Deteksi dini kanker payudara

50
PENDAHULUAN Kanker merupakan penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia maupun di dunia. Menurut Prof. Tjandra Yoga, prevalensi kanker di Indonesia adalah 4,3 per 1000 penduduk. Berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun 2007, kanker payudara menempati urutan pertama pada pasien rawat inap di seluruh rumah sakit di Indonesia (16,85%), disusul kanker leher rahim (11,78%). Hal ini konsisten dengan hasil temuan International Association of Cancer Registries (IACR) pada tahun 2002. Selain itu, kanker payudara merupakan kanker tersering yang diderita wanita Indonesia dengan angka kejadian 26 per 100.000 perempuan, disusul kanker leher rahim dengan angka kejadian 16 per 100.000 perempuan (Depkes RI, 2010). Hingga saat ini, terdapat beberapa faktor resiko yang dipercaya dapat meningkatkan kejadian kanker payudara, yaitu jenis kelamin wanita, usia diatas 45 tahun, riwayat keluarga dengan kanker payudara, obesitas, umur yang muda saat mendapat menstruasi pertama (menarche), menopause pada usia lanjut, usia yang tua saat melahirkan pertama kali (primi tua), tidak pernah melahirkan (nullipara), tidak menyusui, dan penggunaan terapi pengganti hormonal dalam jangka waktu lama (hormone replacement therapy) (Cancer Research UK, 2009). Tujuan pemeriksaan skrining kanker payudara adalah untuk mendeteksi gejala dini dari kanker payudara, sebelum menimbulkan gejala. Skrining disini merupakan upaya deteksi dini, mengingat kanker payudara seringkali ditemukan sudah bergejala dengan ukuran massa yang besar dan sudah menyebar 1

description

menjelaskan efisiensi berbagai pemeriksaan kanker payudara

Transcript of Deteksi dini kanker payudara

PENDAHULUAN

Kanker merupakan penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia maupun di dunia. Menurut Prof. Tjandra Yoga, prevalensi kanker di Indonesia adalah 4,3 per 1000 penduduk. Berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun 2007, kanker payudara menempati urutan pertama pada pasien rawat inap di seluruh rumah sakit di Indonesia (16,85%), disusul kanker leher rahim (11,78%). Hal ini konsisten dengan hasil temuan International Association of Cancer Registries (IACR) pada tahun 2002. Selain itu, kanker payudara merupakan kanker tersering yang diderita wanita Indonesia dengan angka kejadian 26 per 100.000 perempuan, disusul kanker leher rahim dengan angka kejadian 16 per 100.000 perempuan (Depkes RI, 2010).

Hingga saat ini, terdapat beberapa faktor resiko yang dipercaya dapat meningkatkan kejadian kanker payudara, yaitu jenis kelamin wanita, usia diatas 45 tahun, riwayat keluarga dengan kanker payudara, obesitas, umur yang muda saat mendapat menstruasi pertama (menarche), menopause pada usia lanjut, usia yang tua saat melahirkan pertama kali (primi tua), tidak pernah melahirkan (nullipara), tidak menyusui, dan penggunaan terapi pengganti hormonal dalam jangka waktu lama (hormone replacement therapy) (Cancer Research UK, 2009).Tujuan pemeriksaan skrining kanker payudara adalah untuk mendeteksi gejala dini dari kanker payudara, sebelum menimbulkan gejala. Skrining disini merupakan upaya deteksi dini, mengingat kanker payudara seringkali ditemukan sudah bergejala dengan ukuran massa yang besar dan sudah menyebar ke jaringan sekitar payudara. Hal tersebut sangat berpengaruh pada prognosis penyakit ini. Oleh karena itu, deteksi dini kanker payudara sangat penting untuk dilakukan (American Cancer Society, 2013).Deteksi dini yang direkomendasikan oleh American Cancer Society adalah pemeriksaan mammogram rutin, pemeriksaan klinis payudara (CBE), pemeriksaan payudara sendiri (SBE), MRI untuk wanita dengan faktor resiko tinggi, serta USG payudara (American Cancer Society, 2013). Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia yang disahkan tahun 2012, kompetensi dokter Indonesia terhadap kanker payudara adalah 2, yang berarti lulusan dokter Indonesia harus mampu mendiagnosis secara klinis dan menentukan rujukan yang paling tepat untuk penanganan pasien selanjutnya. Untuk keterampilan pemeriksaan payudara (inspeksi dan palpasi), serta self breast examination (SBE), seorang dokter harus mampu melakukan secara mandiri (kompetensi 4) setelah lulus dokter (SKDI, 2012).Berdasarkan hal yang sudah diuraikan diatas, penulis akan membahas definisi, epidemiologi, faktor resiko, patogenesis, gejala dan diagnosis kanker payudara. Selain itu, penulis akan membahas metode deteksi kanker payudara beserta perbandingan efektivitas metode-metode tersebut.TINJAUAN PUSTAKA

Definisi

Kanker payudara merupakan kanker yang berasal dari jaringan payudara. Pada umumnya, terdapat dua jenis kanker yang paling sering muncul:

Karsinoma duktal, dimana keganasan berawal dari epitel duktus laktiferus yang berfungsi mengalirkan air susu ke papilla mamma. Hampir sebagian besar kanker payudara merupakan karsinoma duktal.

Karsinoma lobular, merupakan keganasan yang berawal dari suatu bagian payudara yang disebut lobulus,dimana fungsinya adalah memproduksi air susu.

Pada kasus yang jarang, kanker dapat muncul dari bagian payudara yang lain. Kanker payudara dapat bersifat invasif ataupun non-invasif, dimana kanker payudara yang non-invasif disebut sebagai karsinoma in situ. Namun, di seluruh dunia, kanker payudara merupakan salah satu kanker paling invasif.Epidemiologi

Kanker payudara merupakan kanker yang paling sering dijumpai pada wanita, dimana 182,000 wanita terdiagnosis kanker payudara setiap tahunnya di Amerika Serikat, yaitu sekitar 26% dari semua insiden kanker pada wanita. Setiap tahun, 40.000 wanita meninggal akibat kanker payudara. Oleh karena itu, kanker payudara merupakan penyebab kematian akibat kanker nomor dua di Amerika, setelah kanker paru-paru. Di Indonesia, kanker payudara merupakan pembunuh wanita nomor dua akibat kanker setelah kanker serviks.

Insiden kanker payudara di seluruh dunia bervariasi, dengan prevalensi tertinggi di Amerika Serikat dan Eropa Utara. Di sisi lain, insiden kejadian kanker payudara di Eropa Selatan, Eropa Timur, dan Amerika selatan berada pada taraf sedang, dengan kejadian terendah di Asia. Insiden kanker payudara meningkat tajam seiring dengan bertambahnya usia. Pada wanita premenopause, peningkatan insiden kanker payudara di seluruh dunia, berkisar 8%-9% per tahun. Peningkatan insiden kanker payudara akan terus berlanjut sesuai usia sebelum menopause, tetapi peningkatannya akan berkurang setelah menopause, hingga sekitar 2%-3% per tahun. Hal ini disebabkan oleh faktor dependensi kanker terhadap hormon reproduksi yang mulai menghilang setelah menopause.

Insiden kanker payudara meningkat hampir dua kali lipat dalam beberapa dekade terakhir di negara-negara yang memiliki insiden rendah, seperti Jepang dan Singapura serta area perkotaan. Perubahan gaya hidup yang dramatis, terkait pertumbuhan ekonomi, peningkatan kemakmuran, dan jumlah pekerja wanita di sektor industry, telah mempengaruhi distribusi populasi wanita dengan resiko kanker payudara, termasuk usia menarche dan status kesuburan serta nutrisi (tinggi badan dan berat badan).Faktor Resiko

Faktor resiko kanker payudara yang tidak bisa diubah meliputi usia dan jenis kelamin. Resiko munculnya kanker payudara terus meningkat seiring bertambahnya usia. Sebagian besar kanker payudara didapatkan pada wanita dengan usia di atas 50 tahun. Pria juga bisa menderita kanker payudara. Tetapi jumlahnya 100 kali lebih sedikit dibanding wanita. Resiko kanker lebih tinggi pada wanita dengan riwayat keluarga dengan kanker payudara, kanker serviks, kanker ovarium, atau kanker kolon. Hampir 20-30% wanita dengan kanker payudara memiliki riwayat keluarga dengan penyakit yang sama. Beberapa wanita dengan mutasi gen tertentu menyebabkan munculnya kanker payudara. Mutasi gen yang paling sering dijumpai adalah BRCA1 dan BRCA2. Gen-gen tersebut dalam keadaan normal akan memproduksi protein yang melindungi dari kanker.

Wanita yang mendapat siklus menstruasi lebih awal (sebelum usia 12 tahun) ataupun keterlambatan menopause (setelah usia 55 tahun) memiliki resiko kanker payudara yang lebih tinggi. Konsumsi alkohol lebih dari 1-2 gelas per hari dapat meningkatkan resiko kanker payudara. Wanita yang tidak mempunyai anak (nullipara) atau yang mempunyai anak setelah usia 30 tahun, memiliki resiko kanker payudara yang lebih tinggi. Di sisi lain, hamil lebih dari sekali (multi gravida) atau hamil di usia yang lebih awal akan menurunkan resiko kejadian kanker payudara.

Resiko kanker payudara akan meningkat pada wanita dengan hormone replacement therapy (terapi hormon estrogen) selama beberapa tahun. Obesitas seringkali dihubungkan dengan kanker payudara, walaupun hubungannya belum sepenuhnya dimengerti. Wanita dengan obesitas diasumsikan memproduksi estrogen lebih banyak, dimana hal ini akan meningkatkan resiko kanker payudara. Terapi radiasi yang dijalani ketika masih anak-anak atau dewasa muda, terutama bila di area dada, akan memberikan resiko yang sangat tinggi terhadap kanker payudara. Onset saat mendapatkan terapi radiasi dan dosis yang diberikan, berpengaruh terhadap kejadian kanker payudara.Patogenesis Kanker PayudaraPenyebab kanker payudara masih belum diketahui secara pasti. Namun, terdapat 3 hal yang diketahui paling berpengaruh (Kumar et al, 2010), yaitu :

a. Perubahan Genetik

Seperti kanker pada umumnya, mutasi proto-onkogen dan gen supresi tumor pada epitel payudara memungkinkan terjadinya onkogenesis. Pada lebih dari 30% kejadian kanker payudara invasif, terjadi overexpression proto-onkogen HER2/NEU yang mengalami amplifikasi. Gen ini adalah anggota dari epidermal growth factor, dan over-ekspresinya dihubungkan dengan prognosis yang buruk. Amplifikasi RAS dan gen MYC juga dilaporkan pada beberapa kanker payudara. Sejumlah besar gen, termasuk gen reseptor estrogen mampu diinaktivasi oleh promotor yang hipermetilasi. Akibatnya, proses transformasi yang menyangkut perubahan genetik multipel akan mengarah pada berbagai kombinasi, dengan berbagai gambaran subtipe yang berbeda dari kanker payudara. Berdasarkan ekspresi gennya, kanker payudara dibagi menjadi 4 subtipe molekuler (Kumar et al, 2010) yaitu:

a. Luminal A (reseptor estrogen-positif, HER2/NEU-negatif)

b. Luminal B (reseptor estrogen-positif, HER2/NEU-over-ekspresi)

c. HER2/NEU positif (HER2/NEU over-ekspresi, reseptor estrogen-negatif)

d. Basal-like (reseptor estrogen-negatif, HER2/NEU negatif)

Subtipe tersebut berhubungan dengan outcome dan terapi yang berbeda pula. Sekitar 10% kanker payudara berhubungan dengan mutasi bawaan yang lebih spesifik. Wanita dengan breast cancer susceptible gene lebih mungkin mengalami kanker payudara bilateral, bahkan mengalami kanker dalam bentuk lain (kanker ovarium). Pada umumnya, terdapat riwayat keluarga positif (multiple first-degree relatives mengalami kanker sebelum menopause) pada pasien tersebut. Hampir 1/3 pasien kanker payudara dengan riwayat keluarga positif memiliki mutasi pada gen BRCA1 (lokus kromosom 17q21.3) atau BRCA2 (pada lengan kromosom 13q12-13). Gen ini mengkode protein kompleks yang besar, yang tidak homolog dengan protein lain. BRCA1 dan BRCA2 merupakan gen supresor tumor klasik, yang meningkat pada kanker payudara, hanya jika kedua alel diinaktivasi atau mengalami defek, dimana lesi genetik pertama disebakan oleh mutasi germline dan yang kedua disebabkan karena mutasi somatik subsekuen (Kumar et al, 2010).Karena aktivitas faktor transkripsi NF- kB pada sel kanker, survival dan proliferasi sel meningkat, beserta adhesi dan angiogenesisnya. Hal ini memiliki peran yang sangat penting dalam tumorigenesis. Pengaruh regulasi NF- kB pada ekspresi molekul promotor tumor seperti MMP, COX-2, NOS, kemokin, dan sitokin inflamatori menjelaskan signifikansi efeknya dalam tumorigenesis. NF- kB meningkatkan ekspresi moleku tersebut, dimana akibatnya akan terjadi invasi sel tumor dan angiogenesis. Perannya yang lain, yaitu meningkatkan ekspresi proto-onkogen seperti c-myc dan cyclin D1 yang secara langsung akan menstimulasi proliferasi (Ostad dan Parsa, 2011).

b. Pengaruh Hormonal

Estrogen endogen yang berlebihan, atau adanya imbalans hormonal memiliki peran yang signifikan pada kejadian kanker payudara. Faktor resiko yang berkontribusi pada hal ini, yaitu usia reproduktif, nulliparitas, umur yang tua saat anak pertama. Imbalans hormonal meningkatkan paparan pada estrogen, tanpa bisa diimbangi progesteron. Estrogen akan menstimulasi produksi faktor pertumbuhan, seperti proses transformatiion growth factor, platelet derived growth factor, fibroblast growth factor, yang akan meningkatkan pertumbuhan sel tumor melalui mekanisme parakrin dan autokrin (Kumar et al, 2010).

c. Variabel Lingkungan

Pengaruh lingkungan pada berbagai insiden kanker payudara berkaitan dengan faktor genetik dan kondisi geografis tertentu (Kumar et al, 2010).Manifestasi Klinis Kanker PayudaraGejala tersering dari kanker payudara adalah adanya massa baru pada payudara. Massa yang tidak nyeri, keras, dengan tepi iregular lebih menunjukkan kondisi keganasan. Akan tetapi, beberapa kanker payudara dapat berkonsistensi lunak dan berbentuk bulat. Karena alasan inilah, jika ada suatu massa baru pada payudara ataupun perubahan pada payudara, maka sangat penting untuk dilakukan pemeriksaan dini. Tanda lain yang mungkin dijumpai pada wanita dengan kanker payudara (American Cancer Society, 2014) antara lain:

Edema dari seluruh bagian payudara (jika tidak ada massa jelas yang dapat dirasakan)

Iritasi kulit atau skin dimpling Nyeri pada payudara atau puting

Retraksi puting, melesak ke dalam (turning inward) Kemerahan, penebalan puting atau kulit payudara

Discharge dari puting selain ASIKanker payudara dapat menyebar ke nodus limfe aksilar atau di sekitar servikal, hingga menyebabkan teraba massa atau edema disana, bahkan sebelum tumor primer di jaringan mamma cukup besar untuk dapat dirasakan. Warning signs dari kanker payudara tidak sama pada setiap wanita. Gejala yang paling sering timbul adalah adanya perubahan pada tampilan dan perabaan payudara, puting, serta adanya discharge. Berikut ini merupakan hal yang dapat diamati dan dirasakan pada suspek lesi payudara (Susan G. Komen, 2013):Gejala dan tanda perubahan payudara pada lesi non-kanker (American Cancer Society, 2014) memiliki kemiripan dengan gejala kanker payudara. Oleh karena itu, akan sulit membedakan antara kondisi jinak dan ganas. Beberapa perubahan pada payudara mungkin tidak menimbulkan gejala apapun dan hanya dapat ditemukan melalui mammogram. Beberapa perubahan pada payudara antara lain:

1. Massa (tumor)

Suatu kondisi benign sering menyebabkan suatu massa atau benjolan. Seorang wanita mungkin akan menemukannya saat mandi, saat aktivitas sehari-hari, atau saat memeriksa mandiri payudaranya. Beberapa kejadian juga sering ditemukan selama pemeriksaan payudara pasien oleh dokter. Massa yang multipel di kedua payudara paling sering disebabkan oleh kombinasi fibrosis dan kista (fibrocystic change). Massa payudara, harus dihubungkan dengan gejala lain yang dirasakan pasien. Sebagai contoh, massa baru yang teraba tegang, bersamaan dengan kemerahan kulit dan demam harus diklasifikasikan sebagai tanda adanya infeksi pada payudara.

2. Penebalan kulit dan atau kemerahan

Kemerahan atau penebalan dari suatu area kulit di payudara dapat memiliki penyebab yang berbeda-beda. Sebagai contoh, inflamasi payudara (mastitis) adalah kondisi yang umum terjadi pada wanita menyusui dan biasanya disebabkan oleh suatu infeksi. Akan tetapi, saat kondisi ini terjadi sangat penting untuk segera memeriksakan diri karena adanya kulit kemerahan dan penebalan dapat merupakan suatu gejala dari kanker payudara (inflammatory breast cancer) yang menyerupai infeksi.

3. Nyeri

Beberapa wanita mengalami nyeri atau rasa tidak nyaman pada payudara seringkali berhubungan dengan siklus menstruasinya. Tipe nyeri siklik ini paling sering terjadi pada 1 minggu sebelum periode menstruasi dimulai. Pada kebanyakan kasus, nyeri ini hilang saat menstruasi terjadi. Pada kondisi jinak, seperti mastitis, nyeri dapat terjadi secara mendadak.

4. Discharge dari Puting

Discharge dari puting payudara adalah hal yang harus diwaspadai, tetapi pada kebanyakan kasus, disebabkan oleh suatu kondisi yang jinak. Pada kondisi jinak, discharge yang keluar bukan susu, biasanya cenderung jernih, kuning atau hijau. Jika discharge keluar lebih dari 1 duktus payudara (dari kedua payudara), hal ini sering disebabkan oleh suatu kondisi jinak seperti fibrocystic change atau ectasia ductus. Jika discharge (berdarah/ tidak berdarah) berasal dari 1 duktus, hal ini mungkin disebabkan oleh suatu kondisi jinak pada duktus tersebut. Namun, hal ini tidak menutup kemungkinan akan terjadinya suatu keganasan.

Discharge berupa susu yang keluar dari kedua payudara (pada keadaan tidak menyusui dan tidak hamil) dapat terjadi berhubungan dengan siklus menstruasi. Hal ini juga dapat disebabkan oleh imbalans hormonal yang dibuat oleh kelenjar pituitari atau tiroid, atau dapat juga disebabkan oleh obat-obatan tertentu. Diagnosis Kanker PayudaraKanker payudara seringkali ditemukan setelah gejala muncul, tetapi banyak wanita dengan kanker payudara tidak mengalami keluhan apapun. Inilah alasan mengapa tes skrining sebelum gejala muncul penting untuk dilakukan. Jika suatu temuan mencurigakan ditemukan dalam tes skrining, ataupun jika gejala kanker payudara telah dideskripsikan sebelumnya, maka seorang dokter dapat memilih satu atau lebih metode untuk membantu menegakkan diagnosis. Jika diagnosis kanker telah ditegakkan, tes lain digunakan untuk menentukan stadium (perluasan) dari kanker (American Cancer Society, 2014).

Diagnosis kanker payudara dibuat berdasarkan pemeriksaan klinis, dalam kombinasi dengan imaging, serta konfirmasi dengan pathological assesment. Pemeriksaan klinis meliputi palpasi bimanual payudara dan nodus limfe lokoregional, serta assesment untuk metastase jauh (tulang, liver, paru, dan pemeriksaan neurologis yang konsisten dengan gejala). Untuk pemeriksaan penunjang, dapat diusulkan pencitraan mammografi bilateral dan ultrasonografi mamma serta nodus limfe regional. MRI mamma tidak rutin direkomendasikan, namun dapat dipertimbangkan dalam kasus kanker payudara familial yang berhubungan dengan mutasi BRCA, implan payudara, kanker lobular, sebelum dilakukan kemoterapi neoadjuvan, atau saat temuan imaging konvensional inkonklusif (misal adanya status nodus limfe aksiler yang positif dengan tumor primer payudara yang tidak diketahui, kecurigaan adanya multifokalitas atau multisenteritas pada suatu lobulus tertentu dari kanker payudara) dan untuk mengevaluasi respon terapi sistemik yang diberikan (Senkus et al, 2013).Selain imaging, evaluasi penyakit sebelum diterapi meliputi pemeriksaan histopatologis dari tumor primer dan sitologi/histologi dari nodus limfe aksilar, jika ada kecurigaan metastase. Assesment lain meliputi riwayat kesehatan personal yang lengkap, riwayat keluarga yang berhubungan dengan kanker payudara atau ovarium, pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah lengkap, pemeriksaan fungsi liver dan renal, serta ALP dan kalsium.Assesment terhadap status menopause dapat ditunjang dengan pengukuran serum estradiol dan follicle-stimulating hormone jika pemeriksa masih ragu-ragu (Senkus et al, 2013).

Tabel 1. Work-up Diagnostik untuk Kanker Payudara Dini (Senkus et al, 2013)

1. Anamnesis

Anamnesis mengenai gejala yang dirasakan (OLDCHART),riwayat kesehatan sekarang, faktor resiko yang mungkin berpengaruh, serta riwayat penyakit yang serupa dalam keluarga.2. Pemeriksaan Fisik

Payudara diperiksa secara seksama untuk mencari dan menemukan massa atau area mencurigakan dan diperiksa tekstur, konsistensi, ukuran, batas, dan hubungannya terhadap kulit dan otot dada.

Adanya perubahan pada puting atau kulit payudara

Palpasi untuk menemukan pembesaran nodus limfe di aksiler dan servikal

Jika kecurigaan dari anamnesis dan pemeriksaan fisik mengarah pada keganasan, tes-tes lain dibutuhkan untuk menegakkan sekaligus menyingkirkan diagnosis banding. Tes tersebut antara lain: imaging test, biopsi area yang dicurigai, serta pemeriksaan sampel discharge dari puting (American Cancer Society, 2014).3. Imaging test

Imaging test dilakukan untuk sejumlah alasan, yaitu untuk mencari tahu apakah area yang dicurigai merupakan suatu keganasan, sejauh mana kanker telah menyebar serta untuk membantu menentukan apakah sebuah terapi tepat secara fungsi atau tidak (American Cancer Society, 2014).

a. Mammogram Diagnostik

Mammogram merupakan pemeriksaan x-ray dari payudara. Skrining mammogram digunakan untuk mencari adanya penyakit payudara pada wanita, yang tidak mengalami tanda dan gejala apapun di payudaranya. Skrining mammogram biasanya diambil dari 2 posisi (2 sudut) untuk tiap payudara (American Cancer Society, 2014).

Mammogram diagnostik digunakan untuk mendiagnosis penyakit payudara pada wanita dengan gejala pada payudaranya (massa/discharge dari puting) atau adanya hasil abnormal dari skrining mammogram. Mammogram diagnostik mengambil lebih banyak gambar pada area yang menjadi fokus pemeriksaan. Pada beberapa kasus, gambaran khusus yang dikenal sebagai cone atau spot views with magnification digunakan untuk membuat area kecil dari jaringan payudara abnormal lebih mudah untuk dievaluasi (American Cancer Society, 2014).

Mammogram diagnostik dapat menunjukkan (American Cancer Society, 2014):

Jika abnormalitas yang tampak pada hasil mammogram bukanlah suatu hal yang mengkhawatirkan, seorang wanita biasanya dapat kembali setiap tahun untuk mammogram rutin tahunan

Jika lesi (area jaringan abnormal) merupakan suspek lesi jinak, seorang wanita diminta untuk kembali lagi lebih awal untuk mammogram berikutnya, biasanya 4-6 bulan kemudian

Jika lesi dicurigai ganas, maka pemeriksaan histopatologi dibutuhkan untuk memastikan apakah lesi adalah suatu kanker atau bukan. Jika ternyata mammogram tidak menunjukan adanya tumor, tetapi pasien atau dokter merasakan adanya massa, biopsi biasanya dibutuhkan untuk memastikan apakah suatu area tersebut adalah kanker atau tidak.

Gambaran yang dapat terlihat pada mammogram (American Cancer Society, 2014):

1. Kalsifikasi

Kalsifikasi adalah deposit mineral mikro dalam jaringan mamma, yang akan terlihat sebagai gambaran putih kecil pada film. Hal ini mungkin dapat disebabkan oleh kanker maupun kelainan yang lain. Ada 2 tipe kalsifikasi:

Makrokalsifikasi: deposit kalsium kasar (besar) yang biasanya disebabkan oleh penuaan dari arteri mamma, cedera di masa lalu, atau inflamasi. Deposit ini berhubungan dengan kondisi non-kanker dan tidak membutuhkan biopsi. Sekitar dari wanita berumur > 50 tahun, dan 1 dari 10 wanita dibawah 50 tahun memiliki gambaran makrokalsifikasi

Mikrokalsifikasi: siratan kecil kalsium pada mamma. Biasanya muncul soliter atau pada kluster-kluster. Mikrokalsifikasi yang terlihat pada mammogram lebih menjadi perhatian, tetapi biasanya tidak berarti kanker itu ada. Bentuk dan tampilan mikrokalsifikasi membantu radiologist menentukan seberapa besar kemungkinan kanker itu ada. Jika suatu kalsifikasi mencurigakan ke arah keganasan, biopsi akan dilakukan

2. Massa, dimana dapat terjadi dengan atau tanpa kalsifikasi, adalah perubahan penting lain yang dapat terlihat pada mammogram. Massa dapat berupa banyak hal, yaitu kista dan tumor solid non kanker seperti fibroadenoma, tetapi dapat juga berupa kanker.

Kista dapat berupa simpel (berisi cairan) atau dapat bersifat solid parsial (kista kompleks). Kista simpel adalah tumor jinak dan tidak membutuhkan biopsi. Massa yang lain yang berupa kista kompleks dan tumor solid, harus dibiopsi untuk memastikan massa ini kanker atau bukan.

b. Magnetic resonance imaging (MRI) MammaMRI dapat digunakan bersama mammogram untuk kepentingan skrining wanita dengan resiko tinggi mengalami kanker payudara, atau dapat digunakan untuk pemeriksaan lebih baik pada area yang dicurigai pada mammogram. MRI juga dapat digunakan untuk menentukan dengan lebih baik ukuran aktual dari kanker dan untuk mencari apakah ada jaringan kanker lain di payudara. MRI juga berfungsi sebagai penunjuk (guidance) untuk biopsi jaringan yang dilakukan pada area yang dicurigai.

c. Ultrasonografi (USG) Mamma

Ultrasonografi adalah pemeriksaan yang sederhana, tidak nyeri dan tidak mengekspos pasien pada radiasi. USG menjadi pemeriksaan penunjang penting bersama dengan mammografi karena secara luas tersedia dan lebih murah dibandingkan pemeriksaan lain seperti MRI. Penggunaan USG daripada mammogram untuk skrining kanker payudara tidak direkomendasikan. Biasanya USG mamma digunakan untuk mentarget area spesifik yang ditemukan pada mammogram.USG membantu membedakan antara kista (saccus berisi cairan) dan massa solid. USG paling berguna pada wanita dengan jaringan payudara yang banyak (dense). d. Duktogram

Tes ini disebut juga galaktogram kadang dibutuhkan untuk menentukan penyebab discharge dari puting. Pada tes ini, pipa plastik yang amat tipis ditempatkan pada bukaan dari ductus di puting dimana discharge berasal. Sejumlah kecil medium kontras diinjeksikan, dimana akan membentuk garis ductus pada gambaran x-ray dan menunjukkan jika ada massa di dalam ductus.3. Pemeriksaan Histopatologi (Biopsi Jaringan)

Diagnosis patologis dibuat berdasarkan core needle biopsy yang dilakukan secara manual, atau yang lebih dianjurkan, menggunakan USG atau stereotactic guidance. Jika terapi sistemik preoperatif direncanakan, core needle biopsy adalah suatu keharusan untuk memastikan diagnosis sifat invasif dari penyakit dan menilai biomarker serta penanda (surgical clip, carbon) yang harus diletakkan pada tumor saat biopsi untuk memfasilitasi evaluasi respon tumor selama terapi dan untuk memastikan reseksi pada tempat yang benar (Senkus et al, 2013).

Diagnosis patologis final harus dibuat berdasarkan klasifikasi World Health Organization (WHO) dan tumournodemetastases (TNM) staging system. Laporan patologis harus mencakup tipe histologi, grade/derajat, evaluasi imunohistokimia (IHK) dari estrogen receptor (ER) menggunakan metodologi yang terstandarisasi (ex Allred atau H-score), dan untuk kanker invasif, evaluasi IHK untuk ekspresi reseptor PgR and HER2 (Senkus et al, 2013). Biopsi dilakukan saat mammogram, maupun saat melakukan imaging lain, didukung dengan temuan pemeriksaan fisik yang menunjukkan adanya suatu perubahan payudara (abnormalitas) yang mengarah pada keganasan. Biopsi adalah satu-satunya cara untuk membuktikan jika kanker itu benar-benar ada. Selama biopsi, sampel dari area yang mencurigakan diambil untuk dilihat dibawah mikroskop. Ada beberapa tipe biopsi, seperti fine needle aspiration biopsy, core (large needle) biopsy, dan surgical biopsy. Masing-masing memiliki keuntungan dan kerugian tertentu. Pilihan penggunaan disesuaikan pada situasi yang dihadapi, seperti seberapa mencurigakan suatu lesi terlihat, besar dan lokasinya di dalam payudara, jumlah lesi, komorbiditas medis yang dimiliki pasien, serta kecenderungan pasien dalam memilih metode mana yang paling nyaman (American Cancer Society, 2014). a. Fine needle aspiration biopsy (FNAB)

Pada FNAB, digunakan jarum yang sangat tipis yang dihubungkan dengan syringe untuk mengaspirasi sejumlah kecil jaringan dari area yang dicurigai yang kemudian akan dilihat di bawah mikroskop. Jika area yang akan ditusuk dapat dirasakan, jarum akan diarahkan menuju jaringan tersebut dengan melakukan palpasi. Jika massa tidak dapat dirasakan dengan mudah, maka dokter menggunakan USG untuk melihat jarum di layar seiring dengan perjalanannya memasuki massa. FNAB adalah tipe biopsi paling mudah, tetapi hal ini memiliki beberapa kerugian. Metode ini kadang tidak mampu menemukan kanker jika jarum tidak ditempatkan diantara sel kanker. Bahkan walaupun sel kanker telah ditemukan, biasanya tidak mungkin untuk menentukan suatu kanker invasif atau tidak. Jika FNAB tidak mampu menegakkan suatu diagnosis, biopsi yang lain lebih dipilih (American Cancer Society, 2014).b. Core needle biopsy

Core biopsy menggunakan jarum lebih besar untuk mengambil sampel payudara abnormal yang dirasakan dokter atau ditunjukkan oleh USG maupun mammogram. Jika mammogram diambil dari sudut berbeda dan digunakan untuk menunjukkan area biopsi, hal ini disebut stereotactic core needle biopsy (American Cancer Society, 2014).

Jarum yang digunakan untuk core biopsy lebih besar daripada jarum FNAB. Jarum ini mengambil silinder kecil (core) jaringan dengan diameter 1/16 hingga 1/8-inci dan panjang -inci dari area abnormal. Biopsi ini dilakukan dengan penggunaan anestesi lokal (American Cancer Society, 2014).

c. Surgical (open) biopsy

Biasanya kanker payudara dapat didiagnosis dengan FNAB. Namun, pada beberapa kasus, pembedahan dilakukan untuk membuang seluruh atau sebagian massa untuk pemeriksaan histopatologi. Yang lebih sering dilakukan, dokter bedah membuang seluruh massa area abnormal sampai dengan margin jaringan payudara sehat terlihat yang disebut excisional biopsy. Jika massa terlalu besar untuk diangkat hanya sebagian saja yang diangkat dan disebut incisional biopsy (American Cancer Society, 2014).

d. Lymph node biopsy

Nodus limfe aksiler yang membesar dan dapat dirasakan atau terlihat dalam imaging test, sebaiknya diperiksa untuk mengetahui penyebaran kanker. Needle biopsy pada nodus limfe dilakukan sekaligus saat biopsi pada tumor payudara dilakukan (American Cancer Society, 2014). Metode Diagnostik Kanker PayudaraDeteksi dini kanker melalui skrining yang telah dilakukan pada saat ini bertujuan untuk menurunkan mortalitas akibat kanker payudara. Dalam hal ini, skrining merupakan upaya pemeriksaan terhadap seorang individu yang tidak menunjukkan gejala penyakit-penyakit tertentu (asimtomatik). Menurut American Cancer Society, seorang wanita disarankan untuk mulai melakukan skrining kanker payudara pada usia 40 tahun secara berkelanjutan setiap tahunnya. Kesadaran masyarakat di Amerika untuk melakukan skrining kanker payudara dengan mammografi berperan penting dalam menurunkan angka kematian akibat kanker payudara sejak tahun 1990. Saat ini, 60% kejadian kanker payudara berhasil terdiagnosis pada stadium yang masih terlokalisir, dengan 5-year survival rate mencapai 99%. Untuk menurunkan tingkat kematian akibat kanker payudara secara signifikan, penggunaan reguler dari mammografi dan peningkatan akses follow-up serta terapi yang berkualitas menjadi hal yang diupayakan oleh pemerintah Amerika Serikat (Centers for Disease Control and Prevention, 2012).Upaya deteksi dini kanker payudara yang direkomendasikan American Cancer Society meliputi (American Cancer Society, 2013):

1. Pemeriksaan mammografi (mammogram)

Pada wanita berusia 40 tahun, pemeriksaan mammografi seharusnya mulai dilakukan secara rutin setiap tahun. Mammografi merupakan pemeriksaan X-ray dari payudara. Diagnostic mammogram bertujuan untuk mendiagnosis penyakit-penyakit terkait abnormalitas payudara seorang wanita yang telah menunjukkan gejala ataupun berdasar hasil abnormal screening mammogram. Tujuan screening mammogram sendiri adalah untuk mendeteksi secara dini penyakit-penyakit terkait abnormalitas payudara seorang wanita yang tanpa disertai gejala klinis (asimtomatis).

2. Clinical Breast Exam (CBE)

Pada wanita berusia 20-30 tahun, clinical breast exam (CBE) seharusnya dilakukan sebagai bagian dari pemeriksaan kesehatan rutin setiap 3 tahun sekali. Namun, saat usia wanita menginjak 40 tahun,waktu pemeriksaan rutin sebaiknya dilakukan setiap 1 tahun sekali.3. Breast-Self Exam (BSE)

Breast self-exam (BSE) dapat dimulai sejak usia 20 tahun. Walau peran BSE tidaklah sebesar pemeriksaan yang lain, BSE yang dilakukan secara rutin setiap bulannya (pasca menstruasi) diharapkan mampu meningkatkan kesadaran seorang wanita apabila terdapat abnormalitas pada payudaranya.

4. Pemeriksaan MRI (Magnetic Resonance Imaging)

MRI merupakan pemeriksaan penunjang tambahan, bukan merupakan pengganti pemeriksaan mammografi yang telah direkomendasikan sebelumnya. Meskipun MRI lebih sensitif dalam mendeteksi kanker payudara dibandingkan mammografi, namun ada jenis-jenis kanker tertentu yang hanya bisa terdeteksi dengan pemeriksaan mammografi. Di dalam memilih pemeriksaan penunjang ini, kemungkinan MRI-guided biopsy harus dipertimbangkan bagi wanita tersebut.5. Risk Assessment Tools (Gail, Claus, dan Tyrer-Cuzick model)

Model penilaian ini dilakukan untuk memperkirakan resiko terjadinya kanker payudara pada seorang wanita. Meski hanya sebatas perkiraan, estimasi resiko dilakukan berdasarkan kombinasi berbagai faktor resiko dan berbagai data penunjang. Oleh karena faktor-faktor yang digunakan berbeda satu sama lain, maka untuk seorang wanita yang sama, tiap pemodelan dapat menghasilkan interpretasi yang berbeda. Sebagai contohnya, pemodelan Gail mendasarkan penilaiannya pada beberapa faktor resiko personal seperti usia saat ini, usia menarche, riwayat biopsi payudara sebelumnya, riwayat keluarga dengan kanker payudara (first-degree relatives). Di sisi lain, pemodelan Claus mengandalkan riwayat keluarga dengan kanker payudara pada first and second-degree relatives.

6. Breast Ultrasound

Pemeriksaan sonografi payudara merupakan modalitas pencitraan yang menggunakan gelombang suara untuk mengamati bagian dalam dari payudara seorang wanita, terkait abnormalitas yang mungkin nampak dari gambaran USG.

7. Pemeriksaan penunjang lain seperti PET, transiluminasi, skintimammografi, termografi, electrical impedance scanning, duktogram, nipple discharge exam, fiber optic ductoscopy (FDS) nipple aspiration (NAF), dan ductal lavage (Carol et al., 2010).Pemeriksaan Mammografi (Mammogram)Mammografi juga diindikasikan untuk wanita yang beresiko tinggi terhadap kanker payudara, misalnya pada wanita dengan mutasi BRCA 1/2, ataupun dengan riwayat keluarga yang terbukti mengalami mutasi BRCA, serta pre-menopausal breast cancer. Pemeriksaan sebaiknya dimulai pada usia 30 tahun ataupun 10 tahun lebih awal daripada usia saat kerabat termuda terdiagnosis dengan kanker payudara. Pada seorang wanita dengan riwayat terapi radiasi limfoma Hodgkin, sebaiknya pemeriksaan dilakukan rutin sejak 8 tahun pasca terapi, namun usianya harus di atas 25 tahun. Di sisi lain, pada wanita dengan neoplasia lobular (lobular carcinoma in situ, atypical lobular hyperplasia, atypical ductal hyperplasia, ductal carcinoma in situ, kanker payudara invasif, kanker ovarium), pemeriksaan rutin wajib segera dilakukan tanpa memandang batasan usia (Carol et al., 2010).Screening mammogram biasanya dilakukan 2 posisi dari tiap payudara. Di sisi lain, untuk diagnostic mammogram, biasanya dilakukan lebih dari 2 posisi. Wanita menyusui dapat tetap melakukan pemeriksaan mammografi meskipun hasilnya tidak terlalu akurat, mengingat jaringan payudara yang masih cenderung lebih padat dibandingkan biasanya. Untuk wanita dengan implan payudara (augmentasi ataupun rekonstruksi pasca mastektomi), gambaran tambahan diperlukan untuk mengeksplorasi jaringan payudara tersisa sebaik dan sebanyak mungkin dengan teknik khusus. Mammogram modern menggunakan sinar dengan tingkat radiasi yang relatif sangat rendah, sekitar 0.1-0.2 rad/x-ray. Keseluruhan prosedur screening mammogram berlangsung 20 menit, dimana penekanan pada payudara hanya berlangsung beberapa detik saja mengingat hal ini tidak nyaman bagi pasien (American Cancer Society, 2013).

Digital mammogram (full-field digital mammogram atau FFDM) berbeda dari mammogram biasa dalam hal perekaman dan penyimpanan data, serta bagaimana interpretasi dilakukan melalui komputer. Tomosintesis (3-D mammografi) merupakan pengembangan dari digital mammogram. Dari hasil pengambilan gambar, data yang diperoleh akan dikombinasi menjadi 3D-picture. Meskipun radiasi yang digunakan melebihi mammogram 2 posisi, hasilnya ternyata mampu memberikan gambaran yang lebih jelas dan menurunkan potensi pemanggilan pasien untuk melakukan mammografi ulang (Pisano et al., 2005).

Kalsifikasi yang terlihat dari hasil mammogram, tampak sebagai suatu titik putih. Makrokalsifikasi (coarse calcium deposit) menunjukkan perubahan degeneratif dari payudara, seperti aging of the breast arteries, inflamasi, atau luka terdahulu, dimana hal ini dikaitkan dengan kondisi non-cancerous dan tidak membutuhkan biopsi. Hal ini seringkali didapati pada lebih dari separuh wanita berusia 50 tahun dan pada 1 dari 10 wanita yang usianya dibawah 50 tahun. Bentuk dan layout dari mikrokalsifikasi (tiny specks of calcium) sangat berpengaruh terhadap interpretasi suatu keganasan. Jika dicurigai sebagai suatu keganasan, biopsi dilakukan bersamaan. Gambaran suatu massa dapat mengindikasikan adanya kista (non-cancerous, fluid-filled sacs) maupun suatu non-cancerous solid tumors (fibroadenoma). Simple fluid-filled sac (simple cyst) pada umumnya jinak dan tidak memerlukan biopsi. Di sisi lain, partially solid/complex cysts dan tumor solid membutuhkan biopsi untuk memastikan bahwa jaringan tersebut bukan kanker. Untuk memastikan suatu kista, dapat dilakukan pemeriksaan sonografi ataupun aspirasi cairan kista melalui jarum yang tipis dan berongga (Saslo et al., 2007).

Bentukan massa tertentu membutuhkan pemeriksaan mammogram yang periodik, sambil mengamati ukuran, bentuk, dan batasan massa. Densitas payudara didasarkan pada komposisi jaringan penyusunnya (jaringan lemak, fibrosa dan glandular). Densitas yang tinggi pada payudara merupakan hal yang abnormal, namun mammogram tidak mampu memastikan apakah suatu jaringan abnormal tersebut bersifat ganas atau jinak. Densitas payudara yang tinggi banyak dijumpai pada wanita usia muda, maupun yang sedang hamil. Hal ini menjadi masalah jika wanita muda tersebut beresiko tinggi terhadap kanker payudara (mutasi gen dan riwayat keluarga dengan kanker payudara) dan membutuhkan breast screening. Oleh karena keterbatasan ini, maka MRI direkomendasikan bagi wanita yang beresiko tinggi tersebut. Meskipun tren penggunaan mammografi telah meningkat cukup pesat di Amerika (66,5% wanita telah menggunakan mammografi dalam 2 tahun terakhir sejak 2010), ternyata masih saja terjadi keterlambatan diagnosis. Pasien sering datang dengan stadium lanjut dan juga dengan ukuran tumor yang besar, dimana hal ini konsisten dengan fakta bahwa wanita yang melakukan pemeriksaan mammografi sering datang tidak tepat waktu sesuai dengan rentang usia yang direkomendasikan. Faktanya, sekitar 1 dari 5 wanita yang terdiagnosis dengan kanker payudara melalui suatu skrining, menunjukkan suatu jenis kanker yang non invasif, artinya, sel kanker terdapat pada payudara namun terbatas hanya pada milk ducts dan tidak menyebar ke jaringan lain (ductal carcinoma in situ/DCIS). Sebaliknya, 4 dari 5 wanita yang terdiagnosis dengan kanker payudara melalui suatu skrining, menunjukkan suatu jenis kanker yang invasif, yang menyebar ke jaringan sekitar (NHS Cancer Screening Programs, 2013)

Untuk pemeriksaan mammografi, tidak terdapat batasan usia spesifik terkait waktu penghentian pemeriksaan. Namun, ketika harapan hidup kurang dari 7 tahun berdasarkan kondisi komorbidnya, maka pemeriksaan boleh dihentikan (Carol et al., 2010). Mammografi tidak dapat secara spesifik mendeteksi semua jenis kanker payudara, mengingat beberapa jenis kanker payudara yang berhasil terdeteksi dengan mammografi, memiliki prognosis yang buruk dan progresif. Selain itu, mammografi juga sangat mungkin memberikan hasil positif palsu, oleh karena itu, biopsi tetap dibutuhkan untuk memastikan jenis kankernya jinak ataupun ganas (American Cancer Society, 2013).Clinical Breast Exam (CBE)

Clinical breast exam (CBE) merupakan pemeriksaan payudara yang dilakukan oleh tenaga medis profesional, dimana pasien diminta untuk melepaskan pakaiannya hingga pinggang. Pengamatan dilakukan terhadap payudara untuk mengevaluasi ukuran, bentuk, serta perubahan-perubahan yang mungkin terjadi pada kulit payudara ataupun pada nipple. Setelah itu, dilakukan palpasi pada payudara untuk memeriksa apakah ada benjolan yang tidak wajar, lokasinya, dan dasarnya (menempel pada kulit atau jaringan yang dibawahnya).Kedua area di bawah ketiak juga diperiksa untuk melihat apakah terdapat abnormalitas maupun pembesaran nodus limfe regional (Smith et al., 2003).Breast Self Exam (BSE)

Sejak usia 20 tahun, seorang wanita sebaiknya melakukan pemeriksaan payudara sendiri, menyadari bagaimanakah payudara normal, merasakan dan melaporkan perubahan yang mungkin terjadi sedini mungkin. Pada wanita dengan implan, BSE tetap dapat dilakukan dengan mengidentifikasi batas implan, sehingga pasien tetap dapat merasakan bagian payudaranya. Waktu terbaik untuk melakukan pemeriksaan ini adalah pada saat payudara tidak bengkak ataupun tidak nyeri tekan. Untuk melakukan pemeriksaan ini, pasien dapat berbaring,lalu menempatkan tangan kanannya dalam posisi menyangga kepala. Saat berbaring, jaringan payudara lebih mudah dirasakan. Tiga jari tangan kiri digunakan untuk melakukan palpasi pada payudara sebelah kanan sambil melakukan circular motion. Dengan memberikan tekanan palpasi yang berbeda-beda, maka semua jaringan dapat dirasakan dengan baik. Tekanan ringan dibutuhkan untuk merasakan jaringan yang paling dekat dengan kulit. Tekanan sedang digunakan untuk merasakan jaringan yang sedikit lebih dalam. Tekanan yang paling kuat ditujukan untuk merasakan jaringan yang paling dekat dengan dinding dada dan tulang rusuk. Arah palpasi dilakukan dengan pola ke atas dan ke bawah mengikuti suatu garis imajiner (vertical pattern), dari tepi ketiak hingga bagian sternum. Pola ini paling efektif untuk meminimalisir jaringan payudara yang terlewat untuk diperiksa, dengan batasan costae dan klavikula. Ketika berada di depan cermin dengan kedua tangan berkacak pinggang untuk mengkontraksikan otot dinding dada, dilakukan pengamatan terhadap adanya perubahan ukuran, bentuk, kontur, skin dimpling, atau kemerahan dan keradangan pada nipple maupun kulit payudara. Mengangkat dan meluruskan lengan tidak direkomendasikan dalam pemeriksaan ini karena justru akan menyulitkan perabaan (Saslo et al., 2007).Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Untuk wanita dengan resiko tinggi terhadap kejadian kanker payudara, American Society merekomendasikan untuk dilakukan skrining MRI tahunan, sebagai pemeriksaan tambahan di samping mammografi pada usia 30 tahun. Hal ini penting untuk wanita dengan riwayat keluarga yang pernah menderita kanker payudara dan kanker ovarium (terdapat mutasi gen BRCA 1/2) ataupun riwayat radiasi sebelumnya (misalnya limfoma Hodgkin). MRI tidak direkomendasikan sebagai suatu alat skrining tunggal meskipun gambar yang dihasilkan sangat detail dan bersifat cross-sectional, sebab MRI tidak mampu mengidentifikasi kasus khusus seperti ductal carcinoma in situ. Namun, MRI dapat digunakan untuk menentukan ukuran aktual dari pasien yang telah terdiagnosis dengan kanker payudara. Gadolinium merupakan bahan kontras yang diinjeksikan secara intravena sebelum MRI dilakukan. Tujuannya, untuk memberikan gambaran jaringan payudara yang lebih detail. Breast MRI machine menghasilkan kualitas gambar yang lebih baik jika dibandingkan dengan MRI biasa. Waktu yang dibutuhkan untuk keseluruhan prosedur cukup lama, sekitar 1 jam, dengan platform yang khusus didesain untuk payudara. Kemoprevensi dan konseling genetik, bahkan upaya pembedahan dapat diberikan pada wanita-wanita yang beresiko tinggi tersebut (American Cancer Society, 2013).Risk Assessment ToolsModel penilaian ini meliputi pemodelan Gail, Claus, BRCAPRO, Breast and Ovarian Analysis of Disease Incidence and Carrier Estimation Algorithm (BODAICEA),dan Tyrer-Cuzick. Pemodelan Gail (high risk woman - Gail Risk Score > atau = 1.7%), tidak mengikutsertakan faktor paternal, second degree relative, usia first degree relative yang terdiagnosis dengan kanker payudara. Pemodelan ini kurang sesuai untuk seorang wanita yang melakukan supplemental,screening dengan MRI. Di sisi lain, pemodelan Claus mengikutsertakan faktor paternal. BRCAPRO menentukan probabilitas seorang wanita mengalami mutasi gen BRCA 1/2 berdasarkan riwayat pasien sendiri menderita kanker payudara maupun riwayat keluarganya (first&second degree relatives). Untuk Tyrer-Cuzick, riwayat personal seperti berat badan dan tinggi badan, riwayat reproduksi serta riwayat keluarga diikutsertakan. Tidak ada satupun model yang mengikutsertakan faktor kepadatan payudara dan riwayat third degree relative ke dalam penilaiannya (Carol et al., 2010).Breast Ultrasound (USG)

Breast ultrasound digunakan untuk mengevaluasi masalah payudara yang ditemukan pada saat dilakukan diagnostic maupun screening mammogram serta berdasarkan hasil pemeriksaan fisik. Pemeriksaan penunjang ini tidak rutin digunakan untuk skrining, namun sangat bermanfaat pada pemeriksaan wanita dengan jaringan payudara yang padat, dimana hal ini sulit dilakukan oleh mammogram. Selain itu, tidak terdapat dampak radiasi terhadap pasien. Ultrasound juga penting digunakan untuk membedakan massa kistik ataukah solid, tanpa harus melakukan aspirasi cairan terlebih dahulu. Pemeriksaan ini menjadi bermanfaat jika penggunaannya dikombinasikan bersama mamogram mengingat fasilitasnya mudah dijangkau, tidak terlalu mahal, serta tidak invasif jika dibandingkan yang lainnya. Efektivitas ultrasound bergantung pada kemampuan dan pengalaman operator, khususnya saat digunakan untuk USG-guided biopsy (American Cancer Society, 2013).Termografi Payudara (Breast Termography)

Termografi kurang sesuai digunakan untuk mendeteksi kanker payudara dalam tahun pertama perkembangannya. Oleh karena itu, metode ini lebih sesuai untuk mendeteksi dan mengamati kanker payudara pada stadium lanjutan. Gambaran inframerah akan menunjukkan perbedaan temperatur yang berkorelasi dengan berbagai patologi payudara. Thermal imaging juga bermanfaat dalam monitoring efektivitas terapi. Selain itu, termografi bersifat non invasif dan bebas radiasi jika dibandingkan dengan mammografi dan X-ray. Selain itu, termografi akan mengevaluasi pola fisiologis tubuh dan bukan masalah anatomis. Thermogram mendeteksi perubahan mikrosirkulasi kulit sebagai hasil perubahan temperatur dan perubahan kimiawi. Pemeriksaan termografi dilakukan pada ruangan bersuhu 20C, dengan temperatur kulit normal berada pada suhu 30C. Pada perkembangan tumor payudara ganas, terdapat excessive nitric oxide. Akibatnya, pembuluh darah dekat lokasi tumor tidak akan pernah berkonstriksi, kecuali pembuluh darah pada jaringan normal dan pembuluh darah abnormal yang tetap berdilatasi disaat kondisi dingin (George dan Victoria, 2012).

Pada perkembangan awal kanker payudara, upaya pemeriksaan diawali dengan menempatkan pasien pada sebuah ruangan bersuhu 20C, kemudian dilakukan pengambilan gambar termografik, dilanjutkan tes provokasi dengan air dingin dan pengambilan gambar termografik pasca tes provokasi. Apabila hasilnya menunjukkan cool temperature, maka dapat dikatakan bahwa secara fisiologis pasien normal. Jika temperatur cenderung tidak berubah atau malah hangat pasca tes provokasi, maka perlu dilakukan observasi lanjutan. Pada kasus keganasan kanker payudara, terdapat suatu pola hipertermia akibat adanya peningkatan metabolisme,hipervaskularisasi (angiogenesis,pelepasan faktor angiogenik), disfungsi termoregulatori, serta adanya respon imun host (George dan Victoria, 2012).PET Scan dan PET/CT

Positron emission tomography (PET) dan positron emission tomography/ computed merupakan teknologi terbaru yang saat ini makin meningkat penggunaannya dalam upaya pendeteksian kanker payudara. Prinsip dari PET scan ini adalah pendeteksian foton yang dihasilkan radioactive decay dan interaksinya dengan jaringan sekitar. Radionuklida yang paling sering digunakan adalah 18F-fluorodeoxyglucose (FDG) yang akan di-uptake sel sebagaimana glukosa. FDG akan terakumulasi pada jaringan kanker, yang mengalami peningkatan kebutuhan uptake glukosa. Namun, FDG tidak akan mengganggu jalur glikolisis normal. FDG diberikan secara intravena selama 60-90 menit. PET/CT merupakan sebuah teknologi yang mengkombinasikan hasil PET dengan data CT-Scan (data metabolik dengan anatomis). Data CT Scan juga digunakan untuk mengkoreksi kesalahan yang mungkin terjadi pada PET, untuk meningkatkan akurasinya. Sebuah attenuation map dari CT dapat digunakan untuk mengestimasi attenuation factors dari PET scan (Pennant et al., 2010).

Dalam penelitian Anat Biegon dan Jules Cohen, radiotracers digunakan untuk melihat aktivitas aromatase, enzim yang bertanggungjawab terhadap produksi estrogen, mengingat 50-60% wanita dengan kanker payudara merupakan estrogen-positive. Jika hal ini mampu secara efektif mendeteksi kanker payudara, maka metode ini berpotensi digunakan sebagai upaya deteksi dini kanker payudara dan juga melihat metastasenya Biegon dan Cohen, 2012).Nipple Discharge Exam, Fiber Optic Ductoscopy (FDS), Nipple Aspiration (NAF), Dan Ductal LavageUntuk meningkatkan efektivitas terapi kanker payudara, berbagai upaya deteksi dini dilakukan dengan tujuan utamanya yaitu menurunkan mortalitas. Pemeriksaan sitologi sel epitel yang ditemukan pada pemeriksaan breast ductal fluid merupakan upaya terbaru sebagai indikator dini kanker payudara. Cairan duktus dapat diperoleh dari ductal lavage maupun nipple aspiration. Ductal lavage merupakan sebuah prosedur invasif untuk mendapatkan cairan duktal dengan menginsersikan mikrokateter ke dalam duktus, melalui puting susu. Nipple aspiration dilakukan dengan menggunakan fine needle aspiration taupun secara non-invasif dengaKn sistem HALO Breast Pap Test. HALO merupakan sistem otomatis yang mampu mengumpulkan nipple aspirate fluid (NAF) dengan mengkombinasikan metode heat, massage dan suction. Cairan duktus juga dapat diperoleh lewat fiberoptic ductoscopy yang memungkinkan visualisasi langsung dari duktus payudara menggunakan endoskop yang sangat tipis. Fiberoptic ductoscopy juga dapat digunakan untuk mengevaluasi abnormal nipple discharge dalam kaitannya dengan aspirasi sitologi, biopsi atau surgical excision (Oxford Health Plans, 2013).Efektivitas Metode Diagnostik Kanker Payudara Saat IniKanker payudara sering tidak menunjukkan gejala yang khas. Untuk mendeteksi kanker payudara pada fase asimtomatik ini, pemeriksaan mammografi menjadi pilihan utama. Skrining mammografi memiliki sensitivitas 77-95% dan spesifitas 94-97%, sesuai untuk kebanyakan wanita (Heidi et al., 2009). Positive predictive value dari pemeriksaan mammografi hanya sekitar 25% saja (Deborah et al., 2009). Kanker payudara dapat ditangani secara lebih efektif, jika mampu terdeteksi dini, sebelum menunjukkan gejala. Randomized clinical trial telah dilakukan terhadap mammografi, dan hasilnya menunjukkan bahwa mortalitas yang timbul akibat kanker payudara berkurang seiring dengan skrining mammografi yang efektif. Perbedaan sistem kesehatan, program skrining, kualitas pemeriksaan radiologis, standar kualifikasi health assurance dan malpractice climates turut berpengaruh terhadap keberhasilan upaya deteksi dini. Berdasar studi yang membandingkan hasil pemeriksaan digital dan film mammography, hasilnya menunjukkan suatu diagnostic accuracy yang sama, walaupun mammografi digital lebih akurat untuk wanita dibawah 50 tahun, wanita dengan dense breast tissue, serta wanita pre-menopause (Heidi et al., 2009).

Berdasarkan studi meta-analisis terhadap skrining mammografi, upaya ini ternyata mampun menurunkan mortalitas akibat kanker payudara, khususnya pada kelompok usia 39-69 tahun. Hasil positif palsu sering terjadi pada semua kelompok usia, khususnya pada wanita berusia 40-49 tahun,sehingga dibutuhkan pemeriksaan penunjang yang lain. Elmore memperkirakan bahwa di Amerika, 1 dari 2 wanita minimal memiliki hasil mammogram yang positif palsu dan 1 dari 5 wanita minimal akan ada 1 hasil CE yang positif palsu (Deborah et al., 2009). Biopsi lebih sering dibutuhkan pada kelompok usia yang lebih tua. Pada trials of mammography screening untuk kelompok usia 39-49 tahun, didapati penurunan mortalitas akibat kanker payudara sebesar 15% dengan number needed to invite for screening adalah 1,904 untuk mencegah 1 kematian akibat kanker payudara. Hal ini konsisten untuk wanita usia 50-59 tahun, namun kurang sesuai untuk kelompok usia 60-69 tahun. Di sisi lain, untuk kelompok usia 70 tahun atau lebih, tidak terjadi pengurangan mortalitas akibat kanker payudara dengan deteksi berbasis mammografi (Heidi et al., 2009).

Pemeriksaan mammografi tidak sesuai untuk wanita dengan jaringan payudara yang padat, implan, dengan fibrokistik, maupun yang sedang menjalani terapi sulih hormon (hormone replacement therapy). Hal ini dikarenakan adanya gambaran putih yang sangat mirip antara jaringan payudara yang padat jika dibandingkan dengan jaringan kanker. Densitas/kepadatan payudara dibagi ke dalam 4 kategori/grade, dimana akurasi mamografi berturut-turut menurun, yaitu 83% untuk grade 2, 68% untuk grade 3, dan 55% untuk grade 4. Pemeriksaan mammografi juga beresiko menimbulkan pecahnya enkapsulasi suatu cancerous tumor. Pada usia muda, pemeriksaan ini tidak dianjurkan, mengingat hasil penelitian Berrington dan Reeves, menunjukkan bahwa mammogram kurang efektif sebelum usia 50 tahun. Friedenson dalam penelitiannya menemukan bahwa paparan radiasi terion dari mamogram sangat mungkin meningkatkan mutasi pada wanita dengan mutasi BRCA1/2 sehingga menjadi lebih cepat onsetnya. Sensitivitas mammografi menurun sejalan dengan penurunan ukuran massa tumor dan peningkatan densitas payudara. Di sisi lain, sensitivitas USG tetap apabila dihadapkan pada kondisi serupa. Namun, sensitivitas pemeriksaan ultrasonografi akan menurun jika dihadapkan pada kondisi non palpable tumor seperti mikrokalsifikasi. Secara keseluruhan, sensitivitas USG bergantung pada 3 hal, yaitu kualitas alat pemeriksa, kemampuan analis dalam melakukan prosedur dan menginterpretasikan hasil, serta penggunaan multidisciplinary approach dalam upaya pendeteksian kanker (Deborah et al., 2009).Upaya skrining sebenarnya tidak mencegah timbulnya kanker payudara pada seorang wanita. Namun, hal ini akan meningkatkan kecepatan deteksi dini kanker payudara (Freedman et al., 2004). Efektivitas pemeriksaan mammografi dan MRI untuk skrining kanker payudara ternyata berbeda pada seorang wanita dengan riwayat keluarga yang positif kanker payudara maupun memiliki predisposisi genetik terhadap kanker payudara.Sensitivitas MRI dalam melakukan skrining kanker payudara (termasuk ductal carcinomas in situ) mencapai 71,1%. Hal ini berbeda dengan sensitivitas pemeriksaan mammografi yang hanya mencapai 40%. Sensitivitas MRI memang lebih tinggi jika dibandingkan dengan mammografi, namun, spesifitas dan PPV (positive predictive value) mammografi ternyata lebih tinggi. Faktor yang turut berpengaruh terhadap tingginya sensitivitas MRI, bisa jadi dikarenakan adanya pasien yang pernah dicurigai menderita kanker payudara, namun dikonfirmasi ulang menggunakan MRI. Akibatnya, jumlah pasien yang diskrining dengan MRI dan terdiagnosis dengan kanker payudara, menjadi lebih tinggi jumlahnya. MRI juga mampu membedakan kasus tumor jinak dan ganas secara lebih baik jika dibandingkan dengan mammografi, dimana untuk kanker payudara yang invasif, sensitivitas MRI mencapai 79,5% (33,3% dari hasil mammografi) (Mieke et al., 2004).Contrast enhanced magnetic resonance imaging (MRI) sering digunakan untuk mengevaluasi wanita yang telah terdiagnosis dengan kanker payudara. Berdasarkan studi yang membandingkan mammografi dan MRI pada wanita beresiko tinggi, sensitivitas MRI mencapai 71-100%, spesifitasnya berkisar antara 81-97%. Karena itu, American Cancer Society (ACS) merekomendasikan MRI untuk kelompok wanita yang beresiko tinggi, misalnya dengan mutasi BRCA1/2, riwayat keluarga dengan kanker payudara/ovarium, serta pasca terapi limfoma Hodgkin. Hingga saat ini, efektivitas MRI pada kelompok wanita yang tidak berisiko tinggi dan tanpa gejala, masih belum mampu menandingi mammografi dalam menurunkan tingkat mortalitas via deteksi dini. Efektivitas CBE dalam menurunkan mortalitas akibat kanker payudara juga masih kontroversial walaupun prosedurny mudah dan murah. Sensitivitas CBE berkisar antara 40-69%, dengan spesifitas 88-99% dan positive predictive value 4-50%, berbasis mammografi dan interval cancer sebagai standar kriteria. Efektivitas BSE dalam menurunkan mortalitas akibat kanker payudara juga masih belum jelas, dengan sensitivitas BSE mencapai 12-41% ketika dibandingkan dengan CBE serta mammografi. Untuk kelompok wanita beresiko tinggi, genetic counseling-testing dianjurkan, disamping pemeriksaan mammografi dini dan lebih intens (Heidi et al., 2009).

Pemeriksaan CBE dan SBE yang baik mampu mendeteksi minimal 50% dari kanker yang asimptomatik. Hasil penelitian Oestricher et al menunjukkan bahwa sensitivitas pemeriksaan CBE saja (21%) tidak akan sepadan dengan sensitivitas mammografi (78%). Dengan demikian, kombinasi kedua pemeriksaan ini akan meningkatkan sensitivitas deteksi kanker payudara sebesar 82%. Park et al., di dalam penelitiannya, menunjukkan bahwa pentingnya CBE terletak pada kemampuannya untuk mendeteksi kanker yang mungkin terlewat saat dilakukan mammografi. Dengan demikian, tingkat negatif palsu pada mamografi mencapai 13% (Deborah et al., 2009). Selain itu, MRI juga mampu mendeteksi beberapa kanker yang nyatanya sulit terdiagnosis dengan CBE (Clinical Breast Exam) maupun mammografi. Namun, mammografi menunjukkan sensitivitas yang lebih tinggi dalam hal pendeteksian ductal carcinoma, yaitu sekitar 83% kasus (MRI hanya mampu mendeteksi sekitar 17% saja). Upaya skrining akan meningkatkan penegakan diagnosis kanker payudara sedini mungkin, dimana hal ini terbukti dari fakta bahwa tanpa pemeriksaan MRI, kebanyakan pasien dengan resiko tinggi (riwayat predisposisi dan faktor keluarga positif)) sudah mengalami infiltrasi di tingkat nodus limfe (30-45%). Kollias et al., tidak menemukan perbedaan yang signifikan dalam hal ukuran serta derajat tumor yang invasif ataupun keterlibatan nodus limfe, antara seorang wanita yang menunjukkan gejala kanker dan wanita yang tidak menunjukkan gejala pada saat terdiagnosis dengan kanker payudara. Kesimpulannya, skrining MRI memang berkontribusi terhadap upaya deteksi dini kanker payudara herediter. Namun, tumor berukuran besar (diameter lebih dari 2cm) memang jauh lebih sering dijumpai pada wanita dengan mutasi BRCA1/2, PTEN, dan TP53. Karena itu, skrining berulang serta rutin, praktis dibutuhkan seorang wanita dengan mutasi-mutasi tersebut. MRI memiliki spesifitas yang lebih rendah jika dibandingkan mammografi. Oleh karena itu, MRI menimbulkan lebih banyak ketidakyakinan, yang mana perlu diatasi dengan menerapkan short-term follow-up dan pemeriksaan tambahan lainnya. Sebagai kesimpulannya, program skrining dengan MRI dapat mendeteksi kanker payudara pada stadium yang lebih dini, pada wanita dengan resiko tinggi terhadap kejadian kanker payudara (Mieke et al., 2004).

MRI yang digunakan pada saat ini sebenarnya merupakan hasil adaptasi suatu sistem DCE (dynamic, contrast-enhanced) (DCE) dengan sensitivitas yang sangat tinggi terhadap kanker payudara. DCE memegang sensitivitas tertinggi pada kanker payudara yang invasif. Namun, untuk aplikasi pada DCE MRI, agen kontras tetap diinjeksikan sesuai dengan pengalaman klinis pasien (spesifitas berada pada rentang 37-97%). Saat ini, double-inversion recovery (DIR) MRI telah digunakan secara bersamaan untuk menghilangkan sinyal dari 2 jaringan yang berbeda, dengan mengaplikasikan 2 gelombang inversi. Hal ini dilakukan sebelum conventional spin-echo signal acquisition. Mengingat bahwa jaringan payudara terdiri dari jaringan lemak dan fibroglanduler, DIR MRI ternyata mampu menyajikan hasil yang lebih baik dalam hal pendeteksian lesi, tanpa memerlukan agen kontras. Jaringan tumor dan jaringan sehat dibedakan berdasarkan masing-masing T1 relaxation time. Meskipun demikian, LNR (lesion to normal ratio) dari gambaran DIR berbeda secara signifikan jika dibandingkan dengan T1WI (T1-weughted images). LNR merupakan perbandingan hasil pengukuran intensitas sinyal pada area lesi dan area sehat ipsilateral (Jeoung et al., 2014).Tanpa penggunaan kontras, DIR MRI memberi keuntungan bagi pasien-pasien dengan kondisi hamil, gangguan fungsi ginjal, maupun bagi yang beresiko tinggi mengalami nephrogenic systemic fibrosis. Meskipun DIR belum mampu memberikan informasi dinamik yang mampu menggantikan pencitraan DCE MRI, DIR MRI meningkatkan spesifitas dan kelengkapan informasi hasil DCE MRI dalam mendeteksi atau menentukan stadium kanker payudara pada pasien yang tidak tahan media kontras. Nilai LNR antara CE-T1W dan DIR tidak berbeda secara signifikan. Hal ini menandakan bahwa hasil pencitraan dengan 2 metode ini tidaklah terlalu berbeda dan bermanfaat untuk deteksi lesi tanpa kontras (nilai LNR kombinasi menjanjikan hasil yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan T1WI atau T2WI yang berdiri sendiri). Nilai SNR (signal to noise ratio) pada DIR MRI sangat terkait dengan upaya pendeteksian komponen intraduktal invasive ductal carcinoma (IDC) maupun pengklasifikasian IDC berdasarkan persentase komponen intraduktalnya. Sebagai kesimpulan, DIR MRI sangat bermanfaat bagi pasien yang intoleran terhadap agen kontras, dalam hal pendeteksian dini kanker payudara (Jeoung et al., 2014).Deteksi kanker berbasis termografik memiliki akurasi dasar 82-90% pada saat pembacaan hasil dan meningkat hingga 92-97% saat dibandingkan dengan follow-up reading-nya. Beberapa keuntungan dari breast thermography adalah mampu mengamati secara lebih luas (dari leher hingga abdomen, aksila kiri dan kanan juga teramati), memeriksa jaringan payudara yang padat pada wanita muda bahkan anak-anak, memeriksa jaringan payudara pada pria, mengamati adanya inflammatory breast cancer (IBC), memonitor efektivitas terapi, serta mengidentifikasi jaringan fibrokistik pada payudara, membedakan apakah jinak atau ganas. Pemeriksaan ini sifatnya non invasif, tidak harus dilakukan kompresi jaringan yang dapat menyebarluaskan karsinoma in situ, dapat diulang serta mampu memeriksa jaringan payudara dengan implan tanpa harus beresiko merusaknya. Secara khusus, pencitraan berbasis inframerah (infrared imaging) mampu menghasilkan akurasi sebesar 86% pada kasus non palpable breast cancer (George dan Victoria, 2012).Berdasarkan hasil studi Breast Cancer Detection Demonstration Project (BCDDP), termografi memiliki sensitivitas 39% dan spesifitas 82%, dibawah USG serta mammografi. Namun, termografi memiliki true positive rate sebesar 84-95% dan false positive rate antara 6-13%. Pada tahun 2003, Parisky et al menemukan bahwa pemeriksaan termografi efektif (sensitivitas 97%, positive predictive value 25%) untuk menunjang pemeriksaan lesi-lesi yang mencurigakan berdasarkan hasil mammografi. Selain itu, hasil studi Gautherie dan Gros, serta Head dan Elliot menunjukkan bahwa adanya pola panas yang abnormal dan simetris akan meningkatkan resiko seorang wanita untuk menderita kanker payudara hingga 10 kali lipat. Pemeriksaan ini tidak berkorelasi dengan riwayat terapi sulih hormon maupun biopsi payudara sebelumnya. Termografi tidak mampu melokalisasi lesi atau tumor mengingat pemeriksaan ini tidak didesain untuk mendefinisikan area tertentu. Interpretasi hasilnya pun bergantung pada metabolisme/peningkatan suhu di area tertentu. Dengan demikian, low metabolized/cold tumor lebih sulit terdeteksi. Hasil negatif palsu dapat timbul pada kondisi adanya mikrokalsifikasi (Deborah et al., 2009).

Untuk pemeriksaan breast ductal lavage dan HALO Breast Pap Test, masih belum didapatkan bukti klinis yang adekuat terkait penurunan mortalitas akibat kanker payudara maupun dalam hal penegakan diagnosisnya. Metode ini ditujukan untuk wanita beresiko tinggi, namun belum terdapat kriteria seleksi yang definit. Hal seruoa juga menjadi kendala fiberoptic ductoscopy, disamping kelayakan metode ini untuk menggantikan open surgical excision. Menurut The National Comprehensive Cancer Network (NCCN), ductal lavage (DL) belum menjadi modalitas skrining rutin kanker payudara. Namun, DL secara signifikan mampu memberikan sufficient cells untuk diagnosis sitologi, jika dibandingkan dengan nipple aspiration (78% versus 27% pasien) Hal ini meliputi pengumpulan sejumlah besar sel per duktus payudara dan penentuan diagnosis atipik ataupun kanker payudara (17% versus 4% untuk paired samples dan 24% versus 10% untuk kombinasi paired dan unpaired samples). Jumlah sel epitel yang diperoleh dari duktus payudara, berhubungan dengan derajat keparahan perubahan sitopatologis yang terjadi. Carruthers et al., 2007 menyampaikan bahwa DL mampu memprediksi kejadian kanker payudara melalui suatu stratifikasi resiko, walaupun tidak semua pasien yang abnormal hasil DL-nya menderita kanker payudara. Oleh karena itu, sensitivitas DL dalam mendiagnosis kanker payudara masih insufficient walaupun DL mungkin dapat mendeteksi lesi yang terlewat oleh pemeriksaan mammografi (Oxford Health Plans, 2013).Dalam penelitian Kahn et al.,2004, sensitivitas DL mampu mencapai 43%, dengan spesifitas 96%, serta akurasi 77%. Namun jika mild atau marked atypia maupun sel keganasan didukung dengan positive cytologic test, maka sensitivitasnya menjadi 79%, dengan spesifitas 64%, dan akurasi 69%. Sebagai kesimpulan, ductal lavage memiliki sensitivitas rendah dan spesifitas yang tinggi untuk deteksi kanker payudara. Namun, spesimen DL sesuai untuk dievaluasi dengan teknik fluorescent in situ hybridization (FISH) atau analisis sitogenetik. Secara keseluruhan, prosedur DL feasible dan dapat ditoleransi dengan baik, tidak begitu invasif, dengan sel epitel duktus payudara yang jumlahnya banyak untuk analisis sitologis (jika dibandingkan dengan FNA-Fine Needle Aspiration). Metode ini mampu mendeteksi sel abnormal pada spesimen NAF dari duktus payudara individual (Oxford Health Plans, 2013).

Berdasarkan penelitian Proctor et al., 2005, pemeriksaan NAF belum mampu menunjukkan efektivitasnya dalam skrining kanker payudara. Sauter et al., 2010, menyampaikna bahwa NAF cytology memiliki keterbatasan dalam mendeteksi kanker payudara pada wanita (sensitivitas 10%), namun akurasinya mencapai 100% dalam menyingkirkan wanita normal. Pada wanita dengan nipple discharge yang spontan, kejadian positif palsunya cukup besar. Namun, dengan mengkombinasikan NAF dan MD cytology,sensitivitasnya meningkat hingga 24% tanpa mengabaikan spesifitasnya (Oxford Health Plans, 2013).

Melalui FDS, pemeriksa berusaha melakukan visualisasi intraduktal demi memberikan ketepatan diagnostik maupun kemudahan intraoperative breast endoscopy. Shen et al., 2001, menemukan bahwa sensitivitas, spesifitas, positive predictive value (PPV), dan negative predictive value (NPV) untuk FDS adalah 73%, 99%, 80%, dan 98%. Apabila FDS dan DL dikombinasikan, angkanya menjadi 64%, 100%, 100% dan 97%. Hasil ini menunjukkan bahwa FDS mampu mendiagnosis lesi pra-kanker payudara yang tidak terdeteksi dengan upaya pemeriksaaan konvensional. Jika dibandingkan dengan duktografi, PPV FDS mencapai 97,4% (versus 89,2% untuk duktografi). Dengan demikian, FDS sangat baik untuk deteksi lesi intraduktal. Sebaliknya, DL memiliki sensitivitas yang rendah untuk lesi intraduktal, yaitu hanya 50% (spesifitas 94.3% dan akurasi 89.7%) (Pennant et al., 2010). Akurasi diagnostik PET dan PET/CT sangat bervariasi, bergantung pada populasi pasien, teknologi yang digunakan, serta desain studi. Sebagai contoh, jika lesi payudara kecil atau bahkan sulit dideteksi, maka sensitivitasnya akan cenderung rendah. Selain itu, PET-PET/CT sangat bervariasi kemampuannya dalam mendiagnosis keganasan lokal, regional, dan metastasis. Karena penggunaan FDG sebagai radioisotop, peningkatan glukosa darah dapat menjadikan suatu misdiagnosis. Oleh sebab itu, semua pasien direkomendasikan untuk puasa 4-6 jam sebelum pemeriksaan. Aspek-aspek lain yang dapat mempengaruhi akurasinya, antara lain lamanya uptake radioisotop, attenuated factor, image acquisition time, dan model interpretasi image (Pennant et al., 2010).Pada patient-based analysis, estimasi absolut sensitivitas dan spesifitas PET Scan lebih tinggi 10% (sensitivitas 97%). Pengamatan berbasis lesi saja kurang reliabel dan inkonsisten jika dibandingkan dengan patient-based analysis pada penggunaan PET Scan (sensitivitas 56%). Dalam mendeteksi suatu metastase tulang, PET Scan memiliki pola yang kurang konsisten jika dibandingkan dengan pemeriksaan CW (range of examination and imaging techniques), CT dan skintigrafi tulang. Namun, PET memiliki sensitivitas dan spesifitas yang sedikit diatas skintigrafi. PET/CT menunjukkan peningkatan sensitivitas yang signifikan jika dibandingkan dengan direct and indirect patient-based comparisons (sensitivitas absolut lebih tinggi 15% dan spesifitas absolut lebih tinggi 10%). Meskipun jumlah studi pendukung yang belum terlalu banyak, hasil akurasi yang konsisten pada perbandingan hasil PET/CT dengan CT menunjukkan suatu keuntungan diagnostik dari PET/CT jika dibandingkan teknik pencitraan lain. Berdasarkan perbandingan hasil PET Scan dan MRI, tidak terdapat perbedaan sensitivitas dan spesifisitas yang signifikan. Secara keseluruhan, PET/CT memiliki keunggulan akurasi diagnostik (sensitivitas) yang konsisten jika dibandingkan dengan PET. Berdasarkan beberapa studi, hasil sensitivitas dan spesifitasnya konsisten satu sama lain, yaitu antara 90-91% untuk sensitivitas dan 86-87% untuk spesifitas. Untuk deteksi rekurensi kanker payudara, PET Scan dapat digunakan bersamaan dengan teknik pencitraan lainnya, untuk meningkatkan akurasi diagnostiknya. Di sisi lain, kombinasi PET/CT menunjukkan akurasi yang lebih akurat dan cost-effective jika dibandingkan dengan pemeriksaan PET saja (Pennant et al., 2010).23