DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

56
DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS PADA ANJING DI MAKASSAR PET CLINIC TUGAS AKHIR TRESIATY ORIZA O12116012 PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS HASANUDDIN 2017

Transcript of DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

Page 1: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS PADA ANJING DI MAKASSAR PET CLINIC

TUGAS AKHIR

TRESIATY ORIZA O12116012

PROGRAM PENDIDIKAN PROFESI DOKTER HEWAN

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

2017

Page 2: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

ii

DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS PADA ANJING DI MAKASSAR PET CLINIC

Tugas Akhir Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Dokter

Hewan

Disusun dan Diajukan Oleh:

TTD

Tresiaty Oriza O12116001

Program Pendidikan Profesi Dokter Hewan

Fakultas Kedokteran

Universitas Hasanuddin

2017

Page 3: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

iii

Page 4: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

iv

PERNYATAAN KEASLIAN

1. Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Tresiaty Oriza NIM : O121 16 012 Menyatakan dengan sebenarnya bahwa : a. Karya tulis ilmiah saya adalah asli. b. Apabila sebagian atau seluruhnya dari karya tulis ini, terutama dalam bab

hasil dan pembahasan, tidak asli atau plagiasi, maka saya bersedia dibatalkan dan dikenakan sanksi akademik yang berlaku.

2. Demikian pernyataan keaslian ini dibuat untuk dapat digunakan seperlunya.

Makassar,

Tresiaty Oriza

Page 5: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

v

Prakata

Syalom, segala puji syukur penulis panjatkan hanya kepada Tuhan Yesus Kristus yang telah memberikan hikmat dan kasih karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah yang berjudul “Diagnosa dan Penanganan Kasus Leptospirosis pada Anjing di Makassar Pet Clinic”. Proses penyusunan karya tulis ilmiah ini merupakan sebuah proses dan perjalanan panjang yang tidak lepas dari dukungan banyak pihak, sehingga pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. dr. Andi Asadul Islam, Sp. Bs, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin.

2. Dr. Drh Dwi Kesuma Sari, selaku Ketua Prodi Pendidikan Profesi Dokter Hewan, Fakultas Kedokteran Universitas Hasanuddin atas bimbingan dan arahan yang telah diberikan selama proses koasistensi berlangsung.

3. Drh. Wa Ode Santa Monica, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, semangat dan nasihat bagi penulis dan teman-teman bimbingan selama proses penyusunan karya tulis ilmiah ini.

4. Ayahanda terhebat Alm. Daud, SE. dan Ibunda terkasih Ludia Bombing yang saya banggakan, Drh. Ini trezya persembahkan buat papa mama, terima kasih buat cinta, kasih dan setiap dukungan materi serta doa papa mama. Juga buat adik-adik terkasih Oscar Paul S.Kom, Olda Asthree Dia Amd, S.Kep dan Onan Bombing yang selalu memberikan dukungan, doa, kasih sayang sehingga penulis mampu menyelesaikan karya tulis ini.

5. Seluruh staf Dosen dan Pegawai di PPDH FK UNHAS dan PSKH FK UNHAS yang telah banyak membantu dalam pengurusan berkas dan kelangsungan koasistensi selama di PPDH.

6. Teman angkatan PPDH UNHAS 2016 “Harmony” yang bersama-sama menempuh pendidikan di koasistensi PPDH FK UNHAS yang senantiasa menghadirkan canda tawa disetiap perjalanan koasistensi serta semangat saat penyusunan karya tulis ilmiah ini. Spesial bagi Sanggara Squad, Dian Fatmawati, Christin Lupita Dengen, Ita Masita, Andi Putri Febrianti, Vivi Andriaty, Asnelly Asri, Priskha Florancia Pirade, dan Elvi Susanti we get it guys!

7. Keluarga besar Gereja Mawar Sharon Makassar terkhusus bagi Gembala terkasih Pdm. Abeth Santoso dan Pdm. Almelia Carolina Taulu, Gembala Prom tercinta Pdm. Febye Saranaung dan setiap partner coach yang ada, Ketua Praise and Worship Department Rocky Rorong dan setiap koordinator yang selalu memberikan semangat dan doa yang tulus sehingga penyusunan karya tulis ilmiah ini boleh selesai. Juga bagi setiap partner di coaching Disciple, Vicha, Yondri, Tirza, Delis, Santi dan semua yang tidak dapat disebut satu persatu, terima kasih untuk doa terbaik dari kalian.

Page 6: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

vi

8. Terakhir bagi partner doa yang terbaik dari Tuhan, kak Gabby, Ce Angel dan Vina. I thank God to send them for me. Terima kasih untuk semuanya!

Penulis sadar tulisan ini jauh dari kesempurnaan, namun penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat untuk kemajuan ilmu pengetahuan.

Makassar, 18 Desember 2017

Tresiaty Oriza

Page 7: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

vii

ABSTRAK

TRESIATY ORIZA (O 121 16 012) “Diagnosa dan Penanganan Kasus Leptospirosis pada Anjing di Makassar Pet Clinic” Di bawah bimbingan

Drh. Wa Ode Santa Monica, M.Si.

Anjing merupakan salah satu hewan peliharaan yang sangat diminati dikalangan masyarakat karena memiliki banyak keunikan sehingga banyak orang yang menjadikannya sebagai hewan peliharaan. Namun pemeliharaan hewan kesayangan tidak akan pernah lepas dari ancaman sakit penyakit, salah satunya yaitu leptospirosis. Leptospirosis adalah penyakit akibat bakteri Leptospira sp. yaitu bakteri gram negatif yang bersifat zoonosis atau dapat ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya. Kejadian leptospirosis dapat meningkat pada saat curah hujan tinggi dan lingkungan yang banyak genangan air. Karya tulis ini bertujuan untuk mengetahui cara diagnosa dan penanganan yang tepat terhadap kasus leptospirosis pada anjing. Seekor anjing bernama Loki, ras Akita Japanese, berumur 1 tahun dengan berat badan 26 kg, suhu 39,4°C (normal: 37.8 oC-39.5oC), anamnesis mengalami diare berdarah dan vomit >3 kali dengan cairan berwarna kekuningan dan pernah menangkap seekor tikus. Pemeriksaan fisik dilakukan dengan inspeksi dan palpasi pada bagian tubuh pasien dan ditemukan kondisi lemas, anorexia, turgor >3 detik dan jaundice hampir diseluruh tubuh pasien. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan laboratorium dan diperoleh pening- katan nilai normal pada WBC (White Blood Cell), GRA (Granulosit) dan PCT (Procalcitonin) sedangkan nilai LYM (limfosit) mengalami penurunan pada pemeriksaan darah rutin. Hasil pemeriksan kimia darah diperoleh kadar urea dan keratitin mengalami peningkatan selain itu hasil USG pada ginjal terdapat gambaran hyperechoid pada medula dan meningkatnya echogenitas pada dinding pembuluh darah di hati. Dari hasil pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan USG diambil diagnosa kausatif yaitu Leptospirosis. Terapi yang diberikan yaitu dengan pemberian antibiotik Crystalline Procaine Penicillin G, dan Ampicillin. Terapi simtomatik juga diberikan dengan pemberian Diaform dan Ondansteron sebagai obat antidiare dan antimuntah. Terapi cairan menggunakan Asering dan terapi suportif dengan pemberian Catosal untuk menigkatkan daya tahan tubuh.

Kata kunci : Leptospirosis, Anjing, Jaundice.

Page 8: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

viii

ABSTRACT

TRESIATY ORIZA (O 121 16 012) "Diagnosis and Treatment of Leptospirosis Case in Dogs at Makassar Pet Clinic" Supervised by

Drh. Wa Ode Santa Monica, M.Si.

Dogs are one of the most popular pets among people because it has a lot of uniqueness. However, these pets never escape from the threat of illness. One of the important diseases is Leptospirosis. Leptospirosis is a bacterial disease that cause by Leptospira sp. which is a gram-negative bacteria. Leptospirosis is a zoonotic disease that can be transmitted from animals to humans or vice versa. The incidence of Leptospirosis usually increased during high rainfall and inundated environments. The aim of this study is to find out ways to diagnose and treatment for the case of Leptospirosis in dogs. Loki is a 1 year old, Akita Japanese race dog weighing about 26 kg. The temperature was 39.4°C (normal: 37.8oC-39.5oC) and have a history of bloody diarrhea and vomit >3 times with yellowish liquid and caught a mouse. Upon physical examination, Loki having weakness, anorexia with skin tent >3 seconds and generalise jaundice. The complete blood count shows normal values of WBC (White Blood Cell), GRA (Granulocyte) and PCT (Procalcitonin) but the LYM (lymphocyte) values were decreased. Furthermore, the serum biochemistry shows urea and creatinine levels were increased. The ultrasound were done and revealed that the medulla of the kidney is hyperechoid and increased in echogenicity of the blood vessel wall in the liver. Therefore, based on the laboratory result and ultrasound examination that were done shows the final diagnosis of Leptospirosis. The treatment that was given was Crystalline Procaine Penicillin G and Ampicillin that act as antibiotics. Diaform and Ondansteron that act as antidiarrheal and antiemetics drugs. Besides, Asering was administered as fluid therapy and catosal was administered as a supportive therapy to boost the immune system.

Keywords: Leptospirosis, dog, jaundice

Page 9: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL DALAM ..................................................... i LEMBAR PENGESAHAN .............................................................. ii SURAT PERNYATAAN .................................................................. iii PRAKATA .......................................................................................... iv ABSTRAK .......................................................................................... v ABSTRACT ........................................................................................ vii DAFTAR ISI ...................................................................................... viii DAFTAR TABEL ............................................................................. x DAFTAR GAMBAR .......................................................................... xi DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................... xii

BAB I. PENDAHULUAN ........................................................................ 1 1.1 Latar Belakang .......................................................................... 1 1.2 Rumusan Masalah ..................................................................... 1 1.3 Tujuan Kegiatan ........................................................................ 2 1.4 Manfaat Kegiatan ...................................................................... 2 1.5 Keaslian Penulisan .................................................................... 2

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA .............................................................. 3 2.1. Anjing ....................................................................................... 3

2.1.1. Program Vaksin Anjing ..................................................... 4 2.1.2. Anatomi dan Fisiologi Hati dan Ginjal Anjing ................ 5

2.2. Leptospirosis ........................................................................... 8 2.2.1. Pengertian ...................................................................... 8 2.2.2. Etiologi .......................................................................... 9 2.2.3. Pathogenesis .................................................................. 9 2.2.4. Gejala Klinis ................................................................... 12 2.2.5. Epidemiologi dan Penyebaran ........................................ 14 2.2.6. Cara Penularan .............................................................. 15 2.2.7. Diagnosis ....................................................................... 15 2.2.8. Prognosis ........................................................................ 22 2.2.9. Terapi ............................................................................. 22

BAB III. METODE KEGIATAN ............................................................ 25

3.1. Tempat dan Waktu Kegiatan ................................................ 25 3.2. Alat yang Digunakan ............................................................. 25 3.3. Bahan yang Digunakan .......................................................... 25 3.4. Prosedur Kegiatan .................................................................. 25

3.4.1. Pemeriksaan umum ...................................................... 25 3.4.2. Pemeriksaan lanjutan .................................................... 25 3.4.3. Observasi Pasien........................................................... 26

Page 10: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

x

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN.................................................. 27 4.1. Signalemen Fisik ................................................................... 27 4.2. Anamnesis .............................................................................. 27 4.3. Status Present ......................................................................... 27 4.4. Pemeriksaan Lanjutan ............................................................ 29 4.5. Diagnosa ................................................................................ 33 4.6. Pengobatan ............................................................................. 33 4.7. Edukasi Klien ......................................................................... 34

BAB V. PENUTUP .................................................................................... 36

5.1. Kesimpulan ........................................................................... 36 5.2. Saran ...................................................................................... 36

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 37 LAMPIRAN........................................................................................ 40 RIWAYAT HIDUP ............................................................................ 43

Page 11: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

xi

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman 1 Program Vaksinasi Anjing............................................................... 4 2 Nilai Biokimiawi Darah Anjing ...................................................... 17 3 Hasil Pemeriksaan Darah Pasien ..................................................... 29 4 Hasil Pemeriksaan Kimia Darah...................................................... 31

Page 12: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1 Anjing ............................................................................................ 3 2 Anatomi Hati ................................................................................. 6 3 Anatomi Ginjal .............................................................................. 8 4 Bakteri Leptospira ......................................................................... 9 5 Pathogenesis Leptospira ................................................................. 11 6 Pathogenesis Leptospira Berdasarkan Antibodi............................. 12 7 Siklus Penularan Leptospira pada Hewan dan Manusia ................ 15 8 USG pada Midsagitta Ginjal Kiri ................................................... 19 9 Sonogram Hati Kasus Hepatitis ..................................................... 19 10 Sonogram Kasus Kongesti Hati .................................................... 20 11 Temuan Klinis pada Pasien ........................................................... 29 12 USG Ginjal Pasien dan Anjing Normal ......................................... 32 13 Hasil Pemeriksaan USG Hepar Pasien .......................................... 33

Page 13: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman 1 Pathogenesis Leptospirosis ............................................................ 40 2 Metabolisme Bilirubin .................................................................. 41 3 Pemeriksaan Kimia Darah.............................................................. 42 4 Pemeriksaan CBC Darah................................................................ 42

Page 14: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

1

BA B I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anjing merupakan salah satu hewan peliharaan yang sangat diminati dikalangan masyarakat karena memiliki banyak keunikan sehingga banyak orang menjadikannya sebagai hewan peliharaan. Namun pemeliharaan hewan kesayangan tidak akan pernah lepas dari ancaman sakit penyakit. Banyak penyakit yang dapat menyerang hewan kesayangan seperti anjing, salah satunya yaitu leptospirosis.

Leptospirosis adalah penyakit akibat bakteri Leptospira sp. yang dapat ditularkan dari hewan ke manusia atau sebaliknya (zoonosis). Leptospirosis pada manusia dikenal juga dengan nama Penyakit Weil, Demam Icterohemorrhagiae, Penyakit Swineherd’s, Demam pesawah (Ricefield fever), Demam Pemotong tebu (Cane-cutter fever), Demam Lumpur, Jaundis berdarah, Penyakit Stuttgart, Demam Canicola, penyakit kuning non virus, pada anak sapi disebut sebagai penyakit air merah, dan tifus anjing. Penyakit ini pertama kali dilaporkan pada tahun 1886 oleh Adolf Weil dengan gejala panas tinggi disertai beberapa gejala saraf serta pembesaran hati dan limpa. Penyakit dengan gejala tersebut di atas oleh Goldsmith (1887) disebut sebagai Weil’s Disease. Pada tahun 1915 Inada berhasil membuktikan bahwa “Weil’s Disease” disebabkan oleh bakteri Leptospira icterohemorrhagiae. Penyakit ini merupakan penyakit infeksi yang bersifat umum pada berbagai spesies hewan peliharaan. Leptospirosis juga ditemukan pada berbagai hewan liar, terutama pada binatang pengerat, yang biasanya berlaku sebagai hewan pembawa penyakit seperti tikus.

Penyakit ini mempunyai arti penting ditinjau dari segi ekonomi peternakan dan kesehatan masyarakat. Kejadian leptospirosis di Indonesia telah dilaporkan sejak jaman Hindia Belanda dan secara epidemiologi telah dilaporkan diberbagai tempat di Jawa dan Bali. Penyebaran leptospirosis sangat luas di berbagai wilayah di dunia terutama di daerah beriklim tropis seperti Indonesia serta bersifat zoonotik. Leptospira banyak menginfeksi hewan ternak, hewan liar, maupun manusia. Hewan yang terinfeksi termasuk tikus, tupai, hewan ternak seperti sapi, kambing, domba, dan babi. Leptospira juga menyerang hewan kesayangan seperti anjing dan kucing serta beberapa hewan liar contohnya anjing hutan, monyet, rubah, dan sigung (Rad et al., 2004).

Kejadian Leptospirosis menurut menurut hasil penelitian dari Kusmiyati et al,. (2005). Selama tiga tahun (2002-2004) rata-rata pada sapi 16,48%, babi 1,4%, anjing 24,60%, kucing 25,93%, tikus 25,82% dan manusia 12,33%. Serovar yang berhasil ditemukan yaitu serovar hardjo, tarrasovi, pomona, australis, rachmati, dan bataviae. Resiko tertinggi leptospirosis pada anjing, adalah anjing anakan atau puppies dikarenakan daya tahan tubuh yang relatif lebih lemah dan sistem kekebalan tubuh yang belum cukup menyebabkan mudahnya bakteri masuk ke dalam tubuh anjing. Anjing biasanya akan terkena kontak dengan bakteri leptospira dalam air yang terinfeksi, tanah, atau lumpur, saat berenang, melewati, atau minum air yang terkontaminasi, atau dari kontak dengan urine dari hewan yang sudah terinfeksi. Peningkatan risiko tertular bakteri leptospira dapat terjadi dialam liar

Page 15: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

2

seperti pada anjing pemburu, anjing yang teinggal di area perhutanan ataupun peternakkan.

Melihat resiko yang dapat ditimbulkan akibat terinfeksi penyakit tersebut maka diperlukan pengetahuan tentang bagimana cara diagnosa dan penanganan penyakit leptospira pada hewan peliharaan khususnya pada anjing agar dapat segera dilakukan penanganan dan pengobatan apabila benar hewan peliharaan kita terinfeksi bakteri leptospira.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka masalah yang dapat dirumuskan dari karya tulis ini adalah bagaimana diagnosa dan penanganan kasus terhadap kasus leptospirosis pada anjing.

1.3 Tujuan

Tujuan dari karya tulis ini untuk mengetahui cara diagnosa dan penanganan kasus leptospirosis pada anjing.

1.4 Manfaat Penulisan

Manfaat dari penulisan karya tulis ini diharapkan mahasiswa calon dokter hewan dapat mendiagnosa penyakit leptospirosis pada anjing dan mampu melakukan pengobatan dan penanganan dengan benar. Selain itu diharapkan karya tulis ilmiah ini dapat menjadi tambahan bahan kepustakaan.

1.5 Keaslian

Karya tulis ilmiah dengan judul “Diagnosa dan penanganan kasus leptospirosis pada anjing di Makassar Pet Clinic” belum pernah dilakukan sebelumnya.

Page 16: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anjing

Anjing diperkirakan pertama kali hidup di Asia kemudian bermigrasi ke seluruh benua terutama benua Amerika, yaitu pada saat daratan Eurasia belum terpisah dari daratan Amerika (Puja, 2011). Menurut Savolainen et al., (2002) variasi genetik lebih banyak ditemukan di Asia Timur dari pada di daerah lain sehingga domestikasi anjing terjadi di Asia Timur sekitar 15.000 tahun yang lalu. Anjing memiliki klasifikasi taksonomi (Miller, 1993) yang terdiri atas:

Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Class : Mammalia Order : Carnivora Family : Canidae Genus : Canis Species : Canis lupus Subspesies : Canis familiaris

Gambar 1. Anjing (Kriistina, 2015)

Dahulu anjing hanya digunakan manusia sebagai sumber informasi

keberadaan hewan buruan (Jonathan et al., 2003). Anjing memiliki hampir 220 juta sel penciuman yang sensitif terhadap bau. Sebagai pembanding, manusia hanya memiliki 5 juta sel penciuman (David, 1984).

Keuntungan memelihara seekor anjing adalah hubungan emosional antara anjing dan manusia bersifat timbal balik serta perlindungan untuk manusia karena anjing memberikan rasa aman pada majikannya dan dapat berburu (Alex, 2010; Halim, 2012).

Saat ini telah dikenal lebih kurang 400 ras anjing dari ukuran kecil sampai ukuran yang besar. Menurut American Kennel Club (AKC) anjing dikategorikan menjadi grup herding, working, sporting, hound, terrier, toy, dan non-sporting (AKC, 2008). Berdasarkan beratnya anjing dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelas, yakni anjing kelas mini dengan berat badan berkisar antara 10 kg ke bawah. Kelas medium dengan berat dewasa berkisar antara 11-25 kg. Selain

Page 17: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

4

dua kelas di atas, terdapat dua kelas lainnya yakni anjing dengan berat badan berkisar 26-45 kg dan anjing dengan berat badan dewasa berada di atas 45 kg. Kelas ini dikenal dengan kelas besar (large) dan super besar (giant) (Saragih, 2011).

Kondisi kesehatan anjing secara umum dapat dilihat dari pemeriksaan fisik hewan baik secara inspeksi, palpasi maupun auskultasi.Pemeriksaan penunjang yang lebih spesifik yaitu pemeriksaan darah, urin, feses, elektrokardiografi (Bove 2010), radiografi (Guglielmini et al 2009) maupun ultrasonografi (Cutwell et al., 2011). Theresa (2002) menyatakan anjing yang sehat terlihat mata dan anus bersih, respirasi tenang dan teratur, bulu halus bercahaya dan bersih, kulit kering dan lembut, kelenjar getah bening tidak ada pembengkakan dan simetris, hidung sedikit basah dan kering, pulsus teratur, gigi putih tanpa plak dan gusi berwarna merah mudah dan cerah. Menurut Tiley dan Smith (1997) suhu tubuh normal anjing 37,8–39,4˚C, frekuensi pernafasan normal 20-30 per menit dan detak jantung normal 120-140 per menit.

2.1.1 Program Vaksinasi Anjing

Vaksinasi merupakan salah satu cara yang cukup efektif untuk mencegah infeksi penyakit pada hewan kesayangan guna meningkatkan kekebalan tubuh hewan tersebut (Bolin et al., 200; little et al.,1992). Pada kasus leptospirosis, meskipun vaksinasi tidak mencegah atau mengobati infeksi, vaksinasi dapat mengurangi pengeluaran leptospira melalui urin pada anjing (bolin et al., 1989).

Program vaksinasi perlu dilakukan untuk anak anjing yang telah disapih (umur sekitar 7-8 minggu) agar dapat merangsang kekebalan tubuh dari anjing tersebut. Kondisi tubuh anjing pada saat divaksin harus sehat agar tujuan vaksinasi dapat tercapai. Program vaksinasi yang dianjurkan pada anjing adalah sebagai berikut :

Tabel 1 Program Vaksinasi Anjing Umur Program Vaksinasi

6-7 minggu Parvovirus, Distemper, Parainfluenza, Hepatitis

8-11 minggu Parvovirus, Distemper, Parainfluenza, Hepatitis, Leptospirosis

11-12 minggu Parvovirus, Distemper, Parainfluenza, Hepatitis, Leptospirosis, Rabies

1 Tahun Parvovirus, Distemper, Parainfluenza, Hepatitis, Leptospirosis, Rabies

Booster 1 tahun sekali Parvovirus, Distemper, Parainfluenza, Hepatitis, Leptospirosis, Rabies

(Sumber, Yuliarti 2007)

Vaksin leptospirosis komersial untuk anjing berisi Leptospira serovar canicola dan icterohaemorrhagiae (Davol, 2004). Anjing yang sudah divaksin harus memiliki sertifikat vaksinasi yang dikeluarkan oleh dokter hewan yang berwewenang dan mempunyai izin praktek. Vaksinasi pertama masih perlu

Page 18: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

5

diulang setelah 4-8 minggu. Anjing yang baru divaksin sebaiknya tidak berinteraksi dengan anjing lain karena kondisi tubuh masih lemas (Untung, 1999).

2.1.2 Anatomi dan Fisiologi Hati dan Ginjal Anjing a. Hati

Hati adalah organ viseral terbesar dan terletak di bawah kerangka iga (Sloane, 2004). Hepar bertekstur lunak, lentur, dan terletak di bagian atas cavitas abdominalis tepat di bawah diaphragma. Sebagian besar hepar terletak di profunda arcus costalis dextra dan hemidiaphragma dextra memisahkan hepar dari pleura, pulmo, pericardium, dan cor. Hati tersusun atas lobuli hepatis. Hati terdiri atas 4 lobus dan 4 sub lobus yang dipisahkan oleh suatu fissura. Lobus hati kiri merupakan bagian hati yang paling besar. Lobus ini membentuk 1/3 hingga 1/2 dari berat total hati. Sebagian permukaan hati tertutupi oleh lapisan tipis peritonium dan lapisan tipis kapsula fibrosa. Jika dilihat dari dekat maka akan terlihat suatu struktur kecil berbentuk poligonal, berwarna gelap, dan dikelilingi oleh jaringan ikat, yang disebut lobuli. Lobuli hati merupakan struktur fungsional terkecil yang dapat terlihat pada hati. Setiap lobuli memiliki diameter 1 mm dan terdiri atas kumpulan sel berbentuk lembaran melengkung yang dialiri oleh pembuluh darah yang dikenal sebagai sinusoid. Vena centralis pada masing-masing lobulus bermuara ke venae hepaticae. Dalam ruangan antara lobulus-lobulus terdapat canalis hepatis yang berisi cabang-cabang arteria hepatica, vena portae hepatis, dan sebuah cabang ductus choledochus (trias 12 hepatis). Darah arteria dan vena berjalan di antara sel-sel hepar melalui sinusoid dan dialirkan ke vena centralis (Sloane, 2004). Sinusoid pada anjing berbentuk tubular sama seperti bentuk sinusoid pada beberapa mamalia lain. Di setiap bagian tengah lobuli terdapat vena sentralis yang bergabung membentuk vena interlobularis. Vena ini kemudian bergabung dan membentuk vena hepatika. Hati mendapat inervasi dari saraf aferen maupun eferen yang berasal dari saraf simpaticus dari celiac plexus (Evans 1993).

Hati merupakan kelenjar terbesar yang ada di dalam tubuh. Seekor anjing memiliki bobot hati rata-rata sekitar 450 gram. Menurut Guyton & Hall (2008), hati mempunyai beberapa fungsi yaitu: a. Metabolisme karbohidrat

Fungsi hati dalam metabolisme karbohidrat adalah menyimpan glikogen dalam jumlah besar, mengkonversi galaktosa dan fruktosa menjadi glukosa, glukoneogenesis, dan membentuk banyak senyawa kimia yang penting dari hasil perantara metabolisme karbohidrat.

b. Metabolisme lemak Fungsi hati yang berkaitan dengan metabolisme lemak, antara lain: mengoksidasi asam lemak untuk menyuplai energi bagi fungsi tubuh yang lain, membentuk sebagian besar kolesterol, fosfolipid dan lipoprotein, membentuk lemak dari protein dan karbohidrat.

c. Metabolisme protein Fungsi hati dalam metabolisme protein adalah deaminasi asam amino, pembentukan ureum untuk mengeluarkan amonia dari cairan tubuh,

Page 19: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

6

pembentukan protein plasma, dan interkonversi beragam asam amino dan membentuk senyawa lain dari asam amino

d. Lain-lain Fungsi hati yang lain diantaranya hati merupakan tempat penyimpanan vitamin, hati sebagai tempat menyimpan besi dalam bentuk feritin, hati membentuk zat-zat yang digunakan untuk koagulasi darah dalam jumlah banyak dan hati mengeluarkan atau mengekskresikan obat-obatan, hormon dan zat lain.

Gambar 2. Anatomi Hati dan Empedu Anjing (Evans 1993)

Kantung empedu merupakan sebuah struktur berbentuk kantung yang berfungsi menampung cairan empedu yang dihasilkan oleh hati. Epitelium dalam kantung empedu mampu menyerap senyawa yang larut dalam lemak termasuk kolesterol. Kantung empedu terdiri atas tiga bagian, yaitu fundus yang merupakan ujung kranial berbentuk melengkung, corpus (badan kantung empedu), dan 6 collum yang merupakan bentukan ramping menyempit ke arah caudodorsal yang menghubungkan kantung empedu dengan saluran empedu yang disebut ductus cysticus (Evans 1993).

Sistem hepatobilliari merupakan suatu sistem yang terdiri atas dua organ, yaitu hati dan kantung empedu. Kedua organ ini berperan penting dalam tubuh hewan terutama dalam proses pencernaan. Hati dapat berfungsi sebagai kelenjar endokrin dan eksokrin. Cairan empedu merupakan salah satu produk eksokrin dari hati yang disimpan dalam jumlah besar di dalam kantung empedu sebelum dikeluarkan ke duodenum saat diperlukan. Substansi endokrin yang dihasilkan oleh hati akan dilepaskan ke dalam aliran darah yang berfungsi dalam metabolisme lemak, gula, dan beberapa produk nitrogen (Evans 1993). Hati juga berperan dalam proses detoksikasi zat-zat berbahaya yang terserap oleh gastrointestinal sebelum zat-zat tersebut tersebar ke seluruh tubuh melalui aliran darah. Di dalam sinusoid hati terdapat sel-sel fagositik yang mampu menyingkirkan bakteri, racun, sel darah merah yang sudah tua, dan agen-agen

Page 20: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

7

infeksius lain yang mampu menembus dinding saluran gastrointestinal (Bill 2002).

Hati merupakan sumber utama penghasil albumin yang menjadi salah satu komponen penting protein darah. Albumin berperan penting dalam menjaga keseimbangan cairan dalam darah. Penurunan kadar albumin dapat menyebabkan cairan keluar dari kapiler dan mengisi jaringan, rongga thorak, abdomen, maupun bagian lain dari tubuh. Glukosa yang diserap melalui proses pencernaan akan disimpan di hati dalam bentuk glikogen melalui proses glikogenesis. Di dalam hati juga dapat dilakukan proses glukoneogenesis yaitu proses mengubah asam amino menjadi glukosa (Bill 2002).

b. Ginjal

Ginjal merupakan organ yang berbentuk seperti kacang merah dengan panjang sekitar 10-13 cm, lebarnya 6 cm, berwarna merah dan berat kedua ginjal kurang dari 1% berat seluruh tubuh atau beratnya antara 120-150 gram dan setiap sekitar 20-25% darah yang dipompa jantung mengalir menuju ginjal (Evelyn Pearce, 2006). Ginjal terletak pada bagian dorsal dari rongga abdominal pada tiap sisi dari aorta dan vena kava, tepat pada posisi ventral terhadap beberapa vertebra lumbal yang pertama. Ginjal dikatakan retroperitoneal, artinya terletak di luar rongga peritoneal (Frandson, 1992). Ginjal kanan terletak sedikit lebih rendah daripada ginjal kiri karena besarnya lobus hepatis kanan. Secara mikroskopis, sebuah ginjal dengan potongan memanjang memberi dua gambaran dua daerah yang cukup jelas. Daerah perifer yang beraspek gelap diebut korteks, dan selebihnya yang agak cerah disebut medulla, berbentuk piramid terbalik (Nursalam, 2005). Secara mikroskopis, korteks yang gelap tampak diselang dengan interval tertentu oleh jaringan medulla yang berwarna agak cerah, disebut garis medulla (medullary rays). Substansi korteks di sekitar garis medulla disebut labirin korteks. Medulla tampak lebih cerah dan tampak adanya jalur-jalur yang disebabkan oleh buluh-buluh kemih yang lurus dan pembuluh darahnya (Hartono, 1992).

Menurut Alatas, dkk., (2002) menjelaskan fungsi ginjal sebagai organ ekskresi. Ginjal memilki fungsi utama dalam menjaga keseimbangan internal dengan jalan menjaga komposisi cairan ekstraselular. Untuk melaksakan hal itu sejumlah besar cairan difiltrasi di glomerulus dan kemudian direabsopsi dan disekresi di sepanjang nefron sehingga zat-zat yang berguna diserap kembali dan sisa-sisa metabolisme dikeluarkan sebagai urin, fungsi ginjal secara keseluruhan, yaitu:

1. Fungsi Ekskresi Ginjal dapat berfungsi untuk sisa metabolisme protein (ureum, kalium, fosfat, sulfur anorganik dan asam urat), regulasi volume cairan tubuh dikarenakan aktivitas anti-duaretik (ADH) yang akan mempengaruhi volume urin yang akan dikeluarkan tubuh dan ginjal yang bermanfaat dalam menjaga keseimbangan asam dan basa (Chandrasegaran, 2013).

2. Fungsi Endokrin Sebagai fungsi endokrin ginjal memiliki tiga fungsi, yaitu (Chandrasegaran, 2013):

Page 21: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

8

a) Memiliki partisipasi dalam eritropoesis yaitu sebagai penghasil zat eritropoetin yang dibutuhkan dalam pembentukan sel darah merah.

b) Pengaturan tekanan darah, hal ini dikarenakan terlepasnya granula rennin dari jukstaglomerulus yang merangsang angiotensinogen di dalam darah menjadi angitensi I kemudian diubah kembali menjadi angiotensi II oleh enzim konvertase di paru. Hal ini mengakibatkan terjadinya vasokonstriksi pembuluh darah perifer dan merangsang kelenjar adrenal untuk memperoduksi aldosteron. Kombinasi kedua inilah yang mengakibatkan terjadinya hipertensi.

c) Ginjal bertugas menjaga keseimbangan kalsium dan fosfor dikarenakan ginjal mempunyai peranan dalam metabolisme vitamin D

Gambar 3. Anatomi Ginjal pada Anjing (Alatas, dkk., (2002)

2.2 Leptospirosis 2.2.1 Pengertian

Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang dapat menyerang manusia dan binatang. Penyakit menular ini adalah penyakit hewan yang dapat menjangkiti manusia. Termasuk penyakit zoonosis yang paling sering terjadi di dunia. Leptospirosis juga dikenal dengan nama flood fever atau demam banjir karena memang muncul dikarenakan banjir.

Leptospirosis adalah penyakit infeksi yang disebabkan kuman leptospira patogen (Saroso, 2003). Leptospirosis merupakan suatu penyakit yang bersifat zoonosis yang disebabkan oleh mikroorganisme berbentuk spiral dan bergerak aktif yang dinamakan Leptospira. Penyakit ini dikenal dengan berbagai nama seperti Mud fever, Slime fever (Shlamnfieber), Swam fever, Autumnal fever,

Renal Columns

Page 22: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

9

Infectious jaundice, Field fever, Cane cutter, demam icterohemorrhagic, demam lumpur, penyakit swinherd, demam rawa, penyakit weil, demam canicola dan lain-lain (WHO, 2003; PDPERSI Jakarta, 2007).

Leptospirosis atau penyakit kuning merupakan penyakit yang penting pada manusia, tikus, anjing, babi dan sapi. Penyakit ini disebabkan oleh spirochaeta leptospira icterohaemorrhagiae yang hidup pada ginjal dan urine tikus (Swastiko, 2009).

2.2.2 Etiologi

Penyakit yang terdapat di semua negara dan terbanyak ditemukan di negara beriklim tropis ini, disebabkan oleh Leptospira interrogans dengan berbagai subgrup yang masing-masing terbagi lagi atas serotipe bisa terdapat pada ginjal atau air kemih binatang piaraan seperti anjing, lembu, babi, kerbau dan lain-lain, maupun binatang liar seperti tikus, musang, tupai dan sebagainya. Manusia bisa terinfeksi jika terjadi kontak pada kulit atau selaput lendir yang luka atau erosi dengan air, tanah, lumpur dan sebagainya yang telah terjemar oleh air kemih binatang yang terinfeksi leptospira (Mansjoer, 2005).

Gambar 4. Bakteri leptospira menggunakan mikroskop elektron tipe scanning (Anonim, 2009)

Leptospira adalah bakteri gram negatif yang tipis, berbentuk helik, motil dengan panjang 6 hingga 20 μm dan lebar 0,1 μm. Bakteri leptospira merupakan bakteri aerob. Di dalam tubuh hewan leptospira hidup di dalam ginjal atau air seninya. Genus leptospira terdiri dari 2 kelompok atau kompleks, yang patogen L.interrogans, dan yang non pathogen atau saprofit L.biflexs kelompok patogen terdapat pada manusia dan hewan. Kelompok yang patogen atau L.interrogans terdiri dari sub grup yang masing-masingnya terbagi lagi atas berbagai serotype (serovar) yang jumlahnya sangat banyak. Saat ini telah ditemukan 240 serotipe yang tergabung dalam 23 serogrup (Levett, 2001).

Menurut beberapa peneliti yang tersering menginfeksi manusia adalah L.icterohaemorrhagiae dengan reservoir tikus, L.canicola, dengan reservoirnya anjing dan L. pomona dengan reservoirnya sapi dan babi (Arjatmo, 1996).

2.2.3 Pathogenesis

Setelah bakteri Leptospira masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir, maka bakteri akan mengalami multiplikasi (pembanyakkan) di dalam darah dan jaringan. Selanjutnya akan terjadi leptospiremia, yakni penimbunan bakteri

Page 23: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

10

leptospira di dalam darah sehingga bakteri akan menyebar ke beberapa tempat termasuk, limpa,mata, sistem saraf pusat, saluran urogenital dan terutama pada ginjal dan hati (Widodo, 2009; Yuliarti, 2005).

Leptospira sp. merupakan bakteri yang bersifat bakteremia sehingga organ utama yang sering terinfeksi kuman leptospira adalah hati dan ginjal karena hati merupakan tempat pengolahan hasil-hasil metabolisme didalam tubuh sedangkan ginjal merupakan organ eksresi hasil metabolisme tubuh. Selain itu, adanya reseptor komplementer pada mukosa hati dan ginjal memudahkan bakteri untuk melakukan perlekatan pada organ tersebut (Waluyo, 2005).

Di dalam ginjal, kuman leptospira bermigrasi ke interstitium, tubulus ginjal dan lumen tubulus. Pada leptospirosis berat, vaskulitis akan menghambat sirkulasi mikro dan meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia. Hipovolemia akibat dehidrasi dan perubahan permeabilitas kapiler salah satu penyebab gagal ginjal. Ikterik disebabkan oleh kerusakan sel-sel hati yang ringan, pelepasan bilirubin, kolestasis intrahepatik sampai berkurangnya sekresi bilirubin (Soetanto 2004).

Kuman leptospira merusak dinding pembuluh darah kecil, sehingga menimbulkan vaskulitis disertai kebocoran dan ekstravasasi sel. Patogenitas kuman leptospira yang penting adalah perlekatannya pada permukaan sel dan toksisitas selular. Lipopolysaccharidae (LPS) pada kuman leptospira mempunyai aktivitas endotoksin yang berbeda dengan endotoksin bakteri gram negatif dan aktivitas lainnya yaitu stimulasi perlekatan neutrofil pada sel endotel dan trombosit sehingga terjadi agregsi trombosit disertai trombositopenia. Kuman leptospira mempunyai fosfolipase yaitu suatu hemolisin yang mengakibatkan lisisnya eritrosit dan membran sel lain yang mengandung fosfolipid, hal inilah yang menyebabkan terjadinya pendarahan multi organ (Soetanto 2004).

Lisisnya sel darah merah membuat limpa meningkatkan kerjanya untuk melakukan destruksi sel darah merah yang menyebabkan terjadinya peningkatan bilirubin tak terkonjugasi dalam darah sehingga menyebabkan ikhterus pre hepatik. Selain ikhterus pre hepatik, leptospirosis juga menyebabkan ikhterus hepatik karena rusaknya sel-sel kemampuan fisiologis hati yang menyebabkan berkurangnya kemampuan eliminasi bilirubin dan senyawa empedu lainnya dan ikhterus posthepatik karena tersumbatnya duktus choledukus oleh bakteri tersebut dan akibat reruntuhan sel dinding duktus yang menyebabkan adanya gangguan penyaluran bilirubin ke duodenum atau cairan empedu bocor ke rongga abdominal, sehingga bilirubin diserap ke dalam sirkulasi darah (Lecondre, 2010).

Tubuh dapat bereaksi terhadap infeksi leptospira dengan memproduksi antibodi. Umumnya leptospira dapat dieliminasi dari sebagian besar organ oleh antibodi yang diproduksi tubuh. Namun keberadaan leptospira di ginjal sulit dieliminasi, karena ginjal khususnya daerah glomerulus merupakan daerah yang jarang ditemukan antibodi karena ukuran antibodi yang tidak dapat melewati filtrat glomerulus (Widodo, 2009).

Munculnya leptospirosis pada hewan yang telah divaksinasi dapat terjadi karena beberapa hal diantaranya kegagalan vaksinasi, kegagalan tubuh membentuk antibodi karena imunosupresif ataupun anjing terinfeksi leptospira dari serovar lain yang tidak terdapat dalam vaksin. Pada kondisi ini, leptospira

Page 24: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

11

dapat keluar bersama urin selama beberapa bulan hingga tahunan. Keparahan lesi organ tergantung pada virulensi agen dan kerentanan hewan sebagai induk semang (Retha, 2015).

Gambar 5. Pathogenesis Leptospira didalam tubuh anjing.

LEPTOSPIRA

Melalui mukosa, luka dikulit, maupun kontak tidak langsung terhadap

lingkungan terkontaminasi

Leptospiremia

Multiplikasi di darah dan jaringan

(Distribusi kebanyak organ)

Ginjal

Hati

- Menyebabkan nefritis dan nekrosis tubular interstitial

- Hipovolemia dan permeabilitas kapiler penyebab GGA

- Kerusakan sel-sel hati, pelepasan bilirubin dalam jaringan dan darah, kolestasis intrahepatik

Lipopolysaccharidae

Vakulitis disertai kebocoran dan ekstravasasi sel

Agregsi trombosit (trombositopenia)

Lisisnya eritrosit akibat fosfolipase (Hemolisin) dari

bakteri

Ikhterus/Jaundice

Page 25: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

12

Gambar 6. Pathogenesis leptospirosis berdasarkan tingkat antibodi didalam tubuh (Greene, 1998)

2.2.4 Gejala Klinis

Pada anjing yang terinfeksi leptospira kadangkala tidak gejala tidak terlihat meskipun terdapat bakteri leptospira didalam darah dan urin hewan tersebut serta terdapat bukti histologis adanya peradangan hati dan ginjal. Gejala klinis yang paling umum yaitu hewan mengalami kelesuhan, demam, nyeri otot, dehidrasi, mutah, diare berdarah, pernafasan dan denyut jantung meningkat, ikhterus/ jaundice, serta kematian mendadak (Luiz, 2009).

Gangguan pada organ hati akan menimbulkan warna kuning pada kulit dan selaput lendir (ikterus). Gangguan pada hati dan ginjal akan terlihat setelah infeksi berjalan selama 2-3 minggu. Pada anjing yang mengalami infeksi kronik atau tanpa gejala (subklinik) tidak memperlihatkan gejala yang signifikan. Bakteri akan berada dalam urin selama berbulan-bulan bahkan sampai tahunan. bPada kejadian akut hewan akan mengalami demam, kedinginan, dan otot menjadi lemah, muntah dan dehidrasi. Beberapa kasus anjing akan mengalami suhu tubuh rendah (hipotermia) dan dapat terjadi kematian sebelum kerusakan pada hati dan ginjal terlihat. Pada infeksi subakut, gejala yang terlihat antara lain, demam, muntah, nafsu makan menurun, dehidrasi, dan rasa haus yang meningkat. Anjing akan menjadi kurang aktif karena rasa sakit pada otot dan ginjal (Retha, 2015).

Page 26: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

13

a. Kelainan pada hati Gangguan hati berupa nekrosis sentrilobular dengan proliferasi sel Kupffer

dimana pada konsisi ini akan terjadi perbanyakan sel Kupffer dalam hati. Selain itu kerusakan sel-sel hati yang ringan, kolestasis intrahepatik sampai berkurangnya sekresi bilirubin. Gangguan sirkulasi mikro muskular dan peningkatan permeabilitas kapiler dapat menyebabkan kebocoran cairan dan hipovolemia sirkulasi. Adanya kelainan pada organ hati dapat terlihat pada fase infeksi akut dengan serovar icterohaemorraagiae dan canicola. Anjing dengan hepatitis kronis atau fibrosis hati sebagai infeksi sekunder dari leptospirosis pada akhirnya akan menunjukkan tanda-tanda kegagalan hati yang mencolok seperti penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, lesu, terkadang muncul poliuria/polidipsi, dan diare dan ikhterus (Greene, 1998; Adamus, 1997; Wayan, 2012). b. Kelainan pada Ginjal

Di ginjal kuman akan migrasi ke interstitium, tubulus renal, dan tubular lumen menyebabkan nefritis interstitial (radang ginjal interstitial) dan nekrosis tubular (kematian tubuli ginjal). Pada hewan yang mengalami gagal ginjal akibat leptospirosis akan mengalami keluhan umum seperti kelesuan, depresi, anoreksia, dehidrasi, dan muntah disertai dengan poliuria, dan polidipsia. Temuan dari pemeriksaan fisik lainnya yaitu demam, nyeri otot dan ikhterus. Kemunduran kerja ginjal dapat bermanifestasi dengan adanya oliguria atau anuria. Dibeberapa kasus, fungsi ginjal yang tidak diobati dapat kembali normal dan bertahan hidup dalam 2-3 minggu namun dapat menyebabkan gagal ginjal kronis (Greene, 1998). c. Jaundice atau Ikhterus

Jaundice atau ikhterus adalah keadaan dimana terjadi warna kekuningan pada jaringan tubuh akibat adanya peningkatan kadar bilirubin yang berlebihan dalam darah (hiperbilirubinemia) dan jaringan tubuh. Jaundice mudah terlihat pada sclera, selaput mukosa dan kulit yang tidak berpigmen. Karena organ hepar yang normal memiliki kapasitas yang besar untuk menampung dan mengeluarkan bilirubin, maka jaundice hanya akan terlihat secara klinis jika peningkatan produksi bilirubin melewati kapasitas maksimal hepar untuk menampung dan memprosesnya atau terdapat gangguan berat pada proses ekskresi bilirubin (Burrows, 2004). Metabolisme bilirubin

Bilirubin terutama berasal dari hasil pemecahan hemoglobin yang berada di dalam sel eritrosit yang sudah tua oleh sel-sel mononuclear phagocytic system, khususnya sumsum tulang dan limpa. Mula-mula molekul hemoglobin dipecah menjadi heme dan globin. Selanjutnya, heme akan dipecah secara enzimatik oleh heme oxygenase menjadi biliverdin. Biliverdin akan diubah oleh biliverdin reductase menjadi bilirubin yang larut dalam lemak. Sebagian besar bilirubin akan dilepaskan ke sirkulasi darah dimana ia akan berikatan dengan albumin (menjadi bilirubin tidak terkonjugasi atau Unconjugated bilirubin) untuk dibawa ke sinusiod hepar. Didalam hepar, bilirubin mengalami proses penyerapan aktif, pengikatan dengan protein, transportasi trans-seluler dan akhirnya dikonjugasikan

Page 27: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

14

dengan asam glucuronat. Bilirubin terkonjugasi (conjugated bilirubin) bersifat larut dalam air dan disimpan di kandung empedu sampai akhirnya disekresikan ke duadenum untuk memfasilitasi pembentukan micelle (emulsi lemak) dan absorbsi lemak.Setelah dikeluarkan kedalam saluran gastrointestinal, bilirubin terkonjugasi mengalami dekonjugasi dan hidrogenasi oleh bakteria colon dan akhirnya diubah mejadi urobilinogen. Sebagian besar (80-90%) urobilinogen tetap berada di saluran usus dan diubah menjadi stercobin (yang memberi warna cokelat pada feses), sedangkan sisanya diserap kembali untuk diproses ulang didalam siklus enterohepatic. Sebagian kecil urobilinogen yang diserap kembali akan beredar di sirkulasi darah dan dikeluarkan bersamaan dengan urin (Mackin, 2010) (Lampiran 2).

Hepar memilki kapasitas cadangan yang sangat besar (>30% kapasitas normal) untuk memproses kelebihan bilirubin dalam darah. Bilirubinemia baru tampak nyata apabila telah terjadi kerusakan sel hepar atau hemolisis yang hebat. Karena itu pengukuran kadar bilirubin dalam darah tidak terlalu peka untuk mengukur fungsi hepar. Pada umumnya, konsentrasi bilirubin darah >2-3 mg/dl (<34-51 µmol/L) baru menimbulkan gejala jaundice, sedangkan konsentrasi >0,6-0,8 mg/dl (>10-14 µmol/L) hanya menyebabkan bilirubinemia yang abnormal dan adanya perubahan warna plasma darah yang menjurus ke jaundice (Bunch, 2005).

Bilirubin tidak terkonjugasi beredar dalam darah dalam keadaan terikat dengan protein, karena itu ia tidak akan difiltrasi di glomerolus dan tidak dijumpai dalam urin (kecuali jika terjadi kerusakan pada glomerulus). Sebaliknya bilirubin terkonjugasi dapat difiltrasikan oleh glomerolus dan dapat ditemukan dalam urin. Ambang batas ginjal anjing terhadap ekskresi bilirubin terkonjugasi sangat rendah sehingga peningkatan konsentrasi bilirubin dalam urin lebih cepat terjadi dari pada plasma darah. Jadi, ditemukannya sejumlah kecil bilirubin dalam urin anjing adalah normal, sedangkan untuk meningkatkan konsentrasi bilirubin dalam plasma darah diperlukan peningkatan beban hepar yang cukup besar. Karena itu, peningkatan bilirubin sedikit saja dalam plasma darah cukup berarti. Tubulus renalis anjing juga mampu mengubah hemoglobin menjadi bilirubin tidak berkonjugasi, yang akan dijumpai di dalam urin. Hal inilah yang menjadi sebab ditemukannya bilirubinuria pada penyakit hemolisis. Pada kucing, ambang batas ginjal terhadap bilirubin jauh lebih tinggi daripada anjing, sehingga ditemukannya bilirubinemia sedikit saja selalu berarti abnormal (Lecondre, 2010).

2.2.5 Epidemiologi dan Penyebaran

Leptospirosis merupakan zoonosis yang diduga paling luas penyebarannya di dunia. Kejadian pada negara beriklim hangat lebih tinggi dari negara yang beriklim sedang, karena Leptospira hidup lebih lama dalam lingkungan yang hangat dan kondisi lembab. Kebanyakan negara-negara tropis merupakan negara berkembang dimana terdapat kesempatan lebih besar pada manusia untuk terpapar dengan hewan yang terinfeksi karena tidak terbatas pada pekerjaan tetapi lebih sering disebabkan oleh kontaminasi yang tersebar luas di lingkungan. Lingkungan yang terkontaminasi oleh urin hewan yang terinfeksi leptospira merupakan titik sentral epidemiologi leptospirosis (Higgins, 2004). Kejadian leptospirosis dapat

Page 28: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

15

meningkat pada saat curah hujan yang tinggi dan lingkungan yang banyak genangan air (Darodjat dan Ronohardjo, 1989).

2.2.6 Cara Penularan Penularan leptospirosis dari satu hewan ke hewan lainnya dapat terjadi bila

terjadi kontak langsung terhadap cairan urin penderita melalui luka dikulit, luka gigitan, mukosa mulut, mata dan mukosa lainnya maupun kontak secara tidak langsung terhadap lingkungan yang terkotaminasi dengan bakteri leptospira seperti tanah, tanaman, makanan dan yang paling sering melalui air sehingga penyakit ini banyak ditemukan disaat musim hujan. Spirochaeta secara optimal dapat bertahan selama berminggu-minggu di lingkungan yang memiliki air yang tenang dan hangat, di tanah yang memiliki pH netral atau sedikit basa. Bakteri ini tidak dapat bertahan dalam kondisi beku (Luiz, 2009).

Gambar 7. Siklus penularan leptospira pada hewan dan manusia (Luiz, 2009).

2.2.7 Diagnosis Untuk mendiagnosa leptospirosis dibutuhkan informasi berupa sinyalment,

anamnesa, serta gejala klinis yang terlihat. Pemeriksaan lanjutan juga perlu dilakukan untuk mengukuhkan diagnosa yang diambil seperti pemeriksaan CBC (Complete Blood Cell), kimia darah, pemeriksaan urin, maupun pemeriksaan X-ray dan USG (Avma, 2010). Pemeriksaan laboratorium tidak dapat memberikan diagnosis leptospirosis yang pasti, namun pemeriksaan laboratorium sangat perlu untuk menegakkan diagnosis penyakit leptospirosis secara dini dengan cepat dan tepat. Manfaat pemeriksaan laboratorium adalah (WHO, 2003):

• Memastikan diagnosis leptospirosis, karena penyakit ini secara klinis sangat sulit dibedakan dengan penyakit lain.

• Menentukan jenis serovar-serogrup penyebab infeksi, yang dapat digunakan untuk mengetahui sumber penularan

Kelainan yang paling umum ditemukan pada pemeriksaan laboratorium kasus leptospirosis yaitu : a. CBC : Terdapat neutrofilia yaitu peningkatan jumlah neutrofil (bagian sel

darah putih dari kelompok granulosit; eusinofil dan basofil) dalam darah atau

Page 29: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

16

jaringan yang merupakan temuan umum pada infeksi bakteri akut ataupun adanya kerusakkan jaringan didalam tubuh, penurunan jumlah trombosit (trombositopenia) yang biasanya terjadi pada kasus penyakit yang berat (58%) dan juga seringkali terdapat penurunan jumlah sel darah merah akibat pendarahan gastrointestinal atau pulmonal (Biomedika, 2012; Kristiina, 2015)

b. Kimia darah : Terdapat peningkatan nilai fungsi hati dan ginjal. Peningkatan nilai fungsi hati seperti SGPT atau Serum Glutamic Pyruvate Transaminase (ALT atau Alanin aminotransferase) dan SGOT atauSerum Glutamic Oxaloacetic Transaminase (AST atau Aspartate aminotransferase) dapat diindikasikan dengan adanya kerusakan pada hati, namun peningkatan SGOT tidak spesifik menunjukkan adanya kelainan pada hati karena SGOT tidak hanya terdapat pada hati saja melainkan terdapat pula dalam sel darah, jantung dan otot sehingga diperlukan pemeriksaan SGPT untuk dapat memastikan adanya kerusakan pada sel hati. Hasil SGOT dan SGPT yang normal belum tentu menunjukkan bahwa pasien bebas dari penyakit hati karena pada kasus penyakit kronis (menahun dan berjalan perlahan), dapat ditemukan kadar SGOT dan SGPT yang normal atau mengalami peningkatan yang tidak banyak yang sering ditemukan pada kasus hepatitis. Enzim hati akan meningkat ketika sel-sel hati mengalami kerusakan yang masif seangkan pada infeksi kronik, sel hati mengalami kerusakan secara perlahan sehingga kenaikan SGOT dan SGPT tidak signifikan bahkan terlihat normal, oleh sebab itu pada penyakit hati seperti ini perlu jenis pemeriksaan lainnya (Biomedika, 2012). Untuk mengidentifikasi adanya kerusakan pada fungsi ginjal dapat dilakukan dengan pemeriksaan ureum (BUN) dan kreatinin (CP atau Creatin Fosfat). Ureum merupakan produk akhir dari metabolisme protein didalam tubuh yang diproduksi oleh hati dan dikeluarkan melalui urin. Pada gangguan ekskresi ginjal, pengeluaran ureum ke dalam urin terhambat sehingga kadar ureum akan meningkat didalam darah. Peningkatan kadar urea (BUN) disebut uremia. Penyebab uremia dibagi menjadi tiga yaitu (Biomedika, 2012): - Uremia pra renal

Uremia pra renal terjadi karena gagalnya mekanisme yang bekerja sebelum filtrasi oleh glomerolus. Mekanisme ini meliputi: penurunan aliran darah dari ginjal seperti syok, kehilangan darah dan dehidrasi serta diakibatkan oleh peningkatan hemoglobin dan penyerapannya sebagai protein dalam makanan, pendarahan ke dalam jaringan lunak atau rongga tubuh, hemolisis, leukemia (pelepasan protein leukosit), dll.

- Uremia renal Hal ini terjadi akibat gagal ginjal (penyebab tersering) yang meyebabkan gangguan ekskresi urea. Gagal ginjal akut dapat disebabkan oleh glomerulonefritis, hipertensi, maligna, obat atau logam nefrotoksik, dan nekrosis korteks ginjal.

- Uremia pasca renal Uremia pasca renal terjadi terjadi akibat obstruksi saluran kemih di bagian bawah ureter, kandung kemih, atau urethra yang menghambat ekskresi urin. Obstruksi ureter dan leher kandung kemih atau uretra bisa

Page 30: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

17

disebabkan oleh batu, tumor, peradangan atau kesalahan pembedahan. Urea yang tertahan di urin dapat berdifusi masuk kembali didalam darah. Beberapa jenis obat dapat mempengaruhi peningkatan urea, seperti: obat nefrotoksik; diuretic (hidroklorotiazid, asam etakrinat, furosemid, triamteren); antibiotik (basitrasin, sefaloridin pada dosis tinggi, gentamisin, kanamisin, kloramfenikol, metisilin, neomisin, vankomisin); obat antihipertensi (metildopa, guanetidin); sulfonamide; propanolol, morfin; litium karbonat; salisilat. Sedangkan obat yang dapat menurunkan kadar urea misalnya fenotiazin.

Kreatinin merupakan zat yang dihasilkan oleh otot dan dikeluarkan dari tubuh melalui urin, oleh karena itu kadar kreatinin dalam serum dipengaruhi oleh besar otot, jenis kelamin dan fungsi ginjal. Beratnya kelainan ginjal dapat diketahui dengan mengukur uji bersihan kreatinin (Creatinine Clearance Test/ CCT). Untuk mengurangi adanya kesalahan dalam pengumpulan urin maka dilakukan penilaian fungsi ginjal dengan melakukan pemeriksaan cystatin-C dalam darah. Cystatin merupakan zat dengan berat molekul yang rendah, dihasilkan oleh semua sel berinti di dalam tubuh yang tidak dipengaruhi oleh proses radang atau kerusakan jaringan. Zat tersebut akan dikeluarkan melalui ginjal. Oleh karena itu kadar cystatin dipakai sebagai indikator sensitif untuk mengetahui kemunduran fungsi ginjal (Biomedika, 2012; Kristiina, 2015).

Tabel 2. Nilai biokimiawi darah anjing

Test Units Dogs Urea nitrogen (BUN) Mg/dl 7-27 Creatinine Mg/dl 0.4-1.8 Alkaline phosphatase (ALP) IU/L 10-150 Alanine aminotransferase (ALT) IU/L 5-60 Aspartate aminotransferase (AST) IU/L 5-55 Total bilirubin Mg/L 0-0.4 Creatine kinase (CK or CPK) IU/L 10-200 Gamma glutaml transferase (GGT) IU/L 0-10

(Sumber : Williams, 2000)

c. Urinalisis : Pada pemeriksaan kimia urin akan ditemukan peningkatan kadar protein urin, perubahan pH, berat jenis, dan beberapa indikator yang mengindikasikan adanya kerusakan pada ginjal (Kristiina, 2015; KAN, 2010)

Temuan neutrofilia, limphopenia dan anemia pada pemeriksaan CBC serta adanya trombositopenia dapat memperkuat diagnosa leptospirosis, apalagi bila diperkuat dengan adanya bukti kerusakan ginjal akut dengan atau tanpa adanya infeksi atau kerusakan pada hati (Kohn, 2010). Untuk mendeteksi adanya kerusakan hati dan ginjal dapat pula dilakukan dengan pemeriksaan USG (Ultrasonography).

Page 31: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

18

Pemeriksaan USG Ultrasonografi merupakan suatu alat diagnosa yang menggunakan

ultrasound sebagai sarana untuk menggambarkan jaringan yang ada dalam tubuh hewan. Untuk menghasilkan gambaran sonogram yang baik maka diperlukan transmisi gelombang suara yang maksimum antara pasien dengan transduser. Gambar yang dimunculkan pada layar mesin USG merupakan sebuah interpretasi yang terbentuk dari proses kembalinya ultrasound yang dipantulkan oleh jaringan tubuh. Dalam melakukan interpretasi terdapat tiga macam echo yang menjadi dasar dalam mendeskripsikan gambaran sonogram yaitu (Goddard, 1995, dikutip dari wayan, 2012): 1. Hyperechoic terlihat sebagai warna putih terang pada sonogram yang

menandakan bahwa daerah tersebut memiliki echogenitas yang lebih tinggi dibandingkan jaringan selainnya contohnya adalah tulang, lemak, dan udara

2. Hypoechoic terlihat sebagai warna abu-abu gelap pada sonogram yang menandakan bahwa daerah tersebut memiliki echogenitas sedang contohnya adalah jaringan lunak

3. Anaechoic terlihat sebagai warna hitam pada sonogram yang menandakan bahwa di daerah tersebut gelombang suara telah ditransmisikan seluruhnya, contohnya adalah organ yang terisi cairan seperti vesica urinaria, gestational sac (kantung kebuntingan).

Pemeriksaan sonogram pada ginjal penderita leptospirosis terdapat beberapa kelainan yang paling umum ditemukan yaitu adanya peningkatan ekogenisitas kortikal, dilatasi pada bagian renal pelvis (pyelectasia), akumulasi cairan diperirenal. Pembesaran dan hipoekhoenisitas pankreas juga dapat ditemukan, juga penebalan dinding usus dan splenomegaly dengan tekstur yang tembus cahaya. Selain itu, terjadi peningkatan ekogenisitas pada medullary band yang menurut beberapa temuan hanya ditemukan pada anjing yang menderita leptospirosis (Forrest, 1998).

Page 32: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

19

Gambar 8. USG pada midsagittal ginjal kiri, dengan kesan ginjal membesar dengan panjang 103 mm dan menunjukkan peningkatan ekogenisitas pada

kortikal dan medulla (Vijay, 2011) Sonogram pada kasus hepatitis yang disebabkan oleh leptospirosis

umumnya menunjukkan adanya pembesaran ukuran hati secara menyeluruh dan perubahan echogenisitas dari parenkim hati. Hepatitis akut dan kronis dapat dibedakan melalui pemeriksaan ultrasonografi dimana pada kasus hepatitis akut, pemeriksaan sonogram menunjukkan perubahan echogenisitas parenkim hati menjadi lebih hypoechoic, sedangkan sonogram pada kasus hepatitis kronis akan memperlihatkan parenkim hati lebih hyperechoic. Sonogram hati yang normal akan terlihat struktur interna hati yang hypoechoic dan diafragma yang berbentuk memanjang bersifat hyperechoic. Hepatitis kronis biasanya tidak menyebabkan pembesaran ukuran hati meskipun terjadi infiltrasi neoplastik dalam jumlah besar (d’Anjou, 2008; Noviana et al.2012).

Gambar 9. Sonogram hati pada kasus hepatitis. Terlihat echogenitas dinding

pembuluh darah hati meningkat (tenda panah) (Wayan, 2012)

Page 33: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

20

Gambar 10. Sonogram pada kasus kongesti hati. (A) terlihat pembesaran diameter vena hepatika disertai peningkatan echogenitas dinding pembuluh darah (tanda panah); (B) Terlihat pembendungan yang disertai dengan pembesaran diameter

vena porta (Wayan, 2012) Ukuran ginjal pada seekor anjing dapat dinilai pada posisi ventrodorsal

dibandingkan dengan panjang tubuh vertebral L2 (2,5-3,5 kali normal panjang L2). Karena ukuran anjing bervariasi, maka metode yang menggunakan untuk mengukur ginjal yaitu dengan meligat panjang ginjal sampai diameter aorta. Rasio panjang ginjal dibandingkan dengan diameter aorta pada ginjal (rasio K / Ao) dianggap normal antara 5,5 dan 9,1. Ukuran dan bentuk ginjal harus simetris (oval sampai berbentuk kacang).Korteks ginjal lebih bersifat echogenik dibandingkan medula. Korteks ginjal kurang terlihat dibanding limpa dan mirip dengan hati pada seekor anjing. Arteri dan vena renalis dapat diikuti ke aorta dan vena cava caudal. Pelvis ginjal kadang dapat terlihat pada hewan normal yang berukuran kurang dari 2 mm. Ureter tidak boleh terlihat pada hewan normal. Sinus ginjal yang mengelilingi panggul mengandung lemak, yang memberi kesan hyperechoic (d‟Anjou 2008).

Anjing memiliki hati yang sebagian besar berada tepat dibawah lengkungan tulang costae. Bagian kranial hati berbatasan dengan diafragma dan bagian kaudal paru-paru. Diafragma akan terlihat seperti garis melengkung hyperechoic, yang terkadang dapat menimbulkan mirror-image artefact. Bagian kaudal sebelah kiri hati akan terlihat menempel dengan limpa, sedangkan pada bagian kaudal sebelah kanan hati akan terlihat menempel dengan ginjal. Volume hati pada anjing sulit untuk dievaluasi karena terdapat perbedaan konformitas tubuh (d‟Anjou 2008). Perubahan simetris volume hati dapat diperkirakan dengan mengukur jarak maksimal dari ujung kaudal hati pada ventral garis tengah tubuh hingga diafragma pada gambaran transversal maupun sagital (Barr 1992).

Kantung empedu normal akan terlihat sebagai suatu struktur anechoic berbentuk oval atau bulat dengan sedikit perpanjangan buluh empedu yang berbentuk kerucut. Ukuran kantung empedu sangat beragam tergantung dari ukuran hewan dan dapat membesar pada hewan yang mengalami anoreksia. Dinding kantung empedu normal akan terlihat tipis dan halus dengan ketebalan kurang dari 2-3mm (Spaulding 2003). Pada keadaan normal dapat terlihat akumulasi endapan empedu di dalam kantung empedu dalam jumlah yang tidak terlalu banyak (Bromel et al 1998).

Pemeriksaan Lanjutan

Sebagian besar kasus leptospirosis didiagnosis dengan tes serologi untuk mendeteksi antibodi yang timbul sebagai akibat dari leptospirosis. Antibodi dapat dideteksi di dalam darah 5-7 hari sesudah munculnya gejala. Ada banyak metode serologis yang dapat digunakan yaitu umum digunakan yaitu ELISA dan Microscopic Agglutination Test (MAT) dan yang dianggap paling baik sampai saat ini adalah microscopic agglutination test (MAT). Selain itu DNA Leptospira dapat dideteksi menggunakan metode PCR. Masing-masing tes dapat

Page 34: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

21

mendiagnosis adanya infeksi dengan baik namun memiliki kelemahan masing-masing (WHO, 2012). a. Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)

Tes ELISA sangat popular dan bahan yang diperlukan untuk pemeriksaan sudah tersediasecara komersial dengan antigen yang diproduksi sendiri (in house). Untuk mendeteksi IgM umumnya digunakan antigen spesifik genus yang bereaksi secara luas, teknik ini kadang-kadang juga digunakan untuk mendeteksi antibodi IgG. Adanya antibodi IgM merupakan pertanda adanya infeksi baru Leptospira, atau infeksi yang terjadi beberapa minggu terakhir. Test ELISA cukup sensitif untuk mendeteksi Leptospira dengan cepat pada fase akut, dan lebih sensitif dibandingkan dengan MAT. Tes ini dapat mendeteksi antibodi IgM yang muncul pada minggu pertama sakit, sehingga cukup efektif untuk mendiagnosis penyakit Metode ELISA telah banyak dimodifikasi, misalnya, Dot-ELISA spesifik IgM dikembangkan menggunakan antigen Leptospira polivalen yang diteteskan di atas kertas ilter selulose sumur mikrotiter. Dengan metode ini, jumlah reagen yang dibutuhkan sedikit. Di samping untuk mendeteksi IgM, metode ini dimodifikasi untuk mendeteksi IgG dan IgA. Dipstick assay telah digunakan secara luas di beberapa negara. Dari hasil pemeriksaan sampel darah yang diambil pada fase akut, tes ini memberikan sensitifitas 60,1%, dan bila sampel darah diambil pada fase konvalesen sensitifitasnya meningkat menjadi 87,4%. Dari hasil penelitian ternyata sensitifitas IgM-ELISA dan IgM- dipstick komersial untuk mendeteksi leptospirosis akut adalah 89,6-98% dan spesifisitasnya 90-92,7% dengan nilai ramal positif 87,6-90% dan nilai ramal negatif 90,7-92%. Pemeriksaan dot immunoblot dengan menggunakan conjugate koloid emas dapat memberikan hasil pemeriksaan dalam waktu 30 menit (WHO, 2012).

b. Microscopic Aglutination Test (MAT). MAT merupakan pengujian untuk mendeteksi adanya antibodi terhadap leptospira didalam darah penderita. Jika tingkat antibodi (titer antibodi) cukup tinggi atau mengalami peningkatan dari waktu ke waktu maka infeksi dapat dikonfirmasi. MAT memiliki beberapa kelemahan dimana pengujian ini memerlukan waktu yang lebih lama dibandingkan pengujian PCR. Selain itu, hasil tes dapat disimpulkan apabila hewan tersebut sebelumnya telah divaksinasi atau jika pemberian antibiotik dilakukan diawal sebelum sistem kekebalan tubuh mulai memproduksi antibodi (Kristiina, 2015).

c. PCR PCR merupakan pengujian yang cukup maksimal untuk mendeteksi adanya infeksi bakteri leptospirosis namun memiliki beberapa keterbatasan salah satunya yaitu hewan tidak boleh diberikan antibiotik sebelum pengujian ini dilakukan. Leptospira sangat mudah tereliminasi oleh antibiotik sekalipun dalam dosis yang sangat kecil sehingga sulit untuk mendeteksi infeksi menggunakan PCR di fase akhir dari penyakit. Pengujian ini efektif digunakan pada fase permulaan penyakit yaitu beberapa hari setelah munculnya gejala penyakit. Akan tetapi alat ini belum tersedia secara luas terutama di negara yang sedang berkembang (Yersin, 1992). Untuk

Page 35: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

22

mendeteksi DNA Leptospira, teknologi PCR membutuhkan sepasang primer dengan sasaran gen spesifik, seperti gen rRNA 16S dan 23S atau elemen pengulangan. Disamping itu, ada juga yang disusun dari pustaka genom. Umumnya teknologi ini sangat jarang dipakai untuk spesimen klinik. Keterbatasan PCR adalah tidak mampu memendeteksi jenis serovar yang menginfeksi, PCR dapat memberikan hasil positif palsu, apabila terkontaminasi oleh DNA asing. PCR dapat pula memberikan hasil negatif palsu apabila spesiman klinik yang diperiksa sering mengandung inhibitor seperti heparin dan saponin. Keuntungan pemeriksaan PCR adalah apabila bakteri ada maka diagnosis dapat dipastikan dengan cepat terutama pada fase dini penyakit sebelum titer antibodi dapat dideteksi (WHO, 2003).

2.2.8 Prognosis

Apabila leptospirosis tidak disertai dengan komplikasi pernafasan parah maka prognosis baik pada anjing yang segera ditangani dengan pemberian antibiotik dan pemberian terapi cairan yang tepat (dubius sampai fausta). Tingkat kelangsungan hidup 80% telah dilaporkan, baik anjing yang diberi perawatan secara konservatif maupun yang diterapi dengan dialisis (Adin, 2000; Golstein, 2006). Prognosis untuk anjing yang mengalami komplikasi pernafasan lebih buruk (fausta sampai infausta) (Kohn, 2010).

2.2.9 Terapi

Pengobatan pada kasus leptospirosis sangat bergantung pada tingkat keparahan dari penyakit tersebut serta adanya penyakit lain seperti gangguan fungsi hati dan ginjal serta gejala klinis yang terlihat. WHO merekomendasikan pemberian antibiotik pada penderita leptospirosis selama 7 hari (Watt, 1988).

Pengobatan optimal untuk leptospirosis tidak diketahui, namun pemberian antibiotik yang mengandung penicillin atau doxycycline merupakan antibiotik yang paling umum diberikan pada penderita leptospirosis pada hewan maupun manusia (Sittinont, 2010). Dosis pemberian antibiotik yang mengandung doxcycline pada anjing penderita leptospirosis yaitu 5mg/kg PO atau IV q12h selama 14 hari. Pengobatan tidak boleh ditunda menunggu hasil pengujian diagnostik, sehingga pemberian antibiotik harus segera diberikan pada saat pasien telah didiagnosa. Anjing dapat diberikan antibiotik yang mengandung doxycyclin selama 2 minggu setelah tanda-tanda gangguan gastrointestinal mereda guna mengeliminasi bakteri dari tubulus ginjal. Penggunaan secara bersamaan dengan fluoroquinolone tidak dianjurkan pada penderita leptospirosis karena dapat menyebabkan retensi antibiotik pada bakteri lain (Sittinont, 2010).

Dosis antibiotik yang mengandung Penicillin yang dapat diberikan kepada pasien yang menderita leptospirosis yaitu 25.000-40.000 U/kg IV q12h. Salah satu antibiotik golongan penicillin mengandung Procaine benzylpenicillin 3 juta unit/vial injeksi. Procaine benzylpenicillin adalah antibiotik kombinasi antara Benzylpenicillin dan Procaine. Benzylpenicillin yaitu antibiotik beta laktam yang termasuk golongan penicillin sedangkan Procaine adalah obat anestesi lokal. Kombinasi ini bertujuan untuk mengurangi rasa sakit pada pemberian secara injeksi intramuscular (Plumb, 1999).

Page 36: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

23

Apabila terdapat gejala seperti muntah, diare maka dapat diberikan pengobatan dengan antibiotik yang mengandung ampicillin, 10-20mg/kg IV q6h dengan pengurangan dosis bagi penderita azotemik (Plumb, 1999). Ampicillin tidak dapat diberikan secara oral karena tidak dapat diserap di saluran gastrointestinal. Ampicillin merupakan salah satu antibiotik semi sintetik golongan penicillin yang cukup murah. Ampicillin termasuk dalam agen bakterisidal yang mempunyai spektrum aktivitas luas pada bakteri gram negatif dan positif.

Selain pemberian antibiotik untuk mematikan bakteri yang ada didalam tubuh penderita, menurut Eldredge (1997), terapi yang dapat diberikan pada penderita leptospirosis yaitu terapi cairan untuk menangani dehidrasi yang terjadi akibat demam dan anoreksi. Terapi simptomatis juga diperlukan untuk mengobati gejala yang ada yaitu dengan pemberian obat antidiare dan obat antimuntah.

Pemberian terapi yang dapat diberikan yaitu terapi cairan yang diindikasikan untuk perawatan dehidrasi (syok hipovolemik dan asidosis) pada kondisi: gastroenteritis akut, demam berdarah dengue (DHF), luka bakar, syok hemoragik, dehidrasi berat, dan trauma yang mengandung: Na 130 mEq, K 4 mEq, Cl 109 mEq, Ca 3 mEq, Asetat (garam) 28 mEq. Keunggulan menggunakan terapi cairan yang mengandung kandungan tersebut yaitu asetat dimetabolisme di otot, dan masih dapat ditolelir pada pasien yang mengalami gangguan hati. Pada kasus bedah, asetat dapat mempertahankan suhu tubuh sentral pada anestesi dengan isofluran, selain itu asering mempunyai efek vasodilator (Plumb, 1999).

Pengobatan Diare dengan obat yang mengandung Kaolin 550 mg dan Pectin 20 mg yang dapat berinteraksi dengan obat Acetaminophen, Ascorbic acid, Cholecalciferol, Clindamycin, Clopidogrel, Cyanocobalamin. Obat ini bekerja menyerap kelebihan cairan dan mengurangi gerakan usus serta mengikat zat dalam usus dan menambahkan massal untuk tinja.

Pengobatan antimuntah yaitu dengan obat yang merupakan suatu antagonis reseptor serotonin tipe 5-HT3, yang bekerja secara selektif dan kompetitif dalam mencegah maupun mengatasi mual dan muntah akibat pengobatan sitostatika dan radioterapi yang tiap ml mengandung Ondansetron HCl dihydrate 2,5 mg setara dengan Ondansetron base 2 mg. Obat ini bekerja sebagai antagonis selektif dan bersifat kompetitif pada reseptor 5-HT3, dengan cara menghambat reseptor serotonin tipe 3 (5HT3) untuk menekan refleks muntah. Karena obat tersebut dimetabolisme oleh enzim metabolik sitokrom P-450, perangsangan dan penghambatan terhadap enzim ini dapat mengubah klirens dan waktu paruhnya. Pada penderita yang sedang mendapat pengobatan dengan obat-obat yang secara kuat merangsang enzim metabolisme CYP3A4 (seperti Fenitoin, Karbamazepin dan Rifampisin), klirens obat tersebut akan meningkat secara signifikan, sehingga konsentrasi dalam darah akan menurun. Antimuntah dengan kandungan Ondansetron HCl dihydrate 2,5 mg tersedia dalam tablet 4 mg dan 8 mg, bentuk sirup 4mg, 5 mg, injeksi 2mg/ml (Papich, 2007). Dosis pada anjing yaitu 0,5-1 mg/kg PO, IV q6-12h (Wiley, 2011).

Selain dengan terapi kausatif dan terapi simtomatis, diperlukan juga pemberian terapi suportif untuk meningkatkan daya tahan tubuh pasien. Salah satu terapi suportif yang bisa diberikan yaitu dengan pemberian multivitamin yang

Page 37: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

24

mengandung Butaphospan 100 mg dan Vit B12 5 mg ditiap ml. Obat tersebut berfungsi untuk meningkatkan tenaga, membantu penyembuhan, mengembalikan kesehatan setelah sakit dan memperbaiki pertumbuhan bulu pada anjing dan kucing. Dosis pemberian pada anjing 0,5–5 ml. Selain itu dapat pula diberikan obat yang mengandung sorbitol 35 gr, acetyl methionin 10 gr, choline chloride 7,5 gr, betain 6 gr, lysine hcl 2gr yang berfungsi untuk memperbaiki gangguan metabolisme terutama pencegahan terhadap kerusakan hati (hepatoprotektor) (Wiley, 2011; Plumb 1999).

Keberhasilan pengobatan dikaitkan dengan kembalinya kadar urea dan keratinin dalam darah secara bertahap ke nilai normal dalam rentang waktu 10-14 hari setelah pengobatan meskipun kemungkinan kerusakan pada ginjal akan tetap berlanjut lebih dari 4 minggu setelah pengobatan. Kadar bilirubin dapat mengalami penurunan yang lebih lambat daripada aktivitas ALT dan ALP dalam darah. Jumlah trombosit mulai kembali normal 1 minggu setelah dilakukan pemberian antibiotik. Pada beberapa anjing yang terlambat mendapat penanganan, kerusakan permanen pada ginjal dapat terjadi. Terapi cairan secara IV harus dimaksimalkan sebelum dihentikan, untuk memastikan bahwa pasien sudah tidak mengalami poliuria dan dapat minum air dengan cukup untuk menghindari keadaan dehidrasi. Kebutuhan nutrisi untuk pasien pun perlu diperhatikan untuk mempercepat proses pemulihan pasien (Wiley, 2011).

Page 38: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

25

BAB III METODE KEGIATAN

3.1 Tempat dan Waktu Kegiatan

Kegiatan ini dilaksanakan di Makassar Pet Clinic pada tanggal 5-30 juni 2017 pukul 08.00 sampai 17.00 WITA untuk shift pagi dan 20.00 sampai 08.00 WITA untuk shift malam.

3.2 Alat yang digunakan

Alat yang digunakan dalam kegiatan ini yaitu stetoskop, termometer, penlight, alat USG, alat pemeriksaan darah dan kimia darah,

3.3 Bahan yang digunakan

Bahan yang digunakan dalam kegiatan ini yaitu, obat-obatan seperti Diaform, Catosal 3 ml, Ondan 2,5 ml, Heparenol, Crystalline Procaine Penicillin G, Ampicillin 1,5 gr Pro Inj., cairan Asering, spoit 1cc dan 3cc, tabung EDTA dan non EDTA, dan sampel darah pasien.

3.4 Prosedur Kegiatan 3.4.1 Pemeriksaan umum

Pada saat pasien pertama datang, dokter dan tim akan melakukan pengisian sinyalemen hewan meliputi umur, ras, dan jenis kelamin. Anamnesa kepada klien meliputi riwayat penyakit, nafsu makan, makanan yang dikonsumsi, adanya interaksi dengan hewan lain yang menderita hepatitis, lokasi pasien beraktifitas, dan gejala-gejala yang ditunjukan hewan sebelum dibawa ke klinik. Selanjutnya pasien diletakkan di meja pemeriksaan keemudian dilakukan pemeriksaan fisik seperti inspeksi dan palpasi meliputi berat badan, suhu, keaktifan pasien, adanya rasa sakit, adanya perubahan warna mukosa kulit dan mulut.

3.4.2 Pemeriksaan Lanjutan

Setelah dilakukan pemeriksaan umum, selanjutnya dokter akan memberikan diagnosa sementara dan memberikan keputusan apakah pasien dibolehkan untuk pulang ataukah harus dirawat inap. Pada kasus ini pasien disarankan untuk rawat inap sehingga dapat diobservasi dan dilakukan pengobatan selain itu dilakukan pula beberapa pemeriksaan lanjutan untuk meneguhkan diagnosa yang diambil.

a. Pengambilan sampel darah untuk pemeriksaan CBC dan kimia darah Pengambilan sampel darah dilakukan sebelum dilakukan tindakan

terapi. Sampel darah yang dibutuhkan terbagi dalam dua jenis yaitu darah dan serum darah. Darah murni (eritrosit) diperlukan untuk pemeriksaan darah rutin dan serum darah diperlukan untuk pemeriksaan kimia darah. Pengambilan darah dilakukan di vena Cephalica Antibrachii Anterior di kaki depan anjing yang telah dibersihkan dan dicukur, kemudian dilakukan pembendungan menggunakan tourniquet, dan setelah darah terbendung, daerah tersebut diusap dengan kapas yang telah dibasahi dengan alkohol untuk desinfeksi. Jarum suntik steril spuit 3cc kemudian ditusukkan dengan sudut 30°C kearah atas pembuluh darah dengan lubang jarum

Page 39: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

26

menghadap keatas setelah itu dilakukan aspirasi untuk mengambil darah sebanyak yang dibutuhkan. Untuk pemeriksaan darah rutin (CBC) dan kimia darah, sampel darah yang diambil sebanyak ±3ml. Setelah itu sampel darah yang telah diperoleh dimasukkan masing-masing 1,5ml ke dalam tabung EDTA untuk pemeriksaan darah rutin (CBC) dan tabung non EDTA untuk pemeriksaan kimia darah.

b. Pemeriksaan USG Sebelum dilakukan pemindaian menggunakan USG, pertama

dilakukan pencukuran rambut pada daerah yang akan di USG yaitu pada bagian cranial abdomen antara xiphisternum sampai umbilikus dan juga termasuk satu atau dua intercostae terakhir pada teknik pemeriksaan USG (d’Anjou, 2008; dikutip dalam wayan, 2012), setelah itu daerah yang telah dicukur dioleskan acoustic coupling gel secukupnya untuk meningkatkan kontak transduser dengan permukaan kulit. Selanjutnya alat USG diatur agar memiliki frekuensi yang sesuai berdasarkan ukuran tubuh hewan yaitu 5-7 MHz untuk anjing kecil dan 3-5 MHz untuk anjing besar. Transduser dilapisi dengan gel akustik sebagai media yang meningkatkan penetrasi ultrasound pada kulit. Pemeriksaan dilakukan dengan posisi hewan dibaringkan dorsal recumbency ataupun lateral recumbency, setelah itu tranduser (probe) diposisikan tepat diatas bagian organ yang akan diamati sampai gambaran organ tersebut tercitrakan dengan optimal dilayar monitor USG. Transduser atau probe yang digunakan yaitu probe sektorial. Interpretasi terhadap sonogram dapat dilakukan pada saat yang sama dengan pemindaian (real time). Pengamatan dilakukan terhadap sonogram dengan memperhatikan adanya perubahan ukuran, p-erubahan bentuk, perubahan posisi, perubahan marginasi dan ekhogenitas kemudian dibandingkan dengan gambaran sonogram normal (Noviana et al, 2012, dikutip dalam Wayan, 2012).

3.4.3 Observasi Pasien Observasi pasien dilakukan dari hari pertama pasien datang dan dirawat

inap di Makassar Pet Clinic. Adapun hal-hal yang diobservasi adalah keadaan umum pasien, suhu, apakah terdapat muntah dan diare, nafsu makan dan minum pasien serta dilakukan pemberian obat yang rutin. Kartu kontrol rawat inap terlampir.

Page 40: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

27

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Sinyalmen

Nama pasien : Loki Spesies : Anjing Ras : Akita Japanese Warna : Brown Jenis kelamin : Jantan Umur : 1 thn 10 bln (DOB 18 Agustus 2015) Berat badan : 26 Kg

4.2 Anamnesis

Pasien bernama Loki datang ke Makassar Pet Clinic pada tanggal 9 Juni 2017 dengan kondisi lemas, anorexia, dan jaundice. Pada saat pasien dibawa ke klinik, pasien mengalami diare berdarah dan vomit >3 kali dengan cairan berwarna kekuningan. Dari history pasien, beberapa kali owner pernah datang membawa pasien di Makassar Pet Clinic dengan keperluan vaksin ke-2 (13 November 2015), dan pada tanggal 27 November 2015 pasien datang kembali dengan keluhan vomit dan anorexia, pada 24 Desember 2015 pasien datang kembali dengan keluhan diare. Setelah beberapa hari kemudian, keluarga owner memberikan informasi bahwa pasien pernah didapati menangkap tikus. 4.3 Status Present a. Keadaan Umum

Perawatan : Kadang dikandangkan Tingkah laku : Tenang, jinak Gizi : Baik Pertumbuhan badan : Baik Sikap berdiri : Tegap Suhu tubuh : 39,4°C

b. Palpasi Kepala dan Leher Turgor kulit : >3 detik Mukosa mulut : Ikterus/jaundice Lidah : Ikterus/jaundice

c. Palpasi Lymphonodus popliteus Ukuran : Kecil, tidak ada pembengkakan Konsistensi : Kenyal Lobulasi : TAP Kesimetrisan : TAP Panas : Normal Pada pasien Loki, suhu tubuh yang diperoleh saat pemeriksaan umum yaitu

39,4°C. Menurut Widodo et al., (2011) anjing sehat memiliki suhu berkisar antara 37,6°C – 39,4°C untuk anjing besar dan 38,5°C – 39,5°C untuk anjing kecil. Loki termasuk anjing ras Akita Jappanese yang termasuk anjing ras besar dan memiliki

Page 41: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

28

suhu tubuh lebih besar dari suhu normal anjing besar pada umumnya. Hal ini bisa diakibatkan karena adanya respon sistem kekebalan tubuh yang menurun karena adanya infeksi didalam tubuh hewan tersebut.

Pemeriksaan turgor kulit pasien Loki yaitu >3 detik. Menurut Widodo et al., (2011) turgor pada hewan sehat pada umumnya kurang lebih 2-3 detik setelah dilakukan penarikan kulit dan kulit akan kembali ke posisi datar seperti semula. Turgor kulit yang lebih besar dari 3 detik dapat disebabkan karena kurangnya kandungan air didalam tubuh sehingga lipatan kulit hasil penarikan akan memerlukan waktu lebih lama untuk kembali keposisi semula. Turgor kulit dapat meningkat apabila hewan kekurangan banyak cairan akibat kondisi diare yang disertai dengan muntah, adanya pendarahan yang hebat ataupun juga pada kondisi pasien yang mengalami poliuria.

Pada pemeriksaan fisik pasien Loki diperoleh juga keadaan ikhterus/ jaundice dihampir seluruh tubuh pasien, salah satunya di mukosa dan kulit pasien (Gambar 11). Widodo et al., (2011) menjelaskan bahwa adanya keadaan berwarna kuning yang dijumpai pada selaput lendir atau mukosa tubuh dapat terjadi apabila pigmen bilirubin terdapat secara bebas didalam darah dalam jumlah yang banyak sehingga pigmen-pigmen tersebut mengendap dalam jaringan-jaringan tubuh. Gejala ikhterus dapat ditemukan pada penderita gangguan hati dan ginjal (Lecondre, 2010).

Gambar 11. Temuan klinis yang ditemukan pada pasien. (A) Pada mukosa mulut pasien, (B) Pada kaki pasien, dan (C) Pada telinga pasien. Ikhterus hampir

ditemukan disemua bagian tubuh pasien.

A B

C

Page 42: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

29

4.4 Pemeriksaan lanjutan a. Pemeriksaan Darah

Tabel 3. Hasil Pemeriksaan Darah Pasien Loki

Indikator Kadar normal dalam darah

Hasil pemeriksaan

WBC 6-17 x 103/µL 21.9 x 103/µL (H) LIM# 0,8–5,1 x103/µL 1,8 x 103/µL MID# 0,1-8 x103/µL 1.3 x103/µL GRA# 4-12,6 x103/µL 18.8 x103/µL (H) LYM% 12-30% 8.9% (L) MID% 2-9% 6.6 % GRA% 60-83% 84.5% (H) RBC 5,5-8,5 7.43 x106/ µL HGB 12-18 12.9 g/dL MCHC 30-38 30.6 g/dL MCH 20-25 17.4 pg (L) MCV 62-72 56.9 ƭL (L) RDW-CV 11-15,5 15,3% RDW-SD 35-56 35.7 ƭL HCT 39-56 42,2% PLT 200-500 317 x103/µL MPV 7-1,9 17,3 ƭL (H) PDW 10-18 3,7 ƭL (L) PCT 0,1-0,5 0,55% (H) P-LCR 13-43 88,3% (H)

Ket : L= Low; H= High Menurut Kristiina (2015), pada pemeriksaan darah pasien yang menderita

leptospirosis akan ditemukan adanya keadaan neutrofilia yaitu peningkatan jumlah neutrofil yang dapat disebabkan oleh adanya infeksi bakteri dan parasit, penurunan jumlah trombosit (trombositopenia) yang biasanya terjadi pada kasus penyakit yang berat (58%) dan juga seringkali terdapat penurunan jumlah sel darah merah akibat pendarahan gastrointestinal atau pulmonal. Hal ini sinkron dengan hasil pemeriksaan darah lengkap (Complete Blood Count/ CBC) pasien Loki, dimana didapati nilai WBC (White Blood Cell) mengalami peningkatan dari nilai normalnya. White blood cell yaitu jumlah total leukosit didalam darah. Menurut Kailis (1980) leukosit memiliki fungsi utama yaitu untuk melawan infeksi, melindungi tubuh dengan memfagosit organisme asing dan memproduksi atau mengangkut/ mendistribusikan antibodi. Peningkatan leukosit didalam darah dapat diindikasikan dengan adanya penyakit inflamasi kronis, penyakit akibat infeksi bakteri, pendarahan akut, leukemia, gagal ginjal atau nefritis dan akibat pengobatan seperti quini, adrenalin dan steroid. Leukosit memiliki dua tipe utama sel darah putih yaitu: Granulosit (neutrofil, eusinofil dan basofil) serta Agranulosit (limfosit dan monosit) yang memiliki peranan masing-masing dalam melawan

Page 43: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

30

infeksi dalam tubuh. Pada hasil pemeriksaan darah pasien Loki juga diperoleh peningkatan nilai granulosit yaitu sebesar 18.8 x103/µL dari nilai normal 4 sampai 12,6 x103/µL. Neutrofil diketahui merupakan bagian sel darah putih yang paling banyak dari kelompok granulosit dibandingkan eusinofil dan basofil. Peningkatan neutrofil berkaitan dengan tingkat keganasan infeksi yang ada, sedangkan penurunan nilai limfosit (LYM) menunjukkan keadaan pasien yang rentan terhadap infeksi, khususnya virus sehingga harus dilakukan tindakkan untuk melindungi pasien dari infeksi (Kailis, 1980).

MCV (Mean Corpuscular Volume) adalah indeks untuk menentukan ukuran sel darah merah sedangkan MCH (Mean Corpuscular Hemoglobin) merupakan nilai yang mengindikasikan berat hemoglobin di dalam sel darah merah dan oleh karenanya menentukan kuantitas warna(normokromik, hipokromik, hiperkromik) sel da rah merah dan digunakan untuk mendiagnosa anemia (Kailis, 1980). Penurunan nilai MCV dan MCH dapat mengindikasikan anemia mikrositik yaitu jenis anemia yang ditandai dengan keberadaan sel-sel darah merah abnormal kecil. Kailis (1980) menjelaskan bahwa jika peningkatan neutrofil lebih besar daripada peningkatan sel darah merah total mengindikasikan infeksi yang berat. Total Red Blood Cell pasien Loki masih dalam batasan normal yaitu 7.43 x106/µL.

Nilai PDW (Platelet Distribution Width) mengalami penurunan dapat disebabkan karena trombosit yang mempunyai variasi ukuran yang kecil. Sedangkan MPV (Mean Platelet Volume) yaitu volume rata-rata trombosit yang mengalami peningkatan dari nilai normalnya dapat terjadi karena adanya peningkatan jumlah platelet yang diproduksi tubuh. P-LCR (Platelet, Large Cell Ratio) mengalami peningkatan. Trombosit (platelet) merupakan elemen terkecil dalam pembuluh darah. Trombosit diaktivasi setelah kontak dengan permukaan dinding endotelia. Trombositosis berhubungan dengan kanker, splenektomi, polisitemia vera, trauma, sirosis, myelogeneus, stres dan arthritis reumatoid. Trombositopenia berhubungan dengan idiopatik trombositopenia purpura (ITP), anemia hemolitik, aplastik, dan pernisiosa. Leukimia, multiple myeloma dan multipledysplasia syndrom. Menurut Biomedika (2012), pada pemeriksaan darah pasien leptospirosis akan ditemukan penurunan jumlah trombosit atau biasa disebut dengan trombositopenia. Trombositopenia biasanya terjadi pada kasus penyakit yang berat (58%). Namun pada kasus pasien Loki jumlah platelet (PLT) masih dalam batasan normal.

PCT (Procalcitonin) juga mengalami peningkatan pada pemeriksaan darah pasien Loki. Andika dkk (2016) menjelaskan bahwa PCT atau Procalcitonin dinilai sangat baik untuk mendeteksi adanya infeksi bakteri berat (serious bacterial infection/SBI) seperti bakteremia, infeksi saluran kemih dan pneumonia. Peningkatan nilai PCT pada pemeriksaan darah pasien Loki dapat disebabkan oleh bakteri leptospira yang akan bermultiplikasi (pembanyakkan) di dalam darah dan jaringan setelah masuk ke dalam tubuh melalui kulit atau selaput lendir dan selanjutnya akan terjadi leptospiremia.

b. Kimia Darah

Page 44: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

31

Dari hasil pemeriksaan kimia darah pasien Loki, didapati bahwa terjadi peningkatan kadar urea dan keratinin dalam darah. Menurut Made (2008), pemeriksaan fungsi ginjal penderita leptospirosis akan ditemukan gangguan fungsi ginjal yang ditandai dengan peningkatan kadar urea (BUN) dan keratinin (CP). Hal ini singkron dengan hasil pemeriksaan kimia darah pasien Loki dimana diperoleh kadar urea dan keratitin yang mengalami peningkatan. Peningkatan kadar urea dan keratinin dalam darah dapat disebabkan oleh adanya penyakit ginjal yang disebabkan oleh penimbunan bakteri leptospira dimana saat bakteri leptospira ada didalam darah maka bakteri tersebut akan menyebar ke berbagai jaringan tubuh terutama ginjal dan hati (Yuliarti, 2005).

Pada tes fungsi hati penderita leptospirosis berat umumnya memperlihatkan peningkatan kadar bilirubin darah yang cukup bermakna yang tidak sesuai dengan nilai test fungsi hati lainnya (Yuliarti, 2005), namun pada pemeriksaan fungsi hati pasien Loki, tidak didapati peningkatan kadar bilirubin (GGT, ALT, AST). Peningkatan nilai fungsi hati seperti SGPT (ALT) dan SGOT (AST) dapat diindikasikan dengan adanya kerusakan pada hati, namun peningkatan SGOT tidak spesifik menunjukkan adanya kelainan pada hati karena SGOT tidak hanya terdapat pada hati saja melainkan terdapat pula dalam sel darah, jantung dan otot sehingga diperlukan pemeriksaan SGPT untuk dapat memastikan adanya kerusakan pada sel hati. Hasil SGOT dan SGPT yang normal belum tentu menunjukkan bahwa pasien bebas dari penyakit hati karena pada kasus penyakit kronis (menahun dan berjalan perlahan), dapat ditemukan kadar SGOT dan SGPT yang normal atau mengalami peningkatan yang tidak banyak yang sering ditemukan pada kasus hepatitis. Enzim hati akan meningkat ketika sel-sel hati mengalami kerusakan yang masif sedangkan pada infeksi kronik, sel hati mengalami kerusakan secara perlahan sehingga kenaikan SGOT dan SGPT tidak signifikan bahkan terlihat normal, oleh sebab itu pada penyakit hati seperti ini perlu jenis pemeriksaan lainnya (Biomedika, 2012).

Tabel 4. Hasil Pemeriksaan Kimia Darah Pasien

Test Unit Normal Result Ket. Urea Nitrogen (BUN) Mg/dL 8.700-30.500mg/dL 51.361mg/dL High Creatinine (CR) Mg/dL 0.500-1.600mg/dL 22.670mg/dL High Alanine Aminitransferase (ALT)

IU/L 4.000-90.000U/L 33.926U/L Normal

Aspartate Aminitransferase (AST)

IU/L 0.0.000-104.000U/L 82.042U/L Normal

Gamma glutaml transferase (GGT)

IU/L 0.000-14.000U/L 9.403U/L Normal

c. Pemeriksaan USG

Hasil USG pada daerah abdomen dengan arah transduser sagital didapatkan adanya kelainan pada ginjal dan hati.

Page 45: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

32

Gambar 12. Sonogram ginjal pada anjing. (A) Hasil sonogram ginjal anjing normal. (Kp, Kapsula; K, Korteks; M, Medulla; DG, Divertikulum ginjal; BI,

Pembuluh darah interlobar; BA, Pembuluh darah arkuata; L, Limpa.). (B) Hasil sonogram ginjal pasien Loki (Kp, Kapsula; M, Medula; K, Korteks)

Menurut Forrest (1998), pada pemeriksaan sonogram ginjal anjing penderita

leptospirosis terdapat beberapa kelainan yang paling umum ditemukan yaitu adanya peningkatan ekogenisitas kortikal, dilatasi pada bagian renal pelvis (pyelectasia), dan akumulasi cairan diperirenal. Pembesaran dan hipoekhoenisitas pankreas juga dapat ditemukan, selain itu terjadi peningkatan ekogenisitas pada medula yang menurut beberapa temuan hanya ditemukan pada anjing yang menderita leptospirosis. Hal tersebut singkron dengan hasil pemeriksaan sonogram dari pasien Loki dimana dimana terdapat gambaran hyperechoid pada bagian medula ginjal sedangkan penampang kapsul ginjal memiliki batasan yang tidak kompak.

Hasil sonogram hati pasien Loki menunjukkan pelebaran diameter (distensi) dari pembuluh darah yang ada di hati. Menurut d’Anjou (2008), kongesti pembuluh darah di hati ditandai dengan membesarnya ukuran pembuluh darah, meningkatnya ekhogenitas dinding buluh darah, dan disertai pembesaran hati (hepatomegali). Perubahan pada vaskularisasi hati lebih sering diakibatkan efek sekunder dari kelainan lain (Mannion, 2006).

Gambar 13. Hasil pemeriksaan sonogram hepar pasien Loki.

A B M Kp

K

Page 46: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

33

4.5 Diagnosa

Berdasarkan keseluruhan pemeriksaan yang dilakukan terhadap pasien Loki, diagnosa Leptospirosis dapat diteguhkan dengan adanya temuan klinis berupa jaundice pada mukosa mulut dan hampir diseluruh tubuh pasien sebagai indikator adanya kerusakan pada hati dan ginjal yang menjadi organ target dari bakteri leptospira setelah fase leptospiremia dan hasil pemeriksaan lanjutan yang dilakukan semakin memperkuat diagnosa dimana hasil pemeriksaan darah rutin (CBC) terjadi peningkatan nilai WBC (White Blood Cell), GRA (Granulosit), dan LIM (Limfosit) sebagai indikator adanya peradangan, serta PCT (Procalcitonin) yang merupakan indikator yang spesifik untuk mendeteksi adanya infeksi bakteri berat. Selain itu peningkatan kadar BUN dan keratinin pada pemeriksaan kimia darah pasien dan hasil USG pada ginjal serta hati menunjukkan adanya kerusakan fungsi hati dan ginjal sebagai akibat adanya bakteri leptospira yang sudah menyebar didalam tubuh pasien.

Untuk mengukuhkan diagnosa leptospirosis perlu dilakukan pemeriksaan laboratoris seperti isolasi bakteri dan pemeriksaan serologis seperti MAT (Microscopic Agglutination Test), PCR (Polimerase Chain Reaction) atau ELISA (Widodo, 2009). Namun pada pasien Loki tidak dilakukan pemeriksaan serologis karena keterbatasan peralatan yang ada.

Selain itu pada saat mengumpulkan informasi (anamnesis), perlu untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat mengarahkan pada diagnosis leptospirosis seperti, apakah pasien hidup di lingkungan yang memiliki genangan air, atau apakah pasien pernah berinteraksi dengan tikus sebagai pembawa bakteri leptospira, sehingga dengan mudah untuk mendiagnosa leptospirosis. 4.6 Pengobatan

Menurut Eldredge (1997), terapi yang dapat diberikan pada penderita leptospirosis yaitu dengan memberikan terapi cairan untuk menangani dehidrasi yang terjadi akibat demam dan anoreksia serta pemberian antibiotik untuk mematikan bakteri yang ada didalam tubuh penderita. Pada kasus ini, terapi cairan yang diberikan yaitu cairan yang mengandung: Na 130 mEq, K 4 mEq, Cl 109 mEq, Ca 3 mEq, Asetat (garam) 28 mEq 3 botol/ hari (1 botol/ 8 jam, 1 drop/ 3 detik). Salah satu indikasi pemberian terapi cairan tersebut yaitu untuk menurunkan tekanan intrakranial yang tinggi karena edema serebral, meningkatkan diuresis pada pencegahan dan/atau pengobatan oliguria yang disebabkan gagal ginjal, menurunkan tekanan intraokular, dan meningkatkan ekskresi uriner senyawa toksik. Salah satu kandungan cairan terapi tersebut yaitu asetat. Asetat dapat dimetabolisme di otot, dan masih dapat ditolelir pada pasien yang mengalami gangguan hati (Guyton, 1997). Pemberian cairan yang mengandung mengandung: Na 130 mEq, K 4 mEq, Cl 109 mEq, Ca 3 mEq, Asetat (garam) 28 mEq sebagai terapi cairan sesuai dengan kondisi pasien leptospirosis yang memiliki indikasi adanya kerusakan pada ginjal dan hati.

Antibiotik yang digunakan dalam pengobatan pada pasien Loki yaitu dengan pemberian antibiotik yang mengandung Procaine benzylpenicillin 3 juta unit/vial injeksi 4ml 2 kali sehari IV selama 4 hari, dan antibiotik yang

Page 47: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

34

mengandung Ampicillin 1,5 gr Pro Inj. (1/2 vial dalam 1 flacon infus) 3 kali sehari (pukul 14.30, 22.30, 06.30). Antibiotik yang mengandung Procaine benzylpenicillin 3 juta unit/vial injeksi merupakan antibiotik kombinasi antara Benzylpenicillin dan Procaine. Benzylpenicillin yaitu antibiotik beta laktam yang termasuk golongan Penicillin sedangkan Procaine adalah obat anestesi lokal. Kombinasi ini bertujuan untuk mengurangi rasa sakit pada pemberian secara injeksi intramuscular. Penggunaan antibiotik ini adalah untuk mengobati infeksi yang disebabkan oleh bakteri yang peka terhadap Procaine benzylpenicillin. Sedangkan penggunan antibiotik yang mengandung Ampicillin merupakan salah satu antibiotik semi sintetik golongan penicillin yang cukup murah. Antibiotik ini termasuk dalam agen bakterisidal yang mempunyai spektrum aktivitas luas pada bakteri gram negatif dan positif. Indikasi pemberian antibiotik ini yaitu untuk mencegah infeksi pada saluran pencernaan, saluran pernafasan dan perkemihan (Plumb, 1999). Pemberian antibiotik pada pasien loki sudah tepat namun menurut Sittinont (2010), terdapat antibiotik lain yang paling umum diberikan kepada penderita leptospirosis baik pada manusia maupun hewan yaitu antibiotik yang mengandung Penisilin maupun Doksisiklin. Pengobatan pada pasien Loki telah menggunakan salah satu dari antibiotik yang disarankan, yaitu antibiotik yang mengandung Procaine benzylpenicillin 3 juta unit/vial injeksi yang adalah golongan dari penisilin. Antibiotik yang mengandung Doksisiklin merupakan antibiotika dengan aktivitas antimikroba yang luas, efektif terhadap bakteri gram positif dan gram negatif. Antibiotik yang mengandung doksisiklin merupakan antibiotik golongan tetrasiklin yang bekerja secara bakteriostatik dengan cara mencegah sintesa protein mikroorganisame. Salah satu indikasi dari antibiotik ini yaitu untuk mencegah infeksi pada saluran perkemihan dan genital sehingga penggunaan antibiotik tersebut pada penderita leptospirosis lebih disarankan guna mengeliminasi bakteri leptospira yang terdapat pada ginjal. Dosis antibiotik yang mengandung doksisiklin pada anjing yang menderita leptospirosis yaitu 5mg/kg PO atau IV q12h selama 14 hari (Plumb, 1999).

Terapi simptomatis juga diperlukan untuk mengobati gejala yang ada yaitu dengan dengan pemberian obat antidiare, dan antimuntah. Pada kasus pasien Loki, terapi simtomatik yang diberikan yaitu pemberian antimuntah yang mengandung Ondansetron HCl dihydrate 2,5 mg setara dengan Ondansetron base 2 mg sebagai obat antimuntah dengan dosis 2,5 ml 2 kali sehari PO, juga dengan pemberian obat antidiare yang mengandung Kaolin 550 mg dan Pectin 20 mg dengan dosis 1 tab 2 kali sehari PO selama 3 hari. Selain itu, pasien juga diberikan multivitamin yang mengandung Butaphospan 100 mg dan Vit B12 5 mg ditiap ml dengan dosis 3 ml 1 kali sehari PO sebagai terapi suportif untuk menjaga daya tahan tubuh dan pemberian obat hepatoprotektor yang mengandung sorbitol 35 gr, acetyl methionin 10 gr, choline chloride 7,5 gr, betain 6 gr, lysine hcl 2gr dengan dosis 3 ml 2 kali sehari (IV) untuk menjaga fungsi hati.

4.7 Edukasi Klien Luiz (2009) menjelaskan bahwa penularan leptospirosis dari satu hewan ke

hewan lainnya terjadi saat ada kontak langsung terhadap cairan urin penderita melalui luka dikulit, luka gigitan, mukosa mulut, mata dan mukosa lainnya

Page 48: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

35

maupun kontak secara tidak langsung terhadap lingkungan yang terkotaminasi dengan bakteri leptospira seperti tanah, tanaman, makanan. Penularan yang paling sering terjadi yaitu melalui air sehingga penyakit ini banyak ditemukan disaat musim hujan. Hal ini perlu diperhatikan oleh para pemelihara hewan peliharaan seperi anjing. Anjing peliharaan harus dipastikan berada didaerah yang jauh dari genangan air sehingga dapat meminimalkan kotaminasi dengan bakteri leptospira. Anjing sebaiknya dikandangkan agar tidak berkeliaran di daerah yang menjadi tempat bersarang tikus-tikus penyebar leptospira. Membersihkan tempat-tempat yang menjadi habitat atau sarang tikus dan meniadakan akses tikus ke lingkungan manusia juga dapat dilakukan dalam upaya pengendalian leptospirosis.

Selain itu, pemilik hewan kesayangan perlu melakukan vaksinasi terhadap hewannya untuk merangsang daya tahan tubuh hewan tersebut terhadap penyakit leptospirosis. Meskipun vaksinasi tidak mencegah atau mengobati infeksi tetapi dapat dapat menurunkan jumlah Leptospira yang dikeluarkan melalui urin pada anjing (Bey & Johnson, 1982).

Page 49: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

36

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan studi kasus ini dapat diperoleh kesimpulan yaitu sebagai berikut :

1. Diagnosa leptospirosis dapat ditegakkan dengan adanya anamnesis yang jelas serta pemeriksaan fisik dan laboratorium yang mendukung seperti pemeriksaan darah rutin dan kimia darah. Selain itu diperlukan juga pemeriksaan lanjutan seperti pemeriksaan sonogram (USG) dan pemeriksaan serologis (MAT dan ELISA) untuk meneguhkan dignosa yang akan diambil.

2. Penanganan kasus leptospirosis dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik Penisilin golongan beta laktam maupun Doksisiklin golongan tetrasiklin yang merupakan antibiotik yang berspektrum luas untuk mengeliminasi bakteri dari dalam tubuh. Pemberian terapi simptomatik untuk mengobati gejala muntah dengan Ondansteron dan diare dengan Diaform. Selain itu diperlukan juga pemberian terapi suportif dengan Catosal untuk meningkatkan daya tahan tubuh pasien.

5.2 Saran Saran yang dapat diberikan dari studi kasus ini adalah :

1. Untuk ketepatan diagnosa, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan serologis seperti MAT dan ELISA

2. Karena Leptospirosis merupakan penyakit yang bersifat zoonosis maka pada saat penanganan perlu diminimalkan terjadinya kontak dengan pasien agar tidak terjadi penularan

3. Urin pasien penderita harus dijauhkan dari pasien lain agar tidak jadi pernularan

Page 50: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

37

DAFTAR PUSTAKA

Adamus C, Buggin-Daubie M. Et el. Chronic Hepatitis Associated with Leptospiral Infection in Vaccinated Beagles. J Comp Pathol 117:311-328, 1997.

Adin CA, Cowgill LD. 2000. Treatment And Outcome Of Dog With Leptospirosis: 36 case (1990-1998). J Am Vet Assoc. 216(3):371-5.

Andika Surya Atmadja, Radius Kesuma, dkk. 2016. Pemeriksaan laboratorium untuk membedakan infeksi bakteri dan infeksi virus. CDK-241/Vol. 43(6)

Anonymous. 2009. Overview of the Leptospira bacterium itself. The Leptospirosis Information Center. Diaskes 17 Juni 2017.

Biomedika, 2012. Pemeriksaan Kimia Klinik. All rights reserved. Designed by JED Creative. http://www.biomedika.co.id/services/laboratorium/33/pemeriksaan-kimia-klinik.html Diakses 28 Oktober 2017.

Bunch, S.E. 2005. Jaundice. In: BSAVA Manual of Canine and feline Gastroenterology, 2nd Edition. Hall, E.D., Simpson, J.W. and Williams, D.A. (Editors). BSAVA Publications, Gloucester, England. pp. 103-108.

Burrows, C.F. 2004. An Approach to the Icteric Patient. In: Proceedings of the 29th WSAVA Congress, October 6-9, 2004. Island of Rhodes, Greece.

Dharmojono. 2000. Leptospirosis-Anthrax- Mulut dan Kuku Sapi Gila. Waspadailah Akibatnya. Edisi 1. Jakarta: Pustaka Populer Obor. ISBN 979-461 397-5.

Dunn, J.K. 2000. Jaundice. In: Textbook of Small Animal Medicine. Dunn, J.K. (Editor). W.B. Saunders, London. pp. 126-134.

Eldredge DM, Lisa DC, Carlson DG, James M.G. 1997. Dog owner’s Home Veterinary Handbook (dalam Beth Adelman). Edisi 4. Hoboken: Willey Publishing Inc ISBN 978-0-470-06785-7.

Forrest LJ, O’brien Rt et al. Sonographic renal findings in 20 dogs with leptospirosis. Vet Radiol Ultrasound. 1998 Jul-Agustus; 39(4): 337-40.

Greene CE, Miller MA, et al. Leptospirosi, in Greene CE (ed): Infectious of the Dog and cat. Philadelphia, WA Saunders, 1998, p 275.

Goldstein RE, Lin RC et al. 2006. Influence of infecting serogroup on clinicak features of leptospirosis in dog. SC J Vet Intern Med; 20(3); 489-94.

Guyton, A. Kompartemen Cairan Tubuh: Cairan Ekstraseluler dan Intraseluler. Dalam: Buku ajar Fisiologi Kedokteran edisi 9. Jakarta: EGC; 1997. hal 375-7.

Jaksa, Suhernan 2010. Leptospirosis. Jurnal Kedokteran dan Kesehatan. Edisi 1. Jakarta: Universitas Muhammadiyah Jakarta Press. ISSN 0216-3942.

Kailis SG, Jellet LB, Chisnal W, Hancox DA. A rational approach to the interpretation of blood and urine pathology test. Aust J Pharm 1980 (April): 221-30

Kristiina Ruotsalo, DVM, DVSc, ACVP & Margo S. Tant, BSc, DVM, DVSc. 2015. Leptospirosis in Dog. LifeLearn, Inc. http://vcahalospitals.com/know-your-pet/leptospirosis-in-dogs-the-disease-and-how-to-test-fo-it Diakses 28 Oktober 2017

Page 51: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

38

Kohn B, Steinicke K, Amdt G, et al. 2010. Pulmonary abnormalities in dogs with Leptospirosis. J Vet Intern Med; 24(6): 1277-82.

Komite Akreditasi Nasional (KAN), Laboratorium Amerind Bio-Clinic, 2010. Uji Fungsi Ginjal. ISO 15189 LM-005-IDN. http://wwwabclab.co.id/?p=944 Diakses 28 Oktober 2017

I Wayan Widi Parnayoga, 2012. Studi kasus Pencitraan Sonogram Kelainan Organ Hati dan Kantung Empedu Anjing (Canis lupus). Institut Pertanian Bogor. Melalui http://respository.ipb.ac.id/jspui/bitstream/123456789/56697/12/B12iww.pdf Diakses 01 November 2017

Lecondre, P. And Arpaillange, C. 2010. Jaundice in the dog. Veterinary Focus, Vol 20 (3); 17-24.

Levett Paul N. Leptospirosis. Clin. Microbial. Reviews. 2001; University of the West Indies, School of Clinical Medicine & Research, and Leptospira Laboratory, Ministry of Health, Barbados. Vol. 14 (2): 296-326

Lippincott Williams & Wilkins, 2000. Chemistry Analyzer Normal Values Veterinary. From hitachi Chemistry Analyzer model 747 IDEXX Veterinary Services.

Mackin, A. 2010. Approach to jaundice. In: Proceedings of the Central Veterinary Conference, Kansas City. http:/veterinarycalender.dvm360.com/approach-jaundice-proceedings

Marks, S.L. 2013. Rational Approach to the Yellow Cat. In: Proceedings of the Sounthern European Veterinary Conference, 17-19 October 2013. Barcelona, Spain.

Marutto PCF, Nascimento CMR, Neto JE, Marotto MS, Andrade L, Sztajnbok J, et al. Acute lung injury in leptospirosis: Clinical and laboratory featurer, outcome, and factors associated with mortality. Clin Infec Dis 1999; 29: 1561-3.

Martin EM, Bestard BV, Marquez RL, and Gonzalez AA: Case report: Lung involvement in leptospirosis. Arch Bronconeumol 2006; 42(4):202-4

Made, I Setiawan, 2008. Pemeriksaan Laboratorium untuk mendiagnosis penyakit Leptospirosis. Media Litbang Kesehatan Volume XVIII Nomor 1 Tahun 2008.

Noviana et al., 2012. Diagnosis Ultrasonografi pada Hewan Kecil; IPB Press., ISBN: 978-979-493-387-9

Nurcha, Siti. 2012. Hubungan perilaku dan lingkungan fisik dengan kejadian leptospirosis di kota semarang. Universitas Muhammadiyah Semarang. Melalui http://jtptunimus-gdl-sitinurcha-6633-3-babii diakses pada tanggal 14 september 2017

Suttinont C, et al. Strategies for diagnosis and treatmant of suspected leptospirosis; a cost-benefit analysis. Plos negl Trop. 4 (2); e610 Melalui http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3040842/ Diakses 28 Oktober 2017

Soetanto T, Soeroso S, Ningsih S. 2004. Pedoman Tatalaksana Kasus dan Pemeriksaan Laboratorium Leptospirosis di Rumah Sakit. Departemen Kesehatan RI.

Page 52: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

39

Speelman P. Leptospirosis. In : Braunwauld E, Kasper D, Fauci A, etc. Harrison’s Principles of Internal Medicine,16th ed. New York : McGraw-Hill, 2005 : 988-991

Subroto. 2005. Penyakit Infeksi Parasit dan Mikroba pada Anjing dan Kucing (Dalam Nunung P). Edisi 1. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 188-192. ISBN 979-420-611-3.

Trevejo RT, Rigau-Peres JG, Ashford DA, McClure EM, Gonzalez CJ, Amador JJ, et al. Epidemic leptospirosis associated with pulmonary hemorrhage-Nicaragua, 1995. JInf Dis 1998; 178:1457-63.

Vijay Kumar, Adarsh Kumar, et al. Ultrasonographic Imaging for Structural Characterization of Renal Affections and Diagnosis of Associated Chronic Renal Failure in 10 Dog. ISRN Veterinary Science.Volume 2011. 11(901713). Melalui https://www.hindawi.com/journals/isrn/2011/901713/ Diakses 01 November 2017

Watt G, Padre LP, Tuazon ML, Calubaquib C et al. Placebo-controlled trial of intravenous penicillin for severe and late leptospirosis. 1988; 1 (8583); 433-5. Melalui http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3040842/ Diakses 28 Oktober 2017

WHO. 2003. Leptospirosis; Guidance for diagnosis, surveillance and control. International leptospirosis society.

Widodo, J. 2009. Leptospirosis pada Manusia (PDF). Diakses 19 Juni 2017. Wiley, 2010. Small Animal Consensus Statement on Leptospirosis; Diagnosis,

Epidemiology, Treatment, and Prevention. Journal of Veterinary Internal Medicine. https://www.ncbi,nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3040842 Diakses 28 Oktober 2017

Yersin C, Bovet P, Merien F, Wong T, Panowsky J, dan Perolat P. Human leptospirosis in the seychelles (Indian Ocean); a populatioan-based study. Am J Trop Med Hyg 1998; 59; 933-940.

Yuliarti N. 2005. Hidup Sehat Bersama Hewan Kesayangan (Dalam Agnes HT). Edisi 1. Yogjakarta: Andi Offset. Hal 243-250. ISBN 979-763-842-1.

Page 53: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

40

Lampiran 1. Pathogenesis Leptospirosis

LEPTOSPIR

Melalui mukosa, luka dikulit, maupun

kontak tidak langsung terhadap

lingkungan

Leptospiremia

Multiplikasi di darah dan jaringan

(Di t ib i k b k

Gin

Hati

- Nefritis interstitial dan nekrosis tubular

- Hipovolemia dan permeabilitas kapiler penyebab GGA

- Kerusakan sel-sel hati, pelepasan bilirubin dalam tubuh, kolestasis intrahepatik

Lipopolysacch

Vakulitis disertai kebocoran dan

Agregsi trombosit

( b i i )

Lisisnya eritrosit akibat fosfolipase

(Hemolisin) dari

Ikhterus/Jaundice

Page 54: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

41

Lampiran 2. Metabolisme Bilirubin

Bilirubin dikonjuga

sikan dengan

Disimp

Duadenum

Gastrointesti

Erit

Hemoglobi

Mononuclear Phagocytic

HeGlo

Bilverdin

Heme

Bilirubin tidak terkonjugasi

(Larut dalam

Bilirubin terkonjugasi

H

Biliverdin Reductase

Kandung

Urobilinogen

Stercobin

(Memberi warna

k l

Bilirubin terkonjug

asi di

Siklus

Sirkulasi darah

UrinSisa

Page 55: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

42

Lampiran 3. Tabel Hasil Pemeriksaan Kimia darah pasien Test Unit Normal Result Ket.

Urea Nitrogen (BUN)

Mg/dL 8.700-30.500mg/dL

51.361mg/dL High

Creatinine (CR) Mg/dL 0.500-1.600mg/dL 22.670mg/dL High Alanine Aminitransferase (ALT)

IU/L 4.000-90.000U/L 33.926U/L Normal

Aspartate Aminitransferase (AST)

IU/L 0.0.000-104.000U/L

82.042U/L Normal

Gamma glutaml transferase (GGT)

IU/L 0.000-14.000U/L 9.403U/L Normal

Lampiran 4. Pemeriksaan CBC Pasien

Page 56: DIAGNOSA DAN PENANGANAN KASUS LEPTOSPIROSIS …

43

RIWAYAT HIDUP

Penulis dengan nama lengkap Tresiaty Oriza, dilahirkan pada tanggal 18 Juli 1993 di kota Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua Barat, anak dari Alm. Daud, SE. dan Ludia Bombing, B.Sc. Penulis menyelesaikan Sekolah Dasar di SD Inpres Botang pada tahun 2005, kemudian melanjutkan pendidikan di SMP Katolik Makale dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun 2011 penulis menyelesaikan pendidikan di SMA Katolik Makale Kabupaten Tana Toraja. Penulis menyelesaikan pendidikan Sarjana Kedokteran Hewan pada tahun 2015 di Universitas Hasanuddin dan pada tahun 2016 penulis melanjutkan pendidikan pada Program Profesi Dokter

Hewan (PPDH) di Universitas yang sama dan berhasil mendapatkan gelar Dokter Hewan (Drh.) pada tahun 2017.