Demam tifoid

25
TUGAS PRESENTASI KASUS DEMAM TIFOID Pembimbing: dr. Sipriyanto, Sp. A Disusun Oleh : Dera Fakhrunnisa G1A009020

description

Demam tifoid

Transcript of Demam tifoid

Page 1: Demam tifoid

TUGAS PRESENTASI KASUS

DEMAM TIFOID

Pembimbing:

dr. Sipriyanto, Sp. A

Disusun Oleh :

Dera Fakhrunnisa G1A009020

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATANJURUSAN KEDOKTERAN

PURWOKERTO

2013

Page 2: Demam tifoid

LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

Telah dipresentasikan dan disahkan presentasi kasus dengan judul:

“Demam Tifoid”

Disusun Oleh :

Dera Fakhrunnisa G1A009020

Pada tanggal , Januari 2013

Pembimbing,

dr. Supriyanto, Sp. A NIP. ...........................

Page 3: Demam tifoid

BAB I

PENDAHULUAN

Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di negara

berkembang. Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang

disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai

negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis.

Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena

penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan

lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri

pengolahan makanan yang masih rendah (Widodo, 2006).

Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan

karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat

luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan

terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi

600.000 kasus kematian tiap tahun. Seperti penyakit menular lainnya, tifoid

banyak ditemukan di negara berkembang, dimana higien pribadi dan sanitasi

lingkungannya kurang baik. Prevalensi kasus bervariasi tergantung lokasi, kondisi

lingkungan setempat, dan perilaku masyarakat (Widodo, 2006).

Indonesia merupakan salah satu negara endemis tifoid. Diperkiranakan

terdapat 800 penderita per 100.000 penduduk setiap tahun yang ditemukan

sepanjang tahun.Di Indonesia penyakit ini tersebar di seluruh secara merata di

seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000

penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/tahun atau

sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di

Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus (Widodo, 2006).

Page 4: Demam tifoid

BAB II

PEMBAHASAN

A. DEFINISI

Demam tifoid disebut juga dengan thypus abdominalis merupakan

penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi dan ditandai

dengan gejala demam satu minggu atau lebih disertai gangguan pada saluran

pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan kesadaran (Soegijanto, 2002).

B. ETIOLOGI DAN PREDISPOSISI

Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella

paratyphi dari Genus Salmonella. Bakteri ini berbentuk batang, gram negatip,

tidak membentuk spora, motil, berkapsul dan mempunyai flagella (bergerak

dengan rambut getar). Bakteri ini dapat hidup sampai beberapa minggu di alam

bebas seperti di dalam air, es, sampah dan debu. Bakteri ini dapat mati dengan

pemanasan (suhu 600°C) selama 15 – 20 menit, pasteurisasi, pendidihan dan

khlorinisasi. Salmonella typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu

(Rampengan, 2008) :

a. Antigen O (Antigen somatik), yaitu terletak pada lapisan luar dari tubuh

kuman. Bagian ini mempunyai struktur kimia lipopolisakarida atau disebut

juga endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak

tahan terhadap formaldehid.

b. Antigen H (Antigen Flagella), yang terletak pada flagella, fimbriae atau pili

dari kuman. Antigen ini mempunyai struktur kimia suatu protein dan tahan

terhadap formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.

c. Antigen Vi yang terletak pada kapsul (envelope) dari kuman yang dapat

melindungi kuman terhadap fagositosis.

Ketiga macam antigen tersebut di atas di dalam tubuh penderita akan

menimbulkan pula pembentukan 3 macam antibodi yang lazim disebut

aglutinin (Rampengan, 2008).

Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya demam tifoid yaitu

diantaranya adalah sebagai berikut:

Page 5: Demam tifoid

a. Faktor Host

Manusia adalah sebagai reservoir bagi kuman Salmonella thypi. Terjadinya

penularan Salmonella thypi sebagian besar melalui makanan/minuman yang

tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau carrier yang biasanya

keluar bersama dengan tinja atau urine. Dapat juga terjadi trasmisi

transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakterimia kepada

bayinya (Soedarno, 2002). Penelitian yang dilakukan oleh Heru Laksono

(2009) menunjukkan bahwa kebiasaan jajan di luar mempunyai resiko

terkena penyakit demam tifoid pada anak 3,6 kali lebih besar dibandingkan

dengan kebiasaan tidak jajan diluar dan anak yang mempunyai kebiasaan

tidak mencuci tangan sebelum makan beresiko terkena penyakit demam

tifoid 2,7 lebih besar dibandingkan dengan kebiasaan mencuci tangan

sebelum makan.

b. Faktor Agent

Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella thypi. Jumlah kuman yang

dapat menimbulkan infeksi adalah sebanyak 105 – 109 kuman yang tertelan

melalui makanan dan minuman yang terkontaminasi. Semakin besar jumlah

Salmonella thypi yang tertelan, maka semakin pendek masa inkubasi

penyakit demam tifoid (Syahrurahman, 1994).

c. Faktor Environment

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi yang dijumpai secara luas di daerah

tropis terutama di daerah dengan kualitas sumber air yang tidak memadai

dengan standar hygiene dan sanitasi yang rendah. Beberapa hal yang

mempercepat terjadinya penyebaran demam tifoid adalah urbanisasi,

kepadatan penduduk, sumber air minum dan standart hygiene industri

pengolahan makanan yang masih rendah. Berdasarkan hasil penelitian

Lubis, R. di RSUD. Dr. Soetomo (2000) menunjukkan bahwa higiene

perorangan yang kurang, mempunyai resiko terkena penyakit demam tifoid

20,8 kali lebih besar dibandingkan dengan yang higiene perorangan yang

baik dan kualitas air minum yang tercemar berat coliform beresiko 6,4 kali

lebih besar terkena penyakit demam tifoid dibandingkan dengan yang

kualitas air minumnya tidak tercemar berat coliform.

Page 6: Demam tifoid

S. typhi masuk melalui GIT

Sebagian mati di lambung karena adanya HCL

Sebagian lolos masuk ke usus

Respon imun humoral mukosa (IgA) buruk

Bakteri menembus epitel lamina propria

Difagosit oleh makrofag

Dibawa ke plak peyeri ileum distal

KGB Mesenterika

Masuk ke sirkulasi darah melalui ductus thoracicus

Bakterimia primer(Asimptomatik)

Masuk ke organ retikuloendotelial terutama hepar dan lien

Bakteri meninggalkan sel fagosit, berkembang biak di ruang sinusoid

Masuk ke sirkulasi darah

Dari hepar bakteri masuk ke empedu

Berkembang biak

Diekskresikan secara intermitten ke usus

Keluar bersama fesesMasuk lagi ke sirkulasi darah menembus usus

Bakterimia sekunder

Demam Tifoid

C. PATOFISIOLOGI

Page 7: Demam tifoid

D. PENEGAKAN DIAGNOSIS

1. Anamnesa

Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis

besar gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokkan (Rampengan, 2008) :

a. Demam satu minggu atau lebih.

b. Gangguan saluran pencernaan

c. Gangguan kesadaran

Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit

infeksi akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual,

muntah, diare, konstipasi. Demam yang terjadi pada penderita anak tidak

selalu tipikal seperti pada orang dewasa, kadang-kadang mempunyai

gambaran klasik berupa stepwise pattern, dapat pula mendadak tinggi dan

remiten (39 – 41o C) serta dapat pula bersifat ireguler (Rampengan, 2008).

2. Pemeriksaan Fisik

a. Minggu pertama

Pada pemeriksaan fisik minggu pertama didapatkan sebagai berikut

(Chen, 2006):

1) Suhu tubuh naik, menurun saat pagi, meningkat pada sore/malam (39-

40° C)

2) Nadi 80x-100x/menit, denyut lemah

3) Nafas cepat

4) Lidah tifoid yaitu lidah kotor di tengah tepi dan ujung merah serta

tremor

5) Bercak ros/rosela 3-5 hari. Roseola ini merupakan emboli kuman yang

didalamnya mengandung kuman salmonella, dan terutama didapatkan

di daerah perut, dada, kadang-kadang di bokong, ataupun bagian

fleksor lengan atas.

6) Hepatomegali dan atau splenomegali, serta distensi abdomen.

Splenomegali pada demam tifoid bersifat tidak progresif dan

konsistensinya lebih lunak.

7) Diare pada akhir minggu pertama

Page 8: Demam tifoid

b. Minggu kedua

Pada pemeriksaan fisik minggu kedua didapatkan sebagai berikut (Chen,

2006):

1) Demam terus meninggi, turun pada pagi hari namun tidak signifikan

2) Bradikardi relatif

3) Toksemia delirium

4) Gangguan pendengaran

5) Diare terus – menerus kadang melena

6) Hepatosplenomegali

7) Bising usus meningkat

c. Minggu ketiga

Pada pemeriksaan fisik minggu ketiga didapatkan sebagai berikut (Chen,

2006):

1) Suhu tubuh berangsur turun bahkan normal

2) Saat terjadi perdarahan / komplikasi

3) Jika toksemia memberat bisa menjadikan delirium atau stupor, otot

yang treus bergerak

4) Meteorismus / timpani

5) Peningkatan tekanan abdomen

d. Minggu keempat

Stadium penyembuhan atau bisa terjadi relaps (Chen, 2006)

Namun, tanda dan gejala tersebut bergantung pada :

1) Sudah diberikan obat anti – mikroba atau belum

2) Lama konsumsi obat

3) Kecepatan penanganan

4) Kondisi host

5) Paparan sebelumnya

6) Umur

7) Strain bakteri

Page 9: Demam tifoid

3. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis

demam tifoid dibagi dalam empat kelompok, yaitu :

a. Pemeriksaan darah tepi

Pada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia, jumlah

leukosit normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan

trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser

ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif,

terutama pada fase lanjut. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa

hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai

nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk

dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan,

akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan

kuat diagnosis demam tifoid (Rampengan, 2008).

b. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman (Gold

Stadar)

Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan

bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang,

cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis

penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan

sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya

di dalam urine dan feses (Rampengan, 2008).

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi

hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya

tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil

biakan meliputi (Rampengan, 2008):

1) jumlah darah yang diambil

2) perbandingan volume darah dari media empedu

3) waktu pengambilan darah.

Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah

media empedu (GALL) dari sapi (Rampengan, 2008).

Page 10: Demam tifoid

c. Uji Serologis

Uji Widal merupakan metode serologis baku. Prinsip uji Widal

adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita

yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen

somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama

sehingga terjadi aglutinasi (Rampengan, 2008).

Dari ketiga aglutinin (aglutinin O, H, dan Vi), hanya aglutinin O dan

H yang ditentukan titernya untuk diagnosis. Semakin tinggi titer

aglutininnya, semakin besar pula kemungkinan didiagnosis sebagai

penderita demam tifoid. Pada infeksi yang aktif, titer aglutinin akan

meningkat pada pemeriksaan ulang yang dilakukan selang waktu paling

sedikit 5 hari. Peningkatan titer aglutinin empat kali lipat selama 2 sampai 3

minggu memastikan diagnosis demam tifoid. Interpretasi hasil uji Widal

adalah sebagai berikut (Handojo, 2004):

1) Titer O yang tinggi ( > 160) menunjukkan adanya infeksi akut

2) Titer H yang tinggi ( > 160) menunjukkan telah mendapat imunisasi atau

pernah menderita infeksi

3) Titer antibodi yang tinggi terhadap antigen Vi terjadi pada carrier.

Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa

faktor antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor

penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat

mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari

masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen;

teknik serta reagen yang digunakan (Rampengan, 2008).

E. PENATALAKSANAAN

1. Medikamentosa

Pada demam tifoid diberikan antibiotik dengan tujuan menghentikan

dan mencegah penyebaran kuman. Antibiotik yang dapat digunakan antara lain

adalah sebagai berikut (Rampengan, 2008) :

a. Kloramfenikol

Meskipun telah dilaporkan adanya resistensi kuman Salmonella

terhadap Kloramfenikol di berbagai daerah, Kloramfenikol tetap

Page 11: Demam tifoid

digunakan sebagai obat pilihan pada kasus demam tifoid. Sejak

ditemukannya obat ini oleh Burkoder sampai saat ini belum ada obat

antimikroba lain yang dapat menurunkan demam lebih cepat disamping

harganya murah dan terjangkau oleh penderita. Kekurangan kloramfenikol

antara lain ialah reaksi hipersensitifitas, reaksi toksik, grey syndrome,

kolaps, dan tidak bermanfaat untuk pengobatan karier (Rampengan, 2008).

Dalam pemberian kloramfenikol tidak terdapat keseragaman dosis.

Dosis yang dianjurkan ialah 50 – 100 mg/kgBB/hari, selama 10 – 14 hari.

Untuk neonatus, penggunaan obat ini sebaiknya dihindari, dan bila

terpaksa, dosis tidak boleh melebihi 25 mg/kgBB/hari, selama 10 hari

(Rampengan, 2008).

b. Tiamfenikol

Tiamfenikol mempunyai efek yang sama dengan Kloramfenikol

karena susunan kimianya hampir sama dan hanya berbeda pada gugusan

R-nya. Dengan pemberian Tiamfenikol, demam turun setelah 5 – 6 hari.

Komplikasi hematologi pada penggunaan Tiamfenikol jarang dilaporkan.

Dosis oral dianjurkan 50 – 100 mg/kgBB/hsri, selama 10 – 14 hari

(Rampengan, 2008).

c. Kotrimoksazol

Pendapat mengenai efektifitas kotrimksazol terhadap demam tifoid

masih kontroversial. Kelebihan kotrimoksasol antara lain dapat

digunakan untuk kasus yang resisten terhadap kloamfenikol, penyerapan

di usus cukup baik, dan kemungkinan timbulnya kakambuhan

pengobatan pengobatan lebih kecil dibandingkan kloramfenikol.

Kelemahannya ialah dapat terjadi skin rash (1 – 15%), sindrom Steven

Johnson, agranulositosis, trombositopenia, anemia megaloblastik,

hemolisis eritrosit. Dosis oral yang dianjurkan adalah 30 – 40

mg/kgBB/hari. Sulfametoksazol dan 6 – 8 mg/kgBB/hari untuk

Trimetoprim, diberikan dalam 2 kali pemberian, selama 10 – 14 hari

(Rampengan, 2008).

Page 12: Demam tifoid

d. Ampisilin dan Amoksisilin

Merupakan derivat Penisilin yang digunakan pada pengobatan

demam tifoid, terutama pada kasus yang resisten terhadap

Kloramfenikol. Pernah dilaporkan adanya Salmonella yang resisten

terhadap Ampisilin di Thailand. Ampisilin umumnya lebih lambat

menurunkan demam bila dibandingkan dengan Kloramfenikol, tetapi

lebih efektif untuk mengobati karier serta kurang toksik. Kelemahannya

dapat terjadi skin rash (3 – 18%), dan diare (11%). Ampisilin mempunyai

daya antibakteri yang sama dengan Ampisilin, terapi penyerapan peroral

lebih baik sehingga kadar obat yang tercapai 2 kali lebih tinggi, dan lebih

sedikit timbulnya kekambuhan (2 – 5%) dan karier (0 – 5%). Dosis yang

dianjurkan adalah (Rampengan, 2008) :

Ampisilin 100 – 200 mg/kgBB/hari, selama 10 – 14 hari.

Amoksisilin 100 mg/kgBB/hari, selama 10 – 14 hari.

e. Sefalosporin Generasi 1

Cefotaxim, ceftriaxon, dan cefoperazon telah digunakan untuk

mengobati demam tifoid, dengan pemberian selama 3 hari memberikan

efek terapi sama dengan regimen obat yang diberikan 10-14 hari.

Respon yang baik juga dilaporkan dengan pemberian ceftriaxon selama

5-7 hari, tetapi laporan angka kekambuhan ditemukan tidak lengkap.

Obat-obat ini sebaiknya diberikan untuk kasus resisten quinolon.

Direkomendasikan diberikan untuk 10-14 hari (Rampengan, 2008).

f. Antibiotik lainnya

Beberapa studi kecil telah melaporkan kesuksesan pengobatan

demam tifoid dengan aztreonam, antibiotik monobaktam. Antibiotik ini

menunjukan lebih efektif daripada kloramfenikol dalam membasmi

organisme dalam darah. Penelitian prospektif di Malaysia terhenti akibat

tingginya kegagalan dengan aztreonam. Azitromycin, antibiotik

makrolida baru diberikan dengan dosis 1 gr sekali sehari selama 5 hari

juga bermanfaat untuk pengobatan demam tifoid. Keuntungan lainnya

penggunaan aztreonam dan azitromycin adalah kedua obat ini dapat

digunakan pada anak-anak, ibu hamil dan menyusui (Rampengan, 2008).

Page 13: Demam tifoid

2. Nonmedikamentosa

a. Makanan dengan energi cukup sesuai dengan umur, jenis kelamin dan

aktivitas

b. Protein cukup, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total Lemak sedang,

yaitu 10-25% dari kebutuhan energi total

c. Karbohidrat cukup, yaitu sisa kebutuhan energi total

d. Menghindari makanan berserat tinggi dan sedang sehingga asupan serat

maksimal 8 gr/hari. Pembatasan ini disesuaikan dengan toleransi

perorangan Menghindari susu, produk susu, daging berserat kasar (liat)

sesuai dengan toleransi perorangan.

e. Menghindari makanan yang terlalu berlemak, terlalu manis, terlalu asam

dan berbumbu tajam.

f. Makanan sering diberikan dalam porsi kecil

g. Bila diberikan untuk jangka waktu lama atau dalam keadaan khusus, diet

perlu disertai suplemen vitamin dan mineral, makanan formula, atau

makanan parenteral.

h. Menerapkan prilaku hidup bersih dan sehat dengan cara budaya cuci

tangan yang benar dengan memakai sabun (Depkes RI, 2005).

i. Peningkatan higiene makanan dan minuman berupa menggunakan cara-

cara yang cermat dan bersih dalam pengolahan dan penyajian makanan,

sejak awal pengolahan, pendinginan sampai penyajian untuk dimakan,

dan perbaikan sanitasi lingkungan (Depkes RI, 2005).

F. PROGNOSIS

Sebanyak 5% penderita demam tifoid akan menjadi karier sementara dan

2% yang lain akan menjadi karier menahun. 10 % pasien demam tifoid yng

tidak di obati akan mengakibatkan relaps. Hal ini tergantung oleh umur,

keadaan umum, gizi, daya tahan tubuh dan cepat atau lambatnya pengobatan

yang di terima serta komplikasi yang ada (Maldonado, 2002).

Page 14: Demam tifoid

G. KOMPLIKASI

Komplikasi demam tifoid dapat dibagi atas dua bagian, yaitu :

a. Komplikasi Intestinal (Widodo, 2006) :

1) Perdarahan usus

Sekitar 25% penderita demam tifoid dapat mengalami perdarahan minor

yang tidak membutuhkan tranfusi darah. Perdarahan hebat dapat terjadi

hingga penderita mengalami syok. Secara klinis perdarahan akut darurat

bedah ditegakkan bila terdapat perdarahan sebanyak 5 ml/kgBB/jam.

2) Perforasi usus

Terjadi pada sekitar 3% dari penderita yang dirawat. Biasanya timbul

pada minggu ketiga namun dapat pula terjadi pada minggu pertama.

Penderita demam tifoid dengan perforasi mengeluh nyeri perut yang

hebat terutama di daerah kuadran kanan bawah yang kemudian meyebar

ke seluruh perut. Tanda perforasi lainnya adalah nadi cepat, tekanan

darah turun dan bahkan sampai syok.

b. Komplikasi Ekstraintestinal (Widodo, 2006):

1) Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi perifer (syok, sepsis),

miokarditis, trombosis dan tromboflebitis.

2) Komplikasi darah : anemia hemolitik, trombositopenia, koaguolasi

intravaskuler diseminata, dan sindrom uremia hemolitik.

3) Komplikasi paru : pneumoni, empiema, dan pleuritis

4) Komplikasi hepar dan kandung kemih : hepatitis dan kolelitiasis

5) Komplikasi ginjal : glomerulonefritis, pielonefritis, dan perinefritis

6) Komplikasi tulang : osteomielitis, periostitis, spondilitis, dan arthritis

7) Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningismus, meningitis,

polineuritis perifer, psikosis, dan sindrom katatonia.

Page 15: Demam tifoid

BAB III

KESIMPULAN

1. Demam tifoid merupakan penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh

Salmonella typhi dan ditandai dengan gejala demam satu minggu atau lebih

disertai gangguan pada saluran pencernaan dan dengan atau tanpa gangguan

kesadaran.

2. Demam tifoid disebabkan oleh bakteri Salmonella typhi atau Salmonella

paratyphi dari Genus Salmonella.

3. Faktor yang mempengaruhi demam tifoid diantaranya faktor host, agent dan

environment.

4. Penegakkan diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan dengan anamnesis,

pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.

5. Pemeriksaan penunjang yang menjadi gold standar dalam penegakan diagnosis

demam tifoid adalah dengan kultur.

6. Terapi medikamentosa pada penderita demam tifoid adalah pemberian

antibiotik dengan tujuan menghentikan dan mencegah penyebaran kuman.

7. Prognosis dari demam tifoid tergantung oleh umur, keadaan umum, gizi, daya

tahan tubuh dan cepat atau lambatnya pengobatan yang di terima serta

komplikasi yang ada.

8. Komplikasi yang dapat timbul akibat demam tifoid berupa komplikasi

intestinal dan komplikasi ekstraintestinal.

Page 16: Demam tifoid

DAFTAR PUSTAKA

Depkes RI. 2005. Pedoman Pengendalian Demam Tifoid Bagi Tenaga Kesehatan.

Jakarta.

Laksono, Heru. 2009. Faktor- Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian

Demam Tifoid Pada Anak Yang Dirawat di RS Kota Bengkulu Tahun

2009. Tesis. Program Pasca Sarjana FK- Universitas Gajah Mada

Yogyakarta.

Lubis, R. 2001. Faktor Resiko Kejadian Demam Tifoid Penderita Yang Dirawat di

RSUD Dr. Soetomo Surabaya. Tesis. Program Pasca Sarjana. Universitas

Airlangga Surabaya.

Maldonado, Y. 2002. Ilmu Kesehatan Anak. Jakarta: EGC.

Rampengan, T. H. 2008. Penyakit Infeksi Tropis pada Anak. Jakarta: EGC.

Soedarno SS., Garna H, Hadinegoro SR. 2008. Buku Ajar Infeksi & Pediatric

Tropis. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Syahrurahman, Agus. 1994. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran Edisi Revisi.

Jakarta: Penerbit Binarupa Aksara.

Widodo, Djoko. 2006. Demam Tifoid : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid III.

Edisi 4. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia.