._Diagnosis fisik abdomen- tugas interna .doc
-
Upload
lila-heridyatno -
Category
Documents
-
view
243 -
download
4
Transcript of ._Diagnosis fisik abdomen- tugas interna .doc
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 LATAR BELAKANG
Saat ini penyakit kardiovaskuler sudah menjadi penyebab utama kematian di seluruh
dunia.diketahui bahwa sekitar 30% kematian di seluruh dunia disebabkan oleh penyakit
kardiovaskuler, hampir 40% terjadi di negara maju, dan 28% di negara berkembang.
Gagal jantung adalah salah satu manifestasi penyakit kardiovaskuler yang paling
banyak menyebabkan kematian, di samping penyakit jantung koroner dan hipertensi. Angka
kejadian gagal jantung ini memang sampai sekarang masih sangat sulit ditentukan karena
kurangnya data yang tersedia, terutama di Negara berkembang, namun di perkirakan ada sekitar
23 juta rang yang menderita gagal jantung di seluruh dunia. Angka ini diperkirakan akan
semakin tinggi dalam dua dekada ke depan, karena semakin majunya pengobanatan terhadap
gaga jantung mortalitas menjadi menurun , sebagai akibat prevalensi gagal jantung meningkat.
Dari tahun 1970an sampai tahun 1990-an, terjadi peningkatan cukup drastis prevalensi
gagal jantung dan jumlah penderita yang di rawat rumah sakit, sehingga dimasukkan dalam
sebagai epidemic global. Gagal jantung paling banyak ditemukkan pada individu berusia diatas
65 tahun, lebih dari 80% menjadi penyebab kematian pada usi tersebut. Meningkatnya prevalensi
gagal jantung ini bisa disebabkan karena meningkatnya insidensi gagal jantung, populasi usia
lanjut yang semakin bertambah, berkembangnya terapi dari penyakit kardiovaskuler akut dan
gagal jantung , ataupun kombinasi dari factor-faktor tersebut.
1.2 PREVALENSI GAGAL JANTUNG
Di indonesia data-data mengenai gagal jantung secara nasional masih belum ada, namun
data dan riset kesehatan dasar tahun 2007 menyebutkan bahwa penyakit jantung masih
merupakan penyebab utama dari kematian terbanyak penderita di rumah sakit indonesia.
Menurut data di Rumah sakit Cipto Mangunkusuma, jakarta, pada tahun 2006 di ruang rawat
jalan dan rawat inap di rumah sakit tersebut didapatkan 3,235% kasus gagal jantung dari total
11.711 penderita. Di amerika serikat berdasarkan data dari NHANES 2007-2010 ada sekitar 5,1
juta penduduk yang menderita gagal jantung. Di perkirakan bahwa angka ini akan mengalami
1
peningkatan 25% pada tahun 2030 dari anka kejadian di tahun 2013. Gagal jantung merupakan
diagnosis paling banyak pada penderita-penderita yang di rawat di rumah sakit dengan umur
diatas 65 tahun, sedangkan data dari National health and nutrition examination survey
menyebutkan bahwa prevalensi gagal jantung di amerika serikat sekitar 2,6% pada tahun 2006 .
prevalensi ini akan meningkat seiring dengan pertambahan usia sehingga bila didasarkan
kelompok usia angka prevalensi 8,4% pada usia di atas 75 tahun dan 0,7% pada kelompok usia
45-54 tahun.
Prevalensi gagal jantung di seluruh dunia juga menunjukkan peningkatan yang cukup
signifikan dalam beberapa dekade terakhir. Data dari McMurray dan kawan-kawan
memperkirakan sekitar 23 juta orang menderita gagal jantung di seluruh dunia. Data mengenai
insidensi dan prevalensi gagal jantung dibanyak negara, terutama di negara berkembang, masih
sangat jarang, sehingga data epidemiologi yang akurat masih sulit untuk dibuat. Walaupun data
mengenai epidemiologi gagal jantung ini masih belum terlalu baik, namun dapat dipastikan
bahwa gagal jantung telah bergeser menjadi salah satu penyakit utama penyebab kematian.
1.3 INSIDENSI GAGAL JANTUNG
Data dari NHLBI menunjukkan bahwa di Amerika Serikat angka insidensi gagal
jantung sekitar 10 per 1000 populasi setelah usia diatas 65 tahun, dimana 75% dari kasus gagal
jantung tersebut diakibatkan oleh hipertensi. Pada usia 40 tahun, risiko untuk terjadinya gagal
jantung baik pada pria dan wanita adalah 1 dari 5, dan resiko ini akan bertambah seiring dengan
bertambahnya umur. Risiko menderita gagal jantung dikatakan dua kali lipat pada individu
dengan tekanan darah baik lebih dari 160/90 mmHg dibanding pada individu dengan tekanan
darah kurang dari 140/90 mmHg. Sama seperti prevalensi gagal jantung, insidensi gagal jantung
ini juga lebih tinggi pada pria dan usia lanjut.
Berbanding terbalik dengan meningkatnya angka prevalensi gagal jantung mayoritas
penelitian mengenai epidemiologi gagal jantung menunjukkan bahwa insidensi gagal jantung
cendrung stabil bahkan menurun pada beberapa kelompok. Pada studi di skotlandia dengan
populas lebih dari 5 juta orang, menunjukkan bahwa angka hospitalisasi pertama kali penderita
gagal jantung meningkat antara tahun 1986 sampai tahun 1994, tetapi setelah itu angkanya
berkurang. Di Olmsted, tren insidensi gagal jantung antara tahun 1979 sampai 2000 tidak
mengalami perubahan yang signifikan, dengan insidensi secara keseluruhan antara 3,78 dan 2,89
2
per 1000 orang. Kesimpulan yang sama juga didapatkan dari Framingham heart study dimana
didapatkan insidensi gagal jantung pada pria ternyata tidak mengalami perubahan dari tahun
1950 sampai tahun 1999insidensi gagal jantung pada wanita mempunyai pola yang berbeda
dibandingkan pada pria. Pada frangmingham study, tampak adanya penurunan insidensi gagal
jantung sekitar 30% antara tahun 1950 sampai tahun 1969 dan antara tahun 1990 sampai tahun
1999. Hasil yang berbeda didapatkan pada penelitian terhadap komunitas di oregon dengan
populas individu usia diatas 65 tahun. Pada penelitian ini didapatkan insidensi gagal jantung
sedikit meningkat dari 10,0 menjadi 11,3 per 1000 orang, pada tahun 1970 sampai 1974 dan
antara tahun 1990 sampai tahun 1994.
Karena insiden gagal jantung meningkat seiring dengan bertambahnya umur insidensi
gagal jantung yang stabil ini merefleksikan bahwa insidensi gagal jantung berkurang pada
individu dengan usia yang lebih muda dan meningkat pada individu yang lebih tua. Peningkatan
insidensi gagal jantung pada lanjut usia ini konsisten dengan peningkatan kejadian hipertensi dan
penyakit jantung coroner pada lanjut usia. Berkembangnya pengobatan dan perhatian terhadap
hipertensi dapat memperlambat kejadian gagal jantung sampai usia yang lebih lanjut. Dan juga
terapi penyakit jantung koroner yang semakin efektif dapat meningkatkan angka survival
penderita, kemudian penderita ini akan berisiko untuk mengalami gagal jantung dikemudian hari.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 DEFENISI
Beberapa definisi dan sistem klasifikasi gagal Jantung telah dibuat untuk mempermudah
dalam pengenalan dan penanganan gagal jantung. Ketika masih sedikit pemeriksaan jantung
yang tersedia gagal jantung cendrung kearah patofisiologi lalu kemudian defenisi ditempatkan
pada penekanan gagal jantung sebagai suatu diagnosa klinis.
Pada tahun 1980 Dr. Braunwald menggambarkan gagal jantung sebagai patofisiologi
kelainan fungsi jantung yang bertanggung jawab atas kegagalan jantung untuk memompakan
darah dalam jumlah memadai untuk mencukupi kebutuhan metabolisme jaringan. Hal ini
menggambarkan mekanisme patologis, sulit dipergunakan dalam praktek klinis. Oleh karena itu
lebih baik untuk menggabarkan mekanisme gagal jantung menggunakan istilah diastolik dan
sistolik sebagai definisi (Chatterjee et al.,2007)
Definisi secara klinis gagal jantung menurut WHO adalah sindrom yang ditandai sesak
napas dan kelelahan yang berhubungan dengan penyakit jantung, hal ini ditandai dengan retensi
cairan( congestion) seperti yang ditunjukkan oleh peningkatan tekanan vena jugularis
odema.definisi patofisiologi adalah ketidakmampuan jantung memompa darah dengan jumlah
yang memadai untuk mencukupi kebutuhan metabolisme jaringan baik pada saat istirahat maupn
saat aktifitas. Karakteristik ini berhubungan dengan respons patofisoilogi( neural, hormonal,renal
dan lainnya) tanda dan gejala (WHO).
The european society cardiology (ESC) secara klinis mendefinisikan gagal jantung
adalah sebagai sindroma dengan gejala khas berupa sesak napas, edema tungkai,fatique dan
tanda khas berupa peningkatan tekanan venajugularis, ronki paru, dan pergeseran danyut apeks.
(McMurray et al, 2012).
Definisi yang lazimyang lazim dianut para klinis adalah defenisi dari poole-Wilson :
gagal jantung adalah suatu sindrom klinik yang disebabkan oleh suatu kelainan jantung dan
dapat dikenali dari respon hemodinamik, renal, neural dan hormonal yang karakteristik.
4
2.2 PEMBAGIAN
1. gagal jantung sistolik
Gagal jantung sistolik adalah ketidakmampuan kontraksi jantung memompa
sehingga curah jantung menurun dan menyebabkan gejala klasik seperti: sesak
napas,fatique, intoleransi aktivitas, gambaran jantung membesar dan gangguan fungsi
sistolik( Fuster,2011).
2. Definisi gagal jantung diastolik
Gagal jantung diastolik defenisi ini digunakan ketika fraksi ejeksi pada saat istirahat
adalah normal atau mendekati normal. Tampak gambaran gagal jantung, disertai bentuk
dan ukuran jantung kecil atau normal, yang tersering adalah hipertrofi ventrikel kiri dan
gangguan jantung yang disebabkan oleh kekakuan ventrikel kiri dan gangguan jantung
yang disebabkan oleh kekakuan ventrikel kiri atau disfungsi ventrikel diastolik.
Hipertensi sistemik yang berat atau penyakit jantung katup seperti mitral regurgitasi
biasanya sering terjadi disfungsi diastolik. Gagal jantung sistolik dapat timbui
bersamaan gagal jantung diastolik(Fuster,2011).
3. Gagal jantung akut
Gagal jantung akut didefinisikan sebagai serangan cepat (rapid onset) dari gejala-gejala
atau tanda-tanda akibat fungsi jantung yang abnormal. Dapat terjadi dengan atau tanpa
adanya sakit jantung sebelumnya. Disfungsi jantung bisa berupa disfungsi sistolik atau
disfungsi diastolik, keadaan irama jantung yang abnormal atau ketidakseimbangan dari
preload atau afterload. Gagal jantung akut dapat berupa acute de novo (serangan baru
dari gagal jantung akut, tanpa ada kelainan jantung sebelumnya) atau dekompensasi
akut dari gagal jantung kronik.(McMurray et al, 2012).
5
Klasifikasi gagal jantung akut berdasarkan manifestasi klinis5:
a. Gagal jantung dekompensasi (Acute decompensated congestive heart failure)
Biasanya ada riwayat perburukan progresif pada pasien yang telah diketahui gagal
jantung yang sedang dalam pengobatan dan bukti adanya bendungan paru dan sistemik.
b. Gagal jantung akut hipertensif (Acute heart failure with hypertension/crisis hypertension)
Tanda dan gejala gagal jantung disertai peningkatan tekanan darah dan biasanya fungsi
ventrikel kiri masih baik. Terdapat bukti peningkatan tonus simpatis dengan takikardi dan
vasokonstriksi. Responnya cepat terhadap terapi yang tepat dan mortaliti rumah sakitnya
rendah.
c. Gagal jantung akut dengan edema paru (Acute heart failure with pulmonary edema)
Pasien yang datang dengan distress pernafasan berat, takipnoe, dan ortopnoe, dengan
ronki basah halus seluruh lapangan paru. Saturasi O2 arteri biasanya < 90° pada udara
ruangan sebelum diterapi oksigen.
d. Syok kardiogenik (Cardiogenic shock/ low output syndrome)
Adanya bukti hipoperfusi jaringan akibat gagal jantung setelah dilakukan koreksi preload
dan aritmia mayor. Bukti hipoperfusi organ dan bendungan paru terjadi dengan cepat.
e. High output failure
Ditandai tingginya curah jantung, umumnya disertai laju jantung yang sangat cepat
(penyebabnya antara lain : aritmia, tirotoksikosis, anemia, penyakit paget, iatrogenik),
dengan perifer hangat, kongesti paru, dan kadang tekanan darah yang rendah seperti pada
syok septik.
f. Gagal jantung kanan (Righ-sided acute heart failure)
Ditandai oleh sindrom low output dengan peningkatan tekanan vena sentral tanpa disertai
kongesti paru.
g. Sindrom koroner akut dan gagal jantung
Banyak pasien gagal jantung datang dengan gambaran klinis dan bukti laboratoris
sindrom koroner akut. Sekitar 15% pasien dengan sindrom koroner akut memiliki tanda
dan gejala gagal jantung akut.
6
4. Gagal Jantung Kronik
Gagal jantung kronis adalah suatu sindrom klinis kompleks akibat kelainan jantung
struktural maupun fungsional atau nonkardiak yang menggangu kemampuan jantung
dalam meespons kebutuhan fisiologis untuk peningkatan curah jantung. Hal ini dapat
merupakan konsekuensi dari kelainan miokardial, valvular, pericardial, elektrikal
jantung, atau kombinasi dari beberapa kelainan tersebut.( sign,2007).
2.3 KLASIFIKASI GAGAL JANTUNG
Menurut terminologi utama berdasarkan atas pengukuran Ejection fraction (EF) ventrikel
kiri gagal jantung dapat di bagi menjadi dua yaitu ; gagal jantung dengan EF yang menurun (HF-
REF) McMurray et al, 2012).
The american college of cardiology/ american heart assosiation (ACCH/AHA) membagi
klasifikasi gagal jantung menjadi empat stadium yang menggambarkan perkembangan dan
progesivitas dari penyakit. Stadium A dan B di definisikan sebagai merka yang memiliki faktor
resiko tinggi untuk predisposisi gagal jantung, contoh: pasien dengan penyakit hipertensi,
koroner atau diabetes melitus. Pada stadium A belum menunjukkan gangguan ventrikel kiri,
hipertrofi atau distorsi ruang jantung, sebaliknya yang terjadi pada stadium B. Pada stadium C
pasien menunjukkan gejala gagal jantung terkait dengan penyakit jantung struktural yang
mendasari, dan pasien gagal refrakter yang membutuhkan strategi terapi khusus dan lanjutan
digolongkan dalam stadium D( Hunt et al, 2009).
Menurut kriteria yang dikembangkan oleh New York Heart Assotiation (NYHA) gagal
jantung dapat dikategorikan dalam empat kelas fungsional tergantung derajat keparahan gajala
dan besarnya aktivitas.
Klasifikasi menurut Killip menggambarkan komplikasi gagal jantung akut pada infark
miokard akut, berdasarkan tanda-tanda klinis dan foto thoraks.
Gagal jantung secara klinik diklasifikasikan berdasarkan atas beratnya disfungsi jantung.
Klasifikasi yang digunakan adalah klasifikasi New York Heart Association , yaitu :
7
Kelas I : Tidak ada batasan dalam aktifitas fisik. Aktifitas fisik biasa tidak menyebabkan
keluhan sesak napas.
Kelas II : Aktifitas sedikit terbatas. Aktifitas fisik sehari-hari akan menimbulkan keluhan
sesak nafas.
Kelas III : Aktifitas fisik sangat terbatas. Aktifitas fisik yang lebih ringan dari aktifitas
sehari-hari sudah menimbulkan keluhan.
Kelas IV : Pada keadaan istirahat sudah ada keluhan.
Gagal jantung kiri dalam jangka panjang dapat diikuti dengan gagal jantung kanan, demikian
juga gagal jantung kanan dalam jangka panjang dapat diikuti gagal jantung kiri. Bilamana kedua
gagal jantung tersebut terjadi pada saat yang sama maka keadaan ini disebut gagal jantung
kongestif.
Berikut merupakan tabel yang menunjukkan tahapan heart failure berdasarkan AHA/ACC.
Tabel 3. The American College of Cardiology and American Heart Association Stages of Heart Failure
Stage Description
A
(At risk)
Patients with medical conditions known to lead
to Heart Failure (Diabetes, High Blood
Pressure, Obesity, etc.)
B
(Heart Disease)
Patients with diagnosed heart disease (heart
attack, valve disease, etc.), but no symptoms of
Heart Failure.
C
(Symptoms)
Patients with heart disease and some limitation
of their physical activity due to shortness of
breath, fatigue, etc.
D
(Severe)
Significant symptoms despite maximal medical
therapy. Typically confined to the hospital and
requires additional intervention such as
transplant or hospice care. End-stage heart
failure.
8
Kelas
killip
Gambaran klinis Hospital mortality
(%)
I Tidak ada disfungsi ventrikel kiri atau gagal jantung 6
II Kriteria diagnosa termasuk ronki, gallop, hipertensi vena
pulmonal. Dengan atau tanpa disertai kongesti
30
III Gagal jantung berat, edema paru 40
IV Syok kardiogenik 80-90
Tabel 4. Klasifikasi komplikasi gagal jantung pada IMA berdasarkan klas killip ( Lip et al,2000.
“ABC of heart failure)
Klasifikasi derajat keparahan, berdasarkan penemuan klinis yaitu sirkulasi perifer ( perfusion)
dan auskultasi paru (kongesti). Pasien diklasifikasi menjadi klas I (group A) (warm and dry), klas
II( group B) (warm and wet), klass III (group L) (cold and dry), klas IV (group C) ( cold and
wet). Klasifikasi ini sudah di validasi untuk prognosis dari kardiomiopati dan dapat
dipuplikasikan pada pasien rawat jalan, rawat inap maupun rawat intensif (stvenson,2005).
2.4 ETIOLOGI
Gagal jantung dapat disebabkan oleh banyak hal terdapat perbedaan variasi di berbagai
belahan dunia. Menurut data National Heart Failure Audit penyebab gagal jantung di dominasi
oleh hipertensi (53%) penyakit jantung iskemik (47%) diabetes (28%) dan penyakit jantung
katub (21%) (NICOR,2012)
Etiologi gagal jantung berdasarkan pembagian fraksi ejeksi setiap keadaan yang
mengakibatkan perubahan pada struktur atau fungsi ventrikel kiri (left ventriculer/LV) dapat
menyebabkan pasien terkena gagal jantung (mann 2010.)
Tabel 5.Etiologi berdasarkan pembagian fraksi ejeksi
Fraksi Ejeksi Menurun (<40%)
Penyakit Jantung Koroner Cardiomyopathi noniskemik dilatasi
9
Infark Myokarda Kelainan genetic/familial
Iskemik Myokarda Gangguan infiltratifa
Tekanan overload kronik Kerusakan akibat toxic/obat-obatan
Hipertensia Gangguan Metabolika
Penyakit katup obstruktifa Viral
Volume Overload kronik Penyakit Chagas
Penyakit katup regurgitasi Gangguan ritme
Shunting intrakardiak (left-to-right) Bradyarrhythmias kronik
Shunting extrakardiak Tachyarrhythmias kronik
Fraksi Ejeksi Normal (>40–50%)
Hipertrofi Patologis Kardiomyopati restriktif
Primer (Kardiomyopati hipertrofi) Gangguan Infiltratif (amyloidosis, sarcoidosis)
Sekunder (hipertensi) Gangguan penyimpanan (hemochromatosis)
Penuaan Fibrosis
Gangguan Endomyocardial
Pulmonary Heart Disease
Cor pulmonale
Gangguan vaskuler pulmoner
Keadaan High-Output
Gangguan metabolic Peningkatan kebutuhan aliran darah berlebih
Thyrotoxicosis Systemic arteriovenous shunting
10
Gangguan Nutrisi (beriberi) Chronic anemia
(sumber seri buku ilmiah gagal jantung manajemen komprehensif SMF kardologi dan kedokteran
vasculer universitas airlangga.)
Gagal jantung adalah komplikasi tersering dari segala jenis penyakit jantung kengenital.
Mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung meliputi keadaan-keadaan yang (1)
meningkatkan beban awal, (2) meningkatkan beban akhir, atau (3) menurunkan kontraktilitas
miokardium. Keadaan-keadaan yang meningkatkan beban awal meliputi regurgitasi aorta, dan
cacat septum ventrikel; dan beban akhir meningkat pada keadaan-keadaan seperti stenosis aorta
dan hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat menurun pada infark miokardium dan
kardiomiopati. Selain ketiga mekanisme fisiologis yang menyebabkan gagal jantung, terdapat
faktor-faktor fisiologis lain yang dapat menyebabkan jantung gagal bekerja sebagai pompa.
Faktor-faktor yang mengganggu pengisian ventrikel (misal, stenosis katup atrioventrikularis)
dapat menyebabkan gagal jantung. Keadaan-keadaan seperti perikarditis konstriktif dan
tamponade jantung mengakibatkan gagal jantung melalui kombinasi beberapa efek seperti
gangguan pada pengisian ventrikel dan ejeksi ventrikel. Dengan demikian jelas sekali bahwa
tidak ada satupun mekanisme fisiologik atau kombinasi berbagai mekanisme yang bertanggung
jawab atas terjadinya gagal jantung; efektivitas jantung sebagai pompa dapat dipengaruhi oleh
berbagai gangguan patofisiologis. Penelitian terbaru menekankan pada peranan TNF dalam
perkembangan gagal jantung. Jantung normal tidak menghasilkan TNF; namun jantung
mengalami kegagalan menghasilkan TNF dalam jumlah banyak.
Demikian juga tidak satu pun penjelasan biokimia yang diketahui berperan dalam
mekanisme dasar terjadinya gagal jantung. Kelainan yang mengakibatkan gangguan
kontraktilitas miokardium juga tidak diketahui. Diperkirakan penyebabnya adalah kelainan
hantaran kalsium dalam sarkomer, atau dalam sintesis atau fungsi protein kontraktil.
Faktor-faktor yang dapat memicu terjadinya gagal jantung melalui penekanan sirkulasi
yang mendadak dapat berupa (1) distrimia, (2) infeksi sistemik dan infeksi paru-paru, dan (3)
emboli paru. Distrimia akan mengganggu fungsi mekanis jantung dengan mengubah rangsangan
listrik yang memulai respons mekanis; respons mekanis yang sinkron dan efektif tidak akan
dihasilkan tanpa adanya ritme jantung yang stabil. Respons tubuh terhadap infeksi akan
11
memaksa jantung untuk memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh yang meningkat. Emboli paru
secara mendadak akan meningkatkan resistensi terhadap ejeksi ventrikel kanan dan memicu
terjadinya gagal jantung kanan. Penanganan gagal jantung yang efektif membutuhkan
pengenalan dan penanganan tidak saja terhadap mekanisme fisiologis penyakit yang mendasari,
tetapi juga terhadap faktor-faktor yang memicu terjadinya gagal jantung.
2.5 PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI
2.5.1 Patogenesis
Gagal jantung sistolik didasari oleh suatu beban/penyakit miokard (underlying HD /
index of event) yang mengakibatkan remodeling struktural, lalu diperberat oleh progresivitas
beban/penyakit tersebut dan menghasilkan sindrom klinis yang disebut gagal jantung.
Remodeling struktural ini dipicu dan diperberat oleh berbagai mekanisme kompensasi
sehingga fungsi jantung terpelihara relatif normal (gagal jantung asimtomatik). Sindrom gagal
jantung yang simtomatik akan tampak bila timbul faktor presipitasi seperti infeksi, aritmia, infark
jantung, anemia, hipertiroid dan kehamilan
2.5.2 Patofisiologi
Bila cadangan jantung normal untuk berespon terhadap stres tidak adekuat untuk
memenuhi kebutuhan metabolik tubuh, jantung gagal untuk melakukan tugasnya sebagai pompa,
dan akibatnya gagal jantung. Pada tingkat awal, disfungsi komponen pompa secara nyata dapat
mengakibatkan kegagalan. Gagal jantung sangat sederhana dan dengan tepat didefinisikan pada
tahun 1933 oleh Lewis sebagai kondisi dimana jantung gagal untuk mengeluarkan isinya secara
adekuat. Diperkirakan bahwa 10% dari populasi lansia berusia 75 tahun mengalami beberapa
derajat gagal jantung. Prognosis untuk gagal jantung lebih buruk, dan dengan pengaruh berat
pada fungsi ventrikel kiri mempunyai laju mortalitas 50% dalam setahun.
Penyebab terjadinya kegagalan jantung adalah distrimia, malfungsi katup, abnormalitas
otot jantung, dan ruptur miokard. Dimana ruptur miokard dibagi menjadi ruptur otot papilaris,
ruptur septum interventrikular, dan ruptur ventrikel kiri.
Ada beberapa hal yang mempengaruhi patofisiologi gagal jantung, yaitu :
a. Mekanisme Dasar
12
Kelainan intrinsik pada kontraktilitas miokardium yang khas pada gagal jantung akibat
penyakit jantung iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel yang efektif.
Kontraktilitas ventrikel kiri yang menurun mengurangi volume sekuncup dan meningkatkan
volume residu ventrikel. Dengan meningkatnya EDV (volume akhir diastolik) ventrikel, terjadi
peningkatan tekanan akhir diastolik ventrikel kiri (LVEDP). Derajat peningkatan tekanan
bergantung pada kelenturan ventrikel. Dengan meningkatnya LVDEP, terjadi pula peningkatan
tekanan atrium kiri (LAP) karena atrium dan ventrikel berhubungan langsung selama diastol.
Peningkatan LAP diteruskan ke belakang ke dalam pembuluh darah paru-paru, meningkatkan
tekanan kapiler dan vena paru-paru. Apabila tekanan hidrostatik anyaman kapiler paru-paru
melebihi tekanan onkotik pembuluh darah, akan terjadi transudasi cairan ke dalam interstisial.
Jika kecepatan transudasi cairan melebihi kecepatan drainase limfatik, akan terjadi edema
interstisial. Peningkatan tekanan lebih lanjut dapat mengakibatkan cairan merembes ke dalam
alveoli dan terjadilah edema paru.
Tekanan arteri paru-paru dapat meningkat akibat peningkatan kronis tekanan vena paru.
Hipertensi pulmonalis meningkatkan tahanan terhadap ejeksi ventrikel kanan. Serangkaian
kejadian seperti yang terjadi pada jantung kiri, juga akan terjadi pada jantung kanan yang
akhirnya akan menyebabkan edema dan kongesti sistemik.
Perkembangan dari edema dan kongesti sistemik atau paru dapat diperberat oleh
regurgitasi fungsional dari katup-katup trikuspidalis atau mitralis secara bergantian. Regurgitasi
fungsional dapat disebabkan oleh dilatasi anulus katup atroventrikularis atau perubahan orientasi
otot papilaris dan korda tendinae akibat dilatasi ruang.
b. Respon Kompensatorik
Sebagai respons terhadap gagal jantung, ada tiga mekanisme primer yang dapat dilihat,
yaitu :
1. Meningkatnya aktivitas adrenergik simpatis
2. Meningkatnya beban awal akibat aktivasi sistem renin-angiotensi-aidosteron
3. Hipertrofi ventrikel.
Ketiga respons kompensatorik ini mencerminkan usaha untuk mempertahankan curah
jantung. Mekanisme ini mungkin memadai untuk mempertahankan curah jantung pada tingkat
13
normal atau hampir normal pada awal perjalanan gagal jantung, dan pada keadaan istirahat.
Namun, kelainan kerja ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya tampak saat
beraktivitas. Dengan berlanjutnya gagal jantung, kompensasi menjadi semakin kurang efektif.
c. Peningkatan Aktivitas Adrenergik Simpatis
Menurunnya volume sekuncup pada gagal jantung akan membangkitkan respons simpatis
kompensatorik. Meningkatnya aktivitas adrenergik simpatik merangsang pengeluaran
katekolamin dari saraf-saraf adrenergik jantung dan medula adrenal. Denyut jantung dan
kekuatan kontraksi akan meningkat untuk menambah curah jantung. Selain itu juga terjadi
vasokontriksi arteri perifer untuk menstabilkan tekanan arteri dan redistribusi volume darah
dengan mengurangi aliran darah ke organ-organ yang metabolismenya rendah (misalnya kulit
dan ginjal) untuk mempertahankan perfusi ke jantung dan otak. Venokonstriksi akan
meningkatkan aliran balik vena ke sisi kanan jantung, untuk selanjutnya menambah kekuatan
kontraksi sesuai dengan hukum Starling.
Seperti yang diharapkan, kadar katekolamin dalam darah akan meningkat pada gagal
jantung, terutama selama latihan. Jantung akan semakin bergantung pada katekolamin yang
beredar dalam darah untuk mempertahankan kerja ventrikel. Namun pada akhirnya respons
miokardium terhadap rangsangan simpatis akan menurun; katekolamin akan berkurang
pengaruhnya terhadap kerja ventrikel.
Dalam keadaan normal, katekolamin menghasilkan efek inotropik positif pada ventrikel
sehingga menggeser kurva ke atas dan ke kiri. Berkurangnya respons ventrikel yang gagal
terhadap rangsangan ketekolamin menyebabkan berkurangnya derajat pergeseran akibat
rangsangan ini. Perubahan ini mungkin berkaitan dengan observasi yang menunjukkan bahwa
cadangan norepinefrin pada miokardium menjadi berkurang pada gagal jantung kronis.
d. Peningkatan Beban Awal melalui Aktivasi Sistem Renin-Angiotensi-Aidosteron
Aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron menyebabkan retensi natrium dan air oleh
ginjal, meningkatkan volume ventrikel dan regangan serabut. Peningkatan beban awal ini akan
menambah kontraktilitas miokardium sesuai dengan hukum Starling. Mekanisme pasti yang
mengakibatkan aktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron pada gagal jantung masih belum
jelas. Namun, diperkirakan terdapat sejumlah faktor seperti rangsangan simpatis adrenergik pada
14
reseptor β di dalam aparatus jukstaglomerulus, respons reseptor makula densa terhadap
perubahan pelepasan natrium ke tubulus distal, dan respons baroreseptor terhadap perubahan
volume dan tekanan darah sirkulasi.
Apapun mekanisme pastinya, penurunan curah jantung pada gagal jantung akan memulai
serangkaian peristiwa berikut :
1. Penurunan aliran darah ginjal dan akhirnya laju filtrasi glomerulus
2. Pelepasan renin dari aparatus jukstaglomerulus
3. Interaksi renin dengan angiotensinogen dalam darah untuk menghasilkan angiotensin II
4. Konversi angiotensin I menjadi angiotensin II
5. Rangsangan sekresi aldosteron dari kelenjar adrenal
6. Retensi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus pengumpul. Angiotensin II juga
menghasilkan efek vasokontriksi yang meningkatkan tekanan darah.
Pada gagal jantung berat, kombinasi antara kongesti vena sistemik dan menurunnya
perfusi hati akan mengganggu metabolisme aldosteron di hati, sehingga kadar aldosteron dalam
darah meningkat. Kadar hormon antidiuretik akan meningkat pada gagal jantung berat, yang
selanjutnya akan meningkatkan absorpsi air pada duktus pengumpul.
Saat ini sedang diselidiki adanya peranan faktor natriuretik atrium (atrial natriuretik
factor, ANF) pada gagal jantung. ANF adalah hormon yang disintesis pada jaringan atrium.
Peptida natriuretik tipe B (BNP) terutama disekresi melalui ventrikel. Natriuretik peptida
dilepaskan akibat meningkatnya tekanan atau volume intrakardia dan menekan sitem renin-
angiotensin-aldosteron. Konsentrasi peptida dalam plasma lebih tinggi dibandingkan dengan
nilai normalnya pada penderita gagal jantung dan pada penderita gangguan jantung yang tidak
bergejala. Hormon memberikan efek diuretik dan natriuretik dan merelaksasi otot polos. Namun
demikian, efek diuretik dan natriuretik dipengaruhi faktor kompensatorik yang lebih kuat yang
menyebabkan retensi garam dan air serta vasokontriksi.
e. Hipertrofi Ventrikel
Respons kompensatorik terakhir pada gagal jantung adalah hipertropi miokardium atau
bertambahnya tebal dinding. Hipertropi meningkatkan jumlah sarkomer dalam sel-sel
miokardium; sarkomer dapat bertambah secara paralel atau serial bergantung pada jenis beban
hemodinamik yang mengakibatkan gagal jantung. Sebagai contoh, suatu beban tekanan yang
15
ditimbulkan stenosis aorta akan disertai dengan meningkatnya ketebalan dinding tanpa
penambahan ukuran ruang dalam. Respons miokardium terhadap beban volume, seperti pada
regurgitasi aorta, ditandai dengan dilatasi dan bertambahnya ketebalan dinding. Kombinasi ini
diduga terjadi akibat bertambahnya jumlah sarkomer yang tersusun secara serial. Kedua pola
hipertrofi ini disebut hipertrofi konsentris dan hipertrofi eksentris. Apapun susunan pasti
sarkomernya, hipertrofi miokardium akan meningkatkan kekuatan kontraksi ventrikel.
f. Mekanisme Kompensatorik lainnya
Mekanisme lain bekerja pada tingkat jaringan untuk meningkatkan hantaran oksigen ke
jaringan. Kadar 2,3-difosfogliserat (2,3-DPG) plasma meningkat sehingga mengurangi afinitas
hemoglobin dengan oksigen. Akibatnya, kurva disosiasi oksigen-hemoglobin bergeser ke kanan
mempercepat pelepasan dan ambilan oksigen oleh jaringan. Ekstraksi oksigen dari darah
ditingkatkan untuk mempertahankan suplai oksigen ke jaringan pada saat curah jantung rendah.
g. Efek Negatif Respons Kompensatorik
Awalnya, respons kompensatorik sirkulasi memiliki efek yang menguntungkan, namun
akhirnya mekanisme kompensatorik dapat menimbulkan gejala meningkatkan kerja jantung dan
memperburuk derajat gagal jantung. Retensi cairan yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan
kontraktilitas menyebabkan terbentuknya edema dan kongesti vena paru dan sistemik.
Vasokontriksi arteri dan redistribusi aliran darah mengganggu perfusi jaringan pada anyaman
vaskular yang terkena serta menimbulkan gelaja dan tanda (misalnya berkurangnya jumlah
keluaran urine dan kelemahan tubuh). Vasokontriksi arteri juga meningkatkan beban akhir
dengan memperbesar resistensi terhadap ejeksi ventrikel; beban akhir juga meningkat karena
dilatasi ruang jantung. Akibatnya, kerja jantung dan kebutuhan oksigen miokardium (MVO2)
juga meningkat. Hipertrofi miokardium dan rangsangan simpatis labih lanjut akan meningkatkan
kebutuhan MVO2. Jika peningkatan MVO2 ini tidak dapat dipenuhi dengan meningkatkan suplai
oksigen miokardium, akan terjadi iskemia miokardium dan gangguan miokardium lainnya. Hasil
akhir peristiwa yang saling berkaitan ini adalah meningkatnya beban miokardium dan terus
berlangsungnya gagal jantung.
2.6 MANIFESTASI KLINIS
16
2.6.1 Gagal Jantung Kiri
Pada keadaan gagal jantung kiri terjadi karena ventrikel kiri tidak bisa berkontraksi
dengan optimal sehingga curah jantung menjadi berkurang. Pada keadaan normal selalu terdapat
sisa darah dirongga ventrikel pada akhir sistol. Dengan berkurangnya curah jantung, maka pada
akhir sistol terdapat sisa darah yang lebih banyak dari keadaan normal. Pada fase sistol
berikutnya maka sisa darah akan bertambah lagi dengan darah yang masuk ke ventrikel kiri,
sehingga tekanan akhir diastol menjadi lebih tinggi.
Dengan berjalannya waktu, maka pada suatu saat akan timbul bendungan di daerah atrium kiri.
Hal ini akan diikuti oleh peninggian tekanan darah di vena pulmonalis dan di pembuluh darah
kapiler paru – paru. Karena ventrikel kanan yang masih sehat memompa darah terus sesuai
dengan jumlah darah yang masuk keatrium kanan, maka dalam waktu cepat tekanan hidrostatik
di kapiler paru – paru akan menjadi begitu tinggi sehingga terjadi transudasi cairan dari
pembuluh kapiler paru – paru.
Pada saat tekanan di arteri pulmonalis dan arteri bronchialis meninggi terjadi pula transudasi
jaringan interstitial bronkus. Jaringan tersebut menjadi edema dan hal ini akan mengurangi
besarnya lumen bronkus, sehingga aliran udara menjadi terganggu. Pada keadaan ini suara
pernafasan menjadi berbunyi saat ekspirasi dan fase ekspirasi menjadi lebih panjang. Keadaan
ini dikenal sebagai asma kardial. Bila tekanan di kapiler paru makin tinggi, maka cairan
transudasi ini akan tambah banyak. Cairan transudasi ini mula – mula akan masuk ke dalam
saluran limfatik dan kembali keperedaran darah. Namun bila tekanan hidrostatik kapiler paru
sudah diatas 25 mmHg, maka transudasi cairan ini menjadi lebih banyak, dan saluran limfatik
tidak cukup untuk menampungnya. Cairan tersebut akan tertahan di jaringan interstitial paru –
paru dan suatu saat akan memasuki alveoli.
Dengan terjadinya edema interstitial, maka pergerakan alveoli akan terganggu sehingga proses
pertukaran udara juga akan terganggu. Penderita akan merasa sesak nafas disertai dengan nadi
yang cepat. Bila transudasi sudah masuk kedalam rongga alveoli, terjadilah edema paru dengan
gejala sesak nafas yang hebat, takikardia, tekanan darah yang menurun, dan kalau tidak dapat
diatasi maka kemudian diikuti oleh syok. Syok ini disebut Syok kardiogenik, dimana tekanan
17
diastol menjadi sangat rendah, sehingga tidak mampu lagi memberikan perfusi cukup pada otot –
otot jantung. Keadaan ini akan memperburuk kondisi otot jantung dengan timbulnya asidosis
otot – otot jantung, yang selanjutnya akan mengakibatkan daya pompa otot jantng menjadi lebih
buruk lagi. Keadaan ini merupakan lingkaran setan yang sangat sukar diatasi dan biasanya
berakhir dengan kematian penderita.
Gagal jantung kiri yang terkompensasi
Dengan mekanisme kompensasi yang bekerja cukup cepat (perangsangan simpatis) untuk
sementara curah jantung pada gagal jantung akut dapat dicukupi. Kemudian dengan mekanisme
kompensasi yang bekerja lambat, yaitu terjadinya retensi cairan oleh ginjal, maka jumlah alir
balik vena akan bertambah dan rangsang simpatis pelan – pelan akan dikurangi sedangkan curah
jantung tetap cukup untuk metabolisme. Namun demikian pada keadaan ini tekanan di atrium
kanan dan tekanan akhir diastol ventrikel kiri tetap lebih tinggi dari normal.
Bila terdapat beban baru misalnya aktifitas fisik, maka jantung tidak dapat bereaksi dengan
normal, karena mekanisme kompensasi yang ada sudah dipakai sebagian untuk mempertahankan
curah jantung.
Gagal jantung kiri yang tidak dapat terkompensasi
Pada keadaan ini gagal jantungkiri menjadi sangat berat. Penderita bisa meninggal
dengan edema paru atau syok kardiogenik. Penderita dapat pula bertahan beberapa lama sampai
terjadi retensi cairan oleh ginjal, namun demikian aliran balik vena akibat retensi cairan oleh
ginjal ini tetap tidak mampu menaikkan curah jantung. Retensi cairan terus terjadi dan tekanan
akhir diastole ventrikel kiri makin tinggi, sehingga curah jantung akan makin turun karena
kemampuan ventrikel kiri terlampaui. Dan penderita dapat meninggal akibat syok atau edema
paru. Berikut gejala – gejala gagal jantung ini sebenarnya berasal dari :
1. Gejala menurunnya curah jantung disertai dengan mekanisme kompensasi jantung.
2. Gejala karena terjadinya bendungan paru
18
Gejala gagal jantung yang terlihat antara lain :
a. Dyspnoe on Effort
Sesak nafas pada aktifitas fisik
b. Ortopneu
Sesak nafas yang terjadi pada saat berbaring dan dapat dikurangi dengan sikap duduk
atau berdiri. Hal ini disebabkan pada saat berdiri terjadi penimbunan cairan di kaki dan
perut. Pada waktu berbaring maka cairan akan kembali ke pembuluh darah dan
menambah aliran balik, dan terjadi sesak nafas.
c. Paroksisimal Nokturnal Dyspnoe
d. Serangan sesak nafas ini terjadi pada malam hari, pasien yang sedang tidur terbangun
karena sesak nafas. Berbeda dengan ortopneu yang dengan cepat bisa disembuhkan
dengan perubahan dari posisi tidur ke posisi berdiri, maka Paroksisimal Nokturnal
Dyspnoememerlukan waktu agak lama, kira – kira 30 menit.
e. Sebab yang pasti Paroksisimal Nokturnal Dyspnoe belum jelas, tetapi mungkin sebab
kombinasi dari faktor – faktor :
- Menurunnya tonus simpatis
- Darah balik yang bertambah
- Penurunan aktifitas pada pusat pernafasan dimalam hari
- Edema paru
Selain gejala – gejala diatas, dapat pula penderita merasa sangat sesak, takikardia,
tekanan darah menurun, hemoptoe, berkeringat dingin, pucat dan lain – lain.
New York Heart Association (NYHA ) membuat klasifikasi fungsional dalam 4 kelas,
yaitu :
Kelas 1
Kelas 2
Kelas 3
Kelas 4
:
:
:
:
Bila pasien dapat melakukan aktivitas berat tanpa keluhan
Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari
aktivitas sehari-hari tanpa keluhan
Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari tanpa
keluhan
Bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktivitas apa pun
19
dan harus tirah baring
2.6.2 Gagal Jantung Kanan
Pada keadaan gagal jantung kanan akut karena ventrikel kanan tidak bisa berkontraksi dengan
optimal, terjadi bendungan diatrium kanan, dan vena kava superior serta inferior. Dalam keadaan
ini gejala edema perifer, hepatomegali, splenomegali belum sempat terjadi, tetapi yang mencolok
adalah tekanan darah akan menurun dengan cepat sebab darah balik berkurang.
Pada gagal jantung kanan yang kronis, ventrikel kanan pada saat systole tidak mampu memompa
darah keluar, sehingga seperti pada gagal jantung kiri pada saat berikutnya tekanan akhir diastole
ventrikel kanan akan meninggi. Dengan demikian maka tekanan diatrium kanan juga akan
meninggi dan hal ini akan diikuti bendungan darah di vena kava superior, vena kava inferior
serta seluruh sistem vena.
Hal ini secara klinis dapat dilihat dengan adanya bendungan di vena jugularis eksterna, vena
hepatica (sehingga menimbulkan hepatomegali), vena lienalis (menimbulkan splenomegali) dan
juga terlihat bendungan di vena – vena perifer, dengan demikian tekanan hidrostatik di pembuluh
kapiler akan meningkat melampaui tekanan koloid osmotik, maka terjadilah edema perifer.
Gejala gagal jantung kanan :
Keluhan sesak nafas tidak begitu nyata, karena gagal jantung kanan dasarnya adalah low out
put failure. Keluhan yang menonjol adalah kelelahan, rasa mual, nafsu makan berkurang,
rasa penuh dan mendesak daerah perut atas.
Tanda Tanda gagal jantung kanan :
a. Tekanan vena jugularis eksterna meningkat
b. Pembesaran hepar yang nyeri tekan. Kadang – kadang ditemukan ikterus.
c. Splenomegali terjadi karena bendungan
d. Asites yang disebabkan bendungan pada vena porta sehingga terjadi akumulasi cairan
serosa dalam rongga perut.
e. Edema subkutan terutama pad bagian tubuh yang di bawah.
20
f. Hidrotoraks
g. Gejala – gejala renal. Nokturia sering ditemukan, oliguria, albuminuria dan dapat
berlanjut azotemia.
Mekanisme Kompensasi pada Gagal Jantung
1. Mekanisme Frank Starling
Dengan dilatasi ventrikel menyebabkan kenaikan beban awal (volume akhir diastolik), ini
merangsang isi sekuncup yang lebih besar pada kontraksi selanjutnya.
2. Hipertrofi Ventrikel
Peningkatan ketebalan dinding ventrikel adalah suatu mekanisme kompensasi untuk
mengurang stress dinding dan membentu memelihara kekuatan kontraksi ventrikel.
3. Aktifasi Neurohormonal :
a. Sistem saraf Adrenergik
- Peningkatan Laju debar jantung
- Peningkatan kontraktilitas ventrikel
- Vasokonstrksi akibat stimulasi reseptor – reseptor alfa pada vena – vena
dan arteri sistemik
b. Sistem Renin – Angiotensin
Rangsang untuk mensekresi renin dari sel –sel jugstaglomerular mencakup :
- Penurunan perfusi arteri renalis sehubungan dengan curah jantung yang rendah.
- Rangsang langsung terhadap reseptor – reseptor ß2 jugstaglomerular oleh system saraf
adrenergic yang teraktivasi.
Renin bekerja pada angiotensinogen dalam sirkulasi menjadi angiotensin I, yang
kemudian diubah dengan cepat oleh enzim pengubah angiotensin (ACE) menjadi
angiotensin II (A II), suatu vasokonstriktor yang kuat.
Peningkatan kadar A II. Berperan meningkatkan tahanan perifer total dan memelihara
tekanan darah sistemik. Angiotensin II juga bekerja meningkatkan volume intravascular
melalui 2 mekanisme, yaitu di hipotalamus merangsang rasa haus dan akibatnya
meningkatkan pemasukan cairan, dan bekerja pada korteks adrenal untuk meningkatkan
sekresi Aldosteron. Aldosteron meningkatkan resorbsi natrium dari tubuli distal kedalm
21
sirkulasi. Kenaikan volume intravascular lalu meningkatkan beban awal dan karenanya
meningkatkan curah jantung melalui mekanisme Frank Starling.
c. Hormon Antidiuretik
Hormon antidiuretik berperan meningkatkan volume intravaskuler karena ia
meningkatkan volume retensi cairan melalui nefron distal. Kenaikan cairan inilah yang
meningkatkan beban awal ventrikel kiri dan curah jantung.
Meskipun ketiga mekanisme kompensasi neurohormonal yang sudah diuraikan diatas pada
awalnya bisa bermanfaat, pada akhirnya membuat keadaan menjadi buruk. Peningkatan volume
sirkulasi dan alir balik vena ke jantung bisa memperburuk bendungan pada vaskuler paru
sehingga memperkuat keluhan akibat kongestif paru. Peninggian tahanan arteriol meningkatkan
beban akhir dimana jantung yang sudah payah harus berkontraksi, sehingga pada akhirnya isi
sekuncup dan curah jantung menjadi lebih berkurang.
2.7 DIAGNOSIS
Pemeriksaan klinis pasien gagal jantung dimulai dengan anamnesis dan dilanjutkan dengan
pemeriksaan fisik. Anamnesis riwayat penyakit dapat digunakan untuk memperkirakan penyebab
gagal jantung. Anamnesis riwayat keluarga dapat membantu menemukan predisposisi gagal
jantung. Komorbiditas seperti hipertensi, hiperlipidemia, diabetes melitus, riwayat merokok,
alkohol, atau obat-obatan merupakan faktor risiko gagal jantung. Penyakit jantung koroner
merupakan penyebab gagal jantung yang cukup sering, di perkirakan dua pertiga gagal jantung
disebabkan penyakit jantung koroner. Berikut ini akan diuraikan gejala – gejala dan tanda –
tanda gagal jantung kiri dan gagal jantung kanan sebagai dasar diagnosis
22
1) Gagal jantung kiri
Gejala – gejala :
a. Dyspnoe on effort
Nafas terasa pendek dan sesak merupakan keluhan yang paling dini. Pada permulaan
sesak nafas timbul saat berjalan / bekerja, tetapi pada stadium selanjutnya dalam istirahat
terasa sesak. Transudasi cairan kedalam alveoli akan merangsang timbulnya batuk dan
sesak nafas.
b. Ortopneu
Sesak nafas yang terjadi pada saat berbaring dan dapat dikurangi dengan sikap duduk
atau berdiri. Hal ini disebabkan pada saat berdiri terjadi penimbunan cairan di kaki dan
perut. Pada waktu berbaring maka cairan akan kembali ke pembuluh darah dan
menambah aliran balik, dan terjadi sesak nafas.
c. Paroxysmal nocturnal dyspnoe
Keadaan ini sering muncul pada tengah malam, penderita tiba – tiba terbangun karena
rangsangan batuk dan sesak nafas yang hebat.
d. Edema paru
Keadaan ini disebabkan kongesti paru karena transudasi cairan ke dalam alveoli.
e. Hemoptisis
Sputum berdarah, hal ini disebabkan karena bendungan pulmonal sehingga pecahnya
kapiler paru – paru.
f. Takikardi
Sebagai mekanisme kompensasi oleh karena menurunnya isi sekuncup sehingga
meningkatkan frekuensi denyut jantung untuk mencukupi cardiac output.
23
Tanda – tanda :
a. Pembesaran jantung
Hal ini disebabkan oleh hipertrofi dan dilatasi. Pada palpasi teraba pulsasi apeks kuat dan
bergeser ke lateral bawah. Kedaan ini dapat dipertegas dengan pemeriksaan EKG, foto
thorak dan ekokardiografi.
b. Irama gallop
Menandakan adanya kelemahan miokard, sering terdengar di apeks kordis.
c. Aksentuasi bunyi pulmonal kedua
Oleh karena tekanan arteri pulmonalis yang meninggi.
d. Ronki basah pada basal kedua lapang paru
Pada auskultasi terdwngar ronkhi basah pada basal kedua lapang paru. Bila progresif
ronkhi dapat terdengar lebih difus.
2) Gagal jantung kanan
Gejala – gejala :
Keluhan sesak nafas tidak begitu nyata, keluhan yang menonjol adalah kelelahan, rasa penuh,
nafsu makan berkurang, resa penuh dan mendesak daerah perut atas.
Tanda – tanda
a. Tekanan vena jugularis eksterna (JVP) meningkat
b. Pembesaran hepar yang nyeri tekan. Keadaan ini disebabkan bendungan dan peradangan
kapsul hati, kadang – kadang ditemukan ikterus.
c. Splenomeegali terjadi karena bendungan.
d. Asites, yang disebabkan bendungan pada vena porta sehingga terjadi akumulasi cairan
serosa dalam rongga perut.
e. Edema terutama pada bagian tubuh bawah.
f. Hidrothoraks.
g. Gejala – gejala renal, nokturia sering ditemukan, disuria, albuminuria dan dapat berlanjut
azotemia.
24
Klasifikasi: kriteria Framigham
Kriteria Major
PND
Distensi vena2 leher
Peningkatan vena jugularis
Ronkhi
Kardiomegali
Edema paru akut
Gallop S3
Refluks hepatojugular
Kriteria Minor
Edema ekstremitas
Batuk malam
Sesak pada aktuvitas
Hepatomegali
Efusi pleura
Kapasitas vital berkurang 1/3 dr normal
Takikardia >120
Diagnosis gagal jantung ditegakkan minimal ada 1 kriteria major dan 2 kriteria minor.
25
Algoritma diagnosis gagal jantung pada pasien yang belum diterapi
Keterangan
BNP : B-type Natriuretic Peptide
NT-proBNP : N-terminal pro-B-type Natriuretic Peptide
26
VIII. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dilakukan untuk mendukung penegakan diagnosis gagal jantung
adalah
1. Elektrokardiogram (EKG)
Pemeriksaan EKG harus dikerjakan pada semua pasien diduga gagal jantung. Abnormalitas EKG
memiliki nilai prediktif yang kecil dalam mendiagnosis gagal jantung, jika EKG normal,
diagnosis gagal jantung khususnya dengan disfungsi sistolik sangat kecil (< 10%).
Tabel 6.Abnormalitas EKG yang umum ditemukan pada gagal jantung
Abnormalitas Penyebab Implikasi klinis
Sinus takikardiaGagal jantung dekompensasi,
anemia, demam, hipertiroidisme
Penilaian klinis, pemeriksaan
laboratorium
Sinus bradikardiObat penyekat β, anti aritmia,
hipotiroidisme, sindroma sinus sakit
Evaluasi terapi obat, pemeriksaan
laboratorium
Atrial takikardia/
flutter/ fibrilasi
Hipertiroidisme, infeksi, gagal
jantung dekompensasi, infark
Perlambat konduksi AV, konversi
medic, elektroversi, ablasi kateter,
antikoagulasi
Aritmia ventrikel
Iskemia, infark, kardiomiopati,
miokarditis, hipokalemia.
Hipomagnesemia, overdosis
digitalis
Pemeriksaan laboratorium, tes latihan
beban, pemeriksaan perfusi,
angiografi koroner, pemeriksaan
EKG, ICD
Iskemia/ infark Penyakit jantung koronerEkokardiografi, troponin, angiografi
koroner, revaskularisasi
Gelombang Q Infark, kardiomiopati hipertrofi, Ekokardiografi, angiografi koroner
27
LBBB, pre-exitasi
Hipertrofi ventrikel
kiri
Hipertensi, penyakit katup aorta,
kardiomiopati hipertrofiEkokardiografi, Doppler
Blok atrioventrikular
Infark, intoksikasi obat,
miokarditis, sarkoidosis, penyakit
Lyme
Evaluasi penggunaan obat, pacu
jantung, penyakit sistemik
MikrovoltaseObesitas, emfisema, efusi perikard,
amiloidosisEkokardiografi, rontgen thoraks
Durasi QRS >0,12
detik dg morfologi
LBBB
Disinkroni elektrik dan mekanik Ekokardiografi, CRT-P,CRT-D
Keterangan
LBBB: Left Bundle Branch Block
ICD: Implantable Cardioverter Defibrilator
CRT-P: Cardiac Resynchronization Therapy-Pacemaker
CRT-D: Cardiac Resynchronization Therapy-Defibrillator
2. Rontgen thoraks
Tabel 7.Abnormalitas rontgen thoraks yang umum ditemukan pada gagal jantung
Abnormalitas Penyebab Implikasi klinis
Kardiomegali Dilatasi ventrikel kiri, ventrikel kanan, atria, Ekokardiografi, Doppler
28
efusi perikard
Hipertrofi
ventrikel
Hipertensi, stenosis aorta, kardiomiopati
hipertrofiEkokardiografi, Doppler
Tampak paru
normalBukan kongesti paru Nilai ulang diagnosis
Kongesti vena
paruPeningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri
Mendukung diagnosis gagal
jantung kiri
Edema
interstitialPeningkatan tekanan pengisian ventrikel kiri
Mendukung diagnosis gagal
jantug kiri
Efusi pleura
Gagal jantung dengan peningkatan tekanan
pengisisan jika efusi bilateral, infeksi paru,
pasca bedah/ keganasan
Pikirkan etiologi non-kardiak
(jika efusi banyak)
Garis Kerley B Peningkatan tekanan limfatikMitral stenosis/ gagal jantung
kronik
Area paru
hiperlusenEmboli paru atau emfisema
Pemeriksaan CT, spirometri,
eko
Infeksi paru Pneumonia dapat sekunder akibat kongesti paru
Tatalaksana kedua
penyakit:ngagal jantung dan
infeksi paru
Infiltrate paru Penyakit sistemikPemeriksaan diagnostic
lanjutan
29
3. Pemeriksaan Laboratorium
Tabel 7.Abnormalitas pemeriksaan laboratorium yang sering dijumpai pada gagal jantung
Abnormalitas Penyebab Implikasi klinis
Peningkatan
kreatinin serum
(>150 μ mol/L
Penyakit ginjal, ACEI, ARB, antagonis
aldosteron
Hitung GFR, pertimbangkan
mengurangi dosis
ACEI/ARB/antagonis
aldosteron, periksa kadar kalium
dan BUN
Anemia (Hb<13
gr/dl pada laki-laki,
<12 gr/dl pada
perempuan
Gagal jantung kronik, gagal ginjal,
hemodilusi. Kehilangan zat besi atau
penggunaan zat besi terganggu, penyakit
kronik
Telusuri penyebab,
pertimbangkan terapi
Hiponatremia (<135
mmol/L)
Gagal jantung kronik, hemodilusi,
pelepasan AVP (Argine Vasopressin),
diuretic
Pertimbangkan restriksi cairan,
kurangi dosis diuretic,
ultrafiltrasi, antagonis
vasopressin
Hipernatremia (>150
mmol/L)Hiperglikemia, dehidrasi
Nilai asupan cairan, telusuri
penyebab
Hipokalemia (<3,5
mmol/L)Diuretic, hiperaldosteronisme sekunder
Risiko aritmia, pertimbangkan
suplemen kalium, ACEI/ARB,
antagonis aldosteron
Hiperkalemia (>5,5
mmol/L)
Gagal ginjal, suplemen kalium, penyekat
system RAA
Stop obat-obat hemat kalium
(ACEI/ARB, antagonis
aldosteron), nilai fungsi ginjal
30
dan pH, risiko bradikardia
Hiperglikemia (>200
mg/L)Diabetes, resistensi insulin
Evaluasi hidrasi, terapi
intoleransi glukosa
Hiperurisemia (>500
μmol/L)Terapi diuretic, gout, keganasan
Allopurinol, kurangi dosis
diuretic
BNP >400pg/mL,
NT pro BNP>2000
pg/Ml
Tekanan dinding ventrikel meningkat Sangat mungkin gagal jantung
BNP <100 pg/mL,
NT proBNP <400
pg/Ml
Tekanan dinding ventrikel normal
Evaluasi ulang diagnosis, bukan
gagal jantung jika terapi tidak
berhasil
Kadar albumin
tinggi (>45 g/L)Dehidrasi, myeloma Rehidrasi
Kadar albumin
rendah (<30 g/L)
Nutrisi buruk, kehilangan albumin melalui
ginjalCari penyebab
Peningkatan
transaminase
Disfungsi hati, gagal jantung kanan.
Toksisitas obat
Cari penyebab, kongesti liver,
pertimbangkan kembali terapi
Peningkatan
troponin
Nekrosis miosit, iskemia berkepanjangan,
gagal jantung berat, miokarditis, sepsis,
gagal ginjal,emboli paru
Evaluasi pola peningkatan,
angiografi koroner, evaluasi
kemungkinan revaskularisasi
Tes tiroid abnormal Hiper/hipotiroidisme,amiodaron Terapi abnormalitas tiroid
Urinalisis Proteinuria, glikosuria, bekteriuria Singkirkan kemungkinan infeksi
INR >2,5 Overdosis antikoagulan, kongesti hati Evaluasi dosis antikoagulan,
31
niali fungsi hati
CRP > 10 mg/L,
lekositosis
neutrofilik
Infeksi, inflamasi Cari penyebab
4. Ekokardiografi
5. Cardiac Magnetic Resonance Imaging (CMR)
6. Cardiac CT Scan
7. Radionuclie Ventriculography
8. Test Fungsi Paru
9. Uji aktivitas Fisik
10. Monitoring EKG Ambulatoar (Holter)
11. Kateterisasi Jantung
Biasanya pada gagal jantung kiri didapatkan (LV EDP) peningkatan tekanan akhir
diastolic ventrikel kiri yang meningkat › 10 mmHg atau pulmonary atrial wedgw pressure › 12
mmHg dalam keadaan istirahat. Curah jantung biasanya ‹ 2,7 liter/menit/m2 luas permukaan
badan.
12. Angiografi Koroner
13. Biopsi Endomiokardial
32
2.8 TATALAKSANA
2.8.1 Tatalaksana Non Farmakologi
diet rendah garam 2 sampai 3 gram per hari direkomendasikan untuk semua pasien dengan gagal
jantung yang simtomatis dengan fraksi ejeksi normal ataupun yang menurun. Retriksi cairan
tidak diperlukan kecuali pasien dalam kondisi hiponatremi ( <130 mEq/liter) atau pada kondisi
yang sudah terjadi retensi cairan dan sulit mengontrolnya. Pada rekomendasi ACC/AHA 2013
dikatakan hanya 1,5 – 2 1/ hari pada tahap D yang dirawat inap. Keseimbangn cairan dan
natrium di rekomendasikan dengan monitoring gejala dan berat badan.
Konsumsi alkohol harus dihentikan, karena alkohol adalah merupakan depresan miokard. Pasien
dengan gagal jantung yang mengkonsumsi alkohol angka readmisinya meningkat dibandingkan
dengan yang tidak mengkonsumsi alkohol.penggunaan alkohol jangka panjang akan
menyebabkan dilated cardiomiopathy. Dua studi prospektif dari pasien dengan dilated
cardiomiopathy berat setelah menyetop alkohol 6 bulan didapatkan fungsi ventrikel kirinya
secara signifikan membaik dan didapatkan penurunan cardiothoracic ratio pada CXR. Begitu
juga dengan merokok dari data observasional mendukung bahwa merokok berhubungan dengan
meningkatnya mortalitas pada pasien gagal jantung dan meningkatnya angka readmisi
dibandingkan dengan yang tidak merokok.
2.8.2 Tatalaksana Farmakologik
1. Ivapradin
Ivapradine adalah obat yang menghambat channel 1-f pada nodus sinus. Efek farmakologi yang
diketahui adalah untuk melambatkan denyut jantung dengan pasien irama sinus. Pemberian
ivapradine direkomendasikan pada pasien yang telah menerima terapi beta blocker tetapi denyut
jantungnya masih diatas 70 kali permenit. Ivabradine secara signifikan menurunkan angka
kematian dan hospitalisasi dan memburuknya gagal jantung.
2. Angiotensin Reseptor Blocker (ARB)
Angiotensin II dapat diinhibisi dengan jalan lain selain ACE, ARB menginhibisi lebih
lengkap RAAS melalui blokade dari receptor angiontensin II . ARB tidak memiliki efek pada
peningkatan serum bradikinin. Hasil hemodinamik efek dari ARB pada gagal jantung sama
33
dengan ACEI dan studi menunjukkan ARB tidak lebih superior dibandingkan ACEI dalam hal
angka harapan hidup. Sehingga ARB diberikan pada pasien dengan gagal jantung yang tidak bisa
mentoleransi ACEI ( akibat efek samping batuk ACEI). Pemberian ARB sebagai alternatif dari
ACEI termasuk klas Ia dalam guidline ESC 2012 diberikan pada pasien dengan EF < 40%.
Mulai dengan dosis rendah. Jika terjadi peningkatan K lebih dari 5.5 mmol/1 atau kreatinin
meningkat 100% dari baseline atau diatas 310 mikromol/ arb harus di stop.
3. Diuretik
Walaupun tidak secara spesifik ada pada clinical trials, diuretik digunakan saat terjadi
volume overload. Mekanisme dari diuretik adalah dengan memacu eliminasi dari sodium dan air
melalui ginjal. Diuretik menurunkan volume intravaskular dan menurunkan venous return
kejantung. Sebagai hasilnya preload dari LV menurun dan tekanan diastolik menurun sehingga
kongeti paru dapat dihindari. Penggunaan diuretik tidak dengan signifikan menurunkan stroke
volume, karena ventrikel yang gagal berperan pada bagian datar dari kurva Frank starling .
diuretik yang bekerja di loop of Henle (furosemid, torsemid, dan bumetamide) adalah diuretik
kuat dalam gagal jantung. Diuretik thiazide ( hydrochlorothiazida dan metolazone) berguna
tetapi kurang efektif pada saat menurunnya fungsi ginjal. Diuretik yang diberikan dengan
continuous infusion lebih efektif dibandingkan yang diberikan dengan intermitten. Untuk
menambahkan diuresis bisa ditambahkan diuretik jenis lain yang bekerja ditempat yang berbeda
seperti thiazida. Pada pasien yang terganggu fungsi ginjalnya dibutuhkan dosis diuretik yang
lebih tinggi (50-100 mg hydrochlorthiazide dapat diberikan). Pada pasien gagal jantung
penggunaan diuretik yang berlebihan akan menghasilkan menurunnya cardiac output, gangguan
elektrolit ( seperti hipokalemia dan hipomagnesemia) yang dapat menyebabkan aritmia.
4. ACE inhibitor ( ACEI)
ACE inhibitor menhambat produksi angiotensin II yang menyebabkan vasokontriksi pada
pasien gagal jantung. Karena tingkat aldoteron turun sebagai efek dari ACEI, eliminasi sodium
terfasilitasi yang menyebabkan menurunnya volume intravaskular dan meningkatnya perbaikan
gejala kongetif paru dan sistemik. ACE inhibitor juga meningkatkan bradikinin di sirkulasi yang
juga berkontribusi untuk vosodilatasi pada pasien gagal jantung. Hasil dari efek ini adalah
membatasi remodelling ventrikel yang berlebihan pada pasien gagal jantung kronis dan infark
34
miokard akut. ACEI termasuk kelas Ia dalam rekomendasi dari ESC 2012 dan diberikan pada
pasien dengan EF< 40%. Keuntungan dari efek hemodinamik dan blok dari neurohormonal
ACEI , banyak penelitian klinis menunjukkan obat ini menurunkan gejala gagal jantung,
meningkatkan stamina dan dan yang sangat penting menambah angka kehidupan pada pasien
dengan fungsi EF yang turun. ACEI merupakan terapi lini I untuk pasien dengan disfunsi sistolik
ventrikel kiri.
Salah satu studi baru menunjukkan bahwa penggunaan ACEI memperbaiki cardiac index
(CI), menurunkan systemic vascular resistance (SVR) dan menurunkan tekanan darah. Mulai
ACEI dengan dosis rendah (6,25 mg) ditingkatkan perlahan dan tidak diperbolehkan bersamaan
mengkonsumsi NSAID bersamaan dengan ACEI. Jika potasium meningkat lebih dari 5.5 mmol/
atau kreatininmeningkat lebih dari 100%diatas baselina atau diatas 310 mikromol/ 1 ACEI harus
dihentikkan.
5. Beta bloker
Sebelumnya beta blocker dikontraindikasikan pada pasien dengan disfungsi LV karena
efek inotropik negatif yang akan memperburuk gejala. Kebalikannya beberapa studi terbaru
menunjukkan bahwa beta blocker memiliki keuntungan termasuk meningkatkan cardiac output,
menurunkan perburukan hemodinamik, dan meningkatkan kelangsungan hidup. Penjelasan dari
observasi ini masih bersifat dugaan tapi kemungkinan karena efek dari menurunkan denyut
jantung ( menurunkan oksigen demand dan meningkatkan coronary blood flow) dan menurunkan
aktivitas simpatis 9 inhibisi neropinefrin dan epinefrin), dan efek negatif inotropik. Pada
penelitian klinis pasien dengan gagal jantung yang simtomatis dengan penurunan EF, beta
blocker dapat di toleransi bila pasien sudah dalam kondisi stabil( tidak ada volume overload lagi)
memberikan perbaikan angka kematian dan berkurangnya angka hospitalisasi di bandngkan
dengan plasebo. Tidak semua beta blocker di coba yang telah terbukti oleh penelitian
Randomized controlled Trial( RCT) adalah carvedilol ( non selektif beta1- and beta 2-receptor
blocker dengan efek block yang lemah) dan beta -1- selektif metoprolol ( pada sediaan lepas
lambat) . harus dimulai dengan dosis rendah dan ditingkatkan perlahan. Pemberian beta blocker
ditambahkan dengan ACEI merupakan kelas Ia dan diberikan pada pasien dengan EF < 40%.
35
Mulai dengan dosis rendah ( bisoprolol 1.25mg sekali sehari carvedilol 3.125 2xper hari)
ditingkatkan perlahan pada minggu ke 3. Jika didapatkan HR < 50X / menit kurangi dosis
menjadi setengahnya atau jika semakin memburuk stop pemberian beta blocker.
6. Aldosteron Antagonis
terbukti bahwa ekses dari aldosteron yang kronis pada gagal jantung menyebabkan
fibrosis cardiac yang berlawanan dengan ventrikuler remodelling. Antagonis dari hormon ini
menunjukkan keuntungan pada pasien gagal jantung. Contohnya pada studi RALES pada pasien
dengan gagal jantung lanjut yang telah memakai ACEI dan diuretik, aldosterone receptor
antagonist spironolactone secara substansial menurunkan angka mortalitas dan memperbaiki
gejala gagal jantung. Eplenenone pada studi EPHESUS menunjukkan angka perbaikan harapan
hidup pada pasien gagal jantung setelah infark miokard akut. Walaupun antagonis aldosteron
ditoleransi dengan baik dalam beberapa studi, serum potasium harus dimonitor untuk mencegah
terjadinya hiperkalemia, khususnya pada fungsi ginjalnya terganggu atau kombinasi terapi
dengan ACEI. Dalam pedoman ESC 2012, pemberian antagonis aldosteron dapat ditambahkan
pada pasien gagal jantung dengan EF < 35% dengan KELAS Ia. Mulai dengan dosis rendah (25
mg/hari). Jika terdapat peningkatan K > 6 mmol/ 1 stop antagonis aldosteron.
7. Vosodilator
Senyawa amin simpatomimetik seperti dopamin dan dobutamin dapat digunakan dalam
penatalaksanaan gagal jantung. Senyawa ini merupakan agonis beta1 selektif yang dapat
meningkatkan curah jantung dan menurunkan tekanan pengisian ventrikel.
- efek inotropik positif
- efek vasodilator yang dapat menurunkan afterload
Efek dopamin sangat tergantung dosis:
- dosis rendah (0,5-3 ug/kg/menit) menyebabkan vasodilatasi dan meningkatkan diuresis
- dosis sedang (3-10 ug/kg/menit) menyebabkan peningkatan kontraktilitas jantung dan
detak jantung
- dosis tinggi (10-20 ug/kg/menit) menyebabkan vasokonstriksi perifer dan meningkatkan
tekanan darah.
36
Obat ini harus dihindari penggunaannya pada pasien AMI dan hipotensi14.
8.Terapi vasodilator
A. Antagonis kalsium
Antagonis kalsium dikontraindikasikan pada gagal jantung karena memiliki efek inotropik
negatif yang dapat memperburuk gejala gagal jantung. Amlodipin merupakan satu-satunya
antagonis kalsium yang dapat menurunkan mortalitas pada gagal jantung.
B. Senyawa nitrat dan donor nitrit oksida
Nitroprusid bekerja menyebabkan relaksasi otot polos secara langsung dan kemudian
mengurangi afterload dan preload. Pengurangan dalam afterload menimbulkan peningkatan
curah jantung17.
Keterbatasan penggunaan nitroprusid yang utama adalah adanya kondisi hipotensi. Karena
itu penggunaannya dikontraindikasikan pada pasien dengan infark miokard akut. Pada saat
memberikan nitroprusid, sebaiknya dilakukan monitoring tekanan darah intra arteri.
C. Hidralazine dan isosorbide dinitrate (H-ISDN)
Pengobatan dengan H-ISDN dapat dipertimbangkan untuk menurunkan risiko kematian
(Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B), angka masuk rumah sakit untuk perburukan
gagal jantung (Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti B) dan memperbaiki fungsi ventrikel
dan kapasitas latihan (Kelas Rekomendasi IIa, Tingkat Bukti A).
Pasien yang seharusnya mendapatkan H-ISDN
- Pengganti ACEI/ARB dimana keduanya tidak dapat ditoleransi
- Sebagai tambahan terhadap pengobatan dengan ACEI jika ARB atau antagonis
aldosteron tidak dapat ditoleransi atau gejala menetap walaupun sudah mendapatkan terapi
ACEI, ARB, BB, dan antagonis aldosteron.
Memulai pemberian H-ISDN :
Pertimbangkan peningkatan dosis setelah 2-4 minggu. Jangan meningkatkan dosis pada
hipotensi yang simtomatis.
37
D. Nitrogliserin intravena
Nitrogliserin bekerja dengan mengurangi preload. Terapi dengan nitrogliserin merupakan
terapi dengan kerja cepat yang efektif dan dapat diprediksi hasilnya dalam mengurangi
preload. Data menunjukkan bahwa nitrogliserin intravena juga dapat mengurangi afterload.
Oleh karena itu, nitrogliserin intravena merupakan terapi tunggal yang baik untuk pasien
dengan gagal jantung dekompensasi berat.
9. Peptida natriuretik
Peptida natriuretik sebagai senyawa ideal bagi terapi gagal jantung. Senyawa peptida ini
bekerja menyebabkan :
- Natriuresis.
- Diuresis.
- Dilatasi vena dan arteri.
- Penghambatan sistem saraf simpatis.
- Antagonis protein pada rantai RAAS.
- Penghambatan kontriksi otot polos vaskular.
10. Trombolitik
A. Antiplatelet
Penggunaan antiplatelet pada gagal jantung masih diperdebatkan. Aspirin memperlihatkan
perburukan gagal jantung berdasarkan pada proses penghambatan prostaglandin. Penelitian
lain memperlihatkan bahwa efikasi ACEI dapat menurun jika diberikan bersamaan dengan
aspirin18.
Warfarin (atau antikoagulan oral alternatif) direkomendasikan pada penderita dengan gagal
jantung dengan AF yang permanen, persisten atau paroksismal tanpa kontraindikasi terhadap
antikoagulan. Penyesuaian dosis antikoagulan menurunkan risiko komplikasi tromboemboli
termasuk stroke (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A).
B. Antikoagulan
Antikoagulan seperti warfarin diindikasikan pada pasien gagal jantung dengan:
38
- Fibrilasi atrial
- Riwayat tromboembolik
- Trombus pada ventrikel kiri
Warfarin (atau antikoagulan oral alternatif) direkomendasikan pada penderita dengan gagal
jantung dengan AF yang permanen, persisten atau paroksismal tanpa kontraindikasi terhadap
antikoagulan. Penyesuaian dosis antikoagulan menurunkan risiko komplikasi tromboemboli
termasuk stroke (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti A). Antikoagulan juga
direkomendasikan pada penderita dengan trombus intrakardiak yang dideteksi dengan
imaging atau bukti emboli sistemik (Kelas Rekomendasi I, Tingkat Bukti C).
Tabel 9. Dosis obat yang umumnya dipakai pada gagal jantung
Obat Dosis awal Dosis target
ACEI
Captopril 3 x 6,25 mg 3 x 50-100 mg
Enalapril 2 x 2,5 mg 2 x 10-20 mg
Lisinopril 1 x 2,5 – 5 mg 1 x 10 – 20 mg
Ramipril 1 x 2,5 mg 2 x 5 mg
Trandolapril 1 x 0,5 mg 1 x 4 mg
ARB
Candesartan 1 x 4 - 8 mg 1 x 32 mg
Valsartan 2 x 40 mg 2 x 160 mg
Beta bloker
Bisoprolol 1 x 1,25 mg 1 x 10 mg
Carvedilol 2 x 3,125 mg 25-50 mg
Metoprolol succinat 1 x 12,5 – 25 mg 200 mg
39
Nebivolol 1 x 1,25 mg 1 x 10 mg
Hidralazin – ISDN
Hidralazin – ISDN 3 x 37, 3 x 75-40 mg
Antagonis aldosteron
Eprlerenone 1 x 25 mg 1 x 50 mg
Spironolakton 1 x 25 mg 1 x 25 – 50 mg
2.8.3. Alat dan Pembedahan
Prosedur revaskularisasi, pembedahan valvular dan ventricular, jika simtom klinis dari gagal
jantung muncul, kondisi koreksi secara bedah harus dideteksi dan dilakukan jika ada indikasi.
1. Revaskularisasi pada pasien dengan gagal jantung
CABG atau PCI harus diperimbangkan pada pasien gagal jantung dengan CAD
terseleksi. Keputusan pilihan metode revaskularisasi harus berdasarkan pada evaluasi mendetil
terhadap faktor komorbiditi, risiko prosedur, anatomi koroner dan bukti dari ekstensi
miokardium yang maíz viable pada daerah yang akan direvaskularisasi, fungsi ventrikel kiri dan
keberadaan dari penyakit katup.
2. Operasi katup
Aortik stenosis
Direkomendasikan pada pasien yang sesuai dengan simtom gagal jantung dan aortic stenosis
berat. Durekomendasikan pada psien asimtomatis dengan AS dan perburukan LVEF (<50%).
Dapat dipertimbangkan pada pasien dengan area katup yang tereduksi berat dan disfungsi
ventrikel kiri.
40
Aortik regurgitasi (AR)
Pembedahan direkomendasikan pada pasien yang sesuai dengan AR berat yang mempunyai
simtom gagal jantung. Direkomendasikan pada pasien asimtomatis dengan AR berat dan
perburukan sedang dari LVEF (<50%)
Mitral regurgitasi
Pembedahan direkomendasikan pada pasien dengan LVEF > 30% (perbaikan katup jika
memungkinkan) Dapat dipertimbangkan pada pasien terseleksi dengan fungsional MR berat dan
fungsi ventrikel kiri terdepresi berat, yang tetap mempunyai simtom walaupun pengobatan
medikal sudah optimal.
Regurgitasi Trikuspid
TR fungsional sangat biasa pada pasien gagal jantung dengan dilatasi biventrikular, disfungsi
sistolik dan hipertensi pulmoner.
3. Cardiac Resynchronization Therapy (CRT)
CRT-P direkomendasikan untuk mengurangi morbiditi dan mortaliti pada pasien NYHA kelas
III-IV yang simptomatik meski dengan terapi medikamentosa optimal, yang memiliki penurunan
fraksi ejeksi (LVEF 35%) dan pemanjangan QRS (lebar QRS 120 ms). CRT dengan fungsi
defibrilator (CRT-D) direkomendasikan untuk mengurangi morbiditi dan mortaliti pada pasien
NYHA kelas III-IV yang simptomatik meski dengan terapi medikamentosa optimal, yang
memiliki penurunan fraksi ejeksi (LVEF 35%) dan pemanjangan QRS.
41
4. Implantable cardioverter defibrilator (ICD)
Terapi ICD untuk pencegahan sekunder direkomendasikan pada survivors VF dan juga pasien
dengan VT tak stabil terdokumentasi dan atau VT dengan sinkop, LVEF 40%, dalam terapi
medikamentosa optimal dan dengan harapan hidup dengan status fungsional yang baik lebih dari
1 tahun.
Terapi ICD untuk pencegahan primer direkomendasikan untuk mengurangi mortaliti pada pasien
dengan disfungsi ventrikel kiri karena memiliki fraksi ejeksi 35%, NYHA II-III, menerima terapi
medikal optimal dan memiliki harapan survival dengan status fungsional yang lebih baik dari 1
tahun.
Terapi ICD untuk pencegahan primer direkomendasikan untuk mengurangi mortaliti pada pasien
kardiomiopati non iskemik dengan LVEF 35%, NYHA II-III, menerima terapi medikal optimal
dan memiliki harapan survival dengan status fungsional yang lebih baik dari 1 tahun.
2.9 KOMPLIKASI
Gejala gagal jantung dapat terjadi dalam berbagai derajat beratnya penyakit. Pada infark
miokard akut, gangguan jantung telah dengan mudah dan bermanfaat diklasifikasikan oleh Killip
dalam empat kelas : I, tidak ada kegagalan; II, kegagalan ringan sampai sedang; III, edema
pulmonal akut; dan IV, syok kardiogenik.
Pada awalnya, kegagalan ringan (Killip kelas II) dan kronik sering dicirikan dengan S3,
peningkatan frekuensi jantung (biasanya irama sinus), dan kemungkinan crackles halus pasca
batuk rejan (rale) pada dasar paru. Selain itu, bukti kongesti vaskular pulmonal (sering tanpa
edema pulmonal) sering terlihat pada ronsenogram dada, dan distrimia mungkin ada : kontraksi
atrium prematur, fibrilasi atrium, flutter atrium, takikardia atrium peroksismal, dan irama
pertemuan. Pasien mungkin merasa nyaman pada istirahat atau mengalami gejala curah jantung
rendah atau kongesti vaskular pulmonal. Gejala-gejala meningkat pada aktivitas.
Edema pulmonal akut (Killip kelas III) adalah situasi yang mengancam hidup yang
dicirikan oleh transudasi cairan dari kapiler pulmonal ke dalam area alveolar, dengan akibat
dispnea ekstrem dan ansietas. Perawatan segera diperlukan untuk menyelamatkan hidup pasien.
42
Syok kardiogenik (Killip kelas IV) adalah sindroma kegagalan memompa yang paling
mengancam dan dihubungkan dengan mortalitas paling tinggi, meskipun dengan perawatan yang
agresif. Syok kardiogenik diketahui secara klinis melalui :
- Tekanan sistolik darah kurang dari 80 mmHg (sering tidak dapat diukur)
- Nadi lemah yang sering cepat
- Kulit pucat, dingin, dan berkeringat yang sering kali sianosis
- Gelisah, kekacauan mental, dan apatis
- Kemungkinan perubahan status mental
- Penurunan atau tak adanya haluaran urin
Manifestasi syok ini menunjukkan ketidakadekuatan jantung sebagai pompa dan
biasanya menunjukkan kerusakan dalam jumlah besar dari otot jantung (40% atau lebih massa
ventrikel kiri).
Pada beberapa pasien dengan hipertensi arteri jangka panjang bermakna akan
mempunyai manifestasi syok kardiogenik pada tekanan normal secara relatif. Orang ini
memerlukan tekanan tinggi untuk perfusi organ vital dan mempertahankan viabilitas.
Pengetahuan tentang riwayat tekanan darah sebelumnya adalah pengenalan yang sangat penting
terhadap pasien. Tidak semua situasi klinis syok kardiogenik dihubungkan dengan curah jantung
tidak adekuat. Tergantung pada perubahan situasi, seperti demam, curah jantung kadang-kadang
mungkin normal atau bahkan meningkat.
Kegagalan untuk menurunkan mortalitas unit perawatan koroner di bawah 10% sampai
20% adalah karena secara besar hanya bentuk perbaikan dalam penatalaksanaan dan mortalitas
sindrom kegagalan memompa berat, khususnya syok kardiogenik. Laju mortalitas untuk syok
kardiogenik masih pada 81%, dan lebih dari sepertiga kasus ini ditemukan pada dokumen autopsi
pembuluh koroner mayor, atau kerusakan struktur miokard berat.
43
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Gagal jantung sampai saat ini masih merupakan masalah yang substansial di bidang
kesehatan dan sosial diseluruh dunia. Prevalensi dan insidensi gagal jantung yang semakin
meningkat dari tahun ketahun, mungkin disebabkan karena semangkin meningkatnya angka
harapan hidup manusia, meningkatnya survival penderita dengan gagal jantung dan penderita
dengan gagal jantung koroner. Dengan demikian angka hospitalisasi dan rehospitalisasi penderita
gagal jantung juga semakin meningkat, yang mempengaruhi kualitas hidup penderita serta
menambah beban ekonomi penderita tersebut.
Untuk memperhambat epidemi global ini, langkah pencegahan merupakan hal yang
sangat penting untuk dilakukan. Dengan meningkatnya pengetahuan mengenai faktor resiko
gagal jantung maka kita dapat melakukan modifikasi terhadap faktor risiko tersebut sehingga
dapat mengurangi insidensi gagal jantung.
Gagal jantung merupakan suatu kondisi yang telah diketahui selama berabad-abad tahun
lamanya, dengan prevalensi yang tinggi dan diperkirakan akan terus meningkat. Namun
penelitian tentang epidemiologi sulit dilakukan, karena tidak adanya definisi tunggal tentang
adanya penyakit gagal jantung. Hal ini juga berdampak pada banyaknya variasi etiologi gagal
jantung di berbagai negara.
Sebuah definisi yang baik dan diterima secara universal akan membuat konseptualisasi
yang lebih baik dari proses etiologi gagal jantung, dan ini akan menyebabkan pendekatan yang
lebih rasional untuk manajemen gagal jantung.
Jalan terbaik untuk mencegah terjadinya gagal jantung adalah mengobati faktor resiko
mayor termasuk hipertensi, diabetes, PJK, sindroma metabolik sesuai dengan pedoman yang
sudah ada.
44
DAFTAR PUSTAKA
1) Aminuddin,Muhammad.2013. Gagal Jantung Manajemen Komprehensif. Surabaya :
Departemen /SMF Kardiologi dan Kedokteran Vasculer Universita Airlangga-RSUD
DR.Soetomo.
2) Mansjoer, Arif dkk. 2009. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
3) Price, Sylvia A. dan Lorraine M. Wilson. 2006. Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran.
4) Sudoyo, Aru W dkk. 2006. Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
5) Hermawan, Guntur.2006. Bed Side Teaching Ilmu Penyakit Dalam. Solo : Fakultas
Kedokteran Universitas Sebelas Maret.
45