Demam Tifoid Fix

38
DEMAM TIFOID Okta Rosaria Dolu, S. Ked SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana Kupang RSUD Prof.Dr.W.Z. Johannes Kupang I. PENDAHULUAN Penyakit menular masih merupakan salah satu masalah kesehatan utama di negara berkembang. Salah satu penyakit menular tersebut adalah demam tifoid. Penyakit ini merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Demam tifoid (thypoid fever atau tifus abdominalis) banyak ditemukan dalam kehidupan masyarakat kita, baik diperkotaan maupun di pedesaan. Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan sanitasi lingkungan yang kurang, hygiene pribadi serta perilaku masyarakat yang tidak mendukung untuk hidup. 1

description

Penyakit Tropis

Transcript of Demam Tifoid Fix

DEMAM TIFOIDOkta Rosaria Dolu, S. KedSMF Ilmu Kesehatan AnakFakultas Kedokteran Universitas Nusa Cendana KupangRSUD Prof.Dr.W.Z. Johannes Kupang

I. PENDAHULUAN

Penyakit menular masih merupakan salah satu masalah kesehatan utama di negara berkembang. Salah satu penyakit menular tersebut adalah demam tifoid. Penyakit ini merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Demam tifoid (thypoid fever atau tifus abdominalis) banyak ditemukan dalam kehidupan masyarakat kita, baik diperkotaan maupun di pedesaan. Penyakit ini sangat erat kaitannya dengan sanitasi lingkungan yang kurang, hygiene pribadi serta perilaku masyarakat yang tidak mendukung untuk hidup.1 Demam tifoid dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis1. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun.2,3 Kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis di Negara berkembang, yaitu 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit2. Kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi di Indonesia dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus.2 Angka kejadian demam tifoid di Indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2% dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan frekuensi menjadi 15,4 % per 10.000 penduduk. Prevalensi demam tifoid di Indonesia berdasarkan data Riskesdas 2007 adalah 1,60%. Sedangkan prevalensi di Provinsi Nusa Tenggara Timur sebesar 2,3 %. Insiden demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan sanitasi lingkungan; di daerah rural (Jawa Barat) 157 kasus per 100.000 penduduk, sedangkan di daerah urban ditemukan 760 sampai 810 kasus per 100.000 penduduk.4 Meskipun penyakit ini tidak terbatas pada umur tertentu, namun angka kejadian cukup tinggi terdapat pada anak-anak. Demam tifoid pada anak terbanyak terjadi pada kelompok umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai manifestasi klinis yang ringan dibandingkan orang dewasa, namun dapat terjadi komplikasi dan kematian.4 Gambaran klinis pada anak seringkali tidak khas bahkan hanya demam, sehingga terjadi kesulitan untuk menegakkan diagnosis demam tifoid.2,5 Untuk itu perlu adanya diagnosa yang dini dan penanggulangan yang tepat sehingga jangan sampai terjadi komplikasi dan kematian pada anak.II. DEFINISI Demam tifoid adalah suatu infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi dengan gejala utama demam (lebih dari 1 minggu), gangguan saluran pencernaan, serta gangguan susunan saraf pusat /kesadaran.6III. ETIOLOGI Etiologi dari demam tifoid adalah Salmonella Typhi, termasuk dalam genus Salmonella yang tergolong dalam family Enterobacteriaceae. Salmonella typhi ialah bakteri gram negatif, berflagela bersifat anaerobik fakultatif, tidak berspora, berkemampuan untuk invasi, hidup dan berkembang biak di dalam sel kariotik. Mempunyai karakteristik fermentasi terhadap glukosa dan manosa tapi tidak terhadap laktosa atau sukrosa. Kuman ini tahan pada pembekuan dalam air jangka waktu lama, namun mati pada pemanasan suhu 54,40 C selama satu jam dan 600C selama 15 menit. Salmonela mempunyai empat komponen antigen, yakni antigen H (flagela), antigen O (dinding sel/lipopoli sakarida), yang terdiri dari lebih dari 60 jenis antigen, antigen Vi/ antigen kapsul, dan protein membran luar (outer membrane protein).5,7IV. PATOGENESIS DAN PATOLOGI Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti organisme, yaitu : (1) penempelan dan invasi sel-sel M peyers patch, (2) bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi di makrofag peyers patch, nodus limfatikus mesenterika, dan organ-organ ektra intestinal sistem retikuloendotelial (3) bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah, dan (4) produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam kripta usus dan menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam lumen intestinal.8 Masuknya kuman Salmonella typhi (S. typhi) dan Salmonella paratyphi (S. paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi kuman.8,9,10 Sebagian kuman dimusnahkan ke lambung, sebagian lolos ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel (terutama sel M) dan selanjutnya ke lamina propia. Lamina propia kuman berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di makrofag dan selanjutnya dibawa ke plak Peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus kuman yang terdapat dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang asimtomatis) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berrkembang biak di luar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik. Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak, dan bersama cairan empedu diekskresikan secara intermiten ke dalam lumen usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam sirkulasi setelah menembus usus.8,11 Proses yang sama terulang kembali, berhubung makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas vaskular, gangguan mental, dan koagulasi.11 Akhir-akhir ini beberapa peneliti mengajukan patogenesis terjadinya manisfestasi klinis sebagai berikut : makrofag pada penderita akan menghasilkan substansi aktif yang disebut monokin, selanjutnya monokin ini dapat menyebabkan nekrosis seluler dan merangsang sistem imun, instabilitas vaskuler, depresi sumsum tulang, dan panas.9 Perubahan histopatologi pada umumnya ditemukan infiltrasi jaringan oleh makrofag yang mengandung eritrosit, kuman, limfosit yang sudah berdegenerasi yang dikenal sebagai sel tifoid. Bila sel-sel ini beragregasi, terbentuklah nodul. Nodul ini sering didapatkan dalam usus halus, jaringan limfe mesenterium, limpa, hati, sumsum tulang dan organ-organ yang terinfeksi.9V. GAMBARAN KLINIS

Gambaran klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih bervariasi dibandingkan dengan dewasa. Periode inkubasi demam tifoid pada anak antara 5-40 hari dengan rata-rata antara 10-14 hari.8 Walaupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis besar gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokkan : 9,10a. Demam b. Gangguan saluran pencernaanc. Gangguan kesadaran Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah, diare, konstipasi. Pada anak, diare sering dijumpai pada awal gejala yang baru, kemudian dilanjutkan dengan konstipasi. Pada pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang meningkat. Setelah minggu kedua, gejala menjadi makin jelas, berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung mungkin disertai gangguan kesadaran dari yang ringan sampai berat.1,9,10 Demam yang terjadi tidak selalu khas seperti orang dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise pattern,dapat pula mendadak tinggi dan remiten (390C-410C) serta dapat pula bersifat ireguler terutama pada bayi.9,10 Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah demam meningkat dengan tanda-tanda antara lain lidah tampak kering, dilapisi selaput tebal, dibagian belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi tampak lebih kemerahan dan bila penyakit lebih progresif maka kan terjadi deskuamasi epitel sehingga papila lidah lebih prominen.9,10 Roseola tifosa lebih sering terlihat pada akhir minggu pertama dan permulaan minggu kedua, berupa nodul kecil, sedikit menonjol dengan diameter 2-4 mm, berwarna merah pucat, serta hilang pada penekanan. Roseola ini karena emboli kuman pada kapiler kulit dan terutama dijumpai di daerah perut, dada, kadang-kadang di bokong maupun bagian fleksor lengan atas.8,9,10 Berbeda dengan buku bacaan Barat pada anak Indonesia lebih banyak dijumpai hepatomegali dibandingkan splenomegali.8 VI. DIAGNOSA Mengingat gambaran klinis demam tifoid pada anak tidak khas yang mengakibatkan sering terjadi kesulitan dalam menegakkan diagnosis bila hanya berdasarkan gambaran klinis, maka perlu ditunjang dengan pemeriksaan laboratorium yang dapat diandalkan. Sarana laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid secara garis besar digolongkan dalam tiga kelompok yaitu: (1) isolasi kuman penyebab demam tifoid, Salmonela typhi, melalui biakan kuman dari spesimen seperti darah, sumsum tulang, urin, tinja, dan cairan duodenum, (2) uji serologi untuk mendeteksi antibodi terhadap antigen S. typhi dan menentukan adanya antigen spesifik dari S. typhi, serta (3) pemeriksaan pelacak DNA kuman S. typhi.5 Kultur darah merupakan gold standard metode diagnostik dan hasilnya positif pada 60-80% dari pasien. Untuk daerah endemik dimana sering terjadi penggunaan antibiotik yang tinggi, sensitivitas kultur darah rendah (hanya 10-20% kuman saja yang terdeteksi).1,5VII. PEMERIKSAAN LABORATORIUMa) Pemeriksaan RutinWalaupun pada pemeriksaan darah perifer lengkap sering ditemukan leukopenia, dapat pula terjadi kadar leukosit normal dan leukositosis. Leukositosis dapat terjadi walaupun tanpa disertai infeksi sekunder. Selain itu pula dapat ditemukan anemia ringan dan trombositopenia. Pada pemeriksaan hitung jenis leukosit dapat terjadi aneosinofilia maupun limfopenia. Laju endap darah pada demam tifoid dapat meningkat.SGOT dan SGPT seringkali meningkat, tetapi akan kembali normal setelah sembuh. Kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan penanganan khusus.11b) Biakan Salmonella TyphiDiagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan kuman Salmonela typhi dalam darah, urin, tinja, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka kuman lebih mudah ditemukan di dalam darah dan sumsum tulang di awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urin dan tinja. Biakan darah terhadap Salmonela tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit, dan positif 50% pada akhir minggu ketiga. Kuman dalam tinja ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urin positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Gilman dkk,14 melaporkan dalam penelitiannya terhadap 62 pasien dengan demam tifoid yang sebagian besar dari mereka telah mendapat terapi, bahwa isolasi kuman S. typhi positif dari biakan sumsum tulang pada 56 pasien (90%); sedangkan dari biakan darah, tinja dan urin masing-masing positif pada 25 pasien (40%), 23 pasien (37%) dan 4 pasien (7%). Kuman S. typhi berhasil diisolasi pada 24 (63%) dari 38 pasien biakan rose spots. Meskipun metoda biakan/isolasi bakteri Salmonela typhi sebenarnya sangat menentukan diagnostik, namun terdapat beberapa kendala yaitu: (1) identifikasi kuman S. typhi di laboratorium klinik memerlukan waktu 5-7 hari, (2) biakan bakteri sulit dilakukan di daerah yang tidak memiliki sarana laboratorium lengkap.5c) Uji Serologi Widal Uji serologi standar dan rutin untuk diagnosis demam tifoid adalah uji Widal. Uji ini telah digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah serum pasien dengan pengenceran berbeda-beda ditambah antigen dalam jumlah sama. Jika dalam serum terdapat antibodi maka akan terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. Uji serologi Widal sebenarnya tidak spesifik oleh karena beberapa hal, yakni (1) semua Salmonela dalam grup D (kelompok Salmonella typhi) memiliki antigen O yang sama yakni nomor 9 dan 12, namun perlu diingat bahwa antigen O nomor 12 dimiliki pula oleh Salmonela grup A dan B (yang lebih dikenal sebagai paratyphi A dan paratyphi B), (2) semua Salmonela grup D memiliki antigen H d fase 1 seperti S. typhi, dan (3) titer antibodi H masih tinggi untuk jangka waktu lama setelah infeksi atau imunisasi. Sensitivitas uji Widal juga rendah, sebab kultur positif yang bermakna pada pasien tidak selalu diikuti dengan terdeteksinya antibodi dan pada pasien yang mempunyai antibodi pada umumnya titer meningkat sebelum terjadinya onset penyakit. Sehingga keadaan ini menyulitkan untuk memperlihatkan kenaikan titer 4 kali lipat. Kelemahan lain dari uji Widal adalah antibodi tidak muncul diawal penyakit, sifat antibodi sering bervariasi dan sering tidak ada kaitannya dengan gambaran klinis penyakit, dan dalam jumlah yang cukup besar (15% atau lebih) tidak terjadi kenaikan titer O bermakna. Mengingat hal-hal tersebut di atas. meskipun uji serologi Widal sebagai alat penunjang diagnosis demam tifoid telah luas digunakan di seluruh dunia, namun manfaatnya masih menjadi perdebatan. Sampai saat ini pemeriksaan serologi Widal sulit dipakai sebagai pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut off point). Untuk mencari standar titer uji serologi Widal seharusnya ditentukan titer dasar (base line titer) pada anak sehat di populasi. Beberapa penulis telah melaporkan nilai standar aglutinasi yang berbeda-beda untuk diagnosis demam tifoid dengan uji Widal, oleh karena nilai sensitivitas, spesifisitas dan perkiraan uji ini sangat berbeda antar laboratorium klinik. Nilai cut-off uji widal yang dipakai saat ini berdasarkan penelitian pada tahun 60-an, maka dengan adanya kemajuan sanitasi dan pendidikan kesehatan, data dasar perlu diperbaharui. Dengan demikian interpretasi hasil uji Widal harus dilakukan sangat hati-hati karena banyak faktor yang berpengaruh terhadap hasil uji ini.5d) Dot Enzyme Immunosorbent Assay (Dot EIA) Salah satu uji serologi untuk melacak antibodi spesifik terhadap S. typhi yang sedang dikembangkan adalah Dot Enzyme Immunosorbent Assay (Dot EIA). Beberapa penelitian terbaru terhadap kuman S. Typhi melaporkan adanya protein spesifik yang berada di membran luar kuman atau outer membrane protein (OMP) untuk dijadikan antigen dalam sistem pendeteksi antibodi IgM S. typhi. Ismail dkk, berhasil mengembangkan penelitian penggunaan metoda Dot EIA ini untuk mendeteksi antibodi terhadap S. typhi. Uji ini dikembangkan berdasarkan hasil penelitian sebelumnya, bahwa mereka mendapatkan OMP kuman S. typhi yang mempunyai berat molekul 50 kDa ternyata spesifik hanya didapatkan dari serum pasien demam tifoid (berdasarkan biakan kuman positif dari spesimen penderita). Protein alamiah ini terletak pada membran luar kuman Salmonella dan bukan merupakan antigen Vi (antigen kapsul), H (flagela) atau O (dinding sel/lipopolisakarida). Protein spesifik yang hanya dimiliki oleh kuman S. typhi ini memberikan peluang untuk pemeriksaan uji serodiagnostik pada penderita demam tifoid. Metoda ini lebih maju jika dibandingkan dengan sistem immunoblotting. Pada sistem deteksi ini antigen yang digunakan terbatas pada antigen OMP dengan berat molekul 50 kDa, sedangkan pada immunoblotting masih menggunakan semua fraksi OMP. Pada penelitian lain, Ismail dkk, melaporkan penelitian terhadap 109 kasus demam tifoid bahwa spesifisitas uji ini 75%, 25% positif terhadap kultur darah negatif. Dilaporkan pula bahwa uji dot EIA ini memiliki sensitivitas 95-100% (pada penderita demam tifoid dengan kultur Salmonella typhi positif ) dengan sekali pemeriksaan dan 100% dengan pemeriksaan ulang serum. Ini berarti setiap kali kultur darah positif, maka uji ini akan memberikan nilai 100% positif pula. Uji dot EIA tidak ada reaksi silang dengan salmonellosis bukan tifoid jika dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian jika dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif. Dalam penelitian lain dilaporkan sensitivitas uji Widal adalah 60% bahkan pernah dilaporkan kurang dari 60%. Saat ini metoda uji dot EIA telah diluncurkan sebagai produk yang disebut Typhidot. Dalam kit Typhidot telah tersedia beberapa material dan reagen yang telah siap untuk diuji di laboratorium klinik. Beberapa keuntungan metoda ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi, sedikit kemungkinan terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan luas di fasilitas kesehatan sederhana yang belum tersedia biakan kuman. Keuntungan lain antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan jika disimpan pada suhu 40C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien.5e) Uji Serologi Pemeriksaan Antigen Pelacakan antigen spesifik dari S. typhi dalam spesimen pasien demam tifoid (darah atau urin) secara teoritis dapat memberikan diagnosis secara dini dan cepat. Wong dkk, menggunakan tehnik aglutinasi lateks yang dilapisi antibodi monoklonal IgM Salmonella 0-9 dan dapat memperoleh hasil tes dalam waktu satu menit dengan sensitivitas dan spesifisitas masingmasing sebesar 87,5-100% dan 97,8-100%. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa, dengan tehnik yang sama mendapatkan sensitivitas 65% dan spesifisitas 100% pada urin penderita. Ia melaporkan bahwa dengan dot enzyme immunoassay untuk melacak adanya antigen S.typhi dalam urin dengan menggunakan antibodi monoklonal terhadap grup O Salmonella antigen 9 mendapatkan sensitivitas 85%. Sadallah, menggunakan antibodi monoklonal terhadap antigen flagela d-H untuk deteksi antigen S. typhi dalam serum pasien dan mendapatkan sensitivitas sebesar 96% dan spesifisitas 92%. Dari data tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa masih terdapat variasi nilai yang luas baik sensitivitas maupun spesifisitas dari deteksi antigen spesifik S. Typhi oleh karena tergantung dari beberapa hal, yakni jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, tehnik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam tes (poliklonal atau monoklonal), dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit).5f) Hibridisasi Asam Nukleat Metoda lain untuk identifikasi kuman S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) kuman S. typhi dalam darah dengan tehnik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR). Dasar spesifisitas reaksi hibridisasi adalah kemampuan asam nukleat utas/rantai tunggal untuk mendeteksi dan membentuk ikatan hidrogen (hibridisasi) dengan asam nukleat utas tunggal yang mengandung urutan asam nukleat padanannya. Reaksi hibridisasi merupakan reaksi kinetik yang efisien dan dapat mendeteksi sejumlah sangat kecil asam nukleat kuman dalam waktu yang sangat pendek. Pada sistem hibridisasi ini, sebuah molekul asam nukleat yang sudah diketahui spesifisitasnya (DNA probe) digunakan untuk mendeteksi ada atau tidaknya urutan asam nukleat yang sepadan dari target DNA (kuman). Meskipun DNA probe memiliki spesifisitas tinggi, pemeriksaan ini tidak cukup sensitif untuk mendeteksi jumlah kuman dalam darah yang sangat rendah, misalnya 10-15 S. typhi/ml darah dari pasien demam tifoid.9,10,25 Dengan kemajuan teknologi di bidang molekular, target DNA telah dapat diperbanyak terlebih dahulu sebelum dilakukan hibridisasi. Penggandaan target DNA dilakukan dengan tehnik PCR menggunakan enzyme DNA polimerase.10,25 Cara ini dapat melacak DNA S. typhi sampai sekecil satu pikogram namun usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan.5VIII. PENATALAKSANAAN Sampai saat ini masih dianut trilogi penatalaksanaan demam tifoid, yaitu :1. Istirahat dan perawatan, dengan tujuan mencegah komplikasi dan mempercepat penyembuhan. Tirah baring dengan perawatan sepenuhnya di tempat seperti makan, minum, mandi, bung air kecil, dan buang air besar akan membantu dan mempercepat masa penyembuhan. Dalam perawatan perlu sekali dijaga kebersihan tempat tidur, pakaian, dan perlengkapan yang dipakai. Posisi pasien perlu diawasi untuk mencegah dekubitus dan pneumonia ortostatik serta hygiene perorangan tetap perlu diperhatikan dan dijaga. 112. Diet dan terapi penunjang (simtomatik dan suportif), dengan tujuan mengembalikan rasa nyaman dan kesehatan pasien secara optimal. Diet merupakan hal yang cukup penting dalam proses penyembuhan penyakit demam tifoid, karena makanan yang kurang kan menurunkan keadaan umum dan gizi penderita akan semakin turun dan proses penyembuhan akan menjadi lama. Dimasa lampau, penderita tifoid diberi diet bubur saring, kemudian ditingkatkan menjadi bubur kasar dan akhirnya diberikan nasi. Perubahan diet tersebut disesuaikan dengan tingkat kesembuhan pasien. Pemberian bubur saring tersebut ditujukan untuk menghindari komplikasi perdarahan saluran cerna atau perforasi usus. Hal ini disebabkan ada pendapat bahwa usus harus diistirahatkan. Beberapa peneliti menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini yaitu nasi dengan lauk-pauk rendah selulosa (menghindari sementara sayuran yang berserat) dapat diberikan dengan aman pada pasien dengan demam tifoid.11 Beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penanganan demam tifoid yaitu12 : a. Cairan dan kalori Terutama pada demam tinggi, muntah, atau diare, bila perlu asupan cairan dan kalori diberikan melalui sonde lambung. Pada ensefalopati, jumlah kebutuhan cairan dikurangi menjadi 4/5 kebutuhan dengan kadar natrium rendah. Penuhi kebutuhan volume cairan intravaskular dan jaringan. Pertahankan fungsi sirkulasi dengan baik Pertahankan oksigenasi jaringan, bila perlu berikan 02 Pelihara keadaan nutrisi Pengobatan gangguan asam basa dan elektrolitb. Antipiretik, diberikan apabila demam > 390C, kecuali pada pasiendengan riwayat kejang demam dapat diberikan awalc. Diet Makanan tidak berserat dan mudah dicerna Setelah demam reda,dapat segera diberikan makanan yang lebih padat dengan kalori cukupd. Transfusi darah : kadang-kadang diperlukan pada perdarahan saluran cerna dan perforasi usus3. Pemberian anti mikroba, dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman. Obat-obat antimikroba yang sering digunakan untuk mengobati demam tifoid adalah sebagai berikut :8,9,10,12 Kloramfenikol. Di indonesia kloramfenikol masih merupakan obat pilithan utama untuk mengobati demam tifoid dengan dosis 50-100 mg/kgbb/hari, oral atau iv dibagi dalam 4 dosis selama 10-14 hari. Untuk neonatus, penggunaan obat ini sebaiknya dihindari, dan bila terpaksa, dosis tidak boleh melebihi 25 mg/kgBB/hari, selama 10 hari.

Tiamfenikol Tiamfenikol mempunyai efek yang sama dengan kloramfenikol namun komplikasi hematologi jarang dilaporkan. Dosis oral yang dianjurkan 50-100 mg/kgBB/hari, selama 10-14 hari. Kotrimoksasol Kotrimoksasol dapat digunakan untuk kasus yang resisten terhadap kloramfenikol, penyerapan di usus cukup baik dan kemungkinan timbunya kekambuhan lebih kecil dibandingkan kloramfenikol. Kelemahannya dapat terjadi skin rash (1-15%), sindrom Steven Johnson, agranulositosis, trombositopenia, anemia megaloblastik, hemolisis eritrosis terutama pada penderita defisiensi G6PD. Ampisilin dan Amoksisilin Merupakan derivat penisilin yang dapat digunakan pada kasus dengan resistensi kloramfenikol. Amoksilin mempunyai daya antibakteri yang sama dengan ampisilin, tetapi penyerapan peroral lebih baik sehingga kadar obat yang tercapai 2x lebih tinggi, dan lebih sedikit timbulnya kekambuhan (2-5%) dan karier (0-5%). Dosis yang dianjurkan : Ampicilin 100-200 mg/kgBB/hari dan , Amoksilin 100 mg/kgBB/hari selama 10-14 hari. Seftriakson Dosis yang dianjurkan : 50-100 mg/kgBB/hari, tunggal atau dibagi 2 dosis iv Sefotaksim Dosis yang dianjurkan adalah 150-200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis iv Siprofloksasin Dosis yang dianjurkan adalah 2x200-400 mg oral pada anak berumur lebih dari 10 tahun.Untuk kasus berat dengan gangguan kesadaran dapat diberikan kortikosteroid, deksametason 1-3 mg/kgbb/hari, intravena, dibagi dalam 3 dosis hingga kesadaran membaik. Tindakan bedah diperlukan pada kasus komplikasi perforasi usus. IX. KOMPLIKASISebagai suatu penyakit sistemik maka hampir semua organ utama tubuh dapat diserang dan berbagai komplikasi serius dapat terjadi. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi pada demam tifoid yaitu : 11 Komplikasi Intestinal : Perdarahan usus, perforasi usus, ileus paralitik, pankreatitis. Komplikasi ekstra-intestinal : Komplikasi kardiovaskular : gagal sirkulasi perifer, miokarditis, tromboflebitis. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, KID, thrombosis.Komplikasi paru : pneumonia, empiema, plueritis. Komplikasi hepatobilier : hepatitis, kolesistisis. Komplikasi ginjal : glomerulonephritis, pielonefritis, perinefritis. Komplikasi tulang : osteomyelitis, peiostitis, spondilitis, artritis. Komplikasi neuropsikiatrik atau tifoid toksik.X. PENCEGAHANUsaha pencegahan dapat dibagi atas : 9(1) Usaha terhadap lingkungan hidup : Penyediaan air minum yang memenuhi syarat Pembuangan kotoran manusia yang hiegenis Pemberantasan lalat Pengawasan terhadap penjualan makanan(2) Usaha terhadap manusia : Imunisasi Menemukan dan mengobati karier Pendidikan kesehatan masyarakat Imunisasi Vaksin yang digunakan adalah Vaksin yang dibuat dari Salmonella typhosa yang dimatikan Vaksin yang dibuat dari strain Salmonela yang dilemahkan. (Ty 21a) Vaksin polisakarida kapsular Vi (Typhi Vi) Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi, S. Paratyphi A, S. Paratyphi B yang dimatikan (TAB vaccine) telah puluhan tahun digunakan dengan cara pemberian suntikan subkutan; namun vaksin ini hanya memberikan daya kekebalan terbatas, disamping efek samping lokal pada tempat suntikan yang cukup sering. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi hidup yang dilemahkan (Ty 21a) diberikan peroral 3x dengan interval pemberian selang sehari, memberi daya perlindungan 6 tahun. Vaksin Ty 21a diberikan pada anak berumur diatas 2 tahun. Pada penelitian di lapangan didapat hasil efikasi proteksi yang berbanding terbalik dengan derajat transmisi penyakit. Vaksin yang berisi komponen Vi dari Salmonella typhi diberikan secara suntikan intramuskular memberikan perlindungan 60-70% selama 3 tahun.8,9 XI. SIMPULAN Demam tifoid adalah suatu infeksi sistemik akut yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi dengan gejala utama demam (lebih dari 1 minggu), gangguan saluran pencernaan, serta gangguan susunan saraf pusat /kesadaran. Gejala yang biasanya dijumpai adalah demam dengan serangkaian keluhan klinis, seperti anoreksia, mialgia, nyeri abdomen,dan obstipasi. Dapat disertai dengan lidah kotor, nyeri tekan perut, dan pembengkakan pada stadium lebih lanjut dari hati atau limpa atau kedua-duanya. Pada anak, diare sering dijumpai pada awal gejala yang baru, kemudian dilanjutkan dengan konstipasi. Pada pasien dengan demam tifoid ringan dapat diobati di rumah dengan tirah baring, isolasi yang memadai, kebutuhan cairan dan kalori yang cukup, nutrisi serta pemberian antibiotik. Sedangkan untuk kasus berat harus dirawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan,elektrolit serta nutrisi terpenuhi dengan dengan serta terapi penunjang dan observasi timbulnya penyulit dapat ditangani dengan baik.

Daftar Pustaka

1. Nelwan RHH. Tata Laksana Terkini Demam Tifoid. Divisi Penyakit Tropik dan Infeksi. Departemen Ilmu Penyakit Dalam, FKUI/RSCM-Jakarta. CDK-192/ vol. 39 no. 4 : 2012. p.247-50. 1. Riyatno I. Puspitasari, Sutrisna Eman. Cost-Effectiveness Analysis Pengobatan Demam Tifoid Anak Menggunakan Sefotaksim dan Kloramfenikol di RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto. Mandala of Health. Vol. 5, No.2, Mei 2011.1. Saraswati Nia Ayu, dkk. Karakteristik Tersangka Demam Tifoid Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Muhammadiyah Palembang Periode Tahun 2010. SyifaMEDIKA, Vol. 3 (No.1), September 2012.1. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Riset Kesehatan Dasar, 2007.1. Retnosari Sylvia, Tumbelaka. Pendekatan Diagnostik Serologik dan Pelacak Antigen Salmonella typhi. Sari Pediatri, Vol. 2, No. 2, Agustus 2000 : p. 90-5. 1. Suryantini, Daud Dasril. Perawatan Singkat Demam Tifoid pada Anak. Sari Pediatri, Vol. 3, No. 2, September 2001: p.77-21. Wardhani, dkk. Kemampuan Uji Tabung Widal Menggunakan Antigen Import dan Antigen Lokal. Laboratorium Patologi Klinik Fakultas Kedokteran Unair/RSU Dr Soetomo Surabaya. Indonesian Journal of Clinical Pathology and Medical Laboratory, Vol. 12, No. 1, Nov 2005: p.31-71. Soedarmo Poorwo S. Sumarmo,dkk. Demam Tifoid : Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis. Edisi 2. Jakarta : Badan Penerbit IDAI. 2012.1. Rampengan. T. H. Demam Tifoid : Penyakit Infeksi Tropik pada Anak. Edisi 2. Jakarta : EGC. 2007.1. Ranuh Gde N.G.I, dkk. Tifoid : Buku Pedoman Imunisasi Di Indonesia. Edisi 4. Satgas Imunisasi-Ikatan Dokter Anak Indonesia.2011.1. Widodo, J. Demam Tifoid : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III. Edisi 2. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI; 2007. p. 1752-7561. Pudjiadi H. Antonius. Demam Tifoid : Buku Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter Anak Indonesia Jilid 1. Jakarta : Badan Penerbit IDAI. 2010.