Dermatitis Ita

91
PENELITIAN HUBUNGAN KADAR IMUNOGLOBULIN-E SPESIFIK DENGAN HASIL UJI TUSUK KULIT PENDERITA DERMATITIS ATOPIK ANAK SHINTA J.B. TOBAN RAMBU PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN 0

description

materi dermatitis

Transcript of Dermatitis Ita

Page 1: Dermatitis Ita

PENELITIAN

HUBUNGAN KADAR IMUNOGLOBULIN-E SPESIFIK DENGAN

HASIL UJI TUSUK KULIT PENDERITA DERMATITIS ATOPIK ANAK

SHINTA J.B. TOBAN RAMBU

PROGRAM PASCA SARJANA

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2011

0

Page 2: Dermatitis Ita

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit inflamasi kronis yang disertai

gatal dan kelainan kulit lain seperti xerosis, ekskoriasi, dan likenifikasi. Kebanyakan

terjadi pada masa bayi dan anak, sering dihubungkan dengan peningkatan kadar

imunoglobulin E (IgE) dan adanya riwayat atopi pada diri sendiri atau keluarga

seperti rinitis alergi atau asma. (Leung et al., 2008; Soeberyo, 2009).

DA ini biasanya ditemukan mulai dari umur 2 bulan dan sekitar 1 tahun pada

60% pasien, 30% terlihat pertama kali pada usia 5 tahun, dan hanya 10% timbul

dermatitis atopik antara usia 6 sampai 20 tahun. (Paller A, 2006) DA sangat jarang

muncul pada usia dewasa. Sebanyak 60% orang tua yang menderita DA, mempunyai

anak yang juga menderita penyakit yang sama. Prevalensi pada anak tinggi, yaitu

sekitar 80% apabila kedua orangtuanya menderita DA. (Amiruddin, 2003) Menurut

International Study of Ashma and Allergies in Children, prevalensi penderita DA

pada anak bervariasi di berbagai Negara. Prevalensi DA pada anak di Iran dan Cina

kurang lebih sebanyak 2%, 20% di Australia, England, dan Skandinavia. Prevalensi

yang tinggi juga didapatkan di Negara Amerika Serikat yaitu sebesar 17,2%.

(Zulkarnain, 2009)

Dermatitis Atopik (DA) dibagi menjadi 2 tipe : 1) bentuk murni tidak disertai

keterlibatan saluran napas, dan 2) bentuk campuran disertai gejala pada saluran napas.

1

Page 3: Dermatitis Ita

Bentuk murni dibagi atas 2 tipe, yaitu : a) tipe intrinsik : tidak terdapat peningkatan

IgE total serum, dan b) tipe ekstrinsik : terdapat peningkatan IgE total serum,

peningkatan profil sitokin yaitu IL-4 dan IL-13, adanya sensititasi terhadap alergen

hirup dan alergen makanan pada uji kulit (Wutrich and Grendelmeier, 2002,

Soeberyo, 2009). Bos menyatakan bahwa DA harus ditandai dengan peningkatan IgE.

Hanifin Rajka menyebutkan salah satu Kriteria minor DA adalah peningkatan kadar

IgE serum (Wuthrich and Grendelmeier, 2002; Yusuf et al., 2008)

Pemeriksaan kadar IgE total serum dilakukan untuk menunjang diagnosis

penyakit alergi. Selain pada penyakit alergi, peningkatan kadar IgE total serum juga

ditemukan pada penyakit parasit serta beberapa jenis penyakit imunodefisiensi. Oleh

karena kadar IgE total serum tidak dapat dijadikan pegangan dalam menegakkan

diagnosis, maka untuk mencari hubungan mekanisme alergi dan timbulnya lesi DA

perlu diukur kadar IgE spesifik terhadap alergen tertentu. Pengukuran adanya

antibodi spesifik yang bersifat positif di dalam serum penderita terhadap suatu

alergen lingkungan tertentu akan lebih berarti daripada pengukuran IgE total serum.

Kadar normal IgE total serum tidak menyingkirkan adanya penyakit atopik tetapi

kadar IgE spesifik, walaupun rendah, dapat menentukan adanya penyakit atopik pada

penderita. (Dewi dan Sukanto, 2001)

Etiologi dan patogenesis DA sampai saat ini belum diketahui dengan jelas.

Banyak faktor yang mempengaruhi, baik eksogen atau endogen, maupun keduanya.

Faktor-faktor yang berperan antara lain faktor genetik, disfungsi sawar kulit,

imunologis, lingkungan, dan psikologis. (Leung and Soter, 2001; Leung et al., 2008;

2

Page 4: Dermatitis Ita

Friedmann, Ardern-Jones & Holden, 2010) Sensitisasi makanan dan alergen hirup

memegang peranan pada patogenesis penyakit atopi. Asma, rinitis alergika, dan DA

mempunyai dasar kelainan respon hipersensitivitas IgE dan inflamasi jaringan

spesifik yang ditandai dengan infiltrasi lokal limfosit T, eosinofil, dan

monosit/makrofag. Jaringan yang sedang mengalami inflamasi akut akan tampak

infiltrasi limfosit T dengan ekspresi interleukin (IL)-4, IL-5, dan IL-13. Sitokin ini

diperkirakan memegang peranan utama pada respon alergi. Penderita atopi

mempunyai suatu kecenderungan hipersensitivitas terhadap alergen. Alergen yang

sering disebut sebagai pemicu timbulnya lesi pada penderita DA antara lain makanan,

serbuk sari bunga (pollen), dan debu rumah.(Wisesa T, 2009) Pemberian makanan

padat yang terlalu dini akan meningkatkan kejadian DA pada anak. Makanan yang

sering merupakan faktor pencetus terjadinya DA adalah susu sapi, telur, makanan

hasil laut misalnya ikan dan udang serta buah-buahan atau sayur-sayuran tertentu

misalnya kacang-kacangan, (Lokanata, 2006) sedangkan alergen/ iritan yang tersebar

di udara sekeliling yang paling sering adalah tungau debu rumah. (Dewi, 2004)

Teknik diagnostik yang telah dilakukan oleh peneliti-peneliti sebelumnya

antara lain, penentuan kadar IgE total serum, pemeriksaan IgE spesifik, skin prick test

(SPT)/ uji tusuk kulit (UTK) maupun atopy patch test. (Dewi and Sukanto, 2001)

UTK merupakan suatu metode uji alergi yang banyak digunakan di poliklinik

dengan prinsip uji untuk mendeteksi alergen yang melibatkan reaksi hipesensitivitas

tipe I pada kulit. Pada reaksi hipersensitivitas tipe I alergen yang masuk ke dalam

tubuh menimbulkan respon imun berupa produksi IgE. IgE akan terikat pada reseptor

3

Page 5: Dermatitis Ita

Fc sel mast di kulit yang selanjutnya menyebabkan degranulasi sel mast. (Daniel,

2000; Lachapelle and Maibach, 2003)

Penelitian ini mencari adakah hubungan antara kadar IgE spesifik dengan

hasil UTK pada DA anak, dimana dari hasil penelusuran kepustakaan dan publikasi

nasional dan internasional tidak ditemukan laporan penelitian tentang hubungan kadar

IgE spesifik dengan hasil UTK pada DA anak di Makassar.

4

Page 6: Dermatitis Ita

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DERMATITIS ATOPIK

1. Definisi

Dermatitis atopik merupakan penyakit kulit yang bersifat menahun dan

kumat-kumatan, umumnya muncul pada waktu bayi, kanak-kanak ataupun dewasa

yang mempunyai riwayat atopik pada diri sendiri atau pada keluarganya, baik berupa

asma, rinitis alergi, konjungtivitis ataupun DA (Wutrich and Grendelmeier, 2002;

Leung et al., 2008; Friedmann, Ardern-Jones & Holden, 2010)

Atopi dapat didefinisikan sebagai sifat hipersensitivitas kulit dan membran

yang bersifat mukosa familial, terhadap bahan-bahan dari lingkungan, yang

berhubungan dengan peningkatan sekresi IgE dan/atau keadaan reaktivitas jaringan

yang mengalami perubahan, pada kulit penderita DA atau paru penderita asma

(Wollenberg and Bieber, 2000, Leung, 2000)

2. Insidensi dan Prevalensi

Penelitian epidemiologi menunjukan bahwa prevalensi DA terus meningkat

dan mencapai angka estimasi 20% pada populasi umum (Laughter et al., 2000; Kagi

et al., 1994) Data morbiditas di 10 rumah sakit besar yang tersebar di Indonesia

menunjukan bahwa DA mencapai 36% dari keseluruhan diagnosis dermatitis.

(Anonim-1, 2005)

5

Page 7: Dermatitis Ita

Perkembangan kajian epidemiologi DA sangat lambat, hal ini disebabkan oleh

beragamnya manifestasi klinis DA, masih terdapatnya perbedaan cara pencatatan

serta tidak seragamnya pengertian terminologi terkait DA. Perbedaan ini

menyebabkan studi banding antar negara menjadi tidak mudah, variasi yang

ditemukan sangat besar, berkisar antara 0,7% sampai 20,1% (Williams, 2000;

Beltrani and Boguniewicz, 2004)

Sekitar 60% kasus dermatitis terjadi pada tahun pertama kehidupan, 85%

DA terjadi pada 5 tahun pertama dan jarang terjadi setelah umur 45 tahun. (Beltrani

and Boguniewicz, 2004) Dermatitis atopik dapat mengenai kedua jenis kelamin,

kejadian saat dewasa lebih banyak pada wanita, sedang pada anak-anak lebih banyak

laki-laki (Friedmann, Ardern-Jones & Holden, 2010)

Boediardja (1996) mengumpulkan data prevalensi dalam kurun waktu 1

tahun (Oktober 1994 - September 1995) diperoleh dari 10 rumah sakit terbesar di

Indonesia dengan jumlah total 3237, kelompok umur terbanyak 5 - 14 tahun diikuti 1

- 4 tahun dan sisanya penderita dewasa. Jumlah penderita perempuan sebanyak 1851

orang sedangkan laki-laki sebanyak 1386 orang. (Boediarja, 1999)

Survei di negara berkembang menemukan 10-20% anak menderita DA

(Williams, 2000) Prevalensi pada anak etnis Asia belum banyak dilaporkan. Angka

prevalensi yang pernah dilaporkan adalah 20,1% di Hongkong, 19% di Jepang dan

20,8% di Singapura. (Tay et al., 2002) Prevalensi DA di Indonesia sendiri juga

bervariasi. Data dari tujuh RS di lima kota besar di Indonesia pada tahun 2000

menemukan DA masih menempati peringkat pertama (23,67%) dari 10 besar

6

Page 8: Dermatitis Ita

penyakit kulit anak (Anonim-2., 2000) Data serupa pada tahun 2005 dari 10 RS besar

di seluruh Indonesia menemukan angka 36% dari seluruh kasus (Anonim-1, 2005)

3. Faktor resiko dan faktor pencetus

DA merupakan proses yang disebabkan oleh multifaktor, yaitu sebagai hasil

peran kerjasama faktor genetik, lingkungan berupa paparan alergen, iritan atau

perubahan cuaca, stres psikologis, disfungsi sawar kulit dan abnormalitas imunologi.

Faktor resiko terjadinya DA antara lain : (Kang K, 2003; Simpson E, 2005; Leung D,

2008)

a. Genetik

Dalam suatu penelitian yang dilakukan pada 372 penderita DA,

ditemukan insiden alergi pernapasan perseorangan sebesar 95% dan

riwayat atopi dalam keluarga sebesar 73%. Dalam kohort tersebut,

insiden asma alergik dan rhinitis alergi pada anggota keluarga penderita

yang tidak mengalami alergi pernapasan perseorangan cukup tinggi,

masing-masing sebesar 73% dan 32%. Namun insiden DA dalam

keluarga penderita DA yang mengalami alergi pernafasan atau tidak,

masing-masing adalah 34% dan 27%. Hal ini menunjukkan bahwa

pewarisan DA tidak berhubungan dengan DA itu sendiri namun sangat

dipengaruhi oleh fase atopik terutama alergi pernapasan.

Observasi klinis mendorong para peneliti untuk menyelidiki gen-

gen spesifik yang terlibat dalam atopi dan DA. Terdapat dua metode yang

digunakan. Pertama, linkage analisis yang menentukan hubungan antara

7

Page 9: Dermatitis Ita

fenotif DA dengan kromosom tertentu. Kedua, menyelidiki hubungan DA

dengan polimorfisme atau mutasi gen spesifik. Beberapa kromosom

diduga berhubungan dengan faktor-faktor imunologis esensi al yang

mengkode AD dan berperan dalam pathogenesis penyakit ini. Kromosom

5q31 mengandung cluster family gen IL-4, termasuk gen sitokin multiple

yang mengkode sitokin-sitokin Th2, seperti IL-4,IL-5 dan IL-13.

b. Laktasi, terjadi perbedaan bayi yang mendapat air susu ibu ( ASI ) dengan

yang non ASI. Makin panjang waktu mendapat ASI makin kecil

kemungkinan untuk mendapat DA.

c. Sosioekonomi, lebih banyak ditemukan pada status sosial yang tinggi

dibandingkan dengan status sosial yang lebih rendah.

d. Polusi lingkungan, antara lain daerah industri dengan peningkatan polusi

udara, pemakaian pemanas ruangan sehingga terjadi peningkatan suhu

dan penurunan kelembaban udara, asap rokok, penggunaan pendingin

ruangan yang berpengaruh pula pada kelembaban, penggunaan sampo dan

sabun yang berlebihan dan deterjen yang tidak dibilas dengan sempurna.

e. Jumlah anggota keluarga: kejadian DA berbanding terbalik dengan

banyaknya jumlah anggota keluarga.

4. Patogenesis

8

Page 10: Dermatitis Ita

a. Abnormalitas klinis

Alergi pernapasan umumnya berhubungan dengan DA pada usia

dewasa (70% pasien). Alergen yang paling sering ditemukan antara lain debu,

serbuk sari, bulu binatang, dan jamur. Alergi makanan cenderung terjadi pada

bayi dan anak-anak penderita DA, sejak usia 2 tahun kemudian diikuti dengan

alergi inhalasi. (Helen, 2008). Susu sapi, telur, kacang dan kedelai adalah

penyebab yang paling sering ditemukan. (Sampson, 2004; Han, 2004) Agen

mikroba terutama Staphylococcus aureus berkoloni pada 90% lesi kulit DA.

Karbohidrat protein dan glikolipid dari mikroba – mikroba tersebut dapat

berfungsi sebagai antigen asing yang terdapat dalam molekul MHC klas I dan

klas II dan eksotoksinnya juga dapat berfungsi sebagai superantigen,

semuanya dapat memperparah dermatitis. (Kang K, 2003; Laonita, 2000)

b. Disfungsi sawar kulit

Pada penderita DA terjadi defek permeabilitas sawar kulit dan terjadi

peningkatan trans-epidermal water loss sebesar 2-5 kali. Adanya defek

tersebut mengakibatkan kulit lebih rentan terhadap bahan iritan, karena

penetrasi antigen atau hapten akan lebih mudah. Pajanan ulang dengan antigen

akan menyebabkan toleransi dan hipersensitivitas sehingga terjadi

peningkatan reaksi inflamasi. Selanjutnya terjadi peningkatan proses

abnormalitas imunologik yang akan memacu penurunan fungsi sawar kulit.

Proses tersebut merupakan suatu lingkaran tanpa putus dan merupakan bagian

yang penting pada patogenesis DA. Perubahan kandungan lipid di stratum

9

Page 11: Dermatitis Ita

korneum merupakan penyebab perubahan sawar kulit. Stratum korneum

menyusun sawar utama untuk difusi melewati kulit. Substansi itu terdiri dari

korneosit dan lipid, terutama ceramid, sterol dan asam lemak bebas. Ceramid

berperan menahan air dan fungsi sawar stratum korneum. Kadar ceramid pada

penderita DA rendah dan hal tersebut menyebabkan gangguan sawar kulit.

(Lawrence, 2003; Abramorvits, 2005; Wuthrich et al., 2007).

c. Imunopatologi

Ketidaknormalan imunologik termasuk disregulasi sel T, peningkatan

kadar IgE, dan penurunan jumlah IFN- memegang peranan yang penting

dalam patofisiologi dari DA. (Blauvelt,2003) Sel Langerhans (SL) epidermis

dan sel dendritik dermis sebagai sel penyaji antigen (antigen presenting cell,

APC) pada DA dapat mengaktifkan sel T alergen spesifik melalui antibodi

IgE alergen spesifik yang terikat pada reseptor FcIgE. (Wollenberg and

Bieber, 2000) Aktivasi sel T yang berlebihan pada lesi kulit merupakan ciri

khas dari DA. Sel T pada dermatitis atopik akut akan mengeluarkan sitokin

Th2 yang akan menginduksi respon lokal IgE untuk menarik sel-sel inflamasi

(limfosit dan eosinofil) sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan dan

pengeluaran dari molekul adhesi. (Helen, 2008) Dermatitis atopik kronik, juga

terjadi peningkatan pengeluaran dari sitokin Th1 seperti IFN- dan IL-12

yang akan memicu terjadinya infiltrasi dari limfosit dan makrofag. (Leung and

Soter, 2001; Friedmann, Ardern-Jones & Holden, 2010)

10

Page 12: Dermatitis Ita

Sel T menunjukkan peran sentral dalam proses terjadinya DA. Sel T

mempunyai subpopulasi yang berperan dalam terjadinya DA, yaitu Th1 dan

Th2. Perkembangan sel T menjadi sel Th2 dipacu oleh IL-10 dan

Prostaglandin (PG)E. Sel Th2 mengeluarkan IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, IL-10

dan IL-13. Interleukin 4, IL-5 dan IL-13 menyebabkan peningkatan level IgE

dan eosinofil serta menginduksi molekul adesi yang terlibat pada migrasi sel

inflamasi ke lesi kulit. Sel Th1 menginduksi produksi IL-1, IFN-, dan TNF,

mengaktivasi makrofag dan memperantarai reaksi hipersensivitas tipe lambat.

IFN- akan menghambat proliferasi sel Th2, ekspresi IL-4 pada sel T, dan

produksi IgE. (Friedmann, Ardern-Jones & Holden, 2010)

Infiltrat seluler yang terbanyak pada lesi DA akut, adalah sel T CD4+

yang mengeluarkan sel T memori dan homing reseptor cutaneous lymphocyte-

associated antigen (CLA). Sel T ini akan menyebabkan peningkatan IL-4,

IL-5 dan IL-13, dimana IL-4 dan IL-13 berperan penting dalam menginduksi

molekul adhesi yang akan menarik sel-sel inflamasi kedalam kulit.

(Boguniewicz and Leung, 2000)

d. Imunoregulasi cell mediated

Sel-sel langerhans (SL) monosit/magrofag, limfosit, eosinofil, sel

mast/basofil dan keratinosit adalah tipe-tipe sel utama yang berperan aktif

dalam imunoregulasi DA. Sel langerhans adalah sel dendritik penghasil

antigen (APC) yang terdapat dalam dermis. Pada kulit normal, terjadi

kompartementalisasi fenotip SL. SL epidermal adalah CD1a, CD1b+ dan

11

Page 13: Dermatitis Ita

CD36-. Namun dalam kulit lesi DA SL dermal dan epidermal mengeluarkan

CD1a dan b serta CD38, CD32 dan FcεR1 dalam jumlah besar. SL tersebut

disebut sebagai sel-sel epidermal dendritik inflamasi. Fcε R1 adalah reseptor

IgE berafinitas tinggi yang ekspresi rata-ratanya meningkat pada SL penderita

DA. Pengaruh fungsional kelainan fenotip ini belum dipahami dengan jelas,

namun SL diduga berhubungan dengan peningkatan aktivitas produksi antigen

terhadap sel T autoreaktif. (Kang K, 2003)

Kelainan Imunologi yang utama pada DA berupa pembentukan IgE yang

berlebihan, sehingga memudahkan terjadinya hipersensitivitas tipe I dan gangguan

regulasi sitokin. Terdapat 2 fase partisipasi IgE dalam menimbulkan suatu respon

inflamasi pada DA yaitu : (Spergel and Schneider, 1999; Arshad, 2002; Beltrani and

Boguneiwicz, 2004)

a. Early phase reaction (EPR), terjadi 15-60 menit setelah penderita berhubungan

dengan antigen, dimana antigen ini akan terikat IgE yang terdapat pada

permukaan sel mast dan akan menyebabkan pelepasan beberapa mediator kimia

antara lain histamin yang berakibat rasa gatal dan kemerahan kulit.

b. Late phase reaction (LPR), terjadi 3-4 jam setelah EPR, dimana terjadi ekspresi

adhesi molekul pada dinding pembuluh darah yang diikuti tertariknya eosinofil,

limfosit, monosit pada area radang, mekanismenya terjadi karena peningkatan

aktifitas Th2 untuk memproduksi IL-3 ,IL-4, IL-5, IL-13, GM-CSF yang

menyebabkan eosinofil, merangsang sel limfosit B membentuk IgE dan

12

Page 14: Dermatitis Ita

meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan sel mast, tetapi tidak terjadi

peningkatan Th1.

Garukan dapat menyebabkan rangsangan pada keratinosit untuk mensekresi

sitokin yang menyebabkan migrasi Th 2 ke kulit. (Spergel and Schneider, 1999)

Gambar : Patogenesis Dermatitis Atopik

(Spergel and Schneider, 1999)

5. Gambaran Klinis

Gambaran klinis yang utama adalah adanya gatal, yang berhubungan

dengan kronisitas penyakit, morfologi dan distribusi lesi. DA dapat dibagi dalam

3 tipe berdasarkan umur penderita dan gambaran klinisnya, yaitu : (Krafchick B,

2003; Leung et al, 2008; Friedmann, Ardern-Jones & Holden, 2010)

13

Page 15: Dermatitis Ita

a. Tipe Bayi (infantile type)

Timbul biasanya setelah usia 2 bulan dan pada 90% pasien onset

dimulai sebelum usia 5 tahun. Pada bayi yang belum dapat merangkak, lesi

biasanya ditemukan pada wajah, kulit kepala dan permukaan ekstensor

ekstremitas. Umumnya diawali oleh plak eritem, papul, vesikel yang sangat

gatal di pipi, dahi, dan leher tetapi dapat pula mengenai badan, lengan dan

tungkai. Bila anak mulai merangkak lesi dapat timbul di tangan dan lutut.

Karena garukan terjadi erosi dan ekskoriasi atau krusta, tidak jarang

mengalami infeksi. Tipe ini cenderung kronis dan residif.

b. Tipe anak (childhood type)

Timbul pada masa kanak-kanak (2 – 12 tahun). Predileksi

mendominasi daerah antecubital dan fossa popliteal serta bagian belakang

leher. Lesi kering, likenifikasi, batas tidak tegas, karena garukan terlihat pula

ekskoriasi memanjang dan krusta. Dapat merupakan lanjutan dari tipe bayi

atau baru timbul pertama kali. Sering ditemukan lipatan Denni Morgan yaitu

lipatan kulit dibawah kelopak mata.

c. Tipe Dewasa (adult type)

Gejala utama adalah pruritus, kelainan kulit berupa likenifikasi, papul,

eksema, dan krusta. Pedileksi lesi secara klasik ditemukan pada daerah fossa

kubiti dan poplitea, leher depan dan belakang, dahi serta daerah sekitar mata.

14

Page 16: Dermatitis Ita

Tipe ini adalah kelanjutan dari tipe bayi dan tipe anak ataupun dapat timbul

pertama kali.

6. Diagnosis

DA didiagnosis berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Berdasarkan gambaran klinis Hanifin dan Rajka

menggunakan kriteria mayor dan minor untuk dasar diagnosis DA. Kriteria

mayor biasanya konsisten ditemukan pada kasus DA, sedangkan kriteria minor

umumnya ditemukan pada kelompok kontrol. Oleh karena itu William bersama

kelompok studi United Kingdom, membuat kriteria yang dapat digunakan untuk

diagnosis dengan cepat, terutama untuk kepentingan epidemiologi dan skrining di

lapangan. (Eichenfield et al., 2003; Friedmann, Ardern-Jones & Holden, 2010)

Menurut Hanifin dan Rajka gambaran diagnostik DA harus terdapat 3 atau

lebih kriteria mayor (Bohme M, 2000; Leung D, 2008; Zulkarnain, 2009)

- Pruritus

- Morfologi dan regio yang khas, likenifikasi fleksural pada orang dewasa,

lesi pada wajah dan ekstensor pada bayi dan anak.

- Perlangsungan kronik dan residif.

- Riwayat atopi ( asma, rhinitis alergi atau DA ) pada diri sendiri atau

keluarga.

Kriteria minor 3 atau lebih :

15

Page 17: Dermatitis Ita

- Xerosis.

- Iktiosis/ hyperkeratosis Palmaris/ keratosis pilaris.

- Reaktifitas uji kulit tipe cepat.

- Peningkatan IgE serum.

- Dermatitis di daerah palmo-plantar.

- Kheilitis.

- Dermatitis di daerah kepala.

- Kemudahan mendapat infeksi Staphylococcus aureus dan herpes

simpleks.

- Papul perifolikuler hyperkeratosis di atas lesi hiperpigmentasi.

- Pitiriasis Alba.

- Dermatitis di puting susu.

- White Dermographism.

- Katarak dan keratokonus.

- Garis Dennie Morgan.

- Kemerahan atau kepucatan di wajah.

- Perjalanan penyakit dipengaruhi faktor lingkungan dan emosi.

Kriteria William dalam diagnosis DA : (Reitamo, 2001; Zulkarnain, 2009)

Harus ada : Gatal (riwayat menggaruk pada anak-anak).

Ditambah 3 atau lebih :

1. Onset di bawah usia 2 tahun (tidak digunakan bila anak usia dibawah 4

tahun).

16

Page 18: Dermatitis Ita

2. Riwayat keterlibatan kulit (termasuk pipi pada anak di bawah 10 tahun)

3. Riwayat kekeringan kulit

4. Riwayat penyakit atopi lainnya pada penderita (atau riwayat menderita

atopi pada keluarga, pada anak dibawah 4 tahun).

5. Dermatitis flexura yang nyata (atau dermatitis pada pipi/dahi dan bagian

luar ekstremitas pada anak dibawah 4 tahun).

7. Macam-macam pemeriksaan penunjang

A. Uji kulit : sebagai pemeriksaan penyaring (misalnya dengan alergen hirup seperti

tungau, kapuk, debu rumah, bulu kucing, tepung sari rumput, atau alergen makanan

seperti susu, telur, kacang, ikan).

Macam-macam tes kulit :

1. Tes tempel (patch test) Bahan yang dicurigai ditempelkan pada kulit dengan

bantuan chamber. (Darsow, 1999; Leung D, 2008; Friedmann, Ardern-Jones &

Holden, 2010)

2. Tes gores (scratch test) Indikasi: dermatitis atopik & alergi obat atau makanan.

Dilakukan goresan yang dalam dengan benda yang runcing sedalam perbatasan

epidermis dan dermis, atau sampai keluar serum, tapi jangan sampai keluar darah

(Friedmann, Ardern-Jones & Holden, 2010)

17

Page 19: Dermatitis Ita

3. Tes intrakutan Tes ini dilakukan dengan menyuntikkan bahan yang dicurigai

secara intrakutan. Indikasi: dermatitis atopik, alergi karena obat, TBC, Lepra,

lymphogranuloma inguinale (Friedmann, Ardern-Jones & Holden, 2010)

4. Tes tusuk (prick test) Tes ini dilakukan untuk mengetahui bahan makanan ataupun

hirupan (inhalasi) yang dapat menimbulkan urtikaria, sehingga masuk dalam tes

untuk reaksi hipersensitifitas tipe cepat yang dimediasi oleh sistem imunitas humoral.

Teknik pelaksaanan mirip dengan tes gores, hanya saja bahan alergen diteteskan

selanjutnya dilakukan tusukan pada ekstrak alergen hingga lapisan epikutaneus tanpa

perdarahan. Kontrol positif yang digunakan adalah histamine. (Darsow, 1999;

Lachapelle and Maibach, 2003; Friedmann, Ardern-Jones & Holden, 2010)

B. Darah tepi : bila eosinofil 5% atau 500/ml condong pada alergi. (Ardiana,2004)

C. IgE total dan spesifik: Pemeriksaan IgE spesifik menggunakan

Radioallergosorbent test (RAST) lebih praktis daripada test tusuk kulit.. Ketika

seseorang mempunyai riwayat alergi makanan dan pemeriksaan IgE untuk

makanan tersebut positif, maka tindakan pertama yang perlu dilakukan adalah

menghindari makanan tersebut. (Sicherer, 1999, Leung D, 2008, Friedmann,

Ardern-Jones & Holden, 2010)

18

Page 20: Dermatitis Ita

A. IMUNOGLOBULIN E SPESIFIK PADA DERMATITIS ATOPIK

IgE mudah diikat sel mast, basofil dan eosinofil yang pada permukaannya

memiliki reseptor untuk fraks Fc dari IgE (Fcε-R). IgE dibentuk setempat oleh sel

plasma dalam selaput lendir saluran napas dan cerna. Alergen yang diikat dua

molekul IgE pada permukaan sel mast (cross-linking) akan menimbulkan influks ion

kalsium ke dalam sel. Hal itu menurunkan kadar adenosisn monofosfat siklik (cAMP)

intraselular yang meinmbulkan degranulasi sel mast. (Baratawijaya, 2006)

Ig E berperan pada infiltrat sel inflamasi dermatitis atopik melalui berbagai

mekanisme termasuk reaksi bifasik, presentase alergen oleh sel Langerhans

penyandang IgE, aktivasi makrofag penyandang IgE yang dipicu alergen, dan

autoreaktivitas IgE terhadap protein manusia.

Permukaan sel Langerhans dan makrofag yang menginfiltrasi lesi DA

menyandang IgE. Terdapat 2 macam reseptor IgE, yaitu reseptor berafinitas tinggi

dan yang berafinitas rendah. Reseptor IgE pada sel Langerhans berafinitas tinggi,

sedangkan reseptor IgE pada makrofag berafinitas rendah. Penelitian mengemukakan

bahwa autoreaktifitas terhadap IgE merupakan faktor yang berperan pada patogenesis

DA. Sebagian besar pasien DA mempunyai antibodi IgE yang bersirkulasi terhadap

protein manusia. Respon imun IgE diawali oleh alergen lingkungan dan inflamasi

dipertahankan oleh alergen endogen manusia tersebut. (Soebaryo, 2009)

Pruritus akut pada DA dipicu oleh pelepasan berbagai macam mediator ke

kulit setelah terpajan alergen, meski perkembangan lesi eksematosa bergantung pada

trauma kulit akibat garukan. Akan terjadi proses inflamasi sebagai akibat keratinosit

19

Page 21: Dermatitis Ita

mengeluarkan berbagai sitokin proinflamasi, antara lain IL-4, TNF-γ, IL-4 dan CC

kemokin yang mampu mengarahkan limfosit, eosinofil, dan makrofag ke tempat

terjadinya inflamasi. Pada tahap ini sel residen dan sel yang menginfiltrasi akan

mengeluarkan sitokin dan mediator yang akan mempertahankan inflamasi. (Soebaryo,

2009)

Hubungan faktor alergi dengan lingkungan diajukan pertama kali oleh Coca

dan Coke tahun 1926, kemudian oleh Sulzberger pada tahun 1934 penyakit gatal yang

dipengaruhi faktor alergi dan faktor keturunan yang timbulnya sering kali bersamaan

dengan penyakit saluran nafas asma dan rinitis disebutnya sebagai dermatitis atopik.

Berkaitan dengan fenomena transfer pasif dari Prautniz dan Kutsner maka diintodusir

adanya suatu substansia reaginik di dalam serum penderita alergi. Substansia reaginik

itu adalah IgE, yang pertama kali diisolasi oleh Ishizaka pada tahun 1966. Pada tahun

1967 Juhlin dan Johansons membuktikan adanya IgE pada serum penderita atopik

lebih tinggi dibanding penderita penyakit kulit yang lain (Sudigdo, 2000; Wahab,

2002)

Berdasarkan pemeriksaan alergologi, tipe dermatitis atopik “murni” bisa lebih

lanjut dibagi menjadi tipe “ekstrinsik” dan “intrinsik” . Tipe “intrinsik” yang ditandai

sebagai berikut : 1) fenotip klinis DA sesuai dengan kriteria Hanifin dan Rajka, 2)

tidak disertai penyakit atopik yang lain seperti rhinokonjungtivitis, asma, urtikaria, 3)

uji tusuk kulit untuk aeroalergen atau alergen makanan umumnya memberikan hasil

negatif, 4) kadar IgE total serum berada dalam rentang normal untuk bayi, anak-anak,

dan dewasa (Wutrich and Grendelmeier, 2002)

20

Page 22: Dermatitis Ita

Penelitian di Bandung oleh Nanda Dewi pada tahun 1993 pada 20 penderita

DA yang diteliti, 17 kasus (85%) dan Djatmojo mendapatkan 95% kasus yang

didiagnosis sebagai DA menunjukkan peningkatan kadar IgE. (Sudigdo, 2000).

Kadar IgE spesifik diukur dengan teknik RAST dengna menggunakan kit dari

Diagnostic Products Corporation dinyatakan dalam ukuran kilo Unit per Liter (kU/l).

Dengan cara darah penderita yang ingin diketahui IgE spesifik , direaksikan dengan

kertas yang berisi alergen (paper disk), yang bereaksi dengan IgE spesifik yang ada

pada darah penderita. Setelah dicuci agar bersih dari IgE yang non spesifik, maka

ditambahkan anti IgE antibodi yang dilabel dengan radioaktif, sehingga membentuk

kompleks. Kompleks yang mengandung radioaktif tadi diukur dengan gamma

counter, maka makin tinggi kadar radioaktifnya, makin banyak IgE spesifik yang

didapatkan dalam darah. Penafsiran pemeriksaan IgE spesifik negatif (<.,35), rendah

(0,35-0,70), sedang (0,71-3,5), tinggi (3,51-17,5), dan sangat inggi ( > 17,6). (Kang,

1997)

B. UJI TUSUK KULIT

Uji tusuk kulit merupakan uji diagnostik in vivo multipel untuk berbagai

alergen yang dikerjakan pada waktu yang bersamaan dan dapat mendeteksi antigen

yang terlibat dalam reaksi hipersensitivitas tipe 1 yaitu reaksi yang di mediasi oleh

imunoglobulin-E. Sebagian besar pasien DA memiliki peningkatan kadar IgE total

disertai dengan uji kulit tipe cepat yang reaktif terhadap alergen makanan dan hirup.

Dengan ditemukannya reseptor IgE pada permukaan sel Langerhans pasien DA dan

respon bifasik (dominasi Th2 yang diikuti Th1) pada imunopatogenesis DA, maka

21

Page 23: Dermatitis Ita

dapat diterangkan mekanisme terjadinya lesi pada DA. Hal ini pula yang mendasari

pemikiran tentang penggunaan uji tusuk kulit (UTK) dan uji tempel sebagai

pemeriksaan penunjang pada DA.

Tujuan melakukan UTK adalah untuk mendeteksi IgE spesifik melalui

pembentukan immediate wheal and flare reaction terhadap alergen .

Uji tusuk dilakukan dengan menggunakan kontrol negatif, kontrol positif,

serta alergen makanan dan hirup. Sebagai kontrol negatif adalah garam fisiologis atau

pelarut alergen, sedangkan kontrol positif digunakan larutan histamin HCl 10 mg/ml

atau larutan kodein fosfat . (Lachapelle and Maibach, 2003)

Makanan tertentu dapat menyebabkan eksaserbasi DA, namun hasil UTK

positif terhadap alergen makanan tidak selalu membuktikan peran alergen tersebut

dalam patogenesis DA. Hasil UTK positif harus dikonfirmasikan dengan double

blind placebo controlled food challenge test (uji DBPCFC), yang merupakan baku

emas pada alergi makanan. Para ahli penyakit kulit dari Amerika Serikat berpendapat

alergen makanan hanya berperan pada sebagian kecil kasus DA, yaitu pada 10%

kasus DA. Beberapa penelitian terhadap anak-anak terbukti bahwa susu, telur, kacang

tanah, kedelai, gandum dan ikan merupakan makanan yang sering mencetuskan DA.

(Sampson, 1997)

Alergen hirup, termasuk tungau debu rumah (TDR), bulu binatang, mold,

serbuk sari, kayu-kayuan dan rumput dapat berperan sebagai pencetus DA. Daerah

tropis seperti di Indonesia, alergen hirup dalam rumah lebih berpengaruh, yang

sebagian besar adalah TDR. Alergen hirup tersebut banyak terdapat di kamar tidur,

22

Page 24: Dermatitis Ita

terutama di kasur, bantal, selimut bulu, karpet, gorden, dan mainan anak berbulu.

(Siregar, 2004)

23

Page 25: Dermatitis Ita

C. KERANGKA TEORI

Keterangan :

APC : antingen presenting cell alur UTK

UTK : uji tusuk kulit pathogenesis DA

T0 : Limfosit T naif

Th1 : T helper 1

Th2 : T helper 2

24

Dermatitis Atopik T 0

IgESel B

Th1

Th2

APC

Sel mast

Histamin

Wheal flare

Allergen Hirup

Alergen makanan

(UTK)

Page 26: Dermatitis Ita

D. KERANGKA KONSEP

Keterangan :

: variabel kendali : Hubungan variabel kendali

: variabel antara : Hubungan variabel bebas

: variabel tergantung

: variable bebas

25

Genetik Psikologis (Stres emosional)

DERMATITIS ATOPIK

Imunologis: Th,Sitokin

IgE

Lingkungan ( Alergen hirup/makanan)

(UTK)

Page 27: Dermatitis Ita

E. ALUR PENELITIAN

G. HIPOTESIS PENELITIAN

Hipotesis penelitian yang diajukan adalah terdapat hubungan antara kadar IgE

spesifik dengan hasil UTK positif pada penderita DA anak.

26

Pasien Poliklinik Kulit & Kelamin Sub-divisi Pediatri RSWS , RS jejaring dan RS Restu

Kriteria inklusi / Eksklusi

UTK

IgE spesifik

Analisis data

Page 28: Dermatitis Ita

DEFINISI OPERASIONAL

1. Dermatitis atopik adalah penyakit peradangan kulit, bersifat kambuh-

kambuhan, gatal, dan ditemukan pada anak yang memiliki riwayat alergi

saluran pernafasan dan atau penyakit atopik pada keluarganya yang ditandai

oleh kriteria Hanifin dan Rajka.

2. Uji tusuk kulit (UTK) adalah uji tusuk yang dilakukan pada lengan bawah

bagian volar yang sudah dibuat kolom dengan meneteskan cairan berbagai

alergen dr. Indrayana pada masing-masing kolom, dan hasilnya dibaca setelah

15-20 menit dengan menilai wheal/bentol pada kulit.

3. Alergen makanan adalah ekstrak bahan makanan yang dibuat oleh dr.

Indrayana digunakan untuk UTK, ada 20 jenis yaitu putih telur, kuning telur,

susu sapi, kacang tanah, kacang mete, kedele, gandum, tomat, wortel, nanas,

teh, coklat, ayam, kakap, cumi, udang, kepiting, kerang, tongkol, bandeng.

4. Alergen hirup adalah ekstrak bahan hirupan yang dibuat oleh dr. Indrayana

digunakan untuk UTK, ada 11 jenis yaitu house dust, mite, grasspollen,

maizepollen, human dander, dog dander, cat dander, horse dander, kecoa,

chicken feather, mixed fungi

5. Kadar IgE spesifik adalah hasil pengukuran dengan teknik RAST.

6. Anak umur 2 – 12 tahun adalah anak yang pada saat diperiksa berusia tidak

kurang dari 2 tahun dan tidak lebih dari 12 tahun 0 bulan.

27

Page 29: Dermatitis Ita

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. DESAIN PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan desain penelitian cross sectional untuk

mengetahui hubungan Kadar Imunoglobulun-E Spesifik Dengan UTK Pada

Penderita DA Anak.

B. TEMPAT DAN WAKTU PENELITIAN

Pemeriksaan UTK dilakukan di poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP

dr. Wahidin Sudirohusodo, RS Jejaring, dan RS Restu di Makassar mulai bulan

Februari sampai April 2011. Pemeriksaan kadar Imunoglobulin-E Spesifik dilakukan

di Laboratorium Penelitian Prodia Jakarta.

C. POPULASI DAN SAMPEL PENELITIAN

Populasi terjangkau penelitian ini adalah penderita DA dengan usia 2- 12

tahun, yang datang ke Poliklinik Kulit dan Kelamin subdivisi Pediatri RSUP Dr.

Wahidin Sudirohusodo, RS Jejaring, dan RS Restu Makassar.

Sampel penelitian adalah seluruh populasi terjangkau yang memenuhi kriteria

inklusi dan eksklusi.

1. Kriteria Inklusi

a. Penderita DA yang memenuhi kriteria Hanifin dan Rajka.

28

Page 30: Dermatitis Ita

b. Penderita berusia 2 - 12 tahun.

c. Bersedia ikut serta dalam penelitian ini dan diminta persetujuan secara

tertulis (menandatangani inform consent) setelah mendapatkan

keterangan yang cukup tentang keuntungan dan hal-hal yang tidak

diinginkan yang dapat terjadi selama mengikuti penelitian.

2. Kriteria Eksklusi

a. Tidak menderita penyakit kulit lain.

b. Penderita DA yang menderita penyakit lain.

c. Penderita yang sedang menjalani pengobatan lain.

d. Penderita DA maupun kelompok kontrol tidak mendapat pengobatan

kortikosteroid ataupun antihistamin kurang dari satu minggu sebelum

penelitian.

D. CARA PENGAMBILAN DAN BESAR SAMPEL

Cara pengambilan sampel non random sampling. Penentuan besar sampel

adalah N1 dan N2 diambil dari harga maksimum sampel kecil Tabel Harga-harga

Kritis U Dalam Tes Mann Whitney, yaitu masing-masing 20 versus 20 (Lihat Tabel

Kritis Mann Whitney U, Shiegel, 1997)

29

Page 31: Dermatitis Ita

E. TEKNIK PENGUMPULAN DATA

Pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara :

1. Wawancara / anamnesis

Wawancara atau anamnesis langsung pada penderita dan orang tua

penderita (alloanamnesis) dilakukan menggunakan kuisioner yang telah

disiapkan dan dimaksudkan untuk mengumpulkan data tentang identitas,

karakteristik dan riwayat penyakit dari sampel.

2. Pemeriksaan Fisik dan Pengambilan Foto

Pemeriksaan fisik dilakukan untuk menegakkan diagnosis DA dan

menilai derajat keparahan dari penyakit. Pada saat dilakukan pemeriksaan fisik

juga dilakukan pengambilan foto dengan menggunakan kamera digital merk

Sony ( 14 megapixel)

3. Pemeriksaan Uji Tusuk Kulit

Pemeriksaan ini dilakukan setelah ditegakan diagnosis DA.

Alat dan bahan :

a. Alergen makanan dan allergen hirup dr Indrayana

b. Jarum morrow brown

c. Bolpoin

d. Spidol ukuran 0,2

e. Selotip

f. Kertas millimeter blok

30

Page 32: Dermatitis Ita

Prosedur pemeriksaan UTK:

1. Tandai area yang akan kita tetesi ekstrak alergen dengan bolpoin.

2. Histamin dan kontrol negatif (larutan buffer) diteteskan pada daerah yang

berseberangan. Kemudian teteskan ekstrak alergen lainnya

3. Tusuk kulit yang telah ditetesi histamin, buffer kontrol, dan ekstrak

alergen dengan menggunakan jarum morrow brown. Tusukan dilakukan

dengan pelan menembus lapisan epidermis tanpa menimbulkan

perdarahan.

4. Ukur diameter wheal (urtika) pada kulit yang ditetesi histamin,

dinyatakan positif bila ukuran wheal ≥ 3mm dan larutan buffer harus

negatif.

5. Tes dibaca setelah 15-20 menit dengan mengukur wheal yang timbul.

6. Hasil tes dipindahkan ke kertas millimeter blok dengan cara membuat

garis mengelilingi batas wheal dengan spidol ukuran 0,2, ditempel dengan

selotip lalu selotip ditempel pada kertas millimeter blok.

7. Mengukur setiap diameter lingkaran pada selotip. Dinyatakan +1 bila

ukuran wheal lebih besar dari control, +2 bila ukuran wheal 50% dari

diameter histamin, dan +3 bila ukuran wheal sama besar dengan histamin.

31

Page 33: Dermatitis Ita

4. Langkah kerja pemeriksaan IgE Spesifik

I. Metode : Chemiliuninescent Immunoassay

II. Sampel :

- Jenis : Serum 0,5 mL

- Stabilitas : 2 – 8oC selama 3 hari, -20 oC selama 6 bulan

III. Alat :

Immulite 2000

IV. Nilai Rujukan : Sesuai nilai pada masing-masing pemeriksaan

V. Prinsip Kerja :

Immulite 2000 Allergen-Specific IgE merupakan solid-phase, two step.

Chemiluminescent immunoassay yang menggunnakan kinetik fase cair dalam bentuk

bead. Ini merupakan kelebihan dibandingkan metode konvensional yang berdasarkan

pada allergen yang menopang pada fase padat seperti paper disk.

Allergen-allergen secara kovalen terkait pada matriks polymer/copolymer asam

amino memperkuat jumlah allergen yang bias ditopang matriks.

Pemisahan serum/plasma dengan cara :

- Diamkan sampel selama 30 menit pada suhu ruang.

- Sentrifuge sampel dengan kecepatan 3000 rpm selama 15 menit.

- Segera pisahkan serum (tabung merah) dengan mikropipet, masukkan ke

dalam tabung/cup fisher @ min 0.5 cc.

32

Page 34: Dermatitis Ita

- Beri identitas pada masing-masing tabung/cup fisher : nomor pasien, nama

pasien, tanggal pengambilan sampel, dan tulis keterangan serum.

- Segera disimpan pada suhu -20 oC.

VI. Langkah kerja :

1. Kalibrasi alat

2. Melakukan kontrol

3. Pemeriksaan sampel

- Dilakukan setelah hasil kalibrasi dan kontrol memenuhi syarat

- Cara pemeriksaan

Pipet 250 ul sampel kedalam cup

Letakkan pada disk alat immulite

Masukkan ID sampel dan nomor posisi sampel pada alat immulite

Kerjakan sesuai dengan program pengerjaan sampel alat

- Setelah sampel terkumpul, sampel dikirim ke Prodia Jakarta untuk

pemeriksaan serologi.

F. ANALISIS DATA

Data yang terkumpul disajikan dalam bentuk tabel dan atau grafik yang

disertai dengan penjelasannya. Kemudian data dianalisis dengan uji Mann-

Whitney dan uji korelasi Linear by Linear Association dengan α = 0,05.

33

Page 35: Dermatitis Ita

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kadar

Imunoglobulin E spesifik dangan hasil UTK pada penderita DA anak. Pemeriksaan

UTK dilakukan di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUP dr.Wahidin Sudirohusodo, RS

Jejaring, dan RS Restu di Makassar. Pemeriksaan kadar IgE spesifik dilakukan di

Laboratorium Prodia Jakarta. Jumlah sampel dalam penelitian ini adalah 40 orang

anak berumur antara 2-12 tahun terdiri dari 22 orang anak laki-laki (55%) dan 18

orang anak perempuan (45%). Dua puluh sampel penderita dermatitis atopi terdiri

dari 12 orang anak laki-laki (60 %) dan 8 orang anak perempuan (40 %). Dua puluh

sampel lainnya Non Atopik Dermatitis (NDA) yang terdiri dari 10 orang anak laki-

laki (50%) dan 10 orang anak perempuan ( 50%).

UJI TUSUK KULIT

Kami melakukan UTK pada penderita DA dan NDA, masing-masing dengan

12 alergen hirup dan 21 alergen makanan. Dari 23 bahan alergen tersebut, coklat

merupakan allergen yang paling banyak menyebabkan UTK positif pada penelitian

kami, yaitu pada 7 anak DA. Dari 20 penderita DA yang diteliti didapatkan hasil

UTK, hasil negatif sebanyak 13 orang (65%), + 1 sebanyak 2 orang (10%), + 2

sebanyak 2 orang (10%), dan +3 sebanyak 15 orang (15%). Sedangkan pada

34

Page 36: Dermatitis Ita

kelompok kontrol yang diteliti didapatkan hasil UTK coklat negatif sebanyak 20

orang (100%).

Tabel 1. Hasil Uji Tusuk Kulit penderita DA dan NDA

Nilai DA NDA Total

Hasil UTK 0 Jumlah 13 20 33

% 65.0% 100.0% 82.5%

+1 Jumlah 2 0 2

% 10.0% .0% 5.0%

+2 Jumlah 2 0 2

% 10.0% .0% 5.0%

+3 Jumlah 3 0 3

% 15.0% .0% 7.5%

Total Jumlah 20 20 40

% 100.0% 100.0% 100.0%

p = 0,004 (dengan Fisher exact test)UTK= Uji Tusuk Kulit DA= Dermatitis Atopik, NDA = Non Dermatitis Atopik

IMUNOGLOBULIN E-SPESIFIK

Dari 20 penderita DA yang diteliti didapatkan kadar IgE spesifik, tingkat 0

sebanyak 3 orang (15%), tingkat 1 sebanyak 2 orang (10%), tingkat 2 sebanyak 14

orang (70%), dan tingkat 3 sebanyak 1 orang (5%). Sedangkan pada kelompok

35

Page 37: Dermatitis Ita

kontrol yang diteliti didapatkan kadar IgE spesifik, tingkat 0 sebanyak 9 orang

(45%), tingkat 1 sebanya 8 orang (40%), tingkat 2 sebanyak 3 orang (15%).

Tabel 2. Kadar Ig E spesifik pada penderita DA dan NDA

Subjek Total

DA NDA

Kadar IgE-

spesifik

0 Jumlah 3 9 12

% 15.0% 45.0% 30.0%

1 Jumlah 2 8 10

% 10.0% 40.0% 25.0%

2 Jumlah 14 3 17

% 70.0% 15.0% 42.5%

3 Jumlah 1 0 1

% 5.0% .0% 2.5%

Total Jumlah 20 20 40

% 100.0% 100.0% 100.0%

p = 0,041 (dengan Fisher exact test)DA= Dermatitis Atopik, NDA = Non Dermatitis Atopik

Dari 20 penderita DA yang diteliti, sebanyak 3 penderita yang yang memiliki

kadar Ig E spesifik 0, sebanyak 2 penderita yang memiliki kadar Ig E spesifik 1,

sebanyak 14 penderita yang memiliki kadar IgE spesifik 2, dan 1 penderita yang

memiliki kadar IgE spesifik 3.

36

Page 38: Dermatitis Ita

Tabel 3. Perbandingan kadar IgE pada penderita DA dan NDA

DA

Kontrol Jumlah Mean Std. Deviation Std. Error

Mean

IgE spesifik DA 20 1.5380 1.11187 .24862

NDA 20 .4380 .65472 .14640

p = 0,001 dengan uji Mann Whitney U

DA= Dermatitis Atopik, NDA = Non Dermatitis Atopik

Nilai rata-rata Ig spesifik pada penderita DA adalah 1.5380 lebih tinggi

daripada NDA yaitu 0,4380.

Tabel 4. Hubungan UTK dengan IgE spesifik khusus penderita DA

Rendah 1-3 TOTAL

Rendah 2 1 3

(15,4 %) (14,3%) (15%)

IgE spesifik (1-3) 11 6 17

(84,6%) (85,7%) (85%)

13 7 20

p =0,949 (Linear by Linear Association)

Analisis dengan menghimpun hasil UTK yang positif (grade 1-3 sebanyak 7

orang, 6 diantaranya memiliki nilai IgE yang tinggi (85,7%). Hasil UTK yang o

(negatif) ditemukan pada 13 orang dari 20 total penderita DA. Jumlah presentasi yang

tinggi di kelompok ini adalah 84,6% (11 dari 13 orang yang tidak memberikan hasil

37

Page 39: Dermatitis Ita

positif UTK untuk coklat). Perbandingan IgE yang tinggi pada DA dengan UTK

positif dan DA dengan UTK negatif adalah 85,7% berbanding 84,6%. Perbandingan

ini tidak berbeda secara signifikan (p= 0,730)

Uji korelasi antara status DA (Kasus vs Kontrol) dengan jumlah hasil UTK

yang positif berkorelasi signifikan (p=0,003 dan R= 0,458). DA juga berkorelasi

dengan tingginya IgE (p=0,001 dan R= 0,518). Hasil UTK berkorelasi positif dengan

tingginya IgE tetapi tidak signifikan (p=0,404 dan R= 0,136). Tabel matriksnya

disajikan sebagai berikut.

Tabel 5. Hubungan hasil UTK dengan Ig E spesifik pada DA dan NDA

Variabel R p

DA vs Hasil UTK 0,458 0,003

DA vs IgE 0,518 0,001

Hasil UTK vs IgE 0,136 0,404

38

Page 40: Dermatitis Ita

BAB V

PEMBAHASAN

Masalah penyakit kulit di masyarakat, khususnya yang bersifat kronis dan

kambuhan seperti DA, bukan merupakan masalah kesehatan semata tetapi dapat

berimbas pada kondisi sosial ekonomi dan kualitas hidup penderita. Pada akhir-akhir

ini dilaporkan bahwa DA merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia,

umumnya penderita DA adalah anak-anak dengan angka kejadian 10-20% di Amerika

Serikat, Eropa bagian Utara dan Barat, Afrika, Jepang, Australia, dan daerah insdustri

lainnya. (Leung, 2008) Studi epidemiologi dari berbagai kepustakaan menunjukkan

bahwa DA dapat mengenai semua jenis kelamin, pada anak perempuan lebih sedikit

dibandingkan anak laki-laki. (Abramovits,2005, Leung, 2008). Pada penelitian ini

perbandingan pria dan wanita adalah 1,5:1. Hasil ini sesuai dengan teori tersebut.

Pada hakekatnya patogenesis DA sampai saat ini masih merupakan

perdebatan. Telah banyak teori yang mengemukakan imunopatogenesis DA, namun

pada intinya atopi merupakan suatu kelainan hipersensitifitas yang diturunkan dalam

keluarga. Reaksi hipersensitifitas tersebut merupaka reaksi alergi terhadap alergen

lingkungan. Penelitian epidemiologi menunjukkan bahwa penyakit alergi cenderung

meningkat. Bila kedua orang tua menderita alergi + 80 % kemungkinan anak-anaknya

menderita alergi, dengan manifestasi klinik sama atau berbeda. Bila salah satu orang

39

Page 41: Dermatitis Ita

tua menderita alergi + 60% kemungkinan menurun pada anaknya. Hampir

keseluruhan terjadinya penyakit alergi melibatkan IgE. (Fokkens, 1999)

Hasil uji tusuk kulit merupakan menifestasi respon vaskular kulit. Bila kulit

terpajan oleh suatu antigen maka akan terjadi respon atau reaktifitas kulit. Reaksi

maksimal terjadi setelah 15-20 menit setelah pajanan antigen. Sel mast dengan IgE

antigen terkait akan mengeluarkan berbagai mediator, sitokin, dan faktor kemotaktik

untuk lekosit ke jaringan setempat sehingga terjadi pruritus dan eritem. (Norman,

1998).

Ig E berperan pada infiltrat sel inflamasi dermatitis atopik melalui berbagai

mekanisme termasuk reaksi bifasik, presentase alergen oleh sel Langerhans

penyandang IgE, aktivasi makrofag penyandang IgE yang dipicu alergen, dan

autoreaktivitas IgE terhadap protein manusia. Kelainan klinis reaksi yang dipicu oleh

alergen terkait dengan respon bifasik dan bergantung pada IgE. Sel mast penyandang

IgE yang sesuai dengan alergen pemicu akan mengeluarkan berbagai mediator ke

jaringan setempat dalam waktu 15-60 menit pasca pajanan. Hal tersebut tergambar

sebagai pruritus dan eritema akut. Tiga sampai empat jam kemudian setelah reaksi

akut menghilangakan terjadi reaksi lambat. Permukaan sel Langerhans dan makrofag

yang menginfiltrasi lesi dermatitis atopik menyandang IgE. (Soebaryo, 2009)

Salah satu metode untuk mendeteksi IgE spesifik adalah dengan metode in

vitro (tes RAST atau FEIA-CAP). Beberapa peneliti lebih suka menggunakan teknik

40

Page 42: Dermatitis Ita

in vitro jika pada pasien tampak dermatografisme, ekzim yang berat, atau jika

penderita tidak mau menghentikan penggunaan H1 blocker. (Cianferoni and Spergel,

2009)

Pada pasien DA pemeriksaan kadar IgE spesifik lebih mempunyai arti

dibandingkan dengan pemeriksaan kadar IgE total serum. Kadar IgE spesifik

walaupun rendah, dapat menentukan adanya penyakit atopik pada penderita.

(Centner, 1995)

Peran makanan untuk mencetuskan dermatitis atopik masih kontroversial.

Banyak penelitian mendukung peran IgE spesifik terhadap makanan pada patogenesis

DA. Pasien DA menunjukkan meningginya kadar IgE total dan IgE spesifik terhadap

makanan. Pada penelitian lainnya, pasien dengan IgE spesifik terhadap makanan bila

diberikan makanan tersebut akan meningkatkan konsentrasi histamin pada plasma,

produk eosinofil dan aktivasi eosinofil plasma. Bila anak dengan DA secara kronik

makan makanan yang menyebabkan mereka alergi akan dijumpai meningkatnya

pelepasan histamin secara spontan dari basofil dibandingkan dengan anak tanpa alergi

makanan. Terdapat kira-kira 40% bayi dan anak usia muda dengan DA sedang dan

berat yang disertai alergi makanan. Banyak laporan mengemukakan DA akan

membaik secara klinis setelah menghindari protein makanan penyebab. (Mahadi,

2009) Peranan IgE spesifik terhadap alergen pada imunopatogenesis DA melibatkan

beberapa jenis sel. Reseptor untuk antibodi IgE dijumpai pada sel B, sel T, monosit,

makrofag, sel dendritik, eosinofil, dan platelet. (Mahadi, 2009)

41

Page 43: Dermatitis Ita

Peran imunopatogen pada DA melibatkan sel B, sel T, monosit, makrofag, sel

dendritik, eosinofil, dan platelet. Sel Langerhan yang merupakan sel penyaji alergen

di kulit banyak dijumpai pada lesi DA. Setelah antigen terikat dengan IgE, antigen

diproses di sel Langerhans, yang kemudian sebagai fragmen peptida pada MHC klas

II akan disajikan pada sel T sehingga terjadi aktivasi sel T, terutama sel Th2. Pada

lesi akut (kurang dari 3 hari) terdapat infiltrasi limfosit dan sitokin sel Th2, yaitu IL-

4, IL-5, dan IL-13, sedangkan pada lesi kronik terutama IL-5 dan IL-13. Secara klinis

fase lambet IgE penting, meingkat pada kelainan alergi dan berperan penting pada

DA. Reaksi imunologik pada DA merupakan reaksi bifase yang diperantarai IgE

early phase reaction (EPR) dan IgE dependent Late Phase Reaction (LPR). Dalam

waktu 15-30 menit alergen makanan berikatan dengan IgE yang terdapat pada

permukaan sel mas, maka terjadi degranulasi sel mas yang mengeluarkan histamin

dan beberapa mediator, misalnya IL-1, IL-3, IL-4, IL-5, GM-CSF (Granulocyte

Monocyte Colony Stimulating Factor), TNF (Tumor Necrosis Factor), dan faktor

kemotaktik yang akan menarik berbagai sel inflamasi ke kulit. Penarikan eosinofil

dan basofil berperan penting selama fase LPR. Kedua sel ini mampu mengikat

alergen spesifik melalui ikatan IgE pada permukaan sel tersebut. Eosinofil melepas

beberapa bahan yang dapa menyebabkan beberapa perubahan patologik pada DA.

(Mahadi, 2009)

Pada penelitian kami, kelompok dermatitis atopik memiliki kadar Ig E

spesifik coklat dengan berbagai tingkat alergi. Artinya terdapat variasi kadar IgE

42

Page 44: Dermatitis Ita

spesifik sebagai antibodi monoklonal terhadap coklat. Kadar IgE meningkat pada

sekitar 70-80% penderita DA. Hal ini berhubungan dengan sensasi inhalan dan

makanan yang menyebabkan alergi. Sebaliknya, 20-30% penderita DA mempunyai

kadar IgE yang normal. Hal ini karena kurangnya sensasi IgE dalam melawan

inhalan atau makanan yang menyebabkan alergi. (Leung, 2008)

Dari hasil penelitian diatas dapat dilihat bahwa tidak terdapat kesepadanan

pemeriksaan uji kulit dan IgE spesifik terhadap coklat. Hal ini berbeda dengan

penelitian yang dilakukan oleh Harijono dan Yusuf. (Dewi, 2001, Kariosentono,

2005)

Sampai saat ini belum didapatkan adanya gambaran klinis maupun hasil

pemeriksaan laboratorium yang spesifik untuk dermatitis atopik. Diagnosis

ditegakkan berdasarkan identifikasi gambaran morfologi yang sering terdapat pada

dermatitis atopik dan ditunjang oleh adanya riwayat penyakit dermatitis atopik. Uji

kulit terhadap berbagai alergen dan pengukuran kadar IgE RAST bukan merupakan

pemeriksaan untuk menegakkan diagnosis dermatitis atopik, melainkan untuk

membuktikan adanya hipersensitifitas terhadap bahan alergen tertentu. (Zulkarnain,

2009).

Seperti diketahui bahwa hasil uji tusuk merupakan manfestasi reaktifitas

vaskuler kulit. Reaktifitas kulit yang tampak dapat disebabkan oleh rangsangan

sehingga terjadi reaktifitas vaskuler berupa eritema, indurasi, dan timbulnya urtikaria.

43

Page 45: Dermatitis Ita

Oleh karena itu uji tusuk sebaiknya hanya dipakai sebagai pemeriksaan saringan bagi

penderita DA, selebihnya dapat dilakukan pemeriksaan IgE spesifik untuk

konfirmasi. (Dewi, 2001)

Penatalaksanaan DA terutama adalah edukasi, mengurangi gatal (pelembab,

obat anti inflamasi) serta menghindari kekambuhan (menghindari faktor pencetus).

Berbagai macam pengobatan dapat dicoba sampai mendapatkan kombinasi

pengobatan yang ideal untuk pasien DA, diantaranya adalah

1. Inhibitor Kalsineurin Topikal. Bekerja dengan menghambat transkripsi sistem

inflamasi dalam sel T yang telah teraktivasi dan sel radang lainnya melalui

inhibisi kalsineurin sehingga mencegah pembentukan dan pelepasan sitokin

inflamasi oleh sel T helper serta menghambat proliferasi sel T.

2. Mofetil mikofenolat. Obat ini telah digunakan sebagai imunosupresan pada

transplantasi organ. Pemberian oral selama 12 minggu pada DA dewasa

memberi perbaikan klinis sebesar 68% disertai penurunan kadar IgE serum,

peningkatan IFN-γ) dan penurunan IL-10. (Sugito, 2009)

44

Page 46: Dermatitis Ita

BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Hasil UTK coklat yang positif lebih sering pada penderita dermatitis atopik anak

(35%) dibandingkan pada NDA (0%) dan perbedaan ini secara statistik

bermakna (p=0,004)

2. Kadar Ig E spesifik pada penderita dermatitis atopik anak lebih tinggi (rata-rata

1,5380 kU/L) dibandingkan pada NDA (rata-rata 0,4380kU/L) dan perbedaan ini

secara statistik bermakna (p=0,001)

3. Ditemukan hubungan yang tidak signifikan antara jumlah hasil UTK positif

coklat dengan IgE spesifik pada penderita DA.

4. Ditemukan hubungan yang signifikan antara hasil uji tusuk kulit coklat pada

pasien DA dan NDA

5. Ditemukan hubungan yang signifikan antara kadar IgE spesifik pada penderita

DA dan NDA

45

Page 47: Dermatitis Ita

B. Saran

1. Uji tusuk dapat dipakai sebagai pemeriksaan saringan bagi penderita DA, dan

pemeriksaan IgE spesifik untuk konfirmasi.

2. Perlunya penelitian yang lebih lanjut, dengan sampel yang lebih banyak dan

lebih bervariasi agar hasil penelitian yang diperoleh dapat memberi hasil

yang lebih baik.

3. Perlunya penelitian lebih lanjut dengan membandingkan berbagai macam

pemeriksaan penunjang pada penderita dermatitis atopik anak

46

Page 48: Dermatitis Ita

DAFTAR PUSTAKA

Abramovits, W. (2005) Atopic Dermatitis. J Am Acad Dermtol, 53, 86-93.

Amiruddin D.(2003) Dermatitis Atopik dan Penanganannya. In. Amiruddin D,

editors. Ilmu Penyakit Kulit. 1st ed. Makassar.p. 297-312.

Anonim-1 (2005) Laporan morbiditas sub bagian dermatologi anak di beberapa

rumah sakit di Indonesia.BOS, J. D. (2006) Immunology of atopic dermatitis.

In Harper, J., Oranje, A. & Prose, N. (Eds.) Textbook of pediatric dermatology.

2 ed. London, Blackwell.

Anonim-2. (2000) Data jumlah kunjungan baru dan lama pasien kulit anak di 7 rumah

sakit di Indonesia.

Ardiana D, Hutomo MM,Sawitri. (2004) Kadar eosinophil cationic protein serum

pada Dermatitis Atopik. Berkala Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin, 16 (2): 114-

120)

Arshad,S. (2002) Allergy An Illustrated Colour Text, Edinburgh, Churchill

Livingstone.

Baratawijaya K.G. (2006) Imunologi Dasar, In Baratawijaya K.G, editor. Jakarta,

Balai Penerbit FKUI.

47

Page 49: Dermatitis Ita

Beltrani, V. & Boguneiwicz, M. (2004) Atopic Dermatitis. Dermatology Online

Journal, 9, 1-28.

Blauvelt A, Hwang S & Udey M. (2003) Allergic and Immunologic Diseases of the Skin. J Allergy Clin Immunol 11,560-569.

Boediarja, S. (1999) Diagnosis Dermatitis Atopi pada Bayi dan Anak. Simposium

Mini dan Lokakarya Dermatitis Atopi pada Bayi dan Anak, 1, 681-700.

Boguniewicz, M & Leung D. (2000) Atopic Dermatitis. In Leung, D & Greaves,M

(Eds) Allergic Skin Diseases. New York, Marcel Dekker: 125-156

Bohme M, Svensson A, Kull I, Wahlgren C. (2000) Hanifin’s and Rajka’s Minor

Criteria for Atopic Dermatitis: Which do 2-year-old exhibit? American

Academy of Dermatology. 43(5): 785-792

CentnerJ, de Week AL. (1995) Atlas of Imuno-Allergology. Seatle. Hogrete & Hubber publisher.

Cianferoni A and Spergel JM. (2009) Food Allergy: Review, Classification and Diagnosis. Allergology International, 58:457-466

Daniel, P. S. (2000) Mechanisms of hypersensitivity, San Francisco, Prentice-Hall

International Incorporation.

Darsow U, Vieluf D, Ring J. (1999) Evaluating the relevance of aeroallergen

sensitization in atopic eczema with the atopy patch test: A randomized, double

blind multicenter study. J Am Acad Dermatol. 40:187-93

48

Page 50: Dermatitis Ita

Dewi I & Sukanto H.(2001) Kadar Imunoglobulin E spesifik dan uji tusuk teradap

Dermatophagoides pterronyssinus pada penderita Dermatitis Atopik Dewasa

dengan Kadar Imunoglobulin E total Serum di atas Normal. Berkala Ilmu

penyakit Kulit dan Kelamin, 13,122-127.

Dewi RWN. (2004) Eksim susu pada bayi dan anak. In Boediardja SA, Sugito TS,

Rihatmadja (eds) Eksim pada Bayi dan Anak. Jakarta, Balai Penerbit FKUI :

18-31

Eichenfield L, Chair M, Hanifin J, Luger T, Stevens S & Pride H (2003) Concensus

Conference on Pediatric Atopic Dermatitis.J Am Acad Dermatol, 49, 1088-95.

Fokkens WJ. (1999) Antigen precenting cells in nasal allergy. In Allergy; 54:1130-41

Friedmann PS, Ardern-Jones MR & Holden CA (2010) Atopic Dermatitis. In Burns

T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C (Eds.) Rook’s Text Book of Dermatology. 8

ed. USA, Blackwell Publishing Ltd.:24.1-24.34

Han D.(2004) Food Sensitization in Infans and Young Children with Atopic Dermatitis. Yonsei Med J. 45 (5) :803-809

Helen E. (2008) Food Allergy as Seen by an Allergist. Journl of Pediatric Gastroenterology and Nutrition. 47: S45-48

Kariosentono H. (2005) Hubungan reaktifitas uji tusuk dengan kadar immunoglobulin

(Ig) E dalam serum penderita dermatitis atopik. Jurnal Kedokteran Yarsi 13 (1):

76-85.

49

Page 51: Dermatitis Ita

Kang K, Poster AM.( 2003) Atopic Dermatitis. In Bolognia JL, Jorizzo JL, Rapini

RP, Horn T et al (Eds). Dermatology. 1th ed. London, Mosby: 199-208

Krafchik B, Halbert A, Yamoto K, Sasaki R.(2003) Ezcemtous Dermatitis. In

Schacner L, Hanses R, Happle R, Paller A et al (Eds). Pediatric Dermatology.

3th ed. London. Mosby :609-630

Laonita RS, Indriatmi W.(2000) Peran Staphylococcus Aureus Pada Dermatitis Atopik. MDVI;27/4S: 43S-47S.

Lachapelle, J.M & Maibach, H.I (2003 ) The methodology of prick testing and its

variants. In Lachapelle JM, Maibach HI, and Ring J (eds) Patch Testing Prick

Testing A Practical Guide. Berlin, Springer: 149-162

Lawrence F, Eichenfield, Hanifin J, Thomas A. (2003) Consensus Conference on Pediatric Atopic Dermatitis. J Am Acad Dermatol 2003;49:1088-95.

Lokanata M.D. (2006) Eksim susu pada bayi dan anak. In Djajakusumah T.S., Diana I.A, Ramali L.M, Hindritiani R (eds) Penanganan Eksim Pada Bayi dan Anak. Jakarta, Balai Penerbit FKUI: 27-41

Leung D, Eichenfield, L & Boguniewicz,M (2008) Atopic Dermatitis ( atopic

eczema). In Wolff, K, Goldsmith, L, Katz,S, Gilchrest,B, Paller, A, & Leffell,

D.(Eds) Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. NewYork, Mc

GrawHill.:146-158

Leung, D. Y. M. (2000) Atopic dermatitis:new insights and opportunities for

therapeutic intervention. J Allergy Clin Immunol 105, 860-876.

50

Page 52: Dermatitis Ita

Leung D & Soter N. (2001) Cellular and Immunologic Mechanisms in Atopic

Dermatitis. J Am Acad Dermatol, 44,1-12.

Mahadi ID. (2009) Peran Alergi Makanan Pada Dermatitis Atopik. In Boediardja SA,

Sugito TS, Indriatmi W, Devita M, Prihianti S (eds). Dermatitis Atopik. Jakarta.

Balai Penerbit FKUI: 12-20

Norman P.S. (1998) In Vivo Methods of Study of Allergy.In Midleton JE, Reed,

Charles E, Ellis, Elliot F (eds). Allergy, Principle and Practice. St.Louis. CV

Mosby Co, 295-302

Paller AS, Mancini AJ. (2006) Hurwitz Clinical Pediatric Dermatology, Chicago,

Elsevier Saunder.

Reitamo S, John, Luger T. (2001) Itch in Atopic Dermatitis.J Am Acad dermatol

2001;45:55-56.

Sampson H. (1997) Food Sensitivity and The Pathogenesis of Atopic Dermatitis. J R

Soc Med,90,2-8.

Sampson H. (2004) Update on Food Allergy. J Allergy Clin Immunol,113:805-19.

Scicherer SH. (1999) Manifestation of Food Allergy: Evaluation and Management. Am Fam Physician. 59(2):415-24, 429-30.

Simpson E, Hanifin M. (2005) Atopic Dermatitis. J Am Acad Dermatol; 53:115-28.

51

Page 53: Dermatitis Ita

Siregar, S. P. (2004) Peran Alergen Makanan dan Alergen Hirup pada Dermatitis

Atopik. In Boediardja S, Sugito T, dan Rihatmadja R (eds) Dermatitis Pada

Bayi dan Anak. Jakarta, Balai Penerbit FK UI: 12-20

Soebaryo, R.W. (2009) Imunopatogenesis Dermatitis Atopik. In Boediardja, S. A.,

Sugito, Indriatmi W, Prihianti S (eds). Dermatitis Atopik. Jakarta, Balai

Penerbit FK UI: 1-11

Spergel, J. M. & Schneider, L. C. (1999) Atopic Dermatitis. Journal of Asthma,

Allergy and Immunology, 1, 7-14.

Sudigdo, A. (2000) Dermatitis Atopik paradigma baru patogenesis DA dengan

menggunakan data lokal. Imuno-Dermatologi. Bandung, Bag / SMF kulit dan

kelamin - RSUP dr. Hasan Sadikin.

Sugito TS. (2009) Penatalaksanaan Terbaru Dermatitis Atopik. In Boediardja ASA,

Sugito TS, Indriatmi W, Devita M, Prihianti S (eds) Dermatitis Atopik. Jakarta.

Balai Penerbit FKUI: 39-51

Tay, Y. K., Kh, K. K., Khoo, L., Cl, C. G. & Giam, Y. (2002) Prevalence and

descriptive epidemiology of atopic dermatitis in Singapura school children. Br J

Dermatol 146, 101-106.

Wahab, A. S. (2002) Penyakit Imun, Jakarta, Widya Medika.

52

Page 54: Dermatitis Ita

Wisesa T. ( 2009) Masalah Kulit yang sering Ditemukan Pada Bayi dan Anak.

KSDAI & PERDOSKI.Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Williams, H. C. (2000) Epidemiology of atopic dermatitis. Clin Exp Dermatol 25,

522-529.

Wollenberg, A. & Bieber, T. (2000) Atopic dermatitis: from the genes to skin lesions.

Allergy 55, 205-213.

Wuthrich B, Cozzio A, Roll A, Senti G, Kundig T.(2007) Atopic Eczema: Genetic or environment? Ann Agric Environ Med,14, 195-201.

Wutrich, B. & Grendelmeier, p. (2002) Definition and diagnosis of intrinsic versus

extrinsic atopic dermatitis, New York, Marcel Dekker.

Yusuf,A., Novianto, A., Widjjanto, H.,Sawitri & Pohan, S.S. (2008) Perbandingan

Profil IgE kelompok Dermatitis Atopik dengan Riwayat Asma dan Kelompok

Dermatitis Atopik tanpa Riwayat Asma. Berkala Ilmu Penyakit Kulit &

Kelamin, 20, 11-16.

Zulkarnain I. (2009) Manifestasi Klinis dan Diagnosis Dermatitis Atopik. In

Boediardja ASA, Sugito TS, Indriatmi W, Devita M, Prihianti S (eds)

Dermatitis Atopik. Jakarta. Balai Penerbit FKUI: 21-38

53

Page 55: Dermatitis Ita

54

Page 56: Dermatitis Ita

Lampiran 1

TABEL 1. Pasien Dermatitis Atopik

NO. NAMA UMUR (tahun)

JENIS KELAMIN

Hasil UTK Coklat(cm)

Ig E-spesifik CoklatMetode RAST

(kU/L)Tingkat Alergi

1. RE 7 P 2 1,53 22. ME 3 P - 2,51 23. MR 7 L 1 1,38 24. SA 6 P - 0,42 15. AF 3 L 2 1,57 26. NA 6 P 3 0,43 17. NH 2 P - 0,73 28. AA 6 L - 3,4 29. GB 2 L 1 2,5 210. MD 3 L 3 1,22 211. SR 7 P - 4,03 312. MA 8 L - 0 013. MAY 4 L - 1,83 214. MH 3 L 3 0 015. NF 5 P - 2,33 216. JO 5 L - 1,23 217. JU 7 L - 1,73 218. AF 6 L - 1,52 219. SA 3 P - 0 020. MRP 3 L - 2,4 2

KeteranganTingkat Alergi dibagi atas 7 kelas:Kelas 0 : Tidak Terdeteksi < 0,35Kelas 1 : Lemah 0,35 – 0,70Kelas 2 : Sedang 0,71 – 3,50Kelas 3 : Kuat 3,51 – 17,5Kelas 4 : Sangat Kuat 17,6 – 50,0Kelas 5 : Sangat Kuat 50,1 – 100Kelas 6 : Sangat Kuat > 100

55

Page 57: Dermatitis Ita

Lampiran 2

Tabel 2 Pasien Non Dermatitis Atopik

NO. NAMA UMUR(tahun)

JENIS KELAMIN

Hasil UTK Coklat(cm)

Ig E-spesifik CoklatMetode RAST (kU/L)

Tingkat Alergi

1. GR 5 P 0 0 02. RI 5 L 0 0,38 13. LE 6 P 0 0 04. DE 10 P 0 0 05. NO 11 P 0 0 06. DE 7 P 0 0,41 17. EC 12 P 0 0 08. NV 11 P 0 0,53 19. SI 10 P 0 2,51 210. AM 10 L 0 0 011. JD 10 L 0 0 012. FE 8 L 0 1,84 213. CH 10 L 0 0,66 114. AD 12 L 0 0 015. BA 11 L 0 0,37 116. AS 12 L 0 0,72 217. JH 7 L 0 0 018. HE 12 L 0 0,37 119. MU 12 P 0 0,44 120. PU 10 P 0 0,53 1

KeteranganTingkat Alergi dibagi atas 7 kelas:Kelas 0 : Tidak Terdeteksi < 0,35Kelas 1 : Lemah 0,35 – 0,70Kelas 2 : Sedang 0,71 – 3,50Kelas 3 : Kuat 3,51 – 17,5Kelas 4 : Sangat Kuat 17,6 – 50,0Kelas 5 : Sangat Kuat 50,1 – 100Kelas 6 : Sangat Kuat > 100

56