebut lalu diletakkan dalam kotak
untuk dikocok dan kertas yang keluar adalah yang dijadikan sampel. (Sevilla,
1993)
44
3.4 Teknik Pengumpulan Data
3.4.1. Metode Dan Instrumen Penelitian
Untuk memperoleh data dalam penelitian, peneliti menggunakan kuesioner
yang dibuat dalam bentuk pernyataan. Kuesioner adalah teknik pengumpulan data
yang dilakukan dengan menyertakan atau mengirimkan daftar pernyataan untuk
diisi sendiri oleh responden, yaitu orang yang memberikan tanggapan atau
menjawab pernyataan – pernyataan yang diajukan.
3.4.2. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner dalam
bentuk skala, yaitu skala konsep diri dan skala bullying.
1. Dimensi dan indikator Konsep Diri
Pembuatan item skala konsep diri, peneliti mengacu pada teori Shavelson
dkk yang telah dijelaskan pada kajian teori, meliputi dimensi dan indikator
seperti tergambar pada tabel 3.1.
Table 3.1 Dimensi dan indikator Konsep Diri
Dimensi
Konsep Diri
Sub-ranah Indikator
Konsep Diri
Akademik
• Membaca
• Menulis
• Persepsi individu mengenai
seberapa baik kemampuan
dirinya dalam membaca dan
menulis
45
Konsep Diri
Sosial
• Teman Sebaya
• Keluarga
• Persepsi individu dalam
kemampuan menjalin interaksi
dengan teman sebaya, keluarga
• Persepsi individu mengenai
seberapa besar, individu diterima
dan disukai oleh teman sebaya,
keluarga
Konsep Diri
Emosional
• Diri Pribadi Persepsi individu terhadap keadaan –
keadaan emosi yang dialaminya, baik
yang bersifat sementara maupun
menetap
Konsep Diri
Fisik
• Kemampuan fisik
• Penampilan fisik
• Persepsi individu terhadap
kemampuannya untuk terlibat di
dalam kegiatan – kegiatan fisik
• Persepsi individu mengenai daya
tarik fisiknya
Tabel 3.1 yang dikemukakan oleh Shavelson dkk ini hanya merupakan
salah satu kemungkinan representasi organisasi hirarkis dari konsep diri. Model
konsep diri yang mereka kemukakan seseungguhya lebih menyangkut pada
struktur pengorganisasian dimensi atau komponen itu sendiri. Jadi, pada dasarnya
model konsep diri hirarki dari Shavelson dkk, ini bukan komponen konsep diri
“harga mati”, sehingga sama sekali tidak menutup kemungkinan untuk membagi
konsep diri ke dalam dimensi – dimensi yang berbeda. (Djakababa, 1998 dalam
Dewi Maulina, 2004)
46
Table 3.2 Blue Print Konsep Diri
Aspek Indicator Fav Unfav Jumlah
item
Konsep Diri
Akademik
Kemampuan dalam
bidang akademik
1, 3, 5, 7,
9, 11, 13,
15, 17, 19
21, 23,
25, 27,
29, 31,
33, 35,
37
19
Konsep Diri
Sosial
Menjalin interaksi
dengan teman, keluarga,
dan lingkungan
2, 4, 6, 8,
10, 12,
14, 16,
18, 20,
22, 24, 26
39, 41,
43, 45,
47, 49,
51, 53,
55, 57,
59
24
Konsep Diri
Emosional
Persepsi individu tentang
emosi yang dialaminya
28, 30,
32, 34,
36, 38
54, 56,
58, 60,
61
11
Konsep Diri
Fisik
Kemampuan dalam
kegiatan fisik dan
mengenai daya tarik fisik
40, 42,
44, 46,
48, 50, 52
62, 63,
64, 65,
66, 67,
68
14
Total 36 32 68
2. Aspek dan indikator Bullying
Penyusunan item – item pernyataan skala perilaku bullying mengacu pada
teori yang dikemukakan oleh Randall (1997) yang aspek dan indikatornya
diambil dari jenis dan bentuk bullying yang meliputi :
47
Tabel 3.3 Aspek dan indikator Bullying
Aspek Indikator
Bullying bersifat fisik Menjambak, memukul, menendang, mendorong,
mencakar, meludahi dan berbagai serangan fisik
lainnya. Termasuk merusak barang orang lain.
Bullying yang bersifat
nonfisik / psikologis
• Verbal, meminta uang atau barang, mengolok –
olok, memfitnah, mempermalukan.
• Nonverbal, mengisolasi, mengirimkan catatan
yang menjelekkan, memasang mimik muka yang
jahat dan gerak tubuh yang kasar.
Gabungan bullying fisik dan
nonfisik
Bersifat fisik dan psikologis (verbal dan nonverbal).
Dari aspek tersebut menghasilkan blue print sebagai berikut :
Table 3.4 Blue print kecenderungan berperilaku Bullying
Aspek Indikator Fav Unfav Jumlah
item
Bullying bersifat
fisik
Menjambak, memukul,
mendorong.
1, 2, 5,
6, 9
39, 40, 42,
44
9
Bullying bersifat
non fisik
- Verbal
- Nonverbal
12, 13,
20, 24,
36, 41,
43, 45,
46, 49
16, 17,
21, 25,
28, 29,
8, 11, 30,
31
3, 4, 7, 10,
14, 15, 18,
19, 22, 23,
14
27
48
32, 33,
37, 38,
47, 48,
50
26, 27, 34,
35
Total 28 22 50
Skala yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala model Likert
dengan 4 jenjang pilihan, yaitu ; sangat setuju, setuju, tidak setuju, sangat tidak
setuju. Dengan masing – masing skor sebagai berikut :
Tabel 3.5 Pedoman skala
Favorable Skor Unfavorable Skor
Sangat setuju 4 Sangat setuju 1
Setuju 3 Setuju 2
Tidak Setuju 2 Tidak Setuju 3
Sangat Tidak Setuju 1 Sangat Tidak Setuju 4
3.4.3 Teknik Uji Instrumen
3.4.3.1 Uji Validitas
Validitas adalah derajat ketepatan suatu alat ukur tentang pokok isi atau
arti sebenarnya yang diukur (Sevilla, 1993). Pengujian validitas dilakukan untuk
mengetahui apakah skala psikologi mampu menghasilkan data yang akurat sesuai
dengan tujuan ukurnya (Azwar, 2005). Dalam uji validitas skala yang digunakan
dalam penelitian ini akan dihitung koefisien korelasi di antara skor-skor skala
dengan program SPSS 16.0 menggunakan korelasi product-moment, yaitu :
49
( ) ( )
( ) ( )2222 )()( YYnXXn
YXXYnr∑−∑∑−∑
∑∑−∑=
Keterangan ;
rxy = angka indeks korelasi “r” Product Moment
X = skor skala 1
Y = skor skala 2
N = banyaknya subjek
Item-item yang dapat dikatakan valid adalah item-item yang memiliki
koefisien validitas minimal 0,30. Sesuai dengan yang dikatakan oleh Cronbach
dalam Azwar (2005), dikatakannya bahwa koefisien yang berkisar antara 0,30
sampai dengan 0,50 telah dapat memberikan kontribusi yang baik terhadap
efisiensi lembaga pelatihan.
3.4.3.2 Uji Reliabilitas
Reliabilitas adalah derajat ketepatan dan ketelitian atau akurasi yang
ditunjukkan oleh instrument pengukuran (Sevilla, 1993). Pada penelitian ini
pengukuran reliabilitas akan dihitung dengan cara menghitung koefisien
reliabilitas alpha Cronbach, dengan program SPSS 16.0. Setelah dilakukan uji
coba diperoleh koefisien alpha untuk skala konsep diri sebesar 0,814 dan untuk
skala kecenderungan berperilaku bullying sebesar 0,891. dalam Kuncono (2005)
terdapat kaidah reliabilitas (r) menurut Guillford yaitu :
Sangat reliable : > 0,9
50
Reliable : 0,7 – 0,9
Cukup reliable : 0,4 – 0,7
Kurang reliable : 0,2 – 0,4
Tidak reliable : < 0,2
Oleh karena itu dapat ditafsirkan bahwa untuk koefisien reliabilitas skala
konsep diri sebesar 0,814 dikatakan reliable. Sedangkan untuk koefisien
reliabilitas skala kecenderungan berperilaku bullying sebesar 0,891 dikatakan
reliable.
Kepada konsistensi atau keterpercayaan hasil ukur, yang mengandung
makna kecermatan pengukuran (Azwar, 2007). Pengukuran reliabilitas bertujuan
untuk melihat seberapa jauh alat ukur yang digunakan dalam penelitian
memberikan hasil pengukuran yang konsisten bila dilakukan pengukuran kembali
terhadap hal yang sama.
α= 2 [ 1 – s1² + s2² ] __________ S
3.5 Hasil Uji Coba Alat Ukur
Untuk menganalisis validitas butir item konsep diri dan kecenderungan
berperilaku bullying dengan menggunakan penghitungan SPSS 16.0 dengan
memasukkan skor tiap butir item. Butir item dinyatakan valid jika memiliki
validitas diantara 0,3 – 0,5 (Azwar 2006).
Pada penelitian ini sampel yang digunakan sebanyak 33 orang. Hasil
penghitungan uji coba dengan menggunakan teknik pearson product moment
dihasilkan 21 item valid dari 68 item skala konsep diri yang diuji cobakan. Hal ini
51
menunjukkan bahwa alat ukur skala konsep diri yang ada memiliki reliabilitas
baik sehingga memungkinkan atau layak digunakan dalam penelitian.
Table 3.6 Blue Print Konsep Diri
Aspek Indikator Fav Unfav Jumlah
item
Konsep Diri
Akademik
Kemampuan dalam
bidang akademik
1, 3, 5, 7,
9, 11, 13,
15, 17, 19
21, 23,
25, 27,
29, 31,
33, 35,
37
19
Konsep Diri
Sosial
Menjalin interaksi
dengan teman, keluarga,
dan lingkungannya
2*, 4*,
6*, 8*,
10*, 12*,
14*, 16*,
18*, 20*,
22, 24*,
26
39*, 41*,
43*, 45,
47*, 49,
51*, 53,
55, 57,
59
24
Konsep Diri
Emosional
Persepsi individu
terhadap emosi yang
dialaminya
28, 30,
32, 34,
36, 38
54*, 56,
58, 60,
61
11
Konsep Diri
Fisik
Kemampuan dalam
kegiatan fisik dan
mengenai daya tarik
fisiknya
40*, 42*,
44*, 46,
48, 50, 52
62, 63*,
64, 65,
66, 67,
68
14
Total 36 32 68
*item yang valid
52
Sedangkan hasil penghitungan uji coba skala bullying dengan
menggunakan teknik Pearson’s product moment dihasilkan 23 item valid dari 50
item skala bullying yang diujicobakan. Item yang dinyatakan valid ini karena
memiliki nilai r hitung > 0.3.
Table 3.7 Blue print kecenderungan berperilaku Bullying
Aspek Indikator Fav Unfav Jumlah item
Bullying bersifat
fisik
Menjambak, memukul,
mendorong, serangan
fisik lainnya
1, 2*, 5*,
6*, 9
39*, 40,
42, 44
9
Bullying bersifat
non fisik
- Verbal
- Nonverbal
12*, 13,
20, 24,
36*, 41*,
43, 45,
46, 49*
16, 17*,
21, 25*,
28*, 29*,
32*, 33*,
37*, 38,
47*, 48,
50*
8*, 11,
30*, 31
3, 4, 7,
10*, 14,
15*, 18*,
19, 22, 23,
26, 27*,
34, 35
14
27
Total 28 22 50
*item yang valid
3.6 Teknik Analisis Data
Pengolahan data dalam penelitian merupakan suatu langkah penting dan
mutlak dilaksanakan agar data yang diperoleh memiliki arti, sehingga penelitian
53
yang dilakukan memberikan kesimpulan yang besar. Analisa data-data yang
digunakan adalah analisa statistik sebagai cara untuk mengetahui hubungan antara
variabel bebas yaitu konsep diri dengan variabel terikat yaitu kecenderungan
berperilaku bullying.
3.7 Prosedur Penelitian
1. Tahap persiapan penelitian
a) Alat penelitian : (a) membuat skala penelitian untuk mengukur konsep diri
dan kecenderungan berperilaku bullying (b) melakukan uji coba skala
kepada kelompok try out sebanyak 33 responden dan 40 responden untuk
field test (c) analisa item yang telah di uji coba (d) menyusun dan
merapihkan skala yang telah di uji coba untuk penelitian yang
sesungguhnya.
b) Subjek penelitian : (a) meminta izin kepada pihak SMAN 70 Jakarta (b)
melakukan diskusi dengan guru.
2. Tahap pelaksanaan penelitian
Pelaksanaan penelitian diadakan tanggal 1 Maret 2010 untuk uji coba skala
dan tanggal 4 Maret 2010 untuk field test skala dengan tahapan pelaksanaan
sebagai berikut : (a) mengumpulkan responden dalam satu ruangan yang telah
ditentukan oleh guru (b) membagikan skala penelitian kepada responden (c)
menjelaskan petunjuk pengisian (d) memberikan kesempatan kepada
54
responden yang ingin bertanya (e) meminta responden untuk memeriksa
kembali sebelum mengumpulkan skala penelitian
3. Tahap Pengolahan Data
a) Melakukan scoring
b) Menghitung hasil
c) Membuat tabulasi data
4. Tahap Analisis
a) Menganalisis data yang telah diperoleh
b) Membuat hasil analisis
c) Membuat kesimpulan dan saran
5. Tahap Penyusunan Laporan Penelitian
Menulis keseluruhan prosedur penelitian beserta hasil dan analisanya.
55
BAB IV
PRESENTASI DAN ANALISIS DATA
4.1 Gambaran Umum Responden
Responden penelitian ini adalah 40 siswa kelas XI IPA 1 SMAN 70
Jakarta. Adapun gambaran responden secara umum akan dilihat dalam dua
kategori yaitu jenis kelamin dan usia responden. Berikut tabel gambaran
responden :
Tabel 4.1 Gambaran Umum Responden
Kategori Jumlah Persentase
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
12
28
30 %
70 %
Jumlah 40 100 %
Usia
15 tahun
16 tahun
17 tahun
2
10
28
5 %
25 %
70 %
Jumlah 40 100 %
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa jumlah responden laki-laki sebanyak
12 siswa dan responden perempuan sebanyak 28 siswa. Dalam bentuk presentase,
jumlah responden laki-laki sebanyak 30 % sedangkan jumlah responden
perempuan sebanyak 70 %. Hal tersebut menggambarkan bahwa jumlah
responden perempuan lebih banyak daripada responden laki-laki. Berdasarkan
56 tingka usia, jumlah responden dengan usia 15 tahun sebanyak 2 orang, 16 tahun
sebanyak 10 orang, dan usia 17 tahun sebanyak 28 orang. Dalam presentase,
jumlah responden usia 15 tahun sebanyak 5 %, usia 16 tahun sebanyak 25 %, dan
usia 17 tahun sebanyak 70 %. Dapat dilihat bahwa jumlah terbanyak responden
adalah siswa perempuan dan kemudian siswa laki-laki.
4.2 Uji Persyaratan
Uji persyaratan adalah syarat untuk melakukan analisis lebih lanjut dalam
mengolah data. Uji persyaratan yang digunakan adalah uji normalitas dan uji
korelasional dengan menggunakan SPSS 16.0. Uji normalitas bertujuan untuk
mengetahui distribusi data dalam variabel yang akan digunakan dalam penelitian
berdistribusi normal atau tidak. Untuk mengetahui kapasitas sebaran data yang
diperoleh harus dilakukan uji normalitas terhadap data yang bersangkutan.
Dengan demikian, analisis statistik yang pertama kali harus dilakukan
dalam rangka analisis data adalah analisis statistik berupa uji normalitas. Data
yang terdistribusi normal maka perhitungan datanya menggunakan metode
statistik parametrik. Uji korelasional adalah uji yang dilakukan untuk mengetahui
apakah ada hubungan antara variabel yang satu dengan variabel yang lain.
4.2.1 Uji Normalitas
Analisis statistik pertama yang harus digunakan dalam rangkaian analisis
data adalah uji statistik berupa uji normalitas. Adapun uji normalitas yang
57 digunakan dalam penelitian ini menggunakan Shapiro Wilk, karena responden
pengujian kurang dari 100 (Kuncono, 2004). Adapun hipotesis statistiknya adalah:
Ho : Populasi berdistribusi normal.
H1 : Populasi tidak berdistribusi normal.
Pengambilan keputusan berdasarkan nilai probabilitas dengan α = 0.05,
yaitu:
Jika probabilitas > 0.05, maka Ho diterima.
Jika probabilitas < 0.05, maka Ho ditolak.
Berdasarkan uji normalitas konsep diri dengan Shapiro Wilk didapat nilai
0.241 yang lebih besar dari α = 0.05, jadi berdasarkan nilai yang didapat maka Ho
diterima. Sehingga dapat disimpulkan bahwa data konsep diri berdistribusi
normal. Berikut ini table uji normalitas skala konsep diri.
Tabel 4.2 Hasil uji normalitas Konsep Diri
Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig.
KONSEP DIRI .965 40 .241 a. Lilliefors Significance Correction
58
Sedangkan uji normalitas skala bullying dengan Shapiro-wilk dengan nilai
0,675 yang berarti lebih besar daripada nilai α = 0.05, jadi dapat disimpulkan
bahwa skala bullying berdistribusi normal. Berikut ini tabel uji normalitas skala
bullying.
Table 4.3 Hasil uji normalitas Bullying
Shapiro-Wilk
Statistic Df Sig.
BULLYING .980 40 .675 a. Lilliefors Significance Correction
59
4.2.2 Uji Hipotesis
Hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
(Ha): Ada hubungan negatif yang signifikan antara konsep diri dengan
kecenderungan berperilaku bullying siswa SMAN 70 Jakarta.
(Ho): Tidak ada hubungan negatif yang signifikan antara konsep diri dengan
kecenderungan berperilaku bullying siswa SMAN 70 Jakarta.
60 Pengujian hipotesis perlu dilakukan untuk mengetahui apakah koefisien
korelasi yang didapatkan signifikan pada taraf signifikansi yang ditentukan atau
tidak. Dalam melakukan uji hipotesis, cara yang umum dilakukan adalah dengan
membandingkan nilai r tabel dan nilai r hitung yang didapatkan.
Ho diterima jika rhitung < rtabel
Karena nilai rhitung yang didapat (- 0.058) < rtabel ((Sig. 5% ; N 40 = 0.312),
maka hipotesis alternatif (Ha) yang menyatakan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan antara konsep diri dengan kecenderungan berperilaku bullying diterima.
Arah hubungan yang dihasilkan menunjukkan arah yang negatif, yang bermakna
bahwa semakin tinggi konsep diri akan diikuti dengan menurunnya
kecenderungan berperilaku bullying.
4.3 Deskripsi Hasil Penelitian
Tabel 4.4
Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
KONSEP DIRI 40 46.00 73.00 59.9250 6.23632
BULLYING 40 33.00 64.00 49.0500 8.13650
Valid N (listwise) 40
4.3.1 Kategori Skor Konsep Diri
Kategorisasi ini bertujuan untuk menempatkan responden ke dalam
kategori-kategori atau kelompok yang berjenjang, yaitu: tinggi, sedang, dan
rendah. Adapun responden yang masuk pada kategori rendah adalah responden
yang memiliki skor di bawah 53, responden yang masuk pada kategori sedang
61 adalah responden yang memiliki skor antara 53 – 66 dan responden yang masuk
pada kategori tinggi adalah responden yang memiliki skor diatas 66. Berikut ini
tabel hasil kategorisasi skor penyebaran skala konsep diri berdasarkan jumlah skor
yang diperoleh responden.
Tabel 4.5 Kategori skor skala konsep diri
Kategori Rentang
skor
Frekuensi Persen
(%)
Positif X > M + 1SD > 66 7 17,5 %
Cukup positif M - 1SD < X < M + 1SD 53 – 66 30 75 %
Negatif X < M – 1SD < 53 3 7,5 %
Total 40 100%
Pada tabel diatas menunjukkan bahwa mayoritas sampel atau sebanyak 30
responden berada dalam kategori konsep diri cukup positif (75 %), sedangkan 3
responden dalam kategori negatif (7,5 %) dan 7 responden termasuk ke dalam
kategori positif (17,5 %).
4.3.2 Kategori Skor Bullying
Adapun responden yang masuk pada kategori rendah adalah responden
yang memiliki skor di bawah 40, responden yang masuk pada kategori sedang
adalah responden yang memiliki skor antara 40 – 57 dan responden yang masuk
pada kategori tinggi adalah responden yang memiliki skor diatas 57. Berikut ini
tabel hasil kategorisasi skor penyebaran skala bullying berdasarkan jumlah skor
yang diperoleh responden.
62
Tabel 4.6 Kategori skor skala bullying
Kategori Rentang
skor
Frekuensi Persen (%)
Tinggi X > M + 1SD > 57 6 15 %
Sedang M - 1SD < X < M + 1SD 40 – 57 30 75 %
Rendah X < M – 1SD < 40 4 1 %
Total 40 100%
Pada tabel diatas menunjukkan bahwa mayoritas sampel atau sebanyak 30
responden berada dalam kategori sedang (75 %), sedangkan 4 responden dalam
kategori rendah (1 %) dan 6 responden termasuk ke dalam kategori tinggi (15 %).
4.4 Hasil Penelitian
Seperti yang telah dikemukakan pada bab 1, bahwa tujuan penelitian ini
adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan antara konsep diri dengan
kecenderungan berperilaku bullying siswa SMAN 70 Jakarta. Berikut hasil
penghitungan SPSS 16.0 dengan rumus Spearmen’s Rank Corelation :
Tabel 4.7 Hasil Spearman’s Rank Correlations
Correlations
KONSEP DIRI BULLYING
Correlation Coefficient 1.000 -.058
Sig. (2-tailed) . .720
KONSEP DIRI
N 40 40
Correlation Coefficient -.058 1.000
Sig. (2-tailed) .720 .
Spearman's rho
BULLYING
N 40 40
63
Berdasarkan perhitungan yang telah dilakukan dengan teknik spearman’s
rank correlations, maka diperoleh korelasi (r) hitung sebesar – 0,058. Dari tabel di
atas dapat disimpulkan bahwa nilai koefisien korelasi antara konsep diri dengan
kecenderungan berperilaku bullying adalah bernilai – 0,058 dan bernilai negatif.
4.5 Hasil Utama Penelitian
Hasil penelitian ini adalah terdapat hubungan negatif yang signifikan
antara konsep diri dengan kecenderungan berperilaku bullying siswa SMAN 70
Jakarta, sehingga semakin positif konsep diri maka akan diikuti dengan
menurunnya kecenderungan berperilaku bullying.
64
BAB V
KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa data serta pengujian hipotesis, maka dapat
diambil kesimpulan bahwa terdapat hubungan negatif yang signifikan antara
konsep diri dengan kecenderungan berperilaku bullying. Dengan kata lain,
semakin tinggi (positif) konsep diri seseorang maka semakin rendah
kecenderungan seseorang untuk berperilaku bullying atau sebaliknya semakin
rendah (negatif) konsep diri maka semakin tinggi kecenderungan berperilaku
bullying.
5.2 Diskusi
Berdasarkan kesimpulan di atas, hubungan konsep diri dengan
kecenderungan berperilaku bullying siswa SMAN 70 Jakarta dapat dijelaskan
sebagai berikut. Siswa yang memiliki konsep diri positif semakin rendah
kecenderungan berperilaku bullying. Hal ini dapat dijadikan tolak ukur bahwa
seseorang yang memiliki konsep diri positif menimbulkan perilaku yang positif
pula, dan sebaliknya seseorang yang memiliki konsep diri negatif maka cenderung
untuk menghasilkan perilaku yang negatif pula.
Rendahnya konsep diri memberi pengaruh besar terhadap perilaku negatif,
sebagai akibat dari rendahnya etika serta ketidakpeduliannya terhadap orang lain
maupun norma-norma sosial yang berlaku, yang pembentukannya berawal dari
65
pembelajaran aturan yang tidak jelas, tidak tegas, dan tidak konsisten dari
keluarganya. (Umar Yusuf, 2009)
Menurut Roger, konsep diri berada dalam kesadaran seseorang, kesadaran
individu ini merupakan data mengenai individu yang bersangkutan yang
dievaluasi oleh individu tersebut. Dengan demikian individu mempertahankan
konsistensi dan kongruensi antara diri dan pengalaman – pengalaman, sehingga
kebanyakan cara bertingkah laku individu merupakan hal – hal yang konsisten
dengan konsep dirinya.
Menurut Ken Rigby, bullying merupakan sebuah hasrat untuk menyakiti.
Hasrat ini diperlihatkan ke dalam aksi, menyebabkan seseorang menderita. Aksi
ini dilakukan secara langsung oleh seseorang atau kelompok yang lebih kuat,
tidak bertanggung jawab, biasanya berulang, dan dilakukan dengan perasaan
senang.
Seseorang yang memiliki konsep diri positif dapat menciptakan situasi
komunikasi antarpribadi yang baik dan sehat. Konsep diri positif akan mendorong
seseorang untuk berperilaku positif, begitu juga sebaliknya. (Ainul Hildah, 2001).
Dari penelitian yang sudah dijelaskan di atas tentang konsep diri
menyimpulkan bahwa konsep diri dipengaruhi oleh lingkungan baik keluarga
maupun masyarakat, karena konsep diri merupakan produk sosial yang dibentuk
melalui proses internalisasi dan organisasi pengalaman–pengalaman psikologis
(perasaan yang terluka), yang merupakan hasil eksplorasi individu terhadap
lingkungan fisik dan refleksi dari dirinya yang diterima dari orang penting
(significant other) di sekitarnya. Dengan kata lain, seseorang dapat memahami
66
dirinya sendiri melalui orang lain, yaitu orang lain yang dianggap penting oleh
individu yang bersangkutan.
Dalam Luthfiah, 2002 menyatakan semakin tinggi self-esteem maka
semakin rendah kecenderungan berperilaku bullying, sebaliknya semakin rendah
self-esteem maka semakin tinggi kecenderungan untuk berperilaku bullying.
Penelitian sebelumnya, yang telah disebutkan di atas sejalan dengan
penelitian ini yaitu hubungan konsep diri dengan kecenderungan berperilaku
bullying siswa SMAN 70 Jakarta. Bahwa konsep diri yang positif akan
menghasilkan perilaku yang positif pula sehingga kecenderungan berperilaku
bullying mengarah pada tingkat yang rendah. Apabila konsep dirinya negatif,
maka menghasilkan perilaku yang negatif pula dan kecenderungan berperilaku
bullying mengarah ke tingkat yang tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
sebagian besar responden (75%) memiliki konsep diri cukup positif.
5.3 Saran
5.3.1. Saran Teoritis
1. Menelaah lebih lanjut secara teliti dan menghindari abiguitas pada tiap item.
Hal ini dapat validitas dan reliabilitas pada penelitian lebih lanjut dan dalam
pembuatan item tidak terlalu banyak namun mewakili setiap indikator sehingga
tidak membuat responden jenuh dan tetap reliabel.
2. Untuk penelitian selanjutnya mencari faktor yang mempengaruhi
kecenderungan berperilaku bullying, seperti lingkungan keluarga dan
masyarakat yang cukup berpengaruh atas perilaku yang ditampilkan.
67
5.3.2. Saran Praktis
1. Orang tua agar bekerja sama dengan pihak sekolah dengan mengadakan
pertemuan dalam kegiatan konseling antara orang tua dan guru untuk terus
memperhatikan peningkatan atau penurunan siswa dalam hal tingkah laku
maupun pelajaran.
2. Dari pihak sekolah sebaiknya kegiatan BK atau bimbingan konseling lebih
diefektifkan untuk lebih mengetahui apa saja yang terjadi di lingkungan
sekolah misalnya, interaksi siswa dengan siswa, ataupun siswa dengan guru.