DETERMINAN STATUS GIZI DAN PENGARUHNYA PADA … · Gizi dan Pengaruhnya pada Prestasi Akademik Anak...

72
DETERMINAN STATUS GIZI DAN PENGARUHNYA PADA PRESTASI AKADEMIK ANAK SEKOLAH DASAR DI KAMPUNG NELAYAN PUGER, JEMBER ARIFATUSH YUNI HARIYANTI DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2016

Transcript of DETERMINAN STATUS GIZI DAN PENGARUHNYA PADA … · Gizi dan Pengaruhnya pada Prestasi Akademik Anak...

i

DETERMINAN STATUS GIZI DAN PENGARUHNYA PADA

PRESTASI AKADEMIK ANAK SEKOLAH DASAR DI

KAMPUNG NELAYAN PUGER, JEMBER

ARIFATUSH YUNI HARIYANTI

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2016

ii

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Determinan Status

Gizi dan Pengaruhnya pada Prestasi Akademik Anak Sekolah Dasar di Kampung

Nelayan Puger, Jember adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi

pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi

mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan

maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada

Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2016

Arifatush Yuni Hariyanti

NIM I14120080

iv

v

ABSTRAK

ARIFATUSH YUNI HARIYANTI. Determinan Status Gizi dan Pengaruhnya pada

Prestasi Akademik Anak Sekolah Dasar di Kampung Nelayan, Puger Jember.

Dibimbing oleh IKEU TANZIHA.

Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis determinan status gizi dan

pengaruhnya pada prestasi akademik anak sekolah dasar di daerah kampung

nelayan Puger, Jember. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional

study, dengan subjek penelitian berjumlah 60 anak. Hasil analisis menunjukkan

bahwa 100% contoh kurus berjenis kelamin laki-laki dan 77.8% contoh gemuk

berjenis kelamin perempuan. Tidak terdapat perbedaan signifikan antara besar

keluarga, pendidikan dan pendapatan/kapita keluarga pada contoh kurus, normal,

dan gemuk. Terdapat perbedaan signifikan tingkat kecukupan energi dan zat gizi

(kecuali fosfor, vitamin A, dan C) pada contoh kurus, normal, dan gemuk. Prestasi

akademik contoh kurus dan gemuk signifikan lebih rendah daripada contoh

normal. Pola asuh orang tua demokratis lebih banyak diterapkan oleh keluarga

anak dengan nilai cukup (83.3%) dan lebih dari cukup (90.0%) daripada keluarga

anak dengan nilai kurang (44.1%). Terdapat hubungan signifikan positif antara

tingkat kecukupan energi, protein, lemak, Zn dan hubungan signifikan negatif

antara skor food coping strategy dengan status gizi. Status gizi tidak berhubungan

dengan prestasi akademik, tetapi pendidikan ibu, pendapatan/kapita keluarga,

tingkat kecukupan energi, protein, kalsium, vitamin A, vitamin C dan pola asuh

orang tua berhubungan dengan prestasi akademik. Faktor determinan status gizi

anak sekolah dasar adalah tingkat kecukupan lemak dan perilaku food coping

strategy. Status gizi tidak berpengaruh dengan prestasi akademik.

Kata kunci : anak usia sekolah dasar, prestasi akademik, dan status gizi

ABSTRACT

ARIFATUSH YUNI HARIYANTI. Nutritional Status Determinant and Its effect

on Academic Achievement of School-Aged-Children in Fishing Village Puger,

Jember. Supervised by IKEU TANZIHA

The aims of this study was to analyze determinant of nutritional status and

its effect on academic achievement on school aged children in fishing village

Puger, Jember. Design of this study was cross sectional study with 60 subject.

The result showed that 100% underweight children was a boy and 77.8%

overweight children was a girl. There was no significant different between

number of family, parent’s education and family income per capita between three

of group. There was a significant different energy and nutrient adequacy (except

fosfor, vitamin A, and C) between three of group. Academic achievement of

underweight and overweight children significantly lower than normal children.

Democratic parenting adopted by most of parents that had children with average

score cotegorized in enough score (83.3%) and more than enough score (90.0%).

vi

There was a positive significant correlation between energy, protein, fat, Zn

adequacy and there was negative significant correlation between food coping

strategies score with nutritional status. There was no significant correlation

between nutritonal status and academic achievement but mother’s education,

family income per capita, energy, protein, calsium, vitamin A, vitamin C

adequacy, and parenting style had a significant correlation with academic

achievement. Determinant factors of school aged children’s nutritonal status was

fat adequacy and food coping strategies behavior. Nutritional status of children

had no effect to academic achievement.

Key words : academic achievement, nutritional status, and school-aged children

vii

DETERMINAN STATUS GIZI DAN PENGARUHNYA PADA

PRESTASI AKADEMIK ANAK SEKOLAH DASAR DI

KAMPUNG NELAYAN PUGER, JEMBER

ARIFATUSH YUNI HARIYANTI

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Gizi

dari Program Studi Ilmu Gizi pada

Departemen Gizi Masyarakat

DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2016

viii

ix

Judul Skripsi : Determinan Status Gizi dan Pengaruhnya pada Prestasi Akademik

Anak Sekolah Dasar di Kampung Nelayan Puger, Jember

Nama : Arifatush Yuni Hariyanti

NIM : I14120080

Disetujui oleh

Prof. Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS

Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Rimbawan

Ketua Departemen

Tanggal Lulus :

x

xi

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-

Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam

skripsi ini adalah anak usia sekolah dasar, dengan judul Determinan Status Gizi

dan Pengaruhnya pada Prestasi Akademik Anak Sekolah Dasar di Kampung

Nelayan Puger, Jember. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu

syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Departemen Gizi Masyarakat,

Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah

mendukung dan membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini. Penulis

menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof Dr Ir Ikeu Tanziha, MS selaku pembimbing akademik dan pembimbing

skripsi yang telah membimbing penulis selama 7 semester dan memberikan

arahan serta bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.

2. Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN selaku dosen penguji skripsi yang telah

memberikan saran untuk penulisan skripsi ini.

3. Keluarga tercinta: Bapak (Soeharto), Ibu (Tri Yulianti), dan adik-adikku

(Deviana Nuraini dan Arif Rahman Febriansyah).

4. Keluarga di rantau: Om (Rachmad Setiawan), Tante (Yeni Indari) dan adik

adikku (Nurika Rahmania dan Nadhifa Nur Imani)

5. Kepala sekolah SDN Puger Wetan 01, Puger Wetan 03, dan Puger Kulon 01,

para guru, dan adik-adik responden penelitian

6. Teman seperjuangan penelitian Citra Vita Yuningtyas

7. Sahabat seperjuangan di Gizi Masyarakat (Rifani Ridha Nabila, Rulia

Ramaita Simamora, Tri Desfriana Putri, Nadia Nurdiniyati, Novania A.

Sitorus).

8. Sahabat OMDA Jember (Dwitantian Hawa Brillianti, Yusvita Nur Qorimah

P, Kiki Nawan Mulasari, dll)

9. Keluarga KKN-P Watuaji Jepara 2015 (Anindita Lintang, Jawahirul Arifah,

Choirunnisa, Akbar Alif Pribadi).

10. Teman-teman Gizi Masyarakat 49

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Mei 2016

Arifatush Yuni Hariyanti

xii

xiii

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI xiii

DAFTAR TABEL xiv

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xiv

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

Hipotesis Penelitian 4

KERANGKA PEMIKIRAN 4

METODE PENELITIAN 6

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian 6

Cara Pemilihan Contoh 7

Jenis dan Cara Pengumpulan Data 8

Pengolahan dan Analisis Data 9

Definisi Operasional 12

HASIL DAN PEMBAHASAN 13

Gambaran Umum Lokasi Penelitian 13

Karakteristik contoh 15

Karakteristik Keluarga 16

Konsumsi Pangan 21

Status Kesehatan 28

Food Coping Strategy 30

Prestasi akademik 34

Hubungan antar Variabel 34

Faktor Determinan Status Gizi (IMT/U) 37

Analisis Pengaruh Status Gizi terhadap Prestasi akademik 38

SIMPULAN DAN SARAN 41

Simpulan 41

Saran 42

DAFTAR PUSTAKA 43

LAMPIRAN 48

RIWAYAT HIDUP 55

xiv

DAFTAR TABEL

1 Sebaran contoh berdasarkan usia dan status gizi 15

2 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan status gizi 16

3 Sebaran contoh berdasarkan usia orang tua dan status gizi 17

4 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga dan status gizi 18

5 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan orang tua dan status gizi 18

6 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan per kapita dan status gizi 19

7 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan orang tua dan status gizi 20

8 Rata-rata asupan energi dan zat gizi contoh berdasarkan status gizi 22

9 Rata-rata tingkat kecukupan energi dan zat gizi contoh berdasarkan

status gizi

23

10 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi, zat gizi, dan

status gizi

24

11 Rata-rata frekuensi konsumsi pangan berdasarkan status gizi 27

12 Sebaran contoh berdasarkan kejadian sakit dan status gizi 29

13 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi, lama sakit dan status gizi 30

14 Sebaran contoh berdasarkan tingkat food coping strategy dan status

gizi

32

15 Sebaran contoh berdasarkan prestasi akademik dan status gizi 33

16 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh orang tua dan prestasi

akademik

34

17 Analisis hubungan antara status gizi (IMT/U) dengan beberapa

variabel

35

18 Analisis hubungan antara prestasi akademik dengan beberapa variabel 39

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran penelitian 6

DAFTAR LAMPIRAN

1 Sebaran contoh berdasarkan food coping strategy dan status gizi 48

2 Hasil output uji regresi linier determinan status gizi (IMT/U) pada SPSS 50

3 Hasil output uji regresi linier determinan prestasi akademik (IMT/U)

pada SPSS

52

xv

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Salah satu indikator sumber daya manusia yang berkualitas adalah nilai

dari Indeks Pembangun Manusia(IPM). Badan Pusat Statistik (2012) mencatat

bahwa indeks pembangunan manusia (IPM) di Kabupaten Jember menduduki

peringkat ke-35 dari 40 kabupaten/kota di Jawa Timur yaitu 65.99. Hal ini

menunjukkan bahwa kualitas SDM di Kabupaten Jember masih tergolong rendah

dibandingkan dengan daerah lainnya. Sehingga masih diperlukan upaya untuk

meningkatkan kualitas SDM di Kabupaten Jember.

Tujuan utama pembangunan nasional adalah peningkatan sumber daya

manusia secara berkelanjutan. Upaya peningkatan status gizi untuk pembangunan

sumber daya manusia yang berkualitas pada hakekatnya harus dimulai sedini

mungkin salah satunya anak usia sekolah dasar. Anak sekolah dasar merupakan

sasaran strategis dalam perbaikan gizi masyarakat (Choi et al. 2008).

Dewasa ini, masalah gizi pada anak usia sekolah bukan hanya masalah gizi

kurang, tetapi juga masalah gizi lebih yang lebih dikenal dengan masalah gizi

ganda/double burden. (Said Mohamed et al. 2012). Gizi kurang pada masa ini

akan mengakibatkan terganggunya pertumbuhan badan, mental, kecerdasan dan

mudah terserang penyakit infeksi. Masalah gizi lebih juga dapat menyebabkan

anak beresiko menderita penyakit degeneratif. Menurut Riskesdas (2013) di

Indonesia prevalensi status gizi berdasarkan indeks massa tubuh menurut umur

(IMT/U) anak umur 5-12 tahun terdiri dari 10.8% gemuk, 8.8% sangat gemuk,

7.2 % kurus, dan 4.0 % sangat kurus. Prevalensi status gizi anak usia 5-12 tahun

(IMT/U) di provinsi Jawa Timur diketahui sebesar 10.8% gemuk, 9.8% kurus, dan

3.9% sangat kurus (Riskesdas 2013).

Status gizi kurang pada anak dipengaruhi oleh tiga determinan yaitu

determinan langsung, determinan tidak langsung dan determinan dasar.

Determinan langsung merupakan faktor yang terdapat pada tingkat individu.

Determinan langsung pada status gizi anak adalah konsumsi makanan dan status

kesehatan atau infeksi. Selanjutnya determinan tidak langsung adalah determinan

yang terdapat pada tingkat rumah tangga yaitu ketahanan rumah tangga,

perawatan anak, lingkungan kesehatan, termasuk akses terhadap semua

determinan tidak langsung adalah kemiskinan. Dampak kemiskinan terhadap

malnutrisi tampak jelas. Determinan dasar adalah potensi sumberdaya yang

tersedia di suatu negara wilayah dan masyarakat. Sumberdaya ini dibatasi oleh

lingkungan alam, akses terhadap teknologi dan juga mutu sumberdaya manusia

(UNICEF 1998).

Hasil penelitian Kotian (2010) menunjukkan terdapat tiga faktor

determinan yang menyebabkan anak usia sekolah mengalami kegemukan yaitu

sosial ekonomi keluarga, konsumsi pangan, dan aktivitas fisik. Menurut Noh

Won et al. (2014) anak dengan status gizi lebih/overweight berasal dari keluarga

dengan status pendidikan yang rendah dan pendapatan keluarga yang rendah.

Menurut penelitian Sartika (2011) konsumsi pangan dan asupan zat gizi berlebih

merupakan faktor resiko kegemukan. Konsumsi pangan seperti sayur dan buah

secara linier akan mengurangi asupan lemak dan garam yang selanjutnya akan

2

mencegah peningkatan berat badan. Kelebihan zat gizi makro juga berpengaruh

terhadap kelebihan berat badan. Kelebihan zat gizi makro akan disimpan di dalam

tubuh. Jika keadaan ini terjadi terus menerus akan meningkatkan penimbunan

lemak dan beresiko mengalami kegemukan. Berdasarkan hasil penelitian Marta et

al. (2011) ketidakaktifan secara fisik pada anak usia sekolah merupakan salah satu

faktor yang berkontribusi pada peningkatan resiko kegemukan di Eropa dan

negara lainnya.

Kekurangan dan kelebihan gizi pada anak dapat menyebabkan anak

memiliki daya tahan tubuh yang rendah, pertumbuhan fisik dan perkembangan

kecerdasan yang terhambat, serta prestasi akademik yang rendah. Moehji (2003)

menyatakan bahwa gizi buruk pada anak membawa dampak anak sukar

berkonsentrasi, rendah diri, dan prestasi akademik menjadi rendah. Menurut Relly

et al. (2007) kegemukan pada anak usia 6-12 tahun juga dapat menurunkan

tingkat kecerdasan karena aktivitas dan kreativitas anak menjadi menurun dan

cenderung malas akibat kelebihan berat badan.

Faktor lain yang dapat menyebabkan anak memiliki prestasi akademik

yang rendah seperti aspek afektif seperti pola asuh orangtua, aspek asupan zat

gizi, dan faktor ekonomi. Hal ini sejalan dengan penelitian Sulastri et al. (2014)

bahwa terdapat kontribusi yang signifikan antara pola asuh orang tua terhadap

prestasi akademik siswa kelas IV semester genap SD Kecamatan Melaya

Kabupaten Jembrana. Faktor asupan zat gizi juga berpengaruh terhadap prestasi

akademik anak. kandungan asam eikosapentanoat (EPA) dan asam

dokosaheksanoat (DHA) yang cukup tinggi di dalam ikan menurut Zulaihah dan

Widajanti (2006) diperlukan untuk pembentukan sel otak dan peningkatan

kecerdasan. Hal ini didukung oleh Khomsan (2004) bahwa terjadi peningkatan

kualitas kesehatan dan kecerdasan pada anak-anak di Jepang dengan budaya

makan ikan yang tinggi.

Sebagai wilayah pesisir, Kabupaten Jember memiliki potensi sumber daya

perikanan yang cukup besar. Menurut Pemerintah Kabupaten Jember (2013) total

produksi ikan di Jember sebanyak 13.682 ton. Daerah penghasil ikan laut terbesar

di Jember adalah di Kecamatan Puger. Pada tahun 2011 produksi ikan laut

mencapai di Kecamatan Puger sebesar 5.680 ton, tahun 2012 mencapai 6.357 ton,

dan tahun 2013 sebanyak 7.565 ton.

Mayoritas masyarakat pesisir hidup dengan mata pencaharian sebagai

nelayan. Kesejahteraan nelayan pada umumnya sangat minim dan identik dengan

kemiskinan, menurut data badan statistik (BPS) tahun 2012 penduduk miskin 49

juta jiwa dan 60% diantaranya adalah masyarakat yang hidup dikawasan pesisir

pantai. Masalah yang dihadapi masyarakat nelayan sangat kompleks salah satunya

menyangkut penghasilan mereka. Tidak dapat disangkal, bahwa penghasilan

keluarga akan turut menentukan hidangan yang disajikan untuk keluarga sehari-

hari, baik kualitas maupun jumlah makan. Pemanfaatan sumber daya keluarga

secara baik dan berdayaguna akan dapat membantu keluarga sehingga

memungkinkan keluarga yang berpenghasilan terbatas mampu menghidangkan

makanan yang cukup memenuhi syarat gizi bagi anggota keluarganya(Ipa

Sirajuddin 2010). Besarnya potensi perikanan di Kecamatan Puger tidak diiringi

dengan kesejahteraan para nelayan dan keluarganya. Oleh karena itu perlu

dilakukan penelitian analisis determinan status gizi dan pengaruhnya pada prestasi

akademik pada anak sekolah dasar di kampung nelayan Puger, Jember.

3

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka rumusan pokok-

pokok permasalahan yang akan menjadi fokus penelitian adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana perbedaan karakteristik anak (umur, jenis kelamin), karakteristik

keluarga (besar keluarga, umur orangtua, pendidikan orang tua, pekerjaan

orangtua, dan pendapatan orangtua), pola asuh orang tua, dan food coping

strategy keluarga berdasarkan status gizi?

2. Bagaimana perbedaan asupan zat gizi, konsumsi pangan, status kesehatan,

dan prestasi akademik anak berdasarkan status gizi?

3. Bagaimana hubungan karakteristik keluarga (besar keluarga, pendidikan orang

tua, pekerjaan orangtua, dan pendapatan orangtua), konsumsi pangan, asupan

zat gizi, status kesehatan, dan food coping strategy keluarga dengan status

gizi?

4. Apa saja determinan status gizi?

5. Bagaimana pengaruh status gizi terhadap prestasi akademik?

Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis determinan status gizi

serta pengaruhnya dengan prestasi akademik anak sekolah dasar di daerah produksi

ikan Puger, Jember dengan tujuan khusus sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi dan membedakan karakteristik anak, karakterisitik keluarga, pola

asuh orangtua, dan food coping strategy keluarga berdasarkan status gizi

2. Mengidentifikasi dan membedakan asupan zat gizi, konsumsi pangan, status

kesehatan, dan prestasi akademik anak sekolah dasar berdasarkan status gizi

3. Menganalisis hubungan karakteristik keluarga (besar keluarga, pendidikan

orang tua, pekerjaan orangtua, dan pendapatan orangtua), konsumsi pangan,

asupan zat gizi, status kesehatan, dan food coping strategy keluarga dengan

status gizi

4. Menganalisis determinan status gizi

5. Menganalisis pengaruh status gizi terhadap prestasi akademik

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai

determinan status gizi dan pengaruhnya pada prestasi akademik anak sekolah

dasar khususnya di daerah yang diteliti sehingga dapat dijadikan pertimbangan

dalam kebijakan daerah setempat terkait upaya perbaikan gizi dan peningkatan

kualitas SDM di daerah tersebut. Selain itu, hasil dari penelitian ini juga dapat

dimanfaatkan sebagai referensi untuk penelitian lebih lanjut.

4

Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian ini antara lain:

1. Karakteristik keluarga (besar keluarga, pendidikan orang tua, pekerjaan

orangtua, dan pendapatan orangtua), konsumsi pangan, asupan zat gizi,

status kesehatan, dan food coping strategy keluarga berhubungan dengan

status gizi

2. Status gizi berpengaruh terhadap prestasi akademik

KERANGKA PEMIKIRAN

Anak Usia Sekolah (AUS) adalah anak yang berusia 6 – 12 tahun. Pada usia

sekolah terjadi perkembangan yang luar biasa secara menyeluruh pada setiap

aspek perkembangan (Gunarsa 2006). Berdasarkan teori perkembangan kognitif

Piaget, usia 6-12 tahun tergolong masa konkrit operasional. Pada masa itu, anak

sudah dapat berfikir logis dan mulai mengenal adanya hubungan fungsional

(Anisah 2012). Anak mempunyai struktur kognitif untuk dapat berpikir dan

melakukan tindakan tanpa bertindak secara nyata. Prestasi akademik merupakan

hasil penilaian dari proses pembelajaran anak di sekolah dan di lingkungan tempat

tinggal mereka.

Berbagai faktor sosial ekonomi ikut mempengaruhi pertumbuhan anak.

Faktor sosial ekonomi tersebut antara lain pendidikan, pekerjaan, teknologi,

budaya dan pendapatan keluarga. Faktor tersebut akan berinteraksi satu dengan

yang lainnya sehingga dapat mempengaruhi masukan zat gizi dan infeksi pada

anak (Supariasa et al. 2002). Besar keluarga mempunyai pengaruh pada konsumsi

pangan, jumlah anak yang menderita kelaparan pada keluarga besar empat kali

lebih besar jika dibandingkan pada keluarga kecil. Pada keluarga dengan ekonomi

kurang, jumlah anak akan mengakibatkan selain kurangnya kasih sayang dan

perhatian pada anak, juga kebutuhan primer seperti pangan, sandang, dan

perumahan pun tidak terpenuhi. Pendidikan baik ibu dan ayah merupakan penentu

yang kuat terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan anak dalam keluarga

(Semba et al. 2008).

Karakteristik keluarga (besarnya keluarga, usia kepala keluarga, tingkat

pendidikan kepala keluarga, pekerjaan kepala keluarga, dan lain-lain) sangat

mempengaruhi akses keluarga tersebut dalam memenuhi kebutuhan termasuk

kebutuhan akan pangan. Kemudahan dalam mengakses pangan akan secara

langsung mempengaruhi ketersediaan pangan dalam suatu rumahtangga. Selain

itu memiliki hubungan yang saling mempengaruhi terhadap food coping strategy

yang dilakukan oleh rumahtangga (Mangkoeto 2009).

Ketidakmampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhannya akan pangan

akan menimbulkan kerawanan pangan (food insecurity). Keputusan yang biasa

diambil keluarga untuk tetap memenuhi kebutuhan pangan dan penanggulangan

masalah kerawanan pangan yang dihadapi serta mempertahankan hidup anggota

keluarga dikenal dengan istilah food coping strategy. Food coping strategy dapat

diartikan pula sebagai upaya yang dilakukan untuk mengatasi keadaan yang tidak

5

menguntungkan dalam hal pangan atau dilakukan saat akses terhadap pangan

menurun (Mangkoeto 2009).

Konsumsi pangan dan tingkat kecukupan zat gizi sangat berhubungan

dengan status gizi anak. Jika konsumsi pangan anak tercukupi semua kebutuhan

energi dan zat gizinya diharapkan akan menghasilkan status gizi yang baik dan

terhindar dari masalah kurang gizi. Jika anak tidak tercukupi semua kebutuhan

energi dan zat gizinya maka akan menghasilkan status gizi kurang dan rawan

terhadap masalah kurang gizi. Jika konsumsi pangan dan asupan zat gizi berlebih

resiko kegemukan pada anak akan meningkat.

Determinan status gizi lain yang dianalisis adalah status kesehatan/infeksi.

Sejalan dengan penelitian Pahlevi (2012) yang menunjukkan bahwa status

kesehatan/infeksi berhubungan signifikan dengan status gizi. Status kesehatan

anak meliputi ada tidaknya penyakit yang dialami anak dalam satu bulan terakhir,

serta lama dan frekuensi sakitnya. Timbulnya gizi kurang bukan saja karena

makanan yang kurang tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat makanan

yang cukup baik tetapi sering diserang diare atau demam, akhirnya dapat

menderita gizi kurang. Sebaliknya anak yang makan tidak cukup baik maka daya

tahan tubuhnya (imunitas) dapat melemah, sehingga mudah diserang penyakit

infeksi, kurang nafsu makan dan akhirnya mudah terkena gizi kurang (Pahlevi

2012). Sehingga disini terlihat interaksi antara konsumsi makanan yang kurang

dan infeksi merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Karlsson et al. (2010)

bahwa gizi lebih (overweight dan obese) berhubungan signifikan dengan

peningkatan resiko dan keparahan dari beberapa penyakit infeksi baik dari virus

maupun bakteri. Menurut Sheridan (2012) respon antibodi suboptimal terhadap

berbagai vaksinasi ditemukan pada seseorang yang overweight. Penemuan ini

membuktikan bahwa kelebihan berat badan dapat berakibat pada

ketidakseimbangan respon imune. Status gizi akan mempengaruhi tingkat kecerdasan anak dan kemampuan

anak dalam menangkap pelajaran di sekolah. Anak yang memiliki status gizi yang

kurang tidak optimal dalam menangkap pelajaran di sekolah. Menurut Relly et al.

(2007) kegemukan pada anak usia 6-12 tahun juga dapat menurunkan tingkat

kecerdasan karena aktivitas dan kreativitas anak menjadi menurun dan cenderung

malas akibat kelebihan berat badan. Prestasi akademik juga dipengaruhi oleh

lingkungan belajar di sekolah dan di rumah. Persepsi tentang belajar di sekolah,

sarana belajar di sekolah dan kedisiplinan terhadap tata tertib di sekolah merupakan

lingkungan belajar di sekolah yang dapat mempengaruhi prestasi akademik.

Lingkungan belajar di rumah yang dapat mempengaruhi prestasi akademik meliputi,

sarana dan suasana belajar di rumah, perhatian orang tua di rumah, lingkungan

pergaulan serta pola belajar di rumah yang diterapkan oleh anak dalam proses belajar

sehari-hari. Perhatian orang tua yang intensif kepada anak akan memacu proses

belajar anak untuk berprestasi.

6

Gambar 1 Kerangka pemikiran Determinan Status Gizi dan Pengaruhnya pada

Prestasi Akademik Anak Sekolah Dasar

Keterangan:

Variabel yang diteliti

Variabel yang tidak diteliti

Hubungan yang diteliti

Hubungan yang tidak diteliti

METODE PENELITIAN

Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode survei dengan desain cross sectional

study dimana pengumpulan data dilakukan pada satu waktu untuk

Karakterisitik individu

Jenis kelamin

Umur

Karakteristik keluarga

Besar keluarga

Umur orangtua

Pendidikan orang tua

Pekerjaan orang tua

Pendapatan

Konsumsi Pangan

Jenis pangan

Frekuensi

Jumlah

Status gizi

(IMT/U)

Prestasi akademik Pola asuh orang tua

Asupan zat gizi

TKE dan zat gizi lain

Sanitasi lingkungan rumah

Status kesehatan/infeksi

Food coping

strategy

7

menggambarkan karakteristik sampel. Kelemahan dari desain penelitian cross

sectional adalah kurang dapat menggambarkan hubungan sebab akibat dan

variabel pengganggu sulit dikontrol. Lokasi penelitian dilakukan di SDN Puger

Wetan 01, SDN Puger Wetan 03, dan SDN Puger Kulon 1. Penentuan sekolah

dijadikan lokasi penelitian dilakukan secara purposive dengan pertimbangan

sekolah terletak di dalam kampung nelayan dan mudah dijangkau. Penelitian ini

dilaksanakan pada bulan Februari hingga Maret 2016.

Cara Pemilihan Contoh

Populasi penelitian adalah anak sekolah dasar terpilih yang berada di

Kecamatan Puger. Contoh dipilih secara purposive, dengan kriteria contoh

merupakan siswa kelas 4,5,dan 6 SD serta pertimbangan siswa yang bersangkutan

diasumsikan memiliki kemampuan untuk berpikir secara logis terhadap hal

konkrit sehingga dapat menjawab pertanyaan yang diberikan dengan baik. Data

dalam penelitian ini diambil dengan memenuhi kriteria inklusi, meliputi:

1. Contoh bertempat tinggal di kampung nelayan Puger, Jember

2. Responden baik orang tua maupun anak dapat menguasai baca tulis dan

mengerti bahasa Indonesia

3. Bersedia menjadi responden penelitian

Perhitungan jumlah contoh minimal dihitung berdasarkan rumus estimasi proporsi

menggunakan simpangan relatif sebagai berikut.

n= (Z2

1-α/2 x p x q x N) / (d2 (N-1)+ Z

2 1-α/2 x p x q)

n= [1.962 x 0.245 x (0.755) x 168] / [0.10

2 x (168-1)+(1.96

2 x 0.245

x 0.755)]

n= 27.71 Keterangan:

n = besar contoh yang akan diteliti

Z2 1-α/2 = nilai z skor pada 1-α/2 dengan tingkat kepercayaan 95% (1.96)

p = estimasi prevalensi malnutrisi di Jawa Timur, yaitu sebesar 24.5% (Riskesdas 2010)

N = total populasi contoh (168)

d = ketelitian atau presisi, yaitu 15%

Berdasarkan perhitungan, maka contoh minimal yang dibutuhkan adalah

27 contoh. Untuk mengantisipasi jika terjadi drop out maka jumlah minimal

contoh ditambah sebanyak 10%. Jadi, jumlah minimal contoh dalam penelitian ini

adalah 30 contoh untuk prestasi akademik rendah dan 30 contoh untuk prestasi

akademik tinggi.

Model regresi untuk status gizi adalah:

Dimana :

= z-score IMT/U

= Lama pendidikan ayah

= Lama pendidikan ibu

8

= Pendapatan per kapita keluarga

= Besar keluarga

= Frekuensi makan

= TKE (tingkat kecukupan energi)

= TKP (tingkat kecukupan protein)

= TKL (tingkat kecukupan lemak)

= TKCa (tingkat kecukupan kalsium)

= TKFosfor (tingkat kecukupan fosfor)

= TKBesi (tingkat kecukupan zat besi)

= TKVitA (tingkat kecukupan vitamin A)

= TKVitC (tingkat kecukupan vitamin C)

= TKZn (tingkat kecukupan Zn)

= frekuensi sakit

= lama sakit

= food coping strategy

Model regresi untuk prestasi akademik adalah:

Dimana :

= Prestasi akademik (nilai rata-rata UTS dan UAS)

= Lama pendidikan ayah

= Lama pendidikan ibu

= Pendapatan per kapita keluarga

= Besar keluarga

= Status gizi

= TKE (tingkat kecukupan energi)

= TKP (tingkat kecukupan protein)

= TKL (tingkat kecukupan lemak)

= TKCa (tingkat kecukupan kalsium)

= TKFosfor (tingkat kecukupan fosfor)

= TKBesi (tingkat kecukupan zat besi)

= TKVitA (tingkat kecukupan vitamin A)

= TKVitC (tingkat kecukupan vitamin C)

= TKZn (tingkat kecukupan Zn)

= frekuensi sakit

= lama sakit

= konsumsi ikan

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan pada penelitian ini terdiri dari data primer dan

data sekunder. Data primer meliputi data karakteristik individu, karakteristik

keluarga, konsumsi pangan, status kesehatan/infeksi anak, pola asuh orang tua,

dan food coping strategy. Data karakteristik individu terdiri dari data jenis

9

kelamin, umur, berat badan, dan tinggi badan. Data berat badan (BB) dan tinggi

badan (TB) diperoleh dari pengukuran langsung dengan menggunakan timbangan

injak dan mikrotoise. Data karakteristik keluarga meliputi data besar keluarga,

umur orang tua, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, dan pendapatan

keluarga. Pengambilan data karakteristik orang tua dilakukan dengan wawancara

kepada orang tua dengan mendatangi rumah anak satu per satu.

Data konsumsi pangan terdiri dari data jenis, frekuensi, dan jumlah

pangan yang dikumpulkan dengan wawancara menggunakan SQ-FFQ (Semi

Quantitative Food Frequency Questionnaires). Data status kesehatan

dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner berisi daftar penyakit infeksi, lama,

serta frekuensi sakit anak yang diberikan pada orang tua. Pengisian kuesioner ini

berdasarkan panduan dari enumerator. Data pola asuh orang tua dikumpulkan

dengan pengisian kuesioner oleh anak. Pola asuh orang tua menurut Baumrind

(1994) dalam Dariyo (2004) terdiri dari 3 pola asuh orang tua yaitu pola asuh

otoriter, demokratis, dan permisif. Data food coping strategy dikumpulkan

menggunakan kuesioner yang diberikan kepada orang tua.

Data sekunder meliputi data prestasi akademik, data mengenai kondisi

umum geografis, karakteristik demografi, dan sosial ekonomi masyarakat yang

diperoleh dari data sekolah dan kantor desa setempat. Data mengenai kondisi

umum geografis, karakteristik demografi, dan sosial ekonomi masyarakat

diperoleh melalui pengamatan langsung dan data dari kantor desa setempat. Data

hasil prestasi akademik diperoleh dari guru kelas meliputi rata-rata nilai ujian

Matematika, Bahasa Indonesia, IPA dan IPS enam bulan terakhir.

Pengolahan dan Analisis Data

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program komputer

Microsoft excel 2010 dan SPSS versi 16.0 for Windows. Data diolah melalui

beberapa tahap yaitu entry, coding, scoring, editing, cleaning dan analisis hasil.

Karakteristik individu meliputi jenis kelamin dikategorikan menjadi perempuan

dan laki-laki. Usia anak dikategorikan menjadi 3 kategori yaitu usia 8-9 tahun,

usia 10-12 tahun, dan usia 13-14 tahun sesuai dengan AKG 2013. Karakteristik

keluarga yaitu usia orang tua dikategorikan menjadi tiga kategori menurut WNPG

(2004) yaitu dewasa muda (20-29 tahun), dewasa madya (30-49 tahun), dan

dewasa lanjut (≥50 tahun). Besar keluarga menurut BKKBN (1997) dikategorikan

menjadi keluarga kecil (≤4 orang), keluarga sedang (5-7 orang), dan keluarga

besar (≥8 orang). Pendidikan orang tua dikelompokkan berdasarkan jenjang

pendidikan. Data pendapatan keluarga di olah dengan membagi pendapatan

keluarga dengan anggota keluarga sehingga didapatkan data pendapatan per kapita

keluarga yang dikategorikan menjadi miskin jika pendapatan per kapita < Rp 285

076,- dan tidak miskin jika pendapatan per kapita ≥285 076,- (BPS 2015).

Pekerjaan ayah dikategorikan bukan nelayan, nelayan penuh, nelayan sambilan

utama, nelayan sambilan tambahan. Pekerjaan ibu dikategorikan tidak bekerja dan

bekerja. Data berat badan dan tinggi badan yang telah didapat diolah dengan

menggunakan rumus menghitung z-score sehingga diketahui status gizi contoh.

10

Asupan energi dan zat gizi diperoleh dari metode SQ-FFQ (Semi

Quantitative Food Frequency Questionnaires) dan dibandingkan dengan AKG

2013 untuk mendapatkan tingkat kecukupan energi dan zat gizi. Adapun rumus

umum yang digunakan untuk mengetahui kandungan zat gizi makanan yang

dikonsumsi adalah (Hardinsyah dan Briawan 1994):

KGij = (Bj/100) x Gij x (BDDj/100)

Keterangan:

KGij = Penjumlahan energi dan zat gizi i dari setiap bahan makanan/pangan

yang dikonsumsi

Bj = Berat bahan makanan j (gram)

Gij = Kandungan energi dan zat gizi i dari bahan makanan j

BDDj = % bahan makanan j yang dapat dimakan

Tingkat kecukupan energi dan protein merupakan persentase konsumsi

aktual anak dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan. Secara

umum tingkat kecukupan energi dan zat gizi dapat dirumuskan sebagai berikut

(Hardinsyah dan Briawan 1994):

TKGi = (Ki/AKGi) x 100% Keterangan:

TKGi = Tingkat kecukupan energi dan zat gizi i

AKGi = Kecukupan energi dan zat gizi i yang dianjurkan

Ki = Konsumsi energi dan zat gizi i

Kategori tingkat kecukupan energi dan protein dikelompokkan menjadi

defisit (< 90%), normal (90-119%), dan kelebihan (≥ 120%) (Depkes 2003).

Kategori vitamin dan mineral dikelompokkan menjadi kurang (< 77%) dan cukup

(≥ 77%) (Gibson 2005). Angka kecukupan lemak total lebih difokuskan pada

kontribusi energi yang berasal dari asupan lemak total. Kecukupan lemak total

menggunakan perhitungan asupan lemak total berkisar antara 20-30% dari

konsumsi energi contoh sesuai dengan anjuran WNPG (2004). Tingkat kecukupan

lemak total diklasifikasikan menjadi kurang (<20% konsumsi energi), cukup (20-

30% konsumsi energi), dan lebih (>30% konsumsi energi). Selain itu, frekuensi

konsumsi pangan diperoleh dari metode Food Frequency Questionaires (FFQ)

melalui pengisian kuesioner oleh contoh yang mendapat penjelasan dan

bimbingan dalam pengisiannya.

Status kesehatan diperoleh dari data frekuensi dan lama sakit yang

dikategorikan menurut nilai median yang telah dihitung. Kategori tingkat

morbiditas (frekuensi dan lama sakit) dapat dikelompokkan menjadi rendah (≤

nilai median) dan tinggi (>nilai median) (Untoro et al. 2005). Frekuensi sakit

dikategorikan rendah jika ≤ 2x/bulan sedangkan lama sakit ≤ 4 hari.

Penilaian skor food coping strategy dilakukan untuk mengetahui kategori

tingkat coping keluarga. Berdasarkan Usfar (2002) rumus untuk menghitung food

coping strategy keluarga adalah sebagai berikut :

11

Skor food coping strategy = (n1× 1) + (n2 × 2) + (n3 × 3)

Keterangan :

n1 = Jumlah perilaku coping pada keluarga yang tergolong skala 1

n2 = Jumlah perilaku coping pada keluarga yang tergolong skala 2

n3 = Jumlah perilaku coping pada keluarga yang tergolong skala 3

Pengkategorian total skor food coping strategy menggunakan metode interval

menurut Slamet (1993) yaitu :

Interval = (Skor maksimum-skor minimum)/jumlah kategori

Keterangan :

Rendah = skor food coping strategy ≤ skor minimum + interval

Sedang = Skor minimum + interval < skor food coping strategy < skor minimum + (2 x

interval)

Tinggi = skor food coping strategy ≥ skor minimum + 2 x interval

Skor food coping strategy rendah jika skor 0-34.6, sedang jika 34.7-69.3,

dan tinggi jika 69.4-104.

Pola asuh orang tua menurut Baumrind (1994) dalam Dariyo (2004) dibagi

menjadi tiga pola asuh yaitu otoriter, demokratis, dan permisif. Pola asuh orang

tua otoriter dan permisif berhubungan negatif dengan prestasi akademik sehingga

dalam pengolahannya diberi kode 1 dan pola asuh demokratis berhubungan positif

dengan prestasi akademik sehingga dalam pengolahannya diberi kode 2. Prestasi

akademik dilihat dari rata-rata nilai ujian mata pelajaran pada semester ganjil

tahun ajaran 2015/2016, yakni Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, dan IPS.

Rata-rata nilai tersebut dikelompokkan ke dalam kategori kurang (< 60), cukup

(60-69), lebih dari cukup (70-79), dan baik (≥ 80) (Depdiknas 2008).

Analisis univariat (deskriptif) dilakukan terhadap semua variabel. Uji beda

untuk data yang tesebar tidak normal dilakukan dengan menggunakan uji Kruskal

Wallis dan uji lanjut Mann Whitney. Uji beda untuk data yang tersebar normal dan

varian berbeda dilakukan dengan menggunakan uji one way ANOVA dan uji

lanjut Tamnhane. Uji beda untuk data yang tersebar normal dan varian sama

dilakukan dengan menggunakan uji one way ANOVA dan uji lanjut Bonferroni.

Analisis bivariat, yaitu menganalisis keberadaan hubungan yang dilakukan

dengan uji korelasi. Data yang tersebar normal menggunakan uji hubungan

Pearson, sedangkan data yang tidak tersebar normal menggunakan uji hubungan

Spearman, jika hasil uji hubungan antara beberapa variabel dengan status gizi dan

prestasi akademik menunjukkan p<0.025, maka variabel tersebut dimasukkan

dalam analisis regresi linier.

Analisis regresi linier dilakukan untuk mengetahui faktor determinan

status gizi dan pengaruh status gizi terhadap prestasi akademik. Analisis regresi

linier dilakukan dengan metode backward yaitu analisis regresi dengan

memasukkan semua variabel x ke dalam model, dan mengeluarkan satu per satu

variabel x yang paling tidak signifikan hingga tidak ada lagi variabel yang tidak

signifikan.

12

Definisi Operasional

Anak Usia Sekolah adalah anak berusia 6-12 tahun. Contoh dalam penelitian

berada pada kelas 4, 5, dan 6 Sekolah Dasar.

Keluarga adalah unit terkecil dalam sosial masyarakat yang terikat oleh

hubungan pernikahan serta hubungan darah atau adopsi, terdiri atas ayah, ibu,

anak, dan anggota keluarga lain yang tinggal dalam satu atap.

Besar Keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang terdiri atas keluarga kecil

(<4 orang), sedang (5-7 orang) dan besar (>8 orang).

Tingkat Pendidikan Orang Tua adalah pendidikan formal terakhir yang pernah

diikuti ayah atau ibu contoh, yang ditandai dengan surat tanda tamat

belajar/ijazah, tanpa memperhitungkan lama tinggal kelas. Pendidikan orang tua

dikategorikan menjadi Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, dan Perguruan Tinggi.

Tingkat Pendapatan Keluarga adalah penghasilan per bulan yang diperoleh dari

pendapatan utama dan tambahan orang tua.

Pekerjaan Orang Tua adalah pekerjaan utama orang tua (ayah dan ibu) yang

memberikan penghasilan bagi keluarga.

Nelayan penuh adalah seseorang yang hanya memiliki satu mata pencaharian,

yaitu sebagai nelayan. Hanya menggantungkan hidupnya dengan profesi kerjanya

sebagai nelayan dan tidak memiliki pekerjaan dan keahlian selain menajdi seorang

nelayan.

Nelayan sambilan utama adalah mereka yang menjadikan nelayan sebagai

profesi utama tetapi memiliki pekerjaan lain untuk tambahan penghasilan.

Nelayan sambilan tambahan adalah seseorang yang memiliki pekerjaan lain

sebagai sumber penghasilan, sedangkan pekerjaan sebagai nelayan hanya untuk

tambahan penghasilan.

Status gizi adalah keadaan tubuh yang merupakan akibat dari konsumsi makanan

dan penggunaan zat gizi yang dapat diketahui dengan beberapa indikator : BB/U,

TB/U, IMT/U, BB/TB Status Kesehatan Anak adalah ada atau tidaknya penyakit infeksi yang diderita

oleh anak dalam satu bulan terakhir serta lama dan frekuensi sakitnya.

Frekuensi Konsumsi Pangan adalah kebiasaan konsumsi masing-masing jenis

pangan sumber protein hewan dalam satu bulan terakhir.

Prestasi akademik adalah gambaran mengenai penguasaan anak terhadap materi

pelajaran di sekolah. Prestasi akademik diukur melalui rata-rata nilai ujian enam

bulan terakhir dari mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, dan IPS.

Pola Asuh Orang Tua adalah interaksi antara anak dan orang tua selama

mengadakan kegiatan pengasuhan dalam mendidik anak. pengasuhan dalam

mendidik anak diukur berdasarkan gaya pengasuhan (permisif, otoriter, dan

demokratis) dan penyediaan fasilitas belajar.

Gaya Pengasuhan Otoriter adalah cara orang tua dalam menerapkan disiplin

pada anak dengan menentukan aturan dan batasan-batasan yang mutlak dan harus

ditaati oleh anak, sehingga pendapat anak tidak di dengar oleh orang tua.

Penerapan cara otoriter pada anak usia sekolah akan menyebabkan daya inisiatif

dan kepercayaan diri anak melemah. Ciri pola asuh otoriter antara lain kekuasaan

orang tua sangat dominan, anak tidak diakui sebagai pribadi, kontrol terhadap

13

tingkah laku anak sangat ketat dan anak akan diancam atau dihukum jika tidak

menjalankan aturan.

Gaya pengasuhan demokratis adalah gaya pengasuhan orangtua yang

mempunyai dimensi kehangatan (responsiveness) dan kontrol (demandingness)

yang tinggi. Beberapa ciri yang terdapat pada pola asuh demokrasi antara lain

adanya kerjasama antara orang tua dan anak, anak diakui sebagai pribadi, orang

tua memberikan bimbingan dan pengarahan serta kontrol yang tidak kaku

Gaya Pengasuhan Permisif adalah cara orang tua dalam menerapkan disiplin

dengan membiarkan anak mengatur dan menentukan sendiri apa yang anak

anggap baik, sedangkan pada usia sekolah anak masih sangat membutuhkan

bimbingan orang tua. Cara permisif akan membuat perkembangan kepribadian

anak menjadi tidak terarah dan menumbuhkan sikap egosentrisme, sehingga

menimbulkan kesulitan saat anak menghadapi peraturan dalam lingkungan sosial.

Food coping strategy adalah segala upaya yang dilakukan oleh suatu keluarga

untuk mengatasi keadaan kekurangan pangan sehingga tidak terjadi kondisi

kerawanan pangan yang berkelanjutan.

Skor coping adalah banyaknya upaya coping yang dilakukan suatu keluarga

sehingga dapat menggambarkan keadaan keluarga contoh.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Dua desa yang menjadi lokasi penelitian adalah desa Puger Kulon dan

desa Puger Wetan. Batas-batas wilayah desa Puger Kulon adalah sebelah utara

desa Grenden, sebelah selatan Samudra Hindia, sebelah timur desa Puger Wetan,

dan sebelah barat desa Mojosari. Batas-batas wilayah desa Puger Wetan adalah

sebelah utara desa Grenden dan desa Wonosari, sebelah selatan Samudra Hindia,

sebelah timur desa Puger Lojejer, dan sebelah barat desa Puger Kulon. Desa Puger

Kulon memiliki luas wilayah sebesar 3.89 km2 dan desa Puger Wetan memiliki

luas wilayah 4.31 km2. Kedua desa ini berjarak rata-rata sekitar 30 km dari

ibukota kabupaten Jember.

Kawasan pesisir pantai Puger berada di sebelah selatan desa Puger Kulon

dan Puger Wetan. Di wilayah tersebut terdapat Tempat Pelelangan Ikan dan

pelabuhan. Banyak kapal/perahu yang menambatkan armadanya di sepanjang

pelabuhan dan di bantaran sungai Bedadung dan sungai Besini. Ikan juga

diperdagangkan di TPI tersebut. Namun perdagangan yang dijalankan hanya

untuk kebutuhan konsumen rumah tangga, bukan untuk kebutuhan konsumen

besar/ perusahaan/pabrik. Sedangkan untuk penjualan secara besar-besaran

nelayan biasanya langsung menjualkan ikannya kepada juragan ikan. Jadi nelayan

hanya mendaratkan ikannya di TPI baru kemudian diangkut ke tempat juragan

ikan.

Desa Puger Kulon terbagi menjadi 2 dusun yang terdiri dari 20 RW(Rukun

Warga) dan 68 RT (Rukun Tetangga). Desa Puger Wetan terbagi menjadi 2

dusun yang terdiri dari 17 RW (Rukun Warga) dan 37 RT (Rukun Tetangga).

14

Struktur organisasi dan tata kerja pemerintahan desa Puger Kulon dan Puger

Wetan terdiri atas pemerintahan desa, lembaga-lembaga kemasyarakatan, dan

kependudukan. Pemerintahan Desa Puger Kulon dan Puger Wetan terdiri atas

kepala desa, sekertaris desa, kepala dusun, P3N, dan anggota BPD. Sedangkan

lembaga kemasyarakatannya ada anggota LPM, TP PKK, LINMAS, ketua RT dan

RW.

Data kependudukan sampai dengan akhir bulan April 2014 yang meliputi

jumlah penduduk desa Puger Kulon sebanyak 15 082 penduduk yang terdiri dari

dari 7 608 penduduk laki-laki dan 7 474 penduduk perempuan. Jumlah penduduk

desa Puger Wetan sebanyak 10 719 yang terdiri dari 5 432 penduduk laki-laki dan

5 827 penduduk perempuan. Sebagian besar penduduk desa Puger Kulon

beragama islam, hanya beberapa penduduk yang menganut agama kristen, katolik,

budha, dan konghucu. Sebagian besar penduduk desa Puger Wetan beragama

islam, hanya beberapa penduduk kristen dan katolik. Jumlah rumah tangga dan

penduduk miskin tahun 2011 di desa Puger Kulon adalah 290 rumah tangga dan

777 penduduk. Jumlah rumah tangga dan penduduk miskin tahun 2011 di desa

Puger Wetan adalah 268 rumah tangga dan 530 penduduk.

Mata pencaharian penduduk Desa Puger Wetan dan Puger Kulon sebagian

besar adalah nelayan. Kedua desa ini merupakan dua desa terbanyak yang

memiliki penduduk bermata pencaharian nelayan di kecamatan Puger. Produksi

ikan di desa Puger Kulon mencapai 24 700 kuintal dan di Puger Wetan mencapai

32 200 kuintal. Terdapat beberapa jenis ikan hasil tangkapan nelayan Puger Kulon

dan Puger Wetan. jenis ikan tersebut antara lain tongkol, tuna, cakalang, cucut,

layang, layur, bawal, lemuru, tenggiri, dan pari. Selain nelayan, mata pencaharian

lain yang dilakukan warga Desa Puger Kulon dan Puger Wetan adalah petani,

pedagang seperti pedagang ikan, sembako, nasi, kelontong, alat bangunan, dan

lain-lain. Kemudian, ada peternak di antaranya peternak sapi, ayam, kambing, dan

ikan. Selain itu, pekerjaan lainnya adalah PNS, wiraswasta, pengrajin, tukang

bagunan, penjahit, tukang ojek, sopir, dan bengkel.

Data pemerintahan Desa Puger Kulon tahun 2014 menunjukkan bahwa

jumlah penduduk berdasarkan pendidikan yang ditamatkan yaitu sebanyak 1193

orang tidak sekolah, 2 381 orang tidak tamat SD, 5 308 orang tamat SD, 2 598

orang tamat SMP, 1 524 orang tamat SMA, 194 orang tamat SMK, 29 orang

sarjana muda, dan 180 orang tamat perguruan tinggi. Data pemerintahan Desa

Puger Wetan tahun 2014 menunjukkan bahwa jumlah penduduk berdasarkan

pendidikan yang ditamatkan yaitu sebanyak 1074 orang tidak sekolah, 1982 orang

tidak tamat SD, 3 907 orang tamat SD, 1 700 orang tamat SMP, 707 orang tamat

SMA, 52 orang tamat SMK, 20 orang sarjana muda, dan 38 orang tamat

perguruan tinggi. Data tersebut menunjukkan bahwa tingkat pendidikan di kedua

desa cukup rendah.

Sarana kesehatan yang ada di desa Puger Kulon adalah 1 puskesmas dan 2

dokter praktek sedangan desa Puger wetan tidak memiliki puskesmas dan memliki

1 dokter praktek. Desa Puger Kulon memiliki 4 dokter, 8 bidan, 6 mantri

kesehatan, dan 2 dukun bayi sedangkan desa Puger Wetan 4 bidan, 2 mantri

kesehatan, dan 6 dukun bayi. Desa Puger Kulon memiliki 14 posyandu mandiri

dan desa Puger Wetan memiliki 11 posyandu purnama. Posyandu di desa Puger

Kulon memiliki 70 orang kader posyandu dan posyandu di desa Puger Wetan

memiliki 55 kader posyandu. Sarana pendidikan di desa Puger Kulon terdiri dari 4

15

TK, 6 SD/MI, 4 SLTP/MTs, 3 SLTA/MA, dan 2 pondok pesantren. Sarana

pendidikan di desa Puger Wetan terdiri dari 3 TK, 4 SD/MI, 1 SLTP/MTs, 0

SLTA/MA, dan 1 pondok pesantren. Sarana pemerintahan Desa Puger Kulon dan

Puger Wetan terdiri atas 1 unit gedung kantor desa, 1 unit gedung kantor BPD, 5

Pos Kamling, dan 1 Pos Kamdes. Fasilitas perekonomian di kedua desa terdiri

atas pasar desa, terminal bayangan, toko, kios peralatan melaut, toko material,

warung/kios, dan sebagainya.

Menurut data kesehatan desa Puger Kulon tahun 2015 diketahui terdapat

1% balita gizi buruk, 7.9% balita gizi kurang, 89.9% balita gizi normal, dan 1.2%

balita gizi lebih Masalah kesehatan lain adalah terdapat 6 orang yang menderita

demam berdarah selama tahun 2015, dan 1 ibu hamil melahirkan meninggal.

Menurut data kesehatan desa Puger Wetan tahun 2015 diketahui terdapat 1.3%

balita gizi buruk, 5.7% balita gizi kurang, 92% balita gizi normal, dan 1% balita

gizi lebih. Masalah kesehatan lain adalah terdapat 3 orang yang menderita demam

berdarah selama tahun 2015, dan 0 ibu hamil melahirkan meninggal.

Karakteristik contoh

Subjek dalam penelitian ini adalah anak SD kelas 4, 5, dan 6. Karakteristik

contoh yang diamati dalam penelitian ini meliputi usia dan jenis kelamin. Subjek

yang diamati sebanyak 60 orang yang berasal dari tiga sekolah yang berbeda,

yaitu SDN Puger Kulon 01, SDN Wetan 01, dan SDN Puger Wetan 03. Hasil

analisis menunjukkan terdapat 4 siswa berstatus gizi kurang, 47 siswa berstatus

gizi normal, 9 siswa berstatus gizi lebih (3 orang overweight dan 6 orang obese).

Untuk memudahkan analisis, anak dengan status gizi kurang dimasukkan dalam

kelompok kurus dan anak dengan status gizi overweight dan obese dimasukkan

dalam kelompok gemuk. Sehingga terdapat tiga kelompok status gizi yang akan

dianalisis yaitu status gizi kurus, normal, dan gemuk.

Usia

Rata-rata usia pada contoh kurus lebih rendah dari contoh normal dan rata-

rata usia pada contoh normal lebih rendah dari contoh gemuk. Tidak terdapat

perbedaan yang signifikan antara ketiga kelompok (p>0.05) (tabel 1). Proporsi

usia contoh pada ketiga kelompok terbanyak terdapat pada rentang usia 10-12

tahun. Sebaran contoh berdasarkan usia dan status gizi dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Sebaran contoh berdasarkan usia dan status gizi

Karakteristik Kurus Normal Gemuk Total p-

value1)

N % N % n % n %

8-9 tahun 0 0.0 6 12.8 0 0 6 10 0.080

10-12 tahun 4 100.

0

39 83.0 9 100.0 52 86.7

13-14 tahun 0 0.0 2 4.3 0 0.0 2 3.3

Total 4 100 47 100.

0

9 100 60

Median

(min, max)

10.5

(10.0,11.1)

11.0

(9.0,13.6)

11.5

(10.1, 12.5)

11.0

(9.0,13.6) 1)

Uji Kruskal Wallis

16

Berdasarkan hasil uji beda Kruskal Wallis, tidak terdapat perbedaan usia

yang signifikan antara ketiga kelompok. Hal ini karena setelah dilakukan teknik

pemilihan contoh, didapat hasil sekitar 86.7% contoh adalah siswa kelas 5 dengan

rentang usia 10-12 tahun. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Rizkiyah

(2015) bahwa tidak terdapat perbedaan usia yang signifikan antara contoh status

gizi kurus, normal, dan gemuk.

Jenis Kelamin

Persentase anak laki-laki dan anak perempuan pada penelitian ini adalah

sama, yaitu perempuan (50%) dan laki-laki (50%). Contoh kurus semua berjenis

kelamin laki-laki (100.0%) dan contoh gemuk sebagian besar adalah perempuan

(77.8%). Proporsi anak berjenis kelamin laki-laki dan perempuan pada kelompok

normal hampir sama, yaitu laki-laki(51.1%) dan perempuan(48.9%). Sebaran jenis

kelamin berdasarkan status gizi dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan status gizi

Karakteristik Kurus Normal Gemuk Total

n % n % n % n %

Laki-laki 4 100.0 24 51.1 2 22.2 30 50.0

Perempuan 0 0.0 23 48.9 7 77.8 30 50.0

Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60 100.0

Proporsi 100% laki-laki pada kelompok kurus sejalan dengan penelitian

Fazili et al. (2012) bahwa prevalensi kurus, stunting, dan wasting lebih tinggi

pada anak berjenis kelamin laki-laki daripada anak perempuan. Hal ini didukung

dengan penelitian Mukherji et al. (2008) bahwa pada anak usia (10-11 tahun)

lebih banyak proporsi anak laki-laki kurus daripada anak perempuan kurus.

Proporsi 77.8% perempuan pada kelompok gemuk sejalan dengan

penelitian Muson (2012) bahwa terdapat perbedaan status gizi antara anak laki-

laki dan perempuan di SD Pagersari Magelang. Hal ini karena aktivitas fisik anak

laki lebih banyak daripada anak perempuan seperti bermain bola dan berlari. Anak

perempuan lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam rumah. Penelitian lain

menunjukkan bahwa anak perempuan rata-rata mulai mengalami pubertas pada

usia 9-13 tahun. Masa pubertas ini berdampak pada perubahan kadar hormon

estrogen dan juga progesteron. Fluktuasi hormon yang drastis serta meningkatnya

kadar metabolisme adalah para penyebab nafsu makan tinggi. Peningkatan nafsu

makan sebelum menstruasi membuat anak perempuan senang sekali mengemil.

Biasanya hasrat nafsu makan ini spesifik untuk jenis makanan tertentu seperti

makanan manis dan karbohidrat yang menyebabkan kenaikan berat badan.

Karakteristik Keluarga

Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat. Karakteristik keluarga

yang diamati dalam penelitian ini adalah usia orang tua, besar keluarga,

pendidikan orang tua, pendapatan per kapita dan pekerjaan orang tua.

17

Usia Orang Tua

Rata-rata usia ayah dan ibu keseluruhan contoh adalah 40.0 tahun dan 36.1

tahun. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan

antara usia ayah dan ibu pada contoh kurus, normal, dan gemuk (p < 0.05) Usia

orang tua dikelompokkan menjadi tiga, yaitu dewasa muda (20-29 tahun), madya

(30-49 tahun), dan lanjut (≥ 50 tahun). Sebaran contoh berdasarkan usia orang tua

dan status gizi dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan usia orang tua dan status gizi

Karakteristik Kurus Normal Gemuk Total p-

value1)

n % n % n % n %

Usia Ayah 0.001

Dewasa muda 0 0.0 3 6.4 0 0.0 3 5.0

Dewasa madya 4 100.0 43 91.5 6 11.3 53 88.3

Dewasa lanjut 0 0.0 0 0.0 1 11.1 1 1.7

Rata-rata ± SD 34.7±4.7 34.9±5.5 42.8±5.9 36.1±6.1

Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60 100.0

Usia Ibu 0.001

Dewasa muda 1 25.0 7 14.9 0 0.0 8 13.3

Dewasa madya 3 75.0 40 85.1 8 88.9 51 85.0

Dewasa lanjut 0 0.0 0 0.0 1 11.1 1 1.7

Rata-rata ± SD 34.8±4.7 34.9±5.5 42.8±5.9

Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60 100.0 1)

Uji one way ANOVA

Rata-rata usia ayah dan ibu pada contoh gemuk lebih besar daripada rata-

rata usia ayah dan ibu pada contoh normal. Berdasarkan uji lanjut Bonfarroni,

terdapat perbedaan nyata antara usia ayah dan ibu pada contoh normal dan gemuk

(p<0.05). Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian Danielzik et al. (2008) bahwa

tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara umur orang tua anak dengan

status gizi normal dan gemuk. Hasil penelitian menujukkan tidak terdapat

perbedaan signifikan antara usia ayah dan usia ibu pada contoh kurus dan normal

serta pada contoh kurus dan gemuk (p>0.05). Hal ini sejalan dengan penelitian

Pahlevi (2012) bahwa tidak terdapat perbedaan nyata usia ayah dan ibu dengan

kelompok status gizi anak kurus, normal, dan gemuk.

Besar Keluarga

Besar keluarga menggambarkan jumlah keseluruhan anggota keluarga

yang tinggal dalam satu rumah dan tercatat dalam kartu keluarga. Menurut

penelitian Hitchock (2009) bahwa besar keluarga mempunyai hubungan pada

konsumsi pangan dan status gizi. Jumlah anak yang menderita gizi kurang pada

keluarga besar empat kali lebih besar jika dibandingkan pada keluarga kecil.

Menurut WNPG (2004), besar keluarga dikelompokkan menjadi 3 kelompok,

yaitu keluarga kecil jika anggota keluarga kurang dari 4 orang, keluarga sedang

jika anggota keluarga 5 hingga 7 orang dan keluarga besar jika anggota keluarga

lebih dari 8 orang. Sebaran besar keluarga contoh dapat dilihat pada Tabel 4.

18

Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga dan status gizi

Karakteristik Kurus Normal Gemuk Total p-

value1)

n % n % n % n %

Kecil 3 75.0 26 55.3 5 55.5 34 56.7 0.439

Sedang 1 25.0 20 42.6 4 44.4 25 41.7

Besar 0 0.0 1 2.1 0 0.0 1 1.7

Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60 100.0

Median

(min, max)

4.0

(3.0, 5.0)

4.0

(3.0,10.0)

4.0

(4.0, 7.0)

4.0

(3.0, 10.0) 1)

Uji Kruskal Wallis

Proporsi keluarga kecil pada contoh kurus sebesar 75%. Proporsi keluarga

kecil (55.3%) dan sedang (42.6%) pada contoh normal hampir sama. Proporsi

keluarga kecil (55.5%) dan sedang (44.4%) pada contoh status gizi gemuk juga

hampir sama. Rata-rata besar keluarga contoh adalah 4 orang yang tergolong

keluarga kecil. Hasil uji Kruskal Wallis, tidak terdapat perbedaan yang signifikan

antara besar keluarga pada ketiga kelompok (p>0.05) (Tabel 4). Hal ini sejalan

dengan Pahlevi (2012) bahwa tidak ada perbedaan antara jumlah anggota keluarga

dengan status gizi pada anak kelas 4, 5 dan 6 di SD Negeri Ngesrep 02 Semarang.

Tingkat Pendidikan Orang Tua

Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu karakteristik penting

yang dapat menggambarkan kondisi sosial ekonomi keluarga contoh. Pendidikan

ayah dan ibu pada kelompok kurus maksimal berada pada jenjang SMP,

sementara pendidikan ayah dan ibu pada kelompok normal dan gemuk maksimal

berada pada jenjang perguruan tinggi. Sebaran tingkat pendidikan orang tua dapat

dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan orang tua dan status gizi

Karakteristik Kurus Normal Gemuk Total p-value1)

n % n % N % N %

Ayah

Tidak

sekolah

1 25.0 9 19.2 1 11.1 11 18.3 0.291

SD 1 25.0 18 38.3 3 33.3 22 36.7

SMP 2 50.0 13 27.7 0 0.0 15 25.0

SMA 0 0.0 6 12.8 4 44.4 10 16.7

PT 0 0.0 1 2.1 1 11.1 2 3.3

Ibu

Tidak

sekolah

0 0.0 5 10.6 1 11.1 6 10.0 0.696

SD 3 75.0 21 44.7 3 33.3 27 45.0

SMP 1 25.0 13 27.7 3 33.3 17 28.3

SMA 0 0.0 7 14.9 1 11.1 8 13.3

PT 0 0.0 1 2.1 1 11.1 2 3.3

Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60 100 1)

Uji Kruskal Wallis

19

Tabel 5 menunjukkan bahwa 50% contoh pada kelompok gizi kurus

memiliki ayah berpendidikan SMP. Hasil ini sejalan dengan Kaunang (2016)

bahwa ayah dengan pendidikan rendah memiliki peluang lebih kecil untuk

mendapatkan penghasilan yang cukup sehingga memiliki peluang lebih kecil

untuk hidup dalam lingkungan yang baik dan sehat, serta membeli makanan yang

bergizi.

Proporsi ibu berpendidikan SD dan SMP pada kelompok status gizi kurus

mencapai 100% sedangkan proporsi ibu berpendidikan SD dan SMP pada

kelompok status gizi gemuk mencapai 66.6%. Hal ini sejalan dengan penelitian

Mosley (2009) pendidikan ibu yang rendah dapat menyebabkan anak memiliki

status gizi kurang dan juga status gizi lebih. Tingkat pendidikan juga berkaitan

dengan tingkat pengetahuan yang dimiliki, dimana semakin tinggi tingkat

pendidikan semakin baik pula pemahaman ibu dalam memilih makanan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 38.3% ayah dari contoh kurus dan

44.7% ibu dari contoh normal berpendidikan SD. Menurut Pahlevi (2012) ibu dan

ayah dengan latar pendidikan yang rendah namun rajin mendengar atau melihat

informasi mengenai gizi juga dapat memberikan asupan makanan kepada anak

dengan tepat. Hal inilah yang dapat menyebabkan ibu dengan pendidikan yang

rendah dapat memiliki anak dengan status gizi normal.

Berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis, tidak terdapat perbedaan yang

signifikan lama pendidikan ayah dan ibu dari ketiga kelompok (p>0.05), sejalan

dengan penelitian Heryati (2014) bahwa hasil uji mann-whitney menunjukkan

tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada pendidikan orang tua contoh

berstatus gizi normal dan gemuk pada anak di bogor. Hal ini tidak sejalan dengan

penelitian Jahri et al. (2015) bahwa anak sekolah dasar dengan pendidikan ayah

dan ibu yang rendah memiliki status gizi kurus dan anak sekolah dasar dengan

pendidikan ayah dan ibu yang tinggi memiliki status gizi normal.

Pendapatan per Kapita

Pendapatan orang tua merupakan penghasilan yang didapatkan orang tua

per bulan untuk menghidupi kebutuhan keluarga. Pendapatan orang tua yang

didapat selama sebulan dikonversi menjadi pendapatan per kapita per bulan.

Pendapatan orang tua dikelompokkan menjadi 2 kategori, yaitu miskin (≤ Rp285

076) dan tidak miskin (> Rp285 076) (BPS 2015). Sebaran pendapatan orang tua

contoh dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan per kapita dan status gizi

Karakteristik Kurus Normal Gemuk Total p-

value1)

n % n % N % n %

Miskin 2 50.0 32 68.1 8 88.9 42 70.0 0.135

Tidak

miskin

2 50.0 15 31.9 1 11.1 18 30.0

Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60 100.0

Median

(min, max)

291 666.7

(150 000,

500 000)

375 000

(120 000,

2 500 000)

400 000

(214 285.7,

3 400 000)

375 000

(120 000,

3 750 000)

1)Uji Kruskal Wallis

20

Tabel 6 menunjukkan bahwa proporsi keluarga miskin dan keluarga tidak

miskin pada contoh kurus adalah sama (50%). Proporsi keluarga miskin pada

contoh normal mencapai 68.1%. Proporsi keluarga miskin pada contoh gemuk

mencapai 88.1% Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa tidak terdapat

perbedaan yang signifikan antara pendapatan per kapita ketiga kelompok

(p>0.05). Hal ini sejalan dengan penelitian Hidayati (2010) yang menunjukkan

tidak ada perbedaan antara status ekonomi keluarga dengan status gizi anak usia

sekolah. Terkadang faktor pendidikan dan pengetahuan gizi menjadi lebih penting

daripada masalah pendapatan. Meskipun pendapatan relatif rendah, tetapi bila

didasari oleh pengetahuan gizi yang memadai, bahan makanan yang memenuhi

kebutuhan gizi masih mungkin didapatkan atau dibeli.

Pekerjaan Orang Tua

Pekerjaan orang tua akan mempengaruhi pendapatan keluarga yang akan

berpengaruh terhadap konsumsi pangan anak. Sebagian besar pekerjaan ayah

contoh adalah nelayan (78.3%) karena lokasi penelitian merupakan daerah pantai.

Menurut Departemen Perikanan dan Kelautan (2002) klasifikasi nelayan dibagi

menjadi 3 yaitu nelayan penuh, nelayan sambilan utama, dan nelayan sambilan

tambahan. Sebagian besar ibu pada contoh tidak bekerja (80%). Sebaran contoh

berdasarkan pekerjaan orang tua dan status gizi dapat dilihat pada tabel 7.

Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan orang tua dan status gizi

Karakteristik Kurus Normal Gemuk Total

n % N % n % n %

Pekerjaan ayah

Bukan nelayan 0 0.0 8 17.0 5 55.6 13 21.7

Nelayan penuh 4 100.0 33 70.2 3 33.3 40 66.7

Nelayan sambilan

utama

0 0.0 1 2.2 0 0.0 1 1.6

Nelayan sambilan

tambahan

0 0.0 5 10.6 1 11.1 6 10.0

Pekerjaan ibu

Tidak bekerja 4 100.0 38 80.9 6 66.7 48 80.0

Bekerja 0 0.0 9 19.1 3 33.3 12 20.0

Total 4 100 47 100.0 9 100 60 100.0

Tabel 7 menunjukkan bahwa 100% pekerjaan ayah pada contoh kurus

adalah nelayan penuh. Data BPS (2012) menunjukkan bahwa 60% penduduk

miskin di Indonesia adalah masyarakat yang hidup dikawasan pesisir pantai.

Kesejahteraan nelayan pada umumnya sangat minim dan identik dengan

kemiskinan. Masalah yang dihadapi masyarakat nelayan sangat kompleks salah

satunya menyangkut penghasilan mereka. Penghasilan keluarga akan turut

menentukan hidangan yang disajikan untuk keluarga sehari-hari, baik kualitas

maupun jumlah makan yang akan menentukan status gizi khususnya anak-anak

mereka.

Temuan ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang menunjukkan 70.2%

ayah contoh normal bekerja sebagai nelayan penuh. Hal ini karena pekerjaan dan

pendapatan bukan satu-satunya faktor yang berhubungan dengan status gizi anak.

21

Hidayati (2010) membuktikan bahwa faktor pendidikan dan pengetahuan gizi

menjadi lebih penting daripada masalah pekerjaan dan pendapatan. Meskipun

pendapatan relatif rendah, tetapi bila didasari oleh pengetahuan gizi yang

memadai, bahan makanan yang memenuhi kebutuhan gizi masih mungkin

didapatkan atau dibeli.

Tabel 7 menunjukkan 55.6% contoh gemuk memiliki ayah yang bekerja

bukan sebagai nelayan. Meskipun tidak bekerja sebagai nelayan, status ekonomi

keluarga contoh gemuk tidak lebih baik dari status ekonomi contoh normal dan

kurus. Hal ini dibuktikan dengan proporsi keluarga miskin pada kelompok gemuk

mencapai 88.9% (Tabel 6). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Noh

Won et al. (2014) anak dengan status gizi lebih/overweight berasal dari keluarga

dengan status pendidikan yang rendah dan pendapatan keluarga yang rendah.

Sebagian besar ibu pada ketiga kelompok tidak bekerja (80%). Proporsi

ibu tidak bekerja pada contoh status gizi kurus mencapai 100%, contoh status gizi

normal 80.9%, dan contoh status gizi gemuk 66.7%. Penelitian ini tidak sejalan

dengan pendapat Khomsan (2012) bahwa seharusnya ibu yang tidak bekerja

memiliki waktu lebih banyak dirumah dan mengasuh serta memperhatikan

konsumsi pangan anak-anaknya. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat faktor lain

yang berhubungan dengan status gizi anak. Menurut Hidayati (2010) terdapat

faktor lain selain status ibu tidak bekerja yang berhubungan dengan status gizi

anak yaitu pendidikan dan pengetahuan gizi ibu. Berdasarkan data hasil penelitian

proporsi ibu yang berpendidikan maksimal SMP mencapai 83.3%, hal ini

menunjukkan bahwa sebagian besar ibu memiliki pendidikan yang rendah yang

dapat berdampak pada status gizi anak.

Terdapat 33.3% ibu yang bekerja pada contoh gemuk. Menurut penelitian

Khomsan (2012) ketika seorang ibu bekerja, pada saat yang sama ibu tersebut

akan kehilangan waktu yang sangat berharga dalam mengasuh anak-anaknya. Hal

ini sesuai dengan hasil penelitian dari Surasmaji (2008) dan Devi (2010) yang

menunjukkan adanya hubungan antara pekerjaan orang tua dengan status gizi

anak. Hal ini disebabkan ibu yang bekerja diluar rumah cenderung tidak memiliki

waktu untuk memperhatikan konsumsi pangan dan status gizi anak-anaknya

Konsumsi Pangan

Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan

yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu.

Konsumsi pangan merupakan salah satu faktor langsung yang mempengaruhi

status gizi contoh. Pada penelitian ini, konsumsi pangan yang dianalisis dari segi

kuantitas dan kualitasnya. Kuantitas konsumsi pangan dilihat dari rata-rata asupan

serta tingkat kecukupan energi dan zat gizi dilihat dari hasil Semikuantitatif Food

Frequency Questionaires (SQ-FFQ) sedangkan kualitas konsumsi pangan dilihat

dilihat dari data Food Frequency Questionaires (FFQ).

Kuantitas Konsumsi Pangan

Keseluruhan rata-rata asupan energi dan zat gizi contoh kurus lebih rendah

daripada contoh normal dan keseluruhan rata-rata asupan energi dan zat gizi

contoh normal lebih rendah daripada contoh gemuk. Hasil analisis menunjukkan

bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara asupan energi, protein, lemak,

22

zat besi, dan Zn ketiga kelompok (p < 0.05). Hasil analisis menunjukkan bahwa

tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara asupan zat gizi mikro kalsium,

fosfor, vitamin A, dan vitamin C. Sebaran asupan energi dan zat gizi contoh

berdasarkan status gizi dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Rata-rata asupan energi dan zat gizi contoh berdasarkan status gizi

Energi dan

zat gizi

Asupan p-

value Kurus Normal Gemuk

Energi

(kkal/hari)

936.5(569.4,1464.9) 1962.3(822.3,2558.3) 2400.0(1817.2,2862.4) 0.0001)

Protein

(gram/hari)

33.3±15.3 57.9±16.6 82.9±14.7 0.0002)

Lemak

(gram/hari)

37.2(14.3,37.6) 58.2(22.1,83.0) 98.6(89.9,128.3) 0.0001)

Ca

(mg/hari)

431.2(194.2,666.9) 566.6(136.5,1506.6) 862.3(233.8,1949.5) 0.0811)

Fosfor

(mg/hari)

259.3(181.9,572.3) 578.2(203.3,1555.6) 665.5(246.6,1847.9) 0.0751)

Zat besi

(mg/hari)

9.6±5.8 14.7±5.0 22.1±8.3 0.0002)

Vitamin A

(RE/hari)

249.9(202.2,399.3) 540.0(92.5, 5429.3) 679.7(165.3,1587.4) 0.1471)

Vitamin C

(mg/hari)

17.4(12.2,33.1) 40.7(4.0,185.7) 42.6(14.7,58.9) 0.0931)

Zn

(mg/hari)

3.2±1.4 5.3±1.9 8.4±3.4 0.0052)

1)Uji Kruskal Wallis

2)Uji One Way ANOVA

Berdasarkan uji lanjut Mann whitney/Bonferroni terdapat perbedaan

signifikan antara asupan energi, protein, lemak, dan Zn ketiga kelompok contoh

(kurus, normal, dan gemuk) (p<0.05). Hasil penelitian ini sejalan dengan

penelitian Lestari (2014) bahwa berdasarkan uji beda independent sample t-test

terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.00) antara asupan energi, protein, dan

lemak pada contoh berstatus gizi normal dan contoh berstatus gizi lebih. Hasil

penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Yulni et al. (2013) ada perbedaan

yang signifikan antara asupan energi dan zat gizi makro pada anak status gizi

kurus dan normal menurut indikator IMT/U pada anak sekolah dasar di wilayah

pesisir kota Makassar. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Sari et

al. (2014) bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara asupan zat gizi

mikro zat besi dan Zn menurut status gizi anak usia 6-12 tahun di Sulawesi.

Berdasarkan uji lanjut Mann whitney tidak terdapat perbedaan yang

signifkan antara asupan zat gizi mikro kalsium, fosfor, vitamin A, dan vitamin C

antara ketiga kelompok (P>0.05). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian

Sari et al. (2014) bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara asupan

zat gizi mikro kalsium, fosfor, vitamin A, dan vitamin C menurut status gizi anak

usia 6-12 tahun di Sulawesi.

23

Tabel 9 Rata-rata tingkat kecukupan energi dan zat gizi contoh berdasarkan status

gizi

Energi dan

zat gizi

Tingkat kecukupan(%) p-value

Kurus Normal Gemuk

Energi 44.6(27.1,69.8) 95.7(39.2,121.8) 139.0(87.8,163.5) 0.0001)

Protein 59.4±27.3 100.5±39.4 131.4±29.7 0.0002)

Lemak 53.2(20.4,53.7) 83.2(31.6,123.9) 147.2(128.4,180.7) 0.0001)

Kalsium 35.9(16.2,55.6) 48.9(11.4,125.6) 71.9(40.0,162.5) 0.0551)

Fosfor 21.6(15.2,47.7) 48.3 (16.9,202.4) 55.6(20.6,154.0) 0.0761)

Zat besi 73.9±44.3 96.2±41.8 119.5±38.3 0.0052)

Vitamin A 41.7(33.7,66.6) 90.0(15.4,1085.9) 95.6(36.0,264.6) 0.1061)

Vitamin C 34.7(24.4,66.3) 77.5(7.9,410.0) 74.9(26.9,117.8) 0.1051)

Zn 23.1±10.2 39.4±13.1 63.2±20.3 0.0002)

1)

Uji Kruskal Wallis 2)

Uji One Way ANOVA

Tabel 9 menunjukkan bahwa rata-rata tingkat kecukupan energi dan zat

gizi contoh kurus lebih rendah daripada contoh normal dan rata-rata tingkat

kecukupan energi dan zat gizi contoh normal lebih kecil daripada contoh gemuk.

Berdasarkan uji lanjut Mann whitney/ Bonferroni terdapat perbedaan signifikan

antara tingkat kecukupan energi, protein, lemak, zat besi, dan Zn contoh kurus dan

normal, contoh normal dan gemuk dan contoh kurus dan gemuk (p<0.05). Hasil

penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Yulni et al. (2013) tentang perbedaan

asupan zat gizi makro pada anak sekolah dasar di wilayah pesisir kota Makassar

menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara tingkat kecukupan

energi dan zat gizi makro pada anak status gizi kurus dan normal menurut

indikator IMT/U. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Sari et al.

(2014) tentang perbedaan asupan zat gizi mikro menurut status gizi anak usia 6-12

tahun berdasarkan tipe daerah di pulau Sulawesi menunjukkan bahwa tidak

terdapat perbedaan yang signifikan antara asupan zat gizi mikro zat besi dan Zn.

Berdasarkan uji lanjut Mann whitney tidak terdapat perbedaan yang

signifkan antara tingkat kecukupan zat gizi mikro kalsium, fosfor, vitamin A, dan

vitamin C antara ketiga kelompok (P>0.05). Hasil penelitian ini sejalan dengan

penelitian Sari et al. (2014) bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara

tingkat kecukupan zat gizi mikro kalsium, fosfor, vitamin A, dan vitamin C

menurut status gizi anak usia 6-12 tahun di Sulawesi. Tingkat kecukupan zat gizi

berhubungan dengan asupan zat gizi. Sesuai dengan metode dalam penelitian ini

bahwa tingkat kecukupan energi dan zat gizi didapat dengan membagi asupan

energi dan zat gizi dengan angka kecukupan zat gizi (AKG) kemudian dikali

100%.

24

Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi, zat gizi, dan

status gizi

Kategori Kurus Normal Gemuk

n % n % N %

Tingkat kecukupan

energi

Defisit berat 4 100.0 9 19.1 0 0.0

Defisit sedang 0 0.0 4 8.5 0 0.0

Defisit ringan 0 0.0 4 8.5 0 0.0

Normal 0 0.0 29 61.7 5 55.6

Lebih 0 0.0 1 2.1 4 44.4

Tingkat kecukupan

protein

Defisit berat 4 100.0 8 17.0 0 0.0

Defisit sedang 0 0.0 5 10.6 0 0.0

Defisit ringan 0 0.0 6 12.8 1 11.1

Normal 0 0.0 15 31.9 2 22.2

Lebih 0 0.0 13 27.7 6 66.7

Tingkat kecukupan

lemak

Defisit berat 4 100.0 11 23.4 0 0.0

Defisit sedang 0 0.0 9 19.1 0 0.0

Defisit ringan 0 0.0 14 29.8 0 0.0

Normal 0 0.0 12 25.5 0 0.0

Lebih 0 0.0 1 2.1 9 100.0

Tingkat kecukupan

kalsium

Kurang 4 100.0 37 78.7 7 77.8

Cukup 0 0.0 10 21.3 2 22.2

Tingkat kecukupan

fosfor

Kurang 4 100.0 36 76.6 8 88.9

Cukup 0 0.0 11 22.4 1 20.0

Tingkat kecukupan zat

besi

Kurang 4 100.0 18 38.3 1 11.1

Cukup 0 0.0 29 61.7 8 88.9

Tingkat kecukupan

vitamin A

Kurang 4 100.0 18 38.3 3 33.3

Cukup 0 0.0 29 61.7 6 66.7

Tingkat kecukupan

vitamin C

Kurang 4 100.0 23 48.9 5 55.6

Cukup 0 0.0 24 51.1 4 44.4

Tingkat kecukupan Zn

Kurang 4 100.0 46 97.9 8 88.9

Cukup 0 0.0 1 2.1 1 11.1

25

Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh contoh kurus mengalami

defisit berat energi, protein, dan lemak (100%). Sebagian besar contoh normal

memiliki tingkat kecukupan energi normal (67%), tingkat kecukupan protein

normal (31.9%), dan tingkat kecukupan lemak defisit ringan (29.8%). Sebagian

besar contoh gemuk memiiliki tingkat kecukupan energi normal (55.4%), tingkat

kecukupan protein lebih (66.7%), dan tingkat kecukupan lemak lebih (100%).

Secara keseluruhan tingkat kecukupan energi dan zat gizi makro contoh kurus

lebih kecil dibandingkan contoh normal dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi

makro contoh normal lebih kecil dibandingkan contoh gemuk.

Hal ini didukung dengan data frekuensi makan contoh. Contoh kurus

mengonsumsi nasi (14x/minggu) lebih sedikit dibandingkan contoh normal dan

gemuk (23x/minggu). Data lain yang mendukung adalah terdapat perbedaan yang

signifikan antara konsumsi roti contoh pada kelompok kurus, normal, dan gemuk

(p>0.05). Berdasarkan data FFQ diperoleh data bahwa rata-rata konsumsi/minggu

kacang hijau, susu kental manis, salak, dan coklat antara contoh kurus lebih

sedikit daripada contoh normal dan rata-rata konsumsi/minggu kacang hijau, susu

kental manis, salak, dan coklat contoh normal lebih sedikit daripada contoh

gemuk walaupun tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara konsumsi

pangan tersebut pada ketiga kelompok. Hasil penelitian menujukkan bahwa

meskipun tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara konsumsi/ minggu

beberapa kelompok pangan, tetapi jumlah gram satu kali makan antara contoh

kurus lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah gram sekali makan contoh

normal dan jumlah gram satu kali makan antara contoh normal lebih sedikit

dibandingkan dengan jumlah gram sekali makan contoh gemuk.

Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar contoh termasuk dalam

kategori kurang mineral kalsium, fosfor, dan Zn (Tabel 10). Proporsi contoh pada

kelompok kurus yang kekurangan kalsium, fosfor, dan Zn mencapai 100%.

Proporsi contoh pada kelompok normal yang kekurangan kalsium (78.7%),

fosfor(76.6%), dan Zn (97.9%). Proporsi contoh pada kelompok gemuk yang

kekurangan kalsium (77.7%), fosfor (88.9%), dan Zn (88.9%).

Hal ini didukung dengan data kualitas konsumsi pangan contoh. Menurut

Sagoyo (2005), susu pabrik yaitu susu cair (904 mg/100 gram), susu kental manis

(275 mg/100 gram), keju (777 mg/100 gram), ikan teri (500 mg/100 gram), dan

bayam (257 mg/100/gram) memiliki kadar kalsium yang tinggi. Menurut Sagoyo

(2005), pada umumnya bahan makanan yang mengandung banyak kalsium

merupakan juga sumber fosfor, seperti susu cair(694 mg/100 gram), susu kental

manis (209 mg/100 gram), keju (338 mg/100 gram), dan ikan teri (500 mg/100

gram). Berdasarkan data FFQ, konsumsi susu cair, susu kental manis, dan keju

setiap minggu contoh pada ketiga kelompok <4 kali/minggu. Bahkan pada contoh

kurus hanya mengonsumsi <2 kali/minggu. Konsumsi bayam pada keseluruhan

contoh< 2 kali/minggu. Berdasarkan analisis data hasil FFQ, ikan teri bukan

merupakan pangan yang sering dikonsumsi contoh. Pangan sumber Zn dengan bioavaibilitas tinggi berasal dari daging

ayam(1.9 mg/100 gram) dan daging sapi (4.1 mg/100 gram). Kedua pangan ini

bukan merupakan pangan yang sering dikonsumsi oleh contoh pada ketiga

kelompok. Hampir keseluruhan contoh dalam penelitian ini mengalami

kekurangan Zn diduga karena underestimate. Belum semua jenis pangan diketahui

26

kandungan seng sehingga perhitungan asupan dan tingkat kecukupan seng hanya

berdasarkan pangan yang dikonsumsi contoh yang telah diketahui nilai kandungan

seng. Hal ini ditemukan pula oleh Yasmin et al. (2014).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa 100% contoh kurus mengalami

defisiensi besi dan vitamin A, 61.7% contoh normal cukup besi dan vitamin A,

dan 88.9% contoh gemuk cukup zat besi serta 66.7% contoh gemuk cukup

vitamin A. Asupan zat besi pada contoh dalam penelitian ini banyak didapat dari

tempe (10.5 mg/100 gram), telur ayam rebus (2.7 mg/100 gram), telur ayam

ceplok (9.2 mg/100 gram), sosis (1.1 mg/100 gram), dan udang barong (8 mg/100

gram). Asupan zat besi yang kurang pada contoh kelompok kurus karena asupan

zat besi paling banyak di dapat hanya dari tempe dan konsumsi telur ayam yang

direbus. Sebagian besar contoh normal dan contoh gemuk selain mendapatkan

asupan zat besi dari tempe juga mendapatkan asupan zat besi dari konsumsi telur

ayam ceplok dan udang barong. Udang barong hanya dikonsumsi sebagian kecil

contoh normal dan sebagian besar contoh gemuk sehingga bukan termasuk

kategori pangan yang paling banyak dikonsumsi oleh ketiga kelompok.

Berdasarkan Tabel 13 pada tabel kualitas konsumsi pangan, terlihat bahwa rata-

rata konsumsi sosis/minggu pada contoh kurus lebih sedikit daripada contoh

kelompok normal, dan rata-rata konsumsi sosis/minggu contoh normal lebih

sedikit daripada contoh gemuk.

Asupan vitamin A contoh pada penelitian ini banyak didapat dari

konsumsi minyak goreng. Hampir keseluruhan contoh terutama contoh normal

dan contoh gemuk yang mengonsumsi pangan nabati dan hewani dengan

digoreng. Secara keseluruhan, rata-rata konsumsi pangan nabati dan

hewani/minggu contoh kurus lebih rendah daripada contoh normal dan contoh

gemuk. Hal ini yang menyebabkan keseluruhan contoh kurus mengalami

kekurangan vitamin A.

Kualitas Konsumsi Pangan

Kualitas konsumsi pangan pada penelitian ini dilihat dari Food Frequency

Questionaires (FFQ). Sebagian besar contoh kurus mengonsumsi pangan/minggu

lebih sedikit daripada contoh normal. Sebagian besar contoh normal mengonsumsi

pangan/minggu lebih sedikit daripada contoh gemuk. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan sebagian besar

konsumsi pangan/minggu antara ketiga kelompok. Hanya beberapa konsumsi

pangan/minggu yang menunjukkan perbedaan yang signifkan antara ketiga

kelompok yaitu roti, bayam, dan salak, sedangkan terdapat perbedaan antara

konsumsi telur ayam/minggu kelompok normal dan gemuk (p=0.003) serta

konsumsi telur/minggu contoh kurus dan gemuk (p=0.011).

Tabel 11 menunjukkan bahwa distribusi kelompok pangan pada makanan

pokok yang sering dikonsumsi pada kedua kelompok contoh adalah nasi, roti, dan

biskuit. Protein nabati yang sering dikonsumsi adalah tahu, tempe, dan kacang

hijau. Protein hewani yang sering dikonsumsi adalah sosis, ikan basah, dan

telur.Sayur yang sering dikonsumsi adalah bayam dan timun sdangkan buah yang

sering dikonsumsi adalah alpukat, apel, dan salak. Susu yang sring dikonsumsi

adalah susu cair, kental manis, dan olahan susu yaitu keju. Jajanan yang sering

dikonsumsi adalah cilok, pisang goreng, dan coklat sedangkan minuman yang

27

sering dionsumsi adalah teh kemasan. Sebaran contoh berdasarkan rata-rata

frekuensi konsumsi pangan dan status gizi dapat dilihat pada tabel 11.

Tabel 11 Rata-rata frekuensi konsumsi pangan berdasarkan status gizi

Kelompok pangan Frekuensi konsumsi (kali/minggu) p-

value1)

Kurus Normal Gemuk

Makanan pokok

Nasi 15.0(15.0,23.0) 23.0(0.0,30.0) 23.0(15.0,23.0) 0.151

Roti 1.0(0.0,1.0) 3.0(0.0,23.0) 8.0(0.0,15.0) 0.016

Biskuit 1.0(0.0,23.0) 3.0(0.0,23.0) 2.0(0.0,23.0) 0.787

Protein nabati

Tahu 19.0(3.0,30.0) 14.0(0.0,30.0) 18.0(2.0,23.0) 0.214

Tempe 19.0(3.0,23.0) 15.0(0.0,38.0) 15.0(1.0,30.0) 0.668

Kacang hijau 0.0(0.0,0.0) 1.0(0.0,15.0) 2.0(0.0,4.0) 0.149

Protein hewani

Sosis 2.0(0.0,15.0) 2.0 (0.0,15.0) 5.5(3.0,9.0) 0.306

Ikan basah 2.0(0.0,4.0) 2.0(0.0,15.0) 1.0(0.0,8.0) 0.561

Telur 2.0(0.0,3.0) 2.0 (0.0,23.0) 8.0 (1.0,15.0) 0.007

Sayur

Bayam 0.5(0.0,1.0) 1.0 (0.0,23.0) 2.0(1.0,8.0) 0.029

Timun 1.0 (1.0,2.0) 2.0(0.0,15.0) 2.0(0.0,15.0) 0.730

Buah

Alpukat 0.0(0.0,1.0) 1.0(0.0,15.0) 1.0(0.0,15.0) 0.075

Apel 1.0(0.0,2.0) 1.0(0.0,5.0) 1.0(0.0,8.0) 0.575

Salak 0.0(0.0,0.0) 1.0(0.0,23.0) 2.0(0.0,3.0) 0.026

Susu

Susu cair 1.0(0.0,8.0) 1.0(0.0,15.0) 0.0(0,0,3.0) 0.249

Susu kental manis 0.0(0.0,0.0) 1.0(0.0,15.0) 3.0(0.0,15.0) 0.070

Keju 0.5(0.0,2.0) 1.0(0.0,15.0) 3.0(0.0,15.0) 0.625

Jajanan

Cilok 3.0(0.0,8.0) 2.0(0.0,15.0) 3.0(0.0,15.0) 0.940

Pisang goreng 1.0(0.0,4.0) 1.0(0.0,30.0) 1.0(0.0,8.0) 0.492

Coklat 0.0(0.0,8.0) 2.0(0.0,15.0) 4.0(0.0,8.0) 0.210

Minuman

Teh kemasan 8.0(0.0,8.0) 1.0(0.0,15.0) 5.0(0.0,15.0) 0.325 1)

Uji Kruskal Wallis

Rata-rata konsumsi nasi pada contoh gemuk 3-4x/hari lebih sering dari

contoh kurus 2x/hari meskipun tidak terdapat perbedaan yang signifikan konsumsi

nasi/minggu antara ketiga kelompok. Terdapat perbedaan yang signifikan

konsumsi roti/minggu pada ketiga kelompok status gizi (p<0.05). Roti yang sering

dikonsumsi oleh contoh adalah roti bakar dengan harga murah yang dijual di

sekolah sebagai makanan jajanan mereka.

Jenis protein nabati yang sering dikonsumsi adalah tahu dan tempe. Rata-

rata konsumsi tahu contoh kurus (12x/minggu) lebih rendah daripada rata-rata

konsumsi tahu contoh normal (14x/minggu) dan rata-rata konsumsi tahu contoh

pada kelompok normal lebih rendah daripada rata-rata konsumsi tahu contoh

gemuk (18x/minggu) meskipun tidak terdapat perbedaan yang signifikan

28

konsumsi tahu/minggu pada ketiga kelompok. Konsumsi tahu dan tempe sebagai

lauk di rumah dapat dikaitkan dengan faktor pendapatan keluarga yang rendah

sehingga dapat menurunkan kuantitas dan kualitas makanan dalam pemilihan

pangan. Ketiga kelompok contoh memiliki proporsi keluarga yang tergolong

miskin dalam jumlah yang cukup besar, yaitu 50% pada contoh kurus, 68.1%

pada contoh normal, dan 88.9% pada contoh gemuk. Hal tersebutlah yang

menyebabkan kemungkinan terjadinya perilaku seringnya mengonsumsi tahu dan

tempe.

Pangan sumber protein hewani yang sering dikonsumsi contoh adalah

sosis, telur ayam, dan ikan. Terdapat perbedaan yang signifkan konsumsi telur

ayam pada ketiga kelompok. Berdasarkan uji lanjut Mann whitney, terdapat

perbedaan yang signifikan antara jumlah konsumsi telur/minggu contoh normal

dan gemuk serta contoh kurus dan gemuk (p<0.05). Tidak terdapat perbedaan

yang signifikan antara konsumsi telur ayam/minggu antara contoh kurus dan

normal (p>0.05).

Pangan sumber serat seperti buah dan sayur jarang dikonsumsi oleh contoh

pada penelitian ini(<2x/minggu). Hal ini sejalan dengan data hasil Riset

Kesehatan Dasar (Riskesdas 2007) bahwa sebanyak 93.5% anak usia 10 tahun ke

atas tidak mengkonsumsi buah dan sayur. Menurut Soekirman (2006) anak usia

sekolah dasar kurang konsumsi makanan berserat seperti sayur maupun buah.

Keseluruhan contoh juga jarang mengonsumsi susu dan olahannya. Tabel 11

menunjukkan bahwa kelompok gemuk mengonsumsi susu dan olahannya 3

kali/minggu lebih sering daripada contoh normal dan kurus (1x/minggu). Hal ini

didukung dengan data banyak nya contoh pada ketiga kelompok yang kurang kalsium

dan fosfor (Tabel 10).

Berdasarkan tabel 11, jajanan yang sering dikonsumsi contoh adalah cilok,

pisang goreng, coklat, dan teh kemasan. Rata-rata konsumsi jajanan cilok/minggu,

pisang goreng/minggu, dan teh kemasan/minggu pada contoh kurus lebih banyak

daripada rata-rata konsumsi cilok dan teh kemasan pada contoh normal dan

gemuk walaupun tidak terdapat perbedaan yang signifikan konsumsi ketiga

jajanan pada ketiga kelompok. Rata-rata konsumsi jajanan coklat/minggu pada

contoh kurus lebih sedikit dibandingkan rata-rata konsumsi jajanan coklat/minggu

pada contoh normal dan rata-rata konsumsi jajanan coklat/minggu pada contoh

normal lebih sedikit dibandingkan rata-rata konsumsi jajanan coklat/minggu pada

contoh gemuk.

Status Kesehatan

Status kesehatan anak meliputi ada tidaknya penyakit yang dialami anak

dalam satu bulan terakhir, serta lama dan frekuensi sakitnya. Kemudian, data

frekuensi dan lama sakit dikategorikan menurut nilai median yang telah dihitung.

Selama 1 bulan terakhir proporsi keseluruhan contoh yang mengalami sakit

hampir sama dengan yang tidak mengalami sakit. Selama satu bulan terakhir,

contoh dengan status gizi kurus dan gemuk lebih banyak yang mengalami sakit

dalam satu bulan terakhir jika dibandingkan dngan contoh normal. Sebaran contoh

berdasarkan kejadian sakit dan status gizi dapat dilihat pada tabel 12.

29

Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan kejadian sakit dan status gizi

Kategori Kurus Normal Gemuk Total

n % n % N % n %

Sakit 4 100.0 23 48.9 8 88.9 35 58.3

Tidak

sakit

0 0.0 24 51.1 1 11.1 25 41.7

Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60.0 100.0

Kejadian sakit pada contoh kurus mencapai 100%, kejadian sakit pada

contoh gemuk mencapai 88.9%, dan kejadian sakit pada contoh normal 48.9%.

Rata-rata kejadian sakit pada contoh kurus dan gemuk lebih besar daripada rata-

rata kejadian sakit pada contoh normal. UNICEF (2001) menyatakan bahwa

penyakit infeksi merupakan salah satu faktor langsung yang mempengaruhi status

gizi.

Jenis penyakit yang paling sering diderita oleh ketiga kelompok contoh

adalah batuk, pilek, dan demam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 100%

contoh kurus mengalami kejadian sakit selama satu bulan terakhir. Hasil ini

sejalan dengan penelitian Pahlevi (2012) bahwa timbulnya gizi kurang bukan saja

karena makanan yang kurang tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat

makanan yang cukup baik tetapi sering diserang diare atau demam, akhirnya dapat

menderita gizi kurang. Sebaliknya anak yang makan tidak cukup baik maka daya

tahan tubuhnya (imunitas) dapat melemah sehingga mudah diserang penyakit

infeksi, kurang nafsu makan dan akhirnya mudah terkena gizi kurang Sehingga

disini terlihat interaksi antara konsumsi makanan yang kurang dan infeksi

merupakan dua hal yang saling mempengaruhi.

Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa 88.9% contoh gemuk

mengalami kejadian sakit selama satu bulan terakhir. Hasil ini sejalan dengan

penelitian Karlsson et al. (2010) bahwa gizi lebih (overweight dan obese)

berhubungan signifikan dengan peningkatan resiko dan keparahan dari beberapa

penyakit infeksi baik dari virus maupun bakteri. Menurut Sheridan (2012) respon

antibodi suboptimal terhadap berbagai vaksinasi ditemukan pada seseorang yang

overweight. Penemuan ini membuktikan bahwa kelebihan berat badan dapat

berakibat pada ketidakseimbangan respon imune. Belum ada penelitian lebih

lanjut tentang mekanisme ini.

Tabel 12 menunjukkan bahwa sebanyak 48.9% contoh normal mengalami

sakit dalam 1 bulan terakhir. Menurut Bennett (2015) status gizi bukanlah satu-

satunya variabel yang berhubungan dengan status infeksi pada anak. Faktor lain

yang berhubungan dengan status infeksi pada anak usia sekolah adalah konsumsi

pangan dan air, praktek higieni dan sanitasi, status sosial ekonomi, aktivitas fisik,

lingkungan tempat tinggal, interaksi dengan hewan peliharaan dan sebagainya.

Kondisi pemukiman penduduk di sekitar pesisir pantai Puger sangat kumuh

dengan kepadatan penduduk yang tinggi. Hal ini sejalan dengan pendapat

Supriyyanto (2000) bahwa kondisi permukiman pesisir memiliki permasalahan

berupa permukiman yang cenderung rapat dan kumuh kondisi lingkungan yang

kurang sehat, dan kurangnya sarana dan prasarana serta keadaan perekonomian

masyarakat yang kurang dapat berkembang.

30

Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi, lama sakit, dan status gizi

Kateg

ori

Kurus Normal Gemuk p-value1)

Frekuen

si sakit

Lama

sakit

Frekuens

i sakit

Lama

sakit

Frekuen

si sakit

Lama sakit Frekue

nsi

sakit

Lam

a

saki

t n % n % n % n % n % n %

Renda

h

0 0.0 0 0.0 3

8

80.9 37 78.7 1 11.1 1 11.1 0.000 0.00

0

Tinggi 4 100.

0

4 100.

0

9 19.1 10 21.3 8 88.9 8 88.9

Total 4 100.

0

0 0.0 4

7

100.

0

47 100 9 100.

0

9 100

Rata-

rata

2.5(2.0,3.

0)

5.0(5.0,7.

0)

1.0(0.0,6.

0)

2.0(0.0,19.

0)

4.0(0.0,8.

0)

12.0(0.0,20,

0)

1)Uji Kruskal Wallis

Hasil uji hubungan Spearman menunjukkan terdapat hubungan signifikan

positif dan hubungan kuat antara frekuensi dan lama sakit contoh (p= 0.000, r=

0.946). Artinya semakin tinggi frekuensi sakit maka semakin lama jangka waktu

sakit. Rata-rata frekuensi dan lama sakit contoh kurus dan gemuk lebih lama

dibandingkan dengan rata-rata frekuensi dan lama sakit contoh normal.

Berdasarkan uji lanjut Mann whitney, terdapat perbedaan signifikan antara

frekuensi dan lama sakit contoh kurus dan normal serta contoh normal dan gemuk

(P<0.05). Tetapi tidak terdapat perbedaan yang signifikan frekuensi dan lama

sakit contoh kurus dan gemuk (p>0.05) yang didukung dengan data pada tabel 14

bahwa seluruh contoh kurus (100%) dan sebagian besar contoh gemuk (88.9%)

sama-sama mengalami sakit dalam satu bulan terakhir.

Food Coping Strategy

Taraf 1 food coping strategy meliputi mencari pekerjaan tambahan,

perubahan konsumsi pangan (membeli makanan dengan harga yang lebih murah

dan mengurangi porsi makan), dan penyegaran akses pangan (menerima

BLT/raskin dan menerima bantuan makanan dari saudara/tetangga) (Mutiara

2008). Tabel sebaran contoh berdasarkan perilaku food coping strategy dan status

gizi dapat dilihat pada Tabel 1 pada lampiran 1. Sebagian besar orang tua contoh

kurus (63.3%) tidak pernah mencari pekerjaan sampingan jika mengalami

kekurangan pangan. Kadang-kadang membeli makanan yang lebih murah ketika

kekurangan pangan lebih banyak dilakukan oleh keluarga contoh kurus (75%)

daripada keluarga contoh normal (46.8%) dan keluarga contoh gemuk (33.3%).

Hal ini sejalan dengan penelitian Mardiharini (2002) yang mengatakan hampir

setiap hari keluarga miskin pedesaan dan perkotaan membeli makanan yang lebih

murah harganya. Tanziha (2006) menyebutkan bahwa strategi food coping yang

dilakukan saat terjadi kekurangan pangan dalam keluarga salah satunya adalah

membeli makanan yang nilainya lebih rendah (tadinya nasi menjadi singkong).

Kadang-kadang, 50% keluarga contoh kurus mengurangi porsi makan

keluarga ketika terjadi kekurangan pangan sedangkan 55.3% keluarga contoh

normal dan 100% keluarga contoh gemuk tidak pernah mengurangi porsi makan

31

keluarga ketika terjadi kekurangan pangan. Sebagian besar orang tua contoh

(78.3%) tidak pernah mendapatkan BLT/raskin dari pemerintah, padahal hasil

penelitian menujukkan bahwa 70% keluarga contoh merupakan keluarga miskin.

Keadaan ini sesuai dengan Suhartiningtyas (2005) yang mengungkapkan bahwa

subsidi selama ini tidak dinikmati oleh keluarga miskin. Sebagian besar keluarga

contoh (75%) tidak pernah menerima bantuan makanan dari saudara/tetangga.

Berdasarkan hasil uji lanjut Mann Whitney, terdapat perbedaan signifikan perilaku

taraf 1 antara contoh normal dan gemuk (p=0.008) dan contoh kurus dan gemuk

(p=0.033), tetapi tidak terdapat perbedaan yang signifikan perilaku taraf 1 antara

contoh kurus dan normal (p=0.597).

Taraf 2 food coping strategy meliputi penyegaran akses terhadap

pembelian tunai (menjual aset yang tidak produktif, menjual aset produktif dan

meminjam uang) perubahan distribusi makan, mengurangi frekuensi makan

sehari, dan melewati hari-hari tanpa makan. Sebagian besar contoh tidak pernah

melakukan penjualan aset tidak produktif (70%) dan aset produktif (80%) ketika

terjadi kekurangan pangan. Sebanyak 75% keluarga contoh kurus dan 31.9%

contoh normal kadang-kadang meminjam uang ketika kekurangan pangan.

Sebanyak 55.6% keluarga contoh gemuk tidak pernah meminjam uang ketika

kekurangan pangan. Sebanyak 71.7% keluarga contoh tidak pernah melakukan

pengurangan frekuensi makan dan 80.0% keluarga contoh tidak pernah melewati

hari-hari tanpa makan ketika kekurangan pangan. Hasil uji beda Kruskal Wallis

menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan perilaku taraf 2

antara ketiga kelompok contoh (p>0.05).

Taraf 3 food coping strategy adalah langkah drastis yang dilakukan

keluarga untuk mengatasi kekurangan pangan yang meliputi migrasi/pindah

tempat, menyerahkan anak ke saudara, dan bercerai. Sebagian besar contoh tidak

melakukan migrasi/pindah tempat (90%), tidak menyerahkan anak pada saudara

(91.7%) dan tidak bercerai (96.7%). Hasil uji beda Kruskal Wallis menunjukkan

bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan perilaku taraf 3 antara ketiga

kelompok contoh (p>0.05).

Skor food coping strategy dapat dicari dengan cara setiap taraf yang

dilakukan diberi skor, dengan menjumlahkan hasil kali tiap taraf dengan bobot

yang berbeda pada tiap tarafnya (Usfar 2002). Skor food coping strategy yang

telah didapat, dapat digunakan untuk menentukan ringan/beratnya kekurangan

pangan yang diderita keluarga contoh. Tabel 14 menunjukkan sebaran contoh

berdasarkan kekurangan pangan dan status gizi.

Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan tingkat food coping strategy dan status gizi

Tingkat food

coping strategy

Kurus Normal Gemuk Total p-

value1)

N % n % N % n %

Rendah (0.0-34.6) 0 0.0 12 25.5 5 29.5 17 28.3 0.000

Sedang (34.7-

69.3)

4 100.0 34 72.3 4 44.4 42 70.0

Tinggi (69.4-

104.0)

0 0.0 1 2.1 0 0.0 1 1.7

Rata-rata±SD 43.8±7.0 41.4±10.3 35.4±7.7 40.7±9.9

Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60 100.0 1)

Uji one way ANOVA

32

Food coping strategy adalah bentuk perubahan dan upaya-upaya yang

dilakukan rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan. Semakin

tinggi skor food coping strategy maka semakin berat keluarga mengalami

kekurangan pangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 70% keluarga contoh

merupakan keluarga miskin. Rata-rata skor food coping strategy keluarga contoh

kurus lebih besar daripada rata-rata skor food coping strategy contoh normal dan

rata-rata skor food coping strategy keluarga contoh normal lebih besar daripada

rata-rata skor food coping strategy contoh gemuk. Artinya keluarga contoh kurus

lebih sering melakukan strategi food coping daripada keluarga contoh normal dan

keluarga contoh normal lebih sering melakukan strategi food coping daripada

contoh gemuk.

Hasil perhitungan skor food coping strategy menunjukkan 70% contoh

memiliki keluarga yang mengalami kekurangan pangan sedang. Menurut hasil

penelitian Tanziha et al. (2010) menunjukkan adanya hubungan positif (p=0.000

r=0.483) antara skor food coping strategy dengan intensitas kerawanan pangan.

Maxweel (1999) dalam Tanziha et al. (2010) menyebutkan bahwa food coping

strategy dapat dijadikan indikator kerawanan pangan. Semakin tinggi skor food

coping strategy, semakin tinggi tingkat kerawanan pangan. Semakin parah

kerawanan pangan menunjukkan keluarga semakin tidak mampu memenuhi

kebutuhan pangan. Kecukupan pangan berhubungan dengan tingkat kecukupan

zat gizi sangat berhubungan dengan status gizi anak. Berdasarkan uji lanjut

Tamhane, terdapat perbedaan signifikan antara food coping strategy contoh kurus

dan gemuk (p=0.045), contoh normal dan gemuk (p=0.000). Tetapi tidak terdapat

perbedaan antara food coping strategy contoh kurus dan normal (p>0.05)

Prestasi akademik

Prestasi akademik adalah gambaran mengenai penguasaan anak terhadap

materi pelajaran di sekolah. Prestasi akademik diukur melalui rata-rata nilai UTS

dan UAS dari mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, dan IPS. Rata-

rata nilai tersebut dikelompokkan ke dalam kategori kurang, cukup, lebih dari

cukup, dab baik (Depdiknas 2008). Sebaran contoh berdasarkan prestasi akademik

dan status gizi dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan prestasi akademik dan status gizi

Kategori Kurus Normal Gemuk Total p-

value1)

N % n % n % N %

Kurang (<60) 4 100.0 22 46.8 8 88.9 34 56.7 0.027

Cukup (60-

69)

0 0.0 11 23.4 1 11.1 12 20.0

Lebih dari

cukup (70-

79)

0 0.0 10 21.3 0 0.0 10 16.6

Baik (>80) 0 0.0 4 8.5 0 0.0 4 6.7

Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60 100.0

Rata-rata±SD 44.6±3.9 60.3±13.4 52.6±7.7 58.1±13.0 1)

Uji Kruskal Wallis

33

Rata-rata nilai UTS dan UAS keempat mata pelajaran pada contoh kurus

lebih rendah daripada rata-rata nilai UTS dan UAS keempat mata pelajaran pada

contoh normal. Berdasarkan uji lanjut Mann whitney, terdapat perbedaan

signifikan antara prestasi akademik contoh kurus dan normal (p<0.05). Hasil

penelitian ini sejalan dengan pendapat Judarwanto (2004) bahwa berat badan yang

kurang karena kurangnya asupan gizi biasanya disertai dengan kekurangan

vitamin, mineral dan zat gizi lainnya dapat mengakibatkan prestasi akademik

berkurang.

Rata-rata nilai UTS dan UAS keempat mata pelajaran pada kelompok

gemuk lebih rendah daripada rata-rata nilai UTS dan UAS keempat mata pelajaran

pada kelompok normal. Berdasarkan uji lanjut Mann whitney terdapat perbedaan

yang signifikan prestasi akademik contoh normal dan gemuk (p>0.05). Hasil

penelitian ini sejalan dengan pendapat Relly et al. (2007) bahwa kegemukan pada

anak usia 6-12 tahun juga dapat menurunkan tingkat kecerdasan karena aktivitas

dan kreativitas anak menjadi menurun dan cenderung malas akibat kelebihan berat

badan. Seluruh contoh kurus (100%) dan sebagian besar contoh gemuk (88.9%)

memiliki persamaan rata-rata nilai yang kurang. Hal ini dibuktikan dengan hasil

uji beda Mann Whitney bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara

rata-rata nilai UTS dan UAS keempat mata pelajaran contoh kurus dan gemuk

(p>0.05).

Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 46.8% memiliki nilai rata-rata

kurang dan 23.4% contoh normal memiliki nilai rata-rata cukup. Menurut Pahlevi

(2012) status gizi bukanlah satu-satunya faktor yang dapat mempengaruhi prestasi

akademik anak. Prestasi akademik dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yakni

individu anak, keluarga, dan lingkungan pembelajaran di sekolah. Motivasi

belajar dan potensi akademik adalah faktor yang berasal dari individu anak.

Faktor dari luar berasal dari lingkungan pembelajaran dan keluarga yang

diterapkan melalui pola asuh orangtua. Pola asuh orang tua terdiri dari gaya

pengasuhan dan fasilitas belajar. Motivasi belajar pada diri anak dipengaruhi oleh

karakteristik anak, yakni umur, jenis kelamin, dan status gizi. Sementara itu, gaya

pengasuhan dan fasilitas belajar yang disediakan orang tua dipengaruhi oleh

karakteristik individu dan keluarga.

Beberapa pola asuh orang tua pada anak yakni secara otoriter, permisif

dan demokratis. Pola asuh orang tua berpengaruh terhadap prestasi akademik anak

(Gunarsa 2006) Sebaran contoh berdasarkan pola asuh orang tua dan status gizi

dapat dilihat pada Tabel 16.

Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh orangtua dan prestasi akademik

Pola asuh

orangtua

kurang (<60) Cukup (60-69) Lebih dari cukup

(70-79)

Baik (>80)

n % n % n % N %

Otoriter 7 20.6 2 16.7 1 10.0 1 25.0

Demokratis 15 44.1 10 83.3 9 90.0 3 75.0

Permisif 12 35.3 0 0.0 0 0.0 0 0.0

Total 34 100.0 12 100.0 10 100.0 4 100.0

Tabel 16 menunjukkan bahwa pola asuh demokratis lebih banyak

diterapkan oleh keluarga anak dengan nilai cukup (83.3%) dan lebih dari cukup

34

(90.0%) daripada keluarga anak dengan nilai kurang (44.1%). Menurut Suherman

(2000) anak dalam keluarga yang bersifat demokratis akan mempunyai tanggung

jawab yang besar terutama dalam menyelesaikan tugas-tugas pelajaran di sekolah,

mampu berinisiatif dan kreatif serta mempunyai konsep diri yang positif yang

akan berpengaruh positif pula pada prestasi akademik anak. Gunarsa (2006)

menyebutkan bahwa cara demokratis merupakan cara yang paling ideal untuk

diterapkan dalam pengasuhan belajar anak.

Pola asuh otoriter (20.6%) dan permisif (35.3%) banyak diterapkan oleh

keluarga anak dengan nilai kurang. Menurut Slameto (2007), Pola asuh otoriter

dan permisif berhubungan negatif dengan prestasi akademik. Orang tua dengan

pola asuh otoriter akan menghambat daya kreatifitas dan keberanian anak untuk

mengambil keputusan serta tidak dapat mencetuskan ide-ide. Selain pola asuh

otoriter, pola asuh permisif pada umumnya merugikan perkembangan anak. Salah

satu akibat dari pola asuh permisif adalah anak tidak mengenal disiplin. Jika hal

tersebut terbawa dalam kebiasaan belajar maka anak tidak disiplin dalam belajar

dan dalam menyelesaikan tugas-tugas di sekolah yang akan berakibat pada

prestasi akademik yang tidak baik.

Hubungan antar Variabel

Gibson (2005) menyatakan bahwa status gizi merupakan keadaan

kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh

konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan utilitas zat gizi makanan. Berdasarkan hasil

studi literatur, terdapat beberapa variabel yang berhubungan langsung maupun

tidak langsung terhadap status gizi (IMT/U) anak.

Hasil penelitian Pahlevi (2012) menunjukkan bahwa tingkat sosial

ekonomi meliputi pendidikan, pekerjaan orang tua, besar keluarga, pendapatan per

kapita keluarga berhubungan dengan status gizi pada anak. Hasil penelitian

Pahlevi (2012) juga menemukan bahwa tingkat konsumsi energi, zat gizi makro

(protein, lemak, dan karbohidrat) dan zat gizi mikro berhubungan dengan status

gizi anak. Penlitian yang dilakukan oleh Anzarkusuma (2014) menemukan bahwa

terdapat perbedaan nyata antara status gizi dengan frekuensi makan.

Status kesehatan juga berhubungan dengan status gizi. Hal ini sesuai

dengan diagram determinan status gizi menurut UNICEF (1998) yang

menunjukkan bahwa status keshatan/infeksi merupakan determinan langsung dari

status gizi. Hal ini didukung oleh penelitian Pahlevi (2012) yang menemukan

bahwa status gizi berhubungan dengan status kesehatan anak. Food coping

strategy juga berhubungan dengan status gizi khusunya anak-anak. Hal ini

didukung oleh penelitian Mangkoeto (2009) bahwa ketidakmampuan keluarga

dalam memenuhi kebutuhannya pangan akan menimbulkan kerawanan pangan

(food insecurity). Semakin parah kerawanan pangan menunjukkan keluarga

semakin tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan. Tabel 17 menunjukkan hasil

analisis hubungan antara status gizi dengan beberapa variabel.

35

Tabel 17 Analisis hubungan antara status gizi (IMT/U) dengan beberapa variabel

Variabel IMT/U P

Karakteristik sosial ekonomi keluarga

Pendidikan ayah 0.143 0.277

Pendidikan ibu 0.065 0.621

Pekerjaan ayah 0.174 0.183

Pekerjaan ibu 0.142 0.281

Pendapatan per kapita

keluarga

0.208 0.111

Besar keluarga -0.030 0.822

Konsumsi Pangan

Frekuensi makan 0.097 0.463

Tingkat kecukupan

energi

0.317 0.014**

Tingkat kecukupan

protein

0.327 0.011**

Tingkat kecukupan lemak 0.549 0.000**

Tingkat kecukupan

kalsium

0.219 0.092

Tingkat kecukupan fosfor 0.126 0.336

Tingkat kecukupan zat

besi

0.217 0.096

Tingkat kecukupan

vitamin A

0.093 0.480

Tingkat kecukupan

vitamin C

0.052 0.693

Tingkat kecukupan Zn 0.469 0.000**

Status kesehatan

Frekuensi sakit 0.114 0.384

Lama sakit 0.178 0.173

Food coping strategy -0.499 0.000** ** Uji hubungan signifikan pada level 0.05

Hubungan karakteristik keluarga dengan status gizi

Berdasarkan hasil uji hubungan Spearman, tidak terdapat hubungan yang

signifikan antara pendidikan orang tua dengan status gizi (p>0.05). Hasil

penelitian ini sejalan dengan penelitian Saputro (2014) bahwa tidak terdapat

hubungan yang signifikan antara pendidikan orang tua dengan status gizi anak

(IMT/U) siswa SDN Campurejo I Bojonegoro. Tidak adanya hubungan

pendidikan orang tua dengan status gizi dapat dikarenakan perkembangan

teknologi yang ada saat ini. Orang tua berpendidikan rendah, dengan adanya

perkembangan teknologi saat ini dapat dengan mudah mengakses informasi dari

berbagai media, sehingga mereka dapat meningkatkan pengetahuannya terutama

terkait gizi. Hal ini didukung dengan data hasil penelitian bahwa sebagian besar

ayah (85.2%) dan ibu (83%) contoh normal berpendidikan rendah.

Berdasarkan hasil uji hubungan Spearman, tidak terdapat hubungan yang

signifikan antara pendapatan orang tua dengan status gizi (p>0.05). Hal ini sejalan

dengan penelitian Hidayati (2010) yang menunjukkan tidak ada hubungan antara

36

status ekonomi keluarga dengan status gizi anak usia sekolah. Sudirman (2008)

mengungkapkan bahwa terkadang faktor pendidikan dan pengetahuan gizi

menjadi lebih penting daripada masalah pendapatan. Meskipun pendapatan relatif

rendah, tetapi bila didasari oleh pengetahuan gizi yang memadai, bahan makanan

yang memenuhi kebutuhan gizi masih mungkin didapatkan atau dibeli. Walaupun

tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pendapatan orang tua dengan

status gizi, hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan keluarga

contoh kurus lebih kecil daripada rata-rata pendapatan keluarga contoh normal

dan rata-rata pendapatan keluarga contoh normal lebih kecil daripada rata-rata

pendapatan keluarga contoh gemuk.

Hasil uji Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan

antara besar keluarga dengan status gizi (p>0.05) Hal ini tidak sejalan dengan

hasil penelitian Mutiara (2008) yang menunjukan bahwa dengan bertambahnya

besar keluarga maka akan timbul dampak yang merugikan terhadap status gizi, hal

ini disebabkan oleh menurunnya alokasi terhadap makanan seiring dengan

bertambahnya anggota keluarga. Hal ini sejalan dengan penelitian Pahlevi (2012)

dan Gumawang (2016) bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara

besar keluarga dengan status gizi anak (IMT/U).

Hubungan konsumsi pangan dengan status gizi

Hasil uji hubungan Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan yang

signifikan antara status gizi dengan frekuensi makan anak p>0.05). Hal ini tidak

sejalan dengan penelitian Anzarkusuma (2014) bahwa terdapat perbedaan nyata

antara status gizi dengan frekuensi makan.

Hasil uji hubungan Spearman menunjukkan terdapat hubungan yang

signifkan antara status gizi dengan tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan

protein, tingkat kecukupan lemak, dan tingkat kecukupan Zn (P<0.05). Hasil ini

sejalan dengan penelitian Pahlevi (2012) variabel yang berhubungan dengan

status gizi anak adalah tingkat konsumsi energi dan zat gizi makro (protein,

lemak, dan karbohidrat). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Fatimah et

al. (2013) hasil uji Spearman menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan

antara tingkat kecukupan energi, protein dan zink dengan status gizi dapat dilihat

dari nilai p < 0.05 pada santri putri pondok pesantren Hidayatullah Makassar. Hal

ini disebabkan karena dalam SMFFQ memang terdeteksi asupan yang

mengandung energi seperti dari sumber makanan yang mengandung karbohidrat,

protein dan lemak. Sesuai teori, kebutuhan konsumsi protein pada usia sekolah

dasar beranjak remaja (7-14 tahun) mengalami kenaikan sejalan dengan proses

pertumbuhan yang pesat. Dengan kata lain kebutuhan protein berbanding lurus

dengan kenaikan berat badan seseorang. Jadi jika konsumsi protein yang

diperoleh dari makanan memenuhi angka kecukupan protein yang dianjurkan,

maka akan diperoleh status gizi yang baik. Untuk asupan zink semakin tinggi

asupan zink maka semakin baik status gizinya. Asupan zink masih sangat kurang,

hal ini disebabkan karena kualitas makanan yang mengandung zink kurang baik.

Hasil analisis menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan

antara tingkat kecukupan zat gizi mikro kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, dan

vitamin C dengan status gizi. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Fatimah et

al. (2013). Asupan kalsium dan fosfor yang sangat kurang pada keseluruhan

contoh mengakibatkan tidak adanya hubungan antara tingkat kecukupan fosfor

37

dan kalsium dengan status gizi. Proporsi contoh normal dan gemuk yang

mengalami kurang dan cukup zat besi, vitamin A, dan vitamin C hampir sama

besar mengakibatkan tidak adanya hubungan antara tingkat kecukupan zat besi,

vitamin A, dan vitamin C dengan status gizi.

Hubungan status kesehatan dengan status gizi

Menurut Pahlevi (2012) variabel yang berhubungan dengan status gizi

adalah status kesehatan. Hasil uji hubungan Spearman menunjukkan bahwa tidak

terdapat hubungan yang signifikan antara lama dan frekuensi sakit dengan status

gizi (p>0.05). Hal ini disebabkan contoh kurus dan contoh gemuk memiliki

frekuensi sakit lebih banyak dan lama sakit lebih lama daripada contoh normal.

Hasil uji beda Kruskal Wallis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang

signifikan frekuensi dan lama sakit contoh kurus dan gemuk (p>0.05).

Hubungan food coping strategy dengan status gizi

Hasil uji hubungan Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang

signifikan negatif antara food coping strategy dengan status gizi. Artinya semakin

tinggi skor food coping strategy, semakin rendah status gizi anak. Penelitian ini

sejalan dengan penelitian Mangkoeto (2009) bahwa ketidakmampuan keluarga

dalam memenuhi kebutuhannya pangan akan menimbulkan kerawanan pangan

(food insecurity). Semakin parah kerawanan pangan menunjukkan keluarga

semakin tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan. Kecukupan pangan

berhubungan dengan tingkat kecukupan zat gizi sangat berhubungan dengan

status gizi anak. Jika konsumsi pangan anak tidak tercukupi maka akan timbul

masalah gizi.

Determinan Status Gizi (IMT/U)

Hasil analisis regresi linier dengan menggunakan metode backward

diperoleh faktor determinan status gizi (IMT/U) anak usia sekolah dasar (8-14

tahun) yaitu tingkat kecukupan lemak dan food coping strategy. Model z-score

IMT/U yang diperoleh :

Y = -0.598 + 0.016 X8 - 0.032 X17

dengan :

Y= z-score IMT/U x17= food coping strategy

X8=TK Lemak

Nilai Coefficient Determination (adjusted r2) sebesar 0.230 yang

memberikan pengertian bahwa status gizi anak usia sekolah dasar (8-14 tahun)

dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berpengaruh secara simultan sebesar 23.0

persen. Nilai konstanta sebesar-0.598. Hal ini berarti jika tingkat kecukupan

lemak dan skor food coping startegy tetap atau tidak mengalami penambahan atau

pengurangan, maka nilai z-score adalah sebesar -0.598. Nilai koefisien tingkat

kecukupan lemak untuk variabel X8 sebesar 0.016. Hal ini mengandung arti bahwa

setiap kenaikan tingkat kecukupan lemak sebesar satu persen maka z-score

Adj. r2 = 0.230

38

(IMT/U) (Y) akan naik 0.016 dengan asumsi bahwa variabel bebas yang lain dari

model regresi adalah tetap. Nilai koefisien untuk skor food coping strategy adalah

0.032 dan bertanda negatif, ini menunjukkan bahwa skor food coping strategy

mempunyai hubungan yang berlawanan arah dengan variabel z-score (IMT/U).

Hal ini mengandung arti bahwa setiap kenaikan skor food coping strategy satu

satuan maka variabel z-score (IMT/U) (Y) akan turun sebesar 0.032 dengan

asumsi bahwa variabel bebas yang lain dari model regresi adalah tetap.

Hasil penelitian Chunming (2006) di Cina menunjukkan terdapat

hubungan antara status gizi anak usia sekolah dengan tingkat kecukupan lemak

meskipun sebenarnya status gizi tidak bisa dipengaruhi oleh satu faktor saja. Sulit

untuk mengidentifikasi peran asupan lemak dalam pertumbuhan dan

perkembangan anak tanpa mempertimbangkan faktor gizi lain serta faktor sosial

budaya. Berdasarkan hasil penelitian, asupan lemak anak di perkotaan meningkat

dari 17% dari total energi pada tahun 1989 menjadi 30% dari total energi pada

tahun 1993. Hal ini sejalan dengan data kesehatan Cina yang menunjukkan bahwa

anak usia 7-17 tahun mengalami peningkatan status gizi dari tahun 1991 hingga

1995. Data lain menunjukkan bahwa berat badan rendah pada anak laki-laki

terbukti berkaitan dengan asupan rendah lemak dan protein. Peningkatan

prevalensi overweight dan obesitas anak perempuan di daerah perkotaan China

tahun 1995 juga diiringi dengan peningkatan asupan makanan tinggi lemak seperti

makanan hewani dan minyak goreng.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi skor food coping

strategy, semakin rendah status gizi anak. Penelitian ini sejalan dengan penelitian

Mangkoeto (2009) bahwa ketidakmampuan keluarga dalam memenuhi

kebutuhannya pangan akan menimbulkan kerawanan pangan (food insecurity).

Semakin parah kerawanan pangan menunjukkan keluarga semakin tidak mampu

memenuhi kebutuhan pangan. Kecukupan pangan berhubungan dengan tingkat

kecukupan zat gizi sangat berhubungan dengan status gizi anak. Jika konsumsi

pangan anak tidak tercukupi maka akan timbul masalah gizi.

Analisis Pengaruh Beberapa Variabel terhadap Prestasi akademik

Prestasi akademik adalah gambaran mengenai penguasaan anak terhadap

materi pelajaran di sekolah (Bhattacharya 2013). Berdasarkan hasil studi literatur,

terdapat beberapa variabel yang berhubungan langsung maupun tidak langsung

terhadap prestasi akademik. Menurut penelitian Kamruzzaman (2014) pendidikan

orang tua, besar keluarga, dan pendapatan per kapita keluarga berhubungan

dengan prestasi akademik anak. Orangtua dengan keluarga besar dan pendapatan

rendah tidak punya cukup waktu untuk membantu belajar anak dirumah. Orang

tua dengan pendidikan tinggi cenderung memiliki pengetahuan yang lebih baik

dan menginginkan anaknya juga memiliki pendidikan minimal sama atau bahkan

lebih dari dirinya.

Penelitian Dewi (2012) yang menyimpulkan bahwa ada hubungan antara

asupan kalori, asupan protein, asupan lemak, asupan karbohidrat, asupan vitamin

B1, asupan vitamin C, asupan kalsium, asupan zat besi dengan nilai prestasi

akademik. Vitamin C dan vitamin B(B1 dan B12) mempunyai hubungan yang

kuat dengan prestasi akademik. Hubungan ini berkaitan dengan proses signalling

39

dan transmisi. Menurut Bhattacharya (2013) zat gizi mikro yang mempunyai

hubungan signifikan dengan prestasi akademik adalah vitamin C, vitamin A, dan

vitamin B. Tabel 18 menunjukkan hasil analisis hubungan antara prestasi

akademik dengan beberapa variabel.

Tabel 18 Analisis hubungan antara prestasi akademik dengan beberapa variabel

Variabel Prestasi akademik P

Pendidikan ayah 0.236 0.069

Pendidikan ibu 0.274 0.034**

Pendapatan per kapita

keluarga

0.292 0.024**

Besar keluarga -0.007 0.958

Status Gizi 0.133 0.312

Konsumsi Pangan

Tingkat kecukupan

energi

0.556 0.000**

Tingkat kecukupan

protein

0.418 0.001**

Tingkat kecukupan lemak 0.149 0.256

Tingkat kecukupan

kalsium

0.479 0.000**

Tingkat kecukupan fosfor 0.561 0.000**

Tingkat kecukupan zat

besi

0.494 0.090

Tingkat kecukupan

vitamin A

0.474 0.000**

Tingkat kecukupan

vitamin C

0.435 0.001**

Tingkat kecukupan Zn 0.236 0.069

Status kesehatan

Frekuensi sakit -0.177 0.175

Lama sakit -0.125 0.342

Konsumsi ikan -0.286 0.027**

Pola asuh orang tua 0.394 0.006** ** Uji hubungan signifikan pada level 0.05

Hubungan karakteristik keluarga dengan prestasi akademik

Hasil uji hubungan Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan

signifikan antara pendidikan ayah dan besar keluarga dengan prestasi akademik.

Hasil uji hubungan Spearman menunjukkan terdapat hubungan signifikan antara

pendidikan ibu dan pendapatan keluarga dengan prestasi akademik.

Hubungan status gizi dengan prestasi akademik

Hasil uji hubungan Spearman menunjukkan bahwa tidak ada hubungan

yang signifikan antara status gizi dan prestasi akademik. Hasil penelitian ini tidak

sejalan dengan penelitian Djoehaeni (2007) bahwa status gizi secara individual

juga berhubungan dengan penentuan prestasi akademik. Hasil ini sejalan dengan

penelitian Effendy (2012) meskipun status gizi yang baik sejalan dengan prestasi

40

akademik yang baik tetapi beberapa penelitian gagal menunjukkan hubungan

tersebut. Hal ini karena berdasarkan hasil analisis, seluruh anak dengan status gizi

kurus dan sebagian besar anak dengan status gizi gemuk memiliki nilai rata-rata

UTS dan UAS dengan kategori kurang (<60). Hal ini dibuktikan dengan hasil uji

beda Mann Whitney bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-

rata nilai UTS dan UAS keempat mata pelajaran contoh kurus dan gemuk

(p>0.05).

Hubungan prestasi akademik dengan konsumsi pangan

Hasil uji hubungan Spearman menunjukkan bahwa tingkat kecukupan

energi, protein, kalsium, fosfor, vitamin A, dan vitamin C berhubungan signifikan

positif dengan prestasi akademik. Hasil uji Spearman menunjukkan tidak ada

hubungan signifkan antara tingkat kecukupan lemak, zat besi, dan Zn dengan

prestasi akademik. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Bhattacharya (2013)

yang menunjukkan terdapat hubungan signifikan antara tingkat kecukupan lemak

dengan prestasi akademik. Hal ini karena lemak merupakan bagian penting dari

saraf. Hal ini juga tidak sejalan dengan penelitian Dewi (2012) bahwa tingkat

kecukupan zat besi dan Zn berhubungan dengan prestasi akademik anak.

Hubungan status infeksi dengan prestasi akademik

Hasil uji hubungan Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat

hubungan antara frekuensi dan lama sakit dengan prestasi akademik. Hasil ini

tidak sejalan dengan penelitian Shaw et al (2015) bahwa status infeksi yang terdiri

dari frekuensi dan lama sakit berhubungan dengan prestasi akademik. Anak

dengan status infeksi yang tinggi kemungkinan lebih besar untuk gagal sekolah,

drop out, dan tidak naik kelas.

Hubungan konsumsi ikan dengan prestasi akademik.

Hasil uji hubungan Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan

negatif antara konsumsi ikan dengan prestasi akademik. Hasil ini tidak sejalan

dengan penelitian Zulaihah dan Widajanti (2006) yang menunjukkan bahwa

asupan zat gizi lain yang berhubungan dengan prestasi akademik adalah protein

khusunya asam amino.

Hubungan Pola asuh belajar dengan prestasi akademik

Hasil uji hubungan Spearman menunjukkan terdapat hubungan signifikan

antara pola asuh belajar dengan prestasi akademik. Hasil ini sejalan dengan

penelitian Gunarsa (2006) bahwa pola asuh belajar berhubungan dengan prestasi

akademik anak, dimana pola asuh belajar demokratis membuat anak mampu

berinisiatif dan kreatif serta mempunyai konsep diri yang positif yang akan

berpengaruh positif pula pada prestasi akademik anak.

Faktor Determinan Prestasi akademik Anak Usia Sekolah Dasar 8-14 Tahun

Hasil analisis regresi linier dengan menggunakan metode backward

diperoleh faktor determinan prestasi akademik anak usia sekolah dasar (8-14

tahun) yaitu tingkat kecukupan energi dan fosfor. Model prestasi akademik yang

diperoleh :

41

Y = 40.5 + 0.146 X3 + 0.082 X6

dengan :

Y= prestasi akademik (nilai) x6= TKFosfor

X3=TKE

Nilai Coefficient Determination (adjusted r2) sebesar 0.182 yang

memberikan pengertian bahwa prestasi anak usia sekolah dasar (8-14 tahun)

dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berpengaruh secara simultan sebesar 18.2

persen. Nilai konstanta sebesar 40.5. Hal ini berarti jika tingkat kecukupan energi

dan tingkat kecukupan fosfor tetap atau tidak mengalami penambahan atau

pengurangan, maka rata-rata nilai adalah sebesar 40.5. Nilai koefisien tingkat

kecukupan energi untuk variabel X3 sebesar 0.146. Hal ini mengandung arti

bahwa setiap kenaikan tingkat kecukupan energi sebesar satu persen maka

prestasi akademik (rata-rata nilai) (Y) akan naik 0.146 dengan asumsi bahwa

variabel bebas yang lain dari model regresi adalah tetap. Nilai koefisien tingkat

kecukupan fosfor untuk variabel X6 sebesar 0.082. Hal ini mengandung arti bahwa

setiap kenaikan tingkat kecukupan fosfor sebesar satu persen maka prestasi

akademik (rata-rata nilai) (Y) akan naik 0.082 dengan asumsi bahwa variabel

bebas yang lain dari model regresi adalah tetap.

Menurut Mergenthaler et al. (2014) berat otak sebesar 2% dari berat tubuh

tetapi membutuhkan 20-30% dari asupan glukosa(derivat energi) setiap harinya.

Metabolisme glukosa menyediakan bahan bakar untuk fungsi fisiologis otak

melalui generasi ATP, bahan dalam pemeliharaan sel neuron/sel lain, serta

generasi neurotransmitter. Proporsi terbesar dari energi di otak digunakan untuk

memproses informasi. Selain itu energi diperlukan untuk mempertahankan

integritas sel membran dan konsentrasi ion intra dan ekstra seluler dan untuk

melakukan peran serebral dalam sintesis, penyimpanan, transport dan pelepasan

neurotransmiter serta dalam mempertahankan respon elektrik. Menurut Gustavon

(2010) penurunan 40% dari intake kalori di tikus selama 35 bulan menurunkan

fungsi kognitif dan motorik tikus tersebut. Menurut Pinilla (2008) fosfor

merupakan bagian dari ATP yang dibutuhkan untuk penyimpanan energi dari

hasil metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. Selain itu, fosfor merupakan

bagian dari membran sel termasuk membran sel saraf (phospholipid) yang

berhubungan dengan fungsi reseptor sel saraf. Proporsi fosfor pada orang normal

mencapai 2-2.5% sedangkan pada orang idiot proporsi fosfor hanya 1-1.5%.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Sebagian besar usia contoh berada pada rentang 10-12 tahun (86.7%).

Analisis menunjukkan 100% contoh kurus berjenis kelamin laki-laki dan 77.8%

contoh gemuk berjenis kelamin perempuan. Rata-rata keluarga contoh adalah

Adj. r2 = 0.182

42

keluarga kecil berjumlah 4 orang. Sebagian besar ayah (80%) dan ibu (83%)

contoh bependidikan rendah. Sebanyak 70% keluarga contoh merupakan keluarga

miskin dengan 78.3% ayah memiliki pekerjaan sebagai nelayan dan 80% ibu tidak

bekerja. Tidak terdapat perbedaan signifikan antara besar keluarga, pendidikan

dan pendapatan orang tua pada contoh kurus, normal, dan gemuk.

Rata-rata asupan energi dan zat gizi contoh kurus lebih rendah daripada

rata-rata rata asupan energi dan zat gizi contoh normal dan rata-rata asupan energi

dan zat gizi contoh normal lebih rendah daripada rata-rata rata asupan energi dan

zat gizi contoh gemuk. Tingkat kecukupan energi dan zat gizi (kecuali fosfor,

vitamin A, dan C) contoh kurus signifikan lebih rendah daripada contoh normal

dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi (kecuali fosfor, vitamin A, dan C)

contoh normal signifikan lebih rendah daripada contoh gemuk. Penyakit yang

banyak diderita contoh dalam satu bulan terakhir adalah batuk, pilek, dan demam.

Sebanyak 100% contoh kurus dan 88.9% contoh gemuk mengalami sakit dalam 1

bulan terakhir. Frekuensi dan lama sakit contoh kurus dan gemuk signifikan lebih

tinggi daripada contoh normal.

Skor food coping strategy contoh kurus dan normal signifikan lebih tinggi

daripada contoh gemuk. Terdapat perbedaan signifikan perilaku taraf satu antara

contoh normal dan kurus dengan contoh gemuk tetapi tidak terdapat perbedaan

signifikan perilaku taraf 2 dan 3 pada ketiga kelompok. Prestasi akademik contoh

kurus dan gemuk signifikan lebih rendah daripada contoh normal. Pola asuh

belajar demokratis lebih banyak diterapkan oleh keluarga anak dengan nilai cukup

(83.3%) dan lebih dari cukup (90.0%) daripada keluarga anak dengan nilai kurang

(44.1%). Pola asuh belajar otoriter (20.6%) dan permisif (35.3%) banyak

diterapkan oleh keluarga anak dengan nilai kurang.

Terdapat hubungan signifikan positif antara tingkat kecukupan energi,

protein, lemak dan hubungan signifikan negatif antara skor food coping strategy

dengan status gizi. Pendidikan ibu, pendapatan per kapita keluarga, tingkat

kecukupan energi, protein, kalsium, vitamin A, vitamin C, dan pola asuh belajar

berhubungan signifikan dengan prestasi akademik. Faktor determinan status gizi

anak sekolah dasar yang diperoleh melalui analisis regresi linier, berupa tingkat

kecukupan lemak dan skor food coping strategy. Status gizi tidak berpengaruh

terhadap prestasi akademik. Faktor determinan prestasi akademik anak sekolah

dasar yang diperoleh melalui analisis regresi linier, berupa tingkat kecukupan

energi dan fosfor.

Saran

Berdasarkan hasil penelitian bahwa konsumsi sayur, buah, ikan, dan susu

pada anak sekolah dasar masih sangat rendah. Hasil analisis juga menunjukkan

bahwa pola asuh makan anak masih kurang baik. Perlu adanya edukasi gizi terkait

pentingnya konsumsi makanan gizi seimbang khususnya buah, sayur, susu, dan

ikan kepada anak dan edukasi gizi terkait pola asuh makan kepada ibu. Dukungan

media massa dalam hal informasi asupan gizi seimbang, peran guru untuk

menumbuhkan kesadaran dan kemampuan dalam memberikan edukasi tentang

asupan gizi seimbang, serta keberpihakan organisasi profesi dan asosiasi/lembaga

43

lainnya dalam kegiatan terkait dengan asupan gizi seimbang sangat dibutuhkan

untuk mengefektifkan edukasi gizi tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Agoes Dariyo. (2004). Psikologi Perkembangan Remaja. Bogor(ID): Ghalia

Indonesia.

Bhattacharya RG. 2013. Learning performance and nutritional status – A case

study on college students in North Tripura. IOSR Journal of Research &

Method in Education (IOSR-JRME). 1(4). 57-68.

Bennet JE, Dolin RM, Blaser MJ. 2015. Principles and Practice of Infectious

Diseases. Philadelphia(USA): Elsevier Saunders

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Tingkat kemiskinan jawa timur september

2014. BPS [Internet]. [diunduh 2015 Maret 23]. Tersedia pada:

http://jatim.bps.go.id/

Choi ES. 2008. A study on nutrition knowledge, and dietary behavior of

elementary school shildren in Seoul. Nutrition Research and Practice.

2(4): 308-316

Chunming Chen. 2006. Fat intake and nutrtional status of children in China. Am J

Clin Nutr. 72(3): 1368-1372

Danielzik S, Czerwinski M, Langnase K, Muller MJ. 2008. Parental overweight,

socioeconomic status, and high birth weight are the major determinant of

overweight and obesiry in 5-13 children baseline data of the Kiel Obesity

Prevention Study (KOPS). International Journal of Obesity. 28(3): 1494–

1502. doi:10.1038/sj.ijo.0802756

Devi, M. 2010. Analisis Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Status Gizi

Balita Di Pedesaan. J. Pangan dan Gizi. 33(2): 165-169

Djoehaeni H. 2007. Studi korelasi antara status gizi dengan prestasi akademik

pada siswa SDN Cidadap I, Bandung [skripsi]. Bandung(ID): Universitas

Pendidikan Indonesia

Effendy F. 2012. Hubungan status gizi dengan tingkat prestasi akademik siswa

SMK Negeri Indramayu [skripsi]. Yogyakarta(ID): Universitas Negeri

Yogyakarta

Fatimah S, Syam A, Amelia R. 2013. Hubungan asupan energi dan zat gizi

dengan status gizi santri putri yayasan pondok pesantren Hidayatullah

Makassar Sulsel 2013 [Skripsi]. Makassar(ID): Universitas Hasanuddin

Makassar

Fazili A, Mir AA, Pandit IM, Bhat IA, Rohul J, Shamila H. 2012. Nutritional

status of school age children (5-14 years) in a rural health block of north

44

India (Kashmir) Using WHO Z-Score system. Online J Health Allied Scs.

11(2):20-45

Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assesment. New York (US): Oxford

University Press.

Gumawang ZA. 2016. Hubungan antara fungsi keluarga dengan status gizi murid

SD Negeri 5 Boyolali [Skripsi]. Surakarta(ID): Universitas

Muhammadiyah Surakarta

Hardinsyah, Briawan D. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan.

Bogor (ID): Departemen GMSK FAPERTA IPB.

Heryati L, Setiawan B. 2014. Kegemukan, anemia, dan prestasi akademik siswa

sekolah dasar di kota Bogor. J. Gizi Pangan. 9(3): 159-166

Hidayati N. 2010. Hubungan asupan makanan anak dan status ekonomi keluarga

dengan status gizi anak usia sekolah di Kelurahan Tuhu Kecamatan

Cimanggis Kota Depok [Internet]. [diunduh 2016 Maret 26]. Tersedia

pada: ejournal.stikes-ppni.ac.id/article/9/1/article.pdf

Hitchock J, Schubert P, Thomas S. 2009. Community health nursing: caring in

action. Philadelphia(USA): Delmar Publishers.

Ipa, A Agustian J dan Sirajudin N. 2010. Status Gizi Anak Sekolah Keluarga

Nelayan di SDN 40 Lumpangang Desa Biangkeke Kabupaten Bantaeng.

Jakarta: Media Pangan dan Gizi

Jahri W, Suyanto N, Ernalia Y. 2015. Gambaran status gizi pada siswa sekolah

dasar kecamatan Siak Kecil kabupaten Bengkalis. JOM FK. 3(2): 142-148

Joshi HS. 2011. Determinants of nutritional status of school children. A cross

sectional study in the western region of Nepal. NJIRM. 2 (1): 10-15

[Kemenkes] Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)

2010. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan

Karimah I. 2014. Aktivitas fisik, kebugaran, dan prestasi akademik pada anak

sekolah dasar normal dan kegemukan di Bogor [tesis]. Bogor (ID): Institut

Pertanian Bogor.

Karlsson EA, Beck MA. 2010. The burden of obesity on infectious disease.

Experimental biology and medicine. 235(1):1412–1424. doi:

10.1258/ebm.2010.010227

Kaunang C, Manlonda N, Kawengian S. 2016. Hubungan antara status sosial

ekonomi keluarga dengan status gizi pada siswa SMP Kristen Tateli

kecamatan Mandolang Kabupaten Minahasa. Jurnal Ilmiah Farmasi. 5(1):

2302-2493

Khomsan A. 2012. Ekologi Masalah Gizi, Pangan, Dan Kemiskinan. Bandung:

Alfabeta.

Kotian S, Kumar G, Kotian S. 2010. Prevalence and determinant of overweight

and obesity among adolescent school children of South Kurnataka, India.

Indian J community Med. 35(1): 176-178

45

Lestari D. 2014. Kebiasaan Makan dan Persepsi Body Image siswa SMP Berstatus

Gizi Lebih dan Normal [Skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor

Lutfiana E, Irwan B. 2010. Prevalensi Dan Determinan Kejadian Gizi Kurang

Pada Balita,Universitas Negeri Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat 5

(2):138–144.

Lokeesan J, Kisokanth N. 2015. Nutritional Status of Grade Five Students in

Selected School of Batticaloa District, Sri Lanka. J Nutr Disorders Ther.

5(3): 162-167. doi:10.4172/2161- 0509.1000162

Mangkoeto K. 2009. Analisis Pengaruh Food Coping Strategy terhadap

Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani di Kabupaten Lebak Banten

[skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor

Mardiharini M. 2002. Upaya Keluarga dalam mempertahankan kesejahteraannya

selama krisis ekonomi [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

Marta R, Elena M, Maria L. 2011. Overweight Prevention Through Physical

Activity in School-Age Children and Adolescent. Mexico(USA):

Universida Camilo Jose Cela

Mergenthaler P, Lindauer U, Dienel GA, Meisel A. 2014. Sugar for the brain:

the role of glucose in physiological and pathological brain function.

Trends Neurosci. 36(10): 587–597. doi:10.1016/j.tins.2013.07.001.

Moehji Shahmien. 2003. Penanggulangan Gizi Buruk. Jakarta (ID): Sinar Sinanti

Mosley WH, Chen LC. 2009. An analytical framework for the study of child

survival in developing country child survival: strategies for research,

population and development review. Supplement. 10(1): 25-45.

Mukherji R, Chaturvedi S, Bhalwar R. 2008. Determinants of nutritional status of

school children.MJAFI. 64(2):227-231

Muson. 2012. Perbedaan Status Gizi antara Siswa Putra dengan Putri di SD

Negeri Pagersari Kecamatan Mungkid Kabupaten magelang[Skripsi].

Yogyakarta (ID): Universitas negeri Yogyakarta

Noh W, Eun KY, Oh HI, Kwon YD. 2014. Influences of socioeconomic factors

on childhood and adolescent overweight by gender in Korea: cross-

sectional analysis of nationally representative sample. BMC Public Health.

14(2): 324-330

Pahlevi AE, Indarjo S. 2012. Determinan status gizi pada siswa sekolah dasar.

Jurnal Kesehatan Masyarakat. 7(2): 116-120. ISSN: 1858-1196.

Pemerintah Daerah Kabupaten Jember. 2013. Jember dalam angka 2012. BPS

[internet]. [diunduh 2015 Maret 10]. Tersedia dari: http//bappeda.

jemberkab.go.id/index .php/Componentcontent/section/6

Pinilla FG. 2008. Brain foods: the effects of nutrients on brain function. Nat Rev

Neurosci. 9(7): 568–578. doi: 10.1038/nrn2421

Rizkiyah R. 2015. Kebiasaan makan, aktivitas fisik, dan kebugaran pada anak

sekolah dasar dengan status gizi normal dan lebih di kota Bogor [skripsi].

Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor

46

Said M, Rihlat A, Jonathan Y, Bernard S, Anne CN, Patrick P. 2012. Is

overweight in stunted preschool children in cameroon related to reduction

in fat oxidation resting energy expenditure and Physical Activity?. J Nutr

Disorders Ther. 5(3): 162-167. doi:10.4172/2161- 0509.1000162

Sagoyo, Savitri. 2005. Osteoporosis dan Gizi: Sadar Gizi Cegah Osteoporosis

Menuju Masyarakat Bertulang Sehat. Jakarta(ID): PT Gramedia Pustaka

Utama

Saputro Dwi Cahyo. 2014. Hubungan antara tingkat pendidikan orang tua dengan

status gizi siswa (studi pada siswa SD Campurejo 1 Bojonegoro). Jurnal

Pendidikan, Olahraga dan Kesehatan. 2(3): 627-630

Sari J, Jus I, Mulyani Y. 2010. Perbedaan asupan kalsium, vitamin A, dan vitamin

D menurut status gizi anak usia 6-12 tahun berdasarkan tipe daerah di

pulau Sulawesi. J.Esa Unggul. 34(2): 121-130

Sheridan PA, Paich HA, Handy J, Karlsson EA, Hudgens MG, Noah TL. 2012

Obesity is associated with impaired immune response to influenza

vaccination in humans. International journal of obesity. 36(2): 1072–

1077. doi: 10.1038/ijo.2011.208

Slamet Y. 1993. Analisis Kuantitatif Untuk Data Sosial. Solo (ID): Dabara

Publisher

Slameto. 2007. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT.

Rineka Cipta

Soekirman. 2006. Hidup Sehat Gizi Seimbang dalam Siklus Kehidupan Manusia.

Jakarta: PT Primamedia Pustaka

Suhartiningsih W. 2005. Busung lapar dan Hunger Paradox. http:// www.

Tonangardyanto.com

Sulastri N, Sudarma A, Rahmawati J. 2014. Hubungan anatara pola asuh orang

tua dan kebiasaan belajar terhadap prestasi akademik siswa SD kelas IV

semester genap di Kecamatan Melaya, Jembana. E-journal MIMBAR

PGSD Universitas Pendidikan Ganesha. 2(1): 15-18

Supriyanto, B. 2000. Rekayasa Penilaian Jilid 1. Jakarta (ID): Masyarakat Profesi

Penilai Indonesia.

Tanziha I. 2006. Instrumen kelaparan kualitatif: peningkatan Validitas dalam

Identifikasi individu dan Keluarga Kelaparan sebagai Langkah Antisipasi

Kejadian Luar Biasa [Laporan penelitian]. Bogor(ID): Departemen Gizi

Mayarakat dan Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor

Usfar A, Aliza. 2002. Household Coping Strategies for Food Security in

Indonesia and the realation to Nutritional Status: A Comparison before

and after the 1997 economic crisis. Philadelphia(USA): Delmar Publishers.

UNICEF. 1998. The State on the World Children. USA: Oxford Univ Press.

Yasmin G, Kustiyah L, Dwiriani CM. 2014. Risk factors of stunting among

school-aged children from eight provinces in Indonesia. Pakistan Journal

of Nutrition. 13(10):557-566.

47

Yoshinaga, et al. (2004). Rapid increase in the prevalence of obesity in

elementary school children. International Journal of Obesity. 5(3): 162-

167

Yulni, Veni, H., Devintha, V. 2013. Perbedaan Asupan Zat Gizi Makro Dengan

Status Gizi Pada Anak Sekolah Dasar Di Wilayah Pesisir Kota Makassar.

[skripsi]. Makassar (ID): Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Hasanuddin

Zulaiha, Widajanti L. 2006. Hubungan kecukupan asam eikosapentanoat (EPA)

dan dokosaheksanoat (DHA) ikan dan status gizi dengan prestasi

akademik siswa. Jurnal Gizi Indonesia. 2(1): 12-20

48

LAMPIRAN

Lampiran 1

Tabel 1 Sebaran contoh berdasarkan perilaku food coping strategy dan status gizi

Perilaku Jawaban Kurus Normal Gemuk Total P-

value n % n % n % n %

Taraf 1

Mencari pekerjaan

sampingan

Tidak

pernah

3 75.0 27 57.4 8 88.9 38 63.3 0.021*

Jarang 0 0.0 5 10.6 0 0.0 5 8.3

Kadang-

kadang

0 0.0 8 17.0 0 0.0 8 13.3

Sering 1 25.0 3 6.4 1 11.1 5 8.3

Selalu 0 0.0 4 8.5 0 0.0 4 6.7

Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60 100

Membeli makanan

yang harganya

lebih murah

Tidak

pernah

0 0.0 11 23.4 3 33.3 14 23.3

Jarang 1 25.0 8 17.0 2 22.2 11 18.3

Kadang-

kadang

3 75.0 22 46.8 3 33.3 28 46.7

Sering 0 0.0 4 8.5 0 0.0 4 6.7

Selalu 0 0.0 2 4.3 1 11.1 3 5.0

Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60 100.0

Mengurangi porsi

makan

Tidak

pernah

1 25.0 26 55.3 9 100.0 36 60.0

Jarang 0 0.0 3 6.4 0 0.0 3 5.0

Kadang-

kadang

2 50.0 14 29.8 0 0.0 16 26.7

Sering 0 0.0 2 4.3 0 0.0 2 3.3

Selalu 1 25.0 2 4.3 0 0.0 3 5.0

Total 4 100.0 47 100.0 9 100 60 100

Menerima BLT dan

atau raskin

Tidak

pernah

3 75.0 35 74.5 9 100.0 47 78.3

Jarang 0 0.0 3 6.4 0 0.0 3 5.0

Kadang-

kadang

0 0.0 4 8.5 0 0.0 4 6.7

Sering 0 0.0 2 4.3 0 0.0 2 3.3

Selalu 1 25 3 6.4 0 0.0 4 6.7

Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60 100.0

Menerima

makanan dari

saudara/tetangga

Tidak

pernah

2 50.0 34 72.3 9 100.0 45 75.0

Jarang 1 25.0 6 12.8 0 0.0 7 11.7

Kadang-

kadang

1 25.0 6 12.8 0 0.0 7 11.7

Selalu 0 0.0 1 2.1 0 0.0 1 1.7

Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60 100.0

49

Tabel 1 Sebaran contoh berdasarkan perilaku food coping strategy dan status gizi

(lanjutan)

Perilaku Jawaban Kurus Normal Gemuk Total P-

value n % N % n % n %

Taraf 2

Menjual aset yang

tidak produktif

(piring, gelas,

lemari, dll)

Tidak

pernah

2 50.0 33 70.2 7 77.8 42 70..0 0.151*

Jarang 0 0.0 5 10.6 0 0.0 5 8.3

Kadang-

kadang

2 50.0 6 12.8 1 11.1 9 15.0

Sering 0 0.0 2 4.3 1 11.1 3 5.0

Selalu 0 0.0 1 2.1 0 0.0 1 1.7

Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60 100.0

Menjual aset yang

produktif (hewan

peliharaan, tanah,

sepeda, dll)

Tidak

pernah

3 75.0 37 78.7 8 88.9 48 80.0

Jarang 1 25.0 4 8.5 0 0.0 5 8.3

Kadang-

kadang

0 0.0 4 8.5 1 11.1 5 8.3

Sering 0 0.0 2 4.3 0 0.0 2 3.3

Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60 100.0

Meminjam uang Tidak

pernah

1 25.0 12 25.5 5 55.6 18 30.0

Jarang 0 0.0 6 12.8 1 11.1 7 11.7

Kadang-

kadang

3 75.0 15 31.9 2 22.2 20 33.3

Sering 0 0.0 12 25.5 1 11.1 13 21.7

Selalu 0 0.0 2 4.3 0 0.0 2 3.3

Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60 100.0

Perubahan

distribusi makan

(prioritas ibu untuk

anak-anak)

Tidak

pernah

1 25.0 22 46.8 6 66.7 29 48.3

Jarang 2 50.0 3 6.4 1 11.1 6 10.0

Kadang-

kadang

1 25.0 16 34.0 0 0.0 17 28.3

Sering 0 0.0 6 12.8 2 22.2 8 13.3

Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60 100.0

Mengurangi

frekuensi makan

per hari

Tidak

pernah

2 50.0 32 68.1 9 100.0 43 71.7

Jarang 1 25.0 5 10.6 0 0.0 6 10.0

Kadang-

kadang

0 0.0 6 12.8 0 0.0 6 10.0

Sering 1 25.0 4 8.5 0 0.0 5 8.3

Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60 100.0

50

Tabel 1 Sebaran contoh berdasarkan perilaku food coping strategy dan status gizi

(lanjutan)

Perilaku Jawaban Kurus Normal Gemuk Total P-

value n % n % n % n %

Melewati hari-hari

tanpa makan

Tidak

pernah

3 75.0 39 83.0 9 100.0 51 85.0

Jarang 1 25.0 3 6.4 0 0.0 4 6.7

Kadang-

kadang

0 0.0 4 8.5 0 0.0 4 6.7

selalu 0 0.0 1 2.1 0 0.0 1 1.7

Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60 100.0

Taraf 3

Migrasi/ pindah

tempat

Tidak

pernah

4 100.0 42 89.4 8 88.9 54 90.0 0.757*

Kadang-

kadang

0 0.0 5 10.6 1 11.1 6 10.0

Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60 100.0

Menyerahkan anak

kepada saudara

Tidak

pernah

3 75.0 43 91.5 9 100.0 55 91.7

Kadang-

kadang

1 25.0 4 8.5 0 0.0 5 8.3

Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60 100.0

Keluarga

berpisah/bercerai

Tidak

pernah

4 100.0 45 95.7 9 100.0 58 96.7

Kadang-

kadang

0 0.0 2 4.3 0 0.0 2 3.3

Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60 100.0

Lampiran 2 Hasil output uji regresi linear determinan status gizi pada SPSS

51

52

Lampiran 3 Hasil output uji regresi linear determinan prestasi akademik pada

SPSS

53

Lampiran 3 Hasil output uji regresi linear determinan status gizi pada SPSS

54

55

RIWAYAT HIDUP

Penulis lahir di Jember pada tanggal 3 Juni 1994 dari pasangan Soeharto

dan Tri Yulianti. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Awal

pendidikan penulis dimulai dari TK Pertiwi tahun 1999-2000 kemudian

melanjutkan pendidikan di SDN Kepatihan 16 Jember tahun 2000-2006. Tahun

2006-2009 penulis menempuh pendidikan di SMPN 1 Jember dan melanjutkan ke

jenjang SMAN 1 Jember pada tahun 2009-2012. Tahun 2012 penulis melanjutkan

studi di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SNMPTN Undangan.

Selama menjalani pendidikan di IPB, penulis merupakan anggota dari

divisi Partnership and Relationship UKM Century IPB pada tahun 2012. Penulis

juga aktif dalam kegiatan kewirausahaan Century Partner pada tahun 2012.

Tahun 2013-2015 penulis aktif di HIMAGIZI IPB sebagai anggota dari divisi

kewirausahaan. Penulis juga berkontribusi dalam acara Nutrition Fair 2015

sebagai anggota dari divisi konsumsi. Penulis pernah mendapatkan beasiswa

BPOM tahun 2012-2013, Beasiswa PPA di tahun 2014, dan beasiswa VDMS

pada tahun 2015-2016. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum Ilmu

Bahan Makanan pada tahun 2015. Tahun 2015 penulis melaksanakan Kuliah

Kerja Nyata berbasis Profesi (KKN-P) di Desa Watuaji, Kecamatan Keling,

Jepara. Pada bulan Juli-Agustus 2015, penulis mengikuti Internship Manajemen

Sistem Penyelenggaraan dan Dietetik di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta

Barat. Pada tahun 2016, penulis berkontribusi sebagai LO kepanitian Pekan

Imilah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) ke-29 IPB. Penulis juga merupakan

bagian dari Organisasi Mahasiswa Daerah IMJB (Ikatan Mahasiswa Jember

Bogor)