DEPOSITO ITA

download DEPOSITO ITA

of 142

Transcript of DEPOSITO ITA

ASPEK HUKUM PEMBERIAN KREDIT DENGAN JAMINAN DEPOSITO (KREDIT BACK TO BACK) DI PT. BANK DANAMON INDONESIA, TBK KANTOR CABANG MANADO

Tesis untuk memenuhi sebagaian persyaratan mencapai derajat Sarjana S-2 Program Studi Magister Kenotariatan

diajukan oleh : Raimond Flora Lamandasa 18884/PS/MK/06

kepada PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA 2008

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis persembahkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah menganugerahkan berkat, kesehatan dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini dengan judul : ASPEK HUKUM PEMBERIAN KREDIT DENGAN JAMINAN DEPOSITO (KREDIT BACK TO BACK) DI PT. BANK DANAMON INDONESIA, TBK KANTOR CABANG MANADO. Tesis ini disusun guna memenuhi sebagian persyaratan dalam mencapai derajat Sarjana S-2 pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan-kekurangan dalam tesis ini, baik dalam substansi maupun sistematika penyajiannya. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna kesempurnaannya lebih lanjut. Dalam proses perkuliahan hingga pada penyusunan tesis ini, penulis telah banyak menerima dukungan moriil maupun materiil dari berbagai pihak, untuk itu melalui kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan rasa terima kasih dan penghargaan yang tidak terhingga kepada semua pihak yang telah mendukung penulis dalam studi selama ini. Teristimewa, ucapan terima kasih dan penghargaan ini penulis sampaikan secara khusus kepada, yang terhormat : 1. Bapak Taufiq El Rahman, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing Akademik sekaligus selaku Dosen Pembimbing Tesis, yang telah banyak membantu,

iv

memotivasi, dan memberikan waktunya dalam pembimbingan hingga selesainya tesis ini. 2. Bapak Dr. Marsudi Triatmodjo, S.H., L.L.M., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 3. Bapak Prof. Dr. Abdul Ghofur Anshori, S.H., M.H., selaku Ketua Pengelola Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Gadjah Mada, Bapak Prof. Dr. Sudjito, S.H., MSi., selaku Pengelola Bidang Akademik dan

Kemahasiswaan, serta Bapak Sularto, S.H., C.N., M.H., selaku Pengelolah Bidang Administrasi Umum dan Keuangan. 4. Management PT. Bank Danamon Indonesia, TBk Kantor Cabang Manado, beserta staffnya di Bagian Marketing, Bagian Administrasi Kredit, Bagian Legal dan Bagian Collection, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk berdiskusi dalam pelaksanaan penelitian lapangan di sela-sela pekerjaannya masing-masing. 5. Ibu Anne Hommes dan Bapak Prof. Dr. Tj. Hommes di Maine - Amerika Serikat, yang selalu memberikan motivasi kepada penulis untuk lebih berkarya demi kemanusiaan. 6. Ibu Marie Claire Barth di Bassel - Swiss, yang juga banyak memberikan motivasi untuk keberhasilan study penulis. 7. United Church of America yang telah membantu keuangan penulis dengan beasiswa yang sangat berarti selama penulis mengikuti pendidikan Magister Kenotariatan di UGM.

v

8.

Para Guru Besar Pengasuh Mata Kuliah Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

9.

Seluruh Dosen Pengasuh Mata Kuliah Program Magister Kenotariatan, bersama staff karyawan/karyawati pada Program Studi Magister Kenotariatan.

10.

Seluruh staff karyawan/karyawati Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.

11.

Isteri penulis, yang tercinta Ir. Gladys Peuru, M.Si., yang dalam kesibukannya sebagai mahasiswa S3 Institut Pertanian Bogor (IPB), bersama anak-anak kami, yang tersayang : Canty Gracella Lamandasa, Cindy Daniella Lamandasa, Cinta Immanuella Lamandasa dan Chanto Joshua Lamandasa, yang dengan setia dan penuh pengertian atas keterpisahan selama studi, tekun berdoa dan selalu memotivasi penulis untuk menyelesaikan studi.

12.

Ibu bapak, kakak-kakak (Ir. Sulzofyan Lamandasa, Sherly Lamandasa, SE, MSi, Ir. Nopelius Lamandasa) dan adik penulis (Ir. Lewingston Lamandasa), serta ayah ibu mertua yang juga turut mendoakan dan memotivasi penulis agar sukses selalu dalam studi.

13.

Teman-teman MKN angkatan tahun 2006, yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

14.

Teman-teman kost di Jl. Jetisharjo No.560 Jetis II Yogyakarta. Dengan kerendahan hari, penulis berharap kiranya tesis ini dapat menjadi

masukan yang bermanfaat bagi PT. Bank Danamon Indonesia, TBk dan atau kepada siapa saja yang membutuhkan informasi sehubungan dengan materi tesis ini.

vi

Akhirnya, satu babak dalam perjalanan hidup ini tercapai sudah, telah terbuka titik awal jalan baru untuk ditempuh dalam asa perjalanan hidup ini. Semoga harap dan cita yang selalu menyemangati penulis selama ini bisa terealisasi hanya dalam Pimpinan dan Anugerah dari Tuhan Yesus Kristus, amien.

Yogyakarta, Januari 2008

Raimond Flora Lamandasa

vii

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL . HALAMAN PENGESAHAN . HALAMAN PERNYATAAN . KATA PENGANTAR . DAFTAR ISI DAFTAR LAMPIRAN INTISARI ABSTRACT i ii iii iv viii xi xii xiii

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang. B. Perumusan Masalah C. Keaslian Penelitian .. D. Tujuan Penelitian E. Kegunaan Penelitian

1 1 8 9 9 10

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian ... 1. Pengertian Perjanjian dan Perikatan . 2. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian 3. Berakhirnya Perjanjian . 4. Wanprestasi ..

11 11 11 14 19 21

viii

B. Tinjauan Tentang Kredit dan Perjanjian Kredit . 1. Pengertian Kredit . 2. Jenis-Jenis Kredit . 3. Perjanjian Kredit .. 4. Kredit Bermasalah ............................... 5. Penanganan Kredit Bermasalah .............................

24 24 32 33 38 42

C. Tinjauan Tentang Jaminan . 1. Pengertian Jaminan .. 2. Klasifikasi Jaminan Kredit ..

43 43 45

D. Tinjauan Tentang Gadai Sebagai Salah Satu Lembaga Jaminan .. 1. Pengertian Gadai . 2. Sifat Perjanjian Gadai Sebagai Perjanjian Accesoir .. 3. Hak dan Kewajiban Kreditur Pemegang Gadai . 4. Hak dan Kewajiban Debitur / Penjamin Pemberi Gadai 5. Berakhirnya Perjanjian Gadai .

47 47 49 50 51 53

E. Tinjauan Tentang Deposito Sebagai Jaminan Kredit . 1. Pengertian Deposito . 2. Jenis-Jenis Deposito . 3. Deposito Sebagai Jaminan Kredit 4. Tata Cara Pengikatan Deposito Sebagai Jaminan Kredit

53 53 55 56 57

III. CARA PENELITIAN . A. Sifat Penelitian .. B. Jenis Penelitian .. 1. Penelitian Kepustakaan . 2. Penelitian Lapangan .

60 60 61 61 62

ix

C. Jalannya Penelitian D. Analisa Data . E. Hambatan-Hambatan Yang Dihadapi dan Cara Mengatasinya

64 65 65

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN . A. Gambaran Umum PT. Bank Danamon Indonesia . 1. Sejarah Singkat PT. Bank Danamon Cabang Manado . 2. Bank Danamon Kantor Cabang Manado . 3. Pencapaian Bisnis PT. Bank Danamon Cabang Manado .

67 67 67 71 73

B. Pelaksanaan Kredit Dengan Jaminan Deposito 1. Hasil Penelitian . 2. Pembahasan ..

74 74 88

C. Pencairan Depoito Jaminan Yang Tidak Turut Ditandatangani 1. Hasil Penelitian . 2. Pembahasan ..

92 92 96

V. PENUTUP .. A. Kesimpulan ... B. Saran ..

101 101 102

DAFTAR PUSTAKA ...

104

x

DAFTAR LAMPIRAN

I. Surat Perjanjian Kredit Bank Danamon Indonesia II. Surat Perjanjian Gadai Deposito Bank Danamon III. Surat Kuasa Mencairkan Deposito Jaminan Bank Danamon IV. Surat Kuasa Debet Rekening Bank Danamon

xi

ASPEK HUKUM PEMBERIAN KREDIT DENGAN JAMINAN DEPOSITO (KREDIT BACK TO BACK) DI PT. BANK DANAMON INDONESIA, TBK KANTOR CABANG MANADO Raimond Flora Lamandasa, 1 dan Taufiq El Rahman 2

INTISARI

Tujuan penelitian ini ialah : (1) untuk mengetahui bagaimana PT.Bank Danamon Indonesia, TBk Kantor Cabang Manado melakukan pengikatan jaminan deposito yang perjanjiannya tidak turut ditandatangani oleh isteri atau suami pemilik deposito, dalam menjamin kredit back to back; (2) untuk mengetahui bagaimana PT.Bank Danamon Indonesia, TBk Kantor Cabang Manado melakukan pencairan deposito jaminan yang pengikatannya tidak turut ditanda tangani oleh istri atau suami pemilik deposito jika debitur kredit back to back tersebut wanprestasi. Penyusunan tesis ini dilakukan berdasarkan penelitian lapangan untuk memperoleh data primer, dan penelitian kepustakaan untuk memperoleh data sekunder, dengan masing-masing teknik pengumpulan data melalui wawancara dan studi literatur. Seluruh data kemudian dianalisis dengan metode kualitatif. Hasil penelitian ini ialah : (1) PT. Bank Danamon Indonesia, TBk, Kantor Cabang Manado melakukan pengikatan kredit dengan jaminan deposito yang tidak turut ditanda tangani oleh isteri atau suami debitur/penjamin berdasarkan rekomendasi komite kredit kantor pusat atas penyimpangannya. PT.Bank Danamon Indonesia, Tbk Kantor Cabang Manado tidak sepenuhnya terlindungi dengan pemberian jaminan deposito yang perjanjian jaminannya tidak turut ditanda tangani oleh isteri atau suami pemilik deposito. (2) PT.Bank Danamon Indonesia TBk Kantor Cabang Manado mencairkan deposito jaminan untuk melunasi kredit back to back yang bermasalah, jika kreditnya tertunggak selama 14 hari dan untuk pencairan itu debitur telah diberikan Surat Peringatan 1 sampai dengan 3 untuk melunasi tunggakannya. Kata kunci : kredit back to back, deposito jaminan tidak ditanda tangani isteri atau suami, wanprestasi

1 2

Jl. Jetisharjo No.560, Jetis II, Yogyakarta Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogakarta

LEGAL ASPECT OF BACK TO BACK LOAN AT PT. BANK DANAMON INDONESIA TBK, BRANCH OF MANADO Raimond Flora Lamandasa, 1 and Taufiq El Rahman 2

ABSTRACT The aim of this research is : (1) to know how PT. Bank Danamon Indonesia Tbk, Branch of Manado engages deposit guarantee which is spouse of owner are excluded from this agreement, in guarantying back to back loan; (2) to know how PT. Bank Danamon Indonesia Tbk, Branch of Manado frees a deposit guarantee in which the engagement excludes spouse of owner if back to back loan that is guaranteed default. It based upon field research to get primary data and literature research to get secondary data, and used interview and literature study as data collecting technique. All of data was analyze with qualitative method. The results are : (1) PT. Bank Danamon Indonesia Tbk, Branch of Manado engaged loan with deposit guarantee that excluded spouse of debtor/guarantor based on recommendation of head office credit committee toward the deviation. PT. Bank Danamon Indonesia Tbk, Branch of Manado is not fully protected by giving the deposit guarantee that excluded spouse of owner. (2) PT. Bank Danamon Indonesia Tbk, Branch of Manado liquefied deposit guarantee to settled back to back loan which had problem, if the payment is delayed during 14 days and therefore debtor has been warned by Warning Letter 1 until 3 to settle the arrears.

Keywords: back to back loan, deposit guarantee with no initial of spouse, default.

1 2

Jl. Jetisharjo No. 560, Jetis II, Yogyakarta Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta

BAB I PENDAHULUAN

A.

Latar Belakang Pada umumnya semua negara yang sedang berkembang seperti halnya

Indonesia mempunyai program

pembangunan ekonomi yang bertujuan untuk

mensejahterakan masyarakat secara keseluruhan. Dalam konteks ini peranan perbankan menjadi sangat vital layaknya sebuah jantung dalam tubuh manusia.

Keduanya saling mempengaruhi dalam arti perbankan menjadi salah satu sumber pembiayaan yang akan mengalirkan dana bagi kegiatan ekonomi, sehingga bank yang sehat akan memperkuat kegiatan ekonomi suatu bangsa. Sebaliknya, kegiatan ekonomi yang tidak sehat, lesu atau rapuh juga akan sangat mempengaruhi tingkat kesehatan dunia perbankan. Peranan lembaga perbankan yang sangat strategis ini terus ditata dan diperbaiki dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 Tentang Perbankan, yang kemudian direvisi dengan Undang-undang Nomor 10 tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 7 tahun 1992 Tentang Perbankan (untuk selanjutnya disebut UU Perbankan). Undang-undang ini memberikan landasan yuridis yang lebih luas dan jelas serta mempertegas jangkauan pelayanan bank terhadap segala lapisan masyarakat. Bank, menurut UU Perbankan didefinisikan sebagai badan usaha yang

menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya

2

kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. Sebagai lembaga kepercayaan masyarakat, bank mempunyai visi dan misi yang sangat mulia yaitu sebagai sebuah lembaga yang diberi tugas untuk mengemban amanat pembangunan bangsa demi tercapainya peningkatan taraf hidup rakyat. Untuk melaksanakan visi dan misi tersebut, bank berperan sebagai agent of intermediary, dengan menyelenggarakan fungsi-fungsi, sebagai berikut : 1. Fungsi menghimpun dana. 2. Fungsi pemberian kredit. 3. Fungsi memperlancar lalu lintas pembayaran. 4. Fungsi sebagai penyedia informasi, pemberian konsultasi dan bantuan penyelenggaraan administrasi (PT. Persero Danareksa, 1987 : 238). Dalam menjalankan kegiatan usahanya di bidang penyaluran kredit, bank dihadapkan pada permasalahan resiko yaitu resiko pengembalian kredit sehubungan dengan adanya jangka waktu antara pencairan kredit dengan pembayaran kembali. Ini berarti bahwa semakin panjang jangka waktu kredit semakin tinggi pula resiko kredit tersebut. Menghadapi resiko tersebut, pasal 2 UU Perbankan mengamanatkan suatu prinsip agar pihak perbankan dalam melakukan kegiatan usahanya harus bersasaskan demokrasi ekonomi dengan menggunakan prinsip kehati-hatian (prudential banking principle).

3

Lebih lanjut pasal 8 UU Perbankan mengarahkan bahwa dalam memberikan kredit, bank wajib mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan. Dan untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan dan prospek usaha dari calon debitur. Mengingat bahwa agunan atau jaminan merupakan salah satu unsur dalam pemberian kredit dan sebagai sarana perlindungan bagi keamanan kreditur untuk adanya kepastian atas pelunasan hutang debitur, atau untuk pelaksanaan suatu prestasi oleh debitur atau oleh penjamin debitur, maka meskipun berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur mengembalikan hutangnya, jaminan tambahan atau agunan masih tetap diminta oleh pihak bank (Hasan, 1996 : 233). Untuk memberi landasan yuridis bagi kreditur dalam melaksanakan hak dan kekuasaan atas barang jaminan yang diserahkan oleh debitur atau penjamin debitur, maka atas barang jaminan tersebut lebih dahulu dilakukan pengikatan menurut

hukum yang berlaku, misalnya dengan pengikatan Hipotik, Hak Tanggungan, Fidusia, Gadai atau dengan Jaminan Perorangan (Personal Guarantee) dan Jaminan Perusahaan (Coorporate Guarantee). Menurut sifatnya, lembaga jaminan dapat dibedakan dalam bentuk jaminan perorangan (persoonlijke zekerheid) yang menimbulkan hak perseorangan; dan jaminan kebendaan (zakelijke zekerheid) yang menimbulkan hak kebendaan.

4

Jaminan perorangan adalah jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, selalu berupa suatu perjanjian antara seorang berpiutang (kreditur) dengan pihak ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban dari si berutang (debitur), bahkan jaminan perorangan ini dapat diadakan tanpa pengetahuan dari si berutang (debitur) tersebut sehingga jaminan perorangan menimbulkan hubungan langsung antara perorangan yang satu dengan yang lain. Termasuk dalam jaminan perorangan adalah : personal guarantee, coorporate guarantee dan atau perikatan tanggung-menanggung. Sedang jaminan kebendaan ialah jaminan yang berupa hak mutlak atas sesuatu benda dengan ciri-ciri mempunyai hubungan langsung dengan benda tertentu dari debitur atau pihak ketiga sebagai penjamin, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya dan dapat diperalihkan. Jaminan kebendaan ini selain dapat diadakan antara kreditur dengan debiturnya juga dapat diadakan antara

kreditur dengan pihak ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban si berutang (debitur) sehingga hak kebendaan ini memberikan kekuasaan yang langsung terhadap bendanya. Yang termasuk dalam jaminan kebendaan adalah : hak tanggungan, hipotik, gadai dan jaminan fidusia. Ada dua pertimbangan yang setidaknya menjadi prasyarat utama untuk sesuatu benda dapat diterima sebagai jaminan, yaitu : 1. Secured, artinya benda jaminan kredit dapat diadakan pengikatan secara yuridis formal, sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan. Jika di

5

kemudian hari terjadi wanprestasi dari debitur, maka bank memiliki kekuatan yuridis untuk melakukan tindakan eksekusi. 2. Marketable, artinya benda jaminan tersebut bila hendak dieksekusi dapat segera dijual atau diuangkan untuk melunasi seluruh kewajiban debitur (Ibrahim, 2004 : 71). Sebagai salah satu bank yang terus menggulirkan kredit kepada masyarakat umum, PT. Bank Danamon Indonesia, Tbk. Kantor Cabang Manado (untuk selanjutnya disebut Bank Danamon), dalam setiap pemberian fasilitas kredit, mensyaratkan calon debitur untuk memberikan jaminan. Bank Danamon menggolongkan jaminan kredit ke dalam tiga kategori, yaitu Jaminan Utama, Jaminan Penunjang dan Jaminan Tambahan. Penggolongan jaminan tersebut didasarkan pada tingkat likuiditas dan marketabilitas jaminan itu sendiri. Yang paling likuid dan marketabel digolongkan sebagai Jaminan Utama, yang likuiditas dan marketabilitasnya sedang-sedang digolongkan sebagai Jaminan

Penunjang dan yang tingkat likuiditas dan marketabilitasnya rendah digolongkan sebagai Jaminan Tambahan. Jaminan Utama terdiri dari dana cash dari debitur atau pihak ketiga (penjamin) yang dikhususkan untuk itu (bisa berupa tabungan, giro atau deposito), emas, bank garansi dari bank lain, tanah dan bangunan yang aksesibilitasnya sangat lancar (terletak di daerah pusat bisnis dengan nilai marketabilitas yang tinggi). Jaminan Penunjang terdiri dari tanah dan bangunan atau tanah kosong yang aksesibilitasnya sedang-sedang, mesin-mesin yang dibiayai dan kendaraan bermotor (mobil). Sedangkan Jaminan Tambahan terdiri dari piutang

6

dagang atau tagihan dagang (receivables) serta persediaan barang dagangan (stock inventory) usaha debitur yang dibiayai. Bank Danamon termasuk bank yang cukup ketat dengan ketentuan rasio kecukupan jaminan atau total collateral coverage (TCC). Benda yang akan dijaminkan terlebih dahulu dilakukan penilaian (taksasi) oleh appraiser interen Bank Danamon dengan patokan harga pasar (market value), kemudian dari harga pasar tersebut dinilai lagi dengan menggunakan nilai Maximum Reliance Bank Danamon (Bank Danamon value), yang range prosentasenya berbeda-beda, sesuai jenis barang jaminannya. Dari nilai Bank Danamon inilah yang kemudian dijadikan sebagai dasar perhitungan rasio kecukupan jaminannya. Untuk jaminan dalam bentuk dana tunai dalam currency yang sama, nilai Bank Danamonnya 100 %, sedangkan jaminan berupa tanah dan bangunan, mesin-mesin serta kendaraan bermotor (mobil) maksimum nilainya hanya sampai 80 % dari

market value. Total collateral coverage suatu kredit harus mengkover minimal 125 % dari plafond kredit yang diberikan, komposisinya bisa terdiri dari total ketiga kriteria jaminan tersebut, tetapi dengan minimum nilai kecukupan Jaminan Utama 80 %. Namun kecukupan collateral coverage sebesar 125 % ini dapat dikecualikan jika jaminan yang diberikan adalah seluruhnya dalam bentuk dana cash dalam currency yang sama, yaitu sudah cukup dengan total collateral coverage-nya sebesar 100 % saja. Belakangan ini berkembang menjadi trend dalam pemberian jaminan dalam bentuk deposito. Bank Danamon, mengklasifikasikan deposito sebagai Jaminan

7

Utama, karena memiliki tingkat kepastian nominal yang sudah pasti dan likuiditasnya pun paling likuid dibanding dengan jaminan lainnya. Oleh karena itu, jika

memungkinkan,

jaminan inilah yang dimintakan kepada calon debitur untuk

diserahkan. Selain faktor kepastian dan likuiditas tersebut, alasan lain sehingga Bank Danamon, disatu sisi meminta, ataupun calon debitur, disisi lainnya, memberikan jaminan deposito atas kreditnya adalah proses persetujuan kreditnya mudah, cepat, tidak berbelit-belit serta biayanya kecil. Selebihnya adalah faktor psikologis penggunaan kredit juga turut menjadi pertimbangan nasabah dimana dengan menggunakan kredit bank, debitur pengelolaan keuangannya. Tetapi kemudian, mudah dan cepatnya proses persetujuan dan pencairan kredit dengan jaminan deposito itu, dalam banyak kasus justru menjadi salah satu sumber permasalahan hukum tersendiri bagi bank, karena debitur yang memberikan deposito sebagai jaminan, umumnya adalah debitur yang secara finansial kuat, sehingga memiliki bargaining position di mata perbankan. Menyadari bargaining merasa lebih bertanggung jawab dalam

position-nya lebih kuat dibanding dengan debitur pada umumnya, pemilik deposito selalu meminta pengecualian-pengecualian dalam pengikatan kredit dan atau jaminannya. Pengecualian yang umum diminta adalah pemilik deposito keberatan dan tidak mau jika perjanjian kredit dan perjanjian jaminan gadai depositonya turut ditanda tangani oleh isteri atau suaminya. Situasi ini menyebabkan bank berada dalam posisi sulit, memilih antara pencapaian target atau pemenuhan aspek hukum kreditnya. Dalam praktek, biasanya pertimbangan bisnis selalu mengalahkan aspek

8

hukum, sehingga sering kali aspek hukum ini khususnya dalam hal pengikatan kredit dan jaminan gadai depositonya menjadi terabaikan. Adanya tarik-menarik kepentingan, terlebih bagi bank yang tidak mau kehilangan bisnisnya, maka

terjadilah pengikatan kredit dan penjaminan deposito atas nama suami yang diikat oleh bank tanpa persetujuan isteri, atau sebaliknya. Tidak ditanda tanganinya oleh salah satu dari suami atau isteri atas perjanjian gadai deposito jaminan tersebut, menjadi potensi masalah hukum ketika debitur kredit dengan jaminan deposito

tersebut wanprestasi. Celah hukum tersebut, dapat menjadi dasar yuridis yang kuat bagi pihak yang tidak memberikan persetujuan untuk melakukan intervensi hukum dengan cara mengajukan keberatan (tuntutan) jika pencairan deposito jaminan tersebut akan dilakukan oleh bank. Tuntutannya adalah pencairan deposito jaminan tidak dapat dilakukan oleh bank karena pengikatan jaminannya sempurna dimata hukum. tidak dilakukan dengan

B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas, penulis tertarik

melakukan penelitian dengan fokus kepada permasalahan-permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimana Bank Danamon melaksanakan pengikatan jaminan deposito yang tidak turut ditanda tangani oleh isteri atau suami pemilik deposito ?

9

2.

Bagaimana Bank Danamon melakukan pencairan deposito jaminan yang tidak turut ditanda tangani oleh isteri atau suami pemilik deposito jika debitur kredit yang dijamin dengan deposito tersebut wanprestasi ?

C. Keaslian Penelitian Dari penelusuran bahan pustaka yang dilakukan oleh penulis, diketahui

bahwa penelitian tentang Aspek Hukum Pemberian Kredit Dengan Jaminan Deposito (Kredit Back to Back) Di PT. Bank Danamon Indonesia, Tbk Kantor Cabang Manado, lebih khusus lagi penelitian yang fokusnya kepada pengikatan jaminan deposito yang tidak turut ditanda tangani oleh isteri atau suami pemilik deposito jaminan, belum pernah ada. Dengan demikian penelitian ini adalah penelitian yang pertama dan asli adanya, namun demikian apabila ternyata pernah dilakukan penelitian yang sama maka penelitian ini diharapkan dapat melengkapinya.

D. Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan tujuan sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui bagaimana Bank Danamon melaksanakan pengikatan kredit dengan jaminan deposito yang pengikatan kredit dan jaminannya tidak turut ditanda tangani oleh isteri atau suami pemilik deposito. 2. Untuk mengetahui bagaimana proses pencairan deposito jaminan yang pengikatan kredit dan jaminannya tidak turut ditanda tangani oleh isteri atau suami pemilik deposito jika debitur kredit yang dijamin dengan deposito tersebut wanprestasi.

10

E. Kegunaan Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat membawa kegunaan dalam hal : 1. Untuk dapat menjadi bahan masukan dan informasi bagi Bank Danamon dan para pihak tentang Aspek Hukum Pemberian Kredit Dengan Jaminan Deposito (Kredit Back to Back) yang pengikatan deposito jaminannya tidak turut ditanda tangani oleh isteri atau suami pemilik deposito. 2. Untuk melengkapi literatur dan bahan diskusi tentang kredit dengan jaminan deposito (kredit back to back) dan sebagai bahan acuan bagi peneliti lain yang tertarik pada tema yang sama.

11

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Umum Tentang Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian dan Perikatan Pengaturan tentang hukum perjanjian di Indonesia terdapat dalam Buku III Bab Kedua, Bagian Kesatu sampai dengan Bagian Keempat Kitab Undangundang Hukum Perdata (untuk selanjutnya disebut KUH Perdata) dibawah titel Tentang Perikatan, mulai dari pasal 1233 sampai dengan pasal 1864. Kata perjanjian dan perikatan merupakan dua istilah yang dikenal dalam KUH Perdata. Pasal 1313 KUH Perdata, memberikan definisi bahwa perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Sedangkan tentang perikatan, sekalipun dalam KUH Perdata tidak secara tegas mendefinisikannya, tetapi dalam pasal 1233 KUH Perdata dinyatakan bahwa perikatan, selain lahir dari Undang-undang, juga karena perjanjian. Dengan demikian suatu perikatan belum tentu merupakan perjanjian, sedangkan suatu perjanjian sudah pasti merupakan suatu perikatan. Definisi perjanjian sebagaimana pasal 1313 KUH Perdata tersebut

mendapatkan tanggapan beragam dari para sarjana hukum kita. Sofwan (1980 : 1), menyatakan bahwa definisi itu kurang lengkap lagipula terlalu luas. Kurang lengkap karena yang dirumuskan dalam pasal itu hanya perjanjian sepihak saja,

12

dimana hanya menimbulkan kewajiban-kewajiban bagi salah satu pihak saja, tetapi tidak meliputi perjanjian timbal balik dimana para pihak saling mengikatkan diri untuk timbulnya hak dan kewajiban bagi para pihak. Terlalu luas karena mencakup pula hal-hal mengenai pelangsungan perkawinan,

membuat janji kawin dan perbuatan-perbuatan semacam itu yang diatur dalam lapangan hukum keluarga, sedangkan pengertian perjanjian yang dimaksud dalam buku III ini adalah perjanjian di dalam lapangan hukum harta kekayaan antara dua belah pihak yang menimbulkan hak dan kewajiban. Berusaha melengkapi definisi perjanjian yang terdapat pada pasal 1313 KUH Perdata, Setiawan (1999 : 49), mengemukakan pendapatnya bahwa : a. Perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum; b. Perlu ditambahkan dengan kata-kata atau saling mengikatkan dirinya dalam pasal 1313 KUH Perdata; sehingga dengan saran tersebut ia memberi definisi perjanjian adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih. Mertokusumo (2005 : 118) memberikan perumusan bahwa perjanjian adalah hubungan hukum antara dua orang yang bersepakat untuk menimbulkan akibat hukum. Definisi yang lebih jelas dan tidak semata menekankan pada subjeknya adalah yang dikemukakan oleh Subekti, dimana Ia memberikan perumusan bahwa,

13

Perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal. (Subekti, 1990 : 1). Senada dengan Subekti, lebih jauh beberapa sarjana memberikan penekanan pada ruang lingkupnya yang berada di dalam lapangan hukum harta benda/kekayaan. Prodjodikoro (2000 : 4) merumuskan bahwa perjanjian adalah suatu perhubungan hukum mengenai harta benda antar dua pihak, dalam mana suatu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu. Harahap (1986 : 6) merumuskan bahwa perjanjian adalah suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi

kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi. Pendapat yang justru menyamakan pengertian perjanjian dan perikatan adalah Muljadi. Dengan menggunakan istilah perikatan, ia memberikan penjelasan, bahwa perikatan sebagai peraturan yang mengatur mengenai hubungan hukum antara subjek hukum dengan subjek hukum yang melahirkan kewajiban pada salah satu subjek hukum dalam perikatan tersebut. Adanya kewajiban pada salah satu pihak dalam hubungan hukum perikatan tersebut akan melahirkan hak pada pihak lainnya dalam hubungan hukum perikatan tersebut (Muljadi, 2004 : 10).

14

Sedangkan Satrio (2001 : 1) mengatakan bahwa perikatan dalam arti luas meliputi semua hubungan hukum antara dua pihak, dimana disatu pihak ada hak dan dilain pihak ada kewajiban didalamnya termasuk semua hubungan hukum yang muncul dari hubungan hukum dalam lapangan hukum keluarga dan hukum acara. Dari beberapa perumusan tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa hakekat perjanjian dan perikatan pada dasarnya adalah sama yaitu keduanya merupakan hubungan hukum antara pihak-pihak yang diikat didalamnya, namun pengertian perikatan jauh lebih luas dari perjanjian sebab hubungan hukum yang ada dalam perikatan munculnya tidak hanya dari perjanjian tetapi juga dari Undang-undang. Perbedaan lain dari keduanya adalah bahwa perjanjian pada hakekatnya

mengikat para pihak berdasar pada kesepakatan (kata sepakat) diantara mereka, sedangkan perikatan selain mengikat karena adanya kesepakatan juga mengikat karena diwajibkan oleh Undang-undang. Dengan demikian keduanya juga berbeda dari konsekuensi hukumnya. Pada perjanjian, oleh karena dasar perjanjian adalah kesepakatan para pihak maka tidak dipenuhinya prestasi dalam perjanjian akan menimbulkan ingkar janji (wanprestasi), sedangkan tidak dipenuhinya suatu prestasi dalam perikatan menimbulkan konsekuensi hukum sebagai perbuatan melawan hukum. 2. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian Pasal 1320 KUH Perdata merumuskan empat syarat untuk sahnya suatu perjanjian. Keempat syarat tersebut adalah :

15

a. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c. Sesuatu hal tertentu; d. Suatu sebab yang halal. Syarat pertama dan kedua dikualifisir sebagai syarat-syarat subjektif karena berhubungan dengan subjek perjanjian, sedangkan syarat ketiga dan keempat merupakan syarat objektif karena berhubungan dengan objek perjanjiannya. Jadi sahnya suatu perjanjian haruslah memenuhi unsur-unsur subjektif dan objektif seperti tersebut di atas. a. Sepakat. Sepakat diartikan sebagai pernyataan kehendak menyetujui, seia-sekata atau persesuaian kehendak dari kedua subyek mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian yang diadakan. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu, juga dikehendaki oleh pihak yang lain, mereka menghendaki sesuatu yang sama secara timbal-balik. Dalam kata sepakat ini, para pihak harus mempunyai kebebasan kehendak. Artinya dalam mencapai atau menentukan kata sepakat tersebut para pihak tidak boleh mendapatkan sesuatu tekanan, yang mengakibatkan adanya cacat bagi perwujudan kehendak tersebut. Menurut Pasal 1321 KUH Perdata, ada tiga hal yang menyebabkan cacat kehendak dalam suatu perjanjian. Ketiga hal tersebut terlihat dalam rumusan

16

pasalnya sebagai berikut

tiada kata sepakat yang sah apabila sepakat itu

diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan. Selain karena kekhilafan (dwaling), paksaan (dwang) ataupun penipuan (bedrog), belakangan ini juga berkembang faham bahwa cacat kehendak juga bisa terjadi dalam hal penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden). Penyalahgunaan keadaan berlatar belakang ketidak seimbangan keadaan mengenai keunggulan pihak yang satu terhadap yang lain. Dalam

perkembangannya, penyalahgunaan keadaan ini bisa berwujud dalam hal keunggulan ekonomi, ataupun keunggulan kejiwaan, sehingga dengan

keunggulan ini jika disalahgunakan oleh salah satu pihak akan melahirkan penyalahgunaan keadaan (Widyadharma, 1995 : 17). Menurut Nieuwenhuis dalam Panggabean (2001 : 40), penyalahgunaan keadaan dapat terjadi jika memenuhi empat syarat, sebagai berikut : 1) Keadaan-keadaan istimewa (bijzondere omstandigheden), seperti keadaan darurat, ketergantungan, ceroboh, jiwa yang kurang waras dan tidak berpengalaman. 2) Suatu hal yang nyata (kenbaarheid), disyaratkan bahwa salah satu pihak mengetahui atau semestinya mengetahui bahwa pihak lain karena keadaan istimewa tergerak hatinya unuk menutup suatu perjanjian. 3) Penyalahgunaan (misbruik), salah satu pihak telah melaksanakan perjanjian itu walaupun dia mengetahui atau seharusnya mengerti bahwa dia seharusnya tidak melakukannya.

17

4) Hubungan

kausal

(causaal

verband),

adalah

penting

bahwa

tanpa

menyalahgunakan keadaan itu maka perjanjian itu tidak akan ditutup. Penyalahgunaan keadaan itu berhubungan dengan terjadinya perjanjian, yang menyangkut keadaan-keadaan yang berperan untuk terjadinya suatu perjanjian dimana memanfaatkan perjanjian itu disepakati. b. Cakap Orang yang membuat perjanjian itu harus cakap menurut hukum. Pada asasnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akil-baliq dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum. Pasal 1330 KUH Perdata disebut sebagai orangorang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah : 1). Orang-orang yang belum dewasa; 2). Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan; 3). Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh Undangundang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa Undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. KUH Perdata menyatakan bahwa orang-orang yang belum dewasa adalah orang-orang yang belum berumur 21 tahun dan / atau tidak telah menikah. Secara a contrario, Satrio (1995 : 5) menyimpulkan bahwa dewasa adalah mereka yang : 1) telah berumur 21 tahun; dan 2) telah menikah, termasuk mereka yang belum berusia 21 tahun tetapi telah menikah. Orang didalam pengampuan juga termasuk tidak cakap. Tetapi tentang pengampuan atau curatele ini harus diingat bahwa curatele tidak pernah terjadi keadaan orang lain sedemikian rupa untuk membuat

18

demi hukum, tetapi selalu harus didasarkan atas permohonan (sesuai Pasal 434 sampai dengan Pasal 445 KUH Perdata) dan ia baru mulai berlaku sejak ada ketetapan pengadilan atas permohonan itu (Pasal 446 KUH Perdata). Satrio menegaskan bahwa orang yang dapat ditaruh dibawah pengampuan, disebabkan karena : 1) Gila (sakit otak), dungu (onnoozelheid), mata gelap (rezernij); 2) Lemah akal (zwakheid van vermogens); dan 3) Pemborosan (Satrio, 1995 : 5). Sedangkan ketidak-cakapan perempuan yang telah bersuami, sejak

diundangkannya Undang-undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, harus dilihat dulu apakah ada perjanjian kawin atau tidak. Jika terdapat perjanjian kawin yang isinya tidak ada percampuran harta sama sekali, maka ketentuan bahwa isteri tidak cakap melakukan perbuatan hukum tidak berlaku lagi. Lain halnya jika tidak ada perjanjian kawin maka demi hukum telah terjadi percampuran harta bulat, sehingga dengan ini, segala perbuatan hukum apapun sepanjang berkonsekuensi terhadap harta dalam perkawinan, isteri harus mendapatkan persetujuan dari suaminya, atau demikian sebaliknya. c. Suatu hal tertentu Hal tertentu artinya adalah objek perjanjian itu sendiri, yaitu apa yang diperjanjikan. Hak-hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian itu harus jelas disebutkan di dalamnya. Pasal 1333 KUH Perdata menyebutkan bahwa :

19

Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentukan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkemudian dapat ditentukan atau dihitung. d. Sebab yang halal Sebab yang halal bukan berarti sesuatu hal yang menyebakan perjanjian itu dibuat, tetapi menunjuk kepada pokok atau substansi dari apa yang diperjanjikan itu harus halal adanya. Hukum perjanjian tidak mempermasalahkan motivasi apa yang mencetuskan pembuatan perjanjian, tetapi kepada substansi atau isi daripada perjanjian itu. Konsekuensi dari tidak terpenuhinya salah satu atau kedua syarat subjektif maka perjanjian dapat dibatalkan (vernietigbaar atau voidable). Dalam hal ini salah satu pihak dapat memohonkan pembatalan perjanjian kepada hakim di pengadilan negeri. Sepanjang perjanjian itu tidak dibatalkan oleh hakim, maka menurut Subekti, perjanjian itu tetap mengikat para pihak, sepanjang ada kesediaan para pihak (Subekti, 1990 : 20). Sedangkan jika salah satu atau kedua syarat ojektif tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum (nietig atau null and void). Artinya bahwa demi hukum, perjanjian itu tidak pernah lahir dan tidak pernah ada suatu perikatan apapun. 3. Berakhirnya Perjanjian Hapusnya perjanjian harus benar-benar dibedakan dengan hapusnya perikatan, karena suatu perikatan dapat saja hapus sedangkan perjanjiannya yang merupakan salah satu sumbernya masih tetap ada.

20

Perikatan jual beli misalnya, dimana didalamnya terkandung dua prestasi perikatan yaitu perikatan untuk membayar dan perikatan untuk menyerahkan barang (levering). Dengan dibayarnya harga jual beli, maka perikatan untuk membayar menjadi hapus. Tetapi hal tersebut belum menghapuskan perjanjian karena masih ada satu perikatan lagi yang belum dilakukan yaitu perikatan untuk menyerahkan barang. Jadi perjanjian akan berakhir jika bermacam-macam perikatan yang terdapat dalam perjanjian itu telah dilaksanakan. Pasal 1381 KUH Perdata menyebutkan sepuluh macam alasan yang menyebabkan perikatan-perikatan dalam suatu perjanjian berakhir. Ke-sepuluh hal tersebut adalah : a. karena pembayaran b. karena penawaran pembayaran tunai disertai penitipan c. karena pembaharuan hutang d. karena perjumpaan hutang atau konpensasi e. karena percampuran hutang f. karena pembebasan hutang g. karena musnahnya barang yang terhutang h. karena kebatalan atau pembatalan i. karena berlakunya syarat-syarat batal j. karena kedaluwarsa (verjaring) Sedangkan menurut Setiawan (1999 : 69), suatu perjanjian dapat berakhir disebabkan karena hal-hal sebagai berikut :

21

a. Ditentukan dalam perjanjian yang dilakukan oleh para pihak. b. Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian, contohnya ketentuan pasal 1066 ayat 3 jo ayat 4 KUH Perdata dimana perjanjian untuk tidak mengadakan pemecahan harta oleh ahli waris hanya dapat dilakukan untuk jangka waktu 5 tahun. c. Para pihak atau Undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu maka perjanjian akan hapus, contoh perjanjian pemberian kuasa, akan hapus dengan meninggalnya salah satu pihak (pasal 1813 KUH Perdata). d. Pernyataan menghentikan perjanjian. Hal ini hanya dapat dilakukan oleh kedua belah pihak untuk perjanjian-perjanjian bersifat sementara, seperti perjanjian kerja dan atau perjanjian sewa-menyewa. e. Perjanjian hapus karena putusan hakim. f. Karena tujuan dari perjanjian itu telah tercapai. g. Dengan persetujuan para pihak. 4. Wanprestasi Secara sederhana, wanprestasi dirumuskan selain sebagai pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut yang diperjanjikan, juga menunjuk kepada ketiadaan pelaksanaan prestasi oleh salah satu pihak dalam perjanjian. Ketiadaan prestasi ini bisa terwujud dalam beberapa bentuk, seperti berikut : a. Tidak memenuhi prestasi sama sekali;

22

b. Terlambat dalam memenuhi prestasi; c. Berprestasi tetapi tidak sebagaimana mestinya. Dari bentuk-bentuk wanprestasi tersebut kadang-kadang menimbulkan keraguan pada waktu mana debitur tidak memenuhi prestasi, apakah termasuk tidak memenuhi prestasi sama sekali atau terlambat dalam memenuhi prestasi. Apakah debitur sudah tidak mampu memenuhi prestasinya maka hal ini termasuk pada yang pertama, tetapi apabila debitur masih mampu memenuhi prestasi, ia dianggap sebagai terlambat dalam memenuhi prestasi. Bentuk ketiga adalah jika debitur memenuhi prestasinya tetapi tidak sebagaimana mestinya atau keliru dalam memenuhi prestasinya, apabila prestasinya masih dapat diharapkan untuk diperbaiki maka ia dianggap terlambat tetapi jika tidak dapat diperbaiki lagi maka ia sudah dianggap sama sekali tidak memenuhi prestasi. Pertanyaan yang sering kali timbul dalam praktek adalah sejak kapan debitur dianggap telah melakukan wanprestasi? Ini penting dipersoalkan karena wanprestasi mempunyai akibat hukum yang penting bagi debitur. Untuk mengetahui sejak kapan debitur itu wanprestasi, perlu diperhatikan apakah dalam perjanjian itu ditentukan tenggang waktu pelaksanaan pemenuhan prestasi atau tidak. Dalam hal tenggang waktu yang tidak ditentukan maka diperlukan suatu tindakan hukum dari bank berupa teguran atau somasi kepada debitur. Somasi ini dimaksudkan untuk teguran bahwa debitur telah lalai memenuhi prestasi dan karenanya ia diingatkan agar dalam tenggang waktu tertentu (disebutkan dalam

23

somasi), debitur harus segera melaksanakan prestasinya. Ketidak taatan debitur dalam memenuhi prestasinya sesuai tanggal yang ditentukan dalam somasi, maka dalam hal ini debitur telah dinyatakan wanprestasi (Muhammad, 1992 : 22). Sebaliknya jika dalam perjanjian ditentukan dengan jelas tenggang waktu pemenuhan prestasi, maka menurut Pasal 1238 KUH Perdata, debitur dianggap telah wanprestasi dengan lewatnya waktu yang ditentukan. Praktek baik perbankan yang ada saat ini, walaupun umumnya masalah wanprestasi telah diatur tenggang waktunya dalam perjanjian kredit, tetapi bank tetap membuat somasi kepada debitur untuk menegaskan bahwa ia telah benarbenar wanprestasi. Lalu apa akibat hukumnya jika debitur wanprestasi? Akibat hukum bagi debitur dalam hal ia wanprestasi adalah hukuman atau sanksi-sanksi, yang oleh hukum telah mengatur hal ini. Sanksi-sanksi hukumnya, antara lain adalah : a. Debitur diharuskan membayar ganti rugi yang telah diderita oleh kreditur (Pasal 1243 KUH Perdata). b. Debitur diwajibkan membayar biaya perkara di pengadilan, apabila karena wanprestasinya itu sampai kepada pengadilan (Pasal 181 ayat 1 HIR). c. Debitur wajib memenuhi perjanjian disertai pembayaran ganti rugi (Pasal 1267 KUH Perdata).

24

B. Tinjauan Tentang Kredit dan Perjanjian Kredit 1. Pengertian Kredit Kata kredit berasal dari bahasa Romawi credere yang artinya percaya. Dalam bahasa Belanda istilahnya vertrouwen, dalam bahasa Inggeris believe atau trust atau confidence, yang kesemuanya berarti percaya (Badrulzaman, 1991 : 23). Jika dihubungkan dengan bank, maka terkandung pengertian bahwa bank selaku pemberi kredit percaya untuk meminjamkan sejumlah uang kepada nasabah karena debitur dapat dipercaya kemampuannya untuk membayar lunas pinjamannya setelah jangka waktu tertentu. Dalam masyarakat umum, istilah kredit sudah tidak asing lagi dan bahkan dapat dikatakan populer dan merakyat, sehingga dalam bahasa sehari-hari sudah dicampur-adukan begitu saja dengan istilah hutang. Tetapi, sungguhpun kata kredit sudah berkembang kemana-mana, dalam tahap apapun dan kemanapun arah perkembangannya, dalam setiap kata kredit tetap mengandung unsur kepercayaan, kepercayaan. Simorangkir (1988 : 91) merumuskan bahwa kredit adalah pemberian prestasi (misalnya uang dan barang) dengan balas prestasi (kontra prestasi), akan terjadi pada waktu mendatang. UU Perbankan menggunakan dua istilah yang berbeda yaitu kredit dan pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Penggunaan kedua istilah itu walaupun sebenarnya kredit itu bukan hanya sekedar

25

disesuaikan dengan dinamika perkembangan perbankan saat ini dimana selain bank-bank yang menjalankan usaha secara konvensional berkembang juga bankbank berdasarkan prinsip syariah. Bank yang menjalankan usahanya secara konvensional menyebutnya sebagai kredit, sedangkan bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah menggunakan istilah pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Pasal 1 angka (11) UU Perbankan memberikan definisi tentang kredit : Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga. Sedangkan tentang pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, dirumuskan dalam Pasal 1 angka (12) UU Perbankan, sebagai berikut : Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai untuk mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil. Berdasarkan rumusan pengertian kedua istilah tersebut, perbedaannya terletak pada bentuk kontra prestasi yang akan diberikan oleh nasabah peminjam (debitur) kepada pihak bank selaku kreditur atas pemberian kredit atau pembiayaan dimaksud. Pada bank dengan prinsip konvensional kontra prestasi yang diberikan debitur adalah berupa bunga, sedangkan pada bank dengan prinsip syariah kontra prestasinya berupa imbalan atau bagi hasil sesuai dengan kesepakatan bersama.

26

Dengan demikian, kredit dan atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah merupakan perjanjian pinjam-meminjam (uang) yang dilakukan antara bank dengan pihak lain dalam hal ini nasabah peminjam dana. Perjanjian mana dibuat atas dasar kepercayaan bahwa peminjam dalam tenggang waktu tertentu akan melunasi atau mengembalikan uang atau tagihan tersebut kepada bank disertai bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan. Dari pengertian-pengertian di atas terlihat dengan jelas adanya beberapa unsur kredit. Tentang hal ini, Suyatno (2003 : 14) mengemukakan bahwa unsur-unsur kredit adalah sebagai berikut : a. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa prestasi yang diberikannya baik dalam bentuk uang, barang atau jasa akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu dimasa yang akan datang. b. Tenggang waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontra prestasi yang akan diterimanya pada masa yang akan datang. c. Degree of risk, yaitu tingkat resiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontra prestasi yang akan diterima dikemudian hari. Semakin lama kredit diberikan berarti semakin tinggi pula tingkat resikonya. d. Prestasi atau objek kredit tidak saja diberikan dalam bentuk uang tetapi juga dalam bentuk barang atau jasa. Namun karena kehidupan ekonomi modern

27

sekarang ini didasarkan kepada uang, maka transaksi-transaksi kredit dalam bentuk uanglah yang lazim dalam praktek perkreditan. Tanpa mengenyampingkan unsur-unsur yang lain, unsur terpenting dalam suatu pemberian kredit adalah kepercayaan. Untuk memperoleh kepercayaan tersebut haruslah sampai pada suatu keyakinan sejauh mana konsep penilaian kredit dapat terpenuhi dengan baik. Menurut Halle (1983 : 54), jika seorang bankir memberikan pinjaman kepada perorangan atau perusahaan, bankir tersebut membutuhkan penilaian kredit dalam bentuk analisis kredit untuk membantu menentukan resiko yang ada atau yang mungkin terjadi dari pinjaman yang diberikan. penting, karena berguna untuk : a. Menentukan berbagai resiko yang akan dihadapi oleh bank dalam memberikan kredit kepada seseorang atau badan usaha. b. Mengantisipasi kemungkinan pelunasan kredit tersebut karena bank telah mengetahui kemampuan pelunasan melalui analisis cashflow usaha debitur. c. Mengetahui jenis kredit, jumlah kredit dan jangka waktu kredit yang dibutuhkan oleh usaha debitur, sehingga bank dapat melakukan penyesuaian dengan struktur dana yang dipersiapkan untuk digunakan. d. Mengetahui kemampuan dan kemauan debitur untuk melunasi kreditnya, baik dari sumber pelunasan primer maupun sekunder. Untuk itu analisis kredit amat

28

Untuk memperoleh kepercayaan kepada calon debitur, umumnya perbankan menggunakan instrument analisa kredit yang terkenal dengan nama azas the five of credit , yaitu : a. Character (karakter). b. Capacity (kemampuan). c. Capital (modal). d. Collateral (jaminan). e. Condition of Economy (kondisi ekonomi). Oleh Henderson dan Maness (1989 : 67) menjelaskan secara singkat konsep 5 C tersebut adalah : a. Character (watak). Adalah adanya keyakinan dari pihak bank bahwa calon debitur mempunyai moral, watak ataupun sifat yang dapat dipercaya, hal ini tercermin dari latar belakang debitur, baik yang bersifat latar belakang pekerjaan maupun yang bersifat pribadi seperti cara hidup atau gaya hidup yang dianut dalam keluarga. Oleh karena itu petugas bank mengadakan penyelidikan secara mendalam dengan jalan mencari informasi dari orang-orang yang berada dalam lingkungan pergaulannya dan hal tersebut akan sangat berpengaruh pada pelunasan kreditnya. b. Capacity (kemampuan) Merupakan gambaran mengenai kemampuan calon debitur untuk memenuhi kewajiban-kewajibannya, kemampuan debitur untuk mencari dan

29

mengkombinasikan resources yang terkait dengan bidang usaha, kemampuan memproduksi barang dan jasa yang dapat memenuhi tuntutan kebutuhan konsumen/pasar. Disamping itu juga kemampuan untuk mengantisipasi variabel dari cashflow usaha, sehingga cashflow tersebut dapat menjadi sumber pelunasan kredit yang utama sesuai dengan jadwal yang sudah disetujui bersama. c. Capital (modal) Penilaian pada aspek ini diarahkan pada kondisi keuangan nasabah, yang terdiri dari aktiva lancar (current assets) yang tertanam dalam bisnis dikurangi dengan kewajiban lancar (current liabilities) yang disebut dengan modal kerja (working capital); dan modal yang tertanam pada aktiva jangka panjang dan aktiva lain-lain. Analisis capital itu dimaksudkan untuk menggambarkan struktur modal (capital structure) debitur, sehingga bank dapat melihat modal debitur sendiri yang tertanam pada bisnisnya dan berapa jumlah yang berasal dari pihak lain (kreditur dan supplier). Bank harus mengetahui debt to equity ratio, yaitu berapa besarnya seluruh hutang debitur dibandingkan dengan seluruh modal dan cadangan perusahaan serta likuiditas perusahaan. d. Collateral (jaminan) Collateral adalah jaminan kredit yang mempertinggi tingkat keyakinan bank bahwa debitur dengan bisnisnya mampu melunasi kredit, dimana agunan ini berupa jaminan pokok maupun jaminan tambahan yang berfungsi untuk menjamin pelunasan utang jika ternyata dikemudian hari debitur tidak

30

melunasi utangnya. Debitur menjanjikan akan menyerahkan sejumlah hartanya untuk pelunasan utang menurut ketentuan perundang-undangan yang berlaku, apabila dalam waktu yang ditentukan terjadi kemacetan pembayaran utangnya. Jaminan tambahan ini dapat berupa kekayaan milik debitur atau pihak ketiga. e. Condition of Economy (kondisi ekonomi) Kondisi yang mempersyaratkan bahwa kegiatan usaha debitur mampu mengikuti fluktuasi ekonomi, baik dalam negeri maupun luar negeri, dan usaha masih mempunyai prospek kedepan selama kredit masih dinikmati debitur. Termasuk juga analisis terhadap kemampuan usaha debitur dalam menghadapi situasi perekonomian yang mungkin tiba-tiba berubah diluar dugaan semula. Untuk mempertajam analisa, terutama terhadap permohonan kredit dalam jumlah besar, menurut Henderson dan Maness (1989 : 79) perlu ditambahkan dengan kriteria 5 P Principles, sebagai berikut : a. Purpose Ini merupakan penilaian terhadap maksud permohonan kredit dari calon debitur agar penggunaan jumlah atau jenis kredit tersebut terarah, aman dan produktif serta membawa manfaat bagi pengusaha, masyarakat, bank dan otorita moneter.

31

b. People Adalah penilaian yang dilakukan terhadap calon debitur tentang siapa mitra usahanya, orang atau lembaga yang mem-backup debitur, customer dan supplier, yang kesemuanya sangat penting dalam menunjang kegiatan usaha calon debitur. c. Protection Bilamana usaha debitur mengalami kegagalan, bank sudah harus terlindungi dengan baik dari kesulitan penyelesaian kreditnya, dan bank harus mempunyai alternatif penyelesaian dengan agunan yang dikuasai dan pengikatan yuridis sesuai ketentuan yang berlaku. d. Payment Penilaian juga harus dilakukan terhadap sumber-sumber pelunasan primer dan sekunder, sehingga peta pelunasan (roadmap repayment) dan kemungkinan penyelesaian kredit dapat dilaksanakan tanpa kesulitan. Ini berkaitan dengan casflow perusahaan dan variabel yang mempengaruhinya, sehingga akan lebih jelas bagaimana posisi cash in dan cash out, yang menggambarkan apakah perusahaan mengalami likuiditas usaha yang baik atau tidak. e. Perspective Posisi usaha debitur pada waktu yang akan datang apakah mampu mengikuti kondisi ekonomi, keuangan dan fiskal. Ini berarti merupakan proyeksi perbandingan resiko dan cashflow perusahaan. Perspektif ini dinilai dengan menggunakan kriteria :

32

1) Return, yaitu hasil usaha yang akan dicapai dari kegiatan yang mendapatkan pembiayaan tersebut; 2) Repayment, yaitu perhitungan pengembalian dana dari kegiatan yang mendapatkan pembiayaan kredit; 3) Risk Bearing Ability, yaitu perhitungan besarnya kemampuan debitur dalam menghadapi resiko yang tidak terduga. 2. Jenis-Jenis Kredit Praktek perbankan yang ada, umumnya bank-bank menggolongkan kredit ke dalam dua jenis kredit, yaitu berdasarkan jangka waktu (term) dan berdasarkan tujuan atau penggunaan kredit (utility of loan). Berdasarkan jangka waktu (term of loan), kredit dibagi dalam : a. Kredit jangka waktu pendek (short-term loan), yaitu kredit dengan jangka waktu tidak lebih dari 1 tahun. b. Kredit jangka menengah (middle-term loan), yaitu kredit dengan jangka waktu 1-3 tahun. c. Kredit jangka panjang (long-term loan), yaitu kredit dengan jangka waktu lebih dari 3 tahun. Sedangkan berdasarkan tujuan penggunaan kredit (utility of loan), dibedakan menjadi : a. Kredit konsumtif, yaitu kredit kepada orang perorangan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan konsumtif. Contohnya Kredit Pemilikan Rumah (KPR),

33

Kredit Pemilikan Mobil (KPM), Kredit Pemilikan Sepeda Motor (KPSM) dan lain sebagainya. b. Kredit Produktif, yaitu kredit yang diberikan untuk pembiayaan usaha-usaha produktif. Kredit produktif ini umumnya dibedakan lagi menjadi : 1) Kredit investasi, yaitu kredit untuk pengadaan barang modal atau jasa bagi usaha debitur; 2) Kredit modal kerja, yaitu kredit untuk pembiayaan modal kerja usahausaha debitur, termasuk untuk pembiayaan biaya produksi atau penjualannya; 3) Kredit likuiditas, yaitu kredit dari Bank Indonesia yang diperuntukan bagi bank-bank pemerintah maupun swasta guna disalurkan kembali ke berbagai sektor. 3. Perjanjian Kredit Pengertian ataupun rumusan perjanjian kredit tidak diatur secara khusus

dalam Undang-undang Perbankan No.10 tahun 1998, maupun dalam KUH Perdata. Oleh karena itu untuk memahami pengertian perjanjian kredit perlu dikemukakan pendapat para sarjana. Beberapa sarjana hukum, seperti Subekti (1991 : 3) berpendapat bahwa dalam bentuk apapun juga pemberian kredit itu diadakan, dalam semuanya itu pada hakekatnya yang terjadi adalah suatu perjanjian pinjam-meminjam sebagaimana diatur dalam Pasal 1754 sampai dengan Pasal 1769 KUH Perdata.

34

Pendapat senada juga dikemukakan oleh Hay (1975 : 67) bahwa perjanjian kredit adalah identik dengan perjanjian pinjam-meminjam dan tunduk kepada ketentuan Bab XIII dari Buku III KUH Perdata. Hal yang sama dikemukakan pula oleh Badrulzaman (1994 : 110), bahwa dari rumusan yang terdapat di dalam Undang-undang perbankan mengenai perjanjian kredit, dapat disimpulkan bahwa dasar perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam-meminjam di dalam KUH Perdata Pasal 1754. Rumusan perjanjian pinjam-meminjam menurut pasal 1754 KUH Perdata, adalah : Perjanjian pinjam meminjam adalah perjanjian dengan mana pihak yang satu memberikan kepada pihak yang lain suatu jumlah tertentu barang-barang yang menghabis karena pemakaian, dengan syarat bahwa pihak yang belakangan ini akan mengembalikan sejumlah uang yang sama dari macam dan keadaan yang sama pula. Sarjana lainnya, seperti Hasan berpendapat lain, bahwa perjanjian kredit tidak tepat dikuasai oleh ketentuan Bab XIII Buku III KUH Perdata, sebab antara perjanjian pinjam-meminjam dengan perjanjian kredit terdapat beberapa perbedaan. Perbedaannya, menurut Hasan (1996 : 174) terdapat pada hal-hal : a. Perjanjian kredit selalu bertujuan dan tujuan tersebut biasanya berkaitan dengan program pembangunan; biasanya dalam perjanjian kredit sudah ditentukan tujuan penggunaan uang yang akan diterima, sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam tidak ada ketentuan tersebut dan debitur dapat menggunakan uang secara bebas.

35

b. Dalam perjanjian kredit sudah ditentukan bahwa pemberi kredit adalah bank atau lembaga pembiayaan, dan tidak dimungkinkan diberikan oleh individu, sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam, pemberi pinjaman dapat dilakukan oleh individu. c. Pengaturan yang berlaku bagi perjanjian kredit berbeda dengan perjanjian pinjam-meminjam. Pada perjanjian kredit berlaku ketentuan UUD 1945, ketentuan bidang ekonomi dalam GBHN, ketentuan-ketentuan umum KUH Perdata, UU Perbankan, Paket Kebijakan Pemerintah dalam Bidang Ekonomi terutama bidang perbankan, Surat-Surat Edaran Bank Indonesia (SEBI) dan sebagaimnya, sedangkan pada perjanjian pinjam-meminjam tunduk sematamata pada KUH Perdata Bab XIII Buku III. d. Pada perjanjian kredit dan atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah telah ditentukan bahwa pengembalian uang pinjaman itu harus disertai bunga, imbalan, atau pembagian hasil, sedangkan dalam perjanjian pinjam-meminjam hanya berupa bunga saja, dan bunga inipun baru ada apabila diperjanjikan. e. Pada perjanjian kredit, bank harus mempunyai keyakinan akan kemampuan debitur akan pengembalian kredit yang diformulasikan dalam bentuk jaminan baik materiil maupun immateriil, sedangkan pada perjanjian pinjam-

meminjam, jaminan merupakan pengaman bagi kepastian pelunasan hutang dan inipun baru ada apabila diperjanjikan, dan jaminan itu hanya merupakan jaminan secara fisik atau materiil saja.

36

Senada dengan pendapat dari Hasan diatas, Ibrahim (2004 : 28) berpendapat bahwa perjanjian kredit

juga

berbeda dengan penjanjian pinjam-

meminjam yang diatur dalam Bab XIII Buku III KUH Perdata, baik dari pengertian, subjek pemberi kredit, pengaturan, tujuan dan jaminannya. Akan tetapi dengan perbedaan tersebut tidaklah berarti dapat dilepaskan sama sekali dari akarnya yaitu perjanjian pinjam-meminjam, karena perjanjian kredit merupakan modifikasi sedemikian rupa sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan dunia bisnis saat ini. Perjanjian kredit bank dilaksanakan berdasarkan atas kesepakatan diantara kedua belah pihak yaitu pihak bank sebagai kreditur dan pihak nasabah sebagai debitur, yang dilandasi dengan kepercayaan, terutama kepercayaan dari pihak bank sebagai pemberi kredit kepada debiturnya. Menurut Halle (1983 : 53), terjadinya perjanjian kredit harus memenuhi kriteria sebagai berikut : 1) 2) 3) Terdapat kedua belah pihak serta ada persetujuan pinjam meminjam antar kreditur dan debitur. Mempunyai jangka waktu tertentu. Hak kreditur untuk menuntut dan memperoleh pembayaran serta kewajiban debitur untuk membayar prestasi yang diterima.

Perjanjian kredit adalah suatu perjanjian pokok yang bersifat riil artinya terjadinya perjanjian kredit ditentukan oleh penyerahan uang oleh bank kepada nasabah debitur. Perjanjian kredit harus diikuti dengan penyerahan uang secara riil kepada debitur. Dalam praktek, ada kemungkinan pinjaman yang diperjanjikan dalam perjanjian kredit tidak jadi dicairkan. Ini terjadi jika bank

37

mendapat informasi baru yang tidak menguntungkan tentang debitur. Ada juga kemungkinan bahwa besarnya jumlah yang diserahkan berlainan dengan jumlah yang semula disetujui di dalam perjanjian kredit. Penyerahan uang kepada penerima kredit bergantung pula pada sifat atau jenis kredit yang diperjanjikan. Jika kredit itu dalam bentuk investasi, maka pencairannya dilakukan berdasarkn progress fisik proyek yang dibiayai. Jika pinjaman dalam bentuk rekening koran, maka pencairannya dilakukan dalam bentuk plafond ke dalam rekening koran, penarikan oleh debitur tergantung kebutuhannya tetapi dalam limit plafond yang disediakan. Dilihat dari bentuknya, perjanjian kredit perbankan pada umumnya menggunakan bentuk perjanjian baku (standard contract). Artinya, perjanjiannya telah disediakan oleh bank dalam bentuk blanko, sedangkan debiturnya tinggal mempelajari dan memahaminya dengan baik. Kelemahan dari perjanjian ini, jika dilihat dari sudut debitur, adalah debitur tinggal memiliki salah satu pilihan dari dua pilihan yakni menerima atau menolak, tanpa adanya kemungkinan melakukan negosiasi atau tawar menawar dengan bank. Dalam hal ini debitur tidak dapat berbuat banyak dalam menghadapi kreditur karena perjanjian baku telah ditentukan oleh bank. Keberadaan perjanjian kredit sangat penting karena berfungsi sebagai dasar hubungan kontraktual antara para pihak. Dalam perjanjian kredit dapat ditelusuri berbagai hal tentang pemberian, pengelolaan ataupun penatalaksanaan kredit itu sendiri. Untuk itu sangat perlu untuk diperhatikan bersama.

38

Wardoyo dalam Hermansyah (2006 : 72), mengemukakan bahwa perjanjian kredit itu memiliki tiga fungsi, yaitu : a. Berfungsi sebagai perjanjian pokok, artinya perjanjian kredit merupakan sesuatu yang menentukan batal atau tidak batalnya perjanjian lain yang mengikutinya, misalnya perjanjian pengikatan jaminan; b. Berfungsi sebagai alat bukti mengenai batasan-batasan hak dan kewajiban di antara kreditur dan debitur; c. Berfungsi sebagai alat untuk melakukan monitoring kredit. 4. Kredit Bermasalah Membahas masalah kredit, tidak lepas dari pembicaraan mengenai kredit bermasalah (non performing loan). Kredit bermasalah selalu ada dalam kegiatan perkreditan bank, karena bank tidak mungkin menghindarkan adanya kredit bermasalah. Sepandai apapun para analis kredit dalam menganalisis permohonan kredit, tetap saja ada kemungkinan kredit tersebut bermasalah. Itulah sebabnya adalah hal yang wajar jika setiap bank memiliki kredit bermasalah. Tetapi sungguhpun demikian, tidak semua kredit bermasalah itu adalah kredit macet. Suatu kedit bermasalah yang tidak dikelolah dengan baik akan mengakibatkan kemacetan kredit atau umum disebut sebagai kredit macet. Terjadinya kemacetan dalam pengembalian kredit mungkin saja disebabkan oleh kesalahan atau kelalaian dari pihak bank sendiri atau dari pihak nasabah, ataupun oleh karena keadaan memaksa (force majeur). Bank hanya berusaha

39

menekan seminimal mungkin besarnya kredit bermasalah agar tidak melebihi ketentuan Bank Indonesia sebagai pengawas perbankan. Bank Indonesia melalui Peraturan Bank Indonesia (PBI) Nomor 7/2/PBI/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, membedakan kualitas kredit ke dalam 5 (lima) kolektibilitas, yaitu : a. Lancar (L) b. Dalam Perhatian Khusus (DPK) c. Kurang Lancar (KL) d. Diragukan (D) e. Macet (M) Kredit yang termasuk dalam golongan kolektibilitas lancar dan dalam perhatian khusus dinilai sebagai kredit yang tidak bermasalah (adalah performing loan), sedangkan kredit yang termasuk dalam golongan kurang lancar, diragukan dan macet dinilai sebagai kredit bermasalah (non performing loan). Beberapa indikator untuk penggolongan kelima kualitas kredit tersebut, adalah sebagai berikut : a. Kredit digolongkan Lancar (L), yaitu jika memenuhi kriteria : 1) pembayaran angsuran pokok dan/atau bunga tepat waktu; 2) memiliki mutasi rekening yang aktif; atau 3) bagian kredit yang dijamin dengan agunan tunai. b. Kredit digolongkan Dalam Perhatian Khusus (DPK), yaitu jika memenuhi kriteria :

40

1) terdapat tunggakan angsuran pembayaran pokok dan/atau bunga yang belum melampaui 90 hari; atau 2) kadang-kadang terjadi cerukan; atau 3) mutasi rekening relatif rendah; atau 4) jarang terjadi pelanggaran terhadap kontrak yang diperjanjikan; atau 5) didukung oleh pinjaman baru. c. Kredit digolongkan Kurang Lancar (KL), yaitu jika memenuhi kriteria : 1) terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 90 hari; atau 2) sering terjadi cerukan; atau 3) frekuensi mutasi relatif rendah; atau 4) terjadi pelanggaran kontrak yang diperjanjikan lebih dari 90 hari; atau 5) terdapat indikasi masalah keuangan yang dihadapi debitur; atau 6) dokumentasi pinjaman yang lemah. d. Kredit yang digolongkan Diragukan (D), yaitu jika memenuhi kriteria : 1) terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 180 hari; atau 2) sering terjadi cerukan yang bersifat permanen; atau 3) terjadi wanprestasi lebih dari 180 hari; atau 4) terjadi kapitalisasi bunga; atau 5) dokumentasi hukum yang lemah baik untuk perjanjian kredit maupun pengikatan jaminan.

41

e. Kredit yang digolongkan Macet (M), yaitu jika memenuhi kriteria : 1) terdapat tunggakan angsuran pokok dan/atau bunga yang telah melampaui 270 hari; atau 2) kerugian operasional ditutup dengan pinjaman baru; atau 3) dari segi hukum maupun kondisi pasar, jaminan tidak dapat dicairkan pada nilai wajar. Penting untuk diperhatikan bahwa sebelum menurunkan kolektibilitas kredit, bank akan melakukan evaluasi yang mendalam terhadap debitur-debitur yang termasuk dalam kolektibilitas non performing loan. Ini penting karena penurunan kolektibilitas kredit akan mempengaruhi kinerja bank yang bersangkutan, karena penilaian sehat tidaknya suatu bank salah satunya ditentukan dari berapa besar non performing loan bank itu. Untuk itu setiap bank secara periodik selalu melakukan evaluasi debiturnya dengan menganalisa aspek-aspek : a. Prospek usaha b. Kondisi keungan dengan penekanan cash flow. c. Kemampuan membayar.

Ketiga aspek tersebut merupakan satu kesatuan untuk menilai kualitas kredit, dan tidak dapat dinilai terpisah satu sama lainnya. Kredit bermasalah akan menjadi beban bank karena ia menjadi salah satu tolok ukur bagi Bank Indonesia untuk menilai kinerja bank itu sendiri. Untuk itu adanya kredit bermasalah, perlu penyelesaian yang cepat, tepat dan akurat, perlu

42

dilakukan penilaian ulang secara periodik guna penentuan langkah-langkah penyelamatan dan atau penyelesaian bagi bank. 5. Penanganan Kredit Bermasalah Dalam hal terjadinya kredit bermasalah, bank akan melakukan tindakantindakan penyelamatan kredit. Tindakan penyelamatan kredit ini umumnya dilaksanakan dengan tiga treatment, yaitu : Rescheduling, Reconditioning dan Restructuring. Recheduling adalah tindakan penyelamatan terhadap kredit bermasalah dengan jalan merubah jangka waktu kredit, misalnya dengan jalan

memperpanjang jangka waktu kredit dan atau memperpanjang jangka waktu angsuran kredit. Reconditioning adalah tindakan penyelamatan kredit dengan jalan memberikan keringanan atas persyaratan-persyaratan kredit, misalnya dengan merekapitalisasi bunga tertunggak, penundaan pembayaran bunga sampai pada waktu tertentu (grace period), penurunan suku bunga, pembebasan bunga ataupun pengkonversian kredit dengan jangka waktu pendek menjadi jangka waktu panjang. Sedangkan restructuring adalah tindakan penyelamatan kredit dengan melakukan perubahan struktur kredit setelah lebih dahulu melakukan analisa atas keadaan permodalan debitur. Tindakan-tindakannya dapat berupa penambahan jumlah kredit (injection) dan atau merubah struktur kredit misalnya dari kredit modal kerja menjadi kredit angsuran. Apabila upaya-upaya penyelamatan kredit seperti telah dikemukakan diatas tidak berhasil, maka penanganan atau upaya penagihan kredit yang terakhir

43

adalah dengan melihat jaminan sebagai second way-out (second source of repayment). Dalam hal ini akan dilakukan upaya hukum eksekusi atas jaminan, yang tindakan hukumnya tergantung daripada jenis dan macam jaminan yang diserahkan oleh debitur atau penjaminnya. Prakteknya, eksekusi atas jaminan dijadikan upaya bank yang paling akhir dilakukan, hanya apabila upaya-upaya penyelamatan kredit tidak berhasil.

C. Tinjauan Tentang Jaminan 1. Pengertian Jaminan Telah dikemukakan sebelumnya bahwa dalam setiap penyaluran kredit, bank selalu mensyaratkan adanya jaminan kredit. Hal ini dilakuan untuk

mengantisipasi resiko pengembalian kredit sehubungan dengan adanya jangka waktu pengembaliannya. Dalam hal ini, jaminan berfungsi untuk memberikan hak dan kekuasaan kepada kreditur untuk mendapatkan pelunasan dari hasil penjualan barang-barang jaminan tersebut bila debitur tidak melunasi hutangnya pada waktu yang telah ditentukan. Normalnya, setiap bank berusaha agar kredit yang disalurkan merupakan secured loans, karena didukung dengan jaminan dan berusaha menghindari terjadinya unsecured loans karena tidak didukung dengan jaminan. Jadi jika kredit tidak dapat lagi dilunasi dari usaha sebagai first source of repayment, maka bank akan menempuh jalan pelunasan terakhir dari jaminan sebagai second source of repayment.

44

Penulis memakai kata jaminan dalam tesis ini sebagai pengertian daripada agunan sebagaimana dirumuskan oleh UU Perbankan dalam Pasal 1 ayat (23) bahwa agunan adalah jaminan tambahan yang diserahkan nasabah debitur kepada bank dalam rangka pemberian fasilitas kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah. Jaminan tambahan ini dapat berupa jaminan materiil (berwujud) berupa benda-benda bergerak dan benda tetap atau jaminan immaterial (tak berwujud). Sutarno (2005 : 142) merumuskan pengertian jaminan kredit adalah segala sesuatu yang mempunyai nilai mudah untuk diuangkan yang diikat dengan janji sebagai jaminan untuk pembayaran dari hutang debitur berdasarkan perjanjian kredit yang dibuat oleh kreditur dan debitur. Pendapat yang sama juga dikemukakan oleh Hadisoeprapto (1984 : 50) yang mengemukakan bahwa jaminan kredit ialah segala sesuatu yang diberikan kepada kreditur untuk menimbulkan keyakinan bahwa debitur akan memenuhi kewajiban, yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan. Bahwa jaminan yang baik atau ideal, menurut Subekti dalam bukunya Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit Menurut Hukum Indonesia (1991 : 19), adalah jaminan yang memenuhi syarat : a. Yang dapat secara mudah membantu perolehan kredit itu oleh pihak yang memerlukannya; b. Yang tidak melemahkan potensi (kekuatan) si pencari kredit untuk melakukan (meneruskan) usahanya;

45

c. Yang memberikan kepastian kepada si pemberi kredit dalam arti bahwa barang jaminan setiap waktu tersedia untuk dieksekusi, yaitu, bila perlu dapat mudah diuangkan untuk melunasi hutangnya si penerima (pengambil) kredit. Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa jaminan kredit adalah seluruh harta kekayaan seseorang, baik barang bergerak, tidak bergerak, barang berwujud maupun tidak berwujud, baik yang diserahkan secara tegas (berdasarkan perjanjian) maupun secara otomatis (berdasarkan Undang-undang) oleh debitur kepada kreditur, dengan maksud untuk menjamin pembayaran kembali kreditnya berdasarkan suatu perikatan. Dalam praktek, jaminan yang sering diterima oleh kreditur bank bukan hanya milik debitur itu sendiri tetapi juga milik pihak ketiga yang atas kemauannya sendiri menyerahkan secara tegas harta kekayaannya untuk menjamin kredit dari debitur. 2. Klasifikasi Jaminan Kredit a. Jaminan Umum dan Jaminan Khusus Pasal 1131 KUH Perdata menetapkan bahwa segala kebendaan si berutang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan. Dari rumusan pasal tersebut menunjuk kepada sifat jaminan yang umum, artinya benda jaminan tidak ditunjuk secara khusus dan juga tidak diperuntukan kepada kreditur tertentu. Sehingga jika terdapat beberapa kreditur, maka

46

kedudukan para kreditur itu konkuren satu sama lainnya, dan atas harta kekayaan debitur yang dijual guna pelunasan hutangnya, akan dibagi-bagi secara proporsional. Jadi jaminan umum ini lahir secara otomatis karena ditentukan oleh Undang-undang. Walaupun Undang-undang telah menentukan bahwa semua harta debitur menjadi jaminan bagi hutangnya, praktek perbankan tetap menghendaki adanya jaminan yang dikhususkan untuk penjaminan kepada kreditur tertentu. Artinya, jaminan khusus ini harus dibuat dengan perjanjian antara kreditur disatu pihak dan debitur atau penjamin di pihak lain. b. Jaminan Perorangan dan Jaminan Kebendaan Penggolongan jaminan yang lain, yang sangat umum dilakukan oleh para sarjana adalah jaminan perorangan dan jaminan kebendaan. Jaminan perorangan atau persoonlijke zekerheid adalah jaminan yang menimbulkan hubungan

langsung pada perorangan tertentu, selalu berupa suatu perjanjian antara seorang berpiutang (kreditur) dengan pihak ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban dari si berutang (debitur), bahkan jaminan perorangan ini dapat diadakan tanpa pengetahuan dari si berutang (debitur) tersebut, sehingga jaminan perorangan menimbulkan hubungan langsung antara perorangan yang satu dengan yang lain. Bentuk jaminan perorangan adalah personal guarantee, coorporate guarantee

dan atau perikatan tanggung-menanggung. Sedang jaminan kebendaan atau zakelijke zekerheid ialah jaminan yang berupa hak mutlak atas sesuatu benda dengan ciri-ciri mempunyai hubungan

47

langsung dengan benda tertentu dari debitur atau pihak ketiga sebagai penjamin, dapat dipertahankan terhadap siapapun, selalu mengikuti bendanya dan dapat diperalihkan. Jaminan kebendaan dapat diadakan antara kreditur dengan debiturnya tetapi dapat juga diadakan antara kreditur dengan pihak ketiga yang menjamin dipenuhinya kewajiban si berutang (debitur) sehingga hak kebendaan ini memberikan kekuasaan yang langsung terhadap bendanya. Bentuk jaminan kebendaan adalah hak tanggungan, hipotik, gadai dan jaminan fidusia. Subekti mengemukakan bahwa pemberian jaminan kebendaan ini selalu berupa menyendirikan suatu bagian dari harta kekayaan seseorang, si pemberi (pembaharuan) kewajiban Dengan demikian maka

jaminan, dan menyediakannya guna pemenuhan (hutang) seorang debitur (Subekti, 1991 : 17).

pemberian jaminan kebendaan kepada kreditur tertentu, memberikan privelege atau kedudukan istimewa bagi kreditur penerima jaminan itu terhadap kreditur lainnya.

D. Tinjauan Tentang Gadai Sebagai Salah Satu Lembaga Jaminan 1. Pengertian Gadai Ketentuan Gadai diatur dalam Buku II Bab XX KUH Perdata mulai pasal 1150 sampai dengan 1160. Menurut ketentuan Pasal 1150 bahwa pihak yang menggadaikan disebut pemberi gadai dan pihak yang menerima gadai disebut penerima atau pemegang gadai.

48

Lembaga jaminan Gadai hingga saat ini banyak ditemukan dalam praktek. Kedudukan pemegang gadai jika dibandingkan dengan fidusia, lebih kuat karena benda jaminan berada dalam penguasaan kreditur. Dalam hal ini kreditur selaku pemegang gadai terhindar dari itikad buruk (the kwader trouw) dari pemberi gadai, sebab dalam gadai benda jaminan sama sekali tidak boleh dipegang oleh atau dibawah penguasaan pemberi gadai (inbezitstelling). Pasal 1150 KUH Perdata mendefinisikan gadai sebagai berikut : Gadai adalah suatu hak yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berhutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada siberpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untu menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan Selanjutnya, Volmar (1994 : 310), dengan bahasanya sendiri, ia memberikan pengertian gadai adalah : Sebuah hak atas benda bergerak milik orang lain yang dimaksud tujuannya bukan memberikan kepada orang yang berhak terhadap gadai itu (penerima gadai) nikmat benda tersebut, tetapi hanyalah untuk memberikan kepadanya jaminan tertentu bagi pelunasan suatu hutang. Dari perumusan di atas dapat disimpulkan bahwa gadai adalah suatu hak kebendaan yang mempunyai objek berupa benda bergerak yang berwujud dan tidak berwujud yang penyerahannya dilakukan oleh debitur atau orang lain atas nama debitur/pihak ketiga dengan fungsi untuk menjamin pemenuhan piutang kreditur, dimana pemegang gadai mempunyai hak untuk didahulukan (hak

49

preferen) dari kreditur-kreditur lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undangundang. 2. Sifat Perjanjian Gadai Sebagai Perjanjain Accessoir Perjanjian gadai sifatnya accesoir, artinya ia merupakan perjanjian tambahan dari suatu perjanjian pokok pinjam-meminjam uang dimana ia dimaksudkan untuk menjaga agar jangan sampai siberhutang lalai dalam pembayaran uang pinjamannya. Perjanjian accesoir mempunyai ciri-ciri antara lain : tidak dapat berdiri sendiri, ada maupun hapusnya bergantung pada perjanjian pokoknya dan apabila perjanjian pokoknya dialihkan maka secara otomatis pun ia ikut teralih. Dengan diadakan perjanjian accessoir ini akan membawa konsekuensi sebagai berikut : 1) Sekalipun perjanjian gadainya sendiri mungkin dibatalkan karena melanggar ketentuan gadai yang bersifat memaksa, tetapi perjanjian pokok itu sendiri yang biasanya perjanjian kredit, tetap berlaku, kalau ia dibuat secara sah. Hanya saja tagihan tersebut kalau tidak ada dasar preferensinya sekarang berkedudukan sebagai tagihan konkuren. 2) Hak gadainya sendiri tidak dapat dipindah tangankan tanpa turut berpindahnya perikatan pokoknya, tetapi sebaliknya pengoperan perikatan pokok meliputi pula semua accessoir, dalam mana termasuk kalau ada hak gadainya, yang demikian sesuai dengan ketentuan pasal 1533 KUH Perdata.

50

Menurut Hoey Tiong (1985 : 17), unsur-unsur yang harus dipenuhi dalam suatu perjanjian gadai adalah : a. Gadai lahir karena penyerahan kekuasaan atas barang gadai kepada kreditur pemegang gadai. b. Penyerahan barang itu dapat dilakukan oleh debitur pemberi gadai atau orang lain atas nama debitur. c. Barang yang menjadi objek gadai atau barang atau barang gadai hanyalah benda/barang bergerak. d. Kreditur pemegang gadai berhak mengambil pelunasan piutang dari barang gadai lebih dahulu daripada kreditur lainnya. 3. Hak dan Kewajiban Kreditur Pemegang Gadai a. Hak-hak kreditur pemegang gadai 1) Parate eksekusi, kreditur berhak menjual atas kekuasan sendiri, setelah lewat jangka waktu yang telah diperjanjikan. Parate eksekusi sendiri adalah kewenangan kreditur untuk mengambil pelunasan piutang dari kekayaan debitur dengan tanpa melalui proses pengadilan, dan untuk melaksanakan parate eksekusi ini kreditur harus telah melakukan somasi kepada pemberi gadai supaya hutangnya dibayar, sesuai dengan pasal 1155 KUH Perdata. 2) Hak menjual barang gadai dengan perantaraan hakim, ini sesuai dengan pasal 1156 KUH Perdata.

51

3) Hak menahan benda sampai segala macam hutang debitur dibayar lunas (hak retensi), sesuai dengan pasal 1159 KUH Perdata. 4) Berhak untuk didahulukan dari pembayaran-pembayaran debitur terhadap kreditur lainnya (hak preferen), sesuai dengan pasal 1150 KUH Perdata. 5) Berhak meminta penggantian biaya yang telah dikeluarkannya dalam rangka menjaga agar nilai barang gadai tidak merosot, sesuai dengan pasal 1157 KUH Perdata. b. Kewajiban kreditur pemegang gadai 1) Tidak dapat atau tidak wenang untuk memiliki benda jaminan secara otomatis, sesuai dengan pasal 1154 KUH Perdata. 2) Bertanggung jawab atas hilangnya atau merosotnya nilai barang objek gadai jika hilang atau merosotnya barang gadai tersebut atas kelalaiannya, sesuai dengan pasal 1157 KUH Perdata 3) Kreditur tidak dapat memakai, menggunakan, mengeksploitasi barang jaminan untuk kepentingan diri sendiri kecuali ada perjanjian secara tegas yang memungkinkan untuk itu, sesuai dengan pasal 1159 KUH Perdata. 4) Kreditur wajib memberitahukan kepada pemberi gadai jika barang gadai itu dijual atas kekuasan sendiri, sesuai pasal 1155 dan 1156 KUH Perdata. 5) Bertanggung jawab atas hasil penjualan barang gadai, yaitu digunakan untuk pelunasan jumlah piutangnya, sesuai pasal 1155 KUH Perdata. 4. Hak dan Kewajiban debitur / penjamin selaku pemberi gadai a. Hak-hak debitur / penjamin sebagai pemberi gadai

52

1) Berhak meminta agar pemegang gadai memperhitungkan hasil bunga yang didapatkan dari barang gadai (jika barang gadai berupa piutang atau tagihan yang menghasilkan bunga) dengan kewajiban bunga kredit yang harus dibayarkannya, sesuai dengan pasal 1158 KUH Perdata. 2) Berhak menuntut pemegang gadai jika atas penjualan barang gadai telah tidak digunakan oleh penerima gadai guna pelunasan hutang pemberi gadai, sesuai dengan pasal 1155 KUH Perdata. 3) Berhak menuntut penerima gadai sehubungan dengan hilang atau merosotnya nilai barang gadai yang disebabkan karena kelalaian penerima gadai, sesuai dengan pasal 1157 KUH Perdata. 4) Berhak menuntut penerima gadai untuk mengembalikan barang gadai jika penerima gadai menyalahgunakan barang gadai tersebut, sesuai dengan pasal 1159 KUH Perdata. b. Kewajiban debitur / penjamin sebagai pemberi gadai 1) Wajib mengganti segala biaya yang telah dikeluarkan oleh pemegang gadai ketika pemegang gadai berupaya mempertahankan keselamatan

barang gadai, sesuai dengan pasal 1157 KUH Perdata. 2) Wajib menyerahkan barang gadai ke dalam penguasaan penerima gadai, sesuai dengan pasal 1152 KUH Perdata. 3) Wajib menerima pemberitahuan atas penjualan barang gadai guna pelunasan hutang yang tidak dapat diselesaikan, sesuai pasal 1155 KUH Perdata.

53

4) Wajib menyetujui perhitungan pelunasan atas hutang yang dijamin dengan gadai, pelunasan mana berasal dari hasil penjualan barang gadai, sesuai dengan pasal 1155 KUH Perdata. 5. Berakhirnya Perjanjian Gadai Ada enam alasan yang dikemukakan oleh Satrio perjanjian gadai berakhir. Alasan-alasan itu adalah jika : a. Hapusnya perikatan pokok yang dijamin dengan gadai. b. Terlepasnya benda jaminan dari kekuasaan pemegang gadai. c. Musnahnya benda jaminan gadai. d. Dilepasnya benda jaminan gadai dengan sukarela. e. Adanya percampuran dimana pemegang gadai menjadi pemilik barang gadai. f. Jika terjadi penyalah gunaan benda gadai oleh pemegang gadai. (2002 : 132) dimana

E. Tinjauan Tentang Deposito Sebagai Jaminan Kredit 1. Pengertian Deposito Pengertian deposito disebut dalam pasal 1 angka (7) UU Perbankan. Pasal tersebut menyatakan bahwa Deposito adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian nasabah penyimpan dengan bank Berdasarkan pasal tersebut, deposito dikategorikan sebagai bentuk simpanan dana oleh nasabah penyimpan (deposan) kepada pihak bank, dimana berdasarkan

54

perjanjian antara keduanya, dana itu dapat ditarik kembali oleh nasabah setelah jangka waktu tertentu. Kata perjanjian yang terdapat pada pasal 1 angka (7) UU Perbankan tersebut menunjukan bahwa simpanan deposito yang lahir dari perjanjian yang dibuat antara pihak bank dengan nasabah, tidak terikat bentuknya, tetapi diberikan kesempatan kepada para pihak untuk menentukan syarat-syaratnya. Asas ini sengaja demikian untuk memberikan ruang gerak kepada bank dan nasabah dalam menentukan syarat-syarat deposito yang akan dibuat diantara mereka. Anwari (1979 : 12) memberikan pengertian bahwa deposito adalah nama yang diberikan pada simpanan deposan di bank yang lasim diletakkan pada persyaratan jangka waktu penyimpanan. Referensi dari sarjana lain, seperti Karim (2004 : 411), juga mengemukakan pendapat bahwa : uang yang dititipkan pada bank oleh pribadi maupun lembaga usaha tertentu untuk disimpan dan kemudian ditarik kembali saat dibutuhkan atau berdasarkan syarat yang telah disepakati bersama, yang dapat dimintai atau dibutuhkan disebut deposito. Berdasarkan uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa deposito adalah simpanan uang ke bank yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu menurut perjanjian yang telah disepakati yang dibuat secara tertulis oleh dan antara pihak bank dengan nasabah penyimpan dana (deposan).

55

2. Jenis-jenis Deposito Simorangkir dalam bukunya Seluk Beluk Bank Komersial, membagi deposito menjadi empat jenis, yaitu : a. Deposito berjangka (time deposit), yaitu simpanan dalam rupiah milik pihak ketiga yang penarikannya dilakukan setelah jangka waktu tertentu menurut perjanjian antara bank dan si penyimpan (deposan). Bila jangka waktunya telah habis maka kemungkinannya deposan dapat mencairkan atau memperpanjang jangka waktunya. Jangka waktu deposito ini biasanya bervariasi mulai dari 1, 2, 3, 6 ataupun 12 bulan, tergantung kesepakatan kedua belah pihak. Dalam praktek sehari-hari jenis ini lasim disebut deposito biasa. b. Deposito on call, yaitu simpanan deposan dalam jumlah tertentu artinya penempatannya ada syarat jumlah minimal tertentu, biasanya lebih besar dari deposito berjangka biasa, dan jangka waktu penempatannya minimal 7 hari, tergantung bank yang bersangkutan. c. Deposito Automatic Roll-over, perbedaannya dengan deposito berjangka biasa ialah ketika jatuh tempo maka pihak bank harus melakukan perpanjangan jangka waktu secara otomatis, tanpa menunggu konfirmasi lagi ke deposan. Artinya pada saat penempatannya sudah ditentukan syarat perpanjangan otomatis tersebut. d. Sertifikat Deposito, adalah surat berharga yang pada hakikatnya sama dengan surat tanda bukti menyimpan uang. Perbedaan dengan deposito biasa adalah

56

pembayaran bunganya adalah diawal penempatan, diterbitkan oleh bank sebagai surat berharga atas unjuk yang dapat diperjual-belikan atau dipindah tangankan, sedangkan deposito biasa diterbitkan atas nama dan tidak dapat diperjual-belikan (Simorangkir, 1988 : 79-88). 3. Deposito Sebagai Jaminan Kredit Sebagaimana telah diuraikan dalam bagian terdahulu bahwa jaminan diperlukan sebagai salah salah satu sumber pembayaran kredit jika kredit yang diberikan bermasalah maka deposito belakangan ini juga berkembang menjadi trend yang berlaku/diterima sebagai jaminan kredit. Diterimanya deposito sebagai jaminan kredit tidak terlepas dari sifat kepastian jumlahnya yang memang sangat pasti dan sangat likuid dibanding dengan jaminan-jaminan kredit lainnya. deposito

Sehingga dapat dikatakan bahwa pemberian kredit dengan jaminan

memberikan tingkat keamanan yang sangat tinggi dan pasti bagi kreditur. Apalagi jika deposito tersebut keberadaannya (penempatannya) berada di bank pemberi kredit. Selain karena sifatnya yang sangat likuid tersebut, dari sudut debitur, faktor pendorong deposito diserahkan sebagai jaminan kredit, adalah pertimbangan

proses permohonan dan approval kredit serta biaya. Dibandingkan dengan kredit dengan jaminan selain deposito, proses permohonan dan approval kreditnya sangat cepat dan tidak berbelit-belit. Demikian juga dengan biaya, dalam kredit dengan jaminan deposito (back to back loan), biaya kredit yang dikeluarkan oleh debitur dapat ditekan sedemikian rupa sehingga bisa jauh lebih murah

57

dibandingkan dengan kredit umum dengan jaminan lainnya. Hal ini disebabkan karena dua hal : a. seluruh pengikatan kredit dan jaminannya cukup dilakukan secara dibawah tangan; b. karena kepentingan kreditur yang tidak mau kehilangan bisnis dari sisi pendanaan, yaitu dengan penempatan depositonya di bank yang sama dengan kreditur, maka bagi kreditur, deposito jaminan ini juga membawa keuntungan tersendiri sebagai bagian dari pemenuhan target pengumpulan dana-dana pihak ketiga. Sehingga karenanya, terdapat bargaining position yang relatif lebih kuat dibanding dengan jenis-jenis kredit dengan jaminan selain deposito. 4. Tata Cara Pengikatan Deposito Sebagai Jaminan Kredit Deposito termasuk dalam kategori benda bergerak yang tidak berwujud, sehingga atasnya, dapat dibebani dengan hak gadai. Terhadap gadai atas benda bergerak tersebut maka hukum yang berlaku adalah ketentuan dalam KUH Perdata pasal 1150 sampai dengan pasal 1160. Hak gadai terjadi dengan penyerahan benda gadai secara nyata sehingga benda tersebut berada di bawah kekuasaan kreditur. Hak kebendaan (jaminan) atas benda bergerak itu ada pada pemegang gadai. Hal tersebut tercantum dalam pasal 1152 ayat 1 KUH Perdata : Hak gadai atas benda-benda bergerak dan atas piutang-piutang bawa diletakkan dengan membawa barang gadainya dibawah kekuasaan si berpiutang atau seorang pihak ketiga, tentang siapa telah disetujui oleh kedua belah pihak.

58

Gadai merupakan perjanjian accesoir, maksudnya adalah bahwa sebelum diadakan perjanjian gadai, terlebih dahulu harus ada perjanjian kredit sebagai perjanjian pokoknya. Maka untuk mengikat deposito sebagai jaminan kredit, akan dilakukan

tahap-tahap pengikatan sebagai berikut : a. Tahap pertama. Pengikatan kredit sebagai perjanjian pokok dimana didalamnya disebutkan jaminan kredit ini adalah deposito. b. Tahap kedua. Pengikatan deposito dilakukan dengan pembuatan akta perjanjian gadai antara pemilik deposito dengan pihak bank. Menurut hukum, akta perjanjian gadai dapat dibuat secara sah dengan dilakukan secara notaril maupun dibawah tangan, dibuat untuk menjamin perjanjian pokoknya yang berupa perjanjian kredit. c. Tahap ketiga. Untuk membebankan hak gadai maka setelah pembuatan akta perjanjian gadai antara pemilik deposito dengan pihak bank, selanjutnya diikuti dengan penyerahan bilyet deposito yang dijaminkan kepada pemegang gadai, dalam hal ini pihak bank. Penyerahan tersebut merupakan penyerahan yang ny