demam tifoid
-
Upload
srhi-nurhayatii -
Category
Documents
-
view
234 -
download
2
Transcript of demam tifoid
DEMAM TIFOID
I. PENDAHULUAN
Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh
Salmonella Thypi (S. Typhi) dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu,
gangguan saluran pencernaan dan gangguan kesadaran.1
Demam tifoid banyak terjadi di Negara-negara berkembang. Demam tifoid
merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh S. Thypi yang
masih dijumpai secara luas di berbagai Negara berkembang yang terutama terletak
di daerah tropis dan subtropis. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan
masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi,
kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk
serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah.2,3,4
Perbedaan antara demam tifoid anak dan dewasa adalah mortalitas
(kematian) demam tifoid pada anak lebih rendah bila dibandingkan dengan
dewasa. Resiko terjadinya komplikasi fatal terutama dijumpai pada anak besar
dengan gejala klinis berat, yang mempunyai kasus dewasa. Demam tifoid pada
anak terbanyak terjadi pada umur 5 tahun atau lebih dan mempunyai gejala klinis
ringan.5
II. EPIDEMIOLOGI
Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan
karena penyakit ini mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas.
Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat
sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000
kasus kematian tiap tahun. Di Negara berkembang, kasus demam tifoid dilapokan
sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga
insidensi yang sebenaranya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap
di rumah sakit.[3] Demam tifoid pada anak umur 5-15 tahun di Indonesia terjadi
180,3/100.000 kasus pertahun dan dengan prevalensi mencapai 61,4/1000 kasus
pertahun. Menurut data Hasil Riset Dasar Kesehatan (RISKESDAS) tahun 2007,
demam tifoid menyebabkan 1,6% kematian penduduk Indonesia untuk semua
umur. Insidensi demam tifoid berbeda pada tiap daerah.4
III. ETIOLOGI
Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella Enterica serovar Typhi (S.
Typhi), basil gram negatif, bergerak dengan rambut getar, berkapsul, tidak
berspora, dan bersifat fakulatif anaerob. Demam tifoid mempunyai 3 macam
antigen yaitu antigen 0 (somatik, terdiri dari zat kompleks lipopolisakarida),
antigen H (flagella), dan antigen Vi.1
Antigen Vi didapatkan pada 90% salmonella typhi yang diisolasi. Antigen
ini berperan sebagai proteksi terhadap baktersidal dari antibody serum penderita.
Sementara demam paratiroid yang gejalanya mirip dengan demam tifoid namun
lebih ringan, disebabkan oleh Salmonella paratyphi A, B, atau C. bakteri ini hanya
menginfeksi manusia. Penyebaran demam tifoid terjadi melalui makanan dan air
yang telah tercemar oleh tinja atau urin penderita demam tifoid dan meraka yang
diketahui sebagai carrier (pembawa) demam tifoid.2
IV. PATOFISIOLOGI
Penyakit ini terjadi melalui ingesti dari S. Typhi melalui kontaminasi secara
feko-oral melalui makanan ataupun melalui air yang tercemar. Masuknya kuman
Salmonella typhi ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan atau minuman
yang terkontaminasi oleh kuman. Sebagian kuman dimusnahkan di dalam
lambung (pH<2), sebagian lolos masuk ke dalam lumen usus, yang selanjutnya
berkembang biak.
Jika respons imun humoral usus kurang baik, kuman akan menembus epitel,
terutama sel-M, dan selanjutnya di lamina propria kuman berkembang biak serta
difagosit, terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup dan berkembang biak di
dalam makrofag, dan selanjutnya dibawa ke plaque Peyeri ileum distal kemudian
ke kelenjar getah bening mesenterika. Selanjutnya melalui duktus torasikus,
kuman yang terdapat di dalam makrofag ini masuk ke dalam sirkulasi darah
(menyebabkan bakteremia pertama yang asimtomatik) dan menyebar ke seluruh
organ retikuloendotelial tubuh terutama hati dan limpa. Di organ-organ ini kuman
meninggalkan sel fagosit dan kemudian berkembang biak di luar sel, selanjutnya
masuk ke dalam sirkulasi darah lagi, menimbulkan bakteremia kedua yang disertai
tanda dan gejala penyakit sistemik.6
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak,
dan bersama cairan empedu di ekskresikan secara “intermittent” ke dalam lumen
usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubungan makrofag telah tereksitasi
dan hiperaktifmaka saat fagositosis kuman S. Typhi terjadi pelepasan beberapa
mediator inflamasi uang selanjutnya akan menimbulkan gejala reaksi inflamasi
sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit perut, instabilitas
vaskuler, gangguan mental, dan koagulasi7
V. DIAGNOSIS
Diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan
fisis, dan pemeriksaan penunjang yang dilakukan.1,2
A. Gejala Klinis
Masa inkubasi dari Demam Tifoid biasanya 7-14 hari tetapi juga bergantung
pada infeksi yang terjadi, umumnya 3-30 hari. Manifestasi klinis bervariasi
mulai dari sakit ringan dan demam yang tidak terlalu tinggi, malaise, sampai
keadaan klinis yang berat dengan gangguan pencernaan dan komplikasi yang
berat. Banyak faktor yang mempengaruhi berat ringannya penyakit pada demam
tifoid. Hal ini mencakup lama berlangsungnya penyakit sebelum dilakukannya
terapi, pemilihan antibiotic yang sesusai, umur, riwayat vaksinasi, strain bakteri,
dan faktor imunitas seseorang.2
Gejala klinis pada anak umumnya tidak khas.Umumnya perjalanan penyakit
berlangsung dalam jangka waktu yang pendek dan jarang menetap lebih dari 2
minggu.5
Gejala klinis demam tifoid umumnya demam tinggi (95%), lidah kotor
(76%), anoreksia (70%), muntah (39%), hapatomegali (37%), diare (36%),
toksik (29%), nyeri abdomen (21%), pucat (20%), splenomegali (17%),
konstipasi (7%), sakit kepala (4%), ikterus (2%), ileus (1%), dan perforasi usus
(0,5%).2
1. Demam
Demam atau panas merupakan gejala utama demam tifoid. Awalnya demam
hanya samar-samar saja, selanjutnya suhu tubuh turun naik yakni pada pagi
hari lebih rendah atau normal, sementara sore dan malam hari lebih tinggi.
Pada kasus-kasus yang khas umumnya demam berlangsung selama 3
minggu. Demam dapat mencapai 39-40 ◦C yang sifatnya remitten. Intensitas
demam akan makin tinggi disertai gejala lain seperti sakit kepala, diare,
nyeri otot, pegal, insomnia, anoreksia, mual, dan muntah. Selama minggu
pertama, suhu tubuh berlangsung meningkat setiap hari, pada minggu kedua,
intensitas demam makin tinggi kadan terus menerus. Bila pasien membaik
maka pada minggu ketiga, suhu tubuh berangsur turun dan dapat normal
pada akhir minggu ketiga.1,5,7
2. Gangguan Saluran Pencernaan
Sering ditemukan bau mulut yang tidak sedap karena demam yang lama.
Bibir kering dan kadang pecah-pecah (ragaden). Lidah terlihat kotor dan
ditutupi selaput putih kotor, ujung dan tepinya kemerahan. Umumnya
penderita sering mengeluh nyeri perut, teutama nyeri ulu hati, disertai mual
dan muntah. Penderita anak lebih sering mengalami diare, sementara dewasa
cenderung mengalami konstipasi.1,5,7
3. Gangguan Kesadaran
Umumnya terdapat gangguan kesadaran berupa penurunan kesadaran ringan.
Sering ditemui kesadaran apatis. Bila gejala klinis berat, tak jarang penderita
sampai samnolen dan koma atau dengan gejala-gejala psikosis. Pada
penderita dengan toksik, gejala delirium (mengigau) lebih menonjol.1,5,7
4. Hepatosplenomegali
Pada penderita demam tifoid, hati dan atau limpa sering ditemukan
membesar. Hati terasa kenyal dan nyeri bila ditekan.5,7
5. Bradikardi Relatif
Bradikardi relatif adalah peningkatan suhu tubuh yang tidak diikuti oleh
peningkatan frekuensi nadi.Patokan yang sering dipakai adalah peningkatan
suhu 1◦C tidak diikuti peningkatan frekuensi nadi 8 denyut dalam 1 menit.
Bradikardi relative tidak sering ditemukan, mungkin karena teknis
pemeriksaan yang sulit dilakukan. Gejala-gejala lain yang dapat ditemukan
pada demam tifoid adalah rose spot (bintik kemerahan pada kulit) yang
biasanya ditemukan di perut bagian atas, serta gejala klinis yang
berhubungan dengan komplikasi yang terjadi. Rose spot pada anak sangat
jarang ditemukan.5,7
B. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk menegakkan diagnosi demam tifoid yaitu
1. Pemeriksaan Darah Tepi
Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah leukosit
normal, bisa menurun datau meningkat, mungkin didapatkan
trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke
kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relative, terutama
pada fase lanjut. Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa
hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai
nilai sensitivitas, spesifisitas, dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk
dipakai dalam membedakan antara penderita demam tiofid atau bukan, akan
tetapi adanya leucopenia dan limfositosis relative dugaan diagnosis demam
tifoid.3
2. Pemeriksaan Bakteriologis dengan Isolasi dan Biakan
Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri
S.Typhi dalam biakan darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum
atau dari rose spots. Berkaitan dengan pathogenesis penyakit, maka bakteri
akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal
penyakit sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.
Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil
negative tidak dapat menyingkirkan demam tifoid karena hasilnya
tergantung beberapa faktor.
Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan :
Jumlah darah yang diambil
Perbandingan volume darah dari media empedu
Waktu pengambilan darah
Volume darah yang dianjurkan untuk anak besar 10-15 mL sedangkan untuk
anak kecil dibutuhkan 2-4 mL. Volume sumsum tulang yang dibutuhkan
untuk kultur hanya sekitar 0,5-1 mL. bakteri dalam sumsum tulang juga
sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini
dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil
positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel
yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya.
Media pembiakan yang dianjurkan untuk S. Typhi adalah media empedu
(gall) dari sapi dimana dikatakan media gall ini dapat meningkatkan
positivitas hasil karena hanya S.Typhi dan S.Paratyphi yang dapat tumbuh
pada media tersebut.
Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan
pada perjalanan penyakit, beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif
40-80% atau 70-90%dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif
10-50% pada akhir minggu ketiga. Sensitivitasnya akan menurun pada
sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai
dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai.
Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%)
hingga minggu ketiga(75%) dan turun secara perlahan. Biakan urinpositif
setelah minggu ketiga.
Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai
sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan
sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase
penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat pada penderita yang sudah
mendapat terapi atau dengan kultur darah negatif. Prosedur terakhir ini
sangat invasive sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada
keadaan tertentudapat dilakukan kultur pada specimen empedu yang
diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi
tidak digunakan secara luas karena adanya resiko aspirasi pada anak-anak.
Salah satu penelitian pada anak menunjukan bahwa sensitivitas kombinasi
kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang.
Kegagalan dalam isolasi atau biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan
media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang
sangat minimal dalam darah, volume specimen yang tidak mencukupi, dan
waktu pengambilan specimen yang rendah dan adanya kendala berupa
lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih
canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat
untuk dipakai sebagai metode diagnosi baku dalam pelayanan penderita.3
3. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam
tifoid dengan mendeteksi antibody spesifik terhadap komponen antigen
S.Typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang
diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke
dalam tabung tanpa antikoagulan.
Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai
penting dalam proses diagnostic demam tifoid Akan tetapi, masih
didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada
deteksi antigen spesifik S.Typhi oleh karena tergantung jenis antigen,
specimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen
tersebut, jenis antibody yang digunakan dalam uji (poliklonal atau
monoclonal) dan waktu pengambilan specimen (stadium dini atau lanjut
dalam perjalanan penyakti).3
Uji Widal
Suatu metode serologis yang digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji
widal adalah memeriksa reaksi antara antibody agglutinin dalam serum
penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap
antoigen somatic (O) dan flagella (H) yang ditambahkan dalam jumlah
yang samasehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih
menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibody dalam serum.
Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan
(slide test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara
cepat dan digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung
membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan utnuk
konfirmasi dari uji hapusan.
Interpretasi dari uji widal ini harus memperhatikan beberapa faktor
antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit, factor penderita
seperti status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi
pembentukan antibody, gambaran imunologis dari masyarakat setempat
(daerah endemis atau non-endemis), factor antigen, teknik serta reagen
yang digunakan.
Kelemahan tes in adalah rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta
sulitnya melakukan interpretasi hasil akan tetapi hasil uji widal yang
positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid
(penanda infeksi). Saat ini walupun telah digunakan secara luas di
seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan
pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi
(cut-off point). Untuk ,encari standar uji widal seharusnya ditentukan
titer dasar (baseline titer) oada anak sehat di populasi dimana pada
daerah endemis seperti di Indonesia akan didapatkan peningkatan titer
antibody O dan H pada anak-anak sehat.3
Tes TUBEX
Merupakan tes aglutinasi kompetiti semi kuantitatifyang sederhana dan
cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang
berwarna untuk meningkatkan sensitivitas, spesifisitas dengan
menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya
ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam
diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi antibody igG dalam
waktu beberapa menit.
Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ini,
beberapa penelitian terdahulu menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai
sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik dari uji Widal. Penelitian
oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan
spesifisitas 100%. Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78%
dan spesifisitas 89%. Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal,
dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah,
dan sederhana terutama di Negara berkembang.3
Metode Enzyme Immunoassay (EIA) DOT
Uji didasarkan pada metode untuk melacak antibody spesifik IgM dan
IgG terhadap antigen OMP 50 kD S.Typhi. Deteksi terhadap IgM
menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan
deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase
pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat
transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi
IgGspesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut,
konvalesen, dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M yang merupakan
modifikasi dari metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total
sehingga menghilangkan pengikatan antigen terhadap antigen terhadap
IgM spesifik.
Metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Dilakukan untuk melacak antibody IgG, IgM, dan IgA terhadapa antigen
LPS O9, antibody IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibody
terhadap antigen Vi S. Typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk
mendeteksi adanya antigen S. Typhi dalam specimen klinis adalah
double antibody sandwich ELISA.3
Pemeriksaan Dipstik
Pemeriksaan ini dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi
antibody IgM spesifik terhadap antigen LPS S. Typhi dengan
menggunakan membrane Nitoselulosa yang mengandung antigen S.
Typhi sebagai pita pendeteksi dan antibody IgM antihuman Immobilized
sebagai reagen control. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang
sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat
digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang
lengkap.3
4. Pemeriksaan Bakteriologis secara molekuler
Metode lain yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen
flagellin bakteri S. Typhi dalam darah dengan teknik hibridasi asam nukleat
atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain Reaction (PCR)
melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. Typhi.3
VI. DIAGNOSIS BANDING
Pada daerah endemik, demam tifoid merupakan penyebab tersering dari
kejadian demam tanpa disertaitanda local. Demam yang terjadi pada anak pada
keadaan awal terkadang memberikan gambaran seperti gastroenteritis, bronchitis,
atau bronkopneumonia. Secara umum diagnosis banding dari demam tifoid yaitu
malaria, sepsis dengan infeksi bakteri yang lain, infeksi karena mikroorganisme
intraseluller seperti tuberculosis, brusellosis, leptospirosis, dan penyakit akibat
infeksi virus seperti demam berdarah dengue, hepatitis akut, dan infeksi
mononukleosis juga dapat dipikirkan.3
VII. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada penderita demam tifoid mempunyai tujuan untuk
mencegah kmplikasi, mencegah relaps, dan mempercepat penyembuhan. Oleh
karena itu penatalaksanaan demam tifoid meliputi :
A. Simtomatis
1. Istirahat Mutlak (Tirah baring)
Anak baring terus ditempat tidur dan letak baring harus sering diubah.
Lamanya istirahat baring berlangsung sampai 5 hari bebas demam,
dilanjutkan dengan mobilisasi secara bertahap sebagai berikut :
Hari 1 duduk 2 x 15 menit
Hari 2 duduk 2 x 30 menit
Hari 3 jalan dan pulang
Seandainya selama mobilisasi bertahap ada kecenderungan suhu meningkat,
maka “istirahat mutlak” diulagi kembali.8
2. Dietik
Diet harus mengandung kalori dan protein yang cukup. Sebaiknya rendah
selulosa (Rendah serat) untuk menceah perdarahan dan perforasi. Diet untuk
penderita demam tifoid, basanya diklsifikasikan atas diet cair, bubur lunak,
tim, dan nasi biasa.5
IVFD bila ada dehidrasi berat, keadaan toksik, dan komplikasi berat.
Maksud pemasangan IVFD pada keadaan ini adalah untuk :
Menanggulangi gangguan sirkulasi
Menjamin intake (keseimbangan cairan dan elektrolit)
Pemberian obat-obatan intravena
Menanggulangi sirkulasi
Renjatan RL : 20-30 cc/kgBB/jam
renjatan berat RL diguyur samapai tekanan darah terukur dan nadi
teraba, kemudian jumlah cairan yang diberikan disesuaikan dengan
keadaan penderita.
Diare dehidrasi sesuai dengan protocol gastroenterologi
B. Kausal
1. Kloramfenikol
Dosis : 7-100 mg/kgBB/hari, dibagi dalam 3 atau 4 dosis peroral atau
paenteral, sesuai keadaan penderita.
Lama pemberian :
10 hari untuk demam tifoid ringan
14 hari untuk demam tifoid berat (keadaan tokdik, bronchitis,
pneumonia, dan komplikasi berat) serta masih demam setelah 10 hari
pemberan kloramfenikol.
2. Obat Pilihan
Diberikan bila ada tanda-tanda resistensi atau intoksikasi kloramfenikol
Kotrimoksasol, Dosis : Trimetoprim 6 mg/kgBB/hari dan lama
pemberian 10 hari.
Tiamfenikol, Dosis : 30-50 mg/kbBB/hari
Ceftriaxone, Dosis : 80 mg/kgBB/hari pemberian selama 5 hari.
Amoksisilin, Dosis : 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 atau 4 dosis dan
lama pemberian 10 hari
C. Kortikosteroid
1. Keadaan toksik
2. Komplikasi berat (perdarahan usus / perforasi usus, ensefalitis).
Untuk ini diberikan deksametason 1 mg/kgBB/hari intravena selama 2-3
hari, kemudian dilanjutkan dengan prednisone 2 mg/kgBB/hari sampai dengan 2
minggu. Khusus renjatan septik mempunyai penanganan tersendiri.
D. Tindakan khusus
1. Perforasi / perdarahan
Stop intake oral
IFVD (koreksi gangguan sirkulasi, keseimbangan elektrolit, dan
menjamin intake)
Transfusi darah ( untuk atasi anemi pasca perdarahan dan renjatan/syok
hemoragik) diberikan 10-20 cc/kgBB, dapat diulangi sesuai keadaan
penderita.
Kloramfenikol 100mg/kgBB/hari iv
Deksametason 1 mg/kgBB/hari iv
Konsul bedah
Perdarahan >72 jam perlu petimbangan pemberin hemostatik
(carbazochrome sodium sulfonate 50 mg bolus iv. Kemudian dilanjutkan
dengan 100 mg/24 jam secara drips.
2. Renjatan septik
IVFD (penanggulangan gangguan sirkulasi)
Kloramfenikol 100 mg/kgBB/hari iv
Dimulai dengan deksametason 3 mg/kgBB 1 dosis, setelah 6 jam
diikuti 8 dosis 1 mg/kgBB/6 jam
Setiap kali pemberian kortikosteroiddilarutkan didalam 50 cc dekstrose
5% dan diberikan selama 30 menit.
Dapat dipertimbangkan obat-obatan inotropik : dopaminn dengan dosis
5-20 µg/kgBB/menit secara drips
Bila perlu diberikan plasma ekspander untuk mempertahankan tekanan
koloid
Bila ada tanda-tanda anoksia diberikan oksigen 2-4 liter/menit.8
VIII.KOMPLIKASI
Komplikasi yang sering terjadi pada demam tifoid adalah
a. Perndarahan usus dan perforasi
Merupakan komplikasi yang serius dan perlu diwaspadai dari demam tifoid
yang muncul pada minggu ketiga. Sekitar 5% penderita demam tiofid
mengalami komplikasi ini. Perdarahan usus pada umumnya ditandai keluhan
nyeri perut, perut membesar nyeri pada perabaan, seringkali ditandai dengan
penurunan tekanan darah dan terjadinya shock, diikuti dengan perdarahan
saluran cerna sehingga tampak darah kehitaman yang keluar bersama tinja.
Perdarahan usus muncul ketika ada luka di usus halus sehinggan membuat
gejala seperti sakit perut, mual, muntah, dan terjadi infeksi pada selaput perut
(peritonitis). Jika hal ini terjadi maka diperluka perawatan medis yang segera.
Komplikasi yang lebih jarang
a. Pembengkakan dan peradangan pada otot jantung.
b. Pneumonia.
c. Peradangan pankreas (pankreatitis).
d. Infeksi ginjal atau kandung kemih.
e. Infeksi dan pembengkakan selaput otak
Masalah psikiatri seperti mengigau, halusinasi, dan paranoid psikosis.
Merupakan komplikasi yang serius dan perlu diwaspadai dari demam tifoid
yang muncul pada minggu ketiga. Sekitar 5% penderita demam tiofid
mengalami komplikasi ini. Perdarahan usus pada umumnya ditandai keluhan
nyeri perut, perut membesar nyeri pada perabaan, seringkali ditandai dengan
penurunan tekanan darah dan terjadinya shock, diikuti dengan perdarahan
saluran cerna sehingga tampak darah kehitaman yang keluar bersama tinja.
IX. PROGNOSIS
Prognosis tergantung dari diagnosi tepat yang dilakukan secara dini dan
pemberian antibiotic sebagai terpai dari penyakit ini. Umumnya prognosis baik
jika penderita cepat mendapatkan pengobatan. Faktor lain yang berperan yaitu
umur pasien, keadaan umum, dan status nutrisi yaitu prognosis buruk jika keadaan
fisik yang lemah dan status nutrisi yang buruk, serotype Salmonella typhi, dan
komplikasi yang terjadi. Dengan terapi yang adekuat, biasanya 2-4% relaps,
mortalitas pada penderita yang dirawat mencapai 6%.1,2