DESKRIPSI MORFOLOGI, IDENTIFIKASI MOLEKULER DAN … · perkembangan tidak langsung, yaitu dari...

69
DESKRIPSI MORFOLOGI, IDENTIFIKASI MOLEKULER DAN POSISI FILOGENI BERUDU DI PULAU JAWA BERDASARKAN GEN 12S rRNA DAN 16S rRNA LUTHFIA NURAINI RAHMAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012

Transcript of DESKRIPSI MORFOLOGI, IDENTIFIKASI MOLEKULER DAN … · perkembangan tidak langsung, yaitu dari...

i

DESKRIPSI MORFOLOGI, IDENTIFIKASI MOLEKULER

DAN POSISI FILOGENI BERUDU DI PULAU JAWA

BERDASARKAN GEN 12S rRNA DAN 16S rRNA

LUTHFIA NURAINI RAHMAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

ii

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER

INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis DESKRIPSI MORFOLOGI,

IDENTIFIKASI MOLEKULER DAN FILOGENI BERUDU DI PULAU JAWA

BERDASARKAN GEN 12S rRNA DAN 16S rRNA adalah hasil karya saya

dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun

kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip

dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

tesis ini.

Bogor, Juli 2012

Luthfia N. Rahman

NRP. G352100031

iii

ABSTRACT

Luthfia N. Rahman. Morphological Description, Molecular Identification and

Phylogenetic Relationship of Tadpoles in Java Island Based on 12S rRNA and

16S rRNA Genes. Under supervision of ACHAMAD FARAJALLAH and

MIRZA D. KUSRINI.

Within life cycle of frogs, larval phase is the most difficult phase to

identify, as well as an important phase in the development of Anuran. This study

aims to identify tadpoles using morphological and molecular characteristics and to

assess the phylogenetic of Anuran in Java Island based on tadpoles. Molecular

phylogenetic relationship of tadpoles was estimated using 1362 bp of sequences

from the 12S and 16S rRNA genes. Morphological characteristics showed that

tadpole samples (N=94) were differentiated to 17 species in 6 families. Based on

molecular characteristics there are high similiarty between O. hosii and L.

hasseltii, and between F. limnocharis and F. iskandari. Anuran as monophyletic

group was well-supported except for Rhacophorid based on 12S rRNA gene.

Based on 12S and 16S rRNA genes P. aspera was more closely related to of B.

japonicus, while F. limnocharis was more closely related to F. iskandari based on

12S, 16S and 12S-16S rRNA genes.

Keywords: Identification, tadpole, 12S and 16S rRNA, phylogenetic, Java Islands

iv

RINGKASAN

Luthfia N. Rahman. Deskripsi Morfologi, Identifikasi Molekuler dan Filogeni

Berudu di Pulau Jawa Berdasarkan Gen 12S rRNA dan 16S rRNA. Dibimbing

oleh: ACHAMAD FARAJALLAH, MIRZA D. KUSRINI

Identifikasi spesies pada sebagian besar berudu sulit dilakukan karena

karakter morfologi yang mudah dikenali sangat beragam. Selain itu, berudu dan

Anura dewasa yang ditemukan pada lokasi yang sama tidak mudah untuk saling

dihubungkan terutama pada spesies-spesies yang melakukan aktivitas breeding

dan non-breeding tidak di lokasi yang sama atau berdekatan. Identifikasi spesies

berudu paling sulit dilakukan pada berudu yang berada pada tahap 23 – 25 dalam

proses metamorfosisnya karena merupakan tahap awal diferensiasi oral disc.

Hasil identifikasi spesies berudu dapat menjadi data dasar dalam

manajemen habitat demi kelestarian jenis Anura. Oleh karena itu diperlukan

klustering data molekular yang menjadi alternatif pelengkap untuk memperkuat

identifikasi spesies. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi spesies berudu

di Pulau Jawa berdasarkan karakter morfologi dan molekuler, dan mengetahui

posisi filogeni berudu berdasarkan gen 12S dan 16S rRNA.

Sampel berudu yang dianalisis berjumlah 94 individu. Identifikasi

morfologi dilakukan berdasarkan kunci identifikasi Iskandar (1998). Deskripsi

morfologi dan morfometrika berudu dilakukan berdasarkan Altig (2007), dan

tahap perkembangan berudu ditentukan berdasarkan Gosner (1960). Genom

diekstraksi dari jaringan menggunakan metode fenol-kloroform (Farajallah 2002).

Ruas gen target (12S dan 16S rRNA) diamplifikasi menggunakan pasangan

primer AF05 (5’-ACTGGGATTAGATACCCCACTAT) dan AF08 (5’-

ATGTTTTTGGTAAACAGGCG) dengan suhu annealing 550C. Jarak genetik

antar sampel dihitung berdasarkan jumlah perbedaan nukleotida dan model

subsitusi Kimura 2 Paramater (K2P) menggunakan program MEGA v.4.

Rekonstruksi filogeni dilakukan dengan metode Maximum Parsimony dengan

bootstrap 1000 kali berdasarkan gen 12S rRNA, gen 16S rRNA dan gabungan gen

12S dan 16S rRNA (disimbolkan dengan 12S-16S rRNA).

Identifikasi morfologi menunjukkan bahwa berudu terdiferensiasi dalam

17 spesies dari 6 famili. Berdasarkan nilai terendah dari jarak genetik, hasil

identifikasi morfologi yang kongruen dengan hasil identifikasi molekuler antara

lain P. leucomystax, P. aspera, L. microdiscus, dan R. margaritifer. Spesies yang

hasil identifikasi morfologi tidak kongruen dengan hasil identifikasi molekuler

adalah F. limnocharis, sedangkan spesies yang belum dapat dipastikan adalah O.

hosii.

Percabangan monofiletik pada Anura didukung dengan baik pada

penelitian ini kecuali kelompok Rhacophorid berdasarkan gen 12S rRNA. Spesies

P. aspera berkerabat lebih dekat dengan Bufo berdasarkan gen 12S rRNA dan gen

16S rRNA, sedangkan berdasarkan gen 12S-16S rRNA spesies ini berkerabat

lebih dekat dengan B. japonicus. Spesies F. limnocharis berkerabat lebih dekat

dengan F. iskandari berdasarkan gen 12S rRNA, 16S rRNA dan 12S-16S rRNA.

Kata kunci : Identifikasi, Berudu, 12S dan 16S rRNA, Filogeni, Pulau Jawa

v

@ Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis

dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.

vi

DESKRIPSI MORFOLOGI, IDENTIFIKASI MOLEKULER

DAN FILOGENI BERUDU DI PULAU JAWA

BERDASARKAN GEN 12S rRNA DAN 16S rRNA

LUTHFIA NURAINI RAHMAN

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Biosains Hewan

SEKOLAH PASCASARJANA

INTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012

vii

Penguji Luar Komisi: Dr. Ir. Yeni Aryati Mulyani, M.Sc

viii

Judul Tesis : Deskripsi Morfologi, Identifikasi Molekuler dan Filogeni Berudu

di Pulau Jawa Berdasarkan Gen 12S rRNA dan 16S rRNA

Nama : Luthfia Nuraini Rahman

NIM : G352100031

Mayor : Biosains Hewan

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Achamad Farajallah, M.Si

Ketua

Dr. Ir. Mirza Dikari Kusrini, M.Si

Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Biosains Hewan

Dr. Bambang Suryobroto

Dekan Sekolah Pascasarjana IPB

Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr

Tanggal ujian : 16 Juli 2012 Tanggal lulus:

ix

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya

sehingga tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini disusun dalam rangka memenuhi

persyaratan memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Biosains

Hewan (BSH) Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Achamad Farajallah, M.Si dan Dr. Mirza D. Kusrini, M.Si selaku komisi

pembimbing dan Dr. Yeni A. Mulyani, M.Sc selaku penguji luar komisi yang

telah memberikan arahan dan masukan dalam penyusunan karya ini

2. Kelompok Studi Herpetologi (KSH) Fakultas Biologi Universitas Gadjah

Mada, Yogyakarta atas bantuan spesimen berudu yang diberikan

3. The Mohamed bin Zayed Conservation Fund yang telah memberikan dana

peneltian kepada penulis melalui dana penelitian Dr. Mirza D. Kusrini.

4. Annawaty dan Kamaliah yang telah membantu dalam proses pengumpulan

data di laboratorium

5. Rekan-rekan BSH 2010 yang telah memberikan dukungan dan motivasi

selama perkuliahan berlangsung

6. Kedua orang tua atas doa dan dukungannya yang tidak pernah berhenti kepada

penulis

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Juli 2012

Luthfia N. Rahman

x

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Yogyakarta pada tanggal 29 Juni 1987 dan merupakan

puteri kedua dari pasangan Asep Kusrahman, S.Pd, M.Pd.Si dan Mursilah, S.Pd,

M.Pd Penulis memperoleh gelar Sarjana Kehutanan (S.Hut) dari Departemen

Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB pada

tahun 2010, dan pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan Magister

Sains di Program Studi Biosains Hewan, Sekolah Pascasarjana IPB.

Penulis aktif di Kelompok Pemerhati Herpetofauna (KPH)-Phyton

HIMAKOVA IPB sejak tahun 2006 dan terdaftar sebagai anggota Perhimpunan

Herpetologi Indonesia (PHI) sejak tahun 2010.

xi

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ......................................................................................................... xi

DAFTAR TABEL .............................................................................................. xiii

DAFTAR GAMBAR .......................................................................................... xiv

I. PENDAHULUAN .............................................................................................. 1

A. Latar Belakang ................................................................................................ 1

B. Tujuan ............................................................................................................. 2

II. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................................... 3

A. Anura .............................................................................................................. 3

B. Morfologi Berudu Anura ................................................................................ 4

C. Tahap Perkembangan Berudu ......................................................................... 5

D. Karakter dalam Deskripsi Morfologi Berudu ................................................. 8

E. Kladistik ........................................................................................................ 11

F. Metode Analisis Filogeni .............................................................................. 12

G. Filogenetik Anura ......................................................................................... 13

III. METODE PENELITIAN ............................................................................ 15

A. Waktu dan Tempat Penelitian ...................................................................... 15

B. Sampel Berudu .............................................................................................. 15

C. Deskripsi Morfologi ...................................................................................... 16

D. Ekstraksi dan Isolasi DNA ........................................................................... 16

E. Amplifikasi (Perbanyakan) Ruas DNA......................................................... 17

F. Visualisasi Perbanyakan Ruas DNA ............................................................. 18

G. Perunutan (Sequencing) DNA Produk PCR ................................................. 18

H. Analisis Data ................................................................................................ 18

IV. HASIL ............................................................................................................ 20

A. Identifikasi Morfologi .................................................................................. 20

B. Amplifikasi dan Visualisasi DNA ................................................................ 22

C. Kongruensi Identifikasi Berdasarkan Morfologi dan Genetik ...................... 22

D. Rekonstruksi Filogeni ................................................................................... 24

V. PEMBAHASAN ............................................................................................. 28

xii

A. Kongruensi Identifikasi Morfologi dan Molekuler ....................................... 28

B. Filogenetik ..................................................................................................... 29

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ..................................................................... 32

A. Kesimpulan ................................................................................................... 32

B. Saran .............................................................................................................. 32

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 33

LAMPIRAN ......................................................................................................... 38

xiii

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Daftar nama spesies, asal lokasi sampel dan tahun koleksi sampel berudu ...... 15

2. Daftar spesies, wilayah sebaran dan nomor akses GenBank yang digunakan

dalam analisis keragaman nukleotida dan rekonstruksi filogeni ...................... 19

3. Hasil identifikasi morfologi sampel berudu ...................................................... 20

4. Jumlah perbedaan nukleotida dan jarak genetik berdasarkan gen 12S rRNA dan

16S rRNA antar sampel berudu ........................................................................ 23

5. Nilai CI (Consistency Index), RI (Retention index), RC (Rescaled consistency

index) ketiga pohon filogeni Anura .................................................................. 24

xiv

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Morfologi berudu Anura secara umum ............................................................... 4

2. Tahapan perkembangan berudu ........................................................................... 7

3. Berudu tampak dorsal dan lateral ........................................................................ 8

4. Posisi mata berudu ............................................................................................... 9

5. Posisi vent tube pada berudu ............................................................................... 9

6. Contoh oral disc berudu dengan formula geligi I+1-1/III ................................. 10

7. Pohon filogeni secara umum ............................................................................. 12

8. Terminologi dan morfometrika berudu ............................................................. 16

9. Visualisasi amplikon pada PAGE 6% ............................................................... 22

10. Hasil rekonstruksi filogeni berdasarkan gen 12S dan 16S rRNA. .................. 26

11. Hasil rekonstruksi filogeni berdasarkan gabungan gen 12S dan 16S rRNA. .. 27

1

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anura merupakan salah satu ordo Amfibi yang dicirikan dengan tubuh

tampak seperti berjongkok dengan empat kaki untuk melompat, leher tidak jelas,

tidak berekor dan memiliki permukaan kulit bervariasi dari halus sampai kasar

dengan benjolan-benjolan. Seperti amfibi lainnya, Anura juga mengalami tahapan

perkembangan tidak langsung, yaitu dari embrio menjadi larva kemudian

bermetamorfosis hingga menjadi katak muda (Verma & Pande 2002). Identifikasi

spesies pada sebagian besar larva Anura (yang selanjutnya disebut berudu) sulit

dilakukan. Kesulitan identifikasi berudu menurut Iskandar (1998) berkenaan

dengan karakter morfologi yang mudah dikenali, seperti ukuran tubuh, pola warna

dan formula geligi, sangat beragam. Beberapa berudu diketahui merespon

keberadaan predator dengan mengembangkan sirip ekor menjadi lebih lebar,

terkadang otot ekor menjadi lebih panjang dan badan menjadi lebih kecil. Berudu

dengan keberadaan predator di habitatnya juga memiliki sirip ekor yang berwarna

lebih transparan walaupun respon ini tidak ditemukan pada kebanyakan berudu

(Van Buskirk dan McCollum 1999). Berudu dan Anura dewasa yang ditemukan

pada lokasi yang sama tidak mudah untuk dihubungkan terutama pada spesies-

spesies yang melakukan aktivitas breeding dan non-breeding tidak di lokasi yang

sama atau berdekatan (Starrett 1960).

Selain pada berudu, kesulitan identifikasi juga terjadi pada beberapa

spesies Anura dewasa. Identifikasi spesies Anura dewasa berdasarkan karakter

morfologi tidak berhasil dilakukan pada Fejervarya limnocharis (Dubois 1984,

1987; Inger and Voris (2001). Fejervarya limnocharis merupakan spesies dengan

penyebaran yang sangat luas. Morfologi antar populasi spesies tersebut sulit

dibedakan karena variasi morfologinya kurang dikenali dan tidak adanya diagnosa

spesifik antara spesies pada populasi lokal dan spesies pada populasi lainnya

sehingga seluruh spesies ini dinamai dengan nama yang sama, yaitu F.

limnocharis.

Perkembangan berudu dalam proses metamorfosisnya terjadi dalam 2 fase

(Gosner 1960). Fase pertama disebut fase embrio (tahap 1-25), dimulai dengan

2

pembelahan sel telur hingga embrio menjadi berudu yang hidup bebas. Fase kedua

disebut fase larva (tahap 25-46), dimulai dari berudu yang hidup bebas hingga

menjadi katak muda. Akhir fase 1 (tahap 23-25) merupakan tahap yang paling

sulit dalam mengidentifikasi spesies. Pada tahap ini, oral disc dan barisan geligi

berada pada tahap awal diferensiasi. Barisan geligi terus berkembang secara

bertahap dan biasanya terbentuk sempurna pada awal fase kedua (tahap 25-26),

namun proporsi relatif pada oral disc akan terus berubah secara alometrik selama

metamorfosis. Perubahan proporsi pada oral disc tersebut berhubungan dengan

ekplorasi potensi pakan yang merupakan adaptasi awal berudu dengan habitatnya.

Klustering data molekular merupakan salah satu alternatif pelengkap yang

dapat mempermudah dan memperkuat identifikasi spesies. Penelitian mengenai

identifikasi berudu menggunakan data molekuler dapat digunakan untuk

mengetahui keanekaragaman hayati yang tersembunyi (hidden biodiversity).

Identifikasi spesies berudu terutama dari Anura dewasa yang melakukan aktivitas

breeding dan non-breeding di lokasi yang berbeda dan berjauhan dapat menjadi

data dasar dalam manajemen habitat demi kelestarian jenis Anura.

B. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengidentifikasi berudu di Pulau Jawa berdasarkan karakter morfologi

dan molekuler

2. Mengetahui posisi filogeni berudu di Pulau Jawa berdasarkan gen 12S dan

16S rRNA

3

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Anura

Anura merupakan salah satu ordo Amfibi selain Caudata (salamander) dan

Gymnophiona (sesilia). Famili-famili dari Ordo Anura yang terdapat di Indonesia

adalah Bombinatoridae (Discoglossidae), Megophryidae (Pelobatidae),

Bufonidae, Lymnodynastidae, Myobatrachidae, Mycrohylidae, Pelodryadidae

(sering dianggap sebagai anak famili dari Hylidae), Ranidae, Rhacophoridae dan

Pipidae (Iskandar 1998).

Katak mudah dikenal dari bentuk tubuhnya yang tampak seperti

berjongkok dengan empat kaki untuk melompat (kaki depan memiliki empat jari

dan kaki belakang memiliki lima jari), leher tidak jelas dan tidak berekor.

Matanya berukuran besar dengan pupil mata horizontal atau vertikal, ada yang

berbentuk berlian atau segiempat yang khas untuk spesies-spesies tertentu. Kulit

tubuhnya bervariasi dari halus pada beberapa spesies katak, sampai kasar dan

tertutup oleh tonjolan-tonjolan pada spesies katak lainnya. Ukuran katak di

Indonesia bervariasi, dari yang terkecil hanya 10 mm dengan berat 1-2 gram,

sampai dengan spesies yang berukuran 280 mm dan berat lebih dari 1500 gram

(Iskandar 1998).

Beberapa spesies Anura memiliki berudu dengan karakter morfologi yang

berbeda. Spesies Kalophrynus dan Kaloula memiliki berudu yang tidak memiliki

oral disc karena tidak makan sama sekali. Semua energi yang diperlukan untuk

pertumbuhan dan metamorfosis diperoleh dari kuning telur. Berudu Amolops,

Meristogenys dan Huia disebut sebagai berudu Gastromyzophorus, yaitu berudu

yang hidup di air deras. Berudu ini memiliki “mangkuk” penyedot pada ventral

tubuhnya sebagai alat untuk bertahan dari arus yang deras (Inger 1996).

Semua spesies katak mempunyai berudu yang hidup bebas sehingga dapat

diidentifikasi melalui berudu, kecuali spesies Oreophryne dan Philautus.

Keduanya mempunyai telur berukuran besar di mana seluruh fase metamorfosis

berlangsung di dalam telur, sehingga pada akhir metamorfosis telur akan

menetaskan katak muda (Inger 1996).

4

B. Morfologi Berudu Anura

Berudu Anura memiliki tubuh berukuran pendek yaitu kira-kira 25-35%

dari panjang total. Bentuk ekor memipih secara lateral dan terdiri dari sumbu

utama caudal muscular dengan sirip ventral dan dorsal. Sirip ventral memanjang

dari posterior hingga ujung ekor, sedangkan sirip dorsal memanjang dari tengah

atau ujung badan hingga ujung ekor (Gambar 1).

Gambar 1. Morfologi berudu Anura secara umum (Gosner & Rosman 1960)

Tubuh berudu dicirikan dengan bentuk sedikit menggembung, tanpa

kelopak mata, nares lebar dan mulut pada ujung tubuh. Posisi mata, nares dan

mulut bervariasi antar spesies (Duellman & Trueb 1994). Rongga mulut berudu

terdiri dari geligi atas, geligi bawah, papila yang berada pada pinggir mulut dan

keratinous maxilla (Cogger & Zweifel 2003). Berudu memiliki kulit yang tipis,

berlapis-lapis, epidermis tanpa keratin, dan pada area tubuh yang berbeda terdapat

korium yang tebal dengan jaringan ikat (Hofrichter 1999).

Berudu memiliki insang luar pada awal perkembangannya. Insang luar

tersebut dilapisi oleh lipatan operkular yang tumbuh pada posterior dan terbuka ke

sebelah luar melalui spirakel. Letak dan jumlah spirakel bervariasi antar spesies

(Duellman & Trueb 1994).

Orton (1953) dalam Duellman & Trueb (1994) menyatakan bahwa

terdapat empat tipe utama berudu yaitu Tipe I – IV yang tergantung pada struktur

operkular dan bukaannya dari tubuh dan bentuk mulut:

a. Berudu Tipe I; terdiri atas famili Pipidae dan Rhinophrynidae. Berudu tipe ini

memiliki sepasang spirakel; rongga mulut tanpa keratin dan barisan geligi;

mulut memiliki sungut sensorik yang sederhana.

5

b. Berudu Tipe II; yaitu dari famili Microhylidae. Berudu tipe ini memiliki

spirakel tunggal pada posterior median; rongga mulut tanpa keratin dan

barisan; mulut tanpa sungut sensorik

c. Berudu Tipe III; terdiri atas famili Ascaphidae dan Discoglossidae. Berudu

tipe ini memiliki spirakel tunggal pada midventral tubuh; rongga mulut

dengan keratin dan barisan geligi; mulut tanpa sungut sensorik

d. Berudu Tipe IV; merupakan tipe berudu Anura pada umumnya, selain berudu

Tipe I – III. Berudu tipe ini memiliki spirakel sinistral (tunggal pada lateral

kiri tubuh); rongga mulut dengan keratin dan barisan geligi; mulut tanpa

sungut sensorik

C. Tahap Perkembangan Berudu

Gosner (1960) mengelompokkan dan mendeskripsikan perkembangan

berudu dalam 2 fase, yaitu fase embrio dan fase larva (Gambar 2). Setiap

perkembangan didasarkan pada perubahan morfologi dan fungsi tubuh berudu.

Masing-masing fase terdiri dari beberapa tahap, sebagai berikut:

1. Fase Embrio (Tahap 1-25)

Fase ini terdiri dari 25 tahap embrio atau tahap pre-feeding sebelum

berudu keluar dari clutch telur. Tahap awal perkembangan berudu yaitu fertilisasi

(tahap 1), pembelahan zigot (cleavage) menjadi dua, empat, delapan, hingga zigot

menjadi banyak sel (tahap 2-9). Tahap selanjutnya secara berurutan adalah

gastrulasi (tahap 10-12), pembentukan dorsal (tahap 13), pembentukan sistem

saraf (tahap 14-16), pembentukan ujung ekor (tahap 17), pembentukan otot dan

insang (tahap 18), pembentukan jantung (tahap 19). Pada tahap 20 mulai terjadi

sirkulasi pada insang. Perkembangan dilanjutkan dengan terbentuknya kornea

transparan dan mulut terbuka (tahap 21). Pada tahap 22 sirip ekor menjadi

transparan dan mulai terjadi sirkulasi pada sirip. Pada tahap 23 insang luar mulai

tertutup oleh lipatan operkular, bibir dan geligi mulai terdiferensiasi. Pada tahap

24 operkular menutup insang pada sisi kanan tubuh berudu. Pada tahap 25

operkular menutup insang pada sisi kiri tubuh, terbentuk spirakel dan berudu

menetas (keluar dari clutch telur).

6

2. Fase Larva (Tahap 25-46)

Fase ini terdiri dari 21 tahap larva atau tahap berudu hidup bebas setelah

keluar dari clutch telur. Fase larva dimulai pada tahap 25. Tahap selanjutnya

adalah proses pembentukan kaki belakang (hindlimb bud) (tahap 26-30). Tahap ini

kemudian diteruskan dengan proses pembentukan jari kaki (toe development)

(tahap 31-37). Setelah kelima jari kaki terpisah, tuberkula inter-metatarsal

terbentuk (tahap 38). Tuberkula sub-artikular berkembang pada tahap 39.

Tuberkula sub-artikular terbentuk sempurna pada tahap 40. Pada tahap 41 kulit

yang menutupi kaki depan katak menipis dan transparan; bagian dalam rongga

mulut berudu mulai rusak. Pada tahap 42 kaki depan katak keluar; sudut mulut

sejajar nostril; barisan geligi hilang; bentuk mulut berudu menghilang. Tahap

selanjutnya adalah perkembangan mulut katak (mouth development) dan proses

menghilangnya ekor (tail resorption) (tahap 43-45). Tahap 46 adalah tahap akhir

metamorfosis ditandai dengan ekor berudu telah hilang sama sekali.

7

Gambar 2 Tahapan perkembangan berudu (Gosner 1960)

8

D. Karakter dalam Deskripsi Morfologi Berudu

Karakter yang digunakan dalam proses deskripsi morfologi berudu adalah

ciri-ciri pada tubuh dan ekor dan bagian mulut berudu. Altig (2007) menjelaskan

terminologi morfologi yang digunakan dalam proses deskripsi, yaitu:

1. Tubuh

a. Tubuh

Berudu terdiri dari tubuh dan ekor, di mana bentuk tubuh berkorelasi

dengan habitat (Gambar 3). Tubuh berudu pada umumnya berbentuk

compressed (lebih tinggi daripada lebar), dan dapat berbentuk depressed

(lebih lebar daripada tinggi) yang biasanya dimiliki oleh jenis-jenis

pemakan lumut dan hidup di aliran deras.

b. Spirakel

Spirakel merupakan lubang yang berfungsi mengeluarkan air dari ruang

buchoparyngeal setelah dipompa masuk ke mulut melalui insang (Gambar

3). Secara umum terdapat 4 konfigurasi spirakel pada berudu, yaitu di

bagian tengah pada dorsal, pada bagian tengah tubuh dekat vent tube,

sinistral (satu pada bagian kiri tubuh, sangat umum), dan dua pada sisi

kanan-kiri tubuh (lateral).

c. Lubang Narial

Lubang narial dimiliki oleh berudu secara umum kecuali pada jenis-jenis

Microhylidae (Gambar 3). Posisi lubang narial dapat lebih dekat dengan

mata daripada mulut, lebih dekat dengan mulut daripada mata, atau berada

di tengah-tengah antara mata dan mulut.

Gambar 3 Berudu tampak dorsal (A) dan lateral (B)

9

d. Mata

Posisi dan ukuran diameter mata bervariasi antar taksa. Mata berudu dapat

berada pada dorsal, berada seluruhnya pada siluet dorsal, atau lateral,

termasuk pada siluet dorsal, mata menghadap ke samping (lateral)

(Gambar 4A dan 4B).

Gambar 4 Posisi mata berudu. A. Dorsal, B. Lateral

e. Vent Tube

Secara umum terdapat dua konfigurasi vent tube, yaitu medial vent

(Gambar 5A) yang terletak pada tepi sirip ventral, dan dextral vent

(Gambar 5B) yang terletak pada berbagai tempat pada sebelah kanan sirip

ventral.

Gambar 5 Posisi Vent tube pada berudu. A. Medial, B. Dextral

f. Ekor

Ekor berudu terdiri dari otot tengah, otot myotomic dan notochord, namun

tidak memiliki tulang. Sirip dorsal dan ventral berada di sepanjang otot

ekor. Sirip dorsal dapat memanjang dari bagian tubuh dekat dengan mata,

memanjang dari bagian dorsal ekor dan memanjang dari bagian posterior

tubuh. Lebar sirip dorsal dan ventral bervariasi dari sangat lebar hingga

sangat sempit. Lebar sirip ini berhubungan dengan habitat berudu tersebut.

Sirip yang lebar dimiliki oleh berudu yang hidup pada air tenang

10

(genangan, kolam), sedangkan berudu yang hidup pada aliran sedang-deras

memiliki sirip yang sempit.

2. Bagian Oral Disc

Pada sebagian besar taksa, oral disc berudu terdiri dari labial atas

(anterior) dan bawah (posterior) yang masing-masing memiliki tonjolan gigi

melintang dan papilla marjinal dan papilla sub-marjinal pada permukaannya

(Gambar 6). Papila marjinal pada tepi oral disc memiliki tiga tipe, yaitu lengkap

di seluruh tepi oral disc, dengan gap yang lebar pada dorsal (tipe paling umum),

dan dengan gap yang lebar pada tepi dorsal dan ventral. Papilla bervariasi antar

taksa dalam panjang, jumlah dan jumlah baris papilla marjinal. Tepi oral disc

dapat berlekuk (emarginate) (Gambar 6) atau tidak berlekuk (not emarginate).

Gambar 6 Contoh oral disc berudu dengan formula geligi I+1-1/III. Keterangan:

A-1 dan A-2 – baris geligi pertama dan kedua pada bibir atas

(anterior), E – lekuk lateral pada oral disc, G – gap dorsal pada papilla

marjinal, LJS - Lower Jaw Sheaths; bilah rahang bawah, MP – papilla

merjinal, P-1-3 – baris geligi pertama sampai ketiga pada bibir bawah

(posterior), SM – papilla submarjinal, TR – Tonjolan gigi pada baris

geligi P2, dan UJS - Upper Jaw Sheath; bilah rahang atas.

11

Formula geligi merupakan jumlah baris geligi yang berupa garis-garis

hitam pada bibir atas dan bawah berudu. Formula geligi dinyatakan dalam simbol

angka romawi, angka arab, tanda (+), tanda (-) dan tanda (/). Angka romawi

menunjukkan jumlah baris geligi yang utuh, sedangkan angka arab menunjukkan

jumlah baris geligi yang mempunyai celah di tengah. Tanda (+) memisahkan

jumlah baris geligi yang utuh dengan jumlah baris geligi yang memiliki celah di

tengah. Tanda (-) menujukkan bahwa jumlah baris memiliki celah tunggal. Tanda

(/) memisahkan jumlah baris geligi pada bibir atas dan bibir bawah.

E. Kladistik

Kladistik atau sistematika filogenetik adalah metode pengelompokan

organisme berdasarkan karakter turunan yang dimiliki bersama (share derived

characters). Taksa yang memiliki lebih banyak karakter turunan yang sama

berhubungan lebih dekat daripada taksa yang tidak banyak memiliki karakter

turunan. Hubungan antar taksa digambarkan secara hirarkial dalam percabangan

yang disebut Kladogram (Lipscomb 1998).

Analisis filogeni mentransformasi karakter yang homolog dari

sekelompok organisme ke dalam pohon filogeni. Karakter homolog adalah

karakter yang berasal dari karakter nenek moyang yang sama. Sebagai contoh,

sayap pada burung dan kelelawar merupakan karakter yang homolog dengan kaki

depan anjing dan kuda serta tangan pada manusia dan primata. Karakter homolog

tersebut dapat berupa shared primitive characters (Plesiomorf) dan shared

derived characters (Apomorf) (Quicke 1993).

Pohon filogeni terdiri dari akar yang merupakan titik awal atau dasar dari

pohon. Poin yang bercabang disebut nodus internal, sedangkan segmen antara

nodus disebut cabang internal (atau lebih jarang disebut internodus). Taksa yang

ditempatkan di ujung-ujung cabang disebut taksa terminal dan cabang yang

mengarah pada taksa tersebut disebut cabang terminal (Lipscomb 1998) (Gambar

7).

12

Gambar 7 Pohon filogeni secara umum (Lipscomb 1998)

F. Metode Analisis Filogeni

Metode untuk merekonstruksi pohon filogeni dibagi menjadi dua

kelompok besar, yaitu metode jarak (distance) dan metode kriteria (discrete)

(Page & Holmes 1998).

1. Metode Jarak (Distance)

Metode jarak menghitung similaritas jarak antara karakter-karakter yang

ada pada sepasang atau lebih taksa terminal (Quicke 1993). Metode jarak yang

paling banyak digunakan adalah Neighbour Joining (NJ) dan UPGMA

(Unweighted Pair Group Method with Arithmetic means) (Page & Holmes 1998).

Neighbour Joining merupakan metode yang menghitung jarak clustering karakter-

karakter pada dua atau lebih taksa terminal (Page & Holmes 1998). UPGMA

adalah metode berdasarkan rata-rata jarak cluster dari taksa terminal satu dengan

taksa terminal lainnya. Perhitungan jarak rata-rata antara dua cluster dilakukan

dengan menambah jarak secara bersamaan dari semua kemungkinan kombinasi

taksa terminal dan membagi dengan jumlah kombinasi tersebut (Quicke 1993).

2. Metode Kriteria (Discrete)

Metode kriteria yang paling sering digunakan adalah Maximum Parsimony

(MP) (Page & Holmes 1998). Maximum Parsimony menilai karakter yang

parsimoni untuk menentukan posisi taksa terminal dalam pohon dan mencari

semua kemungkinan topologi (bentuk) pohon untuk mendapatkan pohon yang

memiliki langkah paling pendek (Kitching et al. 1998).

13

G. Filogenetik Anura

Beberapa peneliti telah melakukan penelitian mengenai hubungan

filogenetik Anura baik pada spesies Indonesia maupun spesies dunia. Penelitian-

penelitian tersebut antara lain:

1. Emerson et al. (2000), meneliti hubungan filogeni Katak Bertaring

(Limnonectes) di Asia Tenggara berdasarkan gen 12S dan 16S rRNA. Hasil

penelitian ini menunjukkan bahwa Limnonectes merupakan kelompok

monofiletik yang terdiri dari 4 kelompok besar, yaitu kelompok L. kuhlii dan

kerabatnya, kelompok L. leporinus yang terdapat di Kalimantan, kelompok

yang tersebar di Filipina dan Sulawesi dan kelompok L. blythii dan

kerabatnya

2. Liu et al. (2000), meneliti hubungan filogenetik Bufonidae Asia Timur

berdasarkan DNA mitokondria. Hasilnya menunjukkan bahwa Bufonidae

Asia Timur mengelompok menjadi 2 klad utama, klad pertama terdiri dari

B. andrewsi, B. bankorensis, B. tibetanus, B. gargarizans, B.tuberculatus,

klad sisternya B. cryptotympanicus, dan 2 spesies Torrentophryne, dan klad

kedua terdiri dari B. galeatus, B. himalayanus.

3. Hillis dan Wilcox (2005), meneliti hubungan filogeni katak genus Rana di

Dunia Baru berdasarkan gen 12S dan 16S rRNA. Hasilnya menunjukkan

bahwa spesies-spesies Rana Amerika tidak monofiletik; spesies Amerana di

daerah sebelah barat Amerika Utara lebih dekat dengan kelompok R.

temporaria dari Eurasia. Spesies Amerika lainnya membentuk kelompok

Novirana.

4. Yu et al. (2009), memeriksa ulang hubungan filogenetik Rhacophoridae dari

penelitian Li et al. (2008) berdasarkan DNA mitokondria dan DNA inti. Hasil

yang diperoleh menunjukkan bahwa genus Feihyla dan Chiromantis

merupakan sister taksa dari klad yang dibentuk oleh kelompok Feihyla,

Polypedates, dan Rhacophorus. Spesies Aquixalus odontotarsus ditempatkan

ke dalam Kurixalus, spesies Aquixalus lainnya dan Philautus jinxiuensis

dimasukkan ke dalam genus Gracixalus.

5. Matsui et al. (2010) merekonstruksi hubungan filogenetik Leptobrachium

berdasarkan DNA mitokondria. Hasilnya menunjukkan bahwa

14

Leptobrachium merupakan kelompok monofiletik dengan dua klad utama.

Klad pertama terdiri dari 3 sub-klad yang beranggotakan spesies dari 3 daerah

terpisah yaitu Borneo, Semenanjung Malaya dan Jawa, dan Thailand. Sub-

klad Borneo terdiri dari satu spesies dari Filipina dan Sumatra. Klad kedua

terdiri dari dua sub-klad yaitu dari Indocina dan lainnya dari Cina bagian

selatan (Vibrissaphora).

6. McLeod (2010) menyusun sistematika spesies kriptik: Limnonectes kuhlii

complex berdasarkan gen 12S rRNA, tRNA-valin, dan 16S rRNA. Hasil

menunjukkan bahwa apa yang selama ini diakui secara historis sebagai satu

spesies ternyata merupakan kompleks lebih dari 22 keturunan evolusi yang

berbeda, 16 di antaranya saat ini dimasukkan ke dalam L. kuhlii. Hasil

penelitian ini juga mendeteksi adanya kasus keturunan simpatrik, dan pada

seluruh kasus simpatrik tersebut, masing-masing spesies tidak berhubungan

dekat.

7. Hamidy et al (2011), meneliti ketidakselarasan hubungan antara morfologi

dan genetik pada dua spesies Leptopbrachium di Borneo. Hasilnya

memperlihatkan bahwa spesies L. hasseltii dan L. chapaense keturunan

Borneo, Filipina dan Sumatera membentuk klad monofiletik bersama spesies

L. lumadorum dari Mindanao sebagai klad basal. Sementara dua spesies

Filipina lainnya dari Pelawan dan Mindoro membentuk klad dan lebih dekat

dengan keturunan Borneo. Hubungan filogenetik tersebut tidak sama dengan

variasi morfologi yang ada. Spesies L. montanum dan salah satu keturunan

dari L. abbotti secara genetik sangat dekat namun memiliki perbedaan yang

sangat jelas pada pola warna ventral.

15

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan pada bulan Januari – April 2012 di Laboratorium

Molekuler Departemen Biologi FMIPA IPB.

B. Sampel Berudu

Sampel berudu merupakan koleksi yang dikumpulkan dari beberapa

daerah di Pulau Jawa. Jumlah spesies yang digunakan dalam penelitian ini

sebanyak 17 spesies dari 6 famili. Nama spesies, asal lokasi dan tahun koleksi

sampel disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Daftar nama spesies, asal lokasi sampel dan tahun koleksi sampel berudu

No Nama Spesies Asal Lokasi Tahun Koleksi N Famili Bufonidae

1 Phrynoidis aspera Yogyakarta*

2009 3 2 Duttaphrynus melanostictus Jawa Barat 2012 14 3 Leptophryne cruentata Jawa Barat 2011 5 Famili Dicroglossidae

4 Fejervarya limnocharis Yogyakarta* 2009 6

5 Limnonectes microdiscus Yogyakarta* 2002 2

6 Limnonectes kuhlii Jawa Barat 2002 3 Famili Megophryidae

7 Leptobrachium hasseltii Yogyakarta* 2007 4

8 Megophrys montana Yogyakarta* 2002 5

Famili Microhylidae 9 Kaloula baleata Yogyakarta

* 2007 2

10 Microhyla achatina Jawa Barat 2002 11 Famili Ranidae

11 Huia masonii Yogyakarta* 2009 4

12 Odorana hosii Yogyakarta* 2009 3

13 Hylarana chalconota Yogyakarta* 2011 2

Famili Rhacophoridae 14 Polypedates leucomystax Jawa Barat 2012 10 15 Philautus vittiger Jawa Barat 2008 7 16 Rhacophorus margaritifer Jawa Barat 2009 10 17 Rhacophorus reinwardtii Jawa Barat 2002 3

Total 94 Ket:

* : Koleksi milik Kelompok Studi Herpetologi (KSH) Fak. Biologi UGM

16

C. Deskripsi Morfologi

Pengamatan morfologi berupa pola warna tubuh dan ekor, letak mata,

nostril, anal, mulut dan geligi dilakukan dengan mikroskop stereo. Pengukuran

morfometri seluruh individu berudu dilakukan untuk mendapatkan variasi ukuran

tubuh berudu. Tahap perkembangan berudu ditentukan berdasarkan Gosner

(1960). Terminologi dan pengukuran morfometri berudu dilakukan berdasarkan

Altig (2007), yaitu: BL - body length, IND - internarial distance, IOD -

interorbital distance, LB - limb bud, MTH - maximum tail height, OD - oral disc,

SP - spiracle, TAL - tail length, TL - total length, TMA – tail muscle axis, TMH -

tail muscle height, TMW - tail muscle width, and VT - vent tube (Gambar 8).

Gambar 8. Terminologi dan morfometrika berudu; (A) dorsal dan (B) lateral

D. Ekstraksi dan Isolasi DNA

Isolasi DNA total dilakukan mengikuti metode Farajallah (2002).

Potongan otot berudu sepanjang ± 2 mm dalam alkohol 70% dicuci dengan 500 µl

buffer TE sebanyak 2 kali. Sampel yang telah dicuci tersebut kemudian

dihancurkan menggunakan gunting dalam buffer 1×STE 300 µl. Penghancuran

protein dilakukan dengan menambahkan enzim Proteinase-K sebanyak 20 µl dan

10% SDS sebanyak 50 µl. Campuran tersebut kemudian diinkubasi pada suhu

550C selama 1 jam sambil dikocok perlahan.

Material DNA dipisahkan dari material organik lainnya dengan metode

ekstraksi fenol, yaitu dengan menambahkan larutan NaCl 5M sebanyak 50 µl,

fenol sebanyak 400 µl dan kloroform-isoamil alkohol (CIAA; 24:1) sebanyak 400

17

µl. Campuran tersebut kemudian diinkubasi pada suhu ruang sambil dikocok

pelan selama 1 jam. Bahan organik yang masuk ke fase fenol dipisahkan dari fase

air dengan sentrifugasi pada kecepatan 5000 rpm selama 5 menit. Fase air yang

terbentuk di lapisan atas kemudian dipindahkan ke dalam tabung baru. DNA

dimurnikan dengan teknik pengendapan alkohol yaitu dengan menambahkan

alkohol absolut sebanyak 2× volume fase air yang dipindahkan dan NaCl 5M

sebanyak 1/10 × volume fase air yang dipindahkan. Campuran diinkubasi pada

suhu 40C selama 24 jam. Molekul-molekul DNA diendapkan dengan sentrifugasi

pada kecepatan 5000 rpm selama 5 menit. Endapan DNA yang diperoleh

kemudian dicuci dengan alkohol 70%. Setelah alkohol pencuci dibuang dan

dievaporasi dalam ruang vakum selama 30 menit, molekul-molekul DNA

disuspensikan dalam buffer TE 80% dan disimpan dalam freezer untuk digunakan

lebih lanjut.

E. Amplifikasi (Perbanyakan) Ruas DNA

Ruas DNA diamplifikasi dengan metode Polymerase Chain Reaction

(PCR) menggunakan mesin Thermo Cycler TaKaRa MP4. Primer yang digunakan

adalah AF05 (5’-ACTGGGATTAGATACCCCACTAT) dan AF08 (5’-

ATGTTTTTGGTAAACAGGCG).

Primer AF05 menempel pada bagian tengah gen 16S rRNA dan AF08

menempel pada bagian akhir gen 12S rRNA. Kedua gen tersebut mengapit ruas

DNA sebesar 1474 pb atau setara dengan posisi nukleotida 505 sampai dengan

1978 genom mitokondria Dogania subplana (Farajallah 2002).

Reaksi PCR dilakukan dalam volume 25µl dengan komposisi 2 µl cetakan

DNA, Distilated water steril 15.3 µl, primer 10 ρmol/ µl masing-masing 1 µl,

dNTP 2.5mM sebanyak 1.5 µl, MgCl2 sebanyak 1.5 µl dan Taq Polymerase 1.25

u/µl sebanyak 0.2 µl beserta bufernya sebanyak 2.5 µl. Amplifikasi DNA

dilakukan dalam kondisi suhu pre-denaturasi 940C selama 4 menit, dilanjutkan

dengan 30 siklus yang terdiri dari denaturasi 940C selama 1 menit, penempelan

550C selama 1 menit 30 detik, pemanjangan 72

0C selama 1 menit dan

pemanjangan akhir 720C selama 7 menit.

18

F. Visualisasi Perbanyakan Ruas DNA

Amplikon diuji menggunakan metode elektroforesis gel poliakrilamid

(PAGE) 6% yang dijalankan pada tegangan 200 V selama 35 menit atau sampai

pewarna bromthymol blue mencapai bagian bawah gel. Setelah pemisahan

elektroforesis, pita-pita DNA divisualisasi dengan pewarnaan perak (silver

staining) (Tegelstrom 1986).

G. Perunutan (Sequencing) DNA Produk PCR

Perunutan merupakan tahap akhir untuk memperoleh data runutan

nukleotida dari ruas DNA amplikon. Perunutan DNA dilakukan menggunakan

jasa pelayanan sekuensing dari PT. Macrogen Inc. Perunutan tersebut dilakukan

menggunakan pasangan primer yang digunakan pada saat PCR.

H. Analisis Data

Morfologi berudu masing-masing spesies disajikan dalam bentuk

deskripsi. Urutan nukleotida yang diperoleh dari proses perunutan diedit secara

manual berdasarkan kromatogram menggunakan program BioEdit Sequence

Alignment Editor 6.32. Runutan nukleotida yang telah diedit kemudian

disejajarkan bersama beberapa spesies Anura lainnya yang diakses dari GenBank

dengan nomor akses terdapat pada Tabel 2. Proses penyejajaran dilakukan dengan

program Clustal W kemudian diedit secara manual.

Analisis jumlah perbedaan nukleotida, jarak genetik dengan model Kimura

2 Parameter (K2P) dan rekonstruksi filogeni dilakukan menggunakan program

MEGA version 4 (Tamura et al. 2007).

Rekonstruksi filogeni dilakukan dengan metode Maximum Parsimony

(MP) berdasarkan gen 12S rRNA, 16S rRNA dan gabungan antara 12S dan 16S

rRNA (selanjutnya disimbolkan dengan gen 12S-16S rRNA). Outgroup yang

digunakan dalam rekonstruksi filogeni adalah Crocodylus porosus. Analisis

bootstrap 1000 kali dilakukan untuk menguji tingkat kepercayaan dari sebuah titik

cabang dalam topologi pohon filogeni.

19

Tabel 2. Daftar spesies, wilayah sebaran dan nomor akses GenBank yang

digunakan dalam analisis keragaman nukleotida dan rekonstruksi filogeni No Spesies No. Akses Sebaran (IUCN 2012)

Outgroup

Crocodylus porosus DQ273698

Ingroup

1 Fejervarya limnocharis NC005055 Asia Selatan dan Asia Tenggara

termasuk Indonesia

2 Fejervarya cancrivora NC012647 Cina Selatan, Asia Tenggara termasuk

Indonesia

3 Rhacophorus schlegelii NC007178 Jepang

4 Polypedates megacephalus NC006408 Cina dan India

5 Rana plancyi NC009264 Cina bagian timur

6 Rana nigromaculata NC002805 Rusia, Cina, Korea, Jepang

7 Microhyla ornata NC009422 Asia selatan

8 Kaloula pulchra NC006405 Asia Tenggara, Asia Selatan Cina

9 Limnonectes bannaensis NC012837 -

10 Limnonectes fujianensis NC007440 Cina bagian tengah dan selatan

11 Bufo japonicus NC009886 Endemik Jepang

12 Bufo melanostictus NC005794 Asia Selatan, Cina, Asia Tenggara

termasuk Indonesia

13 Hyla japonica NC010232 Jepang, Cina, Korea

14 Hyla chinensis NC006403 Cina bagian tengah

15 Fejervarya iskandari AB526324

16 Limnonectes hasseltii AB646408

17 Phrynoidis aspera Dalam penelitian ini

18 Polypedates leucomystax Dalam penelitian ini

19 Rhacophorus javanus Dalam penelitian ini

20 Odorana hosii Dalam penelitian ini

21 Limnonectes microdiscus Dalam penelitian ini

22 Fejervarya limnocharis Dalam penelitian ini

20

IV. HASIL

A. Identifikasi Morfologi

Hasil identifikasi morfologi berudu berdasarkan Iskandar (1998)

menunjukkan bahwa sampel berudu yang dikumpulkan terdiri dari 17 spesies

dalam 6 famili Anura (Tabel 3). Berdasarkan Orton (1953) dalam Duellman &

Trueb (1994), berudu-berudu tersebut termasuk dalam berudu tipe I (Famili

Microhylidae) dan tipe IV (Famili Bufonidae, Dicroglossidae, Megophryidae,

Rhacophoridae, dan Ranidae)

Tabel 3. Hasil identifikasi morfologi sampel berudu

Famili Spesies Ukuran

Tubuh (mm)

Formula

Geligi Tahap

Bufonidae Dutaphrynus melanostictus 7-8 I+1-1/III 25

Phrynoidis aspera 9-20 II/III 25

Leptophryne cruentata 16-21 I+1-1/III 26

Dicroglossidae Fejervarya limnocharis 19-21 I+1-1/III 30

Limnonectes kuhlii 39-44 I/1-1+II 31

Limnonectes microdiscus 23-27 I+1-1/1-1+II 25

Megophryidae Leptobrachium hasseltii 51-74 I+5-5/4-4+I 30

Megophrys montana 36-43 - 26

Microhylidae Kaloula baleata 30-33 - 40

Microhyla achatina 10-15 II/1-1+III 25

Rhacophoridae Philautus vittiger 21-27 II+4-4/III 28

Polypedates leucomystax 25-33 I+3-3/III 25

Rhacophorus margaritifer 23-26 I+5-5/III 25

Rhacophorus reinwardtii 23-24 I+5-5/III 25

Ranidae Hylarana chalconota 25-30 I+3-3/III 32

Huia masonii 18-19 IV+5-5/1-1+VI 25

Odorana hosii 26-28 I+4-4/1-1+III 25

Perbedaan utama masing-masing spesies berudu terletak pada ukuran

tubuh, posisi mulut dan formula geligi. D. melanostictus bertubuh sangat kecil;

mulut berada di bagian ventral dengan formula geligi I+1-1/III. P. aspera

berukuran sedikit lebih besar daripada D. melanostictus; mulut terletak pada

ventral; bibir bawah dengan pelebaran lateral sehingga berbentuk semacam

“mangkuk” dengan formula geligi II/III. Ukuran tubuh L. cruentata hampir sama

dengan P. aspera dengan warna hitam; mulut terletak pada bagian depan kepala

dengan formula geligi II/III atau I+1-1/III. Berudu L. cruentata memiliki 2 baris

papilla di bagian bibir bawah, sedangkan D. melanostictus memiliki papilla hanya

21

pada ujung-ujung bibir saja. Hal ini yang membedakan jenis berudu L. cruentata

dengan berudu D. melanostictus.

Tubuh F. limnocharis berukuran sedang; mulut berada di bagian ventral

kepala dengan formula geligi I+1-1/III. Deret gigi terakhir pada spesies ini lebih

pendek dari dua deret gigi lainnya. Ukuran tubuh L. kuhlii dua kali lebih besar

daripada ukuran tubuh L. microdiscus. Mulut L. kuhlii dan L. microdiscus berada

pada ujung kepala dengan formula geligi masing-masing adalah I/1-1+II dan I+1-

1/1-1+II.

Ukuran tubuh berudu famili Megophryidae sangat besar. Namun, ukuran

tubuh berudu L. hasseltii 1,5 sampai 2 kali lebih besar daripada berudu M.

montana. Mulut berudu L. hasseltii kecil, berada di bagian ujung ventral kepala

dengan formula geligi I+5-5/4-4+5. Mulut berudu M. montana berada pada ujung

kepala dan memiliki ciri khusus yaitu dengan perpanjangan lateral sehingga

berbetuk seperti “kumis”. Berudu ini tidak memiliki formula geligi tertentu.

Ukuran tubuh berudu K. baleata sedang. Berudu ini tidak memiliki bentuk

mulut seperti berudu pada umumnya, hanya berupa sebuah lubang kecil pada

ujung kepalanya. Berudu M. achatina berukuran sangat kecil; mulut menghadap

ke bawah; bibir bawah melebar dengan formula geligi II/1-1+III.

Berudu P. vittiger berukuran sedang, mulut berada pada bagian ventral

kepala dengan formula geligi II+4-4/III. Berudu P. leucomystax, R. margaritifer

dan R. reinwardtii berukuran sedang sampai besar. Seluruh berudu tersebut

memiliki mulut yang terletak di bagian ventral kepala, menghadap ke bawah.

Formula geligi masing-masing berudu berturut-turut adalah I+3-3/III, I+5-5/III

atau II+4-4/III dan I+5-5/III. Berudu R. margaritifer dan R. reinwardtii dibedakan

berdasarkan jumlah papilla marjinal di bibir bagian bawah, di mana R.

margaritifer memiliki 2 baris papilla dan R. Reinwardtii memiliki 1 baris papilla.

Berudu H. masonii, H. chalconota dan O. hosii berukuran sedang. Ukuran

tubuh H. masonii lebih besar dari ukuran tubuh kedua spesies lainnya. Berudu

jenis ini memiliki ciri khas yaitu pada bagian ventral terdapat bentuk seperti

mangkuk menghadap ke bawah. Mulut ketiga spesies berudu tersebut terletak

pada bagian ventral tubuh dan menghadap ke bawah, dengan formula geligi

masing-masing adalah IV+5-5/1-1+VI, I+3-3/III dan I+4-4/1-1+III.

22

B. Amplifikasi dan Visualisasi DNA

Amplifikasi gen 12S rRNA dan 16S rRNA berhasil dilakukan pada 9

sampel dari 17 sampel yang diamplifikasi. Amplifikasi menggunakan pasangan

primer AF05 dan AF08 berukuran panjang sekitar 1500 pb (Gambar 9).

Gambar 9 Visualisasi amplikon gen 12S rRNA dan 16S rRNA pada PAGE 6%.

Ket: M = Marker, 3-17 = nomor sampel

Sebanyak 9 sampel menampakkan pita DNA target dan dijadikan cetakan

dalam PCR for sequencing. Setelah DNA target dijadikan cetakan dalam PCR for

sequencing, maka diperoleh 6 sampel yang terbaca jelas. Keenam sampel tersebut

adalah P. leucomystax, P. aspera, O. hosii, F. limnocharis, L. microdiscus, dan R.

margaritifer.

C. Kongruensi Identifikasi Berdasarkan Morfologi dan Genetik

Hasil analisis dengan menghitung jumlah perbedaan nukleotida dan jarak

genetik menunjukkan bahwa hasil penentuan spesies berdasarkan data genetik

dapat berbeda dengan data morfologi. Tabel 4 menunjukkan jumlah perbedaan

nukleotida dan jarak genetik antara sekuen DNA spesies pada penelitian ini

dengan sekuen referensi dari GenBank.

Berdasarkan nilai terendah dari jumlah perbedaan nukleotida dan jarak

genetik, hasil identifikasi yang kongruen antara identifikasi molekuler dan

morfologi adalah pada spesies P. leucomystax, P. aspera, L. microdiscus dan R.

margaritifer. Hasil identifikasi yang tidak kongruen adalah spesies F.

limnocharis, sedangkan spesies O. hosii belum dapat dipastikan karena kualitas

data kurang.

1500 pb

3 5 7 8 10 11 12 16 17

23

Tabel 4. Jumlah perbedaan nukleotida (bawah diagonal) dan jarak genetik (atas diagonal) berdasarkan gen 12S rRNA dan 16S rRNA antar

sampel berudu

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22

1 B. japonicus11) - 0.12 0.20 0.34 0.34 0.30 0.30 0.38 0.32 0.25 0.30 0.31 0.33 0.29 0.35 0.33 0.14 0.36 0.34 0.50 0.34 0.77

2 B. melanostictus12) 35 - 0.22 0.35 0.40 0.31 0.31 0.40 0.34 0.24 0.31 0.32 0.30 0.32 0.37 0.34 0.16 0.35 0.38 0.50 0.36 0.75

3 H. japonica 13) 57 61 - 0.34 0.32 0.28 0.29 0.31 0.34 0.12 0.26 0.27 0.31 0.30 0.36 0.38 0.22 0.37 0.33 0.41 0.35 0.87

4 F. cancrivora2) 88 91 88 - 0.21 0.23 0.24 0.38 0.31 0.38 0.33 0.30 0.25 0.25 0.21 0.43 0.35 0.42 0.36 0.48 0.20 0.88

5 F. limnocharis1) 88 99 84 60 - 0.24 0.27 0.33 0.31 0.40 0.30 0.30 0.26 0.28 0.18 0.46 0.36 0.44 0.32 0.44 0.18 0.96

6 L. bannaensis9) 82 82 77 65 67 - 0.24 0.28 0.26 0.31 0.27 0.24 0.09 0.24 0.25 0.40 0.33 0.40 0.30 0.35 0.25 0.88

7 R. plancyi5) 80 82 78 68 73 66 - 0.27 0.25 0.32 0.27 0.19 0.24 0.02 0.28 0.40 0.33 0.39 0.27 0.35 0.28 0.84

8 P. megacephalus4) 97 101 82 97 87 76 73 - 0.28 0.33 0.28 0.28 0.27 0.27 0.32 0.44 0.42 0.43 0.27 0.11 0.32 0.83

9 R. schlegelii3) 85 88 89 82 82 72 69 76 - 0.31 0.31 0.25 0.28 0.25 0.30 0.35 0.36 0.34 0.21 0.32 0.29 0.82

10 H. chinensis14) 69 67 36 96 100 82 84 88 83 - 0.33 0.29 0.33 0.32 0.37 0.36 0.24 0.36 0.32 0.40 0.36 0.76

11 M. ornata7) 81 82 71 87 81 74 75 77 83 86 - 0.17 0.27 0.27 0.35 0.38 0.32 0.37 0.31 0.38 0.35 0.83

12 K. pulchra8) 84 85 75 80 80 67 55 77 70 78 49 - 0.27 0.18 0.31 0.40 0.31 0.38 0.28 0.32 0.31 0.83

13 L. fujianensis10) 87 81 82 70 71 29 66 75 77 88 75 73 - 0.24 0.24 0.40 0.35 0.41 0.31 0.36 0.24 0.87

14 R. nigromaculata6) 79 85 79 70 75 68 6 74 69 85 73 53 68 - 0.29 0.39 0.34 0.39 0.26 0.35 0.29 0.81

15 F. iskandari15) 90 94 91 59 52 70 77 85 80 94 90 83 68 79 - 0.41 0.38 0.44 0.31 0.46 0.01 0.89

16 L. hasseltii16) 88 89 96 107 110 100 100 108 92 93 96 100 101 98 103 - 0.35 0.03 0.36 0.52 0.41 0.51

17 P. aspera17) 41 46 62 91 92 86 87 104 92 67 84 83 92 89 96 90 - 0.36 0.37 0.52 0.38 0.81

18 O. hosii20) 93 90 95 105 108 101 99 107 89 92 95 96 103 98 107 9 92 - 0.36 0.50 0.44 0.47

19 R. javanus19) 90 97 87 93 86 81 75 74 61 86 82 77 82 73 83 93 96 94 - 0.31 0.31 0.82

20 P. leucomystax18) 118 118 102 114 106 91 92 34 85 101 97 85 94 92 110 121 121 119 83 - 0.45 0.93

21 F. limnocharis22) 89 93 90 58 51 69 76 84 79 93 90 83 67 78 3 103 96 107 83 109 - 0.89

22 L. microdiscus21) 158 155 167 169 176 168 165 164 163 156 164 163 168 162 170 121 162 115 163 174 170 -

Keterangan: No. akses GenBank mengikuti Tabel 2

Angka bercetak tebal adalah jumlah perbedaan nukleotida dan jarak genetik terkecil antara spesies yang diperbandingkan

24

24

D. Rekonstruksi Filogeni

Urutan basa nukleotida yang analisis berjumlah 1362 nt, terdiri dari 504 nt

gen 12S rRNA dan 858 nt gen 16S rRNA. Pada rekonstruksi filogeni berdasarkan

gen 12S rRNA, spesies P. leucomystax tidak disertakan dalam analisis karena

jumlah nukleotida spesies tersebut dalam penelitian ini sangat pendek (< 20 nt).

Tabel 5 menunjukkan nilai konsistensi dan kestabilan pohon filogeni yang

direkonstruksi berdasarkan masing-masing gen dan gabungan gen 12S dan 16S

rRNA (selanjutnya disimbolkan dengan 12S-16S rRNA). Berdasarkan tabel

tersebut, nilai CI dan RI hasil rekonstruksi filogeni berdasarkan gen 16S rRNA

tertinggi di antara dua rekonstruksi lainnya. Hal ini menujukkan bahwa pohon

filogeni berdasarkan gen 16S rRNA merupakan pohon filogeni yang paling

konsisten dan stabil.

Tabel 5. Nilai CI (Consistency Index), RI (Retention index), RC (Rescaled

consistency index) ketiga pohon filogeni Anura

Gen CI RI RC

12S rRNA 0.4540 0.5702 0.2589

16S rRNA 0.5169 0.6103 0.3155

12S-16S rRNA 0.4786 0.5667 0.2713

Hasil rekonstruksi filogeni menghasilkan topologi yang yang berbeda pada

gen 12S rRNA (Gambar 10(a)). Topologi pohon berdasarkan gen 16S rRNA

(Gambar 10(b)) sama dengan topologi pohon berdasarkan gen 12S-16S rRNA

(Gambar 11), di mana posisi basal ditempati oleh kelompok Rhacophorid dan

posisi terluar ditempati oleh kelompok Bufonid. Posisi basal topologi pohon

filogeni gen 12S rRNA ditempati oleh kelompok Dicroglossid dan posisi terluar

ditempati oleh kelompok Ranid.

Kesamaan dari ketiga pohon filogeni tersebut adalah Bufonid berkelompok

dengan Hylid dalam satu kelompok monofiletik. Kelompok-kelompok

monofiletik lainnya antara lain Mycrohylid dan Ranid. Dicroglossid merupakan

kelompok monofiletik pada topologi pohon gen 16S rRNA dan gen 12S-16S

rRNA sedangkan berdasarkan gen 12S rRNA kelompok tersebut terpisah pada 2

kelompok, yaitu kelompok genus Fejervarya dan kelompok genus Limnonectes.

Pada ketiga topologi pohon filogeni, kelompok Rhacophorid terpisah secara

25

parafiletik. Genus Polypedates membentuk cabang monofiletik dan berhubungan

dekat dengan Rhacophorus.

Pada ketiga rekonstruksi filogeni, spesies L. microdiscus, L. hasseltii dan

O. hosii (selanjutnya disebut kelompok Megophryid) membentuk kelompok

monofiletik dengan dukungan bootstrap >90%, sedangkan spesies F. limnocharis

menempati posisi lebih dekat dengan F. iskandari pada kelompok Dicroglossid

dengan dukungan bootstrap 100%. Spesies P. aspera menempati posisi lebih

dekat dengan genus Bufo berdasarkan gen 12S rRNA dan gen 16S rRNA,

sedangkan berdasarkan gen 12S-16S rRNA spesies ini menempati posisi lebih

dekat dengan spesies B. japonicus dengan dukungan bootstrap rendah (<50%).

Posisi basal kelompok Rhacophorid berbeda pada ketiga topologi pohon.

Spesies R. schlegelii menempati posisi basal Rhacophorid berdasarkan gen 12S

rRNA, spesies anggota genus Polypedates menempati posisi basal berdasarkan

gen 16S rRNA, sedangkan berdasarkan gen 12S-16S rRNA posisi basal

Rhacophorid ditempati oleh R. javanus.

26

(a) (b)

Gambar 10 Hasil rekonstruksi filogeni dengan metode Maximum Parsimony berdasarkan: (a) gen 12S rRNA, (b) gen 16S rRNA.

Bufonid Ranid

Rhacophorid Hylid

Microhylid

Dicroglossid

Ranid

Bufonid

Dicroglossid

Microhylid

Hylid

Rhacophorid

Dicroglossid

Megophryid

Megophryid

27

Gambar 11 Hasil rekonstruksi filogeni dengan metode Maximum Parsimony

berdasarkan gen 12S dan 16S rRNA.

Bufonid

Hylid

Microhylid

Ranid

Dicroglossid

Rhacophorid

Megophryid

28

V. PEMBAHASAN

A. Kongruensi Identifikasi Morfologi dan Molekuler

Ukuran tubuh sampel berudu O. hosii dan L. microdiscus sekitar 1-2 kali

lebih kecil daripada berudu L. hasseltii pada tahap perkembangan yang sama.

Perbedaan ukuran tubuh tersebut diduga sebagai akibat dari perbedaan peletakan

telur oleh induk betina. Pada kondisi yang tidak memungkinkan untuk meletakkan

telur di genangan air di lantai hutan, katak betina L. hasseltii dapat meletakkan

telur pada tempat lain seperti di tepi sungai berarus lambat atau tenang. Fenomena

seperti ini juga terlihat pada jenis katak pohon (Kusrini et al. 2009). Berudu yang

hidup pada kolam temporer, misal genangan air, akan lebih cepat tumbuh dan

bermetamorfosis dibandingkan dengan berudu yang hidup pada kolam permanen,

misal sungai. Hal ini dikarenakan kolam temporer memiliki kelebihan dalam hal

potensi pakan (Wassersug 1975; Wilbur 1987) dengan lebih sedikit jumlah

predator (Brendonck et al. 2002; Petranka & Kennedy 1999). Sifat sementara dari

kolam menguntungkan dari aspek tersebut namun mengharuskan berudu untuk

bermetamorfosis pada waktu tertentu.

Formula geligi O. hosii berbeda satu baris pada geligi atas dengan L.

hasseltii. Iskandar (1998) menyebutkan bahwa pada berudu terdapat variasi

formula geligi dalam satu spesies yang sama. Formula geligi berudu sempurna

pada awal fase larva, namun proporsi relatif formula geligi dan oral disc terus

berubah selama metamorfosis. Pada berudu Scaphiopus dan kelompok Ranid

jumlah baris geligi bertambah selama metamorfosis (Gosner 1960).

Genus Philautus merupakan salah satu Anura yang seluruh fase

metamorfosisnya terjadi di dalam telur sehingga pada akhir metamorfosis telur

menetaskan katak muda (Inger 1996). Metamorfosis pada spesies P. vittiger

diketahui memiliki berudu yang hidup bebas di dalam air (Kusrini et al. 2008),

sehingga pengelompokkan spesies ini perlu dipelajari lebih lanjut untuk

memastikan posisinya dalam taksonomi Anura.

Pada awal perkembangannya, data molekuler hanya digunakan oleh para

taksonomis sebagai alat untuk mempelajari kekerabatan antar taksa dan proses

evolusi sebuah kelompok organisme. Namun, saat ini data molekuler telah

29

berkembang penggunaannya, salah satunya dalam proses penentuan spesies oleh

para ekologis untuk mempelajari keanekaragaman hayati suatu wilayah tertentu.

Data molekuler dapat dengan cepat dan akurat dalam penentuan spesies, terutama

pada spesies kriptik, spesies sibling dan spesies dengan variasi morfologi akibat

pengaruh lingkungan. Sumber data molekuler tidak hanya dapat diperoleh dari

darah atau jaringan otot saja, melainkan juga dari rambut, feses atau urin. Hal ini

merupakan keuntungan lain dari data molekuler terutama pada kegiatan penelitian

dengan target hewan yang jarang dan/atau sulit ditemukan secara langsung. Data

molekuler merupakan data dasar yang tidak subjektif dan dapat dianalisis kembali.

Data molekuler mempunyai beberapa tantangan dalam penerapannya.

Pertama, memerlukan keahlian khusus terutama pada teknik laboratorium

molekuler, di mana tidak semua peneliti mampu melakukannya. Kedua, biaya

relatif mahal bagi negara berkembang seperti Indonesia, tidak hanya peralatan

mesin PCR dan sekuensing tetapi juga bahan kimia dan komponennya. Ketiga,

jumlah basa minimal yang digunakan pada saat identifikasi spesies (>500 pb) sulit

dicapai pada sampel bangkai atau DNA terdegradasi.

Hasil yang diperoleh dari data molekuler masih lebih besar bila

dibandingkan dengan usaha yang dikeluarkan jika identifikasi spesies dilakukan

dengan pendekatan ini. Selain identifikasi spesies, data molekuler juga dapat

digunakan untuk mengetahui biodiversitas masa lampau (Paleoecology),

mempelajari interaksi inter-spesies, mempelajari evolusi dan kekerabatan antar

taksa, serta mengetahui jenis pakan satwa. Karakter morfologi kadang sudah tidak

mampu lagi untuk menggambarkan proses evolusi suatu organisme karena

karakter yang sangat kompleks. Selain itu, sering terjadi tentangan pada hubungan

filogeni antara taksa berdasarkan karakter morfologi karena perbedaan

pembobotan karakter dalam analisis. Alasan-alasan inilah yang menjadi dasar

mengapa pendekatan molekuler perlu digunakan sebagai pelengkap dan penguat

data morfologi.

B. Filogenetik

Dukungan nilai bootstrap yang rendah, ketidakstabilan topologi dapat

terjadi karena gen yang digunakan dalam analisis hanya satu gen saja dan

30

berukuran lebih pendek (parsial). Cao et al. (1994) telah menunjukkan bahwa set

data gen yang besar, seperti serangkaian gen-gen yang berurutan memberikan

hasil analisis yang lebih kuat dibandingkan dengan analisis yang didasarkan pada

gen tunggal.

Hasil analisis molekular sebelumnya mendukung bahwa kelompok

Rhacophorid merupakan kelompok monofiletik (Li et al. 2008; Yu et al. 2009).

Namun berdasarkan data morfologi, Channing (1989) menyatakan bahwa

Rhacophorinae (Rhacophorus dan Polypedates) merupakan kelompok yang

polifiletik. Hubungan yang dekat antara Rhacophorus dan Polypedates didukung

dengan baik pada penelitian ini dan penelitian sebelumnya baik berdasarkan

morfologi (Wilkinson dan Drewes 2000) maupun molekular (Wilkinson et al.

2002; Frost et al. 2006). Dubois (1986) menggabungkan genus Polypedates ke

dalam genus Rhacophorus karena menganggap karakter morfologi kedua genus

tersebut tidak cukup berbeda untuk dipisahkan. Sedangkan Duellman (1993) dan

Frost et al. (2000) memisahkan kedua genus tersebut berdasarkan karakter

morfologi yang dipakai oleh Channing (1989) karena Rhacophorus dan

Polypedates bukan merupakan sister group. Berdasarkan uraian tersebut, masih

diperlukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan hubungan kekerabatan antara

kedua genus tersebut dalam kelompok Rhacophorid.

Rekonstruksi filogeni berdasarkan morfologi menunjukkan bahwa Ranid

dan Dicroglossid dapat membentuk cabang parafiletik (Ford and Cannatella,

1993). Hasil tersebut juga didukung oleh Haas (2003) dengan menggunakan

seluruh karakter morfologi larva Anura. Namun, hasil rekonstruksi filogeni

dengan mengeluarkan 4 karakter morfometri dari analisis menghasilkan

percabangan monofiletik pada kedua taksa tersebut. Optimasi karakter yang

dilakukan tersebut menunjukkan bahwa terdapat 3 karakter synapomorfi pada

Ranidae, yaitu firmisterny, adanya basihyal dan fenestrae parietals. Hubungan

monofiletik kelompok ini didukung dengan kuat berdasarkan DNA mitokondria

(Frost et al. 2006). Kelompok Dicroglossid merupakan kelompok monofiletik

didukung dengan baik berdasarkan data morfologi (Anderson 1871; Emerson and

Berrigan 1993) dan data DNA mitokondria (Emerson et al. 2000; Evans et al.

2003; Frost et al. 2006).

31

Fejervarya limnocharis merupakan spesies dengan penyebaran yang

sangat luas. Morfologi antar populasi spesies tersebut terlalu sulit untuk

dibedakan karena variasi morfologinya kurang dikenali dan tidak adanya diagnosa

spesifik antara spesies pada populasi lokal dan spesies pada populasi lainnya

sehingga seluruh spesies ini dinamai dengan nama yang sama, yaitu F.

limnocharis (Dubois, 1984, 1987; Inger and Voris, 2001). Veith et al. (2001)

berhasil mendeskripsikan satu spesies kriptik yang dideteksi oleh Toda et al.

(1998) sebagai spesies baru, yaitu F. iskandari, berdasarkan data sekuen

Allozyme dan DNA mitokondria. Data molekuler tersebut menunjukkan bahwa

tidak ada aliran gen antara F. iskandari dan F. limnocharis.

Fejervarya iskandari dideskripsi pertama kali di Bandung dan Sukabumi,

Jawa Barat namun diperkirakan spesies ini menyebar lebih luas di Pulau Jawa

(Iskandar dan Mumpuni 2004) sehingga sangat mungkin jika sampel yang

digunakan dalam penelitian ini adalah berudu F. iskandari.

Bufonid merupakan kelompok monofiletik didukung dengan baik oleh

bootstrap pada penelitian ini. Hubungan filogenetik tersebut juga dihasilkan oleh

Liu et al. (2000) dan Pramuk et al. (2001) berdasarkan data sekuen DNA

mitokondria dan Haas (2003) berdasarkan data morfologi larva. Posisi spesies P.

aspera pada topologi pohon filogeni berdasarkan gen 12S rRNA dan 16S rRNA

berbeda dengan posisi spesies tersebut pada topologi pohon berdasarkan gen 12S-

16S rRNA. Phrynoidis aspera dipindahkan dari sinonimnya, yaitu Bufo asper

berdasarkan data DNA inti dan DNA mitokondria (Frost et al. 2006). Hasil

penelitian tersebut menunjukkan bahwa B. asper berhubungan lebih dekat dengan

genus Pedostibes dibandingkan dengan spesies Bufo lainnya. Frost et al. (2006)

memasukkan B. asper ke dalam genus Phrynoidis juga berdasarkan pada karakter

sinapomorfi yang dimiliki oleh genus Phrynoidis yang menguatkan percabangan

kelompok B. asper.

32

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Identifikasi berudu berdasarkan morfologi dapat dilakukan berdasarkan

perbedaan bentuk mulut dan formula geligi. Penentuan spesies dengan

menggunakan karakter morfologi dapat berbeda dari penentuan spesies dengan

menggunakan data sekuen DNA. Berdasarkan karakter molekuler, spesies O. hosii

memiliki kemiripan yang tinggi dengan L. hasseltii, dan spesies F. limnocharis

memiliki kemiripan yang tinggi dengan F. iskandari. Untuk spesies yang

menunjukkan kongruensi identifikasi morfologi dan molekuler, maka identifikasi

di lapang cukup dilakukan dengan karakter morfologi, seperti jenis P.

leucomystax, P. aspera, L. microdiscus dan R. margaritifer.

Hasil analisis filogenetik menunjukkan bahwa sebagian besar taksa Anura

membentuk kelompok monofiletik kecuali pada kelompok Rhacophorid

berdasarkan gen 12S rRNA.

B. Saran

Penggunaan karakter ukuran tubuh sebaiknya tidak digunakan dalam

identifikasi spesies karena sangat dipengaruhi oleh variasi lingkungan.

Penggunaan gen tunggal, yaitu 16S rRNA dapat dilakukan dalam analisis

filogenetik Anura untuk memperpendek data sekuen yang dianalisis serta

meningkatkan peluang keberhasilan dalam proses ampllifikasi.

33

DAFTAR PUSTAKA

Anderson J. 1871. A list of the reptilian accession to the Indian Museum, Calcutta

from 1865 to 1870, with a description of some new species. Journal of the

Asiatic Society of Bengal 40: 12-39.

Altig R. 2007. A Primer for the Morphology of Anuran Tadpoles. Herpetological

Conservation and Biology 2(1):71-74.

Brendonck L, Michels E, DeMeester L, Riddoch B. 2002. Temporary ponds are

not “enemy free”. Hydrobiologica 486: 147-159

Cao Y, Adachi A, Janke A, Paabo S, Hasegawa M. 1994. Phylogenetic

relationships among eutherian orders estimated from inferred protein

sequences of mithocondrial proteins: instability of a tree based on single

gene. J Mol Evol 39: 519-527

Che J, Pang J, Zhao H, Wu G, Zhao E, Zhang Y. 2007. Phylogeny of Raninae

(Anura: Ranidae) inferred from mitochondrial and nuclear sequences.

Molecular Phylogenetics and Evolution 43: 1–13

Cogger HG, Zweifel RG. 2003. Encyclopedia of Reptiles and Amphibians Second

Edition. San Fransisco: Fog City Press

Dubois A. 1984. Note preliminaire sur le groupe de Rana limnocharis

Gravenhorst, 1929 (Amphibiens, Anaures). Alytes 3: 143–159

Dubois A .1987. Miscellanea taxomica batrachologica (1). Alytes 5: 7–95

Duellman WE, Trueb L. 1994. Biology of Amphibians. New York: McGraw-Hill.

Emerson SB, Inger RF, Iskandar DT. 2000. Molecular systematics and

biogeography of the fanged frogs of Southeast Asia. Molecular

Phylogenetics and Evolution 16(1): 131–142

Emerson SB, Berrigan D. 1993. Systematics of Southeast Asia ranids: Multiple

origin of voicelessness in the subgenus Limnonectes (Fitzinger).

Herpetologica 49(1): 22-31.

Evans BJ, Brown RF, McGuire JA, Supriatna J, Andayani N, Diesmos A,

Iskandar DT, Melnick DJ, Cannatella DC. 2003. Phylogenetics of Fanged

Frogs: Testing Biogeographical Hypotheses at the Interface of the Asian and

Australian Faunal Zones. Syst. Biol. 52(6): 794–819.

Farajallah A. 2002. Karakterisasi genom mitokondria labi-labi Dogania subplana

(Trionychidae, Testudines, Reptilia) [Disertasi]. Bogor. Program

Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

34

Frost, DR, Grant T, Faivovich J, Bain RH, Haas A, Haddad CFB, De Sá RO,

Channing A, Wilkinson M, Donnellan SC, Raxworthy CJ, Campbell JA,

Blotto BL, Moler P, Drewes RC, Nussbaum RA, Lynch JD, Green DM,

Wheeler WC, 2006. The amphibian tree of life. Bull. Am. Mus. Nat. Hist.

297: 1–370

Ford LS, Cannatella DC. 1993. The major clades of frogs. Herpetological

monographs 7: 94-117

Gosner LK. 1960. A Simplified Table for Staging Anuran Embryos and Larvae

with Notes on Identification. Herpetologica 16(3): 183-190

Gosner LK, Rossman DA. 1960. Eggs and larval development of the tree frogs

Hyla crucifer and Hyla ocularis. Herpetologica 16(4): 225-232.

Haas A. 2003. Phylogeny of frogs as inferred from primarily larval characters

(Amphibia: Anura). Cladistics 19: 23–89.

Hamidy A, Matsui M, Shimada T, Nishikawa K, Yambun P, Sudin A, Kusrini

MD, Kurniati H. 2011. Morphological and genetic discordance in two

species of Bornean Leptobrachium (Amphibia, Anura, Megophryidae).

Molecular Phylogenetics and Evolution 61: 904–913.

Hillis DM, Wilcox TP. 2005. Phylogeny of the New World true frogs (Rana).

Molecular Phylogenetics and Evolution 34: 299–314.

Hofrichter R. 1999. The Encyclopedia of Amphibian. Canada: Key Porter Books

Limited.

Inger RF. 1966. The systematic and zoogeography of the amphibian of Borneo.

Fieldiana: Zoology Volume 52. Field Museum of Natural History. United

States of America: Field Museum Press

Inger RF. 1972. Bufo of Eurasia. Di dalam W.F. Blair (editor), Evolution in the

genus Bufo: 102–118. Austin: University of Texas Press.

Inger RF, Voris HK. 2001. Biogeographical relations of the frog and snake of

Sundaland. J Biogeogr 28: 863–891

Iskandar DT. 1998. Amfibi Jawa dan Bali – Seri Panduan Lapangan. Bogor:

Puslitbang – LIPI.

Iskandar DT, Mumpuni 2004. Fejervarya iskandari. In: IUCN 2011. IUCN Red

List of Threatened Species. Version 2011.2. <www.iucnredlist.org>.

[13 May 2012].

Kitching IJ, Forey PL, Humphries CJ, Williams DM. 1998. Cladistics second

edition: The Theory and Practice of Parsimony Analysis. New York: Oxford

University Press Inc

35

Kusrini MD, Lubis ML, Darmawan B. 2008. The Tree Frog of Chevron

Geothermal Concession, Mount Halimun Salak National Park Indonesia.

Technical report submitted to the Wildlife Trust – Peka Foundation.

Kusrini MD, Lubis MI, Darmawan B, Rahman NL, Hypananda W. 2009. Final

Report: Integrated Ecological Research of Conservation of the Tree Frog in

West Java, Indonesia. Technical report submitted to the Wildlife Truts –

Peka Foundation.

Leong TM, Chou LM. 2000. Tadpole of the Celebes Toad Bufo Celebensis

Gunther (Amphibia: Anura: Bufonidae) from Northeast Sulawesi. The

Raffles Bulletin of Zoology 48(2): 297-30.

Li J, Che J, Bain RH, Zhao E, Zhang Y. 2008. Molecular phylogeny of

Rhacophoridae (Anura): A framework of taxonomic reassignment of species

within the genera Aquixalus, Chiromantis, Rhacophorus, and Philautus.

Molecular Phylogenetics and Evolution 48: 302–312.

Lipscomb D. 1998. Basics of cladistic analysis. Washington DC: George

Washington Univ.

Liu W, Lathrop A, Fu J, Yang D, Murphy RW. 2000. Phylogeny of East Asian

Bufonids Inferred from Mitochondrial DNA Sequences (Anura: Amphibia).

Molecular Phylogenetics and Evolution 14(3): 423–435.

Matsui M, Hamidy A, Murphy RW, Khonsue W, Yambun P, Shimada T, Ahmad

N, Belabut DM, Jiang JP. 2010. Phylogenetic relationships of megophryid

frogs of the genus Leptobrachium (Amphibia, Anura) as revealed by

mtDNA gene sequences. Molecular Phylogenetics and Evolution 56: 259–

272.

McLeod DS. 2010. Of Least Concern? Systematics of a cryptic species complex:

Limnonectes kuhlii (Amphibia: Anura: Dicroglossidae). Molecular

Phylogenetics and Evolution 56: 991–1000.

Mistar. 2003. Panduan Lapang Amfibi Kawasan Ekosistem Leuser. Bogor:

PILINGO Movement.

Ningsih WD. 2011. Struktur komunitas berudu anura di Sungai Cibeureum

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Jawa Barat [Skripsi]

Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan Dan Ekowisata Fakultas

Kehutanan IPB. Bogor. Tidak dipublikasi

Page RDM, Holmes EC. 1998. Molecular Evolution: A Phylogenetic Approach.

United Kingdom: Blackwell Science.

Petranka JW, Kennedy CA. 1999. Pond tadpoles with generalised morphology: is

it time to reconsider their functional roles in aquatic communities?

Oecologia 120: 621-631

36

Pramuk JB, Hass CA, Hedges SB. 2001. Molecular Phylogeny and Biogeography

of West Indian Toads (Anura: Bufonidae). Molecular Phylogenetics and

Evolution 20(2): 294–301.

Quicke DLJ. 1993. Principles and Techniques of Contemporary Taxonomy.

United Kingdom: Blackie Academic & Professional.

Starrett P. 1960. Descriptions of Tadpoles of Middle American Frogs. Museum of

Zoology, University of Michigan 110: 5-37

Tamura K, Dudley J, Nei M dan Kumar S. 2007. MEGA4: Molecular

evolutionary genetics analysis (MEGA) software version 4.0. Molecular

Biology and Evolution 24: 1596-1599

Tegelstrom H. 1986. Mitochondrial DNA in natural population: An improved

routine for screening of genetic variation based on sensitive silver staining.

Electrophoresis 7(5): 226-229

Tjong DH, Iskandar DT, Gusman D. 2010. Hubungan filogenetik spesies

Limnonectes (Ranidae: Amphibia) asal Sumatera Barat dan asal Asia

Tenggara berdasarkan gen 16S ribosomal RNA. Makara sains 14(1): 79-87.

Toda M, Matsui M, Nishida M, Ota H. 1998. Genetic divergence among

Southeast and East Asian population of Rana limnocharis (Amphibia:

Anura), with species reference to sympatric cryptic species in Java. Zool Sci

14: 607–613

Van Buskirk, J, McCollum, SA. 1999. Plasticity and selection explain variation in

tadpole phenotype between ponds with different predator composition.

Oikos 85: 31-39

Veith M, Kosuch J, Ohler A, Dubois A. 2001. Systematics of Fejervarya

limnocharis (Gravenhorst, 1829) (Amphibia, Anura, Ranidae) and related

species. 2. Morphological and molecular variation in frogs from the Greater

Sunda Islands (Sumatra, Java, Borneo) with the definition of two species.

Alytes 19: 5–28

Verma PK, Pande N. 2002. Learning Amphibia through Latest Portfolio of Theory

and Practice. New Delhi: Dominant Publishers and Distributors.

Wassersug RJ. 1975. The adaptive significance of the tadpole stage with

comments on the maintenance of complex life cycles in anurans. American

Zoology 15: 405-417

Wilbur H. 1987. Regulation of structure in complex systems: experimental

temporary pond communities. Ecology 68: 1437-1452

Wilkinson JA, Drewes RC. 2000. Character assessment, genus level boundaries,

and phylogenetic analyses of the family Rhacophoridae: a review and

present day status. Cont. Herpetol. 2000, 2

37

Wilkinson JA, Drewes RC, Tatum OL. 2002. A molecular phylogenetic analysis

of the family Rhacophoridae with an emphasis on the Asian and African

genera. Mol. Phylogenet. Evol. 24: 265–273.

Yu G, Rao D, Zhang M, Yang J. 2009. Re-examination of the phylogeny of

Rhacophoridae (Anura) based on mitochondrial and nuclear DNA.

Molecular Phylogenetics and Evolution 50: 571–579.

38

LAMPIRAN

39

Lampiran 1. Deskripsi morfologi masing-masing spesies berudu

1. Famili Bufonidae

a. Dutaphrynus melanostictus

Deskripsi dilakukan berdasarkan 12 individu spesimen yang seluruhnya

berada pada tahap 25 berdasarkan Gosner (1960).

Karakter Rerata

(mm)

St.

Deviasi

Min.

(mm)

Maks.

(mm)

Panjang total (TL) 7.42 0.31 6.82 7.94

Panjang tubuh (BL) 2.92 0.28 2.64 3.56

Panjang ekor (TAL) 3.63 0.35 2.74 3.96

Lebar tubuh (BW) 1.5 0.18 1.22 1.82

Tinggi ekor maksimum (MTH) 0.61 0.25 0.4 1.32

Tinggi otot ekor (TMH) 0.11 0.03 0.08 0.2

Lebar otot ekor (TMW) 0.09 0.01 0.08 0.1

Jarak interorbital (IOD) 0.48 0.08 0.4 0.6

Jarak internarial (IND) 0.1 0 0.1 0.1

Lebar oral disc (ODW) 0.49 0.12 0.3 0.7

Spesies ini memiliki tubuh dan ekor berwarna hitam dengan sirip yang

tidak berpigmen. Ekor memanjang dengan ujung meruncing. Sirip dorsal

memanjang dari pangkal ekor (posterior tubuh). Mata terletak pada bagian dorsal

tubuh, spirakel sinistral (tunggal pada bagian kiri tubuh), lubang narial terletak

lebih dekat dengan mata daripada oral disc, dengan vent tube pada posisi dextral.

Bagian oral disc memiliki lekuk (emarginate) dengan 1 baris papilla

marjinal pada bibir atas (ventral). Ketebalan keratin pada rahang (jaw) medium,

berbentuk serrate dengan saw-toothed, perpanjangan posterolateral pada keratin

sangat panjang. Formula geligi spesies ini adalah I+1-1/III.

40

b. Leptophryne cruentata

Deskripsi dilakukan pada 5 spesimen yang terdiri dari 1 spesimen tahap

26, 27, 28 dan 2 spesimen tahap 31.

Karakter Tahap 26 Tahap 27 Tahap 28 Tahap 31 Tahap 31

Panjang total (TL) 16.32 16.12 20.80 20.90 16.52

Panjang tubuh (BL) 5.30 5.80 6.36 8.46 5.60

Panjang ekor (TAL) 11.22 9.98 12.24 11.04 10.70

Lebar tubuh (BW) 2.22 3.02 3.36 4.18 1.92

Tinggi ekor maksimum (MTH) 2.24 2.54 2.90 3.26 2.34

Tinggi otot ekor (TMH) 0.50 0.80 1.52 1.42 0.80

Lebar otot ekor (TMW) 0.70 0.60 1.32 1.42 0.50

Jarak interorbital (IOD) 0.50 0.60 1.22 1.22 0.70

Jarak internarial (IND) 0.20 0.20 0.50 0.60 0.20

Lebar oral disc (ODW) 1.00 1.08 1.42 1.82 1.12

Berudu spesies ini memiliki oral disc berlekuk (emarginate) dengan 1

baris papila marjinal dengan gap lebar pada bibir atas dan 1 baris sub-papila

marjinal pada bibir bawah. Rahang dengan keratin medium, berbentuk serrate,

saw-toothed, dan perpanjangan posterolateral yang panjang. Formula geligi

berudu ini adalah I+1-1/III.

Tubuh dorsal berudu ini berwarna hitam, dan ventral berwarna putih. Sirip

dan ekor tidak berpigmen. Ekor dan sirip memanjang dengan ujung meruncing.

Sirip dorsal memanjang dari pangkal ekor. Posisi mata pada dorsal, sedangkan

narial terletak lebih dekat dengan mata. Spirakel tunggal pada sisi kiri tubuh

(sinistral), dan posisi vent tube dextral.

41

c. Phrynoidis aspera

Deskripsi dilakukan berdasarkan dua individu yang seluruhnya berada

pada tahap 25 berdasarkan Gosner (1960).

Karakter Ind. 1 Ind. 2

Panjang total (TL) 13.36 8.56

Panjang tubuh (BL) 2.84 3.66

Panjang ekor (TAL) 4.68 5.10

Lebar tubuh (BW) 1.72 1.92

Tinggi ekor maksimum (MTH) 0.50 0.80

Tinggi otot ekor (TMH) 0.50 0.40

Lebar otot ekor (TMW) 0.98 0.40

Jarak terjauh interorbital (IOD) 0.70 0.60

Jarak terjauh internarial (IND) 0.12 0.08

Lebar oral disc (ODW) 2.42 1.62

Berudu ini memiliki oral disc tidak berlekuk (not emarginate) dengan 1

baris papila marjinal pada ujung bibir atas dan bibir bawah. Bentuk oral disc

mulut seperti “mangkuk” karena terdapat pelebaran pada bibir bawah. Rahang

dengan keratin tipis, berbentuk cuspate, membulat (rounded) dengan

perpanjangan posterolateral medium. Formula geligi berudu ini adalah II/III.

Tubuh dan ekor berudu ini berwarna coklat tua. Ekor dengan ujung

meruncing. Sirip dorsal memanjang dari bagian tengah ekor. Posisi mata pada

dorsal dengan narial yang terletak lebih dekat dengan mata dibandingkan dengan

oral disc. Spirakel tunggal pada sisi kiri tubuh (sinistral) dan posisi vent tube

medial.

42

2. Famili Dicroglossidae

a. Fejervarya limnocharis

Deskripsi dilakukan berdasarkan 6 spesimen yang terdiri dari satu individu

pada tahap 30, tiga individu pada tahap 33, dan 2 individu pada tahap 34.

Karakter Tahap 30 Tahap 33

(𝒙 ) Tahap 34 Tahap 34

Panjang total (TL) 19.38 20.53 22.24 17.44

Panjang tubuh (BL) 7.44 7.91 8.96 8.96

Panjang ekor (TAL) 11.22 12.67 13.56 2.84

Lebar tubuh (BW) 4.38 4.38 4.88 4.98

Tinggi ekor maksimum (MTH) 3.26 2.57 2.84 3.36

Tinggi otot ekor (TMH) 1.52 1.31 1.32 2.02

Lebar otot ekor (TMW) 0.80 0.84 1.00 0.80

Jarak terjauh interorbital (IOD) 1.52 2.00 1.92 2.44

Jarak terjauh internarial (IND) 0.40 0.47 0.60 0.70

Lebar oral disc (ODW) 0.90 1.11 1.00 1.12

Berudu F. limnocharis memiliki oral disc yang berlekuk (emarginate)

dengan 1 baris papila marjinal dengan gap yang lebar. Bagian rahang (jaw)

berkeratin tebal, berbentuk serrate, dengan saw-toothed. Rahang tersebut

memiliki perpanjangan posterolateral yang panjang. Formula geligi spesies ini

adalah I+1-1/III. Barisan gigi terakhir pada bibir bawah lebih pendek dari yang

lainnya.

Tubuh berudu ini berwarna kecoklatan dengan bintik coklat. Ekor tidak

berpigmen dengan bintik coklat. Ekor hampir lurus memanjang dengan ujung

melancip. Sirip dorsal memanjang dari pangkal ekor. Mata terletak pada bagian

dorsal, dengan narial yang terlatak lebih dekat dengan mata. Spirakel tunggal dan

terletak pada bagian kiri tubuh (sinistral) dengan posisi vent tube dextral.

43

b. Limnonectes kuhlii

Deskripsi dilakukan berdasarkan 3 spesimen terdiri dari 2 individu pada

tahap 31 dan 1 individu pada tahap 33. Kondisi spesimen terdegradasi pada bagian

geligi sehingga tidak dapat diketahui formula geliginya. Formula geligi yang

disajikan pada deskripsi ini adalah berdasarkan Iskandar (1998).

Karakter Tahap 31 Tahap 31 Tahap 33

Panjang total (TL) 42.54 39.58 44.38

Panjang tubuh (BL) 15.00 15.10 14.98

Panjang ekor (TAL) 27.44 23.76 28.36

Lebar tubuh (BW) 10.80 9.68 9.98

Tinggi ekor maksimum (MTH) 6.32 7.34 6.42

Tinggi otot ekor (TMH) 4.38 4.02 4.18

Lebar otot ekor (TMW) 2.64 2.64 2.54

Jarak terjauh interorbital (IOD) 4.18 4.68 4.68

Jarak terjauh internarial (IND) 1.82 1.92 2.14

Lebar oral disc (ODW) 3.16 2.84 3.26

Berudu ini memiliki tubuh yang berwarna kehitaman. Ekor hampir lurus

memanjang dengan ujung meruncing. Ekor berwarna hitam pada bagian tengah

sampai ujung. Sirip dorsal memanjang dari pangkal ekor (posterior tubuh). Posisi

mata terletak pada bagian lateral tubuh. Lubang narial terletak di antara mata dan

mulut. Spirakel tunggal dan terlatk pada bagian kiri tubuh (sinistral), sedangkan

vent tube terletak pada dextral.

Oral disc berudu ini memiliki lekuk (emarginate). Rahang (jaw) dengan

keratin tebal, berbentuk serrate, dan dengan saw-toothed. Rahang tersebut

memiliki perpanjangan posterolateral yang panjang. Formula geligi spesies ini

adalah I/1-1+II. Papila marjinal pada bibir atas dan bawah terdegradasi.

44

c. Limnonectes microdiscus

Deskripsi dilakukan berdasarkan dua spesimen yang seluruhnya berada

pada tahap 25 berdasarkan Gosner (1960). Kondisi spesimen terdegradasi pada

bagian geligi sehingga tidak dapat diketahui formula geliginya. Formula geligi

yang disajikan pada deskripsi ini adalah berdasarkan Iskandar (1998).

Karakter Tahap 25 Tahap 25

Panjang total (TL) 27.44 22.94

Panjang tubuh (BL) 10.10 10.90

Panjang ekor (TAL) 16.32 13.16

Lebar tubuh (BW) 5.50 5.10

Tinggi ekor maksimum (MTH) 3.46 3.46

Tinggi otot ekor (TMH) 2.34 2.34

Lebar otot ekor (TMW) 2.14 2.24

Jarak terjauh interorbital (IOD) 2.64 2.24

Jarak terjauh internarial (IND) 1.12 1.12

Lebar oral disc (ODW) 0.80 0.80

Berudu ini memiliki tubuh transparan dengan bintik coklat. Ekor

berbentuk hampir lurus memanjang dengan ujung meruncing. Sirip dorsal

memanjang dari pangkal ekor. Tampak lekukan (crest) yg sempit pada punggung.

Posisi mata lateral dengan narial terletak lebih dekat dengan mata daripada mulut.

Spirakel tunggal pada sisi kiri tubuh (sinistral) dan vent tube pada posisi dextral.

Sebagian besar cirri pada bagian mulut terdegradasi sehingga bentuk oral

disc, dan papilla marjinal tidak dapat dideskripsikan Tebal keratin pada rahang

(jaw) medium dengan bentuk serrate dan saw-toothed. Perpanjangan

posterolateral sangat panjang. Formula geligi berudu ini adalah I+1-1/1-1+II.

45

3. Famili Megophryidae

a. Leptobrachium hasseltii

Deskripsi dilakukan berdasarkan 4 spesimen yang terdiri dari 1 spesimen

pada tahap 30, 2 spesimen pada tahap 34 dan 1 spesimen pada tahap 40. Seluruh

specimen dalam kondisi utuh.

Karakter Tahap

30

Tahap

34

Tahap

34

Tahap

40

Panjang total (TL) 51.12 62.14 57.94 74.06

Panjang tubuh (BL) 18.56 22.14 22.14 26.12

Panjang ekor (TAL) 33.56 40.20 34.88 47.14

Lebar tubuh (BW) 10.08 13.86 13.56 12.44

Tinggi ekor maksimum (MTH) 9.18 9.58 10.80 13.16

Tinggi otot ekor (TMH) 4.58 6.72 6.72 7.34

Lebar otot ekor (TMW) 3.36 4.58 4.38 7.94

Jarak terjauh interorbital (IOD) 5.30 7.24 6.62 8.46

Jarak terjauh internarial (IND) 2.64 2.94 2.24 3.16

Lebar oral disc (ODW) 3.36 4.58 4.48 4.98

Berudu ini memiliki oral disc yang berlekuk (emarginate) dengan 1 baris

papila marjinal pada bibir bawah, dan 1 baris papilla marjinal pada bibir atas

dengan gap yang lebar. Tidak ada sub papila marjinal. Rahang dengan keratin

yang tebal, berbentuk serrate, saw-toothed, dengan perpanjangan posterolateral

pendek. Formula geligi berudu ini adalah I+5-5/4-4+5.

Tubuh berudu ini berwarna coklat seluruhnya. Ekor berwarna coklat

dengan bentuk hampir lurus memanjang dengan ujung meruncing. Sirip dorsal

memanjang dari pangkal ekor. Posisi mata pada lateral, dengan narial yang

terletak lebih dekat dengan mata daripada dengan mulut. Spirakel tunggal pada

sisi kiri tubuh (sinistral), sedangkan posisi vent tube adalah dextral.

46

b. Megophrys Montana

Deskripsi dilakukan berdasarkan 5 spesimen yang terdiri dari 3 spesimen

pada tahap 26 dan 2 spesimen pada tahap 28. Seluruh specimen dalam keadaan

utuh dan sempurna.

Karakter Tahap 26

(𝒙 )

Tahap

28

Tahap

28

Panjang total (TL) 38.53 43.66 39.88

Panjang tubuh (BL) 10.67 11.72 11.72

Panjang ekor (TAL) 27.34 31.00 27.94

Lebar tubuh (BW) 5.01 6.32 6.12

Tinggi ekor maksimum (MTH) 5.71 7.14 6.12

Tinggi otot ekor (TMH) 3.79 4.38 3.96

Lebar otot ekor (TMW) 2.47 3.56 3.46

Jarak terjauh interorbital (IOD) 3.46 4.28 3.96

Jarak terjauh internarial (IND) 2.88 3.36 3.26

Lebar oral disc (ODW) 5.33 7.36 4.68

Berudu ini memiliki oral disc berlekuk (emarginate). Bibir dengan

pelebaran lateral sehingga berbentuk seperti “kumis”. Bagian dalam bibir berbintil

coklat. Papila marjinal terdiri dari 3 baris pada bibir atas dan 4 baris pada bibir

bawah. Rahang dengan tebal keratin medium, berbentuk cuspate, dan pointed.

Perpanjangan posterolateral pada rahang pendek.

Tubuh dan ekor berwarna coklat dengan bercak hitam. Sirip tidak

berpigmen dengan bercak hitam. Sirip dorsal memanjang dari bagian tengah otot

ekor. Ekor berbentuk oval memanjang dengan ujung meruncing. Posisi mata pada

lateral, dengan narial yang terletak lebih dekat dengan mata. Spirakel tunggal pada

sisi kiri tubuh (sinistral) dan posisi vent tube pada medial.

47

4. Famili Microhylidae

a. Kaloula baleata

Deskripsi dilakukan berdasarkan dua specimen pada tahap 40. Kondisi

spesimen utuh dan sempurna.

Karakter Ind. 1 Ind. 2

Panjang total (TL) 33.36 30.20

Panjang tubuh (BL) 13.26 12.54

Panjang ekor (TAL) 21.82 18.26

Lebar tubuh (BW) 8.96 7.64

Tinggi ekor maksimum (MTH) 6.62 4.98

Tinggi otot ekor (TMH) 3.26 2.34

Lebar otot ekor (TMW) 1.82 2.14

Jarak terjauh interorbital (IOD) 6.22 5.80

Jarak terjauh internarial (IND) 0.50 0.40

Lebar oral disc (ODW) 1.22 1.22

Berudu ini berukuran besar dan berwarna kecoklatan. Ekor hampir lurus

memanjang dengan ujung runcing. Sirip dorsal memanjang dari ujung ekor. Ekor

dengan bercak kecoklatan. Posisi mata lateral dengan narial yang terletak lebih

dekat dengan mata. Spirakel tunggal di sisi kiri tubuh dengan pipa panjang. Posisi

vent tube medial. Berudu ini tidak mempunyai oral disc. Pada bagian ujung

kepala terdapat lubang kecil.

48

b. Microhyla achatina

Deskripsi dilakukan berdasarkan 9 spesimen pada tahap 25, 1 spesimen

pada tahap 34 dan 1 spesimen pada tahap 35. Kondisi spesimen terdegradasi pada

oral disc namun masih dapat terlihat formula geliginya.

Karakter Tahap 25

(𝒙 )

Tahap

34

Tahap

35

Panjang total (TL) 12.14 14.68 15.70

Panjang tubuh (BL) 3.62 5.20 4.98

Panjang ekor (TAL) 7.80 8.46 10.40

Lebar tubuh (BW) 2.01 3.46 2.84

Tinggi ekor maksimum (MTH) 1.54 2.02 0.90

Tinggi otot ekor (TMH) 0.69 0.40 0.40

Lebar otot ekor (TMW) 0.61 0.40 0.80

Jarak terjauh interorbital (IOD) 0.88 2.34 2.54

Jarak terjauh internarial (IND) 0.20 0.30 0.40

Lebar oral disc (ODW) 0.53 1.22 1.32

Berudu ini memiliki oral disc yang tidak berlekuk (not emarginate). Bibir

bawah mengalami pelebaran dan bibir atas membulat tanpa pelebaran lateral.

Pelebaran bibir bawah dengan bintil-bintil sebanyak 1 baris. Oral disc dengan 2

baris papila sub-marjinal. Keratin pada rahang (jaw) tidak tampak karena

terdegradasi. Mulut dengan lubang kecil di tengah. Formula geligi II/1-1+III.

Tubuh berwarna kecoklatan pada dorsal, dan tidak berpigmen pada

ventral. Ekor panjang, berbentuk oval dengan ujung meruncing mulai 1/3 akhir.

Sirip dorsal memanjang dari pangkal ekor.

49

5. Famili Ranidae

a. Huia masonii

Deskripsi dilakukan berdasarkan 2 spesimen pada tahap 25, 1 spesimen

pada tahap 35 dan 1 spesimen pada tahap 41.

Karakter Tahap 25 Tahap 25 Tahap 35 Tahap 41

Panjang total (TL) 18.36 18.46 47.52 43.36

Panjang tubuh (BL) 7.54 7.34 16.92 16.92

Panjang ekor (TAL) 10.40 10.60 31.12 25.50

Lebar tubuh (BW) 4.58 3.96 10.10 9.88

Tinggi ekor maksimum (MTH) 2.14 2.24 8.66 4.38

Tinggi otot ekor (TMH) 1.52 1.72 5.90 2.84

Lebar otot ekor (TMW) 1.22 1.22 4.98 3.26

Jarak terjauh interorbital (IOD) 1.92 2.24 5.90 5.60

Jarak terjauh internarial (IND) 1.22 1.32 2.44 2.02

Lebar oral disc (ODW) 3.16 3.04 8.26 5.90

Berudu ini memiliki oral disc tidak berlekuk (not emarginated) dengan 2

baris papila marjinal dengan gap lebar pada bibir atas dan papila sub-marjinal

hanya pada sudut bibir. Rahang (jaw) berkeratin tebal, berbentuk cuspate

membulat, dengan perpanjangan posterolateral medium. Formula geligi berudu ini

adalah IV+5-5/1-1+VI.

Tubuh dengan semacam “mangkuk” pada ventral yang berfungsi sebagai

penyedot sehingga mampu hidup di habitat sungai berarus deras. Tubuh berwarna

kehitaman dan ekor dengan bercak kecoklatan. Sirip dorsal dan ventral berbintik

hitam pada bagian yang berbatasan dengan ekor. Sirip oval membulat dengan

ujung membulat. Sirip dorsal memanjang dari bagian tengah ekor. Posisi mata

dorsal, narial terletak lebih dekat dengan mata. Spirakel tunggal pada sisi kiri

tubuh (sinistral) dengan sirip yang jelas. Posisi vent tube medial.

50

b. Hylarana chalconota

Deskripsi dilakukan berdasarkan 2 spesimen yang terdiri dari 1 spesimen

pada tahap 32 dan 1 spesimen pada tahap 34.

Karakter Tahap 32 Tahap 34

Panjang total (TL) 25.08 30.60

Panjang tubuh (BL) 9.28 10.40

Panjang ekor (TAL) 17.64 19.48

Lebar tubuh (BW) 5.08 5.60

Tinggi ekor maksimum (MTH) 4.58 5.20

Tinggi otot ekor (TMH) 2.64 2.16

Lebar otot ekor (TMW) 2.24 2.02

Jarak terjauh interorbital (IOD) 2.84 3.56

Jarak terjauh internarial (IND) 1.32 1.42

Lebar oral disc (ODW) 2.02 2.34

Berudu ini memiliki oral disc tidak berlekuk (not-emarginate) dengan 1

baris papila marjinal hanya pada sudut mulut dan 1 baris papila sub-marjinal.

Rahang dengan keratin tebal, berbentuk serrate, saw-toothed dan dengan

perpanjangan posterolateral panjang. Formula geligi adalah I+3-3/III.

Tubuh kuning kecoklatan sedangkan ekor tidak berpigmen. Ekor oval

memanjang dengan ujung meruncing. Sirip dorsal memanjang dari pangkal ekor.

Posisi mata lateral, narial terletak di antara mata dan oral disc. Spirakel tunggal

(sinistral) dan vent tube medial.

51

c. Odorrana hosii

Deskripsi dilakukan berdasarkan 3 spesimen yang masing-masing berada

pada tahap 25, 27, dan 28.

Karakter Tahap 25 Tahap 27 Tahap 28

Panjang total (TL) 28.86 26.42 28.36

Panjang tubuh (BL) 9.98 8.86 9.94

Panjang ekor (TAL) 19.48 17.34 18.66

Lebar tubuh (BW) 4.68 4.88 4.24

Tinggi ekor maksimum (MTH) 5.50 3.26 3.66

Tinggi otot ekor (TMH) 3.54 1.82 1.82

Lebar otot ekor (TMW) 1.92 1.82 1.52

Jarak terjauh interorbital (IOD) 2.16 1.92 2.24

Jarak terjauh internarial (IND) 1.42 1.52 1.72

Lebar oral disc (ODW) 1.92 1.82 2.64

Berudu ini memiliki oral disc berlekuk (emarginated) dengan 1 baris

papila marjinal dengan gap lebar pada bibir atas dan 1 baris papila sub-marjinal.

Rahang dengan keratin tebal, berbetuk serrate, saw-toothed dengan perpanjangan

posterolateral sangat panjang. Formula geligi I+4-4/1-1+III.

Tubuh berwarna coklat seluruhnya hingga ekor. Ekor berbentuk hampir

lurus memanjang dengan ujung meruncing. Sirip dorsal memanjang dari pangkal

ekor. Posisi mata lateral, narial berada di antara mata dan oral disc. Spirakel

tunggal pada sisi kiri tubuh (sinistral), dan posisi vent tube dextral.

52

6. Famili Rhacophoridae

a. Philautus vittiger

Deskripsi dilakukan berdasarkan 7 spesimen yang terdiri dari 1 spesimen

tahap 28, 2 spesimen pada tahap 29, 2 spesimen pada tahap 35, 1 spesimen pada

tahap 36, dan 1 spesimen pada tahap 41.

Karakter Tahap

28

Tahap

29

Tahap

29

Tahap

35

Tahap

35

Tahap

36

Tahap

41

Panjang total (TL) 24.68 24.78 24.38 27.24 21.32 25.40 24.98

Panjang tubuh (BL) 8.46 8.46 8.74 9.88 8.66 9.88 7.24

Panjang ekor (TAL) 16.62 16.42 16.42 18.96 11.42 17.54 16.92

Lebar tubuh (BW) 4.84 5.40 5.90 5.60 5.30 5.40 4.98

Tinggi ekor maksimum (MTH) 3.96 3.26 3.16 4.28 4.68 3.26 4.68

Tinggi otot ekor (TMH) 1.32 1.92 2.24 2.14 2.24 2.34 2.34

Lebar otot ekor (TMW) 1.22 1.52 1.52 1.42 1.72 1.92 1.82

Jarak terjauh interorbital (IOD) 3.36 3.16 2.94 3.66 3.86 3.66 3.66

Jarak terjauh internarial (IND) 1.32 1.22 1.32 1.32 1.22 1.32 1.32

Lebar oral disc (ODW) 2.44 2.94 3.16 2.84 2.54 3.04 2.24

Berudu ini memiliki oral disc berlekuk (emarginate) dengan 2 baris papila

marginal dengan gap yang lebar pada bibir atas dan 3 baris papilla sub-marjinal

pada bibir bawah. Rahang berkeratin medium, berbentuk cuspate, rounded dengan

perpanjangan posterolateral medium. Formula geligi spesies ini II+4-4/III.

Pola warna tubuh coklat kemerahan dengan bintik hitam, ekor dan sirip

dorsal hitam dan menjelang ujung ekor berpola. Sirip dorsal memanjang dari

pangkal otot ekor (posterior tubuh). Ekor oval dengan ujung meruncing. Posisi

mata lateral, narial lebih dekat dengan mata. Spirakel tunggal pada sisi kiri tubuh

(sinistral) dan vent tube dextral.

53

b. Polypedates leucomystax

Deskripsi dilakukan berdasarkan 8 spesimen yang masing-masing berada

pada tahap 25, 26, 28, 31, 34, 35, 36, dan 37.

Karakter Tahap

25

Tahap

26

Tahap

28

Tahap

31

Tahap

34

Tahap

35

Tahap

36

Tahap

37

Panjang total (TL) 25.70 39.38 41.62 41.42 32.34 32.54 33.66 42.24

Panjang tubuh (BL) 11.22 15.30 14.68 15.40 12.44 11.92 13.16 15.90

Panjang ekor (TAL) 14.18 24.48 27.44 25.40 20.70 20.20 22.44 26.12

Lebar tubuh (BW) 4.88 7.54 7.74 6.72 6.52 11.22 11.62 8.36

Tinggi ekor maks. (MTH) 6.62 9.68 8.66 9.18 5.20 6.00 6.00 9.48

Tinggi otot ekor (TMH) 4.96 6.12 4.98 5.40 2.74 2.44 3.46 5.40

Lebar otot ekor (TMW) 1.92 2.44 2.74 2.74 1.92 1.62 2.34 3.96

Jarak interorbital (IOD) 5.70 7.34 6.72 6.72 3.66 4.38 4.38 7.84

Jarak internarial (IND) 2.44 2.84 2.74 2.94 1.72 2.14 2.34 2.94

Lebar oral disc (ODW) 1.92 2.94 2.74 3.00 2.94 2.84 3.16 3.56

Berudu ini memiliki oral disc tidak berlekuk (not-emarginate) dengan 1

baris papila marjinal dengan gap lebar dan 1 baris papila sub-marjinal pada bibir

atas. Rahang dengan keratin tebal, berbentuk serrate, saw-toothed, dengan

perpanjangan posterolateral panjang. Formula geligi I+3-3/III.

Tubuh berwarna coklat-hitam, ekor dan sirip tidak berpigmen atau dengan

bintik hitam. Ekor dan sirip oval hingga membulat dengan ujung meruncing mulai

dari 1/3 akhir. Sirip dorsal memanjang dari pangkal ekor. Posisi mata lateral,

narial berada di antara mata dan oral disc. Spirakel tunggal di sisi kiri tubuh

(sinistral) dan vent tube dextral.

54

c. Rhacophorus margaritifer

Deskripsi dilakukan berdasarkan 3 spesimen yang masing-masing berada

pada tahap 25, 30, dan 31.

Karakter Tahap 25 Tahap 30 Tahap 31

Panjang total (TL) 12.00 32.44 33.64

Panjang tubuh (BL) 3.64 11.64 12.64

Panjang ekor (TAL) 9.20 19.90 19.40

Lebar tubuh (BW) 5.70 8.26 4.78

Tinggi ekor maksimum (MTH) 4.98 5.70 4.68

Tinggi otot ekor (TMH) 1.92 3.44 2.44

Lebar otot ekor (TMW) 1.72 2.24 1.42

Jarak terjauh interorbital (IOD) 2.74 3.36 2.36

Jarak terjauh internarial (IND) 1.32 1.32 1.32

Lebar oral disc (ODW) 2.92 3.16 1.72

Berudu ini memiliki tubuh berwarna kecoklatan, ekor berbintik coklat

pada 1/3 akhir. Ekor oval dengan ujung meruncing. Sirip dorsal memanjang dari

pangkal ekor. Posisi mata dorsal dan narial terletak lebih dekat dengan mata.

Spirakel tunggal pada sisi kiri tubuh (sinistral) dan vent tube dextral.

Oral disc berlekuk (emarginate) dengan 1 baris papila marjinal dengan

gap lebar pada bibir atas dan 2 baris papila marjinal pada bibir bawah. Rahang

dengan keratin tebal, berbentuk serrate, saw-toothed dengan perpanjangan

posterolateral panjang. Formula geligi I+5-5/III atau II+4-4/III.

55

d. Rhacophorus reinwardtii

Deskripsi dilakukan berdasarkan 3 spesimen yang terdiri dari 2 spesimen

tahap 25 dan 1 spesimen tahap 28.

Karakter Tahap 25 Tahap 25 Tahap 28

Panjang total (TL) 23.76 24.78 34.38

Panjang tubuh (BL) 9.28 8.04 12.64

Panjang ekor (TAL) 14.18 15.40 20.90

Lebar tubuh (BW) 5.70 4.78 8.26

Tinggi ekor maksimum (MTH) 4.98 4.68 5.70

Tinggi otot ekor (TMH) 1.92 2.44 3.44

Lebar otot ekor (TMW) 1.72 1.42 2.24

Jarak terjauh interorbital (IOD) 2.74 2.36 3.36

Jarak terjauh internarial (IND) 1.32 1.32 1.32

Lebar oral disc (ODW) 2.92 1.72 3.16

Berudu ini memiliki oral disc (emarginate) dengan 1 baris papila marjinal

dengan gap lebar pada bibir atas dan 1 baris papila marjinal pada bibir bawah.

Rahang dengan keratin medium, berbentuk serrate, saw-toothed, dengan

perpanjangan poterolateral panjang. Formula geligi I+5-5/III.

Tubuh berwarna coklat kemerahan dengan bercak coklat. Sirip tidak

berpigmen dengan bercak coklat tidak merata. Ekor oval dengan ujung membulat.

Sirip dorsal memanjang dari pangkal otot ekor. Posisi mata dorsal dan narial

terletak lebih dekat dengan mata. Spirakel tunggal pada sisi kiri tubuh (sinistral)

dan vent tube dextral.