DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

191

Transcript of DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

Page 1: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI
Page 2: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

DESAIN SISTEM

PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem

Pemerintahan, Partai Politik dan Pemilu

i

Page 3: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

SEBAGIAN KEUNTUNGAN PENJUALAN AKAN DIDONASIKAN UNTUK MENDUKUNG

KEGIATAN SOSIAL DI INDONESIA

www.intranspublishing.com

i i

Page 4: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

DR. AGUS RIWANTO

DESAIN SISTEM

PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem

Pemerintahan, Partai Politik dan Pemilu

Setara Press Malang 2018

iii

Page 5: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem Pemerintahan, Partai Politik dan Pemilu

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

Copyright © September, 2018 Pertama kali diterbitkan di Indonesia dalam Bahasa Indonesia olehSetara Press. Hak Cipta

dilindungi oleh undang-undang. Dilarang mengutip atau memperbanyak baik sebagian ataupun

keseluruhan isi buku dengan cara apapun tanpa izin tertulis dari penerbit.

Ukuran: 15,5cm X 23cm; Hal: xx + 170

Penulis: DR. AGUS RIWANTO

ISBN: 978-602-6344-40-3

Cover: Dino Sanggrha Irnanda Lay Out: Kamilia Sukmawati

Penerbit: Setara Press Kelompok Intrans Publishing WismaKalimetro Jl. Joyosuko Metro 42 Malang, Jatim Telp. 0341-573650 Fax. 0341-588010 Email Pernaskahan: [email protected] Email Pemasaran: [email protected] Website: www.intranspublishing.com

Anggota IKAPI

Distributor: Cita Intrans Selaras

i v

Page 6: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

Pengantar Penulis ...

Segala Puji bagi Allah SWT, karena hanya atas limpahan

rahmah dan kasih-Nya yang tak terhingga buku sederhana berjudul,

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi, Konsep Pencegahan

Korupsi Politik dalam Sistem Pemerintahan, Partai Politik dan Pemilu

ini, dapat selesai dan hadir dihadapan pembaca yang budiman.

Buku sederhana ini dimaksudkan untuk memberikan sumbangan

pemikiran kritis secara teoritik dan sajian data empirik tentang

korupsi politik yang masih menjadi ancaman utama dalam praktik

penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia. Fenomena maraknya

korupsi politik yang dilakukan politisi ini jauh lebih berbahaya dari

korupsi biasa, karena korupsi model ini memanfaatkan kekuasaan

yang dimilikinya untuk tujuan memperkaya diri dan tentu saja

dilakukan dengan jejaring yang sempurna dan penuh intrik politik.

Karena itu, korupsi politik merupakan kejahatan yang dapat dikate-

gorikan sebagai “pelanggaran hak asasi manusia (HAM)”, karena

v

Page 7: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

dapat berdampak pada politik, berupa ketidakadilan politik dan

hilangnya pendidikan politik; tumpulnya wibawa kedaulatannya,

serta tragikomis atau membuat lingkaran setan, rakyat kehilangan

tempat mengadu sehingga menimbulkan krisis keadilan.

Korupsi politik yang dilakukan partai politik ini memperjelas tesis,

bahwa demokrasi yang kita anyam selama ini telah gagal karena

disandera para koruptor dari partai politik. Sebab demokrasi terwujud

dalam bentuk pemilu, aktor utama pemilu adalah partai politik. Jika

aktor utamanya korup dipastikan pemilu dan demokrasinya juga

terkontaminasi perilaku korup. Dengan demikian, maka di-pastikan

pemerintahan yang terwujud dari hasil pemilu juga meru-pakan

pemerintahan yang tak bersih. Bila negeri kita ingin segera keluar

dari kubangan penyakit korupsi sistemik, maka membebaskan dan

menyelamatkan partai politik, sistem pemilu dan pemerintahan dari

perilaku korupsi adalah jalan utama yang mesti ditempuh.

Di sinilah relevansi perlunya ikhtiar bersama untuk menye-

lamatkan parpol dari korupsi agar parpol dapat menjadi agen penting

demokrasi terutama dalam menjalankan fungsi-fungsi vitalnya bagi

pelembagaan demokrasi dan penguatan kapasitas keterlibatan

parpol dalam ikut serta mengontrol jalanya pemerintah yang

antikorupsi. Itulah pula sebabnya mengapa jika hendak memperbaiki

kualitas penyelenggaraan pemerintahan yang antikorupsi, tak ada

jalan lain kecuali mengubah watak sistem kepartaian dan sistem

pemilu menjadi sebuah desain arsitektur yang tepat sesuai dengan

budaya bangsa Indonesia. Instrumen yang tersedia untuk menatanya

adalah melalui perubahan pengaturannya secara sistematis dan

cermat dari perspektif hukum tata negara. Dalam perspektif arsitektur

ketatanegaraan, secara teoritik, sistem pemerintahan yang dianut di

suatu negara sesungguhnya adalah merupakan hasil dari

kesepakatan para aktor politik yang telah terpilih melalui pemilu yang

duduk di parlemen sebagai wakil rakyat, sekaligus wakil dari parpol

pengusungnya.

Buku ini terdiri dari 10 bab yaitu, Bab 1 menguraikan tentang

desain arsitektur sistem antikorupsi di pemerintahan, partai politik,

dan pemilu. Bab 2 menguraikan tentang partai politik, pemilu,

pemerintahan, dan korupsi politik. Maksud dari bab ini adalah untuk

mendalami tentang desain arsitektur ketatanegaraan diperlukan

v i

Page 8: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

pemahaman yang cukup mengenai korelasi antara tiga pilar pentingnya,

yaitu partai politik, sistem pemilu, dan sistem peme-rintahan. Ketiganya

merupakan satu kesatuan sistemik yang tak boleh dipisahkan karena partai

politik merupakan aktor utama demokrasi perwakilan yang merupakan

peserta pemilu. Hasil pemilu kelak menentukan konstelasi politik di lembaga

perwakilan (parlemen) dan sistem pemerintahan merupakan kesepakatan

elite partai politik yang ada di parlemen. Itulah sebabnya ketiganya

merupakan organ penting dalam desain besar ketatanegaraan. Ketika

hendak mencita-citakan pemerintahan yang bersih atau antikorupsi, maka

tak akan berhasil jika hanya mereformasi aparatur pemerin-tahan,

melainkan juga harus mereformasi institusi partai politik dan sistem

pemilunya. Formasi ketatanegaraan sangat ditentukan oleh ketiga pilar ini.

Bab 3 menguraikan tentang hak kebebasan berpolitik dan jaminan

konstitusi. Tujuan dari bab ini adalah hendak meng-aktualisasi secara

teoritik hak asasi warga negara dalam kehidupan sosial dan politik di setiap

negara menjadi keniscayaan, karena salah satu aspek pengukuran praktik

HAM ditentukan oleh tinggi-rendah aktualisasinya dalam kebebasan

berorganisasi (association). Kian tinggi kebebasan warga negara dalam

berorganisasi maka kian tinggi pula praktik penghormatan dan perlindungan

HAM oleh negara pada warga negaranya, sebaliknya, kian rendah

kebebasan ber-organisasi, maka sudah barang pasti kian rendah pula

praktik HAM di suatu negara.Itulah sebabnya partai politik lahir sebagai

instrumen penting bagi warga negara untuk berorganisasi. Bahkan ciri

utama negara demokrasi adalah adanya kebebasan warga negara dalam

berorganisasi sebagai pengejawantahan berkembangnya hak sipil dan

politik.Bab 4 menguraikan tentang pendanaan partai politik dan faktor

korupsi politik. Mencita-citakan pemerintahan yang bebas korupsi tidak bisa

melupakan aspek penyokong pemerintah yang paling utama, yakni partai

politik untuk melakukan reformasi menjadi institusi yang bersih pula. Salah

satu problem mendasar dari perilaku korupsi politik di partai politik marak

terjadi karena tak jelasnya model pengaturan tentang pendanaan partai

politik baik dalam menjalankan roda organisasi internal partai politik maupun

pendanaan pembiayaan saat pemilu berlangsung.Itulah sebabnya,

pendanaan partai politik harus diatur secara cermat dalam halsumber

pendapatannya, model

vii

Page 9: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

akuntabilitas pengelolaannya, hingga penggunaannya untuk

kepentingan konstituen dan politik lainnya. Hanya dengan mengatur

secara cermat, rigid, dan sistematiklah partai politik akan dapat

menjadi organisasi yang bersih dan kelak dapat melakukan fungsi

kontrol jalannya pemerintahan dan juga menyiapkan visi-misi besar

dan program kerja yang konkrit untuk mewujudkan cita-cita

kesejahteraan rakyat sebagai tujuan akhir demokrasi perwakilan.Bab

5 menguraikan tentang desain arsitektur sistem pemerintahan

presidensial antikorupsi. Pengaturansistempemilu tahun 2009 dan

pemilu tahun 2014 lalu telah menonfirmasi bahwa sistem peme-

rintahan presidensial murni yang dianut di Indonesia pasca-

amandemen UUD 1945 tak tepat (compatible) dengan pilihan model

sistem kepartaian yang kita anut. Berikut ini akan lebih diperjelas lagi

dengan sejumlah argumentasi dari perspektif hukum ketata-

negaraan problematika yang akan dilahirkan akibat dari pilihan model

sistem kepartaian tersebut yang berujung pada desain arsitektur

sistem pemerintahan presidensial yang tak efektif dan berpotensi

menyokong kuatnya korupsi politik di kalangan elite politik. Bab 6

menguraikan tentang desain arsitektur penyelamatanpartai politik

dan perilaku korupsi politik. Menyelamatkan partai politik dari perilaku

korupsi menjadi keniscayaan yang tak boleh ditawar lagi karena jika

dibiarkan maka semakna dengan kita membiarkan negara ini berada

dalam penyakit kronis akut yang membahayakan. Itulah sebabnya,

setelah ditemukan faktor penyebab partai politik melakukan korupsi,

maka diperlukan ikhtiar menemukan jalan kreatif menye-lamatkan

partai politik dari perilaku korupsi politik melalui aneka reformasi

pengaturan pendanaan partai politik, mulai dari perlunya alternatif

pembiayaan organisasi partai dari dana APBN, akuntabilitas

pendanaannya, memurahkan biaya pemilu, perlunya pengaturan

larangan dinasti politik hingga pengaturan tentang pembiayaan

pilkada dari APBN, bukan APBD.Bab 7 menguraian tentang desain

pelembagaan partai politik antikorupsi. Cita-cita untuk melahirkan

pemerintahan antikorupsi dalam perspektif hukum tata negara tak

dapat dilepaskan dari kemauan untuk melakukan reformasi terhadap

partai politik dan sistem kepartaian. Salah satu agenda penting yang

harus dilakukan adalah melakukan upaya sistemik pembaruan model

pelembagaan partai politik, yakni agar terjadi proses pemantapan

viii

Page 10: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

perilaku partai politik baik dalam wujud perilaku yang memola maupun

dalam sikap atau budaya(the process by wich the party becomes

established in terms of both of integrated patterns of behavior and attitude or

culture).Bab 8menguraikan tentang desain arsitektur rekrutmen kader partai

politik di parlemen dan di eksekutif. Reformasi untuk mem-perbaiki model

rekruitmen kader partai politik untuk menduduki jabatan politik di parlemen

(DPR dan DPRD) dan di eksekutif (presiden dan kepala daerah) menjadi

keniscayaan yang tak dapat ditawar lagi guna menyokong hadirnya

pemerintahan yang antikorupsi. Berikut ini akan dikemukan sejumlah desain

arsitektur tentang bagaimana sebaiknya model rekrutmen kader partai politik

yang akan menempati posisi jabatan strategis dalam institusi kenegaraan,

yakni di parlemen dan di eksekutif yang demokratis, bersih dan akuntabel.

Bab 9 menguraikan tentang desain arsitektur reformasi sistem pemilu

antikorupsi. Diperlukan desain arsitektur untuk mereformasi sistem pemilu

agar jauh dari perilaku korupsi politik, dimulai dari realitas bahwa pemilu

dengan suara terbanyak telah menjadi biang korupsi politik dan pemikiran

alternatif mereformasinya menjadi kembali ke sistem nomor urut, mencoba

alternatif sistem pemilu campuran, dan gagasan pemikiran tentang desain

arsitektur ketatanegaraan masa depan. Berikut ini akan diuraikan secara

lebih luas. Bab 10 meng-uraikan tentang desain arsitektur reformasi

ketatanegaraan masa depan. Mencita-citakan sistem pemilu berintegritas

alias antikorupsi tak dapat dilepaskan dari pertaliannya dengan

penyelenggara pemilu, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang

berintegritas pula. Karena itu penting dilakukan reformasi desain arsitektur

untuk menyeleksi KPU yang demokratis, akuntabel, dan antikorupsi.

Gagasan ini diperlukan karena KPU adalah lembaga urgen

yang akan melaksanakan pemilu. Itulah sebabnya KPU perlu

diperkuat dalam hal memahami dan menerjemahkan aneka

produk UU Pemilu dalam peraturan teknis yang mudah dieksekusi

dan ditaati oleh semua pemangku kepentingan pemilu.Berikutnya

agar penyelenggara pemilu dapat menggaransi penyelenggaraan

pemilu yang bebas, adil, dan demokratis.

Selesainya buku ini dihadapan pembaca tidak lepas dari bantuan

banyak pihak yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, terutama

kepada bapak dan ibu saya, istri, dan anak serta guru-guru saya sejak

i x

Page 11: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

dari SD hingga program doktor yang telah menorehkan semangat

pada saya untuk terus menjadi manusia yang bermanfaat dan

berguna bagi orang lain. Semoga buku ini dapat memberikan

sumbangan pikiran kendati hanya sebatas biji zarah bagi upaya

sistemik untuk terus berikhtiar memerangi korupsi dan bersama-

sama bergandengan tangan untuk tetap optimis menyongsong

masa depan Indonesia yang kian terus lebih baik.

Buku ini tidaklah sempurna, di sana-sini masih terdapat

gagasan, pikiran yang dangkal, dan penulisannya yang belum

ideal.Karena itu, saya sangat terbuka atas saran, masukan, dan

kritik dari sidang pembaca yang budiman. Semoga Allah Swt

selalu melimpahkan rahmat dan kasihnya kepada kita semua.

Demikian, terimakasih.

Banyuanyar, Solo, Medio Maret 2017

Ttd

Dr. Agus Riwanto

x

Page 12: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

Pengantar Ahli ...

Assalamualaikum w.w.,

Pertama tama saya ucapkan selamat pada Dr. Agus Riwanto

ditengah tengah kegiatan sebagai dosen di Fakultas Hukum Univer-

sitas Sebelas Maret Surakarta, yang setiap hari disibukkan dengan

banyak kegiatan Tri Darma Perguruan Tinggi, telah selesai me-

nyelesaikan penyusunan sebuah buku yang dikemas dengan judul

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi, Konsep Pencegahan

Korupsi Politik dalam Sistem Pemerintahan, Partai Politik dan Pemilu.

Buku yang terdiri dari Sepuluh bab ini disamping merupakan

potret penyelenggaraan hukum di Indonesia secara umum,

namun juga memberikan gambaran secara khusus mengenai

eksistensi Hukum Tata Negara Indonesia yang terselenggara

pasca reformasi tahun 1998 yang mengusung sebuah semboyan

antikorupsi, kolusi, dan nepotisme. Reformasi tahun 1998 tersebut

nampaknya juga merupakan momentum “lahir kembalinya”

Hukum Tata Negara dalam kancah nasional setelah keberadaan

Hukum Pidana dan Hukum Perdata di Indonesia.

x i

Page 13: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

Buku ini juga menandai betapa luas cakupan yang merupakan

bunga rampai Arsitektur Hukum Tata Negara antikorupsi karya

saudara Dr. Agus Riwanto, yang juga dikenal sebagai penulis yang

produktif diberbagai media cetak baik lokal maupun nasional.

Semoga buku ini bermanfaat bagi pembangunan hukum pada

umumnya, serta Hukum Tata Negara khususnya dalam mewujudkan

suatu tatanan negara yang ingin membebaskan diri dari

cengkeraman penyakit bangsa yang sudah berurat-berakar ini.

Wassalamualaikum w.w.,

Jakarta, 17 Mei 2017

Prof. Dr. Jamal Wiwoho. S.H., M.Hum.

Inspektur Jenderal Kementrian Riset Teknologi dan

Pendidikan Tinggi Republik Indonesia

xii

Page 14: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

Pengantar Penerbit ...

Isu korupsi telah menjadi perhatian nasional, karena

kekayaan negara yang dihimpun dari sumber daya alam dan dana

pajak rakyat dalam bentuk APBN dan APBD digerogoti oleh

koruptor. Koruptor adalah para penguasa yang memanfaatkan

jabatan yang mereka miliki. Dengan sistem yang teratur,

penguasa di negara ini dilahirkan oleh partai politik, yang menjadi

bukti bahwa negeri ini mengenyam sistem demokrasi. Hal ini

menjadi bukti bahwa partai politik turut memiliki peran dalam

adanya tindak korupsi, sehingga menyelamatkan partai politik dari

perilaku korupsi menjadi keniscayaan yang tak boleh ditawar lagi.

Buku “Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi, Konsep

Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem Pemerintahan, Partai Politik dan

Pemilu.” ini memberikan pemikiran kritis secara teoritik dan sajian data

empirik tentang korupsi politik yang masih menjadi ancaman utama dalam

praktik penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.

xiii

Page 15: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

Buku ini terdiri dari 10 bab.Bab 1 menguraikan tentang desain arsitektur

sistem antikorupsi di pemerintahan, partai politik dan pemilu. Bab 2

menguraikan tentang partai politik, pemilu, peme-rintahan, dan korupsi

politik. Bab 3 menguraikan tentang hak kebebasan berpolitik dan jaminan

konstitusi. Tujuan dari bab ini adalah hendak mengaktualisasi secara teoritik

hak asasi warga negara dalam kehidupan sosial dan politik di setiap negara

menjadi ke-niscayaan, karena salah satu aspek pengukuran praktik HAM

ditentukan oleh tinggi-rendah aktualisasinya dalam kebebasan berorganisasi

(association). Kian tinggi kebebasan warga negara dalam berorganisasi

maka kian tinggi pula praktik penghormatan dan perlindungan HAM oleh

negara pada warga negaranya.Sebaliknya kian rendah kebebasan

berorganisasi, maka sudah pasti kian rendah pula praktik HAM di suatu

negara.Itulah sebabnya, partai politik lahir sebagai instrumen penting bagi

warga negara untuk ber-organisasi. Bahkan ciri utama negara demokrasi

adalah adanya kebebasan wargan negara dalam berorganisasi sebagai

pegejawan-tahan berkembangnya hak sipil dan politik. Bab 4 menguraikan

tentang pendanaan partai politik dan faktor korupsi politik. Bab 5

menguraikan tentang desain arsitektur sistem pemerintahan presidensial

antikorupsi. Bab 6 menguraikan tentang desain arsitektur menyelamatkan

partai politik dan perilaku korupsi politik. Bab 7 menguraian tentang desain

pelembagaan partai politik antikorupsi. Bab 8 menguraikan tentang desain

arsitektur rekrutmen kader partai politik di parlemen dan di eksekutif. Bab 9

menguraikan tentang desain arsitektur reformasi sistem pemilu antikorupsi.

Bab 10 menguraikan tentang desain arsitektur reformasi ketatanegaraan

masa depan.

Akhirnya atas terbitnya buku ini, selaku pihak yang menerbitkan,

Intrans Publishing Group menyampaikan apresiasi setinggi-tingginya

kepada penulis karena telah memberikan kepercayaan kepada kami

dalam penerbitan dan publikasi karya yang sangat berharga ini. Buku

ini diperuntukkan bagi mahasiswa yang sedang menempuh studi

ilmu hukum baik S1, S2, hingga S3. Juga, para peneliti, dosen,

pemangku kebijakan, serta masyarakat umum yang ingin memahami

konsep hukum hak cipta.

Selamat membaca!

xiv

Page 16: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

Daftar Isi ...

Pengantar Penulis ... v Pengantar Ahli ... xi Pengantar Penerbit ... xiii Daftar Isi ... xv Daftar Tabel ... xix Daftar Gambar ... xix

Bab Pertama: Urgensi Desain Arsitektur Sistem Antikorupsi

di Pemerintahan, Partai Politik dan Pemilu ... 1

Bab Kedua: Partai Politik, Pemilu, Pemerintahan dan Korupsi

Politik ... 9 A. Memahami Partai Politik dan Sistem Kepartaian ... 10 B. Memahami Sistem Pemilu ... 11 C. Memahami Sistem Pemerintahan ... 12 D. Memahami Pemerintahan Antikorupsi ... 16 E. Memahami Korupsi Politik ... 21

Bab Ketiga: Hak Kebebasan Berpolitik dan Jaminan Konstitusi ... 23

A. Korelasi HAM dan Partai Politik ... 23 B. Hak Berserikat dan Berpolitik Menurut UUD 1945 ... 25

x v

Page 17: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

Bab Keempat: Pendanaan Parpol dan Faktor Korupsi Politik ... 29

A. Partai Politik dan Pendanaanya ... 30

B. Kelemahan Pengaturan Pendanaan Partai Politik ... 31

C. Faktor-faktor Korupsi Partai Politik ... 34

1. Partai Politik, Agen Penting Tanpa Kualitas ... 34

2. Pembiayaan Partai Politik Mahal ... 36

3. Pilihan Model Pemilu Tak Tepat ... 37

D. Pilihan Sistem Multi Partai Ekstrim ... 38

1. Multipartai Politik Ekstrim Pemilu 2009 ... 38

2. Multipartai Politik Ekstrim Pemilu 2014 ... 46

Bab Kelima: Desain Arsitektur Sistem Pemerintahan

Presidensial Antikorupsi ... 54

A. Perlunya Dua Partai Politik ... 54

B. Perlunya Pelembagaan Partai Politik ... 60

C. Perlunya Sistem Pemilu Mayoritas (Distrik) ... 64

Bab Keenam: Desain Arsitektur Menyelamatkan Partai Politik

dari Perilaku Korupsi Politik ... 70

A. Perlunya Reformasi Pendanaan Partai Politik ... 70

1. Perlunya Akuntabilitas Pendanaan Partai Politik ... 71

B. Perlunya Memperketat Syarat Parpol Peserta Pemilu ... 73

C. Perlunya Memurahkan Biaya Pemilu ... 73

D. Perlunya Pengaturan Lararangan Politik Dinasti ... 74

E. Perlunya Pendanaan Pilkada dari APBN ... 82

Bab Ketujuh: Desain Arsitektur Pelembagaan Partai Politik

Antikorupsi ... 87

A. Konsep Pelembagaan Partai Politik ... 87

B. Model Pelembagaan Partai Politik ... 88

C. Penguatan Pelembagaan Partai Politik ... 90

D. Pelembagaan Partai Politik di Akar Rumput ... 91

xvi

Page 18: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

E. Pelembagaan Partai Politik di Pemerintah ... 93 F. Pelembagaan Partai Politik di Internal ... 95

Bab Kedelapan: Desain Arsitektur Rekrutmen Kader Partai

Politik di Parlemen dan di Eksekutif Antikorupsi ... 98 A. Tujuan Mendemokratiskan Rekrutmen ... 98 B. Penerapan Prinsip Demokrasi Penentuan Calon ... 102 C. Mendemokratiskan Kepengurusan Partai Politik ... 104 D. Mendemokratisasikan Penentuan Capres/Cawapres ... 105 E. Mendemokratiskan Penentuan Caleg DPR dan DPRD ... 108 F. Mendemokratiskan Penentuan Calon Kepala Daerah ... 110 G. Reformasi Pendanaan Seleksi Calon ... 112 H. Mendemokratiskan Waktu, Visi, Misi dan Shadow Cabinet ... 113 I. Perlunya Pengaturan Seleksi Demokratis ... 114

Bab Kesembilan: Desain Arsitektur Reformasi Sistem Pemilu

Antikorupsi ... 117 A. Pemilu Suara Terbanyak Biang Korupsi Politik ... 117 B. Arsitektur Reformasi Pemilu Antikorupsi ... 123

1. Sistem Nomor Urut ... 123

2. Sistem Pemilu Campuran ... 124 C. Desain Arsitektur Reformasi Ketatanegaraan Masa Depan ... 125

Bab Kesepuluh: Desain Arsitektur Reformasi Seleksi

Penyelenggara Pemilu Antikorupsi ... 129 A. Eksistensi KPU Menurut UUD 1945 ... 131 B. Kriteria Penyelenggara Pemilu Internasional ... 133 C. Evaluasi Seleksi KPU Tahun 2001, 2007 dan 2012 ... 138 D. Model Seleksi KPU, KPU Prop dan KPU Kab/Kota di Hulu ... 142

1. Model Pembuatan Tim Seleksi ... 143

2. Syarat Aggota Tim Seleksi ... 144

3. Mekanisme Kerja Tim Seleksi ... 144

4. Luaran Hasil Kinerja Seleksi di Hulu ... 145

xvii

Page 19: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

E. Model Seleksi KPU, KPU Prop dan KPU Kab/Kota di Hilir ... 146

1. Model Seleksi KPU RI di DPR RI ... 146

2. Model Seleksi KPU Provinsi dari Hulu ... 147

3. Model Seleksi KPU Kabupaten/Kota di Hulu ... 148

4. Luaran Hasil Kinerja Seleksi KPU Prop dan KPU Kab/Kota

di Hilir ... 149

F. Model Seleksi KPU, KPU Prop dan KPU Kab/Kota Berkala ... 150

G. Masa Kerja KPU RI, KPU Prop, KPU Kab/Kota Pemilu Serentak ... 150

Daftar Pustaka ... 152

Tentang Penulis ... 169

xviii

Page 20: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

Daftar Gambar ...

Gambar 1. Identiats Parpol Peserta Pemilu 2014 ... 52

Daftar Tabel ...

Tabel 1. Pandangan Partai Politik Soal RUU Pemilu ... 48 Tabel 2. Perbedaan Praktek Sistem Kepartaian, Pemilu,

Pemerintah, dan Implikasinya di Dunia ... 69 Tabel 3. Model Ideal Pelembagaan Partai Politik dan Sistem

Kepartaian ... 96 Tabel 4. Pemilu Inkonstitusionalitas ... 119 Tabel 5. Implikasi Negatif Pemilu Suara Terbanyak ... 122 Tabel 6. Desain Arsitektur Ketatanegaraan Indonesia Masa

Depan ... 128

xix

Page 21: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

x x

Page 22: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

1

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

Belakangan ini, isu korupsi menjadi perhatian nasional, karenakekayaan negara yang dihimpun dari sumber daya alam dan danapajak rakyat dalam bentuk APBN dan APBD digerogoti oleh koruptor.Korupsi tidak lagi di pusat kekuasaan, akan tetapi telah merambahke daerah. Institusi Partai Politik (Parpol) tengah menjadi perhatianpublik di Indonesia, karena perilaku korupsi yang dilakukan olehelite Parpol yang tengah memegang jabatan dalam struktur Parpol(pusat, provinsi, kabupaten, dan kota), di parlemen (DPR RI danDPRD Propinsi, Kabupaten/Kota), maupun di level pemerintah yangberkuasa (menteri/gubernur/bupati/walikota). Menjadi kian jelas,bahwa partai politik adalah agen korupsi sistemik di negeri ini,bahkan “biangnya korupsi”.

Dalam sidang pengadilan tindak pidana korupsi (Tipikor)terhadap sejumlah elit politik yang melakukan korupsi terungkapsejumlah fakta bahwa korupsi tidak dilakukan sendiri melainkanmelibatkan struktur partai politik, Anggota DPR, pengusaha danbirokrasi. Artinya, model korupsi politik ini amatlah sistemik danmelibatkan jejaring mafia yang kuat.

... Bab Pertama ...

Urgensi Desain Arsitektur SistemAntikorupsi di Pemerintahan,

Partai Politik dan Pemilu

Page 23: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

2

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

Modus operasi korupsi politik di parlemen persis seperti disinyaliroleh sejumlah LSM Antikorupsi (ICW, IBC, PSHK, dan Yappika, 2011).Ditemukan fakta, terdapat 5 celah potensi korupsi yang dilakukanelit Parpol terutama di DPR. Pertama, berkaitan dengan kewenanganDPR dalam menyusun dan menetapkan APBN. Badan Anggaran DPRyang merupakan alat kelengkapan DPR memiliki kewenangan luarbiasa dalam menentukan jatah kue APBN untuk kementerian danlembaga negara. Termasuk penerimaan hibah atau pajak negara.Bahkan, Banggar dapat menentukan perusahaan-perusahaan manayang akan melaksanakan sejumlah proyek di kementerian. Kondisitersebut rentan akan praktik penyimpangan. Banggar powerfull dalammenentukan besar kecilnya anggaran, masuknya program-programbaru, kalau ada perubahan anggaran sering kali modusnya mark up.Kedua, proses penyusunan anggaran yang tidak transparan dancenderung tertutup mulai dari perencanaan hingga tahap penetapan.Rapat-rapat Banggar terkait anggaran sering kali tidak tertib; adayang dibahas di DPR, ada juga yang di luar forum di Senayan. Tentuspiritnya menjauhkan pemantauan publik. Ketiga, munculnya posalokasi dana di luar Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentangKeuangan Negara. Dalam undang-undang itu sebenarnya hanyadikenal Dana Perimbangan. Namun, beberapa waktu lalu Banggarmemunculkan alokasi dana di luar ketentuan resmi bernama DanaPenyesuaian dan Percepatan Pembangunan. Ini berawal dari celahantara pendapatan dan belanja negara. Sehingga selisihnya seringdimanfaatkan mafia anggaran untuk dialokasikan dengan alasanuntuk daerah. Padahal tidak ada di undang-undang. Keempat, tidakadanya rapat dengar pendapat umum yang melibatkan masyarakatdalam pembahasan rancangan undang-undang APBN. Padahalumumnya pengesahan suatu RUU harus melalui RDPU denganmasyarakat. Ini berdampak pada pembahasan yang cenderung elitis,kental nuansa politik, dan tertutup. Kelima, korupsi di bidang legislasidilakukan dengan mengorupsi pasal-pasal tertentu melalui transaksijual-beli pasal untuk memenangkan kelompok ekonomi-politikdominan. Tak aneh jika Hasil Survei Global Corruption Barometer (GCB)yang dilakukan di 16 Negara Asia Pasifik pada Juli 2015-Januari 2017kepada 22.000 responden (untuk Indonesia survei berlangsung pada26 April-27 Juni 2016 dengan 1.000 responden di 31 Provinsi), cukup

Page 24: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

3

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

mencegangkan. DPR dianggap sebagai institusi yang paling korup.1Hasil survei di atas terus konsisten dengan sejumlah lembaga surveiyang selalu menempatkan Parpol sebagai institusi korup. TransparancyInternational yang berbasis di Berlin, Jerman, misalnya, merilis GlobalCorruption Barometer tahun 2013 yang menempatkan Indonesia sebagaisalah satu dari 107 negara yang disurvei. Hasilnya lima lembaga publikdikategorikan sebagai lembaga terkorup, yaitu kepolisian (4, 5),parlemen (4, 5), pengadilan (4, 4), partai politik (4, 3) dan pegawainegeri sipil (4,0).2

Itulah sebabnya kepercayaan publik pada Parpol sangat rendahakhir-akhir ini. Lihatlah, misalnya, hasil survei Political Communica-tion Institute (Polcomm Institute) yang dirilis pada 9 Februari 2014,mayoritas publik tidak memercayai partai politik (Parpol). Persentasipublik yang tidak percaya Parpol yakni sebesar 58,2 persen. Kemudianyang menyatakan percaya sebanyak 26,3 persen, dan 15,5 persenmenyatakan tidak tahu. Tingkat kepercayaan publik ini dipengaruhioleh krisis yang dialami sejumlah partai politik.

Terdapat tiga faktor utama yang menyebabkan krisis keper-cayaan masyarakat terhadap Parpol. Pertama, banyaknya kaderParpol yang terjerat kasus korupsi. Kedua, konflik internal partai yangmuncul di publik. Ketiga, adanya pelanggaran etika yang dilakukankader Parpol.3

Sedangkan hasil survei Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI, padaOktober 2012, menyatakan bahwa 70 persen publik Indonesiasangat mempercayai demokrasi sebagai sistem politik yang tepat bagiIndonesia dibandingkan dengan sistem yang lain. Namun hanya 23persen publik Indonesia yang percaya pada Parpol, karena Parpolberperilaku paradoks: koruptif dan tak mampu mengartikulasikankepentingan konstituennya.4

Beberapa hasil survei itu hanyalah contoh dari survei-surveitentang perilaku Parpol setiap tahunnya tak lebih baik, bahkancenderung menurun. Karena itu, cerita tentang buruknya perilaku

1 IAN/APA/AGE/MDN/DIM/RWN, 2017, “DPR Jadi Lembaga Terkorup”, Kompas,hal, 1.

2 Reza Syawawi, 2013, “Barometer Korupsi Indonesia”,Kompas, 24 Juli 2013, hal, 7.3 Survei: Mayoritas Publik Tak Percaya Partai Politik, Kompas, Minggu, 9 Februari 2014.4 Firman Noor, “Demokrasi Yes, Parpol No”, Koran Sindo, 12 Oktober 2012, hal, 7.

Page 25: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

4

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

Parpol melalui hasil survei itu, sungguh menampar eksistensi Parpoldi mata publik. Karena tampaknya publik menghendaki demokrasi,namun antipati pada Parpol atau demokrasi yes, Parpol no. padahalmenjalankan demokrasi tanpa Parpol adalah sesuatu yang mustahilsebagaimana dinyatakan oleh Intelektual politik Amerika SerikatClinton Rossister, “No democracy without politics and no politicswithout parties”.5

Jika direfleksikan secara mendalam, sebab utama partai politikmenjadi biang korupsi politik di negeri ini, paling tidak karena duahal. Pertama, untuk mengembalikan modal saat kampanye dalamPemilu 2009 dan persiapan menuju Pemilu 2014. Perubahan sistemPemilu 2009 dan 2014 mendatang, menggunakan model mekanismepenentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Kampanyedalam sistem Pemilu ini tidak pernah melibatkan partai politik, karenaitu berbiaya mahal dan boros. Para caleg lebih mengutamakanpencitraan diri lewat iklan di media massa, melalui spanduk, bener,poster aneka bentuk media komunikasi lainnya, seperti TV danradio. Bahkan Pemilu tahun 2009 dan 2014 lalu menarik dicermatikarena di tahun inilah era kebangkitan munculnya aneka konsultanpolitik dan lembaga survei sebagai bagian yang tak terelakkan dalamkampanye.6 Kedua, tak jelasnya model pembiayaan organisasi partaipolitik untuk survavilitas partai. Sisi investasi finansial untukmemenuhi kebutuhan partai tak terbatas. Pada saat bersamaan,partai adalah institusi yang didesain tidak dengan motif mencari laba.Partai adalah institusi nirlaba, tetapi melibatkan investasi takterhingga. Sementara mengandalkan subsidi negara melalui bantuanAPBN untuk partai politik tak mencukupi dan iuran anggota partaitak memadai. Maka tak ada cara lain selain harus memanfaatkankader-kader partai politik di DPR untuk menjadi agen partai dalammengisi kekosongan kas keuangan partai, begitu pula kader-kaderpartai yang menduduki jabatan menteri, staf ahli menteri, dan utusankhusus menteri yang sebisa mungkin dapat menggelontorkan pundi-pundi uang ke kas partai, tentu saja dengan memanfaatkan jabatanyang dimilikinya.

5 Clinton Rossiter, 1960, Parties and Politics in America, Cornell University Press,Ithaca, N.Y, hal, 1.

6 Lihat, Pramono Anung Wibowo, 2013, Mahalnya Demokrasi, Memudarnya IdeologiPotret Komunikasi Politik Legislator-Konstituen, Penerbit Buku Kompas, Jakarta.

Page 26: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

5

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

Perkiraan besar belanja satu partai per tahun sekitar Rp51,2miliar, sedangkan pendapatan Parpol hanya berkisar Rp1,2 miliar.Pemasukan Parpol dari subsidi negara hanya Rp0,6 miliar, sisanyadidapat dari iuran perseorangan bukan anggota partai dan anggotapartai. Mengandalkan pada iuran anggota partai sulit dilaksanakandan dapat memenuhi target kebutuhan partai, selain karena tak adamekanisme yang jelas serta jumlah yang pasti melalui pengaturanAD/ART partai. Itulah sebabnya sumber dana partai yang palingfavorit adalah memanfaatkan dana-dana nonformal yang cenderunggelap dan haram.

Fenomena maraknya korupsi politik yang dilakukan politisi inijauh lebih berbahaya dari korupsi biasa, karena korupsi model inimemanfaatkan kekuasaan yang dimilikinya untuk tujuan mem-perkaya diri dan tentu saja dilakukan dengan jejaring yang sempurnadan penuh intrik politik. Karena itu, korupsi politik merupakankejahatan yang dapat diketegorikan sebagai “pelanggaran hak asasimanusia (HAM)”, karena dapat berdampak pada politik, berupaketidakadilan politik, dan hilangnya pendidikan politik; tumpulnyawibawa kedaulatannya, serta tragikomis atau membuat lingkaransetan, rakyat kehilangan tempat mengadu sehingga menimbulkankrisis keadilan.

Korupsi politik yang dilakukan partai politik ini memperjelas tesisbahwa demokrasi yang kita anyam selama ini telah gagal, karenadisandera para koruptor dari partai politik. Sebab demokrasi terwujuddalam bentuk Pemilu, maka aktor utama Pemilu adalah partai politik.Jika aktor utamanya korup, dipastikan Pemilu dan demokrasinya jugaterkontaminasi perilaku korup. Dengan demikian, maka dipastikanpemerintahan yang terwujud dari hasil Pemilu juga merupakanpemerintahan yang tak bersih. Bila negeri kita ingin segera keluardari kubangan penyakit korupsi sistemik, maka membebaskan danmenyelamatkan partai politik, sistem Pemilu, dan pemerintahan dariperilaku korupsi adalah jalan utama yang mesti ditempuh.

Di sinilah relevansi perlunya ikhtiar bersama untuk menye-lamatkan Parpol dari korupsi, agar Parpol dapat menjadi agen pentingdemokrasi terutama dalam menjalankan fungsi-fungsi vitalnyabagi pelembagaan demokrasi dan penguatan kapasitas keterlibatanParpol dalam ikut serta mengkontrol jalannya pemerintah yang

Page 27: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

6

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

antikorupsi. Itulah pula sebabnya mengapa jika hendak memperbaikikualitas penyelenggaraan pemerintahan yang antikorupsi, tak adajalan lain kecuali mengubah watak sistem kepartaian dan sistemPemilu menjadi sebuah desain arsitektur yang tepat sesuai denganbudaya bangsa Indonesia. Instrumen yang tersedia untuk menatanyaadalah melalui perubahan pengaturannya secara sistematis dan cermatdari perspektif hukum tata negara.

Dalam perspektif arsitektur ketatanegaraan, secara teoritik, sistempemerintahan yang dianut di suatu negara sesungguhnya adalahmerupakan hasil dari kesepakatan para aktor politik yang telahterpilih melalui Pemilu yang duduk di parlemen sebagai wakil rakyatsekaligus wakil dari Parpol pengusungnya. Sistem pemerintahanmerupakan bagian-bagian dari pemerintahan (semua organkekuasaan). Masing-masing mempunyai tugas dan fungsi sendiri-sendiri. Namun secara keseluruhan, bagian-bagian (organ-organnegara) itu merupakan suatu kesatuan yang harus padu bekerja samasecara rasional. Pada hakikatnya, membicarakan sistem pemerintahanberarti membicarakan sistem kerja (fungsi) pemerintahan yangdilakukan oleh presiden dalam hubungannya dengan sistem kerja(fungsi) lembaga lainnya.7

Sistem pemerintahan terbagi atas tiga bentuk, yakni sistempemerintahan presidensil, parlementer, dan campuran yang kadang-kadang disebut “kuasi presidensil” atau “kuasi parlementer”.8 Hampirsemua pakar hukum tatanegara menyepakati adanya tiga sistempemerintahan yang lazim dipraktikkan di dunia, yakni presidensil,parlementer, dan campuran keduanya. Namun berbeda dalampenyebutan sistem pemerintahan yang ketiga, misalnya: JimlyAssidiqie menyebut “kuasi presidensil” atau “kuasi parlementer”.Moh. Mahfud MD,9 menambah bentuk ketiganya adalah referendum.Denny Indryana,10 menambahnya menjadi sistem kolegial, monarki,dan sistem campuran (hybrid).

7 Mahmuzar, 2010, Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945 Sebelum danSesudah Amandemen, Nusamedia-UIN Suska, Bandung, hal, 16.

8 Jimly Asshiddiqie, Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam Sejarah(TelaahPerbandingan Konstitusi Berbagai Negara), Cet.1, (Jakarta: UI-PRESS, 1996), hlm. 59.

9 Moh.Mahfud MD, 2000, Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia, Rineka Cipta,Jakarta, hal, 74

10 Denny Indrayana, 2008, Negara Antara Ada dan Tiada, Reformasi HukumKetatanegaraan, PT Kompas Media Nusantara, Jakarta, hal, 191-192.

Page 28: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

7

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

Dalam teori ilmu negara dan ilmu politik dibedakan dalam tigahal yakni sistem pemerintahan berbeda dengan bentuk pemerintahandan berbeda pula bentuk negara. Bentuk pemerintahan ada dua:republik dan kerajaan. Bentuk negara terbagi tiga, kesatuan, federal,dan konfederasi. Meski berbeda, sistem pemerintahan mempunyaikorelasi kuat dengan bentuk pemerintahan. Presidensial adalah sistempemerintahan dalam bentuk republik. Sedangkan pemerintahankerajaan, sistem pemerintahannya monarki. Korelasi yang serupa,tidak ada antara sistem pemerintahan dengan bentuk negara. Sistempemerintahan presidensial terdapat di bentuk negara kesatuan,federal ataupun konfederasi.11

Partai Politik (Parpol) adalah aktor penting dalam demokrasi disebuah negara. Demokrasi terwujud dalam bentuk Pemilu, aktorutama Pemilu adalah Parpol. Parpol juga merupakan aktor utamadalam demokrasi yang menghubungkan kepentingan rakyat dengannegara dan pemerintah,12 terutama dalam level demokrasi elektoral(electoral democracy) dan demokrasi politik (political democracy). Keduanyamencermin demokrasi perwakilan (representation democracy). SedangkanPemilu adalah aspek penting dalam demokrasi yang digunakan dalamproses pergantian kekuasaan politik secara berkala dan berkelanjutandengan melibatkan partisipasi politik publik yang luas. Sehinggamampu melahirkan pergantian kekuasaan politik atas dasar prosedurdemokrasi dan persetujuan rakyat. Oleh karena itu antara sistempemerintahan, sistem kepartaian, dan sistem Pemilu merupakan tigapilar negara yang tak dapat dipisahkan satu sama lain. Ketiganyamerupakan satu kesatuan utuh dalam desain arsitektur ketatanegaraan.

Di Indonesia, demokrasi dimaknai sebagai kedaulatan berada ditangan rakyat yang disistematisasikan ke dalam ideologi negara yaituPancasila, yang menempatkan kedaulatan rakyat sebagai pilarnyayang harus menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sesuai denganmartabat dan harkat kemanusiaan. Prinsip-prinsip Demokrasi Pancasilaterangkum dalam sila keempat. Pancasila, dapat dilihat terdiri darisila pertama sebagai sila dasar, sila kedua sebagai pancaran silapertama, sila ketiga sebagai wahana, sila keempat sebagai cara, dan

11 Ibid., hal, 192.12 Lihat, H.A. Mukthie Fadjar, 2008, Parpol Dalam Perkembangan Sistem Ketatanegaraan

Indonesia, In-TRANS Publising, Malang, hal, 16-17.

Page 29: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

8

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

sila kelima sebagai tujuan.13 William M. Reisinger, membuat sejumlahvariabel tentang demokrasi, salah satunya adalah model kompetisidalam mengejar kekuasaan melalui Pemilu dan mengizinkanpartisipasi massa yang adil.14

Miriam Budiharjo, menuturkan enam syarat pemerintahandemokratis salah satunya adalah adanya pemilihan umum yangbebas.15 Jimly Asshidiqie juga menyatakan bahwa salah satu cirinegara hukum adalah negara yang bersifat demokratis dan adanyapembatasan kekuasaan (Pemilu).16 Eksistensi Parpol sangat pentingbukan saja karena merupakan peserta Pemilu, akan tetapi jugamerupakan agen penting dalam relasi simbolik antara rakyat danpemerintah.

13 Fatkhurrohman, 2010, Pembubaran Partai Politik di Indonesia, Tinjauan HistorisNormatif Pembubaran Parpol Sebelum dan Sesudah Terbentuknya Mahkamah Konstitusi,Setara Press, Malang, hal, 14-15.

14 William M. Reisinger, 2004, “Selected Definitions of Democracy” sebagaimanadikutip oleh Suyatno, 2004, Menjelajahi Demokrasi, Liebe Book Press, Yogjakarta, hal 33.

15 Mirriam Budiaardjo, 2010, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia, Jakarta, hal 60.16 Jimly Assidiqqie 2005, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Konstitusi Press,

Jakarta, hal, 154-162.

Page 30: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

9

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

Untuk mendalami tentang desain arsitektur ketatanegaraandiperlukan pemahaman yang cukup mengenai korelasi antara tigapilar pentingnya, yaitu partai politik, sistem Pemilu, dan sistempemerintahan. Ketiganya merupakan satu kesatuan sistemik yangtak boleh dipisahkan karena partai politik merupakan aktor utamademokrasi perwakilan yang merupakan peserta Pemilu. Hasil Pemilukelak menentukan konstelasi politik di lembaga perwakilan (parlemen)dan sistem pemerintahan merupakan kesepakatan elit partai politikyang ada di parlemen. Itulah sebabnya, ketiganya merupakan organpenting dalam desain besar ketatanegaraan.

Ketika hendak mencita-citakan pemerintahan yang bersih atauantikorupsi, maka tak akan berhasil jika hanya mereformasi aparaturpemerintahan, melainkan juga harus mereformasi institusi partaipolitik dan sistem Pemilunya. Formasi ketatanegaraan sangatditentukan oleh ketiga pilar ini. Untuk itulah maka pertama-tamaperlu dipahami secara utuh tentang partai politik, Pemilu, danpemerintahan yang dikaitkan dengan konsep korupsi politik.

... Bab Kedua ...

Partai Politik, Pemilu,Pemerintahan dan Korupsi Politik

Page 31: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

10

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

A. Memahami Partai Politik dan Sistem KepartaianPartai politik berasal dari kata dalam bahasa Yunani, yakni pars

yang artinya “bagian” atau “bagian dari keseluruhan”. Karena itupartai politik adalah perkumpulan orang-orang yang seazas, sehaluan,dan setujuan yang berikhtiar untuk memenangkan dan mencapaicita-cita politik dan sosial mereka secara bersama-sama.1

Basis sosiologis Parpol adalah pada dua hal, yakni ideologi dankepentingan yang diarahkan pada usaha-usaha untuk memperolehkekuasaan. Tanpa kedua elemen ini, maka Parpol tidak akan mampumengidentifikasi dirinya dengan para pendukungnya.

Peran penting Parpol di samping untuk membentuk struktursistem pemerintahan yang dianut oleh suatu negara juga untukmembentuk sistem formasi dan kontelasi politik di parlemen. Keduanyadilakukan melalui mekanisme pemilihan umum (Pemilu) yangmengandung asas dan prinsip-prinsip demokrasi secara universal.

Dalam khazanah ilmu politik dibedakan antara Parpol dan sistemkepartaian. Pembedaan ini ditujukan untuk memperjelas dalammenganalisis fungsi, peran, dan modelnya dalam sebuah sistemdemokrasi. Terutama dimaksudkan agar tidak terjadi tumpang-tindihantara keduanya. Herbert Kitschelt, membedakan tiga tipe Parpol:partai program (programmatic party), partai kharismatik (charismaticparty), dan partai klientalistik (clientalistic party).2

Tipologi sistem kepartaian diukur berdasarkan pada strukturkepartaian di sebuah negara terutama hubungannya dengan partai-partai yang lain: apakah bersifat kerja sama atau berkompetisi. Adatiga faktor yang memengaruhi sistem kepartian yaitu: (1) tingkatfragmentasinya; (2) tingkat polarisasinya dan (3) tingkat insti-tusionalisasinya (pelembagaannya). Sebagian ahli ilmu politik melihathanya ada dua faktor yakni fragmentasi dan polarisasinya untukmengukur jarak ideologi antara partai di sebuah negara.3

1 Nn.http://mediappr.wordpress.com/2007/09/13/pengantar-dasar-partai-politik-dan-demokrasi/. Diakses pada 23 Maret 2011.

2 Aurel Croissant and Wolfgang Merkel,”Political Party Formation in Presidential andParliamentary System” dalam http://library.tes.de/pdf-files/bueros/philippinen/50072.pdf.Diakses pada tanggal, 4 April 2011, pukul 13.54 Wib.

3 Scott Mainwaring and Timothy R. Scully, eds.,1995, Building Democratic Institutions: Party Systems in Latin America. Stanford: Stanford University Press, hal, 1.

Page 32: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

11

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

B. Memahami Sistem PemiluArus globalisasi telah membawa dampak pada perubahan

sistem politik di seluruh dunia, salah satunya adalah sistem Pemiluyang digunakan. Sistem global berkonsekuensi perlunya meng-harmonisasikan antara sistem untuk dapat saling berinteraksi secaraglobal dalam aktivitas ekonomi, politik, sosial, dan hukum men-jangkau seluruhnya (are stretching out across the globe).4 Praktik sistemPemilu di negara manapun tidaklah kedap dari pengaruh global,maka dapat dikatakan kini telah terjadi semacam globalisasi Pemiludalam Pemilu global.5

Dalam Pemilu, sesungguhnya, terdapat perbedaan antara sistemPemilu (electoral laws) dengan proses Pemilu (electoral process). MenurutDouglas, Rae electoral laws adalah:

“thoses which govern the process by which electoral preferences are articulateas votes and by which these votes are translated into distribution ofgovernmentatl authority (typicall parliamentary seats) among the competingpolitical parties”.

Artinya, sistem pemilihan (electoral laws) dan aturan yang menata,ialah bagaimana Pemilu dijalankan serta distribusi hasil pemilihanumum. Sementara electoral process adalah mekanisme yang dijalankandi dalam Pemilu, seperti misalnya mekanisme penentuan calon, caraberkampanye dan lain-lain.6

Secara garis besar, dikenal dua macam sistem yang secaramayoritas digunakan di dunia, yaitu: (1) sistem proporsional dan (2)sistem nonproporsional atau sistem distrik.7 Paling tidak, terdapatempat rumpun keluarga di dalam sistem Pemilu, yaitu: (1) sistempluralitas/mayoritas (plurality/majority system); (2) sistem perwakilanproporsionalitas (proporsional representation system); (3) sistem campuran(mixed system), dan (4) sistem-sistem yang lain (other systems).8

4 Larry Cata Backer, 2007, Harmonizing Law in an Era of Globalization, Convergence,Divergence and Resistance, Carolina Academic Press, USA, hal, 3-26.

5 M. Marsh, 2002, “Electoral Context”, in Electoral Studies Journal, No.21: 2002, Pp.207-217.

6 Ni’matul Huda, 2010, Hukum Tata Negara, Rajawali Press, Jakarta, hal 278.7 Aurel Croissant, 2002, “Intruduction” in Electoral politics in Southeast & East Asia,

(Ed): Aurel Croissant, Friedrich-Ebert-Stiftung, Office for Regional Co-operation in SoutheastAsia, Singapore, hal, 7.

8 Pippa Norris, 2007,”Choosing Electoral System: Proportional, Majoritarian and MixedSystem”, in International Political Science Review, Vol.18, No.3, p.299.

Page 33: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

12

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

C. Memahami Sistem PemerintahanUntuk memudahkan pemahaman sistem pemerintahan maka

akan diuraikan tiga model sistem pemerintahan yang lazim di-praktikkan di dunia, yakni sistem parlementer, sistem presidensial,dan campuran keduanya. Karakter sistem pemerintahan parlementermenurut Douglas V.Verney ada sebelas, yakni:9

1. The asembly becomes a parlement2. The executive is divided into two parts3. The head of state appoints the head goverment4. The head of goverment appoints the ministry5. The ministry (or goverment) is acollective body6. Ministers are usually members of parlement7. The government is politically responsible to the assembly8. The head of government may advice the head of state to dissolve parlement9. Parlement as awhole is supreme over its constituent parts, goverment and

assembly, neither or which may dominate the other10. The government as a whole is only indirecly responsible to the electorate11. Parlement is the focus of power in the political system.

Adapun sistem presidensial menurut Douglas V Verney jugamemiliki sebelas ciri, yaitu:1. The assembly remains an assembly only2. The executive is not divided but is president elected by the people for definite

term at the time of assembly elections3. The head of the government is head of the state4. The president appoints heads of departments who are his subordinates5. The president is sole executive6. Members of the assembly are not eligible for office in the administration

and vice versa7. The executive is responsible the constitution8. The president cannot dissolve or coerce the assembly

9 Douglas V. Verney, 1979, “Parlementary Government And Presidential Government”in Arend Lijphard (eds), 1992, Parlementary Versus Presidential Government, OxfordUniversity Press, hal, 31-40.

Page 34: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

13

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

9. The assembly is ultimately supreme over the other branches of governmentand there is no fusion of the executive and legislative branches as in aparliament

10. The executive is directly responsible to the electorate11. There is no focus of power in the political system.10

Sedangkan karakter sistem pemerintahan presidensial memilikisembilan karakter, yakni:11

1. Terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaaneksekutif dan legislatif.

2. Presiden merupakan eksekutif tunggal. Kekuasaan eksekutifpresiden tidak terbagi dan yang ada hanya presiden dan wakilpresiden saja.

3. Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atausebaliknya kepala negara adalah sekaligus kepala pemerintahan.

4. Presiden mengangkat para menteri sebagai pembantu atausebagai bawahan yang bertanggung jawab kepadanya.

5. Anggota parlemen tidak boleh menduduki jabatan eksekutif dandemikian pula sebaliknya.

6. Presiden tidak dapat membubarkan atau memaksa parlemen.7. Jika dalam sistem parlementer berlaku prinsip supremasi parlemen,

maka dalam sistem presidensial berlaku prinsip supremasikonstitusi. Karena itu, pemerintahan eksekutif bertanggung jawabkepada konstitusi.

8. Eksekutif bertanggung jawab langsung kepada rakyat yangberdaulat.

Sedangkan, Denny Indrayana hanya membedakan karakterutama antara sistem parlementer dan presidensial dalam tiga halpokok saja.12 Karakter parlementer adalah (1) ada kepala negara yangperannya hanya simbolik dan seremonial, mempunyai pengaruhpolitik (political influence) yang amat terbatas. Kepala negara mungkinseorang presiden sebagaimana di Jerman, India dan Italia, meski di

10 Ibid., hal, 40-47.11 Jimly Assiddiqie, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,

Buana Ilmu, hal, 316.12 Denny Indrayana, Op.Cit, hal 197.

Page 35: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

14

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

Jepang adalah kaisar atau ratu di Inggris. (2) Cabang kekuasaaneksekutif dipimpin seorang perdana menteri atau kanselir, yangbersama-sama dengan kabinet, adalah bagian dari parlemen, dipiliholeh parlemen dan setiap saat dapat diberhentikan oleh parlemendengan mosi tidak percaya. (3) parlemen dipilih melalui Pemilu yangwaktunya bervariasai, ditentukan oleh kepala negara berdasarkanmasukan dari perdana menteri atau kanselir.

Negara-negara yang menerapkan sistem parlementer, masihterdapat perbedaan-perbedaan mendasar. Ketidaksamaan tersebutdipengaruhi beberapa faktor: (1) perbedaan jenis parlemen, apakahunikameral atau bikameral, termasuk perbedaan sistem pemilihananggota kamar kedua (second chamber). (2) Perbedaan kekuataneksekutif untuk membubarkan parlemen dan mempercepat Pemilu,serta sebaliknya perbedaan kekuatan parlemen untuk member-hentikan perdana menteri. (3) Perbedaan adanya kewenangan judicialreview. Di Inggris kewenangan demikian tiada, karena kedaulatanparlemen yang supreme. (4) Perbedaan jumlah dan tipe Parpol.13

Karakter sistem presidensial adalah (1) presiden adalah kepala negaradan kepala pemerintahan; (2) presiden tidak dipilih oleh parlemen,tetapi langsung dipilih oleh rakyat (popular elected). (3) presiden bukanbagian dari parlemen, dan tidak dapat diberhentikan oleh parlemen,kecuali melalui proses pemakzulan (impeachment); (4) presiden tidakdapat membubarkan parlemen.14

Menurut Duchacck, perbedaan utama antara sistem presidensialdan parlementer pada pokoknya menyangkut empat hal, yaitu:1) Terpisah tidaknya kekuasaan seremonial dan politik (fusion of

ceremonial and political powers).2) Terpisah tidaknya personalia legislatif dan eksekutif (separation of

legislatif and eksekutif personels).3) Tinggi rendahnya corak kolektif dalam sistem pertanggung-

jawbannya (lack of collective responsibility).4) Pasti tidaknya jabatan kepala negara dan kepala pemerintahan

(fixed term of office).15

13 Denny Indrayana, Op.Cit, hal, 19814 Ibid., hal 198.15 Ilham Endra, “Sistem Pemerintahan” dalam http://ilhamendra.wordpress.com/2009/

03/12/sistem-pemerintahan/. Diakses pada tanggal, 21/11/2010.

Page 36: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

15

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

Karakter sistem pemerintahan campuran antara presidensialdan parlementer memiliki ciri sebagaimana dinyatakan oleh RodHaque dan Martin Harrop.

“….Semi-Presidenial government combines an elected Presidentperforming political tasks with a prime minister who heads acabinet accountable to parliament. The prime minister, usuallyappointed by the Presiden, is responsible for day-to-day domes-tic government (including relations with the assembly) but thePresident  retains  an oversight  role,  responsi­bility  for  foreignaffairs, and can usually take emer­gency powers…”.16

Sistem campuran atau semi-presidensial ialah mengombinasikanperan Presiden terpilih untuk melaksanakan tugas politis denganseorang Perdana Menteri yang mengepalai Kabinet dari sebuahParlemen. Perdana Menteri yang biasanya ditunjuk oleh Presidenbertanggung jawab terhadap pelaksanaan pemerintahan domestikatau harian. Sementara, Presiden mengambil peran yang lebih umum,bertanggung jawab terhadap urusan luar negeri, dan biasanya dapatmengambil kekuasaan-kekuasaan yang sifatnya darurat. Jadi padasistem campuran ini kedudukan Presiden tidak hanya sebagaiserimonial saja, tetapi turut serta di dalam pengurusan pemerintahan,adanya pembagian otoritas di dalam eksekutif.17

Model sistem pemerintahan semi presidensial atau campuranantara presidensial dan parlementer ini dipraktikkan di Perancis danmemiliki karakter sebagai berikut:1) Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat untuk masa jabatan

tertentu dan dapat dipilih kembali;2) Ada jabatan dewan Menteri yang dipimpin Perdana Menteri yang

terpisah dari jabatan presiden;3) Baik presiden maupun kabinet sama-sama mempunyai kekuasaan

riil atas penyelenggaraan pemerintahan.4) Perdana Menteri dan Menteri diangkat dan diberhentikan oleh

Presiden.18

16 Ibid., hal, 617 Ibid., hal, 718 Lili Romli, 2002, “Memantapkan Sistem Pemerintahan: Salah Satu strategi Mengatasi

Krisis Politik di Indonesia”, dalam Riza Sih Budi dan Moch. Nurhasim, AmandemenKonstitusi dan Strategi Penyelesaian Krisis Politik Indonesia, AIPI, Jakarta, hal, 182

Page 37: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

16

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

Sesungguhnya tidak ada rumus baku bahwa satu sistempemerintahan adalah yang terbaik. Setiap negara dapat memilih daribeberapa alternatif, dengan mempertimbangkan sejarah bangsanya,pengalaman negara lain, dan kebutuhan khas negara yangbersangkutan. Perpaduan tiga elemen itu melahirkan pemerintahanyang variatif dalam praktik, meskipun tetap dapat diketahui warnadominan sistem pemerintahan negara.19

D. Memahami Pemerintahan AntikorupsiAneka model sistem pemerintahan yang dianut oleh berbagai

negara di dunia tersebut oleh beberapa ahli ilmu politik dikategorikansebagai implementasi rekayasa desain institusi demokrasi.20

Dalam praktik penggunaan model sistem pemerintahan demimengakhiri transisi demokrasi menuju konsolidasi demokrasi danstabilitas demokrasi terjadi perdebatan antara para ahli di antaranyaadalah Juan J. Linz21 yang berpendapat bahwa penggunaan modelsistem pemerintahan presidensial tidak mendukung stabilitasdemokrasi, terutama dalam praktik di Amerika Latin, lebih tepatdengan sistem parlementer karena: (1). sistem presidensial ini tidakfleksibel atau kaku (rigidly); (2) adanya legitimasi ganda antara presidendan parlemen yang sama-sama dipilih oleh rakyat (duel legitimacy); (3)adanya sistem pemilihan langsung menyebabkan “winner take all”(pemenang mengambil semua) akhirnya mengecualikan kelompok-kelompok di pemerintahan; (4) desain konstitusi yang memberikekuasaan lebih besar pada presiden daripada parlemen. Akibatnyasering melahirkan presiden yang diktator, bahkan acapkali ke-kuasaan diambil alih kaum militer. Sehingga membahayakan sistempresidensial (peril of presidentialism).

19 Denny Indrayana, 2012, “Sistem Presidensial Yang Adil dan Demokratis”, NaskahPidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,Diucapkan di depan Rapat Terbuka majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada padatanggal 6 Februari 2012 di Yogjakarta, hal, 2. Lihat juga, Sofian Effendi, 2004, “SistemPemerintahan Negara Kekeluargaan” Makalah, Disampaikan dalam Orasi Ilmiah Dies natalisKe 18 Universitas Wangsa Manggala, Yogjakarta, bertema: “Revitalisasi Nilai Luhur BudayaBangsa Sebagai Landasan Jati Diri Bangsa Indonesia, Disampaikan pada tanggal 9 Oktober2004, hal, 1-19.

20 Alfred Stepan and Cindy Skach, 1994, “Presidential and Parliamentary in Compara-tive Perspective” in Juan J.Linz and Arturo Valenzuela (eds), The Failure PresidentialDemocracy, John Hopkins University Press, Baltimore, hal, 119-136.

21 Juan J. Linz, 1994, “Presidential or parliamentary: Does It a Difference ?, in Juan J.Linzand Arturo Valenzuela (eds), The Failure Presidential Democracy, John Hopkins UniversityPress, Baltimore, hal, 3-91. Lihat juga, Juan J. Linz, “The Virtue of Parliamentary”, Journalof Democracy I (4), hal, 84-91

Page 38: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

17

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

Pendapat ini didukung oleh Pzeworski, yang mengatakan bukti-bukti empirik bahwa, probabilitas kemacetan demokrasi, denganberbasis sistem presidensial, tiga kali lebih tinggi dibandingkandengan penggunaan sistem parlementer.22 Senada dengan dua ahliini, Scott Mainwaring bahkan menandaskan bahwa sistem presidensialdengan berbasis multipartai yang terfragmentasi tinggi, terutamaketika presiden terpilih berasal dari partai minoritas dan tidak dapatmemperoleh dukungan partai mayoritas di parlemen maka akan sangatmelemahkan stabilitas demokrasi.23 Namun pendapat ini ditentangoleh Haggard.24 yang menyatakan, bahwa sistem presidensial jauhlebih efektif dari parlementer, karena aktor politik yang bermain dalamsistem parlementer jauh lebih banyak ketimbang presidensial yangterpilih melalui popular vote dan dapat menguasai suara di parlemen.

Ahli lain, Shugart and Carey, mengkritik studi tentang sistempresidensial selama ini yang seolah telah melupakan aspek lain, dimana sebenarnya sistem presidensial akan dapat efektif terutama dalammengimplementasikan program-program presiden terpilih dalampemerintahannya, bila dilakukan sejumlah desain institusi lainnya,yakni sistem Pemilu dan sistem kepartaian yang harus menopangsistem presidensial.25

Model lain yang dapat dijadikan tolak ukur efektivitas jalannyasistem pemerintahan presidensial terutama hubungan kerja antarapresiden dan parlemen adalah bergantung pada sistem Pemilu yangdigunakan di suatu negara. Sistem distrik jauh lebih efektif di-bandingkan sistem proporsional, karena sistem distrik menghasilkandwi partai, karena itu kebijakan publik dirumuskan melalui mandatpada mayoritas (pemenang). Sedangkan sistem proporsional meng-hasilkan kompetisi multipartai yang berakibat pada berbelit-belitnyapengambilan keputusan melalui konsensus, apalagi jika presidenterpilih memiliki dukungan partai yang berbeda di parlemen.26

22 Adam Przeworski, et al, 1994 “What Make Democracy Endure ?” in Larry Diamond,Marc F Plattner (eds) Concolidating in The Third Wave Democracies, John HopkinsUniversity Press, Baltimore, ha, 295-311.

23 Scott Mainwaring, Op.Cit., hal 524 Stephan Haggard, Mathew D. McCubbins, and Matthew Soberg Shugart. 2001.

“Policy Making in Presidential Systems”. In Presidents, Parliaments, and Policy. Ed. byStephan Haggard and Mathew D. McCubbins. Cambridge: Cambridge University Press.

25 Mattew Soberg Shugart and John M Carey, 1992, Presidents and Assemblies:Constitutional Design and Electoral Dynamic, Cambride University Press, New York.

26 Gary W Cox and Mathew D. McCubbins. 2005. Setting the Agenda: Responsible PartyGovernment in the U.S. House of Representatives, Cambridge University Press, New York.

Page 39: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

18

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

Dalam konteks ketidakseimbangan hubungan antara presidendengan parlemen, di mana presiden lebih lemah dari pada parlemenyang berakibat pada ketidakefektifan pemerintah, maka yangdiperlukan adalah memperkuat fungsi legislasi kepada presiden.27

Ketika terjadi ketidakseimbangan hubungan antara presidendan parlemen dalam skema sistem presidensial di mana presidenlebih lemah, maka dalam konteks fungsi legislasi, Chris Lawrencemengusulkan perlunya presiden diberi kekuasaan untuk meresponisu-isu nasional yang penting sebagai pembuat undang-undang.Inilah yang ia sebut sebagai “presidential effective”. Bahkan ia jugamengusulkan solusi perlunya dilakukan perubahan model sistempemerintahan dari presidensial murni ke semi presidensial atauhybrid system of government. 28

Untuk mendapatkan dukungan suara di parlemen, seorangpresiden yang terpilih dari partai minoritas dalam sistem presidensial,agar pemerintahannya efektif, umumnya melakukan praktik koalisidengan partai-partai di parlemen, dengan cara membagi jatah menterikepada partai-parti pendukung koalisi. Ini dimaksudkan semata-mataagar presiden dapat bekerja sama dengan mitra koalisi di parlemen.29

Koalisi dalam sistem presidensial seharusnya adalah sebuahlangkah darurat, karena sesungguhnya koalisi hanya lazim dilakukandalam sistem parlementer. Koalisi dalam sistem presidensial jauhlonggar dan sulit ketimbang dalam sistem parlementer. Karena partai-partai mitra koalisi biasanya berdiri dalam dua kaki, satu kakimendukung pemerintah di kaki yang lagi mengontrol presiden diparlemen atau akan terjadi semacam pemerintahan yang terbelah(divide of government).30

Karena itu, dalam tulisan “Presidentialism, Multipartism, andDemocracy: The Difficult Combination”, Mainwaring menya-

27 Ibid., hal 1228 Chris Lawrence and Jenifer Haye, 2000, “Regime Stability and Presidential Government:

A Preliminary Analysis”, Paper Presented at the 72nd Annual Meeting at The SouthernPolitical Science Association, Georga, Atlanta, 8-11 November.

29 Jose Antonio Cheibub, Adam Przeworzki, and Sebastian M. Saiegh, 2004, “GovernmentCoalitions and Legislative Success Under Presidentialism and Parliamentarism”, dalamBritish Journal of Political Science, No. 34, hal. 565-566.

30 Scott Mainwaring, 1992, “Presidentialism in Latin America”, dalam Arend Lijphart(edit.), 1992, Parliamentary Versus Presidensial Government, Oxford University Press,hal. 115.

Page 40: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

19

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

takan bahwa the combination of presidentialism and multipartism iscomplicated by the difficulties of interparty coalition-building in presidentialdemocracies. Dibandingkan dengan pembentukan koalisi dalamsistem parlementer, Scott Mainwaring mengemukakan tiga per-bedaan koalisi multi-partai dalam sistem pemerintahan presidensial.Pertama, dalam sistem parlementer, koalisi Parpol memilih menteri-menteri dan perdana menteri. Karenanya, mereka bertanggung jawabmemberikan dukungan kepada pemerintah. Sedangkan dalam sistempresidensial, presiden membentuk sendiri kabinetnya (presidentsput together their own cabinets) dan Parpol punya komitmen yangrendah untuk mendukung presiden. Kedua, berbeda dengan sistemparlementer, dalam banyak sistem pemerintahan presidensial,anggota legislatif dari Parpol yang punya menteri di kabinet tidakmendukung pemerintah. Ketiga, secara umum, keinginan Parpoluntuk membubarkan koalisi lebih kuat dalam sistem pemerintahanpresidensial.31

Menurut J. Mark Payne, Daniel Zovatto, dan Mercedes MateoDiaz, efektivitas pemerintahan presidensial tergantung pada dua hal.Pertama, sistem pemilihan presiden yang dapat menghasilkan legiti-masi substansial (mayoritas/terbesar) dari pemilih. Kedua, porsidukungan parlemen untuk bekerja sama dalam menyusun legislasidan nonlegislasi.32 Karena itulah maka, bagi Andrew B. Withford,pemerintah yang efektif (effective governance) adalah mengukurkemampuan pemerintah dalam melaksanakan suatu kebijakan melaluikualitas pelayanan publik, layanan sipil, dan tingkat independensidari tekanan-tekanan politik dan kualitas perumusan kebijakan publik

31 Scott Mainwaring, 1993, “Presidentialism, Multipartism, and Democracy: the DifficultCombination”, dalam Journal of Comparative Political Studies, Vol. 26, No. 2, hal. 200.Dilema sistem multi-partai dalam sistem pemerintahan presidensial termasuk yang palingbanyak ditulis adalah pengalaman Brazil. Lebih jauh, misalnya, dapat dibaca dalam ScottMainwaring & Anibal Perez-Linan, 1997, Party Discipline in the Brazilian ConstitutionalCongress, Working Paper 235; Scott Mainwaring, 1992, Dilemmas of Multiparty PresidentialDemocracy: The Case of Brazil, Working Paper 174; dan Scott Maiwaring, 1990, Politician,Parties and Electoral System: Brazil in Comparative Perspectives, Working Paper 141.Sebagaimana ditulis Saldi Isra, 2009, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematik Koalisidalam Sistem Presidensial”, dalam Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2009, MahkmahKonstitusi Bekerjasama dengan Pusat Studi Konstitusi (Pusako) FH Universitas Andalas,Jakarta, hal 122.

32 J. Mark Payne, Daniel Zovatto, and Mercedes Mateo Diaz, 2007, Democracies inDevelopment: Politics and Reform in Latin America, The Inter-American DevelopmentBank, and the International Institute for Democracy and Electoral Assistance, and theDavid Rockefeller Center for Latin American Studies, Harvard University Press, WashingtonD.C, hal, 18.

Page 41: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

20

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

antara presiden dan parlemen dan implementasinya, serta komitmenpemerintah dalam menjalankan kebijakan-kebijakannya.33

Lebih lanjut ia menyatakan:“Government effectiveness indicator is to capture the capacity of the state toimplement sound policies by measuring the quality of public services, thequality of the civil service and the degree of its independence from politicalpressures, the quality of policy formulation and implementation, and thecredibility of the government’s commitment to such policies”34

Menurut Kacung Marijan, pemerintahan yang efektif acapkalidikaitkan dengan pemerintahan yang cukup kuat, yang memilikiotonomi relatif dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan.Richard Doner (1992: 399) pernah mengatakan, suatu negara di-katakan kuat manakala memiliki dua karaketeristik. Pertama, negaraharus memiliki kebebasan dan tekanan (insulated) dari kekuatan-kekuatan yang ada di masyarakat. Hal demikian akan memungkinkannegara merumuskan dan membuat kebijakan-kebijakan publik. Kedua,negara secara organisasi memiliki kemampuan yang cukup danterkoordinasi untuk mengimplementasikan kebijakan-kebijakan itu.35

Pratikno menyatakan dalam karyanya, pemerintahan efektif bukansaja yang demokratis, akan tetapi juga diikuti dengan Govern Abilityatau kemampuan pemerintahan dalam membangun dan mengurusbangsanya. Karena itu, studi politik dalam pemerintahan harusbergeser dengan tidak lagi meributkan seberapa tinggi derajatdemokrasi tetapi seberapa bisa demokrasi tersebut menopangpemerintahan yang efektif, menghasilkan hak-hak politik sosialekonomi serta martabat bangsa yang berdaulat.36 Menurut Ni’matulHuda, pemerintah efektif adalah pemerintah yang dapat menjalankanroda kekuasaannya dengan terbangunnya hubungan konstruktifantara Presiden-DPR di atas prinsip saling mengawasi secara seimbang

33 Andrew B. Whitford and Soo-Young Lee, 2008, “The Efficiency And Inefficiency ofDemocracy In Making Governments Effective: Cross-National Evidence”, Paper Pre-sented at The Annual Meeting of American Political Science Association, Toronto, Ontario,Canada, September.

34 Ibid., hal 7.35 Kacung Marijan, 2010, “Bangunan Koalisi SBY Rapuh”, dalam Jawa Pos, 4 Januari,

hal, 4.36 Pratikno, 2009, “Rekonsolidasi Reformasi Indonesia, Kontribusi Studi Politik dan

Pemerintahan dalam Menopang Demokrasi dan Pemerintahan Efektif” Pidato PengukuhanGuru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM Yogjakarta Diucapkan tanggal, 21Desember.

Page 42: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

21

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

(check and balance).37 Dari penjelasan di atas dapat dipahami bahwasistem pemerintahan efektif dalam perspektif desain besar ketata-negaraan merupakan sebuah cita-cita ideal yang harus diwujudkanagar pemerintah dapat menjalankan fungsinya untuk mewujudkankesejahteraan rakyat sebagai tujuan akhir dari fungsi negara.

Pemerintahan dapat dianggap efektif jika di dalamnya adakesediaan secara sadar dari seluruh komponen struktur dansuprastruktur politik untuk menyokong jalannya pemerintahansecara mandiri di tangan presiden/perdana menteri dalam skemapilihan sistem pemerintahannya, baik dalam sistem presidensialmaupun sistem parlementer.

Pemerintahan tidak akan berjalan secara efektif jika eksekutif(presiden/perdana menteri) dipaksa oleh keadaan politik yangmembuatnya tidak dapat mandiri dari tekanan politik. Sejumlahtekanan politik ini cenderung membuat eksekutif tak lagi leluasamenjalankan roda pemerintahannya secara mandiri dan kreatif,karena waktunya lebih banyak dipergunakan untuk melakukankompromi dan aneka macam konsesi politik guna menaklukkanlawan-lawan politik dalam skema sistem pemerintahan yang takterhindarkan.

Maka dipastikan, sistem pemerintahan yang tersanderakepentingan dan tekanan politik akan cenderung mendorogpemerintah dekat dengan perilaku korupsi politik. Maka sistempemerintahan tak efektif akan melahirkan korupsi politik yang kuat,sebaliknya sistem pemerintahan yang efektif dipastikan akancenderung mereduksi lahirnya korupsi politik.

E. Memahami Korupsi PolitikKorupsi adalah tindakan melawan hukum dan moral karena

menyalahgunakan kekuasaan dan kewenanagan yang dimilikiseseorang untuk kepentingan dirinya, kelompok atau pihak-pihaklain untuk saling mencari keuntungan secara ekonomi maupunpolitik. Karena pelakunya adalah pejabat publik maka perilakunyadapat disebut sebagai korupsi politik (political corruption). Ini sejalandengan definisi korupsi politik menurut Wikipedia,

37 Ni’matul Huda, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, PT Rajawali Press,Jakarta, hal, 292.

Page 43: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

22

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

Political corruption is the use of powers by government officials for illegiti-mate private gain. An illegal act by an officeholder constitutes politicalcorruption only if the act is directly related to their official duties, is doneunder law or involves trading in influence.38

Menurut Artidjo Alkostra ada perbedaan antara korupsi politikdan korupsi Pemilu. Korupsi politik memberi perhatian kepadapencarian yang tidak sah atau penyalahgunaan jabatan pemerintah,sedangkan korupsi Pemilu meliputi pembelian suara pemilih denganuang, menjanjikan jabatan atau kemudahan fasilitas, hadiah khusus,paksaan, intimidasi, dan campur tangan pada Pemilu yang bebas.

Dari konstelasi tentang komponen pelaku tindakan dan akibatdari korupsi politik, dapat dikonstruksikan hipotesisnya. Subjekpelaku korupsi politik adalah orang atau badan yang memiliki posisipolitik yang melakukan perbuatan melawan hukum. Perbuatantersebut menimbulkan akibat hukum, politik, ekonomi, HAM, danmoral. Dengan perbuatan tersebut, pelaku bermaksud meng-untungkan diri sendiri, orang lain, atau badan dengan cara menyalah-gunakan kewenangan, kesempatan, dan sarana yang ada padanyakarena jabatan atau kedudukan politik.39

38 http://en.wikipedia.org/wiki/Political_corruption.39 Artidjo Alkotsar, 2010, Korupsi Politik di Negara Modern, FH UII Press, Yogyakarta,

hal, 16-17.

Page 44: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

23

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

A. Korelasi HAM dan Partai PolitikAktualisasi hak asasi warga negara dalam kehidupan sosial dan

politik di setiap negara menjadi keniscayaan, karena salah satuaspek pengukuran praktik HAM ditentukan oleh tinggi-rendahaktualisasinya dalam kebebasan berorganisasi (association). Kiantinggi kebebasan warga negara dalam berorganisasi maka kian tinggipula praktik penghormatan dan perlindungan HAM oleh negarapada warga negaranya, sebaliknya kian rendah kebebasan berorganisasi,maka sudah pasti kian rendah pula praktik HAM di suatu negara.

Itulah sebabnya partai politik lahir sebagai instrumen pentingbagi warga negara untuk berorganisasi. Bahkan ciri utama negarademokrasi adalah adanya kebebasan warga negara dalam ber-organisasi sebagai pegejawantahan berkembangnya hak sipil dan politik.

Secara historis, partai-partai politik di Indonesia sebenarnya lahir,tumbuh, dan besar bersamaan dengan pertumbuhan identitaskeindonesiaan pada awal abad ke-20. Meskipun menjadi wadahaspirasi dari kelompok dan atau golongan ideologis yang berbeda-beda, partai-partai pada era kolonial turut memberi kontribusi bagi

... Bab Ketiga ...

Hak Kebebasan Berpolitikdan Jaminan Konstitusi

Page 45: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

24

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

pencarian sekaligus “penemuan” identitas keindonesiaan yang men-dasari pembentukan republik. Sebagian besar pendiri bangsa, sepertiHOS Tjokroaminoto, Tjipto Mangunkusumo, Soekarno, dan Muh.Hatta adalah juga pendiri sekaligus pemimpin partai pada zamannya.1

Keberadaan Parpol pada awal kemerdekaan Indonesia ini diakuisetelah diterapkannya demokrasi liberal parlementer dan lahirnyaMaklumat Politik Pemerintah tanggal 3 November 1945 yangditandatangani oleh Wakil Presiden Moh. Hatta. Maklumat ini saratdengan pemikiran HAM dalam bidang politik, khususnya yangberkenaan dengan “rights of association and togheterness”, yang kemudianmenjadi dasar tumbuh suburnya partai-partai politik dengan berbagaiideologinya Maklumat ini sekaligus menjadi awal tumbuhnyamultipartai di Indonsia.2

Kendati cikal bakal kehadiran partai di Indonesia telah ada sejakpergerakan Indonesia menuju merdeka (revolusi), namun eksistensipartai untuk mengikuti Pemilu-Pemilu dan berkompetisi secara fairmemperebutkan kursi parlemen baru terjadi pada Pemilu pertama padatahun 1955.

Ahli Indonesia legendaris, Herbith Feith, mencatat dengan baikPemilu 1955, dengan membagi empat kelompok partai yang mengikutiPemilu tersebut, yakni partai besar, partai menengah, kelompok kecilyang bercakupan nasional dan kelompok kecil yang bercakupan daerah.3

Pemilu 19554 yang diikuti 40 partai politik merupakan momentumpenting untuk melihat sistem kepartaian karena sistem yang berlakudi tahun 1955. Kendati maklumat pemerintah ini dicabut oleh presidenSoekarno melalui Penpres No.7 tahun 1959 tentang Syarat-syarat danPenyederhanaan Kepartaian. Ini dilakukan seiring dengan munculnyadekrit presiden 5 Juli 19595 yang mengalihkan dari sistem demokrasi

1 Syamsuddin Haris, “Demokratisasi Partai dan Dilema Sistem Kepartaian di Indonesia”dalam Jurnal Penelitian Politik, Vol.3, No.1, 2006 (LIPI, Jakarta), hal, 68.

2 Fatkhurohman, 2010, Pembubaran Partai Politik di Indonesia, Tinjauan Historis NormatifPembubaran Partai Politik sebelum dan Sesudah Terbentuknya Mahkamah Konstitusi, SetaraPress, Malang, hal 90.

3 Herbert Feith, The Decline of Constitusional Democrcy Indonesia, (Ithaca, 1963)yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia Pemilihan Umum 1955 di Indonesia(Gramedia, Jakarta 1999).

4 Regulasi Pemilu 1955 ialalah UU No.7 tahun 1953 tentang Pemilu AnggotaKonstituante dan Angota DPR.

5 Isi Dekrit tersebut: 1. Pembubaran Konstituante; 2. UUD 1945 berlaku lagi bagi segenapbangsa Indonesia sejak 5 Juli 1959, 3 tidak berlaku lagi UUDS 1950, 4. PembentukanMPRS, 5. Pembentukan DPAS.

Page 46: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

25

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

liberal parlementer ke demokrasi terpimpin.6 Sejak saat itu tidak adalagi partai politik hingga menjelang runtuhnya rezim Orde Lama dibawah presiden Soekarno. Bahkan Orde ini mengatur model dan tatacara pembubaran partai politik dengan menerbitkan Perpres No. 13Tahun 1960 tentang Pengakuan, Pengawasan dan PembubaranPartai-partai dan direvisi menjadi Penpres No.25/1960. Bab IV Pasal 9Penpres No.7/1959 beserta penjelasannya juncto Bab III Pasal 6-9Perpres No.13/1960.7

Sejarah Pemilu 1955 ini terus menjelma dan mengilhami jumlahpartai politik dalam Pemilu, zaman orde baru jumlah partai hanyadua (PPP dan PDI) ditambah satu golongan, yakni Golkar denganUU No.3/1975 diubah menjadi UU No.3/1985. Pasca reformasikecenderungan jumlah partai politik kian meningkat, misalnyaPemilu tahun 1999 diikuti oleh 48 partai diatur melalui UU No.2/1999, Pemilu tahun 2004 diikuti oleh 24 partai diatur melalui UU No.31/2002, dan Pemilu tahun 2009 diikuti 48 partai diatur melalui UU No.2/2008 dan Pemilu tahun 2014 diikuti oleh 15 partai politik terdiri dari12 partai politik nasional dan 3 partai politik lokal di propinsi NagroeAceh Darussalaam.

Karena itu, eksistensi Parpol sangat penting bukan saja karenamerupakan peserta Pemilu, akan tetapi juga merupakan agen pentingdalam relasi simbolik antara rakyat dan pemerintah. Namunbelakangan ini, institusi Parpol tengah menjadi perhatian publik diIndonesia, karena perilaku korupsi yang dilakukan oleh elit Parpolyang tengah memegang jabatan dalam struktur Parpol (pusat,provinsi, kabupaten dan kota), di parlemen (DPR RI dan DPRDprovinsi, kabupaten/kota), maupun di pemerintah yang berkuasa(menteri/gubernur/bupati/walikota).

B. Hak Berserikat dan Berpolitik Menurut UUD 1945Istilah “hak” dapat diartikan (1) yang benar; (2) milik, kepunyaan;

(3) kewenangan; (4) kekuasaan untuk berbuat sesuatu; (5) kekuasaanyang benar atas sesuatu atau untuk menuntut sesuatu; (6) derajatatau martabat; (7) hukum; wewenang menurut hukum. Karena itu,hak asasi adalah kebutuhan yang bersifat mendasar dari umat

6 Fatkhurohman, Ibid., hal 94-96.7 Fatkcurrohman, Ibid.,hal 96-97.

Page 47: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

26

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

manusia. Pengertian yang luas dan tak seragam itu pada dasarnyamengandung prinsip bahwa, hak adalah sesuatu yang oleh sebab ituseseorang (pemegang) hak memiliki keabsahan untuk menuntutsesuatu yang dianggap tidak dipenuhi atau dingkari. Seseorang yangmemegang hak atas sesuatu tersebut sebagaimana dikehendaki, atausebagaimana keabsahan yang dimilikinya.8

Ketidakseragaman arti HAM ini, menurut Satjipto Rahardjo,disebabkan karena pemunculan, perumusan, dan institusionalisasiHAM memang tak dapat dilepaskan dari lingkungan sosial atauhabitatnya, yaitu tidak lain masyarakat itu sendiri di mana HAM itudikembangkan. Terjadi semacam korespondensi antara HAM danperkembangan masyarakat. HAM juga memiliki watak sosial danstruktur sosial sendiri.9

Sejarah panjang perlengkapan antara HAM dan individukemudian tertuang dalam sejumlah dokumen penting seperti magnaCharta (1215), Petition of Right (1628), Bill of Right (1689). Barulah secarauniversal mendapat kesepahaman bersama oleh masyarakat duniaketika Majelis Umum PBB menetapkan Universal Declaration ofHuman Rights pada 10 Desember 1948, di mana kelak deklarasi inimengilhami lahirnya sejumlah kovensi dan protokol HAM seperti, TheInternational Convenant on Economic, Social, and Culture Rights, InternationalConvenant on Civil and Political Right (ICCPR), Optional Protocal for theConvenant on Civil and Political Rights.10

Kemudian diilhami oleh Revolusi Perancis, maka HAM dibagitiga generasi. Pertama, generasi pertama, hak-hak sipil dan politik(liberte); kedua, generasi kedua, hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya(egalite); ketiga, generasi ketiga, hak-hak solidaritas (fraternite).11 Generasi

8 I Gede Arya B.Wiranata, 2005, “Hak Asasi (Anak) dalam Realitas Quo Vadis?, dalamMuladi (eds) Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam PerspektifHukum dan Masyarakat, Refika Aditama, Bandung, hal, 228.

9 Satjipto Rahardjo, 2005, “Hak Asasi Manusia dalam Masyarakatnya”, dalam Muladi(eds) Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep dan Implikasinya dalam Perspektif Hukum danMasyarakat, Refika Aditama, Bandung, hal, 217.

10 Ibid., hal 228.11 Satya Arinanto, 2003, Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik di Indonesia, Pusat

Studi Hukum Tata Negara FH UI, Jakarta, hal 78. Dalam soal etape generasi HAM, dapatjuga dibaca: Jimly Assidiqie, 2005, Hukum Tata Negra dan Pilar-Pilar Demokrasi, Konpress,Jakarta, hal, 207. Catatan tentang dinamika HAM dan Globalisasi dapat dibaca, HamidAwaluddin, “Urgensi Deklarasi Universal HAM”, Kompas, 10 Desember 2003, Muh.BudairiIdjehar, 2003, HAM Versus Kapitalisme, Insist, Yogjakarta. Tentang dinamika HAM danHukum dapat di baca Benny D Setiono, 2003, Pergulatan Wacana HAM di Indonesia,Mascom Media, Semarang.

Page 48: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

27

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

pertama ialah yang tergolong dalam hak sipil dan politik, terutamayang berasal dari teori-teori kaum reformis yang dikemukakan padaawal Abad ke-17 dan 18. Dipengaruhi oleh filsafat individualismeliberal dan doktrin sosial-ekonomi laisez-faire, generasi ini meletakkanposisi HAM lebih pada terminologi yang negatif (“bebas dari”) daripada terminologi yang positif (“hak dari”). Ia lebih menghargaiketiadaan intervensi pemerintah dalam pencarian martabat manusia.Ia diakomodasi dalam Pasal 2-21 DUHAM.12

Generasi kedua berakar secara umum pada tradisi sosialis yangmembayang-bayangi di antara saint-simonians pada awal abad ke-19di Perancis. Ia merupakan suatu respon terhadap pelanggaran danpenyelewengan dari perkembangan kapitalis dan menggarisbawahinya; tanpa kritik yang esensial, konsepsi kebebasan individualyang mentoleransi bahkan melegitimasi eksploitasi kelas pekerja danmasyarakat kolonial. Ia dirumuskan melalui Pasal 22-27 DUHAM.13

Generasi ketiga, merupakan rekonseptualisasi dari generasiHAM sebelumnya. Ia dapat dipahami dengan cara terbaik sebagaisuatu produk dari kebangkitan dan kejatuhan negara-bangsa dalamparuh kedua dari abad ke-20. tercantum dalam Pasal 28 DUHAM,ia tampak mencakup enam hak sekaligus. Tiga dari mereka me-refleksikan bangkitnya nasionalisme dunia ketiga dan keinginannyauntuk mendistribusikan kembali kekuatan, kekayaan, dan nilai-nilaiyang penting.14

Di dalam membahas persoalan generasi HAM tersebut, ada duahal yang perlu diperhatikan. Pertama, masalah pertentangan antarahak politik dan eknomi, yang secara resmi telah diselesaikan di Winapada tahun 1993. Kedua, HAM adalah bagian dari demokrasi dantidak terpisahkan dari demokrasi. Kedua hal ini berpengaruh atasnegara-negara baru (termasuk Indonesia) yang sedang dalam masatransisi dari rezim otoriter ke negara demokrasi.15

Indonesia melalui konstitusi dasarnya (UUD 1945) telah meng-akomodasi eksistensi HAM dalam hal ini ada 40 hak konstitusional

12 Satya Arinanto, Ibid., hal, 79.13 Satya Arinanto, Ibid, hal, 79.14 Santya Arinanto, Ibid., hal 80.15 Fatkhurohman, 2010, Pembubaran Partai Politik di Indonesia, Tinjauan Historis

Normatif Pembubaran Partai Politik sebelum dan Sesudah Terbentuknya MahkamahKonstitusi, Setara Press, Malang, hal, 74.

Page 49: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

28

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

setiap warga negara yang diberikan oleh UUD 1945 pasca amandemenyang harus dihormati (to respect), dilindungi (to protect), dan dipenuhi(to fulfill) yang dapat dikelompokkan dalam 14 rumpun.16 Dalamtulisan ini hanya akan mengambil dua rumpun yakni:1. Hak atas kemerdekaan pikiran dan kebebasan memilih, yang

dapat dibaca melalui Pasal 28I Ayat (1); Hak atas kemerdekaanpikiran dan hati nurani; Pasal 28E Ayat (3) Hak atas kebebasanberserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.

2. Hak atas Pemerintahan, yang dapat dibaca melalui Pasal 28 DAyat (3), Hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalampemerintahan.

Pasal 28 UUD 1945 pasca amandemen inilah yang menjadirujukan dan jaminan kekuatan regulasi dasar bagi lahirnya sejumlahorganisasi masyarakat dan partai politik di Indonesia.

16 A. Mukhtie Fajar, “Mahkamah Konstitusi Sebagai Pengawal dan Penafsir Konstitusi:Masalah dan Tantangan” dalam Sirajuddin (Penyunting), Konstitusionalisme Demokrasi,Sebuah Diskursus tentang Pemilu, Otonomi Daerah dan Mahkamah Konstitusi, SebuahKado untuk “Sang Pengembala” Prof. A. Mukthie Fajar, S.H.,M.Si., In-Trans, Malang, hal, 4.

Page 50: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

29

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

Mencita-citakan pemerintahan yang bebas korupsi tidak bisamelupakan aspek penyokong pemerintah yang paling utama, yaknipartai politik untuk melakukan reformasi menjadi institusi yang bersihpula. Salah satu problem mendasar berupa perilaku korupsi politikdi partai politik marak terjadi karena tak jelasnya model pengaturantentang pendanaan partai politik baik dalam menjalankan rodaorganisasi internal partai politik maupun pendanaan pembiayaan saatPemilu berlangsung.

Itulah sebabnya, pendanaan partai politik harus diatur secaracermat dalam hal sumber pendapatannya, model akuntabilitaspengelolaannya, hingga penggunaannya untuk kepentingankonstituen, dan politik lainnya. Hanya dengan mengatur secaracermat, rigid, dan sistematik lah partai politik akan dapat menjadiorganisasi yang bersih dan kelak dapat melakukan fungsi kontroljalannya pemerintahan dan juga menyiapkan visi-misi besar dan pro-gram kerja yang konkrit untuk mewujudkan cita-cita kesejahteraanrakyat sebagai tujuan akhir demokrasi perwakilan.

Berikut ini akan diuraikan sejumlah gagasan pemikiran tentangpendanaan partai politik dan menelisik faktor-faktor penyebab partaipolitik melaukan korupsi.

... Bab Keempat ...

Pendanaan Parpol dan FaktorKorupsi Politik

Page 51: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

30

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

A. Partai Politik dan PendanaannyaPilihan politik hukum suatu negara terhadap sistem Pemilu yang

dijalankan akan memengaruhi besar kecilnya dana yang dikeluarkanoleh partai politik. Sistem Pemilu proporsional dengan varian closedlist pembiayaan partai politik lebih murah, karena yang melakukankampanye difokuskan pada organisasi partai politik. Sedangkan sistemPemilu mayoritas atau distrik pembiayaan Pemilu lebih mahal karenaaktor kampanye bukan partai politik melainkan calon. Adapun sistemPemilu proporsional dengan varian open list berbasis suara terbanyakakan menelan biaya yang sangat mahal dan cenderung liberal karenakompetisi tidak lagi antara partai politik akan tetapi antarcalon.Karena itu, korupsi politik saat kampanye dalam bentuk transaksipolitik antara pemilih dan calon (buying vote/money politics) lebih banyakterjadi dalam sistem kampanye proporsional varian open list denganvarian suara terbanyak daripada sistem distrik atau sistem mayoritas.1

Partai Politik adalah organisasi nirlaba, karena didirikan secarasukarela. Namun, pembiayaan organisasi partai politik tak terhingga.Akibatnya, partai politik harus mempersiapkan sumber pendanaanpartai politik guna survive dalam menjalankan program-programpartai politik.2 Sumber pendanaan partai politik sebagaimanadipraktikkan di seluruh dunia berasal dari tiga sumber, yaknisumbangan anggota partai politik; sumbangan dari pihak ketigaperorangan, dan badan usaha; dan dari sumber pendapatan negara.3

Maraknya korupsi politik yang dilakukan oleh partai politik diIndonesia, disebabkan karena antara biaya politik yang dikeluarkanoleh partai politik baik untuk menunjang kegiatan organisasi maupunkampanye tidak sebanding, lebih banyak pengeluarannya daripadapendapatannya. Akibatnya, Parpol melakukan dengan cara-cara yangtidak sah menurut UU, lebih dari itu partai politik tidak melakukanakuntabilitas dan transparansi dalam pengelolaan dana partai politik.4

1 Ibrahim Zuhdi Fahmi Badoh, 2009, Pendanaan Politik dalam Pemilu dan Korupsi,Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI), Jakarta, hal, 314-337.

2 Sigit Pamungkas, 2008, “Korupsi dan Politikus”, Kompas, 7 Agustus, hal, 6.3 Didik Supriyanto, 2015, “Besaran Bantuan Partai Politik”, Kompas, 19 Maret, hal, 6.4 Junaidi, dkk., Veri, 2011, Anomali Keuangan Partai Politik, Penganturan dan Praktek,

Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahaan, Jakarta.

Page 52: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

31

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

B. Kelemahan Pengaturan Pendanaan Partai PolitikPendanaan politik dibagi dalam dua model. Pertama, dana partai

politik mengacu pada pemasukan dan pengeluaran yang terkaitdengan aktivitas partai politik. Kedua, dana kampanye terkait denganpemasukan dan pengeluaran kampanye partai partai politik ataukandidat selama masa kampanye Pemilu berlangsung.

Dua model pendanaan itu telah diatur dalam peraturan yangberbeda. Pendanaan partai politik diatur dalam UU No. 2 Tahun 2011tentang perubahan atas UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.Sedangkan model pendanaan kampanye partai politik, dan kandidatselama masa kampanye diatur dalam tiga rezim yang berbeda, UUNo. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRDdan UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilu Presiden dan WakilPresiden dan UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur,Bupati Walikota (UU Pilkada).

Dalam pengaturan pendanaan partai politik, terjadi sejumlahkekurangan yang mengakibatkan partai politik hanya dikuasai olehsegelintir orang kuat yang mampu membiayai pendanaan partaipolitik dan akan menjerumuskan partai politik ke dalam jurangpraktik oligarki di mana organisasai partai politik hanya dikendalikanoleh sedikit orang yang paling berpengaruh di dalam tubuh partaipolitik karena sumbangan dananya pada partai cukup besar di-bandingkan anggota partai yang lain. Hal ini dapat dibuktikanberdasarkan ketentuan dalam Pasal 34 UU No.2 Tahun 2011dinyatakan bahwa sumber keuangan partai politik adalah: (i) iurananggota; (ii) sumbangan yang sah menurut hukum dan (iii) bantuankeungan dari APBN dan APBD.

Ketentuan UU ini tidak mengatur pembatasan jumlah nomimalpendanaan partai politik yang berasal dari anggota partai politik dandiserahkan pengaturannya melalui AD/ART partai politik. Padahal,hampir semua partai politik belum pernah mengatur jumlah batasannominalnya. Dampaknya adalah memungkinkan terjadinya monopoliatas pembiayaan partai politik oleh sedikit elit yang memiliki uang.5

5 Reza Syawawi, 2015, Memperkuat Akuntabilitas Pendanaan Politik, dalam Saldi Isra,dkk., 2015, Pemilihan Umum Serentak, PT Rajawali Press, Jakarta, hal, 695.

Page 53: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

32

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

Adapun sumber keuangan yang sah menurut hukum terbagiatas tiga sumber, yaitu perseorangan anggota partai politik, per-seorangan bukan anggota Parpol, dan perusahaan/badan usaha.Untuk kategori sumbangan yang bersumber dari perseorangan partaipolitik tidak dibatasi oleh undang-undang sebagaimana sumberkeunagan yang berasal dari iuran anggota. Pembatasannyadiserahkan kepada masing-masing Parpol sesuai AD/ART. Pem-batasan nominal hanya diberikan terhadap perseorangan bukananggota Parpol sebesar maksimal 1 miliar rupiah dan perusahaan/badan usaha maksimal sebesar 7.5 miliar rupiah dalam jangka waktu1 tahun anggaran.

Kelemahan utama pengaturan sumber keuangan Parpol berasaldari perusahaan/badan usaha ada dua hal. Pertama, Undang-UndangParpol tidak secara tegas membedakan apakah perusahaa-perusahaanyang terafiliasi (perusahaan induk, anak perusahaan) dapatmemberikan sumbangan secara terpisah atau hanya satu kali. Kedua,kepemilikan saham perusahaan/badan usaha yang dimiliki olehperseorangan anggota Parpol atau perseorangan bukan anggotaParpol tidak dibatasi dalam memberikan sumbangan bagi Parpol.6

Kelemahan pengaturan pembatasan nominal iuran dari perse-orangan anggota partai politik juga terjadi dalam pengaturanpendanaan kampanye partai politik atau kandidat selama masakampanye sebagaimana tertuang dalam ketentuan Pasal 129 Ayat (2)UU No.8/2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD padaPemilu tahun 2014, di mana dana kampanye Pemilu bersumber dari:(a) partai politik; (b) calon anggota DPR dan DPRD; (c) sumbangansah menurut hukum dari pihak lain. tidak adanya batas besarannominal jumlah iuran yang dapat dibayarkan oleh perseorangananggota Parpol kepada partainya. Ketentuan pasal ini telah menem-patkan iuran perorangan anggota Parpol sebagai sumber pendanaanyang tidak dapat dikontrol berapa besarnya. Akibatnya, perorangananggota Parpol akan memberikan banyak uang pada Parpolnya.Inilah penyebab utama mengapa Parpol hanya dikuasai oleh merekayang memiliki sumbagan uang paling banyak pada Parpolnya.Sehingga Parpol bukan lagi organisasi yang dikelola secara bersama

6 Reza Syawawi, Ibid., hal, 696

Page 54: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

33

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

oleh semua anggota, melainkan hanya dikelola oleh segelintirkelompok elit politik.

Di titik ini Parpol telah gagal menjadi institusi paling demokratisdalam pengelolaan organisasi. Akibatnya tidak semua warga negaradapat berperan aktif dalam organisasi Parpol sebagai wujudpengejawantahan hak untuk berekpsresi dan berasosiasi secarawajar dan alamiah.

Dalam hal akuntabilitas manajemen pengelolaan pendanaankeuangan Parpol telah diatur dalam ketentuan Pasal 39 Ayat (1), (2),dan (3) UU No.2 Tahun 2011 tentang Partai Politik yang menyatakan,bahwa (1) pengelolaan keuangan partai politik dilakukan secaratransparan dan akuntabel. (2) pengelolaan keunagan Parpol sebagai-mana dimaksud pada ayat (1) diaudit oleh akuntan publik setiap 1tahun dan diumumkan secara periodik. (3) partai politik wajibmembuat laporan keuangan untuk keperluan audit dana yangmeliputi (a) laporan realisasi anggaran Parpol; (b) laporan neraca;dan (c) laporan arus kas.

Akan tetapi realitasnya, tidak satupun partai politik pesertaPemilu tahun 2014 mampu mengikuti peraturan ini dalam halkewajibannya untuk melaporkan pengelolaan keuangan secaraperiodik dan semua Parpol tidak mampu melaporkan pendanaankeuangan Parpol untuk kampanye kepada KPU.7

Menurut Institut Akuntan Publik Indonesia (IAPI), setidaknyaada enam titik rawan dalam pelaporan dan audit dana kampanye diIndonesia, antara lain:8

1. Parpol mencatat pemasukan dari sumber-sumber terlarang denganmenggunakan pihak-pihak tertentu sebagai penyumbang fiktifuntuk menyamarkan dana dari sumber ilegal.

2. Parpol tidak mencatat pemasukan dari sumber-sumber terlarangdan tidak memasukkan ke dalam rekening khusus dana kampanye,sehingga tidak terlihat adanya penerimaan dari sumber-sumberterlarang. Dana terlarang langsung dikonversi menjadi kegiatankampanye (tidak melalui dana kampanye).

7 Hifdzil Alim, 2015,”Redesain Dana Partai dan Kampanye”, dalam Saldi Isra, dkk, 2015,Pemilihan Umum Serentak, PT Rajawali Press, Jakarta, hal, 638.

8 Donal Fariz, 2015, “Manipulasi Dana Kampanye Dalam Pemilu“, dalam Saldi Isra, dkk,2015, Pemilihan Umum Serentak, PT Rajawali Press, Jakarta, hal, 689-690.

Page 55: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

34

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

3. Parpol mencatat penerimaan tidak dalam jumlah sebenarnya(misalnya, sumbangan berbentuk jasa/barang yang melewatibatasan sumbangan, hanya dicatat sejumlah nilai yangdiperbolehkan.

4. Parpol memasukkan dana terlarang ke dalam rekening Parpoldan selanjutnya dimasukkan ke dalam rekening khusus danakampanye .

5. Pelaksana audit rentan dilakukan oleh pihak-pihak yang tidakmempunyai kewenangan, yaitu dilakukan oleh pihak lain ataudisubkontrakkan dari akuntan publik yang bersangkutandengan pihak lain yang tidak berwenang untuk melakukanaudit. Hasilnya dapat berupa hasil audit yang tidak berkualitas.

6. Tender untuk audit kemungkinan rawan tindak pidana korupsi(gratifikasi suap dan sebagainya).

Problem utama Parpol di Indonesia adalah tidak memiliki tradisidan keterampilan untuk menggalang dana publik untuk pendanaanParpol. Politisi Indonesia terbiasa disumbang oleh segelintir orangnamun dalam jumlah sangat besar. Ini dapat dibuktikan dengan kianbanyaknya para pengusaha yang masuk ke Parpol dan segera men-dapat posisi strategis karena menyumbang pendanaan Parpol.

Padahal seharusnya, Parpol mampu melakukan cara-cara kreatifdalam pemenuhan pendanaan Parpol, seperti dipraktikkan di banyaknegara modern dengan membedakan menjadi dua sumber pen-danaannya.9 Pertama, dari pribadi partai politik (private financing),seperti iuran anggota yang dibatasi; pendapatan dari properti partai;dan pendapatan dari aktivitas partai berupa penjualan surat kabardan terbitan lainnya. Kedua, dari pendanan publik (public financing),seperti penggalangan dana (fundraising activities); festival dan acarasosial Parpol; dan pungutan dana ke publik dalam bentuk lainnya.

C. Faktor-faktor Korupsi Partai Politik1. Partai Politik, Agen Penting Tanpa Kualitas

Parpol ditempatkan sebagai agen penting bernegara dalamkonstruksi UUD 1945 pasca amandemen menempatkan partai politiksebagai agen utama pelembagaan demokrasi di Indonesia. Kader

9 Hifzil Alim, Ibid., hal, 639.

Page 56: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

35

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

Parpol di DPR mempunyai fungsi legislasi, fungsi anggaran, danfungsi pengawasan. Tugas-tugas DPR dalam UUD 1945 hasilamandemen adalah membentuk undang-undang, sesuai ketentuanPasal 20 Ayat (1), membahas rancangan undang-undang (RUU)bersama presiden sesuai maksud Pasal 20 Ayat (2), dan membahasrencana anggaran pengeluaran belanja negara (RAPBN) bersamapresiden sesuai ketentuan Pasal 23 Ayat (2).

Karena itu, Parpol memiliki peran yang sangat besar dalammemengaruhi struktur kenegaraan. Parpol bahkan berperan dalamproses pencalonan legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Fungsirekrutmen politik ini begitu penting tidak saja dari segi legitimasikewenangan, tapi juga untuk menjamin kualitas kepemimpinanbangsa pada berbagai lembaga kenegaraan di pusat dan di daerah.

Secara resmi, DPR bertugas dan menjalankan fungsi legislasi,anggaran dan pengawasan atas jalannya pemerintahan, namundengan beberapa wewenang, DPR telah berkembang menjadisuperbody fungsi pengawasan yang dijalankan DPR mengarah padakedaulatan parlemen.10

Melalui otoritas legislasi yang dimiliki, DPR bahkan memberi haktunggal bagi diri sendiri guna menyeleksi para pejabat publik, sepertipimpinan Bank Indonesia, Panglima TNI, Kapolri, serta pimpinandan anggota komisi negara yang pembentukannya melalui UU Otoritasyang seharusnya melekat pada presiden dalam skema presidensialismemenjadi peluang bagi DPR untuk melembagakan “gangguan” ter-hadap presiden. Desain konstitusi yang semula hendak menye-imbangkan kekuasaan eksekutif-legislatif akhirnya terperangkappada situasi DPR heavy. Ada kesan sistem pemerintahan Indonesiamemang presidensial, namun lebih bercitarasa parlementer.11

Akan tetapi pada saat bersamaan tidak diiringi dengan modelrekrutmen kader partai yang meritokratis, minus moralitas dantanggung jawab publik. Banyak kader partai yang direkrut secarakarbitan tanpa seleksi pendidikan, rekam jejak, dan pengalamanberorganisasi yang memadai. Jadilah partai politk menjadi hanya

10 Hendardi, 2008, “Presidensial atau Parlementer”, Kompas, 9 April 2008, hal, 6.11 Syamsuddin Haris, 2008, “Presidensial Cita Rasa Parlementer”, Kompas, 28 Novem-

ber 2008, hal, 4. Sejalan dengan itu dapat di lihat, Bambang Kesowo, 2010, “KemangkusanPemerintah” Kompas, 19 Januari 2010, hal, 6.

Page 57: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

36

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

mampu mengait orang-orang “buangan” atau kelas dua dalam stupasosial di masyarakat.12

2. Pembiayaan Partai Politik MahalModel pembiayaan organisasi partai politik untuk survavilitas

partai cenderung tidak jelas. Sisi investasi finansial untuk memenuhikebutuhan partai pun tak terbatas. Pada saat bersamaan, partaiadalah institusi yang didesain tidak dengan motif mencari laba. Partaiadalah institusi nirlaba, namun melibatkan investasi tak terhingga.13

Sementara, mengandalkan subsidi negara melalui bantuan AnggaranPendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk partai politik, takmencukupi dan iuran anggota partai tak memadai. Maka tak ada caralain selain harus memanfaatkan kader-kader partai politik di DPRuntuk menjadi agen partai dalam mengisi kekosongan kas keuanganpartai. Begitu pula kader-kader partai yang menduduki jabatanmenteri, staf ahli menteri dan utusan khusus menteri yang sebisamungkin dapat menggelontorkan pundi-pundi uang ke kas partaitentu saja dengan memanfaatkan jabatan yang dimilikinya.

Modus dan cara itulah yang dilakukan oleh Muhammad NazaruddinCs (Bendahara umum Partai Demokrat), yang melibatkan MenporaAndi Malaranggeng, Anas Urbaningrum, dan Angelina Sondakhdalam kasus Wisma Atlit Hambalang dan belakangan dilakukan dalamkasus impor sapi di kementerian Pertanian yang melibatkan PresidenPKS Luthfi Hasan Ishak.

Simulasi yang dilakukan Veri Junaidi (2011), perkiraan besar belanjasatu partai per tahun sekitar Rp51,2 miliar, sedangkan pendapatanParpol hanya berkisar Rp1,2 miliar. Pemasukan Parpol berasal darisubsidi Negara, hanya Rp0,6 miliar. Sisanya didapat dari iuran perse-orangan, bukan anggota partai dan anggota partai. Mengandalkanpada iuran anggota partai sulit dilaksanakan dan dapat memenuhitarget kebutuhan partai, selain karena tak ada mekanisme yang jelas,serta jumlah yang pasti melalui pengaturan AD/ART partai. Itulahsebabnya sumber dana partai yang paling favorit adalah me-manfaatkan dana-dana nonformal yang cenderung gelap dan haram.14

12 Agus Riewanto, “Memotong Mata Rantai Korupsi di Birokrasi dan Partai Poitik”,MediaIndonesia, 7 Desember 2012, hal, 10.

13 Sigit Pamungkas, 2008, “Korupsi dan Politikus”, Kompas, 7 Agustus 2008, hal, 6.14 Agus Riewanto, 2013, “Parpol Biang Korupsi Sistemik”, Koran Jakarta, 9 Desember

2014, hal, 6.

Page 58: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

37

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

3. Pilihan Model Sistem Pemilu Tak TepatBerdasarkan sejarah Pemilu di dunia, pilihan terhadap sistem

Pemilu dapat memengaruhi tinggi rendahnya praktik politik uang disuatu negara. Negara yang memilih sistem proporsional tertutup dimana peran Parpol cukup kuat dalam kampanye Pemilu, biasanyabiaya Pemilu sangat murah. Karena model ini melibatkan pendanaanoranisasi Parpol dan para calon cukup memadai.

Sedangkan, negara yang menganut sistem distrik (mayoritas) dimana peran calon cukup kuat sedangkan peran Parpol lemah dalamkampanye Pemilu, biasanya biaya Pemilu menjadi mahal, karena pastimelibatkan pihak ketika (Tim Sukses) dalam kampanye untukmenonjolkan peran calon. Maraknya praktik kecurangan Pemilu 2014terutama politik uang lebih disebabkan oleh pilihan sistem Pemilu.Sejak Pemilu 2009 hingga 2014, sistem yang dianut Indonesia adalahsistem proporsional terbuka yang berbasis suara terbanyak. Modelini jelas memerlukan biaya politik uang yang relatif mahal, jikadibandingkan dengan sistem proporsional tertutup dengan nomorurut, seperti pada Pemilu 1999 dan 2004.15

Pilihan sistem Pemilu 2014, proporsional dengan suara terbanyak,berimplikasi pada kompetisi tidak lagi antar Parpol melainkanantarcaleg. Model ini membuat setiap caleg merasa perlu menge-luarkan uang sebanyak-banyaknya untuk dapat meraih simpatipemilih dengan menghalalkan segala cara dan aneka kegiatan.Akibatnya, kompetisi dalam Pemilu 2014 bukanlah kompetisi atasplatform dan program Parpol melainkan kompetisi berbasis uang.

Maraknya praktik politik uang dalam Pemilu 2014 ini selain faktorpilihan sistem Pemilu juga faktor kian pragmatisnya pemilih yangtak mampu lagi membedakan ideologi antar Parpol dan hanya mampumenandai caleg yang paling mampu membiayai kebutuhan pemilih.Oleh karena itu jika Pemilu 2014 ini angka partisipasi pemilihmeningkat pesat dibanding Pemilu sebelumnya atau angka golputmenurun, ini pasti tidak disebabkan bukan oleh kesadaran pemilihsecara otonom untuk datang ke tempat pemungutan suara (TPS),melainkan karena dimobilisasi oleh caleg dan Parpol dengan anekahadiah dan sejumlah uang.

15 Lihat uraian dari Agus Riewanto, “Menyoal Kecurangan Pemilu“, Republika, 30April 2014, hal, 6.

Page 59: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

38

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

Praktik politik uang dalam Pemilu 2014 telah menciderai harapanpublik, bahwa Pemilu 2014 ini jauh lebih baik dari Pemilu sebelumnya.Ternyata, kebaikan dari Pemilu 2014 ini hanya pada aspek prosespenyelenggaraannya yang relatif aman dan lancar, namun dari aspeksubstansi jauh lebih buruk dari Pemilu sebelumnya, karena praktikpolitik uang di Pemilu 2009 tidak semarak dan sevulgar dari Pemilu2014 ini. Lebih dari itu, Parpol diproyeksi harus meraih kursi dalamPemilu legislatif, pilkada bupati/walikota/gubernur, bahkan presiden.Realitasnya, biaya politik sangat mahal, mulai dari menyewakendaraan partai, biaya sosialisasi calon, kampanye, bahkan anekabantuan sosial. Model Pemilu langsung yang diperkenalkan sejaktahun 2004, 2009, dan 2014 melalui pemilihan presiden secara langsung(Pilpres) dan berlanjut ke pemilihan kepala daerah secara langsung(Pilkada) dari tahun 2005 hingga 2014 ini telah memecah belahmasyarakat dan mengurung masyarakat dalam budaya demokrasitransaksional.16 Pada gilirannya, model Pemilu dimaksud, mendorongpartai politik tak lagi berideologi politik, berprogram pemberdayaanpublik, bervisi pembangunan bangsa yang jelas dan mendorongkemakmuran rakyat melainkan berideologi partai politik yangseragam, yakni ideologi uang.17

D. Pilihan Sistem Multipartai Ekstrim1. Multipartai Politik Ekstrim Pemilu 2009

Undang-Undang No.10 Tahun 2008 Jo UU No.8 Tahun 2012tentang Pemilu Anggota, DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRDKabupaten/Kota yang menjadi rujukan dalam penyelenggaraanPemilu tahun 2009 dan 2014 ternyata menganut asas sistem multi-partai ekstrim. Dengan demikian, bertentangan dan tidak harmonidengan asas-asas dalam pasal-pasal UU No.2 Tahun 2008 tentangPartai Politik jo UU No.2 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas UUNo.2 Tahun 2011 yang menganut asas multipartai sederhana.

Sejumlah fakta normatif, melalui pasal-pasal dalam UU ini, akandijadikan pijakan dalam merumuskan argumentasi dimaksudberdasarkan ketentuan bagian ketiga tentang pendaftaran Parpol

16 Lihat Agus Riewanto, 2010, “Pilkada Biang Korupsi”, Suara Merdeka, 16 Agustus2010, hal, 6.

17 Tentang ideologi lihat, Leon P.Baradat, 1972, Contemporary Political Ideologies,Homewood, III: Dorsey Press, hal, 9-10.

Page 60: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

39

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

sebagai calon peserta Pemilu. Parpol dapat menjadi peserta Pemiludengan mengajukan pendaftaran untuk menjadi calon peserta Pemilukepada KPU.18 Pendaftaran tersebut harus dilengkapi dengandokumen persyaratan,19 di antaranya meliputi Berita Negara RepublikIndonesia, bahwa Parpol tersebut telah terdaftar berbadan hukum.20

Kemenkum HAM Republik Indonesia telah meloloskan partaipolitik berbadan hukum tahun 2008 sebanyak 24 partai politikpendaftar sejumlah 115 partai politik.21 Logikanya KPU hanya akanmenerima pendaftaran Parpol calon peserta Pemilu tahun 2009sebanyak 24 Parpol saja, namun kenyataannya KPU menerimapendaftaran Parpol calon peserta Pemilu sebanyak 74 Parpol, KPUakan melakukan verifikasi persyaratan administrasi dan faktualterhadap 74 Parpol calon peserta Pemilu tersebut. Adapun ke-74 Parpoltersebut memiliki tiga kategori. Pertama, Parpol berbadan hukumberdasarkan UU No. 31/2002 Parpol sebagai peserta Pemilu tahun2009 sebanyak 16 Parpol. Kedua, Parpol berbadan hukum berdasarkanUU No.31/2002, bukan peserta Pemilu sebanyak 26 Parpol. Ketiga,Parpol berbadan hukum berdasarkan UU No.2/2008 tentang Parpolsebanyak 24 Parpol.

Membengkaknya jumlah Parpol calon peserta Pemilu yang akandi verifikasi ini disebabkan oleh adanya ketentuan dalam UU No. 10/2008 Pasal 316 dalam ketentuan peralihan yang menyatakan, bahwa:

“Parpol peserta pemilihan umum tahun 2009 dapat mengikutipemilihan umum apabila memiliki kursi di DPR RI hasilpemilihan umum 2004”.22

Melalui ketentuan pasal ini, maka 16 Parpol peserta Pemilu tahun2004 yang memiliki kursi di DPR RI, kendati hanya memiliki kursi

18 Pasal 14 Ayat (1) UU No.10 Tahun 2008 Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD,DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

19 Pasal 14 Ayat (4) UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

20 Pasal 15 huruf a UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Verifikasi administrasi berkas calonParpol berbadan hukum dilakukan oleh Kemenkum HAM Republik Indonesia dimulaitanggal 27 Februari 2008 dan dinamakan status Parpol yang memiliki badan hukum padaTanggal 2 Mei 2008.

21 Verifikasi administrasi berkas calon partai politik berbadan hukum dilakukan olehKemenkumham Republik Indonesia dimulai Tanggal 27 Februari 2008 dan dinamakan sta-tus Parpol yang memiliki badan hukum pada Tanggal 2 Mei 2008.

22 Pasal 316 huruf d UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

Page 61: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

40

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

satu sekalipun secara otomatis dapat menjadi peserta Pemilu tahun2009 tanpa melalui verifikasi administrasi dan faktual oleh KPU.

Ketentuan Pasal 316 ini bertentangan secara diakronis denganketentuan Pasal 315 yang mengatur tentang electoral threshold,(ambang batas perolehan suara Parpol yang dapat diikutsertakandalam Pemilu berikutnya 3 persen perolehan suara). Pasal 316 inimenyatakan, bahwa:

“Parpol peserta pemilihan umum tahun 2004 yang memperolehsekurang-kurangnya 3% jumlah kursi di DPR RI atau memperolehsekurang-kurangnya 4% jumlah kursi di DPRD Provinsi yangtersebar sekurang-kurangnya di ½ (setengah) jumlah kursiseluruh Indonesia, atau memperoleh sekurang-kurangnya 4%jumlah kursi DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar sekurang-kurangnya di ½ (setengah) jumlah Kabupaten/Kota seluruhIndonesia, ditetapkan sebagai Parpol peserta pemilihan umumsetelah pemilihan umum tahun 2004”.23

Jika konsisten dengan ketentuan Pasal 315, maka Parpol pesertaPemilu tahun 2004 yang berhak mengikuti Pemilu tahun 2009 adalahhanya 8 Parpol yang memenuhi ambang batas (electoral threshold) 3persen yaitu: partai Golkar, PDIP, PPP, PKB, PAN, PKS, Demokrat,dan PBB. Ketidakkonsistenan dalam mematuhi 315 ini telah me-lahirkan norma baru berupa Pasal “karet” (316) yang memper-bolehkan semua Parpol peserta Pemilu yang memiliki kursi di DPRRI, kendati tidak sampai memenuhi ambang batas (electoral threshold)3%. Dengan demikian, maka Parpol yang memenuhi ambang batas3% ditambah 8 Parpol yang tidak memenuhi ambang batas 3% kursidi DPR RI yakni: PDS, PDK, PNI Marhaenisme, PKPB, PBR, PKPI,PPDI, dan Pelopor otomatis menjadi peserta Pemilu tahun 2009.

Kehadiran norma baru Pasal 316 tersebut telah gagal meng-akomodasi penyederhanaan jumlah Parpol peserta Pemilu tahun 2009.Karena jumlah 16 Parpol ini masih bertambah dengan Parpol lain,calon peserta Pemilu hasil verifikasi Kemenkum HAM dan Parpol yanggagal menjadi peserta Pemilu tahun 2009, tetapi berbadan hukum.

Ketentuan norma baru Pasal 316 ini juga bertentangan denganputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam uji materiil (judicalreview), terhadap Pasal 9 Ayat (1) dan Ayat (2), UU No.12 Tahun 2003

23 Pasal 315 huruf d UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

Page 62: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

41

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

menyatakan bahwa ambang batas (electoral threshold) untuk dapatmenjadi Parpol tahun 2009 adalah bila Parpol tersebut dapatmemperoleh kursi di DPR RI sejumlah 3 persen.24

Pembatasan Parpol untuk menjadi peserta Pemilu tahun 2009dari hasil Pemilu 2004 melalui ketentuan pasal ini. Putusan MKdianggap tidak bertentangan dengan Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945tentang persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan,25

dan tidak bertentangan dengan Pasal 28 Ayat (1) UUD 1945 tentanghak untuk bebas dari perlakuan diskriminatif.26 Dengan demikian,MK memutuskan bahwa ke-13 Parpol yang tidak dapat memenuhiambang batas (electoral threshold) 3%, dalam Pemilu tahun 2004 laluotomatis tidak dapat menjadi peserta Pemilu tahun 2009.27 Dengankata lain, jika ke-13 Parpol tersebut berkeinginan untuk ikut sertadalam Pemilu tahun 2009, maka harus melalui proses seleksiadministrasi di Kemenkum HAM dan KPU sesuai dengan ketentuanUU yang akan berlaku pada Pemilu tahun 2009.

Artinya berdasar pada putusan MK, maka ketentuan Pasal 315harus dipatuhi oleh para perancang revisi terhadap UU No.12/2003tentang Pemilu tahun 2004, yang kelak menjadi UU No.10/2008untuk mengakomodasikan jumlah Parpol peserta Pemilu tahun 2009.

Hadirnya ketentuan Pasal 316 UU No.10/2008 bagi 13 Parpol yangtidak memperoleh kursi 3 persen pada Pemilu 2004 ini bak mendapat“durian runtuh”. Karena mengajukan uji materiil melalui MK gagal,namun berhasil melalui revisi terhadap UU ini di DPR. Melihatketentuan Pasal 316, UU No. 10 Tahun 2008 yang “aneh” ini, telahmendorong 7 Parpol yaitu: PPD, PPIB, PNBK, PP, PBSD, PSI, danPartai Merdeka peserta Pemilu tahun 2004 yang gagal memperolehkursi di DPR RI untuk melakukan uji materiil (judicial review) ke MK.Dengan menggunakan dalil hukum yang sama saat 13 Parpol yangtidak memenuhi (electoral threshold) 3% mengajukan uji materiil ke MKpada tahun 2007 lalu. Putusan MK atas permohonan uji materiil ter-hadap Pasal 316, UU No. 10/2008 ini dikabulkan MK. MK menganggap

24 Uji materiil ini diajukan oleh 13 Parpol peserta pemilihan umum tahun 2004 yanggagal memperoleh kursi 3 persen di DPR RI, Yaitu: PPD, PPIB, PBR,PDS, PBB, PKPI,PPDK, PNBK, PPDI, PBSD, PSI dan PKPB.

25 Pasal 27 Ayat (1) UUD 1945 Pasca Amandemen.26 Pasal 28 Ayat (1) UUD 1945 Pasca Amandemen.27 Baca putusan MK No.16/PUU-V/2007 tanggal 23 Oktobe 2007

Page 63: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

42

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

pasal ini bertentangan dengan Pasal 28 Ayat (1) UUD 1945 dan Pasal27 Ayat (1) UUD 1945. Oleh karena itu, Pasal 316 batal demi hukum.28

Sangat disayangkan putusan MK ini lahir terlambat, yakni satuhari setelah KPU menetapkan hasil verifikasi faktual dan menya-takan Parpol yang menjadi peserta Pemilu tahun 2009 sebanyak 34Parpol pada tanggal 9 Juli 2008.29 Keputusan MK tidak berlaku surut(retroactive) melainkan berlaku ke depan (prospective). Putusan MKtidak dapat dieksekusi oleh KPU.

Tidak lama setelah itu, masih terdapat 4 Parpol peserta Pemilutahun 2004, namun tidak mendapatkan kursi melakukan gugatan kePTUN yang menuntut keikutsertaannya dalam Pemilu tahun 2009.30

KPU kemudian menerima putusan PTUN DKI Jakarta yang mem-perbolehkan keikutsertaan ke-4 (empat) Parpol dalam Pemilu tahun2009, melalui putusan KPU yang mengubah Surat Keputusan (SK)KPU sebelumnya.31

KPU kemudian memutuskan jumlah peserta Pemilu tahun 2009adalah 38 Parpol nasional ditambah dengan 6 Parpol lokal khusus diPopinsi Nangroe Aceh Darussalaam (NAD), yakni Partai SuaraIndependen, Rakyat Aceh, Partai Rakyat Aceh, Partai Aceh dan PartaiBersatu Aceh.32 Maka total Parpol Pemilu tahun 2009 adalah sejumlah44 Parpol. Rincian Parpol tersebut adalah:a. 7 partai politik peserta Pemilu tahun 2004 yang telah memenuhi

syarat menjadi peserta Pemilu tahun 2009, sebagaimana dalamketentuan Pasal 315 UU No. 10 tahun 2008.33

28 Baca Putusan MK No.12/PUU-VI/2008 tanggal 10 Juli 200829 Baca Surat Keputusan Komisi Pemilihan Umum No.149/SK/KPU/2008 tanggal 9 Juli

2008 tentang Penetapan Parpol Peserta Pemilihan Umum30 Ke-4 (empat) Parpol tersebut adalah PPNUI, Partai Merdeka, PSI, PBSD.31 Dengan memperhatikan Putusan MK No.12/PUU-VI/2008 tanggal 10 Juli 2008 dan

Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) No.104/G/2008/PTUN-JKT tanggal 13 Agustus2008, maka pada tanggal 16 Agustus 2008 KPU telah menetapkan Keputusan No 208 /SK/KPU/Tahun 2008 tentang perubahan Keputusan KPU No.149/SK/KPU/Tahun 2008 yangmenetapkan 4 (empat) partai politik tambanahan, sdehingga jumlah Parpol peserta Pemilutahun 2009 yang semula berjumlah 40 menjadi 44 partai politik peserta Pemilu tahun 2009.

32 Tentang kehadiran Parpol lokal di Aceh ini adalah merupakan implementasi dariUndang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi NanggroAceh Darussalam (NAD), kemudian diganti dengan Undang-undang Nomor 11 Tahun2008 tentang Pemerintahan Aceh. Tentang kritik partai lokal Aceh dapat dibaca, Indra J.Pilliang, 2006, “Partai Lokal untuk Republik Kelima”, dalam Indra J.Pilliang dan T.A Legowo,2006, Desain Baru Sistem Politik Indonesia, CSIS, Jakarta, hal,103-118.

33 Pasal 315 UU No.10/2008 menyatakan: “Partai politik peserta Pemilu tahun 2004yang memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga perseratus) jumlah kursi DPR ataumemperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD Propinsi

Page 64: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

43

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

b. 9 partai politik peserta Pemilu tahun 2004 yang telah memenuhisyarat menjadi peserta Pemilu tahun 2009, sebagaimana dimaksuddalam ketentuan pasal 316 huruf d UU No. 10 Tahun 2008.34

c. 18 partai politik peserta Pemilu tahun 2004 yang telah memenuhisyarat menjadi peserta Pemilu tahun 2009, sebagaimana dimaksuddalam Pasal 316 huruf e UU No. 10 Tahun 2008.35

d. 6 partai politik lokal Provinsi Nangroe Aceh Darussalaam.36

e. 4 partai politik hasil putusan MK No. 12/PUU-VI/2008 tanggal 10Juli 2008.

Kehadiran norma baru Pasal 316 UU No.10/2008 yang gagalmengimplementasikan cita-cita penyederhanaan jumlah Parpolpeserta Pemilu tahun 2009 ini. Mudah diduga, bahwa pasal inimerupakan pasal kompromis antara elite Parpol besar yang mem-peroleh kursi melampaui ambang batas (electoral threshold) 3% denganelite Parpol kecil yang perolehan kursinya di bawah (electoralthreshold) 3%.

Hal ini dapat dibaca melalui pandangan fraksi-fraksi di DPR dalamRapat Paripurna untuk menyetujui Rancangan Undang-Undang(RUU) tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD untuk menjadiundang-undang. Saat itu, hari Kamis, 28 Februari 2008, tak adaperdebatan panjang mengenai pemberlakuan ET dan PT, bahkan takada semangat untuk menyederhanakan jumlah partai politik pesertaPemilu 2009, kecuali partai Golkar yang secara eksplisit menghendakiagar Pemilu 2009 diikuti oleh jumlah partai yang relatif sedikit, yaknidiperlukan rasionalisasi jumlah partai politik peserta Pemilu.37

yang tersebar sekurang-kurangnya di ½(setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia, ataumemperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD kabupaten?kotayang tersebar sekurang-kurangnya di ½ (setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh Indo-nesia, ditetapkan sebagai partai politik peserta Pemilu setelah Pemilu tahun 2004"

34 Pasal 316 Huruf d UU No.10 Tahun 2008 berbunyi: “Partai Politik Peserta Pemilutahun 2004 yang tidak memenuhi ketentuan pasal 315 dapat mengikuti Pemilu tahun 2009dengan ketentuan: huruf (d), memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004"

35 Pasal 316 Huruf e UU No.10 Tahun 2008 berbunyi: “Partai Politik Peserta Pemilutahun 2004 yang tidak memenuhi ketentuan pasal 315 dapat mengikuti Pemilu tahun 2009dengan ketentuan: huruf (e), memenuhi persyaratan verifikasi oleh KPU untuk menjadiPartai Politik peserta Pemilu sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini”.

36 Untuk Propinsi NAD dari 10 Parpol yang diverifikasi faktual, 6 Parpol lolos sebagaipeserta Pemilu anggota DPRA dan DPRK tahun 2009, yaitu: (1) Partai Aceh (PA); (2) PartaiAceh Aman seujahtera (PAAS); (3) Partai Atjeh Bersatu (PBA); (4) Partai Daulat Atjeh (PDA);(5) Patai Rakyat Aceh (PRA) dan ; (6) Partai suara Independen Rakyat Aceh (SIRA).

37 Sekretariat Jenderal DPR RI, 2008, RisalahPendapat Akhir Fraksi Golkar DPR RIDalam Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan terhadap Terhadap RancanganUndang-Undang Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD, Setjen DPR RI, Jakarta, hal, 32.

Page 65: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

44

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

Pasal 316 ini adalah hasil transaksi kepentingan Parpol besarversus Parpol kecil dalam menyiasati kepentingan masing-masing,Parpol besar berkeinginan memasukkan Pasal 202 UU No. 10/2008yang mengatur tentang paradigma dari sistem Pemilu tahun 2009,yakni dimasukkannya klausul parliamentary threshold (PT) atau ambangbatas perolehan kursi di parlemen sebanyak 2,5%. Namun, normabaru ini selalu ditolak oleh Parpol kecil, sedangkan Parpol kecilberkeinginan untuk tetap menjadi peserta Pemilu, tanpa bersusahpayah melalui proses verifikasi di Kemenkum HAM dan KPU.

Jalan satu-satunya untuk dapat mengakomodasi dua kepen-tingan secara bersamaan melalui UU ini dengan cara memuluskankeinginan Parpol kecil dengan menyetujui kehadiran Pasal 316, lalumau tidak mau, Parpol kecil harus turut mengakomodasi kepentinganParpol besar dengan hadirnya PT (Parliamentary Threshold) 2,5%melalui Pasal 202 UU No.10/2008.38

Menurut Ryaas Rasyid, kehadiran Pasal 316 merupakan cara amanuntuk dapat mengakomodasi dua kepentingan Parpol besar danParpol kecil, karena tidak mungkin menggabungkan model electoralthreshold (ET) dan parliamentary threshold (PT) sekaligus, sebab ETberlaku pada Pemilu tahun 2004 dan PT pada Pemilu tahun 2009, iniadalah Pasal kepentingan politik, pastilah dapat dikompromikan.39

Prinsip kompromistis dalam isu ET dan PT terlihat jelas dalampandangan Fraksi Partai Demokrat dalam Rapat Paripurna DPR RIdalam memberikan pandangan akhir fraksi tentang persetujuan RUUini. Juru bicara Fraksi Demokrat Agus Hermanto menyatakan:

“…Menurut kami ini adalah kompromistis yang cukup adil danproses awal yang membangun suatu demokrasi meski untukmencari batasan-batasan ET mengundang perdebatan diantarakita. Prinsip yang dibangun adalah harus memberi peluang dankesempatan kepada setiap partai politik, namun kita harus mem-beri batasan-batasan kepada partai politik sebagai wujud tanggungjawab partai politik kepada masyarakat. Ini bukan membatasidari hak-hak partai politik untuk berperan serta dalam Pemilihan

38 T.A Legowo, 2008, “Pemilu 2009, Konsolidasi Demokrasi Dan Perwakilan Politik”,Makalah Disampaikan dalam Seminar Nasional AIPI ke XXI bertema “MasalahKepemimpinan, Demokratis dan Kebangsaan di Indonesia”, Di selenggarakan oleh AIPI diMakasar pada tanggal 11-12 November 2008, hal, 11.

39 Fernita Darwis, 2009, Pemilihan Spekulatif, Mengungkap Fakta Seputar Pemilu 2009,PT.Alfabeta, Bandung, hal, 103.

Page 66: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

45

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

Umum tetapi ini merupakan suatu cerminan bahwa politik ituperlu kerja keras dan tidak terkesan mudah. Kita tidak inginparlemen yang akan datang akan mengalami kesulitan dalamsebuah keputusan yang akhirnya memperlambat proses men-jalankan fungsi-fungsi legislatif. Akan tetapi kita tidak inginmenutup peluang terhadap partai-partai politik yang telahmendapatkan kursi…”.40

Prinsip kompromis antarelite politik di DPR dalam melahirkanPasal 316 ini terlihat jelas dengan melihat posisi pasal ini yang terletakdi dalam ketentuan peralihan dengan tanpa menghapus ketentuanPasal 315 terlebih dahulu. Padahal ini tidak diberlakukan padaPemilu tahun 2009. Namun secara tiba-tiba, Pasal 316 disisipkansetelah Pasal 315. Ini juga menunjukkan betapa buruknya modellegal drafting dalam penyusunan UU No.10/2008 ini.

Membludaknya jumlah Parpol yang harus diverifikasi faktual olehKPU pada tahun 2009 sebanyak 74 Parpol, lalu ditetapkan oleh KPUsebagai peserta Pemilu tahun 2009 sejumlah 38 Parpol nasionalditambah 6 Parpol lokal, total sejumlah 44 Parpol. Karena adanyaketentuan bahwa Parpol dapat menjadi peserta Pemilu, setelahmemenuhi persyaratan berstatus badan hukum sesuai dengan UUtentang Parpol.41

Ketentuan ini mengandung persoalan hukum, karena yangdimaksud dengan undang-undang tentang Parpol ternyata tidak“konsisten” sebab UU Parpol yang lama secara otomatis juga masihberlaku, sebab tidak ada klausul yang menetapkan bahwa denganUU No.2/2008 ini status badan hukum partai-partai yang sebelumnyatidak dinyatakan “berakhir”, tetapi statusnya tetap memiliki badanhukum sebagai Parpol. Akibatnya, Parpol yang harus diverifikasioleh KPU cukup besar, tidak hanya Parpol yang baru didirikan atasdasar pendirian sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 2/2008 ini.42

40 Sekretariat Jenderal DPR RI, 2008, RisalahPendapat Akhir Fraksi Demokrat DPR RIDalam Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan terhadap Terhadap RancanganUndang-undang Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD, Setjen DPR RI, Jakarta, hal, 42.

41 Pasal 8 Ayat (1) huruf a Undang-undang No.10 Tahun 2008 tentang Pemilihan UmumAnggota DPR, DPD, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

42 Moch. Nurhasim, “Pemilu 2009, Perubahan Peta Politik dan Masalah KeterwakilanPolitik” dalam Hamdar Basyar dan Fredy BL.Tobing (cditor), 2009, Kepemimpinan Nasional,Demokratis dan Tantangan Global, AIPI-Pustaka Pelajar, Yogjakarta, hal, 170.

Page 67: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

46

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

Dari sudut teknis penyelenggaraan Pemilu tahun 2009, meng-gelembungnya jumlah Parpol tahun 2009 disebabkan oleh teknisverifikasi faktual yang dilakukan oleh KPU provinsi dan kabupaten/kota tidak seragam dalam menjalankan amanat Pasal 8 UU ini yangditindaklanjuti melalui Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU).Terutama terkait dengan verifikasi faktual terhadap syarat kepemilikankantor tetap, jumlah keanggotaan 1.000 orang atau 1/1.000 yangdiperkuat dengan kepemilikan Kartu Tanda Anggota (KTA), dan dalamsoal dua persyaratan ini KPU kabupaten/kota lebih banyak ber-kompromi dengan pengurus tingkat Kabupaten/Kota, misalnya,kantor Parpol ternyata bukan kantor yang layak sebagaimanamestinya, banyak Parpol yang menyulap rumah dan garasi menjadikantor “dadakan” hanya untuk dipersiapkan saat diverifikasi. Begitujuga persyaratan jumlah keanggotaan 1/1.000 dalam teknis verifikasifaktualnya KPU melakukan model sample 10 persen, dan sampletersebut tak jarang diberitahukan terlebih dahulu kepada pengurusParpol untuk dipersiapkan di suatu tempat lalu diverifikasi KPU.

Cara ini tentu lebih mudah bagi kelulusan verifikasi di lapangan,terlebih lagi saat verifikasi faktual ini tidak dilakukan pengawasanoleh Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) provinsi dan kabupaten/kota, sebab saat itu Panwaslu belum terbentuk.43

2. Multipartai Politik Ekstrim Pemilu 2014Pelaksanaan Pemilu 2014 menggunakan UU No.8 Tahun 2012

tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, yang merupakanhasil revisi atas UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR,DPD, dan DPRD untuk penyelenggaraan Pemilu tahun 2009 yang lalu.

UU ini disahkan dengan menyisakan perdebatan tajam yang tidakmenghasilkan titik temu antarfraksi di DPR sehingga melahirkanpolitik kompromi antarfraksi.44 Setelah lobi-lobi formal dan informalantarfraksi di DPR tak menghasilkan kesepakatan, maka akhirnyaUU ini disahkan dengan mekanisme voting.45 Mekanisme voting

43 Verifikasi faktual dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum Provinsi, Kabupaten/Kotapada 3 Juni-2 juli 2008, sedangkan Panwaslu kabupaten/kota baru terbentuk pada pertengahanbulan Juli 2008. Lihat, PKPU No.20 Tahun 2008 tentang Tahapan, Program, dan JadwalPenyelenggaraan Pemilihan Umum Tahun 2009, yang merupakan revisi dari PKPU No.9Tahun 2008 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Umum.

44 “Kompromi Partai Besar”, Kompas, 5 April 2012, hal, 3.45 ”Lobi Fraksi Belum Berhasil, RUU Pemilu Bakal Diputuskan Lewat Voting, Kompas,

4 April 2012, hal, 3.

Page 68: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

47

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

dilakukan karena terdapat 4 titik krusial yang tidak disepakatibersama, yakni (i) Sistem Pemilu, apakah terbuka atau tertutup; (ii)Ambang batas parlemen antara 3-5 persen dan tetapkan secaranasional; (iii) alokasi kursi di daerah pemilihan (Dapil), antara 3-10DPR RI dan 3-12 untuk DPRD; dan (iv) Metode penghitungan kursi,apakah kuota murni atau Divisor Webster.46

Berkenaan dengan sistem Pemilu, enam fraksi secara tegas me-nyatakan menggunakan sistem proporsional terbuka atau pemilihandengan suara terbanyak. Keenam fraksi itu adalah Fraksi PartaiDemokrat (F-PD), Fraksi Partai Golkar (F-PG), Fraksi PAN, Fraksi PPP,Fraksi Partai Hanura, dan Fraksi Partai Gerindra. Adapun dua fraksi,yakni Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) danFraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS), secara tegas mengusulkanpenggunaan sistem proporsional daftar tertutup. Hanya Fraksi PartaiKebangkitan Bangsa (F-PKB) yang belum menentukan sikap, apakahmengusulkan sistem proporsional terbuka atau tertutup.

Berkenanaan dengan ambang batas parlemen, delapan fraksimengusulkan penerapan ambang batas nasional. Artinya, perolehansuara partai di tingkat nasional dijadikan dasar untuk penghitunganperolehan kursi Parpol di DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. Hanya F-PDIP yang mengusulkan penerapan ambang batasberjenjang, yakni 3 persen untuk DPR, 4 persen untuk DPRD provinsi,dan 5 persen untuk DPRD kabupaten/kota. Dasar penghitungan kursiadalah perolehan suara di tiap-tiap jenjang perwakilan.

Meskipun menyepakati ambang batas nasional, delapan fraksimasih memiliki pandangan yang berbeda mengenai angka ambangbatas. F-PKS dan F-PD mengusulkan ambang batas antara 3,5 persendan 4 persen, F-PG 4-5 persen, F-PAN 3,5 persen, dan F-PPP, F-PKB,F-Hanura, serta F-Gerindra masing-masing mengusulkan ambangbatas 3 persen.

Adapun untuk alokasi kursi, tujuh fraksi mengusulkan alokasi3-10 kursi per dapil untuk DPR dan 3-12 kursi per dapil untuk DPRD.Dua fraksi, yakni F-PG dan F-PDIP, mengusulkan alokasi kursi 3-8per dapil untuk DPR dan 3-10 kursi per dapil untuk DPRD.47

46 “RUU Pemilu Melalui Voting, Fraksi-Fraksi Beda Pandangan”, Kompas, 11 April2012, hal, 4.

47 Ibid., hal, 4.

Page 69: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

48

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

Sementara untuk metode penghitungan suara menjadi kursi,enam fraksi mengusulkan penggunaan metode kuota murni. HanyaF-PG, F-PDIP, dan F-PKS yang usulannya berbeda, yakni meng-gunakan metode divisor webster. Perbedaan pandangan antarfraksi ituterhadap 4 isu krusial ini dapat diuraikan melalui bagan berikut ini.

Tabel 1. Pandangan Partai Politik Soal RUU Pemilu

Sumber: Kompas, 11 April 2012

UU baru ini disahkan dalam sidang paripurna DPR RI padatanggal 12 April 2012 dengan komposisi perolehan suara: sistemkuota murni (342 suara) Metode Webster (188 suara), PT 3,5 Persen(Bulat), Berlaku secara nasional (343 suara), berlaku secara ber-jenjang di pusat dan daerah (187 suara). Adapun pendukung sistem

Page 70: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

49

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

kuota murni berdasarkan komposisi partai adalah: Demokrat 140suara, PKS 54 suara, PAN 42 suara, PPP 37 suara, PKB 37 suara,Gerindra 24 suara, Hanura 17 suara, total 342 suara. PendukungMetode Webster PDIP 91 suara, Golkar 97 suara Total 188 suara.48 UUini diundangkan dalam Lembaran Negara pada 11 Mei 2012.

Dalam pelaksanaan UU No.8 Tahun 2012 untuk Pemilu 2014kendati asasnya menciptakan jumlah kepartaian yang sederhanadengan menetapkan persyaratan pendaftaran Parpol calon pesertaPemilu 2014 bukan hanya harus memenuhi persyaratan administrasiyang diatur dalam ketentuan Pasal 8 Ayat (2) huruf a, b, c, d, e, f, g,h, dan i yang harus diserahkan ke KPU untuk dilakukan verifikasikeabsahan administrasi yang relatif berat, namun juga KPU mela-kukan verifikasi faktual keabsahan persyaratan tersebut ke lapangan.49

Terutama untuk melakukan pengecekan terhadap keabsahan:memiliki kepengurusan di seluruh propinsi, memiliki kepengurusandi 75 persen jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan;memiliki kepengurusan di 50 persen jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan; menyertakan sekurang-kurangnya 30 persenketerwakilan perempuan pada kepengurusan Parpol tingkat pusat;memiliki anggota sekurang-kurangnya 1.000 orang atau 1/1000 daripenduduk pada kepengurusan Parpol yang dibuktikan dengankepemilikan kartu tanda anggota; mempunyai kantor tetap untukkepengurusan pada tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kotasampai tahap terakhir Pemilu.

KPU telah mengatur tata cara verifikasi faktual ini melaluiPeraturan Komisi Pemilihan Umum. Dalam melaksanakan ketentuanPasal 8 Ayat (1) UU No.8 Tahun 2012 ini pada Pemilu 2014, ketentuanPasal ini digugat oleh sejumlah Parpol ke Mahkamah Konstitusi (MK)karena pasal ini diduga sangat diskriminatif yang lebih berpihakpada Parpol lama yang telah memiliki kursi di DPR hasil Pemilu 2009tidak perlu lagi mendaftar di KPU dan diverifikasi ulang karena ituotomatis ditetapkan menjadi perserta Pemilu 2014.

Gugatan sejumlah pihak ini dikabulkan oleh MK sehingga 9Parpol yang telah memiliki kursi di DPR hasil Pemilu 2009 tetapdilakukan verifikasi administtasi dan faktual oleh KPU. Karena itu

48 “SBY Rangkul Gerindra dan Hanura”, Media Indonesia, 13 April 2012, hal, 1.49 Lihat Ketentuan Pasal 9 Ayat (1) dan (2) UU No.8 Tahun 2012.

Page 71: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

50

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

proses verifikasi Parpol calon peserta Pemilu diikuti oleh semuaParpol baik lama maupun baru.

Terdapat 34 Parpol yang mendaftar ke KPU untuk mengikutiproses verifikasi administrasi dan faktual. Dalam proses seleksiadministrasi KPU mengumumkan partai politik (Parpol) yangmemenuhi syarat administrasi sebagai calon peserta PemiluAnggota DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kotaTahun 2014. Pengumuman ini dilakukan bertepatan dengan tanggal28 Oktober 2012.50

Hasil verifikasi administrasi kelengkapan syarat partai politiksebagai calon peserta Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi,dan DPRD Kabupaten/Kota Tahun 2014 sebagai berikut. Pertama,Parpol yang memenuhi syarat administrasi ada 16 Parpol, yaituNasional Demokrat (NASDEM), Partai Demokrasi IndonesiaPerjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai BulanBintang (PBB), Partai Hati Nurani Rakyat (HANURA), Partai AmanatNasional (PAN), Partai Golongan Karya (GOLKAR), Partai KeadilanSejahtera (PKS), Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra), PartaiDemokrasi Pembaruan (PDP), Partai Keadilan dan Persatuan Indo-nesia (PKPI), Partai Demokrat, Partai Persatuan Pembangunan (PPP),Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia Baru (PKBIB), Partai PeduliRakyat Nasional (PPRN), dan Partai Persatuan Nasional (PPN). Kedua,Parpol yang tidak memenuhi syarat administrasi ada 18 Parpol, yaituPartai Demokrasi Kebangsaan (PDK), Partai Kesatuan DemokrasiIndonesia (PKDI), Partai Kongres, Partai Serikat Rakyat Independen(SRI), Partai Karya Republik (PAKAR), Partai Nasional Republik(NASREP), Partai Buruh, Partai Damai Sejahtera (PDS), PartaiRepublika Nusantara (REPUBLIKAN), Partai Nasional IndonesiaMarhaenisme (PNI-M), Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB), PartaiPengusaha dan Pekerja Indonesia (PPPI), Partai Penegak DemokrasiIndonesia (PPDI), Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU), PartaiRepublik, Partai Kedaulatan, Partai Bhinneka Indonesia (PBI), danPartai Nasional Benteng Kerakyatan Indonesia (PNBKI). Karena itu,hanya 16 Parpol yang berhak untuk ikut dalam proses verifikasifaktual yang dilakukan oleh KPU Propinsi dan KPU Kabupaten/

50 http://www.rumahPemilu.org/in/read/639/Daftar-Parpol-yang-Lolos-dan-Tidak-Lolos-Verifikasi-Administrasi-Calon-Peserta-Pemilu-2014.

Page 72: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

51

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

Kota, sedangkan 18 Parpol lainnya dinyatakan gagal oleh KPU.Belakangan, 18 partai politik yang dinyatakan tidak lolos verifikasiadministrasi menggugat keputusan tersebut ke Badan PengawasPemilu (Bawaslu) dan selanjutnya dilaporkan kepada DewanKehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Keputusan DKPP memerintahkan, 18 partai politik yang tidaklolos verifikasi administrasi harus diikutsertakan dalam prosesverifikasi faktual oleh KPU. KPU melaksanakan keputusan DKPPtersebut dengan mengikutsertakan 18 partai politik yang tidak lolosverifikasi administrasi dalam proses verifikasi faktual. Selanjutnya,dalam proses verifikasi faktual KPU hanya berhasil mengesahkan 10Parpol yang berhak menjadi peserta Pemilu 2014, yakni 1 Parpol barudan 9 Parpol lama. Nomor urut 1: Partai Nasional Demokrat (PartaiNasDem); Nomor urut 2: Partai Kebangkitan Bangsa (PKB); Nomorurut 3: Partai Keadilan Sejahtera (PKS); Nomor urut 4: Partai DemokrasiIndonesia Perjuangan (PDI-P); Nomor urut 5: Partai Golongan Karya(Partai Golkar); Nomor urut 6: Partai Gerakan Indonesia Raya (PartaiGerindra); Nomor urut 7: Partai Demokrat; Nomor urut 8: Partai AmanatNasional (PAN); Nomor urut 9: Partai Persatuan Pembangunan(PPP); Nomor urut 10: Partai Hati Nurani Rakyat (Partai Hanura).51

Rapat Pleno KPU tanggal 7 Januari 2012 yang menetapkan 10Partai Politik sebagai Peserta Pemilu 2014, digugat oleh Parpol yangdinyatakan tidak lolos verifikasi faktual oleh KPU ke Bawaslu RI danPTTUN Jakarta. Ketentuan tentang mekanisme pengajuan gugatantelah diatur dalam ketentuan Pasal 259 ayat (2) dan ayat (3), Pasal268 dan Pasal 269 UU No. 8 Tahun 2012 tentang Pemilu AnggotaDPR, DPD, dan DPRD.

Selanjutnya, PTTUN Jakarta mengabulkan gugatan 2 Parpol,yakni PBB dan PKPI untuk ditetapkan menjadi peserta Pemilu tahun2014. Dengan demikian jumlah Parpol peserta Pemilu 2014 bukanhanya sepuluh Parpol tapi 12 Parpol nasional di tambah dengan 3Parpol lokal untuk peserta Pemilu di Aceh.52

51 http://www.tempo.co/read/news/2013/01/14/078454285/Inilah-Nomor-Urut-Partai-Peserta-Pemilu-2014.

52 Liputan terkait dengan penetapan PBB dan PKPI sebagai Parpol peserta Pemilu 2014dapat dilihat antara lain: http://nasional.kompas.com/read/2013/03/19/03003154/PBB.Lolos.Jadi.Peserta.Pemilu.2014.http:/ /www.tempo.co/read/news/2013/03/18/078467744/Lima-Cuitan-Yusril-Setelah-PBB-Lolos-Pemilu-2014.http://www.tempo.co/read/news/2013/03/25/078469198/Akhirnya-Partai-Sutiyoso-Lolos-ke-Pemilu-2014.http://nasional.kompas.com/read/2013/02/07/01564887/PKPI.Lolos.Sengketa

Page 73: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

52

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

Gambar 1. Identitas Parpol peserta Pemilu 2014

Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa Pemilu 2014 masih diikutimultipartai ekstrim kendati jumlahnya tidak lebih banyak darijumlah peserta Pemilu 2009. Sesungguhnya, cita-cita mewujudkanhadirnya multipartai sederhana dalam Pemilu 2014 nyaris sajaterwujud ketika KPU RI menetapkan hanya 16 Parpol yang lolosverifikasi administrasi dan 18 Parpol lainnya gagal dalam verifikasiadministrasi. Namun, 18 Parpol tersebut menggugat ke DewanKehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) tentang dugaan anekapelanggaran dan kecurangan yang diduga dilakukan oleh KPUDProvinsi dan Kabupaten/Kota dalam proses verifikasi akibatnya DKPPmemerintahkan agar 18 Parpol diikutkan dalam verifikasi faktual.

Sampai di sini, sindrom Parpol multipartai ekstrim pasti menjadikenyataan karena KPU harus memverifikasi faktual terhadap 42Parpol. Gejala tidak mempercayai kinerja KPU dalam verifikasi faktualdi lapangan menjadi kata kunci bagi Parpol-Parpol yang dinyatakantidak lolos verifikasi faktual oleh KPU.

Adapun alasan Parpol tidak mempercayai kinerja KPU antaralain karena melakukan pelanggaran administrasi dan kode etik dalamproses pendaftaran, penelitian administrasi hasil perbaikan danpenundaan pengumuman. Pelanggaran juga diduga dilakukan KPUkarena penggunaan dan pengadaan Sistem Informasi Partai Politik

Page 74: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

53

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

dinilai Bawaslu menyalahi kode etik. Sebab itu, KPU diduga melanggarPasal 7 peraturan 13 Tahun 2012 tentang Kode Etik PenyelenggaraanPemilu. KPU juga dikenai pasal 2 juncto pasal 26 ayat (2) UU No. 15tahun 2011. Bawaslu menilai KPU juga melanggar peraturannyasendiri. KPU tidak mentaati Pasal 11 huruf a dan c dan Pasal 16 hurufa, huruf b dan huruf c Peraturan KPU No. 13 Tahun 2012.53

Itulah sebabnya, saat KPU RI mengumumkan hanya 10 Parpolyang lolos menjadi peserta Pemilu 2014 dan dilakukan pengundiannomor urut, Parpol-Parpol yang tidak lolos verifikasi sejumlah 24Parpol mengajukan gugatan ke Bawaslu RI, DKPP dan PTTUNJakarta. Hasilnya, ada tambahan peserta Pemilu 2014 dari semulahanya 10 menjadi 12 Parpol nasional dan 3 Parpol peserta Pemilukhusus di provinsi Aceh.

Karena itu, pelaksanaan Pemilu 2014 yang masih dikuti olehpeserta Pemilu multipartai ekstrim, karena asas dalam UU No. 8Tahun 2014 memang tidak multipartai sederhana tapi multipartaiekstrim, terutama jika dikaitkan dengan tersedianya ketentuan PasalPasal 259 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 268 dan Pasal 269 UU No. 8Tahun 2012 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD.

53 http://internasional.kompas.com/read/2012/11/05/22353689/Bawaslu.Desak.DKPP.Periksa.7.Komisioner.KPU

Page 75: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

54

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

Pengaturan sistem Pemilu tahun 2009 dan Pemilu tahun 2014lalu telah mengonfirmasi bahwa sistem pemerintahan presidensialmurni yang dianut di Indonsesia pasca amandemen UUD 1945 taktak tepat (compatible) dengan pilihan model sistem kepartaian yangkita anut sebagaimana diperlihatkan di bab terdahulu.

Berikut ini akan lebih diperjelas lagi dengan sejumlah argumentasidari perspektif hukum ketatanegaraan problematika yang akandilahirkan akibat dari pilihan model sistem kepartaian tersebut yangberujung pada desain arsitektur sistem pemerintahan presidensialyang tak efektif dan berpotensi menyokong kuatnya korupsi politikdi kalangan elit politik.

A. Perlunya Dua Partai PolitikPada prinsipnya sistem pemerintahan presidensial tidal akan

stabil jika dikombinasikan dengan sistem multipartai ekstrim. Sepertipernyataan Scott Mainwaring:

“…But the combination of presidentialism and a fractionalized multi-party system seems especially inimical to stable democracy.”1

1 Scott Mainwaring, “Presidentialism in Latin Amerika”, in Arend Lijphart (editors),Parliamentary Versus Presidential Government, Oxford University Press, 1992, hal, 113.

... Bab Kelima ...

Desain Arsitektur SistemPemerintahan Presidensial

Antikorupsi

Page 76: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

55

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

Pemerintahan stabil menurut Scott Mainwaring, adalahpemerintahan yang menjalankan prosedur demokrasi tanpa pernahterputus paling sedikit 25 Tahun. Ia menyatakan:

“…Stable (or continuos) democracy is defined here strietly on the basis ofdemocratic longerity, more specifically, at least 25 years of uninterrupteddemocracy”.2

Pengalaman praktik presidensial yang bersekutu denganmultipartai di Amerika Latin menunjukkan adanya sebuah realitaspolitik dalam hubungan kerja antara parlemen dan presiden dalamskema sistem presidensial yang tidak stabil, di mana terjadi presidenminoritas (minority president). Sebab, presiden terpilih berasal bukandari Parpol pemenang mutlak dalam Pemilu yang menyebabkanpresiden tidak mendapatkan dukungan mayoritas di lembagalegislatif. Selain itu, juga adanya pemerintah yang terbelah (devidedgovernment), di mana sebagian dukungan politik ke presiden dansebagian lain ke parlemen. Artinya sangat mungkin adanya dukunganpolitik parlemen yang tidak utuh dan loyal kepada presiden terpilih.3

Di dalam penelitiannya, Mainwaring juga menjelaskan dengandata empirik bahwa ternyata hanya 4 negara dari 31 negara yangstabil menjalankan pemerintahannya dengan sistem presidensialberbasis multipartai. Di antara negara-negara tersebut yang dapatterus stabil dengan sistem presidensial lebih dari 25 Tahun hanyalahAmerika Serikat, Kolombia, Kostarika, Uruguay, dan Venezuela,namun dengan berbagai basis dwi partai (Dua Partai), dan hanyasatu negara yang berhasil mengawinkan sistem presidensial denganmultipartai, yakni Chile. Sedangkan 24 negara lainnya dapat stabil,karena menganut sistem parlementer dua negara (Finlandia, danPrancis) menganut semi presidensial dan satu negara (Swiss) meng-anut sistem Hybrid.4

Sebab lain sistem presidensial tidak kompatibel dengan sistemmultipartai adalah adanya “Dua-legitimacy” antara presiden danlegislatif yang sama-sama dipilih langsung oleh rakyat. Ini akan

2 Scott Mainwaring, “Presidentialism, Multipartism, and Democracy: The DifficultCombination, in Comparative Political Studies Journal, Vol, 26 No.2 July 1993, hal, 204.s

3 Scott Mainwaring and Matthew Sobergh Shugart, Presidensialism Democracy inLatin America, Cambridge University Press, 1997.

4 Scott Mainwaring, Presidensialism, Multipartism……, Op. Cit., 1993, hal, 205.

Page 77: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

56

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

menyebabkan keduanya menjadi rivalitas yang tidak terobati ketikamembahas kebijakan-kebijakan publik.5

Kombinasi presidensial dengan multipartai yang terfragmentasidan terpolarisasi kepentingan ideologi dan kepentingan politik menjadikian konfliktual hubungan kerja antara presiden-parlemen, karenakeputusan-keputusan publik yang akan dikerjakan presidencenderung diwarnai oleh kompromi dan akomodasi kepentinganantara partai di parlemen yang berbeda dengan partai presiden.

Multipartai di parlemen cenderung membuat presiden melakukankoalisi antar partai-partai di parlemen, terutama untuk memperkuatbasis dukungan politik di parlemen. Sehingga kabinet presiden adalahkabinet pelangi. Secara teoritik, koalisi hanya lazim terjadi dalamsistem parlementer. Karena watak parlementer adalah kompromi dansusunan kabinetnya adalah merupakan kombinasi dari partai-partaidi parlemen. Sedangkan, watak sistem presidensial adalah kemandirianpresiden (independent) dari parlemen, sehingga susunan kabinetpresiden adalah kabinet yang loyal kepada presiden sebagai manifestasidari pemusatan kekuasaan di tangan presiden (concentration at powerupon the president atau the strong executive type of goverment).6

Koalisi atau konsensual untuk pembentukan pemerintahdalam sistem, seperti dilakukan di Kolombia, namun koalisi dalamsistem presidensial jauh lebih sulit dibandingkan dengan sistemparlementer, karena: (Coalition or consociational government is possiblein presidential regimes, but it is considerable more difficult than inparliamentary regimes).7

Pertama, dalam sistem parlementer, ketika tidak ada partaimayoritas di parlemen, maka partai-partai menentukan ataumemilih anggota kabinet dan perdana menteri, serta mereka tetapbertanggung jawab atas dukungan terhadap pemilih. Sementara itudalam sistem presidensial, presiden memilih sendiri anggotakabinetnya, yang boleh jadi berasal dari partai oposisi atau partainya

5 Juan Linz, “Presidentialism, and Democracy: A Critical Aprasial”, in ComparativePolitics, Vol. 29, No 4 July, 1997, hal, 45.

6 Douglas V. Verney, “Parlementary Government And Presidential Government” inArend Lijphard (eds), 1992, Palementary Versus Presidential Governement, Oxford Uni-versity Press,1997, hal, 31-47.

7 Scott Mainwaring, “Presidentialism in Latin America” in Arend Lijphard (eds),Parlementary Versus Presidential Governement, Oxford University Press, 1992, hal, 111-115.

Page 78: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

57

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

sendiri dan kalangan profesional, implikasinya partai-partai tidakmempunyai komitmen dukungan terhadap presiden.8

Scott Mainwaring mengatakan:“..Parliamentary regimes require party coalitions for creating governmentswhen no single obtains majority, which means most of the time in mostparliamentary system. Presidential system rarely includes such institutionalizedmechanism for establishing coalition role…”9

Kedua, dalam sistem presidensial karena presiden dalam pem-bentukan kabinetnya lebih cenderung mengakomodasi individu eliteParpol. Maka konsekuensinya tidak ada jaminan partai-partai diparlemen akan mendukung presiden, sebab yang diakomodasipresiden secara kasat mata adalah kepentingan elite Parpol, bukankepentingan Parpol secara keseluruhan. Di sini tampak perbedaanpersepsi akomodasi presiden antara elite Parpol dan Parpol itu sendirimenjadi pemantik tak solidnya dukungan partai-partai di parlemenpada presiden.10

Dalam hal ini, Scott Mainwaring mengatakan:“….The president can attempt to buy the support of individual politiciansfrom opposition parties, but this option exists only if the parties malleable”.11

Sesungguhnya, koalisi dalam sistem presidensial seharusnya,bukan merupakan jalan utama untuk melakukan stabilitas sistempemerintahannya, melainkan hanyalah langkah darurat yangditempuh presiden. Karena itu, koalisi hanyalah sebuah politik kreatifuntuk menyiasati dalam menaklukkan lawan politiknya.

Dalam soal ini Juan J Linz berkomentar:“Coalitions are difficult to form and rarely, ‘only exceptionally’ do formunder presidentialism”.12

Alasan lain ketidakharmonisan sistem presidensial dengan sistemmultipartai di parlemen adalah karena adanya keterpisahan secara

8 Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung Dan Problematik Koalisi dalam SistemPresidensial”, dalam Jurnal Konstitusi, Vol. II, No. 1, Juni 2009, Mahkamah KonstitusiBekerjasama dengan Pusat Studi Konstitusi (Pusako) FH Universitas Andalas, Jakarta,2009, hal, 123.

9 Ibid., hal 115.10 Ibid., hal, 123.11 Ibid., hal, 115.12 Lihat, Juan J.Linz, “Presidential or Parlementary Democracy: Does it Make a Difference?,

In Juan J.Linz and Aruto Venezuela (eds), The Failure of Presidential Democracy: The Case ofLatin America, Baltimore, Md: John Hopkins, 1994, hal, 19.

Page 79: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

58

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

tugas (separation of power) antara presiden dan parlemen denganditandai adanya pemilihan presiden dan pemilihan legislatif yangberbeda sehingga berpotensi melahirkan jenis dukungan partai yangberbeda, sekaligus tidak paralel antara partai yang menguasaiparlemen dan partai yang memenangkan pemilihan presiden dalamPemilu presiden. Keterpisahan politik antara keduanya akibatseparation of power ini menyebabkan terjadinya hubungan yang kakudan tidak fleksibel antara keduanya.

Memang, sistem pemerintahan presidensial secara teoritik memilikisejumlah kelebihan dibandingkan dengan sistem parlementer, diantaranya keterpisahan institusi presiden dan parlemen, masa jabatanpresiden yang bersifat tetap, dan pemilihan langsung presiden olehrakyat. Ketiga ciri tersebut tak hanya dianggap dapat menjamintegaknya prinsip checks and balances dalam relasi ekeskutif-legislatif,melainkan juga terbentuknya pemerintahan yang stabil dan efektif.13

Kelebihan sistem presidensial ini dalam praktiknya, ketikadilakukan di banyak negara, ternyata justru kelebihan sistempresidensial ini menjadi sumber utama kelemahannya, bahkan dapatdianggap ancaman dan bahaya demokrasi (peril democracy). Juan J Linzmencatat terdapat lima kelemahan sistem presidensial.14 Pertama,adanya “dual legitimacy” antara presiden dan legislatif yang sama-samadipilih langsung oleh rakyat. Ini akan menyebabkan keduanyamenjadi rivalitas yang tak terobati ketika membahas kebijakan-kebijakan politik. Kedua, kepastian masa kerja presiden membuat sistempresidensial tidak adaptif terhadap perubahan, sehingga jika sewaktu-waktu terjadi kesalahan fatal dari presiden tidak dapat digantikan ditengah jalan. Hal ini berbeda dengan sistem parlementer yang sangatadaptif karena tidak terpancang oleh kepastian waktu sehinggasewaktu-waktu kepala negara dapat diganti. Ketiga, sistem ini meng-adopsi sistem pemenang mengambil semua (winner takes all) danbersemangat pada kompetisi bumi hangus “zero zume games” danbiasanya cenderung tidak mengakui oposisi. Keempat, tampilan sistempresidensial dianggap tak menguntungkan sistem demokrasi,dibandingkan dengan sistem parlementer. Presiden merasa lebih

13 Syamsuddin Haris, “Pilpres dan Problem Presidensial” dalam Kompas, 22 Mei 2009,hal, 6.

14 Scott Mainwaring and Matthew S.Shugart, “Juan Linz, Presidentialism, and Democracy:……, Op.Cit., hal, 450-451.

Page 80: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

59

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

independen karena dipilih oleh mayoritas rakyat, karena itu biasanyasulit dikontrol oleh oposisi. Inilah yang menyebabkan sistempresidensial dapat berpotensi menjadi pemerintahan presiden yangotoriter. Kelima, aktor-aktor non aktivis partai politik berpotensiuntuk terpilih dalam Pemilu untuk menduduki jabatan-jabatanpolitik eksekutif. Aktor-aktor yang terpilih secara mayoritas olehrakyat tidak bergantung pada partai politik. Linz menjelaskan:

“….Finally, political outsiders are more likely to win the chief executiveoffice in presidential systems, with potentially destabilizing effects. Individualselected by direct popular vote are less dependent on and less beholden topolitical parties. Such individuals are more likely to govern in a populist,antiinstitutionalist fashion”.15

Juan Linz dianggap sebagai penganjur utama sistem parlementerdan alergi terhadap sistem presidensial, apalagi jika sistem presidensialberdasarkan pengalaman di Amerika Latin yang dikombinasikandengan sistem multipartai akan kian mempersulit efektivitas sistempresidensial dalam memerintah.

Secara teoritik, sistem pemerintahan presidensial hanya dapatkompatibel dengan dua partai di parlemen yang satu partai pen-dukung dan yang lain menjadi partai yang beroposisi dengan presiden.Dengan cara ini akan dapat berjalan secara stabil dan terjadi politiksaling mengimbangi dan saling kontrol (check and balances).16 Dengandemikian, dapat dipahami bahwa praktik koalisi, kompromi, danakomodasi dalam sistem pemerintahan hanya lazim dilakukan dalamsistem parlementer sebagai akibat dari adanya multipartai.

Berdasar teori dan praktik di beberapa negara tersebut, makasesungguhnya jika sistem pemerintahan Indonesia pasca aman-demen UUD 1945 adalah sistem presidensial murni pasti juga tidakmenghendaki adanya sistem multipartai di DPR dan tentu jugatidak kompatibel dengan adanya praktik politik koalisi, kompromi,dan akomodasi dari seorang presiden terpilih melalui Pemilulangsung dalam memperoleh dukungan politik di DPR untukmenstabilkan pemerintahan.

15 Ibid.,16 J. Kristiadi, 2008, “Politik Hukum dan Koalisi Parpol“, Makalah Disampaikan Dalam

Seminar Nasional Dan Temu Hukum Nasional IX Yang Diselenggarakan Oleh BadanPembinaan Hukum Nasional (BPHN) pada Tanggal 20-21 November 2008, di Yogyakarta,hal, 4.

Page 81: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

60

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

Presiden terpilih dalam Pemilu Indonesia seharusnya tidak perlukhawatir terhadap tekanan politik Parpol-Parpol di DPR denganancaman untuk menggulingkan kekuasaan presiden. Bukankah,UUD 1945 pasca amandemen menjamin bahwa presiden tidak mungkindapat dijatuhkan di tengah jalan kekuasaannya, mengingatpemakzulan presiden RI harus melalui proses hukum dan politik yangrumit serta panjang, pertama melalui proses politik di DPR, kedua,proses hukum di mahkamah konstitusi, dan ketiga, proses politikkembali di MPR. Ketiga tahapan itu harus dilalui untuk sampai kesim-pulan bahwa presiden telah dianggap melanggar haluan negara.17

Model pengaturan pemakzulan (impeachment) presiden menurutUUD 1945 pasca amandemen yang lebih menitik beratkan padadinamika politik di MPR, tampaknya lebih didominasi aspek politikketimbang aspek hukumnya. Karena itu, kedepan perlu dipikirkankembali model pemakzulan (impeachment) presiden untuk lebihmenitik beratkan aspek hukumnya di MK bukan dikembalikan keranah politik di MPR.18

B. Perlunya Pelembagaan Partai PolitikSesungguhnya, pada prinsipnya, secara filosofis UUD 1945

pasca amandemen telah menempatkan posisi dua lembaga: DPR danpresiden sama kuat keduanya tidak dapat saling menjatuhkan sehinggaakan melahirkan mekanisme saling kontrol dan mengimbangi (checksand balances) antara kedua lembaga ini, dengan demikian akanmelahirkan stabilitas politik.19

Menginginkan lembaga DPR yang kuat tidak bisa dilepaskanpertaliannya dengan politisi dan Parpol, sebab komposisi lembagaDPR dengan segenap alat kelengkapannya (komisi dan fraksi) adalahmerupakan kader-kader partai terbaik dari Parpol yang telah meme-nangkan kompetisi untuk meraih kursi melalui pemilihan umumlegislatif yang diselenggarakan secara berkala dan berkelanjutan. Olehkarena itu, DPR yang kuat dalam menjalankan fungsinya, peng-

17 Agus Riwanto, “Rumitnya Memakzulkan Presiden”, Suara Pembaharuan, 4 Januari2010, hal, 6 dan Agus Riwanto, “Alergi Impeachment Presiden”, Suara Merdeka, 28 Januari2010, hal, 6.

18 Denny Indrayana, Negara Antara Ada Dan Tiada, Reformasi Ketatanegaraan, PTGramedia-Kompas, Jakarta, 2006, hal, 68.

19 Afan Gaffar,, “Amandemen UUD 1945 dan Implikasinya Terhadap PerubahanKelembagaan” dalam Riza Sihbudi (eds), Amandemen Konstitusi dan Strategi PenyelesaianKrisis-Politik, PP.AIPI, Jakarta, 2002, hal, 431-446.

Page 82: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

61

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

awasan, legislasi dan anggaran, berarti mencerminkan kuatnyapelembagaan sistem kepartaian. Sebaliknya, DPR yang lemahmencerminkan lemahnya pelembagaan sistem kepartaian.

Pelembagaan sistem kepartaian adalah seperti dinyatakan olehVicky Randall:20

“……the process by which the party becomes established in terms at both ofintegrated pattern of behavior and of attitude or culture….”

Perilaku aktor politik di DPR pasca reformasi tidak terpola denganjelas antara beroposisi atau mendukung kebijakan pemerintah.Padahal, perilaku yang mempola kelak dan menjadi sikap danbudaya tentu akan mempermudah bagi pelaksanaan tugas-tugas DPRdalam hubungannya dengan presiden karena dengan perilaku partaiyang mempola tidak mengalami fluktuasi dan standar ganda dalammelakukan pengawasan pada kinerja presiden. Sehingga mem-permudah pula bagi presiden untuk menjalankan tugas penyeleng-garaan pemerintahan tanpa diiringi oleh sikap-sikap reaktif danoportunistik parlemen.

Dengan perilaku partai di parlemen yang mempola, maka akancenderung melahirkan sikap disiplin dan konsisten pada partai.Misalnya, ketika Parpol di parlemen bersikap sebagai oposisi, makaperilaku oposisi ini akan dipertahankan dalam bentuk budayaoposisi di parlemen, dalam semua isu dan kebijakan publik yangdijalankan presiden. Sebaliknya jika sikap Parpol di parlemen yangbersekutu dan mendukung pemerintah/presiden, maka sikap ini jugadipertahankan dalam kondisi apapun.

Kejelasan sikap ini akan melahirkan budaya politik yangdemokratis, karena memperlihatkan fatsoen (etika) politik, berupakonsistensi dan komitmen berpolitik. Model ini akan meminimalkansikap pragmatisme Parpol dan membentuk disiplin berpolitik. Terutamadalam mengusung program partai dan ideologi partai di parlemen.21

Chile adalah contoh negara yang menggabungkan sistem multi-partai dengan sistem presidensial yang tidak bermasalah, bahkan

20 Vicky Randall dan Lars Svasand, “Party Institutionalization in New Democracies”, inParty Politics Journal, Vol.8 No.1, 2002, hal,.6-7.

21 Barry Ames and Timotothy J Power, “Parties and Governability” dalam Paul Webband Stephen White, (eds), Party Politics in New Democracies, Oxford, USA : OxfordUniversity Press, 2009, sebagaimana di kutip oleh Ramlan Surbakti, 2010, “Sistem PemilihanUmum Rentan Masalah” Kompas, 9 September 2009, hal, 6.

Page 83: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

62

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

cenderung stabil pemerintahannya. Salah satu faktor keber-hasilannya adalah adanya kedisiplinan Parpol di parlemen dalammengusung ideologi dan program partai di parlemen, serta sikappolitik yang konsisten dan penuh komitmen.22

Kedisiplinan Parpol di parlemen menjadi kata kunci keber-hasilan keberhasilan sistem presidensial maupun parlementer dihampir semua negara demokrasi di dunia terutama dalam mem-pertahankan stabilitas pemerintah dan efektivitas pemerintah, apakahsistem itu dipadukan dengan multipartai atau dwipartai. Bahkanketika sistem parlementer telah disokong oleh dwipartai (partaipemerintah dan oposisi) yang secara teoritik akan lebih stabil danefektif pemerintahannya, namun jika tidak disertai kedisiplinan Parpolakan dapat melahirkan sistem pemerintahan yang tidak stabil.

Karena itu, dalam pandangan beberapa ahli perbandinganpolitik stabilitas dan efektivitas sistem pemerintahan tidak lagiberporos pada dua pandangan ekstrim: presidensial atau parlementer,melainkan pada model sistem kepartaiannya yang dapat atau tidakmenyokong pemerintahannya.23 Walaupun ada yang berpendapatsistem parlementer jauh lebih banyak sumbangsihnya padakonsolidasi demokrasi, terutama di negara-negara demokrasi baru.24

Jika tujuan utama pemilihan sistem pemerintahan Indonesiapasca amandemen UUD 1945 adalah sistem presidensial murni yangefektif dan stabil pastilah berkeinginan adanya sistem pelembagaanParpol yang kuat di DPR, terutama adanya perilaku yang mempoladan dapat diwujudkan dalam sikap dan budaya politik. Dengan cara iniakan dapat melahirkan sikap politik yang konsisten dan meminimal-kan politik yang pragmatis (untuk kepentingan jangka pendek).

Dengan demikian, sebenarnya sistem pemerintahan presidensialversi UUD 1945 pasca amandemen tidak kompatibel dengan sistem

22 Scott Mainwaring,”Presidentialism, Multipartism…,”Op. Cit, 1993, hal, 224.23 Lihat gagasan ini melalui, Jose Anthonio, Adam Przeworski and Sebastian M.Saiegh,

“Government Coalition and Legislative Success Under Presidentialism andParlementarism”, in British Journal of Political Science, No.34, 2004, hal, 565-587, JoseAntonio Cheilbub, “Minority Government, Deadlock Situations and The Survival at Presi-dential Democracies”, in Comparative Political Studies Journal, Vol.35 No.284, 2002, hal,284-311.

24 Affred Stepan and Cindy Skach, “Constitutional Framework and Democratic Con-solidation Parlementarism Versus Presidentialism” in Journal of World Politics, Vol.46No.1, 1993, hal, 1-22.

Page 84: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

63

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

pelembagaan Parpol yang lemah sebagaimana dituangkan dalamprinsip pengaturan sistem kepartaian dalam Undang-Undang No.10Tahun 2008 tentang pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD padaPemilu 2009.

Pada puncaknya, perilaku yang mempola dari Parpol di parlemen,berupa kedisiplinan yang tinggi itu akan menentukan derajatkesistemannya, yaitu proses pelaksanaan fungsi-fungsi Parpol,termasuk penyelesaian konflik, dilakukan menurut aturan, per-syaratan prosedur, dan mekanisme yang disepakati dan ditetapkandalam AD/ART Parpol. Aturan dalam Anggaran Dasar dan AnggranRumah Tangga (AD/ART) itu harus demokratis sesuai asas kedaulatanpartai, terletak di tangan anggota, juga perlu dirumuskan secara rincisehingga mampu berfungsi sebagai kaidah dan prosedur penuntunperilaku dalam melaksanakan semua fungsi Parpol. Karenanya Parpoldapat dikatakan sudah melembaga dari segi kesisteman apabila Parpolmelaksanakan fungsi semata-mata menurut AD/ART yang demokratikdan dirumuskan secara komprehensif dan rinci tersebut.25

Sejauh ini, kelemahan Parpol di Indonesia belum ada kesistemandalam partai yang ditandai dengan adanya tiga hal. Pertama, strukturorganisasi partai yang sentralistik. Kedua, kepemimpinan bersifatoligarki, yaitu dilakukannya oleh segelintir elite Parpol. Ketiga,kepentingan fraksi kelompok dan golongan lebih dominan daripadakepentingan partai sebagai organisasi.26

Isu-isu politik yang menyebabkan kelemahan sistem kepartaianIndonesia dapat dilihat dalam tiga fenomena belakangan ini. Pertama,penentuan pengurus Parpol pada semua tingkatan. Kedua, penentuancalon dari Parpol yang akan mengisi jabatan legeslatif (DPR danDPRD). Ketiga, penentuan kebijakan Parpol mengenai peraturan per-undang-undangan dan kebijakan publik pada umumnya. Setidaknyatiga isu itu harus diputuskan melalui mekanisme rapat anggota sesuaidengan tingkatannya. Karena itu UU Partai Politik perlu memuatketentuan yang mengharuskan setiap Parpol merumuskan AD/ARTsecara komprehensif, setidaknya dalam tiga isu tersebut.27

25 Ramlan Surbakti, “Perkembangan Parpol Indonesia” dalam Andy Ramses M, (eds),2009, Politik dan Pemerintahan Indonesia, MIPI, Jakarta, 2009, hal, 144-145.

26 Ibid.,hal, 144.27 Ibid., hal, 45.

Page 85: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

64

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

C. Perlunya Sistem Pemilu Mayoritas (Distrik)Pada prinsipnya, sistem Pemilu proporsional secara teoritik

dipastikan akan menghasilkan multipartai karena sistem ini mula-mula dirancang untuk dapat mengakomodasi semua aspek hete-rogenitas dan kemajemukan politik dan berbagai kepentingandalam masyarakat. Karena itu, kursi yang diperebutkan dalam Pemilumelalui sistem ini selalu banyak (multi-member constituency). Berbedadengan sistem distrik (pluralitas-mayoritas) yang secara teoritikhanya akan menghasilkan sedikit partai karena sistem ini dirancanguntuk menciptakan sistem mayoritas dan tidak mengakomodasiminoritas. Di sini, prinsip pemenang mengambil semua (winner takesall) menjadi kata kunci dalam sistem ini, itulah sebabnya mengapakursi yang disediakan dalam Pemilu melalui sistem distrik ini hanyasatu saja (single-member constituency).

Kedua sistem ini juga akan menghasilkan tipe demokrasi yangberbeda. Sistem Pemilu proporsional akan menghasilkan tipedemokrasi konsensus (concentual democracy), di mana aktor-aktor politikyang terlibat sangat banyak, beragam ideologi dan program salingditawarkan melalui Parpol, sebagai akibat adanya multipartai. Modeldemokrasi konsensus cenderung akan melahirkan fragmentasi danpolarisasi kepentingan yang beragam yang berpuncak pada berbelit-belitnya pengambilan setiap keputusan-keputusan publik dalampemerintahan, karena berambisi untuk dapat mengakomodasi semuakepentingan aktor-aktor politik yang beragam itu. Akibat lain darimodel demokrasi konsensus ini adalah cenderung berbiaya tinggi dansering menimbulkan kegaduhan politik.

Sedangkan, sistem Pemilu distrik akan menghasilkan tipedemokrasi mayoritas (majoritarian democracy), di mana aktor yangterlibat dalam politik hanya dua, yang satu pemenang mutlak (winnertakes all) berhak menguasai pemerintahan dan membentuk corakpolitik, dan yang lain sebagai aktor politik yang kalah tidak berhakmenguasai pemerintahan apalagi membentuk corak politik, melainkandipaksa oleh sistem untuk menjadi oposisi sistemik dengan peme-rintahan. Tipe demokrasi ini cenderung tidak berbelit-belit dalammengambil suatu kebijakan publik dalam pemerintahan, karena tidakperlu mengakomodir kepentingan politik dari aktor politik yang kalah.

Page 86: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

65

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

Akibat lainnya demokrasi tipe ini cenderung berbiaya murah dantidak menimbulkan kegaduhan politik. Kenyataan hadirnya dua tipedemokrasi, konsensus dan mayoritas, sebagai akibat dari konsekuensipilihan sistem Pemilu proporsional dan distrik sebagaimana dilukiskanoleh Arend Lijphart dengan pernyataan:28

“Two party system typipy the majoritarian model of democracy andmultiparty system the consensus model”.

Prinsip dasarnya, sistem pemerintahan presidensial akan efektifdan stabil apabila berada dalam perpaduan dengan tipe demokrasimayoritas, karena cara ini akan mempermudah bagi presiden dalammengeksekusi kebijakannya sebab didukung oleh partai mayoritasdi parlemen dan jarang terjadi fragmentasi dan polarisasi di dalamnya.Sedangkan, sistem pemerintahan parlementer dapat efektif justruketika berpadu dengan multipartai karena adanya sharing kekuasaanantara sebagai aktor politik di dalam tubuh kabinet dan kabinet ber-tanggung jawab kepada parlemen. Karena itu, kabinet dapat digantisewaktu-waktu bila tidak sejalan dengan parlemen. Sebaliknya sistempresidensial sulit mengganti presiden karena jabatan yang pasti (fixedterm) kecuali ada pelanggaran-pelanggaran yang bersifat prinsipbarulah presiden dapat dituntut mundur melalui jalur pemakzulan(impeachment).29

Sistem pemerintahan presidensial tidak akan efektif bila di-kombinasikan dengan sistem Pemilu proporsional dengan varianopened list (terbuka), karena sistem ini akan menghasilkan konfigurasipolitik di parlemen yang multipartai. Akan banyak sekali partai yangdapat hidup dan dapat mempunyai wakil di parlemen insentif bagipartai untuk menggabungkan diri partai minoritas sekalipun, sejauhmelewati ambang batas (threshold), dapat survive secara politik.

Sistem pemerintahan presidensial akan stabil dan efektif biladipadukan dengan tipe demokrasi mayoritas dan dengan sistemdistrik. Cara ini akan dapat menghasilkan pemerintahan satu partaiyang dapat mendominasi eksekutif, jika seorang calon presiden terpilihpunya hak prerogratif untuk menentukan semua susunan cabinet.

28 Arend Lijphart, Pattern of Democracy, Government Form and Performance in Thirthy-Six Countries, Yale University Press, New Haven and London, 1999, hal, 63.

29 Aurel Croissant and Wolfgang Naerkel, “Political Party Formation in Presidentialand Parliamentary System, in http://library-tes-de/pdf-files/gueros/philipinen/50072.pdf.Diakses pada tanggal 4 April 2011.

Page 87: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

66

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

Sang presiden tidak perlu berkompromi atau negosiasi dengan partailain. Presiden dapat mengklaim, mayoritas rakyat sudah mem-berikannya hak penuh untuk memerintah.

Sebaliknya, sistem pemerintahan parlementer pada prinsipnyaakan kompatibel bila dikombinasikan dengan tipe demokrasikonsensus dan sistem Pemilu proporsional. Sistem ini tidak akanmelahirkan keberagaman politik sebagaimana tipe demokrasimajoritarian, karena demokrasi tipe ini dirancang untuk melahirkanpemerintahan koalisi. Dalam pemerintahan koalisi, semua segmenpolitik besar dan minoritas dianggap akan terwakili dalampemerintahan.

Dengan demikian, maka pada prinsipnya sistem presidensial tidakakan berjalan stabil dan efektif bila dikombinasikan dengan sistemmultipartai akibat dari pilihan sistem proporsional. Jika presidenterpilih berasal dari partai minoritas yang tidak dapat menguasaiparlemen, maka yang akan terjadi adalah kesulitan presiden dalammemerintah, akibat tekanan politik oposisi partai mayoritas diparlemen yang berseberangan dengan presiden. Ini bukan hanyaakan mengganggu stabilitas pemerintah, tetapi juga berbahaya(peril) bagi demokrasi.30

Kepastian masa jabatan presiden (fixed term) presiden minoritasini akan membuat sistem presidensial tidak adaptif terhadap per-ubahan, sehingga jika sewaktu-waktu terjadi kesalahan fatal daripresiden tidak dapat digantikan di tengah jalan. Inilah yang menye-babkan terjadinya potensi pergantian kekuasaan tidak melaluikonstitusi (impeachment), melainkan melalui parlemen jalanan yangnon-konstitusional.31 Dalam sistem presidensial, bahkan kerap kaliada kejadian di mana aktor-aktor non aktivis Parpol berpotensiterpilih dalam Pemilu untuk menduduki jabatan-jabatan eksekutif,menyebabkan mereka merasa tidak bergantung pada partai dan iniakan mengakibatkan hubungan yang disharmoni dengan Parpol.Lebih jauh, Mattew Shugart menjelaskan:32

30 Juan J.Linz, “The Perils of Presidentialism” dalam Arend Lijphart (eds), ParlementaryVersus Presidential Government, Oxford University Press, Oxford, 1992, hal,120.

31 Scott Mainwaring and Mattew Shugart, “Juan J.Linz, Presidential and Democracy..”Op. Cit, 1997, hal, 450.

32 Ibid, hal, 451.

Page 88: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

67

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

“..Political outsiders are more likely to win the chiet executive office inpresidential system, with potentially destabilizing effects. Individuals electedby direct popular vote are less dependent on and less beholden to politicalparties such individual are more likely to government in a populist, antiinstitutional fashion..”.

Dilihat dari perjalanan sejarah ketatanegaraan Indonesia,terutama pasca amandemen UUD 1945 dalam konteks relasi presidendengan DPR dengan fokus pada pengaturan sistem kepartaian dansistem Pemilu sejak Pemilu tahun 2004 dan tahun 2009, kita dipaksauntuk menyaksikan ketidaksinkronan dan ketidakkonsistenan dalammenghubungkan antara sistem-sistem tersebut. Padahal, aneka teksteoritik tentang demokrasi dengan penekanan pada pelembagaanpolitik (institutional design) selalu menganalisis sistem Pemilu melalui(UU Pemilu) dalam hubungannya dengan lembaga politik lain.33

Analisis dalam desain institusi politik (pelembagaan politik) yangkerap menjadikan kombinasi sistem Pemilu (proporsional atau distrik),karakter Parpol (multipartai atau dwipartai), dan proses pemilihanpemerintahan eksekutif (presiden, presidensial atau perdana menteri:parlementer), sebagai pisau analisis. Hubungan variabel makro itu,akan amat menentukan apakah demokrasi di sebuah negara stabildan efektif atau sebaliknya mudah goyah, rapuh dan tidak efektif.34

Inkompatibilitas pengaturan sistem Pemilu yang dihubungkandengan sistem pemerintahan presidensial di Indonesia pascaamandemen UUD 1945 itu amat kentara. Fakta empiriknya dapatdilihat melalui praktik Pemilu tahun 2004 dan 2009. Pertama, sistemkepartaian Indonesia menganut multipartai sederhana, namundiingkari oleh sistem Pemilu yang menganut multipartai ekstrimkarena memilih sistem proporsional yang menyebabkan fragmentasidan polarisasi partai-partai di DPR. Kedua, sistem pemilihan presidenyang dilakukan secara langsung, calon diajukan oleh Parpol ataukoalisi antar Parpol, yang menegaskan sistem presidensial, namun

33 Lihat, teori-teori yang mengeksplorasi sebab musabab adanya hubungan antara institusipolitik seperti sistem Pemilu dan Parpol, serta stabilitas demokrasi. Geovanni Sartori,Parties and Party System, A Framework for Analysis, Cambridge University Press, Cam-bridge, 1976; Daouglas Rae, The Political Consequense at Electoral Laws, Yale Univer-sity Press, New Haven, 1976; William H.Rieken, The Theory at Political Coalitions, YaleUniversity Press, New Haven, 1962; and Rein Tagepera and Matthew Soberg Shugart,Seats and Votes, Yale University Press, New Haven, 1989.

34 Danny J.A, “Konsekuensi Undang-Undang Politik”, Kompas, 24 April 2002, hal, 6.

Page 89: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

68

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

sistem ini tidak lazim karena dikombinasikan dengan sistem Pemiluproporsional dan sistem kepartaian yang multipartai, akibatnyarelasi presiden dan DPR terganggu dan tidak harmoni. Berdasarkanfaktor-faktor empirik ini diketahui bahwa sesungguhnya Indonesiatidak menganut kedua tipe demokrasi, baik majoritarian maupunconsentual. Indonesia mengombinasikan dua bentuk itu. Menjadi soaljika kita mengombinasikan dua hal yang sulit dipadukan. Akibatnya,yang dikombinasikan bukan hal yang terbaik dari keduanya, tetapihal yang terburuk. Atau mengombinasikan hal terbaik dari keduanya,namun tidak harmonis karena beda paradigma. Dilihat dari sistemPemilu melalui Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang PemilihanUmum Anggota DPR,DPD dan DPRD dalam Pemilu tahun 2009 dankonsekuensi politiknya, kita mengambil unsur tipe demokrasikonsensual, yaitu sistem Pemilu proporsional. Akibat sistem Pemiluini adalah kita tetap akan mempunyai banyak partai (multipartai)tidak ada satu partai pun yang dapat mendominasi parlemen.35

Namun, dilihat dari pemilihan presiden melalui Undang-UndangNo. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum presiden dan WakilPresiden, kita menganut sistem demokrasi majoritarian karenamengadopsi sistem pemilihan berdasarkan prinsip mayoritas absolut(absolute majority), apabila telah diperoleh pasangan calon yang mem-peroleh suara lebih dari 50 persen akan ditetapkan sebagai presiden.36

Bila tidak tercapai maka dilanjutkan dengan pemilihan putaran keduadengan prinsip mayoritas sederhana (simple majority) berapapun suarayang diperoleh akan langsung ditetapkan sebagai presiden dan wakilpresiden.37 Dengan demikian, presiden yang kelak terpilih dapatmendominasi pemerintahan eksekutif sendirian. Presiden terpilih bolehdan mungkin dapat mengisi kabinet pemerintahannya hanya dariunsur partainya saja.

Tabel berikut akan menggambarkan inkompatibilitas antarasistem kepartaian multipartai, sistem Pemilu proporsional dan tipedemokrasi serta konsekuensinya terhadap efektivitas dan stabilitaspemerintahan presidensial pasca amandemen UUD 1945:

35 Danny J.A, Ibid.,2002, hal, 6.36 Lihat, Pasal 6 Ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 159 Ayat (1) Undang-Undang No.4 Tahun

2008 Tentang Pemilu Presiden Dan Wakil Presiden.37 Lihat, Pasal 6 Ayat (4) UUD 1945 Pascaamandemen, dan Pasal 159 Ayat (2) Undang-

Undang No.2 Tahun 2008 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.

Page 90: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

69

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

Tabel 2. Perbedaan Praktik Sistem Kepartaian, Pemilu,Pemerintah, dan Implikasinya di Dunia

Sumber: Diolah dari berbagai sumber

Tabel di atas memperlihatkan, bahwa desain kelembagaanpolitik Indonesia tidak mengambil salah satu dari tiga model desainkelembagaan politik, yaitu Inggris Raya (Wesminster), Amerika Serikatmaupun Perancis, melalui desain khas tersendiri. Kekhasan Indo-nesia itu justru menjadi kelemahannya, ketika berharap padakeinginan presidensial dan pemerintahan yang efektif. Padahaldapat dipastikan, pilihan sistem pemerintahan presidensial di Indo-nesia melalui UUD 1945 pasca amandemen adalah untuk meng-hasilkan pemerintahan yang efektif. Harapan tersebut tidak akandapat terwujud jika menggunakan sistem Pemilu proporsional murniyang disproporsionalitas sebagaimana dipraktikkan dalam Pemilutahun 2009 dan Pemilu 2014.

Page 91: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

70

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

Menyelamatkan partai politik dari perilaku korupsi menjadikeniscayaan yang tak boleh ditawar lagi karena jika dibiarkan makasemakna dengan kita membiarkan negara ini berada dalam penyakitkronis akut yang membahayakan. Itulah sebabnya setelah ditemukanfaktor penyebab partai politik melakukan korupsi, maka diperlukanikhtiar menemukan jalan kreatif menyelamatkan partai politik dariperilaku korupsi politik melalui aneka reformasi pengaturan pen-danaan partai politik, mulai dari perlunya alternatif pembiayaanorganisasi partai dari dana APBN, akuntabilitas pendanaannya,memurahkan biaya Pemilu, perlunya pengaturan larangan dinastipolitik hingga pengaturan tentang pembiayaan pilkada dari APBNbukan APBD. Berikut ini akan diuraikan secara lebih luas.

A. Perlunya Reformasi Pendanaan Partai PolitikAlternatif pembiayaan organisasi Parpol menjadi penting di-

pikirkan untuk menyelamatkan Parpol dari korupsi melalui perolehandana yang halal. Hadirnya relawan, dalam pilpres 2014 lalu misalnya,bukan hanya membantu mengampanyekan capres pilihannya, namunjuga menyokong dana kampanye melalui iuran dana gotong royong

... Bab Keenam ...

Desain ArsitekturMenyelamatkan Partai Politikdari Perilaku Korupsi Politik

Page 92: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

71

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

dan sukarela hingga puluhan miliar rupiah, misalnya untuk Jokowihingga 40 miliar.1 Pengumpulan dana Parpol semacam itu dapatdijadikan alternatif pembiayaan organisasi Parpol di masa depan.Tentu yang diperlukan adalah kemampuan Parpol dalam mengusungprogram Parpol dan melahirkan kader-kader Parpol yang dicintairakyatnya. Selain itu, alternatif pembiayaan lainnya dapat berupa,perolehan dana melalui Badan Usaha Milik Partai (BUMP). Yangdiperlukan adalah pembuatan regulasi yang mampu mengaudit danaParpol dan pembatasan jumlah kepemilikan dan sumbangan yangtidak jelas.

Lebih dari itu, yang diperlukan adalah pengelolaan dana partaiyang transparan dan akuntabel serta manajemen keuangan Parpolyang berbasis professional, bukan personal. Model pengelolaan danapartai yang bersifat personal Belum sepenuhnya berubah pada erapasca Orde Baru. Hal itu bisa dilihat dari beberapa indikasi berikutini.2 Pertama, karakter hubungan donatur dengan partai politik dankandidat masih bersifat personal dibandingkan institusional. Tidakpernah ada pernyataan terbuka dari lembaga lembaga yang menye-diakan dana dana politik ke publik. Demikian pula dengan kontrolatas dana politik akan lebih banyak dilakukan oleh kandidat maupunlingkaran terdekatnya. Sehingga, aktor yang dipercaya untukmengendalikan dana dana politik lebih didasarkan ikatan hubunganpersonal dengan elite dalam partai atau para kandidat. Kedua,bendahara partai tidak memiliki kontrol penuh atas dana dana politikyang masuk ke partai. Bendahara mungkin hanya memiliki aksespada dana dana yang bersumber dari bantuan resmi, baik berbentukdana subsidi pada partai atau sumbangan kader kader partai,selebihnya dana dana politik dikendalikan secara personal olehlingkaran kecil elite partai.

1. Perlunya Akuntabilitas Pendanaan Partai PolitikAgar partai politik tidak hanya dikelola oleh segelintir orang

elite (oligarki) yang berakibat pada kepercayaan publik pada partaipolitik yang melemah dan bahkan akan berpotensi mendorong partai

1 http://indonesia-baru.liputan6.com/read/2062241/anies-rakyat-iuran-sampai-rp-40-m-karena-percaya-jokowi-jk.

2 Ari Dwipayana, 2014, “Reformasi Pemiayaan Partai Pemetaan Masalah dan AgendaAksi Antikorupsi Di Sektor Politik”, Makalah Disampaikan dalam 4th IndonesiaAnticoruption Forum, di Hotel Double Tree, Jakarta pada tanggal 14-16 Juni 2014.

Page 93: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

72

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

politik tak berfungsi sebagaimana mestinya. Maka ke depan perludidorong agar pendanaan partai politik dikelola secara profesional,transparan, dan akuntabel sebagai wujud dari pertanggungjawabankeuangan publik. Ini sepadan dengan praktik “good financial politicalparty”. Sebab dana keuangan yang dimiliki partai politik dalammenjalankan rutinitas organisasi partai politik dan dana kampanyeadalah merupakan dana publik. Bisa disebut demikian, karena partaipolitik adalah institusi yang menjalankan fungsi kepentingan publiksebagai penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi publik dalambentuk akomodasi hak sipil dan politik warga negara.

Dorongan agar pengelolaan pendanaan Parpol yang transparan,akuntabel, dan profesional telah lama disuarakan melalui KonvensiPBB Antikorupsi tahun 2003 (United Nation Convention Against Corruption)dalam Pasal 7 Ayat (3) dinyatakan, Each states party shall also considertaking approrite legislatif and administrative mesuares, consistent with theobjectives of this convention and in accordance with the fundamental principlesof its domestic law, to enhance transparancy in the funding of candidaturesfor elected publich offices and, where applicable, the funding of politicalparties. Konvensi PBB ini telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesiamelalui UU No. 7 Tahun 2006.

Menurut Marcin Waleky (2004) fungsi utama mengapa pendanaanpartai politik perlu dikelola secara akuntabel, transparan, danprofesional adalah: pertama, mendekatkan kepercayaan publikantara elite politik dengan masyarakat; kedua, mendorong keper-cayaan publik dan meningkatkan partisipasi publik dalam Pemiludan kebijakan publik; ketiga, membantu politik lebih akuntabel tidakhanya terkait masalah uang atau keuntungan materiil; keempat,mencegah menerima money politic; kelima, mencegah potensi penye-lewengan dana publik dan negara; keenam, mendorong persaingansecara kompetitif; ketujuh menguatkan penegakan hukum.3 Sistemhukum Indonesia harus mampu dan berani tegas dalam menindakpartai politik yang tak mengelola dananya secara akuntabel, trans-paran, dan profesional dengan mendesain aneka peraturan untukdapat menghukum partai politik. Di antara sejumlah sanksi yang

3 W. Riawan Tjandra dan Mery Cristian Putri, 2015, “Pendanaan Kampanye: AntaraDemokrasi dan Kriminalisasi”, dalam Saldi Isra, dkk, 2015, Pemilihan Umum Serentak, PTRajawali Press, Jakarta, hal, 622.

Page 94: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

73

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

dapat menjadi pilihan politik hukum (legal policy) di Indonesia masadepan adalah seperti alternatif yang dinyatakan oleh Inggrid vanBiezen (2003).4 Alternatif tersebut yakni (a)administrative finances;(b) forfeiture of illegal; (c) cut in public subsidies; (d) loss of reimbursementfor election expense; (d) ineligibility for future states funding; (e) loss ofparlimentary seat; (f) Disqualification fom standing for future election;(g) ineligibility for appointment as a public official; (h) imprisontment;(i) dissolution of party dan (j) cancellation of election result.

B. Perlunya Memperketat Syarat Parpol Peserta PemiluPerlu diatur syarat dan sanksi secara lebih sistemik untuk

memotong orang atau kelompok masyarakat dalam mendirikanParpol baru. Pertama, syarat mendirikan Parpol baru harus me-menuhi persyaratan kepengurusan lengkap di semua provinsi,kabupaten/kota dan kecamatan. Kedua, perlu diatur pemberian sanksidenda seperti “electoral fee” berupa uang deposit dengan jumlahtertentu kepada negara bagi Parpol yang ingin ikut serta dalam Pemilu.Ketiga, UU perlu mengatur perlunya Parpol memiliki rekening khususatas nama Parpol dengan nominal yang tinggi sebagai syarat ke-pemilikan modal uang operasional di semua tingkatan kepengurusanParpol. Keempat, perlu mengatur batas usia Parpol untuk dapatmenjadi peserta Pemilu.

C. Perlunya Memurahkan Biaya Pemilu“Rekayasa sistem pemilihan” untuk mewujudkan kerangka sistem

Pemilu yang disepakati lebih baik berdasarkan prioritas tertentu yangdisepakati, perlu dilakukan.5 Dalam konteks Indonesia dapat di-upayakan melakukan rekayasa untuk mempermurah biaya Pemiludengan kembali ke sistem proporsional terbuka dengan nomor urutseperti pada Pemilu tahun 2009. Sistem proporsional dengan calonterbuka, dengan varian nomor urut (closed list system) ini, setidaknyamemiliki enam kelebihan. Pertama, meningkatnya loyalitas calon padainstitusi partai politik. Kedua, meningkatkan gairah dan semangatuntuk menjadi pengurus partai politik. Ketiga, membuka peluangbagi kader partai politik yang berkualitas untuk dapat terpilih dalam

4 Inggrid van Biezen, 2003, Financing Political Parties and Election Campign Guide-lines, Council of Europe Publishing: Printed in Germany, hal, 29.

5 Alan Wall, 2008, Engineering Electoral Systems: Problems and Possibilities andPitfalls, NIMD Knowledge, Den Haag, hal, 6.

Page 95: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

74

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

Pemilu. Keempat, mengharmonikan pengaturan recalling atau per-gantian antar waktu (PAW) anggota DPR.6 Sejak Pemilu masa OrdeBaru7 hingga masa Orde Reformasi dalam UU Susunan danKedudukan MPR, DPR dan DPRD porsi peran partai politik selalulebih dominan dalam PAW terhadap calon anggota DPR/DPRDketimbang konstituen atau pemilih. Kelima, memudahkan penye-lenggara Pemilu untuk melakukan rekapitulasi. Keenam, memangkasmodel kompetisi yang liberal antarcalon dalam satu partai, lebihmengutamakan pada politik uang ketimbang kompetisi pada gagasandan ide perubahan. Ini adalah praktik liberalisme politik, bahkanekstra liberal.

D. Perlunya Pengaturan Larangan Politik DinastiSalah satu faktor penting dari kuatnya perilaku korupsi partai

politik adalah kuatnya sistem politik dinasti atau kekerabatan politik.Dalam ‘politik dinasti’, pengisian jabatan politik baik di eksekutif(kepala daerah) maupun jabatan politik di legislatif (DPR/DPRD),hanya berputar di sekitar ring kekuasaan elite politik atau orang-orang kuat di lingkaran elite partai politik yang telah menjabat dalamjabatan eksekutif dan legislatif sebelumnya (petahana); mulai dariistri, suami, anak, keponakan hingga kerabat dekat dalam garisketurunan ke atas dan ke samping lainnya. Tradisi politik dinasti inijustru menguat seiring dengan pilihan model politik perwakilanmelalui Pemilu langsung, baik Pemilu legislatif maupun Pemilu kepaladaerah (Pilkada) di Indonesia pasca Orde Baru.

Faktanya, politik dinasti ini telah melahirkan dominasi elite lokaldi daerah dalam penguasaan isu-isu publik dan merugikan publikdaerah, karena tak mampu membawa kemakmuran daerah bahkanmelahirkan korupsi yang akut. Model politik dinasti terjadi diBangkalan, Jawa Timur, yakni Ibnu Fuad terpilih menjadi bupatimenggantikan ayahnya, Fuad Amin Imron; Di Bantul, Sri SuryaWidati memenangi pilkada menggantikan suaminya, Idham Samawi.Begitu pula terjadi di Banten. Wakil Bupati Serang, Tatu Chasanah,adalah adik kandung Gubernur Banten (nonaktif), Atut Chosiyah.

6 Lihat, Ni’matul Huda, 2011, Dinamika Ketatanegaraan Indonesia Dalam PutusanMahkamah Konstitusi, FH UII Press, Yogjakarta, hal, 159.

7 Produk UU Recalling masa Orde Baru adalah UU No.10 Tahun 1966 tentang KedudukanMPRS dan DPR-GR.

Page 96: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

75

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

Wali Kota Serang, Tubagus Haerul Jaman, adalah adik tiri Atut.Adapun Wali Kota Tangerang Selatan, Airin Rachmi Diany, adalahadik ipar Atut dan Wakil Bupati Pandeglang, Heryani, adalah ibu tiriAtut. Kasus serupa terjadi di daerah lain. Yang paling mutakhir adalahpolitik dinasti dan atau kekerabatan di Kabupaten Klaten PropinsiJawa Tengah. Dalam kurun waktu 16 tahun terakhir, Klaten dipimpinoleh dua dinasti, yakni Haryanto Wibowo dan Sunarna dan kiniistri-istri mereka menjadi Bupati dan Wakil Bupati, yakni Sri Hartinidan Sri Mulyani.

Paling tidak, ada empat doktrin utama mengapa politikkekerabatan (political dynasti) terus abadi menjadi tren dalam Pemiluuntuk meraih jabatan politik di banyak negara termasuk Indonesia.Pertama, kepercayaan (trusty) karena kerabat lebih dipercaya dantak mungkin berkhianat seperti lazim dilakukan politikus pemburukekuasaan yang biasanya semata hanya untuk membuat jejak kerabatbaru lagi. Kedua, loyalitas (loyality); kerabat akan jauh memilikiloyalitas yang tinggi dalam konteks menjalankan semua tugas-tugaspolitik terutama dalam hal menjaga wibawa dan kehormatan kerabatbesar ketimbang orang lain. Sebab, orang lain akan memilikikecenderungan untuk menelikungi kesepakatan politik, bahkan meng-habisi jalur kerabat penguasa lama untuk dialihkan pada kerabatpenguasa baru. Ketiga, solidaritas (solidarity); kerabat dipastikan jauhmemiliki tingkat solidaritas yang tangguh dalam mempertahankankekuasaan politik, terutama dalam menolong klan keluarga besar darikebangkrutan kekuasaan dan kekayaan, ketimbang mereka yangbukan dari kalangan kerabat. Kelestarian dan kesinambungan dinastipolitik biasanya menjadi ikon dan matra politik yang ampuh untukmenjaga solidaritas antar kerabat. Keempat, proteksi (protection); initerkait dengan model mempertahankan gengsi dan kehormatankeluarga besar. Mereka yang berasal dari keturunan yang sama akancenderung mampu menjaga apa yang telah dimiliki dan dikuasaikeluarga ketimbang orang lain. Upaya memproteksi jalur penguasaansumber-sumber ekonomi adalah motivasi utamanya. Lalu, biasanyamenciptakan sistem kartel ekonomi-politik, sehingga persaingan dankompetisi dalam meraih keuntungan dan mempertahankankeuntungan ekonomi-politik sebisa mungkin hanya berkutat dalamlingkaran kerabat penguasa. Bahkan ada kecenderungan untuk

Page 97: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

76

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

menciptakan sebuah mekanisme persaingan semu di atas aturan danhukum yang didesain sedemikian rupa dan berujung pada pemaksaanpada rakyat untuk menjalankan pola-pola demokrasi yang hanyaprosedural.

Politik dinasti kini berurat kuat dan langgeng di daerah. Bahkanpolitik dinasti akan menjadi cara ampuh bagi para petahana untukmenjadikan mereka menjadi raja-raja kecil di daerah. Politik dinastidijadikan sebagai amunisi untuk menumpuk harta dan pundi-pundikekayaan alam yang berlimpah di daerah untuk mempertahankan,meluaskan dan menguatkan kekuasaannya di daerah dengan caramenggulirkan kekuasaan politik hanya berputar di sekelilingkerabat dekatnya.

Pelan tapi pasti, nafas demokrasi lokal akan mati di daerah, karenapolitik dinasti ini sangat kejam melebihi zombie-zombie yang meng-guritakan proyek, fee, hasil pembangunan daerah hanya dinikmatioleh segelintir orang dalam relasi kekerabatan di daerah. Akibatnyaakan mematikan lahirnya calon-calon pemimpin lokal alternatif. Sebabkompetisi pilkada tak berlangsung fair dan kompetitif, siapapun yangbertanding melawan gurita kekerabatan lokal dengan petahana akantersingkir. Sebab, petahana dengan kekuasaannya, harta, relasi, modalsosial, jaringan politik birokrasi, segenap fasilitas dana ABPD, danpopularitasnya akan dengan mudah disalahgunakan untuk me-mobilisasi dan memengaruhi rakyat di daerah untuk memilihkerabatnya dalam pilkada serentak. Di titik ini, betapa beratnya calonkepala daerah yang tidak memiliki jalur kerabat dengan petahan untukdapat menang dalam kompetisi pilkada yang sistemnya dirancangtak adil sejak dalam pikiran pembuat UU dan para hakim MK ini.

Watak politik dinasti yang paling buruk adalah korupsi dalambentuk penyalahgunaan kewenangan kepala daerah dalam rotasi danpromosi jabatan Aparatus Sipil Negara (ASN) di lingkungan pejabatdi Satuan Kerja Pemerintahan Daerah (SKPD) yang hanya ber-dasarkan kedekatan pada tokoh lokal dengan elite politik berbasissuap minus seleksi ketat ini dapat terjadi karena ada aspek ikutanyang mendorong salah satunya karena para pejabat yang dipilih dalammengisi di pos-pos jabatan dinas yang syarat dengan proyek-proyekbasah adalah hanya mereka yang dapat mengamankan sekaligusmampu menyetor pundi-pundi uang dan proyek-proyek daerah

Page 98: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

77

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

untuk pengamanan politik kekerabatan. Jangan harap, para ASNyang profesional namun jauh dari kerabat elite lokal, dekat dengantokoh politik yang dekat dengan kerabat elite politik lokal atau takbersedia menyuap akan memperoleh jabatan di Pemda.

Aspek lain yang mendorong para politisi dalam dinasti politikcenderung menjual-belikan jabatan di Pemda adalah karena pada saatPilkada berlangsung, biaya politik uang untuk mempertahankandinasti politik agar menang dalam pilkada sangatlah mahal. Itulahsebabnya ketika para politisi dalam jaringan politik dinasti ini berhasilmenang dalam pilkada maka posisi Bupati dan Wakil Bupati seolahmenjadi raja-raja kecil di daerah. Posisi ini dijadikan sebagai alat politikuntuk mengeruk keuntungan ekonomi-politik dan sumber dayadaerah untuk mempertahankan jaringan kekerabatan. Di titik ini takjarang jabatan-jabatan dinas selalu diperjual-belikan layaknyaperdagangan di pasar tradisional ada yang model tawar-menawarada pula tarif yang telah ditetapkan. Seperti rumor yang kuatterdengar jabatan eselon di Klaten dipatok antara Rp50 juta-75 jutarupiah. Belum lagi khusus untuk jabatan Kepala Sekolah SD, SMP,SMA/SMK dan Pengawas Pendidikan di Klaten yang jumlahnyapaling banyak diperebutkan tentu harganya bervariasi dan kadangmasih dapat ditawar sesuai lokasi. Jual-beli ini dilakukan karenaBupati dan wakil Bupati beserta para kerabat elite politik lokalberkepentingan untuk mengembalikan modal uang yang ditanamdalam kompetisi Pilkada yang tak murah. Maka dipastikan dalamlima tahun menjabat rotasi, mutasi, dan promosi pejabat setidaknyaakan berlangsung paling sedikit lima kali dalam lima tahun dan hanyadibutuhkan 2-3 kali mutasi uang modal pilkada dapat pulih kembalidan di tahun ke-4 dan ke-5 telah memetik untung yang menggiurkan.Berdasarkan catatan Akhir tahun 2016 dari Komisi Aparatur Sipil(KASN), uang hasil jual beli jabatan di pemerintahan selama tahun2016 mencapai Rp35 triliun. Sungguh merupakan nilai uang yangsangat fantastis dan mencengangkan. Maka sesungguhnya jabatanbirokrasi di pemerintahan kini tak berbeda jauh dengan jabatanpolitik yang diraih melalui Pemilu. Jika jabatan politik melalui Pemilu,seperti anggota DPR, DPRD, DPD, Presiden, dan Wakil Presiden,Gubernur, Bupati, Wali Kota, dan Kepala Desa diraih dengan meme-ngaruhi pemilih melalui jual-beli suara (vote buying) dengan aneka

Page 99: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

78

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

cara, maka jabatan biroksai di pemerintahan diraih dengan caramenyuap para elite politik penguasa dinasti politik. Jadi, setali tigauang antara jabatan politik dan jabatan birokrasi hampir tak adabedanya dalam hal cara memperolehnya. Padahal jamak diketahui,jabatan politik harus berbeda dalam model seleksinya dengan jabatanbirokrasi. Jabatan politik memerlukan kemampuan untuk meme-ngaruhi kebijakan, sehingga diperlukan sumber daya manusia (SDM)yang punya kapasitas dalam pengawasan dan kontrol terhadapkebijakan publik, sedangkan untuk jabatan birokrasi diperlukan SDMyang memiliki kapasitas dalam hal melaksanakan kebijakan publik,profesional dan diperlukan model seleksi meritokratis (berdasarkanurutan kepangkatan, pendidikan dan senioritas).

Secara filosofis, jabatan politik dapat diperoleh dan diperebutkanoleh setiap orang sepanjang memenuhi syarat dan berhasil dipilihrakyat dalam Pemilu yang diatur dalam UU Pemilu, UU Pilkada danUU Pilpres. Sedangkan jabatan birokrasi tidak dapat diperebutkanoleh semua orang kecuali telah terpenuhi syarat meritokratis yangdiatur dalam UU ASN, UU Pemerintah Daerah dan aneka peraturanperundang-undangan teknis lainnya. Praktik jual-beli jabatanbirokrasi di pemerintahan ini jelas kian mengaburkan nilai dan asasfilosofis dalam menata desain kelembagaan negara dan mengkacaukandesain sistem ketatanegaraan.

Mahkamah Konstutisi (MK) belum lama ini membatalkan klausulpembatasan politik dinasti yang termuat dalam Pasal 7 Huruf r UUNomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah. Pasca putusanMK ini maka anggota keluarga, kerabat, dan kelompok yang dekatdengan petahana dapat mengikuti pilkada serentak pada 9 Desember2015, tanpa harus menunggu jeda lima tahun atau satu periode jabatan.

MK berpendapat, pembatasan kerabat petahana dalam pilkadaserentak adalah melanggar hak asasi manusia (HAM) yang diaturdalam Pasal 28 Huruf J Ayat (2) UUD 1945 Pasca amandemen dan UUNo. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia (HAM) yangmengamanatkan agar melindungi hak-hak setiap warga negara tanpadiskriminasi.

Dalam amar putusannya, MK juga berpendapat bahwa pembuatUU No.8/2015 tentang pilkada telah keliru dalam mengatur pem-batasan politik dinasti, pembuat UU ini seharusnya mengatur

Page 100: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

79

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

pembatasan hak asasi ditujukan kepada kepala daerah petahana,bukan hak asasi keluarga, kerabat, atau kelompok-kelompok yangdimaksud. Benarkah demikian?

Sesungguhnya ketentuan Pasal 7 huruf r UU No.8/2015 yangmembatasi politik dinasti ini tidak untuk melakukan diskriminasi.Karena UU ini sesungguhnya tidak melarang secara mutlak praktikpolitik dinasti dalam pilakda, melainkan hanya mengatur jedawaktunya, yakni para kerabat petahana ini dapat ikut dalam pilkadasetelah melewati jeda waktu satu periode masa jabatan petahana.Ketentuan ini dimaksudkan agar tidak ada konflik kepentingan antaracalon dan petahana dalam pilkada, sehingga tidak merugikan calonyang bukan dari garis kerabat dengan petahana.

Jika dicermati dalam batas penalaran yang wajar, sesungguhnyaputusan MK ini jelas abai dalam melihat konsekuensi pencalonankerabat petahana terhadap pilkada yang jujur, adil, dan demokratis.MK lebih mempertimbangkan hak politik kerabat petahana yangdinilai tercederai oleh Pasal 7 Huruf r UU No 8/2015. Padahal hakpolitik mereka sebenarnya tak hilang, tetapi hanya diatur waktunya,yakni satu periode setelah masa jabatan petahana.

Lebih dari itu, putusan MK ini hanya fokus pada pemihakanhak asasi manusia (HAM) dari perspektif hak politik (individu) kerabatpetahana saja, namun melupakan pemihakannya pada hak politikwarga negara secara umum. MK telah mengabaikan hak warga negarayang lebih besar terkait dampak buruk dominasi politik dinasti itusendiri yang berpotensi menyuburkan praktik kolusi, korupsi, dannepotisme (KKN).

Pilkada yang jujur, adil, dan demokratis juga adalah mandatkonstitusi (UUD), bagaimana mungkin pilkada dapat berlangsungdemikian, jika UU Pilkada tak mampu mengatur dan membatasidominasi politik dinasti ini. Sejak semula, publik menginginkan agarpilkada dapat berlangsung secara adil dan demokratis dengan caramengatur jeda waktu satu periode masa jabatan petahana dengankerabatnya. Ini dimaksudkan agar kepala daerah petahana tidak punyaberbagai keuntungan terkait pencalonan kerabatnya.

Seharusnya, MK sepakat dengan pentingnya pembatasan politikdinasti ini agar aneka keuntungan itu tidak disalahgunakan petahana

Page 101: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

80

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

untuk kepentingan dirinya dan kerabatnya. Sebab realitasnya,petahana dapat secara leluasa menyalahgunakan kekuasaannyauntuk menyokong kemenangan kerabatnya dalam pilkada, mulaidari mobilisasi pemilih, penggunaan fasilitas dana APBD, mobilisasiaparat birokrasi daerah, hingga menjual popularitas untuk men-dulang suara pemilih agar memilih kerabatnya.

Di titik ini, sesungguhnya, pembatasan politik dinasti dalam UUPilkada tidak melanggar HAM justru memuliakan HAM karenadengan pembatasan politik dinasti ini akan dapat menciptakan pilkadaberlangsung secara adil dan demokratis, karena tak ada satu pihakpun yang dapat diuntungkan secara politis atas posisi petahana.

Seperti diingatkan oleh Roscoe Pound (1961) dalam buku klasiknyaThe Sociological Jurisprudence, bahwa seharusnya hukum dijadikaninstrumen untuk perubahan sosial (law as a tool of social engeneering).Karena itulah, maka UU No.8/2015 tentang Pilkada harus menjadialat untuk melakukan pengaturan agar demokrasi dapat berjalansecara adil sehingga akan menciptakan ruang kompetisi yang adildalam pilkada antar calon tanpa dibebani oleh politik dinasti.

Di sinilah relevansi Pasal 7 Huruf r UU No.8/2015 yang mengaturjeda waktu bolehnya anggota keluarga, kerabat, dan kelompok yangdekat dengan petahana dapat mengikuti pilkada serentak padaDesember 2015, harus menunggu jeda lima tahun atau satu periodejabatan menjadi sangat urgen dari sebagai bagian komitmen me-muliakan HAM bukan melanggar HAM.

Di negara demokrasi baru seperti Indonesia yang memilikikarakter pemilih dalam pilkada dan Pemilu yang masih belum terdidiksecara politik rasional untuk cerdas dalam menentukan pilihan politikkepada calon yang baik, diperlukan instrumen hukum sebagai carauntuk mencerdaskan pemilih sehingga pilkada tidak berlangsungliberal dan bebas tanpa batasan-batasan rasional. Berbeda dengannegara demokrasi yang sudah matang, seperti di Eropa, Skandinaviadan Amerika Serikat yang memiliki karakter pemilih cerdas danrasional, tak lagi memerlukan pembatasan politik dinasti dalam Pemilu.Mekanisme Pemilu diserahkan pada selera pasar, yakni pilihanpemilih yang rasional. Karena itu, politik dinasti menjadi wajar danbiasa di negara-negara tersebut, karena di negara-negara tersebutmenganut sistem Pemilu liberal.

Page 102: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

81

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

Sistem pilkada dan Pemilu di Indonesia bukanlah sistem liberal,melainkan sistem yang dibangun atas dasar Pancasila yang menem-patkan negara melalui instrumen hukum dapat berperan dalammengatur dan membuat pembatasan-pembatasan tertentu menujusistem pilkada yang adil dan demokratis sepanjang dimaksudkanuntuk menjamin HAM dan pertimbangan moral, nilai-nilai agamadan ketertiban umum.

Seperti dinyatakan dalam Pasal 28 J Ayat (2) UUD 1945, bahwadalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tundukkepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang denganmaksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hakkebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuaidengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, danketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.

Karena itu, pembatasan politik dinasti melalui jeda waktu satuperiode bagi calon yang memiliki hubungan kerabat dengan petahanasebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 7 Huruf r UU No.8/2015yang dibatalkan oleh MK ini sesungguhnya tidak diskriminatif dantidak melanggar HAM, karena memiliki spirit mengatur kompetisipilkada agar berlangsung adil dan demokratis karena tidak mem-bedakan antara calon orang biasa dan calon yang memiliki hubungankerabat dengan petahana.

Maka solusi untuk mengatasi politik dinasti adalah mengubahkembali desain ketatanegaraan melalui revisi terhadap ketentuan UUPilkada dan UU Pemilu untuk melarang para kerabat dekat calonpetahana (incumbent) dalam pilkada. Kendati ketentuan pasal ini telahdibatalkan oleh MK, bukan berarti pemerintah tak boleh memasukkankembali klausul pemotongan mata rantai politik dinasti denganredaksi yang berbeda dalam UU No. 10 Tahun 2016 tentang Pilkada,sepanjang ditujukan untuk mencegah politik dinasti yang telah nyatamendorong para kepala daerah dalam ikatan dinasti memperjual-belikan jabatan di Pemda.

Solusi berikutnya untuk dapat memotong mata rantai politikdinasti adalah dari aspek budaya politik melalui peran partai politik(Parpol) dan pemilih. Parpol seharusnya memilih kader-kader yangberkualitas yang bukan berasal dari dinasti politik untuk maju dalamkonstestasi Pemilu. Pemilih pun harus cerdas dalam memilih dengan

Page 103: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

82

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

tidak memilih calon yang berasal dari dinasti politik. Yang palingbertanggung jawab untuk memangkas dinasti politik yang palingberkuasa dalam Pemilu adalah pemilih. Di sinilah relevansi di-perlukannya upaya mencerdaskan pemilih agar tidak menjadi pemilihyang sentimentil dan emosional melainkan pemilih yang rasional danbermartabat. Dalam banyak teori dan praktik Pemilu di dunia, dinastipolitik tidak akan tumbuh dan terbonsai jika pemilih tidak memilihkelompok dan keluarga yang terafiliasi dengan dinasti politik.

E. Perlunya Pendanaan Pilkada dari APBNSejumlah pihak menyatakan kecewa pada praktik Pilkada karena

terjadinya kekerasan di sejumlah daerah, merebaknya praktik politikuang, dan mahalnya biaya. Biaya pilkada, selama ini di Indonesia,melahirkan paradoks dilihat dari aspek mahalnya biaya politik. Taksebanding antara biaya yang dikeluarkan dan gaji yang didapat paracalon setelah menjadi kepala daerah. Misalnya, untuk calon gubernurdiperlukan biaya Rp20 miliar-Rp100 miliar, padahal gaji yang diterimaper-tahun “hanya’’ Rp510 juta-Rp600 juta; calon bupati/wali kotaRp0,3 miliar-Rp10 miliar, sedangkan gaji yang diperoleh “cuma’’ Rp300 juta-Rp 420 juta/tahun.

Hal ini berakibat pada tak sebanding lurusnya dengan tuntutanpublik agar kepala daerah harus menjalankan roda pemerintahannyadengan bersih tanpa korupsi. Padahal modal yang dikeluarkan lebihbesar ketimbang gaji. Pada titik ini dipastikan calon kepala daerah(setelah terpilih) melakukan aneka siasat untuk mengembalikan modalbiaya politik saat pilkada, dari APBD, DAU, dan DAK untuk daerahnya.

Letak kesalahan mahalnya biaya politik pilkada utamanya padadesain sistem politik kita, sebab pilkada langsung dilaksanakan ditengah suasana masyarakat yang miskin secara ekonomi, ber-konsekuensi suara menjadi alat satu-satunya untuk diperjualbelikandi pasar politik pilkada.

Pilihan yang tersedia adalah mengevaluasi kritis berbagaiperangkat Undang-Undang (UU) Pilkada. Pilihan model pilkadalangsung tanpa disertai dengan model pencerdasan rakyat menjadipemilih rasional, cerdas, dan bertanggung jawab atas pilihannya, jugatanpa disertai usaha sistemik meningkatkan kesejahteraan rakyatadalah kekurangan utama sistem pilkada langsung selama ini.

Page 104: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

83

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

Isu politik menjadi domain elite dan warga urban, bukan merekayang tinggal di pedesaan yang jumlahnya lebih banyak. Padahalsuara merekalah yang selama pilkada menjadi objek sasaran politikuang kandidat kepala daerah.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 diubah menjadi UUNomor 12 Tahun 2008 tentang Pilkada dan selanjutnya diubah lagimenjadi UU No. 10 Tahun 2016 tampaknya alpa mengatur tentangpembatasan pemberian sumbangan untuk Parpol pengusung calondan pasangan calon sehingga dengan leluasa sumbangan dana lebihbanyak diterima oleh keduanya. Demikian pula sanksinya tidak tegas,selama ini UU masih memungkinkan kandidat untuk melakukanpolitik uang. Akibatnya, belanja politik tak terkontrol. Apalagi selamaini model kampanye politik uang yang dikemas para calon tidakdengan pemberian uang tunai tetapi dengan pemberian sembako,bakti sosial, pengobatan gratis, uang transpor, dan uang bensin saatkampanye maka kian sulit dikontrol.

Demikian pula UU Nomor 10 Tahun 2016 tentang PemilihanGubernur, Bupati dan Walikota (UU Pilkada) tak secara cermat meng-atur tentang pemberian sanksi politik uang, dan hanya bagi timkampanye yang terdaftar di KPU, sehingga sulit menjatuhkan sanksibila dilakukan oleh bukan tim kampanye. Para calon juga cerdasmenyiasati dengan mendaftar jumlah ribuan jumlah kader, sebab UUmemperbolehkan pemberian uang untuk para kadernya.

Yang dilarang bila uang itu diberikan kepada non kader untukmeengaruhi pilihannya. Siasat yang tak kalah cerdas dilakukan calondengan memberikan uang pada saat hari tenang (tiga hari) menjelangpemungutan suara.

UU Pilkada tidak mengatur pemberian sanksinya. Kemudianpelaporan dana kampanye dalam dua regulasi itu hanya dilakukanamat pendek hanya 20 hari sehingga pelaporan uang kampanye dankonversi sumbangan bukan uang hanya formalitas dan asal-asalan,pun tidak ada sanksi yang tegas.

Upaya memangkas biaya penyelenggaraan pilkada dapatdilakukan dengan sistem pilkada gabungan: menyatukan pilkadadengan pilpres dan Pemilu DPR dan DPRD, dengan format Pemilulokal dan nasional, seperti dilakukan di sejumlah negara Amerika

Page 105: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

84

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

Latin. Salah satu problem klasik dalam setiap penyelenggaraanpemilihan kepala daerah (Pilkada) di Indonesia adalah terkait denganketidaksiapan Pemerintah Daerah (Pemda) dalam menyediakanpembiayaan Pilkada dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah(APBD) karena sangat mahal dan membebani APBD Provinsi danKabupaten/Kota yang menyelenggarakan Pilkada.

Misalnya Pilkada serentak 9 Desember 2015 lalu yang berlangsungdi 264 daerah dari 269 daerah yang direncanakan, terdiri dari 8provinsi, 222 kabupaten dan 34 kota dan pilkada serentak tahun 2017di 101 daerah. Penyelenggara Pilkada (KPU daerah) di sejumlahdaerah terpaksa harus melaksanakan tahapan Pilkada tanpa danayang memadai. Akibatnya, pelaksanaan Pilkada tanpa standar biayayang sama antardaerah. Penyelenggaraan Pilkada di daerah yangkaya terlampau boros, sedangkan daerah yang miskin nyaris tanpabiaya memadai.

Agar persoalan pembiayaan ini tidak menjadi persoalan rutindalam Pilkada, maka perlu dipikirkan model pembiayaan alternatifyang bersumber dari dana publik yang diakumulasi oleh negara dipemerintah pusat berupa, Anggaran Pendapatan dan Biaya Negara(APBN). Menurut Michael G. Miller, (2014), mensubsidi “proyekdemokrasi” melalui dana-dana publik sangat penting karena akansangat menguntungkan penataan politik dan desain sistem Pemilunasional untuk investasi demokrastisasi jangka panjang yangberkesinambungan di sebuah negara.8

Sesungguhnya, Pilkada adalah merupakan bagian dari rezimpemilihan umum (Pemilu) di Indonesia yang terdiri dari pemilihananggota DPR, DPD dan DPRD (Pileg) dan pemilihan presiden danwakil presiden (Pilpres). Karenanya, Pilkada merupakan bagian darihajat nasional. Sebagaimana diatur dalam Pasal 22 E UUD 1945 pascaamandemen. Bahkan berdasarkan UU No.15 Tahun 2011 tentangPenyelenggara Pemilu, semua jenis Pemilu (Pilkada, Pileg dan Pilpres)diselenggarakan oleh lembaga yang sama, yakni KPU, Bawasludan DKPP yang bersifat nasional, tetap dan mandiri bukan bersifatlokal. Bila pileg 2014 dan pilpres 2014 lalu tidak mengalami persoalandalam hal pembiayaannya, maka mestinya Pilkada pun demikian.

8 Michael G. Miller, 2014, Subsidizing Democracy: How Public Funding ChangesElections, and How It Can Work in the Future. Cornell University Press.

Page 106: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

85

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

Karena Pileg dan Pilpres dibiayai oleh dana APBN. Jika demikianmaka tidak logis bila Pilkada yang merupakan bagian dari rezimPemilu nasional dibiayai oleh APBD, mestinya Pilkada juga dibiayaioleh APBN sebagaimana Pileg dan Pilpres. Gagasan biaya Pilkadadari APBN ini selain dalam rangka singkronisasi sistem Pemilu jugadalam rangka untuk meringankan beban keuangan daerah, terutamadaerah-daerah yang Pendapatan Asli Daerah (PAD) minim danAPBD-nya nyaris defisit.

Selain itu, model pembiayaan APBN ini juga akan dapat meng-hindari adanya proses negosiasi dan lobi antara KPUD, Pemda danDPRD dalam menyusun anggaran Pilkada yang dapat mengganggukonsentrasi KPUD dalam menyiapkan penyelenggaraan Pilkada.Belum lagi, ditambah tradisi penganggaran APBD selama ini selaludiwarnai dengan “pesanan politik” tertentu yang amat menyulitkanKPUD. Akibatnya independensi KPUD turut tergadaikan. Apalagijika sejumlah pejabat pemda, incumbent kepala daerah dan paraanggota DPRD turut mencalonkan diri dalam Pilkada, maka per-soalan anggaran Pilkada kian rumit dan dijadikan alat “menyandera”KPUD agar lebih pro pada calon-calon tertentu. Lain halnya, bila anggaranPilkada berasal dari APBN, maka persoalan ini akan dapat ditepis.

Problemnya bukan hanya berhenti di situ, bila para pihak didaerah yang terkait dengan penganggaran APBD Pilkada ini kalahdalam kompetisi Pilkada, maka biasanya KPUD akan disanderauntuk dipenjarakan, karena kecurigaan antara calon pada KPUDdalam berpihak pada calon-calon tertentu. Kendati KPUD telahbekerja secara profesional, independen, dan transparan. PembiayaanPilkada bersumber dari APBN ini juga berefek positif, karena Pemdatidak lagi memikirkan biaya politik. Sehingga dana APBD dapatdiserap untuk penyelenggaraan kesejahteraan rakyat di daerah.

Kendati tak terucap, sesungguhnya ketidaksiapan dana Pilkadadari APBD di setiap daerah ini menunjukkan pemda tak bersediadalam pembiayaan Pilkada. Padahal telah disediakan regulasi taktis,dalam bentuk Peraturan Menteri dalam Negeri (Permendagri) danPeraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) yang memberikan solusiuntuk permasalahan anggaran Pilkada. Dalam peraturan itu, peme-rintah daerah bisa menabung dana untuk penyelenggaraan Pilkadasebelum masa Pilkada dimulai. Ini dimaksudkan agar dana Pilkada

Page 107: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

86

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

tak membebani satu tahun anggaran. Namun, realitasnya jarangdilakukan oleh Pemda, karena berbagai alasan. Umumnya karenaanggaran APBD telah habis terserap untuk belanja rutin daerah.

Secara teknis, pembiayaan dari APBN ini juga akan dapatmempermurah biaya Pilkada karena cara ini memungkinkan bagipemerintah pusat untuk membuat standarisasi nasional biaya Pilkada.Harus diakui, Pilkada dengan biaya APBD membuat setiap daerahmempunyai standar masing-masing, sehingga terkesan boros. Karenaitu, pemerintah pusat perlu membuat standar baku dengan kriteriaberdasar jumlah pemilih dan kondisi sosial-politik tertentu. Cara inibukan saja akan mengefektifkan biaya Pilkada, akan tetapi juga akanmemudahkan kontrol penggunaan biaya Pilkada.

Model pembiayaan Pilkada dari APBN ini tidak menyulitkanKPUD dalam mempertanggungjawabkan anggaran pasca Pilkada,karena harus berhadapan dengan berbagai macam “kepentinganpolitik” daerah yang ragam dan bentuknya amat sulit diprediksi. Caraini secara politik akan menaikkan daya tawar KPUD dari tarikanpolitik lokal terutama elite lokal untuk memengaruhi dan meng-intervensi KPUD. Dengan model ini, maka KPUD akan kian inde-penden, profesional, dan akuntabel.

Karena itu, presiden perlu mengambil kebijakan yang luar biasa(extraordinary) dengan menugaskan Mendagri untuk mengkajisecara cepat dan cermat model pembiayaan Pilkada serentaknasional dari APBN melalui revisi terhadap UU No.10 Tahun 2016tentang Pilkada Serentak untuk menyongsong Pilkada serentakgelombang berikutnya.

Page 108: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

87

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

A. Konsep Pelembagaan Partai PolitikCita-cita melahirkan pemerintahan antikorupsi dalam perspektif

hukum tata negara tak dapat dilepaskan dari kemauan untukmelakukan reformasi terhadap partai politik dan sistem kepartaian.Salah satu agenda penting yang harus dilakukan adalah melakukanupaya sistemik pembaruan model pelembagaan partai politik, yakniagar terjadi proses pemantapan perilaku partai politik baik dalamwujud perilaku yang memola maupun dalam sikap atau budaya (theprocess by wich the party becomes established in terms of both of integratedpatterns of behavior and attitude or culture).1

Perilaku yang memola maupun sikap ini dapat dilakukan dilihatdalam empat pola. Pertama, derajat kesisteman; yakni prosespelaksanaan fungsi-fungsi partai politik, termasuk penyelesaiankonflik, dilakukan menurut aturan, persyaratan, prosedur danmekanisme yang disepakati dalam AD dan ART Partai Politik.2

1 Vicky Randall dan Lars Svansand, dalam Jurnal Party Politics, Vol 8 Januari No.1Tahun 2002, sebagaimana dikutip oleh Ramlan Surbakti, “Perkembangan Partai PolitikIndonesia”, dalam Andy Ramses dan La Bakry, 20009, Politik dan Pemerintahan Indonesia,MIPI, Jakarta, hal, 143.

2 Ibid., hal, 143

... Bab Ketujuh ...

Desain Arsitektur PelembagaanPartai Politik Antikorupsi

Page 109: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

88

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

Kedua, identitas nilai; yakni berkaitan dengan orientasi kebijakandan tindakan partai politik menurut ideologi atau platform Parpol.Ketiga, derajat otonomi suatau partai politik dalam pembuatankeputusan berkaitan dengan hubungan Parpol dengan aktor luarParpol baik dengan otoritas tertentu (penguasa, pemerintah), maupundengan sumber dana (pengusaha, penguasa, negara atau lembagaluar) dan sumber dukungan massa (organisasi masyarakat). Keempat,derajat pengetahuan publik tentang Parpol yang merujuk padapertanyaan apakah keberadan Parpol tersebut telah tertanam padaimajinasi publik seperti yang dimaksud oleh partai politik tersebut.3Gagasan berikut ini akan menguraikan tentang hal-hal apa yang harusdilakukan dalam rangka melembagakan partai politik dalam upayauntuk menyokong lahirnya sistem ketatanegaraan yang antikorupsi.

B. Model Pelembagaan Partai PolitikPartai politik merupakan agen utama bagi jalannya demokrasi

dan sistem pemerintahan. Lembaga legislatif (DPR RI) yang meru-pakan representasi partai politik menjadi pusat transformasi politikIndonesia sejak tahun 1998. Sejak amandemen UUD 1945 dilakukan,Parlemen (DPR/DPRD) dan Pemerintah Daerah (Pemda) merupakandua institusi yang diberi kekuasaan besar pasca Orde Baru melebihiinstitusi yang lain.4

Hampir semua jabatan politik dilahirkan dari rahim parlemen,baik jabatan di ranah eksekutif maupun yudikatif dan komisi negara,mulai dari jabatan paglima TNI, Kapolri, Gubernur dan Deputi BankIndonesai, Duta Besar, Hakim Agung, Hakim Mahkamah Konstitusi,Komisi Yudisial, Komisi Pemilihan Umum, Komisi PemberantasanKorupsi dan lain-lain.

Lebih jauh Stephen Sherlock mengatakan:“Under the amended constitution, the DPR was added a range of powersthat boosted the DPR’s ability to scrutinize the activities of the executiveand appoint senior state officials. In addition, it was given a role in selectingmembers of the supreme courts, the constitutional court and judicial commision.More controversially, the DPR was given power to approve the appointment

3 Ibid., hal, 145-148.4 Stephen Sherlock, 2010, “The Parliament In Indonesia’s Decade of Democracy:

People’s Forum or Chamber of Cronies”, in Edward Aspinall and Marcus Mietzner, (eds),2010, Problems of Democratisation in Indonesia, Elections, Institutions and Society, ISEAS,Singapore, hal, 160.

Page 110: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

89

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

of Indonesia ambassadors from foreign countries. It was also given theauthority under various pieces of legislation to approve the appointment ofthe commanders of the armed forces, the chief of polices, member of corruptionseradication commission, and other officials”.5

Peran partai politik sejak Pemilu 1999 dan pasca amandemen UUD1945 selama empat kali mulai tahun 1999-2002 begitu penting danmenempati peran vital bagi jalannya sistem politik kenegaraan diIndonesia. Partai bukan saja menjadi agen demokrasi, namun jugaagen perubahan negara. Mau tidak mau dan suka tidak sukadipundak partai politiklah sebagian urusan kenegaraan diserahkanpada partai politik melalui otoritas yang diberikan oleh UUD 1945pasca amandemen.

Besarnya peran partai politik di level kenegaraan ini, jika tidakdiiringi dengan kualitas dan integritas politisi yang memadai, makaakan berimbas pada buruknya kualitas hasil seleksi pejabat politik.

Institusi DPR Pasca amandemen UUD 1945 juga telah diberikanotoritas yang relatif kuat dalam relasinya dengan eksekutif dalammenjalankan roda pemerintahan, baik otoritas berupa pembuatanproduk legislasi, pengawasan maupun anggaran. Jika kualitas politisidi DPR tidak memadai dipastikan fungsi-fungsi itu hanya akandimanfaatkan untuk ajang kontestasi kekuasaan, bahkan alat untukmeraih keuntungan ekonomi politik.

Dalam pembuatan produk legislasi misalnya, produk perundang-undangan hanya akan dibahas secara serius jika lebih meng-untungkan, tak heran bila muncul praktik jual-beli pasal. Dalam peng-awasan, kekuasaan ini hanya akan dijadikan ajang untuk meng-gertak, bukan untuk meluruskan jalannya roda pemerintahan untukkepentingan publik dan kesejahteraan. Di titik ini muncul istilah politikkartel yang mencerminkan praktik saling melindungi kepentinganekonomi politik masing-masing partai dan saling berbagi keuntungan.

Tak kalah uniknya, dalam fungsi anggaran yang terjadi adalahmodel perencanaan anggaran yang berbasis pada proyek untukkepentingan pribadi dan pembiayaan partai politik.6 Dititik ini praktikmafia anggaran menjadi sesuatu yang jamak terjadi dan bahkanmenjadi tren korupsi akhir-akhir ini.

5 Ibid., hal, 1636 Marcus Mietzner, 2008, “Soldier, Parties and Bureaucrats: Illicit Fundrising in

Contamporary Indonesia”, in South East Asia Research, Vol.16 (2), hal, 225-254.

Page 111: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

90

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

Akhir-akhir ini, partai politik tak memperoleh respon positif daripublik, karena skandal korupsi, rendahnya kualitas integritas pribadi,tanpa ikatan emosi yang kuat dengan konstituen, akibatnya takmampu menyerap aspirasi publik di level kebijakan negara. Karenaketerpilihan anggota DPR lebih disebabkan karena patronase politikdan kekuatan modal uang,7 sehingga kinerja mereka lebih pekaterhadap intrik politik dari pada pekerjaan-pekerjaan dasar berupamendengar dan mewakili kepentingan konstituennya.

Seperti dinyatakan oleh Carothers, 2006:8

“Indonesia’s main political parties remain almost archetypical embodimentsof the standard lament about parties they are intensely leaders-centricorganization dominated by a small circle of elite politicians who hold ontotheir position atop parties seemingly indefinitely, are immersed in patronagepolitics, and who are far more devoted to political intrigue in the capital thanprosaic work of trying to listen to and represent a base of constituents”.

Perbaikan kualitas sistem kepartaian menjadi kunci bagi perbaikankualitas praktik demokrasi dan jalannya roda pemerintahan. Tanpaupaya perbaikan kualitas sistem kepartaian, maka sesungguhnya samasaja dengan menunggu proses kemandekan demokrasi dan buruknyasistem pemerintahan. Karena itu, yang dapat dilakukan adalahmelakukan dua hal, yakni penguatan pelembagaan partai politik danpenguatan pelembagaan sistem kepartaian. Keduanya dilakukan secarasimultan dan akan diuraikan secara jelas di bawah ini.

C. Penguatan Pelembagaan Partai PolitikPengaturan untuk memperkuat kelembagaan Parpol ini di-

tujukan pada kian memfungsikan partai politik (Parpol),9 yaitu untukmengagregasi dan mengartikulasikan kepentingan sosial, alatuntuk melakukan rekrutmen elite politik, dan untuk merumuskanberbagai macam program.10 Selain itu, Parpol juga berfungsi untuk

7 Lihat tulisan yang mengupas tentang hubungan partai politik, patronase dan uangmelalui karya: Dodi Ambardi, 2012, “Partai, Patronase dan Politik Uang”, Kompas, 21Februari 2012, hal, 6. Dan Airlanga Pribadi, 2010, “Menghadang Patronase Politik”, Kompas,22 Mei 2010, hal, 6.

8 Dirk Tomsa, 2010, “The Indonesian Party System After The 2009 Election: TowardsStability”, in Edward Aspinall and Marcuss Mietzner, (eds), 2010, Problems ofDemocratisation in Indonesia, Elections, Institutions and Society, ISEAS, Singapore, hal, 142.

9 Menurut Austin Ranney Parpol, ialah ideologi dan kepentingan yang diarahkan padausaha-usaha untuk memperoleh kekuasaan, sebagaimana dikutip, H.A Mukti Fajar, 2008,Parpol dalam Perkembangan..,Op, Cit, hal, 16

10 Leonardo Morlino, 1989, “Democratic Consolidation and Democratic……,Op, Cit,hal, 4

Page 112: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

91

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

masyarakat dalam memengaruhi dan membentuk pendapat umum,berkompetisi dalam Pemilu, untuk jalannya kenegaraan dan terhadaplembaga perwakilan, serta terhadap jalannya pemerintahan.11 Peng-aturan untuk memperkuat pelembagaan Parpol dalam konteks Indo-nesia seharusnya dilakukan dalam tiga performa (wajah) Parpol:pertama, Parpol di level akar rumput (electoral); kedua, Parpol di levelpemerintah; ketiga, Parpol di level organisasi Parpol.12

D. Pelembagaan Partai Politik di Akar RumputPenguatan Parpol di akar rumput merupakan ujung tombak

Parpol. Merekalah yang secara langsung bersentuhan dengan basissosial Parpol dan masyarakat secara umum. Kemampuan manajemenParpol di level ini akan menentukan kualitas dukungan masyarakatpada Parpol dan tinggi rendahnya tingkat loyalitas (volatility) pemilihpada Parpol. Parpol mestilah dikelola untuk mengakar dan tumbuhdi akar rumput. Sehingga Parpol tidak menjadi Parpol elite yangmengarah ke oligarki, tetapi menjadi Parpol massa. Ke depan, perlumendorong kemunculan partai politik yang terbuka dan bersifatinklusif dan kompetitif sehingga Parpol dapat berfungsi sebagaisarana integrasi nasional dan agregasi kepentingan, kaderisasi politik,dan pendidikan politik;13 sebab, Parpol berubah menjadi elite danoligarki, yakni ketika keputusan politik dan program Parpol hanyadikelola dan dikuasai segelintir orang dalam organisasi Parpol. Caraini akan mendorong lahirnya semacam “perang” tanding kekuasaanpolitik. Perang antar segelintir elite yang menguasai modal ekonomi/uang dan menutup secara sistematis peran massa akar rumput,jadilah seolah-olah Parpol menjadi organisasi privat (perusahaanpribadi), bukan organisasi publik yang bertujuan mengelola danmerumuskan kebijakan publik dalam hubungan mediasi antarpemerintah dan rakyat.14

Dalam konteks yang lebih luas, penguatan Parpol di level akarrumput harus didorong. Pertama, agar Parpol mampu menyerap

11 Koentjoro Poerbopranoto, 1987, Sistem Pemerintahan Demokrasi…..Op.Cit, hal, 5012 Lihat, VO Key, Jr, 1964, Politics, Parpol And Pressure Group, Frauk J Sorouf, 1984, Party

Politics In America, R, Gunter J. Montero dan J.Linz (ed). Political Parties, sebagaimanadikutip oleh Sigit Pamungkas, 2010, Pemilihan Umum, Perilaku Pemilih Dan Kepartaian,IDW Yogyakarta, hal, 132

13 Ramlan Subakti, 2008, Rekayasaan Sistem Pemilu untuk Pembangunan Tata PolitikDemokratis, Partership Governance Reform Indonesia, Jakarta, hal, 20-21.

14 Jefry A. Winters, 2010, Oligarchy, Cambrigde University Press, Oxford.

Page 113: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

92

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

aspirasi dari konstituen, simpatisan, elemen-elemen masyarakat sipildan rakyat pada umumnya, kelompok-kelompok kepentingan, organi-sasi profesi. Kedua, Parpol wajib bertanggung jawab melakukanpendidikan politik bagi pemilih dan masyarakat pada umumnya.Karena harus diakui negara ini, perilaku pemilih (voting behavior) dalamPemilu masih berada pada ranah supporters (pemilih semu), yaknimereka yang ikut berpartisipasi dalam Pemilu lebih didasarkan padahajatan ritualitas yang wajib diikuti tanpa disertai dengan pemahamanakan maksud, tujuan, arti dan fungsi keikutsertaannya. Pemilih modelini masih sangat loyalis-centimentil.15 Ketiga, saat Pemilu, agar Parpoldapat memenangi kompetisi secara fair dan demokratis, maka Parpolperlu mendesain tata kelola Pemilu yang baik, seperti memikirkanpendanaan Pemilu yang transparan dan bersumber dari dana-danayang sah menurut etika dan hukum.

Belakangan ini kondisi politik telah terasuki virus korupsi, elitepolitik tersedot dalam politik transaksi dan pragmatis. Ini terjadiakibat dari proses politik biaya tinggi. Kemenangan politisi dalamPemilu banyak dipengaruhi politik uang. Maka ketika terpilih sebagaipejabat di eksekutif maupun legislatif, mereka terdesak untukmengembalikan biaya politik.16

Partai juga didorong agar mampu mendesain sistem kampanyedan isu-isu yang diusung lebih mengutamakan tawaran programketimbang mobilisasi massa. Dalam rangka untuk memperkuatpelembagaan Parpol di level akar rumput ini, maka perlu dirancangUU Parpol yang mengatur secara tegas tentang penggunaan danabantuan dari APBN dan APBD Parpol untuk pendidikan politikrakyat, sosialisasi politik. Dengan adanya ketentuan untuk tegasmenyebutkan fungsi dana bantuan ini, maka Parpol diikat untukdekat dengan konstituen. UU tentang Parpol perlu mengatur danmemberi sanksi hukum pada Parpol yang tidak menggunakan danabantuan untuk pendidikan dan sosialisasi politik.

15 Lihat, gagasan serupa, Kacung Marijan, 2008, Partisipasi Publik, Budaya PolitikPemilih, dan Demokrasi di Indonesia, Makalah Disampaikan dalam Seminar Nasional XXII,Diselenggarakan oleh AIPI di Banjarmasin pada Tanggal, 15-16 April 2008 dan DedeMariana, 2008, “Partisipasi Publik dan Budaya Politik Pemilih dalam Pilpres 2009", MakalahDisampaiakan dalam Seminar Nasional XXII, Diselenggarakan oleh AIPI di Banjarmasinpada Tanggal, 15-16 April 2008.

16 “Parpol Perlu Di Evaluasi”, Kompas, 22 Juli 2011, hal, 2. Lihat pula, “Negara MengarahKleptokrasi”, Kompas, 14 Juni 2011, hal, 1 dan 15, dan “Masyarakat Kian Permisif Korupsi”,Kompas, 15 Juli 2011 hal, 1 dan 15.

Page 114: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

93

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

E. Pelembagaan Partai Politik di PemerintahPada level ini, Parpol harus mampu menawarkan alternatif

kebijakan yang akan diusung di level kebijakan negara. Karenaitulah, Parpol perlu kemampuan untuk memformulasikan ideologiParpol dalam bentuk program-program kerja Parpol. Karena selamaini ideologi Parpol lebih banyak digunakan hanya untuk meraihsimpati massa dan sumber legitimasi pemimpin politik, bukanuntuk mengidentifikasi isu-isu kebijakan politik (politik, hukum,ekonomi, dan budaya).17

Parpol di level pemerintah perlu didorong untuk kian mena-jamkan polarisasi ideologi. Semakin beragam kutub-kutub ideoligisParpol dan semakin jauh jarak ideologis antar kutub, maka akankian riuh dinamika politiknya.18 Dengan begitu, akan kian mendoronglahirnya berbagai macam alternatif kebijakan di level negara. Caraini akan kian meminggirkan politik pragmatis dan merasionalkanpilihan rakyat pada identifikasi program, bukan pada tokoh dankharisma pemimpin politik.

Seperti dinyatakan oleh Aurel Croissant, ketika Parpol lebihmengandalkan program dan ideologi, maka ia akan mendorongpada efek positif stabilitas demokrasi sekaligus konsolidasinya. Lebihjauh ia mengatakan:

“…If ideology prevails over personalism and clientelism, the party has apositive effect on democratic stability and consolidation..”19

(... Jika ideologi menang atas personalisme dan klientelisme, partaiitu memiliki efek positif pada stabilitas demokrasi dan konsolidasi).

Parpol di level pemerintah, terkait dengan kemampuan kader-kader Parpol dalam memimpin kelembagaan negara baik di eksekutifmaupun di legislatif, karena itu selain program ideologi, Parpol harusmampu diterjemahkan dalam rangkaian kerja-kerja di kedua level itu(eksekutif dan legislatif) juga terkait dengan kualitas dan integritaspersonal yang duduk dalam jabatan-jabatan itu. Di sinilah Parpol

17 Fakta-fakta ini dicatat oleh Daniel S.Lev Sebagai kelemahan Parpol di Indonesia.Lihat, Daniel S Lev, “Partai-Partai di Indonesia Pada Masa Demokrasi Parlementer (1950-1957) dan Demokrasi Terpimpin (1957-1965)”, dalam Ichasul Amal, (Eds), 1988, Teori-Teori Muthakir Partai-Partai, Tiara Wacana, Yogyakarta, hal, 3

18 Budiarto Danujaya, 2007, “Reideologi Politik”, Kompas, 25 Juni 2007, hal, 619 Aurel Croissant and Wolfgang Merkel “Political Party Formation in Presidential”,

Op.Cit, hal, 4 .

Page 115: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

94

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

perlu didorong untuk melakukan seleksi secara ketat, transparan danakuntabel. Sehingga mampu melahirkan kader-kader terbaiknya yangdapat memimpin. Bukan didasarkan pada kedekatan denganpimpinan Parpol jalur kekerabatan elite atau pertimbangan uang.20

Parpol harus mempersiapkan calon-calon yang seperti dikatakanoleh Robert A. Dahl, memenuhi persyaratan moral, pengetahuan akankebajikan dan kepentingan umum, serta keahlian teknis atau instru-mental yang diperlukan bagi tugas-tugas pejabat politik.21

Semua persyaratan calon, proses penjaringan, penyaringan,nominasi, dan penetapan calon diwajibkan untuk dilakukan secarademokratis dan melibatkan masyarakat umum, bila perlu diumumkankepada publik 1 s/d 2 tahun sebelum Pemilu berlangsung.

Cara-cara ini harus di atur dalam UU tentang Parpol dan disertaidengan sanksi yang tegas agar dapat dilaksanakan oleh Parpol. Inisemata-mata untuk menghindari terulangnya model-model pen-calonan dalam Pemilu-Pemilu sebelumnya (2004 dan 2009) yang sangattertutup, oligarkis, dan asal comot.22 Sehingga kelak model pen-calonan di Parpol dapat berlangsung secara terpola, ajeg, dan terukur,sehingga tidak mudah ditelikung oleh elit politiknya. Karena ciri dariParpol yang telah terlembaga seperti dinyatakan oleh AndreasSchuller, 1995, adalah:

“…solid, immobile, permanent, predictable, structured, hard and persistent”so institution is the thing that does not change every time we act…”.23

(... Padat, bergerak, permanen, diprediksi, terstruktur, keras dangigih sehingga lembaga adalah hal yang tidak berubah setiapkali kita bertindak).

20 Pusat kajian politik FISIP UI Jakarta, menyimpulkan bahwa model perekrutan Parpoldi Indonesia bersifat instan, dan hanya memasukkan kalangan tertentu, terutama tokohpublik, pejabat dan pengusaha, Lihat, Tim Pusat Kajian Politik, 2008, Kerangka PenguatanParpol di Indonesia, FISIP UI, Jakarta.

21 Robert A Dahl, 1992, Demokrasi dan Para Pengkritiknya, Yayasan Obor, Jakarta, hal,91-116.

22 Tentang buruknya model pencalonan dalam Pemilu 2004 dapat dibaca. SyamsudinHaris, 2005, “Proses Pencalonan Legislatif Loka: Pola, Kecenderungan dan Profil Caleg”dalam Syamsudin Haris, (eds), 2005, Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai: ProsesNominasi dan seleksi Caleg Pemilu 2004, Gramedia, Jakarta, hal, 9

23 Andreas Schuller, 1995, “Under-and Overinstitutionalization: Some Ideal TypicalProposition Conserning New and Old Party System”, Working Paper # 213-March 1995,hal, 8.

Page 116: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

95

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

F. Pelembagaan Partai Politik di InternalPerforma Parpol pada level organisasi ini juga perlu diatur secara

ketat dalam UU Parpol. Dalam hal ini setidaknya ada dua hal yangsangat perlu diatur. Pertama, memperkuat dan mempersolid organi-sasi Parpol sebagai pendukung (supporting system), dalam meng-gerakkan fungsi-fungsi Parpol. Jika organisasi Parpol lemah, makaotomatis akan memperlemah kerja-kerja Parpol. Karena itu pelem-bagaan Parpol dalam organisasi Parpol ini dilakukan dengan menataaturan dan regulasi (rule and regulation), dalam Parpol melalui AD/ART. Dengan menciptakan kejelasan struktur dan aturan kelembagaandalam berbagai aktivitas Parpol baik di pemerintah, di akar rumputdan di internal Parpol, aturan itu dibuat jelas dan disepakati olehsebesar-besarnya anggota, dapat dicegah upaya untuk memanipulasioleh individu atau kelompok tertentu bagi kepentingan-kepentinganjangka pendek yang merusak Parpol.24 Kedua, organisasi Parpol perludidorong untuk mampu membangun dan mengembangkan sistemrekrutmen partai yang adil dan berkesinambungan. Parpol perluberfikir serius agar kontinuitas rekrutmen anggota, terutama partaimassa terus berlangsung dan rekrutmen pengurus Parpol tidak me-nimbulkan gesekan internal Parpol yang mengarah pada perpecahanpartai.25 Kepengurusan Parpol di masa depan memang sebaiknyadiarahkan untuk menjadi pengelola yang profesional dan terpisahdari calon wakil rakyat. Karena itu, pengurus Parpol dibagi dalamtiga komponen, yaitu: (i), komponen kader wakil rakyat; (ii),komponen kader pejabat eksekutif; dan, (iii), komponen pengelolaprofesional. Ketiganya diatur dalam struktur yang terpisah, dan tidakboleh ada rangkap jabatan dan pilihan jalur, pola rekrutmen danpromosi diharuskan mengikuti jalur yang sudah ditentukan dalamsalah satu teori dari ketiga jalur tersebut. Pengaturannya perludituangkan dalam undang-undang tentang Parpol dan tidak cukuphanya dalam AD/ART.26 Ketiga, organisasi Parpol perlu didoronguntuk kian memperbaiki manajemen kuangan Parpol dan peng-

24 Wicipto Setiyadi, 2008, “Peran Parpol dalam Penyelenggaraan Pemilu“….Op,Cit,hal,4

25 Sigit Pamungkas, 2010, Pemilu, Perilaku Pemilih…….Op.Cit, hal, 134.26 Jimly Assiddiqie, 2010, “Dinamika Parpol dan Demokrasi”, dalam http://

www.jimly.com/makalah/namafile/dinamika_partai_politik_.doc. Diakses pada tanggal 27Oktober 2011.

Page 117: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

96

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

administrasian Parpol. Ini penting dilakukan agar kegiatan Parpoldapat berjalan secara kontinu, tidak selama ini kantor-kantor Parpoldan kegiatan-kegiatan Parpol baru terlihat hanya saat pintu Pemiludimulai, seolah-olah Parpol hanya disiapkan untuk menjadikendaraan dalam Pemilu atau Parpol elektoralis.

Parpol tidak lagi memikirkan pengorganisasian gerakansistematis di tengah masyarakat untuk mendorong perubahantertentu seperti pada era 1950-an, melainkan hanya memikirkan caramemenangi Pemilu, bahkan belakangan tren perilaku Parpol adakecenderungan merekrut kelompok-kelompok profesional yangmemiliki kemampuan membantu memenangi Pemilu.27

Seharusnya Parpol tak perlu menyewa kelompok-kelompokprofesional, sepanjang Parpol mampu mempersiapkan kader yang baik,manajemen yang baik, serta pengadministrasian kantor yang memadai.

Tabel 3. Model Ideal Pelembagaan Partai Politik dan SistemKepartaian

27 Anita Yossihira, Dkk, 2011, “Parpol tanpa Ideologi, Menaruh Harapan Pada Parpol“,Kompas, 25 Oktober 2011, hal, 5. Tentang tren kecenderungan Parpol menyewa kaumprofesional untuk memenangi Pemilu dapat dibaca. M.Qodari, 2010, “The profesionalisationof Politics: The Growing Role of Polling Organizations and Political Consultants”, inEdward Aspine (eds), 2010, Problems of Democratization in Indonesia, Elections, Institu-tions and Society. ISAS, Singapore, hal, 122-140

Page 118: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

97

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

28 Sigit Pamungkas, 2010, Pemilu, Perilaku Pemilih…….Op.Cit, hal, 144.

Sumber: Sigit Pamungkas, 201028 dan diolah kembali dari berbagaisumber lain

Page 119: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

98

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

Reformasi untuk memperbaiki model rekrutmen kader partaipolitik untuk menduduki jabatan politik di parlemen (DPR danDPRD) dan di eksekutif (Presiden dan Kepala Daerah) menjadikeniscayaan yang tak dapat ditawar lagi guna menyokong hadirnyapemerintahan yang antikorupsi. Berikut ini akan dikemukansejumlah desain arsitektur tentang bagaimana sebaiknya modelrekrutmen kader partai politik yang akan menempati posisi jabatanstrategis dalam institusi kenegaraan, yakni di parlemen dan dieksekutif yang demokratis, bersih dan akuntabel.

A. Tujuan Mendemokratiskan RekrutmenPartai politik (Parpol) merupakan agen utama bagi jalannya

demokrasi dan sistem pemerintahan, karena kandidat presiden danwakil presiden, kandidat anggota DPR dan DPRD dan kandidat kepaladaerah (gubernur, bupati dan walikota beserta wakilnya) berasal darirahim Parpol; sesuai dengan ketentuan Pasal 6 A, Pasal 22 E Ayat (3)dan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 Pasca amandemen. Jabatan presidendan wakil presiden adalah merupakan puncak stupa strukturkekuasaan tertinggi dalam sistem pemerintahan presidensial yang

... Bab Kedelapan ...

Desain Arsitektur RekrutmenKader Partai Politik di Parlemen

dan di Eksekutif Antikorupsi

Page 120: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

99

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

memiliki kuasa penuh dalam penyelenggaraan negara maupunpemerintahan.1 Demikian juga jabatan kepala daerah (gubernur,bupati dan walikota) merupakan jabatan strategis dalam mewujudkankesejahteraan rakyat di daerah.2 Dengan demikian baik presidenmaupun kepala daerah sangat menentukan bulat dan lonjongnyakualitas jalannya sistem bernegara dan kualitas kesejahteraan rakyat.

Tak kalah penting pula, jabatan anggota DPR di lembaga legislatifmerupakan representasi Parpol menjadi pusat transformasi politikIndonesia sejak tahun 1998. Sejak amandemen UUD 1945, DPR diberikekuasaan besar melebihi institusi yang lain.3 Hampir semua jabatanpolitik dilahirkan dari rahim parlemen, baik jabatan di ranah eksekutifmaupun yudikatif dan komisi negara, mulai dari jabatan paglima TNI,Kapolri, Gubernur dan Deputi Bank Indonesai, Duta Besar, HakimAgung, Hakim Mahkamah Konstitusi, Komisi Yudisial, KomisiPemilihan Umum, Komisi Pemberantasan Korupsi dan lain-lain.

Peran Parpol sejak Pemilu 1999 dan pasca amandemen UUD 1945selama empat kali, mulai tahun 1999-2002 begitu penting danmenempati peran vital bagi jalannya sistem politik kenegaraan diIndonesia. Parpol bukan saja menjadi agen demokrasi, namun jugaagen perubahan negara. Mau tidak mau dan suka tidak sukadipundak Parpol-lah sebagian urusan kenegaraan diserahkan.

Besarnya peran Parpol politik di level kenegaraan ini, jika tidakdiiringi dengan kualitas dan integritas politisi yang memadai, makaakan berakibat pada buruknya kualitas demokrasi. Itulah sebabnyadiperlukan penguatan kapasitas internal Parpol dalam upaya rekrutmenkader-kader Parpol terbaik untuk menempati posisi pucak stupastruktur kekuasaan demokrasi, yakni kandidat capres, kandidat kepalakepala daerah (Cakada) dan kandidat anggota DPR/DPRD (Caleg).

Jika kualitas politisi yang akan menjadi kandidat Capres, Cakadadan Caleg tidak memadai, dipastikan fungsi-fungsinya hanya akan

1 Jimly Assidiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan dalamUUD 1945, (Yogjakarta: FH UII Press, 2004), hlm, 56-82.

2 Agus Riwanto, Mencermati Kinerja Kepala Daerah Pasca Pilkada Langsung DalamMengendalikan Pemerintah Daerah dan Menjamin Mensejahterakan Rakyat, Upaya MencariSebab Buruknya Kinerja dan Tawaran Solusi, dalam Jurnal Unisia, Vol 31, No 68 (2008),(Yogjakarta: UII, 2008).

3 Stephen Sherlock, “The Parliament In Indonesia’s Decade of Democracy: People’sForum or Chamber of Cronies”, in Edward Aspinall and Marcus Mietzner, (eds), Prob-lems of Democratisation in Indonesia, Elections, Institutions and Society, (Singapore:ISEAS, 2010), hlm, 160.

Page 121: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

100

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

dimanfaatkan untuk ajang kontestasi kekuasaan, bahkan alat untukmeraih keuntungan ekonomi politik. Dalam pembuatan produklegislasi antara pemerintah dan DPR misalnya, produk perundang-undangan hanya akan dibahas secara serius jika lebih meng-untungkan, tak heran bila muncul praktik jual-beli pasal. Dalamfungsi pengawasan DPR, kekuasaan ini hanya akan dijadikan ajanguntuk menggertak, bukan untuk meluruskan jalannya rodapemerintahan untuk kepentingan publik dan kesejahteraan. Di titikini, muncul istilah politik kartel yang mencerminkan praktik salingmelindungi kepentingan ekonomi politik masing-masing Parpol dansaling berbagi keuntungan.

Tak kalah uniknya, dalam fungsi anggaran, yang terjadi adalahmodel perencanaan anggaran yang berbasis pada proyek untukkepentingan pribadi dan pembiayaan Parpol.4 Di titik ini, praktik mafiaanggaran menjadi sesuatu yang jamak terjadi dan bahkan menjaditren korupsi. Akhir-akhir ini, Parpol tak memperoleh respon positifdari publik, karena skandal korupsi, rendahnya kualitas integritaspribadi, tanpa ikatan emosi yang kuat dengan konstituen, akibatnyatak mampu menyerap aspirasi publik di level kebijakan negara. Karenaketerpilihan anggota DPR dan kepala daerah lebih disebabkan karenapatronase politik dan kekuatan modal uang.5 Sehingga kinerja merekalebih peka terhadap intrik politik dari pada pekerjaan-pekerjaan dasarberupa mendengar dan mewakili kepentingan konstituennya.

Lebih dari itu, Parpol hanya dikuasai oleh segelintir elite politikyang memiliki kekuasaan tanpa batas yang dapat mengatur jalannyaroda organisasi sesuai kepentingan segenap patronasenya saja.Akibatnya, organisasi Parpol tidak berjalan secara demokratistermasuk dalam seleksi Capres, Cakada, dan Caleg dalam Pemilu.6

Perbaikan kualitas jalannya sistem pemerintahan demokratisharus dimulai dari sistem kepartaian dengan memperbaiki model

4 Marcus Mietzner, 2008, “Soldier, Parties and Bureaucrats: Illicit Fundrising inContamporary Indonesia”, in South East Asia Research, Vol.16 (2), hal, 225-254.

5 Lihat tulisan yang mengupas tentang hubungan partai politik, patronase dan uangmelalui karya: Dodi Ambardi, 2012, “Partai, Patronase dan Politik Uang”, Kompas, 21Februari 2012, hal, 6. Dan Airlanga Pribadi, 2010, “Menghadang Patronase Politik”, Kompas,22 Mei 2010, hal, 6.

6 Dirk Tomsa, “The Indonesian Party System After The 2009 Election: Towards Stability”,in Edward Aspinall and Marcuss Mietzner, (eds), Problems of Democratisation in Indonesia,Elections, Institutions and Society, ISEAS, (Singapore: ISEAS, 2010), hlm, 142.

Page 122: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

101

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

seleksi internal Parpol dalam menentukan kandidat dalam Pilpres,Pileg, dan Pilkada secara demokratis. Sesuai mandat nilai filosofisdari sila ke empat Pancasila, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmahkebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Ini adalah intipraktik demokrasi asli yang bersumber dari nilai adiluhung budayabangsa Indonesia. Tanpa upaya perbaikan di lini ini, makasesungguhnya sama saja tengah menunggu proses kemandekandemokrasi dan buruknya sistem pemerintahan.

Dalam teks sistem Pemilu dikenal jenis seleksi kandidat dalamPemilu yaitu, (1) sertifikasi, merupakan tahap pendefinisian kriteriayang dapat masuk dalam pencalonan dengan didasarkan pada aturan-aturan pemilihan, aturan-aturan partai dan norma sosial informal;(2) penominasian, yaitu kesediaan calon yang memenuhi syarat danpermintaan dari penyeleksi ketika memutuskan calon yangdinomimasikan; dan (3) tahap Pemilu, merupakan tahap seleksi publikmelalui Pemilu siapa di antara calon yang terpilih.7. Atau dalam bahasayang berbeda, seleksi kandidat terdiri dari tiga tahap. Tahap seleksiadministrasi, yakni, seleksi yang dilakukan oleh penyelenggara Pemiluuntuk dapat memenuhi prosedur adminitrasi berdasarkan UU Pemilu.Tahap seleksi Parpol, yakni seleksi yang dilakukan oleh internal Parpoluntuk menentukan kandidat yang akan diajukan dalam Pemilumelalui penyelenggara Pemilu. Ketiga, seleksi politis, yakni seleksiyang dilakukan melalui Pemilu untuk menanti pilihan pemilihkandidat mana saja yang dipilih oleh pemilih melalui sistem Pemiluyang dirancang menurut UU Pemilu.8

Usaha memperbaiki kapasitas internal Parpol dalam menentukanCapres, Cakada dan Caleg dalam Pemilu ditujukan pada kianmemfungsikan Parpol,9 yaitu untuk mengagregasi dan meng-artikulasikan kepentingan sosial, alat untuk melakukan rekrutmenelite politik, dan untuk merumuskan berbagai macam program.10

7 Sigit Pamungkas, Partai Politik Teori dan Praktek di Indonesia, (Yogjakarta: Institutefor Democracy and Welfarianism, 2011), hlm, 92.

8 Joko. J. Prihatmoko, Mendemakratiskan Pemilu dari Sistem Sampai Elemen Teknis,(Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm, 115.

9 Menurut Austin Ranney Parpol, ialah ideologi dan kepentingan yang diarahkan padausaha-usaha untuk memperoleh kekuasaan, sebagaimana dikutip dari H.A Mukti Fajar,2008, Partai Politik dalam Perkembangan Sistem Ketatanegaraan Indonesia, (Malang: In-Trans Publishing, 2008), hlm,16.

10 Leonardo Morlino,, “Democratic Consolidation and Democratic Theory” Paperprepered for the conference “Problems Of Democratic Consolidation: (Spain and TheNew Southern Europe”, Bad Humburg, Germany, 18989), hlm, 4.

Page 123: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

102

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

Selain itu, Parpol juga berfungsi untuk masyarakat dalam meme-ngaruhi dan membentuk pendapat umum, berkompetisi dalamPemilu, untuk jalannya kenegaraan dan terhadap lembaga per-wakilan, serta terhadap jalannya pemerintahan.11

Parpol harus mampu menawarkan alternatif kebijakan yang akandiusung di level kebijakan negara. Itulah mengapa Parpol perlukemampuan untuk memformulasikan ideologi Parpol dalam bentukprogram-program kerja Parpol. Karena selama ini ideologi Parpol lebihbanyak digunakan hanya untuk meraih simpati massa dan sumberlegitimasi pemimpin politik, bukan untuk mengidentifikasi isu-isukebijakan politik (politik, hukum, ekonomi dan budaya).12

Parpol perlu didorong untuk kian menajamkan polarisasiideologi. Semakin beragam kutub-kutub ideologis Parpol maka akankian dapat meriuhkan dinamika politiknya sehingga mendorongmencerdaskan pemilih karena tersedianya beragam alternatif pilihanprogram-program ideologis Parpol.13 Dengan begitu, akan kianmendorong lahirnya berbagai macam alternatif kebijakan di levelnegara. Cara ini akan kian meminggirkan politik pragmatis danmerasionalkan pilihan rakyat pada identifikasi diri dengan Parpol(Party ID) adalah kedekatan pemilih terhadap Parpol sebagai indentitaspolitiknya, bukan pada tokoh dan kharisma pemimpin politik.14

B. Penerapan Prinsip Demokrasi Penentuan CalonSesungguhnya Pancasila adalah nilai luhur yang bersumber dari

khazanah lokal bangsa Indonesia, yang di dalamnya teruntai anekaajaran kebaikan dan kemuliaan manusia seutuhnya yang bukansaja bersifat partikular, namun juga universal. Menurut Cess Schuyt,sistem hukum memiliki elemen idiil (het ideele element), elemenoperasional (het operationele), elemen aktual (het actuele elemen). Jikadikaitkan dengan ideologi negara, maka nilai-nilai Pancasila, yaituBerketuhanan, Berperikemanusiaan, Berpersatuan, Berkerakyatan

11 Koentjoro Poerbopranoto, 1987, Sistem Pemerintahan Demokrasi, (Bandung: Eresco,1987), hlm, 50.

12 Fakta-fakta ini dicatat oleh Daniel S.Lev Sebagai kelemahan Parpol di Indonesia.Lihat, Daniel S Lev, “Partai-Partai di Indonesia Pada Masa Demokrasi Parlementer (1950-1957) dan Demokrasi Terpimpin (1957-1965)”, dalam Ichasul Amal, (Eds), Teori-TeoriMuthakir Partai-Partai,(Yogjakarta: Tiara Wacana, Yogyakarta, 1988), hlm, 3.

13 Budiarto Danujaya, 2007, “Reideologi Politik”, Kompas, 25 Juni 2007, hal, 6.14 Burhanuddin Muhtadi, Perang Bintang 2014, Konstelasi dan Prediksi Pemilu dan

Pilpres, (Jakarta, Noura Books, 2013), hlm, 105-119.

Page 124: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

103

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

dan Berkeadilan harus dijadikan sebagai elemen idiil, elemenoperasional, dan elemen aktual yang harus menjadi motivasi danpedoman sekaligus confirm and deepen the identity of their people gunamendefinisikan aktivitas sosial-kultural maupun struktural penye-lenggaraan pemerintahan Negara Indonesia.15

Artinya, sila keempat Pancasila, “Kerakyatan Yang Dipimpin olehHikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan”,menjadi landasan kebijakan politik dan hukum (legal policy) yangmeletakkan kekuasaan di bawah kekuasaan rakyat (demokrasi).16

Dalam konteks seleksi Capres, Caleg, dan Cakada demokratis diinternal Parpol berdasarkan gagasan demokrasi mazhab Pancasilaadalah desain model seleksi yang mengutamakan proses penen-tuan kandidat dalam Pilpres, Pileg, dan Pilkada berdasarkan padamusyawarah mufakat. Mengacu pada tradisi permusyawaratanyang dipraktikkan selama berabad-abad di tengah masyarakat Indo-nesia. Dalam hal ini, penentuan pemimpin politik tidak ditentukanberdasarkan one man one vote (sistem pemilihan yang bersifat individual)melainkan berdasarkan musyawarah mufakat yang dilakukan olehsuatu badan berbentuk Majelis Permusyawaratan Partai (MPP) yangmampu mengatasi dan memaknai cita-cita ideologi Parpol dan cita-cita kepemimpinan politik Indonesia.

Model musyawarah mufakat ini sejalan dengan pemikiranSoepomo tentang cita-cita demokrasi Indonesia yang menegaskan,bahwa konsekuensi ini mengandung makna bahwa Negara Indonesiaharus menjamin suatu pemerintahan yang secara terus menerusmenyatu dengan rakyat. Ini berarti, Negara Indonesia harus me-miliki Badan Permusyawaratan yang senantiasa mengetahui danmerasakan rasa keadilan masyarakat dan cita-cita rakyat. BadanPermusyawaratan ini merujuk pada tradisi yang terdapat dalamaturan-aturan adat.17

Demokrasi asli Indonesia ini sejalan pula dengan pemikiran BungHatta yang mencita-citakan model demokrasi modern Indonesia,

15 Prasetijo dan Sri Priyanti, Membangun Ilmu Hukum Mazhab Pancasila, dalam SatyaArinanto, dkk (editor), Memahami Hukum Dari Konstruksi Sampai Implementasi, (Jakarta:Rajawali Press, 2010), hlm, 31-32.

16 M. Mahfud, MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, (Jakarta:Rajawali Press, 2010), hlm, 17-18.

17 R.M. AB. Kusuma, Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945, (Jakarta: Badan PenerbitFH UI, 2004), hlm, 132.

Page 125: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

104

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

yakni cita-cita Rapat. Rapat adalah tempat rakyat dan urusan rakyatbermusyawarah dan mufakat tentang segala urusan yang bersang-kutan dengan kehidupan bersama.18

Tradisi musyawarah mufakat merupakan dasar pembentukanidentitas nasional. Kehendak untuk demokrasi berdasar padatradisi demokrasi desa itu juga sebagai bentuk penolakan para pendiribangsa atas faham liberalisme yang menekankan pada individualisme.Sistem demokrasi ini memiliki dasar kolektivisme yang kuat sehinggadapat direkonstruksi menjadi sistem demokrasi yang berwatakkolektivistik pada tingkat negara bangsa. Secara struktural sistemdemokrasi kolektivistik ini diwujudkan dalam bentuk lembaga MPRdan model perencanaan ekonomi secara kolektif melalui GBHN sertahak menguasai negara terhadap sektor-sektor penting dan sumberdaya alam.19

C. Mendemokratiskan Kepengurusan Partai PolitikPertama, memperkuat dan mempersolid organisasi Parpol sebagai

pendukung dalam menggerakkan fungsi-fungsi Parpol.20 Kedua,organisasi Parpol perlu didorong untuk mampu membangun danmengembangkan sistem rekrutmen partai yang adil dan berkesinam-bungan.21 Kepengurusan Parpol harus profesional dan terpisah daricalon wakil rakyat. Pengurus Parpol dibagi dalam tiga komponen,yaitu: (i), komponen kader wakil rakyat; (ii), komponen kader pejabateksekutif; dan, (iii), komponen pengelola profesional.22 Ketiga,organisasi Parpol perlu didorong untuk kian memperbaiki manajemenkuangan Parpol dan pengadministrasian Parpol bukan sekedarmerekrut kelompok-kelompok profesional yang memiliki kemampuanmembantu memenangi Pemilu.23

18 Muhammad Hatta, “Ke Arah Indonesia Merdeka”, dalam Miriam Budiardjo (ed),Masalah Kenegaraan, (Jakarta: Gramedia, 1977), hlm, 42-43.

19 Aidul Fitriciada Azhari, Rekonstruksi Tradisi Bernegara Dalam UUD 1945,(Yogjakarta:Genta Publising, 2014), hlm, 108.

20 Wicipto Setiyadi, “Peran Parpol Dalam Penyelenggaraan Pemilu Yang Aspiratif DanDemokratis” dalam http://www.djbp.depkumham. go.id/htn-dan-puu/507-peran-partai-politik-dalam-penyelenggaraan-Pemilu-yang-aspiratif-demokratis-html. Diakses pada tanggal 12September 2011, hal,4.

21 Sigit Pamungkas, 2010, Pemilu Perilaku Pemilih dan Kepartaian, IDW, Yogjakarta, hal, 134.22 Jimly Assiddiqie, 2010, “Dinamika Parpol dan Demokrasi”, dalam http://www.jimly.

com/makalah/namafile/dinamika_partai_politik_.doc. Diakses pada tanggal 27 Okt 2011.23 M.Qodari, 2010, “The profesionalisation of Politics: The Growing Role of Polling

Organizations and Political Consultants”, in Edward Aspinel (eds), 2010,Edward Aspinalland Marcus Mietzner (editors), 2010, Problem of Democratisation in Indonesia, Election,Institutions, and Society, Institute of South East Asian Studies, Singapore. hal, 122-140

Page 126: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

105

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

D. Mendemokratisasikan Penentuan Capres/CawapresOperasionalisasi model pemilihan dan penentuan Capres, Caleg,

dan Cakada dalam Pemilu berdasarkan pada Mazhab Pancasilasebagai bentuk rekonstruksi tradisi demokrasi asli Indonesia adalahdengan cara melakukan kesepakatan nasional internal partai politiksecara demokratis atau “Konvensi Nasional”.

Parpol terlebih dahulu perlu membentuk suatu badan berbentukMajelis Permusyawaratan Parpol (MPP) dalam tiga tingkatan: (1)Majelis Permusyawaratan Parpol Nasional (MPPN), (2) MajelisPermusyawaratan Parpol Nasional Provinsi (MPP Prop); dan (3)Majelis Permusyawaratan Parpol Kabupaten/Kota) (MPP Kab/Kota)yang merupakan representasi dari semua pengurus Parpol di semuatingkatan (desa, kecamatan, kabupaten, provinsi dan nasional) dengankomposisi yang seimbang untuk dapat mewujudkan keterwakilannyadi tambah dengan komposisi pakar dari berbagai bidang politik,hukum dan kenegaraan, Lembaga Swadaya Masyarakat/TokohAgama (Toga)/Tokoh Masyarakat (Tomas), dan Organisasi Masyarakat(Ormas) yang berafiliasi pada Parpol dimaksud. Pendeknya,komposisi MPP ini terdiri: (1) pengurus Parpol semua tingkatan; (2)pakar independen; (3) LSM/Toga/Tomas; dan (3) Ormas Parpol.

Gagasan perlunya pembentukan MPP ini diperlukan untukmenghindari agar pengambilan keputusan Parpol dalam penentuankandidat tidak hanya ditentukan oleh segelintir elite Parpol atau kaumoligarki. Selama ini elite politik tak lagi dipercaya publik karena seringberbuat culas menghalalkan segala daya bahkan tak jarang meng-gunakan kekuatan rakyat untuk melegitimasi ambisi politiknya.24

Gagasan MPP ini diperlukan agar penentuan kandidat melibatkansemua komponen pengurus Parpol dan ormas Parpol untuk dapatmenerjemahkan ideologi Parpol, dan pakar independen untuk dapatobjektif menilai kapasitas dan integritas kandidat berdasarkanobjektivitas teoritik dan LSM/Toga/Tomas untuk dapat merasakandenyut nadi tentang cita-cita rakyat atas kebutuhan pemimpin politik.

Selanjutnya, MPP bertindak sekaligus sebagai panitia intipenentuan kandidat dengan terlebih dahulu menentukan kualifikasidan persyaratan kandidat yang diperlukan bagi masa depan Parpol

24 A. E Hara, “The Difficult Journey of Democratization in Indonesia”, in JournalContemporary Southeast Asia, Vol. 23. 2, August 2000, hal, 321.

Page 127: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

106

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

dan masa depan kepemimpinan politik nasional yang diharapkanmampu mewujudkan kesejahteraan rakyat sesuai cita-cita luhurkonstiutisi. Memiliki kompetensi koordinatif, manajerial, kema-tangan berorganisasi, memberi inspirasi dan motivasi, kemampuanintelektual, kepribadian dan gaya hidup sederhana, keterbukaan dankesediaan untuk mendengarkan dan jika perlu menerima kritik danpendapat orang lain.25

Kriteria yang digunakan dalam proses seleksi ini harus meng-utamakan pada asas akseptabilitas dan kredibilitas. Akseptabilitas itumenyangkut sejauh mana seorang pemimpin politik (Capres, Caleg,dan Cakada) mampu menguasai sumber daya politik yang menjadibasis bagi kegiatannya, baik secara legal maupun aktual. Di Indonesiasumber daya politik yang penting adalah pemerintah pusat dandaerah; parlemen nasional dan lokal, kelompok Islam, militer, pelakuusaha, LSM dan dunia internasional.26

Adapun kredibilitas yang harus dapat dipenuhi oleh kandidatsebagaimana dinyatakan oleh M. Bornstein dan Anthony F Sandspali,paling tidak terdapat lima kriteria (5C), yaitu Conviction (keyakinandan komitmen); Character (integritas, kejujuran, respek dan keper-cayaan yang konsisten); Courage (keberanian, kemauan untukbertanggung jawab atas kemauannya), Composure (ketenangan batin),dan kompeten (keahlian, keterampilan dan profesionalitas).27 Kriteriaakseptabilitas dan kridibilitas ini sangat penting ditetapkan oleh MPPdengan terjemahan yang lebih teknis dan operasional disesuaikandengan kebutuhan kepemimpinan politik nasional.

Parpol melalui seleksi yang dilakukan oleh MPP ini setidaknyaharus mempersiapkan kandidat seperti dikatakan oleh Robert A. Dahl,memenuhi persyaratan moral, pengetahuan akan kebajikan dankepentingan umum, serta keahlian teknis atau instrumental yangdiperlukan bagi tugas-tugas pejabat politik.28

25 J Sudjati Djiwandono, Krisis Kepemimpinan, dalam Riz Sihbudi dan Moch. Nurhasim,(editor), 2002, Amandemen Konstitusi dan Strategi Penyelesaian Krisis Politik Indonesia,(Jakarta: PP AIPI dan Partnership for Governnance Reform in Indonesia, 2002), hlm, 228.

26 Fitriyah, 2002, Strategi Penyelesaian Krisis Kepemimpinan Sipil di Indonesia, dalamRiz Sihbudi dan Moch. Nurhasim, (editor), 2002, Amandemen Konstitusi dan StrategiPenyelesaian Krisis Politik Indonesia, (Jakarta: PP AIPI dan Partnership for GovernnanceReform in Indonesia, 2002), hlm, 281, dan lihat juga, RiantNugroho Dwidjowijoto, 2001,Reinventing Indonesia, (Jakarta: Elex Media, 2001), hlm, 282.

27 Ibid., hlm, 281.28 Robert A Dahl, Demokrasi dan Para Pengkritiknya, (Jakarta: Yayasan Obor, Jakarta,

1992), hlm, 91-116

Page 128: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

107

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

Setelah kriteria kandidat disepakati, MPP melakukan KonvensiNasional dalam empat tahap. Tahap pertama adalah proses pen-jaringan calon. Pada tahap ini dilakukan sosialisasi kepada masya-rakat bahwa Parpol membuka pendaftaran bagi siapa saja yangingin menjadi presiden melalui partai dimaksud tanpa kecuali kendatibukan kader Parpol sepanjang dapat memenuhi syarat kriteria yangtelah ditetapkan oleh MPP. Setelah itu, nama-nama calon yangterkumpul tersebut akan disosialisasikan ke daerah. Yaitu kepadakonstituen partai di tingkat provinsi, tingkat kabupaten/kota,selanjutnya di tingkat kecamatan dan desa. Tahap kedua, dilakukanseleksi calon-calon tersebut melalui rapat pleno yang diperluas. Rapatpleno tersebut akan dilakukan di tingkat provinsi MPP Provinsi yangterdiri dari pengurus Parpol provinsi, pengurus kabupaten/kota, danorganisasi masyarakat (ormas) Parpol, LSM/Toga/Tomas dan pakarindependen. Proses seleksinya dilakukan secara terbuka, transparanyang dapat diliput oleh media dan disaksikan konstituen partaimaupun masyarakat umum. Tahap ketiga, konvensi nasional partai,yang dilakukan oleh anggota pengurus partai politik tingkat pusat,provinsi, kabupaten/kota dan Ormas Partai dengan cara mencoblosatau menandai nama calon. Konvensi ini akan menyeleksi dan memilih10 orang calon yang diajukan kepada MPPN sebagai majelis tertinggipenentuan calon. Tahap keempat, MPPN akan memilih 1 kandidatCapres dan Cawapres dari 10 orang calon yang telah dipilih olehpengurus pusat, provinsi dan kabupaten/kota dalam konvensinasional. Pilihan MPP terhadap 1 orang kandidat dilakukan secaramusyawarah mufakat dengan mempertimbangkan kepentingan partaidan kepentingan kepemimpinan politik nasional. Dalam tahap iniMPPN bertindak sebagai penentu akhir kandidat yang akan diajukanoleh Parpol dalam Pemilu.

Karena MPPN merupakan majelis tertinggi maka putusannyatidak dapat diganggu gugat. Dalam hal ini tentu diperlukankeanggotaan MPPN yang kredibel, akuntabel, dan profesional. Modelini akan dapat mengombinasikan aspek popularitas kandidat dankualitas kandidat berdasarkan pilihan musyawarah mufakat dariMPPN. Karena itu, dalam model ini tidak selalu linier kandidatpaling populer berdasarkan konvensi tahap 1, II, dan III belumtertentu terpilih, sebaliknya kandidat tidak populer dapat saja terpilih

Page 129: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

108

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

mewakili Parpol berdasarkan pertimbangan-pertimbangan profesionalyang dilakukan oleh MPPN.

E. Mendemokratiskan Penentuan Caleg DPR dan DPRDOperasionalisasi model penentuan kandidat Caleg DPR RI,

DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota dalam Pemilu berdasarkanpada Mazhab Pancasila sebagai bentuk rekonstruksi tradisi demokrasiasli Indonesia adalah dengan cara melakukan kesepakatan internalpartai politik secara demokratis atau “Konvensi”. Konvensi nasionaluntuk memilih caleg DPR RI yang akan mewakili daerah pemilihanprovinsi; konvensi provinsi untuk memilih caleg DPRD Provinsi yangakan mewakili daerah pemilihan kabupaten/kota dan konvensikabupaten/kota untuk memilih caleg DPRD Kabupaten/Kota yangakan mewakili daerah pemilihan kecamatan.

Parpol terlebih dahulu perlu membentuk tiga tingkatan: (1) MajelisPermusyawaratan Parpol Nasional (MPPN), (2) Majelis Permusya-waratan Parpol Nasional Provinsi (MPP Prop); dan (3) MajelisPermusyawaratan Parpol Kabupaten/Kota) (MPP Kab/Kota) yangmerupakan representasi dari semua pengurus Parpol di semuatingkatan (Desa, kecamatan, kabupaten, provinsi dan nasional)dengan komposisi yang seimbang untuk dapat mewujudkanketerwakilannya di tambah dengan komposisi pakar dari berbagaibidang politik, hukum dan kenegaraan, lembaga swadaya masyarakat/tokoh masyarakat/tokoh agama, dan organisasi masyarakat yangdimiliki Parpol. Pendeknya komposisi MPP ini terdiri: (1) pengurusParpol semua tingkatan; (2) pakar independen; (3) LSM/Toga/Tomas;dan (3) Ormas Parpol.

Adapun kriteria yang harus dipenuhi untuk dapat menjadi pesertakonvensi kandidat DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota tidak jauh berbeda dengan persyaratan dan kriteria kandidatCapres, hanya saja lebih diutamakan kemampuan dan keterampilanteknis dalam hal pembuatan regulasi, pengawasan dan budgetinguntuk dapat menjadi angota DPR yang baik dan mengutamakan kaderParpol inti yang telah berpengalaman menjadi pengurus Parpol sesuaitingkatan maupun tingkat partisipasi aktif dalam ormas Parpol.Setelah kriteria kandidat disepakati, MPP melakukan KonvensiNasional dalam empat tahap. Tahap pertama, proses penjaringan calon.

Page 130: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

109

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

Pada tahap ini dilakukan sosialisasi kepada masyarakat bahwaParpol membuka pendaftaran bagi siapa saja yang ingin menjadiCaleg DPR RI melalui partai dengan mengutamakan kader Parpolkendati tetap membuka kesempatan bukan kader Parpol sepanjangdapat memenuhi syarat kriteria yang telah ditetapkan oleh MPP.Setelah itu, nama-nama calon yang terkumpul tersebut akandisosialisasikan ke daerah; yaitu kepada konstituen partai di tingkatprovinsi, tingkat kabupaten/kota, selanjutnya di tingkat kecamatandan desa. Tahap kedua, dilakukan seleksi calon-calon tersebut melaluirapat pleno yang diperluas. Rapat pleno tersebut akan dilakukan ditingkat provinsi MPP Provinsi yang terdiri dari pengurus Parpolprovinsi, pengurus kabupaten/kota, dan organisasi masyarakat(Ormas) Parpol, LSM/Toga/Tomas dan pakar independen. Prosesseleksinya dilakukan secara terbuka, transparan yang dapat diliputoleh media dan disaksikan konstituen partai maupun masyarakatumum. Tahap ketiga, konvensi nasional partai, yang dilakukan olehanggota pengurus partai politik tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota dan Ormas Partai. Konvensi ini akan menyeleksi dan memilihdua kali lipat Caleg yang diperlukan sesuai jumlah calon yangditentukan dalam UU Pemilu pada setiap Daerah Pemilihan (Dapil)dalam Pileg. Jumlah dua kali lipat nama Caleg tersebut diajukan kepadaMPPN sebagai majelis tertinggi penentuan Caleg DPR RI. Tahapkeempat, MPPN akan memilih nama-nama Caleg yang akan mewakilisetiap dapil sesuai jumlah yang ditentukan UU Pemilu dan sekaligusmenentukan nomor urutnya sesuai kriteria yang telah disepakati.Pilihan MPP terhadap nama-nama Caleg dan nomor urutnyadilakukan secara musyawarah mufakat dengan mempertimbangkankepentingan partai dan kepentingan kepemimpinan politik nasional.Dalam tahap ini MPPN bertindak sebagai penentu akhir terhadapkandidat yang akan diajukan oleh Parpol dalam Pemilu.

Operasionalisasi model seleksi penentuan Caleg DPRD provinsidan DPRD kabupaten/kota hampir sama dengan penentuan CalegDPR RI hanya saja wilayah konvensinya dilakukan sesuai tingkatannya,yaitu konvensi tingkat provinsi dan konvensi tingkat kabupaten/kota dan penentu akhir kandidat tetap berada di tangan MPP Provinsiuntuk Caleg DPRD Provinsi dan MPP Kabupaten/Kota untuk CalegDPRD Kabupaten/Kota. Oleh karena model pemilihan ini meng-

Page 131: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

110

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

utamakan musyawarah mufakat dalam penentuan kandidat bukanmodel one man one vote berdasarkan suara mayoritas dan popularitas,maka diperlukan model inklusif dalam penentuan kandidat denganmemperkuat desentralisasi kepengurusan Parpol daerah untukmenentukan kandidat yang akan bertarung dalam Pileg.

F. Mendemokratiskan Penentuan Calon Kepala DaerahAdapun operasionalisasi model penentuan kandidat kepala daerah

(Gubernur, bupati dan Walikota) berdasarkan pada Mazhab Pancasilasebagai bentuk rekonstruksi tradisi demokrasi asli Indonesia diinternal Parpol adalah dengan cara melakukan kesepakatan internalpengurus Parpol daerah secara demokratis atau “Konvensi Daerah”.

Pengurus Parpol tingkat provinsi terlebih dahulu perlu mem-bentuk suatu badan berbentuk Majelis Permusyawaratan Parpol(MPP) 2 dua tingkatan: (1) Majelis Permusyawaratan Parpol rovinsi(MPP Prop), dan (2) Majelis Permusyawaratan Parpol Kabupaten/Kota (MPP Kab/Kota); yang merupakan representasi dari semuapengurus Parpol di semua tingkatan (provinsi, kabupaten/kota dankecamatan) dengan komposisi yang seimbang untuk dapat me-wujudkan keterwakilannya di tambah dengan komposisi pakar dariberbagai bidang politik, hukum dan kenegaraan, Lembaga SwadayaMasyarakat/Tokoh Masyarakat/Tokoh Agama, dan OrganisasiMasyarakat yang dimiliki Parpol dan perwakilan pengurus pusatpartai politik (DPP). Kehadiran pengurus partai politik pusat (DPP)tidak dimaksudkan untuk dapat mengintervensi pengurus Parpolprovinsi dan kabupaten/kota melainkan dimaksudkan untukkoordinasi dan keterikatan sekaligus supervisi terhadap proses seleksidemokrasi di tingkat daerah.

Selanjutnya, MPP bertindak sekaligus sebagai panitia intipenentuan kandidat dengan terlebih dahulu menentukan kualifikasidan persyaratan kandidat Gubernur dan Bupati/Walikota yang miripdengan syarat capres ditambah kriteria persyaratan mengenal danmenguasai persoalan dan problematika daerah. Kriteria yangdigunakan dalam proses seleksi ini harus mengutamakan pada asasakseptabilitas dan kredibilitas ke luar dan ke dalam Parpol.

Setelah kriteria Cakada disepakati, MPP Provinsi dan atau MPPkabupaten/kota melakukan konvensi daerah dalam empat tahap.

Page 132: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

111

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

Tahap pertama, proses penjaringan calon. Pada tahap ini dilakukansosialisasi kepada masyarakat bahwa Parpol membuka pendaftaranbagi siapa saja yang ingin menjadi gubernur/bupati/walikotamelalui partai dimaksud tanpa kecuali kendati bukan kader Parpolsepanjang dapat memenuhi syarat kriteria yang telah ditetapkan olehMPP provinsi dan MPP kabupaten/kota. Setelah itu, nama-namacalon yang terkumpul tersebut akan disosialisasikan ke daerah; yaitukepada konstituen partai di tingkat provinsi, tingkat kabupaten/kota,selanjutnya di tingkat kecamatan dan desa. Tahap kedua, dilakukanseleksi calon-calon tersebut melalui rapat pleno yang diperluas. Rapatpleno tersebut akan dilakukan di tingkat provinsi MPP provinsi danMPP kabupaten/kota yang terdiri dari pengurus Parpol provinsi,pengurus kabupaten/kota, dan organisasi masyarakat (ormas) Parpol,LSM/Toga/Tomas dan pakar independen serta ditambah perwakilanpengurus Parpol pusat. Proses seleksinya dilakukan secara terbuka,transparan yang dapat diliput oleh media dan disaksikan konstituenpartai maupun masyarakat umum. Tahap ketiga, konvensi Parpolprovinsi untuk memilih kandidat gubernur dan konvensi partaikabupaten/kota untuk memilih bupati/walikota dengan caramencoblos/menandai, yang dilakukan oleh anggota pengurus partaipolitik tingkat provinsi, kabupaten/kota, kecamatan dan Ormas partaidan perwakilan pengurus pusat Parpol. Konvensi ini akan menyeleksidan memilih 10 orang calon yang diajukan kepada MPP provinsisebagai majelis tertinggi tingkat provinsi penentuan kandidatgubernur dan MPP kabupaten/kota sebagai majelis tertinggi tingkatkabupaten/kota penentu kandidat bupati/walikota. Tahap keempat,MPP Provinsi akan memilih 1 kandidat kepala daerah dari 10 orangcalon yang telah dipilih dalam konvensi daerah. Pilihan MPP provinsiterhadap 1 orang kandidat gubernur dan MPP Kabupaten/kotaterhadap 1 kandidat bupati/walikota dilakukan secara musyawarahmufakat dengan mempertimbangkan kepentingan partai dankepentingan kepemimpinan politik daerah. Dalam tahap ini, MPPprovinsi bertindak sebagai penentu akhir terhadap kandidat gubernuryang akan diajukan oleh Parpol dalam pilgub dan MPP kabupaten/kota bertindak sebagai penentu akhir terhadap kandidat bupati/walikota yang akan diajukan dalam pilkada. Karena MPP provinsidan MPP kabupaten/kota sebagai majelis tertinggi maka putusannyatidak dapat diganggu gugat. Dalam hal ini tentu diperlukan

Page 133: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

112

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

keanggotaan MPP provinsi dan MPP kabupaten/kota yang kredibel,akuntabel, dan profesional. Model ini akan dapat mengombinasikanaspek popularitas kandidat dan kualitas kandidat berdasarkan pilihanmusyawarah mufakat dari MPP. Karena itu, dalam model ini tidakselalu linier kandidat paling populer berdasarkan konvensi tahap I,II, dan III belum tertentu terpilih, sebaliknya kandidat tidak populerdapat saja terpilih mewakili Parpol berdasarkan pertimbangan-pertimbangan profesional yang dilakukan oleh MPP provinsi danMPP kabupaten/kota.

Oleh karena model pemilihan ini mengutamakan musyawarahmufakat dalam penentuan kandidat, bukan model one man one voteberdasarkan suara mayoritas dan popularitas, maka diperlukan modelinklusif dalam penentuan kandidat dengan memperkuat desentralisasikepengurusan Parpol daerah untuk menentukan kandidat yang akanbertarung dalam Pilkada.

G. Reformasi Pendanaan Seleksi CalonSalah satu problem klasik dari pilihan model sistem Pemilu

langsung adalah mahalnya pembiayaan politik, akibatnya dalam satudekade terakhir praktik demokrasi langsung Indonesia telah dicideraioleh praktik politik uang (money politic), baik digunakan untukkonsolidasi Parpol, pembiayaan pencalonan, pembiayaan kampanye,hingga pembiayaan untuk memengaruhi pemilih dalam memilih calondan Parpol tertentu saat Pemilu.

Tentu praktik ini tak sehat dan akan dapat menurunkankredibilitas demokrasi langsung yang berakibat pada mundurnyademokrasi dan turunnya kualitas calon dalam Pemilu. Pada titiknadzirnya akan membawa rakyat pada ketidakpercayaan terhadapsistem demokrasi, sistem kepartaian dan sistem Pemilu. Itulahsebabnya dalam konteks seleksi internal dalam penentuan kandidatdalam bentuk konvensi nasional dan daerah sebagaimana diuraikandi atas diperlukan desain pembiayaan dalam konvensi yangtransparan, akuntabel, dan halal.

Untuk keperluan pembiayaan konvensi ini, maka pembiayaan-nya dibebankan kepada Parpol yang bersumber dari iuran anggotaParpol dan penerimaan sumbangan donasi dari publik yang dibatasijumlahnya dan dapat dipertanggungjawabkan penggunaanya.29

Pembukaan nomor rekening pembiayaan konvensi dapat dibuka dan

Page 134: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

113

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

diumumkan kepada publik 2 tahun sebelum Pemilu atau 1 tahunsebelum konvensi berlangsung.

Berdasarkan pengalaman Pemilu di AS, pengumunan penerimaandonasi dari publik cukup mampu membiayai konvensi sepanjangdilakukan secara profesional dengan nama-nama kandidat yangpopuler dan disukai publik tidak menutup kemungkinan semuapembiayaan konvensi akan terjawab melalui sokongan donasi publik.30

Pengalaman pilpres 2014 lalu dengan dua kandidat Jokowi danPrabowo telah banyak melahirkan relawan-relawan demokrasi yangrela membiayai semua kegiatan kampanye politik kandidat secaramandiri dengan beragam kegiatan swadaya dan swadana.31 Jika sajarelawan demokrasi ini dikelola secara cermat oleh partai politik untukmenyokong kandidat tertentu dengan kredibilitas pengurus Parpolyang profesional dan kompeten maka tidak menutup kemungkinanpara relawan ini akan rela mengalihkan dana-dana publik untuk di-donasikan pada Parpol untuk pembiayaan konvensi kandidat tertentu.

H. Mendemokratiskan Waktu, Visi, Misi, dan Shadow CabinetBerdasarkan amar Putusan MK No. 14/PUU-XI/2013 Pileg dan

Pilpres akan dilaksanakan secara serentak pada tahun 2019 men-datang.32 Maka manajemen konvensi penentuan Capres dan Calegdilakukan oleh internal Parpol sebaiknya dilakukan 1 tahun menjelangPemilu serentak. Hal ini dimaksudkan agar rakyat dapat melakukanpenilaian dan kualitas kandidat jauh sebelum Pemilu. Akan lebih baiklagi jika dalam konvensi setiap Capres mampu menyosialisasi visi,misi, dan program kerja Capres dan menghadirkan susunan shadowcabinet (kabinet bayangan) dengan menyebutkan sejumlah tokoh-tokoh publik yang akan diplot untuk menjadi menteri dalamkabinetnya saat nanti terpilih dalam pilpres.33

29 Tentang pendanaan Parpol dapat dibaca antara lain, Ramlan Surbakti, Dana PublikUntuk Parpol, Kompas, 2 April 2015, hal, 5. Robert Adhi Ksp (ed) , Pentingnya AkuntabilitasPengeloaan keunagan Parpol,dalam,http://nasional.kompas.com/read/2011/08/25/20291287/Penting.Akuntabilitas.Pengelolaan.Keuangan.Parpol, diakses pada tanggal, 15Juli 2016., Didik Supriyanto, Besaran Bantuan Partai Politik, Kompas, 19 Maret 2015, hlm, 6.

30 Kasan Mulyono, Belajar Galang Dana Kampanye Ala Obama, dalam http://www. kom pa sia na. co m/ k asanm ul yon o/ b e l a j a r- gal an g-dan a-k amp an ye - al a-obama_552072dd813311607419f7e7. Diakses pada tanggal, 15 Juli 2016.

31 Herry B Priyono, Momen Para Relawan, Kompas, 16 Mei 2016, hlm, 6 dan R.Ferdian Andi R, Mengatur Relawan Politik, Republika, 29 Maret 2016, hlm, 4.

32 Agus Riwanto, Implikasi Hukum Putusan MK Tentang Pemilu Serentak, MediaIndonesia, 31 Januari 2014, hlm, 10.

33 Abdul Gafar Karim, Kabinet Bayangan, dalam,http://agkarim.staff.ugm.ac.id/2007/09/26/kabinet-bayangan/. Diakses pada tanggal, 15 Juli 2016.

Page 135: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

114

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

Bukan tidak mungkin visi, misi, dan program kerja yang baik dansusunan kabinet bayangan yang berkualitas akan dapat menaikkandaya tawar Parpol dan calon di mata publik terutama pada ketepatanmenyusun program kerja yang dibutuhkan rakyat dan dalam penem-patan tokoh sebagai menteri. Sehingga rakyat terbiasa dicerdaskanoleh sistem untuk menilai visi, misi, dan program kerja dan rekam jejakCapres dan calon meteri dalam menjalankan roda pemerintahannya.Jauh sebelumnya rakyat akan disediakan oleh sejumlah alternatif pilihanvisi, misi dan program kerja kandidat Capres dan kandidat menteri.Dengan begitu kualitas penyeleng-garaan pemerintah, visi, misi, danprogram Capres sudah dapat dinilai rakyat sebelum Pemilu. Cara ini tentuakan kian mendorong kuatnya partisipasi publik dalam pengambilansetiap keputusan dan kebijakan politik sebagai ciri negara demokrasi.34

I. Perlunya Pengaturan Seleksi DemokratisParpol perlu didorong untuk melakukan seleksi secara ketat,

transparan, dan akuntabel. Sehingga mampu melahirkan kader-kaderterbaiknya yang dapat memimpin. Bukan didasarkan pada kedekatandengan pimpinan Parpol jalur kekerabatan elite atau pertimbanganuang.35 Semua persyaratan calon, proses penjaringan, penyaringan,nominasi dan penetapan calon diwajibkan untuk dilakukan secarademokratis dan melibatkan masyarakat umum, bila perlu di umumkankepada publik 1 s/d 2 tahun sebelum Pemilu berlangsung. Cara-caraini harus di atur dalam UU Pemilu dan UU Parpol dan disertai dengansanksi yang tegas agar dapat dilaksanakan oleh internal Parpolmelalui AD/ART. Ini semata-mata untuk menghindari terulangnyamodel-model pencalonan dalam Pemilu-Pemilu sebelumnya (2004,2009 dan 2014) yang sangat tertutup, oligarkis, dan asal comot.36

Lebih dari itu proses seleksi kandidat dalam internal Parpoldemokratis akan dapat menjauhkan pada kecenderungan bahwa

34 Larry Daimond, 2010. “Indonesia’s Place in Global Democracy”, in Edward Aspinalland Marcus Mietzner (editors), 2010, Problem of Democratisation in Indonesia, Election,Institutions, and Society, (Singapore: Institute of South East Asian Studies, 2010), hlm, 21-52.

35 Pusat kajian politik FISIP UI Jakarta, menyimpulkan bahwa model perekrutan Parpoldi Indonesia bersifat instan, dan hanya memasukkan kalangan tertentu, terutama tokohpublik, pejabat dan pengusaha, Lihat, Tim Pusat Kajian Politik, 2008, Kerangka PenguatanParpol di Indonesia, (Jakarta: FISIP UI, 2008).

36 Tentang buruknya model pencalonan dalam Pemilu 2004 dapat dibaca. SyamsudinHaris, 2005, Proses Pencalonan Legislatif Loka: Pola, Kecenderungan dan Profil Caleg”dalam Syamsudin Haris, (eds), Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai : Proses Nominasidan Seleksi Caleg Pemilu 2004,(Jakarta: Gramedia, Jakarta, 2005), hlm, 9.

Page 136: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

115

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

yang dapat ditetapkan menjadi kandidat adalah tokoh yang hanyamemiliki modal uang yang besar yang bisa membeli tiket dari Parpol,membeli suara rakyat dan manuver politik jahat.37 Penentuankandidat Caleg yang hanya ditentukan segelintir elite politik Parpolatau kaum oligarki dan yang bermodal uang besar, dipastikanseolah-olah Parpol menjadi organisasi privat (perusahaan pribadi),bukan organisasi publik yang bertujuan mengelola dan merumus-kan kebijakan publik dalam hubungan mediasi antar pemerintahdan rakyat.38

Ke depan, diharapkan, model seleksi demokratis di internal Parpolbermazhab Pancasila ini dapat berlangsung secara terpola, ajeg,dan terukur, sehingga tidak mudah ditelikung oleh elite politiknya.Karena ciri dari Parpol yang telah terlembaga seperti dinyatakan olehAndreas Schuller, 1995, adalah:

“…solid, immobile, permanent, predictable, structured, hard and persistent”so institution is the thing that does not change every time we act…”.39

(solid, bergerak, permanen, dapat diprediksi, terstruktur, danpersisten, sehingga tidak mudah dirubah kapan saja setiap kalidiinginkan).

Untuk menjaga keajegkan model seleksi demokratis internalParpol bermazhab Pancasila dalam penentuan kandidat Capres, Caleg,dan Cakada maka ada baiknya belajar pada model negara AmerikaLatin, yakni di Paraguay.40 Di negara ini untuk menjaga agar prosesseleksi calon dapat berlangsung demokratis, transparan, dan akuntabelmodel seleksi calon dilakukan dengan cara UU memberi otoritas padaKPU untuk menghadiri langsung dalam proses seleksi dan kemudianKPU membuat penilaian tentang kedemokratisan proses pencalonaninternal partai politik. Tentu saja model ini memerlukan bukan sajarevisi UU Pilpres, UU Pileg, UU Pilkada, namun juga UU Penyeleng-

37 Ichlasul Amal, Menata Ulang Demokrasi: Dari Mana Kita Memulai ?, dalam AgusPramusinto dan Wahyudi Kumorotomo, Governance Reform di Indonesia: Mencari ArahKelembagaan Politik yang Demokratis dan Birokrasi yang Profesional, (Yogjakarta: GavaMedia-MAP UGM, 2009), hlm, 19.

38 Jefry A. Winters, Oligarchy, (Oxford: Cambrigde University Press, 2010).39 Andreas Schuller, 1995, “Under-and Overinstitutionalization: Some Ideal Typical

Proposition Conserning New and Old Party System”, Working Paper # 213-March 1995,hal, 8.

40 “Hasyim Asy’ari, 2007, “Sistem Pemilu Ramah Perempuan: Sebuah Gagasan” Makalahdisampaikan dalam Seminar tentang “Pendidikan Politik Bagi Perempuan” diselenggarakanoleh Kantor Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat (Kesbanglinmas) KabupatenPati, di Hotel Gitrary Perdana, Pati pada 30 April 2007, hal, 8.

Page 137: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

116

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

gara Pemilu agar memberi otoritas pada KPU dalam soal ini, danjuga diperlukan anggota KPU yang berintegritas moral tinggi sertamemiliki kapabilitas yang memadai. Sehingga tidak berpotensiuntuk berkolusi dengan Parpol. Dapat pula belajar dari sistem seleksikandidat yang dilakukan dalam Pemilu di Jerman Barat. MahkamahKonstitusi Negara Bagian Hamburg pada tanggal 4 Mei 1993menyatakan bahwa hasil Pemilu Negara Bagian Hamburg tanggal 2Juni 1991 adalah batal, bukan karena kecurangan dalam penyeleng-garaan Pemilu, namun karena proses pencalonan internal PartaiChristlich Demokratische Union (CDU) Negara Bagian Hamburg dinilaitidak demokratis karena lebih ditentukan oleh DPP Partai DCU.41

41 Ibid., hal, 8. Tentang model pencalonan anggota Parlemen yang demokratis,akuntabel, transparan, terpola dan stabil di Eropa Barat dapat dilihat karya: Lars Bille, 2011,“Democratizing and Democratic Procedure: Myth or Reality, Candidate Selection inWestern Europe Parties, 1960-1990" in Journal of Party Politics, Vol. 7.No.3, hal, 363-380.

Page 138: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

117

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

Diperlukan desian arsitektur untuk mereformasi sistem Pemiluagar jauh dari perilaku korupsi politik, dimulai dari realitas bahwaPemilu dengan suara terbanyak telah menjadi biang korupsi politikdan pemikiran alternatif mereformasinya menjadi kembali ke sistemnomor urut, mencoba alternatif sistem Pemilu campuran, dan gagasanpemikiran tentang desain arsitektur ketatanegaraan masa depan.Berikut ini akan diuraikan secara lebih luas.

A. Pemilu Suara Terbanyak Biang Korupsi PolitikSistem Pemilu proporsional berbasis suara terbanyak melemahkan

pelembagaan sistem kepartaian. Sebaliknya, putusan ini telahmeminimalkan loyalitas calon pada Parpol, sebaliknya garis komandoParpol terputus dan akan melahirkan krisis kewibawaan Parpol.Sistem Pemilu ini telah membuka peluang bagi calon-calon popularuntuk dipilih tanpa kompetensi, ketimbang calon-calon berkompetentapi tidak popular, suara terbanyak belum tentu identik dengankualitas politisi yang duduk di DPR. Dari sisi sirkulasi elite sistemsuara terbanyak memang sangat baik, namun dari sisi kualitas belummenjamin kualitas lembaga DPR. Sistem suara terbanyak juga akanmenimbulkan individualisme para politisi, selama demokrasi belum

... Bab Kesembilan ...

Desain Arsitektur ReformasiSistem Pemilu Antikorupsi

Page 139: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

118

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

matang, akan saling sikut, memakan atau kanibalisme di internalParpol sendiri.

Sistem Pemilu ini telah melawan arus kebiasaan terhadap pilihansistem Pemilu proporsional di dunia. Kebanyakan sistem proporsionaldi dunia terutama di negara-negara demokrasi baru memakai variandaftar tertutup (closed list of proportional representation), artinya bahwaurutan caleg yang dipilih berdasarkan daftar urut yang ditentukanoleh Parpol melalui seleksi ketat dan demokratis. Sistem ini ditujukanuntuk memperkuat sistem kepartaian, terutama agar Parpol dapatberperan cukup besar. Karena memang peserta Pemilu dalam sistemproporsional adalah Parpol, bukan individu (Surbakti, Ramlan, 2009dalam P. Setyo, Widya dan Pulungan, Halomoan, 2009: 31).

Jika dibaca, Pasal 22 E Ayat (3) UUD 1945 Pasca amandemen,secara tegas menyatakan bahwa peserta pemilihan umum adalahpartai politik bukan orang perorang atau caleg. Caleg adalah bagiandari partai politik, karena caleg diajukan oleh partai politik, itulahsebabnya caleg merupakan subordinasi dari organisasi Partai Politik.Maka dengan demikian seharusnya seorang caleg dalam kampanyePemilu selalu membawa ide dan perubahan di masyarakat/konstituenberdasarkan pada visi, misi, dan program partai politik bukanmengampanyekan visi, misi, dan program individu caleg.

Pada kampanye Pemilu 2009 dan 2014 tampak jelas perilakuCaleg telah mengabaikan visi, misi, dan program partai politiknya,akibatnya ada kesan peserta Pemilu adalah caleg bukan partai politik.Dalam model kampanye ini organisasi partai politik telah kehilanganperan vitalnya, bahkan partai politik tak dikenal publik dan telahdiabaikan pula oleh konstituen politiknya. Hal ini dapat terjadi karenadisebabkan oleh pilihan sistem Pemilu proporsional berbasis suaraterbanyak. Akibatnya setiap caleg “dipaksa” untuk bertarung antaracaleg dalam satu partai maupun di luar partai dengan mengedepankanvisi, misi, dan program pribadinya demi meraup suara sebanyak-banyaknya dari pemilih. Lebih dari itu, kerap kali dalam kampanyepara caleg tak mampu menterjemahkan visi, misi dan program kerjapartai akibatnya ada kesan visi, misi dan program partai hanyalahfundamen yang tak hidup. Padahal seharusnya dengan model inivisi, misi dan program kerja Parpol dapat dihidupkan oleh para calegmelalui upaya sistemik meraup suara pemilihnya, sehinggapopularitas caleg seiring pula mempopulerkan partai politiknya.

Page 140: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

119

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

Jelaslah bahwa sistem Pemilu proporsional berbasis suaraterbanyak ini tak sesuai dengan keinginan Pasal 22 E Ayat (3) UUD1945 dan dapat dianggap pelanggaran konstitusi. Karena sistemini telah secara sistemik melahirkan Pemilu liberal dan melemahnyaperan partai politik dalam Pemilu. Untuk menjelaskan dapat di lihatmelalui bagan berikut ini.

Tabel 4. Pemilu Inkonstitusionalitas

Sistem Pemilu berbasis suara terbanyak ini, kian menegaskan formatdemokrasi langsung dan meneguhkan demokrasi ekstra liberal,yakni menempatkan individu yang total bersaing dengan yang lain,partai hanya menjadi kendaraan. Cara ini cenderung melahirkanliberalisme politik atau “persaingan bebas politik sebebas-bebasnya”.Karena itu, semua Parpol peserta Pemilu tahun 2009 tidak lagimemiliki kontrol ketat penentu terpilihnya caleg, nomor urut calegmenjadi tidak relevan, tergantikan oleh kekuatan individu caleg, danParpol hanya berfungsi sebagai merek politik.1 Bahkan menurutMietzner, sistem penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak

1 M. Alfan Alfian, 2009, “Otokritik Demokrasi Ekstra Liberal Pemilu 2009", JurnalNegarawan, No.11 Tahun 2009, Sekretariat Negara Republik Indonesia, Jakarta, hal, 30.

Page 141: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

120

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

telah menjadikan Pemilu menjadi sangat mahal dan melahirkanproblem yang multi kompleks.2

Dengan demikian pengaturan sistem Pemilu Pemilu 2009 dan 2014yang menganut sistem Pemilu proporsional terbuka berbasispenentuan pemenang dalam kompetisi Pemilu berdasarkan suaraterbanyak ini telah memprovokasi lahirnya model kompetisi antarcalon dalam Pemilu yang tak sehat. Itulah sebabnya orientasi meraihsuara terbanyak telah mendorong calon legislatif (Caleg) banyakmelakukan kecurangan untuk merayu pemilih dalam aneka bentuk,seperti: pembagian uang kontan antara Rp20.000-Rp200.000 perpemilih, pemberian door prize, bantuan sosial, polis asuransi, pem-belian pulsa, pemberian pakaian, pengobatan gratis hingga peng-aspalan jalan dan perbaikan fasilitas publik. Aneka bentuk ke-curangan ini dapat dikualifikasikan sebagai politik uang (money politics).3

Modus yang dirancang para caleg dalam menyebar uang danmaterial ini: mulai dari serangan fajar, serangan dhuha, bahkanserangan sebulan sebelum hari H, 9 April 2014. Yang unik, ada calegtertentu yang telah memiliki data TPS, jumlah pemilih terdaftar diDPT lengkap dengan alamatnya yang siap untuk didatangi door todoor dan face to face setahun sebelum Pemilu. Belum lagi Caleg yangmemanfaatkan agen penjual hand phone (HP) untuk diminta nomorHP pemilih yang siap dikirimi ajakan memilih melalui SMS yangjumlah puluhan ribu. Bahkan masih ada caleg tertentu yang kreatifmenggratiskan pemilih makan bakso, mie ayam, sampai prasmananpasca pencoblosan. Model ini nyata telah menjungkirbalikkan ideologipemilih dari datang ke TPS untuk menjadi sarana kedaulatan rakyat,berubah menjadi sarana mendaulatkan uang.

Itulah sebabnya pengaturan sistem Pemilu proporsional berbasissuara terbanyak ini telah membuat Pemilu 2009 dan 2014 adalahPemilu yang paling mahal dalam sejarah Pemilu di Indonesia.Misalnya, Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Univer-sitas Indonesia (LPEM-FEUI) merilis biaya kampanye Caleg DPR

2 Marcus Mietzner, 2009, “Indonesia’s 2009 Election: Populism, Dynesties, and TheConsolidated of the Party System, Analysis”, Paper, Lowy Institute for International Policy,Sydney, May, hal, 19.

3 Riwanto, Agus, 2014, “Penegakan Hukum dan Kecurangan Pemilu 2014", MediaIndonesia, 24 April 2015, hal,6.

Page 142: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

121

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

mencapai Rp1,2 miliar-Rp4,6 miliar sedangkan Caleg DPD Rp541 Juta-Rp1,3 miliar (Kompas, 3 April 2014).

Sedangkan menurut liputan Republika, biaya kampanye CalegDPR RI mencapai Rp787 Juta-Rp9,3 miliar dan Caleg DPR Provinsimencapai Rp320 juta-Rp3 miliar. Rata-rata per Caleg mengeluarkandana Rp1,18 miliar. Dana sebesar itu untuk keperluan: percetakan,tekstil, transportasi dan komunikasi, jasa komunikasi media, danpengerahan massa (Kompas, 24 Maret 2014).

Sungguh ini merupakan berita buruk dan sangat mengejutkanpublik. Betapa boros dan irasionalitas biaya demokrasi elektoral kita.Ini adalah Pemilu termahal dalam sejarah Pemilu di Indonesia.Karena menurut data di KPU RI terdapat 200.000 orang caleg DPR,DPD, dan DPRD seluruh Indonesia, jika rata-rata mengeluarkanuang sebesar Rp.1,18 miliar, maka sampai besok Rabu 9 April akanberputar uang sebesar Rp.227 triliun di bumi Indonesia.

Di sinilah logikanya terdapat korelasi yang cukup kuat dan takterbantahkan, mengapa mega korupsi politik (political corruption) pastimenguat pasca Pemilu di Indonesia. Karena para Anggota DPR danDPRD harus mengembalikan modal uang yang dikeluarkan saatberkompetisi dalam Pemilu. Fenomena maraknya politik uang dalamPemilu 2014 ini jelas menegaskan, bahwa aspek ekonomi telahmereduksi hakikat dan makna Pemilu demokrasi.

Motif korupsi politik yang dilakukan politisi ini selain untukmengembalikan modal saat kampanye dalam Pemilu juga disebabkantak jelasnya model pembiayaan organisasi partai politik untuksurvavilitas partai.

Untuk memperjelas tentang implikasi sistem Pemilu proporsionalberbasis suara terbanyak yang cenderung melahirkan perilaku negatifdan potensi korupsi politik dapat dilihat melalui bagan berkut ini:

Page 143: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

122

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

Bagan 5. Implikasi Negatif Pemilu Suara Terbanyak

Sementara mengandalkan subsidi negara melalui bantuanAPBN untuk partai politik tak mencukupi dan iuran anggota partaitak memadai. Maka tak ada cara lain selain harus memanfaatkankader-kader partai politik di DPR untuk menjadi agen partai dalammengisi kekosongan kas keuangan partai, begitu pula kader-kaderpartai yang menduduki jabatan menteri, staf ahli menteri dan utusankhusus menteri yang sebisa mungkin dapat menggelontorkan pundi-pundi uang ke kas partai tentu saja dengan memanfaatkan jabatanyang dimilikinya.

Sesungguhnya, kedaulatan rakyat pada Pemilu 2014 telahdigantikan dengan kedaulatan uang. Realitasnya uang adalah aktorutama kemenangan Parpol dan caleg dalam Pemilu 2014 yangmengabaikan ide, gagasan dan platform politik. Itulah mengapa jarakideologi antar Parpol peserta Pemilu 2014 kian dekat bahkan sama.

Boleh jadi, kini, ideologi tak lagi menjadi pedoman utama bagipemilih dalam melakukan pilihan pada Parpol tertentu, begitu pulapara elite Parpol dan caleg dalam memengaruhi pemilih dan me-masarkan Parpol (political marketing) tak lagi berlandaskan ideologiParpol, melainkan berdasarkan sejumlah uang. Karena itu Pemilu2014 menjadi saksi sejarah betapa idelogi telah tergantikan oleh uang.Inilah masa senjakala ideologi.

Page 144: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

123

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

B. Arsitektur Reformasi Pemilu Antikorupsi1. Sistem Nomor Urut

Upaya ideal yang bisa dilakukan untuk menciptakan modelpengaturan sistem Pemilu yang antikorupsi politik adalah melakukan“rekayasa sistem pemilihan” sesuai dengan prioritas problem politikdi suatu negara. Dalam konteks ini problem politik kita adalah me-mangkas sistem Pemilu yang berkorelasi kuat dengan korupsi politik.

Untuk menambal kelemahan dari sistem Pemilu tahun 2014 yanglalu, maka ke depan diusulkan model sistem Pemilu proporsionaldengan daftar calon terbuka berbasis nomor urut. Sistem ini diusulkankarena relatif mampu mengakomodasi makna proporsional dalamketerwakilan politik. Selain dalam rangka untuk memurnikan sistemproporsional, yakni memberikan peran partai politik untuk menyusundaftar calon melalui nomor, namun juga memberikan perankonstituen untuk memilih nama-nama calon sesuai yang dikehendaki.

Upaya operasional usulan sistem proporsional terbuka ini, yakniyang dimaksud proporsional adalah penentuan calon terpilih di suatudaerah pemilihan (Dapil) di dasarkan pada perolehan kursi partaipolitik bersangkutan dengan cara memperhitungkan perolehan kursipartai politik dibagi angka Bilangan Pembagi Pemilih (BPP). Adapunyang dimaksud dengan daftar calon terbuka berarti Parpolmencantumkan nama-nama calon pada kertas suara untuk dipilihlangsung oleh konstituen.

Kelebihan dari sistem proporsional dengan calon terbuka denganvarian nomor urut (closed list system) ini adalah sebagai berikut.Pertama, meningkatnya loyalitas calon pada institusi partai politik,ini berarti segaris dengan makna menguatkan sistem kepartaian, dimana partai akan menempati peran strategisnya dalam mengelola danmengatur kader-kadernya. Kedua, meningkatkan gairah dan semangatuntuk menjadi pengurus partai politik. Sehingga partai akan menjadiwadah organisasi politik yang sesungguhnya bukan saja untukmerebut dan mempertahankan kekuasaan, akan tetapi juga upayamemperkuat ideologi, program, dan pengkaderan yang memadai.Ketiga, akan membuka peluang bagi kader partai politik yangberkualitas untuk dapat terpilih dalam Pemilu, karena kecerdasanpengurus partai politik dalam menempatkan pada nomor urut kecilpada daerah pemilihan tertentu.

Page 145: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

124

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

Keempat, sistem ini akan menghasilkan harmoni dalampengaturan pergantain antar waktu (PAW) anggota DPR. Di manasejak Pemilu masa Orde Baru hingga masa Orde Reformasi dalam UUSusunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD porsi peran partaipolitik selalu lebih dominan dalam PAW terhadap calon anggota DPR/DPRD ketimbang konstituen atau pemilih. Jika keterpilihan calonberdasarkan suara terbanyak seperti dalam Pemilu tahun 2009, bukanmelalui BPP dan nomor urut, maka seharusnya PAW atas calondiharmonikan dengan model suara terbanyak, yakni memberi porsiyang besar pada pemilih untuk mengganti (PAW) calon. Namunrealitasnya, dalam PAW otoritas partai politik cukup besar. Tak heranbila setiap PAW calon anggota DPR/DPR selalu menimbulkan masalahdan tak jarang selalu digugat di pengadilan. Salah satu klausulgugatannya selalu terletak pada gugatan dominasi Parpol dalam PAW.Karena itu sistem proporsional dengan calon terbuka akan memberisolusi yang tepat dalam menentukan model PAW anggota DPR danDPRD. Sebab keterpilihan calon berdasarkan nomor urut atau BPP,maka PAW dilakukan oleh partai politik pula. Kelima, sistem ini akanmemudahkan penyelenggara Pemilu untuk melakukan rekapitulasi.Sehingga berpotensi mengurangi kesalahan-kesalahan teknis lainnya.Dengan demikian secara otomatis tidak akan banyak menimbulkanpelanggaran pidana maupun administrasi dalam Pemilu. Keenam,akan dapat memangkas model kompetisi yang liberal antarcalon dalamsatu partai dengan lebih mengutamakan pada politik uang ketimbangkompetisi pada gagasan dan ide-ide perubahan. Seharusnya peranpartai politik dalam Pemilu lebih besar daripada sekedar mengajukandaftar calon. Parpol seharusnya lebih berani aktif dalam mengeluarkandana daripada partai dan peran orang tidak mengalahkan peran partaisebagai peserta Pemilu. Dengan demikian sistem proporsional dengandaftar calon terbuka yang diajukan ini akan kian mempurifikasikansistem proporsional.

2. Sistem Pemilu CampuranMasih terdapat alternatif pilihan lain, selain sistem propor-

sionalitas berbasis nomor urut dengan memperbaiki kualitas prosesseleksi, mulai dari nominasi, pencalonan, dan penetapan calon secarademokratis sebagaimana diuraikan di atas.

Page 146: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

125

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

Alternatif lain itu adalah menerapkan sistem pemilihan umumcampuran (Mixed Member Proporsional/MPP), seperti diterapkan diJerman, Selandia Baru, Meksiko, Venezuela, Albania, Bolivia, Hungaria,Italia, dan Selandia Baru. MPP ini berikhtiar mengambil sisi-sisi positifdari kedua sistem ini, dengan saling menutupi kekurangannya. Yangdikejar dari sistem PR varian List adalah derajat keterwakilan,sedangkan dari FPTP adalah akuntabilitas wakil rakyat terhadapkonstituennya. Karena sistem ini menggabungkan kelebihan masing-masing sistem PR dan FPTP, maka akan tetap dimungkinkan calegpopuler dapat terpilih, seperti artis lewat jalur distrik atau caleg tidakpopular lewat jalur daftar urut.

Sama seperti sistem proporsional terbuka murni, dalam MMPpemilih sama-sama diberikan hak untuk memilih calon dari Parpolsekaligus. Namun, pilihan terhadap Parpol dan calon tidaklah paralel.Pemilih bisa saja memilih partai A tetapi untuk calon dari partai B.Dalam MMP, calon dinominasikan dalam dua jalur, yaitu jalur distrik(seperti sistem FPTP) dan jalur daftar nomor urut (seperti sistem PR).4Sistem MMP ini akan dapat mengakomodasi “the best of both world”,karena dalam kurun waktu 1990-2004 telah terjadi pergantian sistemdari PR, FPTP ke MMP sebanyak 40 negara, yaitu 9 di Afrika, 12 di Asia,1 di Ocean, 12 di Eropa, 3 di Amerika Utara, dan 3 di Amerika Selatan.5

C. Desain Arsitektur Reformasi Ketatanegaraan Masa DepanDesain yang hendak ditawarkan dari aspek ketatanegaraan yang

komprehensif di sini diartikan bahwa keinginan agar fungsipemerintahan menjadi efektif dan antikorupsi yang diperlukan adalahperubahan secara menyeluruh/komprehensif bukan parsial. Artinyatopangan sistem pemerintahan yakni sistem kepartaian dan sistemPemilu juga menuntut dilakukan perubahan. Sehingga antara sistempemerintahan, sistem partai politik dan sistem Pemilu adalah satukesatuan yang harus diubah secara bersamaan menuju cita-cita idealdesain arsitektur sistem pemerintahan yang antikorupsi.

4 Hadar Gumay, dkk, 2011, Laporan Kajian Undang-undang Pemilu: Sebuah RekomendasiTerhadap Revisi Undang-undang No. 10 tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD,DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota, Cetro, Jakarta. hal, 3.

5 Federico Ferara, 2005, Mixed Electoral System: Contamination and It’s Consequences,Palgrave Macmilan, New York, hal, 24, sebagaimana di kutip oleh Nico Harjanto, 2006,“Sistem Pemilihan Umum Campuran”, dalam Indra J.Pilliang, 2006, Disain Baru SistemPolitik Indonesia, CSIS, Jakarta, hal, 57.

Page 147: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

126

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

Secara sederhana, tawaran ini dimulai dari perubahan sistempemerintahan presidensial. Sistem presidensial tak akan efektif biladikombinasikan dengan sistem Pemilu proporsionalitas berbasissuara terbanyak, karena hanya akan menghasilkan politisi karbitandi parlemen yang berhasil meraih kursi lebih didasarkan pada“permainan politik” berbasis membeli suara pemilih, bukan berbasisideologi yang kuat di atas pondasi pengabdian yang kokoh padabangsa dan negara. Akibatnya sejauh ini kita tak mampu mene-mukan seorang negarawan sejati di parlemen yang hidup sederhana,asketis, dan profesional.

Parlemen kita sejak Pemilu berbasis suara terbanyak lebih banyakdihuni oleh gerombolan pedagang yang tak memiliki basis organisasipolitik dan pengkaderan di tingkat partai politik secara berjenjangdan meritokratis. Wajarlah jika perilaku elite di parlemen tak jauhberbeda dari profesi awal mereka, yakni pedagang yang kerap mem-perdagangkan jabatan dan kewenangan untuk meraup keuntunganekonomi politik untuk mengembalikan modal meraih kursi parlemen.Praktik jual-beli dalam terminologi politik dagang ini telah meng-ancam kewibawaan lembaga negara karena telah tercoreng oleh tradisidagang jabatan ini.

Itulah sebabnya, sistem pemerintahan presidensial hanya tepatbila dikombinasikan dengan sistem Pemilu mayoritas atau distrik.Sistem ini selain hanya menyediakan jumlah kursi yang terbatas disetiap daerah pemilihan sehingga hanya partai mayoritas yang dapatmenguasai kursi di parlemen, sehingga harga kursi tidak dibagikansecara merata pada semua peserta Pemilu.

Sistem ini dipastikan akan melahirkan wakil rakyat di parlemenyang lebih dekat kepada konstituen politiknya karena mereka dipilihberadasarkan mandat kuat pemilih di dapilnya dengan mengedepan-kan visi, misi dan program partai saat kampanye. Sistem ini jugaakan kian mendidik pada pemilih agar dapat dengan mudah meng-identifikasikan dirinya pada pilihan ideologis partai tertentu, karenasetiap caleg yang berkampanye tidak pernah menawarkan programindividunya, melainkan visi, misi dalam program partai akibatnyapartai politik mudah diidentifiasikan oleh pemilih ideologinya.

Sistem ini juga akan berkecenderungan memberi stimulus daninsentif pada para kader partai untuk lebih memelihara organisasi

Page 148: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

127

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

partai dengan merancang aneka program kerja Parpol yang lebihmenyentuh hajat pemilih ketimbang hajat elite Parpolnya. Selebihnya,sistem ini akan mendorong lahirnya partai kader dan pengkaderancalon pejabat politik dari Parpol secara meritokratis dan berjenjang,sehingga tak akan ada peluang bagi elite Parpol untuk menjadi kutuloncat dan politisi opurtunis dan kerap melompat pagar ke Parpollain karena kecewa dengan Parpol.

Sistem ini akan membuka peluang pada kuatnya kader Parpoluntuk bersedia menjadi pengurus Parpol secara profesional dan akanmembuka peluang pada lahirnya generasi muda penerus Parpol darikalangan aktivis kampus dan putra-putri terbaik dari ormas-ormasdi tengah masyarakat untuk tertarik menjadi kader Parpol. Selamaini para kader muda yang berasal dari aktivis kampus dan ormas-ormas mapan tak tertarik menjadi kader Parpol, karena Parpol takdikelola secara demokratis, akuntabel, dan profesional.

Berikutnya sistem kepartaian dalam pilihan sistem pemerintahanpresidensial tak akan efektif jika dikombinasikan dengan sistemkepartaian multipartai ekstrim, karena dipastikan hanya akanmenghasilkan presiden minoritas di parlemen, karena jumlah pesertaPemilu yang multipartai tak akan mampu menghasilkan partaipolitik mayoritas di parlemen, akibatnya partai presiden dipaksamelakukan koalisi dengan melibatkan mitra partai kaolisi yang besar.Pemerintahan yang berjalan adalah pemerintahan bersama bukanpemerintahan dari partai pemenang.

Dalam jangka panjang model pemerintahan koalisi ini akan kianmengkaburkan ideologi partai pemenang Pemilu. Tak tampak lagipembeda ideologi antara partai yang satu dengan partai yang lain,padahal ideologi merupakan instrumen penting penuntut pemilihuntuk melakukan identifikasi dirinya pada partai politik tertentu saatPemilu berlangsung.

Bila pemilih kehilangan identifikasi diriya pada Parpol tertentumaka akan berakibat pada hilangnya pemilih yang kritis, ideologis danrasional. Berganti menjadi pemilih yang pragmatis dan materialistis.Dalam jangka panjang, preferensi pemilih yang demikian ini akanmelahirkan sistem politik yang tak bermakna dan mendorong padalahirnya politik tanpa bentuk dan hanya sekedar paguyuban massa.

Page 149: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

128

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

Sistem pemerintahan koalisi ini akan melahirkan model demo-krasi konsensus (democracy concensus) yang cenderung menghabiskanenergi dalam pengambilan kebijakan strategis, karena durasi danwaktu untuk mengambil keputusan konsensus cenderung lamadan berbelit di tengah situasi rakyat dan elite yang pragmatis,materialistis dan tanpa ideologi akan mendorong “kaum pembajak”demokrasi konsensus dengan membeli dan menciptakan kartel politik.Akibatnya seolah-olah kebijakan strategis diambil secara demokratis(konsensus), namun sejatinya hanya dikendalikan oleh segelintir elite(oligarkh) yang mampu membeli suara dengan konsensi (pertukarankeuntungan) ekonomi-politik tertentu.

Sistem Pemilu mayoritas atau distrik ini dipastikan akanmelahirkan model dua partai (dwi partai), yang satu berkuasa danyang lain beroposisi, kursi parlemen diisi dengan model satu orangmewakili daerah dan partai tertentu (single member contituency). Makakelak akan melahirkan tipe demokrasi mayoritas (democracy majority).Sistem pemerintahannya presidensial yang akan berjalan tanpa koalisidengan Parpol yang kalah dalam Pemilu. Presiden terpilih sangatmandiri (independent) dari tekanan politik di DPR dan implikasinyaakan melahirkan sistem pemerintahan presidensial yang antikorupsi.Usulan komprehensif ini akan dijelaskan melalui tabel berikut ini.

Tabel 6. Desain Arsitektur Ketatanegaraan Indonesia Masa Depan

Page 150: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

129

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

Mencita-citakan sistem Pemilu berintegritas alias antikorupsitak dapat dilepaskan dari pertaliannya dengan penyelenggaraPemilunya, yakni Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang berintegritaspula. Karena itu penting dilakukan reformasi desain arsitektur untukmenyeleksi KPU yang demokratis, akuntabel, dan antikorupsi.

Gagasan reformasi desain arsitektur penyeleksian KPU ini di-perlukan karena KPU adalah lembaga urgen yang akan melaksanakanPemilu. Itulah sebabnya, KPU perlu diperkuat dalam hal memahamidan menerjemahkan aneka produk UU Pemilu dalam peraturan teknisyang mudah dieksekusi dan ditaati oleh semua pemangku kepentinganPemilu. Alasan lain diperlukannya reformasi desain arsitekturpenyeleksian KPU adalah agar penyelenggara Pemilu dapat meng-garansi penyelenggaraan Pemilu yang bebas, adil, dan demokratis.Sebab, berdasarkan data dari Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu(DKPP) tahun 2016 masih sangat banyak penyelenggara Pemilu yangdiadukan ke DKPP dengan berbagai alasan yang diduga melanggarkode etik penyelenggara Pemilu. Dewan Kehormatan PenyelenggaraPemilu telah menerima pengaduan sebanyak 585 perkara. Keseluruhan

... Bab Kesepuluh ...

Desain Arsitektur ReformasiSeleksi Penyelenggara Pemilu

Antikorupsi

Page 151: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

130

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

jumlah tersebut terbagi dalam dua kategori. Pertama, pengaduanberdasarkan Pilkada dan pengaduan non Pilkada.1 Jumlah pengaduanterkait Pilkada sebanyak 493 perkara. Wilayah yang paling banyakberasal dari Sumatera Utara, 72 perkara. Kedua, Sumatera Barat danJawa Timur, 33 perkara. Ketiga, Papua Barat 27 perkara. Sedangkandaerah yang paling sedikit berasal dari Provinsi Lampung dan DIYogyakarta, masing-masing 2 perkara. Kedua, Kepulauan Riau 3perkara. Ketiga, Bali dan Kalimantan Selatan, masing-masing 4 perkara.Pihak pengadu yang masuk ke DKPP terkait Pilkada bermacam-macam. Pengaduan oleh masyarakat sebanyak 175, dilakukan olehpeserta Pemilu sebanyak 151. Sementara pengaduan dilakukan olehtim kampanye sebanyak 73. Sasaran pengaduan yang ditujukan adalahpenyelenggara Pemilu. Terhadap jajaran KPU: sebagian besarditujukan kepada anggota KPU kabupaten/kota, ada 1.111 orang.Selanjutnya, KPU provinsi sebanyak 174 orang, dan KPU RI sebanyak12 orang. Sementara itu, terhadap jajaran pengawas Pemilu: Panwaskabupaten/kota sebanyak 372 orang, Bawaslu Provinsi sebanyak 55orang, dan Bawaslu RI sebanyak 15 orang. Satu orang Teradu(penyelenggara Pemilu) bisa diadukan lebih dari satu kali. Modus-modus pengaduan beraneka ragam. Modus pengaduan mengenaipersyaratan calon menempati posisi paling tinggi, sebanyak 132perkara. Kedua, kampanye terkait 50 perkara. Ketiga, daftar pemilihtetap 52 perkara, dan lain-lain sebanyak 150 perkara. Sedangkan,pengaduan non Pilkada sebanyak 92 perkara. Daerah yang palingbanyak adalah Sumatera Utara, 16 perkara; kedua, Papua sebanyak12 perkara; dan ketiga, Sulawesi Utara sebanyak 6 perkara. Sebagianbesar Pengadu dilakukan oleh masyarakat atau pemilih sebanyak 53,dan oleh peserta Pemilu atau paslon sebanyak 20.

Dari jumlah pengaduan yang masuk baik Pilkada maupun nonpilkada, tidak semua perkara yang diadukan masuk ke persidangan.DKPP melakukan seleksi secara ketat baik melalui seleksi administrasiformal maupun materiil. Hasil verifikasi, perkara yang layak sidangmenjadi 278 perkara. Dari jumlah tersebut, terkait Pilkada sebanyak251 perkara, Pemilu Legislatif sebanyak 9 perkara dan non tahapanPemilu sebanyak 18 perkara. Hasil putusan, DKPP telah merehabilitasi

1 Nur Hidayat Sardini, 2016,”DKPP Terima 493 Pengaduan Pilkada Serentak“, dalamhttp://www.dkpp.go.id/index.php?a=detilberita& id=2196. Diakses pada tanggal 8 Maret 2017.

Page 152: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

131

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

509 penyelenggara Pemilu yang terkait dengan Pilkada, 19 penyeleng-gara Pemilu terkait non Pilkada. Sanksi peringatan atau teguransebanyak 223 penyelenggara Pemilu terkait Pilkada dan 30 oranguntuk non Pilkada. Sanksi pemberhentian sementara sebanyak 4orang untuk Pilkada dan non Pilkada sebanyak 3 orang. Adapunyang diberhentikan tetap terkait Pilkada sebanyak 60 orang, dan nonPilkada sebanyak 15 orang.

Berikutnya KPU perlu didorong agar mampu menata birokrasikelembagaan internal, terutama hubungan antara pejabat PNS diSekretariat Jenderal (Setjen) dan KPU RI dan KPU daerah denganjajaran Sekretariat KPU daerah. Yang tak kalah penting adalah agarpara komisioner KPU mampu menunjukkan integritas pribadi danmenjaga independensi dari intervensi politik kekuasaan. Berikut iniakan diuraikan gagasan desain arsitektur seleksi penyelenggaraPemilu yang akan dapat mereduksi lahirnya penyelenggara Pemiluyang berintegritas.

A. Eksistensi KPU Menurut UUD 1945Eksistensi penyelenggara Pemilu di Indonesia bernama Komisi

Pemilihan Umum (KPU) sebagai institusi baru di luar negara dimulaipada tahun 2003 yang diadopsi dari Pasal 22 Ayat (5) UUD 1945pasca amandemen yang menegaskan bahwa, Pemilu diselenggarakanoleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri.

Kemudian eksistensi kelembagaan KPU diperkuat dengan UU No.3 Tahun 1999 dan UU No. 23 Tahun 2003 tentang Pemilu AnggotaDPR, DPD dan DPRD. Maka pada tahun 2001 diadakan seleksikomisioner KPU RI untuk pertama kali yang diisi oleh nonpartisandan pada tahun 2003 dilakukan seleksi komisioner KPU provinsi danKPU kab/kota yang komposisinya nonpartisan untuk diproyeksikansebagai penyelenggara Pemilu legislatif dan Pemilu presiden secaralangsung tahun 2004.

Walaupun pada awal berdirinya sering kali terjadi disharmonidengan Panwaslu RI dalam soal kewenangan pengawasan Pemiludan proses penegakan hukum pelanggaran administrasi dan tindakpidana Pemilu oleh peserta Pemilu.2

2 Topo Santoso dan Didik Supriyanto, Mengawasi Pemilu Mengawal Demokrasi, (Jakarta,PT Rajagrafindo Persada, 2004), hlm. 88.

Page 153: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

132

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

Institusi KPU mulai diperhitungkan eksistensinya sebagai penjaganafas demokratisasi (the guardian of democarcy) di Indonesia seiringkeberhasilannya dalam penyelenggaraan Pemilu tahun 2004 dandipercaya sebagai institusi tunggal yang menyelenggarakan Pemilukepala daerah secara langsung pada tahun 2005 seiring disahkannyaUU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah yang merupakanpayung penyelenggaraan pilkada langsung. Walaupun di tengahjalan, KPU tercoreng oleh perilaku korupsi sejumlah anggotanya danbeberapa anggota juga menyeberang menjadi politisi dan menteri.Penyelenggaraan Pemilu 2004 dan pilkada 2005 ini menjadi kunci darikian menguatnya tuntutan publik akan perlunya penguatan institusiKPU sebagai satu-satunya organ tunggal penyelenggaraan semuajenis Pemilu di Indonesia. Seiring diakuinya Pilkada juga merupakanbagian dari Pemilu.3

Upaya penguatan institusi KPU ini dimulai dengan disahkannyaUU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu yangmerupakan UU pertama di Indonesia yang mengatur khusus tugas,pokok, dan fungsi KPU dan Badan Pengawas Pemilu. Sejak saat ituKPU sebagai lembaga baru menjadi lembaga yang dianggap setaradengan organ non negara lainnya yang lebih dahulu lahir, karenatelah memiliki UU pokok yang mengatur dirinya. Wujud dari UU initelah mampu menghasilkan model seleksi 7 anggota KPU yangberbeda dari KPU sebelumnya yang akan menyelenggarakan Pemilutahun 2009. Namun KPU periode 2007-2011 ini dianggap belummampu secara maksimal menjamin terselenggaranya Pemilu yang adildan demokratis. Sehingga hasil Pemilu 2009 merupakan Pemilu yangrelatif kecil apresiasinya dari publik internasional.4 Salah satufaktornya, karena Anggota KPU periode ini kurang profesional dandiduga tidak mandiri dan bertindak adil. Yang dibuktikan olehanggotanya yang menyeberang menjadi politisi partai Demokrat dandiikuti oleh anggota KPU daerah. Itulah sebabnya, UU No. 22 Tahun2007 ini kemudian direvisi menjadi UU No. 15 Tahun 2011 tentangPenyelenggara Pemilu untuk ditambal beberapa kekurangannya, salah

3 Ramlan Surbakti, Pilkada Langsung adalah Pemilu, (Surakarta, Kompip, 2005), hlm.31-35.4 Lihat, Marcus Mitzner and Edward Aspinall, “Problem of Democratisation In Indonesia:

An Overview”, dalam Marcus Mitzner and Edward Aspinall, (Editors), Problem ofDemocratisation In Indonesia Election, Institution and Society, (Singapore, ISEAS, 2010),hlm. 7

Page 154: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

133

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

satunya untuk kian memagari agar KPU benar-benar menjadi institusiyang profesional dalam menyelenggarakan Pemilu tahun 2014.Bahkan ditambah dengan instutisi baru bernama Dewan KehormatanPenyelenggara Pemilu (DKPP).

Hasil seleksi Anggota KPU periode 2011-2017 ini dengan meng-gunakan UU No. 15/2011 inipun tidaklah sempurna, karena, kuatnyatarikan kepentingan politik sejak dari hulu, yakni pembentukan Timseleksi hingga ke hilir saat uji kepatutan dan kelayakan (fit and propertest) di Komisi II DPR RI. Begitu pula seleksi KPU provinsi dan KPUkabupaten/kota yang menyisakan aneka masalah mulai dari gugatanpublik akan legitimasi Tim Seleksi, hingga munculnya calon anggotaKPUD titipan dari kelompok penguasa, organisasi agama, organisasikemahasiswaan, hingga partai politik. Akibatnya, penyelenggaraanPemilu 2014 tak luput dari berbagai kritik dan ketidaksempurnaannyasalah satunya disebabkan tak profesional dan independennya KPUdalam menyelenggarakan Pemilu 2014. Selebihnya, Pemilu 2014 iniadalah Pemilu paling liberal dan matrealistik sepanjang sejarah Pemiludi Indonesia. Terutama karena maraknya praktik politik uang danmahalnya biaya kampanye.5 Bukti konkrit lainnya adalah ratusanorang anggota KPU yang memperoleh sanksi dari DKPP mulai dariperingatan keras, biasa hingga pemecatan yang diduga tidakprofesional dan mandiri pada penyelenggaraan Pemilu 2014.

Di titik inilah relevansinya diperlukan gagasan reformasi sistemikuntuk memperbaiki dan menemukan model baru seleksi komisionerKPU untuk dapat melahirkan penyelenggara Pemilu tahun 2019 danseterusnya lebih mandiri, profesional dan berintegritas sebagai katakunci bagi upaya menambal kekurangan dari UU No. 15 Tahun 2011tentang Penyelenggara Pemilu.

B. Kriteria Penyelenggara Pemilu InternasionalPemilihan umum adalah instrumen penting untuk mengukur

berjalannya sistem demokrasi di suatu negara, jika Pemilu dapatberlangsung secara adil dan demokratis dan melibatkan partisipasipemilih yang bebas dan luas, maka dapat dikatakan substansi demo-krasi elektoral di suatu negara dapat berjalan dengan baik. Pemilu

5 “Noda Politik Uang”, dalam http://nasional.kompas.com/read/2014/04/28/1458036/Noda.Politik.Uang.di.Pemilu , diakses pada tanggal 6 Agustus 2015.

Page 155: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

134

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

demikian hanya mungkin dapat berlangsung jika dilaksanakan olehpenyelenggara Pemilu yang mandiri, profesional, dan berintegritas.

Dalam praktiknya, penyelenggara Pemilu di berbagai belahandunia menyebutnya dengan berbagai macam sebutan antara lain:Election Commission; Department of Election; Electoral Council; Election Unitdan Electoral Board. Sebutan itu merupakan implementasi dari tigamodel penyelenggara Pemilu yang dipraktikkan di 241 negara di dunia.

Pertama, An independent election commission model (komisi Pemiluyang mandiri); merupakan penyelenggara Pemilu yang dibentuk olehnegara di luar birokrasi pemerintahan dan bertanggung jawab kepadapresiden atau parlemen. Keanggotaannya dipilih oleh parlemen yangterdiri dari para ahli di bidang Pemilu. Dipimpin oleh seorang ketuadan beberapa anggota. Model ini dipraktikkan di beberapa negaraantara lain: Armenia, Australia, Bosnia dan Herzegovina, BurkinaFaso, Kanada, Kosta Rica, Estonia, Georgia, India, Indonesia, Liberia,Mauritius, Nigeria, Polandia, Africa Selatan, Thailand and Uruguay.

Kedua, within goverment model or govermental model (penyelenggaraPemilu yang dilakukan oleh birokrasi pemerintah yang kredibel);keanggotaannya tidak dipilih melainkan bagian dari aparatus birokrasipemerintah dan dipimpin oleh seorang sekretaris. Model inidipraktikkan di Denmark, Selandia Baru, Singapura, Swiss, Tunisia,Inggris, dan Amerika Serikat.

Ketiga, Mixed model or within a government ministry but supervised bya judicial body (campuran antara komisi Pemilu independen danpemerintah; dalam perencanaan, kebijakan dan pengawasan Pemiludilakukan oleh lembaga hukum atau lembaga khusus, namunpelaksanaan Pemilu dilakukan oleh aparatus birokrasi pemerintah.Model ini dipraktikkan antara lain di Prancis, Jepang, Spanyol danbeberapa negara bekas jajahan Prancis, terutama di Afrika Baratseperti: Mali, Sinegal dan Togo.

Survei yang dilakukan oleh IDEA menunjukkan, dari 242 negarayang menganut model pertama sejumlah 55 persen, model keduadianut oleh 26 persen dan yang menganut model ketiga sejumlah 15persen.6 Tak ada standar baku mana yang paling tepat di antara tiga

6 Alan Wall and Andrew Ellis, Electoral Management Design: The International IDEAHandbook, (Sweden, Bulls Graphic AB, 2006), hlm. 8.

Page 156: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

135

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

pilihan itu untuk ditetapkan sebagai model dalam mendesainpenyelenggara Pemilu. Karena sebuah sistem akan efektif bergantungpada kondisi sejarah sosial politik di sebuah negara. Itulah sebabnyamengapa konsep sistem demokrasi yang universal dalam implemen-tasinya selalu terkait dengan “culturally bounded”, artinya karakteristiksosial masyarakat akan mewarnai implementasi praktik demokrasidan kelembagaannya yang berbeda-beda di setiap negara di dunia.7

Apapun sebutan dan bentuk penyelenggara Pemilu bukanmenjadi persoalan, yang penting, sepanjang dapat memenuhi prinsip-prinsip dasar penyelenggara Pemilu yang baik. Adapun prinsip-prinsip dasar penyelenggara Pemilu yang baik setidaknya telahdisepakati di seluruh dunia antara lain, bersifat mandiri saat bekerjadan dalam memutuskan kebijakan Pemilu (independence of decision makingand action), bekerja secara adil (impartiality), berintegritas (integrity),transparan dalam menejemen kegiatan (transparency), efektif dalampenggunaan keuangan dan anggaran (efficiency), profesional dalammenjalankan kegiatan kePemiluan (professionalism) dan bersikapmelayani semua pemangku kepentingan Pemilu (service-mindedness).8

Instrumen penting bagi penyelenggaraan Pemilu yang berhasildi suatu negara ditandai dengan penyelenggara Pemilu yang memilikiindependensi, integritas, dedikasi, dan tanpa memihak kecuali padaregulasi yang disepakati. Hanya dengan cara tersebut hasil Pemiluakan dapat diterima dan dipercaya semua stakeholder Pemilu.9 Bahkanmenurut Lopez-Pintor, netralitas dan profesionalitas penyelenggaraPemilu menjadi kata kunci dari berhasil tidaknya penyelenggaraanPemilu demokratis, yakni free and fair di suatu negara.10

Itulah sebabnya penyelenggaraan Pemilu di era Orde Baru yangdiselenggarakan oleh Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang dipimpinoleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) dianggap tidak demokratiskarena diselenggarakan oleh lembaga yang tidak bekerja berdasarkanprinsip-prinsip dasar penyelenggara Pemilu yang baik, antara lain

7 Affan Gaffar, Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi, (Yogjakarta, PustakaPelajar, 2006), hlm. 344.

8 Alan Wall and Andrew Ellis, 2010, ibid., hlm. 22-27.9 Jorgen Elklit, Electoral InstitutionalChange and Democratic Transition, in Democra-

tization Journal No.6 Vol.4, 1999, hlm. 28-51.10 Rafael Lopez-Pintor, 2000, Electoral Management Bodies as Institutions of Gover-

nance, (New York,United Nations Develpment Programme, 2000), hlm, 14

Page 157: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

136

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

mandiri, profesional, dan berintegritas. Pemilu di era ini dilaksanakansekedar untuk legitimasi politik untuk melanggengkan kekuasaanpolitik rezim Soeharto. Tak pelak, Pemilu di era ini penuh intervensikekuasaan, kekerasan politik dan kecurangan yang sistematik.Sebaliknya, penyelenggaraan Pemilu di era Reformasi sejak semuladidesain untuk mengakhiri praktik-praktik buruk era Orde Baru, agarPemilu bukan sekedar berfungsi untuk melegitimasi kekuasaan politik,namun juga menjadi sarana demokrasi, partisipasi publik, keter-wakilan politik (political representation), integrasi nasional (politicalintegration) dan membantu berjalannya pemerintahan efektif (efecttivegoverment).11 Pemilu pertama pasca Orde Baru dilaksanakan pada tahun1999 dengan cukup demokratis, bakan sebagai pondasi pada Pemilu-Pemilu berikutnya.12 Fungsi Pemilu yang demikian ini hanya akandapat terwujud jika diselenggarakan secara adil dan demokratisdengan desain manajemen penyelenggara Pemilu yang mandiri, pro-fessional, dan berintegritas.

Amandemen UUD 1945 telah menghasilkan karya gemilang dalammewujudkan mimpi penyelenggara Pemilu yang mandiri, profesionaldan berintegritas. Salah satu hasil perubahan UUD 1945 yangdipandang sebagai langkah maju dalam proses demokratisasi adalahadanya ketentuan mengenai pemilihan umum (Pemilu) melaluiketentuan Pasal 22 E UUD 1945. Ketentuan ini dimaksudkan untukmemberi landasan hukum yang lebih kuat bagi Pemilu sebagai salahsatu wahana pelaksanaan kedaulatan rakyat. Karenanya, ketentuanini kian menjamin waktu penyelenggaraan Pemilu secara teraturreguler (setiap lima tahun sekali) maupun menjamin proses danmekanisme serta kualitas penyelenggaraan Pemilu: langsung, umum,bebas dan rahasia (Luber) serta jujur dan adil (Jurdil).13

Namun, ketentuan Pasal 22 E Ayat (5) UUD 1945 menegaskanbahwa pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihanumum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Ketentuan inimerupakan cita ideal penyelenggara Pemilu di Indonesia yang bila

11 Lihat, Aurel Croissant, 2002, Election Politics in Southeast and East Asia, (Singapore,Fredrich-Ebert-Stiftung, 2002).

12 Hermawan Sulistyo, “Electoral Politics In Indonesia and Hard Way to Democracy”,InElectoral Politics In Southeast And East Asia Journal, Vol. 5I, No.2, 1999.

13 Ni’matul Huda, Lembaga Negara Dalam Transisi Demokrasi, ( Yogyakarta,UII Press,2007),hlm. 169.

Page 158: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

137

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

ditafsir secara ekstensif,14 maka di dapat beberapa gagasan. Pertama,Pemilu berdasarkan ketentuan Pasal 22 E Ayat (5) ini diselenggarakanoleh suatu komisi pemilihan umum, yang tidak secara ekplisitmenunjuk nama sebuah institusi karena didahului oleh kata “suatu”dan setelahnya penyebutan komisi dengan huruf bukan huruf besaryang berarti tidak menunjuk bahwa KPU adalah institusi yangdimaksud oleh UUD 1945. Artinya badan penyelenggara Pemilu dapatsaja tidak bernama KPU. Akan tetapi teks pasal ini hendak menya-takan, bahwa penyelenggara Pemilu di Indonesia diselenggarakanbukan oleh lembaga birokrasi pemerintah, melainkan lembaga yangberdiri sendiri atau semacam state auxilary Agencies.15 Kedua, penye-lenggara Pemilu yang ideal menurut ketentuan Pasal 22 E Ayat (5)ini adalah komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, danmandiri. Sifat nasional mencerminkan bahwa wilayah kerja dantanggung jawab KPU sebagai penyelenggara Pemilihan Umummencakup seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sifattetap menunjukkan KPU sebagai lembaga yang menjalankan tugassecara berkesinambungan meskipun dibatasi oleh masa jabatantertentu. Sifat mandiri menegaskan KPU dalam menyelenggarakanPemilihan Umum bebas dari pengaruh pihak manapun.

Di lihat aspek asasnya16 cita-cita KPU yang ideal menurut Pasal22 E Ayat (5) UUD 1945 hanya bersifat nasional, tetap dan mandiri.Tidak terdapat ketentuan lain yang mencerminkan operasionalisasiteknis model seleksi anggota KPU yang dapat menyelenggarakanPemilu secara profesional dan berintegritas. Padahal dalam penyeleng-garaan Pemilu, yang diperlukan bukan hanya anggota KPU yangmandiri saja, melain seharusnya juga memiliki karakter profesionaldan berintegritas. Karakter profesional secara etimologis artinya,

14 Bambang Sutiyoso, Metode Penemuan Hukum Upaya Mewujudkan Hukum YangPasti dan Berkeadilan, (Yogyakarta, UII Press, 2006), hlm, 77-122.

15 Cornalis Lay, “State Auxilary Agencies”, dalam Jurnal Hukum Jentera, Edisi 12-TahunIII, April-Juni 2006.

16 Menurut Satjipto Rahardjo, mengkaji dan mendalami sebuah UU melalui asas-asasnyaini sangat penting sebab asas hukum adalah merupakan “jantungnya” peraturan hukum.Asas hukum merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatau peraturan hukum.Jika ada persoalan dalam implementasi suatu peraturan hukum, maka dikembalikan kepadaasas-asasnya. Karena itu asas hukum disebut sebagai alasan bagi lahirnya peraturan hukum,atau merupakan ratio legis dari peraturan hukum. Asas hukum ini tidak akan habis kekuatannyadengan melahirkan suatau peraturan hukum, melainkan akan tetap saja ada dan melahirkanperaturan selanjutnya. Karena itu pula, asas hukum mengandung nilai-nilai dan etis. Lihat,Satjipto Rahardjo, 2006, Ilmu Hukum, (Bandung, PT.Citra Aditya Bakti, 2006), hlm, 45.

Page 159: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

138

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

memiliki kepandaian khusus untuk menjalankan sesuatu.17 Maknanyaseorang anggota KPU seharus memiliki kemampuan khusus di bidangPemilu tidak semua dapat menjadi anggota KPU. Sedangkan karakterberintegritas berasal dari kata “integritas” ditambah awalan “ber” yangsecara etimologis artinya, merupakan kata sifat yang menunjukkankeadaan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yangmemancarkan kewibawaan dan kejujuran.18 Artinya seorang yang dapatdiangkat menjadi anggota KPU seharusnya hanyalah orang yangmemiliki sifat wibawa dan jujur.

C. Evaluasi Seleksi KPU Tahun 2001, 2007 dan 2012Ketentuan Pasal 22 E Ayat (5) UUD 1945 ini kemudian diwujudkan

dalam bentuk turunan regulasi (UU) yang khusus mengatureksistensi penyelenggara Pemilu melalui UU No. 12 tahun 2003tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD yang dalam UU telahmengatur seluk-beluk Pemilu. Memuat ketentuan Pasal 1 angka 3,Komisi Pemilihan Umum bersifat Nasional, tetap dan mandiri. Pasal15 KPU bertanggung jawab menyelenggarakan Pemilu, dalampelaksanaan tugas KPU melaporkan tahapannya kepada Presiden danDPR. Namun, seleksi anggota KPU untuk pelaksanaan Pemilu 2004tidak dilakukan berdasarkan UU No. 12/2003 melain berdasarkanketentuan UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu tahun 1999 melaluiPasal 10, selambat-lambatnya 3 tahun setelah Pemilihan Umumdilaksanakan, KPU mengevaluasi sistem Pemilihan Umum. Dilakukanperubahan keanggotaan KPU dari sebelumnya berasal dari perwakilanpartai politik menjadi nonpartisan maka melalui Kepres No. 10 Tahun2001 dibentuklah KPU baru dengan melakukan seleksi terhadap 60tokoh nasional yang disaring oleh presiden menjadi 22 orang, laludilakukan uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) yangmenghasilkan 11 orang anggota KPU. Seleksi KPU di era ini tidakdilakukan secara akuntabel dan transparan, sejak dari hulu di tanganpresiden, hingga ke hilir di tangan komisi II DPR. Akibatnya param-eter keanggotaan KPU tidak cukup jelas.

Pemilu 2004 Ini adalah Pemilu yang berslogan “berbeda”, karenaselain untuk pertama kalinya sepanjang sejarah diselenggarakan oleh

17 Tim Penyusun Kamus, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Pusat Pembinaan danPegembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi II, Cetakan ke Tujuh, (BalaiPustaka; Jakarta, 1995), hlm. 789.

18 Ibid., hlm, 381.

Page 160: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

139

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

KPU yang bersifat nasional tetap dan mandiri, akan tetapi rakyatjuga diberi kebebasan untuk memilih wakil rakyat dan memilihPemilu presiden secara langsung. Pemilu 2004 ini merupakan tonggaksejarah keberhasilan Pemilu yang paling kompleks di dunia danmeneguhkan Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketigasetelah Amerika Serikat dan India. Namun, di tengah keberhasilanpenyelenggaraan Pemilu 2004 ini, citra KPU seketika runtuh saat ketuadan beberapa anggota KPU serta beberapa pejabat Sekretariat KPUdijebloskan oleh KPK ke penjara karena terbukti melakukan korupsianggaran APBN dalam proses tender pengadaan logistik keperluanPemilu 2004.19 Citra KPU di era ini kian menurun saat anggota KPU,Anas Urbaningrum menyeberang menjadi politisi dan bergabung kepartai Demokrat yang merupakan partai pemenang saat Pemilu2004 dan Hamid Awaluddin menjadi Menteri Hukum dan HAM.Publik menengarai institusi KPU era ini tak mandiri, profesional,dan berintegritas.

Atas dasar itulah, maka dibuat UU No. 22/2007 tentangPenyelenggara Pemilu yang merupakan UU pertana yang mengatursecara khusus dan rinci tentang eksistensi, juga pokok dan fungsiKPU. Di dalamnya diatur secara rinci model seleksi KPU yang lebihbaik dari era sebelumnya. UU ini telah melahirkan model seleksi KPUyang berbeda dari sebelumnya. Salah satu yang membedakan adalah,seleksi dilakukan oleh Tim Seleksi yang dipersiapkan oleh presiden,dirancang sejumlah persyaratan untuk menjadi anggota KPU yangbaik, dilakukan tes tulis dan psikologi hingga dilakukan uji kepatutandan kelayakan di komisi II DPR. Namun, keseluruhan proses tes,mulai seleksi di Tim Seleksi hingga uji kepatutan dan kelayakan diDPR, penuh kepentingan politik.

Akibatnya, hasil seleksi anggota KPU tahun 2007 tak mampumenghasilkan anggota KPU yang ideal. Banyak anggota KPU yangtidak berlatar belakang pengalaman Pemilu dan ilmu kePemiluan.Bahkan salah satu anggota KPU, Andi Nurpati, ikut bergabung kepartai Demokrat yang merupakan partai penguasa. Publikpundikejutkan Panitia Kerja (Panja) Mafia Pemilu bentukan Komisi IIDPR untuk menelusuri jejak pemalsuan surat putusan hakim

19 Saldi Isra, Kekuasaan dan Prilaku Korupsi, (Jakarta, PT Kompas Media Nusantara,2009), hlm. 147.

Page 161: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

140

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

Mahkamah Konstitusi (MK) dalam penentuan kursi DPR pada Pemilu2009 di daerah pemilihan (dapil) I Sulawesi Selatan. Pemalsuan suratitu diduga melibatkan salah satu mantan anggota KPU yang menjadipengurus teras DPP Partai Demokrat, Andi Nurpati.20

Bukti tidak idealnya model seleksi versi UU No. 22/2007 ini adalahtak terwujudnya anggota KPU yang mampu menyelenggarakanPemilu tahun 2009 yang adil dan demokratis. Pemilu 2009 ini bahkantercatat sebagai Pemilu terburuk di era Reformasi. Pemilu 2009 nyariskehilangan kepercayaan publik, karena tidak dapat memenuhi 10(sepuluh) standar kriteria yang ditetapkan oleh ACE Electoral KnowladgeNetwork: Inter-Parliamentary Union’s Declaration on Free and Fair Electionand Organization for Security and Co-operation in Europe’s InternationalElection Observation Standards.21

Fakta ini telah menyadarkan publik agar pemerintah bergegasmerevisi UU No. 22 tahiun 2007 ini agar semua kekurangan modelseleksinya dapat ditambal. Akhirnya, disahkan UU No. 15/2011tentang Penyelenggara Pemilu yang diproyeksikan untuk menyeleksiKPU periode 2011-2017 untuk menyelenggarakan Pemilu tahun 2014.UU ini disahkan pada 16 Oktober 2011. Undang-undang yang baruini memiliki jumlah bab yang sama, tetapi memiliki lebih banyak (4pasal) daripada undang-undang yang lama. Perbedaannya terletakpada pasal 11, tentang persyaratan menjadi Anggota KPU. DalamUU terdapat syarat harus jeda 5 tahun dari keanggotaan partai politik,sedangkan UU baru tidak, sepanjang telah mengundurkan diri daripartai politik, maka sudah dapat mendaftar sebagai calon AnggotaKPU. Dan terdapat penambahan keterangan bahwa seorang AnggotaKPU tidak berada dalam ikatan perkawinan dengan rekan AnggotaKPU. Selain itu, terdapat ketentuan Pasal 109 tentang adanya DewanKehormatan Penyelenggara Pemilu (DKKP) yang bersifat tetap,sedangkan dalam ketentaun Pasal 111 UU lama Dewan Kehormatanbersifat ad hoc. Namun demikian, model seleksi KPU periode ini puntidak cukup ideal karena proses seleksinya mengulang dari proses

20 Agus Riewanto, “Mafia Pemilu dan Legitimasi Pemilu 2009", Media Indonesia, 14Juli 2011, hal 10.

21 Adam Schmidt, 2010, “Indonesia’s Election: Performance Challengers and NegativePrecedent”, in Edward Aspinall and Marcus Mietzner,(eds), 2010, Problems ofDemocratisation in Indonesia, Election, Institutions, and Society, (Singapore, ISEAS,2010), hlm, 109.

Page 162: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

141

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

periode terdahulu. Dari hulunya tidak akuntabel model penunjukanTim Seleksi KPU hanya sekedar ditunjuk oleh presiden berdasarkanhak prerogatifnya. Dalam penentuan syarat anggota KPU tidakmengutamakan yang profesional atau yang berpengalaman sebagaipenyelenggara Pemilu, tes tertulis dan psikologi lebih mengutamakankemampuan kognitif bukan afeksi dan motorik. Tidak ada mekanismetentang uji terbuka dengan presentasi makalah yang mencerminkangagasan dan cita-citanya menjadi anggota KPU. Proses seleksi di Timseleksi juga tidak dilakukan secara terbuka yang melibatkan publiksecara luas.

Seleksi di tahap hilir atau di Komisi II DPR lebih mengutamakankepentingan politik ketimbang pertimbangan profesional danberintegritas, nilai tertinggi berdasarkan rekomendai dari Tim Seleksitidak serta merta menjadi pertimbangan utama DPR dalam menen-tukan anggota KPU terpilih. Akibatnya anggota KPU periode 2012-2014 lebih merupakan representasi kepentingan politik dan golonganyang paling dominan di Komisi II DPR. Akibatnya, penyelenggaraanPemilu 2014 belum dapat secara ideal kedap dari kecurangan Salahsatunya praktik manipulasi penghitungan suara; tidak netralnyapenyelenggara Pemilu (KPPS, PPS, PPK, dan KPU provinsi dan KPUkabupaten/kota). Kecurangan secara teknis Pemilu yang membuatrisau sejumlah kalangan dan berpotensi mengganggu perolehan suaracaleg dan Parpol peserta Pemilu adalah adanya pemungutan suaraulang (PSU) di 770 TPS di 90 kabupaten/kota dan tersebar di 23provinsi di Indonesia.22 Kecurangan lainnya, misalnya, secara teknisdi tempat pemungutan suara (TPS) pada hari H: (1) ditemukan ribuansurat suara yang telah dicoblos oleh PPS sebelum pemungutan suaradi Bogor; (2) ditemukan 3.941 DCT yang meninggal dunia, meng-undurkan diri, dan tidak memenuhi syarat, tetapi tidak diumumkanoleh KPPS; (3) terdapat 1.394 surat suara tidak ditandatangani olehKPPS; (4) terdapat 4.391 saksi tidak hadir di TPS; (5) sejumlah 6.945TPS menerima keberatan dari saksi.23

Tentang bukti buruknya model seleksi KPU berdasarkan UU No.15/2011 ini adalah karena Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu

22 Agus Riewanto, “Menyoal Kecurangan Pemilu“, Republika, 30 April 2014, hlm. 6.23 Agus Riewanto, “Penegakan Hukum Kecurangan Pemilu 2014", Media Indonesia,

22 April 2014, hlm. 10.

Page 163: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

142

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

(DKPP) telah menjatuhkan sanksi kepada 163 orang penyelenggaraPemilu dari tingkat desa hingga provinsi karena melakukanpelanggaran kode etik pada pelaksanaan Pemilu Legislatif (Pileg)2014 lalu. Sebanyak 81 orang di antaranya dijatuhi sanksi pemecatandan 82 orang dengan peringatan.24

D. Model Seleksi KPU, KPU Prop dan KPU Kab/Kota di HuluDi sinilah relevansi untuk menemukan model baru seleksi KPU

yang bukan saja mandiri seperti dinyatakan dalam Pasal 22 E Ayat(5) UUD 1945, akan tetapi juga profesional dan berintegritas.Profesional artinya memiliki kemampuan dan keterampilan khususdalam melaksanakan penyelenggaraan Pemilu. Kemampuan danketerampilan ini meliputi ilmu pengetahuan yang relevan denganpekerjaan KPU, akan tetapi juga pengalaman dalam penyelenggaraanPemilu. Ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan penyelenggaraanPemilu, paling tidak ilmu yang berkait dengan kemampuan me-rencanakan, melaksanakan, mengevaluasi tahapan Pemilu, yakni ilmuhukum, ilmu manajemen, ilmu politik, ilmu sosiologi, ilmu teknologidan informasi. Sedangkan, pengalaman berarti mengutamakan yangmemiliki pengalaman dalam penyelengaraan Pemilu di tahun-tahunsebelumnya. Adapaun berintegritas berarti memiliki kemampuan atausikap yang mencerminkan etika, moralitas, kejujuran, dan keadilandi dalamnya akan tercermin ketegasan dan kewibawaan sebagaipenyelenggara Pemilu.25 Integritas juga merupakan sikap bekerjasecara kolektif kolegial, mampu berkomunikasi dengan semuakalangan, anti korupsi, dan kolusi dan antikonspirasi jahat. Selainitu juga mencerminkan tentang kemampuan memimpin (leadership)dalam memipin institusi KPU, terutama cepat mengambil keputusandan berani mengambil risiko.26 Karena sesungguhnya sebaik-baikPemilu bukan hanya berhasil mewujudkan Pemilu secara prosedural,akan tetapi juga kepercayaan publik terhadap hasil-hasil Pemilu.Kepercayaan publik dapat tumbuh berdasarkan pada rekam jejak (trackrecord) anggota KPU.

24 Penyelenggara Pemilu Kena sanksi,.http://nasional.kompas.com/read/2014/06/12/1757501/163.Penyelenggara.Pemilu.Kena.Sanksi, diakses pada 4 Agustus 2015.

25 Haryatmoko, 2003, Etika Politik dan Kekuasaan, (Jakarta, Penerbit Buku Kompas,2003), hml. 22.

26 Jazim Hamidi dan Mustafa Lutffi, 2010, Civic Education Antara Realitas Politik danImplimentasi Hukumnya, (Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama, 2010), hlm, 151-156.

Page 164: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

143

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

Karakter komisioner KPU yang mandiri, professional, danberintegritas ini diperlukan dalam penyelenggaran Pemilu ke depan,karena akan kian menghadapi tatangan yang tidak ringan. Mengingatbeban kerja dan kecakapan komisioner dalam menajamen Pemilu kiandiuji dan bertambah berat, seiring dengan munculnya PutusanMK.No.14/PUU-XI/2013 tentang Uji Materil UU No. 42/2008 tentangPemilihan Presiden dan Wakil Presiden tanggal 23 Januari 2014. Dalamamar putusan Mahkamah Konstitusi, dinyatakan bahwa Pasal 3 ayat(5), Pasal 12 ayat (1) dan (2), Pasal 14 ayat (2) dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presidendan Wakil Presiden, bertentangan dengan Undang-Undang DasarNegara Republik Indonesia Tahun 1945, dan tidak mempunyaikekuatan hukum yang mengikat. Mahkamah Konstitusi, telahmemutuskan agar pemilihan umum mulai tahun 2019 dilaksanakansecara serentak. Pemilihan umum yang dimaksud adalah pemilihanumum presiden dan wakil presiden dan pemilihan umum anggotalegislatif, baik anggota DPR, DPD maupun DPRD.

Itulah sebabnya, Pemilu serentak mulai tahun 2019 mendatangperlu disikapi dengan kian meningkatkan kualitas karakterkemandirian, keprofesionalitasan dan keberintegritasan komisionerKPU. Dengan langkah konkrit membangun model baru seleksi KPUdi era Pemilu Serentak.

1. Model Pembentukan Tim SeleksiSesungguhnya, jika merujuk pada model seleksi KPU yang

diadopsi selama ini baik melalui UU No. 22/2007 maupun UU No. 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu, di tangan Tim Seleksi (Timsel)inilah modal sumber daya komisioner ditentukan dan dipintal. Itulahsebabnya Timsel merupakan hulu dari tahapan seleksi komisiner KPU.Seleksi terhadap anggota Timsel menjadi penting untuk diperhatikan.Seharusnya Timsel juga merupakan domain publik, bukan meru-pakan hak prerogatif presiden semata dalam pembentukannya.

Di era demokratisasi yang mencerminkan tentang keterbukaaninformasi dan partisipasi publik, sesungguhnya hak prerogatifpresiden pun tidak seharusnya digunakan sebebas-bebasnya, me-lainkan berdasarkan pertimbangan kerterbukaan dan partisipasipublik. Sehingga pembentukan Timsel tidak dilakukan dengan asal

Page 165: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

144

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

“comot”, apalagi jika hanya berdasarkan balas budi terhadap tokohpublik yang berjasa pada kekuasaan presiden. Itulah sebabnya,diperlukan juga masukan dari publik, melalui kesediaan timkepresidenan untuk membuka seluas-luasnya informasi tentangseleksi calon tim seleksi komisioner KPU ini kepada publik agar publikdapat memberikan masukan dan saran tokoh-tokoh publik yangpantas menjadi calon anggota timsel ini.

2. Syarat Anggota Tim SeleksiPembentukan Timsel seharusnya dimulai dengan cara presiden

melalui staf kepresidenan melakukan seleksi terhadap calon anggotaTimsel KPU dengan menetapkan persyaratan dan kriterianya. Salahsatu kriteria yang penting adalah independen, yang tidak ada kaitanlangsung maupun tidak langsung dengan partai politik, linieritasdengan latar belakang calon dan dasar ilmu pengetahuan danpengalaman.

Maka komposisi yang pas adalah hanya meloloskan anggotaTimsel yang berlatar belakang ilmu yang linier dengan kePemiluan,yakni ilmu hukum, politik, manajemen, sosiologi dan informasi danTeknologi dan sekaligus pernah berpengalaman dalam durasi tertentudengan birokrasi pemerintah terkait Pemilu, mantan anggota KPURI, akademisi di bidang ketatanegaraan, politik, manajemen danprofesional. Timsel sebaiknya bukan merupakan representasi darigolongan atau organisasi agama dan masyarakat tertentu, kendatitetap memperhatikan keterwakilan perempuan.

3. Mekanisme Kerja Tim SeleksiCara kerja Timsel dalam mencari dan menemukan sumber daya

manusia berkualitas, yakni berkarakter mandiri, profesional danberintegritas ini dapat dimulai dengan dua model: membukapendaftaran secara terbuka kepada publik, dan mencari SDM yangberkualitas dengan memanggil kesediaan sejumlah tokoh publik untukbersedia menjadi komisioner KPU. Cara kedua ini perlu dilakukanterutama untuk menghindari adanya kaum pencari kerja (seeker) yangmencoba mengais keberuntungan terutama, pensiunan dan peng-angguran. Timsel perlu menetapkan persyaratan calon KomisionerKPU yang sangat penting diperhatikan antara lain: Kedua, linieritaskeilmuannya dengan kePemiluan, yakni ilmu hukum, politik,

Page 166: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

145

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

sosiologi, manajemen dan teknologi informasi.27 Ketiga, tidak pernahsama sekali menjadi anggota partai politik tanpa harus jeda waktutertentu; dan Ketiga, mengutamakan yang memiliki pengalamansebagai penyelenggara Pemilu, sekurang-kurangnya 5 tahun.

Selanjutnya Timsel perlu merancang aneka model baru dalammenemukan SDM unggul selain harus lulus administrasi, juga tessubstantif profesi kePemiluan dan psikologi untuk mengukurkemampuan kognitif (konseptual), afeksi (empati dan sikap jujur/integritas), dan motorik (daya tahan kerja di bawah tekanan). Yangdapat dimulai dengan antara lain: (1) menetapkan kriteria administrasiyang harus dipenuhi, dan makalah tentang proyeksi dan gagasanmenjadi komisioner KPU; (2) menetapkan soal-soal tes tertulis tentangprofesi teknis kePemiluan, dalam membuat soal Timsel dapat bekerjasama dengan pusat-pusat studi konstitusi, HAM, politik dan Pemiludi perguruan tinggi yang kredibel; (3) mendesain test assismentpsikologi, dapat bekerja sama dengan institusi psikologi yang kredibel,tes ini diutamakan untuk mengukur kesepadanan antara kemampuankognitif, afektif, dan psikomotorik; (4) perlu disusun kegiatan praktikyang menggambarkan tentang kinerja teknis KPU dalam uji psikologiini; (5) disediakan tahapan untuk membuat makalah tertulis seketikauntuk mengukur kemampuan teknis, visi dan gagasan calon jikaterpilih menjadi anggota KPU; (6) perlu membuka kesempatan publikuntuk menyampaikan masukan dan saran terhadap calon; dan (7)pada tahapan profile assisment Timsel dapat menggali lebih dalamterhadap rekam jejak (track record) calon dengan melakukanwawancara terbuka yang dapat diakses oleh publik.

4. Luaran Hasil Kinerja Seleksi di HuluLuaran hasil kinerja Timsel saat penentuan calon komisioner

yang akan diajukan Timsel kepada Presiden untuk dimintakanpersetujuan kepada Komisi II DPR, jumlah calon yang diloloskansejumlah kebutuhan komisioner KPU, yakni 7 orang. Ini dimaksudkanuntuk mengunci agar nama-mana yang lolos di tingkat KPU takmudah “dipolitisir” oleh DPR.

27 Agus Riewanto, “Menanti Kinerja KPUD dalam Pilkada Langsung”, dalam AriPradanawati, Pilkada Langsung Tradisi Baru Demokrasi Lokal, (Surakarta, Kompip, 2005),hlm. 225-232.

Page 167: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

146

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

E. Model Seleksi KPU, KPU Prop dan KPU Kab/Kota di HilirTahapan seleksi berikutnya adalah di Komisi II DPR. Tahapan

ini juga penting karena merupakan tahapan yang sangat menen-tukan hitam-putih komisiner KPU baik kualitas SDM maupunkualitas institusi KPU. Itulah sebabnya seleksi di DPR ini disebutseleksi di tahapan hilir.

1. Model Seleksi KPU RI di DPR RIModel seleksi di Komisi II DPR ini seharusnya bukan merupakan

seleksi yang berwujud uji kepatutan dan kelayakan (fit and propoertest), melainkan merupakan bentuk persetujuan dan konfirmasi sajadari proses seleksi yang dilakukan oleh Timsel KPU. Sebagaimanasaat DPR memilih hakim agung pada Mahkamah Agung (MA) yangtidak lagi melakukan uji kepatutan dan kelayakan melainkanpersetujuan. Ini merupakan amanat dari Putusan MK No. 27/PUU-XI/2013 tentang Pengujian UU No. 3 Tahun 2009 tentang MahkamahAgung terkait kewenangan DPR dalam seleksi hakim agung. MKmenyatakan makna “pemilihan” dalam Pasal 8 ayat (2), (3), dan (4)UU No. 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung diubah atau harusdibaca dengan makna “persetujuan”.28

Karena Putusan MK ini dapat dijadikan yurisprudensi dalammembentuk model seleksi di Komisi II DPR cukup persetujuan, yaknimencocokkan sejumlah dokumen yang dijadikan acuan oleh Timseldalam meloloskan calon komisioner KPU hingga ke tahapan di hilir.Maka Timsel saat mengajukan nama-nama yang lolos ke Presidendan DPR harus disertai lampiran dokumen tahapan yang mem-buktikan calon tersebut lolos di Timsel.

Pada tahapan di hilir ini perlu dicegah adanya uji kepatutan dankelayakan yang dilakukan Komisi II DPR melebihi apa yang telahdilakukan oleh Timsel. Sebab jika dibiarkan seperti lazimnya selamaini, maka yang terjadi adalah transaksi politik antara kelompok-kelompok dominan di Komisi II DPR dengan calon. Acapkali calonterbaik versi Timsel tak diloloskan oleh DPR hanya gara-gara ide dangagasan calon tak sesuai dengan misi partai dan golongan tertentu.

28 MK: DPR Hanya “Menyetujui” Calon Hakim Agung Putusan MK ini akan lebihmempermudah KY dalam menjaring CHA.” Dalam http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52cebf177b95d/mk-dpr-hanya-menyetujui-calon-hakim-agung, diakses pada 6Agustus 2015.

Page 168: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

147

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

Itulah sebabnya dalam tahapan ini hanya berbentuk konfirmasi saja.Uji kepatutan dan kelayakan di Komisi II DPR seharusnya hanyauntuk memilih 1 orang di antara 7 calon yang dajukan oleh Timseluntuk menjadi Ketua KPU. Seharusnya Ketua KPU tidak dipilih olehanggota KPU, akan tetapi dipilih oleh Komisi II DPR sebagaimanaseleksi Ketua KPK.

Pemilihan Ketua KPU oleh Komisi II DPR ini penting dilakukankarena fakta menunjukkan bahwa pemilihan Ketua KPU di semuatingkatan acapkali menimbulkan friksi antar anggota KPU yangberujung pada perseteruan yang relatif panjang antara komisionerKPU disebabkan karena perbedaan pandangan dan golongan yangdikhawatirkan dapat menganggu kinerja KPU. Akibat pemilihanKetua KPU biasanya komisioner KPU terbelah menjadi 2-3 golongan.Bahkan menurut Prof. Nazaruddin Syamsuddin (Ketua KPU RI 2001-2007), konflik di tubuh KPU yang berujung korupsi di KPU saat ituadalah adanya friksi di tubuh KPU akibat pemilihan ketua KPU RIyang relatif keras yang berujung pada terbelahnya dukungankomisioner KPU menjadi beberapa fraksi yang dapat menyeret ketubuh organisasi Kesekretariatan Jenderal KPU RI.29

Karena itu, pemilihan Ketua KPU oleh Komisi II DPR meru-pakan jalan tengah ketika Komisi II DPR tak lagi melakukan ujikepatutan dan kelayakan, lalu diberi konsesi untuk dapat memilihKetua KPU. Model ini juga sekaligus akan mengurangi friksi danfraksi di tubuh KPU.

2. Model Seleksi KPU Provinsi dari HuluModel seleksi komisioner KPU provinsi tidak jauh berbeda dengan

seleksi komisioner KPU RI. Dimulai dengan tahapan pembentukanAnggota Tim Seleksi Komisioner KPU provinsi. Untuk mencerminkanKPU bersifat nasional, maka pembentukan Timsel ini dilakukan olehKPU RI dengan cara membuka pendaftaran calom Timsel. KPU RIharus menetapkan kriteria dan syarat yang terkait dengan linieritaskeilmuan dan pengalamana menjadi penyelenggara Pemilu. Di titikini, KPU RI harus membuka informasi yang luas agar publik dantokoh-tokoh daerah dapat mendaftar menjadi anggota Timsel KPU.

29 Nazaruddin Sjamsuddin, 2009, Bukan Tanda jasa: Sebuah Otobiografi, (Jakarta, Enesce/Nine Seassons Communication, 2009), hlm.15-139.

Page 169: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

148

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

Perlu adanya keterbukaan dan partisipasi publik dalammenentukan Timsel ini. Salah satunya KPU RI membuka kesempatanpada publik untuk memberikan masukan dan saran terhadap calontim seleksi yang dinyatakan lolos administrasi oleh KPU RI. KPU RIdan Sekjen KPU RI harus melakukan uji kelayakan dan kepatutancalon anggota Timsel ini untuk mencerminkan keterbukaan makadilakukan uji secara terbuka. Ini juga dimaksudkan agar pengisianTimsel ini tidak didominasi oleh calon pesanan dari kelompok-kelompok tertentu.

Berikutnya Timsel yang telah dinyatakan lolos oleh KPU RI inimelakukan sejumlah tahapan untuk menghasilkan SDM KPUprovinsi yang mandiri, profesional dan berintegritas dengan tahapanantara lain: (1) membuka pendaftaran calon komisioner KPU provinsidan dengan mengirim surat tawaran pada tokoh-tokoh publik daerahyang berkompeten untuk ikut dalam seleksi; (2) melaksanakan semuatahapan yang dilakukan dalam seleksi seperti untuk seleksi KPU RIyang berbeda dalam tahapan menjawab soal tes tulis, psikologi danpemaparan makalah calon anggota KPU provinsi lebih bersifat teknisbukan konseptual.

3. Model Seleksi KPU Kabupaten/Kota di HuluModel seleksi KPU kabupaten/kota ini dimulai dengan pem-

bentukan Timsel oleh KPU provinsi dengan cara membuka pen-daftaran secara terbuka. Yang berbeda hanya KPU provinsi dapatmengirim surat kepada bupati/walikota, untuk diminta memberikannama-nama tokoh kabupaten/kota yang layak ikut seleksi menjadianggota Timsel KPU kabupaten/kota. Model ini perlu dilakukankarena realitanya tidak mudah mencari tokoh yang bersedia menjadianggota Timsel. Itulah sebabnya perlunya dukungan bupati/walikotauntuk mengusulkan calon Timsel alternatif. Adapun persyaratannyasama dengan anggota Timsel KPU RI dan KPU provinsi.

Sedangkan prosedur dan teknis kinerja Timsel KPU kabupaten/kota ini untuk menyeleksi komisioner KPU kabupaten/kota yangmandiri, professional, dan berintegritas, sama dengan model kerjaTimsel KPU RI dan KPU provinsi. Yang membedakan selain meng-utamakan calon yang punya pengalaman menjadi penyelenggaraPemilu juga linieritas keilmuan, karena itu syarat menjadi komisionerKPU kab/kota seharusnya juga berpendidikan Sarjana (S1) bukan SLTA.

Page 170: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

149

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

Perbedaan lainnya dalam melakukan uji tertulis dan psikologiharus lebih menekankan pada kemampuan teknis ketimbangkonseptor. Itulah sebabnya, tes menjawab soal-soal kePemiluan danpsikologinya lebih diutamakan kemampuan afeksi dan motorik bukankognisi. Pada uji pemaparan makalah, maka calon komisioner KPUjuga harus lebih diutamakan untuk melihat kemampuan teknisnya.Maka di titik ini perlu diadakan sesi untuk menguji kemampuanlapangan terkait dengan teknis Pemilu. Pada uji wawancara tahapakhir, Timsel seharusnya melakukan uji secara terbuka yang dapatdiakses publik.

4. Luaran Hasil Kinerja Seleksi KPU Prop dan KPU Kab/Kotadi HilirAdapun luaran hasil seleksi di hilir ini untuk KPU provinsi, yaitu

dalam tahapan meloloskan jumlah komisioner KPU provinsi untukdiajukan ke KPU RI, maka Timsel dapat meloloskan 5 orang sesuaikebutuhan KPU provinsi di tambah 2 orang untuk cadangan.Diperlukan cadangan hanya 2 orang karena supaya KPU RI dapatmemilih alternatif, selain itu untuk memberi jalan tengah dalam upayapendelegasian kewenangan antara Timsel dan KPU RI; dalam hal ini,Timsel dipercaya hasil kerjanya dan KPU diberi otoritas mencarialternatif lain.

Dalam uji kepatutan terhadap 7 orang calom komisioner KPUprovinsi ini, KPU RI harus melakukannya secara terbuka dantransparan yang dapat dilihat secara langsung oleh publik secara luas.Lalu KPU RI memilih 5 orang dan menyediakan 2 calon cadanganuntuk Penggantian Antar Waktu (PAW).

Pada uji penentuan akhir ini, KPU RI diberi otoritas untuk meng-uji dan memilih 1 di antara 5 komisioner KPU provinsi terpilih untukmenjadi Ketua KPU provinsi. Pilihan Ketua KPU provinsi ini olehKPU RI ini dimaksudkan agar tak terjadi friksi di tubuh KPU provinsikarena perbedaan antara komisioner dalam memilih Ketuanya.

Adapun luaran hasil kerja Timsel untuk KPU Kab/Kota, yaitusama dengan seleksi KPU provinsi, yakni Timsel hanya akanmengusulkan 5 orang calon ditambah dengan 2 cadangan untukdiproyeksikan sebagai komisiner PAW.

Page 171: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

150

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

Sedangakan, KPU provinsi dalam melakukan seleksi akhirpenentuan calon dilakukan dengan transparan dan terbuka yangdapat diakses oleh publik. KPU provinsi juga diberi otoritas untukmenguji dan memilih 1 di antara 5 calon untuk menjadi ketua KPUkabupaten/kota. Otoritas ini perlu diberikan pada KPU provinsi jugadimaksudkan agar tak terjadi friksi di tubuh KPU kabupaten/kotahanya karena perbedaan pandangan dalam memilih ketua yang dapatberakibat pada tak kondusifnya kinerja KPU kabupaten/kota.

F. Model Seleksi KPU, KPU Prop dan Kab/Kota BerkalaModel baru seleksi komisioner KPU harus dilakukan jabatan

secara berkala (staggered tenure system) untuk menjaga kesinambungankinerja organisasi KPU. Sebab fakta seleksi KPU tahun 2001 dan 2007yang tidak dilakukan secara berkala, berakibat pada kinerja KPU takefektif dan efisien. Di mana kala itu, tak ada satupun komisioner KPUyang tersisa untuk menjabat di masa berikutnya, karena takdiloloskan pada tahap seleksi di Timsel KPU.

Seharusnya, seleksi komisioner KPU dilakukan berkala, yaknimasing-masing 7 orang komisioner KPU RI dan 5 orang komisionerKPU provinsi dan KPU kab/kota seharusnya tidak memiliki masakerja yang sama, akan tetapi dapat berganti secara bergiliran sesuaimasa kerja masig-masing. Ini akan jauh lebih objektif dalam menjagakesinambungan organisasi KPU. Harus diakui dengan selalubergantinya semua komisioner KPU berarti setiap anggota baru harusmenyesuaikan diri terlebih dahulu ritme kerjanya dengan kerja KPU.Padahal KPU telah dikejar untuk menyelesaikan tahapan, programdan jadwal penyelenggaraan Pemilu.

Itulah sebabnya idealnya harus menyisakan 1-2 orang komisionerlama KPU agar mejadi referensi dan rujukan pada komisioner barudalam menyusun kebijakan strategis KPU di periode itu. Dengandemikian tidak semua komisioner baru sehingga mempersulit kerjaKPU. Paling tidak dibutuhkan waktu antara 6 bulan hingga 1 tahunmasa penyesuaian diri komisioner baru dengan kerja-kerja KPU.

G. Masa Kerja KPU RI, KPU Prop, KPU Kab/Kota Pemilu SerentakBerdasarkan Putusan MK.No.14/PUU-XI/2013 tentang Uji Materiil

UU No. 42/2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presidentanggal 23 Januari 2014 telah mengubah peta sirkulasi kekuasaan

Page 172: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

151

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

politik melalui Pemilu berubah dari Pemilu terpisah menjadi Pemiluserentak di Indonesia.

Putusan MK ini telah membawa implikasi perlunya meninjaukembali masa kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) di semua tingkatan.Karena Pemilu serentak akibat putusan MK ini akan diberlakukan,maka kelak Pemilu di Indonesia hanya akan berlangsung dua kalidalam 5 tahun, yaitu: Pemilu serentak untuk memilih presiden dan wakilpresiden dan Anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu serentakuntuk memilih kepala daerah (gubernur, bupati, dan walikota). 30

Maka konsekuensinya, pekerjaan KPU menjadi kian berat dalamtempo yang relatif singkat harus bekerja ekstra, namun dalam waktucukup lama kerja KPU menjadi tak banyak, hanya seputar rutinitasbirokrasi belaka yang dapat dilakukan oleh supporting system birokrasiKPU melalui Sekretariat KPU. Karena itu masa kerja 5 tahun menjaditerlalu lama. Di titik ini diperlukan gagasan untuk memperpendek(men-discount) masa kerja KPU 4 tahun untuk KPU RI dan 3 Tahununtuk KPU provinsi dan KPU kab/kota. Ini dimaksudkan untukmenghemat biaya penyelenggaraan Pemilu. Karena borosnyaanggaran Pemilu 60 persen di antaranya dipergunakan hanya untukmembayar honor penyelenggara Pemilu dari pusat hingga di daerah.

Momentum Pemilu serentak dengan masa kerja KPU yang hanya4 tahun dan 3 tahun ini harus diiringi dengan menata birokrasiSekretariat KPU agar lebih kredibel, profesional dan mampu menjadisupporting system dari kerja-kerja KPU. Sebab pada kenyataannya diKPU terdapat dua kamar yang kadang tidak sinkron dalam mengambilkebijakan, yaitu kamar pertama komisioner KPU dan kamar keduabirokrasi kesekjenan KPU. 31

Melalui penataan dan rekrutmen pegawai tetap KPU (PNS) bukanPNS Kemendagri dan Pemda Prop dan Pemda Kab/Kota, serta seleksiterbuka semua jabatan eselon di Sekretariat KPU menjadi urgen agarkian terbuka dan tak mudah diintervensi dan dikontrol oleh pemerintahyang sedang berkuasa. Dengan demikian yang perlu dilakukanreformasi model baru dalam seleksi bukan hanya di kamar pertamaKPU, akan tetapi juga di kamar kedua sekretariat jenderal KPU.

30 Agus Riwanto, “Implikasi Hukum Putusan MK Tentang Pemilu Serentak”, MediaIndonesia, 29 Januari 2015, hlm. 10.

31 Chusnul Mar’iyah, Politik Institusionalisasi Penyelenggara Pemilu di Indonesia:Studi Model Birokrasi Komisi Pemilihan Umum Pasca Reformasi, Dalam Abdy Ramses Mdan La Bakry (Editor), Politik dan Pemerintahan Indonesia, (Jakarta, MIPI, 2009), hlm. 238-280.

Page 173: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

152

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

Daftar Pustaka

Alfian, M. Alfan. 2009. “Otokritik Demokrasi Ekstra Liberal Pemilu2009”.Jurnal Negarawan, No.11 Tahun 2009. Jakarta: SekretariatNegara Republik Indonesia.

Alfred Stepan and Cindy Skach. 1993. “Constitutional Frameworkand Democratic Consolidation Parlementarism VersusPresidentialism” in Journal of World Politics, Vol.46 No.1, 1993.

Alim, Hifdzil. 2015. “Redesain Dana Partai dan Kampanye”, dalamSaldi Isra, dkk. 2015.Pemilihan Umum Serentak. Jakarta: PTRajawali Press.

Alkostra, Artidjo. 2010. Korupsi Politik Di Negara Modern. Yojakarta:FH UII Press.

Amal, Ichlasul. 2009. Menata Ulang Demokrasi: Dari Mana KitaMemulai?.Dalam Agus Pramusinto dan Wahyudi Kumorotomo,Governance Reform di Indonesia: Mencari Arah Kelembagaan Politikyang Demokratis dan Birokrasi yang Profesional. Yogjakarta: GavaMedia-MAP UGM.

Ambardi, Dodi. 2012. “Partai, Patronase, dan Politik Uang”. Kompas,21 Februari 2012.

Ames, Barry and Timothy J Power.2009. “Parties and Governability”.Dalam Paul Webb and Stephen White, (eds). 2009. Party Politicsin New Democracies, Oxford, USA: Oxford University Press.Sebagaimana dikutip oleh Ramlan Surbakti. 2010. “Sistem

Page 174: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

153

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

Pemilihan Umum Rentan Masalah” Benny D Setiono. 2003.Pergulatan Wacana HAM di Indonesia. Semarang: Mascom Media.

Anthonio, Jose, Adam Przeworski and Sebastian M.Saiegh. 2004.“Government Coalition and Legislative Success UnderPresidentialism and Parlementarism”, in British Journal ofPolitical Science, No.34, 2004.

Anto. 2013. Lima Cuitan Yusril setelah PBB Lolos Pemilu. Dikutipdari http://www.tempo.co/read/news/2013/03/18/078467744/Lima-Cuitan-Yusril-Setelah-PBB-Lolos-Pemilu-2014.

Arinanto, Satya. 2003.Hak Asasi Manusia dalam Transisi Politik diIndonesia.Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI.

Asshiddiqie, Jimly.1996. Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalamSejarah(Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara),Cet.1.Jakarta: UI-PRESS.

Assiddiqie, Jimly. 2007.Pokok-pokok Hukum Tata Negara Indonesia PascaReformasi.Buana Ilmu.

Assiddiqie, Jimly. 2010. “Dinamika Parpol dan Demokrasi”. Dikutipodari http://www.jimly.com/makalah/namafile/dinamika_partai_politik_.doc.Diakses pada tanggal 27 Okt 2011.

Assidiqie, Jimly. 2004.Format Kelembagaan Negara dan PergeseranKekuasaan dalam UUD 1945. Yogjakarta: FH UII Press.

Assidiqie,Jimly. 2005. Hukum Tata Negra dan Pilar-pilar Demokrasi.Jakarta: Konpress.

Assidiqqie, Jimly. 2005.Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia. Jakarta:Konstitusi Press.

Asy’ari, Hasyim. 2007. “Sistem Pemilu Ramah Perempuan: SebuahGagasan” Makalah disampaikan dalam Seminar tentang“Pendidikan Politik Bagi Perempuan” diselenggarakan olehKantor Kesatuan Bangsa dan Perlindungan Masyarakat(Kesbanglinmas) Kabupaten Pati, di Hotel Gitrary Perdana, Patipada 30 April 2007.

Awaluddin, Hamid. 2003. “Urgensi Deklarasi Universal HAM”.Kompas, 10 Desember 2003.

Azhari, Aidul Fitriciada. 2014. Rekonstruksi Tradisi Bernegara dalamUUD 1945.Yogjakarta: Genta Publising.

Page 175: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

154

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

Backer, Larry Cata. 2007. Harmonizing Law in an Era of Globalization,Convergence, Divergence and Resistance. USA: Carolina AcademicPress.

Badudu, Ananda. 2013. Akhirnya Partai Sutiyoso Lolos kePemilu.Dikutip dari http://www.tempo.co/read/news/2013/03/25/078469198/Akhirnya-Partai-Sutiyoso-Lolos-ke-Pemilu-2014.http://nasional.kompas.com/read/2013/02/07/01564887/PKPI.Lolos.Sengketa.

Badudu, Ananda. 2013. Inilah Nomor Urut Partai Peserta Pemilu 2014.Dikutip dari http://www.tempo.co/read/news/2013/01/14/078454285/Inilah-Nomor-Urut-Partai-Peserta-Pemilu-2014.

Baradat, Leon P. 1972. Contemporary Political Ideologies. Homewood, III:Dorsey Press.

Biezen, Inggrid van. 2003.Financing Political Parties and Election CampignGuidelines. Germany: Council of Europe Publishing.

Bille, Lars. 2011. “Democratizing and Democratic Procedure: Mythor Reality, Candidate Selection in Western Europe Parties, 1960-1990” in Journal of Party Politics, Vol. 7.No.3.

Budiaardjo,Mirriam. 2010, Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PTGramedia.

Cheibub, Jose Antonio, Adam Przeworzki, and Sebastian M. Saiegh.2004. “Government Coalitions and Legislative Success UnderPresidentialism and Parliamentarism”. Dalam British Journal ofPolitical Science, No. 34.

Cheilbub, Jose Antonio. 2002. “Minority Government, DeadlockSituations and The Survival at Presidential Democracies”, inComparative Political Studies Journal, Vol.35 No.284, 2002.

Cox, Gary W and Mathew D. McCubbins. 2005. Setting the Agenda:Responsible Party Government in the U.S. House of Representatives.New York: Cambridge University Press

Croissant, Aurel and Wolfgang Merkel. Tanpa Tahun. Political PartyFormation in Presidential, dikutip dari in http://library.fes.de/pdf-files/bueros/philippinen/50072.pdf, hal, 4 diakses pada tanggal, 13Juli 2016.

Page 176: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

155

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

Croissant, Aurel. 2002.”Intruduction” in Electoral politics in Southeast& East Asia, (Ed): Aurel Croissant. Singapore: Friedrich-Ebert-Stiftung, Office for Regional Co-operation in Southeast Asia.

Croissant, Aurel. 2002. Election Politics in Southeast and East Asia.Singapore: Fredrich-Ebert-Stiftung.

Dahl, Robert A. 1992.Demokrasi dan Para Pengkritiknya.Jakarta: YayasanObor.

Daimond, Larry. 2010. “Indonesia’s Place in Global Democracy”. InEdward Aspinall and Marcus Mietzner (editors). 2010. Problemof Democratization in Indonesia, Election, Institutions, and Society.Singapore: Institute of South East Asian Studies.

Danujaya, Budiarto. 2007. “Reideologi Politik”. Kompas, 25 Juni 2007.Darwis, Fernita. 2009. Pemilihan Spekulatif, Mengungkap Fakta Seputar

Pemilu 2009. Bandung: PT. Alfabeta.Djiwandono, J Sudjati. 2002. Krisis Kepemimpinan, dalam Riz Sihbudi

dan Moch. Nurhasim, (editor). 2002.Amandemen Konstitusi danStrategi Penyelesaian Krisis Politik Indonesia. Jakarta: PP AIPI danPartnership for Governnance Reform in Indonesia.

Dwidjowijoto,RiantNugroho. 2001.Reinventing Indonesia, (Jakarta: ElexMedia, 2001).

Dwipayana, Ari. 2014. “Reformasi Pemiayaan Partai PemetaanMasalah dan Agenda Aksi Antikorupsi di Sektor Politik”.Makalahdisampaikan dalam 4th Indonesia Anticorruption Forum, diHotel Double Tree, Jakarta pada tanggal 14-16 Juni 2014.

Effendi, Sofian. 2004. “Sistem Pemerintahan Negara Kekeluargaan”.Makalah, Disampaikan dalam Orasi Ilmiah Dies natalis Ke 18Universitas Wangsa Manggala, Yogjakarta, bertema: “RevitalisasiNilai Luhur Budaya Bangsa Sebagai Landasan Jati Diri BangsaIndonesia, pada tanggal 9 Oktober.

Elklit, Jorgen.1999. Electoral Institutional Change and DemocraticTransition, in Democratization Journal No.6 Vol.4.

Endra, Ilham. 2009. “Sistem Pemerintahan”. Dikutip dari http://ilhamendra.wordpress.com/2009/03/12/sistem-pemerintahan/. Diaksespada tanggal, 21/11/2010.

Page 177: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

156

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

Fajar, A. Mukhtie. Tanpa Tahun. “Mahkamah Konstitusi SebagaiPengawal dan Penafsir Konstitusi: Masalah dan Tantangan”dalam Sirajuddin (Penyunting), Konstitusionalisme Demokrasi,Sebuah Diskursus tentang Pemilu, Otonomi Daerah dan MahkamahKonstitusi, Sebuah Kado untuk “Sang Pengembala” Prof.A.MukthieFajar, SH., MS. Malang: In-Trans.

Fariz, Donal. 2015. “Manipulasi Dana Kampanye Dalam Pemilu”,dalam Saldi Isra, dkk. 2015.Pemilihan Umum Serentak.Jakarta: PTRajawali Press.

Fatkhurohman. 2010. Pembubaran Partai Politik di Indonesia, TinjauanHistoris Normatif Pembubaran Partai Politik sebelum dan SesudahTerbentuknya Mahkamah Konstitusi. Malang: Setara Press.

Feith,Herbert. 1999. Pemilihan Umum 1955 di Indonesia. Jakarta:Gramedia.

Ferara, Federico. 2005. Mixed Electoral System: Contamination and It’sConsequences. New York: Palgrave Macmilan.

Fitriyah. 2002.Strategi Penyelesaian Krisis Kepemimpinan Sipil di Indonesia,dalam Riz Sihbudi dan Moch. Nurhasim, (editor). 2002. AmandemenKonstitusi dan Strategi Penyelesaian Krisis Politik Indonesia. Jakarta:PP AIPI dan Partnership for Governnance Reform in Indonesia.

Gaffar, Afan. 2002. “Amandemen UUD 1945 dan Implikasinyaterhadap Perubahan Kelembagaan” dalam Riza Sihbudi (eds),Amandemen Konstitusi dan Strategi Penyelesaian Krisis-Politik.Jakarta: PP.AIPI.

Gaffar, Affan. 2006. Politik Indonesia Transisi Menuju Demokrasi.Yogjakarta: Pustaka Pelajar.

Gumay, Hadar dkk. 2011. Laporan Kajian Undang-Undang Pemilu: SebuahRekomendasi terhadap Revisi Undang-Undang No. 10 tahun 2008tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi dan DPRDKabupaten/Kota. Jakarta: Cetro.

Haggard, Stephan, Mathew D. McCubbins, and Matthew SobergShugart. 2001. “Policy Making in Presidential Systems”. InPresidents, Parliaments, and Policy.Ed. by Stephan Haggard andMathew D. McCubbins. Cambridge: Cambridge University Press.

Page 178: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

157

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

Hamidi, Jazim dan Mustafa Lutfi. 2010. Civic Education AntaraRealitas Politik dan Implimentasi Hukumnya. Jakarta: PT GramediaPustaka Utama.

Hara,A. E. 2000. “The Difficult Journey of Democratization in Indo-nesia”, in Journal Contemporary Southeast Asia, Vol. 23. 2, August.

Haris, Syamsuddin. 2006. “Demokratisasi Partai dan Dilema SistemKepartaian di Indonesia” dalam Jurnal Penelitian Politik, Vol.3, No.1.Jakarta: LIPI.

Haris,Syamsuddin. 2008. “Presidensial Cita Rasa Parlementer”.Kompas, 28 November.

Haris, Syamsuddin. 2009. “Pilpres dan Problem Presidensial”.Kompas,22 Mei 2009.

Haris,Syamsudin. 2005. “Proses Pencalonan Legislatif Loka: Pola,Kecenderungan dan Profil Caleg”. Dalam Syamsudin Haris,(eds), Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai: Proses Nominasidan Seleksi Caleg Pemilu 2004. Jakarta: Gramedia.

Haris, Syamsudin. 2005. “Proses Pencalonan Legislatif Loka: Pola,Kecenderungan dan Profil Caleg”. Dalam Syamsudin Haris,(eds). 2005.Pemilu Langsung di Tengah Oligarki Partai: ProsesNominasi dan seleksi Caleg Pemilu 2004. Jakarta: Gramedia.

Harjanto, Nico. 2006. “Sistem Pemilihan Umum Campuran”, dalamIndra J. Pilliang. 2006. Disain Baru Sistem Politik Indonesia.Jakarta: CSIS.

Haryatmoko.2003. Etika Politik dan Kekuasaan. Jakarta: Penerbit BukuKompas.

Hatta,Muhammad. 1977. “Ke Arah Indonesia Merdeka”, dalam MiriamBudiardjo (ed),Masalah Kenegaraan. Jakarta: Gramedia.

Hendardi. 2008. “Presidensial atau Parlementer”. Kompas, 9 April 2008.Hendratno, Edie Toet. 2009. Negara Kesatuan, Desentralisasi dan

Federalisme. Yogjakarta: Graha Ilmu.http://en.wikipedia.org/wiki/Political_corruption.http://indonesia-baru.liputan6.com/read/2062241/anies-rakyat-iuran-

sampai-rp-40-m-karena-percaya-jokowi-jk.http://www.rumahpemilu.org/in/read/639/Daftar-Parpol-yang-Lolos-

dan-Tidak-Lolos-Verifikasi-Administrasi-Calon-Peserta-Pemilu-2014.

Page 179: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

158

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

Huda,Ni’matul.2007. Lembaga Negara dalam Transisi Demokrasi.Yogyakarta: UII Press.

Huda, Ni’matul. 2010.Hukum Tata Negara. Jakarta: Rajawali Press.Huda, Ni’matul. 2010. UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang.

Jakarta: PT Rajawali Press.Huda, Ni’matul. 2011.Dinamika Ketatanegaraan Indonesia dalam Putusan

Mahkamah Konstitusi. Yogjakarta: FH UII Press.Idjehar, Muh. Budairi. 2003. HAM Versus Kapitalisme. Yogjakarta: Insist.Ina, dkk. 2013. PBB Lolos jadi Peserta Pemilu 2014. Dikutip dari http:/

/nasional.kompas.com/read/2013/03/19/03003154/PBB.Lolos.Jadi.Peserta.Pemilu.2014.

Indrayana, Denny. 2008. Negara Antara Ada dan Tiada, Reformasi HukumKetatanegaraan. Jakarta: PT Kompas Media Nusantara.

Indrayana, Denny. 2012. “Sistem Presidensial Yang Adil danDemokratis”, Naskah Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar padafakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Diucapkan di depanRapat Terbuka majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada padatanggal 6 Februari 2012 di Yogjakarta.

Isra, Saldi .2009. “Pemilihan Presiden Langsung dan ProblematikKoalisi dalam Sistem Presidensial”. Dalam Jurnal Konstitusi, Vol.II, No. 1, Juni. Jakarta: Mahkmah Konstitusi Bekerjasama denganPusat Studi Konstitusi (Pusako) FH Universitas Andalas.

Isra, Saldi. 2009. Kekuasaan dan Prilaku Korupsi. Jakarta: PT KompasMedia Nusantara.

J, Kristiadi. 2008. “Politik Hukum dan Koalisi Parpol”. MakalahDisampaikan dalam Seminar Nasional dan Temu HukumNasional IX yang Diselenggarakan oleh Badan PembinaanHukum Nasional (BPHN) pada Tanggal 20-21 November 2008,di Yogyakarta.

J.A,Danny. 2002. “Konsekuensi Undang-Undang Politik”.Kompas, 24April 2002.

Junaidi, Veri dkk. 2011.Anomali Keuangan Partai Politik, Penganturan danPraktek. Jakarta: Kemitraan Bagi Pembaruan Tata Pemerintahaan.

Karim,Abdul Gafar.2007. Kabinet Bayangan, dalam, dikutip dari http://agkarim.staff.ugm.ac.id/2007/09/26/kabinet-bayangan/. Diakses padatanggal, 15 Juli 2016.

Page 180: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

159

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

Kesowo, Bambang. 2010. “Kemangkusan Pemerintah”. Kompas, 19Januari 2010.

Kusuma, R.M. AB. 2004. Lahirnya Undang-Undang Dasar 1945.Jakarta:Badan Penerbit FH UI.

Lawrence, Chris and Jenifer Haye. 2000. “Regime Stability andPresidential Government: A Preliminary Analysis”. PaperPresented at the 72nd Annual Meeting at The Southern PoliticalScience Association, Georgia, Atlanta, 8-11 November.

Lay, Cornalis. 2006. “State Auxilary Agencies”, dalam Jurnal HukumJentera, Edisi 12-Tahun III, April-Juni 2006.

Legowo, T.A. 2008, “Pemilu 2009, Konsolidasi Demokrasi DanPerwakilan Politik”.Makalah Disampaikan dalam SeminarNasional AIPI ke XXI bertema “Masalah Kepemimpinan,Demokratis dan Kebangsaan di Indonesia”, Di selenggarakanoleh AIPI di Makasar pada tanggal 11-12 November.

Lev, Daniel S. Tanpa Tahun.”Partai-Partai di Indonesia Pada MasaDemokrasi Parlementer (1950-1957) dan Demokrasi Terpimpin(1957-1965)”, dalam Ichasul Amal, (Eds). 1988. Teori-teori MuthakirPartai-partai. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Lijphart, Arend. 1999. Pattern of Democracy, Government Form andPerformance in Thirthy-Six Countries. New Haven and London:Yale University Press.

Linz, Juan J. 1992, “The Perils of Presidentialism” dalam Arend Lijphart(eds), Parliamentary Versus Presidential Government. Oxford:Oxford University Press.

Linz, Juan J. 1994. “Presidential or parliamentary: Does It a Difference?.In Juan J. Linz and Arturo Valenzuela (eds), The Failure PresidentialDemocracy. Baltimore: John Hopkins University Press.

Linz, Juan J. 1997.”Presidentialism, and Democracy: A CriticalAppraisal”, in Comparative Politics, Vol. 29, No 4 July.

Linz, Juan J. Tanpa Tahun. “The Virtue of Parliamentary”, Journal ofDemocracy I (4).

Mahmuzar. 2010.Sistem Pemerintahan Indonesia Menurut UUD 1945Sebelum dan Sesudah Amandemen. Bandung: Nusamedia-UINSuska.

Page 181: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

160

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

Mainwaring, Scott & Anibal Perez-Linan. 1997.Party Discipline in theBrazilian Constitutional Congress, Working Paper 235; ScottMaiwaring, 1992, Dilemmas of Multiparty Presidential Democracy:The Case of Brazil, Working Paper 174.

Mainwaring, Scott and Matthew Sobergh Shugart.1997.PresidensialismDemocracy in Latin America.Cambridge University Press.

Mainwaring,Scott. 1990.Politician, Parties and Electoral System: Brazil inComparativePerspectives, Working Paper 141.

Mainwaring,Scott. 1992. “Presidentialism in Latin America”.DalamArend Lijphart (edit.), 1992, Parliamentary Versus PresidensialGovernment.Oxford University Press.

Mainwaring,Scott. 1992. “Presidentialism in Latin Amerika”.In ArendLijphart (editors), Parliamentary Versus Presidential Government.Oxford University Press

Mainwaring, Scott. 1993. “Presidentialism, Multipartism, andDemocracy: the Difficult Combination”, dalam Journal ofComparative Political Studies, Vol. 26, No. 2, hal. 200.

Mainwaring,Scott. 1993. “Presidentialism, Multipartism, andDemocracy: The Difficult Combination, in Comparative PoliticalStudies Journal, Vol, 26 No.2 July.

Mar’iyah, Chusnul. 2009. Politik Institusionalisasi PenyelenggaraPemilu di Indonesia: Studi Model Birokrasi Komisi PemilihanUmum Pasca Reformasi, Dalam Abdy Ramses M dan La Bakry(Editor). Politik dan Pemerintahan Indonesia. Jakarta: MIP.

Marcus Mietzner, 2008, “Soldier, Parties and Bureaucrats: IllicitFundrising in Contamporary Indonesia”, in South East AsiaResearch, Vol.16 (2).

Mariana, Dede. 2008. “Partisipasi Publik dan Budaya Politik Pemilihdalam Pilpres 2009”. Makalah Disampaikan dalam SeminarNasional XXII, Diselenggarakan oleh AIPI di Banjarmasin padaTanggal, 15-16 April.

Marijan, Kacung. 2008. “Partisipasi Publik, Budaya Politik Pemilih,dan Demokrasi di Indonesia”. Makalah Disampaikan dalamSeminar Nasional XXII, Diselenggarakan oleh AIPI diBanjarmasin pada Tanggal, 15-16 April.

Page 182: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

161

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

Marijan, Kacung. 2010. “Bangunan Koalisi SBY Rapuh”. dalam JawaPos, 4 Januari.

Marsh, David and Gerry Stoker (ed). 1995. Theory and Methods In PoliticalScience. Hampshire and London: Macmillan Press Ltd,.

Marsh, M. 2002. “Electoral Context”.In Electoral Studies Journal, No.21.MD, M. Mahfud. 2010. Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi.

Jakarta: Rajawali Press.MD,Moh.Mahfud. 2000.Dasar dan Struktur Ketatanegaraan Indonesia.

Jakarta: Rineka Cipta.Mertokusumo, Sudikno.1996. Sudikno Mertokusumo, Penemuaan

HukumSebuah Pengantar.Yogyakarta: Liberty.Michael G. Miller.2014.Subsidizing Democracy: How Public Funding Changes

Elections, and How it Can Work in the Future. Cornell University Press.Mietzner, Marcus. 2009. “Indonesia’s 2009 Election: Populism, Dynasties,

and The Consolidated of the Party System, Analysis”. Paper.LowyInstitute for International Policy, Sydney, May, hal, 19.

Mitzner, Marcus and Edward Aspinall. 2010. “Problem of Democrati-zation In Indonesia: An Overview”. Dalam Marcus Mitzner andEdward Aspinall, (Editors), Problem of Democratization in Indone-sia Election, Institution and Society. Singapore: ISEAS.

Morlino, Leonardo. “Democratic Consolidation and DemocraticTheory” Paper prepared for the conference “Problems of DemocraticConsolidation: (Spain and The New Southern Europe”, BadHumburg, Germany, 18989).

Muhtadi, Burhanuddin. 2013. Perang Bintang 2014, Konstelasi dan PrediksiPemilu dan Pilpres Jakarta: Noura Books.

Mulyono,Kasan. Belajar Galang Dana Kampanye Ala Obama, dikutipdarihttp://www.kompasiana.com/kasanmulyono/belajar-galang-dana-kampanye-ala-obama_552072dd813311607419f7e7.Diakses padatanggal, 15 Juli 2016.

Nazaruddin Sjamsuddin. 2009. Bukan Tanda jasa: Sebuah Otobiografi.Jakarta: Enesce/ Nine Seasons Communication, 2009).

Noor, Firman. 2012. “Demokrasi Yes, Parpol No”. Koran Sindo, 12Oktober 2012.

Page 183: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

162

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

Norris, Pippa. 2007. “Choosing Electoral System: Proportional, Majoritarianand Mixed System”, in International Political Science Review,Vol.18, No.3.

Nurhasim, Moch. 2009. “Pemilu 2009, Perubahan Peta Politik danMasalah Keterwakilan Politik” dalam Hamdar Basyar danFredyBL. Tobing (cditor). 2009. Kepemimpinan Nasional, Demokratis danTantangan Global. Yogjakarta: AIPI-Pustaka Pelajar.

Pamungkas, Sigit. 2008. “Korupsi dan Politikus”.Kompas, 7 Agustus.Pamungkas, Sigit.2008. “Korupsi dan Politikus”.Kompas, 7 Agustus.Pamungkas, Sigit. 2010.Pemilihan Umum, Perilaku Pemilih dan Kepartaian.

Yogyakarta: IDW.Pamungkas, Sigit. 2010. Pemilu Perilaku Pemilih dan Kepartaian.

Yogjakarta: IDW.Pamungkas, Sigit. Partai Politik Teori dan Praktek di Indonesia.Yogjakarta:

Institute for Democracy and Welfarianism.Payne, Mark, J. Daniel Zovatto, and Mercedes Mateo Diaz. 2007.

Democracies in Development: Politics and Reform in Latin America.Washington D.C.: The Inter-American Development Bank,and the International Institute for Democracy and ElectoralAssistance, and the David Rockefeller Center for Latin AmericanStudies, Harvard University Press.

Pilliang, Indra J. 2006. “Partai Lokal untuk Republik Kelima”. DalamIndra J.Pilliang dan T.A Legowo. 2006.Desain Baru Sistem PolitikIndonesia. Jakarta: CSIS.

Pintor, Rafael Lopez. 2000.Electoral Management Bodies as Institutions ofGovernance. New York: United Nations Development Program.

Poerbopranoto, Koentjoro. 1987. Sistem Pemerintahan Demokrasi.Bandung: Eresco.

Prasetijo dan Sri Priyanti. 2010. Membangun Ilmu Hukum MazhabPancasila, dalam Satya Arinanto, dkk (editor) Memahami HukumDari Konstruksi Sampai Implementasi. Jakarta: Rajawali Press.

Pratikno. 2009. “Rekonsolidasi Reformasi Indonesia, KontribusiStudi Politik dan Pemerintahan dalam Menopang Demokrasidan Pemerintahan Efektif” Pidato Pengukuhan Guru BesarFakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM YogjakartaDiucapkan tanggal, 21 Desember.

Page 184: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

163

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

Pribadi, Airlanga. 2010. “Menghadang Patronase Politik”, Kompas,22 Mei.

Prihatmoko, Joko. J. 2008. Mendemokratiskan Pemilu dari Sistem SampaiElemen Teknis. Yogjakarta: Pustaka Pelajar.

Priyono, Herry B. 2016. “Momen Para Relawan”.Kompas, 16 Mei 2016.Przeworski, Adam, et al. 1994. “What Make Democracy Endure?” in

Larry Diamond, Marc F Plattner (eds) Concolidating in The ThirdWave Democracies. Baltimore: John Hopkins University Press.

Qodari, M. 2010. “The professionalization of Politics: The GrowingRole of Polling Organizations and Political Consultants”. In Ed-ward Aspine (eds). 2010. Problems of Democratization in Indonesia,Elections,Institutions and Society. Singapore: ISAS.

R, R. Ferdian Andi. 2016. “Mengatur Relawan Politik”. Republika, 29Maret 2016.

Rae, Daouglas. 1976.The Political Consequense at Electoral Laws. NewHaven: Yale University Press

Rahardjo, Satjipto.2005. “Hak Asasi Manusia dalam Masyarakatnya”.Dalam Muladi (eds) Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsep danImplikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat. Bandung:Refika Aditama.

Rahardjo, Satjipto. 2006. Ilmu Hukum. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti.Randall, Vicky dan Lars Svasand. 2002. “Party Institutionalization

in New Democracies”.In Party Politics Journal, Vol.8 No.1.Reisinger, William M. 2004.”Selected Definitions of Democracy”.

Sebagaimana dikutip oleh Suyatno.2004.Menjelajahi Demokrasi.Yogjakarta: Liebe Book Press.

Revianur, Aditya. 2012. Bawaslu Desak DKPP Periksa 7 KomisionerKPU.Dikutip dari http://internasional.kompas.com/read/2012/11/05/22353689/Bawaslu.Desak.DKPP.Periksa.7.Komisioner.KPU.

Rieken, William H.1962.The Theory at Political Coalitions. New Haven:Yale University Press.

Riewanto, Agus. 2005.”Menanti Kinerja KPUD dalam PilkadaLangsung”, dalam Ari Pradanawati, Pilkada Langsung Tradisi BaruDemokrasi Lokal.Surakarta: Kompip.

Page 185: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

164

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

Riewanto, Agus. 2010. “Pilkada Biang Korupsi”.Suara Merdeka, 16Agustus.

Riewanto, Agus. 2011. “Mafia Pemilu dan Legitimasi Pemilu 2009”.Media Indonesia, 14 Juli.

Riewanto,Agus.2012. “Memotong Mata Rantai Korupsi di Birokrasidan Partai Poitik”. Media Indonesia, 7 Desember.

Riewanto, Agus. 2014. “Menyoal Kecurangan Pemilu”.Republika, 30April.

Riewanto, Agus.2014. “Menyoal Kecurangan Pemilu”. Republika, 30April.

Riewanto,Agus. 2014. “Parpol Biang Korupsi Sistemik”.Koran Jakarta,9 Desember.

Riewanto, Agus. 2014. “Penegakan Hukum Kecurangan Pemilu 2014”.Media Indonesia, 22 April.

Riwanto, Agus. “Alergi Impeachment Presiden”.Suara Merdeka, 28Januari.

Riwanto, Agus. “Rumitnya Memakzulkan Presiden”. Suara Pembaharuan,4 Januari.

Riwanto, Agus. 2008. Mencermati Kinerja Kepala Daerah Pasca PilkadaLangsung dalam Mengendalikan Pemerintah Daerah danMenjamin Mensejahterakan Rakyat, Upaya Mencari SebabBuruknya Kinerja dan Tawaran Solusi, dalam Jurnal Unisia, Vol31, No 68. Yogjakarta: UII.

Riwanto, Agus.2014. “Penegakan Hukum dan Kecurangan Pemilu2014”. Media Indonesia, 24 April.

Riwanto, Agus. 2014.Implikasi Hukum Putusan MK tentang PemiluSerentak. Media Indonesia, 31 Januari.

Riwanto, Agus. 2015. “Implikasi Hukum Putusan MK tentang PemiluSerentak”. Media Indonesia, 29 Januari.

Robert Adhi Ksp (ed). 2011.Pentingnya Akuntabilitas Pengeloaan keunaganparpol.Dikutip dari http://nasional.kompas.com/read/2011/08/25/20291287/Penting.Akuntabilitas.Pengelolaan.Keuangan.Parpol, diaksespada tanggal, 15 Juli 2016.

Page 186: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

165

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

Romli, Lili. 2002. “Memantapkan Sistem Pemerintahan: Salah Satustrategi Mengatasi Krisis Politik di Indonesia”. Dalam Riza SihBudi dan Moch. Nurhasim, Amandemen Konstitusi dan StrategiPenyelesaian Krisis Politik Indonesia. Jakarta: AIPI.

Rossiter, Clinton. 1960. Parties and Politics in America. Ithaca, N.Y.:Cornell University Press.

Santoso, Topo dan Didik Supriyanto. 2004. Mengawasi Pemilu MengawalDemokrasi. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Sartori, Geovanni. 1976.Parties and Party System, A Framework forAnalysis. Cambridge: Cambridge University Press.

Schmidt, Adam. 2010. “Indonesia’s Election: Performance Challengersand Negative Precedent”, in Edward Aspinall and MarcusMietzner,(eds), 2010, Problems of Democratization in Indonesia,Election, Institutions, and Society. Singapore: ISEAS.

Schuller, Andreas. 1995. “Under-and Overinstitutionalization: SomeIdeal Typical Proposition Concerning New and Old PartySystem”, Working Paper # 213-March.

Sekretariat Jenderal DPR RI. 2008.RisalahPendapat Akhir Fraksi DemokratDPR RI dalam Pembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusanterhadap Terhadap Rancangan Undang-undang Pemilihan Umum DPR,DPD dan DPRD. Jakarta: Setjen DPR RI.

Setiono, Benny D. 2003. Pergulatan Wacana HAM di Indonesia. Semarang:Mascom Media.

Setiyadi,Wicipto. 2011. “Peran Parpol Dalam Penyelenggaraan Pemiluyang Aspiratif dan Demokratis”.Dikutip darihttp://www.djbp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/507-peran-partai-politik-dalam-penyelenggaraan-pemilu-yang-aspiratif-demokratis-html.Diakses padatanggal 12 September 2011.

Sherlock, Stephen. 2010. “The Parliament In Indonesia’s Decade ofDemocracy: People’s Forum or Chamber of Cronies”, in EdwardAspinall and Marcus Mietzner, (eds). 2010.Problems ofDemocratisation in Indonesia, Elections, Institutions and Society.Singapore: ISEAS.

Shugart, Mattew Soberg and John M Carey. 1992. Presidents andAssemblies: Constitutional Design and Electoral Dynamic, New York:Cambridge University Press.

Page 187: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

166

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

Stepan, Alfred and Cindy Skach. 1994. “Presidential and Parliamentaryin Comparative Perspective” in Juan J.Linz and ArturoValenzuela (eds), The Failure Presidential Democracy. Baltimore: JohnHopkins University Press.

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R & D.Bandung: PT. Alfabeta.

Sulistyo, Hermawan. 1999. “Electoral Politics In Indonesia and HardWay to Democracy”, In Electoral Politics In Southeast and East AsiaJournal, Vol. 5I, No.2.

Supriyanto, Didik. 2015. “Besaran Bantuan Partai Politik”.Kompas,19 Maret.

Supriyanto, Didik. 2015. Besaran Bantuan Partai Politik.Kompas, 19Maret.

Surbakti, Ramlan. 2005. Pilkada Langsung adalah Pemilu.Surakarta:Kompip.

Surbakti,Ramlan. 2008.Rekayasaan Sistem Pemilu untuk PembangunanTata Politik Demokratis. Jakarta: Partership Governance ReformIndonesia.

Surbakti, Ramlan. 2008.Rekayasaan Sistem Pemilu untuk PembangunanTata Politik Demokratis. Jakarta: Partership Governance ReformIndonesia.

Surbakti, Ramlan. 2015. “Dana Publik Untuk Parpol”. Kompas, 2 April.Surbakti,Ramlan.2009. “Perkembangan Parpol Indonesia” dalam

Andy Ramses M, (eds). 2009.Politik dan Pemerintahan Indonesia.Jakarta: MIPI.

Sutiyoso, Bambang. 2006. Metode Penemuan Hukum Upaya MewujudkanHukum yang Pasti dan Berkeadilan. Yogyakarta: UII Press.

Syawawi, Reza. 2013. “Barometer Korupsi Indonesia”. Kompas, 24 Juli.Syawawi, Reza. 2015.Memperkuat Akuntabilitas Pendanaan Politik,

dalam Saldi Isra, dkk. 2015.Pemilihan Umum Serentak. Jakarta:PTRajawali Press.

Tagepera, Rein and Matthew Soberg Shugart.1989.Seats and Votes.NewHaven: Yale University Press.

Tim Penyusun Kamus. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia, PusatPembinaan dan Pegembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa In-donesia, Edisi II, Cetakan ke Tujuh. Jakarta: Balai Pustaka.

Page 188: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

167

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

Tim Pusat Kajian Politik. 2008.Kerangka Penguatan Parpol diIndonesia.Jakarta: FISIP UI.

Tjandra, W. Riawan dan Mery Cristian Putri. 2015. “PendanaanKampanye: Antara Demokrasi dan Kriminalisasi”. Dalam SaldiIsra, dkk. 2015.Pemilihan Umum Serentak.Jakarta: PT Rajawali Press.

Tomsa, Dirk. 2010. “The Indonesian Party System After the 2009Election: Towards Stability”, in Edward Aspinall and MarcussMietzner, (eds), 2010. Problems of Democratisation in Indonesia,Elections, Institutions and Society. Singapore: ISEAS.

Verney, Douglas V. 1979. “Parlementary Government and PresidentialGovernment” in Arend Lijphard (eds). 1992. Palementary VersusPresidential Government. Oxford University Press.

Wall, Alan. 2008. Engineering Electoral Systems: Problems and Possibilitiesand Pitfalls. Den Haag: NIMD Knowledge.

Whitford, Andrew B. and Soo-Young Lee. 2008. “The Efficiency AndInefficiency of Democracy In Making Governments Effective:Cross-National Evidence”, Paper Presented at The AnnualMeeting of American Political Science Association, Toronto,Ontario, Canada.

Winters, Jeffrey A. 2010.Oligarchy. Oxford: Cambridge University Press.Wiranata, I Gede Arya B.2005. “Hak Asasi (Anak) dalam Realitas Quo

Vadis?. Dalam Muladi (eds) Hak Asasi Manusia, Hakekat, Konsepdan Implikasinya dalam Perspektif Hukum dan Masyarakat.Bandung: Refika Aditama.

Yossihira, Anita, dkk,. 2011. “Parpol Tanpa Ideologi, MenaruhHarapan Pada Parpol”, Kompas, 25 Oktober.

Zuhdi, Ibrahim dan Fahmi Badoh. 2009. Pendanaan Politik dalam Pemiludan Korupsi. Jakarta: Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indo-nesia (MIPI).

__________. 2007. Pengantar Dasar Partai Politik dan Demokrasi.Dikutipdari http://mediappr.wordpress.com/2007/09/13/pengantar-dasar-partai-politik-dan-demokrasi/.Diakses pada 23 Maret 2011.

__________. 2008. RisalahPendapat Akhir Fraksi Golkar DPR RI DalamPembicaraan Tingkat II/Pengambilan Keputusan terhadap TerhadapRancangan Undang-undang Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD,Jakarta: Setjen DPR RI.

Page 189: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

168

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...

__________. 2011.”Masyarakat Kian Permisif Korupsi”.Kompas, 15Juli 2011.

__________. 2011. “Negara Mengarah Kleptokrasi”. Kompas, 14 Juni2011.

__________. 2011. “Parpol Perlu Di Evaluasi”. Kompas, 22 Juli 2011.__________. 2012. “Kompromi Partai Besar”. Kompas, 5 April 2012.__________. 2012. “Lobi Fraksi Belum Berhasil, RUU Pemilu Bakal

Diputuskan Lewat Voting”. Kompas, 4 April 2012.__________. 2012. “RUU Pemilu Melalui Voting, Fraksi-fraksi Beda

Pandangan”.Kompas, 11 April 2012.__________. 2012.”SBY Rangkul Gerindra dan Hanura”.Media

Indonesia, 13 April 2012.__________. 2014. “Survei: Mayoritas Publik Tak Percaya Partai

Politik”.Kompas, Minggu, 9 Februari 2014.__________. 2015. “Penyelenggara Pemilu Kena sanksi”. Dikutip

dari http://nasional.kompas.com/read/2014/06/12/1757501/163.Penyelenggara.Pemilu.Kena.Sanksi, diakses pada 4Agustus 2015.

__________. 2015.MK: DPR Hanya “Menyetujui” Calon HakimAgung Putusan MK ini akan lebih mempermudah KY dalammenjaring CHA.” Dikuti dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt52cebf177b95d/mk-dpr-hanya-menyetujui-calon-hakim-agung, diakses pada 6 Agustus 2015.

__________. 2015.Noda Politik Uang”, dikutip dari http://nasional.kompas.com/read/2014/04/28/1458036/Noda.Pol i t i k.Uang.di.Pemilu, diakses pada tanggal 6 Agustus 2015.

Page 190: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

169

Desain Sistem Pemerintahan Antikorupsi

Tentang Penulis

Dr. Agus Riwanto, adalah Dosen HukumTata Negara, Fakultas Hukum dan ProgramPascasarjana Ilmu Hukum Universitas SebelasMaret (UNS) Surakarta. Beliau menyelesaikanpendidikan S3 (Doktor) Ilmu Hukum FH UNSdengan predikat”Cumlaude” (2012), S2 HukumIslam Pascasarjana UIN Sunan KalijagaYogyakarta, S1 Fakultas Syariah Jurusan Per-bandingan Madzhab dan Hukum UIN SunanKalijaga Yogyakarta dan S1 Fakultas Hukum

Universitas Muhammadiyah Yogjakarta. Beliau pernah menjabatsebagai Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kab. Sragen Prop.Jawa Tengah (2008-2013), Anggota KPU Kab. Sragen Prop. JawaTengah (2003-2008) dan Pembela Umum YLBHI-LBH Yogjakarta(1997-2000). Beliau pernah menerima penghargaan NominatorPemuda Award Bidang Intelektual dari DPD HIPMI dan DPD KNPIProp. Jateng (2005). Beliau juga merupakan penerima penghargaanalumni berprestasi “Assalaam Award” dari PPMI Assalaam Surakarta(2015). Beliau juga merupakan Konsultan Ahli dan Perancang NaskahAkademik Perda di DPRD/Pemda sejumlah Kabupaten/Kota di JawaTengah dan Jawa Timur. Narasumber di berbagai seminarinternasional dan nasional. Beliau telah menulis beberapa buku danjurnal nasional terakreditasi, serta menulis lebih dari 900-an artikelsejak tahun 1998-sekarang yang dipublikasikan di antaranya diKoran Kompas, Republika, Media Indonesia, Seputar Indonesia, BisnisIndonesia, Suara Pembaruan, Sinar Harapan, Suara Karya, Kontan, TheJakarta Post, Koran Jakarta, Investor Daily, Joglosemar, Bernas, Solopos,Suara Merdeka, Wawasan, dan Kedaulatan Rakyat.

Page 191: DESAIN SISTEM PEMERINTAHAN ANTIKORUPSI

170

Konsep Pencegahan Korupsi Politik dalam Sistem ...