DEMOKRASI DALAM PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID

208
DEMOKRASI DALAM PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos.) Diajukan Oleh: Ato Sugiarto 103033227781 PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H./2010 M.

Transcript of DEMOKRASI DALAM PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID

DEMOKRASI DALAM PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID

Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Sosial (S.Sos.)

Diajukan Oleh:

Ato Sugiarto 103033227781

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1430 H./2010 M.

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul DEMOKRASI DALAM PANDANGAN

ABDURRAHMAN WAHID telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 27 Januari 2010.

Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Sosial

(S.Sos.) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam.

Jakarta, 27 Januari 2010

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota,

Sekretaris Merangkap Anggota,

Idris Thaha, M.Si. NIP: 19660805 200112 1 001

Dra. Wiwi Siti Sajaroh, M.Ag. NIP: 19690210 199403 2 004

Anggota

Dra. Haniah Hanafie, M.Si. NIP: 19610524 200003 2 002

M. Zaki Mubarok, M.Si. NIP: 19730927 200501 1 008

DEMOKRASI DALAM PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID

Skripsi Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Filsafat

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos.)

Oleh Ato Sugiarto

NIM: 103033227781

Di Bawah Bimbingan

Idris Thaha, M.Si. NIP: 19660805 200112 1 001

PROGRAM STUDI PEMIKIRAN POLITIK ISLAM FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1430 H./2010 M.

LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 16 Desember 2009

Ato Sugiarto

ABSTRAK

Ato Sugiarto Demokrasi dalam Pandangan Abdurrahman Wahid

Demokrasi Pancasila yang digulirkan Orde Baru secara sederhana digambarkan

Abdurrahman Wahid sebagai “demokrasi seolah-olah”. Seolah-olah demokrasi padahal di

dalamnya semua komponen demokrasi ditelikung dan dibendung. Orde Baru telah menjadikan

Pancasila sebagai quasi ideologi apologetik untuk membungkus praktik kekuasaan tiranik

dengan nilai-nilai demokrasi yang Pancasilais hingga melahirkan Otoritarianisme penafsiran

yang kemudian menjadikan Pancasila sebagai milik mutlak dari pemerintah, dan demokrasipun

menjelma formalisme prosedural yang despotik.

Dari ruang inilah gagasan demokrasi Abdurrahman Wahid lahir. Sebagai antitesa dari

demokrasi Pancasila a la Orde Baru yang secara concern beliau perjuangkan. Baginya,

demokrasi yang hanya bertumpu pada institusionalisasi; trias politica, pemilu, Komnas HAM

dan seterusnya belum bisa menjamin terpenuhinya rasa keadilan, persamaan hak serta

kebebasan.

Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana seharusnya demokrasi diaplikasikan dalam

pandangan Abdurrahman Wahid. Dari penelitian ini kemudian diketahui bahwa

konstitusionalisasi demokrasi melalui upaya mewujudkan kedaulatan hukum merupakan

prasyarat utama bagi demokrasi.

Elemen penting lainnya yang merupakan pilar demokrasi baginya adalah pentingnya

penegakan Hak Asasi Manusia, peningkatan kesejahteraan rakyat, penghargaan terhadap

pluralitas dan pemberdayaan masyarakat sipil. Kelima hal inilah yang pada akhirnya harus kita

perjuangkan secara konsisten demi terwujudnya keadilan, persamaan hak dan kebebasan

sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Dasar 1945.

v

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah SWT, Shalawat serta salam saya haturkan

kepada junjungan Nabi Muhammad SAW. sehingga penulis dapat menyelesaikan

penyusunan skripsi yang saya beri berjudul “Demokrasi dalam Pandangan

Abdurrahman Wahid”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan

memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Selain itu penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sedalam-

dalamnya kepada semua pihak yang telah membantu baik materil maupun moril

dalam penyusunan skripsi ini taerutama kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Bachtiar Effendi, MA. selaku Dekan Fakultas ISIP (Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Idris Thaha, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan masukan-masukan kritik maupun saran yang sangat berarti

bagi penulis, serta kesabarannya memberikan waktu untuk membimbing

penulis

3. Seluruh dosen dan staf akademik prodi Pemikiran Politik Islam Fakultas

Ilmu Sosial dan ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Ayahanda Bapak Rusman, dan ibunda Sarah yang senantiasa membasahi

kedua lisannya dengan curahan do’a bagi keberhasilan penulis meraih cita

dan harapan, pula tidak penulis lupakan H. Muhammad Salam serta

keluarga yang telah membantu mengarahkan penulis untuk tetap fokus

dalam menyusun skripsi ini.

5. Ketua Yayasan Citra Nurul Falah dan seluruh dewan guru di Sekolah Citra

Alam Ciganjur yang telah memberikan fasilitas yang digunakan penulis

demi lancarnya penyusunan skripsi ini.

6. Seluruh teman-teman alumni Pesanten Luhur Sabilussalam terutama: Jang

opik dari Karawang, Yazid dari Sukabumi, Fa’ri dari Cimone, wa Ucup

vii

dari Tasikmalaya, Ujang dan Sugih dari Bogor, Istiyanti, Alfine Harista

Dewi, yang telah memberikan kontribusinya dalam penyusunan skripsi ini.

Akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat

bagi para pembaca yang ingin mempelajari lebih jauh tentang pemikiran

kenegaraan Adurrahman Wahid tentang demokrasi.

Jakarta, 5 Maret 2010

Ato Sugiarto

viii

DAFTAR ISI

ABSTRAK ......................................................................................................... i KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii DAFTAR ISI ...................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ............................................................... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..................................................... 4

D. Tinjauan Pustaka ........................................................................... 5

E. Metode Penelitian ........................................................................ 6

1. Pendekatan Penelitian ........................................................... 6

2. Sumber Data .......................................................................... 7

3. Analisis Data ......................................................................... 7

4. Sistematika Penulisan ........................................................... 7

BAB II TEORI DEMOKRASI: SEBUAH KERANGKA KONSEPTUAL A. Definisi dan Parameter Demokrasi ............................................... 11

B. Demokrasi: Ide dan Realitas Politik ............................................ 17

C. Varian-varian Demokrasi ............................................................. 24

1. Demokrasi Konstitusional ...................................................... 24

2. Demokrasi Rakyat ................................................................... 27

3. Demokrasi Pancasila ............................................................... 29

BAB III BIOGRAFI ABDURRAHMAN WAHID A. Pesantren: Dunia Pergumulan Intelektual .................................... 31

B. Dari Memimpin NU Hingga Menjadi Presiden RI ...................... 36

ix

C. Perjuangan Kultural: Pemikiran dan Aksi Politik ........................ 40

BAB IV PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID TENTANG DEMOKRASI A. Pilar-pilar Demokrasi .................................................................... 45

1. Kedaulatan Hukum ................................................................. 45

2. Penegakan Hak Asasi manusia .............................................. 50

3. Peningkatan Kesejahteraan Rakyat ........................................ 55

4. Penghargaan terhadap Pluralitas ............................................ 58

5. Pemberdayaan Masyarakat Sipil ............................................ 50

B. Relasi Islam dan Demokrasi ......................................................... 63

C. Analisis Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Demokrasi ...... 70

BAB V PENUTUP 1. Kesimpulan ................................................................................. 73

2. Saran ........................................................................................... 75

DAFTAR PUSTAKA

Bab 01

Pemikiran Politik Gus Dur

Membicarakan pemikiran politik Gus Dur, tidak bisa terlepas dari kenyataan

bahwa Ia berada pada posisi beyond the symbols1. Berbagai macam simbol atau peran

melekat pada dirinya. Hal ini disebabkan oleh pemahaman Gus Dur sendiri

terhadap realitas sosial yang multi dimensi, sehingga tanggapan atas realitas

tersebut tidak bisa bersifat monolitik. Secara psikologis, Gus Dur besar diantara “tiga

dunia”; yakni pertama, dunia pesantren yang penuh dengan ortodoksi, berstruktur

hirarkis, feodal dan serba mengedepankan etika formal. Kedua, dunia Timur Tengah

yang terbuka dan keras, dan ketiga, budaya Barat yang liberal, rasional dan sekular

(Al-Zastrouw, 1999: 32).

Dari kompleksitas kepribadian inilah, terbentuk perspektif pemikiran dan

perhatian yang multi dimensi. Mulai dari revivalisme pesantren, kritik pragmatisme

pembangunan, pembaruan pemikiran agama, pribumisasi Islam, penjagaan budaya,

sistem politik demokratis, dsb. Disisi lain berbagai peran yang bisa saling

berlawanan satu sama lain yakni kyai, ketua ormas tradisional, pemikir liberal-

humanis, politisi, aktivis LSM, budayawan, dan Presiden RI, membuat Gus Dur tak

bisa lepas dari kontradiksi. Contoh, ketika sebagai presiden dari kalangan muslim

malah mengusulkan diperbolehkannya lagi ajaran komunisme berkembang, padahal

sebagai presiden apalagi muslim, ia seharusnya tetap mengubur ideologi “sesat”

yang dikutuk kaum muslim dan bersifat traumatik dalam rekaman sejarah orang

Indonesia, semuanya terjadi karena Gus Dur selain berperan sebagai presiden-kyai,

juga seorang pemikir humanis.

Dalam Teologi Politik Gus Dur (2004), Listiyono Santoso menelusuri pemikiran

politik Gus Dur dari perspektif paradigma teologinya. Pengambilan angle (sudut

pandang) ini merupakan penggambaran pemikiran demokrasi Gus Dur ketika

berhadapan dengan isu relasi antara agama dan negara. Karena dalam kehidupan

demokratisasi terlebih Indonesia, keinginan untuk menyatukan agama dengan

1 Meminjam judul buku Beyond the Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, Tim INCReS, Bandung : INCReS, 2000.

1

negara pada tataran formal state merupakan kegelisahan sepanjang masa, meskipun

sejak Proklamasi 1945, Indonesia oleh beberapa founding fathers (termasuk

agamawan) sudah final merumuskan bentuk negara Indonesia adalah nation state

berdasarkan azas pluralisme Pancasila.

Gus Dur dalam hal ini memaklumi kegelisahan tersebut. Menurutnya,

keinginan sebagian muslim untuk menjadikan Islam sebagai azas negara

dikarenakan Islam sendiri merupakan agama hukum. Sebuah agama hukum

haruslah menentukan dengan rinci hubungan antara negara dan hukum itu sendiri,

agar ajaran Islam yang berupa hukum-hukum agama itu bisa terlaksana dalam

kehidupan.

Gus Dur sendiri menurut Listiyono juga setuju dengan penyatuan agama

dengan negara, makanya pemikiran politik Gus Dur (dan seluruh concern

pemikirannya) bersifat teologis. Hanya saja, penyatuan agama dan negara bagi

penganut Islam substantif ini tidak bersifat formal, sebab Islam tidak mengenal

doktrin tentang negara, tetapi sebagai agama, Islam merupakan landasan keimanan

warga negara dan pemberi motivasi spiritual dalam menjalankan negara. Pemikiran

Gus Dur ini memiliki kecenderungan kepada sekularisasi politik yang lebih

mengartikan adanya prinsip membedakan, bukan memisahkan agama dengan

politik sebagaimana prinsip sekularisme murni.

Bagi Gus Dur (1999: 186), yang profan diprofankan, yang sakral disakralkan,

tidak dicampur-adukkan secara a-rasional dan a-histories. Itulah sebabnya Gus Dur

lebih mencita-citakan “Republik Bumi” yang dipertahankan sampai ke sorga,

daripada “Kerajaan Tuhan” di bumi. Gus Dur kemudian tidak menginginkan

idealisasi negara dari perspektif Islam, melainkan lebih menekankan aspek praktis

dan substansial dari negara itu sendiri, dalam perspektif Islam. Dalam hal ini,

mekanisme demokrasi kemudian menjadi kaidah konstitutif yang mutlak. Sehingga

ketika ada tuntutan penerapan syari’ah Islam pada level hukum nasional, maka

harus dikembalikan kepada UUD 1945, yang didalamnya menyerahkan segala

pengaturan ketata-negaraan kepada kedaulatan rakyat melalui perwakilannya (L

Santoso, 193-199).

2

Penelusuran pemikiran relasi agama dan negara Gus Dur juga dilakukan oleh

Fahrurroji M Bukhori (2003) dalam Membebaskan Agama dari Negara : Komparasi

Abdurrahaman Wahid dan Ali Abd Raziq. Dalam buku ini, pemikiran Gus Dur

dikategorikan masuk dalam perspektif fungsionalisme struktural a la sosiolog

Talcolt Parson, yang menyatakan bahwa hubungan antara agama dan negara bersifat

fungsional. Seperti kita tahu, bahwa teori fungsionalisme berangkat dari konsep

struktur organisme yang masing organnya mempunyai fungsi tertentu. Organisme

biologis tersebut baru bisa aktif secara maksimal ketika masing organ berfungsi

secara proporsional.

Maka, untuk mencapai harmonisasi antara fungsi agama dan negara, haruslah

tercipta sebuah kecocokan antara keduanya, baik pada level nilai, kultur masyarakat,

dan struktur negara. Sayangnya, diantara organ tersebut, sering mengalami

disfungsi, dan inilah yang mengakibatkan disharmoni. Dari sini Gus Dur kemudian

menyimpulkan bahwa, hubungan agama dan negara bisa harmonis ketika masuk

dalam relasi yang substantif. Sementara Ali Abd Raziq dicover oleh Fahrurroji dari

metode analisis wacananya Nasr Hamid Abu Zaid, yang menggunakan analisa

hermeneutik dalam mengkritisi teks-teks keagamaan yang sering dijadikan rujukan

oleh kaum formalisme Islam dalam melegitimasi “jihad” daulah Islamiyyah-nya

(Fahrurroji M B, 2003 : 107-114).

Salah satu hasil riset yang menarik tentang discourse politik Gus Dur adalah

yang dilakukan oleh H Fuad Anwar yang dibukukan dalam Melawan Gus Dur

(2004). Riset tentang gaya komunikasi dan kepemimpinan Gus Dur ini diawali

dengan pembahasan demokratisasi dalam tubuh “Republik Gus Dur” yang menuai

fenomena “perlawanan” terhadap Gus Dur.

Ada tiga kasus perlawanan terhadap Gus Dur. Pertama, perlawanan beberapa

kyai NU terhadap pencalonan Gus Dur sebagai presiden RI dalam Pemilu 2004,

karena faktor gangguan kesehatan mata. Para kyai tersebut menggunakan kaidah

fiqh yang terkodifikasi dalam kitab al-ahkam al-shulthaniyyah milik al-Mawardi

yang menyatakan salah satu syarat kepemimpinan adalah kesehatan fisik. Pada

perkembangan selanjutnya, para kyai ini masuk dalam gerbong pendukung

cawapres KH Hasyim Muzadi yang memang seorang pelawan Gus Dur, terlebih

3

ketika Ketum PBNU tersebut tidak direstui Gus Dur untuk “menikah” dengan

Megawati. Kedua, perlawanan Syaifullah Yusuf dalam interuksi reposisi jabatannya

sebagai Sekjen PKB, dan ketiga, kegagalan tokoh-tokoh besutan Gus Dur dalam

pemilihan gubernur Jawa Timur, bupati Lumajang dan bupati Jombang. Ada

ketidaksingkronan antara interuksi Gus Dur dengan kesepakatan pengurus PKB

level wilayah yang membuat jago dari PKB gagal meraih kursi.

Point gaya komunikasi politik Gus Dur terdapat pada pencoveran dengan

menggunakan analisa sosilogis a la teori Dramaturgi. Teori ini merupakan konsep

interaksi kontemporer dari Erving Goffman dalam The Presentational of Selfin Every

Day Life. Teori ini melihat gaya manuver politik Gus Dur sebagai trik seorang aktor

sekaligus sutradara dalam sebuah pertunjukan drama. Ketika Gus Dur melontarkan

wacana yang kontroversial dan bersifat teatris-simbolik, Gus Dur sebenarnya sedang

berada di atas “panggung depan”, dengan target penciptaan kesan simbolik kepada

para “penonton”, padahal the true reality yang dimaksudkan oleh Gus Dur berada

pada “panggung belakang” di mana skenario drama digodog (H Fuad Anwar, 2004:

50-55).

Gaya komunikasi seperti ini memang khas a la Gus Dur. Pada era perang

terhadap otoritarianisme Orba, gaya zig-zag dengan lontaran-lontaran simbolik dan

tak langsung, terbukti sangat manjur untuk menyerang, bertahan, kemudian

“menghilang”, sehingga seringkali Soeharto kecele ketika menghadapi manuver

pionner Fordem Demokrasi tersebut. Hanya saja gaya “menyerang tak langsung” ini

dikritik oleh James Cladd (2000) sebagai gaya politik kuno yang tidak relevan lagi

untuk “permainan” politik kontemporer. Namun bagaimanapun gaya komunikasi

politik Gus Dur ini telah berhasil menjadikan wacana demokrasi sebagai “hantu”

bagi rezim Soeharto, sekaligus mampu menjaga NU agar tetap survive dalam

keadaan ketertindasan politik.

Rahim pemikiran

Situasi ketika pemikiran Gus Dur dilahirkan adalah era developmentalisme

yang merupakan varian ekonomi-politik dari agenda modernisasi. Kondisi politik

saat itu memang dilematis, akibat strategi depolitisasi Islam oleh Orde Baru (Orba).

Namun, kondisi tersebut ternyata membuahkan blessing in disguise (hikmah

4

tersembunyi), yakni terbukanya ruang bagi transformasi Islam kultural, dalam hal

ini pembaruan pemikiran Islam.

Secara sosiologis, era developmentalisme (khususnya dekade 1970-an) telah

banyak melakukan perubahan basis masyarakat, yang pada akhirnya menciptakan

perubahan pada ranah struktural, hubungan Islam dan negara. Jika pada Orde

Lama, negara selalu dibuat was-was dengan aspirasi politik Islam (Piagam Jakarta),

maka pada era Orba, Islam dan pemerintah berada dalam hubungan simbiosis

mutualisme. Satu sisi, Islam kultural mencoba memberikan legitimasi teologis atas

ideologi tunggal Pancasila, berbarengan dengan terbukanya akses bagi santri kelas

menengah untuk memasuki jabatan strategis baik dalam pemerintahan, birokrasi

dan bisnis. Lahirlah birokratisasi Islam dan Islamisasi birokrasi, yang menandai

pudarnya dikotomi santri-priyayi Geertzian, akibat mobilisasi pendidikan tinggai

kaum santri (priyayinisasi santri).

Seperti kita tahu, mainstream sosio-politik Orde Baru adalah penerimaannya

terhadap gagasan-gagasan pembangunan (development), yang merupakan konsep

ekonomi-politik tertua di Barat. Elemen sentral dari perspektif ini adalah metafora

pertumbuhan (growth), yakni pertumbuhan yang terwujud dalam organisme, laiknya

konsep organisme fungsional Parsonian. Pembangunan, sesuai dengan metafora ini

dihayati sebagai organik, imanen, terarah, kumulatif, evolutif, tak bisa berbalik, dan

bertujuan.

Dalam konsep modernizing paradigm ini, pembangunan dilihat dari perspektif

evolusioner, sehingga keadaan keterbelangan (under developed) dipetakan dalam

berbagai perbedaan yang bisa dilacak, antara bangsa kaya dan miskin. Lahirlah term

Dunia Ketiga, yang menjadi trade mark negara-negara baru pasca-kolonialisme, yang

miskin, tradisional, dan terbelakang, sehingga membutuhkan uluran tangan

kemajuan dan pembangunan dari negara maju (eks-kolonialis). Pembangunan

dengan demikian menjembatani jurang-jurang perbedaan tersebut melalui proses

peniruan (imitative process), dimana bangsa yang kurang berkembang, secara

perlahan mengadopsi kualitas dari bangsa-bangsa industri.

5

Sejak awal 1970-an, pendukung utama paradigma modernisasi ini adalah

kalangan menengah kota yang disebut Liddle sebagai secular modernizing intellectual.

Dengan meminjam perspektif ilmu-ilmu sosial layaknya karya Herb Feith, Geertz,

Edward Shils, Fred Riggs, Eisanstadt, Rostow, dsb, mereka mencoba mempengaruhi

iklim intelektual dimasa pasca-Soekarno dengan slogan-slogan modernisasi dan

pembangunan. Inti dari ideologi pembangunan (isme) tersebut adalah perbedaan

yang tajam antara masyarakat modern dengan tradisional. 2

Secara struktural, sebuah masyarakat modern lebih terdiferensiasi, kendati

terintegrasi, dimana ikatan-ikatan sekular maupun sekunder, mengontrol atas ikatan

suci dan primer. Sementara itu, masyarakat tradisional hanya memiliki sedikit

struktur otonom, dimana ikatan kekeluargaan dan agama sangat dominan.

Meminjam dikotomi Weberian, masyarakat modern lebih menggunakan rasionalitas

instrumental yang memiliki tujuan dan metode pencapaiannya, sementara

masyarakat tradisional masih terjebak dalam rasionalitas nilai, dimana tujuan dari

perilaku sosial dilandaskan pada nilai (tradisi-agama) yang magis, dan tentunya

tidak manageable. Pada tataran politis, modernisasi kemudian menciptakan

“kemajemukan fungsional yang bertata nilai” (fungtional valuational pluralism). 3

Yakni kemajemukan fungsional yang mengakui agama, hanya sebagai salah satu

nilai, diantara sekian banyak bidang kehidupan lain, semisal pemerintahan,

ekonomi, birokrasi, filsafat, ideologi, estetika, dan sistem kemasyarakatan secara

keseluruhan. Agama, dalam hal ini berarti tidak memilki legitimasi fungsional bagi

jalannya pemerintahan, sebab berbagai fungsi sudah diambil alih oleh lembaga-

lembaga rasional dengan manajemen berdasarkan filsafat sekular.

Disinilah Orde Baru melakukan proyek de-Islamisasi besar-besaran, sebagai

satu tahapan utama bagi depolitisasi secara keseluruhan. Rehabilitasi Masyumi tidak

diberikan, sementara partai-partai Islam diikat kedalam PPP, yang sudah

terkondisikan sebagai partai pemerintah. Nama PPP (Partai Persatuan

Pembangunan) pun merupakan kompromi politik yang bersifat pragmatis, yakni

antara terma “persatuan” (ummah) dengan kata “pembangunan”. Hal ini sudah

mengindikasikan pelunakan ideologi Islam oleh ideologi pembangunanisme. 2 Fachry Ali, Akomodasi Non-Politik Islam Indonesia dalam Struktur Orde Baru, Prisma 3, Maret 1991 hlm 87-90 3 Donald E Smith, Agama dan Modernisasi Politik, Jakarta : CV Rajawali, 1985, hlm. 16-17

6

Memang, hubungan Orde Baru dengan Islam mengalami naik-turun. Pada

awal rezim tersebut berdiri, Islam menjadi satu ekstrim kanan bersandingkan

dengan komunisme. Hal ini tentu merupakan prasyarat logis dari orientasi

ekonomisme yang dipilih Orba, sebab pembangunanisme mensyaratkan “matinya

ideologi”. Dalam strukturnya, pembangunan tidak hanya mensyaratkan berlakunya

doktrin evolusionisme : bergantinya masyarakat agraris kepada masyarakat industri,

namun juga menghendaki lunturnya pertarungan politik berdasarkan ideologi,

sehingga energi negara tidak terserap habis untuk mengatasi konflik, tetapi secara

maksimal mengejar surplus ekonomi tingkat tinggi, berdasarkan industrialisasi dan

perdagangan global. Inilah resiko demokrasi, dimana pertarungan berdasarkan

idealisme aliran, harus dikubur, diganti dengan kompetisi rasional dalam parlemen,

melalui mekanisme partai, pemilu, dan kompromi politik.

Dalam kaitan ini, paradigma pembangunanisme telah mengadopsi berbagai

“ketakutan” sosiologis terhadap agama. Diberbagai literatur teoritis, hubungan

agama dan modernisasi, hampir bisa kita pastikan “ketakutan” tersebut. Bryan S

Turner, misalnya selain mendefinisikan agama sebagai bentuk ikatan (cement) sosial

yang menciptakan kohesi sosial ditengah potensi konfliktual, juga melihat agama

sebagai “racun sosial” yang akan memaksa konflik kepentingan diantara kelompok

yang saling bertentangan. Demikian juga Smith yang melihat terjadinya konflik

antara otoritas agama versus negara, jika agama hendak memperluas pengaturan

sosialnya. Semakin “gemuk” agama dalam sistem sosio-politik, maka semakin

lebarlah potensi konflik tersebut. 4

Hal ini seperti kita tahu, adalah ekses hegemoni sekularisasi. Tentu kitapun

mafhum dengan ramalan Weber yang memperlihatkan “keangkuhan” rasionalisasi

dalam mengganti segala bentuk sentimen ideologis, tradisi, dan komunalisme. Tuah

agama, dalam abad rasionalisasi telah digantikan oleh kecanggihan ilmu spesialis

sebagai perubahan otoritas dari rasionalitas nilai kepada rasionalitas instrumental. 5

Apalagi jika kita menyaksikan kekuatan kapitalisme sebagai sistem ekonomi yang

pasti akan menghancurkan dasar-dasar kebudayaan. Schumpeter menyatakan,

4 DE Smith (ed), Religion, Politics and Social Change, The Free Press, 1971, hlm 1-2 5 M Rusli Karim, Agama, Modernisasi dan Sekularisasi, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1994, hlm 9-21

7

meskipun kapitalisme berdiri diatas nilai-nilai tradisional, semisal moral agama,

namun ia memiliki potensi “penghancur kreatif” yang makin memperlemah tradisi

dan oleh karena itu akan merontokkan susunan penopangnya, untuk kemudian

berdiri tegak diatas kredibilitasnya sendir

Dari sinilah Orde Baru kemudian menggerakkan politik integrasi. Yakni

sebuah paradigma yang berhasrat untuk menyatukan semua komponen masyarakat

dalam suatu sistem politik nan stabil. Hal ini merupakan inti paradigma politik

Orde Baru, di mana pembangunan pada level politik, selalu membutuhkan integrasi

pada level sosial. Ini terjadi karena pemercepatan pembangunan ekonomi tidak akan

berhasil, jika pada level masyarakat, konflik baik atas nama agama, ideologi, paham

kelompok, dsb berbenturan. Satu hal yang terjadi pada era Soekarno, di mana politik

menjadi panglima, sehingga benturan ideologi menjadi sesuatu yang niscaya.

Paradigma integrasi ini berangkat dari konsepsi sistem yang melihat

kehidupan sebagai kesatuan jaringan struktur yang saling melengkapi, menuju

tujuan politik nan baku. Seperti tubuh biologis, kehidupan politik dilihat sebagai

kesatuan sel-sel; budaya, agama, ormas, ideologi, dan segenap elemen kultural

masyarakat, yang mengabdi pada tujuan utama sistem politik. Dalam hal ini, tujuan

itu telah diarahkan kepada pembangunan ekonomi, karena dengan tujuan inilah

Orde Baru membedakan dirinya dengan Orde Lama, yang lebih menjadikan

pembangunan politik sebagai tujuan pemerintahan. Dalam model itu, politik

menjadi panglima, di mana kemajemukan ideologi politik diakomodir dalam suatu

model demokrasi terpimpin yang sentralistik. Ini yang membuat orientasi ekonomi

terbengkalai, sehingga kelahiran Orde Baru terbebani oleh inflasi ekonomi yang

tidak stabil. Soeharto hadir untuk membalik situasi itu, yakni super-ordinasi

pembangunan ekonomi atas pergulatan politik ideologis, yang nyata membawa

Indonesia pada konflik sektarian melelahkan. Setidaknya inilah legitimasi yang

diciptakannya, sehingga masyarakat diharapkan percaya bahwa lahirnya Orde Baru,

membawa perbaikan bagi kondisi bangsa yang tercarut oleh marut perbenturan

politik era Soekarno.

Hal inilah yang dalam domain agama melahirkan paradigma integratif, di

mana agama hanya dilihat sebagai unsur pemersatu masyarakat. Ia mengacu pada

8

kesadaran kolektif (collective solidarity) dari sosiologi Durkheim yang menempatkan

agama sebagai lapisan nilai penjaga konsensus moral. Bagi pendekatan ini, agama

kemudian menjelma common denominator (sebutan bersama) bagi kesepakatan

masyarakat.

Paradigma ini yang dikritik Gus Dur, karena dalam sejarah, selain memainkan

peran integrasi, agama terlebih menggerakkan transformasi. Sejak Islam hadir

misalnya, agama ini telah mengamanatkan pembaruan struktur sosial yang egaliter,

melampaui kapitalisme feodal dari elite Mekkah. Cara pandang integrasi kemudian

menjebak agama, dan elemen kultural lainnya dalam suatu gerak statis legitimatif

atas kekuasaan yang ada.

Dari keyakinan akan pembaruan inilah, Gus Dur kemudian menambatkan

basis politiknya pada level kultural. Artinya, domain pemikiran politik beliau lebih

berangkat dari kekuatan budaya, serta orientasi kebudayaan, dibanding

kepercayaan akan institusi. Hal ini wajar, sebab sejak awal, Gus Dur dan masyarakat

nahdliyin lahir dalam rengkuhan kultur, yang otonom, sekaligus mampu

mempengaruhi supra-kultur secara umum. Kepercayaan terhadap kultur ini pada

akhirnya akan menjadikannya sebagai penggerak counter-hegemony, menandingi

hegemoni negara. Jadi, Gus Dur bisa disandingkan dengan Gramsci yang melihat

budaya sebagai elemen penggerak perubahan politik. Satu hal yang membuatnya

melakukan kritik atas Marxisme, yang hanya menempatkan kultur sebagai bias dari

basis struktur ekonomi.

Inilah yang membuahkan orientasi kultural dari demokrasi Gus Dur. Artinya,

demokrasi bukan pergulatan institusional atau teortisnya yang terpenting. Tetapi

praktik demokratisasi pada level budaya. Kebudayaan demokratislah yang

diperjuangkan Gus Dur, karena tanpa hal itu, demokrasi bahkan menjadi kekerasan

simbolik (symbolic violence), di mana negara mempraktikkan penindasan dengan

bersembunyi dalam lembaga-lembaga demokrasi.

Orientasi kultural ini pula yang membuat Gus Dur tidak melakukan revolusi,

karena bagi masyarakat Sunni, muara perjuangan politik adalah kemashlahatan

umat yang terwakili, bukan terpuaskannya idealisme ideologis. Tentu hal ini

9

kemudian membutuhkan suatu pendekatan pergerakan, yang Gus Dur sebut

sebagai sosio-kultural. Pendekatan ini merujuk pada kebutuhan melakukan

pembaruan, bukan pada supra-struktur politik, tetapi pada pelaksanaan nilai dalam

sub-sistem.6 Semisal Pancasila, di mana Gus Dur tidak hendak menggantikannya

dengan ideology Islam. Pancasila sebagai supra-struktur negara tidak diganti,

karena yang terpenting adalah penjagaan atas pelaksanaan nilai-nilai Pancasila

dalam praksis politik. Gerak sosio-kultural kemudian turun ke bumi, untuk

menggerakkan kesadaran masyarakat agar mampu hidup dalam potensi internal

kebudayaannya. Artinya, pendekatan sosio-kultural memiliki dua gerak: kritik atas

penyimpangan nilai pada supra-struktur politik, sembari melakukan pendampingan

masyarakat bawah, guna menggali kemandirian masyarakat yang telah disediakan

oleh basis kultur.

Pemikiran politik Gus Dur juga berangkat dari paradigma pembaruan sosial.

Paradigma ini mengacu pada kebutuhan untuk melakukan modernisasi, bukan dari

ruang luar kesadaran masyarakat, tetapi berangkat dari potensi internal rakyat. Satu

hal yang kemudian menjadi kritik atas pendekatan pembangunanisme yang

memaksakan modernisasi sembari abai terhadap tradisi masyarakat.

Dalam pergulatan modernitas dan tradisi, persoalan yang sering muncul

adalah problem akulturasi. Disini, proses “pembumian” nilai-nilai modernitas yang

hegemonik, haruslah menciptakan identifikasi terhadap wilayah, serta siapa agen

perubahan yang harus dirangkul guna menggerakkan berbagai proyek kemajuan.

Disisi lain, dari pihak masyarakat Dunia Ketiga sendiri haruslah melakukan

identifikasi diri, terhadap segenap kekuatan serta kelemahan: apakah tradisi bisa

beradaptasi, atau bahkan melakukan perlawanan dengan modernitas?

Berangkat dari sinilah, perdebatan siapakah “manusia dan kebudayaan

Indonesia” lahir. Dalam kaitan ini, Gus Dur kemudian memberikan tiga model

pemikiran tentang tipologi manusia pribumi beserta segala tradisinya. Pertama,

pandangan yang menilai manusia Indonesia sebagai bangsa malas, bersikap pasif

dihadapan tantangan modernisasi, dan paling jauh tidak mampu melakukan sesuatu

6 Abdurrahman Wahid, Pengembangan Masyarakat Melalui Pendekatan Keagamaan, dalam Muslim di Tengah Pergumulan, Jakarta: Leppenas, 1981, h., 8-9

10

yang berarti atas prakarsa sendiri. Para kritikus sosial ini kemudian menyalahkan

hidup tradisional yang sudah berlangsung ratusan tahun, struktur pemerintahan

yang tidak demokratis, keterbelakangan dalam segala bidang, serta kekuatan politik

begitu mutlak dari elite yang mampu memperoleh begitu banyak hasil dari karya

yang tidak sebanding artinya dengan kedudukan yang mereka pegang.7

Pandangan ini yang diwakili oleh para penulis (literati) tua, semisal Sutan

Takdir Alisjahbana, berangkat dari satu kritik atas adaptasi masyarakat terhadap

modernitas yang hanya terhenti pada “produk”, tanpa mampu menjadikan nilai-

nilai kebudayaan modern sebagai mentalitas dan sikap hidup. Bagi Sutan,

modernitas adalah suatu kebudayaan yang mempunyai susunan nilai-nilainya

sendiri. Ia menentukan etik maupun disiplin kelakuan manusia berdasarkan satu

paradigma dan tujuan hidup. Disinilah makna kebudayaan modern menemu ruang,

yakni sebuah kebudayaan rasional dimana progresifitas sains dan ekonomi

menggantikan ekspresifitas agama dan seni, guna mencapai tata aturan hukum alam

serta keuntungan atau utilitas yang sebesar-besarnya.

Dalam kebudayaan modern, ilmu (alam) dan ekonomi kemudian melahirkan

industrial civilization, melalui penciptaan teknologi, sehingga hubungan raisonalitas

instrumental antara kedua hal itu menjadi satu kesatuan organik yang tidak dapat

terpisah. Hanya saja substansi dari modernitas ini, menurut Sutan banyak disalah

pahami, dengan hanya mengacu pada berbagai ekses negatif kebudayaan modern

seperti yang terlihat dalam hiburan dangkal penuh sex dan kekerasan, sikap

individualisme dan anarki yang tidak memperdulikan masyarakat, kerusakan moral,

hilangnya agama, dst. Padahal berbagai “sisi gelap” ini merupakan luapan

kebebasan dari sebagian masyarakat modern guna mengatasi kebosanan kehidupan

yang monoton dalam industrialisasi.8 Dari sinilah para kritikus semacam Sutan, atau

Mochtar Lubis kemudian mengkritik mental manusia Indonesia, yang gagal dalam

menemukan “ruh” modernitas semisal ketidakmampuan bangsa dalam menguasai

ilmu pengetahuan dan teknologi, serta ketiadaan disiplin kerja penuh efisiensi,

seperti yang dikehendaki kebudayaan modern.

7 Abdurrahman Wahid, Nilai-nilai Indonesia, Apakah Keberadaannya Kini? Dalam Prisma, No 11, November 1981, h., 3 8 Sutan Takdir Alisjahbana, Pembangunan Kebudayaan Indonesia di Tengah Laju Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Prisma 11, November 1981, h., 23-24

11

Kritik serupa juga dilontarkan oleh SI Poeradisastro. Dalam makalah,

Kebudayaan Indonesia di Pusaran Arus Sejarah, sejarawan kawakan ini juga mengkritik

“mental agraris” dimasyarakat perkotaan Indonesia, yang secara material telah

mengalami industrialisasi, namun secara mental masih tetap bersekukuh dengan

kultur pertanian. Hal inilah yang menurutnya telah menimbulkan mental “mengais

sampah” modernitas berupa ekses hedonistik dari budaya konsumen dan hiburan.

Paparnya:

“Di dalam setiap perjumpaan unsur-unsur kebudayaan, ada dua hal

yang mudah diterima, yakni yang bermanfaat dan menyenangkan indria

(convenient to the senses). Yang menyenangkan dan merayu indria ini pada

umumnya justru yang buruk dan merusak atau setidak-tidaknya dangkal.

Bukan yang terbaik yang dipasarkan dan dipromosikan di Indonesia dari

Eropa, Amerika, Hongkong dan Taiwan, melainkan sebaliknya sampah

dan buih yang hanyut dipermukaan gelombang. Di dalam tabrakan

kebudayaan (clash of cultures) ini kita adalah pihak yang rugi. Kegemaran

mengais sampah ini tak terbatas pada golongan menengah dan atas saja,

melainkan melalui tempat persewaan video-tapes telah mulai menjalar ke

kalangan rakyat jelata, misalnya anak muda putus sekolah. Tapi

konsumerisme yang menyertai hidup memburu kesenangan keseharian ini

tetap merupakan sosis yang diikatkan di ujung cambuk kereta anjing, yang

takkan pernah terjangkau.” 9

Pandangan kedua tentang manusia dan nilai-nilai Indonesia lahir dari sikap

yang sangat mengidealisir nilai-nilai luhur bangsa, serta meletakkan kesemua nilai

tersebut pada kedudukan yang sangat diagungkan, sebagai prinsip pengarah yang

telah membawa bangsa kepada kejayaan kemerdekaan, dan dengan sendirinya

harus akan membawa bangsa pada upaya tak berkeputusan untuk emncapai

masyarakat yang adil dan makmur. Prinsip ini mengambil bentuk “sikap bijaksana”

seperti “keserasian tanpa menghilangkan kreativitas perorangan”, kesediaan

berkurban untuk mengurbankan kepentingan sendiri demi kepentingan orang lain,

melakukan banyak hal untuk orang lain tanpa mengharapkan imbalan (sepi ing 9 SI Poeradisastra, Kebudayaan Indonesia di Pusaran Arus Sejarah, Prisma 11, November 1981, h., 30

12

pamrih, rame ing gawe), kesabaran dihadapan kesulitan dan penderitaan, dst. Karena

adanya sikap demikian bijaksana dalam dirinya, bangsa Indonesia menjadi bangsa

pecinta damai, sopan kepada orang lain tanpa sedikitpun menyerahkan diri kepada

akibat-akibat koruptif dari modernisasi, giat berkarya tetapi memiliki akar yang

dalam pada kehidupan yang kaya dengan refleksi dan meditasi, serta sabar tetapi

tekun dalam membangun masyarakat adil di masa depan. Walaupun bertentangan

satu sama lain, semua nilai diatas telah menjadi bahan kontemplasi paling intensif

dalam penyiapan dan penyelenggaraan indoktrinasi falsafah negara Pancasila,

penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengmalan Pancasila).

Pada titik inilah negara, sebagai representasi paling sah bagi nilai-nilai

Indonesia, kemudian mengambil langkah “pengamanan” atas Pancasila, agar tidak

terjadi penyimpangan penafsiran baik oleh lawan politik (political adversaries)

maupun musuh politik (political enemies). “Pengamanan” Pancasila sebagai ideologi

negara ini senantiasa mengambil bentuk penguasaan aparat pemerintah dan

kelengkapan negara, serta mendayagunakannya bagi perumusan “penafsiran yang

benar” atas ideologi negara.10 Proses ini, yang oleh Gus Dur disebut sebagai

“rekayasa sosial” guna penurunan “suhu ideologi”11 menemu ruang misalnya dalam

penolakan (atas nama) Pancasila oleh para pejabat negara, terhadap liberalisme, baik

dalam bentuk sistem demokrasi maupun filsafat hidup.

Penolakan yang tidak terbatas pada retorika seremoni negara, namun telah

termaktub dalam P4 ini mengacu pada sifat “tidak Indonesia” dalam liberalisme,

semisal budaya politik bersaing asal bersaing saja, yang dianggap membahayakan

pandangan integralistik Pancasila, karena langkanya keseimbangan antara hak

perorangan dengan hak kolektif. Demokrasi liberal juga ditolak karena mendukung

kontradiksi dan instabilitas politik, sementara Demokrasi Pancasila justru

mendukung proses kesatuan dalam keragaman. Dari sini Pancasila kemudian

dibedakan melalui idealisasi nilai-nilai Indonesia. Dikatakanlah bahwa persaingan

dibolehkan, bahkan didorong, guna memungkinkan tercapainya kemajuan. Namun

persaingan harus dilangsungkan secara penuh kesopanan, dipenuhi suasana saling

memberi dan menerima. Yang menang tokh akan mewakili kepentingan semua 10 Abdurrahman Wahid, Agama, Ideologi, dan Pembangunan, Prisma 11, November 1980, h., 14 11 Abdurrahman Wahid, Reideologisasi dan Retradisionalisasi dalam Politik, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta:LKiS, 2000, h., 28

13

pihak, melalui keputusan berdasarkan konsensus. Dengan ungkapan lain, berbeda

dengan liberalisme, Pancasila melihat budaya persaingan sebagai bagian dari proses

pencapaian konsensus yang berwatak integralisitik.12

Pandangan ketiga datang dari kaum akademisi. Pandangan ini tidak mengacu

pada perdebatan kaum “pelap-lap” versus kritkus tradisi, melainkan berangkat dari

satu postulat akademis, bahwa demi ditemukannya nilai-nilai Indonesia, maka kita

harus menggunakan kaidah ilmiah guna menemukan orientasi hidup masyarakat

secara empiris dan objektif. Dalam hal ini Gus Dur melihat adanya transformasi

dalam metodologi riset sosial-budaya yang mengarah pada pemahaman unsur-

unsur kehidupan masyarakat, lebih koheren. Bagi Gus Dur, pendekatan positivistik

dalam antropologi a la Clyde Kluckhohn telah membuat pemecahan berbagai aspek

sosio-budaya kedalam wilayah riset yang terpecah. Hal ini misalnya tercermin

dalam premis antropologis milik Prof. Koentjaraningrat yang melihat orientasi

tertentu masyarakat, seperti mentalitas tradisional berupa ketundukan terhadap

priyayi keraton, sebagai penghambat pembangunan. Kelemahan pendekatan ini Gus

Dur temukan dalam ketidakmampuan peneliti untuk menangkap “..konflik apakah

yang dibutuhkan untuk mengarahkan kembali sebuah nilai yang dianggap negatif

terhadap pembangunan, agar mengikuti jejak nilai lain yang dianggap positif bagi

pembangunan?” Dari sinilah Gus Dur kemudian mengamini sebuah transformasi

metodologis bagi tercapainya riset kebudayaan yang komprehensif dan mampu

masuk dalam “pergulatan sosial” masyarakat.

Panggung politik

Sampai disini, Gus Dur masih “membumikan” pemikiran ideal demokrasinya

kedalam gerakan civil society melalui NU, Fordem dan aktivitas

12 Sayangnya, dalam real politics masih banyak terjadi kontradiksi. Pada satu sisi, pelaksanaan nilai-nilai Pancasila ternyata belum sepenuhnya dilakukan oleh masyarakat. Bahkan dalam banyak kasus, persaingan politik dalam masyarakat masih mencerminkan “persaingan bebas tanpa konsensus” a la liberalisme. Parahnya, kekisruhan tersebut ditambah melalui intervensi pemerintah dalam proses pergulatan politik sipil, seperti yang terlihat dalam intervensi negara pada berbagai suksesi partai politik (era Orba: PDI-PPP). Demikian juga dari sisi pemerintah, belum tercipta tolok ukur penerapan demokrasi integralisitik, sehingga perilaku politik yang masih jauh dari harapan Pancasila masih belum terdeteksi. Permasalahan bertambah ketika hubungan antara liberalisme dan Pancasila juga belum dirumuskan secara komprehensif dengan mengajak berbagai kekuatan bangsa. Faktanya, setiap gerakan, pandangan, dan kritik yang dilakukan masyarakat, akan selalu dianggap subversif, ketika pandangan tersebut tidak sesuai dengan penafsiran pemerintah atas Pancasila. Lihat Abdurrahman Wahid, Pancasila dan Liberalisme, dalam Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Jakarta: Desantara, 2001, h., 63-68

14

kecendekiawanannya. Hingga kemudian, moment reformasi menjadi fase bagi Gus

Dur untuk “membelokkan” strategi gerakannya kepada politik praktis dengan

mendirikan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dilahirkan dari rahim NU.

Banyak yang mempertanyakan pilihan Gus Dur ini, terlebih dari kalangan

anak muda yang telah menjelma gerbong intelektualisme baru NU pasca Khittah 26.

Kebingungan tersebut muncul karena Gus Dur selama menjabat PBNU selalu

menggelorakan gerakan unpolitical politics 13(berpolitik tanpa politik), yakni gerakan

kultural sebagai oposisi bagi politik praktis14. Manifesto Khittah 26 merupakan

usahanya untuk mengembalikan NU kepada jalur civil society yang sebelumnya telah

dibelokkan oleh kaum politisi NU.

Pilihan Gus Dur untuk terjun dipolitik praktis memang merupakan langkah

kontradiktif. Sebab paradigma antara aktivis pergerakan dengan politisi jelas

berbeda dan cenderung berseberangan. Memang keduanya sama-sama praksis. Jika

merunut kepada konsep Bassam Tibi tentang pembaruan Dunia Ketiga, maka Gus

Dur sebagai aktivis atau intelektual organik, telah melakukan kerja transformatif

yang tidak berhenti pada “pembaruan wacana” (layaknya intelektual liberal murni)

akan tetapi melanjutkannya kepada kerja praksis yang masuk dalam kantong-

kantong kebudayaan masyarakat awam.

Sementara kerja politisi, jika merujuk pada konsep politik konvensional seperti

batasan klasik oleh Lasswell (1958) yang mendefinisikan politik sebagai “siapa

memperoleh apa, kapan, dan bagaimana”, atau jika meminjam istilah yang diselalu

dipakai Gus Dur sendiri untuk mendefinisikan politik, yakni politic is the art of

possibility (politik adalah seni kemungkinan), maka praktik politik adalah bagaimana

membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin, sehingga tolok ukurnya

bukan idealitas tetapi kemungkinan dari realitas. Disinilah kemudian “permainan”

menjadi rule of the game, apalagi jika melihat budaya politik Indonesia yang dikuasai

oleh paradigma Machiavellian yakni struggle to power (perebutan kekuasaan), maka

13 Ulil Abshar-Abdalla, Partai, Civic Education dan Wilayah “Netral Politik”, Tashwirul Afkar, Edisi No 4/1999, hlm. 51 14 Term inilah yang kini sudah tidak berlaku lagi, sebab pasca lengsernya Soeharto, Gus Dur menjadi politisi lewat PKB, apalagi pasca lengser kepresidenan, Gus Dur terlihat total masuk dalam politik praktis.

15

16

kerja politisi jelas kontradiktif dengan idealisme pergerakan kaum aktivis yang

berangkat dari ideal untuk ideal.

Bab 02

Kritik Demokrasi Institusional

Pemikiran kenegaraan Gus Dur berangkat dari keprihatinan filosofis, atas

otoritarianisme negara. Satu hal yang lahir dari kritik pendekatan state centered

terhadap konstitusi. Dalam perspektif ini, konstitusi dilihat sebagai payung

legitimatif atas gerak kekerasan negara. Hal ini memang sesuai dengan konsepsi

negara modern yang menempatkan institusi politik tertinggi ini sebagai

pemegang sah hegemoni kebenaran, dan oleh karenanya berhak menggunakan

kekerasan.

Dalam kaitan ini negara kemudian memiliki dua macam kekerasan.

Pertama, kekerasan represif yang diperankan oleh militer, polisi, UU, peradilan,

dan penjara. Wujud kekerasan ini hingga ke relung fisik, sejak dari penyiksaan,

pemenjaraan, hingga pembunuhan, sering atas nama UU. Kedua, kekerasan

koersif yang mengacu pada kekuasaan negara untuk membentuk masyarakat

sesuai dengan standar nilainya. Aparat yang lebih kultural ini diperankan oleh

lembaga pendidikan, departemen kesehatan, kementerian agama, sistem pemilu,

dsb yang merupakan mekanisme reproduktif untuk menjaga stabilitas sistem

politik.1 Kekerasan tetap terjadi, karena masyarakat sering dijebak dalam

ketidaksadaran akan hak fundamentalnya, karena mereka sudah mapan merasuk

dalam sistem.

Pada titik ini, concern Gus Dur lebih pada lapis pertama, yakni

kecenderungan negara untuk menjadikan konstitusi sebagai pembenar praktik

dominatif. Tentu hal ini bermasalah karena sejak awal, konstitusi dilahirkan

dalam rangka kontrak sosial, di mana pemerintah sebenarnya lebih merupakan

pelayan bagi kebutuhan masyarakat. Melalui kontrak sosial, rakyatlah yang

menjadi majikan, sehingga konstitusi dibentuk demi menjamin amanat tersebut

terlaksana, minus praktik koruptif. Ini merupakan kemajuan sistem politik yang

tidak lagi menjadikan monarkhi dan feodalisme sebagai mekanisme

bermasyarakat, karena dalam sistem tersebut tidak terdapat kesetaraan antara

raja dan rakyat. Konstitusi dilahirkan, selain untuk membangun sistem internal

kenegaraan (Trias Politica), juga terlebih untuk membatasi kewenangan negara,

sehingga amanat rakyat tidak terberangus oleh kesewenangan tanpa batas.

1 Jens Bartelson, The Critique of the State, UK: Cambridge University Press, 2001, h., 114-116

1

Bagi Gus Dur, konstitusi harus dikembalikan pada akar filosofis tersebut. Ia

tidak lagi menjelma pelindung konstitusional bagi penindasan negara, tetapi

sebaliknya, menjelma advokasi bagi ketertindasan rakyat oleh negara yang

terlindungi oleh konstitusi. Inilah perebutan tafsir politik itu, di mana Gus Dur

tengah memberikan tafsir populis dan anti-negara atas konstitusi. Deskripsinya :

Konstitusi pada hakikatnya mengatur tentang kekuasaan dan

hubungan kekuasaan di dalam negara, memberi batas tegas pada

wewenang kekuasaan negara, dan sekaligus meneguhkan hak-hak

warganegaranya, berikut menjamin perlindungan baginya. Kita ingin

memberikan penekanan pada segi ini, yaitu bahwa konstitusi justru

diadakan untuk menjamin warganegara dari kemungkinan kesewenang-

wenangan kekuasaan negara. Ini didasarkan faham bahwa pemegang

kekuasaan memang bisa menyalahgunakan kekuasaan.

Cara mendekati seperti ini, berlainan dengan kebiasaan yang

melihat konstitusi sebagai sumber pemberi kekuasaan pada negara;

membuka kemungkinan untuk memahami bahwa kekuasaan negarapun

bisa bertindak ‘inkonstitusional’, yaitu ketika ia bertindak melampaui

batas kewenangan yang ditetapkan dalam konstitusi. Sehingga suatu

pelanggaran atau pengingkaran hak-hak warganegara, bahkan sekadar

penghambatannya oleh kekuasaan negara, baik melalui keputusan

pejabat ataupun peraturan perundang-undangan sekalipun, tidak lain

adalah perbuatan inkonstitusional. Tetapi soalnya, siapa atau badan apa

yang akan menilai konstitusionalitas suatu keputusan, kebijaksanaan

atau peraturan?

Soal yang pelik ini, yang selain bersifat legal juga terutama politis,

tidak akan dapat kita bahas pemecahannya sekarang. Hanya tentu kita

dengan yakin dapat mengatakan, bahwa termasuk dalam proses

demokratisasi ialah usaha untuk menegakkan peradilan yang bebas

(independent judiciary), juga berwenang mengadili gugatan pelanggaran

hak konstitusi warganegara, dan menciptakan suatu instansi penguji

kesesuaian peraturan perundang-undangan dengan konstitusi (judicial

review), apakah itu Mahkamah Agung atau suatu mahkamah konstitusi

tersendiri. 2

2Abdurrahman Wahid, Forum Demokrasi, Sebuah Pertanggungjawaban, sumber tak terlacak, h., 3-5

2

Menarik di sini karena pada dekade 1990 tersebut, Gus Dur sudah

meniscayakan urgensi suatu Mahkamah Konstitusi (MK). Satu hal yang kini

terealisir, tetapi tetap dengan fungsi berbeda. Apa yang diharapkan Gus Dur

adalah mahkamah konstitusi yang menjadi pembela rakyat dari penindasan

konstitusional negara. Ini merupakan paradigma kritis atas kecenderungan

proseduralisme demokrasi, yang sayangnya masih terjadi pada Mahkamah

Konstitusi kita saat ini. Artinya, wewenang MK yang terbatas pada pemberi fatwa

atas perselisihan lembaga-lembaga tinggi negara, tentu tidak cukup memenuhi

harapan Gus Dur di atas. Bagaimanapun, wewenang tersebut tetap berkutat pada

“negara untuk negara” (state qua state), bukan perlindungan kosntitusional dari

penindasan konstitusi. Hal ini memang dilematis, karena situasi politik saat itu,

yakni totaliterisme Orde Baru, membuat Gus Dur perlu memikirkan alternatif

sistem politik. Negara Orde Baru adalah negara Leviathan, yang merasa

bertanggungjawab atas ketertiban politik, dan tentu juga moral, sehingga perlu

untuk menancapkan “cengkeraman politik” nya, di segenap lini kehidupan.

Secara garis besar, konsepsi konstitusi Gus Dur yang anti-otoritarianisme

negara ini merupakan komitmen kritis beliau atas keterjebakan prosedur

demokrasi. Ya, tentu kita tahu, kecermelangan demokrasi yang membuatnya

menjadi “terbaik dari yang terburuk” adalah kemampuannya untuk menciptakan

prosedur politik rasional dan demokratis. Hal ini berangkat dari keprihatinan akan

potensi konflik ideologis antar kelompok politik, yang pasti tidak kondusif bagi

sebuah pemerintahan. Di sini prosedur demokrasi, baik berupa pemisahan dan

pemilahan kekuasaan antara parlemen, eksekutif, dan yudikatif; konstitusi dasar,

metode perumusan undang-undang regulasi publik, penempatan wakil kelompok

dalam sistem multi partai, hingga yang prosedur yang paling menentukan, yakni

pemilu, menjadi praktik politik modern minus konflik dan kecenderungan koruptif.

Demokrasi lahir dari alas pikir ini, mengingat praktik politik tradisional yang

masih meniscayakan keterwakilan ideologis. Satu hal yang dirasa akan

menghambat pembuatan kebijakan publik (public policy) rasional, yang tentu

mensyaratkan absennya emosi kelompok. Ini terjadi karena pembuatan

kebijakan publik berada dalam ruang publik (public sphere). Yakni sebuah ruang

bersama, tempat semua masyarakat merumuskan kepentingan bersama, bukan

kepentingan kelompok. Dalam ruang ini, masing kelompok harus melunakkan

kepentingan golongan, dan secara bersama-sama merumuskan apa yang sering

disebut sebagai agama publik (public religion), berupa keadilan, kesetaraan

3

hukum, pemerataan ekonomi, dsb. Demokrasi masuk dalam ruang ini, dengan

mencipatakan mekanisme dan prosedur rasional, di mana konflik ideologi diganti

oleh konsensus (atau sering menyimpang menjadi kompromi) rasional.

Hanya saja, potensi demokratis dari proseduralisme politik telah ditelikung

oleh dirinya sendiri, akibat pendekatan yang terlalu mengacu pada institusi. Hal

ini wajar, sebab epos politik modern adalah epos tentang implementasi filsafat

politik ke ranah praksis. Jadi, masyarakat politik modern berusaha membumikan

ajaran filosofis tentang apa yang baik dan buruk dalam politik, melalui

pembentukan berbagai institusi politik yang secara legal kemudian dinamai

konstitusi. Sayang, pada titik ini muncul permasalahan, karena gerak substantif

dari filsafat politik tidak begitu mudah terwadahi dalam pelembagaan politik.

Artinya, institusi seperti parlemen misalnya, tidak serta-merta mampu

menjalankan fungsi keterwakilan yang merupakan esensi dari demokrasi.

Representativeness dalam praktiknya telah tertelikung oleh lembaga perwakilan

politik, sehingga banyak aspirasi rakyat yang hanya terhenti pada pembuatan

undang-undang. Dalam kaitan ini, Gus Dur menyatakan:

Dalam keadaan efektif, lembaga-lembaga demokrasi memang

dibutuhkan untuk mekanisme demokrasi. Tetapi bukan berarti

bahwa proses demokrasi cukup disalurkan dalam lembaga-lembaga

itu saja. Hak rakyat untuk menyatakan dan menyatukan

pendapatnya secara langsung tetap merupakan bagian terpenting

dalam mekanisme demokrasi. Keadaan yang kita saksikan sekarang,

sayangnya, adalah terbalik. Sekalipun lembaga-lembaga demokrasi

kurang berfungsi tetapi ia malah dijadikan alibi (bukti) adanya

demokrasi, sambil menjadikan lembaga-lembaga itu satu-satunya

tempat yang sah bagi pemberian izin melakukan kegiatan

pencetusan aspirasi rakyat. Seolah-olah dengan membuat badan-

badan, dengan sendirinya jiwa demokrasi menjadi ada dan hidup. Ini

adalah cara pandang yang sempit mengenai “demokrasi

institusional”. Dengan akibat, dimana seharusnya aspirasi yang

menentukan jenis dan watak lembaga yang dibutuhkan, namun yang

terjadi ialah lembaga-lembaga (institusi) telah membatasi aspirasi

yang dimungkinkan. 3

3 Lihat Gus Dur Dimaki, Gus Dur Disegani, Forum Keadilan, Nomor 02, 14 Mei 1992

4

Dalam situasi seperti inilah Gus Dur kemudian mencetuskan istilah

“demokrasi seolah-olah”. Jadi, seolah-olah demokratis padahal sebenarnya tidak

ada praktik demokrasi. Ini terjadi karena bahkan terbentuknya institusi dan

konstitusi dijadikan alibi bahwa demokrasi telah terlaksana. Ini merupakan

kekerasan simbolik, di mana negara hendak menutup kesadaran kritis

masyarakat atas penyimpangan kekuasaan dari sang penguasa. Dengan adanya

MPR dan DPR, pemerintah menyatakan bahwa aspirasi rakyat telah tertampung

dalam proses legislasi. Dengan adanya Mahkamah Agung dan lembaga peradilan,

seakan rasa keadilan rakyat telah terpenuhi. Dengan adanya Komnas HAM,

persoalan hak asasi manusia seolah telah teradvokasi pemerintah.4 Dalam

kenyataannya, khususnya pada era Soeharto di mana Gus Dur untuk pertama

kali mencetuskan istilah “demokrasi seolah-olah” tersebut, segenap lembaga

politik itu hadir bersama dengan praktik negara yang anti aspirasi, timpang

keadilan, serta haus darah kemanusiaan.

Kritik terhadap institusionalisme demokrasi ini Gus Dur gerakkan, karena

sejak Orde Baru, budaya politik kita telah mengalami birokratisasi. Satu hal yang

memang menjadi ciri khas dari negara modern (nation state). Di sini birokratisasi

dimaknai sebagai proses rasionalisasi politik yang mengarah pada penggunaan

teknokrasi; sebuah teknologi administratif, yang membentuk sistem politik dalam

struktur integratif nan hirarkis. Birokrasi oleh karenanya sering disebut sebagai

kerajaan pejabat (officialdom), karena jangkauan politiknya yang ekslusif, hanya

mengacu pada usaha reproduksi kekuasaan.

Dalam kaitan ini terdapat beberapa ciri birokrasi, yang pada satu titik,

membuat Gus Dur harus mengritiknya. Pertama, keterjebakan administratif.

Memang pada satu sisi, administrasi memberikan kemudahan teknis bagi

perumusan masalah sosial yang kompleks. Namun, ia kemudian melakukan

penyederhanaan (simplifikasi) dengan memasukkan berbagai persoalan sosial

kemanusiaan, ke dalam kategori-kategori verbal yang anti-empati.

Ini yang melahirkan sifat kedua, yakni struktur hirarkis. Sebagai sebuah

sistem, ia membentuk diri (self organizing) dalam struktur hirarkis yang selalu

terkontrol. Hal ini berangkat dari kebutuhan sistem untuk menstabilkan dirinya.

Inilah yang menimbulkan jenjang otoritas dalam pengaturan problem

kemanusiaan. Akhirnya watak anti-kemanusiaan lahir, karena logika hirarki

hanya mengenal penungguan, pelemparan, dan pemaksaan otoritas. Seorang

4 Abdurrahman Whid, Membangun Demokrasi, Bandung: Rosdakarya, 1999, h., 82-88

5

kepala sub-divisi misalnya, tak bisa segera menangani soal mendesak

kemanusiaan, karena ia harus menunggu keputusan pimpinan yang sering lebih

menyibukkan diri dalam persoalan simbolis politis.5 Dari sini terlihat jelas, bahwa

birokratisasi tidak hanya berhenti pada teknokrasi pemerintahan, tetapi

birokratisasi kehidupan itu sendiri. Tutur Gus Dur:

Ketika bahasa misalnya, yang merupakan alat berpikir diposisikan

sebatas technically oleh para penentu “policy bahasa”, maka ia

merupakan birokratisasi alat berpikir, dan pada akhirnya birokratisasi

proses berpikir itu sendiri. 6

Pada titik ini, Gus Dur telah menembakkan keprihatinan filosofisnya atas

hubungan negara dan proses budaya yang timpang. Ini terjadi karena hegemoni

negara yang menggurita, merasuk ke segenap lini kehidupan. Negara pada era

Orde Baru adalah “negara gurita” yang terlalu melakukan intervensi atas segenap

sektor hidup. Satu hal yang kemudian mencipta birokratisasi tersebut, karena

misalnya seperti kasus policy bahasa di atas, negara kemudian hanya melihat

persoalan bahasa, yang seharusnya menjadi persoalan budaya keilmuan, menjadi

murni persoalan teknik dan kebijakan politik. Hal ini bukanya tak beresiko,

karena dengan cara demikian, negara telah mengambil alih persoalan budaya

yang seharusnya menjadi milik masyarakat sipil, menjadi sah milik negara.

Persoalan yang muncul kemudian adalah, bukan hanya keterjebakan terhadap

birokratisasi bahasa yang membuat produksi ilmu bahasa bersifat stagnan, tetapi

terlebih penggunaan bahasa demi kekuasaan negara. Proses ini terjadi melalui

penciptaan berbagai eufimisme politik, di mana penghalusan bahasa merupakan

strategi untuk menyembunyikan kekerasan dan penindasan HAM.

Secara makro, struktur yang dihadapi Gus Dur memang merujuk pada

watak politik negara-sentris. Sebuah situasi di mana negara ada untuk dirinya,

dan melingkupi segenap unsur sosio-kultur-politik, untuk dirumuskan sesuai

dengan kepentingan penguasa. Ini yang melahirkan hegemoni Orde Baru itu.

Pada tataran ideologis, Orde Baru menancapkan sentralitasnya melalui azas

tunggal Pancasila, di mana segenap ideologi lain: komunisme, marheinisme, dan

Islam, diberangus untuk diganti dengan keseragaman penafsiran monolitik atas

Pancasila.

5 Peter M. Blau, Marshall W. Meyer, Birokrasi dalam Masyarakat Modern, Jakarta: Pustakaraya, 2000, h., 22-38 6 Abdurrahman Wahid, Negara dan Kebudayaan, dalam Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Depok: Desantara, 2001, h., 4

6

Pada level sosial, Orde Baru telah melakukan reproduksi sosial melalui

restrukturisasi lembaga politik serta reorientasi nilai-nilai budaya. Ini yang

melahirkan sekularisasi melalui pelucutan orientasi agama dalam partai politik.

Atas nama pembangunan dan sistem politik modern, maka segenap aktivitas

politik harus sepi dari sentimen keagamaan, sehingga Islam Yes, Partai Islam No!

menjadi slogan sakral yang menjelma syarat bagi boleh tidaknya warga negara

berpartisipasi dalam politik. Proses ini bukan tidak beresiko karena ia berarti

suatu pemangkasan nilai-nilai politik, yang seharusnya dilindungi oleh UU. Ini

terbukti ketika Orde Baru runtuh, maka segenap sentimen politik Islam lahir

kembali meramaikan pentas politik nasional. Satu hal yang menggambarkan

bahwa sekularisasi era Soeharto bukanlah murni kesadaran politik masyarakat

muslim, tetapi suatu represi politik yang berangkat dari kepentingan negara.

Pada level inilah, kolaborasi antara birokrat, militer, dan teknokrat, menjelma

piramida birokratisasi, di mana ilmu pengetahuan digunakan sebagai mesin

politik untuk merubah struktur masyarakat, agar sesuai dengan kepentingan

negara.7 Pada tahap ini, negara telah berkembang begitu kuat bersamaan

dengan melemahnya masyarakat sipil, sehingga baik pada tataran strategi politik

maupun alternatif pemikiran, masyarakat berada dalam sub-ordinasi.

Dalam hal ini, Gus Dur kemudian menggunakan model hegemoni Gramscian

sebagai pergerakan politiknya. Seperti kita tahu, hegemoni merupakan konsep

pergerakan rakyat yang menjadikan budaya sebagai elemen vital. Artinya,

dimensi supra-struktur; ideologi, kultur, tradisi, pemikiran, dst yang oleh

Marxisme ortodoks hanya merupakan “bias” dari infrastruktur ekonomi,

digerakkan untuk melakukan transformasi politik.8 Hal ini bisa dilakukan melalui

penggalian potensi transformatif dari elemen kultural, dalam kasus Gus Dur,

tradisi agama. Jadi pada level ini, Gus Dur sebagai pemimpin muslim tradisional

telah menghadapkan dua gerbong besar; hegemoni negara vis a vis counter-

hegemony NU. Gerbong muslim tradisional ini mampu menjadi oposisi kultural,

karena sifatnya yang oleh Gus Dur disebut sebagai sub-kultur.

Posisi ini mengacu pada sifat pesantren yang menjadi sub-sistem dari

sistem budaya secara umum. Ia terpisah dan oleh karenanya mampu

independen, tetapi sekaligus bisa mempengaruhi perubahan sistem umum. Hal ini

7 M. AS Hikam, Negara, Masyarakat Sipil dan Gerakan Keagamaan dalam Politik Indonesia, jurnal Prisma 3, Maret 1991, h., 75-81 8 Robert Bocock, Hegemoni, Yogyakarta: Jalasutra, 2007, h., 17-54

7

memang wajar, mengingat pesantren sejak awal merupakan kerajaan kecil

(pesisiran) yang menjadi penyeimbang bagi kerajaran Hindu-Jawa pedalaman.

Sejak awal, model otoritas budaya dari kyai, mampu menciptakan sistem

kepemimpinan alternatif dari model otoritas politik raja. Bahkan pada satu sisi,

otoritas budaya memiliki “cengkeraman politik” lebih kuat, karena ketundukan

santri terhadap kyai bukan semata ketundukan politik, tetapi terlebih ketundukan

spiritual. Dalam situasi ini, kohesifitas politik akan lebih kuat karena ia lahir dari

sifat sukarela, tanpa paksaan, represif maupun koersif. Kepemimpinan kyai ini

kemudian ditopang oleh sistem nilai unik, serta cara hidup khas kaum santri,

yang pada level politik telah membentuk pemerintahan sendiri berbasis

paguyuban.9 Ini yang membuat pada satu titik, masyarakat pesantren dan juga

NU, tidak membutuhkan negara. Satu hal yang kemudian membuat ormas Islam

ini mampu menjadi oposisi atas negara.

Di sini Gus Dur kemudian menciptakan hegemoni melalui dua pergerakan.

Pertama, dengan mendirikan Forum Demokrasi (Fordem) dekade awal 1990.

Forum ini merupakan “markas” para cendekia dan aktivis pro-demokrasi, guna

mengelaborasi, merumuskan, serta “menyentakkan” berbagai ide dan kritik

demokratis, terhadap penyelewengan negara. Sebagai forum urun rembug dan

critical discourse, Fordem tidak merasa melakukan makar, sebab kritisisme

mereka masih terbatas pada pembentukan opini, belum menjelma gerakan

subversif. Hanya saja, betapapun masih sebatas opini, Fordem yang merengkuh

segenap elemen aktivis dari purnawirawan jendral, cendekiawan, seniman,

aktivis, hingga artis, tsb telah membuat “denyut” status quo kekuasaan berdetak

kencang. Hasilnya, halal bi halal Fordem Mei 1992 di Taman Ismail Marzuki,

“dibredel” aparat, dengan alasan perizinan. Gus Dur-pun tidak jadi membacakan

pernyataan Tumbuhkan Kembali Daya Kritis Masyarakat, sebab aparat terlanjur

mencurigainya sebagai sebuah langkah awal propanganda politik. 10

Kedua, NU. Pada level ini, Gus Dur telah melakukan transformasi

paradigmatis, dengan mengadopsi kritik teologi transformatif terhadap gerakan

Neo-Marxis, yakni ketidakmampuan dalam melihat agama sebagai potensi

pergerakan berbasis budaya. Merujuk pada Gueterez, 11 Gus Dur kemudian

9Abdurrahman Wahid, Pesantren sebagai Subkultur, dalam Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren, Yogyakarta: LKiS, 2001, h., 7-11 10 Gus Dur dan Suksesi, Forum Keadilan No 02, 14 Mei 1992 11 Abdurrahman Wahid, Jangan Paksakan Paradigma Luar terhadap Agama, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogya : LKiS, 2000, hlm 178-179

8

menjadikan basis primordialisme massa konon 30 juta, berjalinan dengan

ketundukan religius baik kepada jam’iyyah, kyai, maupun Islam.

Disinilah perlawanan Gus Dur-NU telah menciptakan posisi dilematis bagi

Soeharto. Satu sisi, Gus Dur dan NU dibutuhkan negara sebagai penyeimbang

radikalisme Islam, sehingga negara kemudian membutuhkan kekuatan NU.

Namun, sisi lain, pergerakan “kaum sarungan” ini terbukti sering membuat

“merah telinga” kekuasaan. Satu momen besar yang menjadi rujukan sejarah,

adalah ketika sebagai Ketum PBNU, Gus Dur menggelar Rapat Akbar dalam

rangka Harlah ke-68 NU, pada 1 Maret 1992. 12 Terdapat sekitar 150.000 warga

nahdliyyin memenuhi stadion utama Senayan Jakarta, dengan satu tujuan :

menegaskan kembali kesetiaan NU terhadap Pancasila dan UUD 45 sebagai

ideologi dan falsafah hidup bangsa.

Kenapa penegasan kesetiaan terhadap Pancasila dimunculkan kembali?

Bukankah hal tersebut sudah diselesaikan NU pada Muktamar ke-27 1984 ?

Dalam kaitan inilah, Gus Dur menggunakan konsep hegemoni Gramsci guna

melawan praktik hegemonik negara. Melalui penegasan kembali, kesetiaan

Pancasila, Gus Dur telah menciptakan war of positions dengan melakukan

“perebutan simbolik” atas legitimasi Pancasila. Secara strategis, Gus Dur telah

menghancurkan monopoli penafsiran negara atas “teks” Pancasila. Hasilnya,

muncullah tafsir populis atas Pancasila dari NU guna mengkritik penyelewengan

politik yang dilakukan negara atas Pancasila. Langkah inilah yang membuat

Soeharto tidak berkutik, sebab Gus Dur dalam melakukan kritik, melandaskan diri

pada kesetiaan dan nilai luhur Pancasila. Satu hal berbeda dengan nasib gerakan

Islamis dan komunis yang dengan gampang dibrangus karena di cap, anti-

Pancasila.

Demikian juga pada tataran praktis, pernyataan setia terhadap Pancasila,

merupakan penolakan secara halus atas “pemaksaan” Soeharto agar segenap

ormas mendukung pencalonannya kembali sebagai presiden pada Pemilu 1992.

Muhammadiyah sudah melakukan dukungan tersebut. Sementara NU, merujuk

pada Khitttah 26, tetap berusaha membersihkan diri dari politisasi negara.

Penolakan terhadap pencalonan Soeharto juga disebabkan kritisisme atas praktik

“demokrasi seolah-olah” yang dilakukan negara. Gus Dur secara lantang

menyebut situasi demokrasi Orde Baru hanya “seolah-olah”, sebab tatanan

12 Douglas E Ramage, Pemahaman Abdurrahman Wahid tentang Pancasila dan Penerapannya, dalam Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, Ellyasa KH Dharwis (ed), Yogya : LKiS, 1997, hlm 101-124

9

politik hanya dilandaskan pada manipulasi institusional dan prosedural (pemilu),

tetapi kebudayaan demokratis semisal kebebasan berpendapat dan berserikat

diberangus secara “tenang tapi mencekam”. 13

Dari sini kita kemudian faham bahwa meskipun Gus Dur mengritik

institusionalisme demokrasi, tetapi Ia tetap menggunakan konstitusi sebagai alat

dan legitimasi bagi kritik tersebut. Dalam hal ini Gus Dur sepertinya melakukan

pemilahan antara institusi politik dan konstitusi. Yang pertama murni

pengejawantahan nilai dan cita politik dalam lembaga modern. Pelembagaan

politik dibutuhkan guna menjembatani ide filosofis tentang moral, tujuan,

kebaikan, dan idealitas politik kepada pelaksanaan di masyarakat.14 Ketika

masyarakat modern sudah menjadikan pemisahan kekuasaan fungsional, antara

pemimpin eksekutif, parlemen sebagai wakil kedaulatan rakyat, dan yudikatif

sebagai otoritas hukum, maka lembaga Trias Politica dibentuk untuk

merealisasikan cita-cita tersebut.

Hanya dalam perkembangannya, institusi politik saja tidak cukup, karena ia

kemudian tereduksi dalam praktik politik. Pendekatan politik tidak lagi cukup

dengan hanya mendirikan lembaga demi perealisaian ide politik. Lembaga,

bagaimanapun hanya mesin yang digerakkan oleh aktor politik, yakni manusia

yang tentu memiliki hasrat, kepentingan, dan kecenderungan koruptif. Apalagi

politik tidak lagi dimaknai sebagai cara untuk mengatur tata masyarakat demi

kesejahteraan bersama. Politik kini lebih dimaknai sebagai the art of possibility;

tentang siapa mendapatkan apa dengan cara bagaimana. Politik kini tidak lagi

menjadi moral Platonis; ia kini tergerak di dalam dan melalui kekuasaan.

Pergeseran dari politik moral menjadi politik kekuasaan inilah yang akhirnya

menjadikan cita-cita normatif dan lembaga politik yang didirikan untuk cita itu

menjadi absurd dan politis. Ini terjadi ketika bukannya nilai moral yang

mengendalikan kesewenangan, selayak kelahiran filsafat politik Abad

Pencerahan. Tetapi nilai-nilai moral itu yang dijadikan alat bagi pencapaian dan

pelanggengan kekuasaan. Pada titik ini, institusi politik sebagai media realisasi

cita-cita politik menjadi tak efektif lagi.

13 Abdurrahman Wahid, Negeri Ini Kaya dengan Calon Presiden, Forum Keadilan, No 02, 14 Mei 1992. Lihat juga wawancara Matra, “Saya Ini Makelar Akhirat: Abdurrahman Wahid, Tentang pemilu, Apel 2 Juta umat, dan Suksesi”, Maret 1992, wawancara Forum Keadilan No 8, Tahun II, 5 Agustus 1993, “Saya Menangisi Nasib Rakyat”. 14 David E. Apter, Pengantar Anasila Politik, Jakarta: LP3ES, 1985, h., 392

10

Dari fakta inilah menjadi wajar jika Gus Dur kemudian melakukan kritik atas

institusionalisme politik. Satu langkah antara yang membuatnya memilih

konstitusi sebagai alat pergerakannya. Konstitusi di sini terposisi melampaui

institusi DPR, MA, Presiden, dan segenap departemen pemerintah. Bagaimanapun

berbagai isntitusi tersebut merupakan pelaksana partikular dari konstitusi dasar,

yakni UUD 45. Gus Dur memilih ruang ini, karena UUD merupakan landasan dan

kesepakatan filosofis dari pendiri bangsa dan segenap komponen hukum untuk

merumuskan garis besar haluan negara. Konstitusi tekstual ini menjadi penting,

karena ia memberikan hak-hak politik bagi warga negara yang dijamin sebagai

bangunan dari konstitusi itu sendiri. Satu hal yang pada tataran praktis kemudian

diselewengkan oleh para penyelenggara negara demi kepentingan politiknya. Hal

ini pula yang membuat Gus Dur lebih menekankan gerak sipil dari pergerakan

konstitusional. Artinya, pelaksanaan konstitusi secara benar ternyata tidak bisa

diharapkan lahir dari negara. Maka, ia harus digerakkan oleh elemen sipil, yang

secara esensial hidup dalam sebuah keadaban politik. Tuturnya:

Situasi ini membutuhkan kemauan berbagai kelompok aktivis dalam

isu-isu hak asasi manusia, lingkungan hidup, hak kaum minoritas,

pemerataan konsumen, keselamatan kerja, dan sebagainya. Kalangan

publik yang semakin meluas yang menaruh perhatian pada isu-isu

tersebut, membentuk pendukung utama bagi upaya-upaya untuk

mengoperasionalisasikan UUD 1945 dalam praktik. Pendukung ini, yang

kini tumbuh dengan cepat di Indonesia, membentuk sektor pelopor yang

menggerakkan seluruh masyarakat ke arah baru pemerintahan

berdasarkan hukum di masa depan, karena perjuangan mereka

sepenuhnya tergantung pada penerapan yang adil dan jujur dari undang-

undang yang ada, serta pengundangan undang-undang yang lebih baik.

Pada gilirannya, dua hal tersebut sepenuhnya tergantung pada

keinginan politik kalangan yang berkuasa untuk melaksanakan konstitusi

secara konstitusi. Dengan demikian, masa depan konstitusionalisme dan

sifat kepolitikan di Indonesia terjalin di dalam karya-karya berbagai

kelompok aktivis di luar pemerintahan, yang bertindak sebagai katalisator

bagi perubahan mendasar dalam berbagai sector kehidupan, melalui

peningkatan secara langsung maupun tidak langsung kesadaran akan

pemerintahan berdasarkan hukum.15

15 Abdurrahman Wahid, The Future of Constitutionalism and the Nature of the Polity: the Case of Indonesia’s 1945 Constitution, A working paper for the Asian Regional Institute of the American

11

12

Dari paparan ini jelas, bahwa konstitusi menjadi faktor terpenting bagi

konsepsi negara Gus Dur. Urgensitas faktor ini terdapat pada kebutuhan akan

pemerintahan yang berlandaskan supremasi hukum. Hanya saja,

konstitusionalisme Gus Dur sering tak berbanding lurus dengan kepentingan

negara. Satu hal yang Gus Dur gerakkan melalui “ekstra perlemen” masyarakat

sipil, di mana para pejuang demokratisasi menjadi pengontrol pelaksanaan

negara. Satu hal yang Gus Dur lanjutkan dalam Kepresidenan ke-4 RI, yang

sayangnya menjadi bumerang bagi pemerintahannya. Keinginan Gus Dur untuk

membuat “negara ramping” justru menjadi pemicu pada singkatnya kekuasaan

beliau, sebab logika penguatan masyarakat dengan kekuasaan negara tentu

bertentangan. Gus Dur ketika “menjadi negara” bahkan hendak mengurangi

kekuasaan negara atas masyarakat. Satu gerak yang tentu tak di inginkan oleh

segenap kekuatan politik dari negara, yang akhirnya mampu menurunkan Gus

Dur dari tampuk kekuasaan.

Council of Learned Societies, Comparative Constitutionalism Project, being held in collaboration with the Law and Society Trust, Sri Lanka. February 23-27, 1989, Chiangmai, Thailand, h., 10-11

Bab 03

Pemikiran Politik Islam Gus Dur

Secara paradigmatik, pemikiran politik Islam Gus Dur berangkat dari kaidah

fiqh yang berbunyi: tashharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuuthun bil mashlahah

(kebijakan seorang pemimpin terkait dengan kemashlahatan rakyat). Kenapa

dirujukkan pada kaidah ini? Karena bagi muslim, praktik politik terkait dengan

amanah, yang tidak hanya mengacu pada kontrak sosial dalam demokrasi, tetapi

pertanggungjawaban manusia atas posisi khalifah, langsung dihadapan Tuhan.

Kemashlahatan rakyat menjadi pijakan dan arah utama, karena Islam menganut

prinsip keadilan (al-‘adalah), yang oleh Gus Dur ditempatkan sejajar bersama dengan

demokrasi (syura) dan persamaan (al-musawah).1 Tanpa adanya keadilan, sebuah

kepemimpinan politik, cacat di mata agama, dan oleh karena itu, halal untuk

dilawan, apalagi ketika ketidakadilan itu mrembet pada penyimpangan syar’i.

Dalam hal inilah, Gus Dur dan NU tidak menambatkan tujuan politiknya

kepada negara Islam. Kenapa? Karena menjadikan Islam sebagai tujuan, akan

terjebak pada cita-cita semu, yang menyebabkan perjuangan menjadi simbolis. Ini

yang dialami para “pembela Islam”, seperti yang terjadi pada perdebatan Piagam

Jakarta di negeri kita. Bagi mereka, yang dinamakan dakwah Islam haruslah secara

letterlijk memasukkan kata-kata Islam atau syari’at kedalam konstitusi negara,

seperti yang termaktub dalam konstitusi Saudi Arabia, Iran, dan Pakistan. Dari sini

perjuangan menjadi simbolis, dimana tegaknya Islam dimaknai sebagai tersebarnya

“lautan jilbab”, dan segala aturan formal akhlak Islam. Hal ini tentu telah

melahirkan agama hipokrit, dimana pelaksanaan ibadah harus melalui pemaksaan

politik, sehingga ia murni bersifat publik tanpa adanya kesunyian transendental.

Dari sini Gus Dur kemudian melakukan rekonstruksi kedalam, atas bangunan

intelektualisme Islam. Ini urgen, sebab perumusan ulang pemikiran Islam

merupakan ruang yang tak tergarap dari kebangkitan Islam tersebut, yang karena

tak masuk dalam geliat intelektualisme, maka ia terjebak dalam perjuangan

1 Abdurrahman Wahid, Islam dan Titik Tolak Etika Pembangunan, makalah seminar pesantren dan pembangunan, Berlin Barat, Juli 1987

1

formalistik.2 Arah ini yang membedakan Gus Dur dengan para “pembela Islam”.

Bagi Gus Dur dan kalangan NU, Islam terlebih adalah soal penguasaan metodologi

keilmuan. Fakta ini searah dengan proses islamisasi awal abad ke-19, ketika jaringan

ulama jawi membawa pembaruan pemikiran Islam, dari Mekkah, ke Nusantara.

Inilah cikal bakal pesantren, yang akhirnya melahirkan kekayaan ilmu ‘alat,

sehingga bagi muslim santri, keberislaman, terutama adalah penguasaan dan

aplikasi dari manhaj al-fikr, sehingga Islam mampu menanggapi perubahan zaman.3

Satu hal yang berbeda dengan kalangan fundamentalis, yang hanya menjadi

konsumen pemikiran dan produk hukum Islam, sehingga Islam kemudian

menjelma “senjata sudah jadi”, dan siap dilawankan dengan apapun.

Pada titik inilah kita akan mengenal konsep kosmopolitanisme dan

universalisme Islam milik Gus Dur. Konsepsi ini mengacu pada usaha untuk

merumuskan bagaimana pemahaman terhadap ajaran Islam harus bersifat terbuka

dengan pemikiran lain. Hanya saja keterbukaan ini bukanlah suatu adaptasi radikal

terhadap Barat, tetapi sebuah keterbukaan pemikiran yang ditujukan untuk

penggerakan perubahan struktural demi tata hidup berkeadilan.

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa kosmopolitanisme peradaban

Islam tercapai atau berada pada titik optimal, manakala tercapai keseimbangan

antara kecenderungan normatif kaum muslimin dan kebebasan berfikir semua

warga masyarakat (termasuk mereka yang non-muslim). Kosmopolitanisme yang

seperti itu adalah kosmopolitanisme yang kreatif, karena di dalamnya warga

masyarakat mengambil inisiatif untuk mencari wawasan terjauh dari keharusan

berpegang pada kebenaran. Situasi kreatif yang memungkinkan pencarian sisi-sisi

paling tidak masuk akal dari kebenaran yang ingin dicari dan ditemukan, situasi cair

yang memaksa universalisme ajaran Islam untuk terus-menerus mewujudkan diri

dalam bentuk-bentuk nyata, bukannya hanya dalam postulat-postulat spekulatif

belaka. 4

2 Abdurrahman Wahid, Kebangkitan Islam sebagai Titik Tolak Kebangkitan Umat, makalah diskusi Training HMI Badko Jawa Barat, di Cimacan, 16 Februari 1981 3 Abdurrahman Wahid, Principle of Pesantren Education, makalah the Pesantren Education Seminar, Berlin, oleh TU Berlin dan FNS, Juli 9-12 1987, h., 4 4 Abdurrahman Wahid, Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam, Pelita, 26 Januari 1988, h., 8

2

Sikap kosmopolitan ini dilandasi oleh keyakinan akan sifat keterbukaan Islam.

Secara tekstual, keyakinan tersebut didapatkan pada penafsiran Gus Dur terhadap

konsep kesempurnaan Islam yang termaktub dalam Surah al-Maidah (5):3, “Pada

hari ini telah Aku sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Aku cukupkan

kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam menjadi agama bagimu”. Ayat ini

kemudian ditafsiri oleh banyak ulama sebagai penanda bagi kesempurnaan Islam

dalam segenap bidang, baik agama, sistem masyarakat, serta sistem negara. Bagi

Gus Dur, sebaliknya. Konsep kesempurnaan Islam terdapat pada sifatnya yang

terbuka untuk menerima masukan dari sistem lain, selama tidak bertentangan

dengan aqidah. Potensi Islam kemudian terdapat pada keterbukaan bagi

pengembangan wawasan baru secara terus-menerus dalam menjawab tantangan

zaman. Dalam hal ini, substantifisme dalam Islamlah yang membuka ruang bagi

keterbukaan tersebut, bukan rumusan-rumusan detail formalnya.

Hal sama terlihat dari ketidaksetujuan Gus Dur terhadap pemasukan orang

Yahudi dan Nasrani sebagai kafir : suatu kelompok yang memusuhi Islam. Jika al-

Qur’an dikaji secara mendalam, akan didapatkan bahwa konsep kafir hanya

merujuk pada kelompok yang menolak Tuhan, sementara ahli kitab, dilihat masih

memilki konsep ketuhanan, sehingga tidak bisa dimasukkan dalam kekafiran.

Dalam hal ini, Gus Dur kemudian melakukan pembedaan antara definsi “tegas”

sebagai sebuah sikap teologis, dengan tindakan “tegas” sebagai laku kekerasan.

Penegasan ini dianggap penting dalam menafsiri ayat asyidda’u ‘ala al-kuffar

ruhama’u bainahum (bersikap tegas diantara orang-orang kafir dan orang yang

santun mengasihi diantara sesama mereka) (QS al-Fath, 48:29). Atas dasar inilah,

tidak heran jika Gus Dur akrab dengan non-muslim dan terlibat dalam berbagai

pembelaan atas diskriminasi minoritas yang dialami umat Kristen dan Konghucu.

Dalam kaitan ini, Gus Dur telah melakukan rekonstruksi terhadap penafsiran

firman Allah Swt, “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu

hingga kamu mengikuti agama mereka” (QS al-Baqarah, 2:120). Ketidaksenangan

Yahudi-Nasrani dalam ayat ini dianggap sebagai hal yang wajar, karena umat

Islampun pasti memiliki sikap seperti itu. Menurut Gus Dur, pihak yang tidak rela

(walan tardha) bukan hanya non-muslim, tetapi juga pihak muslim, sebab masing

agama memiliki truth claim yang absolut dan tidak menerima kebenaran dari pihak

3

lain. Sementara kalimat ‘anka bukan bermakna wahai kamu (Muhammad),

melainkan berarti kebenaran yang dibawa, yakni Islam. Dengan penafsiran ini, Gus

Dur tidak memiliki kecurigaan terhadap non-muslim, dan secara terbuka

melakukan kerjasama dengan mereka dalam urusan sosio-kemasyarakatan.

Dari sini, kosmopolitanisme Islam kemudian Gus Dur kaitkan dengan terma

universalisme Islam, sehingga keduanya menjadi satu kesatuan: aplikasi dari ajaran

Islam yang universal, tidak akan terjadi tanpa watak terbuka terhadap peradaban

lain, yang membuat Islam bersikap secara kosmopolitan. Dua titik ini adalah inti

mekanisme dialektik dari pemikiran Islam Gus Dur. Lihat saja betapa tinggi

kepercayaannya terhadap kosmopolitanisme Islam, yang Ia lihat sudah terjadi sejak

awal pengorganisasian Nabi Muhammad SAW di Negara Madinah, hingga

munculnya para ensiklopedis muslim awal, semisal Al-Jahiz di abad ketiga Hijri.

Watak terbuka ini memiliki sejumlah unsur dominan, seperti hilangnya

batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya, serta terciptanya heterogenitas politik.

Kosmopolitanisme ini juga menampakkan diri dalam kehidupan beragama yang

eklektik selama berabad-abad, baik terhadap sisa-sisa peradaban Yunani kuno,

Persia, hingga peradaban India. Islam dalam sejarahnya telah berdialog dengan

peradaban sekular dan mistik, dimana filsafat dan gnostisisme telah menyumbang

kontribusi besar bagi rasionalitas dan arah sufisme. Ini yang melahirkan filsafat

Islam, serta kecenderungan mistis dalam tasawuf, yang sering dirujukkan pada

kalangan Syi’ah. Kemampuan Islam dalam berdialog ini menunjukkan sikap terbuka

dari metode pemikiran dan kelentukan esoteris, sehingga segenap peradaban yang

cenderung tidak searah dengan peradaban fiqh, bisa diterima dan akhirnya

membentuk peradaban Islam tersendiri.

Pada titik ini, watak kosmopolitan berfungsi sebagai perluasan aplikatif, serta

prasyarat kondusif bagi terealisasinya ajaran universal dari Islam. Universalisme ini

merupakan penggalian Gus Dur atas ajaran-ajaran orisinil, yang memiliki

keperdulian mendalam terhadap nasib kemanusiaan serta keadilan sosial, dan oleh

karenanya, ia memiliki keluasan batas pada tataran universal. Secara sistematis Gus

Dur mendapatkan universalisme Islam tersebut didalam berbagai jaminan dasar

Islam atas ketinggian martabat manusia, yang meliputi; pertama, jaminan atas

4

keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani diluar ketentuan hukum.

Jaminan ini dengan sendirinya mengharuskan pemerintahan berdasarkan hukum,

dengan perlakuan adil kepada semua warga tanpa terkecuali, sesuai dengan hak

masing-masing. Hanya dengan kepastian hukumlah sebuah masyarakat mampu

mengembangkan wawasan persamaan hak dan derajat antara sesama warga,

sehingga ia mampu menjamin terwujudnya keadilan sosial, yang oleh Gus Dur

ditempatkan sebagai pandangan hidup paling jelas dari universalitas Islam.

Kedua, jaminan atas keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada

paksaan untuk berpindah agama. Jaminan ini kemudian melandasi hubungan

antarwarga masyarakat berdasarkan sikap saling menghormati, yang akan

mendorong tumbuhnya kerangka sikap tenggang rasa dan saling pengertian yang

besar. Jaminan ini begitu penting, mengingat kecenderungan negara yang bahkan

sering melakukan pengaturan represif atas kebebasan beragama. Ini terjadi karena

kalangan ulama birokrat yang dengan sengaja menggunakan politik sebagai

pembenar dan pemaksa bagi klaim kebenaran keagamaan mereka, melindas

berbagai keyakinan keagamaan pihak lain yang bertentangan dengan tafsir resmi.

Ketiga, jaminan atas keselamatan keluarga dan keturunan, yang akan

menampilkan sosok moral, baik moral dalam arti kerangka etis maupun kesusilaan.

Kesucian keluarga dilindungi, karena keluarga merupakan ikatan sosial paling

dasar, karenanya tidak boleh dijadikan ajang manipulasi dalam bentuk apapun oleh

sistem kekuasaan yang ada. Keempat, jaminan keselamatan harta benda dan milik

pribadi di luar prosedur hukum, serta jaminan atas keselamatan profesi yang

merupakan sarana bagi berkembangnya hak-hak individu secara wajar dan

proporsional dalam kaitannya dengan hak-hak masyarakat atas individu.

Dari mekanisme dialektik antara kosmopolitanisme Islam disatu sisi, dengan

universalisme Islam yang merujuk pada berbagai jaminan atas hak-hak dasariah

manusia, maka tujuan utama dari Gus Dur adalah perubahan sosial menuju pada

struktur politik yang lebih berkeadilan. Artinya, usaha untuk membuat Islam lebih

terbuka dengan peradaban lain, yang tentunya memiliki konsekuensi penghapusan

sikap-sikap ekslusif dan melihat Islam sebagai satu-satunya kebenaran, serta

penggerakan perubahan sosial demi pengangkatan martabat manusia.

5

Pemikiran tentang keadilan politik ini memang merupakan juluran historis dan

kultural, yang lahir dari corak keberpihakan populis budaya pesantren. Hal ini bisa

kita lihat, misalnya dalam tradisi tasawuf pesantren, yang tidak merujuk pada

pencapaian kesatuan mistik antara makhluk dengan khalik, seperti dilakukan para

sufi falsafi kalangan Syi’ah. Tasawuf di pesantren lebih mengacu pada tasawuf

‘amali, dimana praktik ibadah melalui penekanan fadloil al-‘amal sebagai pencapaian

sufistik. Corak ini memiliki dampak yang akhirnya bersifat sosial, karena terma

‘amal tersebut, tidak hanya bersifat individual, tetapi terlebih harus mampu

memberikan kemashlahatan bagi orang sekitar. Tengoklah pemaknaan kalangan

pesantren atas perintah jihad dalam kitab I’anatut Thalibin , yang bukan lagi ditafsiri

sebagai “perang suci” (holy war), tetapi kewajiban penyediaan makanan, pakaian,

dan tempat bagi kaum miskin.5 Sikap ini memang kontekstual dengan posisi

pesantren, yang merupakan lembaga pendidikan masyarakat bawah.

Sifat populis ini diperkuat oleh peran kyai sebagai cultural broker. Peran yang

dilihat oleh antropolog Clifford Geertz ini, menggambarkan posisi kyai yang tidak

terbatas pada pengajar agama, tetapi juga penyaring budaya (dari luar), plus

komunikator budaya, yang berfungsi sebagai pendamping atas beberapa persoalan

kultural masyarakat, semisal konsultasi nikah, perdagangan, waris, dsb. Hal ini yang

membuahkan kharisma, sehingga masukan dan ajaran kyai, diterima masyarakat,

sebagai representasi dari “jawaban Tuhan”.6 Kebersamaan kyai dengan masyarakat,

yang dilambari oleh keprihatinan agama inilah, yang membuahkan orientasi

populis, sehingga tujuan politik bagi Islam, harus mengacu pada arah keadilan.

Pada level praktis, hal inilah yang membuahkan magnet dan basis politik,

begitu mengakar dikalangan nahdliyyin, yang tidak selalu merujuk pada

pendaulatan Islam sebagai ideologi politik, tetapi lebih kepada Islam sebagai modal

politik. Modal ini tercipta karena keberislaman yang mengakar hingga relung

budaya, sehingga apa yang dilakukan dan diperintahkan kyai, bukan hanya terhenti

pada perintah normatif, tetapi telah merasuk sebagai “kenyamanan kultural”,

dimana muslim nahdliyyin merasakan kedamaian batin dalam patronase budaya. 5 Abdurrahman Wahid, Pengembangan Masyarakat Melalui Pendekatan Keagamaan, dalam Muslim di Tengah Pergumulan,Jakarta: Leppenas, 1981, h., 6 6 Clifford Geertz, The Interpretation of Cultures, USA: Basic Books, 1973, h., 142-150

6

Hal ini kemudian memudahkan para politisi NU untuk memobilisir massa politik,

hanya berlandaskan dukungan kyai, baik yang individual maupun pemimpin

sebuah pesantren.7 Walaupun magnet politik ini kedepan cenderung mendapat

tantangan, khususnya oleh pemilihan presiden langsung yang menggunakan

kecanggihan politik media massa, namun kekuatan ini tetaplah mengakar, karena

bagi sebagian muslim, keseharian mereka tetap berada dalam “rengkuhan” kyai.

Menariknya, dukungan kuat berdasar keagamaan ini tidak kemudian

membuahkan orientasi Islamis dikalangan kyai, tetapi tetap bergerak dalam koridor

negara-bangsa yang menjadikan cita-cita demokrasi dan keadilan sebagai tujuan

utama. Pertanyaannya, bagaimana para kyai, dan tentu juga Gus Dur, tidak

menjadikan “pembelaan Islam” sebagai tujuan dari politik Islamnya? Jawaban atas

tanya ini akan membawa kita pada dataran kultural dari pemikiran beliau, yakni

pribumisasi Islam. Kenapa? Karena dalam pemikiran inilah, Gus Dur telah

menyelesaikan ketegangan antara agama dan budaya, yang merupakan penyebab

bagi usaha formalisasi budaya Arab atas tradisi Islam di Indonesia.

Hal ini berangkat dari kenyataan, bahwa pribumisasi Islam merupakan proses

dialog, akomodasi, dan akulturasi antara Islam yang universal, dengan tradisi pra-

Islam yang lokal, dalam hal ini Hindu-Budha. Kedua budaya tersebut bisa bersatu,

karena menurut Gus Dur, meskipun Islam sebagai agama tetap independen dari

budaya, dikarenakan sifat doktrinalnya, namun Islam sebagai praktik masyarakat,

tetap bisa memanifestasi dalam bentuk budaya.8 Inilah yang melahirkan Tari Seudati

Aceh, Wayang Jawa, Ludruk Surabaya, dsb, yang pada awal, tidak berangkat dari

tradisi Islam, tetapi Hindu.

Wayang sendiri merupakan epos budaya Hindu, mampu diakulturasikan

dengan ajaran Islam, semisal ajaran Dewa Ruci Sunan Kalijaga dan Kyai

Mutamakkin Kajen. Dalam ajaran ini, konsepsi tasawuf martabat tujuh (maraatib al-

sab’ah), disatukan dengan perjalanan mistik Sang Bima dalam mencari “air

kehidupan”, dalam diri Dewa Ruci yang sebenarnya merupakan personifikasi mistis

dari dirinya sendiri. Akulturasi ini disempurnakan oleh penyediaan akomodatif dari 7 Dr. Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, Yogyakarta: LKiS, 2004, h., 28-47 8 Abdurrahman Wahid, Agama dan Tantangan Kebudayaan, dalam Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Jakarta: Desantara, 2001, h., 79-90

7

hukum Islam, sehingga hukum adat bisa menjadi pijakan bagi syari’at (al-‘adah al-

muhakkamah).

Berangkat dari metode pengembangan nash dan kaidah fiqh dalam Pribumisasi

Islam inilah, maka kitapun menjadi mafhum kenapa muslim NU tidak begitu

mengalami kegelisahan keagamaan yang bersifat formalistik. Hal tersebut tentu

berbeda dengan kehidupan beragama Persis, Majelis Mujahidin, Hizbut Tahrir,

Front Pembela Islam, Jaringan Islam Liberal, dsb. Bagi pihak ini, perdebatan antara

mana Islam yang otentik, dan mana yang bid’ah atau bahkan sistem kafir menjadi

tema utama proses keber-Islaman.9 Meminjam konsep Oliver Roy, ada sebuah

“kegagalan komparatisisme” antara kesejarahan Islam dengan manifestasi simbolik

peradaban non-Islam,10 sehingga sebagian muslim tidak menemukan berbagai

kultur sinkretik mistis Jawa misalnya, atau struktur nation state Barat, sehingga

terjadilah ketegangan antara Islam dan budaya, layaknya digambarkan Gus Dur.

Keberhasilan Pribumisasi Islam dalam menciptakan rekonsiliasi agama-budaya

ini, tidak secara otomatis mematikan berbagai proses pembaruan dan perubahan

dikalangan muslim. Hal ini dilandaskan pada fakta bahwa melalui pengembangan

nash lewat ushul fiqh dan qawa’idul fiqh, muslim “pribumi” mampu menciptakan apa

yang digambarkan Gus Dur sebagai perubahan yang fundamentil, perlahan, rumit

dan mendalam, sehingga hanya orang yang dapat mengamati secara hati-hati dan

teliti yang dapat mengetahui perubahan tersebut.

Fakta ini sekaligus menciptakan counter discourse terhadap berbagai

pendekatan studi agama “miring”, yang menyatakan, dari sekian produk budaya,

agamalah yang paling sulit mengalami perubahan. Secara sosiologis hal ini tidak

valid, sebab sejarah membuktikan betapa pergumulan konversi didalam agama

Nusantara, sejak datangnya Hindu-Budha, yag merubah animisme, kemudian

diubah lagi oleh kedatangan Islam bersamaan kolonialisme Belanda-Kristen, dsb

membuktikan agama lebih mudah bertransformasi, sementara sistem budaya

semisal teknologi dan mata pencaharian mengalami perubahan secara lamban.

Kasus gagalnya sekularisasi Attaturk Turki tentunya disebabkan peminggiran Islam

9 Bahtiar Effendy, Islam in Contemporary Indonesian Politics, Jakarta: Ushul Press, 2006, h., 132-140 10 Olivier Roy, Gagalnya Islam Politik, Jakarta: Serambi, 1992, h., 14-20

8

sebagai potensi perubahan, sebuah kasus yang berbeda ketika kita melihat

keberhasilan Jepang dalam revolusi teknologinya karena Jepang mampu

menggunakan agama Shinto sebagai penggerak pembangunan.

Keberhasilan Islam dalam “merubah dirinya sendiri” juga meruntuhkan tesis

Snouck Hurgronje yang menyatakan umat beragama dipaksa meninjau kembali isi

dari kekayaan akidah dan agamanya, oleh berbagai perubahan sosial yang

melingkupi. Hal ini sekali lagi bertentangan dengan fakta historis dimana perubahan

agama tidak dipaksa oleh perubahan dari luar, melainkan sebaliknya, perubahan

inheren didalam agama kemudian menciptakan transformasi sosio-politik.

Hanya saja, proses perubahan atau pembaruan pemahaman terhadap ajaran

agama, tidak selalu mewujud dalam tujuan dan operasionalisasi yang tunggal,

layaknya gerakan “kembali kepada ajaran yang benar” yang kemudian di kotakkan

kedalam al-Qur’an dan Hadist. Proses ini sering disebut Islam modernis, merujuk

pada Muhammadiyah, Persis, Wahabisme, dsb. Standar kemajuan kemudian

menciptakan oposisi biner dengan model Islam yang sinkretik, berbau klenik, mistik

dan takhayul. Pada perkembangannya, “pembaharuan kedalam” dengan

pembersihan al-Qur’an-Hadist dari kultur mistik tersebut dilambari dengan

“pembaruan keluar” oleh Muhammad Abduh melalui gerakan rasionalisasi yang

merupakan adaptasi dari gerakan Reformasi Gereja Martin Luther. Sempurnalah

tujuan pembaruan ajaran agama dalam meminggirkan apa yang sering disebut

sebagai Islam tradisional, yakni golongan muslim yang sinkretik dalam tradisi dan

ritual agama, serta mistis dan irrasional dalam proses berpikir.

Atas dasar kecenderungan inilah, Gus Dur kemudian memberikan gambaran

lain terhadap penafsiran kembali ajaran agama. Deskripsi beliau :

Proses pemahaman baru atas ajaran agama tidak selalu diikuti

oleh munculnya organisasi gerakan reformasi. Ia dapat tumbuh dalam

suatu group keagamaan tanpa munculnya beberapa eksponen

pembaharu dalam paham-pahamnya, atau justru lalu ia mengambil

bentuk memperkuat posisi group keagamaan yang lama itu dalam

9

dalam usaha menghadapi group baru yang akan mengancam eksistensi

atau dominasinya. 11

Keberhasilan pembaruan tanpa puritanisasi disebabkan oleh adanya titik tolak

yang berangkat dari tradisi, serta orientasi keumatan. Artinya, tujuan

pengembangan pemahaman nash, bukan an sich untuk nash, namun demi penjagaan

kebutuhan umat agar tidak terjadi instabilitas akibat perubahan nilai-nilai antara

“yang baru” dan “yang lama”. Hal ini tentu berbeda dengan orientasi ideologis

kaum Islamis yang berangkat dari “pembelaan” Islam demi Islam melalui

manifestasi Negara Islam dan formalisasi syari’ah.

Disinilah pendekatan sosio-kultural dipilih Gus Dur. Pendekatan ini merujuk

pada perbaikan bersifat sub-sistemik dengan tetap menjaga keutuhan struktur

makro yang sudah established. Memang terdengar a-heroik, dan sekadar “tambal

sulam”. Namun pilihan ini dilakukan Gus Dur dan para ulama NU, demi tetap

menjaga ketenangan serta kekukuhan kehidupan masyarakat pada level struktural.

Secara strategis, pendekatan ini mencoba memberikan jawaban terhadap pertanyaan:

apa yang harus dilakukan Islam ? tanpa menjebak umat dalam keterkungkungan jihad

simbolik formalistik dalam Islam. Hal ini disebabkan sebuah premis, bahwa

masyarakat bawah tidak selalu menunggu produk formalistik hukum Islam untuk

menentukan apa yang harus mereka lakukan. Dari sini, Gus Dur kemudian

menetapkan prioritas agenda pada pembentukan etika baru masyarakat, sebagai

perwujudan esensi Islam minus formalisasi. Lahirlah “pembaruan kultural” dengan

menciptakan operasionalisasi melalui pengembangan pemahaman nash, serta

akulturasi budaya guna mengantarkan umat kepada tiga nilai dasar Islam : keadilan,

persamaan, dan demokrasi (syura).

Pada tataran ini, peran kyai sebagai religious elite memegang posisi vital. Hal

tersebut dikarenakan pengembangan pemahaman ajaran agama terkait dengan

kebutuhan para kyai sebagai pemimpin masyarakat untuk mengendalikan berbagai

perubahan nilai kemasyarakatan.

11 Abdurrahman Wahid, Penafsiran Ulang terhadap Ajaran Agama, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2000,, h., 75

10

Tentu saja mereka tidak menerima begitu saja semua perubahan yang terjadi

diluar. Sebagai pemimpinan masyarakat, para kyai akan berusaha mengendalikan

dan mengarahkan perubahan itu sesuai dengan prinsip-prinsip seleksi, mana yang

baik buat masyarakat diambil, sedangkan yang dianggap merugikan atau merusak

tatanan sosial serta bertentangan dengan ajaran agama akan ditolak. Disini, pola

penolakan para kyai diusahakan “sehalus” mungkin agar tidak terjadi “ledakan”

emosi keagamaan yang eksplosif (semisal penolakan Kartosuwiryo atas nation state

Indonesia yang melahirkan pemberontakan) melalui proses seleksi yang bersifat

menerima dan menolak (change and continuity). Proses tersebut secara indah

dirumuskan dalam kaidah “memelihara warisan lama yang baik dan mengambil hal

baru yang lebih baik” (al-muhafadhatu alal-qadimis shalih ma’al-akhdzi bil jadidil-ashlah).

Secara sistematis, pribumisasi Islam kemudian mengarahkan orientasinya

kepada “tujuan besar” Islam, yang oleh Gus Dur didasarkan pada tiga nilai;

demokrasi, keadilan sosial, dan persamaan dimuka undang-undang. Ketiga nilai

dasar ini kemudian dioperasionalisasikan melalui rumusan kaidah fiqh tasharruful

imam ‘ala ra’iyyahtihi manuthun bil mashlahah (tindakan pemegang kekuasaan rakyat

ditentukan oleh kemashlahatan dan kesejahteraan mereka) seperti dijelaskan diatas.

Jadi, cita-cita utama Islam sudah jelas, yakni Islam mengakomodasi segala kenyataan

yang ada, sepanjang membantu dan mendukung kemashlahatan rakyat. Prinsip ini

harus mewarnai segala wujud, baik bentuk kelembagaan maupun produk hukum.

Dari sinilah arah politik Gus Dur tidak bersifat simbolis-formalis, karena pada

level budaya, Islam telah lama melerai ketegangan simbolis, antara teks normatif,

dengan realitas sosial yang berubah. Artinya, bagi para penggerak formalisme

politik Islam, baik ranah struktural (Negara Islam) maupun kultural (syari’atisasi

budaya), proses dakwah Islam adalah proses penakhlukkan budaya non-Islam, oleh

teks normatif agama. Hal ini terjadi karena keyakinan Khawarijian bahwa laa hukma

illa Allah: tiada hukum selain hukum Allah. Penafsiran tekstual ini yang membuat

mereka menolak demokrasi, karena sistem politik ini dianggap tidak

merepresentasikan hukum Allah, tetapi kontrak sosial antar-manusia. Pada aras

struktural, kelahiran negara-bangsa (nation state) juga menjadi ancaman bagi sistem

Islami, karena bentuk negara modern ini yang memecah konsep ummat, dimana

hanya ada satu otoritas global, yakni khilafah, yang menjadi bentuk imperium Islam.

11

Lahirlah utopia khilafah Islamiyah, yang oleh Hizbut Tahrir dijadikan “obat penawar”

dari “penyakit” demokrasi. Kesemua gerak ini berangkat dari ketegangan yang tak

terselesaikan, antara agama dan budaya. Satu situasi yang tak selesai, karena mereka

tidak mampu melihat agama pada level antropomorfisme, dimana agama telah

bergulat dalam perilaku dan sistem sosial, sehingga membentuk sistem budaya.

Dari sinilah salah paham itu terjadi. Yakni pada penolakan simbolis atas

kelemahan struktural dari sebuah sistem politik. Artinya, kelompok seperti Hizbut

Tahrir lebih memahami kelemahan demokrasi, menurut pandangan agama, bukan

melalui tandingan sistem politik nan rasional. Seharusnya, jika kontrak sosial,

legitimasi publik, dan sistem perwakilan dihujat, karena memiliki beberapa

kelamahan, solusi atas semua itu tidak semudah dicarikan dalam agama. Kenapa?

Karena kedua hal itu berbeda: sistem politik berangkat dari kebutuhan masyarakat

untuk mengontrol kekuasaan, sementara agama mengacu pada ketundukan dan

arah berserah kepada Tuhan. Pembeda dari batasan ini terletak dalam posisi dan

entitas kekuasaan yang melampaui apapun, termasuk agama. Ini yang membuat

khilafah misalnya, tidak berarti mampu meredam nafsu kekuasaan, karena

bagaimanapun, ia telah menjadi “kursi panas”, tempat sebuah kaum memiliki

kemampuan memaksa atas kaum lainnya. Ini terjadi dalam sejarah pembunuhan

khulafa al-rasyidin, yang membuktikan bahkan pemerintahan Islampun tak luput

dari “kutukan Ken Arok” tersebut.

Pada titik ini Gus Dur kemudian tidak ingin terjebak dalam bentuk negara,

karena yang terpenting bagi suatu pemerintahan adalah berbagai infra-struktur yang

melandasinya. Infra-struktur itu meliputi pelaksanaan hukum, sifat keterbukaan

berpendapat, inklusifitas sirkulasi kekuasaan, pembagian wewenang yang jelas,

moderatisme budaya, serta ketegasan seorang pemimpin. Berbagai keadaan ini

murni persoalan “duniawi” yang harus diselesaikan secara rasional, dengan

mengedepankan dialog publik yang setara. Satu hal yang tidak akan bisa dilakukan

oleh bentuk negara ideologis, selayak negara Islam, komunisme, Fasisme, dsb yang

lebih mengedepankan prasangka kelompok tertentu dalam menangani persoalan

masyarakat. Cita-cita Islamis atas sebuah negara hanya akan menempatkan

kebutuhan real masyarakat, dalam belenggu ideologi yang sering berangkat dari

emosi kesejarahan sektarian tertentu.

12

13

Namun, peminggiran orientasi ideologis tersebut, tidak kemudian

membuyarkan prinsip dasar Islam tentang praktik pemerintahan. Hal ini yang

membuktikan, bahwa serasional apapun konsep politik kaum muslim, ia tetap

berangkat dari logika dan prinsip keagamaan. Berbagai prinsip tersebut mengacu

pada hubungan antara individu warga negara dengan keniscayaan otoritas, yang

oleh Islam diatur secara seimbang. Baik hak individu warga masyarakat maupun

pentingnya kekuasaan efektif ditangan pemerintah, sama-sama memiliki dasar

tekstual. Ayat al-Qur’an menentukan kewajiban melakukan syura

(permusyawaratan), yang diandaikan menjadi wahana penyaluran aspirasi

individu. Baik dalam tingkat mikro maupun makro, kewajiban melaksanakan

permusyawaratan adalah bagian pokok dari budaya politik yang diinginkan al-

Qur’an. Bahkan demikian jauh hak individu dijaga, sehingga tampak agak anarkis

(Sabda Rasulullah, Tiada ketundukan kepada mahkluk, termasuk yang paling

berkuasa sekalipun, dalam hal yang menentang ketentuan Allah).

Bab 04

Gus Dur dan Negara Islam

Hubungan antara negara dan agama selalu ambivalen. Ia terdebat dalam

benturan politico-jurisprudentik antara struktur negara-bangsa (nation state) yang

menganut hukum alam (natural law), dengan agama (Islam) yang memiliki struktur

hukum transferensial (teks suci).

Keduanya selalu berbenturan. Satu hal yang dilihat Gus Dur bahkan tidak

menyentuh jantung dari persoalan kenegaraan. Ini terjadi karena di dalam dirinya,

masalah negara memiliki ruang politis material yang menuntut pendekatan multi-

sektoral, terkait kondisi structural yang membuat negara efektif dalam menjalankan

amanat publik. Sementara di sisi lain, tuntutan politik Islam lebih didorong oleh

jihad ideologis yang sayangnya bersifat sectarian, karena masing umat Islam

memiliki ragam penafsiran berbeda, terkait bagaimana menempatkan agama dalam

hidup berbangsa.

Dalam Jurnal Prisma edisi No. 11, November 1980, Gus Dur memberikan

gambaran problematik, hubungan antara agama, sebagai ideologi, yang harus

berhadapan dengan Pancasila sebagai ideologi negara. Tema Agama, Ideologi dan

Pembangunan ini menjadi penting, sebab Orde Baru pada awal agenda

pembangunannya, telah memosisikan secara dikotomis antara agama sebagai

ideologi politik dengan kepentingan pembangunan ekonomi yang tentunya

mensyaratkan “matinya ideologi”.

Makna urgen dari makalah ini juga terdapat dalam fungsi penjelas, dimanakah

posisi Gus Dur: apakah dalam gerbong modernisasi yang berarti meminggirkan

agama demi kelancaran percepatan ekonomi, ataukah salah satu dari bagian gerakan

agama yang saat itu dipasung oleh negara, dalam arti Gus Dur adalah bagian dari

Islam politik? Posisi agama dan Gus Dur sebagai pemikir Islam dalam pergulatan

represifitas negara, yang hendak dikupas di tulisan ini, dengan harapan memberikan

satu informasi pemikiran Gus Dur, kaitannya dengan bagaimanakah sikap ideal

1

yang harus dimiliki antara agama dan negara, agar tidak terjadi perbenturan yang

tentunya merugikan nilai-nilai yang dijunjung oleh kedua faktor tersebut.

Gus Dur mengawali analisanya dengan memberikan gambaran atas fakta

ketegangan agama dan negara. Secara abstraktif, Gus Dur menemukan banyak bukti

yang menunjukkan besarnya hambatan dalam proses pembangunan, karena

terjadinya kesalahpahaman yang sangat besar antara pihak penanggungjawab

ideologi negara dan pimpinan gerakan keagamaan dikalangan negara-negara yang

sedang berkembang. Kesalahpahaman ini sudah begitu jauh sehingga kehidupan

politik di negara yang sedang berkembang menjadi labil. Tenaga sangat besar

ditujukan hanya untuk membatasi gerakan keagamaan, yang dianggap mengganggu

lancarnya pembangunan. Dalam perjalanannya, proses penghambatan ini malah

menciptakan kelambatan kalau tidak boleh dikatakan menghentikan sama sekali,

roda pembangunan. Gus Dur kemudian melihat terciptanya strategi ganda oleh

negara, dalam menghambat “gangguan” gerakan keagamaan tersebut. Di satu pihak,

gerakan keagamaan “dijinakkan” dengan bantuan negara untuk keperluan ritual,

sedang dipihak lain terjadi upaya pemojokan gerakan agama yang memiliki aspirasi

politis dan berwatak korektif terhadap pemerintah. Upaya pemojokan ini biasanya

dilakukan melalui penciptakan gerakan keagamaan tandingan dengan fasilitas besar,

dari negara. Dalam istilah Gus Dur, negara menghambat gerakan keagamaan,

melalui politik “memotong baja harus dengan baja”.

Pada sisi lain, radikalisme yang dimiliki oleh gerakan keagamaan terbentuk

dari besarnya persepsi akan konsolidasi ideologi negara sebagai “kerugian” bagi

nilai-nilai transendental yang mereka yakini. Hal ini disebabkan oleh kesibukan

negara dalam menciptakan infrastruktur rasional dan teknik yang efisien, sehingga

aspirasi transendental diatas terabaikan. Sebagian karena oportunisme politik, dan

sebagian lagi karena ketidakmampuan membuka cakrawala politik yang dapat

diterima oleh semua kalangan. Persepsi akan “kerugian” nilai-nilai transendental ini

kemudian melahirkan “konsolidasi spiritual” yang menemukan ketetapan pendirian

gerakan keagamaan, dalam berbagai sumber ajaran agama, sehingga apapun yang

mereka yakini, memiliki keabadian dan kelanggengan cita-cita. Konsep kesyahidan

(martyrdom) mendudukkan akibat penindasan fisik dalam kerangka perjuangan suci,

2

yang tentunya berbeda dengan apa yang dimaksudkan oleh aparat yang melakukan

penindasan tersebut.

Pada tataran kultur politik, ketegangan antara pemegang ideologi negara vis a

vis gerakan keagamaan ini terkonstruk oleh strategi represif dari Orde Baru dalam

“mengamankan” proyek pembangunan. Oleh Frans Seda, kultur politik Orde Baru

(Orba) dilihat sebagai “kebudayaan ekonomi” yang tentunya lebih berorientasi pada

mengejar performance (performance oriented) atau prestasi, serta hasil sebesar dan

secepat mungkin.1 Satu orientasi yang berbeda dengan Orde Lama, yang

menjadikan politik sebagai panglima, sementara ekonomi (hanya) menjadi faktor

penunjang. Dalam orientasi ini, Orba mendambakan satu pengamanan, yakni

sebuah penyiapan situasi dan kondisi politik yang aman untuk prestasi serta

penertiban terhadap akibat-akibat negatif dari performance tersebut, baik secara

preventif maupun represif. Dalam fakta politik, kaitan antara performance dan

pengamanan dapat berlangsung dengan tempo yang makin hangat. Makin tinggi

performance atau prestasi yang ditargetkan, makin ketat pula pengamanan yang

harus dilakukan. Demikian sebaliknya, performance akan semakin ditingkatkan untuk

membenarkan pengamanan politik yang dilakukan. Perkembangan secara spiral ini

diharuskan sebab suatu pola pembangunan yang didasarkan pada mengejar prestasi

tidak akan bisa mandeg, sebab mandeg berarti mundur dan hancur. Dalam hal inilah

Orba melalui strategi Trilogi Pembangunan baik lewat statement resmi maupun dalam

real politics menunjukkan orientasi performance dengan suatu pengamanan stabilitas

politik sebagai penunjangnya.

Pada titik inilah kesulitan saling memahami antara ideologi negara dengan

aspirasi keagamaan menemu ruang. Hal ini disebabkan oleh situasi labil negara-

negara yang baru berdiri dalam membentuk ideologinya. Apalagi ketika sistem

politik yang dianut merupakan adaptasi secara kasar dari kultur politik “luar”,

sehingga adaptasi tersebut kemudian berbenturan dengan kultur politik

dimasyarakatnya sendiri. Dalam kaitan ini, negara kemudian mengambil strategi

“tawar menawar yang sepi” dengan satu target, yakni stabilitas politik yang

disebabkan kemampuan hegemonik ideologi negara dalam “menertibkan” ideologi

alternatif dari masyarakat. Deskripsi Gus Dur: 1 Frans Seda, Orde Baru dan Kultur Politiknya, Prisma, No. 11, November 1980, h., 3-4

3

“Segera setelah tercapainya penyelesaian formal berupa ideologi negara

yang dinamai Pancasila, perbenturan masih berlanjut dalam bentuk upaya

“pengamanan” Pancasila itu sendiri, dari kemungkinan “penyimpangan”

oleh pihak lawan politik. Upaya ini terutama ditumpukkan pada tindakan

politik untuk menguasai aparat pemerintahan dan kelengkapan negara. Baik

di masa perjuangan fisik mempertahankan kemerdekaan (1945-1949), masa

demokrasi liberal (1959-1966) maupun di masa Orde Baru sejak 1966.

“Pengamanan” ideologi negara dari kemungkinan “salah penafsiran”

senantiasa mengambil bentuk dalam pendayagunaan aparat negara bagi

perumusan “penafsiran yang benar” atas ideologi negara, semisal melalui

penataran P4. Kasus perkembangan Pancasila sebagai ideologi negara

bukanlah kasus unik. Di banyak negara, pertumbuhan awal dari ideologi

negara dan proses pemantapannya mengambil bentuk dialog intensif antara

pihak yang berbeda pendapat… Tetapi, dialog tersebut ada pula yang

mengambil bentuk proses “tawar-menawar yang sepi” (silent bargainings),

seperti yang berlangsung di negeri kita. Proses tolak-angsur (tug-of-war)

antara aspirasi theologies dan aspirasi sekularis yang berlangsung di negeri

kita ini adalah bagian dari jalannya “tawar-menawar yang sepi” itu”. 2

Tentu dari sini kita menjadi faham, kenapa Gus Dur menolak negara Islam.

Bukannya beliau tidak setuju dengan konsepsi tersebut, tetapi cita negara Islam di

negeri ini bersifat diskontekstual, karena dalam real politics, persoalan sebenarnya

adalah pergulatan antara kepentingan negara yang hendak menundukkan ideologi

Islam. Artinya, perdebatan teoritis seputar Islam versus negara-bangsa, tidak

relevan karena yang terjadi lebih kepada pergulatan politik antara rezim negara

yang selalu memanfaatkan agama.

Di sini kita mafhum bahwa Gus Dur merupakan salah satu pioneer dari

penerima konsep dan bentuk negara-bangsa, yang secara otomatis menolak

penyatuan antara agama dan negara. Tentu pada terma ini, Gus Dur bisa

dimasukkan kedalam gerbong sekularisasi, bersama dengan Cak Nur. Hanya saja,

konsep sekularisasi yang mensyaratkan disfungsionalisasi otoritas agama, karena 2 Abdurrahman Wahid, Agama, Ideologi dan Pembangunan, Prisma No. 11, November 1980, h., 13-14

4

telah diganti dengan otoritas administratif sekular, sebenarnya tidak cukup mampu

menggambarkan detail perbedaan didalam konsep pemisahan agama-negara.

Hal ini berangkat dari satu postulat, bahwa terma sekularisasi lebih

mengedepankan aspek “tujuan ideologis” dimana para konseptor negara-bangsa

memiliki tujuan ideologis yang berbeda dan bahkan bertentangan dengan

paradigma keagamaan ideologis. Maka tak bisa dihalangi, Islam sebagai cita-cita

politik harus dipinggirkan, agar cita-cita masyarakat sekular bisa terwujud. Sejauh

pembacaan terhadap pemikiran Gus Dur, terma sekularisasi semacam ini menurut

penulis tidak relevan ketika disematkan kepada pemikiran Gus Dur. Kenapa?

Karena perumusan sistem negara berdasarkan agama ternyata tidak betul-betul

relevan bagi kebutuhan akan pemenuhan hak-hak bernegara dari masyarakat. Hal

ini dilandaskan Gus Dur pada berbagai kondisi dan syarat faktual bagi berfungsinya

sistem negara yang betul-betul mampu memenuhi kesejahteraan rakyat. Tuturnya:

Dengan melihat unsur-unsur yang diperlukan bagi sebuah upaya

rekonstruksi teori kenegaraan dari sudut pandangan kontemporer saat

ini, tampak bahwa lahan bagi upaya rekonstruksi serupa dari sudut

pandangan Islam, tidak begitu menguntungkan. Solidaritas massa, bila

digerakkan oleh semangat keagamaan, saat ini cenderung menjadi

momok bagi pengembangan pluralitas budaya yang diperlukan bagi

komunikasi eksternal kaum muslimin sendiri. Kesenjangan budaya

(cultural lag) yang diderita oleh elit keagamaan ummat Islam, baik para

ulama, cendekiawan maupun tokoh organisasi massa, cenderung untuk

menolak setiap pemecahan masalah dalam kerangka sikap

inklusivistik. Demikian juga, kehidupan spiritual kaum muslimin, yang

sangat tipis kadar kontemplasinya karena didorong oleh kebutuhan

pencarian ‘pemecahan praktis’ (hulul ‘amaliyah, implementable solutions),

sangat sedikit memberikan peluang untuk kiprah pemikiran yang

berwawasan sangat jauh.3

3 Abdurrahman Wahid, Masih Relevankah Teori Kenegaraan Islam? Tinjauan Kontemporer Atas Prinsip-Prinsip Rekonstruksinya, makalah pada Diskusi Konsep Negara Islam, FH-UII, Yogyakarta, 7 Februari 1988, h., 4

5

Dari paparan ini jelas terlihat bahwa ketidaksetujuan Gus Dur terhadap teori

kenegaraan Islam, serta usaha rekonstruksi atasnya, bukan semata disebabkan oleh

sistem Islam itu sendiri, tetapi sebuah fakta historis yang memperlihatkan bahwa

gelora pengislaman negara, ternyata hanya memasukkan Islam kedalam fanatisme

ideologis, yang tentunya tidak berperan sebagai agama an sich.4 Bagi Gus Dur,

fanatisme ini telah melahirkan dua sikap yang sama-sama “membahayakan” Islam

sebagai agama. Disatu sisi, Islam telah dijadikan alternatif ideologis berupa doktrin

politik: Islam sebagai solusi, yang tentunya menyimpan potensi konflik dengan

“solusi lain” yang ditempatkan sebagai “jahiliyah modern”. Alih-alih menciptakan

mashlahat, gelora serba alternatif ini pasti akan menggeret massa kedalam

pertarungan ideologis, sering dengan ceceran darah sesama muslim.

Di sisi lain, Islam kemudian hanya dijadikan suplemen bagi proyek

pemerintah non-Islam yang melahirkan satu politisasi agama, bisa melalui praktik

birokratisasi, atau bahkan pemanfaatan suara untuk melegitimasi kebijakan

pemerintah. Kedua posisi ini tentu menjadi penodaan bagi konsep Islam sendiri,

yang sebenarnya penuh dengan cita-cita tentang keadilan serta kesejahteraan

masyarakat.

Fakta inilah yang membuat Gus Dur, apatis dengan usaha rekonstruksi teori

kenegaraan Islam, dikarenakan berbagai problem kontemporer yang tidak akan bisa

diselesaikan hanya oleh batasan konseptual dari perpolitikan agama. Berbagai

problem tersebut merujuk pada bagaimana pelembagaan institusi pemerintah

dibentuk: apakah menganut sistem sentralisasi ataukah desentralisasi? Jenis hukum

formal yang mana, yang akan ditetapkan sebagai sistem hukum nasional, mengingat

terdapatnya potensi meniadakan konsep “hukum lain”, demi kemapanan satu

konsep hukum tertentu? Masyarakat seperti apa yang akan dibangun: masyarakat

tertutup yang menghambat proses distribusi kekuasaan, ataukah masyarakat

terbuka? Hingga model kebudayaan seperti apa yang akan dituju, apakah

kebudayaan monolitik yang tidak menenggang perbedaan, atau sebuah perhargaan

atas dinamika pluralitas? Berbagai problem real yang terdapat baik dalam struktur

kenegaraan, maupun kultur masyarakat inilah yang membuat rumus teori negara

Islam menjadi irrelevant, sebab Gus Dur melihat pengatasnamaan agama dalam 4 Abdulkadir Kurdi, The Islamic State, New York: Mansell Publishing Limited, 1984, h., 41-45

6

politik, tiada bedanya dengan segregasi ideologis berbagai isme yang menjadikan

kekuasaan ideologinya sebagai tujuan utama pendirian negara, bukannya realisasi

keadilan sosial.

Pada titik ini Gus Dur kemudian merumuskan berbagai prinsip kenegaraan

modern, yang tidak harus terkait dengan teori sistem kenegaraan tertentu, termasuk

sistem Islami. Prinisp tersebut antara lain; (1) sistem pemerintahan yang secara

universal memberikan kedudukan sama di muka hokum, tanpa melihat asal-usul

agama, etnis, bahasa, budaya, maupun keyakinan politiknya. (2) sistem perwakilan

berdasarkan ketentuan satu-orang-satu-suara (one man one vote), yang akan

menjamin kedaulatan rakyat yang tidak akan tertandingi sistem perwakilan terbatas

manapun, (3) hukum nasional yang berlaku untuk semua warganegara, yang

diramu dari unsur-unsur hukum agama, disamping sumber lain, sedangkan materi

hukum agama yang tidak masuk dalam kodifikasi hukum formal (undang-uandang)

berfungsi sebagai etik masyarakat (menjadi fiqh atau hokum agama Islam), (4)

jaminan penuh akan kebebasan berpendapat, berserikat dan menguasai hak milik,

(5) pembagian kewenangan legislatif, eksekutif, yudikatif, dimana tidak ada satu

pihak mencampuri otoritas pihak lain, (6) jaminan untuk mengembangkan

keyakinan agama serta menyebarkan ajaran spiritualitas tanpa ada pembatasan,

selama tidak menjurus kriminalitas, (7) jaminan akan kebebasan melakukan

kegiatan ilmiah, perlindungan hukum atas karya-karya ilmiah, dari tindakan

sepihak oleh semua otoritas, termasuk otoritas agama, diluar saluran pengadilan.5

Pada ranah praksis, hal inilah yang membuat Gus Dur, sebagai Ketum PBNU

saat itu, menerima azas tunggal Pancasila, sebagai azas organisasi masyarakat,

karena disamping hal tersebut merupakan keberpihakan dari ormas-ormas untuk

mencoba keluar dari kepentingan sektarian, menuju pada kepentingan nasional,6

juga dikarenakan oleh keyakinan bahwa Pancasila tidak akan mengganti posisi Islam

sebagai aqidah. Keyakinan tersebut berangkat dari satu positioning Islam dalam

kehidupan bangsa, yang oleh Gus Dur ditempatkan pada, pertama, sebagai etika

sosial, dimana Islam mampu mengarahkan dan membentuk moralitas publik, dan

5 Lihat Wahid, Masih Relevankah Teori Kenegaraan Islam, h., 5 6 Abdurrahman Wahid, Peranan Organisasi Kemasyarakatan dalam Pembangunan Politik: sebuah Telaah Awal, dalam Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam, Arifin Junaidi (penyunting), Edisi terbatas, 1991, h., 57

7

kedua melalui penerapan hukum Islam secara partikular didalam struktur hukum

nasional, salah satunya melalui Departemen Agama, meskipun lembaga ini ternyata

terjebak dalam birokratisasi dan tidak mampu melakukan pengaturan konflik

internal gerakan Islam, sehingga mengalami kegagapan ketika harus berhadapan

dengan dilema Islam dan modernitas.

Penerimaan Gus Dur atas nama Nahdlatul Ulama (NU) memang bersifat

historis. Kesejarahan tersebut menemu ruang dalam penerimaan NU atas bentuk

negara-bangsa, yang mengindikasikan “selesainya” perdebatan pada level struktur

kenegaraan untuk kemudian lebih mengembangkan perdebatan pada wilayah

aplikasi dari eksistensi kenegaraan demi kesejahteraan rakyat.

Dimulai sejak Muktamar tahun 1935 di Banjarmasin, NU sudah membuktikan

watak moderasinya melalui pemberian status wilayah Hindia-Belanda sebagai dar al-

Islam (negeri muslim) meskipun struktur negara yang ada adalah negara kolonial-

sekular. Penerimaan ini berangkat dari argumentasi, bahwa negara menjamin

kebebasan umat muslim dalam melakukan praktik ibadah, disamping argumen

historis yang menggambarkan kesejarahan kerajaan-kerajaan Islam Nusantara, yang

hingga kini masih memberikan bekas kultural dalam tradisi keagamaan dan

kekuasaan muslim Nusantara. Konsekuensi dari penerimaan ini adalah, wajibnya

umat muslim untuk mempertahankan wilayah tersebut dari penjajahan, sehingga

sejak saat itu, perlawanan terhadap kolonialisme selalu mengemuka, baik yang

dilatarbelakangi oleh berbagai kebijakan anti-Islam dari pemerintah Belanda,

maupun fatwa Resolusi Jihad Kyai Hasyim Asy’ari, untuk mempertahankan

kemerdekaan pada Oktober 1945.

Dari momen sejarah ini, maka tanggapan Islam atas bangunan negara-bangsa,

menemu pada dua ruang. Pertama, Islam mensyaratkan kebebasan bagi kaum

muslim untuk melaksanakan ajaran agama, sebagai conditio sine qua non bagi

penerimaan Islam atas eksistensi negara tersebut. Kedua, Islam membiarkan hal-hal

yang berhubungan dengan bentuk negara, sistem pemerintahan, orientasi warga

negara dan ideologi politik, ditentukan oleh proses sejarah. Dengan demikian, pola

yang berkembang adalah wawasan kebangsaan yang dijalin dengan orientasi cukup

8

kuat, sehingga keduanya tidak saling menolak, tetapi saling mendukung dalam

batas dan ruang yang ditentukan secara proporsional.

Dalam kaitan inilah, Gus Dur kemudian menggambarkan modal besar dari

sistem keagamaan NU yang membuatnya moderat dalam berhubungan dengan

negara-bangsa. Sistem keagamaan ini merujuk pada kesatuan antara tiga komponen

utama Islam, yakni tauhid, fiqh, dan tasawuf. Dalam berfiqh, muslim NU tidak

hanya mengembangkan produk hukum agama yang diambil dari literatur fiqh

dalam sekala massif, namun juga cara-cara menyusun pemikiran hukum (legal

maxim, qawa’idul fiqh), guna menentukan bentuk akhir keputusan hukum, jika latar

belakang masalahnya tengah mengalami perubahan.

Disinilah dinamika pengambilan hukum Islam menjadi dinamis, karena NU

mampu merumuskan kembali setiap permasalahan hukum berdasarkan perubahan

konteks masyarakat. Pemikiran metodologis hukum agama ini kemudian diberi

bobot spiritualitas melalui tasawuf dalam pengamalan ajaran agama sehari-hari,

melalui rangkaian ritual yang memungkinkan penyiraman jiwa, yang berfungsi

memperdalam bobot kearifan spiritual, sebagai pendalaman bagi kecenderungan

legal formalistik dari corak keagamaan serba fiqh. Dari ketaatan terhadap hukum

agama, dibarengi dengan pengamalan ajaran agama secara sufistik ini, maka muslim

NU kemudian memiliki bobot ketauhidan yang kuat, sehingga agama mampu

membentuk pandangan dunia yang bulat dan utuh, baik dalam lanskap duniawi

maupun ukhrawi.

Dari sistem keagamaan fiqh-sufistik inilah, NU kemudian merumuskan

hubungan moderat antara Islam dan negara modern, sehingga pada satu titik, Islam

tidak kehilangan relevansi bagi kehidupan kekinian, sekaligus Islam tidak

kehilangan dirinya dalam struktur kebudayaan sekular yang dibawa oleh

modernitas tersebut. Elaborasi Gus Dur:

Pendekatan serba fiqh atas masalah-masalah kenegaraan itulah yang

membuat NU relatif lebih mudah menerima ketentuan pemerintah tentang

asas Pancasila dalam kehidupan organisasi. Dalam pandangan fiqh asas

Pancasila adalah salah satu dari sekian buah persyaratan bagi keabsahan

negara Republik Indonesia; hal itupun bukannya persyaratan keagamaan sama

9

sekali. Dengan sendirinya tidak ada alasan apapun untuk menolaknya, selama

ia tidak berfungsi menggantikan kedudukan agama dalam kehidupan

berorganisasi yang bersangkutan.

Dengan meletakkan kunci masalah pada pengesahan oleh hukum fiqh,

NU mampu melakukan sebuah proses penyesuaian dengan tuntutan sebuah

negara modern, walaupun dalam aspek kenegaraan, pandangan serba fiqh itu

juga sering merupakan hambatan bagi pemegang pemerintahan.. Namun, itu

tidak berarti jalannya pemerintahan juga lalu terlepas sama sekali dari kendali

keagamaan. Bahkan oleh NU diajukan tuntutan agar kebijaksanaan

pemerintah senantiasa disesuaikan kepada ketentuan fiqh.. seperti kaidah

“kebijaksanaan kepala pemerintahan harus mengikuti kesejahteraan rakyat”

(tasharruful imam ‘alarra’iyyah manutun bil mashlahah).7

Dengan menggunakan fiqh sebagai tolok ukur keabsahan negara, maka NU

kemudian tidak mempermasalahkan bentuk formal pemerintahan, selama perilaku

kelembagaan negara masih sesuai dengan batas-batas yang digariskan oleh fiqh.

Dari sinilah muncul kritik partikular atas penyimpangan yang dilakukan oleh sub-

sistem atau pemegang kekuasaan, tidak kemudian menjadikan NU menolak secara

total bentuk pemerintahan, melainkan memperbaikinya secara kasuistik dan

gradual.

Pemikiran kenegaraan (Islam) Gus Dur ini, memang terkait dengan situasi

politik pembangunan yang digerakkan oleh Orde Baru, di mana Gus Dur harus

cerdas menempatkan diri. Satu situasi yang merujuk pada sekularisasi di satu sisi,

dan kebangkitan Islam di sisi lain, yang pada akhir pemerintahan Soeharto malah

diberi angin. Tentu, Gus Dur tidak gamang, dan dengan sigap melakukan

rekonstruksi hubungan antara Islam dan negara, yang pada saat itu menjelma titik

tengkar.

Titik tengkar ini mengacu pada pertanyaan: haruskah Islam menolak Pancasila,

karena ideologi ini bersifat “tidak Islami”? Tanya ini kemudian menciptakan

pembelahan pemaknaan atas hubungan Islam dan politik. Satu pihak, Islam

dipandang sebagai political, dimana arti kejayaannya disematkan dalam totalitas 7 Abdurrahman Wahid, NU dan Islam di Indonesia Dewasa Ini, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2000, h., 157-159

10

sistemik, melalui pendaulatan syari’at sebagai konstitusi negara. Lahirlah Piagam

Jakarta yang diharapkan menjadi payung konstitusional bagi penerapan hukum

Islam di semua lini kehidupan publik. Sementara itu di pihak lain, Islam tidak

dimaknai sebagai “yang politik”, tetapi lebih kepada “yang kultural”. Pemaknaan ini

berdampak pada posisi politik Islam, yang tidak harus menjelma supra-struktur

negara, tetapi sub-struktur dalam bangunan tubuh negara-bangsa.

Gus Dur masuk dalam gerbong ini. Yakni, dalam penempatan Islam yang

mengacu pada dua hal. Pertama, pemosisian hukum Islam kedalam sub-sistem

hukum nasional. Hal ini dilandasi oleh kaidah fiqh: ma laa yudraku kulluhu laa yutraku

julluhu (apa yang tidak bisa didapat semuanya, jangan ditinggal prinsip dasarnya).

Bagi Islam (Sunni), jika konstitusi negara tidak bisa berdasarkan Islam, mengingat

pluralitas bangsa, maka penanganan persoalan mu’amalah haruslah tetap ditangani

oleh hukum Islam. Dari sini keberadaan Kementarian Agama dan Peradilan Agama

menjadi penting demi menjaga otoritas fiqh agar tetap dipegang oleh para ulama.

Tentu posisi minimalis ini tidak berhenti dengan sendirinya, karena setelah hukum

Islam terposisikan dalam sub-struktur negara, ia kemudian digerakkan sebagai etik

sosial pada ranah masyarakat, juga negara. Gus Dur mendefinisikan etik sosial ini

sebagai fungsi komplementer dari Islam, dimana agama memiliki kewajiban untuk

menyempurnaan tata politik.8 Dalam praktik, proses penyempurnaan ini kemudian

melahirkan etos kritik, di mana Islam mampu menyediakan alternatif dari

pembangunan, jika arah kebijakan negara, dirasa menyimpang dari nilai-nilai dasar

yang dianut oleh Islam.

Dalam kaitan inilah, praktik pembangunan bahkan telah melahirkan, apa yang

disebut Gus Dur sebagai penanganan non-religius atas kehidupan beragama.

Artinya, apa yang dimaksud pemerintah dengan pengaturan kehidupan beragama,

ternyata hanya bersifat artifisial, institusionalis, dan event oriented, daripada

penelaahan problem fundamental umat beragama.9 Hal ini digerakkan melalui

pemberian dana bagi perayaan keagamaan serta pembentukan birokrasi agama,

yang bahkan telah menjebak keberislaman formalistik. Kecenderungan ini lahir dari

8 Abdurrahman Wahid, Pengembangan Masyarakat Melalui Pendekatan Keagamaan, dalam Muslim di Tengah Pergumulan, Jakarta: Leppenas, 1981, h., 8-9 9 Abdurrahman Wahid, Pergumulan Islam dengan Masalah-masalah Pembangunan, dalam Muslim Ditengah Pergumulan, Jakarta: Leppenas, 1981, h., 90

11

paradigma pembangunanisme, yang menempatkan agama, sebagai satu unsur sosial

yang harus memperkuat kebijakan ekonomi negara. Inilah yang terjadi, dan

menempatkan Islam, jika tidak sebagai “ekstrim kanan” yang tersanding dengan

“ekstrim kiri”, maka posisi Islam yang hanya dijadikan legitimasi kekuasaan. Dua

posisi sama sulit, karena pembangunan yang mensyaratkan konflik, dan oleh

karenanya wajib meminggirkan Islam ideologis, dengan satu usaha politisasi Islam

non-politik, yang telah mencerabut agama ini dari fungsi vitalnya.

Penobatan Islam sebagai legitimasi pembangunan tersebut dilakukan

pemerintah dalam dua fase, jika merujuk pada pergulatan Gus Dur. Fase pertama

merujuk pada revisi pandangan modernis negara atas tradisi pesantren, di mana

pembangunan sudah tak lagi menempatkan tradisi ini sebagai penghambat

modernisasi, tetapi sebaliknya, ia dilihat sebagai basis budaya, tempat pemerintah

mensosialisasikan agenda pembangunan. Pendekatan ini memang bersifat

instrumentalis, karena hanya melihat pesantren sebagai alat, dikarenakan watak

kulturalnya yang mengakar dengan masyarakat.10 Dengan modal budaya kuat,

yakni kemenyatuan tradisi Islam dan lokalitas, ditambah patronase perlindungan

kyai atas warga sekitar, pesantren dilihat mampu menjadi ruang komunikasi yang

efektif, dimana peran kyai sebagai komunikator budaya, akan mampu menjembatani

pemerintah dan masyarakat dalam sosialisasi kebijakan pembangunan.

Inilah yang dikritik Gus Dur, karena alih-alih pemerintah bisa, dan berempati

dengan tata nilai pesantren, pendekatan instrumentalis ini hanya menempatkan

pesantren secara pragmatis, minus kesadaran nilai.11 Ketiadaan kesadaran inilah

yang dikritik Gus Dur, sehingga ia kemudian mewacanakan sub-kultur pesantren,

sebagai usaha untuk menggambarkan sistem nilai muslim tradisional tersebut.

Bentuk sub-kultur inilah yang menempatkan pesantren sebagai sub-budaya nan

unik (dan karenanya pemerintah harus hati-hati), tetapi sekaligus mampu

mempengaruhi sistem secara keseluruhan, dan oleh karena itu, ia tidak hanya

berperan sebagai “corong kebijakan”, namun bahkan mampu melakukan koreksi

10 MM. Billah, Dari Paradigma instrumentalistis ke Paradigma Alternatif, Jurnal Pesantren, No. 3/Vol. V/1988, Jakarta: P3M, h., 10-14 11 Abdurrahman Wahid, Culture Oriented Development Policies and Programs; the Case of Pesantren in Indonesia, makalah dalam International Conference on Interactions of Development and Culture: from Dilemmas to Oppoetunities, oleh Fredrich Naumann Foundation dan International University Foundation, Bonn, 29 Juni-3 Juli 1987, h., 4

12

atas pembangunan. Dari sini Gus Dur kemudian menggerakkan pengembangan

masyarakat melalui pesantren, salah satunya dengan mendirikan P3M. Melalui

gerak ini, Gus Dur dan kalangan NU menggali potensi sosio-ekonomi masyarakat,

sehingga ketergantungan atas pembangunan negara bisa diminimalisir.

Fase kedua penggunaan Islam sebagai legitimasi terjadi ketika negara

mendirikan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) yang oleh Gus Dur

dilihat sebagai penodaan komitmen awal terhadap demokrasi. Hal ini terjadi, dan

dikritik Gus Dur, karena “kemesraan” NU dengan negara terjadi, ketika pemerintah

sepakat untuk tidak memberi ruang bagi ekslusifitas Islam.12 Ini yang melahirkan

dekonfessionalisme Islam: ruang publik dinetralisir dari kecenderungan sektarian

agama yang tentunya akan menjebak penanganan politik dalam segregasi kelompok.

Sayang, komitmen awal ini telah ternoda, dan pemerintah dengan sengaja

memediasi birokratisasi Islam, dengan mengakomodir kecenderungan islamisasi

baik ranah ritual kenegaraan, pengatahuan, dan ruang politik.

Satu hal yang dikhawatirkan Gus Dur, karena pendirian ICMI berarti

pemberian political opportunity atas ekslusifitas Islam, yang bahkan Gus Dur

nisbatkan pada geliat Aljazaer, dimana kaum fundamentalis bergolak.13 ICMI

menurut Gus Dur akan menyemai benih Islamisme politik, di mana kepentingan

demokratisasi pada aras kebangsaan, akan direbut oleh kepentingan golongan

Islamis. Ini tentu langkah mundur, karena sejak awal pembangunan, bentuk politik

sekular sebetulnya ideal, karena melakukan minimalisasi atas potensi ideologis dari

gerakan Islam. Ruang publik yang netral ini, pada dekade 1990 telah dikacaukan lagi

oleh Soeharto, yang memang pada saat itu telah kehilangan sebagian basis politik

militernya, dan oleh karena itu membutuhkan perangkulan massa Islam, demi

kelangsungan kekuasaan.

Dalam kaitan inilah, pemikiran Islam Gus Dur berusaha melakukan

penyaringan, counter discourse, dan penjelasan kesejarahan atas bangunan Islam di

12 Douglas E. Ramage, Democratisation, Religious Tolerance and Pancasila: The Political Thought of Abdurrahman Wahid, dalam Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and Modernity in Indonesia, Greg Barton, Greg Fealy (ed), Australia: Monash ASIA Institute, 1996, h., 235 13 Adam Schwarz, A Nation in Waiting, Indonesia’s Search for Stability, Australia: Allen & Unwin 9 Atchison Street, 1999, h., 186-187

13

14

Indonesia, yang tidak selalu besifat legitimatif. Hal ini dilakukan Gus Dur melalui

rekonstruksi metode pemikiran (hukum) Islam, untuk menggali potensi

transformatif, agar Islam bisa kompatibel dengan perubahan sosial yang terjadi.

Tentu harus ada kompromi, semisal akomodasi Islam terhadap ideologi negara,

dengan catatan, masing pihak mampu memberikan kontribusi berdasar kesamaan

nilai universal, seperti nilai-nilai yang Gus Dur tarik dari titik sama antara Islam dan

Pancasila:

Pancasila harus diuji, apakah mampu atau tidak mewujudkan

prinsip-prinsip kenegaraan dan kebangsaan yang dituntut oleh Islam.

Pancasila harus mengembangkan wawasan yang demokratis, menganut

faham perlakuan sama dimuka undang-undang dan memperjuangkan

keadilan. Demikian pula, Pancasila harus mengembangkan watak

kehidupan yang berorientasi pada pelaksanaan kedaulatan hukum secara

tuntas, menghargai kebebasan berpendapat dan menjamin kebebasan

berserikat. Itulah kunci diperoleh lima buah jaminan dasar yang

diberikan oleh Islam kepada warga masyarakat; jaminan dasar atas

keselamatan fisik, keyakinan agama, kesucian keluarga, harta milik

pribadi, dan keselamatan profesi. 14

Hal inilah yang dilakukan Gus Dur, yakni mengangkat perbedaan partikular

kepada persamaan cita-cita universal, yakni kemanusiaan dan keadilan. Struktur

politik demokratis kemudian menjadi syarat utama, di mana Islam harus melakukan

rekonstruksi atas bangunan doktrinalnya, jika ia ingin menggerakkan perubahan

masyarakat. Inilah letak pemikiran Islam beliau, karena tanpa pembenahan ke

dalam, Islam bahkan sering dijadikan penghambat bagi demokratisasi. Tetapi juga

sebaliknya, tanpa orientasi demokratis, pembenahan dalam tubuh Islam, hanya akan

menciptakan konflik internal umat Islam, karena masing pihak terjebak dalam klaim

kebenaran penafsirannya.

14 Wahid, Islam, Ideologi,dan Etos Nasional sumber tak terlacak, h., 3

Bab 05 Gus Dur dan Syari’at Islam

Dalam pergulatan syari’at Islam, sering terlihat bahwa Gus Dur cenderung

menentang hal tersebut. Syari’at Islam yang oleh sebagian pihak harus dilegalkan

melalui peraturan negara, bagi Gus Dur merupakan tindakan ngoyo-woro, karena

pada level tindakan, ia sudah dipraktikkan pada ranah budaya.

Ini yang menandai perbedaan pendekatan, antara dakwah institusionalis

versus dakwah budaya. Pada poin dakwah pertama, Islam harus diinstitusionalkan,

karena kelompok ini memahami kejayaan Islam berada dalam aktivitas politik.

Lahirlah pandangan “islamisasi dari atas”, dimana untuk mengislamkan

masyarakat, maka struktur pemerintahan harus di Islamkan terlebih dahulu. Hal

berbeda dengan poin dua, yang lebih mendekati Islam dari bawah. Yakni sebuah

gerak budaya yang berangkat dari kemenjadian manifestasi Islam, baik melalui

akulturasi dengan tradisi lokal, maupun akomodasi hukum Islam dengan hukum

adat. Pendekatan ini percaya bahwa Islam terutama adalah budaya, dan bukan

politik. Kenapa? Karena agama adalah persoalan keyakinan, dan keyakinan adalah

persoalan kesadaran. Memaksa kesadaran dengan “pentung politik” hanya akan

membuahkan represi, atau politisasi, sehingga praktik keberagamaan tidak murni

lahir dari kesadaran batiniyah tetapi lebih kepada luapan politik atau bahkan

ideologi.

Apa yang diperjuangkan Gus Dur, ketika beliau menentang formalisasi syari’at

adalah sebuah ajakan kepada umat Islam, untuk lebih memikirkan kepentingan dan

kebutuhan real masyarakat, semisal ketidakadilan ekonomi, kecurangan hukum,

keterbelakangan pendidikan, dsb yang akan terpinggirkan oleh agenda simbolis

penerapan fiqh dalam undang-undang yang sebenarnya merupakan dagangan dan

kerjaan sebagian elite muslim, tanpa melakukan klarifikasi secara massal, apakah

benar segenap umat muslim Indonesia membutuhkan hal itu, sebagai kebutuhan

nyata sehari-hari kehidupannya?

1

Pada titik ini, Gus Dur memang sering membuat emosi keagamaan sebagian

(gerakan) muslim, meluap untuk kemudian ditembakkan kearah kontroversi yang

diciptakan beliau. Kontroversi? Sebenarnya tidak juga, karena apa yang dilontarkan

Gus Dur berangkat dari landasan pemikiran dan kaidah agama yang kuat. Misalnya

pada tahun 1989, ketika Gus Dur memperbolehkan penggantian assalamu’alaikum

sebagai salam komunikasi, dengan kalimat “selamat pagi..” dikarenakan pandangan

dinamis demi lancarnya hubungan sesama manusia, khususnya untuk

menjembatani perbedaan dengan non-muslim. Jadi yang diganti bukan salam di

sholat, tetapi hanya dalam pergaulan. Demikian juga ketika gagasan pribumisasi Islam

diluncurkan, yang merupakan mekanisme fiqhiyah untuk mengakomodasi adat oleh

syari’at, dilandasi oleh kaidah pembuatan hukum (qawaidul fiqh) dimana adat bisa

dijadikan landasan hukum (al-‘adah al-muhakkamah).1 Hal ini terkait dengan

kebutuhan akan Islam Indonesia yang harus melepaskan diri dari “penjajahan

budaya” Arabisme, dimana kekayaan adat hendak dihancurkan oleh simbol-simbol

budaya Arab.

Simbolisasi inilah yang melahirkan formalisasi, dimana bukan hanya syari’at

harus dilembagakan dalam undang-undang negara, melainkan pengotakan mana

“yang Islam” dan mana yang bukan bagian dari Islam. Fakta kemudian

menggambarkan penciutan makna Islam hanya sebatas literalisme ayat al-Qur’an

dan fiqh sebagai produk hukum, yang tidak dikontekstualisasi dalam rentang waktu

serta ruang yang berbeda. Ketika Gus Dur membela Ahmadiyah dan pluralisme dari

fatwa haram MUI, maka Gus Dur berpijak dari “bumi” Indonesia yang bukan

Negara Islam, sehingga berbagai kelompok keyakinan telah dijaga oleh konstitusi

berdasarkan kesadaran pluralitas yang tinggi. Gus Dur secara individu (teologis)

juga melihat Ahmadiyah bukan bagian dari kelompok Islam yang disahkan oleh

ortodoksi hukum, tetapi sebagai bagian dari kemajemukan bangsa, maka Gus Dur

membela hak kelompok (minoritas) tersebut, karena keberadaan mereka telah di

akui oleh legitimitas negara.

Kasus serupa layaknya yang terjadi pada saat ini adalah pembelaan Gus Dur

terhadap ancaman pembredelan tabloid Monitor awal 1990, dikarenakan Arswendo

1 Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam, dalam Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Depok: Desantara, 2001, h., 117

2

Atmowiloto (cerpenis Kristen) membuat angket asal-asalan tentang tokoh terpopuler

menurut masyarakat, yang ternyata menempatkan Nabi Muhammad pada posisi ke-

11, jauh dibawah Soeharto yang menempati posisi pertama. Hal ini kontan membuat

sebagian umat Islam mengecam pemihakan tersebut, karena Gus Dur dianggap

malah mendukung kelompok Katolik yang ada dibelakang Monitor. Gus Dur sendiri

bukannya tidak marah, tetapi beliau berpikir bahwa Nabi tidak akan terendahkan

hanya karena angket semacam itu. “Setiap hari, satu miliar manusia mengucap

shalawat kepada Nabi”, tegasnya.

Pada kasus Monitor, permasalahannya sederhana saja: kesembronoan dan

kepekaan berlebihan. Kesembronoan dilakukan oleh tabloid Monitor, yang

melakukan polling pendapat tanpa memikirkan akibatnya. Kepekaan berlebihan

datang dari umat, dalam hal ini kebetulan umat Islam. Akibat dari angket sembrono

ini adalah munculnya ranking tidak menguntungkan bagi Nabi Muhammad Saw.

Namun bagi Gus Dur, hal ini sebenarnya hanya kesembronoan dari sebuah tabloid,

yang seharusnya tidak ditanggapi secara emosional oleh umat Islam. Apalagi ketika

penyelesaiannya kemudian berakibat fatal, yakni pembredelan tabloid Monitor oleh

pemerintah berdasarkan tuntutan sebagian gerakan Islam. Hal ini tentu satu noda

yang sangat tragis dan membahayakan masa depan demokrasi, karena emosi politik

dari gerak keagamaan telah “berselingkuh” dengan negara, yang melahirkan

otoritarianisme kekuasaan.2 Melalui kasus ini, sebagian gerakan Islam kanan hendak

membanting arah politik, melalui pembuktian bahwa Soeharto merupakan “pembela

Islam” serta pelawan kaum non-muslim.3 Inilah yang disayangkan Gus Dur, karena

bangunan demokratisasi yang memiliki posisi lebih penting, ternyata tergerus oleh

emosi sesaat umat beragama, padahal bangunan itulah yang dalam jangka panjang

akan melindungi masyarakat dari diktatorisme negara.

Pertanyaan yang muncul, kenapa Gus Dur melawan tuntutan pembredelan

yang merupakan aspirasi sebagian kelompok Islam? Bukankah ini merupakan bukti

bahwa Ketua PBNU (saat itu) tersebut tidak merasakan “sakit hati” umat Islam?

Persoalannya adalah, umat Islam yang mana, dan Islam menurut siapa? Inilah yang

menjadi titik perbedaan sekaligus titik berangkat, karena sebagai pemimpin jama’ah 2 Abdurrahman Wahid, “Ta’ziah” untuk Monitor, sumber tak terlacak 3 Lihat Robert W. Hefner, Civil Islam, Islam dan Demokratisasi di Indonesia, Jakarta: ISAI-TAF, 2001, h., 273-276

3

Islam (terbesar) moderat di Indonesia, Gus Dur harus tetap menjaga keharmonisan

hubungan antar-agama, ditengah gejolak ekslusifitas beragama yang hanya

mementingkan golongan yang sebenarnya minoritas. Minoritas dalam arti, bahwa

sebagian umat muslim tidak selalu bersikap reaksioner ketika bagian dari

keyakinannya terusik, karena terdapat pertimbangan yang lebih matang, semisal

kebutuhan untuk tidak menciptakan konflik antar-agama.

Ekslusifitas agama, dimana penafsiran terhadap Islam sudah dirasuki oleh

kepentingan politik tertentu, sungguh mengusik Gus Dur karena hal tersebut akan

mengancam sendi utama kehidupan berbangsa, yang tidak harus kembali pada

trauma pertarungan ideologi era Orde Lama, tetapi sudah harus berpikir untuk

bekerja bersama demi memenuhi kebutuhan nyata masyarakat. Hal inilah yang

membuat Gus Dur menolak untuk menjadi bagian dari Ikatan Cendekiawan Muslim

Indonesia (ICMI), karena organ yang didirikan oleh “negara Soeharto” pada 1

Oktober 1991 ini, hanya ingin memanfaatkan peluang negara untuk mengegoalkan

agenda islamisasi yang berangkat dari keyakinan serta kepentingan segolongan

komunitas Islam.4 Islamisasi ditentang Gus Dur karena hanya menyentuh pada

perwujudan simbol-simbol agama tanpa masuk dalam substansi permasalahan

rakyat seperti ketidakdilan ekonomi, diktatorisme politik, keterbelakangan

pendidikan, pengangguran, dsb. Terlebih ketika sektarisnisme tersebut kemudian

semakin memperuncing titik perbedaan bahkan dengan sesama muslim, yang

akhirnya menimbulkan benturan antarkeyakinan beragama.

Hal yang sama terjadi pada pembelaan Gus Dur atas penulis buku Satanic

Verses : Salman Rushdie pada tahun 1987, yang telah di fatwa mati in absentia oleh

pemimpin spiritual Iran, Ayatullah Khomeini. Buku ini juga melukai hati umat Islam

karena didalamnya memuat penghujatan terhadap Nabi Muhammad beserta

keluarganya, sehingga segenap muslim melakukan protes dan mengutuk buku

tersebut. Gus Dur berbalik arah, dengan menyatakan bahwa umat Islam boleh

membaca buku itu sampai habis, dan sang penulis tidak perlu dihukum mati. Gus

Dur berpandangan, mungkin saja orang lalu bisa murtad setelah membaca buku itu,

4 Lihat Douglas E. Ramage, Democratisation, Religious Tolerance and Pancasila: The Political Thought of Abdurrahman Wahid, dalam Greg Barton, Greg Fealy (ed), Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and Modernity in Indonesia, Australia: Monash ASIA Institute, 1996, h., 230

4

tetapi bukan salah bukunya, melainkan pada dasarnya orang tersebut memang

berpotensi untuk murtad. Hukuman buat Rushdie? “Kita serahkan kepada Allah”.

Gus Dur sendiri pada titik ini sebenarnya menyayangkan sikap umat muslim

yang begitu mudah tersulut emosi keagamaannya, tanpa memiliki kehendak untuk

memahami lebih dalam permasalahan yang sebenarnya kompleks. Tutur beliau:

Dari kasus novel Ayat-Ayat Setan itu lalu menjadi jelas bagi kita,

bahwa kepekaan orang Islam memang sangat tinggi, kalau ada sesuatu

mengenai keyakinan mereka. Emosi tampaknya adalah “ukuran

dominan” bagi mereka, termasuk yang paling terpelajar dan selama ini

berpretensi “menjunjung kebebasan” sekalipun.

Atas pertanyaan mereka, “dapatkah atas nama kebebasan

dibenarkan penghinaan terhadap Islam”, sebenarnya dapat diberikan

jawaban: justru inti kebebasan berpendapat adalah sikap

mempertahankan hak berbicara paling gila sekalipun. Kalau ukuran itu

tidak digunakan, pada analisa terakhir Islam memang tidak menerima

kebebasan berpendapat sebagai sebuah prinsip. Dan bisakah demokrasi

benar-benar tegak dalam lingkup tatanan pemikiran seperti itu?

Sebab dari kepekaan sangat tinggi itu adalah perbenturan antara

nilai-nilai normatif yang dianut kaum muslimin, dan pandangan hidup

serba pragmatik yang dikembangkan oleh peradaban Barat. Jadi

kemelut yang terjadi sebenarnya adalah kelanjutan kisah dialog Islam

dan Barat yang sudah berlangsung berabad-abad dan belum tampak

akan selesai. Pandangan hidup serba normatif, yang muncul dalam

kecenderungan legal-formalistik sangat kuat di kalangan luas kaum

muslimin, berbenturan dengan pandangan pragmatik yang bersumber

pada pendekatan empirik yang masih dangkal.

Dari kasus Ayat-Ayat Setan harus ditarik hikmah adanya sisi

lemah dari budaya Barat. Tiadanya mekanisme kontrol sosial di luar

pengadilan, untuk mencegah penghinaan kepada keyakinan (dan

5

kebenaran agama). Namun, adanya sisi lemah itu justru harus

mendorong dialog lebih jauh, yang menggunakan penalaran, tentunya.

Dari dialog itulah budaya Barat akan mengembangkan mekanisme

kontrol sosial terhadap moral dalam jangka panjang. 5

Dari uraian ini jelas, bahwa hal yang dikritik Gus Dur bukanlah Islam itu

sendiri, yang terkonstruk dalam tindak kekerasan. Gus Dur dalam hal ini jelas

melakukan kritik atas dua sikap sekaligus: budaya Barat yang tidak memiliki

mekanisme kontrol atas praktik penghinaan agama, layaknya kasus Ayat-Ayat Setan

Salman Rushdie. Atas nama kebebasan, Barat kemudian membiarkan saja

penghinaan terhadap keyakinan agama, yang tentunya akan menyakiti emosi

keagamaan umat muslim. Namun sikap reaksioner dari emosi keagamaan ini juga

dikritik Gus Dur, karena ia bahkan memperlihatkan kelemahan diri, serta

ketidakmampuan melihat suatu hal dengan jernih. Jika umat Islam tersulut

emosinya, maka Barat akan tertawa, sebab nyatalah klaim mereka selama ini, bahwa

umat Islam adalah umat terbelakang yang belum mampu berpikir secara rasional,

tetapi emosional. Hanya saja, kehendak Gus Dur untuk mendudukkan persoalan

secara proporsional tersebut, tidak bisa dipahami sebagian muslim, sehingga seolah-

olah Ia dimasukkan kedalam pembela peradaban Barat yang hendak

menghancurkan Islam.

Hal yang sama juga terjadi pada fatwa haram atas diri Gus Dur yang

dilancarkan oleh seorang muballigh Kernolong, Jakarta, yakni Habib Jamalullail.

Pasalnya, sebagai Ketua PBNU, Gus Dur telah membuka Malam Puisi Yesus Kristus

yang diadakan umat Kristen di Jakarta, guna mengisi seremoni peringatan kelahiran

Yesus. Kata Gus Dur, malam puisi tersebut bukan acara ibadah. Bahkan seorang

muslim yang masuk gereja ketika penghuninya sedang beribadah, tidak haram. Asal

saja, muslim itu tidak ada kaitannya dengan peribadatan tadi. Tak kurang dari tujuh

kali Gus Dur menjelaskan sikapnya, hingga Habib Jamalullail berkirim surat, minta

agar polemik diakhiri.6

5 Lihat Abdurrahman Wahid, Hikmah Kasus “Ayat-Ayat Setan”, sumber tak terlacak, h., 1-3 6 Assalamu’alaikum-Monitor, majalah Editor, No 15/Thn. IV/22 Desember 1990

6

Tidak berhenti sampai disini. Pada era reformasi, isu kristenisasi Gus Dur

mencuat lagi, melalui fitnah bahwa Gus Dur telah di baptis ketika menghadiri

sebuah perayaan umat Kristen. Kontan Gus Dur menangkis fitnah tersebut, dan

kemudian menuding bahwa hal itu merupakan politisasi menjelang pemilihan

umum oleh beberapa aktor partai politik yang hendak menjatuhkannya. Hal ini

melengkapi tuduhan serupa, ketika sebagai Presiden ke-4 RI, Gus Dur mengucapkan

assalamu’alaikum pada umat Kristen dan menyatakan bahwa jika umat Islam

konsisten dengan tradisi Maulud Nabi Muhammad, maka seharusnya mereka juga

menghormati perayaan Natal yang merupakan perayaan kelahiran Nabi Isa.

Fitnahpun bertubi-tubi, dengan satu tuduhan bahwa Gus Dur telah menyamakan

antara Islam dengan Kristen, yang menurut teologi memang diharamkan.7 Padahal

berbagai pernyataan tersebut lahir dari posisi Gus Dur sebagai seorang presiden

yang harus memperlebar ruang persamaan antara pemeluk agama, demi terjaganya

harmonisasi kehidupan bangsa. Tekanan yang hendak dinyatakan Gus Dur adalah,

sudah saatnya antar-umat beragama memperlebar jurang perbedaan, karena

pembangunan masyarakat membutuhkan kesatuan langkah, sehingga hal-hal yang

lebih bermanfaat bagi rakyat tidak terbengkalai, dan bahkan mengalami konflik

berdarah seperti yang terjadi dibeberapa daerah rawan konflik.

Kepentingan Negara

Dari segenap gelaran diatas, maka yang digelisahkan Gus Dur adalah satu,

yakni penjadian agama sebagai politik. Hal ini telah berakibat pada terbentuknya

sektarianisme kelompok yang memaksakan klaim kebenarannya atas kelompok lain.

Sementara disisi lain, agama kemudian menjelma negara, dengan satu politisasi,

yang bahkan menguntungkan negara dan meminggirkan potensi umat Islam. Hal ini

terjadi dengan jihad penerapan syari’at pada level negara. Memang dalam diskursus

syari’at Islam, orientasi legalitas politik tidak melulu mengacu kepada

otoritarianisme negara yang menancapkan hegemoninya, katakanlah melalui

penegakan syari’at Islam. Dalam perjalanannya, kita malah menemukan hal

sebaliknya, yakni terjadinya tuntutan penegakan syari’at, dikarenakan negara tidak

mengakomodir dan bahkan meminggirkannya, dengan satu pertimbangan ideologis.

Hanya saja, “dalam diri” gelora penegakan syari’at tersebut sebenarnya telah

menjelma satu paradigma sarwa negara, yang menjadikan eksistensi negara sebagai 7 Lihat Hartono Ahmad Jaiz, Jejak Tokoh Islam dalam Kristenisasi, Jakarta: Darul Falah, 2004, h., 62

7

causa prima keterpinggiran syari’at, dan oleh karenanya, syari’at harus menjelma

negara, dalam arti institusi politik yang memiliki otoritas hukum untuk

memaksakan jalannya ideologi keagamaan. Inilah “syari’at politik” itu yang tidak

mampu mengandaikan kemanfaatan syari’at selain dalam domain pengundang-

undangan institusi politik.

Sebelum beranjak kesana, terlebih dahulu kita akan mengelaborasi konsepsi

Gus Dur atas struktur inheren dalam syari’at serta posisi fungsionalnya dalam

masyarakat muslim. Hal ini urgen guna menemukan satu titik pergulatan maknawi

yang membuat muslim hingga sekarang masih menjadikan syari’at sebagai salah

satu pusat perdebatan pemikiran dan praktik politik Islam.

Secara konseptual Gus Dur memaknai syari’at atau hukum Islam, selain

mengandung pengertian hal-hal yang lazimnya dikenal sebagai bidang juridis, juga

meliputi soal-soal liturgi dan ritual keagamaan, etika dari cara bersopan-santun

hingga kepada spekulasi estetis dari para mistikus (mutasawwifin) yang terhalus,

soal-soal perdata urusan perorangan (perkawinan dan bagi waris) hingga urusan

perniagaan dan moneter, soal-soal pidana dari penetapan bukti dan saksi hingga

pada penetapan hukuman mati untuk suatu tindak pidana, soal-soal ketatanegaraan

dari penunjukan kepala pemerintah hingga pengaturan hubungan internasional

antara bangsa-bangsa muslim dan bangsa lain, serta seribu masalah lain yang

menyangkut keseluruhan aspek kehidupan. Karenanya, apa yang secara sederhana

disebut sebagai hukum Islam, sebenarnya lebih tepat dinamai keseluruhan tata

kehidupan dalam Islam: the science of all things, human and divine (pengetahuan

tentang semua hal, baik yang bersifat manusiawi maupun ketuhanan).

Karena kedudukannya yang sedemikian memusat, syari’at tidak hanya turut

menentukan pandangan hidup dan tingkah laku para pemeluk agama itu saja, tetapi

ia justru menjadi penentu utama bagi pandangan hidup yang dimaksud. Faktor-

faktor lain, seperti gerakan tasawuf dan sebagainya, harus mendapatkan keabsahan

legitimatif dari syari’at. Apakah ia dihalalkan atau diharamkan. Betapa banyak

aspek kehidupan yang disaring, ditolak dan kemudian dihancurkan oleh hukum

Islam, membuktikan dengan jelas betapa pentingnya kedudukan yang dipegangnya,

sebagai pemberi legitimasi.

8

Dalam kaitan ini, Gus Dur kemudian membagi tiga wilayah yang menjadi

“kekuasaan” hukum Islam hingga era sekarang. Pertama, turut menciptakan tata-

nilai yang mengatur kehidupan umat muslim, minimal dengan menetapkan apa

yang harus dianggap baik dan buruk, apa yang menjadi perintah, anjuran, perkenan

dan larangan agama. Keseluruhan pandangan hidup umat Islam ditentukan oleh

tanggapan masing-masing atas tata-nilai tersebut, yang pada gilirannya memberikan

pengaruh atas segi-segi pilihan kehidupan yang lain. Kedua, dengan melalui proses

yang berlangsung lama, banyak keputusan hukum dari hukum Islam telah diserap

dan menjadi bagian hukum positif yang berlaku. Manifestasi dari penyerapan ini

antara lain dapat dilihat pada berlakunya hukum perkawinan dan waris Islam di

beberapa negara, termasuk Indonesia. Di Mesir, unsur-unsur hukum Islam diserap

hingga bahkan oleh hukum pidana dan hukum acara (murafa’at) modern. Ketiga,

dengan masih adanya golongan yang memiliki aspirasi teokratis di kalangan umat

Islam, penerapan hukum Islam secara penuh masih menjadi slogan perjuangan yang

memiliki appeal cukup besar, dan dengan demikian ia menjadi bagian dari

manifestasi kenegaraan Islam yang masih harus ditegakkan dimasa depan, betapa

jauhnya pun masa depan itu sendiri berada dalam perspektif sejarah.

Tetapi, kedudukan yang sedemikian penting dan menentukan itu ternyata

sebagian besar kini merupakan proyeksi teoritis belaka, sebagai semacam fosilisasi

yang hampir selesai. Disana-sini masih didapati bekas-bekasnya, tetapi hampir

semua manifestasi praktisnya masih ada, hukum Islam mengalami proses irrelevansi

secara berangsur-angsur tetapi pasti. Soal-soal perdata telah banyak dipengaruhi,

diubah dan didesak oleh hukum perdata modern. Ketentuan-ketentuan pidananya

hampir secara keseluruhan diganti oleh hukum pidana modern. Tinggal soal-soal

ibadat yang masih mendapat tempat sepenuhnya dalam kehidupan, itupun dalam

kadar dan intensitas yang semakin berkurang, dan bergantung pada kemauan

perorangan muslim.

Hal ini diperparah dengan satu fakta bahwa kecenderungan memanifestasikan

hukum Islam telah terjebak dalam posisi “pos penjagaan” yang bersifat apologetik,

hanya menganjurkan pelarangan, serta tuntutan terhadap wujud masyarakat Islam

yang utopis, layaknya civitas Dei (kota Tuhan) yang hanya dihuni para malaikat.

9

Disisi lain, hukum Islam juga terjebak dalam ketercerabutan sejarah, sehingga

meskipun memiliki sejarah sendiri (tarikh al-tasyri’), ia tidak memasukkan diri

kedalam sejarah besar peradaban dunia yang terus berubah dan maju.8 Hukum,

dalam teori Islam klasik, adalah kehendak Tuhan yang diwahyukan, sebuah sistem

yang disusun secara ketuhanan, mendahului dan tidak didahului oleh negara Islam,

menguasai dan tidak dikuasai oleh masyarakat Islam. Karena memisahkan diri dari

perkembangan sejarah inilah, hukum Islam mengalami kegagapan dalam

merumuskan sebuah tanggapan atas permasalahan yang timbul belakangan.

Pada level institusional, kecenderungan untuk memaksakan paradigma civitas

Dei syari’at ini, bahkan sejak berdirinya negara-bangsa Republik Indonesia telah

mengalami berbagai kekalahan struktural. Hal ini terjadi karena negara sekular

mampu menancapkan hegemoni, dimana aspirasi Islamisme, dipaksa untuk

mendekam dalam kesepakatan diam. Maka konsensus nasional bernama Pancasila,

yang menegasikan konstitusi Islam, sekaligus hukum Islam, hingga sekarang masih

dalam penolakan latent dan kaum Islamis tetap saja berusaha, jika tidak mampu

mengubah pada level supra-struktur, maka mikro-politik yang harus di-Islamkan,

salah satunya melalui syari’atisasi Peraturan Daerah. Inilah buah dari kekecewaan,

yang menurut Husein Umar, Ketua KISDI sekaligus Sekjen DDII, disebabkan oleh

pengkhianatan kaum nasionalis, khususnya Soekarno yang konon hendak

menjadikan Piagam Jakarta sebagai “jiwa UUD 45”. Namun, retorika Soekarno pada

momen Dekrit Presiden 5 Juli 1959 tersebut, dirasa manipulatif dan hanya ingin

“memeti-eskan” syari’at Islam dalam eufimisme politik yang tiada nyata jluntrung-

nya.

Dari sinilah lahir satu dialektika politik yang ambigu. Satu sisi, kaum Islamis

sebenarnya hanya menomorsatukan politik, dan menjadikan agama sebagai

legitimitas orientasi kekuasaan. Hal ini bisa kita baca dari argumen para pejuang

Piagam Jakarta yang menyatakan, bahwa termaktubnya “tujuh kata syari’at” dalam

UUD, adalah langkah bagi terciptanya payung konstitusional, sehingga aspirasi

politik mereka dapat terlindungi.

8 Abdurrahman Wahid, Menjadikan Hukum Islam sebagai Penunjang Pembangunan, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2000, h., 38-47

10

Namun disisi lain, para “pembela Islam” tersebut tidak menyadari

kepentingan negara dalam pemberlakuan syari’at. Sayangnya, penolakan Islamis

terhadap akomodasi terbatas negara terhadap hukum Islam, tidak disertai oleh

kritisisme rasional, dengan mengedepankan prospek penegakan hukum secara

nasional, minus hegemoni negara. Tetapi bolak-balik berkutat dalam gelora

ideologis, sehingga solusi yang ditawarkan, bukan membatasi intervensi negara

dalam urusan agama, tetapi malah melakukan penambahan bobot sarwa-negara

dalam syari’at. Inilah nalar naïf-irrasional dari Islamisme. Yakni ketika sekularisasi

telah dilakukan negara dengan meminggirkan politik Islam, maka Islamisme,

melawan negara. Tetapi, bukannya mengeliminir “hawa jahat” totalitarianisme

negara yang mengobok-obok kehidupan beragama. Kaum Islamis malah hendak

memaksakan pelaksanaan kehidupan beragama, melalui “palu represif” negara.

Kritik ini memang mengena tepat pada jantung permasalahan formalisasi

Islam. Artinya, gelora penegakan agama melalui negara sudah terbentur oleh

penegasian terhadap kemurnian agama itu sendiri, karena normativisme berangkat

dari kebebasan untuk mencari serta menjalankan kebenaran. Sementara negara,

berangkat dari kewenangan politik yang memiliki hak sah untuk melakukan

pemaksaan legitimate. Posisi negara akhirnya “diatas” agama, karena ia berhak

menentukan satu unsur dalam ajaran agama mana, yang harus “disimpan”, dan

aturan mana yang bisa dikeluarkan. Inilah yang membahayakan, yakni bersatunya

otoritas politik dengan otoritas transendental, karena tiba-tiba saja para politisi-

birokrat berhak mengatasnamakan Tuhan dalam menerapkan aturan politiknya.

Dalam lekuk sejarah kita, hal ini pernah terjadi, yakni ketika Orde Baru pada

pertengahan pendulum rezimnya telah melakukan akomodasi terhadap beberapa

elemen syari’at, yang sayangnya tetap tidak bisa melegakan hati para pejuang

syari’at. Hal ini dikarenakan akomodasi negara masih bersifat terbatas, yakni pada

ruang hukum privat, berupa hukum Islam tentang keluarga, waris, pernikahan,

wakaf, serta beberapa pengaturan ibadah semisal haji dan zakat. Akomodasi atas

wilayah privat ini dirasa tidak mencukupi, dan memang dilihat sebagai kesengajaan

politik guna mengeliminir wilayah publik syari’at yang akan memungkinkan

terjadinya islamisasi baik masyarakat maupun negara. Syari’at publik tersebut

11

meliputi simbolisasi Islam (jilbab), pelaksanaan hukum pidana, serta islamisasi

konstitusi. 9

Dalam pelaksanaannya, Orde Baru sengaja meminggirkan ketiga macam

syari’at publik ini, dengan mengakomodir syari’at privat yang tidak memiliki

muatan ideologis. Adapun akomodasi structural atas hukum Islam tersebut

meliputi; UU No 1/1974 tentang Perkawinan, UU Pendidikan Nasional tahun 1989,

UU No 7/1989 tentang Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam (1991),

diubahnya kebijakan jilbab di sekolah (1991), keputusan bersama tingkat menteri

berkenaan dengan Bazis (1991), dihapuskannya SDSB (1993), serta UU No 17/1999

tentang Pelaksanaan Haji dan UU No 38/1999 tentang Zakat.

Sebenarnya jika mengacu pada berbagai produk hukum diatas, syari’at bisa

dikatakan telah tegak, karena beberapa permasalahan yang diaturnya memang

permasalahan yang sudah diatur oleh fiqh. Hal inilah yang membuat organisasi

semisal NU menerima akomodasi terbatas tersebut, karena keilmuan fiqh telah

diberi ruang di dalam sistem hukum nasional. Dengan kata lain, penegakan syari’at

oleh pemerintah diruang terbatas, adalah penegakan yang realistis dan rasional

ditengah perubahan kebutuhan umat yang tidak seluruhnya bisa ditangani oleh

korpus klasik hukum Islam. Hanya saja, akomodasi tersebut tidaklah bebas

kepentingan. Tidak ada “makan siang” gratis dalam politik. Ia selalu bersifat

manipulatif dengan muatan kepentingan kekuasaan yang selalu lebih determinan.

Fakta ini bisa kita temukan, dalam sebuah konstruk sosio-politik Orde Baru yang

tengah menggerakkan perubahan masyarakat kearah “kemajuan”, dimana stabilitas

dan unifikasi politik menjadi pra-syarat utama, tak terkecuali legislasi hukum Islam.

Setidaknya ada beberapa kepentingan negara dalam hal ini. Pertama, ambisi

untuk menciptakan unifikasi sistem hukum nasional. Berangkat dari klaim

nasionalisme dan integrasi negara-bangsa, Orde Baru kemudian berhasrat

menyatukan partikularisme perbedaan sistem hukum menjadi satu kodifikasi

tunggal. Hal ini kemudian disahkan oleh GBHN 1973, 1978, 1983, dan 1988. Namun

ditengah jalan, ambisi penyatuan hukum ini kemudian “dilengkapi” oleh perlunya

akomodasi ekslusif atas sistem hukum tertentu untuk memenuhi kebutuhan khusus 9 Bahtiar Effendy, Islam in Contemporery Indonesian Politics, Jakarta: Ushul Press, 2006, h., 179-182

12

sebuah masyarakat, dalam hal ini Islam. Jadi ada inkonsistensi disini. Satu sisi

negara hendak berdiri diatas berbagai perbedaan sistem hukum demi nasionalitas,

namun disisi lain, memberi ruang istimewa bagi pemenuhan hukum Islam, yang

tentunya menimbulkan complaint dari warga non-muslim. Kasus UU tentang

Peradilan Agama menjadi bukti. Pada satu titik negara telah merenggut pluralitas

praktik peradilan agama yang sebelum 1989, bebas dilaksanakan masyarakat secara

beragam.

Dititik lain, negara menorehkan rasa “warga nomor dua” di kalangan non-

muslim, karena yang disebut agama dalam peradilan agama, atau juga Departemen

Agama, ternyata tereduksi sebatas kebutuhan umat Islam. Demikian yang terjadi

dengan KHI, yang memang memiliki tujuan “menghapus perbedaan pengambilan

keputusan hukum untuk kepentingan keadilan sosial dan kepastian hukum”. KHI

secara de-facto telah mengebiri jaminan pluralitas sistem mazhab yang dijamin oleh

syari’at itu sendiri, meskipun ia tidak memiliki sanksi mengikat, karena hanya

berupa petunjuk pengambilan hukum bagi para hakim dalam peradilan agama.

Kedua, rekayasa budaya. Ini memang menjadi trade mark Orde Baru karena

sebagai sebuah rezim yang memiliki kepentingan politik ekonomi, lebih dominan

dibanding rezim sebelumnya, harus membutuhkan gerak politik lebih sinergik

dalam setiap lini. Rekayasa budaya berangkat dari kebutuhan pengondisian kultural

bagi mulusnya jalan pembangunan ekonomi, termasuk didalamnya, restrukturisasi

budaya agama, karena dalam masyarakat Dunia Ketiga, agama masih menjadi

sistem makna, baik sebagai sistem kognitif masyarakat untuk memaknai realitas,

maupun sebagai media politik penguasa untuk melakukan perubahan. Dalam kaitan

inilah UU Perkawinan menemu ruang. Yakni sebagai media stabilisasi populasi

penduduk agar kondusif bagi pemercepatan pembangunan ekonomi. UU

Perkawinan (dan juga program Keluarga Berencana) yang membatasi arbitrase

perceraian, poligami, serta perkawinan usia dini, ternyata berhasil mengontrol

pertumbuhan populasi penduduk, sehingga sesuai dengan pra-syarat bagi

modernisasi ekonomi.

Ketiga, pengungkapan simbolis bahwa Orde Baru akomodatif dan memenuhi

kebutuhan umat Islam. Ini merupakan strategi politik untuk memperkuat legitimasi,

13

Syari’at Gus Dur

Pada titik inilah, pendekatan kultural atas pelaksanaan syari’at, sesuai dengan

perjuangan Gus Dur, yang “menerapkan” syari’at bukan pada level negara, tetapi

pada ranah tindakan budaya. Maksud Gus Dur dalam hal ini adalah, jika pada level

struktural, persoalan hukum Islam di negara-bangsa, haruslah diawali dengan

pengembalian wewenang pembuatan hukum kepada konstitusi sah negara yang

berupa hukum nasional, karena struktur masyarakat Indonesia yang plural. Dalam

kaitan ini tidak berarti beliau anti terhadap syari’at, karena sejak kelahiran NU,

syari’at Islam bahkan telah ditegakkan dalam dua ranah kehidupan sekaligus.

Pertama, ketaatan moralitas fiqh dalam kehidupan sehari-hari, dimana setiap

perilaku muslim dibatasi oleh aturan yang termaktub dalam kekayaan literatur kitab

kuning.

Pada titik ini, ketaatan terhadap syari’at tersebut kemudian dilambari oleh

kedalaman penghayatan tasawuf akhlaqi milik al-Ghazali, sehingga disiplin legal

formal dari hukum Islam, tidak bersifat kaku dan dangkal, melainkan

ditindaklanjuti oleh sebuah perjalanan spiritual, yang membuat muslim pada satu

titik tegas ketika berhadapan dengan halal-haram, namun pada saat bersamaan juga

berperilaku sabar dan mengembalikan semuanya kepada Allah, sehingga mampu

bersikap lembut, dan menghargai perbedaan antar-sesama. Penegakan syari’at Islam

10 Lihat Arskal Salim dan Azyumardi Azra, Negara dan Syariat dalam Perspektif Politik Hukum Indonesia, dalam Jaringan Islam Liberal, Syariat Islam, Pandangan Muslim Liberal, Jakarta: JIL-TAF, 2003, h., 63-71

14

pada level pertama inilah yang membuahkan kekayaan keilmuan Islam klasik di

pesantren, serta melahirkan ulama-ulama besar Nusantara.

Kedua, penegakan syari’at pada level perundang-undangan, sebagai bagian

dari sistem hukum nasional. Lahirlah Departemen Agama dan Kompilasi Hukum

Islam, yang secara sah merupakan “otoritas syari’at” guna melakukan pengaturan

terhadap beberapa unsur kehidupan muslim, agar sesuai dengan “aturan Islam”,

atau dalam hal ini fiqh.

Hal ini sesuai dengan pola politik Sunni, yang sebenarnya cenderung membuat

pemilahan antara otoritas politik (khalifah) dengan otoritas publik, yang diperankan

oleh ulama, terkhusus para faqih. Pemilahan ini berangkat dari kebutuhan tata dunia

bagi stabilitas tata ibadah (nizam al-dunya syarthu lin nizam al-din), sebagaimana

dinyatakan al-Ghazali. Dari sinilah kepemimpinan politik dibutuhkan, sebatas jika ia

mampu memperlancar pengaturan fiqh atas ruang publik muslim, karena yang

terpenting bagi kalangan Sunni adalah penerapan hukum Islam pada level

mu’amalah. Ini yang melahirkan waliyyul amri al-dlaruuri bi al-syaukah (pemimpin

darurat yang memiliki otoritas) pada era Soekarno, dimana para ulama nahdliyyin,

melakukan legitimasi fiqhiyyah atas pemerintahan RI, dengan target, teraturnya

pelaksanaan hukum Islam, khususnya tauliyah: pengangkatan wali hakim dalam

pernikahan perempuan yang tak memiliki wali sedarah.11

Jadi jelas, Gus Dur dan kyai NU juga memiliki keprihatinan untuk

menegakkan aturan Islam pada level pemerintahan. Hanya saja, karena didasari oleh

kesadaran akan struktur negara-bangsa yang telah memiliki konstitusi hukum

sendiri, maka penegakan tersebut tidak perlu bersifat menyeluruh layaknya dalam

Negara Islam, selain karena keterbatasan hukum Islam dalam menghadapi problem

masyarakat modern, juga kekhawatiran terciptanya konflik, seperti yang terjadi

dengan ketidaksetujuan umat non-muslim atas Piagam Jakarta. Tuturnya:

Dalam memahami hubungan antara agama dan negara itu lalu

menjadi jelas bagi kita, bahwa Indonesia telah mencapai kemajuan

11 Asep Taufik Akbar, Akar-akar Pergumulan Kelahiran Konsep Wali al-Amr al-Dlarury bi al-Syaukah, Tashwirul Afkar, Jakarta: Lakpesdam, h., 84-100

15

pesat dalam pemikiran keagamaan maupun kenegaraannya. Ideologi

negara Pancasila telah didudukkan secara tepat oleh kaum muslimin,

yaitu menjadi landasan konstitusional dalam kehidupan berbangsa dan

bernegara, sedangkan Islam menjadi aqidah dalam kehidupan kaum

muslimin. Antara ideologi sebagai landasan konstitusional tidak

dipertentangkan dengan agama, tidak menjadi penggantinya dan tidak

diperlakukan sebagai agama. Dengan demikian, secara teoritik tidak

akan diberlakukan undang-undang maupun peraturan lain yang

bertentangan dengan ajaran agama di negeri ini.

Secara keseluruhan, Islam lalu berfungsi dalam kehidupan bangsa

dalam dua bentuk. Bentuk pertamanya adalah sebagai akhlaq

masyarakat (etika sosial) warga masyarakat, sedangkan bentuk kedua

adalah partikel-partikel dirinya yang dapat dituangkan melalui proses

konsensus (Undang-undang 1/1974 tentang Perkawinan, UU Peradilan

Agama 7/1989, sebagai contoh). Dengan mengakui wewenang hukum

Islam untuk mengatur kehidupan warga negara, melalui ‘filter’ berupa

Hukum Nasional, watak kehidupan bernegara dan berbangsa lalu

terhindar dari orientasi sekular, seperti yang dikhawatirkan dapat

terjadi bila diikuti pendapat Ali Abrurraziq. Situasi seperti ini memang

tidak sepenuhnya memuaskan bagi mereka yang menghendaki

pelaksanaan ajaran Islam secara utuh sebagai produk legislatif formal,

atau dengan istilah lain menghendaki pelaksanaan sepenuhnya Hukum

Islam dalam kehidupan bernegara. Bagi pandangan ini, memang tidak

akan ada yang memuaskan selain berdirinya sebuah Negara Islam,

sedangkan dalam kenyataan yang dapat kita dirikan adalah Republik

Indonesia. 12

Pada titik ini Gus Dur melakukan kritik atas pemikiran sekular Ali Abdurraziq.

Dalam hal ini, kritik Gus Dur merujuk pada langkah Abdurraziq yang

mengeyampingkan sisi normatif dari Islam, yang telah meletakkan demikian banyak

ketentuan terkait dengan kehidupan masyarakat, dalam bentuk hukum agama (fiqh).

12 Abdurrahman Wahid, Islam, Ideologi dan Etos Nasional Indonesia, dalam Universalisme Islam & Kosmopolitanisme Peradaban Islam, Arifin Junaidi (ed), edisi terbatas, 1991, h. 19-20

16

Dari fiqh ini lalu dikembangkan wawasan hukum kenegaraan yang dikenal dengan

Hukum Islam, seringkali dikenal dengan nama syari’ah. Hanya saja menurut Gus

Dur, Abdurraziq kemudian melihat negara sebagai instrumen yang terpisah dari

hukum agama, dan dengan demikian secara praktis memperkenalkan gagasan

negara sekular. Dalam negara seperti ini, hukum agama tidak memperoleh tempat,

karena hukum yang diberlakukan adalah hukum nasional. Islam dilepaskan dari

fungsi normatifnya, dan tinggal berfungsi filosofis belaka, yakni sebagai dasar

negara, dan dengan demikian tidak memperoleh keabsahan sebagai sumber hukum

yang bersifat langsung.

Demikian juga, meskipun Gus Dur menerima Pancasila sebagai landasan

konstitusional negara, namun beliau tetap memberikan catatan prasyarat bagi

ideologi negara tersebut. Catatan ini mengacu pada pengujian, apakah Pancasila

mampu atau tidak, mewujudkan prinsip-prinsip kenegaraan dan kebangsaan yang

di tuntut Islam, semisal berbagai nilai utama Islam, yakni keadilan (‘adalah),

persamaan (musawah), dan demokratisasi (syura). Dalam hal ini Pancasila harus

mengembangkan wawasan kehidupan demokratis, menganut paham perlakuan

sama di muka undang-undang, serta memperjuangkan keadilan. Pancasila harus

mengembangkan watak kehidupan yang berorientasi peda pelaksanaan kedaulatan

hukum secara tuntas, menghargai kebebasan berpendapat dan menjamin kebebasan

berserikat. Inilah yang menurut Gus Dur merupakan kunci yang dapat

disumbangkan Islam kepada ideologi bangsa, Pancasila. Kunci ini diperoleh dari

lima buah jaminan dasar yang diberikan oleh Islam kepada warga masyarakat;

jaminan dasar akan keselamatan fisik, keyakinan agama, kesucian keluarga, harta

milik pribadi, dan keselamatan profesi.13

Pertanyaannya, kenapa beberapa pihak masih melihat Gus Dur, anti terhadap

penegakan syari’at Islam? Inilah persoalan perbedaan sudut pandang itu, yang lahir

dari perbedaan latar belakang dan orientasi keislaman. Bagi Gus Dur yang sejak

lahir telah bersentuhan dan “mengalami” syari’at, maka Islam dirasakan sebagai

sesuatu yang kultural, dimana ajaran Islam telah menjadi bagian dari tradisi

keseharian sehingga akhirnya membentuk identitas diri. Sementara itu, sebagian

13 Wahid, Islam, Ideolog, h., 18-20

17

muslim yang ngotot untuk menformalkan syari’at, memang cenderung

berlatarbelakang tekstual dalam memahami agama.

Artinya, Islam bagi muslim model ini, tidak (mau) diakulturasikan dengan

tradisi yang telah ada di masyarakat, semisal akulturasi antara (budaya) Islam

dengan (budaya) Hindu-Jawa. Konsekuensinya, Islam sebagaimana adanya di Arab,

tetap dipaksakan kedalam struktur kebudayaan muslim Indonesia yang nota bene

telah memiliki kesejarahan pra-Islam. Jadi, inti dari formalisasi syari’at sebenarnya

memiliki dua poin. Pertama, Arabisasi simbol-simbol budaya Islam, dimana tradisi

asli masyarakat Indonesia hendak diganti dengan tradisi muslim Arab. Lahirlah

penggantian sebutan kyai menjadi ustadz, arsitektur masjid bersusun tiga (meru)

menjadi masjid kubah, pengharaman tahlil, ziarah wali, hingga legalisasi jilbab

dengan menggunakan “polisi syari’at” atas “moral aurat” masyarakat Indonesia

yang tentu berbeda dengan Arab. Kedua, penggunaan produk hukum Islam, kepada

konteks masyarakat yang tentunya sudah berbeda dengan masyarakat klasik ketika

hukum tersebut dibuat. Pada titik inilah penguasaan Gus Dur atas kaidah

pembuatan hukum Islam (qawaidul fiqh), membuatnya mampu melakukan revisi

terhadap hukum Islam, guna mengakomodir perubahan konteks, sehingga tidak

secara taqlid memaksakan produk hukum, atas nama syari’at.

Kalau begitu, apakah memang benar, Gus Dur tidak membela Islam? Jika Islam

yang dimaksud adalah sebuah ideologi politik, dimana ia berambisi untuk

menguasai pada tataran institusi ataupun simbolisasi politik, maka benar, Gus Dur

tidak membela Islam model ini. Kenapa? Karena Islam yang telah berorientasi pada

“menguasai”, ia bukan agama lagi, tetapi sudah sebagai ideologi, yang

mensyaratkan (keharusan) adanya musuh, dan oleh karena itu, si musuh haruslah

dimusnahkan. Inilah embrio dari kekerasan yang dilakukan atas nama Islam. Non-

muslim dianggap kafir, lalu halal darahnya. Pluralisme dilihat sebagai penyamaan

semua agama, dimana sebagian muslim itu merasa terancam klaim “paling benar”

Islamnya, hingga berbagai pembrangusan budaya lokal, oleh Islam (Arab), karena

budaya yang “tidak serba Arab” tersebut, bukan dianggap sebagai bagian dari Islam.

Hal ini disebut Gus Dur sebagai “krisis identitas”, dimana perjuangan Islam

yang digerakkan bersifat “pinggiran”, tanpa menyentuh persoalan utama yang

18

didera oleh masyarakat. “Pinggiran” yang dimaksud adalah penegakan dan

pembelaan Islam pada tataran simbolis semisal pewajiban jilbab sebagai indikator

ketaatan syari’at, praktik ekonomi berdasarkan konsep Islam, atau pengharaman

hal-hal yang merupakan perbedaan furu’iyah diantara sesama umat muslim, dsb.

Gerakan Islam model ini mengklaim telah merasakan “kesakitan” Islam atas

dominasi kehidupan modern, sehingga pembelaanpun dialamatkan kepada “Islam”.

Pada titik ini, Gus Dur melihat fenomena diatas sebagai bagian dari

“kebangkitan Islam”. Hal ini merujuk pada pola responsi umat Islam dalam

menghadapi penetrasi budaya Barat, baik kultural maupun politik. Berbagai nilai

westernis semisal materialisme dan individualisme dianggap mengancam nilai-nilai

Islam. Individualisme mengancam konsep kesatuan umat, sementara materialisme

mengikis spiritualitas. Perbenturan nilai kemudian terjadi, yang sayangnya

menempatkan posisi muslim dalam sikap bertahan (defense mechanism). Artinya,

sebagian umat Islam model ini hanya melakukan penolakan atas nilai-nilai Barat,

guna menjaga otentisitas nilai Islam, sembari melakukan sikap pengagungan diri

terhadap sejarah masa lalu.14

Bagi Gus Dur, yang tidak mengalami “krisis identitas”, karena sejak awal

islamisasi Nusantara, Islam Indonesia telah mampu merasuk kedalam identitas

kebudayaan Hindu-Jawa, sehingga membentuk identitas muslim Indonesia,

persoalan utama dalam perjuangan Islam, bukanlah pembelaan terhadap Islam itu

sendiri, tetapi pembelaan atas keterbelakangan, dan keterpinggiran umat Islam, serta

manusia pada umumnya, berdasarkan kekuatan nilai-nilai utama (welstanchaung)

Islam. Nilai-nilai atau perjuangan utama Islam ini Gus Dur rumuskan dalam tiga

cita-cita besar, yakni keadilan, persamaan, dan demokrasi. Keadilan menyangkut

keseimbangan sosio-ekonomi yang mensyaratkan terciptanya distribusi ekonomi

secara merata, sehingga tidak hanya segelintir elite yang menikmatinya. Hal ini

dilakukan Gus Dur misalnya dengan mendirikan Bank Perkreditan Rakyat (BPR)

saat menjabat Ketum PBNU tahun 1989, dengan target pemberian kredit pada usaha

kecil kerakyatan. Kalau dari sudut pandang yang sempit, pasti yang diperdebatkan

adalah haramnya bunga bank, namun karena mashlahah rakyat yang diutamakan,

maka perdebatan fiqhiyah itu diselesaikan dalam forum kajian hukum Islam (bahstul 14 Abdurrahman Wahid, Mengapa Mereka Marah, Tempo, 20 Juni 1981

19

masail), sehingga agenda distribusi ekonomi ke rakyat itu terus berjalan. Nilai

persamaan Gus Dur lihat sebagai konsekuensi dari bangunan kebangsaan yang telah

ada sejak nenek moyang, sehingga siapapun, baik muslim maupun non-muslim,

rakyat atau pejabat, harus mendapatkan perlindungan dan perlakuan adil di

hadapan hukum.

Sementara itu demokrasi mengacu pada proses demokratisasi, dimana

masyarakat bisa secara bebas mengekspresikan aspirasi dan menuntut haknya,

berhadapan dengan negara yang sering bersifat totaliter seperti era Orde Baru. Satu

hal yang penting dicatat disini adalah, bahwa meskipun nilai-nilai demokrasi,

persamaan, keadilan, atau pluralisme bukan khas milik Islam, tetapi milik

kemanusiaan secara universal, namun oleh Gus Dur, nilai-nilai tersebut tetap

dirujukkan pada kekayaan keilmuan Islam. Pada titik inilah Gus Dur kemudian

membedakan antara nilai Barat dengan nilai Islam, karena misalnya seorang muslim

sejati pasti anti-kapitalisme karena terdapat syari’at zakat. Sedangkan

kecenderungan teologi Kristen (Protestan) dalam masyarakat Barat telah dijadikan

spirit penggerak etos kapitalisme. Perjuangan demokrasinya pun tidak serta-merta

bisa dicap sebagai sekularisme, karena meski Gus Dur tidak setuju pada penyatuan

agama-negara, namun sejarah Orde Baru membuktikan, bahwa Gus Dur menjadikan

(gerakan) Islam (NU) untuk melawan hegemoni negara. Ini artinya, yang ditolak

Gus Dur adalah penyatuan din wa daulah karena sering menjebak pada manipulasi

agama demi politik.

Jadi terang disini, bahwa Gus Dur merupakan gerak pembela Islam. Namun

bukan Islam yang telah menjadi ideologi politik, karena politik Islam model ini

hanya membenturkan umat dalam pertikaian tak berkesudahan: saling caci, saling

mengklaim paling Islam, saling fatwa haram, hingga praktik pengeboman massal,

yang kesemuanya sangat ditentang oleh Islam. Islam selain menyediakan tahapan

syari’at, juga mewajibkan umatnya untuk masuk lebih dalam ke tataran hakikat dan

ma’rifat. Di sinilah unsur fiqhiyah dan tekstualisme kitab suci telah dimaknai secara

sufistik, sehingga mustahil orang disebut muslim ketika ia mencaci sesama

saudaranya. Pembelaan Islam yang menggunakan kekerasan dan perusakan, oleh

karenanya bukan bagian dari Islam, karena ia telah melanggar perintah utama Allah

untuk menyampaikan dakwah secara bijak dan penuh dengan hikmah. Apa yang

20

didengang-dengungkan sebagai Islam dengan membawa parang, pedang, caci maki,

fatwa haram, dsb sebenarnya bukanlah Islam sebagai agama, tetapi Islam sebagai

kepentingan politik, atau bahkan keterpinggiran bathiniyah yang tidak mampu

menyikapi arus modernisasi dengan bijak, karena keringnya hati-hati itu dari

baluran kesejukan dzikir dan kholwat yang sebenarnya menjadi esensi dari Islam.

Satu titik idealitas konsepsi Islam, dan penurunan praksis pada level sistem

sosial, juga dilakukan Gus Dur terkait dengan gagasan ekonomi Islam. Jika dalam

domain negara Islam, Gus Dur membenturkan idealitas nilai Islam dengan pra-

syarat struktural sebuah negara, maka dalam ekonomi Islam, Gus Dur mengajukan

tiga komponen dalam melihat gagasan tersebut, yakni visi, mekanisme pengaturan

ekonomi, dan capaian perangkat yang telah dicapai.

Dilihat dari visinya, apa yang disebut ekonomi Islam berangkat dari nilai luhur

akan persamaan antara sesama umat manusia. Martabat yang dimiliki manusia itu

dengan sendirinya tidak boleh dilecehkan oleh hawa nafsu, keserakahan dan

eksploitasi. Karenanya, manusia dilindungi dari praktik manipulatif tersebut, baik

secara perorangan warga negara, maupun kolektif.

Bentuk-bentuk perlindungan itu bersifat normatif, seperti larangan memakan

dan mengusahakan barang riba, larangan melakukan penimbunan barang dan

manipulasi harga, larangan mengurangi upah dan kompensasi lain bagi pekerja.

Dengan demikian, modal tidak diperbolehkan bergerak terlepas dari acuan moral:

menyejahterakan taraf hidup manusia, bukannya menyengsarakan taraf hidup

seorang wargapun dalam kehidupan masyarakat.

Untuk memungkinkan terwujudnya wawasan egaliter ideal itu, ditampilkan

pola hubungan kerja dan transaksi yang berwatak saling menguntungkan antara

pemilik modal, pengelola usaha dan pekerja. Berbagai istilah seperti mudarabah,

salam, murabahah, qirad dsb lalu digali dari khasanah fiqh. Dengan cara demikian,

maka dilakukan eliminasi atas praktik seperti pembungaan uang, penimbunan

barang, spekulasi surat berharga, dsb. Kesemua praktik itu dinilai secara normatif,

sebagai bagian manipulatif dan eksploitatif dari kapitalisme, pengandaian yang

sebenarnya justru menunjukkan pengambilan sikap dari sosialisme.

21

Disisi lain, visi yang dikembangkan adalah pemunculan pelaku ekonomi yang

memiliki prakarsa pribadi untuk mencari untung (profit motive) dan jaminan akan

keselamatan milik pribadi (al-milk al-fardi) dari pengambilalihan penguasa tanpa

melalui proses hukum. Kecenderungan meniadakan harta benda milik pribadi oleh

negara dinilai sebagai sesuatu yang bertentangan dengan adagium utama Marxisme,

yang melandasi sosialisme, yaitu pemilikan alat produksi oleh masyarakat secara

kolektif. Diharapkan dengan mengambil pola normatif yang baik dalam kombinasi

dengan hak perorangan untuk memupuk kekayaan, akan diperoleh keseimbangan

antara kebutuhan perorangan warga masyarakat, dengan kebutuhan masyarakat itu

sendiri secara kolektif. Dengan indah, Islam mempertemukan dua jenis kebutuhan

itu dalam sebuah tindakan yang sekaligus dijadikan salah satu pilar Islam: zakat. Ini

yang membuat konsepsi Islam unik, jika dibandingkan dengan kapitalisme dan

sosialisme.15

Hanya sayang, visi ideal ini masih terantuk pada tataran mekanisme dan

capaian perangkat ekonomi, yang hingga saat ini masih menggunakan ekono-metri

kapitalisme. Artinya, gagasan ekonomi Islam yang kini digerakkan kaum Islamis tak

jauh beda dengan utopia negara atau khilafah Islam. Kesamaannya terletak pada

pembenturan nilai atas kelemahan sistemik dari kapitalisme, sehingga satu sisi,

konsepsi tandingan bernama ekonomi Islam hanya terhenti pada level nilai normatif

tanpa operasionalisasi praksis.16 Hal ini kemudian melahirkan, apa yang disebut

Gus Dur sebagai “kapitalisme termodifikasi”, karena operasionalisasi nilai Islam

yang masih menggunakan teknik modern. Ini yang melahirkan kapitalisasi simbol

agama, dimana industri ekonomi telah memanfaatkan sentimen keagamaan demi

menjajakan produk agar lebih dekat dengan perasaan masyarakat. Satu hal yang

telah terjadi dan tidak disadari oleh para “pembela Islam” tersebut.

Pada satu titik inilah, Gus Dur kemudian bersikap empatik terhadap

fundamentalisme Islam. Kenapa? Sebab sikap bertahan terhadap perubahan nilai-

nilai yang dibawa modernitas, sebenarnya tidak bisa disalahkan, karena ia hanya

merupakan akibat, bukan sebab. Disini bukanlah kecaman terhadap fanatisme

15 Abdurrahman Wahid, Ekonomi Islam: Baru Sebuah Impian dan Utopia, sumber tak terlacak, h., 1-2 16 Bahtiar Effendy, Islam in Contemporary Indonesian Politics, Jakarta: Ushul Press, 2006, h., 108

22

beragama yang harus dilakukan, karena fanatisme merupakan usaha kaum muslim

untuk menjaga kepenuhan identitas keislamannya berhadapan dengan serangan

luar. Yang harus dilakukan dalam hal ini adalah sikap empatik, berusaha memahami

kenapa sampai terjadi fanatisme, namun tidak kemudian terjebak dalam sikap

fanatis.17 Dalam hal ini Gus Dur bahkan melakukan kritik atas penamaan sikap

fanatik dalam Islam, melalui terma fundamentalisme Islam. Hal ini disebabkan,

selain terma fundamentalisme yang lahir bukan dari kesejarahan Islam, melainkan

pergulatan umat Kristen, gerak pembelaan kaum muslim terhadap cara hidup Islami

tidak melulu bisa disebut sebagai bagian dari fundamentalisme. Tutur Gus Dur:

Sekumpulan aturan baru tentang apa yang boleh dan tidak boleh

dilakukan mulai diterima, yang mencerminkan kesadaran mendalam

dari imperatif-imperatif suatu “moralitas pribadi yang islami”. Diatas

segala-galanya, berbagai upaya tersebut menunjukkan kelangsungan

hidup Islam sebagai daya pendorong yang kuat guna menemukan

solusi atas persoalan-persoalan yang tampaknya tak dapat ditelusuri

dari negara-negara modern, termasuk yang ada di kawasan ini. Sejauh

usaha-usaha tersebut merupakan upaya untuk menghidupkan kembali

nilai-nilai Islam, tanpa sama sekali menghentikan proses modernisasi di

seluruh kawasan, maka tidak mungkin menerapkan cap

Fundamentalisme terhadap mereka. Sekadar penegasan ulang ajaran-

ajaran Islam dalam menghadapi tekanan modernisasi belum cukup

untuk menjadi dasar tuduhan “Fundamentalisme Islam”.

Tetapi fakta bahwa mayoritas pemuda muslim sekedar mengikuti

jalur penegasan ulang Islam, dan jalan sangat selektif, tidak boleh

membuat kita melupakan berbagai gerakan sporadis di antara mereka

yang pandangan dan sikapnya benar-benar fundamentalistik.

Kelompok-kelompok tersebut menolak keabsahan pemerintahan

nasional yang ada (dan mereka memilih tinggal di komune kecil untuk

mempraktekkan “kemerdekaan” mereka dari pemerintahan tersebut),

keabsahan ortodoksi kemapanan Islam di negara mereka masing-

17 Abdurrahman Wahid, Kebangkitan Islam sebagai Fenomena Sosio-Kultural, Kompas, 3 Februari 1991

23

masing, keabsahan ideologi nasional masing-masing negara mereka,

dan tentu saja keabsahan partisipasi muslim dalam politik nasional. 18

Dari sini terlihat jelas, bahwa sebagai muslim, Gus Dur memahami posisi Islam

dan umat Islam ditengah proses gempuran zaman. Hal ini yang membuat Gus Dur

mencoba membedakan “kebangkitan Islam” pada tataran kultural, yang Ia sebut

sebagai retradisionalisasi Islam atau Islam sebagai “ideologi kultural”. Islam model

ini merupakan respon umat muslim atas penetrasi kultur Barat yang dianggap

mengancam spiritualitas dan simbol-simbol budaya Islam. Maka lahirlah serangan

balik kultural, mewujud dalam peneguhan kembali berbagai simbol tradisi Islam

yang mencoba merengkuh religiusitas umat dengan kesatuan kultur Islam.19 Selama

gerak ini tidak mengarah pada dampak politik, berupa agenda penggantian supra-

struktur negara, hingga penggunaan kekerasan atas nama Islam, maka geliat

semacam ini tidak bisa dimasukkan dalam terma fundamentalisme Islam, yang

patut di waspadai.

Hanya saja, ketika ia tengah mengarah kepada gerakan struktural, yang

sebenarnya berangkat dari ketidakmampuan sebagian muslim dalam meletakkan

aspirasi politik, ekonomi, budaya, dan pendidikan kedalam bangunan negara

modern, maka ia harus diwaspadai karena sudah mendorong arah sektarian dan

kekerasan. Pada titik ini, ketidakmampuan beradaptasi dengan struktur modern,

telah membuat muslim fundamentalistik tersebut mengalami “krisis identitas”,

karena mereka mencari kekalahan “aspek luar” (material) kepada kesalahan dan

sekaligus solusi “aspek dalam” (spiritual). Kekalahan muslim pada tataran sosio-

politik, kemudian dilihat sebagai kekalahan spiritual, dan oleh karenanya,

spiritualitas Islam tersebut lalu diangkat pada tataran materialisme-struktural untuk

menandingi struktur modernitas. Satu langkah yang menurut Gus Dur berakibat

fatal, karena telah menyeret agama ke dalam politik duniawi.

18 Abdurrahman Wahid, Islamic Fundamentalism: A Shoutheast Asian Perspective, 19 Abdurrahman Wahid, Reideologisasi dan Retradisionalisasi dalam Politik, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2000, h., 29-31

24

25

Bab 06 Gus Dur dan Kultur Demokratis

Studi tentang demokratisasi di Indonesia memang tengah mengalami

pergeseran paradigma. Jika era Orde Baru, para peneliti terkonstruk dalam

pendekatan konsolidasi demokrasi pasca revolusionerisme Orde Lama, maka pasca

Orba, paradigma bergeser ke ranah transitologi. Melalui optik ini, kehidupan politik

dilihat dari pertanyaan, apakah demokrasi sudah mengalami konsolidasi pasca-

otoritarianisme negara ataukah telah terjebak pada zona abu-abu demokrasi?

Transitologi berangkat dari prinsip dasar Machiavelli tentang ketidakpastian

(uncertainly) dan sebuah nasehat (maxim), bahwa tidak ada yang lebih sulit

dilaksanakan, atau diragukan keberhasilannya, atau lebih berbahaya dikelola,

daripada memperkenalkan sistem baru. Ini yang menjadikan transisi bahkan sudah

dianggap mati pada tataran paradigmatik (the end of transition paradigm), dikarenakan

kecenderungan negara pasca otoritarianisme, yang gagal mengalami konsolidasi

demokrasi.

Sementara itu, konsolidologi berangkat dari kebutuhan untuk memetakan

ketidakpastian politik tersebut, kedalam berbagai struktur baku yang mengikat arus

destabilisasi politik kepada stabilitas demokrasi. Hal ini tidak hanya terhenti pada

level metodologis, tetapi sekaligus “pengikatan institusional” pada praktik politik,

sehingga searah dengan prosedur dan proses demokrasi.

Mengacu pada Juan J. Linz dan Alfred Stepan, maka terdapat kesatuan

prasyarat politik yang mengindikasikan bahwa demokrasi sudah terkonsolidasi.

Pertama, rezim pasca-otoriter tidak menggunakan sumber daya politik untuk

menciptkan rezim non-demokratis. Persoalan ini urgen, namun ambigu, karena

tidak selalu masa transisi menuju pada konsolidasi demokrasi. Bisa saja yang terjadi

adalah “demokrasi hibrida”: proses politik tidak memenuhi syarat minimum

demokrasi, namun tidak kembali kepada status quo ante. Atau bisa muncul

demokrasi tak terkonsolidasi (unconsolidated democracy), yakni ketika rezim sudah

1

terlembaga dalam prosedur demokrasi, namun tidak mengalami konsekuensi dan

keuntungan yang seharusnya ditawarkan demokrasi.

Kedua, secara kultural, mayoritas masyarakat tetap menerima demokrasi

sebagai sistem terbaik meskipun situasi ekonomi-politik tak menentu. Persetujuan

mayoritas ini dibarengi oleh terisolasinya “musuh-musuh demokrasi”, yang

meskipun menolak, tetapi tetap bisa menyuarakan perbedaannya. Hal ini berangkat

dari watak demokrasi yang pada satu sisi kukuh menjaga otentisitas nilai, namun

sisi lain harus menyediakan “ruang bebas” bagi sang musuh sebagai konsistensi atas

kebebasan yang dibelanya.

Ketiga, jika kekuatan politik, baik pemerintah maupun non-pemerintah

mampu melakukan kontestasi dan konflik, dalam ketundukan konstitusional yang

dibentuk melalui proses demokratis. Inilah esensi demokrasi, karena sebagai sistem

modern, ia harus membangun landasan institusional untuk menjaga carut-marut

pertarungan politik, yang bisa meruntuhkan demokratisasi.1

Hanya saja, proses transisi demokrasi ini ternyata “diculik” oleh sebuah

hukum besi yang merujuk pada oligarki. Hukum ini telah mendaulat institusi

politik, khususnya negara dan partai sebagai agen utama demokrasi, padahal

didalam institusi tersebut terdapat musuh utama demokrasi, yakni oligarki. Hukum

besi ini berangkat dari keniscayaan objektif, dimana secara ontologis, organisasi

(birokrasi) telah melahirkan konservatisisme dalam tubuh institusi politik. Ia

menciptakan kepentingan sendiri, melindas kepentingan rakyat atau cita ideal,

bahkan melalui sarana dan modal-modal demokrasi. Oligarki mengandaikan proses

elitisasi dan ekslusifisme kekuasaan yang dilahirkan oleh struktur objektif birokrasi

politik, yang terdapat disegenap organisasi modern, baik partai maupun negara.

Hal ini bisa kita lihat dalam beberapa hal. Pertama, doktrin cara menjadi

tujuan. Partai sebagai sarana dan mekanisme bagi artikulasi politik rakyat, ternyata

telah menjadi tujuan itu sendiri. Ia telah melokalisir fungsi tersebut dalam

representasi kepentingan anggota partai, demi individu politisi dan kemapanan

1 Juan J. Linz et al., Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat, Bandung: Mizan, 2001, h., 25-29

2

kekuasaan partai. Partai kemudian kehilangan fungsi perantara (brokerage), dimana

amanat kepentingan konstituen, terbentur oleh institusionalisasi kepentingan politis.

Kedua, elitisasi negara. Ketika struktur birokrasi politik telah memisahkan

partai dari konstituen, maka kekuasaan negarapun mengerucut dalam ekslusifitas

elite. Ini yang tiba-tiba saja menjauhkan (janji manis) presiden dari rakyat

pemilihnya. Presiden, sang pemegang amanat rakyat itu, tiba-tiba saja tak kuasa

melakukan perubahan fundamental demi keadilan dan kesejahteraan, karena

langkah yang selalu terbentur baik oleh kerumitan sistemik, “birokrasi gemuk”, serta

jeratan kepentingan partai, seperti dalam Kabinet (koalisi) Indonesia Bersatu,

dimana SBY sebagai pemimpin pilihan (langsung) rakyat, ternyata harus lebih

memperhitungkan kepentingan partai, demi kelanggengan kuasa. Maka lahirlah

tragi-komedi selayak pepatah Italia : “Si cambia il maestro di capella, ma la musica e

sempre quella” (dirigen boleh berganti, namun musik tetap sama).2

Ketiga, dominasi kepentingan partai. Seharusnya pemerintahan SBY sangat

kuat, karena didukung oleh 410 kursi (76,4%) kekuatan di parlemen, dengan

proporsi partai non-pemerintah hanya 130 kursi (23,6%). Namun sayang, kekuatan

koalisi tersebut harus dibayar mahal oleh presiden dengan memberikan 18 (dari 36)

jabatan dalam kabinet kepada kader partai. Jika “kue” ini tidak memuaskan, maka

partaipun bergolak sehingga proses reshuffle sering menjadi tambal sulam kekuasaan

antara presiden dan partai. Hal ini sebenarnya hendak dibatasi oleh parlemen

melalui RUU Kementerian Negara. RUU ini merupakan realisasi dari amandemen

kedua UUD 45 pada Sidang MPR 2001 yang mengamanatkan agar pembentukan,

pengubahan dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang.

Satu langkah yang kemudian ditolak oleh “partai presiden” (pada era Megawati, F-

PDIP, era sekarang, Fraksi Partai Demokrat) dengan argumen terlalu mencampuri

hak prerogatif presiden. Padahal, selain hendak menggerakkan reformasi birokrasi

dan efiensi anggaran, RUU ini juga akan “menyelamatkan” presiden dari desakan

kepentingan partai.

2 Lihat Robert Michels, Hukum Besi Oligarki, dalam Ichlasul Amal (ed), Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996, h., 35-44

3

Hal ini tentu bertentangan dengan landasan politik modern yang telah

menganut pluralisme politik. Dalam paradigma ini, interaksi politik tidak lagi

bersifat oposisi biner selayak perjuangan kelas, dimana kelas sosial terbelah menjadi

penindas dan tertindas. Pada domain ini, instrumen utama perubahan sosial adalah

ideologi. Dalam pluralisme, kelas dikotomik buyar, menjadi satuan kelompok

majemuk yang telah menggantikan ideologi dengan pragmatisme: ide politik

berguna sejauh bermanfaat secara praktis.3 Dari sinilah muncul parlemen sebagai

ruang publik dimana partai politik tidak lagi tergulat dalam benturan ideologis,

melainkan “perjamuan makan siang” dalam kompromi politik.

Jika partai politik menjadi “makin lama makin realistis” (des passion realites),

dan ia memang merupakan pra-kondisi dari demokrasi, apakah dengan demikian

pragmatisme serta politik kompromis bisa dilihat sebagai mekanisme modernisasi

politik? Agak dilematis memang. Satu sisi gagasan tentang ruang publik (public

sphere) mensyaratkan terpinggirnya berbagai motivasi sektarian dan ideologis, demi

terbukanya dialog rasional dengan tingkat otonomi individu yang tinggi. Dari sini

kita bisa mafhum kenapa sekularisasi diperlukan, ketika “cahaya publik” dijejali

totalisme agama, dan oleh karenanya menyilaukan rasionalitas publik. Namun

disisi lain, konsep ruang publik juga sebenarnya mensyaratkan terkontrolnya

interaksi minus ideologi itu oleh institusionalisme politik, yang menurunkan

keagungan hak politik kepada “bumi” pertanggungjawaban publik. Kebebasan,

dalam politik modern, telah dibatasi oleh konstitusionalisme.

Satu hal yang menambah dilema dalam discourse ini adalah, fakta kultural

bahwa budaya politik masyarakat berkembang yang merujuk pada sistem politik

tradisional berbasis keagamaan. Ia yang akhirnya harus membuat sekularisasi

berpikir ulang, karena ternyata disetiap lekuk tindakan politik, masyarakat Timur

tak bisa lepas dari motivasi religius, baik berupa primordialisme agama, Islam

ideologis, hingga mistifikasi “angan-angan sosial” berupa kharisma dan “ajaran

keramat”. Ini yang membuat kultur partai politik Indonesia selalu mengelompok

dalam tipologi sektarian; nasionalisme radikal, tradisionalisme Jawa, Islam,

komunisme, dan sosialisme demokrat. Masing aliran tetap berangkat dari religion as

3 Lihat Koirudin, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004, h., 141-147

4

a political system, ideologi kelas, manipulasi kharisma tokoh, sampai satu titik,

Islamisme. Apa yang dicita-citakan pluralisme politik, dimana segenap partai

menanggalkan “baju radikal” untuk terjun bersama ke penanganan kebijakan publik

secara rasional, sering terganjal, tidak hanya oleh “jihad kelompok” melainkan

terlebih langkah manipulatif yang menelikung jihad tersebut demi kepentingan

politis.

Persoalan yang patut diangkat disini adalah, bagaimana memilah sekaligus

menyatukan berbagai komponen permasalahan tersebut dalam proporsionalisme,

yang tidak hanya mengacu pada modernitas politik, tetapi juga sadar akan fakta

kulturalisme politik, khususnya bagi masyarakat kita. Jika dipetakan, problem ini

bisa mengelompok pada beberapa hal. Pertama, bagaimana kita mendefinisikan

“kemauan” ruang publik yang mensyaratkan politik minus ideologi dan

primordialisme keagamaan. Kedua, bagaimana pula kita mengemas kemustahilan

itu, dalam sebuah rasionalitas komunikatif “masyarakat post-sekular”, dimana

sektarianisme partai politik diletakkan justru dalam domain pluralisme politik, yang

diatur oleh ruang publik. Ketiga, hal ini mensyaratkan penataan konstitusi yang

akan mengikat pertarungan kompromistik tersebut, dalam aturan main, yang tidak

hanya memungkinkan kebijakan publik tetap bisa lahir, namun juga pembangunan

state building demi cita negara modern.

Keempat, dan yang terpenting: meluruskan kembali historisitas perjalanan

budaya dan sistem partai politik, dimana pragmatisme serta kompromi politik,

dianggap sebagai pra-kondisi bagi terbentuknya sistem politik modern. Demokrasi

mengganti pertarungan dengan perdebatan rasional kompromistik. Apakah ia

merupakan degradasi dari idealisme the political (perjuangan politik), ataukah

pengaturan modern, karena pemerintahan hanya membutuhkan teknokrasi, bukan

filsafat atau bahkan ideologi? Pada titik inilah, konsep dan gerak demokratisasi Gus

Dur menjadi relevan. Ini terjadi karena satu sisi, Gus Dur tetap bisa membawa

politik keagamaan di ruang publik, tidak untuk menutupnya dalam ghirrah jihad

totalitas Islam. Agama bagi Gus Dur adalah penyempurna demokrasi, karena ia

memberikan landasan moral bagi praktik politik. Hal saya dengan gerak

demokrasinya yang tidak terjebak pada institusionalisme prosedural, karena yang

5

terpenting bagi demokrasi, bukanlah efektifitas pemerintah, tetapi terlebih sebuah

gerak kultur demokratis.

Pribumisasi demokrasi

Melakukan kajian tentang pemikian demokrasi (sekaligus praksis politik) Gus

Dur selalu menarik. Penelitian ini menjadi suatu kajian kontekstual dan kontradiktif,

mengingat term pemikiran ideal seorang intelektual organik, cenderung kontras

dengan praksis politik, seorang politisi yang sedang bergumul dalam sebuah moment

liberalisasi politik, di mana nalar politisi pasca runtuhnya Orde Baru tersebut, telah

tervirus oleh paradigma Machiavellian4 yang menganggap tujuan utama dan

supreme body segala aktivitas politik adalah kekuasaan.

Kecenderungan untuk kontradiksi disebabkan karena demokrasi sendiri

adalah sebuah teks yang menyediakan diri untuk multi-interpretable. Adanya

dualisme antara demokrasi sebagai sebuah sistem pemikiran dan ideologi Barat an

sich, yang pasca Perang Dunia II dideklarasikan oleh Francis Fukuyama sebagai the

last man in the end of history5, sebagai sistem dunia terbaik setelah runtuhnya

komunisme, dengan demokrasi sebagai nilai-nilai universal mengenai kebebasan

(freedom), persamaan (equality), pluralisme, dst menjadikan teks demokrasi bisa

ditafsiri secara sepihak sesuai dengan beragamnya kepentingan.

Kasus seperti Demokrasi Terpimpinnya Soekarno yang malah bertentangan

dengan pemerintahan liberal-parlementer, dengan mengembalikan komando secara

mutlak kepada presiden, merupakan pelencengan besar-besaran dari konstitusi

demokrasi yang meniscayakan adanya keseimbangan antara trias politica. Demikian

juga dengan Demokrasi Pancasila Soeharto yang jelas-jelas menentang liberalisme

secara serampangan, dengan menjadikan Pancasila sebagai quasi ideologi apologetik

untuk membungkus praktik kekuasaan tiranik dengan nilai-nilai demokrasi yang

Pancasilais. Otoritarianisme penafsiran kemudian menjadikan Pancasila sebagai

4 Politik menghalalkan segala cara a la Machiavelli, digambarkan sebagai Chiron, makhluk berkepala manusia dan berbadan kuda dalam mitos yunani kuno. Penguasa politik haruslah berkepribadian ganda, yakni melakukan politik kebinatangan untuk menghabisi lawan, namun juga berbuat baik guna mendapatkan simpati politis. 5 Dalam deklarasi the end of history, Francis Fukuyama menjelma sebuah legitimasi dari universaalisasi demokrasi secara “tekstual”. Demokrasi sejati adalah liberalisme. Padahal fakta mengatakan, bahwa adaptasi oleh Dunia Ketiga terhadap demokrasi, sangat dinamis dan kontekstual yang dalam satu sisi malah menimbulkan perlawanan terlebih dari fundamentalisme Islam.

6

milik mutlak dari pemerintah, dan demokrasipun menjelma formalisme prosedural

yang despotik.

Dalam “permainan” politik, teks demokrasi juga sering ditafsirkan secara

manipulatif sesuai dengan kepentingan politis. Apalagi dalam kebudayaan politik

yang sudah sampai pada penggunaan “politik citra” (politics of image), sehingga

melihat fenomena politik, berarti melihat kesan yang diciptakan komunikator

politik, yang tidak selalu sesuai dengan realitas sesungguhnya.

Disinilah wacana politik kontemporer menemukan ruangnya. Layaknya kaum

post-strukturalis seperti Michel Foucault yang mendefiniskan politik bukan sebagai

hakikat kedaulatan (Plato, Aristoteles), kontrak sosial (JJ Rousseau, John Lokce),

lembaga-lembaga politik (Montequieu), pertarungan kelas (Karl Marx), akan tetapi

berbicara politik adalah berbicara tentang relasi antar kekuasaan yang plural,

dengan hubungan kompleksitasnya6. Berkaitan dengan hal ini, maka politik adalah

kegiatan manipulasi kesan, atau yang disebut Gilles Deleuze dalam in Logics of Sense

(1990) sebagai imagologi, yakni strategi politik melalui teknologi citra (televisi, iklan,

dsb) untuk menciptakan kesan tertentu terhadap sebuah partai atau seorang tokoh

politik. Imagologi ini berangkat dari keadaan diskontinuitas antara political image

dengan real politics7.

Demokrasi sebagai teks kemudian dimanipulasi untuk menciptakan konstruksi

realitas sosial (social construction of reality)8, dengan menciptakan “realitas simbolik”

yang sebenarnya merupakan second reality (realitas kedua) dari keadaan yang

sesungguhnya. Demokrasi tidak hanya terjebak kepada “demokrasi seolah-olah”

karena hanya mengandalkan proseduralisme formal, akan tetapi ia menjelma simbol

suci yang digunakan para politisi untuk membungkus dirinya agar terlihat layak

menaiki kursi kepemimpinan nasional.

6 Haryatmoko, Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan, Basis No 01-02, tahun ke-51, Januari-Februari 2002 7 Yasraf Amir Piliang, Simulakra Politik, Kompas 1 November 2003 8 Teori Konstruksionisme Sosial diperkenalkan oleh Peter Berger yang menyatakan bahwa realitas terbentuk dari hasil komunikasi, sehingga tidak ada realitas hakiki, karena semua merupakan konstruk yang bersifat relatif dan bahkan manipulatif.

7

Pada titik ini, menarik jika memetakan pemikiran demokrasi Gus Dur yang

beranjak dari nalar pribumisasi. Sebagai seorang intelektual yang dilahirkan dalam

atmosfir tradisionalisme, Gus Dur tentunya menolak untuk menyerahkan dirinya

secara kaaffah kepada sistem nilai demokrasi liberal yang secara ideologis bersifat a-

histories. Hal ini merupakan permasalahan umum pemikir Dunia Ketiga yang

menurut Donal’d Smith (1987)9, harus melakukan adaptasi paradigmatik dengan

konsep nilai dari luar (Barat). Pergerakan politik Dunia Ketiga menurut Smith masih

menggunakan konsep politik tradisi keagamaan, yakni penggunaan agama sebagai

kekuatan pembangunan politik, sehingga masyarakat politik (polity) identik dengan

masyarakat agama (religious community).

Disini Gus Dur menyelamatkan tradisi lokal masyarakat dari proses yang

disebut oleh VS Naipul dalam Beyond Belief sebagai ikonoklasme, yaitu sebuah

penghancuran terhadap “tradisi kecil” (little tradition) oleh “tradisi tinggi” (high

tradition)10. Demokrasi liberal yang lahir dari rahim kritik teologi Katolik, yang

kemudian beranak pinak kepada sekularisme, rasionalisme, dan individualisme,

dianggap Gus Dur tidak cocok dengan konteks ke-Indonesiaan yang bersifat

komunalistik, religius, dan tradisional. Sehingga, ketika masyarakat negara

berkembang menelan mentah-mentah liberalisme, akan berakibat “terlahapnya”

kultur orinisinil dari masyarakat, meski Gus Durpun tetap memandang urgensitas

liberalisme sebagai nilai falsafi yang menjunjung tinggi hak dasar manusia,

kedaulatan hukum, persamaan, pluralisme, dst yang sesungguhnya termuat dalam

tujuan luhur Pancasila11.

Pemikiran demokrasi Gus Dur, seperti disebutkan Mun’im DZ (2004) beranjak

dari nalar pribumisasi. Nalar inilah yang menjadi landasan berfikir dari segala

pembacaan Gus Dur terhadap realitas dan berbagai pemikiran dari “luar pribumi”.

Hal ini terlihat dari penolakan Gus Dur terhadap konsep demokrasi prosedural

(procedural democracy), ketika pada dekade 1990-an ia melontarkan istilah “demokrasi

9 Donald Eugene Smith, Religion and Political Development (Boston, Massachusetts, Little, Brown and Company, 1970), hlm. 26-27 10 Penyelamatan terhadap tradisi lokal, memang sudah menjadi trade mark Islam a la NU, yang melakukan akulturasi budaya antara Islam universal dengan tradisi lokal Jawa-Hindu. 11 Abdurrahman Wahid, Pancasila dan Liberalisme, Kompas, 21 Juli 1987

8

seolah-olah”12 sebagai kritik terhadap praktik demokrasi Orde Baru yang hanya

melandaskan praktik politik kepada berdirinya institusionalisme ; trias politica, UU,

dan pemilu, sementara keadilan, persamaan hak, kebebasan berpendapat dst yang

menjadi elemen substantif dari demokratisasi tidak terlaksana, bahkan cenderung

mengalami pembungkaman.

Dari penolakan terhadap paham institusionalisme13 dalam demokrasi, Gus Dur

kemudian menekankan pada aspek insfrastruktur demokrasi, yakni budaya

keadaban (civic culture) yang menopang terjadinya demokratisasi, baik oleh negara

kepada rakyat maupun sebaliknya. Konsep Gus Dur ini searah dengan

demokratisasi a la Robert W Hefner14 yang mendefinisikan demokrasi sebagai apa

yang difikirkan masyarakat tentang demokrasi itu sendiri. Artinya, segala

kelembagaan demokrasi seperti parlemen, pemerintah eksekutif, hukum, dan pers,

tidak akan mampu dan bahkan bisa menjadi musuh dari demokrasi, ketika

demokrasi belum mampu merasuk dalam relung budaya masyarakat15.

Landasan berfikir inilah yang membuat Gus Dur concern terhadap

pemberdayaan civil society dalam tubuh besar jama’ah NU. Gus Dur menjadikan NU

sebagai eksperimentasi penciptaan “kantong-kantong” masyarakat sipil, seperti

penciptaan lembaga-lembaga a la NGO di NU, penguatan tradisi lokal masyarakat,

serta penumbuhan gelombang intelektualisme anak muda NU. NU kemudian

menjelma kekuatan civil society yang berhadapan vis a vis negara, meskipun dengan

gaya “dansa gengsi”16, serta mampu melaksanakan civic education (pendidikan sipil)

kepada 40 juta warganya.

Dari sinilah Gus Dur kemudian menempatkan diri dalam posisi sebagai

intelektual organik, yakni seorang aktivis yang melandaskan pergerakannya kepada

12 Wawancara dengan Abdurrahman Wahid, Forum Keadilan, No 02, 14 Mei 1992 13 Penolakan institisionalisme dilakukan Gus Dur, hampir disemua lini gerakannya. Mulai dari penempatan kekuatan jama’ah di banding jam’iyyah (organisasi) di NU, perlawanan penerapan syari’at Islam yang ingin melembagakan nilai-nilai keislaman dalam sebuah “lembaga” syari’at, sampai kepada penguatan masyarakat sipil agar tidak didominasi oleh otoritarianisme negara. 14 Konsep Hefner tentang Civil Islam, yang menyatakan bahwa dalam Islam sebetulnya terdapat potensi bagi terbentuknya masyarakat sipil, sama dengan perspektif “kulturalisme” Islam-nya Gus Dur, yang menggunakan agama sebagai potensi besar bagi penguatan civil society. 15 Abdurrahman Wahid, Mendesentralisasikan Kebudayaan Bangsa, Jawa Pos, 9 November 1991 16 Robin L Bush, Ambigu-Ambigu di Balik “Republik” NU, dalam Geger di “Republik” NU (Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 1999), hlm. xvii-xxi

9

sistem pemikiran tertentu yang menjadi paradigma dan ideologi bagi tindakan

praksisnya. Gus Dur pun mendirikan Forum Demokrasi (Fordem) sebagai realisasi

dari konsep masyarakat sipil yang bertugas menciptakan counter balancing (kekuatan

penyeimpang) bagi dominasi negara. Tercatat dekade 1990-an, Fordem banyak

mengalami pembrangusan aktivitas oleh rezim Soeharto karena kritisismenya17.

Dalam hal ini, Gus Dur menjadikan Pancasila sebagai point of view bagi

pergerakan demokrasinya, baik ketika berhadapan dengan monopoli ideologi oleh

negara, maupun dengan ideologisasi Islam kaum skripturalis. Ketika negara

menciptakan hegemoni ideologi dengan menciptakan azas tunggal Pancasila, Gus

Dur kemudian “merebut” Pancasila dari rezim Orde Baru yang telah melakukan

monopoli dengan membrangus ideologi selain Pancasila, serta menciptakan

penafsiran sepihak dan memaksakannya melalui represifitas birokrasi dan militer.

Ketika Orba mengharamkan Marxisme-Leninisme hidup di Indonesia, demikian

juga dengan Islam ideologis, lewat penggantian azas Islam Partai Persatuan

Pembangunan (PPP) dengan Pancasila, Gus Dur menggunakan pengakuan

pluralisme dari Pancasila untuk menghantam balik totaliterisme Pancasila a la

Soeharto.

Memang sepribumi apapun demokrasi Gus Dur, ia tetap menggunakan

parameter asli demokrasi (liberal), yakni konstitusi. Azas negara yang merupakan

landasan konstitusional demokrasi modern tersebut, digunakannya sebagai

bumerang untuk mengkritik manipulasi demokrasi yang dilakukan pemerintah. Hal

ini juga terlihat dalam praktik kenegaraanya ketika menjabat Presiden ke-4 RI. Gus

Dur berulang menggunakan konstitusi sebagai argumen penyeimbang bagi

serangan-serangan lawan politiknya. Bahkan Dekrit Presiden kontroversial yang

dideklarasikan untuk membekukan parlemen menjelang kejatuhannya, merupakan

kekokohan memegang prinsip konstitusi.

17 Salah satunya adalah moment pelarangan acara halal bihalal Fordem di Taman Ismail Marzuki, Mei 1992. Sementara Rapat Akbar NU tidak terkena pemberangusan.

10

Sebagai intelektual muslim yang oleh Greg Barton dikategorikan sebagai kaum

neo-modernisme Islam18, Gus Dur menambatkan “perahu” ideologi kenegaraannya

kepada Pancasila. Konsep ini sebagai anti tesa terhadap gerakan kaum Islamis yang

ingin menjadikan Islam sebagai azas negara, baik dengan target negara Islam (al-

daulah al-Islamiyyah) maupun memasukkan hukum Islam kedalam hukum positif

melalui isu pewajiban syari’at Islam. Sekilas Gus Dur terlihat memihak kepada

sekularisme yang mengharamkan campur tangan agama dalam mengelola negara,

tetapi jika ditelusuri, Gus Dur sebenarnya seorang aktivis yang “berideologikan”

Islam. Gus Dur dalam setiap pemikiran dan gerakan selalu menjadikan Islam

sebagai pedoman, namun penggunaan Islam disini bukanlah secara formal-politis

dengan melembagakannya, melainkan sebagai substansi moral dalam sebuah

gerakan kultural. Islam kemudian menjadi elemen komplementer, bukan sebagai

pengganti ideologi resmi negara19.

Demokrasi Gus Dur

Dalam setiap kesempatan di era Orde Baru dahulu, Gus Dur selalu

mengumandangkan istilah “demokrasi seolah-olah”. Pengumandangan itu tentu

bukan asal kumandang, tetapi merupakan lontaran politik strategis yang dibarengi

oleh kedalaman refleksif pada level filsafat politik. Demokrasi kemudian menjelma

critical discourse (kritik wacana) atas manipulasi negara yang mencipta monolitisisme

penafsiran demokrasi, minus penghargaan terhadap “suara lain” dari masyarakat

sipil.

Apa maksud “demokrasi seolah-olah”? Yakni sebuah situasi dimana

demokrasi telah terjebak dalam institusionalisme politik; ada eksekutif, legislatif,

dan yudikatif, tetapi minus pemberian hak warga negara yang dijamin oleh nilai-

nilai demokrasi. Berpolitik kemudian terbentur oleh dinding birokratisme politik,

yang menghambat perealisasian hak asasi manusia, hanya dilembar perundang-

undangan, minus praktik di lapangan. Inilah keterjebakan terhadap proseduralisme

itu, yang memang menjadi kekuatan utama demokrasi.

18 Belakangan, tipologi tersebut banyak dikritik, khususnya penyamaan antara konsep Gus Dur dengan Cak Nur. Kritik mengemuka karena terdapat perbedaan orientasi, modernisme Gus Dur berangkat dan demi pemulihan tradisi, sementara Cak Nur lebih condong berorientasi kedapa modernisme Barat. 19 Hal tersebut dibuktikan Gus Dur, lewat penerimaan NU atas azas Pancasila pada Muktamar ke-27.

11

Seperti kita tahu, demokrasi menjadi sistem terbaik dari yang terburuk, karena

ia memberikan mekanisme tidak hanya pembuatan keputusan publik, tetapi juga

pengelolaan konflik sektarian. Konsensus rasional telah mengganti gontok-gontokan

ideologis yang dibawa oleh masing kelompok kepentingan. Pada level makro,

demokrasi kemudian menyediakan pemilu sebagai media efektif bagi sirkulasi

kepemimpinan politik, sehingga kelemahan sebuah rezim bisa dianulir melalui

penggantian kepemimpinan nasional lima tahun sekali secara egaliter, dimana setiap

warga negara berhak berkontestasi. Hanya saja, terkhusus era Soeharto,

proseduralisme ini menjadi sesuatu yang semu, karena segegap-gempita apapun

pemilu, presiden terpilih tetap sama, yakni Sang Bapak Pembangunan. Inilah yang

membuat Gus Dur melontarkan wacana diatas, karena seolah-olah demokratis,

tetapi sebenarnya tidak demokratis.20 Seolah-olah ada proses pergantian

kepemimpinan politik, tetapi nyata tidak. Seolah-olah ada perwakilan rakyat, tetapi

DPR hanya menjadi stempel pemerintah.

Ini yang membuat Gus Dur selalu mengutip satu kaidah fiqh yang berbunyi,

tasharrufful imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bil mashlahah. Keputusan dan keabsahan

seorang pemimpin atas rakyat harus terkait langsung dengan kemashlahatan rakyat.

Kenapa kaidah ini selalu beliau utarakan? Apa kaitannya dengan hidup bangsa kita,

dan bagaimana ia dipraktikkan oleh Gus Dur sendiri sebagai seorang pemimpin?

Ternyata setelah penulis rasakan, kaidah itu sangat dalam maknanya, terlebih

ketika pemerintah kita doyong arah kebijakannya. Doyong berarti berat sebelah,

bukan kearah rakyat, tapi kearah kepentingan elite politik yang berada dilingkaran

kekuasaan. Kenapa ini bisa terjadi, padahal sistem pemilu kita sudah lebih

mendekatkan calon pemimpin dengan konstituennya? “Lha itu khan hanya

prosedur saja saudara-saudara, “ kata Gus Dur. Sebagai prosedur, meski pemilu

sudah bersifat langsung, namun ia tak menjamin, pemimpinnya bisa amanah dan

betul-betul dekat dengan rakyat, baik secara politik, batin, apalagi kebijakan. Sistem

pemilu langsung kita hanya menyediakan medan perang rimba antar-partai dan

politisi untuk berebut simpati rakyat, tentu dengan strategi kampanye yang sering

lebih dekat kepada iklan, daripada sosialisasi dan pendidikan politik. Iklan dalam

20 Lihat Abdurrahman Wahid, Demokrasi, dalam Membangun Demokrasi, Bandung: Rosdakarya, 1998, h., 82-85

12

artian, apa yang dihidangkan pada saat kampanye, hanya merupakan kamuflase,

tiupan palsu dari kenyataan, lewat propaganda di media massa maupun televisi.

Ini yang membuat demokrasi kita “seakan-akan”. Seakan demokrasi, tapi

sebenarnya tidak. Ini jelas terlihat, dan Gus Dur melihatnya pada keterjebakan hidup

politik kita dalam lembaga. Memang ada lembaga perwakilan, ada lembaga hukum,

ada lembaga sosial, ada lembaga pendidikan, ada pemerintah. Tapi siapa yang

menjamin bahwa segenap lembaga itu bisa menjadi saluran aspirasi rakyat? Siapa

yang menjamin DPR kita bisa turun kebawah, mendengar dan mengumpulkan

permasalahan rakyat dalam UU? Siapa yang menjamin, lembaga pengadilan kita

tidak terongrong tikus-tikus mavia peradilan? Kalau kita melihat semua ini, sering

lembaga itu malah menjadi penghambat dari aspirasi rakyat, dan yang namanya

perwakilan hanya terbatas pada mewakili golongan, partai, dan elite politik.

Makanya penulis tidak heran, kalau Gus Dur kemudian lebih memilih “budaya

demokrasi”. Jadi bukan lembaga politik yang menjadi tolok ukur berjalannya

demokrasi, tetapi perilaku, baik dari pemimpin, aparat, hingga rakyat, yang

mencerminkan perilaku demokratis. Ini dibuktikan Gus Dur dengan membuka kran

kebebasan pers, sebab pada zaman Pak Harto, kran inilah yang macet, dan koar-koar

tentang demokrasi menjadi sumir, karena nyatanya, rakyat tidak diperbolehkan

mendapatkan informasi secara bebas. Ini juga yang membuat Gus Dur

menghilangkan kesangaran Istana Negara, karena bagaimana bisa demokratis,

bagaimana bisa menjadi pemerintahan rakyat, jika istana presiden saja dijaga begitu

ketat menyeramkan, sehingga rakyat lebih cenderung takut, daripada merasa

terayomi.

Sayangnya sekarang ini, kesangaran pemerintah itu sudah kembali lagi.

Memang, ia tak seseram tongkat-bedil Soeharto (alm), karena pemerintahan SBY bisa

memberikan senyum manis dihadapan rakyat. Tapi senyum manis ini, seperti kritik

Megawati (5/2/08) kemarin, bahwa pemerintahan SBY-JK bergerak seperi tari poco-

poco, maju selangkah mundur selangkah. Meskipun penulis tak sepenuhnya setuju

dengan kritik itu, tetapi ia menjadi gambaran dari suasana batin rakyat yang tak

kunjung menemukan arah perubahan yang lebih baik.

13

Hal ini juga merupakan kelemahan demokrasi. Kenapa? Karena demokrasi

telah memberikan ruang politik yang terlalu lunak, dengan kemungkinan kompromi

yang begitu luas. Hal ini akan bermasalah ketika tuntutan rakyat yang terkait

dengan kebutuhan mendasar akhirnya terhenti dikesepakatan “bawah meja” antar

pemimpin, yang lebih mementingkan kebutuhan kelompok dan diri, daripada

tuntutan yang sungguh perlu tersebut. Apalagi demokrasi kita bersifat multi-partai,

sehingga wajar saja ketika Soekarno membubarkan parlemen tahun 1957, karena

menurutnya sifat banyak partai dalam demokrasi kita hanya akan melahirkan

tubrukan kepentingan.

Gus Dur sendiri tidak serta menerima demokrasi tanpa syarat. Sistem

demokrasi yang akhrinya menjadikan politik sebagai tujuan politik itu sendiri,

ditolak habis-habisan oleh beliau. Ini dilakukan karena bagaimanapun mulia,

demokrasi tetap sebatas cara dan pra-syarat. Cara untuk membuka sirkulasi

kepemimpinan secara damai, dan pra-syarat bagi tegaknya cita-cita tata masyarakat

oleh rakyat.21 Disini demokrasi, kata Gus Dur, memang menjadi tolok ukur, apakah

pembangunan selaras dengan kebutuhan masyarakat, atau sebaliknya? Apa yang

terjadi dengan pemerintahan Orde Baru, dimana ekonomi tumbuh pesat, tapi

mengorbankan hak asasi manusia, merupakan bukti, bahwa demokrasi memang

menjadi batas, apakah kebijkan pemerintah telah lurus atau melenceng.

Hanya saja, ditengah situasi yang konon lebih demokratis, demokrasi dalam

artian pemilu tidaklah mencukupi, apalagi dibarengi oleh kecurangan seperti yang

terjadi dengan penggagalan pencalonan Gus Dur dalam Pemilu 2004, lewat alasan

kesehatan. Demokrasi model ini, tidak memenuhi pra-syaratnya sendiri, yakni hak

setiap warga negara untuk terlibat dalam pemerintahan. Ini cacat demokrasi, karena

hukum tidak dijadikan alat pengerem kekuasaan, tetapi sebaliknya, alat pengelus

dan pemulus syahwat kekuasaan, tanpa mengindahkan moral demokrasi itu sendiri.

Orang tentu sinis, “Lebih baik kita hidup dizaman Orde Baru, karena pemimpin

yang tegas, walau sadis, tetap bisa menjamin harga beras dan minyak, bisa

terjangkau. Sekarang, katanya demokrasi, pemimpin dipilih rakyat, tapi harga

sembako naik, tak kunjung usai”. Sinisme ini akan terus menjadi jangongan

21 Abdurrahman Wahid, Demokrasi Harus Diperjoangkan, Tempo, 12 Agustus 1978

14

masyarakat di angkruk ronda, ketika pemerintah tidak jeli dalam memilah, ini

kepentingan pribadi, ini kepentingan bersama.

Lalu apa yang kemudian tersisa, ketika demokrasi hanya menjadi milik elite?

Lha ini yang dikritik oleh Gus Dur. Elite sebenarnya wakil, dan bahkan pelayan bagi

masyarakat. Ini arti penting demokrasi itu, karena tanpa perwakilan, aspirasi rakyat

tak bisa tersampaikan dalam pengambilan kebijakan. Tapi sekali lagi sayang, cara

demokratis ini telah dinodai oleh cacat demokrasi itu, karena perwakilan malah

semakin menjauhkan rakyat dari kebijakan pro-rakyat. Kenapa semua ini bisa

terjadi? Karena lingkaran kepentingan elite kita, tak jauh dari masalah

“pemerintahan dari aku, oleh aku, dan untuk aku”. Bukan dari rakyat, oleh rakyat,

dan untuk rakyat!

Pada titik inilah, jika Gus Dur ditanya, kenapa beliau membidani Partai

Kebangkitan Bangsa (PKB), maka sederhana jawabnya: hendak menegakkan

moralitas politik. Kenapa? Karena banyak dari politisi kita hanya mementingkan

perut dan kelompok sendiri, bukan bangsa dan masyarakat.

Tetapi apakah semudah itu membuat kinerja politisi dan partai politik sesuai

dengan akhlak yang karimah? Tentu tidak sederhana jawabannya. Dibutuhkan

kesungguhan hati untuk tetap berpegang teguh pada “kekosongan niat”. Nasehat

yang sering beliau tuturkan pada penulis, “Kita harus bisa mengubur diri dalam

bumi kekosongan”. Satu nasehat kesukaan, yang beliau ambil dari hikmah Al-Hikam:

Idfin wujudaka fi ardli al-khumuli (pendamlah dirimu dalam bumi kekosongan).22

Tentu secara sekilas tidak masuk akal nasehat ini. Lha bagaimana tidak. Orang

yang masuk dunia politik, ia seolah masuk dalam rimba raya, tempat banyak pihak

memperebutkan kekuasaan. Disana lalu lintas sosial tak beda dengan kemacetan

Jakarta: jalan “sebiji jagung”-pun tetap diperebutkan demi sampai tujuan. Ini malah

diminta agar “kosong” dalam niat, bagaimana bisa?

Dari tanda tanya yang masygul itu, penulis baru menyadari apa yang

dimaksud Gus Dur. Ternyata, ini merupakan teori politik paling canggih yang 22 Ibnu ‘Athaillah al-Sakandary, Matan al-Hikam, Kediri: Pesantren Lirboyo, h., 1

15

membuat aktivis politik tidak termakan oleh politik itu sendiri. Teori ini berangkat

dari apa yang disebut Gus Dur zaman Soeharto dulu sebagai un political politics :

berpolitik “tanpa politik”. Maksudnya? Jelas kita tahu bahwa politik sebenarnya

merupakan cara menata masyarakat agar mampu memenuhi kebutuhan fundamen

manusia, yakni sandang, pangan, papan. Orang-orang pinter menambahkan poin

kebutuhan yang lebih soft dan beradab, seperti hak bebas bicara, berorganisasi,

termasuk mengritik pemerintah. Satu kondisi yang sering disebut dengan

demokrasi.

Ini yang hilang dari budaya politik kita, karena politik sebagai cara, malah

berubah menjadi tujuan. Partai yang seharusnya menjadi “bus kopaja” tempat

mengangkut aspirasi rakyat, malah menjelma “mobil” (sewaan lagi), untuk

mengantar kepentingan orang-perorang yang berada dalam kepengurusan partai.

Ini yang dikritik oleh Gus Dur, berlandas moralitas publik yang diakui agama.

Tetapi pertanyaannya, bagaimana menerapkan “kekosongan” itu dalam tubuh

partai yang sudah menjadi kerajaan tersendiri? Kerajaan yang memisahkan politisi

dengan warga yang diwakilinya? Kecurigaan dan sikap apatis dari rakyat atas partai

begitu akut, padahal kita tahu sistem demokrasi menempatkan partai politik sebagai

kendaraan utama bagi pergantian kepemimpinan. Tanpa partai rakyat tidak

memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam politik. Tanpa partai, orang tidak

bisa mengelola perbedaan melalui cara yang diakui oleh konstitusi. Tanpa partai,

kelompok kepentingan dan organisasi kemasyarakatan tidak bisa membungkus cita-

cita kelompoknya dalam lembaga yang sah secara politik. Partai, seperti “taubat

sambal”, dibenci tetapi dicintai.

Dari sinilah kata Gus Dur, posisi kepemimpinan ulama dalam politik menjadi

hal yang tak bisa ditawar. Apa maksud kepemimpinan ulama? Jelas, moralitas

jawabnya. Yakni sebuah moral yang sudah tertata, di godog di kawah condrodimuko,

untuk zuhud dan tidak gumunan melihat kemilau dunia. Kenapa ini penting? Karena

prinsip ora gumunan membuat seseorang tidak terlena dengan “kursi empuk” jabatan

yang sebenarnya amanah. Agar para pekerja politik tidak mencari kerjaan dipolitik,

karena politik bukan lapangan kerja tempat para pengangguran mengais rezeki.

Politik adalah kerja untuk menciptakan kesejahteraan bersama, sehingga Gus Dur

16

selalu meyakini bahwa keabsahan penguasa atas rakyat tergantung pada komitmen

terhadap kesejahteraan (tasharruf al-imam ‘ala al-ra’iyyah manuthun bil mashlahah).23

Ini yang membuat “kosong” itu menjadi berisi. Kalau tidak kosong bagaimana

bisa berisi, kalau tidak berisi bagaimana bisa “kosong”? Artinya, kemampuan untuk

mengosongkan batin dari kesemrawutan niat, membuat Gus Dur kuat dalam

menghadapi badai politik apapun. Ketika beliau diangkat sebagai Presiden ke-4 RI,

ketika para pendukung di Poros Tengah berbalik menyerang. Ketika harus lengser

dari tahta negara, dan ketika pencalonan kembali pada Pemilu 2004 dihalangi lewat

alasan kesehatan. Kalau tidak “kosong”, bagaimana seseorang bisa tetap survive

menghadapi hempasan tersebut. Karena secara alamiah, orang mungkin bisa kuat

menahan lapar, tetapi sering terkecoh ketika kekenyangan.

Apalagi satu sikap yang dimiliki Gus Dur, yakni tidak takut “terasing sendiri”,

betul-betul menjadikan kekuatan batin sebagai kekuatan utama dalam berpolitik

(dalam artian luas). Gus Dur sering dicemooh, dikafirkan, dan ditinggalkan orang-

orang yang dibesarkannya. Tetapi beliau lepas begitu saja, karena secara batiniah,

tak merasa apa-apa dan tak memiliki kepentingan apa-apa.

Ini yang membedakan orang “kosong”, dengan orang yang sejak awal memang

penuh dengan kepentingan, dan kebingungan. Banyak orang yang datang ke Gus

Dur karena alasan-alasan struktural. Ingin nyalon Bupati, Gubernur, Ketua NU,

anggota legislatif, bisnis lancar, jadi pengurus partai, pengurus yayasan, dsb. Ini

yang malah membutakan mata, bahwa Gus Dur selain bisa dimintai “surat sakti”,

beliau terlebih seorang kyai, dalam artian seorang sepuh yang sebenarnya risih

dengan banyaknya sabetan kepentingan. Seorang kyai selalu berusaha membersihkan

diri. Seorang yang selalu tersenyum dan berkata nggeh kepada setiap bentuk orang

yang mengadu, bahkan kepada seorang tua biasa yang datang hanya ingin nyucup

tangan. Gus Dur diposisikan hanya sebagai “tanda tangan”, dan ketika ia sudah tak

terpakai, maka ditinggallah sang kyai yang sebenarnya setelah memberi, tak

menghitung lagi apa yang telah terberi. Kadang penulis melihat hal ini, dan melihat

betapa kenyamanan batin Gus Dur agak terganggu. Tetapi bagaimana lagi. Hal itu 23 Abdurrahman Wahid, Islam, Ideologi dan Etos Nasional Indonesia, dalam Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam, Arifin Junaidi (penyunting), Edisi terbatas, 1991, h., 20

17

sudah menjadi pilihan beliau sebagai pemimpin, pengayom, dan benteng tempat

banyak pihak menyandarkan kepenatan.

Jika renungan ini diarahkan pada level negara, pasti lebih sulit lagi aplikasinya.

Seperti penulis bilang diawal esai ini, bahwa corak kepemimpinan dalam lembaga

politik kita masih bersifat kerajaan. Dari sini bisa ditarik benang merah, bahwa pada

level budaya, etika pemimpin kita masih bak raja. Minta dilayani, di subyo-subyo, dan

yang terpenting, terasing dari masyarakat. Rakyat dalam hal ini terasa semakin jauh

dengan para wakil yang dipilihnya. Ini bukan semata kesalahan para pemimpin,

tetapi juga kultur politik kita yang birokratis (jika era Pak Harto bersifat militer) di

tambah “kecambah” partai pasca Reformasi, yang menumbuhkan “bau politis”

dalam pengaturan pemerintahan.

Gus Dur pernah menjadi “korban” situasi seperti ini, dimana bandul politik

yang pada pemerintahan Pak Harto bersifat berat-eksekutif (executive heavy) menjadi

legislative heavy pada era Gus Dur. Pemerintahan disesaki oleh kepentingan partai

politik yang berkuasa diparlemen, menjelma kerajaan oligarkis para politisi

oportunis, sehingga segenap kebijakan Gus Dur selalu ditangkap dan disambut

sebagai lemparan “bola panas”. Segenap kebijakan yang berangkat dari kedalaman

pemikiran, tentang masa depan demokratisasi, kemandirian masyarakat,

“pengecilan tubuh” negara, pengembalian militer ke barak, nasionalisme ekonomi,

dsb ditangkap oleh legislatif sebagai ruang politis untuk menjatuhkan presiden.

Dalam hal ini, Gus Dur berada pada posisi “penuh” sekaligus “kosong”. Gus Dur

menghadapi situasi ini sebagai negarawan yang mementingkan nasib bangsa,

konstitusi, dan masyarakat, berarti beliau “penuh”. Tetapi beliau juga tidak hendak

melakukan kompromi politik dengan lawan-kawan partai politik, yang

menggambarkan kekosongan batin dari ketakutan tidak mendapatkan dukungan

politis. Dan inilah yang terjadi: Gus Dur terlempar dari carut-marut perebutan

kekuasaan, karena pilihan “kosong” nya. Andai Gus Dur tidak “kosong”, maka

beliau pasti lebih mementingkan terjaganya kekuasaan meski dengan resiko

“menjual” idealisme politik kepada para “koboi Senayan”.

Resiko pahit inilah yang membuat banyak pihak takut “untuk kosong”. Gus

Dur sering bilang, bahwa situasi ini bisa tercapai, manakala seorang manusia

18

mampu berada di antara ketegangan ekstrim: menjadi hamba Allah (‘abdullah) yang

menyerahkan hidupnya pada Sang Khalik (bukan pada partai, presiden, pemilu,

atau sekadar atasan kantor), yang merupakan titik pijakan nol dalam hidup. Untuk

menuju kerja maksimal 100% guna menunaikan tugas suci manusia sebagai “wakil

Allah” (khalifah) di muka bumi. Dari sini orang dituntut untuk bekerja sampai

tetesan keringat terakhir, tetapi setelah itu harus kembali pada kesunyian batin,

tempat kawulo lan Gusti bercengkrama dalam ruang kosong, tak diketahui manusia,

tak digubris siapa-siapa. O, jadi ini yang menjadi kekuatan Gus Dur, kenapa beliau

tetap saja bergerak dan bekerja untuk masyarakat, entah itu pakai embel-embel

presiden atau tidak. Satu kekuatan yang membutuhkan kekuatan untuk memilih

dan memilikinya.

Jika merunut sejarah, kekuatan ini sebenarnya dimiliki oleh budaya politik kita

zaman kerajaan. Dahulu sebelum terbentuk pemerintahan Belanda, budaya politik

para raja kita mengacu pada “politik kosong” ini, yang merupakan hasil dari

martabat kerajawian. Martabat ini bisa dikatakan mampu menyatukan antara etos

brahmana atau resi, dengan etos pemimpin politik. Satu posisi yang saat ini sering

disebut sebagai negarawan. Budaya kerajawian kita bisa mencapai hal itu, karena

bagi masyarakat Nusantara, politik dimaknai sebagai sesuatu yang suci, sakral. Ini

yang membedakan dengan praktik politik kita sekarang, yang telah ternodai oleh

limbah budaya Barat. Memang, dalam masyarakat Eropa, demikian tandas Gus Dur,

budaya politik sudah bisa rasional. Hanya rasional mereka dilambari oleh sikap

masyarakat yang sejak awal tidak hidup dalam keseharian sakral. Beda dengan kita.

Masyarakat kita masih bersifat religius, sehingga tidak sepenuhnya rasional. Ini

yang akhirnya melahirkan “wilayah abu-abu”, sehingga yang sampai dikita hanya

“limbah” dari budaya Barat.

Coba saja lihat, betapa pemimpin kita hanya berlomba menguasai pertarungan

pemilu yang tanpa nilai. Paling nilai-nilai seperti keadilan, nasionalisme-religius,

Islam, dan kesejahteraan, hanya dijadikan jargon kampanye. Para pemimpin kita

tidak mencoba meneladani “politik kosong” dari raja-brahmana dalam sejarah kita,

yang tidak semata-mata menjadikan politik sebagai ajang menguasai, tetapi terlebih,

tugas suci untuk meratakan kesejahteraan. Kesucian tugas ini yang menempatkan

pemimpin, tidak hanya bertanggungjawab kepada pemilih, apalagi kepada ketua

19

partai, tetapi terutama kepada Tuhan, dan panggilan suci. Nah, memang, sikap ini

berulang kali mensyaratkan keberanian, bahkan untuk menghilangkan keinginan

menguasai (will to power). Keberanian yang tentu tidak menguntungkan, ketika

politik dimaknai sebagai ajang “manusia adalah serigala bagi yang lainnya”: homo

homini lupus.

Sayangnya, di era Pasca-Reformasi ini situasi telah berubah. Ketika zaman

Orde Baru, kekuatan politik terbelah jelas: negara vis a vis masyarakat sipil. Saat ini

peta tersebut telah membuyar. Negara kini hanya menjelma ruang bebas, tempat

berbagai kontestasi kepentingan bertubrukan, berkompromi, dan seringnya

meminggirkan substansi perjuangan politik yang menjadi cita utama peruntuhan

Orde Baru.

Lalu dimanakah Gus Dur? Gus Dur tetap konsisten, meski strategi perjuangan

telah berubah. Di era “negara untuk negara” (state qua state) itu, Gus Dur bersama

dengan NU menggerakkan oposisi kultural. Terma oposisi kultural ini merujuk pada

perang posisi (war of position) dimana Gus Dur dan NU melakukan tandingan

budaya atas hegemoni negara. Ini terjadi karena Orde Baru tidak selalu memaksakan

kekuasaannya secara represif, tetapi juga persuasif. Contohnya kebijakan azas

tunggal Pancasila. Kebijakan ini merupakan usaha negara untuk menerapkan

ketunggalan makna atas ideologi negara, sehingga dengan ketunggalan tersebut

negara bisa melakukan represi normatif atas gerakan ideologis yang mengancam

stabilitas penguasa.

Menanggapi ini NU kemudian mengambil stategi “menelikung lewat dalam”.

Artinya, melalui penerimaan atas azas tunggal tersebut, sembari dibarengi dengan

keluarnya NU dari PPP, maka dua kemanfaatan tercapai. Pertama, dengan

menerima Pancasila, maka NU berhak melakukan penafsiran tersendiri atas ideologi

negara tersebut, guna menyeimbangi penafsiran a la negara. Penyeimbangan ini

penting, karena ditangan gerakan masyarakat, Pancasila bisa menjadi legitimasi vis a

vis negara. Satu hal yang dengan sengaja ditutup oleh negara, karena penafsiran

Pancasila oleh masyarakat, pastilah akan berhadapan dengan penafsiran resmi

20

negara.24 Ketika NU dan Gus Dur menerima, untuk menafsir ulang Pancasila, maka

negara tidak bisa menghantam NU karena yang dibela sama-sama ideologi negara.

Kedua, dengan keluarnya NU dari PPP, maka ia mampu penuh sebagai oposisi

kultural, karena jama’ah wa jam’iyyah diniyyah ini tidak terikat dalam struktur

formal politik negara.25 Formalisme politik ini yang akan memenjarakan NU dalam

aturan, batasa, dan pendisiplinan (disciplinary) negara.

Inilah hakikat demokrasi menurut Gus Dur. Yakni dalam sebuah perjuangan

panjang tanpa henti untuk terlibat dalam penyeimbangan kekuasaan negara.

Demokrasi bagi Gus Dur tidak terbatas pada institusi dan prosedur politik, yang

cenderung hanya menjadi media bagi hasrat politik untuk masuk dalam ruang

kekuasaan. Ontologi demokrasi Gus Dur tidak terhenti pada individualisme, tetapi

lebih kepada demokrasi deliberatif yang menurunkan idealisme doktrinal politik,

kepada realitas pembuatan keputusan publik yang tergelut dalam debat rasional

baik dari pemerintah dan rakyat. Satu hal yang selama ini tidak pernah terjadi,

karena demokrasi yang terjadi di Indonesia masih menganut pada republikanisme

semu,26 dimana partisipasi politik diterjemahkan pada pembentukan berbagai

lembaga politik, minus keberpihakan rakyat.

Bagi Gus Dur, persoalan demokrasi bukanlah persoalan teori; apakah dia dari

Barat atau asli karya Indonesia? Pendebatan demokrasi pada level teoritis, akan

menutup satu fakta, bahwa melampaui segalanya, demokrasi haruslah

diperjuangkan. Demokrasi disini kemudian dimaknai sebagai proses, tempat warga

negara berusaha mendapatkan haknya kembali, setelah sekian lama tercuri oleh

praktik politik anti-demokrasi.

Hal inilah yang membuat Gus Dur bahkan memasukkan demokrasi (syura)

sebagai salah satu nilai utama dalam Islam, persamaan (musawah) dan keadilan

(‘adalah). 27Terma syura disamakan dengan demokrasi, karena ia memberikan

24 Abdurrahman Wahid, Agama, Ideologi dan Pembangunan, jurnal Prisma 11,November 1980, h., 14 25 Douglas E Ramage, Pemahaman Abdurrahman Wahid tentang Pancasila dan Penerapannya, dalam Era Paska Asas Tunggal, dalam Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil, Yogyakarta: LKiS, 1997, h., 101-106 26 David Held, Models of Democracy, Jakarta: Akbar Tanjung Institute, 2006, h., 24-35 27 Abdurrahman Wahid, Pribumisasi Islam, dalam Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Depok: Desantara, 2001, h., 131-132

21

22

landasan normatif, dimana Islam mewajibkan pembahasan kolektif atas

permasalahan publik. Ini terjadi pada sirkulasi kepemimpinan muslim awal pasca-

Nabi, ketika Abu Bakar terpilih secara aklamasi melalui bai’at. Ketiadaan kepastian

dari Nabi atas pengganti kekhalifahan telah membuktikan bahwa kepemimpinan

Islam bersifat demokratis, karena ia diserahkan kepada kehendak publik.

Penaubatan demokrasi sebagai nilai utama (Welstanchauung) Islam didasarkan

pada satu postulat kekuatan agama dalam perubahan sosial. Gus Dur menyebutnya

sebagai gerakan keagamaan berwawasan struktural.28 Gerak ini dilakukan Islam sejak

kelahirannya, dimana ia melakukan koreksi atas praktik kapitalisme-feodal yang

terjadi di masyarakat Mekkah. Dalam kaitan ini, gerakan agama tidak harus menjadi

candu Marxian, yang melegitimasi atau meninabobokkan kaum mustadl’afin dari

penindasan. Gerak agama juga tidak boleh bersifat reformatif, dengan hanya

melakukan perbaikan pada level permukaan pemerintah, minus kritisisme pada aras

struktural.29 Ini yang mengharuskan Islam meminjam nilai-nilai dari demokrasi,

karena dengan demokrasi, umat Islam bisa terlibat dalam perjuangan untuk

mengembalikan “suara rakyat” kepada dirinya sendiri. Satu hal yang telah dicuri

oleh praktik kekuasaan, atas nama proseduralisme dan institusionalisme demokrasi.

28 Lihat Abdurrahman Wahid, Republik Bumi di Surga, Sisi Lain Motif Keagamaan di Kalangan Gerakan Masyarakat, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2000, h., 175 29 Lihat Abdurrahman Wahid, Agama dan Demokratisasi, dalam Membangun Demokrasi, Bandung: Rosdakarya, 1998, h., 30-35

Bab 07

Dekonstruksi Negara Gus Dur

Memang, menjadikan Gus Dur sebagai presiden, ibarat memasukkan mutiara

ke dalam karung sempit. Demikian keluh Romo Mudji Sutrisno. Resikonya, kalau

bukan mutiara yang lecet, maka karung tersebut yang mengalami kerusakan, akibat

tidak mampu memuatnya. 1 Hal inilah yang terjadi dengan masa kepresidenan Gus

Dur, yakni tidak memadainya bangunan politik negara, serta konstalasi demokrasi,

yang membuat berbagai ide demokratisasi belum sepenuhnya bisa direalisasikan,

dan bahkan menjadikan Gus Dur sebagai “tumbal” nya.

Artinya, sebagai presiden, Gus Dur tetap membawa paradigma “radikalisme”

aktivis pro-demokrasi, yang tentunya selalu berhadapan dengan konsepsi negara.

Dalam perspektif aktivisme, negara harus diminimalisir dari kehidupan masyarakat,

jika sebuah tatanan demokrasi hendak titegakkan. Meskipun dalam hal ini, Gus Dur

tidak menggunakan radikalisme anarkhis dalam melihat hubungan antara negara

dan masyarakat. Sebab, sebagai pemimpin organisasi massa Islam terbesar,

pergerakan yang dilakukannya mengambil metode evolusi : merubah sub-sistem

sembari menjaga supra sistem yang sudah menjadi kesepakatan bersama. Pada

tataran inilah kita menjadi mafhum, kenapa Gus Dur menerima Pancasila sebagai

ideologi negara (bukan Piagam Jakarta), guna dijadikan “boomerang” untuk

mengkritik penyelewengan negara atas nilai-nilai Pancasila.

Era kepresidenan Gus Dur bisa disebut sebagai era “negara emoh negara”. Hal

ini bisa dilihat dari berbagai gebrakan kebijakan yang mengarah pada satu

paradigma, meminimalkan peran negara atas masyarakat, sehingga sebagai struktur

kekuasaan, ia tidak lagi menjadi penentu hegemonik, melainkan sebatas fasilitator.

Dalam hal ini, Gus Dur bisa dikaji melalui perspektif Marxian atau bahkan

anarkisme evolusioner, yang melihat “peminggiran” intervensi negara sebagai syarat

mutlak bagi terciptanya masyarakat sipil demokratis, independen, dan mampu

menggali potensi untuk menyelesaikan permasalan sendiri.

1 Ahmad Suaedy dan Ulil Abshar Abdalla (ed), Gila Gus Dur: Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid, Yogyakarta : LKiS, 2000, hlm 27

1

Tentu, pemikiran seperti ini bukan dadakan, pasca beliau menjabat kepala

negara, melainkan sebuah keberlanjutan konsentrasi pergerakan yang telah tergerak,

sejak Gus Dur belum “menjadi negara”. Dalam satu artikel, Negara dan Kebudayaan, 2

Gus Dur mencoba memisahkan terma kebudayaan, sebagai kehidupan manusiawi

dengan negara yang merupakan penjelmaan struktur kekuasaan. Jika kebudayaan

menjadi bagian dari negara, maka tunggulah saat terjadinya pemasungan kreativitas

manusia melalui birokratisasi kebudayaan. Resikonya sangat berbahaya.

Kebudayaan yang merupakan segenap nilai dan system tata atur kehidupan

masyarakat, kemudian “dikotakkan” sebatas seni, untuk “dibonsai” kedalam

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Birokratisasi tersebut akan menciptakan

benturan kebudayaan, antara pendekatan represif kekuasaan versus pendekatan

kultural masyarakat, dimana kebebasan kreatif masyarakat dibatasi oleh institusi

politik yang tentunya jauh dari perhitungan

Satu hal yang nyata, bahwa pemerintahan Gus Dur adalah pemerintahan

dekonstruktif. Satu gerak politik, di mana Gus Dur bahkan bukan seorang politikus

yang memobilisir kekuatan dan legitimasi politik demi stabilitas kuasanya. Yang

terjadi, Gus Dur tetap seorang Ketua Pokja Forum Demokrasi, yang merealisasikan

gagasan anarkis tentang minimalisasi peran negara demi kuatnya masyarakat sipil.

Gus Dur telah “mengecilkan tubuh negara” yang selama dua rezim otoritarian Orla-

Orba, menggelembung kemana-mana, melampaui batas konstitusi, menyesak-

desakkan keringat kecut dan muka penuh amarah di ruang publik, tempat segenap

kekuatan masyarakat terkebiri. Apa yang diperjuangkan Gus Dur adalah suatu cita-

cita utopis tentang menguatnya masyarakat, yang mensyaratkan debirokratisasi dan

demiliterisasi. Ini yang esensial dan akhirnya menjadi bumerang, sebab saat itu,

bahkan hingga sekarang, kondisi struktural dan kultural tidak mengizinkan.

Setidaknya ada beberapa kebijakan yang diambil pemerintahan Gus Dur guna

“membebaskan” masyarakat dari totalitarianisme negara. Pertama, pembubaran

Departemen Sosial (Depsos) dan Departemen Penerangan (Deppen). Kebijakan ini

berangkat dari fakta politik, bahwa ketika negara (Orde Baru) memiliki jangkauan

tak terbatas, maka persoalan sosio-kultural yang sebenarnya menjadi unsur utama

2 Abdurrahman Wahid, Negara dan Kebudayaan, dalam Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan, Depok : Desantara, 2001 hlm 3-5

2

penjamin free public sphere menjadi terbungkam. Deppen terbukti telah menjadi

otoritas kekuasaan yang menentukan mana informasi yang boleh disebarkan, dan

mana informasi yang subversive.

Hal ini membawa konsekuensi terpasungnya kekebasan pers, yang seharusnya

menjadi satu pilar demokratisasi. Layaknya catatan David T Hill (1994) dimana

beberapa media yang nakal dan cenderung kritis semisal Sinar harapan, Duta

Masyarakat, Indonesia Raya, Abadi, Pedoman, Harian KAMI, dst selalu dibayangi

pembredelan tanpa adanya proses peradilan. Hingga decade 1990, Deppen telah

menyempurnakan diri sebagai “Sang raja Breidel” yang menelan korban Tabloit

Detik, Editor, dan Majalah Tempo. Demikian juga posisi Depsos yang selama Orde

Baru terbukti menjadi sarang subur bagi kleptokrasi dan KKN, disebabkan

mekanisme birokrasi yang “gemuk”, serta arah kelembagaan yang tidak jelas, sebab

secara real culture, masyarakat melalui berbagai ormas dan LSM, sebenarnya mampu

me-manage pelayanan sosialnya sendiri, tanpa bantuan dari institusi politik yang

amat birokratis.

Ketiga, demiliterisasi. Hal ini dilakukan Gus Dur dengan menciptakan reposisi

militer yang selama Orba mengalami dwi-fungsi. Hasilnya, April 2000, TNI

memutuskan meninggalkan peran sosio-politik, untuk konsentrasi dalam bidang

pertahanan. Hengkangnya TNI dari politik telah menciptakan paradigma baru

supremasi sipil atas militer, sehingga aparat represif ini tidak disalahgunakan

penguasa. Langkah penghapusan dwi-fungsi TNI tersebut segera ditindaklanjuti

oleh Gus Dur dengan melakukan pemisahan TNI-Polri, berdasarkan Keppres No

89/2000. Pemisahan ini menjadi langkah awal dari demiliterisasi pelayanan dan

keamanan masyarakat, yang menjadi tugas utama Polri. Pada tataran manajerial,

Gus Dur kemudian menyempurnakan supremasi sipil tersebut melalui perumusan

TNI di bawah Departemen Pertahanan (Dephan). Perumusan ini diharapkan mampu

mendorong terciptanya defense management based on civilization authority, sebab TNI

sebagai pemegang komando lapangan, diatur dalam administrasi Dephan yang

dipegang oleh sipil. Sayang, hingga Gus Dur lengser, perumusan tersebut belum

dituntaskan.

3

Pada tataran supra-struktur politik, Gus Dur juga menciptakan “terapi kejut”

guna “mencuci” kesadaran sejarah masyarakat. Salah satu yang kemudian

mengundang kontroversi adalah ide pencabutan TAP MPRS No XXV/1966 tentang

pelarangan ajaran Marxisme dan Leninisme. Hal ini dilakukan pada batasan

wacana, sebab presiden tidak memiliki otoritas. Motivasi yang melatarbelakangi ide

tersebut jelas, yakni membersihkan beban sejarah dari dendam dan trauma masa

lalu, sebab TAP tersebut telah bersifat diskriminatif dengan menciptakan berbagai

pemberangusan gerakan “kiri”, serta “mengutuk” anak cucu PKI dalam isolasi

politik. Ide pencabutan juga berangkat dari fakta, bahwa sekuat apapun sebuah

ajaran di larang, ia akan tetap “menelusup” kedalam relung kesadaran masyarakat.

Pembelaan terhadap minoritas juga dilakukan Gus Dur dengan mencabut

Inpres No 14/1967 tentang agama yang sah, dan agama yang terlarang. Melalui

Keppres No 6/2000, Gus Dur telah menghancurkan otoritarianisme negara atas

kebebasan beragama. Hasilnya, Konghucu dan etnis Cina menikmati kebebasan

ekspresif atas kebuadayaan keagamaannya. Pada level inilah, denegaraisasi agama,

Gus Dur gerakkan, sebagai praksis politik atas gagasan kemandirian agama dari

negara. Sayang, pada pemerintahan Megawati, kemandirian tersebut ditutup

kembali, dengan dicanangkannya RUU Kerukunan Umat Beragama, yang

memasung agama hanya dalam lima agama sah. Hal ini menjadi arus balik

pengaturan agama oleh “agama negara”, yang menahbiskan epos double

otoritarianisme antara politik negara dan politik agama.

Masih banyak usaha-usaha pemerintahan Gus Dur dalam “membebaskan”

masyarakat dari totalitarianisme negara. Dari kebijakan yang bersifat dekonstruktif,

Gus Dur juga mengimbanginya melalui kebijakan rekonstruktif, yakni dengan

menumbuhkan potensi masyarakat yang selama Orba belum tergali. Misalnya,

pendirian Komisi Hukum Nasional dan Komisi Ombudsman, guna memperkuat

kontrol masyarakat atas pelaksanaan hukum aparat negara. Pada tataran ekonomi,

Gus Dur juga mendirikan Departemen Eksplorasi Kelautan dan Perikanan, sebagai

satu usaha menuju pembangunan ekonomi berbasis maritim. Pada tataran global,

Gus Dur telah memprakarsai Poros Asia-Afrika pada KTT G-15 Mei 2001, guna

4

melakukan counter balancing atas dominasi negara maju terhadap negara

berkembang. 3

Sayangnya, berbagai kebijakan radikal demokratisasi tersebut berjalan dalam

sebuah konstruk pertarungan politik, antara Gus Dur dengan politisi partai dalam

parlemen. Para politisi sejak dini sudah “mencari-cari” titik lemah kebijakan Gus

Dur guna menjatuhkan kepresidenan yang konstitusional tersebut. Semisal ide Gus

Dur tentang pencabutan TAP MPRS No XXV/1966. Meski ide itu baru sampai tahap

wacana, namun para “koboi senayan” kemudian memelintirnya demi keuntungan

politik. Sejarah kepresidenan Gus Dur adalah sejarah tenggelamnya ide dan

kebijakan besar tentang deskralisasi negara, demiliterisasi, dan penciptaan ruang

publik masyarakat sipil, dikarenakan nafsu perebutan kekuasaan antara partai

politik, yang melembaga dalam konflik legislatif vs eksekutif.

Konflik tersebut diawali oleh ketidakrelaan F-PDI P dan F-PG atas pemecatan

Laksamana Sukardi dan Jusuf Kalla dari jabatan kementrian. Meski pemecatan ini

merupakan hak prerogatif presiden, namun DPR kemudian mempermasalahkannya

dengan mengajukan hak interpelasi guna meminta keterangan kenapa Gus Dur

mencopot dua menetri tersebut. Konflik mengemuka, ketika dalam klarifikasi, Gus

Dur malah menempatkan interpelasi dalam lanskap perdebatan konstitutif, yakni

mengenai sah tidaknya hak interpelasi itu. Gus Dur kemudian merujuk pada fakta

historisitas konstitusi, bahwa hak interpelasi hanya diatur dalam UU No 4/1999

tentang Susunan dan Kedudukan MPR/DPR/DPRD. Sayangnya, hak tersebut tidak

mendapatkan dasar legitimatif dari UUD 45, sebab sistem pemerintahan bersifat

presidensial. Dalam sistem ini, presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen,

sehingga DPR tidak berhak mengajukan hak interpelasi.

Hal yang sama terjadi pada kasus hak angket guna penyelidikan keterlibatan

Gus Dur dalam kasus dana Yanatera Bulog dan Bantuan Sultan Brunei. Terdapat

cacat hukum, karena pembentukan Panitia Khusus (Pansus) didasarkan pada UU No

6/1954 yang merujuk pada sistem pemerintahan parlementer dengan payung UUD

RIS 1950. Pasca Dekrit Soekarno 1959, maka konstitusi dikembalikan kembali kepada

3 A. Muhaimin Iskandar, Gus Dur yang Saya Kenal, Yogyakarta: LKiS, 2002, h., 15-30

5

sistem presidensial dan UUD 45, sehingga dengan sendirinya hak angket tersebut

telah gugur. Memang pada Agustus 2000, MPR telah melakukan amandemen UUD

45 dengan memberikan hak angket bagi parlemen. Namun pada saat pemerintahan

Gus Dur, hak tersebut belum dijabarkan dalam UU, sehingga statusnya masih

“ditangguhkan”. 4

Model manipulasi seperti inilah yang dilakukan para politisi Senayan. Semisal

pemelintiran dari temuan Pansus Bulog-Brunei gate, bahwa Gus Dur “patut diduga”

terlibat, kemudian dipelintir menjadi “sungguh-sungguh” terlibat. Penyimpangan

terjadi dalam dua hal. Pertama, wewenang Pansus yang sebenarnya hanya

melakukan penyelidikan terhadap fakta dan data, namun meluas kepada pemberian

fatwa. Kedua, tidak dilibatkannya lembaga pengadilan dalam mengusut dugaan

keterlibatan Gus Dur. Berdasarkan pemelintiran fakta inilah, DPR kemudian

mengajukan memoradum bagi terselenggaranya Sidang Istimewa MPR.5

Celakanya, motivasi awal, yakni penyelidikan kasus Bulog-Brunei gate,

kemudian mengalami penyimpangan terhadap kinerja pemerintah. Satu fakta

penyimpangan besar-besaran, sebab pansus tidak berhak melakukan penilaian

terhadap kinerja eksekutif. Demikian juga ketika MPR mempercepat pelaksanaan SI,

dari 1 Agustus menjadi 21 Juli 2001, argumen yang diberikan sangat bias dan

inskonstitusional, yakni penyimpangan presiden karena mengganti Kapolri tanpa

persetujuan DPR. Akhirnya pada 21 Juli 2001, SI MPR digelar, dan Gus Dur pun

dikudeta secara inskonstitusional, tanpa adanya pembuktian secara yuridis atas

berbagai tuduhan korupsi dana Yanatera Bulog. Secara dramatis, Gus Dur kemudian

mengakhiri konflik kepentingan ini dengan memberlakukan Maklumat Preisiden 22

Juli 2001, sebagai counter discourse terhadap tata pemerintahan yang timpang, sebab

real konstitusi menetapkan sistem presidensial, sehingga parlemen tidak berhak

menjatuhkan presiden, demikian sebaliknya.

Tragedi yang menimpa kepresidenan Gus Dur ini merupakan pertanda bahwa

demokrasi kita belum terkonsolidasi. Ini terlihat dari ketidakmampuan konstitusi

dalam mengatur konflik antar lembaga tinggi negara. Sentralisasi politik yang telah 4 Greg Barton, Biografi Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2003 h., 353-360 5 Syamsuddin Haris, Konflik Presiden-DPR dan Dilema Transisi Demokrasi di Indonesia, Studi Kasus Pemerintahan Abdurrahman Wahid, Jakarta: Grafiti, 2007, h., 129-156

6

7

diruntuhkan oleh Reformasi 1998 tidak membuahkan kesadaran demokratis, di

mana segenap masyarakat politik mematuhi aturan main demokrasi. Yang terjadi

sebaliknya; setiap pihak kini telah memanfaatkan ruang kebebasan demi

kepentingan golongan sendiri. Di sini negara kemudian ditempatkan dalam domain

pluralisme politik. Dalam perspektif ini, negara menjadi bebas nilai; ia hanya ruang

politik yang bebas untuk diperebutkan oleh siapapun, tentu dengan meminjam

sumber daya politik yang disediakan oleh negara. Situasi ini yang menciptakan

“negara untuk negara”, yang sayangnya terbangun bahkan oleh masyarakat politik,

yang pada era otoritarianisme Orde Baru, menjadi gerbong utama masyarakat sipil.

Tragedi kudeta konstitusional yang terjadi pada kepresidenan Gus Dur

menunjukkan prematurnya tanggung jawab politik yang teremban akibat

keberhasilan reformasi. Inilah yang melahirkan homo homini lupus, yang sayangnya

tidak terjadi dalam masyarakat, tetapi bergulat di dalam dan melalui negara. Di sini

negara tidak lagi menjelma ruang publik di mana segenap kelompok melunakkan

kepentingannya untuk bersama memikirkan persoalan publik. Negara dalam situasi

ini telah dijadikan ruang sumber daya demi kepentingan politik kelompok dan

individu, yang tragisnya akan semakin memperkuat negara itu sendiri. Dari sini

menjadi mafhum kenapa berbagai agenda besar yang dicanangkan Gus Dur menjadi

kandas tengah jalan. Tentu, kepentingan kelompok, dan kepentingan stabilitas

sistem negara yang tidak menginginkannya.

Daftar Pustaka Abdurrahman Wahid 1981. Muslim di Tengah Pergumulan, Jakarta: Leppenas ………………………… 2000. Prisma Pemikiran Gus Dur. Yogyakarta: LKiS ……………………….. 2001. Menggerakkan Tradisi: Esai-Esai Pesantren. Yogyakarta: LKiS ……………………….. 1999. Membangun Demokrasi, Bandung: Rosdakarya …………………………2001. Pergulatan Negara, Agama, dan Kebudayaan. Depok: Desantara …………………………1991. Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam. Edisi terbatas ………………………. Islamic Fundamentalism: A Southeast Asian Perspective. sumber tak terlacak ……………………….. Culture Oriented Development Policies and Programs: The Case of Pesantren in Indonesia, makalah International Conference on “Interactions of Development and Culture: from Dilemmas to Opportunities”, oleh Fredrich Naumann Foundation dan International University Foundation, Konigswinter/Bonn, 29 Juni-3 Juli 1987 ……………………….. The Future of Constitutionalism and the Nature of the Polity: the Case of Indonesia’s 1945 Constitution, A working paper for the Asian Regional Institute of the American Council of Learned Societies, Comparative Constitutionalism Project, being held in collaboration with the Law and Society Trust, Sri Lanka. February 23-27, 1989, Chiangmai, Thailand …………………………. Principle of Pesantren Education, makalah the Pesantren Education Seminar, Berlin, oleh TU Berlin dan FNS, Juli 9-12 1987 ………………………. Masih Relevankah Teori Kenegaraan Islam? Tinjauan Kontemporer Atas Prinsip-Prinsip Rekonstruksinya, makalah pada Diskusi Konsep Negara Islam, FH-UII, Yogyakarta, 7 Februari 1988 …………………………. Forum Demokrasi, Sebuah Pertanggungjawaban. Sumber tak terlacak ………………………….. Ekonomi Islam: Baru Sebuah Impian dan Utopia, sumber tak terlacak Abdulkadir Kurdi, The Islamic State, New York: Mansell Publishing Limited, 1984 Adam Schwarz, A Nation in Waiting, Indonesia’s Search for Stability, Australia: Allen & Unwin 9 Atchison Street, 1999 Bahtiar Effendy, Islam in Contemporery Indonesian Politics, Jakarta: Ushul Press, 2006 Donald Eugene Smith, Religion and Political Development, Boston, Massachusetts, Little, Brown and Company, 1970 DE Smith (ed), Religion, Politics and Social Change, The Free Press, 1971 David Held, Models of Democracy, Jakarta: Akbar Tanjung Institute, 2006 Endang Turmudi, Perselingkuhan Kiai dan Kekuasaan, Yogyakarta: LKiS, 2004 Greg Barton, Greg Fealy (ed), Nahdlatul Ulama, Traditional Islam and Modernity in Indonesia, Australia: Monash ASIA Institute, 1996 Geger di “Republik” NU, Jakarta: PT Kompas Media Nusantara, 1999 Hartono Ahmad Jaiz, Jejak Tokoh Islam dalam Kristenisasi, Jakarta: Darul Falah, 2004 Ichlasul Amal (ed), Teori-Teori Mutakhir Partai Politik, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996 Juan J. Linz et al., Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat, Bandung: Mizan, 2001 Jaringan Islam Liberal, Syariat Islam, Pandangan Muslim Liberal, Jakarta: JIL-TAF, 2003

1

Koirudin, Partai Politik dan Agenda Transisi Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004 M Rusli Karim, Agama, Modernisasi dan Sekularisasi, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1994 Olivier Roy, Gagalnya Islam Politik, Jakarta: Serambi, 1992 Peter M. Blau, Marshall W. Meyer, Birokrasi dalam Masyarakat Modern, Jakarta: Pustakaraya, 2000 Robert W. Hefner, Civil Islam, Islam dan Demokratisasi di Indonesia, Jakarta: ISAI-TAF, 2001 Robert Bocock, Hegemoni, Yogyakarta: Jalasutra, 2007 Taufik Adnan Amal dan Samsu Rizal Panggabean, Politik Syariat Islam, dari Indonesia hingga Nigeria, Ciputat: Alvabet, 2004 Frans Seda, Orde Baru dan Kultur Politiknya, Prisma, No. 11, November 1980 SI Poeradisastra, Kebudayaan Indonesia di Pusaran Arus Sejarah, Prisma 11, November 1981 Sutan Takdir Alisjahbana, Pembangunan Kebudayaan Indonesia di Tengah Laju Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, Prisma 11, November 1981 Asep Taufik Akbar, Akar-akar Pergumulan Kelahiran Konsep Wali al-Amr al-Dlarury bi al-Syaukah, Tashwirul Afkar, Jakarta: Lakpesdam NU Fachry Ali, Akomodasi Non-Politik Islam Indonesia dalam Struktur Orde Baru, Prisma 3, Maret 1991 M. Ishom El Saha, M. Ag, Epistemologi Hukum Islam Perspektif NU, jurnal Tashwirul Afkar Edisi No. 12/2002, Jakarta: Lakpesdam NU M. AS Hikam, Negara, Masyarakat Sipil dan Gerakan Keagamaan dalam Politik Indonesia, jurnal Prisma 3, Maret 1991 Haryatmoko, Kekuasaan Melahirkan Anti-Kekuasaan, Basis No 01-02, tahun ke-51, Januari-Februari 2002 Ahmad Suaedy dan Ulil Abshar Abdalla (ed), Gila Gus Dur: Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid, Yogya : LKiS, 2000 A. Muhaimin Iskandar, Gus Dur yang Saya Kenal, Yogyakarta: LKiS, 2002 Greg Barton, Biografi Gus Dur, Yogyakarta: LKiS, 2003 Syamsuddin Haris, Konflik Presiden-DPR dan Dilema Transisi Demokrasi di Indonesia, Studi Kasus Pemerintahan Abdurrahman Wahid, Jakarta: Grafiti, 2007 Tim INCReS, Beyond the Symbols: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur, Bandung : INCReS, 2000.

2

3

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Nama K. H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)1 diakui atau tidak merupakan

salah satu sosok intelektual yang sangat berpengaruh dan diperhitungkan di

kancah politik nasional, hal ini dikarenakan salah satu concern pemikiran

politiknya adalah tentang demokrasi. Aksi pemikiran dan gerakan sosial yang

selama ini dimainkannya tidak pernah bergeser dari gagasan besarnya untuk

menciptakan demokratisasi dalam masyarakat. Penerimaan konsep demokrasi

menurutnya merupakan pilihan logis sebagai salah satu dimensi dalam ajaran

Islam.

Gagasannya tentang demokrasi sebenarnya sudah muncul sejak Orde Baru

berkuasa, lahirnya lembaga-lembaga demokrasi pada era Orde Baru yang

keberadaannya diakui olehnya sebagai mekanisme demokrasi merupakan indikasi

penerimaannya terhadap konsep demokrasi. Namun, kemudian ia menempatkan

demokrasi institusional ini sebagai kritik dengan istilah yang ia lontarkan sebagai

“demokrasi seolah-olah”. Baginya, demokrasi ala Orde Baru terjebak pada

institusi dan prosedur politik. Artinya, institusi dan prosedur yang semestinya

1 Lahir pada 4 Agustus 1940 di Denanyar, Jombang. Merupakan anak pertama dari enam

bersaudara. Terlahir dengan nama Abdurrahman Ad-Dakhil, dia adalah putra tokoh terkenal K. H. Abdul Wahid Hasyim, putra K. H. Hasyim Asy’ari buah perkawinannya dengan Ny. Hj. Solehah, putra K. H. Bisri Syamsuri, salah seorang pendiri NU, pendiri pondok pesantren Denanyar sekaligus pernah menjabat sebagai Rois ‘Aam Syuriah PBNU setelah K. H. Abdul Wahab Hasbullah. Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur, (Jogjakarta: AR-RUZZ, 2004), cet, I h. 68.

1

2

ditempatkan sebagai mekanisme demokratis ternyata menjadi tujuan di dalam

dirinya sendiri.2

Hal inilah yang menjadi dasar kritiknya, yakni sebuah situasi, dimana

lembaga demokrasi bahkan menjadi penghambat aspirasi atau hak demokratis.

Jadi, bukan hanya lembaga-lembaga tersebut kurang berfungsi sebagai penyalur

kedaulatan rakyat, ia bahkan menghambat kedaulatan tersebut, karena

memposisikan diri sebagai ruang sah bagi demokrasi. Situasi seperti ini tentu

mencederai hakikat demokrasi, karena eksisitensi lembaga politik yang

sebenarnya terposisi sebagai media perwakilan.

Dari kritik atas keterjebakan institusional ini, ia kemudian menambatkan

solusi praksisnya pada konstitusi. Hal ini lahir dari kesadaran diskursif, bahwa

selain lembaga politik, demokrasi juga terbentuk oleh konstitusi. Bahkan

konstitusilah yang menjadi landasan normatif bagi demokrasi. Inilah yang

merupakan landasan dasar pemahaman dan pemikirannya tentang demokrasi.

Dalam tataran praktis, sebagai wujud keprihatinan atas realitas politik

yang terjadi pada saat itu3, Gus Dur dan kawan-kawan4 membentuk sebuah forum

2 Dengan adanya DPR, MPR pemerintah menyatakan bahwa aspirasi rakyat telah

tertampung dalam proses legislasi. Dengan adanya Mahkamah Agung dan lembaga peradilan, seakan rasa keadilan rakyat telah terpenuhi. Dengan adanya Komnas HAM, persoalan hak asasi manusia seolah telah teradvokasi pemerintah. Baca, Abdurrahman Wahid, Membangun Demokrasi, (Bandung: Rosdakarya, 1999), h. 82-88.

3 Secara faktual, latar belakang yang melingkupi pemikiran dan gerakan politik Abdurrahman Wahid adalah otoritarianisme Orde Baru. Sebuah pemerintahan yang menjadikan institusi demokrasi sebagai pemberangus hakikat demokrasi. Inilah yang akhirnya melahirkan kritik atas pendekatan state centered. Dalam prespektif ini, konstitusi dilihat sebagai payung legitimatif atas gerak kekerasan negara. Sebagai contoh, presiden tidak menanggapi dua surat Ketua Komisi HAM guna membicarakan kondisi dan kasus pelanggaran berat HAM tahun 1997-1998. Kasus penculikan aktifis dibiarkan mengambang. Presiden jarang bicara jelas soal pelanggaran berat HAM dan penyelesaiannya. Baca, Chris Siner Key Timu, “Selesaikan Pelanggaran Berat HAM”, artikel diakses pada 11 Juli 2009 dari http://www.depkumham.go.id/NR/rdonlyres/9AF30E4B-81FD-4F9F-97CE-5D9E6273602D/0/selesaikanpelanggaranham.pdf

3

yang dinamakannya sebagai Forum Demokrasi. Menurutnya, forum ini dibentuk

sebagai upaya menumbuhkan prilaku demokrasi yang lebih penting dari lembaga

demokrasi. Sementara demokrasi itu sendiri, menurutnya, memiliki komponen

yang sangat luas dan itu merupakan komponen yang dicita-citakan Forum

Demokrasi, yakni tegaknya kedaulatan hukum, perlakuan yang sama di depan

undang-undang, kebebasan berpendapat; kebebasan berserikat, sikap saling

hormat dan menghargai antara golongan yang berbeda-beda, serta terbukanya

peluang yang sama bagi setiap warga negara untuk mengabdi kepada negara dan

bangsa ini melalui jalan yang dipilih masing-masing.

Memahami pemikiran dan gagasannya merupakan kajian yang sangat

menarik, terlepas dari persoalan di atas, ia merupakan sosok intelektual yang

secara serius menekuni berbagai bacaan yang dianggap berat sekalipun. Bacaan

yang mendalam atas berbagai karya pemikir-pemikir besar adalah bagian tak

terpisahkan dari perjalanan intelektualitasnya. Di samping itu pula, ia merupakan

sosok yang mengagumi jiwa kebangsaan para pejuang kemerdekaan Indonesia.

Gus Dur menulis,5

“….Dalam politik saya mengagumi Bung Karno untuk semangat kebangsaanya, kecintaanya kepada bangsa ini begitu kelihatan. Bung Hatta saya kagumi untuk sikap demokratisnya, dia betul-betul seorang demokrat, kompeten, kemampuannya tinggi. Syahrir untuk pandangannya yang jauh ke depan. Agus Salim, Tan Malaka dengan kerakyatannya. Dia tidak mengenal putus asa untuk memperjuangkan rakyat.”

4 Forum ini dibentuk pada tanggal 16-17 Maret 1991 di desa Cibeureum, Bogor. Diantara

tokoh yang hadir pada pertemuan tersebut adalah Bondan Gunawan, Sutjipto Wirosardjono, Aswab Mahasin, Eko Tjokrodjojo, YB Mangunwijaya, Todung Mulya Lubis, Rahman Tolleng, Kristiya Kartika, Marsilam Simanjuntak, Mimis Sasmoyo, Djohan Effendi, Jaelani Ishaq, Gaffar Rahman, Daniel Dhakidae, dan Mudji Sutrisno. Lihat “Abdurrahman Wahid dkk Bentuk Forum Demokrasi”, Kompas, 4 April 1991, h. 1 dan 5.

5 Abdurrahman Wahid, Tabayun Gus Dur; Pribumisasi Islam Hak minoritas Reformasi Kultural, (Yogyakarta: LKis, 1998), cet. Ke-II, h. 166.

4

Referensi yang demikian kuat dalam dirinya membuat dia mampu

memberikan analisis-analisis terhadap berbagai problem sosial politik dan

keagamaan secara rasional dan cerdas. Atas dasar inilah skripsi ini disusun, yakni

untuk mengetahui sejauh mana ide atau gagasan demokrasi yang dilontarkan Gus

Dur serta aplikasinya dalam pentas politik nasional.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas, terdapat permasalahan yang layak untuk

dikaji, diantaranya :

1. Bagaimana demokrasi difahami dan diaplikasikan dalam konteks

Indonesia, khususnya pada masa Orde Baru?

2. Faktor apa saja yang mengindikasikan sebuah pemerintahan dikategorikan

sebagai pemerintahan yang demokratis dalam pandangan Gus Dur?

3. Upaya apa saja yang telah dilakukan Gus Dur dalam membangun

demokrasi?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dan kegunaan penyusunan skripsi ini adalah :

1. Tujuan

a. Untuk menjelaskan secara rinci pokok pemikiran Abdurrahman Wahid

tentang demokrasi.

b. Untuk mengetahui apa saja yang telah diupayakan Abdurrahman

Wahid dalam membangun demokrasi.

5

c. Untuk menemukan pembenaran tradisi demokrasi dalam ajaran Islam

menurut pandangan Abdurrahman Wahid.

2. Manfaat

a. Penyusunan skripsi ini diharapkan mampu memberikan kontribusi

positif dalam menemukan bentuk demokrasi -yang paling tidak- ideal

untuk saat ini, serta upaya apa saja yang harus dilakukan baik jangka

pendek maupun jangka panjang.

b. Sebagai bahan acuan untuk penelitian lebih lanjut terutama yang

berminat dibidang politik ke-Indonesiaan.

D. Tinjauan Pustaka

Sejauh penelusuran penulis terhadap karya ilmiah yang ada, setidaknya

terdapat beberapa tulisan yang selaras dengan bahasan dalam topik skripsi ini,

seperti:

1. Asep Hikmatillah, Kontroversi Kebijakan Politik Abdurrahman Wahid pada

Era Reformasi, 2006: studi ini menitikberatkan pada kebijakan-kebijakan

politik yang diambil Abdurrahman Wahid ketika menjabat Presiden RI ke-4,

apakah akan membawa perubahan yang lebih baik dengan mengeluarkan

kebijakan yang berpolemik dan kontroversial, atau sebaliknya. Adapun

kebijakan itu antara lain; pencabutan TAP MPR tentang pelarangan ajaran

Komunisme, Marxisme, Leninisme; penghapusan Departemen Sosial dan

6

Departemen Penerangan; penghapusan Badan Pemantapan Stabilitas Nasional

(Bakortanas) dan Lembaga Penelitian Khusus (Litsus).

2. Anshori, Hubungan Sipil-Militer dalam Transisi Demokrasi: Studi Pemikiran

Gus Dur, 2006: studi ini menjelaskan tentang bagaimana seharusnya

menempatkan hubungan sipil-militer dalam sebuah negara yang mengalami

transisi demokrasi paskan jatuhnya Presiden Soehart, hal inni dikarenakan pada

masa itu posisi terbut akan menentukan jalannya proses demokratisasi di

Indonesia terutama masalah kehanan negara RI.

3. Supriyadi, Peran Politik Gus Dur dalam Partai Kebangkitan Bangsa (PKB),

2008: kajian ini berangkat dari opini bahwa PKB adalah Gus Dur, dan bukan

sebaliknya Gus Dur milik PKB, hal ini menimbulkan anggapan bahwa PKB

sangat bergantung pada Gus Dur yang dijadikan panutan dan rujukan oleh

banyak orang dalam menjelaskan persoalan-persoalan umat dan bangsa, baik

itu menyangkut persoalan agama, budaya dan politik hingga ia mendapatkan

penghargaan Nasional maupun Internasional dalam memperjuangkan

demokrasi dan menegakkan HAM.

4. Warno, Pandangan Abdurrahman Wahid terhadap Pancasila sebagai Dasar

Negara, 2009: kajian ini dilakukan untuk menjawab persoalan hubungan antara

agama dan negara dalam pandangan Abdurrahman Wahid, hal ini dilakukan

untuk menemukan makna Pancasila dalam konteks Negara Kesatuan Republik

Indonesia yang terdiri dari banyak suku, ras, agama serta budaya.

Keempat judul diatas merupakan hasil karya yang berbentuk skripsi

mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Filsafat jurusan Pemikiran Politik Islam UIN

7

Syarif Hidayatullah Jakarta. Selain itu, penulis juga banyak menemukan buku

yang menjelaskan tentang pemikiran dan gerakan yang dilakukan oleh Gus Dur,

baik tulisan-tulisan pribadi seperti: Membangun Demokrasi, Bandung:

Rosdakarya, 1996, Mengurai Hubungan Agama dan Negara, Jakarta: Grasindo,

1999, Islam, Negara dan Demokrasi, Jakarta: Erlangga, 1999, Tabayun Gus Dur:

Pribumisasi Islam Hak Minoritas Reformasi Kultural, Yogyakarta, LKis, 1998.

Selain itu, pemikiran Gus Dur pula telah banyak dikaji para akademisi dan

peneliti, baik dari dalam maupun luar negeri. Kajian yang ada, misalnya

membandingkan beberapa tokoh Indonesia, antara Abdurrahman Wahid dan M.

Amien Rais6, serta antara Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholish

Madjid, dan Jalaluddin Rakhmat.7 Adapun kajian yang secara spesifik ditujukan

kepada pemikiran Gus Dur sangat banyak jumlahnya.8

E. Metode Penelitian

1. Pendekatan Penelitian

6 Misalnya karya Aris Saefullah, Gus Dur vs Amien Rais: Dakwah Kultural-Struktural,

Yogyakarta: Laelathinkers, Mei 2003, karya suntingan Arif Affandi, Islam Demokrasi Atas Bawah: Polemik Strategi Perjuangan Umat Model Gus Dur dan Amien Rais, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, serta karya Umaruddin Masdar, Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais Tentang Demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999.

7 Lihat, karya Dedy Djamaluddin Malik dan Idi Subandy Ibrahim, Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rakhmat, Bandung, Zaman Wacana Mulia, 1998, cet. Ke-I.

8 Ahmad Suaedy dan Ulil Abshar Abdala, (ed), Gila Gus Dur: Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid, Yogyakarta: LKis, 2000, Arsyil A’la Al Maududi, Rakyat Indonesia Menggugat Gus Dur, Yogyakarta: Wihdah Press, 2000, Al Zastrauw Ng, Gus Dur Siapa Sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan dan Pernyataan Gus Dur, Jakarta: Erlangga, 1999, Hartono Ahmad Jaiz, Bahaya Pemikiran Gus Dur II: Menyakiti Hati Umat, Jakarta, Pustaka Al Kautsar, 2000, Laode Ida dan A. Thantowi Jauhari, Gus Dur diantara Keberhasilan dan Kenestapaan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999, Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur, Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004, cet. ke-I.

8

Dalam karya ilmiah, metode penelitian merupakan hal yang harus

dipegang untuk mencapai hasil yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Metode dibutuhkan agar penelitian yang dilakukan terlaksana dengan teratur

sesuai dengan prosedur keilmuan yang berlaku. Untuk mencapai maksud ini,

maka secara metodologis penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan

metode deskriptif-analitis.

Pendekatan penelitian kualitatif ini didasarkan pada pertimbangan untuk

menjawab masalah dan tujuan penelitian, yaitu tentang demokrasi dalam

pandangan K. H. Abdurrahman Wahid.

2. Sumber Data

Dalam penelitian ini, sumber data yang bersifat primer adalah buku-buku

atau karya ilmiah yang memuat gagasan atau ide tentang demokrasi dari

Abdurrahman Wahid. Data ini di dukung pula oleh karya para ahli baik melalui

buku maupun karya ilmiah mereka yang mengkaji gagasan dan pemikiran

Abdurrahman Wahid.

3. Analisis Data

Dalam penelitian ini, analisis data dilakukan dengan cara memeriksa

seluruh data yang terkumpul untuk dipilih berdasarkan sub-sub pokok bahasan

dalam proses penelitian deskriptif-analisis

9

Adapun dalam penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada buku,

“Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Desertasi), yang

diterbitkan oleh Ceqda, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2006.

F. Sistematika Penulisan

Dalam penulisan skripsi ini, penyusun menyusunnya ke dalam lima bab.

BAB I yaitu pendahuluan yang menjadi landasan dasar penyusunan skripsi ini.

Dengan membaca bab pertama ini akan dapat diperoleh gambaran apa sebenarnya

yang melatarbelakangi perlunya pembahasan mengenai demokrasi dalam

pandangan K. H. Abdurrahman Wahid serta signifikansinya terhadap khazanah

pemikiran yang telah ada. Dalam bab ini dipaparkan mulai dari latar belakang

masalah, sampai munculnya pokok permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian,

telaah pustaka, pendekatan dan metode yang digunakan dalam penelitian ini serta

sistematika penulisan.

Selanjutnya BAB II, membahas tentang gambaran umum mengenai

demokrasi sebagai kerangka teori dalam sebuah pemahaman yang meliputi:

pengertian, batasan dan parameter demokrasi, demokrasi antara idea dan realitas

serta beberapa varian demokarsi. Penjelasan ini penyusun anggap perlu untuk

mengetahui apa sesungguhnya makna yang terkandung dalam demokrasi.

Pada BAB III, akan di bahas tentang biografi K. H. Abdurrahman Wahid

yang meliputi latar belakang keluarga, pendidikan serta aktivitas kesehariannya,

pemikiran dan aksinya di pentas politik nasional. Hal ini penyusun anggap penting

dikarenakan untuk mengetahui secara komprehensif gagasan dan pemikiran yang

10

dilontarkan Abdurrahman Wahid, terlebih dahulu harus mengetahui bagaimana

situasi dan kondisi lingkungan yang telah membentuk dirinya.

Selanjutnya BAB IV, berisi unsur terpenting demokrasi dalam pemikiran

K. H. Abdurrahman Wahid yang meliputi: kedaulatan hukum, pengakuan Hak

Asasi Manusia, meningkatkan kesejahteraan sosial, pemberdayaan masyarakat

sipil dan penghargaan terhadap pluralitas. Pembahasan dilanjutkan dengan

melakukan analisis kritis terhadap pemikirannya.

BAB V, berisi tentang kesimpulan dan memuat tanggapan serta saran-

saran penulis yang berhubungan dengan obyek studi yang diambil oleh penulis.

Bab ini sekaligus disertai dengan daftar pustaka.

BAB II

TEORI DEMOKRASI:

SEBUAH KERANGKA KONSEPTUAL

Dalam upaya memahami detil pemikiran dan gagasan Gus Dur tentang

demokrasi, akan dijelaskan terlebih dahulu beberapa teori demokrasi yang telah

dikemukakan oleh para teoritisi ilmu sosial. Hal ini dimaksudkan selain untuk

memberikan pemahaman yang komprehensif, juga untuk menemukan korelasi

antara teori dengan praktik demokrasi yang selama ini diperjuangkannya.

Betapapun Gus Dur tidak memberikan penjelasan tentang demokrasi

secara definitif sebagaimana telah dijelaskan pada BAB I, namun terdapat

beberapa doktrin tetap yang disepakati Gus Dur dalam kaitannya dengan

demokrasi, seperti keadilan, persamaan, musyawarah dan pluralitas.

Pada bab ini akan dijelaskan secara singkat sejarah, pengertian, parameter

dan konsep serta varian demokrasi9 yang digunakan sebagai acuan untuk

mengetahui gagasan demokrasi dalam pandangan Gus Dur yang akan di bahas

secara lebih rinci pada BAB IV.

A. Definisi dan Parameter Demokrasi

Sejarah peristilahan “demokrasi” dapat ditelusuri jauh ke belakang.

Konsep ini ditumbuhkan pertama kali dalam praktek negara-kota Yunani dan

9 Pada pembahasan tentang varian demokrasi, penulis berupaya untuk menjelaskan bahwa gagasan dan pemikiran Gus Dur tentang demokrasi tidak masuk pada kategori demokrasi rakyat atau demokrasi liberal, melainkan lebih mengarah pada upaya memaknai demokrasi pancasila secara lebih paripurna sebagaimana akan dijelaskan pada BAB IV.

11

12

Athena (450 SM dan 350 SM). Dalam tahun 431 SM, Pericles, seorang agamawan

ternama dari Athena, mendefinisikan demokrasi dengan mengemukakan beberapa

kriteria: Pertama, pemerintahan oleh rakyat dengan partisipasi rakyat yang penuh

dan langsung. Kedua, kesamaan di depan hukum. Ketiga, pluralisme, yaitu

penghargaan atas semua bakat, minat, keinginan dan pandangan. Keempat,

penghargaan atas suatu pemisahan dan wilayah pribadi untuk memenuhi dan

mengekspresikan kepribadian individu. Dalam zaman yang sama kita pun dapat

berkenalan dengan pemikiran politik Plato, Aristoteles, Polybius, dan Cicero10 –

untuk menyebut sebagian diantara jajaran pemikir masa itu- yang juga meletakkan

dasar-dasar dari pengertian demokrasi.

Dalam perkembangannya kemudian, pertumbuhan istilah demokrasi

mengalami masa subur dan pergeseran ke arah pemoderenan pada masa

kebangunan kembali dan renaissance. Dalam masa ini muncul pemikiran-

pemikiran besar tentang hubungan antara penguasa atau negara di satu pihak

dengan rakyat di pihak lain. Yaitu pemikiran baru dan mengejutkan tentang

kekuasaan dari Niccolo Machiavelli (1469-1527), serta pemikiran tentang kontrak

sosial dan pembagian kekuasaan dari Thomas Hobbes (1588-1679), Jhon Locke

(1632-1704), Montesquieu (1689-1755) dan Jean Jacques Rousseau (1712-

1778).11 Pemikiran-pemikiran dari sejumlah nama besar tersebut telah

memberikan sumbangan yang penting bagi pendefinisian kembali demokrasi.

10 Sukron Kamil, MA., Islam & Demokrasi: Telaah Konseptual & Historis, (Jakarta:

Gaya Media Pratama, 2002), cet. Ke-1, h. 1-2. Lihat Pula Idris Thaha, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan Amien Rais (Jakarta: Teraju, 2005), h. 19-24.

11 Kamil, MA., Islam & Demokrasi, h. 8-10.

13

Satu hal yang kita baca dari berbagai studi penelusuran istilah demokrasi

adalah bahwa demokrasi tumbuh sejalan dengan pertumbuhan dan perkembangan

masyarakat. Semakin tinggi tingkat kompleksitas kehidupan masyarakat maka

semakin rumit dan tidak sederhana pula demokrasi didefinisikan. Salah satu hasil

akomodasi pendefinisian demokrasi terhadap tingkat perkembangan masyarakat

adalah semakin tergesernya kriteria partisipasi langsung rakyat dalam formulasi

kebijakan -yang menjadi kriteria pertama Pericles- oleh model perwakilan.

Dalam kerangka perkembangan ini, kita dapat menelusuri berbagai

pendefinisian demokrasi sebagai sebuah idea politik modern melalui paparan

berikut ini.

Robert A. Dahl dalam studinya yang terkenal mengajukan lima kriteria

demokrasi sebagai sebuah idea politik. Yaitu: Pertama, persamaan hak pilih

dalam menentukan keputusan kolektif yang mengikat. Kedua, partisipasi efektif

yaitu kesempatan yang sama bagi semua warga negara dalam proses pembuatan

keputusan secara kolektif. Ketiga, pembeberan kebenaran yaitu adanya peluang

yang sama bagi setiap orang untuk memberikan penilaian terhadap jalannya

proses politik dan pemerintahan secara logis. Keempat, kontrol terakhir terhadap

agenda, yaitu adanya kekuasaan ekslusif bagi masyarakat untuk menyatukan

agenda mana yang harus dan tidak harus diputuskan melalui proses pemerintahan,

termasuk mendelegasikan kekuasaan itu pada orang lain atau lembaga yang

mewakili masyarakat. Kelima, pencakupan, yaitu terliputnya masyarakat

mencakup semua orang dewasa dalam kaitannya dengan hukum. Dalam

definisinya ini tampak bahwa Dahl mementingkan keterlibatan masyarakat dalam

14

proses formulasi kebijakan, adanya pengawasan terhadap kekuasaan dan

dijaminnya persamaan perlakuan negara terhadap semua warga negara sebagai

unsur-unsur pokok demokrasi.12

Masih dalam kerangka pendefinisian demokrasi yang bersifat umum dan

menyeluruh, Amien Rais memaparkan adanya sepuluh kriteria demokrasi, yaitu:

(1) partisipasi dalam pembuatan keputusan, (2) persamaan di depan hukum, (3)

distribusi pendapatan secara adil, (4) kesempatan pendidikan yang sama, (5)

empat macam kebebasan, yaitu kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan

persurat-kabaran, kebebasan berkumpul dan kebebasan beragama, (6)

ketersediaan dan keterbukaan informasi, (7) mengindahkan fatsoen (tatakrama

politik), (8) kebebasan individu, (9) semangat kerjasama, dan (10) hak untuk

protes.13

Kriteria yang lebih menyeluruh diajukan oleh Gwendolen M. Carter dan

Jhon H. Herz, keduannya mengkonseputalisasikan demokrasi sebagai

pemerintahan yang dicirikan oleh dijalankannya prinsip-prinsip berikut: (1)

pembatasan terhadap tindakan pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi

individu dan kelompok dengan jalan menyusun pergantian pimpinan secara

berkala, tertib dan damai melalui alat-alat perwakilan yang efektif, (2) adanya

sikap toleransi terhadap pendapat yang berlawanan, (3) persamaan di depan

hukum yang diwujudkan dengan sikap tunduk kepada rule of law tanpa

membedakan kedudukan politik, (4) adanya pemilihan yang bebas dengan disertai

12 Robert A. Dahl, Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol (Jakarta:

Rajawali Pers, 1985), h. 10-11. 13 Amien Rais, “Demokrasi dan Proses Politik”, dalam pengantar buku Demokrasi dan

Proses Politik (Jakarta: LP3ES, 1986), h. xvi-xxi.

15

adanya model perwakilan yang efektif, (5) diberinya kebebasan berpartisipasi dan

beroposisi bagi partai politik, organisasi kemasyarakatan, masyarakat dan

perseorangan serta prasarana pendapat umum semacam pers dan media massa, (6)

adanya penghormatan terhadap hak rakyat untuk menyatakan pandangannya

betapapun tampak salah dan tidak populernya pandangan itu, (7)

dikembangkannya sikap menghargai hak-hak minoritas dan perorangan dengan

lebih mengutamakan penggunaasn cara-cara persuasi dan diskusi dari pada koersi

dan represi.14 Sedangkan Clark D. Neher melihat demokrasi dari sudut jaminan

terhadap pluralisme, bagi Neher, demokrasi adalah suatu sistem politik yang di

dalamnya terdapat jaminan bagi setiap elemen pluralitas untuk mengekspresikan

kepentingannya dengan disertai tetap terjaganya kestabilan dan kelangsungan

sistem politik tersebut. 15

Sementara itu, Phillipe C. Schmitter dan Terry Lynn Karl mendefinisikan

demokrasi sebagai suatu sistem pemerintahan dimana pemerintah diminta

tanggung jawab atas tindakan-tindakan di wilayah publik oleh warga negara, yang

bertindak secara langsung melalui kompetisi dan kerja sama dengan para wakil

mereka yang terpilih.16 Pengertian ini menekankan adanya tindakan yang dapat

dipertanggungjawabkan.

Adapun definisi demokrasi menurut David Bheetam adalah sebuah cara

pengambilan keputusan menyangkut aturan dan kebijakan yang mengikat secara

14 Gwendolen M. Carter dan Jhon H. Herz, “Peran Pemerintah dalam Masyarakat Masa

Kini” dalam Miriam Budiardjo, ed., Masalah Kenegaraan (Jakarta: Gramedia, 1982), h. 86-87. 15 Eep Saefulloh Fatah, Pengkhianatan Demokrasi a la Orde Baru: Masalah dan Masa

Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional (Bandung: Rosdakarya, 2000), cet. ke-II, h. 10. 16 Masykuri Abdillah, Demokrasi di Persimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim

Indonesia terhadap Konsep Demokrasi (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999), h. 73-74.

16

kolektif, yang dikenai kontrol dari rakyat. Jadi menurutnya tatanan yang paling

demokratis adalah yang memungkinkan seluruh anggota kolektivitas menikmati

hak yang setara dan efektif untuk ikut ambil bagian secara langsung dalam

pengambilan keputusan semacam itu. Elemen kunci dari definisi ini adalah

kontrol masyarakat dan kesetaraan politis.17

Dalam bahasa yang lebih rinci, Sukron Kamil mendefinisikan demokrasi

sebagai suatu sistem politik dimana pemilu yang jujur dan adil serta accuntability

sebagai intinya. Artinya bahwa dalam demokrasi rakyat berdaulat, tetapi karena

ketidakmungkinan rakyat menjalankan kedaulatannya sendiri dalam negara

nasional yang mempunyai wilayah luas, berbeda dengan city state Athena, maka

kedaulatannya diserahkan kepada wakilnya di parlemen (lembaga perwakilan

rakyat) lewat pemilu yang jujur dan adil. Selanjutnya mengingat dalam demokrasi

pemilu merupakan mekanisme kontrol rakyat, maka wakil-wakil rakyat itu

dipaksa untuk bertanggung jawab jika ia ingin dipilih kembali. Dalam hal ini,

demokrasi memang menjunjung tinggi mayoritas, tetapi bukanlah mayoritasisme.

Dalam demokrasi mesti tercakup kompromi yang adil yang tidak mengganggu

kepentingan minoritas yang paling fundamental. Demokrasi adalah majority rule,

minority right.18 Pengertian ini kemudian dikuatkan oleh Denny Gahral Adian,

yang mengatakan demokrasi adalah sebentuk prosedur yang memaksa kerja sama

politik secara konstitusional19. Prosedur demokrasi tidak membiarkan satu

17 Andres Uhlin, Oposisi Berserak: Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di

Indonesia (Bandung: Mizan, 1998), h. 11. 18 Syukron Kamil, MA., Islam & Demokrasi: Telaah Konseptual dan Historis (Jakarta:

Gaya Media Pratama, 2002), h. 195. 19 Yakni konstitusi yang berbasiskan hak-hak demokratis, prosedur yang meminimalisasi

dominasi, habitus nondominasi dalam kultur politik.

17

kelompok memaksakan satu artikulasi politiknya. Ia juga tidak mengejar

kehendak umum. Prosedur demokratis memaksa berbagai kelompok dengan

ambisi masing-masing mencapai apa yang dalam teori permainan (game theory)

disebut saddle point. Semua kelompok yang terlibat dipaksa untuk sampai pada

titik tawar maksimal yang mana mereka tak bisa menawar lebih dari itu.20

Dalam definisi-definisi demokrasi tersebut di atas, para ahli politik

tersebut tampaknya mementingkan atau mendahulukan keterlibatan rakyat dalam

proses pengambilan keputusan atau kebijakan politik. Rakyat (warga negara) juga

harus mengawasi jalannya keputusan (kekuasaan) dan mendapat jaminan

persamaan perlakuan dalam pengambilan keputusan. Dengan kata lain, sekalipun

terminologi demokrasi memiliki banyak batasan pengertian, namun batasan yang

dikemukakan para pakar politik tersebut tampak menemukan titik temu yang

sama. Yaitu, bahwa demokrasi memiliki doktrin dasar yang tidak pernah berubah.

Doktrin tersebut adalah adanya keikutsertaan anggota masyarakat, yaitu

partisipasi rakyat dalam menyusun agenda politik yang dijadikan landasan

pengambilan keputusan.21

B. Demokrasi; Idea dan Realitas Politik

Demokrasi memiliki dua komponen dasar: substantif dan prosedural.

Komponen pertama adalah landasan normatif yang bermuatan seperangkat nilai-

nilai dasar bagi suatu tatanan (sistem) kehidupan politik dan ketatanegaraan yang

keberadaanya mutlak diperlukan serta membedakannya dengan sistem yang lain.

20 Donny Gahral Adian, “Mengingatkan Demokrasi,” Kompas, 31 Agustus 2006, h. 6. 21 Idris Thaha, Demokrasi Religius: Pemikiran Politik Nurcholish Madjid dan Amien Rais

(Jakarta: Teraju, 2005), cet. ke-1, h. 32

18

Komponen kedua adalah seperangkat tata cara yang dipergunakan agar sistem

tersebut dapat bekerja secara optimal dalam suatu konteks masyarakat tertentu.

Jika komponen yang pertama pada hakekatnya bersifat universal dan permanen,

maka komponen kedua bersifat kontekstual dan bentuknya terus menerus

mengalami perkembangan serta terbuka (open-ended). Kendati keduanya tak

dapat dipisahkan, namun kedua elemen tersebut dapat dibedakan satu dari yang

lain.

Dalam kerangka ini kita membutuhkan definisi yang operasional dan dapat

menterjemahkan demokrasi sebagai ideologi politik ke dalam kriteria-kriteria

praktek politik –terlepas dari tahap transformasi atau gelombang mana demokrasi

itu berada sebagaimana dinyatakan Roberth A. Dahl maupun Samuel P.

Huntington.22

Pertama, partisipasi politik yang luas dan otonom dari seluruh elemen

masyarakat. Pembatasan partisipasi adalah sebuah praktek anti-demokrasi.

Praktek politik demokrasi juga mensyaratkan adanya partisipasi politik yang luas,

dalam arti tidak ada pembatasan dan ekslusifitas dalam penentuan sumber-sumber

rekrutmen politik dan tidak ada pula ekslusifitas dalam formulasi kebijakan-

kebijakan politik.

Kedua, sirkulasi kepemimpinan politik secara efektif dan kompetitif.

Praktek demokrasi mensyaratkan adanya jaminan mekanisme sirkulasi

kepemimpinan politik yang diadakan secara berkala, selektif, kompetitif dan

melibatkan keseluruhan elemen masyarakat dalam prosesnya. Baik keberkalaan,

22 Lihat Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengeritiknya (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), h. x. dan Samuel P. Hantington, Gelombang Demokratisasi Ketiga (Jakarta: Pustaka Grafiti Utama, 1995), h. 4.

19

selektivitas maupun sifat kempetitif dan sirkulasi kepemimpinan politik

merupakan kriteria-kriteria operasional yang amat penting.

Ketiga, kontrol terhadap kekuasaan yang efektif. Sentralisasi kekuasaan

dan akumulasi kekuasaan yang senjang adalah kondisi anti-demokrasi. Kontrol

terhadap kekuasaan ini dinilai efektif manakala ia dijalankan baik oleh

kelembagaan politik formal di tingkat supra struktur (semacam parlemen atau

legislatif dan yudikatif), maupun kelembagaan politik di tingkat infra struktur

(semacam media masa, partai politik, organisasi sosial kemasyarakatan, dan lain-

lain). Di sampang itu, masyarakat secara perseorangan dan kelompok tak-

terorganisasi juga diberikan keleluasaan untuk mengontrol kekuasaan. Dalam

kerangka ini, oposisi adalah prasyarat demokrasi yang penting.

Keempat, kompetisi politik yang leluasa dan sehat dalam suasana

kebebasan. Kompetisi ini meliputi kompetisi antar-elemen masyarakat, elemen

masyarakat dengan elemen negara, antar-elemen-elemen di dalam negara, secara

leluasa dan sehat. Dalam kerangka ini, perbenturan kepentingan dan nilai politik

dimungkinkan terjadi sejauh tidak menjadikan kehancuran bagi sistem politik.

Lain halnya dengan Nurcholish Madjid. Dalam upayanya menterjemahkan

demokrasi sebagai ideologi politik ke dalam kriteria praktek politik, ia kemudian

menempatkannya dalam bahasa budaya, menurutnya demokrasi bukanlah kata

benda, tetapi lebih merupakan kata kerja, sebagai proses demokratisasi.

Demokrasi adalah suatu kategori dinamis. Ia senantiasa bergerak atau berubah.

Kadang negatif (mundur), kadang positif (berkembang maju). Oleh karena itu,

dengan mengutip Willy Eichler, ideolog Partai Sosial Demokrat Jerman, jelasnya

20

kemudian, demokrasi akhirnya menjadi sama dengan proses demokratiasasi.

Sebab itu, suatu negara atau masyarakat dapat disebut demokratis, jika padanya

terdapat proses-proses perkembangan menuju keadaan yang lebih baik dalam

melaksanakan HAM dan menjunjung tinggi nilai keadaban atau civility

(madaniah) dalam bentuk keterikatannya pada supremasi hukum dan peraturan.

Demokrasi dalam hal ini adalah proses melaksanakan nilai-nilai civility

dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Demokrasi adalah proses menuju

dan menjaga civil society (masyarakat madani) yang menghormati dan berupaya

merealisasikan nilai-nilai demokrasi sebagai way of life-nya.23 Yang dimaksud

dengan civil society di sini, pengertianya, bersifat elektik. Yakni sebagaimana

definisi Muhammad AS. Hikam, wilayah-wilayah kehidupan yang terorganisasi

dan bercirikan antara lain; keterikatan pada norma-norma atau nilai hukum yang

diakui, kesukarelaan, keswasembadaan, keswadayaan, dan kemandirian yang

tinggi berhadapan dengan negara.24 Masyarakat yang demikian itulah sebagai

rumah bagi demokrasi. Demokrasi tidak akan tumbuh tanpa adanya masyarakat

yang demikian.

Berikut ini beberapa nuktah penting pandangan hidup demokratis,

berdasarkan bahan-bahan yang sedikit banyak telah berkembang, baik secara

teoritis maupun praktis di negara-negara demokratis yang cukup mapan:25

Pertama, prinsip kesadaran kemajemukan. Yang dimaksud dengan

kesadaran akan kemajemukan (pluralisme) ini tidak hanya suatu kesadaran pasif

23 Nurcholish Madjid, “Transisi ke Demokrasi” dalam Fatsoen Tekad No. 16/th. I, 15-21

Februari 1999. 24 Muhammad AS. Hikam, Demokrasi dan Civil Society (Jakarta: LP3ES, 1996), h. 3. 25 Nurcholish Madjid, “Membangun Rumah bagi Demokrasi Indonesia”, Madani Edisi I,

11-18 Maret 1999.

21

akan kenyataan pluralisme, teapi lebih dari itu. Yaitu disertai dengan usaha aktif

untuk menjaga, menumbuhkan dan mengembangkan segi positif dari pluralisme

ini untuk memperkaya proses-proses berbangsa dan bernegara, untuk suatu tujuan

kebersamaan yang lebih tinggi. Prinsip ini secara jelas mengemukakan bahwa

suatu titik temu bersama sangat diperlukan untuk mewujudkan cita-cita

kebangsaan bersama.

Kedua, prinsip musyawarah. Musyawarah dalam bahasa Arab bermakna

saling memberi isyarat. Dengan keinsyafan ini berarti bahwa ada kedewasaan

dengan tulus menerima kemungkinan untuk berkompromi, bahkan kalah suara.

Semangat yang mendasari keinsyafan ini menuntut agar setiap orang menerima

kemungkinan terjadi “partial functioning of ideals”- pandangan dasar bahwa

belum tentu dan tidak harus, seluruh keinginan atau pikiran seseorang atau

kelompok akan diterima dan dilaksanakan sepenuhnya. Inilah bentuk kompromi

atau ishlah yang perlu dijunjung dalam suatu masyarakat yang sedang menuju ke

demokrasi. Prinsip ini menuntut kedewasaan dalam mengemukakan pendapat,

menerima perbedaan pendapat, dan kemungkinan mengambil pendapat yang lebih

baik. Prinsip musyawarah ini juga menentang monolitisme dan absolutisme.

Ketiga, prinsip cara haruslah sesuai dengan tujuan. Prinsip ini

mengemukakan dasar bahwa suatu tujuan yang baik haruslah diabsahkan dengan

kebaikan cara yang ditempuh untuk meraihnya. Penerapan prinsip ini menuntu

suatu standar moral politik yang tinggi. Dengan kata lain, demokrasi tidak

terbayang tanpa akhlak. Demokrasi juga membutuhkan tingkat kepercayaan yang

22

tinggi, yang membebaskan seseorang atau kelompok dari kekhawatiran yang

berlebihan terhadap orang atau kelompok lain.

Keempat, prinsip pemufakatan yang jujur, ini adalah buah dari penerapan

permusyawaratan yang jujur dan sehat. Dengan begitu, prinsip ini sebenarnya

menolak jenis-jenis pemufakatan yang dicapai melalui perekayasaan, manipulasi,

atau taktik-taktik yang sesungguhnya hanya curang, cacat dan sakit, bahkan

mengkhianati nilai dan semangat demokrasi itu sendiri, yang menuntut ketulusan

dalam proses sosial, di mana perlu pembebasan diri dari vested interest (egoisme)

yang sempit.

Kelima, prinsip pemenuhan kehidupan ekonomi dan perencanaan sosial

budaya. Prinsip ini sangat penting bagi terrealisasinya kehidupan demokrasi. Ada

indikasi langsung antara kemakmuran dan kehidupan demokrasi. Karena itu,

penting sekali suatu perencanaan pemenuhan kehidupan ekonomi rakyat, dan

pemenuhan hak-hak sosial politik yang check list-nya adalah nilai-nilai

kemanusiaan yang universal, seperti Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia.

Keenam, prinsip kebebasan nurani (freedom of conscience). Ini adalah

prinsip dasar dalam politik yang merupakan nilai-nilai asasi dalam demokrasi.

Prinsip ini memperkuat egalitarianisme dan tingkah laku penuh percaya diri pada

itikad baik orang dan kelompok lain. Dengan demikian, prinsip ini meneguhkan

pandangan manusia yang positif dan optimis, yang akan medorong kerjasama

antar warga masyarakat dan saling mempercayai itikad baik masing-masing,

kemudian jalinan dukung-mendukung secara fungsional antara berbagai unsur

kelembagaan kemasyarakatan yang ada, yang merupakan segi penunjang efisiensi

23

untuk demokrasi. Maka atas dasar kebebasan nurani ini pula, pada dasarnya

demokrasi menolak suatu masyarakat yang terpecah belah.

Ketujuh, prinsip perlunya pendidikan demokrasi. Ini adalah hal yang

sangat mendasar. Mengingat demokrasi, seperti yang telah disinggung, merupakan

kata kerja sebagai proses menuju dan mempertahankan demokrasi, maka

demokrasi bukanlah suatu yang akan terwujud bagaikan jatuh dari langit,

melainkan menyatu dengan pengalaman nyata, usaha dan elsperimentasi kita

sehari-hari.

Kriteria-kriteria operasional itulah yang dapat dijadikan ukuran minimal

bagi praktek demokrasi. Dengan praktek politik yang menjamin terlaksananya

kriteria tersebut, maka apa yang disebut Dahl sebagai keunggulan proses

demokrasi dapat terbentuk.26 Yaitu: (1) demokrasi meningkatkan kebebasan

dalam bentuk yang tidak dapat dilakukan oleh alternatif lain manapun, yakni

kebebasan penentuan nasib sendiri secara individual maupun bersama, serta

kebebasan dalam tingkat otonomi moral; (2) demokrasi meningkatkan

perkembangan manusia, dalam hal kemampuannya untuk menentukan nasibnya

sendiri, pemilikan otonomi moral dan pertanggungjawaban terhadap pilihan yang

diambilnya; dan (3) demokrasi merupakan cara yang paling pasti yang dapat

digunakan manusia untuk melindungi dan memajukan kepentingan dan kebaikan

yang sama-sama mereka miliki dan orang lain. Kerangka konseptual seperti

tergambar di atas menjadi pegangan Gus Dur dalam mengungkapkan

26 Robert A. Dahl, Demokrasi dan Para Pengeritiknya (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,

1992), jilid 2, h. 167-168.

24

pemikirannya tentang demokrasi -sebagaimana akan dibahas pada bab

selanjutnya.

C. Varian-varian Demokrasi

Keadaan kultural dan sejarah yang berbeda dari masing-masing negara,

serta perbedaan penekanan pada kebebasan atau persamaan, segi formal atau segi

materil dari demokrasi yang diutamakan menyebabkan tidak ada dua negara di

dunia ini yang betul-betul sama dalam mengartikan dan melaksanakan demokrasi.

Tetapi dari sekian banyak ide atau praktek tentang demokrasi paling tidak dapat

diketengahkan dua faham yang paling penting yaitu demokrasi konstitusional dan

demokrasi rakyat dan ditambah aliran ketiga yaitu demokrasi pancasila yang

dianut di Indonesia.

1. Demokrasi Konstitusional

Demokrasi ini sering juga disebut demokrasi liberal,27 model demokrasi

ini memiliki akar-akar doktrinal dalam liberalisme Jhon Locke, Rousseau,

Montesquieu, Jhon Stuart Mill, Jeremy Beetham dan lain-lain. Demokrasi ini

merupakan demokrasi yang didasarkan pada kebebasan atau individualitas.

Menurut Hans Kelsen, salah seorang pelopor dari aliran ini, negara yang tidak

menjamin kebebasan anggota masyarakatnya bukanlah negara demokrasi. Karena

27 Sistem ini muncul karena adanya ketidakpuasan di kalangan rakyat akan kekuasaan

gereja yang jumud dan anti pembaharuan. Selain itu sistem politik pada masa itu memberikan kesempatan pada kalangan aristokrat, tuan tanah, bangsawan kerajaan memiliki kekuasaan yang besar tanpa batas, sehingga hak-hak dasar rakyat tidak terpenuhi. Lahirnya liberalisme berawal dari negara-negara Eropa Barat pada abad ke 15 dan 16. Baca Prof. Miriam Budiarjo, Dasar-dasar Ilmu Politik (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), cet. ke-19. h. 53-55.

25

itu dia membedakan dua macam negara yaitu negara bebas dan negara yang tidak

bebas. Ciri khas dari demokrasi konstitusional ini ialah bahwa pemerintahnya

terbatas kekuasaannya dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap

warga negaranya. Cara yang terbaik membatasi kekuasaan pemerintah tersebut

ialah melalui suatu konstitusi. Konstitusi menjamin hak-hak asasi warga

negaranya dan menyelenggarakan kekuasaan negara sedemikian rupa sehingga

kekuasaan eksekutif diimbangi oleh legislatif (Parlemen) dan kekuasaan Yudikatif

(lembaga hukum yudikatif).

Setidaknya terdapat empat prinsip yang terkandung dalam demokrasi

liberal. Pertama, kebebasan individual (individual freedom). Dalam demokrasi

liberal, kebebasan individual menempati posisi terpenting sebab kebebasan

merupakan nilai dasar manusia. Dengan memiliki kebebasan, individu akan

menemukan jati dirinya sebagai manusia yang kreatif, kaya inisiatif, kritis dan

lain-lain. Kebebasan dalam pengeritan demokrasi liberal bukanlah kebebasan

yang tanpa batas (total freedom) untuk melakukan apapun yang dikehendaki

individu. Kebebasan individu dapat dibenarkan atau ditolelir sejauh kebebasan itu

tidak mengganggu atau mengancam kebebasan individu lain dalam masyarakat.

Kedua, kontrak sosial. Menurut Michael Margolis, kontrak sosial

merupakan suatu pandangan politik yang sangat liberal. Dalam bentuknya yang

paling revolusioner menurut Margolis kontrak sosial menekankan hak-hak warga

negara dan memberikan pembenaran politis bagi pembentukan lembaga-lembaga

yang dibentuk atas kehendak rakyat. Di sisi lain, dalam bentuknya yang

26

konservatif kontrak sosial menekankan arti pentingnya kepentingan-kepentingan

komunitas, sikap-sikap moderat dan gradualisme.

Ketiga, demokrasi liberal menganut prinsip pasar bebas (free market

society). Dalam demokrasi ini segala sesuatu yang dianggap mempengaruhi

kehidupan individu atau rakyat banyak ditentukan sepenuhnya oleh negosiasi atau

bargaining, proses tawar menawar dari individu atau masyarakat bersangkutan.

Keputusan-keputusan penting ditentukan oleh pasar secara bebas. Dalam bidang

ekonomi misalnya, produk-produk konsumtif ditentukan sepenuhnya oleh

mekanisme pasar bebas.

Keempat, demokrasi liberal mengakui eksistensi pluralitas sosio-kultural

dan politik masyarakat. Perbedaan pandangan, ideologi dan prinsip-prinsip hidup

(way of life) dianggap sebagai suatu kewajaran. Pengakuan terhadap pluralitas itu

tercermin dari sistem kepartaian yang dianut negara-negara demokrasi liberal.

Umumnya negara-negara itu menganut sistem multi-partai (multi-party system)

atau sistem dua partai (two party system). Dalam dua sistem kepartaian pertama

secara implisit mengandung unsur pengakuan terhadap pluralitas sosio-kultural

dan politik masyarakat, sedangkan dalam sistem partai tunggal cenderung

menunjukkan penolakan terhadap keanekaragaman itu.

Dengan adanya lebih dari satu partai, secara implisit juga menunjukkan

bahwa individu diberikan kebebasan untuk menjadi anggota, aktivis, atau

27

memberikan suara kepada satu diantara beberapa partai yang ada dalam pemilihan

umum.28

2. Demokrasi Rakyat

Banyak nama yang sering diberikan pada demokrasi tipe ini, yaitu

demokrasi proletar, demokrasi komunis, marxis komunisme atau demokrasi

Sovyet. Tokoh dari aliran ini antara lain Robert Owens, Saint Simon, Fourier dan

yang terpenting adalah Karl Marx. Masyarakat yang dicita-citakan oleh Marx

adalah masyarakat komunis yaitu masyarakat yang tidak ada kelas sosial dimana

manusia dibebaskan dari keterikatannya kepada milik pribadi dan tidak ada

eksploitasi, penindasan dan paksaan, tetapi anehnya untuk mencapai masyarakat

yang bebas dari paksaan itu perlu melalui jalan paksaan serta kekuatan yaitu

dengan perebutan kekuasaan oleh kaum buruh dari tangan kapitalis. Ucapan Marx

tentang ini ialah kekerasan adalah bidan dari setiap masyarakat lama yang sedang

hamil tua dengan masyarakat baru. Demokrasi rakyat (totalliterisme komunis)

oleh M. Carter dicirikan oleh dorongan untuk memaksakan persatuan,

penghapusan oposisi terbuka dan suatu pimpinan yang merasa dirinya paling tahu

mengenai cara-cara menjalankan kebijaksanaan pemerintah, dan yang

menjalankan kekuasaan melalui suatu elit yang kekal.

Selain apa yang telah dikemukakan di atas, demokrasi komunis memiliki

ciri-ciri lainnya. Demokrasi ini bersifat masyarakat anti pasar. Dalam masyarakat

anti pasar, tidak diperkenankan kebebasan bernegosiasi sesuatu yang

28 Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), cet. ke-II. h. 317-318.

28

memperngaruhi dan menentukan kehidupan individu dalam masyarakat.

Hubungan-hubungan sosial, keagamaan, ekonomi dan politik diatur oleh negara.

Di bidang perekonomian, harga semua produk tidak ditentukan oleh pasar atau

keputusan-keputusan hasil negosiasi, melainkan oleh negara. Kecendrungan ini

menimbulkan ciri lain dari demokrasi komunis, yaitu adanya maksimalisasi peran

negara. Jadi, moralitas ditentukan oleh negara. Maksimalisasi peranan negara

menimbulkan kecendrungan lain dalam negara demokrasi komunis, yaitu kurang

diakuinya privatisasi dan kebebasan sektor-sektor swasta (non-negara) untuk

mengembangkan diri. Hak-hak privat dan dominasi sektor swasta dianggap

kejahatan sosial dan dianggap sumber berbagai ketimpangan sosial ekonomi.29

Pembatasan partisipasi politik merupakan ciri lain demokrasi komunis.

Dalam negara komunis partisipasi politik hanya ditolelir sejak ia mendukung

kekuasaan rezim yang berkuasa. Partisipasi politik yang berbeda dengan aspirasi

pemerintah dianggap sebagai kegiatan ilegal dan kegiatan subversif. Karena

partisipasi politik diperkenankan sejauh dimaksudkan untuk mendukung

penguasa, maka terdapat kecendrungan dimana partisipasi di negara-negara

demokrasi komunis lebih bersifat partisipasi yang dimobilisasi. Kegiatan politik

bukanlah merupakan partisipasi yang benar-benar muncul karena kesadaran diri,

otonom dan sukarela.

Demokrasi komunis juga kurang mengenal kebebasan pers, sebab pers

atau media masa sepenuhnya berada di bawah kontrol kekuasaan. Pers hanya

diperkenankan menyuarakan aspirasi, program dan cita-cita elit penguasa. Maka

29 Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran

Negara, Masyarakat dan Kekuasaan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), cet. ke-II. h. 313.

29

dalam demokrasi komunis, pers tidak bisa disebut sebagai pilar keempat (the

fourth pillar) demokrasi sebab pers, misalnya, tidak bisa secara bebas

menyuarakan pandangan, aspirasi, gagasan dan penyelewengan kekuasaan negara.

Ciri umum lainnya dari negara yang menganut demokrasi komunis adalah

digunakannya sistem partai tunggal dominan (one party system). Di negara

demokrasi komunis tidak dikenal persaingan atau kompetisi partai-partai seperti

yang terdapat dalam demokrasi liberal. Sebab hanya ada satu partai yang

berkuasa. Kalaupun ada partai-partai lainnya, pada umumnya lemah dan tidak

memiliki kekuasaan politik yang memungkinkan mereka bernegosiasi dengan

partai negara yang dominan.30

3. Demokrasi Pancasila

Dalam demokrasi pancasila kebebasan individu tidak bersifat mutlak,

tetapi harus diselaraskan dengan tanggung jawab sosial. Di dalam kebebasan itu

harus selalu melekat tanggung jawab terhadap kepentingan umum dan

kepentingan bersama. Dalam demokrasi pancasila keuniversalan cita-cita

demokrasi dipadukan dengan cita hidup bangsa Indonesia yang dijiwai oleh

semangat kekeluargaan. Dengan demikian dalam sistem dan mekanisme

demokrasi pancasila tidak akan terjadi “dominasi mayoritas” maupun “tirani

minoritas”, sebab konsep mayoritas dan minoritas tidak selaras dengan semangat

kekeluargaan.

30 Suhelmi, Pemikiran Politik Barat, h. 314.

30

Selanjutnya pembagian demokrasi bisa pula dilihat dari sisi

pelaksanaannya. Menurut Inu Kencana, pembagian itu terdiri dari dua model yaitu

demokrasi langsung (direct democracy) dan demokrasi tidak langsung (indirect

democracy). Demokrasi langsung terjadi bila rakyat mewujudkan kedaulatannya

pada suatu negara dilakukan secara langsung. Pada demokrasi langsung lembaga

legislatif hanya berfungsi sebagai lembaga pengawas jalannya pemerintahan,

sedangkan pemilihan lembaga eksekutif dilakukan rakyat secara langsung melalui

pemilu. Begitu juga pemilihan anggota parlemen atau legislatif.

Demokrasi tidak langsung terjadi bila untuk mewujudkan kedaulatan

rakyat tidak secara langsung berhadapan dengan pihak eksekutif, melainkan

melalui lembaga perwakilan. Pada demokrasi tidak langsung lembaga parlemen

dituntut kepekaan terhadap berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan

masyarakat dalam hubungannya dengan pemerintah atau negara.31

31 Tim ICCE UIN Jakarta, Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani (Jakarta: ICCE

UIN Syarif Hidayatullah, 2000), h. 122.

BAB III

BIOGRAFI ABDURRAHMAN WAHID

Memahami gagasan dan pemikiran seorang tokoh, tidak akan tercapai

tanpa mengetahui sosoknya terlebih dahulu secara lebih dekat. Karena

bagaimanapun, faktor keluarga, kondisi sosial, pendidikan dan pergaulan

merupakan hal terpenting untuk mengetahui munculnya gagasan dan pemikiran

dari tokoh tersebut.

Maka untuk memenuhi dan melengkapi hal tersebut di atas, pada bab ini

akan dibahas biografi singkat Gus Dur yang meliputi latar belakang keluarga,

pendidikan, jabatan yang pernah disandangnya serta pola perjuangannya dalam

konteks demokrasi di pentas politik nasional.

A. Pesantren: Dunia Pergumulan Intelektual

Abdurrahman Ad-dakhil Bin Wahid Hasyim Bin Hasyim Asy’ari,32

demikian nama lengkap dari Abdurrahman Wahid yang kemudian lebih dikenal

dengan sebutan Gus Dur, adalah sosok yang lahir dan berkembang dari suatu

kombinasi personal yang tidak lazim, sebagian juga karena faktor-faktor

lingkungan, setidaknya dari latar belakang keluargannya. Sosok yang pernah

menjadi presiden RI ini lahir di Desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada 4

Agustus 1940. Ia adalah putra dari mantan Menteri Agama RI pertaman, KH.

Wahid Hasyim, dengan Ny. Hj. Solehah, dan merupakan titisan langsung dari para

32 Arsyil A’la Al Maududi (peny), Rakyat Indonesia Menggugat Gus Dur (Yogyakarta: Wihdah Press, 2000), h xi.

31

32

kyai besar di Jawa.33 Kakek dari ayahnya KH. Hasyim Asy’ari adalah ulama besar

pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur dan pernah

memangku jabatan Rais Akbar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama.

Sementara itu, kakek dari pihak ibunya, KH. Bisri Syamsuri, juga

pengasuh Pondok Pesantren di Denanyar, Jombang dan pernah memangku jabatan

Rais `Am Pengurus Besar Nahdlatul Ulama. Kedua kakek Abdurrahman Wahid

inilah yang merupakan tokoh dan kiai cikal bakal pendiri organisasi keagamaan

Nahdlatul Ulama (NU), di samping KH. Abdul Wahab Hasbullah.34

Latar belakang keluarga yang demikian membuat ia secara genetik

utamanya berasal dari tradisi pesantren dan merupakan keturunan darah biru.

Meminjam terminologi Clifford Geertz, Abdurrahman Wahid tergolong sebagai

seorang santri dan priyai sekaligus dalam tipologi masyarakat Jawa. Dalam

geneologi yang demikian, tidak diragukan lagi bahwa ia berada pada posisi inti

dalam kosmologi dan emosi komunitas -meminjam istilah Gaffar Karim-

masyarakat NU.35

Gus Dur lahir dan berkembang dalam tradisi pesantren dimana terdapat

relasi yang cukup unik antara kyai dan santri. Menurut Zubaidi Habibullah A.,

siapapun yang pernah mengenyam pendidikan pesantren akan menemukan model

hubungan feodal antara kiai dan santrinya. Dalam tradisi pesantren, santri akan

merasa takut berhadapan dengan kiainya. Jangankan duduk dalam satu forum,

berpapasan dengan kiainya lebih sering menghindar. Bahkan, santri mempunyai

33 Tim Penyusun Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996), jilid V, h. 161. 34 A. Gaffar Karim, Metamorfosis Nahdlatul Ulama: Politisasi Islam Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), h. 95. 35 Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004), h. 68.

33

ketaatan yang cukup kuat terhadap apapun yang dikatakan oleh kiai. Ketaatan ini

kemudian sering disalahfahami oleh orang luar pesantren yang cenderung

menganggapnya sebagai ketaatan yang negatif, Karena dianggap berlebihan dan

fanatik. Meskipun sebenarnya ketaatan yang dipresentasikan oleh para santri

terhadap kiai di pesantren tetap berpijak pada berbagai kajian-kajian kitab-kitab

klasik (kitab kuning) yang banyak di baca dan dipahami oleh kalangan pesantren.

Artinya, ketaatan yang dipresentasikan oleh kalangan santri terhadap kiai

bukanlah ketaatan buta, sebagaimana yang selama ini dipahami, tetapi sebuah

ketaatan pada ‘otoritas keilmuan’.36

Demikian kuatnya posisi Abdurrahman Wahid di tengah keunikan tradisi

pesantren tersebut, sesungguhnya tidak pernah membuatnya ‘terninabobokan’.

Berbagai bentuk pemikirannya justru menunjukkan indikasi yang kuat untuk

melampaui sekat-sekat tradisi yang selama ini menjadi basis intelektualitasnya.37

Bahkan pemikirannya seringkali dianggap lebih modern daripada para pemikir

yang selama ini dianggap atau menganggap sebagai pemikir modern. Tidak

berlebihan bila Greg Barton memasukkan Abdurrahman Wahid sebagai salah

satu pemikir neo-modernis di samping Nurcholish Madjid, Djohan Effendy dan

Ahmad Wahib.

36 Santoso, Teologi Politik Gus Dur, h. 69. 37 Dengan pengetahuan yang dimilikinya, ia telah menulis ratusan artikel di berbagai media masa, baik di Indonesia maupun luar negeri. Bunga Rampai Pesantren (1979) dan Muslim di Tengah Pergumulan (1981) adalah karya-karya yang menjadikan sosok Abdurrahman Wahid dikenal dengan keintelektualannya. Di samping yang telah disebutkan di atas, ada juga Islam, the State and Development in Indonesia (Islam, Negara dan Pembangunan di Indonesia) dan Ethical Dilemmas of Development in Asia (Dilema Etis Pembangunan di Asia) adalah salah satu karya ilmiah Abdurrahman Wahid dalam bahasa Inggris.

34

Sejak kecil Abdurrahman wahid sudah diberi pengetahuan dan

pendalaman agama serta perasaan tanggung jawab terhadap Nahdlatul Ulama. Di

ambang usianya yang masih sangat muda (12 tahun),38 perasaan tanggung jawab

ini secara dramatis semakin menguat ketika harus menyaksikan kematian ayahnya

dalam kecelakaan mobil.

Upaya pengenalan terhadap dunia luar atau sejumlah kelompok sosial

sudah diterapkan oleh kedua orangtuanya baik sebelum maupun sesudah ayahnya

meninggal, yaitu secara periodik Abdurrahman kecil dititipkan dalam asuhan

seorang warga Jerman, teman baik ayahnya yang telah memeluk agama Islam.

Pada waktu itulah ia pertama kali diperkenalkan dengan musik klasik Eropa yang

kemudian menjadi kegemarannya.

Setamat Sekolah Dasar di Jakarta tahun 1953, Abdurrahman Wahid

melanjutkan pendidikannya pada Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP)

di Yogyakarta dan lulus tahun 1957, sambil sesekali belajar mengaji pada KH. Ali

Maksum di Krapyak, walaupun ia sendiri tinggal di rumah pemimpin modernis,

KH. Junaid, seorang ulama yang merupakan anggota Majelis Tarjih

Muhammadiyah.

Pendidikan keagamaan selanjutnya diasah di beberapa pondok pesantren

Nahdlatu ‘Ulama terkemuka, antara lain di pesantren Tegalrejo, Magelang dengan

menyelesaikan waktu belajarnya kurang dari separuh waktu santri pada umumnya

(1957-1959). Dari tahun 1959 hingga 1963, ia belajar di Mu’allimat Bahrul

38 Angka ini diambil dari pengakuan Abdurrahman Wahid dalam Tabayun Gus Dur: Pribumisasi Islam Hak Minoritas Reformasi Kultural (Yogyakarta: LKiS, 1998), h. 152. Berbeda dengan yang dijelaskan oleh Greg Barton dalam Greg Barton dan Greg Fealy (ed), Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara (Yogyakarta: LKiS, 1997), h. 163, A. Gaffar Karim, dan beberapa tokoh lainnya menyebutkan angka 13.

35

‘Ulum, pesantren Tambakberas, Jombang, Jawa Timur kepada KH. Wahab

Hasbullah. Berikutnya ia kembali ke Yogyakarta untuk mondok di pesantren

Krapyak, dan tinggal di rumah pemimpin Nahdlatul ‘Ulama terkemuka KH. Ali

Ma’shum. Setelah itu, ia memperdalam ilmu-ilmu Islam dan sastra Arab di

Universitas al-Azhar, Kairo (Mesir), kemudian pindah ke Fakultas Sastra

Universitas Baghdad (Irak) antara tahun 1966 sampai 1970.39 Di Irak Gus Dur

mendapatkan rangsangan intelektual yang tidak pernah ia dapatkan di Mesir. Di

sana ia merasa menemukan gairah intelektualnya kembali dengan menekuni buku-

buku besar karya sarjana orientalis Barat. Di samping itu, hal yang menarik lagi

adalah perpustakaan universitas yang penuh buku-buku mengenai Indonesia.

Setelah menyelesaikan studinya di Baghdad tahun 1970, Gus Dur berharap

dapat mendaftar di salah satu perguruan tinggi di Eropa. Ia merancang perjalanan

untuk melakukan penjajakan mengunjungi universitas Kohln, Heidelberg, Paris,

dan Leiden. Di setiap tempat tersebut Gus Dur melakukan penjajakan, karenanya

ia menjadi pelajar keliling, berjalan dari satu universitas ke universitas lain.

Akhirnya ia menetap di Belanda dan tinggal di sana selama enam bulan. Selama

tinggal di Belanda, Gus Dur mendirikan Perkumpulan Pelajar Muslim Indonesia

dan Malaysia yang tinggal di Eropa. Organisasi ini sampai sekarang masih hidup.

Perjalanan panjangnya di luar negeri berakhir pada Juni 1971 ketika ia dipanggil

pulang ke Jombang.

Pada tahun 1972, dengan bekal ijazah S1 dari Universitas Baghdad, ia

diangkat menjadi seorang dosen merangkap sebagai Dekan pada Fakultas

39 Greg Barton dan Greg Fealy (ed), Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara (Yogyakarta: LKiS, 1997), h. 163.

36

Ushuluddin di Universitas Hasyim Asy’ari (Unhas) Jombang. Bersamaan dengan

itu, untuk menguji intelektualitasnya dan mengembangkan pemikiran sosial

politiknya, Gus Dur banyak menulis di berbagai media masa nasional.40

B. Dari Memimpin NU Hingga Menjadi Presiden RI

Bila melihat sepak terjang Gus Dur sekembalinya dari pengembaraanya

menuntut ilmu di Timur Tengah dan Barat sampai dengan sekarang ini, rasanya

tidak keliru kiai Wahid memberi nama Abdurrahman ad-Dakhil. Karena Gus Dur

saat ini telah menjadi “penakluk”. Bukan saja karena geneologi pesantren yang

dimilikinya, akan tetapi juga karena kedalaman ilmunya, sehingga mampu

membaca situasi yang sedang berkembang.

Kedalaman keilmuannya itulah yang mendorong KH. Yusuf Hasyim,

pamannya, agar Gus Dur bersedia membantu Pondok Pesantren Tebuireng, ini ia

jalani hingga tahun 1980. selama periode itu secara teratur ia semakin terlibat

dalam kepengurusan NU dengan menjabat Wakil Katib Awal Syuriyah PBNU.

Dari sini, ia mulai sering diundang diskusi-diskusi keagamaan dan kepesantrenan

di berbagai tempat baik dalam maupun luar negeri. Gus Dur pun kemudian terlibat

dan terjun di dunia LSM, menjadi tenaga pengajar pada program training-training,

termasuk untuk tenaga Protestan.41

40 Dalam catatan Hairus Salim dan Nuruddin Amin, Gus Dur pertama kali muncul dalam pentas nasional pada awal 1970-an, tepatnya 1973, ketika salah satu tulisannya mengenai dunia pesantren muncul di media masa ibu kota berpengaruh (Kompas) pada 26 November 1973 yang berjudul “Pesantren dalam Kesusasteraan Indonesia”. Baca H. Fuad Anwar, Melawan Gus Dur (Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa, 2004), h. 9. 41 Tim INCReS, Beyond the Symbol: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000), h. 20.

37

Di kapal besar NU, melalui tawaran pemikirannya yang brilian tentang

“kembali ke khittah 1926” dengan meninggalkan gelanggang politik praktis, Gus

Dur pada tahun 1984 terpilih secara aklamasi oleh sebuah tim ahlul hilli wal

`aqdi, yang diketuai KH. R. As’ad Syamsul Arifin, untuk menduduki jabatan

Ketua Umum PBNU dalam muktamar ke-27 NU di Pondok Pesantren Salafiyah,

Sukorejo, Situbondo.42

Terpilihnya Gus Dur sebagai Ketua Umum PBNU selama tiga periode

bukan berarti perjalanan yang mulus tanpa hambatan. Sifat dan sikapnya yang

kontroversial dan sering dinilai aneh tidak jarang membawa sikap kontra dari

beberapa ulama atau kalangan dalam NU sendiri. Wacana khittah NU dengan

keluar dari PPP yang dibawanya dan kalangan muda saat itu menjadikan rasa

“marah” bagi ulama-ulama lain terutama yang terlibat dalam partai politik di PPP

seperti Idham Chalid, ketua tanfidziyah sebelumnya.

Pada masa kepemimpinannya, Gus Dur membawa NU dalam suasana

dinamis, penuh nuansa wacana dan kritik. Kritik-kritik pedas yang dilontarkannya

kepada pemerintah membawa dampak yang serius terhadap hubungan NU dengan

pemerintah, imbasnya hasil muktamar NU tahun 1994 di Cipasung tidak

“direstui” pemerintahan Soeharto.43

Dalam upayanya menegakkan demokrasi di Indonesia, pada masa

kepemimpinannya Gus Dur melakukan hegemoni terhadap pemerintahan Soeharto

melalui dua pergerakan sekaligus. Pertama, dengan mendirikan Forum Demokrasi

(Fordem) pada dekade awal 90-an. Forum ini merupakan “markas” para cendekia 42 H. Fuad Anwar, Melawan Gus Dur (Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa, 2004), h. 10. 43 Aris Saefulloh, Gus Dur vs Amien Rais: Dakwah Kultural-Struktural (Yogyakarta: Laelathinkers, 2003), h. 71.

38

dan aktifis pro-demokrasi, guna mengelaborasi, merumuskan berbagai ide dan

kritik demokratis, terhadap penyimpangan dan penyelewengan negara. Sebagai

forum urun rembug dan kritik discourse, Fordem tidak merasa melakukan makar,

sebab kritisisme mereka masih terbatas pada pembentukan opini, belum menjelma

gerakan subversif. Hanya saja, betapapun masih sebatas opini, Fordem yang

merengkuh segenap elemen aktivis dari purnawirawan jendral, cendekiawan,

seniman, aktivis, hingga artis, tsb sangat membuat “denyut” status quo kekuasaan

berdetak kencang. Hasilnya, halal bi halal Fordem Mei 1992 di Taman Ismail

Marzuki, “dibredel” aparat, dengan alasan perizinan. Gus Dur-pun tidak jadi

membacakan pernyataan Tumbuhkan Kembali Daya Kritis Masyarakat, sebab

aparat keburu mencurigainya sebagai sebuah langkah awal propanganda politik. 44

Kedua, NU. Pada level ini, Gus Dur telah melakukan transformasi

paradigmatis, dengan mengadopsi kritik “teologi pembebasan” terhadap gerakan

Neo-Marxis, yakni ketidakmampuan dalam melihat agama sebagai potensi

pergerakan berbasis budaya. Merujuk pada Gueterez, 45 Gus Dur kemudian

menjadikan basis primordialisme massa konon 30 juta, berjalinan dengan

ketundukan religius baik kepada jam’iyyah, kyai, maupun Islam.

Di sinilah perlawanan Gus Dur-NU telah menciptakan posisi dilematis bagi

Soeharto. Satu sisi, Gus Dur dan NU dibutuhkan negara sebagai penyeimbang

radikalisme Islam, sehingga negara kemudian membutuhkan kekuatan NU.

Namun, di sisi lain, pergerakan “kaum sarungan” ini terbukti sering membuat

44 Gus Dur dan Suksesi, Forum Keadilan No 02, 14 Mei 1992. 45 Abdurrahman Wahid, Jangan Paksakan Paradigma Luar terhadap Agama, dalam Prisma Pemikiran Gus Dur (Yogyakarta : LKiS, 2000), h. 178-179.

39

“merah telinga” kekuasaan. Satu momen besar yang menjadi rujukan sejarah,

adalah ketika sebagai Ketum PBNU, Gus Dur menggelar Rapat Akbar dalam

rangka Harlah ke-68 NU, pada 1 Maret 1992.46 Terdapat sekitar 150.000 warga

Nahdliyyin memenuhi stadion utama Senayan Jakarta, dengan satu tujuan:

menegaskan kembali kesetiaan NU terhadap Pancasila dan UUD 45 sebagai

ideologi dan falsafah hidup bangsa.

Kenapa penegasan kesetiaan terhadap Pancasila dimunculkan kembali?

Bukankah hal tersebut sudah diselesaikan NU pada Muktamar ke-27 1984? Dalam

kaitan inilah, Gus Dur menggunakan konsep hegemoni Gramsci guna melawan

praktik hegemonik negara. Melalui penegasan kembali, kesetiaan Pancasila, Gus

Dur telah menciptakan war of positions dengan melakukan “perebutan simbolik”

atas legitimasi Pancasila. Secara strategis, Gus Dur telah menghancurkan

monopoli penafsiran negara atas “teks” Pancasila. Hasilnya, muncullah tafsir

populis atas Pancasila dari NU guna mengkritik penyelewengan politik yang

dilakukan negara atas Pancasila. Langkah inilah yang membuat Soeharto tidak

berkutik, sebab Gus Dur dalam melakukan kritik, melandaskan diri pada kesetiaan

dan nilai luhur Pancasila. Hal ini berbeda dengan nasib gerakan Islamis dan

komunis yang dengan gampang dibrangus karena di cap anti-Pancasila.

Demikian juga pada tataran praktis, pernyataan setia terhadap Pancasila,

merupakan penolakan secara halus atas “pemaksaan” Soeharto agar segenap

ormas mendukung pencalonannya kembali sebagai presiden pada Pemilu 1992.

Muhammadiyah sudah melakukan dukungan tersebut. Sementara NU, merujuk 46 Douglas E. Ramage, “Pemahaman Abdurrahman Wahid tentang Pancasila dan Penerapannya”, dalam Ellyasa KH Dharwis, ed., Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil (Yogyakarta: LKiS, 1997), h. 101-124.

40

pada Khitttah 26, tetap berusaha membersihkan diri dari politisasi negara.

Penolakan terhadap pencalonan Soeharto juga disebabkan kritisisme atas praktik

“demokrasi seolah-olah” yang dilakukan negara. Gus Dur secara lantang

menyebut situasi demokrasi Orde Baru hanya “seolah-olah”, sebab tatanan politik

hanya dilandaskan pada manipulasi institusional dan prosedural (pemilu), tetapi

kebudayaan demokratis semisal kebebasan berpendapat dan berserikat dibrangus

secara “tenang tapi mencekam”.47

Itulah potret peran politik Gus Dur yang mengantarkannya pada tampuk

kepresidenan ke-4 RI48 yang merupakan kesinambungan atas pergerakan civil

society vis a vis Soeharto melalui momen reformasi yang meletus akibat “kudeta

massa” mahasiswa pada mei 1998 dan merupakan titik kulminasi dari sekian

rentetan perlawanan kultural yang dilakukan aktifis pro-demokrasi, termasuk Gus

Dur.

C. Perjuangan Kultural: Pemikiran dan Aksi Politik

Oleh karena suatu sistem erat kaitannya dengan budaya masyarakat, maka

satu-satunya jalan menyelamatkan kualitas demokrasi adalah melalui perjuangan

kultural. Yaitu perjuangan yang termanifestasi dalam gerakan moral yang

mengarahkan masyarakat ke arah nilai yang sesuai dengan substansi dan tujuan

47 Abdurrahman Wahid, “Negeri ini Kaya dengan Calon Presiden,” Forum Keadilan, No II, 14 Mei 1992. Lihat juga wawancara Gatra, “Saya ini Makelar Akhirat: Abdurrahman Wahid, Tentang pemilu, Apel 2 Juta umat, dan Suksesi”, Maret 1992, wawancara Forum Keadilan No 8, Tahun II, 5 Agustus 1993, “Saya Menangisi Nasib Rakyat”. 48 Setelah sebelumnya MPR menolak laporan pertanggungjawaban Habibie -wakil presiden yang menggantikan Soeharto.

41

demokrasi. tentu semuanya harus beroperasi dalam bingkai kebangsaan dan

kenegaraan sebagaimana termuat dalam Pancasila.

Perjuangan kultural berbeda dengan perjuangan politik yang bersifat

struktural. Jika perjuangan struktural selalu dikaitkan dengan konsep, ide bahkan

jabatan, dan akuisisi kekuasaan (acquisition of power) serta bagi-bagi kekuasaan,

maka perjuangan kultural lebih kepada pemberdayaan politik yang menempatkan

posisinya sebagai kekuatan kontrol atas proses demokratisasi yang datang dari

kelompok civil society dan berperan dalam mencerdaskan dan memberdayakan

masyarakat.

Perjuangan kultural yang dilakukan Gus Dur ini tampak menonjol ketika

ia menjadi ketua umum PBNU49 dan aktif di berbagai LSM, dimana ia tampil

sebagai seorang pemikir yang kerap memperjuangkan demokrasi. ia

mengungkapkan pentingnya reformasi progresif yang tidak hanya dibutuhkan

sesaat, namun istiqomah dan harus menjadi proses yang berjalan terus-menerus.50

Sebagai pimpinan NU, Gus Dur merupakan tokoh yang paling gigih

memperjuangkan tumbuhnya keharmonisan hubungan antar-agama dalam

kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini terlihat misalnya pada pembelaannya atas

penulis buku Satanic Verses: Salman Rushdie pada tahun 1987 serta

penolakannya untuk menjadi bagian dari Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia

49 Salah satu upaya ril yang dilakukan dalam upaya peningkatan taraf hidup rakyat adalah membangun kerjasama antara NU dengan Bank Summa dalam pendirian Bank Perkreditan Rakyat (BPR) guna memberikan kredit usaha kecil dan menengah kepada masyarakat. Baca “Nahdlatul Ulama “Go Warga,” Tempo, 9 Juni 1990, h. 58. Pada awal 2006, terdapat 2300 BPR yang berperasi di seluruh Indonesia, namun jumlah itu menyusut hingga menjadi 2000 pada akhir 2006 dan terus berkurang tinggal 1767. BPR Nusumma adalah proyek ekonomi NU yang kurang berhasil, meskipun tidak gagal total. 50 Arif Saefulloh, Gus Dur vs Amien Rais: Dakwah Kultural-struktural (Yogyakarta: Laelathinkers, 2003), h. 136.

42

(ICMI). Hal ini dilakukannya dalam upaya menumbuhkan budaya demokrasi dari

bawah. Baginya kebebasan berpendapat adalah sikap mempertahankan hak

berbicara paling gila sekalipun. Mengenai penolakannya menjadi anggota ICMI,

adalah dikarenakan kekhawatiran akan terjadinya eklusifitas agama tertentu –

dalam hal ini Islam- atas agama lain. Karena hal tersebut hanya akan mengancam

sendi utama kehidupan berbangsa, yang tidak harus kembali kepada pertarungan

ideologi era Orde Lama, tetapi sudah harus berpikir untuk bekerja sama demi

memenuhi kebutuhan utama masyarakat.

Sisi lain yang tidak kalah penting dikedepankan dalam konstelasi

pemikiran dan aksi politik Gus Dur adalah pandangannya tentang nilai

kemanusiaan. Pandangan ini telah menjadi titik tolak dalam menelusuri alur atau

paradigma pemikirannya. Baginya, penghayatan atas nilai-nilai kemanusiaan

merupakan inti ajaran agama. Tanpa nilai-nilai tersebut, dunia hanya dipenuhi

oleh berbagai bentuk kekerasan dan konflik sosial. Penekanan pada pemahaman

ini memberikan pendasaran bagi sikap humanisme yang hendak dibangun oleh

Gus Dur.

Humanisme dalam konteks ini adalah adanya penghargaan yang cukup

tinggi terhadap nilai-nilai kemanusiaan yang secara inhern melekat dalam diri

manusia. Penghargaan ini berimplikasi pada diberikannya ruang yang ‘longgar’

atas kebebasan bertindak dan berpikir bagi setiap orang sesuai dengan kualitas

nilai kemanusiaanya. Kondisi ini sangat lekat dalam aksi dam pikiran Gus Dur.

Pembelaanya terhadap Arswendo Atmowiloto dalam kasus heboh Monitor,

dukungannya terhadap agama Kong Hu Cu agar dimasukkan sebagai agama resmi

43

yang diakui negara, pendirian Forum Demokrasi, pembelaanya terhadap Jamaah

Ahmadiyah adalah rentetan panjang penolakannya terhadap perlakuan tidak adil

terhadap minoritas, yang menurutnya bertentangan dengan ajaran agama yang

menjunjung tinggi harkat dan martabat kemanusiaan.

Kecintaanya yang mendalam terhadap kemanusiaan membuat Gus Dur

sangat terkenal dalam melakukan pembelaan terhadap berbagai bentuk penindasan

dan kekerasan, atas nama apapun, terlebih atas nama agama. Ukuran (nilai)

kemanusiaan ini baginya merupakan bentuk pengakuan atas mertabat

kemanusiaan yang harus di junjung tinggi, kapanpun, di manapun bahkan oleh

siapapun. Nilai kemanusiaan menjadi semacam common platform bagi

bertemunya segala bentuk perbedaan yang melatarbelakanginya, baik suku,

bahasa, ras maupun agama.51

Komitmen untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan seolah

menjadi komitmen yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Baginya, penegakan nilai

kemanusiaan adalah bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran agama. Dalam

salah satu tulisannya tampak mempunyai semangat yang besar untuk memberikan

pemahaman baru tentang pentingnya penegakkan nilai kemanusiaan. Berbagai

bentuk pelanggaran terhadap nilai-nilai kemanusiaan justru banyak terjadi di

negara-negara yang menganggap dirinya sebagai pejuang bagi hak asasi manusia

(HAM). Adanya peperangan yang melanda negara-negata di dunia ini adalah

wujud dari meningkatnya kekerasan dalam setiap penyelesaian masalah. Kekrasan

51 Listiyono Santoso, Teologi Politik Gus Dur (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2004), h. 102-104.

44

–disadari atau tidak- adalah bagian dari upaya pereduksian HAM dalam tingkatan

apapun.52

52 Baca Abdurrahman Wahid, “Mencari Prespektif Baru dalam Penegak Hak-hak Asasi Manusia” dalam Prisma Pemikiran Gus Dur (Yogyakarta: LKiS, 2000), cet. ke-II, h. 85-97.

BAB IV

PANDANGAN ABDURRAHMAN WAHID

TENTANG DEMOKRASI

Setelah memahami beberapa teori demokrasi yang telah dijelaskan pada

BAB II dan mengenal lebih dekat sosok Abdurrahman Wahid (Gus Dur) baik latar

belakang keluarga, pendidikan, jabatan yang pernah disandangya serta pola

perjuangannya di pentas politik nasional sebagaimana dijelaskan pada BAB III,

maka dalam bab ini akan dijelaskan secara lebih rinci pokok-pokok gagasan dan

pemikirannya tentang demokrasi yang diharapkan dapat memberikan penjelasan

secara komprehensif.

A. Pilar-pilar Demokrasi

1. Kedaulatan Hukum

Sebuah pemerintahan terbentuk melalui perjanjian yang mengikat antar

seluruh warga negara tanpa kecuali demi terwujudnya keadilan, keamanan dan

kesejahteraan seluruh warga negara. Perjanjian itu dilahirkan dalam bentuk yang

kita kenal dengan konstitusi. Konstitusi berperan sebagai pedoman yang

mengarahkan seluruh komponen bangsa guna mencapai cita-cita bersama. Dalam

sebuah tulisannya Gus Dur menulis:

“Konstitusi pada hakekatnya mengatur tentang kekuasaan dan hubungan kekuasaan di dalam negara, memberi batas tegas pada wewenang kekuasaan negara, dan sekaligus meneguhkan hak-hak warganegaranya, berikut menjamin perlindungan baginya. Keberadaan konstitusi juga dimaksudkan untuk menjamin warganegara dari kemungkinan kesewenang-wenangan kekuasaan negara. Hal ini didasarkan pada

45

46

pemahaman bahwa pemegang kekuasaan memang bisa menyalahgunakan kekuasaan.”53 Dalam tulisannya yang lain, beliau mengatakan bahwa kedaulatan hukum

merupakan hal terpenting yang perlu diperjuangkan seluruh komponen

masyarakat tanpa terkecuali. Hal ini dimaksudkan agar kebutuhan minimal

masyarakat yang berupa terpenuhinya kebutuhan pokok sehari-hari bagi “orang

kecil”. Sebaliknya, bila kebutuhan minimal itupun tidak dapat dijamin, sudah

tentu orang mencari “jalan pintas”: korupsi, manipulasi dan pelanggaran.54

Baginya, memahami hukum haruslah dilihat dari fungsinya, yakni untuk

menciptakan rasa takut akan hukuman jika kejahatan dilakukan –fungsi psikologis

yang berwatak preventif . Lex talionis, hukum berbalasan, bukanlah jiwa

pelaksanaan hukum pada masa modern ini. Tidak seperti zaman pemerintahan

imperial Romawi atau sistem hukum pra modern lainnya.55 Hal inilah yang

merupakan dasar pemahaman Gus Dur tentang makna pentingnya kedaulatan

hukum bagi tegaknya demokrasi di negeri kita.

Dalam berbagai tulisannya tentang pentingnya kedaulatan hukum, Gus

Dur mengajukan beberapa solusi alternatif untuk segera dilakukan dalam upaya

mewujudkannya. Ia menulis,

“….Hanya tentu kita dengan yakin dapat mengatakan, bahwa termasuk dalam proses demokratisasi ialah usaha untuk menegakkan peradilan yang bebas (independent judiciary), juga berwenang mengadili gugatan pelanggaran hak konstitusi warganegara, dan menciptakan suatu instansi penguji kesesuaian peraturan perundang-undangan dengan konstitusi

53 Abdurrahman Wahid, Forum Demokrasi: Sebuah Pertanggungjawaban, sumber tak terlacak, h. 3-5. Lihat pula Syaiful Arif, Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif: Sebuah Biografi Intelektual (Depok: Kukusan, 2009), h. 270. 54 Baca, Abdurrahman Wahid, “Menunggu Setan Lewat,” Tempo, 10 Maret 1984.

55 Wahid, “Menunggu Setan Lewat,” Tempo, 10 Maret 1984.

47

(judicial review), apakah itu Mahkamah Agung atau suatu mahkamah konstitusi tersendiri.”56

Menarik di sini karena pada dekade 1990 tersebut, Gus Dur sudah

meniscayakan urgensi suatu Mahkamah Konstitusi (MK). Satu hal yang kini

terealisir, tetapi tetap dengan fungsi berbeda. Apa yang diharapkan Gus Dur

adalah mahkamah konstitusi yang menjadi pembela rakyat dari penindasan

konstitusional negara. Ini merupakan paradigma kritis atas kecenderungan

proseduralisme demokrasi, yang sayangnya masih terjadi pada Mahkamah

Konstitusi kita saat ini.57

Artinya, wewenang MK yang terbatas pada pemberi fatwa atas

perselisihan lembaga-lembaga tinggi negara, tentu tidak cukup memenuhi harapan

Gus Dur di atas. Bagaimanapun, wewenang tersebut tetap berkutat pada “negara

untuk negara” (state qua state), bukan perlindungan konstitusional dari

penindasan konstitusi. Hal ini memang dilematis, karena situasi politik saat itu,

yakni totaliterisme Orde Baru, membuat Gus Dur perlu memikirkan alternatif

sistem politik. Negara Orde Baru adalah negara Leviathan, yang merasa

bertanggungjawab atas ketertiban politik, dan tentu juga moral, sehingga perlu

untuk menancapkan cengkeraman politiknya, di segenap lini kehidupan.

Betapapun demikian, berdasarkan kutipan tulisan tersebut di atas, menurut

penulis, Gus Dur mengajukan dua solusi konkrit untuk mewujudkan kedaulatan

hukum, diantaranya:

56 Wahid, Forum Demokrasi. h. 2. 57 Chatibul Umam Wiranu, Filsafat Negara Gus Dur, (Naskah Buku, Maret 2009), h.3. Tulisan ini bisa pula di akses di http://www.khatibul-umam.com

48

1. Menegakkan peradilan yang bebas (independent judiciary)

Konstitusi menurut Gus Dur, berfungsi tidak hanya mengatur kekuasaan di

dalam negara, lebih dari itu ia memberikan batas tegas pada wewenang kekuasaan

negara di satu sisi, dan di sisi lain konstitusi meneguhkan hak-hak

warganegaranya serta memberikan perlindungan baginya. Oleh karena itu, untuk

menghindari segala tindakan inkonstitusional, baik melalui keputusan pejabat

ataupun peraturan perundang-undangan perlu ditegakkan sebuah peradilan yang

bebas.58

Argumen diatas pula diperkuat oleh pakar hukum tatanegara Prof. Dr.

Jimly Asshiddiqie, SH. Baginya, adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak

(idependent and impartial judiciary) ini mutlak harus ada dalam setiap negara

hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh

siapapun juga, baik Karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan

uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan

adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilan oleh hakim, baik

intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislatif ataupun dari

kalangan masyarakat dan media masa. Dalam menjalankan tugasnya, hakim tidak

boleh memihak kepada siapapun juga kecuali kepada kebenaran dan keadilan.

Namun demikian, dalam menjalankan tugasnya, proses pemeriksaan perkara oleh

hakim juga harus bersifat terbuka, dan dalam menentukan penilaian dan

menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup di

tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya bertindak sebagai ‘mulut’ undang-

58 Abdurrahman Wahid, Forum Demokrasi: Sebuah Pertanggungjawaban, sumber tak terlacak, h. 3-5. Lihat pula Syaiful Arif, Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif: Sebuah Biografi Intelektual (Depok: Kukusan, 2009), h. 270.

49

undang atau peraturan perundang-undangan, melainkan juga ‘mulut’ keadilan

yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.59

2. Adanya instansi yang melakukan kajian tentang kesesuaian peraturan

perundang-undangan dengan konstitusi (judicial review)

Instansi ini diharapkan akan menjamin terpenuhinya hak-hak warganegara

sekaligus memberikan perlindungan kepada warganegara dari berbagai

penyalahgunaan kewenangan dan kekuasaan negara. Lebih jauh beliau

menjelaskan:

“Konstitusi pada hakekatnya mengatur tentang kekuasaan di dalam negara. Memberi batas tegas pada wewenang kekuasaan negara, dan sekaligus meneguhkan hak-hak warganegaranya, berikut perlindungan baginya. Kita ingin memberikan penekanan pada segi ini, yaitu bahwa konstitusi justru diadakan untuk menjamin warganegara dari kemungkinan kesewenang-wenangan kekuasaan negara. Ini didasarkan faham bahwa pemegang kekuasaan memang bisa menyalahgunakan kekuasaan. Cara mendekati seperti ini;- berlainan dengan kebiasaan yang melihat konstitusi sebagai sumber “pemberi kekuasaan pada negara”-, membuka kemungkinan untuk memahami bahwa kekuasaan negarapun bisa bertindak ‘inkonstitusional’, yaitu ketika ia bertindak melampaui batas kewenangan yang ditetapkan dalam konstitusi. Sehingga suatu pelanggaran atau pengingkaran hak-hak warganegara, bahkan sekedar penghambatannya oleh kekuasaan negara, baik melalui keputusan pejabat ataupun peraturan perundang-undangan sekalipun, tidak lain adalah perbuatan inkonstitusional.”60

Pentingnya Mahkamah Konstitusi (constitutional couts) ini adalah dalam

upaya memperkuat sistem ‘cheks and balances’ antara cabang-cabang kekuasaan

yang sengaja dipisah-pisahkan untuk menjamin atas demokrasi. misalnya,

mahkamah ini diberi fungsi untuk melakukan pengujian atas konstitusionalitas

undang-undang yang nerupakan produk lembaga legislatif, dan memutus 59 Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH., “Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer.” Simbur Cahaya No. 25 Tahun IX Mei 2004. Bisa pula diakses melalui www.fh.unsri.ac.id/old_version/CITANEGARAHUKUMINDONESIA.doc

60 Wahid, Forum Demokrasi: Sebuah Pertanggungjawaban. Sumber tak terlacak.

50

berkenaan dengan berbagai bentuk sengketa antar lembaga negara yang

mencerminkan cabang-cabang kekuasaan negara yang di pisah-pisahkan.

Keberadaan mahkamah konstitusi ini di berbagai negara demokrasi dewasa ini

dianggap penting dan karena itu dapat ditambahkan menjadi satu pilar baru bagi

tegaknya negara hukum modern.61

Dengan uraian di atas menjadi jelaslah bahwa yang dimaksud dengan

penegakkan hukum atau kedaulatan hukum itu kurang lebih merupakan upaya

yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam artian formil yang sempit

maupun dalam arti materil yang luas, sebagai pedoman perilaku dalam setiap

perbuatan hukum, baik oleh para subyek hukum yang bersangkutan maupun oleh

aparatur penegak hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh Undang-

undang untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam

kehidupan bermasyarakat dan bernegara di samping mengukuhkan dan menjamin

hak warganegaranya dari segala bentuk ketidakadilan.

2. Penegakan Hak Asasi Manusia

Hak Asasi Manusia merupakan seperangkat hak yang melekat pada

hakekat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan

merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi

oleh negara, hukum, pemerintah dan setiap orang, demi kehormatan serta

perlindungan harkat dan martabat manusia.62

61 Asshiddiqie, SH., “Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer,” h. 3. 62 Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 Pasal 1 tentang HAM.

51

Komitmen Gus Dur dalam upaya membangun demokrasi pada ranah

penegakan Hak Asasi Manusia tidak diragukan lagi. Ini terbukti dari rentetan

pembelaannya terhadap minoritas yang termarjinalkan baik oleh negara maupun

oleh masyarakat sekalipun. Pembelaannya terhadap Arswendo Atmowiloto dalam

kasus Monitor, dukungannya terhadap agama Kong Hu Cu agar dimasukkan

sebagai agama resmi negara, pendirian Forum Demokrasi, pembelaannya terhadap

Inul Daratista, serta pembelaannya terhadap Jama’ah Ahmadiyah merupakan

contoh nyata kepeduliannya terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Bagi Gus Dur,

penghargaan yang tinggi terhadap nilai-nilai kemanusiaan telah melekat dalam

diri manusia sejak ia dilahirkan, hal ini berimplikasi pada diberikannya ruang

yang longgar atas kebebasan bertindak dan berpikir bagi setiap orang sesuai

dengan kualitas nilai kemanusiaannya.

Komitmen untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan seolah

menjadi komitmen yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Baginya, penegakan nilai

kemanusiaan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ajaran agama. Tanpa

nilai terebut, dunia hanya dipenuhi oleh berbagai bentuk kekerasan dan konflik

sosial. Dalam salah satu tulisannya yang berjudul Mencari Prefektif Baru dalam

Penegakan Hak-hak Asasi Manusia, beliau tampak mempunyai semangat yang

besar untuk memberikan pemahaman baru tentang pentingnya penegakan nilai

kemanusiaan. Itulah sebabnya secara tegas ia menolak segala bentuk kekerasan,

apapun dalihnya. Kekerasan, utamanya yang seringkali diakibatkan dalam ssetiap

peperangan misalnya, merupakan pengingkaran atas HAM. Dengan lugas beliau

menjelaskan:

52

“Hak-hak asasi manusia harus diwujudkan dalam kemampuan menghindarkan umat manusia secara keseluruhan dari kehancuran, dan dengan demikian usaha-usaha perdamaian melalui pelucutan senjata menjadi bagian pokok dari hak asasi manusia.”63

Kemudian dalam melihat hubungan antara Islam dan Pancasila sebagai

dasar negara, beliau mendasarkan hubungannya pada hubungan simbiotik

fungsional, dimana Pancasila dan Islam sama-sama memiliki konsep aplikatif

tentang pengangkatan harkat dan martabat kemanusiaan. Ungkap beliau:

“Pancasila harus mengembangkan wawasan kehidupan yang demokratis, menganut faham perlakuan sama di muka undang-undang dan memperjuangkan keadilan. Demikian pula, pancasila harus mengembangkan watak kehidupan yang berorientasi pada pelaksanaan kedaulatan hukum secara tuntas, menghargai kebebasan berpendapat dan menjamin kebebasan berserikat. Inilah kunci yang dapat disumbangkan Islam kepada ideologi negara. Kunci ini diperoleh dari lima jaminan dasar yang diberikan oleh Islam kepada masyarakat; jaminan keselamatan fisik, keyakinan agama, kesucian keluarga, harta milik pribadi dan keselamatan profesi.”64

Pada tulisannya yang lain, Gus Dur menjelaskan secara panjang lebar

tentang lima prinsip dasar yang diberikan Islam sebagai tolak ukur penegakan

Hak Asasi Manusia. Prinsip pertama, keselamatan fisik warga masyarakat dari

tindakan badani di luar ketentuan hukum. Prinsip ini mengandung arti bahwa

pelaksanaan suatu pemerintahan harus berdasar aturan hukum yang menjamin

perlakuan yang sama kepada setiap warga negara tanpa kecuali sesuai dengan

hak-hak mereka dipandang perlu. Prinsip ini tidak disangsikan lagi sama dengan

63 Abdurrahman Wahid, Prisma Pemikiran Gus Dur (Yogyakarta: LkiS, 2000), hal 78. 64 Abdurrahman Wahid, Islam, Ideologi dan Etos Nasional Indonesia, dalam

Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam (Depok: Desantara, 2001), hal. 179.

53

deklarasi universal hak asasi manusia yang menilai keadilan, kesamaan dan

demokrasi sebagai norma fundamental dalam kebijakan yang demokratis.65

Prinsip kedua, keselamatan keyakinan agama masing-masing, tanpa ada

paksaan untuk berpindah agama. Dalam pandangan Gus Dur, kebebasan khusus

ini bahkan melingkupi keyakinan karena Islam menghargai perbedaan agama dan

tidak mengakui baik pemaksaan (coercion) ataupun keharusan (compulsion)

dalam persoalan agama, termasuk konversi (conversion) keagamaan. Lebih jauh

beliau mengatakan,

“Demikian juga, jaminan dasar akan keselamatan keyakinan agama masing-masing bagi para warga masyarakat melandasi hubungan antarwarga masyarakat atas dasar sikap saling menghormati, yang akan mendorong tumbuhnya kerangka sikap tenggang rasa dan saling pengertian yang besar”.66

Prinsip ketiga, keselamatan keluarga dan keturunan. Prinsip ini merupakan

fondasi etis dan moral yang di atasnya menurut pandangan Islam, suatu

masyarakat yang baik dapat diwujudkan. Hal itu karena dalam Islam kesucian

keluarga merupakan dasar bagi kehidupan masyarakat dan oleh karenanya, sudah

seharusnya keluarga dibebaskan dari manipulasi oleh pihak luar, baik dari

masyarakat maupun negara. Menurutnya, di dalam keluargalah bahwa individu

memulai mengeksplorasi kebebasannya untuk memilih dan mempertanyankan,

termasuk kebebasan untuk mempertanyakan keyakinan agamanya. Keluargalah

yang pertama kali memberikan kesempatan kepadanya untuk menentukan pilihan-

pilihan yang akan mempengaruhi masa depannya. Akhirnya, keluargalah yang 65 Abdurrahman Wahid, Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan (Depok: Desantara, 2001), h. 180. Lihat Pula Muhammad A.S. Hikam, Islam, Demokrasi dan Pemberdayaan Civil Society (Jakarta: Erlangga, 2000), h. 29. 66 Wahid, Pergulatan Negara, h. 181.

54

mampu melestarikan keberadaan kohesi sosial dengan mengintegrasikan

anggotanya ke dalam unit sosial yang lebih besar.67

Prinsip keempat, keselamatan harta benda dan milik pribadi diluar

prosedur hukum. Prinsip ini sangat krusial dalam kaitannya dengan pembentukan

masyarakat modern, modernisasi telah mengakibatkan diferensiasi peranan dan

fungsi sebagaimana halnya proses individualisasi dalam masyarakat. Perlindungan

hak-hak individu vis-à-vis sosial, secara bertahap, menjadi satu dari sekian banyak

kebutuhan yang muncul dalam kehidupan modern. Suatu pembedaan yang tegas

antara sisi publik dan privat diperlukan, sebab kalau tidak pelanggaran hak-hak

individu atas nama kepentingan publik/umum akan terjadi. Salah satu solusinya

adalah mengakui gagasan milik pribadi. Melalui hak inilah individu dapat

menjalankan kebebasan pribadinya dan mengembangkan potensi dirinya sendiri.

Dan juga tindakan-tindakan itu masih berada di dalam batasan-batasan yang

dibentuk oleh masyarakat yang lebih luas.

Prinsip kelima, berhubungan dengan prinsip yang keempat yakni

keselamatan profesi. Hal ini menyiratkan bahwa dalam hal kebebasan individu,

Islam membuka pintu bagi individu anggota masyarakat untuk memilih pilihan

yang dianggap relevan dengan kehidupan seseorang. Prinsip ini secara jelas

menghargai hak seseorang untuk mencapai suatu tujuan sebagai suatu cara

mengekspresikan diri.

Berdasarkan lima prinsip tersebut di atas, sangatlah jelas bahwa terdapat

ruang bagi kaum muslim untuk bekerja sama dengan yang lain dalam

67 Hikam, Islam, Demokrasi dan Pemberdayaan Civil Society, h. 30.

55

mengembangkan hak asasi manusia, khususnya dalam bidang-bidang yang

mereka dapat bersepakat. Dapat disimpulkan bahwa jika kaum muslim mampu

mengembangkan program-program dan tindakan-tindakan berdasar prinsip-

prinsip tersebut mereka akam mampu mengatasi problem yang amat menekan di

bidang hak asasi manusia di sebagian besar negara-negara Islam.68

3. Peningkatan Kesejahteraan Rakyat

Jika demokrasi politik berlangsung di tengah kesenjangan ekonomi yang

tajam antara yang kaya dengan yang miskin, maka (sebagaimana teori

determinisme) yang kaya-lah yang menguasai demokrasi itu. Selanjutnya,

demokrasi hanya dijadikan alat bagi kelas kaya untuk mempertahankan posisinya.

Kelas miskin hanya dijadikan obyek dalam proses politik, dan seringkali menjadi

obyek penindasan kelas kaya terhadap kelas miskin. Maka prasyarat yang harus

dipenuhi adalah terciptanya demokrasi ekonomi atau ekonomi kerakyatan69 baik

konsepsi maupun aplikasinya. Demikian pandangan Gus Dur tentang demokrasi

dalam kaitannya dengan kesejahteraan rakyat.

Sebagaimana diketahui, tujuan didirikannya Negara Kesatuan Republik

Indonesia (NKRI) adalah mewujudkan “kesejahteraan rakyat” atau dalam bahasa

pembukaan UUD 1945 kata kesejahteraan tersebut dirumuskan dengan ungkapan

68 Hikam, Islam, Demokrasi dan Pemberdayaan Civil Society, h. 31.

69 Ekonomi kerakyatan (demokrai ekonomi) adalah suatu sistem ekonomi yang menjamin keterlibatan rakyat sebagai subyek yang mengendalikan jalannya roda ekonomi negara, atau suatu perekonomian yang menjamin dilakukannya “produksi oleh semua, untuk semua, di bawah pimpinan atau kepemilikan rakyat”. Disebut juga demokrasi ekonomi, karena sistem ini mengacu pada pasal 33 UUD 1945. Zaenal Ma’arif, “Ekonomi Kerakyatan di Tengah Arus Kapitalisme Global,” Artikel di akses pada 27 Oktober 2009 di //http.www.scribd.com/doc/19094274/Kwik-kian-gie.

56

lain, yaitu dengan istilah “masyarakat adil dan makmur”. Bagi Gus Dur, upaya ini

memiliki persamaan dengan prinsip maslahah dalam Islam. Kaidah yang

seringkali ia gunakan adalah tasharruf al-imâm ‘alâ arra’iyyah manûtun bi al-

maslahah (kebijaksanaan dan tindakan Imam (pemimpin) harus terkait langsung

dengan kesejahteraan rakyat yang dipimpin). Maka menjadi jelaslah bahwa upaya

mewujudkan kesejahteraan rakyat menjadi bagian integral perjuangan Islam.70

Dalam Islam, masalah kecukupan jelas ada aturannya, yaitu mencapai

perolehan yang tinggi tanpa mencegah orang lain mencapai hal sama. Kesamaan

hak ini perlu mendapat tekanan, karena dalam konsep kapitalisme klasik tidak

pernah dipikirkan tentang gairah mencapai hal yang maksimal, namun senantiasa

manusia lain menjadi korban.71 Bila dalam kenyataanya kemudian manusia tidak

bernasib sama, maka negara berkewajiban menyediakan kompensasi bagi warga

negara yang “kalah” dalam bentuk kecukupan minimal.72

Dalam pandangan Gus Dur, hal pertama yang harus dilakukan dalam

upaya mewujudkan kesejahteraan rakyat adalah perubahan orientasi ekonomi kita

yang tadinya terlalu melayani kepentingan orang-orang kaya, atas kerugian orang-

orang miskin. Perubahan orientasi ekonomi itu terletak pada dua bidang utama,

yaitu pertolongan kepada UKM, Usaha Kecil dan Menengah yang dijalankan

70 Dalam hal ini Gus Dur tidak sepakat dengan gagasan ekonomi Islam yang terlalu

memfokuskan pada aspek-aspek normatif, dan kurang mempedulikan aplikasinya dalam praktek, yang justru diperlukan bagi implementasi nilai-nilai tersebut di masyarakat. Fokus kajian ekonomi Islam menurutnya lebih banyak diarahkan pada persoalan sekitar bunga bank, asuransi dan sejenisnya. Baca M. Syafi’i Anwar, “Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Membingkai Pemikiran Politik KH. Abdurrahman Wahid,” dalam pengantar Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam anda, Islam Kita: Agama, Masyarakat, Negara, Demokasi (Jakarta: the Wahid Institute, 2006), h. xxvi. 71 Ayat yang dikutip Gus Dur dalam menjelaskan hal ini adalah QS. Surat at-Takasur [120]: Ayat 1-2. 72 Abdurrahman Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita: Agama Masyarakat Negara Demokrasi (Jakarta: the Wahid Institute, 2006), h. 172.

57

dengan pemberian kredit yang berbunga sangat rendah sebagai modal

pembentukan UKM tersebut serta upaya mengatasi kemiskinan. Kedua langkah

ini harus disertai pengawasan yang ketat, disamping liku-liku birokrasi, yang

memang merupakan hambatan tersendiri bagi upaya memberikan kredit murah

untuk menolong UKM. Padahal saat ini, apapun yang dilakukan untuk menolong

keduanya, selalu menghadapi hambatan.73

Perubahan orientasi ekonomi itu berarti juga perubahan tekanan dalam

ekonomi kita. Jika sebelumnya penekanan pada bidang ekspor, yang hasilnya

dalam bentuk pajak- sangat sedikit kembali ke kas pemerintah, karena begitu

banyak keringanan untuk kalangan eksportir. Maka, selanjutnya justru harus

diutamakan perluasan pasaran di dalam negeri secara besar-besaran.

Untuk itu, tiga hal sangat diperlukan, yaitu: pertama, peningkatan

pendapatan masyarakat guna menciptakan kemampuan daya beli yang besar.

Kedua, pengerahan industri guna menghidupkan kembali penyediaan barang

untuk pasaran dalam negeri. Ketiga, independensi ekonomi dari yang sebelumnya

tergantung kepada tata niaga internasional.74

Pada tulisan yang lain, Gus Dur mengakui keterbatasannya dalam

memahami sebuah perekonomian, namun demikian ia memahami dua hal yang

menurutnya merupakan hal yang fundamental, yakni pertama, ekonomi adalah

pemenuhan kebutuhan manusia, dan ia memiliki mekanisme sendiri. Selebihnya,

haruslah dirumuskan oleh para ahli ekonomi, dan mereka harus

mempertimbangkan kaitan sebuah perekonomian dengan hal-hal lain dalam

73 Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, h. 207 74 Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, h. 162

58

kehidupan seperti, politik, hukum, teknologi, pasar, agama dan lain-lain. Dengan

kata lain, kebijakan ekonomi (economic policy) tidak pernah sepenuhnya dapat

diterapkan, sehingga harus selalu diingat keterkaitan ekonomi dengan hal-hal lain

dalam kehidupan sebuah negara. Kedua, sebuah perekonomian tidak pernah

terlepas dari perdagangan atau transaksi, baik di tingkat lokal, nasional maupun

internasional, dengan demikian tidak pernah ada tempat untuk memisahkan

perekonomian kita sendiri dari perekonomian global.

Oleh karenanya, globalisasi ekonomi merupakan suatu hal yang niscaya

selagi menghilangkan sifat eksploitatif perusahaan-perusahaan besar atas

perekonomian negara berkembang. Dengan pendekatan non-eksploitatif semacam

itu, tidak dibenarkan adanya perkembangan pasar tanpa campur tangan

pemerintah, minimal untuk terjadinya eksploitasi itu sendiri.75

4. Penghargaan terhadap Pluralitas

Pemikiran tentang pluralisme sejalan dengan spirit demokrasi, bahkan

makin memperkokoh. Keduanya tidak bertentangan, bahkan saling menguatkan.

Namun ancaman kegagalan sebagai sebuah bangsa majemuk akan muncul tatkala

ada perilaku berbagai kelompok yang mendiskreditkan kelompok minoritas

agama, etnik, ras dan golongan.

Untuk memahami peranan dominan Gus Dur di ranah pluralisme, tiga

faktor dominan dapat dipergunakan menakar peranannya, mengapa ia begitu tegar

mempromosikan pluralisme di Indonesia. Pertama, keyakinannya pada nilai-nilai

75 Wahid, Islamku, Islam Anda, Islam Kita, h. 188-190.

59

universal dalam Islam yang menjamin hak-hak semua warga negara. Hal ini

beliau jelaskan:

“Universalisme Islam menampakkan diri dalam berbagai manifestasi penting, yang terbaik adalah dalam ajaran-ajarannya. Rangkaian ajaran yang meliputi berbagai bidang, seperti hukum agama (fiqh), keimanan (tauhid), etika (akhlak, seringkali disempitkan oleh masyarakat hingga menjadi hanya kesusilaan belaka), dan sikap hidup, menampilkan kepedulian yang sangat besar kepada unsur-unsur utama dari kemanusiaan (al-insaniyyah). Prinsip-prinsip seperti persamaan derajat di muka hukum, perlindungan warga masyarakat dari kelaliman dan kesewenang-wenangan, penjagaan hak-hak mereka yang lemah dan menderita kekurangan dan pembatasan atas wewenang para pemegang kekuasaan, semuanya jelas menunjukkan kepedulian di atas.”

Kedua, menjunjung tinggi nilai kosmopolitan, bahwa semua individu dan

kelompok dalam sebuah negara memiliki 'tempatnya' sendiri, dan paksaan

kelompok mayoritas adalah sebuah malapetaka bagi pluralisme dan demokrasi.

Dalam kaitan ini, terma kosmopolitan ini Gus Dur kaitkan dengan universalime

Islam, sehingga keduanya menjadi satu kesatuan: aplikasi dari ajaran Islam yang

universal tidak akan terjadi tanpa watak terbuka terhadap peradaban lain yang

membuat Islam bersikap kosmopolitan. Watak terbuka ini memiliki sejumlah

unsur dominan, seperti hilangnya batasan etnis, kuatnya pluralitas budaya, dan

terciptanya heterogenitas politik. Dengan lugas beliau menjelaskan:

“Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa kosmopolitanisme peradaban Islam tercapai atau berada pada titik optimal manakala tercapai kesimbangan antara kecendrungan normatif kaum muslimin dan kebebasan berfikir semua warga masyarakat (termasuk mereka yang non-muslim).”76

76 Abdurrahma Wahid, Universalime Islam dan Komopolitanisme Peradaban Islam dalam

Pergulatan Negara, agama dan Kebudayaan (Desantara: Depok, 2000), hal. 186.

60

Ketiga, meyakini dan mengakui akan adanya perbedaan dengan tulus,

merupakan faktor yang membuatnya memiliki integritas lintas etnik, agama, ras

dan golongan. Harus diakui, berdirinya negara Indonesia ini, adalah disebabkan

oleh adanya kesadaran berbangsa daripada faktor ideologi Islam, dan inilah

kenyataan yang harus diterima secara obyektif. Karena itulah dia berpendapat

bahwa ajaran Islam lebih baik ditempatkan sebagai komponen yang membentuk

dan mengisi kehidupan bermasyarakat warga negara kita.

Jadi jelaslah, masalah pluralisme adalah masalah bagaimana kaum Muslim

(sebagai mayoritas) mengadaptasikan diri mereka dengan realitas dunia modern.

Hal ini pasti akan melibatkan masalah-masalah bagaimana mereka memandang

dan menilai sejarah Islam, dan bagaimana mereka melihat dan menilai perubahan

dan keharusan membawa masuk nilai-nilai Islam yang normatif dan universal ke

dalam dialog dengan realitas ruang dan waktu.

5. Pemberdayaan Masyarakat Sipil

Keberadaan sebuah civil society dalam masyarakat modern tentu tak lepas

dari hadirnya komponen-komponen struktural dan kultural yang inhern di

dalamnya. Komponen pertama termasuk terbentuknya negara yang berdaulat,

berkembangnya ekonomi pasar, tersedianya ruang publik yang bebas, tumbuh dan

berkembangnya kelas menengah serta keberadaan organisasi-organisasi dalam

masyarakat. Pada saat yang sama, civil society akan berkembang dan menjadi kuat

apabila komponen-komponen kultural yang menjadi landasannya juga kuat.

Komponen tersebut adalah pengakuan terhadap HAM dan perlindungan

61

atasnya, khusunya hak berbicara dan berorganisasi, sikap toleran antar individu

dan kelompok dalam masyarakat, adanya tingkat kepercayaan publik yang tinggi

terhadap pranata-pranata sosial dan politik, serta kuatnya komitmen terhadap

kemandirian pribadi dan kelompok.

Dalam merealisasikan gagasannya tentang urgensi pemberdayaan

masyarakat sipil, ia kemudian mendirikan Forum Demokrasi (Fordem).77 Forum

ini diharapkan dapat menjadi counter balancing (kekuatan penyeimbang) atas

dominasi negara. Hal ini beliau jelaskan:

“Perhatian dan kepentingan para peserta dan pendukung Forum Demokrasi adalah keutuhan bangsa Indonesia, yang ingin selalu dijaga, sambil tetap bergerak dalam proses menuju masyarakat yang lebih dewasa dan lebih maju. Disadari, bahwa ternyata perikehidupan kebangsaan yang utuh itu hanya bisa tercapai dan tumbuh dalam suasana yang demokratis. Atau sebaliknya, suasana tidak adanya demokrasi, suasana kurang kebebasan, justru akan menjadi sumber tumbuhnya sikap-sikap curiga-mencurigai, sikap mementingkan golongan atau kelompok sendiri, dan sikap meninggalkan norma-norma dan acuan umum untuk kemudian menggunakan nilai masing-masing dalam mengukur segalanya.”78

Tidak sampai disitu, Gus Dur masih “membumikan” pemikiran ideal

demokrasinya kedalam gerakan civil society melalui NU dan aktivitas

kecendikiawanannya. Hingga akhirnya menjadi fase bagi Gus Dur untuk

“membelokkan” strategi gerakannya kepada politik praktis dengan mendirikan

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang dilahirkan dari rahim NU.

Banyak yang mempertanyakan pilihan Gus Dur ini, terlebih dari kalangan

anak muda yang telah menjelma gerbong intelektualisme baru NU pasca Khittah

26. Kebingungan tersebut muncul karena Gus Dur selama menjabat PBNU selalu 77 Forum ini didirikan pada 16-17 Maret 1991 di Desa Cibeurum, Bogor. 78 Abdurrahman Wahid, Forum Demokrasi, Sebuah Pertanggugjawaban. Sumber tak terlacak. Hal 1.

62

menggelorakan gerakan unpolitical politics79 (berpolitik tanpa politik), yakni

gerakan kultural sebagai oposisi bagi politik praktis80. Manifesto Khittah 26

merupakan usahanya untuk mengembalikan NU kepada jalur civil society yang

sebelumnya telah dibelokkan oleh kaum politisi NU.

Pilihan Gus Dur untuk terjun dipolitik praktis memang merupakan langkah

kontradiktif. Sebab paradigma antara aktivis pergerakan dengan politisi jelas

berbeda dan cenderung berseberangan. Memang keduanya sama-sama praksis.

Jika merunut pada gerak pembaruan Dunia Ketiga, maka Gus Dur sebagai aktivis

atau intelektual organik, telah melakukan kerja transformative yang tidak berhenti

pada “pembaruan wacana” (layaknya intelektual liberal murni) akan tetapi

melanjutkannya kepada kerja praksis yang masuk dalam kantong-kantong

kebudayaan masyarakat awam.

Sementara kerja politisi, jika merujuk pada konsep politik konvensional

seperti batasan klasik oleh Lasswell (1958) yang mendefinisikan politik sebagai

“siapa memperoleh apa, kapan, dan bagaimana”, atau jika meminjam istilah yang

diselalu dipakai Gus Dur sendiri untuk mendefinisikan politik, yakni politic is the

art of possibility (politik adalah seni kemungkinan), maka praktik politik adalah

bagaimana membuat sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin, sehingga

tolok ukurnya bukan idealitas tetapi kemungkinan dari realitas. Di sinilah

kemudian “permainan” menjadi rule of the game, apalagi jika melihat budaya

politik Indonesia yang dikuasai oleh paradigma Machiavellian yakni struggle to

79 Ulil Abshar-Abdalla, Partai, Civic Education dan Wilayah “Netral Politik”, Tashwirul Afkar, Edisi No 4/1999, hal. 51 80 Term inilah yang kini sudah tidak berlaku lagi, sebab pasca lengsernya Soeharto, Gus Dur menjadi politisi lewat PKB, apalagi pasca lengser kepresidenan, Gus Dur terlihat total masuk dalam politik praktis.

63

power (perebutan kekuasaan), maka kerja politisi jelas kontradiktif dengan

idealisme pergerakan kaum aktivis yang berangkat dari ideal untuk ideal.

Jadi, peran politik yang mengantarkan Gus Dur pada tampuk kepresidenan

ke-4 RI, merupakan kesinambungan atas pergerakan civil society vis a vis

Soeharto. Artinya, moment Reformasi yang meletus akibat “kudeta massa”

mahasiswa pada Mei 1998, merupakan titik kulminasi dari sekian rentetan

“perlawanan kultural” yang dilakukan para aktivis pro-demokrasi, termasuk Gus

Dur.

B. Islam dan demokrasi

Pemikiran demokrasi Gus Dur juga mengalami pergulatan dengan diskursus

Islam. Ini terjadi karena Gus Dur seorang intelektual muslim, dan pernah

memimpin jam’iyyah Islam terbesar, yakni NU. Posisi inilah yang membuat

pemikiran demokrasinya, mau tidak mau harus bersinggungan dengan dua kutub

pemikiran Islam, apakah menolak demokrasi, ataukah menerimanya.

Seperti kita ketahui bersama, Gus Dur tidak konsen pada perdebatan teoritis

tentang demokrasi. Kenapa? Karena yang terpenting dalam demokrasi ialah

menggerakkannya. Perdebatan teoritis akan cenderung melupakan satu fakta,

bahwa demokrasi, melebihi pro-kontra, terlebih harus diwujudkan pada tataran

kehidupan. Pemikiran seperti ini bisa dipahami, karena setting pemikirannya yang

berada di bawah cengkeraman otoritarianisme negara. Jadi segenap pertanyaan

apakah demokrasi yang merupakan produk Barat cocok dengan dunia Timur?

Atau apakah demokrasi yang menganut kedaulatan rakyat searah dengan

64

kedaulatan Tuhan dalam Islam? Segenap pertanyaan tersebut musti dijawab, tetapi

jangan sampai melupakan kebutuhan mendasar, yakni mewujudkan politik

demokratis, vis a vis keangkuhan kekuasaan.

Dari sini kita menjadi faham, kenapa Gus Dur menolak negara Islam.

Bukannya beliau tidak setuju dengan konsepsi tersebut, tetapi cita negara Islam di

negeri ini bersifat diskontekstual, karena dalam real politics, persoalan sebenarnya

adalah pergulatan antara kepentingan negara yang hendak menundukkan ideologi

Islam. Artinya, perdebatan teoritis seputar Islam versus negara-bangsa, tidak

relevan karena yang terjadi lebih kepada pergulatan politik antara rezim negara

yang selalu memanfaatkan agama.

Di sini kita mafhum bahwa Gus Dur merupakan salah satu pioneer dari

penerima konsep dan bentuk negara-bangsa, yang secara otomatis menolak

penyatuan antara agama dan negara. Tentu pada terma ini, Gus Dur bisa

dimasukkan kedalam gerbong sekularisasi, bersama dengan Nurcholis Madjid

(Cak Nur). Hanya saja, konsep sekularisasi yang mensyaratkan disfungsionalisasi

otoritas agama, karena telah diganti dengan otoritas administratif sekular,

sebenarnya tidak cukup mampu menggambarkan detail perbedaan di dalam

konsep pemisahan agama-negara.

Hal ini berangkat dari satu postulat, bahwa terma sekularisasi lebih

mengedepankan aspek “tujuan ideologis” di mana para konseptor negara-bangsa

memiliki tujuan ideologis yang berbeda dan bahkan bertentangan dengan

paradigma keagamaan ideologis. Maka tak bisa dihalangi, Islam sebagai cita-cita

politik harus dipinggirkan, agar cita-cita masyarakat sekular bisa terwujud. Sejauh

65

pembacaan terhadap pemikiran Gus Dur, terma sekularisasi semacam ini menurut

penulis tidak relevan ketika disematkan kepada pemikiran Gus Dur. Hal ini

dikarenakan perumusan sistem negara berdasarkan agama ternyata tidak betul-

betul relevan bagi kebutuhan akan pemenuhan hak-hak bernegara dari

masyarakat. Hal ini dilandaskan Gus Dur pada berbagai kondisi dan syarat faktual

bagi berfungsinya sistem negara yang betul-betul mampu memenuhi

kesejahteraan rakyat. Tuturnya:

“Dengan melihat unsur-unsur yang diperlukan bagi sebuah upaya rekonstruksi teori kenegaraan dari sudut pandangan kontemporer saat ini, tampak bahwa lahan bagi upaya rekonstruksi serupa dari sudut pandangan Islam, tidak begitu menguntungkan. Solidaritas massa, bila digerakkan oleh semangat keagamaan, saat ini cenderung menjadi momok bagi pengembangan pluralitas budaya yang diperlukan bagi komunikasi eksternal kaum muslimin sendiri. Kesenjangan budaya (cultural lag) yang diderita oleh elit keagamaan ummat Islam, baik para ulama, cendekiawan maupun tokoh organisasi massa, cenderung untuk menolak setiap pemecahan masalah dalam kerangka sikap inklusivistik. Demikian juga, kehidupan spiritual kaum muslimin, yang sangat tipis kadar kontemplasinya karena didorong oleh kebutuhan pencarian ‘pemecahan praktis’ (hulul ‘amaliyah, implementable solutions), sangat sedikit memberikan peluang untuk kiprah pemikiran yang berwawasan sangat jauh.”81

Dari paparan ini jelas terlihat bahwa ketidaksetujuan Gus Dur terhadap teori

kenegaraan Islam, serta usaha rekonstruksi atasnya, bukan semata disebabkan oleh

sistem Islam itu sendiri, tetapi sebuah fakta historis yang memperlihatkan bahwa

gelora pengislaman negara, ternyata hanya memasukkan Islam ke dalam

81 Abdurrahman Wahid, Masih Relevankah Teori Kenegaraan Islam? Tinjauan

Kontemporer Atas Prinsip-Prinsip Rekonstruksinya, makalah pada Diskusi Konsep Negara Islam, FH-UII, Yogyakarta, 7 Februari 1988, h., 4

66

fanatisme ideologis, yang tentunya tidak berperan sebagai agama an sich.82 Bagi

Gus Dur, fanatisme ini telah melahirkan dua sikap yang sama-sama

“membahayakan” Islam sebagai agama. Di satu sisi, Islam telah dijadikan

alternatif ideologis berupa doktrin politik: Islam sebagai solusi, yang tentunya

menyimpan potensi konflik dengan “solusi lain” yang ditempatkan sebagai

“jahiliyah modern”. Alih-alih menciptakan maslahat, gelora serba alternatif ini

pasti akan menggeret massa ke dalam pertarungan ideologis, sering dengan

ceceran darah sesama muslim.

Di sisi lain, Islam kemudian hanya dijadikan suplemen bagi proyek

pemerintah non-Islam yang melahirkan satu politisasi agama, bisa melalui praktik

birokratisasi, atau bahkan pemanfaatan suara untuk melegitimasi kebijakan

pemerintah. Kedua posisi ini tentu menjadi penodaan bagi konsep Islam sendiri,

yang sebenarnya penuh dengan cita-cita tentang keadilan serta kesejahteraan

masyarakat.

Fakta inilah yang membuat Gus Dur, apatis dengan usaha rekonstruksi teori

kenegaraan Islam, dikarenakan berbagai problem kontemporer yang tidak akan

bisa diselesaikan hanya oleh batasan konseptual dari perpolitikan agama. Berbagai

problem tersebut merujuk pada bagaimana pelembagaan institusi pemerintah

dibentuk: apakah menganut sistem sentralisasi ataukah desentralisasi? Jenis

hukum formal yang mana, yang akan ditetapkan sebagai sistem hukum nasional,

mengingat terdapatnya potensi meniadakan konsep “hukum lain”, demi

kemapanan satu konsep hukum tertentu? Masyarakat seperti apa yang akan

82 Abdulkadir Kurdi, The Islamic State, New York: Mansell Publishing Limited, 1984, h.,

41-45

67

dibangun: masyarakat tertutup yang menghambat proses distribusi kekuasaan,

ataukah masyarakat terbuka? Hingga model kebudayaan seperti apa yang akan

dituju, apakah kebudayaan monolitik yang tidak menenggang perbedaan, atau

sebuah perhargaan atas dinamika pluralitas? Berbagai problem real yang terdapat

baik dalam struktur kenegaraan, maupun kultur masyarakat inilah yang membuat

rumus teori negara Islam menjadi irrelevant, sebab Gus Dur melihat

pengatasnamaan agama dalam politik, tiada bedanya dengan segregasi ideologis

berbagai isme yang menjadikan kekuasaan ideologinya sebagai tujuan utama

pendirian negara, bukannya realisasi keadilan sosial.

Pada titik ini Gus Dur kemudian merumuskan berbagai prinsip kenegaraan

modern, yang tidak harus terkait dengan teori sistem kenegaraan tertentu,

termasuk sistem Islami. Prinsip tersebut antara lain; (1) sistem pemerintahan yang

secara universal memberikan kedudukan sama di muka hukum, tanpa melihat

asal-usul agama, etnis, bahasa, budaya, maupun keyakinan politiknya. (2) sistem

perwakilan berdasarkan ketentuan satu-orang-satu-suara (one man one vote), yang

akan menjamin kedaulatan rakyat yang tidak akan tertandingi sistem perwakilan

terbatas manapun, (3) hukum nasional yang berlaku untuk semua warganegara,

yang diramu dari unsur-unsur hukum agama, disamping sumber lain, sedangkan

materi hukum agama yang tidak masuk dalam kodifikasi hukum formal (undang-

uandang) berfungsi sebagai etik masyarakat (menjadi fiqh atau hukum agama

Islam), (4) jaminan penuh akan kebebasan berpendapat, berserikat dan menguasai

hak milik, (5) pembagian kewenangan legislatif, eksekutif, yudikatif, dimana tidak

ada satu pihak mencampuri otoritas pihak lain, (6) jaminan untuk

68

mengembangkan keyakinan agama serta menyebarkan ajaran spiritualitas tanpa

ada pembatasan, selama tidak menjurus kriminalitas, (7) jaminan akan kebebasan

melakukan kegiatan ilmiah, perlindungan hukum atas karya-karya ilmiah, dari

tindakan sepihak oleh semua otoritas, termasuk otoritas agama, diluar saluran

pengadilan.83

Pada ranah praksis, hal inilah yang membuat Gus Dur, sebagai Ketua

Umum PBNU saat itu, menerima azas tunggal Pancasila, sebagai azas organisasi

masyarakat, karena di samping hal tersebut merupakan keberpihakan dari ormas-

ormas untuk mencoba keluar dari kepentingan sektarian, menuju pada

kepentingan nasional,84 juga dikarenakan oleh keyakinan bahwa Pancasila tidak

akan mengganti posisi Islam sebagai aqidah. Keyakinan tersebut berangkat dari

satu positioning Islam dalam kehidupan bangsa, yang oleh Gus Dur ditempatkan

pada, pertama, sebagai etika sosial, di mana Islam mampu mengarahkan dan

membentuk moralitas publik, dan kedua melalui penerapan hukum Islam secara

partikular di dalam struktur hukum nasional, salah satunya melalui Departemen

Agama, meskipun lembaga ini ternyata terjebak dalam birokratisasi dan tidak

mampu melakukan pengaturan konflik internal gerakan Islam, sehingga

mengalami kegagapan ketika harus berhadapan dengan dilema Islam dan

modernitas.

Penerimaan Gus Dur atas nama NU memang bersifat historis. Kesejarahan

tersebut menemu ruang dalam penerimaan NU atas bentuk negara-bangsa, yang

83 Lihat Wahid, Masih Relevankah Teori Kenegaraan Islam, h., 5 84 Abdurrahman Wahid, Peranan Organisasi Kemasyarakatan dalam Pembangunan

Politik: sebuah Telaah Awal, dalam Universalisme Islam dan Kosmopolitanisme Peradaban Islam, Arifin Junaidi (penyunting), Edisi terbatas, 1991, h., 57

69

mengindikasikan “selesainya” perdebatan pada level struktur kenegaraan untuk

kemudian lebih mengembangkan perdebatan pada wilayah aplikasi dari eksistensi

kenegaraan demi kesejahteraan rakyat.

Dimulai sejak Muktamar tahun 1935 di Banjarmasin, NU sudah

membuktikan watak moderasinya melalui pemberian status wilayah Hindia-

Belanda sebagai dar al-Islam (negeri muslim) meskipun struktur negara yang ada

adalah negara kolonial-sekular. Penerimaan ini berangkat dari argumentasi, bahwa

negara menjamin kebebasan umat muslim dalam melakukan praktik ibadah,

disamping argumen historis yang menggambarkan kesejarahan kerajaan-kerajaan

Islam Nusantara, yang hingga kini masih memberikan bekas kultural dalam tradisi

keagamaan dan kekuasaan muslim Nusantara. Konsekuensi dari penerimaan ini

adalah, wajibnya umat muslim untuk mempertahankan wilayah tersebut dari

penjajahan, sehingga sejak saat itu, perlawanan terhadap kolonialisme selalu

mengemuka, baik yang dilatarbelakangi oleh berbagai kebijakan anti-Islam dari

pemerintah Belanda, maupun fatwa Resolusi Jihad Kyai Hasyim Asy’ari, untuk

mempertahankan kemerdekaan pada Oktober 1945.

Dari momen sejarah ini, maka tanggapan Islam atas bangunan negara-

bangsa, menemu pada dua ruang. Pertama, Islam mensyaratkan kebebasan bagi

kaum muslim untuk melaksanakan ajaran agama, sebagai conditio sine qua non

bagi penerimaan Islam atas eksistensi negara tersebut. Kedua, Islam membiarkan

hal-hal yang berhubungan dengan bentuk negara, sistem pemerintahan, orientasi

warga negara dan ideologi politik, ditentukan oleh proses sejarah. Dengan

demikian, pola yang berkembang adalah wawasan kebangsaan yang dijalin

70

dengan orientasi cukup kuat, sehingga keduanya tidak saling menolak, tetapi

saling mendukung dalam batas dan ruang yang ditentukan secara proporsional.

C. Analisis Pemikiran Abdurrahman Wahid tentang Demokrasi

Secara faktual, latar belakang yang melingkupi pemikiran dan gerakan

politik Abdurrahman Wahid (Gus Dur) adalah otoritarianisme pemerintahan Orde

Baru. Sebuah pemerintahan yang menjadikan institusi demokrasi sebagai

pemberangus hakikat demokrasi. Artinya, institusi dan prosedur yang semestinya

ditempatkan sebagai mekanisme demokratis ternyata menjadi tujuan di dalam

dirinya sendiri. Dari realitas politik inilah gagasan demokrasi Gus Dur lahir.

Dengan menjadikan demokrasi institusional sebagai kritik dengan istilah

yang ia lontarkan sebagai “demokrasi seolah-olah”, Gus Dur kemudian

menambatkan solusi praksisnya pada dua ranah sekaligus, struktural dan kultural.

Pada ranah struktural, Gus Dur menggagas pentingnya kedaulatan hukum yang

diwujudkan dengan upaya menegakkan peradilan yang bebas dan menggagas

lahirnya Mahkamah Konsitusi, penegakan Hak Asasi Manusia dan peningkatan

kesejahteraan rakyat melalui pemberdayaan ekonomi rakyat. Ketiga hal ini

diharapkan akan mampu mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi selluruh

rakyat Indonesia.

Pada ranah kultural, Gus Dur menggagas pentingnya penghargaan

terhadap pluralitas sebagai wujud penghargaan terhadap keragaman budaya,

bahasa serta agama dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia serta

pemberdayaan masyarakat sipil yang pada akhirnya diharapkan akan mampu

71

melakukan mekanisme kontrol terhadap kekuasaan sebagai mekanisme

demokrasi.

Dari penolakan terhadap paham institusionalisme dalam demokrasi, Gus

Dur kemudian menekankan pada aspek infrastruktur demokrasi, yakni budaya

keadaban (civic culture) yang menopang terjadinya demokratisasi, baik oleh

negara kepada rakyat maupun sebaliknya. Konsep Gus Dur ini mengarah pada

definisi demokrasi sebagai apa yang dipikirkan masyarakat tentang demokrasi itu

sendiri. Artinya, segala kelembagaan demokrasi seperti parlemen, pemerintah

ekskutif, hukum, dan pers, tidak akan mampu dan bahkan bisa menjadi musuh

dari demokrasi, ketika demokrasi belum mampu merasuk dalam relung budaya

masyarakat.

Landasan seperti inilah yang membuat Gus Dur Concern terhadap

pemberdayaan civil society dalam tubuh besar jama’ah Nahdlatul Ulama (NU).

Gus Dur menjadikan NU sebagai eksperimentasi penciptaan “kantong-kantong”

masyarakat sipil, seperti penciptaan lembaga-lembaga ala NGO di NU, penguatan

tradisi lokal masyarakat, serta penumbuhan gelombang intelektualisme anak muda

NU. Organisasi ini kemudian menjelma menjadi kekuatan civil society yang

berhadapan vis a vis negara.

Gus Dur selalu menjadikan Pancasila sebagai point of view dalam semua

aksi dan pemikirannya, baik ketika berhadapan dengan monopoli idiologi oleh

negara, maupun dengan ideiologisasi Islam kaum skriptualis. Ketika negara

menciptakan hegemoni ideologi dengan menciptakan azas tunggal Pancasila, Gus

Dur kemudian “merebut” Pancasila dari rezim Orde Baru yang telah melakukan

72

monopoli dengan memberagus ideologi selain Pancasila, serta menciptakan

penafsiran sepihak dan memaksakannya melalui represifitas birokrasi dan militer.

Ketika Orba mengharamkan Marxisme-Leninisme hidup di Indonesia, demikian

juga dengan Islam ideologis, lewat penggantian azas Islam Partai Persatuan

Pembangunan (PPP) dengan Pancasila, Gus Dur menggunakan pengakuan

pluralisme dari Pancasila untuk menghantam balik totalisme Pancasila a la

Soeharto.

Memang, sepribumi apapun demokrasi Gus dur, ia tetap menggunakan

parameter asli demokrasi (liberal), yakni konstitusi. Azas negara yang merupakan

landasan konstitusional demokrasi modern tersebut, digunakannya sebagai

bumerang untuk mengkritik manipulasi demokrasi yang dilakukan pemerintah.

Hal ini juga terlihat dalam praktik kenegaraanya ketika menjabat Presiden RI ke-

4. Ia berulang kali menggunakan konstitusi sebagai argument penyeimbang bagi

serangan-serangan lawan politiknya. Bahkan Dekrit Presiden kontroversial yang

dideklarasikan untuk membekukan parlemen menjelang kejatuhannya, merupakan

kekokohannya memegang prinsip konstitusi.

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Praktik demokrasi yang telah berlangsung beberapa dekade di Tanah Air

ini membuktikan bahwa masyarakat Indonesia, khususnya kalangan Muslim, telah

melakukan ‘uji coba’ untuk mewujudkan demokrasi. Perjalanan dan

perkembangan demokrasi di Indonesia berlangsung fluktuatif. Kadang sesuai

dengan jalur demokrasi yang sebenarnya, dan kadang pula menyimpang dari jalan

demokrasi yang sesungguhnya. Namun yang jelas, Indonesia telah berusaha

mengalami dan merasakan ‘pahit-manis’ nikmatnya berdemokrasi. Dalam wacana

demokrasi, nama Abdurrahman Wahid merupakan salah satu tokoh yang ikut

mewarnai wacana demokrasi di Indonesia.

Dari seluruh pembacaan Abdurrahman Wahid terhadap konsep demokrasi,

baginya tidaklah penting bagaimana demokrasi tersebut didefinisikan, tapi

sebaliknya, bagaimana demokrasi itu bisa berjalan. Konsep kedaulatan hukum,

penegakan Hak Asasi Manusia, Peningkatan kesejahteraan rakyat, pentingnya

pemahaman tentang pluralitas serta pemberdayaan masyarakat sipil baginya

merupakan elemen-elemen terpenting yang harus terpenuhi dalam mewujudkan

pemerintahan demokratis. Dalam konteks ini pula, agama (Islam) tidak harus

dijadikan sebagai tujuan perjuangan politik secara formal, tetapi lebih diarahkan

kepada prilaku sosial yang menjunjung tinggi nilai keadilan, persamaan dan

demokrasi sebagaimana terebut diatas. Hal ini dikarenakan untuk menemukan

73

74

format perjuangan seluruh elemen negara dan masyarakat bangsa secara bersama-

sama guna mencapai cita-cita bersama sebagaimana tertulis dalam Undang-

undang Dasar 1945.

Akhirnya, merujuk kepada Abdurrahman Wahid bukan berarti mengikuti

segenap pikiran dan tindakannya, tapi hanya mendukung referensi pemikiran yang

diwakili olehnya yaitu: kebangsaan, sekularisasi, demokrasi, dan transformasi

sosial. Keberpihakan kepada Abdurrahman Wahid adalah keberpihakan pada level

sistem pemikirannya dan bukan pada level aksi dan kebijakannya sebagai aplikasi

terhadap sistem tersebut. Kita berpihak pada gagasannya tentang negara

kebangsaan, dan bukan negara Islam atau model negara “Piagam Jakarta”, di

mana ia sering mengutip ajaran Soekarno dan Renan tentang makna berbangsa.

Kita juga berpihak pada Abdurrahman Wahid ketika berbicara tentang

desentralisasi dan minimalisasi peran negara menjadi “negara pengurus dan

fasilitator”, bukan negara penguasa seperti di masa Orde Baru. Maka, kita

mendukung kebijakannya membubarkan Departemen Penerangan, Departemen

Sosial, dan Kementrian Pemuda dan Olahraga. Tapi kita perlu menentang

beberapa kebijakannya yang bertentangan dengan sistem pemikiran yang

diwakilinya. Misalnya mempertahankan keberadaan Departemen Agama, dan

Kementrian Negara Pemberdayaan Perempuan. Soalnya urusan agama dan

perempuan adalah urusan masyarakat, dan bukan urusan negara. Padahal dulu

kalangan NU dikenal gencar mengkritik keberadaan Departemen Agama yang

dinilai diskriminatif terhadap agama diluar Islam dan bahkan menindas agama-

agama lokal. Tapi, karena sekarang yang malah menggarap Departemen Agama

75

adalah orang-orang NU, maka suara-suara pembubaran yang pernah

dilontarkannya pun jadi terlupakan.

B. Saran

Dari pembacaan atas gagasan dan pemikiran Gus Dur, secara kritis,

tampak ada beberapa pertanyaan yang layak diajukan padanya. Pertama, dalam

banyak hal, beliau masih menyisakan berbagai bentuk penjelasan yang belum

tuntas. Berbagai tulisannya tidak lebih dari sekedar kumpulan perenungan yang

bersifat kasuistik dan hanya dituliskan dalam empat sampai delapan halaman. Hal

ini meskipun di satu sisi merupakan kelebihannya dalam pembacaan atas realitas

yang terjadi, namun di sisi lain persoalan kenegaraan dan kebangsaan merupakan

contoh kasus yang bersifat mendasar dan oleh karenanya perlu dilakukan

pembahasan yang panjang dan menyeluruh. Oleh karena itu masih diperlukan

kajian akademik atas pemikiran Gus Dur agar dapat ditindaklanjuti kebenarannya

serta merumuskannya kembali secara lebih sistematis dan komprehensif.

Kedua, bila melihat kekukuhan Gus Dur “menjadi negara” untuk yang

kedua kalinya menurut penulis sangatlah dilematis. Ini dikarenakan ia telah

terjebak dalam pluralisme politik. Satu kondisi paska otoritarianisme yang

memposisikan negara secara bebas nilai, di mana ia hanya ruang terbuka untuk

menampung dan oleh karenanya menyediakan diri untuk diperebutkan berbagai

kepentingan. Hal ini berakibat pada pergeseran pola perjuangan, dari kultural

menuju struktural partai politik yang tentunya diarahkan untuk menguasai atau

setidaknya menghadapi negara. Maka sebagai konsekuensinya, ia akan kehilangan

76

basis kulturalnya. Satu hal yang tidak sepenuhnya bisa disediakan partai politik

karena memang infrastrukturnya berbeda. tetapi untuk membuktikan

kebenarannya, perlu penelitian lebih lanjut.

Ketiga, ketika kita bermufakat untuk menjadikan pancasila sebagai dasar

negara kita, maka keragaman bangsa Indonesia menjadi penting untuk

dipertimbangkan dalam upaya memahami teks-teks keagamaan agar senantiasa

mampu merespon tuntutan sejarah. Oleh karena itu, reinterpetasi atau pemahaman

kembali terhadap teks-teks keagamaan diperlukan untuk selalu menjaga relevansi

teks tersebut dengan realitas sosial yang terus berubah. Hal inilah yang perlu

menjadi perhatian kita bersama, baik saat ini maupun di masa yang akan datang.

77

DAFTAR PUSTAKA

A. Dahl, Robert. Dilema Demokrasi Pluralis: Antara Otonomi dan Kontrol. Jakarta: Rajawali Press, 1985.

− − − − −. Demokrasi dan Para Pengeritiknya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992.

A’la Al Maududi, Arsyil. Rakyat Indonesia Menggugat Gus Dur. Yogyakarta: Wihdah Press, 2000.

Abdillah, Maskuri. Demokrasi di Persimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim Indonesia terhadap Konsep Demokrasi. Yogyakarta: Tiara Wacana, 1999.

Affandi, Arif. Islam Demokrasi Atas Bawah: Polemik Strategi Perjuangan Umat Model Gus Dur dan Amien Rais. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996.

Al Zastrauw Ng. Gus Dur Siapa sih Sampeyan? Tafsir Teoritik atas Tindakan dan Pernyataan Gus Dur. Jakarta: Erlangga, 1999.

Anwar, Fuad. Melawan Gus Dur. Yogyakarta: Pustaka Tokoh Bangsa, 2004.

Arif, Syaiful. Gus Dur dan Ilmu Sosial Transformatif: Sebuah Biografi Intelektual. Depok Kukusan, 2009.

AS. Hikam, Muhammad. Demokrasi dan Civil Society. Jakarta: LP3ES, 1996.

− − − − −. Islam, Demokrasi dan Pemberdayaan Civil Society. Jakarta: Erlangga, 2000.

Asshiddiqie SH., Jimly. “Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer.” Simbur Cahaya No. 25, Mei 2004.

Barton, Greg dan Greg Fealy, ed. Tradisionalisme Radikal: Persinggungan Nahdlatul Ulama-Negara. Yogyakarta: LKiS, 1997.

Budiarjo, Miriam, ed. Masalah Kenegaraan. Jakarta: Gramedia, 1982.

− − − − −. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998.

Djamaluddin Malik, Dedi dan Idi Subandy Ibrahim. Zaman Baru Islam Indonesia: Pemikiran dan Aksi Politik Abdurrahman Wahid, M. Amien Rais, Nurcholis Madjid, Jalaluddin Rakhmat. Bandung: Zaman Wacana Mulia, 1998.

Huntington, Samuel, P.. Gelombang Demokratisasi Ketiga. Jakarta: Pustaka Grafiti Utama, 1995.

Ida, Laode dan A. Thantowi Jauhari. Gus Dur diantara Keberhasilan dan Kenestapaan. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1999.

78

Kamil, Sukron, MA. Islam & Demokrasi: Telaah Kondeptual & Historis. Jakarta: Gaya Media Pratama, 2002.

Karim, A. Gaffar. Metamorfosis Nahdlatul Ulama: Politisasi Islam Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995.

K. H. Dharwis, ed. Gus Dur, NU dan Masyarakat Sipil. Yogyakarta: LKiS, 1997.

Ma’arif, Zaenal. “Ekonomi Kerakyatan di Tengah Arus Kapitalisme Global,” Artikel di akses pada 27 Oktober 2009 di //http.www.scribd.com/doc/19094274/Kwik-kian-gie.

Madjid, Nurcholish. “Membangun Rumah bagi Demokrasi Indonesia.” Madani Edisi I, Maret 1999.

− − − − −. “Transisi ke demokrasi.” dalam Fatsoen Tekad No. 16/th. I, 15-21 Februari 1999.

Masdar, Umaruddin. Membaca Pikiran Gus Dur dan Amien Rais tentang Demokrasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar 1999.

Noor, Irfan. “Jaringan Pondok Pesantren Se-kalimantan Selatan: Sebuah Usaha Menegakkan Pilar Masyarakat Sipil,” artikel diakses pada 10 September 2009 di //http:www.scribd.com/doc/7850893/Pesantren-Dan-Masyarakat-Sipil

Rais, Amien. Demokrasi dan Proses Politik. Jakarta: LP3ES, 1986.

Saefullah, Aris. Gus Dur vs Amien Rais: Dakwah Kultural-Struktural. Yogyakarta: Laelathinkers, 2003.

Saefulloh Fattah, Eep. Pengkhianatan Demokrasi a la Orde Baru: Masalah dan Masa Depan Demokrasi Terpimpin Konstitusional. Bandung: Rosdakarya, 2000.

Santoso, Listiyono. Teologi Politik Gus Dur. Yogyakarta: AR-RUZZ, 2004.

Siner Key Timu, Cris. “Selesaikan Pelanggaran Berat HAM.” Artikel diakses pada 11 Juli 2009 dari http://www.dephumkam.go.id./NR/rdonlyres/9AF30E4B-81FD-4F9F-97CE-5D9E6273602D/0/selesaikanpelanggaranham.pdf

Suaedy, Ahmad dan Ulil Abshar Abdala. Gila Gus Dur: Wacana Pembaca Abdurrahman Wahid. Yogyakarta: LKiS, 2000.

Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikiran Negara, Masyarakat dan Kekuasaan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004.

Thaha, Idris. Demokrasi Religius: Pemikiaran Politik Nurcholish Madjid dan Amien Rais. Jakarta: Teraju, 2005.

Tim ICCE UIN Jakarta. Demokrasi, HAM, dan Masyarakat Madani. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah, 2000.

79

Tim INCReS. Beyond the Symbol: Jejak Antropologis Pemikiran dan Gerakan Gus Dur. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.

Tim Penyusun Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1996.

Uhlin, Andres. Oposisi Berserak: Arus Deras Demokratisasi Gelombang Ketiga di Indonesia. Bandung: Mizan, 1998.

Wahid, Abdurrahman. Membangun Demokrasi. Bandung: Rosdakarya, 1999.

− − − − −. Tabayun Gus Dur: Pribumisasi Islam Hak Minoritas Reformasi Kultural. Yogyakarta: LKiS, 1998.

− − − − −. Prisma Pemikiran Gus Dur, Yogyakarta, LKiS, 2000.

− − − − −. Pergulatan Negara, Agama dan Kebudayaan. Depok, Desantara, 2001.

− − − − −. Tuhan Tidak Perlu Dibela. Yogyakarta: LKiS, 1999.

− − − − −. Islamku, Islam anda, Islam Kita: Agama, Masyarakat, Negara, Demokasi.Jakarta: the Wahid Institute, 2006.

− − − − −. “Negeri Ini Kaya dengan Calon Presiden.” Forum Keadilan No. II 14 Mei 1992.

− − − − −. “Menunggu Setan Lewat.” Tempo, 10 Maret 1984.

Waluyo, Endri. “Abdurrahman Wahid: Telaah Atas Ide Neo-modernisme.” Artikel diakses pada 15 Oktober 2009 dari http://katakanhanyasatu.blogspot.com.

Wiranu, Chatibul Umam. Filsafat Negara Gus Dur. Naskah Buku, Maret 2009.

MAJALAH/KORAN Tempo, 10 Maret 1984, 9 Juni 1990.

Forum Keadilan, No. II, Mei 1992.

Kompas, Kamis, 4 April 1991.

Filsafat Negara Gus Dur Teori dan Praksis Kenegaraan KH Abdurrahman Wahid

Daftar Isi

Pendahuluan

I. Pemikiran Politik Gus Dur

- Rahim pemikiran

- Panggung politik

II. Kritik Demokrasi Institusional

III. Pemikiran Politik Islam Gus Dur

IV. Gus Dur dan Negara Islam

V. Gus Dur dan Syari’at Islam

- Kepentingan negara

- Syari’at Gus Dur

VI. Gus Dur dan Kultur Demokratis

- Pribumisasi demokrasi

- Demokrasi Gus Dur

VII. Dekonstruksi Negara Gus Dur

Penutup

Daftar Pustaka

1

Pendahuluan

KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) melebihi apapun adalah seorang negarawan. Beliau

boleh saja disebut sebagai cendekiawan muslim, budayawan, politisi. Namun segenap modal

budaya tersebut Ia gerakkan untuk menjaga titik keseimbangan negara-bangsa. Apalagi

segenap perjuangan saat Orde Baru telah terbayar melalui Kepresidenan ke-4 RI, di mana beliau

mampu mewujudkan eksperimentasi kenegaraannya, yang lahir dari keprihatinan atas

otoritarianisme politik Orde Baru.

Meskipun umur kepresidenanya tak lama. Tetapi kita tetap bisa menemukan garis merah

konsepsional dari segenap kebijakan politik yang konon sering kontroversial. Dalam hal ini,

studi tentang filsafat negara Gus Dur menjadi titik muara, karena ia tidak hanya merujuk pada

domain politik, tetapi terlebih budaya. Dalam discourse negara, pemikiran Gus Dur bisa

diletakkan secara menyeluruh, sebab sejak Orde Baru hingga sekarang, titik bidik Gus Dur

adalah negara, tepatnya oposisi terhadap negara, bahkan ketika ia “menjelma negara”.

Sayangnya, ketiadaan perumusan sistemik, serta pengangkatan Gus Dur pada level politik

budaya, akan meniadakan gerak dan watak Gus Dur yang sejak awal sudah political. Politik

dalam arti keberpihakan, politik dalam arti pengarahan praktik politik oleh sebuah pemikiran.

Hal ini nyata, sebab jauh sebelum Gus Dur menjadi presiden, Ketua PBNU, dan oposisi

utama Soeharto, ia terlebih adalah cendekiawan sosial yang merumuskan kritik budaya dalam

jurnal Prisma (LP3ES). Gus Dur sejak awal kedatangan ke Indonesia pasca studi di Baghdad

adalah sosok sadar ideologi. Hal ini menjadi nyata, selayak kerja awal yang merujuk pada kritik

atas pola pembangunan Orde Baru yang hanya mengacu pada pemercepatan ekonomi, minus

pemerataan kesejahteraan.

Studi ini juga hendak menekankan proses transformasi hubungan antara negara dan

masyarakat pasca Reformasi 1998. Fokusnya melingkup pada era pemerintahan Gus Dur, di

mana pada lanskap politik, arus transisi tengah menjelma radikalisme demokrasi, sementara

pada level tindakan politik mencerminkan dekonstruksi fundamental atas pemusatan negara

terhadap masyarakat. Sebagai studi era transisi, kajian ini hendak mempermasalahkan, apakah

berbagai komponen politik dan budaya pada saat itu, telah mampu menyediakan ruang bagi

konsolidasi demokrasi? Dan sejarahpun menjawab, orde Gus Dur terjungkal oleh konspirasi

partai, yang lahir dari legislative heavy. Apa yang dilihat para peneliti sebagai bentuk demokrasi

pasca-otoritarianisme sungguh tak terlihat dengan jelas. Apakah era itu memang hanya

menyediakan gerak transisional, kembali ke status quo, demokrasi hibrida, atau unconsolidated

democracy?

Satu hal yang pasti, bahwa pemerintahan Gus Dur adalah pemerintahan dekonstruktif.

Satu gerak politik, dimana Gus Dur bahkan bukan seorang politikus yang memobilisir kekuatan

dan legitimasi politik demi stabilitas kuasanya. Yang terjadi, Gus Dur tetap seorang Ketua Pokja

Forum Demokrasi, yang merealisasikan gagasan anarkis tentang minimalisasi peran negara

demi kuatnya masyarakat sipil. Gus Dur telah “mengecilkan tubuh negara” yang selama dua

2

rezim otoritarian Orde Lama dan Orde Baru, menggelembung kemana-mana, melampaui batas

konstitusi, menyesak-desakkan keringat kecut dan muka penuh amarah di ruang publik, tempat

segenap kekuatan masyarakat terkebiri. Apa yang diperjuangkan Gus Dur adalah suatu cita-cita

utopis tentang menguatnya masyarakat, yang mensyaratkan debirokratisasi dan demiliterisasi.

Ini yang esensial dan akhirnya menjadi bumerang, sebab saat itu, bahkan hingga sekarang,

kondisi struktural dan kultural tidak mengizinkan.

Memang berbagai kebijakan tersebut bahkan menjadi bumerang bagi pemerintahan Gus

Dur, karena disatu sisi menciptakan destabilisasi politik, karena berjuta rakyat pegawai negeri

yang harus menganggur sebab bubarnya beberapa departemen. Sementara disisi lain, para

politisi partai memanfaatkan kebijakan dekonstruktif itu untuk menurunkan popularitas

presiden. Satu hal yang kemudian bisa dinikmati hingga sekarang adalah buyarnya dwi-fungsi

ABRI, sehingga militer semaksimal mungkin bisa dikembalikan ke baraknya. Hal yang berbeda

dengan peniadaan batasan hanya lima agama, yang sayangnya dihapus oleh kepemimpinan

Megawati sehingga sekarang diksriminasi agama tetap terjadi.

Hanya yang patut diangkat, dan menjadi concern kajian ini adalah, segenap lanskap

pemikiran Gus Dur pada tataran abstraksi ideal, mengenai hubungan terbaik antara negara dan

masyarakat. Ini yang menjadi arah gerakannya sejak era Orde Baru, dan hingga sekarang tetap

menjelma problem tak terselesaikan. Pertanyaan yang muncul adalah, kenapa Gus Dur anti

terhadap birokratisasi budaya yang seharusnya menjadi hak milik masyarakat? Apakah

memang posisi negara yang begitu hegemonik, patut diamini sebagai keniscayaan evolusi

masyarakat modern, sehingga potensi kemandirian “memerintah” dari masyarakat sendiri

terbungkam? Berhakkah negara, pada tataran real melakukan pembunuhan atas manusia demi

stabilitas politik? Berhakkah negara mengobok-obok kebebasan beragama dan berpikir, melalui

otoritarianisme otoritas pengetahuan, entah melalui korpus KUHP ataupun lembaga MUI?

Dimanakah posisi kajian hubungan negara dan masyarakat dalam studi dan proses demokrasi,

sehingga seakan hal ini menghilang dalam arus reformasi pasca Leviathanisme negara?

Hal sama juga terjadi pada pertanyaan, kenapa Gus Dur menolak negara Islam? Apakah

dengan demikian Ia tidak memiliki kehendak untuk memperjuangkan terbentuknya

masyarakat berdasar nilai-nilai Islam? Tanya ini urgen sebab sikap keberislaman Gus Dur tentu

mewakili sikap NU, dan mayoritas Islam di negeri ini. Pandangan Gus Dur mengenai hubungan

antara Islam dan negara menjadi penting, sebab hingga saat ini, ada saja pihak yang hendak

mempermasalahkanya dalam suatu perjuangan ideologis. Dalam kaitan ini, sikap Gus Dur

sebagai gerbong tradisionalisme Islam tentu berbeda dengan pihak yang sama menolak negara

Islam. Bagaimanapun Gus Dur dan NU bukanlah penganut sekularisasi. Sebagai agama hukum

(religion of law), masyarakat sarungan ini memiliki kaidah pemikiran metodologis (qawa’idul

manhajiyah) yang berangkat dari logika ushul fiqh. Ini yang menjadikan kaum nahdliyin tidak

bisa melepaskan pendekatan dan pandangan agama dalam setiap keputusan politiknya.

3

4

Berbagai tanda tanya inilah yang hendak dicarikan jawabannya, dalam pemikiran Gus

Dur, baik pada level intelektualisme, maupun praksis Kepresidenan ke-4 RI. Pada lanskap

makro, tulisan ini juga hendak mencari jawab, kenapa transisi era Gus Dur bisa berakhir dengan

hegemoni politisi partai dalam legislative heavy sehingga berbagai agenda besar perubahan

politik yang tengah Gus Dur gerakkan, kandas ditengah jalan.

Penutup Sisi positif dari pemikiran negara Gus Dur adalah wataknya yang anti

totalitarianisme. Watak ini tetap menempatkan negara sebagai media capaian politik

di mana kesejahteraan rakyat menemu prioritas. Hal ini yang membuat negara

bukan untuk negara sendiri. Ia hanya menjadi alat bagi tujuan politik, yakni

pensejahteraan masyarakat.

Dari posisi ini, negara kemudian dibatasi ke(se)wenangannya. Ini lahir dari

kesadaran, bahwa sebagai alat politik, negara telah memiliki nyawa sendiri yang

cenderung otoriter dan koruptif. Definisi negara modern yang menempatkan

keabsahan penggunaan kekerasan menjadi bukti, bahwa melalui otoritas sentralnya,

negara tetap berpotensi melaksanakan kejahatan. Kesadaran ini yang melingkupi

Gus Dur, bukan hanya karena Ia lahir dalam pergulatan politik otoritarianisme Orde

Baru. Melampaui hal itu, kecurigaan Gus Dur merupakan warisan kultural dari

domain sub-kultur pesantren. Sebagai sub-kultur, masyarakat santri sudah terbiasa

bermasyarakat tanpa negara.

Ini terjadi karena internal sistem sosialnya merujuk pada otoritas budaya,

sehingga ia independen dari otoritas politik milik negara. Dari otonomi sub-kultur

ini, masyarakat santri kemudian cenderung anti-birokrasi. Satu hal yang menjadi

elemen utama hukum besi oligarki, yang membuat negara totaliter. Keprihatinan

Gus Dur terletak di sini, yakni dalam domain birokratisasi kehidupan yang telah

menjauhkan cita pengaturan publik (public regulation) dari empati kemanusiaan.

Oleh birokrasi, manusia menjadi mesin minus perasaan, dan sebagai kaum tradisi

yang biasa hidup bebas secara kultural, Gus Dur tentu alergi dengan hal ini.

Dari birokratisasi, kritik Gus Dur tertuju pada kekerasan negara. Satu

kekerasan yang digerakkan atas nama konstitusi. Menariknya, meskipun Gus Dur

mengritik dan berhasrat untuk “mengecilkan tubuh” negara, tapi mantan Presiden

ke-4 RI ini, tetap menjadikan konstitusi untuk melawan negara. Inilah perlawanan

simbolis itu, di mana Gus Dur telah melakukan de-monolitisisme tafsir atas

konstitusi. Tentu ini merupakan gerakan filosofis, karena Gus Dur telah

membongkar keterjebakan institusionalisme politik, dan mengembalikan segenap

1

lembaga politik tersebut kepada cita filosofisnya. Artinya, apa yang saat ini disebut

sebagai konstitusi, ternyata lebih menjelma pelencengan: ide filosofis tentang

kedaulatan rakyat, telah dikebiri oleh lembaga politik yang didirikan untuk

mewujudkan cita tersebut.

Gerak konstitusional Gus Dur ini wajar, sebab cara berpikir Sunni yang

merujuk pada kaidah metodologis (qawa’id al-manhajiyah) dari rasionalitas hukum

Islam. Model berpikir inilah yang mampu menempatkan Pancasila sebagai

“bangunan rumah”, sementara Islam sebagai “rumah tangga” kaum muslim. Dari

sini mafhum kenapa Gus Dur tetap berpegang pada konstitusi dan UUD 45, karena

sejak awal, masyarakat Sunni adalah masyarakat yang mendasarkan pembentukan

pola kemasyarakatan pada supremasi hukum. Satu hal yang telah dilakukannya,

melalui penempatan hukum Islam, sebagai sub-sistem hukum nasional. Pola

pemikiran seperti inilah yang akhirnya membuat Gus Dur tidak menjadikan hukum

Islam sebagai alternatif dari konstitusi negara, melainkan sebagai suplemen:

penyempurna tata politik, di mana syari’at mampu melakukan kritik atas

penyimpangan sosial yang sering menempatkan negara sebagai faktor utama.

Memang saat ini Gus Dur tengah berusaha untuk mengarahkan gerak negara

melalui prosedur demokrasi: partai. Kita bisa memahami langkah ini sebagai

penggarapan tugas yang belum selesai, karena kepresidenan beliau yang terkudeta

secara konstitusional. Hingga saat ini, Ketua Umum Dewan Syura Partai

Kebangkitan Bangsa ini tetap berkehendak untuk mengembalikan arah dari

pembangunan nasional, yang menurutnya tidak mengacu pada pemerataan social,

tetapi hanya mengerucut pada kepentingan segelintir elite. Satu hal yang memang

membutuhkan negara untuk mengarahkannya. Namun bahkan dalam titik inilah

muncul kontradiksi. Hal ini terjadi pada perbedaan antara kritik demokrasi

institusionalnya yang meniscayakan posisi “luar negara”, dengan keterlibatannya

dalam partai yang cenderung prosedural. Hanya memang, sebagai pihak yang

berpijak pada undang-undang, maka Gus Durpun mendasari keterlibatan dalam

prosedur demokrasi ini, karena hanya partailah yang secara sah menjadi alat

partisipasi politik.

2

3