Depth Conversion and Depth Contour Maps

16
{ DEPTH CONVERSION AND DEPTH CONTOUR MAPS

Transcript of Depth Conversion and Depth Contour Maps

Page 1: Depth Conversion and Depth Contour Maps

{

DEPTH CONVERSION AND DEPTH CONTOUR MAPS

Page 2: Depth Conversion and Depth Contour Maps

Keberadaan jebakan hidrokarbon dapat diketahui dengan mengamati struktur horizon puncak reservoir. Pada peta seismik, puncak reservoir diindikasikan dengan perubahan warna maupun amplitudo, menandakan adanya perubahan karakter batuan

Page 3: Depth Conversion and Depth Contour Maps

Model seismik buatan menggunakan 50 Hz dominant Butterworth wavelet. Penurunan kecepatan pada lapisan kedua menghasilkan sag effect, yang semakin lama semakin tebal menjadi pull-down effect di dasar lapisan kedua.

Page 4: Depth Conversion and Depth Contour Maps

Hasil konversi waktu vs kedalaman secara vertikal pada migrasi seismik berdasarkan interpolasi kecepatan

Page 5: Depth Conversion and Depth Contour Maps
Page 6: Depth Conversion and Depth Contour Maps

Model kecepatan satu lapis untuk horizon target. Model kue lapis dengan kecepatan konstan

(dikenal sebagai metode ‘stretching vertical’) Model kue lapis perbedaan kecepatan secara

lateral Model kue lapis dengan kenaikan kecepatan

sebagai fungsi kedalaman , dengan rumus Vz = V0 + K x Z . V0 konstan atau divariasikan secara horisontal. Apabila digunakan satu well data, diperoleh nilai K lokal. Sedangkan apabila digunakan kecepatan interval kecepatan dari beberapa sumur, hasilnya tidak stabil. Nilai Zi

berdasarkan interval adalah :

Konversi time-depth vertikal diperoleh beberapa tahap

Page 7: Depth Conversion and Depth Contour Maps

Metode Vo-K menggunakan regresi linear untuk menghitung interval velocity trend (garis merah) terhadap kedalaman. Biasanya kecepatan interval diplot pada midpoint depth. Titik-titik yang berada di jauh dari garis tren dapat diabaikan karena mengganggu penhitungan. Fungsi harus berada pada rentang kecepatan tertentu. Ekstrapolasi yang melebihi batas dapat mengakibatkan eror.

Page 8: Depth Conversion and Depth Contour Maps

Data kecepatan pada well menghasikan trend V0-K menggunakan kecepatan di puncak dan dasar lapisan. Trend regional berdasarkan data sejumlah sumur. Midpoint depth dan kecepatan interval digunakan untuk mengetahui trend kecepatan linear trend keceptan. Well regoinal menggambarkan efek kompaksi atau timbunan.

Page 9: Depth Conversion and Depth Contour Maps

Pertambahan kecepatan secara linear sebagai fungsi waktu. Metode ini tidak memberikan hasil yang realistis apabila terdapat perubahan yang ekstrim, contoh : adanya garam.

Persamaan Faust V = A x Z1/N , kecepatan bergantung pada umur batuan (Faust 1951, 1953). N adalah konstanta yang nilainya tergantung pada area dan litologi batuan, misalnya silici-clastic memiliki N = 6, karbonat memiliki N=3. Persamaan Faust dapat mencapai kedalaman hingga 200 m. Sedangkan A merupakan variabel area.

Kecepatan interval dikalibrasi yang dihasilkan dari kecepatan stacking menggunakan rumus Dix (Dix 1955).

Densitas sampel 3D dari data kecepatan rata-rata. Wellshoot berdasarkan interpolasi kurva T-Z. Untuk

interpolasi, dapat digunakan trend kecepatan stacking.

Page 10: Depth Conversion and Depth Contour Maps

Metode time-depth konvensional yang hanya berdasarkan well data, hasilnya sangat terbatas, terlebih apabila area bawah permukaan yang dipetakan memiliki subsidence history yang kompleks. Kebanyakan metode dapat berfungsi dengan baik apabila terdapat data well yang cukup. Apabila dilakukan interpolasi atau ekstrapolasi secara berlebihan, diperoleh hasil yang tidak realistis.

. Data kecepatan memberi informasi mengenai litologi, fasies deposisi, fluida dalam pori batuan, rongga kelebihan tekanan, burial history, dan temperatur.

Page 11: Depth Conversion and Depth Contour Maps

 Metode seismic depth conversion merupakan metode paling baik untuk melihat struktur.

Metode ini digunakan untuk menghitung kecepatan rata-rata peta dari permukaan hingga horizon target. Apabila target berada pada mode banyak lapis, diperlukan sejumlah error map untuk memperoleh tingkat menengah. Error map ini hanya cocok apabila digabungkan dengan well control point, namun untuk menggambarkan area di sekitarnya terkadang salah, sehingga diperlukan koreksi.

Page 12: Depth Conversion and Depth Contour Maps

1. Data kecepatan dan regional TWT grid telah diinterpetasi. Kecepatan stacking ditransformasikan dalam kecepatan interval dengan menggunakan rumus Dix. Diperoleh konversi kedalaman sementara untuk dibandingkan ketidaksesuaiannya dengan well (gambar 7)

2. Survey menggunakan control point minimum yang dipilih sebagai referensi dan titik statis (base). Pada area overlap, ditentukan perbedaan antara base dengan titik lain. Pada tiap survey, koreksi terpenting adalah menghitung dan mengaplikasikan agar diperoleh nilai yang masih di dalam rentang survey referensi (gambar 8).

Tahap-tahap survey seismik untuk memperoleh peta kedalaman horison TWT target adalah :

Page 13: Depth Conversion and Depth Contour Maps
Page 14: Depth Conversion and Depth Contour Maps

Backinterpolation and rigorous geostatistical analysis in the overlap areas is at the basis of the harmonisation step in velocities from the different seismic surveys.

Page 15: Depth Conversion and Depth Contour Maps

Efek time pull up pada time section. Semakin dalam, kenaikan waktu dibanding sebenarnya semakin tinggi.

Page 16: Depth Conversion and Depth Contour Maps

Kedalaman sisa koreksi terkadang memperbaiki eror yang terjadi, bergantung pada metode konversi time-depth yang digunakan. Bila ternyata cocok dengan kondisi geologis, dapat membantu untuk melakukan grid dengan metode yang lebih canggih.