DESERTASE LENGKAP UJIAN TUTUP - Universitas Udayana · í ñ %$% ,, .$-,$1 3867$.$ .216(3 /$1'$6$1...
Transcript of DESERTASE LENGKAP UJIAN TUTUP - Universitas Udayana · í ñ %$% ,, .$-,$1 3867$.$ .216(3 /$1'$6$1...
-
15
BAB II
KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,
DAN MODEL PENELITIAN
2.1 Kajian Pustaka
Kajian mengenai relasi kuasa pada masyarakat, telah banyak ditulis dan
dilakukan oleh beberapa peneliti dalam upaya memahami relasi yang terjalin
antarkelompok pada masyarakat nelayan. Di antaranya sebagai berikut.
Penelitian (Lampe, 2015) merupakan salah satu model penelitian yang
sangat relevan dengan penelitian ini. Penelitiannya yang berjudul: Punggawa-Sawi
Nelayan Bugis-Makassar dalam Analisis Relasi Internal Dan Eksternal. Munsi
Lampe menyimpulkan bahwa kebertahanan dan dinamika Punggawa-Sawi
Nelayan Bugis-Makassar dimungkinkan dengan koeksistens dan koneksitas
mutualis dengan pasar global sejak ratusan tahun silam dan dengan modernisasi
perikanan laut kapitalis yang terjadi kemudian. Analisis relasional tersebut
menunjukkan dengan jelas bahwa kelembagaan tradisional Punggawa-Sawi
merupakan sistem terbuka yang dinamis, bukan sistem tertutup penuh
keseimbangan sebagaimana diasumsikan para penganut struktural-fungsional,
tetapi tidak benar pula dilihat sebagai wadah pemolaan praktik perenggutan.
Melalui analisis internal dan eksternal, fenomena kebertahanan dan
dinamika Punggawa-Sawi dapat dilacak hingga ratusan tahun ke belakang
(backward in time) dan jauh ke luar hingga pusat-pusat pasar ekspor (outward in
space). Jadi, pada satu sisi, koeksistens dan koneksitas mutualis Punggawa-Sawi
dengan pelaku pasar global dan modernisasi perikanan laut kapitalis (external
-
16
relations) justru mendorong proses dinamika struktur/relasi Punggawa-Sawi
(internal relations) dan pada sisi lain, menjamin terjaganya inti-inti struktur/relasi
tradisional yang menentukan kekokohannya. Lagi pula para pelaku usaha kapitalis
dan pasar global justru banyak memanfaatkan dan bergantung pada fungsi tradisi
sosial-budaya nelayan lokal, khususnya Punggawa-Sawi, karena dianggap sebagai
pemberi keberuntungan usaha bisnis melalui keberlangsungan transaksi permintaan
dan penawaran komoditas ekspor hasil laut sejak dahulu.
Perbedaan penelitian dia atas, selain berbeda tempat, juga dapat dilihat yaitu
(Lampe, 2015) fokus pada fenomena kebertahanan dan dinamika Punggawa-Sawi,
sedangkan dalam penelitian ini diteliti relasi kuasa punggawa- sawi dalam
kehidupan nelayan etnis Bajo di Tiworo Kepulauan Kecamatan Tiworo Utara, yang
meliputi seluruh aspek, mulai aspek bentuk relasi kuasa, idiologi dalam relasi kuasa
sampai pada implikasi yang terjadi pada masyarakat etnis Bajo. Objek yang dituju
adalah relasi yang di bangun oleh para punggawa, di luar pengetahuan etnis Bajo
sawi.
Selanjutnya (Kusnadi, 2003) melakukan penelitian dengan judul “Bentuk
Hubungan Kerja Punggawa dan Sawi dalam Kelompok Nelayan Ikan Terbang di
Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan”. Kusnadi menyimpulkan bahwa sistem
hubungan kerja membentuk relasi sosial tidak terlepas dari lingkungan yang
memengaruhi kelompok tersebut. demikian juga pada kelompok nelayan ikan
terbang di Sulawesi Selatan. Dinamika kelompok masyarakat nelayan di Sulawesi
Selatan menjadi salah satu penyebab terjadinya kemunduran dalam kemandirian
masyarakat nelayan di Kabupaten Takalar karena adanya sifat ketergantungan yang
-
17
sangat tinggi nelayan buruh (Sawi) terhadap nelayan yang memiliki modal
(Punggawa). Penyebab tersebut juga menimbulkan terbentuknya kemiskinan yang
bersifat struktural. Keberlanjutan hidup para Sawi (nelayan buruh) sangat
bergantung pada bentuk hubungan kerja yang dibangun dengan juragannya dalam
hal ini Punggawa dan kondisi keuangan.
Penelitian Kusnadi dengan penelitian ini memiliki persamaan, yakni sama
sama mengkaji tentang peran punggawa-sawi dengan pendekatan dan jenis
penelitian, yaitu metode penelitian kualitatif. Di samping itu, teori yang digunakan
juga memiliki kesamaan, di antaranya dalam penggunaan teori kapital sosial.
Perbedaan dengan yang dilakukan saat ini adalah Kusnadi mengkaji Bentuk
Hubungan Kerja Punggawa dan Sawi dalam Kelompok Nelayan Ikan Terbang di
Kabupaten Takalar Sulawesi Selatan”. menyimpulkan bahwa sistem hubungan
kerja membentuk relasi sosial tidak terlepas dari lingkungan yang memengaruhi
kelompok tersebut. sedangkan dalam penelitian ini dikaji “Relasi punggawa sawi
dalam kehidupan nelayan etnis Bajo di Tiworo Kepulauan kecamatan Tiworo Utara
Kabupaten Muna Barat Sulawesi Tenggara”, yang berkaitan dengan bentuk-bentuk
relasi kuasa. Idiologi dalam relasi kuasa dan implikasi dari relasi kuasa, Objek dan
lokasi penelitian juga mengambarkan perbedaan yang jauh.
Penelitian yang dilakukan (Khadijah, 2013) mengangkat judul “Studi
Hubungan Kerja Masyarakat Nelayan Kelurahan Ponjalae, Kecamatan Wara Timur
Kota Palopo”. Gambaran penelitian yang dilakukan oleh Khadijah adalah hubungan
antara nelayan buruh (Sawi) dan juragan (pungawa).Hasil penelitiannya meliputi
beberapa hal, yakni pertama, Khadijah mengkaji faktor pendorong antara keduanya
-
18
yang menyebabkan hubungan kerja antara Sawi (nelayan buruh) dan Punggawa
(juragan) yang terjadi dalam kelompok nelayan ikan terbang. Kedua, tidak hanya
ingin melihat sistem bagi hasil yang terjadi dalam bentuk hubungan kerja, tetapi
hak dan kewajiban dari masing-masing peran antara nelayan buruh dan juragan di
luar bentuk hubungan kerja yang terbangun. Ketiga, aspek sosiologis lebih
dikedepankan dengan melihat bentuk hubungan kerja dari sisi fungsi hubungan
kerja bagi kehidupan masyarakat pesisir, struktur sosial serta modal sosial yang
terdapat pada kelompok nelayan ikan terbang. Pada penelitian ini juga mengkaji
bukan hanya peran kerja dan sistem bagi hasil antara juragan dan anak buah tetapi
juga mengkajih mengenai sistem nilai yang dihasilkan dalam hubungan kerja
tersebut serta terbentuknya lembaga atau pranata sosial sebagai wadah kehidupan
dalam kelompok masyarakat pesisir.
Pada dasarnya penelitian ini mengkaji hubungan kerja nelayan, tetapi fokus
kajiannya terpusat pada hubungan antara nelayan buruh (Sawi) dan juragan
(pungawa), tetapi tidak fokus masalah bagaimana relasi yang di bangun oleh
kelompok nelayan punggawa untuk menguasai kelompok nelayan yang di
pekerjakan yaitu kelompok nelayan sawi, Oleh karena itu, banyak perbedaan akan
memperkaya khazanah keilmuan khususnya yang berhubungan dengan kearifan
lokal masyarakat maritim di Indonesia. Hasil penelitian (Khadijah, 2013)
digunakan sebagai pembanding dan salah satu kepustakaan untuk mengkaji relasi
kuasa punggawa-sawi pada masyarkat nelayan etnis Bajo di Tiworo Utara.
Penelitian lain yang juga mengkaji tentang hubungan patron-klien pada masyarakat
nelayan adalah (Fargomeli, 2014). Judul penelitiannya adalah “Interaksi Kelompok
-
19
Nelayan dalam Meningkatkan Taraf Hidup di Desa Tewil Kecamatan Sangaji
Kabupaten Maba Halmahera Timur”. Penelitian ini berupaya mengungkapkan pola
interkasi kehidupan masyarakat nelayan di Desa Tewil Kecamatan Sangaji
Kabupaten Maba Halmahera Timur dalam upaya mereka untuk meningkatkan taraf
hidup. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun berbagai upaya telah mereka
lakukan namun umumnya taraf hidup berupa peningkatan kesejahteraan yang
diharapkan mereka masih sulit terwujud. Hal tersebut disebabkan oleh karena
kesulitan yang mereka alami untuk memperoleh modal usaha dari pemerintah
sehingga pola hidup mereka bersifat subsistence dan sangat bergantung pada pola
interaksi patron-client antara nelayan dengan para tengkulak selaku pemilik modal.
Penelitian (Sufirudin, 2016) mengkaji tentang hubungan patron-klien
dengan judul “Hubungan Patron Klien di antara Masyarakat Nelayan di Desa
Kangkunawe Kecamatan Maginti Kabupaten Muna Barat Provinsi Sulawesi
Tenggara. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa: hubungan antara patron-klien
yang ada di Desa Kangkunawe dapat dilihat pada proposisi kunci yaitu proposisi
sukses, pro-posisi pendorong, dan proposisi nilai. Pada proposisi-proposisi tersebut
ditemukan terjalinnya hubungan di antara mereka yaitu karena adanya keuntungan
yang mereka dapatkan baik bos maupun nelayan, terdapat juga tiga kelompok
nelayan yaitu : pertama nelayan kelas atas yaitu nelayan yang memiliki modal besar
dan peralatan tangkap yang modern dengan orientasi untuk mendapatkan
keuntungan, kedua nelayan kelas menengah adalah nelayan yang memiliki
peralatan tangkap modern tetapi masih sering bekerja terus-menerus di laut untuk
menangkap ikan, dan ketiga nelayan kelas bawah adalah nelayan yang tidak
-
20
memiliki alat tangkap berupa perahu dan kalau memiliki perahu, hanya berukuran
kecil dan bermesin kecil pula. terdapat juga Pada proses peminjaman uang oleh
nelayan kepada bos terkadang membeda-bedakan nominal yang diberikan.
Persamaan penelitian yang dilakukan oleh Sufirudin dan penelitian ini, yaitu
sama-sama meneliti etnis Bajo di Muna Barat. Itu berarti bahwa, Hubungan Patron
Klien di antara Masyarakat Nelayan tetap dilaksanakan kendatipun di era
modernisasi perikanan yang terjadi di Kabupaten Muna Barat. Perbedaannya antara
penelitian yang dilakukan Sufirudin dan penelitian ini adalah meneliti proposisi
sukses, pro-posisi pendorong, dan proposisi nilai pada hubungan Patron Klien di
antara Masyarakat Nelayan etnis bajo
Selanjutnya penelitian yang di lakukan (Zada, 1996) mengkaji konflik orang
Bajo dengan judul “Nelayan Bajo Lewoleba di Lembata Kabupaten Flores Timur
Nusa Tenggara Timur (Suatu Tinjauan Antropologi Maritim)”. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa kehadiran nelayan bagan dari Bima di Desa Lembata telah
menimbulkan konflik perebutan tempat penangkapan ikan dengan nelayan Bajo.
Namun karena laut adalah milik bersama (open access), dimana setiap orang dapat
memanfaatkan, sehingga nelayan Bajo tidak mampu bersaing dengan hanya
mengandalkan padat tenaga kerja (labor intensive). Keterbatasan modal yang
dimiliki mengakibatkan mereka tetap dalam keadaan miskin dan hanya mampu
menangkap ikan dalam skala kecil dan terlihatlah adanya konflik dalam
memperebutkan areal penangkapan ikan antara nelayan Bajo dengan nelayan dari
Desa Lambata Bima. Dalam konflik tersebut nelayan Bajo tergeser karena
keterbatasan sumber daya yang dimiliki. Pada kondisi yang demikian, orang Bajo
-
21
melanjutkan pengembaraan untuk mencarai tempat yang aman dan memberikan
kehidupan. Sedangkan arah pengembaraan bisa menuju lautan dan bisa pula menuju
daratan kalau kondisi memungkinkan. Karena di daratan sumber kehidupan tidak
lagi bersifat milik bersama seperti halnya di laut.
Penelitian (Sopher, 1971) tentang kehidupan orang laut yang hidup
mengembara di Asia Tenggara dan menyimpulkan bahwa orang laut dicirikan
dengan kehidupan mengembara di laut. Mereka hidup dalam perahu dan
mengembara di sekitar pantai. Kebiasaan tersebut berkaitan erat dengan kehidupan
ekonomi mereka, yaitu mengumpulkan hasil pantai dan berburu di laut. Oleh karena
itu, mereka cenderung memilih wilayah kepulauan wilayah lepas pantai dan pulau-
pulau kecil, yang bertujuan menghindari gangguan dan eksploitasi penduduk lain.
Hasil penelitian Sopher ini, hanya berupa identifikasi ciri-ciri kehidupan orang laut
yang suka mengembara di laut, baik yang tinggal di atas perahu maupun di sekitar
pantai. Hal ini terkait dengan sifat ekonomi mereka yang tergantung pada sumber
daya laut. Di samping itu mereka tetap berusaha untuk mengamankan sumber
kehidupan mereka di laut dari eksploitasi penduduk darat.
Penelitian yang dilakukan oleh Nur Isiyana Wianti (2011) adalah
“Kapitalisme Lokal Suku Bajo (Studi Kasus Nelayan Bajo Mola Dan Mantigola,
Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara). Penelitian ini berusaha
mengungkap gambaran mengenai perbedaan orientasi perkembangan kapitalisme
lokal, baik pada Bajo Mola yang progresif dalam perkembangan kapitalismenya,
dan Mantigola cenderung lebih lambat menjustifikasi bahwa orang-orang Bajo
melalui beragam tahap yang berbeda dalam menuju bentuk ekonomi kapitalisme
-
22
yang digambarkan melalui enam dimensi kapitalisme lokal yang telah digambarkan
secara rinci dalam tulisan ini antara lain; (1) Profit maksimisasi, (2) Pola ekspansi
ekonomi, (3) Individualisme profit properti, dan (4) Hubungan sosial produksi.
Pemaknaan menunjukkan ciri-ciri lokal yang melekat pada bentuk ekonomi
baik di Mola maupun Mantigola, yang bukan berarti menyebabkan kegagalan
dalam berekonomi ekspansif, namun memberikan warna tersendiri terhadap
kapitalisme yang terbentuk pada orang Bajo Mola dan Mantigola dalam bentuk
gambaran rasionalitasnya. Ciri lokal dan kaitannya dengan konteks sosial (sphere
of life) juga tidak dapat ditinggalkan sebagai faktor penting pembentuk kapitalisme
lokal pada masyarakat Bajo. Semua temuan ini sekaligus juga membuktikan bahwa
teori Boeke tentang simbol kelambanan lekat pada ekonomi pribumi tidak
sepenuhnya benar bahwa ekonomi moneter dan kapitalisasi yang secara teori
semestinya mentransformasikan pedesaan menuju ekonomi modern ternyata
memberikan suatu gambaran perkembangan yang berbeda, yakni di satu sisi
progresif, dan di sisi lain mengalami kemandekan ekonomi pribumi.
Kapitalisme lokal suku Bajo juga berkembang melalui etika, namun etika
yang dianut oleh masyarakat Bajo Mola yang kapitalis lokal tidak seperti etika yang
dianut oleh para kapitalis penuh ala masyarakat Barat yang sangat individualisme.
Maka dengan melihat ranah sejarah tersebut, teori Weber lebih bisa menjelaskan
sejarah munculnya kapitalisme di aras individu. Sementara bentuk eksploitasi yang
dilakukan oleh orang-orang Mola bukan seperti eksploitasi yang sangat serakah
seperti yang diungkapkan oleh Marx, karena masih bercokolnya nilai-nilai tertentu
yang mengatur kehidupan berekonomi ala suku Bajo.
-
23
penelitian yang di lakukan (Nasruddin, 2004) yang mengkaji tentang aspek
hubungan antara etnis Bajo dan bukan Bajo, dengan berjudul “Perubahan Makna
Sama dan Bagai pada Masyarakat Bajo di Desa Sulaho Kecamatan Lasusua
Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara”. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
perubahan makna sama dan bagai pada masyarakat Bajo telah melalui proses yang
panjang berdasarkan periodisasi kehidupan yang pernah dilaluinya. Proses tersebut
dimulai dengan periode awal kehidupan masyarakat Bajo, yang berasal dari
Kampung Ussu, Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan. dalam mitos Sawerigading,
banjir menghanyutkannya ke laut, sehingga mereka memulai kehidupannya sebagai
orang laut, dengan cara hidup mengembara (nomaden). Untuk memenuhi berbagai
kebutuhannya, mereka tetap berinteraksi dengan orang bagai khususnya orang
Bugis. Interaksi yang semakin intensif, menyebabkan pola Budaya orang Bugis
mulai diadaptasi oleh orang Bajo, termasuk pola pemukiman menetap di pinggir
pantai hingga bermukim di darat.
Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi perubahan makna sama dan
bagai pada masyarakat Bajo di antaranya (1) karena adanya ikatan geneologis yaitu
asal-usul yang sama dengan orang Bugis berdasarkan mitos Sawerigading, (2)
orientasi ekonomi yaitu ketergantungan orang Bajo terhadap orang Bugis dalam
memenuhi berbagai kebutuhannya, (3) keunggulan komparatif yaitu keunggulan-
keunggulan yang dimiliki oleh orang Bugis terhadap orang Bajo, dalam berbagai
aspek kehidupan sosial ekonomi, (4) upaya meningkatkan status sosialnya, sebagai
masyarakat terasing yang melekat pada diri orang Bajo selama ini, menyebabkan
mereka ingin tampil seperti orang Bugis.
-
24
Proses perubahan makna samma dan bagai menunjukkan perubahan
kehidupan masyarakat Bajo dari laut ke darat yang tidak lagi membedakan dirinya
(sama) dengan orang Bugis (bagai). Perubahan makna ini berimplikasi pada
perubahan berbagai aspek kehidupan masyarakat Bajo, yang berorientasi pada
budaya orang Bugis (akulturasi). Perubahan tersebut disebabkan karena adanya
pelaku perubahan (pendukung kebudayaan) melakukan adaptasi, yang secara
kasuistik dengan berbagai kebutuhan telah membawa kolektivitas masyarakatnya
berubah. Dari temuan penelitian tersebut di atas, dapat dirumuskan beberapa
proposisi berikut ini. (1) perubahan makna simbol identitas budaya dalam
masyarakat, dapat berimplikasi pada perubahan perilaku. (2) perubahan
kebudayaan dapat terjadi apabila para pendukung kebudayaan dengan berbagai
kebutuhan, mampu beradaptasi terhadap perkembangan obyektif dalam kehidupan
sosialnya.
Penelitian lain yang juga mengkaji tentang hubungan antara nelayan dan
juragan pada etnis Bajo dilakukan (Therik, 2008) yang berjudul “Nelayan Dalam
Bayang Juragan: Potret Kehidupan Nelayan Tradisional Bajo di Tanjung Pasir,
Pulau Rote, Nusa Tenggara Timur”. Dalam penelitian ini disimpulkan bahwa
situasi dalam belenggu utang (debt trap) membuat tingkat ketergantungan nelayan
buruh terhadap bos sangat tinggi. Kondisi ini membuat nelayan buruh harus bekerja
keras untuk melunasi utangnya pada bos yang semakin bertumpuk. Perubahan
cuaca dan kondisi alam yang terkadang kurang bersahabat mengakibatkan nelayan
buruh mengalami banyak cerita duka dibanding cerita sukanya. Kemiskinan,
kesenjangan sosial, dan tekanan-tekanan kehidupan (eksploitasi) yang secara
-
25
intensif melanda rumah tangga nelayan buruh telah menghabiskan tenaga dan
pikiran mereka untuk menghadapi atau mengatasinya.
Penelitian yang dilakukan oleh (Hamzah, 2009) yang berjudul “Respons
Komunitas Nelayan Terhadap Modernisasi Perikanan: Studi Kasus Nelayan Suku
Bajo di Desa Lagasa Kabupaten Muna Provinsi Sulawesi Tenggara”. Hasil
penelitian tersebut menunjukan bahwa, di Desa Lagasa Modernisasi perikanan pada
komunitas nelayan membawa dampak pada berbagai segi kehidupan nelayan.
Misalnya pada penggunaan setiap jenis sarana menimbulkan konsekuensi atau
dampak yang terjadi yakni pola kerja, struktur sosial serta tingkat kesejahteraan
nelayan. Pola kerja pada setiap tahap peralihan teknologi dari yang paling
sederhana yakni koli-koli, ngkuru-ngkuru sampai pada kapal motor gae
menunjukan peningkatan efektifitas dan efisiensi pekerjaan. Dampak selanjutnya
adalah berubahnya struktur sosial nelayan yang ditandai oleh timbulnya diferensiasi
pekerjaan sebagai konsekuensi penggunaan mesin/motor maupun alat tangkap yang
lebih modern.
Berbagai posisi kerja menyebabkan nelayan etnis Bajo terstratifikasi dalam
berbagai jenis lapisan. oleh karena pada beberapa aktivitas penangkapan
membutuhkan tenaga kerja yang terampil, maka pembagian kerja (diferensiasi)
mulai berlaku. diferensiasi pekerjaan tersebut menyebabkan pula terjadinya
diferensiasi sosial. Sementara diferensiasi sosial nelayan menyebabkan perubahan
struktur sosial dalam kehidupan nelayan. Perubahan tersebut berupa perubahan pola
hubungan egaliter menjadi hierarkis tetapi tidak bersifat eksplotatif. Pada sistem
stratifikasi, konteks komunitas, dasar pelapisan berubah dari ascribed dan achieved
-
26
status menjadi hanya berdasar achieved status. Hubungan antara Punggawa sebagai
pemilik sarana produksi serta Sawi sebagai pekerja bukanlah bersifat eksploitatif,
karena diantara mereka masih berlaku nilai-nilai budaya saling membantu baik
dalam kelompok kerja maupun kehidupan sehari-hari. Sehingga pola hubungan
tidak bersifat eksploitatif serta saling membutuhkan dengan kata lain perbedaan
tersebut tidak menunjukan gejala polarisasi oleh karena masih berlakunya tradisi
Bajo untuk saling membantu.
Beberapa kajian di atas sangat bermanfaat bagi penelitian ini karena
beberapa hasil penelitian tersebut dapat memberikan gambaran dan perbandingan
yang berarti untuk meneliti dan mengkaji secara mendalam Relasi Kuasa
Punggawa dan Sawi pada Masyarakat Nelayan Etnis Bajo di Tiworo Kepulauan
Kecamatan Tiworo Utara, Kabupaten Muna Barat Provinsi Sulawesi Tenggara.
Disamping itu, mendeskripsikan bentuk-bentuk relasi kuasa, ideologi dalam relasi
kuasa, dan implikasi dalam relasi kuasa pada etnik Bajo.
2.2 Konsep
Ada beberapa konsep perlu dijelaskan yang berkaitan dengan judul
penelitian “Relasi Kuasa Punggawa-Sawi pada Nelayan Etnis Bajo Di Tiworo
Kepulauan Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten Muna Barat Provinsi Sulawesi
Tenggara”. Konsep yang dijelaskan sebagai penunjang dalam penelitian ini adalah
konsep Punggawa-Sawi, konsep patron-klien, konsep ideologi, konsep hegemoni,
sebagaimana uraian berikut ini.
2.2.1 Punggawa-Sawi
-
27
Nelayan Bajo yang ada di Kepulauan Tiworo dapat digolongkan sebagai
nelayan tradisional. Hal tersebut sebagaimana yang dikatakan (Sawit dan Sumiono,
1998), bahwa nelayan tradisional adalah nelayan skala kecil yang mempunyai ciri-
ciri (1) kegiatan lebih padat kerja (labour intensive) dengan alat tangkap sederhana,
(2) teknologi penangkapan atau pengelolaan ikan masih sangat sederhana, (3)
tingkat pendidikan dan keterampilan relatif rendah dan sederhana.
Masyarakat pesisir memanfaatkan sumberdaya alam dengan
mengorganisasikan diri mereka kedalam kelompok-kelompok sosial ekonomi yang
dikenal dengan ikatan Punggawa-Sawi, (Iskandarsyah, 2005 : 22). Selanjutnya
menurut (Paeni dkk, 1990 :76) istilah Punggawa dan nelayan Sawi berasal dari
bahasa Bugis, yakni Punggawa berarti pemimpin atau pemilik modal, sedangkan
Sawi adalah pengikut atau rakyat yang tidak mempunyai kapital. Masyarakat
nelayan pada umumnya untuk membedakan sistem pelapisan sosialnya dapat dilihat
dari kepemilikan modal dan alat-alat produksi dalam usaha penangkapan ikan.
Seseorang akan memiliki kedudukan penting dalam masyarakat jika memiliki
modal kapital yang besar. Semakin banyak modal kapital yang dimiliki, maka
semakin banyak Sawi atau pengikut yang bisa dipimpinnya yang secara otomatis
pula akan memiliki kedudukan yang penting dimata masyarakat nelayan.
Hubungan sosial yang menonjol dalam kehidupan masyarakat nelayan yang
sumber kehidupannya tergantung pada penangkapan ikan dilaut adalah hubungan
kerja antara pemilik modal dengan pekerjanya atau buruh yang dikenal dengan
sebutan Punggawa dan Sawi, (Rudi, 2011 : 103). Hubungan ini merupakan
-
28
hubungan antara majikan dengan buruhnya dan hubungan ini bersifat sangat akrab
dan penting, sehingga sawi sulit melepaskan diri dari punggawanya.
Bagi seorang sawi, tanggungan biaya hidup dan keperluan-keperluan
merupakan bantuan yang tidak semata berdemensi ekonomis. Bantuan demikian,
meskipun dalam bentuk hutang merupakan mekanisme mempertahankan
kehidupan di atas level survive dari pola subsistens. Setiap kali sawi dan
keluarganya membutuhkan sesuatu secara mendadak, punggawa selalu tampil
sebagai penolong yang menyelamatkan. Nilai yang harus dibayar oleh sawi bukan
hanya material dari bantuan tadi, tetapi juga imbalan hutang budi yang
menyertainya. Biasanya seorang punggawa cenderung mempertahankan
kelanggengan hubungan, di pihak punggawa semakin lama seorang sawi bekerja
padanya berarti tercipta saling pengertian, pengalaman sawi atas karakteristik
ketekunan dan kejujurannya makin terpuji, dan ini bermuara pada orientasi
aktivitasnya dalam penangkapan ikan di laut, (Rudi, 2011 : 103).
Pada dimensi sosialnya sawi yang setia, rela berkorban untuk kehormatan
punggawanya akan memberikan nilai sosial tersendiri bagi punggawa di mata
masyarakat. Pada hubungan ini pemilik modal atau punggawa dan nelayan yang
tidak memiliki modal atau sawi telah terjadi suatu proses eksploitasi dalam
pertukaran sosial, di mana kedudukan sawi sangat berpotensi untuk dieksploitasi.
Seorang sawi sama sekali tidak punya alternatif bila hubungan terputus, bukan
hanya dalam konsekuensi jangka panjang atas alternatif pekerjaan lain, tetapi
konsekuensi jangka pendek pun menjadi ancaman, yakni terancamnya kehidupan
-
29
subsistensi yang suatu saat sawi harus kembali bekerja pada punggawa. (Rudi, 2011
: 106).
2.2.2 Patron Klien
Menurut (Khan, 1998) menyebutkan bahwa istilah patron berasal dari
Bahasa Latin “patrönus” atau “pater”, yang berarti ayah (father). Istilah tersebut
dikuatkan oleh aplikasi bahwa ia merupakan seorang yang memberikan
perlindungan dan manfaat serta mendanai dan mendukung kegiatan beberapa
orang. Klien juga berasal dari istilah Latin “cliĕns” yang berarti pengikut. Dalam
literatur ilmu sosial patron merupakan konsep hubungan stata sosial dan
penguasaaan sumber ekonomi. Konsep patron selalu diikuti oleh konsep klien,
tanpa konsep klien, konsep patron tentu saja tidak ada. Oleh karena itu, kedua
istilah tersebut membentuk suatu hubungan khusus yang disebut dengan istilah
clientelism.
Istilah ini merujuk pada sebuah bentuk organisasi sosial yang dicirikan
degan hubungan patron-klien, dimana patron yang berkuasa dan kaya memberikan
pekerjaan, perlindungan, infrastruktur, dan berbagai manfaat lainnya kepada klien
yang tidak berdaya dan miskin. Sebagai imbalan, klien memberikan berbagai
bentuk kesetiaan, pelayanan, dan bahkan dukungan politik kepada patron.
Menurut (Scott, 1972) hubungan patron klien adalah:
a special case of dyadic (two person) ties involving a largerly instrumental friendship in which an individual of higher socio economic status (patron) uses his own influence and resources to provide protection as benefits for both, for a person of a lower status (client) who for his part reciprocates by
-
30
offering general support and assistance, including personal services, to their patron. Hubungan patron-klien bersifat tatap muka, artinya bahwa patron mengenal
secara pribadi klien karena mereka bertemu tatap muka, saling mengenal
pribadinya, dan saling mempercayai. Model patron-klien sebagai solidaritas
vertikal. Ciri-ciri hubungan patron-klien, menurut (Scott, 1972) adalah (1) terdapat
suatu ketimpangan (inequality) dalam pertukaran; (2) bersifat tatap muka; dan (3)
bersifat luwes dan meluas.
Sedangkan menurut (Brewer, 1999: 58) patron merupakan kelas yang
memiliki kekuasaan politik dan ekonomi, sehingga dapat melakukan ekploitasi
terhadap klien yang banyak menggunakan alat produksi yang dimiliki. Patron akan
mengeluarkan modalnya untuk dua hal, yaitu membeli alat-alat produksi dan
sebagian lagi untuk membeli tenaga kerja (klien). Sementara klien tidak memiliki
apa-apa kecuali menjual tenaga mereka. Hubungan patron-klien tersebut tidak saja
terbatas pada eksploitasi tetapi sampai pada tingkat ketergantungan yang tinggi.
Ketergantungan yang dimulai dari satu aspek sosial umumnya berkembang menjadi
ketergantungan yang luas dan mencakup beberapa aspek kehidupan sosial lainnya.
Hal ini sesuai dengan perkataan (Ahimsa Putra, 1988 ; 8) dalam bukunya
yang berjudul “Minawang:” Hubungan Patron-Klien di Sulawesi Selatan,
menyatakan bahwa, adanya nilai atau patokan tentang kepatutan suatu pertukaran
si klien akan melepaskan diri dari hubungannya dengan patron manakala dia merasa
bahwa apa yang dia berikan tidak dibalas dengan sepantasnya oleh patron tersebut.
Nilai dalam pola hubungan ini, nelayan buruh mendapatkan otonomi dalam
memanajemen produksinya. dengan ketekunan dan keuletan tenaga kerja atau
-
31
nelayan buruh dapat memiliki bagang sendiri yang akhirnya dapat mengangkat
statusnya menjadi punggawa (pemilik Bagang atau modal).
Dari beberapa konsep di atas, dapat disimpulkan bahwa hubungan patron-
klien merupakan salah satu bentuk hubungan pertukaran khusus. Dua pihak yang
terlibat dalam hubungan pertukaran mempunyai kepentingan yang hanya berlaku
dalam konteks hubungan mereka dengan kata lain kedua pihak memasuki hubungan
patron-klien karena terdapat kepentingan (interest) yang bersifat khusus atau
pribadi, bukan kepentingan yang bersifat umum. Persekutuan semacam itu
dilakukan oleh dua pihak yang masing-masing memang merasa perlu untuk
mempunyai sekutu (encon) yang mempunyai status, kekayaan dan kekuatan lebih
tinggi (superior) atau lebih rendah (inverior) dari pada dirinya. Persekutuan antara
patron dan klien merupakan hubungan saling ketergantungan. Dalam kaitan ini,
aspek ketergantungan yang cukup menarik adalah sisi ketergantungan klien kepada
patronnya.
2.2.3 Ideologi
Manusia pada dasarnya berusaha untuk menemukan diri dan identitasnya
melalui ide-ide dan gagasannya yang diperoleh dari manusia dan alam sekitarnya.
Ide-ide atau gagasan yang diperoleh manusia tersebut terkadang menjadi sebuah
ideologi yang paten. Ideologi sendiri memiliki beragam pengertian, bergantung dari
sudut pandang dan bagaimana konteks ideologi tersebut digunakan, (Mustaman,
2015:26). Lebih lanjut Mustaman, mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang
bisa memberikan suatu definisi ideologi yang memadai, karena ideologi sebagai
-
32
sesuatu yang kompleks dan istilah ideologi digunakan dalam arti yang bermacam-
macam.
Istilah ideologi adalah kata yang terdiri ideo dan logi. Ideo berasal dari
bahasa Yunani eidos, dalam bahasa Latin idea, yang berarti pengertian, ide atau
gagasan. Kata kerja dalam bahasa Yunani oida yang berarti mengetahui, melihat
dengan budi. Sementara dalam bahasa Jawa kita jumpai kata idep dengan arti tahu,
melihat. Kata logi berasal dari bahasa Yunani logos, yang berarti gagasan,
pengertian, kata, dan ilmu. Jadi secara etimologis dapat diterangkan bahwa ideologi
berarti pengetahuan tentang ide-ide, science of ideas, (Setiardja, 1993: 17).
Dijk dalam (Helmut,1980:109) menyebutkan bahwa ideologi adalah sebuah
sistem yang merupakan basis pengetahuan sosio-politik suatu kelompok. Ideologi
mampu mengorganisasi perilaku kelompok yang terdiri atas opini menyeluruh yang
tersusun secara skematis seputar isu-isu sosial yang relevan. Lebih lanjut Helmut
memberikan tiga penjelasan mengenai ideologi. Pertama, ideologi adalah ekspresi
dari pemikiran yang dogmatis manusia (refleksi atas kenyataan yang telah
didistorsikan). Kedua, doktrin tentang pandangan dunia (misalnya ideologi
proletariat, kapitalisme, dan lain-lain). Serta yang ketiga, sebagai ilmu
pengetahuan, ideologi bertujuan membagun suatu sistem pengetahuan.
Selain beberapa pengertian di atas, Gramsci (dalam Simon, 2004 : 84)
memberikan pandangan yang lebih umum. Menurutnya ideologi lebih besar dari
sekadar sistem ide. Ia membedakan antara sistem yang berubah-ubah (arbitary
system) yang dikemukakan oleh intelektual dan filosof tertentu dan ideologi
organik, yakni bersifat historis (historically orgnic ideologies), yaitu ideologi yang
-
33
diperlukan dalam kondisi sosial tertentu. Ideologi mempunyai keabsahan yang
bersifat psikologis, ideologi mengatur manusia dan memberikan tempat bagi
manusia untuk bergerak, mendapatkan kesadaran akan posisi mereka, perjuangan
mereka dan sebagainya.
Definisi lain dari ideologi dijelaskan bahwa ideologi merupakan ide atau
sistem. dengan kata lain ide yang diperlakukan sebagai mitos kehidupan dan sering
dipaksakan pada orang lain yang mungkin tidak menerima kebenarannya. Filsuf
Perancis, Antoine Destutt de Tracy yang pertama kali menciptakan istilah ideologi
pada tahun 1796, mendefinisikan ideologi sebagai ilmu tentang pikiran manusia
(sama seperti biologi dan zoologi yang merupakan ilmu tentang spesies) yang
mampu menunjukkan jalan yang benar menuju masa depan. Tegasnya, ideologi
merupakan seperangkat nalar berfikir yang mempunyai visi terhadap
perkembangan suatu peradaban.
Lebih lanjut, (Thompson, 2003 : 18) mengatakan bahwa ideologi sebagai
perekat relasi sosial yang merekatkan anggota masyarakat secara bersama-sama
dengan menerapkan nilai-nilai dengan norma-norma yang disepakati secara
kolektif. Kekuatan dan relasi dominasi tercermin dari kekuatan kata dan wacana.
Makna sosial ideologi pun terkonstruksi dalam wacana sehingga solidaritas dan
soliditas terjaga.
Fungsi ideologi menurut Althusser (dalam Piliang, 2004: 456), adalah
mereproduksi hubungan-hubungan produksi, hubungan di antara kelas-kelas, dan
hubungan manusia dengan dunianya. Ideologi merupakan satu praktik yang
didalamnya individu-individu dibentuk. Pembentukan tersebut sekaligus
-
34
menentukan orientasi-orientasi sosial mereka agar dapat bertindak dalam struktur
dengan berbagai cara yang selaras dengan ideologi.
Berdasarkan penjelasan konsep ideologi di atas, maka ideologi di dalam
penelitian relasi kuasa pungawa-Sawi pada nelayan etnis Bajo dikaji dan dianalisis
dengan mengacu kepada beberapa hal, diantaranya pemaknaan bahwa ideologi
dapat tumbuh dan berkembang pada individu dan kelompok nelayan dalam rangka
membentuk identitasnya. Ideologi di tengah nelayan etnis Bajo diproduksi untuk
melahirkan dominasi kelas, profesi hingga kreativitas atau cipta karsa manusia.
Ideologi digunakan sebagai alat perlawanan dan penguasaan agar ideologi ditengah
masyarakat nelayan etnis Bajo bisa bertahan dan lestari walaupun disadari ada
pertarungan serta hegemoni budaya dan ideologi dominan yang berasal dari
kelompok tertentu. melalui beberapa konsep ideologi di atas, diharapkan dapat
diungkapkan ideologi relasi kuasa pungawa-Sawi pada nelayan etnis Bajo dan
makna-makna ideologi yang terkadung di dalamnya.
2.2.4 Hegemoni
Hegemoni berasal dari bahasa yunani kuno yaitu eugemonia (hegemonia),
yang berarti memimpin. Roger Simon menyatakan, “hegemoni bukanlah hubungan
dominasi dengan menggunakan kekuasaan, melainkan hubungan persetujuan
dengan menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis. Atau bahasa
sederhananya, hegemoni adalah sesuatu organisasi consensus” (Simon, 1999 : 19-
20).
-
35
Konsep hegemoni sendiri ditemukan awalnya ketika Gramsci mencari
sebuah pola dalam kelas sosial baru yang saat itu lebih banyak melihat fenomena
pada sejarah gereja Roma. Dia terlihat kagum melihat kekuatan ideologi kristen
gereja Roma yang berhasil menekan Gap yang berlebihan berkembang antara
agama yang terpelajar dan rakyat sederhana. Gramsci mengatakan bahwa hubungan
tersebut memang terjadi secara “mekanikal”, namun dia menyadari bahwa gereja
Roma telah sangat berhasil dalam perjuangan memperebutkan dan menguasai hati
nurani para pengikutnya, (Afandi, 2011 : 4-5).
Salah satu penekanan konflik adalah hegemoni kultural kelas penguasa
sebagai bentuk dominasi. Dari sini dapat dilihat, bahwa konflik lebih mengacu
kepada sesuatu yang fisikal dan penuh kekerasan, sedangkan hegemoni berbentuk
sebaliknya, yaitu canggih dan halus karena menyasar kesadaran-kesadaran yang
menentukan pikiran-pikiran, perkataan-perkataan, dan tindakan-tindakan
masyarakat. (Kriesberg, 2000)
Dari pandangan tersebut muncullah sebuah pertanyaan yakni sejauh mana
kelompok yang terhegemoni memberikan persetujuan dalam proses hegemoni
tersebut. Namun, Gramsci tidak mempertentangkan antara hegemoni dan paksaan
atau kekuatan yang disebut dominasi. dalam pandangannya, supremasi kelompok
atas kelas sosial tampil dalam dua cara yaitu dominasi atau penindasan yang
biasanya dilakukan oleh aparat pemerintah, dan persetujuan melalui kepemimpinan
intelektual dan moral terhadap masyarakat sipil dimana yang terakhir disebut
hegemoni.
-
36
Supremasi kelompok sosial memanifestasikan dirinya dalam dua cara,
yaitu sebagai ‘dominasi’ dan sebagai ‘kepemimpinan intelektual dan moral’.
Sebuah kelompok sosial mendominasi kelompok antagonis, yang cenderung
‘melikuidasi’, atau untuk menundukkan bahkan oleh kekuatan bersenjata, yang
mengarah pada kelompok kerabat dan sekutu. Sebuah kelompok sosial bisa dan
memang harus melakukan pelatihan ‘kepemimpinan’ sebelum memenangkan
kekuasaan pemerintahan (hal ini menjadi salah satu kondisi prinsip untuk
memenangkan kekuasaan tersebut) yang menjadi dominan ketika menggunakan
kekuatan, namun bahkan jika dominasi itu sudah memegang kuat dalam
genggaman, ia harus terus ‘memimpin’ juga.” (Gramsci, 1976: 57-58)
Antonio Gramsci membangun suatu teori dan konsep yang menekankan bagaimana penerimaan kelompok yang didominasi terhadap kehadiran kelompok dominan berlangsung dalam suatu proses yang damai, tanpa tindakan kekerasan. Media dapat menjadi sarana di mana satu kelompok mengukuhkan posisinya dan merendahkan kelompok lain. Proses bagaimana wacana mengenai gambaran masyarakat bawah bisa buruk di media berlangsung dalam suatu proses yang kompleks. Proses marjinalisasi wacana itu berlangsung secara wajar, apa adanya, dan dikhayati bersama. Khalayak tidak merasa dibodohi atau dimanipulasi oleh media. Konsep hegemoni menolong kita menjelaskan bagaimana proses ini berlangsung. (Gramsci, 1976) Penggunaan konsep hegemoni tersebut, bisa dikatakan bahwa semakin
setuju pihak-pihak yang dikuasai dengan kekuasaan yang dijalankan, semakin
berhasil hegemoni yang terjadi. dalam hal ini, ide-ide yang dijalankan dalam
kekuasaan tampak wajar dan legitimate seolah-olah merupakan inisiatif dari orang
yang dikuasai dan bukan dari pihak-pihak lain karena terlebih dahulu sudah ada
internalisasi ideologi, kultur, nilai-nilai, norma-norma, dan segi-segi ekonomi,
pendidikan dan politik. Dengan kata lain, penggunaan kekerasan dan kekuatan
-
37
mencerminkan kekurang berhasilan ideologi yang dijalankan oleh kekuasaan.
Semakin kohersif kekuasaan berlangsung maka semakin pudar segi-segi
hegemoniknya.
Menurut (Piliang, 2004 : 357) konsep aparat negara ideologis memiliki
pengertian kurang lebih sama dengan konsep alat hegemoni, sedangka konsep alat
negara ideologis menurut Althusser tampak lebih menekankan sifat pasif dari alat
tersebut dihadapan kekuasaan dominan (negara, kapitalisme). Sebaliknya, Gramsci
melihat konsep alat hegemoni (termasuk lembaga pendidikan) dalam kerangka
suatu medan perang, yang didalamnya terjadi perjuangan aktif (active struggle)
dalam memperebutkan hegemoni yang tidak ada akhirnya di antara berbagai
ideologi yang bersaing (misalnya kapitalisme, sosialisme, feodalisme).
Dalam hal ini Hegemoni dapat disimpulkan sebagai penggiringan ideologi
masyarakat yang telah terkonsep matang oleh pihak tertentu (kaum kapitalis) yang
memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai alat
memperoleh keuntungan. Masyarakat dikonsep agar membutuhkan teknologi
sebagai ideologi mereka. Secara tidak sadar masyarakat mengalami penindasan
yang tidak mereka rasakan. Seperti Para punggawa sebagai kelompok yang
menguasai teknologi dengan kemampuan modal menguasai alat-alat produksi
teknologi penangkapan terhadap sawi.
2.3 Landasan Teori
Sebagai gambaran bahwa apa yang terjadi pada masa yang lalu, yang terjadi
pada saat sekarang, dan yang akan terjadi pada masa yang akan datang tidak akan
sama karena adanya perbedaan fenomena dan rentang waktu yang dilewati. Agar
-
38
mendapatkan sebuah hasil penelitian yang baik maka perlu digunakan teori yang
dapat membatu dalam menganalisis setiap permasalahan yang ada. Landasan teori
yang menjadi dasar dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.
2.3.1 Teori Relasi Kuasa
Kekuasaan tidak dipahami dalam konteks pemilikan oleh suatu kelompok
institusional sebagai suatu mekanisme yang memastikan ketundukan warga negara
terhadap negara. Kekuasaan juga bukan mekanisme dominasi sebagai bentuk
kekuasaan terhadap yang lain dalam relasi yang mendominasi dengan yang
didominasi atau yang powerful dengan powerless. Kekuasaan bukan seperti halnya
bentuk kedaulatan suatu Negara atau institusi hukum yang mengandaikan dominasi
atau penguasaan secara eksternal terhadap individu atau kelompok
(Foucault2002),
Istilah ‘relasi kuasa’(power relation). sebuah istilah penting dalam
berbagai disiplin ilmu termasuk dan terutama belakangan ini dalam Kajian Budaya.
Foucault menegaskan bahwa power atau kuasa bersifat ubiquitous atau ada dimana-
mana, dan semua kuasa mencakup perjuangan untuk memediasi, menciptakan
makna, dan melakukan kontrol, Foucault (dalam Lewis, 2008: 31).
Selanjutnya (Lewis, 2008 : 32) mengatakan bahwa proses hadirnya kuasa
sudah tampak dalam penggunaan bahasa dan tindakan-tindakan fisik yang mungkin
menyertainya. Para ahli teori budaya dan kaum analis pada umumnya sepakat
bahwa ada hubungan erat antara proses mediasi kuasa dan penggunaan bahasa.
kekuasaan menurut (Foucault, 2002) lebih menunjuk pada mekanisme dan
strategi dalam mengatur hidup bersama. Dalam arti ini kekuasan mengasalkan diri
-
39
dari berbagai sumber dan memiliki keterkaitan satu terhadap yang lain. Adanya
pengakuan struktur-struktur yang menjalankan fungsi tertentu dan dalam struktur
itulah kekuasaan mengasalkan dirinya, Selanjutnya menurut Foucault bagaimana
kekuasaan harus dipahami sebagai :
power must be understood in the first instance as the multiplicity of force relations immanent in the sphere in which they operate and which constitute their own organization; as the process which, through ceaseless struggles and confrontations, transforms, strengthens, or reserves them; as the support which these force relations find in one another, thus forming a chain or a system, or on the contrary, the disjunctions and contradictions which isolate them from one another; and lastly, as the strategy in which they take effect, whose general design or institutional crystalization is embodied in the state apparatus, in the formulation of the law, in the various social hegemony." (Foucault, 1990: 92-93). Dengan demikian, kekuasaan menurut (Foucault, 1990) mesti dipahami
sebagai bentuk relasi kekuatan yang imanen dalam ruang dimana kekuasaan itu
beroperasi. Kekuasaan mesti dipahami sebagai sesuatu yang melanggengkan relasi
kekuatan itu, yang membentuk rantai atau sistem dari relasi itu, atau justru yang
mengisolasi mereka dari yang lain dari suatu relasi kekuatan. Oleh karena itu,
kekuasaan merupakan strategi di mana relasi kekuatan adalah efeknya.
Kuasa itu ada dimana-mana dan muncul dari relasi-relasi antara berbagai
kekuatan, terjadi secara mutlak dan tidak tergantung dari kesadaran manusia.
Kekuasaan hanyalah sebuah strategi. Strategi ini berlangsung dimana-mana dan
disana terdapat sistem, aturan, susunan dan regulasi. Kekuasaan ini tidak datang
dari luar, melainkan kekuasaan menentukan susunan, aturan dan hubungan-
hubungan dari dalam dan memungkinkan semuanya terjadi. Mengacu pada
-
40
pandangan Foucault bahwa kekuasaan merupakan satu dimensi dari relasi. Dimana
ada relasi, disana ada kekuasaan. (Foucault, 2000 : 144),
Selanjutnya (Foucault, 1990 : 94-95) menjelaskan ada lima proposisi
mengenai apa yang dimaksudnya dengan kekuasaan, yakni:
1. Kekuasaan bukan sesuatu yang didapat, diraih, digunakan, atau dibagikan
sebagai sesuatu yang dapat digenggam atau bahkan dapat juga punah; tetapi
kekuasaan dijalankan dari berbagai tempat dari relasi yang terus bergerak.
2. Relasi kekuasaan bukanlah relasi struktural hirarkhis yang mengandaikan
ada yang menguasai dan yang dikuasai.
3. Kekuasaan itu datang dari bawah yang mengandaikan bahwa tidak ada lagi
distingsi binary opositions karena kekuasaan itu mencakup dalam
keduanya.
4. Relasi kekuasaan itu bersifat intensional dan non-subjektif.
5. Di mana ada kekuasaan, di situ pula ada anti kekuasaan (resistance). Dan
resistensi tidak berada di luar relasi kekuasaan itu, setiap orang berada
dalam kekuasaan, tidak ada satu jalan pun untuk keluar darinya.
Berdasarkan hal tersebut, Menurut Foucault, bahwa kekuasaan itu bukanlah
sesuatu yang diwariskan, diperoleh dari seseorang atau sebuah kelompok masyarat
sebagai sebuah hadiah yang kemudian dapat digunakan atau dibagi-bagi.
Kekuasaan dapat ditemukan dimana saja karena kekuasaan akan terus beroperasi
dimana relasi-relasi itu berada. Relasi kuasa yang dimaksud Foucault bukanlah
relasi kekuasaan yang mengumpamakan adanya sebuah hirarki kekuasaan yang
kemudian membentuk kelas sosial dengan adanya kelompok yang di kuasai dan
-
41
kelompok yang menguasai atau distingsi binary oppositions dengan melakukan
klasifikasi yang berhubungan secara struktural.
Selanjutnya beberapa metedologis kekuasaan yang menjadi fokus perhatian
(Foucault 2002) adalah sebagai berikut :
1. peran hukum dan aturan-aturan. Foucault mengatakan “kuasa tidak selalu
bekerja melalui represif dan intimidasi melainkan pertama-tapa bekerja
melalui aturan-aturan dan normalisasi”. Segala aturan dan hukum pertama
tidak dilihat sebagai hasil dari ketentuan pemimpin atau institusi tertentu
tetapi sebagai sintesis dari kekuasaan setiap orang yang lahir karena
perjanjian. Segala aturan yang lahir karena konsensus bersama memiliki
kekuatan yang lebih dalam hidup bersama.
2. tujuan kekuasaaan. Tujuan dari adanya mekanisme kekuasaan ialah
membentuk setiap individu untuk memiliki dedikasi dan disiplin diri agar
menjadi pribadi yang produktif. Setiap orang diberi ruang untuk berpikir,
berkembang dan dengan bebas menyampaikan aspirasinya demi kemajuan
bersama.
3. Kekuaaan itu tidak dilokalisasi tetapi terdapat di mana-mana. Kesadaran
akan kekuatan dari suatu negara dan masyarakat tidak dibatasi hanya dari
para pemimpin tetapi atas kerjasama setiap pribadi dan lembaga yang
memiliki orientasi produktif. Misalnya, dengan adanya ruang komunikasi
antara pemimpin dan warganya, kesatuan tercipta dalam suasana dialogis
dan mengarah kepada cita-cita bersama.
-
42
4. kekuasaan yang mengarah ke atas. Dalam arti ini, kekuasaan setiap orang
dan lembaga dikomunikasikan sedemikian rupa sehingga membentuk
konsensus bersama. Atau dengan kata lain hasil dari proses komunikasi
kekuasaan bersama akan menghasilkan kekuasaan bersama atau dalam
bahasa, Thomas Kuhn, adanya paradigma bersama.
5. kombinasi antara kekuasaan dan Ideologi. Setiap anggota dalam
masyarakat kurang lebih memiliki impian yang sama yaitu adanya
pengakuan hal setiap orang yang terarah pada kesejahteraan bersama.
Harapan ini harus berjalan bersama dengan kekuasaan bersama. Segala
hukum dan aturan diarahkan untuk mencapai tujuan tersebut.
Dari kelima point di atas, kita melihat dengan jelas adanya perbedaan
menyolok antara gagasan Foucault dengan para pemikir abad modern. Misalnya,
Machiavelli yang melihat kesejahteraan bersama tidak ditentukan oleh konsensus
bersama tetapi oleh penguasa Negara, bahwa penguasa memiliki kuasa mutlak
untuk mengatur negara. Tidak ada aturan dan hukun yang muncul sebagai akibat
perjanjian setiap subyek. Dengan membandingkan kedua gagasan ini, kita dapat
melihat bahwa arti kekuasaan dan jiwa yang menggerakan hidup bersama memiliki
titik tolak yang berbeda. Bagi penulis, Foucault menjunjung tinggi pada proses
kreatif dan kritis setiap orang dalam membangun ideologi bersama. (Santoso, 2002
: 59)
Kekuasaan itu tidak dipandang secara negatif tetapi secara positif dan
produktif. Kekuasaan bukan merupakan sebuah intitusi atau struktur, bukan
kekuatan yang dimiliki tetapi kekuasaan merupakan istilah untuk menyebut situasi
-
43
strategis, kompleks dalam masyarakat. Kekuasaan itu menurut Foucault mesti
dipandang sebagai relasi-relasi yang beragam dan tersebar seperti jaringan yang
mempunyai ruang lingkup strategis, Foucault (dalam Kamahi 2017 : 118).
Kekuasaan bertautan dengan pengetahuan yang berasal dari relasi-relasi
kekuasaan yang menandai subjek. Foucault menautkan kekuasaan dengan
pengetahuan sehingga kekuasaan memproduksi pengetahuan dan pengetahuan
menyediakan kekuasaan, ia mengatakan bahwa kekuasaan tidak selalu bekerja
melalui penindasan dan represi, melainkan juga normalisasi dan regulasi, (Sutrisno,
2005 : 154)
Relasi kuasa (power relation) adalah hubungan antara suatu kelompok
dengan kelompok lainnya berdasarkan ideologi tertentu. Kekuasaan (power) adalah
konsep yang kompleks dan abstrak, yang secara nyata mempengaruhi kehidupan
mereka. Selain itu, kekuasaan juga dapat didefinisikan sebagai kemampuan
pemangku kepentingan, untuk menentang atau mendukung individu atau kelompok
lainnya, (Thomas, 2004 : 10).
Angus Stewart (dalam Agusta, 2008 : 266-267) membagi kekuasaan dalam
dua bagian, yaitu: Pertama, kekuasaan yang hadir dalam bentuk dominasi, yang
dikenali sebagai kekuasaan meliputi (power over) sesuatu atau seseorang.
Kekuasaan jenis ini dipandang sebagai alat strategis untuk mencapai tujuan,
melalui mobilisasi sumberdaya. Selain itu, kekuasaan juga sejajar dengan otoritas,
sehingga memiliki keresmian dan legitimasi, untuk mendesakkan keinginan kepada
orang lain; Kedua, kekuasaan yang hadir dalam bentuk pemberdayaan, yang
dikenali sebagai kekuasaan terhadap (power to) sesuatu atau seseorang. Kekuasaan
-
44
jenis ini dipandang sebagai wujud otonomi masyarakat, melalui proses
intersubyektif yang mampu menciptakan solidaritas bersama.
McQuail (dalam Burton, 1999 : 58) menjelaskan bahwa lokasi kekuasaan
tidaklah disatu tempat tetapi menyebar dan bervariasi dalam institusi, masyarakat,
individu, dan audiens. secara umum dapat di jelaskan bahwa kuasa atau kekuasaan
itu tidak terpusat, tidak bergerak dari satu arah ke arah lain, akan tetapi bisa muncul
dan bergerak dari berbagai arah. kuasa yang biasa diasosiasikan secara tradisional
dengan politik, pemerintahan, dan pemimpin, sebetulnya merupakan hal yang
tersebar di berbagai tempat, bersifat cair, dan berkaitan dengan proses atau usaha-
usaha menciptakan makna, pertengkaran, sengketa dan pencarian jalan ke luar
(dispute and dissolution).
Lebih lanjut (Robert A. Dahl, 1957 : 201) mendefinisikan kekuasaan
(power) merupakan relasi antar orang (manusia), yang dinotasikan dalam simbol
sederhana. Kekuasaan dapat bersifat konfliktual (conflictual) dan koersif
(coercive), sehingga perlu dibangun melalui konsensus (consensus) dan legitimasi
(legitimacy) Kekuasaan bukanlah hal sederhana yang ada dengan sendirinya,
melainkan sesuatu yang harus dikultivasi (cultivated). Kekuasaan tidak akan
kehilangan kekuatannya, bila ia digunakan dengan memanfaatkan berbagai taktik
untuk mempengaruhi berbagai agenda. Selanjutnya, Kekuasaan merupakan wujud
adanya kewenangan yang legitimate (Moncrieffe, 2004 : 26-27).
Kuasa atau kekuasaan didefinisikan oleh Van Dijk (dalam Eriyanto, 2005 :
272) sebagai ‘kepemilikan yang dimiliki’ oleh suatu kelompok atau anggotanya
untuk mengontrol anggota kelompok dari anggota kelompok lain. Seperti halnya
-
45
yang disampaikan oleh Faucault dan Gramsci, kontrol bisa dilakukan secara
langsung lewat kekuatan fisik, tetapi juga bisa secara tidak langsung atau cara-cara
persuasif. Kepemilikan akan kekuasaan ditentukan oleh berbagai hal seperti
sumber-sumber daya, uang, status, dan pengetahuan. Kontrol bisa dilakukan secara
tidak langsung dengan memengaruhi melalui penyebaran pengetahuan. Siapa
memiliki modal-modal seperti di atas lebih banyak identik dengan memiliki
kekuasaan lebih besar, lebih kuat, lebih berpengaruh.
Sejalan dengan hal tersebut menurut (Martin, 1995 : 98), juga
menambahkan bahwa penguasa memiliki kemampuan memainkan peranan sosial
yang penting dalam suatu masyarakat. Terutama pada kelimpahan materi yang tidak
merata di dalam suatu masyarakat misalnya antara kelompok pemilik modal dan
kelompok ang membutuhkan modal. Terjadinya pola ketergantungan yang tidak
seimbang mendatangkan sikap kepatuhan.
Berdasarkan konsep tersebut, dapat di katakan bahwa Relasi kuasa
merupakan kondisi yang sangat kompleks ditentukan oleh berbagai kepemilikan
modal dan situasi sosial politik. Dalam masyarakat sederhana atau kompleks, di
desa atau di kota, daerah maritim atau daerah pertanian, relasi kuasa pasti terjadi
dengan hasil dan kondisi yang berbeda-beda bergantung pada kepemilikan modal
oleh tiap-tiap pilar yang terlibat. kekuasan akan terus beroperasi dalam sebuah
relasi yang ada di mana-mana, karena kekuasaan adalah satu dimensi dari relasi. Di
mana ada relasi, di sana ada kekuasaan. Seperti halnya di Tiworo Kepulauan,
Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten Muna Barat, relasi kuasa pada Punggawa-
Sawi nelayan etnis Bajo. Teori ini berguna untuk menguraikan lebih jelas strategi
-
46
pengoperasian kekuasaan oleh para punggawa dalam hubungan relasi dengan para
sawi dan pihak-pihak di luar etnis Bajo.
2.3.2 Teori Kapital
Untuk menjelaskan analisis teori kapital dalam kerangka pemikiran
Bourdieu terkait dengan penelitian, pertama-tama perlu terlebih dahulu diuraikan
lebih jelas tentang bentuk-bentuk sistem disposisi dan posisi kapital, relasi dan
posisi yang dihargai dalam kapital, serta genesis habitus yang membentuknya.
Menurut Bourdieu, kapital tidak hanya hal-hal yang bersifat kebendaan (material)
tetapi juga hal-hal yang immaterial, seperti relasi sosial, power, posisi dan
sebagainya. Seseorang yang tidak memiliki material, tetapi dia memiliki jaringan
sosial yang kuat, posisi bagus, pendidikan yang legitimate dan mendapat pengakuan
dari masyarakat, maka sebenarnya dia memiliki potensi kapital yang baik yang bisa
pertukarkan oleh agen yang memilikinya. Berbagai kapital immaterial yang
dimiliki oleh agen dapat mendatangkan keuntungan material melalui proses
konversi, (Bourdieu, 1986 : 46).
Modal (Kapital) sebagai modalitas kekuasaan, menurut Bourdieu,
akumulatif, bisa diwariskan, bisa diatur posisinya, artinya dapat diperoleh dengan
syarat-syarat tertentu sebagaimana diatur dalam ruang sosial atau kelas sosial
tempat modal tersebut dihargai, Modal merupakan sesuatu yang dianggap berharga
dalam arena, digunakan sebagai sumber sekaligus tujuan dari strategi kekuasaan.
Jika arena adalah tempat habitus menempuh strategi, modal adalah bagian dari
mekanisme strategi habitus dalam menguasai arena. Strategi relasi kuasa dan
dominasi didasarkan kepemilikan, komposisi, dan strategi penempatan modal-
-
47
modal. Semakin kokoh modal yang dimiliki, semakin kokoh pula posisi agen di
suatu arena. (Bourdieu, 1986 : 48-49).
Bourdieu merinci modal dalam bentuk yakni (1) modal ekonomi, yang dapat
dikonversi menjadi alat tukar seperti uang dalam bentuk hak milik; (2) modal
budaya, pada kondisi tertentu dapat dikonversi menjadi modal ekonomi dan dapat
dilembagakan dalam bentuk kualifikasi pendidikan; dan (3) modal sosial, terdiri
dari kewajiban-kewajiban sosial (‘koneksi-koneksi’), pada kondisi tertentu dapat
dikonversi menjadi modal ekonomi dan dapat dilembagakan, (Bourdieu, 1986 : 47-
48).
Modal budaya, menurut Bourdieu, eksis dalam tiga bentuk. Pertama,
terintegrasi dalam diri, berbentuk sistem disposisi yang tahan lama dalam tubuh dan
pikiran, seperti jujur, suka menolong, tampan. Tipologi modal pertama ini, menurut
Bourdieu, melekat dalam diri agen sampai menjadi habitus. Konsekuensinya, ia
tidak mudah-pada hal-hal tertentu, bukan berarti tidak bisa dipindah, ditukar,
diminta, atau dijual-belikan, secara instan, sebagaimana uang, hak milik, atau
kebangsawanan. (4) modal simbolik, menurut Bourdieu, adalah jenis modal yang
sebenarnya tidak berbentuk, bahkan bersumber dari kekeliruan pengenalan, tetapi
diakui, diterima, dan bahkan dapat dikonversi dengan modal-modal lain. Modal
simbolik mengandaikan pula, kata Bourdieu, adanya mediasi dan intervensi dari
habitus. Secara sosial, modal simbolik berada dalam kapasitas kognitif karena
perkaranya adalah ketidakabsahan dalam mengakui dan mengenali modal simbolik
oleh logika pengetahuan, (Bourdieu, 1986 : 51).
-
48
Modal sosial meurut Bourdieu merupakan jumlah sumberdaya aktual dan
potensial, terkait kepemilikan jaringan relasi jangka panjang, baik sudah atau belum
terlembagakan, saling mengakui dan mengenal; setiap anggota kelompok tersebut
bersedia mendukung kepemilikan modal secara kolektif”. Modal sosial eksis dalam
bentuk praksis, berbentuk material dan simbolik, dan kedua hal terakhir ini bisa
dipertukarkan untuk saling melanggengkan jumlah kepemilikan. Secara umum,
modal sosial mengandung unsur kepercayaan, solidaritas, loyalitas, dan koneksi,
sehingga dapat menjamin penerimaan eksistensi agen dalam ruang-ruang sosial
yang terikat seperti keluarga, kelas sosial, partai, sekolah, dan ruang-ruang sosial
lain. Kepemilikan modal sosial dipengaruhi oleh jumlah jaringan relasi-relasi.
Semakin banyak jumlah jaringan relasi, semakin kuat pula pengaruh agen
memobilisasi dan mengumpulkan modal-modal atau modal global: ekonomi,
budaya, simbolik, (Bourdieu, 1986 : 51).
Kapital dapat pula dimengerti sebagai wujud dari wajah mutakhir
kepentingan, yakni kapitalisme. Kapitalisme menjadi tujuan dan medium paling
transparan dalam kepentingan politik, ekonomi, di dalam masyarakat modern.
Kapital dalam modal ekonomi menempati posisi paling dihargai, diperjuangkan,
diakumulasi, dan bahkan dipergunakan sebagai amunisi utama dalam mendapatkan
modal-modal lain. Ia juga melahirkan sistem-sistem disposisi pada agen, yakni
suatu sistem disposisi berbasis pada persentuhan modal budaya yang dimiliki agen
dan struktur sosial yang kemudian membentuk dan dibentuk dari kepemilikan
Kapital, (Yuliantoro, 2016 : 108-109).
-
49
Setiap kapital dalam konsep Bourdieu adalah berkaitan, juga bisa
mengalami perubahan. Setiap individu bisa melampaui batasan-batasan kapitalnya,
demi menaikkan kelas sosialnya di dunia sosial. Kapital (modal) saling berkaitan
satu sama lain, juga modal bisa berubah (meningkat) dan kelas sosial yang
menggambarkan status sosial individu di masyarakat, (Siregar, 2017 : 25).
Fungsi modal dalam pandangan Bourdieu adalah relasi sosial dari system
pertukaran yang mempresentasikan dirinya sebagai sesuatu yang langka dan layak
dicari dalam bentuk sosial tertentu. Beragam jenis modal yang bisa dipertukarkan
dengan jenis modal-modal lainnya. Penukaran yang paling dramatis adalah
penukaran dalam bentuk simbolik. Sebab dalam bentuk simbolik inilah bentuk-
bentuk modal dipresepsi dan dikenali sebagai sesuatu yang menjadi mudah
dilegitimasi, (Halim, 2014 : 109).
Apabila dalam ranah terjadi kompetisi antar pemain untuk memenangkan
pertandingan, maka penggunaan strategi diperlukan. Srategi ini diperlukan untuk
mempertahankan dan ada pula yang ingin mengubah distribusi modal-modal dalam
kaitannya dengan hirarki kekuasaan. Menurut Bourdieu strategi yang dipakai oleh
pelaku tergantung pada jumlah modal yang dimiliki dan struktur modal dalam
posisinya di ruang sosial. Jika mereka berada dalam posisi dominan maka
strateginya diarahkan pada usaha melestarikan dan mempertahankan status quo.
Sedangkan mereka yang didominasi berusaha mengubah distribusi modal, aturan
main dan posisi-posisnya sehingga terjadi kenaikan jenjang sosial, (Siregar, 2017 :
25).
-
50
Selnajutnya menurut (Bourdieu, 1986 : 156). Salah satu bentuk sarana
kekuasaan adalah dengan hutang : seseorang bisa berada “dibawah kekuasaannya”
dengan kewajiban membayar hutang, ada cara yang lebih halus dari sarana hutang
sebagai bentuk kekuasaan simbolik, yaitu dengan pemberian hadiah. Melalui
pemberian hadiah, terutama yang tidak bisa dikembalikan dengan kualitas
seimbang dari si pemberi, maka si penerima akan terikat dalam hubungan hutang
budi. Bentuk kekerasan simbolik itu ‘lembut’, ‘kekerasan yang tidak terikat’,
‘kekerasan yang dibatinkan dalam sikap-sikap kepercayaan, kewajiban, loyalitas
pribadi, hadiah, utang, kesalehan, yang semua itu merupakan bentuk kebaikan
dalam etika kehormatan,
Berangkat dari penjelasan teori diatas, mengungkap keberadaan punggawa
sebagai pemilik kapital (kapital ekonomi, kapital budaya, kapital simbolik) dalam
perjuangan mendapatkan pengakuan, otoitas, modal dan akses atas posisi-posisi
kekuasaan terkait dengan strategi dalam relasi kuasa punggawa-sawi pada
masyarakat Tiworo Kepulauan di Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten Muna Barat.
2.4. Model Penelitian
Model penelitian ini dapat digambarkan seperti berikut ini. Model
penelitian merupakan abstraksi kerangka berfikir serta sintesa antara teori dengan
permasalahan penelitian yang digambarkan dalam bentuk gambar atau bagan.
Model penelitian terkait relasi kuasa dalam kehidupan masyarakat nelayan etnis
Bajo didasari atas adanya kekuasaan yang membangun relasi kuasa dari pihak
Punggawa,dengan (pemerintah eksekutif maupun legistif, aparat keamanan dan
-
51
pedagang pengumpul hasil laut yang memiliki modal besar) masyarakat etnis Bajo
Sawi sebagai kelompok kelas pekerja, yang bekerja di bawah arahan punggawanya
Relasi kuasa ini diekspresikan dalam bentuk-bentuk relasi kuasa, faktor-
faktor yang menyebabkan terjadinya relasi kuasa, idiologi dan implikasi dalam
relasi kuasa pada masyarakat nelayan etnis Bajo. Kerangka berpikir terkait relasi
kuasa pada nelayan etnis Bajo di Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten Muna Barat
Provinsi Sulawesi Tenggara digambarkan dengan bagan berikut.
-
52
2.5. Bagan Pikir
l
Keterangan :
: Garis yang menunjukkan saling memengaruhi : Garis yang memberikan hubungan atau pengaruh secara sepihak : Garis yang memberikan pengaruh tidak langsung secara sepihak
Etnis Bajo Sawi
Konsep 1. Punggawa-Sawi 2. Patron klien 3. Ideologi 4. Hegemoni
Etnis Bajo Punggawa
Pemerintah Eksekutif Legislatif
Pengusaha/ Pemodal
Teori 1. Teori Relasi Kuasa 2. Teori Kapital
Relasi Kuasa Punggawa-Sawi
Pada Nelayan Etnis Bajo
Ideologi yang mempengaruhi Relasi
Kuasa Punggawa-Sawi Pada nelayan
Etnis Bajo
Bentuk-Bentuk Relasi Kuasa
Punggawa-Sawi Pada nelayan
Etnis Bajo
Implikasi yang di timbulkan akibat adanya Relasi
Kuasa Pada nelayan Etnis Bajo
1. Kesimpulan 2. Temuan 3. Saran
Nelayan Etnis Bajo
Aparat Keamanan
-
53
2.6. Keterangan Bagan Penelitian
Gambar dari model penelitian tersebut dapat dijelaskan bahwa wilayah pesisir
dan kepulauan yang dihuni oleh nelayan etnis Bajo. Aktifitas perekonomian yang
dilakukan di kawasan pesisir oleh masyarakat etnis Bajo di Kecamatan Tiworo Utara
diantaranya adalah kegiatan perikanan tangkap atau nelayan agar bisa menunjang
kehidupan ekonomi mereka. Dalam aktivitas perekonomian ini ada yang berperan
sebagai pemilik modal (Punggawa) dan ada yang beperan sebagai kelompok pekerja
yang berhubungan langsung dengan aktifitas penangkapan ikan atau nelayan Sawi yang
bekerja untuk Punggawa.
Hubungan antara punggawa dan sawi dalam masyarakat nelayan etnis Bajo di
Kecamatan Tiworo Utara kemudian mendorong terbentuknya relasi kuasa antara
punggawa dan sawi pada nelayan etnis Bajo. Para punggawa dalam menjalankan
praktek kekuasaan dengan membangun pula jaringan komunikasi dengan para
pemerintah baik eksekutif maupun legislatif, pemilik modal dan aparat keamanan agar
bisa menjamin kelancaran dalam usaha perdagangan dan pemasaran hasil-hasil laut
yang ada di Kecamatan Tiworo Utara.
Berbagai fenomena dan permasalahan yang timbul sebagai bentuk relasi kuasa
Punggawa-Sawi yang didalamnya menyangkut sistem patron klien dan ideologi dalam
kehidupan nelayan etnis Bajo dianalisis dengan menggunakan teori relasi kuasa, dan
teori kapital, yang diterapkan sesuai dengan kaidah kritis Kajian Budaya.
-
54
Teori-teori diatas memudahkan untuk memperoleh gambaran secara detail
tentang bentuk-bentuk relasi kuasa Punggawa-Sawi pada nelayan etnis Bajo, ideologi
yang mempengaruhi relasi kuasa Punggawa-Sawi pada nelayan etnis Bajo, dan
implikasi yang timbul akibat dari adanya relasi kuasa sehingga menjadi bahan temuan
baru dari penelitian dan dipergunakan sebagai pijakan utama dalam memberikan
rekomendasi/saran baik kepada pemerintah, (eksekutif dan legislatif aparat keamanan
dan pengusaha dalam pengelolaan hasil-hasil laut yang melibatkan aktivitas nelayan
etnis Bajo di Kecamatan Tiworo Utara Kabupaten Muna Barat.