DETERMINAN STATUS GIZI DAN PENGARUHNYA PADA … · Gizi dan Pengaruhnya pada Prestasi Akademik Anak...
Transcript of DETERMINAN STATUS GIZI DAN PENGARUHNYA PADA … · Gizi dan Pengaruhnya pada Prestasi Akademik Anak...
i
DETERMINAN STATUS GIZI DAN PENGARUHNYA PADA
PRESTASI AKADEMIK ANAK SEKOLAH DASAR DI
KAMPUNG NELAYAN PUGER, JEMBER
ARIFATUSH YUNI HARIYANTI
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
iii
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Determinan Status
Gizi dan Pengaruhnya pada Prestasi Akademik Anak Sekolah Dasar di Kampung
Nelayan Puger, Jember adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi
pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi
mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan
maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan
dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada
Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Mei 2016
Arifatush Yuni Hariyanti
NIM I14120080
v
ABSTRAK
ARIFATUSH YUNI HARIYANTI. Determinan Status Gizi dan Pengaruhnya pada
Prestasi Akademik Anak Sekolah Dasar di Kampung Nelayan, Puger Jember.
Dibimbing oleh IKEU TANZIHA.
Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis determinan status gizi dan
pengaruhnya pada prestasi akademik anak sekolah dasar di daerah kampung
nelayan Puger, Jember. Desain penelitian yang digunakan adalah cross sectional
study, dengan subjek penelitian berjumlah 60 anak. Hasil analisis menunjukkan
bahwa 100% contoh kurus berjenis kelamin laki-laki dan 77.8% contoh gemuk
berjenis kelamin perempuan. Tidak terdapat perbedaan signifikan antara besar
keluarga, pendidikan dan pendapatan/kapita keluarga pada contoh kurus, normal,
dan gemuk. Terdapat perbedaan signifikan tingkat kecukupan energi dan zat gizi
(kecuali fosfor, vitamin A, dan C) pada contoh kurus, normal, dan gemuk. Prestasi
akademik contoh kurus dan gemuk signifikan lebih rendah daripada contoh
normal. Pola asuh orang tua demokratis lebih banyak diterapkan oleh keluarga
anak dengan nilai cukup (83.3%) dan lebih dari cukup (90.0%) daripada keluarga
anak dengan nilai kurang (44.1%). Terdapat hubungan signifikan positif antara
tingkat kecukupan energi, protein, lemak, Zn dan hubungan signifikan negatif
antara skor food coping strategy dengan status gizi. Status gizi tidak berhubungan
dengan prestasi akademik, tetapi pendidikan ibu, pendapatan/kapita keluarga,
tingkat kecukupan energi, protein, kalsium, vitamin A, vitamin C dan pola asuh
orang tua berhubungan dengan prestasi akademik. Faktor determinan status gizi
anak sekolah dasar adalah tingkat kecukupan lemak dan perilaku food coping
strategy. Status gizi tidak berpengaruh dengan prestasi akademik.
Kata kunci : anak usia sekolah dasar, prestasi akademik, dan status gizi
ABSTRACT
ARIFATUSH YUNI HARIYANTI. Nutritional Status Determinant and Its effect
on Academic Achievement of School-Aged-Children in Fishing Village Puger,
Jember. Supervised by IKEU TANZIHA
The aims of this study was to analyze determinant of nutritional status and
its effect on academic achievement on school aged children in fishing village
Puger, Jember. Design of this study was cross sectional study with 60 subject.
The result showed that 100% underweight children was a boy and 77.8%
overweight children was a girl. There was no significant different between
number of family, parent’s education and family income per capita between three
of group. There was a significant different energy and nutrient adequacy (except
fosfor, vitamin A, and C) between three of group. Academic achievement of
underweight and overweight children significantly lower than normal children.
Democratic parenting adopted by most of parents that had children with average
score cotegorized in enough score (83.3%) and more than enough score (90.0%).
vi
There was a positive significant correlation between energy, protein, fat, Zn
adequacy and there was negative significant correlation between food coping
strategies score with nutritional status. There was no significant correlation
between nutritonal status and academic achievement but mother’s education,
family income per capita, energy, protein, calsium, vitamin A, vitamin C
adequacy, and parenting style had a significant correlation with academic
achievement. Determinant factors of school aged children’s nutritonal status was
fat adequacy and food coping strategies behavior. Nutritional status of children
had no effect to academic achievement.
Key words : academic achievement, nutritional status, and school-aged children
vii
DETERMINAN STATUS GIZI DAN PENGARUHNYA PADA
PRESTASI AKADEMIK ANAK SEKOLAH DASAR DI
KAMPUNG NELAYAN PUGER, JEMBER
ARIFATUSH YUNI HARIYANTI
Skripsi
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Gizi
dari Program Studi Ilmu Gizi pada
Departemen Gizi Masyarakat
DEPARTEMEN GIZI MASYARAKAT
FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2016
ix
Judul Skripsi : Determinan Status Gizi dan Pengaruhnya pada Prestasi Akademik
Anak Sekolah Dasar di Kampung Nelayan Puger, Jember
Nama : Arifatush Yuni Hariyanti
NIM : I14120080
Disetujui oleh
Prof. Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS
Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Rimbawan
Ketua Departemen
Tanggal Lulus :
xi
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-
Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
skripsi ini adalah anak usia sekolah dasar, dengan judul Determinan Status Gizi
dan Pengaruhnya pada Prestasi Akademik Anak Sekolah Dasar di Kampung
Nelayan Puger, Jember. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi salah satu
syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Gizi dari Departemen Gizi Masyarakat,
Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.
Penulis menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
mendukung dan membantu penulis dalam penyusunan skripsi ini. Penulis
menyampaikan terima kasih kepada:
1. Prof Dr Ir Ikeu Tanziha, MS selaku pembimbing akademik dan pembimbing
skripsi yang telah membimbing penulis selama 7 semester dan memberikan
arahan serta bimbingan dalam penyusunan skripsi ini.
2. Prof Dr Ir Dodik Briawan, MCN selaku dosen penguji skripsi yang telah
memberikan saran untuk penulisan skripsi ini.
3. Keluarga tercinta: Bapak (Soeharto), Ibu (Tri Yulianti), dan adik-adikku
(Deviana Nuraini dan Arif Rahman Febriansyah).
4. Keluarga di rantau: Om (Rachmad Setiawan), Tante (Yeni Indari) dan adik
adikku (Nurika Rahmania dan Nadhifa Nur Imani)
5. Kepala sekolah SDN Puger Wetan 01, Puger Wetan 03, dan Puger Kulon 01,
para guru, dan adik-adik responden penelitian
6. Teman seperjuangan penelitian Citra Vita Yuningtyas
7. Sahabat seperjuangan di Gizi Masyarakat (Rifani Ridha Nabila, Rulia
Ramaita Simamora, Tri Desfriana Putri, Nadia Nurdiniyati, Novania A.
Sitorus).
8. Sahabat OMDA Jember (Dwitantian Hawa Brillianti, Yusvita Nur Qorimah
P, Kiki Nawan Mulasari, dll)
9. Keluarga KKN-P Watuaji Jepara 2015 (Anindita Lintang, Jawahirul Arifah,
Choirunnisa, Akbar Alif Pribadi).
10. Teman-teman Gizi Masyarakat 49
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Mei 2016
Arifatush Yuni Hariyanti
xiii
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI xiii
DAFTAR TABEL xiv
DAFTAR GAMBAR xiv
DAFTAR LAMPIRAN xiv
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Perumusan Masalah 3
Tujuan Penelitian 3
Manfaat Penelitian 3
Hipotesis Penelitian 4
KERANGKA PEMIKIRAN 4
METODE PENELITIAN 6
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian 6
Cara Pemilihan Contoh 7
Jenis dan Cara Pengumpulan Data 8
Pengolahan dan Analisis Data 9
Definisi Operasional 12
HASIL DAN PEMBAHASAN 13
Gambaran Umum Lokasi Penelitian 13
Karakteristik contoh 15
Karakteristik Keluarga 16
Konsumsi Pangan 21
Status Kesehatan 28
Food Coping Strategy 30
Prestasi akademik 34
Hubungan antar Variabel 34
Faktor Determinan Status Gizi (IMT/U) 37
Analisis Pengaruh Status Gizi terhadap Prestasi akademik 38
SIMPULAN DAN SARAN 41
Simpulan 41
Saran 42
DAFTAR PUSTAKA 43
LAMPIRAN 48
RIWAYAT HIDUP 55
xiv
DAFTAR TABEL
1 Sebaran contoh berdasarkan usia dan status gizi 15
2 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan status gizi 16
3 Sebaran contoh berdasarkan usia orang tua dan status gizi 17
4 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga dan status gizi 18
5 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan orang tua dan status gizi 18
6 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan per kapita dan status gizi 19
7 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan orang tua dan status gizi 20
8 Rata-rata asupan energi dan zat gizi contoh berdasarkan status gizi 22
9 Rata-rata tingkat kecukupan energi dan zat gizi contoh berdasarkan
status gizi
23
10 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi, zat gizi, dan
status gizi
24
11 Rata-rata frekuensi konsumsi pangan berdasarkan status gizi 27
12 Sebaran contoh berdasarkan kejadian sakit dan status gizi 29
13 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi, lama sakit dan status gizi 30
14 Sebaran contoh berdasarkan tingkat food coping strategy dan status
gizi
32
15 Sebaran contoh berdasarkan prestasi akademik dan status gizi 33
16 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh orang tua dan prestasi
akademik
34
17 Analisis hubungan antara status gizi (IMT/U) dengan beberapa
variabel
35
18 Analisis hubungan antara prestasi akademik dengan beberapa variabel 39
DAFTAR GAMBAR
1 Kerangka pemikiran penelitian 6
DAFTAR LAMPIRAN
1 Sebaran contoh berdasarkan food coping strategy dan status gizi 48
2 Hasil output uji regresi linier determinan status gizi (IMT/U) pada SPSS 50
3 Hasil output uji regresi linier determinan prestasi akademik (IMT/U)
pada SPSS
52
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu indikator sumber daya manusia yang berkualitas adalah nilai
dari Indeks Pembangun Manusia(IPM). Badan Pusat Statistik (2012) mencatat
bahwa indeks pembangunan manusia (IPM) di Kabupaten Jember menduduki
peringkat ke-35 dari 40 kabupaten/kota di Jawa Timur yaitu 65.99. Hal ini
menunjukkan bahwa kualitas SDM di Kabupaten Jember masih tergolong rendah
dibandingkan dengan daerah lainnya. Sehingga masih diperlukan upaya untuk
meningkatkan kualitas SDM di Kabupaten Jember.
Tujuan utama pembangunan nasional adalah peningkatan sumber daya
manusia secara berkelanjutan. Upaya peningkatan status gizi untuk pembangunan
sumber daya manusia yang berkualitas pada hakekatnya harus dimulai sedini
mungkin salah satunya anak usia sekolah dasar. Anak sekolah dasar merupakan
sasaran strategis dalam perbaikan gizi masyarakat (Choi et al. 2008).
Dewasa ini, masalah gizi pada anak usia sekolah bukan hanya masalah gizi
kurang, tetapi juga masalah gizi lebih yang lebih dikenal dengan masalah gizi
ganda/double burden. (Said Mohamed et al. 2012). Gizi kurang pada masa ini
akan mengakibatkan terganggunya pertumbuhan badan, mental, kecerdasan dan
mudah terserang penyakit infeksi. Masalah gizi lebih juga dapat menyebabkan
anak beresiko menderita penyakit degeneratif. Menurut Riskesdas (2013) di
Indonesia prevalensi status gizi berdasarkan indeks massa tubuh menurut umur
(IMT/U) anak umur 5-12 tahun terdiri dari 10.8% gemuk, 8.8% sangat gemuk,
7.2 % kurus, dan 4.0 % sangat kurus. Prevalensi status gizi anak usia 5-12 tahun
(IMT/U) di provinsi Jawa Timur diketahui sebesar 10.8% gemuk, 9.8% kurus, dan
3.9% sangat kurus (Riskesdas 2013).
Status gizi kurang pada anak dipengaruhi oleh tiga determinan yaitu
determinan langsung, determinan tidak langsung dan determinan dasar.
Determinan langsung merupakan faktor yang terdapat pada tingkat individu.
Determinan langsung pada status gizi anak adalah konsumsi makanan dan status
kesehatan atau infeksi. Selanjutnya determinan tidak langsung adalah determinan
yang terdapat pada tingkat rumah tangga yaitu ketahanan rumah tangga,
perawatan anak, lingkungan kesehatan, termasuk akses terhadap semua
determinan tidak langsung adalah kemiskinan. Dampak kemiskinan terhadap
malnutrisi tampak jelas. Determinan dasar adalah potensi sumberdaya yang
tersedia di suatu negara wilayah dan masyarakat. Sumberdaya ini dibatasi oleh
lingkungan alam, akses terhadap teknologi dan juga mutu sumberdaya manusia
(UNICEF 1998).
Hasil penelitian Kotian (2010) menunjukkan terdapat tiga faktor
determinan yang menyebabkan anak usia sekolah mengalami kegemukan yaitu
sosial ekonomi keluarga, konsumsi pangan, dan aktivitas fisik. Menurut Noh
Won et al. (2014) anak dengan status gizi lebih/overweight berasal dari keluarga
dengan status pendidikan yang rendah dan pendapatan keluarga yang rendah.
Menurut penelitian Sartika (2011) konsumsi pangan dan asupan zat gizi berlebih
merupakan faktor resiko kegemukan. Konsumsi pangan seperti sayur dan buah
secara linier akan mengurangi asupan lemak dan garam yang selanjutnya akan
2
mencegah peningkatan berat badan. Kelebihan zat gizi makro juga berpengaruh
terhadap kelebihan berat badan. Kelebihan zat gizi makro akan disimpan di dalam
tubuh. Jika keadaan ini terjadi terus menerus akan meningkatkan penimbunan
lemak dan beresiko mengalami kegemukan. Berdasarkan hasil penelitian Marta et
al. (2011) ketidakaktifan secara fisik pada anak usia sekolah merupakan salah satu
faktor yang berkontribusi pada peningkatan resiko kegemukan di Eropa dan
negara lainnya.
Kekurangan dan kelebihan gizi pada anak dapat menyebabkan anak
memiliki daya tahan tubuh yang rendah, pertumbuhan fisik dan perkembangan
kecerdasan yang terhambat, serta prestasi akademik yang rendah. Moehji (2003)
menyatakan bahwa gizi buruk pada anak membawa dampak anak sukar
berkonsentrasi, rendah diri, dan prestasi akademik menjadi rendah. Menurut Relly
et al. (2007) kegemukan pada anak usia 6-12 tahun juga dapat menurunkan
tingkat kecerdasan karena aktivitas dan kreativitas anak menjadi menurun dan
cenderung malas akibat kelebihan berat badan.
Faktor lain yang dapat menyebabkan anak memiliki prestasi akademik
yang rendah seperti aspek afektif seperti pola asuh orangtua, aspek asupan zat
gizi, dan faktor ekonomi. Hal ini sejalan dengan penelitian Sulastri et al. (2014)
bahwa terdapat kontribusi yang signifikan antara pola asuh orang tua terhadap
prestasi akademik siswa kelas IV semester genap SD Kecamatan Melaya
Kabupaten Jembrana. Faktor asupan zat gizi juga berpengaruh terhadap prestasi
akademik anak. kandungan asam eikosapentanoat (EPA) dan asam
dokosaheksanoat (DHA) yang cukup tinggi di dalam ikan menurut Zulaihah dan
Widajanti (2006) diperlukan untuk pembentukan sel otak dan peningkatan
kecerdasan. Hal ini didukung oleh Khomsan (2004) bahwa terjadi peningkatan
kualitas kesehatan dan kecerdasan pada anak-anak di Jepang dengan budaya
makan ikan yang tinggi.
Sebagai wilayah pesisir, Kabupaten Jember memiliki potensi sumber daya
perikanan yang cukup besar. Menurut Pemerintah Kabupaten Jember (2013) total
produksi ikan di Jember sebanyak 13.682 ton. Daerah penghasil ikan laut terbesar
di Jember adalah di Kecamatan Puger. Pada tahun 2011 produksi ikan laut
mencapai di Kecamatan Puger sebesar 5.680 ton, tahun 2012 mencapai 6.357 ton,
dan tahun 2013 sebanyak 7.565 ton.
Mayoritas masyarakat pesisir hidup dengan mata pencaharian sebagai
nelayan. Kesejahteraan nelayan pada umumnya sangat minim dan identik dengan
kemiskinan, menurut data badan statistik (BPS) tahun 2012 penduduk miskin 49
juta jiwa dan 60% diantaranya adalah masyarakat yang hidup dikawasan pesisir
pantai. Masalah yang dihadapi masyarakat nelayan sangat kompleks salah satunya
menyangkut penghasilan mereka. Tidak dapat disangkal, bahwa penghasilan
keluarga akan turut menentukan hidangan yang disajikan untuk keluarga sehari-
hari, baik kualitas maupun jumlah makan. Pemanfaatan sumber daya keluarga
secara baik dan berdayaguna akan dapat membantu keluarga sehingga
memungkinkan keluarga yang berpenghasilan terbatas mampu menghidangkan
makanan yang cukup memenuhi syarat gizi bagi anggota keluarganya(Ipa
Sirajuddin 2010). Besarnya potensi perikanan di Kecamatan Puger tidak diiringi
dengan kesejahteraan para nelayan dan keluarganya. Oleh karena itu perlu
dilakukan penelitian analisis determinan status gizi dan pengaruhnya pada prestasi
akademik pada anak sekolah dasar di kampung nelayan Puger, Jember.
3
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan maka rumusan pokok-
pokok permasalahan yang akan menjadi fokus penelitian adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perbedaan karakteristik anak (umur, jenis kelamin), karakteristik
keluarga (besar keluarga, umur orangtua, pendidikan orang tua, pekerjaan
orangtua, dan pendapatan orangtua), pola asuh orang tua, dan food coping
strategy keluarga berdasarkan status gizi?
2. Bagaimana perbedaan asupan zat gizi, konsumsi pangan, status kesehatan,
dan prestasi akademik anak berdasarkan status gizi?
3. Bagaimana hubungan karakteristik keluarga (besar keluarga, pendidikan orang
tua, pekerjaan orangtua, dan pendapatan orangtua), konsumsi pangan, asupan
zat gizi, status kesehatan, dan food coping strategy keluarga dengan status
gizi?
4. Apa saja determinan status gizi?
5. Bagaimana pengaruh status gizi terhadap prestasi akademik?
Tujuan Penelitian
Tujuan umum dari penelitian ini adalah menganalisis determinan status gizi
serta pengaruhnya dengan prestasi akademik anak sekolah dasar di daerah produksi
ikan Puger, Jember dengan tujuan khusus sebagai berikut:
1. Mengidentifikasi dan membedakan karakteristik anak, karakterisitik keluarga, pola
asuh orangtua, dan food coping strategy keluarga berdasarkan status gizi
2. Mengidentifikasi dan membedakan asupan zat gizi, konsumsi pangan, status
kesehatan, dan prestasi akademik anak sekolah dasar berdasarkan status gizi
3. Menganalisis hubungan karakteristik keluarga (besar keluarga, pendidikan
orang tua, pekerjaan orangtua, dan pendapatan orangtua), konsumsi pangan,
asupan zat gizi, status kesehatan, dan food coping strategy keluarga dengan
status gizi
4. Menganalisis determinan status gizi
5. Menganalisis pengaruh status gizi terhadap prestasi akademik
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai
determinan status gizi dan pengaruhnya pada prestasi akademik anak sekolah
dasar khususnya di daerah yang diteliti sehingga dapat dijadikan pertimbangan
dalam kebijakan daerah setempat terkait upaya perbaikan gizi dan peningkatan
kualitas SDM di daerah tersebut. Selain itu, hasil dari penelitian ini juga dapat
dimanfaatkan sebagai referensi untuk penelitian lebih lanjut.
4
Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini antara lain:
1. Karakteristik keluarga (besar keluarga, pendidikan orang tua, pekerjaan
orangtua, dan pendapatan orangtua), konsumsi pangan, asupan zat gizi,
status kesehatan, dan food coping strategy keluarga berhubungan dengan
status gizi
2. Status gizi berpengaruh terhadap prestasi akademik
KERANGKA PEMIKIRAN
Anak Usia Sekolah (AUS) adalah anak yang berusia 6 – 12 tahun. Pada usia
sekolah terjadi perkembangan yang luar biasa secara menyeluruh pada setiap
aspek perkembangan (Gunarsa 2006). Berdasarkan teori perkembangan kognitif
Piaget, usia 6-12 tahun tergolong masa konkrit operasional. Pada masa itu, anak
sudah dapat berfikir logis dan mulai mengenal adanya hubungan fungsional
(Anisah 2012). Anak mempunyai struktur kognitif untuk dapat berpikir dan
melakukan tindakan tanpa bertindak secara nyata. Prestasi akademik merupakan
hasil penilaian dari proses pembelajaran anak di sekolah dan di lingkungan tempat
tinggal mereka.
Berbagai faktor sosial ekonomi ikut mempengaruhi pertumbuhan anak.
Faktor sosial ekonomi tersebut antara lain pendidikan, pekerjaan, teknologi,
budaya dan pendapatan keluarga. Faktor tersebut akan berinteraksi satu dengan
yang lainnya sehingga dapat mempengaruhi masukan zat gizi dan infeksi pada
anak (Supariasa et al. 2002). Besar keluarga mempunyai pengaruh pada konsumsi
pangan, jumlah anak yang menderita kelaparan pada keluarga besar empat kali
lebih besar jika dibandingkan pada keluarga kecil. Pada keluarga dengan ekonomi
kurang, jumlah anak akan mengakibatkan selain kurangnya kasih sayang dan
perhatian pada anak, juga kebutuhan primer seperti pangan, sandang, dan
perumahan pun tidak terpenuhi. Pendidikan baik ibu dan ayah merupakan penentu
yang kuat terhambatnya pertumbuhan dan perkembangan anak dalam keluarga
(Semba et al. 2008).
Karakteristik keluarga (besarnya keluarga, usia kepala keluarga, tingkat
pendidikan kepala keluarga, pekerjaan kepala keluarga, dan lain-lain) sangat
mempengaruhi akses keluarga tersebut dalam memenuhi kebutuhan termasuk
kebutuhan akan pangan. Kemudahan dalam mengakses pangan akan secara
langsung mempengaruhi ketersediaan pangan dalam suatu rumahtangga. Selain
itu memiliki hubungan yang saling mempengaruhi terhadap food coping strategy
yang dilakukan oleh rumahtangga (Mangkoeto 2009).
Ketidakmampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhannya akan pangan
akan menimbulkan kerawanan pangan (food insecurity). Keputusan yang biasa
diambil keluarga untuk tetap memenuhi kebutuhan pangan dan penanggulangan
masalah kerawanan pangan yang dihadapi serta mempertahankan hidup anggota
keluarga dikenal dengan istilah food coping strategy. Food coping strategy dapat
diartikan pula sebagai upaya yang dilakukan untuk mengatasi keadaan yang tidak
5
menguntungkan dalam hal pangan atau dilakukan saat akses terhadap pangan
menurun (Mangkoeto 2009).
Konsumsi pangan dan tingkat kecukupan zat gizi sangat berhubungan
dengan status gizi anak. Jika konsumsi pangan anak tercukupi semua kebutuhan
energi dan zat gizinya diharapkan akan menghasilkan status gizi yang baik dan
terhindar dari masalah kurang gizi. Jika anak tidak tercukupi semua kebutuhan
energi dan zat gizinya maka akan menghasilkan status gizi kurang dan rawan
terhadap masalah kurang gizi. Jika konsumsi pangan dan asupan zat gizi berlebih
resiko kegemukan pada anak akan meningkat.
Determinan status gizi lain yang dianalisis adalah status kesehatan/infeksi.
Sejalan dengan penelitian Pahlevi (2012) yang menunjukkan bahwa status
kesehatan/infeksi berhubungan signifikan dengan status gizi. Status kesehatan
anak meliputi ada tidaknya penyakit yang dialami anak dalam satu bulan terakhir,
serta lama dan frekuensi sakitnya. Timbulnya gizi kurang bukan saja karena
makanan yang kurang tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat makanan
yang cukup baik tetapi sering diserang diare atau demam, akhirnya dapat
menderita gizi kurang. Sebaliknya anak yang makan tidak cukup baik maka daya
tahan tubuhnya (imunitas) dapat melemah, sehingga mudah diserang penyakit
infeksi, kurang nafsu makan dan akhirnya mudah terkena gizi kurang (Pahlevi
2012). Sehingga disini terlihat interaksi antara konsumsi makanan yang kurang
dan infeksi merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Karlsson et al. (2010)
bahwa gizi lebih (overweight dan obese) berhubungan signifikan dengan
peningkatan resiko dan keparahan dari beberapa penyakit infeksi baik dari virus
maupun bakteri. Menurut Sheridan (2012) respon antibodi suboptimal terhadap
berbagai vaksinasi ditemukan pada seseorang yang overweight. Penemuan ini
membuktikan bahwa kelebihan berat badan dapat berakibat pada
ketidakseimbangan respon imune. Status gizi akan mempengaruhi tingkat kecerdasan anak dan kemampuan
anak dalam menangkap pelajaran di sekolah. Anak yang memiliki status gizi yang
kurang tidak optimal dalam menangkap pelajaran di sekolah. Menurut Relly et al.
(2007) kegemukan pada anak usia 6-12 tahun juga dapat menurunkan tingkat
kecerdasan karena aktivitas dan kreativitas anak menjadi menurun dan cenderung
malas akibat kelebihan berat badan. Prestasi akademik juga dipengaruhi oleh
lingkungan belajar di sekolah dan di rumah. Persepsi tentang belajar di sekolah,
sarana belajar di sekolah dan kedisiplinan terhadap tata tertib di sekolah merupakan
lingkungan belajar di sekolah yang dapat mempengaruhi prestasi akademik.
Lingkungan belajar di rumah yang dapat mempengaruhi prestasi akademik meliputi,
sarana dan suasana belajar di rumah, perhatian orang tua di rumah, lingkungan
pergaulan serta pola belajar di rumah yang diterapkan oleh anak dalam proses belajar
sehari-hari. Perhatian orang tua yang intensif kepada anak akan memacu proses
belajar anak untuk berprestasi.
6
Gambar 1 Kerangka pemikiran Determinan Status Gizi dan Pengaruhnya pada
Prestasi Akademik Anak Sekolah Dasar
Keterangan:
Variabel yang diteliti
Variabel yang tidak diteliti
Hubungan yang diteliti
Hubungan yang tidak diteliti
METODE PENELITIAN
Desain, Tempat, dan Waktu Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode survei dengan desain cross sectional
study dimana pengumpulan data dilakukan pada satu waktu untuk
Karakterisitik individu
Jenis kelamin
Umur
Karakteristik keluarga
Besar keluarga
Umur orangtua
Pendidikan orang tua
Pekerjaan orang tua
Pendapatan
Konsumsi Pangan
Jenis pangan
Frekuensi
Jumlah
Status gizi
(IMT/U)
Prestasi akademik Pola asuh orang tua
Asupan zat gizi
TKE dan zat gizi lain
Sanitasi lingkungan rumah
Status kesehatan/infeksi
Food coping
strategy
7
menggambarkan karakteristik sampel. Kelemahan dari desain penelitian cross
sectional adalah kurang dapat menggambarkan hubungan sebab akibat dan
variabel pengganggu sulit dikontrol. Lokasi penelitian dilakukan di SDN Puger
Wetan 01, SDN Puger Wetan 03, dan SDN Puger Kulon 1. Penentuan sekolah
dijadikan lokasi penelitian dilakukan secara purposive dengan pertimbangan
sekolah terletak di dalam kampung nelayan dan mudah dijangkau. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan Februari hingga Maret 2016.
Cara Pemilihan Contoh
Populasi penelitian adalah anak sekolah dasar terpilih yang berada di
Kecamatan Puger. Contoh dipilih secara purposive, dengan kriteria contoh
merupakan siswa kelas 4,5,dan 6 SD serta pertimbangan siswa yang bersangkutan
diasumsikan memiliki kemampuan untuk berpikir secara logis terhadap hal
konkrit sehingga dapat menjawab pertanyaan yang diberikan dengan baik. Data
dalam penelitian ini diambil dengan memenuhi kriteria inklusi, meliputi:
1. Contoh bertempat tinggal di kampung nelayan Puger, Jember
2. Responden baik orang tua maupun anak dapat menguasai baca tulis dan
mengerti bahasa Indonesia
3. Bersedia menjadi responden penelitian
Perhitungan jumlah contoh minimal dihitung berdasarkan rumus estimasi proporsi
menggunakan simpangan relatif sebagai berikut.
n= (Z2
1-α/2 x p x q x N) / (d2 (N-1)+ Z
2 1-α/2 x p x q)
n= [1.962 x 0.245 x (0.755) x 168] / [0.10
2 x (168-1)+(1.96
2 x 0.245
x 0.755)]
n= 27.71 Keterangan:
n = besar contoh yang akan diteliti
Z2 1-α/2 = nilai z skor pada 1-α/2 dengan tingkat kepercayaan 95% (1.96)
p = estimasi prevalensi malnutrisi di Jawa Timur, yaitu sebesar 24.5% (Riskesdas 2010)
N = total populasi contoh (168)
d = ketelitian atau presisi, yaitu 15%
Berdasarkan perhitungan, maka contoh minimal yang dibutuhkan adalah
27 contoh. Untuk mengantisipasi jika terjadi drop out maka jumlah minimal
contoh ditambah sebanyak 10%. Jadi, jumlah minimal contoh dalam penelitian ini
adalah 30 contoh untuk prestasi akademik rendah dan 30 contoh untuk prestasi
akademik tinggi.
Model regresi untuk status gizi adalah:
Dimana :
= z-score IMT/U
= Lama pendidikan ayah
= Lama pendidikan ibu
8
= Pendapatan per kapita keluarga
= Besar keluarga
= Frekuensi makan
= TKE (tingkat kecukupan energi)
= TKP (tingkat kecukupan protein)
= TKL (tingkat kecukupan lemak)
= TKCa (tingkat kecukupan kalsium)
= TKFosfor (tingkat kecukupan fosfor)
= TKBesi (tingkat kecukupan zat besi)
= TKVitA (tingkat kecukupan vitamin A)
= TKVitC (tingkat kecukupan vitamin C)
= TKZn (tingkat kecukupan Zn)
= frekuensi sakit
= lama sakit
= food coping strategy
Model regresi untuk prestasi akademik adalah:
Dimana :
= Prestasi akademik (nilai rata-rata UTS dan UAS)
= Lama pendidikan ayah
= Lama pendidikan ibu
= Pendapatan per kapita keluarga
= Besar keluarga
= Status gizi
= TKE (tingkat kecukupan energi)
= TKP (tingkat kecukupan protein)
= TKL (tingkat kecukupan lemak)
= TKCa (tingkat kecukupan kalsium)
= TKFosfor (tingkat kecukupan fosfor)
= TKBesi (tingkat kecukupan zat besi)
= TKVitA (tingkat kecukupan vitamin A)
= TKVitC (tingkat kecukupan vitamin C)
= TKZn (tingkat kecukupan Zn)
= frekuensi sakit
= lama sakit
= konsumsi ikan
Jenis dan Cara Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan pada penelitian ini terdiri dari data primer dan
data sekunder. Data primer meliputi data karakteristik individu, karakteristik
keluarga, konsumsi pangan, status kesehatan/infeksi anak, pola asuh orang tua,
dan food coping strategy. Data karakteristik individu terdiri dari data jenis
9
kelamin, umur, berat badan, dan tinggi badan. Data berat badan (BB) dan tinggi
badan (TB) diperoleh dari pengukuran langsung dengan menggunakan timbangan
injak dan mikrotoise. Data karakteristik keluarga meliputi data besar keluarga,
umur orang tua, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, dan pendapatan
keluarga. Pengambilan data karakteristik orang tua dilakukan dengan wawancara
kepada orang tua dengan mendatangi rumah anak satu per satu.
Data konsumsi pangan terdiri dari data jenis, frekuensi, dan jumlah
pangan yang dikumpulkan dengan wawancara menggunakan SQ-FFQ (Semi
Quantitative Food Frequency Questionnaires). Data status kesehatan
dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner berisi daftar penyakit infeksi, lama,
serta frekuensi sakit anak yang diberikan pada orang tua. Pengisian kuesioner ini
berdasarkan panduan dari enumerator. Data pola asuh orang tua dikumpulkan
dengan pengisian kuesioner oleh anak. Pola asuh orang tua menurut Baumrind
(1994) dalam Dariyo (2004) terdiri dari 3 pola asuh orang tua yaitu pola asuh
otoriter, demokratis, dan permisif. Data food coping strategy dikumpulkan
menggunakan kuesioner yang diberikan kepada orang tua.
Data sekunder meliputi data prestasi akademik, data mengenai kondisi
umum geografis, karakteristik demografi, dan sosial ekonomi masyarakat yang
diperoleh dari data sekolah dan kantor desa setempat. Data mengenai kondisi
umum geografis, karakteristik demografi, dan sosial ekonomi masyarakat
diperoleh melalui pengamatan langsung dan data dari kantor desa setempat. Data
hasil prestasi akademik diperoleh dari guru kelas meliputi rata-rata nilai ujian
Matematika, Bahasa Indonesia, IPA dan IPS enam bulan terakhir.
Pengolahan dan Analisis Data
Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program komputer
Microsoft excel 2010 dan SPSS versi 16.0 for Windows. Data diolah melalui
beberapa tahap yaitu entry, coding, scoring, editing, cleaning dan analisis hasil.
Karakteristik individu meliputi jenis kelamin dikategorikan menjadi perempuan
dan laki-laki. Usia anak dikategorikan menjadi 3 kategori yaitu usia 8-9 tahun,
usia 10-12 tahun, dan usia 13-14 tahun sesuai dengan AKG 2013. Karakteristik
keluarga yaitu usia orang tua dikategorikan menjadi tiga kategori menurut WNPG
(2004) yaitu dewasa muda (20-29 tahun), dewasa madya (30-49 tahun), dan
dewasa lanjut (≥50 tahun). Besar keluarga menurut BKKBN (1997) dikategorikan
menjadi keluarga kecil (≤4 orang), keluarga sedang (5-7 orang), dan keluarga
besar (≥8 orang). Pendidikan orang tua dikelompokkan berdasarkan jenjang
pendidikan. Data pendapatan keluarga di olah dengan membagi pendapatan
keluarga dengan anggota keluarga sehingga didapatkan data pendapatan per kapita
keluarga yang dikategorikan menjadi miskin jika pendapatan per kapita < Rp 285
076,- dan tidak miskin jika pendapatan per kapita ≥285 076,- (BPS 2015).
Pekerjaan ayah dikategorikan bukan nelayan, nelayan penuh, nelayan sambilan
utama, nelayan sambilan tambahan. Pekerjaan ibu dikategorikan tidak bekerja dan
bekerja. Data berat badan dan tinggi badan yang telah didapat diolah dengan
menggunakan rumus menghitung z-score sehingga diketahui status gizi contoh.
10
Asupan energi dan zat gizi diperoleh dari metode SQ-FFQ (Semi
Quantitative Food Frequency Questionnaires) dan dibandingkan dengan AKG
2013 untuk mendapatkan tingkat kecukupan energi dan zat gizi. Adapun rumus
umum yang digunakan untuk mengetahui kandungan zat gizi makanan yang
dikonsumsi adalah (Hardinsyah dan Briawan 1994):
KGij = (Bj/100) x Gij x (BDDj/100)
Keterangan:
KGij = Penjumlahan energi dan zat gizi i dari setiap bahan makanan/pangan
yang dikonsumsi
Bj = Berat bahan makanan j (gram)
Gij = Kandungan energi dan zat gizi i dari bahan makanan j
BDDj = % bahan makanan j yang dapat dimakan
Tingkat kecukupan energi dan protein merupakan persentase konsumsi
aktual anak dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan. Secara
umum tingkat kecukupan energi dan zat gizi dapat dirumuskan sebagai berikut
(Hardinsyah dan Briawan 1994):
TKGi = (Ki/AKGi) x 100% Keterangan:
TKGi = Tingkat kecukupan energi dan zat gizi i
AKGi = Kecukupan energi dan zat gizi i yang dianjurkan
Ki = Konsumsi energi dan zat gizi i
Kategori tingkat kecukupan energi dan protein dikelompokkan menjadi
defisit (< 90%), normal (90-119%), dan kelebihan (≥ 120%) (Depkes 2003).
Kategori vitamin dan mineral dikelompokkan menjadi kurang (< 77%) dan cukup
(≥ 77%) (Gibson 2005). Angka kecukupan lemak total lebih difokuskan pada
kontribusi energi yang berasal dari asupan lemak total. Kecukupan lemak total
menggunakan perhitungan asupan lemak total berkisar antara 20-30% dari
konsumsi energi contoh sesuai dengan anjuran WNPG (2004). Tingkat kecukupan
lemak total diklasifikasikan menjadi kurang (<20% konsumsi energi), cukup (20-
30% konsumsi energi), dan lebih (>30% konsumsi energi). Selain itu, frekuensi
konsumsi pangan diperoleh dari metode Food Frequency Questionaires (FFQ)
melalui pengisian kuesioner oleh contoh yang mendapat penjelasan dan
bimbingan dalam pengisiannya.
Status kesehatan diperoleh dari data frekuensi dan lama sakit yang
dikategorikan menurut nilai median yang telah dihitung. Kategori tingkat
morbiditas (frekuensi dan lama sakit) dapat dikelompokkan menjadi rendah (≤
nilai median) dan tinggi (>nilai median) (Untoro et al. 2005). Frekuensi sakit
dikategorikan rendah jika ≤ 2x/bulan sedangkan lama sakit ≤ 4 hari.
Penilaian skor food coping strategy dilakukan untuk mengetahui kategori
tingkat coping keluarga. Berdasarkan Usfar (2002) rumus untuk menghitung food
coping strategy keluarga adalah sebagai berikut :
11
Skor food coping strategy = (n1× 1) + (n2 × 2) + (n3 × 3)
Keterangan :
n1 = Jumlah perilaku coping pada keluarga yang tergolong skala 1
n2 = Jumlah perilaku coping pada keluarga yang tergolong skala 2
n3 = Jumlah perilaku coping pada keluarga yang tergolong skala 3
Pengkategorian total skor food coping strategy menggunakan metode interval
menurut Slamet (1993) yaitu :
Interval = (Skor maksimum-skor minimum)/jumlah kategori
Keterangan :
Rendah = skor food coping strategy ≤ skor minimum + interval
Sedang = Skor minimum + interval < skor food coping strategy < skor minimum + (2 x
interval)
Tinggi = skor food coping strategy ≥ skor minimum + 2 x interval
Skor food coping strategy rendah jika skor 0-34.6, sedang jika 34.7-69.3,
dan tinggi jika 69.4-104.
Pola asuh orang tua menurut Baumrind (1994) dalam Dariyo (2004) dibagi
menjadi tiga pola asuh yaitu otoriter, demokratis, dan permisif. Pola asuh orang
tua otoriter dan permisif berhubungan negatif dengan prestasi akademik sehingga
dalam pengolahannya diberi kode 1 dan pola asuh demokratis berhubungan positif
dengan prestasi akademik sehingga dalam pengolahannya diberi kode 2. Prestasi
akademik dilihat dari rata-rata nilai ujian mata pelajaran pada semester ganjil
tahun ajaran 2015/2016, yakni Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, dan IPS.
Rata-rata nilai tersebut dikelompokkan ke dalam kategori kurang (< 60), cukup
(60-69), lebih dari cukup (70-79), dan baik (≥ 80) (Depdiknas 2008).
Analisis univariat (deskriptif) dilakukan terhadap semua variabel. Uji beda
untuk data yang tesebar tidak normal dilakukan dengan menggunakan uji Kruskal
Wallis dan uji lanjut Mann Whitney. Uji beda untuk data yang tersebar normal dan
varian berbeda dilakukan dengan menggunakan uji one way ANOVA dan uji
lanjut Tamnhane. Uji beda untuk data yang tersebar normal dan varian sama
dilakukan dengan menggunakan uji one way ANOVA dan uji lanjut Bonferroni.
Analisis bivariat, yaitu menganalisis keberadaan hubungan yang dilakukan
dengan uji korelasi. Data yang tersebar normal menggunakan uji hubungan
Pearson, sedangkan data yang tidak tersebar normal menggunakan uji hubungan
Spearman, jika hasil uji hubungan antara beberapa variabel dengan status gizi dan
prestasi akademik menunjukkan p<0.025, maka variabel tersebut dimasukkan
dalam analisis regresi linier.
Analisis regresi linier dilakukan untuk mengetahui faktor determinan
status gizi dan pengaruh status gizi terhadap prestasi akademik. Analisis regresi
linier dilakukan dengan metode backward yaitu analisis regresi dengan
memasukkan semua variabel x ke dalam model, dan mengeluarkan satu per satu
variabel x yang paling tidak signifikan hingga tidak ada lagi variabel yang tidak
signifikan.
12
Definisi Operasional
Anak Usia Sekolah adalah anak berusia 6-12 tahun. Contoh dalam penelitian
berada pada kelas 4, 5, dan 6 Sekolah Dasar.
Keluarga adalah unit terkecil dalam sosial masyarakat yang terikat oleh
hubungan pernikahan serta hubungan darah atau adopsi, terdiri atas ayah, ibu,
anak, dan anggota keluarga lain yang tinggal dalam satu atap.
Besar Keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang terdiri atas keluarga kecil
(<4 orang), sedang (5-7 orang) dan besar (>8 orang).
Tingkat Pendidikan Orang Tua adalah pendidikan formal terakhir yang pernah
diikuti ayah atau ibu contoh, yang ditandai dengan surat tanda tamat
belajar/ijazah, tanpa memperhitungkan lama tinggal kelas. Pendidikan orang tua
dikategorikan menjadi Sekolah Dasar, Sekolah Menengah, dan Perguruan Tinggi.
Tingkat Pendapatan Keluarga adalah penghasilan per bulan yang diperoleh dari
pendapatan utama dan tambahan orang tua.
Pekerjaan Orang Tua adalah pekerjaan utama orang tua (ayah dan ibu) yang
memberikan penghasilan bagi keluarga.
Nelayan penuh adalah seseorang yang hanya memiliki satu mata pencaharian,
yaitu sebagai nelayan. Hanya menggantungkan hidupnya dengan profesi kerjanya
sebagai nelayan dan tidak memiliki pekerjaan dan keahlian selain menajdi seorang
nelayan.
Nelayan sambilan utama adalah mereka yang menjadikan nelayan sebagai
profesi utama tetapi memiliki pekerjaan lain untuk tambahan penghasilan.
Nelayan sambilan tambahan adalah seseorang yang memiliki pekerjaan lain
sebagai sumber penghasilan, sedangkan pekerjaan sebagai nelayan hanya untuk
tambahan penghasilan.
Status gizi adalah keadaan tubuh yang merupakan akibat dari konsumsi makanan
dan penggunaan zat gizi yang dapat diketahui dengan beberapa indikator : BB/U,
TB/U, IMT/U, BB/TB Status Kesehatan Anak adalah ada atau tidaknya penyakit infeksi yang diderita
oleh anak dalam satu bulan terakhir serta lama dan frekuensi sakitnya.
Frekuensi Konsumsi Pangan adalah kebiasaan konsumsi masing-masing jenis
pangan sumber protein hewan dalam satu bulan terakhir.
Prestasi akademik adalah gambaran mengenai penguasaan anak terhadap materi
pelajaran di sekolah. Prestasi akademik diukur melalui rata-rata nilai ujian enam
bulan terakhir dari mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, dan IPS.
Pola Asuh Orang Tua adalah interaksi antara anak dan orang tua selama
mengadakan kegiatan pengasuhan dalam mendidik anak. pengasuhan dalam
mendidik anak diukur berdasarkan gaya pengasuhan (permisif, otoriter, dan
demokratis) dan penyediaan fasilitas belajar.
Gaya Pengasuhan Otoriter adalah cara orang tua dalam menerapkan disiplin
pada anak dengan menentukan aturan dan batasan-batasan yang mutlak dan harus
ditaati oleh anak, sehingga pendapat anak tidak di dengar oleh orang tua.
Penerapan cara otoriter pada anak usia sekolah akan menyebabkan daya inisiatif
dan kepercayaan diri anak melemah. Ciri pola asuh otoriter antara lain kekuasaan
orang tua sangat dominan, anak tidak diakui sebagai pribadi, kontrol terhadap
13
tingkah laku anak sangat ketat dan anak akan diancam atau dihukum jika tidak
menjalankan aturan.
Gaya pengasuhan demokratis adalah gaya pengasuhan orangtua yang
mempunyai dimensi kehangatan (responsiveness) dan kontrol (demandingness)
yang tinggi. Beberapa ciri yang terdapat pada pola asuh demokrasi antara lain
adanya kerjasama antara orang tua dan anak, anak diakui sebagai pribadi, orang
tua memberikan bimbingan dan pengarahan serta kontrol yang tidak kaku
Gaya Pengasuhan Permisif adalah cara orang tua dalam menerapkan disiplin
dengan membiarkan anak mengatur dan menentukan sendiri apa yang anak
anggap baik, sedangkan pada usia sekolah anak masih sangat membutuhkan
bimbingan orang tua. Cara permisif akan membuat perkembangan kepribadian
anak menjadi tidak terarah dan menumbuhkan sikap egosentrisme, sehingga
menimbulkan kesulitan saat anak menghadapi peraturan dalam lingkungan sosial.
Food coping strategy adalah segala upaya yang dilakukan oleh suatu keluarga
untuk mengatasi keadaan kekurangan pangan sehingga tidak terjadi kondisi
kerawanan pangan yang berkelanjutan.
Skor coping adalah banyaknya upaya coping yang dilakukan suatu keluarga
sehingga dapat menggambarkan keadaan keluarga contoh.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Dua desa yang menjadi lokasi penelitian adalah desa Puger Kulon dan
desa Puger Wetan. Batas-batas wilayah desa Puger Kulon adalah sebelah utara
desa Grenden, sebelah selatan Samudra Hindia, sebelah timur desa Puger Wetan,
dan sebelah barat desa Mojosari. Batas-batas wilayah desa Puger Wetan adalah
sebelah utara desa Grenden dan desa Wonosari, sebelah selatan Samudra Hindia,
sebelah timur desa Puger Lojejer, dan sebelah barat desa Puger Kulon. Desa Puger
Kulon memiliki luas wilayah sebesar 3.89 km2 dan desa Puger Wetan memiliki
luas wilayah 4.31 km2. Kedua desa ini berjarak rata-rata sekitar 30 km dari
ibukota kabupaten Jember.
Kawasan pesisir pantai Puger berada di sebelah selatan desa Puger Kulon
dan Puger Wetan. Di wilayah tersebut terdapat Tempat Pelelangan Ikan dan
pelabuhan. Banyak kapal/perahu yang menambatkan armadanya di sepanjang
pelabuhan dan di bantaran sungai Bedadung dan sungai Besini. Ikan juga
diperdagangkan di TPI tersebut. Namun perdagangan yang dijalankan hanya
untuk kebutuhan konsumen rumah tangga, bukan untuk kebutuhan konsumen
besar/ perusahaan/pabrik. Sedangkan untuk penjualan secara besar-besaran
nelayan biasanya langsung menjualkan ikannya kepada juragan ikan. Jadi nelayan
hanya mendaratkan ikannya di TPI baru kemudian diangkut ke tempat juragan
ikan.
Desa Puger Kulon terbagi menjadi 2 dusun yang terdiri dari 20 RW(Rukun
Warga) dan 68 RT (Rukun Tetangga). Desa Puger Wetan terbagi menjadi 2
dusun yang terdiri dari 17 RW (Rukun Warga) dan 37 RT (Rukun Tetangga).
14
Struktur organisasi dan tata kerja pemerintahan desa Puger Kulon dan Puger
Wetan terdiri atas pemerintahan desa, lembaga-lembaga kemasyarakatan, dan
kependudukan. Pemerintahan Desa Puger Kulon dan Puger Wetan terdiri atas
kepala desa, sekertaris desa, kepala dusun, P3N, dan anggota BPD. Sedangkan
lembaga kemasyarakatannya ada anggota LPM, TP PKK, LINMAS, ketua RT dan
RW.
Data kependudukan sampai dengan akhir bulan April 2014 yang meliputi
jumlah penduduk desa Puger Kulon sebanyak 15 082 penduduk yang terdiri dari
dari 7 608 penduduk laki-laki dan 7 474 penduduk perempuan. Jumlah penduduk
desa Puger Wetan sebanyak 10 719 yang terdiri dari 5 432 penduduk laki-laki dan
5 827 penduduk perempuan. Sebagian besar penduduk desa Puger Kulon
beragama islam, hanya beberapa penduduk yang menganut agama kristen, katolik,
budha, dan konghucu. Sebagian besar penduduk desa Puger Wetan beragama
islam, hanya beberapa penduduk kristen dan katolik. Jumlah rumah tangga dan
penduduk miskin tahun 2011 di desa Puger Kulon adalah 290 rumah tangga dan
777 penduduk. Jumlah rumah tangga dan penduduk miskin tahun 2011 di desa
Puger Wetan adalah 268 rumah tangga dan 530 penduduk.
Mata pencaharian penduduk Desa Puger Wetan dan Puger Kulon sebagian
besar adalah nelayan. Kedua desa ini merupakan dua desa terbanyak yang
memiliki penduduk bermata pencaharian nelayan di kecamatan Puger. Produksi
ikan di desa Puger Kulon mencapai 24 700 kuintal dan di Puger Wetan mencapai
32 200 kuintal. Terdapat beberapa jenis ikan hasil tangkapan nelayan Puger Kulon
dan Puger Wetan. jenis ikan tersebut antara lain tongkol, tuna, cakalang, cucut,
layang, layur, bawal, lemuru, tenggiri, dan pari. Selain nelayan, mata pencaharian
lain yang dilakukan warga Desa Puger Kulon dan Puger Wetan adalah petani,
pedagang seperti pedagang ikan, sembako, nasi, kelontong, alat bangunan, dan
lain-lain. Kemudian, ada peternak di antaranya peternak sapi, ayam, kambing, dan
ikan. Selain itu, pekerjaan lainnya adalah PNS, wiraswasta, pengrajin, tukang
bagunan, penjahit, tukang ojek, sopir, dan bengkel.
Data pemerintahan Desa Puger Kulon tahun 2014 menunjukkan bahwa
jumlah penduduk berdasarkan pendidikan yang ditamatkan yaitu sebanyak 1193
orang tidak sekolah, 2 381 orang tidak tamat SD, 5 308 orang tamat SD, 2 598
orang tamat SMP, 1 524 orang tamat SMA, 194 orang tamat SMK, 29 orang
sarjana muda, dan 180 orang tamat perguruan tinggi. Data pemerintahan Desa
Puger Wetan tahun 2014 menunjukkan bahwa jumlah penduduk berdasarkan
pendidikan yang ditamatkan yaitu sebanyak 1074 orang tidak sekolah, 1982 orang
tidak tamat SD, 3 907 orang tamat SD, 1 700 orang tamat SMP, 707 orang tamat
SMA, 52 orang tamat SMK, 20 orang sarjana muda, dan 38 orang tamat
perguruan tinggi. Data tersebut menunjukkan bahwa tingkat pendidikan di kedua
desa cukup rendah.
Sarana kesehatan yang ada di desa Puger Kulon adalah 1 puskesmas dan 2
dokter praktek sedangan desa Puger wetan tidak memiliki puskesmas dan memliki
1 dokter praktek. Desa Puger Kulon memiliki 4 dokter, 8 bidan, 6 mantri
kesehatan, dan 2 dukun bayi sedangkan desa Puger Wetan 4 bidan, 2 mantri
kesehatan, dan 6 dukun bayi. Desa Puger Kulon memiliki 14 posyandu mandiri
dan desa Puger Wetan memiliki 11 posyandu purnama. Posyandu di desa Puger
Kulon memiliki 70 orang kader posyandu dan posyandu di desa Puger Wetan
memiliki 55 kader posyandu. Sarana pendidikan di desa Puger Kulon terdiri dari 4
15
TK, 6 SD/MI, 4 SLTP/MTs, 3 SLTA/MA, dan 2 pondok pesantren. Sarana
pendidikan di desa Puger Wetan terdiri dari 3 TK, 4 SD/MI, 1 SLTP/MTs, 0
SLTA/MA, dan 1 pondok pesantren. Sarana pemerintahan Desa Puger Kulon dan
Puger Wetan terdiri atas 1 unit gedung kantor desa, 1 unit gedung kantor BPD, 5
Pos Kamling, dan 1 Pos Kamdes. Fasilitas perekonomian di kedua desa terdiri
atas pasar desa, terminal bayangan, toko, kios peralatan melaut, toko material,
warung/kios, dan sebagainya.
Menurut data kesehatan desa Puger Kulon tahun 2015 diketahui terdapat
1% balita gizi buruk, 7.9% balita gizi kurang, 89.9% balita gizi normal, dan 1.2%
balita gizi lebih Masalah kesehatan lain adalah terdapat 6 orang yang menderita
demam berdarah selama tahun 2015, dan 1 ibu hamil melahirkan meninggal.
Menurut data kesehatan desa Puger Wetan tahun 2015 diketahui terdapat 1.3%
balita gizi buruk, 5.7% balita gizi kurang, 92% balita gizi normal, dan 1% balita
gizi lebih. Masalah kesehatan lain adalah terdapat 3 orang yang menderita demam
berdarah selama tahun 2015, dan 0 ibu hamil melahirkan meninggal.
Karakteristik contoh
Subjek dalam penelitian ini adalah anak SD kelas 4, 5, dan 6. Karakteristik
contoh yang diamati dalam penelitian ini meliputi usia dan jenis kelamin. Subjek
yang diamati sebanyak 60 orang yang berasal dari tiga sekolah yang berbeda,
yaitu SDN Puger Kulon 01, SDN Wetan 01, dan SDN Puger Wetan 03. Hasil
analisis menunjukkan terdapat 4 siswa berstatus gizi kurang, 47 siswa berstatus
gizi normal, 9 siswa berstatus gizi lebih (3 orang overweight dan 6 orang obese).
Untuk memudahkan analisis, anak dengan status gizi kurang dimasukkan dalam
kelompok kurus dan anak dengan status gizi overweight dan obese dimasukkan
dalam kelompok gemuk. Sehingga terdapat tiga kelompok status gizi yang akan
dianalisis yaitu status gizi kurus, normal, dan gemuk.
Usia
Rata-rata usia pada contoh kurus lebih rendah dari contoh normal dan rata-
rata usia pada contoh normal lebih rendah dari contoh gemuk. Tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antara ketiga kelompok (p>0.05) (tabel 1). Proporsi
usia contoh pada ketiga kelompok terbanyak terdapat pada rentang usia 10-12
tahun. Sebaran contoh berdasarkan usia dan status gizi dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Sebaran contoh berdasarkan usia dan status gizi
Karakteristik Kurus Normal Gemuk Total p-
value1)
N % N % n % n %
8-9 tahun 0 0.0 6 12.8 0 0 6 10 0.080
10-12 tahun 4 100.
0
39 83.0 9 100.0 52 86.7
13-14 tahun 0 0.0 2 4.3 0 0.0 2 3.3
Total 4 100 47 100.
0
9 100 60
Median
(min, max)
10.5
(10.0,11.1)
11.0
(9.0,13.6)
11.5
(10.1, 12.5)
11.0
(9.0,13.6) 1)
Uji Kruskal Wallis
16
Berdasarkan hasil uji beda Kruskal Wallis, tidak terdapat perbedaan usia
yang signifikan antara ketiga kelompok. Hal ini karena setelah dilakukan teknik
pemilihan contoh, didapat hasil sekitar 86.7% contoh adalah siswa kelas 5 dengan
rentang usia 10-12 tahun. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Rizkiyah
(2015) bahwa tidak terdapat perbedaan usia yang signifikan antara contoh status
gizi kurus, normal, dan gemuk.
Jenis Kelamin
Persentase anak laki-laki dan anak perempuan pada penelitian ini adalah
sama, yaitu perempuan (50%) dan laki-laki (50%). Contoh kurus semua berjenis
kelamin laki-laki (100.0%) dan contoh gemuk sebagian besar adalah perempuan
(77.8%). Proporsi anak berjenis kelamin laki-laki dan perempuan pada kelompok
normal hampir sama, yaitu laki-laki(51.1%) dan perempuan(48.9%). Sebaran jenis
kelamin berdasarkan status gizi dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin dan status gizi
Karakteristik Kurus Normal Gemuk Total
n % n % n % n %
Laki-laki 4 100.0 24 51.1 2 22.2 30 50.0
Perempuan 0 0.0 23 48.9 7 77.8 30 50.0
Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60 100.0
Proporsi 100% laki-laki pada kelompok kurus sejalan dengan penelitian
Fazili et al. (2012) bahwa prevalensi kurus, stunting, dan wasting lebih tinggi
pada anak berjenis kelamin laki-laki daripada anak perempuan. Hal ini didukung
dengan penelitian Mukherji et al. (2008) bahwa pada anak usia (10-11 tahun)
lebih banyak proporsi anak laki-laki kurus daripada anak perempuan kurus.
Proporsi 77.8% perempuan pada kelompok gemuk sejalan dengan
penelitian Muson (2012) bahwa terdapat perbedaan status gizi antara anak laki-
laki dan perempuan di SD Pagersari Magelang. Hal ini karena aktivitas fisik anak
laki lebih banyak daripada anak perempuan seperti bermain bola dan berlari. Anak
perempuan lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam rumah. Penelitian lain
menunjukkan bahwa anak perempuan rata-rata mulai mengalami pubertas pada
usia 9-13 tahun. Masa pubertas ini berdampak pada perubahan kadar hormon
estrogen dan juga progesteron. Fluktuasi hormon yang drastis serta meningkatnya
kadar metabolisme adalah para penyebab nafsu makan tinggi. Peningkatan nafsu
makan sebelum menstruasi membuat anak perempuan senang sekali mengemil.
Biasanya hasrat nafsu makan ini spesifik untuk jenis makanan tertentu seperti
makanan manis dan karbohidrat yang menyebabkan kenaikan berat badan.
Karakteristik Keluarga
Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat. Karakteristik keluarga
yang diamati dalam penelitian ini adalah usia orang tua, besar keluarga,
pendidikan orang tua, pendapatan per kapita dan pekerjaan orang tua.
17
Usia Orang Tua
Rata-rata usia ayah dan ibu keseluruhan contoh adalah 40.0 tahun dan 36.1
tahun. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan
antara usia ayah dan ibu pada contoh kurus, normal, dan gemuk (p < 0.05) Usia
orang tua dikelompokkan menjadi tiga, yaitu dewasa muda (20-29 tahun), madya
(30-49 tahun), dan lanjut (≥ 50 tahun). Sebaran contoh berdasarkan usia orang tua
dan status gizi dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan usia orang tua dan status gizi
Karakteristik Kurus Normal Gemuk Total p-
value1)
n % n % n % n %
Usia Ayah 0.001
Dewasa muda 0 0.0 3 6.4 0 0.0 3 5.0
Dewasa madya 4 100.0 43 91.5 6 11.3 53 88.3
Dewasa lanjut 0 0.0 0 0.0 1 11.1 1 1.7
Rata-rata ± SD 34.7±4.7 34.9±5.5 42.8±5.9 36.1±6.1
Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60 100.0
Usia Ibu 0.001
Dewasa muda 1 25.0 7 14.9 0 0.0 8 13.3
Dewasa madya 3 75.0 40 85.1 8 88.9 51 85.0
Dewasa lanjut 0 0.0 0 0.0 1 11.1 1 1.7
Rata-rata ± SD 34.8±4.7 34.9±5.5 42.8±5.9
Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60 100.0 1)
Uji one way ANOVA
Rata-rata usia ayah dan ibu pada contoh gemuk lebih besar daripada rata-
rata usia ayah dan ibu pada contoh normal. Berdasarkan uji lanjut Bonfarroni,
terdapat perbedaan nyata antara usia ayah dan ibu pada contoh normal dan gemuk
(p<0.05). Hasil ini tidak sejalan dengan penelitian Danielzik et al. (2008) bahwa
tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara umur orang tua anak dengan
status gizi normal dan gemuk. Hasil penelitian menujukkan tidak terdapat
perbedaan signifikan antara usia ayah dan usia ibu pada contoh kurus dan normal
serta pada contoh kurus dan gemuk (p>0.05). Hal ini sejalan dengan penelitian
Pahlevi (2012) bahwa tidak terdapat perbedaan nyata usia ayah dan ibu dengan
kelompok status gizi anak kurus, normal, dan gemuk.
Besar Keluarga
Besar keluarga menggambarkan jumlah keseluruhan anggota keluarga
yang tinggal dalam satu rumah dan tercatat dalam kartu keluarga. Menurut
penelitian Hitchock (2009) bahwa besar keluarga mempunyai hubungan pada
konsumsi pangan dan status gizi. Jumlah anak yang menderita gizi kurang pada
keluarga besar empat kali lebih besar jika dibandingkan pada keluarga kecil.
Menurut WNPG (2004), besar keluarga dikelompokkan menjadi 3 kelompok,
yaitu keluarga kecil jika anggota keluarga kurang dari 4 orang, keluarga sedang
jika anggota keluarga 5 hingga 7 orang dan keluarga besar jika anggota keluarga
lebih dari 8 orang. Sebaran besar keluarga contoh dapat dilihat pada Tabel 4.
18
Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan besar keluarga dan status gizi
Karakteristik Kurus Normal Gemuk Total p-
value1)
n % n % n % n %
Kecil 3 75.0 26 55.3 5 55.5 34 56.7 0.439
Sedang 1 25.0 20 42.6 4 44.4 25 41.7
Besar 0 0.0 1 2.1 0 0.0 1 1.7
Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60 100.0
Median
(min, max)
4.0
(3.0, 5.0)
4.0
(3.0,10.0)
4.0
(4.0, 7.0)
4.0
(3.0, 10.0) 1)
Uji Kruskal Wallis
Proporsi keluarga kecil pada contoh kurus sebesar 75%. Proporsi keluarga
kecil (55.3%) dan sedang (42.6%) pada contoh normal hampir sama. Proporsi
keluarga kecil (55.5%) dan sedang (44.4%) pada contoh status gizi gemuk juga
hampir sama. Rata-rata besar keluarga contoh adalah 4 orang yang tergolong
keluarga kecil. Hasil uji Kruskal Wallis, tidak terdapat perbedaan yang signifikan
antara besar keluarga pada ketiga kelompok (p>0.05) (Tabel 4). Hal ini sejalan
dengan Pahlevi (2012) bahwa tidak ada perbedaan antara jumlah anggota keluarga
dengan status gizi pada anak kelas 4, 5 dan 6 di SD Negeri Ngesrep 02 Semarang.
Tingkat Pendidikan Orang Tua
Tingkat pendidikan orang tua merupakan salah satu karakteristik penting
yang dapat menggambarkan kondisi sosial ekonomi keluarga contoh. Pendidikan
ayah dan ibu pada kelompok kurus maksimal berada pada jenjang SMP,
sementara pendidikan ayah dan ibu pada kelompok normal dan gemuk maksimal
berada pada jenjang perguruan tinggi. Sebaran tingkat pendidikan orang tua dapat
dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan pendidikan orang tua dan status gizi
Karakteristik Kurus Normal Gemuk Total p-value1)
n % n % N % N %
Ayah
Tidak
sekolah
1 25.0 9 19.2 1 11.1 11 18.3 0.291
SD 1 25.0 18 38.3 3 33.3 22 36.7
SMP 2 50.0 13 27.7 0 0.0 15 25.0
SMA 0 0.0 6 12.8 4 44.4 10 16.7
PT 0 0.0 1 2.1 1 11.1 2 3.3
Ibu
Tidak
sekolah
0 0.0 5 10.6 1 11.1 6 10.0 0.696
SD 3 75.0 21 44.7 3 33.3 27 45.0
SMP 1 25.0 13 27.7 3 33.3 17 28.3
SMA 0 0.0 7 14.9 1 11.1 8 13.3
PT 0 0.0 1 2.1 1 11.1 2 3.3
Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60 100 1)
Uji Kruskal Wallis
19
Tabel 5 menunjukkan bahwa 50% contoh pada kelompok gizi kurus
memiliki ayah berpendidikan SMP. Hasil ini sejalan dengan Kaunang (2016)
bahwa ayah dengan pendidikan rendah memiliki peluang lebih kecil untuk
mendapatkan penghasilan yang cukup sehingga memiliki peluang lebih kecil
untuk hidup dalam lingkungan yang baik dan sehat, serta membeli makanan yang
bergizi.
Proporsi ibu berpendidikan SD dan SMP pada kelompok status gizi kurus
mencapai 100% sedangkan proporsi ibu berpendidikan SD dan SMP pada
kelompok status gizi gemuk mencapai 66.6%. Hal ini sejalan dengan penelitian
Mosley (2009) pendidikan ibu yang rendah dapat menyebabkan anak memiliki
status gizi kurang dan juga status gizi lebih. Tingkat pendidikan juga berkaitan
dengan tingkat pengetahuan yang dimiliki, dimana semakin tinggi tingkat
pendidikan semakin baik pula pemahaman ibu dalam memilih makanan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 38.3% ayah dari contoh kurus dan
44.7% ibu dari contoh normal berpendidikan SD. Menurut Pahlevi (2012) ibu dan
ayah dengan latar pendidikan yang rendah namun rajin mendengar atau melihat
informasi mengenai gizi juga dapat memberikan asupan makanan kepada anak
dengan tepat. Hal inilah yang dapat menyebabkan ibu dengan pendidikan yang
rendah dapat memiliki anak dengan status gizi normal.
Berdasarkan hasil uji Kruskal Wallis, tidak terdapat perbedaan yang
signifikan lama pendidikan ayah dan ibu dari ketiga kelompok (p>0.05), sejalan
dengan penelitian Heryati (2014) bahwa hasil uji mann-whitney menunjukkan
tidak terdapat perbedaan yang signifikan pada pendidikan orang tua contoh
berstatus gizi normal dan gemuk pada anak di bogor. Hal ini tidak sejalan dengan
penelitian Jahri et al. (2015) bahwa anak sekolah dasar dengan pendidikan ayah
dan ibu yang rendah memiliki status gizi kurus dan anak sekolah dasar dengan
pendidikan ayah dan ibu yang tinggi memiliki status gizi normal.
Pendapatan per Kapita
Pendapatan orang tua merupakan penghasilan yang didapatkan orang tua
per bulan untuk menghidupi kebutuhan keluarga. Pendapatan orang tua yang
didapat selama sebulan dikonversi menjadi pendapatan per kapita per bulan.
Pendapatan orang tua dikelompokkan menjadi 2 kategori, yaitu miskin (≤ Rp285
076) dan tidak miskin (> Rp285 076) (BPS 2015). Sebaran pendapatan orang tua
contoh dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Sebaran contoh berdasarkan pendapatan per kapita dan status gizi
Karakteristik Kurus Normal Gemuk Total p-
value1)
n % n % N % n %
Miskin 2 50.0 32 68.1 8 88.9 42 70.0 0.135
Tidak
miskin
2 50.0 15 31.9 1 11.1 18 30.0
Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60 100.0
Median
(min, max)
291 666.7
(150 000,
500 000)
375 000
(120 000,
2 500 000)
400 000
(214 285.7,
3 400 000)
375 000
(120 000,
3 750 000)
1)Uji Kruskal Wallis
20
Tabel 6 menunjukkan bahwa proporsi keluarga miskin dan keluarga tidak
miskin pada contoh kurus adalah sama (50%). Proporsi keluarga miskin pada
contoh normal mencapai 68.1%. Proporsi keluarga miskin pada contoh gemuk
mencapai 88.1% Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa tidak terdapat
perbedaan yang signifikan antara pendapatan per kapita ketiga kelompok
(p>0.05). Hal ini sejalan dengan penelitian Hidayati (2010) yang menunjukkan
tidak ada perbedaan antara status ekonomi keluarga dengan status gizi anak usia
sekolah. Terkadang faktor pendidikan dan pengetahuan gizi menjadi lebih penting
daripada masalah pendapatan. Meskipun pendapatan relatif rendah, tetapi bila
didasari oleh pengetahuan gizi yang memadai, bahan makanan yang memenuhi
kebutuhan gizi masih mungkin didapatkan atau dibeli.
Pekerjaan Orang Tua
Pekerjaan orang tua akan mempengaruhi pendapatan keluarga yang akan
berpengaruh terhadap konsumsi pangan anak. Sebagian besar pekerjaan ayah
contoh adalah nelayan (78.3%) karena lokasi penelitian merupakan daerah pantai.
Menurut Departemen Perikanan dan Kelautan (2002) klasifikasi nelayan dibagi
menjadi 3 yaitu nelayan penuh, nelayan sambilan utama, dan nelayan sambilan
tambahan. Sebagian besar ibu pada contoh tidak bekerja (80%). Sebaran contoh
berdasarkan pekerjaan orang tua dan status gizi dapat dilihat pada tabel 7.
Tabel 7 Sebaran contoh berdasarkan pekerjaan orang tua dan status gizi
Karakteristik Kurus Normal Gemuk Total
n % N % n % n %
Pekerjaan ayah
Bukan nelayan 0 0.0 8 17.0 5 55.6 13 21.7
Nelayan penuh 4 100.0 33 70.2 3 33.3 40 66.7
Nelayan sambilan
utama
0 0.0 1 2.2 0 0.0 1 1.6
Nelayan sambilan
tambahan
0 0.0 5 10.6 1 11.1 6 10.0
Pekerjaan ibu
Tidak bekerja 4 100.0 38 80.9 6 66.7 48 80.0
Bekerja 0 0.0 9 19.1 3 33.3 12 20.0
Total 4 100 47 100.0 9 100 60 100.0
Tabel 7 menunjukkan bahwa 100% pekerjaan ayah pada contoh kurus
adalah nelayan penuh. Data BPS (2012) menunjukkan bahwa 60% penduduk
miskin di Indonesia adalah masyarakat yang hidup dikawasan pesisir pantai.
Kesejahteraan nelayan pada umumnya sangat minim dan identik dengan
kemiskinan. Masalah yang dihadapi masyarakat nelayan sangat kompleks salah
satunya menyangkut penghasilan mereka. Penghasilan keluarga akan turut
menentukan hidangan yang disajikan untuk keluarga sehari-hari, baik kualitas
maupun jumlah makan yang akan menentukan status gizi khususnya anak-anak
mereka.
Temuan ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang menunjukkan 70.2%
ayah contoh normal bekerja sebagai nelayan penuh. Hal ini karena pekerjaan dan
pendapatan bukan satu-satunya faktor yang berhubungan dengan status gizi anak.
21
Hidayati (2010) membuktikan bahwa faktor pendidikan dan pengetahuan gizi
menjadi lebih penting daripada masalah pekerjaan dan pendapatan. Meskipun
pendapatan relatif rendah, tetapi bila didasari oleh pengetahuan gizi yang
memadai, bahan makanan yang memenuhi kebutuhan gizi masih mungkin
didapatkan atau dibeli.
Tabel 7 menunjukkan 55.6% contoh gemuk memiliki ayah yang bekerja
bukan sebagai nelayan. Meskipun tidak bekerja sebagai nelayan, status ekonomi
keluarga contoh gemuk tidak lebih baik dari status ekonomi contoh normal dan
kurus. Hal ini dibuktikan dengan proporsi keluarga miskin pada kelompok gemuk
mencapai 88.9% (Tabel 6). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Noh
Won et al. (2014) anak dengan status gizi lebih/overweight berasal dari keluarga
dengan status pendidikan yang rendah dan pendapatan keluarga yang rendah.
Sebagian besar ibu pada ketiga kelompok tidak bekerja (80%). Proporsi
ibu tidak bekerja pada contoh status gizi kurus mencapai 100%, contoh status gizi
normal 80.9%, dan contoh status gizi gemuk 66.7%. Penelitian ini tidak sejalan
dengan pendapat Khomsan (2012) bahwa seharusnya ibu yang tidak bekerja
memiliki waktu lebih banyak dirumah dan mengasuh serta memperhatikan
konsumsi pangan anak-anaknya. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat faktor lain
yang berhubungan dengan status gizi anak. Menurut Hidayati (2010) terdapat
faktor lain selain status ibu tidak bekerja yang berhubungan dengan status gizi
anak yaitu pendidikan dan pengetahuan gizi ibu. Berdasarkan data hasil penelitian
proporsi ibu yang berpendidikan maksimal SMP mencapai 83.3%, hal ini
menunjukkan bahwa sebagian besar ibu memiliki pendidikan yang rendah yang
dapat berdampak pada status gizi anak.
Terdapat 33.3% ibu yang bekerja pada contoh gemuk. Menurut penelitian
Khomsan (2012) ketika seorang ibu bekerja, pada saat yang sama ibu tersebut
akan kehilangan waktu yang sangat berharga dalam mengasuh anak-anaknya. Hal
ini sesuai dengan hasil penelitian dari Surasmaji (2008) dan Devi (2010) yang
menunjukkan adanya hubungan antara pekerjaan orang tua dengan status gizi
anak. Hal ini disebabkan ibu yang bekerja diluar rumah cenderung tidak memiliki
waktu untuk memperhatikan konsumsi pangan dan status gizi anak-anaknya
Konsumsi Pangan
Konsumsi pangan merupakan informasi tentang jenis dan jumlah pangan
yang dimakan (dikonsumsi) seseorang atau kelompok orang pada waktu tertentu.
Konsumsi pangan merupakan salah satu faktor langsung yang mempengaruhi
status gizi contoh. Pada penelitian ini, konsumsi pangan yang dianalisis dari segi
kuantitas dan kualitasnya. Kuantitas konsumsi pangan dilihat dari rata-rata asupan
serta tingkat kecukupan energi dan zat gizi dilihat dari hasil Semikuantitatif Food
Frequency Questionaires (SQ-FFQ) sedangkan kualitas konsumsi pangan dilihat
dilihat dari data Food Frequency Questionaires (FFQ).
Kuantitas Konsumsi Pangan
Keseluruhan rata-rata asupan energi dan zat gizi contoh kurus lebih rendah
daripada contoh normal dan keseluruhan rata-rata asupan energi dan zat gizi
contoh normal lebih rendah daripada contoh gemuk. Hasil analisis menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan yang signifikan antara asupan energi, protein, lemak,
22
zat besi, dan Zn ketiga kelompok (p < 0.05). Hasil analisis menunjukkan bahwa
tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara asupan zat gizi mikro kalsium,
fosfor, vitamin A, dan vitamin C. Sebaran asupan energi dan zat gizi contoh
berdasarkan status gizi dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Rata-rata asupan energi dan zat gizi contoh berdasarkan status gizi
Energi dan
zat gizi
Asupan p-
value Kurus Normal Gemuk
Energi
(kkal/hari)
936.5(569.4,1464.9) 1962.3(822.3,2558.3) 2400.0(1817.2,2862.4) 0.0001)
Protein
(gram/hari)
33.3±15.3 57.9±16.6 82.9±14.7 0.0002)
Lemak
(gram/hari)
37.2(14.3,37.6) 58.2(22.1,83.0) 98.6(89.9,128.3) 0.0001)
Ca
(mg/hari)
431.2(194.2,666.9) 566.6(136.5,1506.6) 862.3(233.8,1949.5) 0.0811)
Fosfor
(mg/hari)
259.3(181.9,572.3) 578.2(203.3,1555.6) 665.5(246.6,1847.9) 0.0751)
Zat besi
(mg/hari)
9.6±5.8 14.7±5.0 22.1±8.3 0.0002)
Vitamin A
(RE/hari)
249.9(202.2,399.3) 540.0(92.5, 5429.3) 679.7(165.3,1587.4) 0.1471)
Vitamin C
(mg/hari)
17.4(12.2,33.1) 40.7(4.0,185.7) 42.6(14.7,58.9) 0.0931)
Zn
(mg/hari)
3.2±1.4 5.3±1.9 8.4±3.4 0.0052)
1)Uji Kruskal Wallis
2)Uji One Way ANOVA
Berdasarkan uji lanjut Mann whitney/Bonferroni terdapat perbedaan
signifikan antara asupan energi, protein, lemak, dan Zn ketiga kelompok contoh
(kurus, normal, dan gemuk) (p<0.05). Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian Lestari (2014) bahwa berdasarkan uji beda independent sample t-test
terdapat perbedaan yang signifikan (p<0.00) antara asupan energi, protein, dan
lemak pada contoh berstatus gizi normal dan contoh berstatus gizi lebih. Hasil
penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Yulni et al. (2013) ada perbedaan
yang signifikan antara asupan energi dan zat gizi makro pada anak status gizi
kurus dan normal menurut indikator IMT/U pada anak sekolah dasar di wilayah
pesisir kota Makassar. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Sari et
al. (2014) bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara asupan zat gizi
mikro zat besi dan Zn menurut status gizi anak usia 6-12 tahun di Sulawesi.
Berdasarkan uji lanjut Mann whitney tidak terdapat perbedaan yang
signifkan antara asupan zat gizi mikro kalsium, fosfor, vitamin A, dan vitamin C
antara ketiga kelompok (P>0.05). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian
Sari et al. (2014) bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara asupan
zat gizi mikro kalsium, fosfor, vitamin A, dan vitamin C menurut status gizi anak
usia 6-12 tahun di Sulawesi.
23
Tabel 9 Rata-rata tingkat kecukupan energi dan zat gizi contoh berdasarkan status
gizi
Energi dan
zat gizi
Tingkat kecukupan(%) p-value
Kurus Normal Gemuk
Energi 44.6(27.1,69.8) 95.7(39.2,121.8) 139.0(87.8,163.5) 0.0001)
Protein 59.4±27.3 100.5±39.4 131.4±29.7 0.0002)
Lemak 53.2(20.4,53.7) 83.2(31.6,123.9) 147.2(128.4,180.7) 0.0001)
Kalsium 35.9(16.2,55.6) 48.9(11.4,125.6) 71.9(40.0,162.5) 0.0551)
Fosfor 21.6(15.2,47.7) 48.3 (16.9,202.4) 55.6(20.6,154.0) 0.0761)
Zat besi 73.9±44.3 96.2±41.8 119.5±38.3 0.0052)
Vitamin A 41.7(33.7,66.6) 90.0(15.4,1085.9) 95.6(36.0,264.6) 0.1061)
Vitamin C 34.7(24.4,66.3) 77.5(7.9,410.0) 74.9(26.9,117.8) 0.1051)
Zn 23.1±10.2 39.4±13.1 63.2±20.3 0.0002)
1)
Uji Kruskal Wallis 2)
Uji One Way ANOVA
Tabel 9 menunjukkan bahwa rata-rata tingkat kecukupan energi dan zat
gizi contoh kurus lebih rendah daripada contoh normal dan rata-rata tingkat
kecukupan energi dan zat gizi contoh normal lebih kecil daripada contoh gemuk.
Berdasarkan uji lanjut Mann whitney/ Bonferroni terdapat perbedaan signifikan
antara tingkat kecukupan energi, protein, lemak, zat besi, dan Zn contoh kurus dan
normal, contoh normal dan gemuk dan contoh kurus dan gemuk (p<0.05). Hasil
penelitian ini juga sejalan dengan penelitian Yulni et al. (2013) tentang perbedaan
asupan zat gizi makro pada anak sekolah dasar di wilayah pesisir kota Makassar
menunjukkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara tingkat kecukupan
energi dan zat gizi makro pada anak status gizi kurus dan normal menurut
indikator IMT/U. Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan penelitian Sari et al.
(2014) tentang perbedaan asupan zat gizi mikro menurut status gizi anak usia 6-12
tahun berdasarkan tipe daerah di pulau Sulawesi menunjukkan bahwa tidak
terdapat perbedaan yang signifikan antara asupan zat gizi mikro zat besi dan Zn.
Berdasarkan uji lanjut Mann whitney tidak terdapat perbedaan yang
signifkan antara tingkat kecukupan zat gizi mikro kalsium, fosfor, vitamin A, dan
vitamin C antara ketiga kelompok (P>0.05). Hasil penelitian ini sejalan dengan
penelitian Sari et al. (2014) bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara
tingkat kecukupan zat gizi mikro kalsium, fosfor, vitamin A, dan vitamin C
menurut status gizi anak usia 6-12 tahun di Sulawesi. Tingkat kecukupan zat gizi
berhubungan dengan asupan zat gizi. Sesuai dengan metode dalam penelitian ini
bahwa tingkat kecukupan energi dan zat gizi didapat dengan membagi asupan
energi dan zat gizi dengan angka kecukupan zat gizi (AKG) kemudian dikali
100%.
24
Tabel 10 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi, zat gizi, dan
status gizi
Kategori Kurus Normal Gemuk
n % n % N %
Tingkat kecukupan
energi
Defisit berat 4 100.0 9 19.1 0 0.0
Defisit sedang 0 0.0 4 8.5 0 0.0
Defisit ringan 0 0.0 4 8.5 0 0.0
Normal 0 0.0 29 61.7 5 55.6
Lebih 0 0.0 1 2.1 4 44.4
Tingkat kecukupan
protein
Defisit berat 4 100.0 8 17.0 0 0.0
Defisit sedang 0 0.0 5 10.6 0 0.0
Defisit ringan 0 0.0 6 12.8 1 11.1
Normal 0 0.0 15 31.9 2 22.2
Lebih 0 0.0 13 27.7 6 66.7
Tingkat kecukupan
lemak
Defisit berat 4 100.0 11 23.4 0 0.0
Defisit sedang 0 0.0 9 19.1 0 0.0
Defisit ringan 0 0.0 14 29.8 0 0.0
Normal 0 0.0 12 25.5 0 0.0
Lebih 0 0.0 1 2.1 9 100.0
Tingkat kecukupan
kalsium
Kurang 4 100.0 37 78.7 7 77.8
Cukup 0 0.0 10 21.3 2 22.2
Tingkat kecukupan
fosfor
Kurang 4 100.0 36 76.6 8 88.9
Cukup 0 0.0 11 22.4 1 20.0
Tingkat kecukupan zat
besi
Kurang 4 100.0 18 38.3 1 11.1
Cukup 0 0.0 29 61.7 8 88.9
Tingkat kecukupan
vitamin A
Kurang 4 100.0 18 38.3 3 33.3
Cukup 0 0.0 29 61.7 6 66.7
Tingkat kecukupan
vitamin C
Kurang 4 100.0 23 48.9 5 55.6
Cukup 0 0.0 24 51.1 4 44.4
Tingkat kecukupan Zn
Kurang 4 100.0 46 97.9 8 88.9
Cukup 0 0.0 1 2.1 1 11.1
25
Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh contoh kurus mengalami
defisit berat energi, protein, dan lemak (100%). Sebagian besar contoh normal
memiliki tingkat kecukupan energi normal (67%), tingkat kecukupan protein
normal (31.9%), dan tingkat kecukupan lemak defisit ringan (29.8%). Sebagian
besar contoh gemuk memiiliki tingkat kecukupan energi normal (55.4%), tingkat
kecukupan protein lebih (66.7%), dan tingkat kecukupan lemak lebih (100%).
Secara keseluruhan tingkat kecukupan energi dan zat gizi makro contoh kurus
lebih kecil dibandingkan contoh normal dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi
makro contoh normal lebih kecil dibandingkan contoh gemuk.
Hal ini didukung dengan data frekuensi makan contoh. Contoh kurus
mengonsumsi nasi (14x/minggu) lebih sedikit dibandingkan contoh normal dan
gemuk (23x/minggu). Data lain yang mendukung adalah terdapat perbedaan yang
signifikan antara konsumsi roti contoh pada kelompok kurus, normal, dan gemuk
(p>0.05). Berdasarkan data FFQ diperoleh data bahwa rata-rata konsumsi/minggu
kacang hijau, susu kental manis, salak, dan coklat antara contoh kurus lebih
sedikit daripada contoh normal dan rata-rata konsumsi/minggu kacang hijau, susu
kental manis, salak, dan coklat contoh normal lebih sedikit daripada contoh
gemuk walaupun tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara konsumsi
pangan tersebut pada ketiga kelompok. Hasil penelitian menujukkan bahwa
meskipun tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara konsumsi/ minggu
beberapa kelompok pangan, tetapi jumlah gram satu kali makan antara contoh
kurus lebih sedikit dibandingkan dengan jumlah gram sekali makan contoh
normal dan jumlah gram satu kali makan antara contoh normal lebih sedikit
dibandingkan dengan jumlah gram sekali makan contoh gemuk.
Hasil penelitian menunjukkan sebagian besar contoh termasuk dalam
kategori kurang mineral kalsium, fosfor, dan Zn (Tabel 10). Proporsi contoh pada
kelompok kurus yang kekurangan kalsium, fosfor, dan Zn mencapai 100%.
Proporsi contoh pada kelompok normal yang kekurangan kalsium (78.7%),
fosfor(76.6%), dan Zn (97.9%). Proporsi contoh pada kelompok gemuk yang
kekurangan kalsium (77.7%), fosfor (88.9%), dan Zn (88.9%).
Hal ini didukung dengan data kualitas konsumsi pangan contoh. Menurut
Sagoyo (2005), susu pabrik yaitu susu cair (904 mg/100 gram), susu kental manis
(275 mg/100 gram), keju (777 mg/100 gram), ikan teri (500 mg/100 gram), dan
bayam (257 mg/100/gram) memiliki kadar kalsium yang tinggi. Menurut Sagoyo
(2005), pada umumnya bahan makanan yang mengandung banyak kalsium
merupakan juga sumber fosfor, seperti susu cair(694 mg/100 gram), susu kental
manis (209 mg/100 gram), keju (338 mg/100 gram), dan ikan teri (500 mg/100
gram). Berdasarkan data FFQ, konsumsi susu cair, susu kental manis, dan keju
setiap minggu contoh pada ketiga kelompok <4 kali/minggu. Bahkan pada contoh
kurus hanya mengonsumsi <2 kali/minggu. Konsumsi bayam pada keseluruhan
contoh< 2 kali/minggu. Berdasarkan analisis data hasil FFQ, ikan teri bukan
merupakan pangan yang sering dikonsumsi contoh. Pangan sumber Zn dengan bioavaibilitas tinggi berasal dari daging
ayam(1.9 mg/100 gram) dan daging sapi (4.1 mg/100 gram). Kedua pangan ini
bukan merupakan pangan yang sering dikonsumsi oleh contoh pada ketiga
kelompok. Hampir keseluruhan contoh dalam penelitian ini mengalami
kekurangan Zn diduga karena underestimate. Belum semua jenis pangan diketahui
26
kandungan seng sehingga perhitungan asupan dan tingkat kecukupan seng hanya
berdasarkan pangan yang dikonsumsi contoh yang telah diketahui nilai kandungan
seng. Hal ini ditemukan pula oleh Yasmin et al. (2014).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 100% contoh kurus mengalami
defisiensi besi dan vitamin A, 61.7% contoh normal cukup besi dan vitamin A,
dan 88.9% contoh gemuk cukup zat besi serta 66.7% contoh gemuk cukup
vitamin A. Asupan zat besi pada contoh dalam penelitian ini banyak didapat dari
tempe (10.5 mg/100 gram), telur ayam rebus (2.7 mg/100 gram), telur ayam
ceplok (9.2 mg/100 gram), sosis (1.1 mg/100 gram), dan udang barong (8 mg/100
gram). Asupan zat besi yang kurang pada contoh kelompok kurus karena asupan
zat besi paling banyak di dapat hanya dari tempe dan konsumsi telur ayam yang
direbus. Sebagian besar contoh normal dan contoh gemuk selain mendapatkan
asupan zat besi dari tempe juga mendapatkan asupan zat besi dari konsumsi telur
ayam ceplok dan udang barong. Udang barong hanya dikonsumsi sebagian kecil
contoh normal dan sebagian besar contoh gemuk sehingga bukan termasuk
kategori pangan yang paling banyak dikonsumsi oleh ketiga kelompok.
Berdasarkan Tabel 13 pada tabel kualitas konsumsi pangan, terlihat bahwa rata-
rata konsumsi sosis/minggu pada contoh kurus lebih sedikit daripada contoh
kelompok normal, dan rata-rata konsumsi sosis/minggu contoh normal lebih
sedikit daripada contoh gemuk.
Asupan vitamin A contoh pada penelitian ini banyak didapat dari
konsumsi minyak goreng. Hampir keseluruhan contoh terutama contoh normal
dan contoh gemuk yang mengonsumsi pangan nabati dan hewani dengan
digoreng. Secara keseluruhan, rata-rata konsumsi pangan nabati dan
hewani/minggu contoh kurus lebih rendah daripada contoh normal dan contoh
gemuk. Hal ini yang menyebabkan keseluruhan contoh kurus mengalami
kekurangan vitamin A.
Kualitas Konsumsi Pangan
Kualitas konsumsi pangan pada penelitian ini dilihat dari Food Frequency
Questionaires (FFQ). Sebagian besar contoh kurus mengonsumsi pangan/minggu
lebih sedikit daripada contoh normal. Sebagian besar contoh normal mengonsumsi
pangan/minggu lebih sedikit daripada contoh gemuk. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan sebagian besar
konsumsi pangan/minggu antara ketiga kelompok. Hanya beberapa konsumsi
pangan/minggu yang menunjukkan perbedaan yang signifkan antara ketiga
kelompok yaitu roti, bayam, dan salak, sedangkan terdapat perbedaan antara
konsumsi telur ayam/minggu kelompok normal dan gemuk (p=0.003) serta
konsumsi telur/minggu contoh kurus dan gemuk (p=0.011).
Tabel 11 menunjukkan bahwa distribusi kelompok pangan pada makanan
pokok yang sering dikonsumsi pada kedua kelompok contoh adalah nasi, roti, dan
biskuit. Protein nabati yang sering dikonsumsi adalah tahu, tempe, dan kacang
hijau. Protein hewani yang sering dikonsumsi adalah sosis, ikan basah, dan
telur.Sayur yang sering dikonsumsi adalah bayam dan timun sdangkan buah yang
sering dikonsumsi adalah alpukat, apel, dan salak. Susu yang sring dikonsumsi
adalah susu cair, kental manis, dan olahan susu yaitu keju. Jajanan yang sering
dikonsumsi adalah cilok, pisang goreng, dan coklat sedangkan minuman yang
27
sering dionsumsi adalah teh kemasan. Sebaran contoh berdasarkan rata-rata
frekuensi konsumsi pangan dan status gizi dapat dilihat pada tabel 11.
Tabel 11 Rata-rata frekuensi konsumsi pangan berdasarkan status gizi
Kelompok pangan Frekuensi konsumsi (kali/minggu) p-
value1)
Kurus Normal Gemuk
Makanan pokok
Nasi 15.0(15.0,23.0) 23.0(0.0,30.0) 23.0(15.0,23.0) 0.151
Roti 1.0(0.0,1.0) 3.0(0.0,23.0) 8.0(0.0,15.0) 0.016
Biskuit 1.0(0.0,23.0) 3.0(0.0,23.0) 2.0(0.0,23.0) 0.787
Protein nabati
Tahu 19.0(3.0,30.0) 14.0(0.0,30.0) 18.0(2.0,23.0) 0.214
Tempe 19.0(3.0,23.0) 15.0(0.0,38.0) 15.0(1.0,30.0) 0.668
Kacang hijau 0.0(0.0,0.0) 1.0(0.0,15.0) 2.0(0.0,4.0) 0.149
Protein hewani
Sosis 2.0(0.0,15.0) 2.0 (0.0,15.0) 5.5(3.0,9.0) 0.306
Ikan basah 2.0(0.0,4.0) 2.0(0.0,15.0) 1.0(0.0,8.0) 0.561
Telur 2.0(0.0,3.0) 2.0 (0.0,23.0) 8.0 (1.0,15.0) 0.007
Sayur
Bayam 0.5(0.0,1.0) 1.0 (0.0,23.0) 2.0(1.0,8.0) 0.029
Timun 1.0 (1.0,2.0) 2.0(0.0,15.0) 2.0(0.0,15.0) 0.730
Buah
Alpukat 0.0(0.0,1.0) 1.0(0.0,15.0) 1.0(0.0,15.0) 0.075
Apel 1.0(0.0,2.0) 1.0(0.0,5.0) 1.0(0.0,8.0) 0.575
Salak 0.0(0.0,0.0) 1.0(0.0,23.0) 2.0(0.0,3.0) 0.026
Susu
Susu cair 1.0(0.0,8.0) 1.0(0.0,15.0) 0.0(0,0,3.0) 0.249
Susu kental manis 0.0(0.0,0.0) 1.0(0.0,15.0) 3.0(0.0,15.0) 0.070
Keju 0.5(0.0,2.0) 1.0(0.0,15.0) 3.0(0.0,15.0) 0.625
Jajanan
Cilok 3.0(0.0,8.0) 2.0(0.0,15.0) 3.0(0.0,15.0) 0.940
Pisang goreng 1.0(0.0,4.0) 1.0(0.0,30.0) 1.0(0.0,8.0) 0.492
Coklat 0.0(0.0,8.0) 2.0(0.0,15.0) 4.0(0.0,8.0) 0.210
Minuman
Teh kemasan 8.0(0.0,8.0) 1.0(0.0,15.0) 5.0(0.0,15.0) 0.325 1)
Uji Kruskal Wallis
Rata-rata konsumsi nasi pada contoh gemuk 3-4x/hari lebih sering dari
contoh kurus 2x/hari meskipun tidak terdapat perbedaan yang signifikan konsumsi
nasi/minggu antara ketiga kelompok. Terdapat perbedaan yang signifikan
konsumsi roti/minggu pada ketiga kelompok status gizi (p<0.05). Roti yang sering
dikonsumsi oleh contoh adalah roti bakar dengan harga murah yang dijual di
sekolah sebagai makanan jajanan mereka.
Jenis protein nabati yang sering dikonsumsi adalah tahu dan tempe. Rata-
rata konsumsi tahu contoh kurus (12x/minggu) lebih rendah daripada rata-rata
konsumsi tahu contoh normal (14x/minggu) dan rata-rata konsumsi tahu contoh
pada kelompok normal lebih rendah daripada rata-rata konsumsi tahu contoh
gemuk (18x/minggu) meskipun tidak terdapat perbedaan yang signifikan
28
konsumsi tahu/minggu pada ketiga kelompok. Konsumsi tahu dan tempe sebagai
lauk di rumah dapat dikaitkan dengan faktor pendapatan keluarga yang rendah
sehingga dapat menurunkan kuantitas dan kualitas makanan dalam pemilihan
pangan. Ketiga kelompok contoh memiliki proporsi keluarga yang tergolong
miskin dalam jumlah yang cukup besar, yaitu 50% pada contoh kurus, 68.1%
pada contoh normal, dan 88.9% pada contoh gemuk. Hal tersebutlah yang
menyebabkan kemungkinan terjadinya perilaku seringnya mengonsumsi tahu dan
tempe.
Pangan sumber protein hewani yang sering dikonsumsi contoh adalah
sosis, telur ayam, dan ikan. Terdapat perbedaan yang signifkan konsumsi telur
ayam pada ketiga kelompok. Berdasarkan uji lanjut Mann whitney, terdapat
perbedaan yang signifikan antara jumlah konsumsi telur/minggu contoh normal
dan gemuk serta contoh kurus dan gemuk (p<0.05). Tidak terdapat perbedaan
yang signifikan antara konsumsi telur ayam/minggu antara contoh kurus dan
normal (p>0.05).
Pangan sumber serat seperti buah dan sayur jarang dikonsumsi oleh contoh
pada penelitian ini(<2x/minggu). Hal ini sejalan dengan data hasil Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas 2007) bahwa sebanyak 93.5% anak usia 10 tahun ke
atas tidak mengkonsumsi buah dan sayur. Menurut Soekirman (2006) anak usia
sekolah dasar kurang konsumsi makanan berserat seperti sayur maupun buah.
Keseluruhan contoh juga jarang mengonsumsi susu dan olahannya. Tabel 11
menunjukkan bahwa kelompok gemuk mengonsumsi susu dan olahannya 3
kali/minggu lebih sering daripada contoh normal dan kurus (1x/minggu). Hal ini
didukung dengan data banyak nya contoh pada ketiga kelompok yang kurang kalsium
dan fosfor (Tabel 10).
Berdasarkan tabel 11, jajanan yang sering dikonsumsi contoh adalah cilok,
pisang goreng, coklat, dan teh kemasan. Rata-rata konsumsi jajanan cilok/minggu,
pisang goreng/minggu, dan teh kemasan/minggu pada contoh kurus lebih banyak
daripada rata-rata konsumsi cilok dan teh kemasan pada contoh normal dan
gemuk walaupun tidak terdapat perbedaan yang signifikan konsumsi ketiga
jajanan pada ketiga kelompok. Rata-rata konsumsi jajanan coklat/minggu pada
contoh kurus lebih sedikit dibandingkan rata-rata konsumsi jajanan coklat/minggu
pada contoh normal dan rata-rata konsumsi jajanan coklat/minggu pada contoh
normal lebih sedikit dibandingkan rata-rata konsumsi jajanan coklat/minggu pada
contoh gemuk.
Status Kesehatan
Status kesehatan anak meliputi ada tidaknya penyakit yang dialami anak
dalam satu bulan terakhir, serta lama dan frekuensi sakitnya. Kemudian, data
frekuensi dan lama sakit dikategorikan menurut nilai median yang telah dihitung.
Selama 1 bulan terakhir proporsi keseluruhan contoh yang mengalami sakit
hampir sama dengan yang tidak mengalami sakit. Selama satu bulan terakhir,
contoh dengan status gizi kurus dan gemuk lebih banyak yang mengalami sakit
dalam satu bulan terakhir jika dibandingkan dngan contoh normal. Sebaran contoh
berdasarkan kejadian sakit dan status gizi dapat dilihat pada tabel 12.
29
Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan kejadian sakit dan status gizi
Kategori Kurus Normal Gemuk Total
n % n % N % n %
Sakit 4 100.0 23 48.9 8 88.9 35 58.3
Tidak
sakit
0 0.0 24 51.1 1 11.1 25 41.7
Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60.0 100.0
Kejadian sakit pada contoh kurus mencapai 100%, kejadian sakit pada
contoh gemuk mencapai 88.9%, dan kejadian sakit pada contoh normal 48.9%.
Rata-rata kejadian sakit pada contoh kurus dan gemuk lebih besar daripada rata-
rata kejadian sakit pada contoh normal. UNICEF (2001) menyatakan bahwa
penyakit infeksi merupakan salah satu faktor langsung yang mempengaruhi status
gizi.
Jenis penyakit yang paling sering diderita oleh ketiga kelompok contoh
adalah batuk, pilek, dan demam. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 100%
contoh kurus mengalami kejadian sakit selama satu bulan terakhir. Hasil ini
sejalan dengan penelitian Pahlevi (2012) bahwa timbulnya gizi kurang bukan saja
karena makanan yang kurang tetapi juga karena penyakit. Anak yang mendapat
makanan yang cukup baik tetapi sering diserang diare atau demam, akhirnya dapat
menderita gizi kurang. Sebaliknya anak yang makan tidak cukup baik maka daya
tahan tubuhnya (imunitas) dapat melemah sehingga mudah diserang penyakit
infeksi, kurang nafsu makan dan akhirnya mudah terkena gizi kurang Sehingga
disini terlihat interaksi antara konsumsi makanan yang kurang dan infeksi
merupakan dua hal yang saling mempengaruhi.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa 88.9% contoh gemuk
mengalami kejadian sakit selama satu bulan terakhir. Hasil ini sejalan dengan
penelitian Karlsson et al. (2010) bahwa gizi lebih (overweight dan obese)
berhubungan signifikan dengan peningkatan resiko dan keparahan dari beberapa
penyakit infeksi baik dari virus maupun bakteri. Menurut Sheridan (2012) respon
antibodi suboptimal terhadap berbagai vaksinasi ditemukan pada seseorang yang
overweight. Penemuan ini membuktikan bahwa kelebihan berat badan dapat
berakibat pada ketidakseimbangan respon imune. Belum ada penelitian lebih
lanjut tentang mekanisme ini.
Tabel 12 menunjukkan bahwa sebanyak 48.9% contoh normal mengalami
sakit dalam 1 bulan terakhir. Menurut Bennett (2015) status gizi bukanlah satu-
satunya variabel yang berhubungan dengan status infeksi pada anak. Faktor lain
yang berhubungan dengan status infeksi pada anak usia sekolah adalah konsumsi
pangan dan air, praktek higieni dan sanitasi, status sosial ekonomi, aktivitas fisik,
lingkungan tempat tinggal, interaksi dengan hewan peliharaan dan sebagainya.
Kondisi pemukiman penduduk di sekitar pesisir pantai Puger sangat kumuh
dengan kepadatan penduduk yang tinggi. Hal ini sejalan dengan pendapat
Supriyyanto (2000) bahwa kondisi permukiman pesisir memiliki permasalahan
berupa permukiman yang cenderung rapat dan kumuh kondisi lingkungan yang
kurang sehat, dan kurangnya sarana dan prasarana serta keadaan perekonomian
masyarakat yang kurang dapat berkembang.
30
Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan frekuensi, lama sakit, dan status gizi
Kateg
ori
Kurus Normal Gemuk p-value1)
Frekuen
si sakit
Lama
sakit
Frekuens
i sakit
Lama
sakit
Frekuen
si sakit
Lama sakit Frekue
nsi
sakit
Lam
a
saki
t n % n % n % n % n % n %
Renda
h
0 0.0 0 0.0 3
8
80.9 37 78.7 1 11.1 1 11.1 0.000 0.00
0
Tinggi 4 100.
0
4 100.
0
9 19.1 10 21.3 8 88.9 8 88.9
Total 4 100.
0
0 0.0 4
7
100.
0
47 100 9 100.
0
9 100
Rata-
rata
2.5(2.0,3.
0)
5.0(5.0,7.
0)
1.0(0.0,6.
0)
2.0(0.0,19.
0)
4.0(0.0,8.
0)
12.0(0.0,20,
0)
1)Uji Kruskal Wallis
Hasil uji hubungan Spearman menunjukkan terdapat hubungan signifikan
positif dan hubungan kuat antara frekuensi dan lama sakit contoh (p= 0.000, r=
0.946). Artinya semakin tinggi frekuensi sakit maka semakin lama jangka waktu
sakit. Rata-rata frekuensi dan lama sakit contoh kurus dan gemuk lebih lama
dibandingkan dengan rata-rata frekuensi dan lama sakit contoh normal.
Berdasarkan uji lanjut Mann whitney, terdapat perbedaan signifikan antara
frekuensi dan lama sakit contoh kurus dan normal serta contoh normal dan gemuk
(P<0.05). Tetapi tidak terdapat perbedaan yang signifikan frekuensi dan lama
sakit contoh kurus dan gemuk (p>0.05) yang didukung dengan data pada tabel 14
bahwa seluruh contoh kurus (100%) dan sebagian besar contoh gemuk (88.9%)
sama-sama mengalami sakit dalam satu bulan terakhir.
Food Coping Strategy
Taraf 1 food coping strategy meliputi mencari pekerjaan tambahan,
perubahan konsumsi pangan (membeli makanan dengan harga yang lebih murah
dan mengurangi porsi makan), dan penyegaran akses pangan (menerima
BLT/raskin dan menerima bantuan makanan dari saudara/tetangga) (Mutiara
2008). Tabel sebaran contoh berdasarkan perilaku food coping strategy dan status
gizi dapat dilihat pada Tabel 1 pada lampiran 1. Sebagian besar orang tua contoh
kurus (63.3%) tidak pernah mencari pekerjaan sampingan jika mengalami
kekurangan pangan. Kadang-kadang membeli makanan yang lebih murah ketika
kekurangan pangan lebih banyak dilakukan oleh keluarga contoh kurus (75%)
daripada keluarga contoh normal (46.8%) dan keluarga contoh gemuk (33.3%).
Hal ini sejalan dengan penelitian Mardiharini (2002) yang mengatakan hampir
setiap hari keluarga miskin pedesaan dan perkotaan membeli makanan yang lebih
murah harganya. Tanziha (2006) menyebutkan bahwa strategi food coping yang
dilakukan saat terjadi kekurangan pangan dalam keluarga salah satunya adalah
membeli makanan yang nilainya lebih rendah (tadinya nasi menjadi singkong).
Kadang-kadang, 50% keluarga contoh kurus mengurangi porsi makan
keluarga ketika terjadi kekurangan pangan sedangkan 55.3% keluarga contoh
normal dan 100% keluarga contoh gemuk tidak pernah mengurangi porsi makan
31
keluarga ketika terjadi kekurangan pangan. Sebagian besar orang tua contoh
(78.3%) tidak pernah mendapatkan BLT/raskin dari pemerintah, padahal hasil
penelitian menujukkan bahwa 70% keluarga contoh merupakan keluarga miskin.
Keadaan ini sesuai dengan Suhartiningtyas (2005) yang mengungkapkan bahwa
subsidi selama ini tidak dinikmati oleh keluarga miskin. Sebagian besar keluarga
contoh (75%) tidak pernah menerima bantuan makanan dari saudara/tetangga.
Berdasarkan hasil uji lanjut Mann Whitney, terdapat perbedaan signifikan perilaku
taraf 1 antara contoh normal dan gemuk (p=0.008) dan contoh kurus dan gemuk
(p=0.033), tetapi tidak terdapat perbedaan yang signifikan perilaku taraf 1 antara
contoh kurus dan normal (p=0.597).
Taraf 2 food coping strategy meliputi penyegaran akses terhadap
pembelian tunai (menjual aset yang tidak produktif, menjual aset produktif dan
meminjam uang) perubahan distribusi makan, mengurangi frekuensi makan
sehari, dan melewati hari-hari tanpa makan. Sebagian besar contoh tidak pernah
melakukan penjualan aset tidak produktif (70%) dan aset produktif (80%) ketika
terjadi kekurangan pangan. Sebanyak 75% keluarga contoh kurus dan 31.9%
contoh normal kadang-kadang meminjam uang ketika kekurangan pangan.
Sebanyak 55.6% keluarga contoh gemuk tidak pernah meminjam uang ketika
kekurangan pangan. Sebanyak 71.7% keluarga contoh tidak pernah melakukan
pengurangan frekuensi makan dan 80.0% keluarga contoh tidak pernah melewati
hari-hari tanpa makan ketika kekurangan pangan. Hasil uji beda Kruskal Wallis
menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan perilaku taraf 2
antara ketiga kelompok contoh (p>0.05).
Taraf 3 food coping strategy adalah langkah drastis yang dilakukan
keluarga untuk mengatasi kekurangan pangan yang meliputi migrasi/pindah
tempat, menyerahkan anak ke saudara, dan bercerai. Sebagian besar contoh tidak
melakukan migrasi/pindah tempat (90%), tidak menyerahkan anak pada saudara
(91.7%) dan tidak bercerai (96.7%). Hasil uji beda Kruskal Wallis menunjukkan
bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan perilaku taraf 3 antara ketiga
kelompok contoh (p>0.05).
Skor food coping strategy dapat dicari dengan cara setiap taraf yang
dilakukan diberi skor, dengan menjumlahkan hasil kali tiap taraf dengan bobot
yang berbeda pada tiap tarafnya (Usfar 2002). Skor food coping strategy yang
telah didapat, dapat digunakan untuk menentukan ringan/beratnya kekurangan
pangan yang diderita keluarga contoh. Tabel 14 menunjukkan sebaran contoh
berdasarkan kekurangan pangan dan status gizi.
Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan tingkat food coping strategy dan status gizi
Tingkat food
coping strategy
Kurus Normal Gemuk Total p-
value1)
N % n % N % n %
Rendah (0.0-34.6) 0 0.0 12 25.5 5 29.5 17 28.3 0.000
Sedang (34.7-
69.3)
4 100.0 34 72.3 4 44.4 42 70.0
Tinggi (69.4-
104.0)
0 0.0 1 2.1 0 0.0 1 1.7
Rata-rata±SD 43.8±7.0 41.4±10.3 35.4±7.7 40.7±9.9
Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60 100.0 1)
Uji one way ANOVA
32
Food coping strategy adalah bentuk perubahan dan upaya-upaya yang
dilakukan rumahtangga untuk memenuhi kebutuhan konsumsi pangan. Semakin
tinggi skor food coping strategy maka semakin berat keluarga mengalami
kekurangan pangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 70% keluarga contoh
merupakan keluarga miskin. Rata-rata skor food coping strategy keluarga contoh
kurus lebih besar daripada rata-rata skor food coping strategy contoh normal dan
rata-rata skor food coping strategy keluarga contoh normal lebih besar daripada
rata-rata skor food coping strategy contoh gemuk. Artinya keluarga contoh kurus
lebih sering melakukan strategi food coping daripada keluarga contoh normal dan
keluarga contoh normal lebih sering melakukan strategi food coping daripada
contoh gemuk.
Hasil perhitungan skor food coping strategy menunjukkan 70% contoh
memiliki keluarga yang mengalami kekurangan pangan sedang. Menurut hasil
penelitian Tanziha et al. (2010) menunjukkan adanya hubungan positif (p=0.000
r=0.483) antara skor food coping strategy dengan intensitas kerawanan pangan.
Maxweel (1999) dalam Tanziha et al. (2010) menyebutkan bahwa food coping
strategy dapat dijadikan indikator kerawanan pangan. Semakin tinggi skor food
coping strategy, semakin tinggi tingkat kerawanan pangan. Semakin parah
kerawanan pangan menunjukkan keluarga semakin tidak mampu memenuhi
kebutuhan pangan. Kecukupan pangan berhubungan dengan tingkat kecukupan
zat gizi sangat berhubungan dengan status gizi anak. Berdasarkan uji lanjut
Tamhane, terdapat perbedaan signifikan antara food coping strategy contoh kurus
dan gemuk (p=0.045), contoh normal dan gemuk (p=0.000). Tetapi tidak terdapat
perbedaan antara food coping strategy contoh kurus dan normal (p>0.05)
Prestasi akademik
Prestasi akademik adalah gambaran mengenai penguasaan anak terhadap
materi pelajaran di sekolah. Prestasi akademik diukur melalui rata-rata nilai UTS
dan UAS dari mata pelajaran Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, dan IPS. Rata-
rata nilai tersebut dikelompokkan ke dalam kategori kurang, cukup, lebih dari
cukup, dab baik (Depdiknas 2008). Sebaran contoh berdasarkan prestasi akademik
dan status gizi dapat dilihat pada Tabel 15.
Tabel 15 Sebaran contoh berdasarkan prestasi akademik dan status gizi
Kategori Kurus Normal Gemuk Total p-
value1)
N % n % n % N %
Kurang (<60) 4 100.0 22 46.8 8 88.9 34 56.7 0.027
Cukup (60-
69)
0 0.0 11 23.4 1 11.1 12 20.0
Lebih dari
cukup (70-
79)
0 0.0 10 21.3 0 0.0 10 16.6
Baik (>80) 0 0.0 4 8.5 0 0.0 4 6.7
Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60 100.0
Rata-rata±SD 44.6±3.9 60.3±13.4 52.6±7.7 58.1±13.0 1)
Uji Kruskal Wallis
33
Rata-rata nilai UTS dan UAS keempat mata pelajaran pada contoh kurus
lebih rendah daripada rata-rata nilai UTS dan UAS keempat mata pelajaran pada
contoh normal. Berdasarkan uji lanjut Mann whitney, terdapat perbedaan
signifikan antara prestasi akademik contoh kurus dan normal (p<0.05). Hasil
penelitian ini sejalan dengan pendapat Judarwanto (2004) bahwa berat badan yang
kurang karena kurangnya asupan gizi biasanya disertai dengan kekurangan
vitamin, mineral dan zat gizi lainnya dapat mengakibatkan prestasi akademik
berkurang.
Rata-rata nilai UTS dan UAS keempat mata pelajaran pada kelompok
gemuk lebih rendah daripada rata-rata nilai UTS dan UAS keempat mata pelajaran
pada kelompok normal. Berdasarkan uji lanjut Mann whitney terdapat perbedaan
yang signifikan prestasi akademik contoh normal dan gemuk (p>0.05). Hasil
penelitian ini sejalan dengan pendapat Relly et al. (2007) bahwa kegemukan pada
anak usia 6-12 tahun juga dapat menurunkan tingkat kecerdasan karena aktivitas
dan kreativitas anak menjadi menurun dan cenderung malas akibat kelebihan berat
badan. Seluruh contoh kurus (100%) dan sebagian besar contoh gemuk (88.9%)
memiliki persamaan rata-rata nilai yang kurang. Hal ini dibuktikan dengan hasil
uji beda Mann Whitney bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara
rata-rata nilai UTS dan UAS keempat mata pelajaran contoh kurus dan gemuk
(p>0.05).
Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 46.8% memiliki nilai rata-rata
kurang dan 23.4% contoh normal memiliki nilai rata-rata cukup. Menurut Pahlevi
(2012) status gizi bukanlah satu-satunya faktor yang dapat mempengaruhi prestasi
akademik anak. Prestasi akademik dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yakni
individu anak, keluarga, dan lingkungan pembelajaran di sekolah. Motivasi
belajar dan potensi akademik adalah faktor yang berasal dari individu anak.
Faktor dari luar berasal dari lingkungan pembelajaran dan keluarga yang
diterapkan melalui pola asuh orangtua. Pola asuh orang tua terdiri dari gaya
pengasuhan dan fasilitas belajar. Motivasi belajar pada diri anak dipengaruhi oleh
karakteristik anak, yakni umur, jenis kelamin, dan status gizi. Sementara itu, gaya
pengasuhan dan fasilitas belajar yang disediakan orang tua dipengaruhi oleh
karakteristik individu dan keluarga.
Beberapa pola asuh orang tua pada anak yakni secara otoriter, permisif
dan demokratis. Pola asuh orang tua berpengaruh terhadap prestasi akademik anak
(Gunarsa 2006) Sebaran contoh berdasarkan pola asuh orang tua dan status gizi
dapat dilihat pada Tabel 16.
Tabel 16 Sebaran contoh berdasarkan pola asuh orangtua dan prestasi akademik
Pola asuh
orangtua
kurang (<60) Cukup (60-69) Lebih dari cukup
(70-79)
Baik (>80)
n % n % n % N %
Otoriter 7 20.6 2 16.7 1 10.0 1 25.0
Demokratis 15 44.1 10 83.3 9 90.0 3 75.0
Permisif 12 35.3 0 0.0 0 0.0 0 0.0
Total 34 100.0 12 100.0 10 100.0 4 100.0
Tabel 16 menunjukkan bahwa pola asuh demokratis lebih banyak
diterapkan oleh keluarga anak dengan nilai cukup (83.3%) dan lebih dari cukup
34
(90.0%) daripada keluarga anak dengan nilai kurang (44.1%). Menurut Suherman
(2000) anak dalam keluarga yang bersifat demokratis akan mempunyai tanggung
jawab yang besar terutama dalam menyelesaikan tugas-tugas pelajaran di sekolah,
mampu berinisiatif dan kreatif serta mempunyai konsep diri yang positif yang
akan berpengaruh positif pula pada prestasi akademik anak. Gunarsa (2006)
menyebutkan bahwa cara demokratis merupakan cara yang paling ideal untuk
diterapkan dalam pengasuhan belajar anak.
Pola asuh otoriter (20.6%) dan permisif (35.3%) banyak diterapkan oleh
keluarga anak dengan nilai kurang. Menurut Slameto (2007), Pola asuh otoriter
dan permisif berhubungan negatif dengan prestasi akademik. Orang tua dengan
pola asuh otoriter akan menghambat daya kreatifitas dan keberanian anak untuk
mengambil keputusan serta tidak dapat mencetuskan ide-ide. Selain pola asuh
otoriter, pola asuh permisif pada umumnya merugikan perkembangan anak. Salah
satu akibat dari pola asuh permisif adalah anak tidak mengenal disiplin. Jika hal
tersebut terbawa dalam kebiasaan belajar maka anak tidak disiplin dalam belajar
dan dalam menyelesaikan tugas-tugas di sekolah yang akan berakibat pada
prestasi akademik yang tidak baik.
Hubungan antar Variabel
Gibson (2005) menyatakan bahwa status gizi merupakan keadaan
kesehatan tubuh seseorang atau sekelompok orang yang diakibatkan oleh
konsumsi, penyerapan (absorbsi), dan utilitas zat gizi makanan. Berdasarkan hasil
studi literatur, terdapat beberapa variabel yang berhubungan langsung maupun
tidak langsung terhadap status gizi (IMT/U) anak.
Hasil penelitian Pahlevi (2012) menunjukkan bahwa tingkat sosial
ekonomi meliputi pendidikan, pekerjaan orang tua, besar keluarga, pendapatan per
kapita keluarga berhubungan dengan status gizi pada anak. Hasil penelitian
Pahlevi (2012) juga menemukan bahwa tingkat konsumsi energi, zat gizi makro
(protein, lemak, dan karbohidrat) dan zat gizi mikro berhubungan dengan status
gizi anak. Penlitian yang dilakukan oleh Anzarkusuma (2014) menemukan bahwa
terdapat perbedaan nyata antara status gizi dengan frekuensi makan.
Status kesehatan juga berhubungan dengan status gizi. Hal ini sesuai
dengan diagram determinan status gizi menurut UNICEF (1998) yang
menunjukkan bahwa status keshatan/infeksi merupakan determinan langsung dari
status gizi. Hal ini didukung oleh penelitian Pahlevi (2012) yang menemukan
bahwa status gizi berhubungan dengan status kesehatan anak. Food coping
strategy juga berhubungan dengan status gizi khusunya anak-anak. Hal ini
didukung oleh penelitian Mangkoeto (2009) bahwa ketidakmampuan keluarga
dalam memenuhi kebutuhannya pangan akan menimbulkan kerawanan pangan
(food insecurity). Semakin parah kerawanan pangan menunjukkan keluarga
semakin tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan. Tabel 17 menunjukkan hasil
analisis hubungan antara status gizi dengan beberapa variabel.
35
Tabel 17 Analisis hubungan antara status gizi (IMT/U) dengan beberapa variabel
Variabel IMT/U P
Karakteristik sosial ekonomi keluarga
Pendidikan ayah 0.143 0.277
Pendidikan ibu 0.065 0.621
Pekerjaan ayah 0.174 0.183
Pekerjaan ibu 0.142 0.281
Pendapatan per kapita
keluarga
0.208 0.111
Besar keluarga -0.030 0.822
Konsumsi Pangan
Frekuensi makan 0.097 0.463
Tingkat kecukupan
energi
0.317 0.014**
Tingkat kecukupan
protein
0.327 0.011**
Tingkat kecukupan lemak 0.549 0.000**
Tingkat kecukupan
kalsium
0.219 0.092
Tingkat kecukupan fosfor 0.126 0.336
Tingkat kecukupan zat
besi
0.217 0.096
Tingkat kecukupan
vitamin A
0.093 0.480
Tingkat kecukupan
vitamin C
0.052 0.693
Tingkat kecukupan Zn 0.469 0.000**
Status kesehatan
Frekuensi sakit 0.114 0.384
Lama sakit 0.178 0.173
Food coping strategy -0.499 0.000** ** Uji hubungan signifikan pada level 0.05
Hubungan karakteristik keluarga dengan status gizi
Berdasarkan hasil uji hubungan Spearman, tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara pendidikan orang tua dengan status gizi (p>0.05). Hasil
penelitian ini sejalan dengan penelitian Saputro (2014) bahwa tidak terdapat
hubungan yang signifikan antara pendidikan orang tua dengan status gizi anak
(IMT/U) siswa SDN Campurejo I Bojonegoro. Tidak adanya hubungan
pendidikan orang tua dengan status gizi dapat dikarenakan perkembangan
teknologi yang ada saat ini. Orang tua berpendidikan rendah, dengan adanya
perkembangan teknologi saat ini dapat dengan mudah mengakses informasi dari
berbagai media, sehingga mereka dapat meningkatkan pengetahuannya terutama
terkait gizi. Hal ini didukung dengan data hasil penelitian bahwa sebagian besar
ayah (85.2%) dan ibu (83%) contoh normal berpendidikan rendah.
Berdasarkan hasil uji hubungan Spearman, tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara pendapatan orang tua dengan status gizi (p>0.05). Hal ini sejalan
dengan penelitian Hidayati (2010) yang menunjukkan tidak ada hubungan antara
36
status ekonomi keluarga dengan status gizi anak usia sekolah. Sudirman (2008)
mengungkapkan bahwa terkadang faktor pendidikan dan pengetahuan gizi
menjadi lebih penting daripada masalah pendapatan. Meskipun pendapatan relatif
rendah, tetapi bila didasari oleh pengetahuan gizi yang memadai, bahan makanan
yang memenuhi kebutuhan gizi masih mungkin didapatkan atau dibeli. Walaupun
tidak terdapat hubungan yang signifikan antara pendapatan orang tua dengan
status gizi, hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan keluarga
contoh kurus lebih kecil daripada rata-rata pendapatan keluarga contoh normal
dan rata-rata pendapatan keluarga contoh normal lebih kecil daripada rata-rata
pendapatan keluarga contoh gemuk.
Hasil uji Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara besar keluarga dengan status gizi (p>0.05) Hal ini tidak sejalan dengan
hasil penelitian Mutiara (2008) yang menunjukan bahwa dengan bertambahnya
besar keluarga maka akan timbul dampak yang merugikan terhadap status gizi, hal
ini disebabkan oleh menurunnya alokasi terhadap makanan seiring dengan
bertambahnya anggota keluarga. Hal ini sejalan dengan penelitian Pahlevi (2012)
dan Gumawang (2016) bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara
besar keluarga dengan status gizi anak (IMT/U).
Hubungan konsumsi pangan dengan status gizi
Hasil uji hubungan Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan yang
signifikan antara status gizi dengan frekuensi makan anak p>0.05). Hal ini tidak
sejalan dengan penelitian Anzarkusuma (2014) bahwa terdapat perbedaan nyata
antara status gizi dengan frekuensi makan.
Hasil uji hubungan Spearman menunjukkan terdapat hubungan yang
signifkan antara status gizi dengan tingkat kecukupan energi, tingkat kecukupan
protein, tingkat kecukupan lemak, dan tingkat kecukupan Zn (P<0.05). Hasil ini
sejalan dengan penelitian Pahlevi (2012) variabel yang berhubungan dengan
status gizi anak adalah tingkat konsumsi energi dan zat gizi makro (protein,
lemak, dan karbohidrat). Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Fatimah et
al. (2013) hasil uji Spearman menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan
antara tingkat kecukupan energi, protein dan zink dengan status gizi dapat dilihat
dari nilai p < 0.05 pada santri putri pondok pesantren Hidayatullah Makassar. Hal
ini disebabkan karena dalam SMFFQ memang terdeteksi asupan yang
mengandung energi seperti dari sumber makanan yang mengandung karbohidrat,
protein dan lemak. Sesuai teori, kebutuhan konsumsi protein pada usia sekolah
dasar beranjak remaja (7-14 tahun) mengalami kenaikan sejalan dengan proses
pertumbuhan yang pesat. Dengan kata lain kebutuhan protein berbanding lurus
dengan kenaikan berat badan seseorang. Jadi jika konsumsi protein yang
diperoleh dari makanan memenuhi angka kecukupan protein yang dianjurkan,
maka akan diperoleh status gizi yang baik. Untuk asupan zink semakin tinggi
asupan zink maka semakin baik status gizinya. Asupan zink masih sangat kurang,
hal ini disebabkan karena kualitas makanan yang mengandung zink kurang baik.
Hasil analisis menunjukkan tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara tingkat kecukupan zat gizi mikro kalsium, fosfor, zat besi, vitamin A, dan
vitamin C dengan status gizi. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Fatimah et
al. (2013). Asupan kalsium dan fosfor yang sangat kurang pada keseluruhan
contoh mengakibatkan tidak adanya hubungan antara tingkat kecukupan fosfor
37
dan kalsium dengan status gizi. Proporsi contoh normal dan gemuk yang
mengalami kurang dan cukup zat besi, vitamin A, dan vitamin C hampir sama
besar mengakibatkan tidak adanya hubungan antara tingkat kecukupan zat besi,
vitamin A, dan vitamin C dengan status gizi.
Hubungan status kesehatan dengan status gizi
Menurut Pahlevi (2012) variabel yang berhubungan dengan status gizi
adalah status kesehatan. Hasil uji hubungan Spearman menunjukkan bahwa tidak
terdapat hubungan yang signifikan antara lama dan frekuensi sakit dengan status
gizi (p>0.05). Hal ini disebabkan contoh kurus dan contoh gemuk memiliki
frekuensi sakit lebih banyak dan lama sakit lebih lama daripada contoh normal.
Hasil uji beda Kruskal Wallis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang
signifikan frekuensi dan lama sakit contoh kurus dan gemuk (p>0.05).
Hubungan food coping strategy dengan status gizi
Hasil uji hubungan Pearson menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang
signifikan negatif antara food coping strategy dengan status gizi. Artinya semakin
tinggi skor food coping strategy, semakin rendah status gizi anak. Penelitian ini
sejalan dengan penelitian Mangkoeto (2009) bahwa ketidakmampuan keluarga
dalam memenuhi kebutuhannya pangan akan menimbulkan kerawanan pangan
(food insecurity). Semakin parah kerawanan pangan menunjukkan keluarga
semakin tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan. Kecukupan pangan
berhubungan dengan tingkat kecukupan zat gizi sangat berhubungan dengan
status gizi anak. Jika konsumsi pangan anak tidak tercukupi maka akan timbul
masalah gizi.
Determinan Status Gizi (IMT/U)
Hasil analisis regresi linier dengan menggunakan metode backward
diperoleh faktor determinan status gizi (IMT/U) anak usia sekolah dasar (8-14
tahun) yaitu tingkat kecukupan lemak dan food coping strategy. Model z-score
IMT/U yang diperoleh :
Y = -0.598 + 0.016 X8 - 0.032 X17
dengan :
Y= z-score IMT/U x17= food coping strategy
X8=TK Lemak
Nilai Coefficient Determination (adjusted r2) sebesar 0.230 yang
memberikan pengertian bahwa status gizi anak usia sekolah dasar (8-14 tahun)
dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berpengaruh secara simultan sebesar 23.0
persen. Nilai konstanta sebesar-0.598. Hal ini berarti jika tingkat kecukupan
lemak dan skor food coping startegy tetap atau tidak mengalami penambahan atau
pengurangan, maka nilai z-score adalah sebesar -0.598. Nilai koefisien tingkat
kecukupan lemak untuk variabel X8 sebesar 0.016. Hal ini mengandung arti bahwa
setiap kenaikan tingkat kecukupan lemak sebesar satu persen maka z-score
Adj. r2 = 0.230
38
(IMT/U) (Y) akan naik 0.016 dengan asumsi bahwa variabel bebas yang lain dari
model regresi adalah tetap. Nilai koefisien untuk skor food coping strategy adalah
0.032 dan bertanda negatif, ini menunjukkan bahwa skor food coping strategy
mempunyai hubungan yang berlawanan arah dengan variabel z-score (IMT/U).
Hal ini mengandung arti bahwa setiap kenaikan skor food coping strategy satu
satuan maka variabel z-score (IMT/U) (Y) akan turun sebesar 0.032 dengan
asumsi bahwa variabel bebas yang lain dari model regresi adalah tetap.
Hasil penelitian Chunming (2006) di Cina menunjukkan terdapat
hubungan antara status gizi anak usia sekolah dengan tingkat kecukupan lemak
meskipun sebenarnya status gizi tidak bisa dipengaruhi oleh satu faktor saja. Sulit
untuk mengidentifikasi peran asupan lemak dalam pertumbuhan dan
perkembangan anak tanpa mempertimbangkan faktor gizi lain serta faktor sosial
budaya. Berdasarkan hasil penelitian, asupan lemak anak di perkotaan meningkat
dari 17% dari total energi pada tahun 1989 menjadi 30% dari total energi pada
tahun 1993. Hal ini sejalan dengan data kesehatan Cina yang menunjukkan bahwa
anak usia 7-17 tahun mengalami peningkatan status gizi dari tahun 1991 hingga
1995. Data lain menunjukkan bahwa berat badan rendah pada anak laki-laki
terbukti berkaitan dengan asupan rendah lemak dan protein. Peningkatan
prevalensi overweight dan obesitas anak perempuan di daerah perkotaan China
tahun 1995 juga diiringi dengan peningkatan asupan makanan tinggi lemak seperti
makanan hewani dan minyak goreng.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin tinggi skor food coping
strategy, semakin rendah status gizi anak. Penelitian ini sejalan dengan penelitian
Mangkoeto (2009) bahwa ketidakmampuan keluarga dalam memenuhi
kebutuhannya pangan akan menimbulkan kerawanan pangan (food insecurity).
Semakin parah kerawanan pangan menunjukkan keluarga semakin tidak mampu
memenuhi kebutuhan pangan. Kecukupan pangan berhubungan dengan tingkat
kecukupan zat gizi sangat berhubungan dengan status gizi anak. Jika konsumsi
pangan anak tidak tercukupi maka akan timbul masalah gizi.
Analisis Pengaruh Beberapa Variabel terhadap Prestasi akademik
Prestasi akademik adalah gambaran mengenai penguasaan anak terhadap
materi pelajaran di sekolah (Bhattacharya 2013). Berdasarkan hasil studi literatur,
terdapat beberapa variabel yang berhubungan langsung maupun tidak langsung
terhadap prestasi akademik. Menurut penelitian Kamruzzaman (2014) pendidikan
orang tua, besar keluarga, dan pendapatan per kapita keluarga berhubungan
dengan prestasi akademik anak. Orangtua dengan keluarga besar dan pendapatan
rendah tidak punya cukup waktu untuk membantu belajar anak dirumah. Orang
tua dengan pendidikan tinggi cenderung memiliki pengetahuan yang lebih baik
dan menginginkan anaknya juga memiliki pendidikan minimal sama atau bahkan
lebih dari dirinya.
Penelitian Dewi (2012) yang menyimpulkan bahwa ada hubungan antara
asupan kalori, asupan protein, asupan lemak, asupan karbohidrat, asupan vitamin
B1, asupan vitamin C, asupan kalsium, asupan zat besi dengan nilai prestasi
akademik. Vitamin C dan vitamin B(B1 dan B12) mempunyai hubungan yang
kuat dengan prestasi akademik. Hubungan ini berkaitan dengan proses signalling
39
dan transmisi. Menurut Bhattacharya (2013) zat gizi mikro yang mempunyai
hubungan signifikan dengan prestasi akademik adalah vitamin C, vitamin A, dan
vitamin B. Tabel 18 menunjukkan hasil analisis hubungan antara prestasi
akademik dengan beberapa variabel.
Tabel 18 Analisis hubungan antara prestasi akademik dengan beberapa variabel
Variabel Prestasi akademik P
Pendidikan ayah 0.236 0.069
Pendidikan ibu 0.274 0.034**
Pendapatan per kapita
keluarga
0.292 0.024**
Besar keluarga -0.007 0.958
Status Gizi 0.133 0.312
Konsumsi Pangan
Tingkat kecukupan
energi
0.556 0.000**
Tingkat kecukupan
protein
0.418 0.001**
Tingkat kecukupan lemak 0.149 0.256
Tingkat kecukupan
kalsium
0.479 0.000**
Tingkat kecukupan fosfor 0.561 0.000**
Tingkat kecukupan zat
besi
0.494 0.090
Tingkat kecukupan
vitamin A
0.474 0.000**
Tingkat kecukupan
vitamin C
0.435 0.001**
Tingkat kecukupan Zn 0.236 0.069
Status kesehatan
Frekuensi sakit -0.177 0.175
Lama sakit -0.125 0.342
Konsumsi ikan -0.286 0.027**
Pola asuh orang tua 0.394 0.006** ** Uji hubungan signifikan pada level 0.05
Hubungan karakteristik keluarga dengan prestasi akademik
Hasil uji hubungan Spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan
signifikan antara pendidikan ayah dan besar keluarga dengan prestasi akademik.
Hasil uji hubungan Spearman menunjukkan terdapat hubungan signifikan antara
pendidikan ibu dan pendapatan keluarga dengan prestasi akademik.
Hubungan status gizi dengan prestasi akademik
Hasil uji hubungan Spearman menunjukkan bahwa tidak ada hubungan
yang signifikan antara status gizi dan prestasi akademik. Hasil penelitian ini tidak
sejalan dengan penelitian Djoehaeni (2007) bahwa status gizi secara individual
juga berhubungan dengan penentuan prestasi akademik. Hasil ini sejalan dengan
penelitian Effendy (2012) meskipun status gizi yang baik sejalan dengan prestasi
40
akademik yang baik tetapi beberapa penelitian gagal menunjukkan hubungan
tersebut. Hal ini karena berdasarkan hasil analisis, seluruh anak dengan status gizi
kurus dan sebagian besar anak dengan status gizi gemuk memiliki nilai rata-rata
UTS dan UAS dengan kategori kurang (<60). Hal ini dibuktikan dengan hasil uji
beda Mann Whitney bahwa tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara rata-
rata nilai UTS dan UAS keempat mata pelajaran contoh kurus dan gemuk
(p>0.05).
Hubungan prestasi akademik dengan konsumsi pangan
Hasil uji hubungan Spearman menunjukkan bahwa tingkat kecukupan
energi, protein, kalsium, fosfor, vitamin A, dan vitamin C berhubungan signifikan
positif dengan prestasi akademik. Hasil uji Spearman menunjukkan tidak ada
hubungan signifkan antara tingkat kecukupan lemak, zat besi, dan Zn dengan
prestasi akademik. Hal ini tidak sejalan dengan penelitian Bhattacharya (2013)
yang menunjukkan terdapat hubungan signifikan antara tingkat kecukupan lemak
dengan prestasi akademik. Hal ini karena lemak merupakan bagian penting dari
saraf. Hal ini juga tidak sejalan dengan penelitian Dewi (2012) bahwa tingkat
kecukupan zat besi dan Zn berhubungan dengan prestasi akademik anak.
Hubungan status infeksi dengan prestasi akademik
Hasil uji hubungan Spearman menunjukkan bahwa tidak terdapat
hubungan antara frekuensi dan lama sakit dengan prestasi akademik. Hasil ini
tidak sejalan dengan penelitian Shaw et al (2015) bahwa status infeksi yang terdiri
dari frekuensi dan lama sakit berhubungan dengan prestasi akademik. Anak
dengan status infeksi yang tinggi kemungkinan lebih besar untuk gagal sekolah,
drop out, dan tidak naik kelas.
Hubungan konsumsi ikan dengan prestasi akademik.
Hasil uji hubungan Spearman menunjukkan bahwa terdapat hubungan
negatif antara konsumsi ikan dengan prestasi akademik. Hasil ini tidak sejalan
dengan penelitian Zulaihah dan Widajanti (2006) yang menunjukkan bahwa
asupan zat gizi lain yang berhubungan dengan prestasi akademik adalah protein
khusunya asam amino.
Hubungan Pola asuh belajar dengan prestasi akademik
Hasil uji hubungan Spearman menunjukkan terdapat hubungan signifikan
antara pola asuh belajar dengan prestasi akademik. Hasil ini sejalan dengan
penelitian Gunarsa (2006) bahwa pola asuh belajar berhubungan dengan prestasi
akademik anak, dimana pola asuh belajar demokratis membuat anak mampu
berinisiatif dan kreatif serta mempunyai konsep diri yang positif yang akan
berpengaruh positif pula pada prestasi akademik anak.
Faktor Determinan Prestasi akademik Anak Usia Sekolah Dasar 8-14 Tahun
Hasil analisis regresi linier dengan menggunakan metode backward
diperoleh faktor determinan prestasi akademik anak usia sekolah dasar (8-14
tahun) yaitu tingkat kecukupan energi dan fosfor. Model prestasi akademik yang
diperoleh :
41
Y = 40.5 + 0.146 X3 + 0.082 X6
dengan :
Y= prestasi akademik (nilai) x6= TKFosfor
X3=TKE
Nilai Coefficient Determination (adjusted r2) sebesar 0.182 yang
memberikan pengertian bahwa prestasi anak usia sekolah dasar (8-14 tahun)
dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berpengaruh secara simultan sebesar 18.2
persen. Nilai konstanta sebesar 40.5. Hal ini berarti jika tingkat kecukupan energi
dan tingkat kecukupan fosfor tetap atau tidak mengalami penambahan atau
pengurangan, maka rata-rata nilai adalah sebesar 40.5. Nilai koefisien tingkat
kecukupan energi untuk variabel X3 sebesar 0.146. Hal ini mengandung arti
bahwa setiap kenaikan tingkat kecukupan energi sebesar satu persen maka
prestasi akademik (rata-rata nilai) (Y) akan naik 0.146 dengan asumsi bahwa
variabel bebas yang lain dari model regresi adalah tetap. Nilai koefisien tingkat
kecukupan fosfor untuk variabel X6 sebesar 0.082. Hal ini mengandung arti bahwa
setiap kenaikan tingkat kecukupan fosfor sebesar satu persen maka prestasi
akademik (rata-rata nilai) (Y) akan naik 0.082 dengan asumsi bahwa variabel
bebas yang lain dari model regresi adalah tetap.
Menurut Mergenthaler et al. (2014) berat otak sebesar 2% dari berat tubuh
tetapi membutuhkan 20-30% dari asupan glukosa(derivat energi) setiap harinya.
Metabolisme glukosa menyediakan bahan bakar untuk fungsi fisiologis otak
melalui generasi ATP, bahan dalam pemeliharaan sel neuron/sel lain, serta
generasi neurotransmitter. Proporsi terbesar dari energi di otak digunakan untuk
memproses informasi. Selain itu energi diperlukan untuk mempertahankan
integritas sel membran dan konsentrasi ion intra dan ekstra seluler dan untuk
melakukan peran serebral dalam sintesis, penyimpanan, transport dan pelepasan
neurotransmiter serta dalam mempertahankan respon elektrik. Menurut Gustavon
(2010) penurunan 40% dari intake kalori di tikus selama 35 bulan menurunkan
fungsi kognitif dan motorik tikus tersebut. Menurut Pinilla (2008) fosfor
merupakan bagian dari ATP yang dibutuhkan untuk penyimpanan energi dari
hasil metabolisme karbohidrat, protein, dan lemak. Selain itu, fosfor merupakan
bagian dari membran sel termasuk membran sel saraf (phospholipid) yang
berhubungan dengan fungsi reseptor sel saraf. Proporsi fosfor pada orang normal
mencapai 2-2.5% sedangkan pada orang idiot proporsi fosfor hanya 1-1.5%.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Sebagian besar usia contoh berada pada rentang 10-12 tahun (86.7%).
Analisis menunjukkan 100% contoh kurus berjenis kelamin laki-laki dan 77.8%
contoh gemuk berjenis kelamin perempuan. Rata-rata keluarga contoh adalah
Adj. r2 = 0.182
42
keluarga kecil berjumlah 4 orang. Sebagian besar ayah (80%) dan ibu (83%)
contoh bependidikan rendah. Sebanyak 70% keluarga contoh merupakan keluarga
miskin dengan 78.3% ayah memiliki pekerjaan sebagai nelayan dan 80% ibu tidak
bekerja. Tidak terdapat perbedaan signifikan antara besar keluarga, pendidikan
dan pendapatan orang tua pada contoh kurus, normal, dan gemuk.
Rata-rata asupan energi dan zat gizi contoh kurus lebih rendah daripada
rata-rata rata asupan energi dan zat gizi contoh normal dan rata-rata asupan energi
dan zat gizi contoh normal lebih rendah daripada rata-rata rata asupan energi dan
zat gizi contoh gemuk. Tingkat kecukupan energi dan zat gizi (kecuali fosfor,
vitamin A, dan C) contoh kurus signifikan lebih rendah daripada contoh normal
dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi (kecuali fosfor, vitamin A, dan C)
contoh normal signifikan lebih rendah daripada contoh gemuk. Penyakit yang
banyak diderita contoh dalam satu bulan terakhir adalah batuk, pilek, dan demam.
Sebanyak 100% contoh kurus dan 88.9% contoh gemuk mengalami sakit dalam 1
bulan terakhir. Frekuensi dan lama sakit contoh kurus dan gemuk signifikan lebih
tinggi daripada contoh normal.
Skor food coping strategy contoh kurus dan normal signifikan lebih tinggi
daripada contoh gemuk. Terdapat perbedaan signifikan perilaku taraf satu antara
contoh normal dan kurus dengan contoh gemuk tetapi tidak terdapat perbedaan
signifikan perilaku taraf 2 dan 3 pada ketiga kelompok. Prestasi akademik contoh
kurus dan gemuk signifikan lebih rendah daripada contoh normal. Pola asuh
belajar demokratis lebih banyak diterapkan oleh keluarga anak dengan nilai cukup
(83.3%) dan lebih dari cukup (90.0%) daripada keluarga anak dengan nilai kurang
(44.1%). Pola asuh belajar otoriter (20.6%) dan permisif (35.3%) banyak
diterapkan oleh keluarga anak dengan nilai kurang.
Terdapat hubungan signifikan positif antara tingkat kecukupan energi,
protein, lemak dan hubungan signifikan negatif antara skor food coping strategy
dengan status gizi. Pendidikan ibu, pendapatan per kapita keluarga, tingkat
kecukupan energi, protein, kalsium, vitamin A, vitamin C, dan pola asuh belajar
berhubungan signifikan dengan prestasi akademik. Faktor determinan status gizi
anak sekolah dasar yang diperoleh melalui analisis regresi linier, berupa tingkat
kecukupan lemak dan skor food coping strategy. Status gizi tidak berpengaruh
terhadap prestasi akademik. Faktor determinan prestasi akademik anak sekolah
dasar yang diperoleh melalui analisis regresi linier, berupa tingkat kecukupan
energi dan fosfor.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian bahwa konsumsi sayur, buah, ikan, dan susu
pada anak sekolah dasar masih sangat rendah. Hasil analisis juga menunjukkan
bahwa pola asuh makan anak masih kurang baik. Perlu adanya edukasi gizi terkait
pentingnya konsumsi makanan gizi seimbang khususnya buah, sayur, susu, dan
ikan kepada anak dan edukasi gizi terkait pola asuh makan kepada ibu. Dukungan
media massa dalam hal informasi asupan gizi seimbang, peran guru untuk
menumbuhkan kesadaran dan kemampuan dalam memberikan edukasi tentang
asupan gizi seimbang, serta keberpihakan organisasi profesi dan asosiasi/lembaga
43
lainnya dalam kegiatan terkait dengan asupan gizi seimbang sangat dibutuhkan
untuk mengefektifkan edukasi gizi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Agoes Dariyo. (2004). Psikologi Perkembangan Remaja. Bogor(ID): Ghalia
Indonesia.
Bhattacharya RG. 2013. Learning performance and nutritional status – A case
study on college students in North Tripura. IOSR Journal of Research &
Method in Education (IOSR-JRME). 1(4). 57-68.
Bennet JE, Dolin RM, Blaser MJ. 2015. Principles and Practice of Infectious
Diseases. Philadelphia(USA): Elsevier Saunders
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2014. Tingkat kemiskinan jawa timur september
2014. BPS [Internet]. [diunduh 2015 Maret 23]. Tersedia pada:
http://jatim.bps.go.id/
Choi ES. 2008. A study on nutrition knowledge, and dietary behavior of
elementary school shildren in Seoul. Nutrition Research and Practice.
2(4): 308-316
Chunming Chen. 2006. Fat intake and nutrtional status of children in China. Am J
Clin Nutr. 72(3): 1368-1372
Danielzik S, Czerwinski M, Langnase K, Muller MJ. 2008. Parental overweight,
socioeconomic status, and high birth weight are the major determinant of
overweight and obesiry in 5-13 children baseline data of the Kiel Obesity
Prevention Study (KOPS). International Journal of Obesity. 28(3): 1494–
1502. doi:10.1038/sj.ijo.0802756
Devi, M. 2010. Analisis Faktor-Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Status Gizi
Balita Di Pedesaan. J. Pangan dan Gizi. 33(2): 165-169
Djoehaeni H. 2007. Studi korelasi antara status gizi dengan prestasi akademik
pada siswa SDN Cidadap I, Bandung [skripsi]. Bandung(ID): Universitas
Pendidikan Indonesia
Effendy F. 2012. Hubungan status gizi dengan tingkat prestasi akademik siswa
SMK Negeri Indramayu [skripsi]. Yogyakarta(ID): Universitas Negeri
Yogyakarta
Fatimah S, Syam A, Amelia R. 2013. Hubungan asupan energi dan zat gizi
dengan status gizi santri putri yayasan pondok pesantren Hidayatullah
Makassar Sulsel 2013 [Skripsi]. Makassar(ID): Universitas Hasanuddin
Makassar
Fazili A, Mir AA, Pandit IM, Bhat IA, Rohul J, Shamila H. 2012. Nutritional
status of school age children (5-14 years) in a rural health block of north
44
India (Kashmir) Using WHO Z-Score system. Online J Health Allied Scs.
11(2):20-45
Gibson RS. 2005. Principles of Nutritional Assesment. New York (US): Oxford
University Press.
Gumawang ZA. 2016. Hubungan antara fungsi keluarga dengan status gizi murid
SD Negeri 5 Boyolali [Skripsi]. Surakarta(ID): Universitas
Muhammadiyah Surakarta
Hardinsyah, Briawan D. 1994. Penilaian dan Perencanaan Konsumsi Pangan.
Bogor (ID): Departemen GMSK FAPERTA IPB.
Heryati L, Setiawan B. 2014. Kegemukan, anemia, dan prestasi akademik siswa
sekolah dasar di kota Bogor. J. Gizi Pangan. 9(3): 159-166
Hidayati N. 2010. Hubungan asupan makanan anak dan status ekonomi keluarga
dengan status gizi anak usia sekolah di Kelurahan Tuhu Kecamatan
Cimanggis Kota Depok [Internet]. [diunduh 2016 Maret 26]. Tersedia
pada: ejournal.stikes-ppni.ac.id/article/9/1/article.pdf
Hitchock J, Schubert P, Thomas S. 2009. Community health nursing: caring in
action. Philadelphia(USA): Delmar Publishers.
Ipa, A Agustian J dan Sirajudin N. 2010. Status Gizi Anak Sekolah Keluarga
Nelayan di SDN 40 Lumpangang Desa Biangkeke Kabupaten Bantaeng.
Jakarta: Media Pangan dan Gizi
Jahri W, Suyanto N, Ernalia Y. 2015. Gambaran status gizi pada siswa sekolah
dasar kecamatan Siak Kecil kabupaten Bengkalis. JOM FK. 3(2): 142-148
Joshi HS. 2011. Determinants of nutritional status of school children. A cross
sectional study in the western region of Nepal. NJIRM. 2 (1): 10-15
[Kemenkes] Kementerian Kesehatan RI. 2013. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
2010. Jakarta (ID): Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
Karimah I. 2014. Aktivitas fisik, kebugaran, dan prestasi akademik pada anak
sekolah dasar normal dan kegemukan di Bogor [tesis]. Bogor (ID): Institut
Pertanian Bogor.
Karlsson EA, Beck MA. 2010. The burden of obesity on infectious disease.
Experimental biology and medicine. 235(1):1412–1424. doi:
10.1258/ebm.2010.010227
Kaunang C, Manlonda N, Kawengian S. 2016. Hubungan antara status sosial
ekonomi keluarga dengan status gizi pada siswa SMP Kristen Tateli
kecamatan Mandolang Kabupaten Minahasa. Jurnal Ilmiah Farmasi. 5(1):
2302-2493
Khomsan A. 2012. Ekologi Masalah Gizi, Pangan, Dan Kemiskinan. Bandung:
Alfabeta.
Kotian S, Kumar G, Kotian S. 2010. Prevalence and determinant of overweight
and obesity among adolescent school children of South Kurnataka, India.
Indian J community Med. 35(1): 176-178
45
Lestari D. 2014. Kebiasaan Makan dan Persepsi Body Image siswa SMP Berstatus
Gizi Lebih dan Normal [Skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor
Lutfiana E, Irwan B. 2010. Prevalensi Dan Determinan Kejadian Gizi Kurang
Pada Balita,Universitas Negeri Semarang. Jurnal Kesehatan Masyarakat 5
(2):138–144.
Lokeesan J, Kisokanth N. 2015. Nutritional Status of Grade Five Students in
Selected School of Batticaloa District, Sri Lanka. J Nutr Disorders Ther.
5(3): 162-167. doi:10.4172/2161- 0509.1000162
Mangkoeto K. 2009. Analisis Pengaruh Food Coping Strategy terhadap
Ketahanan Pangan Rumahtangga Petani di Kabupaten Lebak Banten
[skripsi]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor
Mardiharini M. 2002. Upaya Keluarga dalam mempertahankan kesejahteraannya
selama krisis ekonomi [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
Marta R, Elena M, Maria L. 2011. Overweight Prevention Through Physical
Activity in School-Age Children and Adolescent. Mexico(USA):
Universida Camilo Jose Cela
Mergenthaler P, Lindauer U, Dienel GA, Meisel A. 2014. Sugar for the brain:
the role of glucose in physiological and pathological brain function.
Trends Neurosci. 36(10): 587–597. doi:10.1016/j.tins.2013.07.001.
Moehji Shahmien. 2003. Penanggulangan Gizi Buruk. Jakarta (ID): Sinar Sinanti
Mosley WH, Chen LC. 2009. An analytical framework for the study of child
survival in developing country child survival: strategies for research,
population and development review. Supplement. 10(1): 25-45.
Mukherji R, Chaturvedi S, Bhalwar R. 2008. Determinants of nutritional status of
school children.MJAFI. 64(2):227-231
Muson. 2012. Perbedaan Status Gizi antara Siswa Putra dengan Putri di SD
Negeri Pagersari Kecamatan Mungkid Kabupaten magelang[Skripsi].
Yogyakarta (ID): Universitas negeri Yogyakarta
Noh W, Eun KY, Oh HI, Kwon YD. 2014. Influences of socioeconomic factors
on childhood and adolescent overweight by gender in Korea: cross-
sectional analysis of nationally representative sample. BMC Public Health.
14(2): 324-330
Pahlevi AE, Indarjo S. 2012. Determinan status gizi pada siswa sekolah dasar.
Jurnal Kesehatan Masyarakat. 7(2): 116-120. ISSN: 1858-1196.
Pemerintah Daerah Kabupaten Jember. 2013. Jember dalam angka 2012. BPS
[internet]. [diunduh 2015 Maret 10]. Tersedia dari: http//bappeda.
jemberkab.go.id/index .php/Componentcontent/section/6
Pinilla FG. 2008. Brain foods: the effects of nutrients on brain function. Nat Rev
Neurosci. 9(7): 568–578. doi: 10.1038/nrn2421
Rizkiyah R. 2015. Kebiasaan makan, aktivitas fisik, dan kebugaran pada anak
sekolah dasar dengan status gizi normal dan lebih di kota Bogor [skripsi].
Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor
46
Said M, Rihlat A, Jonathan Y, Bernard S, Anne CN, Patrick P. 2012. Is
overweight in stunted preschool children in cameroon related to reduction
in fat oxidation resting energy expenditure and Physical Activity?. J Nutr
Disorders Ther. 5(3): 162-167. doi:10.4172/2161- 0509.1000162
Sagoyo, Savitri. 2005. Osteoporosis dan Gizi: Sadar Gizi Cegah Osteoporosis
Menuju Masyarakat Bertulang Sehat. Jakarta(ID): PT Gramedia Pustaka
Utama
Saputro Dwi Cahyo. 2014. Hubungan antara tingkat pendidikan orang tua dengan
status gizi siswa (studi pada siswa SD Campurejo 1 Bojonegoro). Jurnal
Pendidikan, Olahraga dan Kesehatan. 2(3): 627-630
Sari J, Jus I, Mulyani Y. 2010. Perbedaan asupan kalsium, vitamin A, dan vitamin
D menurut status gizi anak usia 6-12 tahun berdasarkan tipe daerah di
pulau Sulawesi. J.Esa Unggul. 34(2): 121-130
Sheridan PA, Paich HA, Handy J, Karlsson EA, Hudgens MG, Noah TL. 2012
Obesity is associated with impaired immune response to influenza
vaccination in humans. International journal of obesity. 36(2): 1072–
1077. doi: 10.1038/ijo.2011.208
Slamet Y. 1993. Analisis Kuantitatif Untuk Data Sosial. Solo (ID): Dabara
Publisher
Slameto. 2007. Belajar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya. Jakarta: PT.
Rineka Cipta
Soekirman. 2006. Hidup Sehat Gizi Seimbang dalam Siklus Kehidupan Manusia.
Jakarta: PT Primamedia Pustaka
Suhartiningsih W. 2005. Busung lapar dan Hunger Paradox. http:// www.
Tonangardyanto.com
Sulastri N, Sudarma A, Rahmawati J. 2014. Hubungan anatara pola asuh orang
tua dan kebiasaan belajar terhadap prestasi akademik siswa SD kelas IV
semester genap di Kecamatan Melaya, Jembana. E-journal MIMBAR
PGSD Universitas Pendidikan Ganesha. 2(1): 15-18
Supriyanto, B. 2000. Rekayasa Penilaian Jilid 1. Jakarta (ID): Masyarakat Profesi
Penilai Indonesia.
Tanziha I. 2006. Instrumen kelaparan kualitatif: peningkatan Validitas dalam
Identifikasi individu dan Keluarga Kelaparan sebagai Langkah Antisipasi
Kejadian Luar Biasa [Laporan penelitian]. Bogor(ID): Departemen Gizi
Mayarakat dan Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor
Usfar A, Aliza. 2002. Household Coping Strategies for Food Security in
Indonesia and the realation to Nutritional Status: A Comparison before
and after the 1997 economic crisis. Philadelphia(USA): Delmar Publishers.
UNICEF. 1998. The State on the World Children. USA: Oxford Univ Press.
Yasmin G, Kustiyah L, Dwiriani CM. 2014. Risk factors of stunting among
school-aged children from eight provinces in Indonesia. Pakistan Journal
of Nutrition. 13(10):557-566.
47
Yoshinaga, et al. (2004). Rapid increase in the prevalence of obesity in
elementary school children. International Journal of Obesity. 5(3): 162-
167
Yulni, Veni, H., Devintha, V. 2013. Perbedaan Asupan Zat Gizi Makro Dengan
Status Gizi Pada Anak Sekolah Dasar Di Wilayah Pesisir Kota Makassar.
[skripsi]. Makassar (ID): Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Hasanuddin
Zulaiha, Widajanti L. 2006. Hubungan kecukupan asam eikosapentanoat (EPA)
dan dokosaheksanoat (DHA) ikan dan status gizi dengan prestasi
akademik siswa. Jurnal Gizi Indonesia. 2(1): 12-20
48
LAMPIRAN
Lampiran 1
Tabel 1 Sebaran contoh berdasarkan perilaku food coping strategy dan status gizi
Perilaku Jawaban Kurus Normal Gemuk Total P-
value n % n % n % n %
Taraf 1
Mencari pekerjaan
sampingan
Tidak
pernah
3 75.0 27 57.4 8 88.9 38 63.3 0.021*
Jarang 0 0.0 5 10.6 0 0.0 5 8.3
Kadang-
kadang
0 0.0 8 17.0 0 0.0 8 13.3
Sering 1 25.0 3 6.4 1 11.1 5 8.3
Selalu 0 0.0 4 8.5 0 0.0 4 6.7
Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60 100
Membeli makanan
yang harganya
lebih murah
Tidak
pernah
0 0.0 11 23.4 3 33.3 14 23.3
Jarang 1 25.0 8 17.0 2 22.2 11 18.3
Kadang-
kadang
3 75.0 22 46.8 3 33.3 28 46.7
Sering 0 0.0 4 8.5 0 0.0 4 6.7
Selalu 0 0.0 2 4.3 1 11.1 3 5.0
Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60 100.0
Mengurangi porsi
makan
Tidak
pernah
1 25.0 26 55.3 9 100.0 36 60.0
Jarang 0 0.0 3 6.4 0 0.0 3 5.0
Kadang-
kadang
2 50.0 14 29.8 0 0.0 16 26.7
Sering 0 0.0 2 4.3 0 0.0 2 3.3
Selalu 1 25.0 2 4.3 0 0.0 3 5.0
Total 4 100.0 47 100.0 9 100 60 100
Menerima BLT dan
atau raskin
Tidak
pernah
3 75.0 35 74.5 9 100.0 47 78.3
Jarang 0 0.0 3 6.4 0 0.0 3 5.0
Kadang-
kadang
0 0.0 4 8.5 0 0.0 4 6.7
Sering 0 0.0 2 4.3 0 0.0 2 3.3
Selalu 1 25 3 6.4 0 0.0 4 6.7
Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60 100.0
Menerima
makanan dari
saudara/tetangga
Tidak
pernah
2 50.0 34 72.3 9 100.0 45 75.0
Jarang 1 25.0 6 12.8 0 0.0 7 11.7
Kadang-
kadang
1 25.0 6 12.8 0 0.0 7 11.7
Selalu 0 0.0 1 2.1 0 0.0 1 1.7
Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60 100.0
49
Tabel 1 Sebaran contoh berdasarkan perilaku food coping strategy dan status gizi
(lanjutan)
Perilaku Jawaban Kurus Normal Gemuk Total P-
value n % N % n % n %
Taraf 2
Menjual aset yang
tidak produktif
(piring, gelas,
lemari, dll)
Tidak
pernah
2 50.0 33 70.2 7 77.8 42 70..0 0.151*
Jarang 0 0.0 5 10.6 0 0.0 5 8.3
Kadang-
kadang
2 50.0 6 12.8 1 11.1 9 15.0
Sering 0 0.0 2 4.3 1 11.1 3 5.0
Selalu 0 0.0 1 2.1 0 0.0 1 1.7
Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60 100.0
Menjual aset yang
produktif (hewan
peliharaan, tanah,
sepeda, dll)
Tidak
pernah
3 75.0 37 78.7 8 88.9 48 80.0
Jarang 1 25.0 4 8.5 0 0.0 5 8.3
Kadang-
kadang
0 0.0 4 8.5 1 11.1 5 8.3
Sering 0 0.0 2 4.3 0 0.0 2 3.3
Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60 100.0
Meminjam uang Tidak
pernah
1 25.0 12 25.5 5 55.6 18 30.0
Jarang 0 0.0 6 12.8 1 11.1 7 11.7
Kadang-
kadang
3 75.0 15 31.9 2 22.2 20 33.3
Sering 0 0.0 12 25.5 1 11.1 13 21.7
Selalu 0 0.0 2 4.3 0 0.0 2 3.3
Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60 100.0
Perubahan
distribusi makan
(prioritas ibu untuk
anak-anak)
Tidak
pernah
1 25.0 22 46.8 6 66.7 29 48.3
Jarang 2 50.0 3 6.4 1 11.1 6 10.0
Kadang-
kadang
1 25.0 16 34.0 0 0.0 17 28.3
Sering 0 0.0 6 12.8 2 22.2 8 13.3
Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60 100.0
Mengurangi
frekuensi makan
per hari
Tidak
pernah
2 50.0 32 68.1 9 100.0 43 71.7
Jarang 1 25.0 5 10.6 0 0.0 6 10.0
Kadang-
kadang
0 0.0 6 12.8 0 0.0 6 10.0
Sering 1 25.0 4 8.5 0 0.0 5 8.3
Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60 100.0
50
Tabel 1 Sebaran contoh berdasarkan perilaku food coping strategy dan status gizi
(lanjutan)
Perilaku Jawaban Kurus Normal Gemuk Total P-
value n % n % n % n %
Melewati hari-hari
tanpa makan
Tidak
pernah
3 75.0 39 83.0 9 100.0 51 85.0
Jarang 1 25.0 3 6.4 0 0.0 4 6.7
Kadang-
kadang
0 0.0 4 8.5 0 0.0 4 6.7
selalu 0 0.0 1 2.1 0 0.0 1 1.7
Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60 100.0
Taraf 3
Migrasi/ pindah
tempat
Tidak
pernah
4 100.0 42 89.4 8 88.9 54 90.0 0.757*
Kadang-
kadang
0 0.0 5 10.6 1 11.1 6 10.0
Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60 100.0
Menyerahkan anak
kepada saudara
Tidak
pernah
3 75.0 43 91.5 9 100.0 55 91.7
Kadang-
kadang
1 25.0 4 8.5 0 0.0 5 8.3
Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60 100.0
Keluarga
berpisah/bercerai
Tidak
pernah
4 100.0 45 95.7 9 100.0 58 96.7
Kadang-
kadang
0 0.0 2 4.3 0 0.0 2 3.3
Total 4 100.0 47 100.0 9 100.0 60 100.0
Lampiran 2 Hasil output uji regresi linear determinan status gizi pada SPSS
55
RIWAYAT HIDUP
Penulis lahir di Jember pada tanggal 3 Juni 1994 dari pasangan Soeharto
dan Tri Yulianti. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara. Awal
pendidikan penulis dimulai dari TK Pertiwi tahun 1999-2000 kemudian
melanjutkan pendidikan di SDN Kepatihan 16 Jember tahun 2000-2006. Tahun
2006-2009 penulis menempuh pendidikan di SMPN 1 Jember dan melanjutkan ke
jenjang SMAN 1 Jember pada tahun 2009-2012. Tahun 2012 penulis melanjutkan
studi di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur SNMPTN Undangan.
Selama menjalani pendidikan di IPB, penulis merupakan anggota dari
divisi Partnership and Relationship UKM Century IPB pada tahun 2012. Penulis
juga aktif dalam kegiatan kewirausahaan Century Partner pada tahun 2012.
Tahun 2013-2015 penulis aktif di HIMAGIZI IPB sebagai anggota dari divisi
kewirausahaan. Penulis juga berkontribusi dalam acara Nutrition Fair 2015
sebagai anggota dari divisi konsumsi. Penulis pernah mendapatkan beasiswa
BPOM tahun 2012-2013, Beasiswa PPA di tahun 2014, dan beasiswa VDMS
pada tahun 2015-2016. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum Ilmu
Bahan Makanan pada tahun 2015. Tahun 2015 penulis melaksanakan Kuliah
Kerja Nyata berbasis Profesi (KKN-P) di Desa Watuaji, Kecamatan Keling,
Jepara. Pada bulan Juli-Agustus 2015, penulis mengikuti Internship Manajemen
Sistem Penyelenggaraan dan Dietetik di Rumah Sakit Kanker Dharmais Jakarta
Barat. Pada tahun 2016, penulis berkontribusi sebagai LO kepanitian Pekan
Imilah Mahasiswa Nasional (PIMNAS) ke-29 IPB. Penulis juga merupakan
bagian dari Organisasi Mahasiswa Daerah IMJB (Ikatan Mahasiswa Jember
Bogor)