Depkes Word Press

41
Jakarta, 1 April 2012 Sebuah kabar gembira bagi para ibu, khususnya ibu menyusui yang mendambakan dapat memberikan Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif kepada buah hati tercintanya. Satu bulan yang lalu, tepatnya 1 Maret 2012, Pemerintah telah menetapkan kebijakan nasional, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 33 tahun 2012 mengenai Pemberian ASI Eksklusif. Peraturan pemerintah ini dilahirkan guna menjamin pemenuhan hak bayi untuk mendapatkan sumber makanan terbaik (dibaca: ASI) sejak dilahirkan sampai berusia 6 bulan. Selain itu, kebijakan ini juga melindungi Ibu dalam memberikan ASI eksklusif kepada bayinya. Peraturan ini membahas mengenai Program Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan ASI Eksklusif; Pengaturan penggunaan susu formula dan produk bayi lainnya; Sarana menyusui di tempat kerja dan sarana umum lainnya; Dukungan Masyarakat; tanggung jawab Pemerintah, Pemerintah Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota dalam; serta pendanaannya. Saat ini, pola pemberian makan terbaik untuk bayi sampai anak berumur 2 tahun, meliputi: pemberian ASI kepada bayi segera dalam waktu 1 jam pasca kelahiran melalui Inisiasi Menyusu Dini (IMD); memberikan hanya ASI saja sejak lahir sampai umur 6 bulan, tanpa menambah dan/atau mengganti dengan makanan atau minuman lain; memberikan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat sejak usia 6 bulan; serta meneruskan pemberian ASI sampai anak berumur dua tahun. Seperti kita ketahui, menyusui ditengarai dapat menurunkan risiko bayi terkena infeksi akut dan penyakit kronis di masa mendatang. Karena itu, setiap Ibu melahirkan dianjurkan dapat memberikan ASI secara eksklusif kepada bayinya, kecuali dalam kondisi tertentu, seperti adanya indikasi medis; ibu tidak ada atau ibu terpisah

description

asi

Transcript of Depkes Word Press

Page 1: Depkes Word Press

Jakarta, 1 April 2012

Sebuah kabar gembira bagi para ibu, khususnya ibu menyusui yang mendambakan dapat memberikan Air Susu Ibu (ASI) secara eksklusif kepada buah hati tercintanya. Satu bulan yang lalu, tepatnya 1 Maret 2012, Pemerintah telah menetapkan kebijakan nasional, yakni Peraturan Pemerintah (PP) Republik Indonesia Nomor 33 tahun 2012 mengenai Pemberian ASI Eksklusif.

Peraturan pemerintah ini dilahirkan guna menjamin pemenuhan hak bayi untuk mendapatkan sumber makanan terbaik (dibaca: ASI) sejak dilahirkan sampai berusia 6 bulan. Selain itu, kebijakan ini juga melindungi Ibu dalam memberikan ASI eksklusif kepada bayinya.

Peraturan ini membahas mengenai Program Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan ASI Eksklusif; Pengaturan penggunaan susu formula dan produk bayi lainnya; Sarana menyusui di tempat kerja dan sarana umum lainnya; Dukungan Masyarakat; tanggung jawab Pemerintah, Pemerintah Daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota dalam; serta pendanaannya.

Saat ini, pola pemberian makan terbaik untuk bayi sampai anak berumur 2 tahun, meliputi: pemberian ASI kepada bayi segera dalam waktu 1 jam pasca kelahiran melalui Inisiasi Menyusu Dini (IMD); memberikan hanya ASI saja sejak lahir sampai umur 6 bulan, tanpa menambah dan/atau mengganti dengan makanan atau minuman lain; memberikan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) yang tepat sejak usia 6 bulan; serta meneruskan pemberian ASI sampai anak berumur dua tahun.

Seperti kita ketahui, menyusui ditengarai dapat menurunkan risiko bayi terkena infeksi akut dan penyakit kronis di masa mendatang. Karena itu, setiap Ibu melahirkan dianjurkan dapat memberikan ASI secara eksklusif kepada bayinya, kecuali dalam kondisi tertentu, seperti adanya indikasi medis; ibu tidak ada atau ibu terpisah dari bayi.

Dalam rangka menyukseskan keberhasilan pemberian ASI Eksklusif, perlu dukungan berbagai pihak mulai dari Pemerintah, Pemda Provinsi dan Kab/Kota, Penyelenggara Pelayanan Kesehatan, Tenaga Kesehatan, masyarakat serta keluarga terdekat ibu.

Karena itu wahai ibu, jangan ragu lagi untuk menyusui.

Kepulauan Riau, 28 November 2011

Millennium Development Goals (MDG) merupakan kerangka kerja pembangunan yang telah disepakati seluruh anggota PBB, termasuk Indonesia. Terdapat 8 sasaran MDG, yaitu: (1)

Page 2: Depkes Word Press

Memberantas kemiskinan dan kelaparan; (2) Mencapai pendidikan tingkat dasar yang merata dan universal; (3) Memajukan kesetaraan gender; (4) Mengurangi tingkat kematian anak; (5) Meningkatkan kesehatan ibu; (6) Menanggulangi HIV/AIDS; Malaria dan penyakit lain; (7) Menjamin kelestarian lingkungan; dan (8)Menjalin kerjasama global bagi perkembangan kesejahteraan.Posyandu berperan penting dalam pencapaian sasaran MDG, utamanya terkait dengan peningkatan status gizi anak serta kesehatan ibu dan anak. Dukungan para Bupati/ Walikota sangat diperlukan bagi revitalisasi dan berlangsungnya kegiatan Posyandu. Kegiatan penimbangan Balita di Posyandu sangat penting untuk deteksi dini ada tidaknya masalah gizi pada anak.

Demikian sambutan Menkes dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH, saat memberikan pengarahan pada Rapat Kerja Bupati/Walikota se-Provinsi Kepulauan Riau, di Batam (28/11). Raker dibuka Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, HR Agung Laksono.

Indikator yang paling menentukan pada MDG-1 adalah prevalensi gizi kurang dan gizi buruk. Prevalensi gizi kurang telah menurun secara signifikan, dari 31% (1989) menjadi 17,9 % (2010). Demikian pula prevalensi gizi buruk menurun dari 12,8% (1995) menjadi 4,9% (2010). Kecenderungan ini menunjukkan, target penurunan prevalensi gizi kurang dan gizi buruk menjadi 15% dan 3,5% pada 2015, diharapkan dapat tercapai.

Menkes memaparkan, untuk mengatasi masalah gizi, diprioritaskan kepada 1.000 hari pertama kehidupan mencakup perbaikan gizi ibu hamil dan anak usia 0 – 24 bulan. Bentuk kegiatan yang dapat dilakukan meliputi Pendidikan ibu tentang makanan bergizi selama hamil; Pemberian ASI dan MP-ASI, serta pemantauan pertumbuhan; Pemberian tablet Fe pada ibu hamil; Pelayanan Inisiasi Menyusu Dini (IMD) di fasilitas kesehatan; Konseling menyusui secara eksklusif; Pemberian TABURIA; Pemberian MP-ASI untuk anak usia 6–24 bulan gizi kurang; Pemantauan pertumbuhan di Posyandu; Supelementasi Vitamin A; Tatalaksana anak gizi buruk termasuk pencegahan dan penanganan kasus anak yang pendek (stunting); dan peningkatan intervensi melalui fortifikasi untuk menanggulangi kekurangan zat gizi mikro.

Dalam koridor MDG-4, Menkes menguraikan, berdasarkan data Hasil Suvei Demografi dan Kesehatan Indonesia (2007), angka kematian bayi (AKB) adalah 34 per 1000 kelahiran hidup dan angka kematian balita (AK Balita) adalah 44 per 1000 kelahiran hidup.

”Angka kematian neonatal menunjukkan tren penurunan yang lambat. Padahal, target yang harus dicapai pada tahun 2015 adalah 23 per 1000 kelahiran hidup untuk AKB dan 32 per 1000 kelahiran hidup untuk AK Balita. Karena itu, keberhasilan imunisasi dan penanganan penyakit infeksi sangat besar kontribusinya”, tambah Menkes.

Page 3: Depkes Word Press

Selanjutnya, indikator MDG-5 yaitu angka kematian ibu (AKI), merupakan salah satu indikator yang diperkirakan sulit dicapai. Kesulitan ini tidak hanya dirasakan Indonesia tetapi juga di banyak negara berkembang di dunia. Data terakhir AKI adalah 228 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup (SDKI, 2007). Masih perlu upaya yang lebih keras guna mencapai target MDG pada 2015, yaitu AKI sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup.

“Tingginya AKI dipengaruhi oleh faktor sosial, ekonomi dan budaya. Penyebab utama kematian ibu, yaitu perdarahan pasca persalinan, eklamsia dan infeksi. Memperhatikan permasalahan yang dihadapi maka pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan merupakan salah satu upaya prioritas dalam penurunan AKI”, tandas Menkes.

Mengutip data hasil Riskesdas (2010), Menkes menyampaikan, cakupan persalinan oleh tenaga kesehatan secara nasional sudah mencapai 82,7%. Namun, hingga saat ini, baru 8 propinsi yang mencapai angka 90% (sesuai target MDG), yaitu Provinsi DI Yogyakarta, Bali, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Bangka Belitung, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Aceh.

“Dalam menurunkan AKI dan AKB serta meningkatkan kepesertaan KB pasca persalinan, dilaksanakan Program Jaminan Persalinan (Jampersal) sejak awal tahun 2011. Sasaran Jampersal adalah semua ibu hamil yang tidak mempunyai jaminan persalinan. Jenis pelayanan yang diberikan adalah Antenatal Care (ANC) sebanyak 4 kali, pertolongan persalinan, dan Post-natal Care (PNC) sebanyak 3 kali”, ujar Menkes.

Dalam pembahasan tentang MDG-6, Menkes menyatakan, case fatality rate (CFR) penderita AIDS di Indonesia menurun dari 40% (1987) menjadi 2.7% (2011). Ada kecenderungan peningkatan prevalensi HIV, namun prevalensi AIDS tampak stabil. Keadaan ini diduga terjadi karena meningkatnya akses masyarakat terhadap pelayanan HIV-AIDS, sehingga lebih banyak orang yang terdiagnosis sejak dini. Faktor risiko utama penularan AIDS di Indonesia adalah hubungan seks heteroseksual tanpa pelindung (kondom) dan tukar-menukar jarum suntik di antara pengguna narkotik suntik (Penasun).

“Upaya pencegahan dan pengendalian penyakit HIV/AIDS difokuskan pada upaya menekan laju angka prevalensi kasus HIV dan peningkatan persentase ODHA yang mendapat Anti Retroviral Treatment (ARV)”, jelas Menkes.

Pada tahun 2011, dimulai kegiatan Kampanye HIV/AIDS “Aku Bangga, Aku Tahu (ABAT)”. Kampanye ini dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan komprehensif tentang HIV-AIDS pada masyarakat, khususnya kelompok umur 15-24 tahun, sebagai kelompok paling berisiko

Page 4: Depkes Word Press

terinfeksi HIV. Kampanye ABAT dilakukan di 100 kabupaten/kota di 10 provinsi di Indonesia dengan angka prevalensi HIV yang tinggi, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Papua, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Riau, dan Sumatera Utara. Sosialisasi dilakukan pada 10 SLTP, 10 SLTA, 10 Perguruan Tinggi, 10 tempat kerja, dan di kalangan 10 organisasi kepemudaan. Kegiatan dilaksanakan secara lintas sektor oleh Kemenkes, Kemendagri, Kemenaker, Kemdikbud, BNN, KPA dan Pemerintah Daerah setempat.

Hal lain, Menkes membahas mengenai Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) untuk masyarakat miskin dan tidak mampu. Saat ini, sebanyak 149 juta jiwa (63,13%) dari 236 juta jiwa penduduk telah memiliki jaminan kesehatan dengan berbagai model. Dengan demikian, jumlah masyarakat yang belum memiliki jaminan kesehatan sebanyak 87 juta jiwa (36,87%).

Persentase terbesar peserta jaminan kesehatan adalah Jamkesmas sebanyak 76,4 juta jiwa (32,36%), Jamkesda sebanyak 31,8 juta jiwa (13,50%), peserta Askes PNS, pensiunan, dan veteran sebanyak 17,36 juta jiwa (7,36%); selebihnya peserta Jaminan Pemeliharaan Kesehatan (JPK) Jamsostek dan swasta lainnya. Pada tahun 2014, seluruh jaminan kesehatan sosial akan diselenggarakan oleh BPJS kesehatan, sebagaimana diatur dalam Undang-undang BPJS.

Pada kesempatan tersebut, Menkes mengharapkan dari para Bupati/Walikota dalam mempercepat pencapaian MDG, agar dapat mengalokasikan pembiayaan yang memadai untuk kesehatan melalui APBD; melakukan pengawalan pelaksanaan Jamkesmas dan Jampersal; menempatlkan pencapaian MDG sebagai prioritas; melakukan fasilitasi penempatan tenaga strategis kesehatan di wilayah terpencil, tertinggal, perbatasan, dan pulau terluar; dan memberikan perhatian khusus pada upaya penanggulangan bencana dan kegawat-daruratan.

Anak merupakan generasi penerus sumberdaya manusia masa depan untuk melanjutkan pembangunan. Oleh karenanya kita harus memberikan lingkungan kondusif agar anak dapat tumbuh dan berkembang optimal, sehat, cerdas dan memiliki karakter sesuai dengan nilai-nilai bangsa Indonesia. Salah satu upaya yang paling mendasar untuk menjamin pencapaian kualitas tumbuh kembang anak secara optimal sekaligus memenuhi hak anak adalah memberikan makanan terbaik bagi anak sejak lahir hingga usia dua tahun.Pola pemberian makanan terbaik bagi bayi dan anak menurut para ilmuwan dunia dan telah menjadi rekomendasi WHO adalah memberikan hanya ASI saja kepada bayi sejak lahir sampai dengan umur 6 bulan; meneruskan pemberian ASI sampai anak berumur 24 bulan; dan memberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) kepada bayi mulai usia 6 bulan.

Page 5: Depkes Word Press

Sayangnya, pada ibu pekerja, terutama di sektor formal, sering kali mengalami kesulitan memberikan ASI eksklusif kepada bayinya karena keterbatasan waktu dan ketersediaan fasilitas untuk menyusui di tempat kerja. Dampaknya, banyak ibu yang bekerja terpaksa beralih ke susu formula dan menghentikan memberi ASI secara eksklusif.

Demikian sambutan Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan RI, yang dibacakan oleh Dirjen Bina Gizi dan KIA, Dr.dr. Slamet Riyadi Yuwono,DTM&H, MARS,MKes saat membuka seminar Penguatan Pemberian ASI di Tempat Kerja di Jakarta, pada Selasa (27/09). Kegiatan ini diselenggarakan dalam rangka mensukseskan momentum Pekan ASI Sedunia (World Breastfeeding Week) yang jatuh pada awal Agustus 2011 lalu.

“Dalam pemberian ASI salah satu tantangan kita adalah upaya meningkatkan cakupan pemberian ASI secara eksklusif”, ujar dr. Ratna Rosita.

Mengutip hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2004-2009, cakupan pemberian ASI eksklusif pada seluruh bayi dibawah 6 bulan (0–6 bulan) meningkat dari 58,9% pada tahun 2004 menjadi 61,3% pada tahun 2009. Begitu juga dengan cakupan bayi yang mendapat ASI eksklusif terus menerus dari usia 0 sampai 6 bulan juga meningkat dari 19,5% tahun 2005 menjadi 34.3% pada tahun 2009.

Meskipun terdapat kenaikan cakupan, tetapi keadaan ini belum menggembirakan. Mengingat, jumlah pekerja perempuan di Indonesia, mencapai sekitar 40,74 juta jiwa, dengan jumlah pekerja pada usia reproduksi berkisar sekitar 25 juta jiwa yang kemungkinan akan mengalami proses kehamilan, melahirkan dan menyusui selama menjadi pekerja. Karena itu, dibutuhkan perhatian yang memadai agar status ibu yang bekerja tidak lagi menjadi alasan untuk menghentikan pemberian ASI Ekslusif.

Pada kesempatan ini, Sesjen Kemenkes RI mengimbau kepada para pengusaha, pengelola tempat kerja/perkantoran baik milik pemerintah maupun swasta untuk dapat mendukung program pemerintah dalam mewujudkan pemberian ASI eksklusif kepada bayi sampai umur 6 bulan melalui upaya-upaya yaitu: memberikan kesempatan kepada pekerja perempuan yang masih menyusui untuk memberikan ASI kepada bayi/anaknya selama jam kerja; menyediakan tempat untuk menyusui bayinya berupa ruang ASI dan tempat penitipan anak apabila kondisi tempat kerja memungkinkan untuk membawa bayi/anaknya; atau menyediakan ruang dan sarana prasarana untuk memerah ASI dan menyimpan ASI ditempat kerja, agar ibu selama bekerja tetap dapat memerah ASI untuk selanjutnya dibawa pulang setelah selesai bekerja.Undang-undang No 36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 128 mengamanatkan setiap bayi berhak mendapatkan air susu ibu eksklusif sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, Hal ini

Page 6: Depkes Word Press

didukung oleh Undang-undang Nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pasal 83 menyebutkan bahwa pekerja/buruh perempuan yang anaknya masih menyusu harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusui anaknya jika hal itu harus dilaksanakan selama waktu kerja. Saat ini, kementerian Kesehatan sedang menyiapkan Peraturan Pemerintah Tentang Pemberian Air Susu Ibu sebagai dasar pelaksanaan kebijakan tersebut.

Hakekatnya semua ibu yang bekerja atau yang mempunyai kesibukan di rumah atau di luar rumah, hendaknya mencari informasi yang lengkap antara lain mengenai manfaat ASI dan menyusui serta bagaimana mengelola ASI, tegas dr. Ratna.

Pembicara dalam kegiatan yang diikuti oleh sekitar 300 peserta ini, yaitu Dirjen Pengawasan Norma Ketenagakerjaan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI; Dirjen Tumbuh Kembang Anak Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI; Perwakilan Sentra Laktasi-Selasi; Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO); Asosiasi Ibu Menyusui Indonesia (AIMI); Perwakilan Perusahaan; dan Testimoni pekerja yang sukses dalam memberikan ASI Eksklusif (Pretty Berliana-Marketing Direktur PT. Good Year Indonesia).

Turut hadir dalam seminar ini, Pejabat Eselon 1 dan 2 di lingkungan Kementerian Kesehatan, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; Solidaritas Istri Kabinet Indonesia Bersatu II; Kepala Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta dan Para Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota se-Jabodetabek; Para Pimpinan atau yang mewakili Perusahaan, BUMN se-Jabodetabek; Para Pimpinan atau Wakil-wakil Organisasi Profesi, Asosiasi, Ormas yang terkait di Bidang Kesehatan Kerja; dan Para Pimpinan atau Wakil-wakil Organisasi Profesi, Asosiasi, Ormas yang terkait ASI.

Pola pemberian makanan terbaik bagi bayi dan anak adalah memberikan hanya ASI saja kepada bayi sejak lahir sampai umur 6 bulan; meneruskan pemberian ASI sampai anak berumur 24 bulan; dan memberikan makanan pendamping ASI (MP-ASI) kepada bayi mulai usia 6 bulan. Pemberian ASI tidak sekedar rekomendasi WHO tetapi diakui agama sebagai makanan bayi dan anak ciptaan Tuhan yang tidak dapat digantikan dengan makanan dan minuman yang lain.Ketersediaan konselor menyusui di fasilitas pelayanan kesehatan turut mempengaruhi peningkatan keberhasilan pemberian ASI. Oleh karenanya, Kemkes mengupayakan agar setiap pelayanan kesehatan terutama di Puskesmas dan RS tersedia konselor menyusui akan membantu para ibu yang memiliki kendala memberikan ASI.

Demikian sambutan Menkes yang dibacakan Dirjen Bina Gizi dan KIA dr. Slamet Rijadi Yuwono pada acara Temu Nasional Konselor Menyusui ke I sebagai rangkaian kegiatan Pekan ASI Sedunia (PAS) 2011, di kantor Kemkes, Jakarta (11/8). Acara yang dihadiri 500 konselor

Page 7: Depkes Word Press

menyusui dari perwakilan pusat, seluruh provinsi dan se Jabodetabek ini dilanjutkan dengan peresmian Ikatan Konselor Menyusui Indonesia (IKMI).

Menurut Menkes, selain ketersediaan konselor menyusui, aspek lain yang perlu mendapat perhatian adalah komunikasi. Dengan komunikasi yang baik, pesan tentang manfaat pemberian ASI akan makin cepat sampai ke masyarakat. Komunikasi dapat dilakukan melalui media massa atau memanfaatkan jaringan elektronik berupa website dan jaringan internet.

“Dukungan terhadap kegiatan menyusui saat ini baru mencakup dua dimensi yaitu dimensi waktu (dari kehamilan hingga penyapihan) dan dimensi tempat (rumah, masyarakat dan fasilitas pelayanan kesehatan). Padahal kehadiran kedua dimensi tersebut belum lengkap dan belum berdampak optimal apabila tidak disertai dimensi ketiga ‘Komunikasi’”, jelas Menkes.

Komunikasi merupakan bagian penting dalam melindungi, mempromosikan dan mendukung kegiatan menyusui. Gabungan ketiga dimensi tersebut akan memberikan dampak ganda terhadap keberhasilan menyusui dan peningkatan cakupan pemberian ASI secara eksklusif, tambahnya.

Mengutip Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2004 – 2009, Menkes menyatakan cakupan pemberian ASI eksklusif pada seluruh bayi dibawah 6 bulan (0–6 bulan), meningkat dari 58,9% (2004) menjadi 61,3% (2009). Demikian pula dengan cakupan bayi yang mendapat ASI eksklusif terus menerus dari usia 0 sampai 6 bulan, meningkat dari 19,5% (2005) menjadi 34.3% (2009).

“Meskipun ada kenaikan cakupan, tetapi keadaan ini belum menggembirakan, sehingga diperlukan upaya yang makin kuat dan komprehensif diantara para pemangku kepentingan”, kata Menkes.

Gencarnya promosi pemberian susu formula merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi belum optimalnya pemberian ASI eksklusif. Faktor lain adalah belum baiknya penerapan Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui (10 LMKM), serta kurangnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya ASI.

“Pemerintah terus menerus mendorong dilakukannya peningkatan kegiatan edukasi, sosialisasi, advokasi, dan kampanye terkait pemberian ASI maupun MP-ASI, peningkatan ketersediaan sarana dan prasarana KIE ASI dan MP-ASI serta pembinaan kelompok pendukung ASI dan MP-ASI”, jelas Menkes.

Page 8: Depkes Word Press

Keberadaan Peraturan Pemerintah tentang Pemberian ASI yang saat ini dalam proses finalisasi akan menyediakan lingkungan yang kondusif bagi pemberian ASI secara eksklusif, tambahnya.

Tema Pekan ASI Sedunia tahun ini adalah “Talk to Me Breastfeeding a 3D Experience” dimaknai menjadi “Katakan Padaku! Menyusui Menakjubkan, Mari Kita Bantu”. Minggu pertama Agustus setiap tahun dijadikan sebagai Pekan ASI. Kegiatan ini dilaksanakan untuk meningkatkan kesadaran semua pihak tentang pentingnya ASI bagi bayi dan perlunya dukungan bagi ibu dan bapak dalam mencapai keberhasilan menyusui bayinya.

Pada kesempatan tersebut Menkes mengajak semua pihak untuk menjadikan Pekan ASI tahun ini sebagai awal kebangkitan pelaksanaan pemberian konseling menyusui kepada para ibu yang membutuhkan.

“Bantuan dan komitmen yang tinggi dari para konselor akan dapat meningkatkan cakupan pemberian ASI dan akhirnya dapat diciptakan generasi penerus yang berkualitas. Pemberian ASI yang tepat, tidak saja meningkatkan asupan gizi sehingga anak tumbuh dan berkembang optimal, juga penting dalam memelihara kesehatan sebagai suatu investasi bangsa yang sangat tinggi di masa kini dan masa yang akan datang”, tegas Menkes.

Hari ini (4/8) Menteri Kesehatan, dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr. PH meresmikan klinik laktasi RS Puri Cinere. Hadir dalam peresmian tersebut, Dirjen Bina Upaya Kesehatan, dr. Supriyantoro, Sp.P, MARS; Walikota Depok, Dr. Ir. H. Nur Mahmudi Ismail, Msc; Direktur Utama RS Puri Cinere, Dr. dr. Ronnie Rifany SSD, MSc ; Duta ASI, Sofie Navita; Ketua Yayasan Sentra Laktasi Indonesia (Selasi), Utami Roesli, SpA., MBA., CIMI., IBCLC; perwakilan organisasi perumahsakitan dan organisasi profesi terkait lainnya.Dalam sambutannya, Menkes menjelaskan 10 Langkah Menuju Keberhasilan Menyusu oleh fasilitas dan tenaga kesehatan. Langkah-langkah tersebut meliputi, Fasilitas kesehatan harus mempunyai kebijakan tertulis tentang menyusui; Melatih semua staf pelayanan kesehatan dengan keterampilan; Menjelaskan kepada semua ibu hamil tentang manfaat menyusui dan langkah keberhasilan menyusui, juga harus membantu memberikan konseling kepada ibu penderita infeksi HIV positif; Membantu ibu menyusui bayinya dalam waktu 30 menit setelah melahirkan; Membantu ibu melakukan teknik menyusui yang benar; Tidak memberikan makanan atau minuman apapun selain ASI kepada bayi baru lahir; Melaksanakan rawat gabung ibu dan bayi (rooming-in); Melaksanakan pemberian ASI sesering dan semau bayi; Tidak memberikan dot atau kempeng; serta Membentuk dan membantu pengembangan kelompok pendukung ibu menyusui.

Menkes menegaskan, RS sebagai fasilitas pelayanan kesehatan perorangan wajib memberikan pelayanan yang aman, bermutu, anti-diskriminasi, efektif, berorientasi kepada kepentingan pasien dan sesuai dengan standar pelayanan Rumah Sakit.

Page 9: Depkes Word Press

Pada kesempatan tersebut, Menkes menandatangani Prasasti Penggantian Nama RS Hospital Cinere menjadi RS Puri Cinere. Menkes juga memberikan penghargaan kepada Direktur Rumah Sakit Puri Cinere, yang telah melaksanakan dan mendukung program pemberian ASI eksklusif.

Menkes menambahkan, dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan masyarakat, pemerintah memerlukan dukungan semua pihak termasuk sektor swasta. Oleh karenanya, salah satu strategi utama Kemkes adalah mencantumkan upaya peningkatan pemberdayaan masyarakat, swasta dan masyarakat madani dalam pembangunan kesehatan melalui kerjasama nasional dan regional.

"Elemen pemerintah dan swasta merupakan komponen penting dalam kebijakan kesehatan Indonesia. Keduanya saling mewarnai dalam setiap tahap penyusunan dan implementasi kebijakan”, sambung Menkes.

Menkes mengingatkan, rumah sakit mempunyai sebuah rangkaian perjuangan panjang. Proses peningkatan mutu pelayanan bentuk tanggung jawab bersama seluruh pihak terkait, khususnya pihak manajemen dan pelaksana teknis rumah sakit.

"Perlu melakukan self assessment dan meningkatkan etos kerja serta memperhatikan keselamatan pasien sebagaimana amanah dari Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit", ujar Menkes.

Rumah Sakit Puri Cinere, sebelumnya bernama RS Hospital Cinere, berdiri sejak tahun 1999, dan merupakan RS swasta yang memiliki mitra dengan RS Cipto Mangun Kusumo, Pondok Indah dan RS Bakti Yudha.

Periode tiga tahun pertama pada masa Balita merupakan periode emas pertumbuhan fisik, intelektual, mental dan emosional anak. Gizi yang baik, kebersihan, imunisasi, vitamin A dan pelayanan kesehatan yang bermutu, serta kasih sayang dan stimulasi yang memadai pada usia Balita akan meningkatkan kelangsungan hidup dan mengoptimalkan kualitas hidup anak. Demikian sambutan Staf Ahli Menteri Kesehatan Bidang Peningkatan Kapasitas Kelembagaan dan Desentralisasi, dr. Krishnajaya, MS pada acara Gebyar Posyandu di Bintaro Plaza (15/07). Gubernur Provinsi Banten Hj. Ratu Atut Chosiyah membuka acara tersebut sebagai rangkaian Hari Anak Nasional 2011 bertema Anak Indonesia Sehat, Kreatif dan Berakhlak Mulia.

Menurut dr. Krishna, selain periode emas, masa Balita juga merupakan periode kritis. Pada masa ini, segala bentuk penyakit, kekurangan gizi, serta kekurangan kasih sayang, akan membawa dampak negatif yang menetap sampai seumur hidupnya. Karena itu, pola

Page 10: Depkes Word Press

pengasuhan yang baik dan benar dibutuhkan untuk menghindarkan risiko tersebut.

Upaya pemantauan kesehatan, pertumbuhan dan perkembangan anak serta penanganannya dilakukan di berbagai tingkatan. Salah satunya upaya berbasis masyarakat yang diselenggarakan melalui Posyandu. Hingga saat ini, keberadaan Posyandu yang mencapai jumlah sekitar 269.000 mampu mendukung dan memberikan kontribusi besar dalam pencapaian tujuan Pembangunan Nasional, tambahnya.

“Berdasarkan data Riskesdas tahun 2010, jumlah Balita yang dipantau melalui penimbangan di Posyandu terus meningkat hingga mencapai 75 persen”, jelas dr. Krishna.

Dr. Krishna menjelaskan, Kementerian Kesehatan telah berupaya melakukan pembinaan untuk menjamin kesinambungan pelayanan Kesehatan Ibu dan Anak di setiap tingkat pelayanan. Sejak tahun lalu, Kemkes telah mencetak Buku KIA untuk seluruh sasaran ibu hamil dan didistribusikan sampai ke tingkat kabupaten/kota. Buku KIA, penting sebagai alat pencatatan sekaligus sumber informasi bagi keluarga tentang perawatan kesehatan bagi ibu dan anak.

Selain itu Buku KIA mempunyai banyak manfaat yaitu meningkatkan kesadaran; meningkatkan pengetahuan akan upaya preventif dan promotif di bidang kesehatan; meningkatkan kewaspadaan akan masalah kesakitan atau kegawatdaruratan pada ibu hamil, bayi baru lahir dan Balita; serta menjadi sarana komunikasi antar petugas kesehatan, antara petugas kesehatan dengan keluarga, tambahnya.

Pada kesempatan tersebut, dr. Krishna juga menyampaikan himbauan kepada masyarakat untuk membawa Balita ke posyandu setiap bulan; selalu membawa Buku KIA setiap kali ibu hamil dan Balita pergi ke tempat pelayanan kesehatan; ibu hamil memeriksakan kehamilannya secara teratur, minimal empat kali selama hamil dan dibantu persalinannya oleh tenaga kesehatan di fasilitas kesehatan; memberikan ASI Eksklusif bagi bayi sejak lahir hingga usia enam bulan; memberikan imunisasi lengkap bagi bayi sebelum berumur satu tahun; serta mengikuti program Keluarga Berencana untuk meningkatkan kesejahteraan ibu, anak dan keluarga.

Gubernur Provinsi Banten, Hj. Ratu Atut Chosiyah memaparkan, Posyandu berperan penting dalam meningkatkan kesehatan anak dan ibu, khususnya ibu melahirkan di provinsi Banten. Hal ini dibuktikan dengan penurunan angka kematian ibu dan bayi di provinsi tersebut.

“Pada tahun 2010 angka kematian bayi (AKB) mencapai 25,3 per 1000 kelahiran hidup, sedangkan tahun 2011 mengalami penurunan menjadi 22 per 1000 kelahiran hidup.

Page 11: Depkes Word Press

Selanjutnya, angka kematian ibu (AKI) pada tahun 2010 masih mencapai 203,2 per 100.000 kelahiran hidup, sedangkan pada tahun 2011 turun menjadi 187 per 100.000 kelahiran hidup”, ujar Hj. Ratu Atut.

Acara Gebyar Posyandu di Bintaro Plaza diawali dengan kegiatan senam pagi bersama yang diikuti sekitar 5000 anak-anak TK/PAUD di wilayah kota Tanggerang Selatan. Usai senam, dilanjutkan dengan pemeriksaan kesehatan anak dan pelepasan balon cita-cita sebagai simbol anak-anak menggantungkan cita-cita setinggi langit dan berharap Kota Tanggerang Selatan dapat segera menjadi “Kota Layak Anak”.

Hadir dalam acara ini Direktur Kesehatan Anak, dr. Kirana Pritasari, MQIH, Walikota Tanggerang Selatan, Perwakilan Dinas Kesehatan Provinsi Banten; Asisten Deputi Pemberdayaan Anak, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; Direktur PAUD, Kementerian Pendidikan Nasional; dan perwakilan organisasi masyarakat seperti Himpunan Pendidikan Anak Usia Dini (HIMAPAUD), Ikatan Guru Taman Kanak-kanak Indonesia (IGTKI), dan Masyarakat Gemar Membaca (MAGMA).

Dalam rangka memberikan kepastian kepada masyarakat tentang keamanan formula bayi, Kementerian Kesehatan, Badan POM RI dan IPB, telah melakukan survei cemaran Enterobacter sakazakii (E. sakazakii) terhadap semua nama dan jenis susu formula bayi yang beredar di Indonesia tahun 2011. Tim Nasional Survei Cemaran Mikroba pada Formula Bayi yang Beredar di Indonesia terdiri dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Dalam melaksanakan tugasnya Tim bertanggung jawab kepada Menteri Kesehatan RI.

Tujuan survei ini adalah untuk mendapatkan informasi dan konfirmasi tentang cemaran mikroba (E. sakazakii) pada susu formula bayi yang beredar di Indonesia tahun 2011, karena masyarakat Indonesia perlu dilindungi dari peredaran produk susu formula bayi.

Pengambilan dan penanganan sampel susu formula bayi dilakukan oleh petugas Badan POM sejak bulan Maret - April 2011 di seluruh Indonesia. Pengambilan sampel susu formula bayi dilakukan di Pasar Swalayan dan Pasar Tradisional terhadap seluruh nama merek dan jenis susu formula bayi yang beredar di Indonesia pada tahun 2011 yaitu sebanyak 47 merek yang terdiri dari 88 bets, baik produk dalam negeri (MD) maupun impor (ML).

Pengujian dari 88 sampel telah dianalisis di 3 laboratorium, dengan 59 sampel diuji di Pusat

Page 12: Depkes Word Press

Biomedis dan Teknologi Dasar Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan, 60 sampel diuji oleh Badan POM dan 64 sampel diuji oleh IPB. Untuk menjamin validitas pengujian, sampel susu formula bayi diuji dengan menggunakan metode yang sama dan mengacu pada ISO/TS 22964 : 20006 (Milk and milk products – Detection of Enterobacter sakazakii).

Dari hasil survei ketiga institusi tersebut menunjukkan bahwa produk formula bayi yang beredar di Indonesia memenuhi standar yang dipersyaratkan dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. HK. 00.06.1.52.4011 tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan, dan Standar Codex (CAC/RCP 66-2008). Dalam arti produk formula bayi yang beredar di Indonesia tidak mengandung bakteri E. sakazakii (negatif)

Demikian pernyataan Kepala Badan Litbangkes Dr. dr. Trihono, M.Sc. selaku Pengarah Tim Nasional Survei Cemaran Mikroba pada Formula Bayi yang Beredar di Indonesia. Pernyataan tersebut disampaikan pada acara jumpa pers mengenai pengumuman hasil survei cemaran mikroba pada susu formula yang beredar di Indonesia, di kantor Menkominfo (8/7).

Berdasarkan hasil survei tersebut diatas, Pemerintah menegaskan bahwa formula bayi yang beredar di Indonesia aman untuk dikonsumsi, dan dihimbau kepada masyarakat agar mengikuti petunjuk penyimpanan, penyiapan dan penyajian sebagaimana tercantum dalam label.

Namun demikian Menkes dalam pengantarnya tetap meminta kepada para ibu agar memberikan Air Susu Ibu (ASI) eksklusif kepada bayi sejak dilahirkan selama 6 (enam) bulan, dan dilanjutkan sampai anak berumur 2 (dua) tahun dengan ditambah makanan pendamping ASI, karena ASI 100 persen memenuhi kebutuhan gizi bayi, dan disamping itu dengan ASI bayi akan memperoleh kekebalan tubuh dari ibunya tegas Menkes.

Pemberian susu formula hanya diberikan pada kondisi dengan indikasi medis tertentu, yaitu kondisi medis bayi dan/atau kondisi medis ibu yang tidak memungkinkan dilakukan pemberian ASI eksklusif.

Cara menyajikan susu formula yang benar adalah dengan menggunakan air yang dimasak sampai mendidih, lalu dibiarkan selama 10-15 menit, agar suhunya turun menjadi tidak kurang dari 70 derajat Celcius. Siapkan susu sebanyak yang dapat dihabiskan bayi dan sesuai takaran yang dianjurkan pada label. Apabila ada sisa, susu yang telah dilarutkan namun tidak dikonsumsi harus dibuang setelah 2 jam.

Page 13: Depkes Word Press

Indonesia menyambut baik ditetapkannya Resolusi Majelis Kesehatan Dunia (World Health Assembly) No. 64/56 tentang "Kerangka Kesiapan Pandemi Influenza untuk Virus sharing dan Akses pada Vaksin dan Manfaat Lainnya”. Resolusi ini menetapkan kerangka kerjasama multilateral dalam kesiapan dunia menghadapi pandemi influenza khususnya mekanisme virus sharing, akses pada vaksin dan manfaat lain serta Standard Material Transfer Agreement (SMTA).

Penetapan resolusi ini merupakan kesuksesan besar dan mengakhiri perjuangan negara-negara berkembang, yang dimotori oleh Indonesia tahun 2007 dibawah kepemimpinan Menteri Kesehatan saat itu, Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP (K). Indonesia pada waktu itu berinisiatif untuk mendobrak sistem penanganan pandemi influenza dan tatanan penggunaan virus yang telah berlaku selama 64 tahun yang dinilai tidak adil, tidak setara dan tidak transparan.

Menteri Kesehatan dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH., dalam pernyataannya Kamis lalu (18/5) mewakili negara-negara WHO South East Asian Region, menyebut resolusi ini sebagai pencapaian mulia dalam tatanan kesehatan publik global, karena membentuk mekanisme internasional yang menjamin tidak hanya kepentingan kesehatan publik global, namun juga perlindungan umat manusia dengan adil, transparan dan setara.

Lebih lanjut Menteri Kesehatan RI menyatakan resolusi ini merupakan langkah awal menuju mekanisme internasional yang lebih baik yang memerlukan langkah-langkah implementasi yang nyata. Menkes RI mendesak agar segera dibentuk Advisory Group sehingga negara-negara anggota WHO (World Health Organization), sektor swasta yang terlibat, dengan peranan strategis WHO dapat memonitor dan mengawasi pelaksanaan kerangka virus sharing dan akses pada vaksin dan manfaat lainnya serta SMTA ini.

Sementara itu, dunia pun menyambut positif ditetapkannya resolusi ini. Seluruh negara anggota WHO sepakat bahwa kerangka ini adalah tonggak bersejarah di bidang kesehatan publik yang meletakkan fondasi untuk kesiapan pandemi yang lebih terkoordinir, komprehensif, dan setara yang mengarah pada dunia yang lebih sehat dan aman.

Dukungan serupa juga diungkapkan Menteri-Menteri Kesehatan negara anggota Gerakan Non-Blok serta 7 negara inisiator the Foreign Policy and Global Health (FPGH) yaitu Afrika Selatan, Brazil, Indonesia, Norwegia, Perancis, Senegal, dan Thailand yang menyebut resolusi ini sebagai contoh konkrit dan positif dari solidaritas global untuk kesehatan publik serta eratnya hubungan kebijakan kesehatan publik global dan kebijakan luar negeri. Beberapa negara, seperti Bangladesh, India dan Swiss, bahkan memberikan pernyataan khusus untuk mengapresiasi Indonesia atas inisiatif dan kepemimpinannya memperjuangkan keadilan dalam mekanisme virus sharing dan benefit sharing bagi kepentingan kesehatan publik global.

Page 14: Depkes Word Press

Sejumlah hal penting yang disepakati Resolusi ini antara lain:

1. Definisi materi biologis yang menjadi objek SMTA - materi yang termasuk dalam definisi ini adalah spesimen klinis manusia, virus yang diisolasi dari virus H5N1 tipe liar dan virus influenza tipe liar lain yang berpotensi menimbulkan pandemic serta RNA yang diekstrak dari virus H5 N1 tipe liar;

2. Kontribusi Dana Kemitraan Tahunan - Pihak industri farmasi akan memberikan kontribusi dana tahunan sebesar 50% dari dana per tahun yang dibutuhkan untuk operasional WHO Global Influenza Surveillance and Response System (WHO GISRS) mulai tahun 2012.

3. Standard Material Transfer Agreement - Transfer material hanya dapat dilakukan antara para pihak yang telah menandatangani Standard Material Transfer Agreement (SMTA) baik antara anggota WHO GISRS (SMTA 1) maupun pihak di luar WHO GISRS seperti laboratorium non pemerintah, universitas, industri farmasi swasta dengan WHO (SMTA 2).

4. Mekanisme Pelacakan dan Pelaporan – system elektronik digunakan untuk melacak secara real time dan transparan, pergerakan materi bilogis PIP di dalam dan ke luar dari WHO GISRS.

5. Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) - Semua pihak tidak diperbolehkan mengklaim HAKI dari materi bilogis PIP dan bagiannya yang ditransfer dari WHO GISRS

6. Pembagian Manfaat:Manfaat yang timbul dari sharing virus H5N1 dan influenza lain yang berpotensi pandemi harus dibagi dengan semua negara anggota, khususnya negara berkembang berdasarkan tingkat pendapatan, risiko kesehatan publik dan kebutuhannya, menetapkan harga vaksin berdasarkan tiered pricing (bertingkat), donasi vaksin dan alat deteksi, transfer teknologi & proses; dan pengembangan kapasitas laboratorium dan surveilans; lisensi non-eksklusif yang bebas royalti kepada WHO yang bisa di sub-lisensikan kepada produsen di Negara berkembang;

7. WHO GISRS - Dibentuknya WHO Global Influenza Surveillance and Response System (WHO GISRS) yaitu sistim jaringan internasional laboratorium influenza yang dikoordinasikan WHO untuk melakukan surveilans, analisa risiko dan memberikan bantuan untuk kesiapan menghadapi pandemi. WHO GISRS menggantikan Global Influenza Surveillance Network (GISN) yang sebelumnya ditentang Indonesia karena tidak memberikan keadilan, kesetaraan dan

Page 15: Depkes Word Press

transparansi.

Dibukanya akses terhadap virus influenza dan manfaat-manfaat lain berarti membuka peluang besar untuk para peneliti negara berkembang untuk meningkatkan kapasitas penelitiannya sehingga Indonesia dan negara berkembang lainnya dapat mengembangkan alat diagnostik, vaksin dan obat- obatan terhadap virus H5N1 dan virus lainnya yang berpotensi pandemi, termasuk H1N1.

Menkes Endang Rahayu Sedyaningsih, yang mengikuti proses bergulirnya mekanisme ini di tahun 2007 dan sejak memimpin Kementerian Kesehatan di akhir tahun 2009 memberi arahan yang tegas dan jelas serta terlibat dalam proses negosiasi ini, telah memberikan apresiasi kepada seluruh delegasi Indonesia yang secara gigih dan tidak kenal lelah memperjuangkan kesepakatan dunia tentang mekanisme virus sharing dan benefit sharing yang lebih adil, transparan dan setara ini.

Penghargaan tersebut terutama ditujukan kepada Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP (K), Prof. Tjandra Yoga Aditama, Sp. P (K), MARS, DTM&H; dr. Triono Sundoro; Dubes Bambang Guritno; Dubes Dr. Makarim Wibisono; Dr. Widjaja Lukito, PhD, Sp.GK.; David Handyono Mulyono, Sp,PD, PhD; dr. Indriono Tantoro MPH; dan Dra. Niniek Kun Naryatie dari Kementerian Kesehatan RI. Juga kepada pejabat Kementerian Luar Negeri baik di Pusat maupun di Perwakilan RI Jenewa: Dubes Dian Triansyah Djani, Dubes Desra Percaya, Dubes I Gusti Agung Wesaka Puja, Sunu. M Soemarno, Cecep Herawan: Acep Soemantri, Achsanul Habib yang melakukan pendekatan diplomasi kepada negara-negara, sehaluan (Like minded countries) ASEAN, WHO SEARO, FPGH dan Gerakan Non Blok.

Menkes RI juga memberikan apresiasi kepada Direktur Jenderal WHO Dr. Margaret Chan, Ketua Intergovernmental Meeting Jane Halton dari Australia, serta para Ketua Open Ended Working Group Duta Besar Bente Angel Hanssen dari Norwegia, dan Duta Besar Juan Jose Gomez Camacho dari Meksiko atas kepemimpinan dan kerja keras mereka untuk tercapainya kesepakatan untuk kepentingan kesehatan publik global.

Menyusui sejak dini mempunyai dampak yang positif baik bagi ibu maupun bayinya. Manfaat memberikan ASI bagi ibu tidak hanya menjalin kasih sayang, tetapi dapat mengurangi perdarahan setelah melahirkan, mempercepat pemulihan kesehatan ibu, menunda kehamilan, mengurangi risiko terkena kanker payudara, dan merupakan kebahagiaan tersendiri bagi ibu. Hal tersebut disampaikan Direktur Jenderal Bina Gizi dan Kesehatan Ibu Anak, dr. Budiharja, DTM&H, MPH dalam sambutannya pada seminar tentang “Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif Bagi Bayi Dalam Mendukung MDGs” di Jakarta, Selasa 29 Maret 2011.

Page 16: Depkes Word Press

Lebih lanjut dr. Budiharja menjelaskan, pemberian ASI dapat membentuk perkembangan emosional karena dalam dekapan ibu selama disusui, bayi bersentuhan langsung dengan ibu sehingga mendapatkan kehangatan, kasih sayang dan rasa aman.

“Delapan puluh persen perkembangan otak anak dimulai sejak dalam kandungan sampai usia 3 tahun yang dikenal dengan periode emas, oleh karena itu diperlukan pemberian ASI Eksklusif selama 6 bulan dan dapat diteruskan sampai anak berusia 2 tahun. Hal tersebut dikarenakan ASI mengandung protein, karbohidrat, lemak, dan mineral yang dibutuhkan bayi dalam jumlah yang seimbang”, ujar dr. Budiharja.

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 menunjukkan pemberian ASI di Indonesia saat ini memprihatinkan, persentase bayi yang menyusu eksklusif sampai dengan 6 bulan hanya 15,3 persen. Hal ini disebabkan kesadaran masyarakat dalam mendorong peningkatan pemberian ASI masih relatif rendah. Padahal kandungan ASI kaya akan karotenoid dan selenium, sehingga ASI berperan dalam sistem pertahanan tubuh bayi untuk mencegah berbagai penyakit. Setiap tetes ASI juga mengandung mineral dan enzim untuk pencegahan penyakit dan antibodi yang lebih efektif dibandingkan dengan kandungan yang terdapat dalam susu formula.

Menurut Dirjen Gizi dan KIA masalah utama masih rendahnya penggunaan ASI di Indonesia adalah faktor sosial budaya, kurangnya pengetahuan ibu hamil, keluarga dan masyarakat akan pentingnya ASI, serta jajaran kesehatan yang belum sepenuhnya mendukung Peningkatan Pemberian ASI (PP-ASI). Masalah ini diperparah dengan gencarnya promosi susu formula dan kurangnya dukungan dari masyarakat, termasuk institusi yang memperkerjakan perempuan yang belum memberikan tempat dan kesempatan bagi ibu menyusui di tempat kerja (seperti ruang ASI). Keberhasilan ibu menyusui untuk terus menyusui bayinya sangat ditentukan oleh dukungan dari suami, keluarga, petugas kesehatan, masyarakat serta lingkungan kerja.

Rendahnya pemberian ASI merupakan ancaman bagi tumbuh kembang anak yang akan berpengaruh pada pertumbuhan dan perkembangan kualitas SDM secara umum. Seperti diketahui bayi yang tidak diberi ASI dan makanan pendamping setelah usia 6 bulan yang teratur, baik dan tepat, dapat mengalami kekurangan gizi.

“Pemberian ASI secara baik, benar dan makanan pendamping yang diolah sendiri merupakan upaya untuk cegah tangkal yang utama dalam mengatasi masalah kekurangan gizi pada anak”, kata dr. Budiharja

Berkaitan dengan peningkatan pemberian ASI, telah ditandatangani Peraturan Bersama antara

Page 17: Depkes Word Press

Menteri Kesehatan, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi tentang Peningkatan Pemberian ASI Selama Waktu Kerja di Tempat Kerja yang disaksikan Presiden RI pada Peringatan Hari Ibu ke-80 tanggal 22 Desember 2008. Peraturan ini sekaligus mendorong pimpinan perusahaan untuk menyediakan ruang laktasi atau “ruang ASI” di tempat kerja bagi karyawatinya.

Pada kesempatan tersebut dr. Budiharja memberikan penghargaan kepada Pimpinan Perusahaan dan Pusat Perbelanjaan yang telah menyediakan Ruang Laktasi bagi karyawatinya sehingga mereka dapat memerah ASInya dengan nyaman dan karyawati tetap dapat bekerja dengan tenang, selain itu juga menghimbau kepada para direktur rumah sakit dan direktur rumah bersalin untuk memfasilitasi program Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan Rawat Gabung, sehingga Ibu dapat memberikan ASI kepada bayinya kapan saja tanpa harus dijadwal.

Dirjen Gizi dan KIA mengajak semua komponen masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan untuk menjadi agent of change dalam pembangunan kesehatan, menjadi pelopor yang mampu membawa masyarakat menuju masyarakat yang sehat dan mandiri. Semuanya bisa dimulai dari keluarga dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari termasuk dalam pemberian ASI Eksklusif. Dirjen menegaskan bahwa ASI bukanlah persoalan kaum perempuan saja, tetapi kaum laki-lakipun dapat memberikan dorongan, spirit untuk menjadi agent of change dalam peningkatan pemberian ASI Eksklusif

Jakarta, 29 September 2010. Menkes dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr. PH, mengharapkan rencana Aksi Daerah untuk percepatan pencapaian MDGs dapat dikukuhkan oleh Pemerintah Daerah dalam bentuk Perda atau menjadi dokumen resmi yang ditandatangani oleh Gubernur, Bupati atau Walikota sebagai pencerminan komitmen pemerintah kepada rakyat. Hal itu disampaikan Menkes dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH dalam pidatonya yang dibacakan dr. Ratna Rosita, MPHM, Sekretaris Jenderal Kementerian Kesehatan pada pertemuan penyusunan rencana aksi daerah percepatan target MDGs di Jayapura, Papua tanggal 29 September 2010. Pertemuan dihadiri oleh Gubernur Provinsi Papua, para Pejabat Eselon I, II lingkungan Kementerian Kesehatan, Bapenas, para Kepala Bappeda, Kepala Dinas Kesehatan, Direktur RSUD provinsi Papua dan para Kepala Dinas Kesehatan dan Kepala Bappeda Kabupaten/Kota Provinsi Papua.

Menurut Menkes, MDG’s bukanlah komitmen global, tetapi sudah menjadi tanggung jawab pemerintah kepada rakyat. Dalam mencapai sasaran-sasaran MDGs, diperlukan berbagai kegiatan yang baru dan inovatif. Dalam rangka menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dan Angka Kematian Bayi (AKB), salah satu upaya yang dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan adalah menciptakan ‘new iniciative’ yaitu memberikan pelayanan persalinan dengan biaya ditanggung pemerintah. “New iniciative ini juga telah dilaksanakan oleh beberapa Pemerintah

Page 18: Depkes Word Press

Daerah. Oleh karena itu, dihimbau agar daerah yang belum melaksanakannya dapat mulai menyusun rencana untuk melaksanakannya”, ujar Menkes.

Program ini masih dalam persiapan dan akan dimulai pada tahun anggaran 2011. Inisiatif ini dapat menyebabkan semakin tingginya angka kelahiran karena adanya rasa aman dari masyarakat untuk bersalin. Oleh karena itu, direncanakan pada saat peluncuran progam ini di tahun 2011 nanti, belum ada pembatasan. Namun mulai tahun 2012 dan seterusnya ada pembatasan. Misalnya yang mendapatkan pelayanan persalinan gratis hanya sampai dengan persalinan ke-2 saja. Pelayanan persalinan yang dibiayai program ini dimulai dari pemeriksaan persalinan hingga nifas dan penggunaan kontrasepsi. Hal ini dimaksudkan juga untuk mendukung program KB. Keberhasilan program KB diharapkan akan memberikan efek berantai yang positif terhadap keberhasilan upaya penurunan Angka Kematian Ibu dan Bayi, kata Menkes.

Menkes menambahkan, peran Pemerintah Daerah adalah menyiapkan tenaga dan fasilitas kesehatan yang memadai untuk melakukan persalinan dengan aman. Jumlah Puskesmas Perawatan yang mempunyai PONED dan Rumah Sakit yang mempunyai PONEK perlu ditingkatkan. Kemampuan para bidan untuk menentukan kapan harus merujuk untuk menghindari komplikasi persalinan juga harus ditingkatkan. Selanjutnya, sistem rujukan yang menjamin dilakukannya persalinan aman, termasuk penyediaan darah harus diperkuat.

Di samping menciptakan terobosan, Menkes minta berbagai program yang bermanfaat seperti Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dilanjutkan. “Kita perlu mengawalnya agar program ini dapat berkesinambungan. Saya menghimbau agar Jamkesda dapat dikembangkan di seluruh daerah. Perlu disadari bahwa setiap individu, keluarga dan masyarakat, berhak memperoleh perlindungan kesehatan. Bila seluruh penduduk Indonesia terlindungi dalam sistem jaminan kesehatan, saya yakin tujuan pembangunan kesehatan untuk mencapai derajat kesehatan yang setinggi-tingginya akan tercapai”, ujar Menkes.

Program lainnya yang perlu dikawal kesinambungannya adalah ASI Eksklusif, Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) termasuk pengembangan budaya tidak merokok serta menggaungkan kembali Rumah Sakit Sayang Ibu dan Bayi.

“Kembangkanlah pojok ASI di perkantoran dan Industri, agar pemberian ASI eksklusif dapat dilaksanakan dengan baik. Kembangkanlah juga daerah bebas rokok di Kantor Dinas, Kantor Bappeda, sehingga menjadi contoh bagi kantor-kantor lain di wilayah Saudara”, kata Menkes.

Menkes menegaskan, sasaran strategis yang akan dicapai dalam pembangunan kesehatan tahun 2010 – 2014 sejalan dengan komitmen untuk percepatan pencapaian MDGs, yaitu: 1) meningkatnya status kesehatan dan gizi masyarakat; 2) menurunnya angka kesakitan akibat penyakit menular, 3) menurunnya disparitas status kesehatan dan status gizi antar wilayah dan antar tingkat sosial ekonomi, 4) meningkatnya penyediaan anggaran publik untuk kesehatan, 5) meningkatnya Perilaku Hidup Bersih dan Sehat; 6) terpenuhinya kebutuhan tenaga kesehatan strategis, 7) pengendalian penyakit tidak menular di seluruh provinsi, dan 8) pelaksanaan SPM

Page 19: Depkes Word Press

di seluruh kabupaten/kota.

Di era desentralisasi sekarang, tanggung jawab pembangunan kesehatan adalah tanggung jawab bersama antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. “Sangat tidak relevan apabila mendikotomikan pembangunan kesehatan menjadi dua fragmen Pusat dan Daerah. Sebab, pada dasarnya kita berada dalam satu ruang yang sama dan oleh karenanya kita harus bersinergi dan membangun kekuatan bersama untuk melaksanakan upaya pencapaian MDGs sesuai proporsi, potensi dan kemampuan daerah, jelas Menkes.

Untuk keberhasilan pelaksanaan Desentralisasi, maka proses pembangunan harus dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan arah pembangunan kesehatan yang sinkron antara Pusat dan Daerah, walaupun dalam pelaksanaannya dapat disesuaikan dengan keadaan lokal dan kearifan lokal, ujar Menkes.

Menkes menambahkan, bidang kesehatan sudah menindak lanjuti Inpres No 3 dengan menyusun Rencana Aksi Daerah untuk Percepatan Pencapaian target MDGs. “Kita memang harus berbagi peran di antara tingkat pusat, provinsi, kabupaten/kota bahkan sampai di tingkatan pelaksananya. Saya yakin dengan pembahasan intensif dalam pertemuan ini disertai dengan komitmen yang tinggi, maka solusi berbagai masalah dan hambatan dalam pembangunan kesehatan khususnya yang terkait dengan Rencana Aksi pencapaian MDGs dapat dirumuskan dengan baik.”, ujar Menkes.

Menkes mengharapkan, dalam pertemuan ini dapat mewujudkan sinkronisasi bagi pelaksanaan pembangunan kesehatan antara Pusat dan Daerah, sehingga tujuan Pembangunan Nasional dapat tercapai.

Ibu memegang peranan penting dalam mendukung upaya mengatasi masalah gizi, terutama pada asupan gizi keluarga, mulai dari penyiapan makanan, pemilihan bahan makanan, sampai menu makanan. Ibu yang memiliki status gizi baik akan melahirkan anak yang bergizi baik. Anak yang bergizi baik menjadi aset dan investasi sumber daya manusia (SDM) bangsa kedepan. Karena itu penting ditingkatkan pengetahuan dan perilaku ibu dalam membentuk keluarga sadar gizi. Hal tersebut disampaikan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Amalia Sari, S.IP saat membuka Seminar Nasional dalam rangka memperingati Hari Ibu ke-82 tahun 2010 di Jakarta, 10 Desember 2010.Seminar dihadiri 200 peserta berasal dari organisasi kewanitaan, tokoh masyarakat, yayasan sosial, mahasiswa, dan pelajar mengangkat tema Perbaikan Status Gizi Sebagai Tolak Ukur Pencapaian Target Millenium Development Goal’s (MDG’s).

Page 20: Depkes Word Press

Linda mengatakan dalam pencapaian target pembangunan MDG’s, salah satunya adalah mengurangi angka kemiskinan. Tingkat kemiskinan di Indonesia dapat diukur berdasarkan indikator prevalensi gizi kurang.Banyak upaya dilakukan untuk mengatasi masalah gizi di Indonesia. Data menunjukkan prevalensi gizi buruk terus mengalami penurunan dari 9,7% di tahun 2005 menjadi 4,9% di tahun 2010 dan diharapkan di tahun 2015, prevalensi gizi buruk dapat turun menjadi 3,6%. Prevalensi anak balita gizi kurang dan buruk turun 0,5 % dari 18,4% pada 2007 menjadi 17,9% pada 2010. Faktor-faktor penyebab gizi buruk, yaitu asupan gizi dan pemahaman tentang makanan yang aman untuk dimakan, penyakit menular, lingkungan, akses terhadap pelayanan kesehatan dan pola asuh, lanjut Linda.Interaksi antara kemiskinan dan faktor sosial, seperti pendidikan, pekerjaan, perilaku merokok, menikah usia muda, dan cakupan pelayanan kesehatan yang belum optimal, juga menyebabkan masalah gizi menjadi kronis. ”Terhambatnya pertumbuhan pada anak mengindikasikan pembangunan yang kurang efisien dalam upaya perbaikan sumber daya manusia,” ujar Linda.Dalam mengatasi permasalahan gizi di Indonesia perlu dilakukan intervensi, salah satunya skala prioritas melalui investasi di bidang kesehatan, pendidikan dan sosial, khususnya ditujukan pada kelompok risiko tinggi, seperti keluarga miskin. Selain itu juga berbagai upaya pemberdayaan masyarakat terus dilakukan termasuk perubahan perilaku masyarakat sadar gizi, ungkap Linda.Sementara itu pada kesempatan yang sama, Dr. Minarto, MPS, Direktur Bina Gizi Masyarakat menjelaskan prioritas intervensi gizi ibu dan anak, dapat dilakukan melalui berbagai hal. Pertama, intervensi perubahan perilaku, seperti pemberian ASI eksklusif, pemberian Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) secara tepat, memantau berat badan teratur, dan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Kedua, suplementasi gizi mikro, mencakup asupan vitamin A, tablet Fe, dan garam beryodium. Ketiga, tatalaksana gizi kurang/buruk pada ibu dan anak, meliputi pemulihan gizi anak gizi kurang, pemberian makanan tambahan (PMT) pada ibu hamil.Gizi kurang menjadi faktor risiko penyebab kematian anak. Gizi kurang dipengaruhi beberapa faktor, yaitu asupan gizi yang rendah pada ibu hamil dan menyusui, pendapatan (prevalensi pada kelompok miskin lebih tinggi), pendidikan, perbedaan kultur antara desa dan kota, pola asuh (prevalensi pada kelompok ”tidak miskin”), dan kebijakan lokal, ungkap Dr. Minarto.Dr. Minarto menambahkan, selain gizi kurang dan gizi buruk, masih banyak masalah yang terkait dengan gizi yang perlu perhatian lebih, diantaranya yaitu; 1) stunting atau terhambatnya pertumbuhan tubuh. Stunting adalah salah satu bentuk gizi kurang yang ditandai dengan tinggi badan menurut umur diukur dengan standar deviasi dengan referensi WHO. Data WHO menunjukkan tinggi anak Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan tinggi anak dari negara-negara lain. Berdasarkan hasil Riskesdas 2010, prevalensi anak balita pendek (stunting) 35,6 % atau turun 1,2 % dibandingkan 2007 (36,8 %); 2) kesadaran tentang pentingnya keamanan pangan. Status gizi baik tergantung pada ketersediaan dan keamanan pangan. Data WHO menunjukkan 2,2 juta orang pertahun meninggal yang diakibatkan penyakit bersumber dari makanan, terutama makanan yang mengandung zat-zat berbahaya dan beracun.

Page 21: Depkes Word Press

Seluruh fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia, baik Pemerintah maupun Swasta diminta menerapkan 10 Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui.Hal tersebut disampaikan Menteri Kesehatan dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr.PH pada acara “Pekan ASI Sedunia 2010” di Silang Monas Jakarta, Minggu 8 Agustus 2010.Sepuluh Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui, tersebut yaitu :

1. Menetapkan Kebijakan Peningkatan Pemberian Air Susu Ibu yang secara rutin dikomunikasikan kepada semua petugas.2. Melakukan pelatihan bagi petugas untuk menerapkan kebijakan tersebut.3. Memberikan penjelasan kepada ibu hamil tentang manfaat menyusui dan talaksananya dimulai sejak masa kehamilan, masa bayi lahir, sampai umur 2 tahun.4. Membantu ibu mulai menyusui bayinya dalam 60 menit setelah melahirkan di ruang bersalin. 5. Membantu ibu untuk memahami cara menyusui yang benar dan cara mempertahankan menyusui meski ibu dipisah dari bayi atas indikasi medis.6. Tidak memberikan makanan atau minuman apapun selain ASI kepada bayi baru lahir.7. Melaksanakan rawat gabung dengan mengupayakan ibu bersama bayi 24 jam sehari.8. Membantu ibu menyusui semau bayi semau ibu, tanpa pembatasan terhadap lama dan frekuensi menyusui9. Tidak memberikan dot atau kempeng kepada bayi yang diberi ASI.10. Mengupayakan terbentuknya Kelompok Pendukung ASI di masyarakat dan merujuk ibu kepada kelompok tersebut ketika pulang dari Rumah Sakit/Rumah Bersalin/Sarana Pelayanan Kesehatan.

Berdasarkan data Susenas tahun 2004 sampai dengan tahun 2008, cakupan pemberian ASI eksklusif pada seluruh bayi di bawah 6 bulan meningkat dari 58,9% pada tahun 2004 menjadi 62,2% pada tahun 2007, tetapi kemudian menetap dan sedikit menurun menjadi 56,2% tahun 2008.

Menkes menyampaikan, pemberian ASI Eksklusif di Indonesia masih harus terus ditingkatkan. Pemerintah berusaha terus menerus meningkatkan cakupan ibu yang menyusui secara eksklusif. Kegiatan-kegiatan yang selama ini telah dirintis akan terus ditingkatkan. Antara lain adalah 1) meningkatkan pemahaman masyarakat tentang pentingnya memberikan Air Susu Ibu kepada bayinya, 2) meningkatkan jumlah motivator dan konselor menyusui, serta 3) mengembangkan regulasi untuk mendukung keberhasilan menyusui.

Menkes berharap, dengan diterapkannya pelaksanaan 10 Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui tersebut ada peningkatan jumlah bayi usia 0 sampai 6 bulan yang disusui secara eksklusif di Indonesia, yang pada gilirannya akan mewujudkan peningkatan kualitas sumber daya manusia di masa mendatang.

Pada kesempatan tersebut Menkes, menyampaikan terima kasih dan penghargaan kepada Ibu Ani Susilo Bambang Yudhoyono yang telah memberikan dukungan dan komitmen yang besar pada upaya peningkatan menyusui di Indonesia.

Page 22: Depkes Word Press

Penyelenggaraan Pekan ASI Sedunia adalah suatu gerakan yang dilaksanakan secara serentak di seluruh dunia pada setiap minggu pertama bulan Agustus. Tujuannya adalah agar setiap negara, secara terus menerus bersama-sama melaksanakan upaya-upaya yang nyata untuk membantu ibu agar berhasil menyusui.

“Menyusui : Sepuluh Langkah Menuju Sayang Bayi” adalah tema Pekan ASI Sedunia tahun 2010 dengan slogan Sayang Bayi, Beri ASI, adalah suatu komitmen nyata dari fasilitas kesehatan untuk mendukung keberhasilan menyusui, melalui pemberian perlindungan dan memberikan informasi serta dukungan kepada ibu agar dapat menyusui bayinya secara eksklusif.Rangkaian Pekan ASI Sedunia Tahun 2010, telah dimulai sejak bulan Juli 2010 meliputi beberapa kegiatan, yaitu : a) Media Briefing dan Orientasi Jurnalis, b) Workshop Penerapan 10 Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui, dan c) Penyebarluasan Informasi melalui media cetak dan elektronik.

Acara ini terselenggara atas kerjasama Kementerian Kesehatan dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, Sentra Laktasi, Mercy Corps, Wahana Visi, WHO, dan UNICEF. Pekan ASI Sedunia 2010 ini juga dilaksanakan di seluruh daerah di Indonesia dengan berbagai bentuk kegiatan. Hadir pada acara ini sekitar 3500 peserta mewakili unsur masyarakat, organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan, pejabat dari berbagai lintas sektor terkait, lembaga swadaya masyarakat baik lokal maupun internasional.

Hadir dalam Perayaan Puncak Acara Pekan ASI Sedunia Ibu Hj. Ani Susilo Bambang Yudhoyono. Selain itu, hadir juga Menko Kesra, Menteri Dalam Negeri, Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Menteri Sosial, Gubernur DKI Jakarta, dan beberapa pejabat tinggi lainnya.

Pada kesempatan tersebut Ibu Hj. Ani Susilo bambang Yudhoyono menyerahkan penghargaan berupa trophy kepada Ny. Tatiek Fauzi Bowo Ketua Tim Penggerak PKK DKI Jakarta, dan dr, Ronny Roekmito, M.Kes Kadinkes Kabupaten Klaten atas prestasinya memberikan inspirasi istimewa terhadap program pemberian ASI.

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi gizi kurang dan gizi buruk di Daerah Istimewa Yogyakarta (D.I.Y) sebesar 10.9 % yang merupakan prevalensi terendah dibandingkan 33 provinsi lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa perbaikan gizi di D.I.Y menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan provinsi lainnya di Indonesia. Namun demikian pencapaian tersebut tidak merata, di kabupaten Kulon Progo, Gunung Kidul dan Kotamadya Yogyakarta prevalensinya masih relatif tinggi, yaitu masing masing 14.6%, 13.4% dan 12.9%.Hal tersebut dikatakan Menteri Kesehatan RI dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, Dr. PH dalam sambutannya saat meresmikan Rumah Pemulihan Gizi Balita pada Jum’at (12/3/2010) di

Page 23: Depkes Word Press

Yogyakarta.

Menurut Menkes, fokus pembangunan di bidang kesehatan dalam 5 tahun ke depan diarahkan untuk mencapai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2010-2014. Sasaran yang ingin dicapai adalah menurunkan Angka Kematian Ibu (AKI) dari 228 per 100 ribu kelahiran hidup pada tahun 2007 menjadi 115 per 100 ribu kelahiran hidup, menurunkan Angka Kematian Bayi (AKB) dari 35 per 1000 kelahiran hidup pada tahun 2007 menjadi 24 per 1000 kelahiran hidup, dan menurunkan prevalensi gizi kurang dari 18,4% pada tahun 2007 menjadi setinggi-tingginya 15% pada tahun 2014.

Berbagai penelitian telah membuktikan bahwa ada hubungan yang sangat erat antara kematian bayi dengan kekurangan gizi. Keadaan gizi yang buruk akan menurunkan daya tahan anak sehingga anak mudah sakit hingga bisa berakibat pada kematian. Badan Kesehatan Dunia WHO memperkirakan bahwa 54% kematian bayi dan anak dilatarbelakangi keadaan gizi yang buruk, ujar Menkes.

Menkes mengatakan, gizi buruk dapat terjadi pada semua kelompok umur, tetapi yang perlu lebih diperhatikan adalah pada kelompok bayi dan balita. Pada usia 0-2 tahun merupakan masa tumbuh kembang yang optimal (golden period) terutama untuk pertumbuhan jaringan otak, sehingga bila terjadi gangguan pada masa ini tidak dapat dicukupi pada masa berikutnya dan akan berpengaruh negatif pada kualitas generasi penerus.

Masalah gizi berbeda dengan masalah penyakit, dimana keadaan gizi kurang atau gizi buruk tidak terjadi secara tiba-tiba. Penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar anak gizi kurang atau buruk berasal dari anak yang sehat. Perjalanan anak yang sehat menjadi gizi kurang dan menjadi gizi buruk memerlukan waktu paling tidak sekitar 3 sampai 6 bulan, yang ditandai dengan kenaikan berat badan yang tidak cukup, kata Menkes.

Menurut Menkes, upaya menanggulangi gizi kurang dan gizi buruk harus mengedepankan upaya-upaya promosi dan pencegahan, artinya mengupayakan anak yang sehat tetap sehat. Seandainya saja setiap anak ditimbang di Posyandu, berat badannya di plot didalam Kartu Menuju Sehat (KMS) maka dengan mudah ibu dan kader dapat mengetahui gangguan pertumbuhan anak sedini mungkin sebelum anak jatuh pada kondisi kurang atau buruk. Anak yang berat badannya tidak naik dua kali berturut-turut atau berada dibawah garis merah kemungkinan besar akan menderita gizi kurang dan gizi buruk. Kementerian Kesehatan memprioritaskan selalu meningkatkan fungsi dan kinerja Posyandu, utamanya untuk meningkatkan cakupan pemantauan pertumbuhan anak. Selain dipantau berat badannya, upaya pencegahan yang sangat efektif adalah dengan memberikan ASI Eksklusif kepada bayi 0-6 bulan dan Makanan Pendamping ASI (MP-ASI) secara tepat setelah bayi berusia 6 bulan, mendapatkan kapsul vitamin A dosis tinggi setiap bulan Februari dan Agustus, dan menggunakan garam beryodium untuk kebutuhan konsumsi.

Menurut Menkes, anak yang menderita gizi kurang berarti asupan gizinya tidak cukup, oleh karena itu anak perlu diberi makanan tambahan pemulihan, dapat dibuat di rumah tangga atau

Page 24: Depkes Word Press

dapat berupa makanan pabrikan. Anak yang menerita gizi kurang bila diberikan makanan tambahan selama 60-90 hari akan kembali normal. Pemerintah selama ini menyediakan MP-ASI yang dapat dimanfaatkan sebagai makanan tambahan pemulihan pada anak 6-23 bulan. Sementara untuk anak gizi yang menderita gizi buruk harus dirawat, guna mendapatkan perawatan medis seperlunya karena mereka sangat rentan terhadap penyakit infeksi dan komplikasi penyakit lain sehingga risiko kematiannya sangat tinggi. Perawatan gizi buruk selama ini menghadapi beberapa masalah, yang paling sering dijumpai adalah anak pulang paksa, artinya pulang sebelum keadaan gizinya pulih. Untuk memulihkan gizi buruk perlu waktu yang cukup lama, rata-rata 12-16 minggu.

Perkembangan terakhir perawatan gizi buruk sangat menggembirakan. Anak gizi buruk dengan tanda-tanda komplikasi harus rawat inap di fasilitas kesehatan. Sedangkan gizi buruk tanpa komplikasi dapat disembuhkan dengan rawat jalan, ujar Menkes.

Konsep pemulihan gizi buruk rawat jalan sering disebut community based manegement of severe malnutrition sedang kita kembangkan. Kegiatan ini dikelola bersama masyarakat (kader dan ibu-ibu balita). Kegiatan utamanya adalah pemberian makanan tambahan pemulihan kepada balita gizi buruk yang sudah tidak komplikasi, pemeriksaan status gizi dan kesehatan oleh petugas setiap minggu, dan kegiatan penyuluhan terhadap ibu- ibu untuk menyiapkan makanan anaknya di rumah. Pengembangan pemulihan gizi rawat jalan ini harus didukung Puskesmas dan Rumah Sakit untuk proses rujukan.

Gizi buruk dapat terjadi pada semua kelompok umur, tapi yang perlu perhatian lebih adalah pada kelompok bayi dan balita. Pada usia 0-2 tahun merupakan masa tumbuh kembang yang optimal (golden period), terutama untuk pertumbuhan jaringan otak, sehingga bila terjadi gangguan pada masa ini akan berpengaruh pada kualitas saat ia dewasa nanti, ujar Menkes.

Menkes mengatakan untuk memerangi masalah gizi buruk secara paripurna harus dimulai dari Posyandu untuk pencegahan dan promosi, memberikan makanan untuk anak gizi kurang dan merawat gizi buruk. Hal ini memerlukan keterlibatan secara aktif dari masyarakat dan lintas sektor.

Menkes berharap terobosan baru dalam bentuk konsep Rumah Pemulihan Gizi Balita ini dapat mengisi kekosongan penanganan masalah gizi di Indonesia dan selanjutnya dapat menjadi model yang dapat dikembangkan di daerah lain.

Hadir dalam acara ini Gubernur D.I.Y Sri Sultan Hamengkubuwono X, G.K.R. Hemas, Walikota Yogyakarta, Pimpinan dan Ketua Komisi DPRD Kota Yogyakarta, Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi DIY & Kota Yogyakarta, serta tamu dan undangan lainnya.

Page 25: Depkes Word Press

Masa balita terutama pada usia dua tahun pertama merupakan masa pertumbuhan dan perkembangan yang paling pesat dibandingkan dengan kelompok umur lainnya. Masa ini tidak terulang sehingga disebut window of opportunity untuk menciptakan anak sehat dan cerdas. Intervensi kesehatan dan gizi harus diberikan secara optimal pada periode ini untuk menjamin kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak.Hal itu disampaikan Menkes dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH.Dr.PH pada saat mencanangkan penggunaan kartu menuju sehat (KMS) Balita perempuan dan laki-laki, di

Jakarta, 28 Desember 2009. Acara dilaksanakan bertepatan dengan Hari Kesatuan Gerak PKK ke-37. Hadir dalam acara Menteri Dalam Negeri, Ketua Umum Penggerak PKK Ny. Vita Gamawan Fauzi, dan Ketua Tim Penggerak PKK seluruh Indonesia.

Menurut penelitian yang dilaksanakan di beberapa negara tahun 1997-2004, model pertumbuhan anak yang ideal adalah bayi yang mendapat ASI eksklusif selama 6 bulan dan pola pertumbuhan anak perempuan dan laki-laki berbeda nyata. Berdasarkan temuan tersebut, Departemen Kesehatan telah mengembangkan KMS baru menggunakan standar WHO tahun 2005 yang dibedakan untuk balita perempuan dan laki-laki, ujar Menkes.

Menurut Menkes, salah satu indikator gizi yang paling sensitif adalah kenaikan berat badan. Anak dengan gizi baik dan pertumbuhan normal apabila pertambahan umur dikuti dengan pertambahan berat badan sesuai standar.

Untuk mengetahui keadaan gizi dan mengenali apakah anak tumbuh normal telah dikembangkan KMS sebagai alat sederhana yang mudah digunakan di tingkat keluarga. Karena itu ibu/ayah balita segera meminta pertolongan kepada kader dan petugas kesehatan apabila berdasarkan KMS anak mempunyai masalah pertumbuhan, kata Menkes.

Menurut Menkes, visi Rencana Strategis Departemen Kesehatan Tahun 2010 -2014 adalah MASYARAKAT SEHAT YANG MANDIRI DAN BERKEADILAN. Untuk mewujudkan visi tersebut, salah satu strateginya adalah meningkatkan pemberdayaan masyarakat, swasta dan masyarakat madani dalam pembangunan kesehatan melalui kerjasama nasional dan global.

Terkait pemberdayaan masyarakat, Posyandu merupakan bentuk nyata kegiatan pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan yang selama ini digerakkan oleh PKK, sehingga prinsip penyelenggaraan Posyandu dari, oleh dan untuk masyarakat dapat tetap bertahan dan berlangsung hingga kini, lebih dari seperempat abad, imbuh Menkes.

Menkes menambahkan, peran dan kontribusi PKK dalam meningkatkan Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan gizi sangat besar. Oleh karena itu, pada kesempatan yang baik ini, saya menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada seluruh anggota PKK yang selama ini telah bekerja giat, penuh semangat, dedikasi dan tanpa pamrih.

Pada kesempatan tersebut, Menkes meminta bantuan Ketua TP PKK Propinsi seluruh Indonesia

Page 26: Depkes Word Press

untuk mensosialisasikan penggunaan KMS baru ini kepada para kader posyandu.

Untuk menyediakan KMS bagi sekitar 20 juta balita di Indonesia, diperlukan anggaran yang cukup besar, maka penggunaannya dapat dilaksanakan secara bertahap, dimulai pada bayi baru lahir. Pada saat ini telah tersedia 5 juta Buku KIA yang dilengkapi dengan KMS baru. Apabila memungkinkan, KMS baru dapat pula disediakan oleh pemerintah daerah, terutama untuk balita yang pada saat ini belum mempunyai KMS, ujar Menkes.

Menkes menegaskan, dalam lima tahun ke depan fokus pembangunan nasional bidang kesehatan diarahkan pada pencapaian sasaran Pembangunan Milenium (MDG’s) tahun 2015 yaitu menurunkan Angka Kematian Ibu dari 228 pada tahun 2007 menjadi 102 per 100.000 kelahiran hidup; Angka Kematian Bayi dari 34 pada tahun 2007 menjadi 23 per 1.000 kelahiran hidup, serta penurunan prevalensi Gizi Kurang pada Balita dari 18,4% pada tahun 2007 menjadi setinggi-tingginya 15%.

Selama ini pemerintah telah melakukan berbagai upaya antara lain berupa perbaikan sarana dan fasilitas kesehatan yang ditandai dengan meningkatnya jumlah rumah sakit dan puskesmas, ditempatkannya tenaga bidan di desa, tersedianya obat-obat esensial dan alat kesehatan, serta adanya mekanisme pembiayaan kesehatan melalui JAMKESMAS bagi masyarakat miskin. Namun pemanfaatan sarana dan fasilitas serta kualitas pelayanan kesehatan tersebut masih belum seperti yang diharapkan dan belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat, ujar Menkes.

Menkes menyadari bahwa untuk mencapai sasaran MDG’s tersebut, masih menghadapi tantangan yang cukup berat seperti adanya kesenjangan antar wilayah, tingkat sosial ekonomi dan pendidikan masyarakat serta kesenjangan antara perkotaan dan perdesaan.

Penandantanganan kesepakatan kerjasama antara dengan Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes) dengan KSM-Tunas Bangsa tentang Peningkatan Sumber Daya Manusia yang Berorientasi pada Peningkatan Gizi Ibu Hamil dan Menyusui serta Anak Balita, Senin pagi, 15 Januari 2006, adalah contoh bagaimana suatu kelompok masyarakat dapat membantu sesama anggota masyarakat. Sebagai wakil masing-masing pihak, perjanjian ditandatangani oleh Dr. Ina Hernawati, MPH, Direktur Bina Gizi Masyarakat, Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Depkes dan Hj. E. Agustini Syarwan Hamid, SIP, Ketua KSM Tunas Bangsa Yayasan Karya Mulya Rizki. Selain Menteri Kesehatan Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP(K), turut menjadi saksi penandatanganan kesepakatan Ibu Mufidah Jusuf Kalla selaku Pembina KSM Tunas Bangsa, Ibu Asiah Salekan, BA, dan Ibu dr. Mariani, MM sebagai Wakil Ketua dan Anggota Komisi IX DPR RI, serta para pejabat eselon I dan II di jajaran Depkes.Kerjasama ini bermaksud membangun kemitraan antara Depkes dengan KSM Tunas Bangsa melalui partisipasi aktif untuk meningkatkan gizi ibu hamil dan menyusui serta anak Balita. Kerjasama meliputi bantuan distribusi makanan tambahan bagi ibu hamil dan menyusui, dan

Page 27: Depkes Word Press

balita rawan gizi, pemberian informasi penanganan kurang gizi, serta program peningkatan gizi lainnya. KSM Tunas Bangsa juga akan turut memberi informasi pada masyarakat mengenai cara memperoleh Kartu Asuransi Kesehatan untuk Masyarakat Miskin (Askeskin).Sumber daya dan kader akan dikerahkan KSM Tunas Bangsa demi mendukung pelaksanaan program kerjasama melalui pola pendampingan intensif terhadap ibu-ibu hamil dan menyusui serta ibu-ibu yang memiliki balita rawan gizi. Bersama dengan Direktorat Bina Gizi Masyarakat, KSM Tunas Bangsa akan membuat perencanaan dan evaluasi pelaksanaan program yang sementara ini akan berlangsung selama satu (1) tahun.Menteri Kesehatan Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP (K), dalam sambutannya menyatakan sangat menghargai inisiatif kelompok masyarakat seperti KSM Tunas Bangsa. Inisiatif yang datang dari masyarakat sebagai bentuk nyata keperdulian masyarakat dalam mendukung pemerintah pada akhirnya akan sangat berguna untuk meningkatkan kesejahteraan bersama.Lewat kerjasama Depkes dan KSM Tunas Bangsa, maka program pemerintah untuk mengatasi masalah gizi dan kesehatan masyarakat mendapat tambahan sumber daya. Dengan begitu, tentu diharapkan masalah gizi dan kesehatan masyarakat dapat lebih cepat terselesaikan, terutama masalah kerawanan gizi pada anak-anak yang memang harus segera diatasi agar anak-anak tersebut dapat segera bertumbuh kembang dengan sempurna.Hingga kini, masalah gizi masih merupakan salah satu dari masalah kesehatan masyarakat utama di Indonesia. Diperkirakan masih terdapat sekitar 1.7 juta balita terancam gizi buruk yang keberadaannya tersebar di pelosok-pelosok tanah air. Sekitar 4 juta ibu hamil dan ibu menyusui menderita gangguan anemia yang sebagian besar disebabkan oleh kekurangan zat besi.Ada 3 faktor utama yang saling terkait mempengaruhi besarnya masalah gizi dan kesehatan masyarakat. Pertama, ketersediaan pangan di tingkat rumah tangga yaitu kemampuan keluarga untuk menyediakan makanan yang berkaitan dengan daya beli keluarga. Kedua, pola asuhan gizi keluarga yaitu kemampuan keluarga untuk memberikan makanan kepada bayi dan anak, khususnya menyusui lagi secara eksklusif dan pemberian makanan pendamping ASI. Ketiga, akses terhadap pelayanan kesehatan berkualitas, yaitu pemanfaatan fasilitas kesehatan dan upaya kesehatan berbasis masyarakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang bersifat promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif seperti penimbangan balita di posyandu, pemeriksaan kehamilan, pemeriksaan kesehatan bayi dan balita, suplementasi vitamin A dan MP ASI, imunisasi, dan sebagainya.Menkes merisaukan masalah gizi pada balita karena berkaitan erat dengan tingginya angka kesakitan serta angka kematian bayi dan balita. Apalagi kerawanan gizi dapat mengancam kualitas sumber daya manusia di masa mendatang.Disadari pula bahwa tingginya masalah gizi dan kesehatan masyarakat berkaitan dengan tingkat pendidikan masyarakat terutama kaum perempuan, yang pada gilirannya akan mempengaruhi tingkat produktivitas dan sosial ekonomi bangsa. Karenanya, pendampingan KSM Tunas Bangsa diharapakan dapat memberi pengetahuan cukup bagi ibu-ibu untuk meningkatkan gizi keluarga, terutama anak-anak, dan meningkatkan mutu kesehatan keluarga.Pemerintah sendiri sejak 2 tahun terakhir ini telah memberikan perhatian lebih besar terhadap upaya perbaikan gizi dan peningkatan derajat kesehatan masyarakat serta lebih mempedulikan kepentingan masyarakat miskin. Upaya peningkatan kesehatan masyarakat juga dilakukan lewat penyediaan sarana dan fasilitas kesehatan sehingga mampu menjangkau daerah-daerah

Page 28: Depkes Word Press

yang sulit, mengirim tenaga medis dan bidan ke daerah-daerah sangat terpencil dan menyediakan biaya kesehatan bagi masyarakat miskin.Upaya-upaya tersebut menjadi bagian dari sasaran Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009, yang dilaksanakan dengan 4 strategi utama yaitu : (1) menggerakkan dan memberdayakan masyarakat untuk hidup sehat, (2) meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang berkualitas, (3) meningkatkan sistem surveilans, monitoring dan informasi kesehatan, serta (4) meningkatkan pembiayaan kesehatan. Dari 17 sasaran yang merupakan pengjawantahan sasaran-sasaran di atas, salah satunya adalah ?SELURUH KELUARGA SADAR GIZI".Untuk mewujudkan Keluarga Sadar Gizi (Kadarzi), Menkes mengharapkan KSM Tunas Bangsa dapat bekerjasama dengan Puskesmas, Poskesdes dan Posyandu dalam kegiatan pemantauan pertumbuhan balita, menyebarluaskan informasi tentang pola asuhan gizi di keluarga serta mendorong dan memotivasi keluarga yang mempunyai masalah gizi untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan, termasuk penggunaan Askeskin bagi masyarakat miskin.Kerjasama antara kader dengan perangkat Depkes dapat lebih aktif menemukan balita gizi buruk. Kader akan merujuk kasus ke petugas kesehatan di Poskesdes atau Puskesmas sehingga petugas kesehatan setempat dapat segera memberikan pelayanan kesehatan dasar dan atau pelayanan rujukan. Menkes juga meminta kader KSM Tunas Bangsa selalu mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan oleh program dan melaporkan hasil pendampingan tersebut kepada tenaga kesehatan di Poskesdes atau Puskesmas.