Dekubitus, immobilisasi

31
16 BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 1. Luka Dekubitus 1.1. Pengertian Luka Dekubitus Dekubitus berasal dari bahasa latin decumbree yang berarti merebahkan diri yang didefinisikan sebagai suatu luka akibat posisi penderita yang tidak berubah dalam jangka waktu lebih dari 6 jam (Sabandar, 2008). NPUAP (1989) mengatakan dekubitus merupakan nekrosis jaringan lokal yang cenderung terjadi ketika jaringan lunak tertekan di antara tonjolan tulang dengan permukaan eksternal dalam jangka waktu lama. Terjadi gangguan mikrosirkulasi jaringan lokal dan mengakibatkan hipoksia jaringan. Jaringan memperoleh oksigen dan nutrisi serta membuang sisa metabolisme melalui darah. Beberapa faktor yang menggangu proses ini akan mempengaruhi metabolisme sel dan fungsinya serta kehidupan dari sel. Tekanan mempengaruhi metabolisme sel dengan cara mengurangi atau menghilangkan sirkulasi jaringan yang menyebabkan iskemi jaringan. Iskemia jaringan adalah tidak adanya darah secara lokal atau penurunan aliran darah akibat obstruksi mekanika (Pires & Muller, 1991). Penurunan aliran darah menyebabkan daerah tubuh menjadi pucat. Pucat terlihat ketika adanya warna kemerahan pada pasien berkulit terang. Pucat tidak terjadi pada pasien berkulit pigmennya gelap (Potter & Perry, 2005). Kerusakan jaringan terjadi ketika tekanan mengenai kapiler yang cukup besar dan menutup kapiler tersebut. Tekanan pada kapiler merupakan tekanan 6 Universitas Sumatera Utara

Transcript of Dekubitus, immobilisasi

Page 1: Dekubitus, immobilisasi

16

16

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Luka Dekubitus

1.1. Pengertian Luka Dekubitus

Dekubitus berasal dari bahasa latin decumbree yang berarti merebahkan

diri yang didefinisikan sebagai suatu luka akibat posisi penderita yang tidak

berubah dalam jangka waktu lebih dari 6 jam (Sabandar, 2008). NPUAP (1989)

mengatakan dekubitus merupakan nekrosis jaringan lokal yang cenderung terjadi

ketika jaringan lunak tertekan di antara tonjolan tulang dengan permukaan

eksternal dalam jangka waktu lama. Terjadi gangguan mikrosirkulasi jaringan

lokal dan mengakibatkan hipoksia jaringan. Jaringan memperoleh oksigen dan

nutrisi serta membuang sisa metabolisme melalui darah. Beberapa faktor yang

menggangu proses ini akan mempengaruhi metabolisme sel dan fungsinya serta

kehidupan dari sel. Tekanan mempengaruhi metabolisme sel dengan cara

mengurangi atau menghilangkan sirkulasi jaringan yang menyebabkan iskemi

jaringan.

Iskemia jaringan adalah tidak adanya darah secara lokal atau penurunan

aliran darah akibat obstruksi mekanika (Pires & Muller, 1991). Penurunan aliran

darah menyebabkan daerah tubuh menjadi pucat. Pucat terlihat ketika adanya

warna kemerahan pada pasien berkulit terang. Pucat tidak terjadi pada pasien

berkulit pigmennya gelap (Potter & Perry, 2005).

Kerusakan jaringan terjadi ketika tekanan mengenai kapiler yang cukup

besar dan menutup kapiler tersebut. Tekanan pada kapiler merupakan tekanan

6

Universitas Sumatera Utara

Page 2: Dekubitus, immobilisasi

17

17

yang dibutuhkan untuk menutup kapiler misalnya jika tekanan melebihi tekanan

kapiler normal yang berada pada rentang 16 sampai 32 mmHg (Maklebust, 1987).

Setelah periode iskemi, kulit yang terang mengalami satu atau dua

perubahan hiperemi. Hiperemia reaktif normal (kemerahan) merupakan efek

vasodilatasi lokal yang terlihat, respons tubuh normal terhadap kekurangan aliran

darah pada jaringan dibawahnya, area pucat setelah dilakukan tekanan dengan

ujung jari dan hiperemia reaktif akan menghilang dalam waktu kurang dari satu

jam. Kelainan hyperemia reaktif adalah vasodilatasi dan indurasi yang berlebihan

sebagai respons dari tekanan. Kulit terlihat berwarna merah muda terang hingga

merah. Indurasi adalah area edema lokal dibawah kulit. Kelainan hiperemia

reaktif dapat hilang dalam waktu antara lebih dari satu jam hingga dua minggu

setelah tekanan dihilangkan (Pires & Muller, 1991).

Ketika pasien berbaring atau duduk maka berat badan berpindah pada

penonjolan tulang. Semakin lama tekanan diberikan, semakin besar resiko

kerusakan kulit (Potter & Perry, 2005). Tekanan menyebabkan penurunan suplai

darah pada jaringan sehingga terjadi iskemi. Apabila tekanan dilepaskan akan

terdapat hiperemia reaktif, atau peningkatan aliran darah yang tiba-tiba ke daerah

tersebut. Hyperemia reaktif merupakan suatu respons konpensasi dan hanya

efektif jika tekanan di kulit dihilangkan sebelum terjadi nekrosis atau kerusakan.

1.2. Faktor Resiko Luka Dekubitus

Menurut Potter & Perry (2005), ada berbagai faktor yang menjadi

predisposisi terjadi luka dekubitus pada pasien yaitu :

a. Gangguan Input Sensorik

Universitas Sumatera Utara

Page 3: Dekubitus, immobilisasi

18

18

Pasien yang mengalami perubahan persepsi sensorik terhadap nyeri dan

tekanan berisiko tinggi mengalami gangguan integritas kulit daripada pasien yang

sensansinya normal. Pasien yang mempunyai persepsi sensorik yang utuh

terhadap nyeri dan tekanan dapat mengetahui jika salah satu bagian tubuhnya

merasakan tekanan atau nyeri yang terlalu besar. Sehingga ketika pasien sadar dan

berorientasi, mereka dapat mengubah posisi atau meminta bantuan untuk

mengubah posisi.

b. Gangguan Fungsi Motorik

Pasien yang tidak mampu mengubah posisi secara mandiri berisiko

tinggi terjadi dekubitus. Pasien tersebut dapat merasakan tekanan tetapi, tidak

mampu mengubah posisi secara mandiri untuk menghilangkan tekanan tersebut.

Hal ini meningkatkan peluang terjadi dekubitus. Pada pasien yang mengalami

cedera medulla spinalis terdapat gangguan motorik dan sensorik. Angka kejadian

dekubitus pada pasien yang mengalami cedera medula spinalis diperkirakan

sebesar 85%, dan komplikasi luka ataupun berkaitan dengan luka merupakan

penyebab kematian pada 8% populasi ini (Reuler & Cooney, 1981).

c. Perubahan Tingkat Kesadaran

Pasien bingung, disorientasi, atau mengalami perubahan tingkat

kesadaran tidak mampu melindungi dirinya sendiri dari luka dekubitus. Pasien

bingung atau disorientasi mungkin dapat merasakan tekanan, tetapi tidak mampu

memahami bagaimana menghilangkan tekanan itu. Pasien koma tidak dapat

merasakan tekanan dan tidak mampu mengubah ke posisi yang lebih baik. Selain

itu pada pasien yang mengalami perubahan tingkat kesadaran lebih mudah

Universitas Sumatera Utara

Page 4: Dekubitus, immobilisasi

19

19

menjadi bingung. Beberapa contoh adalah pada pasien yang berada di ruang

operasi dan untuk perawatan intensif dengan pemberian sedasi.

d. Gips, Traksi, Alat Ortotik, dan Peralatan Lain

Gips dan traksi mengurangi mobilisasi pasien dan ekstremitasnya. Pasien

yang menggunakan gips beresiko tinggi terjadi dekubitus karena adanya gaya

friksi eksternal mekanik dari permukaan gips yang bergesek pada kulit. Gaya

mekanik kedua adalah tekanan yang dikeluarkan gips pada kulit jika gips terlalu

ketat dikeringkan atau jika ekstremitasnya bengkak.

Peralatan ortotik seperti penyangga leher digunakan pada pengobatan

pasien yang mengalami fraktur spinal servikal bagian atas. Luka dekubitus

merupakan potensi komplikasi dari alat penyangga leher ini. Sebuah studi yang

dilakukan Plaiser et. al (1994) mengukur jumlah tekanan pada tulang tengkorak

dan wajah yang diberikan oleh empat jenis penyangga leher yang beda dengan

subjek berada posisi telentang dan upright (bagian atas lebih tinggi). Hasilnya

menunjukkan bahwa pada beberapa penyangga leher, terdapat tekanan yang

menutup kapiler. Perawat perlu waspada terhadap resiko kerusakan kulit pada

klien yang menggunakan penyangga leher ini. Perawat harus mengkaji kulit yang

berada di bawah penyangga leher, alat penopang (braces), atau alat ortotik lain

untuk mengobservasi tanda-tanda kerusakan kulit.

1.3. Faktor yang Mempengaruhi Pembentukan Luka Dekubitus

Gangguan intregitas kulit yang terjadi pada dekubitus merupakan akibat

tekanan. Tetapi, ada faktor-faktor tambahan yang dapat meningkatkan resiko

terjadi luka dekubitus yang lebih lanjut pada pasien. Menurut Potter & Perry

(2005) ada 10 faktor yang mempengaruhi pembentukan luka dekubitus di

Universitas Sumatera Utara

Page 5: Dekubitus, immobilisasi

20

20

antaranya gaya gesek, friksi, kelembaban, nutrisi buruk, anemia, infeksi, demam,

gangguan sirkulasi perifer, obsitas, kekeksia, dan usia.

a. Gaya Gesek

Gaya gesek merupakan tekanan yang diberikan pada kulit dengan arah

pararel terhadap permukaan tubuh (AHCPR, 1994). Gaya ini terjadi saat pasien

bergerak atau memperbaiki posisi tubuhnya di atas saat tempat tidur dengan cara

didorong atau digeser ke bawah saat berada pada posisi fowler yang tinggi. Jika

terdapat gaya gesek maka kulit dan lapisan subkutan menempel pada permukaan

tempat tidur, dan lapisan otot serta tulang bergeser sesuai dengan arah gerakan

tubuh. Tulang pasien bergeser ke arah kulit dan memberi gaya pada kulit

(Maklebust & sieggren, 1991). Kapiler jaringan yang berada di bawahnya tertekan

dan terbeban oleh tekanan tersebut. Akibatnya, tak lama setelah itu akan terjadi

gangguan mikrosirkulasi lokal kemudian menyebabkan hipoksi, perdarahan dan

nekrosis pada lapisan jaringan. Selain itu, terdapat penurunan aliran darah kapiler

akibat tekanan eksternal pada kulit. Lemak subkutan lebih rentan terhadap efek

gesek dan hasil tekanan dari struktur tulang yang berada di bawahnya. Akhirnya

pada kulit akan terbuka sebuah saluran sebagai ruang drainase dari area nekrotik.

Perlu diingat bahwa cedera ini melibatkan lapisan jaringan bagian dalam dan

paling sering dimulai dari rangka tulang yang berada di bawah jaringan rusak.

Dengan mempertahankan tinggi bagian kepala tempat tidur dibawah 30 derajat

dapat menghindarkan cedera yang diakibatkan gaya gesek (AHCPR, 1994).

Bryant et al (1992) mengatakan juga bahwa gaya gesek tidak mungkin tanpa

disertai friksi.

Universitas Sumatera Utara

Page 6: Dekubitus, immobilisasi

21

21

b. Friksi

Friksi merupakan gaya mekanika yang diberikan saat kulit digeser pada

permukaan kasar seperti alat tenun tempat tidur (AHCPR, 1994). Tidak seperti

cedera akibat gaya gesek, cedera akibat friksi mempengaruhi epidermis atau

lapisan kulit bagian atas, yang terkelupas ketika pasien mengubah posisinya.

Seringkali terlihat cedera abrasi pada siku atau tumit (Wysocki & Bryant, 1992).

Karena cara terjadi luka seperti ini, maka perawat sering menyebut luka bakar

seprei “sheet burns” (Bryant et al, 1992). Cedera ini dapat terjadi pada pasien

gelisah, pasien yang gerakannya tidak terkontrol, seperti kondis kejang, dan

pasien yang kulitnya diseret daripada diangkat dari permukaan tempat tidur

selama perubahan posisi (Maklebust & Sieggreen, 1991). Tindakan keperawatan

bertujuan mencegah cedera friksi antara lain sebagai berikut: memindahkan klien

secara tepat dengan menggunakan teknik mengangkat yang benar, meletakkan

benda-benda di bawah siku dan tumit seperti pelindung dari kulit domba, penutup

kulit, dan membran transparan atau balutan hidrokoloid untuk melindungi kulit,

dan mengunakan pelembab untuk mempertahankan hidrasi epidermis.

c. Kelembaban

Adanya kelembaban pada kulit dan durasinya meningkatkan terjadinya

kerusakan integritas kulit. Akibat kelembaban terjadi peningkatkan resiko

pembentukan dekubitus sebanyak lima kali lipat (Reuler & Cooney, 1981).

Kelembaban menurunkan resistensi kulit terhadap faktor fisik lain seperti tekanan

atau gaya gesek.

Pasien immobilisasi yang tidak mampu memenuhi kebutuhan

higienisnya sendiri, tergantung perawatan untuk menjaga kulit pasien tetap kering

Universitas Sumatera Utara

Page 7: Dekubitus, immobilisasi

22

22

dan utuh. Untuk itu perawat harus memasukkan higienis dalam rencana

perawatan. Kelembaban kulit dapat berasal dari drainase luka, keringat,

kondensasi dari sistem yang mengalirkan oksigen yang dilembabkan, muntah, dan

inkontinensia. Beberapa cairan tubuh seperti urine, feses, dan drainase luka

menyebabkan erosi kulit dan meningkatkan resiko terjadi luka akibat tekanan

pada pasien.

d. Nutrisi Buruk

Pasien kurang nutrisi sering mengalami atrofi otot dan penurunan

jaringan subkutan yang serius. Akibat perubahan ini maka jaringan yang berfungsi

sebagai bantalan diantara kulit dan tulang menjadi semakin sedikit. Oleh karena

itu efek tekanan meningkat pada jaringan tersebut. Malnutrisi merupakan

penyebab kedua hanya pada tekanan yang berlebihan dalam etiologi, patogenesis,

dekubitus yang tidak sembuh (Hanan & Escheele, 1991). Pasien yang mengalami

malnutrisi mengalami defisiensi protein dan keseimbangan nitrogen negatif dan

tidak adekuat asupan vitamin C (Shekleton & Litwack, 1991). Status nutrisi buruk

dapat diabaikan jika pasien mempunyai berat badan sama dengan atau lebih dari

berat badan ideal. Pasien dengan status nutrisi buruk biasa mengalami

hipoalbuminenia (level albumin serum dibawah 3 g/100 ml) dan anemia (Natlo,

1983; Steinberg 1990).

Albumin adalah ukuran variabel yang biasa digunakan untuk

mengevaluasi status protein pasien. Pasien yang level albumin serumnya dibawah

3 g/100 ml lebih berisiko tinggi. Selain itu, level albumin rendah dihubungkan

dengan lambatnya penyembuhan luka (Kaminski et al, 1989; Hanan & Scheele,

1991). Walapun kadar albumin serum kurang tepat memperlihatkan perubahan

Universitas Sumatera Utara

Page 8: Dekubitus, immobilisasi

23

23

protein visceral, tapi albumin merupakan prediktor malnutrisi yang terbaik untuk

semua kelompok manusia (Hanan & Scheele, 1991).

Level total protein juga mempunyai korelasi dengan luka dekubitus.

Level total protein dibawah 5,4 g/100 ml menurunkan tekanan osmotik koloid,

yang akan menyebabkan edema interstisial dan penurunan oksigen ke jaringan

(Hanan & Scheele, 1991). Edema akan menurunkan toleransi kulit dan jaringan

yang berada dibawahnya terhadap tekanan, friksi dan gaya gesek. Selain itu,

penurunan level oksigen meningkatkan kecepatan iskemi yang menyebabkan

cedera jaringan.

Nutrisi buruk juga mengganggu keseimbangan cairan dan elektrolit.

Pada pasien yang mengalami kehilangan protein berat, hipoalbuminemia

menyebabkan perpindahan volume cairan ekstra sel kedalam jaringan sehingga

terjadi edema. Edema dapat meningkatkan risiko terjadi dekubitus di jaringan.

Suplai darah pada suplai jaringan edema menurun dan produk sisa tetap tinggal

karena terdapatnya perubahan tekanan pada sirkulasi dan dasar kapiler (Shkleton

& Litwalk,1991).

e. Anemia

Pasien anemia berisiko terjadi dekubitus. Penurunan level hemoglobin

mengurangi kapasitas darah membawa nutrisi dan oksigen serta mengurangi

jumlah oksigen yang tersedia untuk jaringan. Anemia juga mengganggu

metabolisme sel dan menggangu penyembuhan luka.

f. Kakesia

Kakesia merupakan penyakit kesehatan dan malnutrisi umum, ditandai

kelemahan dan kurus. Kakeksia biasa berhubungan dengan penyakit berat seperti

Universitas Sumatera Utara

Page 9: Dekubitus, immobilisasi

24

24

kanker dan penyakit kardiopulmonal tahap akhir. Kondisi ini meningkatkan resiko

luka dekubitus pada pasien. Pada dasarnya pasien kakeksia mengalami kehilangan

jaringan adipose yang berguna untuk melindungi tonjolan tulang dari tekanan.

g. Obesitas

Obesitas dapat mengurangi dekubitus. Jaringan adipose pada jumlah

kecil berguna sebagai bantalan tonjolan tulang sehingga melindungi kulit dari

tekanan. Pada obesitas sedang ke berat, jaringan adipose memperoleh

vaskularisasi yang buruk, sehingga jaringan adipose dan jaringan lain yang berada

dibawahnya semakin rentan mengalami kerusakan akibat iskemi.

h. Demam

Infeksi disebabkan adanya patogen didalam tubuh. Pasien infeksi biasa

mengalami demam. Infeksi dan demam meningkatkan kebutuhan metabolik

tubuh, membuat jaringan yang telah hipoksia (penurunan oksigen) semakin rentan

mengalami cedera akibat iskemi (Skheleton & Litwack,1991). Selain itu demam

menyebabkan diaporesis (keringatan) dan meningkatkan kelembaban kulit, yang

selanjutnya yang menjadi predisposisi kerusakan kulit pasien.

i. Gangguan Sirkulasi Perifer

Penurunan sirkulasi menyebabkan jaringan hipoksia dan lebih rentan

mengalami kerusakan iskemia. Ganguan sirkulasi pada pasien yang menderita

penyakit vaskuler faskuler, pasien syok, atau yang mendapatkan pengobatan

sejenis vasopresor.

j. Usia

Studi yang dilakukan oleh Kane et al (1989) mencatat adanya luka

dekubitus yang terbesar pada penduduk berusia lebih dari 75 tahun. Lansia

Universitas Sumatera Utara

Page 10: Dekubitus, immobilisasi

25

25

mempunyai potensi besar untuk mengalami dekubitus Karena barkaitan dengan

perubahan kulit akibat bertambahnya usia, kecedrungan lansia yang lebih sering

berbaring pada satu posisi oleh karena itu immobilisasi akan memperbesar resiko

terjadinya luka dekubitus pada lansia. Immobilisasi berlangsung lama hampir

pasti dapat menyebabkan dekubitus (Roah, 2000). Menurut Pranaka (1999), ada

tiga faktor penyebab dekubitus pada lansia yaitu:

1. Faktor kondisi fisik lansia itu sendiri (perubahan kulit, status gizi, penyakit-

penyakit neurologik, pembuluh darah dan keadaan hidrasi atau cairan tubuh).

2. Faktor perawatan yang diberikan oleh petugas kesehatan.

3. Faktor kebersihan tempat tidur, alat tenun yang kusut dan kotor atau peralatan

medik yang menyebabkan lansia terfiksasi pada suatu sikap tertentu.

Skema 1. Etiologi Luka Dekubitus

↓ Mobilitas

↓ Aktivitas

↓ Persepsi sensori

Faktor ekstrinsik: ↑ Kelembapan ↑ Gesekan ↑ Tenaga yang merobek

Faktor intrinsik: ↑ Nutrisi ↑ Umur ↑ Tekanan arteriolar

Faktor hipotesis yang lain: Stres emosional Merokok Temperatur kulit

Tekanan

Toleransi jaringan

Perkembangan luka dekubitus

Universitas Sumatera Utara

Page 11: Dekubitus, immobilisasi

26

26

1.4. Patogenesis Luka Dekubitus

Tiga elemen yang menjadi dasar terjadi dekubitus yaitu:

1. Intensitas tekanan dan tekanan yang menutup kapiler (Landis, 1930)

2. Durasi dan besarnya tekanan (Koziak, 1959)

3. Toleransi jaringan (Husain, 1953)

Dekubitus terjadi sebagai hasil hubungan antara waktu dengan tekanan

(Stortts, 1988). Semakin besar tekanan dan durasinya, maka semakin besar pula

insiden terbentuknya luka.

Kulit dan jaringan subkutan dapat mentoleransi beberapa tekanan. Tapi,

pada tekanan eksternal terbesar daripada tekanan dasar kapiler akan menurunkan

atau menghilangkan aliran darah ke dalam jaringan sekitarnya. Jaringan ini

menjadi hipoksia sehingga terjadi cedera iskemi. Jika tekanan ini lebih besar dari

32 mmHg dan tidak dihilangkan dari tempat yang mengalami hipoksia, maka

pembuluh darah kolaps dan trombosis (maklebust, 1987). Jika tekanan

dihilangkan sebelum titik kritis maka sirkulasi pada jaringan tersebut akan pulih

kembali melalui mekanisme fisiologis hiperemia reaktif, karena kulit mempunyai

kemampuan yang lebih besar untuk mentoleransi iskemi dari otot, maka dekubitus

dimulai di tulang dengan iskemi otot yang berhubungan dengan tekanan yang

akhirnya melebar ke epidermis (maklebust, 1995).

Pembentukan luka dekubitus juga berhubungan dengan adanya gaya

gesek yang terjadi saat menaikkan posisi klien di atas tempat tidur. Area sakral

dan tumit merupakan area yang paling rentan (Maklebust, 1987). Efek tekanan

juga dapat ditingkatkan oleh distribusi berat badan yang tidak merata. Seseorang

mendapatkan tekanan konstan pada tubuh dari permukaan tempatnya berada

Universitas Sumatera Utara

Page 12: Dekubitus, immobilisasi

27

27

karena adanya gravitasi (Berecek, 1975). Jika tekanan tidak terdistribusi secara

merata pada tubuh maka gradien tekanan jaringan yang mendapatkan tekanan

akan meningkat dan metabolisme sel kulit di titik tekanan mengalami gangguan.

1.5. Klasifikasi Luka Dekubitus

Salah satu cara yang paling dini untuk mengklasifikasikan dekubitus

adalah dengan menggunakan sistem nilai atau tahapan. Sistem ini pertama kali

dikemukakan oleh Shea (1975) sebagai suatu cara untuk memperoleh metode jelas

dan konsisten untuk menggambarkan dan mengklasifikasikan luka dekubitus.

Sistem tahapan luka dekubitus berdasarkan gambaran kedalaman jaringan yang

rusak (Maklebust, 1995). Luka yang tertutup dengan jaringan neukrotik seperti

eschar tidak dapat dimasukkan dalam tahapan hingga jaringan tersebut dibuang

dan kedalaman luka dekubitus dapat di observasi. Peralatan ortopedi dan braces

dapat mempersulit pengkajian dilakukan (AHCPR, 1994).

Ada beberapa sistem tahapan yang berbeda digunakan klinik (AHCPR,

1992). Penting dicatat bahwa untuk setiap sistem tahapan ini menggunakan

defenisi yang berbeda. Oleh karena itu luka dekubitus yang sama dapat

mempunyai nomor tahapan yang berbeda, tergantung sistem tahapan yang

digunakan.

Tahapan dibawah ini berasal dari NPUAP (1992), dan tahapan ini juga

digunakan dalam Pedoman Pengobatan AHCPR (1994). Pada konferensi konsesus

NPUAP (1995) mengubah defenisi untuk tahap I yang memperlihatkan

karasteristik pengkajian pasien berulit gelap. Berbagai indikator selain warna

kulit, seperti suhu, adanya pori-pori “kulit jeruk”, kekakuan atau ketegangan,

kekerasan, dan data laboratorium, dapat membantu mengkaji pasien berkulit gelap

Universitas Sumatera Utara

Page 13: Dekubitus, immobilisasi

28

28

(Maklebust & Seggreen, 1991). Bennett (1995) menyatakan saat mengkaji pasien

berkulit gelap, memerlukan pencahayaan yang sesuai untuk mengkaji kulit secara

akurat. Dianjurkan berupa cahaya alam atau halogen. Hal ini mencegah muncul

warna biru yang dihasilkan dari sumber lampu pijar pada kulit berpigmen gelap,

yang dapat mengganggu pengkajian yang akurat. Menurut NPUAP (1995) ada

perbandingan luka dekubitus derajat I sampai derajat IV yaitu :

I. Eritema tidak pucat pada kulit utuh, lesi luka kulit yang diperbesar. Kulit tidak

berwarna, hangat, atau keras juga dapat menjadi indikator.

II. Hilangnya sebagian ketebalan kulit meliputi epidermis dan atau dermis. Luka

superficial dan secara klinis terlihat seperti abrasi, lecet, atau lubang yang

dangkal.

III. Hilangnya seluruh ketebalan kulit meliputi jaringan subkutan atau nekrotik

yang mungkin akan melebar ke bawah tapi tidak melampaui fascia yang

berada di bawahnya. Luka secara klinis terlihat seperti lubang yang dalam

dengan atau tanpa merusak jaringan sekitarnya.

IV. Hilangnya seluruh ketebalan kulit disertai destruksi ekstensif; nekrosis

jaringan; atau kerusakan otot, tulang, atau struktur penyangga misalnya

kerusakan jaringan epidermis, dermis, subkutaneus, otot, tulang dan kapsul

sendi.

Universitas Sumatera Utara

Page 14: Dekubitus, immobilisasi

29

29

Gambar 1. Derajat Luka Dekubitus menurut NPUAP (1995)

Derajat I Derajat II Derajat III Derajat IV

Dekubitus tidak berkembang dari derajat I sampai ke derajat IV

(NPUAP, 1995). Maklebust (1995) peringatan klinik untuk di ingat walaupun

sistem tahapan menggunakan urutan nomor untuk menggambarkan dekubitus,

tetapi tidak berarti ada perkembangan tingkat keperahan luka dekubitus.

Luka nekrotik diklasifikasikan dengan luka hitam, luka disertai eksudat

dan debris berserat kuning diklasifikasikan dengan luka kuning, dan luka pada

fase penyembuhan aktif dan bersih disertai dengan granulasi berwarna merah

muda hingga merah dan jaringan epitel diklasfikasikan dengan luka merah. Luka

dapat memiliki warna yang bercampur contohnya 25% kuning dan 75% merah

(Krasner, 1995).

1.6. Komplikasi Luka Dekubitus

Komplikasi sering terjadi pada luka dekubitus derajat III dan IV,

walaupun dapat juga terjadi pada luka yang superfisial. Menurut Sabandar (2008)

komplikasi yang dapat terjadi antara lain:

Universitas Sumatera Utara

Page 15: Dekubitus, immobilisasi

30

30

a. Infeksi, umumnya bersifat multibakterial baik yang aerobik maupun

anaerobik.

b. Keterlibatan jaringan tulang dan sendi seperti periostitis, osteitis,

osteomielitis dan arthritis septik.

c. Septikemia.

d. Anemia.

e. Hipoalbuminemia.

f. Kematian.

1.7. Tempat Terjadinya Luka Dekubitus

Beberapa tempat yang paling sering terjadi dekubitus adalah sakrum,

tumit, siku, maleolus lateral, trokanter besar, dan tuberostis iskial (Meehan, 1994).

Menurut Bouwhuizen (1986) menyebutkan daerah tubuh yang sering terkena luka

dekubitus adalah :

a. Pada penderita pada posisi terlentang: pada daerah belakang kepala,

daerah tulang belikat, daerah bokong dan tumit.

b. Pada penderita dengan posisi miring: daerah pinggir kepala (terutama daun

telinga), bahu, siku, daerah pangkal paha, kulit pergelangan kaki dan

bagian atas jari-jari kaki.

c. Pada penderita dengan posisi tengkurap: dahi, lengan atas, tulang iga, dan

lutut.

1.8. Pengkajian Luka Dekubitus

Data dasar pengkajian yang terus-menerus memberi informasi penting

integritas kulit pasien dan peningkatan risiko terjadi dekubitus. Pengkajian

dekubitus tidak terlepas pada kulit karena dekubitus mempunyai banyak faktor

Universitas Sumatera Utara

Page 16: Dekubitus, immobilisasi

31

31

etiologi. Oleh karena itu, pengkajian awal pasien luka dekubitus memiliki

beberapa dimensi.

a. Ukuran Perkiraan

Pada saat seseorang masuk ke rumah sakit perawatan akut dan

rehabilitasi, rumah perawatan, program perawatan rumah, fasilitas perawatan lain

maka pasien harus dikaji risiko terjadi luka dekubitus (AHCPR, 1992). Pengkajian

resiko luka dekubitus harus dilakukan secara sistematis (NPUAP, 1989) seperti

Tabel 1. Pengkajian Resiko Luka Dekubitus

No Langkah Pengkajian Keterangan

1. Identifikasi risiko terjadi pada pasien:

a. Paralisis atau immobilisasi yang disebabkan oleh alat-alat

yang membatasi gerakan pasien

b. Kehilangan sensorik

c. Gangguan sirkulasi

d. Penurunan tingkat kesadaran, sedasi, atau anastesi

e. Gaya gesek, friksi

f. Kelembaban: inkontinensia, keringat, drainase luka dan

muntah.

g. Malnutrisi

h. Anemia

i. Infeksi

j. Obesitas

k. Kakeksia

l. Hidrasi: edema atau dehidrasi

Universitas Sumatera Utara

Page 17: Dekubitus, immobilisasi

32

32

m. Lanjut usia

n. Adanya dekubitus

2. Kaji kondisi kulit di sekitar daerah yang mengalami

penekanan pada area sebagai berikut:

a. Hiperemia reaktif normal

b. Warna pucat

c. Indurasi

d. Pucat dan belang-belang

e. Hilangnya lapisan kulit permukaan

f. Borok, lecet, atau bintil-bintik

3. Kaji daerah tubuh pasien yang berpotensi mengalami

tekanan:

a. Lubang hidung

b. Lidah, bibir

c. Tempat pemasangan intervena

d. Selang drainase

e. Kateter foley

4. Observasi posisi yang lebih disukai pasien saat berada di atas

tempat tidur atau kursi.

5. Observasi mobilisasi dan kemampuan pasien untuk

melakukan dan membantu dalam mengubah posisi.

6. Tentukan nilai resiko:

a. Skala Norton

b. Skala Gosnell

Universitas Sumatera Utara

Page 18: Dekubitus, immobilisasi

33

33

c. Skala Barden

7. Pantau lamanya waktu daerah kemerahan

8. Dapatkan data pengkajian nutrisi yang meliputi jumlah

serum albumin, jumlah protein total, jumlah hemoglobin,

dan persentasi berat badan ideal.

9. Kaji pemahaman pasien dan keluarga tentang resiko

dekubitus.

Keuntungan dari instrumen perkiraan adalah meningkatkan deteksi dini

perawat pada pasien berisiko maka intervensi yang tepat diberikan untuk

mempertahankan intergritas kulit. Pengkajian ulang untuk resiko luka dekubitus

harus dilakukan secara teratur (AHCPR, 1992). Sangat dianjurkan menggunakan

alat pengkajian yang tervalidasi untuk jenis populasi pasien tertentu.

b. Kulit

Perawat harus mengkaji kulit terus-menerus dari tanda-tanda munculnya

luka pada kulit klien. Klien gangguan neurology, berpenyakit kronik dalam waktu

lama, penurunan status mental, dan dirawat di ruang ICU, berpenyakit enkologi,

terminal, dan orthopedi berpotensi tinggi terjadi luka dekubitus.

Pengkajian untuk indikator tekanan jaringan meliputi inspeksi visual dan

taktil pada kulit (Pires & Muller, 1991). Pengkajian dasar dilakukan untuk

menentukan karasterstik kulit normal klien dan setiap area yang potensial atau

aktual mengalami kerusakan. Perawat memberi perhatian khusus pada daerah

dibawah gips, traksi, balutan, tongkat penopang, penyangga leher, atau peralatan

Universitas Sumatera Utara

Page 19: Dekubitus, immobilisasi

34

34

orthopedi lain. Jumlah pemerikasaan tekanan tergantung jadwal pemakaian alat

respons kulit terhadap tekanan eksternal.

Ketika hiperemia ada maka perawat harus mencatat lokasi, ukuran, dan

warna lalu mengkaji ulang area tersebut setelah satu jam. Apabila terlihat kelainan

hiperemia reaktif maka perawat dapat menandai area tersebut agar pengkajian

ulang menjadi lebih mudah. Tanda peringatan dini lain yang menunjukkan

kerusakan jaringan akibat tekanan adalah lecet atau bintil-bintil pada area yang

menanggung beban berat tubuh dan mungkin disertai hiperemia. Pires & Muller

(1991) melaporkan bahwa tanda dini akibat tekanan yang sering diabaikan pada

klien yang tidak mengalami trauma adalah borok di area yang menanggung beban

berat badan. Semua tanda-tanda ini merupakan indikator dini gangguan integritas

kulit, tapi kerusakan kulit yang berada di bawahnya mungkin menjadi lebih

progesif. Pengkajian taktil memungkin perawat menggunakan teknik palpasi

untuk memperoleh data lebih lanjut mengenai indurasi dan kerusakan kulit

maupun jaringan yang di bawahnya.

Perawat melakukan palpasi pada jaringan disekitarnya untuk

mengobservasi area hiperemi, mengkaji adanya pucat dan kembali ke warna kulit

normal pada klien berkulit terang. Selain itu, perawat mempalpasi indurasi,

mencatat indurasi di sekitar area yang cedera dalam ukuran millimeter atau

sentimeter. Perawat juga mencatat perubahan suhu di sekitar kulit dan jaringan

(Pires & Muller, 1991).

Perawat sering menginspeksi secara visual dan taktil pada area tubuh

yang paling sering berisiko luka dekubitus. Jika pasien berbaring di tempat tidur

atau duduk di atas kursi maka berat badan terletak pada tonjolan tulang tertentu.

Universitas Sumatera Utara

Page 20: Dekubitus, immobilisasi

35

35

Permukaan tubuh yang paling terbebani berat badan ataupun tekanan merupakan

area berisiko tinggi terjadi dekubitus (Helt, 1991).

c. Mobilisasi

Pengkajian meliputi pendokumentasikan tingkat mobilisasi pada

integritas kulit. Pengkajian mobilisasi juga harus memperoleh data tentang

kualitas tonus dan kekuatan otot. Klien yang mempunyai rentang gerak yang

adekuat untuk bergerak secara mandiri ke bentuk posisi yang lebih terlindungi.

Mobilisasi harus dikaji sebagai bagian dari data dasar. Jika pasien

memiliki tingkat kemandirian mobilisasi maka perawat harus mendorong pasien

agar sering mengubah posisinya dan melakukan tindakan untuk menghilangkan

tekanan yang dialaminya. Frekuensi perubahan posisi berdasarkan pengkajian

kulit yang terus menerus dan dianggap sebagai perubahan data.

d. Status Nutrisi

Pengkajian nutrisi klien harus menjadi bagian intregral dalam pengkajian

data awal pada pasien berisiko gangguan integritas kulit (Breslow & Bergstrom,

1994; Water et al, 1994; Finucance, 1995;). Pasien malnutrisi atau kakeksia dan

berat badan kurang dari 90% berat badan ideal atau pasien yang berat badan lebih

dari 110% berat badan ideal lebih berisiko terjadi luka dekubitus (Hanan &

Scheele, 1991). Walapun persentase berat badan bukan indikator yang baik, tapi

jika ukuran ini digunakan bersama-sama dengan jumlah serum albumin atau

protein total yang rendah, maka persentase berat badan ideal pasien dapat

mempengaruhi timbulnya luka dekubitus.

Universitas Sumatera Utara

Page 21: Dekubitus, immobilisasi

36

36

e. Nyeri

Sampai saat ini, hanya sedikit tulisan atau penelitian yang dilakukan

tentang nyeri dan luka dekubitus. AHCPR (1994) telah merekomendasi

pengkajian dan manajemen nyeri termasuk dalam perawatan pasien luka

dekubitus. Selain itu AHCPR (1994) menegaskan perlunya penelitian tentang

nyeri pada pasien luka dekubitus. Salah satu studi yang pertama kali menghitung

pengalaman nyeri pasien yang dirawat di rumah sakit karena luka dekubitus telah

dilakukan oleh Dallam et al (1995). Pada studi ini 59,1% pasien melaporkan

adanya nyeri dengan menggunakan skala analog visual, 68,2% melaporkan

adanya nyeri akibat luka dekubitus dengan menggunakan skala urutan nyeri faces.

Berlawanan dengan banyaknya nyeri yang dilaporkan, obat-obatan nyeri yang

telah digunakan klien sebesar 2,3%. Beberapa implikasi praktik yang disarankan

para peneneliti (Dallam et al, 1995) adalah menambah evaluasi tingkat nyeri

pasien ke dalam pengkajian dekubitus, yaitu pengontrolan nyeri memerlukan

pengkajian ulang yang teratur untuk mengevaluasi efektifitas, dan bahwa program

pendidikan diperlukan untuk meningkatkan sensitifitas pemberi pelayanan

kesehatan terhadap nyeri akibat luka dekubitus.

2. Immobilisasi

2.1. Pengertian Immobilisasi

Konsep immobilisasi merupakan hal relatif dalam arti tidak saja

kehilangan pergerakan total tetapi juga terjadi penurunan aktivitas dari normalnya.

Pada keadaan immobilisasi, pasien tidak dapat menghindari pembatasan gerakan

pada setiap aspek kehidupan. Jadi, immobilisasi adalah ketidakmampuan untuk

Universitas Sumatera Utara

Page 22: Dekubitus, immobilisasi

37

37

bergerak bebas yang disebabkan oleh kondisi dimana gerakan terganggu atau

dibatasi secara terapeutik (Potter & Perry, 2006). Menurut Garrison (2004)

keadaan immobilisasi adalah suatu pembatasan gerak atau keterbatasan fisik dari

anggota badan dan tubuh itu sendiri dalam berputar, duduk dan berjalan, hal ini

salah satunya disebabkan oleh berada pada posisi tetap dengan gravitasi berkurang

seperti saat duduk atau berbaring.

Dalam hubunganya dengan perawatan pasien, maka immobilisasi adalah

keadaan dimana pasien berbaring lama di tempat tidur, tidak dapat bergerak

secara bebas karena kondisi yang mengganggu pergerakan (aktifitas).

Immobilisasi pada pasien tersebut dapat disebabkan oleh penyakit yang

dideritanya misalnya terjadi trauma fraktur pada ekstermitas atau menderita

kecacatan (Asmadi, 2008).

Immobilisasi merupakan salah satu faktor dalam perkembangan luka

dekubitus, yang diakibatkan oleh paralisis, anestesia, nyeri, maupun melalui

sedasi (Morison, 2003). Faktor eksaserbasi lainnya termasuk inkontinensia,

malnutrisi, dan hilangnya fungsi sensoris akibat paraplegia atau hemiparesis.

Terdapat hubungan yang kuat anatara inkontinesia dan luka dekubitus (Exton &

Smith, 1987). Urine dapat menyebabkan maserasi dan ekskoriasi kulit, serta abrasi

superfisial akibat gesekan menjadi jauh lebih mudah terjadi. Malnutrisi tidak

secara langsung menyebabkan luka dekubitus, tetapi malnutrisi merupakan faktor

eksaserbasi yang sangat penting di dalam perkembangan dekubitus (Agarwal et al,

1985).

Menurut Aziz (2006), secara umum kondisi yang di hadapi pasien, ada

beberapa macam keadaan immobilitas, antara lain :

Universitas Sumatera Utara

Page 23: Dekubitus, immobilisasi

38

38

1. Immobilitas fisik, merupakan pembatasan untuk bergerak secara fisik dengan

tujuan mencegah terjadinya gangguan komplikasi pergerakan, seperti pada

pasien dengan hemiplegia yang tidak mampu mempertahankan tekanan di

daerah paralysis sehingga tidak dapat mengubah posisi tubuhnya untuk

mengurangi tekanan.

2. Immobilisasi intelektual, merupakan keadaan ketika seseorang mengalami

keterbatasan daya pikir, seperti pada pasien yang mengalami kerusakan otak

akibat suatu penyakit.

3. Immobilisasi emosional, keadan ketika seseorang mengalami pembatasan

secara emosional karena adanya perubahan secara tiba-tiba dalam

menyesuaikan diri. Sebagai contoh, keadan stress berat dapat disebabkan

karena bedah amputasi ketika seseorang mengalami sebagian anggota

tubuhnya, atau kehilangan sesuatu yang paling dicintai.

4. Immobilisasi sosial, keadaan individu yang mengalami hambatan dalam

melakukan interaksi sosial karena keadaan penyakitnya sehingga dapat

mempengaruhi perannya dalam kehidupan sosial.

2.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Immobilisasi

Menurut Tarwoto & Wartonah (2004), faktor-faktor yang mempengaruhi

kurangnya pergerakan atau immobilisasi adalah sebagai berikut :

a. Gangguan Muskuloskletal

Gangguan pada muskuloskletal biasanya dipengaruhi oleh beberapa

keadaan tentu yang mengganggu pergerakan tubuh seseorang, misalnya

osteoporosis, atropi, kontraktur, kekakuan sendi dan sakit sendi.

Universitas Sumatera Utara

Page 24: Dekubitus, immobilisasi

39

39

b. Gangguan Kardiovaskuler

Beberapa kasus kardiovaskuler yang dapat berpengaruh terhadap

mobilitas fisik seseorang antara lain: postural hipotensi, vasodilatasi, dan

peningkatan valsalva maneuver.

c. Gangguan Sistem Pernafasan

Beberapa keadaan gangguan respirasi yang dapat berpengaruh terhadap

mobilitas seseorang antara lain penurunan gerak pernafasan, bertambahnya sekresi

paru, atelektasis, dan hipostatis pneumonia.

Faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi menurut Kozier (1995), antara lain:

a. Gaya Hidup

Gaya hidup seseorang sangat tergantung dari tingkat pendidikannya.

Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan diikuti oleh perilaku yang dapat

meningkatkan kesehatannya. Demikian halnya dengan pengetahuan kesehatan

tentang mobilitas seseorang akan senantiasa melakukan mobilisasi dengan cara

yang sehat.

b. Proses Penyakit dan Injury

Adanya penyakit tertentu yang diderita seseorang akan mempengaruhi

mobilitasnya, misalnya seorang yang patah tulang akan kesulitan untuk mobilisasi

secara bebas. Demikian pula orang yang baru menjalani operasi, karena adanya

rasa sakit yang menjadi alasan mereka cenderung untuk bergerak lebih lambat.

Ada kalanya pasien harus istirahat di tempat tidur karena menderita penyakit

tertentu.

Universitas Sumatera Utara

Page 25: Dekubitus, immobilisasi

40

40

c. Kebudayaan

Kebudayaan dapat mempengaruhi pola dan sikap dalam melakukan

aktifitas, misalnya pasien setelah operasi dilarang bergerak karena kepercayaan

kalau banyak bergerak nanti luka atau jahitan tidak jadi.

d. Tingkat Energi

Seseorang melakukan mobilisasi jelas membutuhkan energi atau tenaga.

Orang yang sedang sakit akan berbeda mobilitasnya dibandingkan dengan orang

dalam keadaan sehat.

e. Usia dan Status Perkembangan

Seorang anak akan berbeda tingkat kemampuan mobilitasnya

dibandingkan dengan seorang remaja dan juga pada lansia.

2.3. Tingkat Immobilisasi

Menurut Braden & Bergstrom (1989), dalam skala Braden tingkat

mobilisasi terbagi atas empat tingkatan yaitu:

1. Tidak terbatas: Melakukan perubahan posisi yang bermakna dan sering tanpa

bantuan.

2. Agak terbatas: Sering melakukan perubahan kecil pada posisi tubuh dan

ekstremitas secara mandiri tetapi memiliki derajat keterbatasan.

3. Sangat terbatas: kadang-kadang melakukan perubahan kecil pada posisi tubuh

dan ekstremitas tapi tidak mampu melakukan perubahan yang sering.

4. Immobilisasi total: Tidak dapat melakukan perubahan posisi tubuh atau

ekstremitas tanpa bantuan.

Universitas Sumatera Utara

Page 26: Dekubitus, immobilisasi

41

41

2.4. Efek Samping Immobilisasi

Potter & Perry (2005), menyatakan ada pengaruh fisiologis yang

ditimbulkan oleh keadaan immobilisasi yaitu apabila ada perubahan immobilisasi

maka setiap sistem tubuh akan beresiko terjadi gangguan. Tingkat keparahan dari

gangguan tersebut tergantung pada umur pasien, dan kondisi kesehatan secara

keseluruhan, serta tingkat immobilisasi yang dialami. Ada tujuh perubahan yang

terjadi yaitu: perubahan metabolik, perubahan sistem respiratori, perubahan sistem

kardiovaskuler, perubahan sistem muskuloskletal, perubahan sistem integumen,

perubahan eliminasi urine, dan perubahan psikososial.

Menurut Asmadi (2008), ada beberapa masalah yang dapat ditimbulkan

akibat immobiliosasi fisik ini antara lain:

a. Sistem Integumen

Immobilisasi yang lama dapat menyebabkan kerusakan integritas kulit,

seperti abrasi dan luka dekubitus. Hal tersebut disebabkan oleh karena pada

immobilisasi terjadi gesekan, tekanan, jaringan bergeser satu dengan yang lain,

dan penurunan sirkulasi darah pada area yang tertekan, sehingga terjadi iskemia

pada jaringan yang tertekan. Kondisi yang ada dapat diperburuk lagi dengan

adanya infeksi, trauma, kegemukan, berkeringat, dan nutrisi yang buruk.

b. Sistem Kardivaskuler

Sistem kardiovaskuler juga dipengaruhi oleh immobilisasi. Ada tiga

perubahan utama yaitu hipotensi, ortostatik, peningkatan beban kerja jantung, dan

pembentukan thrombus.

Universitas Sumatera Utara

Page 27: Dekubitus, immobilisasi

42

42

c. Sistem Respirasi

Immobilisasi menyebabkan terjadinya perubahan sistem pernafasan.

Akibat immmobilitas, kadar hemoglobin menurun, ekspansi paru menurun, dan

terjadinya lemah otot yang dapat menyebabkan proses metabolisme terganggu.

Terjadinya penurunan kadar hemoglobin dapat menyebabkan penurunan aliran

oksigen dari alveoli ke jaringan, sehingga mengakibatkan anemia. Penurunan

ekspansi paru dapat terjadi karena tekanan yang meningkat oleh permukaan paru.

Pasien immobilisasi beresiko tinggi mengalami kompikasi paru-paru. Komplikasi

paru-paru yang paling umum adalah etelektasis dan pneumonia hipostatik.

d. Sistem Perkemihan

Immobilisasi menyebabkan perubahan pada eliminasi urine. Dalam

kondisi normal urine mengalir dari pelvis renal masuk ke ureter lalu ke bladder

yang disebabkan adanya gaya gravitasi. Namun pada posisi terlentang, ginjal dan

ureter berada pada posisi yang sama sehingga urine tidak dapat melewati ureter

dengan baik (urine menjadi statis). Akibatnya urine banyak tersimpan dalam

pelvis renal. Kondisi ini resiko tinggi terjadinya infeksi saluran kemih dan batu

ginjal.

e. Sistem Muskuloskletal

Immobilisasi menyebabkan penurunan massa otot (atropi otot) sebagai

akibat dari kecepatan metabolisme yang turun dan kurangnya aktifitas sehingga

mengakibatkan berkurangnya kekuatan otot sampai akhirnya memburuknya

koordinasi pergerakan. Immobilisasi juga dapat menyebabkan perubahan jaringan

pada sistem muskuloskletal sehingga terjadi hiperkalsemia dan hiperkalsiuria

Universitas Sumatera Utara

Page 28: Dekubitus, immobilisasi

43

43

yang kemudian menyebabkan osteoporosis. Selain terjadi atropi otot, immobilisasi

juga dapat menyebabkan pemendekan serat otot dan gangguan mobilisasi sendi.

f. Sistem Neurosensoris

Dampak terhadap sistem neurosensoris tampak nyata pada pasien

immobilisasi yang dipasang gips akibat fraktur. Pemasangan gips pada

ekstremitas dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan menimbulkan gangguan

saraf pada bagian distal dari gips. Hal tersebut dapat menyebabkan pasien tidak

dapat menggerakkan bagian anggota tubuh yang distal dari gips, mengeluh terjadi

sensasi yang berlebihan atau berkurang dan timbul rasa nyeri yang hebat.

g. Perubahan Perilaku

Perubahan perilaku akibat immobilitas, antara lain timbulnya rasa

bermusuhan, bingung, cemas, emosional tinggi, depresi, perubahan siklus tidur,

menurunnya koping mekanisme dan menurunya perhatian serta kemampuan

terhadap pemeliharaan kebersihan diri serta perubahan status emosional biasa

terjadi bertahap.

3. Lama Hari Rawat

3.1. Pengertian Lama Hari Rawat

Lama hari rawat merupakan salah satu unsur atau aspek asuhan dan

pelayanan di rumah sakit yang dapat dinilai atau diukur. Bila seseorang dirawat di

rumah sakit, maka yang diharapkan tentunya ada perubahan akan derajat

kesehatannya. Bila yang diharapkan baik oleh tenaga medis maupun oleh

penderita itu sudah tercapai maka tentunya tidak ada seorang pun yang ingin

berlama-lama di rumah sakit (Heryati, 1993) .

Universitas Sumatera Utara

Page 29: Dekubitus, immobilisasi

44

44

Lama hari rawat secara signifikan berkurang sejak adanya pengetahuan

tentang hal-hal yang berkaitan dengan diagnosa yang tepat (Edward, 1992). Untuk

menentukan apakah penurunan lama hari rawat itu meningkatkan efisiensi atau

perawatan yang tidak tepat, dibutuhkan pemeriksaan lebih lanjut berhubungan

dengan keparahan atas penyakit dan hasil dari perawatan.

Menurut Edward (1992), Peratuaran untuk menghitung hari pasien,

kontrak pulang dan (normal) hari keluar dan menentukan lama rawat. Ada dua

metode logis untuk menghitung lama hari rawat :

1. Retrospektif : Tanggal keluaran dikurang tanggal masuk dikurang total

(normal) hari keluar.

2. Progessif : Jumlah hari pasien (termasuk kontrak hari keluar) dijumlahkan ke

tanggal.

Dalam penghitungan statistik pelayanan rawat inap di rumah sakit

dikenal istilah yang lama dirawat (LD) yang memiliki karakteristik cara

pencatatan, penghitungan, dan penggunaan yang berbeda (Indradi, 2007). LD

menunjukkan berapa hari lamanya seorang pasien dirawat inap pada satu episode

perawatan. Satuan untuk LD adalah hari. Cara menghitung LD yaitu dengan

menghitung selisih antara tanggal pulang (keluar dari rumah sakit, hidup maupun

mati) dengan tanggal masuk rumah sakit. Dalam hal ini, untuk pasien yang masuk

dan keluar pada hari yang sama – lama dirawatnya dihitung sebagai 1 hari dan

Pasien yang belum pulang atau keluar belum bisa dihitung lama dirawatnya

(Indradi, 2007).

Universitas Sumatera Utara

Page 30: Dekubitus, immobilisasi

45

45

3.2. Waktu Terjadinya Luka Dekubitus

Menurut suatu penelitian di Amerika ada sekitar 70% pasien yang

mengalami luka dekubitus di rumah sakit terjadi pada minggu pertama sampai

minggu ke dua salama di rawat (Cooney & Reuler, 1991). Menurut Kadir (2007)

luka dekubitus terjadi dalam dua minggu pertama dalam perawatan. Sabandar

(2008) mengatakan tanda-tanda luka dekubitus terjadi akibat posisi pasien yang

tidak berubah (immobilisasi) dalam jangka waktu lebih dari 6 jam.

Menurut Yuniarti (2007), jika aliran darah, nutrisi dan oksigenasi

terhambat lebih dari 2 – 3 jam, maka kulit akan mati yang dimulai pada lapisan

kulit paling atas (epidermis). Daniel et al (1981) menyatakan bahwa iskmia primer

terjadi pada otot dan kerusakan jaringan kulit terjadi sesuai dengan kenaikan besar

dan lamanya tekanan.

Menurut Kadir (2007), tekanan daerah pada kapiler berkisar antara 16

mmHg – 33 mmHg. Kulit akan tetap utuh karena sirkulasi darah terjaga, bila

tekanan padanya masih berkisar pada batas-batas tersebut. Tetapi sebagai contoh

bila pasien immobilisasi pada tempat tidurnya secara pasif dan berbaring diatas

kasur busa maka tekanan daerah sakrum akan mencapai 60–70 mmHg dan di

daerah tumit mencapai 30–45 mmHg. Keadaan ini dapat menimbulkan perubahan

degeneratif secara mikroskopik pada semua lapisan jaringan mulai dari kulit

sampai tulang. Tekanan akan menimbulkan daerah iskemik dan bila berlanjut

terjadi nokrosis jaringan kulit.

Menurut Wim de Jong (2004), mula-mula kulit tampak kemerahan yang

tidak hilang setelah tekanan dihilangkan. Pada tahap dini ini, tidak terlihat

nekrosis karena permukaan kulit masih utuh. Iskemia dan nekrosis sudah terjadi

Universitas Sumatera Utara

Page 31: Dekubitus, immobilisasi

46

46

pada lapisan subkutis, tetapi baru terlihat setelah beberapa hari berupa kulit yang

kemerahan dan mengelupas sedikit, kemudian terlihat suatu defek kulit. Terjadi

gangguan mikrosirkulasi jaringan lokal dan mengakibatkan hipoksia. Setelah satu

minggu atau 10 hari, luas nekrosisi ini mencapai tulang atau fasia di dasarnya.

Nekrosis sudah terjadi pada hari pertama, hanya batas kulit pada waktu itu belum

jelas, umumnya luas nekrosis di lapisan subkutis lebih luas daripada permukaan

kulit.

Universitas Sumatera Utara