DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK...

100
DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK JAWARA (STUDI TENTANG PERAN JAWARA DALAM PEMENANGAN H. MULYADI JAYABAYA DAN H. AMIR HAMZAH PADA PILKADA KABUPATEN LEBAK TAHUN 2008) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Politik Oleh: Rifqi Zabadi Asshegaf NIM: 106033201193 PROGRAM STUDI ILMU POLITIK FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1434 H/2013 M

Transcript of DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK...

Page 1: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK JAWARA

(STUDI TENTANG PERAN JAWARA DALAM PEMENANGAN H.

MULYADI JAYABAYA DAN H. AMIR HAMZAH

PADA PILKADA KABUPATEN LEBAK TAHUN 2008)

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Ilmu Politik

Oleh:

Rifqi Zabadi Asshegaf

NIM: 106033201193

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1434 H/2013 M

Page 2: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul Demokrasi Otonomi Daerah Dan Perilakupolitik Jawara (Studi

Tentang Peran Jawara Dalam Pemenangan H. Mulyadi Jayabaya dan H. Amir

Hamzah Pada Pilkada kabupaten Lebak Tahun 2008) telah diujikan dalam sidang

munaqosyah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

pada 20 Desember 2013. Skripsi ini telah diterima sebagai syarat memperoleh gelar

Sarjana Sosial (S.Sos.) pada Program Studi Ilmu Politik

Jakarta, 20 Desember 2013

Sidang Munaqosyah

Ketua Merangkap Anggota

Ali Munhanif, Ph.D

NIP: 19651212 199203 1 004

Sekretaris Merangkap Anggota

M. Zaki Mubarak, M.Si

NIP: 19730927 200501 1 008

Anggota

Penguji I

Dr. Nawiruddin, M.A

NIP: 19720105 2001121 003

Penguji II

Ahmad Bakir Ihsan, M.Si

NIP: 197204122003121002

Pembimbing

Dra. Armein Daulay, M.Si

NIP: 130892961

Page 3: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah

satu persyaratan memperoleh gelar Strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau

merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima

sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Ciputat, 20 Desember 2013

Rifqi Zabadi Asshegaf

Page 4: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

i

ABSTRAKSI

RIFQI ZABADI ASSHEGAF

Demokrasi, Otonomi Daerah dan Perilaku Politik Jawara

(Studi Tentang Peran Jawara Dalam Pemenanangan H. Mulyadi Jayabaya

Pada Pilkada Kabupaten Lebak 2008)

Runtuhnya struktur politik kesultanan Banten telah membawa dampak

sosiologis berupa pergeseran dimensi stratifikasi sosial masyarakat Banten.

Jawara yang menempati posisi terendah dalarm sejarah stratifikasi sosial

masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata atas dalam hirarki

sosial masyarakat Banten hingga saat ini. Jawara merupakan kelompok yang khas

yang hanya dikenal di wilayah Banten. Sosok jawara merupakan sosok yang

begitu kental dalam kehidupan masyarakat Banten, bahkan jawara melampaui

ranah kultur hingga merambah kedalam ranah politik yang sangat kentara sampai

sekarang.

Jawara sebagai elit tradisional masyarakat menempatkannya sebagai

partisipan politik daerah yang berperan besar dalam pilkada Kabupaten Lebak

tahun 2008. Hal ini dikarenakan untuk pemilihan bupati dan wakil bupati, jawara

dinilai mempunyai peran yang besar bagi kesuksesan dalam pemenangan

pasangan calon bupati dan wakil bupati. Dalam pilkada Kabupaten Lebak,

keduduklan jawara adalah sebagai tim sukses pendukung pasangan H. Mulyadi

Jayabaya dan H. Amir Hamzah (MULYA) yang berperan dalam mendukung dan

mensukseskan calon pasangan tersebut.

Kedigjayaan jawara sebagai orang yang berpengaruh dalam masyarakat

merupakan sebuah modal jawara dalam mensukseskan pasangan calon. Hal ini

diaktualisasikan oleh jawara dalam memobilisasi massa untuk meraih dukungan

masyarakat terhadap dukungannya. Selain itu, sifat politik jawara yang pragmatis

membuat jawara cenderung mendukung mendukung pasangan calon yang

cenderung dapat memenuhi kepentingannya, dengan kata lain jawara tidak

mengaktualisasikan partisaipasinya dalam perspektif kesejahteraan masyarakat

melainkan hanya kepentingan pribadi atau kelompoknya saja.

Pengaruh jawara yang besar dalam masyarakat merupakan sarana politik

untuk meraih dukungan masyarakat. Dukungan yang diberikan jawara disebabkan

oleh kedekatan hubungan antara jawara dan dukungannya karena sudah terjalin

ketika dukungan jawara menjabat sebagai bupati pada periode 2003-2008. Selain

itu kinerja calon incumbent dianggap sebagai salah satu alasan dukungan jawara

dalam mensukseskan pasangan calon bupati dan wakil bupati H. Mulyadi

jayabaya dan H. Amir Hamzah.

Page 5: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

ii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrohiim.

Lelah dan hampir pasrah adalah sebagian dari godaan yang sering hinggap

dalam perjalanan yang penuh suka maupun duka. Air mata bukan sesekali saja

menetes dengan sendirinya, debu dan angin bergantian saling memeluk, angin

terhenti debu jatu, kembali dan kembali berpelukan seperti semangatku, hingga

tiba di penghujung penulisan skripsi ini.

Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadhirat Allah SWT akhirnya

penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, karena dengan rahmat dan hidayah-Nya

penulis telah diberikan waktu untuk menyelesaikan skripsi ini. Sholawat serta

salam penulis haturkan kepada sang pencerah Muhammad SAW, beserta keluarga,

sahabat, dan seluruh umatnya.

Dengan tetap mengharapkan ridho-Nya, alhamdulillah penulis dapat

melengkapi salah satu syarat meraih gelar sarjana di Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dengan

judul : “Demokrasi Otonomi Daerah Dan Perilaku Politik Jawara: Peran

Jawara Dalam Pemenangan H. Mulyadi Jayabaya dan H. Amir Hamzah

Pada Pilkada Kabupaten Lebak Tahun 2008”.

Penulis menyadari karya ini bukan hanya karya penulis pribadi, tetapi

sebagian merupakan buah pemikiran dan pemberian ide dari orang-orang yang

telah banyak membantu dan memberikan dukungan semangat kepada penulis

sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Untuk itu, penulis ingin

menyampaikan banyak rasa terima kasih yang tidak terhingga kepada pihak-pihak

yang banyak membantu, berjasa dan terhormat kepada :

Page 6: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

iii

1. Prof. Bahtiar Effendy., Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Negeri Islam Syarif Hidayatullah Jakarta serta para jajaranya.

2. Selanjutnya, ucapan rasa terimakasih yang dalam ingin penulis

sampaikan secara khusus kepada Drs. Armein Daulay, M.Si selaku

pembimbing skripsi, berkat kesabaran dalam membimbing dengan

berbagai arahannya dan motivasi ditengah-tengah kesibukannya, tetapi

beliau masih menyempatkan waktu kepada penulis dalam menyelesaikan

penelitian skripsi ini.

3. Terima kasih pula kepada ketua prodi Dr. Ali Munhanief. M.A., serta

sekertaris jurusan M. Zaki Mubarok, M.Si. yang telah banyak

memberikian arahan terhadap penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

4. Segenap bapak/ibu Dosen Jurusan Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan

Ilmu Politik, yang telah memberikan berbagai macam pengetahuan

kepada penulis selama masa perkuliahan, penulis patut mengucapkan rasa

terimakasih kepada A. Baqir Ihsan, M.Si., Agus Nugraha, M.Si., Dr.

Sirojuddin Ali., Dr. Nawirudin., Suryani, M.Si., Haniah Hanafie, M.Si.,

Dra Gefarina Djohan, MA., Dr. Syaban., Idris Thaha, M.Si., dll.

5. Ta’zim dan Tawadhu dan ribuan rasa terima kasih yang tak terhingga

kepada kedua orang tua penulis, ayahanda Iton Abd. Musta’in dan ibunda

Nurhayati, yang tiada henti-hentinya mendoakan dan membiayai penulis

selama ini. Kepada teteh Corry Atul Adawiyah dan adik-adik penulis,

Teo Fani Atikah, Wafda Schofach Anzelat, Barah Marela Zidha dan

Zianha Amaret A.M. Ayo terus giat belajar dan jangan berhenti, teruskan

Page 7: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

iv

cita-citamu. Kalian bisa…!, do’a kakak akan selalu seiringan dengan

langkah kalian.

6. Kepada pimpinan dan jajaran Perpustakaan Utama Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, penulis mengucapkan rasa

terimakasih selama penulisan skripsi telah membantu dengan buku-

bukunya untuk menjadikan refrensi dari penulisan skripsi ini.

7. Kepada pimpinan komisioner KPUD Kabupaten Lebak, penulis

mengucapkan rasa terimakasih yang telah bayak membantu dalam

pengumpulan data-data dalam skripsi ini.

8. Kepada para jawara dan cendikia, penulis mengucapkan rasa terimakasih

telah banyak membantu dalam pengumpulan data-data yang menurut

penulis perlu dalam skripsi ini.

9. Kekasihku tercinta Vilanda Amanda yang selalu memotivasi dan

memarahi jika tidak mengerjakan skripsi.

10. Teman-teman seperjuangan, Ilmu Politik 2006, semoga arti sahabat untuk

selamanya. Ahmad Haris Hariri, Bara Ilyasa, S. Sos., Ahmad Rikih, Dede

Syahrudin, Ikhwanudin, dll.

11. Kawan-kawan dari perkumpulan Vespa LESGO dan Iskandar Hidayat,

terimakasih atas bantuan dan motivasi kalian. Aku adalah bagian dari

kalianl.

12. Terakhir kepada semua pihak yang telah membantu penulis, yang tidak

bisa penulis sebutkan satu persatu, semoga Allah SWT membalas semua

perbuatan baik kalian.

Page 8: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

v

Demikianlah untaian ucapan terima kasih kepada orang-orang yang telah

berjasa dalam penyelesaian skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

penulis khususnya dan masyarakat pada umumnya. Amin.

Jakarta, 4 Januari 2014

Page 9: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

vi

DAFTAR ISI

ABSTRAK ………................................................................................................. i

KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... vi

BAB 1 PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ……………………………………… 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ….………...………….. 11

1. Pembatasan Masalah ……………….…..…...…………….. 11

2. Perumusan Masalah ….………….……..…...…………….. 11

C. Tujuan Penelitian ……….………………………...………..... 12

D. Manfaat Penelitian ……….………………………...………... 12

E. Metode Penelitian ……….………………………...……….... 13

F. Sistematika Penulisan ……………………………...………... 14

BAB II KERANGKA TEORETIS

A. Demokrasi ………………..………………………...……….. 17

B. Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) ….……….….....……...... 20

C. Otonomi Daerah …………………..……....……………..….. 22

D. Perilaku Politik ……………………….....……………...…… 25

E. Budaya Politik …………………………………….……….... 31

1. Orientasi Kognitif ………...………………………….....… 33

2. Orientasi Afektif ……………………………………......… 33

3. Orientasi Evaluatif ……..……………………......….......... 34

Page 10: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

vii

a. Budaya Politik Parokial …..…….….……....................... 35

b. Budaya Politik Subyek ….........…………............……... 35

c. Budaya Politik Partisipan ……..……….................…..... 36

F. Partisipasi Politik …......................................…....................... 37

BAB III PROFIL KABUPATEN LEBAK DAN SEJARAH JAWARA

A. Profil Kabupaten Lebak .......................................................... 44

B. Profil Masyarakat Kabupaten Lebak ……………................ 46

D. Sejarah dan Perkembangan Jawara ......................................... 49

1. Pengertian dan Sejarah Kemunculan Jawara ................. 49

2. Jawara Pada Masa Kolonial ............................................. 53

3. Jawara Pada Masa Orde Lama ......................................... 55

4. Jawara Pada Masa Orde Baru .......................................... 56

5. Jawara Pada Masa Reformasi ........................................... 58

BAB IV PERAN POLITIK JAWARA DALAM PILKADA LEBAK

TAHUN 2008

A. Pilkada Lebak Tahun 2008 ..................................................... 61

B. Dukungan Jawara Terhadap Pasangan Calon H. Mulyadi

Jayabaya – H. Amir Hamzah ................................................. 67

C. Peran Jawara sebagai Mobilized Political Partisipation ......... 69

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan .................................................................... 73

Page 11: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

viii

B. Saran-Saran ............................................................................ 74

DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 75

LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................ 79

Page 12: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan negara yang majemuk. Pada tiap wilayah maupun

daerahnya masing-masing memiliki keberagaman etnis-budaya, bahasa, dan

agama. Keberagaman ini biasanya menampilkan sesuatu yang unik dalam

dinamika politik lokal sebagai sebuah representasi dari keberagaman tersebut.

Politik lokal ini biasanya merupakan sebuah bagian dari refleksi dinamika politik

nasional. Namun untuk konteks Indonesia, relasi kekuasaan pada aras lokal

memiliki banyak kekhususan. Artinya, hal ini tidak cukup hanya dipahami dengan

pendekatan formal, karena politik lokal melibatkan jaringan-jaringan informal,

termasuk diantaranya relasi antara penguasa dan sistem sosial dalam masyarakat.

Oleh karena itu, untuk memahami karakteristik politik lokal secara utuh

diperlukan pendekatan dan pemahaman mengenai relasi formal dan informal.

Skripsi ini berusaha menjelaskan peran jawara dalam pilkada di

Kabupaten Lebak pasca pelaksanaan otonomi daerah, peran jawara merupakan

yang diperhitungkan dalam politik lokal. Hal ini dikarenakan jawara dianggap

sebagai pemimpin informal di Banten. Selain itu, penulis ingin melihat

mekanisme hubungan antara demokrasi, otonomi daerah dengan bertahannya elit

tradisional jawara sebagai kekuatan politik yang dominan.

Secara historis peranan jawara telah ada pada masa revolusi fisik melawan

penjajahan. Jawara dikenal karena memiliki kekuatan magis dan kesaktian yang

diperoleh dari kyai sebagai gurunya. Pada masa itu, masyarakat menganggap

Page 13: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

2

pemerintahan kolonial telah merampas hak-hak atas tanah dan lapangan

pekerjaan, yang akibatnya kehidupan masyarakat menjadi sulit. Dalam konteks

ini_kalaupun pada saat tertentu kehadiran jawara dinilai sering kali mengganggu

ketentraman_karena besarnya peran yang dilakukan dalam melawan penjajahan,

membuat masyarakat menghormati bahkan ada yang memuja jawara sebagai

orang keramat.1 Pada masa kolonial, bentuk perlawanan yang dilakukan jawara

terhadap para penjajah merupakan balance of power untuk merebut hak-hak atas

tanah dan pekerjaan rakyat Banten. Namun, kondisinya menjadi berbeda ketika

jawara_karena kepentingan penguasa_mulai bersinergi dengan penguasa.

Konsekuensinya, kalangan jawara menjadi kader organisasi politik sebagai mesin

untuk memobilisasi massa. Sinergisitas antara penguasa dan jawara berlanjut pada

era reformasi dalam konteks pemerintahan lokal. Mulai dari intervensi jawara

dalam Pilkada sampai pada birokrasi pemerintahan.2

Skripsi ini memusatkan kajian pada pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008.

Mengapa elit tradisional seperti jawara masuk dalam struktur politik dan menjadi

kekuatan yang dominan di Kabupaten Lebak? Bagaimana peran jawara dalam

politik lokal/Pilkada?

Sistem demokrasi yang diberlakukan pada era pemerintahan Orde Baru

disebut demokrasi Pancasila,3 yakni sebuah sistem pemerintahan yang ditetapkan

oleh MPRS/XXXII/1968. Model demokrasi yang ditawarkan pada era

1 Sartono Kartodirjo, Pemberontakan Petani Banten 1888, Jakarta, Pustidaka Jaya, 1984

hal. 281 2Lili Romli, Jurnal Domokrasi dan HAM, Demokrasi Lokal dan Pilkada, Jakarta, Habibie

Center, hal. 7 3 Ahmad Syafi‟I Maarif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta: LP3ES, 1985, hal.

121.

Page 14: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

3

pemerintahan Orde Baru tersebut malah memunculkan pemerintahan yang

otoriter, yang membelenggu kebebasan politik warganya. Akibatnya rakyat

berusaha untuk melakukan reformasi dibidang politik yang diperjuangkan oleh

berbagai pihak yang kemudian berhasil menumbangkan rezim Orde Baru pada

tahun 1998.

Setelah rezim Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto tumbang,

Indonesia kembali masuk kedalam pelaksanaan demokrasi seutuhnya pada era

reformasi. Perubahan di berbagai bidang dilakukan sebagai dasar untuk

membangun pemerintahan yang solid dan demokratis. Sebagai salah satu upaya

demokratisasi pada era reformasi ini, maka dirasakan perlunya dilaksanakan

pemilu sebagai salah satu instrumen untuk mendorong proses demokratisasi di

Indonesia. Pelaksanaan pemilu didasarkan pada pemberlakuan Undang-Undang

nomor 33 Tahun 1999 tentang Pemilu dan nomor 2 tahun 1999 tentang Partai

Politik. Kedua Undang-Undang tersebut menjadi dasar dalam pelaksanaan Pemilu

yang bebas dan demokratis di Indonesia.

Henry B. Mayo yang dikutip dari A. Ubaedilah memberikan pengertian

bahwa demokrasi sebagai sistem politik yang menunjukan bahwa kebijakan

umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang diawasi secara

efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang didasarkan atas

prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana terjaminnya

kebebasan politik. Lebih lanjut, Philippe C. Schmitter dan Tery Linn Karl

demokrasi dimaknai sebagai suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah

dimintai tanggung jawab atas tindakan-tindakan mereka di wilayah publik oleh

Page 15: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

4

warganegara, yang bertindak secara langsung melalui kompetisi dan kerjasama

dengan para wakil mereka yang telah terpilih.4

Dari pengertian tersebut dapat diartikan demokrasi sebagai sebuah

keterlibatan masyarakat dalam proses dan putusan politik. Keterlibatan

masyarakat yang secara nyata dapat terlihat dalam sebuah mekanisme untuk

memilih pemimpin politik. Mekanisme dalam konteks memilih pemimpin politik

ini dinamakan Pemilihan Umum (pemilu).

Tidak hanya itu, demokratisasi ini pula diiringi dengan penataan kembali

sendi-sendi pemerintahan baik di pusat maupun di daerah yaitu otonomi daerah.

Otonomi dalam makna sempit dimaknai sebagai „mandiri‟. Sedangkan dalam

makna yang lebih luas adalah suatu daerah yang diberikan kewenangan oleh

pemerintah pusat untuk mengurus daerahnya sendiri dalam pembuatan dan

pengambilan keputusan mengenai kebutuhan daerahnya sendiri.5 Realisasi dari

hal tersebut menyangkut ketentuan mengenai otonomi daerah. Dalam UUD 1945

terdapat dua nilai dasar yang mengenai otonomi daerah, yaitu, nilai unitaris dan

nilai desentralisasi territorial. Nilai unitaris diwujudkan dalam pandangan bahwa

Indonesia tidak akan mempunyai kesatuan pemerintahan lain didalamnya yang

bersifat negara. Kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa dan negara

Republik Indonesia tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan negara.6

4 A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila, Demokrasi,

Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2012, hal.

67-68. 5 A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila, Demokrasi,

Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2012, hal.

179. 6 Made Suwandi, Direktur Konsepsi Dasar Otonomi Daerah Indonesia. Jakarta. 2002.

Diakses pada 19 april 2011, dari situs http://raconquista.files.wordpress.com/2009/04/minggu-ii-

suwandi-konsepsi-otda.pdf

Page 16: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

5

Sementara nilai dasar desentralisasi teritorial tentang batasan wilayah yang

diwujudkan dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah dalam bentuk otonomi

daerah.

Mengenai hal otonomi daerah dan desentralisasi, pada dasarnya

mempersoalkan pembagian kewenangan kepada organ-organ penyelenggara

negara, desentralisasi sebagai proses perpindahan kekuasaan politik, fiskal dan

administratif kepada unit pemerintah sub nasional. Sedangkan otonomi

menyangkut hak yang mengikuti pembagian wewenang tersebut,7 oleh karena itu

perlu adanya pemerintah daerah melalui pemilihan lokal (elected sub-national

Goverment).

Pada masa reformasi ini, MPR periode 1999-2004 berhasil melakukan

empat kali amandemen UUD 1945 pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002 dalam

pasal 18 UUD 1945 mengenai otonomi daerah yang menyebutkan :

Pasa 18 : (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-

daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota,

yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan

daerah, yang diatur dengan undang-undang.

(2) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota mengatur

dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan

tugas pembantuan.

(3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih

melalui pemilihan umum.

7 A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila, Demokrasi,

Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2012, hal.

176.

Page 17: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

6

(4) Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala

Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara

demokratis.

(5) Pemerintah daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali

urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan

Pemerintah Pusat.

(6)Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan

peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas

pembantuan.

(7) Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur

dalam undang-undang.

pasal 18A: (1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan

pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota atau provinsi dan

kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan

kekhususan dan keragaman daerah

(2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya

alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah

daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan

undang-undang.

pasal 18B: (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan

pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang

diatur dengan Undang-undang.

(2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat

hukum adat serta hak- hak tradisonalnya sepanjang masih hidup dan sesuai

dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.8

8 UUD 1945 diakses pada tanggal 16 Oktober 2012 melalui situs http://www.djpp.

depkumham.go.id/database-peraturan/uud-ri-tahun-1945.html

Page 18: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

7

Pasal 18 UUD 1945 tentang otonomi daerah tersebut telah memberi

landasan fundamental kepada Pemerintah Daerah untuk mengatur dan mengurus

sendiri pemerintahannya. Selain itu otonomi daerah mendasari terbentuknya

keanggotaan DPRD dan Kepala Daerah dipilih melalui pilkada (Legislatif,

Bupati/Walikota dan Gubernur) yang tidak lagi berdasarkan pengangkatan atau

penunjukan,9 Hal ini tertuang dalam UUD 1945 pasal 18 ayat 3 dan 4. Dengan

ditetapkannya UUD 1945 pasal 18 ini telah merubah politik lokal yang

mengundang semangat bagi para elit-elit lokal ikut berkompetisi dalam arena

pesta demokrasi.

Reformasi politik yang dihasilkan oleh otonomi daerah telah melahirkan

sistem Pilkada. Sistem Pilkada merupakan salah satu intrumen untuk memenuhi

desentralisasi politik dimana dimungkinkan terjadinya pelimpahan kekuasaan dari

pusat ke daerah. Pilkada sebagaimana pemilu nasional merupakan sarana untuk

memilih dan mengganti pemerintahan secara damai dan teratur. Melalui Pilkada,

rakyat secara langsung akan memilih pemimpinnya di daerah sekaligus

memberikan legitimasi kepada siapa saja yang berhak dan mampu untuk

memerintah. Pilkada dengan kata lain merupakan seperangkat aturan atau metode

bagi warga negara untuk menentukan masa depan pemerintahan yang absah

(legitimate).10

Melalui pilkada diharapkan perwujudan kedaulatan rakyat dapat

ditegakkan.

9 B.N. Marbun S.H., Otonomi Daerah 1945-2010, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2010,

hal. 15 10

Naskah akademik UU Pilkada. hal. 1-2. Diakses pada 20 april 2011, dari situs

http://www.drsp-usaid.org/publications/index.cfm?fuseaction=throwpub&id=214

Page 19: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

8

Semangat dilaksanakannya pilkada langsung adalah koreksi terhadap

sistem demokrasi tidak langsung (perwakilan) di era sebelumnya, dimana kepala

daerah dan wakil kepala daerah dipilih oleh DPRD, menjadi demokrasi yang

berakar langsung pada pilihan rakyat (pemilih). Oleh karena itu, keputusan politik

untuk menyelenggarakan pilkada adalah langkah strategis dalam rangka

memperluas, memperdalam, dan meningkatkan kualitas demokrasi. Hal ini juga

sejalan dengan semangat otonomi yaitu pengakuan terhadap aspirasi dan inisiatif

masyarakat lokal (daerah) untuk menentukan nasibnya sendiri. Jika agenda

desentralisasi dilihat dalam kerangka besar demokratisasi kehidupan berbangsa,

maka pilkada harus memberikan kontribusi yang besar terhadap hal itu.11

Ada enam criteria perwujudan penyelenggaraan pilkada bagi

perkembangan demokrasi di Indonesia, yaitu :

1. Langsung. Rakyat sebagai pemilih memiliki hak untuk memberikan

suaranya secara langsung sesuai dengan kehendak hati nuraninya, tanpa

perantara.

2. Umum. Pemilihan yang bersifat umum mengandung makna menjamin

kesempatan yang berlaku menyeluruh bagi semua warga negara, tanpa

diskriminasiberdasarkan suku, agama, ras, golongan, jenis kelamin,

pekerjaan, dan status sosial.

3. Bebas. Setiap warga negara yang berhak memilih bebas menentukan

pilihan tanpa tekanan dan paksaan dari siapapun. Dalam melaksanakan

11

Naskah akademik UU Pilkada. hal. 2. Diakses pada 20 april 2011, dari situs

http://www.drsp-usaid.org/publications/index.cfm?fuseaction=throwpub&id=214

Page 20: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

9

haknya, setiap warga negara dijamin keamanannya sehingga dapat

memilih sesuai kehendak hati nurani dan kepentingannya.

4. Rahasia. Dalam memberikan suaranya, pemilih dijamin dan pilihannya

tidak akan diketahui oleh pihak mana pun dan dengan jalan apapun.

5. Jujur. Dalam penyelanggaraan pilkada, setiap penyelenggara pilkada,

aparat pemerintah, calon/peserta pilkada, pengawas pilkada, pemantau

pilkada, pemilih serta semua pihak yang terkait harus bersikap dan

bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

6. Adil. Dalam penyelenggaran pilkada, setiap pemilih dan calon/peserta

pilkada mendapat perlakuan yang sama, serta bebas dari kecurangan pihak

mana pun.12

Berdasarkan argumentasi tersebut, pelaksanaan pilkada merupakan sebuah

demokratisasi yang mampu memperkuat otonomi daerah dalam pembangunan

politik, ekonomi, sosial dan budaya. Dengan pilkada ini akan memunculkan

perubahan yang luas, perubahan ini tidak hanya dari atas tetapi juga dari bawah.

Hal ini pula akan menumbuhkan kepercayaan terhadap masyarakat atas

pemerintah daerah yang dipilih langsung oleh masyarakat untuk membangun dan

mensejahterakan masyarakat daerah.

Bertitik tolak dari uraian tentang demokrasi, otonomi daerah, dan Pilkada

tersebut, selanjutnya akan diuraikan peran jawara dalam perpolitikan di

Kabupaten Lebak. Pelaksanaan demokrasi dan otonomi daerah pasca

12

A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila, Demokrasi,

Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2012, hal.

191-192.

Page 21: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

10

pembentukan provinsi Banten telah memberi ruang yang besar bagi para elit lokal

jawara masuk kedalam politik formal secara luas. Dalam pilkada di Kabupaten

Lebak, posisi jawara bukan sebagai kelompok orang yang berebut kekuasaan

melainkan pada posisi pendulang suara terhadap para calon pemegang kekuasaan

menjadi tim sukses. Dalam hal ini jawara mampu memberikan andil besar karena

kedudukan jawara sebagai elit tradisional memiliki kharisma istimewa pada

masyarakat lapisan bawah di Banten.13

Kejawaraan merupakan identitas sekelompok orang di daerah tersebut

(atau Banten secara umum). Meskipun hanya merupakan salah satu unsur dalam

masyarakat, ia menempati kedudukan yang berpengaruh, terutama dalam bidang

sosial, ekonomi, dan politik. Dengan posisi yang dominan layaknya kyai, jawara

bisa mempengaruhi dinamika sosial masyarakat. Bahkan saat ini posisi jawara

bisa lebih menentukan dari pada kyai. Selain itu, jawara juga memiliki karakter

tertentu yang secara umum membedakan dari anggota masyarakat lainnya seperti

berani (wanten), agresif, sompral (tutur kata keras) dan blak-blakan (terbuka).

Apa lagi mereka dibalut dengan keterampilan bela diri (silat) dan diyakini

memiliki kadigjayaan (kesaktian).14

Keberadaan jawara sebagai elit lokal yang berpengaruh kuat dalam

masyarakat Lebak dan Banten pada umumnya mengindikasikan kekuatan politik

jawara. Kekuatan Jawara dapat mempengaruhi putusan-putusan politik apabila

13

Taufik Abdullah, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, LP3S, 2004, hal. xxvi 14

Andi Rahman Alamsyah, Islam, Jawara & Demokrasi. Jakarta, PT Dian Rakyat, 2010,

hal. 65

Page 22: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

11

putusan-putusan yang dibuat menyangkut dengan kepentingan (interest) mereka.15

Maka sebagai kekuatan politik jawara mampu melakukan tawar menawar

(bargaining power), guna mengerahkan sumber-sumber kekuasaan secara

maksimal dan memilih saluran yang tepat dan efektif sebagai wadah untuk

menyalurkan aspirasi kepentingan mereka.

Dalam pilkada Kabupaten Lebak, jawara menempati porsi sebagai tim

sukses dalam upaya komunikasi dan mobilisasi untuk mendulang suara. Dalam

hal ini akan diteliti bagaimana perilaku politik jawara dalam proses politik yang

terjadi di kabupaten Lebak. Karena itu penelitian skripsi ini menekankan

terhadap: sejarah dan perkembengan jawara, perilaku politik elit tradisional

jawara dalam politik lokal pasca reformasi, peran jawara sebagai sarana

komunikasi dan mobilisasi massa dalam Pilkada kabupaten Lebak yang pertama

kali dilaksanakan pada tahun 2008.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Skripsi ini hanya membatasi masalah peran politik jawara dalam

pemenangan H. Mulyadi Jayabaya – H. Amir Hamzah dalam pilkada di

Kabupaten Lebak yang memiliki kekuatan dan peranan sangat penting. Oleh

karena itu, agar pembahasan bisa terfokus oleh judul yang penulis rumuskan dan

tidak melebar, penulis berusaha mengarahkan pembahasannya pada kajian upaya

15

Syarif Hidayat. Shadow State…? Bisnis dan Politik di Banten. Dalam Henk Schulte

Nordholt dan Gerry Van Klinken (ed), Politik Lokal Di Indonesia, Jakarta, Yayasan Obor

Indonesia, 2007, hal. 268

Page 23: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

12

politik jawara dalam pemenangan H. Mulyadi Jayabaya – H. Amir Hamzah pada

pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008.

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, penulis mencoba merumuskan

penelitiannya dan berusaha berkonsentrasi pada masalah perilaku politik jawara

dengan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Latar belakang dukungan jawara terhadap pasangan H. Mulyadi jayabaya

– H. Amir Hamzah dalam pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008?

2. Bagaimana peran jawara dalam pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008?

3. Bagaimana upaya pemenangan jawara terhadap pasangan H. Mulyadi

jayabaya – H. Amir Hamzah

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini mengandung dua tujuan, yaitu tujuan khusus dan

tujuan umum. Tujuan penulisan ini adalah untuk meraih gelar sarjana sosial

(S.sos).

Sedangkan tujuan penelitian adalah:

1. Ingin mengetahui, mekanisme hubungan antara demokrasi, otonomi

daerah dengan bertahannya elit tradisional.

2. Pengaruh jawara dalam masyarakat.

3. Peran politik jawara dalam politik lokal.

4. Pola komunikasi dan mobilisasi jawara terhadap masyarakat.

Page 24: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

13

D. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian ini diharapkan bisa memberikan manfaat akademis dan

juga manfaat praktis. Manfaat akademisnya adalah sebagai salah satu penelitian

yang dipakai guna menjadi sumber pelengkap referensi dan pembanding untuk

studi-studi mengenai perilaku politik jawara dan keterkaitannya dalam politik.

Sedangkan manfaat praktisnya diharapkan menjadi bahan dalam mengenal

jawara sebagai kekuatan politik informal yang mempunyai pengaruh dalam politik

lokal.

E. Metode Penelitian

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian

kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriptif

mengenai objek penelitian yang berupa lisan, tulisan maupun tingksah laku.16

Berdasarkan penelitian kualitatif, maka penulis berupaya menggambarkan jawara

dalam politik, sejarah dan perkembangan jawara, dan peran jawara dalam pilkada.

Sementara untuk pengumpulan data dilakukan dengan sumber data primer

dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari objek yang akan

diteliti (responden), pustaka atau dokumen yang berhubungan dengan fokus

16

Emy Susanti Hendrarso, Penelitian Kualitatif: Sebuah Pengantar, dalam Metode

Penelitian Sosial : Berbagai Alternatif Pendekatan, ed. Bagong Suyanto dan Sutinah (Jakarta:

Kencana, 2006), hal. 166

Page 25: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

14

penelitian, sedangkan data sekunder ialah data yang diperoleh dari lembaga atau

institusi yang terkait dengan objek penelitian.17

Untuk menguraikan pokok permasalahan ini, Penulis menekankan pada

pendekatan deskriptif analitik dengan maksud menggambarkan secara tepat

perilaku politik jawara dalam pilkada Kabupaten lebak. Adapun cara yang

digunakan dalam pengumpulan data adalah pertama, penelitian kepustakan

(Library research), yaitu suatu teknik dengan cara menuliskan data-data yang

berkaitan dengan permasalahan yang sedang diteliti.

Kedua, penelitian lapangan (Field Research), artinya penulis mendatangi

pelaku politik dan mengumpulkan data di lapangan. Kegiatan pengumpulan data

di lapangan dilakukan dengan cara sebagai berikut:

1. Observasi : yaitu untuk mengamati tingkah laku terhadap objek

penelitaian.18

dengan teknik ini penulis akan mengamati bagaimana

perilaku politik jawara dalam memobilisasi dan komunikasi sebagai upaya

mensukseskan H. Mulyadi Jaya Baya sebagai Bupati Kabupaten Lebak.

2. Wawancara : yaitu suatu kegiatan komunikasi verbal dengan tujuan

mendapatkan informasi. Selain itu wawancara juga akan mendapatkan

gambaran yang menyeluruh, juga akan mendapatkan informasi penting

yang kita inginkan.19

Wawancara yang peneliti lakukan adalah wawancara

17

Sudarso, Prosedur Penelitian, dalam Metode Penelitian Sosial : Berbagai Alternatif

Pendekatan, ed. Bagong Suyanto dan Sutinah (Jakarta: Kencana, 2006), hal. 55 18

James A. Black & Dean J. Champion, “Metode Dan Masalah Penelitian Social”.

Bandung, PT Refika Aditama, hal. 287 19

James A. Black & Dean J. Champion, “Metode Dan Masalah Penelitian Social”.

Bandung, PT Refika Aditama, hal. 306

Page 26: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

15

langsung dengan para jawara sebagai objek penelitian dalam penelitian

skripsi ini.

Dalam teknik penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku

“Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) UIN Syarif

Hidayatullah Jakarta" yang diterbikan CeQDA (Center For Qualty Development

and Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1427

H./2007 M.

F. Sistematika Penulisan

Untuk memudahkan pembahasan skripsi ini, penulis menggunakan

beberapa hal tentang sistematika penulisan dan disusun menurut bab per bab.

Kemudian dijelaskan sub per sub setiap tema pembahasan. Dengan demikian

penulis menyusun sistematikanya sebagai berikut: Bab I, merupakan pendahuluan.

dalam bab ini diuraikan tentang latar belakang masalah, pembatasan dan

perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan

sistematika penulisan. Bab II, membahas tinjauan teoretis terhadap demokrasi,

otonomi daerah, budaya politik yang dikaitkan dengan perilaku politik dan

partisipasi politik. Bab III, membahas tentang sejarah Kabupaten Lebak, profil

Kabupaten Lebak dan masyarakatnya dan sejarah dan perkembangan jawara yang

meliputi sub bab : pengertian dan sejarah kemunculan jawara, jawara pada masa

kolonial, Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi.

Sedangkan Bab IV, dalam bab ini penulis berusaha menganalisa peran

jawara dalam pilkada Lebak. Dengan sub bab pilkada Lebak, keterlibatan jawara

dalam pilkada Kabupaten Lebak, dan peran jawara dalam mobilisasi massa.

Page 27: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

16

Ditutup dengan kesimpulan dan saran dalam Bab V. Mengenai sumber-sumber

dan rujukan yang dipakai dan dikumpulkan dalam daftar pustaka.

Page 28: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

17

BAB II

KERANGKA TEORETIS

A. Demokrasi

Demokrasi merupakan sistem politik yang sangat penting pada abad ke 20

pasca perang dunia II hingga sekarang.20

Walaupun demokrasi bukan sistem yang

terbaik, tetapi hingga saat ini belum ada sistem lain yang menggantikannya. Hal

ini dikarenakan konsep selain demokrasi mengalami stagnasi. Selain itu, konsep

demokrasi pula mempunyai hubungan yang erat dengan isu-isu HAM, keadilan,

kebebasan, persamaan dan lain sebagainya yang menjadi perbincangan dan

sandaran sistem mayoritas negara dibelahan dunia. Demokrasi merupakan bentuk

dan mekanisme dalam sistem pemerintahan suatu negara untuk mewujudkan

kedaulatan rakyat atas negara untuk dijalankan oleh pemerintah negara tersebut.

Konsep demokrasi saat ini merupakan hal penting yang dianggap sebagai

indikator perkembangan politik suatu negara.

Demokrasi dalam pengertian yang sederhana dimaknai sebagai sebuah

mekanisme untuk memilih pemimpin politik. Mekanisme itu dalam konteks

tersebut dimaknai sebagai Pemilihan Umum (pemilu). Dari sisi ini Henry B.

Mayo menyatakan bahwa demokrasi sebagai sistem politik yang menunjukan

bahwa kebijakan umum ditentukan atas dasar mayoritas oleh wakil-wakil yang

diawasi secara efektif oleh rakyat dalam pemilihan-pemilihan berkala yang

didasarkan atas prinsip kesamaan politik dan diselenggarakan dalam suasana

20

Miriam Budiardjo. Dasar Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi. Jakarta, Ikrar Mandiri

Abadi, 2008, hal. 103.

Page 29: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

18

terjaminnya kebebasan politik.21

Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas,

demokrasi merupakan pelibatan masyarakat secara substansial terhadap

penyelenggaraan kekuasaan secara menyeluruh.

Menurut Alfan mendefinisikan demokrasi sebagai suatu sistem politik

yang memiliki sistem keseimbangan dalam memelihara konflik dan konsensus.

Sehingga dengan kenyataannya sistem politik ini tidak bisa bergerak dinamis

tanpa adanya konflik dan kompetisi politik.22

Penjelasan ini membuka ruang

untuk munculnya suatu kompetisi, perbedaan, dan konflik antar individu dan antar

kelompok yang bersifat horizontal maupun vertikal namun tidak menghancurkan

sistem yang sudah terlembagakan itu sendiri.

Dengan demikian demokrasi sebagai dasar hidup bermasyarakat dan

bernegara mengandung pengertian bahwa rakyat memiliki peranan penuh dalam

pemerintah untuk menentukan nasibnya. Sehingga negara dengan sistem

demokrasi adalah negara yang terselenggara berdasarkan kehendak dan kemauan

rakyatnya karena kedaulatan berada ditangan rakyat atau government by the

people. Dari uraian pengertian demokrasi tersebut, kekuasaan dan pemerintahan

berada ditangan rakyat, dalam artian dari rakyat (government of the people), oleh

rakyat (government by the people), dan untuk rakyat (government for the

people).23

21

A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila,

Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah,

2012, hal. 67. 22

Anas Urbaningrum, Islamo-Demokrasi: Pemikiran Nurcholis Madjid. Jakarta,

Republika, 2004. hal. 19. 23

Miriam Budiardjo. Dasar Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi. Jakarta, Ikrar Mandiri

Abadi, 2008, hal. 105.

Page 30: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

19

Ketiga hal tentang demokrasi tersebut memiliki pengertian yang luas.

Pemerintahan dari rakyat (government of the people) mengandung pengertian

ialah pemerintah yang mendapat pengakuan dan dukungan dari rakyatnya.

Pengakuan dan dukungan rakyat ini menjadi legitimasi suatu pemerintahan dalam

menjalankan roda pemerintahan sebagai wujud tanggung jawab atas pemerintahan

yang diamanatkan/dipilih rakyat. Kemudian pemerintahan oleh rakyat (goverment

by the people) ialah suatu pemerintahan yang menjalankan pemerintahan atas

nama rakyat bukan oleh dorongan atau kepentingan dirinya sendiri. Selain itu

pemerintah dalam menjalankan fungsinya mendapat pengawasan dari rakyat.

Pengawasan ini bisa dilakukan secara langsung oleh rakyat ataupun oleh wakil

rakyat (DPR) yang memiliki fungsi mengawasi pemerintah. Selanjutnya ialah

pemerintahan untuk rakyat (goverment for the people) yang mengandung

pengertian jalannya pemerintahan harus mendengarkan dan mengakomodasi

kepentingan yang didasarkan atas keinginan rakyat.24

Ketiga hal dalam demokrasi

ini merupakan wujud keutamaan rakyat dalam setiap pelaksanaan kebijakan

pemerintah.

Pasang surut demokrasi di Indoneia pada awal kemerdekaan hingga

pertengahan tahun 1999 telah membawa Indonesia pada demokrasi yang

seutuhnya yang disebut dengan demokrasi era reformasi. Demokratisasi di era

reformasi ini ditandai dengan pelaksanaan pemilu (eksekutif dan legisatif) dan

otonomi-desentralisasi. Pelaksanaan pemilu yang didasarkan pada pemberlakuan

UU nomor 32 Tahun 1999 tentang Pemilu pada tanggal 1 Februari dan nomor 2

24

A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila, Demokrasi,

Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2012, hal.

68.

Page 31: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

20

tahun 1999 tentang Partai Politik.25

Kedua UU tersebut menjadi dasar dalam

pelaksanaan Pemilu yang bebas dan demokratis di Indonesia.

Selanjutnya, seiring dengan era reformasi yang menyentuh sendi-sendi

ketatanegaraan menyangkut pembagian kekuasaan yang membedakan era

reformasi dengan era orde lama, ialah suatu penggantian pemimpin nasional

maupun pemimpin daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilakukan

dengan pemilihan secara langsung oleh rakyat dan bukan oleh DPR. Hal ini sesuai

dengan disahkan melalui Undang Undang nomor 32 tahun 2004 pasal 56 dan 57.

B. Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada)

Pemilihan Kepala Daerah (pilkada) merupakan sebuah terobosan politik

yang signifikan dalam perkembangan politik daerah dan otonomi daerah. Gagasan

Presiden Republik Indonesia ke-3 (tiga) B.J. Habibie,26

sebagai orang yang

pertama mengeluarkan pemikirannya agar bangsa Indonesia perlu melakukan

pemilihan Presiden secara langsung dan kemudian disusul pemilihan Gubernur.

Berangkat dari gagasan tersebut, Mahkamah Konstitusi (MK) membuat

keputusan yang berupa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 pada tanggal 29

September 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa kepala

daerah dan wakil kepala daerah dipilih dalam satu pasangan calon yang dilaksanakan

secara demokratis berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil.

Pasangan calon diajukan oleh partai politik atau gabungan partai politik dan pemilih

kepala daerah dan wakil daerah harus memilih pasangan calon yang diusung oleh partai

25

Miriam Budiardjo. Dasar Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi. Jakarta, Ikrar Mandiri

Abadi, 2008, hal. 134 26

Lili Romli, Jurnal Domokrasi dan HAM, Demokrasi Lokal dan Pilkada, Jakarta,

Habibie Center, hal. 3.

Page 32: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

21

politik atau gabungan partai politik. Dengan adanya keputusan MK tersebut,

membuat daerah-daerah lebih mandiri lagi dalam mengatur berbagai bidang

antara lainnya dibidang ekonomi, politik dan sosial dan budaya.

Undang Undang nomor 32 tersebut telah memberikan dampak terhadap

kualitas demokrasi Indonesia, masyarakat dapat langsung merasakan demokrasi

yang utuh didaerahnya masing-masing. Melalui Pemilihan Umum Kepala Daerah

secara langsung, masyarakat di daerah dapat ikut terlibat langsung dalam

menentukan arah perkembangan dan perubahan di daerahnya.

Pilkada merupakan instrumen politik yang strategis untuk mendapatkan

legitimasi politik dari rakyat dalam kerangka kepemimpinan kepala daerah.

Legitimasi adalah komitmen untuk mewujudkan nilai-nilai dan norma-norma

yang berdimesi hukum, moral, dan sosial. Jelasnya, seorang kepala daerah yang

memiliki legitimasi adalah kepala daerah yang terpilih dengan prosedur dan tata

cara yang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan serta melalui proses

kampanye dan pemilihan yang demokratis dan mendapat dukungan terbanyak dari

suara masyarakat.27

Sistem pemilu yang diciptakan pada era reformasi telah melahirkan

persamaan, keadilan, dan kualitas demokratisasi di Indonesia, perubahan dan

penggantian tata cara (replacement), dan mentransformasi sebuah sistem tidak

hanya melahirkan perubahan dari atas, tetapi juga terdapat perubahan dari bawah.

Meskipun demikian, konsekuensi perubahan dalam pelaksanaan pilkada telah

27

A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila,Demokrasi,

Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2012, hal.

191.

Page 33: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

22

memunculkan sikap primordialisme dan dominasi elit tradisional.28

Hal ini

nampak jelas dalam pelaksanaannya di wilayah Banten, khususnya Kabupaten

Lebak.

C. Otonomi Daerah

Otonomi daerah dan desentralisasi secara praktis dalam penyelenggaraan

pemerintahan tidak dapat dipisahkan. Namun, dapat dibedakan. Karena itu tidak

mungkin membahas masalah otonomi daerah tanpa mempersandingkannya

dengan konsep desentralisasi. Berdasarkan yang dikutip B.N. Marbun, Bagir

Manan menyatakan, „Desentralisasi adalah otonomi, dan desentralisasi tidak sama

dengan otonomi. Otonomi adalah salah satu bentuk desentralisasi. Desentralisasi

bukan asas melainkan proses, dan yang asas adalah otonomi‟.29

Pada periode sebelumnya, konsep demokrasi, otonomi, dan desentralisasi

ini pernah disampaikan oleh Mohamad Hatta sejak tahun 1932. Dalam pandangan

politiknya yang berjudul “Ke Arah Indonesia Merdeka”, bahwa desentralisasi

bukan sentralisasi, yang menjadi cita-cita tolong-menolong dalam asas

kolektivisme yang tumbuh dalam masyarakat Indonesia. Selanjutnya ia

mengatakan bahwa Indonesia yang terbagi atas pulau-pulau dan berbagai

golongan bangsa perlu mengagendakan otonomi agar tiap-tiap golongan kecil dan

besar, mendapat hak untuk menentukan nasibnya sendiri.30

28

Lili Romli, Jurnal Domokrasi dan HAM, Demokrasi Lokal dan Pilkada, Jakarta,

Habibie Center, hal. 3 29

B.N. Marbun, Otonomi Daerah 1945-2010, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, 2010, hal.

184-185. 30

Syamsuddin Haris, Membangun Format Baru Otonomi Daerah, Jakarta, LIPI. 2006,

hal. 6.

Page 34: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

23

Pengertian mendasar mengenai otonomi daerah itu sendiri adalah,

“kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan

masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri”, berdasarkan aspirasi masyarakat

sesuai dengan sikap bangsa Indonesia mengenai diri dan lingkungan yang

beragam dan bernilai strategis. Disini diutamakan bangsa serta kesatuan wilayah

dalam menyelenggarakan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara

untuk mencapai tujuan nasional. Sedangkan pengertian desentralisasi adalah

penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah

otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.31

Dalam

pengertian tersebut daerah otonom adalah daerah yang memiliki kewenangan

untuk mengatur rumah tangganya sendiri dan memiliki tanggung jawab menjaga

nasionalisme.

Otonomi dalam makna sempit dimaknai sebagai “mandiri‟. Sedangkan

dalam makna yang lebih luas adalah suatu daerah yang diberikan kewenangan

oleh pemerintah pusat untuk mengurus daerahnya sendiri dalam pembuatan dan

pengambilan keputusan mengenai kebutuhan daerahnya sendiri.32

Terdapat dua

nilai dasar mengenai otonomi daerah yaitu, nilai unitaris dan nilai desentralisasi

territorial.

Nilai unitaris diwujudkan dalam pandangan bahwa Indonesia tidak akan

mempunyai kesatuan pemerintahan lain didalamnya yang bersifat negara.

Kedaulatan yang melekat pada rakyat, bangsa, dan negara Republik Indonesia

31

Syaukani HR., Kapita Selekta Otonomi Daerah, Jakarta, Nuansa Madani. 2002, hal.13. 32

A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila, Demokrasi,

Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2012, hal.

179.

Page 35: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

24

tidak akan terbagi di antara kesatuan-kesatuan negara.33

Sementara nilai dasar

desentralisasi teritorial tentang batasan wilayah kekuasaan yang diwujudkan

dalam penyelenggaraan pemerintah di daerah dalam bentuk otonomi daerah.

Mengenai hal tersebut, desentralisasi sebagaimana didefinisikan

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) adalah:

“desentralisasi terkait dengan masalah pelimpahan wewenang dari

pemerintah pusat yang berada di ibu kota negara baik melalui cara

dekonsentrasi, misalnya pendelegasian, kepada pejabat di bawahnya

maupun melalui pendelegasian kepada pemerintah atau perwakilan

daerah.”

desentralisasi sebagai proses perpindahan kekuasaan politik, fiskal dan

administratif kepada unit pemerintah sub nasional. Oleh karena itu perlu adanya

pemerintah daerah melalui pemilihan lokal.

Bertitik tolak dari uraian di atas, tujuan dari otonomi daerah merupakan

sebuah simbol kepercayaan dari Pemerintah Pusat terhadap masyarakat di daerah

yang dirumuskan dalam tiga ruang lingkup yaitu politik, ekonomi, sosial dan

budaya.34

Dalam bidang politik, otonomi merupakan rangkaian dari desentralisasi

dan demokrasi untuk menciptakan kepala pemerintahan di daerah secara

33

Made Suwandi, Konsepsi Dasar Otonomi Daerah Indonesia. Jakarta. 2002. Diakses

pada 19 april 2011, dari situs http://raconquista.files.wordpress.com/2009/04/minggu-ii-suwandi-

konsepsi-otda.pdf 34

A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila, Demokrasi,

Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2005, hal.

156-157.

Page 36: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

25

demokratis. Hal ini diharapkan agar pemerintahan yang tercipta sesuai dengan

kebutuhan daerahnya masing-masing.

Pada bidang ekonomi, otonomi daerah telah membuka peluang bagi

pemerintah daerah mengembangkan kebijakan regional dan lokal untuk

mengoptimalkan pendayagunaan potensi ekonomi di daerah. Dengan demikian

otonomi di bidang ekonomi ini akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat

daerah. Selanjutnya adalah dibidang sosial, otonomi ini diharuskan adanya

pengelolaan harmonisasi sosial dan budaya agar nilai-nilai kedaerahan tetap

kondusif dalam merespon perkembangan modernisasi.

Otonomi Daerah ini juga memberikan peluang terbentuknya provinsi

Banten pada tahun 2000 yang di tetapkan dalam Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 23 tahun 2000 tentang pembentukan Provinsi Banten.

D. Perilaku Politik

Secara etimologis perilaku politik berasal dari kata political behavior, kata

tersebut berasal dari suku kata political dan behavior dalam kamus arti kata politik

adalah ilmu yang menyangkut negara, pemerintah, dan kebijakan.35

Sedangkan

arti kata behavior adalah tabiat, kelakuan, dan perilaku seseorang dalam

melakukan hubungan dengan pihak luar.36

Dalam kamus Bahasa Indonesia, perilaku adalah tanggapan atau reaksi

individu yang terwujud dalam gerakan atau sikap yang tidak hanya berupa gerak

35

Kamus Ilmiah Populer, Referensi Ilmiah, Ideologi, Politik, Hukum, Ekonomi, Sosial,

Budaya & Sains, Gitamedia Press. 1998, hal. 378. 36

Kamus Ilmiah Populer, Referensi Ilmiah, Ideologi, Politik, Hukum, Ekonomi, Sosial,

Budaya & Sains, Gitamedia Press. 1998, hal. 61.

Page 37: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

26

badan dan ucapan,37

sedangkan politik adalah segala hal dan tindakan_kebijakan,

siasat, dan sebagainya mengenai negara atau negara lain.38

Jadi secara

epitimologis perilaku politik adalah tindakan, gerakan atau sikap seseorang

terhadap pemerintahan atau negara, maupun sebaliknya, yakni tindakan, gerakan

atau sikap pemerintahan atau negara terhadap individu.

Secara etimologi, perilaku politik adalah kegiatan antara pemerintah

dengan masyarakat ataupun sebaliknya yang memiliki unsur pembuatan,

pelaksanaan dan penegakan keputusan politik. Pengertian secara terminologis ini

sesuai dengan pengertian yang dikemukakan oleh Ramlan Surbakti, yang

mengatakan bahwa interaksi antara pemerintah dan masyarakat, diantara lembaga-

lembaga pemerintah, dan diantara kelompok individu dalam masyarakat dalam

rangka proses pembuatan, pelaksanaan dan penegakan keputusan politik pada

dasarnya merupakan perilaku politik.39

Perilaku politik merupakan pendekatan dalam ilmu politik yang

dikembangkan kaum behavioralis dengan melihat dan menekankan pada aspek

individual sebagai insan politik daripada melihat system-sistem ataupun lembaga

politik, pendekatan ini digunakan untuk menggunakan pendekatan perilakun-

perilaku individual dengan melihat pada hubungan antara pengetahuan politik dan

tindakannya, termasuk didalamnya adalah proses pembentukan pendapat politik

37

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta. Balai Pustaka, 1988, cet. I, hal. 671 38

Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta. Balai Pustaka, 1988, cet. I, hal. 694 39

Ramlan Surbakti, Memahami Ilmu Politik. Jakarta PT Grasindo 1999 cet I, hal 15

Page 38: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

27

dan memperoleh kecakapan politik serta menyadari peristiwa-peristiwa politik

yang berlagsung.40

Secara historis, perilaku politik merupakan gerakan protes kaum

behavioralis terhadap aliran tradisional dalam ilmu politik, dan secara garis besar

protes mereka adalah, Pertama, kelompok tradisional telah mengembangkan ilmu

politik yang tidak memiliki sifat-sifat sebagai penghasil pengetahuan politik yang

reliable, dan Kedua, banyak pengetahuan politik yang reliabel dapat diterima

dengan menggunakan pendekatan-pendekatan dan metode-metode alternatif,

namun demikian kaum behavioralis tidak sepenuhnya membuang pendekatan

yang digunakan oleh kaum tradisionalis, seperti sistem politik dan lembaga-

lembaga yang ada dalam system politik tersebut.41

Sementara itu, Trubus

Rahardiansah mengenai perilaku, baik individu maupun kelompok pada dasarnya

semua adalah aksi dan reaksi, dan dalam hal ini ada dua cara pandang mengenai

signifikansi tingkatan perilaku.

Pertama, individualism, yakni pandangan bahwa kelompok tidak lain

hanya terdiri atas anggota-anggota kelompoknya, misalnya perilaku lembaga

peradilan merupakan perilaku sejumlah individu yang kebetulan menjadi anggota

lembaga tersebut. Tidak ada sifat-sifat kelompok yang diturunkan dari sifat-sifat

individu, dan begitupun sebaliknya, tidak ada sifat-sifat individu yang diturunkan

dari sifat-sifat kelompok, dan cara pandang ini digunakan oleh kaum behavioralis.

40

David E. Apter, Pengantar Analisa Politik, Penj. Setiawan Abadi, Jakarta. LP3ES,

1987, cet. II, hal. 209. 41

Trubus Rahardiansah, Pengantar Ilmu Politik: Konsep Dasar, Paradigma, dan

Pendekatannya. Jakarta Universitas Trisakti, 2006, cet, I, hal. 39-40.

Page 39: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

28

Kedua, cholism, yakni pandangan tentang timbulnya sifat kelompok yang

diturunkan, dalam hal ini diakui kelompok pada dasarnya merupakan serangkaian

bagian-bagiannya, dan cara pandang ini digunakan oleh kaum tradisional.42

Perilaku politik dirancang sebagai suatu pendekatan ilmu politik yang

menekankan pada perilaku individual sebagai objek utama analisis, dan lebih

memusatkan perhatian pada perilaku kelompok, tetapi dengan asumsi bahwa

kelompok tersebut adalah interaksi kolektif yang terjadi antar individu. Dan yang

termasuk dalam kategori perilaku politik adalah respon-respon internal seperti

fikiran, persepsi, sikap, keyakinan, dan juga respon-respon eksternal seperti

pemungutan suara, gerakan protes, lobbying, kaukus, dan kampanye.43

Menurut Miriam Budiardjo, salah satu pemikiran pokok dari pendekatan

perilaku adalah tidak memberikan apresiasi terhadap pembahasan lembaga-

lembaga formal, karena pembahasan seperti itu tidak banyak memberikan

informasi mengenai proses politik yang sebenarnya. Sebaliknya, pendekatan ini

lebih berkonsentrasi untuk mempelajari perilaku individu yang ada dalam

lembaga tersebut karena dengan melihat perilaku individu merupakan sebuah

gejala yang benar-benar dapat diamati. Pendekatan ini menganggap bahwa

lembaga-lembaga formal bukan sebagai titik sentral atau sebagai aktor yang

independen, tetapi hanya merupakan akumulasi dari kegiatan manusia. Misalnya,

jika pendekatan ini digunakan untuk mengamati parlemen, seperti pola pemberian

suara (voting behavior) terhadap sebuah rancangan undang-undang tertentu,

42

Trubus Rahardiansah, Pengantar Ilmu Politik: Konsep Dasar, Paradigma, dan

Pendekatannya. Jakarta Universitas Trisakti, 2006, cet, I, hal. 39-40. 43

Jack C. Plano, dkk, Kamus Analisis Politik, Penj. Drs. Edi S. Siregar, Jakarta, CV

Rajawali, cet. I, hal. 161

Page 40: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

29

pidato-pidatonya, cara berinteraksi dengan kerabatnya , kegiatan lobbying dan

latar belakang sosialnya.44

Dalam hubungannya dengan perilaku politik jawara, hal ini merupakan

perilaku politik individualisme. Karena lembaga-lembaga yang dinaungi para

jawara sendiri tidak bisa menggambarkan perilaku politik kejawaraanya secara

komprehensif. jawara secara secara kebetulan menjadi anggota lembaga tersebut,

tidak ada kepentingan yang mewakikli seluruh kepentingan mereka yang berbeda-

beda. Masing-masing berjalan dengan mempunyai kepentingannya sendiri.

Dalam melakukan perilaku politik, seseorang atau kelompok tidak bisa

dilepaskan dari konteks maupun variable-variabel lain yang ada di sekitarnya,

karena konteks dan variable-variabel tersebut mempunyai peran dan fungsi yang

saling berkaitan satu sama lain. Masing masing individu lembaga dan lain

sebagainya mempunyai peran dan fungsi yang berbeda serta saling memiliki

keterkaitan satu sama lain dan tetap dalam sebuah sirkulasi kehidupan. Dengan

demikian faktor eksternal sedikit banyaknya berperan serta dalam mempengaruhi

seseorang melakukan perilaku politiknya, dan mengenai faktor-faktor yang

mempengaruhi perilaku politik tersebut, dibagi menjadi empat faktor sosial

politik, yaitu:

Pertama, lingkungan politik sosial tidak langsung, yang termasuk dalam

kategori ini adalah sistem politik, sistem ekonomi, sistem budaya, dan media

massa. Lingkungan tidak langsung ini dapat mempengaruhi aktor politik dan

turunannya.

44

Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi, Jakarta, PT. Gramedia

Pustaka Utama, 2008, cet. I, hal. 74-75

Page 41: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

30

Kedua, lingkungan sosial langsung, berupa keluarga, agama, sekolah, dan

lembaga-lembaga lain yang menjadi media dalam pergaulan. Dari segi lingkungan

langsung sosial politik ini seseorang mengalami sosialisasi, transformasi, dan

internalisasi nilai, termasuk didalamnya adalah nilai-nilai kehidupan bernegara

dan pengaaman-pengalaman hidup pada umumnya.

Ketiga, struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu. Untuk

memahami struktur kepribadian ini, terdapat basis fungsional sikap, yaitu

kepentingan, penyesuaian, dan eksternalisasi dan pertahanan diri. Struktur

kepribadian dalam konteks kepentingan melihat bahwa penilaian seseorang

terhadapsebuah objek ditentukan oleh minat dan kebutuhan terhadap objek

tersebut. Adapun struktur kepribadian dalam konteks penyesuaian diri, melihat

bahwa penilaian seseorang terhadap suatu objek dipengaruhi oleh sebuah

keinginan untuk sesuai atau selaras dengan objek tersebut, dan mengenai

kepribadian eksternal dan pertahanan diri melihat bahwa penilaian seseorang

terhadap suatu objek dipengaruhi oleh keinginan untuk mengatasi atau paing tidak

meminimalisir konflik batin atau tekanan psikis yang terjadi didalam dirinya.

Keempat, situasi lingkungan social politik. yaitu, keadaan yang

mempengaruhi seseorang dengan langsung ketika seseorang tersebut hendak

melakukan sebuah kegiatan. Seperti cuaca, keadaan keluarga, keadaan ruang,

kehadiran orang lain, suasana kelompok, dan lain sebaginya. 45

Faktor-faktor tersebut akan mempengaruhi perilaku politik. Perbedaan

faktor pada seseorang, tentunya akan membedakan perilaku politik itu pula.

45

Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik, Jakarta PT Grasindo 1999 cet I, hal 15

Page 42: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

31

Begitupun dengan perubahan faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku politik

tersebut, dengan berubahnya faktor-faktor tersebut, maka akan terjadi pula

perubahan pada perilaku politik seseorang.

E. Budaya Politik

Budaya politik merupakan pendekatan yang cukup akhir didalam ilmu

politik. Pendekatan ini lahir setelah tuntasnya penelitian yang dilakukan oleh dua

peneliti Amerika Serikat yaitu Gabriel A. Almond dan Sydney Verba.46

Budaya

politik memiliki kecenderungan perilaku individu terhadap sistem politik yang

berlaku didalam lingkungannya. Dalam pendekatan budaya politik, individu

merupakan subyek kajian yang utama dan bersifat empiris, dalam arti pendapat

orang per oranglah yang membangun kesimpulan penelitian. Ini berbeda dengan

pendekatan filsafat politik, misalnya, yang lebih bersifat abstrak oleh sebab

pendapat dibangun oleh seseorang tanpa terlebih dahulu melihat fakta lapangan,

atau paling tidak, melalui serangkaian penelitian yang melibatkan orang banyak.47

Hubungan antara budaya politik dan demokratisasi erat kaitannya dengan

dalam perkembangan demokrasi. Demokratisasi tidak berjalan baik apabila tidak

ditunjang oleh terbangunnya budaya politik yang sesuai dengan prinsip-prinsip

demokrasi. Budaya politik yang matang termanifestasi melalui orientasi,

pandangan, dan sikap individu terhadap sistem politiknya. Budaya politik yang

demokratis akan mendukung terciptanya sistem keyakinan, sikap, norma, persepsi

46

Hasil penelitian tersebut dituangkan dalam buku mereka Budaya Politik, yang

merupakan hasil kajian antara tahun 1969 sampai dengan 1970 atas 5000 responden yang tersebar

di 5 negara: Amerika Serikat, Inggris, Italia, Meksiko, dan Jerman Barat. 47

Saddam Rafsanjani, Budaya Politik, Sosialisasi politik, & Partisipasi Politik. Diakses

pada 29 Desember 2012, dari situs ttp://muslimpoliticians.blogspot.com/2011/01/budaya-politik-

sosialisasi-politik_03.html

Page 43: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

32

dan sejenisnya yang menopang terwujudnya budaya politik yang partisipatif, yang

diistilahkan oleh Almond dan Verba sebagai civic culture. Karena itu, hubungan

antara budaya politik dan demokrasi da tidak dapat dipisahkan.

Adanya fenomena demokrasi atau tidak dalam budaya politik yang

berkembang di suatu masyarakat tidak hanya dapat dilihat dari interaksi individu

dengan sistem politiknya, tetapi juga interaksi individu dalam konteks kelompok

atau golongan dengan kelompok dan golongan sosial lainnya. Dengan kata lain,

budaya politik dapat dilihat manifestasinya dalam hubungan antara masyarakat

dan struktur politiknya, dan dalam hubungan antar kelompok dan golongan dalam

masyarakat itu. Dalam konteks Indonesia, kiranya jelas bahwa yang dihadapi

tidak hanya kemajemukan etnik dan daerah, tetapi pada saat yang bersamaan

adalah“sub-budaya etnik dan daerah” yang majemuk pula. Keanekaragaman

tersebut akan membawa pengaruh terhadap budaya politik bangsa. Dalam

interaksi di antara sub-sub budaya politik, kemungkinan terjadinya jarak tidak

hanya antarbudaya politik daerah dan etnik, tetapi juga antarbudaya politik tingkat

nasional dan daerah. Apabila pada tingkat nasional yang tampak lebih menonjol

adalah pandangan dan sikap di antara sub-subbudaya politik yang berinteraksi,

pada tingkat daerah yang masih berkembang adalah “„sub-budaya politik” yang

lebih kuat dalam arti primordial.48

Budaya politik adalah cara individu berpikir, merasa, dan bertindak

terhadap sistem politik serta bagian-bagian yang ada di dalamnya, termasuk sikap

48

Pengaruh Budaya Politik Terhadap Perkembangan Demokrasi Di Indonesia. Diakses

pada 29 Desember 2012, dari situs http://vivinzeey.blogspot.com/2011/05/pengaruh-budaya-

politik-terhadap.html

Page 44: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

33

atas peranan mereka sendiri di dalam sistem politik. Orientasi/kecenderungan

individu terhadap sistem politik terbagi 3, yaitu : 49

1. Orientasi Kognitif

Pengetahuan atas mekanisme input dan output sistem politik, termasuk

pengetahuan atas hak dan kewajiban selaku warganegara.

Orientasi kognitif adalah pengetahuan. Bagaimana individu mengetahui

hak dan kewajiban warga negara di dalam konstitusi, bagaimana individu

mengetahui tata cara pemilihan umum, bagaimana individu mengetahui partai

politik dan aktivitas partai tersebut, bagaimana individu mengetahui perilaku

pemimpin-pemimpin mereka lewat pemberitaan massa, merupakan contoh dari

orientasi kognitif ini. Pengetahuan-pengetahuan ini bersifat tidak tetap.

Pengetahuan bertambah atau tetap seiring dengan pengaruh-pengaruh dari

lingkungan sekeliling individu.

2. Orientasi Afektif

Perasaan individu terhadap sistem politik, termasuk peran para aktor

(politisi) dan lembaga-lembaga politik (partai politik, eksekutif, legislatif, dan

yudikatif).

Orientasi afektif berbeda dengan orientasi kognitif, oleh sebab orientasi

afektif ini bergerak di dalam konteks perasaan. Perasaan-perasaan seperti

diperhatikan, diuntungkan, merasa adil, sejahtera, suka atau tidak suka, ataupun

sejenisnya, kerap lebih menentukan ketimbang faktor pengetahuan. Oleh sebab

49

Pengaruh Budaya Politik Terhadap Perkembangan Demokrasi Di Indonesia. Diakses

pada 29 Desember 2012, dari situs http://vivinzeey.blogspot.com/2011/05/pengaruh-budaya-

politik-terhadap.html

Page 45: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

34

itu, banyak pemimpin negara yang mengeluarkan kebijakan-kebijakan populis

(sifatnya populer) untuk mendongkrak aspek afektif warga negara. Di Indonesia,

kebijakan-kebijakan seperti Bantuan Langsung Tunai, Askeskin, Pembagian

Kompor Gas, dan sejenisnya bertujuan demi mengubah orientasi afektif warga

negaranya. Tujuan akhirnya adalah, agar masyarakat merasa diperhatikan oleh

pimpinan politik, dan mereka akan memilih para pemberi bantuan di kemudian

hari.

3. Orientasi Evaluatif

Keputusan dan pendapat individu tentang obyek-obyek politik yang secara

tipikal melibatkan standar nilai, kriteria informasi dan perasaan, misalnya tampak

saat pemilu.

Orientasi Evaluatif merupakan campuran antara orientasi kognitif dan

afektif di dalam bentuk keputusan/tindakan. Misalnya, setelah mengetahui bahwa

partai A atau B memang benar menyuarakan apa yang mereka inginkan, individu

memilih mereka di dalam suatu pemilu. Atau, sekelompok individu menggelar

unjuk rasa untuk mendukung seorang calon yang tengah „diserang‟ oleh lawan

politiknya, semata-mata karena mereka merasa kenal dan sedikit tahu akan jatidiri

si politisi termaksud. Orientasi Evalutif muncul akibat adanya pengaruh dari

orientasi kognitif dan afektif.

Selanjutnya Saddam Rafsanjani yang mengutip Almond dan Verba

membagi 3 tipe budaya politik,50

yaitu:

50

Saddam Rafsanjani, Budaya Politik, Sosialisasi politik, & Partisipasi Politik. Diakses

pada 29 Desember 2012, dari situs ttp://muslimpoliticians.blogspot.com/2011/01/budaya-politik-

sosialisasi-politik_03.html

Page 46: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

35

a. Budaya Politik Parokial

Budaya politik parokial, merupakan tipe budaya politik di mana ikatan

seorang individu terhadap sebuah sistem politik tidaklah begitu kuat, baik secara

kognitif maupun afektif. Di dalam tipe budaya politik ini, tidak ada peran politik

yang bersifat khusus. Individu tidak mengharapkan perubahan apapun dari sistem

politik. Ini diakibatkan oleh sebab individu tidak merasa bahwa mereka adalah

bagian dari sebuah bangsa secara keseluruhan. Individu hanya merasa bahwa

mereka terikat dengan kekuasaan yang dekat dengan mereka, misalnya suku

mereka, agama mereka, ataupun daerah mereka.

Budaya politik parokial kentara misalnya, di dalam budaya masyarakat

yang masih nomaden. Misalnya ini terjadi di kafilah-kafilah badui jazirah Arabia,

suku-suku pedalaman Indonesia seperti Kubu, Dani, Asmat, Anak Dalam, dan

sejenisnya. Contoh tersebut dalam pengertian fisik. Namun, dapat pula kita

kembangkan parokialisme dalam pengertian lebih luas. Misalnya, dapat kita sebut

bahwa sebagian warga Aceh yang hendak memisahkan diri dari Republik

Indonesia sebagai menganut budaya politik parokial, oleh sebab mereka tidak

mengidentifikasi diri sebagai warga negara Republik Indonesia.

b. Budaya Politik Subyek

Budaya politik subyek adalah budaya politik yang tingkatannya lebih

tinggi dari parokial oleh sebab individu merasa bahwa mereka adalah bagian dari

warga suatu negara. Individu yang berbudaya politik subyek juga memberi

perhatian yang cukup atas politik akan tetapi sifatnya pasif. Mereka kerap

mengikuti berita-berita politik tetapi tidak bangga atasnya, dalam arti, secara

Page 47: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

36

emosional mereka tidak merasa terlibat dengan negara mereka. Saat mereka

tengah membicarakan masalah politik, cenderung ada perasaan tidak nyaman oleh

sebab mereka tidak mempercayai orang lain begitu saja. Di ujung yang lain, saat

berhadapan dengan institusi negara mereka merasa lemah dan tidak bisa berbuat

apa-apa.

Budaya politik subyek banyak berlangsung di negara-negara yang kuat

(strong government) tetapi bercorak otoritaritarian atau totalitarian. Misalnya,

budaya ini banyak terjadi di Indonesia di saat pemerintah Presiden Suharto (masa

Orde Baru). Di masa tersebut, orang jarang ada yang berani membincangkan

masalah politik secara bebas, terlebih lagi mengkritik presiden ataupun

keluarganya.

c. Budaya Politik Partisipan

Budaya politik partisipan adalah budaya politik yang lebih tinggi

tingkatannya ketimbang subyek. Dalam budaya politik partisipan, individu

mengerti bahwa mereka adalah warga negara yang punya sejumlah hak maupun

kewajiban. Hak misalnya untuk menyatakan pendapat, memperoleh pekerjaan,

penghasilan, pendidikan, dan di sisi lain kewajiban untuk, misalnya, membayar

pajak.

Dalam budaya politik partisipan, sering dan merasa bebas mendiskusikan

masalah politik. Mereka merasa bahwa, hingga tingkatan tertentu, dapat

mempengaruhi jalannkan perpolitikan negara. Mereka pun merasa bebas dan

mampu mendirikan organisasi politik baik untuk memprotes ataupun mendukung

pemerintah. Jika tidak mendirikan organisasi politik, mereka pun banyak

Page 48: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

37

bergabung ke dalam organisasi sukarela baik bersifat politik maupun tidak. Saat

mengikuti pemilu mereka cukup berbangga hati.

Budaya politik partisipan utamanya banyak terjadi di negara-negara

dengan tingkat kemakmuran dan keadilan yang cukup tinggi. Jarang budaya

politik partisipan terdapat di negara-negara yang masih bercorak otoritarian,

totaliter, ataupun terbelakang secara ekonomi. Atau, jika tidak makmur secara

ekonomi, maka budaya politik partisipan muncul dalam sistem politik yang

terbuka seperti Demokrasi Liberal.

F. Partisipasi Politik

Partisipasi politik merupakan ciri khas dari modernisasi politik. Dalam

negara demokratis pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik ialah

bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat, yang dilakukan berdasarkan kegiatan

bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat dan untuk

menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk pimpinan. Jadi, partisipasi

politik merupakan pengejawantahan dari penyelenggara kekuasaan politik yang

absah oleh rakyat.

Demokratisasi yang mapan secara umum dianggap karena tingginya

partisipasi politik dari masyarakat. Tingginya tingkat partisipasi ini menunjukan

bahwa warga negara mengikuti dan memahami masalah politik serta ingin

melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan pengambilan kebijakan. Anggota

masyarakat yang berpartisipasi dalam proses politik, misalnya pemberian suara

dalam pemilihan umum atau kegiatan lain, merupakan dorongan kesadaran oleh

keyakinan bahwa melalui kegiatan bersama itu kepentingan mereka itu akan

Page 49: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

38

tersalurkan atau sekurang-kurangnya akan diperhatikan, dan sedikit banyak

masyarakat dapat mempengaruhi tindakan dari mereka yang berwenang untuk

membuat keputusan yang mengikat. Dengan kata lain, mereka percaya bahwa

kegiatan mereka mempunyai efek, dan ini dinamakan political efficacy.51

Adapun fungsi partisipasi politik itu sendiri menurut Lane yang dikutip

Rush dan Althoff, terdapat empat fungsi. Yaitu:52

1. Sebagai sarana mengejar kebutuhan ekonomis.

2. Sebagai sarana untuk memuaskan suatu kebutuhan penyesuaian sosial.

3. Sebagai sarana untuk mengejar nilai-nilai khusus.

4. Sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan dan psikologis tertentu.

Secara umum definisi partisipasi meiliki perbedaan dalam

mengartikannya. Yakni sebagai berikut :

1. Herbert Mc. Closky yang dikutip oleh Miriam Budiardjo (1998),

mendefinisikan partisipasi politik adalah kegiatan-kegiatan sukarela dari

warga masyarakat melalui mana mereka mengambil bagian dalam proses

pemilihan penguasa, dan secara langsung atau tidak langsung dalam proses

pembentukan kebijakan umum.53

2. Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson mendefinisikan partisipasi

politik adalah kegiatan seorang warganegara atau kelompok yang

51

Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai, Jakarta,

Yayasan Obor Indonesia. 1998, hal. 3. 52

Michael Rush dan Philip Althoff. Pengantar Sosiologi Poiltik, Jakarta, PT Raja

Grafindo Persada. 2000, hal. 181 53

Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai, Jakarta,

Yayasan Obor Indonesia. 1998, hal. 2.

Page 50: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

39

bertujuan dalam mempengaruhi pengambilan keputusan oleh pemerintah.

Tindakan-tindakan partisipasi politik yang negatif juga pada dasarnya

dapat dikatakan sebagai tindakan partisipasi politik 54

3. Pendapat lain diajukan oleh Norman H. Nie dan Sidney Verba dimana Nie

dan Verba yang juga dikutip oleh Miriam Budiardjo (1998), menjelaskan

partisipasi politik sebagai kegiatan pribadi warga negara yang legal yang

sedikit banyak langsung bertujuan untuk mempengaruhi seleksi pejabat-

pejabat negara dan atau tindakan-tindakan yang diambil mereka.55

Uraian diatas mengenai partisipasi politik dilihat dengan perilaku

seseorang yang melakukan patisipasi politik atau tidak dan dari motivasi atau

keberadaan daya pendorong dan faktor-faktor pengaruh bagi seseorang tersebut.

Artinya partisipasi politik masyarakat dapat terpengaruh oleh kondisi dan

lingkungan masyarakat itu sendiri.

Masing-masing masyarakat memiliki perbedaan partisipasi politik, yang

disertai dengan kadar politik yang juga bervariasi. Dalam hal ini, Milbrath yang

mengemukakan 4 (empat) faktor yang mendorong orang berpartisipasi politik,

yang dikutip oleh Toto Pribadi sebagai berikut:56

(1). Adanya perangsang, (2).

Faktor karakteristik pribadi seseorang yang berwatak sosial dan punya kepedulian

besar terhadap problem masyarakat biasanya mau terlibat dalam aktivitas politik,

(3). Faktor karakter sosial seseorang yang menyangkut status sosial ekonomi yang

54

Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, Partisipasi Politik: Tak Ada Pilihan

Mudah, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. 1998, hal. 3. 55

Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai, Jakarta,

Yayasan Obor Indonesia. 1998, hal. 2. 56

Toto Pribadi, dkk. Sistem Politik Indonesia, Jakarta, Universitas Terbuka. 2006, hal.

34.

Page 51: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

40

akan ikut mempengaruhi persepsi, sikap dan perilaku seseorang dalam politik, (4).

Faktor situsai dan lingkungan politik yang kondusif membuat orang dengan

senang hati berpartisipasi dalam kehidupan politik.

Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam

proses politik menurut Myron Weiner yang dikutip Arifin Rahman

mengungkapkan ada lima faktor penyebab timbulnya partisipasi yaang luas:57

1. Modernisasi; komersialisasi pertanian, industrialisasi, urbanisasi,

intelektualitas, pendidikan, dan pengembangan media komunikasi.

2. Perubahan-perubahan struktur kelas sosial.

3. Pengaruh kaum intelektual dan komunikasi massa modern.

4. Konflik antara kelompok-kelompok pemimpin politik; kompetisi

perebutan kekuasaan dalam mempresentasikan partisipasi masyarakat.

5. Keterlibatan pemerintah yang meluas dalam urusan sosial, ekonomi, dan

kebudayaan.

Apabila dilihat dari bentuknya, Partisipasi politik memiliki dua ketegori

bentuk. Pertama, ada yang sifatnya mandiri/otonom. Yaitu individu dalam

melakukan kegiatannya atas dasar inisiatif dan keinginan sendiri-sendiri, atau

individu yang sudah cerdas dalam politik yang merasa memiliki tanggung jawab

politik sebagai warga Negara. Yang Kedua, disebut dengan Mobilized Political

57

Arif Rahman. Sistem Politik Indonesia. Surabaya, SIC. 2002. hal. 130

Page 52: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

41

Participation. Yaitu, partisipasi yang dilakukan karena diminta atau digerakan

oleh orang lain dan bahkan dipaksa oleh kelompoknya.58

Menurut Samuel P. Huntington, partisipasi politik dapat dikategorikan

kedalam bentuk-bentuk sebagai berikut :59

1. Electoral actifity, adalah kegiatan yang secara langsung ataupun tidak

langsung berkaitan dengan pemilu termasuk dalam kegiatan ini adalah ikut

serta memberikan dana sebuah kampanye partai politik, memberikan

suara, dan mengawasi perhitungan pemilihan suara.

2. Lobbying, tindakan seseorang atau kelompok menemui seseorang dengan

masksud mempengaruhi seseorang untuk turut serta dalam masalah

tertentu.

3. Organizational Actifity, keterlibatan warga masyarakat kedalam berbagai

organsasi sosial dan politik baik sebagai anggota.

4. Contacting, yaitu partisipasi yang dilakukan oleh warga Negara dengan

langsung mendatangi maupun menghubungi lewat media.

5. Violence, adalah cara yang ditempuh melalui jalan kekerasan untuk

mempengaruhi kebijaakan.

Bentuk-bentuk partisipasi seseorang tampak dalam aktivitas-aktivitas

politiknya dan memiliki perbedaan bentuk dan intensitasnya. Orang yang

melakukan partisipasi secara tidak intensif yaitu kegiatan kegiatan yang tidak

58

Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, Partisipasi Politik: Tak Ada Pilihan

Mudah, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. 1998, hal. 8. 59

Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, Partisipasi Politik: Tak Ada Pilihan

Mudah, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. 1998, hal. 17.

Page 53: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

42

banyak menyita waktu dan biasanya tidak berdasarkan prakarsa sendiri, aeperti

memberikan suara dalam pemilu. Sebaliknya, orang yang secara aktif dan

melibatkan diri secara penuh dalam politik jumlahnya sangat sedikit dan terbatas.

Seperti meencalonkan diri sebagai Presiden, anggota legislatif, dan sebagainya.60

Pernyataan tersebut dideskripsikan Miriam Budiarjo dan Rafael Raga Maran

secara klasifikasi piramida pada lampiran ke-3. Dimana pada puncak kelas teratas

terdapat orang-orang menduduki jabatan politik maupun jabatan birokratis, karena

mereka dianggap mempunyai kepentingan langsung dengan pelaksana kekuasaan

politik formal.61

Partisipasi dalam bentuk partai politik dan kelompok kepentingan dapat

bersifat aktif maupun pasif. Partisipasi aktif merupakan kegiatan seseorang dalam

aktivitas politik dengan menduduki jabatan-jabatan tertentu dalam suatu

organisasi politik, memberikan dukungan keuangan, atau membayar iuran anggota

dan aktif menjaga melaksanakan Anggaran Dasar Partai.62

Mochtar Mas‟oed mengutip Collin Andrews membagi partisipasi menjadi

dua bentuk yang Konvensional dan Non-Konvensional.63

kegiatan konvensional

adalah bentuk partisipasi politik yang normal dalam demokrasi modern, yang

dapat berupa : pemberian suara (Voting), diskusi politik, kegiatan kampanye,

membentuk dan bergabung dengan kelompok kepentingan, dan komunikasi

individual dengan pejabat politik dan administratif. Sedangkan partisipasi non-

60

Miriam Budiarjo. Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama.

2003, hal. 8 61

Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta, Rineka Cipta. 2001, hal.149. 62

Rafael Raga Maran, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta, Rineka Cipta. 2001, hal.149. 63

Mochtar Mas‟oed, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta, Suara Bebas, 2006 hal.

46.

Page 54: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

43

konvensional adalah kegiatan yang dilakukan secara legal maupun illegal dan

revolusioner yang bisa berbentuk : pengajuan petisi, demonstrasi, konfrontasi,

aksi mogok, kekerasan politik dan anarkhisme politik.

Page 55: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

44

BAB III

PROFIL KABUPATEN LEBAK DAN SEJARAH JAWARA

A. Profil Kabupaten Lebak

Dalam sejarahnya, secara umum Kabupaten Lebak merupakan bagian dari

wilayah Kesultanan Banten, sehingga kulturnya tidak dapat dipisahkan dari kultur

Banten secara umum. Seiring dengan pergantian pemegang kekuasaan ditangan

Belanda, hal ini juga berdampak pada pergantian nama Kabupaten dan ibu kota

Kabupaten. Kabupaten Lebak ditangan Belanda telah mengalami 2 kali pergantian

nama. Pertama, Pada tanggal 19 Maret 1813 Kabupaten Lebak disebut dengan

nama Banten Kidul dengan ibu kota Cilangkahan yang kini menjadi salah satu

nama desa di Kecamatan Malingping. Kedua, berdasarkan keputusan Komisaris

Jenderal Staadsblad nomor 81 tahun 1828 nomor 1 berganti menjadi Kabupaten

Lebak yang beribu kota di Warunggunung tapi kemudian ibu kota Kabupaten

Lebak-pun dipindahkan ke Rangkasbitung berdasarkan surat keputusan Gubernur

Jenderal Hindia Belanda nomor 15 tanggal 17 Januari tahun 1849 yang

pelaksanaan secara resminya pada tanggal 31 Maret 1851. Berdasarkan

pertimbangan sejarah ini, tanggal 2 Desember 1828 ditetapkan sebagai hari jadi

Kabupaten Lebak berdasarkan keputusan DPRD nomor 14/172.2/D-

II/SK/X/1986.64

Demikian catatan sejarah mengenai sejarah kabupaten Lebak

yang diunduh berdasarkan situs resmi Pemda Kabupaten Lebak.

64

Situs Resmi Kabupaten Lebak. diakses pada tanggal 6 Oktober 2012. http://www.

lebakkab.go.id/index.php?pilih=hal&id=6

Page 56: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

45

Bertitik tolak dari uraian tentang sejarah Kabupaten Lebak diatas, secara

geografis Kabupaten Lebak memiliki wilayah seluas 3.044,72 ha, yang

merupakan Kabupaten terluas di Provinsi Banten. Secara administratif kabupaten

Lebak berbatasan dengan Kabuapten Serang dan Tangerang di sebelah Utara,

sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Sukabumi. Sebelah Barat

dengan Kabupaten Pandeglang, dan sebelah Selatan dengan samudera Indonesia.

Secara geografis Kabupaten Lebak berada pada 105°25-106-°30 Bujur Timur dan

6°18-7°00 Lintang Selatan. Sedangkan keadaan topografi bervariasi pada

ketinggian 0-1000 meter diatas permukaan laut. Wilayah yang berada pada

ketinggian 0-200 meter diatas permukaan laut terdapat di sepanjang Pantai

Selatan. Wilayah dengan ketinggian 201-500 meter dpl berada di Lebak Tengah,

sedangkan wilayah yang berada pada ketinggian 501-1000 meter diatas

permukaan laut berada di Lebak Timur.65

Kabupaten Lebak terbagi menjadi 28

(dua puluh delapan) Kecamatan dan dengan kependudukan sekitar 1.204.095

jiwa.66

No Kecamatan Desa Penduduk

1 Malingping 14 Desa 61.500 jiwa

2 Wanasalam 13 Desa 51.233 jiwa

3 Panggarangan 11 Desa 35.242 jiwa

4 Bayah 11 Desa 40.716 jiwa

5 Cilograng 10 Desa 31.689 jiwa

65

Agus Sutisna dan Amir Hamzah, 177 Tahun Kabupaten Lebak, Negeri Yang Sedang

Bersolek, Pemerintah Kabupaten Lebak Dinas Informasi Komunikasi Seni Budaya dan Pariwisata

Kabupaten Lebak, 2005 hal. 3-4. 66

Situs Resmi Kabupaten Lebak. diakses pada tanggal 30 September 2012.

http://lebakkab.bps.go.id/penduduk.php,

Page 57: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

46

6 Cibeber 22 Desa 54.228 jiwa

7 Cijaku 10 Desa 76.2876 jiwa

8 Banjarsari 20 Desa 57.384 jiwa

9 Cileles 12 Desa 46.684 jiwa

10 Gunungkencana 12 Desa 32.661 jiwa

11 Bojongmanik 9 Desa 21.206 jiwa

12 Leuwidamar 12 Desa 50.430 jiwa

13 Muncang 12 Desa 31.615 jiwa

14 Sobang 10 Desa 78.361 jiwa

15 Cipanas 14 Desa 45.388 jiwa

16 Sajira 15 Desa 46.366 jiwa

17 Cimarga 17 Desa 60.968 jiwa

18 Cikulur 13 Desa 46.627 jiwa

19 Warunggunung 12 Desa 52.302 jiwa

20 Cibadak 15 Desa 58.057 jiwa

21 Rangkasbitung 11 Desa dan 5 Kelurahan 116.659 jiwa

22 Maja 14 Desa 50.526 jiwa

23 Curugbitung 10 Desa 30.036 jiwa

24 Cihara 9 Desa 29.530 jiwa

25 Cigemblong 9 Desa 19.527 jiwa

26 Cirinten 10 Desa 24.765 jiwa

27 Lebak Gedong 6 Desa 71.537 jiwa

28 Kalanganyar 7 Desa 31.982 jiwa

jumlah total penduduk sekitar 1.204.209

B. Profil Masyarakat Kabupaten Lebak

Masyarakat Banten khususnya Kabupaten Lebak yang secara umum biasa

difahami secara umum merupakan masyarakat yang kasar dalam ucapan dan

Page 58: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

47

berani dalam tindakan. Berdasarkan karakternya, masyarakat Banten dapat

dibedakan berdasarkan wilayahnya Banten Selatan dan Banten Utara. Banten

Selatan merupakan wilayah yang memiliki karakter dan perilaku yang keras.

Sedangkan wilayah Banten Utara memiliki karakter yang lebih lembut.

Perilaku keras masyarakat banten Selatan tidak terlepas dari sejarah masa

lalu masyarakat Banten Selatan (Kabupaten Lebak) yang kental dengan sikap

kesantriannya secara gigih melawan penindasan pemerintah kolonial. Orang

Banten pada masa itu mempunyai tekad memerangi orang kafir yang kebetulan

pada masa itu dikonotasikan terhadap para kolonial. Tidak heran jika kemudian

literatur yang mencitrakan watak keras orang Banten.67

Citra inilah yang

kemudian terus bertahan hingga sekarang yang menjadi salah satu ciri masyarakat

Banten secara umum.

Masyarakat Lebak (Banten Selatan) yang memiliki karakter lebih keras

ketimbang masyarakat di wilayah sekitar Banten lainnya, hal ini diakibatkan

pembawaan masyarakat dari perlakuan represif masyarakat Lebak terhadap

kolonial. Di Kabupaten Lebak secara garis besar ada dua tipe penindasan kolonial

yang dilakukan kolonial Belanda maupun kolonial Jepang di Banten, khususnya

Kabupaten Lebak. Penindasan-penindasan kolonial Belanda ini dikarenakan

hutang 236 juta Gulden atas tindakan kolonialnya berupa peperangan-peperangan

yang mereka lakukan terhadap rakyat Nusantara. Untuk menanggulangi

hutangnya ini, Jenderal Van den Bosch yang dikenal sebagai anak emas Raja

67

Tb. Ismaetullah Al-abbas, Apa Dan Siapa Orang Banten?: Pandangan Hidup,

Kosmologi dan Budaya. Serang, Biro Humas Setda Provinsi Banten, 2005. hal. 31-32.

Page 59: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

48

Belanda Willem I, melakukan rencana peraturan rodi atau herendienst (kerja-

paksa), dan tanam paksa (Cultuurestelsel).68

Culturstelsel ini sendiri mendapat

perlawanan dari masyarakat dan Eduard Douiwes Dekker atau yang lebih dikenal

dengan nama Multatuli yang berarti “aku telah banyak menderita”. Eduard

Douwes Dekker sendiri adalah seorang pegawai pemerintah kolonial yang sering

berpindah-pindah dari kantor satu ke kantor lainnya. Terahir ia menjadi Asisten

Residen Lebak pada tanggal 4 Januari 1856. Namun jabatan Eduard Douwes

Dekker ini tidak berlangsung lama, ia mengundurkan diri atas jabatannya dalam

pemerintahan kolonial Belanda Pada tanggal 29 Maret 1856. Pengundurannya

sendiri disebabkan karena ketidak setujuannya terhadap kezaliman pemerintah

kolonial Belanda. Setelah ia berhenti sebagai pegawai pemerintahan, hari-harinya

diisi dengan menulis sebuah karya tentang penindasan kolonial belanda yang

berjudul Max Havelar.69

Tulisan inilah yang kemudian telah mengilhami dan

menginspirasi masyarakat.

Kedua, perpindahan kekuasaan penjajah dari tangan kolonial Belanda

terhadap Jepang ternyata tidak serta merta berhentinya penindasan di Kabupaten

Lebak. Pada masa Jepang berkuasa di daerah Banten terdapat proyek

pembangunan Lapangan Terbang Gempor di Serang, jalan kereta api Saketi-

Labuan, dan jalan raya Saketi-Bayah sepanjang 150 km. Juga pertambangan batu

bara (Romusa) di Kecamatan Bayah Kabupaten Lebak, Banten Selatan.

Pertambangan dengan cara romusa ini menimbulkan kesengsaraan dan kematian

68

Moechtar, Multatuli: Pengarang Besar, Pembela Rakyat Kecil, Pencari Keadilan, dan

Kebenaran. Jakarta, Pustaka Jaya, hal. 18. 69

Moechtar, Multatuli: Pengarang Besar, Pembela Rakyat Kecil, Pencari Keadilan, dan

Kebenaran. Jakarta, Pustaka Jaya, hal. 1-4.

Page 60: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

49

yang luar biasa. Jepang membuka pertambangan batu bara di Bayah dengan

alasan menurunnya kemampuan pelayaran dan pengangkutan Jepang serta faktor

ekonomi.70

Berdasarkan perlakuan kekerasan yang terjadi dan sikap perlawanan yang

kuat, telah membentuk karakter masyarakat yang lebih keras ketimbang

masyarakat Banten lainnya yang terus melekat sampai sekarang. Hal ini

menjadikan masyarakatnya lekat dengan budaya kekerasan sebagaimana

dilakukan oleh jawara.

C. Sejarah dan Perkembangan Jawara

1. Pengertian dan Sejarah Kemunculan Jawara

Runtuhnya struktur politik kesultanan Banten telah membawa dampak

sosioligis berupa pergeseran dimensi stratifikasi sosial masyarakat Banten. Jawara

yang menempati posisi terendah dalarm sejarah stratifikasi sosial masyarakat telah

mengalami pergeseran sosial menjadi strata atas dalam hirarki sosial masyarakat

hingga Banten saat ini.71

Jawara merupakan kelompok yang khas yang hanya

dikenal di wilayah Banten. Selain kiyai, sosok jawara merupakan sosok yang

begitu kental dalam kehidupan masyarakat Banten hingga sekarang.

Untuk menyimpulkan sejarah kemunculan jawara bukanlah sesuatu yang

mudah. Asal-usul kata “jawara” pun tidak begitu jelas. Sebagian orang

berpendapat bahwa jawara berarti juara, yang berarti pemenang, yang ingin

70

Romusa, Sejarah Yang Terlupakan. Diakses pada tanggal 30 September 2012. http://www.tembi.net/en/news/beritabudaya/romusa--sejarah-yang-terlupakan1713.html.

71H.S. Suhaedi, Jawara Banten: kajian sosial-historis tentang mobiltas sosial jawara.

Diakses pada 30 Agustus 2012. http://lontar.ui.ac.id/opac/themes/green/detail.jsp?id=109850&

lokasi = lokal

Page 61: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

50

dipandang orang hebat. Salah satu sifat jawara adalah selalu ingin menang, yang

terkadang dilakukan dengan berbagai cara termasuk dengan cara yang tidak baik.

Sehingga seorang jawara itu biasa bersifat sompral (berbicara dengan bahasa yang

kasar dan terkesan sombong). Sebagian orang lagi berpendapat bahwa kata

“jawara” berasal dari kata “jaro” yang berarti seorang pemimpin yang biasanya

merujuk kepada kepemimpinan di Desa, yang kalau sekarang lebih dikenal

dengan kepala desa atau lurah. Pada masa dahulu kepala desa atau lurah di Banten

itu mayoritas adalah para jawara. Para jawara tersebut memimpin kajaroan (desa)

namun kemudian terjadi pergeseran makna sehingga jawara dan jaro menunjukan

makna yang berbeda. Sekarang ini jawara tidak mesti menjadi pemimpin, apalagi

menjadi kepala desa atau lurah.72

Sampai saat ini belum ada kesepakatan sejak

kapan jawara muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat Banten. Hal ini

dikarenakan tidak ada referensi yang secara komprehensif menganalisis tentang

profil jawara. Namun, setidaknya ada lima pendapat yang dikemukakan oleh

berbagai peneliti mengenai sejarah kemunculan jawara.

Pertama, pada masa kekuasaan Kerajaan Sunda. Kemunculan jawara di

Banten merupakan sebuah perantara antara raja dengan rakyatnya. Mereka tidak

hanya bertugas melayani raja, tetapi juga membela dan melindungi kerajaan.

Kelompok masyarakat ini memiliki keterampilan dalam ilmu silat dan kekebalan.

72

Mohamad Hudaeri, Tasbih dan Golok: Kedudukan dan Peran Kiyai dan Jawara di

Banten. Diakses pada pada 30 Agustus 2012 H.S. Jawara Banten: kajian sosial-historis tentang

mobiltas sosial jawara. Diakses pada http://www.nimusinstitute.com/tasbih-dan-golok

Page 62: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

51

Dalam perkembangan selanjutnya keterampilan mereka ini mencerminkan dirinya

sebagai kelompok jawara.73

Kedua, kelompok jawara muncul seiring dengan berdirinya kesultanan

Banten yang didirikan Sultan Maulana Hasanudin tahun 1552. Kelompok jawara

merupakan strategi Sultan Maulan Hasanudin dalam usaha merebut pusat

Kerajaan Sunda, Pakuan Pajajaran. Dengan maksud perebutan Kerajaan Sunda

ini, Sultan Maulana Hasanudin merekrut pemuda islam yang memiliki militansi

tinggi. Kelompok ini dipimpim oleh Putra Mahkota Kesultanan Banten Pangeran

Yusuf. Kelompok pemuda ini merupakan pasukan khusus yang bergerak cepat

merebut Kerajaan Sunda di Pakuan Pajajaran. Militansi keompok pemuda Islam

ini memiliki sifat pemberani yang terus-menerus dibina sehingga kemudian

disebut dengan jawara.74

Ketiga, F.G. Putman Craemer, Residen Banten (1925-1931), mengatakan

bahwa kaum jawara berasal dari sebuah perkumpulan yang bernama orok lanjang

yang dibentuk oleh kaum pemuda di Distrik Menes, Pandeglang. Perkumpulan

ini, yang secara harfiyah berarti “bayi menjelang dewasa”, didirikan dengan

tujuan untuk mengembangkan sikap tolong menolong dalam kehidupan

bermasyarakat dan membantu penyelenggaraan suatu pesta. Seiring berjalannya

waktu bila ada orang menyelenggarakan hajatan, mereka harus diundang dan

diserahi tugas penyelenggaraannya. Bila tidak demikian, mereka akan mengacau

73

Dipresentasikan dalam “Lokakarya Penelitian dan Penulisan Sejarah Kabupaten

Lebak” di Aula Pemkab Lebak, Rangkasbitung, 19 September 2006. Dan dipertegas wawancara

dengan KH. Baijuri, cendikiawan dan Dosen IAIN SMH Banten dan La-Tansa pada 1 November

2012, di Rangkasbitung 74

Kejawaraan Dalam Dinamika Sejarah Kabupaten Lebak. Diakses pada tanggal 1

oktober 2012 http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/Kejawaraan.pdf

Page 63: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

52

dan menggagalkan pesta. Organisasi semacam ini kemudian meluas ke luar

Menes dan berubah menjadi organisasi tukang pukul yang disebut jawara.

Mereka menjadi kelompok yang ditakuti oleh masyarakat, bahkan pangreh praja

pun tidak berani bersikap tegas kepada mereka. Sejak tahun 1916, pangrep praja

yang menghadiri pesta selalu membawa senjata api karena takut diganggu oleh

kaum jawara.75

Keempat, Nina H. Lubis mengatakan dalam bukunya Banten Dalam

Pergumulan Sejarah. kaum jawara berasal dari sekelompok orang yang melakukan

perlawanan terhadap pemerintah kolonial. Pada abad ke-19, ketika tekanan

pemerintah kolonial terhadap masyarakat pribumi semakin besar, muncul

berbagai perlawanan dari rakyat dengan pusat perlawanan berada di sekitar para

kiai. Para kiai ini, umumnya mempunyai dua kelompok santri yang berkembang

sesuai dengan kemampuan mereka. Kelompok pertama adalah orang-orang yang

memiliki bakat di bidang ilmu agama sehingga kelak bisa menjadi ulama seperti

gurunya. Mereka kemudian diberikan ilmu hikmah oleh gurunya selain diberikan

ilmu-ilmu agama Islam. Kelompok kedua adalah para santri yang mempunyai

bakat yang berkaitan dengan ilmu bela diri. Oleh karena itu, mereka dibina dalam

hal kekuatan fisik. Mereka pun diberi ilmu hikmah, tetapi porsinya jauh lebih

sedikit dibandingkan ilmu hikmah yang diberikan kepada santri kelompok

pertama. Dengan kemampuan bela diri yang dimilikinya, mereka diserahi tugas

75

Kejawaraan dalam Dinamika Sejarah Kabupaten Lebak. Diakses pada tanggal 1

oktober 2012 http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/Kejawaraan.pdf

Page 64: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

53

untuk melakukan teror terhadap Pemerintah Kolonial Belanda beserta para kaki

tangannya. Golongan kedua inilah yang kemudian disebut jawara.76

Kelima, sebutan jawara mulai dikenal oleh masyarakat sekitar tahun 1809

ketika Gubernur Jenderal H.W. Daendels (1808-1811) memerintahkan pembuatan

jalan pos dari Anyer ke Panarukan. Pembuatan jalan tersebut mengakibatkan

terjadinya perlawanan rakyat Banten yang kemudian dikenal dengan sebutan

perang pertama. Seiring dengan perlawanan rakyat itu, lahirlah sebutan jawara

seperti yang dikatakan oleh Rd. Muhammad Taufiq Djajadiningrat.77

Pada masa kini, perubahan lingkungan dalam perkembangan zaman secara

tidak langsung telah mempengaruhi perilaku jawara. Beriringan dengan

perkembangan itu pula telah banyak memberikan perubahan terhadap jawara

dalam peranannya ditengah-tengah masyarakat. Pada masa kolonial peran jawara

sering ditandai dengan perlawanan terhadap penjajah, pada masa kemerdekaan

jawara terlibat dalam pembangunan sosial, agama, ekonomi, dan politik, dan pada

masa reformasi jawara dihadapkan pada masalah mengekspresikan dan

mewujudkan dirinya dalam berbagai sisi kehidupan ekonomi, sosial, dan politik

sehingga dia dapat diterima ditengah-tengah masyarakat modern.

2. Jawara Pada Masa Kolonial

Jawara abad ke-19 pada masa kolonial, pada saat ini tekanan pemerintah

kolonial terhadap masyarakat pribumi semakin besar, yang justru membangkitkan

perlawanan-perlawanan masyarakat pribumi, yang umumnya dilakukan para

76

Nina H. Lubis, Banten dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, Jawara. Jakarta,

Pustaka LP3ES Indonesia, hal. 127-128. 77

Kejawaraan Dalam Dinamika Sejarah Kabupaten Lebak. Diakses pada tanggal 1

Oktober 2012 http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/Kejawaraan.pdf

Page 65: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

54

kiayi, dan para pemimpin lokal dalam masyarakat. Kondisi perlawanan

masyarakat inilah yang akhirnya disebut dengan jawara. Untuk melemahkan

perlawanan ini, Pemerintah Kolonial Belanda melakukan propaganda terhadap

jawara sebagai kelompok masyarakat yang suka membuat kekacauan. Kaum

jawara dipersamakan dengan kelompok bandit sosial. Citra negatif jawara yang

dilakukan kolonial terus terbawa dalam kehidupan sosial budaya masyarakat

Banten. Dalam konteks kekinian, umumnya masyarakat memandang bahwa

jawara itu memiliki sifat yang buruk.78

Mereka selalu ingin menang sendiri dan

untuk mewujudkan setiap keinginannya mereka melakukannya dengan kekerasan

fisik.

Sedangkan pada hakikatnya, Jawara ini umumnya merupakan kelompok

para kiyai yang mempunyai dua kelompok santri yang berkembang sesuai dengan

kemampuan mereka. Pertama, yang mempunai kemampuan ataupun bakat di

bidang ilmu agama sehingga kelak menjadi ulama. Kedua, para santri yang

memiliki kemampuan yang berkaitan dengan ilmu bela diri. Golongan kedua

inilah yang kemudian hari disebut dengan jawara. Kedua kelompok ini juga diisi

dengan ilmu hikmah (kekuatan magis), tetapi untuk golongan kedua hikmah yang

diterima relatif “lebih besar” dari pada kelompok pertama. Selanjutnya, ada

pendapat bahwa kaum jawara ini terbagi menjadi dua kelompok. Pertama, kaum

jawara yang memegang teguh ilmu agama dan mereka disebut sebagai jawara-

ulama. Mereka oleh para gurunya (kiyai) diberi kekuatan ilmu hikmah yang

memang bersumber dari ajaran agama Islam. Kelompok jawara ini kemudian

78

Kejawaraan Dalam Dinamika Sejarah Kabupaten Lebak. Diakses pada tanggal 1

Oktober 2012 http://resources.unpad.ac.id/unpad-content/uploads/publikasi_dosen/Kejawaraan.pdf

Page 66: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

55

dikenal sebagai jawara-ulama dan mengembangkan white magic sebagai sumber

kekuatan fisiknya. Kedua, kaum jawara yang menggunakan elmu hideung yakni

ilmu (kepandaian) untuk memperoleh kekebalan diri (kadugalan) yang tidak

berdasarkan ajaran Islam. Ilmu ini biasa juga disebut elmu rawayan atau elmu

urang Baduy.79

Bagi masyarakat Banten, khususnya Kabupaten Lebak, ilmu ini

merupakan sarana untuk memperoleh kekebalan diri (kadugalan) yang proses

pencapaiannya tidak berdasarkan agama Islam.

Menurut tokoh cendekiawan Banten Tihami bahwa karakter jawara pada

awalnya merupakan ekspresi ketundukan kepada kiayi, karena pada abad ke-19

jawara bermula dari murid kiayi. Oleh karenanya, menjadi hukum pantangan

(kawalat) bagi jawara manakala ia melawan kiayi yang akan menyebabkan

kehilangan kekuatan magi. Hubungan kiayi dan jawara seperti hubungan anak-

orang tua sehingga guru harus ditunduki dan dihormati. Terlebih jawara-kiayi

sangat erat hubungannya sebab kiayi merupakan sumber pemberi resep-resep

magi.80

3. Jawara Pada Masa Orde Lama

Tidak banyak referensi yang dapat ditelusuri mengenai peranan jawara

pada masa Orde Lama. Keberhasilan para jawara dalam mengusir kolonial adalah

salah satu sejarah yang mengantarkan kemerdekaan Indonesia. Pada masa ini

peran jawarapun mengalami perubahan. Peran jawara tidak lagi melakukan

perlawanan terhadap penguasa pemerintahan. K.H. Baijuri seorang cendikiawan

79

Nina H. Lubis, Banten Dalam Pergumulan Sejarah: Sultan, Ulama, Jawara. Jakarta,

Pustaka LP3ES Indonesia, hal. 127-128. 80

Tihami, Kiayi dan Jawara Banten: studi tentang agama, magi, dan kepemimpinan di

desa pesanggerahan Serang, Banten, hal. 21

Page 67: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

56

di Kabupaten Lebak mengatakan bahwa jawara pada masa ini terbagi menjadi

dua, pertama, jawara kembali pada “orang tuanya” mendampingi para kiayi dalam

proses penyiaran agama Islam. Kedua, jawara yang terkontaminasi dalam arus

pusaran politik lokal maupun nasional.81

Jawara yang berpulang pada orang tuanya menjadi tameng para kiayi, hal

ini dimaksudkan dalam penyiaran agama Islam jika ada kekacauan. Jawara

senantiasa mengajarkan, mengamalkan ajaran Islam, dan menjaga ketentraman

masyarakat. Sedangkan jawara yang terkontaminasi dalam arus politik pada masa

kemerdekaan, terus dimunculkan sebagai sosok yang memiliki kekuatan magis.

Mereka dimanfaatkan sebagai salah satu alat penekan bagi para politikus di

Indonesia.82

Paradigma inilah yang dipahami oleh masyarakat terhadap sisi lain

jawara hingga kini.

4. Jawara Pada Masa Orde Baru

Pelaksanaan sistem demokrasi Pancasila pada rezim Orde Baru yang

otoriter adalah dengan penyederhanaan sistem kepartaian yang kemudian

memunculkan kekuatan yang dominan yaitu Golongan Karya (Golkar) dan ABRI.

Partai Golkar merupakan partai pemerintah yang menjadi hegemoni dalam setiap

pelaksanaan pemilu di masa Orde Baru. Rezim ini mencengkram semua sendi-

sendi masyarakat yang mengakar pada tingkat lokal, merapatkan barisan pada

penguasa rezim atau rela diberangus.

81

Wawancara pribadi dengan K.H. Baijuri di Rangkasbitung. Pada tanggal 1 November

2012. 82

Tb. Ismaetullah Al-abbas, Apa Dan Siapa Orang Banten?: Pandangan Hidup,

Kosmologi dan Budaya. Serang, Biro Humas Setda Provinsi Banten, 2005. hal. 31-32.

Page 68: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

57

Sedangkan kedekatan jawara dengan ABRI di era Orde Baru dapat

diidentifikasi dalam berbagai hal, misalnya kedudukan jawara sebagai guru silat

di ABRI. Selain itu jawara pula turut serta dalam terjun ke daerah-daerah konflik

di Timor-Timur, Aceh dan Papua. Bahkan jawara dapat mempromosikan

kenaikan pangkat terhadap seorang anggota militer.83

Kedekatan jawara dengan

ABRI ini merupakan sebuah bukti keberadaan jawara sebagai elit sosial Banten

yang memiliki pengaruh besar, tidak hanya di tingkat lokal bahkan nasional.

Kedekatan jawara dengan elemen-elemen pemerintah ini kian memperkuat

dominasi jawara dalam politik lokal di Banten.

Pada masa Orde Baru Jawara sebagai elit tradisional di Banten merupakan

salah satu patron klien pemerintahan Orde Baru dan partai Golkar. Jawara dengan

penguasa rezim mempunya kedekatan ideologis berupa anti demokrasi

(bertanagan besi) yang sesuai dengan karakternya. Sedangkan jawara dengan

partai Golkar merupakan simbiosis mutualisme antara jawara dan DPD Golkar

Banten. Jawara merupakan simpul penting Golkar di Banten. Relasi jawara dan

partai Golkar sendiri berada pada dua organisasi kejawaraan, yaitu BPPKB

(Badan Pembinaan Potensi Keluarga Banten), PPPSBBI (Persatuan Pendekar

Persilatan dan Seni Budaya Banten Indonesia) dan TTKDH (Tjimande, Tarik

Kolot, Djeruk Hilir).84

Kedua organisasi ini memiliki jaringan yang luas di tingkat

nasional dan yang mengakar ditingkat lokal.

83

Ahmad Abrori. Perilaku Politik Jawara Banten Dalam Proses Politik Di Banten. Tesis

Fisip Universitas Indonesia 84

Andi Rahman Alamsyah, Islam, Jawara & Demokrasi. Jakarta, PT Dian Rakyat, 2010,

hal. 76.

Page 69: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

58

Hubungan antara jawara dan Golkar yang terbentuk karena alasan sejarah,

kedekatan ideologi, kultural maupun patron klien yang saling menguntungkan

keduanya. Hubungan patron klien antara jawara-Golkar merupakan hubungan

yang tidak bisa dipisahkan, Golkar sebagai patron jawara mendapat dukungan

yang besar, partai Golkar-jawara yang secara historis merupakan bagian yang tak

terpisahkan dari kiyai ini mendapat dukungan meraup massa santri yang tersebar

di pesantren-pesantren maupun non santri, unsur pemerintahan, dan unsure-unsur

masyarakat lainnya. Sedangkan jawara sebagai klien medapatkan perlindungan

hukum, ekonomi, sosial, dan politik. Dengan jaringan tersebut, Golkar

memperoleh dukungan yang besar dalam setiap pelaksanaan pemilu, pembuatan

kebijakan politik, dan memperkokoh posisi Golkar-Orde Baru. Sedangkan jawara

mendapatkan posisi-posisi kunci dalam struktur partai politik Golkar sendiri yang

juga masih bertahan hingga kini.

5. Jawara Pada Masa Reformasi

Tumbangnya era Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto telah

mengiringi transisi demokrasi Indonesia kembali pada alur demokrasi yang

seutuhnya yang dikenal dengan era reformasi. Kebebasan dalam sistem

pemerintahan ini telah mendorong masyarakat untuk melakukan perubahan dalam

sistem ketatanegaraan yang ditumpahkan dalam bentuk demonstrari mahasiswa

dan masyarakat pada pertengahan sampai penghujung tahun 1998. Cita-cita akan

suatu suatu masyarakat bangsa yang mempunyai rule of law, perwakilan, dan

kebebasan bagi semua telah berhasil diraih. Dengan demokrasi pada era ini semua

orang bisa mewujudkan kesanggupan-kesanggupannya. Mereka saling

Page 70: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

59

memperkuat satu sama lain negara melindungi warga Negara, sedang warga

Negara mendharma-baktikan dirinya terhadap Negara. Kemajuan dalam kondisi

berfikir yang satu akan pula memperbaiki kondisi jasmani bagi yang lain, dengan

demikian model masyarakat yang baik dari para filosof yang memerintah dan

yang diperintah, sarana dan tujuan, dijelmakan dalam model kaum

institusionalis.85

Sebagai patron klien rezim Orde Baru dan partai Golkar, jawara cenderung

bermuka dua mengenai demokrasi. Hal ini dikarenakan sifat jawara yang

seutuhnya tidak sejalan dengan konsep demokrasi, demokrasi dianggap bisa

mengancam dominasinya terhadap politik lokal di Banten. amun, sikap

masyarakat secara luas mendukung reformasi membuat jawara tidak bisa

membantah perihal reformasi demokrasi. Akan tetapi kenyataan berkata lain,

runtuhnya rezim Orde Baru ini malah makin mengukuhkan dominasi jawara.

Jawara memperoleh peluang lebih besar untuk terus melanggengkan dominasi

sosial-politiknya. Jawara tidak lagi terkooptasi oleh satu partai (Golkar) tapi

jawara mulai melebarkan sayapnya pada partai-partai lain seperti PDIP, PKP,

PBB, dan lain-lain, dan bahkan tidak sedikit jawara yang independen yang pada

kesempatan dan kepentingan lain mereka bisa bebas bermanuver ekonomi-

politik.86

Jawara yang menyebar dalam jejaring sosial masyarakat ini merupakan

sebuah kedigjayaan jawara sebagai sosok elit tradisional yang tidak bisa

dipisahkan dan suatu bentuk kekhasan dalam sosial-politik di Banten.

85

David E. Apter, Pengantar analisa Politik, CV. Rajawali bekerja sama dengan

Yayasan Solidaritas Gadjah Mada. Jakarta. 1977. hal. 266 86

Andi Rahman Alamsyah, Islam, Jawara & Demokrasi. Jakarta, PT Dian Rakyat, 2010,

hal. 67.

Page 71: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

60

Kedigjayaan jawara di era reformasi dapat diidentifikasi dalam

pelaksanaan pilkada. Dalam pilkada dilibatkan oleh para pesrta pillkada sebagai

sarana untuk mendulan suara masyarakat dalam pemenangan pilkada. Hal ini

dikarenakan jawara sebagai sosok elit tradisional yang memiliki pengaruh besar

dalam sosial-politik masyarakat Banten dapat memobilisasi masyarakat dalam

dinamika sosial-politik dadaerahnya. Dalam pelaksanaan pilkada Kabupaten

Lebak 2008, setiap gerakan sosial-politik yang dilakukan masyarakat merupakan

gerakan yang dilatar belakangi oleh para jawara.87

Secara umum, hal ini

menjadikan peran politik yang dilakukan jawara sebagai bagian yang tidak

terpisahkan dalam sosial-politik di Kabupaten Lebak.

87

Wawancara dengan Agus Sutisna (Anggota KPU Kabupaten Lebak tahun 2003-2008

dan Ketua KPU Kabupaten Lebak tahun 2008-2013) pada tanggal 29 Agustus 2013.

Page 72: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

61

BAB IV

PERAN POLITIK JAWARA

DALAM PEMENANGAN H. MULYADI JAYABAYA

A. Pilkada Kabupaten Lebak Tahun 2008

Pilkada sebagai salah satu ciri demokrasi pada era reformasi adalah adanya

Pemilihan Umum secara langsung dari tingkat desa (Lurah) sampai dengan

tingkat nasional (Presiden). Menurut Undang-undang No. 22 tahun 1999, bupati

dan walikota sepenuhnya menjadi kepala daerah otonom yang dipilih oleh rakyat

dan bertanggung jawab kepada DPRD dan dapat diberhentikan oleh DPRD pada

masa jabatannya.88

Hal ini sejalan dengan pemikiran Joseph A. Sschumpeter

metode demokratis adalah suatu perencanaan institusional untuk mencapai

keputusan politik dimana individu-individu memperoleh kekuasaan untuk

memutuskan dengan cara perjuangan kompetitif atas suara rakyat.89

Hal ini

dimaksudkan agar terpilihnya pemimpin yang sesuai dengan hati-aspirasi

masyarakat, sehingga masyarakat menjadi partisipatif untuk mengarahkan dan

menentukan kemajuan daerahnya.

Hal ini juga di pertegas dengan pemberlakuan Undang-undang Nomor 32

tahun 2004 pada tanggal 29 September yang menjelaskan bahwa kepala daerah

dipilih langsung oleh rakyat melalui pilkada sehingga daerah mempunyai otonomi

untuk mengelola dan mengembangkan sumber daya alam dan sumber daya

88

A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila, Demokrasi,

Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2012, hal.

184. 89

Masykuri Abdillah, Demokrasi Di Persimpangan Makna:Respon Intelektual Muslim

Indonesia terhadap kmonsep Demokrasi .Yogyakarta, Tita Wacana, 1999, hal. 72.

Page 73: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

62

manusia daerahnya.90

Kepala daerah (Gubernur, Bupati, Walikota) bersama

DPRD, mempunyai peran sangat besar dalam menentukan arah dan jalannya

pembangunan daerahnya.

Pilkada sebagai sarana demokratisasi yang langsung menyentuh sendi-

sendi masyarakat, pilkada merupakan perwujudan pengembalian hak-hak

rakyat dalam memilih pemimpin daerah.91

Pilkada telah memberi ruang bagi

perkembangan otonomi daerah dalam menentukan pemimpin yang mewakili

aspirasi masyarakat secara langsung. Dalam pelaksanaan pilkada di Indonesia,

pada tiap daerahnya memiliki kultur politik yang berfarian. Hal ini disebabkan

karena Indonesia merupakan negara yang majemuk, pada tiap daerahnya

memiliki farian kultur yang berbeda pula. Sehingga pendekatan politik ditingkat

lokal selalu melibatkan institusi informal yang merefleksikan kultur masyarakat

daerahnya.

Dalam pelaksanaan pilkada di Kabupaten Lebak tahun 2008 yang diikuti

oleh 3 pasangan calon. yaitu pasangan H. Mulyadi Jayabaya – H. Amir Hamzah

yang diusung oleh partai PDIP, Partai Golkar, Partai Demokrat, PKS, PKB, PAN,

PBB, dan PBR. Pasangan H. Mardini – Wijaya Ganda Sungkawa diusung oleh

partai PPP, PBB, PNI Marhaen dan Partai Pelopor. dan pasangan Muhamad yas‟a

Mulyadi – M. Sudirman yang diusung non partai (independen) dan

90

Miriam Budiardjo. Dasar Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi. Jakarta, Ikrar Mandiri

Abadi, 2008, hal. 134. 91

A. Ubaedilah. Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education): Pancasila, Demokrasi,

Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2012, hal.

191.

Page 74: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

63

perseorangan.92

Pelaksanaan pilkada ini dimenangkan oleh pasangan H. Mulyadi

jayabaya – H. Amir Hamzah dengan perolehan suara sebanyak 360.420 suara atau

64,3% suara yang memberikan suaranya. Diikuti oleh pasangan H. Mardini –

Wijaya Ganda Sungkawa diurutan kedua dengan perolehan suara 172.326 suara

atau 30,7% dan yang terakhir adalah pasangan M. Yas‟a Mulyadi – M. Sudirman

meraih suara 27.851 atau 5% suara, sedangkan suara tidak sah sebanyak 17.099

suara.93

Secara keseluruhan pilkada Lebak tahun 2008 ini berjalan dengan normal,

meskipun diwarnai dengan berbagai unjuk rasa oleh masing-masing pendukung

peserta pilkada. Hal ini terlihat pada tahapan pencalonan dan pemungutan

suara. Maraknya unjukrasa dalam tahapan pencalonan pilkada Lebak tahun

2008, disebabkan karena adanya indikasi ijazah palsu milik calon incumbent H.

Mulyadi Jayabaya. meski demikian besarnya unjuk rasa pada tahapan pencalonan

ini, KPU Kabupaten Lebak tetap meloloskan pasangan calon incumbent tersebut,

dengan alasan bahwa kewenangan memutuskan ijazah palsu tersebut bukan

bagian kewenangan KPU. Dengan kata lain komisioner KPU Lebak menjelaskan

bahwa KPU tidak memiliki kewenangan dalam hal Ijazah.94

Selanjutnya dalam tahapan pemungutan suara sampai penghitungan suara,

pilkada lebak juga diramaikan dengan unjuk rasa. Unjuk rasa dalam tahapan ini

masih berkaitan dengan isu dalam tahapan pencalonan yaitu indikasi Ijazah palsu

92

Tempo Interaktif, Diakses pada tanggal 11 Oktober 2011 http://pilkadalebak.

wordpress. com/2008/05 dan Lebak, Diakses pada tanggal 11 Oktober 2011 http://imnbanten.

wordpress.com/2008/ 10/21/kpud-lebak-tetapkan-mulyadi-amir-pemenang-pilkada/ 93

KPUD Kabupaten Lebak. Catatan Pelaksanaan Rekapitulasi Hasil Penghitungan

Suara, Model DB 1 –KWK. pada 20 Oktober 2008. 94

Wawancara dengan Agus Sutisna (Anggota KPU Kabupaten Lebak tahun 2003-2008

dan Ketua KPU Kabupaten Lebak tahun 2008-2013) pada tanggal 29 Agustus 2013.

Page 75: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

64

H. Mulyadi jayabaya. Perbedaannya dengan tahapan pencalonan, dalam tahapan

pemungutan suara sampai tahapan penghitungan suara, unjuk rasa ditandai

dengan isu pengunduran diri 2 (dua) dari 3 (tiga) pasangan calon yaitu

H. Mardini – Wijaya Ganda Sungkawa dan M. Yas‟a Mulyadi – M. Sudirman.

Kedua pasangan ini beralasan mengundurkan diri karena KPU Kabupaten

Lebak tetap meloloskan pasangan incumbent H. Mulyadi jayabaya – H. Amir

Hamzah sebagai calon Bupati dan wakil Bupati Lebak tahun 2008 – 2013.

Penandatanganan pengunduran diri pasangan M. Yas‟a Mulyadi – M.

Sudirman dilakukan di Kampung Cilajur, Kecamatan Maja Kabupaten Lebak

sekitar pukul 13.00 WIB sabtu 11 oktober 2008. Sementara itu, penyerahan berkas

pengunduran diri kepada KPU Kabupaten Lebak dilakuakn pada pukul 16.00

WIB yang diantarkan langsung oleh pasangan calon M. Yas‟a Mulyadi – M.

Sudirman dan diterima oleh anggota KPU Lebak Ahmad Hakiki Hakim dan

Kepala Sub Bagian Teknik Penyelenggaraan Sekretariat KPU Lebak Rahmat

Gunawan.95

Pengunduran diri pasangan peserta pilkada ini juga diikuti oleh

pasangan H. Mardini – Wijaya Ganda Sungkawa sekitar 15 menit kemudian dan

diterima oleh anggota KPU Lebak. Dalam surat pengunduran diri ini, kedua

pasangan calon tersebut menuliskan kekecewaan terhadap KPU Kabupaten Lebak

yang tetap meloloskan pasangan calon incumbent sebagai peserta pilkada

Kabupaten Lebak tahun 2008.

Terkait dengan pengunduran diri 2 (dua) pasangaan calon Bupati dan

wakil Bupati Lebak tahun 2008–2013, tentu saja hal ini mengancam

95

Protes KPU, Pilkada Lebak terancam Batal. Diakses pada tanggal 11 Oktober 2011

http://www.suarakarya-onlinne.com/news?id=211257

Page 76: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

65

keberlangsungan pemungutan suara yang akan diselenggarakan pada tanggal 16

oktober 2008 yang menyisakan 1 (satu) pasangan calon incumbent. Namun

ternyata KPU Kabupaten Lebak tetap menyelenggarakan pemungutan suara.

KPUD menyebutkan bahwa pengunduran diri kedua pasangan calon tidak

mempengaruhi pelaksanaan pemungutan suara pada pilkada 16 oktober 2008.

Hal ini juga diperkuat oleh anggota KPU pusat yang disampaikan Putu Artha

yang menetapkan pemungutan suara pilkada Lebak tahun 2008 harus tetap

berjalan sebagaimana mestinya. 96

Dalam kesempatan lain, H. Agus Sutisna anggota KPUD Lebak yang

sekarang menjabat sebagai Ketua KPUD Lebak mengatakan pengunduran

diri 2 (dua) pasangan calon itu dinilai tidak sah, selain itu keduanya telah

menandatangani surat pernyataan tidak akan mengundurkan diri dan juga

tidak diatur dalam Undang-undang No. 12 tahun 2008 yang merupakan revisi

sebagian Undang-undang No. 32 tahun 2004 tentang pemilihan kepala daerah.

Kemudian dia menjelaskan kembali bahwa hal ini juga disebutkan dalam pasal

lain bahwa pengunduran diri yang sah harus membayar sangsi denda Rp. 20

Miliar, hal inilah yang tidak dilakukan oleh kedua paasangan calon, sehingga

pilkada harus tetap dilakukan sebagaimana mestinya.97

Pilkada merupakan sebuah konsep pemilihan secara langsung yang

melibatkan masyarakat dalam proses dan putusan politik. Keterlibatan masyarakat

yang secara nyata dapat dilihat dalam sebagai sebuah mekanisme untuk memilih

96

Wawancara dengan Agus Sutisna (Anggota KPU Kabupaten Lebak tahun 2003-2008

dan Ketua KPU Kabupaten Lebak tahun 2008-2013) pada tanggal 29 Agustus 2013. 97

Wawancara dengan Agus Sutisna (Anggota KPU Kabupaten Lebak tahun 2003-2008

dan Ketua KPU Kabupaten Lebak tahun 2008-2013) pada tanggal 29 Agustus 2013.

Page 77: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

66

pemimpin politik, mekanisme dalam konteks memilih pemimpin politik ini

dinamakan pilkada. Keterlibatan masyarakat dalam pilkada tidak hanya

melibatkan institusi formal saja, melainkan juga institusi informal pada tiap

daerahnya masing-masing. Dalam pelaksanaan pilkada Kabupaten Lebak

keterlibatan institusi informal ini tercermin oleh elit tradisional Kabupaten Lebak

yaitu jawara. Jawara merupakan tokoh yang memberikan andil besar dalam

dinamika politik pilkada kabupaten Lebak tahun 2008. Seperti yang dikemukakan

oleh KPUD Lebak H. Agus Sutisna, yang menyebutkan bahwa pilkada tahun

2008 merupakan sebuah ajang politik element jawara.98

Dalam Pemilihan Kepala

Daerah (pilkada) Kabupaten Lebak tahun 2008 selain partai politik dan

masyarakat, Jawara sebagai elit tradisional masyarakat merupakan sosok yang

memiliki peranan yang besar dalam mendukung dan mensukseskan pasangan

calon bupati/wakil bupati H. Mulyadi Jayabaya – H. Amir Hamzah peserta

pilkada Lebak tahun 2008.

pencalonan incombent H. Mulyadi Jayabaya mendapat dukungan oleh

para jawara. Dukungan yang diberikan oleh para jawara tidak sertamerta begitu

saja, melainkan karena hubungan baik yang sudah terjalin pada periode

pemerintahan sebelumnya. Selain itu, para jawara juga menilai kinerja H. Mulyadi

Jayabaya telah berhasil.99

Keberhasilan kinerja incombent ini bisa dilihat dari

fasilitas yang diberikan pemerintah di daerah para jawara. Hal inilah yang melatar

98

Wawancara dengan Agus Sutisna (Anggota KPU Kabupaten Lebak tahun 2003-2008

dan Ketua KPU Kabupaten Lebak tahun 2008-2013) pada tanggal 29 Agustus 2013. 99

Wawancara dengan Agus Sutisna (Anggota KPU Kabupaten Lebak tahun 2003-2008

dan Ketua KPU Kabupaten Lebak tahun 2008-2013) pada tanggal 29 Agustus 2013.

Page 78: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

67

belakangi dukungan terhadap pasangan calon H. Mulyadi Jayabaya – H. Amir

Hamzah.

Pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008 hampir setiap gerakan politik dan

mobilisasi masa calon bupati/wakil bupati H. Mulyadi jayabaya – H. Amir

Hamzah dilatar belakangi oleh para jawara. Setidaknya dalam pelaksanaan

pilkada 2008 terdapat 23 gerakan sosial yang dilatarbelakangi jawara dalam

mensukseskan masing-masing pasangan calon peserta pilkada.

B. Dukungan Jawara Terhadap Pasangan H. Mulyadi Jayabaya – H. Amir

Hamzah

Partisipasi politik merupakan ciri khas dari modernisasi politik. Dalam

negara demokratis pemikiran yang mendasari konsep partisipasi politik ialah

bahwa kedaulatan ada ditangan rakyat, yang dilakukan berdasarkan kegiatan

bersama untuk menetapkan tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat dan untuk

menentukan orang-orang yang akan memegang tampuk pimpinan. Jadi, partisipasi

politik merupakan pengejawantahan dari penyelenggara kekuasaan politik yang

absah oleh rakyat.

Demokratisasi yang mapan secara umum dianggap karena tingginya

partisipasi politik dari masyarakat. Tingginya tingkat partisipasi ini menunjukan

bahwa warga negara mengikuti dan memahami masalah politik serta ingin

melibatkan diri dalam kegiatan-kegiatan pengambilan kebijakan. Anggota

masyarakat yang berpartisipasi dalam proses politik, misalnya pemberian suara

dalam pemilihan umum atau kegiatan lain, merupakan dorongan kesadaran oleh

keyakinan bahwa melalui kegiatan bersama. Dalam hal itu maka kepentingannya

Page 79: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

68

akan tersalurkan atau sekurang-kurangnya akan diperhatikan, dan sedikit banyak

masyarakat dapat mempengaruhi tindakan dari mereka yang berwenang untuk

membuat keputusan yang mengikat. Dengan kata lain, mereka percaya bahwa

kegiatan mereka mempunyai efek (political efficacy).100

Dalam pilkada Lebak tahun 2008, tidak terfokus pada partai politik

pengusung calon Bupati melainkan pada elit tradisional elit tradisional. Hal ini

dikarenakan elit tradisional lebih mengakar pada masyarakat. Dimana pasangan

incombent H. Mulyadi Jayabaya mendapat dukungan penuh para jawara karena

sudah menjalin hubungan politik pada periode pertama H. Mulyadi Jayabaya.

Jawara dinilai berperan dalam mendukung dan mensukseskan pasangan

tersebut dalam pilkada Lebak tahun 2008. Jawara merupakan elit tradisional

masyarakat di wilayah Provinsi Banten termasuk Kabupaten Lebak. Seperti yang

telah dijelaskan pada bab sebelumnya, jawara memiliki pengaruh yang besar

dalam masyarakat, karena kuatnya pengaruh tersebut jawara menjadi aktor yang

sangat penting atas kesuksesan pasangan H. Mulyadi jayabaya dan H. Amir

Hamzah. Besarnya dukungan jawara terhadap pasangan incombent merupakan

sebuah modal politik yang tidak dimiliki oleh calon pasangan lain.

Keterlibatan jawara dalam pilkada merupakan sebagai kelompok

partisipan. Sebagai kelompok partisipan yang aktif, jawara sangat

memperhitungkan arah dukungan mereka. Hal ini dikarenakan akan memberikan

dampak terhadap input yang mereka dapatkan secara pragmatis.101

Dalam

100

Miriam Budiardjo, Partisipasi dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai, Jakarta,

Yayasan Obor Indonesia. 1998, hal. 3. 101

Ahmad Abrori. Perilaku Politik Jawara banten Dalam Proses Politik Di Banten. Tesis

Fisip Universitas Indonesia

Page 80: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

69

memberikan dukungan jawara akan senantiasa merujuk pada kedekatan mereka

terhadap salah seorang calon. Sehingga kepentingan-kepentingan mereka bisa

terpenuhi.

C. Peran Jawara sebagai Mobilized Political Partisipation

Kejawaraan merupakan identitas sekelompok orang di Kabupaten Lebak,

meskipun hanya salah satu unsur dalam masyarakat, ia menempati kedudukan

yang berpengaruh, terutama dalam bidang sosial, ekonomi, dan politik. Dengan

posisi yang dominan layaknya kyai di daerah lain, jawara bisa mempengaruhi

dinamika sosial-politik masyarakat. Bahkan posisi jawara di Kabupaten Lebak

lebih menentukan dari pada kyai, hal ini dikarenakan posisi kiyai di Kabupaten

Lebak masih tertutup dalam hal politik karena kiyai menganggap politik sering

berbenturan dengan etika keagamaan.102

Hal berbeda ditunjukan oleh jawara,

jawara yang cenderung pragmatis dan tidak begitu perduli dengan permasalahan

etika.

Jawara yang memiliki karakter berbeda dari anggota masyarakat lainnya

seperti berani (wanten), agresif, sompral (tutur kata keras) dan blak-blakan

(terbuka). Apa lagi mereka dibalut dengan keterampilan bela diri (silat) dan

diyakini memiliki kadigjayaan (kesaktian).103

Hal ini yang mengindikasikan

keberadaan jawara sebagai elit tradisional sebagai sekelompok orang yang

berpengaruh kuat dalam masyarakat Lebak. Keberadaan jawara yang memiliki

pengaruh dan teroganisir dengan rapih, sehingga ia menjadi sebuah civil society.

102

Wawancara dengan Abdul Hadad (Sekretaris TTKDH Kab. Lebak) pada tanggal 29

Agustus 2013. 103

Andi Rahman Alamsyah, Islam, Jawara & Demokrasi. Jakarta, PT Dian Rakyat, 2010,

hal. 65

Page 81: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

70

Namun civil society mereka tidak memposisikan diri sebagai lembaga mediasi

antara kepentingan rakyat dan pemerintah. Malah ia merupakan kekuatan yang

dominan yang dapat mengontrol dan memobilisasi segala kekuasaan lokal baik

dengan cara sopan maupun dengan cara kekerasan.104

Keterkaitannya dalam

pilkada tentunya pasangan yang mendapat dukungan dari jawara merupakan

keuntungan dalam meraih suara rakyat, karena kegiatan politik jawara senantiasa

akan oleh masyarakat.

Pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008 menempatkan posisi jawara bukan

sebagai kelompok orang yang berebut kekuasaan, melainkan sebagai Mobilized

Political Partisipation menjadi tim sukses sebagai pendulang suara terhadap calon

pemegang kekuasaan. Dalam hal ini jawara mampu memberikan andil besar

karena kedudukan jawara sebagai elit tradisional memiliki kharisma istimewa

pada masyarakat lapisan bawah di Banten.105

Keberadaan jawara sebagai elit lokal yang berpengaruh kuat dalam

masyarakat Lebak dan Banten pada umumnya mengindikasikan kekuatan politik

jawara.Pencalonan incombent H. Mulyadi Jayabaya menjadi bupati mendapat

respon baik dikalangan jawara. Hal ini disebabkan hubungan yang sudah terjalin

antara pemerintah dengan jawara tidak perlu lagi membangun pola hubungan

yang komprehensif karena sudah terjalin pada saat incombent H. Mulyadi

Jayabaya menjabat sebagai Bupati. Hal senada pula diutarakan oleh H. Agus

Sutisna sebagai anggota KPU Kabupaten Lebak yang sekarang menjabat

104

Ahmad Abrori. Perilaku Politik Jawara banten Dalam Proses Politik Di Banten. Tesis

Fisip Universitas Indonesia 105

Taufik Abdullah, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, LP3S, 2004, hal. xxvi

Page 82: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

71

komisioner KPU Kabupaten Lebak, dia menyatakan bahwa hubungan yang dijalin

oleh oleh H. Mulyadi Jayabaya merupakan hubungan yang sudah dijalin cukup

harmonis saat periode pertama H. Mulyadi jayabaya memimpin Kabupaten

Lebak.106

Jawara sebagai tokoh elit tradisional yang dihormati dan disegani karena

dianggap memiliki kemampuan untuk memanipulasi kekuatan magis keberanian

(wanten, kawani) secara fisik, yang keberaniannya itu didukung oleh kemampuan

dalam menguasai ilmu bela diri (persilatan) dan ilmu-ilmu kesaktian. Karena

kelebihannya yang dimilikinya tersebut pengaruh yang cukup besar dalam

masyarakat dan juga memiliki para pengikut yang setia. Kepemimpinannya

bersifat kharismatik inilah yang menjadikan jawara sebagai pendulang suara.

Peran jawara sebagai tim sukses diindikasikan dengan mengkampanyekan

pasangan calon bupati/wakil bupati. Jawara melakukan berbagai pendekatan pada

tiap kalangan masyarakat petani, nelayan, agamawan, birokrasi, dan lain-lain. Hal

ini menurut Samuel P. Huntington merupakan bentuk kategori partisipasi

Lobbying.107

Dalam hal ini jawara memerintahkan seluruh anak buahnya yang

tersebar keseluruh wilayah agar dapat mendukung pasangan calon yang didukung

oleh para jawara tersebut.

Selain itu, jika jawara dengan lobbying tidak berhasil mendulang suara,

maka tidak segan-segan jawara akan melakukannya melalui jalan kekerasan untuk

mempengaruhi masyarakat. Hal ini juga disebut oleh Samuel P. Huntington

106

Wawancara dengan Agus Sutisna (Anggota KPU Kabupaten Lebak tahun 2003-2008

dan Ketua KPU Kabupaten Lebak tahun 2008-2013) pada tanggal 29 Agustus 2013. 107

Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, Partisipasi Politik: Tak Ada Pilihan

Mudah, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. 1998, hal. 8.

Page 83: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

72

sebagai bentuk kategori partisipasi Violence.108

Dalam hal ini jawara tidak lagi

menggunakan cara yang baik dalam mempengaruhi masyarakat, tetapi jawara

cenderung menekan masyarakat melalui bentuk kekerasan lisan maupun fisik.

108

Samuel P. Huntington dan Joan M. Nelson, Partisipasi Politik: Tak Ada Pilihan

Mudah, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia. 1998, hal. 8.

Page 84: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

73

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Melalui pembahasan tentang Demokrasi, Otonomi Daerah dan Perilaku

Politik Jawara yang menitik beratkan pada studi tentang Peran Jawara dalam

Pilkada Kabupaten Lebak Tahun 2008. Maka penulis menyimpulkan penulisan

skripsi ini sebagai berikut:

1. Pelaksanaan otonomi daerah merupakan sebuah konsep untuk memberikan

kekuasaan pusat kepada daerah dalam mengelola daerahnya masing-

masing. Dalam pelaksanaan otonomi tersebut, disisi lain ternyata telah

memberikan kesempatan bagi elit tradisional seperti jawara dalam

melebarkan pengaruhnya dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat.

2. Pada tahun 2008 melalui pilkada langsung, masyarakat Kabupaten Lebak

melakukan partisipasi politik dalam memimpin daerahnya yang

diselenggarakan secara langsung untuk memilih calon bupati dan wakil

bupati. Pelaksanaan pilkada ini merupakan bentuk reformasi politik dalam

memilih pemimpin, sehingga pemimpin yang terpilih merupakan

representasi dari aspirasi masyarakat.

3. Partisipasi politik jawara dalam pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008

dilakukan dengan cara mensukseskan calon bupati dan wakil bupati

pasangan H. Mulyadi jayabaya dan H. Amir Hamzah. Sebagai tim sukses

Page 85: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

74

jawara melakukan sosialisasi calon pasangan tersebut, serta melakukan

apapun untuk mendukung pasangan bupati dan wakil bupati.

4. Faktor yang mempengaruhi dukungan jawara terhadap calon bupati dan

wakil bupati H. Mulyadi Jayabaya dan H. Amir Hamzah karena kedekatan

antar mereka sudah terjalin sejak periode pertama kepemimpinan H.

Mulyadi Jayabaya sebagai bupati Kabupaten Lebak.

5. Jawara sebagai elit tradisional yang memiliki pengaruh besar ternyata

menjadi salah satu aktor yang menentukan dalam meraih kedudukan

politik di Kabupaten Lebak.

B. Saran

Keberadaan jawara di tengah-tengah masyarakat merupakan sebuah

keniscayaan dalam kehidupan masyarakat banten. Jawara merupakan sosok elit

tradisional yang tidak dapat dipisahkan struktur dan kultur masyarakat banten.

Keikut sertaan jawara dalam politik merupakan hak politik jawara yang tidak bisa

terbantahkan, tapi yang jadi permasalahan adalah adanya upaya mobilisasi massa

yang dilakukan jawara dengan cara-cara yang tidak sopan tentunya tidaklah patut

untuk dilakukan. Selain karena bertentangan dengan etika-moral yang baik, hal ini

juga bisa menurunkan prestige yang melekat dalam diri jawara. Sikap jawara yang

terlalu pragmatis tentunya akan mengindikasikan kedudukan jawara sebagai anak

buah penguasa.

Jawara dalam politik seharusnya bisa lebih memposisikan dirinya sebagai

orang yang netral terhadap proses-proses politik. Dengan demikian kedudukan

jawara sebagai elit tradisional tetap memiliki prestige.

Page 86: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

75

Daftar Pustaka

Buku

Abdillah, Masykuri, Demokrasi Di Persimpangan Makna: Respon Intelektual

Muslim Indonesia terhadap konsep Demokrasi, Yogyakarta, Tita Wacana,

1999.

Abdullah, Taufik, Banten Dalam Pergumulan Sejarah, Jakarta, LP3S, 2004.

Al-abbas, Tb. Ismaetullah, apa dan siapa orang banten?: Pandangan Hidup,

Kosmologi dan Budaya, Serang, Biro Humas Setda Provinsi Banten, 2005.

Apter, David E., Pengantar Analisa Politik, Penj. Setiawan Abadi, Jakarta, LP3ES

cet. II, tahun 1987.

Budiardjo, Miriam, Dasar Dasar Ilmu Politik. Edisi Revisi. diterbitkan oleh PT.

Ikrar Mandiriabadi, Jakarta, 2008.

Budiardjo, Miriam, Partisipasi dan Partai Politik : Sebuah Bunga Rampai Edisi

Ketiga, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1998.

Haris, Syamsuddin, Lili Romli, dkk, Membangun Format Baru Otonomi Daerah,

Jakarta, LIPI, 2006.

Hidayat, Syarif, Shadow State…? Bisnis dan Politik di Provinsi Banten, dalam

Henk Schulte Nordholt dan Gerry Van Klinken (ed),Politik Lokal Di

Indonesia, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2007.

H.R, Syaukani, Kapita Selekta Otonomi Daerah, Jakarta, Nuansa Madani, cet. I,

2002.

Huntington, Samuel P., dan Joan M. Nelson, Partisipasi Politik: Tak Ada Pilihan

Mudah, Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 1998.

Page 87: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

76

Kartodirjdo, Sartono, Pemberontakan Petani Banten 1888, Jakarta, Pustidaka

Jaya, 1984.

Lubis, Nina Herlina, Banten dalam pergumulan sejarah: Sultan, Ulama, Jawara,

Jakarta, Pustaka LP3ES Indonesia, 2003.

Maran, Rafael Raga, Pengantar Sosiologi Politik, Jakarta, Rineka Cipta, 2001.

Marbun. B.N, Otonomi Daerah 1945-2010, Jakarta, Pustaka Sinar Harapan, cet. II

Edisi Revisi, 2010.

Mas‟oed, Mochtar, Perbandingan Sistem Politik, Yogyakarta, PT. Suara Bebas,

2006.

Moechtar, Multatuli: Pengarang Besar, Pembela Rakyat Kecil, Pencari Keadilan,

dan Kebenaran, Pustaka Jaya, 2005.

Plano, Jack C., dkk, Kamus Analisis Politik, Penj. Drs. Edi S. Siregar, CV

Rajawali, cet. I, Jakarta,

Pribadi, Toto, dkk, Sistem Politik Indonesia, Jakarta, Universitas Terbuka, 2006.

Rahardiansah, Trubus, Pengantar Ilmu Politik: Konsep Dasar, Paradigma, dan

Pendekatannya, Jakarta, Universitas Trisakti cet. I, 2006.

Alamsyah, Andi Rahman, Islam, Jawara & Demokrasi. Jakarta, PT Dian Rakyat,

2009.

Rahman, Arif, Sistem Politik Indonesia, Surabaya, SIC, 2002.

Rasyid, Muhamad Ryaas, Kajian Awal Birokrasi Pemerintahan & Politik Orde

Baru, Jakarta, Yasrif Watampone Cet. II, 1998.

Rush, Michael, dan Philip Althoff. Pengantar Sosiologi Poiltik, Jakarta, PT. Raja

Grafindo Persada, 2000.

Page 88: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

77

Subakti, Ramlan, Memahami Ilmu Politik. Jakarta, PT Grasindo cet I, 1999.

Sutisna, Agus dan Amir Hamzah (ed), 177 Tahun Kabupaten Lebak : Negeri Yang

Sedang Bersolek, Kabupaten Lebak, Dinas Informasi Komunikasi Seni

Budaya dan Pariwisata (Inkosbudpar), 2005.

Suyanto, Bagong (ed), “Penelitian Kualitatif : Sebuah Pengantar,” dalam Metode

Penelitian Sosial : Berbagai Alternatif Pendekatan, Jakarta, PT. Kencana,

2006.

Maarif, Ahmad Syafi‟I, Islam dan Masalah Kenegaraan, Jakarta, LP3ES, 1985.

Ubaidillah, Ahmad & Abdul Rozak, Pendidikan Kewarganegaraan (Civic

Education): Pancasila, Demokrasi, HAM dan Masyarakat Madani, Edisi

Revisi, Jakarta, ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2005.

Urbaningrum, Anas, Islamo-Demokrasi : Pemikiran Nurcholis Madjid, Jakarta,

PT. Republika, 2004.

Tesis

Ahmad Abrori. Perilaku Politik Jawara banten Dalam Proses Politik Di Banten.

Tesis Fisip Universitas Indonesia

Jurnal

Romli, Lili, Jurnal Domokrasi dan HAM, Demokrasi Lokal dan Pilkada, Jakarta,

Habibie Center, 2000.

Page 89: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

78

Website

http://raconquista.files.wordpress.com/2009/04/minggu-ii-suwandi-konsepsi-

otda.pdf Konsepsi Dasar Otonomi Daerah Indonesia, akses: 19 April 2011.

http://www.djpp.depkumham.go.id/database-peraturan/uud-ri-tahun-1945.html

UUD 1945, akses: 16 Oktober 2012

http://www.drsp-usaid.org/publications/index.cfm?fuseaction=throwpub&id=214

Naskah Akademik UU Pilkada, akses: pada 20 April 2011.

http://sobatbaru.blogspot.com/2008/04/pengertian-demokrasi-dan-

hubungannya.html Pengertian Demokrasi Dan Hubungannya Dengan Pilkada,

akses: 20 April 2011.

http://vivinzeey.blogspot.com/2011/05/pengaruh-budaya-politik-terhadap.html

Pengaruh Budaya Politik Terhadap Perkembangan Demokrasi Di Indonesia,

akses: 29 Desember 2012.

ttp://muslimpoliticians.blogspot.com/2011/01/budaya-politik-sosialisasi-

politik_03.html Saddam Rafsanjani, Budaya Politik, Sosialisasi politik, &

Partisipasi Politik, akses: 29 Desember 2012.

http://pilkadalebak.wordpress.com/2008/05 tempo interaktif, akses: pada 25

November 2012.

http://imnbanten.wordpress.com/2008/10/21/kpud-lebak-tetapkan-mulyadi-amir-

pemenang-pilkada/ akses: 25 November 2012.

http://www.lebakkab.go.id/index.php?pilih=hal&id=6 Kabupaten Lebak, akses: 6

Oktober 2012.

Page 90: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

79

http://www.tembi.net/en/news/beritabudaya/romusa--sejarah-yang-

terlupakan1713.html. Romusa: Sejarah Yang Terlupakan, akses: 30 September

2012.

http://resources.unpad.ac.id/unpad-

content/uploads/publikasi_dosen/Kejawaraan.pdf Kejawaraan Dalam Dinamika

Sejarah Kabupaten Lebak, akses: 1 oktober 2012

Wawancara

Wawancara pribadi dengan K.H. Baijuri, S.Ag, M.Pdi. (Dosen IAIN SMH Serang

Banten dan Latansa Mashiro Rangkasbitung) di Rangkasbitung. Pada tanggal 1

November 2012.

Wawancara dengan Agus Sutisna (Anggota KPU Kabupaten Lebak tahun 2003-

2008 dan Ketua KPU Kabupaten Lebak tahun 2008-2013) pada tanggal 29

Agustus 2013.

Wawancara pribadi dengan Rusmani (Ketua BPPKB Provinsi Banten) pada

tanggal 21 September 2013.

Wawancara pribadi dengan Abdul Hadad (Sekretaris TTKDH Kab. Lebak) pada

tanggal 29 Agustus 2013.

Page 91: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

Transkrip Wawancara dengan Ketua KPUD Lebak: Bpk. H. Agus Sutisna, pada

29 Agustus 2013.

P: bagaimana pelaksanaan pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008?

J: pelaksanaan pilkada Lebak pada tahun 2008 dalam segi tahapan dan jadwal

tidak ada yang terganggu dan berjalan normal. Tetapi memang banyak

diwarnai dengan demonstrasi terkait dengan isu Ijazah palsu milik H. Mulyadi

Jayabaya, baik dalam tahapan pencalonan dan pemungutan suara.

P: Apakah dalam pelaksanaan pilkada Lebak tahun 2008 jawara memiliki peran

besar dalam mendukung pasangan calon bupati dan wakil bupati?

J: peran jawara dalam pilkada lebak sebagai mobilisator masssa. Jawara sebagai

tim sukses sangat berperan dalam pilkada Lebak tahun 2008. Bahkan setiap

gerakan masyarakat dalam pilkada tersebut bisa disebut yang

melatarbalakanginya adalah jawara. Karena masyarakat ataupun kelompok lain

yang biasanya passif jadi aktif karena ada backing dari jawara. Bahkan jawara

mampu menghentikan para demonstran yang saling menghadang antar calon

pendukung hanya dengan pesan singkat (sms).

P: selain jawara ada sosok lain yang memiliki pengaruh di Kabupaten Lebak yaitu

kiayi. Bagaimana peran kiayi? Apakah ada perannya melampaui peran jawara

dalam pilkada?

J: jika dibandingkan jawara dengan kiayi, pengaruh kiayi kalah oleh jawara. Hal

ini dikarenakan kiai bertentangan dengan kedudukan mereka sebagai pemuka

agama, sehingga kental keterkaitannya dengan urusan moral. Berbeda dengan

jawara yang pragmatis, mereka tidak mempersoalkan mengenai moral. Peran

jawara lebih menonjol dibandingkan dengan kiayi.

P: bagaimana KPUD merespon pengunduran diri dua pasangan calon terkai isu

ijazah palsu milik incombent H. Mulyadi Jayabaya?

J: konstelasi pilkada Lebak tahun 2008 itu bisa dianggap sebagai milik H.

Mulyadi Jayabaya. Hal ini dikarenakan kesuksesan H. Mulyadi Jayabaya dalam

membangun Kabupaten Lebak, sehingga hal ini menjadi pertimbangan berat

pasangan lawan. Dengan adanya isu ijazah palsu ini menjadi celah lawan

Page 92: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

politiknya sebagai sasaran tembak untuk melemahkan H. Mulyadi Jayabaya.

Dengan alasan tersebut pasangan lawannya HM-HG dan Yas’a-Sudirman

menekan KPUD untuk tidak meloloskan pasangan MULYA, sedangkan KPUD

tidak punya kewenangan untuk memutuskan apakah ijazah itu palsu atau tidak,

kewenangan KPUD hanya menyelenggarakan pilkada berdasarkan regulasi

perundang-undangan. Karena alasan itu KPUD tetap meloloskan pasangan

MULYA. Terkait dengan keputusan KPUD yang tetap meloloskan pasangan

MULYA ini, pasangan lawan HM-HG dan Yas’a-Sudirman mengajukan

pengunduran diri. Tapi KPUD menolak pengunduran diri mereka karena tidak

sesuai dengan perundang-undangan dan tetap melanjutkan pelaksanaan pilkada

tahun 2008.

Page 93: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

Transkrip Wawancara dengan Ketua Umum BPPKB : Bpk. Rusmani, pada 21

September 2013.

P: Bagaimana pendapat jawara terhadap adanya pelaksanaan pemilihan bupati

dan wakil bupati (pilkada) langsung tahun 2008?

J: Jawara mendukung dengan diadakan Pilkada, karena masyarakat dapat memilih

dan menentukan pemimpin mereka.

P: Bagaimana peran jawara dalam Pilkada Kabupaten Lebak tahun 2008?

J: Adanya calon yang sudah dekat dengan saya dan sudah memperlihatkan

kinerjanya pada periode sebelumnya, untuk apa pilih calon yang lain yang

belum terbukti kinerjanya.

P: Apakah dari pihak jawara sendiri ada kontrak politik dengan calon bupati

periode sebelumnya?

J: Kalau dari kontrak politik secara tertulis tidak ada, kita tinggal melanjutkan

hubungan antara kami dengan mereka yang sudah terjalin saja.

P: apa peran/posisi jawara?

J: peran jawara sebagai tim sukses untuk memenangkan pasangan calon bupati

dan wakil bupati H. Mulyadi Jaya Baya dan H. Amir Hamzah

P: Bagaimana cara jawara untuk mendukung dan mensukseskan pasangan calon

bupati dan wakil bupati H. Mulyadi jayabaya dan H. Amir Hamzah?

J: Forkabi memulai bersosialisasi kepada seluruh kalangan masyarakat agar

masyarakat bisa memberikan suaranya.

Page 94: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

Transkrip Wawancara dengan Sekjen TTKDH : Bpk. A. Hadad Jumat 29 Agustus

2013.

P: Apakah TTKDH dapat dikatakan sebuah ormas kepentingan politik di

Kabupaten Lebak?

J: tentu saja bukan. TTKDH adalah tempatnya orang-orang yang mempunyai

kemampuan beladiri. Tapi kalau ada hal yang menyangkut kesejahteraan

masyarakat TTKDH juga tidak segan-segan membantu masyarakat, tapi kalau

dikatakan sebagai ormas politik tentu saja TTKDH bukan ormas politik.

P: Bagaimana dengan maksud dukungan TTKDH terhadap pasangan bupati dan

wakil bupati?

J: Ya, menurut saya itu sah-sah saja, karna TTKDH juga bagian dari masyarakat

memiliki hak untuk mendukung siapa saja, termasuk pasangan H. Mulyadi

Jayabaya. Selain itu dibanding dengan pasangan H. Mulyadi Jayabaya sudah

terbukti bisa memajukan Kabupaten Lebak selama dia memimpin, jadi

masyarakat sudah percaya.

P: Bagaimana dukungan TTKDH untuk memenangkan pasangan bupati dan wakil

bupati H. Mulyadi Jayabaya dan H. Amir Hamzah?

J: kami intruksikan kepada semua anggota TTKDH untuk memilih pasangan

tersebut, termasuk mengkapampanyekan tapi tidak terbuka.

Page 95: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

Transkrip Wawancara dengan cendikiawan Kabupaten Lebak : Bpk. K.H. Baijuri,

S.Ag, M.Pdi. pada 01 November 2012.

P: bagaimana menurut bapak pelaksanaan pilkada di Kabupaten Lebak?

J: pelaksanaan pilkada di Kabupaten Lebak berjalan normal-baik sebagaimana

mestinya. Walapun ada isu pengunduran diri dua pasangan calon terkait isu

Ijazah palsu H. Mulyadi Jayabaya tapi pilkada tetap saja berjalan sebagaimana

mestinya.

P: bagaimana menurut bapak bisa dilaksanakan pilkada tersebut sedangkan dua

pasangan lain mengundurkan diri?

J: jadi memang agak rancu melanjutkan pilkada yang diiringi dengan

pengunduran diri dua pasangan calon lain tersebut, tapi memang KPUD tidak

punya kewenangan dalam mengeksekusi isu tersebut. Jadi menurut saya

KPUD sudah tepat terus melaksanakan pilkada tersebut. Kalaupun mau

dikasuskan seharusnya kedua pasangan calon tersebut jauh-jauh hari dan

tuntutannya bukan kepada KPUD Lebak.

P: bagaimana peranan kiayi dan jawara dalam pilkada Kabupaten Lebak?

J: sebenarnya kiayi tidak memiliki andil besar dalam proses demokrasi terkait

pilkada tahun 2008. Hal ini dikarenakan kiayi berbenturan dengan persoalan

etika, karena kalau kiayi berperan aktif sedangkan pasangan yang

didukungnya tidak berpihak pada rakyat maka citra kiayi akan buruk. Berbeda

dengan jawara kalau jawara sangat berperan aktif dalam pilkada tahun 2008,

karena mereka tidak punya beban moral.

P: bagaimana sejarahnya sehingga jawara lebih dekat kaitannya dengan politik?

J: jawara pada masa setelah kemerdekaan menjadi dua, pertama, jawara kembali

pada “orang tuanya” mendampingi para kiayi dalam proses penyiaran agama

Islam. Kedua, jawara yang terkontaminasi dalam arus pusaran politik lokal

maupun nasional yang bahkan lebih kental pada masa sekarang. Hal ini

dikarenakan jawara pada masa sekarang sangat pragmatis.

Page 96: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

Lampiran.

Peta Provensi Banten.

Peta Kabupaten Lebak.

Logo Kabupaten Lebak.

Page 97: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

Logo BPPKB.

Logo TTKDH.

Logo KPUD Kabupaten Lebak.

KABUPATEN LEBAK

Page 98: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

Poto wawancara dengan KPUD Kabupaten Lebak.

Poto wawancara dengan K.H. Baijuri

Page 99: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

Poto wawancara dengan BPPKB

Poto wawancara dengan sekretaris TTKDH

Page 100: DEMOKRASI OTONOMI DAERAH DAN PERILAKU POLITIK …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24233/1/SKRIPSI... · masyarakat telah mengalami pergeseran sosial menjadi strata

Nama Calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Lebak Periode 2008-2013.

Partai Politik Pendudukung Calon Bupati dan Wakil Bupati.

H. Mulyadi Jayabaya

H. Amir Hamza

H. Mardini

Wijaya Ganda

Sungkawa

M. Yas’a Mulyadi

M. Sudirman

1. Partai Demokrasi

Indonesia Perjuangan

(PDI-P).

2. Partai Golongan Karya

(GOLKAR).

3. Partai Demokrat.

4. Partai Kebangkitan

Bangsa (PKB).

5. Partai Keadilan

Sejahtera (PKS).

6. Partai Amanat Nasional

(PAN).

7. Partai Bulan Bintang

(PBB).

8. Partai Bintang

Reformasi (PBR).

1. Partai Persatuan

Pembangunan (PPP).

2. Partai Nasionalis

Indonesia-Marhaen

(PNI-Marhaen).

3. Partai Pelopor

1. Independen