Denny Setiawan C2B209016

45
1 BAB I Pendahuluan 1.1 Latar belakang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) diperusahaan seringkali terabaikan, khususnya bagi perusahaan yang sedang melaksanakan pekerjaan pembangunan proyek. Hal tersebut berdampak pada keselamatan kerja karyawan serta penyakit kerja yang ditimbulkan setelah pelaksanaan proyek tersebut. Tenaga kerja yang merupakan komponen terpenting dalam pelaksanaan proyek merupakan aset yang menentukan bagi perusahaan. Oleh sebab itu dalam menjalankan bisnis usaha yang aman maka penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3) harus dilaksanakan secara konsisten, sesuai dengan UU Keselamatan Kerja No.1 Tahun 1970 dan UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa pengusaha wajib melindungi pekerja dan potensi bahaya yang dihadapinya. Menurut International Labour Organization (ILO), setiap tahun terjadi 1,1 juta kematian yang disebabkan oleh karena penyakit atau kecelakaan akibat hubungan pekerjaan. Sekitar 300.000 kematian terjadi dari 250 juta kecelakaan dan sisanya adalah kematian karena penyakit akibat hubungan pekerjaan, dimana diperkirakan terjadi 160 juta penyakit akibat hubungan pekerjaan baru setiap tahunnya. Berdasarkan data yang disampaikan oleh Pos Kota lewat pernyataan Menakertrans Muhaimin Iskandar bahwa diperkirakan kerugian tidak langsung yang diakibatkan oleh kecelakaan kerja setiap tahun mencapai Rp 50 triliun atau 15 kali dari kerugian langsung, sedangkan data PT Jamsostek tahun 2008 mencatat kerugian langsung akibat kelalaian manusia dalam menjaga keselamatan dan kesehatan kerja (K3) sebesar Rp 300 miliar. Data tersebut memperlihatkan bahwa meskipun sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3) sudah diterapkan angka kecelakaan kerja tetap tinggi serta dampak secara ekonomi yang ditimbulkan sangat besar sekali. Pentingnya peran tenaga kerja dalam upaya peningkatan kinerja keselamatan dan kesehatan kerja, tentu tidak terlepas dari dukungan manajemen perusahaan. Dukungan yang diberikan dapat berupa penerapan kebijakan-kebijakan yang jelas dan yang dapat diterapkan (Applicable) sesuai dengan kondisi perusahaan yang ada, saat kebijakan tersebut diberlakukan. Sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3) yang dijelaskan pada peraturan menteri tenaga kerja republik Indonesia: Per.05/Men/1996 menjelaskan bahwa perusahaan harus merencanakan, menetapkan, dan menerapkan kebijakan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja. Pelaksanaan dan kebijakan tersebut harus disertai dengan dukungan program kegiatan-kegiatan lain seperti kegiatan pemantauan dan evaluasi yang berkesinambungan terhadap kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Dengan demikian peningkatan kinerja keselamatan dan kesehatan kerja dapat terus dilakukan, demi mencegah atau meminimalkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, serta menciptakan tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif.

Transcript of Denny Setiawan C2B209016

Page 1: Denny Setiawan C2B209016

1

BAB I Pendahuluan

1.1 Latar belakang

Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) diperusahaan seringkali terabaikan, khususnya bagi perusahaan yang sedang melaksanakan pekerjaan pembangunan proyek. Hal tersebut berdampak pada keselamatan kerja karyawan serta penyakit kerja yang ditimbulkan setelah pelaksanaan proyek tersebut.

Tenaga kerja yang merupakan komponen terpenting dalam pelaksanaan proyek merupakan aset yang menentukan bagi perusahaan. Oleh sebab itu dalam menjalankan bisnis usaha yang aman maka penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3) harus dilaksanakan secara konsisten, sesuai dengan UU Keselamatan Kerja No.1 Tahun 1970 dan UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 menyatakan bahwa pengusaha wajib melindungi pekerja dan potensi bahaya yang dihadapinya.

Menurut International Labour Organization (ILO), setiap tahun terjadi 1,1 juta kematian yang disebabkan oleh karena penyakit atau kecelakaan akibat hubungan pekerjaan. Sekitar 300.000 kematian terjadi dari 250 juta kecelakaan dan sisanya adalah kematian karena penyakit akibat hubungan pekerjaan, dimana diperkirakan terjadi 160 juta penyakit akibat hubungan pekerjaan baru setiap tahunnya.

Berdasarkan data yang disampaikan oleh Pos Kota lewat pernyataan Menakertrans Muhaimin Iskandar bahwa diperkirakan kerugian tidak langsung yang diakibatkan oleh kecelakaan kerja setiap tahun mencapai Rp 50 triliun atau 15 kali dari kerugian langsung, sedangkan data PT Jamsostek tahun 2008 mencatat kerugian langsung akibat kelalaian manusia dalam menjaga keselamatan dan kesehatan kerja (K3) sebesar Rp 300 miliar. Data tersebut memperlihatkan bahwa meskipun sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3) sudah diterapkan angka kecelakaan kerja tetap tinggi serta dampak secara ekonomi yang ditimbulkan sangat besar sekali. Pentingnya peran tenaga kerja dalam upaya peningkatan kinerja keselamatan dan kesehatan kerja, tentu tidak terlepas dari dukungan manajemen perusahaan. Dukungan yang diberikan dapat berupa penerapan kebijakan-kebijakan yang jelas dan yang dapat diterapkan (Applicable) sesuai dengan kondisi perusahaan yang ada, saat kebijakan tersebut diberlakukan.

Sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3) yang dijelaskan pada peraturan menteri tenaga kerja republik Indonesia: Per.05/Men/1996 menjelaskan bahwa perusahaan harus merencanakan, menetapkan, dan menerapkan kebijakan di bidang keselamatan dan kesehatan kerja. Pelaksanaan dan kebijakan tersebut harus disertai dengan dukungan program kegiatan-kegiatan lain seperti kegiatan pemantauan dan evaluasi yang berkesinambungan terhadap kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja. Dengan demikian peningkatan kinerja keselamatan dan kesehatan kerja dapat terus dilakukan, demi mencegah atau meminimalkan kecelakaan dan penyakit akibat kerja, serta menciptakan tempat kerja yang aman, efisien, dan produktif.

Page 2: Denny Setiawan C2B209016

2

Pada prinsipnya, semua permasalahan yang berkaitan dengan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) adalah menjadi tanggung jawab setiap orang. Setiap karyawan sudah sepatutnya berpartisipasi dalam setiap kegiatan keselamatan dan kesehatan kerja, paling tidak pada masing-masing lingkungan kerjanya. Hal ini disebabkan karena dalam suatu lingkungan industri, selalu terdapat kegiatan yang melibatkan berbagai peralatan teknik dan sumber daya manusia. Meskipun demikian secara keseluruhan beban tanggung jawab atas berlangsungnya operasional kesehatan dan keselamatan kerja di perusahaan akan berada pada pundak pimpinan perusahaan tersebut.

Berdasarkan beberapa penelitian, menjelaskan bahwa kecelakaan kerja banyak terjadi akibat prilaku yang tidak aman atau unsafety behavior dimana angkanya mencapai 80-95% (Copper, 1999). Hasil riset NCS menunjukkan bahwa penyebab kecelakaan kerja 88% adalah adanya unsafe behavior, 10% karena unsafe condition dan 2% tidak diketahui penyebabnya. Penelitian lain yang dilakukan oleh DuPont Company menunjukkan bahwa kecelakaan kerja 96% disebabkan oleh unsafe behavior dan 4% disebabkan oleh unsafe condition. Hal tersebut diperkuat oleh penelitian Mulyana (2010) dan Neal et al. (2010) yang menyatakan bahwa safety behavior berpengaruh positif terhadap kecelakaan kerja atau ada hubungan. Sedangkan menurut Copper et al. (2004), Wills et al. (2005), Sadullah dan Kanten (2009), Andi et al. (2005), Morrow et al. (2009), dan Zhou et al. (2007) Safety behavior sangat erat hubungannya dengan organizational safety climate atau dapat dibilang faktor yang mempengaruhi safety behavior adalah organizational safety climate.

Berdasarkan penjelasan diatas peneliti tertarik untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor safety climate terhadap safety behavior (studi pada karyawan PT Makmur Sejahtera Wisesa dan kontraktornya pada pembangunan proyek PLTU 2x30 MW Tanjung Tabalong). Faktor-faktor tersebut berupa Communication & Procedures, Work Pressure, Management Committment, Relationships, Training, & Safety Rule. Indikator penelitian tersebut menggunakan Safety Climate Questionnare (SCQ) yang dikembangkan oleh Wills et al. (2005), sedangkan untuk Safety Behavior Questionnare (SBQ) menggunakan indikator penelitian Andi et al. (2005).

Penelitian ini dilaksanakan pada proyek PT Makmur Sejahtera Wisesa. Perusahaan ini merupakan anak perusahaan dari PT Adaro Energy Tbk yang bergerak dibidang pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) dan pada saat sekarang PT Makmur Sejahtera Wisesa sedang melakukan pembangunan PLTU dengan kapasitas 2 x 30 MW yang berlokasi di Kalimantan Selatan. Pekerjaan konstruksi tersebut sudah dimulai pada bulan Agustus 2009 dan diperkirakan selesai pada bulan Desember 2011. Pekerjaan tersebut dikerjakan oleh beberapa kontraktor dan diperkirakan menyerap tenaga kerja sampai 1000 orang. Jenis pekerjaan kontruksi tersebut menggunakan alat berat, pekerjaan pengangkatan, pekerjaan kelistrikan, pekerjaan mekanik, bekerja diketinggian, pekerjaan pengelasan dan sebagainya sehingga memiliki resiko bahaya yang tinggi terhadap keselamatan pekerjanya (hazard & risk register PT Makmur Sejahtera Wisesa). Tabel 1.1 adalah banyaknya kecelakaan kerja Triwulan I 2010 – Triwulan I 2011 :

Page 3: Denny Setiawan C2B209016

3

Tabel 1.1. Banyaknya Kecelakaan Kerja No Jenis kecelakaan Triwulan

I (2010) II (2010) III (2010) IV (2010) I (2011) 1 Kematian (Fatality) - - - - - 2 Cidera berat (LTI) - - - - - 3 Cidera (FAI) - 3 4 2 3 4 Hampir celaka (Near miss) 6 1 - 2 -

Sumber : Laporan Triwulan I 2011 PT MSW Berdasarkan data diatas dan hasil investigasi kecelakaan dalam laporan

Triwulan I 2011 PT MSW yang dilakukan internal perusahaan diperoleh hasil bahwa hampir semua kecelakaan (80 %) diakibatkan oleh safety behavior. Safety behavior tersebut berupa kecelakaan yang diakibatkan kelalaian pekerja seperti tidak mematuhi prosedur, tidak memakai peralatan pengaman, pengoperasian peralatan yang salah dan lain-lain, sedangkan faktor lain (20%) berupa kegagalan sistem berupa peralatan yang tidak standar, kemampuan pengawas dilapangan, dan lain-lain.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan diatas maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah 1.2.1 Apakah faktor-faktor safety climate berupa Communication &

Procedures, Work Pressure, Management Commitment, Relationships, Training, & Safety Rules secara simultan berpengaruh terhadap safety behavior.

1.2.2 Apakah faktor-faktor safety climate berupa Communication & Procedures, Work Pressure, Management Commitment, Relationships, Training, & Safety Rules secara parsial berpengaruh terhadap safety behavior.

1.2.3 Manakah faktor-faktor safety climate berupa Communication & Procedures, Work Pressure, Management Commitment, Relationships, Training, & Safety Rules yang paling kuat pengaruhnya terhadap safety behavior

1.3 Tujuan penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah maka penelitian ini bertujuan 1.3.1 Mengetahui faktor-faktor safety climate berupa Communication &

Procedures, Work Pressure, Management Commitment, Relationships, Training, & Safety Rules secara simultan berpengaruh terhadap safety behavior.

1.3.2 Mengetahui faktor-faktor safety climate berupa Communication & Procedures, Work Pressure, Management Commitment, Relationships, Training, & Safety Rules secara parsial berpengaruh terhadap safety behavior

1.3.3 Mengetahui faktor-faktor safety climate berupa Communication & Procedures, Work Pressure, Management Commitment, Relationships, Training, & Safety Rules yang paling kuat pengaruhnya terhadap safety behavior

Page 4: Denny Setiawan C2B209016

4

1.4 Manfaat penelitian Penelitian ini memberikan manfaat sebagai berikut : 1.4.1 Untuk memperkuat teori SCQ yang dikembangkan Wills (2005) serta

menerapkan kembali teori tersebut dalam konteks perusahaan yang ada di Indonesia

1.4.2 Bagi manajemen PT Makmur Sejahtera Wisesa dan Kontraktornya yaitu mendapatkan gambaran mengenai kondisi perasaan karyawan serta mengenai situasi berbahaya dalam melaksanakan pekerjaan, sehingga dapat dijadikan pertimbangan dalam menentukan kebijakan perusahaan terutama dalam bidang keselamatan dan kesehatan kerja (K3).

1.4.2 Dapat dijadikan acuan perbaikan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3) perusahaan-perusahan lain.

1.4.3 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan konstribusi terhadap pemangku kepentingan di perusahaan-perusahaan konstruksi di Indonesia terutama mengenai peranan pengaruh safety climate (iklim keselamatan kerja) terhadap safety behavior (prilaku/budaya keselamatan kerja).

Page 5: Denny Setiawan C2B209016

5

BAB II Tinjauan Pustaka

2.1 Studi Literatur

2.1.1 Sistem Manajemen Kesehatan Dan Keselamatan Kerja (SMK3) Pengertian keselamatan dan kesehatan kerja (K3) menurut

Tunggal (2009) adalah secara filosofi sebagai suatu pemikiran dan upaya untuk menjamin keutuhan dan kesempurnaan baik jasmaniah maupun rohaniah tenaga kerja pada khususnya manusia dan pada umumnya, hasil karya dan budayanya menuju masyarakat adil dan makmur. Secara keilmuan merupakan ilmu pengetahuan dan penerapannya dalam usaha mencegah kemungkinan terjadinya kecelakaan dan penyakit akibat kerja. Sedangkan secara praktis merupakan upaya perlindungan agar tenaga kerja selalu dalam keadaan selamat dan sehat selama melakukan pekerjaan di tempat kerja serta bagi orang lain yang memasuki tempat kerja maupun sumber dan proses produksi dapat secara aman dan efisien dalam pemakaiannya.

Berdasarkan UU No.1 tahun 1970 Tentang Keselamatan Kerja mengatur bahwa : (1). Setiap tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatannya dalam melakukan pekerjaan untuk kesejahteraan hidup dan meningkatkan produksi serta produktivitas nasional. (2). Bahwa setiap orang lainnya yang berada di tempat kerja perlu dijamin pula keslamatannya. (3). Bahwa setiap sumber produksi perlu dipakai dan dipergunakan secara aman dan efesien. (4). Bahwa berhubung dengan itu pula perlu diadakan segala daya upaya untuk membina norma-norma perlindungan kerja.

Sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3) adalah bagian dari sistem manajemen secara keseluruhan yang meliputi struktur organisasi, perencanaan, tanggung jawab, pelaksanaan, prosedur, proses dan sumberdaya yang dibutuhkan bagi pengembangan, pencapaian, pengkajian, dan pemeliharaan kebijakan keselatan dan kesehatan kerja dalam rangka pengendalian resiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya termpat kerja yang aman, efesien dan produktif .

Dalam penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3), perusahaan wajib melaksanakan ketentuan-ketentuan sebagaimana berikut ; (1). Menetapkan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) serta menjamin komitmen terhadap penerapan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3). (2). Merencanakan pemenuan kebijakan, tujuan dan sasaran penerapan keselamatan dan kesehatan kerja. (3). Menerapkan kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja secara efektif dengan mengembangkan kemampuan dan mekanisme pendukung yang diperlukan mencapai kebijakan, tujuan dan sasaran keselamatan dan kesehatan kerja. (3). Mengukur, memantau dan mengevaluasi kinerja

Page 6: Denny Setiawan C2B209016

6

keselamatan dan kesehatan kerja serta melakukan tindakan perbaikan dan pencegahan. (4). Meninjau secara teratur dan meningkatkan pelaksanaan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3) secara berkesinambungan dengan tujuan meningkatkan kinerja keselamatan dan kesehatan kerja (Permenakertrans No.05/MEN/1996).

OHSAS – Occupational Health and Safety Assesment Series-18001 merupakan standar internasional untuk penerapan Sistem Manajemen K3. Tujuan dari OHSAS 18001 ini sendiri tidak jauh berbeda dengan tujuan Sistem Manajemen K3 Permenaker, yaitu meningkatkan kondisi kesehatan kerja dan mencegah terjadinya potensi kecelakaan kerja dan mencegah terjadinya potensi kecelakaan kerja karena kondisi Sistem Manajemen K3 tidak saja menimbulkan kerugian secara ekonomis tetapi juga kerugian non ekonomis seperti menjadi buruknya citra perusahaan.

Cikal bakal OHSAS 18001 adalah dokumen yang dikeluarkan oleh British Standards Institute (BSI) yaitu Occupational Health and Safety Management Sistem-Specification (OHSAS) 18001:2007. OHSAS 18001 diterbitkan oleh BSI dengan tim penyusun dari 12 lembaga standarisasi maupun sertifikasi beberapa negara di dunia seperti, Standards Australia, SFS Certification dan International Certification Services.

Pelaksanaan Sistem Manajemen K3 bisa diukur dengan Safety Implementation Level (SIL) yang berisi tentang kriteria dan standar pengukuran yang telah ditetapkan hingga nantinya ada penilaian atau audit terhadap pelaksanaan kriteria-kriteria yang harus ada. Proses audit dilakukan dengan suatu acara yang disebut Surveillance Audit OHSAS 18001 yang dapat digabung dengan audit ISO 9001:2008 dengan tim auditor yang terdiri dari Tim Audit Eksternal OHSAS 18001. Hasil audit ini digunakan untuk perbaikan Sistem Manajemen K3 dan evaluasi diri untuk mengukur kinerja perusahaan demi pengembangan Sistem Manajemen K3 yang berkesinambungan. Pengkajian ini dilakukan sebagai usaha untuk lebih concern terhadap Sistem Manajemen K3 dan tetap menjaga komitmen ‘Good Safety is Good Bussiness’. Jika perusahaan di Indonesia yang belum menerapkan OHSAS 18001 mulai tergerak hati untuk mencoba. Akan banyak nyawa terselamatkan dan banyak keuntungan yang dapat diraup. Jadi tidak ada salahnya perusahan mulai mengenal dan mengakrabkan diri dengan OHSAS 18001, semua terasa lebih indah dan lebih hidup. Good Safety is Good Bussiness (OHSAS 18001:2007).

2.1.2 Safety Climate 2.1.3.1 Definisi Safety Climate

Safety climate dijelaskan oleh Flin et al. dalam Dong-chul Seo (2004) sebagai gambaran pekerja mengenai keadaan iklim kesehatan dan keselamatan kerja yang merupakan indikator dari

Page 7: Denny Setiawan C2B209016

7

budaya keselamatan kerja pada suatu kelompok atau organisasi. Persepsi karyawan terutama terkait dengan usaha keselamatan selama bekerja juga dijelaskan oleh Cooper dalam Wicaksono (2005) yang menjabarkan bahwa safety climate sebagai suatu gambaran yang dirasakan atau terkait dengan persepsi pekerja akan pentingnya keselamatan dan bagaimana hal tersebut bisa ditetapkan dalam organisasi. Zohar dalam Clarke (2006) mendefinisikan safety climate sebagai kesimpulan atau hasil akhir dari persepsi yang pekerja terkait dengan lingkungan kerjanya dan merupakan batasan dari aturan untuk mengarahkan pekerja pada perilaku yang tepat dan mengubah perilaku pekerja atas tugasnya. upaya individu dalam memberi arti dan interpretasi pada lingkungan kerjanya.

Definisi beberapa tokoh di atas memberikan pengertian bahwa secara garis besarnya safety climate persepsi atau pandangan karyawan terhadap iklim dan keadaan keselamatan kerja di perusahaan yang nantinya akan menjadi arahan 31 perilaku pekerja. Dengan adanya persepsi yang baik akan semakin besar pula rendahnya perilaku tidak aman yang dilakukan pekerja (Glendon et al. dalam Clarke, 2006)

2.1.3.2 Aspek – aspek Safety Climate Beberapa tokoh mengemukakan beberapa hal yang menjadi

aspek – aspek safety climate. Kathryn, Mearns, Flin dalam Wicaksono (2005) menyebutkan 5 aspek yang mempengaruhi safety climate, yaitu : a. Aspek pekerjaan (Global perception of job safety): persepsi

karyawan terhadap pekerjaan itu aman atau tidak. b. Aspek rekan kerja (Co-worker): persepsi terhadap rekan kerja

pada prosedur atau peraturan keselamatan. c. Aspek penyelia (Supervisor safety): berhubungan dengan

persepsi karyawan terhadap supervisornya atas sikap dan perilaku terhadap keselamatan.

d. Aspek perilaku manajemen (Safety management practice): perilaku manajemen organisasi dalam melaksanakan peraturan keselamatan kerja.

e. Aspek program manajemen keselamatan (Satisfaction with the safety program): aspek yang berhubungan dengan kepuasan karyawan terhadap program keselamatan kerja yang telah ada di organisasi, apakah program tersebut telah dilaksanakan dengan baik, teratur atau tidak.

Aspek – aspek safety climate menurut Cheyne et al. dalam Clarke (2006) adalah : a. Aksi manajemen atas keselamatan b. Kualitas dari training keselamatan c. Aksi individu (personal) atas usaha keselamatan

Cooper dan Philip dalam Clarke (2006) mengindikasikan bahwa pekerja yang menerima beban kerja yang lebih berat punya

Page 8: Denny Setiawan C2B209016

8

persepsi yang buruk (safety climate negatif). Sedangkan menurut Clarke (2006) yang mempengaruhi atau menghambat safety climate pekerja adalah: lingkungan kerja, komunikasi di 33 tempat kerja, dan beberapa aspek demografis seperti : usia, jenis kelamin, jabatan dan pekerjaan itu sendiri.

Safety climate dipengaruhi oleh 4 (empat) faktor penguat (Dejoy et al. 2004), antara lain: 1. Prioritas utama sehubungan dengan keselamatan. 2. Umpan balik formal. 3. Umpan balik informal. 4. Aksi manajemen dan komitmen manajemen terhadap keselamatan

usaha diperusahaannya. Faktor safety climate kemungkinan akan berpengaruh pada

kepatuhan pekerja. Umpan balik yang dilaksanakan dengan sering dan konsisten dari rekan dan individu lainnya akan memberikan pengaruh pada tingkat kepatuhan terhadap tugas kerja (Dejoy et al. 2004).

Dukungan manajemen terhadap keselamatan dan kepentingan keselamatan dalam perusahaan adalah kunci keberhasilan safety climate (Flin et al. dalam Dejoy et al. 2004). Safety climate terhubung dengan berbagai macam faktor terkait dengan keselamatan, termasuk performa atas perilaku aman yang nyata, aktifitas yang terkait dengan keselamatan atau keefektifan program keselamatan dalam perusahaan, interpretasi terhadap kecelakaan dan berbagai kejadian lain seperti kecelakaan atau insiden lain yang terkait dengan keselamatan dalam perusahaan (Griffin & Neal; Hofmann – Stetzer; Zohar dalam Dejoy et al. 2004)).

2.1.3 Safety behavior Pada awal tahun 1980 muncul pandangan baru tentang

kesehatan dan keselamatan kerja yaitu Behavior safety. Behavioral safety adalah aplikasi sistematis dari riset psikologi tentang perilaku manusia pada masalah keselamatan (safety) ditempat kerja. Behavior safety lebih menekankan aspek perilaku manusia terhadap terjadinya kecelakaan di tempat kerja. Safety behavior (Syaaf : 8) adalah sebuah prilaku yang dikaitkan langsung dengan keselamatan, misalnya pemakaian kacamata keselamatan, penandatanganan formulir risk assesment sebelum kerja atau berdiskusi masalah keselamatan.

Suizer (1999) salah seorang praktisi behavior safety mengemukakan bahwa para praktisi safety telah melupakan aspek utama dalam mencegah terjadinya kecelakaan kerja yaitu aspek behavioral para pekerja. Pernyataan ini diperkuat oleh pendapat Dominic Cooper (1999) berpendapat walaupun sulit untuk di kontrol secara tepat, 80-95 persen dari seluruh kecelakaan kerja yang terjadi disebabkan oleh unsafe behavior. Pendapat Cooper tersebut didukung oleh hasil riset dari NCS tentang penyebab terjadinya kecelakaan kerja. Hasil riset NCS menunjukkan bahwa penyebab

Page 9: Denny Setiawan C2B209016

9

kecelakaan kerja 88% adalah adanya unsafe behavior, 10% karena unsafe condition dan 2% tidak diketahui penyebabnya. Penelitian lain yang dilakukan oleh DuPont Company menunjukkan bahwa kecelakaan kerja 96% disebabkan oleh unsafe behavior dan 4% disebabkan oleh unsafe condition. Unsafe behavior adalah type perilaku yang mengarah pada kecelakaan seperti bekerja tanpa menghiraukan keselamatan, melakukan pekerjaan tanpa ijin, menyingkirkan peralatan keselamatan, operasi pekerjaan pada kecepatan yang berbahaya, menggunakan peralatan tidak standar, bertindak kasar, kurang pengetahuan, cacat tubuh atau keadaan emosi yang terganggu (Miner, 1994).

Menurut Suizer peningkatan peraturan keselamatan; safety training ; peningkatan alat-alat produksi; penegakan disiplin dan lain-lain belum cukup untuk mencegah kecelakaan kerja. Perubahan yang didapatkan tidak bisa bertahan lama karena para pekerja kembali pada kebiasaan lama yaitu unsafe behavior. Berdasarkan acuan bahwa unsafe behavior merupakan penyumbang terbesar dalam terjadinya kecelakaan kerja maka untuk mengurangi kecelakaan kerja dan untuk meningkatkan safety performance hanya bisa dicapai dengan usaha memfokuskan pada pengurangan unsafe behavior.

Fokus pada unsafe behavior ini juga menghasilkan indeks yang lebih baik tentang safety performace yang ada di perusahaan dibandingkan dengan fokus pada angka kecelakaan kerja. Hal ini didasarkan pada dua alasan yaitu: kecelakaan kerja adalah hasil akhir dari serentetan unsafe behavior dan unsafe behavior bisa di ukur setiap hari dengan cara tertentu. Jika perusahaan berfokus pada angka kecelakaan kerja maka sistem management safety cenderung bersifat reaktif. Perusahaan hanya memperhatikan safety jika angka kecelakaan kerja meningkat. Sebaliknya pendekatan behavioral safety cenderung bersikap proaktif, sebab dengan pendekatan ini perusahaan cenderung berusaha untuk mengidentifikasi setiap unsafe behavior yang muncul, sehingga bisa langsung ditanggulangi.

Orang atau pekerja sering melakukan unsafe behavior terutama disebabkan oleh:

Merasa telah ahli dibidangnya dan belum pernah mengalami kecelakaan. Ia berpendapat bahwa bila selama ini bekerja dengan cara ini (unsafe) tidak terjadi apa-apa, mengapa harus berubah. Pernyataan tersebut mungkin benar namun tentu saja hal ini merupakan potensi besar untuk terjadinya kecelakaan kerja

unsafe behavior mendapat reinforcement yang besar dari lingkungan sehingga terus dilakukan dalam pekerjaan. Reinforcement yang didapat segera, pasti dan positif. Bird (dalam Muchinsky, 1987) berpendapat bahwa para pekerja sebenarnya ingin mengikuti kebutuhan akan keselamatan (safety needs) namun adanya need lain menimbukan konflik dalam

Page 10: Denny Setiawan C2B209016

10

dirinya. Hal ini membuat ia menomorduakan safety need dibandingkan banyak faktor. Faktor-faktor tersebut adalah keinginan untuk menghemat waktu, menghemat usaha, merasa lebih nyaman, menarik perhatian, mendapat kebebasan dan mendapat penerimaan dari lingkungan.

Unsafe behavior juga sering dipicu oleh adanya pengawas atau manager yang tidak peduli dengan safety. Para manager ini secara langsung atau tidak langsung memotivasi para pekerja untuk mengambil jalan pintas, mengabaikan bahwa perilakunya berbahaya demi kepentingan produksi. Keadaan ini menghasilkan efek negatif yaitu para pekerja belajar bahwa ternyata dengan melakukan unsafe behavior ia mendapat reward. Hal ini membuat unsafe behavior yang seharusnya dihilangkan namun justru mendapat reinforcement untuk muncul. Selain itu kurangnya kepedulian manager terhadap safety ini membuat pekerja menjadi meremehkan komitmen perusahaan terhadap safety.

2.1.2.1 Upaya Yang Biasa Dilakukan untuk Mengurangi Unsafe Behavior

Unsafe behavior dapat diminimalisasi dengan melakukan dengan beberapa cara. Yang pertama, menghilangkan bahaya ditempat kerja dengan merekayasa faktor bahaya atau mengenalkan kontrol fisik. Cara ini dilakukan untuk mengurangi potensi terjadinya unsafe behavior, namun tidak selalu berhasil karena pekerja mempunyai kapasitas untuk Unsafe behavior dan mengatasi kontrol yang ada.

Kedua, mengubah sikap pekerja agar lebih peduli dengan keselamatan dirinya. Cara ini didasarkan atas asumsi bahwa perubahan sikap akan mengubah perilaku. Berbagai upaya yang dapat dilakukan adalah melalui kampanye dan safety training. Pendekatan ini tidak selalu berhasil karena ternyata perubahan sikap tidak diikuti dengan perubahan perilaku. Sikap sering merupakan apa yang seharusnya dilakukan bukan apa yang sebenarnya dilakukan.

Ketiga, dengan memberikan punishment terhadap unsafe behavior. Cara ini tidak selalu berhasil karena pemberian punishment terhadap perilaku unsafe harus konsisten dan segera setelah muncul, hal inilah yang sulit dilakukan karena tidak semua unsafe behavior dapat terpantau secara langsung.

Keempat, dengan memberikan reward terhadap munculnya safety behavior. Cara ini sulit dilakukan karena reward minimal harus setara dengan reinforcement yang didapat dari perilaku unsafe.

Page 11: Denny Setiawan C2B209016

11

2.1.2.2 Pendekatan Behavior Safety untuk Mengurangi Unsafe Behavior Menurut penelitian Cooper (1999) mengidentifikasi adanya

tujuh kriteria yang sangat penting bagi pelaksanaan program behavior safety. 1. Melibatkan Partisipasi Karyawan yang Bersangkutan

Salah satu sebab keberhasilan behavior safety adalah karena melibatkan seluruh pekerja dalam safety management. Pada masa sebelumnya safety management bersifat top-down dengan tendensi hanya berhenti di management level saja. Hal ini berarti para pekerja yang berhubungan langsung dengan unsafe behavior tidak dilibatkan dalam proses perbaikan safety performance. Behavior safety mengatasi hal ini dengan menerapakn sistem bottom-up, sehingga individu yang berpengalaman dibidangnya terlibat langsung dalam mengidentifikasi unsafe behavior. Dengan keterlibatan workforce secara menyeluruh dan adanya komitmen, ownership seluruh pekerja terhadap program safety maka proses improvement akan berjalan dengan baik.

2. Memusatkan Perhatian pada Unsafe Behavior yang Spesifik Alasan lain keberhasilan behavioral safety adalah

memfokuskan pada unsafe behavior (sampai pada proporsi yang terkecil) yang menjadi penyumbang terbesar terjadinya kecelakaan kerja di perusahaan. Menghilangkan unsafe behavior berarti pula menghilangkan sejarah kecelakaan kerja yang berhubungan dengan perilaku tersebut. Untuk mengidentifikasi faktor di lingkungan kerja yang memicu terjadinya unsafe behavior para praktisi menggunakan teknik behavioral analisis terapan dan memberi reward tertentu pada individu yang mengidentivikasi unsafe behavior. Praktisi lain juga mengidentifikasikan kekurangan sistem managemen yang berhubungan agar cepat ditangani sehingga tidak lagi memicu terjadinya unsafe behavior. Unsafe atau safety behavior yang teridentifikasi dari proses tersebut disusun dalam chek list dalam format tertentu, kemudian dimintakan persetujuan karyawan yang bersangkutan. Ketika sistem behavioral safety semakin matang individu menambahakan unsafe behavior dalam check list sehingga dapat dikontrol atau dihilangkan. Syarat utama yang harus dipenuhi yaitu, unsafe behavior tersebut harus observable, setiap orang bisa melihatnya.

3. Didasarkan pada Data Hasil Observasi Observer memonitor safety behavior pada kelompok

mereka dalam waktu tertentu. Makin banyak observasi makin reliabel data tersebut, dan safety behavior akan meningkat.

4. Proses Pembuatan Keputusan Berdasarkan Data Hasil observasi atas perilaku kerja dirangkum dalam data

prosentase jumlah safety behavior. Berdasarkan data tersebut bisa

Page 12: Denny Setiawan C2B209016

12

dilihat letak hambatan yang dihadapi. Data ini menjadi umpan balik yang bisa menjadi reinforcement positif bagi karyawan yang telah berprilaku safe, selain itu bisa juga menjadi dasar untuk mengoreksi unsafe behavior yang sulit dihilangkan.

5. Melibatkan Intervensi Secara Sistimatis dan Observasional Keunikan sistem behavior safety adalah adanya jadwal

intervensi yang terencana. Dimulai dengan briefing pada seluruh departemen atau lingkungan kerja yang dilibatkan, karyawan diminta untuk menjadi relawan yang bertugas sebagai observer yang tergabung dalam sebuah project team. Observer ditraining agar dapat menjalankan tugas mereka. kemudian mengidentifikasi unsafe behavior yang diletakkan dalam check list. Daftar ini ditunjukkan pada para pekerja untuk mendapat persetujuan. Setelah disetujui, observer melakukan observasi pada periode waktu tertentu (+ 4 minggu), untuk menentukan baseline. Setelah itu barulah program interverensi dilakukan dengan menentukan goal setting yang dilakukan oleh karyawan sendiri. Observer terus melakukan observasi. Data hasil observasi kemudian dianalisis untuk mendapatkan feed back bagi para karyawan. Team project juga bertugas memonitor data secara berkala, sehingga perbaikan dan koreksi terhadap program dapat terus dilakukan.

6. Menitikberatkan Pada Umpan Balik Terhadap Perilaku Kerja

Dalam sistem behavior safety umpan balik dapat berbentuk: umpan balik verbal yang langsung diberikan pada karyawan sewaktu observasi; umpan balik dalam bentuk data (grafik) yang ditempatkan dalam tempat-tempat yang strategis dalam lingkungan kerja; dan umpan balik berupa briefing dalam periode tertentu dimana data hasil observasi dianalis untuk mendapatkan umpan balik yang mendetail tantang perilaku yang spesifik.

7. Membutuhkan Dukungan dari Manager Komitmen management terhadap proses behavior safety

biasanya ditunjukkan dengan memberi keleluasaan pada observer dalam menjalankan tugasnya, memberikan penghargaan yang melakukan safety behavior, menyediakan sarana dan bantuan bagi tindakan yang harus segera dilakukan, membantu menyusun dan menjalankan umpan balik, dan meningkatkan inisiatif untuk melakukan safety behavior dalam setiap kesempatan. Dukungan dari manajemen sangat penting karena kegagalan dalam penerapan behavior safety biasanya disebabkan oleh kurangnya dukungan dan komitmen dari manajemen.

Page 13: Denny Setiawan C2B209016

13

2.2 Penelitian Terdahulu Menurut Penelitian Wills et al. (2005) iklim Keselamatan

didefinisikan sebagai pekerja berbagi persepsi tentang pentingnya keselamatan yang penting untuk organisasi mereka, telah menerima peningkatan perhatian sebagai konstruksi yang berguna untuk nama baik keselamatan organisasi dan sebagai cara untuk mengukur anteseden sosio-organisasi kinerja keselamatan.

Beberapa penelitian telah memanfaatkan langkah-langkah safety climate yang sudah ada sebelumnya, ada informasi yang terbatas secara umum dari konstruksi dan dimensi yang mendasari di seluruh organisasi dan industri. Ini merupakan langkah penting menuju pembentukan safety climate sebagai generik membangun organisasi yang dapat diukur secara andal.

Dalam beberapa kasus di mana penelitian telah menggunakan langkah-langkah yang ada, hasil menunjukkan inkonsistensi dalam struktur faktor yang mendasari. Dengan demikian, menggunakan sampel 321 karyawan dari tiga organisasi yang terpisah dan industri, studi ini meneliti struktur faktor versi modifikasi dari ukuran yang sudah ada (Iklim Keselamatan Kuesioner [SCQ]). Komponen utama analisis faktor menunjukkan bahwa faktor struktur asli dikuatkan oleh sampel saat ini (dengan pengecualian dua faktor runtuh menjadi satu). Ini menyediakan dukungan untuk sifat generik dari safety climate seperti yang dioperasionalkan oleh SCQ. Item tambahan yang dimasukkan dan muncul sebagai dua dimensi, memberikan dukungan secara umum bagi faktor-faktor baru di seluruh organisasi dan industri bekerja. Hasilnya adalah signifikan teoretis dan praktis karena mereka memberikan bukti untuk struktur generik dari membangun seluruh organisasi dan industri, dan memberikan contoh bagaimana mengukur iklim keselamatan bisa berguna digunakan dalam perencanaan cacat manajemen dan strategi intervensi awal.

Menurut penelitian Copper et al. (2004) Keselamatan iklim mengacu pada sejauh mana karyawan percaya prioritas yang benar adalah kinerja keselamatan diberikan kepada organisasi, dan diukur untuk untuk memberikan peringatan sistem keselamatan yang berpotensi potensi kegagalan. Namun, para peneliti telah berjuang selama terakhir 25 tahun untuk menemukan bukti empiris menunjukkan hubungan yang sebenarnya antara iklim keselamatan dan kinerja keselamatan. Metode yang digunakan adalah dengan mengukur safety climate yang berupa kuisioner yang dibagikan kepada karyawan manufaktur pada awal sebuah inisiatif safety behavior dan didistribusikan satu tahun nanti. Hasilnya berupa analisis regresi menunjukkan bahwa persepsi tentang pentingnya pelatihan keselamatan kerja prediksi tingkat aktual safety behavior. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa besarnya nilai perubahan safety climate persepsi belum tentu cocok perubahan aktual (r = 0,56) dalam safety behavior karyawan. Hasil diskusi menunjukan ada diperoleh hubungan empiris antara skor safety climate dan safety behavior yang sebenarnya. Kesimpulannya adalah bahawa terdapat hubungan yang signifikan antara safety climate persepsi dan safety behavior akan diperoleh jika data perilaku yang cukup

Page 14: Denny Setiawan C2B209016

14

dikumpulkan. Dampak terhadap Industri penelitian ini lebih lanjut mendukung penggunaan tindakan safety climate sebagai alat diagnostik yang berguna dalam persepsi karyawan tentang cara memastikan bahwa keselamatan sedang dioperasionalkan.

Sadullah dan Kanten (2009) dalam studinya menginvestigasi hubungan antara oraganisasi safety climate dengan safety behavior karyawan. Banyak penelitian menyatakan bahwa prilaku tidak aman adalah penyumbang terbesar dalam penyebab kecelakaan kerja. Dimana faktor tersebut merupakan efek dari pengelolaan organisasi. Hasil studinya menggambarkan bahwa organisasi safety climate merupakan salah satu faktor yang menyebabkan prilaku aman dan tidak aman dari karyawan. Dalam kontex studi yang mereka lakukan adalah pada aktivitas shipyard di Turkey, dimana ditemukan ada 4 faktor dari organisasi safety climate yang signifikan mempengaruhi safety behavior karyawan.

Andi et al. (2005) dalam penelitiannya mengenai model persamaan structural pengaruh budaya keselamatan kerja pada prilaku pekerja di proyek konstruksi menyatakan bahwa budaya keselamatan kerja memegang peranan sangat penting dalam membentuk perilaku pekerja pada proyek konstruksi. Dengan demikian usaha untuk mengurangi kecelakan kerja di konstruksi harus dimulai dengan membentuk budaya keselamatan kerja yang baik. Namun, studi mengenai budaya keselamatan kerja serta pengaruhnya kepada perilaku pekerja masih sangat jarang di konstruksi. Penelitian ini ditujukan untuk mengetahui secara empiris pengaruh budaya keselamatan kerja pada perilaku pekerja. Untuk mencapai tujuan ini, pertama tama diusulkan suatu model yang terdiri dari enam faktor budaya keselamatan kerja dan satu faktor perilaku pekerja. Model ini kemudian diuji dengan metode model persamaan struktural (structural equation modeling). Data diperoleh dengan cara menyebarkan kuesioner kepada pekerja. Dua ratus tujuh set kuesioner berhasil dikumpulkan dan digunakan untuk menganalisa model yang diusulkan.

Hasil analisis model persamaan struktural menunjukkan hanya empat faktor budaya keselamatan kerja yang memberikan pengaruh secara signifikan pada perilaku pekerja. Makalah ini menyimpulkan bahwa: (i) komitmen pihak manajemen merupakan penggerak utama dari budaya keselamatan kerja, dan (ii) perilaku pekerja dapat dikendalikan melalui kombinasi pendekatan prescriptive dan discretionary.

Menurut Morrow (2009) dalam risetnya mengenai safety climate pada industri kereta api memiliki 2 tujuan (1) untuk mengkonfirmasi hubungan antara persepsi karyawan mengenai psikologis safety climate dan safety behavior untuk sampel pekerja di industri kereta api, dan (2) untuk mengeksplorasi kekuatan relatif dari hubungan antara aspek spesifik safety climate dan safety behavior. Non-manajemen pekerja pemeliharaan rel kereta api yang dipekerjakan oleh besar Amerika Utara menyelesaikan sebuah survei (n = 421) tentang persepsi dan safety behavior karyawan. Tiga aspek dari safety climate (manajemen keselamatan, keamanan rekan kerja, dan ketegangan kerja-pengaman) dinilai memiliki nilai yg signifikan dengan

Page 15: Denny Setiawan C2B209016

15

safety behavior. Dominasi analisis digunakan untuk menentukan kepentingan relatif dari setiap segi yang berkaitan dengan hasilnya, dan kerja-keselamatan dibuktikan ketegangan hubungan kuat dengan perilaku keselamatan

Sedangkan menurut Zhou (2007) pada penelitiannya di Cina mengatakan bahwa Industri konstruksi di Cina memiliki data kematian yang relatif tinggi dan tingkat cedera yang tinggi pula, dan praktek-praktek tradisional untuk konstruksi keselamatan tidak lagi cukup untuk memenuhi tantangan baru. Strategi inovatif untuk mengurangi bahaya keselamatan dan kecelakaan dibutuhkan untuk secara substansial memperbaiki praktek-praktek saat ini. Pemahaman tentang pengaruh safety climate pada kerja konstruksi dan pengalaman keselamatan kerja konstruksi pribadi menjadi penting sebelum setiap tindakan yang efektif dapat dilakukan. Dengan mempertimbangkan model safety climate, jaringan Bayesian (BN) berbasis model diusulkan, mendirikan probabilistik relasional jaringan antara faktor penyebab, termasuk faktor safety climate dan faktor pengalaman pribadi yang berpengaruh terhadap safety behavior berkaitan dengan keselamatan kerja konstruksi. Oleh karena itu menyediakan metodologi untuk mengidentifikasi potensi strategi untuk peningkatan keselamatan. Dalam studi ini, survei yang melibatkan lebih dari 4700 karyawan di sebuah perusahaan konstruksi besar di China telah diterapkan untuk mendirikan sebuah BN. BN berbasis analisis menunjukkan bahwa faktor safety climate memiliki lebih signifikan berpengaruh terhadap safety behavior karyawan dari faktor pengalaman pribadi. Metode untuk menemukan strategi oleh mengendalikan satu faktor individu (atau strategi sederhana) untuk meningkatkan safety behavior kemudian diteliti. Ditemukan bahwa strategi sederhana yang bisa lebih efektif jika faktor safety climate yang baik dikendalikan. Selain itu, strategi melalui mengendalikan beberapa faktor (atau strategi bersama) mungkin lebih baik meningkatkan safety behavior. Analisis ini menyarankan bahwa pengendalian bersama dari kedua faktor safety climate dan faktor pengalaman pribadi bekerja paling efektif, dimana dengan uji BN tersebut menunjukan bahwa safety behavior dipengaruhi oleh safety climate.

Berdasarkan penjelasan diatas peneliti tertarik untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor dari safety climate terhadap safety behavior (studi pada karyawan PT Makmur Sejahtera Wisesa dan Kontraktornya pada pembangunan proyek PLTU 2x30 MW Tanjung Tabalong). Faktor-faktor tersebut berupa communication & procedures, work pressure, management commitment, relationships, training, dan safety rules. Indikator penelitian tersebut menggunakan Safety Climate Questionnare (SCQ) yang dikembangkan oleh Wills et al. (2005), sedangkan untuk Safety Behavior Questionnare (SBQ) menggunakan indikator penelitian Andi et al. (2005). Untuk maping dan ringkasan penelitian terdahulu dapat dilihat pada lampiran 1.

Page 16: Denny Setiawan C2B209016

16

BAB III Kerangka Pikir & Hipotesis Penelitian

3.1 Kerangka pikir

Menurut penelitian Wills et al. (2005), Copper et al. (2004), Sadullah dan Kanten (2009), Andi et al. (2005), Morrow et al. (2009), dan Zhou et al. (2007) menyatakan bahwa safety climate berpengaruh signifikan terhadap safety behavior. Sedangkan safety climate sendiri menurut Wills et al. (2005) dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti gambar dibawah dan untuk model penelitian mengikuti model gambar seperti dibawah.

Gambar 3.1. Model Penelitian

Safety climate (X)

Sumber : Dikembangkan dari model Wills et al. (2005) Keterangan : Berpengaruh secara simultan (H1) Bepengaruh secara parsial (H2)

Communication & Procedures (X1)

Work Pressure (X2)

Commitment Management (X3)

Relationships (X4)

Training (X5)

Safety Rules (X6)

Safety Behavior (Y)

Page 17: Denny Setiawan C2B209016

17

3.2 Hipotesis Berdasarkan penelitian yang dikembangkan oleh Wills et al. (2005)

dan Andi et al. (2005) maka dapat dikemukakan hipotesis yang dimaksud adalah sebagai berikut : 3.2.1 Diduga bahwa faktor-faktor safety climate (H1) berupa Communication

& Procedures, Work Pressure, Management Commitment, Relationships, Training, & Safety Rules secara simultan berpengaruh signifikan terhadap safety behavior

3.2.2 Diduga bahwa faktor-faktor safety climate (H2) berupa Communication & Procedures, Work Pressure, Management Commitment, Relationships, Training, & Safety Rules secara parsial berpengaruh signifikan terhadap safety behavior

3.2.3 Diduga faktor Relationships merupakan faktor safety climate yang paling signifikan pengaruhnya terhadap safety behavior

Page 18: Denny Setiawan C2B209016

18

BAB IV Metode Penelitian

4.1 Jenis Penelitian

Penelitian yang dilakukan adalah termasuk jenis penelitian kausal dengan pendekatan kuantitatif, penelitian ini akan menjelaskan pengaruh variabel X terhadap Y melalui pengujian hipotesis dan secara umum data yang disajikan adalah dalam bentuk angka-angka yang akan dihitung melalui uji statistik.

4.2 Unit Analisis Unit analisis dalam penelitian ini adalah karyawan PT Makmur

Sejahtera Wisesa dan Kontraktornya pada pembangunan PLTU 2x30 MW yang berlokasi di Tanjung Tabalong.

4.3 Populasi dan Sampel 4.3.1 Populasi

Target populasi dari penelitian ini adalah karyawan PT Makmur Sejahtera Wisesa dan Kontraktornya pada pembangunan proyek PLTU 2x30MW Tanjung Tabalong yang berjumlah 1068 karyawan. Data lengkapnya seperti tabel dibawah :

Tabel 4.3.1 Daftar Jumlah Tenaga Kerja. No Perusahaan Jumlah tenaga kerja (orang) 1 PT Makmur Sejahtera Wisesa 18 2 PT Envitech 54 3 PT EPTCO 120 4 PT PLI 71 5 PT TTKI 27 6 PT Indomarine 480 7 PT JBS 51 8 PT EBJ 219 9 PT CTI 28 Total 1068

Sumber : PT Makmur Sejahtera Wisesa (2011) 4.3.2. Jumlah dan Presentasi Sampel

Pengambilan sampel dilakukan secara Proporsional Stratified Random Sampling dengan persentasi dan perhitungan yang dijelaskan dibawah. Perhitungan dilakukan menggunakan rumus Slovin dalam Husien (2004), dimana ;

291n1)1068.(0.05

10681N.d

Nn 22

=+

=+

=

Keterangan n = Jumlah sampel N = Jumlah populasi d2 = Presisi yang ditetapkan adalah 5% 1 = Konstanta

Page 19: Denny Setiawan C2B209016

19

Berdasarkan total jumlah sampel yang diambil dipersentasikan lagi berdasarkan jumlah karyawan tiap-tiap perusahaan seperti tabel dibawah : Tabel 4.3.2.1 Persentasi Jumlah Sampel Berdasarkan Perusahaan

No Perusahaan Persentasi Sampel (%)

Jumlah Sampel

1 PT Makmur Sejahtera Wisesa 2 5 2 PT Envitech 5 15 3 PT EPTCO 11 32 4 PT PLI 7 19 5 PT TTKI 2 7 6 PT Indomarine 45 131 7 PT JBS 5 14 8 PT EBJ 20 60 9 PT CTI 3 8 Total 100 291

Sumber : Pengolahan data primer (2011) Berdasarkan data diatas pemilihan sampel dipersentasikan

kembali berdasarkan stratifikasi 3 kategori jabatan (Manajemen, Staf, dan Non Staf). Data tersebut dapat dilihat pada tabel dibawah.

Tabel 4.3.2.2 Persentasi Jumlah Sampel Berdasarkan Jabatan

No Perusahaan Jumlah Sampel

Manajemen Staf Non Staf

% Jumlah Sampel % Jumlah

Sampel % Jumlah Sampel

1 PT Makmur Sejahtera Wisesa 5 33 2 39 2 28 1

2 PT Envitech 15 13 2 13 2 74 11 3 PT EPTCO 32 10 3 10 3 80 26 4 PT PLI 19 15 3 24 5 61 11 5 PT TTKI 7 13 1 13 1 74 5 6 PT Indomarine 131 8 3 10 12 88 116 7 PT JBS 14 7 1 7 1 86 12 8 PT EBJ 60 4 2 6 4 90 54 9 PT CTI 8 7 1 7 1 76 6 Total 291 18 31 242

Sumber : Pengolahan data primer (2011) 4.4 Jenis dan Sumber Data

Data-data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer yang diperoleh melalui kuisioner SCQ yang dikembangkan oleh Wills et al. (2005) yang terdiri dari 6 (enam) faktor dan 35 (tiga puluh lima) indikator dan telah disesuaikan dengan kondisi serta keadaan penelitian saat ini. Sedangkan untuk safety behavior menggunakan indikator yang dikembangkan oleh Andi et al. (2005) yang terdiri dari 8 indikator. Quesioner tersebut dibuat dengan skala Lingkert yaitu 1 sampai 5 (1 = Tidak pernah, 2 = Jarang, 3 = Kadang-kadang, 4 = Sering, 5 = Selalu).

Page 20: Denny Setiawan C2B209016

20

4.5 Definisi Operasional Variabel Variabel dan definisi operasional variabel dalam penelitian ini adalah

seperti dalam tabel berikut : Tabel 4.5 Operasional Variabel

Variabel Indikator Variabel independen 1. Communication

& Procedures 1. Perubahan prosedur kerja dan pengaruhnya terhadap keselamatan

secara efektif dikomunikasikan kepada pekerja 2. Karyawan dikonsultasikan ketika perubahan pada praktek-praktek

keselamatan 3. Karyawan diberitahu jika ada perubahan prosedur pada lingkungan

kerja 4. Keselamatan kebijakan yang berkaitan dengan keselamatan kerja

secara efektif dikomunikasikan kepada pekerja 5. Prosedur Keselamatan yang berkaitan dengan praktikal ada secara

lengkap dan komprehensif 6. Sebuah sistem dokumentasi manajemen yang efektif memastikan

ketersediaan keselamatan prosedur yang berkaitan dengan keselamatan kerja

7. Masalah keselamatan secara terbuka dibahas antara karyawandan manajer / supervisor

8. Prosedur keselamatan sudah sesuai dengan tugas cara dilakukan dalam praktek

9. Karyawan dapat mendiskusikan isu-isu keselamatan kebijakan penting

10. Karyawan dapat berkonsultasi dan memberikan saran perbaikan tentang keselamatan

11. Karyawan dapat dengan mudah mengidentifikasi prosedur yang relevan untuk setiap pekerjaan

12. Karyawan dapat mengungkapkan pandangan tentang masalah keselamatan

13. Karyawan didorong untuk mendukung antara satu dengan yang lain Sumber : Wills et al. (2005)

2. Work Pressure 14. Jadwal Waktu untuk menyelesaikan proyek-proyek kerja realistis 15. Ada 'berpikir waktu' yang cukup untuk memungkinkan karyawan

untuk merencanakan dan melaksanakan mereka bekerja untuk standar yang memadai

16. Beban kerja cukup seimbang 17. Ada karyawan yang cukup untuk melaksanakan pekerjaan yang

dibutuhkan 18. Perubahan beban kerja, yang telah dibuat dalam waktu singkat,

dapat ditangani cara yang tidak mempengaruhi keselamatan kerja 19. Ketika karyawan bekerja memiliki cukup waktu untuk

melaksanakan tugas-tugas mereka 20. Masalah yang timbul di luar kontrol karyawan dapat ditangani

dengan cara yang tidak mempengaruhi keselamatan pekerja Sumber : Wills et al. (2005)

3. Management Committment

21. Manajemen berkomitmen untuk keselamatan pekerja 22. Manajemen berkomitmen untuk pengaman alat kerja 23. Keselamatan pekerja merupakan pusat nilai-nilai dan filosofi

Page 21: Denny Setiawan C2B209016

21

Variabel Indikator Variabel independen

manajemen 24. Keselamatan pekerja dipandang sebagai bagian penting dari

organisasi perusahaan Sumber : Wills et al. (2005)

4. Relationship 25. Hubungan kerja yang baik antara pekerja dalam organisasi/ perusahaan ini

26. Karyawan yakin tentang masa depan mereka dengan organisasi/ perusahaan

27. Semangat yang baik 28. Karyawan kepercayaan manajemen 29. Manajemen kepercayaan karyawan Sumber : Wills et al. (2005)

5. Training 30. Potensi risiko dan konsekuensi yang diidentifikasi dalam pelatihan keselamatan karyawan

31. Pelatihan keselamatan karyawan secara umum disediakan berikut juga keterampilan khusus

32. Pelatihan keselamatan pekerja dilakukan oleh orang-orang dengan pengalaman yang relevan

Sumber : Wills et al. (2005)

6. Safety rules 33. Keselamatan aturan yang berkaitan dengan keselamatan pekerja dapat diikuti tanpa bertentangan dengan praktik kerja

34. Keselamatan aturan yang berkaitan dengan keselamatan pekerja dilakukan tanpa terburu-buru

35. Keselamatan aturan yang berkaitan dengan keselamatan kerja selalu praktis

Sumber : Wills et al. (2005)

Variabel dependen Safety behavior 1. Saya melaporkan setiap kecelakaan yang terjadi

2. Saya mengingatkan pekerja lain tentang bahaya dan keselamatan kerja

3. Saya selalu menggunakan perlengkapan keselamatan kerja (alat pelindung diri)

4. Saya meletakkan material dan peralatan kerja pada tempatnya 5. Saya bekerja mengikuti prosedur keselamatan kerja 6. Saya mengikuti kerja sesuai dengan instruksi atasan 7. Saya tidak berguarau dengan rekan kerja sewaktu bekerja 8. Saya tidak pernah melakukan kegiatan yang berbahaya seperti

berlari, melempar atau melompat Sumber : Andi et al. (2005)

Page 22: Denny Setiawan C2B209016

22

4.6 Metode Analisis Data dan Pengujian Hipotesis 4.6.1. Metode Analisis Data

Model analisis disajikan pada gambar dibawah berdasarkan model Wills et al. (2005), Copper et al. (2004), Sadullah dan Kanten (2009), Andi et al. (2005), Morrow et al. (2009), dan Zhou et al. (2007) :

4.6. Model Analisis

X Y

Faktor-faktor safety climate sendiri terdiri dari Communication

& Procedures, Work Pressure, Management Commitment, Relationships, Training, & Safety Rules (Wills, et al. 2005).

Berdasarkan model penelitian tersebut maka dilakukanlah analisis metode diskiptif statistik yang bersifat menjelaskan pengaruh dari suatu variabel terhadap variabel yang lainya. Variabel tersebut terdiri dari Communication & Procedures (X1), Work Pressure (X2) , Management Committment (X3), Relationships (X4), Training (X5), & Safety Rules (X6) terhadap Safety Behavior (Y).

Model kuantitatif menggunakan regresi berganda dengan merumuskan model sebagai berikut: Y = β0 + β1 X1 + β2 X2 + β3 X3 + β4 X4 + β4 X5 + β4 X6 + e Dimana: Y = Safety Behavior β0 = intercept (konstanta) X1 = Communication & Prosedures X2 = Work Pressure X3 = Management Committment X4 = Relationship X5 = Training X6 = Safety Rules Adapun langkah-langkah yang akandilakukan dalam model analisis regresi berganda ini adalah sebagai berikut: 1. Melakukan regresi antara variabel terikat (Y) dengan variabel

bebas X1, X2, X3, X4, X5, dan X6. 2. Melakukan Uji F untuk melihat signifikan secara bersama-sama

variabel bebas dengan variabel terikat. 3. Melakukan Uji-t untuk melihat signifikan secra parsial variabel

bebas dengan variabel terikat.

Safety Climate Safety Climate

Page 23: Denny Setiawan C2B209016

23

4.6.2. Pengujian Asumsi Klasik Pemilihan model terbaik menggunakan analisis regresi

berganda haruslah memenuhi beberapa asumsi klasik. Asumsi klasik yang akan diperiksa adalah asumsi multicolinearitas, heterokedastisitas, dan asumsi normalitas. Pemeriksaan terhadap asumsi-asumi klasik tersebut adalah sebagai berikut: 1. Multicolinearitas

Merupakan suatu keadaan dimana telah terjadi korelasi yang sangat kuat antar masing-masing variabel bebas. Akibat yang muncul jika sebuah model regresi memiliki kasus multikolineritas adalah kesalahan standar estimasi akan cenderung meningkat dengan bertambahnya variabel bebas yang masuk pada model. Sehingga signifikansi yang digunakan akan menolak hipotesis nol akan semakin besar. Akibatnya model regresi yang diperoleh tidak sahih (valid) untuk menaksir variabel independen. Salah satu cara termudah untuk melihat adanya kasus multikolomneritas ini adalah dengan melihat nilai variance inflating factor (VIF). Apabila nilai VIF suatu model kurang dari angka 10 maka model terusebut dinyatakan bebas dari kasus multicolinearitas (Gujarati, 1995:78).

2. Uji Heteroskedatisitas Heteroskedatisitas artinya varians variabel dalam model

tidak sama, konsekwensi adanya Heteroskedatisitas dalam model regresi adalah penaksir (estimator) yang diperoleh tidak efisien, baik dalam sampel kecil maupun dalam sampel besar. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk melihat adanya kasus Heteroskedatisitas adalah dengan memperhatikan plot dari sebaran residual dan variaberl yang diprediksikan. Jika sebaran titik-titik dalam plot tidak menunjukkan adanya suatu pola tertentu, maka dapat dikatakan bahwa model terbebas dari asumsi Heteroskedatisitas (Algifari, 2000:85).

3. Uji Normalitas Uji normalitas bertujuan untuk menguji apakah dalam

model regresi variabel pengganggu atau residual berdistribusi normal. Untuk mendeteksi apakah berdistribusi normal atau tidak dapat menggunakan grafik normalitas p-p plot.

4.6.3. Pengujian Hipotesis Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah: variabel-

variabel bebas (safety climate) secara bersama-sama (simultan) maupun parsial mempunyai pengaruh signifikan terhadap safety behavior. Untuk pembuktian hipotesis akan dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut: A. Menghitung koefisien determinasi berganda (R2).

Menurut Gujarati (1997:45), kegunaan R2 adalah untuk mengukur besarnya total variasi dari variabel bebas X1, X2, X3, X4, X5 dan X6 terhadap variabel terikat.

Nilai koefisien R2 dihitung dengan rumus sebagai berikut:

Page 24: Denny Setiawan C2B209016

24

R2 = SS regresi / SS total

R2 = (S total-SS residu) SS total Dimana: R2 = Koefisien determinasi S total = Jumlah kuadrat regresi SS residu = Jumlah kuadrat error atau residu SS total = SS regresi + SS residu

Nilai R2 antara 0 sampai dengan 1, semakin mendekati 1 maka variabel independen secara simultan mempunyai pengaruh yang semakin kuat dalam menjelaskan variabel dependen.

B. Menghitung nilai F hitung.

Dimana: F = Kemaknaan nilai koefisien determinasi. R2 = Koefisiean determinasi. k = Banyaknya variabel bebas n = Ukuran sampel secara keseluruhan Membandingkan nilai F hitung dengan F tabel atau dengan melihat probabilitas kesalahan kurang dari 5% berarti variabel-variabel bebas secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebasnya. Jika F hitung < F tabel H0 diterima dan H1 ditolak. Jika F hitung > F tabel H0 ditolak dan H1 diterima.

C. Uji-t Uji-t digunakan untuk menguji pengaruh masing-masing variabel bebas terhadap variabel terikat. Adapun langkah-langkah yang dilakukan untuk melakukan uji-t adalah sebagai berikut: 1. Merumuskan hipotesis, H0 : β0 = 0

Artinya variabel independen (Xi), tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen (Y). H0 : β0 ≠ 0 H0 = β1 = β2 = β3 = β4 ≠ 0 Artinya variabel independen (X), secara parsial berpengaruh terhadap variabel dependen (Y).

2. Menentukan tingkat signifikansi. Untuk menentukan nilai F-tabel dapat digunakan tingkat signifikansi 5% dengan derajat kebebasan (degree of freedom) df = (n-k) dan (k-1), dimana n adalah jumlah variabel termasuk intersep.

Page 25: Denny Setiawan C2B209016

25

BAB V Hasil Penelitian

5.1. Gambaran Umum Objek Penelitian

Dalam rangka mengimbangi pertumbuhan kebutuhan listrik di wilayah Kalimantan Selatan-Tengah-Timur, pemerintah memberikan kesempatan kepada pihak swasta untuk membangun pembangkit tenaga listrik yang energinya baik untuk memenuhi kepentingan sendiri maupun dimanfaatkan untuk kepentingan masyarakat melalui PLN.

Peluang tersebut di atas dimanfaatkan oleh PT Makmur Sejahtera Wisesa (MSW), perusahaan yang bergerak dalam bidang kelistrikan yang berpusat di Jakarta, yang merencanakan pembangunan dan pengoperasian pembangkit baru berupa Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Batubara 2 x 30 MW yang berlokasi di Kabupaten Tabalong, Provinsi Kalimantan Selatan. Energi listrik yang dihasilkan rencananya akan disalurkan untuk memenuhi kegiatan pertambangan batubara PT Adaro Indonesia, dan sebagian lagi akan disalurkan ke PT PLN dan Pemda setempat. Perusahaan ini merupakan anak perusahaan dari PT Adaro Energy Tbk

Untuk tahap konstuksi akan dikerjakan oleh kontraktor utama yaitu PLI dengan beberapa subkontraktor. Semua kegiatan yang dilaksanakan tersebut mengacu pada peraturan yang berlaku serta sesuai standard ISO 14000 : 2004, OHSAS 18001 : 1999 dan SMK3. Pekerjaan konstruksi tersebut sudah dimulai pada bulan Agustus 2009 dan diperkirakan selesai pada bulan Desember 2011. Pekerjaan tersebut dikerjakan oleh beberapa kontraktor dan diperkirakan menyerap tenaga kerja sampai 1000 orang lebih. Data lengkapnya seperti tabel 5.1 dibawah

Tabel 5.1. Identitas Perusahaan Nama Perusahaan PT Makmur Sejahtera Wisesa

Jenis Badan Hukum Perseroan terbatas

Alamat Perusahaan Jl. A Yani RT 001 RW 001, Kelurahan Mabuun Kec. Murung Pudak Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan

Nomor Telepon 0526 – 2022854/53

Status Pemodalan PMDN

Bidang Usaha PLTU

Sumber : PT Makmur Sejahtera Wisesa

5.2. Karakteristik Responden Responden dalam penelitian ini adalah karyawan PT Makmur

Sejahtera Wisesa dan Kontraktornya pada pengerjaan proyek PLTU 2x30 MW Tanjung Tabalong. Adapun karakteristik responden dikelompokkan sebagai berikut :

Page 26: Denny Setiawan C2B209016

26

1. Usia Berdasarkan data dibawah menunjukkan bahwa mayoritas responden

adalah berusia 20-30 tahun, yaitu 55.4%. Kesimpulannya adalah bahwa sebagian besar responden adalah usia pekerja produktif. Hal tersebut dapat dilihat pada tabel 5.2.1 dibawah.

Tabel 5.2.1 Distribusi Responden Berdasarkan Usia Usia Jumlah Responden Presentasi (%) ≤ 20 16 5.4

>20 s/d ≤ 30 161 55.4 >30 s/d ≤ 40 76 26.2 >40 s/d ≤ 50 33 11.3

>50 5 1.7 Total 291 100.0 Sumber : Pengolahan data primer (2011) 2. Jenis Kelamin

Berdasarkan data seperti dibawah menunjukkan bahwa mayoritas responden adalah berjenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 96.6%. Hal tersebut dikarenakan pada kegiatan konstruksi pekerjaan utamanya adalah pekerjaan kasar yang notabennya dikerjakan oleh laki-laki. Untuk distribusi lengkapnya dapat dilihat pada tebel 5.2.2 dibawah.

Tabel 5.2.2 Distribusi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin Jumlah Responden Presentasi (%)

laki-laki 281 96.6 Perempuan 10 3.4 Total 291 100.0 Sumber : Pengolahan data primer (2011) 3. Status Perkawinan

Tabel dibawah memperlihatkan bahwa mayoritas responden adalah berstatus sudah menikah yaitu sebesar 52%. Kesimpulannya adalah pola pikir mereka lebih mengedepankan bagaimana memenuhi kebutuhan hidup keluarga.

Tabel 5.2.3 Distribusi Responden Berdasarkan Status Perkawinan Status Perkawinan Jumlah Responden Presentasi (%)

belum / tidak terikat perkawinan 139 47.8

sudah menikah 152 52.2 Total 291 100.0 Sumber : Pengolahan data primer (2011) 4. Masa Kerja

Tabel dibawah memperlihatkan bahwa mayoritas responden memiliki pengalaman kerja yang terbesar adalah ≥1 s/d ≤ 10 tahun yaitu 76.5%. Kesimpulannya adalah responden tersebut memiliki pengalaman kerja yang tinggi, sehingga diharapkan mampu melaksanakan pekerjaan dengan lebih baik. Untuk distribusi lengkapnya dapat dilihat pada tabel 5.2.4.

Page 27: Denny Setiawan C2B209016

27

Tabel 5.2.4 Distribusi Responden Berdasarkan Lama Kerja Lama Kerja Jumlah Responden Presentasi (%) ≥1 s/d ≤ 10 223 76.5 ≥10 s/d ≤ 20 53 18.2 ≥20 s/d ≤ 30 13 4.4

>30 2 0.6 Total 291 100.0 Sumber : Pengolahan data primer (2011) 5. Pendidikan

Berdasarkan tabel dibawah menunjukkan bahwa mayoritas responden adalah lulusan SMA yaitu sebesar 58.8%. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa responden sudah cukup baik memahami tentang pekerjaannya dan kemampuan menyelesaikan pekerjaan yang ingin dicapai. Untuk distribusi lengkapnya dapat dilihat pada tabel 5.2.5.

Tabel 5.2.5 Distribusi Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan

Tingkat Pendidikan Jumlah Responden Presentasi (%) tamat SD 20 6.9 tamat SLTP 44 15.1 tamat SLTA 171 58.8 tamat Diploma / Sarjana 56 19.2 Total 291 100.0 Sumber : Pengolahan data primer (2011)

5.3. Analisis Diskriptif Jawaban Responden 5.3.1 Communication & Procedures

Distribusi jawaban responden pada penelitian ini terhadap pernyataan yang terkait dengan penilaian variabel Communication & Procedures sebagaimana yang ditunjukkan pada tabel 5.3.1 : Tabel 5.3.1 Distribusi Jawaban Responden Variabel Communication

& Procedures

Pernyataan Distribusi Jawaban

Tidak Pernah Jarang Kadang-kadang

Sering Selalu

Perubahan prosedur kerja dan pengaruhnya terhadap keselamatan secara efektif dikomunikasikan kepada pekerja

3 1% 21 7.2% 26 8.9% 150 51.5% 91 31.3%

Adanya konsultasi dengan karyawan ketika terjadi perubahan pada praktek-praktek keselamatan

2 0.7% 15 5.2% 40 13.7% 128 44% 106 36.4%

Karyawan diberitahu jika ada perubahan prosedur pada lingkungan kerja

0 0% 9 3.1% 45 15.5% 125 43% 112 38.5%

Keselamatan kebijakan yang berkaitan dengan keselamatan kerja secara efektif dikomunikasikan kepada pekerja

0 0% 12 4.1% 40 13.7% 147 50.5% 92 31.6%

Prosedur Keselamatan yang 1 0.3% 34 11.7% 61 21% 112 38.5% 83 28.5%

Page 28: Denny Setiawan C2B209016

28

Pernyataan Distribusi Jawaban

Tidak Pernah Jarang Kadang-kadang

Sering Selalu

berkaitan dengan praktikal ada secara lengkap dan komprehensif Sebuah sistem dokumentasi manajemen yang efektif memastikan ketersediaan keselamatan prosedur yang berkaitan dengan keselamatan kerja

3 1% 35 12% 46 15.8% 131 45% 76 26.1%

Masalah keselamatan secara terbuka dibahas antara karyawan dan manajer / supervisor

3 1% 14 4.8% 68 23.4% 119 40.9% 87 29.9%

Prosedur keselamatan sudah sesuai dengan tugas cara dilakukan dalam praktek

0 0% 15 5.2% 69 23.7% 133 45.7% 74 25.4%

Karyawan dapat mendiskusikan isu-isu keselamatan kebijakan penting

3 1% 14 4.8% 91 31.3% 122 41.9% 61 21%

Karyawan dapat berkonsultasi dan memberikan saran perbaikan tentang keselamatan

0 0% 16 5.5 85 29.2% 100 34.4% 90 30.9%

Karyawan dapat dengan mudah mengidentifikasi prosedur yang relevan untuk setiap pekerjaan

4 1.4% 29 10% 74 25.4% 120 41.2% 64 22%

Karyawan dapat mengungkapkan pandangan tentang masalah keselamatan

3 1% 27 9.3% 91 31.3% 119 40.9% 51 17.5%

Karyawan didorong untuk mendukung antara satu dengan yang lain

0 0% 11 3.8% 53 18.2% 141 48.5% 86 29.6%

Sumber : Pengolahan data primer (2011) Berdasarkan jawaban responden, terkait penilaian terhadap variabel

Communication & Procedures terlihat bahwa : 1. Pada pertanyaan “Prosedur kerja dan pengaruhnya terhadap keselamatan

secara efektif dikomunikasikan kepada pekerja”, mayoritas jawaban responden yang sering yaitu sebanyak 150 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 51,5% menilai bahwa perubahan prosedur kerja dan pengaruhnya terhadap keselamatan secara efektif dikomunikasikan kepada karyawan.

2. Pada pertanyaan “Adanya konsultasi dengan karyawan ketika perubahan pada praktek-praktek keselamatan”, mayoritas jawaban responden yang sering yaitu sebanyak 128 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 44% menilai bahwa karyawan dikonsultasikan ketika perubahan pada praktek-praktek keselamatan.

3. Pada pertanyaan “Karyawan diberitahu jika ada perubahan prosedur pada lingkungan kerja”, mayoritas jawaban responden yang sering yaitu sebanyak 125 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 43% menilai bahwa karyawan diberitahu jika ada perubahan prosedur pada lingkungan kerja.

4. Pada pertanyaan “ Keselamatan kebijakan yang berkaitan dengan keselamatan kerja secara efektif dikomunikasikan kepada pekerja”, mayoritas jawaban responden yang sering yaitu sebanyak 147 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 50,5% menilai

Page 29: Denny Setiawan C2B209016

29

bahwa keselamatan kebijakan yang berkaitan dengan keselamatan kerja secara efektif dikomunikasikan kepada pekerja.

5. Pada pertanyaan “ Prosedur keselamatan sudah sesuai dengan tugas cara dilakukan dalam praktek”, mayoritas jawaban responden yang sering yaitu sebanyak 112 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 38,5% menilai bahwa prosedur keselamatan sudah sesuai dengan tugas cara dilakukan dalam praktek.

6. Pada pertanyaan “ Sebuah sistem dokumentasi manajemen yang efektif memastikan ketersediaan keselamatan prosedur yang berkaitan dengan keselamatan kerja”, mayoritas jawaban responden yang sering yaitu sebanyak 131 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 45% menilai bahwa sebuah sistem dokumentasi manajemen yang efektif memastikan ketersediaan keselamatan prosedur yang berkaitan dengan keselamatan kerja.

7. Pada pertanyaan “Masalah keselamatan secara terbuka dibahas antara karyawan dan manajer / supervisor”, mayoritas jawaban responden yang sering yaitu sebanyak 119 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 40,9% menilai bahwa Masalah keselamatan secara terbuka dibahas antara karyawan dan manajer / supervisor.

8. Pada pertanyaan “Prosedur keselamatan sudah sesuai dengan tugas cara dilakukan dalam praktek”, mayoritas jawaban responden yang sering yaitu sebanyak 133 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 45,7% menilai bahwa prosedur keselamatan sudah sesuai dengan tugas cara dilakukan dalam praktek.

9. Pada pertanyaan “Karyawan dapat mendiskusikan isu-isu keselamatan kebijakan penting”, mayoritas jawaban responden yang sering yaitu sebanyak 122 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 41,9% menilai bahwa karyawan dapat mendiskusikan isu-isu keselamatan kebijakan penting.

10. Pada pertanyaan ”Karyawan dapat berkonsultasi dan memberikan saran perbaikan tentang keselamatan”, mayoritas jawaban responden yang sering yaitu sebanyak 100 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 34,4% menilai bahwa karyawan dapat berkonsultasi dan memberikan saran perbaikan tentang keselamatan.

11. Pada pertanyaan ”Karyawan dapat dengan mudah mengidentifikasi prosedur yang relevan untuk setiap pekerjaan”, mayoritas jawaban responden yang sering yaitu sebanyak 120 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 41,2% menilai bahwa karyawan dapat dengan mudah mengidentifikasi prosedur yang relevan untuk setiap pekerjaan.

12. Pada pertanyaan “Karyawan dapat mengungkapkan pandangan tentang masalah keselamatan”, mayoritas jawaban responden yang sering yaitu sebanyak 119 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 40.9% menilai bahwa karyawan dapat mengungkapkan pandangan tentang masalah keselamatan.

13. Pada pertanyaan “ Karyawan didorong untuk mendukung antara satu dengan yang lain”, mayoritas jawaban responden yang sering yaitu sebanyak 141 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 48.5% menilai bahwa karyawan didorong untuk mendukung antara satu dengan yang lain.

Page 30: Denny Setiawan C2B209016

30

5.3.2. Work Pressure Distribusi jawaban responden pada penelitian ini terhadap

pernyataan yang terkait dengan penilaian variabel Work Pressure sebagaimana yang ditunjukkan pada tabel 5.3.2 berikut : Tabel 5.3.2 Distribusi Jawaban Responden Variabel Work Pressure

Pernyataan Distribusi Jawaban

Tidak Pernah

Jarang Kadang-kadang

Sering Selalu

Jadwal untuk menyelesaikan proyek-proyek kerja realistis 9 3.1% 28 9.6% 91 31.3% 93 32% 70 24.1%

Ada 'berpikir waktu' yang cukup untuk memungkinkan karyawan untuk merencanakan dan melaksanakan mereka bekerja untuk standar yang memadai

8 2.7% 25 8.6% 79 27.1% 121 41.6% 58 19.9%

Beban kerja cukup seimbang 5 1.7% 19 6.5% 74 25.4% 108 37.1% 85 29.2% Ada karyawan yang cukup untuk melaksanakan pekerjaan yang dibutuhkan

4 1.4% 18 6.2% 81 27.8% 109 37.5% 79 27.1%

Perubahan beban kerja, yang telah dibuat dalam waktu singkat, dapat ditangani dengan cara yang tidak mempengaruhi keselamatan kerja

2 0.7% 14 4.8% 81 27.8% 116 39.9% 78 26.8%

Ketika karyawan bekerja memiliki cukup waktu untuk melaksanakan tugas-tugas mereka

6 2.1% 24 8.2% 61 21% 133 45.7% 67 23%

Masalah yang timbul di luar kontrol karyawan dapat ditangani dengan cara yang tidak mempengaruhi keselamatan pekerja

6 2.1% 24 8.2% 61 21% 133 45.7% 67 23%

Sumber : Pengolahan data primer (2011) Berdasarkan jawaban responden, terkait penilaian terhadap variabel

Work Pressure terlihat bahwa : 1. Pada pertanyaan “Jadwal Waktu untuk menyelesaikan proyek-proyek

kerja realistis”, mayoritas jawaban responden yang sering yaitu sebanyak 93 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 32% menilai bahwa jadwal Waktu untuk menyelesaikan proyek-proyek kerja realistis.

2. Pada pertanyaan “ Ada 'berpikir waktu' yang cukup untuk memungkinkan karyawan untuk merencanakan dan melaksanakan mereka bekerja untuk standar yang memadai”, mayoritas jawaban responden yang sering yaitu sebanyak 121 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 41,6% menilai bahwa Ada 'berpikir waktu' yang cukup untuk memungkinkan karyawan untuk merencanakan dan melaksanakan mereka bekerja untuk standar yang memadai.

3. Pada pertanyaan “Beban kerja cukup seimbang”, mayoritas jawaban responden yang sering yaitu sebanyak 108 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 37,1% menilai bahwa Beban kerja cukup seimbang.

4. Pada pertanyaan “ Ada karyawan yang cukup untuk melaksanakan pekerjaan yang dibutuhkan”, mayoritas jawaban responden yang sering

Page 31: Denny Setiawan C2B209016

31

yaitu sebanyak 108 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 37,5% menilai bahwa ada karyawan yang cukup untuk melaksanakan pekerjaan yang dibutuhkan.

5. Pada pertanyaan ”Perubahan beban kerja, yang telah dibuat dalam waktu singkat, dapat ditangani dengan cara yang tidak mempengaruhi keselamatan kerja”, mayoritas jawaban responden yang sering yaitu sebanyak 116 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 39,9% menilai bahwa perubahan beban kerja, yang telah dibuat dalam waktu singkat, dapat ditangani dengan cara yang tidak mempengaruhi keselamatan kerja.

6. Pada pertanyaan ”Ketika karyawan bekerja memiliki cukup waktu untuk melaksanakan tugas-tugas mereka”, mayoritas jawaban responden yang sering yaitu sebanyak 133 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 45,7% menilai bahwa ketika karyawan bekerja memiliki cukup waktu untuk melaksanakan tugas-tugas mereka.

7. Pada pertanyaan ”Masalah yang timbul di luar kontrol karyawan dapat ditangani dengan cara yang tidak mempengaruhi keselamatan pekerja”, mayoritas jawaban responden yang sering yaitu sebanyak 133 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 45,7% menilai bahwa Masalah yang timbul di luar kontrol karyawan dapat ditangani dengan cara yang tidak mempengaruhi keselamatan pekerja.

5.3.3. Management Commitment Distribusi jawaban responden pada penelitian ini terhadap

pernyataan yang terkait dengan penilaian variabel Management Commitment sebagaimana yang ditunjukkan pada tabel 5.3.3 berikut :

Tabel 5.3.3 Distribusi Jawaban Responden Variabel Management

Commitment

Pernyataan Distribusi Jawaban

Tidak Pernah

Jarang Kadang-kadang

Sering Selalu

Manajemen berkomitmen untuk keselamatan pekerja 3 1% 20 6.9% 64 22% 83 28.5% 121 41.6%

Manajemen berkomitmen untuk pengaman alat kerja 3 1% 20 6.9% 66 22.7% 71 24.4% 131 45%

Keselamatan pekerja merupakan pusat nilai-nilai dan filosofi manajemen

0 0% 15 5.2% 62 21.3% 94 32.3% 120 41.2%

Keselamatan pekerja dipandang sebagai bagian penting dari organisasi perusahaan

1 0.3% 21 7.2% 61 21% 85 29.2% 123 42.3%

Sumber : Pengolahan data primer (2011) Berdasarkan jawaban responden, terkait penilaian terhadap variabel

Management Commitment terlihat bahwa : 1. Pada pertanyaan “Manajemen berkomitmen untuk keselamatan pekerja”,

mayoritas jawaban responden yang selalu yaitu sebanyak 121 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 45% menilai bahwa manajemen berkomitmen untuk keselamatan pekerja.

2. Pada pertanyaan “Manajemen berkomitmen untuk pengaman alat kerja”, mayoritas jawaban responden yang selalu yaitu sebanyak 131 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 45% menilai bahwa Manajemen berkomitmen untuk pengaman alat kerja.

Page 32: Denny Setiawan C2B209016

32

3. Pada pertanyaan “Keselamatan pekerja merupakan pusat nilai-nilai dan filosofi manajemen”, mayoritas jawaban responden yang selalu yaitu sebanyak 120 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 41,2% menilai bahwa keselamatan pekerja merupakan pusat nilai-nilai dan filosofi manajemen.

4. Pada pertanyaan “ Keselamatan pekerja dipandang sebagai bagian penting dari organisasi perusahaan”, mayoritas jawaban responden yang sering yaitu sebanyak 123 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 42,3% menilai bahwa keselamatan pekerja dipandang sebagai bagian penting dari organisasi perusahaan.

5.3.4. Relationships Distribusi jawaban responden pada penelitian ini terhadap

pernyataan yang terkait dengan penilaian variabel Relationships sebagaimana yang ditunjukkan pada tabel 5.3.4 berikut :

Tabel 5.3.4 Distribusi Jawaban Responden Variabel Relationships

Pernyataan Distribusi Jawaban

Tidak Pernah

Jarang Kadang-kadang

Sering Selalu

Hubungan kerja yang baik antara pekerja dalam organisasi/perusahaan ini

0 0% 20 6.9% 44 15.1% 149 51.2% 78 26.8%

Karyawan yakin tentang masa depan mereka dengan organisasi/perusahaan

7 2.4% 16 5.5% 68 23.4% 107 36.8% 93 32%

Semangat yang baik 0 0% 18 6.2% 42 14.4% 117 40.2% 114 39.2% Karyawan kepercayaan manajemen 4 1.4% 8 2.7% 67 23% 111 38.1% 101 34.7%

Manajemen kepercayaan karyawan 5 1.7% 25 8.6% 66 22.7% 109 37.5% 86 29.6%

Sumber : Pengolahan data primer (2011) Berdasarkan jawaban responden, terkait penilaian terhadap variabel

Relationships terlihat bahwa : 1. Pada pertanyaan “Hubungan kerja yang baik antara pekerja dalam

organisasi/perusahaan ini”, mayoritas jawaban responden yang sering yaitu sebanyak 149 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 51,2% menilai bahwa Hubungan kerja yang baik antara pekerja dalam organisasi/perusahaan ini.

2. Pada pertanyaan “Karyawan yakin tentang masa depan mereka dengan organisasi/perusahaan”, mayoritas jawaban responden yang sering yaitu sebanyak 107 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 36,8% menilai bahwa Karyawan yakin tentang masa depan mereka dengan organisasi/perusahaan.

3. Pada pertanyaan “Semangat yang baik”, mayoritas jawaban responden yang sering yaitu sebanyak 117 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 40,2% menilai bahwa Semangat yang baik.

4. Pada pertanyaan “ Karyawan kepercayaan manajemen”, mayoritas jawaban responden yang sering yaitu sebanyak 111 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 37,5%% menilai bahwa karyawan kepercayaan manajemen.

5. Pada pertanyaan “Manajemen kepercayaan karyawan”, mayoritas jawaban responden yang sering yaitu sebanyak 109 orang. Hal ini berarti

Page 33: Denny Setiawan C2B209016

33

bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 37,5% menilai bahwa manajemen kepercayaan karyawan.

5.3.5. Training Distribusi jawaban responden pada penelitian ini terhadap

pernyataan yang terkait dengan penilaian variabel Training sebagaimana yang ditunjukkan pada tabel 5.3.5 berikut :

Tabel 5.3.5 Distribusi Jawaban Responden Variabel Training

Pernyataan Distribusi Jawaban

Tidak Pernah

Jarang Kadang-kadang

Sering Selalu

Potensi risiko dan konsekuensi yang diidentifikasi dalam pelatihan keselamatan karyawan

9 3.1% 24 8.2% 51 17.5 146 50.2% 61 21%

Pelatihan keselamatan karyawan secara umum disediakan berikut juga keterampilan khusus

12 4.1% 39 13.4% 76 26.1% 100 34.4% 64 22%

Pelatihan keselamatan pekerja dilakukan oleh orang-orang dengan pengalaman yang relevan

5 1.7% 29 10% 76 26.1% 124 42.6% 57 19.6%

Sumber : Pengolahan data primer (2011) Berdasarkan jawaban responden, terkait penilaian terhadap variabel

Training terlihat bahwa : 1. Pada pertanyaan “Potensi risiko dan konsekuensi yang diidentifikasi

dalam pelatihan keselamatan karyawan”, mayoritas jawaban responden yang sering yaitu sebanyak 146 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 50,2% menilai bahwa Potensi risiko dan konsekuensi yang diidentifikasi dalam pelatihan keselamatan karyawan.

2. Pada pertanyaan “Pelatihan keselamatan karyawan secara umum disediakan berikut juga keterampilan khusus”, mayoritas jawaban responden yang sering yaitu sebanyak 100 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 34,4% menilai bahwa pelatihan keselamatan karyawan secara umum disediakan berikut juga keterampilan khusus.

3. Pada pertanyaan “Pelatihan keselamatan pekerja dilakukan oleh orang-orang dengan pengalaman yang relevan”, mayoritas jawaban responden yang sering yaitu sebanyak 124 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 42,6% menilai bahwa pelatihan keselamatan pekerja dilakukan oleh orang-orang dengan pengalaman yang relevan.

5.3.6. Safety rules Distribusi jawaban responden pada penelitian ini terhadap pernyataan yang terkait dengan penilaian variabel Safety Rules sebagaimana yang ditunjukkan pada tabel 5.3.6 berikut :

Page 34: Denny Setiawan C2B209016

34

Tabel 5.3.6 Distribusi Jawaban Responden Variabel Safety Rules

Pernyataan Distribusi Jawaban

Tidak Pernah

Jarang Kadang-kadang

Sering Selalu

Keselamatan aturan yang berkaitan dengan keselamatan pekerja dapat diikuti tanpa bertentangan dengan praktik kerja

0 0% 23 7.9% 65 22.3% 149 51.2% 54 18.6%

Keselamatan aturan yang berkaitan dengan keselamatan pekerja dilakukan tanpa terburu-buru

13 4.5% 11 3.8% 63 21.6% 100 34.4% 104 35.7%

Keselamatan aturan yang berkaitan dengan keselamatan kerja selalu praktis

1 0.3% 20 6.9% 70 24.1% 116 39.9% 84 28.9%

Sumber : Pengolahan data primer (2011) Berdasarkan jawaban responden, terkait penilaian terhadap variabel

Safety Rules terlihat bahwa : 1. Pada pertanyaan “Keselamatan aturan yang berkaitan dengan keselamatan

pekerja dapat diikuti tanpa bertentangan dengan praktik kerja”, mayoritas jawaban responden yang sering yaitu sebanyak 149 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 51,2% menilai bahwa keselamatan aturan yang berkaitan dengan keselamatan pekerja dapat diikuti tanpa bertentangan dengan praktik kerja.

2. Pada pertanyaan “Keselamatan aturan yang berkaitan dengan keselamatan pekerja dilakukan tanpa terburu-buru”, mayoritas jawaban responden yang selalu yaitu sebanyak 104 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 35,7% menilai bahwa keselamatan aturan yang berkaitan dengan keselamatan pekerja dilakukan tanpa terburu-buru.

3. Pada pertanyaan ”Keselamatan aturan yang berkaitan dengan keselamatan kerja selalu praktis”, mayoritas jawaban responden yang sering yaitu sebanyak 116 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 39,9% menilai bahwa Keselamatan aturan yang berkaitan dengan keselamatan kerja selalu praktis.

5.3.7. Safety Behavior Distribusi jawaban responden pada penelitian ini terhadap

pernyataan yang terkait dengan penilaian variabel Safety Behavior sebagaimana yang ditunjukkan pada tabel 5.3.7 berikut :

Tabel 5.3.7 Distribusi Jawaban Responden Variabel Safety Behavior

Pernyataan Distribusi Jawaban

Tidak Pernah

Jarang Kadang-kadang

Sering Selalu

Saya mengingatkan pekerja lain tentang bahaya dan keselamatan kerja

7 2.4% 26 8.9% 47 16.2% 120 41.2% 91 31.3%

Saya selalu menggunakan perlengkapan keselamatan kerja (alat pelindung diri)

0 0% 8 2.7% 78 26.8% 111 38.1% 94 32.3%

Keselamatan aturan yang berkaitan 0 0% 20 6.9% 48 16.5% 88 30.2% 135 46.4%

Page 35: Denny Setiawan C2B209016

35

dengan keselamatan kerja selalu praktis Saya meletakkan material dan peralatan kerja pada tempatnya

0 0% 21 7.2% 45 15.5% 120 41.2% 105 36.1%

Saya bekerja mengikuti prosedur keselamatan kerja

0 0% 18 6.2% 42 14.4% 130 44.7% 101 34.7%

Saya mengikuti kerja sesuai dengan instruksi atasan

0 0% 19 6.5% 49 16.8% 131 45% 92 31.6%

Saya tidak bergurau dengan rekan kerja sewaktu bekerja

5 1.7% 13 4.5% 79 27.1% 80 27.5% 114 39.2

Saya tidak melakukan kegiatan yang berbahaya seperti berlari, melempar atau melompat

4 1.4% 2 0.7% 30 10.3% 89 30.6% 166 57%

Sumber : Pengolahan data primer (2011) Berdasarkan jawaban responden, terkait penilaian terhadap

variabel Safety Behavior terlihat bahwa : 1. Pada pertanyaan “Saya mengingatkan pekerja lain tentang bahaya dan

keselamatan kerja”, mayoritas jawaban responden yang sering yaitu sebanyak 120 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 41,2% menilai bahwa responden mengingatkan pekerja lain tentang bahaya dan keselamatan kerja.

2. Pada pertanyaan “ Saya selalu menggunakan perlengkapan keselamatan kerja (alat pelindung diri)”, mayoritas jawaban responden yang selalu yaitu sebanyak 111 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 38,1% menilai bahwa responden selalu menggunakan perlengkapan keselamatan kerja (alat pelindung diri).

3. Pada pertanyaan ” Keselamatan aturan yang berkaitan dengan keselamatan kerja selalu praktis”, mayoritas jawaban responden yang selalu yaitu sebanyak 135 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 46,4% menilai bahwa keselamatan aturan yang berkaitan dengan keselamatan kerja selalu praktis.

4. Pada pertanyaan ”Saya meletakkan material dan peralatan kerja pada tempatnya”, mayoritas jawaban responden yang sering yaitu sebanyak 120 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 41,2% menilai bahwa Saya meletakkan material dan peralatan kerja pada tempatnya.

5. Pada pertanyaan ”Saya bekerja mengikuti prosedur keselamatan kerja”, mayoritas jawaban responden yang sering yaitu sebanyak 130 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 44,7% menilai bahwa saya bekerja mengikuti prosedur keselamatan kerja.

6. Pada pertanyaan ” Saya mengikuti kerja sesuai dengan instruksi atasan”, mayoritas jawaban responden yang sering yaitu sebanyak 131 orang. Hal

Page 36: Denny Setiawan C2B209016

36

ini berarti bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 45% menilai bahwa responden mengikuti kerja sesuai dengan instruksi atasan.

7. Pada pertanyaan ”Saya tidak bergurau dengan rekan kerja sewaktu bekerja”, mayoritas jawaban responden yang selalu yaitu sebanyak 114 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 39,2% menilai bahwa responden tidak bergurau dengan rekan kerja sewaktu bekerja.

8. Pada pertanyaan ”Saya tidak melakukan kegiatan yang berbahaya seperti berlari, melempar atau melompat”, mayoritas jawaban responden yang selalu yaitu sebanyak 166 orang. Hal ini berarti bahwa sebagian besar responden yaitu sebanyak 46,4% menilai bahwa responden tidak melakukan kegiatan yang berbahaya seperti berlari, melempar atau melompat.

5.4. Analisis Hasil Penelitian 5.4.1 Analisis Regresi Linier Berganda (Uji Asumsi Klasik)

5.4.1.1 Uji Multikolinieritas Merupakan suatu keadaan dimana terjadinya suatu atau lebih

variabel bebas yang berkorelasi sempurna atau mendekati sempurna dengan variabel bebas lainnya. Salah satu cara untuk mendeteksi ada tidaknya gejala multikolinieritas adalah dilihat dari Variance Inflation Factor (VIF) pada masing-masing variabel bebas lainnya. Apabila nilai VIF melebihi 4 atau 5, maka mengidentifikasikan bahwa model terdapat multikolinieritas

Tabel 5.4.1.1 Nilai VIF Model Collinearity Statistic

(Constant) Tolerance VIF Communication & Procedures .397 2.522 Work Pressure .455 2.198 Committement Management .578 1.731 Relationship .501 1.997 Training .626 1.596 Safety Rules .591 1.693

Sumber : Pengolahan data primer (2011) Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa nilai VIF semua variabel < 4

atau 5. Hal tersebut dapat disimpulkan bahwa hasil pengolahan analisis data ini bebas multikolinieritas 5.4.1.2 Uji Heteroskeditasitas

Heteroskeditasitas merupakan keadaan dimana terjadi gangguan uji atau galat semuanya mempunya variance yang tidak sama. Tujuan uji ini adalah untuk mengetahui bahwa sebuah model regresi terjadi ketidaksamaan varian dari residual suatu pengamatan kepengamatan lain tetap, maka disebut Homoroskeditasitas. Jika variannya berbeda maka disebut Heteroskeditasitas. Dasar pengeambilan keputusan dengan melihat grafik scartterplot :

Page 37: Denny Setiawan C2B209016

37

Gambar 5.4.1 Scatterplot

Sumber : Pengolahan data primer (2011)

Berdasarkan gambar diatas menunjukkan bahwa titik-titik atau point-

point yang ada tidak membentuk suatu pola tertentu yang tidak teratur (bergelombang, melebar kemudian menyempit), maka tidak terjadi Heteroskeditasitas. 5.4.1.3 Uji Normalitas

Hasil uji normalitas terlihat pada gambar dibawah ; Gambar 5.4.2 Histogram

Sumber : Pengolahan data primer (2011)

Page 38: Denny Setiawan C2B209016

38

Gambar 5.4.3 Normal P-P Plot Regression Standardized Residual

Sumber : Pengolahan data primer (2011)

Berdasarkan gambar diatas dapat disimpulkan bahwa grafik histogram menunjukkan pola distribusi yang mendekati normal. Sedangkan grafik plot normal terlihat titik-titik penyebaran disekitas garis diagonal, serta penyebaranya mengikuti arah garis diagonal. Kedua grafik ini menunjukkan bahwa model regresi layak dipakai karena memenuhi asumsi normalitas

5.4.2 Analisis Hasil Pengolahan Data

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh faktor-faktor dari safety climate terhadap safety behavior. Faktor-faktor tersebut berupa Communication & Procedures, Work Pressure, Management Commitment, Relationships, Training, & Safety Rule.

Hasil analisis regresi linier berganda dihitung menggunakan program SPSS seperti pada tabel 5.4.2.1 dibawah :

Tabel 5.4.2.1 Hasil Analisis Regresi Berganda

Model Coeficient regresion t Sig.

Correlations Partial

(Constant) 9.948 .000 Communication & Procedures (X1) .137 1.768 .078 .104

Work Pressure (X2) -.023 -.317 .751 -.019 Management

Commitment (X3) .204 3.171 .002 .185

Relationships (X4) .396 5.734 .000 .322 Training (X5) -.030 -.488 .626 -.029

Safety Rule (X6) -.072 -1.137 .256 -.067 Konstanta = 17,161 Multiple R = 0,566 R Square = 0,320 F Rasio = 22,319 Prob = 0,000 N = 291

Sumber : Pengolahan data primer (2011)

Page 39: Denny Setiawan C2B209016

39

Berdasarkan pengujian analisis regresi menunjukkan persamaan sebagai berikut :

Y = 17,161 + 0,137X1 – 0,023X2 + 0,204X3 + 0,396X4 – 0,030X5 – 0,072X6 + e Variabel Communication & Procedures, Management Commitment,

dan Relationships menunjukkan koefisien regresi yang positif, berarti terdapat pengaruh positif atau searah antara variabel independen (Communication & Procedures, Management Commitment, dan Relationships) dengan variabel dependen (safety behavior). Sedangkan Work Pressure, Training, & Safety Rule menunjukkan nilai koefisien regresi yang sebaliknya yaitu negatif, berarti terdapat pengaruh negatif antara variabel independen dengan variabel dependen. Dengan demikian apabila Communication & Procedures, Management Commitment, & Relationships meningkat maka safety behavior. Demikian pula sebaliknya apabila terjadi penurunan maka safety behavior juga akan terjadi penurunan.

Besarnya derajat hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen dapat dilihat pada koefisien determinasi (R Square atau R2). Berdasarkan tabel diatas diketahui nilai koefisien determinasi sebesar 0,320 (32%). Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaruh variabel independen (Communication & Procedures, Work Pressure, Management Commitment, Relationships, Training, & Safety Rule) terhadap variabel dependen (safety behavior) sebesar 32% sedangkan sisanya 68 % dijelaskan oleh variabel bebas yang ada diluar analisis atau penelitian ini. Beberapa peneliti lain mengungkapkan bahwa faktor-faktor lain tersebut seperti diungkapkan oleh Copper, et al (2004), Sadullah & Kanten (2009), Morrow, et al. (2009), dan Zhou, et al. (2007) adalah Management action, perceived of risk workplace, Effect of required work pace on safety, Social status & promotion, Status of safety officer & safety committee, adequacies & sufficiency of procedures and investigation, Safety & PPE use training, absence of workpresure, Control of work load increase, Maintenance and spares, coworker safety, work-safety tension, workmate’s influences, employee’s involvement, personal experience, safety knowledge, education experience, eork experience, & drinking habits.

Untuk mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat secara simultan dan parsial digunakan alat uji statistik, yaitu : a. Uji F

Berdasarkan hasil analisis uji F diperoleh hasil sebagai berikut : Tabel 5.4.2.2 ANOVA

Model Sum of Squares df Mean Square F Sig.

1 Regression 1325.024 6 220.837 22.319 .000a Residual 2810.096 284 9.895 Total 4135.120 290

a. Predictors: (Constant), X6, X3, X2, X5, X4, X1 b. Dependent Variable: Y

Sumber : Pengolahan data primer (2011)

Page 40: Denny Setiawan C2B209016

40

Data diatas menujukkan nilai Fhitung sebesar 22,319 dengan nilai sig. = 0,000. Sedangkan pada tabel F dengan df = 6,284 ; 5% = 2, 4591. Artinya nilai Fhitung > Ftabel ; dengan demikian variabel safety climate (Communication & Procedures, Work Pressure, Management Commitment, Relationships, Training, & Safety Rule) secara simultan mempengaruhi safety behavior. b. Uji t

Uji ini dilakukan untuk menguji pengaruh variabel-variabel bebas terhadap variabel terikat secara parsial. Artinya apakah masing-masing Communication & Procedures, Work Pressure, Management Commitment, Relationships, Training, & Safety Rule berpengaruh terhadap safety behavior. Tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95% atau taraf nyata sebesar 5% dengan derajat kebebasan (df) = (n-k). Bila thitung ≥ ttabel , maka hipotesis diterima, demikian sebaliknya jika t hitung ≤ t tabel , maka hipotesis ditolak.

Penentuan variabel yang dominan mempengaruhi safety behavior dilakukan menggunakan tolak ukur dengan melihat nilai t hitung tertinggi.

Tabel 5.4.2.3 Nilai t hitung

Model t Sig. Correlations

Partial (Constant) 9.948 .000

Communication & procedures (X1) 1.768 .078 .104

Work pressure (X2) -.317 .751 -.019 Management

commitment (X3) 3.171 .002 .185

Relationships (X4) 5.734 .000 .322 Training (X5) -.488 .626 -.029

Safety rule (X6) -1.137 .256 -.067 Sumber : Pengolahan data primer (2011)

Berdasarkan tabel diatas diperoleh nilai thitung Communication & Procedures sebesar 1,768 dengan nilai sig. = 0,078, Work Pressure sebesar -0,317 dengan nilai sig. = 0,751, Management Commitment sebesar 3,171 dengan nilai sig. = 0,002, Relationships sebesar 5,734 dengan nilai sig. = 0,000, Training sebesar -0,488 dengan nilai sig. = 0,626, dan Safety Rule sebesar -1,137 dengan nilai sig. = 0,256. Sedangkan pada ttabel dengan df = (n-k) ; 5% = 284 ; 5% = 1,9683.

Nilai tersebut berarti hanya Management Commitment & Relationships dari faktor-faktor safety climate yang secara parsial mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap safety behavior.

Berdasarkan nilai t hitung diatas juga memperlihatkan bahwa variabel Relationships adalah variabel yang paling dominan yaitu sebesar 5,743 dengan nilai sig. = 0,000 dan dengan nilai korelasi parsial sebesar 0,322 atau kontribusinya sebesar 32,2%.

Page 41: Denny Setiawan C2B209016

41

5.5. Pengujian Hipotesis Penelitian 5.5.1 Pengujian Hipotesis I

Hipotesis penelitian I menyatakan, sebagai berikut : Diduga bahwa faktor-faktor safety climate (H1) berupa

Communication & Procedures, Work Pressure, Management Commitment, Relationships, Training, & Safety Rules secara simultan berpengaruh signifikan terhadap safety behavior

Berdasarkan hasil perhitungan nilai Fhitung (22,319) > Ftabel (2,4591). Hal tersebut berarti bahwa keenam faktor dari safety climate (Communication & Procedures, Work Pressure, Management Commitment, Relationships, Training, & Safety Rules) secara bersama-sama atau simultan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap safety behavior, dengan demikian maka Hipotesis I dapat dikatakan diterima.

5.5.2 Pengujian Hipotesis II Hipotesis penelitian II menyatakan, sebagai berikut : Diduga bahwa faktor-faktor safety climate (H2) berupa

Communication & Procedures, Work Pressure, Management Committment, Relationships, Training, & Safety Rules secara parsial berpengaruh signifikan terhadap safety behavior

Berdasarkan perhitungan nilai thitung aspek Management Commitment (3,171), Relationships (5,734) ≥ t tabel (1,9683). Akan tetapi Communication & Procedures (1,768), Work Pressure (-0,317), Training (-0,488), & Safety Rule (-1,137) ≤ ttabel (1,9683). Hal tersebut berarti hanya Management Commitment & Relationships dari faktor-faktor safety climate yang secara parsial mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap safety behavior, dengan demikian maka hipotesis II dapat dikatakan ditolak.

5.5.3 Pengujian Hipotesis III Hipotesis penetian III menyatakan, sebagai berikut : Diduga faktor Relationships merupakan faktor yang safety

climate yang paling kuat pengaruhnya terhadap safety behavior. Berdasarkan nilai thitung memperlihatkan bahwa faktor safety

climate (Relationships) adalah variabel yang paling dominan yaitu sebesar 5,743. Hal tersebut berarti faktor Relationships merupakan faktor yang paling kuat pengaruhnya terhadap terhadap safety behavior, dengan demikian maka hipotesis III dapat dikatakan diterima.

5.6. Implikasi Hasil Penelitian

Berdasarkan analisis data diatas dapat disimpulkan beberapa implikasi hasil penelitian sebagai berikut : 1. Dengan adanya peningkatan serta konsistennya pelaksanaan safety

climate oleh perusahaan di lingkungan PT Makmur Sejahtera Wisesa dan Kontraktornya pada pembangunan PLTU 2x30 MW Tanjung Tabalong maka juga akan meningkatkan kondisi safety behavior

Page 42: Denny Setiawan C2B209016

42

karyawannya. Hal tersebut selanjutnya berimplikasi pada pencapaian kinerja safety atau keselamatan kerja yang lebih bagus dengan ditandai dengan tingkat kecelakaan yang menurun atau rendah.

2. Berdasarkan distribusi jawaban kuisioner oleh responden terlihat bahwa secara umum semua variabel safety climate (Communication & Procedures, Work Pressure, Management Commitment, Relationships, Training, & Safety Rules) PT Makmur Sejahtera Wisesa dan Kontraktornya pada pembangunan proyek PLTU 2x30 MW Tanjung Tabalong sudah relative bagus dijalankan oleh perusahaan. Adapun beberapa hal yang perlu ditingkatkan adalah sebagai berikut : - Communication & Procedures yaitu (1). Mengenai perubahan

prosedur dan pengaruhnya terhadap keselamatan secara efektif dikomunikasikan kepada pekerja, (2). Prosedur keselamatan yang berkaitan dengan praktikal ada secara lengkap dan komprehensif, (3) Sistem dokumentasi yang efektif, (4). Kemudahan karyawan dalam mengidentifikasi prosedur, dan (5). Kemudahan karyawan dalam mengungkapkan pandangan terhadap keselamatan kerja

- Work Pressure yaitu mengenai jadwal waktu untuk menyelesaikan proyek-proyek kerja yang realistis

- Management Commitment yaitu mengenai keselamatan pekerja dipandang sebagai bagian penting dari organisasi perusahaan

- Relationships yaitu mengenai managemen kepercayaan karyawan - Training yaitu mengenai pelatihan keselamatan karyawan secara

umum disediakan berikut juga keterampilan khusus - Sedangkan Safety Rules semua indikator menunjukan hasil bagus

sehingga tidak perlu dilakukan perbaikan atau peningkatan. 5.7. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini terdapat beberapa keterbatasan penelitian baik dari segi analisis maupun pengujian hipotesis yang dapat diidentifikasi antara lain : 1. Untuk hasil analisis linier berganda berdasarkan statifikasi perusahaan

dan level jabatan tidak dapat dilakukan. Hal tersebut dikarenakan jumlah sampel yang mewakili beberapa perusahaan dan jabatan persentasinya sangat sedikit sehingga tidak memenuhi syarat atau tidak berhasil di run dalam program SPSS. Sehingga analisis hanya dilakukan secara keseluruhan tanpa membedakan perusahaan dan statifikasi jabatan.

2. Adanya responden karyawanResponden penelitian ini juga melibatkan karyawan administrasi yang pekerjaannya hanya di dalam ruangan saja dan secara umum tidak berhubungan dengan pekerjaan yang berisiko tinggi sehingga jawaban dari responden tersebut tidak begitu mengena dengan pertanyaan yang berhubungan dengan safety climate dan safety behavior.

Page 43: Denny Setiawan C2B209016

43

BAB VI Kesimpulan dan Saran

6.1. Kesimpulan

Penelitian ini menunjukkan bahwa iklim keselamatan kerja (safety climate) sangat dipengaruhi oleh perilaku pekerja yang berkeselamatan (safety behavior). Faktor-faktor iklim keselamatan kerja (safety climate) tersebut berupa Communication & Procedures, Work Pressure, Management Commitment, Relationships, Training, & Safety Rules.

Untuk mencegah tingginya angka kecelakaan kerja yang disebabkan oleh perilaku pekerja yang tidak aman (unsafe behavior) maka hendaknya dilakukan tindakan pencegahan terhadap faktor-faktor pembentuk iklim keselamatan kerja (safety climate) tersebut.

Pendekatan awal yang perlu dilakukan guna mempertahankan serta meningkatkan iklim keselamatan kerja (safety climate) tersebut adalah dengan membangun faktor Relationships antara perusahaan dengan karyawan. Adanya hubungan kerja yang baik antara pekerja dengan organisasi perusahaan, dan adanya kepercayaan antara karyawan dengan managemen, serta adanya keyakinan karyawan akan masa depan perusahaan merupakan faktor kunci dari pendekatan Relationships tersebut dalam mengendalikan prilaku pekerja (safety behavior) yang dimaksud diatas.

6.2. Saran

Berdasarkan penelitian di atas, dapat dikemukakan saran-saran sebagai berikut :

1. Perbaikan dan peningkatan dibidang hubungan kerja (relationships) sangat penting bagi karyawan sehingga sangat berpengaruh terhadap perbaikan safety behavior karyawan. Hubungan kerja antara pekerja dengan manajemen atau tingkat kepercayaan keduanya merupakan faktor yang sangat penting yang harus dijaga agar safety behavior karyawan PT Makmur Sejahtera Wisesa dan Kontraktornya pada pembangunan proyek PLTU 2x30 MW Tanjung Tabalong tetap terjaga. Hal lain yang tidak kalah penting tentang masa depan karyawan mengenai sistem kontrak kerja. Sistem kontrak kerja hendaknya disesuaikan dengan masa kerja proyek. Misalnya untuk pekerjaan yang masa proyeknya 1 tahun hendaknya masa kerja kontrak karyawan juga hingga 1 tahun dan bukannya masa kerja per 3 bulan yang terus diperpanjang. Dengan adanya kontrak kerja seperti itu kepastian akan masa depan karyawan lebih terjamin. Terjaganya kondisi safety behavior tersebut pada ujungnya akan sangat berpengaruh terhadap pengurangan angka kecelakaan kerja pada proyek tersebut.

2. Bagi peneliti yang akan datang apabila melakukan penelitian yang sama diharapkan menggunakan variabel safety climate yang lain seperti Safety Promotion, Work Environment, Competency, Safety Organization dan lain-lain.

3. Hendaknya variabel safety behavior pada penelitian selanjutnya diukur juga berdasarkan hasil observasi langsung di lapangan.

Page 44: Denny Setiawan C2B209016

44

DAFTAR PUSTAKA Andi, et al. 2005. Model Persamaan Struktural Pengaruh Budaya Keselamatan

Kerja pada Prilaku Pekerja Proyek Konstruksi. Jurnal Teknik Sipil Universitas Petra Surabaya. Vol. 12 No. 3 Juli 2005.

Anonymous, 2010. Kalibata Post. Di akses 1 November 2010, jam 9.45 WITA http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2010/01/16/akibat-kecelakaan-kerja-kerugian-rp-50-triliun

__________, 2011. Laporan Triwulan I 2011 K3 PT Makmur Sejahtera Wisesa. Tidak dipublikasikan

__________, 2011. Laporan Ketenagakerjaan Triwulan I 2011 PT Makmur Sejahtera Wisesa. Tidak dipublikasikan

__________, 1971. Undang-undang Keselamatan Kerja No.1 tahun 1971

__________, 2003. Undang-undang Ketenagakerjaan N0.13 tahun 2003

__________, 1996. Peraturan Mentri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Per.05/Men/1996 Tentang Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan kerja (SMK3)

Cooper, MD. 1999. What is Behavioral Safety?. http://www.behavioural-safety.com.

___________.1999. The Psychology of Behavioral Safety. www.behavioural-safety.com.

___________. 1994. Implementing The Behaviour-Based Approach: A Practical Guide. The Health And Safety Practice.

Copper, et al. 2004. Exploratory Analysis Of The Safety Climate and Safety Behavior Relationship. Journal of Safety Research: 35 (2004) 497-512.

Clarke, S. 2006. Safety climate in an automobile manufacturing plant; The effects of work environment, job communication and safety attitudes on accidents and unsafe behaviour. Diambil 10 Maret 2010, dari http://proquest.umi.com/pqdweb?did=1073417241&sid=2&Fmt=3&client Id=58041&RQT=309&VName=PQD

Dejoy, D. M,. et al. 2004. Assessing Management and Organizational Influence on Safety. Diambil 14 Juli 2009, dari http://proquest.umi.com/pqdweb?did=659572141&sid=3&Fmt=4&clientId=58041&RQ=309&VName=PQD

Miner, JB. 1992. Industrial And Organizational Psychology. Mc. Graw Hill. USA

Page 45: Denny Setiawan C2B209016

45

Morrow, et al. 2009. Relationships Between Psychology Safety Climate Facets and Safety Behavior In Rail Industry: A Dominance Analysis. Accident Analysis & Prevention, doi:10.106/j.aap.2009.08.011

Muchinsky, PM. 1987. Psychology Applied to Work. Chicago: Dorsey Press.

Mulyana, S. 2010. Hubungan Safety Behaviour Dengan Kecelakaan Kerja Dalam Penerapan Zero Accident di PT X.

http://www.fkm.undip.ac.id/data/index.php?action=4&idx=3817

Mukhlisani N, et al. 2008. Pendekatan metode structural equition modeling untuk analisa faktor yang mempengaruhi produktivitas dari tinjauan keselamatan, kesehatan, dan lingkungan kerja di PT Barata Indonesia (Persero) – Gresik. Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi. Program Studi MMT-ITS, Surabaya 2 Agustus 2008.

Neal, et al. 2011. Safety Climate and Safety Behavior. Online Australian Journal of Management. http:aum.sageppub.com/content/27/1_suppl/67.abstract

Umar, Husein. 2004. Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis. Cetakan ke-6. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Suizer, A.B. 1999. Safer Behavior; Fewer Injuries. www.behavior.org

Sadullah O, Kanten S. 2009. A Research On The Effect Of Organization Safety Climate Upon The Safe Behaviors. Ege Academic Review 9 (3) 2009: 923-932

Sulistyarini, W.R. 2006. Pengaruh Program Keselamatan dan Kesehatan Kerja Terhadap Produktivits Kerja Karyawan CV Sahabat di Klaten. Tidak dipublikasikan, Skipsi STAIN Surakarta.

Tunggal, H.S. 2009. Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Harvarindo.

Wicaksono, A.A. 2005. Hubungan Antara Safety Climate Dengan Safety Performance. Skripsi Sarjana. Tidak dipublikasikan, Fakultas Psikologi Universitas Surabaya, Surabaya.

Wills, et al. 2005. Analisys of a Safety Climate Measure for Occuptional Vihicle Drivers and Implications for Safer Workplaces. Australian Journal of Rehabilitation Counselling 11(1):pp.8-21

Zhou, et al. 2007. A Methode to Identify Strategies for the Improvement of Human Safety Behavior by Considering Safety Climate and Personal Experience. Safety Science 46 (2008) 1406-1419