Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kawasan ... · Persoalan yang ditemukan dalam...

38
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Pesisir Teluk Bone Kabupaten Luwu Kajian kebijakan dan kelembagaan tidak dapat dipisahkan dengan kajian desentralisasi dalam pengelolaan sumberdaya alam. Aspek kelembagaan dalam pengelolaan sumberdaya alam, tidak dapat dilepaskan dari instansi atau departemen yang mengelola dan membawahi masing-masing sektor sumberdaya alam. Berbagai ketentuan peraturan di bidang otonomi daerah maupun di bidang konservasi sumberdaya alam dan ekosistem selama ini belum memberi ketegasan dan kejelasan arah pelaksanaan kebijakan dan peran yang harus dilakukan oleh berbagai pihak, baik tingkat pusat maupun daerah. Dalam berbagai kasus pengelolaan sumberdaya alam persoalan yang sering muncul adalah kegagalan pemerintah pusat membentuk mekanisme pengelolaan sumberdaya alam yang efektif, hal ini dikarenakan adanya disharmonisasi sistem hukum dalam hal kewenangan pengelolaan dan adanya tumpang tindih kewenangan pengelolaan. Tumpang tindih yang terjadi umumnya terjadi pada peraturan pusat dengan peraturan daerah dan berbagai kesalahan persepsi dalam perumusan peraturan baik di tingkat pusat maupun di tingkat lokal. Kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir pada tahun 2007 mendapat dukungan dari Undang-Undang No.27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Namun, tidak serta merta undang-undang tersebut dapat dioperasionalkan, karena dari sisi perundang-undangan, undang-undang ini masih mengamanatkan dibentuknya Peraturan Pemerintah (PP), dan Peraturan Daerah (Perda) sebagai aturan pelaksanaannya. Hal ini memunculkan banyak ketidakpastian aturan pengelolaan wilayah pesisir di tingkat daerah baik di tingkat propinsi maupun di tingkatan kabupaten/kota. Desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir yang juga merupakan penterjemahan terhadap semangat desentralisasi politik kenegaraan dengan lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 yang selanjutnya mengalami amandemen menjadi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi Daerah, akhirnya menuntut praktek pengelolaan yang tepat di tingkat daerah.

Transcript of Desentralisasi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kawasan ... · Persoalan yang ditemukan dalam...

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Kelembagaan Pengelolaan Kawasan Pesisir Teluk Bone Kabupaten Luwu

Kajian kebijakan dan kelembagaan tidak dapat dipisahkan dengan kajian

desentralisasi dalam pengelolaan sumberdaya alam. Aspek kelembagaan dalam

pengelolaan sumberdaya alam, tidak dapat dilepaskan dari instansi atau

departemen yang mengelola dan membawahi masing-masing sektor sumberdaya

alam. Berbagai ketentuan peraturan di bidang otonomi daerah maupun di bidang

konservasi sumberdaya alam dan ekosistem selama ini belum memberi ketegasan

dan kejelasan arah pelaksanaan kebijakan dan peran yang harus dilakukan oleh

berbagai pihak, baik tingkat pusat maupun daerah.

Dalam berbagai kasus pengelolaan sumberdaya alam persoalan yang

sering muncul adalah kegagalan pemerintah pusat membentuk mekanisme

pengelolaan sumberdaya alam yang efektif, hal ini dikarenakan adanya

disharmonisasi sistem hukum dalam hal kewenangan pengelolaan dan adanya

tumpang tindih kewenangan pengelolaan. Tumpang tindih yang terjadi umumnya

terjadi pada peraturan pusat dengan peraturan daerah dan berbagai kesalahan

persepsi dalam perumusan peraturan baik di tingkat pusat maupun di tingkat lokal.

Kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir pada tahun 2007 mendapat

dukungan dari Undang-Undang No.27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Namun, tidak serta merta undang-undang tersebut

dapat dioperasionalkan, karena dari sisi perundang-undangan, undang-undang ini

masih mengamanatkan dibentuknya Peraturan Pemerintah (PP), dan Peraturan

Daerah (Perda) sebagai aturan pelaksanaannya. Hal ini memunculkan banyak

ketidakpastian aturan pengelolaan wilayah pesisir di tingkat daerah baik di tingkat

propinsi maupun di tingkatan kabupaten/kota.

Desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir yang juga merupakan

penterjemahan terhadap semangat desentralisasi politik kenegaraan dengan

lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 yang selanjutnya mengalami

amandemen menjadi Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Otonomi

Daerah, akhirnya menuntut praktek pengelolaan yang tepat di tingkat daerah.

Pengaturan pengelolaan sumberaya pesisir yang diharapkan mampu memberikan

manfaat sebesar-besarnya bagi masyarakat dengan tetap mengedepankan

keberlanjutan sumberdaya pesisir yang tersedia, menjadi tantangan sekaligus

tanggung jawab bagi stakeholder di daerah.

Menurut Kartodihardjo dan Jhamtani (2006), bahwa pada saat

pemerintahan sentralistik nampak tidak mampu menjalankan kebijakan untuk

pemanfaatan sumberdaya alam (SDA) secara berkelanjutan dan berkeadilan,

banyak pihak berharap bahwa pelaksanaan otonomi daerah akan membawa

perubahan-perubahan mendasar, sehingga kebijakan dan kinerja pengelolaan

sumberdaya alam dapat diperbaiki. Hal ini terlihat dari aspek-aspek perbaikan

yang dijanjikan proses otonomi daerah yang dapat kita lihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Janji-janji Otonomi Daerah

Kesetaraan (equity)

Desentralisasi diyakini dapat membantu pengembangan kesetaraan melalui efisiensi penggunaan sumberdaya yang lebih besar dan adil serta distribusi manfaat dari aktivitas lokal secara demokratis

Efisiensi Efisiensi ekonomi dan managerial diyakini dapat ditingkat dengan : 1. Dalam setiap pengambilan keputusan dampak terhadap

masyarakat lokal senantiasa dapat diperhitungkan 2. Meningkatkan akuntabilitas dalam pelaksanaan pengambilan

keputusan 3. Mengurangi biaya transaksi 4. Memberikan pelayanan yang berorientasi kebutuhan 5. Memobilisasi pengetahuan lokal 6. Mengembangkan koordinasi 7. Menyediakan sumberdaya

Sumber : Ribot (2002) dalam Kartodihardjo dan Jhamtani (2006)

Dalam upaya desentralisasi pengelolaan sumberaya pesisir pemerintah

Kabupaten Luwu merumuskan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 02 tahun 2007

tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat.

Kabupaten Luwu yang memiliki wilayah pesisir yang potensial dan strategis

untuk dikelola secara profesional guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi

masyarakat dan mendukung kelestarian lingkungan, perlindungan dan

pengawasan wilayah pesisir dan laut secara terpadu, terencana dan berkelanjutan

yang melibatkan masyarakat dengan asas manfaat dan keadilan, merupakan tujuan

utama peraturan daerah ini di rumuskan.

Ada dua masalah penting yang juga menjadi kajian dalam penelitian ini

yaitu kapasitas lembaga dan hubungan atau kolaborasi antar lembaga. Dalam hasil

wawancara dengan pihak Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Luwu1

ditemukan bahwa dinas perikanan hanya memiliki 3 (tiga) orang tenaga penyuluh

lapangan, 1 (satu) orang tenaga pengawas yang masih memiliki skill yang terbatas

dan kemampuan teknis serta manajemen yang juga terbatas. Hal ini merupakan

gambaran kapasitas lembaga yang mengelola sumberdaya pesisir dan lingkungan

di Kabupaten Luwu. Selain itu, hubungan antara lembaga termasuk kolaborasi dan

koordinasi antar lembaga sangat penting dalam pengelolaan secara partisipatif,

dalam temuan lapangan hal ini masih sangat lemah. Keadaan ini mempengaruhi

kinerja dan menjadi kendala dalam implementasi otonomi daerah. Berikut hasil

narasi wawancara yang dilakukan dengan Kepala Bidang Pengembangan

Perikanan Tangkap dan Pesisir.

“Dalam memperoleh data dan informasi Dinas Perikanan dan Kelautan

memiliki kesulitan karena petugas pengawas perikanan yang bertugas di

Kabupaten luwu hanya terdiri dari 1 (satu) orang, selain itu untuk melakukan

penyuluhan pengelolaan sumberdaya pesisir petugas yang kami punya hanya 3

(tiga) orang dan 2 (dua) orang diantaranya hanya tamatan SMA”.

Dari hasil wawancara dengan pihak yang terkait pengelolaan sumberdaya

pesisir Kabupaten Luwu2, ditemukan bahwa lemahnya peran-peran kelembagaan

lokal terkait pengelolaan sumberdaya pesisir Kabupaten Luwu disebabkan oleh

lemahnya kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia (SDM) dan kapasitas

kelembagaan utamanya masih minimnya peran dan fungsi kelembagaan-

kelembagaan lokal. Berikut kutipan hasil wawancara selanjutnya.

1Wawancara dilakukan dengan Sarifudding (Kepala Bidang Pengembangan Perikanan Tangkap

dan Pesisir). Dilakukan pada hari selasa tanggal 5 Juli 2011 di kantor Dinas Perikanan dan

Kelautan Kecamatan Belopa, Kabupaten Luwu.

2 Lanjutan wawancara dengan Sarifudding (Kepala Bidang Pengembangan Perikanan Tangkap dan

Pesisir). Dilakukan pada hari selasa tanggal 5 Juli 2011 di kantor Dinas Perikanan dan Kelautan

Kecamatan Belopa, Kabupaten Luwu.

“Hanya ada beberapa kelompok nelayan dan kelompok pembudidaya

selama ini yang aktif, itu pun banyak diantara mereka yang belum memiliki

kesadaran dalam membantu menjaga lingkungan, khususnya pembukaan kawasan

mangrove untuk tambak. LSM yang mendampingi masyarakat sebelumnya juga

sudah tidak aktif lagi setelah Perda tentang pengelolaan wilayah pesisir dan laut

disetujui di DPRD”

Menurut Wahyudin (2005), ciri pengelolaan sumberdaya alam secara

partisipatif adalah (1) transparansi dalam pengelolaan sumberdaya alam, seperti

berapa luas area yang dikelola atau dimanfaatkan, untuk kegiatan apa, bagaimana

cara dan mekanisme pengelolaan siapa yang mengelola, (2) pertanggung jawaban

pengelolaan kepada publik khususnya kepada stakeholder dalam pengelolaan

sumberdaya tersebut, yang dalam Peraturan Daerah semestinya telah diatur

sehingga pembagian kewenangan dan tanggung jawab kepada seluruh stakeholder

jelas dan menjadi hukum yang telah disepakati bersama.

Dalam peraturan daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan

Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat, tidak terdapat pengaturan

tentang kewenangan dan tanggung jawab dalam bab dan pasal peraturan daerah

tersebut. Keadaan ini menyebabkan terjadinya eksploitasi sumberdaya yang

berlebihan sehingga terjadi degradasi terumbuh karang dan hutan mangrove

secara massif yang mencapai tingkat kerusakan sampai 65 persen berikut data luas

tutupan dan kondisi terumbu karang Kabupaten Luwu. Adapun gambaran luas

tutupan dan kondisi terumbu karang di Kabupaten Luwu dapat dilihat pada

Tabel 4.

Tabel 4. Luas Tutupan dan Kondisi Terumbu Karang Kabupaten Luwu

No Kecamatan (di pesisir)

Luas Tutupan

(ha)

Persentase Luas Terumbu Karang (%)

Sangat Baik

Baik Sedang Rusak

1 Kabupaten Luwu 17.310 - 1.731

(10 %)

4.327

(25 %)

11.252

(65 %)

Keterangan : (-) = Data tidak tersedia Sumber : Dinas Keluatan dan Perikanan Kabupaten Luwu, 2010

Persoalan yang ditemukan dalam analisis substansi Peraturan Daerah

Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang

Berbasis Masyarakat di Kabupaten Luwu yaitu substansi perda yang masih

cenderung eksploitatif, proses perumusan Peraturan Daerah yang belum

partisipatif serta belum di jaminnya kepastian hak atas kekayaan sumberdaya alam

pesisir bagi masyarakat sejalan dengan pendapat Kartodihardjo dan Jhamtani

(2006), bahwa seluruh rangkaian sejarah serta ekonomi politik dibalik

pemanfaatan sumberdaya alam dari jaman kolonial sampai pelaksanaan otonomi

daerah menyisahkan sejumlah masalah mendasar sebagai berikut :

1. Keterbukaan pasar dan permintaan akan sumberdaya alam yang tinggi tanpa

disertai kepastian hak atas tanah dan kekayaan alam lain, terbukti

mengakibatkan pengurasan sumberdaya alam oleh berbagai pihak, baik secara

legal oleh yang mendapat ijin, maupun secara illegal oleh yang tidak

mendapat ijin.

2. Substansi Undang-undang maupun peraturan-perundangan lain, termasuk

Perpu, yang merupakan landasan kerja semua sektor cenderung bersifat

eksploitatif terhadap sumberdaya alam.

3. Tindakan eksploitasi sumberdaya alam secara illegal telah menjadi bagian dari

instrumen untuk memperoleh keadilan pemanfaatan sumberdaya alam bagi

sebagian masyarakat yang tinggal didalam dan di sekitar lokasi sumberdaya

alam.

4. Proses-proses politik terutama di lembaga legislatif, pusat maupun daerah,

cenderung mengarah pada kebijakan sumberdaya alam eksploitatif melalui

mobilisasi suara. Demokratisasi pengambilan keputusan terbukti belum

menghasilkan substansi keputusan yang mempertimbangkan arti penting

pengelolaan sumberdaya alam secara berkelanjutan dan berkeadilan.

Sedangkan menurut Rudyanto (2007), bahwa berbagai persoalan yang

masih menggantung dalam pelaksanaan otonomi daerah perlu direspon dan

disikapi secara arif dan bijaksana. Untuk pelaksanaan otonomi daerah di masa

mendatang haruslah yang mampu meningkatkan pelayanan publik, kesejahteraan

warga dan mendorong kondisi dunia usaha yang kondusif bagi pengembangan

ekonomi lokal atau daerah. Berkaitan dengan hal tersebut, maka beberapa hal

yang masih perlu disempurnakan antara lain:

1. Adanya keikhlasan pusat agar daerah memperoleh hak-haknya untuk

mengolah dan mengelola sumberdaya di daerahnya secara optimal.

2. Untuk mencegah disinsentif, pemerintah daerah perlu mengembangkan

strategi efisiensi dalam segala bidang (yang menjadi tolok ukur bukanlah

besarnya dana, tapi seberapa optimal pelayanan diberikan kepada masyarakat

sesuai dengan skala prioritas pembangunan daerahnya).

3. Untuk menopang pelaksanaan otonomi daerah, perlu dikembangkan ekonomi

lokal yang kuat dan secara sistemik akan mensinergikan potensi sumberdaya

lokal dengan basis kemitraan lintas aktor-aktor pembangunan (stakeholder).

4. Memperbaiki fundamental ekonomi nasional dengan memberi kesempatan

yang lebih luas kepada Usaha Kecil-Mikro (UKM) agar lebih berkembang

melalui kebijakan ekonomi yang tidak diskriminatif.

5. Memanfaatkan dan mengelola sumberdaya alam secara proporsional dan arif,

agar kekayaan (resources endowment) tersebut dapat dimanfaatkan secara

optimal dan lestari (green economic paradigm).

6. Mendorong agregasi permintaan masyarakat (public demand) terhadap

layanan publik dengan mendorong partisipasi masyarakat dalam perencanaan,

pembuatan dan pengawasan dari kebijakan pembangunan (ekonomi)

daerahnya.

7. Mendorong desentralisasi pembangunan daerah dan mendayagunakan

kelembagaan di daerah untuk memiliki wewenang dan kemandirian dalam

membuat produk hukum pembangunan di daerahnya.

8. Untuk memperkuat basis keuangan daerah, pemerintah daerah tidak harus

selalu menambah jenis pungutan.

9. Dalam era otonomi daerah ini, birokrat pemerintah daerah harus mampu

bertindak layaknya seorang entreprenuer dan Pemerintah Daerah sebagai

institusi harus juga mampu bertindak layaknya sebagai enterprise.

Dengan semangat otonomi daerah umumnya ditemukan dalam wawancara

dengan stakeholder bahwa ada beberapa kendala yang dihadapi dalam

implementasi kebijakan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu antara lain : (1)

Perbedaan pemahaman dan persepsi dari berbagai kalangan terhadap kebijakan

otonomi daerah, (2) Belum tersedianya regulasi yang memadai sebagai pedoman

dan acuan implementasi otonomi daerah, (3) Keterbatasan kemampuan aparatur

pemerintahan di daerah dalam melaksanakan kewenangan daerah, (4)

Keterbatasan kemampuan keuangan daerah untuk membiayai sendiri

penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat di

daerah, (5) Keterbatasan kemampuan daerah dalam mengembangkan dan

mengelola potensi daerah.

Substansi regulasi di atas banyak mengkonsentrasikan kewenangan pada

pemerintah pusat, sehingga mendorong tumbuhnya sikap merasa tidak memiliki

dari pemerintah daerah dan masyarakat lokal, menyebabkan pemanfaatan

sumberdaya pesisir tidak terkontrol. Hal ini dapat dibuktikan dari banyaknya

pelanggaran yang terjadi, seperti kegiatan penangkapan dengan menggunakan

potas maupun pengambilan biota yang dilindungi, kegiatan pembukaan lahan

tambak baru atau eksploitasi hutan mangrove yang massif di hampir seluruh

kecamatan pesisir yang ada di Kabupaten Luwu. Salah satu temuan penelitian

setelah melakukan wawancara mendalam dengan pihak Dinas Keluatan dan

Perikanan Kabupaten Luwu3, ditemukan bahwa Pemerintah daerah dalam hal ini

Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Luwu masih memiliki keterbatasan

tenaga pengawas dalam melakukan pengawasan pemanfaatan sumberdaya pesisir

yang hanya terdiri 3 (tiga) orang tenaga pengawas yang sekaligus berfungsi

sebagai tenaga penyuluh perikanan.

Selain itu, kelemahan dalam pengawasan pemanfaatan sumberdaya alam

pesisir juga di tunjukkan oleh Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah

(Bapedalda) khususnya Kepala Bidang Pengendalian AMDAL4 yang

menunjukkan lemahnya penegakan hukum terkait pengelolaan sumberdaya pesisir

3Wawancara dilakukan dengan Sarifudding (Kepala Bidang Pengembangan Perikanan Tangkap

dan Pesisir). Dilakukan pada hari selasa tanggal 5 Juli 2011 di kantor Dinas Perikanan dan

Kelautan Kecamatan Belopa, Kabupaten Luwu.

4 Wawancara dilakukan dengan Jahiriah Kepala Bidang Pengendalian AMDAL. Dilakukan pada hari

Rabu tanggal 6 Juli 2011 di kantor Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah

(Bappedalda), Kecamatan Belopa, Kabupaten Luwu.

oleh pihak swasta dan masyarakat. Dari wawancara mendalam ditemukan

informasi lemahnya penanganan dampak lingkungan yang hanya mengandalkan

laporan dari masyarakat. Berikut ini kutipan wawancara dengan pihak Bapedalda.

“Saat ini terjadi eksploitasi kawasan mangrove akibat pembukaan lahan

tambak untuk budidaya tambak rumput laut, tetapi kami tidak bias mengambil

tindakan selama belum ada aturan yang mengatur secara rinci batas

pemanfaatan hutan mangrove dari pemerintah dalam hal ini Bupati dan Dinas

Kelautan dan Perikanan. Selama ini untuk masalah pencemaran lingkungan

akibat penambangan atau aktivitas perusahaan kami biasanya menunggu laporan

masyarakat”.

Dalam wawancara dengan pihak Badan Perencanaan Pembangunan

Daerah (Bappeda)5 ditemukan bahwa tingkat pelibatan masyarakat dan pihak

swasta dalam perumusan peraturan daerah masih sangat lemah. Selanjutnya secara

subtantif Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah

Pesisir yang Berbasis Masyarakat Kabupaten Luwu akan di kaji dengan melihat

persoalan pemberian kesempatan pada masyarakat lokal untuk melakukan usaha,

efisiensi ekonomi dan perlindungan terhadap lingkungan dan sumberdaya pesisir.

Selanjutnya kutipan hasil wawancara dengan pihak Bappeda.

“Perda ini diinisiasi oleh Dinas Kelautan dan Perikanan bersama-sama

dengan LSM KTNA, namun tidak melibatkan kelompok masyarakat nelayan atau

kelompok pembudidaya, selain itu pada prosesnya beberapa instansi terkait

seperti Bappedalda tidak terlibat secara aktif. Persoalan yang banyak terjadi saat

ini adalah potensi terjadinya abrasi di pemukiman pesisir jika tidak segera di

lakukan penguatan aturan perda ini. Terkait juga dengan masalah hulu, karena

sisa penebangan yang terbawa ke muara juga menyebabkan terjadi kerusakan

tanaman mangrove”.

Temuan dari wawancara di atas menunjukkan lemahnya koordinasi

instansi terkait pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu. Selain itu,

5Hasil wawancara dengan Zainal Arifin Bidang Perencanaan Pengembangan Wilayah Pesisir

(Bappeda) Kabupaten Luwu . Dilakukan pada kamis tanggal 7 Juli 2009 di kantor Badan

Perencanaan Pembangunan Daerah Kecamatan Belopa, Kabupaten Luwu.

saat ini telah terjadi degradasi lingkungan yang sangat tinggi khususnya pada

hutan mangrove. Pelibatan masyarakat dan pihak swasta dalam perumusan dan

perencanaan Perda tentang pengelolaan pesisir juga tidak dilakukan. Kenyataan

ini memerlukan kebijakan baru yang lebih mengedepankan pemberian

tanggungjawab kepada masyarakat dalam melakukan perlindungan sumberdaya

pesisir yang semestinya dilakukan dengan lebih dahulu memberikan ruang

keterlibatan dalam perencanaan, evaluasi dan monitoring sehingga masyarakat

lokal selain memiliki kesadaran juga memiliki rasa tanggungjawab.

5.2. Analisis Subtantif Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat

Penetapan peraturan Daerah (Perda) adalah suatu proses politik yang

secara umum melibatkan pihak eksekutif dan legislatif dan semestinya melibatkan

multipihak. Penyusunan Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat yang dianalisis

dalam penelitian ini diinisiasi oleh pihak eksekutif melalui Dinas Perikanan dan

Kelautan6. Dalam prosesnya sampai di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD) peraturan daerah ini hanya melibatkan satu kelompok Tani Nelayan

Tambak dan satu Lembaga Swadaya Masyarakat KTNA dari pihak diluar

pemerintahan.

Peraturan Daerah ini disusun atas dasar bahwa wilayah pesisir dan laut di

daerah Kabupaten Luwu merupakan kawasan yang sangat potensial dan strategis

untuk dikelola secara professional guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi

masyarakat pesisir. Selain itu Kabupaten Luwu yang berbatasan langsung dengan

Kawasan Teluk Bone penting untuk mendukung kelestarian, perlindungan dan

pengawasan wilayah pesisir dan laut, sehingga dibutuhkan suatu sistem

pengelolaan terpadu, terencana dan berkelanjutan dengan melibatkan masyarakat

berlandaskan asas-asas manfaat dan keadilan. Pada Tabel 5 di bawah ini

6 Hasil wawancara dengan Sarifudding (Kepala Bidang Pengembangan Perikanan Tangkap dan

Pesisir). Dilakukan pada hari selasa tanggal 5 Juli 2011 di kantor Dinas Perikanan dan Kelautan

Kecamatan Belopa, Kabupaten Luwu.

menggambarkan tentang stakeholder yang terlibat dalam penyusunan Perda

tersebut.

Tabel 5. Tim Penyusun Naskah Rancangan Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun

2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat

Tim Penyusun Naskah Rancangan Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007

tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat Instansi Pemerintah LSM-ORMAS

Dinas Perikanan dan Kelautan

Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda)

Badan Pengelolaan Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda)

Bagian Hukum Bagian Pemerintahan Bagian kelembagaan

masyarakat Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD) Kabid Fisik dan Prasarana Kasubid. Tata Ruang Kasubid Lingkungan Hidup Kabid Amdal Kadis Perikanan Kasubag. Peraturan

Perundang-undangan Lurah Perguruan Tinggi

LSM KTNA Kelompok Tani Nelayan Tambak

Sumber : Hasil Analisis, 2011

Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat merupakan peraturan yang dibuat

sebelum Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan Daerah ini di sahkan pada bulan Maret

2007, dilakukan perumusan selama 2 (dua) tahun sejak tahun 2005, sedangkan

Undang-Undang tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau kecil disyahkan

pada bulan Juli 2007. Secara eksplisit peraturan daerah ini merujuk pada Undang-

Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Undang-Undang Nomor 32

Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Dalam peraturan daerah ini ditemukan bahwa tidak terdapat rujukan

terhadap Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.10/MEN/2002

tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu yang

sesungguhnya mengatur secara teknis pedoman untuk perencanaan wilaya pesisir

secara terpadu. Peraturan daerah ini terdiri dari 15 (lima belas) bab dan 24 (dua

puluh empat) pasal yang akan di kaji selanjutnya terkait dukungan peraturan

daerah terhadap kesempatan masyarakat lokal untuk melakukan usaha, efisiensi

ekonomi dan perlindungan terhadap lingkungan pesisir. Proses peraturan daerah

No. 02 Tahun 2007 dimulai jauh sebelum kegiatan pengesahan peraturan daerah

ini dilakukan yaitu berkisar 2 (dua) tahun dengan melakukan studi terlebih dahulu

oleh Dinas Perikanan dan Keluatan yang bekerjasama dengan Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM) KTNA.

Definisi wilayah pesisir secara umum memberikan gambaran besar, betapa

kompleksitas aktivitas ekonomi dan ekologi terjadi pada wilayah ini.

Kompleksitas aktivitas ekonomi seperti perikanan, pariwisata, pemukiman,

perhubungan, dan sebagainya memberikan tekanan yang cukup besar terhadap

keberlanjutan ekologi wilayah pesisir seperti ekosistem mangrove, padang lamun

dan terumbu karang. Tekanan yang demikian besar tersebut jika tidak dikelola

secara baik akan menurunkan kualitas dan kuantitas sumberdaya yang terdapat di

wilayah pesisir.

5.2.1. Analisis Isi Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut terkait Dukungan terhadap Kesempatan Pemanfaatan Masyarakat Lokal dan Efisiensi Ekonomi

Menurut Carter (1996), mengemukakan bahwa konsep pengelolaan

sumberdaya alam dan lingkungan pesisir dan laut berbasis masyarakat memiliki

beberapa aspek positif yaitu (1) Mampu mendorong timbulnya pemerataan dalam

pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan, (2) Mampu merefleksikan

kebutuhan-kebutuhan masyarakat lokal yang spesifik, (3) Mampu meningkatkan

manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat yang ada, (4) Mampu

meningkatkan efisiensi secara ekonomis maupun teknis, (5) Responsif dan adaptif

terhadap variasi kondisi sosial dan lingkungan lokal, (6) Mampu menumbuhkan

stabilitas dan komitmen, serta (7) Masyarakat lokal termotivasi untuk mengelola

secara berkelanjutan. Namun apakah konsep ini sudah menjiwai peraturan daerah

Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang

Berbasis Masyarakat selanjutnya dilakukan analisis substansi peraturan tersebut.

Peranan pemerintah, swasta dan masyarakat dalam hal ini menjadi bagian

terpenting yang tidak terpisahkan dalam upaya mengelola lingkungan pesisir.

Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan

Laut yang Berbasis Masyarakat diharapkan dapat memberikan peluang

pengelolaan yang cukup efektif dalam rangka menyeimbangkan antara pelestarian

lingkungan dan pemanfaatan ekonomi. Pada pasal 14 (empat belas) tentang

Pengembangan Ekonomi Masyarakat dalam peraturan daerah ini terdiri dari 3

(tiga) ayat yang hanya menekankan pada peran dan tanggungjawab pihak swasta,

pengembangan kapasitas pengetahuan dan keterampilan masyarakat serta peran

pemerintah daerah dalam mendorong kerjasama dengan lembaga keuangan untuk

memudahkan masyarakat memperoleh atau mengakses bantuan permodalan atau

penguatan modal operasional.

Secara substantif peraturan daerah ini belum memberikan tekanan pada

upaya mendorong timbulnya pemerataan dalam pengelolaan sumberdaya alam

dan lingkungan, merefleksikan kebutuhan-kebutuhan masyarakat lokal yang lebih

spesifik, usaha meningkatkan manfaat lokal bagi seluruh anggota masyarakat

yang ada serta belum menggambarkan secara eksplisit aturan yang mendukung

efisiensi secara ekonomis. Selain itu peraturan daerah ini belum memberikan

motivasi terhadap masyarakat untuk mengelola sumberdaya pesisir secara

berkelanjutan.

Salah satu bentuk pengelolaan yang cukup berpeluang memberikan

jaminan pemerataan dan efektifitas dalam pengimplementasiannya adalah

pengelolaan berbasis masyarakat (community based management) yang menjadi

tema utama dalam peraturan daerah ini. Tetapi setelah melakukan pengkajian

secara subtantif peraturan ini belum memenuhi semangat yang memberikan pada

jaminan terhadap komunitas atau masyarakat yang memiliki adat istiadat, nilai-

nilai sosial dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat hal ini terbukti dengan belum

adanya pasal dalam isi peraturan daerah yang menunjukkan keberpihakan

terhadap beberapa wilayah pesisir yang telah dimanfaatkan masyarakat secara

alami sebagai daerah wisata contohnya di Kecamatan Larompong Selatan yang

saat ini di dimanfaatkan sebagai pelubahan angkutan laut dan Buntu Mata’bing

yang sebelumnya menjadi pusat aktivitas nelayan dalam melakukan penangkapan

ikan secara tradisional saat ini menjadi kawasan wisata pesisir Buntu Mata’bing.

Temuan ini sesuai dengan pendapat Satria (2009b), mengatakan bahwa

kebijakan pengembangan taman wisata telah banyak mengubah hak-hak

kepemilikan nelayan tradisional. Misalnya sebelumnya masyarakat memiliki hak-

hak atas sumberdaya itu dari hak akses hingga hak eksklusi, setelah keberdaan

taman wisata hak tersebut menjadi hilang. Selanjutnya dikatakan bahwa nelayan

merupakan kelompok sosial yang selama ini terpinggirkan, baik secara sosial,

ekonomi maupun politik. Hal ini merupakan kecenderungan di berbagai Negara

bukan hanya di Indonesia.

5.2.2. Analisis Isi Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut terkait Dukungan terhadap Partispasi Masyrakat dan Perlindungan Lingkungan Pesisir

Peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam lebih dikenal

dengan istilah Pengelolaan Berbasis Masyarakat (PBM) atau community based

management (CBM). Menurut Carter (1996), Community-Based Resource

Management (CBRM) didefinisikan sebagai suatu strategi untuk mencapai

pembangunan yang berpusat pada manusia, dimana pusat pengambilan keputusan

mengenai pemanfaatan sumberdaya dan lingkungan secara berkelanjutan di suatu

daerah berada ditangan organisasi-organisasi dalam masyarakat di daerah tersebut.

Dalam sistem pengelolaan ini, masyarakat diberikan kesempatan dan tanggung

jawab dalam melakukan pengelolaan terhadap sumberdaya dan lingkungan yang

dimilikinya, dimana masyarakat sendiri yang mendefinisikan kebutuhan, tujuan

dan aspirasinya serta masyarakat itu pula yang membuat keputusan demi

kesejahteraannya.

Dari hasil analisis keterlibatan masyarakat dalam perumusan Peraturan

Daerah ini menunjukkan tingkat keterlibatan masyarakat yang sangat kecil hanya

mencapai 4.5 persen. Hal ini bertentangan dengan semangat pengelolaan

sumberdaya alam berbasis masyarakat yang semestinya diikuti oleh upaya

pelibatan dalam perumusan peraturan pengelolaan sumberdaya alam. Pada Bab

VII tentang Partispasi Masyarakat hanya terdiri atas 1 (satu) Pasal dan 6 (enam)

ayat yang secara subtantif menekankan pada tanggungjawab masyarakat atas

pelestarian hutan mangrove, terumbu karang dan biota lainnya. Selanjutnya pada

ayat lain menekankan pada tanggungjawab badan usaha dalam pelestarian

sumberdaya hutan mangrove dan terumbu karang. Peraturan daerah ini belum

mengatur definisi batas-batas pemanfataan sumberdaya pesisir, daerah

perlindungan sumberdaya pesisir dan belum melibatkan masyarakat dalam

dimensi perencanaan tapi lebih menekankan pada bagaimana tanggung jawab

masyarakat dalam pelaksanaan, serta pemanfaatan sumberdaya alam.

Menurut Kartodihardjo dan Jhamtani (2006), bahwa ada dua argument

penting yang belum digunakan dalam pembaruan kebijakan: (1) Kepastian

mengenai hak penguasaan, pemanfaatan dan penggunaan tanah dan sumberdaya

lain, (2) Keberadaan dan peran kelembagaan masyarakat sebagai unsur penting

untuk mempertahankan daya dukung lingkungan. Walaupun ada prosedur

normatif untuk merumuskan atau memperbarui kebijakan dengan pertimbangan

hasil evaluasi kebijakan yang telah berjalan, namun evaluasi kebijakan itu sendiri

jarang atau bahkan tidak pernah dilakukan.

Selanjutnya dalam peraturan daerah ini juga tidak ditemukan bab atau

pasal yang mengatur tentang upaya penanggulangan kerusakan lingkungan

pesisir. Dalam konsep pembangunan berbasis masyarakat, penanggulangan

kerusakan lingkungan pesisir diharapkan mampu menjawab persoalan yang terjadi

di suatu wilayah berdasarkan karakteristik sumberdaya alam dan sumberdaya

manusia di wilayah tersebut. Dalam hal ini, suatu komunitas mempunyai hak

untuk dilibatkan atau bahkan mempunyai kewenangan secara langsung untuk

membuat sebuah perencanaan pengelolaan wilayahnya disesuaikan dengan

kapasitas dan daya dukung wilayah terhadap ragam aktivitas masyarakat di

sekitarnya.

Pola perencanaan pengelolaan seperti ini sering dikenal dengan sebutan

participatory management planning, dimana pola pendekatan perencanaan dari

bawah yang disinkronkan dengan pola pendekatan perencanaan dari atas menjadi

sinergi dalam pengimplementasiannya. Dalam hal ini prinsip-prinsip

pemberdayaan masyarakat menjadi hal penting yang semestinya dijadikan dasar

implementasi sebuah pengelolaan berbasis masyarakat.

Meminjam defenisi COREMAP-LIPI (1997) dalam Wahyudin (2005)

menyatakan bahwa tujuan umum penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir

berbasis masyarakat adalah mendorong peran serta masyarakat secara aktif dan

terlibat langsung dalam upaya penanggulangan kerusakan lingkungan lokal untuk

menjamin dan menjaga kelestarian sumberdaya dan lingkungan, sehingga dapat

menjamin adanya pembangunan yang berkelanjutan.

Selanjutnya dikatakan bahwa tujuan khusus penanggulangan kerusakan

lingkungan pesisir dan laut berbasis masyarakat dilakukan untuk (1)

Meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pentingnya menanggulangi

kerusakan lingkungan, (2) Meningkatkan kemampuan masyarakat untuk berperan

serta dalam pengembangan rencana penanggulangan kerusakan lingkungan secara

terpadu yang sudah disetujui bersama, (3) Membantu masyarakat setempat

memilih dan mengembangkan aktivitas ekonomi yang lebih ramah lingkungan,

dan (4) Memberikan pelatihan mengenai sistem pelaksanaan dan pengawasan

upaya penanggulangan kerusakan lingkungan pesisir dan laut berbasis

masyarakat.

Hal di atas belum ditekankan dalam Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun

2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis masyarakat

sehingga penting untuk segera dilakukan penyempurnaan Peraturan Daerah atau

merumuskan daerah perlindungan sumberdaya pesisir melalui Peraturan Bupati.

Selanjutnya dalam melakukan analisis stakeholder ditemukan beberapa hal terkait

persepsi, partisipasi masyarakat, relasi, kepentingan, pengaruh dan peta posisi

stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu yang

bertentang dengan semangat substansi peraturan daerah yang telah dianalisis

sebelumnya.

5.3. Analisis Stakeholder

Partisipasi masyarakat semakin diperhatikan sebagai bagian yang tidak

terpisahkan dalam setiap kebijakan pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan,

sehingga para pengambil keputusan perlu memahami pihak-pihak yang

dipengaruhi oleh keputusan dan tindakan yang mereka ambil, dan yang memiliki

kekuasaan untuk mempengaruhi hasilnya, yaitu para stakeholder.

Mengidentifikasi stakeholder merupakan langkah awal dan penting dalam setiap

kegiatan partisipatif.

Dalam kebijakan, pengembangan dan pengelolaan sumberdaya alam,

analisis stakeholder digunakan sebagai pendekatan yang dapat memberdayakan

para stakeholder yang marjinal agar dapat mempengaruhi proses pengambilan

keputusan. Sedangkan dalam penelitian kebijakan, analisis stakeholder

merupakan suatu cara untuk menghasilkan informasi atas aktor-aktor yang relevan

dalam memahami perilaku, kepentingan, agenda, dan pengaruh mereka pada

proses pengambilan keputusan (Burgha and Varvasovsky, 2000).

Analisis stakeholder mencoba melihat persepsi, peran atau partisipasi dan

kepentingan masing-masing pihak dalam pengelolaan sumberdaya pesisir di

Kabupaten Luwu. Hasil tanggapan masyarakat yang disampaikan melalui jawaban

dari pertanyaan terstruktur dalam kuesioner yang terbagi dalam tujuh kelompok

masyarakat yaitu masyarakat Kecamatan Larompong, Larompong Selatan, Suli,

Belopa Utara, Ponrang, Bua dan Walenrang Timur yang masing – masing

responden berjumlah 30 orang ditiap kecamatan yang didasarkan pada mata

pencaharian sebagai nelayan.

5.3.1. Persepsi Masyarakat Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Pesisir

Kabupaten Luwu

Persepsi adalah suatu proses mental yang rumit dan melibatkan berbagai

kegiatan untuk menggolongkan stimulus yang masuk sehingga menghasilkan

tanggapan untuk memahami stimulus tersebut. Persepsi dapat terbentuk setelah

melalui berbagai kegiatan, yakni proses fisik (penginderaan), fisiologis

(pengiriman hasil penginderaan ke otak melalui saraf sensoris) dan psikologis

(ingatan, perhatian, proses internalisasi informasi di otak).

Ada beberapa hal yang mempengaruhi persepsi : (1) Pelaku persepsi, bila

seorang individu memandang pada suatu target dan mencoba menafsirkan apa

yang dilihatnya, penafsiran itu sangat dipengaruhi oleh karakteristik-karakteristik

pribadi dari pelaku persepsi, antara lain sikap, motif atau kebutuhan individu,

suasana hati, pengalaman masa lalu, dan pengharapan. (2) Target yang akan

diamati, karakteristiknya dapat mempengaruhi apa yang dipersepsikan, (3) Situasi,

yaitu unsur-unsur dalam lingkungan sekitar dapat mempengaruhi persepsi.

Mengetahui persepsi masyarakat terhadap kondisi sumberdaya pesisir

dalam penelitian ini diharapkan dapat memberiakan informasi tambahan dan

menilai tingkat pengetahuan masyarakat terhadap kondisi sumberdaya pesisir di

Kabupaten Luwu. Sumberdaya pesisir yang di maksud berbasis ekosistem

sehingga digolongkan kedalam tiga sumberdaya yaitu terumbu karang, hutan

mangrove dan padang lamun. Berikut persepsi masyarakat terhadap kondisi

terumbu karang, mangrove dan padang lamun Kawasan Teluk Bone Kabupaten

Luwu.

Gambar 5. Diagram Persepsi Masyarakat terhadap Kondisi Terumbu Karang,

Mangrove dan Padang Lamun Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu Raya.

Sumber : Hasil analisis, 2011 Berdasarkan Gambar 5 di atas menunjukkan bahwa 53.0 persen dari

jumlah responden mengatakan bahwa tanaman mangrove telah mengalami

kerusakan, dan 20.1 persen menyatakan sangat rusak. Umumnya kerusakan ini

disebabkan oleh pembukaan lahan tambak rumput laut jenis Glacillaria Sp yang

dilakukan dihampir seluruh kecamatan pesisir Kabupaten Luwu. Selanjutnya 39.3

persen masyarakat menilai bahwa sumberdaya terumbu karang sudah rusak dan

21.2 persen menyatakan sangat rusak, hal ini sesuai dengan data yang ditemukan

dari Dinas Kelautan Perikanan yang menunjukkan tingkat kerusakan terumbu

karang mencapai 65 persen.

Dari wawancara dengan salah satu masyarakat atau nelayan7 ditemukan

informasi bahwa, kerusakan terumbu karang disebabkan oleh penggunaan alat

tangkap bom di wilayah terumbuh karang dan pemanfaatan terumbuh karang

sebagai fondasi bangunan untuk rumah penduduk. Hal ini berbeda dengan

persepsi masyarakat terhadap kondisi padang lamun dimana terdapat 50.0 persen

responden menyatakan baik dan 19.8 persen menyatakan sangat baik hal ini

disebabkan karena pemanfataan atas sumberdaya ini masih kurang oleh nelayan.

Data di atas menunjukkan nilai yang sesuai dengan data yang diperoleh

dari Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Luwu yaitu Data Status

Lingkungan Hidup Daerah Kabupaten Luwu tahun 2010, yang menunjukkan nilai

sumberdaya terumbu karang yang masih baik hanya 1.731 ha atau 10 persen,

sedang 4.327 ha atau 25 persen dan11.252 ha atau 65 persen dinyatakan rusak.

Persepsi masyarakat terhadap kondisi sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu

menunjukkan bahwa sesungguhnya masyarakat secara sadar mengatahui bahwa

tingkat sumberdaya pesisir yang selama ini mereka manfaatkan telah mengalami

banyak kerusakan.

Kesadaran masyarakat ini, pada dasarnya memberikan peluang bagi

pelibatan masyarakat dalam upaya perlindungan dan pengendalian kerusakan

lingkungan jika dalam proses perencanaan masyarakat dilibatkan secara aktif.

Dengan pengetahuan masyarakat tentang kondisi kerusakan sumberdaya pesisir

jika dilibatkan dalam perumusan kebijakan atau perencanaan perlindungan

kawasan atau pengendalian kerusakan akan lingkungan masyarakat akan lebih

bertanggung jawab dalam pengelolaannya. Selain mengukur persepsi masyarakat

terhadap kondisi sumberdaya pesisir juga dilakukan analisis terhadap partisipasi

masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir.

5.3.2. Partisipasi Masyarakat dalam Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir

Kabupaten Luwu

7 Hasil wawancara dengan Dawalang. Dilakukan pada tanggal 9 Juli 2011 di Dusun Biru, Kelurahan

Larompong, Kecamatan Larompong.

Partisipasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah peran serta

masyarakat dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir yaitu pemanfaatan terumbu

karang, hutan mangrove dan padang lamun. Pada dasarnya partisipasi dibedakan

menjadi dua, yaitu partisipasi yang bersifat swakarsa dan partisipasi yang sifat

dimobilisasikan. Partisipasi swakarsa mengandung arti bahwa keikutsertaan dan

peran sertanya atas dasar kesadaran dan kemauan sendiri, sementara partisipasi

yang dimobilisasikan memiliki arti keikutsertaan dan berperan serta atas dasar

pengaruh orang lain.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi peran serta masyarakat yaitu

keadaan sosial masyarakat, kegiatan program pembangunan dan keadaan alam

sekitarnya. Keadaan sosial masyarakat meliputi pendidikan, pendapatan,

kebiasaan dan kedudukan sosial dalam sistem sosial. Kegiatan program

pembangunan merupakan kegiatan yang direncanakan dan dikendalikan oleh

pemerintah yang dapat berupa organisasi masyarakat dan tindakan kebijaksanaan.

Sedangkan alam sekitar merupakan faktor fisik atau keadaan geografis daerah

yang ada pada lingkungan tempat tinggal masyarakat setempat. Selain

memberikan informasi yang berharga kepada para pengambil keputusan peran

serta masyarakat juga akan meningkatkan kemungkinan kesediaan masyarakat

untuk menerima keputusan serta membantu perlindungan hukum.

Menurut Hardjasoemantri (1993) bahwa perlu terpenuhi syarat-syarat

berikut agar peran serta masyarakat menjadi efektif dan berdaya guna antara lain:

(1) Pemastian penerimaan informasi dengan mewajibkan pemrakarsa kegiatan

mengumumkan rencana kegiatannya. (2) Informasi lintas batas (transfortier

information), mengingat masalah lingkungan tidak mengenal batas wilayah yang

dibuat manusia, maka ada kemungkinan kerusakan lingkungan di satu daerah akan

pula mempengaruhi daerah lain sehingga pertukaran informasi dan pengawasan

yang melibatkan daerah-daerah terkait menjadi penting, (3) Informasi tepat waktu

(timely information) suatu proses peran masyarakat yang efektif memerlukan

informasi yang sedini dan seteliti mungkin sebelum keputusan terakhir diambil.

sehingga masih adan kesempatan untuk mempertimbangkan dan mengusulkan

alternatif-alternatif pilihan, (4) Informasi yang lengkap dan menyeluruh

(comphrehensif information) walau isi dari suatu informasi akan berbeda

tergantung keperluan bentuk kegiatan yang direncanakan tetapi pada intinya

informasi itu haruslah menjabarkan rencana kegiatan secara rinci termasuk

alternati-alternatif lain yang dapat diambil, (5) Informasi yang dapat dipahami.

Seringkali pengambilan keputusan di bidang lingkungan meliputi masalah yang

rumit, kompleks dan bersifat teknis ilmiah, sehingga haruslah diusahakan

informasi tersebut mudah dipahami oleh masyarakat awam. Berikut ini tingkat

partispasi masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir di Kabupaten

Luwu (Gambar 6).

Gambar 6. Partisipasi Masyarakat dalam Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir

Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu

Sumber : Hasil analisis, 2011

Gambar 6 di atas menunjukkan bahwa tingkat partisipasi masyarakat

terhadap pemanfaatan terumbu karang sangat tinggi dimana ada 49.5 persen

responden yang menyatakan tinggi dan 28.1 persen yang menyatakan sangat

tinggi, sama halnya dengan pemanfaatan mangrove yang menunjukkan bahwa

46.7 persen yang mengatakan sangat tinggi dan 26.7 persen responden yang

menyatakan tinggi. Berbeda dengan sumberdaya padang lamun dimana 53.8

persen responden menyatakan rendah dan 20.0 persen menyatakan sedang.

Temuan ini menunjukkan bahwa dengan adanya Peraturan Daerah Nomor 02

Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis

Masyarakat tidak cukup memberikan penekanan pada upaya pengelolaan

sumberdaya pesisir berkelanjutan. Selain itu dapat pula disimpulkan bahwa

keberadaan peraturan daerah tersebut belum memiliki konstribusi terhadap

pengendalian kerusakan lingkungan.

5.3.3. Hubungan antar Persepsi dengan Partisipasi Masyarakat terhadap pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kabupaten Luwu

Dari hasil analisis persepsi masyarakat terhadap kondisi terumbuh karang

ditemukan bahwa tingkat kerusakan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu

mencapai 73.1 persen untuk terumbu karang dan hutan mangrove mencapai 60.5

persen. Kondisi ini sejalan dengan hasil analisis tingkat partisipasi masyarakat

terhadap pemanfaatan sumberdaya pesisir yang sangat tinggi mencapai 77.6

persen untuk pemanfaatan terumbuh karang dan 73.4 persen untuk tingkat

pemanfaatan masyarakat terhadap hutan mangrove. Hal ini menimbulkan

persoalan bagi keberlanjutan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu.

Dengan tingkat partisipasi yang sangat tinggi, masyarakat dan pihak

swasta perlu mendapat pendampingan dan pengawasan dari pihak pemerintah

daerah. Penggunaan alat tangkap yang merusak keberlanjutan sumberdaya

terumbu karang perlu untuk segera ditindaklanjuti dengan melakukan pengawasan

yang lebih intensif. Selain itu dengan berkurangnya area hutan mangrove akibat

pembukaan lahan tambak yang sangat massif maka pemerintah daerah seharusnya

mampu merumuskan aturan tentang pengendalian kerusakan lingkungan dan

penetapan kawasan lindung. Kesimpulan lain yang dapat ditarik dengan melihat

hasil analisis diatas yaitu keberadaan peraturan daerah yang mengatur tentang

pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu belum terlaksana secara baik

dan terdapat kesalahan pada tingkat penerapan.

5.3.4. Persepsi Masyarakat Terhadap Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun

2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat

Untuk mengetahui tingkat pengetahuan masyarakat terhadap Peraturan

Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut

yang Berbasis masyarakat maka dilakukan analisis terhadap persepsi masyarakat

terhadap perda tersebut. Analisis ini dilakukan dengan melakukan wawancara dan

kuesioner terhadap 210 (dua ratus sepuluh) masyarakat atau nelayan yang berada

di 7 (tujuh) kecamatan yang berbeda masing-masing 30 (tiga puluh) orang tiap

kecamatan. Dari wawancara mendalam dengan Anggota Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (DPRD) juga ditemukan bahwa keberdaan peraturan daerah

tersebut belum banyak diketahui masyarakat, bahkan di tingkat Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sendiri peraturan ini belum pernah dilakukan

evaluasi terhadap penerapan dan pelaksanaannya di dalam pengelolaan

sumberdaya pesisir. Gambar 7 berikut menunjukkan persepsi masyarakat terhadap

Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan

Laut yang Berbasis Masyarakat.

Gambar 7. Persepsi Masyarakat Terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Luwu

No. 02 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat.

Sumber : Hasil analisis, 2011

Gambar 7 di atas menunjukkan bahwa 77.6 persen responden tidak

mengetahui keberadaan peraturan daerah tersebut dan hanya 22.4 persen

responden yang mengatakan mengetahui. Dari data ini dapat disimpulkan bahwa

keberadaan peraturan daerah tersebut belum diketahui oleh masyarakat. Dengan

tingginya ketidaktahuan masyarakat maka dapat pula diasumsikan bahwa

sosialisasi peraturan daerah tersebut tidak berjalan, dan sebelum peraturan ini

diterapkan tidak dilakukan penguatan terhadap posisi kelompok kelembagaan

masyarakat lokal dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir di Kabupaten

Luwu.

Hasil analisis di atas sejalan dengan pendapat Kartodihardjo dan Jhamtani

(2006), bahwa ketika pemerintah melakukan pembaruan kebijakan, masyarakat

luas terutama yang langsung terkena dampak dari penerapan kebijakan tersebut,

sering tidak mengtahui karena tidak dilibatkan dalam proses pembaruan itu. Para

pembuat kebijakan pada umumnya hanya menggunakan sistem nilai dan

keyakinan mereka sendiri, atau mengundang msyarakat dalam proses pembaruan

kebijakan sebagai persyaratan partisipasi publik. Mereka memaknai hal itu

sebagai cara atau teknologi baru dalam pembuatan kebijakan, tanpa memahami

arti penting mengubah cara pandang menuju kesejajaran pemerintah-rakyat dalam

pembuatan keputusan sebagai landasan filosofis proses partisipasi tersebut.

Dikatakan pula bahwa kebijakan seharusnya dilaksanakan oleh birokrasi

pemerintah yang memang mampu melaksanakannya. Birokrasi di Indonesia

sebenarnya sudah memiliki pola modern, dan terdiri dari kumpulan putra-putri

terbaik bangsa. Namun, birokrasi yang cenderung mapan tidak dapat mengikuti

dinamika perkembangan yang pesat pada berbagai bidang diluar lingkungan

mereka. Birokrasi yang di masa lalu paling mengetahui bidangnya (well

informed), kini justru jauh tertinggal dari dunia usaha dan masyarakat yang

seharusnya mereka layani. Karena itu timbul kesan bahwa birokrasi berjalan

lamban dan cenderung mengutamakan prosedur daripada substansi. Birokrasi

tidak efisien dan tidak dapat diharapkan menghasilkan public goods dan public

services dengan harga dan kualitas bersaing jika dibandingkan dengan apa yang

dapat dilakuakan masyarakat (Kartasasmita 1996 dalam Kartodihardjo dan

Jhamtani 2006).

Dalam beberapa pendekatan untuk mendapatkan dukungan dan partisipasi

masyarakat secara penuh, maka masyarakat harus dipersiapkan secara sosial agar

dapat, (1) Mengutarakan aspirasi serta pengetahuan tradisional dan kearifannya

dalam menangani isu-isu lokal yang merupakan aturan-aturan yang harus

dipatuhi, (2) Mengetahui keuntungan dan kerugian yang akan didapat dari setiap

pilihan intervensi yang diusulkan yang dianggap dapat berfungsi sebagai jalan

keluar untuk menanggulangi persoalan lingkungan yang dihadapi, dan (3)

Berperanserta dalam perencanaan dan pengimplementasian sebuah kebijakan.

Menurut Kartodihardjo dan Jhamtani (2006) bahwa pemerintah pada

dasarnya mendapat mandat dari negara untuk mengendalikan pengelolaan

sumberdaya alam dan bertanggung jawab atas pelestariannya. Namun mandat itu

mendapat pandangan dikalangan birokrasi bahwa kewenangan mereka merupakan

hak mutlak. Pandangan seperti ini sering terjadi dalam era otonomi daerah.

Akhirnya menyebabkan penyusunan Perda yang seharusnya melibatkan

multipihak yang memungkinkan pertukaran informasi yang lebih dalam dan dapat

mempengaruhi keputusan tidak terjadi.

Sejalan dengan itu menurut Satria (2009b) bahwa salah satu persoalan yang

seringkali muncul dari setiap formulasi perundangan adalah siapa yang

diuntungkan. Dari sekian stakeholder nelayan merupakan pihak yang relatif tidak

mampu mengartikulasi aspirasi dan kepentingan sehingga dalam interaksi politik

proses pengambilan keputusan sangat potensial untuk dirugikan.

5.3.5. Tingkat Keterlibatan Stakeholder dalam perumusan Peraturan

Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat

Kegagalan pengelolaan sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan hidup

diakibatkan salah satunya oleh adanya kegagalan kebijakan (lack of policy)

sebagai bagian dari kegagalan perangkat hukum yang tidak dapat

menginternalisasi permasalahan lingkungan yang ada. Kegagalan kebijakan (lack

of policy) terindikasi terjadi akibat adanya kesalahan justifikasi para policy maker

dalam menentukan kebijakan dengan ragam pasal-pasal yang berkaitan erat

dengan keberadaan sumberdaya alam (SDA) dan lingkungan. Artinya bahwa,

pada kebijakan tersebut terjadi kesalahan asumsi yang menyebabkan lingkungan

hanya menjadi variabel minor. Padahal, dunia internasional saat ini selalu

mengaitkan segenap aktivitas ekonomi dengan isu lingkungan hidup, seperti green

product, sanitary safety, dan sebagainya. Selain itu, proses penciptaan dan

penentuan kebijakan yang berkenaan dengan lingkungan ini dilakukan dengan

minim sekali melibatkan partisipasi masyarakat dan menjadikan masyarakat

sebagai komponen utama sasaran yang harus dilindungi.

Peran pemerintah dan masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya dan

lingkungan idealnya harus seimbang, terkoordinasi dan tersinkronisasi. Hal ini

penting dilakukan mengingat pemerintah mempunyai kewajiban untuk

memberikan pelayanan terhadap masyarakat, termasuk mendukung pengelolaan

sumberdaya dan lingkungan demi sebesar-besarnya kepentingan dan

kesejahteraan masyarakat. Di sisi lain, masyarakat juga mempunyai tanggung

jawab dan turut berperan serta untuk menjaga kelestarian dan keberlanjutan

sumberdaya alam dan lingkungan. Gambar 8 menunjukkan tingkat keterlibatan

stakeholder dalam perumusan Peraturan Daerah Nomor 02 Tahun 2007 tentang

Pengelolaan Wilayah Pesisir yang Berbasis Masyarakat di Kabupaten Luwu.

Gambar 8. Tingkat Keterlibatan Stakeholder dalam Perumusan Peraturan Daerah

Nomor 02 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut yang Berbasis Masyarakat.

Sumber : Hasil analisis, 2011

Dari gambar di atas menunjukkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat

daerah (DPRD) memiliki tingkat keterlibatan paling tinggi yaitu 57.1 persen

sangat aktif, kemudian Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) 50.0 persen sangat

aktif, pemerintah daerah 33.3 persen sangat aktif dan 33.3 persen menunjukkan

aktif dan perguruan tinggi 50.0 persen. Diagram ini juga memperlihatkan tingkat

keterlibatan Masyarakat yang sangat rendah yang hanya mencapai 4.5 persen dan

Swasta yang tidak terlibat aktif dalam perumusan perda tersebut.

Rendahnya tingkat keterlibatan masyarakat dalam perumusan peraturan

daerah tersebut di atas menunjukkan bahwa sesungguhnya pelibatan masyarakat

belum dilakukan pada tingkat perumusan kebijakan, dan masyarakat masih

diposisiskan sebagai objek kebijakan. Kenyataan ini mengakibatkan secara nyata

partisipasi masyarakat terhadap pemahaman peraturan sangat rendah dan

tanggung jawab masyarakat terhadap upaya pembangunan dan pelestarian

sumberdaya menjadi sangat kecil. Dari data di atas juga dapat disimpulkan bahwa

Perumusan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir masih memposisikan

masyarakat sebagai komponen utama sasaran yang harus dilindungi bukan subjek

dari pengelolaan sumberdaya pesisir.

Hasil analisis ini sejalan dengan pendapat Satria (2009b) yang menyatakan

bahwa salah satu cirri nelayan kecil (small scale fisher) adalah tidak adanya

kemampuan untuk mempengaruhi kebijakan publik sehingga masyarakat atau

nelayan terus berada dalam posisi dependen dan marjinal. Terlihat bahwa faktor

kapital menjadi sangat dominan dalam menentukan posisi nelayan. Semakin besar

penguasaan kapital maka semakin besar pula kesempatan untuk mempengaruhi

proses politik. Kekuatan ekonomi atau kapital mempunyai peran yang sangat

penting dan menentukan kehidupan politik, hukum dan sosial.

Selanjutnya dikatakan bahwa dalam mengkaji persoalan hukum

pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut tidak terlepas dari peran stakeholder

yang beragam kepentingan, latar belakang sosial, status ekonomi,maupun sosial-

politik selalu menciptakan konflik kepentingan. Dari sekian stakeholder yang

beragam tersebut, nelayan merupakan pihak yang relatif tidak mampu

mengartikulasikan aspirasi dan kepentingannya sehingga dalam interaksi politik

proses pengambilan keputusan sangat potensial untuk dirugikan.

Menurut Kartodihardjo dan Jhamtani (2006), bahwa Perda sebagaimana

juga undang-undang, merupakan produk politik. Dengan demikian aspek baik atau

buruk suatu perda mencerminkan kualitas dari suatu proses politik. Kualitas perda

ditentukan oleh perimbangan kekuatan pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi

politik didalamnya. Selanjutnya dikatakan bahwa; (1) Perda sebagai naskah

hukum merupakan pengejawantahan dari policy narrative (uraian kebijakan) yang

dapat menjadi tidak berarti apabila posisi dan kekuatan pihak-pihak bergeser kea

rah yang berlawanan dari tujuan perumusan perda itu sendiri, (2) Perda

semestinya dianggap sebagai instrumen kebijakan dan bukan hasil kebijakan.

Inisiatif untuk menyusun Perda bukanlah akhir dari suatu tindakan, melainkan

proses antara untuk menentukan arah tujuan yang telah ditetapkan, (3) Kegiatan

perumusan kebijakan bukanlah penyusunan naskah Perda. Kegiatan penyusunan

naskah Perda adalah bagian kecil dari penguatan modal sosial yang tidak

senantiasa dapat ditentukan waktunya karena kan berevolusi sesuai dengan factor

ekonomi, sosial, budaya, maupun peran lembaga yang sangat kompleks.

5.3.6. Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder terhadap Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kabupaten Luwu

Dalam penelitian kebijakan, analisis stakeholder merupakan salah satu

cara untuk menghasilkan informasi tentang aktor yang relevan, memahami

perilaku mereka, kepentingan, agenda, dan pengaruhnya terhadap proses

pengambilan keputusan (Brugha dan Varvasovsky, 2000). Selain melihat tingkat

keterlibatan stakeholder dalam perumusan kebijakan pengelolaan sumberdaya

pesisir, penelitian ini juga menganalisis tingkat kepentingan dan pengaruh

stakeholder terhadap Pengelolaan Sumberdaya Pesisir di Kawasan Teluk Bone

Kabupaten Luwu. Gambar 9 berikut ini menunjukkan tingkat kepentingan dan

pengaruh stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya pesisir Kabupaten Luwu.

Gambar 9. Peta Tingkat Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kabupaten Luwu

Sumber : Hasil analisis, 2011

Diagram ini menunjukkan bahwa stakeholder kunci (Key players) adalah

Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), Bappeda, Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD) dan Swasta, yang merupakan stakeholder yang harus

dipersiapkan untuk menjadi aktif, karena mereka mempunyai kepentingan dan

pengaruh yang tinggi atas fenomena tertentu, Pemerintah Daerah Bagian Hukum

merupakan stakeholder yang sangat berpengaruh tetapi kepentingannya rendah

(Context setters). Bapedalda dan masyarakat atau nelayan (Subjects) adalah

stakeholder yang memiliki kepentingan tinggi tetapi pengaruhnya rendah.

Meskipun mereka mendukung, mereka tidak memiliki kapasitas untuk

menimbulkan perubahan. Mereka mungkin menjadi berpengaruh dengan

membentuk aliansi dengan stakeholder lain. Mereka ini sering merupakan

stakeholder marjinal yang perlu diberdayakan. Sedangkan Lembaga Swadaya

masyarakat (LSM), Bagian Kelembagaan Masyarakat (BKM), Perguruan Tinggi

(PT) dan Bagian Pemerintahan (Crowd) merupakan stakeholder yang mempunyai

sedikit kepentingan dan pengaruh. Selanjutnya peta keterkaitan antara stakeholder

ditunjukkan pada Table 7.

Dari analisis Peta Tingkat Kepentingan dan Pengaruh Stakeholder

Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kabupaten Luwu pada Gambar 9

ditemukan bahwa posisi masyarakat yang sesungguhnya memiliki kepentingan

yang tinggi terhadap sumberdaya pesisir masih dalam posisi subjek yang tidak

dapat mempengaruhi kebijakan. Kenyataan ini menunjukkan bahwa masyarakat

belum mendapat hak dan tanggung jawab atas pengelolaan sumberdaya pesisir di

Kabupaten Luwu. Masyarakat atau nelayan perlu untuk di posisikan bukan hanya

sebagai objek dalam pengelolaan sumberdaya pesisir melainkan juga menjadi

subjek dalam pengelolaan sumberdaya pesisir baik dari aspek pelibatan dalam

perencanaan maupun dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir Kabupaten Luwu.

Menurut Robbin 2004 dalam Satria (2009b) bahwa pendekatan yang

berpusat pada pelaku (actor oriented) berpijak pada politicised environment

memiliki asumsi bahwa persoalan lingkungan tidak dapat dipahami secara

terpisah dari konteks politik dan ekonomi sehingga masalah lingkungan bukanlah

masalah teknis pengelolaan semata. Selanjutnya dikatakan bahwa ada beberapa

asumsi yang mendasari pendekatan aktor yaitu (1) Biaya dan manfaat yang terkait

dengan perubahan lingkungan dinikmati para aktor secara tidak merata, (2)

Distribusi biaya dan manfaat yang tidak merata tersebut mendorong terciptanya

ketimpangan ekonomi, (3) Dampak sosial-ekonomi yang bebeda dari perubahan

lingkungan tersebut juga memiliki implikasi politik dalam arti bahwa terjadi

perubahan kekuasaan dalam hubungansatu aktor dengan aktor yang lain. Table 6

menunjukkan relasi antara stakeholder dalam pengelolaan sumberdaya pesisir

Kabupaten Luwu.

Tabel 6. Relasi antara Stakeholder dalam Pengelolaan Sumberdaya Pesisir

Kabupaten Luwu.

Stakeholder Bappeda Bapedalda DKP Bagian Hukum

Bag. Pemerintahan

Bag.BKM

DPRD Swasta LSM PT Masy

/Nelayan

Bappeda RL RK RL RL RL RK RL RL RK TR

Bapedalda RL RK RL RL RL RL RL RL TR Dinas Perikanan dan Kelautan (DKP) RL RL RL RL RL RL RL RL

Bagian Hukum RL RK TR TR TR RL RB

Bagian Pemerintahan RL TR TR TR TR TR Bagian Kelembangaan Masyarakat (BKM) TR TR RK TR RL

DPRD RK RB RL RL

Swasta RB RL RL

LSM TR RL

Perguruan Tinggi (PT) RL

Masyarakat/Nelayan

Sumber : Hasil analisis, 2011 Keterangan : RK = Relasi Kuat RL = Relasi Lemah RB = Relasi Berlawanan TL = Tidak ada Relasi

Table 6 menggambarkan bahwa Bapeda, Dinas Kelautan dan Perikanan

(DKP), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Perguruan Tinggi

(PT)memiliki relasi kuat. Selain itu relasi kuat di tunjukkan pula pada hubungan

antara DPRD dan pihak Sawasta serta relasi kuat juga dapat dilihat pada antara

relasi antara Bagian Kelembagaan Masyarakat dengan Lembaga Swadaya

Masyarakat (LSM) dalam hal ini LSM KTNA.

Selanjutnya relasi lemah dapat dilihat pada relasi antara BKM dengan

nelayan dan DPRD dengan nelayan hal ini menunjukkan bahwa fungsi pemerintah

daerah khususnya bagian kelembagaan masyarakat dan pengawasan DPRD belum

berjalan sebagaimana mestinya. Peta relasi antar stakeholder ini secara umum

menunjukkan bahwa posisi stakeholder dalam hal ini nelayan masih sangat lemah

dalam hal akses terhadap kebijakan dan pengelolaan sumberdaya pesisir di

kabupaten Luwu.

Menurut Nurmalasari (2008), bahwa ada dua pendekatan dalam

pengelolaan sumberdaya pesisir yang berbasis masyarakat yaitu pendekatan

struktural dan pendekatan subyektif. Sasaran utama pendekatan struktural adalah

tertatanya struktur dan sistem hubungan antara semua komponen dan sistem

kehidupan, baik di wilayah pesisir dan laut maupun komponen pendukung yang

terkait, termasuk komponen sosial, ekonomi dan fisik. Dengan penataan aspek

struktural, diharapkan masyarakat mendapatkan kesempatan lebih luas untuk

dapat memanfaatkan sumber daya alam secara berkelanjutan.

Selain itu, penataan struktur dan sistem hubungan sosial dan ekonomi

tersebut diharapkan dapat menciptakan peluang bagi masyarakat untuk ikut serta

melindungi sumber daya alam dari ancaman yang datang baik dari dalam maupun

dari luar. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi bahkan menghilangkan

masalah-masalah sosial dan ekonomi yang utama yang selama ini secara terus

menerus menempatkan masyarakat pada posisi yang sulit. Pendekatan struktural

membutuhkan langkah-langkah strategi sebagai berikut :

1. Pengembangan aksesibilitas masyarakat pada sumberdaya alam. Aksesibilitas

masyarakat terhadap sumber daya alam adalah salah satu isu penting dalam

rangka membangun perekonomian masyarakat. Langkah tersebut diharapkan

dapat membantu masyarakat untuk dapat menikmati peluang pemanfaatan

sumber daya alam secara berkelanjutan (sustainable).

2. Pengembangan aksesibilitas masyarakat terhadap proses pengambilan

keputusan. Keberhasilan pengembangan masyarakat sebagai bagian dari

pengelolaan pesisir dan laut sangat tergantung pada ketepatan kebijakan yang

diambil. Kebijakan yang dikembangkan dengan melibatkan dan

memperhatikan kepentingan masyarakat dan menjamin keberhasilan

pengelolaan sumber daya alam dan wilayah. Keterlibatan masyarakat sangat

diperlukan karena akan menghasilkan kebijakan yang disesuaikan dengan

potensi, aspirasi dan kepentingan masyarakat. Kebijakan yang berbasis pada

potensi masyarakat akan mendorong keterlibatan masyarakat dalam

pemanfaatan dan perlindungan sumber daya alam. Selain itu juga memberikan

keuntungan ganda. Pertama, dengan mengakomodasi aspirasi masyarakat

maka pengelolaan pesisir dan laut akan menarik masyarakat sehingga akan

mempermudah proses penataan. Kedua, memberikan peluang bagi masyarakat

untuk ikut bertanggung jawab atas keamanan pesisir dan laut. Selain itu yang

lebih penting lagi adalah adanya upaya untuk meningkatkan kepentingan

hakiki masyarakat yaitu kesejahteraan.

3. Peningkatan aksebilitas masyarakat terhadap informasi. Informasi merupakan

salah satu aspek penting dalam pengembangan masyarakat pantai sebagai

bagian dari pengelolaan pesisir dan laut. Kesediaan informasi mengenai

potensi dan perkembangan kondisi wilayah dan sumber daya alamnya sangat

berharga untuk penyusunan kebijakan, program dan kegiatan di wilayah

tersebut.

4. Pengembangan kapasitas kelembagaan. Untuk meningkatkan peran

masyarakat dalam perlindungan wilayah dan sumber daya alam, diperlukan

kelembagaan sosial, untuk mendorong peranan masyarakat secara kolektif.

Semangat kolektif akan mendorong upaya pemberdayaan masyarakat untuk

melindungi wilayahnya dari kerusakan yang dapat mengancam perekonomian.

Pemberdayaan masyarakat melalui pengembangan lembaga sosial diharapkan

untuk memperkuat posisi masyarakat dalam menjalankan fungsi manajemen

wilayah pesisir dan laut

5. Pengembangan sistem pengawasan berbasis masyarakat. Keberadaan sistem

pengawasan yang efektif merupakan syarat utama keberhasilan pengembangan

masyarakat sebagai bagian dari pengelolaan wilayah pesisir dan laut. Sistem

pengawasan tersebut harus mampu menjalankan fungsinya dengan cara

memobilisasi semua unsur terkait. Salah satu pendekatan yang efektif adalah

pengembangan sistem pengawasan berbasis pada masyarakat. Sistem

pengawasan yang berbasis pada masyarakat adalah suatu sistem yang

dilandasi oleh kepentingan, potensi dan peranan masyarakat lokal. Untuk itu,

sistem pengawasan yang berbasis pada masyarakat tersebut selain

memberikan peluang bagi masyarakat untuk ikut mengawasi sumber daya

alam dan wilayah tempat mereka tinggal dan mencari makan, juga

memperkuat rasa kebersamaan masyarakat dalam mengembangkan potensi

daerahnya. Hal ini dapat dilakukan melalui lembaga sosial masyarakat pantai

(nelayan).

6. Pengembangan jaringan pendukung. Pengembangan koordinasi tersebut

mencakup pembentukan sistem jaringan manajemen yang dapat saling

membantu. Koordinasi melibatkan seluruh unsur terkait (stakeholder), baik

jaringan pemerintah, masyarakat maupun dunia usaha.

Selanjutnya pendekatan subyektif (non struktural) adalah pendekatan

yang menempatkan manusia sebagai subyek yang mempunyai keleluasaan untuk

berinisiatif dan berbuat menurut kehendaknya. Pendekatan tersebut berasumsi

bahwa masyarakat lokal dengan pengetahuan, keterampilan dan kesadarannya

dapat meningkatkan peranannya dalam perlindungan sumber daya alam

disekitarnya.

Karena itu, salah satu upaya untuk meningkatkan peran masyarakat lokal

dalam pengelolaan sumberdaya alam dan wilayah pesisir dan laut adalah dengan

meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kesadaran masyarakat untuk

berbuat sesuatu demi melindungi sumberdaya alam. Pengetahuan dan

keterampilan tersebut tidak harus berkaitan langsung dengan upaya-upaya

penanggulangan masalah kerusakan sumberdaya alam tetapi juga hal-hal yang

berkaitan dengan usaha ekonomi, terutama dalam rangka membekali masyarakat

dengan usaha ekonomi alternatif sehingga tidak merusak lingkungan, antara lain

yaitu : (1) Peningkatan pengetahuan dan wawasan lingkungan, (2) Pengembangan

keterampilan masyarakat, (3) Pengembangan kapasitas masyarakat, (4)

Pengembangan kualitas diri, (5) Peningkatan motivasi masyarakat untuk

berperanserta (6) Penggalian & pengembangan nilai tradisional masyarakat.

5.3.7. Hubungan Antar Kepentingan dan Pengetahuan dengan Relasi

Stakeholder Pada analisis sebelumnya telah di gambarkan stakeholder yang memiliki

tingkat kepentingan yang tinggi dan dibuktikan pada analisis yang lain tentang

relasi antara stakeholder memiliki tingkat relasi yang kuat. Tingginya tingkat

kepentingan Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), Bappeda, Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah (DPRD) dan Swasta, serta tingginya relasi stakeholder ini

memunjulkan berbagai permasalahan antara lain semakin lemahnya posisi

masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir.

Permasalahan lain yang juga ditemukan adalah lemahnya relasi antara

Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), Bappeda, Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah (DPRD) dan Swasta dengan masyarakat atau nelayan. Hal ini

menunjukkan bahwa posisi nelayan dalam kebijakan dan pengelolaan sumberdaya

pesisir masih sangat marginal sehingga semangat partisipatif dan pelibatan

masyarakat sebenarnya belum terlaksana.

5.4. Arahan Kebijakan

Uraian analisis diatas menunjukkan bahwa terdapat kegagalan pengelolaan

sumberdaya alam pesisir di Kabupaten Luwu, hal ini disebabkan oleh, Pertama

adanya kegagalan kebijakan (lack of policy) yang merupakan bagian dari

kegagalan perangkat hukum yang tidak dapat menginternalisasi permasalahan

sumberdaya pesisir yang ada. Kegagalan kebijakan (lack of policy) terindikasi

terjadi akibat adanya kesalahan justifikasi para policy maker dalam menentukan

kebijakan dengan ragam pasal-pasal yang berkaitan erat dengan keberlanjutan

sumberdaya alam pesisir dan lingkungannya.

Kedua adanya kegagalan masyarakat (lack of community) sebagai bagian

dari kegagalan pelaku pengelolaan lokal akibat adanya beberapa persoalan

mendasar yang menjadi keterbatasan masyarakat. Kegagalan masyarakat (lack of

community) terjadi akibat kurangnya kemampuan masyarakat untuk dapat

menyelesaikan persoalan lingkungan secara sepihak, disamping kurangnya

kapasitas dan kapabilitas masyarakat untuk memberikan pressure kepada pihak-

pihak yang berkepentingan dan berkewajiban mengelola dan melindungi

lingkungan. Ketidakberdayaan masyarakat tersebut semakin memperburuk

bargaining position masyarakat sebagai pengelola lokal dan pemanfaat

sumberdaya alam pesisir dan lingkungan.

Ketiga adanya kegagalan pemerintah daerah (lack of local government)

sebagai bagian kegagalan pelaku pengelolaan regional yang diakibatkan oleh

kurangnya perhatian pemerintah dalam menanggapi persoalan lingkungan.

Kegagalan pemerintah daerah (lack of local government) terjadi akibat kurangnya

kepedulian pemerintah untuk mencari alternatif pemecahan persoalan lingkungan

yang dihadapi secara menyeluruh dengan melibatkan segenap stakeholder.

Menurut Khartodiharjo dan Jhamtani (2006), bahwa ada lima masalah

pokok yang menghambat perubahan pengelolaan sumberdaya alam menjadi

pengelolaan yang lebih adil dan berkelanjutan yaitu; Pertama nilai-nilai yang

dianut. Perkembangan politik pemerintahan setelah pelaksanaan otonomi daerah

pada tahun 2011, juga tidak mengalami perubahan mendasar dalam pengelolaan

sumberdaya alam. Kompromi-kompromi politik yang dilakukan diberbagai

tingkatan masih berakhir dengan satu akibat yang pasti, yaitu peningkatan

eksploitasi sumberdaya alam.

Kedua, masalah argumen dalam pembaruan kebijakan. Ada dua argumen

penting yang belum digunakan dalam pembaruan kebijakan, (1) Kepastian

mengenai hak penguasaan, pemanfaatan dan penggunaan tanah dan sumberdaya

alam lain, (2) Keberadaan dan peran kelembagaan masyarakat sebagai unsur

penting dalam mempertahankan daya dukung lingkungan. Ketiga, ketika

pemerintah melakukan pembaruan kebijakan, masyarakat luas, terutama yang

langsung terkena dampak dari penerapan kebijakan tersebut, sering tidak

mengetahui karena tidak dilibatkan dalam proses pembaruan itu.

Keempat, Kebijakan seharusnya dilaksanakan oleh birokrasi pemerintah

yang mampu melaksanakannya dan Kelima, bagaimanapun juga kebijakan harus

mendapat dukungan politik, yaitu mendapat kesepakatan atau menang dan

memperoleh suara berdasarkan aturan-aturan perwakilan yang telah ditetapkan.

Namun hal sebaliknya bisa terjadi, kesepakatan yang berjalan berdasarkan aturan

perwakilan sering melahirkan kebijakan yang substansinya justru bertentangan

dengan tujuan-tujuan konservasi maupun keadilan pemanfaatan sumberdaya alam.

Tabel 7 menunjukkan masalah pengelolaan sumberdaya pesisir Kawasan Teluk

Bone Kabupaten Luwu.

Tabel 7. Rumusan Masalah Pengelolan Sumberdaya Pesisir Kawasan Teluk

Bone Kabupaten Luwu Masalah Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu

Objek Masalah Indikator Masalah

Masalah Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu Objek Masalah Indikator Masalah

1. Kapasitas Lembaga dan hubungan atau kolaborasi antar lembaga.

Kekurangan tenaga (SDM) Skill yang terbatas baik kemampuan teknis dan

manajemen. Hubungan kerjasama kelembagaan yang masih lemah

baik antara pusat-daerah maupun sesama lemabaga pemerintah daerah

2. Peran Kelembagaan Lokal

Kelembagaan masyarakat lokal memiliki posisi yang sangat lemah.

Pelibatan kelembagaan lokal tidak dilakukan 3. Hak dan akses terhadap sumberdaya

pesisir

Belum ada definisi batas- batas yang jelas terhadap SDA Pesisir.

Hak dan tanggung jawab masyarakat tidak di atur secara jelas.

Masyarakat masih dalam posisi marjinal.

4. Substansi Peratun Daerah (Perda)

Proses pelibatan masyarakat dalam perumusan sangat minim.

Tidak ada sosialisasi kepada masyarakat. Belum terlaksana di lapangan. Belum terdapat substansi peraturan dan kebijakan yang

mengatur perlindungan dan pengendalian kerusakan lingkungan

5. Persoalan stakeholder

Persepsi kerusakan SDA pesisir sangat tinggi. Partisipasi masyarakat terhadap SDA pesisir tinggi dan

cenderung tidak terkontrol. Terjadi konflik Pemanfaatan SDA pesisir khususnya

lahan tambak dan konflik pemanfaatan lahan dengan pemerintah.

Relasi yang lemah antara stakeholder lain dengan masyarakat menyebabkan masyarakat nelayan tetap marjinal.

Sumber : Hasil Analisis, 2011

Dari permasalahan di atas untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya

alam yang memberikan akses yang lebih luas terkait kebijakan pengelolaan

sumberdaya alam pesisir, terwujudnya pengelolaan sumberdaya alam berbasis

masyarakat yang berkeadilan dan keberlanjutan, adanya perbaikan peraturan

perundangan ditingkat lokal termasuk pembenahan proses-proses administrasi,

pelaksanaan program dalam pengelolaan sumberdaya pesisir di Kawasan Teluk

Bone Kabupaten Luwu maka berikut ini tabel arahan kebijakan pengelolaan

sumberdaya pesisir Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu.

Tabel 8. Rekomendasi Tindakan Terhadap Pengelolaan Sumberdaya Pesisir di

Kabupaten Luwu. Substansi Tingkat Tindakan

Kebijakan Penyempurnaan Peraturan Daerah

Langkah Kolektif Langkah Operasional

Hak dan Akses Masyarakat Lokal Terhadap SDA Pesisir diatur lebih jelas

Peraturan Daerah secara tegas mengatur tentang distribusi dan kepastian hak dan akses terhadap SDA pesisir secara adil

Penyamaan persepsi antar stakeholder dalam pengelolaan SDA Pesisir

Pengawasan terhadap pemanfaatan SDA pesisir

Perda seharusnya memuat secara detail pengaturan kawasan lindung dan pengendalian kerusakan lingkunagn

Peraturan Daerah diterjemahkan secara teknis kedalam Peraturan Bupati

Koordinasi program antar lembaga

Penetapan zona kawasan lindung SDA pesisir

Evaluasi dan Pengawasan kinerja Pengelolaan SDA Pesisir diatur melalui kebijakan

Sosialisasi Peraturan Daerah sebaiknya dilakukan melalui kelembagaan lokal

Perumusan Kawasan lindung SDA Pesisir

Pengendalian kerusakan SDA Pesisir

Kapasitas Lembaga dan Hubungan antar Lembaga sebaiknya segera ditingkatkan

Penguatan Koordinasi antara Eksekutif dan Legislatif daerah dalam penjabaran Peraturan Daerah

Perumusan batas-batas hak dan tanggung jawab stakeholder atas SDA pesisir

Penetapan daya dukung wilayah pesisir

Kebijakan RTRW dan kebijakan pengelolaan SDA pesisir harus sejalan

Keterbukaan informasi terhadap semua stakeholder dalam proses penyempurnaan Peraturan Daerah

Perumusan model komunikasi yang efektif lintas institusi Pemerintah Daerah dalam pengendalian dampak kerusakan lingkungan

Pelaksanaan transparansi, akuntabilitas dan partisipasi seluruh stakeholder pemerintah daerah

Sumber : Hasil Analisis, 2011 Dari arahan kebijakan diatas maka dapat disimpulkan bahwa masa depan

pengelolaan sumberdaya Kawasan Teluk Bone Kabupaten Luwu sangat

dipengaruhi oleh kebijakan daerah dan peraturan daerah, serta peran stakeholder

dalam hal ini pemerintah daerah, masyarakat, swasta dan multipihak. Pengelolaan

sumberdaya pesisir Kabupaten Luwu semestinya benar-benar mengaflikasikan arti

sesungguhnya dari pembangunan dan pengelolaan berbasis masyarakat.

Melibatkan lembaga masyarakat, kelompok nelayan dan kelompok pembudidaya,

dari semua tahapan pengelolaan dari perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan

evaluasi memberikan tempat bagi masyarakat lokal.

Kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir di Kawasan Teluk Bone

Kabupaten Luwu dari hasil analisis isi Peraturan Daerah dan analisis stakeholder

menunjukkan bahwa beberapa masalah pengelolaan sumberdaya pesisir

diantaranya adalah : 1) Kapasitas Lembaga dan hubungan atau kolaborasi antar

lembaga yang masih sangat lemah, 2) Peran kelembagaan lokal yang pelibatan

dan posisinya dalam analisis stakeholder masih sangat lemah, 3) Substansi

Peraturan Daerah yang belum mengatur tentang penetapan kawasan konservasi,

pengendalian kerusakan lingkungan, dan tidak melibatkan unsur masyarakat,

kelembagaan masyarakat, dan swasta dalam perencanaan, perumusan dan

penetapannya menunjukkan bahwa peraturan daerah ini perlu untuk segera

dilakukan pengkajian ulang, dan ke 4) Persoalan Stakeholder yang menunjukkan

persepsi kerusakan yang sangat tinggi, partipasi pemanfaatan yang juga tinggi,

konflik pemanfaatan lahan yang terjadi antara pemerintah dan masyarakat serta

relasi yang lemah antara masyarakat dengan stakeholder lain menunjukkan posisi

nelayan masih terpinggirkan dalam kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir di

Kabupaten Luwu.

Berbagai persoalan yang tergambarkan dari hasil analisis yang dilakukan

dalam penelitian ini melahirkan arahan kebijakan yang mengedepankan pada

penyempurnaan Peraturan Daerah agar secara substantif dapat menjamin

kepastian hak dan akses terhadap sumberdaya pesisir bagi masyarakat, secara

teknis mampu diturunkan dalam kebijakan atau peraturan Bupati, hasil dari

penyempurnaan peraturan daerah sebaiknya disertai dengan sosialisasi melalui

lembaga masyarakat, penguatan koordinasi antara eksekutif, legislatif,

masyarakat, lembaga swadaya masyarakat dan swasta dalam penyempurnaan

Peraturan Daerah. Langkah kolektif yang dapat dilakukan dalam pengelolaan

sumberdaya pesisir di Kabupaten Luwu di masa yang akan datang adalah

penyamaan persepsi antar stakeholder dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir,

perumusan batas-batas hak dan tanggungjawab seluruh stakeholder terhadap

sumberdaya pesisir, perumusan kawasan lindung sumberdaya pesisir, dan

koordinasi program antar lembaga yang terkait langsung pengelolaan sumberdaya

pesisir.

Untuk mewujudkan pengelolaan sumberdaya pesisir yang secara langsung

dapat dirasakan oleh masyarakat atau nelayan maka arahan kebijakan

merumuskan langkah operasional antara lain: 1) Pemerintah bersama-sama

seluruh stakeholder melakukan pengawasan terhadap pemanfaatan sumberdaya

pesisir, menetapkan zona kawasan lindung, 2) Penetapan daya dukung wilayah

pesisir saat ini yang selanjutnya di sosialisasikan kepada masyarakat, 3)

Melakukan upaya pengendalian terhadap kerusakan lingkungan dan 4) Pemerintah

melakukan pelaksanaan transparansi, akuntabilitas dan meningkatkan partisipasi

seluruh stakeholder pemerintah daerah.

BAB VI