Desy Dwi Katrin

25
UTS Hukum Humaniter Study Kasus Film Sometimes in April Oleh Desy Dwi Katrin 1112011101 Kelas A2 FAKULTAS HUKUM

description

Tugas Hukum Humaniter Fakultas Hukum Universitas Lampung Angkatan 2011

Transcript of Desy Dwi Katrin

Page 1: Desy Dwi Katrin

UTS Hukum Humaniter

Study Kasus Film Sometimes in April

Oleh

Desy Dwi Katrin

1112011101

Kelas A2

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LAMPUNG

2013

Page 2: Desy Dwi Katrin

BAB I

KASUS POSISI

A. FaktaKonflik di Rwanda, awalnya dapat dikategorikan sebagai konflik

internal, menyusul perebutan kekuasaan antara etnis Tutsi dan Hutu yang mengakibatkan perang sipil di tahun 1959. Akan tetapi konteks konflik internal dan konflik etnis di Rwanda menjadi hirauan internasional karena adanya upaya pemusnahan etnis secara besar-besaran.

Rwanda merupakan salah satu negara di belahan Benua Afrika yang terdiri dari 3 kelompok etnis: Hutu (88%), Tutsi (11%), dan Twa pygmies (1%). Setidaknya ada beberapa faktor yang melatarbelakangi munculnya kebencian terhadap suku Tutsi dan akhirnya berujung pada Genosida. Pertama, fanatisme dari etnis Hutu muncul tidak lepas dari “sakit hati dan reprisals methods” suku Hutu yang mengalami marginalisasi dan stigmatisasi dimasa pendudukan Belgia atas Rwanda dan perang sipil di tahun 1959. Di tahun 1961, partai gerakan emansipasi Hutu Parmehutu menang dalam referendum PBB. Pemerintahan Parmehutu, yang dibentuk sebagai hasil dari pemilihan umum tahun 1961 diberi jaminan otonomi oleh Belgia tanggal 1 Januari 1962. Juni 1962 resolusi Majelis Umum PBB mengakhiri pemerintahan Belgia dan memberikan kemerdekaan penuh atas Rwanda (dan Burundi) yang mulai berlaku sejak 1 Juli 1962.

Kedua, setelah terjadi Perang Sipil di Rwanda tahun 1959, kebanyakan suku Tutsi terbang ke negara tetangga sebagai pengungsi, tekanan dan perang gerilya di negara mereka mengakibatkan mereka tidak dapat kembali ke Rwanda. Pengungsi yang tersebar di beberapa negara tetangga di Afrika ini kemudian membuat sebuah gerakan yang berpusat di Uganda dengan nama Rwandan Patriotic Front (RPF). RPF secara vocal menyerukan agar pemerintah Rwanda memperhatikan nasib jutaan pengungsi yang menjadi diaspora pasca perang sipil di tahun 1959. Gerakan pemberontak, terdiri dari etnis Tutsi yang menyalahkan pemerintah atas kegagalan demokrasi dan menyelesaikan permasalahan dari 500.000 pengungsi Tutsi yang hidup sebagai diaspora di penjuru dunia. Perang pertama muncul setelah gencatan senjata Arusha tanggal 12 juli 1992. Tanzania, melakukan upaya perundingan sebagai jalan mengakhiri pertikaian, memimpin kedamaian dan membagi kekuasaan, dan mengakuai adanya militer yang netral dalam organisasi Persatuan Afrika. Gencatan senjata efektif sejak 31 Juli 1992 dan pembicaraan politik dimulai tanggal 10 Agustus tahun 1992. Presiden Rwanda mulai melakukan perundingan Tripartite yang diadakan antara dua menteri luar negeri Rwanda dan Uganda dan perwakilan UNHCR di Kigali.

Ketiga, media memainkan peranan yang signifikan dalam genosida di Rwanda, media lokal seperti surat kabar dan radio Radio Rwanda dan

Page 3: Desy Dwi Katrin

Radio Television Libre des Mille Collines (RTLM) dipercaya memulai pidato dan dialog-dialog yang berisi kebencian terhadap suku Tutsi, propaganda ini kemudian menjadi sangat sistematis dan berubah menjadi sebuah norma. Surat kabar yang dikuasai oleh negara Kangura memiliki peran pusat, memulai gerakan anti-Tutsi dan anti-RPF, surat kabar itu memuat artikel berisi tindakan yang harus dilakukan untuk melengkapi revolusi sosial di tahun 1959, di tahun 1990, ada artikel yang berisi The Hutu’s Commandments yang secara ekstrim menyatakan kebencian atas Tutsi.

Keempat, operasi peacekeeping yang dilakukan oleh Dewan Keamanan PBB, United Nations Assistance Missions for Rwanda (UNAMIR), yang berusaha menjaga perdamaian pasca perundingan di tahun 1992 serta pengkondisian dan pemeliharaan wilayah Rwanda menyusul akan dipulangkannya 1 juta pengungsi Tutsi di tahun 1994 gagal, setelah Presiden Rwanda, Juvenal Habyarimana meninggal dalam kecelakaan pesawat di Bandara Kigali 6 April 1994. Rwanda menjadi sebuah failed state yang memiliki vacuum of power di negara itu, kendali kemudian diambil alih oleh kaum pemberontak yang akhirnya berujung pada genosidaFilm Sometimes In April Sometimes In April merupakan sebuah film yang mengisahkan pembantaian yang dilakukan oleh kelompok militer garis keras Suku Hutu terhadap Suku Tutsi. Berawal dari polemik dan sentimen politik antara Suku Hutu terhadap Suku Tutsis yang muncul akibat pengaruh kolonialisme Prancis dan Belgia. Suku Hutu merasa memiliki posisi yang lemah secara politik kekuasaan, karena pada saat itu hubungan kolonialisme lebih terjalin dan diturunkan kekuasaannya pada Suku Tutsi. Pada akhirnya setelah memasuki fase kemerdekaan, Suku Tutsi memiliki peran yang cukup besar dalam menjalankan roda pemerintahan Rwanda, dan Suku Hutu melihat hal ini sebagai sebuah hal yang cenderung melemahkan posisi mereka. Pada konteks ini saya melihat mulai muncul bentuk primordialisme yang ditonjolkan oleh Suku Hutu karena merasa tertindas dan berusaha bangkit dari pengaruh dan kekuasaan Suku Tutsi. Maka untuk merebut kekuasaan di Rwanda yang dibawah kendali Rwandan Patriotic Front, kelompok militer garis keras Suku Hutu berusaha mengkudeta dan mengambil alih pemerintahan di bawah rezim Hutu. Langkah pertama yang dilakukan ditanggung-tanggung, kelompok militer Hutu disokong dukungan senjata tentara bayaran dari Prancis mampu membunuh presiden yang berkuasa saat itu, dengan meledakkan pesawat kepresidenan yang berisi presiden Rwanda serta beberapa stafnya. Maka kondisi inilah yang kemudian menjadi batu loncatan rezim Hutu untuk berkuasa penuh di Rwanda dan melakukan genosida terhadap Suku Tutsi.

Page 4: Desy Dwi Katrin

Cerita ini berawal pada tahun 2004, ketika Augustin Muganza, yang bekerja sebagai guru sebuah sekolah berusaha memperlihatkan catatan kelam negara Rwanda kepada muridnya. Dan inilah yang menjadi sebuah bentuk ingatan flashback dari Augustin atas pengalaman pahit dan kelam yang dialaminya ketika di masa rezim Hutu.

Augustin tadinya merupakan seorang Kapten Tentara Nasional Rwanda. Ia sendiri merupakan orang yang berlatarbelakang Suku Hutu. Memiliki seorang istri berdarah Tutsi yang diperankan oleh tokoh Jeanne. Konsekuensi yang kemudian muncul adalah anak-anak Augustin memiliki darah beraliran Tutsi dan ini yang kemudian menjadi problematika utama ditengah rezim Hutu kemudian.

Setelah kudeta yang dilakukan oleh rezim Hutu, Rwanda semakin porak poranda. Posisi Suku Tutsi pun diperlakukan layaknya sebuah kecoa yang harus dimusnahkan dari bumi Rwanda. Militer memiliki andil besar dalam mempengaruhi masyarakat sipil bersuku Hutu. Ditambah lagi peran salah satu radio nasional Rwanda yang terus memprovokasi pergerakan Suku Hutu melawan Suku Tutsi semakin menyumbang gejolak masyarakat Hutu untuk melakukan pembunuhan massal.

Pada awalnya sweeping dilakukan untuk menselektif mana yang Hutu atau Tutsi, tetapi gerakan kemudian menjadi massive dan tidak terkendali dipengaruhi oleh provokasi, power, dan emosi terkadang masyarakat sipil dan tentara Hutu brutal tanpa membedakan mana yang Hutu atau bukan. Maka pada konteks inilah saya melihat yang menjadi satu nilai lebih kesuksesan sutradara dalam menciptakan bentuk film historical-drama. Perasaan emosional yang berkecamuk pada tokoh utama Augustin sangat tersirat jelas ketika mengetahui kematian teman, istri, dan anaknya. Ditambah lagi ia merasa dilematis dan sangat emosional ketika harus bertemu dengan adiknya (Honore Butera), yang pada dasarnya turut andil dalam peristiwa genosida di Rwanda.

B. Pihak-Pihak yang Bersengketa

Berdasarkan uraian di atas, pihak-pihak yang terlibat dalam sengketa tersebut adalah kelompok militer garis keras Suku Hutu terhadap Suku Tutsi.

Page 5: Desy Dwi Katrin

BAB II

MASALAH HUKUM DAN TINJAUAN TEORITIK

A. MASALAH HUKUM

Pada saat perang berlangsung, tentu banyak sekali pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh masing-masing pihak yang melanggar kaidah atau peraturan hukum perang. Pada kali ini, penulis ingin menganalisis pelanggaran-pelangaran apa saja yang dilakukan para pihak berperang tersebut? Dan dimanakah pengaturan pelanggaran tersebut diatur?

B. TINJAUAN TEORITIK

Pasal 3 pada Konvensi Jenewa-konvensi Jenewa 1949 menyatakan sebagai berikut: tiap pihak dalam sengketa itu akan diwajibkan untuk melaksanakan ketentuan-ketentuan berikut:1

1). Orang yang tidak ikut dalam sengketa termasuk anggota angkatan perang yang meletakkan senjata serta tidak lagi turut serta (hors de combat) karena sakit, luka-luka, penahanan atau sebab lain apa pun, dalam keadaan bagaimana pun harus diperlakukan secara manusiawi, tanpa pembedaaan merugikan berdasarkan suku, warna kulit, agama atau kepercayaan, jenis kelamin, keturunan atau kekayaan atau kriteria sejenis lainnya. Untuk maksud ini maka terhadap orang-orang tersebut kapan dan dan di mana pun juga tidak boleh dilakukan tindakan-tindakan berikut:

kekerasan terhadap jiwa, raga, terutama segala macam pembunuhan, pengudungan, perlakuan kejam dan penganiayaan,

penyanderaan, perkosaan terhadap kehormatan pribadi, terutama perlakuan yang

menghina dan merendahkan martabat menghukum dan menjalankan hukuman mati tanpa didahului oleh

keputusan yang dijatuhkan oleh pengadilan yang dibentuk secara teratur, yang memberikan segenap jaminan peradilan yang diakui sebagai keharusan oleh bangsa-bangsa yang beradab.

1 . Supardan Mansyur, Prinsip-Prinsip Kemanusiaan (Hukum humaniter dan hukum HAM) dalam pelaksanaan tugas kepolisian, 3:5 (2008)

Page 6: Desy Dwi Katrin

2). Yang luka dan sakit harus dikumpulkan.

Sebuah badan humaniter tidak berpihak dapat menawarkan, seperti Komite Palang Merah Internasional dapat menawarkan jasa-jasanya kepada Pihak-pihak dalam sengketa.

Pihak-pihak dalam sengketa, selanjutnya harus berusaha untuk menjalankan dengan jalan persetujuan-persetujuan khusus, semua atau sebagian dari ketentuan lainnya dari Konvensi ini. Pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut di atas tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum Pihak-pihak dalam sengketa.

Ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam sengketa bersenjata internal dalam Protokol II 1977, pada prinsipnya mengembangkan dan memperluas ketentuan-ketentuan pasal 3 yang bersamaan pada keempat Konvensi Jenewa 1949, yag pada intinya memuat hal-hal berikut:2

prinsip yang memberikan jaminan mendasar bagi perlakuan manusiawi diulangi kembali (pasal 4) sama dengan jaminan yang diberikan dalam pasal 3 yang bersamaan

minimum perlakuan yang ditetapkan terhadap orang yang diasingkan atau ditahan karena alasan yang terkait dengan sengketa bersenjata (pasal 5.1 (a) sampai (e), meliputi: (a) perawatan atas orang yang luka dan sakit, (b) persedian makanan, air, fasilitas kesehatan dan gizi, dan perlindungan, (c) hak menerima bantuan perorangan atau kolektif (f) hak melaksanakan agama dan menerima bantuan spiritual, dan (g) kondisi kerja dan jaminan yang sama dengan yang diberikan kepada penduduk setempat.

Mereka yang bertanggung jawab atas pengasingan dan penahanan, sampai batas kemampuan mereka harus menghormati ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan orang-orang tersebut (pasal 5.2 (a) sampai (e): (a) tempat penahanan yang terpisah antara laki-laki dan perempuan (kecuali dalam kasus keluarga), dan pengawasan perempuan oleh perempuan (b) hak menerima dan mengirim surat dan kartu (c) tempat pengasingan dan penahanan tidak boleh dekat dengan kawasan pertempuran (d) hak atas keuntungan pemeriksaan kesehatan (e) kesehatan dan keutuhan jasmani dan rohani mereka tidak boleh dibahayakan karena perbuatan atau kealpaan yang tak dapat dibenarkan.

Perlindungan padal 4 dan 5.1 (a), (c) dan (d) dan 5.2 (b) diperluas kepada orang-orang yang dicabut kemerdekaannya karena alasan yang berkaitan dengan sengketa bersenjata, yang tidak tercakup oleh ayat 1 (pasal 5.3).

2. Cess de Rover, “To Serve & To Protect, Human Rights and Humanitarian Law for Police and Security Forces”, diterjemahkan oleh Supardan Mansyur, To Serve & To Protect, Acuan Universal Penegakan HAM, Rajawali, 2000, hal 94.

Page 7: Desy Dwi Katrin

Pasal 6 secara khusus menetapkan jaminan minimum kemerdekaan dan ketidakberpihakan dalam proses peradilan: (a) informasi segera atas dakwaan pidana, (b) asas tanggung jawab pidana perorangan, (c) tidak berlaku surutnya hukum pidana, (d) asas praduga tak bersalah, (e) hak untuk hadir di pengadilan (f) tidak ada kewajiban untuk memberikan keterangan atau mengaku salah.Ketentuan-ketentuan dalam protokol Tambahan II antara lain menentukan:a. Mengatur: jaminan-jaminan fundamental bagi semua orang, apakah

mereka terlibat ataukah tidak terlibat lagi dalam suatu pertempuranb. Menentukan : hak-hak bagi orang-orang yang kebebasannya di batasi

dalam menerima peradillan yang baik.c. Memberikan : perlindungan penduduk sipil dan obyek-obyek

perlindungan.d. Melarang: dilakukannya tindakan strvasi secara sengaja. 3

Status Kombatan & Tawanan Perang Prinsip Pembeda Warga Sipil Kombatan Salah satu sendi hukum perang adalah distinction principle (prinsip pembeda). Prinsip ini diatur dalam pasal 48 Protokol Tambahan I tahun 1977. Seperti yangtercantum dalam pasal 48, yang berbunyisebagai berikut : “Agar dapat dijamin penghormatan dan perlindungan terhadap penduduk sipil dan obyek sipil, Pihak-Pihak dalam sengketa setiap saat harus membedakan penduduk sipil dari kombatan dan antara obyek sipil dan sasaran militer dan karenanya harus mengarahkan operasinya hanya terhadap sasaran-sasaran militer saja.” Ketentuan tersebut menunjukan bahwa secara implicit Protokol itu menetapkan keharusan diarahkannya operasi militer hanya pada sasaran militer.4

Dinamika perkambangan doktrin tanggung jawab komando menunjukkan adanya pergeseran penerapan standar dari pertanggungjawaban yang mutlak (strict liability) kepada pertanggungjawaban yang terbatas (limited liability). 5 Aturan tersebut kini kita kenal dengan Hukum Humaniter Internasional. Berbagai upaya telah dilakukan umat manusia untuk memanusiawikan perang, terdapat usaha-usaha yang serius untuk memberikan perlindungan kepada individu-individu dari kekejaman perang. 6

Asas-Asas Berperang

a. Asas Kepentingan Militer (Military Necessity)

3 . Ahmad Baharudin Naim, Hukum Humaniter Internasional, Bandar Lampung: Universitas Lampung. Hlm.56. 4 . Protokol Tambahan I tahun 19775 . Natsri Anshari, “Tanggung Jawab Komando Menurut HI dan Hukum Nasional” 1:1 (2005)6 . Bastian yunariono, “Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia”. 11:2 hlm 97 (2007)

Page 8: Desy Dwi Katrin

Asas ini mengandung arti bahwa suatu pihak yang bersengketa (belligerent) mempunyai hak untuk melakukan setiap tindakan yang dapat mengakibatkan keberhasilan suatu operasi militer, namun sekaligus tidak melanggar hukum perang.Asas kepentingan militer ini dalam pelaksanaannya sering pula dijabarkan dengan adanya penerapan prinsip pembatasan (limitation principle) dan prinsip proporsionalitas (proportionally principle).

1). Prinsip Pembatasan (Limitation Principle)

Prinsip pembatasan adalah suatu prinsip yang menghendaki adanyapembatasan terhadap sarana atau alat serta cara atau metode berperang yang dilakukan oleh pihak yang bersengketa, seperti adanya larangan penggunaan racun atau senjata beracun, larangan adanya penggunaan peluru dum-dum, atau larangan menggunakan suatu proyektil yang dapat menyebabkan luka-luka yang berlebihan (superfluous injury) dan penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering); dan lain-lain.

2). Prinsip Proporsionalitas (Proportionality Principle)

Adapun prinsip proporsionalitas menyatakan bahwa kerusakan yang akan diderita oleh penduduk sipil atau objek-objek sipil harus proporsional sifatnya dan tidak berlebihan dalam kaitan dengan diperolehnya keuntungan militer yang nyata dan langsung  yang dapat diperkirakan akibat dilakukannya  serangan terhadap sasaran militer.  Prinsip pembatasan dicantumkan di dalam Pasal 22 dan 23Hague Regulations (Lampiran dari Konvensi Den Haag IV, 1907, atau Regulasi Den Haag), yang berbunyi  “the rights of belligerents to adopt means  of injuring the enemy is not unlimited” atau hak dari Belligerents dalam menggunakan alat untuk melukai musuh adalah tidak tak terbatas (jadi maksudnya =terbatas). Adapun batasan-batasan tersebut, termasuk ke dalamnya penjabaran prinsip proporsionalitas, dicantumkan lebih lanjut secara rinci di dalam Pasal 23.

b. Asas Kemanusiaan (Humanity)Berdasarkan asas ini, maka pihak yang bersengketa diharuskan untuk memperhatikan asas-asas kemanusiaan, di mana mereka dilarang untuk menggunakan kekerasan yang dapat menimbulkan luka-luka yang berlebihan atau penderitaan yang tidak perlu, sebagaimana tercantum di dalam Pasal 23 ayat(e). Kejahatan Terhadap Kemanusiaan: yaitu, pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, deportasi, dan tindakan tidak manusiawi lainnya yang dilakukan terhadap penduduk sipil, sebelum atau selama perang, atau penganiayaan atas dasar politik, ras atau agama dalam pelaksanaan atau sehubungan dengan kejahatan di dalam yurisdiksi Pengadilan, apakah atau tidak melanggar hukum domestik dari negara di mana dilakukan. Konflik bersenjata menimbulkan akibat fatal yang tidak

Page 9: Desy Dwi Katrin

diinginkan oleh setiap umat manusia disini dapat dipahami bahwa tidak ada suatu perang yang tidak meninggalkan korban jiwa atau kerugian material.7 Selain itu perlu ditingkatkan perlindungan terhadap orang-orang dari tindakan kekerasan, pelecehan atau martabat manusia sebagaimana dikatakan oleh Suhaidi8 yaitu masyarakat Internasional terus melakukan usaha dalam perlindungan terhadap martabat manusia melalui instrumen internasional. Situasi dari dulu hingga sekarang terjadinya kesewenag-wenangan, penindasan, peperangan dan kekejaman yang di lakukan oleh orang yang sedang berkuasa terhadap orang-orang yang lainnya. 9

Asas Ksatriaan (Chivalry)

Asas ini mengandung arti bahwa di dalam suatu peperangan, kejujuran harus diutamakan. Penggunaan alat-alat yang ilegal atau bertentangan dengan Hukum Humaniter serta cara-cara berperang yang bersifat khianat dilarang.Asas kesatriaan tergambar di dalam hampir semua ketentuan Hukum Humaniter.  Sebagai contoh, mari kita lihat Konvensi Den Haag III (1907) mengenai permulaan perang (the commencement of hostilities). Berdasarkan Pasal 1 Konvensi III ini, ditentukan bahwa peperangan tidak akan dimulai tanpa adanya suatu peringatan yang jelas sebelumnya (previous and explicit warning), baik dalam bentuk pernyataan perang (declaration of war) beserta alasannya, atau suatu ultimatum perang yang bersyarat (ultimatum with conditional declaration of war).10

Selanjutnya, ditegaskan pula bahwa istilah ketegangan internal, biasanya mengacu kepada: (a) situasi ketegangan yang serius (politik, agama, ras, sosial, eknomi dsb.) atau (b) akibat dari konflik bersenjata atau gangguan internal.11 Selain itu, dokumen ini juga menyajikan sejumlah karakteristik gangguan intern, yaitu:

penangkapan masal banyak orang yang ditangkap untuk alasan keamanan penahanan administratif khususnya untuk waktu lama kemungkinan penganiyaan, penyiksaan atau kondisi penahanan material

atau psikologis mungkin akan merugikan terhadap integritas fisik, mental atau moral para tahanan

tindakan represif yang diambil terhadap para anggota keluarga atau orang yang memiliki hubungan erat dengan mereka yang dicabutkan kebebasannya tersebut di atas,

7 . Teguh Sulista, “Pengaturan Perang dan Konflik Bersenjata Dalam Hukum Humaniter Internasional”, 4:3, (2007)8 . Suhaidi, “Analisis Yuridis Tentang Perdagangan Orang di Indonesia”, 1:1, (2011)9. Siti maimunah, “ Cakupan Hak Asasi Manusia bidang kesehatan”, 2:4, (2004)10. Ria Wierma Putri, Hukum Humaniter Internasional, Bandar Lampung: Universitas Lampung. hlm.11.11. Cess de Rover, op. cit hal. 224

Page 10: Desy Dwi Katrin

penangguhan jaminan peradilan mendasar, baik melalui pernyataan keadaan darurat maupun karena keadaan de facto

tindakan berskala luas yang membatasi kebebasan personil seperti pembuangan, pengasingan, penentuan tempat tinggal (assigned recident) atau pemindahan (replacement)

dakwaan penghilangan secara paksa meningkatnya tindakan kekerasan (seperti penyitaan dan penyandraan)

yang mengancam orang-orang yang tak berdaya atau menyebarkan teror di antara penduduk sipil

BAB III

TUNTUTAN PELANGGARAN PERANG HUKUM HUMANITER

Page 11: Desy Dwi Katrin

Pelanggaran Hukum Humaniter

Jelas dalam serangan tersebut telah terjadi pelanggaran HAM sekaligus juga pelanggaran hukum humaniter. Dalam konteks hukum humaniter, apa yang dilakukan oleh oleh tentara RPA waktu itu jelas melanggar hukum humaniter, khususnya konvensi Jenewa 1949. Seperti diketahui bersama, sebelum lahirnya Konvensi Jenewa 1949, tidak ada ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai perang saudara atau pemberontakan. Baru setelah lahirnya Konvensi-Konvensi Jenewa tahun 1949, maka mengenai sengketa bersenjata yang bersifat ini diatur. Namun demikian, apabila pihak pemberontak memperoleh status sebagai pihak yang berperang (belligerent), maka hubungan antara pemerintah de jure dan pihak pemberontak akan diatur oleh hukum internasional khususnya yang mengenai perang dan netralitas. Konsekuensi dari hal ini adalah akan mengakibatkan berakhirnya status sifat intern (internal character) dari konflik bersenjata tersebut. Hal ini disebabkan karena pengakuan atas status belligerent tersebut oleh pemerintah de jure atau pihak ketiga akan memperkuat kedudukan pihak belligerent, sehingga apabila hal ini dilihat dari sudut pandang pemerintah de jure, maka secara politis tentunya akan merugikan pemerintah de jure. Oleh karena itu, pemerintah de jure akan selalu berusaha untuk menyangkal adanya status resmi apapun dari pihak pemberontak.

Dalam kasus Rwanda, hal ini terjadi. Walaupun pada tahun 1994 ketika terjadi pembantaian besar-besaran, posisi pemerintah dalam keadaan vakum, kenyataan bahwa hukum humaniter tetap menjadi hukum yang harus ditaati merupakan hal yang mutlak. Pada saat itu, dan kemudian terjadi lagi pada tahun 2008, banyak anak dan wanita yang terbunuh oleh tentara saat itu, Jadi jelas bahwa baik suku Tutsi dan Hutu melakaukan berbagai pelanggaran terhadap aturan-aturan dalam hukum humaniter.

Page 12: Desy Dwi Katrin

BAB IV

ANALISIS PELANGGARAN HUKUM HUMANITER

Louise Doswald Beck dan Sylvein Vite mengemukakan adanya berbagai pola pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan dalam peristiwa kerusuhan, ketagangan dalam perang di Rwanda. Di antara pelanggaran-pelanggaran tersebut adalah:12

1. Anak-anak acap direkrut atau diikutsertakan dalam tindakan kekerasan, dan menjadi obyek tindakan kekerasan. Akibatnya, lebih dari 2 juta anak terbunuh dalam kekerasan dan sengketa internal akhir-akhir ini. Anak bersama-sama dengan kelompok-kelompok rentan lainnya, yaitu perempuan, penduduk minoritas etnik, pengungsi dan orang cacat acap mengalami tindakan teror dan kekerasan.

2. Pencabutan nyawa secara semena-mena. Orang-orang sipil acap menjadi serangan langsung dan serampangan dan terbunuh oleh angkatan bersenjata dan kelompok-kelompok bersenjata. Pembantaian orang sipil merupakan hal yang biasa. Acap kematian orang sipil merupakan akibat dari penggunaan senjata yang membabi buta. Kombatan yang tertangkap acap dieksekusi secara sumir, demikian pula non kombatan yang karena keyakinan agama, atau identitas etnik atau pendapat politik mereka menyebabkan mereka dijadikan tersangka oleh penangkapnya. Orang-orang lainnya mati karena kelaparan atau karena penyakit karena pasokan bantuan ditarik secara semena-menana. Mereka yang melakukan protes damai terbunuh pada saat polisi dan pasukan keamanan menanggapinya dengan kekerasan yang berlebihan.

3. Praktik penyiksaan, atau perlakuan atau penghukuman kejam, tidak manusiawi atau merendahkan martabat acap terkait dengan tindakan kekerasan. Mereka yang ditahan karena tindakan kekerasan acap disiksa untuk memperoleh pengakuan, keterangan mengenai kelompok-kelompok oposisi, atau memperlakukan mereka dengan kejam atau menekan mereka.

4. Sengketa acap menyebabkan orang-orang meninggalkan rumah dan milik mereka. Acapkali kebebasan bergerak mereka diganggu, mereka dipaksa keluar dari rumah mereka ke tempat yang bertentangan dengan kehendak mereka dan tanpa pembenaran yang sah. Ini dilakukan untuk menciptakan kawasan “keamanan” untuk memberantas dukungan sipil langsung kepada kelompok-kelompok bersenjata, atau sebagai cara menghukum atau menteror minoritas etnik, bahasa, atau agama penduduk yang dianggap sebagai musuh atau mengusir penduduk tersebut dari kawasan-kawasan tertentu.

5. Hak berserikat dicabut, dan proses hukum juga biasanya disalahgunakan. Ratusan bahkan mungkin ribuan orang yang terlibat pertempuran ditahan, termasuk juga orang-orang yang diduga sebagai pendukung mereka selama berbulan-bulan dan bertahun-tahun tanpa didakwa atau diadili.

12. Doswald-Beck, Vite “International Humanitarian Law and Human Rights Law”, dalam International Review of the Red Cross, No. 293 (1993)

Page 13: Desy Dwi Katrin

6. Perempuan, dalam perang dan peristiwa kerusuhan dan ketegangan acap menjadi korban perkosaan. Bahkan acap kali mereka dipaksa melakukan tindakan pelacuran.

Harta kekayaan orang sipil, rumah sakit, sekolah, bangunan agama dan budaya acap dirusak. Dan seharusnya perang yang terjadi Pasal 4 Konvensi Jenewa III mengatur mengenai status tawanan perang sebagai berikut: 1. Anggota angkatan perang dari suatu pihak dalam sengketa, begitu pula

anggota milisi atau barisan sukarela yang merupakan bagian dari angkatan perang tersebut.

2. Anggota milisi serta anggota dari barisan sukarela lainnya, termasuk anggota gerakan perlawanan yang diorganisir, yang tergolong pada suatu pihak dalam sengketa dan beroperasi di dalam atau di luar wilayahnya sendiri, sekalipun wilayah itu diduduki, asal saja milisi atau barisan sukarela tersebut, termasuk gerakan perlawanan yang diorganisir dan memenuhi persyaratan sebagai kombatan.

3. Anggota-anggota angkatan perang regular tunduk pada suatu pemerintah atau kekuasaan yang tidak diakui Negara Penahan.

4. Orang-orang yang menyertai angkatan perang tanpa dengan sebenarnya menjadi anggota dari angkatan perang itu, seperti anggota sipil awak pesawat terbang militer, wartawan perang, pemasok perbekalan, anggota-anggota kesatuan kerja atau pemasok perbekalan, anggota-anggota kesatuan kerja atau dinas-dinas yang bertanggung jawab atas kesejahteraan angkatan perang, asal saja mereka telah mendapat pengesahan dari angkatan perang yang mereka sertai.

5. Anggota awak kapal pelayaran niaga termasuk nahkoda, pemandu laut, dan awak pesawat terbang sipil dari pihak-pihak dalam sengketa, yang tidak mendapat perlakuan yang lebih menguntungkan menurut ketentuan-ketentuan lain apapun dalam hukum internasional.

6. Penduduk wilayah yang belum diduduki yang tatkala musuh mendekat, atas kemauan sendiri dan dengan serentak mengangkat senjata atau melawan pasukan yang menyerbu tanpa mempunyai waktu untuk membentuk kesatuan.

Dan dalam berperang barangsiapa yang berpartisipasi aktif dalam tindakan yang dianggap sebagai pelanggaran hukum perang termasuk pihak yang memerintahkan untuk melaksanakan kejahatan perang, maka akan diperlakukan sebagai penjahat perang dan jika tertangkap akan diperlakukan sebagai penjahat perang yang tidak memiliki hak sebagaimana tawanan perang (prisoner of war) berdasarkan Konvensi Jenewa.13 Dan berdasarkan Konvensi Jenewa 1949, kombatan yang ditangkap mendapatkan status sebagai tawanan perang dan mendapatkan hak untuk dilindungi oleh hukum humaniter. 14

13 . LT. Col. Richard J. Erickson, Legitimate USE of Milytary Force Agints Statesponsored International Terorosm, P. 63-65 (1989)14 . Waldemar Solf, The Status of Combatants in Non-International Armed Conflicts Under Domestic Law and Transnational Practice, 33 AM. U.L. Rev. 53, 58 (1983)

Page 14: Desy Dwi Katrin

Dalam Pasal 3 keempat Konvensi tahun 1949 ini terdapat semua pokok utama perlakuan korban perang menurut Konvensi-konvensi 1949, sehingga pasal ini dinamakan juga Konvensi Kecil (Convention in Miniature). Selanjutnya Pasal 3 ayat 2 Konvensi-konvensi Jenewa 1949 menyatakan bahwa yang luka dan sakit harus dikumpulkan dan dirawat. Sebuah badan humaniter tidak berpihak, seperti Komite Palang Merah Internasional dapat menawarkan jasajasanya kepada pihak-pihak dalam sengketa. Pihak-pihak dalam sengketa selanjutnya harus berusaha untuk melaksanakan dengan jalan persetujuan-persetujuan khusus, semua atau sebagian dari ketentuan lainnya dari konvensi ini. Pelaksanaan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam sengketa. Ketentuan yang menyatakan bahwa Pihak-pihak dalam sengketa selanjutnya harus berusaha untuk melaksanakan dengan jalan persetujuan-persetujuan khusus, menunjukkan bahwa dalam peristiwa terjadinya sengketa dalam negara tidak dengan sendirinya seluruh konvensi berlaku, melainkan hanya ketentuan yang terdapat dalam Pasal 3 ayat 1.

Selanjutnya, kalimat diadakannya perjanjian-perjanjian demikian antara pemerintah de jure dan kaum pemberontak tidak akan mempengaruhi kedudukan hukum pihak-pihak dalam pertikaian, yang berarti bahwa maksud dari Pasal 3 adalah semata-mata didorong cita-cita perikemanusiaan dan tidak dimaksudkan untuk mencampuri urusan dalam negeri suatu negara. Namun demikian, walaupun sudah ada ketentuan sebagaimana diatur dalam Pasal 3, harus pula diperhatikan bahwa :

1. Dengan adanya Pasal 3 tidak dengan sendirinya seluruh konvensi berlaku dalam sengketa senjata yang bersifat intern, melainkan hanya asas-asas pokok yang tersebut dalam Pasal 3.

2. Pasal 3 tidak mengurangi hakpemerintah de jure untuk bertindak terhadap orang-orang yang melakukan pemberontakan bersenjata, menurut undang-undang atau hukum nasionalnya sendiri. Pasal ini semata-mata bermaksud memberikan jaminan perlakuan korban sengketa bersenjata internal, berdasarkan asas-asas perikemanusiaan.

Jelaslah bahwa baik dalam konteks konflik internal Rwanda, maupun dari sisi pelanggaran terhadap hukum humaniter dengan membunuh anak kecil dan wanita. Dalam proses selanjutnya dalam penyelesaiannya, konflik Tutsi dan Hutu ini sekiranya harus diselesaikan.

Page 15: Desy Dwi Katrin

BAB V

KESIMPULAN

Konflik di Rwanda, awalnya dapat dikategorikan sebagai konflik internal, menyusul perebutan kekuasaan antara etnis Tutsi dan Hutu yang mengakibatkan perang sipil di tahun 1959. Akan tetapi konteks konflik internal dan konflik etnis di Rwanda menjadi hirauan internasional karena adanya upaya pemusnahan etnis secara besar-besaran.

Walaupun konflik akan terus terjadi, tapi penyelesaian pasti selalu ada. Pelanggaran hukum humaniter yang terjadi di Rwanda kiranya harus diselesaikan setuntas-tuntasnya supaya tidak meledak untuk kedua kalinya lagi.

Kenyataan bahwa dunia internasional acuh-tak acuh terhadap Rwanda merupakan kenyataan yang harus disikapi bersama-sama. Jutaan orang sudah tewas terbunuh selama konflik yang berlangsung selama bertahun-tahun itu. Walau kaum realis pesimis soal perdamaian dunia, tapi perdamaian memang kebutuhan yang paling penting di dunia ini.

Page 16: Desy Dwi Katrin

DAFTAR PUSTAKA

Cess de Rover, “To Serve & To Protect, Human Rights and Humanitarian Law for Police and Security Forces”, diterjemahkan oleh Supardan Mansyur, To Serve & To Protect, Acuan Universal Penegakan HAM, Rajawali, 2000

Ria Wierma Putri, Hukum Humaniter Internasional, Bandar Lampung: Universitas Lampung. 2011

Ahmad Baharudin Naim, Hukum Humaniter Internasional, Bandar Lampung: Universitas Lampung. 2010

Supardan Mansyur, Prinsip-Prinsip Kemanusiaan (Hukum humaniter dan hukum HAM)dalam pelaksanaan tugas kepolisian, 3:5 (2008)

Natsri Anshari, “Tanggung Jawab Komando Menurut HI dan Hukum Nasional” 1:1 (2005)

Bastian yunariono, “Hukum Humaniter dan Hak Asasi Manusia”. 11:2 hlm 97 (2007)

Teguh Sulista, “Pengaturan Perang dan Konflik Bersenjata Dalam Hukum Humaniter Internasional”, 4:3, (2007)

Suhaidi, “Analisis Yuridis Tentang Perdagangan Orang di Indonesia”, 1:1, (2011)

Siti maimunah, “ Cakupan Hak Asasi Manusia bidang kesehatan”, 2:4, (2004)

Doswald-Beck, Vite “International Humanitarian Law and Human Rights Law”, dalam International Review of the Red Cross, No. 293 (1993)

LT. Col. Richard J. Erickson, Legitimate USE of Milytary Force Agints Statesponsored International Terorosm, P. 63-65 (1989)

Waldemar Solf, The Status of Combatants in Non-International Armed Conflicts Under Domestic Law and Transnational Practice, 33 AM. U.L. Rev. 53, 58 (1983).

Protokol Tambahan I tahun 1977