Dia
-
Upload
mhs-x-class-ebook-project -
Category
Documents
-
view
213 -
download
0
description
Transcript of Dia
..DIA!!..
Daftar Isi
Kata Pengantar (Fauzil Adhim) III
Acehku Dukaku ( Abdurrahman Faiz) VI
Dia! (Asma Nadia) 1
Biodata Tentang Penulis 2
Pengantar
Karena Hidup Harus Diperjuangkan
Kami masih bercanda pagi itu, Cut, ditemani secangkir teh hangat yang
Alhamdulillah ada manisnya. Aku katakana Alhamdulillah, karena di
Bandung tidak biasa orang member gula pada the pahit yang mereka
hidangkan, untuk diri sendiri maupun tamu. Seperti biasa, setiap
pertemuan, selalu saja ada yang bertannya tentang indahnya pernikahan
dini. Mereka sangat bersemangat, meski saya sendiri menahan kantuk.
Sepanjang perjalanan Yogya-Bandung, mata tidak terpejam dengan-
sempurna. Maka ketika jarum jam hamper menunjuk angka Sembilan,
mataku lelap terpejam. Aku tidak tahu bahwa di saat itu, tanah tempat
emgkau tinggal, sedang lelap ditenggelamkan oleh air yang meninggi. Dan
Serambi Mekah pun dalam sekajap berubah menjadi serambi kematian.
Dan. . . Kematian siang beranjak datang, Teuku, kami sedang sibuk
merancang masa depan. Kadang kami tak bias membedakan antara cita-
cita dengan berpanjang angan-angan. Kami bermimpi, Teuku, tentang
secangkir kopi yang harum di Lhok Nga. Padahal di saat itu, masa depan
sedang berhenti. Dan Lhok Nga sedang bergerak menuju semerbak yang
berbeda. Seminggu setelah itu, ada jasad-jasad yang masih berbaring
dengan utuh, wajahnya berseri-seri dan memancarkan wewangian yang
menggetarkan hati. Tetapi pada saat yang sama jga, ada jasad-jasad yang
entah bagaimana menyebutnya. Padahal hari kematian mereka sama.
Sebabnya pun kurang lebih sama. Tetapi. . . Inilah penanda hidup kita,
Meutia. Kesempurnaa hidup bukanlah dilihat dari megahnya rumah yang
kita bangun, sebagaimana kemuliaan surau-surau bukanlah dari tingginya
menara yang menjulang. Bukankah tak setiap surau berhak untuk menjadi
tempat kita shalat? Cobalah ingat tentang masjid Dhirar seperti yang
diceritakan Allah kepada kita di surat At-Taubah. Masjid semacam ini, lebih
banyak untuk hancur daripada berdiri tegak di atas kedustaan. Wajib bagi
kkita merobohkannya. Atau. . . Allah akan merobohkannya sendiri dengan
cara-Nya. Maka ketika sekolah yang tebuat daddri papan kayu masih
berdiri tegak ditempatnya, sementara yang dibangun dengan beton
berkerangka besi terbang bagai kapas, kesombongan apalagikah yang
dapat kita pertunjukkan kepada dunia jika kita masih juga tak mengakui
kuasa-Nya? Apakah karena tempatnya yang aman dari jangkauan ombak
yang menggulung? Tidak, Teuku. Dayah dan surau itu bahkan ada yang
hamper mendekati bibir pantai. Maka biarlah kisah tentang rumah Tuhan
yang masih kokoh itu menjadi cerita tentang tanda-tanda kekuasaan-
Nya,seperti dulu kita ceritakan pada anak cucu Hikayat Perang Sabil.
Mudah-mudahan kita termasuk orang-orang yang tetap menempuh jalan
yang lurus sesudah negeri tempat kita berpijak habis dilamun ombak
setinggi gunung. Ah, kalau bicara tentang ombak yang meinggi ini,
mestinya engkau masih ingat ayat yang biasa dilantunkan dalam surau-
surau itu. Allah „Azza wa Jalla berfirman, Cut, “Dan apabila mereka
dilamun ombak yang besar seperti gunung, mereka nenyeru Allah dengan
memurnikan kataan kepada-Nya. Maka tatkala A;;ah menyelamatkan
mereka sampai di daratan, lalu sebagian ereka tetap menempuh jalan yang
lurus. Dan tidak ada yang mengingkari ayat-ayat kami selain orang-orang
yang tidak setia lagi ingkar.” (Luqman: 32) Membaca ayat ini, rasanya
keharuan itu muncul kembali tatkala menyaksikan rekaman video ketika
tanah kelahiranmu sedang dilamun ombak. Aku teharu sekaligus malu
kepada Allah Ta‟ala ketika menyeru Allah dengan memurnikan ketaatan,
sementara ada yang di belakang kaosnya tampak logo bir bintang. Allah
ternyata sangat saying sama kita ya, Cut. Allah Ta‟ala seakan tunjukkan
kepada kita suatu pertanda; entah bagaimana engkau memaknai ayat
kauniyah ini. Yang sanggup aku ceritakan pada saat ini hanyalah, betapa
pengampunnya Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya, Maka
Allah menyelamatkan mereka. Apakah arti keselamatan itu bagimu,
Meutia? Hari esok itu tak ada. Kita hanya punya hari ini, pada detik ketika
nyawa masih hinggap di badan. Hari esok, Allah yang punya. Sedikitpun
kita tak tahu pengetahuan yang pasti. Kita bahkan tak tahu esok masih
hidup atau sudah mati. Kita juga tak tahu di bumi mana kita kan di
kuburkan. Maka, pergunakanlah hari ini dengan sebaik-baiknya, sehingga
engkau bias memasuki hrai esok atas perkenalan-Nya dengan kehidupan
yang penuh barakah. Aku berharap, buku ini hanyalah awal, atau sekadar
symbol dari besarnya keinginan untuk merawat persaudaraan denganmu,
Meutia. Disini kami berkumpul, menggoreskan pena kami masing-masing.
Mudah-mudahan ada manfaat yang bisa kmi berikan lewat kata-kata yang
tersusun rapi. Mudah-mudahan pula keeping-keping rupiah yang tak
seberapa dari buku ini, dapat bermanfaat untuk tegaknya persaudaraan
denganmu, Teuku. Setidaknya engkau melihatbahwa kami berusaha
mengingatmu. Selebihnya, hanya Allah Pemberi Manfaat yang sempurna.
Semoga dari buku ini ada yang bergerak untuk berbuat lebih baik dan lebih
banyak. Salamku untuk kalian semmuanya. Aku masih bermimpi suatu
saat akan menyeruput kopi di Uleu Lheu sambil berbicang tentang apa
yang bisa kita kerjakan untuk umat ini. Salam juga dari yang hadir disini.
Ada Asma Nadia yang hadir membawa Dia! Oya, ada juga Abdurrahman
Faiz dengan puisinya, serta masih banyak nama lainnya. Seoga Allah
meninggikan nama-nama itu seluruhnya, nama kalian, nama kita dan nama
saudara kita yang besar sekali keinginan untuk berbuat tapi belum, di
hadapan para malaikat Allah. Amin.
Acehku, Dukaku
(Abdurrahman Faiz, 8 tahun)
Gelombang apakah yang menerjangmu, Acehku?
Orang-orang berlarian lumat digulungnya
Rumah rumah sempurna diratakannya
Keceriaan, kehidupan tiba-tiba lumpuh
Mata kita pecah
Gelombang apakah yang membuat kita menangis, Acehku?
Tak ada makanan atau minuman,
Pakaian, rumah dan pekerjaan sirna
Anak-anak meratap mencari ayah ibu
Di antara jasad yang terkapar
Gelombang apakah itu, Acehku?
Begitu kuat menghantam dada
Sesak kita berjejalan dengan luka
Dan aroma mayat
Airmata yang seolah tak selesai
Cinta dan bantuan mengalir, Acehku
Tak putus semoga tak putus
Jadi mari tangkap kembali cahaya itu
Kita buka pintu-pintu ketabahan
Bagi hikmah, asa yang menyala
Wajah-wajah pucat dan menggigil
Senantiasa akan menemukan rumahnya
Sebab kau, aku, kita Satu
Gelombang paling duka, Acehku
Cinta paling dalam kami, Acehku
:Bangkit!
(6 januari 2005)
..DIA!!..
(Asma Nadia)
Perempuan itu muncul dalam kehidupan suamiku baru-baru ini saja.
Wajahnya ayu, kulitnya putih kemerahan, bulu matanya lentik bahkan
tanpa perlu mascara mahal seperti yang biasa kusapukan di mataku.
Kupastikan banyak perempuan seumurku yang iri melihat bibrnyayang
merah muda alami, tanpa polesan lipstick. Suamiku tidak buta. Jadi pasti
dia melihat berkah Allah pada wanita muda yang cantik itu.
“papa nggak usah bohong!” Tuduhku berapi-api saat bayangan
perempuan muda itu meninggalkan beranda kami. Seperti yang sudah-
sudah, suamiku yang pendiam hanya tersenyum. Tentu saja aku jadi
gemas setengah mati. “kalau bukan kaena cantik, apa iya papa senang di
datangi dia terus?” Suamiku tersenyum lagi. “Mama juga cantik. Apalagi
dengan gelang keroncong baru itu. Coba papa lihat!” Meski masih sebal,
aku ulurkan juga tanganku. Suamiku meneliti dderetan gelang keroncong,
menghitungnya sebentar. “Enam biji. Kenapa, gak suka?” selaku galak.
Tapi seperti yang sudah-sudah, suamiku yang sabar itu malah
memandangku, dari gelang, lalu kalung yang bertumpuk di dadaku,
pandangannya baru berakhir di atas kepala. Rambut pendek yang
sebagian aku cat sedikit pirang. “Gak suka?” uberku lagi. Suamiku
menggeleng. “Mama cantik.” Kalimatnya singkat menutup letupan
cemburuku hari itu. Kemudian suamiku bercerita tentang indah, lagi-lagi
sigadis muda yang cantik itu, tutur hatiku. Dan aku kaget saat mendengar
cerita dari mulut suamiku mas Irwan. Sungguh jahatnya diriku ini yang
telah menilai seseorang yang tidak begitu aku kenal dengan salah. Lagi-
lagi aku kaget saat mas irwan berkata bahwa wanita cantik itu adalah
seorang janda yang memiliki 5 anak. Di kemudian hari aku tidak resah dan
takut lagi akan hadirnya wanita muda itu kerumahku untuk bersilahturahmi.
Lama-kelamaan aku tidak menyadari bahwa aku dan wanita muda itu
sudah sangat akrab seperti seorang kakak adik.
Biodata tentang penulis
Fuzil Adhim; kelahiran Mojokerto, 29 Desember 1972. Karyanya yang
telah di terbitkan antara lain; Kupinang Engkau dengan Hamdallah (1997),
Mencapai Pernikahan Barokah (1997), Kado Pernikahan untuk Istriku
(1998), Disebabkan oleh Cinta (1998), Memasuki Pernikahan Agung,
Salahnya kodok, Bahagia Saat Hamil bagi Ummahat (semua diterbitkan
Mitra Pustaka), Saatnya untuk Menikah (2000), Indahnya Pernikahan Dini
(2002). Konseling Keluarga/Perkawinan di fakultas Psikologi Universitas
Islam Indonesia, Mukim di Yogyakarta.
Asma Nadia; nama pena Asmarani Rosalba lahir di Jakarta 1972. Peraih
Adikarya IKAPI dari bukunya Rembulan di Mata Ibu dan Dialog Dua Layar.
-----….----